ada sebelumnya, sendirian menguasai
kerajaan Scythia dan Jerman, dan meneror dua kekaisaran
Romawi dengan merebut kota-kotanya dan, bahwa mereka
mungkin masih menyimpan barang berharga dari penjarahan,
serangannya diredakan dengan doa dan upeti tahunan yang
mereka bayarkan. Dan saat, dengan nasib baik, ia meraih
semua ini, ia kalah, bukan sebab serangan musuh atau
pengkhianatan, namun meninggal dengan aman di tengah-
tengah pengikutnya, bahagia, gembira, tanpa rasa sakit. Jadi
siapa yang bisa menganggap ini sebagai sebuah kematian—
melihat tidak ada seorang pun berpikir hal ini—sebab balas
dendam?
Kalimat-kalimat ini menimbulkan banyak analisis
ilmiah, bahkan beberapa usaha berani untuk membuat
kembali versi bahasa Goth-nya, untuk mendapatkan
sedikit pengaruh. Mustahil membuktikannya jika tulisan
ini benar-benar dari bahasa Hun, abaikan apakah isinya
memang asli demikian. Namun Priscus yakin, atau
mengapa ia mengutipnya begitu persis? Mungkin ia
ingin membuat reportase bagus tentang suku Hun yang
berduka, sekalipun tidak banyak yang didapat dari
kemampuan puitis mereka. Tampaknya, hal terbaik yang
bisa diucapkan orang Hun tentang Attila yaitu bahwa
ia melakukan penjarahan dalam skala besar-besaran, dan
meninggal tanpa menyisakan celah alasan sebagai kematian
sebab balas dendam. Seperti yang dikatakan Maenchen-
Helfen, terdengar “seperti tulisan di batu nisan seorang
gangster Amerika”.
Deskripsi ini berlanjut dengan ritual ratapan, berjaga
sejenak di samping jenazah, menunjukkan kesedihan
dan perayaan atas kehidupan yang dijalani dengan baik.1
lalu , saat malam tiba, jenazah disiapkan untuk
pemakaman. Suku Hun melakukan sesuatu di mana kita
akan kembali membahas hal ini nanti, “pertama dengan
emas, kedua dengan perak, dan ketiga dengan besi”.
Melalui Jordanes, Priscus berkata bahwa semua logam
ini yaitu simbol—besi sebab Attila menaklukkan
banyak negara, emas dan perak untuk harta benda yang
sudah ia rampas. Dan lalu “mereka menambahkan
senjata-senjata musuh yang dimenangkan dalam per -
tempuran, berbagai batu mulia istimewa dan ornamen
yang berkilauan itu menyertainya, sebagai tanda kebesaran
K
347
1 Jordanes, atau Priscus, mengatakan bahwa suku Hun menyebut ritual itu strava,
yang sebagai satu‐satunya kata yang masih terpelihara sehingga mungkin itu yaitu
bahasa Hun, menjadi alasan timbulnya spekulasi yang banyak diharapkan. Selama
satu abad, para ilmuwan yang berselisih paham setuju akan satu hal: strava bukan
bahasa Turki, artinya hampir pasti ini sama sekali bukan bahasa Hun. Menurut
beberapa orang ahli, ini yaitu bahasa Czech dan Polandia dari akhir abad
pertengahan, kata yang berari ‘makanan’ dalam pengertian sebuah ‘pesta pemakaman’,
meskipun apakah suku Hun sudah memakai nya 1.000 tahun sebelumnya, atau
apakah informan Priscus memakai istilah ini sambil lalu saja, masih menjadi
misteri.
p
u
istana”.
Apa yang dilakukan dengan logam-logam itu? Sebagian
besar terjemahan menyatakan bahwa logam itu menjadi
lapisan “peti-peti mati”-nya, dari sanalah muncul cerita-
cerita menggelikan, dan sering diulang, bahwa Attila
dikubur dalam tiga peti mati, satu dari emas, satu dari
perak, dan satu lagi dari besi. Gibbon menerima legenda
ini sebagai fakta, tanpa komentar. Sebagai hasilnya,
generasi-generasi pemburu harta berharap menemukan
makam kerajaan yang berisi harta terpendam ini.
Pemikiran ini diterima secara luas di Hongaria—
bahkan diajarkan sebagai fakta sejarah di sekolah-
sekolah—sebagian berkat catatan dalam novel karangan
Géza Gárdonyi yang berjudul The Invisible Man. Saat
Attila terbaring dinyatakan:
tetua shaman mengorbankan seekor kuda hitam di belakang
panggung peti jenazah, dan Kama yang buta menanyakan
pada jiwa-jiwa Hun yang telah meninggal bagaimana Attila
seharusnya dimakamkan.
“Letakkan ia dalam tiga peti jenazah,” begitu jawabannya.
“Buatlah peti pertama dari emas, berkilau seperti sinar
matahari, sebab ia yaitu matahari bagi kaum Hun. Buatlah
peti kedua dari perak, seperti ekor sebuah komet, sebab ia
yaitu komet dunia. Buatlah peti ketiga dari baja, sebab ia
sekuat baja.”
Omong kosong jika kita meluangkan waktu memikirkan
hal ini. Berapa banyak emas yang dibutuhkan untuk
membuat sebuah peti jenazah? Aku beri tahu: sekitar
60.000 sentimeter kubik. Ini nilainya 15 juta dolar saat
ini, satu ton emas: tidak banyak jika dihubungkan dengan
produksi emas modern atau perolehan emas kekaisaran
dalam satu tahun, namun masih sebanding dengan upeti0
selama satu tahun dari Konstantinopel (yang, ingat,
sudah habis jauh sebelumnya). Jika suku Hun memiliki
emas sebanyak itu, maka Attila tidak perlu melakukan
invasi ke barat, dan ia akan memiliki lebih banyak
kemewahan daripada sekadar istana kayu dan pemandian
dari batu. Dan jika mereka memang punya, apakah
mungkin mereka akan melakukan hal yang begitu bodoh
seperti mengubur semua emas itu?
Dan masih ada dua peti jenazah lagi, masing-masingnya
lebih besar daripada yang sebelumnya. Dua ratus ribu
sentimeter kubik baja! Tidak seorang kaisar pun pernah
dimakamkan dengan kekayaan seperti itu. Di samping
itu, butuh waktu berbulan-bulan membuatnya, dengan
berat berkisar 3 ton. Mengangkatnya saja akan mem -
butuhkan usaha yang luar biasa—60 orang untuk meng -
angkatnya, satu kereta besar dan kukuh, serta sekelompok
lembu jantan—dan ini merupakan sebuah ritual yang
mungkin dilakukan secara rahasia, pada tengah malam.
Bila dijabarkan dalam satu kata maka semua ini yaitu
gila.
Dan ini memang memusingkan, bukan oleh Gárdonyi,
namun oleh sumber-sumbernya, yang diperiksa secara
detail oleh pimpinan terkenal dari museum Szeged, yang
sekarang diberi nama, Mora Ferenc Museum. Ia menelusuri
bahwa kisah ini kembali pada seorang penulis abad
kesembilan belas, Mor Jokai, yang ternyata mengambilnya
dari seorang pendeta, Arnold Ipolyi, yang pada 1840
menyatakan bahwa ia mendapatkannya dari Jordanes,
pada saat hanya sangat sedikit orang yang memiliki
akses terhadap Jordanes. Kemungkinan besar, ia men -
dengar dari catatan Gibbon. Bagaimana pun, Ipolyi gagal
memahami atau mengarang bebas dalam mendapatkan
sebuah kisah yang bagus.
Jika kita melihat apa yang sebenarnya ditulis oleh
Jordanes, tidak ada peti-peti jenazah dari logam. Sumber
Latin mengusulkan sebuah solusi yang lebih realistis:
coopercula… communiunt, “mereka melapisi tutupnya”.
Tidak disebutkan adanya arcae (peti jenazah), meskipun
kata itu lalu dipakai dalam bentuk verbal dalam
catatan ini. Sekarang mulai terdengar masuk akal. Paling
jauh kita membicarakan sebuah peti jenazah dari kayu,
dan di dalamnya dimasukkan beberapa benda berharga
seperti kepingan emas yang digunakan untuk menghias
busur. Tutupnya dilapisi dengan simbol kecil gesper
emas, perak, dan logam. Dan ternyata, ada peti-peti
jenazah semacam itu yang ditemukan di antara temuan
makam Xiongnu di perbukitan Noyan Uul di Mongolia.
Lalu, kekayaan macam apa yang seharusnya dikubur
dengan jenazah Attila? Seperti yang ditulis Peter Tomka,
“Jenazah akan dibaringkan di dalam peti dengan
mengenakan pakaian adat. Mungkin ia akan dilengkapi
dengan makanan dan minuman, kadang dengan peralatan
sederhana, seperti pisau atau jepitan.” Namun tidak ada
benda lebih berharga yang dimasukkan ke dalam peti
jenazah itu sendiri. Jika harta di Pannonhalma—objek-
objek pemujaan dihiasi dengan serpihan emas, tapi tidak
ada jenazah—yaitu harta bawaan, maka jenazah dan
harta benda berharga milik raja akan dikubur secara
terpisah. Apa yang dicari para pemburu harta dan
arkeolog yaitu jenazah dalam sebuah peti kayu, yang
mungkin sekarang sudah lenyap di dataran banjir Tisza,
dan satu timbunan kecil benda-benda pribadi.
DI MUSEUM Szeged, kita akan merasa bahwa kita sudah
sangat dekat dengan Attila, khususnya saat kita ditemani
oleh pimpinannya saat ini, Bela Kurti, yang secara rutin
memegang objek-objek yang bisa jadi dipegang oleh
Attila sendiri. Kurti, laki-laki bertubuh besar dan tegap,
dengan janggut memutih, sudah berada di museum itu
selama lebih dari 30 tahun, menjelaskan bagaimana ini
bisa terjadi.
Tokoh utama dalam kisah ini yaitu seseorang yang
berusia delapan puluh tahun yang tinggal di sebuah
dusun kecil di dataran banjir Tisza, sekitar 12 kilometer
barat daya Szeged. Balint Joszef—atau Joseph Balint—
yaitu seorang bekas pekerja ladang yang terkenal di
daerah setempat sebab benda yang ditemukannya saat
berusia lima tahun. Lokasinya terlalu kecil untuk di -
tunjukkan dalam peta, namun di sana inada sebuah
danau yang memiliki nama yang sama—Nagyszéksós
(dieja Narj-sake-shosh). Saat itu hari cerah di awal musim
panas 1926. Joszef kecil sedang berada di luar bersama
keluarganya, bermain sementara mereka menanam labu.
