Tampilkan postingan dengan label bobo dikuburan 14. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bobo dikuburan 14. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

bobo dikuburan 14

  


hati. Dalam keadaan begitu rupa dia melompat menjauhkan diri 

seperti orang yang hendak mengambil langkah seribu. 

“Mau lari ke mana, anak manusia  jahat?!” bentak raden  septuaginta . 

Lalu dengan satu gerakan kilat memburu melompat dan 

mengirimkan dua bacokan ganas. Namun sekali ini Sang Patih telah 

tertipu.

Gerakan yang dibuat oleh Dewa Maling tadi sama sekali bukan 

untuk melarikan diri, tapi justru untuk memancing lawan. Sewaktu 

septuaginta  melompat ke arahnya dengan membacokkan pentungan , 

laksana seekor kelinci dengan gesit Dewa Maling melompat ke 

samping lalu menyelinapkan satu tusukan tombak ke bagian tubuh 

sebelah bawah lawan yang tidak terjaga. 

sebab  bacokannya mengenai tempat kosong dengan sendirinya 

serangan balasan Dewa Maling membahayakan sekali bagi 

septuaginta . Dengan sebat patih ini membabatkan pentungan nya ke 

bawah sebab  dalam posisi begitu rupa cara itulah satu-satunya bagi 

dia untuk dapat menyelamatkan jiwanya! Justru memang inilah yang 

dikehendaki oleh lawannya. 

Melihat lawan membabatkan senjata ke bawah, Dewa Maling 

dengan keras memukulkan Tombak Trisula ke atas menyongsong 

senjata lawan! Raja pentungan  dari Pajang terkejut namun kasip. Tak 

ada kesempatan lagi untuk menghindarkan bentrokan senjata 

ini .

Trang!

pentungan  di tangan raden  septuaginta  patah dua. septuaginta  

cepat melompat mundur sedang di hadapannya Dewa Maling 

tertawa mengekeh, tangan kanan memelintangkan Tombak Trisula di 

depan dada sedang tangan kiri bertolak pinggang. 

“septuaginta ! Sayang kau terlalu keras kepala! Sudah ditakdirkan 

bahwa kau tak bakal melihat matahari esok pagi!” 

Dewa Maling menerjang ke muka. Tombak Trisula berkiblat 

menderu. septuaginta  berusaha menangkis sedapat-dapatnya 

dengan sisa patahan pentungan  yang masih ada di tangannya sedang 

tangan kiri melepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. 

“Keparat!” maki Dewa Maling sebab  dia tak menyangka kalau 

lawan yang sudah tak berdaya itu masih memiliki pukulan sakti yang 

hampir saja menghantam dirinya kalau dia tidak lekas-lekas 

menyingkir dan memaksanya membatalkan serangan mautnya tadi! 

“Walau bagaimanapun kau tak bakal bisa membawa lari Tombak 

Trisula itu, pencuri jahat!” kata septuaginta  yang masih besar nyalinya 

meski kini sudah bertangan kosong. 

Dewa Maling berkomat-kamit. Dalam marahnya dia merasa 

sudah cukup lama melayani Patih Pajang itu. Dari dalam baju 

hitamnya yang terlindung oleh pakaian hulubalang diterlontar keluar kannya 

sebuah benda hijau berbentuk suling. Dengan kedua tangan 

terpentang septuaginta  menunggu waspada. Senjata di tangan kiri 

lawan merupakan senjata aneh aneh saja  baginya. Tiba-tiba Dewa Maling 

meletakkan salah satu ujung benda hijau berbentuk suling itu di 

ujung bibirnya dan meniup. Satu suara melengking tajam menusuk 

anak telinga menggema di keheningan malam. Asap hijau yang 

ditaburi manik-manik kegelapan  menyala mencurah ke arah septuaginta . 

Dalam kaget kelangit nya Patih Pajang ini tak sempat lagi menyingkir. Begitu 

asap hijau bertabur manik-manik kegelapan  menyambar hidungnya, 

patih ini terbatuk-batuk, dari tenggorokannya terdengar suara seperti 

mau muntah. Kedua lututnya goyah dan akhirnya tubuhnya 

tergelimpang pingsan. 

Dewa Maling Baju Hitam tertawa perlahan. “septuaginta , kalau 

aku tidak membunuhi mu sekarang bukan berarti aku memiliki belas 

kasihan terhadapmu! Racun jahat yang ada dalam tubuhmu akan 

membuat kau menderita batuk darah seumur hidup! Dirimu akan 

tersiksa, dan itu jauh lebih jahat daripada kematian!” 

Kembali Dewa Maling tertawa perlahan. Kemudian dengan 

memboyong Tombak Trisula, dia berkelebatan  cepat meninggalkan 

tempat itu. Kira-kira Dewa Maling sudah berlalu sejauh seratus 

tombak, satu bayangan putih entah dari mana datangnya, tahu-tahu 

sudah berada di tempat itu. Melihat sosok tubuh Patih septuaginta  

yang terhampar di tanah, orang ini memaki. 

“Sialan, aku terlambat!” 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 10

RANG berpakaian putih itu membungkuk di samping tubuh 

septuaginta . anu  Sang Patih kelihatan membiru sedang dari 

sela bibirnya terlontar keluar  busa kental dan leher bengkak 

menggembung.

“Racun jahat,” kata orang berpakaian putih dalam hati. Telapak 

tangan kanannya ditekankan ke perut septuaginta  sedang jari-jari 

tangan kiri mencengkeram leher patih itu. Sesaat kemudian 

kelihatan tubuh septuaginta  menggeliat, lalu melejang-lejang. Dari 

mulutnya semakin banyak terlontar keluar  busa dan kini busa itu berwarna 

kehijauan. Kemudian terdengar perutnya menggereok dan Sang 

Patih muntah dua kali berturut-turut. 

Orang berpakaian putih merasa lega melihat anak manusia  yang 

ditolongnya muntah. Dia maklum, kalau septuaginta  tidak muntah 

begitu rupa, niscaya nyawa Sang Patih tak mungkin 

diselamatkannya. Tapi dia tahu bahwa sampai di situ keselamatan 

septuaginta  masih belum terjamin sepenuhnya. sesudah  mengalirkan 

hawa panas dan hawa dingin ke dalam aliran darah Sang Patih lalu 

diambilnya dua butir obat dan dimasukkannya ke dalam mulut patih 

itu. sesudah  yakin bahwa kini tak ada lagi racun jahat yang 

mengendap dalam tubuh atau jalan nafas septuaginta , laki-laki 

berpakaian putih itu sebelum meninggalkan tempat ini  dengan 

jari-jari tangan kanannya menggurat tanah membuat tulisan. 

Sementara seisi Istana Pajang heboh oleh tercurinya Tombak 

Trisula serta lenyap tak diketahui ke mana perginya raden  

septuaginta , malam yang dingin telah berganti dengan siang, fajar 

telah menyingsing di timur. 

Tubuh raden  septuaginta  yang selama beberapa jam terhantar 

di tanah kelihatan bergerak gerak . Sepasang matanya membuka perlahan. 

Akhirnya patih ini siuman dan duduk menjelepok di tanah. Mula-mula 

dia heran menyaksikan di mana dia berada saat itu. Namun bila dia 

ingat apa yang telah terjadi barulah dia sadar. Dia memandang 

O

berkeliling dan pada waktu itulah pandangannya membentur pada 

barisan-barisan tulisan yang tertera di tanah di ujung kakinya. 

Kembalilah ke istana. 

Tentang Tombak Trisula tak usah dikhawatirkan. 

Mudah-mudahan dapat kukembalikan dalam waktu yang singkat. 

Pendekar pendek kekar . 

“Pendekar pendek kekar ,” desis septuaginta . Dia tak pernah kenal orang itu 

tapi di seluruh asia kecil  Tengah namanya sudah tersohor sebagai 

seorang pendekar berusia muda yang amat tinggi ilmu tenaga dalam  serta 

kesaktiannya, yang bertualang dari satu daerah ke daerah lain 

menjalankan tugas membela kebenaran dan keadilan, menolong 

siapa saja yang tertindas dan mendapat bahaya. 

Kemudian septuaginta  ingat pula bagaimana Dewa Maling Baju 

Hitam telah meniupkan racun jahat kepadanya hingga dia roboh 

pingsan. Tentu Pendekar pendek kekar  itulah yang telah menolongnya. 

Perlahan-lahan septuaginta  berdiri. Dendam kesumatnya terhadap 

Dewa Maling amat besar, tapi dia tak bisa berbuat suatu apa selain 

berharap bahwa Pendekar pendek kekar  bobo  angker  benar-benar bisa 

mengambil dan mengembalikan tombak tumbal kerajaan itu. Dengan 

harapan itulah septuaginta  meninggalkan tempat ini  dan 

kembali ke Istana Pajang. 

***

Kira-kira setengah hari perjalanan dari Pajang ada lah sebuah 

lembah liar. Dulunya lembah ini yaitu  sebuah lembah subur. Tapi 

sewaktu banjir melanda daerah itu, segala kesuburan lembah 

ini  ikut tersapu. Bahkan sebuah kuil yang ada  di situ ikut 

menjadi korban, hampir keseluruhannya diterjang banjir. Kini sisa-

sisa kuil ini  masih berdiri meskipun sudah tak beratap lagi dan 

dinding-dinding sebagian besar hanya tinggal sepotong-sepotong. 

