bengong
melompong di bawah sanal
"Tobat! Aku masih mau hidup orang tua!" sahut bobo .
penulis ayan memaki lalu gerakkan tangan kanannya.
bobo tak tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu-
tahu sebuah benda halus putih yang berkilauan telah
melibat pinggangnya. Benang kayangan! Belum sempat
bobo berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah ter-
sentak dan melesat ke atas puncak karang yang kedua.
Dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh bobo men-
jejakkan kedua kakinya di atas puncak karang yang sem-
pit runcing, serta licnin berlumut itu!
Bila dia memandang ke muka, bobo terkejut. Segulung
ombak sebesar rumah menderu ke arah kedua puncak batu
karang di mana dia berada bersama penulis ayan
"Bagi dua tepemusnah dalammu ke kaki dan tangani" teriak
penulis ayan "Begitu ombak datang songsong dengan pukulan
kedua telapak tangan!"
Karena khawatir tubuhnya akan disapu dan dihempas-
kan ombak ke batu-batu cadas di teluk yang sempit itu,
dengan sedapat-dapatnya bobo mengikuti ucapan Tua Gila!
Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya
mencelat mental!
"Tobat! Tamatlah riwayatku!" keluh bobo anak manusia . Satu
tombak lagi tubuhnya akan menghantam sebuah batu
cadas Ijba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal
dan mencelat lagi ke udara! Kiranya penulis ayan telah
30
menyentakkan benang kayangan yang menjerat
pinggangnya. Untuk kedua kalinya bobo berdiri lagi di
puncak batu karang itu!
"Ayo orang gila! Jangan takut!" seru penulis ayan sambil
tertawa gelak-gelak. "Nah ini ombak besar datang lagi! Ayo,
sambutlah!"
''Byuuur!"
Ombak menggulung menerpa bagian atas puncak-
puncak karang. Untuk kedua kalinya tubuh bobo anak manusia
mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batu-
batu cadas, kembali penulis ayan menariknya dan
melemparkannya ke puncak karang! Berkali-kali hal itu
terjadi hingga bobo merasakan sekujur tubuhnya laksana
tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan orang penulis ayan
itu masih juga melemparkannya ke atas batu karang setiap
ombak menerjangnya jatuh!
Tiada terasa senjapun datang. Senja segera pula berganti
dengan malam. Entah sudah berapa puluh kali bobo disapu
ombak dan "dipermainkan" oleh penulis ayan ' Lambat laut
timbullah rasa penasaran di hati bobo anak manusia , Dengan
menguatkan diri dap menabahkan hati, ketika untuk
kesekian kalinya ombak dalang lagi menderu maka
pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan penulis ayan
Sebagian tepemusnah dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian
lain ke tangan. Begitu ombak datang tubuhnya
dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan
didorongkan ke muka!
"Byuur!"
bobo mencelat mental. Tapi kali ini tidak sejauh seperti
sebelumnya. Dan bila hal itu dicobanya lagi berulang-ulang,
maka menjelang tengah malam akhirnya bobo sanggup
juga beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang itu
meskipun tubuhnya tergoyang gontai dengan hebat! Namun
karena kekuatannya telah habis, akhirnya pemuda ini roboh
pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut ke luar darah.
Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan
mengerahkan tepemusnah untuk melakukan pekerjaan yang tak
pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya. penulis ayan tertawa
gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang sakti di
tangannya. Sekali menyentakkan kemudian tubuh bobo
anak manusia sudah berada di atas bahu kirinya.
penulis ayan mendongak ke langit, memandang ke arah bulan
sabit. Sambil melompat turun dan tertawa-tawa dia berkata:
"Tidak percuma... tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya
murid macam ini! Tidak percuma!"
31
Kalau saja bobo anak manusia tidak pingsan, kalau saja bobo
anak manusia mendengar ucapan Tuan Gila itu, pastilah dia akan
heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng
adalah guru bobo anak manusia yang telah menggembleng
pemuda ini selama tujuh belas tahun di puncak gubug penulis
Gede!
Ternyata penulis ayan dengan mengajak bobo anak manusia ke
puncak batu karang di teluk sempit itu, telah mengajarkan
sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda.
bobo sendiri begitu menyadari bahwa penulis ayan memberikan
pelajaran ilmu pukulan sakti kepadanya segera hendak
berlutut mengucapkan terima kasih. Tapi dengan tertawa-
tawa penulis ayan berkata:
"Meski kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan yang
hebat, tapi jangan sangka bahwa aku telah jadi guru dan
kau telah jadi murid antara kita tak ada hubungan apa-
apa...!"
"Terima kasih orang tua! Terima kasih!" kata bobo ,
"Tapi mengapakah kau sampai demikian bermurah hati
mengajarkan ilmu pukulan itu?"
penulis ayan tertawa gelak-gelak.
"Pertama sebagai ucapan terima kasihku karena di
tengah laut kau telah menyelamatkan seorang anak yang
bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat... ah....
Agaknya tak perlu kuteruskan...."
bobo anak manusia merasa tak enak.
"Karena mengingat apa, orang tua...?"
"Sudah! Tak usah banyak tanya!" kata penulis ayan tak
senang. "Ilmu pukulan yang telah kau pelajar! itu bernama
"Dewa Topan Menggusur gubug penulis ". Merupakan satu diantara
tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan! Sekarang,
untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan
ajarkan padamu beberapa jurus silat ciptaanku yang
bernama Ilmu Silat Orang Gila"
"Nah sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus,"
kata penulis ayan
bobo segera menyerang orang tua itu dengan gencar!
Bagaimanapun hebat dan cepat gerakannya tetap saja dia
tak bisa menyentuh tubuh penulis ayan Sebaliknya dia kena
didesak dan akhirnya dipaksa "makan" sebuah jotosan
pada dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua
Gila kelihatannya gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru
disitulah letak kehebatan ilmu silat orang gila yang
diciptakan oleh Tua Gila! Dalam waktu yang singkat bobo
anak manusia telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat itu.
32
Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri,
pastilah kepandaiannya akan mencapai tingkat
kesempurnaan.
Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi hampir
setengah malam penulis ayan memanggil bobo anak manusia .
"Hari ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku
untuk melihat tampangmu!" kata si orang tua. bobo
terkejut. Belum sempat dia bertanya penulis ayan sudah
menyambung: "Karenanya hari ini pula kau harus angkat
kaki! Nah berlalulah sebelum aku betul-betul muntah
melihatmu!"
bobo berpikir sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk
dihadapan penulis ayan Dia tahu orang tua ini bersifat aneh.
Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau angkat kaki
dari situ.
"Sebelum pergi, pertama sekali aku akan mengucapkan
terima kasih sekali lagi, Terima-kasih karena kau juga telah
mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat
yang hebat padaku...."
"Lalu apa lagi?]" tanya penulis ayan "Ah, sudahlah! Perutku
sudah mual melihatmu! Ayo berlalu cepat!" Tua Gila
lambaikan tangannya. Angin yang hebat mendorong bobo
hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok.
"Aku butuh beberapa petunjuk darimu, Tua Gila,"
kata bobo .
"Eh, petunjuk apa?!"
"Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun
Tulang."
"Dan aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai
bekalmu. Apa itu masih belum cukup?!"
"Maksudku bukan minta ilmu lagi, tapi beberapa
keterangan."
"Keterangan apa?!" tanya penulis ayan cepat seperti
orang yang tidak sabar.
"Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya
Tambun Tulang itu...."
"Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di
situ?!" penulis ayan tertawa mengekeh.
"Ajal menunggu manusia di mana-mana, orang tua,"
sahut bobo .
