Rabu, 28 Februari 2024

prularisme 6

 


ntasi agama tidak terlalu kuat

dibandingkan dengan di wilayah yang komposisi agamanya

berimbang. Di wilayah dengan karakteristik keagamaan yang

homegen, pemilahan politik akan terbangun mengikuti basis

kategori yang lain: seperti etnik, kekerabatan, politik aliran ataupun

stratifikasi kelas sosial.

Sedangkan dalam wilayah kontestasi yang komposisi

agamanya berimbang, faktor agama menjadi relevan. Hal ini bisa

dilihat dalam proses kandidatisasi, yang membutuhkan latar

belakang agama seorang kandidat sebagai referensi utama dalam

menggalang koalisi politik di Pemilukada. Dalam membangun

koalisi, komposisi penduduk berdasarkan agama menjadi

pertimbangan. Biasanya, kandidat kepala daerah diambil dari

agama dengan komposisi pemeluk terbesar, disusul  wakilnya

berasal dari agama dengan jumlah pemeluk terbesar berikutnya.

Koalisi semacam ini terutama terjadi di daerah-daerah yang

dihuni dua agama besar dengan komposisi yang relatif berimbang.

Misalnya, dalam Pemilukada di Maluku, pasangan kandidat

Gubernur dan Wakil Gubernur yang diajukan partai-partai

cenderung merupakan kombinasi Kristen dan Islam. Hal yang

sama juga terjadi dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Tengah.

Gubernur terpilih Kalimantan Tengah, Teras A Narang, yang

beragama Kristen dipasangkan dengan Ahmad Diran yang Islam.

Pemilukada Papua Barat pada tahun 2006, kombinasi beda agama

menjadi cara untuk membangun koalisi antarkandidat. Partai

Golkar mengusung pasangan beda agama: Yorris Raweyai  (Kristen)

berpasangan dengan Abdul Killian (Islam).

Pemilukada di daerah yang sebelumnya dilanda konflik

cenderung menerapkan model koalisi beda agama. Kabupaten

Ketapang, Bengkayang, Kapuas Hulu, dan Sintang di Kalimantan

Barat cenderung mengikuti pola koalisi beda agama. Demikian pula

dengan pemilihan Gubernur di Kalimantan Barat pada tahun 2007

memunculkan kandidat yang mengkombinasikan Islam-Kristen,

seperti pasangan Usman Jafar dan LH Kadir, Oesman Sapta dan

Ignatius Lyong, dan Akil–Mecer.

Mengapa koalisi beda agama muncul di daerah-daerah yang

secara demografis komposisi agamanya relatif berimbang? Berbeda

dengan kecenderungan di daerah-daerah  yang homogen dan

didominasi secara mayoritas oleh satu agama, kawasan dengan

komposisi berimbang cenderung rawan konflik komunal antar-

agama. Konflik bisa terjadi pada momentum politik tertentu seperti

Pemilukada, pergantian pejabat birokrasi, dan lain-lain. Isu

utama yang sering dimunculkan berkaitan dengan tingkat keter-

wakilan komunitas agama dalam posisi politik maupun redistribusi

ekonomi.

Dalam konteks semacam ini, bisa lahir dua bentuk respons

dari elite politik lokal. Elite politik cenderung memanfaatkan dan

mendayagunakan wacana ketimpangan representasi politik

antaragama untuk meraih dukungan politik. Dalam strategi ini,

elite politik “mengeksploitasi” wacana ketidakberimbangan keter-

wakilan dengan tujuan-tujuan pragmatis dalam proses elektoral.

Respons lain dari elite politik adalah dengan mengesam-

pingkan wacana ketimpangan dan mengusung wacana

perimbangan, dengan cara menggabungkan pasangan calon dari

latar belakang agama berbeda. Dengan cara seperti ini, kombinasi

beda agama menjadi strategi untuk merebut pasar suara pemilih

dalam Pemilukada. Dengan pasar politik yang semakin kompetitif

maka pendekatan mobilisasi pemilih dengan memakai  senti-

men agama menjadi metode kampanye untuk meraih dukungan

pemilih. Dalam strategi ini, pasangan kandidat lebih fokus memo-

bilisasi calon pemilih yang menganut agama yang sama dengan

dirinya. Itu artinya, strategi mengusung kandidat dari dua latar

belakang agama yang berbeda, merupakan bagian strategi memper-

luas segmen pendukung. Dengan cara seperti itu, kandidat ber-

harap bisa merebut dukungan, bukan hanya dari satu komunitas

agama, melainkan bisa mendapatkan sokongan segmen pemilih

dari dua komunitas agama sekaligus. Bahkan, dengan model koalisi

politik semacam ini, para kandidat juga bisa membangun citra

pluralis, yang biasanya juga menarik minat pemilih mengambang

(swing voter).