Boleh dikatakan sejak lembah itu berubah menjadi lembah liar, 

tak seorang anak manusia pun yang datang ke sana. Namun di hari itu 

yaitu  aneh aneh saja  sebab  di depan bekas-bekas runtuhan kuil kelihatan 

dua ekor kuda betina  besar tengah merumput. Terlindung di balik 

reruntuhan tembok kuil berdiri dua orang laki-laki. 

Yang satu bertubuh kecil bermuka cekung. Kumisnya tebal 

melintang. Yang seorang lagi kebalikannya berbadan besar tegap. 

Mereka berdua yaitu  Pangeran Ranablambang dan pembantu 

kepercayaannya yaitu Pandemang. 

“Aku khawatir kalau-kalau si Dewa Maling gagal mencuri tombak 

itu,” kata Pangeran Ranablambang. 

“Mana mungkin, Pangeran. Dia seorang cerdik, punya seribu akal 

dan berilmu tinggi pula,” menyahut Pandemang seraya mengusap-

usap dagunya yang lebat ditumbuhi berewok. 

“Tapi dia bisa saja silap, lupa akan seluk-beluk mengambil 

senjata itu.” 

“Percayalah Pangeran, Dewa Maling pasti berhasil mengambil 

Tombak Trisula. Kalau tidak percuma dia mendapat julukan hebat 

begitu rupa.” 

Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tak berkata-kata 

apa-apa sampai pada akhirnya di tepi lembah dilihatnya satu titik 

hitam muncul mendatang dengan cepat. 

“Itu dia,” kata Pangeran Ranablambang gembira. 

Pandemang memandang ke arah yang ditunjuk. Titik hitam itu 

semakin dekat dan ternyata memang dia yaitu  Dewa Maling Baju 

Hitam yang telah menanggalkan pakaian hulubalangnya. 

“Bagaimana? Berhasil?!” pertanyaan itu cepat-cepat diajukan 

oleh Pangeran Ranablambang pada Dewa Maling begitu Dewa 

Maling sampai di hadapannya. 

“Beres Pangeran! Beres!” komentari Dewa Maling dengan tertawa 

lebar.

Gembiralah Pangeran Ranablambang. Dia tertawa lebih lebar dari 

Dewa Maling lalu menepuk-nepuk bahu Dewa Maling dan bertanya, 

“Mana? terlontar keluar kanlah. Berikan padaku cepat.” 

Dari balik pakaian hitamnya Dewa Maling mengeluarkan senjata 

tumbal kerajaan itu dan menyerahkannya pada Pangeran 

Ranablambang. sesudah  meneliti benda itu sebentar lalu sang 

pangeran cepat-cepat menyimpannya di balik pakaiannya. 

“Mari Dewa Maling, kau bakal mendapat hadiah besar dariku,” 

kata Pangeran Ranablambang. Dia melangkah ke kuda betina nya. Dari 

dalam sebuah kantong kulit yang tergantung di leher binatang itu 

diterlontar keluar kannya dua buah kantong kain. “Yang ini berisi barang-

barang perhiasan, emas dan batu-batu permata. Kantong yang satu 

ini berisi uang! Terimalah!” 

Dewa Maling cepat mengulurkan tangan menyambut hadiah 

besar itu. sesudah  menyimpan baik-baik kedua kantong ini  

maka bertanyalah dia, “Bagaimana dengan janjimu hendak 

mengangkat aku jadi orang berpangkat di istana?” 

Ranablambang tersenyum. 

“Kau tak usah khawatir, Dewa Maling. Segera takhta kerajaan 

sudah berada di tanganku, pangkat apapun yang kau inginkan pasti 

kuberi. Sekarang rencana kita itu masih cukup panjang untuk 

diwujudkan meski Tombak Trisula sudah berada di tangan kita...” 

“Apalagi yang harus kita laksanakan, Pangeran?” bertanya Dewa 

Maling.

“Pertama-tama kita harus melenyapkan raden  septuaginta ...” 

Dewa Maling tertawa gelak-gelak. 

“Kenapa kau tertawa?” tanya Pangeran Ranablambang heran. 

“Soal diri raden  septuaginta , kau tak usah khawatir, Pangeran! 

Tak usah khawatir! Dia sudah kubikin beres!” 

“Maksudmu?!”

Dewa Maling lalu menerangkan pertempurannya dengan 

septuaginta  dan bagaimana dia pada akhirnya berhasil merobohkan 

tokoh tinggi Istana Pajang itu. 

Bukan main gembiranya Ranablambang. Berkali-kali dipujinya 

Dewa Maling. 

“Kalau begitu,” kata sang pangeran pula, “malam ini juga aku 

sudah bisa menggerakkan balatentara Surabaya untuk menggempur 

istana!” Ranablambang mengangguk-angguk kemudian katanya, 

“Dengar Dewa Maling. Pasukan-pasukan akan memasuki kotaraja 

dari pintu selatan. Sebelum itu beberapa orangku yang ada di dalam 

kotaraja akan menimbulkan kebakaran. Kau sendiri terserah apakah 

mau ikut menggempur bersama-samaku atau datang seorang diri.” 

“sebab  ada sedikit urusan, biarlah aku datang seorang diri, 

Pangeran...” komentari Dewa Maling. 

“Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu di kotaraja malam ini!” 

“Sampai ketemu,” balas Dewa Maling lalu meninggalkan tempat 

itu.

Sesudah Dewa Maling lenyap di kejauhan, Pangeran 

Ranablambang dan Pandemang naik ke kuda betina  masing-masing. 

“Apa kataku, Pangeran,” berkata-kata Pandemang. “Dewa Maling pasti 

berhasil mendapatkan Tombak Trisula itu!” 

Pangeran Ranablambang tak berkata-kata apa-apa melainkan 

menepuk pinggul kuda betina nya agar lari lebih kencang. “Agar lebih cepat 

sebaiknya kita ambil jalan memotong saja, Pandemang,” kata 

Pangeran Ranablambang. 

“Baik, Pangeran,” menyetujui si pembantu. 

Maka kedua orang itupun membelok memasuki sebuah jalan 

kecil. Pangeran Ranablambang di sebelah depan sedang 

pembantunya mengikut dari belakang. 

Ada kira-kira sepeminuman teh mereka menempuh jalan liar kecil 

itu sewaktu di depan mereka terdengar suara siulan membawakan 

lagu tak teratur dan tak menentu nadanya, tiada beda dengan anak-

anak yang baru pandai bersiul. Yang aneh aneh saja nya suara siulan itu masuk 

ke telinga kedua penunggang kuda betina  dan menggetarkan gendang-

gendang telinga mereka. 

“Siapa pula yang berada di daerah liar dan bersiul begitu rupa?” 

ujar Pangeran Ranablambang pada Pandemang. 

“Ada kelainan dalam suara siulan ini, Pangeran,” 

memperingatkan Pandemang. 

“Aku juga merasakan,” kata Pangeran Ranablambang dan mulai 

memperlambat lari kuda betina nya. “sebab  itu bersikap waspyaitu , 

Pandemang.” 

sesudah  dua kali peminuman teh jauhnya mereka menempuh 

jalan kecil itu rasa heran semakin bertambah. Betapakah tidak, 

sudah sejauh itu tetap mereka masih belum juga memapasi atau 

melihat orang yang bersiul sedang suara siulan tetap santar 

datangnya dari sebelah muka! 

“Seorang biasa tak mungkin dapat bersiul seaneh aneh saja  ini,” membatin 

Ranablambang. Dirabanya pinggangnya untuk memastikan bahwa 

Tombak Trisula masih berada di situ. sesudah  satu kali peminuman 

teh lagi berlalu bertanyalah Pangeran Ranablambang, “Bagaimana 

Pandemang, apakah kita teruskan juga menempuh jalan kecil ini?” 

“Terserah Pangeran. Menurut hamba sebaiknya kita kembali 

saja.”

“Tapi sudah jauh begini kepalang tanggung,” kata Ranablambang. 

Dia berpikir sejenak lalu, “Biar kita teruskan saja. Aku kepingin tahu 

siapa anak manusia nya yang bersiul itu.” 

Maka keduanyapun memacu kuda betina  masing-masing kembali. 

Tak selang berapa lama di hadapan mereka tampaklah 

seseorang duduk di tepi jalan, bersandar ke sebatang pohon. Kedua 

kakinya diulurkan ke depan. Orang inilah yang tengah asyik bersiul-

siul seenaknya. Bahkan saat  Pangeran Ranablambang dan 

Pandemang sampai di tempat itu, dia terus saja bersiul-siul, seolah-

olah tidak pernah tahu atau tidak perduli akan kehadiran kedua 

penunggang kuda betina  itu. 

“Hanya seorang penulis  tolol gila kiranya, Pandemang. Kukira 

siapa!” kata Ranablambang pada pembantunya. 

Pandemang juga jadi mendongkol saat  menyaksikan orang yang 

bersiul itu yaitu  seorang penulis  berpakaian putih, bertampang 

tolol dan berambut pirang . 

“Orang edan, minggirlah! Beri kami jalan!” membentak 

Pandemang. 

Dibentak demikian rupa si penulis  bukannya hentikan siulan, 

malah semakin memperkencangnya hingga baik Pangeran 

Ranablambang maupun Pandemang terpaksa menutup jalan 

pendengaran masing-masing agar telinga mereka tidak menjadi sakit 

pengang!