Joszef melihat benda keras mencuat dari tanah yang
baru dicangkul, ia mengorek-ngorek tanah itu, dan
menarik sebuah jambangan besi yang bentuknya aneh,
yang kelihatannya semua bagiannya berlubang—39
lubang persisnya, dalam tiga baris. Joszef menunjukkan
benda itu kepada ibunya. Sebagai sebuah jambangan,
benda ini sama sekali tidak berguna, kotor dan penuh
lubang, jadi ibu Joszef mengambil sebuah palu dan
memipihkannya, dan membuatnya menjadi lingkaran
yang kasar, seperti sebuah mahkota. “Sekarang kau akan
menjadi seorang raja!” ujar ibunya, dan Joszef mengambil
benda tadi untuk bermain di dalam kandang babi. Benda
itu berat. Ia tidak bisa memakainya. Jadi, ia meng -
gelinding kannya di sekeliling halaman rumah, melupakan -
nya, dan benda itu pun hilang begitu saja.
Enam bulan lalu , salah seorang pekerja ladang
menemukannya lagi dan kali ini salah seorang anggota
keluarga melihat kalau benda ini penting. Ia mem -
bersihkannya, dan terkejut ketika melihat bahwa ia
sedang memegang emas. Ia memotongnya menjadi tiga
bagian dan membawanya ke toko perhiasan di Szeged
untuk mencari tahu berapa uang yang ia dapatkan.
Pemilik toko, yang berhati-hati dengan hukum, melaporkan
penemuan ini kepada polisi, yang membawa kepingan
itu ke museum Szeged, yang lalu sampai ke tangan
pimpinan museum, Mora Ferenc. Seketika itu juga Mora
memacu mobilnya ke lahan pertanian dan berbicara
kepada Joszef kecil, yang menunjukkan lokasi penemuan
benda itu. Dua kepingan mangkuk lain pun ditemukan.
lalu diikuti dengan permintaan resmi: bolehkah
para arkeolog museum menggali ladang labu Balint?
Orangtua Joszef Balints tidak suka dengan gagasan ini
dan tidak memberi izin.
Delapan tahun berlalu. Mora meninggal dunia. Penerus -
nya, yang agak lebih tekun, kembali ke Nagyszéksós,
mengabaikan Tuan Balint, menggali ladang itu dan
mendapatkan harta terbesar suku Hun yang pernah
ditemukan—162 benda: gesper ikat pinggang, kalung,
perhiasan emas bertatahkan batu-batu mulia, pakaian
kuda, hiasan sadel, gesper sepatu bot, kepingan hiasan
pedang dan pisau belati, gagang perangkat kayu, potongan
sadel dan cambuk, mangkuk dan jambangan. Temuan-
temuan berikutnya menambah total menjadi lebih dari
200 benda, sebagian besar berukuran kecil, berjumlah
satu kilo emas. Dari gesper sepatu bot, para arkeolog
mengetahui bahwa benda-benda ini kepunyaan salah
satu atau beberapa anggota kelompok elite Hun. Para
ahli seperti István Bóna dan Peter Tomka setuju: ini
yaitu benda-benda persembahan, dan ini—dengan susah
payah—bukan bagian dari sebuah pemakaman. Tidak
ada tulang belulang yang ditemukan di ladang Balint,
tidak ada abu, tidak ada jejak gundukan makam yang
sudah hilang.
Mangkuk tadi, sekarang kembali disatukan, dan
disimpan di Museum Nasional di Budapest, satu harta
temuan utama yang menjadi keahlian Kurti. Satu tiruannya
berada di museum Szeged. Temuan-temuan serupa di
Persia menunjukkan bahwa lubang-lubang itu merupakan
hiasan kaca atau batuan yang cukup berharga, yang
mengesankan benda ini dipakai untuk bersulang pada
acara jamuan makam malam formal seperti salah satu
yang diceritakan oleh Priscus. Sebetulnya, ini yaitu
karya logam yang indah. Namun menarik untuk me -
mikirkan bahwa benda ini mungkin sampai ke tangan
kita dari tempat itu, laki-laki itu, peristiwa khusus ketika
Attila berada di puncak kekuasaannya, persisnya empat
tahun sebelum mangkuk itu menjadi persembahan pada
upacara pemakaman.
SEMENTARA ITU, pasti dulunya dilakukan prosesi
pemakaman yang menyedihkan, dan penguburan rahasia
“di dalam tanah”. Tidak disebutkan ada gundukan
makam. Jika makamnya sejajar dengan makam kerajaan
Xiongnu, mungkin ada satu lubang dalam, ruangan
kayu, dan makam kayu, yang di dalamnya dimasukkan
peti jenazah dari kayu pula, lalu lubang itu ditutup
kembali.
Kata “rahasia” menjadi penting. Jenghis Khan di -
makamkan secara rahasia, dan begitu pula dengan para
ahli warisnya. Kerahasiaan ini memiliki tujuan
ganda. Satu yang jelas yaitu untuk menggagalkan usaha
para penjarah makam (keduanya tahu akan bahaya,
bangsa Mongol dari pemakaman Noyan Uul di perbukitan
tanah kelahiran mereka dan suku Hun dari incaran
Uskup Margus beberapa tahun sebelum kematian Attila).
Yang kedua yaitu untuk memelihara kesucian situs
ini , dan dengan demikian melindungi aura keagungan
yang mengelilingi sang kaisar. Dalam kasus para penguasa
Mongol, para pengikut mereka punya satu masalah,
bahwa semua orang tahu di mana makam Jenghis Khan—
di gunung suci Burkhan Khaldun, yang sekarang dikenal
dengan nama Khan Khenti, di bagian utara Mongolia.
Untuk menyelesaikan masalah ini, bangsa Mongol
menyamarkan makam-makam itu begitu rupa dengan
meratakan tanahnya dengan bantuan kuda dan menempat -
kan para penjaga di seluruh area, dan lalu mem -
biarkan pohon dan rerumputan tumbuh untuk menyamar -
kan tempat itu. Setelah satu generasi, tidak seorang pun
bisa menemukan di mana persisnya situs-situs itu terletak,
yang tetap menjadi rahasia hingga saat ini.
Kasus Attila sedikit berbeda. Tampaknya, itu sudah
menjadi ritual-ritual tradisional untuk menghormati
meninggalnya pemimpin suku penggembala nomaden.
Namun suku Hun tidak lagi menjadi kaum penggembala
nomaden dan sudah menetap di Hongaria selama beberapa
generasi. Tidak ada situs rahasia tradisional yang akan
cocok sebagai pemakaman bagi para pemimpin Hun,
dan, bahkan jika ada beberapa ingatan penduduk akan
asal leluhur mereka yang (tidak terbukti) dari suku
Xiongnu, tidak ada pegunungan di sekitar yang akan
berlaku sebagai jembatan antara bumi dan langit. Tidak
ada banyak pilihan kecuali pemakaman bumi biasa.
Itulah yang dipercayai penduduk Hongaria, dengan
sedikit pembelokan yang ditambahkan Gárdonyi. Di
mana sang raja dimakamkan?
Kama tua itu menjawab, mengikuti sidang langit. “Sungai
Tisza penuh dengan pulau-pulau kecil. Alihkan airnya dari
anak sungai yang lebih kecil di salah satu tempat di mana
sungai terbagi. Galilah makam yang sangat dalam di sana, di
tempat bekas dasar sungai dan lalu perlebar dasarnya
sehingga akan menjadi lebih besar. Setelah raja dimakamkan,
biarkan air mengalir kembali.”
Sebagai hasilnya, sekarang di Hongaria banyak yang
percaya dan menyatakan hal ini sebagai fakta, bahwa
Attila dimakamkan di Sungai Tisza.
Bagaimana pun pemakaman yang dilakukan, pemakam -
an ini akan dilakukan di tempat yang tetap dijaga
kerahasiaannya, hal yang menjadi satu masalah di puszta
Hongaria yang benar-benar terhampar datar. Priscus,
menurut Jordanes, mengatakan kepada kita bagaimana
kira-kira hal ini bisa dilakukan. “Kekayaan yang luar
biasa itu mungkin diamankan dari keingintahuan manusia,
mereka membunuh siapa saja yang ditunjuk melakukan
pekerjaan itu—sebuah penghargaan mengerikan yang
menimbulkan kematian mendadak bagi yang menguburkan
dan yang dikubur.”
Hal ini perlu diteliti lebih cermat. Melakukan pem -
bantaian binatang dan budak merupakan praktik biasa
di seluruh wilayah Eurasia, untuk menandai kematian
seorang raja. Di Anyang, China, para turis sekarang ini
bisa melihat sebuah situs pemakaman yang luar biasa, di
mana sejumlah kecil pasukan dimakamkan bersama
komandan istana mereka, menyisakan kerangka-kerangka
manusia, kuda, dan sejumlah kereta tempur. Ini bukan
kebiasaan yang umum, sebab budak dan prajurit dinilai
sebagai aset, dan malahan sangat banyak yang mencontoh
hal ini, misalnya pasukan terakota Xian yang terkenal.
Adapun pembunuhan para penggali makam dilakukan
untuk menjaga kerahasiaan. Sepanjang yang kuketahui,
Jordanes-lah yang pertama kali menyebutkan gagasan
seperti ini. Mungkin ini tidak mengherankan, mengingat
bahwa biasanya pemakaman seorang raja besar melibatkan
peringatan yang cukup nyata, dalam bentuk gundukan
makam, yang jumlahnya ada ribuan di seluruh Hongaria,
Ukraina, dan bagian selatan Rusia, di seluruh wilayah
Asia, hingga makam-makam kerajaan Xiongnu di
Mongolia. Kerahasiaan tidak pernah menjadi masalah.
Dan terjadi lagi dengan pemakaman Jenghis Khan, yang,
mungkin bukan secara kebetulan, menghasilkan gagasan
serupa: bahwa, untuk menjaga kerahasiaan dari kematian
Khan yang agung, semua makhluk hidup di seluruh rute
arak-arakan penguburan, dibunuh. Marco Polo mengata -
kan hal ini dalam kaitannya dengan pemakaman cucu
Jenghis, Monkhe, dan lalu hal ini menjadi sebuah
kebenaran mutlak saat dikaitkan dengan pemakaman
Jenghis sendiri. Berkaitan dengan bangsa Mongol, hal
ini jelas tidak praktis. Tidak ada hal yang lebih baik
untuk membuat rute arak-arakan pemakaman terlihat
jelas selain jalanan yang penuh dengan mayat dan
keluarga-keluarga yang berdukacita.
Namun kasus Attila mungkin berbeda. Ini situasi
yang unik. Sebelumnya tidak pernah ada seorang pemimpin
barbar yang memiliki pencapaian sedemikian hebat.
