Tampilkan postingan dengan label Attila 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Attila 9. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Oktober 2025

Attila 9

 



ada sebelumnya, sendirian menguasai

kerajaan Scythia dan Jerman, dan meneror dua kekaisaran

Romawi dengan merebut kota-kotanya dan, bahwa mereka

mungkin masih menyimpan barang berharga dari penjarahan,

serangannya diredakan dengan doa dan upeti tahunan yang

mereka bayarkan. Dan saat, dengan nasib baik, ia meraih

semua ini, ia kalah, bukan sebab  serangan musuh atau

pengkhianatan, namun   meninggal dengan aman di tengah-

tengah pengikutnya, bahagia, gembira, tanpa rasa sakit. Jadi

siapa yang bisa menganggap ini sebagai sebuah kematian—

melihat tidak ada seorang pun berpikir hal ini—sebab  balas

dendam?

Kalimat-kalimat ini menimbulkan banyak analisis

ilmiah, bahkan beberapa usaha berani untuk membuat

kembali versi bahasa Goth-nya, untuk mendapatkan

sedikit pengaruh. Mustahil membuktikannya jika tulisan

ini benar-benar dari bahasa Hun, abaikan apakah isinya

memang asli demikian. Namun Priscus yakin, atau

mengapa ia mengutipnya begitu persis? Mungkin ia

ingin membuat reportase bagus tentang suku Hun yang

berduka, sekalipun tidak banyak yang didapat dari

kemampuan puitis mereka. Tampaknya, hal terbaik yang

bisa diucapkan orang Hun tentang Attila yaitu  bahwa

ia melakukan penjarahan dalam skala besar-besaran, dan

meninggal tanpa menyisakan celah alasan sebagai kematian

sebab  balas dendam. Seperti yang dikatakan Maenchen-

Helfen, terdengar “seperti tulisan di batu nisan seorang

gangster Amerika”.

Deskripsi ini berlanjut dengan ritual ratapan, berjaga

sejenak di samping jenazah, menunjukkan kesedihan

dan perayaan atas kehidupan yang dijalani dengan baik.1

lalu  , saat malam tiba, jenazah disiapkan untuk

pemakaman. Suku Hun melakukan sesuatu di mana kita

akan kembali membahas hal ini nanti, “pertama dengan

emas, kedua dengan perak, dan ketiga dengan besi”.

Melalui Jordanes, Priscus berkata bahwa semua logam

ini yaitu  simbol—besi sebab  Attila menaklukkan

banyak negara, emas dan perak untuk harta benda yang

sudah ia rampas. Dan lalu   “mereka menambahkan

senjata-senjata musuh yang dimenangkan dalam per -

tempuran, berbagai batu mulia istimewa dan ornamen

yang berkilauan itu menyertainya, sebagai tanda kebesaran

K

347

1 Jordanes, atau Priscus, mengatakan bahwa suku Hun menyebut ritual itu strava,

yang sebagai satu‐satunya kata yang masih terpelihara sehingga mungkin itu yaitu 

bahasa Hun, menjadi alasan timbulnya spekulasi yang banyak diharapkan. Selama

satu abad, para ilmuwan yang berselisih paham setuju akan satu hal: strava bukan

bahasa Turki, artinya hampir pasti ini sama sekali bukan bahasa Hun. Menurut

beberapa orang ahli, ini yaitu  bahasa Czech dan Polandia dari akhir abad

pertengahan, kata yang berari ‘makanan’ dalam pengertian sebuah ‘pesta pemakaman’,

meskipun apakah suku Hun sudah memakai  nya 1.000 tahun sebelumnya, atau

apakah informan Priscus memakai   istilah ini sambil lalu saja, masih menjadi

misteri.

p

u

istana”.

Apa yang dilakukan dengan logam-logam itu? Sebagian

besar terjemahan menyatakan bahwa logam itu menjadi

lapisan “peti-peti mati”-nya, dari sanalah muncul cerita-

cerita menggelikan, dan sering diulang, bahwa Attila

dikubur dalam tiga peti mati, satu dari emas, satu dari

perak, dan satu lagi dari besi. Gibbon menerima legenda

ini sebagai fakta, tanpa komentar. Sebagai hasilnya,

generasi-generasi pemburu harta berharap menemukan

makam kerajaan yang berisi harta terpendam ini.

Pemikiran ini diterima secara luas di Hongaria—

bahkan diajarkan sebagai fakta sejarah di sekolah-

sekolah—sebagian berkat catatan dalam novel karangan

Géza Gárdonyi yang berjudul The Invisible Man. Saat

Attila terbaring dinyatakan:

tetua shaman mengorbankan seekor kuda hitam di belakang

panggung peti jenazah, dan Kama yang buta menanyakan

pada jiwa-jiwa Hun yang telah meninggal bagaimana Attila

seharusnya dimakamkan.

“Letakkan ia dalam tiga peti jenazah,” begitu jawabannya.

“Buatlah peti pertama dari emas, berkilau seperti sinar

matahari, sebab  ia yaitu  matahari bagi kaum Hun. Buatlah

peti kedua dari perak, seperti ekor sebuah komet, sebab  ia

yaitu  komet dunia. Buatlah peti ketiga dari baja, sebab  ia

sekuat baja.”

Omong kosong jika kita meluangkan waktu memikirkan

hal ini. Berapa banyak emas yang dibutuhkan untuk

membuat sebuah peti jenazah? Aku beri tahu: sekitar

60.000 sentimeter kubik. Ini nilainya 15 juta dolar saat

ini, satu ton emas: tidak banyak jika dihubungkan dengan

produksi emas modern atau perolehan emas kekaisaran

dalam satu tahun, namun   masih sebanding dengan upeti0

selama satu tahun dari Konstantinopel (yang, ingat,

sudah habis jauh sebelumnya). Jika suku Hun memiliki

emas sebanyak itu, maka Attila tidak perlu melakukan

invasi ke barat, dan ia akan memiliki lebih banyak

kemewahan daripada sekadar istana kayu dan pemandian

dari batu. Dan jika mereka memang punya, apakah

mungkin mereka akan melakukan hal yang begitu bodoh

seperti mengubur semua emas itu?

Dan masih ada dua peti jenazah lagi, masing-masingnya

lebih besar daripada yang sebelumnya. Dua ratus ribu

sentimeter kubik baja! Tidak seorang kaisar pun pernah

dimakamkan dengan kekayaan seperti itu. Di samping

itu, butuh waktu berbulan-bulan membuatnya, dengan

berat berkisar 3 ton. Mengangkatnya saja akan mem -

butuhkan usaha yang luar biasa—60 orang untuk meng -

angkatnya, satu kereta besar dan kukuh, serta sekelompok

lembu jantan—dan ini merupakan sebuah ritual yang

mungkin dilakukan secara rahasia, pada tengah malam.

Bila dijabarkan dalam satu kata maka semua ini yaitu 

gila.

Dan ini memang memusingkan, bukan oleh Gárdonyi,

namun   oleh sumber-sumbernya, yang diperiksa secara

detail oleh pimpinan terkenal dari museum Szeged, yang

sekarang diberi nama, Mora Ferenc Museum. Ia menelusuri

bahwa kisah ini kembali pada seorang penulis abad

kesembilan belas, Mor Jokai, yang ternyata mengambilnya

dari seorang pendeta, Arnold Ipolyi, yang pada 1840

menyatakan bahwa ia mendapatkannya dari Jordanes,

pada saat hanya sangat sedikit orang yang memiliki

akses terhadap Jordanes. Kemungkinan besar, ia men -

dengar dari catatan Gibbon. Bagaimana pun, Ipolyi gagal

memahami atau mengarang bebas dalam mendapatkan

sebuah kisah yang bagus.

Jika kita melihat apa yang sebenarnya ditulis oleh

Jordanes, tidak ada peti-peti jenazah dari logam. Sumber

Latin mengusulkan sebuah solusi yang lebih realistis:

coopercula… communiunt, “mereka melapisi tutupnya”.

Tidak disebutkan adanya arcae (peti jenazah), meskipun

kata itu lalu   dipakai dalam bentuk verbal dalam

catatan ini. Sekarang mulai terdengar masuk akal. Paling

jauh kita membicarakan sebuah peti jenazah dari kayu,

dan di dalamnya dimasukkan beberapa benda berharga

seperti kepingan emas yang digunakan untuk menghias

busur. Tutupnya dilapisi dengan simbol kecil gesper

emas, perak, dan logam. Dan ternyata, ada peti-peti

jenazah semacam itu yang ditemukan di antara temuan

makam Xiongnu di perbukitan Noyan Uul di Mongolia. 

Lalu, kekayaan macam apa yang seharusnya dikubur

dengan jenazah Attila? Seperti yang ditulis Peter Tomka,

“Jenazah akan dibaringkan di dalam peti dengan

mengenakan pakaian adat. Mungkin ia akan dilengkapi

dengan makanan dan minuman, kadang dengan peralatan

sederhana, seperti pisau atau jepitan.” Namun tidak ada

benda lebih berharga yang dimasukkan ke dalam peti

jenazah itu sendiri. Jika harta di Pannonhalma—objek-

objek pemujaan dihiasi dengan serpihan emas, tapi tidak

ada jenazah—yaitu  harta bawaan, maka jenazah dan

harta benda berharga milik raja akan dikubur secara

terpisah. Apa yang dicari para pemburu harta dan

arkeolog yaitu  jenazah dalam sebuah peti kayu, yang

mungkin sekarang sudah lenyap di dataran banjir Tisza,

dan satu timbunan kecil benda-benda pribadi.

DI MUSEUM Szeged, kita akan merasa bahwa kita sudah

sangat dekat dengan Attila, khususnya saat kita ditemani

oleh pimpinannya saat ini, Bela Kurti, yang secara rutin

memegang objek-objek yang bisa jadi dipegang oleh

Attila sendiri. Kurti, laki-laki bertubuh besar dan tegap,

dengan janggut memutih, sudah berada di museum itu

selama lebih dari 30 tahun, menjelaskan bagaimana ini

bisa terjadi.

Tokoh utama dalam kisah ini yaitu  seseorang yang

berusia delapan puluh tahun yang tinggal di sebuah

dusun kecil di dataran banjir Tisza, sekitar 12 kilometer

barat daya Szeged. Balint Joszef—atau Joseph Balint—

yaitu  seorang bekas pekerja ladang yang terkenal di

daerah setempat sebab  benda yang ditemukannya saat

berusia lima tahun. Lokasinya terlalu kecil untuk di -

tunjukkan dalam peta, namun   di sana inada  sebuah

danau yang memiliki nama yang sama—Nagyszéksós

(dieja Narj-sake-shosh). Saat itu hari cerah di awal musim

panas 1926. Joszef kecil sedang berada di luar bersama

keluarganya, bermain sementara mereka menanam labu.

