Penulis kusta baju biru itu berdiri dengan gagahnya di puncak
bukit. Angin dari timur bertiup melambai-lambaikan rambutnya yang
gondrong menjela bahu. Sepasang matanya sejak tadi hampir tiada
berkesip memandang lekat-lekat ke arah utara di mana berdiri
dengan megahnya pintu gerbang Kuburan penulis .
Sudah hampir setengah hari dia berada di puncak bukit itu.
Sudah jemu dan letih matanya memandang terus-terusan ke arah
pintu gerbang. Namun manusia-manusia yang ditunggunya belum
juga kelihatan muncul.
Sebetulnya dia bisa menuruni bukit itu dan langsung
memasuki Kuburan penulis . namun dia ingat pesan gurunya, di Kuburan penulis penuh
dengan hulubalang-hulubalang Baginda, bahkan tokoh-tokoh silat
kelas satu pentolan-pentolan Istana, banyak orang sakti berilmu
tinggi sehingga menyelesaikan perhitungan di dalam Kuburan penulis sama
saja mencemplungkan diri ke dalam jebakan dimana dia tak mungkin
lagi akan keluar. Kalaupun ada jalan ke luar maka itu ialah jalan
kepada kematian!
Dia menunggu lagi.
Sekali-sekali dia memandang ke jurusan lain untuk
menghilangkan kejemuan dan kelesuan matanya. Kemudian bila dia
memandang pada dirinya sendiri, memperhatikan tangan kirinya
yang buntung sebatas siku maka disaat itu ingatlah dia akan ucapan
gurunya sewaktu dia hendak meninggalkan pertapaan.
“Hari ini kuperbolehkan kau meninggalkan tempat ini,
Pranajaya. namun kelak dikemudian hari kau musti kembali kemari
untuk menuntut satu ilmu baru yang sekarang ini kugodok. Kau
pergi dari sini dan musti berhasil mencari ketiga manusia yang telah
membunuh kau punya bapak.... Tempo hari aku sudah pernah
terangkan. Kau masih ingat siapa nama julukan ketiga manusia itu?”
“Mereka adalah Tiga Penulis kusta , guru,” jawab Pranajaya.
“Betul,” kata sang guru. “Ketiganya berada di Kuburan penulis . Sudah
sejak lama kuketahui hidup di sana sabagai bergundal-bergundalnya
Baginda. namun ingat Prana! Sekali-kali jangan selesaikan perhitunganmu
dengan mereka di dalam Kuburan penulis . Itu barbahaya besar karena Kuburan penulis
penuh dengan tokoh-tokoh silat kelas satu yang menjadi kaki tangan
Baginda…“
“Dengan bekal ilmu yang guru, wariskan serta pedang Ekasakti
yang guru berikan tak satu lawanpun yang saya takutkan di atas bumi
ini. Apalagi saya tahu bahwa saya berada di atas kebenaran!”
Empu Blorok tersenyum dan rangkapken kedua tangannya dimuka
dada.
“Aku sedang mendengar ucapan jantanmu,” kata Empu Blorok
pula. “namun walau bagaimanapun membuat kegaduhan di dalam
Kuburan penulis sangat berbahaya bagi keselamatan jiwamu. Di samping itu aku
mengingat pula akan tugas yang hendak kuberikan padamu. Jadi Prana,
ringkas kata kau musti membereskan Tiga Penulis kusta di luar Kuburan penulis ,
bagaimana caranya terserah kau.”
Sang murid manggut-manggutkan kepalanya. “Tadi guru
menyebutkan satu tugas untukku… Mohon penjelasan lebih lanjut,” kata
Pranajaya. “Bila perhitunganmu dengan Tiga Penulis kusta telah selesai
maka kau harus pergi ke Pulau makam Penulis kusta .”
Pranajaya tak pernah mendengar tentang pulau itu dan tidak pula
tahu di mana letaknya. Maka diapun menanyakannya.
“Pulau itu,” menjawab Empu Blorok, “terletak diujung timur
pulau Jawa. Di situ bercokol seorang manusia bernama Bagaspati.
Dulunya dia adalah kawan baikku. namun kemudian mencuri sebuah
senjata mustikaku dan melarikan diri. Dengan senjata mustika itu dia
membuat keonaran di mana-mana dan berbuat kejahatan! Kau harus
mengambil senjata muutika itu kembali dari tangannya Pranajaya. KaIau
dia banyak rewel, kau tahu apa, yang musti dilakukan!”
“Baik guru,” kata Pranajaya lalu tanyanya. “Senjata apakah yang
telah dicuri oleh Bagaspati itu?”
“Sebuah cambuk, Prana. Cambuk Api Angin namanya!”
“Tugas dari guru akan aku jalankan. Mohon doa restu,” kata
Pranajaya.
saat dia hendak pamitan Empu Blorok berkata, “Tunggu
sebentar Prana. Masih ada yang hendak kuterangkan padamu.”
”Soal apa guru?.”
“Soal dirimu. Kau lihat tangan kirimu yang buntung itu...?”
Prana memperhatikan tangan kirinya lalu mengangguk. Aneh
terasa baginya kalau saat itu gurunya bicara soal tangan itu, padahal
sudah sejak belasan tahun dia berada bersama Empu Blorok dan sang
guru tak pernah bicara apa-apa soal tangannya yang buntung itu.
“Waktu bapakmu dibunuh,” berkata Empu Blorok. “Dia
sedang tidur di atas balai-balai di sampingmu. Tiga Penulis kusta
menyerbu masuk dan salah seorang diantara mereka segera
membacokkan sebilah pedang! Bapakmu seorang yang berilmu
tinggi. Begitu dia merasakan sambaran angin senjata maut itu
dia segera melompat. Dia berhasil mengelakkan bacokan pedang
namun akibatnya ujung pedang terus menyambar lenganmu dan
membabat putus sikumu. Kau saat itu masih orok, Prana…
Bapakmu kemudian dikeroyok bertiga dan menemui ajalnya.
Sebelum Tiga Penulis kusta mencincangmu, kakakku Empu
Krapel berhasil menyelamatkanmu dan menyerahkanmu
kepadaku. Sayang kakakku itu sudah menutup mata, kalau
tidak tentu dia gembira melihat kau sudah dewasa dan gagah
begini!”
Pranajaya terdiam sesaat . Dendam membara di lubuk
hatinya. Lalu tanyanya. “Yang manakah diantara Tiga Setan
Darah yang telah membacok bapakku sewaktu beliau sedang
tidur itu. Empu…?”
“Aku kurang tahu, Prana” sahut Empu Blorok.
“Keterangan kakakkku waktu membawa kau ke sini kurang
jelas.”
Karena tak ada lagi yang akan dibicarakan maka
Pranajaya berkata, ”Murid minta diri, guru. Muhon, doa
restumu....”
Empu Blorok mengangguk. Dipandanginya muridnya itu
sambil akhirnya Pranajaya hilang dikejauhan.
Pranajaya memandang lagi untuk kesekian kalinya ke
arah pintu gerbang Kuburan penulis . Suasana tidak berubah seperti
tadi-tadi. Dua pengawal berdiri di sisi-sisi pintu gerbang,
masing-masing memegang sebatang tombak. Tak ada yang lalu
lalang. Pintu gerbang itu diselimuti kesunyian.
“Sampai berapa lama lagi aku musti menunggu?” tanya
Pranajaya pada dirinya sendiri. Hatinya kesal. Sebenarnya dia
tidak takut memasuki Kuburan penulis untuk lekas-lekas membuat
perhitungan dengan Tiga Penulis kusta . Malah ini adalah satu
permulaaan baginya untuk menjajaki sampai di mana ketinggian
ilmu silat dan kesaktiannya ysng dimilikinya serta sampai di
mana pula kehebatan tokoh-tokoh silat di Kuburan penulis itu! Namun
dia musti patuh pada pesan gurunya dan tidak boleh bertindak
gegabah. Empu Blorok lebih berpemandangan luas. Dan dia
musti menunggu terus. Manunggu sampai Tiga Penulis kusta
keluar dari pintu gerbang Kuburan penulis .
Menurut keterangan yang didapat Pranajaya dari seorang
pengawal istana yang disogoknya dengan sekeping emas, hari
itu Tiga Penulis kusta akan meninggalkan Kuburan penulis , pergi ke satu
tempat di selatan untuk satu keperluan penting. Atau mungkin
pengawal istana itu telah menjual keterangan dusta kepadanya?
Letih berdiri akhirnya Pranajaya duduk di tanah,
bersandar ke sebatang pohon. Sepasang matanya senantiasa
ditujukan ke pintu gerbang Kuburan penulis itu.
SEMENTARA itu di Kuburan penulis ..........
Orang itu berdiri di halaman belakang istana. Dia telah
menyelidik ke kandang kuda dan tiga ekor kuda yang kulit serta
bulu tengkuk dan ekornya dicelup merah telah dilihatnya di
dalam kandang kuda istana yang besar itu. Hatinya lega. Ini
satu pertanda bahwa Tiga Penulis kusta masih berada di dalam
istana. Orang ini menunggu siambil membayangkan hadiah apa
yang kira-kira bakal diberikan Tiga Penulis kusta kepadanya
kelak.
