hati. Dalam keadaan begitu rupa dia melompat menjauhkan diri
seperti orang yang hendak mengambil langkah seribu.
“Mau lari ke mana, anak manusia jahat?!” bentak raden septuaginta .
Lalu dengan satu gerakan kilat memburu melompat dan
mengirimkan dua bacokan ganas. Namun sekali ini Sang Patih telah
tertipu.
Gerakan yang dibuat oleh Dewa Maling tadi sama sekali bukan
untuk melarikan diri, tapi justru untuk memancing lawan. Sewaktu
septuaginta melompat ke arahnya dengan membacokkan pentungan ,
laksana seekor kelinci dengan gesit Dewa Maling melompat ke
samping lalu menyelinapkan satu tusukan tombak ke bagian tubuh
sebelah bawah lawan yang tidak terjaga.
sebab bacokannya mengenai tempat kosong dengan sendirinya
serangan balasan Dewa Maling membahayakan sekali bagi
septuaginta . Dengan sebat patih ini membabatkan pentungan nya ke
bawah sebab dalam posisi begitu rupa cara itulah satu-satunya bagi
dia untuk dapat menyelamatkan jiwanya! Justru memang inilah yang
dikehendaki oleh lawannya.
Melihat lawan membabatkan senjata ke bawah, Dewa Maling
dengan keras memukulkan Tombak Trisula ke atas menyongsong
senjata lawan! Raja pentungan dari Pajang terkejut namun kasip. Tak
ada kesempatan lagi untuk menghindarkan bentrokan senjata
ini .
Trang!
pentungan di tangan raden septuaginta patah dua. septuaginta
cepat melompat mundur sedang di hadapannya Dewa Maling
tertawa mengekeh, tangan kanan memelintangkan Tombak Trisula di
depan dada sedang tangan kiri bertolak pinggang.
“septuaginta ! Sayang kau terlalu keras kepala! Sudah ditakdirkan
bahwa kau tak bakal melihat matahari esok pagi!”
Dewa Maling menerjang ke muka. Tombak Trisula berkiblat
menderu. septuaginta berusaha menangkis sedapat-dapatnya
dengan sisa patahan pentungan yang masih ada di tangannya sedang
tangan kiri melepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat.
“Keparat!” maki Dewa Maling sebab dia tak menyangka kalau
lawan yang sudah tak berdaya itu masih memiliki pukulan sakti yang
hampir saja menghantam dirinya kalau dia tidak lekas-lekas
menyingkir dan memaksanya membatalkan serangan mautnya tadi!
“Walau bagaimanapun kau tak bakal bisa membawa lari Tombak
Trisula itu, pencuri jahat!” kata septuaginta yang masih besar nyalinya
meski kini sudah bertangan kosong.
Dewa Maling berkomat-kamit. Dalam marahnya dia merasa
sudah cukup lama melayani Patih Pajang itu. Dari dalam baju
hitamnya yang terlindung oleh pakaian hulubalang diterlontar keluar kannya
sebuah benda hijau berbentuk suling. Dengan kedua tangan
terpentang septuaginta menunggu waspada. Senjata di tangan kiri
lawan merupakan senjata aneh aneh saja baginya. Tiba-tiba Dewa Maling
meletakkan salah satu ujung benda hijau berbentuk suling itu di
ujung bibirnya dan meniup. Satu suara melengking tajam menusuk
anak telinga menggema di keheningan malam. Asap hijau yang
ditaburi manik-manik kegelapan menyala mencurah ke arah septuaginta .
Dalam kaget kelangit nya Patih Pajang ini tak sempat lagi menyingkir. Begitu
asap hijau bertabur manik-manik kegelapan menyambar hidungnya,
patih ini terbatuk-batuk, dari tenggorokannya terdengar suara seperti
mau muntah. Kedua lututnya goyah dan akhirnya tubuhnya
tergelimpang pingsan.
Dewa Maling Baju Hitam tertawa perlahan. “septuaginta , kalau
aku tidak membunuhi mu sekarang bukan berarti aku memiliki belas
kasihan terhadapmu! Racun jahat yang ada dalam tubuhmu akan
membuat kau menderita batuk darah seumur hidup! Dirimu akan
tersiksa, dan itu jauh lebih jahat daripada kematian!”
Kembali Dewa Maling tertawa perlahan. Kemudian dengan
memboyong Tombak Trisula, dia berkelebatan cepat meninggalkan
tempat itu. Kira-kira Dewa Maling sudah berlalu sejauh seratus
tombak, satu bayangan putih entah dari mana datangnya, tahu-tahu
sudah berada di tempat itu. Melihat sosok tubuh Patih septuaginta
yang terhampar di tanah, orang ini memaki.