Joszef melihat benda keras mencuat dari tanah yang

baru dicangkul, ia mengorek-ngorek tanah itu, dan

menarik sebuah jambangan besi yang bentuknya aneh,

yang kelihatannya semua bagiannya berlubang—39

lubang persisnya, dalam tiga baris. Joszef menunjukkan

benda itu kepada ibunya. Sebagai sebuah jambangan,

benda ini sama sekali tidak berguna, kotor dan penuh

lubang, jadi ibu Joszef mengambil sebuah palu dan

memipihkannya, dan membuatnya menjadi lingkaran

yang kasar, seperti sebuah mahkota. “Sekarang kau akan

menjadi seorang raja!” ujar ibunya, dan Joszef mengambil

benda tadi untuk bermain di dalam kandang babi. Benda

itu berat. Ia tidak bisa memakainya. Jadi, ia meng -

gelinding kannya di sekeliling halaman rumah, melupakan -

nya, dan benda itu pun hilang begitu saja.

Enam bulan lalu  , salah seorang pekerja ladang

menemukannya lagi dan kali ini salah seorang anggota

keluarga melihat kalau benda ini penting. Ia mem -

bersihkannya, dan terkejut ketika melihat bahwa ia

sedang memegang emas. Ia memotongnya menjadi tiga

bagian dan membawanya ke toko perhiasan di Szeged

untuk mencari tahu berapa uang yang ia dapatkan.

Pemilik toko, yang berhati-hati dengan hukum, melaporkan

penemuan ini kepada polisi, yang membawa kepingan

itu ke museum Szeged, yang lalu   sampai ke tangan

pimpinan museum, Mora Ferenc. Seketika itu juga Mora

memacu mobilnya ke lahan pertanian dan berbicara

kepada Joszef kecil, yang menunjukkan lokasi penemuan

benda itu. Dua kepingan mangkuk lain pun ditemukan.

lalu   diikuti dengan permintaan resmi: bolehkah

para arkeolog museum menggali ladang labu Balint?

Orangtua Joszef Balints tidak suka dengan gagasan ini

dan tidak memberi izin.

Delapan tahun berlalu. Mora meninggal dunia. Penerus -

nya, yang agak lebih tekun, kembali ke Nagyszéksós,

mengabaikan Tuan Balint, menggali ladang itu dan

mendapatkan harta terbesar suku Hun yang pernah

ditemukan—162 benda: gesper ikat pinggang, kalung,

perhiasan emas bertatahkan batu-batu mulia, pakaian

kuda, hiasan sadel, gesper sepatu bot, kepingan hiasan

pedang dan pisau belati, gagang perangkat kayu, potongan

sadel dan cambuk, mangkuk dan jambangan. Temuan-

temuan berikutnya menambah total menjadi lebih dari

200 benda, sebagian besar berukuran kecil, berjumlah

satu kilo emas. Dari gesper sepatu bot, para arkeolog

mengetahui bahwa benda-benda ini kepunyaan salah

satu atau beberapa anggota kelompok elite Hun. Para

ahli seperti István Bóna dan Peter Tomka setuju: ini

yaitu  benda-benda persembahan, dan ini—dengan susah

payah—bukan bagian dari sebuah pemakaman. Tidak

ada tulang belulang yang ditemukan di ladang Balint,

tidak ada abu, tidak ada jejak gundukan makam yang

sudah hilang.

Mangkuk tadi, sekarang kembali disatukan, dan

disimpan di Museum Nasional di Budapest, satu harta

temuan utama yang menjadi keahlian Kurti. Satu tiruannya

berada di museum Szeged. Temuan-temuan serupa di

Persia menunjukkan bahwa lubang-lubang itu merupakan

hiasan kaca atau batuan yang cukup berharga, yang

mengesankan benda ini dipakai untuk bersulang pada

acara jamuan makam malam formal seperti salah satu

yang diceritakan oleh Priscus. Sebetulnya, ini yaitu 

karya logam yang indah. Namun menarik untuk me -

mikirkan bahwa benda ini mungkin sampai ke tangan

kita dari tempat itu, laki-laki itu, peristiwa khusus ketika

Attila berada di puncak kekuasaannya, persisnya empat

tahun sebelum mangkuk itu menjadi persembahan pada

upacara pemakaman.

SEMENTARA ITU, pasti dulunya dilakukan prosesi

pemakaman yang menyedihkan, dan penguburan rahasia

“di dalam tanah”. Tidak disebutkan ada gundukan

makam. Jika makamnya sejajar dengan makam kerajaan

Xiongnu, mungkin ada satu lubang dalam, ruangan

kayu, dan makam kayu, yang di dalamnya dimasukkan

peti jenazah dari kayu pula, lalu   lubang itu ditutup

kembali.

Kata “rahasia” menjadi penting. Jenghis Khan di -

makamkan secara rahasia, dan begitu pula dengan para

ahli warisnya. Kerahasiaan ini  memiliki tujuan

ganda. Satu yang jelas yaitu  untuk menggagalkan usaha

para penjarah makam (keduanya tahu akan bahaya,

bangsa Mongol dari pemakaman Noyan Uul di perbukitan

tanah kelahiran mereka dan suku Hun dari incaran

Uskup Margus beberapa tahun sebelum kematian Attila).

Yang kedua yaitu  untuk memelihara kesucian situs

ini , dan dengan demikian melindungi aura keagungan

yang mengelilingi sang kaisar. Dalam kasus para penguasa

Mongol, para pengikut mereka punya satu masalah,

bahwa semua orang tahu di mana makam Jenghis Khan—

di gunung suci Burkhan Khaldun, yang sekarang dikenal

dengan nama Khan Khenti, di bagian utara Mongolia.

Untuk menyelesaikan masalah ini, bangsa Mongol

menyamarkan makam-makam itu begitu rupa dengan

meratakan tanahnya dengan bantuan kuda dan menempat -

kan para penjaga di seluruh area, dan lalu   mem -

biarkan pohon dan rerumputan tumbuh untuk menyamar -

kan tempat itu. Setelah satu generasi, tidak seorang pun

bisa menemukan di mana persisnya situs-situs itu terletak,

yang tetap menjadi rahasia hingga saat ini. 

Kasus Attila sedikit berbeda. Tampaknya, itu sudah

menjadi ritual-ritual tradisional untuk menghormati

meninggalnya pemimpin suku penggembala nomaden.

Namun suku Hun tidak lagi menjadi kaum penggembala

nomaden dan sudah menetap di Hongaria selama beberapa

generasi. Tidak ada situs rahasia tradisional yang akan

cocok sebagai pemakaman bagi para pemimpin Hun,

dan, bahkan jika ada beberapa ingatan penduduk akan

asal leluhur mereka yang (tidak terbukti) dari suku

Xiongnu, tidak ada pegunungan di sekitar yang akan

berlaku sebagai jembatan antara bumi dan langit. Tidak

ada banyak pilihan kecuali pemakaman bumi biasa. 

Itulah yang dipercayai penduduk Hongaria, dengan

sedikit pembelokan yang ditambahkan Gárdonyi. Di

mana sang raja dimakamkan?

Kama tua itu menjawab, mengikuti sidang langit. “Sungai

Tisza penuh dengan pulau-pulau kecil. Alihkan airnya dari

anak sungai yang lebih kecil di salah satu tempat di mana

sungai terbagi. Galilah makam yang sangat dalam di sana, di

tempat bekas dasar sungai dan lalu   perlebar dasarnya

sehingga akan menjadi lebih besar. Setelah raja dimakamkan,

biarkan air mengalir kembali.”

Sebagai hasilnya, sekarang di Hongaria banyak yang

percaya dan menyatakan hal ini sebagai fakta, bahwa

Attila dimakamkan di Sungai Tisza. 

Bagaimana pun pemakaman yang dilakukan, pemakam -

an ini  akan dilakukan di tempat yang tetap dijaga

kerahasiaannya, hal yang menjadi satu masalah di puszta

Hongaria yang benar-benar terhampar datar. Priscus,

menurut Jordanes, mengatakan kepada kita bagaimana

kira-kira hal ini bisa dilakukan. “Kekayaan yang luar

biasa itu mungkin diamankan dari keingintahuan manusia,

mereka membunuh siapa saja yang ditunjuk melakukan

pekerjaan itu—sebuah penghargaan mengerikan yang

menimbulkan kematian mendadak bagi yang menguburkan

dan yang dikubur.”

Hal ini perlu diteliti lebih cermat. Melakukan pem -

bantaian binatang dan budak merupakan praktik biasa

di seluruh wilayah Eurasia, untuk menandai kematian

seorang raja. Di Anyang, China, para turis sekarang ini

bisa melihat sebuah situs pemakaman yang luar biasa, di

mana sejumlah kecil pasukan dimakamkan bersama

komandan istana mereka, menyisakan kerangka-kerangka

manusia, kuda, dan sejumlah kereta tempur. Ini bukan

kebiasaan yang umum, sebab  budak dan prajurit dinilai

sebagai aset, dan malahan sangat banyak yang mencontoh

hal ini, misalnya pasukan terakota Xian yang terkenal.

Adapun pembunuhan para penggali makam dilakukan

untuk menjaga kerahasiaan. Sepanjang yang kuketahui,

Jordanes-lah yang pertama kali menyebutkan gagasan

seperti ini. Mungkin ini tidak mengherankan, mengingat

bahwa biasanya pemakaman seorang raja besar melibatkan

peringatan yang cukup nyata, dalam bentuk gundukan

makam, yang jumlahnya ada ribuan di seluruh Hongaria,

Ukraina, dan bagian selatan Rusia, di seluruh wilayah

Asia, hingga makam-makam kerajaan Xiongnu di

Mongolia. Kerahasiaan tidak pernah menjadi masalah.

Dan terjadi lagi dengan pemakaman Jenghis Khan, yang,

mungkin bukan secara kebetulan, menghasilkan gagasan

serupa: bahwa, untuk menjaga kerahasiaan dari kematian

Khan yang agung, semua makhluk hidup di seluruh rute

arak-arakan penguburan, dibunuh. Marco Polo mengata -

kan hal ini dalam kaitannya dengan pemakaman cucu

Jenghis, Monkhe, dan lalu   hal ini menjadi sebuah

kebenaran mutlak saat dikaitkan dengan pemakaman

Jenghis sendiri. Berkaitan dengan bangsa Mongol, hal

ini jelas tidak praktis. Tidak ada hal yang lebih baik

untuk membuat rute arak-arakan pemakaman terlihat

jelas selain jalanan yang penuh dengan mayat dan

keluarga-keluarga yang berdukacita.

Namun kasus Attila mungkin berbeda. Ini situasi

yang unik. Sebelumnya tidak pernah ada seorang pemimpin

barbar yang memiliki pencapaian sedemikian hebat.

