cepat.
MALAM itu malam yang ketiga bagi rombongan yang terdiri dari
tiga orang itu dalam perjalanan mereka menuju Pulau makam Penulis kusta di
ujung timur pulau Jawa. Mereka berhenti di tepi sebuah anak sungai
berair jernih. Langit bersih kebiruan. Bintang-bintang bertaburan dan
bulan sabit memperindah suasana malam yang sejuk itu.
Pranajaya memasukkan empat potong kayu kering ke dalam api
unggun lalu melangkah perlahan ke tepi sungai. Di lihatnya gadis itu
duduk di sebuah batu besar, tengah melamun seorang diri. Prana
datang mendekat.
Untuk beberapa lamanya tidak satupun dari mereka yang bicara.
Si Penulis kusta memandang ke langit lepas. Dia mendapat bahan untuk
membuka pembicaraan, “Bagus sbetul malam yang sekali ini.”
Sekar memandang ke atas, memperhatikan bulan sabit dan
bintang-bintang yang bertaburan lalu menganggukkan kepalanya.
“bobo belum kembali?” tanya gadis itu. “Belum,” sahut Prana.
Hatinya menciut. Sekar lebih banyak memperhatikan seorang lain yang
tak ada di situ daripada kehadiran dirinya di sampingnya di atas batu
itu. Dan Prana sendiri tidak tahu ke mana pula bobo pergi. Dua malam
yang lalupun Penulis kusta itu selalu pergi tanpa memberi tahu ke mana.
Seakan-akan kepergiannya itu merupakan hal yang disengaja.
Pranajaya berdehem beberapa kali untuk menghilangkan sekatan
yang menyesakkan lehernya. Dipandanginya paras jelita Sekar dari
samping. Betapa indahnya paras itu dipandang dibawah naungan
malam yang disinari bulan sabit dan bintang gumintang.
“Kau masih belum memberikan jawaban apa-apa atas ucapanku
malam pertama yang lalu, Sekar…,” berkata Pranajaya. Suaranya sekali
ini tiada bernada ditelan sendiri oleh gema gemetar suaranya itu.
Sekar memandang ke hulu sungai lalu menundukkan kepalanya.
“Apakah tak akan pernah ada balasan?” tanya Pranajaya.
Si gadis memandang lagi ke hulu sungai lalu membuka mulut,
“Dalam perjalanan ini bukan persoalan cinta yang musti dipikirkan
Prana…“
Suara Sekar pelahan, hampir seperti berbisik namun begitu
mengiang telinga Pranajaya kedengarannya Paras Penulis kusta ini membeku
merah. Ditundukkannya kepalanya.
“Kurasa bukan disitu sesungguhnya dasar jawabanmu, Sekar,”
ujar Penulis kusta itu pula
“Lalu....?”
“Kau mencintai dia...?” tanya Prana seberani mungkin.
“Dia siapa?”
“Tak usah berpura-pura....”
Sekar memandang Penulis kusta itu sebentar. “Maksudmu bobo ?”
tanyanya.
Si Penulis kusta anggukkan kepala.
Sekar tertawa.
“Suara tertawamu aneh, Sekar,” bisik Pranajaya. “Seolah-olah
membenarkan pertanyaanku tadi.”
Sekar diam.
“Aku memang bukan apa-apa jika dibandingkan dengan bobo ....”
“Kau tak usah cemburu Prana”
“Terus terang saja dalam persoalan ini aku cemburu padanya.
Aku iri,” kata Pranajaya dengan hati laki-laki. “namun kecemburuan dan
iri hatiku itu tidak menyebabkan aku menjadi buta atau lupa diri atau
mempunyai maksud yang buruk-buruk terhadap kalian berdua. Aku
cemburu dan iri pada bobo , namun aku menghormati dan menghargainya
sebagai seorang sahabat. Sebagai seorang manusia kepada siapa aku
berhutang budi serta nyawa. Bahkan lebih dari itu aku mengganggap
bobo bukan orang lain, namun sudah sebagai saudara kandung sendiri....”
Sekar masih diam dan Pranajaya meneruskan ucapan-
ucapannya.
“Aku menyadari kenyataan Sekar. Kenyataan bahwa aku bukan
apa-apa jika dibandingkan dengan dia. Ilmunya tinggi, parasnya gagah
dan jasmaninya tidak mempunyai cacat apa-apa. Yang lebih utama dia
adalah seorang laki-laki berhati jantan, luhur dan kudus….. Jika kau
mau berterus terang Sekar, aku tak akan membuka-buka lagi
persoalan ini. Aku akan lebih bahagia dan bangga jika kalian bisa hidup
berdua dan berbahagia....”
“Antara aku dan bobo tak ada hubungan apa-apa, Prana,”
memotong Sekar. “Tak sepantasnya kau bicara sampai sejauh itu.”
Pranajaya memandang ke langit di atasnya. Diperhatikannya
bulan sabit dan dia berkata . “Mungkin, namun kau tak bisa menipu
dirimu sendiri! Sekar. Kau tak bisa mendustai kata hatimu. Kau
mencintai dia.....”
Sekar tundukkan kepalanya memperhatikan jari-jari kakinya yang
mungil bagus.
“Aku tak ingin membicarakan persoalan ini lebih lanjut Prana.”
“Jadi tak ada jawaban darimu? Tak ada jawaban berarti suatu
penolakan Sekar...”
Sepi menyeling. Pranajaya menunggu sampai beberapa lamanya.
Dipandanginya paras Sekar sesaat . Dan bila tak ada juga jawaban dari
gadis itu maka Prana memutar tubuh dan perlahan-lahan meninggalkan
tempat itu. Sekar memalingkan kepalanya. Di pandanginya tubuh yang
berjalan itu, dipandanginya kaki yang melangkah itu, dipandanginya
kepala yang tertunduk itu dan dipandanginya tangan kiri yang buntung
itu. Hati gadis ini memukul-mukul. Suaranya serak parau sewaktu
mulutnya mernanggil, “Prana…”
Panggilan itu laksana satu kekuatan gaib yang membuat kedua
kaki Pranajaya berhenti melangkah dan tubuhnya berhenti berjalan. Si
Penulis kusta palingkan kepala. Diantara keputus-asaan yang menyelimuti
wajahnya di malam sejuk itu kelihatan sekelumit pengharapan. Dan
matanya memandang sayu pada si gadis, menunggu ucapan
selanjutnya.
“Prana.....”
“Ya, Sekar…”
“Bersediakan kau menunda pembicaraanmu ini sampai
berakhirnya tugasmu di Pulau makam Penulis kusta nanti…?”
Si Penulis kusta .merenung sejenak. Lalu jawabnya, “Aku bersedia Sekar
meski aku tahu mungkin tak ada harapan sama~sekali bagiku....”
“Mungkin yang orang duga tak selalu mungkin pada kenyataan,
Prana,” kata Sekar.“
Pranajaya murid Empu Blorok coba merenungkan ucapan gadis
itu. Kemudian sekelumit senyum tersungging dibibirnya.
“Kuharapkan saja demikian, Sekar,” kata Prana. Lalu
ditinggalkannya tempat itu.
