Tampilkan postingan dengan label bobo gentayangan 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bobo gentayangan 2. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

bobo gentayangan 2



 bengong 

melompong di bawah sanal

     "Tobat! Aku  masih mau hidup orang tua!" sahut bobo .

     penulis ayan memaki lalu gerakkan tangan kanannya.

     bobo  tak tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu-

 tahu sebuah benda halus putih yang berkilauan  telah

 melibat pinggangnya. Benang kayangan! Belum sempat

 bobo  berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah ter-

 sentak dan  melesat ke atas puncak karang yang kedua.

 Dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh bobo   men-

 jejakkan kedua kakinya di atas puncak karang yang sem-

 pit runcing, serta licnin berlumut itu!

     Bila dia memandang ke muka, bobo  terkejut. Segulung 

ombak sebesar rumah menderu ke arah kedua puncak batu 

karang di mana dia berada bersama penulis ayan 

      "Bagi dua tepemusnah  dalammu ke kaki dan tangani" teriak 

penulis ayan  "Begitu ombak datang songsong dengan pukulan 

kedua telapak tangan!"

     Karena khawatir tubuhnya akan disapu dan dihempas-

kan ombak ke batu-batu cadas di teluk yang sempit itu, 

dengan sedapat-dapatnya bobo  mengikuti ucapan Tua Gila! 

Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya 

mencelat mental!

     "Tobat! Tamatlah riwayatku!" keluh bobo  anak manusia . Satu 

tombak lagi tubuhnya akan menghantam sebuah batu 

cadas Ijba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal 

dan mencelat lagi ke udara! Kiranya penulis ayan telah 

 30

menyentakkan benang kayangan yang  menjerat

pinggangnya. Untuk kedua kalinya bobo  berdiri lagi di 

puncak batu karang itu!

     "Ayo orang gila! Jangan takut!" seru penulis ayan sambil 

tertawa gelak-gelak. "Nah ini ombak besar datang  lagi! Ayo, 

sambutlah!"

     ''Byuuur!"

     Ombak menggulung  menerpa bagian atas puncak-

puncak karang. Untuk kedua kalinya tubuh bobo  anak manusia 

mencelat  mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batu-

batu cadas, kembali penulis ayan menariknya dan  

melemparkannya ke puncak karang! Berkali-kali hal itu 

terjadi hingga bobo  merasakan sekujur tubuhnya laksana 

tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan orang penulis ayan 

itu masih juga melemparkannya ke atas batu karang setiap 

ombak menerjangnya jatuh!

    Tiada terasa senjapun datang. Senja segera pula berganti 

dengan malam. Entah sudah berapa puluh  kali bobo  disapu 

ombak dan "dipermainkan" oleh penulis ayan  ' Lambat laut 

timbullah rasa penasaran di hati bobo   anak manusia , Dengan 

menguatkan diri dap menabahkan hati, ketika untuk 

kesekian kalinya ombak dalang lagi menderu maka 

pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan penulis ayan  

Sebagian tepemusnah  dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian 

lain ke tangan. Begitu ombak datang tubuhnya 

dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan

didorongkan ke muka!

    "Byuur!"

    bobo  mencelat mental. Tapi kali ini tidak sejauh seperti 

sebelumnya. Dan bila hal itu dicobanya lagi berulang-ulang,  

maka menjelang tengah malam akhirnya bobo  sanggup 

juga beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang  itu 

meskipun tubuhnya tergoyang gontai dengan hebat! Namun 

karena kekuatannya telah habis, akhirnya pemuda ini roboh 

pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut ke luar darah. 

Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan 

mengerahkan tepemusnah  untuk melakukan pekerjaan yang tak 

pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya. penulis ayan tertawa

gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang sakti di 

tangannya. Sekali menyentakkan kemudian tubuh bobo  

anak manusia  sudah berada di atas bahu kirinya.

    penulis ayan mendongak ke langit, memandang ke arah bulan 

sabit. Sambil melompat turun dan tertawa-tawa dia berkata: 

"Tidak percuma... tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya 

murid macam ini! Tidak percuma!"

 31

    Kalau saja bobo  anak manusia  tidak pingsan, kalau saja bobo  

anak manusia  mendengar ucapan Tuan Gila itu, pastilah dia akan 

heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng 

adalah guru bobo  anak manusia  yang telah menggembleng 

pemuda ini selama tujuh belas tahun di puncak gubug penulis   

Gede!

    Ternyata penulis ayan dengan mengajak bobo  anak manusia  ke 

puncak batu karang di teluk sempit itu, telah mengajarkan 

sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda. 

bobo  sendiri begitu menyadari bahwa penulis ayan memberikan 

pelajaran ilmu pukulan sakti kepadanya segera hendak 

berlutut mengucapkan terima  kasih. Tapi dengan tertawa-

tawa penulis ayan berkata:

     "Meski kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan yang

hebat, tapi jangan sangka bahwa aku telah jadi guru dan

kau telah jadi murid antara kita tak ada hubungan apa-

apa...!"

     "Terima kasih orang tua! Terima kasih!" kata bobo ,

"Tapi mengapakah kau sampai demikian bermurah hati

 mengajarkan ilmu pukulan itu?"

     penulis ayan tertawa gelak-gelak.

     "Pertama sebagai ucapan terima kasihku karena di

 tengah laut kau telah menyelamatkan seorang anak yang

 bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat... ah....

 Agaknya tak perlu kuteruskan...."

     bobo  anak manusia  merasa tak enak.

     "Karena mengingat apa, orang tua...?"

     "Sudah! Tak usah banyak tanya!" kata penulis ayan tak 

senang. "Ilmu pukulan yang telah kau pelajar! itu bernama  

"Dewa Topan Menggusur gubug penulis ". Merupakan satu diantara 

tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan! Sekarang, 

untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan 

ajarkan padamu beberapa jurus silat ciptaanku yang 

bernama Ilmu Silat Orang Gila"

     "Nah sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus," 

kata penulis ayan 

    bobo  segera menyerang orang tua itu dengan gencar! 

Bagaimanapun hebat dan cepat gerakannya tetap saja dia 

tak bisa menyentuh tubuh penulis ayan  Sebaliknya dia kena 

didesak dan akhirnya dipaksa "makan" sebuah jotosan 

pada dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua 

Gila kelihatannya gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru 

disitulah letak kehebatan ilmu silat orang gila yang 

diciptakan oleh Tua Gila! Dalam  waktu yang singkat bobo  

anak manusia  telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat itu. 

 32

Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri,

pastilah kepandaiannya akan mencapai tingkat 

kesempurnaan.

    Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi hampir

setengah malam penulis ayan memanggil bobo  anak manusia .

    "Hari ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku 

untuk melihat tampangmu!" kata si orang tua. bobo  

terkejut. Belum sempat dia bertanya penulis ayan sudah 

menyambung:  "Karenanya hari ini pula kau harus angkat

kaki! Nah berlalulah sebelum aku betul-betul muntah

melihatmu!"

    bobo  berpikir sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk 

dihadapan penulis ayan  Dia tahu orang tua ini bersifat aneh. 

Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau angkat kaki 

dari situ.

    "Sebelum pergi, pertama sekali aku akan mengucapkan 

terima kasih sekali lagi, Terima-kasih karena kau juga telah 

mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat 

yang hebat padaku...."

    "Lalu apa lagi?]" tanya penulis ayan  "Ah, sudahlah! Perutku 

sudah mual melihatmu!  Ayo berlalu cepat!" Tua Gila

lambaikan tangannya. Angin yang hebat mendorong bobo 

hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok.

    "Aku butuh beberapa  petunjuk darimu, Tua Gila,"

kata bobo .

    "Eh, petunjuk apa?!"

    "Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun

Tulang."

    "Dan aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai

bekalmu. Apa itu masih belum cukup?!"

    "Maksudku  bukan minta ilmu lagi,  tapi beberapa

keterangan."

    "Keterangan apa?!" tanya penulis ayan cepat seperti

orang yang tidak sabar.

    "Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya

Tambun Tulang itu...."

    "Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di 

situ?!" penulis ayan tertawa mengekeh.

