Tampilkan postingan dengan label penggulingan sukarno 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penggulingan sukarno 4. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

penggulingan sukarno 4


 B. Simatupang sudah bersikap tegas anti komunis.

T.B. Simatupang yang sempat menjabat Kepala Staf Angkatan Perang

(KSAP) RI adalah perwira tinggi yang anti-komunis, yang mempunyai

pandangan strategis, setelah menarik pelajaran dari perkembangan 

perjuangan rakyat negeri-negeri Amerika Latin dan Tiongkok. Simatupang 

berpendapat harus "mencegah terulangnya pengalaman di daratan Cina yang

akhirnya Partai Komunis mengalahkan Partai Kuomintang dan komunisme

menggantikan San Min Chui". [T.B. Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran

Suatu Mitos, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal.157—158].

Simatupang menyatakan bahwa "di daratan Cina pada suatu waktu 

Kuomintang telah dikalahkan Kun Chan Tang dan bahwa San Min Chui telah 

diganti dengan komunisme".... "maka pada suatu ketika dapat timbul di

Indonesia .... partai komunis merebut kekuasaan dan bahwa Pancasila diganti

dengan komunisme." [Ibid, hal.165].

Dalam buku Membuktikan Ketidakbenaran Sebuah Mitos, Simatupang 

memaparkan perbedaan pendapatnya mengenai hal ini dengan Presiden 

Soekarno. [Ibid, hal.162 —167].

Dalam rangka menciptakan syarat buat pelarangan PKI, pada awal 1961 

Simatupang menulis makalah yang memaparkan argumentasi bahwa 

"Marxisme-Leninisme adalah bertentangan dengan Pancasila." Ini terjadi pada 

saat mulai berlakunya Demokrasi Terpimpin di bawah pimpinan Bung 

Karno, dan tokoh-tokoh pimpinan PKI mulai masuk ke dalam lembaga￾lembaga tinggi negara.

Demikian pula A.H. Nasution. Bahkan A.H. Nasution dengan 

menduduki jabatan KSAD, Wakil Panglima Besar Angkatan Bersenjata dan 

Menteri Pertahanan, banyak melahirkan gagasan-gagasan yang berlawanan 

dengan politik Bung Karno, terutama dalam menentang persatuan nasional 

berporos nasakom, melahirkan gagasan strategi pertahanan Perang Wilayah,

dan dalam melahirkan gagasan dwifungsi ABRI serta melahirkan orde baru

menggantikan orde lama. [Baca Tim PDAT, Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi

Tanpa Partai, Perjalanan Hidup A.H. Nasution, Grafitipers, Jakarta, cetakan 

kedua, 2002, 405 halaman].

Dalam berbagai kedudukannya, terutama sebagai Kepala Staf Angkatan 

Darat (KSAD) dan Menteri Pertahanan, Nasution mengendalikan Angkatan 

Darat untuk dengan tangguh bersikap anti komunis, dan berusaha

menempatkan militer pada pucuk kekuasaan negara. Ini berlawanan dengan 

politik-politik Bung Karno yang memelopori realisasi semboyan persatuan

nasional berporoskan nasakom. Sudah semenjak tahun 1948, dengan realisasi 

"Red Drive Proposals", dalam pelaksanaan program Kabinet Hatta, Nasution 

adalah arsitek "Rera" , "reorganisasi dan rasionalisasi" Angkatan Bersenjata 

yang bermuara pada disingkirkannya unsur-unsur kiri dari Angkatan 

Bersenjata RI; [PDAT, 2002, hal.59].

Perkembangannya memuncak pada "Peristiwa Madiun" dengan Musso 

dan pimpinan tertinggi PKI dibunuh, termasuk mantan PM Amir 

Sjarifuddin, Nasution lah yang membuat perintah pada Angkatan Perang RI 

menindak dan menangkap para tokoh juga membubarkan organisasi￾organisasi pendukung dan simpatisan PKL [Idem, hal.61].

Pelaksanaan "Rasionalisasi" menyebabkan tersingkirnya unsur-unsur kiri 

dari Angkatan Bersenjata. Ini menimbulkan ketidakpuasan yang melahirkan 

aksi-aksi perwira dan prajurit yang diwakili Kolonel Bambang Supeno, 

bekas perwira PETA Jawa Timur, bekas Komandan Akademi Militer, Candra

Dimuka.

Tanggal 13 Juli 1952, Bambang Supeno berkirim surat kepada pemerintah, 

presiden, parlemen, dan semua pejabat teras AD. Isinya antara lain 

menyatakan bahwa jiwa patriotisme revolusioner telah meluntur karena - 

dengan rencana "perampingan" itu - para pejabat AD lebih mengutamakan 

profesionalisme teknik kemiliteran dan menempatkan patriotisme sebagai 

hal sekunder." [Idem, hal.85].

Peristiwa ini memicu parlemen melahirkan mosi Manai Sophiaan dari 

PNI yang menuntut perubahan pimpinan Kementerian Pertahanan dan 

Angkatan Perang serta menghentikan program MMB (Misi Militer Belanda).

Mosi ini menyebabkan kecewanya Nasution sebagai KSAD. Inilah yang 

memicu Nasution memelopori peristiwa "17 Oktober 1952", yaitu peristiwa 

menyampaikan petisi dengan aksi demonstrasi yang digerakkan AD dengan 

mengarahkan meriam-meriam ke istana presiden dan menuntut presiden 

membubarkan parlemen. Nasution jadi jurubicara menyampaikan petisi. 

Tuntutan petisi ini ditolak dan dijawab presiden dengan menyatakan tidak 

bersedia menjadi diktator. [Idem, hal.86—87].

Peristiwa ini berkembang sampai Nasution dipecat dari KSAD.

Pemilihan ganti KSAD menimbulkan kekisruhan kalangan pucuk pimpinan 

Angkatan Darat. Wakil KSAD Zulkifli Lubis banyak berperan dalam upaya 

mempersatukan kembali AD. Upaya Lubis menghasilkan "rapat kolegial" di 

Jogjakarta 15—21 Februari 1955 yang menghasilkan kesepakatan berupa 

"Piagam Jogjakarta", piagam keutuhan Angkatan Darat RI yang prinsipnya 

mengikis sisa-sisa benih perpecahan akibat Peristiwa 17 Oktober 1952.

Tanggal 7 November 1955, kabinet memutuskan mengangkat kembali 

Nasution jadi KSAD dengan pangkatnya dinaikkan jadi mayor jenderal. 

Nasution tetap mencengkam pendirian anti-komunisnya dan usaha

menempatkan militer dalam pucuk kekuasaan negara. Nasution tampil dengan 

konsep peran TNI yang "tepat" di dalam kehidupan kenegaraan, yaitu lewatkonsepsi "Jalan Tengah Tentara", cikal bakal dwifungsi ABRI, yang kemudian 

bermuara pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. [Idem, hal.100].

Maka terjadi dan berkembanglah kerja sama presiden dengan Nasution. 

Nasution sendiri tak menyia-nyiakan "peluang emas" ini. Ia menggunakan 

kesempatan emas ini sebagai political bargaining untuk memasukkan 

sejumlah aspirasinya. Nasution menawarkan sejumlah produk 

kontemplasinya kepada Soekarno.

Yaitu pertama, Nasution bersedia menjadi co-formateur kabinet tanpa 

diekspos kepada khalayak dan media massa.

Kedua, mendesak Soekarno agar anasir-anasir PKI - sebagai lawan politik

pihak militer - tidak disertakan di dalam kabinet.

Ketiga, ada wakil militer yang duduk di kabinet. Untuk itu Nasution 

menunjuk Kolonel Suprajogi (Menteri Urusan Produksi) serta Kolonel Nazir 

(Menteri Perhubungan). Dan mengusulkan agar sistem kerja Kabinet Karya 

yang akan dipimpin Juanda itu menggunakan sistem pengorganisasian 

seperti di MBAD. Serta mengusulkan dibentuknya Kementerian Negara 

Urusan Kerja Sama Sipil—Militer untuk mengakhiri polemik dikotomi 

sipil—militer. [Idem, hal. 113].

Dalam pembentukan Dewan Nasional yang merupakan salah satu 

program Kabinet Juanda, Nasution berhasil memasukkan wakil-wakil 

militer lewat pengertian diakuinya militer sebagai golongan fungsional.

Selanjutnya Nasution mengusulkan dalam sidang-sidang Panitia Perumus

Demokrasi Terpimpin tanggal 14 — 15 Agustus 1958 agar militer diberi tempat 

di Dewan Nasional, DPR, maupun kabinet. [Idem, hal. 114].

Menurut Nasution, TNI tak akan bertindak sebagai penonton di pinggir 

arena politik, akan tetapi TNI akan turut terlibat dalam kebijakan nasional di 

bidang politik, ekonomi, keuangan, dan internasional. [Idem, hal.115].