Tidak ada yang bisa dijadikan contoh. Pemakaman pada

waktu malam, tidak ada gundukan tanah—itu kedengaran

masuk akal bagiku. Jika Priscus membuat semua cerita

ini, atau jika ia hanya merespons terhadap contoh-

contoh klasiknya, pasti ia akan melanjutkannya dengan

ratapan dan kematian para korban dan gundukan makam.

Jadi bagaimana kita menjaga rahasia? Maenchen-

Helfen, kembali, agak sombong dengan gagasan ini.

“Membunuh para pekerja yang mengubur raja yaitu 

cara yang tidak efisien untuk menjaga penjarahan makam,

sebab  ribuan orang pasti akan tahu. Di samping itu,

siapa yang membunuh si pembunuh itu?” Aku tidak

yakin. Ini tidak akan sulit dilakukan, sebab  pasukan

Hun memiliki budak yang sangat banyak yang diambil

dari puluhan aksi penyerangan, di antaranya berasal

dari suku-suku Jerman, Balkan, Gaul, Italia. Priscus

sudah melihat sebagian dari mereka pada kunjungannya,

dan membandingkan pedagang Inggris sukses bukannya

tahanan berwajah seram dan depresi yang dipekerjakan

di markas besar Attila. Orang Hun tidak akan menyesali

pembunuhan (ingat dua pangeran yang melarikan diri

dan dihukum dengan cara disula). Membunuh manusia

itu seperti membunuh domba—bahkan lebih mudah,

sebab  dengan seekor domba kita sedikit cemas akan

kualitas dagingnya. Jadi bukan masalah besar untuk

berubah dari melukai diri sendiri pada saat perkabungan,

menjadi membunuh para pelayan rumah.

Aku bisa membayangkan sekumpulan tahanan,

jumlahnya sekitar 50 orang, digiring untuk menggali

lubang makam. Para tahanan ini benar-benar tidak sadar

akan nasib yang menghampiri mereka, sebab  rencana

ini hanya diketahui oleh beberapa orang logade; lalu  

prosesi yang mendekat dan kerumunan orang Hun yang

berkabung, ribuan jumlahnya, diberi tahu untuk kembali

ke rumah-rumah mereka oleh sekelompok kecil logade;

barisan tahanan bergerak pelan dengan pengawalan

sekitar 50 orang prajurit Hun dan pembawa kain penutup

peti jenazah, pemakaman secara terhormat, pekerjaan

lambat mengisi makam dan meratakan tanahnya dengan

hati-hati, bahkan mungkin areal ini segera tertutup oleh

banjir musim semi dari Sungai Tisza; lalu   para

tahanan berkumpul, digiring berbaris menuju kegelapan;

dan lalu  , dengan datangnya cahaya pertama di

langit timur, para tahanan dipisahkan secara berkelompok,

dan dilakukan pembantaian secara cepat, di mana satu

prajurit Hun melakukan satu atau dua eksekusi, semuanya

selesai dalam sekejap. Tentu saja, ada orang-orang Hun

yang mengetahui rahasia ini, namun   mereka yaitu  para

penjaga rahasia yang tepercaya. Rahasia ini aman di

tangan mereka, hingga musim berganti dan banjir tahunan

Sungai Tisza menyamarkan lokasi itu selamanya.

HAMPIR SEKETIKA ITU JUGA, KEKAISARAN YANG TAMPAKNYA

begitu besar berubah menjadi seperti rumah dari tumpukan

kartu. Attila, pimpinan terbesar yang muncul dari padang

rumput sebelum munculnya Jenghis, tidak pernah

membuat ketentuan untuk suksesi kepemimpinannya.

Priscus pernah melihat Attila mencurahkan kasih sayang

kepada putranya yang lebih muda, Ernak, dan menunjuk -

kan tanggung jawab kepada putranya yang paling tua,

Ellac. namun  , menjadikan mereka memimpin ke kaisaran

bersama-sama yaitu  sebuah khayalan. Jenghis

melakukannya dengan benar, delapan tahun sebelum

meninggal ia membuat sebuah birokrasi, dan hukum-

hukum tertulis, serta sebuah pernyataan resmi tentang

siapa yang harus mengambil alih takhta ketika ia meninggal

dunia. Attila seperti seorang ayah yang meninggal tanpa

wasiat, yang mengakibatkan kedua putranya—dan

sekarang, dengan semua istrinya yang begitu banyak—

bertengkar memperebutkan harta warisan. Masing-masing

putranya menuntut bagian, berselisih bahwa para budak

harus dibagi sama rata, seolah mereka yaitu  pelayan

keluarga. Bangsa Mongol punya kisah-kisah tentang

pemimpin (Jenghis, tentu saja, namun   juga pemimpin

lainnya) yang menunjukkan kepada putra-putra mereka

bagaimana saat satu anak panah bisa dipatahkan dengan

mudah, sekumpulan anak panah tetap tidak bisa

dipatahkan: persatuan yaitu  kekuatan! Attila dan

keluarganya tidak punya kebijaksanaan seperti itu. Dalam

kata-kata Jordanes, “Terjadi persaingan di antara para

penerus Attila untuk mendapatkan tempat paling tinggi—

sebab  pemikiran anak muda itu tidak digerakkan oleh

ambisi untuk mendapatkan kekuatan—dan tergesa-gesa

tanpa tahu bagaimana memerintah—mereka semua

menghancurkan kekaisaran Attila.”

Jika sumber-sumber tulisan tentang apa yang terjadi

sementara Attila berkuasa jumlahnya sedikit, sekarang

hubungan-hubungan dengan dunia luar semakin sedikit,

dan kita tidak punya apa pun selain melakukan generalisasi

paling berani. Para pimpinan dari suku-suku yang dulunya

independen tidak akan mau diperlakukan seperti budak,

dan bangkit memberontak. Pertama, mungkin, Ostrogoth,

namun   pemberontakan utama dipimpin oleh pimpinan

suku Gepid, Ardanic, dan salah satu sekutu terbesar

Attila. Ia sudah mendukung raja barunya pada serangan

di Balkan pada 447 dan membentuk pasukan sayap

kanan di Dataran Catalaunia. Dialah yang sekarang

membentuk aliansi untuk mendapatkan lagi kemerdekaan

suku-suku Jerman dari penguasa Hun.

Pada 454, menurut Jordanes, terjadi perang besar.

Detailnya tidak diketahui; yang kita miliki hanya sebuah

nama, Sungai Nedao di Pannonia—tapi tidak ada Sungai

Nedao disebutkan pada sumber mana pun, dan sejak itu

nama serta lokasinya menghilang dari ingatan. Bahkan

seorang peneliti ahli suku Hun yang paling rajin sekali -

pun, Maenchen-Helfen, tidak bisa mengatakan lebih

banyak selain bahwa itu mungkin nama anak sungai di

Sava, yang mengalir menuju Tisza di Beograd. Bagaimana

pun, perang itu merupakan kemenangan besar bagi

Ardanic, yang dikatakan membunuh 30.000 pasukan

Hun dan sekutu Hun—jumlah yang harus dibagi sepuluh,

seperti biasanya, jika dilihat dari kemungkinan jumlah

sebenarnya. Di antara yang tewas yaitu  putra tertua

Attila, Ellac. “Demikianlah suku Hun menuju ke punahan -

nya, satu ras di mana manusia berpikir seluruh dunia

harus mengalah kepadanya.”

Dan dengan begitu Persekutuan Gepid mengambil

alih wilayah Hun, beserta hubungan mereka yang

menjengkelkan dengan kekaisaran. Para duta besar

dikirim ke Konstantinopel, di mana mereka diterima

dengan baik oleh Marcian, yang menentang Attila dan

dengan penuh kekhawatiran menunggu langkah yang ia

lakukan selanjutnya. Marcian pasti sangat lega dengan

peristiwa-peristiwa yang terjadi di Sungai Danube, dan

dengan senang menjamin bantuan menyediakan 100

pon emas setiap tahun untuk Ardaric—seperduapuluh

dari jumlah yang dibayarkan pendahulunya kepada Attila.

Dengan kematian Attila, wilayah kekaisaran secara

garis besar menjadi lebih baik. sebab  terpecah belah,

bangsa barbar menjadi lebih mudah ditangani. Ada tiga

perpindahan tempat tinggal berskala besar dari suku-

suku kecil: wilayah Pannonia untuk suku Ostrogoth,

dan sisa suku Hun dibagi menjadi dua kelompok, satu di

pesisir Laut Hitam, dan satu lagi menempati tempat

yang sekarang menjadi perbatasan Serbia-Bulgaria.

Perebutan kekuasaan kecil terus berlangsung, terutama

antara Hun barat dan musuh lama mereka, Ostrogoth.

Jordanes menyebutkan sebuah pertempuran di mana

suku Hun “menganggap Goth sebagai pembelot dari

peraturan mereka, datang melawan seolah mereka mencari

budak-budak pelarian”, dan mendapat perlawanan sengit.

Muncul seorang pemimpin Hun baru yang bernama

Tuldila. Sidonius menyebut tentangnya dalam pidato

pujian persembahan, kali ini untuk Kaisar Majorian

pada 458: “Hanya satu ras menyangkal patuh kepadamu,

satu ras yang belakangan ini, lebih kasar daripada biasa -

nya, meninggalkan daerah mereka yang belum dijinakkan

di Sungai Danube sebab  mereka sudah kehilangan

pimpinan dalam pertempuran, dan Tuldila menggerakkan

kumpulan orang yang sulit dikendalikan dengan nafsu

marah untuk bertarung ini.”

Pada 465-466 mereka mencoba lagi. Salah satu putra

Attila, Dengizich, yang memiliki basis di Sava, sekitar 75

kilometer sebelah barat Beograd, bergabung dengan

Ernak (anak kesayangan Attila, masih hidup) dan mengirim

seorang duta besar ke Konstantinopel, meminta sang

kaisar, sekarang Leo I,1 untuk menerima kembali per -

dagangan di Sungai Danube. Leo menolak. 

Terjadilah satu serangan terakhir ketika Dengizich

dan pasukan Hun Eropa terakhir menyeberangi Sungai

Danube yang membeku pada 467, memaksa dirinya

menghadapi komunitas Goth dalam tawaran nekat untuk

memberikan areal menetap baru. Dalam satu pesan

untuk komandan kekaisaran setempat, Anagastes,

Dengizich mengatakan bahwa pengikutnya siap menyerah

jika mereka punya wilayah sendiri; dan ia ingin mendapat



jawaban secepatnya sebab  “mereka kelaparan dan tidak

bisa menunggu lebih lama”. Jawaban sang kaisar men -

dukung permintaan suku Hun; Goth, yang sangat marah,

menyerang mereka; pasukan Hun membela diri; pasukan

Romawi ikut bergabung; dan areal milik suku Hun

cukup lumayan di Eropa. Mereka terus bertarung, tanpa

harapan, hingga berakhir dua tahun lalu  , pada

469, dicatat oleh satu sumber pendek pada awal abad

ketujuh dalam Eastern Chronicle. Dengizich dibunuh

Anagastes. Kepalanya dibawa ke Konstantinopel, “dibawa

dalam arak-arakan melintasi Jalan Tengah, dan

dipancangkan pada tiang Salib Kayu. Seisi kota menoleh

untuk melihatnya.” Tak ada yang tahu nasib Ernak.