“Sialan, aku terlambat!”
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 10
RANG berpakaian putih itu membungkuk di samping tubuh
septuaginta . anu Sang Patih kelihatan membiru sedang dari
sela bibirnya terlontar keluar busa kental dan leher bengkak
menggembung.
“Racun jahat,” kata orang berpakaian putih dalam hati. Telapak
tangan kanannya ditekankan ke perut septuaginta sedang jari-jari
tangan kiri mencengkeram leher patih itu. Sesaat kemudian
kelihatan tubuh septuaginta menggeliat, lalu melejang-lejang. Dari
mulutnya semakin banyak terlontar keluar busa dan kini busa itu berwarna
kehijauan. Kemudian terdengar perutnya menggereok dan Sang
Patih muntah dua kali berturut-turut.
Orang berpakaian putih merasa lega melihat anak manusia yang
ditolongnya muntah. Dia maklum, kalau septuaginta tidak muntah
begitu rupa, niscaya nyawa Sang Patih tak mungkin
diselamatkannya. Tapi dia tahu bahwa sampai di situ keselamatan
septuaginta masih belum terjamin sepenuhnya. sesudah mengalirkan
hawa panas dan hawa dingin ke dalam aliran darah Sang Patih lalu
diambilnya dua butir obat dan dimasukkannya ke dalam mulut patih
itu. sesudah yakin bahwa kini tak ada lagi racun jahat yang
mengendap dalam tubuh atau jalan nafas septuaginta , laki-laki
berpakaian putih itu sebelum meninggalkan tempat ini dengan
jari-jari tangan kanannya menggurat tanah membuat tulisan.
Sementara seisi Istana Pajang heboh oleh tercurinya Tombak
Trisula serta lenyap tak diketahui ke mana perginya raden
septuaginta , malam yang dingin telah berganti dengan siang, fajar
telah menyingsing di timur.
Tubuh raden septuaginta yang selama beberapa jam terhantar
di tanah kelihatan bergerak gerak . Sepasang matanya membuka perlahan.
Akhirnya patih ini siuman dan duduk menjelepok di tanah. Mula-mula
dia heran menyaksikan di mana dia berada saat itu. Namun bila dia
ingat apa yang telah terjadi barulah dia sadar. Dia memandang
O
berkeliling dan pada waktu itulah pandangannya membentur pada
barisan-barisan tulisan yang tertera di tanah di ujung kakinya.
Kembalilah ke istana.
Tentang Tombak Trisula tak usah dikhawatirkan.
Mudah-mudahan dapat kukembalikan dalam waktu yang singkat.
Pendekar pendek kekar .
“Pendekar pendek kekar ,” desis septuaginta . Dia tak pernah kenal orang itu
tapi di seluruh asia kecil Tengah namanya sudah tersohor sebagai
seorang pendekar berusia muda yang amat tinggi ilmu tenaga dalam serta
kesaktiannya, yang bertualang dari satu daerah ke daerah lain
menjalankan tugas membela kebenaran dan keadilan, menolong
siapa saja yang tertindas dan mendapat bahaya.
Kemudian septuaginta ingat pula bagaimana Dewa Maling Baju
Hitam telah meniupkan racun jahat kepadanya hingga dia roboh
pingsan. Tentu Pendekar pendek kekar itulah yang telah menolongnya.
Perlahan-lahan septuaginta berdiri. Dendam kesumatnya terhadap
Dewa Maling amat besar, tapi dia tak bisa berbuat suatu apa selain
berharap bahwa Pendekar pendek kekar bobo angker benar-benar bisa
mengambil dan mengembalikan tombak tumbal kerajaan itu. Dengan
harapan itulah septuaginta meninggalkan tempat ini dan
kembali ke Istana Pajang.
***
Kira-kira setengah hari perjalanan dari Pajang ada lah sebuah
lembah liar. Dulunya lembah ini yaitu sebuah lembah subur. Tapi
sewaktu banjir melanda daerah itu, segala kesuburan lembah
ini ikut tersapu. Bahkan sebuah kuil yang ada di situ ikut
menjadi korban, hampir keseluruhannya diterjang banjir. Kini sisa-
sisa kuil ini masih berdiri meskipun sudah tak beratap lagi dan
dinding-dinding sebagian besar hanya tinggal sepotong-sepotong.