Sidang-sidang Konstituante gagal merumuskan Undang-Undang Dasar 

baru bagi RI. Nasution tampil dengan usul kembali kepada Undang-Undang 

Dasar 1945. W alaupun Bung Karno atas nama pemerintah mengajukan usul 

kembali ke Undang-Undang Dasar 45, Konstituante pun gagal mengambil 

keputusan.

Pada tanggal 5 Juli pagi, Soekarno bertemu dengan kabinet inti. Dan 

sorenya di hadapan ribuan massa, yang sekali lagi dikumpulkan atas 

"inisiatif" Nasution, Presiden Soekarno menyampaikan sebuah pidato. 

Pidatonya itu ternyata adalah Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD '45. [Idem,

hal.123].

Demokrasi Terpimpin ternyata memberi syarat bagi perkembangan PKI. 

Kemajuan dan sepak terjang PKI meresahkan pihak AD. Dengan wewenangyang masih melekat sebagai Peperpu (Penguasa Perang Pusat), Nasution 

bersama para panglima di pusat m aupun daerah berupaya mencegah pengaruh

PKL Nasution memperoleh kesempatan untuk meredam aktivitas politik PKI 

sebagai sebuah partai yang sah dan konstitusional atau tidak.

Tanggal 31 Desember 1959, pemerintah mengeluarkan Penpres No 7- 

1959 mengenai: Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Partai. Nasution

berpendapat, bahwa dalam konsep semula ditentukan bahwa partai-partai 

yang memberontak dibubarkan. Dengan itu terkenalah bukan saja partai￾partai yang tokoh-tokohnya terlibat dalam PRRI, melainkan juga PKI. 

Karena itu Nasution mendukungnya. [Dr. A.H. Nasution, Memenuhi

Panggilan Tugas, Jilid 5, CV Haji Masagung, Jakarta MCMLXXXIX, hal.21].

Menurut Penpres itu akan ditentukan, apakah sebuah partai memiliki 

hak hidup berorganisasi atau dibekukan. Tak terkecuali PKI. Presiden 

Soekarno membentuk tim penguji yang terdiri dari Mendagri Ipik 

Gandamana, Menteri Pembina Jiwa Revolusi Dr. Roeslan Abdulgani, dan 

Menteri Keamanan Nasional KSAD A.H. Nasution. Kedua anggota lainnya 

menolak untuk "menguji" PKI, mereka mempercayakan kepada Nasution.

Menurut asumsi Nasution, walaupun dalam Penpres itu dirumuskan 

partai-partaz' yang sedang memberontak, PKI tetap tak akan lulus untuk

persyaratan ideologis. Persoalannya adalah, menurut Nasution, bagaimanakah 

cara mempertautkan Marxisme dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan 

Nasionalisme. Bukankah PKI juga terikat secara internasional dengan partai￾partai komunis lainnya?

Tak tercapai kebulatan antara ketiga anggota panitia mengenai klasifikasi 

terhadap PKI. Diserahkan pada Presiden Soekarno. Presiden mengambil 

jalan tengah, minta PKI mengubah Peraturan Dasarnya dengan menyatakan 

menerima ketentuan-ketentuan yang dituntut oleh Penpres No.7. Dengan 

Kongres Nasional Luar Biasa, PKI mengamendir Peraturan Dasarnya, 

dengan menyatakan bahwa PKI menerima Pancasila sebagai dasar negara. 

Berbeda dengan harapan Nasution, PKI lulus, diakui sebagai partai yang sah.

Tidak berhasil dengan metode legal-konstitusional, maka Nasution 

berdasar wewenang keadaan darurat menggunakan metode inkonvensional. 

Nasution memang memiliki legitimasi untuk menindak PKI berdasarkan 

kriteria aktivitas yang dianggap dapat membahayakan keutuhan nasional 

dan bangunan sistem demokrasi terpimpin.

Tindakan represif diambil Nasution. Berbagai aktivitas rapat umum dan 

pemogokan buruh yang diadakan PKI dan partai-partai lainnya dilarang. 

Demikian pula "organ" PKI Harian Rakjat yang berupaya bertahan hidup

dengan sirkulasi terbatas karena tekanan embargo jatah kertas koran. 

Beberapa penerbitan majalah dan brosur PKI dilarang.

Karena tekanan AD yang terus-menerus sebagai representasi penguasa 

perang terhadap PKI, secara perlahan polarisasi dalam realitas politik makin 

mengarah pada dua kubu. Yaitu Soekarno dan PKI di satu pihak serta AD 

dari faksi yang anti-PKI di lain pihak untuk membedakan dengan mereka 

yang pro-Nasakom dan Soekarnois.

Ketidak-harmonisan //mitra,/ Soekarno—Nasution makin kentara dan 

melebar, apalagi ketika Soekarno mau memasukkan orang-orang PKI ke 

dalam kabinetnya. Atas dasar persatuan nasakom, Soekarno mencoba untuk 

memasukkan unsur-unsur PKI sejak akhir tahun 1960-an. Upaya Soekarno 

tersebut ditentang hebat faksi AD anti-PKI.

Dan akhirnya upaya tadi baru terwujud pada bulan Maret 1962. Ketika 

itu D.N. Aidit dan M.H. Lukman - masing-masing sebagai ketua dan wakil 

ketua PKI - selain menduduki jabatan yang telah diemban sebelumnya 

sebagai wakil ketua MPRS dan wakil ketua DPR-GR, mereka dimasukkan 

juga ke dalam formasi kabinet dengan kedudukan quasi-cabinet status, 

termasuk di dalam Badan Musyawarah Pimpinan Negara.

Presiden Soekarno juga memperjuangkan agar anggota dan simpatisan 

PKI bisa ditempatkan sebagai gubernur kepala daerah. Keinginan Presiden 

Soekarno ini ditentang Nasution. Presiden setuju, tapi mengambil jalan 

tengah, supaya membolehkan jadi wakil gubernur.

Memenuhi politik TNI yang direkayasa Nasution, menyerahnya kaum 

pemberontak PRRI—Permesta yang disusul dengan kembalinya 

Burhanuddin Harahap, Syafruddin Prawiranegara, dan Ventje Sumual ke 

"pangkuan ibu pertiwi" telah melahirkan perbedaan pendapat.

Pada bulan Januari 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah 

untuk menahan dan menangkap para pemimpin PSI—Masyumi. Termasuk 

mereka yang dianggap tidak terlibat di dalam PRRI. Sebaliknya, Nasution 

melihat dalam dimensi strategis-politis lain, yaitu kembalinya pemimpin￾pemimpin PRRI—Permesta dapat memperkuat barisan anti-komunis dalam 

menghadapi gerakan komunisme di Indonesia.

Ketidakpuasan atas pembentukan DPR-GR dan menghadapi kian 

meningkatnya kedudukan PKI dalam lembaga-lembaga tinggi negara 

melahirkan reaksi dan perlawanan dalam bentuk dibangunnya organisasi 

Liga Demokrasi, yang didukung tokoh-tokoh partai IPKI, PSI, Masyumi, 

Katolik, Parkindo.

Guy Pauker, agen CIA, konsultan RAND Corporation menilai, "aktor 

intelektual di balik pendirian Liga Demokrasi adalah SUAD. Tujuannyaadalah menciptakan krisis, hingga TNI dapat melakukan kup dengan 

dukungan partai-partai tersebut. Tentu saja, setelah sebelumnya menentang 

komposisi DPR-GR serta PKL [Ibid, hal. 135].

Menurut Nasution, pendirian Liga Demokrasi itu muncul atas inisiatif dan 

prakarsa sekelompok perwira intel AD seperti Kolonel Sukendro dan para 

tokoh IPKI. Selanjutnya menurut Nasution, Sukendro pernah mengaku 

sebagai pendiri Liga Demokrasi.

Baik kawan, m aupun lawan meramalkan, jika berlangsung pemilihan 

umum demokratis, PKI akan tampil sebagai pemenang. Untuk menghindari 

ini, Nasution dan Angkatan Darat berusaha mencegah berlangsungnya 

pemilihan umum, dengan menuntut pemerintah menundanya. Pemerintah 

menyetujuinya.

Dalam menentang semboyan persatuan nasional berporos nasakom,

Nasution menampilkan usul menggunakan istilah Politik Karya (Polkar).

Sementara itu. Bung Karno maju terus dengan rencana retoolingnya,

termasuk retooling DPR dengan membentuk DPR Gotong-Royong. Untuk 

membicarakan masalah ini, presiden mengundang ke Tampaksiring, Ali 

Sastroamidjojo (PNI), Idham Chalid (NU), D.N. Aidit (PKI), dan Nasution 

(ABRI). Nasution mengutus Kolonel Wiluyo Puspoyudo dengan 

mengemban instruksi untuk mengamendir Nasakom dengan Politik Karya

(Polkar), yaitu parpol-parpol plus golongan-golongan karya sebagai istilah 

menghimpun secara potensi sejalan dengan konsensus di Dewan Nasional. 

Dengan demikian, posisi partai politik (parpol) dan golkar adalah sederajat. 