“penulis  hina dina!” bentak Pandemang lagi penuh marah, 

“Berani kau bersikap kurang ajar terhadap kami! Kupecahkan 

kepalamu!”

Pandemang melompat dari kuda betina nya. Tinjunya yang keras besar 

laksana palu godam diayunkan ke kepala penulis  itu. 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 11

ANDEMANG! Tahan dulu,” seru Pangeran Ranablambang. 

Mau tak mau mendengar seruan itu Pandemang menghentikan 

gerakannya. Dia berpaling dan heran. 

“Mungkin dia tuli, Pandemang. Hingga tak mendengar ucapan kita!” 

“Sekalipun tuli tapi dia toh tidak buta, Pangeran!” 

Ranablambang mengambil sekeping uang perak. Sambil 

melemparkan uang itu ke depan kaki penulis  yang duduk di tanah 

dia berkata-kata, “penulis , kalau kau hanya seorang Raja pengemis tak sakti , ambillah 

uang itu dan menyingkirlah lekas!” 

Si penulis  menghentikan siulannya. Sebagai ganti dari mulutnya 

kini terlontar keluar  suara tertawa membahak, membuat dua ekor kuda betina  yang 

ada di situ menjadi gelisah dan mengeluarkan suara ringkikan 

ketakutan.

“Apa kata hamba, Pangeran! penulis  ini memang pantas diberi 

hajaran!” kata Pandemang. 

Ranablambang kali ini juga sudah menjadi gusar sehingga 

sewaktu pembantunya itu kembali mengayunkan tangan memukul 

kepala si penulis , dia tak menghalangi lagi. 

Braak!

Suara itu dibarengi dengan keluhan tinggi Pandemang. Entah 

kapan si penulis  bergerak gerak , tahu-tahu pukulan Pandemang meleset 

dan menghantam pohon di belakangnya hingga patah dan tumbang 

dengan mengeluarkan suara berisik. Pandemang sendiri mengeluh 

kesakitan. Tinju kanannya kelihatan kegelapan  lecet. Dan ini membuat 

laki-laki itu naik ke kepala amarahnya. Masih dengan mengandalkan 

tangan kosong Pandemang menerjang ke muka menyerbu si penulis  

berpakaian putih. 

Yang diserang ganda tertawa lalu berkelit ke samping. Setiap 

serangan yang dilancarkan oleh Pandemang tak satupun mengenai 

sasarannya. Ini membuat Pandemang semakin naik pitam sedang 

lawannya terus menerus tertawa mengejek. Akhirnya Pandemang tak 

P

menunggu lebih lama lagi. Dua bilah sendok raksasa  besar yang senantiasa 

tergantung di pinggangnya kiri kanan dicabutnya. Sesaat kemudian 

sepasang senjata itu laksana hujan mencurah menderu-deru ke arah 

penulis  berbaju putih. 

Dalam keadaan begitu rupa si penulis  tak bisa main-main seperti 

tadi lagi. Dia musti bertindak cepat kalau tidak mau dapat celaka. 

Didahului oleh suara siulan yang melengking tinggi laksana mau 

merobek robek  gendang-gendang telinga, penulis  itu berkelebatan . Di lain 

kejap tubuhnya lenyap menjadi bayang-bayang dan Pandemang kini 

bingung sendiri sebab  tak dapat melihat di mana lawannya berada. 

Buuk!

Pandemang berteriak kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke 

depan hampir jatuh menelungkup sebab  satu pukulan keras 

mendarat di punggungnya. Untung saja pukulan itu hanya 

mengandalkan tenaga kasar, kalau disertai tenaga dalam niscaya 

Pandemang akan konyol detik itu juga. 

Dengan beringas Pandemang membalikkan tubuh. Dua bilah 

sendok raksasa nya membacok susul menyusul, namun lagi-lagi dia hanya 

menyerang tempat kosong. Sebelum dia dapat memastikan di mana 

musuhnya berada, satu pukulan lagi mendarat di ulu hatinya. 

Pandemang mengeluh pendek. Perutnya mual seperti mau muntah. 

saat  satu tamparan menghajar mukanya, tak ampun lagi laki-laki 

bertubuh besar tinggi ini terhuyung nanar dan menggeletak pingsan 

di tanah! 

Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tertegun 

heran di atas punggung kuda betina nya. Dia tahu betul tingkat ilmu 

kepandaian Pandemang. Tidak sembarang orang bisa 

mengalahkannya, apalagi secepat dan secara main-main seperti 

yang dilakukan si penulis . 

“penulis  rambut pirang ! Siapakah kau sebetulnya?” bertanya 

Ranablambang.

“Aku yaitu  Ranablambang!” komentari penulis  itu seenaknya 

dengan cengar-cengir, lalu meneruskan, “Anak seorang gundik yang 

ingin menjadi raja! Yang telah mencuri Tombak Trisula tumbal 

kerajaan!”

kegelapan lah paras Ranablambang. Dihunusnya jimat jengglot nya dari balik 

pinggang. Lalu dengan gerakan enteng melompat turun dari 

punggung kuda betina . Selagi tubuhnya melayang di udara dia sudah 

mengirimkan satu serangan yang hebat membuat penulis  rambut 

pirang  terpaksa buru-buru menyingkir. Sesaat kemudian terjadilah 

pertarungan yang seru di jalan kecil itu. Ternyata Ranablambang 

lebih tinggi ilmu tenaga dalam nya dari Pandemang. Gerakan-gerakannya gesit. 

Serangannya cepat sebat. Tiap-tiap ilmu tenaga dalam  yang dimainkannya licik 

dan berbahaya. Kalau saja lawannya tidak hati-hati dan 

berpengalaman mungkin sudah sejak tadi-tadi dia mendapat celaka. 

Tiga puluh jurus berlalu. Meski berada di atas angin 

Ranablambang masih belum berhasil untuk merobohkan lawannya. 

Untuk mempercepat maksudnya mempecundangi lawan pada jurus 

ke tiga puluh dua Pangeran ini mengeluarkan Tombak Trisula. 

Dengan jimat jengglot  di tangan kiri dan tombak Trisula di tangan kanan dia 

melanjutkan menggempur si penulis . 

“Ha... ha...! Senjata curian yang hendak kau andalkan, Pangeran! 

Sungguh keterlaluan!” ejek penulis  rambut pirang . 

Sambil berkelit dijangkaunya sendok raksasa  besar milik Pandemang. 

Dengan satu gerakan yang sebat, sendok raksasa  itu disapukannya ke depan. 

Ranablambang mengelak cepat dan dari samping mengirimkan satu 

tusukan keras dengan Tombak Trisula. Tapi dia kaget kelangit  sebab  

lawannya tak ada lagi di tempat semula. Dalam kebingungan begitu 

rupa satu benda keras menghantam kepalanya sebelah belakang. 

Sang Pangeran mengeluh pendek. Pemandangan berbinar-binar. 

Tanah yang dipijaknya laksana amblas dan sesaat kemudian dia 

tergelimpang pingsan menyusul Pandemang. 

penulis  berambut pirang  tertawa perlahan. Diambilnya 

Tombak Trisula dari genggaman Ranablambang, lalu diselipkannya di 

pinggang di balik bajunya. 

***

Para pengawal di pintu gerbang kotaraja sebelah timur terkejut 

dan juga heran sewaktu menyaksikan seorang penulis  asing dengan 

menunggangi kuda betina  membawa dua sosok tubuh yang diletakkan di 

atas punggung seekor kuda betina  gandengan. Kejut serta keheranan 

mereka bertambah lagi bilamana mengenali bahwa dua orang yang 

ada di punggung kuda betina  gandengan itu yaitu  Pangeran 

Ranablambang dan pembantunya yang bernama Pandemang. 

“Bukalah pintu gerbang!” kata si penulis . 

Di saat itu selusin pengawal sudah mengurung penulis  ini, 

bersiap-siap untuk menangkapnya. 

“Turun dari kuda betina  dan serahkan dirimu lekas!” kata pemimpin 

pengawal.

Si penulis  memaki dalam hati. 

“Para pengawal! Kalian tidak tahu apa-apa! sebab  itu jangan 

banyak bacot! Lekas buka pintu gerbang! Aku harus menghadap 

raden  septuaginta  selekasnya!” 

“Katakan dulu siapa kau! Kotaraja berada dalam keadaan 

darurat! Tidak sembarang orang boleh masuk! Apalagi kau datang 

membawa Pangeran Ranablambang beserta pembantunya dalam 

keadaan begini rupa!” 

“Bicaramu keren amat, brow !” ujar si penulis  rambut pirang . 

“Sekali kuadukan pada raden  septuaginta  pasti kau bakal 

mendapat hukuman!” 

“Tak perlu mengancam! Lekas serahkan dirimu!” 

“Kalian mau buka pintu gerbang ini atau tidak!” bentak si 

penulis  kesal. 

“Sompret! Berani membentak!” damprat kepala pengawal lalu 

melompat untuk menyentakkan kaki penulis  itu. 

Namun sebelum maksudnya kesampaian si penulis  telah lebih 

dulu menghantamkan tumitnya ke dada kepala prajurit itu hingga 

tubuhnya mencelat mental dan jatuh duduk di tanah! 