Dua pengawal di pintu belakang Istana menjura hormat
sewaktu tiga orang berjubah merah, berambut dan bermuka
yang dicat merah melewati pintu itu, melangkah cepat menuju
kandang kuda.
Orang laki-laki tadi segera mendekati Tiga Penulis kusta .
Setelah menjura dia berkata, “Bolehkah aku bicara dengan
kalian…?”
Tiga Penulis kusta yang paling tua menghentikan
langkahnya dan hendak mendamprat. Saat itu bersama dua
orang kawannya dia hendak berangkat untuk satu urusan
panting namun kini ada seseorang yang mengganggu. Ini sangat
menggusarkannya. Sewaktu melihat bahwa laki-laki yang
berkata tadi itu adalah seorang pengawal Istana yang
dikenalnya, Tiga Penulis kusta tertua ini surut jugs sedikit
amarahnya.
“Ada perlu apa kau?!” tanyanya kasar.
“Ada keterangan panting yang bakal kusampaiken Tiga
Penulis kusta .”
“Hemm... Coba katakan cepat,” kata Penulis kusta tertua
sambil mengerling pada dua orang kawannya.
“Seorang asing hendak berbuat jahat tarhadap kalian
bertiga....”
“Hah... apa?!”
“Malam tadi aku tengah makan di kedai,” menuturkan
pegawai Istana itu. Namanya Camar Pawang. “Lalu ada seorang
asing mendekatiku dan berkata jika aku bisa kasih keterangan
tentang Tiga Penulis kusta dia akan memberikan hadiah sekeping
emas. Aku segera maklum bahwa orang asing itu bukan
bermaksud baik-baik terhadap kalian bertiga. Kuambil emas itu
dan kuberikan sedikit keterangan kepadanya. Keterangan
palsu!”
“Apa yang itu orang asing tanya dan apa yang kau
terangkan padanya?” tanya Tiga Penulis kusta kedua.
“Dia tanya kalau-kalau aku tahu bila kalian bertiga
meninggalkan Istana dan keluar dari Kuburan penulis .”
“Apa, jawabmu?” tanya Penulis kusta Ketiga. “Kuberikan
keterangan dusta. Kukatakan bahwa Tiga Penulis kusta hari ini
akan pergi ke satu tempat di selatan untuk satu urusan
penting...“
Penulis kusta pertama melototkan mata. Saat itu dia dan
kawan-kawannya memang hendak berangkat ke satu tempat
untuk menjalankan tugas Baginda, namun bukan ke selatan
melainkan ke daerah barat Kuburan penulis .
“Aku tidak percaya!” kata Penulis kusta pertama, “Coba,
mana emas itu, aku mau Iihat!”
Camar Pawang mengeruk sakunya dan mengeluarkan
sekeping kecil emas yang diterimanya dari orang asing itu.
bobo anakmanusia
Pendekar barbel Maut pembasmi 10000an
Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin
Penulis kusta pertama mengambil kepingan emas itu,
memperhatikannya lalu sambil menimang-nimang emas itu dia
bertanya, “Bagaimana ciri-ciri orang asing itu?!”
“Dia masih muda, Tampangnya cakap, berbaju biru dan
tangan kirinya buntung. Di balik baju birunya, di sebelah
punggung menyembul ujung gagang pedang....”
“Hem…” Penulis kusta pertama menggumam. Dia angguk-
anggukkan kepala beberapa kali. “Ada lagi yang hendak kau
katakana?”
Camar Pawang menggeleng.
“Kalau begitu kau tunggu apa lagi?! Cepat berlalu dari
hadapan kami!” bentak Penulis kusta pertama.
Camar Pawang mundur satu langkah dan memandang pada
kepingan emas yang masih ditimang-timang Penulis kusta Pertama.
“Emas itu..,” kata Camar Pawang.
“Emas bapak moyangmu!” semprot Penulis kusta Kedua, “Sudah
untung kau tidak kami gebuk, masih mau minta emas! Pergi!”
Camar Pawang memandang pada Penulis kusta Pertama.
Manusia bermuka merah ini tertawa mengekeh daw membalikkan
badannya sambil memasukkan kepingan emas ke dalam saku
jubahnya.
Camar Pawang menelan ludah. Sudah dibayangkannya dia
bakal mendapat hadiah dari Tiga Penulis kusta , namun malah emas yang
diterimanya dari si orang asing kini diambil oleh manusia bermuka
merah itu! Camar Pawang menyumpah habis-habisan dalam hatinya
dan meninggalkan tempat itu.
Di depan pintu kandang kuda, Penulis kusta Pertama hentikan
langkah dan bertanya pada kedua orang kawannya.
“Apa pendapat kalian?” tanyanya.
Penulis kusta kedua mengusap dagunya lalu berkata, “Jika
keterangan kunyuk kepala dua itu betul pastilah orang asing itu
menunggu kita di satu tempat di daerah selatan...”
“Aku merasa heran juga,” membuka mulut Penulis kusta Ketiga,
“seingatku kita tak pernah bikin urusan dengan seorang Penulis kusta
bertangan buntung. Apa maksud manusia itu mencari keterangan
tentang kita sebenarnya?”
Penulis kusta Pertama merenung sejenak. “Kalau mau, kita
masih ada waktu untuk menyelidik ke selatan.” Dua orang kawannya
menyetujui hal itu. Ketiganya segera mengambit kudanya masing-
masing.
ANGIN dari timur bertiup lagi melambai-lambaikan rambut dan
lengan kiri baju biru yang dikenakan Pranajaya. Bila untuk kesekian
kalinya Penulis kusta ini memandang lagi ke arah utara maka membesilah
parasnya. Air muka dan hatinya menjadi tegang. Tiga penunggang
kuda kelihatan ke luar dari pintu gerbang Kuburan penulis . Kuda-kuda dan
penunggangnya berwarna merah. Meski jauh sekali, namun melihat
kepada jumlah penunggang-penunggang kuda itu dan melihat kepada
warna pakaian mereka, Prana segera maklum bahwa mereka bukan
lain daripada Tiga Penulis kusta yang memang sedang dittunggu-
tunggunya sejak tadi! Tiga manusia yang telah membunuh ayahnya!
Waktu penantian berakhir sudah! Saat pembalasan kini tiba!
Tanpa menunggu lebih lama Pranajaya segera berdiri. Kemudian
sekali dia gerakkan kedua kakinya, maka pemnda ini sudah lenyap
dari puncak bukit. Tubuhnya laksana angin topan berlari kencang me-
nuruni lereng bukit ke arah liku jalan yang kelak bakal dilalui Tiga
Penulis kusta . Demikian cepat larinya hingga kedua kakinya laksana
tak pernah menginjak bumi! ltu adalah berkat ilmu lari dan ilmu
mengentengi tubuh hebat yang telah dikuasainya!
Pranajaya sampai diliku jalan lebih dahulu dari Tiga Setan
Darah. Penulis kusta ini menunggu dengan hati tegang namun tetap tenang.
Dia maklum Tiga Penulis kusta manusia-manusia berilmu tinggi
karenanya dia tidak boleh bertindak ceroboh. Suara derap kaki kuda
terdengar semakin dekat akhirnya muncullah penunggang-
penunggang kuda itu satu derni satu di tikungan jalan.
“Berhenti!” teriak Pranajaya sambil angkat tangan
kanannya.
Tiga Penulis kusta sama-sama hentikan kuda masing-
masing dan memandang menyorot pada Penulis kusta yang berdiri di
tengah jalan dihadapan mereka. Keterangan Camar Pawang
tidak dusta. Benar Penulis kusta yang diterangkan ciri-cirinya itulah
yang saat ini menghadang mereka. Parasnya cakap, rambut
gondrong, berpakaian biru dan tangan kirinya buntung sebatas
siku sedang dibalik punggurig kelihatan menyembul gagang
pedang.
“Penulis kusta tangan bunting!,” kata Penulis kusta pertama
dengan suara keras. “Apa-apaan ini?!”
Pranajaya menyapu tampang-tampang ketiga manusia itu.
Lalu tanyanya dengan membentak, “Kalian Tiga Penulis kusta ?!”
Prana bertanya untuk meyakinkan.
“Sompret!” maki Penulis kusta Kedua. “Sipa kau yang
berani menghalangi perjalanan kami! Apa sudah bosan hidup?!”
“Aku Pranajaya!” memberitahu si Penulis kusta . Penulis kusta
tertua menyeringai dan mengeluarkan suara mengekeh. “Orang
muda, kami memang Tiga Penulis kusta yang terkenal itu. Ada
maksud apa kau menghadang kami! Dari pegawai Istana yang
kau sogok dengan sekeping emas itu kami mendapat keterangan
yang kau mau cari urusan! Apa betul!”
Sebelum Pranajaya menjawab, Penulis kusta Ketiga sudah
membuka mulut, “Orang hina! Lekas angkat kaki dari sini
sebelum kupuntir kepalamu!”