Agama dalam Koalisi Partai

Dalam Pemilukada terlihat jelas kecenderungan tingkah laku

kandidat dan partai politik pendukungnya, dipengaruhi oleh logika

untuk memenangkan persaingan atau seringkali disebut sebagai

logika elektoralis. Dalam hal ini, partai politik cenderung

menyesuaikan program, strategi serta mencairkan batas

ketegangan ideologi yang dianutnya dengan kebutuhan pasar yang

lebih luas demi pemenangan Pemilukada. Kecenderungan partai

politik untuk lebih menekankan logika elektoralis membuat tipe

partai politik di negara kita  mengarah pada tipe “catch-all party”.

Tipe catch–all party juga berpengaruh pada model rekruitmen

kandidat dalam Pilkada yang cenderung bergerak ke pola survival.

Secara umum, dalam pola survival, rekruitmen kandidat lebih

didasarkan dan diarahkan pada pencarian kandidat yang memiliki

sumber finansial yang kuat, basis massa yang luas serta tingkat

popularitas yang tinggi. Dalam logika itu, kandidat yang diusung

oleh partai politik tidak hanya berasal kader partainya melainkan

juga berasal dari nonkader, terutama figur-figur yang mempunyai

basis dukungan politik di akar rumput.

Konsekuensinya, walaupun secara historis, politik kepartaian

di negara kita  mengikuti pemilahan politik aliran,188 namun, dalam

Pemilukada, pola kontestasi dan aliansi antarpartai tidak selalu

mengikuti logika politik aliran. Hal ini terlihat jelas dari munculnya

koalisi politik kepartaian yang bersifat “pelangi” melintasi

pemilahan batas politik aliran.

Dalam Pemilukada di beberapa daerah, terlihat jelas

ketidakyakinan partai-partai berbasis agama189 untuk

memenangkan kompetisi, apabila mereka bergandengan dengan

partai sejenis. Ketidakyakinan itu semakin kuat karena terjadi tren

penurunan perolehan suara partai agama, terutama partai Islam,

dari 38% dalam Pemilu 2004 menjadi sekitar 29% pada Pemilu

2009.190  Hampir semua partai Islam mengalami penurunan suara

secara signifikan.

Ketidakyakinan itu menyebabkan mereka membangun basis

koalisi antarpartai yang memiliki segmen pendukung yang berbeda.

Hal itu ditunjukkan dengan munculnya model koalisi politik antara

partai berbasis agama dengan partai nasionalis-sekuler.191 Hal yang

sama terjadi pada partai-partai nasionalis-sekuler; partai-partai

ini  mempertimbangkan pasangan kandidat, yang memiliki


Penentu Kemenangan

Rudy adalah anak angkat Guru Ijai (KH. Zaini Abdul

Ghani), ulama paling berpengaruh di Martapura

Memiliki sumber ekonomi yang lebih banyak ketimbang

partai-partai Islam dan partai lain yang ada

Mengusung Perda SI sementara warga  dan elemen

keagamaan memiliki tekat yang sama

Abu Bakar yang incumbent memiliki networking politik

yang bagus berkat keanggotaannya di Golkar dan Saifur

Rahman adalah anak tokoh agama kharismatis Dompu.

Rumah Guru Haji Salman Faris

Pasangan calon dianggap mampu membangun

kehidupan yang harmonis

Cabup adalah bupati yang sedang menjabat dan

cawabup merupakan kader Muhammadiyah di daerah

basis ormas ini 

Kandidat adalah orang NU di daerah berbasis NU

basis pendukung dari komunitas sosial keagamaan, baik berasal

dari partai Islam maupun nonpartai. Dari nonpartai, biasanya

diambil dari organisasi massa Islam terbesar di suatu wilayah,

seperti NU, Muhammadiyah ataupun Nahdhatul Wathon. Pilihan

untuk mengambil pasangan kandidat yang berasal dari segmen

pendukung yang berbeda tentu saja dimaksudkan untuk

memperluas basis dukungan politik yang tidak bersifat homogen

melainkan lebih tersebar. Dengan cara itu, partai nasionalis akan

bisa menggalang dukungan dari para pemilih yang mempunyai

identifikasi kepartaian dengan partai-partai Islam.

Dalam Pemilukada Bulukumba, Sulawesi Selatan, terbentuk

koalisi partai nasionalis-partai Islam, antara PDI Perjuangan

dengan Partai Bulan Bintang. Di Cianjur. Jawa Barat terbangun

koalisi  kader PKS yang merangkul Partai Demokrat. Di Kalimantan

Selatan, pasangan kandidat Bupati-Wakil Bupati berasal dari Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) dan  Partai Kebangkitan Bangsa

bergandengan dengan partai nasionalis. Di Dompu, Nusa Tenggara

Barat, calon gabungan dari PNU PKB dan PPDI membangun koalisi

dalam Pemilukada. Bahkan di daerah kantong Kristen, seperti Poso,

Sulawesi Tengah, tercipta koalisi partai Kristen, Partai Damai

Sejahtera dengan Partai Persatuan Daerah. Dalam Pemilukada Kota

Surabaya 2010, muncul kombinasi yang menarik, pasangan Fandi

Utomo dan Kol. Yulius Bustami diusung oleh partai-partai yang

berasaskan Islam seperti PKS, PPP dan PKNU, dengan berkoalisi

dengan Partai Damai Sejahtera.