DI PAGI HARI yang kesembilan ketiga orang itu kelihatan
berdiri di tepi pantai di ujung, timur pulau Jawa. Di laut kelihatan
gugusan pulau-pulau. Ada yang berkelompok-kelompok, ada yang
terpisah menyendiri. Perahu-perahu nelayan kelihatan di mana-
mana. Angin dari laut bertiup, melambai-lambaikan rambut serta
pakaian mereka.
Pranajaya menunjuk ke sebuah teluk sempit dan berkata, “Di
situ ada perkampungan nelayan. Kita bisa mencari keterangan di
mana letak Pulau makam Penulis kusta dan sekalipun menyewa perahu serta
membeli perbekalan.”
bobo mengangguk. Ketiganya segera menuju ke perkampungan
itu. Seorang nelayan tua mereka temui tengah memperbaiki jala di
teluk itu.
Prana menyalaminya lalu bertanya, “Bapak, yang manakah di
antara pulau-pulau di tengah laut sana yang bernama Pulau Seribu
Maut?”
Pertahan-lahan nelayan tua, itu mengangkat kepalanya dan
membuka topi pandannya. Dipandanginya Pranajaya, lalu bobo dan
Sekar.
“Kau bertanyakan Pulau makam Penulis kusta nak?” ujar nelayan tua
ini.
Prana mengangguk.
“Kalau tak tahu jelasnya kira-kira saja,” berkata bobo .
Si nelayan hela nafas dalam.
“Umurku enam puluh tahun nak. Dan hari inilah baru
kudengar ada seorang yang bertanya di mana letak Pulau Seribu
Maut,” Nelayan itu hela nafas dalam sekali lagi. “Apakah kalian
hendak menuju ke sana?”
“Betul” sahut Prana.
Mata yang sudah agak mengabur di mana umur dari nelayan
tua itu memperhatikan ketiga manusia itu dengan lebih teliti.
“Kalian tentunya orang-orang dunia persilatan. Tidak heran kalau
kalian bernyali menanyakan letak pulau itu. Urusan apakah
gerangan yang membawa kalian begitu berniat meriuju ke snna?”
“Ah tak ada apa-apa, pak. Cuma kepingin tahu saja,” jawab
Prana.
Si nelayan tertawa. “Kepingin tahu dan menemui kematian di
sana...? Nak, dengar... hanya manusia-manusaa yang mau lekas-
lekas mati saja yang berhajat pergi ke Pulau makam Penulis kusta ….”
“Namanya memang menyeramkan,” kata bobo sambil usap-
usap dagu. “namun sebetulnya ada kehebatan apakah di sana sampai
pulau itu demikian ditakuti orang-orang?”“
“Ah, kalian bukan orang-orang sini. Kalian tidak tahu, Nak….
di situ bersarang gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh seorang
bernama Bagaspati. Setiap perahu atau kapal yang lewat diselat
Madura ini pasti dirampok, manusia-manusianya dibunuhi.
Kampungku inipun tak urung menjadi korban kejahatan Bagaspati
dan anak buahnya. Perempuanperempuan kami diambil dan dibawa
ke Pulau makam Penulis kusta . Satu kali seminggu kami musti menyiapkan
dan memberikan bahan-bahan makanan kepada mereka. Kami tak
bisa berbuat apa-apa nak. Kalau melawan berarti mati.....”
“Kenapa tidak pindah ke kampung lain?” tanya Sekar.
“Lebih berabe lagi!” jawab si nelayan. “Kalau kami berani pergi
dari sini, semua penghuni kampung dari yang kecil sampai tua
macamku ini akan dibunuh! Begitu Bagaspati mengancam…”
“Pernah berhadapan muka dengan manusia Bagaspati itu?”
tanya Prana.
“Pernah dan pernah ditampar. Tiga hari aku tak bisa
meninggalkan tempat tidur karena masih pening di landa
tamparannya.“
bobo anakmanusia mengulum senyum. Diperhatikannya beberapa
buah perahu yang berada di tepi pantai itu.
“Perahu-perahu bapak?” tanya bobo .
Si nelayan mengangguk.
“Bisa kami sewa sebuah?”
“Untuk pergi ke Pulau makam Penulis kusta ?!.”
“Ya.”
Nelayan tua geleng-gelengkan kepalanya.
”Aku memang sudah tua dan hampir masuk liang kubur. namun
walau bagaimanapun aku tak mau cari urusan yang bisa mempercepat
kematianku! Tak ada satu orangpun yang akan mau menyewakan
perahunya ke Pulau makam Penulis kusta . Tak ada satu pemilik perahupun yang
akan mengantarkan kalian ke sana. Pulau makam Penulis kusta adalah pulau
kematian!”
“Kalau begitu bapak terangkan saja letaknya.“
“Tidak bisa nak… tidak bisa…” Si nelayan lalu cepat-cepat
meninggalkan ketiga orang itu. Yang ditinggalkan saling berpandangan
lalu pergi ke pusat kampung. Dan sebagaimana yang dikatakan nelayan
tua tadi, tak ada seorang pemilik perahupun yang mau menyewakan
perahunya, apalagi mengantar mereka ke Pulau makam Penulis kusta . Juga
ketiganya tak berhasil mencari keterangan di mana kira-kira letak pulau
angker tersebut.
“Penduduk di sini sialan semua!” gerutu bobo anakmanusia . “Pada mati
ketakutan! Kurasa mencari dan pergi ke tempat seorang puteri cantik
tidak sesukar ini! Cuma mencari Kepala bajak saja begini susah!
Geblek!”
“Kita tak bisa salahkan penduduk bobo ,” ujar Prana.
“Kalau begini kita terpaksa bikin perahu sendiri atau rakit!” kata
bobo mengalih pembicaraan.
Prana mengangguk. “Rakit kurasa lebih baik daripada perahu.
Ombak di selat ini cukup besar…”
Menjelang tengah hari maka di tengah laut lepas di selat Madura
itu kelihatanlah sebuah rakit yang laksana “terbang” memecah
gelombang air laut, melaju dalam kecepatan yang luar biasa, semakin
lama semakin jauh dari pantai !
Beberapa nelayan yang perahu mereka kebetulan dilewati oleh
rakit itu tersentak kaget. Mereka hampir-hampir tak dapat mempercayai
pandangan mata mereka. Apakah mereka telah mengimpi di siang
bolong yang panas terik itu atau telah melihat jin-jin laut gentayangan di
depan mereka?!
Betapakan tidak! Tiga orang mereka lihat berada di atas rakit itu.
Satu diantaranya gadis cantik jelita. Meski ombak tidak besar namun untuk
mengarungi lautan dalam kecepatan yang demikian rupa dan dengan
sebuah rakit pula benar-benar mustahil, benar-benar tak bisa mereka
percaya! Dan yang lebih tidak dapat mereka percayai ialah karena dua
orang Penulis kusta yang ada di atas rakit itu mempergunakan tangan-tangan
mereka sebagai pendayung yang membuat rakit tersebut laksana
terbang!
“Jangan-jangan jin-jin laut yang kita lihat ini, Warana,” kata
seorang nelayan pada kawannya yang berada dalam sebuah perahu jauh
dimuka rakit itu. Dia dan kawannya sama-sama mengusap mata berkali-
kali.
“Hai, lihat! Mereka menuju ke sini!” seru Warana.
“Celaka kita! Kayuh yang cepat Warana sebelum jin-jin laut itu
datang mencekik kita!”
