penulis kesetanan Ngompol pegang lengan nenek di sebelahnya seraya berkata. “Aku melihat ada
dinding batu di bawah sana. Mari kita selidiki....” sinenek yang bukan lain yaitu Sinto
Gendeng guru Pendekar 10000an langsung mengomel.
“Aku kemari mencari Pedang Naga Suci 10000an ! Buat mengobati muridku yang sedang
kapiran! Bukan untuk menyelidiki segala macam dinding! Lagi pula apa kau lupa. Sepasang
naga kuning pasti berada di dalam telaga ini. Salah bergerak kita bisa jadi mangsa mereka!”
“Memang kita harus hati-hati,” ikut bicara Panji. “Selain sepasang naga dan Makhluk
Api Liang Neraka bukan mustahil Kiai Gede Tapa Pamungkas memiliki makhluk peliharaan
lain....”
Ketiga orang ini saat itu berada dalam Telaga neraka penulis epilepsi . Berkat ilmu yang
diberikan Ratu pembunuh penulis kusta mereka bukan saja sanggup berenang sampai jauh ke dasar telaga
tapi luar biasanya juga mampu bernapas dan bicara dalam air tidak beda seolah mereka
berada di daratan terbuka.
Seperti diketahui sebagai penguasa salah satu kawasan laut selatan Ratu pembunuh penulis kusta
memiliki berbagai kesaktian antara lain hidup di dalam air. Sehabis geger besar di
Pangandaran dia pernah membawa Bobo ke dasar laut. sebab nya tidak sulit baginya untuk
menyirap memberi kekuatan pada Sinto Gendeng, Panji dan penulis kesetanan Ngompol hingga ketiga
orang ini mampu berada dalam air. Malah ilmunya jauh lebih hebat dari yang dimiliki oleh
tokoh rimba persilatan lainnya yakni Sika Sure Jelantik. Nenek satu ini telah menolong dan
memberikan ilmu serupa pada Puti nyi pandanajeng , namun hanya berkekuatan selama 100 hari.
“Sinto, jangan kau menakut-nakuti aku. Nanti aku ngompol lagi!” berkata penulis kesetanan
Ngompol yang sudah punya rasa tidak enak.
“Siapa menakuti tua bangka sepertimu! Coba kau lihat ke kanan sebelah bawah!”
teriak arwah penulis
penulis kesetanan Ngompol lakukan apa yang dikatakan si nenek. Panji juga ikut menoleh. Begitu
penulis kesetanan Ngompol memperhatikan ke kanan ke arah dasar telaga pandangannya membentur
satu sosok aneh bergelung yang bukan lain yaitu naga kembar betina peliharaan Kiai Gede
Tapa Pamungkas yang sebelumnya sudah mereka lihat sewaktu masih berada di tepi telaga.
“Kau benar Sinto! Celaka kita bertiga!” kata penulis kesetanan Ngompol. Kakek ini langsung
tekap bagian bawah perutnya. Tapi sebab takut dia tak bisa menahan kencingnya. Begitu
air kencing si kakek mencemari air telaga maka di dasar telaga terdengar suara
menggemuruh. Air telaga menggelombang.
Naga betina yang memang sudah tahu kalau ada makhluk lain di dalam telaga,
segera bergerak menggeliat. Kepalanya dipentang. Dari mulutnya keluar desisan keras yang
membuat air telaga laksana ombak besar menghantam ke arah Sinto Gendeng, penulis kesetanan
Ngompol dan Panji hingga ketiga orang ini terpental beberapa tombak. Naga betina ini siap
menyerbu. Tapi begitu sepasang matanya yang merah melihat cairan kuning mengambang
di hadapannya binatang ini keluarkan ringkikan aneh dan panjang menggidikkan lalu
bersurut menjauh.
“Ha... ha...! Naga itu takut melihat air kencingku!” kata penulis kesetanan Ngompol tertawa
mengekeh sambil menunjuk-nunjuk ke arah naga betina. Tapi suara tawanya serta merta
lenyap dan berubah menjadi jeritan kaget ketika dari arah kiri naga jantan yang sebelumnya
mendekam diam tiba-tiba membuka gelungan tubuhnya lalu meluncur ke arah tiga orang
itu.
Kini bukan cuma penulis kesetanan Ngompol yang terkencing-kencing saking kaget dan takut.
arwah penulis juga ikut basah kainnya. Sedang Panji serasa terbang nyawanya. Cairan
kuning bertebaran dimana- mana. Seperti naga betina tadi, begitu melihat dan mencium air
larangan yang keluar dari tubuh penulis kesetanan Ngompol dan Sinto Gendeng, naga jantan meringkik
aneh dan meliukkan tubuh lalu berenang menjauh.
Di dasar telaga untuk kesekian kalinya muncul suara menggemuruh disertai
goncangan keras. Untuk beberapa lamanya air telaga menjadi keruh menghalangi
pemandangan.
“Nek! Nenek Sinto Gendeng!”
Tiba-tiba ada teriakan memanggil arwah penulis
“Edan! Siapa yang memanggil diriku di tempat seperti ini! Apa telaga ini ada
hantunya?!” ujar arwah penulis Dia memandang berkeliling. Tapi air telaga masih keruh. Si
nenek tak bisa melihat dengan jelas.
“Suaranya seperti suara anak kecil!” kata penulis kesetanan Ngompol seraya celingak-celinguk
ikut mencari. “Jangan-jangan ada tuyul di tempat ini! Eh, apa ada tuyul berkeliaran dalam
air?!”
arwah penulis pentang dua matanya besar-besar.
“Nek! Saya di bawah sini!”
penulis kesetanan Ngompol meniup ke bawah. Sesaat air telaga yang keruh menjadi jernih. Begitu
dia memandang ke bawah dia melihat satu dinding tinggi berkeluk, laksana sebuah tonggak
raksasa. Lalu pada bagian bawah dinding batu itu dilihatnya satu sosok terpentang seolah
menempel ke dalam batu. penulis kesetanan Ngompol pegang lengan arwah penulis lalu menunjuk ke
bawah sana. “Kau lihat dinding batu itu? Lihat di sebelah bawahnya. Ada patung anak
kecil!”
Saat itu air telaga telah jernih kembali. Penglihatan si nenek menjadi terang, “itu
bukan patung! Itu manusia!” ujar arwah penulis “Kalau patung mana mungkin bisa
bicara!”
“Kalau manusia mengapa menempel di dalam dinding batu! Tidak berg era k-g era k!
Aku baru yakin itu manusia kalau mendengar dia kentut!” Habis berkata begitu penulis kesetanan
Ngompol tertawa mengekeh. Tidak terasa kembali air kencingnya keluar.
“Biar saya berenang ke bawah,” berkata Panji.
“Ya, mari kita turun menyelidiki!” kata arwah penulis yang jadi penasaran. Lalu
mendahului melesat ke bawah.
Sejarak lima tombak dari dasar telaga arwah penulis keluarkan seruan yang
membuat penulis kesetanan Ngompol kaget dan buru-buru tekap bagian bawah pusarnya.
“Astaga! Anak itu kiranya!”
“Heh, anak itu anak siapa?!” tanya penulis kesetanan Ngompol.
arwah penulis tidak perdulikan pertanyaan orang terus saja dia berenang menukik
ke arah dasar dinding. Kali ini hanya Panji yang terus mengikuti sedang penulis kesetanan Ngompol
berhenti berenang sebab dia lebih tertarik pada rangkaian tulisan yang tertera di dinding
batu.
Di sebelah atas tertulis besar kata-kata “Liang Lahat”. Namun belum sempat dia
membaca seluruh tulisan yang ada di dinding berbentuk setengah lingkaran itu tiba-tiba di
bawah sana arwah penulis berteriak memanggil. Si kakek segera berenang ke dasar telaga.
“Kau lihat sendiri! Yang ada dalam batu itu manusia atau patung!” kata Sinto
Gendeng begitu penulis kesetanan Ngompol sampai di dekatnya. Si kakek memandang ke depan ke arah
yang ditunjuk arwah penulis “Walah! Memang manusia. Anak kecil. Matanya bisa kedap
kedip tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Melesak menempel ke dalam dinding batu!”
“Dia memang tak bisa bergerak tapi bisa bicara! Aku akan menanyainya! Aku kenal
betul anak ini!” kata arwah penulis pula. “Naga Kuning, aku tahu kawasan ini ada di
bawah pengawasanmu. Tapi coba katakan dulu permainan apa yang hendak kau per-
lihatkan padaku saat ini!”
Anak kecil yang dipendam di dasar Liang Lahat cibirkan mulutnya lalu menjawab.
“Ini bukan permainan. Saya dihukum pendam ke dalam batu oleh Kiai Gede Tapa
Pamungkas.”
“Heh, apa orang tua itu masih ada di sekitar sini?” bertanya arwah penulis sambil
melirik berkeliling.
“Dia sudah pergi. Tidak tahu pergi ke mana!”
“Ceritakan apa yang terjadi atas dirimu! Mengapa kau dihukum begini rupa?!”