Mengapa partai-partai berbasis agama memilih untuk

melakukan koalisi pelangi? Survei JPPR (Jaringan Pendidikan

Pemilih untuk Rakyat) yang dipublikasi pada Juni 2006 sedikit

menjawab. Survei itu mengungkapkan, dari 213 Pemilukada yang

digelar, gabungan partai-partai Islam berada di peringkat paling

bawah yaitu 2,68% (enam daerah). Kemudian peringkat keempat

yaitu 4,91% (11 daerah) dimenangkan partai Islam tanpa berkoalisi.

Peringkat ketiga dimenangkan partai nasional tanpa koalisi

sebanyak 22,27% (51 daerah). Disusul gabungan partai-partai

nasionalis sebanyak 32,59% (73 daerah). Justru mayoritas

Pemilukada dimenangkan oleh partai nasionalis yang berkoalisi

dengan partai yang berbasis agama, terutama Partai Islam. Jumlah

ini mencapai 37,05% atau meliputi 83 daerah Pemilukada.

Agama dalam Kampanye

Seperti yang digambarkan sebelumnya, Pemilukada ditandai

dengan kuatnya logika elektoralis dalam memengaruhi tingkah

laku kandidat dan partai politik pendukungnya. Dalam logika ini,

kandidat dan partai politik pendukungnya membangun strategi

pemasaran politik untuk meraih dukungan pasar pemilih. Semakin

ketat proses kompetisi maka kandidat harus memakai  ber-

bagai manuver untuk memenangkan kontestasi: mulai dari mem-

bangun ikatan identifikasi kepartaian, mobilisasi birokrasi,

pemunculan isu tertentu, pencitraan figur kandidat dalam iklan,

penggunaan instrumen ekonomi, sampai dengan pendekatan pri-

mordialisme. Berbagai strategi itu memperlihatkan setiap kandidat

harus memperkuat basis pendukung tradisionalnya dan selanjut-

nya memperluas dukungan dari segmen pemilih yang lebih luas.

Dalam konteks menggalang dukungan pemilih, penggunaan

representasi isu dan simbol agama juga dijumpai dalam Pemilukada

yang berlangsung di berbagai daerah, sejak tahun 2005.  Bagaimana

isu dan simbol agama digunakan? Pertama, pemberian fatwa untuk

memilih atau tidak memilih kandidat tertentu. Hal ini terjadi dalam

Pemilukada Tasikmalaya dan Kabupaten Muna, Sulawei Tenggara;

pemuka agama memberikan fatwa  “masuk neraka”, apabila

warga  memilih pasangan calon tertentu.193 Contoh lain, dalam

Pemilukada Kabupaten Sleman, Pengurus Daerah Muhammadiyah

(PDM) Sleman membuat fatwa khusus untuk mendukung calon

tertentu, yang memiliki latar belakang Muhammadiyah.  Calon

yang dimaksud adalah Ibnu Subiyanto-Sri Purnomo dari PDI

Perjuangan dan didukung Partai Amanat Nasional, yang kemudian

menjadi bupati terpilih untuk periode 2005—2010.

Kedua, penggunaan simbol agama dalam kampanye kandidat.

Dalam Pemilukada di beberapa Kabupaten, seperti: Pemalang,

Ponorogo, Jambi dan Padang, pasangan kandidat membagikan

kitab suci dan kitab-kitab keagamaan, yang disertai foto serta visi-

misi kandidat. Dalam Pemilukada  kabupaten Indramayu, ribuan

eksemplar kitab suci al-Quran yang di halaman pertamanya

terpampang gambar foto Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin

dan bertuliskan visi serta misinya sebagai calon bupati dalam

Pemilukada 2005—2010. Gambar Bupati Indramayu yang

berukuran setengah halaman diletakkan di halaman pertama

sesudah  sampul al-Quran. Kitab suci yang berisi muatan kampanye

itu beredar di sejumlah masjid, pondok pesantren serta tokoh agama

lain di daerah itu.

Selain itu, penggunaan wacana keagamaan juga tampak dalam

gambar di bawah ini. Dalam gambar berikut ini terlihat kandidat

membagikan sejumlah uang ke pemilih  dengan “dibungkus” dengan

istilah keagamaan: zakat mal.

Ketiga, dalam Pemilukada, “agama” dihadirkan dalam bentuk

janji-janji kandidat untuk mengakomodasi kepentingan segmen

pemilih dari kelompok agama tertentu dalam kebijakan publik.