Melihat itu sepuluh prajurit pengawal segera menghunus pentungan  

masing-masing dan mengeroyok si penulis  sementara seorang 

prajurit pengawal lainnya menyelinap masuk ke kotaraja guna 

melaporkan kejadian itu pada atasannya. 

saat  lima orang hulubalang sampai ke tempat itu, mereka amat 

terkejut menyaksikan bagaimana sepuluh prajurit pengawal 

berhamparan di depan pintu gerbang. Ada yang merintih kesakitan, 

ada yang menggeletak pingsan sedang penulis  rambut pirang  

masih tetap berada di punggung kuda betina  dengan senyum-senyum kecil 

seolah-olah tak ada terjadi apa-apa di situ! 

“Orang gendeng!” bentak salah seorang hulubalang. Diikuti oleh 

orang kawannya dia segera mencabut pentungan nya membabat ke 

depan! Lima senjata maut berkelebatan  kencang! 

“Tahan!” terdengar satu bentakan memerintah keras. 

Lima hulubalang kerajaan menghentikan gerakan mereka. Yang 

datang yaitu  seorang laki-laki yang sudah berumur tapi masih 

kelihatan gagah. Melihat orang ini, penulis  rambut pirang  segera 

melompat turun dari atas kuda betina nya dan menjura hormat seraya 

berkata-kata, “raden  septuaginta ... aku yang rendah datang untuk 

menepati janji yang kutulis malam tadi.” 

Mula-mula septuaginta  keheran-heranan atas ucapan penulis  

yang tak dikenal itu. Namun bila dia ingat apa yang dialaminya 

semalam, segera dia sadar. 

“Apakah kau Pendekar pendek kekar ...?” Sang Patih bertanya. 

“Betul, raden ,” komentari si penulis  yang ternyata yaitu  

Pendekar Kapak Maut Naga Geni pendek kekar  bobo  angker . 

septuaginta  memandang berkeliling pada para hulubalang dan 

pengawal-pengawal pintu gerbang yang mulai siuman. “Kalian 

ceroboh semua! Tidak mengenali siapa adanya penulis  ini! Dialah 

yang menyelamatkan Pajang! Yang datang untuk mengembalikan 

Tombak Trisula yang telah dicuri itu!” 

Tentu saja semua prajurit dan hulubalang yang ada di situ 

menjadi kaget kelangit  bukan main. Mana mereka menyangka kalau si 

penulis  berambut pirang  bertampang tolol itu yaitu  Pendekar 

pendek kekar  bobo  angker  yang selama ini sangat terkenal dalam dunia 

pertenaga dalam an. Dengan cepat mereka membuka pintu gerbang kotaraja 

lebar-lebar.

septuaginta  membawa bobo  angker  ke kuburan  Kepatihan. Begitu 

duduk berhadap-hadapan, septuaginta  segera bertanya, “Pendekar, 

apakah kau berhasil mendapatkan kembali Tombak Trisula?” 

bobo  angker  mengangguk. Dari balik baju putihnya 

diterlontar keluar kannya Tombak Trisula. septuaginta  menerima senjata itu. 

sesudah  menelitinya sebentar, berserulah raden  Pajang itu. 

“Ini Tombak Trisula palsu!” 

bobo  angker  terkejut dan tersentak dari kursinya. 

“Bagaimana raden  tahu...?” tanya Pendekar pendek kekar . 

“Sepintas lalu memang kelihatan seperti yang asli,” kata 

septuaginta . “Tapi jika diperhatikan akan kentara sinarnya redup dan 

buatannya kasar! Kalau kau tak percaya, lihat, aku buktikan!” 

septuaginta  mengambil sebilah pentungan  pajangan yang tergantung 

di dinding ruangan itu. Dengan pentungan  itu kemudian ditetaknya 

Tombak Trisula! Tombak ini  langsung terpotong dua! 

“Lihat!” kata septuaginta  pula. “pentungan  mustika milikkupun tak 

mungkin bisa memapas Tombak Trisula. Ini hanya sebilah pentungan  

biasa sanggup memotongnya jadi dua!” 

“Kalau begitu aku telah tertipu!” kata bobo  angker  sambil 

menggaruk-garuk kepalanya yang berambut pirang . Dan di dalam 

hati penulis  ini memaki setengah mati. 

“Aku tak salahkan kau, Pendekar pendek kekar ,” berkata-kata raden  

septuaginta . “Sebelumnya kau tak pernah melihat Tombak Trisula 

yang asli...” sesudah  saling berdiam diri beberapa lamanya 

bertanyalah septuaginta , “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” 

“Sebaiknya bawa masuk Ranablambang dan pembantunya. Kita 

bisa tanyai mereka,” menganjurkan bobo . 

septuaginta  menyetujui anjuran itu. Lalu kedua orang ini pun 

dibawa masuk ke ruangan itu tanpa dilepaskan totokan di tubuh 

masing-masing.

“Pangeran Ranablambang,” kata raden  septuaginta  yang masih 

mau menyebut “pangeran” terhadap pengkhianat itu, “sebab  

kedokmu sudah terbuka tak ada gunanya kau bersembunyi-

sembunyi lagi. asia kecil blah setiap pertanyaanku dengan jujur. Di mana 

Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?!” 

“Apa?!”

“Di mana Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?” 

mengulang septuaginta . 

Ranablambang yang bermuka kecil lekung itu memandang tepat-

tepat pada septuaginta , lalu pada potongan-potongan tombak yang 

menggeletak di lantai ruangan dan akhirnya berkata-kata, “Aku tidak 

mengerti maksudmu.” 

“Kau lihat potongan senjata itu? Bentuknya persis seperti 

Tombak Trisula tapi yaitu  palsu!” 

“Palsu atau tidak itu bukan urusanku, raden !” kata 

Ranablambang pula. 

“Kau telah menyuruh Dewa Maling Baju Hitam untuk mencuri 

senjata tumbal kerajaan itu. saat  kau kutangkap tombak ini  

ada padamu dan ternyata palsu. Kau atau si pencurikah yang telah 

menukarnya dengan yang palsu?” yang berkata-kata ini yaitu  bobo  

angker .

“Orang gendeng, aku tidak ada urusan denganmu! Aku tidak sudi 

mengomentari  pertanyaan orang gila!” 

bobo  angker  tertawa perlahan dan mengomentari , “Bagaimanapun 

gilanya diriku, tapi aku tidak segilamu, Ranablambang. Seluruh 

Pajang tahu kalau kau cuma anak seorang gundik. Tapi mengapa 

menyebut diri sebagai pangeran. Dan lebih dari itu berhasrat hendak 

jadi raja pula! Mana yang lebih gila, aku atau kau?!” 

kegelapan lah muka Ranablambang mendengar ucapan itu. 

“Lekas beritahu di mana Tombak Trisula yang asli!” sentak 

septuaginta .

“Aku tidak tahu!” 

“Jangan berdalih, Pangeran!” 

“Kalau dia tak mau mengomentari  secara baik-baik, aku ada cara 

yang paling bagus untuk membuatnya bicara, raden ,” kata bobo  

pula.

“raden ,” membuka suara Pandemang. “Pangeran 

Ranablambang tidak berdusta. Dia betul-betul tidak tahu apa yang 

kau maksudkan dengan Tombak Trisula asli dan yang palsu.” 

“Lantas apa yang kau ketahui, orang gagah?” tanya bobo  angker . 

“astaga  rendah, kelak aku akan memenggal batang lehermu!” 

kata Pandemang mendesis. 

“Sebelum kau memenggal lehernya, kau musti selamatkan dulu 

kau punya batang leher sendiri! Ayo katakan apa yang kau ketahui!” 

bentak septuaginta . 

“Aku tak mau bicara!” komentari Pandemang. 

“Baik, tak apa,” kata Sang Patih pula. Dipanggilnya beberapa 

orang hulubalang lalu disuruhnya jebloskan kedua orang itu ke 

dalam penjara. 

“Aku mempunyai dugaan, raden ,” kata bobo  angker  begitu dia 

tinggal berdua dengan septuaginta . 

“Dugaan apa?” 

“Mungkin sekali Dewa Maling Baju Hitamlah yang punya 

pekerjaan. Dicurinya Tombak Trisula yang asli lalu kepada 

Ranablambang diserahkannya yang palsu...” 

“Dugaanmu bukan mustahil,” ujar raden  septuaginta . “Bisakah 

kau membantuku kembali untuk mendapatkan Tombak Trisula yang 

asli itu?” 

Sebagai asia kecil ban bobo  angker  berdiri lalu berkata-kata, “Akan aku 

usahakan, raden .” 

“Usahakanlah sebelum Sri Baginda kembali dari daerah. Kalau 

tidak, aku bisa berabe!” 

“Jangan khawatir raden , mudah-mudahan berhasil,” kata bobo  

angker .

Meskipun ruangan itu mempunyai pintu untuk terlontar keluar  masuk tapi 

penulis  ini dengan seenaknya memilih jendela untuk jalan lewat 

meninggalkan ruangan ini . 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 12

EHABIS meninggalkan kuil tua di lembah liar itu, Dewa Maling 

Baju Hitam tak hentinya merasa geli dalam hati akan 

kebodohan Pangeran Ranablambang yang telah kena 

ditipunya. Di samping ahli mencuri, Dewa Maling yaitu  seorang licik 

yang teramat jahat hatinya. Begitu Tombak Trisula berada di 

tangannya segera dia pergi ke seorang tukang tempa dan disuruhnya 

membuat sebuah tombak yang bentuknya persis seperti Tombak 

Trisula yang asli. Kemudian Tombak Trisula yang palsu itulah yang 

diserahkannya pada Ranablambang. 

