Selasa, 11 Februari 2025

malaikat jibril lia aminudin

 



FATWA DEWAN PIMPINAN MUI TENTANG 

MALAIKAT JIBRIL MENDAMPINGI MANUSIA

1.  Surat dari Ir. Andan Nadriasta tanggal 

4 Oktober 1997 yang bertanya dan 

mengharapkan ada penjelasan dari Majelis 

Ulama Indonesia tentang ajaran kelompok 

pengajian yang dipimpin oleh Ibu Lia 

Aminuddin, Jln. Mahoni 30 Jakarta Pusat 

10460 Telp. 4207420-4247218. 

 Dalam surat itu dinyatakan, antara lain, 

bahwa Ibu Lia Aminuddin ditemani 

(didampingi) oleh Malaikat Jibril. Pengajian 

atau ajaran yang disampaikan Ibu Lia 

itu pada hakikatnya adalah ajaran yang 

dibawa Malaikat Jibril melalui Ibu Lia. Hal 

demikian, menurut pengirim surat, jelas 

dapat meresahkan umat karena bertentangan 

dengan akidah Islam;

2.  Penjelasan Ibu Lia Aminuddin kepada 

Sekretaris Komisi Fatwa MUI pada Selasa, 4 

Nopember 1997, bahwa benar ia didampingi 

dan mendapat ajaran dari Malaikat Jibril.

3.  Penjelasan Ibu Lia Aminuddin dalam Sidang 

Komisi Fatwa tanggal 11 Nopember 1997, 

yang antara lain, mengatakan: 

a.  Setelah merasa dikecewakan oleh 

sikap Anton Medan dan dua kiai (Nur 

Muhammad Iskandar dan Zainuddin 

MZ) mengenai masalah Yayasan At-

Ta’ibin, Ibu Lia setiap malam menangis 

dan mengadu kepada Allah tentang 




ketidakadilan dan kebenaran yang 

dirasakannya tidak ada. Ibu Lia yang 

mengaku sangat awam dalam bidang 

agama Islam pada suatu malam 

mengalami suatu peristiwa: seluruh 

badan bergetar, keringat bercucuran, 

tetapi ia merasa kedinginan. Esok harinya 

tiba-tiba ia bisa melihat segala sesuatu 

(misalnya ia dapat mengetahui bahwa 

sebuah mobil yang dilihatnya adalah 

hasil korupsi) dan dapat mengobati 

berbagai penyakit.

b.  Setelah itu, ia didatangi oleh makhluk 

gaib yang kemudian mendampinginya 

serta memberikan ajaran dan tuntunan 

agama Islam. Makhluk itu kemudian 

diketahui (mengaku) sebagai malaikat 

bernama Habib al-Huda.

c.  Pada suatu hari, seorang pasien bernama 

Indra yang menurut Ibu Lia, kasyaf jin 

memberitahukan bahwa pendamping 

Ibu Lia adalah malaikat Jibril. Kemudian 

di hari lain, datang lagi seseorang yang 

memberikan kesaksian serupa. Dan ketika 

Ibu Lia bertanya kepada pendampingnya 

tentang kebenaran kesaksian dua orang 

tersebut, pendamping itu membenarkan 

dan mengaku bahwa sebenarnya ia 

adalah Malaikat Jibril.

d. Ibu Lia kemudian disuruh beribadah 

umrah oleh “Jibril” untuk mendapat 

kesaksian (pembuktian) bahwa ia 

adalah Jibril. Sepanjang perjalanan 

umrah ia melihat peristiwa-peristiwa 

yang memberikan keyakinan kepadanya 

bahwa pendampingnya itu benar-benar 

Jibril.

e. Ibu Lia juga menjelaskan bahwa ia dapat 

berkomunikasi dengan Jibrilnya jika ia 

memerlukan dan Jibril tidak bisa datang 

semaunya. Tegasnya, kedatangan Jibril 

tidak bergantung pada Ibu Lia, kecuali 

jika ada amanat yang harus disampaikan 

kepadanya.