    "Ajal menunggu manusia di mana-mana, orang tua,"

sahut bobo .

    "Betul! Sedang tidurpun bisa mampus! Tapi mati yang 

paling mengenaskan  dan  mengecewakan  ialah mati 

percuma dalam tak  berhasil melakukan sesuatu yang kita 

rasakan sebagai kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi 

seperti sebelumnya. Setelah memijit-mijit kedua pipinya 

 33

yang cekung. penulis ayan membuka mulut lagi:

    "Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah utara, kira-kira

diperlengahan Pulau Andalas. Cukup jauh dari sini! Tapi kau 

pasti bisa sampai di situ karena bukankah kuburmu 

memang terletak di sana?" penulis ayan tertawa kembali. Lalu  

meneruskan lagi: 'Tambun Tulang  artinya Timbunan Tulang. 

Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan tulang 

ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak hingga 

merupakan sebuah bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila 

didekati, pemandangan di sana mengerikan  sekali! Bukit 

Tambun Tulang daerah kekuasaannya Datuk penulis gila , 

seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia  memiliki 

anak buah dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping 

itu memelihara puluhan harimau! Sekali kau masuk ke 

daerahnya itu, tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup, 

orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan 

saja niatmu pergi ke situ?!"

     bobo  gelengkan kepalanya.

     "Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati yang sia-

sia!" kata penulis ayan pula.

     bobo  tak  menghiraukan ucapan orang tua itu, Malah dia 

bertanya: "Menurutmu, apakah mungkin manusia bernama 

penulis gila  itu yang telah membunuh Kiat Bangkalan dan 

mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?"

     "Dasar orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku! 

Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu 

padamu!"

     "bobo  mendumel dalam hati”.

     "Orang bernama penulis gila  itu, apakah dia termasuk 

tokoh silat golongan hitam?"

     "Itu urusanmu untuk menyelidikinya!" jawab Tua Gila

     "Mengenai bukit tulang manusia itu... apakah itu 

manusia-manusia korban keganasan Datuk penulis gila  dan

 orang-orangnya?" tanya bobo  lagi.

    Tua Gi|a tertawa dingin. "Kau akan melihat dan me-

ngetahuinya sendiri nanti, orang gila! Kalau nasibmu baik, 

kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu 

akan turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang Ku! 

Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat angkat kaki!"

    Sekali lagi bobo  anak manusia  ucapkan terima kasih lalu 

setelah  menjura berulang  kali pendekar ini melangkah

dengan cepat ke pintu.

    "Orang gila! Tunggu dulu!" seru penulis ayan memanggil.

    bobo  anak manusia  membalikkan badan.

    "Sampai hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau

 34

turun meninggalkan puncak gubug penulis  Gede?!"

    Kagetlah bobo  anak manusia   mendengar pertanyaan orang tua 

itu. Bagaimana si penulis ayan tahu kalau dia berasal dari 

gubug penulis  Gede?!

    "Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang 

kau tapi tidak tentang orang lain itu!"

    "Orang lain siapa, Tua Gila?" tanya bobo .

    "Gurumu si Sinto Gendeng!  Lebih empat puluh tahun aku 

tak mendengar kabar beritanya!"

    Keterkejutan bobo  anak manusia  makin bertambah-tambah.

    "Kau... kau kenal dengan guruku?!"

    "Jawab dulu sudah berapa lama kau turun gubug penulis ?!"

    bobo  berpikir-pikir. "Kurasa ada satu tahun," sahutnya. 

"Ada apakah orang  tua?"

   "Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan 

si Sinto Gendeng?!"

    Melihat penulis ayan menyebut  nama gurunya dengan "Si 

Sinto Gendeng" nyatalah bahwa penulis ayan mempunyai

hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?!

    "Tidak," bobo  menjawab pertanyaan Tua  Gjla tadi.

"Sebetulnya ada hubungan apakah kau dengan guruku,

Tua Gila?"

    Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh 

ke muka seakan-akan sesuatu di masa lampau kini

terbayang di ruang matanya.

    Tiba-tiba bobo  anak manusia  melihat  butiran-butiran air

mata  menetes  dan turun ke pipi cekung si orang tua.

Aneh, pikir bobo .

    Lalu tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila

tertawa gelak-gelak. "Kadang-kadang orang yang sudah

tua berlaku seperti anak kecil. Menangis macam anak 

kecil!" penulis ayan kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya

aku dan gurumu itu adalah saudara satu guru...."

    Tentu saja ini tak diduga sama sekali oleh bobo  anak manusia ! 

Kagetnya bukan olah-olah!  Tapi begitu sadar cepat-cepat 

dia menjura dalam-dalam dihadapan penulis ayan 

    "Betul-betul aku tidak menduga kalau kau adalah 

saudara seperguruan dari Eyang Sinto Gendeng.  Ah... 

pantas saja kau sakti dan lihay sekali!"

    Kembali penulis ayan tertawa rawan.

     "Aku lima tahun lebih tua dari dia, orang gila....". Dan

 dia memandang lagi jauh-jauh ke muka. "Gurumu itu 

sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan buruk 

keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali!

Dan aku yang kini begini buruk macam mayat hidup

 35

dulupun punya tampang keren, tegap gagah! Tapi itu dulu...! 

Semua yang dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi!"

     Untuk kedua kalirjya Jua Gila menghela nafas dalam. 

Lalu meneruskan, penuturannya. "Orang gila, aku naksir 

pada gurumu di masa kami muda-muda dulu. Dia juga 

senang padaku. Kami saling mencintai! Bahkan sewaktu 

turun gubug penulis , guru kami merestui kalau benar-benar kami 

hendak bergabung  dalam  satu perkawinan! Tapi celakanya 

sesudah turun gubug penulis  aku tertipu oleh kecantikan dunia 

luar! Aku terjebak dan mati kutu di tangan seorang  janda  

muda anak  seorang Adipati di Plered! Aku kawin dengan 

janda Itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul gila 

perbuatanku!" Dan penulis ayan memukul-mukul keningnya 

sendiri! "Ketika janda itu sakit dan mati, baru aku sadar! 

Aku cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak  sudi lagi 

padaku! Sekalipun aku menangis air mata darah, dia tak 

bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu patah 

hati, orang gila! Memang aku yang salah!  Gila! Aku jadi 

putus asa lalu bertualang dan membuat keonaran di mana-

mana! Seluruh tokoh-tokoh, silat di Pulau Jawa tunduk dan 

takut padaku! Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia 

persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada 

yang memberi gelar  "Pendekar Gila Patah Hati". Ada pula

yang menjuluki "Iblis Gila Pencabut Jiwa"! Banyak lagi

gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan semua gelaran 

itu! Di akhir hayatku ini aku memakai gelar yang kuciptakan 

sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok 

bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu 

tahukah kau sudah berapa manusia yang menjadi korban di 

tanganku?"

    bobo  angkat bahu.

    penulis ayan hela nafas lagi. "Tiga ratus lebih," katanya men-

desis. 'Tiga ratus lebih nyawa manusia yang harus kuper-

tanggung jawabkan di akhirat nanti! Betul-betul gila! Tapi 

semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian 

kurasa jtu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah 

penyesalan. Tapi,apa gunanya lagi? Sudah nasib!"

    ''Apakah selama bertualang itu kau tak pernah bertemu 

dengan guruku?" tanya bobo  ingin tahu..

    "Pernah... memang pernah, orang gila! Waktu itu 

keadaan diriku menyedihkan sekali. Pakaian compang-

camping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih 

gondrong darimu dan acak-acakan. Badanku kurus kering,

muka tak terpelihara dan kalau aku tak salah, waktu itu

aku tak pernah mandi-mandi! Dan  waktu itu kami berumur 

 36

kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan 

juga melihat aku! Lalu dia berkata kalau aku menghentikan  

membuat  keonaran, kembali ke jalan yang benar, maka 

kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk 

kawin denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun men-

datang aku dan dia sudah jadi  kakek nenek tua renta 

keriputan! Dan kawin di  umur setua macam begini, betul-

betul gila dan tak pantas sekali! Atau menurutmu pantas-

kah orang setuaku dan setua gurumu itu, melangsungkan 

perkawinan?!".

    bobo  anak manusia  garuk-garuk'kepala. Hatinya geli sekali.

