Tampilkan postingan dengan label bobo penasaran 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bobo penasaran 4. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

bobo penasaran 4

 


cepat. 

MALAM itu malam yang ketiga bagi rombongan yang terdiri dari 

tiga orang itu dalam perjalanan mereka menuju Pulau makam Penulis kusta  di 

ujung timur pulau Jawa. Mereka berhenti di tepi sebuah anak sungai 

berair jernih. Langit bersih kebiruan. Bintang-bintang bertaburan dan 

bulan sabit memperindah suasana malam yang sejuk itu. 

Pranajaya memasukkan empat potong kayu kering ke dalam api 

unggun lalu melangkah perlahan ke tepi sungai. Di lihatnya gadis itu 

duduk di sebuah batu besar, tengah melamun seorang diri. Prana 

datang mendekat. 

Untuk beberapa lamanya tidak satupun dari mereka yang bicara. 

Si Penulis kusta  memandang ke langit lepas. Dia mendapat bahan untuk 

membuka pembicaraan, “Bagus sbetul malam yang sekali ini.” 

Sekar memandang ke atas, memperhatikan bulan sabit dan 

bintang-bintang yang bertaburan lalu menganggukkan kepalanya. 

“bobo  belum kembali?” tanya gadis itu. “Belum,” sahut Prana. 

Hatinya menciut. Sekar lebih banyak memperhatikan seorang lain yang 

tak ada di situ daripada kehadiran dirinya di sampingnya di atas batu 

itu. Dan Prana sendiri tidak tahu ke mana pula bobo  pergi. Dua malam 

yang lalupun Penulis kusta  itu selalu pergi tanpa memberi tahu ke mana. 

Seakan-akan kepergiannya itu merupakan hal yang disengaja. 

Pranajaya berdehem beberapa kali untuk menghilangkan sekatan 

yang menyesakkan lehernya. Dipandanginya paras jelita Sekar dari 

samping. Betapa indahnya paras itu dipandang dibawah naungan 

malam yang disinari bulan sabit dan bintang gumintang. 

“Kau masih belum memberikan jawaban apa-apa atas ucapanku 

malam pertama yang lalu, Sekar…,” berkata Pranajaya. Suaranya sekali 

ini tiada bernada ditelan sendiri oleh gema gemetar suaranya itu. 

Sekar memandang ke hulu sungai lalu menundukkan kepalanya. 

“Apakah tak akan pernah ada balasan?” tanya Pranajaya. 

Si gadis memandang lagi ke hulu sungai lalu membuka mulut, 

“Dalam perjalanan ini bukan persoalan cinta yang musti dipikirkan 

Prana…“ 

Suara Sekar pelahan, hampir seperti berbisik namun begitu 

mengiang telinga Pranajaya kedengarannya Paras Penulis kusta  ini membeku 

merah. Ditundukkannya kepalanya. 

“Kurasa bukan disitu sesungguhnya dasar jawabanmu, Sekar,” 

ujar Penulis kusta  itu pula 

“Lalu....?” 

“Kau mencintai dia...?” tanya Prana seberani mungkin. 

“Dia siapa?” 

“Tak usah berpura-pura....” 

Sekar memandang Penulis kusta  itu sebentar. “Maksudmu bobo ?” 

tanyanya. 

Si Penulis kusta  anggukkan kepala. 

Sekar tertawa. 

“Suara tertawamu aneh, Sekar,” bisik Pranajaya. “Seolah-olah 

membenarkan pertanyaanku tadi.”  

Sekar diam. 

“Aku memang bukan apa-apa jika dibandingkan dengan bobo ....” 

“Kau tak usah cemburu Prana” 

“Terus terang saja dalam persoalan ini aku cemburu padanya. 

Aku iri,” kata Pranajaya dengan hati laki-laki. “namun  kecemburuan dan 

iri hatiku itu tidak menyebabkan aku menjadi buta atau lupa diri atau 

mempunyai maksud yang buruk-buruk terhadap kalian berdua. Aku 

cemburu dan iri pada bobo , namun  aku menghormati dan menghargainya 

sebagai seorang sahabat. Sebagai seorang manusia kepada siapa aku 

berhutang budi serta nyawa. Bahkan lebih dari itu aku mengganggap 

bobo  bukan orang lain, namun  sudah sebagai saudara kandung sendiri....” 

Sekar masih diam dan Pranajaya meneruskan ucapan-

ucapannya. 

“Aku menyadari kenyataan Sekar. Kenyataan bahwa aku bukan 

apa-apa jika dibandingkan dengan dia. Ilmunya tinggi, parasnya gagah 

dan jasmaninya tidak mempunyai cacat apa-apa. Yang lebih utama dia 

adalah seorang laki-laki berhati jantan, luhur dan kudus….. Jika kau 

mau berterus terang Sekar, aku tak akan membuka-buka lagi 

persoalan ini. Aku akan lebih bahagia dan bangga jika kalian bisa hidup 

berdua dan berbahagia....” 

“Antara aku dan bobo  tak ada hubungan apa-apa, Prana,” 

memotong Sekar. “Tak sepantasnya kau bicara sampai sejauh itu.” 

Pranajaya memandang ke langit di atasnya. Diperhatikannya 

bulan sabit dan dia berkata . “Mungkin, namun  kau tak bisa menipu 

dirimu sendiri! Sekar. Kau tak bisa mendustai kata hatimu. Kau 

mencintai dia.....” 

Sekar tundukkan kepalanya memperhatikan jari-jari kakinya yang 

mungil bagus. 

“Aku tak ingin membicarakan persoalan ini lebih lanjut Prana.” 

“Jadi tak ada jawaban darimu? Tak ada jawaban berarti suatu 

penolakan Sekar...” 

Sepi menyeling. Pranajaya menunggu sampai beberapa lamanya. 

Dipandanginya paras Sekar sesaat . Dan bila tak ada juga jawaban dari 

gadis itu maka Prana memutar tubuh dan perlahan-lahan meninggalkan 

tempat itu. Sekar memalingkan kepalanya. Di pandanginya tubuh yang 

berjalan itu, dipandanginya kaki yang melangkah itu, dipandanginya 

kepala yang tertunduk itu dan dipandanginya tangan kiri yang buntung 

itu. Hati gadis ini memukul-mukul. Suaranya serak parau sewaktu 

mulutnya mernanggil, “Prana…” 

Panggilan itu laksana satu kekuatan gaib yang membuat kedua 

kaki Pranajaya berhenti melangkah dan tubuhnya berhenti berjalan. Si 

Penulis kusta  palingkan kepala. Diantara keputus-asaan yang menyelimuti 

wajahnya di malam sejuk itu kelihatan sekelumit pengharapan. Dan 

matanya memandang sayu pada si gadis, menunggu ucapan 

selanjutnya. 

“Prana.....” 

“Ya, Sekar…” 

“Bersediakan kau menunda pembicaraanmu ini sampai 

berakhirnya tugasmu di Pulau makam Penulis kusta  nanti…?” 

Si Penulis kusta .merenung sejenak. Lalu jawabnya, “Aku bersedia Sekar 

meski aku tahu mungkin tak ada harapan sama~sekali bagiku....” 

“Mungkin yang orang duga tak selalu mungkin pada kenyataan, 

Prana,” kata Sekar.“  

Pranajaya murid Empu Blorok coba merenungkan ucapan gadis 

itu. Kemudian sekelumit senyum tersungging dibibirnya. 

“Kuharapkan saja demikian, Sekar,” kata Prana. Lalu 

ditinggalkannya tempat itu. 