4.  Keputusan Sidang Komisi Fatwa dan Hukum 



Majelis Ulama Indonesia, pada hari Selasa, 

11 Nopember 1997 dan 3 Desember 1997, 

yang membahas tentang “kemungkinan 

manusia pada saat ini (setelah wafat Nabi 

Muhammad s.a.w) didampingi serta dapat 

berkomunikasi dan mendapat ajaran dari 

Malaikat Jibril”.

Menimbang:  1.  Bahwa akidah (aqidah) dalam ajaran Islam 

mempunyai kedudukan sangat penting dan 

harus didasarkan pada dalil-dalil qat’iy, oleh 

karena itu, akidah tersebut harus dijaga dan 

dilindungi kemurniannya.

2.  Bahwa masalah Jibril merupakan masalah 

penting yang menyangkut akidah Islam; 

oleh karena itu, akidah atau keimanan 

(kepercayaan) kepada Jibril harus 

berlandaskan dan tunduk pada dalil-dalil 

qat’ iy.

3.  Bahwa menurut akidah Islam, Jibril hanya 

turun kepada para nabi untuk menyampaikan 

wahyu Allah, dan mengingat Nabi. 

Muhammad saw adalah nabi terakhir maka 

Jibril tidak lagi turun menemui manusia 

untuk menyampaikan wahyu.

4.  Bahwa pengakuan seseorang, dalam hal 

ini Ibu Lia Aminuddin, didampingi dan 

mendapat ajaran dari Jibril harus segera 

ditanggapi dan diluruskan oleh Majelis 

Ulama Indonesia.

Mengingat: 1.  Salah satu rukun Iman dalam sistem akidah 

Islam - yang wajib diyakini dan menj adi 

akidah setiap muslim - adalah iman kepada 

malaikat. Cukup banyak ayat al-Qur’an 

menjelaskan hal ini: antara lain firman 

Allah: 

 “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke 

arah timur dan barat itu suatu kebajikan; 





akan tetapi, sesungguhnya kebajikan 

itu adalah beriman kepada Allah, hari 

kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, 

nabi-nabi .... “ (QS. al-Baqarah [2]:177)

 “.... Barang siapa yang kafir kepada Allah, 

malaikatmalaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, 

rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka 

sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh 

jauhnya”(QS. an-Nisa [4]: 136).

2.  Menurut ajaran Islam (al-Qur’an), malaikat 

adalah makhluk gaib dan termasuk ke dalam 

hal (alam) yang gaib. Mengenai hal yang 

gaib, Allah berfirman: 

 

 “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui 

yang gaib; maka Dia tidak memperlihatkan 

kepada seorang pun tentang yang gaib itu, 

kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya; 

maka sesungguhnya Dia mengadakan 

penjaga penjaga (malaikat) di muka dan di 

belakangnya “ (QS. Al-Jinn [72]:26-27).

3.  Atas dasar itu, dalam melaksanakan 

keimanan kepada malaikat yang gaib itu, 

setiap muslim yang yakin (beriman) bahwa 

sumber akidah dalam Islam mengenai 

persoalan gaib hanyalah al-Qur’an semata, 

harus tunduk dan mengikuti, serta terbatas 

pada keterangan yang dijelaskan oleh al-

Qur’an, baik menyangkut materi mereka, 

sifat, tugas, maupun dalam hal melihat 

mereka. Malaikat, dalam akidah muslim, 

adalah makhluk (alam) gaib yang tidak 

dapat diketahui oleh manusia melalui idrak 

basyari (intelek manusia). Mereka hanya 

dapat diketahui melalui pemberitaan valid 

(al-khabar as-sadiq) dari Allah SWT., yaitu 




keterangan yang terdapat dalam al-qur’an. 

(perhatikan Mahmud Syaltut, al-Islam 

Aqidah wa Syari‘ah, t.t.: Dar al-Qalam, 

1966, h. 32). Dengan kata lain, pengetahuan 

tentang malaikat haruslah berdasarkan 

wahyu.