    "Aku tak tahu, penulis ayan  Kalau suka sama suka kurasa tak 

ada halangannya...”

    penulis ayan tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata.

"Memang tak ada halangan dan tak ada yang melarangl

Tapi semua orang tentu akan mentertawai dan meng-

anggap kami berdua pada gila dan memang aku dan 

gurumu itu memang sudah gila! Sesudah bertemu dengan 

gurumu lantas aku mengundurkan diri dari dunia persilatan

dan tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih, men-

dalami ilmu silat ciplaanku dan memperyakin beberapa

ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum

mampus bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya 

harapanku terkabul! Kau orang gila telah menyelamatkan 

seorang anak yang telah kuambil jadi murid!"

     Lama kedua orang itu sama berdiam diri.

     "Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan lupa

 sampaikan salamku padanya," kata penulis ayan 

     bobo  mengangguk."Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau 

sendiri yang datang menyambanginya...."

     "Ah... hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau 

tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja!"

     "Liku hidup ini banyak ragam dan keanehannya,"

 kata bobo .

     Dan penulis ayan menyambungi: "Segala liku keanehan itu 

akan berakhir pada satu hal yakni kematian.... Nah, bobo  

sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku muntah!"

    bobo  anak manusia  tertawa dan berkata: "Aku tetap berharap 

kau sudi menyambangi guruku di puncak gubug penulis  Gede!"

    Paras tua itu kelihatan memerah. penulis ayan membentak:     

"Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo pergi!"

    bobo  anak manusia  keluarkan suara bersiul. Setelah menjura 

cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Di tepi pantai pulau 

ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu pen-

dayungnya.  Tanpa pikir panjang bobo   masuk ke dalam 


salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke 

utara!


    Di tengah pasar yang ramai itu kelihatanlah banyak orang 

berkerumun dalam bentuk lingkaran. Dalam lingkaran 

berdiri dua orang, yang pertama seorang laki-laki separuh 

baya berpakaian dan berdestar hitam. Tampangnya gagah 

dan senyum senantiasa terbayang di bibirnya. Orang kedua 

seorang dara yang juga berbaju dan berikat kepala hitam. 

Kulitnya putih rambutnya menjulai panjang di punggung dan 

parasnya jelita. Seperti laki-laki tadi, dibibirnya yang segar 

juga selalu mengulum senyum yang diberikan pada orang 

ramai  di sekelilingnya.

    Laki-laki berpakaian  hitam, melangkah ke tengah

lingkaran, memandang berkeliling lalu menjura ke segala 

penjuru. Suaranya keras dan enak didengar ketika dia

bicara.

    "Saudara-saudara sekalian! Banyak terima kasih yang  

saudara-saudara sudah, sudi berkumpul di  sini. Kita 

bukanlah orang-orang yang baru berjumpa kali ini.

Sudah seringkali aku dan anakku berkunjung ke pasar

ini sekedar memberi hiburan tak berguna untuk mencari

uang. Hari ini kita berjumpa lagi. Kuharap saja saudara-

saudara tidak bosan melihat pertunjukan kami! Juga tidak 

keberatan bermurah hati memberi beberapa ketip sebagai 

sumbangan. Kami ayah dan anak mengucapkan terima

kasih...."

    Sampai di situ ucapan laki-laki ini terhenti sejenak. Yang 

menghentikannya ialah karena dua buah matanya melihat 

kedatangan seorang penunggang kuda bertubuh tegap, 

berkumis melintang, berpakaian dan berikat kepala serba 

hitam. Dibagian dada pakaiannya kelihatan lukisan kepala 

harimau berwarna kuning! Penunggang kuda itu berhenti 

dan ikut bergerombol di belakang orang banyak. Laki-laki 

separuh baya yang ada di lengah lingkaran merasa tak 

enak. Demikian juga anaknya kelihatan berubah air 

mukanya sewaktu melihat kemunculan si penunggang kuda 

berkumis melintang. Sedang orang banyak yang berjubalan, 

begitu mengetahui kedatangan penunggang kuda ini segera 

bersibak menjauh dengan muka yang membayangkan 

ketakutan. Banyak diantara mereka yang tak punya minat

lagi untuk meneruskan melihat pertunjukan kedua beranak 

itu dan berlalu dengan cepat!

     Laki-laki separuh baya meskipun dengan hati tidak enak 

kembali meneruskan ucapannya.

     "Saudara-saudara sekalian. Maksud kami melakukan 

pertunjukan ini bukan untuk memamerkan ilmu 

kepandaian kami yang tak seberapa tapi semata-mata 

hanyalah untuk mencari Uang guna membeli sesuap nasi. 

Kami tahu pula, diantara saudara-saudara yang hadir disini 

tentu ada yang memiliki kepandaian dan kesaktian yang 

jauh lebih tinggi, karenanya kami minta maaf terlebih 

dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras terhadap 

kami dan menahan pertunjukan kami nanti. Sekali lagi 

maaf. Sekarang kami akan mulai...."

     Laki-laki itu mencabut sebilah keris dari pinggang-nya. 

Senjata itu dibawanya berkeliling, diperlihatkannya dekat-

dekat pada penonton. Lalu diambilnya sepotong kayu jati 

dan kayu itu ditusuknya dengan keris! Kayu itupun 

berlubanglah! Ini untuk menunjukkan bahwa keris itu betul-

betul senjata tajam bukan keris palsu yang terbuat dari 

kayu atau kertas tebali

     Kemudian laki-laki ini menganggukkan kepalanya pada 

si dara jelita. Anak  gadis itu mengambjl sebuah gendang 

dan mulai memukulnya. Ayahnya membuka baju. 

Kelihatanlah dadanya yang bidang dan berbulu. Kemudian 

mengikuti irama pukulan gendang, laki-laki ini menari 

sambil menghunjam-hunjamkan keris di tangan kanannya 

ke dada! Jelas sekali kelihatan ujung senjata itu menusuk 

kulit daging  tubuhnya,  namun kulit itu jangankan luka, 

tergorespun tidak! Semakin cepat irama pukulan gendang 

semakin cepat tar ia n yang dimainkannya dan semakin 

gencar pula tusukan-tusukan ujung keris ke dadanya!

    Lewat sepeminum teh maka irama gendang kembali

perlahan dan akhirnya  berhenti. Laki-laki itu hentikan

pula "permainannya lalu menjura kepada orang banyak

yang disambut dengan tepuk sorak yang riuh!

    "Saudara-saudara sekalian, pertunjukan, berikutnya

dilakukan oleh seorang yang bukan lain adalah anak saya 

sendiri." Sementara itu ayahnya mengeluarkan sebatang 

golok tajam, putih berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk 

membuktikan bahwa benda itu sebenarnya golok maka 

diambilnya kayu jati tadi lalu dibacoknya. Kayu jati terbelah 

dua!

    Gendang mulai dipalu. Dengan  langkah ringan si dara 

baju hitam menuju tengah lingkaran. Dia tersenyum

 40

berkeliling lalu mulai menari mengikuti irama gendang.

Tariannya bagus sekali dan lemah gemulai membuat, se-

mua orang terpesona. Ketika ayah sang dara melangkah

mendekati anaknya  dengan golok terhunus semua

orang merasa ngeri  meskipun pertunjukkan demikian

sudah sering mereka saksikan. Laki-laki itu mulai pula

menari mengelilingi anaknya. Kemudian "wuut," golok-

nya dibacokkan ke punggung si gadis. Terdengar suara

"buuk!" Gadis itu tersenyum! Aneh! Hantaman mata golok 

yang tajam bukan saja tidak melukai punggung sang dara 

tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya! Dan dengan 

senyum simpul si gadis terus menari seakan-akan tak ada 

terjadi apa-apa sementara golok menderu bertubi-tubi 

membacok bagian atas tubuhnya dan suara

"Buuk... buuk... buuk." Terdengar tak kunjung henti! Ke-

ngerian orang banyak berubah menjadi tempik sorak

kagum!