Boleh dikatakan sejak lembah itu berubah menjadi lembah liar,
tak seorang anak manusia pun yang datang ke sana. Namun di hari itu
yaitu aneh aneh saja sebab di depan bekas-bekas runtuhan kuil kelihatan
dua ekor kuda betina besar tengah merumput. Terlindung di balik
reruntuhan tembok kuil berdiri dua orang laki-laki.
Yang satu bertubuh kecil bermuka cekung. Kumisnya tebal
melintang. Yang seorang lagi kebalikannya berbadan besar tegap.
Mereka berdua yaitu Pangeran Ranablambang dan pembantu
kepercayaannya yaitu Pandemang.
“Aku khawatir kalau-kalau si Dewa Maling gagal mencuri tombak
itu,” kata Pangeran Ranablambang.
“Mana mungkin, Pangeran. Dia seorang cerdik, punya seribu akal
dan berilmu tinggi pula,” menyahut Pandemang seraya mengusap-
usap dagunya yang lebat ditumbuhi berewok.
“Tapi dia bisa saja silap, lupa akan seluk-beluk mengambil
senjata itu.”
“Percayalah Pangeran, Dewa Maling pasti berhasil mengambil
Tombak Trisula. Kalau tidak percuma dia mendapat julukan hebat
begitu rupa.”
Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tak berkata-kata
apa-apa sampai pada akhirnya di tepi lembah dilihatnya satu titik
hitam muncul mendatang dengan cepat.
“Itu dia,” kata Pangeran Ranablambang gembira.
Pandemang memandang ke arah yang ditunjuk. Titik hitam itu
semakin dekat dan ternyata memang dia yaitu Dewa Maling Baju
Hitam yang telah menanggalkan pakaian hulubalangnya.
“Bagaimana? Berhasil?!” pertanyaan itu cepat-cepat diajukan
oleh Pangeran Ranablambang pada Dewa Maling begitu Dewa
Maling sampai di hadapannya.
“Beres Pangeran! Beres!” komentari Dewa Maling dengan tertawa
lebar.
Gembiralah Pangeran Ranablambang. Dia tertawa lebih lebar dari
Dewa Maling lalu menepuk-nepuk bahu Dewa Maling dan bertanya,
“Mana? terlontar keluar kanlah. Berikan padaku cepat.”
Dari balik pakaian hitamnya Dewa Maling mengeluarkan senjata
tumbal kerajaan itu dan menyerahkannya pada Pangeran
Ranablambang. sesudah meneliti benda itu sebentar lalu sang
pangeran cepat-cepat menyimpannya di balik pakaiannya.
“Mari Dewa Maling, kau bakal mendapat hadiah besar dariku,”
kata Pangeran Ranablambang. Dia melangkah ke kuda betina nya. Dari
dalam sebuah kantong kulit yang tergantung di leher binatang itu
diterlontar keluar kannya dua buah kantong kain. “Yang ini berisi barang-
barang perhiasan, emas dan batu-batu permata. Kantong yang satu
ini berisi uang! Terimalah!”
Dewa Maling cepat mengulurkan tangan menyambut hadiah
besar itu. sesudah menyimpan baik-baik kedua kantong ini
maka bertanyalah dia, “Bagaimana dengan janjimu hendak
mengangkat aku jadi orang berpangkat di istana?”
Ranablambang tersenyum.
“Kau tak usah khawatir, Dewa Maling. Segera takhta kerajaan
sudah berada di tanganku, pangkat apapun yang kau inginkan pasti
kuberi. Sekarang rencana kita itu masih cukup panjang untuk
diwujudkan meski Tombak Trisula sudah berada di tangan kita...”
“Apalagi yang harus kita laksanakan, Pangeran?” bertanya Dewa
Maling.
“Pertama-tama kita harus melenyapkan raden septuaginta ...”
Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
“Kenapa kau tertawa?” tanya Pangeran Ranablambang heran.
“Soal diri raden septuaginta , kau tak usah khawatir, Pangeran!
Tak usah khawatir! Dia sudah kubikin beres!”
“Maksudmu?!”
Dewa Maling lalu menerangkan pertempurannya dengan
septuaginta dan bagaimana dia pada akhirnya berhasil merobohkan
tokoh tinggi Istana Pajang itu.
Bukan main gembiranya Ranablambang. Berkali-kali dipujinya
Dewa Maling.