“Nanti akan saya jelaskan Nek. Tapi harap kau mau menolong membebaskan saya
dari dalam batu ini.”
“Kalau kesalahanmu tidak besar pasti hukumanmu tidak seberat ini! Apa yang kau
lakukan bocah sial? Kau mengintip sang Kiai lagi kencing atau bagaimana? Hik... hik... hik!”
“Sinto! Jangari membanyol! Aku bisa kencing!” berkata penulis kesetanan Ngompol.
“Tubuhnya tak bisa bergerak. Mungkin dia ditotok Nek,” kata Panji pula.
“Hemmm.... Kalau benar kau ditotok cepat beri tahu bagian tubuhmu sebelah mana
yang ditotok agar aku bisa menolong,” kata arwah penulis
“Saya tidak ditotok. Tapi dipendam dalam batu! Saya bisa bergerak kalau bebas dari
pendaman...” menerangkan Naga Kuning.
“Kalau begitu biar aku tarik tangan dan kakimu!” kata arwah penulis pula. Lalu
nenek ini cekal tangan kiri dan pergelangan kaki kanan Naga Kuning. Sekali menarik pasti
anak itu bisa dikeluarkannya dari pendaman batu. Tapi sampai mukanya mengerenyit ke-
riputan dan rahangnya menggembung sosok Naga Kuning tak bisa dikeluarkan. Tubuh
anak ini menempel laksana jadi satu dengan dinding batu Liang Lahat.
arwah penulis tak mau mengalah. Dia kerahkan tenaga dalam. Tetap saja tubuh
Naga Kuning tidak bergerak barang sedikit pun! Malah tiba-tiba dari bagian tubuh bawah
sebelah belakang si nenek kelihatan gelembung-gelembung air banyak sekali disertai suara
merepet berkepanjangan. Lalu air laut di sekitar situ mendadak menjadi bau:
“Sialan kau Sinto! Kau kentut ya!” teriak penulis kesetanan Ngompol seraya berenang menjauh
sedang Panji tutup hidungnya dengan belakang telapak tangan sambil pergunakan tangan
kanan untuk mendorong air di sekitarnya yang menjadi bau akibat kentut si nenek. Di
dinding batu Naga Kuning tertawa gelak-gelak.
Sebaliknya arwah penulis hanya menyengir.
“Baru kentut saja kalian sudah kelabakan! Belum lagi menghadapi bahaya besar!”
kata si nenek pula.
“Nek...!” Naga Kuning ikut bersuara.
“Bocah sialan! Diam sajalah! Dan kau tua bangka tukang ngompol jangan diam saja!
Bantu aku mengeluarkan anak ini dari dalam batu! Kau juga Panji! Jangan pura-pura jadi
orang geblek! tarik pinggang anak ini!”
“Menurut penglihatanku anak ini tidak bisa dikeluarkan walau ada seratus kuda
yang menarik tubuhnya!” kata penulis kesetanan Ngompol pula.
“Kau cuma bicara. Bantu saja. Tarik pinggangnya!” bentak arwah penulis
“Nek....”
“Kau! Nak - Nek.... Nak - Nek! Diam!” bentak arwah penulis jengkel.
“Dengar dulu Nek.... Kakek ini benar. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa
mengeluarkan tubuh saya dari dalam dinding batu Liang Akhirat ini....”
“Kalau begitu nasibmu benar-benar sial! Kau akan mampus cepat atau lambat! Hik...
hik... hik! Sudah! Aku hanya menghabiskan waktu saja! Aku ada urusan lain di dasar telaga
ini!”
“Saya tahu apa yang kau cari. Saya tahu benda itu berada di mana. Jika kau mau
menolong akan saya katakan padamu!”
“Naga Kuning, kalau kau memang tahu dimana beradanya benda yang dicari Nenek
ini, mengapa kau tidak lekas mengatakan?” berkata Panji. penulis ini yang mulai tahu sifat
si nenek yang gampang naik darah berusaha membujuk,
arwah penulis pelototkan mata.
“Hemmm.... Dulu aku menolongmu waktu kau digebuk Sabai Nan Rancak. Aku
tidak mengharapkan pamrih. Tapi hari ini keadaan lain. Baik, aku akan menolongmu. Sudah
kulakukan. Tapi tidak bisa. Lalu apa lagi?!”
“Ada caranya Nek...” kata Naga Kuning pula.
“Coba kau bilang!”
“Kiai Gede Tapa Pamungkas, Telaga neraka penulis epilepsi dan segala apa yang telah
dibangun oleh sang Kiai di tempat ini yaitu Liang Akhirat dan Liang Lahat termasuk
Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang Lahat, mempunyai satu pantangan besar,
Tidak boleh terkena air larangan. Semuanya bisa musnah!”
“Air larangan! Sebut saja air kencing!” tukas arwah penulis sambil menyeringai
buruk.
“Tapi air kencing itu tidak air kencing orang sembarangan Nek,” ujar Naga Kuning.
“Hanya mempan kalau air kencingnya yaitu air kencing orang yang telah berusia lebih
dari tujuh puluh tahun tujuh bulan dan tujuh hari.... Air kencing temanmu penulis
beranting-anting ini tidak mempan dan tak bisa menolongku!”
“Ada-ada saja...!” ujar penulis kesetanan Ngompol lalu tertawa terbahak-bahak dan tentu saja
sambil ngompol lagi. Sementara Panji hanya bisa melongo mendengar kata-kata Naga
Kuning itu.
“Kau bicara panjang lebar. Tapi belum mengatakan bagaimana caranya kami
menolongmu!” kata arwah penulis “Atau mungkin tubuhmu bisa kukorek dengan tusuk
konde yang ada di kepalaku!” Si nenek langsung hendak mencabut dua buah tusuk konde
perak di kepalanya.
“Saya tahu tusuk konde itu sakti mandraguna. Bisa menembus batu gunung sebesar
apapun. Tapi kesaktiannya tidak mungkin bisa membebaskan diri saya. Hanya ada satu cara
Nek. Tubuh saya hanya bisa bebas jika diguyur dengan air larangan!”
arwah penulis pelototkan mata mendengar keterangan Naga Kuning itu. Dia berpaling
pada penulis kesetanan Ngompol yang saat itu memandang melongo ke arahnya. Dua kakek nenek
ini lalu tertawa gelak-gelak sementara Panji diam-diam merasa tidak enak. Dia tidak
melihat ada hal yang lucu. penulis ini maklum kalau telaga itu diselimuti berbagai macam
keanehan yang terkadang mengandung keangkeran dan sekaligus bahaya maut.
sebab tertawa begitu rupa penulis kesetanan Ngompol dan arwah penulis sama-sama
terkencing-kencing. Akibatnya Telaga neraka penulis epilepsi kembali tercemar air larangan. Suara
menggemuruh terdengar lagi di dasar telaga. Gelombang kembali menggoncang. Sepasang
naga meringkik panjang. Beberapa lamanya keadaan di telaga diselimuti kegelapan.
Begitu keadaan tenang dan air yang keruh jernih kembali arwah penulis berkata.
“Gila! Masakan air kencing lebih sakti dari senjata mustika dan lebih hebat dari kekuatan
tenaga dalam!”
“Nek, kau menyaksikan sendiri setiap kau dan temanmu mengeluarkan air kencing
keadaan di sini laksana mau kiamat. Sepasang naga meringkik ketakutan. Telaga ini laksana
mau terjungkir balik!”
“Nek, saya rasa anak ini tidak bicara dusta...” berbisik Panji pada arwah penulis
arwah penulis terdiam sejurus. “Naga Kuning, kalau memang air kencing yang bisa
membebaskan dirimu dari pendaman batu itu baiklah. Mari kita lihat! penulis kesetanan Ngompol cepat
kau kencingi bocah itu!”
“Eh, mengapa aku?!” seru penulis kesetanan Ngompol sambil memandang dengan sepasang
matanya yang jereng mendelik pada si nenek.
“Apa susahnya mengencingi anak itu! Apalagi kau tukang ngompol. Punya banyak
persediaan air larangan! Sudah! Ayo kau kencingi dia! Hik... hik... hik!”
“Tunggu dulu!” Naga Kuning tiba-tiba berseru. “Yang mempan dan sanggup
membebaskan diri saya dari pendaman batu Liang Lahat ini hanyalah air kencing
wanita lesbi yang usianya lebih dari tujuh puluh tahun tujuh bulan tujuh hari! Lalu air
larangan itu harus jatuh langsung dari atas. Tidak boleh mengucur lewat tubuh atau
pakaian....”
“Nah... nah... nah!” penulis kesetanan Ngompol berseru keras lalu tertawa gelak-gelak dan
kencing lagi. “Sinto! Berarti hanya kau yang bisa menolongnya!”
Nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu pen-tang wajah marah dan untuk
beberapa lamanya dia tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku tidak mau!” kata arwah penulis akhirnya. “Kau cuma mau mengerjaiku!”