Tidak ada yang bisa dijadikan contoh. Pemakaman pada
waktu malam, tidak ada gundukan tanah—itu kedengaran
masuk akal bagiku. Jika Priscus membuat semua cerita
ini, atau jika ia hanya merespons terhadap contoh-
contoh klasiknya, pasti ia akan melanjutkannya dengan
ratapan dan kematian para korban dan gundukan makam.
Jadi bagaimana kita menjaga rahasia? Maenchen-
Helfen, kembali, agak sombong dengan gagasan ini.
“Membunuh para pekerja yang mengubur raja yaitu
cara yang tidak efisien untuk menjaga penjarahan makam,
sebab ribuan orang pasti akan tahu. Di samping itu,
siapa yang membunuh si pembunuh itu?” Aku tidak
yakin. Ini tidak akan sulit dilakukan, sebab pasukan
Hun memiliki budak yang sangat banyak yang diambil
dari puluhan aksi penyerangan, di antaranya berasal
dari suku-suku Jerman, Balkan, Gaul, Italia. Priscus
sudah melihat sebagian dari mereka pada kunjungannya,
dan membandingkan pedagang Inggris sukses bukannya
tahanan berwajah seram dan depresi yang dipekerjakan
di markas besar Attila. Orang Hun tidak akan menyesali
pembunuhan (ingat dua pangeran yang melarikan diri
dan dihukum dengan cara disula). Membunuh manusia
itu seperti membunuh domba—bahkan lebih mudah,
sebab dengan seekor domba kita sedikit cemas akan
kualitas dagingnya. Jadi bukan masalah besar untuk
berubah dari melukai diri sendiri pada saat perkabungan,
menjadi membunuh para pelayan rumah.
Aku bisa membayangkan sekumpulan tahanan,
jumlahnya sekitar 50 orang, digiring untuk menggali
lubang makam. Para tahanan ini benar-benar tidak sadar
akan nasib yang menghampiri mereka, sebab rencana
ini hanya diketahui oleh beberapa orang logade; lalu
prosesi yang mendekat dan kerumunan orang Hun yang
berkabung, ribuan jumlahnya, diberi tahu untuk kembali
ke rumah-rumah mereka oleh sekelompok kecil logade;
barisan tahanan bergerak pelan dengan pengawalan
sekitar 50 orang prajurit Hun dan pembawa kain penutup
peti jenazah, pemakaman secara terhormat, pekerjaan
lambat mengisi makam dan meratakan tanahnya dengan
hati-hati, bahkan mungkin areal ini segera tertutup oleh
banjir musim semi dari Sungai Tisza; lalu para
tahanan berkumpul, digiring berbaris menuju kegelapan;
dan lalu , dengan datangnya cahaya pertama di
langit timur, para tahanan dipisahkan secara berkelompok,
dan dilakukan pembantaian secara cepat, di mana satu
prajurit Hun melakukan satu atau dua eksekusi, semuanya
selesai dalam sekejap. Tentu saja, ada orang-orang Hun
yang mengetahui rahasia ini, namun mereka yaitu para
penjaga rahasia yang tepercaya. Rahasia ini aman di
tangan mereka, hingga musim berganti dan banjir tahunan
Sungai Tisza menyamarkan lokasi itu selamanya.
HAMPIR SEKETIKA ITU JUGA, KEKAISARAN YANG TAMPAKNYA
begitu besar berubah menjadi seperti rumah dari tumpukan
kartu. Attila, pimpinan terbesar yang muncul dari padang
rumput sebelum munculnya Jenghis, tidak pernah
membuat ketentuan untuk suksesi kepemimpinannya.
Priscus pernah melihat Attila mencurahkan kasih sayang
kepada putranya yang lebih muda, Ernak, dan menunjuk -
kan tanggung jawab kepada putranya yang paling tua,
Ellac. namun , menjadikan mereka memimpin ke kaisaran
bersama-sama yaitu sebuah khayalan. Jenghis
melakukannya dengan benar, delapan tahun sebelum
meninggal ia membuat sebuah birokrasi, dan hukum-
hukum tertulis, serta sebuah pernyataan resmi tentang
siapa yang harus mengambil alih takhta ketika ia meninggal
dunia. Attila seperti seorang ayah yang meninggal tanpa
wasiat, yang mengakibatkan kedua putranya—dan
sekarang, dengan semua istrinya yang begitu banyak—
bertengkar memperebutkan harta warisan. Masing-masing
putranya menuntut bagian, berselisih bahwa para budak
harus dibagi sama rata, seolah mereka yaitu pelayan
keluarga. Bangsa Mongol punya kisah-kisah tentang
pemimpin (Jenghis, tentu saja, namun juga pemimpin
lainnya) yang menunjukkan kepada putra-putra mereka
bagaimana saat satu anak panah bisa dipatahkan dengan
mudah, sekumpulan anak panah tetap tidak bisa
dipatahkan: persatuan yaitu kekuatan! Attila dan
keluarganya tidak punya kebijaksanaan seperti itu. Dalam
kata-kata Jordanes, “Terjadi persaingan di antara para
penerus Attila untuk mendapatkan tempat paling tinggi—
sebab pemikiran anak muda itu tidak digerakkan oleh
ambisi untuk mendapatkan kekuatan—dan tergesa-gesa
tanpa tahu bagaimana memerintah—mereka semua
menghancurkan kekaisaran Attila.”
Jika sumber-sumber tulisan tentang apa yang terjadi
sementara Attila berkuasa jumlahnya sedikit, sekarang
hubungan-hubungan dengan dunia luar semakin sedikit,
dan kita tidak punya apa pun selain melakukan generalisasi
paling berani. Para pimpinan dari suku-suku yang dulunya
independen tidak akan mau diperlakukan seperti budak,
dan bangkit memberontak. Pertama, mungkin, Ostrogoth,
namun pemberontakan utama dipimpin oleh pimpinan
suku Gepid, Ardanic, dan salah satu sekutu terbesar
Attila. Ia sudah mendukung raja barunya pada serangan
di Balkan pada 447 dan membentuk pasukan sayap
kanan di Dataran Catalaunia. Dialah yang sekarang
membentuk aliansi untuk mendapatkan lagi kemerdekaan
suku-suku Jerman dari penguasa Hun.
Pada 454, menurut Jordanes, terjadi perang besar.
Detailnya tidak diketahui; yang kita miliki hanya sebuah
nama, Sungai Nedao di Pannonia—tapi tidak ada Sungai
Nedao disebutkan pada sumber mana pun, dan sejak itu
nama serta lokasinya menghilang dari ingatan. Bahkan
seorang peneliti ahli suku Hun yang paling rajin sekali -
pun, Maenchen-Helfen, tidak bisa mengatakan lebih
banyak selain bahwa itu mungkin nama anak sungai di
Sava, yang mengalir menuju Tisza di Beograd. Bagaimana
pun, perang itu merupakan kemenangan besar bagi
Ardanic, yang dikatakan membunuh 30.000 pasukan
Hun dan sekutu Hun—jumlah yang harus dibagi sepuluh,
seperti biasanya, jika dilihat dari kemungkinan jumlah
sebenarnya. Di antara yang tewas yaitu putra tertua
Attila, Ellac. “Demikianlah suku Hun menuju ke punahan -
nya, satu ras di mana manusia berpikir seluruh dunia
harus mengalah kepadanya.”
Dan dengan begitu Persekutuan Gepid mengambil
alih wilayah Hun, beserta hubungan mereka yang
menjengkelkan dengan kekaisaran. Para duta besar
dikirim ke Konstantinopel, di mana mereka diterima
dengan baik oleh Marcian, yang menentang Attila dan
dengan penuh kekhawatiran menunggu langkah yang ia
lakukan selanjutnya. Marcian pasti sangat lega dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Sungai Danube, dan
dengan senang menjamin bantuan menyediakan 100
pon emas setiap tahun untuk Ardaric—seperduapuluh
dari jumlah yang dibayarkan pendahulunya kepada Attila.
Dengan kematian Attila, wilayah kekaisaran secara
garis besar menjadi lebih baik. sebab terpecah belah,
bangsa barbar menjadi lebih mudah ditangani. Ada tiga
perpindahan tempat tinggal berskala besar dari suku-
suku kecil: wilayah Pannonia untuk suku Ostrogoth,
dan sisa suku Hun dibagi menjadi dua kelompok, satu di
pesisir Laut Hitam, dan satu lagi menempati tempat
yang sekarang menjadi perbatasan Serbia-Bulgaria.
Perebutan kekuasaan kecil terus berlangsung, terutama
antara Hun barat dan musuh lama mereka, Ostrogoth.
Jordanes menyebutkan sebuah pertempuran di mana
suku Hun “menganggap Goth sebagai pembelot dari
peraturan mereka, datang melawan seolah mereka mencari
budak-budak pelarian”, dan mendapat perlawanan sengit.
Muncul seorang pemimpin Hun baru yang bernama
Tuldila. Sidonius menyebut tentangnya dalam pidato
pujian persembahan, kali ini untuk Kaisar Majorian
pada 458: “Hanya satu ras menyangkal patuh kepadamu,
satu ras yang belakangan ini, lebih kasar daripada biasa -
nya, meninggalkan daerah mereka yang belum dijinakkan
di Sungai Danube sebab mereka sudah kehilangan
pimpinan dalam pertempuran, dan Tuldila menggerakkan
kumpulan orang yang sulit dikendalikan dengan nafsu
marah untuk bertarung ini.”
Pada 465-466 mereka mencoba lagi. Salah satu putra
Attila, Dengizich, yang memiliki basis di Sava, sekitar 75
kilometer sebelah barat Beograd, bergabung dengan
Ernak (anak kesayangan Attila, masih hidup) dan mengirim
seorang duta besar ke Konstantinopel, meminta sang
kaisar, sekarang Leo I,1 untuk menerima kembali per -
dagangan di Sungai Danube. Leo menolak.
Terjadilah satu serangan terakhir ketika Dengizich
dan pasukan Hun Eropa terakhir menyeberangi Sungai
Danube yang membeku pada 467, memaksa dirinya
menghadapi komunitas Goth dalam tawaran nekat untuk
memberikan areal menetap baru. Dalam satu pesan
untuk komandan kekaisaran setempat, Anagastes,
Dengizich mengatakan bahwa pengikutnya siap menyerah
jika mereka punya wilayah sendiri; dan ia ingin mendapat
jawaban secepatnya sebab “mereka kelaparan dan tidak
bisa menunggu lebih lama”. Jawaban sang kaisar men -
dukung permintaan suku Hun; Goth, yang sangat marah,
menyerang mereka; pasukan Hun membela diri; pasukan
Romawi ikut bergabung; dan areal milik suku Hun
cukup lumayan di Eropa. Mereka terus bertarung, tanpa
harapan, hingga berakhir dua tahun lalu , pada
469, dicatat oleh satu sumber pendek pada awal abad
ketujuh dalam Eastern Chronicle. Dengizich dibunuh
Anagastes. Kepalanya dibawa ke Konstantinopel, “dibawa
dalam arak-arakan melintasi Jalan Tengah, dan
dipancangkan pada tiang Salib Kayu. Seisi kota menoleh
untuk melihatnya.” Tak ada yang tahu nasib Ernak.