“Kalau begitu,” kata sang pangeran pula, “malam ini juga aku
sudah bisa menggerakkan balatentara Surabaya untuk menggempur
istana!” Ranablambang mengangguk-angguk kemudian katanya,
“Dengar Dewa Maling. Pasukan-pasukan akan memasuki kotaraja
dari pintu selatan. Sebelum itu beberapa orangku yang ada di dalam
kotaraja akan menimbulkan kebakaran. Kau sendiri terserah apakah
mau ikut menggempur bersama-samaku atau datang seorang diri.”
“sebab ada sedikit urusan, biarlah aku datang seorang diri,
Pangeran...” komentari Dewa Maling.
“Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu di kotaraja malam ini!”
“Sampai ketemu,” balas Dewa Maling lalu meninggalkan tempat
itu.
Sesudah Dewa Maling lenyap di kejauhan, Pangeran
Ranablambang dan Pandemang naik ke kuda betina masing-masing.
“Apa kataku, Pangeran,” berkata-kata Pandemang. “Dewa Maling pasti
berhasil mendapatkan Tombak Trisula itu!”
Pangeran Ranablambang tak berkata-kata apa-apa melainkan
menepuk pinggul kuda betina nya agar lari lebih kencang. “Agar lebih cepat
sebaiknya kita ambil jalan memotong saja, Pandemang,” kata
Pangeran Ranablambang.
“Baik, Pangeran,” menyetujui si pembantu.
Maka kedua orang itupun membelok memasuki sebuah jalan
kecil. Pangeran Ranablambang di sebelah depan sedang
pembantunya mengikut dari belakang.
Ada kira-kira sepeminuman teh mereka menempuh jalan liar kecil
itu sewaktu di depan mereka terdengar suara siulan membawakan
lagu tak teratur dan tak menentu nadanya, tiada beda dengan anak-
anak yang baru pandai bersiul. Yang aneh aneh saja nya suara siulan itu masuk
ke telinga kedua penunggang kuda betina dan menggetarkan gendang-
gendang telinga mereka.
“Siapa pula yang berada di daerah liar dan bersiul begitu rupa?”
ujar Pangeran Ranablambang pada Pandemang.
“Ada kelainan dalam suara siulan ini, Pangeran,”
memperingatkan Pandemang.
“Aku juga merasakan,” kata Pangeran Ranablambang dan mulai
memperlambat lari kuda betina nya. “sebab itu bersikap waspyaitu ,
Pandemang.”
sesudah dua kali peminuman teh jauhnya mereka menempuh
jalan kecil itu rasa heran semakin bertambah. Betapakah tidak,
sudah sejauh itu tetap mereka masih belum juga memapasi atau
melihat orang yang bersiul sedang suara siulan tetap santar
datangnya dari sebelah muka!
“Seorang biasa tak mungkin dapat bersiul seaneh aneh saja ini,” membatin
Ranablambang. Dirabanya pinggangnya untuk memastikan bahwa
Tombak Trisula masih berada di situ. sesudah satu kali peminuman
teh lagi berlalu bertanyalah Pangeran Ranablambang, “Bagaimana
Pandemang, apakah kita teruskan juga menempuh jalan kecil ini?”
“Terserah Pangeran. Menurut hamba sebaiknya kita kembali
saja.”
“Tapi sudah jauh begini kepalang tanggung,” kata Ranablambang.
Dia berpikir sejenak lalu, “Biar kita teruskan saja. Aku kepingin tahu
siapa anak manusia nya yang bersiul itu.”
Maka keduanyapun memacu kuda betina masing-masing kembali.
Tak selang berapa lama di hadapan mereka tampaklah
seseorang duduk di tepi jalan, bersandar ke sebatang pohon. Kedua
kakinya diulurkan ke depan. Orang inilah yang tengah asyik bersiul-
siul seenaknya. Bahkan saat Pangeran Ranablambang dan
Pandemang sampai di tempat itu, dia terus saja bersiul-siul, seolah-
olah tidak pernah tahu atau tidak perduli akan kehadiran kedua
penunggang kuda betina itu.
“Hanya seorang penulis tolol gila kiranya, Pandemang. Kukira
siapa!” kata Ranablambang pada pembantunya.
Pandemang juga jadi mendongkol saat menyaksikan orang yang
bersiul itu yaitu seorang penulis berpakaian putih, bertampang
tolol dan berambut pirang .
“Orang edan, minggirlah! Beri kami jalan!” membentak
Pandemang.
Dibentak demikian rupa si penulis bukannya hentikan siulan,
malah semakin memperkencangnya hingga baik Pangeran
Ranablambang maupun Pandemang terpaksa menutup jalan
pendengaran masing-masing agar telinga mereka tidak menjadi sakit
pengang!