Hal ini tergambar dalam kontrak politik antara calon Gubernur

Banten Zulkieflimansyah-Marissa Haque dengan sejumlah kiai dan

ulama di Provinsi Banten. Klausul kontrak itu, yang berbunyi

“larangan keluar malam bagi kaum perempuan di atas jam 21:00

WIB”. Di Kabupaten Cianjur, salah satu kandidat menjanjikan

terbitnya Perda Syariat Islam di daerah itu yang merupakan bagian

dari pencanangan Cianjur sebagai “Gerbang Marhamah” (Gerakan

Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah).

Di Kalimantan Barat, pasangan Cornelis dan Christiandy

mengangkat isu-isu primordial  selama kampanye dalam

Pemilukada tahun 2007, dengan mendatangi kantong-kantong

pemilih Kristen. Mereka juga cukup intens melakukan sosialisasi

di kalangan warga  Kristiani yang populasinya hanya 33%

dari 40,32 juta penduduk (Katolik 22% dan Protestan 11%).

Pasangan kandidat ini juga mengangkat isu-isu politik lokal yang

terkait dengan representasi komunitas Kristen dalam politik

maupun ekonomi. Wacana itu dibangun tentu saja untuk meraih

dukungan tokoh adat dan gereja. Wacana politik yang dibangun

meliputi janji memberikan perlindungan maksimal kepada

warga  marginal, kalangan minoritas dan terpinggirkan,

pemerataan pembangunan, mempermudah izin mendirikan gereja,

memberikan perhatian maksimal kepada warga  di pedalaman,

menghapus dominasi kelompok mayoritas, serta membuat

perimbangan jabatan struktural antara kelompok Islam dan

Kristiani di Kantor Gubernur Kalbar. Wacana yang bersifat

primordialis itu ternyata cukup ampuh menarik simpati

warga  pemilih. Hal ini membuat pasangan Cornelis dan

Christiandy mampu meraih kemenangan di delapan daerah

pemilihan, bahkan di tiga kabupaten pemilih mayoritas Kristiani

menang telak.

Sebaliknya kampanye pasangan “pelangi” umumnya

mengangkat isu keharmonisan antaragama dan etnis, investasi

meningkat, menghargai keberagaman untuk menuju Kalimantan

Barat terbuka. Wacana ini  didengungkan selama kampanye,

namun ternyata tidak sepenuhnya mampu menarik simpati

warga  pemilih. Sehingga Usman Jafar–LH Kadir hanya

menang telak di tiga kabupaten dengan penduduk agama mayoritas

Islam. Sedangkan Oesman Sapta–Ignatius Lyong hanya unggul di

Kabupaten Ketapang. Perolehan suara Akil–Mecer secara

keseluruhan tidak sampai 300.000 suara.

Keempat, dalam Pemilukada juga muncul fenomena “agama”

hadir dalam politik pencitraan; pasangan kandidat memakai 

lambang dan simbol agama agar terkesan sebagai penganut  agama

yang saleh dan taat.195 Sosok yang ingin ditampilkan adalah seorang

pemimpin yang religius, dengan memakai  simbol-simbol

agama. Sebagai contoh dalam Pemilukada Gubernur Jawa Timur,

setiap pasangan kandidat tampil di TV lokal untuk membangun

citra pemimpin yang religius. Tayangan-tayangan yang dicitrakan

dalam iklan para kandidat berkendak membangun persepsi publik

bahwa para kandidat adalah sosok pemimpin yang dekat dengan

rakyat kecil, memiliki religusitas yang baik, dan sebagai pemimpin

yang amanah ‘dapat dipercaya’. Misalnya, Pakde Karwo,

menampilkan iklan pencitraan dirinya dengan mengeluarkan album

shalawat kontemporer—dalam iklan ini  ditampilkan sang

kandidat sedang berdoa dan bercengkerama dengan anak-anak kecil

di masjid. Kompetitornya, Soenarjo juga menampilkan suatu acara

yang khusus ditayangkan selama  bulan Ramadhan. Acaranya

dikemas setiap menjelang buka puasa di JTV yang bernama

“pitutur luhur”—acara ini  berisi nasehat-nasehat luhur dari

tradisi orang Jawa. Hal yang sama juga dilakukan kandidat lainnya,

Achmady. Achmady berusaha  menampilkan citra seorang santri

NU yang fasih berceramah lazimnya seorang yang religius.

Ahmady merancang acara ceramah agama di TV lokal yang selalu

disertai dalil-dalil agama.

Dalam kerangka politik pencitraan ini, para kandidat juga

sering memanfaatkan momentum peringatan hari raya keagamaan

untuk menyampaikan iklan politiknya. Momen yang paling sering

dipilih oleh para kandidat untuk menayangkan acaranya adalah

momen yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Momen

Ramadhan dijadikan sebagai saat untuk berlomba-lomba meraih

popularitas dan dukungan pemilih. Sehingga tidak aneh kemudian,

selama bulan Ramadhan iklan kampanye para calon Gubernur

tidak pernah absen tampil di media. Para kandidat biasanya

menayangkan acaranya pada momen-momen menjelang buka

puasa. Pemilihan waktu ini  mengikuti tren acara di stasiun-

stasiun televisi nasional yang selalu menyiarkan kultum dari

ustadz dan ulama ternama, setiap menjelang berbuka puasa.