Dalam Nasakom terasa dominasi bahkan monopoli parpol. [Dr.A.H. Nasution, 

1989, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 5, cetakan kedua, CV Haji Masagung, 

Jakarta MCMLXXXIX, hal.7].

Setelah memperoleh jaringan yang diinginkan, AD berinisiatif untuk 

menghimpun beberapa organisasi golongan fungsional di luar Front Nasional

dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Wadah baru 

ini dimaksud untuk menandingi Front Nasional yang jelas-jelas pro-nasakom, 

dan sekaligus untuk menghadapi PKI dalam bentuk penggalangan massa. 

[PDAT, 1998, hal.136].

Sekber Golkar inilah yang menjadi cikal-bakal Partai Golkar penyangga 

rezim orba Soeharto.

Berbagai gagasan diajukan dan diambil Nasution untuk mencegah 

kemajuan PKI. Antara lain mengusulkan presiden seumur hidup, 

menentang berlangsungnya Nasakomisasi dalam Angkatan Bersenjata, 

menentang pengangkatan wakil PKI jadi gubernur, memelopori penerbitansurat-surat kabar Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, Suara Islam, untuk 

mengatasi pencabutan izin surat-surat kabar yang anti Nasakom.

Di bawah pimpinannya sebagai Ketua MPRS, menolak pidato Bung 

Karno "Nawaksara" hingga menurunkan Bung Karno dari kedudukan 

Presiden RI. Salah satu kontribusi terbesar Nasution, yang saat itu menjabat 

Ketua MPRS, adalah mengakhiri kekuasaan Presiden Soekarno. [Tim PD AT, 

Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai, Perjalanan Hidup A.H. Nasution,

Grafitipers, cetakan kedua, Jakarta, 2002, hal.232 dan Dr. A.H. Nasution, 

Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 5, cetakan kedua, Grafitipers, CV Haji 

Masagung, Jakarta MCMLXXXIX].

Tanggal 6 Maret 1964, Dubes AS, Jones, mengirim telegram kepada 

Departemen Luar Negeri AS tentang pembicaraannya dengan Nasution 

perihal menguatnya posisi PKI di Indonesia. Dinyatakan bahwa Nasution 

memberi jaminan bahwa bagaimanapun AD akan tetap anti-komunis dan pro

AS. Dalam laporan itu Jones menambahkan, dirinya mengakui akan 

melanjutkan percakapan dengan menghubungi para pemimpin AD lainnya, 

terutama Ahmad Yani.

Telegram Dubes Jones lainnya kepada Deplu AS tanggal 22 Januari 1965 

mengungkapkan, bahwa salah seorang staf kedutaan (mungkin Kolonel 

Willis Ethel yang disinyalir anggota CIA, ed.) telah mendiskusikan suatu ren￾cana sehubungan dengan masa pasca Soekarno dengan Jenderal S. Parman. 

Diskusi itu disebut-sebut sebagai bukti yang menunjukkan sentimen kuat di 

pucuk pimpinan AD untuk mengambil kekuasaan sebelum Soekarno yang 

telah sakit-sakitan itu meninggal dunia. [PDAT, 2002, hal.151].

Semenjak masa pembentukannya, di kalangan kaum kiri terdapat 

pandangan, bahwa tentara adalah dilahirkan oleh revolusi, adalah berasal 

dari anak-anak tani dan buruh. Sampai pada tahun enam puluhan, 

pandangan ini dipertahankan terus oleh pimpinan PKI.

Dalam pidato kuliahnya di depan Seskoad, 1 Juli 1964, D.N. Aidit 

menyatakan bahwa tentara adalah alat revolusi, anti imperialisme. 

"Angkatan Bersenjata RI adalah anti-fasis, demokratis, anti-imperialis, dan 

bercita-cita sosialisme Indonesia. Ia adalah alat untuk mengabdi Revolusi 

Indonesia, untuk mengubah masyarakat Indonesia dewasa ini menjadi 

masyarakat Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis sebagai 

landasan untuk menuju ke sosialisme." [D.N. Aidit, Angkatan Bersendjata dan

Penjesuaian Kekuasaan Negara dengan Tugasi Revolusi, Jajasan Pembaruan, 

Djakarta,1964, hal.7].

Satu penilaian yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Sebagai bagian dari pelaksanaan Red Drive Proposals hasil pertemuan 

rahasia Sarangan, Juli 1948, maka dengan plan Reorganisasi dan Rasionalisasi

(Rera) pemerintahan Hatta, berlangsunglah pembersihan Angkatan 

Bersenjata RI dari anasir-anasir kiri. W alaupun yang jadi Panglima Besar 

adalah Sudirman yang bukan didikan militer Belanda, pada pokoknya 

pucuk pimpinan Angkatan Bersenjata didominasi oleh perwira-perwira 

bekas KNIL, atau hasil didikan militer Belanda. Mulai dari Jenderal Mayor 

Oerip Soemohardjo, Kolonel Abdul Haris Nasution, Kolonel Tahi Bonar 

Simatupang, Kolonel Kawilarang, dan lain-lainnya.

Untuk membendung PKI dan mengusahakan pelarangannya, 

berlangsung pelaksanaan Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960 yang 

menetapkan, bahwa partai-partai politik harus memiliki dasar yang tidak 

bertentangan dengan Pancasila, dan tujuannya tidaklah untuk mengubah 

dasar negara. Oleh karena PKI menganut ideologi pembimbing Marxisme 

Leninisme, maka dikampanyekanlah bahwa Marxisme-Leninisme bertentangan

dengan Pancasila. Inilah yang dilakukan T.B. Simatupang. [Baca H. Rosihan 

Anwar, Sukarno-Tentara-PKI, Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961,

Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006].

Generasi selanjutnya yang mendominasi pimpinan Angkatan Darat 

adalah hasil didikan akademi-akademi militer Amerika, Fort Benning, Fort 

Leavenworth, Fort Bragg. Di antaranya terdapat Achmad Yani, 

Brigjen. Soewarto, Brigjen. Sukendro, Sarwo Edi Wibowo.

Pada tahun 1965, perwira Angkatan Darat yang dididik di akademi￾akademi militer Amerika sudah berjumlah 2000 orang. Generasi perwira￾perwira didikan akademi-akademi milter Amerika inilah yang mendominasi 

pimpinan Angkatan Darat sampai saat ini.

Menurut David Jenkins, selama tahun 1957—1959, "para pemimpin 

militer menolak segala gagasan para pemimpin sipil tentang kedudukan 

militer sebagai alat negara non-politik dan berdampingan dengan Presiden 

Soekarno. Mereka menolak menjadi salah satu dari dua pilar pemerintah 

menghadapi musuh besar mereka, Partai Komunis Indonesia (PKI), yang sangat 

populer di kalangan para pemilih dan berada di luar pemerintahan. Kuatnya 

pengaruh militer secara dramatis di masyarakat pertama kali mendapat 

legitimasinya ketika diterapkannya keadaan darurat, kemudian dengan 

doktrin dwifungsi ABRI yang digagas Jenderal Nasution." [David Jenkins, 

Soeharto & Barisan Jenderal Orba, Rezim Militer Indonesia 1975—1983,

Komunitas Bambu, Jakarta, 2010, hal.2, huruf miring Pen.].

Dalam periode 1959 —1965, para pemimpin tentara, dengan tokohnya 

Jenderal Abdul Haris Nasution yang tangguh anti-komunis memperluas danmempertahankan kedudukan mereka dalam sektor non-militer. Sementara 

itu doktrin mereka—dengan rumusan yang dikembangkan oleh 

Brigjen. Soewarto, Komandan Seskoad di Bandung—digunakan untuk 

melegitimasi apa yang kemudian disebut sebagai "jalan tengah tentara".

Untuk memastikan berlanjutnya peran militer di masyarakat, upaya ini 

setidaknya sebagian didorong oleh perseteruan pihak militer dengan PKI 

yang pada masa 1962 — 1965 membangun kekuatan dalam "segitiga kekuatan"

Soekarno-tentara-PKI.

Seskoad adalah candradimuka, tempat penggemblengan perwira-perwira 

tinggi Angkatan Darat. Di bawah pimpinan Brigjen. Soewarto yang bekerja 

sama erat dengan CM dan RAN D Corporation, Seskoad menjadi tempat 

lahirnya doktrin Angkatan Darat yang anti-komunis.

Doktrin Angkatan Darat Tri Ubaya Shakti dihasilkan oleh seminar 

pertama Angkatan Darat tahun 1964 di bawah prakarsa Jenderal Achmad 

Jani. Doktrin ini memakukan kesetiaan Angkatan Darat pada Pancasila dan 

ajaran-ajaran Bung Karno.

Tahun 1966, Seskoad menyelenggarakan lagi Seminar Angkatan Darat ke- 

2 yang merombak Tri Ubaya Shakti membuang semua ajaran revolusioner 

Bung Karno, //membersihkan,/ bau Soekarnoisme dan paham kiri. [David 

Jenkins, Soeharto & Barisan Jenderal Orba, hal.6. Komunitas Bambu, Jakarta, 

2010].