    Lewat sepeminum teh pula maka pertunjukan yang

kedua itupun berakhirlah! Orang banyak bertepuk riuh

dan bersorak gembira. Beberapa diantara mereka ada

yang melemparkan  uang logam ke tengah lingkaran

yang segera dikumpulkan oleh anak laki-laki lalu di-

masukkan ke dalam kotak.

    "Sekarang pertunjukan yang ketiga, saudara-saudara," 

kata laki-laki berpakaian hitam.  Dia melirik sekilas pada 

penumpang kuda berkumis melintang yang sampai saat itu 

masih berada di situ dan menyaksikan peri tinjukan.

     "Saudara-saudara sekalian," kata laki-laki itu 

selanjutnya. "Saudara lihat kuati besardibela kang itu? Kuali

 itu berisi air yang dijerang hingga mendidih! Saudara-

 saudara akan melihat bagaimana saya akan masuk ke

 dalamnya dan mandi!"

     Lalu laki-laki itu melangkah mendekati sebuah kuali

 yang* besar sekali. Bagian bawah kuali yang ditopang

 oleh tiga buah batu besar itu berkobar api besar. Air yang

 ada di dalam kuali berbunyi mendidih dan mengepulkan

 asap panas.

     "Tapi!" berkata laki-laki tadi seraya palingkan muka

 ke segala penjuru. "Mungkin saudara-saudara mengira

 air yang mendidih dan api yang berkobar ini hanyalah

 tipuan belaka! Aku akan buktikan bahwa aku Pagar Alam

 bukanlah seorang penipu!"

    Dari dalam sebuah kolak laki-laki yang mengaku

 bernama  Pagar Alam itu  mengeluarkan seekor tikus.

Tikus Hu kemudian dimasukkannya ke dalam api! Bina-

 41

tang itu mencicil dan meregang nyawa di situ juga. Bau

 dagingnya yang terbakar meranggas hidung!  ",

    Pagar Alam mengeluarkan seekor tikus lagi lalu di-

cemplungkannya ke dalam air yang mendidih. Tikus itu

 mencicil sebentar dan menggelepar-gelepar lalu mati

matang! Setelah mengeluarkan tikus Hu dari dalam kuali

Pagar Alam berkata:."Sekarang saudara-saudara saksi-

kan sendiri bahwa aku tidak menipu kalian! Nah, aku

akan masuk ke dalam kuali ini!"

    Semua penonton menahan nafas penuh tegang se-

baliknya disudut bibir-penunggang kuda berkumis me-

lintang tersungging senyum penuh arti!

    Pagar Alam mencelupkan kaki kanannya ke dalam

air mendidih di kuali. Lalu kaki kirinya. Dan kini dia ber-

diri di atas kuali berair mendidih yang dibawahnya ber-

kobar api besar! Hebat dan aneh, kakinya tidak melepuh,

seakan-akan air di dalam kuali itu adalah air dingin biasa!

Bahkan laki-laki ini memutar tubuhnya  berkeliling sam-

bil tersenyum! Orang banyak bertepuk riuh rendah!

    "Saudara saudara sekarang aku akan duduk dalam

kuali Ini dan akan mandi! Sudah lama badan buruk ini tak

pernah mandi-mandi. Daki telah tebal di sekujur tubuhku!"

    Semua orang tertawa gelak-gelak.  Mata masing-

masing dibentangkan lebih lebar.

    Kemudian Pagar Alam membungkuk, siap untuk duduk di 

dasar kuali. Tapi baru saja dia bergerak sedikit tiba-tiba laki-

laki ini menjerit keras dan melompat ke luar dari kuali. 

Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya sebatas lutut 

kelihatan putih  matang laksana daging direbus! Semua 

orang menjerit dan terbeliak kaget! Anak gadis Pagar Alam 

memburu dengan cepat. Dari balik baju hitamnya 

dikeluarkannya sejenis bubuk lalu ditebarkannya dikedua 

kaki ayahnya yang merintih kesakitan  di tanah! Rupanya 

seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam telah "menahan" 

dan "memunah" ilmu yang dimiliki Pagar Alam dan 

akibatnya kedua kaki itu terebus matang!

     Setelah mengobati kaki  ayahnya, sang dara berdiri

dan memandang beringas ke segala penjuru.

     "Saudara-saudara siapakah diantara kalian yang begitu 

tega mencelakai ayahku? Ayah tiada punya permusuhan 

dengan siapapun di sini. Pertunjukan ini bukan untuk jual 

lagak atau memamerkan kepandaian, tapi hanyalah untuk 

mencari makan! Sungguh keterlaluan kalau ada yang 

demikian jahatnya mencelakai ayahku!"

     Sekali lagi gadis itu memandang beringas berkeliling. 

 42

Sepasang matanya-beradu pandang dengan penunggang 

kuda berkumis melintang! Hatinya berdetak! Kemudian 

dengan suara lantang sambil memandang berkeliling gadis, 

ini berteriak keras: "Siapa yang telah mencelakai ayah 

silahkan maju kehadapanku! Siapapun dia adanya aku 

tidak takut! Aku Mayang akan mengadu jiwa padanya!"

     Orang banyak  memandang pula berkeliling.  Dan

 rata-rata pandangan mereka tertuju pada satu sasaran

 yaitu laki-laki berpakaian  hitam yang duduk di atas

 punggung kuda!

    "Bangsat yang telah mencelakai ayahku tapi tak berani 

unjuk muka adalah pengecut terkutuk!" teriak Mayang 

lantang! 

    Sementara itu dengan merintih  kesakitan Pagar

 Alam coba duduk dan bersandar ke sebuah peti. Sepa-

 sang matanya menyorot penuh amarah, memandang

 berkeliling. Bila matanya itu  menyapu paras laki-laki

 yang duduk di atas kuda maka Pagar Alam pun membuka

 mulut dengan suara bergetar:

    "Gempar Bumi, kaukah yang melakukan kejahatan ini?!"

    Si penunggang kuda tertawa bergumam. Sekali dia

 gerakkan badan maka .tubuhnya ringan sekalj melesat

 dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Pagar Alam yang

 duduk di tanah bersandar ke peti!

    Dengan bertolak pinggang laki-laki bernama Gempar 

Bumi ini berkata: "Sudah berulang kali kuperingatkan

bahwa kau tidak boleh mengadakan pertunjukan dan minta 

sumbangan rakyat dengan seenaknya! Tapi itu tidak kau 

pedulikan! Dan pajak yang musti kau berikan pada 

atasanku penguasa negeri ini tak pernah kau serahkan!"

    "Penghasilan kami tak ada artinya!" teriak Mayang.

 "Dan pajak yang kau minta melewati  batas besarnya!

 Lagi pula hak apakah atasanmu memungut pajak dari

 kami? Semua rakyat bebas mencari penghasilan'. Rakyat

tidak merasa atasanmu itu sebagai pemimpin dan pe-

 nguasa negeri ini!"

    "Aha.... Mayang. Cakapmu terlalu berani.  Kalau

Datuk mendengarnya pasti kau akan celaka!"

    Mayang meludah ke tanah.  "Aku tidak takut pada

Datukmu itu!"

    penulis epilepsi menyeringaijdan puntir-puntir kumisnya.        

    "Aku tahu Gempar Bumi!" tiba-tiba Pagar Alam berkata. 

"Kau mencelakai  diriku bukan karena  soal pajak ataupun 

soal yang lain! Tapi karena aku dan anakku telah menolak 

lamaranmu dua minggu yang lalu!"

 43

    Gempar; Bumi tertawa dingin.

    "Di negeri ini rupanya mulai ada keledai-keledai tolol yang 

hendak coba-coba menentang kekuasaan Datuk dan 

pembantu-pembantunya! Dan ketika dia diberi babaran 

baru menyesal!"

    "Aku tidak menyesal telah menolak lamaran manusia 

macammu!" sentak Pagar Alam. Kalau saja dia bisa berdiri 

mungkin sudah diserangnya laki-laki itu!

    penulis epilepsi memandang berkeliling dan berkata

dengan suara nyaring. "Siapa-siapa yang coba menantang 

kekuasaan Datuk dan menghina pembantu-pembantunya 

sama saja dengan mencari mati!"