“Kalau tidak mau bocah itu tidak akan memberi tahu di mana tersembunyinya benda
yang kau cari itu.,.” kata penulis kesetanan Ngompol yang membuat arwah penulis tambah marah,
“Perduli penulis kesetanan ! Dulu aku sendiri yang menyembunyikan benda itu. Aku masih bisa
mengira-ngira dimana letaknya! Aku pasti bisa mendapatkannya tanpa pertolongan penulis kesetanan
kecil ini!”
“Jangan tolol Sinto. Kejadian itu puluhan tahun silam. Keadaan sudah berubah.
Sampai tubuhmu bongkok lalu lempang lalu bongkok lagi belum tentu kau bisa
menemukan!” ujar penulis kesetanan Ngompol.
“Bocah penulis kesetanan ! Kau benar-benar mengerjaiku!” kata arwah penulis pada Naga Kuning
dengan mata melotot.
“Sinto! Pertolongan itu mudah sekali melakukannya! Kau hanya menempatkan
dirimu di atas kepala anak itu. Lalu menyingsingkan kain bututmu, menungging sedikit dan
serrr.... Beres sudah!”.
“Sialan kau penulis kesetanan Ngompol! Kau bisa berkata begitu sebab bukan kau yang
melakukan!” Menggerendeng arwah penulis
“Nek, untuk kebaikan mungkin sekali ini kau terpaksa mengalah...” berkata Panji.
Sambil terus mengomel panjang pendek si nenek berenang berputar-putar. Akhirnya
dia naik ke atas. “Aku peringatkan pada kalian semua!” kata arwah penulis “penulis kesetanan
Ngompol! Kau lekas mendekam di belakang dinding batu sana! Jangan berani mengintip
auratku! Kau juga Panji! ikuti kakek itu ke belakang dinding batu!”
“Sinto.... Sinto! Aurat gadislesbian saja aku tidak doyan mengintip. Apalagi kayu hitam
lapuk yang sudah; dimakan rayap sepertimu!” penulis kesetanan Ngompol tertawa gelak-gelak. Namun
dia melakukan juga apa yang dikatakan si nenek yaitu berenang ke balik dinding Liang La
hat sambil tekap tubuhnya sebelah bawah dengan kedua tangan. Panji berenang mengikuti
di belakangnya. arwah penulis kembali memaki panjang pendek lalu bergerak mendekati
dinding batu , tepat di atas kepala Naga Kuning.
“Bocah penulis kesetanan ! Aku akan menolongmu! Tapi awas! Jangan kau berani melirik atau
mengintip ke atas! Kalau itu kau lakukan jangan menyesal kedua matamu akan aku korek
dan seumur hidup kau akan terpendam dalam batu celaka itu!”
Naga Kuning mencibir.
“Nek, sepasang mata ini memang sudah puluhan tahun tidak melihat aurat terlarang.
Tapi kau tahu siapa diri saya. Lagipula mana mungkin saya berlaku tidak hormat terhadap
orang yang hendak menolong?!” Seperti diketahui Naga Kuning alias Naga Cilik atau Naga
Kecil ini sebenarnya yaitu seorang kakek berusia jauh lebih tua dari arwah penulis atau
penulis kesetanan Ngompol.
“Sudah! Kau bocah tua bangka pandai bicara! Aku segera menolongmu! Tutup
matamu!” arwah penulis lalu tempelkan tubuhnya sebelah belakang yang bungkuk ke
dinding Liang Lahat tepat di atas sosok Naga Kuning yang terpendam ke dalam dinding
batu itu.
Naga Kuning segera pejamkan ke dua matanya. Tapi setelah menunggu cukup lama
tidak terjadi apa-apa.
“Nek, kau masih berada di atas atau bagaimana?!” Naga Kuning bertanya.
“Diam! Aku masih di dekat dinding di atas kepalamu! Tutup mulutmu! Kau hanya
membuyarkan perhatianku!” Terdengar bentakan arwah penulis
Naga Kuning tak berani berkata apa-apa lagi. Tapi setelah kembali menunggu cukup
lama dan tetap tak terjadi apa-apa anak ini menjadi tidak sabaran. Kedua matanya dibuka.
”Nek....”
“Tutup mulutmu! Tutup matamu! Atau kutusuk sampai kau buta!”
“Saya sudah menunggu lama! Tapi kau tidak kencing-kencing juga!” jawab Naga
Kuning. Walau sesaat tapi anak ini masih sempat melihat si nenek di atasnya, menempel ke
dinding batu menungging.
7
Dia berusaha menahan diri agar tidak tersenyum apalagi sampai tertawa cekikikan.
Dalam hati anak ini berkata, “Seumur hidup baru sekali ini aku melihat nenek-nenek.
Ternyata menyerupai ikan pepes kering kejemur matahari!”
Dari sebelah atas terdengar suara arwah penulis
“Aku sudah berusaha kencing. Tapi tidak bisa-bisa! kencing sialan! Dipaksa tidak
mau. Biasanya sebentar-sebentar aku kencing!”
Di balik dinding batu Liang Lahat penulis kesetanan Ngompol dan Panji tertawa cekikikan
mendengar ucapan arwah penulis tadi. Sebaliknya arwah penulis keluarkan suara
menggerendeng lalu mengedan-edan sekuat tenaga agar bisa kencing hingga tubuhnya
tambah bungkuk hampir terlipat. Setelah berusaha setengah mati tiba-tiba beerrrrr....
Naga Kuning merasa ada air hangat laksana mancur mengucur membasahi
kepalanya. Air hangat dan bau pesing ini turun ke muka terus membasahi tubuhnya. Si
bocah seperti mau muntah ketika ada air kencing membasahi mukanya mengalir ke bawah
hidung, turun ke bibirnya dan hampir tertelan!
Pada saat yang sama Naga Kuning merasa dinding batu dimana dia terpendam
menjadi panas. Tiba-tiba didahului suara menggemuruh seolah datang dari dasar telaga
yang membuat dinding batu Liang Lahat itu bergoncang keras, tubuh Naga kuning terpental
keluar. Ada hawa aneh mendera keras membuat arwah penulis tersapu sampai beberapa
tombak.
“Hai! Apa yang terjadi?!” Terdengar suara penulis kesetanan Ngompol berseru. Kakek ini dalam
keadaan terkencing-kencing keluar dari balik dinding batu bersama Panji. Wajah mereka
tampak pucat. Dilihatnya
Naga Kuning melayang dalam air sedang arwah penulis tengah berenang mendekati
anak itu.
“Bocah penulis kesetanan ! Kau sudah kutolongi! Sekarang katakan di mana beradanya benda
yang kucari!” Tahu-tahu si nenek sudah berada di depan Naga Kuning yang saat itu tengah
mengusap mukanya berulangkali berusaha membersihkan sisa-sisa air kencing Sinto
Gendeng yang tadi ikut, membasahi mukanya.
“Nek, terlebih dulu saya mengucapkan terima kasih. Kalau kau tidak mengencingi
diri saya akan terpendam selamanya di Liang Lahat itu.... Sebelum saya memberi keterangan
saya mau bertanya dulu. Mana kakek yang dulu ikut mengobati lengan saya yang patah?
Dan siapa kakek satu ini? Apa pacarmu yang baru?!”
Panji tersentak mendengar ucapan si bocah yang begitu berani. penulis kesetanan Ngompol sesaat
melongo lalu tertawa gelak-gelak dan kencing lagi. Sebaliknya arwah penulis langsung naik
darah.
“Bocah kurang ajar! Naga Kuning! Kau minta aku gebuk?!”
“Harap maafkan, bukan maksud saya mau kurang ajar. Cuma mau menanya saja, itu
tanda saya suka padamu dan juga pada orang tua berjuluk Kakek Segala Tahu itu...”
“Bocah sialan! Kalau kau memang benar-benar anak kecil boleh saja kau bilang suka
padaku! Apa kau tidak sadar sudah berapa umurmu?!
“Ah, maafkan saya. Saya memang tidak tahu diri!''
kata Naga Kuning pula tersipu-sipu lalu ketika si nenek tidak melihat ke arahnya dia
mencibirkan bibirnya.
penulis kesetanan Ngompol mendekati arwah penulis dan bertanya. “Menurutku anak ini paling
bantar baru berusia dua belas tahun. Aku tidak mengerti pertanyaanmu tadi.
Memangnya bocah itu berapa usianya?”
“Kau tak perlu mengerti. Dibikin mengerti kau tak bakalan mengerti. Yang kau
mengerti cuma beser alias ngompol!” jawab arwah penulis membentak saking kesalnya.
Dibentak begitu rupa dalam air penulis kesetanan Ngompol melayang mundur dan unjukkan
muka sedih. Dalam keadaan seperti itu tetap saja dia kembali ngompol.
“Apa kataku! Sedih saja kau masih ngompol!” kata si nenek. Dia berpaling pada Naga
Kuning. “Kau tunggu apa lagi! Ayo beri tahu di mana beradanya benda yang aku cari itu!”
“Nek, di dasar telaga ini tersimpan berbagai benda rahasia. Belasan orang coba
mencarinya. Mereka bukan saja tidak berjodoh dengan benda-benda itu tetapi mereka hanya
mencari kematian. Tolong kau beri tahu benda apa yang tengah kau cari.”