Beberapa orang Hun berhasil selamat, muncul bersama
suku lain atau tercerai-berai secara perlahan-lahan di
wilayah timur, menghilang seperti debu setelah sebuah
ledakan, kembali tenggelam dalam alam mimpi dari
mana tempat mereka muncul satu abad yang lalu.
SEMENTARA SISA kekaisaran Hun di Timur hilang, begitu
juga dengan Romawi bagian barat. Bagi para sejarawan,
keruntuhan kekaisaran barat itu memang carut-marut.
Selama bertahun-tahun, pasukan Romawi bukanlah
benar-benar orang Romawi. Aetius bisa dibilang sebagai
“orang Romawi terakhir”, namun pasukannya di Dataran
Catalaunia tidak akan ada apa-apanya tanpa kehadiran
suku Visigoth, Frank, dan Burgundi, dan suku-suku
lainnya. Hanya tuhan yang tahu apa yang akan ia lakukan
tanpa mereka. Ketiadaan Attila menghilangkan
utama, namun membuat banyak bangsa lainnya bertarung
melawan kekaisaran Romawi yang hancur. Namun Attila
tidak sepenuhnya hilang, sebab pengaruhnya menjangkau
melebihi makamnya, namanya terus hidup melalui
peristiwa dan kepribadian saat kekaisaran barat berselisih
dan mengakhiri jalannya menuju kepunahan.
Bagi sebagian orang, dan selama beberapa tahun,
Aetius menjadi penyelamat Roma, benteng kekaisaran
dalam melawan orang-orang barbar, hingga semua
usahanya menjadi tidak berarti dengan akhir melodramatis
yang mengherankan. Berawal di Roma, di mana
Valentinian yang putus asa mendirikan kembali istananya.
Sejak Galla Placidia, ibu dan pengendalinya, meninggal
pada 450, Valentinian tidak punya seorang pun untuk
diajak berdiskusi. Ia, dalam ungkapan Gibbon, “mencapai
usia tiga puluh lima tahun tanpa mencapai usia kemampuan
berpikir atau keberanian”, dan percaya pada semua
omong kosong, yang sebagian besarnya dibisikkan oleh
seorang senator terkemuka dan dua kali menjadi konsul,
Petronius Maximus. Di usia 60 tahun, Petronius di -
gambarkan oleh Sidonius sebagai salah satu pemimpin
Romawi dengan ambisi yang tidak pernah terpuaskan,
“dengan gaya hidup yang menarik perhatian orang,
jamuan-jamuan makan, pengeluarannya yang luar biasa
besar, rombongannya yang banyak, pengejaran literaturnya,
hartanya, perlindungannya yang ekstensif ”. Tampaknya,
ia juga selalu menaruh kecurigaan besar terhadap Aetius
yang terkenal, dengan kekayaannya, teman-temannya
yang berkedudukan tinggi, dan pasukan barbar pribadinya,
yang semuanya itu membuat dirinya menjadi pejabat
paling kuat di kekaisaran barat. Seperti yang diisyaratkan
Petronius kepada kaisar melalui kasim dan penasihat
favoritnya yang bernama Heraclius, Aetius bisa saja
melakukan perebutan kekuasaan secara tiba-tiba. Ia
bahkan bisa saja merencanakan satu dinasti baru, sebab
putranya yang bernama Gaudentius bertunangan dengan
putri Valentinian, Eudoxia. Petronius berkata secara
tidak langsung, tergantung kepada Valentinian, apakah
kaisar akan melakukan serangan lebih dulu, atau diserang.
Pada satu hari di bulan September 454, ketika Aetius
sedang melakukan pertemuan dengan kaisar, kasim
Heraclius di sampingnya, sang jenderal mulai mendesak
agar pelaksanaan pernikahan antara kedua anak mereka
dipercepat. Mungkin Aetius terlalu mendesak, dan
mungkin sepertinya ini menjadi bukti akan rencananya
untuk meraih kekuasaan. Bagaimana pun, Valentinian,
mungkin mendadak marah atau memang itu yang sudah
direncanakan, dengan cepat bangkit dari singgasananya,
menuduh Aetius berkhianat dan menghunus pedang—
”pedang pertama yang pernah ia hunus”, dalam kata-
kata Gibbon yang terlalu berlebihan. Melihat itu, Heraclius
juga menghunus pedangnya, para penjaga mengikuti
arahannya, dan Aetius yang tidak bersenjata tewas oleh
puluhan pedang.
Dengan kematian Aetius, kekaisaran Romawi sendiri
hancur lebih cepat. Seorang Romawi diperkirakan
berkomentar pada Valentinian: “Kau sudah bertindak
seperti seorang laki-laki yang memotong tangan kanan
dengan tangan kirinya.” Aetius, seorang yang berteman
dengan suku Hun, sekaligus berteman dengan Attila,
dan lalu musuh mereka, sudah memperluas
kehidupan bangsa Romawi dan bangsa barbar, dan
mempertahankan keseimbangan yang tidak pasti antara
keduanya. Tidak ada dan tidak akan pernah ada yang
bisa menggantikan posisinya.
Sejauh ini situasinya aman bagi Petronius; lalu, kondisi
menjadi amat buruk bagi Romawi, dan akan lebih buruk
lagi. Heraclius sang kasim, dengan akses cepat ke telinga
kaisar, mendesak kaisarnya untuk menghindari mengganti
posisi orang ambisius (Aetius) dengan orang berambisi
lainnya (Petronius), dan Petronius tidak menerima ucapan
terima kasih atau penghargaan atas rencananya ini.
Gibbon punya satu kisah menarik tentang kaisar yang
memerkosa istri Petronius, tapi tidak ada gunanya
mengulang hal ini, sebab Gibbon tidak memberi tahu
sumber ceritanya, dan Petronius sudah punya alasan
yang cukup untuk menginginkan balas dendam kepada
Valentinian.
sebab marah, Petronius membuat rencana lain. Ia
mendekati dua orang pengawal barbar, Optila dan
Thraustilla, yang sudah mengabdi kepada Aetius dan
sekarang mengabdi untuk pembunuh tuannya, Valentinian,
yang tidak berbicara banyak tentang prosedur pembunuhan
yang dilakukannya ini . Enam bulan setelah pem -
bunuhan Aetius, pada musim semi 455, Valentinian pergi
ke Campus Martius, Padang Mars, dataran rawa di utara
kota itu, di tikungan Sungai Tiber, yang sekarang dialiri
air dan sebagian besar sudah dibangun. Ditemani oleh
satu kontingen kecil, Valentinian akan berlatih memanah
di salah satu areal terbuka. Turun dari kudanya, ia ber -
jalan ke sasaran tembak bersama Heraclius dan dua
pengawal barbar tadi. Saat sang kaisar bersiap menembak -
kan anak panahnya, Optila menyerang pelipisnya, dan,
ketika Valentinian membalikkan badan, Thraustilla
melancarkan pukulan kedua—aku membayangkan mereka
memakai tongkat kebesaran—dan membunuhnya.
Satu pukulan lagi membunuh Heraclius. Sepertinya
kaisar yang lemah dan pengecut itu, pembunuh Aetius,
pejabat luar biasa di kekaisaran Romawi, sangat dibenci
se hingga pengawal istana tidak bergerak untuk membela -
nya. Kedua pembunuh itu meloncat ke atas kuda mereka
dan memacunya menghadap Petronius untuk menuntut
hadiah mereka.
Valentinian tidak punya ahli waris; bersamanya, satu
dinasti musnah, dan begitu juga dengan basis akhir
untuk penyebaran kekuatan. Senat menyatakan Petronius
sebagai kaisar. namun , Petronius, yang sudah men capai
posisi tinggi, hanya merasakan keputusasaan. Tiba-tiba
ia merasa benar-benar sendiri, tanpa pernyataan sah atas
takhta, tidak terkenal, dan tidak berdaya menghadapi
kejadian-kejadian yang di luar kendalinya.
Di sepanjang Mediterania, Gaiseric, pemimpin kaum
Vandal memperhatikan situasi. Kakek Gaiseric sudah
berpindah dalam satu migrasi besar-besaran dari utara
pegunungan Alpen melalui Spanyol menuju Afrika, dan
sekarang ia bersiap menyelesaikan siklus itu dengan
melakukan invasi laut terhadap Italia dari arah selatan.
Gaiseric sudah lama tertarik dengan kejadian-kejadian
di tanah daratan, sebab , kita akan ingat, putranya
membuat raja Visigoth, Theodoric, sangat benci kepadanya
dengan melakukan hal mengerikan terhadap putrinya,
dan Gaiseric berharap Attila mampu melawan Visigoth
dan Romawi. Harapan itu sudah mati di Dataran
Catalaunia. Namun sekarang, dengan kematian Aetius
dan Valentinian serta sang pembunuh yang tidak aman
duduk di singgasana Romawi, Gaiseric punya kesempatan.
Tiga bulan setelah Petronius Maximus menyatakan diri
sebagai kaisar, satu pasukan Vandal dalam jumlah besar
berlayar dan berlabuh di hilir Sungai Tiber.
Petronius yang malang. Ia diberi julukan “yang paling
beruntung” sebab kesuksesannya. Sepuluh tahun
lalu , Sidonius menulis hal yang dianggap sebagai
nasib baiknya: “Secara pribadi, aku selalu menolak
menyebut laki-laki itu beruntung, yang tenang di puncak
jabatan yang terjal dan licin.” Semua keinginan Petronius
sudah terpenuhi, namun sekarang saat sudah meraih
posisi tinggi, ia menderita vertigo. “Ketika usaha luar
biasa membawanya pada martabat kekaisaran yang sangat
luas, kepalanya berdenyut pusing di bawah hiasan
mahkota melihat kekuatan yang sangat besar itu, dan
laki-laki yang dulunya tidak sanggup memiliki pemimpin
tidak akan bisa menjadi pemimpin.” Tanpa legitimasi
yang sah atas takhtanya, ditentang oleh para birokrat, ia
merasa menjadi tahanan di istananya sendiri, dan
“menyesali kesuksesannya sendiri sebelum malam pertama
datang”. Satu-satunya tindakan besar yang ia lakukan
yaitu mengangkat kembali Avitus menjadi, sebagai
akibatnya, penguasa Gaul, dengan harapan bahwa Avitus
bisa memakai kemampuan diplomatiknya untuk
mengendalikan puluhan suku barbar. Di kediamannya,
Petronius tidak berguna. Jikapun ia tahu tentang gerakan
armada Vandal, tetap saja ia tidak bisa melakukan apa
pun. Saat armada itu berlabuh pada akhir bulan Mei, ia
melihat kekalahan yang nyata di hadapannya.