“Rupanya dia tidak tahu tengah berhadapan dengan
siapa..!” kata Penulis kusta Kedua.
Pranajaya berdiri dengan sepasang kaki terkembang. Sinar
di matanya semakin menyorot sedang di air mukanya
membayangkan kebencian dan dendam yang meluap!
“Tiga Penulis kusta ! Kalian tentunya betum melupakan
peristiwa beberapa belas tahun yang silam. Ingat waktu kalian
mengeroyok dan membunuh secara pengecut seorang bernama
Wijaya?! ”
Tentu saja Tiga Penulis kusta terkejut. Ketiganya saling
mengerling kemudian Penulis kusta Ketiga menjawab, “Manusia
buntung, kami masih ingat. Apa sangkut pautmu dengan
peristiwa itu?!”
“Aku adalah anak orang yang kau bunuh itu!” jawab
Pranajaya tanpa tedeng aling-aling.
“Oh… begitu?!,” desis Penulis kusta Pertama.
“Kawan-kawan!” seru Penulis kusta Kedua, “tentunya
Penulis kusta buruk ini adalah bayi yang kita bacok buntung
tangannya dulu itu!”
“Betul!” sahut Prana. Dia maju satu langkah. “Yang mana
diantara kalian yang membacokku?!”
Penulis kusta Pertama tertawa bekakakan.
“Penulis kusta ingusan, apakah kemunculanmu kali ini hendak
menuntut balas atas kematian kau punya bapak dan karena
kehilangan lengan kirimu itu?!!”
Pranajaya menggeleng perlahan.
“Lahtas?!” tanya Penulis kusta tertua dengan heran.
“Aku datang bukan buat menuntut balas,” kata Pranajaya,
“namun untuk, meminta jiwa busuk kalian!”
Tiga Penulis kusta sama-sama tertawa membahak.
“Penulis kusta buntung,” ejek Penulis kusta kedua, “kau mimpi
di siang bolong!”
Penulis kusta Pertama menimpali, “Bapakmu Yang punya
dua tangan kami bikin mampus! Kau yang punya satu mau jual
tampang!”
Penulis kusta Ketiga tidak tinggal diam “Mungkin kau kepingin
cepat-cepat ketemu bapakmu di neraka?” tanyanya.
Dan ketiga manusia bermuka merah itu tertawa lagi terbahak-
bahak.
“Manusia-manusia muka kepiting rebus,” sentak Pranajaya
dengan geram, ”silahkan turun dari kuda kalian. Atau mungkin kalian
mau mampus di atas kuda masing masing”?
Merahlah Tiga Penulis kusta mendengar ucapan Pranajaya itu
Penulis kusta Pertama kebutkan lengan jarbah sebelah kanan.
Serangkum sinar merah menyarnbar dahsyat ke arah Pranajaya. Pasir
dan debu jalanan beterbangan saking hebatnya serangan ini.
Pranajaya cepat menghindar ke samping dan begitu sinar merah
lewat di sebelahnya segera pula Penulis kusta ini hantamkan tinju
kanannya ke arah Penulis kusta Pertama. Satu gelombang angin yang
padat dan keras menggumpal menyerang ke arah tenggorokan Setan
Darah pertama. Ini adalah pukulan “angin sewu”
Penulis kusta pertama tidak mengelak sebaliknya tetap berdiri di
tempat dan lambaikan tepi jubah sebelah kiri. Sekali pukul saja maka
buyarlah angin pukulan jarak jauh Pranajaya! namun betapa kagetnya si
muka merah ini karena begitu buyar, buyaran angin pukulan itu
kembali menyerangnya. Malah kini lebih dahsyat lagi dari yang
pertama tadi karena kali ini pecahan angin pukulan itu sekaligus
menyerang ke arah dua belas jalan darah yang mematikan ditubuh-
nya!
Penulis kusta Pertama berseru nyaring lalu melompat tiga
tombak ke udara. Laksana seekor alap-alap tubuhpya menukik ke
arah Pranajaya dan sedetik kemudian kedua orang itu sudah
berhadapan dalam jarak tiga langkah.
“Penulis kusta Pertama, biar aku yang kermus Penulis kusta keparat
itu!,” teriak Penulis kusta Ketiga. Penulis kusta Pertama tidak ambil
perduli. Dengan ganasnya dia menyerang. Jari telunjuk dan jari
tengah tangan kanannya menusuk ke muka.
“Makan jariku ini, laknat!” teriaknya.
Serangan ilmu jari ““pencungkil karang” memang hebat dan
ganas. Jangankan tulang atau daging manusia, batu karang yang atos
sekalipun akan berlobang dan hancur kalau ditusuk oleh sepasang
jari itu! Dan kini sepasang jari itu menyerang ke mata kiri kanan
Pranajaya!
Pranajaya hanya melihat lawan menggerakkan tangan
kanannya sedikit dan tahu-tahu sepasang jari lawan sudah di depan
hidungnya!
Penulis kusta ini cepat rundukkan kepala. Dia berhasii melewatkan
tusukan dua jari yang berbahaya itu dan di saat yang bersamaan
sekaligus pukulkan tinju kanannya ke muka!
Penulis kusta Pertama melihat serangannya yang mematikan tadi
dapat dilewati segera pergunakan tepi telapak tangan kanannya uatuk
menghantam bahu Pranajaya!
Kedua orang itu sama-sama mempunyai kesempatan untuk
mengelak. Namun keduanya lebih monginginkan untuk meneruskan
serangan masing-masing dan menghindar secara ambilan saja.
Maka dalam kejap yang bersamaan tinju kanan Pranajaya melanda
dada lawan sedang tepi telapak tangan kanan Penulis kusta Pertama
mendarat dengan kerasnya di bahu kiri Pranajaya! Kedua orang ini
sama-sama mengeluh sakit. Pranajaya terguling di tanah. Setan
Darah Pertama terjajar beberapa langkah ke belakang den jatuh
duduk! Mukanya pucat pasi. Dadanya sakit dan serasa melesak ke
dalam membuat sesak nafasnya. Cepat-cepat manusia muka merah
ini bersila di tanah dan kerahkan tenaga dalamnya serta atur jalan
nafas. Diam-diam dia terkejut melihat Pranajaya dapat berdiri
kembali meskipun dengan tubuh termiring-miring! Pukulan telapak
tangan kanannya tadi mengandalkan lebih dari separo tenaga
dalamnya, namun si Penulis kusta masih sanggup berdiri dan masih hidup
Di lain pihak Pranajaya merasakan tuang bahunya laksana
patah! Badannya miring ke kiri sewaktu berdiri. Kalau saja dia tidak
memiliki kekuatan tenaga dalam yang sempurna pastilah jiwanya
sudah melayang! Prana memperhatikan Penulis kusta Pertama yang
saat itu tegak kembali dengan pandangan mata menyorotkan maut!
Manusia ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi sekali! Pukulan jotos
sewu yang disangkakannya akan merenggut nyawa lawan kiranya
cuma membuat manusia muka merah itu terhampar jatuh duduk di
tanah!
Dua orang Penulis kusta lainnya yang sudah gatal-gatal tangan
mereka untuk segera turun tangan mengurung Pranajaya dari kiri
kanan.
“Biar aku yang pecahkan kepala bangsat ini sendirian!” teriak
Penulis kusta Pertama beringas. “Ah! Kunyuk buntung ini terlalu
bagus untuk mampus ditanganmu sendirian,” jawab Penulis kusta
Kedua. “Biar kami bantu!”
Maka tanpa menunggu lebih lama kedua orang itu segera
menyerbu. Penulis kusta Pertama tidak berkata apa-apa. Meski
hatinya beringas namun dia memaklumi dan melihat kenyataan sendiri
bahwa Penulis kusta rambut gondrong berbaju biru itu tidak berilmu
rendah. Karenanya sewaktu dua kawannya itu menyerbu Setan
Darah Pertama diam saja.
Menghadapi tiga lawan tangguh begitu rupa membuat
Pranajaya harus bergerak dengan cepat dan berlaku lebih hati-hati.
Tubuhnya hampir lenyap dalam telikungan bayangan jubah merah
ketiga lawannya. Tiada terasa lima belas jurus telah berlalu. Setan
Darah Pertama mengkal bukan main.
“Kawan-kawan ternyata tikus buntung ini punya ilmu yang
diandalkan juga!” dia berseru. “Bagaimana kalau kita bentuk barisan
tiga bayangan siluman?!”
Penulis kusta yang dua orang lainnya menyetujui. Dan pada
jurus yang keenam belas itu maka ketiganya segera melancarkan
serangan hebat yang dinamakan barisan tiga bayangan siluman.