Politik pencitraan didukung oleh kehadiran media massa lokal

yang semakin menjamur. Media massa, terutama media TV lokal,

menjadi instrumen penting dalam mengakomodasi politik

pencitraan yang coba dibangun oleh para calon kepala daerah

ini . Dengan demikian, kehadiran media TV lokal

memungkinkan para kandidat memiliki medan politik baru dengan

melakukan pertarungan politik di “udara”.

Di jalanan, banner-banner, baliho, spanduk menjadi ajang

membangun citra diri para kandidat. Dalam banner ini  ada

beberapa gambar kandidat yang ditampilkan dengan simbol-simbol

agama. Seperti gambar di bawah ini, terlihat para calon kepala

daerah yang memakai atribut keagamaan dalam iklan-iklan politik,

seperti sorban, kerudung dan peci. Penggunaan atribut keagamaan

--- 164

dalam iklan politik itu tentu dilakukan untuk membangun politik

pencitraan, bahwa para kandidat merupakan pemimpin yang

religius.

   

Cara lain yang digunakan oleh kandidat adalah menampilkan

gambar figur tokoh agama yang karismatik atau dihormati

warga , dalam setiap iklan yang dipasang oleh para kandidat.

Tidak aneh kemudian, dalam iklan terpampang foto kiai

berpengaruh di antara gambar pasangan kandidat. Pesan yang ingin

dibangun lewat penampilan kiai dalam iklan kandidat ini 

adalah bahwa kandidat itu telah mendapatkan dukungan kuat dari

kiai yang ditampilkan. Strategi ini merupakan bagian dari

bekerjanya logika elektoralis, karena di beberapa wilayah,

kontestasi  merupakan basis massa kiai ini . Sehingga, dengan

menampilkan kiai dalam iklan kandidat diharapkan kandidat itu

--- 165

akan mendapatkan dukungan suara dari kalangan santri, baik yang

berada di lingkungan pesantren maupun di luar lingkungan

pesantren. Dalam hal ini, para kandidat ingin memanfaatkan

struktur hubungan patronase antara kiai dengan santrinya.

Di tengah penggunaan simbol-simbol agama sebagai strategi

mendapatkan dukungan, muncul fenomena yang berbeda yakni

dengan mempersoalkan kejelasan atau kadar agama yang dipeluk

kandidat. Hal seperti ini muncul dalam pemilihan Gubernur Bali.

Salah satu kandidat: Prof. Drg. I Gde Winasa mendapatkan “se-

rangan” yang berkaitan dengan agama yang dipeluknya. Isu ini

diwacanakan oleh Aliansi Muda Hindu negara kita  (AMHI)

mendatangi KPU Bali meminta agar formulir pendaftaran I Gde

Winasa diverifikasi kembali. Alasannya, secara administratif

Winasa ditenggarai memiliki agama ganda.196 Upaya memper-

soalkan kadar keberagamaan kandidat bukan hanya terjadi di Bali

melainkan juga berlangsung dalam Pemilukada Banyuwangi.197

Kelima, agama dihadirkan dalam identifikasi diri dengan

organisasi keagamaan. Hal ini terlihat dalam Pemilukada di

Kalimantan Selatan tahun 2005. Dari pasangan yang diusung Partai

Golkar, misalnya, menyandingkan kadernya Gt. Iskandar SA

dengan Hafiz Anshary (seorang ulama). Begitu juga dengan

pasangan Ismet Ahmad dan Habib Abu Bakar. Sedangkan pasangan

Rudy Arifin dan Rosehan NB, walaupun keduanya memang bukan

ulama tetapi pasangan ini mengidentifikasi diri dari organisasi

keagamaan besar di Kalimantan Selatan, yakni NU. Begitu juga

dengan pasangan Syachril Darham dan Nor Aidi dengan jargon

politiknya “Raja A’A Nih”. Meskipun tidak direkomendasi oleh

organisasi keagamaan sebesar NU dan Muhammadiyah, tetapi

strategi perekrutan tim kampanye juga melibatkan beberapa ulama

kondang seperti “Dai Sejuta Umat” KH Zainuddin MZ dan “Dai Seribu

Sungai” KH Ahmad Bakeri.

Agama dalam Suara Pemilih

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah agama

menjadi preferensi utama pemilih dalam menentukan pilihannya?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak tunggal. Berbagai hasil riset

dan publikasi memberikan gambaran yang beragam tentang

pengaruh agama dalam penentuan preferensi pemilih dalam

Pemilukada.

Hasil kajian Lingkaran Survei negara kita  (LSI) pada tahun 2008

memberikan gambaran yang menarik. Dari tiga kasus Pemilukada

yang diteliti LSI (Kota Ambon, Kota Manado, dan Kabupaten

Bolaang Mongondow) tampak adanya pola dan peran yang berbeda.