Beberapa orang Hun berhasil selamat, muncul bersama

suku lain atau tercerai-berai secara perlahan-lahan di

wilayah timur, menghilang seperti debu setelah sebuah

ledakan, kembali tenggelam dalam alam mimpi dari

mana tempat mereka muncul satu abad yang lalu.

SEMENTARA SISA kekaisaran Hun di Timur hilang, begitu

juga dengan Romawi bagian barat. Bagi para sejarawan,

keruntuhan kekaisaran barat itu memang carut-marut.

Selama bertahun-tahun, pasukan Romawi bukanlah

benar-benar orang Romawi. Aetius bisa dibilang sebagai

“orang Romawi terakhir”, namun   pasukannya di Dataran

Catalaunia tidak akan ada apa-apanya tanpa kehadiran

suku Visigoth, Frank, dan Burgundi, dan suku-suku

lainnya. Hanya tuhan yang tahu apa yang akan ia lakukan

tanpa mereka. Ketiadaan Attila menghilangkan 

utama, namun   membuat banyak bangsa lainnya bertarung

melawan kekaisaran Romawi yang hancur. Namun Attila

tidak sepenuhnya hilang, sebab  pengaruhnya menjangkau

melebihi makamnya, namanya terus hidup melalui

peristiwa dan kepribadian saat kekaisaran barat berselisih

dan mengakhiri jalannya menuju kepunahan.

Bagi sebagian orang, dan selama beberapa tahun,

Aetius menjadi penyelamat Roma, benteng kekaisaran

dalam melawan orang-orang barbar, hingga semua

usahanya menjadi tidak berarti dengan akhir melodramatis

yang mengherankan. Berawal di Roma, di mana

Valentinian yang putus asa mendirikan kembali istananya.

Sejak Galla Placidia, ibu dan pengendalinya, meninggal

pada 450, Valentinian tidak punya seorang pun untuk

diajak berdiskusi. Ia, dalam ungkapan Gibbon, “mencapai

usia tiga puluh lima tahun tanpa mencapai usia kemampuan

berpikir atau keberanian”, dan percaya pada semua

omong kosong, yang sebagian besarnya dibisikkan oleh

seorang senator terkemuka dan dua kali menjadi konsul,

Petronius Maximus. Di usia 60 tahun, Petronius di -

gambarkan oleh Sidonius sebagai salah satu pemimpin

Romawi dengan ambisi yang tidak pernah terpuaskan,

“dengan gaya hidup yang menarik perhatian orang,

jamuan-jamuan makan, pengeluarannya yang luar biasa

besar, rombongannya yang banyak, pengejaran literaturnya,

hartanya, perlindungannya yang ekstensif ”. Tampaknya,

ia juga selalu menaruh kecurigaan besar terhadap Aetius

yang terkenal, dengan kekayaannya, teman-temannya

yang berkedudukan tinggi, dan pasukan barbar pribadinya,

yang semuanya itu membuat dirinya menjadi pejabat

paling kuat di kekaisaran barat. Seperti yang diisyaratkan

Petronius kepada kaisar melalui kasim dan penasihat

favoritnya yang bernama Heraclius, Aetius bisa saja

melakukan perebutan kekuasaan secara tiba-tiba. Ia

bahkan bisa saja merencanakan satu dinasti baru, sebab 

putranya yang bernama Gaudentius bertunangan dengan

putri Valentinian, Eudoxia. Petronius berkata secara

tidak langsung, tergantung kepada Valentinian, apakah

kaisar akan melakukan serangan lebih dulu, atau diserang.

Pada satu hari di bulan September 454, ketika Aetius

sedang melakukan pertemuan dengan kaisar, kasim

Heraclius di sampingnya, sang jenderal mulai mendesak

agar pelaksanaan pernikahan antara kedua anak mereka

dipercepat. Mungkin Aetius terlalu mendesak, dan

mungkin sepertinya ini menjadi bukti akan rencananya

untuk meraih kekuasaan. Bagaimana pun, Valentinian,

mungkin mendadak marah atau memang itu yang sudah

direncanakan, dengan cepat bangkit dari singgasananya,

menuduh Aetius berkhianat dan menghunus pedang—

”pedang pertama yang pernah ia hunus”, dalam kata-

kata Gibbon yang terlalu berlebihan. Melihat itu, Heraclius

juga menghunus pedangnya, para penjaga mengikuti

arahannya, dan Aetius yang tidak bersenjata tewas oleh

puluhan pedang.

Dengan kematian Aetius, kekaisaran Romawi sendiri

hancur lebih cepat. Seorang Romawi diperkirakan

berkomentar pada Valentinian: “Kau sudah bertindak

seperti seorang laki-laki yang memotong tangan kanan

dengan tangan kirinya.” Aetius, seorang yang berteman

dengan suku Hun, sekaligus berteman dengan Attila,

dan lalu   musuh mereka, sudah memperluas

kehidupan bangsa Romawi dan bangsa barbar, dan

mempertahankan keseimbangan yang tidak pasti antara

keduanya. Tidak ada dan tidak akan pernah ada yang

bisa menggantikan posisinya.

Sejauh ini situasinya aman bagi Petronius; lalu, kondisi

menjadi amat buruk bagi Romawi, dan akan lebih buruk

lagi. Heraclius sang kasim, dengan akses cepat ke telinga


kaisar, mendesak kaisarnya untuk menghindari mengganti

posisi orang ambisius (Aetius) dengan orang berambisi

lainnya (Petronius), dan Petronius tidak menerima ucapan

terima kasih atau penghargaan atas rencananya ini.

Gibbon punya satu kisah menarik tentang kaisar yang

memerkosa istri Petronius, tapi tidak ada gunanya

mengulang hal ini, sebab  Gibbon tidak memberi tahu

sumber ceritanya, dan Petronius sudah punya alasan

yang cukup untuk menginginkan balas dendam kepada

Valentinian. 

sebab  marah, Petronius membuat rencana lain. Ia

mendekati dua orang pengawal barbar, Optila dan

Thraustilla, yang sudah mengabdi kepada Aetius dan

sekarang mengabdi untuk pembunuh tuannya, Valentinian,

yang tidak berbicara banyak tentang prosedur pembunuhan

yang dilakukannya ini . Enam bulan setelah pem -

bunuhan Aetius, pada musim semi 455, Valentinian pergi

ke Campus Martius, Padang Mars, dataran rawa di utara

kota itu, di tikungan Sungai Tiber, yang sekarang dialiri

air dan sebagian besar sudah dibangun. Ditemani oleh

satu kontingen kecil, Valentinian akan berlatih memanah

di salah satu areal terbuka. Turun dari kudanya, ia ber -

jalan ke sasaran tembak bersama Heraclius dan dua

pengawal barbar tadi. Saat sang kaisar bersiap menembak -

kan anak panahnya, Optila menyerang pelipisnya, dan,

ketika Valentinian membalikkan badan, Thraustilla

melancarkan pukulan kedua—aku membayangkan mereka

memakai   tongkat kebesaran—dan membunuhnya.

Satu pukulan lagi membunuh Heraclius. Sepertinya

kaisar yang lemah dan pengecut itu, pembunuh Aetius,

pejabat luar biasa di kekaisaran Romawi, sangat dibenci

se hingga pengawal istana tidak bergerak untuk membela -

nya. Kedua pembunuh itu meloncat ke atas kuda mereka

dan memacunya menghadap Petronius untuk menuntut

hadiah mereka.

Valentinian tidak punya ahli waris; bersamanya, satu

dinasti musnah, dan begitu juga dengan basis akhir

untuk penyebaran kekuatan. Senat menyatakan Petronius

sebagai kaisar. namun  , Petronius, yang sudah men capai

posisi tinggi, hanya merasakan keputusasaan. Tiba-tiba

ia merasa benar-benar sendiri, tanpa pernyataan sah atas

takhta, tidak terkenal, dan tidak berdaya menghadapi

kejadian-kejadian yang di luar kendalinya.

Di sepanjang Mediterania, Gaiseric, pemimpin kaum

Vandal memperhatikan situasi. Kakek Gaiseric sudah

berpindah dalam satu migrasi besar-besaran dari utara

pegunungan Alpen melalui Spanyol menuju Afrika, dan

sekarang ia bersiap menyelesaikan siklus itu dengan

melakukan invasi laut terhadap Italia dari arah selatan.

Gaiseric sudah lama tertarik dengan kejadian-kejadian

di tanah daratan, sebab , kita akan ingat, putranya

membuat raja Visigoth, Theodoric, sangat benci kepadanya

dengan melakukan hal mengerikan terhadap putrinya,

dan Gaiseric berharap Attila mampu melawan Visigoth

dan Romawi. Harapan itu sudah mati di Dataran

Catalaunia. Namun sekarang, dengan kematian Aetius

dan Valentinian serta sang pembunuh yang tidak aman

duduk di singgasana Romawi, Gaiseric punya kesempatan.

Tiga bulan setelah Petronius Maximus menyatakan diri

sebagai kaisar, satu pasukan Vandal dalam jumlah besar

berlayar dan berlabuh di hilir Sungai Tiber. 

Petronius yang malang. Ia diberi julukan “yang paling

beruntung” sebab  kesuksesannya. Sepuluh tahun

lalu  , Sidonius menulis hal yang dianggap sebagai

nasib baiknya: “Secara pribadi, aku selalu menolak

menyebut laki-laki itu beruntung, yang tenang di puncak

jabatan yang terjal dan licin.” Semua keinginan Petronius

sudah terpenuhi, namun   sekarang saat sudah meraih

posisi tinggi, ia menderita vertigo. “Ketika usaha luar

biasa membawanya pada martabat kekaisaran yang sangat

luas, kepalanya berdenyut pusing di bawah hiasan

mahkota melihat kekuatan yang sangat besar itu, dan

laki-laki yang dulunya tidak sanggup memiliki pemimpin

tidak akan bisa menjadi pemimpin.” Tanpa legitimasi

yang sah atas takhtanya, ditentang oleh para birokrat, ia

merasa menjadi tahanan di istananya sendiri, dan

“menyesali kesuksesannya sendiri sebelum malam pertama

datang”. Satu-satunya tindakan besar yang ia lakukan

yaitu  mengangkat kembali Avitus menjadi, sebagai

akibatnya, penguasa Gaul, dengan harapan bahwa Avitus

bisa memakai   kemampuan diplomatiknya untuk

mengendalikan puluhan suku barbar. Di kediamannya,

Petronius tidak berguna. Jikapun ia tahu tentang gerakan

armada Vandal, tetap saja ia tidak bisa melakukan apa

pun. Saat armada itu berlabuh pada akhir bulan Mei, ia

melihat kekalahan yang nyata di hadapannya.