“Bocah geblek!” maki arwah penulis “Kau mau menipuku atau bagaimana?! Tadi
kau bilang tahu apa yang aku cari. Sekarang malah bertanya!”
“Maafkan saya Nek. Soalnya seperti saya bilang tadi ada beberapa benda sangat
berharga dicari orang di Telaga neraka penulis epilepsi ini. Saya takut memberi keterangan
keliru....”
Setelah menggerendeng lebih dulu baru si nenek memberi tahu.
“Aku mencari sebilah pedang sakti. Pedang Naga Suci 10000an . Senjata ini tidak
bersarung. Bentuknya bergulung seperti ikat pinggang. Puluhan tahun lalu pedang itu aku
sembunyikan di satu tempat di dasar telaga ini. Sekarang senjata itu harus segera
kutemukan untuk mengobati muridku!”
“Maksudmu mengobati Pendekar 10000an Bobo anak manusia ?” tanya Naga Kuning.
“Betul!” jawab arwah penulis Lalu tidak sabaran dia berkata. “Ayo lekas kau
terangkan dimana pedang itu beradanya!”
“Naga Kuning,” tiba-tiba Panji berkata. “Aku punya seorang sahabat, gadislesbian bernama
Puti nyi pandanajeng . Berpakaian serba merah.... Katanya dia ke sini mau mencari sesuatu. Sebuah
batu....”
“penulis kesetanan alas!” teriak arwah penulis “gadislesbian hantu siapa yang kau tanya! Jangan berani
bicara memotong ucapan orang! Kau tahu aku tidak suka kau ikut ke tempat ini! Kalau
bukan gara-gara Kakek Segala Tahu sialan itu jangan harap….”
“Sinto! Jangan membentak terus-terusan. Aku jadi kaget-kagetan dan kencing terus!”
penulis kesetanan Ngompol berkata.
Tadinya si nenek juga hendak mendamprat kakek satu ini. Tapi dia akhirnya
berpaling pada Naga Kuning dan berkata. “Kau masih belum mau bicara mengatakan di
mana pedang sakti itu?!”
Naga Kuning menghela napas dalam. Wajahnya tampak murung.
“Nek, sebenarnya kau datang terlambat....”
Mata arwah penulis membeliak. Wajah tuanya membersitkan seribu kerutan. penulis kesetanan
Ngompol yang merasa tegang mendengar percakapan kedua prang itu diam-diam kembali
terkencing di celana.
“Bocah penulis kesetanan ! Apa kau bilang?! Aku terlambat? Memangnya pedang sakti itu sudah
diambil orang lain? Siapa?!”
Senjata itu masih ada dalam telaga ini, Nek. Masih dalam keadaan tergulung. Tapi
berada di perut naga kembar yang betina itu....” Menerangkan Naga Kuning seraya
menunjuk pada naga kuning betina yang mendekam di kejauhan.
arwah penulis menatap sejurus ke arah naga betina. “Aku tidak percaya. Bagaimana
pedang itu bisa berada dalam perut naga. Mana ada ular doyan pedang!”
“Kau betul Sinto,” menimpali penulis kesetanan Ngompol. “Bocah ini hendak menipu kita!”
“Nenek Sinto, kau tahu siapa diri saya ini. Mana mungkin hendak berlaku culas
padamu. Dua kali dengan ini kau menolong diri saya. Walau cuma seorang tua bangka
bertampang bocah buruk tapi saya bukan bangsa manusia yang tidak mengerti budi orang.
Saya sudah memberi tahu apa yang kau ingin tahu. Walau budimu belum dapat saya balas
namun saya terpaksa meninggalkanmu. Air larangan sudah terlalu banyak di tempat ini.
Bukan mustahil sebentar lagi telaga ini akan amblas musnah. Lebih baik kalian cepat-cepat
pergi dari sini....”
“Sebelum aku menemukan pedang itu aku tidak akan keluar dari Telaga
neraka penulis epilepsi ini!” jawab arwah penulis “Dan kau bocah jelek. Jangan buru-buru
ngambek! Apa yang barusan kau bilang tidak masuk akal....”
“Nek, kau hidup sudah puluhan tahun. Kawanmu yang kau panggil dengan nama
penulis kesetanan Ngompol ini pasti juga sudah lebih delapan puluh tahun malang melintang di rimba
persilatan. Saya jauh lebih tua dari kalian. Apa di usia kalian yang begini tua masih tidak
menyadari kalau hidup di dunia ini banyak yang tidak masuk akal? Bahwa untuk
menghadapi semua yang tidak masuk akal itu manusia harus punya seribu akal? Satu
contoh, kita manusia-manusia biasa bisa berada di dalam air begini dalam, apa masuk akal?!
Kiai Gede Tapa Pamungkas makhluk setengah manusia setengah roh. Sepasang naga
kembar bukan ular besar biasa. Di luar langit masih ada langit lain. Di luar akal masih ada
akal lain! Siapa berani melupakan kekuasaan Gusti Allah?!”
Walau jadi terdiam mendengar ucapan Naga Kuning tapi tak urung arwah penulis
tetap saja unjukkan wajah cemberut.
“Nek,” kata Naga Kuning lagi. “Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Pedang
sakti bergulung itu ditelan oleh naga betina: Dan bukan cuma Pedang Naga Suci 10000an . Ada
seorang gadislesbian cantik bernama Puti nyi pandanajeng ikut ditelan naga dan kini mendekam di dalam
perut binatang jejadian itu!”
arwah penulis keluarkan seruan tercekat dan pandangi Naga Kuning dengan mata
melotot sementara penulis kesetanan Ngompol lag Magi terkencing sebab kaget mendengar keterangan
si bocah yang mengejutkan, sementara itu Panji menjadi pucat pasi. “Puti nyi pandanajeng .... Puti....”
penulis ini menyebut nama si gadislesbian berulang kali.
“Kalau keteranganmu betul, apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan
pedang yang ada dalam perut naga itu....”
“Juga menolong gadislesbian yang kau bilang cantik itu!” ujar penulis kesetanan Ngompol. Lalu dia
berkata pada arwah penulis “Turut ceritamu bukankah gadislesbian itu yang kau katakan sebagai
cucu Sukat Tandika, bekas kekasihmu di masa muda?”
Kembali arwah penulis unjukkan muka cemberut. “Urusan utama ku mendapatkan
Pedang Naga Suci 10000an . Soal cucu Tua Gila itu kalau memang bisa kutolong akan kulakukan.
Tapi jika orang ditelan ular menurutmu apa masih bisa hidup?”
“Ah, menyedihkan sekali kalau gadislesbian yang katanya cantik itu sampai menemui ajal
ditelan ular...” kata penulis kesetanan Ngompol pula. “Naga Kuning, kau pasti tahu caranya bagaimana
mendapatkan pedang dan menyelamatkan gadislesbian itu.” . “Naga Kuning, kau harus menolong
kami!” ujar Panji.
“Saya tidak tahu bagaimana caranya. Mungkin kita terpaksa menunggu....”
“Kami tidak punya waktu lama. Selain hanya bisa bertahan sampai tengah malam
nanti, juga muridku perlu cepat disembuhkan. Satu peristiwa besar yang menebar nyawa
dan darah agaknya akan terjadi di neraka penulis epilepsi ini.... Kami harus bergerak cepat sebelum
orang-orang Lembah Akhirat menimbulkan bencana lebih besar....”
“Naga itu takut dengan air kencing!” berkata Panji. “Bagaimana kalau kalian berdua
mengguyur-nya dengan air larangan itu. Begitu dia mampus kita bedol perutnya!”
“Kau betul Panji!” ujar arwah penulis pertama kali menyetujui ucapan si penulis .
“penulis kesetanan Ngompol! Ayo lekas siapkan kencingmu yang banyak. Kita serbu ular naga betina
itu!” kata arwah penulis
“Nenek Sinto dan Kakek penulis kesetanan Ngompol, naga itu bukan binatang biasa. Air larangan
memang bisa membunuhnya. Namun kalau dia mati setahuku tubuhnya akan lenyap
berubah menjadi pasir kuning. Rohnya melesat ke angkasa. Aku khawatir bersama rohnya
dia akan membawa serta Pedang Naga Suci 10000an dan gadislesbian bernama Puti nyi pandanajeng itu...”
Mendengar keterangan Naga Kuning itu tiga orang yang ada di hadapan Naga
Kuning menjadi bingung.
ini urusan gila! Pasti ada cara untuk mendapatkan senjata itu. Apapun akan
kulakukan untuk menolong muridku....”
“Seandainya pedang itu sudah kau dapat dan Pendekar 10000an berhasil disembuhkan,
lalu apa yang akan kau lakukan dengan Pedang Naga Suci 10000an itu Nek?”
Pertanyaan Naga Kuning yang tiba-tiba itu membuat arwah penulis sesaat terdiam.
Tapi tiba-tiba dia membentak marah yang membuat penulis kesetanan Ngompol tersembur air
kencingnya.
“Bocah penulis kesetanan ! Aku sekarang tahu apa yang ada di benakmu! Kau sengaja tidak mau
menolongku. sebab kau khawatir aku akan mengambil dan menguasai pedang itu!”