Di Kota Ambon, agama tampak tidak memainkan peran dalam

preferensi pemilih. Dalam arti, pemilih yang beragama Islam tidak

lebih condong untuk memilih kandidat yang beragama Islam, dan

demikian juga sebaliknya. Di kalangan pemilih Islam dalam Pilkada

Kota Manado misalnya, lebih cenderung memilih pasangan

kandidat yangada calon yang beragama Islam. Atau

sebaliknya, di Kabupaten Bolaang Mongondow di kalangan pemilih

Kristen lebih cenderung memilih pasangan kandidat yang beragama

Kristen.198

Survei Demos pada tahun 2007 memperlihatkan bahwa para

pemilih di tingkat lokal lebih melekatkan identitas primordial

dibandingkan imajinasi tentang nasionalisme. Dalam ruang

kontestasi politik, muncul wacana “putra daerah” yang menun-

jukkan hubungan-hubungan genealogis, asal-usul kedaerahan

ataupun latar belakang keagamaan kandidat. Sehingga dalam

survei Demos ini , 40% warga  yang diwawancarai

mengaku bahwa mereka lebih mengidentifikasi diri mereka sebagai

penduduk kabupaten/ kota, 11% penduduk desa, 23% mengidenti-

fikasi diri mereka sebagai anggota sebuah komunitas etnis atau

klan tertentu, 4% komunitas religius, 13% mengidentifikasi sebagai

pendukung partai, 7% sebagai kelas sosial dan hanya 2%

mengidentifikasi sebagai warga negara kita . Bahkan di daerah

konflik, identitas berbasis etnis atau klan menjadi sekitar 36% dan

26% di daerah-daerah pemekaran. Dengan kata lain, pemilih

membangun identifikasi diri dan kelompok dengan kembali

menguatkan ikatan-ikatan identitas mereka dengan entitas-entitas

kultural yang didasarkan pada agama, etnis, kedaerahan atau

dengan hubungan-hubungan komunitarian.199

Penelitian lain justru memperlihatkan gambaran semakin

berkurangnya faktor agama dalam preferensi pemilih. Kisah ini

bisa diperoleh dari analisis yang dipaparkan oleh The Wahid

Institute (WI).200 Ada catatan menarik disampaikan WI, yaitu

bahwa walaupun dalam prosesi Pemilukada langsung yang digelar

sepanjang tahun 2005—2006, beberapa kandidat dan partai

pendukungnya memakai  isu dan simbol agama, namun faktor

--- 167

agama bukanlah faktor penentu kemenangan kandidat. Faktor

penentunya justru berasal dari isu-isu populisme dan jaringan

politik yang dimiliki oleh partai dan kandidat.

Kalau mengacu pada analisis WI maka berkurangnya variabel

agama sebagai preferensi utama dalam menentukan pilihan pemilih

sebenarnya menunjukkan keterbatasan dari bekerjanya politik

aliran. Walaupun para kandidat dan pendukungnya berusaha 

memakai  wacana politik aliran, namun dalam konteks

pemilihan langsung, para pemilih mulai lebih otonom dalam

menentukan pilihannya. Pilihan dalam Pemilukada tidak lagi

dideterminasi oleh elite agama, seperti kiai maupun pendeta.

Melainkan muncul variabel-variabel baru yang memengaruhi

perilaku memilih, seperti faktor isu-isu lokal yang muncul maupun

persepsi terhadap rekam jejak kandidat. Hal itu artinya, variabel

agama menjadi mulai dikesampingkan.

Apa yang disimpulkan dalam analisis WI justru

memperlihatkan bahwa perilaku memilih  dalam Pemilukada

cenderung bersifat kontekstual dan bervariasi. Dalam hal ini, setiap

wilayah kontestasi memiliki karakter memilih yang bisa tergambar

dari dinamika perilaku memilihnya. Dalam ruang politik yang

semakin bebas, maka perilaku memilih tidak hanya dideterminasi

oleh ikatan-ikatan sosiologis (ikatan komunal ataupun patron-

klien), melainkan ditentukan oleh  banyak faktor lain, seperti ikatan

identifikasi kepartaian, persepsi pemilih atas isu atau kandidat,

maupun faktor pragmatisme ekonomi.

Fakta itu berarti bahwa ikatan komunal-keagamaan bukan

satu-satunya variabel dalam menjelaskan perilaku memilih. Ketika

identifikasi kepartaian kuat maka pilihan pemilih akan mengikuti

pilihan partainya. Begitu juga dengan munculnya faktor

pragmatisme; pilihan pemilih akan sangat ditentukan oleh pola

transaksional yang dilakukan oleh para kandidat.