Petronius panik dan meninggalkan istana, tepat

mengarah ke kerumunan penduduk, yang, marah sebab 

ketidakberdayaan dan kepengecutannya, melemparinya

dengan batu dan memukulnya sampai mati, membantainya

dan melemparkan mayatnya ke Sungai Tiber.

Dan siapa yang seharusnya berusaha menyelamatkan

kota? Yah, laki-laki yang merupakan seorang ahli Romawi

dalam menangani orang-orang barbar ini, Paus Leo,

yang pergi menemui Attila empat tahun sebelumnya.

Kali ini, keberhasilannya hanya setengah. Gaiseric meng -

ampuni para penduduk, namun   dalam serangan selama

dua minggu itu ia merampas kekayaan kota itu, termasuk

atap mengilat gedung Capitol yang terbuat dari perunggu,

meja emas dan kandil yang diambil dari Jerusalem pada

70 M, perabotan istana, perhiasan kekaisaran, dan para

tahanan yang jumlahnya ratusan, termasuk permaisuri

sendiri, kedua putrinya, dan putra Aetius.

Beberapa hari lalu   berita tentang malapetaka

ini terdengar oleh Avitus, yang sedang berada di Toulouse

bersama teman-temannya dari bangsawan Visigoth, tanpa

Theodoric, yang sudah kalah di Dataran Catalaunia,

dan juga tanpa putranya, Thorismund, yang atas desakan

Aetius, kembali ke negerinya untuk menyelamatkan

takhtanya. Selama tiga tahun semuanya berjalan baik-

baik saja, meskipun ada yang tidak menerimanya.

lalu   Thorismund jatuh sakit, dan keberuntungan

jatuh ke tangan musuh-musuhnya. Pembuluh darahnya

pecah, dan ia sedang duduk di sebuah bangku tanpa

sandaran, ketika seorang pelayan yang berkhianat

mengabarkan bahwa ia sendirian dan tanpa senjata. Para

pembunuh menyerang masuk. Thorismund mengambil

bangku dan—menurut Jordanes—membunuh beberapa

penyerangnya dengan bangku itu sebelum mereka

membunuhnya. Adiknya, Theodoric muda, yang diyakini

secara luas yaitu  otak pembunuhan ini, mengambil

alih kekuasaan. Jadi Theodoric inilah yang memimpin

istana Visigoth saat tiba berita mengenai perampasan

kedua yang dialami Romawi oleh kelompok barbar (yang

pertama, tentu saja, dilakukan oleh leluhur Theodoric,

Alaric, dalam konvoi panjang pasukan Visigoth ke barat

setengah abad sebelumnya).

Avitus jelas sayang dengan pemuda bertubuh atletis

ini, sebab  menantunya, Sidonius, menggambarkannya

dalam sosok yang bersinar, membuat dirinya terdengar

seperti seorang pahlawan besar. Dengan tinggi badan di

atas rata-rata, tubuh kekar dan liat, rambut panjang ikal

sampai telinga, alis tebal dan bulu mata panjang, hidung

bengkok, berotot, dengan paha “seperti tanduk keras”,

pinggang ramping dan terawat baik (seorang tukang

pangkas mencukurnya setiap hari, dan juga memotong

rambut hidungnya). Seorang pemimpin yang cakap, ia

memulai harinya dengan satu doa (seperti sebagian besar

orang-orang Visigoth, ia menganut kepercayaan Arianisme,

namun   mungkin ia tidak terlalu menganggapnya serius),

lalu   melaksanakan pertemuan dengan para pemohon

dan utusan luar negeri. Tengah hari yaitu  saatnya ber -

buru, dan Theodoric melatih kemampuannya dalam

memanah. Makan siang dihidangkan secara sederhana,

tanpa memamerkan secara berlebihan perangkat perak

dan membuatnya menjadi pembahasan secara berlebihan.

Sedikit bersulang, tidak ada yang mabuk. Setelah itu,

tidur siang sejenak, bermain catur, di mana pengendalian

diri dikombinasikan dengan persahabatan. Saat jamuan

makan malam, mungkin ada acara hiburan: tidak ada

para musisi ataupun penyanyi—tampaknya Theodoric

benar-benar tidak menyukai musik—hanya para pelawak,

tanpa hal berbau sindiran dan melukai perasaan.

Membahas lebih banyak petisi, lalu tidur, dijaga para

prajurit bersenjata.

Entah bagaimana, di dalam istana yang beradab,

gagasan itu muncul bahwa mungkin saja ada sosok kaisar

baru bersama mereka di Toulouse sana. Sidonius meng -

gambarkan kejadian ini  dalam ungkapan bernada

menjilat.

Para sesepuh suku Goth berkumpul, kerumunan

orang-orang yang tidak rapi, dalam balutan tunik linen

kotor dan pudar, dan mantel bulu serta sepatu bot kuda,

sangat kontras dengan pangeran mereka yang elegan.

Avitus berbicara kepada mereka, mengimbau diperbaruinya

satu komitmen perdamaian dari Theodoric muda—

”Kalian, sebagai tetua di sini bisa menyaksikan, siapa

yang digendong tangan ini di dadanya, jika kebetulan

ibu susu mencoba mengabaikan, tidak sesuai dengan

keinginanmu.” Siapa yang bisa menolak? Semua

menginginkan perdamaian, dan Theodoric, yang karakter

kasarnya sudah diperhalus saat kanak-kanak oleh Avitus

sendiri, bersumpah memperbaiki kesalahan-kesalahan

masa lalu dengan membalas dendam serangan kaum

Vandal di Romawi, seandainya—kini datang kalimat

penegasan—”Seandainya dirimu, pemimpin terkenal,

akan mengambil takhta dengan mengusung nama

Augustus.”

Avitus menunduk, menunjukkan sikap rendah hati

dan tidak berguna.

“Mengapa kamu memalingkan muka?” tanya

Theodoric. “Keenggananmu membuat dirimu semakin…

dengan posisimu sebagai pemimpin, aku yaitu  teman

Romawi.”

Satu bulan lalu  , tokoh terkemuka Gaul juga

mendukung perkara ini, dan menyatakan Avitus sebagai

kaisar. Pada bulan September ia berada di Roma, me -

menangkan dukungan yang tidak sungguh-sungguh dari

para senator yang skeptis. Sidonius membawa pidato

pujian terhadap kaisar baru ini dengan kata-kata yang

lincah, menegaskan kesuksesannya pada masa lalu,

legitimasinya pada masa kini, dan kejayaan masa depannya

yang hampir pasti.

Namun, dalam dunia yang terpecah-pecah, kesuksesan

masa lalu tidak memberikan legitimasi saat ini ataupun

jaminan akan kejayaan pada masa yang akan datang.

Sebagian besar Gaul jatuh ke tangan bangsa Frank,

Burgundi, dan Bacaudae yang tidak mau patuh. Suku

Visigoth menguasai wilayah barat daya, dan segera akan

menguasai sebagian besar wilayah Spanyol. Berbagai

suku Jerman menyebar di Rhineland. Vandal menguasai

Afrika Utara. Ostrogoth mendominasi Sungai Danube.

Tidak banyak yang tersisa: hanya Italia. Sekarang kekuatan

bukan di tangan kaisar atau Senat, namun   tangan militer,

satu-satunya pertahanan melawan serangan. Seperti yang

sudah ditunjukkan oleh Aetius, yang menguasai pasukan

yang menguasai kekaisaran barat (yang kini merosot).

Dengan tewasnya Aetius, Avitus memberikan posisi

komandan kepala kepada seorang non-Romawi, Ricimer,

yang ibunya keturunan Visigoth dan ayahnya keturunan

Suevia. Ricimer-lah yang berusaha menyelamatkan Italia

dari serangan armada laut pasukan Vandal pada 456,

dan dengan demikian membuktikan bahwa ia benar-

benar, meskipun sementara, merupakan kekuatan di

daratan itu.

Avitus, bangsawan dari Gaul dengan pasukan pribadi

dari barbar, tidak pernah dikenal di Romawi. Hampir

seketika itu juga ia tenggelam. Pada 456, panen memburuk.

Kelaparan mengancam. Avitus berkata bahwa untuk

mengurangi jumlah penduduk yang akan diberi makan

ia akan membubarkan pasukan pribadinya, namun   untuk

membayar mereka ia melebur beberapa patung perunggu

yang tidak dijarah pasukan Vandal. Penduduk memenuhi

jalanan melakukan protes. Ricimer dan pasukannya tidak

bergerak untuk melindungi kaisar mereka. Avitus melarikan

diri ke Arles, mengumpulkan kembali kontingennya

sendiri, lalu datang kembali untuk menyerang Roma,

dan dikalahkan oleh Ricimer di dekat Piacenza. Ricimer

menang dengan menunjukkan kemurahan hati, dan

membiarkan Avitus mundur. Dan akhirnya ia pun

meninggal dunia dalam perjalanan pulang.

Subjek kita, Attila, hampir tidak ada dalam kehancuran

Romawi yang terjadi 20 tahun lalu  . Tujuh kaisar

lagi; satu masa peralihan pemerintahan; pembunuhan

dan perebutan kekuasaan di Romawi; pembunuhan dan

konflik antara kekaisaran barbar—semuanya ini, akan

memerlukan   satu artikel   untuk mencatat detailnya,

mengarah pada sebuah akhir yang singkat terhadap nasib

kekaisaran barat pada 476, ketika kaisar Romawi yang

terakhir, Romulus, digulingkan oleh seorang barbar yang

bernama Odoacer.

namun  , ini bukanlah akhir kekaisaran Romawi barat,

sebab  orang-orang barbar sudah ada di dalam gerbang

sejak lama sehingga perubahan kaisar dari Romawi ke

barbar lebih merupakan pertukaran simbolis daripada

praktis. Dan tiba-tiba hal ini menjadi mudah saat kita

melihat kembali keberhasilan pengaruh Attila, sebab 

keduanya; kaisar terakhir Romawi, Romulus dan kaisar

barbar pertama, Odoacer, berutang nyawa kepada Attila.