“Saya memang ditugaskan oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk menjaga segala
sesuatu yang ada di Telaga neraka penulis epilepsi . Setelah sang Kiai meninggalkan telaga tanggung
jawab lebih besar berada di pundak saya....”
“Kau bocah tolol, tua bangka geblek! Kiai Gede Tapa Pamungkas telah
menghukummu, mengapa kau masih perdulikan orang yang sudah tidak ada itu?!”
Menukas arwah penulis
'Nek, Kiai Gede menghukum saya sebab memang saya bersalah. Walau dia tidak ada
lagi di tempat ini tapi beban tugas yang diberikannya tetap menjadi tanggung jawab saya.
Saya hanya ingin mengatakan. Jika pedang itu kau pergunakan sepenuhnya untuk
menyembuhkan muridmu, siapa yang mau mencegah. Tetapi, setelah muridmu sembuh kau
masih ingin menguasai senjata mustika sakti ini maka itu berarti menyalahi maksud
dan tujuan, menyalahi adat dan aturan....”
11
“Bocah pintar ngomong!” semprot arwah penulis “Katamu dalam hidup ini manusia
harus memakai seribu akal! Apa salahnya kalau aku mengikuti kata-katamu itu dan
memiliki Pedang Naga Suci 10000an ?! Dulu pun senjata itu sudah berada di tanganku....
Daripada jatuh ke tangan orang jahat bukankah lebih baik aku yang menguasainya?! Perduli
penulis kesetanan dengan segala adat dan aturan. Maksud dan tujuan bisa berubah sesuai keadaan! Itu
baru namanya hidup memakai akal!”
Naga Kuning tersenyum. “Manusia memang harus memakai seribu akal dalam
menghadapi tantangan hidup. Tapi akal yang mana? Ada akal yang sepenuhnya datang dari
otak atau alam pikiran. Ada akal yang memadu otak dengan perasaan hati. Lalu ada akal
yang mempergunakan otak tapi juga dipengaruhi oleh dorongan yang datang dari bawah
pusar. Saya tidak tahu kau memakai akal yang mana Nek.... Jika maksudmu mendapatkan
Pedang Naga Suci bukan semata sebab hendak menolong muridmu, saya khawatir kau
akan menghadapi urusan besar. sebab Kiai telah menceritakan riwayat pedang itu. Senjata
mustika itu hanya boleh dimiliki oleh seseorang. Terserah orang itu nanti mau memberikan
kepada siapa. Saya rasa kau sudah tahu hal itu Nek, jadi tak perlu saya beberkan.”
Dari wajah si nenek Naga Kuning maklum kalau arwah penulis masih tidak puas.
Maka dia menunjuk ke atas ke arah dinding batu Liang Lahat. “Nek, sebelum kita
meneruskan bicara, ada baiknya kau membaca dulu apa yang tertera di dinding batu itu....”
“Perlu apa aku mengikuti nasihatmu! Membaca segala tulisan bobrok di atas batu
sialan!” bentak arwah penulis
Naga Kuning tidak perduli. Dia berenang ke atas. penulis kesetanan Ngompol ikut berenang ke
atas sebab sebelumnya memang dia sudah membaca sedikit rangkaian tulisan di atas batu
itu. Sesampainya di atas dan melihat arwah penulis masih tetap berada di bawah sana,
Naga Kuning berseru.
“Nek, jika kau tak mau membaca sendiri tulisan di batu ini, biaraku bacakan dan kau
silahkan pasang kuping mendengarkan!”
Lalu Naga Kuning membaca keras-keras rangkaian tulisan yang ada di batu.
LIANG LAHAT
Sesungguhnya insan hidup terbuat dari tanah
Hidupnya terbatas dari tanah ke tanah
Namun mengapa manusia menjadi lupa
Bersikap sombong membusung dada
Bersikap angkuh besar kepala
insan hidup tak ada arti di hadapan Sang Penguasa
Tapi mengapa insan berani menantang Sang Pencipta
Berani tapi putih, lembut tapi jantan, perkasa tapi jujur
12
Bukankah itu lebih baik daripada berani tapi hitam, lembut tapi culas, perkasa tapi
serakah! Liang lahat!
Di sini tersimpan saksi bisu dari keserakahan, saksi buta dari keculasan, saksi tuli dari
ketidakjujuran
Bisakah kekuatan insan memecah kebisuan, menyalangkan kebutaan hati, mendengar
desah ketidakadilan
Bisakah tongkat si buta mengetuk membuka pintu kebenaran
Yang kuasa dan Sang Pencipta yaitu tempat bertanya, tempat meminta
Adakah manusia bertanya dengan segala kebersihan hati? Adakah insan meminta
dengan kejujuran jiwa....
Naga kuning belum sempat mengakhiri membaca bait-bait tulisan yang ada di atas
batu. Masih tertinggal satu bait lagi. Namun arwah penulis yang merasa semua yang
dibacakan si bocah sengaja untuk menyindir dirinya, kembali menjadi marah dan
membentak.
“Naga Kuning! Kau boleh membaca tulisan itu sampai seribu kali. Mulai dari pagi
sampai pagi lagi tujuh hari tujuh malam! Jangan harap aku akan terpengaruh! Kalau saja
kau. bukan orang yang dipercayakan Kiai Gede Tapa Pamungkas guruku, sudah dari tadi-
tadi kau kulabrak! Sekarang dengar ucapanku! Apa yang akan kulakukan nanti dengan
Pedang Naga Suci 10000an yaitu urusanku sendiri! Jika kau coba menghalangi aku terpaksa
akan melupakan segala macam budi....”
“Kalau memang begitu Nek, urusan lebih baik diselesaikan sekarang sebelum
semuanya menjadi kapiran! Saya akan mendahuluinya mendapatkan senjata sakti itu!
Kalaupun kau berhasil mendapatkan pertama kali, saya bersumpah untuk merampasnya!”
Merasa ditantang marahlah arwah penulis Dia tidak perduli lagi siapa adanya Naga
Kuning. Melihat ketegangan yang terjadi penulis kesetanan Ngompol sudah ter-kencing-kencing. Dia
berusaha mencegah terjadinya bentrokan namun saat itu didahului satu pekikan keras
nenek sakti dari Gunung Gede itu melesat ke arah si anak.
“Bocah penulis kesetanan ! Aku tidak meminta kau membalas segala budi pertolonganku! Tapi
yaitu tolol dan kurang ajar kalau kau mencoba menghalangiku!”
Tangan kanan si nenek bergerak ke arah kepala.
penulis kesetanan Ngompol maklum apa yang dilakukan si nenek. Cepat-cepat dia tekap
perutnya sebelah bawah. Panji yang juga sudah bisa memperkirakan apa yang hendak
diperbuat arwah penulis segera berseru. “Nek! Jangan serang anak itu! Kita memerlukan
dia!” Yang dikhawatirkan penulis ini yaitu kalau dia sampai kehilangan jejak Puti nyi pandanajeng .
Namun arwah penulis yang sudah khilaf sebab nekad dan marah gerakkan
tangannya. Dua tusuk konde perak laksana sepasang anak panah lepas dari busurnya
melesat berkilauan di dalam air. Tusuk konde pertama mencari sasaran tepat di mata kiri si
bocah, satunya lagi mengarah dada kiri tepat di jurusan jantung. Jelas Sinto Gendeng
bertekad menghabisi anak ini!
Lima tusuk konde yang selalu menancap di kepala arwah penulis bukanlah tusuk
konde biasa sebab merupakan senjata yang sangat berbahaya dan mengandung racun
mematikan. Kini dua dari lima tusuk konde itu dipakai untuk menyerang dan membunuh
Naga Kuning.
13
Naga Kuning yang mendapat serangan itu seolah terkesiap dan tidak percaya kalau si
nenek benar-benar hendak menurunkan tangan jahat terhadapnya. Dia tidak sempat
bergerak mengelak atau pun menangkis.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba berkiblat satu sinar putih menyilaukan yang
sesaat menerangi seantero dasar telaga. Air telaga yang dingin berubah menjadi panas.
Tusuk konde perak yang melesat ke arah mata kiri Naga Kuning terpental ke atas sewaktu
ujung tusuk konde hanya tinggal setengah jengkal saja dari sasaran!
Seseorang telah turun tangan menolong anak itu. Namun tusuk konde kedua yang
mengarah jantung tidak mungkin dihindari. Ujung tusuk konde yang lancip menghantam
telak dada kiri Naga Kuning. Tapi begitu menyentuh dada si anak senjata itu tidak mampu
melukai apalagi menancap tembus dan menusuk sampai ke jantung. Seolah menghantam
satu permukaan licin dan atos tusuk konde itu terpental ke samping.