Petronius panik dan meninggalkan istana, tepat
mengarah ke kerumunan penduduk, yang, marah sebab
ketidakberdayaan dan kepengecutannya, melemparinya
dengan batu dan memukulnya sampai mati, membantainya
dan melemparkan mayatnya ke Sungai Tiber.
Dan siapa yang seharusnya berusaha menyelamatkan
kota? Yah, laki-laki yang merupakan seorang ahli Romawi
dalam menangani orang-orang barbar ini, Paus Leo,
yang pergi menemui Attila empat tahun sebelumnya.
Kali ini, keberhasilannya hanya setengah. Gaiseric meng -
ampuni para penduduk, namun dalam serangan selama
dua minggu itu ia merampas kekayaan kota itu, termasuk
atap mengilat gedung Capitol yang terbuat dari perunggu,
meja emas dan kandil yang diambil dari Jerusalem pada
70 M, perabotan istana, perhiasan kekaisaran, dan para
tahanan yang jumlahnya ratusan, termasuk permaisuri
sendiri, kedua putrinya, dan putra Aetius.
Beberapa hari lalu berita tentang malapetaka
ini terdengar oleh Avitus, yang sedang berada di Toulouse
bersama teman-temannya dari bangsawan Visigoth, tanpa
Theodoric, yang sudah kalah di Dataran Catalaunia,
dan juga tanpa putranya, Thorismund, yang atas desakan
Aetius, kembali ke negerinya untuk menyelamatkan
takhtanya. Selama tiga tahun semuanya berjalan baik-
baik saja, meskipun ada yang tidak menerimanya.
lalu Thorismund jatuh sakit, dan keberuntungan
jatuh ke tangan musuh-musuhnya. Pembuluh darahnya
pecah, dan ia sedang duduk di sebuah bangku tanpa
sandaran, ketika seorang pelayan yang berkhianat
mengabarkan bahwa ia sendirian dan tanpa senjata. Para
pembunuh menyerang masuk. Thorismund mengambil
bangku dan—menurut Jordanes—membunuh beberapa
penyerangnya dengan bangku itu sebelum mereka
membunuhnya. Adiknya, Theodoric muda, yang diyakini
secara luas yaitu otak pembunuhan ini, mengambil
alih kekuasaan. Jadi Theodoric inilah yang memimpin
istana Visigoth saat tiba berita mengenai perampasan
kedua yang dialami Romawi oleh kelompok barbar (yang
pertama, tentu saja, dilakukan oleh leluhur Theodoric,
Alaric, dalam konvoi panjang pasukan Visigoth ke barat
setengah abad sebelumnya).
Avitus jelas sayang dengan pemuda bertubuh atletis
ini, sebab menantunya, Sidonius, menggambarkannya
dalam sosok yang bersinar, membuat dirinya terdengar
seperti seorang pahlawan besar. Dengan tinggi badan di
atas rata-rata, tubuh kekar dan liat, rambut panjang ikal
sampai telinga, alis tebal dan bulu mata panjang, hidung
bengkok, berotot, dengan paha “seperti tanduk keras”,
pinggang ramping dan terawat baik (seorang tukang
pangkas mencukurnya setiap hari, dan juga memotong
rambut hidungnya). Seorang pemimpin yang cakap, ia
memulai harinya dengan satu doa (seperti sebagian besar
orang-orang Visigoth, ia menganut kepercayaan Arianisme,
namun mungkin ia tidak terlalu menganggapnya serius),
lalu melaksanakan pertemuan dengan para pemohon
dan utusan luar negeri. Tengah hari yaitu saatnya ber -
buru, dan Theodoric melatih kemampuannya dalam
memanah. Makan siang dihidangkan secara sederhana,
tanpa memamerkan secara berlebihan perangkat perak
dan membuatnya menjadi pembahasan secara berlebihan.
Sedikit bersulang, tidak ada yang mabuk. Setelah itu,
tidur siang sejenak, bermain catur, di mana pengendalian
diri dikombinasikan dengan persahabatan. Saat jamuan
makan malam, mungkin ada acara hiburan: tidak ada
para musisi ataupun penyanyi—tampaknya Theodoric
benar-benar tidak menyukai musik—hanya para pelawak,
tanpa hal berbau sindiran dan melukai perasaan.
Membahas lebih banyak petisi, lalu tidur, dijaga para
prajurit bersenjata.
Entah bagaimana, di dalam istana yang beradab,
gagasan itu muncul bahwa mungkin saja ada sosok kaisar
baru bersama mereka di Toulouse sana. Sidonius meng -
gambarkan kejadian ini dalam ungkapan bernada
menjilat.
Para sesepuh suku Goth berkumpul, kerumunan
orang-orang yang tidak rapi, dalam balutan tunik linen
kotor dan pudar, dan mantel bulu serta sepatu bot kuda,
sangat kontras dengan pangeran mereka yang elegan.
Avitus berbicara kepada mereka, mengimbau diperbaruinya
satu komitmen perdamaian dari Theodoric muda—
”Kalian, sebagai tetua di sini bisa menyaksikan, siapa
yang digendong tangan ini di dadanya, jika kebetulan
ibu susu mencoba mengabaikan, tidak sesuai dengan
keinginanmu.” Siapa yang bisa menolak? Semua
menginginkan perdamaian, dan Theodoric, yang karakter
kasarnya sudah diperhalus saat kanak-kanak oleh Avitus
sendiri, bersumpah memperbaiki kesalahan-kesalahan
masa lalu dengan membalas dendam serangan kaum
Vandal di Romawi, seandainya—kini datang kalimat
penegasan—”Seandainya dirimu, pemimpin terkenal,
akan mengambil takhta dengan mengusung nama
Augustus.”
Avitus menunduk, menunjukkan sikap rendah hati
dan tidak berguna.
“Mengapa kamu memalingkan muka?” tanya
Theodoric. “Keenggananmu membuat dirimu semakin…
dengan posisimu sebagai pemimpin, aku yaitu teman
Romawi.”
Satu bulan lalu , tokoh terkemuka Gaul juga
mendukung perkara ini, dan menyatakan Avitus sebagai
kaisar. Pada bulan September ia berada di Roma, me -
menangkan dukungan yang tidak sungguh-sungguh dari
para senator yang skeptis. Sidonius membawa pidato
pujian terhadap kaisar baru ini dengan kata-kata yang
lincah, menegaskan kesuksesannya pada masa lalu,
legitimasinya pada masa kini, dan kejayaan masa depannya
yang hampir pasti.
Namun, dalam dunia yang terpecah-pecah, kesuksesan
masa lalu tidak memberikan legitimasi saat ini ataupun
jaminan akan kejayaan pada masa yang akan datang.
Sebagian besar Gaul jatuh ke tangan bangsa Frank,
Burgundi, dan Bacaudae yang tidak mau patuh. Suku
Visigoth menguasai wilayah barat daya, dan segera akan
menguasai sebagian besar wilayah Spanyol. Berbagai
suku Jerman menyebar di Rhineland. Vandal menguasai
Afrika Utara. Ostrogoth mendominasi Sungai Danube.
Tidak banyak yang tersisa: hanya Italia. Sekarang kekuatan
bukan di tangan kaisar atau Senat, namun tangan militer,
satu-satunya pertahanan melawan serangan. Seperti yang
sudah ditunjukkan oleh Aetius, yang menguasai pasukan
yang menguasai kekaisaran barat (yang kini merosot).
Dengan tewasnya Aetius, Avitus memberikan posisi
komandan kepala kepada seorang non-Romawi, Ricimer,
yang ibunya keturunan Visigoth dan ayahnya keturunan
Suevia. Ricimer-lah yang berusaha menyelamatkan Italia
dari serangan armada laut pasukan Vandal pada 456,
dan dengan demikian membuktikan bahwa ia benar-
benar, meskipun sementara, merupakan kekuatan di
daratan itu.
Avitus, bangsawan dari Gaul dengan pasukan pribadi
dari barbar, tidak pernah dikenal di Romawi. Hampir
seketika itu juga ia tenggelam. Pada 456, panen memburuk.
Kelaparan mengancam. Avitus berkata bahwa untuk
mengurangi jumlah penduduk yang akan diberi makan
ia akan membubarkan pasukan pribadinya, namun untuk
membayar mereka ia melebur beberapa patung perunggu
yang tidak dijarah pasukan Vandal. Penduduk memenuhi
jalanan melakukan protes. Ricimer dan pasukannya tidak
bergerak untuk melindungi kaisar mereka. Avitus melarikan
diri ke Arles, mengumpulkan kembali kontingennya
sendiri, lalu datang kembali untuk menyerang Roma,
dan dikalahkan oleh Ricimer di dekat Piacenza. Ricimer
menang dengan menunjukkan kemurahan hati, dan
membiarkan Avitus mundur. Dan akhirnya ia pun
meninggal dunia dalam perjalanan pulang.
Subjek kita, Attila, hampir tidak ada dalam kehancuran
Romawi yang terjadi 20 tahun lalu . Tujuh kaisar
lagi; satu masa peralihan pemerintahan; pembunuhan
dan perebutan kekuasaan di Romawi; pembunuhan dan
konflik antara kekaisaran barbar—semuanya ini, akan
memerlukan satu artikel untuk mencatat detailnya,
mengarah pada sebuah akhir yang singkat terhadap nasib
kekaisaran barat pada 476, ketika kaisar Romawi yang
terakhir, Romulus, digulingkan oleh seorang barbar yang
bernama Odoacer.
namun , ini bukanlah akhir kekaisaran Romawi barat,
sebab orang-orang barbar sudah ada di dalam gerbang
sejak lama sehingga perubahan kaisar dari Romawi ke
barbar lebih merupakan pertukaran simbolis daripada
praktis. Dan tiba-tiba hal ini menjadi mudah saat kita
melihat kembali keberhasilan pengaruh Attila, sebab
keduanya; kaisar terakhir Romawi, Romulus dan kaisar
barbar pertama, Odoacer, berutang nyawa kepada Attila.