Selain itu, dalam Pemilukada, beberapa tahun terakhir ini

muncul dua fenomena perilaku memilih yang semakin menguat:

golput dan pemilih berayun (swing voter). Dari data yang

dikeluarkan oleh Lingkaran Survei negara kita  (2008), menunjukkan

bahwa tingkat golput dalam Pemilukada mencapai angka rata-rata

27,9%. Angka itu lebih tinggi dari angka golput dalam Pemilu

Legislatif 2004 dan Pilpres 2004 putaran pertama maupun kedua.

Dalam Pemilukada di sejumlah wilayah, angka golput ini bahkan

--- 168

mencapai hampir separuh—seperti yang terjadi dalam Pilkada Kota

Surabaya, Kota Medan, Kota Banjarmasin, Kota Jayapura, Kota

Depok dan Provinsi Kepulauan Riau dan terakhir di Jawa Tengah.

Bahkan, tidak jarang, jumlah golput ini lebih tinggi dibandingkan

dengan perolehan suara pemenang Pemilukada.

Sedangkan kehadiran pemilih berayun (swing voter) dalam

Pemilukada juga semakin lama semakin tampak jelas. Berbeda

dengan pemilih loyal pada pilihan partainya, swing voter ini tidak

mempunyai kesetiaan yang ajeg terhadap suatu partai atau bahkan

pilihan yang diambil komunitasnya, sehingga, setiap saat, swing

voters akan bisa “mengayunkan” dukungannya ke partai atau

kandidat yang mereka suka. Dalam menentukan pilihannya, swing

voters sangat ditentukan oleh isu atau juga kandidat. Isu-isu yang

menjadi ketertarikan swing voters sangat jamak: mulai dari isu

pelayanan dasar, isu yang menyangkut rasa aman, ataupun isu-

isu yang sangat primordial. Selain isu, faktor kandidat juga menjadi

faktor yang menentukan pilihan swing voters. Dalam hal kandidat,

swing voters akan melihat tidak hanya soal tingkat popularitas

kandidat, melainkan tingkat kepercayaan pada kandidat.

Dalam Pemilu-Pemilu pascaOrba, besaran swing voter semakin

meningkat. Bahkan, banyak analisis yang menyatakan bahwa peta

akhir pertarungan akan sangat ditentukan oleh ke mana swing

voters mengalihkan dukungannya. Oleh karenanya, para kandidat

dalam Pemilukada melihat kehadiran swing voter sebagai segmen

pemilih yang perlu digarap, melalui strategi membangun agenda

isu maupun politik pencitraan.

Titik Simpul: Agama dalam Pemilukada

Apa yang terjadi dalam Pemilukada menunjukkan kepada kita

Pemilukada menjadi medan baru bagi elite politik lokal untuk

berkontestasi ataupun membangun koalisi antaraktor. Dalam

medan baru ini , elite politik  lokal mengikuti dua logika

utama: logika representasi dan logika elektoralis. Dalam logika

representasi, para elite politik berusaha  mengidentifikasikan dirinya

dengan agama dan menunjukkan bahwa ia sekaligus berkehendak

menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi aspirasi kelompok

keagamaan. Pada saat yang bersamaan juga mulai muncul logika

representasi yang lebih menekankan pada persoalan pemenuhan

hak-hak dasar warga. Hal ini ditunjukkan dengan kuatnya wacana

--- 169

populisme dalam proses Pemilukada, seperti pelayanan kesehatan

dan pendidikan gratis.

Sedangkan dalam logika elektoralis, para elite politik

dideterminasi perilakunya oleh kehendak untuk menang dan meraih

dukungan dalam Pemilukada. Hal inilah yang menyebabkan

munculnya strategi politik yang pragmatis—lewat usaha 

mengkombinasi pasangan dari latar keagamaan yang berbeda,

koalisi “pelangi” lintas partai maupun strategi politik yang khusus

masuk dalam segmen pasar pemilih. Dalam konteks semacam itu,

bisa dimengerti bahwa kecenderungan penggunaan wacana, simbol

dan sentimen keagamaan dalam Pemilukada sebagai bagian strategi

pragmatis-elektoralis dari para elite politik yang tengah

berkontestasi.

Namun demikian, strategi elite untuk meraih dukungan politik

dengan memakai  sentimen agama memiliki dampak yang

bervariasi. Di beberapa daerah, strategi itu efektif untuk menarik

perhatian pemilih. Sebaliknya, di wilayah kontestasi yang berbeda,

strategi yang mengangkat wacana dan sentimen agama  justru

tidak mampu menjaring dukungan dari pemilih.

Dengan demikian, Pemilukada bukan hanya ruang manuver

para elite, melainkan memungkinkan memberi ruang yang lebih

besar bagi pemilih untuk menegosiasikan pilihannya pada kandidat.

Sampai di sini muncul model politik pertukaran antara kandidat

dengan pemilih. Di beberapa daerah, pertukaran ini membuat

hadirnya bentuk-bentuk kontrak politik antara segmentasi pemilih

dengan kandidat. Dalam bentuk lain, pertukaran itu juga terjadi

dalam bentuk pragmatis-transaksional.