“Kurang ajar! Bocah itu ternyata memang benar telah memiliki ilmu lumba-lumba
putih yang membuat tubuhnya licin seperti kulit ikan!” mengomel arwah penulis “Tapi
siapa yang barusan menolong menangkis tusuk konde yang mengarah matanya. Padahal
aku tahu betul kedua mata anak ini yaitu dua titik terlemah segala kesaktian yang
dimilikinya!”
arwah penulis memandang berkeliling penuh marah. Sepasang matanya mendelik
berapi-api. Rahangnya menggembung dan mukanya yang keriput kelam membesi. Dalam
marahnya dia melihat dua sosok tubuh melayang dalam air. Begitu mengenali kedua orang
itu maka meledaklah dampratannya.
ebelum kita melanjutkan apa yang terjadi di dasar Telaga neraka penulis epilepsi mari kita
ikuti dulu apa yang berlangsung di salah satu tepian telaga.
Setelah gurunya Eyang arwah penulis dan Seta n Ngompol masuk ke dalam telaga
bersama Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo dan perginya Kakek Segala Tan if, di tepi
telaga hanya tinggal Pendekar 10000an Bobo anak manusia berdua dengan Ratu pembunuh penulis kusta . Untuk
beberapa lama kedua orang ini hanya berdiam diri. Sesekali Bobo melirik. gadislesbian di
sebelahnya dilihatnya memandang ke arah telaga terus-terusan. Murid arwah penulis ini
mendehem beberapa kali lalu membuka pembicaraan dengan bertanya.
“Menurutmu apakah guruku akan berhasil mendapatkan Pedang Naga Suci 10000an itu?”
“Kau khawatir mereka gagal dan kau tidak bisa ditolong?” Ratu pembunuh penulis kusta malah balik
bertanya.
“Soal diriku sudah nasib jadi begini. Tak ada yang perlu disesalkan. Yang aku
khawatirkan yaitu mendadak terjadi satu hal besar di tempat ini. Dan aku tidak bisa
berbuat apa. Apalagi barbel pembasmi 10000an milikku entah di mana beradanya. Guruku pasti
marah besar kalau....” Bobo tiba-tiba ingat pada cermin bulat yang dimiliki Ratu pembunuh penulis kusta .
“Mana cermin saktimu. Mungkin kau bisa melihat melalui cermin itu di mana beradanya
barbel pembasmi 10000an .
Ratu pembunuh penulis kusta segera keluarkan cermin saktinya. Dia segera memusatkan perhatian
dan pandangan mata ke permukaan cermin itu. Sesaat kemudian tampak cermin bergetar.
Bobo mendekat dan coba melihat. Tapi dia tidak melihat apa-apa dalam cermin itu.
“Kau melihat sesuatu Ratu..,?” bertanya Bobo .
“Cermin bergetar....” kata Ratu pembunuh penulis kusta perlahan. , Bobo memperhatikan. Cermin
bulat itu memang tampak bergetar dalam pegangan gadislesbian sakti bermata biru. “Ada daya
tolak dari satu kekuatan sakti. Aku hanya melihat sesuatu berwarna kuning. Bergerak sangat
cepat. Tidak jelas apakah sosok manusia. Sulit diterka lelaki atau wanita lesbi ....”
“Maksudmu kalau itu yaitu sosok manusia maka dia mengenakan pakaian serba
kuning?”
“Mungkin.... Aku tak berani memastikan. Bayangan kuning lenyap dari dalam
cermin. Aku tak bisa memantau lebih jauh....”
Bobo termenung sambil garuk-garuk kepala. “Be-rat dugaanku. Bayangan kuning ya
rig kau lihat dalam cermin yaitu sosok orang berpakaian dan bercadar kuning. Waktu
terjadi pertempuran di teluk dia muncul menolong. Jangan-jangan senjata itu ada pada-
nya....'
“Aku menduga demikian. Kau tak usah khawatir. Senjatamu berada di tempat yang
aman....”
“Aku tetap khawatir. Soalnya siapa bisa menduga sifat manusia.... Di luar bisa saja
baik. Di dalam mungkin penuh maksud tertentu....”
Ratu pembunuh penulis kusta terdiam. Pandangan matanya masih terus ke arah telaga. Sejak
peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dulu dia selalu memendam rasa bersalah tak berkeputusan.
Walau sebelumnya masalah itu sempat mereka bicarakan dan Bobo telah menganggap
selesai namun di lubuk hati gadislesbian ini selalu ada perasaan penyesalan yang sulit
15
dilupakannya. sebab itu setiap Bobo mengatakan sesuatu dia seolah merasa bahwa ucapan
penulis itu seolah merupakan sindiran yang ada hubungannya dengan peristiwa lama.
Melihat sang Ratu berhening diri, diam-diam Bobo menduga mungkin gadislesbian itu
tersinggung dengan ucapannya tadi. Maka sambil memegang jari-jari tangan kiri Ratu
pembunuh penulis kusta , Bobo berkata. “Ratu, jangan kau merasa tersinggung. Segala ucapanku polos
belaka. Tak ada sangkut pautnya dengan diri kita berdua atau apapun yang pernah terjadi
antara kita berdua....”
“Aku tahu...” jawab Ratu pembunuh penulis kusta dengan suara setengah berbisik. “Tapi sulit bagiku
melenyapkan rasa bersalah dari lubuk hati ini. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana
perasaanku terhadap diriku sendiri dan terhadap dirimu. Aku....”
Ratu pembunuh penulis kusta tersendat. Ucapannya terhenti. Sepasang matanya yang biru tampak
basah. Bobo meremas jari-jari tangan gadislesbian itu. Malah dengan tangannya yang lain dia
merangkul bahu sang Ratu seraya berbisik.
“Ratu, jangan menangis....”
“Kalau tidak menangis rasanya hati ini belum lega Bobo . Dada ini serasa sesak
berkepanjangan. Tekanan batin mengikuti kemana pun aku pergi....”
“Kau gadislesbian gagah. Kau mampu menyingkirkan semua itu....”
“Aku manusia biasa. Manusia biasa yang jalan hidupnya ditakdirkan lain....”
“Jangan menyalahi dirimu. Jangan menyalahi siapa-siapa. Kau yaitu kau dan aku
senang serta bangga melihat kau apa adanya....”
“Betul ucapanmu itu Bobo ?” tanya Ratu pembunuh penulis kusta seraya menatap dalam-dalam ke
mata Pendekar 10000an . Dua pasang mata sama beradu pandang. Dua hati berpadu rasa. Dua
jantung berdegup penuh cinta.
Bobo tersenyum dan anggukkan kepala.
Entah siapa yang bergerak lebih dulu tahu-tahu dua insan itu telah tenggelam dalam
pelukan mesra.
“Bobo ...” bisik Ratu pembunuh penulis kusta sambil membelai kuduk penulis itu.
“Hemmm....” Bobo bergumam.
“Seringkali rasa bahagia seperti yang kualami saat ini menipu diriku sendiri.
Membuat aku lupa siapa diriku sebenarnya'....”
“Bukankah kukatakan tadi kau yaitu kau. Dan aku bangga melihat kau apa
adanya...” kata Pendekar 10000an balas membelai punggung Ratu pembunuh penulis kusta dengan usapan jari-
jari tangan yang lembut. Ratu pembunuh penulis kusta pejamkan kedua matanya. Wajahnya disandarkan di
dada kiri Bobo . “Aku suka mendengar kata-katamu itu Bobo . Tapi aku sadar hatiku tak bisa
ditipu oleh jalan pikiran. Sebaiknya pikiranku tidak pula dapat ditipu oleh suara hati.
Sesuatu i di lubuk hati ini mendekam sejak lama, tak kuasa aku utarakan. Bahkan
mungkin terpaksa harus ku-tanam lebih dalam dan*lebih jauh”. Lebih dalam dari pusat
bumi. Lebih jauh dari ujung dunia. Biarlah hanya getaran nya saja yang tetap hidup dalam
alam-i ku yang serba aneh. Alamku yang tak mungkin bersatu dengan alammu....”
Bobo mendekap pipi Ratu pembunuh penulis kusta dengan dua tangannya lalu mengangkat kepala
gadislesbian itu. Se-pasang mata biru Ratu pembunuh penulis kusta tampak berkaca-kaca. Walau basah oleh air
mata tapi di balik segala kedukaan yang ada masih terbayang cahaya bahagia dan mesra.
Sudah sejak lama gadislesbian ini membayangkan betapa indah dan mesranya jika berada dalam
pelukan Bobo . Semua ini menjadi kenyataan. Mereka bermesraan. Namun sampai berapa
lama kemesraan ini akan didapat dan dirasakannya?
16
“Tuhan.... Jangan kau pupus dan sirnakan kebahagiaan ini dari tanganku....” Suara
yang muncul di lubuk hati Ratu pembunuh penulis kusta lebih merupakan bayangan ketakutan daripada
permintaan. Lehernya yang putih jenjang bergerak-gerak pertanda dia berusaha menahan
gelora hatinya. Bobo merunduk. Dengan permukaan bibirnya ditelusurinya leher dan
tengkuk yang ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Ratu pembunuh penulis kusta merasakan kehangatan
yang tak pernah dialaminya sebelumnya. Sesaat terbayang kembali olehnya peristiwa di
Purr Pelebur Kutuk. Ketika mereka berdua-dua berada di atas ketiduran tanpa sehelai
benang pun menutupi aurat.