Bahkan mukadimahnya menyatakan bahwa Komunisme, Marxisme￾Leninisme, Maoisme, bertentangan dengan jiwa Pancasila, menyatakan 

menolak Marxisme-Leninisme dan ajaran-ajaran Mao. Tri Ubaya Shakti juga 

jadi bernapas rasialisme anti-ras Tionghoa. Seminar merumuskan gagasan 

dwifungsi ABRI dengan menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata 

mengemban dua tugas sebagai "kekuatan militer" dan sebagai "kekuatan 

sosial-politik". Sebagai "kekuatan sosial-politik" tugas tentara meliputi 

bidang "ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, dan agama". Tri Ubaya

Shakti adalah doktrin perjuangan Angkatan Darat yang melandasi usaha 

penggulingan kekuasaan Bung Karno, yaitu pembentukan orde baru

menggantikan orde lama, yang dijelujuri komunisto-fobi. Di dalamnya 

dirumuskan: bahwa "masih ada kekuatan PKI dan pendukung￾pendukungnya yang tidak bisa menerima usaha-usaha dan kegiatan￾kegiatan pembaharuan dari orde lama ke orde baru."

Dengan demikian, doktrin Angkatan Darat telah berubah, dari 

mendukung ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, jadi mencampakkan 

ajaran-ajaran revolusioner itu, akhirnya menjadi tegas anti-komunis. Inilah 

yang jadi ideologi pembimbing Angkatan Darat semenjak tahun 1966.

Dengan ideologi pembimbing ini. Angkatan Darat telah jadi f obi revolusi, 

fobi kiri, jadi aparat pembasmian komunisme di Indonesia.

Angkatan Darat menyempurnakan doktrinnya pada Agustus 1966 

dengan menetapkan Catur Dharma Eka Karya,—doktrin Cadek—empat tugas 

satu karya—yang menetapkan bahwa di samping tugas di bidang 

pertahanan dan keamanan, terdapat juga tugas di bidang-bidang lainnya 

dalam masyarakat yang non-militer. Angkatan Darat jadi menyusup dan 

berkuasa di semua bidang kemasyarakatan. Mulai dari kedudukan gubernur, 

bupati, camat sampai kepala desa dipegang oleh Angkatan Darat

Dengan penyempurnaan Tri Ubaya Shakti, Angkatan Darat menjadi fobi￾kiri dan fobi-revolusi. Pada 1983 dilakukan pemurnian lebih lanjut. Terdapat 

pandangan yang berkembang di kalangan Angkatan Darat, bahwa doktrin 

Catur Dharma Eka Karya, meski masih mencerminkan filsafat dasar angkatan 

bersenjata, perlu diamandemen dengan mempertimbangkan adanya 

perubahan struktur sejak 1969 dan seterusnya ... "kata revolusi tidak cocok lagi

dengan pandangan ABRI." [David Jenkins, 2010, hal.6].

CIA mempunyai hubungan erat dengan Angkatan Darat, terutama 

dengan Kepala Badan Intelijen, Achmad Sukendro. Di awal tahun 1960 

melanjutkan studi di Universitas Pittsburg, tapi Sukendro dan sebagian 

besar anggota komando tertinggi Angkatan Darat mempunyai hubungan 

erat dengan atase militer di Kedutaan Besar Amerika. [Baca: David Ransom, 

Ford Country: Building an Elite for Indonesia, Oktober 1970].

Di bawah bimbingan Nasution dan Soewarto, Seskoad mengembangkan 

satu doktrin strategi baru, yaitu strategi Perang Wilayah, yang memberikan 

prioritas pada kontra-pemberontakan sebagai tugas tentara. Terutama sesudah 

tahun 1962, ketika pemerintah Kennedy membantu Angkatan Darat 

Indonesia mengembangkan program "Civic Mission" atau "Civic Action",

yang ini berarti organisasi infrastruktur politik mereka atau "organisasi 

teritorial" yang dalam hal-hal tertentu sampai ke tingkat desa. Sebagai hasil 

dari usul resmi Kementerian Luar Negeri Amerika dalam tahun 1962, 

Pauker membantu menyusun rencana untuk mendirikan di Jakarta, Grup 

Penasihat Latihan Militer (Miltag)— Military Training Advisory Group—,

Amerika untuk membantu pelaksanaan program "Civic Mission" dari Seskoad.

Seskoad juga mendidik perwira-perwira Angkatan Darat di bidang 

ekonomi dan administrasi hingga beroperasi sesungguhnya bagaikan 

setengah-negara, bebas dari pemerintah Soekarno. Dengan demikian. 

Angkatan Darat mulai bekerja sama, bahkan menandatangani kontrak￾kontrak dengan Amerika Serikat, korporasi-korporasi asing di bidang￾bidang yang kini berada di bawah kontrolnya. "Pelaksanaan program

pendidikan ini dipercayakan kepada para perwira dan pejabat sipil yang 

dekat dengan PSI." [ Southwood dan Flanagan, Indonesia: Law, h.35; Scott, 

Exporting, h.233].

Pejabat-pejabat Amerika mengakui, bahwa para pejabat sipil itu, yang 

m endapat dana dari Ford Foundation menjadi terlibat dalam apa yang oleh 

attase militer Amerika waktu itu disebut "contingency planning" untuk 

mencegah PKI merebut kekuasaan negara.

Para pejabat Amerika mengakui bahwa program latihan itu adalah 

"perencanaan menyeluruh untuk mencegah perebutan kekuasaan oleh PKL"

Bantuan militer termasuk kontrak rahasia untuk menyerahkan 200 Aero 

Commanders bagi militer Indonesia. Ini adalah pesawat terbang ringan yang 

bisa dipakai untuk kegiatan "civic action" atau operasi kontra￾pemberontakan yang dilakukan Korps Penerbang Militer, yang semua 

perwira seniornya sesungguhnya dapat pendidikan di Amerika.

Lewat proses pelaksanaan strategi dua puluh tahun Ford Foundation yang 

dikendalikan Cl A, dan pelaksanaan contingency planning, maka terjadilah 

perubahan TKR, Tentara Keselamatan Rakyat yang dilahirkan revolusi 

Agustus 1945. TKR berubah wajah dan berganti hati, menjadi pasukan anti

revolusi, anti ajaran Bung Karno dan jadi pasukan pembunuh kaum kiri di

Indonesia.

8. Kubu Soeharto - CIA

RAND Corporation dan Ford Foundation yang berkolaborasi dengan CIA, 

mendalangi pembentukan kubu Soeharto —CIA di Indonesia.

Semenjak tahun 1949, Ford Foundation sudah memiliki strategi 20 tahun

untuk membangun jaringan di Indonesia yang bisa berfungsi sebagai aparat 

untuk merealisasi the policy of containment dan gagasan politik rollback

terhadap pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno. Ini berarti 

dilaksanakannya "contingency planning" untuk mencegah PKI merebut 

kekuasaan negara. Maka dibangunlah kekuatan yang dikendalikan CIA, 

yang meliputi tenaga-tenaga yang bergerak di bidang politik, militer, 

ekonomi, dan sosial. Tercatat kegiatan Guy Pauker, konsultan RAND 

Corporation di Indonesia, merajut jaringan intelektual yang selanjutnya 

mengabdi pada pelaksanaan "contingency planning". Dalam proses itu, 

terbentuklah kubu Soeharto —CIA yang akhirnya memegang puncak 

kekuasaan orba.Menurut Subandrio, "Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto

terbentuk ketika kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini 

disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap pemberontakan Permesta, 

kampanye pembebasan Irian Barat, dan slogan Ganyang Malaysia tidak 

efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya 

dan Asia Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab 

dengan Nasution. Keakraban AS dengan Nasution—dari perspektif AS— 

awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung Karno yang cenderung 

lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan 

Soeharto sudah menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri. 

[Subandrio, Tentang G30S].

Awal Januari 1965, di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di 

Beograd, datang sepucuk surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk 

Yugoslavia, Yoga Soegama (kelak dijadikan Kepala Bakin oleh Soeharto). 

Pengirimnya adalah Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga ditawari pulang ke 

Jakarta dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik 

bagi Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta, 

langsung menghadap Panglima Kostrad di rumahnya. Jalan H. Agus Salim. 

Mereka bermusyawarah di sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto. 

[Subandrio, Idem].

Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung 

tiga indikasi:

Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal. 

Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di 

Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah perwira AD. 

Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad 

Mayjen. Soeharto.

Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah bersama-sama 

Soeharto menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno.

Ketiga, mereka bertujuan menghancurkan PKL Tiga indikasi ini bukan 

kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali Moertopo (salah satu 

anggota trio Soeharto—Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng aling￾aling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya seperti 

orang tidak berdosa. [Subandrio, Idem].

Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat 

gelap itu, tetapi rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu 

menunjukkan adanya suatu komplotan Soeharto. Komplotan yang bergerak 

dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang memainkan

wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung. 