Penulis kusta Pertama setengah merunduk. Serangan-
serangannya selalu mengarah bagian kedua kaki lawan sedang Setan
Darah Kedua menyerang bagian tengah tubuh Prana dan Setan
Darah Ketiga seperti seekor burung elang melompat ke atas, menukik
ke bawah dan selalu melancarkan serangan ke bagian kepala
Pranajaya. Dalam setiap saat ketiganya bisa berganti tempat dan
mengambil alih kedudukan masing-masing, terutama bila salah
seorang dari mereka diserang oleh lawan! Begitulah, setiap Pranajaya
mengelak atau menyerang salah seorang dari mereka, maka yang dua
lainnya dengan cepat sekali datang memburu mengirimkan serangan-
serangan maut! Lima jurus pertama setelah bertempur dengan segala
kehebatan yang ada maka sedikit demi sedikit mulai kendurlah
perlawanan Pranajaya. Penulis kusta bertangan satu itu kini bertahan
mati-matian, namun tetap dia terkurung rapat dan terdesak hebat!
Tiba-tiba Prana ingat pedang dipunggungnya. Dia adalah
seorang Penulis kusta berhati jantan kesatria, yang akan menghadapi lawan
bertangan kosong dengan tangan kosong pula. Namun menghadapi
pengeroyokan tiga musuh besar itu, di dalam keadaan yang kepepet
pula, dia merasa bahwa mencabut pedangnya saat itu bukanlah suatu
tindakan yang pengecut.
Sambil berteriak, “Lihat pedang!” maka Pranajaya cabut
pedangnya. Sedetik kemudian satu sinar putih menggebu membabat
ketiga jurusan, membuat dengan serta merta buyarnya barisan tiga
bayangan siluman!
Sambil bersurut mundur Tiga Penulis kusta memperhatikan
pedang Ekasakti yang memancarkan sinar putih di tangan Pranajaya.
Penulis kusta Kedua berbisik pada kawan-kawannya, “Heh,
pedang itu pasti senjata mustika! Kita musti dapat merampasnya !”
“Jangan pikir soal senjata itu dulu” jawab Penulis kusta Pertama.
“Yang penting tangkap bangsat ini hidup-hidup. Aku ada rencana
tersendiri untuk menamatkan riwayatnya. Kalian....“
Penulis kusta Pertama tidak sempat mengakhiri ucapannya. Saat
itu Pranajaya sudah menyerbu. Sinar putih dari pedang bertabur
ganas. Ketiga manusia itu cepat menghindar dan masing-masing
mereka segera cabut senjata. Penulis kusta Pertama mengeluarkan
sepasang tombak bermata dua. Penulis kusta Kedua mengeluarkan
sepasang gada sedang Penulis kusta Ketiga mengeluarkan sepasang
bobo anakmanusia
Pendekar barbel Maut pembasmi 10000an
Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin
golok. Kesemua senjata ini berwarna merah dan kesemuanya
merupakan senjata-senjata mustika sakti !
Percaya akan kehebatan pedang Ekasaktinya, Pranajaya
teruskan menyerang ketiga lawan itu.
Trang.... trang.... trang....!
Tiga kali pedang putih itu beradu dengan senjata-senjata lawan.
Bunga api bertebaran dan Pranajaya terkesiap kaget! Senjata-senjata
lawan mempunyai kehebatan yang luar biasa. Untung saja pedang
Ekasakti dipegangnya erat-erat, kalau tidak dalam bentrokan tiga kali
berturut-turut tadi itu pastilah senjatanya akan terlepas!
Sementara itu Tiga Penulis kusta sudah tegak memencar. Satu
lengkingan nyaring keluar dari tenggorokan Penulis kusta Kedua.
Maka, tiga manusia muka merah itu dengan serta merta menyerbu ke
arah Pranajaya !
PERTEMPURAN manusia tiga lawan satu itu, kecamukan enam
senjata lawan satu pedang berlangsung penuh kehebatan dan
mendebarkan. Sedikit saja seseorang membuat gerakan yang salah
pastilah salah satu bagian tubuh mereka akan dimakan senjata.
Sinar merah jubah dan senjata-senjata Tiga Penulis kusta
bergulung-gulung membungkus tubuh dan senjata Pranajaya.
Berkali-kali Penulis kusta ini nyaris kena tebasan golok atau tusukan
tombak atau hantaman gada ketiga lawannya. Jika saja Pranajaya
tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang sempurna serta
kegesitan yang luar biasa, sudah sejak tadi-tadi mungkin dia akan
mienjadi pecundang.
Prana berkelebat laksana bayang-bayang. Pedang putihnya
membabat kian kemari dalam rangkaian jurus-jurus lihai yang
dipelajarinya secara sempurna dari Empu Blorok. Sepuluh jurus telah
berlalu. Kemudian lima jurus lagi dan Tiga Penulis kusta masih belum
sanggup membuktikan kehebatan nama baser mereka selama ini.
Malah pada jurus keduapuluh satu, Penulis kusta Ketiga berseru
tertahan dan menyurut mundur!
Ternyata jubah merahnya robek besar disambar ujung pedang
lawan! Masih untung kulit dadanya tidak kena diserempet !
“Bedebah!” rutuk iaki-laki itu. “Jangan harap kau bisa bernafas
sampai tiga kali kejapan mata!” Dengan amarah yang meluap Setan
Darah Ketiga memutar sepasang goloknya dalam jurus yang aneh dan
menyerbu Pranajaya.
“lngat Penulis kusta Ketiga!” teriak Penulis kusta Pertama.
“Penulis kusta ini aku mau tangkap hidup-hidup!”
“Lebih bagus kalau dicincang lumat saja!” sahut Penulis kusta
Ketiga.
“Aku yang jadi pemimpin kalian!” teriak Penulis kusta Pertama
marah. “Kau harus ikut apa yang ku katakan!”
Penulis kusta Ketiga menindas kemarahannya sedapat-dapatnya.
Menekan luapan amarah karena dia menyadari bahwa dia musti
tunduk pada Penulis kusta Pertama.
Pertempuran seru berkecamuk lagi. Agaknya kini Tiga Setan
Darah telah mengeluarkan pula jurus-jurus ilmu silat mereka yang
lihai dan banyak tipu-tipu liciknya. Lima jurus berlalu maka
Pranajaya mulai pula terdesak.
Trang!
Pranajaya tak bisa mengelakkan peraduan senjatanya dengan
senjata Penulis kusta Pertama. Sebelum bunga api yang bergemerlap
lenyap, sebelum murid Empu Blorok itu sempat menarik senjatanya
maka sepasang gada dan golok Penulis kusta lain-lainnya sudah
datang menjepit pedang Ekasakti di tangan Pranajaya.
Prana kerahkan tenaga dalamnya. Dengan sekuat tehaga
dicobanya melepaskan pedang dari jepitan enam senjata lawan! namun
sia-sia! Pedang Ekasakti meskipun pedang mustika namun tiada
berdaya di jepit oleh enam senjata mustika lawan! Pedang itu laksana
lengket. Prana keluar keringat dingin. Dia tahu, tak ada jalan lain
baginya kecuali melepaskan pedangnya pada gagang pedang,
menyerahkan bulat-bulat senjatanya ke tangan lawan!
Penulis kusta Pertama tertawa mengekeh.
“Sekarang kau baru tahu siapa kami hah?!”
“Tikus buntung hendak bernyali besar beginilah jadinya!” ejek
Penulis kusta Ketiga.
Tiba tiba, tiada terduga dengan bergantungan pada gagang
pedang yang dijepit lawan, tubuh Pranajaya melesat ke muka. Kaki
kanannya menendang dan karena tidak menyangka, Penulis kusta
Pertama tidak keburu menghindar!
Penulis kusta Pertama mengeluh tinggi.
Tubuhnya mencelat beberapa tombak, terguling di tanah. Dua
tulang iganya telah patah dilanda tendangan Pranajaya!
“Anjing buduk!” maki Penulis kusta Kedua begitu melihat
kawannya kena dihantam lawan. Tanpa menunggu lebih lama
manusia ini segera hantamkan gagang gadanya yang di tangan kanan
ke pangkal leher. Ini adalah satu totokan yang dahsyat. Karena tak
keburu menghindar tak ampun lagi Pranajaya rebah ke tanah dalam
keadaan tubuh kaku laksana patung!
Penulis kusta Pertama melangkah tertatih-tatih ke hadapan
Pranajaya.
“Bagaimana lukamu?” tanya Penulis kusta Kedua.
“Bangsat ini telah mematahkan dua tulang igaku,” jawab Setan
Darah Pertama setengah menggeram. “Detik ini juga dia akan terima
balasannya!”
Habis berkata begitu Penulis kusta Pertama lancarkan satu
tendangan ke arah tulang rusuk Pranajaya. Penulis kusta ini menggelinding
beberapa tombak jauhnya. Tiga tulang iganya patah! Meski tubuhnya
tertotok tiada berdaya namun perasaan masih tetap ada dan
mulutnya masih bisa mengeluarkan suara erangan kesakitan!
Penulis kusta Pertama masih belum puas.
“Ini satu lagi!” katanya dan untuk kedua kalinya.kaki kanannya
mengirimkan satu tendangan. Kali ini yang jadi sasaran adalah muka
Pranajaya. Penulis kusta ini berusaha menahan jeritan yang hendak
melesat dari tenggorokannya meski bibirnya pecah, dua buah giginya
patah dan hidungnya mengucurkan darah kental panas !
