Tampilkan postingan dengan label bobo penasaran 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bobo penasaran 1. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

bobo penasaran 1

 




Penulis kusta  baju biru itu berdiri dengan gagahnya di puncak 

bukit. Angin dari timur bertiup melambai-lambaikan rambutnya yang 

gondrong menjela bahu. Sepasang matanya sejak tadi hampir tiada 

berkesip memandang lekat-lekat ke arah utara di mana berdiri 

dengan megahnya pintu gerbang Kuburan penulis . 

Sudah hampir setengah hari dia berada di puncak bukit itu. 

Sudah jemu dan letih matanya memandang terus-terusan ke arah 

pintu gerbang. Namun manusia-manusia yang ditunggunya belum 

juga kelihatan muncul. 

Sebetulnya dia bisa menuruni bukit itu dan langsung 

memasuki Kuburan penulis . namun  dia ingat pesan gurunya, di Kuburan penulis  penuh 

dengan hulubalang-hulubalang Baginda, bahkan tokoh-tokoh silat 

kelas satu pentolan-pentolan Istana, banyak orang sakti berilmu 

tinggi sehingga menyelesaikan perhitungan di dalam Kuburan penulis  sama 

saja mencemplungkan diri ke dalam jebakan dimana dia tak mungkin 

lagi akan keluar. Kalaupun ada jalan ke luar maka itu ialah jalan 

kepada kematian! 

Dia menunggu lagi. 

Sekali-sekali dia memandang ke jurusan lain untuk 

menghilangkan kejemuan dan kelesuan matanya. Kemudian bila dia 

memandang pada dirinya sendiri, memperhatikan tangan kirinya 

yang buntung sebatas siku maka disaat itu ingatlah dia akan ucapan 

gurunya sewaktu dia hendak meninggalkan pertapaan. 

“Hari ini kuperbolehkan kau meninggalkan tempat ini, 

Pranajaya. namun  kelak dikemudian hari kau musti kembali kemari 

untuk menuntut satu ilmu baru yang sekarang ini kugodok. Kau 

pergi dari sini dan musti berhasil mencari ketiga manusia yang telah 

membunuh kau punya bapak.... Tempo hari aku sudah pernah 

terangkan. Kau masih ingat siapa nama julukan ketiga manusia itu?” 

“Mereka adalah Tiga Penulis kusta , guru,” jawab Pranajaya.  

“Betul,” kata sang guru. “Ketiganya berada di Kuburan penulis . Sudah 

sejak lama kuketahui hidup di sana sabagai bergundal-bergundalnya 

Baginda. namun  ingat Prana! Sekali-kali jangan selesaikan perhitunganmu 

dengan mereka di dalam Kuburan penulis . Itu barbahaya besar karena Kuburan penulis  

penuh dengan tokoh-tokoh silat kelas satu yang menjadi kaki tangan 

Baginda…“ 

“Dengan bekal ilmu yang guru, wariskan serta pedang Ekasakti 

yang guru berikan tak satu lawanpun yang saya takutkan di atas bumi 

ini. Apalagi saya tahu bahwa saya berada di atas kebenaran!” 

Empu Blorok tersenyum dan rangkapken kedua tangannya dimuka 

dada. 

“Aku sedang mendengar ucapan jantanmu,” kata Empu Blorok 

pula. “namun  walau bagaimanapun membuat kegaduhan di dalam 

Kuburan penulis  sangat berbahaya bagi keselamatan jiwamu. Di samping itu aku 

mengingat pula akan tugas yang hendak kuberikan padamu. Jadi Prana, 

ringkas kata kau musti membereskan Tiga Penulis kusta di luar Kuburan penulis , 

bagaimana caranya terserah kau.” 

Sang murid manggut-manggutkan kepalanya. “Tadi guru 

menyebutkan satu tugas untukku… Mohon penjelasan lebih lanjut,” kata 

Pranajaya. “Bila perhitunganmu dengan Tiga Penulis kusta telah selesai 

maka kau harus pergi ke Pulau makam Penulis kusta .” 

Pranajaya tak pernah mendengar tentang pulau itu dan tidak pula 

tahu di mana letaknya. Maka diapun menanyakannya. 

“Pulau itu,” menjawab Empu Blorok, “terletak diujung timur 

pulau Jawa. Di situ bercokol seorang manusia bernama Bagaspati. 

Dulunya dia adalah kawan baikku. namun  kemudian mencuri sebuah 

senjata mustikaku dan melarikan diri. Dengan senjata mustika itu dia 

membuat keonaran di mana-mana dan berbuat kejahatan! Kau harus 

mengambil senjata muutika itu kembali dari tangannya Pranajaya. KaIau 

dia banyak rewel, kau tahu apa, yang musti dilakukan!” 

“Baik guru,” kata Pranajaya lalu tanyanya. “Senjata apakah yang 

telah dicuri oleh Bagaspati itu?”  

“Sebuah cambuk, Prana. Cambuk  Api Angin namanya!” 

“Tugas dari guru akan aku jalankan. Mohon doa restu,” kata 

Pranajaya. 

saat  dia hendak pamitan Empu Blorok berkata, “Tunggu 

sebentar Prana. Masih ada yang hendak kuterangkan padamu.” 

”Soal apa guru?.” 

“Soal dirimu. Kau lihat tangan kirimu yang buntung itu...?” 

Prana memperhatikan tangan kirinya lalu mengangguk. Aneh 

terasa baginya kalau saat itu gurunya bicara soal tangan itu, padahal 

sudah sejak belasan tahun dia berada bersama Empu Blorok dan sang 

guru tak pernah bicara apa-apa soal tangannya yang buntung itu.  

“Waktu bapakmu dibunuh,” berkata Empu Blorok. “Dia 

sedang tidur di atas balai-balai di sampingmu. Tiga Penulis kusta 

menyerbu masuk dan salah seorang diantara mereka segera 

membacokkan sebilah pedang! Bapakmu seorang yang berilmu 

tinggi. Begitu dia merasakan sambaran angin senjata maut itu 

dia segera melompat. Dia berhasil mengelakkan bacokan pedang 

namun akibatnya ujung pedang terus menyambar lenganmu dan 

membabat putus sikumu. Kau saat itu masih orok, Prana… 

Bapakmu kemudian dikeroyok bertiga dan menemui ajalnya. 

Sebelum Tiga Penulis kusta mencincangmu, kakakku Empu 

Krapel berhasil menyelamatkanmu dan menyerahkanmu 

kepadaku. Sayang kakakku itu sudah menutup mata, kalau 

tidak tentu dia gembira melihat kau sudah dewasa dan gagah 

begini!” 

Pranajaya terdiam sesaat . Dendam membara di lubuk 

hatinya. Lalu tanyanya. “Yang manakah diantara Tiga Setan 

Darah yang telah membacok bapakku sewaktu beliau sedang 

tidur itu. Empu…?”  

“Aku kurang tahu, Prana” sahut Empu Blorok. 

“Keterangan kakakkku waktu membawa kau ke sini kurang 

jelas.” 

Karena tak ada lagi yang akan dibicarakan maka 

Pranajaya berkata, ”Murid minta diri, guru. Muhon, doa 

restumu....” 

Empu Blorok mengangguk. Dipandanginya muridnya itu 

sambil akhirnya Pranajaya hilang dikejauhan. 

Pranajaya memandang lagi untuk kesekian kalinya ke 

arah pintu gerbang Kuburan penulis . Suasana tidak berubah seperti 

tadi-tadi. Dua pengawal berdiri di sisi-sisi pintu gerbang, 

masing-masing memegang sebatang tombak. Tak ada yang lalu 

lalang. Pintu gerbang itu diselimuti kesunyian. 

“Sampai berapa lama lagi aku musti menunggu?” tanya 

Pranajaya pada dirinya sendiri. Hatinya kesal. Sebenarnya dia 

tidak takut memasuki Kuburan penulis  untuk lekas-lekas membuat 

perhitungan dengan Tiga Penulis kusta . Malah ini adalah satu 

permulaaan baginya untuk menjajaki sampai di mana ketinggian 

ilmu silat dan kesaktiannya ysng dimilikinya serta sampai di 

mana pula kehebatan tokoh-tokoh silat di Kuburan penulis  itu! Namun 

dia musti patuh pada pesan gurunya dan tidak boleh bertindak 

gegabah. Empu Blorok lebih berpemandangan luas. Dan dia 

musti menunggu terus. Manunggu sampai Tiga Penulis kusta 

keluar dari pintu gerbang Kuburan penulis . 

Menurut keterangan yang didapat Pranajaya dari seorang 

pengawal istana yang disogoknya dengan sekeping emas, hari 

itu Tiga Penulis kusta akan meninggalkan Kuburan penulis , pergi ke satu 

tempat di selatan untuk satu keperluan penting. Atau mungkin 

pengawal istana itu telah menjual keterangan dusta kepadanya? 

Letih berdiri akhirnya Pranajaya duduk di tanah, 

bersandar ke sebatang pohon. Sepasang matanya senantiasa 

ditujukan ke pintu gerbang Kuburan penulis  itu. 

 

SEMENTARA itu di Kuburan penulis  .......... 

Orang itu berdiri di halaman belakang istana. Dia telah 

menyelidik ke kandang kuda dan tiga ekor kuda yang kulit serta 

bulu tengkuk dan ekornya dicelup merah telah dilihatnya di 

dalam kandang kuda istana yang besar itu. Hatinya lega. Ini 

satu pertanda bahwa Tiga Penulis kusta masih berada di dalam 

istana. Orang ini menunggu siambil membayangkan hadiah apa 

yang kira-kira bakal diberikan Tiga Penulis kusta kepadanya 

kelak.  