DI PAGI HARI yang kesembilan ketiga orang itu kelihatan 

berdiri di tepi pantai di ujung, timur pulau Jawa. Di laut kelihatan 

gugusan pulau-pulau. Ada yang berkelompok-kelompok, ada yang 

terpisah menyendiri. Perahu-perahu nelayan kelihatan di mana-

mana. Angin dari laut bertiup, melambai-lambaikan rambut serta 

pakaian mereka. 

Pranajaya menunjuk ke sebuah teluk sempit dan berkata, “Di 

situ ada perkampungan nelayan. Kita bisa mencari keterangan di 

mana letak Pulau makam Penulis kusta  dan sekalipun menyewa perahu serta 

membeli perbekalan.” 

bobo  mengangguk. Ketiganya segera menuju ke perkampungan 

itu. Seorang nelayan tua mereka temui tengah memperbaiki jala di 

teluk itu. 

Prana menyalaminya lalu bertanya, “Bapak, yang manakah di 

antara pulau-pulau di tengah laut sana yang bernama Pulau Seribu 

Maut?” 

Pertahan-lahan nelayan tua, itu mengangkat kepalanya dan 

membuka topi pandannya. Dipandanginya Pranajaya, lalu bobo  dan 

Sekar. 

“Kau bertanyakan Pulau makam Penulis kusta  nak?” ujar nelayan tua 

ini. 

Prana mengangguk. 

“Kalau tak tahu jelasnya kira-kira saja,” berkata bobo . 

Si nelayan hela nafas dalam. 

“Umurku enam puluh tahun nak. Dan hari inilah baru 

kudengar ada seorang yang bertanya di mana letak Pulau Seribu 

Maut,” Nelayan itu hela nafas dalam sekali lagi. “Apakah kalian 

hendak menuju ke sana?” 

“Betul” sahut Prana. 

Mata yang sudah agak mengabur di mana umur dari nelayan 

tua itu memperhatikan ketiga manusia itu dengan lebih teliti. 

“Kalian tentunya orang-orang dunia persilatan. Tidak heran kalau 

kalian bernyali menanyakan letak pulau itu. Urusan apakah 

gerangan yang membawa kalian begitu berniat meriuju ke snna?” 

“Ah tak ada apa-apa, pak. Cuma kepingin tahu saja,” jawab 

Prana. 

Si nelayan tertawa. “Kepingin tahu dan menemui kematian di 

sana...? Nak, dengar... hanya manusia-manusaa yang mau lekas-

lekas mati saja yang berhajat pergi ke Pulau makam Penulis kusta ….” 

“Namanya memang menyeramkan,” kata bobo  sambil usap-

usap dagu. “namun  sebetulnya ada kehebatan apakah di sana sampai 

pulau itu demikian ditakuti orang-orang?”“ 

“Ah, kalian bukan orang-orang sini. Kalian tidak tahu, Nak…. 

di situ bersarang gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh seorang 

bernama Bagaspati. Setiap perahu atau kapal yang lewat diselat 

Madura ini pasti dirampok, manusia-manusianya dibunuhi. 

Kampungku inipun tak urung menjadi korban kejahatan Bagaspati 

dan anak buahnya. Perempuanperempuan kami diambil dan dibawa 

ke Pulau makam Penulis kusta . Satu kali seminggu kami musti menyiapkan 

dan memberikan bahan-bahan makanan kepada mereka. Kami tak 

bisa berbuat apa-apa nak. Kalau melawan berarti mati.....” 

“Kenapa tidak pindah ke kampung lain?” tanya Sekar. 

“Lebih berabe lagi!” jawab si nelayan. “Kalau kami berani pergi 

dari sini, semua penghuni kampung dari yang kecil sampai tua 

macamku ini akan dibunuh! Begitu Bagaspati mengancam…”  

“Pernah berhadapan muka dengan manusia Bagaspati itu?” 

tanya Prana. 

“Pernah dan pernah ditampar. Tiga hari aku tak bisa 

meninggalkan tempat tidur karena masih  pening di landa 

tamparannya.“  

bobo  anakmanusia  mengulum senyum. Diperhatikannya beberapa 

buah perahu yang berada di tepi pantai itu. 

“Perahu-perahu bapak?” tanya bobo .  

Si nelayan mengangguk. 

“Bisa kami sewa sebuah?” 

“Untuk pergi ke Pulau makam Penulis kusta ?!.” 

“Ya.” 

Nelayan tua geleng-gelengkan kepalanya. 

”Aku memang sudah tua dan hampir masuk liang kubur. namun  

walau bagaimanapun aku tak mau cari urusan yang bisa mempercepat 

kematianku! Tak ada satu orangpun yang akan mau menyewakan 

perahunya ke Pulau makam Penulis kusta . Tak ada satu pemilik perahupun yang 

akan mengantarkan kalian ke sana. Pulau makam Penulis kusta  adalah pulau 

kematian!” 

“Kalau begitu bapak terangkan saja letaknya.“  

“Tidak bisa nak… tidak bisa…” Si nelayan lalu cepat-cepat 

meninggalkan ketiga orang itu. Yang ditinggalkan saling berpandangan 

lalu pergi ke pusat kampung. Dan sebagaimana yang dikatakan nelayan 

tua tadi, tak ada seorang pemilik perahupun yang mau menyewakan 

perahunya, apalagi mengantar mereka ke Pulau makam Penulis kusta . Juga 

ketiganya tak berhasil mencari keterangan di mana kira-kira letak pulau 

angker tersebut. 

“Penduduk di sini sialan semua!” gerutu bobo  anakmanusia . “Pada mati 

ketakutan! Kurasa mencari dan pergi ke tempat seorang puteri cantik 

tidak sesukar ini! Cuma mencari Kepala bajak saja begini susah! 

Geblek!”  

“Kita tak bisa salahkan penduduk bobo ,” ujar Prana.  

“Kalau begini kita terpaksa bikin perahu sendiri atau rakit!” kata 

bobo  mengalih pembicaraan.  

Prana mengangguk. “Rakit kurasa lebih baik daripada perahu. 

Ombak di selat ini cukup besar…”  

Menjelang tengah hari maka di tengah laut lepas di selat Madura 

itu kelihatanlah sebuah rakit yang laksana “terbang” memecah 

gelombang air laut, melaju dalam kecepatan yang luar biasa, semakin 

lama semakin jauh dari pantai ! 

Beberapa nelayan yang perahu mereka kebetulan dilewati oleh 

rakit itu tersentak kaget. Mereka hampir-hampir tak dapat mempercayai 

pandangan mata mereka. Apakah mereka telah mengimpi di siang 

bolong yang panas terik itu atau telah melihat jin-jin laut gentayangan di 

depan mereka?! 

Betapakan tidak! Tiga orang mereka lihat berada di atas rakit itu. 

Satu diantaranya gadis cantik jelita. Meski ombak tidak besar namun  untuk 

mengarungi lautan dalam kecepatan yang demikian rupa dan dengan 

sebuah rakit pula benar-benar mustahil, benar-benar tak bisa mereka 

percaya! Dan yang lebih tidak dapat mereka percayai ialah karena dua 

orang Penulis kusta  yang ada di atas rakit itu mempergunakan tangan-tangan 

mereka sebagai pendayung yang membuat rakit tersebut laksana 

terbang! 

 “Jangan-jangan jin-jin laut yang kita lihat ini, Warana,” kata 

seorang nelayan pada kawannya yang berada dalam sebuah perahu jauh 

dimuka rakit itu. Dia dan kawannya sama-sama mengusap mata berkali-

kali.  

“Hai, lihat! Mereka menuju ke sini!” seru Warana. 

“Celaka kita! Kayuh yang cepat Warana sebelum jin-jin laut itu 

datang mencekik kita!” 