    "Bangsal terkutuk!" damprat Mayang. "Aku lebih baik 

mampus daripada jadi isirimu. Aku lebih baik mati

berkalang tanah daripada tunduk kepada Datuk 

keparatmu!" Habis berteriak begitu anak gadis Pagar Alam 

ini menyambar sebilah  golok dan menyerang Gempar 

Bumi!

 44

    Suasana di pasar itu pun hebohlah! Golok di tangan

Mayang berkiblat kian kemari dengan suara menderu. 

Dalam tempo yang singkat kelihatanlah bagaimana 

penulis epilepsi terbungkus sambaran golok yang

menyerangnya ke seluruh bagian tubuhl Gempar Bumi

sendiri tiada menyangka kalau  si gadis  memiliki 

kehebatan begitu rupa. Tapi dia tidak jerih. Dengan senyum

mengejek penulis epilepsi menghadapi si gadis dengan

tangan kosong dan buka jurus pertahanan. Senjata lawan 

lewat di depan pinggangnya. Jurus pertahanan diganti kini 

dengan jurus serangan. Tangan kanan dengan cepat 

menyelusup ke dada mayang, siap untuk menjamah buah 

dadanya yang padat montok!

    "Wuuut!"

    Tersirap darah penulis epilepsi sewaktu golok di tangan 

sang dara membatik laksana kilat! Kalau saja dia tidak 

cepat-cepat menarik pulang tangannya,  pastilah akan 

terbabat putus!

    Mayang sendiri dengan gigih terus menyerbu. Sambaran-

sambaran goloknya  laksana hujan mencurah! Gempar 

Alam  tidak mau main-main lagi. Hatinya heran dari mana si 

gadis memiliki ilmu kepandaian begini rupa! Jika ditinjau 

jelas sekali ilmu silatnya lebih tinggi satu dua tingkat dari 

ayahnya sendiri! Tentu dia telah berguru pada seorang jago 

silat, pikir Gempar Bumi.

    Dalam waktu singkat sepuluh jurus telah berlalu dan

penulis epilepsi masih berada di bawah angin. Laki-laki ini

mengomel dalam hati. Dia membentak keras dan sekejap

saja berubahlah jurus-jurus ilmu silatnya. Tubuhnya ber-

kelebat kian ke mari  membuat bayang-bayang hitam.

Satu jurus kemudian terdengar pekik Mayang.

    Lengan kanannya kena dipukul oleh lawan. Golok

terlepas mental dan di saat itu pula, dara ini merasakan

tubuhnya kaku tegang tak kuasa digerakkan. Ternyata

sewaktu memukul lengan kanan lawan, sekaligus Gempar 

Bumi menotok dada Mayang dengan jari-jari tangan

kirinya!

 45

    "Manusia haram jadah! Beranimu hanya sama 

perempuan!" bentak Pagar Alam yang tergeletak duduk di

tanah bersandar ke peti.

    penulis epilepsi tertawa mengekeh!

    "Anakmu hebat juga, Pagar Alam! Walau kau menolak 

lamaranku tempo hari, tapi saat ini terpaksa kau harus 

menyerahkan Mayang bulat-bulat  ke tanganku!"

Laki-laki berpakaian hitam ini tertawa lagi

    "Keparat! Kau mau bikin apa?!" hardik Pagar Alam

seraya hendak berdiri. Tapi tubuhnya terduduk kembali.

Sepasang kakinya yang terebus matang tak kuasa untuk

ditegakkan! Darah laki-laki ini bergejolak  marah. Pelipisnya 

mengembung!

   "Bikin apa  lagi kalau bukan mau membawanya 

ketempatku!" jawab. penulis epilepsi seraya melangkah ke 

arah Mayang.

     "Anjing baju hitami  Kalau kau berani menjamah

tubuhnya kupecahkan kepalamu!"

     penulis epilepsi menyeringai!

   "Berdiripun kau tak mampu! Bagaimana mau mem-

 bunuh aku?!"  Dan dia melangkah lagi mendekati

 Mayang.

     Tapi begitu tangannya diulurkan untuk meraih pinggang 

sang dara tiba-tiba "buuk!" Punggungnya dihantam orang 

dari belakang yang kerasnya  cukup membuat Gempar  

Bumi mengerenyitkan kulit kening kesakitan! Dia berpaling 

dengan cepat dan berkeretekanlah geraham-gerahamnya! 

Ternyata yang meninju punggungnya tadi bukan lain anak 

laki-laki kecil adik Mayang!

      "Buyung! Berlalulah dari hadapanku kalau tak ingin

kena tempelak!" bentak Gempar Bumi.

      "Orang jahat! Kalau kau berani membawa lari kakakku, 

aku akan...."

      "Akan apa?!"  tanya penulis epilepsi seraya bertolak

pinggang.

       Si anak menjawab dengan menyerang marah. Tinjunya 

yang kecil tapi cukup keras dihantamkan ke perut Gempar 

Bumi. Tapi tentu saja penulis epilepsi bukan tandingan si 

buyung kecil ini. Ditangkapnya lengan anak itu lalu 

dipuntirnya ke belakang hingga si anak menjerit-jerit

kesakitan dan coba menendang paha penulis epilepsi dengan 

tumitnya! penulis epilepsi mendorongnya ke muka hingga 

hampir saja dia jatuh menyungkur tanah!

     Tiba-tiba si anak melihat golok yang dipakai kakaknya 

untuk menyerang Gempar Bumi. Dengan cepat dia

 46

 membungkuk dan mengambil senjata itu lalu membalik

 menyerang penulis epilepsi kembali!

     "Tikus cilik tak tahu diunlung!" maki penulis epilepsi dan 

sebelum senjata itu sampai ke dekat tubuhnya, tangan 

kanannya sudah bergerak.

     "Plaak!1

     Si anak terpekik.

     Bibirnya  pecah dan berdarah. Dua buah giginya

 mencelat mental Tubuhnya terpelanting  satu tombak

 dan menggelusur di tanah tanpa sadarkan diri!

     "Bangsat rendah! Terima  ini!" teriak Pagar Alam

 dengan amarah mendidih. Dijangkaunya keris yang ter-

 letak di atas peti lalu dilemparkannya ke arah Gempar

 Bumi. Senjata itu melesat mencari sasaran di batang

 leher Gempar Bumi!

    Yang diserang ganda tertawa. Setengah jengkal lagi

 ujung keris akan menembus tenggorokannya, laki-laki

 ini gerakkan tangan kanannya! Dan sesaat kemudian

 kelihatanlah bagaimana dengan mudahnya senjata itu

 dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk! Itulah ilmu

 menjepit senjata yang lihay! Semua orang yang menyak-

 sikan hal ini sama leletkan lidah kagum, tapi bila mereka

 ingat siapa penulis epilepsi adanya, maka kekaguman itu

 mendadak sontak berubah menjadi kebencian!

    penulis epilepsi timang-timang beberapa kali keris itu.

Tiba-tiba tangannya itu digerakkan dan "cup!" Senjata

itu menancap di peti di mana Pagar Alam duduk bersandar, 

hanya setengah senti dari telinga kirinya!

    penulis epilepsi tertawa gelak-gelak!

    "Jika tidak mengingat kau bapaknya Mayang pasti

sudah kutembus keningmu dengan senjata itu!" katanya. 

Lalu dia menambahkan: "Tapi dilain hari jika kau masih 

tidak tahu tingginya gubug penulis  Merapi dan dalamnya Ngarai 

Sianok, aku tak akan ampuni jiwamu!" 

    Habis berkala demikian penulis epilepsi melompat ke-

hadapan Mayang. Dan kini tak satu orangpun yang bisa

atau berani menolong gadis yang hendak dilarikan itu!

    Tangan kanan bergerak meraih pinggang Mayang

dengan ketat! Tapi mendadak raihan itu terlepas kembali. 