Dua pengawal di pintu belakang Istana menjura hormat 

sewaktu tiga orang berjubah merah, berambut dan bermuka 

yang dicat merah melewati pintu itu, melangkah cepat menuju 

kandang kuda. 

Orang laki-laki tadi segera mendekati Tiga Penulis kusta . 

Setelah menjura dia berkata, “Bolehkah aku bicara dengan 

kalian…?” 

Tiga Penulis kusta yang paling tua menghentikan 

langkahnya dan hendak mendamprat. Saat itu bersama dua 

orang kawannya dia hendak berangkat untuk satu urusan 

panting namun  kini ada seseorang yang mengganggu. Ini sangat 

menggusarkannya. Sewaktu melihat bahwa laki-laki yang 

berkata tadi itu adalah seorang pengawal Istana yang 

dikenalnya, Tiga Penulis kusta tertua ini surut jugs sedikit 

amarahnya. 

“Ada perlu apa kau?!” tanyanya kasar.

“Ada keterangan panting yang bakal kusampaiken Tiga 

Penulis kusta .” 

“Hemm... Coba katakan cepat,” kata Penulis kusta tertua 

sambil mengerling pada dua orang kawannya. 

“Seorang asing hendak berbuat jahat tarhadap kalian 

bertiga....” 

“Hah... apa?!” 

“Malam tadi aku tengah makan di kedai,” menuturkan 

pegawai Istana itu. Namanya Camar Pawang. “Lalu ada seorang 

asing mendekatiku dan berkata jika aku bisa kasih keterangan 

tentang Tiga Penulis kusta dia akan memberikan hadiah sekeping 

emas. Aku segera maklum bahwa orang asing itu bukan 

bermaksud baik-baik terhadap kalian bertiga. Kuambil emas itu 

dan kuberikan sedikit keterangan kepadanya. Keterangan 

palsu!”  

“Apa yang itu orang asing tanya dan apa yang kau 

terangkan padanya?” tanya Tiga Penulis kusta kedua. 

“Dia tanya kalau-kalau aku tahu bila kalian bertiga 

meninggalkan Istana dan keluar dari Kuburan penulis .” 

“Apa, jawabmu?” tanya Penulis kusta Ketiga. “Kuberikan 

keterangan dusta. Kukatakan bahwa Tiga Penulis kusta hari ini 

akan pergi ke satu tempat di selatan untuk satu urusan 

penting...“ 

Penulis kusta pertama melototkan mata. Saat itu dia dan 

kawan-kawannya memang hendak berangkat ke satu tempat 

untuk menjalankan tugas Baginda, namun  bukan ke selatan 

melainkan ke daerah barat Kuburan penulis . 

“Aku tidak percaya!” kata Penulis kusta pertama, “Coba, 

mana emas itu, aku mau Iihat!” 

Camar Pawang mengeruk sakunya dan mengeluarkan 

sekeping kecil emas yang diterimanya dari orang asing itu. 

bobo  anakmanusia  

Pendekar barbel  Maut pembasmi 10000an  

Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin 

 

Penulis kusta pertama mengambil kepingan emas itu, 

memperhatikannya lalu sambil menimang-nimang emas itu dia 

bertanya, “Bagaimana ciri-ciri orang asing itu?!” 

“Dia masih muda, Tampangnya cakap, berbaju biru dan 

tangan kirinya buntung. Di balik baju birunya, di sebelah 

punggung menyembul ujung gagang pedang....” 

“Hem…” Penulis kusta pertama menggumam. Dia angguk-

anggukkan kepala beberapa kali. “Ada lagi yang hendak kau 

katakana?” 

Camar Pawang menggeleng. 

“Kalau begitu kau tunggu apa lagi?! Cepat berlalu dari 

hadapan kami!” bentak Penulis kusta pertama. 

Camar Pawang mundur satu langkah dan memandang pada 

kepingan emas yang masih ditimang-timang Penulis kusta Pertama. 

“Emas itu..,” kata Camar Pawang. 

“Emas bapak moyangmu!” semprot Penulis kusta Kedua, “Sudah 

untung kau tidak kami gebuk, masih mau minta emas! Pergi!” 

Camar Pawang memandang pada Penulis kusta Pertama. 

Manusia bermuka merah ini tertawa mengekeh daw membalikkan 

badannya sambil memasukkan kepingan emas ke dalam saku 

jubahnya. 

Camar Pawang menelan ludah. Sudah dibayangkannya dia 

bakal mendapat hadiah dari Tiga Penulis kusta , namun  malah emas yang 

diterimanya dari si orang asing kini diambil oleh manusia bermuka 

merah itu! Camar Pawang menyumpah habis-habisan dalam hatinya 

dan meninggalkan tempat itu. 

Di depan pintu kandang kuda, Penulis kusta Pertama hentikan 

langkah dan bertanya pada kedua orang kawannya. 

“Apa pendapat kalian?” tanyanya. 

Penulis kusta kedua mengusap dagunya lalu berkata, “Jika 

keterangan kunyuk kepala dua itu betul pastilah orang asing itu 

menunggu kita di satu tempat di daerah selatan...” 

 “Aku merasa heran juga,” membuka mulut Penulis kusta Ketiga, 

“seingatku kita tak pernah bikin urusan dengan seorang Penulis kusta  

bertangan buntung. Apa maksud manusia itu mencari keterangan 

tentang kita sebenarnya?” 

Penulis kusta Pertama merenung sejenak. “Kalau mau, kita 

masih ada waktu untuk menyelidik ke selatan.” Dua orang kawannya 

menyetujui hal itu. Ketiganya segera mengambit kudanya masing-

masing. 

ANGIN dari timur bertiup lagi melambai-lambaikan rambut dan 

lengan kiri baju biru yang dikenakan Pranajaya. Bila untuk kesekian 

kalinya Penulis kusta  ini memandang lagi ke arah utara maka membesilah 

parasnya. Air muka dan hatinya menjadi tegang. Tiga penunggang 

kuda kelihatan ke luar dari pintu gerbang Kuburan penulis . Kuda-kuda dan 

penunggangnya berwarna merah. Meski jauh sekali, namun melihat 

kepada jumlah penunggang-penunggang kuda itu dan melihat kepada 

warna pakaian mereka, Prana segera maklum bahwa mereka bukan 

lain daripada Tiga Penulis kusta yang memang sedang dittunggu-

tunggunya sejak tadi! Tiga manusia yang telah membunuh ayahnya! 

Waktu penantian berakhir sudah! Saat pembalasan kini tiba! 

Tanpa menunggu lebih lama Pranajaya segera berdiri. Kemudian 

sekali dia gerakkan kedua kakinya, maka pemnda ini sudah lenyap 

dari puncak bukit. Tubuhnya laksana angin topan berlari kencang me-

nuruni lereng bukit ke arah liku jalan yang kelak bakal dilalui Tiga 

Penulis kusta . Demikian cepat larinya hingga kedua kakinya laksana 

tak pernah menginjak bumi! ltu adalah berkat ilmu lari dan ilmu 

mengentengi tubuh hebat yang telah dikuasainya! 

Pranajaya sampai diliku jalan lebih dahulu dari Tiga Setan 

Darah. Penulis kusta  ini menunggu dengan hati tegang namun  tetap tenang. 

Dia maklum Tiga Penulis kusta manusia-manusia berilmu tinggi 

karenanya dia tidak boleh bertindak ceroboh. Suara derap kaki kuda 

terdengar semakin dekat akhirnya muncullah penunggang-

penunggang kuda itu satu derni satu di tikungan jalan. 

“Berhenti!” teriak Pranajaya sambil angkat tangan 

kanannya. 

Tiga Penulis kusta sama-sama hentikan kuda masing-

masing dan memandang menyorot pada Penulis kusta  yang berdiri di 

tengah jalan dihadapan mereka. Keterangan Camar Pawang 

tidak dusta. Benar Penulis kusta  yang diterangkan ciri-cirinya itulah 

yang saat ini menghadang mereka. Parasnya cakap, rambut 

gondrong, berpakaian biru dan tangan kirinya buntung sebatas 

siku sedang dibalik punggurig kelihatan menyembul gagang 

pedang. 

“Penulis kusta  tangan bunting!,” kata Penulis kusta pertama 

dengan suara keras. “Apa-apaan ini?!” 

Pranajaya menyapu tampang-tampang ketiga manusia itu. 

Lalu tanyanya dengan membentak, “Kalian Tiga Penulis kusta ?!” 

Prana bertanya untuk meyakinkan. 

“Sompret!” maki Penulis kusta Kedua. “Sipa kau yang 

berani menghalangi perjalanan kami! Apa sudah bosan hidup?!” 

“Aku Pranajaya!” memberitahu si Penulis kusta . Penulis kusta 

tertua menyeringai dan mengeluarkan suara mengekeh. “Orang 

muda, kami memang Tiga Penulis kusta yang terkenal itu. Ada 

maksud apa kau menghadang kami! Dari pegawai Istana yang 

kau sogok dengan sekeping emas itu kami mendapat keterangan 

yang kau mau cari urusan! Apa betul!” 

Sebelum Pranajaya menjawab, Penulis kusta Ketiga sudah 

membuka mulut, “Orang hina! Lekas angkat kaki dari sini 

sebelum kupuntir kepalamu!” 