“penulis hina dina!” bentak Pandemang lagi penuh marah,
“Berani kau bersikap kurang ajar terhadap kami! Kupecahkan
kepalamu!”
Pandemang melompat dari kuda betina nya. Tinjunya yang keras besar
laksana palu godam diayunkan ke kepala penulis itu.
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 11
ANDEMANG! Tahan dulu,” seru Pangeran Ranablambang.
Mau tak mau mendengar seruan itu Pandemang menghentikan
gerakannya. Dia berpaling dan heran.
“Mungkin dia tuli, Pandemang. Hingga tak mendengar ucapan kita!”
“Sekalipun tuli tapi dia toh tidak buta, Pangeran!”
Ranablambang mengambil sekeping uang perak. Sambil
melemparkan uang itu ke depan kaki penulis yang duduk di tanah
dia berkata-kata, “penulis , kalau kau hanya seorang Raja pengemis tak sakti , ambillah
uang itu dan menyingkirlah lekas!”
Si penulis menghentikan siulannya. Sebagai ganti dari mulutnya
kini terlontar keluar suara tertawa membahak, membuat dua ekor kuda betina yang
ada di situ menjadi gelisah dan mengeluarkan suara ringkikan
ketakutan.
“Apa kata hamba, Pangeran! penulis ini memang pantas diberi
hajaran!” kata Pandemang.
Ranablambang kali ini juga sudah menjadi gusar sehingga
sewaktu pembantunya itu kembali mengayunkan tangan memukul
kepala si penulis , dia tak menghalangi lagi.
Braak!
Suara itu dibarengi dengan keluhan tinggi Pandemang. Entah
kapan si penulis bergerak gerak , tahu-tahu pukulan Pandemang meleset
dan menghantam pohon di belakangnya hingga patah dan tumbang
dengan mengeluarkan suara berisik. Pandemang sendiri mengeluh
kesakitan. Tinju kanannya kelihatan kegelapan lecet. Dan ini membuat
laki-laki itu naik ke kepala amarahnya. Masih dengan mengandalkan
tangan kosong Pandemang menerjang ke muka menyerbu si penulis
berpakaian putih.
Yang diserang ganda tertawa lalu berkelit ke samping. Setiap
serangan yang dilancarkan oleh Pandemang tak satupun mengenai
sasarannya. Ini membuat Pandemang semakin naik pitam sedang
lawannya terus menerus tertawa mengejek. Akhirnya Pandemang tak
P
menunggu lebih lama lagi. Dua bilah sendok raksasa besar yang senantiasa
tergantung di pinggangnya kiri kanan dicabutnya. Sesaat kemudian
sepasang senjata itu laksana hujan mencurah menderu-deru ke arah
penulis berbaju putih.
Dalam keadaan begitu rupa si penulis tak bisa main-main seperti
tadi lagi. Dia musti bertindak cepat kalau tidak mau dapat celaka.
Didahului oleh suara siulan yang melengking tinggi laksana mau
merobek robek gendang-gendang telinga, penulis itu berkelebatan . Di lain
kejap tubuhnya lenyap menjadi bayang-bayang dan Pandemang kini
bingung sendiri sebab tak dapat melihat di mana lawannya berada.
Buuk!
Pandemang berteriak kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke
depan hampir jatuh menelungkup sebab satu pukulan keras
mendarat di punggungnya. Untung saja pukulan itu hanya
mengandalkan tenaga kasar, kalau disertai tenaga dalam niscaya
Pandemang akan konyol detik itu juga.
Dengan beringas Pandemang membalikkan tubuh. Dua bilah
sendok raksasa nya membacok susul menyusul, namun lagi-lagi dia hanya
menyerang tempat kosong. Sebelum dia dapat memastikan di mana
musuhnya berada, satu pukulan lagi mendarat di ulu hatinya.
Pandemang mengeluh pendek. Perutnya mual seperti mau muntah.
saat satu tamparan menghajar mukanya, tak ampun lagi laki-laki
bertubuh besar tinggi ini terhuyung nanar dan menggeletak pingsan
di tanah!
Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tertegun
heran di atas punggung kuda betina nya. Dia tahu betul tingkat ilmu
kepandaian Pandemang. Tidak sembarang orang bisa
mengalahkannya, apalagi secepat dan secara main-main seperti
yang dilakukan si penulis .
“penulis rambut pirang ! Siapakah kau sebetulnya?” bertanya
Ranablambang.