"Betul! Sedang tidurpun bisa mampus! Tapi mati yang
paling mengenaskan dan mengecewakan ialah mati
percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu yang kita
rasakan sebagai kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi
seperti sebelumnya. Setelah memijit-mijit kedua pipinya
33
yang cekung. penulis ayan membuka mulut lagi:
"Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah utara, kira-kira
diperlengahan Pulau Andalas. Cukup jauh dari sini! Tapi kau
pasti bisa sampai di situ karena bukankah kuburmu
memang terletak di sana?" penulis ayan tertawa kembali. Lalu
meneruskan lagi: 'Tambun Tulang artinya Timbunan Tulang.
Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan tulang
ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak hingga
merupakan sebuah bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila
didekati, pemandangan di sana mengerikan sekali! Bukit
Tambun Tulang daerah kekuasaannya Datuk penulis gila ,
seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki
anak buah dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping
itu memelihara puluhan harimau! Sekali kau masuk ke
daerahnya itu, tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup,
orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan
saja niatmu pergi ke situ?!"
bobo gelengkan kepalanya.
"Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati yang sia-
sia!" kata penulis ayan pula.
bobo tak menghiraukan ucapan orang tua itu, Malah dia
bertanya: "Menurutmu, apakah mungkin manusia bernama
penulis gila itu yang telah membunuh Kiat Bangkalan dan
mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?"
"Dasar orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku!
Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu
padamu!"
"bobo mendumel dalam hati”.
"Orang bernama penulis gila itu, apakah dia termasuk
tokoh silat golongan hitam?"
"Itu urusanmu untuk menyelidikinya!" jawab Tua Gila
"Mengenai bukit tulang manusia itu... apakah itu
manusia-manusia korban keganasan Datuk penulis gila dan
orang-orangnya?" tanya bobo lagi.
Tua Gi|a tertawa dingin. "Kau akan melihat dan me-
ngetahuinya sendiri nanti, orang gila! Kalau nasibmu baik,
kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu
akan turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang Ku!
Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat angkat kaki!"
Sekali lagi bobo anak manusia ucapkan terima kasih lalu
setelah menjura berulang kali pendekar ini melangkah
dengan cepat ke pintu.
"Orang gila! Tunggu dulu!" seru penulis ayan memanggil.
bobo anak manusia membalikkan badan.
"Sampai hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau
34
turun meninggalkan puncak gubug penulis Gede?!"
Kagetlah bobo anak manusia mendengar pertanyaan orang tua
itu. Bagaimana si penulis ayan tahu kalau dia berasal dari
gubug penulis Gede?!
"Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang
kau tapi tidak tentang orang lain itu!"
"Orang lain siapa, Tua Gila?" tanya bobo .
"Gurumu si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh tahun aku
tak mendengar kabar beritanya!"
Keterkejutan bobo anak manusia makin bertambah-tambah.
"Kau... kau kenal dengan guruku?!"
"Jawab dulu sudah berapa lama kau turun gubug penulis ?!"
bobo berpikir-pikir. "Kurasa ada satu tahun," sahutnya.
"Ada apakah orang tua?"
"Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan
si Sinto Gendeng?!"
Melihat penulis ayan menyebut nama gurunya dengan "Si
Sinto Gendeng" nyatalah bahwa penulis ayan mempunyai
hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?!
"Tidak," bobo menjawab pertanyaan Tua Gjla tadi.
"Sebetulnya ada hubungan apakah kau dengan guruku,
Tua Gila?"
Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh
ke muka seakan-akan sesuatu di masa lampau kini
terbayang di ruang matanya.
Tiba-tiba bobo anak manusia melihat butiran-butiran air
mata menetes dan turun ke pipi cekung si orang tua.
Aneh, pikir bobo .
Lalu tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila
tertawa gelak-gelak. "Kadang-kadang orang yang sudah
tua berlaku seperti anak kecil. Menangis macam anak
kecil!" penulis ayan kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya
aku dan gurumu itu adalah saudara satu guru...."
Tentu saja ini tak diduga sama sekali oleh bobo anak manusia !
Kagetnya bukan olah-olah! Tapi begitu sadar cepat-cepat
dia menjura dalam-dalam dihadapan penulis ayan
"Betul-betul aku tidak menduga kalau kau adalah
saudara seperguruan dari Eyang Sinto Gendeng. Ah...
pantas saja kau sakti dan lihay sekali!"
Kembali penulis ayan tertawa rawan.
"Aku lima tahun lebih tua dari dia, orang gila....". Dan
dia memandang lagi jauh-jauh ke muka. "Gurumu itu
sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan buruk
keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali!
Dan aku yang kini begini buruk macam mayat hidup
35
dulupun punya tampang keren, tegap gagah! Tapi itu dulu...!
Semua yang dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi!"
Untuk kedua kalirjya Jua Gila menghela nafas dalam.
Lalu meneruskan, penuturannya. "Orang gila, aku naksir
pada gurumu di masa kami muda-muda dulu. Dia juga
senang padaku. Kami saling mencintai! Bahkan sewaktu
turun gubug penulis , guru kami merestui kalau benar-benar kami
hendak bergabung dalam satu perkawinan! Tapi celakanya
sesudah turun gubug penulis aku tertipu oleh kecantikan dunia
luar! Aku terjebak dan mati kutu di tangan seorang janda
muda anak seorang Adipati di Plered! Aku kawin dengan
janda Itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul gila
perbuatanku!" Dan penulis ayan memukul-mukul keningnya
sendiri! "Ketika janda itu sakit dan mati, baru aku sadar!
Aku cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak sudi lagi
padaku! Sekalipun aku menangis air mata darah, dia tak
bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu patah
hati, orang gila! Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi
putus asa lalu bertualang dan membuat keonaran di mana-
mana! Seluruh tokoh-tokoh, silat di Pulau Jawa tunduk dan
takut padaku! Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia
persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada
yang memberi gelar "Pendekar Gila Patah Hati". Ada pula
yang menjuluki "Iblis Gila Pencabut Jiwa"! Banyak lagi
gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan semua gelaran
itu! Di akhir hayatku ini aku memakai gelar yang kuciptakan
sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok
bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu
tahukah kau sudah berapa manusia yang menjadi korban di
tanganku?"
bobo angkat bahu.
penulis ayan hela nafas lagi. "Tiga ratus lebih," katanya men-
desis. 'Tiga ratus lebih nyawa manusia yang harus kuper-
tanggung jawabkan di akhirat nanti! Betul-betul gila! Tapi
semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian
kurasa jtu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah
penyesalan. Tapi,apa gunanya lagi? Sudah nasib!"
''Apakah selama bertualang itu kau tak pernah bertemu
dengan guruku?" tanya bobo ingin tahu..
"Pernah... memang pernah, orang gila! Waktu itu
keadaan diriku menyedihkan sekali. Pakaian compang-
camping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih
gondrong darimu dan acak-acakan. Badanku kurus kering,
muka tak terpelihara dan kalau aku tak salah, waktu itu
aku tak pernah mandi-mandi! Dan waktu itu kami berumur
36
kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan
juga melihat aku! Lalu dia berkata kalau aku menghentikan
membuat keonaran, kembali ke jalan yang benar, maka
kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk
kawin denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun men-
datang aku dan dia sudah jadi kakek nenek tua renta
keriputan! Dan kawin di umur setua macam begini, betul-
betul gila dan tak pantas sekali! Atau menurutmu pantas-
kah orang setuaku dan setua gurumu itu, melangsungkan
perkawinan?!".
bobo anak manusia garuk-garuk'kepala. Hatinya geli sekali.
"Aku tak tahu, penulis ayan Kalau suka sama suka kurasa tak
ada halangannya...”
penulis ayan tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata.