4.  Perintah al-Qur’an agar beriman kepada 

malaikat tersebut, pada dasarnya, bukan 

hanya beriman dari sudut bahwa mereka 

adalah makhluk yang benar-benar ada 

semata, melainkan juga dari sudut tugas-

tugas mereka yang berkaitan erat dengan 

misi penting ajaran agama, yaitu, antara lain, 

pembersihan jiwa (at-tahzib an-nafsiy) dan 

pengarahan terhadap kebaikan. (perhatikan 

ibid., h. 35).

5.  Al-Qur’an telah menjelaskan sifat-sifat 

malaikat; di antaranya adalah: 

a.  bahwa malaikat itu suci dari sifat-sifat 

manusia (a’rad al-basyariyah) seperti 

lapar, sakit, makan, tidur, bercanda, 

berdebat, dst. Hal ini ditunjukkan oleh 

Allah, melalui dalalah iltizam, dalam 

firman-Nya:

 “Mereka (malaikat) selalu bertasbih 

(beribadah kepada Allah) pada waktu 

malam dan siang hari tiada henti-

hentinya.” (QS. al-Anbiya [21]: 20)

b.  bahwa malaikat itu selalu takut (al-khaufi 

dan taat kepada Allah, sebagaimana 

dijelaskan dalam firmanNya:

 “Mereka (malaikat) takut kepada 

Tuhan mereka yang di atas mereka dan 

melaksanakan apa yang diperintahkan 

 (kepada mereka) “ (QS. An-Nahl [ 16]: 

50)


 

 “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang 

Maha Pemurah telah mengambil 

(mempunyai) anak’. Maha Suci Allah. 

Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) 

adalah hamba-hamba yang dimulaikan, 

mereka itu tidak mendahului-Nya 

dengan perkataan dan mereka 

mengerjakan perintah-perintah-Nya. 

Allah mengetahui segala apa yang di 

hadapan mereka (malaikat) dan yang 

di belakang mereka, dan mereka tiada 

memberi syafaat melainkan kepada 

orang yang diridhai Allah, dan mereka 

itu selalu berhati-hati karena takut 

kepada-Nya “ (QS. Al-Anbiya [21]: 26-

28).

c.  bahwa malaikat itu selalu taat kepada 

Allah, tidak durhaka (melakukan maksiat) 

kepada-Nya. Hal ini sebagaimana 

ditegaskan dalam QS. al-Anbiya [21]: 

26-28 di atas dan dalam firman-Nya: 

 

 “... mereka (malaikat) tidak mendur-

hakai Allah terhadap apa yang 

diperintahkan-Nya kepada mereka 

dan selalu mengerjakan apa yang 

diperintahkan “ (at-Tahrim [66]: 6).

 Termasuk durhaka kepada Allah adalah 

berbohong. Dengan demikian, tidak 

mungkin ada malaikat berbohong, 

seperti hari ini ia mengaku bernama 

Jibril dan esok harinya atau kemarin 

mengakui selain Jibril. 

d.  bahwa malaikat itu mempunyai sifat 

malu. Hal ini sebagaimana dijelaskan 

oleh Nabi: 




 

 “Bagaimana aku tidak malu terhadap 

seorang laki-laki yang malaikat pun 

malu terhadapnya” (HR. Muslim).

e.  bahwa malaikat itu merasa sakit (tidak 

suka, terganggu) dengan hal-hal yang 

tidak disenangi (makruh), misalnya bau 

tidak sedap; demikian juga anjing dan 

patung, sebagaimana halnya manusia. 

Nabi menjelaskan: 

 “Barang siapa makan bawang 

putih, bawang merah, dan bawang 

bakung janganlah mendekati masjid 

kami, karena malaikat merasa sakit 

(terganggu) dengan hal-hal yang 

membuat manusia pun merasa sakit” 

(HR. Muslim).

 

 “Dari Salim, dari ayahnya, ia berkata: 

Jibril berjanji kepada Nabi, namun 

kemudian ia terlambat datang sehingga 

hal itu menyusahkan hati Nabi. 