[Subandrio, Idem].

Dalam pelaksanaan strategi dua puluh tahun, sebagai langkah awal, Ford 

Foundation mengirimkan tim aju yang terdiri atas "akademisi" dari 

Universitas Cornell dan MIT, di antaranya Prof. Guy Pauker yang dikenal 

sebagai analis pada RAND Corporation, di samping jabatan akademisnya 

sebagai Ketua Pusat Studi Asia Tenggara pada Berkeley University. Tugas 

tim tersebut sederhana, yaitu mencari dan mengidentifikasi individu￾individu dari lapisan elite intelektual Indonesia yang memiliki prospek 

untuk dipilih menjalani proses rekrutmen selanjutnya. Dalam rangka 

memudahkan proses identifikasi dan spotting, Guy Pauker membentuk suatu 

organisasi Friends of the United States di Jakarta (yang di kemudian hari 

berkembang menjadi Usindo). Secara alamiah, organisasi sosial tersebut 

menarik minat banyak kalangan elite Indonesia yang berasal dari kalangan 

aristokrat dan intelektual.

Berdasarkan proses spotting yang dilakukan oleh tim terhadap lapisan 

elite Indonesia tersebut, teridentifikasi dua nama, yakni Prof. Soemitro 

Djojohadikoesoemo dan Soedjatmoko dari Universitas Indonesia (UI). 

Keduanya adalah intelektual Indonesia dengan cultural breeding Belanda 

yang dikenal sebagai tokoh terkemuka dari Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Di samping dua nama tersebut, tim juga menyebutkan adanya "a very

small group" di komunitas elite Indonesia baik dari kalangan sipil dan militer 

yang dikategorikan //potensial,/. Dari kalangan sipil, disebutkan nama-nama 

antara lain Ali Boediardjo dan Miriam Boediardjo (kemudian dibina di 

bawah MIT), Selo Sumardjan (kemudian dibina di bawah Cornell 

University), dan lain sebagainya. Dari kalangan militer, dipilih antara lain 

Kolonel Soewarto (yang menempuh pendidikan Sesko di US Army 

Command and General Staff College, Fort Leavenworth) yang kemudian 

menjabat sebagai Wakil Komandan Seskoad

Dalam hal ini, Cornell University dan MIT berperan dalam membangun 

serta memperdalam kontak-kontak yang telah dirintis oleh tim aju dengan 

lapisan elite Indonesia tersebut di atas, sementara pendidikan dan breeding

Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) yang kemudian 

dikepalai oleh Widjojo Nitisastro sebagai direktur.

Di kemudian hari, kader-kader yang dihimpun ini lebih dikenal dengan 

julukan Berkeley Mafia. Mafia ini terbukti berperan vital sebagai penerus 

pengaruh dan penguasaan Amerika Serikat atas Fakultas Ekonomi 

Universitas Indonesia (FE-UI) pasca pengasingan Soemitro

Djojohadikoesoemo akibat keterlibatan PSI dalam pemberontakan 

PRRI/Permesta.

Para ekonom masa depan Indonesia diserahkan pada UC Berkeley 

University. Berdasarkan rekomendasi Soemitro Djojohadikoesoemo, tim 

memberangkatkan gelombang pertama akademisi Fakultas Ekonomi UI 

untuk menempuh Ph.D. di bidang ekonomi dan pembangunan di UC 

Berkeley. Gelombang pertama ini dipimpin oleh orang kepercayaan 

Soemitro, yakni Widjojo Nitisastro dan beranggotakan Soedjatmoko, 

Mohammad Sadli, Emil Salim, Ali Wardhana, Subroto, dan Barli Halim.

Pada tataran institusional, pembentukan jaringan ini berjalan seiring 

dengan pengembangan kelembagaan pada institusi akademis kedua negara, 

sesuai dengan cetak-biru yang terdapat dalam Modern Indonesia Project, yakni 

menciptakan kampus sebagai pusat pengaruh dan penggodokan cetak-biru 

strategis pembangunan negara sasaran. Sebagai contoh, segera setelah tiba di 

UC Berkeley, Mohammad Sadli langsung bermitra dengan Prof. Guy Pauker 

untuk mengelola Pusat Studi Asia Tenggara, sementara Prof. Soemitro 

Djojohadikoesoemo juga membentuk Lembaga. [StarBrain Indonesia, I

Posted: Selasa, 15 Maret 2011: Intelijen, Universitas, dan Jaringan Spionase

Internasional dalam Perspektif Strategi Raya era Global ].

Peter Dale Scott menulis, bahwa sekitar tahun 1953, NSC sudah 

mengesahkan satu dari sejumlah dokumen kebijaksanaan yang menyerukan 

untuk "mengambil aksi diperlukan dengan berkolaborasi dengan negeri￾negeri sahabat, untuk mencegah komunis mengontrol Indonesia secara 

permanen." Dengan putusan NSC 171/1, pada tahun itu sudah 

diperhitungkan latihan militer untuk mempertinggi pengaruh Amerika, 

bahkan melalui CIA ditempuh usaha pertama yang ditujukan pada partai￾partai politik kanan ("kanan yang moderat" menurut sebutan NSC 171) 

terutama partai Islam Masyumi dan partai "sosialis" PSI. Jutaan dolar yang 

sudah dikucurkan CIA buat Masyumi dan PSI pada pertengahan tahun 

1950-an adalah faktor yang mempengaruhi peristiwa-peristiwa 1965, dan 

para perwira yang cenderung pada PSI - terutama Soewarto dan Sarwo 

Edhie menjadi tokoh-tokoh perencanaan dan melaksanakan tugas anti PKI, 

menghadapi G30S.

Guy Pauker adalah agen CIA yang paling terkemuka beraksi di 

Indonesia. Dia mengajar di Universitas California, Berkeley, bekerja sebagai 

seorang konsultan RAND Corporation, di mana dia sering mengadakan 

hubungan dengan perwira-perwira militer Indonesia. Dalam salah satu buku 

terbitan RAND Corporation yang dicetak Princeton University Press, ditulis 

bahwa Pauker telah mendesak perwira militer yang dihubunginya untukmengambil tanggung jawab penuh" bagi kepemimpinan bangsanya dan 

untuk "memenuhi tugas ... memukul, membersihkan rumah."

Sahabat Pauker yang paling akrab di kalangan militer adalah Brigjen. 

Soewarto yang dapat pendidikan akademi militer Fort Leavenworth 

Amerika tahun 1959, yang memainkan peranan dalam menciptakan gagasan 

kontra-pemberontakan. Soewarto membangun Seskoad di Bandung menjadi 

tempat latihan untuk mengambil alih kekuasaan politik. Seskoad menjadi 

titik pusat pemberian bantuan dari Pentagon, CIA, RAND Corporation, dan 

Ford Foundation. Di samping latihan militer dan kontra-pemberontakan,

Seskoad melatih para perwira dalam hal ekonomi dan administrasi, dan 

karena itu mendidik mereka sesungguhnya untuk beroperasi sebagai 

setengah negara yang bebas dari pemerintah."

Seskoad juga mendidik perwira-perwira Angkatan Darat di bidang 

ekonomi dan administrasi hingga beroperasi sesungguhnya bagaikan 

setengah-negara, bebas dari pemerintah Soekarno. Dengan demikian. 

Angkatan Darat mulai bekerja sama, bahkan menandatangani kontrak￾kontrak dengan Amerika Serikat, korporasi-korporasi asing di bidang￾bidang yang kini berada di bawah kontrolnya. "Pelaksanaan program 

pendidikan ini dipercayakan kepada para perwira dan pejabat sipil yang 

dekat dengan PSI". [Southwood and Flanagan, Indonesia: Law, h.35; Scott, 

Exporting, h.233].

Pejabat-pejabat Amerika mengakui, bahwa para pejabat sipil itu, yang 

m endapat dana dari Ford Foundation menjadi terlibat dalam apa yang oleh 

atase militer Amerika waktu itu disebut "contingency planning" untuk

mencegah PKI merebut kekuasaan negara.

Para pejabat Amerika mengakui bahwa program latihan itu adalah 

"perencanaan menyeluruh untuk mencegah perebutan kekuasaan oleh PKL"

Bantuan militer termasuk kontrak rahasia untuk menyerahkan 200 Aero

Commanders bagi militer Indonesia. Ini adalah pesawat terbang ringan yang 

bisa dipakai untuk kegiatan "civic action" atau operasi kontra￾pemberontakan yang dilakukan Korps Penerbang Militer, yang semua 

perwira seniornya sesungguhnya dapat pendidikan di Amerika.

Sebuah penyelidikan Senat Amerika mengungkapkan, bahwa penyuplai 

militer Amerika yang punya hubungan dengan CIA, terutama Lockheed, 

telah merundingkan penjualan peralatan dengan pembayaran lewat 

perantara dengan cara sebegitu rupa, hingga pembayarannya tidak 

melibatkan Nasution atau Yani, tetapi pada pimpinan yang kurang dikenal

dari faksi ketiga tentara, Jenderal Mayor Soeharto. Dana rahasia yang diatur oleh 

Angkatan Udara Amerika Serikat atas nama CIA yang dicucikan sebagai

"komisi" tentang penjualan alat-alat dan servis Lockheed, demi untuk upah 

politik bagi pejabat-pejabat militer - yaitu faksi Soeharto yang didukung CIA.