“Aku yaitu Ranablambang!” komentari penulis itu seenaknya
dengan cengar-cengir, lalu meneruskan, “Anak seorang gundik yang
ingin menjadi raja! Yang telah mencuri Tombak Trisula tumbal
kerajaan!”
kegelapan lah paras Ranablambang. Dihunusnya jimat jengglot nya dari balik
pinggang. Lalu dengan gerakan enteng melompat turun dari
punggung kuda betina . Selagi tubuhnya melayang di udara dia sudah
mengirimkan satu serangan yang hebat membuat penulis rambut
pirang terpaksa buru-buru menyingkir. Sesaat kemudian terjadilah
pertarungan yang seru di jalan kecil itu. Ternyata Ranablambang
lebih tinggi ilmu tenaga dalam nya dari Pandemang. Gerakan-gerakannya gesit.
Serangannya cepat sebat. Tiap-tiap ilmu tenaga dalam yang dimainkannya licik
dan berbahaya. Kalau saja lawannya tidak hati-hati dan
berpengalaman mungkin sudah sejak tadi-tadi dia mendapat celaka.
Tiga puluh jurus berlalu. Meski berada di atas angin
Ranablambang masih belum berhasil untuk merobohkan lawannya.
Untuk mempercepat maksudnya mempecundangi lawan pada jurus
ke tiga puluh dua Pangeran ini mengeluarkan Tombak Trisula.
Dengan jimat jengglot di tangan kiri dan tombak Trisula di tangan kanan dia
melanjutkan menggempur si penulis .
“Ha... ha...! Senjata curian yang hendak kau andalkan, Pangeran!
Sungguh keterlaluan!” ejek penulis rambut pirang .
Sambil berkelit dijangkaunya sendok raksasa besar milik Pandemang.
Dengan satu gerakan yang sebat, sendok raksasa itu disapukannya ke depan.
Ranablambang mengelak cepat dan dari samping mengirimkan satu
tusukan keras dengan Tombak Trisula. Tapi dia kaget kelangit sebab
lawannya tak ada lagi di tempat semula. Dalam kebingungan begitu
rupa satu benda keras menghantam kepalanya sebelah belakang.
Sang Pangeran mengeluh pendek. Pemandangan berbinar-binar.
Tanah yang dipijaknya laksana amblas dan sesaat kemudian dia
tergelimpang pingsan menyusul Pandemang.
penulis berambut pirang tertawa perlahan. Diambilnya
Tombak Trisula dari genggaman Ranablambang, lalu diselipkannya di
pinggang di balik bajunya.
***
Para pengawal di pintu gerbang kotaraja sebelah timur terkejut
dan juga heran sewaktu menyaksikan seorang penulis asing dengan
menunggangi kuda betina membawa dua sosok tubuh yang diletakkan di
atas punggung seekor kuda betina gandengan. Kejut serta keheranan
mereka bertambah lagi bilamana mengenali bahwa dua orang yang
ada di punggung kuda betina gandengan itu yaitu Pangeran
Ranablambang dan pembantunya yang bernama Pandemang.
“Bukalah pintu gerbang!” kata si penulis .
Di saat itu selusin pengawal sudah mengurung penulis ini,
bersiap-siap untuk menangkapnya.
“Turun dari kuda betina dan serahkan dirimu lekas!” kata pemimpin
pengawal.
Si penulis memaki dalam hati.
“Para pengawal! Kalian tidak tahu apa-apa! sebab itu jangan
banyak bacot! Lekas buka pintu gerbang! Aku harus menghadap
raden septuaginta selekasnya!”
“Katakan dulu siapa kau! Kotaraja berada dalam keadaan
darurat! Tidak sembarang orang boleh masuk! Apalagi kau datang
membawa Pangeran Ranablambang beserta pembantunya dalam
keadaan begini rupa!”
“Bicaramu keren amat, brow !” ujar si penulis rambut pirang .
“Sekali kuadukan pada raden septuaginta pasti kau bakal
mendapat hukuman!”
“Tak perlu mengancam! Lekas serahkan dirimu!”
“Kalian mau buka pintu gerbang ini atau tidak!” bentak si
penulis kesal.
“Sompret! Berani membentak!” damprat kepala pengawal lalu
melompat untuk menyentakkan kaki penulis itu.
Namun sebelum maksudnya kesampaian si penulis telah lebih
dulu menghantamkan tumitnya ke dada kepala prajurit itu hingga
tubuhnya mencelat mental dan jatuh duduk di tanah!