Warana dan kawannya segera menyambar pendayung. namun
belum lagi kedua kayu pandayung mereka mencelup ke dalam air laut,
rakit yang berisi tiga manusia itu sudah berhenti dihadapan mereka!
Paras kedua nelayan itu pucat pasi. Meski yang mereka lihat adalah
benar-benar manusia, namun rasa tak percaya tetap membuat mereka
menyangka bawa tiga manusia di atas rakit itu adalah jin-jin laut yang
datang menganggu mereka!
“Saudara, yang manakah Pulau makam Penulis kusta ?” bertanya laki-laki
muda yang bertangan buntung. Baik Warana maupun nelayan yang
satu lagi hanya terduduk bermuka pucat dalam perahu mereka tanpa
bisa membuka mutut.
bobo memandang keheranan, juga Sekar.
“Hai, apa kalian tak dengar orang bertanya?!” seru bobo anakmanusia .
Warana membuka mulut namun tak ada suara yang ke luar.
“Kalian seperti orang yang ketakutan!” ujar bobo .
Prana juga melihat bayangan ketakutan itu pada wajah kedua
nelayan tersebut. Dia tak tahu apa sebabnya dan dia tak mau perduli.
Dia bertanya lagi . “Di mana letak Pulau makam Penulis kusta ?!”
“Saudara-saudara... apa kalian... kalian…” Warana tak berani
meneruskan ucapannya. saat dilihatnya kawannya mencelupkan
pendayung segera dilakukannya hal yang sama. Perahu mereka segera
bergerak namun kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Kedua nelayan itu
pergunakan seluruh tenaga untuk mendayung namun tetap saja
perahunya hanya mengapung dan sedikitpun tak bisa bergerak.
Ternyata bobo anakmanusia telah memegang ujung belakang perahu
mereka dan semakin menjadi-jadilah takut kedua orang itu. Mereka
berteriak-teriak dan lari sana lari sini dalam perahu mereka. Ikan-ikan
yang berhasil mereka tangkap berhamburan kembali ke dalam laut!
“Nelayan-nelayan geblek! Apa kalian sudah gila semua teriak-
teriak tak karuan?!” bentak bobo .
“Tolong! Tolong .... !” teriak Warana. Kawannya meniru berteriak
macam itu pula.
“Saudara-saudara kami bukan rampok atau bajak!” seru
Pranajaya. .
bobo garuk-garuk kepalanya dan melangkah kehadapan
Warana. “Keblinger betul! Orang tanya Pulau makam Penulis kusta kenapa jadi
teriak-teriak minta tolong ?!”
“Tolong jin laut! Tolong... !”
bobo , Prana dan Sekar saling berpandangan. Sekar kemudian
berbisik pada Prana, “Keduanya menyangka kita jin laut...!”
bobo anakmanusia menjambak rambut Warana dan menepuk-nepuk
pipi nelayan ini. “Kau kira kami ini bukannya manusia apa?! Sompret!
Kami manusia-manusia macam kau saudara! Ayo jawab kenapa kalian
teriak-teriak dan di mana letak Pulau makam Penulis kusta ?!”
Dijambak demikian rupa Warana semakin memperkeras
teriakannya.
“Manusia tak berguna pergilah!” sentak bobo anakmanusia seraya
melepaskan jambakannya. Begitu dilepas begitu Warana sambar
pendayung dan bersama kawannya mengayuh cepat meninggalkan
rakit itu. Meledaklah tertawa ketiga orang itu sewaktu Sekar berkata,
“Tentu saja, mana mereka mau percaya bahwa kita adalah manusia-
manusia seperti mereka. Tak ada orang yang berakit di laut dan
dengan kecepat laksana angin!”
bobo seka kedua matanya yang basah oleh air mata karena
tertawa itu. Dia memandang berkeliling dan tarik nafas dalam.
“Agaknya tak ada satu manusiapun yang bisa kasih keterangan di
mana letak Pulau itu…” kata bobo .
“Kita musti cari sampai dapat!” Prana kertakkan rahang.
bobo memandang pada Sekar. Gadis itu dilihatnya memandang
ke arah utara tanpa berkesip.
“Apa yang kau perhatikan?” tanya bobo .
Sekar tak menjawab dan dia masih memandang kejurusan
utara itu. Wira putar kepala mengikuti pandangan Sekar. Jauh di
tengah laut lepas di lihatnya dua buah pulau yang besarnya
dipemandangan mata mereka cuma sebesar ujung jari kelingking saja.
“Bagaimana kalau kita arahkan rakit kita ke sana?”
mengusulkan Sekar.
bobo dan Prana saling pandang dan sama menyetujui. Dan rakit
itupun menggebulah di atas air laut yang muncrat di belah bagian
muka rakit. Detik demi detik kedua pulau itu semakin dekat juga.
“Salah satu dari pulau-pulau itu banyak elang elang lautnya
bobo ,” kata Prana.
bobo anakmanusia memandang pada pulau yang sebelah kanan. Di
atas pulau itu memang keiihatan banyak beterbangan burung-burung.
“Itu bukan burung elang, Prana. namun gagak hitam pemakan mayat!”
seru bobo tiba-tiba saat , matanya yang tajam dapat mengenal
burung-burung itu.
Prana pelototkan mata.
“Sekar, putar kemudi ke arah pulau itu!” kata Prana.
Dan sesaat kemudian rakit itupun meluncur berputar ke arah
pulau yang sebelah kanan. Semakin dekat semakin jelas keadaan
pulau itu. Beberapa buah perahu besar dan kapal kelihatan berada di
sekitar teluk yang sempit.
“Hai benda apa itu?!” mendadak sontak Sekar berseru.
bobo dan Prana berpaling ke arah yang ditunjuk Sekar. Sebuah
benda hitam yang sangat besar.meluncur pesat ke arah mereka.
“Ikan raksasa!” seru Sekar pula.
bobo anakmanusia memandang tak berkesip. Benda hitam besar itu
memang seperti kepala seekor ikan. namun bukan ikan betul-betul. bobo
masih coba meneliti dengan seksama saat tiba-tiba sekali benda itu
lenyap dari permukaan air.
“Aku merasa tidak enak,” desis Prana.
“Kita musti waspada,” kata bobo .
Baru saja dia habis berkata begini tahu-tahu benda hitam yang
luar biasa besarnya itu sudah muncul dihadapan rakit mereka. Bagian
tengahnya laksana seekor buaya raksasa membuka dan “plup”
sekaligus menelan rakit serta ketiga penumpangnya!
“Celaka!” seru Prana. namun suaranya lenyap ditelan katupan
yang menutup.
bobo mernukul lengan tinjunya kian ke mari. Terdengar suara
bergetar namun aapa yang dipukulnya itu sama sekali tidak hancur !
“Gila, apa-apa ini!” teriak Pendekar 10000an .
Dia tak bisa melihat Sekar ataupun Prana. Ruang di mana
mereka terkurung sangat gelap bahkan tangan di depan matapun
tidak kelihatan.
Pendekar 10000an keluarkan barbel pembasmi dan batu hitam untuk
membuat penerangan. Namun sebelum tangannya menyentuh senjata
sakti itu tiba-tiba terdengar suara mendesis. Sekejap kelihatan sinar
biru. Prana dan Sekar berseru lalu terdengar suara jatuhnya tubuh
kedua orang itu !