Dari balik gerombol orang banyak di tepi jalan melesat 

sebuah benda kecil menghantam sambungan siku

Gempar Bumi. Kulit di lengan siku itu lecet. Sekujur lengan 

kanan penulis epilepsi tergetar dan rasa sakit membuat dia 

melepaskan raihannya! Tak seorangpun agaknya yang 

mengetahui kejadian itu selain penulis epilepsi sendiri! Laki-

 47

laki ini memandang berkeliling dengan geram, mencari-cari 

siapakah manusia yang telah melemparkan benda itu! Tapi 

siapa yang hendak diduga diantara orang sebanyak itu?! 

Dan ketika ditelitinya ternyata benda kecil yang dipakai 

untuk menghantam tangannya itu adalah hanya sebutir 

kerikil yang besarnya tak sampai seujung jari kelingking! 

Nyatalah ada seorang pandai yang telah turun tangan.

    Sementara itu semua orang, termasuk Pagar Alam

dan Mayang  sendiri merasa heran kenapa Gempar Bumi

tak jadi meneruskan niatnya melarikan dara itu! Gempar

bumi berdiri bimbang seketika. Tiba-tiba laksana kilat

tubuh Mayang sudah disambarnya dan dengan  cepat

membawa gadis itu  ke atas kuda! Dengan tangan kiri

penulis epilepsi menepuk pinggul binatang itu. Rasanya

 sekali tepuk saja kuda itu akan segera melompat dan lari!

Tapi kali ini kuda itu jangankan melompat dan lari,

bergerakpun tidak!

     penulis epilepsi menepuk  sekali lagi lebih keras.

     "Ayo! Larilah!"

     Tapi binatang itu tetap berdiri di tempatnya. Keempat 

kakinya tak bergeser sedikitpun! Hanya kepala dan lehernya  

saja yang  digerak-gerakkan. Kemudian binatang ini 

meringkik beberapa kali!

     "Ayo lari!" bentak Gempar Bumi.

     Tetap saja kuda itu tegak di tempatnya! Di samping

rasa heran dan penasaran kekejutan juga timbul di hati

 penulis epilepsi Ketika diperiksanya dengan cepat ternya-

 ta keempat kaki kudanya telah ditotok! Dan empat butir

 kerikil kelihatan tak jauh dari kaki-kaki binatang Ini! Tan-

 pa tunggu lebih lama penulis epilepsi melompat dari pung-

 gung kuda terus lari. Namun sekali inipun dia tak mampu

 lari jauh karena sebutir kerikil lagi menyelusup menem-

 bus kaki pakaiannya terus menghantam belakang  lutut

 kaki kanannya! Dengan serta meria kaki kanan itu ke-

 semutan dan lemas sukar digerakkan!

     penulis epilepsi yang tahu gelagat bahwa dia benar-

 benar berhadapan dengan seorang lihay yang tersem-

 bunyi di antara manusia banyak di tengah pasar itu per-

 lahan-lahan turunkan tubuh Mayang. Orang ramai masih

 tak tahu apa yang telah terjadi. Sementara itu sepasang

 mata Mayang memandang ke tanah. Dilihatnya sebutir

 kerikil dekat kaki  kanan Gempar Bumi. Gadis  bermata

 tajam dan memiliki ilmu yang cukup tinggi ini untuk  per-

 tama kalinya mengetahui apa yang sebenarnya telah ter-

 jadi. Dan bila dia memandang paras laki-laki itu sangat

 48

 berubah!

    penulis epilepsi menyadari kalau  diteruskannya niat

 untuk melarikan Mayang, pasti orang pandai yang  ter-

 sembunyi diantara manusia banyak dipasar itu akan

 turun tangan dan lebih mencelakainya lagi! Lemparan-

 lemparan batu kerikil tadi bukan lain merupakan per-

 ingatan keras terhadapnya!

    Perlahan-lahan penulis epilepsi berpaling pada Pagar

 Alam dan berkata  dengan suara lantang: "Pagar Alam,

biarlah hari ini aku berlaku baik hati padamu! Anakmu

 kubebaskan! Tapi ingat, aku akan datang kembali untuk

 mengambilnya!"

    penulis epilepsi lepaskan totokan pada keempat kaki

kudanya lalu naik  ke punggung binatang itu. Sebelum

berlalu dilepaskannya totokan di dada Mayang kemudian 

cepat-cepat menghilang dari tempat itu.

    Di jalan yang buruk penuh dengan lobang-lobang

demikian rupa bendi itu tak dapat berjalan cepat. Apalagi

barang-barang. Ketiga penumpang itu bukan lain daripada 

Pagar Alam, Mayang dan adik gadis ini. Mereka dalam 

perjalanan pulang. Karena nasib buruk yang menimpa 

Pagar Alam, orang-orang di pasar telah bermurah hati

memberi, sumbangan uang  lebih banyak kepadanya

hingga pendapatannya hari itu tiga kali lipat lebih besar

dari biasanya! Namun uang yang sedemikian banyak tidak 

menggembirakan hati Pagar Alam. Pikirannya risau bila dia 

ingat si penulis epilepsi keparat itu. Cepat atau lambat pasti 

dia akan datang kembali untuk mengambil Mayang dengan 

paksa lalu melarikannya! Dimakluminya bahwa Gempar 

Bumi bukan tandingannya, juga bukan lawan anaknya. 

Sekalipun mereka mengeroyok laki-kaki itu tetap saja 

mereka tak akan mampu mengalahkannya! Ini hal pertama 

yang merisaukan hati Pagar Alam. Hal kedua ialah keadaan 

kakinya itu. Meski sudah diobati oleh anak gadisnya tapi 

dalam seminggu dua minggu pasti tak akan sembuh! 

Sementara itu bendi yang mereka tumpangi berjalan juga 

menempuh jalan buruk dan sunyi Kedua tepi jalan 

ditumbuhi semak belukar lebat dan di belakang  semak 

belukar itu berderetan pohon-pohon besar tinggi.

    Bendi bergerak terus dan mereka bicara-bicara

juga. Kusir bendi sudah sejak lama tak mencampuri lagi

pembicaraan kedua beranak  itu. Tali kekang kuda dipe-

gangnya dengan terkantuk-kantuk. Hembusan  angin

yang sejuk ditengah hari itu memang menimbulkan rasa

kantuk. Tiba-tiba Pagar Alam dan Mayang hentikan pem-

 49

bicaraan mereka.

    Di kejauhan terdengar derap kaki kuda, makin lama

makin keras. Dari balik tikungan dihadapan mereka muncul 

seorang penunggang kuda berpakaian serba hitam. Pada 

bagian dada bajunya terpampang lukisan kepala harimau 

berwarna kuning. Ketika penunggang kuda itu tambah 

dekat, berubahlah paras seisi  bendi itu! Pagar Alam 

meraba hulu keris  yang tersisip di pinggangnya.

 Mayang mengeluarkan golok  dari dalam peti sedang

 kusir bendi bersiap-siap dengan sebatang besi yang ter-

 geletak di lantai bendi dekat kakinya! Si penunggang

 kuda bukan lain dari penulis epilepsi adanya!

     penulis epilepsi hentikan kudanya. Kusir bendi pun

 telah pula menghentikan kendaraannya.

     "Sekarang kuharap kau tak usah banyak  rewel

 Pagar Alam!"  kata penulis epilepsi dengan nada keren.

 "Anakmu akan kuambil!"

     "Kau manusia yang paling tidak bermalu di  dunia ini. 

Gempar Bumi! Pinanganmu ditolak! Aku kau celakai dan 

kini kembali kau memaksa untuk melarikan anakku!"

    penulis epilepsi tertawa sinis. "Mulutmu masih tetap

 besar! Aku hargai nyalimu! Tapi agar tidak lebih celaka

 kuharap kau serahkan anakmu secara baik-baik! Kalau

 tidak terpaksa aku memberi hajaran yang lebih  keras

 padamu!"

    "Kau boleh bawa anakku, Gempar Bumi," desis Pagar 

Alam. "Tapi... langkahi dulu mayatku!" Dan Pagar Alam 

menghunus kerisnya!

    penulis epilepsi tertawa bergelak dan menyentakkan tali 

kekang kudanya. Sesaat kemudian kuda dan bendipun

telah bersisi-sisian.

    "Turun dari  bendi itu Mayang!" perintah Gempar Bumi.