Warana dan kawannya segera menyambar pendayung. namun  

belum lagi kedua kayu pandayung mereka mencelup ke dalam air laut, 

rakit yang berisi tiga manusia itu sudah berhenti dihadapan mereka! 

Paras kedua nelayan itu pucat pasi. Meski yang mereka lihat adalah 

benar-benar manusia, namun rasa tak percaya tetap membuat mereka 

menyangka bawa tiga manusia di atas rakit itu adalah jin-jin laut yang 

datang menganggu mereka! 

“Saudara, yang manakah Pulau makam Penulis kusta ?” bertanya laki-laki 

muda yang bertangan buntung. Baik Warana maupun nelayan yang 

satu lagi hanya terduduk bermuka pucat dalam perahu mereka tanpa 

bisa membuka mutut. 

bobo  memandang keheranan, juga Sekar. 

“Hai, apa kalian tak dengar orang bertanya?!” seru bobo  anakmanusia . 

Warana membuka mulut namun  tak ada suara yang ke luar. 

“Kalian seperti orang yang ketakutan!” ujar bobo . 

Prana juga melihat bayangan ketakutan itu pada wajah kedua 

nelayan tersebut. Dia tak tahu apa sebabnya dan dia tak mau perduli. 

Dia bertanya lagi . “Di mana letak Pulau makam Penulis kusta  ?!” 

“Saudara-saudara... apa kalian... kalian…” Warana tak berani 

meneruskan ucapannya. saat  dilihatnya kawannya mencelupkan 

pendayung segera dilakukannya hal yang sama. Perahu mereka segera 

bergerak namun  kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Kedua nelayan itu 

pergunakan seluruh tenaga untuk mendayung namun tetap saja 

perahunya hanya mengapung dan sedikitpun tak bisa bergerak. 

Ternyata bobo  anakmanusia  telah memegang ujung belakang perahu 

mereka dan semakin menjadi-jadilah takut kedua orang itu. Mereka 

berteriak-teriak dan lari sana lari sini dalam perahu mereka. Ikan-ikan 

yang berhasil mereka tangkap berhamburan kembali ke dalam laut! 

“Nelayan-nelayan geblek! Apa kalian sudah gila semua teriak-

teriak tak karuan?!” bentak bobo .  

“Tolong! Tolong .... !” teriak Warana. Kawannya meniru berteriak 

macam itu pula.  

“Saudara-saudara kami bukan rampok atau bajak!” seru 

Pranajaya. . 

bobo  garuk-garuk kepalanya dan melangkah kehadapan 

Warana. “Keblinger betul! Orang tanya Pulau makam Penulis kusta  kenapa jadi 

teriak-teriak minta tolong ?!” 

“Tolong jin laut! Tolong... !” 

bobo , Prana dan Sekar saling berpandangan. Sekar kemudian 

berbisik pada Prana, “Keduanya menyangka kita jin laut...!” 

bobo  anakmanusia  menjambak rambut Warana dan menepuk-nepuk 

pipi nelayan ini. “Kau kira kami ini bukannya manusia apa?! Sompret! 

Kami manusia-manusia macam kau saudara! Ayo jawab kenapa kalian 

teriak-teriak dan di mana letak Pulau makam Penulis kusta ?!” 

Dijambak demikian rupa Warana semakin memperkeras 

teriakannya. 

“Manusia tak berguna pergilah!” sentak bobo  anakmanusia  seraya 

melepaskan jambakannya. Begitu dilepas begitu Warana sambar 

pendayung dan bersama kawannya mengayuh cepat meninggalkan 

rakit itu. Meledaklah tertawa ketiga orang itu sewaktu Sekar berkata, 

“Tentu saja, mana mereka mau percaya bahwa kita adalah manusia-

manusia seperti mereka. Tak ada orang yang berakit di laut dan 

dengan kecepat laksana angin!” 

bobo  seka kedua matanya yang basah oleh air mata karena 

tertawa itu. Dia memandang berkeliling dan tarik nafas dalam. 

“Agaknya tak ada satu manusiapun yang bisa kasih keterangan di 

mana letak Pulau itu…” kata bobo . 

“Kita musti cari sampai dapat!” Prana kertakkan rahang. 

bobo  memandang pada Sekar. Gadis itu dilihatnya memandang 

ke arah utara tanpa berkesip. 

“Apa yang kau perhatikan?” tanya bobo . 

Sekar tak menjawab dan dia masih memandang kejurusan 

utara itu. Wira putar kepala mengikuti pandangan Sekar. Jauh di 

tengah laut lepas di lihatnya dua buah pulau yang besarnya 

dipemandangan mata mereka cuma sebesar ujung jari kelingking saja. 

“Bagaimana kalau kita arahkan rakit kita ke sana?” 

mengusulkan Sekar. 

bobo  dan Prana saling pandang dan sama menyetujui. Dan rakit 

itupun menggebulah di atas air laut yang muncrat di belah bagian 

muka rakit. Detik demi detik kedua pulau itu semakin dekat juga.

“Salah satu dari pulau-pulau itu banyak elang elang lautnya 

bobo ,” kata Prana. 

bobo  anakmanusia  memandang pada pulau yang sebelah kanan. Di 

atas pulau itu memang keiihatan banyak beterbangan burung-burung. 

“Itu bukan burung elang, Prana. namun  gagak hitam pemakan mayat!” 

seru bobo  tiba-tiba saat , matanya yang tajam dapat mengenal 

burung-burung itu.  

Prana pelototkan mata. 

 “Sekar, putar kemudi ke arah pulau itu!” kata Prana.  

Dan sesaat kemudian rakit itupun meluncur berputar ke arah 

pulau yang sebelah kanan. Semakin dekat semakin jelas keadaan 

pulau itu. Beberapa buah perahu besar dan kapal kelihatan berada di 

sekitar teluk yang sempit. 

“Hai benda apa itu?!” mendadak sontak Sekar berseru. 

bobo  dan Prana berpaling ke arah yang ditunjuk Sekar. Sebuah 

benda hitam yang sangat besar.meluncur pesat ke arah mereka. 

“Ikan raksasa!” seru Sekar pula. 

bobo  anakmanusia  memandang tak berkesip. Benda hitam besar itu 

memang seperti kepala seekor ikan. namun  bukan ikan betul-betul. bobo  

masih coba meneliti dengan seksama saat  tiba-tiba sekali benda itu 

lenyap dari permukaan air. 

“Aku merasa tidak enak,” desis Prana.  

“Kita musti waspada,” kata bobo . 

Baru saja dia habis berkata begini tahu-tahu benda hitam yang 

luar biasa besarnya itu sudah muncul dihadapan rakit mereka. Bagian 

tengahnya laksana seekor buaya raksasa membuka dan “plup” 

sekaligus menelan rakit serta ketiga penumpangnya!  

“Celaka!” seru Prana. namun  suaranya lenyap ditelan katupan 

yang menutup. 

bobo  mernukul lengan tinjunya kian ke mari. Terdengar suara 

bergetar namun  aapa yang dipukulnya itu sama sekali tidak hancur ! 

“Gila, apa-apa ini!” teriak Pendekar 10000an . 

Dia tak bisa melihat Sekar ataupun Prana. Ruang di mana 

mereka terkurung sangat gelap bahkan tangan di depan matapun 

tidak kelihatan. 

Pendekar 10000an  keluarkan barbel  pembasmi dan batu hitam untuk 

membuat penerangan. Namun sebelum tangannya menyentuh senjata 

sakti itu tiba-tiba terdengar suara mendesis. Sekejap kelihatan sinar 

biru. Prana dan Sekar berseru lalu terdengar suara jatuhnya tubuh 

kedua orang itu ! 