Sinar biru Ienyap. bobo yakin itu adalah hawa beracun yang telah
disemprotkan ke dalam ruangan gelap itu. Kepalanya terasa pusing dan
pemandangannya tak karuan. Dia seperti melihat ribuan bintang
begemerlap, seperti melihat tali-tali yang melingkar-lingkar berkilauan
dan menusuk-nusuk ke arah matanya. Pendekar 10000an segera kerahkan
tenaga dalam dan tutup semua inderanya. Satu menit kemudian dia
berhasil menolak hawa beracun itu lalu dengan cepat keluarkan dua
butir pil dan dengan merangkak dia berhasil mencari tubuh Sekar dan
Prana lalu memasukkan pil anti racun ke dalam mulut keduanya.
Mendadak terdengar suara berkereketan dan ruangan itu di mana
bobo berada seperti dihamparkan. Kemudian sebuah pintu terbuka.
Pendekar 10000an segera jatuhkan diri diantara tubuh Prana dan Sekar. Saat
itu keduanya sudah mulai sadar. bobo segera membisiki, “Berbuatlah
pura-pura pingsan terus! Jangan lakukan apa-apa sebelum kuberi
tanda!”
Terdengar lagi suara berkereketan kemudian tubuh mereka terasa
menggelindung dan jatuh di atas pasir yang panas dihangati oleh sinar
matahari. Perlahan-lahan bobo anakmanusia buka ke dua matanya.
Saat itu terdengar suara seseorang tertawa bergelak. “Surengwilis!
Jadi inikah manusia-manusianya yang katamu kasak kusuk cari
keterangan tentang pulau kita?!”
“Betul pemimpin!” terdengar jawaban seseorang.
bobo anakmanusia membuka matanya lebih lebaran.
Dan dihadapannya, beberapa tombak jauhnya dilihatnya antara
belasan manusia-manusia berbadan tegap, berdiri seorang laki-laki yang
luar biasa tinggi dan besar badannya. Menurut taksiran bobo manusia
ini mungkin lebih dua meter tingginya! Tampangnya beringas buas dan
amat menyeramkan, ditutupi oleh berewok yang lebat dan berangasan!
Sepasang matanya besar dan merah. Hidung juga besar namun picak. Dia
mengenakan jubah hitam bergaris-garis putih. Di pingggangnya
tergantung sebilah pedang panjang. Yang menarik perhatian bobo ialah
tengkorak kepala manusia yang menjadi kalung dan tergantung di leher
laki-laki ini.
“Hem…,” si tinggi besar berkalung tengkorak manusia itu
menggumam. Dia memandeng berkeliling, “Apa ada diantara kalian yang
kenal pada mereka?!”
Tak ada suara jawaban.
“Kalau begitu mereka adalah manusia-manusia tidak berguna!”
ujar si tinggi besar. “Penggal kepala kedua laki-laki itu! Yang perempuan
biarkan hidup! Dia cukup bagus untuk disuruh menari telanjang malam
ini dan tidur bersamaku!”
Beberapa kaki kelihatan melangkah kehadapan ketiga orang itu.
bobo berbisik pada kedua-kawannya, “Sekarang, sobat-sobat!”
Maka ketiga manusia yang berpura-pura pingsan itu segera
melompat dari tanah di mana mereka menggeletak !
KEJUT semua orang yang ada di situ bukan kepalang!
namun anehnya si tinggi kekar malah keluarkan suara tertawa
mengkeh.
“Ha . . . ha! Kalian kira mataku bisa ditipu huh?!”
Sadarlah bobo dan kawan-kawannya bahwa ucapan si tinggi
kekar memerintahkan anak-anak buahnya untuk memenggal kepala
mereka adalah pancingan belaka. Pendekar 10000an menggerendeng dalam
hati.
“Sebelum kalian mati kuharap kalian mau kasih keterangan,”
berkata si tinggi besar yang berjubah hitam bergaris-garis putih.
Tangan kanannya ditekankan ke ujung gagang pedang. “Ada
keperluan apa kau mencari tempat ini?!”
“Apakah ini Pulau makam Penulis kusta ?!,” balas menanya Pranajaya.
Si tinggi kekar tertawa lagi. “Kalian memang sudah berada di
Pulau yang kalian cari! Pulau di mana kalian akan melepas nyawa
masing-masing?”
Tersiraplah darah Prana dan Sekar. Pendekar 10000an tetap tenang-
tenang saja.
Prana memandang lekat-lekat pada si tinggi kekar. “Aku
mencari manusia bernama Bagaspati. Apakah kau orangnya!”
“Setan alas! Kowe berani sebut nama pemimpin kami seenak
perutmu! Terima mampus!”
Satu hardikan datang dari samping dan satu sambaran angin
menderu ke arah leher Prana. Penulis kusta ini cepat-pepat menyingkir ke
samping. Ujung sebilah kelewang menderu di muka hidungnya !
“Tahan!” seru laki-laki bertubuh tinggi kekar. Orang yang tadi
menyerang dengan kelewang bersurut mundur. Si tinggi kekar
pelototkan mata pada Pranajaya. “Manusia tangan buntung!,” katanya,
“aku memang Bagaspati! Menyebut namaku berarti mati! namun kau
masih punya waktu untuk memberi keterangan ada keperluan apa
kau dan kawan-kawanmu mencari pulau kami!”
“Kedatanganku atas tugas guruku!”
“Hem.... aku sudah duga bahwa kau dan kawan-kawanmu
manusia-manusia dari dunia persilatan! Terangkan apa tugasmu dan
siapa gurumu!” ujar si tinggi besar Bagaspati.
“Aku diperintahkan untuk mengambi! Cambuk Api Angin yang
telah kau curi dari guruku!” Bagaimanapun Bagaspati menekan rasa
terkejutnya namun pada air mukanya jelas kelihatan perubahan.
“Apakah kau muridnya Empu Blorok?!” tanyanya membentak.
Prana anggukkan kepala. “Mana cambuk itu?! Lekas serahkan
padaku!”
Meledaklah tertawa bekakan Bagaspati. Tanah yang dipijak
bergetar saking hebatnya suara tertawa yang disertai tenaga dalam itu.
“Nyalimu sungguh besar tangan buntung!,” kata Bagaspati
seraya melangkah kehadapan Prana.
“Sreet !”
Tiba-tiba Bagaspati cabut pedang panjangnya. Senjata ini
berwarna hitam legam bersinar yang menggidikkan. Dia hentikan
langkahnya dua tombak dihadapan Prana lalu membentak, “Lekas
sebut kau punya nama! Aku tak biasa membunuh manusia dunia
persilatan tanpa tahu namanya!”
Sebagai jawaban Pranajaya cabut pula pedang Ekasaktinya.
Sinar putih berkilau ke luar dari senjata mustika itu.
“Aku datang hanya untuk mengambil Cambuk Api Angin. Kalau
kau menghadapinya dengap kekerasan tak ada jalan lain daripada
menabas batang lehermu!”
“Bedebah sontoloyo!” teriak Bagaspati marah. Pedang hitamnya
berkelebat ganas, menderu ke arah tubuh Pranajaya, sekaligus
merupakan tiga buah serangan berantai yang dahsyat !
Murid Empu Blorok tidak tinggal diam. Prana segera kiblatkan
senjatanya. Pedang putih dan pedang hitam beradu mengeluarkan suara
keras dan memercikkan bunga api !