Dengan satu kebetulan yang aneh, ayah mereka masing-
masing, Orestes dan Edika, keduanya pernah menjadi
pejabat di dewan pemerintahan Attila, dan menjadi
rekan dalam perwakilan tahun 449 yang bernasib buruk,
yang ditulis oleh Priscus. Romulus mendengar semua ini
dari ayahnya, seorang Romawi yang menjadi pengikut
Attila, Orestes; dan begitu juga dengan Odoacer, men -
dengar dari ayahnya, Edika, orang Skiria yang berusaha
direkrut Chrysaphius sebagai pembunuh Attila.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Setelah kematian
Attila, Orestes kembali ke kediamannya di Pannonia,
dari sinilah ia memimpin satu pasukan melawan Goth,
yang sekarang kembali siap berperang. Orestes, dengan
pasukan di belakangnya, menjadi orang yang berhasil
menjadikan orang lain sebagai raja dan setelah meng -
hasilkan beberapa raja, yang terakhir ia lakukan tahun
475, anaknya sendiri, Romulus kecil, yang secara sepele
bukan dikenal sebagai Augustus, namun Augustulus, “bayi
Augustus”.
Pasukan itu sendiri sekarang dalam keadaan bahaya
sebab dijangkiti kemunduran. Dengan tidak adanya
kekaisaran yang jauh dan birokrasi yang hancur, pajak
menipis dan pembayaran terhenti, dan pada akhirnya
pasukan barbar harus berpuas diri. Odoacer, berkat
ayahnya, berkuasa atas Skiria yang—setelah kematian
Attila—mengabdi pada Romawi. Pada mulanya mereka
mendukung Orestes, yang menjanjikan uang, lalu
wilayah. Uang tidak langsung dibayarkan; dan wilayah
tidak pernah diberikan. Jadi Odoacer dan pasukan Skiria
akhirnya melakukan pemberontakan terhadap simbol
utama Romawi, dan menggantikan putra tangan kanan
Attila dengan putra salah satu jenderalnya.
SEPERTIGA kekaisaran barat sekarang berada di tangan
bangsa barbar, dan di pusat kekaisaran Romawi sendiri
duduk penguasa barbar. Apakah ini menyedihkan? Bagi
orang-orang konservatif, tentu saja. Namun dalam jangka
waktu yang sangat panjang akan muncul Eropa baru,
Eropa yang memiliki perbedaan baru dalam hal budaya
dan bangsa. Romawi sendiri menderita dalam banyak
hal: institusinya, budayanya, tradisinya, kepercayaan
Kristen-nya. Hanya di Britania para penyerang barbar
melupakan Romawi, melihat bangunannya, tembok, dan
jalan sebagai artefak asing dan memaksakan asal-usul
penyembahan berhala mereka. Di tanah daratan, para
pemimpin barbar melihat diri mereka sebagai ahli waris
yang membanggakan dengan kekuatan kuno, dan bermulut
manis kepada tuan besar mereka di Konstantinopel. Di
Gaul, bangsa non-Romawi mengambil alih vila-vila milik
bangsa Romawi, mempelajari bahasa Latin, dan menganut
ajaran Kristen. Kota-kota besar di Romawi tetap memiliki
kebesarannya. Latin tetap menjadi lingua franca bagi
orang-orang Eropa terdidik selama 1.500 tahun, sebuah
tradisi yang sedikit menggema saat ini dalam upacara-
upacara kuno di universitas-universitas Eropa, dan semua
dunia Kristen, sebab AD—anno domini , tahun Yesus
Kristus—masih membagi sejarah menjadi dua.
Dan Attila sendiri? Ia mungkin tetap menjadi salah
satu orang besar dalam sejarah. Dengan melakukan
sedikit lebih banyak diplomasi, pemahaman yang lebih
baik, lebih sedikit perang dan komitmen terhadap
administrasi, ia bisa mendapatkan pencapaian sebesar
itu. Ia bisa saja menguasai seluruh Eropa utara, menikahi
Honoria, membuat satu dinasti yang berkuasa dari
Atlantik hingga Ural, dari pegunungan Alpen hingga
Baltik. Mungkin, dalam dunia yang paralel, Britania
akan dikalahkan oleh suku Hun daripada oleh kaum
Angles dan Saxon; dan Chaucers juga Shakespeare akan
menulis dengan bahasa Hun, dan akhirnya kita semua
tidak akan menyembah Tuhan Kristen melainkan Langit
Biru yang menjadi kepercayaan para shaman. Kontribusi
Attila terhadap sejarah Eropa tetap terikat dengan migrasi
orang-orang barbar dan kehancuran Romawi, proses
yang biar bagaimana pun memang terjadi. Attila
menimbulkan keduanya. Dalam kebangkitannya, ia
menggerakkan suku-suku untuk berpindah ke barat lebih
cepat daripada ke arah timur. Begitu meraih kekuasaan,
ia merusak suku-suku terpencil, ia memperlambat gerakan
yang sama. Dalam istilah politik dan sejarah, Attila
melakukan hal yang lebih daripada sekadar menambahkan
hambatan terhadap kecepatan jalannya sejarah Eropa,
membiarkan terjadinya percepatan di tempat yang satu
dan memper lambat terjadinya pergerakan di tempat
lainnya. Kesemuanya menjadi keseimbangan sempurna
dari kelebihan dan kekurangan, dan tidak menandakan
apa pun.
Sepanjang sejarah Attila terjadi banyak keributan dan
kemarahan. Namun hal ini, juga, tidak menandakan apa
pun. Thompson menyimpulkan tentang Attila secara
ringkas, namun jelas: “Apakah suku Hun tidak memiliki
kontribusi langsung terhadap perkembangan Eropa?
Apakah mereka tidak memiliki penawaran apa pun selain
teror yang mencerai-beraikan bangsa Jerman dan membuat
mereka melarikan diri ke kekaisaran Romawi? Jawabannya,
tidak. Mereka tidak memberikan kontribusi… Mereka
hanya para penjarah dan perusak.”
Lalu, apa itu saja? Tidak juga. Ada hal lain dari Attila
selain menjarah dan merusak, sebab namanya masih
menggema sebagai arketipe dari kekuatan singkat semacam
itu. Pengaruhnya ditemukan bukan dalam pencapaian
praktisnya, namun dalam daya tariknya terhadap imajinasi.
Attila menghancurkan batasan-batasan fakta sejarah, dan
mencatatkan legenda, sebuah pergeseran yang menjadi
pembahasan dari bab terakhir kita.
SETELAH TIADA: HUN YANG BAIK,
BURUK, DAN KEJI
BAHKAN SEMASA HIDUPNYA ATTILA yaitu PENINDAS DAN
pahlawan, menjadi simbol paganisme sekaligus tangan
Tuhan, tergantung dari mana kita memandangnya. Pada
tahun kematiannya, kebenaran dihancurkan oleh propa -
ganda, legenda, mitos, dan kebohongan semata, yang
meng alir deras dalam cerita rakyat yang dipisahkan
menjadi tiga aliran: Kristen Barat, Jerman dan daerah
perbatasan Skandinavia, serta Hongaria.
SEBAGIAN BESAR korban Attila dan mereka yang menulis
tentang dirinya yaitu orang Kristen, dan orang Kristen
memiliki satu agenda resmi: untuk menunjukkan bahwa,
meski kehidupan yaitu medan perang antara kebaikan
dan keburukan, antara Tuhan dan Setan, hasil akhirnya
akan menjadi kemenangan Tuhan. Dengan demikian,
sejarah manusia, yaitu sebuah gerak maju yang tidak
stabil menuju kedatangan Kristus yang kedua, dan setiap
kejadian harus diperiksa sebagai bukti dari kemahakuasaan
dan kearifan Tuhan. Tugas pencatat kronik Kristen yaitu
melihat realitas yang mendasar melalui peristiwa-peristiwa
suram. Gerak maju Attila yang kuat di sepanjang Eropa
tidak patut ia banggakan. Tanpa disadari ia yaitu tangan
Tuhan, momok yang menghantui umat Kristen sebab
dosa-dosa mereka di masa lalu—atau, dalam metafora
lainnya, anggur balas dendam Tuhan, tungku perapian
untuk pemurnian emasnya—dan sebuah kesempatan
bagi Tuhan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, tidak
secara langsung, namun melalui para wakilnya, lebih
tinggi lebih baik, dari pendeta dan biarawati biasa hingga
uskup dan paus, di mana para korban tidak dihitung
sebagai orang-orang kalah, namun sebagai martir. Dalam
peristiwa menggemparkan ini, dunia lama yang korup
dari Romawi yang menyembah berhala harus dimusnahkan
dan dibuatlah sebuah era baru, zaman pencerahan Kristen,
dengan diikuti kemenangan yang lebih besar nantinya.
Jadi, ada logika yang pasti terhadap penganiayaan
kaum Hun yang dibesar-besarkan. Vandal, yang diberi
nama demikian sebab perampokan yang dilakukan
secara rutin; Goth mengilhami kata “Gothic”, yang
awal nya yaitu satu istilah untuk penyalahgunaan budaya
sebelum mendapat arti tambahan; namun Hun selalu di
luar batas. Dari kronik yang ditulis 300 tahun setelah
kematian Attila, kita akan berpikir bahwa ia tidak me -
ninggalkan apa pun di Gaul dan Italia. Ia bahkan di kata -
kan telah menghancurkan Florence, membunuh 5.000
orang, meskipun pasukan Hun tidak pernah menyeberangi
Sungai Po, yang letaknya 100 kilometer dari Florence.
Seperti dalam Life of St Lupus yang menyatakan bahwa,
“tidak ada kota, kastil, atau kota benteng di mana pun
yang bisa melindungi pertahanan nya”. Attila tidak
meninggalkan apa pun kecuali wilayah tandus. Ia datang
untuk memenuhi ramalan langit tentang malapetaka
dalam Kitab Wahyu: “Dan saat ribuan tahun berakhir,
Iblis akan dilepaskan dari penjaranya, dan akan keluar
untuk memperdaya bangsa-bangsa.” Semakin buruk
kesan kehancurannya, semakin besar pengaruh orang-
orang yang dengan sukses menentangnya.
Penulis yang paling dikagumi pada masanya, Sidonius,
meyakinkan bahwa pujian pertama dan terpenting
ditujukan kepada mereka yang hadir bersama dukungan
ketuhanan. Nah, dia akan mendapatkannya. Ia memiliki
teman-teman Kristen dengan jabatan tinggi, seperti yang
ditunjukkan dalam surat-suratnya yang awet sampai
sekarang. Lupus, anggota golongan pendeta paling
terkenal di Gaul; mertua Sidonius sendiri, kaisar yang
akan datang, Avitus; Prosper, penerus Anianus sebagai
Uskup di Orléans, “wali gereja yang paling terkenal dan
paling sempurna”; dan puluhan uskup lainnya. Ia sendiri
akan menjadi seorang uskup (di Clermont-Ferrant, saat
usianya berkisar 40 tahun). Siapa sebenarnya yang
menyelamatkan Troyes, Orléans, dan Roma? Bukan
Aetius dan pasukannya, namun tiga orang beriman: Lupus,
Anianus, dan Paus Leo—sebenarnya empat, jika kita
meng hitung Avitus, yang komitmen kristianinya terhadap
perdamaian membuatnya membujuk teman-temannya
dari suku Visigoth untuk bergabung dengan Aetius.