Melihat itu sepuluh prajurit pengawal segera menghunus pentungan
masing-masing dan mengeroyok si penulis sementara seorang
prajurit pengawal lainnya menyelinap masuk ke kotaraja guna
melaporkan kejadian itu pada atasannya.
saat lima orang hulubalang sampai ke tempat itu, mereka amat
terkejut menyaksikan bagaimana sepuluh prajurit pengawal
berhamparan di depan pintu gerbang. Ada yang merintih kesakitan,
ada yang menggeletak pingsan sedang penulis rambut pirang
masih tetap berada di punggung kuda betina dengan senyum-senyum kecil
seolah-olah tak ada terjadi apa-apa di situ!
“Orang gendeng!” bentak salah seorang hulubalang. Diikuti oleh
orang kawannya dia segera mencabut pentungan nya membabat ke
depan! Lima senjata maut berkelebatan kencang!
“Tahan!” terdengar satu bentakan memerintah keras.
Lima hulubalang kerajaan menghentikan gerakan mereka. Yang
datang yaitu seorang laki-laki yang sudah berumur tapi masih
kelihatan gagah. Melihat orang ini, penulis rambut pirang segera
melompat turun dari atas kuda betina nya dan menjura hormat seraya
berkata-kata, “raden septuaginta ... aku yang rendah datang untuk
menepati janji yang kutulis malam tadi.”
Mula-mula septuaginta keheran-heranan atas ucapan penulis
yang tak dikenal itu. Namun bila dia ingat apa yang dialaminya
semalam, segera dia sadar.
“Apakah kau Pendekar pendek kekar ...?” Sang Patih bertanya.
“Betul, raden ,” komentari si penulis yang ternyata yaitu
Pendekar Kapak Maut Naga Geni pendek kekar bobo angker .
septuaginta memandang berkeliling pada para hulubalang dan
pengawal-pengawal pintu gerbang yang mulai siuman. “Kalian
ceroboh semua! Tidak mengenali siapa adanya penulis ini! Dialah
yang menyelamatkan Pajang! Yang datang untuk mengembalikan
Tombak Trisula yang telah dicuri itu!”
Tentu saja semua prajurit dan hulubalang yang ada di situ
menjadi kaget kelangit bukan main. Mana mereka menyangka kalau si
penulis berambut pirang bertampang tolol itu yaitu Pendekar
pendek kekar bobo angker yang selama ini sangat terkenal dalam dunia
pertenaga dalam an. Dengan cepat mereka membuka pintu gerbang kotaraja
lebar-lebar.
septuaginta membawa bobo angker ke kuburan Kepatihan. Begitu
duduk berhadap-hadapan, septuaginta segera bertanya, “Pendekar,
apakah kau berhasil mendapatkan kembali Tombak Trisula?”
bobo angker mengangguk. Dari balik baju putihnya
diterlontar keluar kannya Tombak Trisula. septuaginta menerima senjata itu.
sesudah menelitinya sebentar, berserulah raden Pajang itu.
“Ini Tombak Trisula palsu!”
bobo angker terkejut dan tersentak dari kursinya.
“Bagaimana raden tahu...?” tanya Pendekar pendek kekar .
“Sepintas lalu memang kelihatan seperti yang asli,” kata
septuaginta . “Tapi jika diperhatikan akan kentara sinarnya redup dan
buatannya kasar! Kalau kau tak percaya, lihat, aku buktikan!”
septuaginta mengambil sebilah pentungan pajangan yang tergantung
di dinding ruangan itu. Dengan pentungan itu kemudian ditetaknya
Tombak Trisula! Tombak ini langsung terpotong dua!
“Lihat!” kata septuaginta pula. “pentungan mustika milikkupun tak
mungkin bisa memapas Tombak Trisula. Ini hanya sebilah pentungan
biasa sanggup memotongnya jadi dua!”
“Kalau begitu aku telah tertipu!” kata bobo angker sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang berambut pirang . Dan di dalam
hati penulis ini memaki setengah mati.
“Aku tak salahkan kau, Pendekar pendek kekar ,” berkata-kata raden
septuaginta . “Sebelumnya kau tak pernah melihat Tombak Trisula
yang asli...” sesudah saling berdiam diri beberapa lamanya
bertanyalah septuaginta , “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Sebaiknya bawa masuk Ranablambang dan pembantunya. Kita
bisa tanyai mereka,” menganjurkan bobo .
septuaginta menyetujui anjuran itu. Lalu kedua orang ini pun
dibawa masuk ke ruangan itu tanpa dilepaskan totokan di tubuh
masing-masing.