Kemudian Nabi keluar dan dijumpai 

Jibril. Nabi mengadu kepadanya 

tentang apa yang ia dapatkan. Jibril 

menjawab : “Kami tidak akan masuk 

ke dalam rumah yang didalamnya 

terdapat gambar dan anjing”.” (Matn 

al-Bukhari bi-Hasyiyah as-Sindi, 

[Bairut: Dar al-Fikr, 1995], jilid IV, h. 

53.

6.  Malaikat Jibril, sebagai salah satu malaikat 

yang menurut al-Qur’an mempunyai nama 

lain seperti ar-ruh, ar-ruh al-qudus, dan 

ar-ruh al-amin, tentu memiliki sifat-sifat 

malaikat pada umumnya. Di samping itu, 

malaikat Jibril memiliki sifat lain dan tugas 

tertentu, antara lain sebagaimana dijelaskan 

dalam:

a.  Firman Allah: 

 

 “Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-

benarfirman (Allah yang dibawa 

oleh) utusan yang mulia (Jibril), 

yang mempunyai kekuatan, yang 

mempunyai kedudukan tinggi di sisi 

Allah Yang mempunyai Arasy, yang 

ditaati di sana (di alam malaikat) lagi 

dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) 

itu bukanlah sekali-kali orang yang 

gila; dan sesungguhnya Muhammad 

itu melihat Jibril di ufuk yang terang” 

(QS. At-Takwir [81]: 19-23).

b.  Firman Allah: 

 “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini 

benar-benar diturunkan oleh Tuhan 

semesta alam, dia dibawa turun oleh 

ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam 

hatimu (Muhammad) agar menjadi 

salah seorang di antara orang-orang 

yang memberi peringatan “ (QS. Asy-

Syu’ara [261192-194).


 Ayat Qur’an di atas (QS. Asy-Syu’ara: 

192-194) menegaskan bahwa (1) Malaikat 

Jibril mempunyai tugas menyampaikan/

menurunkan pesan dan ajaran dari 

Allah, (2) pesan dan ajaran yang dibawa 

turun oleh malaikat Jibril adalah kalam 

(wahyu dari) Allah, dalam hal ini al-

Qur’an, (3) wahyu tersebut dibawa 

turun oleh malaikat Jibril kedalam hati 

(kalbu) Nabi Muhammad, dan (4) bahwa 

tujuan penurunan wahyu kepada Nabi 

Muhammad ialah agar ia menjadi nabi 

(munzir). Atas dasar ini, maka (1) tidak 

dapat dibenarkan jika Jibril membawa 

turun selain wahyu, misalnya pendapat 

atau penjelasan dari Jibril sendiri, baik 

kepada Nabi Muhammad maupun orang 

lain, (2) sesudah Nabi Muhammad wafat 

Jibril tidak akan lagi menurunkan wahyu 

maupun ajaran kepada siapapun, karena 

Nabi Muhammad adalah nabi terakhir 

dan ajaran Allah untuk umat manusia 

telah dinyatakan sempurna. 

 Dua hal disebut terakhir ini, yakni bahwa 

Nabi Muhammad adalah nabi terakhir 

dan bahwa ajaran Allah untuk umat 

manusia telah sempurna dijelaskan 

dalam firman Allah: 

 “Muhammad itu sekali-kali bukanlah 

bapak dari seorang laki-laki di antara 

kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan 

penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha 

Mengetahui segala sesuatu “ (QS. Al-

Ahzab [33]: 40).

 “... Pada hari ini telah Kusempurnakan 

untuk kamu agamamu, dan telah 

Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, 

dan telah Kuridai Islam itu jadi agama 

bagimu... “ (QS. Al-Ma’idah [5]: 3).