"Memang tak ada halangan dan tak ada yang melarangl
Tapi semua orang tentu akan mentertawai dan meng-
anggap kami berdua pada gila dan memang aku dan
gurumu itu memang sudah gila! Sesudah bertemu dengan
gurumu lantas aku mengundurkan diri dari dunia persilatan
dan tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih, men-
dalami ilmu silat ciplaanku dan memperyakin beberapa
ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum
mampus bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya
harapanku terkabul! Kau orang gila telah menyelamatkan
seorang anak yang telah kuambil jadi murid!"
Lama kedua orang itu sama berdiam diri.
"Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan lupa
sampaikan salamku padanya," kata penulis ayan
bobo mengangguk."Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau
sendiri yang datang menyambanginya...."
"Ah... hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau
tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja!"
"Liku hidup ini banyak ragam dan keanehannya,"
kata bobo .
Dan penulis ayan menyambungi: "Segala liku keanehan itu
akan berakhir pada satu hal yakni kematian.... Nah, bobo
sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku muntah!"
bobo anak manusia tertawa dan berkata: "Aku tetap berharap
kau sudi menyambangi guruku di puncak gubug penulis Gede!"
Paras tua itu kelihatan memerah. penulis ayan membentak:
"Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo pergi!"
bobo anak manusia keluarkan suara bersiul. Setelah menjura
cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Di tepi pantai pulau
ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu pen-
dayungnya. Tanpa pikir panjang bobo masuk ke dalam
salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke
utara!
Di tengah pasar yang ramai itu kelihatanlah banyak orang
berkerumun dalam bentuk lingkaran. Dalam lingkaran
berdiri dua orang, yang pertama seorang laki-laki separuh
baya berpakaian dan berdestar hitam. Tampangnya gagah
dan senyum senantiasa terbayang di bibirnya. Orang kedua
seorang dara yang juga berbaju dan berikat kepala hitam.
Kulitnya putih rambutnya menjulai panjang di punggung dan
parasnya jelita. Seperti laki-laki tadi, dibibirnya yang segar
juga selalu mengulum senyum yang diberikan pada orang
ramai di sekelilingnya.
Laki-laki berpakaian hitam, melangkah ke tengah
lingkaran, memandang berkeliling lalu menjura ke segala
penjuru. Suaranya keras dan enak didengar ketika dia
bicara.
"Saudara-saudara sekalian! Banyak terima kasih yang
saudara-saudara sudah, sudi berkumpul di sini. Kita
bukanlah orang-orang yang baru berjumpa kali ini.
Sudah seringkali aku dan anakku berkunjung ke pasar
ini sekedar memberi hiburan tak berguna untuk mencari
uang. Hari ini kita berjumpa lagi. Kuharap saja saudara-
saudara tidak bosan melihat pertunjukan kami! Juga tidak
keberatan bermurah hati memberi beberapa ketip sebagai
sumbangan. Kami ayah dan anak mengucapkan terima
kasih...."
Sampai di situ ucapan laki-laki ini terhenti sejenak. Yang
menghentikannya ialah karena dua buah matanya melihat
kedatangan seorang penunggang kuda bertubuh tegap,
berkumis melintang, berpakaian dan berikat kepala serba
hitam. Dibagian dada pakaiannya kelihatan lukisan kepala
harimau berwarna kuning! Penunggang kuda itu berhenti
dan ikut bergerombol di belakang orang banyak. Laki-laki
separuh baya yang ada di lengah lingkaran merasa tak
enak. Demikian juga anaknya kelihatan berubah air
mukanya sewaktu melihat kemunculan si penunggang kuda
berkumis melintang. Sedang orang banyak yang berjubalan,
begitu mengetahui kedatangan penunggang kuda ini segera
bersibak menjauh dengan muka yang membayangkan
ketakutan. Banyak diantara mereka yang tak punya minat
lagi untuk meneruskan melihat pertunjukan kedua beranak
itu dan berlalu dengan cepat!
Laki-laki separuh baya meskipun dengan hati tidak enak
kembali meneruskan ucapannya.
"Saudara-saudara sekalian. Maksud kami melakukan
pertunjukan ini bukan untuk memamerkan ilmu
kepandaian kami yang tak seberapa tapi semata-mata
hanyalah untuk mencari Uang guna membeli sesuap nasi.
Kami tahu pula, diantara saudara-saudara yang hadir disini
tentu ada yang memiliki kepandaian dan kesaktian yang
jauh lebih tinggi, karenanya kami minta maaf terlebih
dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras terhadap
kami dan menahan pertunjukan kami nanti. Sekali lagi
maaf. Sekarang kami akan mulai...."
Laki-laki itu mencabut sebilah keris dari pinggang-nya.
Senjata itu dibawanya berkeliling, diperlihatkannya dekat-
dekat pada penonton. Lalu diambilnya sepotong kayu jati
dan kayu itu ditusuknya dengan keris! Kayu itupun
berlubanglah! Ini untuk menunjukkan bahwa keris itu betul-
betul senjata tajam bukan keris palsu yang terbuat dari
kayu atau kertas tebali
Kemudian laki-laki ini menganggukkan kepalanya pada
si dara jelita. Anak gadis itu mengambjl sebuah gendang
dan mulai memukulnya. Ayahnya membuka baju.
Kelihatanlah dadanya yang bidang dan berbulu. Kemudian
mengikuti irama pukulan gendang, laki-laki ini menari
sambil menghunjam-hunjamkan keris di tangan kanannya
ke dada! Jelas sekali kelihatan ujung senjata itu menusuk
kulit daging tubuhnya, namun kulit itu jangankan luka,
tergorespun tidak! Semakin cepat irama pukulan gendang
semakin cepat tar ia n yang dimainkannya dan semakin
gencar pula tusukan-tusukan ujung keris ke dadanya!
Lewat sepeminum teh maka irama gendang kembali
perlahan dan akhirnya berhenti. Laki-laki itu hentikan
pula "permainannya lalu menjura kepada orang banyak
yang disambut dengan tepuk sorak yang riuh!
"Saudara-saudara sekalian, pertunjukan, berikutnya
dilakukan oleh seorang yang bukan lain adalah anak saya
sendiri." Sementara itu ayahnya mengeluarkan sebatang
golok tajam, putih berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk
membuktikan bahwa benda itu sebenarnya golok maka
diambilnya kayu jati tadi lalu dibacoknya. Kayu jati terbelah
dua!
Gendang mulai dipalu. Dengan langkah ringan si dara
baju hitam menuju tengah lingkaran. Dia tersenyum
40
berkeliling lalu mulai menari mengikuti irama gendang.
Tariannya bagus sekali dan lemah gemulai membuat, se-
mua orang terpesona. Ketika ayah sang dara melangkah
mendekati anaknya dengan golok terhunus semua
orang merasa ngeri meskipun pertunjukkan demikian
sudah sering mereka saksikan. Laki-laki itu mulai pula
menari mengelilingi anaknya. Kemudian "wuut," golok-
nya dibacokkan ke punggung si gadis. Terdengar suara
"buuk!" Gadis itu tersenyum! Aneh! Hantaman mata golok
yang tajam bukan saja tidak melukai punggung sang dara
tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya! Dan dengan
senyum simpul si gadis terus menari seakan-akan tak ada
terjadi apa-apa sementara golok menderu bertubi-tubi
membacok bagian atas tubuhnya dan suara
"Buuk... buuk... buuk." Terdengar tak kunjung henti! Ke-
ngerian orang banyak berubah menjadi tempik sorak
kagum!
Lewat sepeminum teh pula maka pertunjukan yang
kedua itupun berakhirlah! Orang banyak bertepuk riuh
dan bersorak gembira. Beberapa diantara mereka ada
yang melemparkan uang logam ke tengah lingkaran
yang segera dikumpulkan oleh anak laki-laki lalu di-
masukkan ke dalam kotak.