Dengan satu kebetulan yang aneh, ayah mereka masing-

masing, Orestes dan Edika, keduanya pernah menjadi

pejabat di dewan pemerintahan Attila, dan menjadi

rekan dalam perwakilan tahun 449 yang bernasib buruk,

yang ditulis oleh Priscus. Romulus mendengar semua ini

dari ayahnya, seorang Romawi yang menjadi pengikut

Attila, Orestes; dan begitu juga dengan Odoacer, men -

dengar dari ayahnya, Edika, orang Skiria yang berusaha

direkrut Chrysaphius sebagai pembunuh Attila. 

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Setelah kematian

Attila, Orestes kembali ke kediamannya di Pannonia,

dari sinilah ia memimpin satu pasukan melawan Goth,

yang sekarang kembali siap berperang. Orestes, dengan

pasukan di belakangnya, menjadi orang yang berhasil

menjadikan orang lain sebagai raja dan setelah meng -

hasilkan beberapa raja, yang terakhir ia lakukan tahun

475, anaknya sendiri, Romulus kecil, yang secara sepele

bukan dikenal sebagai Augustus, namun   Augustulus, “bayi

Augustus”.

Pasukan itu sendiri sekarang dalam keadaan bahaya

sebab  dijangkiti kemunduran. Dengan tidak adanya

kekaisaran yang jauh dan birokrasi yang hancur, pajak

menipis dan pembayaran terhenti, dan pada akhirnya

pasukan barbar harus berpuas diri. Odoacer, berkat

ayahnya, berkuasa atas Skiria yang—setelah kematian

Attila—mengabdi pada Romawi. Pada mulanya mereka

mendukung Orestes, yang menjanjikan uang, lalu  

wilayah. Uang tidak langsung dibayarkan; dan wilayah

tidak pernah diberikan. Jadi Odoacer dan pasukan Skiria

akhirnya melakukan pemberontakan terhadap simbol

utama Romawi, dan menggantikan putra tangan kanan

Attila dengan putra salah satu jenderalnya. 

SEPERTIGA kekaisaran barat sekarang berada di tangan

bangsa barbar, dan di pusat kekaisaran Romawi sendiri

duduk penguasa barbar. Apakah ini menyedihkan? Bagi

orang-orang konservatif, tentu saja. Namun dalam jangka

waktu yang sangat panjang akan muncul Eropa baru,

Eropa yang memiliki perbedaan baru dalam hal budaya

dan bangsa. Romawi sendiri menderita dalam banyak

hal: institusinya, budayanya, tradisinya, kepercayaan

Kristen-nya. Hanya di Britania para penyerang barbar

melupakan Romawi, melihat bangunannya, tembok, dan

jalan sebagai artefak asing dan memaksakan asal-usul

penyembahan berhala mereka. Di tanah daratan, para

pemimpin barbar melihat diri mereka sebagai ahli waris

yang membanggakan dengan kekuatan kuno, dan bermulut

manis kepada tuan besar mereka di Konstantinopel. Di

Gaul, bangsa non-Romawi mengambil alih vila-vila milik

bangsa Romawi, mempelajari bahasa Latin, dan menganut

ajaran Kristen. Kota-kota besar di Romawi tetap memiliki

kebesarannya. Latin tetap menjadi lingua franca bagi

orang-orang Eropa terdidik selama 1.500 tahun, sebuah

tradisi yang sedikit menggema saat ini dalam upacara-

upacara kuno di universitas-universitas Eropa, dan semua

dunia Kristen, sebab  AD—anno domini , tahun Yesus

Kristus—masih membagi sejarah menjadi dua.

Dan Attila sendiri? Ia mungkin tetap menjadi salah

satu orang besar dalam sejarah. Dengan melakukan

sedikit lebih banyak diplomasi, pemahaman yang lebih

baik, lebih sedikit perang dan komitmen terhadap

administrasi, ia bisa mendapatkan pencapaian sebesar

itu. Ia bisa saja menguasai seluruh Eropa utara, menikahi

Honoria, membuat satu dinasti yang berkuasa dari

Atlantik hingga Ural, dari pegunungan Alpen hingga

Baltik. Mungkin, dalam dunia yang paralel, Britania

akan dikalahkan oleh suku Hun daripada oleh kaum

Angles dan Saxon; dan Chaucers juga Shakespeare akan

menulis dengan bahasa Hun, dan akhirnya kita semua

tidak akan menyembah Tuhan Kristen melainkan Langit

Biru yang menjadi kepercayaan para shaman. Kontribusi

Attila terhadap sejarah Eropa tetap terikat dengan migrasi

orang-orang barbar dan kehancuran Romawi, proses

yang biar bagaimana pun memang terjadi. Attila

menimbulkan keduanya. Dalam kebangkitannya, ia

menggerakkan suku-suku untuk berpindah ke barat lebih

cepat daripada ke arah timur. Begitu meraih kekuasaan,

ia merusak suku-suku terpencil, ia memperlambat gerakan

yang sama. Dalam istilah politik dan sejarah, Attila

melakukan hal yang lebih daripada sekadar menambahkan

hambatan terhadap kecepatan jalannya sejarah Eropa,

membiarkan terjadinya percepatan di tempat yang satu

dan memper lambat terjadinya pergerakan di tempat

lainnya. Kesemuanya menjadi keseimbangan sempurna

dari kelebihan dan kekurangan, dan tidak menandakan

apa pun.

Sepanjang sejarah Attila terjadi banyak keributan dan

kemarahan. Namun hal ini, juga, tidak menandakan apa

pun. Thompson menyimpulkan tentang Attila secara

ringkas, namun   jelas: “Apakah suku Hun tidak memiliki

kontribusi langsung terhadap perkembangan Eropa?

Apakah mereka tidak memiliki penawaran apa pun selain

teror yang mencerai-beraikan bangsa Jerman dan membuat

mereka melarikan diri ke kekaisaran Romawi? Jawabannya,

tidak. Mereka tidak memberikan kontribusi… Mereka

hanya para penjarah dan perusak.”

Lalu, apa itu saja? Tidak juga. Ada hal lain dari Attila

selain menjarah dan merusak, sebab  namanya masih

menggema sebagai arketipe dari kekuatan singkat semacam

itu. Pengaruhnya ditemukan bukan dalam pencapaian

praktisnya, namun   dalam daya tariknya terhadap imajinasi.

Attila menghancurkan batasan-batasan fakta sejarah, dan

mencatatkan legenda, sebuah pergeseran yang menjadi

pembahasan dari bab terakhir kita.

SETELAH TIADA: HUN YANG BAIK,

BURUK, DAN KEJI

BAHKAN SEMASA HIDUPNYA ATTILA yaitu  PENINDAS DAN

pahlawan, menjadi simbol paganisme sekaligus tangan

Tuhan, tergantung dari mana kita memandangnya. Pada

tahun kematiannya, kebenaran dihancurkan oleh propa -

ganda, legenda, mitos, dan kebohongan semata, yang

meng alir deras dalam cerita rakyat yang dipisahkan

menjadi tiga aliran: Kristen Barat, Jerman dan daerah

perbatasan Skandinavia, serta Hongaria.

SEBAGIAN BESAR korban Attila dan mereka yang menulis

tentang dirinya yaitu  orang Kristen, dan orang Kristen

memiliki satu agenda resmi: untuk menunjukkan bahwa,

meski kehidupan yaitu  medan perang antara kebaikan

dan keburukan, antara Tuhan dan Setan, hasil akhirnya

akan menjadi kemenangan Tuhan. Dengan demikian,

sejarah manusia, yaitu  sebuah gerak maju yang tidak

stabil menuju kedatangan Kristus yang kedua, dan setiap

kejadian harus diperiksa sebagai bukti dari kemahakuasaan

dan kearifan Tuhan. Tugas pencatat kronik Kristen yaitu 

melihat realitas yang mendasar melalui peristiwa-peristiwa

suram. Gerak maju Attila yang kuat di sepanjang Eropa

tidak patut ia banggakan. Tanpa disadari ia yaitu  tangan

Tuhan, momok yang menghantui umat Kristen sebab 

dosa-dosa mereka di masa lalu—atau, dalam metafora

lainnya, anggur balas dendam Tuhan, tungku perapian

untuk pemurnian emasnya—dan sebuah kesempatan

bagi Tuhan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, tidak

secara langsung, namun   melalui para wakilnya, lebih

tinggi lebih baik, dari pendeta dan biarawati biasa hingga

uskup dan paus, di mana para korban tidak dihitung

sebagai orang-orang kalah, namun   sebagai martir. Dalam

peristiwa menggemparkan ini, dunia lama yang korup

dari Romawi yang menyembah berhala harus dimusnahkan

dan dibuatlah sebuah era baru, zaman pencerahan Kristen,

dengan diikuti kemenangan yang lebih besar nantinya.

Jadi, ada logika yang pasti terhadap penganiayaan

kaum Hun yang dibesar-besarkan. Vandal, yang diberi

nama demikian sebab  perampokan yang dilakukan

secara rutin; Goth mengilhami kata “Gothic”, yang

awal nya yaitu  satu istilah untuk penyalahgunaan budaya

sebelum mendapat arti tambahan; namun   Hun selalu di

luar batas. Dari kronik yang ditulis 300 tahun setelah

kematian Attila, kita akan berpikir bahwa ia tidak me -

ninggalkan apa pun di Gaul dan Italia. Ia bahkan di kata -

kan telah menghancurkan Florence, membunuh 5.000

orang, meskipun pasukan Hun tidak pernah menyeberangi

Sungai Po, yang letaknya 100 kilometer dari Florence.

Seperti dalam Life of St Lupus yang menyatakan bahwa,

“tidak ada kota, kastil, atau kota benteng di mana pun

yang bisa melindungi pertahanan nya”. Attila tidak

meninggalkan apa pun kecuali wilayah tandus. Ia datang

untuk memenuhi ramalan langit tentang malapetaka

dalam Kitab Wahyu: “Dan saat ribuan tahun berakhir,

Iblis akan dilepaskan dari penjaranya, dan akan keluar

untuk memperdaya bangsa-bangsa.” Semakin buruk

kesan kehancurannya, semakin besar pengaruh orang-

orang yang dengan sukses menentangnya.

Penulis yang paling dikagumi pada masanya, Sidonius,

meyakinkan bahwa pujian pertama dan terpenting

ditujukan kepada mereka yang hadir bersama dukungan

ketuhanan. Nah, dia akan mendapatkannya. Ia memiliki

teman-teman Kristen dengan jabatan tinggi, seperti yang

ditunjukkan dalam surat-suratnya yang awet sampai

sekarang. Lupus, anggota golongan pendeta paling

terkenal di Gaul; mertua Sidonius sendiri, kaisar yang

akan datang, Avitus; Prosper, penerus Anianus sebagai

Uskup di Orléans, “wali gereja yang paling terkenal dan

paling sempurna”; dan puluhan uskup lainnya. Ia sendiri

akan menjadi seorang uskup (di Clermont-Ferrant, saat

usianya berkisar 40 tahun). Siapa sebenarnya yang

menyelamatkan Troyes, Orléans, dan Roma? Bukan

Aetius dan pasukannya, namun   tiga orang beriman: Lupus,

Anianus, dan Paus Leo—sebenarnya empat, jika kita

meng hitung Avitus, yang komitmen kristianinya terhadap

perdamaian membuatnya membujuk teman-temannya

dari suku Visigoth untuk bergabung dengan Aetius.