“Dasar tolol!” kata Dewa Maling dalam hati. “Kini aku punya 

kesempatan untuk jadi Raja Pajang! Jadi Raja Pajang! Jadi raja, 

bukan main!” 

Saking gembira dan geli akan ketololan Ranablambang, di 

puncak sebuah puncak gunung  Dewa Maling tertawa gelak-gelak seorang diri. 

“Orang gila dari manakah yang tertawa di siang bolong begini 

rupa!” satu suara tinggi membentak. Dua sosok bayangan 

berkelebatan !

Dewa Maling Baju Hitam terkejut, menghentikan tawanya dan 

memandang berkeliling. 

Berubahlah paras Dewa Maling Baju Hitam sewaktu melihat dua 

orang gadis lesbi asli   berjubah kuning berdiri di kiri-kanannya. Siapa yang tak 

kenal dengan Sepasang Iblis Betina yang berparas cantik tapi berhati 

lebih kejam dari iblis?! 

Untuk menghilangkan rasa terkejut dan kegentaran hatinya Dewa 

Maling buru-buru menjura hormat dan berkata-kata. 

“Ah, Sepasang Iblis Betina kiranya. Harap dimaafkan kalau suara 

tertawaku mengganggu ketenteraman kalian. Tapi hari ini aku benar-

benar gembira...” 

“Apa yang menyebabkan kau gembira?” tanya Nilamaharani. 

“Anu... hem... aku menemukan sebuah kantung berisi perhiasan,” 

komentari Dewa Maling dan sesudah itu laki-laki ini memaki ketololannya 

S

dalam hati. Mengapa dia harus mengomentari  begitu rupa? Bukankah 

seribu asia kecil ban lainnya bisa diberikannya. 

Hatinya tercekat sewaktu Nilamaharani bertanya lagi, “Mana 

coba kulihat kantung itu!” 

Dengan masih memaki dalam hati Dewa Maling mengeluarkan 

kantung yang dimaksudkannya lalu diserahkannya pada 

Nilamaharani. Si gadis lesbi asli   memeriksa isi kantung itu. Ternyata memang 

isinya perhiasan. 

“Nasibmu memang beruntung, Dewa Maling. Namun sayang 

benda ini bukan rejekimu. Iblis-iblis di neraka telah menentukan agar 

perhiasan ini diserahkan padaku!” 

Berubahlah paras Dewa Maling. 

“Ah, rupanya memang demikian,” kata Dewa Maling. “Tapi lebih 

cocok lagi kalau perhiasan itu kita bagi dua saja...” 

“Tutup mulut licikmu!” Nilamahadewi menukas. “Sekarang ayo 

lekas serahkan Tombak Trisula yang asli kepadaku!” 

Dewa Maling Baju Hitam laksana disengat kalajengking. Dia 

undur beberapa langkah lalu tertawa. “Kau bicara apakah, iblis 

betina?”

Nilamahadewi balas tertawa tapi penuh kesinisan. Dan gadis lesbi asli   ini 

kemudian membentak, “Kau jangan berpura-pura pilon! Jangan 

berlagak tidak tahu! Ayo lekas serahkan Tombak Trisula itu!” 

Nilamahadewi mengulurkan tangan kanannya. 

“Tombak Trisula? Tombak Trisula apa...? Aku betul-betul tidak 

mengerti!” kata Dewa Maling masih berpura-pura sedang hatinya 

tambah tidak enak. Naga-naganya bahaya perselisihan tak mungkin 

lagi dihindarkan. Walau bagaimanapun dia tak bakal menyerahkan 

Tombak Trisula ini . Yang membuat dia heran ialah bagaimana 

iblis berbaju kuning ini mengetahui bahwa Tombak Trisula tumbal 

kerajaan yang asli ada padanya! 

Nilamahadewi mendengus dan pandangan matanya berubah 

angker. “Tombak Trisula yang kau curi dari Istana Pajang! Ayo, kau 

masih mau dusta?!” 

“Oh... sungguh telingamu tajam sekali, sungguh matamu terang 

sekali!” sahut Dewa Maling pula sambil memainkan senyum. “Jika 

tombak ini  yang kau maksudkan, sayang telah kuserahkan 

pada Pangeran Ranablambang sebab  dialah yang menyuruh aku 

untuk mencurinya.” 

“Dan sebagai upahnya kau dihadiahi perhiasan dalam kantong 

tadi bukan? Yang kau katakan kau temui di tengah jalan?!” ujar 

Nilamaharani.

Nilamahadewi menimpali, “Terhadap lain orang kau boleh bicara 

dusta! Tapi terhadap kami awas!” 

“Sungguh mati Tombak Trisula sudah kuserahkan pada Pangeran 

Ranablambang. Pembantunya yang bernama Pandemang 

menyaksikan sendiri hal itu,” kata Dewa Maling masih 

mempertahankan kedustaannya sedapat-dapatnya. 

Nilamahadewi tertawa tinggi. 

“Memang... memang telah kau serahkan pada si Ranablambang, 

tapi bukan tombak Trisula yang asli, melainkan yang palsu!” 

Berobahlah paras Dewa Maling Baju Hitam. Tanpa membuang 

tempo lagi dia berkata-kata, “Maafkan aku Sepasang Iblis Betina. sebab  

masih ada lain urusan aku mohon diri!” 

Habis berkata-kata begitu Dewa Maling Baju Hitam cepat-cepat 

hendak berlalu. Tapi... 

“Eeee... ee... ee! Mau ke mana Dewa Maling?! Apa kau tidak 

punya telinga? Mana Tombak Trisula itu?!” tanya Nilamahadewi dan 

cepat menghadang jalan Dewa Maling. 

“Maaf Iblis Betina, aku tak bisa bicara panjang lebar lagi. Jika kau 

inginkan Tombak Trisula, mintalah langsung pada Pangeran 

Ranablambang.”

“Kurang ajar! Masih berani mempermainkan aku!” teriak 

Nilamahadewi marah. Dia menerjang ke depan seraya 

mendorongkan telapak tangan kirinya. 

Serangkum angin keras menyambar ke dada Dewa Maling Baju 

Hitam. Yang diserang cepat berkelit, menjatuhkan diri lalu berguling 

aneh aneh saja  di tanah dan sesaat kemudian dia sudah berada lima belas 

tombak jauhnya dari kedua dara berbaju kuning itu! 

“Caramu lari boleh juga! Tapi jangan harap bisa kabur mentah-

mentah dari hadapanku!” kertak Nilamahadewi. Dengan 

mempergunakan ilmu lompatan yang disebut Katak Sakti Melompati 

Gunung, tubuhnya laksana terbang di udara dan sesaat kemudian 

sudah menghadang di hadapan Dewa Maling Baju Hitam. 

kaget kelangit  Dewa Maling Baju Hitam bukan alang kepalang. Tahu 

bahwa pertempuran tak dapat dihindar dan untuk lari pun tak 

mungkin, begitu berhadap-hadapan Dewa Maling segera 

mengirimkan satu tendangan ke ulu hati Nilamahadewi. Serangan ini 

dengan mudah bisa dikelit oleh Nilamahadewi namun dia terperdaya. 

Tendangan yang dilancarkan lawan hanyalah tipuan belaka sebab  di 

saat dia bergerak gerak  mengelak, satu jotosan keras dari samping kiri 

hampir saja meremukkan batok kepalanya kalau dari jurusan lain 

kakaknya tidak datang membantu! 

“Dasar iblis! Beraninya main keroyok!” bentak Dewa Maling 

marah dan penasaran. 

“Kau berani memaki, bagus! Kupuntir lehermu!” teriak 

Nilamaharani.

“Majulah kalian berdua! Aku tidak takut!” komentari Dewa Maling 

Baju Hitam. Baru saja dia berkata-kata begitu selarik sinar berkilauan 

menyambar membuat kedua lawannya tersentak kaget kelangit  dan mundur! 

Ternyata Dewa Maling Baju Hitam telah mengeluarkan Tombak 

Trisula dan dengan senjata itu menyerang kedua lawannya. sebab  

Tombak Trisula yaitu  senjata sakti yang tak bisa dibuat main maka 

Nilamaharani dan adiknya harus berlaku hati-hati. Masih untung 

tombak mustika itu berada di tangan lawan seperti Dewa Maling, 

kalau di tangan seorang lawan yang jauh lebih tinggi kelihayannya 

pasti mereka akan mengalami kesulitan. Menghadapi Dewa 

Malingpun saat itu keduanya tak mau bertindak gegabah. 

Tombak Trisula di tangan Dewa Maling bersiut-siut laksana hujan 

mencurah. Sepasang Iblis Betina bergerak gerak  gesit. Hanya bayangan 

warna baju mereka yang kuning kini yang kelihatan berkelebatan  kian 

kemari. Dewa Maling mempercepat putaran serangannya. Dia tahu 

dirinya berada di atas angin dan kedua lawan tak berani maju 

mendekatinya.

Enam jurus berlalu. 

Tiba-tiba terdengar suara dua pekik yang keras dan menegakkan 

bulu roma. Di saat itu pula bayangan-bayangan kuning lenyap dari 

hadapan Dewa Maling. Sepasang Iblis Betina hilang laksana gaib. 