"Sekarang pertunjukan yang ketiga, saudara-saudara,"
kata laki-laki berpakaian hitam. Dia melirik sekilas pada
penumpang kuda berkumis melintang yang sampai saat itu
masih berada di situ dan menyaksikan peri tinjukan.
"Saudara-saudara sekalian," kata laki-laki itu
selanjutnya. "Saudara lihat kuati besardibela kang itu? Kuali
itu berisi air yang dijerang hingga mendidih! Saudara-
saudara akan melihat bagaimana saya akan masuk ke
dalamnya dan mandi!"
Lalu laki-laki itu melangkah mendekati sebuah kuali
yang* besar sekali. Bagian bawah kuali yang ditopang
oleh tiga buah batu besar itu berkobar api besar. Air yang
ada di dalam kuali berbunyi mendidih dan mengepulkan
asap panas.
"Tapi!" berkata laki-laki tadi seraya palingkan muka
ke segala penjuru. "Mungkin saudara-saudara mengira
air yang mendidih dan api yang berkobar ini hanyalah
tipuan belaka! Aku akan buktikan bahwa aku Pagar Alam
bukanlah seorang penipu!"
Dari dalam sebuah kolak laki-laki yang mengaku
bernama Pagar Alam itu mengeluarkan seekor tikus.
Tikus Hu kemudian dimasukkannya ke dalam api! Bina-
41
tang itu mencicil dan meregang nyawa di situ juga. Bau
dagingnya yang terbakar meranggas hidung! ",
Pagar Alam mengeluarkan seekor tikus lagi lalu di-
cemplungkannya ke dalam air yang mendidih. Tikus itu
mencicil sebentar dan menggelepar-gelepar lalu mati
matang! Setelah mengeluarkan tikus Hu dari dalam kuali
Pagar Alam berkata:."Sekarang saudara-saudara saksi-
kan sendiri bahwa aku tidak menipu kalian! Nah, aku
akan masuk ke dalam kuali ini!"
Semua penonton menahan nafas penuh tegang se-
baliknya disudut bibir-penunggang kuda berkumis me-
lintang tersungging senyum penuh arti!
Pagar Alam mencelupkan kaki kanannya ke dalam
air mendidih di kuali. Lalu kaki kirinya. Dan kini dia ber-
diri di atas kuali berair mendidih yang dibawahnya ber-
kobar api besar! Hebat dan aneh, kakinya tidak melepuh,
seakan-akan air di dalam kuali itu adalah air dingin biasa!
Bahkan laki-laki ini memutar tubuhnya berkeliling sam-
bil tersenyum! Orang banyak bertepuk riuh rendah!
"Saudara saudara sekarang aku akan duduk dalam
kuali Ini dan akan mandi! Sudah lama badan buruk ini tak
pernah mandi-mandi. Daki telah tebal di sekujur tubuhku!"
Semua orang tertawa gelak-gelak. Mata masing-
masing dibentangkan lebih lebar.
Kemudian Pagar Alam membungkuk, siap untuk duduk di
dasar kuali. Tapi baru saja dia bergerak sedikit tiba-tiba laki-
laki ini menjerit keras dan melompat ke luar dari kuali.
Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya sebatas lutut
kelihatan putih matang laksana daging direbus! Semua
orang menjerit dan terbeliak kaget! Anak gadis Pagar Alam
memburu dengan cepat. Dari balik baju hitamnya
dikeluarkannya sejenis bubuk lalu ditebarkannya dikedua
kaki ayahnya yang merintih kesakitan di tanah! Rupanya
seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam telah "menahan"
dan "memunah" ilmu yang dimiliki Pagar Alam dan
akibatnya kedua kaki itu terebus matang!
Setelah mengobati kaki ayahnya, sang dara berdiri
dan memandang beringas ke segala penjuru.
"Saudara-saudara siapakah diantara kalian yang begitu
tega mencelakai ayahku? Ayah tiada punya permusuhan
dengan siapapun di sini. Pertunjukan ini bukan untuk jual
lagak atau memamerkan kepandaian, tapi hanyalah untuk
mencari makan! Sungguh keterlaluan kalau ada yang
demikian jahatnya mencelakai ayahku!"
Sekali lagi gadis itu memandang beringas berkeliling.
42
Sepasang matanya-beradu pandang dengan penunggang
kuda berkumis melintang! Hatinya berdetak! Kemudian
dengan suara lantang sambil memandang berkeliling gadis,
ini berteriak keras: "Siapa yang telah mencelakai ayah
silahkan maju kehadapanku! Siapapun dia adanya aku
tidak takut! Aku Mayang akan mengadu jiwa padanya!"
Orang banyak memandang pula berkeliling. Dan
rata-rata pandangan mereka tertuju pada satu sasaran
yaitu laki-laki berpakaian hitam yang duduk di atas
punggung kuda!
"Bangsat yang telah mencelakai ayahku tapi tak berani
unjuk muka adalah pengecut terkutuk!" teriak Mayang
lantang!
Sementara itu dengan merintih kesakitan Pagar
Alam coba duduk dan bersandar ke sebuah peti. Sepa-
sang matanya menyorot penuh amarah, memandang
berkeliling. Bila matanya itu menyapu paras laki-laki
yang duduk di atas kuda maka Pagar Alam pun membuka
mulut dengan suara bergetar:
"Gempar Bumi, kaukah yang melakukan kejahatan ini?!"
Si penunggang kuda tertawa bergumam. Sekali dia
gerakkan badan maka .tubuhnya ringan sekalj melesat
dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Pagar Alam yang
duduk di tanah bersandar ke peti!
Dengan bertolak pinggang laki-laki bernama Gempar
Bumi ini berkata: "Sudah berulang kali kuperingatkan
bahwa kau tidak boleh mengadakan pertunjukan dan minta
sumbangan rakyat dengan seenaknya! Tapi itu tidak kau
pedulikan! Dan pajak yang musti kau berikan pada
atasanku penguasa negeri ini tak pernah kau serahkan!"
"Penghasilan kami tak ada artinya!" teriak Mayang.
"Dan pajak yang kau minta melewati batas besarnya!
Lagi pula hak apakah atasanmu memungut pajak dari
kami? Semua rakyat bebas mencari penghasilan'. Rakyat
tidak merasa atasanmu itu sebagai pemimpin dan pe-
nguasa negeri ini!"
"Aha.... Mayang. Cakapmu terlalu berani. Kalau
Datuk mendengarnya pasti kau akan celaka!"
Mayang meludah ke tanah. "Aku tidak takut pada
Datukmu itu!"
penulis epilepsi menyeringaijdan puntir-puntir kumisnya.
"Aku tahu Gempar Bumi!" tiba-tiba Pagar Alam berkata.
"Kau mencelakai diriku bukan karena soal pajak ataupun
soal yang lain! Tapi karena aku dan anakku telah menolak
lamaranmu dua minggu yang lalu!"
43
Gempar; Bumi tertawa dingin.
"Di negeri ini rupanya mulai ada keledai-keledai tolol yang
hendak coba-coba menentang kekuasaan Datuk dan
pembantu-pembantunya! Dan ketika dia diberi babaran
baru menyesal!"
"Aku tidak menyesal telah menolak lamaran manusia
macammu!" sentak Pagar Alam. Kalau saja dia bisa berdiri
mungkin sudah diserangnya laki-laki itu!
penulis epilepsi memandang berkeliling dan berkata
dengan suara nyaring. "Siapa-siapa yang coba menantang
kekuasaan Datuk dan menghina pembantu-pembantunya
sama saja dengan mencari mati!"
"Bangsal terkutuk!" damprat Mayang. "Aku lebih baik
mampus daripada jadi isirimu. Aku lebih baik mati
berkalang tanah daripada tunduk kepada Datuk
keparatmu!" Habis berteriak begitu anak gadis Pagar Alam
ini menyambar sebilah golok dan menyerang Gempar
Bumi!