“Rupanya dia tidak tahu tengah berhadapan dengan 

siapa..!” kata Penulis kusta Kedua. 

Pranajaya berdiri dengan sepasang kaki terkembang. Sinar 

di matanya semakin menyorot sedang di air mukanya 

membayangkan kebencian dan dendam yang meluap! 

“Tiga Penulis kusta ! Kalian tentunya betum melupakan 

peristiwa beberapa belas tahun yang silam. Ingat waktu kalian 

mengeroyok dan membunuh secara pengecut seorang bernama 

Wijaya?! ” 

Tentu saja Tiga Penulis kusta terkejut. Ketiganya saling 

mengerling kemudian Penulis kusta Ketiga menjawab, “Manusia 

buntung, kami masih ingat. Apa sangkut pautmu dengan 

peristiwa itu?!” 

“Aku adalah anak orang yang kau bunuh itu!” jawab 

Pranajaya tanpa tedeng aling-aling. 

“Oh… begitu?!,” desis Penulis kusta Pertama. 

“Kawan-kawan!” seru Penulis kusta Kedua, “tentunya 

Penulis kusta  buruk ini adalah bayi yang kita bacok buntung 

tangannya dulu itu!” 

“Betul!” sahut Prana. Dia maju satu langkah. “Yang mana 

diantara kalian yang membacokku?!” 

Penulis kusta Pertama tertawa bekakakan. 

“Penulis kusta  ingusan, apakah kemunculanmu kali ini hendak 

menuntut balas atas kematian kau punya bapak dan karena 

kehilangan lengan kirimu itu?!!”  

Pranajaya menggeleng perlahan. 

“Lahtas?!” tanya Penulis kusta tertua dengan heran. 

“Aku datang bukan buat menuntut balas,” kata Pranajaya, 

“namun  untuk, meminta jiwa busuk kalian!”  

Tiga Penulis kusta sama-sama tertawa membahak. 

“Penulis kusta  buntung,” ejek Penulis kusta kedua, “kau mimpi 

di siang bolong!” 

Penulis kusta Pertama menimpali, “Bapakmu Yang punya 

dua tangan kami bikin mampus! Kau yang punya satu mau jual 

tampang!” 

Penulis kusta Ketiga tidak tinggal diam “Mungkin kau kepingin 

cepat-cepat ketemu bapakmu di neraka?” tanyanya. 

Dan ketiga manusia bermuka merah itu tertawa lagi terbahak-

bahak. 

“Manusia-manusia muka kepiting rebus,” sentak Pranajaya 

dengan geram, ”silahkan turun dari kuda kalian. Atau mungkin kalian 

mau mampus di atas kuda masing masing”? 

Merahlah Tiga Penulis kusta mendengar ucapan Pranajaya itu 

Penulis kusta Pertama kebutkan lengan jarbah sebelah kanan. 

Serangkum sinar merah menyarnbar dahsyat ke arah Pranajaya. Pasir 

dan debu jalanan beterbangan saking hebatnya serangan ini. 

Pranajaya cepat menghindar ke samping dan begitu sinar merah 

lewat di sebelahnya segera pula Penulis kusta  ini hantamkan tinju 

kanannya ke arah Penulis kusta Pertama. Satu gelombang angin yang 

padat dan keras menggumpal menyerang ke arah tenggorokan Setan 

Darah pertama. Ini adalah pukulan “angin sewu” 

Penulis kusta pertama tidak mengelak sebaliknya tetap berdiri di 

tempat dan lambaikan tepi jubah sebelah kiri. Sekali pukul saja maka 

buyarlah angin pukulan jarak jauh Pranajaya! namun  betapa kagetnya si 

muka merah ini karena begitu buyar, buyaran angin pukulan itu 

kembali menyerangnya. Malah kini lebih dahsyat lagi dari yang 

pertama tadi karena kali ini pecahan angin pukulan itu sekaligus 

menyerang ke arah dua belas jalan darah yang mematikan ditubuh-

nya! 

Penulis kusta Pertama berseru nyaring lalu melompat tiga 

tombak ke udara. Laksana seekor alap-alap tubuhpya menukik ke 

arah Pranajaya dan sedetik kemudian kedua orang itu sudah 

berhadapan dalam jarak tiga langkah. 

“Penulis kusta Pertama, biar aku yang kermus Penulis kusta  keparat 

itu!,” teriak Penulis kusta Ketiga. Penulis kusta Pertama tidak ambil 

perduli. Dengan ganasnya dia menyerang. Jari telunjuk dan jari 

tengah tangan kanannya menusuk ke muka. 

“Makan jariku ini, laknat!” teriaknya. 

Serangan ilmu jari ““pencungkil karang” memang hebat dan 

ganas. Jangankan tulang atau daging manusia, batu karang yang atos 

sekalipun akan berlobang dan hancur kalau ditusuk oleh sepasang 

jari itu! Dan kini sepasang jari itu menyerang ke mata kiri kanan 

Pranajaya! 

Pranajaya hanya melihat lawan menggerakkan tangan 

kanannya sedikit dan tahu-tahu sepasang jari lawan sudah di depan 

hidungnya! 

Penulis kusta  ini cepat rundukkan kepala. Dia berhasii melewatkan 

tusukan dua jari yang berbahaya itu dan di saat yang bersamaan 

sekaligus pukulkan tinju kanannya ke muka! 

Penulis kusta Pertama melihat serangannya yang mematikan tadi 

dapat dilewati segera pergunakan tepi telapak tangan kanannya uatuk 

menghantam bahu Pranajaya! 

Kedua orang itu sama-sama mempunyai kesempatan untuk 

mengelak. Namun keduanya lebih monginginkan untuk meneruskan 

serangan masing-masing dan menghindar secara ambilan saja. 

Maka dalam kejap yang bersamaan tinju kanan Pranajaya melanda 

dada lawan sedang tepi telapak tangan kanan Penulis kusta Pertama 

mendarat dengan kerasnya di bahu kiri Pranajaya! Kedua orang ini 

sama-sama mengeluh sakit. Pranajaya terguling di tanah. Setan 

Darah Pertama terjajar beberapa langkah ke belakang den jatuh 

duduk! Mukanya pucat pasi. Dadanya sakit dan serasa melesak ke 

dalam membuat sesak nafasnya. Cepat-cepat manusia muka merah 

ini bersila di tanah dan kerahkan tenaga dalamnya serta atur jalan 

nafas. Diam-diam dia terkejut melihat Pranajaya dapat berdiri 

kembali meskipun dengan tubuh termiring-miring! Pukulan telapak 

tangan kanannya tadi mengandalkan lebih dari separo tenaga 

dalamnya, namun  si Penulis kusta  masih sanggup berdiri dan masih hidup  

Di lain pihak Pranajaya merasakan tuang bahunya laksana 

patah! Badannya miring ke kiri sewaktu berdiri. Kalau saja dia tidak 

memiliki kekuatan tenaga dalam yang sempurna pastilah jiwanya 

sudah melayang! Prana memperhatikan Penulis kusta Pertama yang 

saat itu tegak kembali dengan pandangan mata menyorotkan maut! 

Manusia ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi sekali! Pukulan jotos 

sewu yang disangkakannya akan merenggut nyawa lawan kiranya 

cuma membuat manusia muka merah itu terhampar jatuh duduk di 

tanah! 

Dua orang Penulis kusta lainnya yang sudah gatal-gatal tangan 

mereka untuk segera turun tangan mengurung Pranajaya dari kiri 

kanan. 

“Biar aku yang pecahkan kepala bangsat ini sendirian!” teriak 

Penulis kusta Pertama beringas. “Ah! Kunyuk buntung ini terlalu 

bagus untuk mampus ditanganmu sendirian,” jawab Penulis kusta 

Kedua. “Biar kami bantu!” 

Maka tanpa menunggu lebih lama kedua orang itu segera 

menyerbu. Penulis kusta Pertama tidak berkata apa-apa. Meski 

hatinya beringas namun  dia memaklumi dan melihat kenyataan sendiri 

bahwa Penulis kusta  rambut gondrong berbaju biru itu tidak berilmu 

rendah. Karenanya sewaktu dua kawannya itu menyerbu Setan 

Darah Pertama diam saja. 

Menghadapi tiga lawan tangguh begitu rupa membuat 

Pranajaya harus bergerak dengan cepat dan berlaku lebih hati-hati. 

Tubuhnya hampir lenyap dalam telikungan bayangan jubah merah 

ketiga lawannya. Tiada terasa lima belas jurus telah berlalu. Setan 

Darah Pertama mengkal bukan main. 

“Kawan-kawan ternyata tikus buntung ini punya ilmu yang 

diandalkan juga!” dia berseru. “Bagaimana kalau kita bentuk barisan 

tiga bayangan siluman?!” 

Penulis kusta yang dua orang lainnya menyetujui. Dan pada 

jurus yang keenam belas itu maka ketiganya segera melancarkan 

serangan hebat yang dinamakan barisan tiga bayangan siluman. 