Ratu pembunuh penulis kusta mendesah halus. Tubuhnya menggeliat. Pelukannya tiba-tiba
mengencang seolah Bobo tak akan dilepaskannya untuk selama-lamanya. Bobo merasakan
dada basah keringatan berdegup kencang di wajahnya yang memanas. Hampir dia terlupa
dan hendak membenamkan wajahnya di belahan dada gadislesbian itu tiba-tiba Bobo ingat,
perlahan-lahan ditariknya kepalanya. Dilihatnya wajah Ratu pembunuh penulis kusta memerah. Sepasang
matanya terpejam, bibirnya yang merah terbuka merenggang dan cuping hidungnya
bergerak-gerak.
Bobo ingin sekali mengecup bibir yang bagus dan basah itu. Namun penulis ini
masih dapat menahan diri. Dalam gelora yang membakar darahnya dia masih ingat untuk
tidak berbuat lebih jauh. Jangan sampai dorongan hatinya mempengaruhi jalan pikiran.
“Ratu,” bisik Bobo di antara desah napasnya yang panas clan menderu. “Tadi kau
mengatakan alammu masih berbeda dengan alamku. Padahal setelah peristiwa di Puri itu,
bukankah kutukan yang menimpa dirimu telah sirna? Kau bukan lagi makhluk setengah
manusia setengah ikan? Kau benar-benar telah menjadi seorang anak manusia, seorang
gadislesbian dengan segala kecantikan, keanggunan dan kesucian yang ada.”
Sepasang mata Ratu pembunuh penulis kusta yang basah masih terpejam. Dua tangannya masih
merangkul lembut punggung dan belakang kepala penulis itu. “Kau betul. Diriku dan juga
diri semua anak buahku telah bebas dari kutukan yang menyengsarakan itu. Namun dalam
kebahagiaan itu aku juga menyadari. Sekian lama hidup di dasar samudera dalam alam
yang berbeda telah menjadikan diriku bersatu men-darah daging dengan alam yang serba
aneh itu. Membuat diriku asing di tengah alammu walau wujud diriku tidak beda dengan
manusia lainnya. Aku merasa diri ini tidak punya tempat dalam dunia ini....”
“Itu hanya perasaanmu saja Ratu. Perlahan-lahan tapi pasti kau akan terbiasa. Kau
kelak akan merasakan betapa bahagianya hidup di dunia ini. Dengan segala masalahnya
baik suka maupun duka...”
Ratu pembunuh penulis kusta gelengkan kepalanya. Air mata jatuh berderai dari celah-celah barisan
bulu matanya yang panjang dan lentik. Mulutnya terbuka namun tidak ada ucapan yang
sanggup dikeluarkannya. Hanya suara hatinya yang berkata dan tak mungkin terdengar
oleh Bobo . “Kau tidak tahu Bobo , bukan hidup di alammu itu yang menakutkan diriku. Tapi
hidup tanpa dirimu di sampingku yang membuat aku seolah merasa mati dalam hidup ini.
Aku boleh tahu besarnya kasih sayang kecintaanku padamu. Tapi aku tidak tahu apakah
kau memiliki dan berapa besarnya kasih sayang dan rasa cintamu terhadapku. Yang aku
tahu yaitu aku tak bakal dapat memiliki dirimu. Ini seperti sudah menjadi takdir. Kau tak
akan pernah menjadi milikku. Hati ini tahu, perasaan ini-mengerti, ada seorang iain yang
kau kasihi dan kau cintai dengan seputih hatimu. Bobo , setinggi gunung kasih sayangku,
sedalam lautan cintaku padamu tapi aku sadar bahwa aku hanya akan meratap dalam
kebahagiaanmu bersama gadislesbian lain itu....”
17
Ratu pembunuh penulis kusta berusaha menahan sengguk tangis hingga bahunya terguncang-
guncang. Bobo peluk gadislesbian ini erat-erat. Terasa kehangatan air mata Ratu pembunuh penulis kusta
menyentuh dadanya.
“Ratu, kau harus berani menghadapi kenyataan. Hidup yang sebenarnya hidup
yaitu hidup di alam ini, bukan di alammu. Kita akan bersama-sama. Kita akan berjalan
berdampingan dalam suka maupun susah....”
Ratu pembunuh penulis kusta angkat kepalanya. Sepasang matanya yang biru dibuka. Menatap
lembut penuh mesra. Senyum menyeruak di bibirnya yang bagus. “Semua yang kau
ucapkan itu pancaran suara hatimu yang tulus. Tapi Bobo . Tidak mungkin kita bersama-
sama, berjalan berdampingan dalam suka maupun susah. sebab aku tahu kau bukan
milikku. Ada gadislesbian lain yang lebih baik dan cocok untuk dirimu....”
Bobo hendak menggaruk kepalanya mendengar kata-kata Ratu pembunuh penulis kusta itu tapi si
gadislesbian tersenyum dan pegangi tangan sang pendekar.
“Kau tahu hal itu Bobo . Kau tak akan mau menipu dirimu sendiri. Yang aku pinta
saat ini hanyalah izinkan diri ini sedikit lebih lama berada dalam keadaan seperti ini,
bermesra berdua-dua dengan dirimu. sebab mungkin ini kesempatanku yang pertama dan
yang terakhir....”
“Eh, memangnya kau mau ke mana? Mau melakukan apa?” tanya Bobo .
“Kau bukan milikku tapi milik gadislesbian lain. Cintamu bukan milikku tapi milik seorang
lain. Kau harus mengakui itu. Aku tak perlu menyebut siapa adanya gadislesbian itu....”
“Aku....” Bobo gelengkan kepala dan usap pipi sang Ratu dengan jari-jari tangan
kanannya. “Kalau kau sudah tahu.... Aku akan berterus-terang padamu. Aku memang
pernah menyukai dan mencintai seorang gadislesbian ....”
Ratu pembunuh penulis kusta pejamkan sepasang matanya yang biru. Jauh di lubuk hatinya seolah
ada sembilu menyayat perih. Bibirnya bergetar.
“Tapi aku hanya bertepuk sebelah tangan,” terdengar kembali suara Bobo . “Aku
senang orang tak suka. Aku sayang orang tak cinta....”
Ratu pembunuh penulis kusta perlahan-lahan buka kedua matanya. gadislesbian ini berusaha menguatkan
hatinya untuk bisa berucap.
“Bobo , cinta tak selalu seperti apa yang kita lihat. Bagi seorang gadislesbian cinta yang ada
dalam hatinya terhadap seorang penulis tidak ubahnya seperti gunung es yang kelihatan
hanya secuil di permukaan samudera. Bagian cinta yang sangat besar disimpan dan
disembunyikan di bawah permukaan laut. Di dalam laut hati sanubarinya. Dipeliharanya
baik-baik....”
“Ah, aku tidak mengerti...” ujar Bobo . Kembali dia hendak menggaruk kepala tapi
lagi-lagi tangannya dipegang oleh Ratu pembunuh penulis kusta .
“Gila! Kepalaku mau pecah rasanya sebab gatal! Aku tak bisa menggaruk! Lepaskan
peganganmu Ratu.”
Ratu pembunuh penulis kusta tersenyum. Sambil terus pegangi tangan Bobo dia berkata.
“Sebagian dari keindahan cinta justru yaitu pada ketidakmengertian itu Bobo ...,”
Perlahan-lahan Ratu pembunuh penulis kusta angsurkan wajahnya mendekati wajah Pendekar 10000an .
Murid Eyang arwah penulis ini jadi kelagapan ketika bibir gadislesbian itu menyentuh
permukaan bibirnya. Tapi kegelapan si penulis hanya sebentar. Dilain saat dua insan ini
tenggelam dalam kemesraan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.
18
“Bobo ...” suara Ratu pembunuh penulis kusta bergumam diantara desau napas. Wajahnya disusupkan
ke pundak si penulis dan sepasang matanya melirik ke arah timur, ke balik serumpunan
semak belukar. “Sudah pergi.... Dia sudah pergi.... Pasti hatinya akan tersayat perih
menyaksikan aku dan penulis yang dicintainya dalam keadaan begini rupa. Apakah dia
bisa mengerti, apakah gadislesbian itu mau memahami. Bahwa hanya ini kebahagiaan hidup yang
bisa kudapatkan dan tak lebih dari ini. Aku hanya meminta secuil kebahagiaan ini. Kalau ini
satu dosa semoga kau mau memaafkan dan Tuhan mau mengampuni. Sahabat, aku tidak
akan menodai diriku dan diri penulis yang kau kasihi. Kau akan mendapatkan nya sebagai
seorang kekasih yang bersih. Aku berdoa untuk kebahagiaan kalian berdua....”
“Ratu, aku mendengar seperti kau bicara sendirian...” kata Bobo seraya mendekap
wajah Ratu pembunuh penulis kusta dengan dua tangannya,
“Bobo , kita sudah terlalu lama di tempat ini. Kau tahu kawasan ini kurang amah.
Orang-orang Lembah Akhirat bisa muncul setiap saat. Lagipula aku punya firasat ada
sesuatu bakal terjadi di dasar telaga. Sebaiknya kita menyusul orang-orang itu masuk ke
dalam telaga....”