44
Suasana di pasar itu pun hebohlah! Golok di tangan
Mayang berkiblat kian kemari dengan suara menderu.
Dalam tempo yang singkat kelihatanlah bagaimana
penulis epilepsi terbungkus sambaran golok yang
menyerangnya ke seluruh bagian tubuhl Gempar Bumi
sendiri tiada menyangka kalau si gadis memiliki
kehebatan begitu rupa. Tapi dia tidak jerih. Dengan senyum
mengejek penulis epilepsi menghadapi si gadis dengan
tangan kosong dan buka jurus pertahanan. Senjata lawan
lewat di depan pinggangnya. Jurus pertahanan diganti kini
dengan jurus serangan. Tangan kanan dengan cepat
menyelusup ke dada mayang, siap untuk menjamah buah
dadanya yang padat montok!
"Wuuut!"
Tersirap darah penulis epilepsi sewaktu golok di tangan
sang dara membatik laksana kilat! Kalau saja dia tidak
cepat-cepat menarik pulang tangannya, pastilah akan
terbabat putus!
Mayang sendiri dengan gigih terus menyerbu. Sambaran-
sambaran goloknya laksana hujan mencurah! Gempar
Alam tidak mau main-main lagi. Hatinya heran dari mana si
gadis memiliki ilmu kepandaian begini rupa! Jika ditinjau
jelas sekali ilmu silatnya lebih tinggi satu dua tingkat dari
ayahnya sendiri! Tentu dia telah berguru pada seorang jago
silat, pikir Gempar Bumi.
Dalam waktu singkat sepuluh jurus telah berlalu dan
penulis epilepsi masih berada di bawah angin. Laki-laki ini
mengomel dalam hati. Dia membentak keras dan sekejap
saja berubahlah jurus-jurus ilmu silatnya. Tubuhnya ber-
kelebat kian ke mari membuat bayang-bayang hitam.
Satu jurus kemudian terdengar pekik Mayang.
Lengan kanannya kena dipukul oleh lawan. Golok
terlepas mental dan di saat itu pula, dara ini merasakan
tubuhnya kaku tegang tak kuasa digerakkan. Ternyata
sewaktu memukul lengan kanan lawan, sekaligus Gempar
Bumi menotok dada Mayang dengan jari-jari tangan
kirinya!
45
"Manusia haram jadah! Beranimu hanya sama
perempuan!" bentak Pagar Alam yang tergeletak duduk di
tanah bersandar ke peti.
penulis epilepsi tertawa mengekeh!
"Anakmu hebat juga, Pagar Alam! Walau kau menolak
lamaranku tempo hari, tapi saat ini terpaksa kau harus
menyerahkan Mayang bulat-bulat ke tanganku!"
Laki-laki berpakaian hitam ini tertawa lagi
"Keparat! Kau mau bikin apa?!" hardik Pagar Alam
seraya hendak berdiri. Tapi tubuhnya terduduk kembali.
Sepasang kakinya yang terebus matang tak kuasa untuk
ditegakkan! Darah laki-laki ini bergejolak marah. Pelipisnya
mengembung!
"Bikin apa lagi kalau bukan mau membawanya
ketempatku!" jawab. penulis epilepsi seraya melangkah ke
arah Mayang.
"Anjing baju hitami Kalau kau berani menjamah
tubuhnya kupecahkan kepalamu!"
penulis epilepsi menyeringai!
"Berdiripun kau tak mampu! Bagaimana mau mem-
bunuh aku?!" Dan dia melangkah lagi mendekati
Mayang.
Tapi begitu tangannya diulurkan untuk meraih pinggang
sang dara tiba-tiba "buuk!" Punggungnya dihantam orang
dari belakang yang kerasnya cukup membuat Gempar
Bumi mengerenyitkan kulit kening kesakitan! Dia berpaling
dengan cepat dan berkeretekanlah geraham-gerahamnya!
Ternyata yang meninju punggungnya tadi bukan lain anak
laki-laki kecil adik Mayang!
"Buyung! Berlalulah dari hadapanku kalau tak ingin
kena tempelak!" bentak Gempar Bumi.
"Orang jahat! Kalau kau berani membawa lari kakakku,
aku akan...."
"Akan apa?!" tanya penulis epilepsi seraya bertolak
pinggang.
Si anak menjawab dengan menyerang marah. Tinjunya
yang kecil tapi cukup keras dihantamkan ke perut Gempar
Bumi. Tapi tentu saja penulis epilepsi bukan tandingan si
buyung kecil ini. Ditangkapnya lengan anak itu lalu
dipuntirnya ke belakang hingga si anak menjerit-jerit
kesakitan dan coba menendang paha penulis epilepsi dengan
tumitnya! penulis epilepsi mendorongnya ke muka hingga
hampir saja dia jatuh menyungkur tanah!
Tiba-tiba si anak melihat golok yang dipakai kakaknya
untuk menyerang Gempar Bumi. Dengan cepat dia
46
membungkuk dan mengambil senjata itu lalu membalik
menyerang penulis epilepsi kembali!
"Tikus cilik tak tahu diunlung!" maki penulis epilepsi dan
sebelum senjata itu sampai ke dekat tubuhnya, tangan
kanannya sudah bergerak.
"Plaak!1
Si anak terpekik.
Bibirnya pecah dan berdarah. Dua buah giginya
mencelat mental Tubuhnya terpelanting satu tombak
dan menggelusur di tanah tanpa sadarkan diri!
"Bangsat rendah! Terima ini!" teriak Pagar Alam
dengan amarah mendidih. Dijangkaunya keris yang ter-
letak di atas peti lalu dilemparkannya ke arah Gempar
Bumi. Senjata itu melesat mencari sasaran di batang
leher Gempar Bumi!
Yang diserang ganda tertawa. Setengah jengkal lagi
ujung keris akan menembus tenggorokannya, laki-laki
ini gerakkan tangan kanannya! Dan sesaat kemudian
kelihatanlah bagaimana dengan mudahnya senjata itu
dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk! Itulah ilmu
menjepit senjata yang lihay! Semua orang yang menyak-
sikan hal ini sama leletkan lidah kagum, tapi bila mereka
ingat siapa penulis epilepsi adanya, maka kekaguman itu
mendadak sontak berubah menjadi kebencian!
penulis epilepsi timang-timang beberapa kali keris itu.
Tiba-tiba tangannya itu digerakkan dan "cup!" Senjata
itu menancap di peti di mana Pagar Alam duduk bersandar,
hanya setengah senti dari telinga kirinya!
penulis epilepsi tertawa gelak-gelak!
"Jika tidak mengingat kau bapaknya Mayang pasti
sudah kutembus keningmu dengan senjata itu!" katanya.
Lalu dia menambahkan: "Tapi dilain hari jika kau masih
tidak tahu tingginya gubug penulis Merapi dan dalamnya Ngarai
Sianok, aku tak akan ampuni jiwamu!"
Habis berkala demikian penulis epilepsi melompat ke-
hadapan Mayang. Dan kini tak satu orangpun yang bisa
atau berani menolong gadis yang hendak dilarikan itu!
Tangan kanan bergerak meraih pinggang Mayang
dengan ketat! Tapi mendadak raihan itu terlepas kembali.
Dari balik gerombol orang banyak di tepi jalan melesat
sebuah benda kecil menghantam sambungan siku
Gempar Bumi. Kulit di lengan siku itu lecet. Sekujur lengan
kanan penulis epilepsi tergetar dan rasa sakit membuat dia
melepaskan raihannya! Tak seorangpun agaknya yang
mengetahui kejadian itu selain penulis epilepsi sendiri! Laki-
47
laki ini memandang berkeliling dengan geram, mencari-cari
siapakah manusia yang telah melemparkan benda itu! Tapi
siapa yang hendak diduga diantara orang sebanyak itu?!