    Pagar Alam beringsut ke samping kereta sebelah

 kanan. Dalam jarak yang cukup dekat itu tanpa banyak

 bicara lagi keris di tangan kanannya dihunjamkan cepat-

 cepat ke muka  Gempar Bumi!

    "Manusia tolol!" maki Gempar Bumi. Sekali dia gerakkan 

tangan kanan memukul lengan Pagar Alam, mentallah keris 

laki-laki itu sedang lengan yang kena dipukul kelihatan 

bengkak matang biru! Pagar Alam merintih kesakitan.

    Dalam pada  itu dari samping menderu satu sambaran 

golok ke arah batok kepala Gempar Bumi. Ternyata Mayang  

telah melancarkan  serangan yang pertama sambil 

melompat dari bendi. Adiknya juga tak tinggal diam. 

Dengan sebatang kayu anak laki-laki ini mengemplang ke 

 50

arah bahu  kanan penulis epilepsi sementara Pagar Alam 

mengambil sebuah lembing dari dalam peti.

Si Malin kusir bendi meski tak ada sangkut paut dalam

urusan itu, tapi memang sudah sejak lama membenci ter-

hadap penulis epilepsi tak ayal lagi segera mengambil

batang besi dari lantai bendi dan menyerang Gempar

Bumi dari belakang!

    Diserang begitu rupa penulis epilepsi marah bukan main! 

Dia berteriak: "Jangan menyesal kalau kalian kuhajar babak 

belur!" Lalu dia melompat dengan cepat dan gerakkan 

kedua tangannya.

    Dua orang terpekik! Yang pertama anak laki-laki Pagar 

Alam. Kayu di tangan anak itu mental. Tangannya yang kecil 

laksana tanggal dan persendiannya. Tubuhnya mencelat 

dan terguling di tanah, kepalanya terbentur roda kereta 

terus pingsan!

     Orang kedua yang terpekik ialah Malin si  kusir bendi. 

penulis epilepsi yang merasakan sambaran angin di

belakangnya sudah maklum kalau dia mendapat serangan 

dari arah itu. Karenanya begitu melompat dari punggung 

kuda penulis epilepsi laksana kilat hantamkan sikut

kanannya ke belakang!

     "Kraak!"

     Suara "Kraak" itu hampir tak kedengaran karena pekik 

setinggi langit yang ke luar dari tenggorokan Malin!

 Tulang iganya sebetah kanan patah dua buah. Tubuhnya

 mental sampai satu tombak. Begitu jatuh dia sudah tak

 sadarkan diri lagi! Pertempuran kini berjalan jauh dari

 kereta. Meskipun Pagar Alam memegang sebuah lem-

 bing namun dia tak bisa berbuat suatu apa karena dia

 tak bisa berdiri apalagi berjalan dan turun dari kereta.

 Otomatis pertempuran itu kini hanya berjalan satu lawan

 satu yaitu penulis epilepsi menghadapi Mayang. Tingkat

 kepandaian Mayang  jauh lebih rendah dari lawannya.

 Maka dalam setengah  jurus saja gadis berparas jelita

 yang telah membuat penulis epilepsi tergila-gila itu ter-

 desak hebat.

     "Gadis cantik!" kata penulis epilepsi dengan senyum

 mengejek. "Kalau saja kau serahkan dirimu secara baik-

 baik, pastilah...."

     "Wuuut!"

     penulis epilepsi tak bisa melanjutkan ucapannya. Se-

buah benda panjang berdesing ke arahnya. Ternyata

lembing yang dilemparkan dengan sebat oleh Pagar

Alam dari atas bendi! penulis epilepsi rundukkan kepala.

 51

Lembing itu lewat di alas kepalanya. Pada saat yang

sama kaki kanan Mayang menderu ke arah dadanya.

    "Mayang! Terpaksa kuakhiri segala kehebatannya

ini!'' kata Gempar Bumi. Ditangkapnya kaki kanan dara

itu. Dengan kalap Mayting membacok ke bawah. Gempar

Bumi angkat kaki sang dara. Akibatnya Mayang terpaksa

tarik pulang bacokan goloknya karena kalau diteruskan

pasti akan membabat kaki kanannya sendiri! Begitu se-

rangan ditarik, begitu penulis epilepsi gerakkan tangan

kiri. Maka terampaslah golok di tangan Mayang. Gempar

Bumi lepaskan kaki kanan lawan. Dengan tangan itu dia

segera hendak menotok tubuh Mayang. Tapi secepat kilat si 

gadis jatuhkan diri di tanah lalu berguling. Ketika bangun  

lagi di tangannya  sudah tergenggam lembing

yang tadi dilemparkan ayahnya!

    "Batang lehermu dulu kutambus baru aku larikan diri!" 

jawab Mayang lalu kirimkan satu tusukan kilat ke leher 

lawannya!

    penulis epilepsi bergerak untuk merampas senjata itu

tapi tusukan lembing kini  berubah menjadi satu kem-

plangan yang ganas ke arah batok kepalanya! Penasaran 

penulis epilepsi sambut hantaman lembing dengan pukulan 

lengan kiri. Lembing patah dua! Bagian yang runcing mental 

ke udara sedang yang lainnya masih tergenggam di tangan 

Mayang dan dengan patahan lembing itu si gadis  bertahan 

mati-matian. Tapi sampai beberapa lamakah dia dapat 

mempertahankan diri?!

 52

iro anak manusia  SI Pendekar 10000 an murid Eyang Sinto

Gendeng dari puncak gubug penulis  Gede tengah menempuh 

rimba belantara,  mengambil jalan memotong agar lebih 

lekas sampai di tempat tujuan yaitu antara gubug penulis  Merapi 

dan gubug penulis  Singgalang. Lapat-lapat didengarinya suara 

orang membentak beberapa kali yang diselingi suara 

seseorang yang tertawa gelak-gelak. bobo  yang sudah 

banyak pengalaman segera mengetahui bahwa biasanya 

bentakan-bentakan itu ke luar dari mulut seseorang yang 

marah dan geram. Sebaliknya tertawa mengekeh ke luar 

dari mulut orang yang mengejek kemarahan dan 

kegeraman orang pertama tadi. Dan suasana seperti itu 

hanya ditemui dalam satu perselisihan  yang kemudiannya  

akan berkelanjutan dengan perkelahian atau pertempuran!

    Karena pohon-pohon sangat rapat, semak belukar

sangat  lebat, agak sukar bagi bobo  untuk bergerak.

Dalam pada itu didengarnya dua jeritan sekaligus! bobo 

mempercepat langkahnya dan tak perduli lagi pakaian-

nya yang cabik robek dikait ranting semak belukar! Dia

yakin bahwa di tempat yang hendak didatanginya itu

telah terjadi perkelahian. Yang mengherankannya ialah

karena  satu dari dua jeritan itu kedengarannya seperti

jeritan anak kecil!

   Ketika dia sampai di satu tepi jalan kecil yang sangat

buruk terkejutlah pendekar ini menyaksikan  peman-

dangan yang terbentang di depan matanya. Adalah tidak

dinyananya kalau yang bertempur adalah seorang laki-

laki tegap melawan seorang dara jelita. Keduanya sama

berpakaian hitam cuma pada bagian dada baju laki-laki

terpampang gambar kepala harimau warna kuning! Yang

lebih mengejutkan bobo  anak manusia  ialah karena laki-laki ftu

bukan lain manusia berkumis melintang yang tadi di pasar 

hendak melarikan gadis itu. Dan si gadis sendiri adalah 

orang yang telah ditolongnya secara diam-diam ketika mau 

dilarikan! Rupanya si kumis melintang yang bernama 

penulis epilepsi flu sudah nefcad untuk membawa

lari si jelita hingga dalam perjalanan pulang, si gadis

 53

telah dihadang!