Sinar biru Ienyap. bobo  yakin itu adalah hawa beracun yang telah 

disemprotkan ke dalam ruangan gelap itu. Kepalanya terasa pusing dan 

pemandangannya tak karuan. Dia seperti melihat ribuan bintang 

begemerlap, seperti melihat tali-tali yang melingkar-lingkar berkilauan 

dan menusuk-nusuk ke arah matanya. Pendekar 10000an  segera kerahkan 

tenaga dalam dan tutup semua inderanya. Satu menit kemudian dia 

berhasil menolak hawa beracun itu lalu dengan cepat keluarkan dua 

butir pil dan dengan merangkak dia berhasil mencari tubuh Sekar dan 

Prana lalu memasukkan pil anti racun ke dalam mulut keduanya. 

Mendadak  terdengar suara berkereketan dan ruangan itu di mana 

bobo  berada seperti dihamparkan. Kemudian sebuah pintu terbuka. 

Pendekar 10000an  segera jatuhkan diri diantara tubuh Prana dan Sekar. Saat 

itu keduanya sudah mulai sadar. bobo  segera membisiki, “Berbuatlah 

pura-pura pingsan terus! Jangan lakukan apa-apa sebelum kuberi 

tanda!” 

Terdengar lagi suara berkereketan kemudian tubuh mereka terasa 

menggelindung dan jatuh di atas pasir yang panas dihangati oleh sinar 

matahari. Perlahan-lahan bobo  anakmanusia  buka ke dua matanya. 

Saat itu terdengar suara seseorang tertawa bergelak. “Surengwilis! 

Jadi inikah manusia-manusianya yang katamu kasak kusuk cari 

keterangan tentang pulau kita?!” 

“Betul pemimpin!” terdengar jawaban seseorang. 

bobo  anakmanusia  membuka matanya lebih lebaran. 

Dan dihadapannya, beberapa tombak jauhnya dilihatnya antara 

belasan manusia-manusia berbadan tegap, berdiri seorang laki-laki yang 

luar biasa tinggi dan besar badannya. Menurut taksiran bobo  manusia 

ini mungkin lebih dua meter tingginya! Tampangnya beringas buas dan 

amat menyeramkan, ditutupi oleh berewok yang lebat dan berangasan! 

Sepasang matanya besar dan merah. Hidung juga besar namun  picak. Dia 

mengenakan jubah hitam bergaris-garis putih. Di pingggangnya 

tergantung sebilah pedang panjang. Yang menarik perhatian bobo  ialah 

tengkorak kepala manusia yang menjadi kalung dan tergantung di leher 

laki-laki ini.  

 “Hem…,” si tinggi besar berkalung tengkorak manusia itu 

menggumam. Dia memandeng berkeliling, “Apa ada diantara kalian yang 

kenal pada mereka?!” 

Tak ada suara jawaban. 

“Kalau begitu mereka adalah manusia-manusia tidak berguna!” 

ujar si tinggi besar. “Penggal kepala kedua laki-laki itu! Yang perempuan 

biarkan hidup! Dia cukup bagus untuk disuruh menari telanjang malam 

ini dan tidur bersamaku!” 

Beberapa kaki kelihatan melangkah kehadapan ketiga orang itu. 

bobo  berbisik pada kedua-kawannya, “Sekarang, sobat-sobat!” 

Maka ketiga manusia yang berpura-pura pingsan itu segera 

melompat dari tanah di mana mereka menggeletak ! 

KEJUT semua orang yang ada di situ bukan kepalang!  

namun  anehnya si tinggi kekar malah keluarkan suara tertawa 

mengkeh. 

“Ha . . . ha! Kalian kira mataku bisa ditipu huh?!” 

Sadarlah bobo  dan kawan-kawannya bahwa ucapan si tinggi 

kekar memerintahkan anak-anak buahnya untuk memenggal kepala 

mereka adalah pancingan belaka. Pendekar 10000an  menggerendeng dalam 

hati. 

“Sebelum kalian mati kuharap kalian mau kasih keterangan,” 

berkata si tinggi besar yang berjubah hitam bergaris-garis putih. 

Tangan kanannya ditekankan ke ujung gagang pedang. “Ada 

keperluan apa kau mencari tempat ini?!” 

“Apakah ini Pulau makam Penulis kusta ?!,” balas menanya Pranajaya. 

Si tinggi kekar tertawa lagi. “Kalian memang sudah berada di 

Pulau yang kalian cari! Pulau di mana kalian akan melepas nyawa 

masing-masing?” 

Tersiraplah darah Prana dan Sekar. Pendekar 10000an  tetap tenang-

tenang saja. 

Prana memandang lekat-lekat pada si tinggi kekar. “Aku 

mencari manusia bernama Bagaspati. Apakah kau orangnya!” 

“Setan alas! Kowe berani sebut nama pemimpin kami seenak 

perutmu! Terima mampus!” 

Satu hardikan datang dari samping dan satu sambaran angin 

menderu ke arah leher Prana. Penulis kusta  ini cepat-pepat menyingkir ke 

samping. Ujung sebilah kelewang menderu di muka hidungnya ! 

 “Tahan!” seru laki-laki bertubuh tinggi kekar. Orang yang tadi 

menyerang dengan kelewang bersurut mundur. Si tinggi kekar 

pelototkan mata pada Pranajaya. “Manusia tangan buntung!,” katanya, 

“aku memang Bagaspati! Menyebut namaku berarti mati! namun  kau 

masih punya waktu untuk memberi keterangan ada keperluan apa 

kau dan kawan-kawanmu mencari pulau kami!” 

“Kedatanganku atas tugas guruku!” 

“Hem.... aku sudah duga bahwa kau dan kawan-kawanmu 

manusia-manusia dari dunia persilatan! Terangkan apa tugasmu dan 

siapa gurumu!” ujar si tinggi besar Bagaspati. 

“Aku diperintahkan untuk mengambi! Cambuk Api Angin yang 

telah kau curi dari guruku!” Bagaimanapun Bagaspati menekan rasa 

terkejutnya namun pada air mukanya jelas kelihatan perubahan. 

“Apakah kau muridnya Empu Blorok?!” tanyanya membentak. 

Prana anggukkan kepala. “Mana cambuk itu?! Lekas serahkan 

padaku!” 

Meledaklah tertawa bekakan Bagaspati. Tanah yang dipijak 

bergetar saking hebatnya suara tertawa yang disertai tenaga dalam itu. 

“Nyalimu sungguh besar tangan buntung!,” kata Bagaspati 

seraya melangkah kehadapan Prana.  

“Sreet !” 

Tiba-tiba Bagaspati cabut pedang panjangnya. Senjata ini 

berwarna hitam legam bersinar yang menggidikkan. Dia hentikan 

langkahnya dua tombak dihadapan Prana lalu membentak, “Lekas 

sebut kau punya nama! Aku tak biasa membunuh manusia dunia 

persilatan tanpa tahu namanya!” 

Sebagai jawaban Pranajaya cabut pula pedang Ekasaktinya. 

Sinar putih berkilau ke luar dari senjata mustika itu.  

“Aku datang hanya untuk mengambil Cambuk Api Angin. Kalau 

kau menghadapinya dengap kekerasan tak ada jalan lain daripada 

menabas batang lehermu!” 

“Bedebah sontoloyo!” teriak Bagaspati marah. Pedang hitamnya 

berkelebat ganas, menderu ke arah tubuh Pranajaya, sekaligus 

merupakan tiga buah serangan berantai yang dahsyat ! 

Murid Empu Blorok tidak tinggal diam. Prana segera kiblatkan 

senjatanya. Pedang putih dan pedang hitam beradu mengeluarkan suara 

keras dan memercikkan bunga api ! 