Dan ketika ditelitinya ternyata benda kecil yang dipakai
untuk menghantam tangannya itu adalah hanya sebutir
kerikil yang besarnya tak sampai seujung jari kelingking!
Nyatalah ada seorang pandai yang telah turun tangan.
Sementara itu semua orang, termasuk Pagar Alam
dan Mayang sendiri merasa heran kenapa Gempar Bumi
tak jadi meneruskan niatnya melarikan dara itu! Gempar
bumi berdiri bimbang seketika. Tiba-tiba laksana kilat
tubuh Mayang sudah disambarnya dan dengan cepat
membawa gadis itu ke atas kuda! Dengan tangan kiri
penulis epilepsi menepuk pinggul binatang itu. Rasanya
sekali tepuk saja kuda itu akan segera melompat dan lari!
Tapi kali ini kuda itu jangankan melompat dan lari,
bergerakpun tidak!
penulis epilepsi menepuk sekali lagi lebih keras.
"Ayo! Larilah!"
Tapi binatang itu tetap berdiri di tempatnya. Keempat
kakinya tak bergeser sedikitpun! Hanya kepala dan lehernya
saja yang digerak-gerakkan. Kemudian binatang ini
meringkik beberapa kali!
"Ayo lari!" bentak Gempar Bumi.
Tetap saja kuda itu tegak di tempatnya! Di samping
rasa heran dan penasaran kekejutan juga timbul di hati
penulis epilepsi Ketika diperiksanya dengan cepat ternya-
ta keempat kaki kudanya telah ditotok! Dan empat butir
kerikil kelihatan tak jauh dari kaki-kaki binatang Ini! Tan-
pa tunggu lebih lama penulis epilepsi melompat dari pung-
gung kuda terus lari. Namun sekali inipun dia tak mampu
lari jauh karena sebutir kerikil lagi menyelusup menem-
bus kaki pakaiannya terus menghantam belakang lutut
kaki kanannya! Dengan serta meria kaki kanan itu ke-
semutan dan lemas sukar digerakkan!
penulis epilepsi yang tahu gelagat bahwa dia benar-
benar berhadapan dengan seorang lihay yang tersem-
bunyi di antara manusia banyak di tengah pasar itu per-
lahan-lahan turunkan tubuh Mayang. Orang ramai masih
tak tahu apa yang telah terjadi. Sementara itu sepasang
mata Mayang memandang ke tanah. Dilihatnya sebutir
kerikil dekat kaki kanan Gempar Bumi. Gadis bermata
tajam dan memiliki ilmu yang cukup tinggi ini untuk per-
tama kalinya mengetahui apa yang sebenarnya telah ter-
jadi. Dan bila dia memandang paras laki-laki itu sangat
48
berubah!
penulis epilepsi menyadari kalau diteruskannya niat
untuk melarikan Mayang, pasti orang pandai yang ter-
sembunyi diantara manusia banyak dipasar itu akan
turun tangan dan lebih mencelakainya lagi! Lemparan-
lemparan batu kerikil tadi bukan lain merupakan per-
ingatan keras terhadapnya!
Perlahan-lahan penulis epilepsi berpaling pada Pagar
Alam dan berkata dengan suara lantang: "Pagar Alam,
biarlah hari ini aku berlaku baik hati padamu! Anakmu
kubebaskan! Tapi ingat, aku akan datang kembali untuk
mengambilnya!"
penulis epilepsi lepaskan totokan pada keempat kaki
kudanya lalu naik ke punggung binatang itu. Sebelum
berlalu dilepaskannya totokan di dada Mayang kemudian
cepat-cepat menghilang dari tempat itu.
Di jalan yang buruk penuh dengan lobang-lobang
demikian rupa bendi itu tak dapat berjalan cepat. Apalagi
barang-barang. Ketiga penumpang itu bukan lain daripada
Pagar Alam, Mayang dan adik gadis ini. Mereka dalam
perjalanan pulang. Karena nasib buruk yang menimpa
Pagar Alam, orang-orang di pasar telah bermurah hati
memberi, sumbangan uang lebih banyak kepadanya
hingga pendapatannya hari itu tiga kali lipat lebih besar
dari biasanya! Namun uang yang sedemikian banyak tidak
menggembirakan hati Pagar Alam. Pikirannya risau bila dia
ingat si penulis epilepsi keparat itu. Cepat atau lambat pasti
dia akan datang kembali untuk mengambil Mayang dengan
paksa lalu melarikannya! Dimakluminya bahwa Gempar
Bumi bukan tandingannya, juga bukan lawan anaknya.
Sekalipun mereka mengeroyok laki-kaki itu tetap saja
mereka tak akan mampu mengalahkannya! Ini hal pertama
yang merisaukan hati Pagar Alam. Hal kedua ialah keadaan
kakinya itu. Meski sudah diobati oleh anak gadisnya tapi
dalam seminggu dua minggu pasti tak akan sembuh!
Sementara itu bendi yang mereka tumpangi berjalan juga
menempuh jalan buruk dan sunyi Kedua tepi jalan
ditumbuhi semak belukar lebat dan di belakang semak
belukar itu berderetan pohon-pohon besar tinggi.
Bendi bergerak terus dan mereka bicara-bicara
juga. Kusir bendi sudah sejak lama tak mencampuri lagi
pembicaraan kedua beranak itu. Tali kekang kuda dipe-
gangnya dengan terkantuk-kantuk. Hembusan angin
yang sejuk ditengah hari itu memang menimbulkan rasa
kantuk. Tiba-tiba Pagar Alam dan Mayang hentikan pem-
49
bicaraan mereka.
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda, makin lama
makin keras. Dari balik tikungan dihadapan mereka muncul
seorang penunggang kuda berpakaian serba hitam. Pada
bagian dada bajunya terpampang lukisan kepala harimau
berwarna kuning. Ketika penunggang kuda itu tambah
dekat, berubahlah paras seisi bendi itu! Pagar Alam
meraba hulu keris yang tersisip di pinggangnya.
Mayang mengeluarkan golok dari dalam peti sedang
kusir bendi bersiap-siap dengan sebatang besi yang ter-
geletak di lantai bendi dekat kakinya! Si penunggang
kuda bukan lain dari penulis epilepsi adanya!
penulis epilepsi hentikan kudanya. Kusir bendi pun
telah pula menghentikan kendaraannya.
"Sekarang kuharap kau tak usah banyak rewel
Pagar Alam!" kata penulis epilepsi dengan nada keren.
"Anakmu akan kuambil!"
"Kau manusia yang paling tidak bermalu di dunia ini.
Gempar Bumi! Pinanganmu ditolak! Aku kau celakai dan
kini kembali kau memaksa untuk melarikan anakku!"
penulis epilepsi tertawa sinis. "Mulutmu masih tetap
besar! Aku hargai nyalimu! Tapi agar tidak lebih celaka
kuharap kau serahkan anakmu secara baik-baik! Kalau
tidak terpaksa aku memberi hajaran yang lebih keras
padamu!"
"Kau boleh bawa anakku, Gempar Bumi," desis Pagar
Alam. "Tapi... langkahi dulu mayatku!" Dan Pagar Alam
menghunus kerisnya!
penulis epilepsi tertawa bergelak dan menyentakkan tali
kekang kudanya. Sesaat kemudian kuda dan bendipun
telah bersisi-sisian.
"Turun dari bendi itu Mayang!" perintah Gempar Bumi.
Pagar Alam beringsut ke samping kereta sebelah
kanan. Dalam jarak yang cukup dekat itu tanpa banyak
bicara lagi keris di tangan kanannya dihunjamkan cepat-
cepat ke muka Gempar Bumi!