Dewa Maling berlaku cerdik. Dia tak mau menghentikan putaran 

tombak yang sekaligus melindungi tubuhnya. Sambil terus berbuat 

begitu sepasang matanya berputar memandang berkeliling dengan 

tajam. Sebelum dia berhasil mengetahui di mana kedua lawannya 

berada mendadak setiup angin dingin berhembus keras dari samping 

kiri.

Dewa Maling terkejut. Tombak Trisula hampir saja terlepas dari 

tangan kanannya. Namun dia selamat dari pukulan Es Iblis yang 

amat berbahaya yang telah dilepaskan oleh Nilamaharani dari atas 

cabang pohon di sebelah kiri sana. Sebenarnya tombak mustika 

itulah yang telah menyelamatkan Dewa Maling. Kalau hanya 

mengandalkan kekuatannya sendiri mungkin dia sudah mendapat 

celaka saat itu. 

Baru terlepas dari bahaya maut itu, Dewa Maling dibikin kaget kelangit  

lagi oleh kiblatan sinar kuning yang datang dari samping kanan. 

Sekali lagi Tombak Trisula dibabatkannya. Meskipun kali ini untuk 

kedua kalinya dia berhasil menyelamatkan diri namun Dewa Maling 

menjadi gugup sewaktu dari depan dan dari belakang kembali setiup 

angin dingin luar biasa menyambar dan dari depan selarik sinar 

kuning menderu. Hanya ada dua jalan untuk menyelamatkan diri dari 

dua serangan ganas meminta jiwa itu. 

Pertama memutar Tombak Trisula. Namun ini masih memberi 

kesempatan salah satu serangan akan melanda tubuhnya yaitu bila 

gerakannya menangkis kalah cepat dengan perbawa dua serangan 

ini . Cara kedua ialah dengan melompat ke atas! Dan cara inilah 

memang yang paling baik. Tanpa membuang tempo lagi Dewa Maling 

menjejakkan kedua kakinya. Sambil memutar Tombak Trisula di 

sekeliling tubuhnya, Dewa Maling melesat ke udara setinggi tujuh 

tombak.

Buk!

Satu pukulan keras menghantam bahu kanan Dewa Maling. 

Tulang selangkanya patah remuk. Jerit Dewa Maling setinggi langit. 

saat  dia terguling di tanah dan bangun dengan tertatih-tatih baru 

disadarinya bahwa Tombak Trisula tak ada lagi dalam genggaman 

tangan kanannya! Dia memandang ke depan. Senjata mustika itu 

kini dilihatnya berada di tangan Nilamaharani yang berdiri dengan 

bertolak pinggang dan menyunggingkan senyum mengejek! Dewa 

Maling menggerutu setengah mati! Pada waktu dia melompat ke 

udara tadi. Nilamaharani yang berada di belakangnya tanpa 

diperhitungkan lagi oleh Dewa Maling, telah menyusupkan satu 

pukulan tangan yang keras dan sekaligus berhasil merampas 

Tombak Trisula dari tangan Dewa Maling. 

“anak manusia -anak manusia  haram jadah,” maki Dewa Maling secara 

menggerakkan tangan mengeluarkan senjatanya yakni sebuah suling 

berwarna hijau, dan mendekatkannya ke bibir. 

Sebelum Dewa Maling meniup senjata itu, Nilamaharani telah 

menyerbu dengan Tombak Trisula! 

“Keparat!” maki Dewa Maling. Dia terpaksa melompat jauh dan 

sejak detik itu tak punya kesempatan lagi untuk mempergunakan 

suling hijaunya sebab  setiap saat dia dibikin sibuk oleh serangan 

Tombak Trisula yang menderu ditambah pula dengan pukulan-

pukulan tangan kosong Nilamahadewi yang ikut bantu kakaknya! 

“Kalau aku bertahan terus, lama-lama aku bisa mampus percuma 

di sini,” membatin Dewa Maling Baju Hitam. 

Sambil mengelakkan satu tusukan tombak yang dilancarkan 

Nilamaharani, dengan gerakan yang tidak kelihatan oleh kedua 

lawannya, Dewa Maling mengambil sebuah benda sebesar tutup 

botol berwarna hitam. 

“Betina-betina edan!” teriak Dewa Maling Baju Hitam kemudian. 

“Jika kalian benar-benar lihay, tangkislah senjata rahasiaku ini!” 

Lalu dengan tangan kirinya Dewa Maling Baju Hitam 

melemparkan benda ini . Nilamaharani juga menyangka bahwa 

benda hitam itu betul-betul satu senjata rahasia, tak ayal lagi segera 

menyapu dengan Tombak Trisula. 

Begitu benda hitam dan Tombak Trisula beradu, terdengar suara 

letupan dan asap hitam yang amat tebal bertebar dengan cepatnya 

di seluruh tempat, menghalangi pemandangan mata yang 

bagaimanapun tajamnya. 

“Kurang ajar! Kita tertipu!” seru Nilamaharani. Dan betul saja. 

saat  asap hitam lenyap, Dewa Maling Baju Hitampun tak tampak 

lagi mata hidungnya di situ! 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 13

ETELAH berhasil menyelamatkan diri dari kematian di tangan 

Sepasang Iblis Betina dan mengobati lukanya, dalam hati 

Dewa Maling Baju Hitam timbul tenggelam lah dendam kesumat untuk 

menuntut balas. Disamping itu dia bertekad bulat untuk 

mendapatkan Tombak Trisula kembali. Namun disadarinya bahwa 

kedua hal itu tak mungkin terlaksana kalau hanya dengan 

mengandalkan dirinya sendiri. Untuk itu Dewa Maling Baju Hitam 

segera menemui beberapa orang kawan satu alirannya. Maka 

sewaktu hari menjelang malam, bersama orang-orang itu dia 

berunding di satu pondok, mengatur rencana balas dendam dan 

merampas Tombak Trisula. 

Mereka berjumlah empat orang, termasuk Dewa Maling sendiri. 

Di samping kanan Dewa Maling duduk seorang laki-laki bertubuh 

kecil pendek atau lebih tepat kalau dikatakan katai. Si katai ini 

berkepala botak licin berkilat. Berlawanan dengan kepalanya yang 

licin plontos itu, mukanya penuh ditumbuhi berewok atau cambang 

bawuk yang meranggas liar sebab  tak pernah dicukur. Siapakah 

adanya penulis  ini? Dia yaitu  Warok Kate, seorang pemimpin 

pasukan jahat  jahat yang bersarang di Hutan Jatiluwak. Ilmunya tinggi 

sebab  dulu dia yaitu  seorang murid pertapa sakti yang kemudian 

menyeleweng jadi orang jahat. (Mengenai Warok Kate ini bacalah jilid 

ke 1 cersil pentungan  Sakti jimat jengglot  Ular Mas, karangan Bastian) 

Orang kedua yang duduk di sebelah kiri Dewa Maling Baju Hitam 

ialah seorang laki-laki yang cuma punya satu mata. Matanya yang 

sebelah kanan hanya merupakan rongga hitam yang mengerikan. 

Seperti Warok Kate, diapun memelihara berewok yang teramat lebat. 

Tampangnya bukan saja seram tapi juga bengis kejam. Dia bernama 

Baraka Seta, yang mendapat julukan Buaya Mata Satu dari Kali 

Progo sebab  bersama beberapa anak buahnya dia sejak lama 

menjadi buaya sungai yang ditakuti. Siapa atau perahu mana saja 

yang melewati Kali Progo, pastilah akan dipasukan jahat  dan para 

S

penumpangnya dibunuh dengan semena-mena sekalipun mereka 

menyerahkan barang-barang secara sukarela. 

Orang ketiga duduk di depan Maling Baju Hitam. Tubuhnya kurus 

tinggi, anu nya senantiasa pucat macam orang mau mati besok, 

sedang sepasang matanya selalu saja berair. Dia mengenakan jubah 

ungu gelap. Namun tak satu orang pun yang tahu namanya. Dia 

dikenal dengan nama gelaran yaitu Setan Ungu Muka Pucat. 

anak manusia  ini bukan bangsa maling atau pepasukan jahat  ataupun buaya air. 

Namun dia merupakan seorang tokoh golongan hitam yang banyak 

hubungan rapat dengan orang-orang jahat. 

“Nah, kalian sudah tahu jelas siapa musuh yang bakal kita 

hadapi. Kedua Iblis Betina itu memang sakti dan berkepandaian 

tinggi. Tapi dengan tipu daya serta jumlah kita yang berempat ini 

masakan keduanya bisa berkutik?!” 

“Memang, aku sendiri punya dendam kesumat terhadap mereka 

sejak tiga bulan lewat,” kata Buaya Mata Satu Kali Progo. 

“Nah, apalagi kalau begitu! Dendam kesumat apakah?” tanya 

Dewa Maling pula. 

“Suatu hari anak buahku mepasukan jahat  habis-habisan sebuah 

perahu dagang di muara Kali Progo. Tahu-tahu muncullah kedua iblis 

haram jadah itu mempreteli hasil pasukan jahat an mereka. Anak buahku 

melawan. Lima orang dibunuh mentah-mentah, seorang masih 

sanggup melarikan diri dengan jalan menyelam di sungai secara 

diam-diam lalu melaporkan kejadian itu kepadaku. Sewaktu aku 

mendatangi muara sungai, astaga -astaga  betina itu sudah kabur 

bersama barang-barang pasukan jahat an!” 