Terdengar seruan Prana.  

Pedang Ekasakti terlepas dan mental dari tangannya. 

Sekejap kemudian senjata itu sudah berada di tangan kiri 

Bagaspati! 

“Ha... ha.... ha.... Gurumu keliwat sembrono manusia tangan 

buntung! Murid masih berilmu cetek disuruh mencari Bagaspati!” 

Bagaspati angkat tangan kanannya tinggi-tinggi. “Sebut namamu cepat!” 

perintahnya. Pedang hitam ditangan kanan sementara itu perlahan-

lahan mulai turun, siap diletakkan ke kepala Pranajaya. 

“Bagaspati,” terdengar satu suara dari samping, “Sebelum kau 

bunuh kawanku ini, harap beri kesempatan padaku untuk bicara.....!” 

Bagaspati palingkan kepala dengan penuh kegusaran. “Rambut 

gondrong, kau bakal terima mampus sesudah kematian kawanmu ini!” 

Pendekar 10000an  bobo  anakmanusia  tersenyum. 

“Kami datang secara damai untuk meminta kembali pedang yang 

telah kau pinjam dari Empu Blorok. Apakah pantas seorang bernama 

besar sepertimu menyambut kedatangan kami dengan perlakuan seperti 

ini?” 

“Penulis kusta  geblek! Pulau ini adalah Pulau makam Penulis kusta ! Kematian 

bisa terjadi setiap detik! Siapa yang menyebut nama Bagaspati dengan 

kurang ajar berarti mati!” kata Bagaspati dengan membentak marah dan 

muka merah. 

“Ah .... kau masih saja sebut-sebut perkara mati dan mampus,” 

menukasi Pendekar 10000an  sambil cengar cengir seenaknya. “Kawanku 

sudah bilang bahwa kami datang ke sini untuk minta kembali Cambuk 

Api Angin. Soal mati atau mampus bisa diurus kemudian kalau kau 

sudah serahkan cambuk itu padanya! Malah-malah kini kau rampas 

pedang kawanku!”

“Pemimpin! Yang satu ini biar aku yang bereskan!” satu manusia 

bertubuh tegap maju dengan barbel  besar ditangan kanan. Namanya 

Surengwilis. Dialah yang telah mengetahui kedatangan Prana dan 

kawan-kawan yang kemudian melaporkan pada Bagaspati. 

Bagaspati anggukan kepala. “Lekas bereskart dia, Sureng!” 

“Sobat kalau kau punya senjata silahkan keluarkan. Aku tak 

begitu senang membunuh manusia bertangan kosong!” bentak 

Surengwilis yang saat itu sudah berdiri dihadapan bobo  anakmanusia . 

bobo  anakmanusia  garuk kepala. “Aku tak ada senjata. Bisa pinjam 

pedang hitammu, Bagaspati?!”  

Tentu saja kemarahan Bagaspati si kepala bajak laut menjadi naik 

ke kepala. “Sureng! Lekas bunuh manusia keparat itu!” teriaknya. 

barbel  di tangan Surengwilis menderu laksana topan. 

Detik senjata itu berkiblat, detik itu pulalah terdengar jeritan 

Surengwilis. Tubuhnya mencelat mental beberapa tombak dan barbel  

yang tadi dipegangnya tahu-tahu sudah berada di tangan bobo  anakmanusia ! 

Semua mata melotot besar seperti tak percaya melihat kejadian 

itu. Di ujung sana Surengwilis mencoba bangun dari tanah. Dia berdiri 

gontai sesaat  sambil memegangi dadanya. Mulutnya membuka seperti 

hendak mengatakan sesuatu namun  yang ke luar dari mulut itu bukan 

suara melainkan darah kental dan segar. Sesaat kemudian tubuh 

Surengwilis melosoh pingsan ke tanah! 

“Anak-anak tangkap hidup-hidup keparat ini!” perintah Bagaspati 

penuh kemarahan. Habis berkata begitu dia segera menyerang Prana 

dengan pedang di tangan. Satu tusukkan cepat dikirimkannya kepada 

Prana. saat  si Penulis kusta  bersurut ke samping kanan Bagaspati 

membabat dengan pedang Ekasakti yang ditangan kirinya. Namun saat 

itu satu senjata aneh berkelebat ke arah kepalanya, membuat Bagaspati 

cepat-cepat urungkan serangan. saat  dia berpaling senjata aneh itu 

membalik lagi dan menderu ke perutnya ! 

Yang menyerang pemimpin bajak ini bukan lain Sekar dengan 

senjata Rantai Petaka Bumi. Kegusaran dan kemarahan Bagaspati tiada 

terkirakan. Dia membentak keras dan sekaligus tebar serangan pada 

Prana dan Sekar! 

Sewaktu Bagaspati memerintahkan anak-anak buahnya 

menangkap Pendekar 10000an  maka lima manusia bertubuh katai maju ke 

muka. Masing-masing mereka memegang sebuah jala hitam. Satu 

diantara kelimanya berteriak memberi komando maka lima pasang 

tangan bergerak dan lima buah jala hitam menebar mulai dari kaki 

sampai ke kepala bobo  anakmanusia .  

Pendekar 10000an  gerakkan kedua tangannya sekaligus! Angin deras 

memapasi lima buah jala itu namun  anehnya jala-jala itu tiada sanggup 

dibikin mental oleh pukulan dahsyat sang pendekar! Dengan kecepatan 

luar biasa salah satu dari jala mernjerat tangan bobo  anakmanusia . Murid 

Eyang Sinto Gendeng ini betot tangannya untuk menarik jala dan si 

katai yang memegangnya namun tahu-tahu jala itu bergerak cepat dan 

kini menjirat sampai ke bahu! Dikejap yang sama jala kedua menjirat 

kaki kiri bobo  anakmanusia . Jala ketiga melibat pinggang, jala ke empat 

membungkus kepala sampai ke dada, jala ke lima melingkar di betis kaki 

kanan. 

Terdengar lagi teriakan salah satu dari lima manusia katai itu dan 

semua mereka menggerakkan tangan masing-masing. Maka sekali tarik 

saja tubuh Pendekar 10000an  tergelimpang dan bergulingan di tanah. 

Seluruh tubuh mulai dari kaki sampai ke kepala terjerat jala! Pendekar 

10000an  kerahkan tenaga dalam ke ujung dua tangannya. namun  kejut bobo  

anakmanusia  tidak terkirakan sewaktu. menghadapi kenyataan bahwa dia tak 

sanggup merobek atau membobolkan jala itu dengan sepeuluh jari-jari 

tangannya bobo  lipat gandakan tenaga dalamnya. Tetap sia-sia belaka! 

Malah libatan jala semakin ketat. 

Tubuh bobo  terhempas ke sebuah pohon. Lima manusia katai 

anak buah Bagaspati segera mengurungnya. Masing-masing mereka siap 

membungkuk untuk menotok tubuh Pendekar 10000an .

bobo  pejamkan mata. Mulutnya komat kamit. Pada saat sepuluh 

ujung jari hendak melanda menotok badannya maka terdengarlah 

bentakan yang luar biasa kerasnya. 

“Ciaat !” 

Dua larik sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan 

menderu! Lima manusia katai mencelat dan meraung. saat  tubuh 

mereka terhempas ke tanah kelihatanlah bagaimana pakaian dan kulit 

mereka melepuh hangus dan hitam. Kelimanya tiada berkutik lagi 

tanda tak satupun saat itu dari manusia-manusia katai ini yang masih 

bernafas! bobo  telah lepaskan dua pukulan sinar matahari sekaligus ! 