"Manusia tolol!" maki Gempar Bumi. Sekali dia gerakkan
tangan kanan memukul lengan Pagar Alam, mentallah keris
laki-laki itu sedang lengan yang kena dipukul kelihatan
bengkak matang biru! Pagar Alam merintih kesakitan.
Dalam pada itu dari samping menderu satu sambaran
golok ke arah batok kepala Gempar Bumi. Ternyata Mayang
telah melancarkan serangan yang pertama sambil
melompat dari bendi. Adiknya juga tak tinggal diam.
Dengan sebatang kayu anak laki-laki ini mengemplang ke
50
arah bahu kanan penulis epilepsi sementara Pagar Alam
mengambil sebuah lembing dari dalam peti.
Si Malin kusir bendi meski tak ada sangkut paut dalam
urusan itu, tapi memang sudah sejak lama membenci ter-
hadap penulis epilepsi tak ayal lagi segera mengambil
batang besi dari lantai bendi dan menyerang Gempar
Bumi dari belakang!
Diserang begitu rupa penulis epilepsi marah bukan main!
Dia berteriak: "Jangan menyesal kalau kalian kuhajar babak
belur!" Lalu dia melompat dengan cepat dan gerakkan
kedua tangannya.
Dua orang terpekik! Yang pertama anak laki-laki Pagar
Alam. Kayu di tangan anak itu mental. Tangannya yang kecil
laksana tanggal dan persendiannya. Tubuhnya mencelat
dan terguling di tanah, kepalanya terbentur roda kereta
terus pingsan!
Orang kedua yang terpekik ialah Malin si kusir bendi.
penulis epilepsi yang merasakan sambaran angin di
belakangnya sudah maklum kalau dia mendapat serangan
dari arah itu. Karenanya begitu melompat dari punggung
kuda penulis epilepsi laksana kilat hantamkan sikut
kanannya ke belakang!
"Kraak!"
Suara "Kraak" itu hampir tak kedengaran karena pekik
setinggi langit yang ke luar dari tenggorokan Malin!
Tulang iganya sebetah kanan patah dua buah. Tubuhnya
mental sampai satu tombak. Begitu jatuh dia sudah tak
sadarkan diri lagi! Pertempuran kini berjalan jauh dari
kereta. Meskipun Pagar Alam memegang sebuah lem-
bing namun dia tak bisa berbuat suatu apa karena dia
tak bisa berdiri apalagi berjalan dan turun dari kereta.
Otomatis pertempuran itu kini hanya berjalan satu lawan
satu yaitu penulis epilepsi menghadapi Mayang. Tingkat
kepandaian Mayang jauh lebih rendah dari lawannya.
Maka dalam setengah jurus saja gadis berparas jelita
yang telah membuat penulis epilepsi tergila-gila itu ter-
desak hebat.
"Gadis cantik!" kata penulis epilepsi dengan senyum
mengejek. "Kalau saja kau serahkan dirimu secara baik-
baik, pastilah...."
"Wuuut!"
penulis epilepsi tak bisa melanjutkan ucapannya. Se-
buah benda panjang berdesing ke arahnya. Ternyata
lembing yang dilemparkan dengan sebat oleh Pagar
Alam dari atas bendi! penulis epilepsi rundukkan kepala.
51
Lembing itu lewat di alas kepalanya. Pada saat yang
sama kaki kanan Mayang menderu ke arah dadanya.
"Mayang! Terpaksa kuakhiri segala kehebatannya
ini!'' kata Gempar Bumi. Ditangkapnya kaki kanan dara
itu. Dengan kalap Mayting membacok ke bawah. Gempar
Bumi angkat kaki sang dara. Akibatnya Mayang terpaksa
tarik pulang bacokan goloknya karena kalau diteruskan
pasti akan membabat kaki kanannya sendiri! Begitu se-
rangan ditarik, begitu penulis epilepsi gerakkan tangan
kiri. Maka terampaslah golok di tangan Mayang. Gempar
Bumi lepaskan kaki kanan lawan. Dengan tangan itu dia
segera hendak menotok tubuh Mayang. Tapi secepat kilat si
gadis jatuhkan diri di tanah lalu berguling. Ketika bangun
lagi di tangannya sudah tergenggam lembing
yang tadi dilemparkan ayahnya!
"Batang lehermu dulu kutambus baru aku larikan diri!"
jawab Mayang lalu kirimkan satu tusukan kilat ke leher
lawannya!
penulis epilepsi bergerak untuk merampas senjata itu
tapi tusukan lembing kini berubah menjadi satu kem-
plangan yang ganas ke arah batok kepalanya! Penasaran
penulis epilepsi sambut hantaman lembing dengan pukulan
lengan kiri. Lembing patah dua! Bagian yang runcing mental
ke udara sedang yang lainnya masih tergenggam di tangan
Mayang dan dengan patahan lembing itu si gadis bertahan
mati-matian. Tapi sampai beberapa lamakah dia dapat
mempertahankan diri?!
52
iro anak manusia SI Pendekar 10000 an murid Eyang Sinto
Gendeng dari puncak gubug penulis Gede tengah menempuh
rimba belantara, mengambil jalan memotong agar lebih
lekas sampai di tempat tujuan yaitu antara gubug penulis Merapi
dan gubug penulis Singgalang. Lapat-lapat didengarinya suara
orang membentak beberapa kali yang diselingi suara
seseorang yang tertawa gelak-gelak. bobo yang sudah
banyak pengalaman segera mengetahui bahwa biasanya
bentakan-bentakan itu ke luar dari mulut seseorang yang
marah dan geram. Sebaliknya tertawa mengekeh ke luar
dari mulut orang yang mengejek kemarahan dan
kegeraman orang pertama tadi. Dan suasana seperti itu
hanya ditemui dalam satu perselisihan yang kemudiannya
akan berkelanjutan dengan perkelahian atau pertempuran!
Karena pohon-pohon sangat rapat, semak belukar
sangat lebat, agak sukar bagi bobo untuk bergerak.
Dalam pada itu didengarnya dua jeritan sekaligus! bobo
mempercepat langkahnya dan tak perduli lagi pakaian-
nya yang cabik robek dikait ranting semak belukar! Dia
yakin bahwa di tempat yang hendak didatanginya itu
telah terjadi perkelahian. Yang mengherankannya ialah
karena satu dari dua jeritan itu kedengarannya seperti
jeritan anak kecil!
Ketika dia sampai di satu tepi jalan kecil yang sangat
buruk terkejutlah pendekar ini menyaksikan peman-
dangan yang terbentang di depan matanya. Adalah tidak
dinyananya kalau yang bertempur adalah seorang laki-
laki tegap melawan seorang dara jelita. Keduanya sama
berpakaian hitam cuma pada bagian dada baju laki-laki
terpampang gambar kepala harimau warna kuning! Yang
lebih mengejutkan bobo anak manusia ialah karena laki-laki ftu
bukan lain manusia berkumis melintang yang tadi di pasar
hendak melarikan gadis itu. Dan si gadis sendiri adalah
orang yang telah ditolongnya secara diam-diam ketika mau
dilarikan! Rupanya si kumis melintang yang bernama
penulis epilepsi flu sudah nefcad untuk membawa
lari si jelita hingga dalam perjalanan pulang, si gadis
53
telah dihadang!