Terdengar seruan Prana.
Pedang Ekasakti terlepas dan mental dari tangannya.
Sekejap kemudian senjata itu sudah berada di tangan kiri
Bagaspati!
“Ha... ha.... ha.... Gurumu keliwat sembrono manusia tangan
buntung! Murid masih berilmu cetek disuruh mencari Bagaspati!”
Bagaspati angkat tangan kanannya tinggi-tinggi. “Sebut namamu cepat!”
perintahnya. Pedang hitam ditangan kanan sementara itu perlahan-
lahan mulai turun, siap diletakkan ke kepala Pranajaya.
“Bagaspati,” terdengar satu suara dari samping, “Sebelum kau
bunuh kawanku ini, harap beri kesempatan padaku untuk bicara.....!”
Bagaspati palingkan kepala dengan penuh kegusaran. “Rambut
gondrong, kau bakal terima mampus sesudah kematian kawanmu ini!”
Pendekar 10000an bobo anakmanusia tersenyum.
“Kami datang secara damai untuk meminta kembali pedang yang
telah kau pinjam dari Empu Blorok. Apakah pantas seorang bernama
besar sepertimu menyambut kedatangan kami dengan perlakuan seperti
ini?”
“Penulis kusta geblek! Pulau ini adalah Pulau makam Penulis kusta ! Kematian
bisa terjadi setiap detik! Siapa yang menyebut nama Bagaspati dengan
kurang ajar berarti mati!” kata Bagaspati dengan membentak marah dan
muka merah.
“Ah .... kau masih saja sebut-sebut perkara mati dan mampus,”
menukasi Pendekar 10000an sambil cengar cengir seenaknya. “Kawanku
sudah bilang bahwa kami datang ke sini untuk minta kembali Cambuk
Api Angin. Soal mati atau mampus bisa diurus kemudian kalau kau
sudah serahkan cambuk itu padanya! Malah-malah kini kau rampas
pedang kawanku!”
“Pemimpin! Yang satu ini biar aku yang bereskan!” satu manusia
bertubuh tegap maju dengan barbel besar ditangan kanan. Namanya
Surengwilis. Dialah yang telah mengetahui kedatangan Prana dan
kawan-kawan yang kemudian melaporkan pada Bagaspati.
Bagaspati anggukan kepala. “Lekas bereskart dia, Sureng!”
“Sobat kalau kau punya senjata silahkan keluarkan. Aku tak
begitu senang membunuh manusia bertangan kosong!” bentak
Surengwilis yang saat itu sudah berdiri dihadapan bobo anakmanusia .
bobo anakmanusia garuk kepala. “Aku tak ada senjata. Bisa pinjam
pedang hitammu, Bagaspati?!”
Tentu saja kemarahan Bagaspati si kepala bajak laut menjadi naik
ke kepala. “Sureng! Lekas bunuh manusia keparat itu!” teriaknya.
barbel di tangan Surengwilis menderu laksana topan.
Detik senjata itu berkiblat, detik itu pulalah terdengar jeritan
Surengwilis. Tubuhnya mencelat mental beberapa tombak dan barbel
yang tadi dipegangnya tahu-tahu sudah berada di tangan bobo anakmanusia !
Semua mata melotot besar seperti tak percaya melihat kejadian
itu. Di ujung sana Surengwilis mencoba bangun dari tanah. Dia berdiri
gontai sesaat sambil memegangi dadanya. Mulutnya membuka seperti
hendak mengatakan sesuatu namun yang ke luar dari mulut itu bukan
suara melainkan darah kental dan segar. Sesaat kemudian tubuh
Surengwilis melosoh pingsan ke tanah!
“Anak-anak tangkap hidup-hidup keparat ini!” perintah Bagaspati
penuh kemarahan. Habis berkata begitu dia segera menyerang Prana
dengan pedang di tangan. Satu tusukkan cepat dikirimkannya kepada
Prana. saat si Penulis kusta bersurut ke samping kanan Bagaspati
membabat dengan pedang Ekasakti yang ditangan kirinya. Namun saat
itu satu senjata aneh berkelebat ke arah kepalanya, membuat Bagaspati
cepat-cepat urungkan serangan. saat dia berpaling senjata aneh itu
membalik lagi dan menderu ke perutnya !
Yang menyerang pemimpin bajak ini bukan lain Sekar dengan
senjata Rantai Petaka Bumi. Kegusaran dan kemarahan Bagaspati tiada
terkirakan. Dia membentak keras dan sekaligus tebar serangan pada
Prana dan Sekar!
Sewaktu Bagaspati memerintahkan anak-anak buahnya
menangkap Pendekar 10000an maka lima manusia bertubuh katai maju ke
muka. Masing-masing mereka memegang sebuah jala hitam. Satu
diantara kelimanya berteriak memberi komando maka lima pasang
tangan bergerak dan lima buah jala hitam menebar mulai dari kaki
sampai ke kepala bobo anakmanusia .
Pendekar 10000an gerakkan kedua tangannya sekaligus! Angin deras
memapasi lima buah jala itu namun anehnya jala-jala itu tiada sanggup
dibikin mental oleh pukulan dahsyat sang pendekar! Dengan kecepatan
luar biasa salah satu dari jala mernjerat tangan bobo anakmanusia . Murid
Eyang Sinto Gendeng ini betot tangannya untuk menarik jala dan si
katai yang memegangnya namun tahu-tahu jala itu bergerak cepat dan
kini menjirat sampai ke bahu! Dikejap yang sama jala kedua menjirat
kaki kiri bobo anakmanusia . Jala ketiga melibat pinggang, jala ke empat
membungkus kepala sampai ke dada, jala ke lima melingkar di betis kaki
kanan.
Terdengar lagi teriakan salah satu dari lima manusia katai itu dan
semua mereka menggerakkan tangan masing-masing. Maka sekali tarik
saja tubuh Pendekar 10000an tergelimpang dan bergulingan di tanah.
Seluruh tubuh mulai dari kaki sampai ke kepala terjerat jala! Pendekar
10000an kerahkan tenaga dalam ke ujung dua tangannya. namun kejut bobo
anakmanusia tidak terkirakan sewaktu. menghadapi kenyataan bahwa dia tak
sanggup merobek atau membobolkan jala itu dengan sepeuluh jari-jari
tangannya bobo lipat gandakan tenaga dalamnya. Tetap sia-sia belaka!
Malah libatan jala semakin ketat.
Tubuh bobo terhempas ke sebuah pohon. Lima manusia katai
anak buah Bagaspati segera mengurungnya. Masing-masing mereka siap
membungkuk untuk menotok tubuh Pendekar 10000an .
bobo pejamkan mata. Mulutnya komat kamit. Pada saat sepuluh
ujung jari hendak melanda menotok badannya maka terdengarlah
bentakan yang luar biasa kerasnya.
“Ciaat !”
Dua larik sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan
menderu! Lima manusia katai mencelat dan meraung. saat tubuh
mereka terhempas ke tanah kelihatanlah bagaimana pakaian dan kulit
mereka melepuh hangus dan hitam. Kelimanya tiada berkutik lagi
tanda tak satupun saat itu dari manusia-manusia katai ini yang masih
bernafas! bobo telah lepaskan dua pukulan sinar matahari sekaligus !