Hasil dari agenda ini yaitu individu dan kejadian
nya ta dengan cepat disembunyikan di balik propaganda
dan simbolisasi. Lupus dan lainnya menjadi lambang ke -
sucian, Attila menjadi pemimpin dari neraka—secara
harfiah, dalam beberapa lukisan, Attila digambarkan terlihat
memiliki tanduk setan dan telinga yang mencuat tajam.
Ini yaitu sebuah proses tersembunyi dan membahaya -
kan, sebab para sejarawan—terutama mereka yang
berusaha, seperti aku, yang menulis sejarah naratif—
tergoda untuk mencampurkan legenda dengan sejarah,
hanya demi menghasilkan kisah yang bagus. Aku
melakukan hal itu sebelumnya dengan menggambarkan
St Agnan menyelamatkan Orléans. Lihatlah apa yang
terjadi dengan kisah mundurnya Attila dari Italia setelah
pertemuannya dengan Leo (anggaplah hal ini memang
terjadi). Pada abad kedelapan terjadi sebuah keajaiban.
Paul, seorang diakon berdarah Italia yang pada masa itu
menulis sejarah tentang Lombards, menyatakan bahwa
Attila berkata: “Oh! Bukan orang yang datang [dengan
kata lain Leo] yang memaksaku pergi, tapi orang lain
yang berdiri di belakangnya dengan menghunus pedang,
mengancamku dengan kematian jika aku tidak mematuhi
perintahnya.” Setelah itu, hampir semua orang mengulang
kisah ini, dalam versi yang lebih imajinatif. Ravenna,
daerah administratif kekaisaran sementara, menjadi
tempat yang biasa dijadikan latar belakang, meski Attila
belum pernah mendekati daerah itu. Dalam satu versi,
Attila bertanya siapa yang datang. Paus, begitu jawaban
yang ia terima, “datang menjadi penengah atas nama
anak-anaknya, penduduk Ravenna”. Attila menganggap
ini sebagai lelucon: “Bagaimana mungkin satu orang
bisa memiliki begitu banyak anak?”
Itu terjadi pada abad kesembilan. Empat ratus tahun
lalu , di daerah yang baru berubah menjadi Hongaria,
Gesta Hungarorum menceritakan Attila menyandera
paus, hingga ia ketakutan oleh sebuah bayangan, “yakni,
saat sang raja menengadah ia melihat seorang laki-laki
melayang di udara, memegang sebilah pedang di tangannya
dan menggeretakkan giginya, mengancam akan menebas
kepalanya. Jadi Attila mematuhi permintaan Romawi
dan melepaskan sang penerus Apostel ini .” Lainnya
mengubah penampakan ini menjadi dewa perang
Mars, atau St Peter; atau mengubah rekan-rekan paus
menjadi orang-orang suci yang memakai pedang,
Peter dan Paul, sebuah versi digambarkan dalam sebuah
lukisan dinding oleh Raphael, dilukis pada 1514 demi
nama baik Leo, Leo X. Lukisan itu, lagi pula, di mana
Leo I berwajahkan Leo X, diberi judul Attila the Hun
Turned Back from Rome—harap dicatat, bukan dari
Ravenna. Jadi, dalam masa 1.000 tahun, legenda yang
diciptakan 300 tahun setelah kejadian diterima sebagai
fakta; dan hal itu tetap demikian di beberapa daerah
tertentu hingga sekarang. Sebuah situs internet Kristen
menyatakan dengan jaminan sederhana: “Sosok seperti
laki-laki yang dilihat Attila di udara, sedang memegang
sebilah pedang di tangan mungkin yaitu malaikat,
mirip seperti dalam cerita Injil.”
Hal yang sama terjadi dengan julukan “Momok
Tuhan”. Referensi pertama yang selamat yaitu Life of
St Lupus, ditulis pada abad kedelapan atau kesembilan,
namun mungkin sudah dibuat secara lisan dengan baik
se belum masa itu. Sesudah itu banyak versi lain dari
kisah ini. Berikut ini salah satunya.
Troyes dijaga baik dengan tembok dan pasukannya,
yang dikomandani oleh seorang uskup. Lupus sedang
berjaga. Attila, yang dikuasai keangkuhan, dengan
menunggang kuda mendekat dan menghantam gerbang
kota.
“Siapa kau,” tanya lupus dari atas, “kau yang membuat
orang-orang lari ke sana kemari seperti sekam dan
menghancurkan mahkota dengan kaki kudamu?”
“Aku Attila, Raja Hun, Momok Tuhan.”
“Oh, selamat datang,” kemungkinan besar itulah
jawaban sang uskup. “Momok dari Tuhan yang aku
layani! Aku tidak punya hak untuk menghentikanmu.”
Dan ia langsung turun untuk membukakan gerbang,
memegang kekang kuda Attila dan mengantarnya masuk
ke dalam kota. “Masuklah, Momok Tuhan-ku, dan
pergilah ke mana pun kau mau.”
Attila dan pasukannya masuk, berkeliaran di jalan-
jalan kota, melewati gereja dan istana-istana, namun tidak
melihat apa pun, sebab ada awan menghalangi pandangan
mereka. Tidak bisa melihat apa pun, mereka berjalan
lurus melintasi jalan kota. Dan ajaibnya mereka bisa
melihat lagi saat berada di jalan keluar. Demikianlah,
Bangsat itu dijinakkan oleh pelayan Tuhan.
Dan itu berhasil. Sejarah dibelokkan, sementara
legenda terus melekat. Sekarang, sebagian sejarah menyebut
Attila sebagai flagellum dei, Momok Tuhan, seolah
begitulah ia dikenal pada masa itu. Kita bahkan mungkin
melihat pernyataan yang tidak masuk akal di mana Attila
menyebutkan ungkapan itu sendiri, seolah ia bicara
bahasa Latin dan dengan sadar menerima perannya
sebagai momok tuhan.
Banyak tempat di Eropa Barat memiliki kisah Attila
dan kaum Hun yang benar-benar palsu, sangat jauh
melenceng dari fakta sehingga nama-nama mereka
harus dimasukkan di sini. Di daerah Eriuli di timur laut
Italia, cerita rakyat mengubah nama Jerman Attila, Etzel,
menjadi Ezzel dan menautkannya dengan Ezzelino,
penguasa abad kedua belas yang keras: “Mereka me -
ngatakan dia yaitu putra Setan atau anak dari seekor
anjing, ada rambut hitam di ujung hidungnya hingga
saat marah dan setiap bicara ia memulainya dengan
meng gonggong.” Di Metz, inada sebuah mimbar
pidato dari granit yang dapat menghancurkan pedang-
pedang pasukan Hun. Di Dieuze (di Lorraine, Perancis
timur), pasukan Hun menjadi buta sebab mereka
menangkap seorang uskup, pandangan mereka kembali
sehat saat melepaskan uskup itu. Orang-orang di Modena,
Italia, memiliki versi mereka sendiri tentang St Lupus.
Di Reims, Iblis sendiri yang membuka gerbang-gerbang
kota bagi para pasukan Hun.
Daerah Cologne memiliki korban paling terkenal
pasukan “Hun”—St Ursula dan banyak perawannya
(Aku akan menyebutkan jumlahnya sebentar lagi). Saat
ini kita bisa melihat tulang-tulang mereka di Katedral
Cologne; tentu saja bukan tulang mereka, sebab semuanya
yaitu mitos yang lalu muncul berbagai versi yang
campur aduk. asal-usul yang tidak bisa dipercaya untuk
kisah ini yaitu sebuah inskripsi dari abad keempat—
atau kelima—yang masih dapat dilihat di Gereja St
Ursula, yang menyebutkan bahwa seorang senator
bernama Clematius didorong oleh penampakan ilham
akhirnya membangun sebuah basilika di tempat ini untuk
menghormati beberapa perawan yang tewas sebagai
martir. Tidak ada petunjuk berapa jumlah perawan yang
tewas, tidak juga disebutkan adanya orang Hun. Selama
bertahun-tahun, para korban ini dimasukkan ke dalam
kisah yang digabungkan pada 1275 dan dicetak pertama
kali oleh William Caxton pada 1483. Ceritanya
menyangkut seorang putri, Ursula, entah dari Britania
atau Brittany, tergantung versinya, dirayu oleh seorang
raja penyembah berhala. Ia menolak untuk menikah,
mendedikasikan dirinya terus-menerus menjadi perawan
dan menginginkan satu kelompok terdiri dari sepuluh
perawan untuk menyertainya dalam sebuah ziarah. Kisah
ini menjadi sangat rumit, dengan perjalanan menyusuri
Sungai Rhine menuju Roma dan perselisihan antara
saingan wali gereja, namun hasilnya bahwa saat pulang,
Ursula dan para perawannya sampai di Cologne, hanya
untuk mendapati kota itu diserbu pasukan Hun, yang,
atas perintah pangeran yang tidak diketahui namanya,
memenggal kepala penduduk kota itu.
Ini hanya sebatas legenda, dan tidak lama lalu
kisahnya menjadi menggelikan. Satu versi awal mencatat
kesebelas martir itu dalam angka Latin sebagai “XI M”,
di mana M kependekan dari “martir”. Namun M juga
berarti 1.000 dalam tulisan Latin, yang begitulah seorang
penyalin naskah yang tidak dikenal ini memahaminya.
Sekarang, tiba-tiba, ada sebelas ribu perawan—ini tidak
masuk akal, sebab Ursula yaitu salah satu dari sebelas
martir ini , jadi dalam 11.000 ada 1.000 Ursula.