7. Jibril, sebagaimana dijelaskan di atas, 

hanyalah bertugas menyampaikan wahyu 

dari Allah dan ia tidak diberi wewenang oleh 

Allah untuk menjelaskan kandungan (isi dan 

maksud)-nya. Dalam hal al-Qur’an, tugas 

menjelaskannya dibebankan kepada Nabi, 

sebagaimana dikemukakan dalam firman 

Allah: 

 

 “....Dan Kami turunkan kepadamu 

(Muhammad) al-Qur’an, agar kamu 

menerangkan kepada umat manusia apa 

yang telah diturunkan kepada mereka dan 

supaya mereka memikirkan.” (QS. an-Nahl 

[ 16]:44)

 Selain Nabi, tugas menjelaskan al-Qur’an 

juga menjadi tanggung jawab para ulama. 

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam 

firman Allah, antara lain: 

 

 “... Maka bertanyalah kepada orang yang 

mempunvai pengetahuan (ulama) jika 

kamu tidak mengetahui “ (QS. an-Nahl [16]: 

43).

 Jelaslah kiranya bahwa malaikat, termasuk 

juga Jibril, menurut al-Qur’ an tidak 

mempunyai wewenang untuk menafsirkan 

atau menjelaskan maksud al-Qur’an, 

sedangkan pengetahuan tentang tugas-

tugas malaikat haruslah berdasarkan wahyu 

(al-Qur’an dan Hadis) sebagaimana telah 

dikemukakan di atas. Dengan demikian, 

pengakuan siapapun bahwa Jibril telah 

menafsirkan al-Qur’an tidak dapat 

dibenarkan.

8.  Ayat lain yang menjalaskan bahwa tugas 

Jibril adalah menyampaikan wahyu antara 

lain: 

 “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun 

bahwa Allah berkata-kata dengan dia 

kecuali dengan perantaraan wahyu atau 

di belakang tabir atau dengan mengutus 

seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan 

kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia 

kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi 

lagi Maha Bijaksana “ (QS. Asy-Syura [42]: 

51).

 “Pada malam itu turun malaikat-malaikat 

dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya 

untuk mengatur segala urusan “ (QS. Al-

Qadr [97]:4)

9.  Sebagaimana malaikat pada umumnya yang 

tidak akan pernah melakukan maksiat, 

misalnya melihat aurat, Malaikat Jibril tidak 

mau masuk ke dalam suatu rumah yang 

didalamnya ada aurat terbuka. Ini dapat 

diketahui dari hadis berikut:

 

 

 




 “Terdapat keterangan (hadis) bahwa Khadijah 

r.a. pernah mencoba (menguji) turunnya 

wahyu kepada Rasul dengan melepaskan 

kerudung dari kepalanya. Jika ia membuka 

rambutnya, tenanglah keadaan Rasul; dan 

jika ia menutup rambutnya, keadaan Rasul 

kembali seperti semula. Hal itu ia lakukan 

karena ia mengetahui bahwa malaikat Jibril 

tidak akan masuk ke dalam rumah yang di 

dalamnya ada seorang perempuan yang 

terbuka kepalanya. Oleh karena itu, ketika 

membuka kepalanya ia (Khadijah) bertanya 

kepada Rasul: ‘Apakah engkau melihatnya 

(Jibril)?’ Rasul menjawab: ‘Tidak!’ Khadij 

ah berkata: ‘Wahai putra paman! Tabah 

dan bergembiralah! Demi Allah! (Yang 

datang kepada engkau) itu adalah malaikat, 

dan bukan syaitan’.” (Sayyid Sabiq, Aqidah 

Islamiyah, h. 268).

10.  Malaikat Jibril hanya turun dan datang 

kepada Nabi Muhammad atas izin dan 

perintah Allah. Tanpa izin dan perintah 

Allah ia tidak akan turun, betapa pun Nabi 

Muhammad sangat menginginkan dan 

mengharapkan. Cukup banyak peristiwa yang 

memerlukan segera mendapat jawaban dan 

penjelasan wahyu, tetapi Jibril tidak kunjung 

datang membawa wahyu. Contoh penantian 

Nabi yang paling mendesak adalah peristiwa 

menggemparkan yang menuduh ‘Aisyah r.a., 

isteri Nabi, berbuat serong (hadis al-ifki).