Melihat Lima Jala Sakti, demikian nama kelima manusia katai
itu menemui kematian maka seluruh anak buah Bagaspati segera
menggempur Pendekar 10000an . Di lain pihak Bagaspati sendiri saat itu
tengah mendesak hebat Pranajaya yang bertangan kosong dan Sekar
yang bersenjatakan Rantai Petaka Bumi. Paling lama kedua muda
mudi ini hanya akan sanggup bertahan sebanyak lima jurus!
Pendekar 10000an memandang berkeliling. Kira-kira enam puluh
orang anak buah Bagaspati yang memegang berbagai macam senjata
mengurungnya sangat rapat. bobo tak dapat menduga sampai di mana
kehebatan ilmu silat bajak-bajak laut ini. Jika mereka cuma
mengandalkan ilmu silat luaran, jumlah mereka terlalu banyak untuk
mengeroyok satu orang musuh. Salah-salah mereka bisa baku hantam
membunuh kawan sendiri. Dengan pandangan tenang, Pendekar 10000an
menyapu muka-muka bajak laut yang semakin maju dan
memperketat pengurungan.
“Kalian mau main keroyok?!” kertas bobo . “Boleh!” kedua telapak
tangan dipentang ke muka. “namun sebelum kalian mulai, aku masih
satu peringatan pada kalian! Jika kalian semua berjanji mau hidup
menjadi orang baik-baik, menghentikan kerja sebagai bajak laut,
niscaya aku ampuni jiwa kalian!”
Seorang bajak berbadan tegap yang cuma memakai celana dan
berbadan penuh bulu meludah ke tanah!
“Jangan mengigau Penulis kusta keparat!” semprotnya. “Tubuhmu
akan tercincang lumat!”
bobo anakmanusia tertawa dan keluarkan siulan dari sela bibirnya.
“Pulau ini Pulau makam Penulis kusta ! Berat kalian yang keras-keras
kepala akan mati dalam seribu cara! Majulah!”
Si dada berbulu memandang berkeliling. “Kawan-kawan! Mari
berebut pahala menghabiskan nyawa busuk manusia edan ini!” Habis
berkata begitu dia keluarkan suara melengking hebat dan enam puluh
manusia laksana lingkaran air bah datang menyerang !
bobo membentak dahsyat. Pulau itu serasa bergoncang, liang-
liang telinga laksana ditusuk! Meskipun hati tergetar namun keenam
puluh bajak itu terus juga menyerang! Puluhan senjata berserabutan!
“Manusia-manusia tolol! Pergilah!” teriak bobo anakmanusia . Kedua
tangannya diputar di atas kepala, demikian cepatnya laksana titiran.
Dari kedua telapak tangan Pendekar 10000an menderu-deru angin
dahsyat. Pasir beterbangan, daun-daun pepohonan luruh gugur!
Sembilan belas bajak laut yang paling muka merasakan tubuh mereka
seperti ditahan oleh dinding keras yang tak dapat dilihat mata. Kejut
mereka bukan main. Dan belum lagi habis kejut itu bobo tiba-tiba
membentak sekali lagi! Kesembilan belas orang bajak laut itu
berpelantingan laksana daun kering disapu angin!
Pukulan yang dikeluarkan Pendekar 10000an tadi adalah pukulan
angin puyuh! Bajak-bajak yang lain dengan kalap melompat ke muka
dan babatkan senjata masing-masing. bobo anakmanusia membentak lagi.
Dan belasan bajak kembali terpelanting! Suasana menjadi kacau
balau kini. Mereka berteriak-teriak namun tak berani maju ke muka
sekalipun saat itu bobo sudah hentikan pukulan angin puyuhnya!
“Kenapa pada teriak-teriak macam monyet terbakar ekor?!” tanya
bobo mengejek. “Ayo majulahl Bukankah kalian mau mencincang
aku?!”
Mendadak Pendekar 10000an mendengar suara beradunya senjata
dan suara seruan Sekar. Sewaktu dipalingkannya kepalanya, bobo
masih sempat melihat bagaimana pedang hitam ditangan Bagaspati
berhasil memapas putus Rantai Petaka Besi yang menjadi senjata
Sekar. Pedang hitam itu kemudian laksana kilat membabat ke perut si
gadis. Sekar tak punya kesempatan mengelak karena saat itu perhati-
annya telah terpukau oleh putusnya senjatanya serta rasa sakit yang
menjalari lengan kanannya akibat beradu senjata tadi!
Pranajaya yang melihat bahaya itu dengan kalap dan dengan
tangan kosong lepaskan pukulan angin sewu ke arah Bagaspati. namun
tiada guna. Babatan pedang Bagaspati datang terlalu cepat dan
Bagaspati sendiri masih sempat putar pedang Ekasakti di tangan
kirinya untuk melindungi dirinya dari pukulan angin sewu itu!
Satu jari lagi pedang hitam di tangan kanan Bagaspati akan
merobek perut dan membusaikan usus Sekar maka dari samping
menderu selarik sinar putuh yang dahsyat! Demikian dahsyatnya
sehingga Bagaspati terpaksa tarik pulang tangan kanannya dan
melompat ke belakang beberapa tombak !
“Wuss !”
Pukulan sinar matahari menggebu di depan hidung pemimpin
bajak laut itu! Mata Bagaspati kelihatan tambah besar dan tambah
merah namun air mukanya pucat pasi! Dia sadar terlambat sedikit saja dia
metompat tadi pastilah dia akan konyol dilanda sinar putih pukulan
lawan! Kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Lebih-lebih melihat
belasan anak buahnya bergeletakan pingsan di mana-mana dan yang
masih hidup berdiri dengan muka pucat di tempat masing-masing,
sama sekali tidak menyerang atau mengeroyok bobo anakmanusia !
“Keparat! Kenapa kalian meloogo semua?! Lekas bereskan setan
alas yang satu ini!” Anggota-anggota bajak laut itu bimbang sesaat .
Namun karena ngeri pada kemarahan serta hukuman yang kelak bakal
mereka terima dari pimpinan merta, dua puluh orang diantaranya
segera maju dan serentak menyerang.
“Manusia tolol! Kalian minta mampus saja!” teriak bobo . Dengan
serta merta dia pukulkan tangan kirinya. Sinar putih untuk kesekian
kalinya menderu. Dan pukulan sinar matahari yang sekali ini meminta
korban enam belas jiwa bajak-bajak laut itu. Pekik maut terdengar di
mana-mana !
“Siapa yang mau mampus dan ikut perintah Bagaspati silahkan
maju!” teriak bobo . Tak satu anggota bajakpun yang bergerak di
tempatnya. Jangankan bergerak, berdiripun lutut mereka sudah goyah!
Sementara Bagaspati berpikir-pikir pukulan apakah yang telah
dilepaskan bobo anakmanusia , maka si pendekar dari Gunung Gede ini
palingkan kepalanya pada pemimpin bajak laut itu.
“Bagaspati, jika kau berjanji akan mengembalikan Cambuk Api
Angin, dan berjanji membubarkan gerombolan bajak yang- kau pimpin
selama ini lalu kembali jadi manusia baik-baik, masih belum terlambat
bagimu untuk kuberi ampun!”