Penulis kusta Pertama memburu lagi. saat dia hendak
menendang sekali lagi, Setan Dareh Kedua memegang bahunya. “Kali
ini dia bisa mampus! Apa kau lupa akan rencanamu sendiri?!”
Penulis kusta Pertama menarik pulang kaki kanannya.
Dirabanya sebentar tulang rusuknya yang patah kemudian dia
berteriak, “Penulis kusta Ketiga, ambil tali!”
Penulis kusta Ketiga melemparkan seutas tali kepada laki-laki
itu.
“Penulis kusta edan!” kata Penulis kusta Pertama sambil belutut
dihadapan Pranajaya yang saat itu megap-megap. “Sebentar lagi kau
akan rasakan bagaimana enaknya meluncur di tanah! Kalau
tubuhmu kuat kau akan hidup sampai ke Kuburan penulis . namun kalau tidak,
kau akan mampus di tengah jalan!”
Habis berkata begitu Penulis kusta Pertama segera mengikat
pergelangan tangan kanan Pranajaya dengan tali. Ujung tali yang lain
diikatkannya ke leher kudanya.
Pranajaya keluarkan keringat dingin. Dia tahu nasib apa yang
bakal diterimanya! Penulis kusta ini berteriak, “Penulis kusta keparat! Bunuh
aku sekarang juga!”
Penulis kusta Pertama tertawa.
“Kau memang akan mampus, kunyuk buntung!” jawab Setan
Darah Pertama. “Akan mampus, namun dengan cara perlahan-lahan!
Sepanjang jalan menuju ke ajalmu kau dapat saksikan keindahan
pemandangan daerah sekitar sini! Bukankah enak mati cara begitu?!”
Penulis kusta Pertama naik ke atas kudanya. Tiba-tiba dia ingat
sesuatu dan memandang berkeliling. “Mana pedangnya?!”
“Aku sudah ambil!” jawab Penulis kusta Ketiga. “Bagus!”
Penulis kusta pertama tepuk pinggul kuda merahnya dengan
keras. Binatang itu meloncat ke muka siap untuk berlari kencang dan
menyeret tubuh Pranajaya mulai dari liku jalan itu sampai ke Kuburan penulis .
Namun disaat itu dari muka kelihatan berkelebat sesosok bayangan
putih disertai dengan suara tertawa lantang yang bernada mengejek.
“Kekejamanmu sangat keterlaluan Tiga Penulis kusta !” kata
pendatang baru ini dengan membentak. Tiga Penulis kusta Pertama dan
kedua kawannya dengan serta merta mengehentikan kuda masing-ma-
sing. Sepasang mata Tiga Penulis kusta Pertama memandang ke muka
dengan menyorot. Mulutnya terkatup rapat-rapat dan kedua
rahangnya mengatup menonjol!
“Cindur Rampe!” hardik Penulis kusta Pertama. “Setahuku kau
ada tugas di sselatan yang harus kau jalankan! Silahkan berlalu dan
jangan ikut campur urusan kami!”
Cindur Rampe, seorang resi golongan hitam yang juga menjadi
kaki tangan pembantu Baginda. Kekejamannya tiada banyak beda
dengan Tiga Penulis kusta namun antara resi ini dengan ketiga Setan
Dorah sejak lama terdapat perselisihan-secara diam-diam. Perselisihan
ini sebenamya adalah akibat bersaing ingin menjilat Baginda. Dalam
satu pertemuan pernah Cindur Rampe menantang Tiga Penulis kusta .
Hampir terjadi pertempuran hebat namun tokoh-tokoh istana lainnya
berhasil mencegah mereka. Namun sejak itu pula diantara mereka
semakin memuncak permusuhan, laksana api dalam sekam yang se-
waktu-waktu bisa meledak!
Cindur Rampe mengelus-elus janggutnya yang pendek macam
janggut kambing. Sambil sunggingkan senyum mengejak dia berkata,
“Tentu Penulis kusta malang itu akan kau seret ke Kuburan penulis . Semua orang
akan melihat kekejamanmu. Kau akan dapat nama dan kira-kira
berapa puluh ringgit pula kau akan dapat upah dari Baginda?!”
Penulis kusta Kedua penasaran sekali. Dia majukan kudanya satu
langkah.
“Soal kekejaman kau tidak lebih baik dari kami resi muka
kambing!” sentak Penulis kusta Kedua.
Cindur Rampe tertawa dingin.
“Cindur Rampe, kuharap segera berlalu. Aku muak melihat
tampangmu!” menyambungi Penulis kusta Ketiga.
Resi itu tertawa lagi. Lalu katanya, “Aku sendiri sudah sejak
lama kepingin muntah melihat mukamu yang macam kepiting rebus!”
Penulis kusta Pertama kertakkan geraham. “Cindur Rampe,
agaknya kau sengaja mencari-cari perselisihan terbuka! Mungkin
masih belum puas dengan pertengkaran dalam pertemuan tempo
hari?!”
“Ah… rupanya kau masih belum lupakan hal itu!” kata Cindur
Rampe. Dia melirik sebentar pada Pranajaya yang megap-megap
hampir kehabisan nafas.
“Selama matahari masih terbit di timur, selama air sungai
masih mengalir ke laut. Tiga Penulis kusta tak pernah melupakan hal
itu!”
“Bagus sekali jika demikian!” menyahuti Cindur Rampe.
“Kuharap di lain kesempatan kita bisa menyelesaikannya!”
Penulis kusta Pertama mengekeh. “Menentang kami sama
dengan menentang angin topan! Menentang Tiga Penulis kusta sama
dengan menentang gunung karang! Jangan terlalu pongah dan buta
resi muka kambing!”
“Nama kalian memang sudah kesohor, apalagi kebejatan dan
kekejaman kalian! namun kalau cuma cecunguk-cecungkuk macammu,
sepuluh orangpun aku akan layani!”
Naiklah darah Tiga Penulis kusta .
“Rupanya kau mau mampus sekarang juga, resi keparat!”
bentak Penulis kusta Kedua. Dia melompat ke muka dan kirimkan
satu serangan tangan kosong!
Cindur Rampe melompati ke samping sambil tertawa.
“Jangan terlalu kesusu monyet muka merah! Ini hari aku masih
ada urusan. Di lain saat aku tak akan sungkan-sungkan lagi untuk
menerabas batang lehermu dan dua kambratmu itu! Ini
kukembalikan seranganmu!”
Habis berkata begitu Cindur Rampe kebutkan lengan jubahnya.
Selarik angin panas mengebu ke arah Penulis kusta Kedua.
Pukulan yang dilepaskan Cindur Rampe adalah pukulan ireng
weliung yang kehebatannya sudah dimaklumi oleh Tiga Penulis kusta .
Karenanya Penulis kusta Kedua melompat dua tombak ke atas.
“Wuss !”
Angin pukulan menghantam pohon kayu di tepi jalan. Kejap itu
juga batang kayu itu hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya!
Terkejutlah Tiga Penulis kusta . Rupa-rupanya resi Cindur Rampe
betul-betul inginkan jiwa mereka! Penulis kusta pertama dan ketiga
segera melompat dari kuda masing-masing, siap untuk mengeroyok
resi itu. namun Cindur Rampe sudah berkelebat cepat dan me-
ninggalkan tempat itu sambil berseru, “Sampai nanti Tiga Setan
Darah. Kuharap kalian suka bersabar menunggu saat kematian
kalian!”
“Anjing buduk! Jangan lari!” teriak Penulis kusta Kedua.
namun Cindur Rampe sudah lenyap dari pemandangan.
Penulis kusta Pertama memaki dan menyumpah nyumpah. “Lain
hari kita tak perlu kasih hati pada si muka kambing itu!,” katanya.
Dia melompat kembali ke atas kudanya diikuti oleh dua orang kawan-
kawannya. saat kuda Penulis kusta Pertama bergerak, maka tubuh
Pranajaya mulai terseret. Tubuh Penulis kusta murid Empu Blorok ini akan
terseret sepanjang perjalanan menuju Kuburan penulis . Bila Pranajaya
bernasib baik, dia akan tetap hidup sampai di Kuburan penulis . Jika tidak
nyawanya akan lepas di tengah jalan dan dia akan menemui kematian
dalam keadaan yang mengerikan.
Sampai di manakah kekuatan tubuh manusia menahan siksaan
yang kejam luar biasa itu?
KALI WELANGMANUK telah dua hari yang lalu mereka
seberangi. Lembah Manukwilis di mana terletak Gedung Biara
Pensuci Jagat telah jauh di belakang mereka. Kedua orang itu
berlari dalam kecepatan yang luar biasa. Kadangkala
menyeberangi kali-kali kecil, kadangkala mendaki dan menuruni
bukit dan saat itu keduanya barusan saja keluar dari sebuah
rimba belantara.
Matahari telah sampai ke ubun-ubun mereka tatkala keduanya
sampai di satu persimpangan jalan.
Penulis kusta rambut gondrong hentikan larinya. Orang yang
disampingnya juga melakukan hal yang sama. saat Penulis kusta itu
membalikkan badannya maka sepasang mata merekapun saling
bertemu.