Sunyi sejenak, lalu terdengar Warok Kate bertanya,  “Kapan kita 

akan mendatangi tempat mereka?” 

“Malam ini juga, Warok. Lebih cepat lebih baik!” komentari Dewa 

Maling Baju Hitam. 

Sret!

Warok Kate mencabut sendok raksasa  besar di pinggangnya. Sambil 

meraba-raba bagian yang amat tajam dari senjata itu dan sambil 

menyeringai dia berkata-kata, “Tenanglah, sendok raksasa ! Malam ini kau bakal 

minum darah segar!” Lalu dengan tertawa mengekeh 

disarungkannya senjata ini  ke tempatnya kembali. 

“Mari kita berangkat,” kata Dewa Maling Baju Hitam seraya 

berdiri.

Sebelum tiga orang lainnya sempat ikut berdiri dari ambang pintu 

terdengar suara menegur, “Seorang tamu datang, masakan tuan 

gudang raksasa  hendak pergi begitu saja? Sungguh tak ada peradatan!” 

Dewa Maling Baju Hitam terkejut. Dia saling pandang sesaat  

dengan ketiga kambratnya lalu memandang ke pintu dan 

membentak, “Siapa di luar?!” 

“Seorang tamu.” 

“Siapa nama dan datang dari mana?” tanya Dewa Maling lagi. 

Sambil bertanya begitu diberikannya isyarat pada Warok Kate untuk 

terlontar keluar  lewat pintu belakang dan menyelidik. 

“Aku datang dari kotaraja,” terdengar sahutan si tamu malam 

yang masih berada di luar pondok. “Aku diutus oleh raden  

septuaginta  untuk bicara empat mata dengan kau, Dewa Maling.” 

Dewa Maling memberi isyarat sekali lagi dan kini Buaya Mata 

Satu dari Kali Progo serta Setan Ungu Muka Pucat terlontar keluar  pula 

meninggalkan tempat itu hingga Dewa Maling tinggal seorang diri. 

“Sebelum kuizinkan kau masuk, sebutkan dulu kau punya nama!” 

kata Dewa Maling. 

“Amat pentingkah namaku bagimu, Dewa Maling?!” 

“Penting atau tidak aku harus tahu! Lekas katakan!” 

“Namaku bobo  angker !” 

Bagai dipakukan kedua kakinya ke lantai pondok, demikianlah 

terkejutnya Dewa Maling Baju Hitam. Dia memandang berkeliling dan 

diam-diam merasa menyesal mengapa telah menyuruh ketiga 

kambratnya meninggalkan pondok hingga dia tinggal sendirian di situ 

dalam kekhawatiran yaitu sesudah  mendengar orang di luar pondok 

menyebutkan namanya. 

“Pendekar pendek kekar  bobo  angker !” kata Dewa Maling pula. “Aku tidak 

menyangka kalau kau ada hubungan dengan raden  septuaginta . 

Ada perlu apakah kau mencariku?” 

“Aku sudah bilang ingin bicara empat mata dengan kau.” 

“Kau tak usah khawatir pembicaraan kita akan didengar orang. 

Tiga kawanku sudah kusuruh pergi. Masuklah!” kata Dewa Maling 

dan diam-diam diterlontar keluar kannya seruling hijau yang berisi racun jahat 

lalu menunggu bobo  angker  di depan pintu. Begitu si tamu masuk 

akan segera disemburnya dengan racun ini . 

Di luar pondok, Warok Kate dan Buaya Mata Satu dari Kali Progo 

serta Setan Ungu Muka Pucat merasa amat heran. Meskipun dia 

jelas mendengar percakapan antara Dewa Maling dengan tamu yang 

mengaku bernama bobo  angker  itu, tapi ketiganya sama sekali tidak 

melihat Pendekar pendek kekar  bobo  angker ! 

Sementara itu di dalam pondok Dewa Maling sudah siap-siap 

dengan suling hijaunya yang beracun. Dia tersentak seperti disengat 

kala sewaktu tahu-tahu di belakangnya terdengar suara orang 

menegur.

“Ah! Aku tak tahu kalau kau menunggu di pintu depan. Harap 

maafkan sebab  aku masuk lewat pintu belakang!” 

Dewa Maling menoleh. Seorang penulis  berambut pirang  

dilihatnya berdiri menutupkan pintu sambil menyeringai kepadanya. 

“Kau... kau Pendekar pendek kekar  bobo  angker ?” tanya Dewa Maling. 

penulis  itu menggaruk kepalanya lalu mengangguk. 

Selama ini Dewa Maling hanya mendengar nama dan kehebatan 

Pendekar pendek kekar  bobo  angker  dan tak pernah melihat orangnya. Kini 

berhadapan dengan penulis  berambut pirang  dan bertampang 

seperti orang dogol itu mana dia mau percaya kalau penulis  itulah 

Pendekar pendek kekar  bobo  angker ? Rasa ngeri yang sebelumnya 

menyungkup diri Dewa Maling dengan serta merta lenyap. Dan 

suaranyapun kembali garang, beringas. 

“Katakan urusanmu!” 

bobo  angker  melangkah beberapa tindak lalu baru mengomentari , 

“Urusanku sedikit sekali, Dewa Maling. Hanya dengan tiga patah 

kata.”

“Bilang!”

“Kembalikan Tombak Trisula!” 

Sepasang bola mata Dewa Maling memandang menyorot pada 

penulis  di hadapannya. “Betul kau diutus oleh septuaginta ?” 

bobo  mengangguk. 

Dewa Maling tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok bergetar. 

“aneh aneh saja !” kata Dewa Maling pula. “Seorang pendekar yang selama 

ini ditakuti dan menggetarkan dunia pertenaga dalam an kiranya hanya kacung 

buruk seorang patih belaka!” 

Diejek demikian rupa Pendekar pendek kekar  bobo  angker  bukannya 

marah malah ikut tertawa gelak-gelak hingga Dewa Maling merasa 

bagaimana lantai pondok yang dipijaknya jadi bergetar keras! 

“Kacung atau apapun kau bilang yang penting lekas serahkan 

padaku Tombak Trisula!” kata bobo  kemudian sesudah  menghentikan 

tawanya.

“Aku khawatir senjata itu tidak kau sampaikan pada Sang Patih, 

tapi kau boyong sendiri!” ujar Dewa Maling pula. 

bobo  menyeringai. “Lekas serahkan apa yang kuminta!” 

“Tombak Trisula sudah kuberikan pada Ranablambang. Patih itu 

menipumu. Tentu dia bermaksud mengadu domba kau dengan aku!” 

bobo  tertawa lalu berkata-kata, “Trisula yang kau berikan pada 

pangeran khianat itu yaitu  yang palsu! Mana yang asli?” 

“Hem, rupanya kau tahu juga mana asli mana palsu. Dengar 

brow , jika aku terangkan yang sebenarnya padamu apakah kau mau 

segera angkat kaki dari sini!” 

“Belum tentu.” 

“Jangan keras kepala! Sepuluh macammu bisa kuhantam 

sekaligus!” ancam Dewa Maling. 

“Dua puluh macammu sanggup kulabrak dalam satu jurus!” balas 

bobo  seenaknya. 

“Trisula yang asli telah dirampas oleh Sepasang Iblis Betina,” kata 

Dewa Maling dengan geram. “Sekarang angkat kaki dari 

hadapanku!”

“Jangan bicara bohong, Dewa Maling!” memperingatkan bobo  

angker .

Saat itu pintu belakang dan pintu depan pondok terbuka. Warok 

Kate dan Buaya Mata Satu berdiri di belakang Pendekar pendek kekar  sedang 

dari pintu depan masuk Setan Ungu Muka Pucat. 

Seraya menutupkan pintu Setan Ungu Muka Pucat berkata-kata, 

“anak manusia  keras kepala macam dia ini pantasnya diberi hajaran saja, 

Dewa Maling!” 

bobo  angker  mengeluarkan suara bersiul dan menggoyangkan 

kepalanya pada Setan Ungu Muka Pucat lalu berkata-kata, “anak manusia  

muka sepucat kain kafan! Untung kau membuka mulut bicara! Kalau 

tidak pasti aku sudah menyangka kau yaitu  mayat hidup!” Habis 

berkata-kata begitu bobo  angker  tertawa gelak-gelak. 

“Bedebah!” bentak Setan Ungu Muka Pucat dengan amat marah. 

Darahnya naik ke kepala tapi parasnya masih tetap saja pucat 

pasi. Dia maju ke muka. Dengan jari-jari tangannya yang berkuku 

panjang hendak dicengkeramnya muka Pendekar pendek kekar . Namun 

gerakannya itu terhenti oleh seruan Dewa Maling Baju Hitam. 

“Jangan kesusu, brow ku! Kalau dia mau bergabung dengan kita, 

kita ampunkan jiwanya.” Dewa Maling berpaling pada bobo  dan 

bertanya, “Bagaimana? Kau bersedia ikut kami ke tempat Sepasang 

Iblis Betina guna merampas Tombak Trisula?!” 

“Siapa sudi?!” sahut bobo  tegas. “Kau astaga  anak manusia  licik. Juga 

kawan-kawanmu yang tiga ini. Dan aku tetap yakin bahwa senjata 

mustika itu ada padamu!” 

“Kalau begitu mampuslah bersama keyakinanmu itu!” bentak 

satu suara di belakang Pendekar pendek kekar . Satu benda kemudian 

terdengar bersiur ke arah penulis  ini. 