Di tengah jalan kecil berhenti sebuah bendi. Seorang
anak kecil menggeletak dekat roda bendi Kemudian
seorang lainnya tak berapa jauh dari situ, agaknya dia
adalah kusir bendi. Dan di atas bendi tampak duduk laki-
laki bernama Pagar Alam. Mukanya pucat dan cemas
sekali! Betapa kan tidak, anak gadisnya tengah bertempur
mati-matian mempertahankan diri dari tangan laki-laki yang
hendak melarikannya, sedang dia sendiri Pagar Alam -tak
dapat berbuat suatu apa! Diatas bendi tak ada lagi benda-
benda yang bisa dijadikan senjata untuk dilemparkan
kepada Gempar Bumi. Dalam kecemasan yang memuncak
melihat anaknya terdesak hebat itu dan tak ada harapan
lagi untuk menyelamatkan diri maka tiba-tiba dia melihat
sesosok tubuh menyeruak dari semak-semak. Ternyata
yang muncul adalah se- orang pemuda bertubuh tegap,
bertampang seperti anak-anak dan berambut gondrong!
"Hentikan pertempuran!" teriak bobo anak manusia .
Suara teriakannya yang menggeledek mengiang
anak telinga mengejutkan orang-orang yang ada di situ,
terutama mereka yang sedang bertempur! Pagar Alam
merasakan dadanya bergetar karena kerasnya teriakan
itu. Kalau tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi pasti hal
itu tak mungkin terjadi, pikir Pagar Alam seraya mene-
nangkan dirinya kembali. Kemunculan pemuda ini mem-
berikan sekelumit harapan padanya. Tapi apakah pemu-
da ini bukan seorang bangsa jahat terkutuk pula?; Melihat
kepada potongan pakaian dan ciri-cirinya nyata sekali dia
bukan penduduk setempat!
Akan penulis epilepsi begitu mendengar bentakan
yang menggeledek tadi dengan cepat melompat mundur
padahal saat itu dia sudah hampir dapat meringkus
Mayang. Ketika dia berpaling di depan semak belukar di-
lihatnya seorang pemuda tak dikenal berdiri dengan ber-
tolak pinggang!
"Orang sinting! Siapa kau?!" hardik Gempar Bumi.
"Siapa aku tak kau usah perduli! Lekas angkat kaki
dari sini atau kutekuk batang lehermu!"
Paras Gempar. Bumi membesi. Pelipisnya mengembung.
"Sepuluh tahun malang melintang di Pulau Andalas baru
hari ini ada bangsa kucing dapur yang bicara hendak
menekuk batang leherku!"
Mengetahui bahwa si pemuda menunjukkan sikap
demikian maka legalah sedikit hati Pagar Alam dan
Mayang. Jika berani membentak demikian berarti dia me-
54
miliki ilmu yang diandalkan. Namun penulis epilepsi seorang
yang berilmu sangat tinggi, akan sanggupkah pemuda belia
yang bertampang tolol itu menghadapinya?! Diam-diam
kedua ayah dan anak itu jadi gelisah harap-harap cemas!
"Manusia kumis melintang! Aku tidak main-main.
Lekas angkat kaki dari sini! Syukur aku bersedia meng-
ampuni kekejianmu! Lekas pergi sebelum aku berubah
pikiran!"
penulis epilepsi bertolak pinggang. Matanya melotot
meneliti bobo anak manusia dari kepala sampai ke kaki. Lalu
dia tertawa gelak-gelak.
"Kucing dapur, apakah kau lihat gambar kepala harimau
yang ada di dada bajuku ini?!"
"Itu bukan gambar kepala harimau!" sahut bobo .
penulis epilepsi beliakkan mata. Dan bobo menyambung :
"Kalau kau mau tahu, itulah gambar kepala kucing
dapur!" Lalu Pendekar 10000 an tertawa gelak-gelak.
Marahlah Gempar Bumi. Seumur hidup baru hari itu
dia mendapat hinaan dan ejekan demikian rupa!
"Anak setan! Tidak tahukah kau dengan siapa ber-
hadapan?”
"Buset kau bisa memaki aku anak setani" jawab
bobo dengan sunggingkan senyum,, "Kalau aku anak setan,
apakah kau lantas merasa jadi bapak moyangnya setan?!"
Mayang dan Pagar Alam meski geli mendengar ucapan
itu namun terheran-heran melihat sikap dan tindak tanduk
si pemuda yang agak anehi Bicaranya seperti orang main-
mainan saja!
Sebaliknya dengan nada mendesis karena mendidih
hawa amarah yang menggejolakkan darahnya Gempar
.Bumi berkata: "Melihat kepada tampangmu agaknya kau
bukah orang sini! Pantas kau tak dapat membedakan
mana tikus dan mana singa jantan...."
"Oh... jadi kau adalah seekor singa jantan? Pantas!
Pantas! Kau memang punya tampang seperti singa jantan!"
kata bobo pula memotong ucapan penulis epilepsi lalu
tertawa gelak-gelak!
Kemarahan penulis epilepsi tak dapat dikendalikan
lagi. Dia melompat kehadapan bobo dan hantamkan tinju
kanannya ke kepala pemuda itu! Sekali menghantam dia
berharap akan menghancurkan kepala si pemudal Karena
itu sengaja dikeluarkannya jurus ilmu silatnya yang
hebat yang bernama "Palu Sakti Memukul Genta"!
Tapi tidak semudah itu untuk menghancurkan kepala
Pendekar 10000 an Pada saat serangan lawan baru bergerak
55
setengah jalan dia sudah menyingkir ke samping dan
dari samping kirimkan satu tempelak untuk menanggalkan
sambungan sikut lawan!
Terkejutlah Gempar Bumi. Serangannya yang hebat
itu bukan saja dapat dielakkan lawan tapi malah keba-
likannya, kini dia sendiri yang kena diserang! Kedua ka-
kinya dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas
membuat tempelakan bobo anak manusia lewat. Dengan cepat
kemudian penulis epilepsi kirimkan satu tendangan ke perut
lawan sedang tangan kanan untuk kedua kalinya turun
menghantam batok kepala bobo anak manusia !
Pendekar 10000 an bersiul! Meskipun gerakan ilmu silat
penulis epilepsi agak aneh lapi dasarnya tiada beda dengan
ilmu silat yang dimainkan tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa!
Begitu bersiul bobo kelebatkan badannya! Untuk kedua
kalinya penulis epilepsi dibikin kaget. Dia tak mengerti
bagaimana pemuda bertampang tolol, sanggup
mengelakkan sekaligus kedua serangannya. Sedangkan
dalam pada saat itu tahu-tahu tangan kirinya sudah
menyelinap menampar ke arah dada dalam satu gerakan
kilat yang mendatangkan angin keras!
Penuh penasaran penulis epilepsi pergunakan lengan
kanannya untuk memapasi serangan lawan. Kalau ilmu
silat lawan boleh diandalkan, dalam tepemusnah dalam tentu
si pemuda tak akan menang, begitulah pikiran Gempar
Bumi!
bobo sendiri yang melihat datangnya serangan memapas
ini, meski tamparannya pada dada tadi pasti akan
mengenai sasarannya, tapi karena ingin menjajaki tepemusnah
dalam lawan sengaja melintangkan tangan kirinya!
"Buuk!" Maka beradulah kedua lengan itu!
penulis epilepsi keluarkan seruan tertahan! Tubuhnya
terjajar sampai tujuh langkah ke belakang sedang le-
ngannya yang beradu dengan lengan lawan bukan saja
tergetar hebat tapi juga sakit bukan main! Ketika di-
telitinya lengan itu tampak kemerah-merahan! Menciut-
lah hati laki-laki berkumis melintang ini. Nyatanya tena-
ga dalam si pemuda tidak berada di bawahnya! Menurut
taksiran penulis epilepsi tepemusnah dalam lawan berada dua
atau tiga tingkat di atasnya! Sebenarnya dugaan Gempar
Bumi ini meleset Kalau waktu bentrokan lengan tadi dia
mengerahkan seluruh tepemusnah dalamnya maka bobo Sa-
bleng cuma mengandalkan tiga perlima bagian saja dari
tepemusnah dalamnya! Lengannya pedas