Lupakan saja. Legenda tumbuh subur, membangkitkan
satu dan berbagai macam cara pemujaan dan lukisan,
semuanya bersilangan satu sama lain seperti fantasi
hiperteks. Dalam satu versi, Attila sendiri menawarkan
dirinya untuk menikahi Ursula, membuatnya untuk
membuktikan kesucian keperawannya: “Pergi!” ujar
Ursula. “Aku tidak menghina tangan Caesar hanya untuk
menjadi milik orang terkutuk seperti dirimu!” Pada
1143, tulang belulang yang menurut dugaan yaitu
kerangka beberapa martir perawan zaman dahulu, dikirim
ke biara Rhineland di Disibodenberg, yang menginspirasi
seorang pertapa dan intelektual bernama Hildegard dari
Bingen untuk menulis sebuah lagu (“O ecclesia”) menolak
pernikahan duniawi demi mendapatkan kasih Tuhan.
lalu , pada abad kelima dan keenam, Ursula dan
kisahnya banyak dijadikan lukisan: oleh dua orang master
lukisan yang tidak dikenal namanya dari Belanda dan
Jerman, Caravaggio dan Carpaccio, yang menggambarkan
kehidupan Ursula dalam delapan episode, di mana suku
Hun mengenakan pakaian Florentine. Dan juga pada
abad kedelapan, Lucas Cranach Tua menggambar kisah
itu untuk sebuah altar di Dresden, yang tidak memfokuskan
pada korban melainkan pada pangeran Hun yang tenang
bersandar pada pedangnya. Pada 1998, penggubah
sandiwara asal Inggris, Howard Barker, memakai
mitos ini untuk menguji arti komitmen keperawanan
(korban) dan sikap moral (pangeran) yang tidak
terpengaruh, yang sepertinya mengingatkan pada seorang
prajurit SS Nazi. Sementara itu, legenda juga menghadirkan
fakta lain, meng inspirasi seorang biarawati abad
keenam belas, St Angela, untuk mendirikan ordo biarawati
Ursuline, yang pada 1700 di Perancis saja memiliki 350
yayasan, yang sebagian besarnya dibubarkan paksa pada
masa Revolusi Perancis. Di Valenciennes, sebelas biarawati
Ursuline dipenggal kepalanya sebab mengajarkan faham
Katolik, membuat mereka yang menyukai kesamaan
cerita dengan sejarah menjuluki revolusioner ateis sebagai
Hun. Kisah, lukisan, drama, musik, biarawati, banyaknya
sekolah dan kampus—ini terus berlanjut, terus-menerus.
Sebagai hasil dari pengganti pemujaan Hildegrad dan
ledakan nyanyian-nyanyian gereja pada abad pertengahan,
satu kuartet telah mencatat 11.000 Perawan: Menyanyi
untuk Festival St Ursula (Anonim 4. HMV 907200).
Sudah cukup: jika kita mencari kehidupan nyata suku
Hun, semua ini sama membantunya seperti kita
memanfaatkan Hamlet untuk meneliti zaman pertengahan
di Denmark.
Tradisi lainnya di kekaisaran bekas Romawi berakar
dan berkembang, mungkin yang paling aneh yaitu
kisah-kisah “Attila yang baik”. Rupanya, kota-kota yang
mencari asal-usul mereka, melihat Attila sebagai kekuatan
pembaharu, seperti dalam kisah dongeng berikut ini.
Pada suatu ketika, Attila berada di Padua saat datang
seorang pujangga dengan karyanya memuji pemimpin
besar itu. Pemimpin Padua menyiapkan sebuah per -
tunjukan. Sang pujangga, mengikuti tradisi literatur,
menyatakan asal-usul Attila yang bersifat ilahiah. “Apa
maksud semua ini?” ujar pahlawan kita menginterupsi.
“Untuk membandingkan seorang manusia biasa dengan
para dewa yang abadi! Aku tidak ada hubungannya
dengan sikap tidak terhormat semacam itu!” Dan ia
memerintahkan laki-laki malang itu dibakar di tempat
saat itu juga, bersama dengan sajak-sajaknya. Saat
tumpukan kayu sudah disiapkan dan si pujangga diikat
di atasnya, Attila mendekat: “Cukup. Aku hanya ingin
memberi pelajaran kepada si penjilat ini. Janganlah kita
menakuti para pujangga yang memakai kebenaran
untuk menyanyikan pujian kita.”
Mungkin yang seperti ini sudah cukup banyak dalam
beberapa epik besar pasca-Romawi dalam bahasa Perancis
dan Italia. Tidak ada penulis yang mengambil teguran
itu sebab kesuksesan. Namun semenjak itu inada
beberapa kegagalan, semuanya dengan sia-sia meninjau
ulang sejarah untuk membuat sesuatu menjadi bermanfaat.
Pada 1667 drama Attila karangan Pierre Coeneille
dipertontonkan sebanyak 20 kali, lalu menghilang
dalam ketidakjelasan. Sebuah melodrama buruk dari
Jerman oleh Zacharias Werner, seorang pengacara, filsuf,
pendeta, dan penggubah drama, ditampilkan beberapa
kali di Wina pada 1808, berakhir dengan pembunuhan
Attila (bukan kematian biasa, sebagaimana sejarahnya)
oleh seorang putri Romawi bernama Honoria (bukan
putri Jerman yang bernama Ildico). Satu drama versi
Inggris, dimainkan di London tahun 1832, menyimpulkan
dengan satu kalimat dari kakak Attila, Bleda (yang
dibunuh Attila, namun entah bagaimana masih hidup):
“Ha! Apakah dia mati? Raja lalim itu mati? Ha! ha!
[Tertawa terbahak-bahak].”
Karya mengerikan ini menjadi dasar opera Attila
karya Verdi pada 1846. Ditulis saat terjadi perjuangan
penyatuan Italia, atau Risorgimento, opera ini
penuh irama, penuh dengan ekspresi semangat patriotisme
Italia yang terinspirasi oleh ambisi sang pahlawan yang
merusak. Adegan pertama langsung masuk ke tema,
ketika para gadis dari Aquileia muncul, hidup, menentang
perintah tegas Attila. “Siapa yang berani menentang
laranganku untuk menyelamatkan mereka?” tanya Attila
kepada budaknya dari suku Breton yang bernama Uldino,
yang menjawab bahwa mereka yaitu penghargaan yang
pantas untuk Attila: “Para pejuang luar biasa, mereka
melindungi saudara laki-laki mereka…”
“Apa yang kudengar?” sang raja menginterupsi. “Siapa
yang membangkitkan keberanian para perempuan itu?”
Dan Odabella, putri Aquileia, anak perempuan dari
ayah yang tewas terbunuh, menjawab con energia,
beberapa pengulangan dan pengucapan huruf C dengan
keras, “Cinta suci tidak terbatas untuk negeri kami!”
Satu kalimat, sebuah permohonan untuk Attila dari
Aetius—disuarakan oleh Ezio yang bersuara bariton—
dengan cepat menjadi sebuah slogan politik:
Avrai tu l’universo,
Resti l’Italia a Me.
(Kau boleh memiliki seluruh dunia,
Tapi tinggalkan Italia untukku.)
Kalimat akhir ini yaitu kejutan sempurna, dengan
Attila ditikam hingga mati oleh calon istrinya, Odabella,
namun permohonan Ezio yang penuh perasaan untuk
kebangkitan Romawi (Dangli immortali vertici/Dari
puncak abadi) yaitu pukulan langsung, dan gairah akan
musik ini punya penggemarnya sendiri, itu sebabnya
opera ini masih ditampilkan sesekali.1
Di beberapa tempat kita masih bisa mendengar suara
Attila menggema sayup-sayup. Di Udine, tidak jauh dari
Aquileia, mereka mengatakan bahwa kastil besar di
puncak bukit yang mendominasi kota mereka, dibangun
oleh orang-orang Attila, dengan memakai pelindung
kepala mereka sebagai ember, agar pemimpin mereka
bisa menikmati pemandangan kota Aquileia dalam
keadaan cerah. Ada satu nama yang menjadi tanda
pengingat terhadap suku Hun: bentuk aslinya yaitu
Hunfredus, kombinasi dari “Hun” dan “perdamaian”,
menunjukkan seseorang yang bisa berdamai dengan suku
Hun. Hunfroi, dalam bahasa Perancis kuno, dibawa
oleh orang Normandia ke Inggris, dan di sana menjadi
Humphrey, dan masuk ke Italia menjadi Umberto. Di
dekat Châlons, di pinggiran utara Dataran Catalaunia,
sebuah tanda menunjuk ke timur laut menuju “Perkemahan
Attila”, yang ternyata sama sekali bukan. Gundukan
tanah yang ditumbuhi pepohonan yaitu benteng bukit
pada abad pertama, dihubungkan dengan Attila hanya
sebab kedatangan suku Hun yaitu hal terbesar yang
terjadi di sekitar waktu itu. Jika murid-murid sekolah
Perancis tahu mengenai Hun, Attila diperkirakan akan
membuat: Là où mon cheval passera, l’herbe ne repoussera
pas (Di mana pun kudaku lewat, rumput tidak akan
tumbuh di sana). Dan, akhirnya, kemasyhurannya juga
membuatnya tetap hidup dalam film, pertama dalam
film Fritz Lang yang berjudul Kriemhild’s Revenge (1924),
dan yang paling baru dalam beberapa kali pembuatan
ulang sehingga seharusnya tidak disebutkan kecuali
dalam sebuah catatan kaki.2
Orang-orang Jerman—yaitu suku-suku Jerman—
melihat semua ini dengan agak berbeda, sebab mereka
sudah membentuk sebagian kekaisaran Attila. Suku Hun
diingat dengan respek yang lebih besar. Antara kelompok
yang memakai bahasa Jerman di Eropa kuno
berkelanalah para penyair dan pujangga, yang me -
nyanyikan kejayaan masa lalu, membawa hasil karya
mereka dari satu istana ke istana lain, berpindah dari
Lombardy di Italia utara menuju ibu kota Goth di
Toulouse, kantong-kantong tempat tinggal suku Jerman
di Perancis, daerah-daerah permukiman baru berbahasa
Jerman di timur Sungai Rhine, dan semua daerah di
utara. Attila menjadi sosok terkenal dalam adat dan
pengetahuan bangsa Jerman, yang berarti juga hal yang
sama pada warga Inggris kuno. Sekilas namanya
disebut dalam puisi tertua Inggris, Widsith, mungkin
ditulis di Mercia, pada abad ketujuh. Semua legenda-
legenda ini menjarah sejarah, mendistorsinya dari kisah
yang diakui kebenarannya menjadi semata kisah tentang
bekas pahlawan, keingintahuan, dewa-dewa, dan motif-
motif literatur.
Pada abad kesembilan, Attila merupakan bagian dari
kisah Skandinavia dan juga Jerman. Ini aneh, sebab
kekaisarannya yang berlangsung singkat hampir tidak
menyentuh wilayah Baltik. Namun kekaisaran Hun,
meski bukan Jerman, tampaknya cukup kuat untuk
masuk ke dalam ingatan warga dan imajinasi populer.
Hingga satu abad yang lalu, orang awam di Jerman
utara menyebut gundukan-gundukan pemakaman itu
sebagai Hunnenbette, “tempat berbaring Hun”. Dengan
demikian, di antara pendud





.jpeg)
.jpeg)