Melihat Lima Jala Sakti, demikian nama kelima manusia katai 

itu menemui kematian maka seluruh anak buah Bagaspati segera 

menggempur Pendekar 10000an . Di lain pihak Bagaspati sendiri saat itu 

tengah mendesak hebat Pranajaya yang bertangan kosong dan Sekar 

yang bersenjatakan Rantai Petaka Bumi. Paling lama kedua muda 

mudi ini hanya akan sanggup bertahan sebanyak lima jurus! 

Pendekar 10000an  memandang berkeliling. Kira-kira enam puluh 

orang anak buah Bagaspati yang memegang berbagai macam senjata 

mengurungnya sangat rapat. bobo  tak dapat menduga sampai di mana 

kehebatan ilmu silat bajak-bajak laut ini. Jika mereka cuma 

mengandalkan ilmu silat luaran, jumlah mereka terlalu banyak untuk 

mengeroyok satu orang musuh. Salah-salah mereka bisa baku hantam 

membunuh kawan sendiri. Dengan pandangan tenang, Pendekar 10000an  

menyapu muka-muka bajak laut yang semakin maju dan 

memperketat pengurungan. 

“Kalian mau main keroyok?!” kertas bobo . “Boleh!” kedua telapak 

tangan dipentang ke muka. “namun  sebelum kalian mulai, aku masih 

satu peringatan pada kalian! Jika kalian semua berjanji mau hidup 

menjadi orang baik-baik, menghentikan kerja sebagai bajak laut, 

niscaya aku ampuni jiwa kalian!” 

Seorang bajak berbadan tegap yang cuma memakai celana dan 

berbadan penuh bulu meludah ke tanah! 

“Jangan mengigau Penulis kusta  keparat!” semprotnya. “Tubuhmu 

akan tercincang lumat!” 

bobo  anakmanusia  tertawa dan keluarkan siulan dari sela bibirnya. 

“Pulau ini Pulau makam Penulis kusta ! Berat kalian yang keras-keras 

kepala akan mati dalam seribu cara! Majulah!” 

Si dada berbulu memandang berkeliling. “Kawan-kawan! Mari 

berebut pahala menghabiskan nyawa busuk manusia edan ini!” Habis 

berkata begitu dia keluarkan suara melengking hebat dan enam puluh 

manusia laksana lingkaran air bah datang menyerang ! 

bobo  membentak dahsyat. Pulau itu serasa bergoncang, liang-

liang telinga laksana ditusuk! Meskipun hati tergetar namun keenam 

puluh bajak itu terus juga menyerang! Puluhan senjata berserabutan!  

“Manusia-manusia tolol! Pergilah!” teriak bobo  anakmanusia . Kedua 

tangannya diputar di atas kepala, demikian cepatnya laksana titiran. 

Dari kedua telapak tangan Pendekar 10000an  menderu-deru angin 

dahsyat. Pasir beterbangan, daun-daun pepohonan luruh gugur! 

Sembilan belas bajak laut yang paling muka merasakan tubuh mereka 

seperti ditahan oleh dinding keras yang tak dapat dilihat mata. Kejut 

mereka bukan main. Dan belum lagi habis kejut itu bobo  tiba-tiba 

membentak sekali lagi! Kesembilan belas orang bajak laut itu 

berpelantingan laksana daun kering disapu angin! 

Pukulan yang dikeluarkan Pendekar 10000an  tadi adalah pukulan 

angin puyuh! Bajak-bajak yang lain dengan kalap melompat ke muka 

dan babatkan senjata masing-masing. bobo  anakmanusia  membentak lagi. 

Dan belasan bajak kembali terpelanting! Suasana menjadi kacau 

balau kini. Mereka berteriak-teriak namun  tak berani maju ke muka 

sekalipun saat itu bobo  sudah hentikan pukulan angin puyuhnya! 

“Kenapa pada teriak-teriak macam monyet terbakar ekor?!” tanya 

bobo  mengejek. “Ayo majulahl Bukankah kalian mau mencincang 

aku?!” 

Mendadak Pendekar 10000an  mendengar suara beradunya senjata 

dan suara seruan Sekar. Sewaktu dipalingkannya kepalanya, bobo  

masih sempat melihat bagaimana pedang hitam ditangan Bagaspati 

berhasil memapas putus Rantai Petaka Besi yang menjadi senjata 

Sekar. Pedang hitam itu kemudian laksana kilat membabat ke perut si 

gadis. Sekar tak punya kesempatan mengelak karena saat itu perhati-

annya telah terpukau oleh putusnya senjatanya serta rasa sakit yang 

menjalari lengan kanannya akibat beradu senjata tadi! 

Pranajaya yang melihat bahaya itu dengan kalap dan dengan 

tangan kosong lepaskan pukulan angin sewu ke arah Bagaspati. namun  

tiada guna. Babatan pedang Bagaspati datang terlalu cepat dan 

Bagaspati sendiri masih sempat putar pedang Ekasakti di tangan 

kirinya untuk melindungi dirinya dari pukulan angin sewu itu! 

Satu jari lagi pedang hitam di tangan kanan Bagaspati akan 

merobek perut dan membusaikan usus Sekar maka dari samping 

menderu selarik sinar putuh yang dahsyat! Demikian dahsyatnya 

sehingga Bagaspati terpaksa tarik pulang tangan kanannya dan 

melompat ke belakang beberapa tombak ! 

“Wuss !” 

Pukulan sinar matahari menggebu di depan hidung pemimpin 

bajak laut itu! Mata Bagaspati kelihatan tambah besar dan tambah 

merah namun  air mukanya pucat pasi! Dia sadar terlambat sedikit saja dia 

metompat tadi pastilah dia akan konyol dilanda sinar putih pukulan 

lawan! Kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Lebih-lebih melihat 

belasan anak buahnya bergeletakan pingsan di mana-mana dan yang 

masih hidup berdiri dengan muka pucat di tempat masing-masing, 

sama sekali tidak menyerang atau mengeroyok bobo  anakmanusia  ! 

“Keparat! Kenapa kalian meloogo semua?! Lekas bereskan setan 

alas yang satu ini!” Anggota-anggota bajak laut itu bimbang sesaat . 

Namun karena ngeri pada kemarahan serta hukuman yang kelak bakal 

mereka terima dari pimpinan merta, dua puluh orang diantaranya 

segera maju dan serentak menyerang. 

“Manusia tolol! Kalian minta mampus saja!” teriak bobo . Dengan 

serta merta dia pukulkan tangan kirinya. Sinar putih untuk kesekian 

kalinya menderu. Dan pukulan sinar matahari yang sekali ini meminta 

korban enam belas jiwa bajak-bajak laut itu. Pekik maut terdengar di 

mana-mana ! 

“Siapa yang mau mampus dan ikut perintah Bagaspati silahkan 

maju!” teriak bobo . Tak satu anggota bajakpun yang bergerak di 

tempatnya. Jangankan bergerak, berdiripun lutut mereka sudah goyah! 

Sementara Bagaspati berpikir-pikir pukulan apakah yang telah 

dilepaskan bobo  anakmanusia , maka si pendekar dari Gunung Gede ini 

palingkan kepalanya pada pemimpin bajak laut itu. 

“Bagaspati, jika kau berjanji akan mengembalikan Cambuk Api 

Angin, dan berjanji membubarkan gerombolan bajak yang- kau pimpin 

selama ini lalu kembali jadi manusia baik-baik, masih belum terlambat 

bagimu untuk kuberi ampun!” 