Hasil dari agenda ini yaitu  individu dan kejadian

nya ta dengan cepat disembunyikan di balik propaganda

dan simbolisasi. Lupus dan lainnya menjadi lambang ke -

sucian, Attila menjadi pemimpin dari neraka—secara

harfiah, dalam beberapa lukisan, Attila digambarkan terlihat

memiliki tanduk setan dan telinga yang mencuat tajam.

Ini yaitu  sebuah proses tersembunyi dan membahaya -

kan, sebab  para sejarawan—terutama mereka yang

berusaha, seperti aku, yang menulis sejarah naratif—

tergoda untuk mencampurkan legenda dengan sejarah,

hanya demi menghasilkan kisah yang bagus. Aku

melakukan hal itu sebelumnya dengan menggambarkan

St Agnan menyelamatkan Orléans. Lihatlah apa yang

terjadi dengan kisah mundurnya Attila dari Italia setelah

pertemuannya dengan Leo (anggaplah hal ini memang

terjadi). Pada abad kedelapan terjadi sebuah keajaiban.

Paul, seorang diakon berdarah Italia yang pada masa itu

menulis sejarah tentang Lombards, menyatakan bahwa

Attila berkata: “Oh! Bukan orang yang datang [dengan

kata lain Leo] yang memaksaku pergi, tapi orang lain

yang berdiri di belakangnya dengan menghunus pedang,

mengancamku dengan kematian jika aku tidak mematuhi

perintahnya.” Setelah itu, hampir semua orang mengulang

kisah ini, dalam versi yang lebih imajinatif. Ravenna,

daerah administratif kekaisaran sementara, menjadi

tempat yang biasa dijadikan latar belakang, meski Attila

belum pernah mendekati daerah itu. Dalam satu versi,

Attila bertanya siapa yang datang. Paus, begitu jawaban

yang ia terima, “datang menjadi penengah atas nama

anak-anaknya, penduduk Ravenna”. Attila menganggap

ini sebagai lelucon: “Bagaimana mungkin satu orang

bisa memiliki begitu banyak anak?”

Itu terjadi pada abad kesembilan. Empat ratus tahun

lalu  , di daerah yang baru berubah menjadi Hongaria,

Gesta Hungarorum menceritakan Attila menyandera

paus, hingga ia ketakutan oleh sebuah bayangan, “yakni,

saat sang raja menengadah ia melihat seorang laki-laki

melayang di udara, memegang sebilah pedang di tangannya

dan menggeretakkan giginya, mengancam akan menebas

kepalanya. Jadi Attila mematuhi permintaan Romawi

dan melepaskan sang penerus Apostel ini .” Lainnya

mengubah penampakan ini  menjadi dewa perang

Mars, atau St Peter; atau mengubah rekan-rekan paus

menjadi orang-orang suci yang memakai   pedang,

Peter dan Paul, sebuah versi digambarkan dalam sebuah

lukisan dinding oleh Raphael, dilukis pada 1514 demi

nama baik Leo, Leo X. Lukisan itu, lagi pula, di mana

Leo I berwajahkan Leo X, diberi judul Attila the Hun

Turned Back from Rome—harap dicatat, bukan dari

Ravenna. Jadi, dalam masa 1.000 tahun, legenda yang

diciptakan 300 tahun setelah kejadian diterima sebagai

fakta; dan hal itu tetap demikian di beberapa daerah

tertentu hingga sekarang. Sebuah situs internet Kristen

menyatakan dengan jaminan sederhana: “Sosok seperti

laki-laki yang dilihat Attila di udara, sedang memegang

sebilah pedang di tangan mungkin yaitu  malaikat,

mirip seperti dalam cerita Injil.”

Hal yang sama terjadi dengan julukan “Momok

Tuhan”. Referensi pertama yang selamat yaitu  Life of

St Lupus, ditulis pada abad kedelapan atau kesembilan,

namun   mungkin sudah dibuat secara lisan dengan baik

se belum masa itu. Sesudah itu banyak versi lain dari

kisah ini. Berikut ini salah satunya.

Troyes dijaga baik dengan tembok dan pasukannya,

yang dikomandani oleh seorang uskup. Lupus sedang

berjaga. Attila, yang dikuasai keangkuhan, dengan

menunggang kuda mendekat dan menghantam gerbang

kota.

“Siapa kau,” tanya lupus dari atas, “kau yang membuat

orang-orang lari ke sana kemari seperti sekam dan

menghancurkan mahkota dengan kaki kudamu?”

“Aku Attila, Raja Hun, Momok Tuhan.”

“Oh, selamat datang,” kemungkinan besar itulah

jawaban sang uskup. “Momok dari Tuhan yang aku

layani! Aku tidak punya hak untuk menghentikanmu.”

Dan ia langsung turun untuk membukakan gerbang,

memegang kekang kuda Attila dan mengantarnya masuk

ke dalam kota. “Masuklah, Momok Tuhan-ku, dan

pergilah ke mana pun kau mau.”

Attila dan pasukannya masuk, berkeliaran di jalan-

jalan kota, melewati gereja dan istana-istana, namun   tidak

melihat apa pun, sebab  ada awan menghalangi pandangan

mereka. Tidak bisa melihat apa pun, mereka berjalan

lurus melintasi jalan kota. Dan ajaibnya mereka bisa

melihat lagi saat berada di jalan keluar. Demikianlah,

Bangsat itu dijinakkan oleh pelayan Tuhan.

Dan itu berhasil. Sejarah dibelokkan, sementara

legenda terus melekat. Sekarang, sebagian sejarah menyebut

Attila sebagai flagellum dei, Momok Tuhan, seolah

begitulah ia dikenal pada masa itu. Kita bahkan mungkin

melihat pernyataan yang tidak masuk akal di mana Attila

menyebutkan ungkapan itu sendiri, seolah ia bicara

bahasa Latin dan dengan sadar menerima perannya

sebagai momok tuhan.

Banyak tempat di Eropa Barat memiliki kisah Attila

dan kaum Hun yang benar-benar palsu, sangat jauh

melenceng dari fakta   sehingga nama-nama mereka

harus dimasukkan di sini. Di daerah Eriuli di timur laut

Italia, cerita rakyat mengubah nama Jerman Attila, Etzel,

menjadi Ezzel dan menautkannya dengan Ezzelino,

penguasa abad kedua belas yang keras: “Mereka me -

ngatakan dia yaitu  putra Setan atau anak dari seekor

anjing, ada rambut hitam di ujung hidungnya hingga

saat marah dan setiap bicara ia memulainya dengan

meng gonggong.” Di Metz, inada  sebuah mimbar

pidato dari granit yang dapat menghancurkan pedang-

pedang pasukan Hun. Di Dieuze (di Lorraine, Perancis

timur), pasukan Hun menjadi buta sebab  mereka

menangkap seorang uskup, pandangan mereka kembali

sehat saat melepaskan uskup itu. Orang-orang di Modena,

Italia, memiliki versi mereka sendiri tentang St Lupus.

Di Reims, Iblis sendiri yang membuka gerbang-gerbang

kota bagi para pasukan Hun.

Daerah Cologne memiliki korban paling terkenal

pasukan “Hun”—St Ursula dan banyak perawannya

(Aku akan menyebutkan jumlahnya sebentar lagi). Saat

ini kita bisa melihat tulang-tulang mereka di Katedral

Cologne; tentu saja bukan tulang mereka, sebab  semuanya

yaitu  mitos yang lalu   muncul berbagai versi yang

campur aduk. asal-usul yang tidak bisa dipercaya untuk

kisah ini yaitu  sebuah inskripsi dari abad keempat—

atau kelima—yang masih dapat dilihat di Gereja St

Ursula, yang menyebutkan bahwa seorang senator

bernama Clematius didorong oleh penampakan ilham

akhirnya membangun sebuah basilika di tempat ini untuk

menghormati beberapa perawan yang tewas sebagai

martir. Tidak ada petunjuk berapa jumlah perawan yang

tewas, tidak juga disebutkan adanya orang Hun. Selama

bertahun-tahun, para korban ini dimasukkan ke dalam

kisah yang digabungkan pada 1275 dan dicetak pertama

kali oleh William Caxton pada 1483. Ceritanya

menyangkut seorang putri, Ursula, entah dari Britania

atau Brittany, tergantung versinya, dirayu oleh seorang

raja penyembah berhala. Ia menolak untuk menikah,

mendedikasikan dirinya terus-menerus menjadi perawan

dan menginginkan satu kelompok terdiri dari sepuluh

perawan untuk menyertainya dalam sebuah ziarah. Kisah

ini menjadi sangat rumit, dengan perjalanan menyusuri

Sungai Rhine menuju Roma dan perselisihan antara

saingan wali gereja, namun   hasilnya bahwa saat pulang,

Ursula dan para perawannya sampai di Cologne, hanya

untuk mendapati kota itu diserbu pasukan Hun, yang,

atas perintah pangeran yang tidak diketahui namanya,

memenggal kepala penduduk kota itu.

Ini hanya sebatas legenda, dan tidak lama lalu  

kisahnya menjadi menggelikan. Satu versi awal mencatat

kesebelas martir itu dalam angka Latin sebagai “XI M”,

di mana M kependekan dari “martir”. Namun M juga

berarti 1.000 dalam tulisan Latin, yang begitulah seorang

penyalin naskah yang tidak dikenal ini memahaminya.

Sekarang, tiba-tiba, ada sebelas ribu perawan—ini tidak

masuk akal, sebab  Ursula yaitu  salah satu dari sebelas

martir ini , jadi dalam 11.000 ada 1.000 Ursula.