Si Penulis kusta mengukir senyum dibibirnya dan berkata,
“Agaknya kita terpaksa berpisah di sini, Sekar.”
Si gadis berpakaian ringkas kuning tidak menjawab. Kedua
matanya yang bening masih balas menatap pandangan si
Penulis kusta . Dan si Penulis kusta segera bisa memaklumi. Dari sinar
mata gadis itu di ketahuinya bahwa perpisahan itu
merupakan satu hal yang berat bagi si gadis.
Sambil tertawa si Penulis kusta berkata, “Di lain saat aku
berharap kita bisa bertemu loagi, Sekar.” Dia menjura sedikit
dan berkata lagi, “Jangan lupa sampaikan salam hormatku
pada gurutnu Empu Tumapel....“
”bobo ..,” si gadis membuka mulut untuk pertama kalinya.
Suaranya perlahan, setengah berbisik. ”Kau sendiri mau terus
ke manakah?” tartyanya.
“Aku... ah… Manusia macamku ini pergi membawa kakinya
saja. Mengembara tiada tentu tujuan.”
“Mengembara adalah satu hal yang kucita-citakan sejak
aku berhasil menuntut balas kematian ibu bapak dan saudara-
saudaraku,” kata Sekar pula.
“namun kau musti kembali ke tempat gurumu! Kau pernah
bilang waktu di tepi sungai tempo hari. Ingat…”
Sekar ingat. Dalam perjalanan mereka meninggalkan Biara
Pensuci Jagat suatu malam mereka berkemah di tepi sungai
yang banyak sekali ikannya. Sambil menikmati ikan panggang,
mereka bicara-bicara dan Sekar telah menceritakan tentang
gurunya di Goa lubang penulis ayan , tentang segala hal mengenai dirinya.
Malam sejuk di tepi sungai itu tak akan pernah dilupakan oleh
Sekar. Semenjak hidup, semenjak turun ke dunia luar pada
malam itulah dia benar-benar merasakan bahwa dirinya adalah
seorang gadis. Seorang gadis yang disaat itu untuk pertama
kalinya merasakan betapa indahnya berada di samping seorang
Penulis kusta . Betapa romantisnya. Dan Sekar ingat sewaktu bobo
memegang dan meremas-remas jari tangannya. Waktu,
Pendekar 10000an itu memeluknya, merangkulnya erat-erat dan
sewaktu Penulis kusta itu melumas bibirnya dengan ciuman yang
mesra, hangat menyentak-nyentakkan darahnya! Ingat pula
bagaimana dia bergayut dan tak mau melepaskan tubuh si
Penulis kusta dan seperti orang mabuk anggur mereka melakukan
apa yang mereka bisa lakukan. Semuanya itu kemudian
berakhir tanpa penjelasan karena semua itu dimulai dengan
kesadaran yang berapi-api!
“Aku bisa menunda kembali kepertapaan,” kata Sekar
“Keberatan kalau aku ikut sama-sama dengan kau....?”
bobo anakmanusia tertawa. “Tentu saja tidak,” kata Pendekar barbel
Maut pembasmi 10000an ini meskipun hatinya tidak menyetujui hal itu.
“namun kau musti ingat Sekar. Mengembara dalam dunia persilatan
bukan berarti berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan!
Pengembaraan di dunia persilatan adalah persoalan hidup atau mati!”
“Aku toh juga orang persilatan, bobo .”
“Betul. Namun kini belum masanya kau memulai
pengembaraan. Yang penting kau musti kembali ke tempat gurumu
dulu.”
Sekar menggeleng.
bobo anakmanusia garuk-garuk kepalanya.
Kemudian katanya, “Sekar, jangan jadi anak kecil. Salah-salah
kita bisa bertengkar. Aku berjanji akan menyambangimu di Goa
lubang penulis ayan . Nah, sekarang kau tempuh jalan yang sebelah kanan dan aku
yang sebelah kiri, yang menuju ke Kuburan penulis .”
“Aku ikut dengan kau ke Kuburan penulis ,” berkata Sekar.
“Busyet!” kata bobo anakmanusia dalam hati dan digaruknya lagi
kepalanya. “Bisa berabe Sekar. Bisa berabe!,” katanya pada gadis itu.
“Gadis secantikmu ini kalau masuk ke Kuburan penulis pasti semua mata
laki-laki akan melotot! Kalau terjadi apa-apa dengan dirimu
bagaimana...?!“
“Aku tidak takut,” kata gadis sembilan belas tahun itu.
bobo menghela nafas dalam dan angkat bahu. “Kuburan penulis penuh
dengan tokoh-tokoh silat kelas satu! Aku tak ingin terjadi apa-apa
dengan kau...”
“Kalau kita tidak berbuat kejahatan kenapa musti takut masuk
ke Kuburan penulis ?,” ujar si gadis. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi dia
melangkah memasuki jalan sebalah kiri.
bobo anakmanusia geleng-gelengkan kepalanya. Segera dia hendak
berlalu dari persimpangan jalan itu menempuh jalan sebelah kanan.
namun hatinya menjadi bimbang. Dipandangnya punggung Sekar. Gadis
itu melangkah dengan langkah tetap bahkan kini mulai berlari. bobo
anakmanusia akhirnya membalikkan langkah dan berlari menyusul Sekar.
PENDEKAR 10000an dan Sekar baru saja keluar dari sebuah kedai
sehabis mengisi perut sewaktu di jalan dihadapan mereka menderu
derap kaki tiga ekor kuda merah. Tiga penunggangnya laki-laki
mengenakan jubah merah, berambut panjang merah dan bermuka
merah. Yang membuat kedua orang ini terkejut bukanlah karena
memandang muka-muka yang aneh serta lucu itu namun adalah sewaktu
menyaksikan bagaimana dibelakang kuda yang paling depan ikut
terseret sesosok tubuh laki-laki bertangan buntung! Pakaian birunya
hancur robek-robek. Kulitnya mengelupas, mukanya tiada dapat
dikenali lagi. Keseluruhan tubuh manusia itu bergelimang darah dan
debu. Tak dapat dipastikan apakah dia masih hidup atau sudah mati!
“Biadab!” desis Sekar sewaktu ketiga penunggang kuda itu
berlalu. “Aku tak bisa membiarkan kekejaman itu, bobo !” Sekar segera
hendak melompat ke muka dan mengejar. namun bobo anakmanusia cepat
memegang lengan gadis ini.
“Jangan bodoh, Sekar!” katanya. “Kita tidak tahu siapa tiga
manusia bermuka merah itu. Juga tidak kenal siapa itu laki-laki yang
diseret. Mungkin laki-laki ini seorang jahat!”
“Aku tidak yakin, justru manusia-manusia muka merah itulah
yang bertampang buas kejam!”
“Aku tahu, namun jangan bertindak gegabah, Sekar. Ini Kuburan penulis !”
“Persetan dengan Kuburan penulis !” tukas si gadis.
“Sudah tak usah ngomel. Mari kita ikuti mereka!” ujar bobo
pula. Keduanya segera meninggalkan tempat itu.
Tiga penunggang kuta itu memasuki sebuah gedung tua tak
berapa jauh dari Istana. Laki-laki yang diseret dengan kuda tadi
dibawa ke dalam. Kemudian gedung itupun sunyi senyap.
“Kita masuk ke dalam bobo ,” bisik Sekar. “Kataku jangan
gegabah,” kata Pendekar 10000an dengan pelototkan mata. Di
seberanginya jalan dan ditemuinya seorang pejalan kaki di seberang
jalan itu. “Saudara kau lihat tiga penunggang kuda tadi?” tanya bobo .
Orang itu mengangguk. Bulu tengkuknya masih meremang
mengingat apa yang disaksikannya tadi. “Siapa ketiga manusia itu?”
tanya bobo anakmanusia lagi.
“Mereka adalah Tiga Penulis kusta .”
“Tiga Penulis kusta ...?” ujar bobo . Pasti itu nama julukan
mereka pikir bobo . Dan dari nama julukan ini nyatalah bahwa
memang mereka bukan manusia baik-baik!
Kemudian tanpa ditanya orang tadi berkata lagi. “Mereka
adalah kaki tangan pembantu-pembantu Baginda. Manusia kejam
luar biasa…!”
“Kenapa Baginda memelihara setan-setan macam mereka?!”
tanya bobo .
“Untuk menjaga keamanan Istana dan Kerajaan. namun Baginda
tidak tahu kebejatan pembantu-pembantunya itu…”
“Kenapa rakyat tidak mau kasih tahu?”
“Kalau mau mampus boleh saja!” jawab laki-laki itu.
“Kau kenal siapa itu orang yang diseret dengan kuda?”