Titik pusat paling penting dari latihan dan bantuan Amerika adalah 

untuk hubungan-hubungan organisasi teritorial dengan "administrasi sipil, 

organisasi-organisasi agama dan kebudayaan, kalangan pemuda, veteran, 

serikat-serikat buruh, organisasi-organisasi tani, partai-partai politik, dan 

kelompok-kelompok di tingkat-tingkat regional dan lokal." Hubungan￾hubungan politik dengan kelompok-kelompok sipil ini memberikan jaringan

struktur untuk penindasan kejam terhadap PKI dalam waktu dekat.

Roger Hilsman, yang punya karier lama dalam CIA dan Kementerian 

Luar Negeri, mencatat bahwa tahun 1963, sebagai hasil pelaksanaan 

program latihan, "militer Amerika dan Indonesia sudah saling mengenal 

lebih baik. Terdapat hubungan dan saling menghargai antar sesama 

pribadi."

Komite Luar Negeri Congress Amerika mengakui pada waktu 

berlangsungnya kup tahun 1965, lebih dari 1200 perwira Indonesia, 

termasuk tokoh-tokoh militer senior sudah mendapat didikan di Amerika 

Serikat.

Tahun 1965, sekelompok perwira militer muda didorong oleh CIA, 

supaya berusaha melakukan kup terhadap Presiden Soekarno dan 

membunuh enam pucuk pimpinan tentara. CIA merebut kesempatan ini 

untuk mengganti Presiden Soekarno dengan Jenderal Mayor Soeharto. CIA 

menggalakkan kampanye propaganda masif menimpakan dosa 

pembunuhan enam jenderal itu pada PKI. Kampanye bohong media 

memainkan peranan penting membangkitkan kemarahan rakyat terhadap 

PKI. Potret mayat-mayat jenderal yang membusuk dipertunjukkan pada 

semua surat kabar dan siaran tv. Diiringi dengan kisah-kisah bikinan CIA 

yang secara palsu dinyatakan, bahwa para jenderal sudah dipotong-potong 

dan matanya dicongkel oleh wanita-wanita komunis yang bersenjatakan 

pisau silet. CIA juga menyebarkan desas-desus dalam berita pers bahwa 

Tiongkok sudah menyeludupkan senjata bagi PKI untuk membangkitkan 

pemberontakan tak lama lagi.

Dalam pada itu, sekelompok militer Indonesia dan pemimpin-pemimpin 

ekonomi yang sudah mendapat pendidikan CIA di Centre for South and

Southeast Asian Studies di UC Berkeley yang kemudian terkenal dengan 

"Berkeley Mafia", sudah kembali ke Indonesia dan menjadi pendorong di 

belakang kup militer 1 Oktober 1965. Selanjutnya mereka menjadi tulang 

punggung kubu Soeharto dan pemerintahan Soeharto. Anggota-anggota 

utama dari "Berkeley Mafia" ini adalah: Widjojo Nitisastro, yang kemudian

menjadi Menteri Ketua Badan Perancang Nasional (Bappenas) 1967—1983, 

Menko Ekonomi, Keuangan, dan Perindustrian (1973 — 1983), Penasihat 

Bappenas (1983 — 1998), Penasihat Presiden Bidang Ekonomi (1993 — 1998), 

Ketua Tim Pembantu Ekonomi (1999—2001); Ali Wardhana, Menteri 

Keuangan (1973 — 1983), Menko Ekonomi, Keuangan, dan Perindustrian 

(1983 — 1988); Mohammad Sadli, Menteri Pertambangan; Subroto, Menteri 

Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi (1973 —1978), Menteri 

Pertambangan dan Energi (1978 — 1988); Emil Salim, Wakil Ketua Bappenas 

(1967—1971), Menteri Aparat Negara (1971 —1973), Menteri Pengangkutan, 

Komunikasi, dan Turisme (1973 —1978), Menteri Pengawasan Perkembangan 

dan Lingkungan Hidup (1978 — 1983), Menteri Kependudukan dan 

Lingkungan.

Tahun 1961, Angkatan Darat menugaskan Letkol. Suhardiman untuk 

mendirikan organisasi buruh, SOKSI, — Sentral Organisasi Karyawan 

Swadiri Indonesia. Suhardiman mengakui, bahwa pembentukan SOKSI 

adalah untuk membendung perkembangan PKI, untuk mencegah 

kemenangan PKI dalam pemilihan umum yang akan datang. SOKSI menjadi 

anggota International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) yang 

disponsori CIA.

Pada tahun 1964, untuk menghadapi kekuatan PKI dan Bung Karno, 

Angkatan Darat menugaskan Letkol. Suhardiman dari SOKSI menghimpun 

berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan 

nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sekber 

Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir 

untuk menghadapi perkembangan PKI dan organisasi-organisasi yang 

dipimpin PKI. Sekber Golkar inilah yang kemudian berubah menjadi 

Golongan Karya, yang kemudian menjadi Partai Golkar.

Untuk menguasai kehidupan bidang informasi. Angkatan Darat 

menerbitkan surat kabar sendiri, yaitu harian Berita Yudha (1965) dan 

Angkatan Bersenjata. Di samping itu, para wartawan anti-komunis dipelopori 

Harmoko mendirikan organisasi Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). BPS 

didirikan pada tanggal 1 September 1964 dengan menyatakan 

mempopulerkan //Soekarnoisme,/ sebagai senjata untuk mendukung 

penyelesaian revolusi dan terbentuknya masyarakat sosialisme Indonesia 

berdasarkan Pancasila dan berpedoman Manipol, Usdek. M enurut siaran 

BPS, simpati langsung diperolehnya dari Jenderal A.H. Nasution, sejak awal 

juga sudah menerima dukungan dari Amerika Serikat. Namun dukungan 

Washington dikritik sendiri sebagai satu kekeliruan, karena menimbulkan 

kecurigaan rakyat Indonesia.

Tugas BPS sebenarnya dinyatakan dalam program perjuangannya, yaitu 

berperan sebagai champion social dengan melakukan economic reform dan 

political reform, satu tatanan baru yang menolak tatanan ekonomi dan politik 

yang sedang operasional, seperti yang digariskan Bung Karno dan sudah 

disahkan menjadi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh MPRS.

Pada tanggal 17 Desember 1964, Presiden Soekarno membubarkan BPS 

dan pada 23 Februari 1965 memerintahkan supaya semua atribut BPS 

ditutup dan dihentikan kegiatannya. //Soekarnoisme,/ yang dimaksudkan 

sebagai ajaran Bung Karno, di tangan BPS menjadi lain artinya, yaitu 

menunggu momentum untuk menghancurkan ajaran itu. Pada tahun 1983, 

diterbitkan buku yang berjudul Perlawanan Pers Indonesia BPS terhadap

gerakan PKI, yang ditulis oleh Tribuana Said dan D.S. Muljanto. Buku ini 

membuka baju penyamaran BPS dan memakai baju aslinya sambil mengakui 

adanya hubungan BPS dengan unsur-unsur Angkatan Darat dan beberapa 

partai politik seperti Murba, NU, IPKI , PSII, dan Partai Katolik. [Manai 

Sophiaan, Penghargaan Bagi Yang Berhak, VisiMedia, 2008].

David Jenkins menulis, bahwa ketika Soeharto meraih kekuasaan pada 

pertengahan 1960-an, ia benar-benar menyandarkan diri pada sekelompok 

kecil penasihat dari Angkatan Darat. Inilah bagian dariJcwFw Soeharto-CIA.

Pada Agustus 1966, ia membentuk Staf Pribadi (SPRI) yang terdiri dari enam 

orang perwira tinggi AD serta dua tim sipil, para spesialis bidang ekonomi.

Pada 1968, SPRI beranggotakan 12 orang. Mereka secara luas dipandang 

sebagai "pemerintah bayangan" yang punya kekuasaan lebih besar 

dibanding kabinet, utamanya dalam penyusunan kebijakan. Para anggota 

SPRI bertanggung jawab terhadap soal-soal keuangan, politik, intelijen 

dalam dan luar negeri, kesejahteraan sosial, masalah-masalah pemilu, juga 

dengan "masalah umum" dan "masalah khusus".