Penulis kusta Pertama setengah merunduk. Serangan-

serangannya selalu mengarah bagian kedua kaki lawan sedang Setan 

Darah Kedua menyerang bagian tengah tubuh Prana dan Setan 

Darah Ketiga seperti seekor burung elang melompat ke atas, menukik 

ke bawah dan selalu melancarkan serangan ke bagian kepala 

Pranajaya. Dalam setiap saat ketiganya bisa berganti tempat dan 

mengambil alih kedudukan masing-masing, terutama bila salah 

seorang dari mereka diserang oleh lawan! Begitulah, setiap Pranajaya 

mengelak atau menyerang salah seorang dari mereka, maka yang dua 

lainnya dengan cepat sekali datang memburu mengirimkan serangan-

serangan maut! Lima jurus pertama setelah bertempur dengan segala 

kehebatan yang ada maka sedikit demi sedikit mulai kendurlah 

perlawanan Pranajaya. Penulis kusta  bertangan satu itu kini bertahan 

mati-matian, namun tetap dia terkurung rapat dan terdesak hebat! 

Tiba-tiba Prana ingat pedang dipunggungnya. Dia adalah 

seorang Penulis kusta  berhati jantan kesatria, yang akan menghadapi lawan 

bertangan kosong dengan tangan kosong pula. Namun menghadapi 

pengeroyokan tiga musuh besar itu, di dalam keadaan yang kepepet 

pula, dia merasa bahwa mencabut pedangnya saat itu bukanlah suatu 

tindakan yang pengecut. 

Sambil berteriak, “Lihat pedang!” maka Pranajaya cabut 

pedangnya. Sedetik kemudian satu sinar putih menggebu membabat 

ketiga jurusan, membuat dengan serta merta buyarnya barisan tiga 

bayangan siluman! 

Sambil bersurut mundur Tiga Penulis kusta memperhatikan 

pedang Ekasakti yang memancarkan sinar putih di tangan Pranajaya. 

Penulis kusta Kedua berbisik pada kawan-kawannya, “Heh, 

pedang itu pasti senjata mustika! Kita musti dapat merampasnya !” 

“Jangan pikir soal senjata itu dulu” jawab Penulis kusta Pertama. 

“Yang penting tangkap bangsat ini hidup-hidup. Aku ada rencana 

tersendiri untuk menamatkan riwayatnya. Kalian....“ 

Penulis kusta Pertama tidak sempat mengakhiri ucapannya. Saat 

itu Pranajaya sudah menyerbu. Sinar putih dari pedang bertabur 

ganas. Ketiga manusia itu cepat menghindar dan masing-masing 

mereka segera cabut senjata. Penulis kusta Pertama mengeluarkan 

sepasang tombak bermata dua. Penulis kusta Kedua mengeluarkan 

sepasang gada sedang Penulis kusta Ketiga mengeluarkan sepasang 

bobo  anakmanusia  

Pendekar barbel  Maut pembasmi 10000an  

Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin 

 

golok. Kesemua senjata ini berwarna merah dan kesemuanya 

merupakan senjata-senjata mustika sakti ! 

Percaya akan kehebatan pedang Ekasaktinya, Pranajaya 

teruskan menyerang ketiga lawan itu. 

Trang.... trang.... trang....! 

Tiga kali pedang putih itu beradu dengan senjata-senjata lawan. 

Bunga api bertebaran dan Pranajaya terkesiap kaget! Senjata-senjata 

lawan mempunyai kehebatan yang luar biasa. Untung saja pedang 

Ekasakti dipegangnya erat-erat, kalau tidak dalam bentrokan tiga kali 

berturut-turut tadi itu pastilah senjatanya akan terlepas! 

Sementara itu Tiga Penulis kusta sudah tegak memencar. Satu 

lengkingan nyaring keluar dari tenggorokan Penulis kusta Kedua. 

Maka, tiga manusia muka merah itu dengan serta merta menyerbu ke 

arah Pranajaya ! 

PERTEMPURAN manusia tiga lawan satu itu, kecamukan enam 

senjata lawan satu pedang berlangsung penuh kehebatan dan 

mendebarkan. Sedikit saja seseorang membuat gerakan yang salah 

pastilah salah satu bagian tubuh mereka akan dimakan senjata. 

Sinar merah jubah dan senjata-senjata Tiga Penulis kusta 

bergulung-gulung membungkus tubuh dan senjata Pranajaya. 

Berkali-kali Penulis kusta  ini nyaris kena tebasan golok atau tusukan 

tombak atau hantaman gada ketiga lawannya. Jika saja Pranajaya 

tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang sempurna serta 

kegesitan yang luar biasa, sudah sejak tadi-tadi mungkin dia akan 

mienjadi pecundang. 

Prana berkelebat laksana bayang-bayang. Pedang putihnya 

membabat kian kemari dalam rangkaian jurus-jurus lihai yang 

dipelajarinya secara sempurna dari Empu Blorok. Sepuluh jurus telah 

berlalu. Kemudian lima jurus lagi dan Tiga Penulis kusta masih belum 

sanggup membuktikan kehebatan nama baser mereka selama ini. 

Malah pada jurus keduapuluh satu, Penulis kusta Ketiga berseru 

tertahan dan menyurut mundur! 

Ternyata jubah merahnya robek besar disambar ujung pedang 

lawan! Masih untung kulit dadanya tidak kena diserempet ! 

“Bedebah!” rutuk iaki-laki itu. “Jangan harap kau bisa bernafas 

sampai tiga kali kejapan mata!” Dengan amarah yang meluap Setan 

Darah Ketiga memutar sepasang goloknya dalam jurus yang aneh dan 

menyerbu Pranajaya.  

“lngat Penulis kusta Ketiga!” teriak Penulis kusta Pertama. 

“Penulis kusta  ini aku mau tangkap hidup-hidup!”  

“Lebih bagus kalau dicincang lumat saja!” sahut Penulis kusta 

Ketiga. 

“Aku yang jadi pemimpin kalian!” teriak Penulis kusta Pertama 

marah. “Kau harus ikut apa yang ku katakan!” 

Penulis kusta Ketiga menindas kemarahannya sedapat-dapatnya. 

Menekan luapan amarah karena dia menyadari bahwa dia musti 

tunduk pada Penulis kusta Pertama. 

Pertempuran seru berkecamuk lagi. Agaknya kini Tiga Setan 

Darah telah mengeluarkan pula jurus-jurus ilmu silat mereka yang 

lihai dan banyak tipu-tipu liciknya. Lima jurus berlalu maka 

Pranajaya mulai pula terdesak. 

Trang! 

Pranajaya tak bisa mengelakkan peraduan senjatanya dengan 

senjata Penulis kusta Pertama. Sebelum bunga api yang bergemerlap 

lenyap, sebelum murid Empu Blorok itu sempat menarik senjatanya 

maka sepasang gada dan golok Penulis kusta lain-lainnya sudah 

datang menjepit pedang Ekasakti di tangan Pranajaya. 

Prana kerahkan tenaga dalamnya. Dengan sekuat tehaga 

dicobanya melepaskan pedang dari jepitan enam senjata lawan! namun  

sia-sia! Pedang Ekasakti meskipun pedang mustika namun tiada 

berdaya di jepit oleh enam senjata mustika lawan! Pedang itu laksana 

lengket. Prana keluar keringat dingin. Dia tahu, tak ada jalan lain 

baginya kecuali melepaskan pedangnya pada gagang pedang, 

menyerahkan bulat-bulat senjatanya ke tangan lawan! 

Penulis kusta Pertama tertawa mengekeh. 

“Sekarang kau baru tahu siapa kami hah?!”  

“Tikus buntung hendak bernyali besar beginilah jadinya!” ejek 

Penulis kusta Ketiga. 

Tiba tiba, tiada terduga dengan bergantungan pada gagang 

pedang yang dijepit lawan, tubuh Pranajaya melesat ke muka. Kaki 

kanannya menendang dan karena tidak menyangka, Penulis kusta 

Pertama tidak keburu menghindar! 

Penulis kusta Pertama mengeluh tinggi. 

Tubuhnya mencelat beberapa tombak, terguling di tanah. Dua 

tulang iganya telah patah dilanda tendangan Pranajaya! 

“Anjing buduk!” maki Penulis kusta Kedua begitu melihat 

kawannya kena dihantam lawan. Tanpa menunggu lebih lama 

manusia ini segera hantamkan gagang gadanya yang di tangan kanan 

ke pangkal leher. Ini adalah satu totokan yang dahsyat. Karena tak 

keburu menghindar tak ampun lagi Pranajaya rebah ke tanah dalam 

keadaan tubuh kaku laksana patung! 

Penulis kusta Pertama melangkah tertatih-tatih ke hadapan 

Pranajaya. 

“Bagaimana lukamu?” tanya Penulis kusta Kedua. 

“Bangsat ini telah mematahkan dua tulang igaku,” jawab Setan 

Darah Pertama setengah menggeram. “Detik ini juga dia akan terima 

balasannya!” 

Habis berkata begitu Penulis kusta Pertama lancarkan satu 

tendangan ke arah tulang rusuk Pranajaya. Penulis kusta  ini menggelinding 

beberapa tombak jauhnya. Tiga tulang iganya patah! Meski tubuhnya 

tertotok tiada berdaya namun perasaan masih tetap ada dan 

mulutnya masih bisa mengeluarkan suara erangan kesakitan! 

Penulis kusta Pertama masih belum puas. 

“Ini satu lagi!” katanya dan untuk kedua kalinya.kaki kanannya 

mengirimkan satu tendangan. Kali ini yang jadi sasaran adalah muka 

Pranajaya. Penulis kusta  ini berusaha menahan jeritan yang hendak 

melesat dari tenggorokannya meski bibirnya pecah, dua buah giginya 

patah dan hidungnya mengucurkan darah kental panas ! 