Laki-laki itu menggeleng.
bobo anakmanusia kembali menyeberang jalan menemui Sekar. “Kau
bicara apa dengan dia?”
bobo menerangkan dengan cepat lalu kedua orang ini segera
hendak menyeberang memasuki halaman gedung tua namun mereka
segera berlindung cepat-cepat di balik sebatang pohon besar karena
dari samping gedung ketiga penunggang kuda tadi kelihatan memacu
kudanya masing-masing meninggalkan gedung! Begitu mereka lenyap
di kejauhan, bobo dan Sekar segera memasuki halaman gedung.
Mereka menuju ke samping dan berhenti dihadapan sebuah pintu
kayu.
bobo memandang berkeliling. Suasana sepi sunyi. Tanpa ragu-
ragu Pendekar 10000an ulurkan tangan mendorong pmtu kayu itu. Aneh
sekali! Meski pintu itu terbuat dari kayu namun bobo tak berhasil
mendorongnya dengan sekuat tenaga luar! Setelah mengerahkan
seperempat dari tenaga dalamnya baru pintu kayu itu berkereketan
dan terbuka sedikit demi sedikit.
bobo anakmanusia
Pendekar barbel Maut pembasmi 10000an
Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin
Begitu daun pintu kayu itu terbuka lebar maka tiba-tiba dari
hadapan mereka berdesing lima buah senjata berbentuk anak panah
berwarna merah!
“Sekar! Awas!” teriak Pendekar 10000an . Cepat-cepat Penulis kusta ini
menarik lengan si gadis ke samping.
Lima senjata rahasia berbentuk panah berdesing di atas kepala
dan di muka hidung mereka. Dua dari panah merah itu menancap
dibatang sebuah pohon. Sesaat kemudian batang pohon itu sampai
ke cabang-cabang, ranting dan daun-daunnya menjadi merah!
Nyatalah bahwa senjata-senjata ratiasia itu mengandung racun
yang amat jahat! Paras Sekar berubah pucat sedang Pendekar 10000an
dengan leletkan lidah berkata pelahan, “Keparat betul! Tempat ini
pasti penuh dengan senjata rahasia. Kita harus hati-hati Sekar.”
bobo menyuruh gadis itu berdiri lebih ke samping. Kemudian
dengan kaki kirinya pendekar ini menendang pintu kayu itu sekuat
tenaga. Pintu bobol hancur berantakan dan pada detik itu pula
selusin senjata rahasia yang sama bentuknya dengan tadi melesat di.
depan mereka. Beberapa diantaranya menancap lagi dibatang pohon
yang sama!
Pendekar 10000an menyeringai.
“Lihai juga,” katanya pelahan. “Sebaiknya kau tunggu di sini
Sekar…”
“Aku ikut bersamamu!” kata Sekar tegas.
“Di dalam gedung tua ini pasti lebih banyak bahaya. Jangan jadi
orang tolol!”
Gadis berbaju kuning ini tidak ambil perduli ucapan si Penulis kusta
melainkan tanpa tedeng aling-aling terus masuk melewati pintu yang
tadi telah ditendang bobol. Mau tak mau bobo juga melangkah
mengikuti.
Seperti suasana di luar, dibagian belakang gedung itupun
diselimuti kesunyian. Keseluruhan gedung tidak terpelihara. Tembok
hijau berlumut. Halaman ditumbuhi semak-semak dan rumput liar.
bobo anakmanusia
Pendekar barbel Maut pembasmi 10000an
Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin
Dengan sikap berhati-hati kedua orang ini melangkah menuju ke
tangga yang berhubungan dengan pintu belakang gedung. bobo
berjalan di depan. saat salah satu kakinya menginjak tanah di dekat
anak tangga yang terbawah tanah itu dirasakannya mencekung aneh
dan lembut. bobo cepat tarik kakinya dan melangkah mundur!
“Ada apa?” tanya Sekar dengan berbisik. Pendekar 10000an tidak
menjawab melainkan melangkah menghampiri sebuah pot bunga
besar yang bunganya sudah mati karena tak pernah disiram. Pot
bunga yang besar itu dilemparkannya ke tanah di kaki anak tangga
yang tadi dipijaknya.
Pada detik itu juga terdengar satu ledakan. Tanah di kaki anak
tangga bermuncratan ke atas. Anak tangga terbawah hancur
berkeping-keping. bobo meraih pinggang Sekar dan menjatuhkan diri
ke tanah. Tubuh mereka kotor tersembur tanah dan kepingan batu
tangga!
“Gedung setan apa ini?!” rutuk bobo sambil berdiri dan
membersihkan pakaiannya. Dia berpaling pada Sekar dan berkata,
“Aku sudah bilang kau tak usah ikut-ikutan ke Kuburan penulis . Kini kau
lihat sendiri!”
“Tak usah bertengkar terus-terusan, bobo ” menyahuti murid
Empu Tumapel itu. “Kita harus cepat mencari laki-laki tangan
buntung berbaju biru yang tadi dibawa ke sini!”
bobo garuk-garuk kepalanya. Dia memandang ke pintu di bagian
belakang gedung itu dan berpikir-pikir bahaya apa lagi yang bakal
dihadangnya bila dia menaiki anak tangga dan membuka pintu itu!
Dalam dia berpikir-pikir demikian tiba-tiba dilihatnya Sekar
mengirimkan satu pukulan jarak jauh ke arah pintu belakang gedung.
Angin pukulan menderu dahsyat dan…
Braak!
Pintu itu pecah berantakan.
Sekar dan bobo menunggu. Tak ada terjadi apa-apa.
bobo anakmanusia
Pendekar barbel Maut pembasmi 10000an
Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin
“Aku tak percaya kalau pintu itu tidak menyembunyikan
rahasia maut!” kata bobo anakmanusia . Dijangkaunya sebuah arca kecil
yang sudah puntung di dekat tangga sebelah kanan. Arca itu
kemudian digelindingkannya di atas lantai yang menuju ke pintu.
Begitu arca mencapai pintu, lantai di muka pintu itu terbuka, arca
lenyap jatuh ke dalam sebuah lobang dan lantai kembali menutup!
“Gedung edan!” rutuk Wito anakmanusia . “Kau masih punya nyali
untuk masuk kedalamnya?!”
“Mengapa tidak?!” ujar Sekar.
“Aku kagum dengan keberanianmu,” puji bobo sejujurnya.
“Bersialplah, kita melompat ke dalam lewat pintu itu. Kerahkan
seluruh ilmu mengentengi tubuhmu. Lantai di dalam gedung itu
bukan mustahil perangkap semua!”
Kedua orang ini bersiap-siap untuk menerobos pintu yang
sudah bobol. Mendadak pada saat itu pula di halaman depan
terdengar derap kaki kuda. Keduanya terkejut.
“Mereka kembali!” bisik Sekar. Gadis ini segera keluarkan
senjatanya yaitu besi berantai yang ujungnya diganduli bola besi
berduri. Inilah senjata “Rantai Petaka Bumi” yang dahsyat.
bobo berpikir cepat. Dia mendapat satu akal lalu menggamit
dan berbisik pada Sekar, “Cepat lompat ke atas genteng!”
Si gadis melotot.
“Apa kau tidak punya nyali menghadapi mereka? Manusia-
manusia terkutuk semacam itu harus dilenyapkan dari muka bumi,
bobo ! Kalau kau takut pergilah sendiri ke loteng sana!”
bobo menggerendeng.
“Kita belum tahu siapa yang datang itu! Kalau benar mereka,
dari atas genteng kita bisa mengintai bagaimana mereka masuk ke
dalam gedung!”
Sekar hendak mengatakan sesuatu. namun bobo anakmanusia sudah
membetot lengannya dan melompat ke atas genteng bersama-sama!
bobo anakmanusia
Pendekar barbel Maut pembasmi 10000an
Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin
Keduanya menunggu. Suara kaki-kaki kuda berhenti sebentar, lalu
terdengar lagi memasuki halaman samping.
“Bukan mereka,” desis bobo dan Sekar memalingkan kepalanya
ke halaman samping.
-- == 0O0 == --
bobo anakmanusia
Pendekar barbel Maut pembasmi 10000an
Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin
LIMA
YANG DATANG ternyata seorang penunggang kuda berkepala
gundul. Sepasang matanya juling. Hidungnya sangat pesek, hampir
sama rata dengan pipinya yang gembrot. Tangan dan kakinya sangat
pendek sedang tubuhnya katai sekali. Yang lucunya manusia ini cuma
memakai cawat, kulitnya hitam legam dan pada ketiak sebelah kirinya
terkempit sebilah bambu berbentuk pikulan!
“Monyet terlepas dari mana ini?!” bisik bobo anakmanusia .
“Dia bukan manusia sembarangan bobo ,” desis Sekar.
“Kau kenal dia?” tanya bobo .
“Guruku pernah bilang manusia yang berciri-ciri macam dia.
Melihat pada senjata yang dikempitnya aku yakin dia mustilah Si
Setan Pikulan!”
“Buset! Apa tidak ada gelaran yang lebih jelek dari Setan Pikulan
itu?!” seringai bobo .
Penunggang kuda yang datang itu memang Setan Pikulan. Nama
sebenarnya Munding Sura. Dia hentikan kuda di depan lobang besar di
muka tangga pintu belakang. Diperhatikannya lobang itu sebentar lalu
dia memandang berkeliling. Diangguk-anggukannya kepalanya.