 Di samping itu, Nabi pernah meminta 

kepada Jibril agar lebih sering datang 

mengunjungi Nabi, tetapi Jibril menjawab 

bahwa kunjungannya harus atas izin Allah. 

Hal ini dij elaskan dalam hadis berikut: 

 “Imam Bukhari dan Ahmad meriwayatkan 

dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah berkata 

kepada Jibril: ‘Apa yang menghalangimu 

untuk berkunjung kepada kami lebih 

sering dari kunjunganmu selama in?’ Nabi 

berkata. Lalu turunlah ayat : ‘Dan tidaklah 

kami (Jibril) turun kecuali dengan perintah 

Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa 

yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada 

di belakangkita, dan apa-apa yang ada di 

antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu 

lupa’. “ (QS. Maryam [19]: 64). (Lihat Matn 

al-Bukhari bi-Hasyiyah as-Sindi, [Bairut: 

Dar al-Fikr,1995], jilid II, h. 245).

11.  Menurut al-Qur’an, manusia dapat melihat, 

ditemui, atau bahkan dibantu oleh malaikat, 

dan itu termasuk karamah. Misalnya seperti 

dijelaskan dalam al-Qur’an: 

 “(Ingatlah) ketika kamu memohon pertolon-

gan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-

Nya bagimu. Sesungguhnya Aku akan men-

datangkan bala bantuan kepadamu dengan 

seribu malaikat yang datang berturut-turut 

“’ (QS. al-Anfal [8]; 9).

 Mengingat hal tersebut sebagai karamah, 

tentu sahib al karamah (orang yang 

mempunyai karamah) diharuskan memenuhi 

suatu persyaratan, yaitu amal perbuatannya 

harus sesuai dengan dan berdasarkan Kitab 

(al-Qur’an) dan sunnah atau menurut Abu 

Yazid al-Bustami, ia harus memahami dan 

mengamalkan awamir dan nawahi (perintah 

dan larangan agama).


Dengan memohon taufiq dan hidayah kepada Allah SWT. 

MEMUTUSKAN 

Memfatwakan : 

Doa Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk malaikat 

Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus didasarkan pada 





keterangan atau penjelasan dari wahyu (Al-Qur’an dan Hadis). 

Tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa 

malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran 

kepada umat manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat 

penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena ajaran 

Allah telah sempurna. Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi 

dan mendapat ajaran keagamaan dari malaiakt Jibril bertentangan 

dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan itu dipandang sesat dan 

meyesatkan. 

Menghimbau kepada : 

1. Ibu Lia Aminudin (dan jama’ahnya), dan orang lain yang memiliki 

keyakinan serupa, yakni keyakinan bahwa dirinya mendapat 

ajaran agama dari malaikat Jibril, agar kembali dan mendalami 

ajaran Islam, terutama dalam bidang akidah, dengan memahami 

dan mempelajari al-Qur’an dan hadis kepada ulama, dan menurut 

kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan diakui kebenarannya 

oleh para ulama sebagai pedoman dalam mempelajari Al-Qur’an 

dan hadis. 

2. Masyarakat umat Islam agar berhati-hati dan tidak mengikuti 

akidah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. 

3. Majelis Ulama Indonesia bersedia memberikan bimbingan dan 

pengarahan kepada Ibu Lia Aminudin dan jama’ahnya, serta orang 

lain yang memiliki keyakinan serupa. 

4. Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan 

ketentuan bila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam 

keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan : Jakarta, 22 Desember 1997 M

DEWAN PIMPINAN  

MAJELIS ULAMA INDONESIA

    Ketua Umum

ttd

KH. Hasan Basri

Sekretaris

ttd

Drs. H.A. Nazri Adlani


Related Posts:

  • malaikat jibril lia aminudin FATWA DEWAN PIMPINAN MUI TENTANG MALAIKAT JIBRIL MENDAMPINGI MANUSIA1.  Surat dari Ir. Andan Nadriasta tanggal 4 Oktober 1997 yang bertanya dan mengharapkan ada penjelasan dari Majelis Ulama I… Read More