Penulis kusta Pertama memburu lagi. saat  dia hendak 

menendang sekali lagi, Setan Dareh Kedua memegang bahunya. “Kali 

ini dia bisa mampus! Apa kau lupa akan rencanamu sendiri?!” 

Penulis kusta Pertama menarik pulang kaki kanannya. 

Dirabanya sebentar tulang rusuknya yang patah kemudian dia 

berteriak, “Penulis kusta Ketiga, ambil tali!” 

Penulis kusta Ketiga melemparkan seutas tali kepada laki-laki 

itu.  

“Penulis kusta  edan!” kata Penulis kusta Pertama sambil belutut 

dihadapan Pranajaya yang saat itu megap-megap. “Sebentar lagi kau 

akan rasakan bagaimana enaknya meluncur di tanah! Kalau 

tubuhmu kuat kau akan hidup sampai ke Kuburan penulis . namun  kalau tidak, 

kau akan mampus di tengah jalan!” 

Habis berkata begitu Penulis kusta Pertama segera mengikat 

pergelangan tangan kanan Pranajaya dengan tali. Ujung tali yang lain 

diikatkannya ke leher kudanya. 

Pranajaya keluarkan keringat dingin. Dia tahu nasib apa yang 

bakal diterimanya! Penulis kusta  ini berteriak, “Penulis kusta keparat! Bunuh 

aku sekarang juga!” 

Penulis kusta Pertama tertawa. 

“Kau memang akan mampus, kunyuk buntung!” jawab Setan 

Darah Pertama. “Akan mampus, namun  dengan cara perlahan-lahan! 

Sepanjang jalan menuju ke ajalmu kau dapat saksikan keindahan 

pemandangan daerah sekitar sini! Bukankah enak mati cara begitu?!” 

Penulis kusta Pertama naik ke atas kudanya. Tiba-tiba dia ingat 

sesuatu dan memandang berkeliling. “Mana pedangnya?!” 

“Aku sudah ambil!” jawab Penulis kusta Ketiga. “Bagus!” 

Penulis kusta pertama tepuk pinggul kuda merahnya dengan 

keras. Binatang itu meloncat ke muka siap untuk berlari kencang dan 

menyeret tubuh Pranajaya mulai dari liku jalan itu sampai ke Kuburan penulis . 

Namun disaat itu dari muka kelihatan berkelebat sesosok bayangan 

putih disertai dengan suara tertawa lantang yang bernada mengejek. 

“Kekejamanmu sangat keterlaluan Tiga Penulis kusta !” kata 

pendatang baru ini dengan membentak. Tiga Penulis kusta Pertama dan 

kedua kawannya dengan serta merta mengehentikan kuda masing-ma-

sing. Sepasang mata Tiga Penulis kusta Pertama memandang ke muka 

dengan menyorot. Mulutnya terkatup rapat-rapat dan kedua 

rahangnya mengatup menonjol! 

“Cindur Rampe!” hardik Penulis kusta Pertama. “Setahuku kau 

ada tugas di sselatan yang harus kau jalankan! Silahkan berlalu dan 

jangan ikut campur urusan kami!” 

Cindur Rampe, seorang resi golongan hitam yang juga menjadi 

kaki tangan pembantu Baginda. Kekejamannya tiada banyak beda 

dengan Tiga Penulis kusta namun antara resi ini dengan ketiga Setan 

Dorah sejak lama terdapat perselisihan-secara diam-diam. Perselisihan 

ini sebenamya adalah akibat bersaing ingin menjilat Baginda. Dalam 

satu pertemuan pernah Cindur Rampe menantang Tiga Penulis kusta . 

Hampir terjadi pertempuran hebat namun tokoh-tokoh istana lainnya 

berhasil mencegah mereka. Namun sejak itu pula diantara mereka 

semakin memuncak permusuhan, laksana api dalam sekam yang se-

waktu-waktu bisa meledak! 

Cindur Rampe mengelus-elus janggutnya yang pendek macam 

janggut kambing. Sambil sunggingkan senyum mengejak dia berkata, 

“Tentu Penulis kusta  malang itu akan kau seret ke Kuburan penulis . Semua orang 

akan melihat kekejamanmu. Kau akan dapat nama dan kira-kira 

berapa puluh ringgit pula kau akan dapat upah dari Baginda?!” 

Penulis kusta Kedua penasaran sekali. Dia majukan kudanya satu 

langkah. 

“Soal kekejaman kau tidak lebih baik dari kami resi muka 

kambing!” sentak Penulis kusta Kedua.  

Cindur Rampe tertawa dingin. 

“Cindur Rampe, kuharap segera berlalu. Aku muak melihat 

tampangmu!” menyambungi Penulis kusta Ketiga. 

Resi itu tertawa lagi. Lalu katanya, “Aku sendiri sudah sejak 

lama kepingin muntah melihat mukamu yang macam kepiting rebus!” 

Penulis kusta Pertama kertakkan geraham. “Cindur Rampe, 

agaknya kau sengaja mencari-cari perselisihan terbuka! Mungkin 

masih belum puas dengan pertengkaran dalam pertemuan tempo 

hari?!” 

“Ah… rupanya kau masih belum lupakan hal itu!” kata Cindur 

Rampe. Dia melirik sebentar pada Pranajaya yang megap-megap 

hampir kehabisan nafas. 

“Selama matahari masih terbit di timur, selama air sungai 

masih mengalir ke laut. Tiga Penulis kusta tak pernah melupakan hal 

itu!” 

“Bagus sekali jika demikian!” menyahuti Cindur Rampe. 

“Kuharap di lain kesempatan kita bisa menyelesaikannya!” 

Penulis kusta Pertama mengekeh. “Menentang kami sama 

dengan menentang angin topan! Menentang Tiga Penulis kusta sama 

dengan menentang gunung karang! Jangan terlalu pongah dan buta 

resi muka kambing!” 

“Nama kalian memang sudah kesohor, apalagi kebejatan dan 

kekejaman kalian! namun  kalau cuma cecunguk-cecungkuk macammu, 

sepuluh orangpun aku akan layani!” 

Naiklah darah Tiga Penulis kusta . 

“Rupanya kau mau mampus sekarang juga, resi keparat!” 

bentak Penulis kusta Kedua. Dia melompat ke muka dan kirimkan 

satu serangan tangan kosong! 

Cindur Rampe melompati ke samping sambil tertawa. 

“Jangan terlalu kesusu monyet muka merah! Ini hari aku masih 

ada urusan. Di lain saat  aku tak akan sungkan-sungkan lagi untuk 

menerabas batang lehermu dan dua kambratmu itu! Ini 

kukembalikan seranganmu!” 

Habis berkata begitu Cindur Rampe kebutkan lengan jubahnya. 

Selarik angin panas mengebu ke arah Penulis kusta Kedua. 

Pukulan yang dilepaskan Cindur Rampe adalah pukulan ireng 

weliung yang kehebatannya sudah dimaklumi oleh Tiga Penulis kusta . 

Karenanya Penulis kusta Kedua melompat dua tombak ke atas.  

“Wuss !” 

Angin pukulan menghantam pohon kayu di tepi jalan. Kejap itu 

juga batang kayu itu hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya! 

Terkejutlah Tiga Penulis kusta . Rupa-rupanya resi Cindur Rampe 

betul-betul inginkan jiwa mereka! Penulis kusta pertama dan ketiga 

segera melompat dari kuda masing-masing, siap untuk mengeroyok 

resi itu. namun  Cindur Rampe sudah berkelebat cepat dan me-

ninggalkan tempat itu sambil berseru, “Sampai nanti Tiga Setan 

Darah. Kuharap kalian suka bersabar menunggu saat kematian 

kalian!” 

“Anjing buduk! Jangan lari!” teriak Penulis kusta Kedua. 

namun  Cindur Rampe sudah lenyap dari pemandangan. 

Penulis kusta Pertama memaki dan menyumpah nyumpah. “Lain 

hari kita tak perlu kasih hati pada si muka kambing itu!,” katanya. 

Dia melompat kembali ke atas kudanya diikuti oleh dua orang kawan-

kawannya. saat  kuda Penulis kusta Pertama bergerak, maka tubuh 

Pranajaya mulai terseret. Tubuh Penulis kusta  murid Empu Blorok ini akan 

terseret sepanjang perjalanan menuju Kuburan penulis . Bila Pranajaya 

bernasib baik, dia akan tetap hidup sampai di Kuburan penulis . Jika tidak 

nyawanya akan lepas di tengah jalan dan dia akan menemui kematian 

dalam keadaan yang mengerikan. 

Sampai di manakah kekuatan tubuh manusia menahan siksaan 

yang kejam luar biasa itu? 

KALI WELANGMANUK telah dua hari yang lalu mereka 

seberangi. Lembah Manukwilis di mana terletak Gedung Biara 

Pensuci Jagat telah jauh di belakang mereka. Kedua orang itu 

berlari dalam kecepatan yang luar biasa. Kadangkala 

menyeberangi kali-kali kecil, kadangkala mendaki dan menuruni 

bukit dan saat itu keduanya barusan saja keluar dari sebuah 

rimba belantara. 

Matahari telah sampai ke ubun-ubun mereka tatkala keduanya 

sampai di satu persimpangan jalan.  

Penulis kusta  rambut gondrong hentikan larinya. Orang yang 

disampingnya juga melakukan hal yang sama. saat  Penulis kusta  itu 

membalikkan badannya maka sepasang mata merekapun saling 

bertemu. 