Kemudian diperhatikannya pintu belakang yang hancur sambil
mengusap-usap kepalanya yang botak.
“Tiga Penulis kusta !” Setan Pikulan berteriak. “Apa kalian ada di
dalam?!” Suara teriakan Setan Pikulan kerasnya bukan main,
menggetarkan seantero halaman belakang gedung tua itu,
menggetarkan genteng di mana bobo dan Sekar berada.
“Tenaga dalarnnya hebat sekali,” bisik bobo pada Sekar.
“Ah, rupanya kalian tak ada di rumah!” terdengar Setan Pikulan
berkata.
”Sayang sekali! Sayang sekali! Ada dua orang tamu dari jauh, tuan
rumah tidak ada! Sayang sekali!”
bobo anakmanusia
Pendekar barbel Maut pembasmi 10000an
Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin
bobo dan Sekar sama terkejut dan saling berpandangan Mereka
yakin dua orang tamu yang dimaksudkan oleh manusia kate itu
pastilah diri mereka sendiri. Belum habis kejut kedua orang ini di
bawah terdengar bentakan Setan Pikulan.
“Cecunguk-cecunguk yang di atas genteng, lekas turun! Mataku
yang juling tak bisa ditipu! Ayo turun!”
Sekar segera bergerak hendak melompat turun. namun bobo menarik
bajunya kuningnya. “Biar aku yang turun,” kata murid Eyang Sinto
Gendeng ini. Kemudian murid Eyang Sinto Gendeng ini dengan cepat
melompat turun. Mata juling Si Setan Pikulan memperhatikan cara
dan gerakan melompat si Penulis kusta dan juga memperhatikan saat
sepasang kaki bobo menginjak tanah. Telinganya yang tajam sama
sekali tiada mendengar sedikit suarapun dari beradunya kaki dan
tanah.
bobo anakmanusia menjura sewajarnya dan dengan senyum ramah dia
berkata, “Kalau aku tak salah, bukankah saat ini aku berhadapan
dengan orang gagah yang dijuluki Setan Pikulan?”
Setan Pikulan menyeringai. “Rupanya matamu tajam juga orang
muda. Harap beritahu siapa kau.”
“Ah…, aku ini seperti yang kau katakan tadi, cuma cecunguk
biasa saja...” jawab bobo .
“Kenapa sembunyi di atas atap dan kenapa kawanmu cecunguk
yang satu lagi itu tidak mau turun?!”
bobo tertawa dan berseru, “Sekar, turunlah.” Sewaktu Sekar
turun dan berdiri di samping bobo anakmanusia maka menyeringailah
Setan Pikulan.
“Ternyata seorang gadis cantik!” katanya. Dibasahinya bibirnya
dengan ujung lidah sedang kedua matanya yang juling semakin juling
karena memandang dekat-dekat pada paras Sekar yang cantik jelita.
“Melihat kepada tindak tandukmu pastilah kalian datang ke sini
bukan dengan maksud baik. Apa lagi penghuni rumah tidak ada.
Kalian tahu apa yang bakal dilakukan Tiga Penulis kusta jika mereka
bobo anakmanusia
Pendekar barbel Maut pembasmi 10000an
Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin
mengetahui ada cecungkuk-cecunguk yang sembunyi dan membuat
kerusuhan di rumahnya?”
“Harap jangan salah sangka Setan Pikulan. Kami ke sini
sebetulnya mengejar seorang pencuri. namun dia lenyap entah ke
mana…!” kata bobo berdusta.
Setan Pikulan tertawa mengekeh.
“Sama aku tak usah bicara dusta! Lekas terangkan siapa kalian
dan apa maksud kalian ke sini!! Kalian musti tahu bahwa Tiga Setan
Darah adalah kambratku dan aku berhak turun tangan menghukum
kalian bila kalian ternyata bersalah!”
“Kalau kau kawannya Tiga Penulis kusta , tentu kau juga seorang
tokoh Istana!” ujar bobo .
“Apa aku tokoh Istana atau bukan tak perlu tanya!.” sentak
Setan Pikulah. “Lekas jawab pertanyaanku tadi!”
“Kami cecunguk!” sahut bobo . “Kau sendiri tadi sudah bilang!”
Marahlah Setan Pikulan.
“Seharusnya kubetot putus lidahmu, Penulis kusta hina dina!” hardik
Setan Pikulan. “namun dengar... kalau kau mau tinggalkan gadis cantik
ini buatku, aku tak mau bikin panjang urusan. Aku tak akan
laporkan pada Tiga Penulis kusta bahwa kalian telah mongobrak-abrik
rumahnya ini…!”
Mendengar ini Sekar menjadi naik pitam.
“Biar aku betul-betul monyet sekalipun, aku tidak sudi menjadi
mangsa bejatmu!”
Setan Pikulan tertawa.
bobo berpikir sebentar lalu dengan ilmu menyusupkan suara dia
berkata pada si gadis, “Sekar, aku ada akal. Kita tipu setan kate ini
menunjukkan di mana laki-laki buntung itu disekap. Kau musti pura-
pura marah…”
Pendekar 10000an memandang pada Setan Pikulan lalu berkata,
“Aku akan tinggalkan gadis ini padamu. Dia memang tidak berguna.
namun harus ada imbalannya...!”
bobo anakmanusia
Pendekar barbel Maut pembasmi 10000an
Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin
“bobo ! Apa kau sudah gila?!” teriak Sekar pura-pura marah dan
melototkan mata.
bobo tak ambil perduli. “Bagaimana?” tanyanya pada Setan
Pikulan.
“Katakan maumu!.”
“Seorang kawanku telah dilarikan oleh Tiga Penulis kusta dan
disekap di gedung tua ini. Aku tak tahu di bagian mana. Gedung ini
penuh senjata senjata rahasia dan perangkap-perangkap! Kalau kau
mau menunjukkan di mana kawanku itu dan mengeluarkannya dari
sini, gadis tak berguna ini kuserahkan padamu...!”
“Baik!” Setan Pikulan terima syarat itu. Untuk kesekian kalinya
dibasahinya lagi bibirnya sebelah barah. Sementara itu Sekar
memaki-maki bobo anakmanusia tiada hentinya.
Setan Pikulan melompat dari kudanya. “Bagaimana aku yakin
kalau kalian tidak menipuku?!” tanya manusia kate berkepala gundul
ini.
“Kau terlalu curiga, Setan Pikulan! Kalau aku menipumu berarti
aku tak bisa menyelamatkan kawanku yang disekap oleh Tiga Setan
Darah.” jawab bobo anakmanusia .
“Betul juga,” kata Setan Pikulan. “namun untuk benar-benar
meyakinkan biar kulakukan ini dulu...”
Dan dengan satu gerakan cepat luar biasa Setan Pikulan
menusukkan jari telunjuknya ke urat dipangkal leher Sekar. Saat itu
juga tubuh si gadis menjadi kaku tegang tak bisa bergerak. bobo
memaki dalam hati.
“Ikut aku!” Setan Pikulan berkata. Lalu melesat memasuki pintu
belakang yang tadi sudah didobrak dengan pukulan jarak jauh oleh
Sekar.
“Ruangan dalam ini penuh dengan alat dan senjata rahasia.
Perhatikan langkahku!” kata si kate kepala gundul. Dia melangkah
enam tindak ke kanan. lalu menyusuri tepi dinding hingga akhirnya
sampai dihadapan sebuah pintu berwarna hitam. Pada tepi pintu itu
bobo anakmanusia
Pendekar barbel Maut pembasmi 10000an
Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin
terdapat sebuah titik putih besar setengah kuku jari kelingking.
Dengan ujung jarinya Setan Pikulan menunjuk.
“Cepat masuk!” teriak Setan Pikulan.
bobo anakmanusia melompat masuk ke dalam kamar itu. Begitu
masuk begitu pintu di belakangnya menutup kembali. Manusia kate
itu berpaling pada bobo . “Kau lihat pintu dinding sana?”
bobo mengangguk.
“Kalau kau melangkah sepanjang lantai ini ke sana, kau akan
kejeblos masuk ke dalam liang batu! Kita harus bergerak sepanjang
tepi dinding sebelah kiri! Mari…”
Sambil menyusuri lantai di tepi dinding sebelah kiri bobo anakmanusia
bertanya, “Mengapa Tiga Penulis kusta memasang demikian banyak
alat dan senjata rahasia serta perangkap di gedung tua ini?!”
“Itu tak perlu kau tanyakan. Bukan urusanmu!” sahut Setan
Pikulan.
Setan Pikulan membuka pintu dihadapannya. Kamar kedua itu
kosong lagi. Dan dinding sebelah muka mereka kelihatan sebuah
pintu lain.
“Kali ini kita musti menyusuri tepi lantai di samping kanan,” kata
Setan Pikulan. bobo mengikuti tanpa banyak bicara. Kamar ketiga,
keempat dan kelima dalam gedung itu kosong semua.
“Mungkin sekali kawanmu itu disekap di ruang batu karang di
baw