Bagaspati tertawa mengejek. “Kepongahanmu setinggi gunung!” 

jawabnya. “Meski ilmumu setinggi langit seluas lautan, Bagaspati tak 

akan sudi menyerah padamu kecuali kalau kau yang terlebih dulu 

serahkan jiwa padaku!” 

bobo  anakmanusia  bersiul dan tertawa gelak-gelak. “Kau bisa juga 

bersyair Bagaspati. Kalau betul-betul hatimu sekeras batu tidak 

mempunyai kesadaran, kelak kau terpaksa bersyair di neraka! 

Silahkan mulai!” 

“Cabut senjatamu setan alas!” bentak Bagaspati. “Ini senjataku 

Bagaspati!” bobo  acungkan kedua tangannya. 

“Kalau begitu aku akan mampus penasaran!” Bagaspati 

lemparkan pedang Ekasakti yang di tangan kirinya. Pedang mustika 

milik Prana itu menderu laksana kilat ke arahnya. bobo  miringkan 

kepalanya sedikit. Pedang putih lewat di sampingnya dan menancap di 

batang pohon kelapa! Prana cepat mengambilnya. 

“bobo , biar aku yang bikin perhitungan dengan manusia ini!” 

“Ah, kau tak usah mengotori tangan dengan darah manusia 

maling ini, Prana,” kata bobo  pula dengan suara keras lantang. 

Prana sadar bahwa bobo  telah menolongnya dari satu 

kedudukan yang merugikan. Dia tahu bahwa dia tak bakal sanggup 

menghadapi Bagaspati. Dengan berkata demikian bobo  bukan saja 

telah menolongnya namun  sekaligus membuat dia tidak kehilangan muka 

sama sekali ! 

“Ayo seranglah!” teriak bobo  saat  Bagaspati masih dilihatnya 

berdiri tak bergerak. 

“Kau terlalu cepat-cepat ingin mati rupanya setan alas!” desis 

Bagaspati. Tubuhnya membungkuk ke muka. Kedua kakinya melesak 

ke dalam tanah sampai dua dim. Ini satu tanda bahwa dia tengah 

kerahkan tenaga dalam dan siap untuk melancarkan serangan yang 

dahsyat! 

Didahului dengan teriakan macam serigala melolong di malam 

buta maka Bagaspati melesat ke muka. Dua tendangan dahsyat 

menderu ke arah perut dan kepala Pendekar 10000an  sedang pedang hitam 

membuat satu jurus yang mengandung lima serangan berantai ! 

“Ciaat! “ 

bobo  lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Meski pukulan 

ini berhasil membuat tendangan lawan batal namun pukulan itu 

sendiri kemudian dibikin buyar oleh sambaran angin pedang 

Bagaspati! Penasaran sekali bobo  dalam jurus kedua membuka 

serangan dengan jurus membuka jendela memanah rembulan. Lengan 

kanan dipukulkan melintang dari atas ke bawah sedang tangan kiri 

meluncur ke atas dalam gerakan vang cepat laksana kilat sukar dilihat 

mata dan terdengarlah seruan tertahan Bagaspati! Betapakan tidak. 

Detik itu juga dirasakannya pedang hitamnya telah terlepas dari 

tangan, ditarik oleh satu betotan yang dahsyat! Dan bila dia 

memandang ke depan dilihatnya senjata itu sudah berada di tangan 

bobo  anakmanusia  ! 

“Ha.... ha, bagaimana Bagaspati?! Akan kita lanjutkan 

pertempuran ini?!” 

Muka Bagaspati mengelam merah. 

“Setan alas. Kau datang ke sini untuk mencari Cambuk Api 

Angin bukan?! Baik! Aku akan keluarkan senjata itu. namun  bukan 

untuk diberikan padamu huh! namun  untuk bikin kau mati konyol!” 

Bagaspati selinapkan tangan ke dalam jubahnya. Sesaat kemudian 

maka ditangannya tergenggam sebuah cambuk berhulu gading, 

berwarna merah.  

Bagaspati mengekeh. “Ini ambillah!” Cambuk Api Angin di 

tangan Bagaspati berkelebat mengeluarkan angin laksana topan dan 

semburan lidah api yang luar biasa panasnya! 

“Prana! Sekar Lekas menyingkir!” teriak bobo  seraya buang diri 

ke samping beberapa tombak!  

Cambuk Api angin menderu dahsyat menghantam pohon kelapa 

di belakang bobo . Pohon kelapa ini terbabat putus dan baik putusan 

yang mental di udara maupun yang masih tinggal tertanam di tanah, 

semuanya hangus ditelan api! 

Diam-diam Pendekar 10000an  leletkan lidah. Di saat itu pula 

Cambuk Api Angin menderu kembali. bobo  kiblatkan pedang hitam 

milik Bagaspati. Sementara itu dia melihat bagaimana anak-anak 

buah Bagaspati yang ada menyingkir sejauh mungkin! 

Pedang hitam dan cambuk Api Angin saling bentrokan! Api 

menyembur! bobo  berseru kaget dan cepat-cepat lepaskan pedang 

hitam di tangannya! Pedang itu berubah menjadi merah, terbakar api 

Cambuk sakti ! 

“Keparat!,” maki bobo  dalam hati. “Hebat sekali Cambuk Api 

Angin itu!” 

Cambuk Api Angin datang bergulung-gulung. Suaranya seperti 

petir susul menyusul! Pendekar 10000an  menjadi sibuk! Melompat kian 

kemari dengan cepat, jungkir balik di udara dan berguling di tanah! 

Semua itu untuk hindarkan diri dari serangan Cambuk Api Angin 

yang ganas! 

Pranajaya sendiri tiada menduga Cambuk Api Angin demikian 

hebatnya. Diam-diam Penulis kusta  ini merasa khawatir apakah bobo  akan 

sanggup bertahan sampai lima jurus di muka Pakaian bobo  dilihatnya 

sudah kotor dan robek-robek. Rambutnya yang gondrong acak-

acakan, mukanya berselemotan tanah! Dan cambuk sakti itu masih 

juga menderu-deru, mengejar ke mana bobo  berkelebat! Dua jurus di 

muka Pendekar 10000an  benar-benar dibikin sibuk sekali malah terdesak 

hebat dan dipaksa bertahan mati-matian! 

Di dalam ketegangan pertempuran yang menyesakkan dada itu 

tiba-tiba terdengarlah gelak tertawa yang aneh dan suara siulan 

menggidikkan tak menentu iramanya! Dalam kejap itu pula sinar 

putih, kelihatan menabur angin yang memerihkan kulit menderu 

sedang suara seperti ratusan tawon terdengar datang dari segala 

jurusan dan tubuh bobo  anakmanusia  sendiri lenyap dari pemandangan! 

Bagaspati putar Cambuk Api Angin lebih cepat. Dentuman 

macam suara petir terdengar tiada henti. Angin laksana topan 

menggebu dan lidah api hampir setiap saat menyembur ganas! Namun 

kini gerakan-gerakan yang dibuat Cambuk sakti itu tidak leluasa 

seperti tadi lagi. Cambuk Api Angin tertahan dalam telikungan putih 

sinar barbel  pembasmi 10000an  ditangan bobo  anakmanusia  ! 

Bagaimanapun Bagaspati rubah jurus-jurus silat dan percepat 

permainan cambuknya tetap saja dia merasa semakin kepepet. 

“Terima jurus naga sabatkan ekor ini Bagaspati!” seru bobo . 

Bagaspati hanya mendengar suara bobo  saja. Serangan bobo  

yang bernama jurus naga sabatkan ekor itu sama sekali tidak sanggup 

dilihatnya karena cepatnya ! 

Dan tahu-tahu...  

“Craas!” 

Lalu terdengar lolongan Bagaspati. 