Si Penulis kusta  mengukir senyum dibibirnya dan berkata, 

“Agaknya kita terpaksa berpisah di sini, Sekar.” 

Si gadis berpakaian ringkas kuning tidak menjawab. Kedua 

matanya yang bening masih balas menatap pandangan si 

Penulis kusta . Dan si Penulis kusta  segera bisa memaklumi. Dari sinar 

mata gadis itu di ketahuinya bahwa perpisahan itu 

merupakan satu hal yang berat bagi si gadis. 

Sambil tertawa si Penulis kusta  berkata, “Di lain saat  aku 

berharap kita bisa bertemu loagi, Sekar.” Dia menjura sedikit 

dan berkata lagi,  “Jangan lupa sampaikan salam hormatku 

pada gurutnu Empu Tumapel....“ 

”bobo ..,” si gadis membuka mulut untuk pertama kalinya. 

Suaranya perlahan, setengah berbisik. ”Kau sendiri mau terus 

ke manakah?” tartyanya. 

“Aku... ah… Manusia macamku ini pergi membawa kakinya 

saja. Mengembara tiada tentu tujuan.”  

“Mengembara adalah satu hal yang kucita-citakan sejak 

aku berhasil menuntut balas kematian ibu bapak dan saudara-

saudaraku,” kata Sekar pula. 

“namun  kau musti kembali ke tempat gurumu! Kau pernah 

bilang waktu di tepi sungai tempo hari. Ingat…” 

Sekar ingat. Dalam perjalanan mereka meninggalkan Biara 

Pensuci Jagat suatu malam mereka berkemah di tepi sungai 

yang banyak sekali ikannya. Sambil menikmati ikan panggang, 

mereka bicara-bicara dan Sekar telah menceritakan tentang 

gurunya di Goa lubang penulis ayan , tentang segala hal mengenai dirinya. 

Malam sejuk di tepi sungai itu tak akan pernah dilupakan oleh 

Sekar. Semenjak hidup, semenjak turun ke dunia luar pada 

malam itulah dia benar-benar merasakan bahwa dirinya adalah 

seorang gadis. Seorang gadis yang disaat itu untuk pertama 

kalinya merasakan betapa indahnya berada di samping seorang 

Penulis kusta . Betapa romantisnya. Dan Sekar ingat sewaktu bobo  

memegang dan meremas-remas jari tangannya. Waktu, 

Pendekar 10000an  itu memeluknya, merangkulnya erat-erat dan 

sewaktu Penulis kusta  itu melumas bibirnya dengan ciuman yang 

mesra, hangat menyentak-nyentakkan darahnya! Ingat pula 

bagaimana dia bergayut dan tak mau melepaskan tubuh si 

Penulis kusta  dan seperti orang mabuk anggur mereka melakukan 

apa yang mereka bisa lakukan. Semuanya itu kemudian 

berakhir tanpa penjelasan karena semua itu dimulai dengan 

kesadaran yang berapi-api! 

“Aku bisa menunda kembali kepertapaan,” kata Sekar 

“Keberatan kalau aku ikut sama-sama dengan kau....?”  

bobo  anakmanusia  tertawa. “Tentu saja tidak,” kata Pendekar barbel  

Maut pembasmi 10000an  ini meskipun hatinya tidak menyetujui hal itu. 

“namun  kau musti ingat Sekar. Mengembara dalam dunia persilatan 

bukan berarti berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan! 

Pengembaraan di dunia persilatan adalah persoalan hidup atau mati!” 

“Aku toh juga orang persilatan, bobo .” 

“Betul. Namun kini belum masanya kau memulai 

pengembaraan. Yang penting kau musti kembali ke tempat gurumu 

dulu.” 

Sekar menggeleng. 

bobo  anakmanusia  garuk-garuk kepalanya. 

Kemudian katanya, “Sekar, jangan jadi anak kecil. Salah-salah 

kita bisa bertengkar. Aku berjanji akan menyambangimu di Goa 

lubang penulis ayan . Nah, sekarang kau tempuh jalan yang sebelah kanan dan aku 

yang sebelah kiri, yang menuju ke Kuburan penulis .” 

“Aku ikut dengan kau ke Kuburan penulis ,” berkata Sekar. 

“Busyet!” kata bobo  anakmanusia  dalam hati dan digaruknya lagi 

kepalanya. “Bisa berabe Sekar. Bisa berabe!,” katanya pada gadis itu. 

“Gadis secantikmu ini kalau masuk ke Kuburan penulis  pasti semua mata 

laki-laki akan melotot! Kalau terjadi apa-apa dengan dirimu 

bagaimana...?!“ 

“Aku tidak takut,” kata gadis sembilan belas tahun itu. 

bobo  menghela nafas dalam dan angkat bahu. “Kuburan penulis  penuh 

dengan tokoh-tokoh silat kelas satu! Aku tak ingin terjadi apa-apa 

dengan kau...” 

“Kalau kita tidak berbuat kejahatan kenapa musti takut masuk 

ke Kuburan penulis ?,” ujar si gadis. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi dia 

melangkah memasuki jalan sebalah kiri. 

bobo  anakmanusia  geleng-gelengkan kepalanya. Segera dia hendak 

berlalu dari persimpangan jalan itu menempuh jalan sebelah kanan. 

namun  hatinya menjadi bimbang. Dipandangnya punggung Sekar. Gadis 

itu melangkah dengan langkah tetap bahkan kini mulai berlari. bobo  

anakmanusia  akhirnya membalikkan langkah dan berlari menyusul Sekar. 

 

PENDEKAR 10000an  dan Sekar baru saja keluar dari sebuah kedai 

sehabis mengisi perut sewaktu di jalan dihadapan mereka menderu 

derap kaki tiga ekor kuda merah. Tiga penunggangnya laki-laki 

mengenakan jubah merah, berambut panjang merah dan bermuka 

merah. Yang membuat kedua orang ini terkejut bukanlah karena 

memandang muka-muka yang aneh serta lucu itu namun  adalah sewaktu 

menyaksikan bagaimana dibelakang kuda yang paling depan ikut 

terseret sesosok tubuh laki-laki bertangan buntung! Pakaian birunya 

hancur robek-robek. Kulitnya mengelupas, mukanya tiada dapat 

dikenali lagi. Keseluruhan tubuh manusia itu bergelimang darah dan 

debu. Tak dapat dipastikan apakah dia masih hidup atau sudah mati! 

“Biadab!” desis Sekar sewaktu ketiga penunggang kuda itu 

berlalu. “Aku tak bisa membiarkan kekejaman itu, bobo !” Sekar segera 

hendak melompat ke muka dan mengejar. namun  bobo  anakmanusia  cepat 

memegang lengan gadis ini. 

“Jangan bodoh, Sekar!” katanya. “Kita tidak tahu siapa tiga 

manusia bermuka merah itu. Juga tidak kenal siapa itu laki-laki yang 

diseret. Mungkin laki-laki ini seorang jahat!” 

“Aku tidak yakin, justru manusia-manusia muka merah itulah 

yang bertampang buas kejam!” 

“Aku tahu, namun  jangan bertindak gegabah, Sekar. Ini Kuburan penulis !” 

“Persetan dengan Kuburan penulis !” tukas si gadis.  

“Sudah tak usah ngomel. Mari kita ikuti mereka!” ujar bobo  

pula. Keduanya segera meninggalkan tempat itu. 

Tiga penunggang kuta itu memasuki sebuah gedung tua tak 

berapa jauh dari Istana. Laki-laki yang diseret dengan kuda tadi 

dibawa ke dalam. Kemudian gedung itupun sunyi senyap. 

“Kita masuk ke dalam bobo ,” bisik Sekar. “Kataku jangan 

gegabah,” kata Pendekar 10000an  dengan pelototkan mata. Di 

seberanginya jalan dan ditemuinya seorang pejalan kaki di seberang 

jalan itu. “Saudara kau lihat tiga penunggang kuda tadi?” tanya bobo . 

Orang itu mengangguk. Bulu tengkuknya masih meremang 

mengingat apa yang disaksikannya tadi. “Siapa ketiga manusia itu?” 

tanya bobo  anakmanusia  lagi. 

“Mereka adalah Tiga Penulis kusta .” 

“Tiga Penulis kusta ...?” ujar bobo . Pasti itu nama julukan 

mereka pikir bobo . Dan dari nama julukan ini nyatalah bahwa 

memang mereka bukan manusia baik-baik! 

Kemudian tanpa ditanya orang tadi berkata lagi. “Mereka 

adalah kaki tangan pembantu-pembantu Baginda. Manusia kejam 

luar biasa…!” 

“Kenapa Baginda memelihara setan-setan macam mereka?!” 

tanya bobo . 

“Untuk menjaga keamanan Istana dan Kerajaan. namun  Baginda 

tidak tahu kebejatan pembantu-pembantunya itu…” 

“Kenapa rakyat tidak mau kasih tahu?”  

“Kalau mau mampus boleh saja!” jawab laki-laki itu. 

“Kau kenal siapa itu orang yang diseret dengan kuda?” 

Laki-laki itu menggeleng. 

bobo  anakmanusia  kembali menyeberang jalan menemui Sekar. “Kau 

bicara apa dengan dia?” 

bobo  menerangkan dengan cepat lalu kedua orang ini segera 

hendak menyeberang memasuki halaman gedung tua namun  mereka 

segera berlindung cepat-cepat di balik sebatang pohon besar karena 

dari samping gedung ketiga penunggang kuda tadi kelihatan memacu 

kudanya masing-masing meninggalkan gedung! Begitu mereka lenyap 

di kejauhan, bobo  dan Sekar segera memasuki halaman gedung. 