Koordinator SPRI, Mayjen. Alamsjah Ratu Prawiranegara menjadi 

teman dekat Soeharto sejak mereka bertugas bersama di Markas Besar AD 

pada tahun 1960. Tiga orang lainnya, Ali Murtopo, Sudjono Humardhani, 

dan Yoga Sugama menjadi pembantu Soeharto ketika ia menjadi Panglima 

Kodam Diponegoro, Jawa Tengah pada akhir 1950-an. Mereka kemudian 

bertugas bersama Soeharto lagi ketika di Kostrad. Alamsjah dan Sudjono 

Humardhani memiliki latar belakang keuangan militer, sedangkan Ali 

Murtopo dan Yoga Sugama adalah perwira intelijen yang dinamai Opsus 

(Operasi Khusus) yang didirikan di dalam Kostrad pada 1964 untuk mencari 

cara mengakhiri "konfrontasi" dengan Malaysia. [David Jenkins, Soeharto &

Barisan Jenderal Orba, Rezim Militer Indonesia 1975—1983, Komunitas Bambu, 

2010, hal.27—28].

David Jenkins juga menulis: "Di bawah Soeharto, kekuasaan bukan saja 

terpusat, tetapi berada pada segelintir tangan. Dalam analisa terakhir, 

presiden tergantung pada bantuan kira-kira 12 orang tokoh kunci militer,

masing-masing memimpin organisasi dengan ketat dan sering saling 

bertentangan dalam piramida kekuasaan.

Pada pertengahan 1970-an angota "kelompok inti" ini termasuk Jenderal 

Maraden Panggabean, Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Panglima 

ABRI; Letjen, (kemudian Jenderal) Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri; 

Letjen, (kemudian Jenderal) Yoga Sugama, Kepala Bakin, sebelumnya 

menjabat ketua "dapur kabinet" urusan politik; Laksamana Sudomo, Kepala 

Staf Kopkamtib; Mayjen. (kemudian Jenderal) Benny Mur dani, asisten 

intelijen Menteri Pertahanan; Letnan Jenderal Sudharmono, Menteri 

Sekretaris Negara; Letjen, (kemudian Jenderal) Darjatmo, Kepala Staf urusan 

non-militer Menteri Pertahanan; Letjen. Ibnu Sutowo, Presiden Direktur 

Pertamina; selanjutnya mungkin ada satu atau dua orang lagi." [David 

Jenkins, Soeharto & Barisan Jenderal Orba, Rezim Militer Indonesia 1975—1983,

Komunitas Bambu, 2010, hal.25—26].

Mayjen. Soeharto menjelang September 1965 berada pada puncak 

kekuasaan teritorial dan ekonomi, apalagi militer/intelijen, karena faktor￾faktor penunjang bantuan dana dari CIA/AS, Pertaminanya Ibnu Sutowo, 

Freeport Sulphur dari Irian-Jaya, melalui para perantara A.M. Dasaad, 

Alamsyah Ratuprawira, Walandouw, dan Bob Hasan. Di bidang militer 

Soeharto menguasai selain Kostrad, juga bekas-bekas pasukan dan 

komandan di Jawa Tengah, Jawa Timur (Basuki Rahmat), dan RPKAD serta 

dinas-dinas kavaleri dan artileri Jawa Barat.

Ford Foundation di bawah pimpinan Paul Hoffman dan bekerja sama 

erat dengan Rockefeller Foundation, bergerak cepat memenuhi kata-kata 

Dean Rusk untuk Indonesia. Sebagai Kepala dari Marshall Plan di Eropa, 

Hoffman memberi bantuan mengatur kemerdekaan Indonesia dengan 

memotong bantuan Marshall Plan bagi Belanda, bahkan mengancam akan 

memotong habis bantuan itu, jika Belanda terus membahayakan 

kemerdekaan Indonesia. Karena Amerika adalah penyuplai bagi Belanda, 

Hoffman dan Ford Foundation bekerja sama melalui universitas-universitas 

Amerika - MIT, Cornell, Berkeley, dan akhirnya Harvard - untuk mencetak

baru hierarki Indonesia menjadi adminstrator modern, terlatih untuk bekerja 

dalam kekuasaan yang tidak langsung dari orang-orang Amerika. Dalam 

jargon Ford sendiri, mereka menciptakan satu "elite yang dimodernisasi"

Ford Foundation berkolaborasi dengan RAND Corporation menyusun 

dan melaksanakan strategi dua puluh tahun untuk menghadapi Indonesia.Tahun 1949, Soedjatmoko dan Soemitro Djojohadikoesoemo adalah dua 

orang yang direkrut CIA lewat Ford Foundation dan RAND Corporation 

untuk melaksanakan strategi Ford Foundation di Indonesia. Setelah 

pemberontakan bersenjata PRRI tahun 1958 ditumpas, Soemitro 

Djojohadikoesoemo yang menjadi salah seorang tokohnya, diselamatkan 

CIA di luar negeri, di Singapura.

Sebelum itu, Soemitro lewat kedudukannya sebagai Dekan Fakultas 

Ekonomi Universitas Indonesia sudah sempat merajut jaringan sejumlah 

intelektual muda ahli ekonomi didikannya. Antara lain terdapat Selo 

Soemardjan, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Sadli. Ketika Soemitro di 

pengasingan, fakultasnya tetap jalan terus. Kedudukannya tidak digantikan 

orang. Siswa-siswanya dapat menemuinya dalam perjalanan dari dan ke 

Amerika Serikat. Seorang tokoh buruh seperti Jay Lovestone, ketua program 

international CIA, memelihara hubungan erat dan menyaksikan pesan-pesan 

Soemitro lewat sahabat-sahabat Indonesianya.

Tahun 1959, Pauker menguraikan pelajaran yang ditarik dari kekalahan 

PSI dalam pemilihan umum dan dari kegagalan pemberontakan di luar Jawa 

dalam sebuah tulisan berjudul "Southeast Asia as a Trouble Area in the Next

Decade". Partai-partai seperti PSI adalah 'Tidak cocok untuk kompetisi yang 

sengit/' dan menurut dia, "komunisme akan menang di Asia Tenggara ... 

jika tidak didapatkan kekuatan melawannya yang efektif." Menurut dia, 

kekuatan-kekuatan saingan "yang dipersenjatai dengan paling baik" adalah 

anggota-anggota perwira korps nasional sebagai perseorangan dan tentara 

nasional sebagai kekuatan yang terorganisasi."

Soeharto mengakui, bahwa setelah dia diputuskan untuk belajar di 

Seskoad, "segeralah Pak Gatot Soebroto mengontak Brigjen. Soewarto, 

seorang komandan Seskoad sekaligus agen aktif CIA, yang kemudian berhasil 

menatar dan membekaliku dalam suatu kursus regular sebagai staf 

komando Angkatan Darat. [Hafis Azhari, Catatan Harian Seorang Mantan

Presiden (Membongkar Dokumen Soeharto)]. Brigjen. Soewarto adalah lulusan 

dari Fort Leavenworth pada tahun 1959. Menjabat Wakil Komandan Seskoad. 

Di Seskoad mereka digabungkan dengan orang-orang PSI dan Masyumi 

lainny, bersama Brigjen. Syarif Thajeb —seorang yang digembleng di 

Harvard, jadi menteri pendidikan. [Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di

Indonesia].

Demikianlah, di bawah kendali Guy Pauker berlangsung proses 

perajutan jaringan, hingga terbentuknya grup Soeharto-CIA. Ke dalamnya 

termasuk Adam Malik yang jadi wakil presiden, dua belas jenderal: Jenderal 

Maraden Panggabean, Menteri Pertahanan dan Keamanan dan PanglimaABRI; Letjen, (kemudian Jenderal Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri; 

Letjen, (kemudian Jenderal) Yoga Sugama, Kepala Bakin, sebelumnya 

menjabat ketua "dapur kabinet" urusan politik; Laksamana Sudomo Kepala 

Staf Kopkamtob; Mayjen. (kemudian Jenderal) Benny Murdani, asisten 

intelijen Menteri Pertahanan; Letnan Jenderal Sudharmono, Menteri 

Sekretaris Negara; Letjen, (kemudian Jenderal) Darjatmo, Kepala Staf urusan 

non-militer Menteri Pertahanan; Letjen Ibnu Sutowo, Presiden Direktur 

Pertamina; dan sekelompok sarjana Mafia Berkeley: Widjojo Nitisastro, yang 

kemudian menjadi Menteri Ketua Badan Perancang Nasional (Bappenas) 

1967—1983, Menko Ekonomi, Keuangan dan Perindustrian (1973 — 1983), 

Penasehat Bappenas (1983 — 1998), Penasihat Presiden Bidang Ekonomi 

(1993 — 1998), Ketua Team Pembantu Ekonomi (1999—2001); Ali Wardhana, 

Menteri Keuangan (1973 — 1983), Menko Ekonomi, Keuangan, dan 

Perindustrian (1983 — 1988); Mohammad Sadli, Menteri Pertambangan; 

Subroto, Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi (1973 —1978), 

Menteri Pertambangan dan Energi (1978 — 1988); Emil Salim, Wakil Ketua 

Bappenas (1967—1971), Menteri Aparat Negara (1971 —1973), Menteri 

Pengangkutan, Komunikasi, dan Turisme (1973 —1978), Menteri 

Pengawasan Perkembangan dan Lingkungan Hidup (1978 — 1983); Menteri 

Kependudukan dan Lingkungan.