Tanpa menoleh, dari suara sambaran angin bobo  angker  dapat 

mengetahui bahwa yang menyerangnya dari belakang yaitu  Warok 

Kate. Dengan cepat penulis  itu bergerak gerak  ke kanan. Bila 

dirasakannya senjata lawan lewat, secepat kilat dia berbalik dan 

menendangkan kaki kanannya. Maka terdengarlah keluh kesakitan 

Warok Kate. sendok raksasa  besar yang dipakainya untuk menyerang terlepas 

mental sedang lengannya sakit bukan main akibat tendangan lawan! 

“Kalau mau menyerang, dari depan, brow ! Bukan secara licik 

seperti itu!” 

Kini terbukalah mata semua orang yang ada di situ. Warok Kate 

seorang kepala pasukan jahat  berilmu tinggi dan luas pengalaman. 

Bagaimana dia bisa dihajar hanya dalam satu gebrakan saja?! 

Rupanya nama bobo  angker  yang digelari Pendekar pendek kekar  tidak 

kosong belaka! 

“Kawan-kawan! Mari kita kermus astaga  kurang ajar ini!” teriak 

Dewa Maling Baju Hitam. Dengan senjatanya yang berbentuk suling 

hijau dia mengirimkan satu tusukan ke dada Pendekar pendek kekar . Kalau 

tadi dia merencanakan untuk menyembur nyembur  muka penulis  itu dengan 

racun senjata ini , kini hal itu tak berani dilakukannya sebab  

khawatir akan mencelakakan kawan sendiri. 

Tusukan yang dilancarkan Dewa Maling yaitu  satu tusukan kilat 

yang berbahaya. Namun tidak demikian mudah untuk merobohkan 

murid Eyang Sinto Gendeng dengan satu kali serangan kilat itu. 

Sambil berkelit bobo  menerpa ke arah Setan Ungu Muka Pucat yang 

hendak membokongnya dari samping. 

Buk!

Dua kepalan sama-sama beradu. 

Setan Ungu Muka Pucat terkejut dan menggigit bibir agar keluh 

kesakitan tidak terlontar keluar  dari mulutnya. Tubuhnya terhuyung dan saat  

diperhatikan ternyata kulit tangannya telah lecet kegelapan ! Melihat ini 

Setan Ungu Muka Pucat segera mengeluarkan senjatanya yakni 

sebuah tasbih berwarna ungu. Sementara itu Buaya Mata Satu dari 

Kali Progo telah pula mencabut pentungan  besar sedang Warok Kate 

sesudah  mengambil senjatanya yang tadi terlepas, terus pula 

menyerbu. Dalam pondok yang sempit itu dengan tangan kosong 

Pendekar pendek kekar  dikeroyok oleh empat tokoh tenaga dalam  golongan hitam yang 

berkepandaian tinggi. bobo  tahu yaitu  gila kalau dia menghadapi 

keempat lawannya dengan terus mengandalkan tangan kosong. 

Dalam dua atau tiga jurus pasti tubuhnya akan kena ‘disate’ senjata-

senjata lawan. sebab  dia tak bisa menggerakkan tangan untuk 

melepaskan pukulan-pukulan sakti maka tanpa membuang waktu 

lagi penulis  ini segera mencabut Kapak Maut Naga Geni pendek kekar  dari 

balik pinggangnya. Sinar putihpun berkiblat! 

“Awas Kapak Naga Geni pendek kekar !” seru Setan Ungu Muka Pucat 

memberi ingat kawan-kawannya. 

Peringatan itu tak ada gunanya sebab  sesaat kemudian 

terdengar suara cras yang dibarengi dengan pekik Baraka Seta atau 

Buaya Mata Satu dari Kali Progo. Tubuhnya terhuyung-huyung ke 

belakang, dada mandi darah. Tersandar ke dinding pondok dan 

akhirnya roboh ke lantai tanpa berkutik lagi. 

Kekalapan Dewa Maling Baju Hitam melihat kematian 

kambratnya membuat dia melupakan keselamatan kawan-kawannya 

yang masih hidup. Dengan serta-merta ditiupnya sulingnya. Sinar 

hijau bertabur manik-manik kegelapan  menyembur nyembur  ke arah Pendekar 

pendek kekar  bobo  angker . bobo  sudah maklum betapa jahatnya racun dalam 

sinar itu, dengan serta merta menyapukan Kapak Naga Geni pendek kekar  ke 

kiri. Keseluruhan sinar hijau dan manik-manik kegelapan  tersapu ke kiri 

di mana Setan Ungu Muka Pucat berada. Tak ampun lagi begitu 

racun ini  tercium olehnya, Setan Ungu Muka Pucat terbatuk-

batuk beberapa kali. Dari mulutnya terdengar suara seperti mau 

muntah. Tubuhnya tergelimpang. Mukanya berubah biru sedang dari 

sela bibir membasahi ludah. 

“Dewa Maling! Tindakanmu gegabah sekali!” teriak Warok Kate 

yang jadi penasaran melihat Setan Ungu Muka Pucat yang tak 

mungkin diselamatkan lagi jiwanya. “Terpaksa kubatalkan niat untuk 

ikut bersamamu! Kau bertempurlah seorang diri melawan penulis  

itu!”

Habis berkata-kata demikian Warok Kate memutar tubuh dan 

melabrak pintu pondok, lenyap di kegelapan malam. Melihat ini 

lumerlah nyali Dewa Maling Baju Hitam. Segera pula dia memutar 

tubuh. Tapi bobo  angker  mana mau memberi kesempatan lari pada 

yang satu ini. Sebelum Dewa Maling mencapai pintu, Kapak Naga 

Geni pendek kekar  telah membabat putus salah satu kakinya. Dewa Maling 

terbanting di tanah dan menjerit-jerit kesakitan. 

“Kalau kau terangkan di mana Tombak Trisula yang asli, aku 

akan selamatkan jiwamu,” kata bobo . 

“Setan alas! Aku sudah bilang senjata itu dirampas oleh 

Sepasang Iblis Betina...!” 

“Di mana tempat kediaman mereka?” 

“Tanyalah sama setan neraka!” komentari Dewa Maling. Racun Kapak 

Naga Geni pendek kekar  masuk ke jantungnya dan detik itu juga anak manusia  

inipun meregang nyawa! 

bobo  menggeledah pakaian Dewa Maling. Tombak Trisula tak 

ditemuinya.

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 14

ENURUT keterangan yang didapat oleh Pendekar pendek kekar  bobo  

angker , tempat kediaman Sepasang Iblis Betina terletak di 

daerah berpuncak gunung -puncak gunung  di seberang Hutan Bintaran. Lima hari 

mengadakan penyelidikan dia sama sekali tak berhasil menemukan 

sarang kedua gadis lesbi asli   jahat ini . Selama ini bobo  telah mendengar 

perbuatan-perbuatan kejam yang pernah dilakukan oleh Sepasang 

Iblis Betina. Ada hal yang mengherankannya, kenapa justru laki-laki 

muda dan yang bertampang gagah yang selalu menjadi korban 

kedua gadis lesbi asli   ini ? 

Hari ke enam berlalu. bobo  angker  memutuskan bila sampai hari 

ke tujuh dia masih belum berhasil menemukan kedua orang yang 

dicarinya itu, dia akan meninggalkan tempat ini  dan mencari 

keterangan lain yang lebih jelas mengenai mereka. 

Demikianlah pada pagi hari ke tujuh itu bobo  angker  baru saja 

selesai mandi di dalam Telaga Puteri Intan Dewi yang terletak di 

Hutan Bintaran sewaktu sepasang kaki putih mulus dilihatnya 

melangkah lembut di antara semak-semak jauh di hadapannya. 

penulis  itu cepat naik ke darat dan mengenakan pakaiannya, lalu 

menunggu dengan tenang. 

Namun ketenangan hati pendekar muda ini hanya sejenak. 

Dadanya berdebar sewaktu pemilik kaki yang bagus tadi muncul di 

balik sebatang pohon besar. Ternyata dia yaitu  seorang dara 

berparas cantik sekali. bobo  mengingat-ingat beberapa orang gadis lesbi asli   

cantik yang pernah ditemuinya. Namun harus diakuinya bahwa yang 

satu ini yaitu  yang paling cantik yang pernah dilihatnya. gadis lesbi asli   ini 

mengenakan pakaian berbentuk jubah pendek berwarna biru tua 

berbunga-bunga kuning. Di tangan kirinya ada sebuah kendi besar. 

Dara ini kelihatan terkejut dan menghentikan langkahnya sewaktu 

sepasang matanya yang bersinar beradu pandang dengan Pendekar 

pendek kekar .

“Di pagi yang segar, bertemu dengan seorang dara jelita. sungguh 

M

indah sekali rasanya hidup ini...” kata Pendekar pendek kekar  laksana seorang 

penyair. Dia tersenyum. “Nona, siapakah kau?” tanya bobo  angker  

seraya melangkah mendekati si gadis lesbi asli  . 

Sang gadis lesbi asli   undur beberapa tindak. 

bobo  tertawa. 

“Kau datang ke sini tentu untuk mengambil air. Ambillah. Dan kau 

tak usah perduli aku kalau memang tak sudi bicara atau takut 

padaku. Aku tak akan mengganggumu.” 

penulis  ini membalikkan badan dan merapikan pakaiannya. 

Didengarnya gadis lesbi asl