Mereka menuju ke samping dan berhenti dihadapan sebuah pintu 

kayu. 

bobo  memandang berkeliling. Suasana sepi sunyi. Tanpa ragu-

ragu Pendekar 10000an  ulurkan tangan mendorong pmtu kayu itu. Aneh 

sekali! Meski pintu itu terbuat dari kayu namun bobo  tak berhasil 

mendorongnya dengan sekuat tenaga luar! Setelah mengerahkan 

seperempat dari tenaga dalamnya baru pintu kayu itu berkereketan 

dan terbuka sedikit demi sedikit. 

bobo  anakmanusia  

Pendekar barbel  Maut pembasmi 10000an  

Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin 

 

Begitu daun pintu kayu itu terbuka lebar maka tiba-tiba dari 

hadapan mereka berdesing lima buah senjata berbentuk anak panah 

berwarna merah! 

“Sekar! Awas!” teriak Pendekar 10000an . Cepat-cepat Penulis kusta  ini 

menarik lengan si gadis ke samping. 

Lima senjata rahasia berbentuk panah berdesing di atas kepala 

dan di muka hidung mereka. Dua dari panah merah itu menancap 

dibatang sebuah pohon. Sesaat kemudian batang pohon itu sampai 

ke cabang-cabang, ranting dan daun-daunnya menjadi merah! 

Nyatalah bahwa senjata-senjata ratiasia itu mengandung racun 

yang amat jahat! Paras Sekar berubah pucat sedang Pendekar 10000an  

dengan leletkan lidah berkata pelahan, “Keparat betul! Tempat ini 

pasti penuh dengan senjata rahasia. Kita harus hati-hati Sekar.”  

bobo  menyuruh gadis itu berdiri lebih ke samping. Kemudian 

dengan kaki kirinya pendekar ini menendang pintu kayu itu sekuat 

tenaga. Pintu bobol hancur berantakan dan pada detik itu pula 

selusin senjata rahasia yang sama bentuknya dengan tadi melesat di. 

depan mereka. Beberapa diantaranya menancap lagi dibatang pohon 

yang sama! 

Pendekar 10000an  menyeringai. 

“Lihai juga,” katanya pelahan. “Sebaiknya kau tunggu di sini 

Sekar…” 

“Aku ikut bersamamu!” kata Sekar tegas. 

“Di dalam gedung tua ini pasti lebih banyak bahaya. Jangan jadi 

orang tolol!” 

Gadis berbaju kuning ini tidak ambil perduli ucapan si Penulis kusta  

melainkan tanpa tedeng aling-aling terus masuk melewati pintu yang 

tadi telah ditendang bobol. Mau tak mau bobo  juga melangkah 

mengikuti. 

Seperti suasana di luar, dibagian belakang gedung itupun 

diselimuti kesunyian. Keseluruhan gedung tidak terpelihara. Tembok 

hijau berlumut. Halaman ditumbuhi semak-semak dan rumput liar. 

bobo  anakmanusia  

Pendekar barbel  Maut pembasmi 10000an  

Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin 

 

Dengan sikap berhati-hati kedua orang ini melangkah menuju ke 

tangga yang berhubungan dengan pintu belakang gedung. bobo  

berjalan di depan. saat  salah satu kakinya menginjak tanah di dekat 

anak tangga yang terbawah tanah itu dirasakannya mencekung aneh 

dan lembut. bobo  cepat tarik kakinya dan melangkah mundur!  

“Ada apa?” tanya Sekar dengan berbisik. Pendekar 10000an  tidak 

menjawab melainkan melangkah menghampiri sebuah pot bunga 

besar yang bunganya sudah mati karena tak pernah disiram. Pot 

bunga yang besar itu dilemparkannya ke tanah di kaki anak tangga 

yang tadi dipijaknya. 

Pada detik itu juga terdengar satu ledakan. Tanah di kaki anak 

tangga bermuncratan ke atas. Anak tangga terbawah hancur 

berkeping-keping. bobo  meraih pinggang Sekar dan menjatuhkan diri 

ke tanah. Tubuh mereka kotor tersembur tanah dan kepingan batu 

tangga! 

“Gedung setan apa ini?!” rutuk bobo  sambil berdiri dan 

membersihkan pakaiannya. Dia berpaling pada Sekar dan berkata, 

“Aku sudah bilang kau tak usah ikut-ikutan ke Kuburan penulis . Kini kau 

lihat sendiri!”  

“Tak usah bertengkar terus-terusan, bobo ” menyahuti murid 

Empu Tumapel itu. “Kita harus cepat mencari laki-laki tangan 

buntung berbaju biru yang tadi dibawa ke sini!” 

bobo  garuk-garuk kepalanya. Dia memandang ke pintu di bagian 

belakang gedung itu dan berpikir-pikir bahaya apa lagi yang bakal 

dihadangnya bila dia menaiki anak tangga dan membuka pintu itu! 

Dalam dia berpikir-pikir demikian tiba-tiba dilihatnya Sekar 

mengirimkan satu pukulan jarak jauh ke arah pintu belakang gedung. 

Angin pukulan menderu dahsyat dan… 

Braak! 

Pintu itu pecah berantakan. 

Sekar dan bobo  menunggu. Tak ada terjadi apa-apa. 

bobo  anakmanusia  

Pendekar barbel  Maut pembasmi 10000an  

Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin 

 

“Aku tak percaya kalau pintu itu tidak menyembunyikan 

rahasia maut!” kata bobo  anakmanusia . Dijangkaunya sebuah arca kecil 

yang sudah puntung di dekat tangga sebelah kanan. Arca itu 

kemudian digelindingkannya di atas lantai yang menuju ke pintu. 

Begitu arca mencapai pintu, lantai di muka pintu itu terbuka, arca 

lenyap jatuh ke dalam sebuah lobang dan lantai kembali menutup! 

“Gedung edan!” rutuk Wito anakmanusia . “Kau masih punya nyali 

untuk masuk kedalamnya?!”  

“Mengapa tidak?!” ujar Sekar. 

“Aku kagum dengan keberanianmu,” puji bobo  sejujurnya. 

“Bersialplah, kita melompat ke dalam lewat pintu itu. Kerahkan 

seluruh ilmu mengentengi tubuhmu. Lantai di dalam gedung itu 

bukan mustahil perangkap semua!” 

Kedua orang ini bersiap-siap untuk menerobos pintu yang 

sudah bobol. Mendadak pada saat itu pula di halaman depan 

terdengar derap kaki kuda. Keduanya terkejut. 

“Mereka kembali!” bisik Sekar. Gadis ini segera keluarkan 

senjatanya yaitu besi berantai yang ujungnya diganduli bola besi 

berduri. Inilah senjata “Rantai Petaka Bumi” yang dahsyat. 

bobo  berpikir cepat. Dia mendapat satu akal lalu menggamit 

dan berbisik pada Sekar, “Cepat lompat ke atas genteng!” 

Si gadis melotot. 

“Apa kau tidak punya nyali menghadapi mereka? Manusia-

manusia terkutuk semacam itu harus dilenyapkan dari muka bumi, 

bobo ! Kalau kau takut pergilah sendiri ke loteng sana!” 

bobo  menggerendeng. 

“Kita belum tahu siapa yang datang itu! Kalau benar mereka, 

dari atas genteng kita bisa mengintai bagaimana mereka masuk ke 

dalam gedung!” 

Sekar hendak mengatakan sesuatu. namun  bobo  anakmanusia  sudah 

membetot lengannya dan melompat ke atas genteng bersama-sama! 

bobo  anakmanusia  

Pendekar barbel  Maut pembasmi 10000an  

Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin 

 

Keduanya menunggu. Suara kaki-kaki kuda berhenti sebentar, lalu 

terdengar lagi memasuki halaman samping. 

“Bukan mereka,” desis bobo  dan Sekar memalingkan kepalanya 

ke halaman samping. 

 

-- == 0O0 == -- 

bobo  anakmanusia  

Pendekar barbel  Maut pembasmi 10000an  

Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin 

 

LIMA 

 

YANG DATANG ternyata seorang penunggang kuda berkepala 

gundul. Sepasang matanya juling. Hidungnya sangat pesek, hampir 

sama rata dengan pipinya yang gembrot. Tangan dan kakinya sangat 

pendek sedang tubuhnya katai sekali. Yang lucunya manusia ini cuma 

memakai cawat, kulitnya hitam legam dan pada ketiak sebelah kirinya 

terkempit sebilah bambu berbentuk pikulan! 

“Monyet terlepas dari mana ini?!” bisik bobo  anakmanusia . 

“Dia bukan manusia sembarangan bobo ,” desis Sekar. 

“Kau kenal dia?” tanya bobo . 

“Guruku pernah bilang manusia yang berciri-ciri macam dia. 

Melihat pada senjata yang dikempitnya aku yakin dia mustilah Si 

Setan Pikulan!” 

“Buset! Apa tidak ada gelaran yang lebih jelek dari Setan Pikulan 

itu?!” seringai bobo . 

Penunggang kuda yang datang itu memang Setan Pikulan. Nama 

sebenarnya Munding Sura. Dia hentikan kuda di depan lobang besar di 

muka tangga pintu belakang. Diperhatikannya lobang itu sebentar lalu 

dia memandang berkeliling. Diangguk-anggukannya kepalanya. 