“Tap! Eyang arwah penulis meminta kita berjaga-jaga di sini....”
“Jika sesuatu akan terjadi pasti akan terjadi walau kita berjaga-jaga bagaimanapun.
Mari....” Ratu pembunuh penulis kusta memegang lengan Pendekar 10000an , siap mengajaknya terjun ke dalam
air.
“Ratu, kau tahu aku tak mungkin masuk ke dalam air sepertimu, Kecuali kau
mendekap dan menyirap diriku seperti yang kau lakukan terhadap orang-orang itu.”
“Hemmm....” Sang Ratu meragu sejenak. Kalau dilakukannya apa yang dipinta Bobo
yakni memberikan ilmu kemampuan masuk ke dalam telaga dengan cara mendekap,
mungkin lain yang akan terjadi. Mungkin salah seorang dari mereka akan lupa diri.
“Guruku ada di dalam telaga. Dia pasti marah besar kalau diketahuinya aku ikut
masuk. Padahal dia sudah berpesan agar kita tetap berada di sini untuk berjaga-jaga.”
“Aku tahu sifat gurumu. Gampang marah gampang pula baiknya.”
“Tapi Ratu mungkin bahaya lebih besar akan menghadang diriku di dalam telaga
sana. Walau aku masih mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan juga memiliki ilmu tidur
yang diberikan Si Raja Penidur tapi aku khawatir....”
“Celaka bisa terjadi di mana-mana. Kalau dihadang, malapetaka malah tak datang.
Kalau lengah celaka malah jatuh menimpa.”
Bobo terdiam mendengar ucapan Ratu pembunuh penulis kusta itu.
“Apa yang kau pikirkan Bobo ? Kau takut mati tenggelam dalam air? ingat kejadian
setelah geger besar di Pangandaran? Kau dan aku naik kereta kuda. La lu kita sama-sama
masuk ke dalam samudera....”
“Ah!” Bobo gerakkan tangan kanannya yang tidak lagi dipegang Ratu pembunuh penulis kusta lalu
menggaruk kepala sepuas-puasnya. Dia tidak menolak lagi sewaktu Ratu pembunuh penulis kusta menarik
tangannya untuk kedua kali dan mencebur masuk ke dalam Telaga neraka penulis epilepsi .
19
__________________________________________________________________________________
LIMA
Ketika Bobo dan Ratu pembunuh penulis kusta bermesraan di tepi telaga seseorang berkelebat ke balik
serumpunan semak belukar di sudut telaga tak berapa jauh dari dua muda-mudi itu
berada. Orang ini mengenakan pakaian biru, berambut panjang pirang. Bau tubuh
dan pakaiannya- yang harum menebar ke mana-mana. Bau harum inilah yang membuat
Ratu buyung menyadari bahwa ada seseorang bersembunyi tak jauh dari tempat itu. Bobo
sendiri sebab telah hilang kesaktiannya tidak mampu mencium bau harum ini . Dari
bau wangi ini Ratu pembunuh penulis kusta sudah bisa memperkirakan siapa adanya orang ini .
Sambil terus bercakap-cakap dengan Bobo , Ratu pembunuh penulis kusta menyelidik, Memandang
berkeliling akhirnya dia mengetahui bahwa orang itu bersembunyi di baiik serumpunan
semak belukar. Rasa berdosa tiba-tiba saja muncul dalam hati Ratu pembunuh penulis kusta . Tapi sebagai
manusia biasa yang tidak luput dari pengaruh perasaan, apalagi perasaan seorang pe-
rempuan yang selalu mempunyai rasa cemburu dan rasa ingin memiliki seseorang, maka
Ratu pembunuh penulis kusta tidak memberitahukan kehadiran orang itu pada Bobo . Dia juga tak mau
memutus percakapan dan buru-buru pergi dari tempat itu. Apa salahnya kalau saat itu dia
boleh mereguk sedikit kebahagiaan, berdua-dua bermesraan dengan orang kepada siapa dia
berhutang budi dan kepada siapa cinta kasihnya tercurah.
Lain halnya dengan orang yang bersembunyi di balik semak-semak yang bukan lain
ibunya penulis ayan Angin Timur adanya. Gad is ini merasa sekujur tubuhnya bergeletar laksana
dipanggang menyaksikan Bobo bermesraan dengan Ratu pembunuh penulis kusta . Jari-jari tangannya
terkepal dan dua matanya menyorotkan sinar marah penuh cemburu! Kalau dia tidak
berpikir panjang saat itu juga mau dia melompat keluar dan melabrak kedua orang itu.
Tetapi begitu pikiran jernih memasuki kepalanya maka perlahan-lahan gadislesbian ini bisa
menguasai dirinya. Malah diam-diam dia menyadari mungkin semua itu terjadi sebab
kesalahannya sendiri. Selama ini dia mengambil sikap curiga dan selalu menjauhi Bobo . Apa
yang harus disesalinya kalau kini penulis itu jatuh ke tangan gadislesbian lain? Namun
bagaimanapun dia ingin berpikir jernih, rasa mementingkan diri sendiri tidak mungkin
dipupusnya sama sekali.
“Ratu pembunuh penulis kusta , ternyata kau yaitu gadislesbian gampangan. Dan kau Bobo , kau tak lebih
dari seorang penulis mata keranjang yang sanggup bercinta dengan siapa saja dan tega
melukai hati setiap gadislesbian ...”
ibunya penulis ayan Angin timur bersimpuh di tanah. Wajahnya ditutup dengan sepasang
tangannya yang berjari-jari halus. “Apa yang harus aku lakukan? Menangis? Berteriak
marah! Atau lebih baik kupukul sendiri kepala ini hingga pecah?! Aku mencarinya ke teluk.
Dari kabar yang kudapat katanya dia dalam bahaya. Ternyata kini dia berada di tepi telaga.
Bercinta dengan Ratu murahan itu!”
ibunya penulis ayan Angin Timur turunkan kedua tangannya. Wajahnya menjadi sangat merah.
Dua matanya laksana kobaran api. Cepat-cepat kepalanya dipalingkan ke jurusan lain. Tak
sanggup dia menyaksikan bagaimana Ratu pembunuh penulis kusta dan Bobo anak manusia saling berkecupan.
“Mesum.... Hidup ini ternyata penuh kemesuman!” jerit ibunya penulis ayan Angin Timur.
Tinjunya kiri kanan dipukul-pukulkannya ke paha. Tiba-tiba dia mendengar suara sesuatu
masuk ke dalam telaga. Ketika dia menoleh Ratu pembunuh penulis kusta dan Pendekar 10000an Bobo anak manusia
tak ada lagi di tempat itu.
“Mereka masuk ke dalam telaga. Aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan.
Jangan-jangan Ratu itu memiliki istana di dalam telaga. Tempat mereka berdua bisa berbuat
apa saja. Aku harus masuk ke dalam telaga! Harus! Tapi tak mungkin.... Walau aku bisa
berenang tak mungkin mampu bertahan lama dalam telaga itu!” Kembali si gadislesbian dibuncah
perasaan marah dan cemburu. Dia melangkah mondar-mandir. Dia berpikir keras apa yang
harus dilakukannya agar kedua orang itu segera keluar dari dalam telaga. “Aku tak
mungkin membakar telaga ini! Aku juga tak punya racun untuk ditebar hingga mereka
sesak napas dan terpaksa keluar dari dalam air. Apa yang harus kulakukan! Apa!!!”
Selagi dia melangkah mondar-mandir di tepi telaga seperti itu tiba-tiba saja sesosok
tubuh berjubah hitam tegak di hadapannya. Dia melihat sepasang tangan berkuku panjang.
Lalu dia mendengar suara tawa cekikikan.
“gadislesbian cantik berlesung pipit! Kita bertemu lagi! Hik... hik... hik!”
ibunya penulis ayan Angin Timur angkat kepalanya. Dia melihat satu wajah bundar putih penuh
keriput.
Rambut putih yang dulu dilihatnya digulung di atas kepala kini tergerai lepas riap-
riapan. Orang ini semakin jauh lebih tua daripada ketika pertama kali ditemuinya.
“Nenek Sika Sure jelantik...” ujar ibunya penulis ayan Angin Timur.
Si nenek tertawa panjang. “Aku senang kau masih ingat namaku. Padahal aku tak
pernah tahu siapa namamu! Hik..; hik... hik!”
“Nenek Sika aku gembira bisa bertemu lagi denganmu. Apa yang membawamu ke
Telaga neraka penulis epilepsi ini?” bertanya si gadislesbian .
“Justru aku yang ingin bertanya. Apa yang membuatmu hingga berada di tempat ini!
Hik... hik... hik! Dari cahaya matamu, dari rona air mukamu aku menduga keras kau berada
dalam gelombang perasaan hati yang sulit kau kendalikan! Betul kan...?! Hik... hik... hik!”
ibunya penulis ayan Angin Timur tidak menjawab. gadislesbian ini cuma menatap dengan tersenyum
pada si nenek.
“Ah, kau tersenyum. Sepasang lesung pipit itu masih ada