Bagaspati tertawa mengejek. “Kepongahanmu setinggi gunung!”
jawabnya. “Meski ilmumu setinggi langit seluas lautan, Bagaspati tak
akan sudi menyerah padamu kecuali kalau kau yang terlebih dulu
serahkan jiwa padaku!”
bobo anakmanusia bersiul dan tertawa gelak-gelak. “Kau bisa juga
bersyair Bagaspati. Kalau betul-betul hatimu sekeras batu tidak
mempunyai kesadaran, kelak kau terpaksa bersyair di neraka!
Silahkan mulai!”
“Cabut senjatamu setan alas!” bentak Bagaspati. “Ini senjataku
Bagaspati!” bobo acungkan kedua tangannya.
“Kalau begitu aku akan mampus penasaran!” Bagaspati
lemparkan pedang Ekasakti yang di tangan kirinya. Pedang mustika
milik Prana itu menderu laksana kilat ke arahnya. bobo miringkan
kepalanya sedikit. Pedang putih lewat di sampingnya dan menancap di
batang pohon kelapa! Prana cepat mengambilnya.
“bobo , biar aku yang bikin perhitungan dengan manusia ini!”
“Ah, kau tak usah mengotori tangan dengan darah manusia
maling ini, Prana,” kata bobo pula dengan suara keras lantang.
Prana sadar bahwa bobo telah menolongnya dari satu
kedudukan yang merugikan. Dia tahu bahwa dia tak bakal sanggup
menghadapi Bagaspati. Dengan berkata demikian bobo bukan saja
telah menolongnya namun sekaligus membuat dia tidak kehilangan muka
sama sekali !
“Ayo seranglah!” teriak bobo saat Bagaspati masih dilihatnya
berdiri tak bergerak.
“Kau terlalu cepat-cepat ingin mati rupanya setan alas!” desis
Bagaspati. Tubuhnya membungkuk ke muka. Kedua kakinya melesak
ke dalam tanah sampai dua dim. Ini satu tanda bahwa dia tengah
kerahkan tenaga dalam dan siap untuk melancarkan serangan yang
dahsyat!
Didahului dengan teriakan macam serigala melolong di malam
buta maka Bagaspati melesat ke muka. Dua tendangan dahsyat
menderu ke arah perut dan kepala Pendekar 10000an sedang pedang hitam
membuat satu jurus yang mengandung lima serangan berantai !
“Ciaat! “
bobo lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Meski pukulan
ini berhasil membuat tendangan lawan batal namun pukulan itu
sendiri kemudian dibikin buyar oleh sambaran angin pedang
Bagaspati! Penasaran sekali bobo dalam jurus kedua membuka
serangan dengan jurus membuka jendela memanah rembulan. Lengan
kanan dipukulkan melintang dari atas ke bawah sedang tangan kiri
meluncur ke atas dalam gerakan vang cepat laksana kilat sukar dilihat
mata dan terdengarlah seruan tertahan Bagaspati! Betapakan tidak.
Detik itu juga dirasakannya pedang hitamnya telah terlepas dari
tangan, ditarik oleh satu betotan yang dahsyat! Dan bila dia
memandang ke depan dilihatnya senjata itu sudah berada di tangan
bobo anakmanusia !
“Ha.... ha, bagaimana Bagaspati?! Akan kita lanjutkan
pertempuran ini?!”
Muka Bagaspati mengelam merah.
“Setan alas. Kau datang ke sini untuk mencari Cambuk Api
Angin bukan?! Baik! Aku akan keluarkan senjata itu. namun bukan
untuk diberikan padamu huh! namun untuk bikin kau mati konyol!”
Bagaspati selinapkan tangan ke dalam jubahnya. Sesaat kemudian
maka ditangannya tergenggam sebuah cambuk berhulu gading,
berwarna merah.
Bagaspati mengekeh. “Ini ambillah!” Cambuk Api Angin di
tangan Bagaspati berkelebat mengeluarkan angin laksana topan dan
semburan lidah api yang luar biasa panasnya!
“Prana! Sekar Lekas menyingkir!” teriak bobo seraya buang diri
ke samping beberapa tombak!
Cambuk Api angin menderu dahsyat menghantam pohon kelapa
di belakang bobo . Pohon kelapa ini terbabat putus dan baik putusan
yang mental di udara maupun yang masih tinggal tertanam di tanah,
semuanya hangus ditelan api!
Diam-diam Pendekar 10000an leletkan lidah. Di saat itu pula
Cambuk Api Angin menderu kembali. bobo kiblatkan pedang hitam
milik Bagaspati. Sementara itu dia melihat bagaimana anak-anak
buah Bagaspati yang ada menyingkir sejauh mungkin!
Pedang hitam dan cambuk Api Angin saling bentrokan! Api
menyembur! bobo berseru kaget dan cepat-cepat lepaskan pedang
hitam di tangannya! Pedang itu berubah menjadi merah, terbakar api
Cambuk sakti !
“Keparat!,” maki bobo dalam hati. “Hebat sekali Cambuk Api
Angin itu!”
Cambuk Api Angin datang bergulung-gulung. Suaranya seperti
petir susul menyusul! Pendekar 10000an menjadi sibuk! Melompat kian
kemari dengan cepat, jungkir balik di udara dan berguling di tanah!
Semua itu untuk hindarkan diri dari serangan Cambuk Api Angin
yang ganas!
Pranajaya sendiri tiada menduga Cambuk Api Angin demikian
hebatnya. Diam-diam Penulis kusta ini merasa khawatir apakah bobo akan
sanggup bertahan sampai lima jurus di muka Pakaian bobo dilihatnya
sudah kotor dan robek-robek. Rambutnya yang gondrong acak-
acakan, mukanya berselemotan tanah! Dan cambuk sakti itu masih
juga menderu-deru, mengejar ke mana bobo berkelebat! Dua jurus di
muka Pendekar 10000an benar-benar dibikin sibuk sekali malah terdesak
hebat dan dipaksa bertahan mati-matian!
Di dalam ketegangan pertempuran yang menyesakkan dada itu
tiba-tiba terdengarlah gelak tertawa yang aneh dan suara siulan
menggidikkan tak menentu iramanya! Dalam kejap itu pula sinar
putih, kelihatan menabur angin yang memerihkan kulit menderu
sedang suara seperti ratusan tawon terdengar datang dari segala
jurusan dan tubuh bobo anakmanusia sendiri lenyap dari pemandangan!
Bagaspati putar Cambuk Api Angin lebih cepat. Dentuman
macam suara petir terdengar tiada henti. Angin laksana topan
menggebu dan lidah api hampir setiap saat menyembur ganas! Namun
kini gerakan-gerakan yang dibuat Cambuk sakti itu tidak leluasa
seperti tadi lagi. Cambuk Api Angin tertahan dalam telikungan putih
sinar barbel pembasmi 10000an ditangan bobo anakmanusia !
Bagaimanapun Bagaspati rubah jurus-jurus silat dan percepat
permainan cambuknya tetap saja dia merasa semakin kepepet.
“Terima jurus naga sabatkan ekor ini Bagaspati!” seru bobo .
Bagaspati hanya mendengar suara bobo saja. Serangan bobo
yang bernama jurus naga sabatkan ekor itu sama sekali tidak sanggup
dilihatnya karena cepatnya !
Dan tahu-tahu...
“Craas!”
Lalu terdengar lolongan Bagaspati.