Kemudian diperhatikannya pintu belakang yang hancur sambil 

mengusap-usap kepalanya yang botak. 

“Tiga Penulis kusta !” Setan Pikulan berteriak. “Apa kalian ada di 

dalam?!” Suara teriakan Setan Pikulan kerasnya bukan main, 

menggetarkan seantero halaman belakang gedung tua itu, 

menggetarkan genteng di mana bobo  dan Sekar berada. 

“Tenaga dalarnnya hebat sekali,” bisik bobo  pada Sekar. 

“Ah, rupanya kalian tak ada di rumah!” terdengar Setan Pikulan 

berkata. 

”Sayang sekali! Sayang sekali! Ada dua orang tamu dari jauh, tuan 

rumah tidak ada! Sayang sekali!” 

bobo  anakmanusia  

Pendekar barbel  Maut pembasmi 10000an  

Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin 

 

bobo  dan Sekar sama terkejut dan saling berpandangan Mereka 

yakin dua orang tamu yang dimaksudkan oleh manusia kate itu 

pastilah diri mereka sendiri. Belum habis kejut kedua orang ini di 

bawah terdengar bentakan Setan Pikulan. 

“Cecunguk-cecunguk yang di atas genteng, lekas turun! Mataku 

yang juling tak bisa ditipu! Ayo turun!” 

Sekar segera bergerak hendak melompat turun. namun  bobo  menarik 

bajunya kuningnya. “Biar aku yang turun,” kata murid Eyang Sinto 

Gendeng ini. Kemudian murid Eyang Sinto Gendeng ini dengan cepat 

melompat turun. Mata juling Si Setan Pikulan memperhatikan cara 

dan gerakan melompat si Penulis kusta  dan juga memperhatikan saat  

sepasang kaki bobo  menginjak tanah. Telinganya yang tajam sama 

sekali tiada mendengar sedikit suarapun dari beradunya kaki dan 

tanah. 

bobo  anakmanusia  menjura sewajarnya dan dengan senyum ramah dia 

berkata, “Kalau aku tak salah, bukankah saat ini aku berhadapan 

dengan orang gagah yang dijuluki Setan Pikulan?” 

Setan Pikulan menyeringai. “Rupanya matamu tajam juga orang 

muda. Harap beritahu siapa kau.”  

“Ah…, aku ini seperti yang kau katakan tadi, cuma cecunguk 

biasa saja...” jawab bobo . 

“Kenapa sembunyi di atas atap dan kenapa kawanmu cecunguk 

yang satu lagi itu tidak mau turun?!” 

bobo  tertawa dan berseru, “Sekar, turunlah.” Sewaktu Sekar 

turun dan berdiri di samping bobo  anakmanusia  maka menyeringailah 

Setan Pikulan. 

“Ternyata seorang gadis cantik!” katanya. Dibasahinya bibirnya 

dengan ujung lidah sedang kedua matanya yang juling semakin juling 

karena memandang dekat-dekat pada paras Sekar yang cantik jelita. 

“Melihat kepada tindak tandukmu pastilah kalian datang ke sini 

bukan dengan maksud baik. Apa lagi penghuni rumah tidak ada. 

Kalian tahu apa yang bakal dilakukan Tiga Penulis kusta jika mereka 

bobo  anakmanusia  

Pendekar barbel  Maut pembasmi 10000an  

Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin 

 

mengetahui ada cecungkuk-cecunguk yang sembunyi dan membuat 

kerusuhan di rumahnya?” 

“Harap jangan salah sangka Setan Pikulan. Kami ke sini 

sebetulnya mengejar seorang pencuri. namun  dia lenyap entah ke 

mana…!” kata bobo  berdusta. 

Setan Pikulan tertawa mengekeh. 

“Sama aku tak usah bicara dusta! Lekas terangkan siapa kalian 

dan apa maksud kalian ke sini!! Kalian musti tahu bahwa Tiga Setan 

Darah adalah kambratku dan aku berhak turun tangan menghukum 

kalian bila kalian ternyata bersalah!” 

“Kalau kau kawannya Tiga Penulis kusta , tentu kau juga seorang 

tokoh Istana!” ujar bobo .  

“Apa aku tokoh Istana atau bukan tak perlu tanya!.” sentak 

Setan Pikulah. “Lekas jawab pertanyaanku tadi!” 

“Kami cecunguk!” sahut bobo . “Kau sendiri tadi sudah bilang!” 

Marahlah Setan Pikulan. 

“Seharusnya kubetot putus lidahmu, Penulis kusta  hina dina!” hardik 

Setan Pikulan. “namun  dengar... kalau kau mau tinggalkan gadis cantik 

ini buatku, aku tak mau bikin panjang urusan. Aku tak akan 

laporkan pada Tiga Penulis kusta bahwa kalian telah mongobrak-abrik 

rumahnya ini…!” 

Mendengar ini Sekar menjadi naik pitam. 

“Biar aku betul-betul monyet sekalipun, aku tidak sudi menjadi 

mangsa bejatmu!” 

Setan Pikulan tertawa. 

bobo  berpikir sebentar lalu dengan ilmu menyusupkan suara dia 

berkata pada si gadis, “Sekar, aku ada akal. Kita tipu setan kate ini 

menunjukkan di mana laki-laki buntung itu disekap. Kau musti pura-

pura marah…” 

Pendekar 10000an  memandang pada Setan Pikulan lalu berkata, 

“Aku akan tinggalkan gadis ini padamu. Dia memang tidak berguna. 

namun  harus ada imbalannya...!” 

bobo  anakmanusia  

Pendekar barbel  Maut pembasmi 10000an  

Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin 

 

“bobo ! Apa kau sudah gila?!” teriak Sekar pura-pura marah dan 

melototkan mata. 

bobo  tak ambil perduli. “Bagaimana?” tanyanya pada Setan 

Pikulan. 

“Katakan maumu!.” 

“Seorang kawanku telah dilarikan oleh Tiga Penulis kusta dan 

disekap di gedung tua ini. Aku tak tahu di bagian mana. Gedung ini 

penuh senjata senjata rahasia dan perangkap-perangkap! Kalau kau 

mau menunjukkan di mana kawanku itu dan mengeluarkannya dari 

sini, gadis tak berguna ini kuserahkan padamu...!” 

“Baik!” Setan Pikulan terima syarat itu. Untuk kesekian kalinya 

dibasahinya lagi bibirnya sebelah barah. Sementara itu Sekar 

memaki-maki bobo  anakmanusia  tiada hentinya.  

Setan Pikulan melompat dari kudanya. “Bagaimana aku yakin 

kalau kalian tidak menipuku?!” tanya manusia kate berkepala gundul 

ini. 

“Kau terlalu curiga, Setan Pikulan! Kalau aku menipumu berarti 

aku tak bisa menyelamatkan kawanku yang disekap oleh Tiga Setan 

Darah.” jawab bobo  anakmanusia . 

“Betul juga,” kata Setan Pikulan. “namun  untuk benar-benar 

meyakinkan biar kulakukan ini dulu...”  

Dan dengan satu gerakan cepat luar biasa Setan Pikulan 

menusukkan jari telunjuknya ke urat dipangkal leher Sekar. Saat itu 

juga tubuh si gadis menjadi kaku tegang tak bisa bergerak. bobo  

memaki dalam hati. 

“Ikut aku!” Setan Pikulan berkata. Lalu melesat memasuki pintu 

belakang yang tadi sudah didobrak dengan pukulan jarak jauh oleh 

Sekar. 

“Ruangan dalam ini penuh dengan alat dan senjata rahasia. 

Perhatikan langkahku!” kata si kate kepala gundul. Dia melangkah 

enam tindak ke kanan. lalu menyusuri tepi dinding hingga akhirnya 

sampai dihadapan sebuah pintu berwarna hitam. Pada tepi pintu itu 

bobo  anakmanusia  

Pendekar barbel  Maut pembasmi 10000an  

Tiga Penulis kusta dan Cambuk Api Angin 

 

terdapat sebuah titik putih besar setengah kuku jari kelingking. 

Dengan ujung jarinya Setan Pikulan menunjuk. 

“Cepat masuk!” teriak Setan Pikulan. 

bobo  anakmanusia  melompat masuk ke dalam kamar itu. Begitu 

masuk begitu pintu di belakangnya menutup kembali. Manusia kate 

itu berpaling pada bobo . “Kau lihat pintu dinding sana?”  

bobo  mengangguk. 

“Kalau kau melangkah sepanjang lantai ini ke sana, kau akan 

kejeblos masuk ke dalam liang batu! Kita harus bergerak sepanjang 

tepi dinding sebelah kiri! Mari…” 

Sambil menyusuri lantai di tepi dinding sebelah kiri bobo  anakmanusia  

bertanya, “Mengapa Tiga Penulis kusta memasang demikian banyak 

alat dan senjata rahasia serta perangkap di gedung tua ini?!”  

“Itu tak perlu kau tanyakan. Bukan urusanmu!” sahut Setan 

Pikulan. 

Setan Pikulan membuka pintu dihadapannya. Kamar kedua itu 

kosong lagi. Dan dinding sebelah muka mereka kelihatan sebuah 

pintu lain. 

“Kali ini kita musti menyusuri tepi lantai di samping kanan,” kata 

Setan Pikulan. bobo  mengikuti tanpa banyak bicara. Kamar ketiga, 

keempat dan kelima dalam gedung itu kosong semua. 

“Mungkin sekali kawanmu itu disekap di ruang batu karang di 

baw