    Di tengah jalan kecil berhenti sebuah bendi.  Seorang 

anak kecil menggeletak dekat roda bendi Kemudian 

seorang lainnya tak berapa jauh dari situ, agaknya dia

adalah kusir bendi. Dan di atas bendi tampak duduk laki-

laki bernama Pagar Alam. Mukanya pucat dan cemas

sekali! Betapa kan tidak, anak gadisnya tengah bertempur 

mati-matian mempertahankan diri dari tangan laki-laki yang 

hendak  melarikannya, sedang dia sendiri Pagar Alam -tak 

dapat berbuat suatu apa! Diatas bendi tak ada lagi benda-

benda yang bisa dijadikan senjata untuk dilemparkan

kepada Gempar Bumi. Dalam kecemasan yang memuncak 

melihat anaknya terdesak hebat itu dan tak ada harapan  

lagi untuk menyelamatkan diri maka tiba-tiba dia melihat 

sesosok tubuh menyeruak dari semak-semak. Ternyata 

yang muncul adalah se- orang pemuda bertubuh tegap, 

bertampang  seperti anak-anak dan berambut gondrong!

    "Hentikan pertempuran!" teriak bobo  anak manusia .

    Suara teriakannya yang menggeledek  mengiang

anak telinga mengejutkan orang-orang yang ada di situ,

terutama mereka yang sedang bertempur! Pagar Alam

merasakan  dadanya bergetar karena kerasnya teriakan

itu. Kalau tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi pasti hal

itu tak mungkin terjadi, pikir Pagar Alam seraya mene-

nangkan dirinya kembali. Kemunculan pemuda ini mem-

berikan sekelumit harapan padanya. Tapi apakah pemu-

da ini bukan seorang bangsa jahat terkutuk pula?; Melihat 

kepada  potongan pakaian dan ciri-cirinya nyata sekali dia 

bukan penduduk setempat!

    Akan penulis epilepsi begitu mendengar  bentakan

yang menggeledek tadi dengan cepat melompat mundur

padahal  saat itu dia  sudah hampir  dapat meringkus

Mayang. Ketika dia berpaling di depan semak belukar di-

lihatnya seorang pemuda tak dikenal berdiri dengan ber-

tolak pinggang!

    "Orang sinting! Siapa kau?!" hardik Gempar Bumi.

    "Siapa aku tak kau usah perduli! Lekas angkat kaki

dari sini atau kutekuk batang lehermu!"

    Paras Gempar. Bumi membesi. Pelipisnya mengembung.

    "Sepuluh tahun malang melintang di Pulau Andalas baru 

hari ini ada bangsa kucing dapur yang bicara hendak 

menekuk batang leherku!"

    Mengetahui bahwa si pemuda menunjukkan sikap

demikian maka legalah sedikit hati Pagar Alam dan 

Mayang. Jika berani membentak demikian berarti dia me-

 54

miliki ilmu yang diandalkan. Namun penulis epilepsi seorang 

yang berilmu sangat tinggi, akan sanggupkah pemuda belia 

yang bertampang tolol itu menghadapinya?! Diam-diam 

kedua ayah dan anak itu jadi gelisah  harap-harap cemas!

    "Manusia kumis  melintang! Aku tidak main-main.

Lekas angkat kaki dari sini! Syukur aku bersedia meng-

ampuni kekejianmu! Lekas pergi sebelum aku berubah

pikiran!"

    penulis epilepsi bertolak pinggang. Matanya melotot

meneliti bobo  anak manusia  dari kepala sampai ke kaki. Lalu

dia tertawa gelak-gelak.

    "Kucing dapur, apakah kau lihat gambar kepala harimau  

yang ada di dada bajuku ini?!"

    "Itu bukan gambar kepala harimau!" sahut bobo .

penulis epilepsi beliakkan mata. Dan bobo  menyambung :

"Kalau  kau  mau tahu, itulah gambar kepala kucing

dapur!" Lalu Pendekar 10000 an tertawa gelak-gelak.

    Marahlah Gempar Bumi. Seumur hidup baru hari itu

dia mendapat hinaan dan ejekan demikian rupa!

    "Anak setan! Tidak tahukah kau dengan siapa ber-

hadapan?”

    "Buset kau bisa memaki aku anak setani" jawab

bobo  dengan sunggingkan senyum,, "Kalau aku anak setan, 

apakah kau lantas merasa jadi bapak moyangnya setan?!"

    Mayang dan Pagar Alam meski geli mendengar ucapan 

itu namun terheran-heran melihat sikap dan tindak  tanduk 

si pemuda yang agak anehi Bicaranya seperti orang main-

mainan saja!

     Sebaliknya dengan nada mendesis karena mendidih

 hawa amarah yang menggejolakkan darahnya Gempar

.Bumi berkata: "Melihat kepada tampangmu agaknya kau

 bukah orang sini! Pantas kau tak dapat membedakan

 mana tikus dan mana singa jantan...."

     "Oh... jadi kau adalah seekor singa jantan? Pantas!

 Pantas! Kau memang punya tampang seperti singa jantan!" 

kata bobo  pula memotong ucapan penulis epilepsi lalu 

tertawa gelak-gelak!

     Kemarahan penulis epilepsi tak dapat dikendalikan

 lagi. Dia melompat kehadapan bobo  dan hantamkan tinju

 kanannya ke kepala pemuda itu! Sekali menghantam dia

 berharap akan menghancurkan kepala si pemudal Karena 

itu sengaja dikeluarkannya jurus ilmu silatnya yang

 hebat yang bernama "Palu Sakti Memukul Genta"!

     Tapi tidak semudah itu untuk menghancurkan kepala 

Pendekar 10000 an Pada saat serangan lawan baru bergerak 

 55

setengah jalan dia sudah menyingkir ke samping dan

dari samping kirimkan satu tempelak untuk menanggalkan 

sambungan sikut lawan!

     Terkejutlah Gempar Bumi. Serangannya yang hebat

 itu bukan saja dapat dielakkan lawan tapi malah keba-

 likannya, kini dia sendiri yang kena diserang! Kedua ka-

 kinya dijejakkan  ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas

 membuat tempelakan bobo  anak manusia  lewat. Dengan cepat

 kemudian penulis epilepsi kirimkan satu tendangan ke perut 

lawan sedang tangan  kanan  untuk kedua kalinya turun 

menghantam batok kepala bobo  anak manusia !

     Pendekar 10000 an bersiul!  Meskipun gerakan ilmu silat

 penulis epilepsi agak aneh lapi dasarnya tiada beda dengan 

ilmu silat yang dimainkan tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa! 

Begitu bersiul bobo  kelebatkan badannya! Untuk kedua 

kalinya penulis epilepsi dibikin kaget. Dia tak mengerti 

bagaimana pemuda bertampang tolol, sanggup 

mengelakkan sekaligus kedua serangannya. Sedangkan 

dalam pada saat itu tahu-tahu tangan kirinya sudah 

menyelinap menampar ke arah dada dalam satu gerakan 

kilat yang mendatangkan angin keras!

    Penuh penasaran penulis epilepsi pergunakan lengan

kanannya untuk memapasi serangan lawan. Kalau ilmu

silat lawan boleh diandalkan, dalam tepemusnah  dalam tentu

si pemuda tak akan menang, begitulah pikiran Gempar

Bumi!

    bobo  sendiri yang melihat datangnya serangan memapas 

ini, meski tamparannya pada dada tadi pasti akan

mengenai sasarannya, tapi karena ingin menjajaki tepemusnah  

dalam lawan sengaja melintangkan tangan kirinya!

    "Buuk!" Maka beradulah kedua lengan itu!

    penulis epilepsi keluarkan seruan tertahan! Tubuhnya

terjajar sampai tujuh langkah  ke belakang sedang le-

ngannya yang beradu dengan lengan lawan bukan saja

tergetar hebat tapi juga sakit bukan main! Ketika di-

telitinya lengan itu tampak kemerah-merahan! Menciut-

lah hati laki-laki berkumis melintang ini. Nyatanya tena-

ga dalam si pemuda tidak berada di bawahnya! Menurut

taksiran penulis epilepsi tepemusnah  dalam lawan berada dua

atau tiga tingkat di atasnya! Sebenarnya dugaan Gempar

Bumi ini meleset Kalau waktu bentrokan lengan tadi dia

mengerahkan seluruh tepemusnah  dalamnya maka bobo  Sa-

bleng cuma mengandalkan tiga perlima bagian saja dari

tepemusnah  dalamnya! Lengannya pedas