Kubu Soeharto-CIA inilah yang berhasil menggulingkan Bung Karno, 

menjadi pucuk kekuasaan orba yang fasistis anti-komunis. Sesuatu yang 

diidamkan oleh pemerintrah Amerika Serikat.

Dengan demikian, lewat pengendalian CIA, dengan mengoperasikan 

RAND Corporation, Ford Foundation, Universitas-Universitas Berkeley, 

Cornell dan MIT, serta penggemblengan Seskoad, dengan pengucuran dana 

dari Ford Foundation, menggunakan kekuatan kalangan Masyumi, PSI, 

Murba, serta Katolik, dengan tulang punggung Angkatan Darat, 

terbentuklah kubu Soeharto-CIA. Kubu ini meliputi kekuatan politik, militer, 

ekonomi, persuratkabaran, gerakan buruh. Grup inilah yang jadi eksekutor 

doktrin the policy of containment - Doktrin Truman - dan gagasan rollback John 

Foster Dulles. Inilah aparat pembasmian kekuatan kiri di Indonesia dan 

penggulingan Bung Karno tahun 1965. Dan NSC Amerika Serikat, Politbiro

Perang Dingin, adalah otak, inisiator, perekayasa, dalang semua pembasmian 

kekuatan komunis dan kekuatan kiri di dunia, termasuk di Indonesia.


INDONESIA jelita dijuluki untaian zamrud khatulistiwa. Negeri kepulauan 

dengan belasan ribu pulau tertebar di samudera biru antara Lautan Teduh 

dan Samudera Indonesia. Alamnya indah, subur, dan kaya. Beriklim 

nyaman sepanjang masa. Berpenduduk nomor empat terbesar di dunia 

sesudah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Rakyatnya rajin, ulet bekerja. 

Punya tradisi heroik membela kebebasan negeri. Tapi, sempat tiga setengah 

abad dikuasai penjajah Belanda.

Dalam sejarah tercatat, demi kebebasan, rakyat berjuang melancarkan 

berbagai perang melawan penjajahan Portugis, Spanyol, dan Belanda. Pada 

tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan kepada seluruh rakyat Maluku 

untuk mengusir Portugis dari Maluku, Sultan Babullah Ternate berperang 

selama 5 tahun (1570 —1575) melawan Portugis; 1617, berkobar gerakan 

perlawanan rakyat Minahasa di Sulawesi Utara untuk mengusir kolonial 

Spanyol; tahun 1643, pecah perang Minahasa Serikat melawan Spanyol; dan 

terus-menerus berlangsung berbagai perang melawan penjajah Belanda: 

Perang Hasanuddin melawan VOC (1667), Perang Banten melawan VOC 

(1682, 1886, 1888), Perang Surapati (1686 dan 1706), Perang Tondano (1807— 

1809), Perang Diponegoro (1825 — 1830), Perang Pattimura (1817), Perang 

Palembang, Perang Banjar/Dayak, Perang Bali (pertempuran penghabisan 

tahun 1908), Perang Batak, Perang Lombok (1894—1895), Perang

Banjarmasin (1906), Perang Jambi (1907), Perang Paderi di Minangkabau 

(tahun 1821 hingga 1837), Perang Tapanuli (Singa Mangaraja ke-10 tewas 

tahun 1907), Perang Riau (1913), Perang Aceh (1873 — 1908). Berguguran 

pahlawan di medan tempur. Tradisi heroik rakyat melawan penjajahan 

menghiasi sejarah bangsa Indonesia.

Demi kebebasan dan keadilan, semenjak pertengahan abad XIX, dunia 

dilanda cita-cita sosialisme. Tahun 1848, Marx dan Engels berhasil 

merumuskan Manifes Partai Komunis, yang dimulai dengan kalimat: "Ada 

hantu berkeliaran di Eropa - hantu komunisme." Dan ditutup dengan 

kalimat: "Kaum proletar tidak akan kehilangan apa pun kecuali belenggu 

mereka. Mereka akan memperoleh dunia." [Karl Marx, Friedrich Engels, 

Manifes Partai Komunis, Penerbit Indonesia Progresif, 1973, hal.51 dan 114].

Cita-cita yang terkandung dalam Manifes ini adalah melenyapkan 

penghisapan manusia oleh manusia, membangun sosialisme. Cita-cita ini 

menjalar ke Asia, masuk Indonesia.

Kolonialisme Belanda mengeruk laba besar-besaran dengan 

mencengkamkan kuku kapitalisme. Sebelum tahun 1870, eksploitasi yang 

dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia 

didasarkan atas peraturan "Cultuur Stelsel" . Peraturan ini dilahirkan dalam 

tahun 1830 di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal van den Bosch.

"Cultuur Stelsel" mewajibkan kaum tani: 1. menyerahkan sebagian hasil 

buminya kepada pemerintah Hindia Belanda, 2. kerja paksa (rodi) untuk 

pemerintah 3. memikul berbagai macam pajak.

Kemudian, kewajiban "menyerahkan sebagian hasil buminya" dan "kerja 

paksa" diganti dengan menyerahkan sebagian tanahnya untuk ditanami 

bahan-bahan ekspor yang laku pada waktu itu (kopi, teh, indigo).

Rakyat diwajibkan mengerjakan tanah bagian pemerintah mulai dari 

membuka tanah, menanam, memelihara, menjaga, memetik hasilnya, 

mengangkut ke gudang, menjaga gudangnya, hingga bahan-bahan itu 

terjual. Pekerjaan ini semua dikerjakan dengan paksaan.

Maka kemelaratan menimpa rakyat yang ditindas "Cultuur Stelsel".

Sedangkan Belanda menguras beratus-ratus juta florin (gulden Belanda).

Kekejaman "Cultuur Stelsel" dikritik dengan tajam oleh Eduard Douwes 

Dekker (Multatuli) dengan karya sastranya Max Havelaar. Multatuli dalam 

tahun 1856 menjadi asisten residen di Lebak.

Mengkritik "Cultuur Stelsel", Frederick Engels dalam suratnya kepada 

Kari Kautsky menulis: "Di Jawa berlangsung ... Belanda mengorganisasi 

produksi atas dasar masyarakat komunisme kuno di bawah pengawasan 

negara.... Hasilnya, rakyat hidup dalam taraf keterbelakangan yang primitif.

dan 70 juta marks (sekarang pasti lebih) setiap tahun dikuras masuk 

perbendaharaan nasional Belanda." [Surat Engels kepada Kari Kautsky, 16-2- 

1884, Marx and Engels Selected Correspondence, second edition, Progress 

Publishers, Moscow, 1965, hal.368].

Imperialisme telah menghancurkan "Cultuur Stelsel" dan monopoli 

negara, karena sistem ini sudah tidak cocok lagi dengan tingkat kapitalisme 

yang sudah mencapai puncaknya. Apa yang disebut oleh kaum liberal 

dengan sistem "baru" dan "kerja merdeka" kemudian berwujud sistem 

"baru" dalam mengeksploitasi dan "kerja merdeka" bagi kapital monopoli. 

Sedangkan bagi kaum buruh dan kaum tani, sebagaimana juga di zaman 

"Cultuur Stelsel" dan sistem monopoli negara, yang tersedia hanyalah 

kemelaratan.

Di samping kemewahan luar biasa hidup para pemilik kapital, berjuta￾juta kuli bangsa Indonesia, yang diikat oleh kontrak-kontrak yang 

berdasarkan "ordonansi kuli" (yang pertama untuk Sumatera Timur tahun 

1880), dan jika mereka bekerja kurang keras sedikit saja, mereka mendapat 

pecut dengan rotan. Mereka terikat pada apa yang dinamakan "poenale

sanctie", yaitu ketentuan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda bagi 

mereka yang menyalahi kontrak. Misalnya bagi mereka yang melarikan diri 

karena tidak tahan siksaan.

"Dari 100 kuli kontrak saban tahun meninggal 30 orang. Wanita-wanita 

muda tidak sedikit yang juga diangkut ke daerah-daerah perkebunan, jauh 

dari tempat kelahirannya, dengan upah beberapa sen sehari, dan mereka 

pada akhirnya banyak terpaksa menjalankan prostitusi." [D.N. Aidit, Sejarah

Gerakan Buruh Indonesia, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1952, hal.23].

Dalam tahun 1923 saja ditaksir kapital asing di Indonesia berjumlah 2.650 

juta gulden. Laba yang dikurasnya tiap tahun berjumlah 500 juta gulden. 

[Sanoesi Pane, Indonesia Sepandjang Masa].

Muncullah berbagai usaha perkebunan modern dan perindustrian yang 

dikuasai kapitalis Belanda. Kapitalisme melahirkan kelas buruh. Kontradiksi 

kelas muncul dalam masyarakat Indonesia. Kelas buruh melawan 

penghisapan kapitalis Belanda. Untuk perjuangan ini kaum buruh mulai 

bersatu, membentuk organisasinya sendiri.

Tahun 1905, lahirlah