Cambuk Api Angin terlepas dari tangan kanannya. Tangan
kanan itu sendiri tercampak ke tanah, buntung dibabat barbel Maut
pembasmi 10000an sampai sebatas bahu !
Darah menyembur kental dan merah. Bagaspati macam
orang gila menjerit-jerit dan lari sana lari sini, seradak seruduk
macam orang celeng! Racun barbel pembasmi mulai menjalari
pembuluh-pembuluh darahnya. saat pemandangannya
berkunang dan lututnya goyah tak ampun lagi pemimpin bajak ini
melosoh ke tanah, berguling-guling dan menjerit-jerit tiada henti!
Semua anak buahnya memandang dengan penuh ngeri !
“Bunuh saja aku! Bunuh!” teriak Bagaspati karena tidak
sanggup merasakan sakit yang menggerogoti dirinya akibat
serangan racun yang sudah menyusup ke seluruh tubuhnya!
Bagaspati masih terus berteriak dan berguling-guling sampai
beberapa saat di muka namun kemudian saat nyawanya lepas,
maka tubuh itupun menggeletak tak berkutik lagi! Bagaspati mati
dengan tubuh menelentang mulut berbusah dan mata melotot ke
langit! Sungguh menggidikkan memandang tampangnya!
Pendekar 10000an tarik nafas dalam. Sekali tiup saja maka
lenyaplah noda darah pada mata barbel pembasmi 10000an . Dia
melangkah dan mengambil Cambuk Api Angin.
“Senjata hebat,” katanya sambil geleng kepala. Lalu Cambuk
Api Angin itu diberikannya pada Pranajaya.
“Terima kasih bobo ” kata Prana dengan penuh gembira namun
juga haru.
Di saat itu bobo anakmanusia sudah melangkah kehadapan
anggota-anggota bajak yang masih hidup. Jumlah mereka tak
lebih dari tiga puluh lima orang kini.
“Kalian semua sudah lihat sendiri betapa mengerikan
kematian itu!” seru bobo dengan suara lantang. “Kuharap ini
menjadi pelajaran yang baik! Berjanjilah bahwa kalian mau
meninggalkan pulau ini, berhenti jadi bajak laut dan hidup
sebagai manusia baik-baik. Banyak pekerjaan baik seperti jadi
nelayan, petani atau berdagang! Dan atas janji kalian itu kami
bertiga akan ampunkan nyawa kalian!”
Hening sejenak. Salah seorang anggota bajak tiba-tiba
jatuhkan diri berlutut. Kawan-kawannya juga kemudian menyusul
berlutut.
bobo garuk-garuk kepala. “Buset! Orang suruh berjanji
kenapa pada berlutut? Memangnya aku ini Tuhan disembah-
sembah! Bangun semua!” teriak bobo .
Semua anggota banjak itu cepat bangkit berdiri. Pada paras
mereka kelihatan rasa tunduk dan kesadaran serta niat untuk
kembali hidup sebagai orang baik-baik.
“Tampang-tampang kalian aku kenal semua! Ingat! Kalau
kelak ada diantara kalian yang masih kutemui hidup dalam jalan
jahat, kalian tahu hukuman apa yang bakal kalian terima!”
bobo berpaling pada kedua kawannya. “Sudah saatnya kita
tinggalkan tempat ini kawan-kawan.”
Prana dan Sekar mengangguk.
saat ketiganya hendak berlalu salah seorang bekas
anggota bajak berseru, “Tunggu !”
“Ada apa?!” tanya bobo .
“Di pulau ini ada satu gudang besar berisi timbunan barang
dan uang. Apa yang akan kami lakukan dengan benda-benda
itu?!”
“Busyet kenapa jadi tolol?! Kalian bagi-bagi saja sama rata
dan jadikan modal buat hidup baik-baik!” sahut bobo .
Seorang bekas anak buah Bagaspati lainnya berkata, “Kami
tidak keberatan memberikan separoh dari harta dan uang itu
pada kalian bertiga!”
Pendekar 10000an berpaling pada. kedua kawannya lalu tersenyum.
“Terima kasih sobat! Kami datang ke sini bukan buat cari harta atau
uang, namun Cambuk Api Angin. Senjata itu telah kami temui dan kami
musti pergi!”
saat rakit mereka diseret ke tepi pantai, bekas-bekas anak
buah Bagaspati itu menawarkan akan mengantarkan mereka ke
pantai Jawa namun mereka menolak.
“Rakit ini cukup baik dan lebih cepat jalannya,” jawab bobo .
Dan betapa anehnya bagi bekas anak-anak buah Bagaspati itu
sewaktu menyaksikan rakit tersebut meluncur dalam kecepatan luar
biasa, padahal tenaga penggeraknya hanya tangan-tangan bobo dan
Prana yang dibuat sebagai pengganti dayung!
PANTAI Jawa telah berada dihadapan mereka dan tak lama
kemudian, diwaktu sang surya mulai kemerahan warnanya di ufuk
barat maka sampailah mereka di ujung timur Pulau Jawa.
“Kita telah sampai sobat-sobatku!” seru bobo . Dia yang pertama
sekali melompat ke daratan. ”Dan ini adalah saat perpisahan kita.”
Prana dan Sekar sama-sama terkejut. bobo sebaliknya tertawa.
“Tugasmu telah selesai bukan, Prana? Cambuk Api Angin sudah
berhasil ditemui....”
“namun bobo .....”
Ucapan Prana ini dipotong oleh bobo . “Di lain hari kelak kita
pasti akan jumpa lagi sahabat-sahabat. Ada satu hal yang ingin
kukatakan pada kalian.”
bobo memandang Sekar dan Prana berganti-ganti dengan
senyum-senyum.
“Kalian ingat malam bulan sabit waktu kita berhenti di tepi anak
sungai dulu itu?”
Prana dan bobo saling panda mengingat-ingat dan begitu ingat
masing-masing mereka sama memandang pada bobo .
“Maaf saja, aku mencuri dengar apa yang percakapkan saat
itu....”
Paras Sekar dan Prana menjadi merah dengan serta merta.
Keduanya sama tundukkan kepala. Mereka ingat malam di tepi sungai
waktu mereka membicarakan soal cinta itu.
“Sobat-sobatku, kalian boleh saja buat seribu janji. namun kalian
pertama-tama musti kembali ke tempat guru kalian! Urusan jodoh
guru kalian musti diberi tahu....”
Paras kedua orang itu semakin memerah.
bobo tertawa bergelak.
“Nah sobat-sobatku, setamat tinggal. Kudoakan agar kalian
bahagia.”
“bobo tunggu dulu!” seru Prana dan Sekar hampir bersamaan.
Namun tubuh Pendekar 10000an sudah berkelebat. Prana
merasakan tepukan pada bahunya sedang Sekar merasa cuilan pada
dagunya! Sewaktu memandang berkeliling. bobo anakmanusia sudah tiada
lagi!
“Aku tak akan melupakan dia.“ desis Prana.
“Kelak bila aku punya anak laki-laki, aku akan namakan dia
bobo .”
Prana putar kepalanya. Pandangannya bertemu dengan
pandangan Sekar. Meski cuma pandang memandang, namun semua itu
menimbulkan satu kekuatan gaib yang membuat mereka saling
melangkah mendekat untuk kemudian saling berpeluk. Laut, langit
dan matahari sore menjadi saksi betapa mesranya pelukan itu.