Agama, Demokrasi dan --- 

Kalau kita kembali ke pertanyaan awal, maka pertanyaan yang

muncul adalah mengenai implikasi dari representasi agama dalam

ruang demokrasi? Apakah agama memperkuat demokrasi atau

sebaliknya? Dan dengan cara apa agama memperkuat atau

memperlemah demokrasi?

Dalam perspektif komparatif, apa yang terjadi di negara kita 

bukan sesuatu yang unik. sebab  di berbagai negara yang

menerapkan demokrasi-pluralis-multipartai, representasi politik

dengan mengangkat sentimen agama juga menjadi sebuah

fenomena yang jamak. Kehadiran partai yang mempunyai basis

ideologis agama ataupun memakai  wacana dan sentimen

keagamaan dalam kampanye juga menjadi ciri kontestasi di Pemilu

beberapa negara demokrasi-pluralis yang menganut sistem

multipartai.

Dengan demikian, seperti halnya terjadi di negara-negara

demokrasi yang majemuk, maka pilihan terhadap demokrasi-

pluralis tidak bisa tidak membuka ruang lebar terhadap berbagai

representasi kepentingan dalam warga  yang beragam, baik

dalam kategori agama, etnik maupun kategori lain. Itu artinya

prinsip dasar yang perlu diakui dan dihormati dalam sistem

demokrasi dalam warga  majemuk adalah kebebasan sipil.

Bahwa setiap segmen sosial dalam warga , termasuk

komunitas agama seharusnya mendapat ruang politik untuk

mengartikulasi dan mengagregasikan kepentingan, termasuk

melalui organisasi politik berbentuk partai politik.

Namun, ruang politik terbuka bagi keberagaman itu

seharusnya diikuti dengan usaha  membangun budaya kewargaan

dalam demokrasi. Budaya kewargaan adalah, pertama, budaya

politik yang meletakkan setiap pemilih sebagai warga negara yang

sadar dengan hak-haknya. Keinsafan sebagai warga inilah yang

menjadi pijakan awal dalam membangun civic engagement,

keterlibatan warga dalam ruang demokrasi. Dengan cara itu, proses

elektoral tidak dimaknai sebagai sekadar memberikan suara pada

para kandidat, melainkan sebagai bagian dalam aktualisasi prinsip-

prinsip dasar kewarganegaraan (citizenship).

Kedua, dalam konteks membangun budaya kewargaan itu,

juga perlu ditekankan bahwa representasi politik yang muncul dari

semesta kepentingan dalam warga  seharusnya berupa

representasi substansif bukan semata-mata bersifat simbolik-

artifisial, apalagi dibungkus dengan politik pencitraan. Hal ini

penting dikedepankan untuk mencegah agama dipakai hanya

sebagai instrumen untuk menggalang dukungan dan

memenangkan kompetisi. Agama harus ditempatkan sebagai

inspirasi dalam membangun kehidupan bersama yang lebih baik.

Ketiga, di tengah keragaman kepentingan itu seharusnya ada

kesepakatan dasar yang dibangun oleh setiap komunitas tentang

nilai-nilai bersama (common good). Konsensus itu bisa dalam

bentuk nilai-nilai bersama yang disepakati atau selanjutnya

diturunkan ke dalam  mekanisme-prosedur sebagai aturan main

bersama. Sampai di sini perlu dirumuskan mengenai apa yang

disebut dengan ruang publik. Ruang publik bisa menjadi lapangan

bersama bagi semua kepentingan dalam warga ; dan sudah

dipastikan ruang publik itu juga perlu dijaga tingkat kepublikannya.

sebab  bisa saja ruang publik justru bisa secara cepat berubah

menjadi ruang komunal ataupun ruang personal. Proses

komunalisasi ruang publik ini mulai terjadi ketika segmen

warga  yang berbasis etnik atau agama, mulai mengklaim

menjadi pemilik dan melakukan kontrol atas suatu wilayah

tertentu, dan selanjutnya memberikan karakter tertentu dalam

wilayah ini . Selain komunalisasi, ruang publik bisa dikontrol

sepenuhnya secara personal oleh elite dominan, dengan

membangun jaringan ekonomi-politik yang bersifat patronase.

Dengan membangun kesepakatan tentang ke-publik-an maka

setiap segmen warga  bisa menarik batas-batas yang tegas

antara: ruang perseorangan, komunal dan publik. Konsensus

politik inilah yang menjadi semacam kerangka bersama yang

digunakan oleh berbagai kelompok kepentingan dalam  warga 

ketika mengelola kehidupan bersama termasuk dalam membangun

aturan main untuk berbagai bentuk kontestasi.

Akhirnya, agama bisa memberikan dampak penguatan pada

demokrasi ketika agama mengambil bagian dalam proses

transformasi budaya politik elite maupun warga : dari budaya

politik elektoralis-pragmatis menjadi budaya pluralisme-

kewargaan. Dengan cara itu, agama tidak  hanya sekadar hadir di

bilik suara.