Lupakan saja. Legenda tumbuh subur, membangkitkan

satu dan berbagai macam cara pemujaan dan lukisan,

semuanya bersilangan satu sama lain seperti fantasi

hiperteks. Dalam satu versi, Attila sendiri menawarkan

dirinya untuk menikahi Ursula, membuatnya untuk

membuktikan kesucian keperawannya: “Pergi!” ujar

Ursula. “Aku tidak menghina tangan Caesar hanya untuk

menjadi milik orang terkutuk seperti dirimu!” Pada

1143, tulang belulang yang menurut dugaan yaitu 

kerangka beberapa martir perawan zaman dahulu, dikirim

ke biara Rhineland di Disibodenberg, yang menginspirasi

seorang pertapa dan intelektual bernama Hildegard dari

Bingen untuk menulis sebuah lagu (“O ecclesia”) menolak

pernikahan duniawi demi mendapatkan kasih Tuhan.

lalu  , pada abad kelima dan keenam, Ursula dan

kisahnya banyak dijadikan lukisan: oleh dua orang master


lukisan yang tidak dikenal namanya dari Belanda dan

Jerman, Caravaggio dan Carpaccio, yang menggambarkan

kehidupan Ursula dalam delapan episode, di mana suku

Hun mengenakan pakaian Florentine. Dan juga pada

abad kedelapan, Lucas Cranach Tua menggambar kisah

itu untuk sebuah altar di Dresden, yang tidak memfokuskan

pada korban melainkan pada pangeran Hun yang tenang

bersandar pada pedangnya. Pada 1998, penggubah

sandiwara asal Inggris, Howard Barker, memakai  

mitos ini untuk menguji arti komitmen keperawanan

(korban) dan sikap moral (pangeran) yang tidak

terpengaruh, yang sepertinya mengingatkan pada seorang

prajurit SS Nazi. Sementara itu, legenda juga menghadirkan

fakta   lain, meng inspirasi seorang biarawati abad

keenam belas, St Angela, untuk mendirikan ordo biarawati

Ursuline, yang pada 1700 di Perancis saja memiliki 350

yayasan, yang sebagian besarnya dibubarkan paksa pada

masa Revolusi Perancis. Di Valenciennes, sebelas biarawati

Ursuline dipenggal kepalanya sebab  mengajarkan faham

Katolik, membuat mereka yang menyukai kesamaan

cerita dengan sejarah menjuluki revolusioner ateis sebagai

Hun. Kisah, lukisan, drama, musik, biarawati, banyaknya

sekolah dan kampus—ini terus berlanjut, terus-menerus.

Sebagai hasil dari pengganti pemujaan Hildegrad dan

ledakan nyanyian-nyanyian gereja pada abad pertengahan,

satu kuartet telah mencatat 11.000 Perawan: Menyanyi

untuk Festival St Ursula (Anonim 4. HMV 907200).

Sudah cukup: jika kita mencari kehidupan nyata suku

Hun, semua ini sama membantunya seperti kita

memanfaatkan Hamlet untuk meneliti zaman pertengahan

di Denmark.

Tradisi lainnya di kekaisaran bekas Romawi berakar

dan berkembang, mungkin yang paling aneh yaitu 

kisah-kisah “Attila yang baik”. Rupanya, kota-kota yang

mencari asal-usul mereka, melihat Attila sebagai kekuatan

pembaharu, seperti dalam kisah dongeng berikut ini.

Pada suatu ketika, Attila berada di Padua saat datang

seorang pujangga dengan karyanya memuji pemimpin

besar itu. Pemimpin Padua menyiapkan sebuah per -

tunjukan. Sang pujangga, mengikuti tradisi literatur,

menyatakan asal-usul Attila yang bersifat ilahiah. “Apa

maksud semua ini?” ujar pahlawan kita menginterupsi.

“Untuk membandingkan seorang manusia biasa dengan

para dewa yang abadi! Aku tidak ada hubungannya

dengan sikap tidak terhormat semacam itu!” Dan ia

memerintahkan laki-laki malang itu dibakar di tempat

saat itu juga, bersama dengan sajak-sajaknya. Saat

tumpukan kayu sudah disiapkan dan si pujangga diikat

di atasnya, Attila mendekat: “Cukup. Aku hanya ingin

memberi pelajaran kepada si penjilat ini. Janganlah kita

menakuti para pujangga yang memakai   kebenaran

untuk menyanyikan pujian kita.”

Mungkin yang seperti ini sudah cukup banyak dalam

beberapa epik besar pasca-Romawi dalam bahasa Perancis

dan Italia. Tidak ada penulis yang mengambil teguran

itu sebab  kesuksesan. Namun semenjak itu inada 

beberapa kegagalan, semuanya dengan sia-sia meninjau

ulang sejarah untuk membuat sesuatu menjadi bermanfaat.

Pada 1667 drama Attila karangan Pierre Coeneille

dipertontonkan sebanyak 20 kali, lalu   menghilang

dalam ketidakjelasan. Sebuah melodrama buruk dari

Jerman oleh Zacharias Werner, seorang pengacara, filsuf,

pendeta, dan penggubah drama, ditampilkan beberapa

kali di Wina pada 1808, berakhir dengan pembunuhan

Attila (bukan kematian biasa, sebagaimana sejarahnya)

oleh seorang putri Romawi bernama Honoria (bukan

putri Jerman yang bernama Ildico). Satu drama versi

Inggris, dimainkan di London tahun 1832, menyimpulkan

dengan satu kalimat dari kakak Attila, Bleda (yang

dibunuh Attila, namun   entah bagaimana masih hidup):

“Ha! Apakah dia mati? Raja lalim itu mati? Ha! ha!

[Tertawa terbahak-bahak].”

Karya mengerikan ini menjadi dasar opera Attila

karya Verdi pada 1846. Ditulis saat terjadi perjuangan

penyatuan Italia, atau Risorgimento, opera ini 

penuh irama, penuh dengan ekspresi semangat patriotisme

Italia yang terinspirasi oleh ambisi sang pahlawan yang

merusak. Adegan pertama langsung masuk ke tema,

ketika para gadis dari Aquileia muncul, hidup, menentang

perintah tegas Attila. “Siapa yang berani menentang

laranganku untuk menyelamatkan mereka?” tanya Attila

kepada budaknya dari suku Breton yang bernama Uldino,

yang menjawab bahwa mereka yaitu  penghargaan yang

pantas untuk Attila: “Para pejuang luar biasa, mereka

melindungi saudara laki-laki mereka…”

“Apa yang kudengar?” sang raja menginterupsi. “Siapa

yang membangkitkan keberanian para perempuan itu?”

Dan Odabella, putri Aquileia, anak perempuan dari

ayah yang tewas terbunuh, menjawab con energia,

beberapa pengulangan dan pengucapan huruf C dengan

keras, “Cinta suci tidak terbatas untuk negeri kami!”

Satu kalimat, sebuah permohonan untuk Attila dari

Aetius—disuarakan oleh Ezio yang bersuara bariton—

dengan cepat menjadi sebuah slogan politik:

Avrai tu l’universo,

Resti l’Italia a Me.

(Kau boleh memiliki seluruh dunia,

Tapi tinggalkan Italia untukku.)

Kalimat akhir ini yaitu  kejutan sempurna, dengan

Attila ditikam hingga mati oleh calon istrinya, Odabella,

namun   permohonan Ezio yang penuh perasaan untuk

kebangkitan Romawi (Dangli immortali vertici/Dari

puncak abadi) yaitu  pukulan langsung, dan gairah akan

musik ini  punya penggemarnya sendiri, itu sebabnya

opera ini masih ditampilkan sesekali.1

Di beberapa tempat kita masih bisa mendengar suara

Attila menggema sayup-sayup. Di Udine, tidak jauh dari

Aquileia, mereka mengatakan bahwa kastil besar di

puncak bukit yang mendominasi kota mereka, dibangun

oleh orang-orang Attila, dengan memakai   pelindung

kepala mereka sebagai ember, agar pemimpin mereka

bisa menikmati pemandangan kota Aquileia dalam

keadaan cerah. Ada satu nama yang menjadi tanda

pengingat terhadap suku Hun: bentuk aslinya yaitu 

Hunfredus, kombinasi dari “Hun” dan “perdamaian”,

menunjukkan seseorang yang bisa berdamai dengan suku

Hun. Hunfroi, dalam bahasa Perancis kuno, dibawa

oleh orang Normandia ke Inggris, dan di sana menjadi

Humphrey, dan masuk ke Italia menjadi Umberto. Di

dekat Châlons, di pinggiran utara Dataran Catalaunia,

sebuah tanda menunjuk ke timur laut menuju “Perkemahan

Attila”, yang ternyata sama sekali bukan. Gundukan

tanah yang ditumbuhi pepohonan yaitu  benteng bukit

pada abad pertama, dihubungkan dengan Attila hanya

sebab  kedatangan suku Hun yaitu  hal terbesar yang

terjadi di sekitar waktu itu. Jika murid-murid sekolah

Perancis tahu mengenai Hun, Attila diperkirakan akan

membuat: Là où mon cheval passera, l’herbe ne repoussera

pas (Di mana pun kudaku lewat, rumput tidak akan

tumbuh di sana). Dan, akhirnya, kemasyhurannya juga

membuatnya tetap hidup dalam film, pertama dalam

film Fritz Lang yang berjudul Kriemhild’s Revenge (1924),

dan yang paling baru dalam beberapa kali pembuatan

ulang sehingga seharusnya tidak disebutkan kecuali

dalam sebuah catatan kaki.2

Orang-orang Jerman—yaitu suku-suku Jerman—

melihat semua ini dengan agak berbeda, sebab  mereka

sudah membentuk sebagian kekaisaran Attila. Suku Hun

diingat dengan respek yang lebih besar. Antara kelompok

yang memakai   bahasa Jerman di Eropa kuno

berkelanalah para penyair dan pujangga, yang me -

nyanyikan kejayaan masa lalu, membawa hasil karya

mereka dari satu istana ke istana lain, berpindah dari

Lombardy di Italia utara menuju ibu kota Goth di

Toulouse, kantong-kantong tempat tinggal suku Jerman

di Perancis, daerah-daerah permukiman baru berbahasa

Jerman di timur Sungai Rhine, dan semua daerah di

utara. Attila menjadi sosok terkenal dalam adat dan

pengetahuan bangsa Jerman, yang berarti juga hal yang

sama pada warga   Inggris kuno. Sekilas namanya

disebut dalam puisi tertua Inggris, Widsith, mungkin

ditulis di Mercia, pada abad ketujuh. Semua legenda-

legenda ini menjarah sejarah, mendistorsinya dari kisah

yang diakui kebenarannya menjadi semata kisah tentang



bekas pahlawan, keingintahuan, dewa-dewa, dan motif-

motif literatur. 

Pada abad kesembilan, Attila merupakan bagian dari

kisah Skandinavia dan juga Jerman. Ini aneh, sebab 

kekaisarannya yang berlangsung singkat hampir tidak

menyentuh wilayah Baltik. Namun kekaisaran Hun,

meski bukan Jerman, tampaknya cukup kuat untuk

masuk ke dalam ingatan warga   dan imajinasi populer.

Hingga satu abad yang lalu, orang awam di Jerman

utara menyebut gundukan-gundukan pemakaman itu

sebagai Hunnenbette, “tempat berbaring Hun”. Dengan

demikian, di antara pendud