Cambuk Api Angin terlepas dari tangan kanannya. Tangan 

kanan itu sendiri tercampak ke tanah, buntung dibabat barbel  Maut 

pembasmi 10000an  sampai sebatas bahu ! 

Darah menyembur kental dan merah. Bagaspati macam 

orang gila menjerit-jerit dan lari sana lari sini, seradak seruduk 

macam orang celeng! Racun barbel  pembasmi mulai menjalari 

pembuluh-pembuluh darahnya. saat  pemandangannya 

berkunang dan lututnya goyah tak ampun lagi pemimpin bajak ini 

melosoh ke tanah, berguling-guling dan menjerit-jerit tiada henti! 

Semua anak buahnya memandang dengan penuh ngeri ! 

“Bunuh saja aku! Bunuh!” teriak Bagaspati karena tidak 

sanggup merasakan sakit yang menggerogoti dirinya akibat 

serangan racun yang sudah menyusup ke seluruh tubuhnya! 

Bagaspati masih terus berteriak dan berguling-guling sampai 

beberapa saat di muka namun kemudian saat  nyawanya lepas, 

maka tubuh itupun menggeletak tak berkutik lagi! Bagaspati mati 

dengan tubuh menelentang mulut berbusah dan mata melotot ke 

langit! Sungguh menggidikkan memandang tampangnya! 

Pendekar 10000an  tarik nafas dalam. Sekali tiup saja maka 

lenyaplah noda darah pada mata barbel  pembasmi 10000an . Dia 

melangkah dan mengambil Cambuk Api Angin. 

“Senjata hebat,” katanya sambil geleng kepala. Lalu Cambuk 

Api Angin itu diberikannya pada Pranajaya. 

“Terima kasih bobo ” kata Prana dengan penuh gembira namun  

juga haru. 

Di saat itu bobo  anakmanusia  sudah melangkah kehadapan 

anggota-anggota bajak yang masih hidup. Jumlah mereka tak 

lebih dari tiga puluh lima orang kini. 

“Kalian semua sudah lihat sendiri betapa mengerikan 

kematian itu!” seru bobo  dengan suara lantang. “Kuharap ini 

menjadi pelajaran yang baik! Berjanjilah bahwa kalian mau 

meninggalkan pulau ini, berhenti jadi bajak laut dan hidup 

sebagai manusia baik-baik. Banyak pekerjaan baik seperti jadi 

nelayan, petani atau berdagang! Dan atas janji kalian itu kami 

bertiga akan ampunkan nyawa kalian!” 

Hening sejenak. Salah seorang anggota bajak tiba-tiba 

jatuhkan diri berlutut. Kawan-kawannya juga kemudian menyusul 

berlutut. 

bobo  garuk-garuk kepala. “Buset! Orang suruh berjanji 

kenapa pada berlutut? Memangnya aku ini Tuhan disembah-

sembah! Bangun semua!” teriak bobo . 

Semua anggota banjak itu cepat bangkit berdiri. Pada paras 

mereka kelihatan rasa tunduk dan kesadaran serta niat untuk 

kembali hidup sebagai orang baik-baik. 

“Tampang-tampang kalian aku kenal semua! Ingat! Kalau 

kelak ada diantara kalian yang masih kutemui hidup dalam jalan 

jahat, kalian tahu hukuman apa yang bakal kalian terima!” 

bobo  berpaling pada kedua kawannya. “Sudah saatnya kita 

tinggalkan tempat ini kawan-kawan.”  

Prana dan Sekar mengangguk. 

saat  ketiganya hendak berlalu salah seorang bekas 

anggota bajak berseru, “Tunggu !” 

“Ada apa?!” tanya bobo . 

“Di pulau ini ada satu gudang besar berisi timbunan barang 

dan uang. Apa yang akan kami lakukan dengan benda-benda 

itu?!” 

“Busyet kenapa jadi tolol?! Kalian bagi-bagi saja sama rata 

dan jadikan modal buat hidup baik-baik!” sahut bobo . 

Seorang bekas anak buah Bagaspati lainnya berkata, “Kami 

tidak keberatan memberikan separoh dari harta dan uang itu 

pada kalian bertiga!” 

Pendekar 10000an  berpaling pada. kedua kawannya lalu tersenyum. 

“Terima kasih sobat! Kami datang ke sini bukan buat cari harta atau 

uang, namun  Cambuk Api Angin. Senjata itu telah kami temui dan kami 

musti pergi!” 

saat  rakit mereka diseret ke tepi pantai, bekas-bekas anak 

buah Bagaspati itu menawarkan akan mengantarkan mereka ke 

pantai Jawa namun  mereka menolak. 

“Rakit ini cukup baik dan lebih cepat jalannya,” jawab bobo . 

Dan betapa anehnya bagi bekas anak-anak buah Bagaspati itu 

sewaktu menyaksikan rakit tersebut meluncur dalam kecepatan luar 

biasa, padahal tenaga penggeraknya hanya tangan-tangan bobo  dan 

Prana yang dibuat sebagai pengganti dayung! 

 

PANTAI Jawa telah berada dihadapan mereka dan tak lama 

kemudian, diwaktu sang surya mulai kemerahan warnanya di ufuk 

barat maka sampailah mereka di ujung timur Pulau Jawa. 

“Kita telah sampai sobat-sobatku!” seru bobo . Dia yang pertama 

sekali melompat ke daratan. ”Dan ini adalah saat perpisahan kita.” 

Prana dan Sekar sama-sama terkejut. bobo  sebaliknya tertawa. 

“Tugasmu telah selesai bukan, Prana? Cambuk Api Angin sudah 

berhasil ditemui....” 

“namun  bobo .....” 

Ucapan Prana ini dipotong oleh bobo . “Di lain hari kelak kita 

pasti akan jumpa lagi sahabat-sahabat. Ada satu hal yang ingin 

kukatakan pada kalian.” 

bobo  memandang Sekar dan Prana berganti-ganti dengan 

senyum-senyum. 

“Kalian ingat malam bulan sabit waktu kita berhenti di tepi anak 

sungai dulu itu?” 

Prana dan bobo  saling panda mengingat-ingat dan begitu ingat 

masing-masing mereka sama memandang pada bobo . 

“Maaf saja, aku mencuri dengar apa yang percakapkan saat 

itu....” 

Paras Sekar dan Prana menjadi merah dengan serta merta. 

Keduanya sama tundukkan kepala. Mereka ingat malam di tepi sungai 

waktu mereka membicarakan soal cinta itu. 


“Sobat-sobatku, kalian boleh saja buat seribu janji. namun  kalian 

pertama-tama musti kembali ke tempat guru kalian! Urusan jodoh 

guru kalian musti diberi tahu....” 

Paras kedua orang itu semakin memerah. 

bobo  tertawa bergelak. 

“Nah sobat-sobatku, setamat tinggal. Kudoakan agar kalian 

bahagia.” 

“bobo  tunggu dulu!” seru Prana dan Sekar hampir bersamaan. 

Namun tubuh Pendekar 10000an  sudah berkelebat. Prana 

merasakan tepukan pada bahunya sedang Sekar merasa cuilan pada 

dagunya! Sewaktu memandang berkeliling. bobo  anakmanusia  sudah tiada 

lagi! 

“Aku tak akan melupakan dia.“ desis Prana.  

“Kelak bila aku punya anak laki-laki, aku akan namakan dia 

bobo .” 

Prana putar kepalanya. Pandangannya bertemu dengan 

pandangan Sekar. Meski cuma pandang memandang, namun  semua itu 

menimbulkan satu kekuatan gaib yang membuat mereka saling 

melangkah mendekat untuk kemudian saling berpeluk. Laut, langit 

dan matahari sore menjadi saksi betapa mesranya pelukan itu.