“Pangeran Ranablambang,” kata raden septuaginta yang masih
mau menyebut “pangeran” terhadap pengkhianat itu, “sebab
kedokmu sudah terbuka tak ada gunanya kau bersembunyi-
sembunyi lagi. asia kecil blah setiap pertanyaanku dengan jujur. Di mana
Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?!”
“Apa?!”
“Di mana Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?”
mengulang septuaginta .
Ranablambang yang bermuka kecil lekung itu memandang tepat-
tepat pada septuaginta , lalu pada potongan-potongan tombak yang
menggeletak di lantai ruangan dan akhirnya berkata-kata, “Aku tidak
mengerti maksudmu.”
“Kau lihat potongan senjata itu? Bentuknya persis seperti
Tombak Trisula tapi yaitu palsu!”
“Palsu atau tidak itu bukan urusanku, raden !” kata
Ranablambang pula.
“Kau telah menyuruh Dewa Maling Baju Hitam untuk mencuri
senjata tumbal kerajaan itu. saat kau kutangkap tombak ini
ada padamu dan ternyata palsu. Kau atau si pencurikah yang telah
menukarnya dengan yang palsu?” yang berkata-kata ini yaitu bobo
angker .
“Orang gendeng, aku tidak ada urusan denganmu! Aku tidak sudi
mengomentari pertanyaan orang gila!”
bobo angker tertawa perlahan dan mengomentari , “Bagaimanapun
gilanya diriku, tapi aku tidak segilamu, Ranablambang. Seluruh
Pajang tahu kalau kau cuma anak seorang gundik. Tapi mengapa
menyebut diri sebagai pangeran. Dan lebih dari itu berhasrat hendak
jadi raja pula! Mana yang lebih gila, aku atau kau?!”
kegelapan lah muka Ranablambang mendengar ucapan itu.
“Lekas beritahu di mana Tombak Trisula yang asli!” sentak
septuaginta .
“Aku tidak tahu!”
“Jangan berdalih, Pangeran!”
“Kalau dia tak mau mengomentari secara baik-baik, aku ada cara
yang paling bagus untuk membuatnya bicara, raden ,” kata bobo
pula.
“raden ,” membuka suara Pandemang. “Pangeran
Ranablambang tidak berdusta. Dia betul-betul tidak tahu apa yang
kau maksudkan dengan Tombak Trisula asli dan yang palsu.”
“Lantas apa yang kau ketahui, orang gagah?” tanya bobo angker .
“astaga rendah, kelak aku akan memenggal batang lehermu!”
kata Pandemang mendesis.
“Sebelum kau memenggal lehernya, kau musti selamatkan dulu
kau punya batang leher sendiri! Ayo katakan apa yang kau ketahui!”
bentak septuaginta .
“Aku tak mau bicara!” komentari Pandemang.
“Baik, tak apa,” kata Sang Patih pula. Dipanggilnya beberapa
orang hulubalang lalu disuruhnya jebloskan kedua orang itu ke
dalam penjara.
“Aku mempunyai dugaan, raden ,” kata bobo angker begitu dia
tinggal berdua dengan septuaginta .
“Dugaan apa?”
“Mungkin sekali Dewa Maling Baju Hitamlah yang punya
pekerjaan. Dicurinya Tombak Trisula yang asli lalu kepada
Ranablambang diserahkannya yang palsu...”
“Dugaanmu bukan mustahil,” ujar raden septuaginta . “Bisakah
kau membantuku kembali untuk mendapatkan Tombak Trisula yang
asli itu?”
Sebagai asia kecil ban bobo angker berdiri lalu berkata-kata, “Akan aku
usahakan, raden .”
“Usahakanlah sebelum Sri Baginda kembali dari daerah. Kalau
tidak, aku bisa berabe!”
“Jangan khawatir raden , mudah-mudahan berhasil,” kata bobo
angker .
Meskipun ruangan itu mempunyai pintu untuk terlontar keluar masuk tapi
penulis ini dengan seenaknya memilih jendela untuk jalan lewat
meninggalkan ruangan ini .
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 12
EHABIS meninggalkan kuil tua di lembah liar itu, Dewa Maling
Baju Hitam tak hentinya merasa geli dalam hati akan
kebodohan Pangeran Ranablambang yang telah kena
ditipunya. Di samping ahli mencuri, Dewa Maling yaitu seorang licik
yang teramat jahat hatinya. Begitu Tombak Trisula berada di
tangannya segera dia pergi ke seorang tukang tempa dan disuruhnya
membuat sebuah tombak yang bentuknya persis seperti Tombak
Trisula yang asli. Kemudian Tombak Trisula yang palsu itulah yang
diserahkannya pada Ranablambang.
“Dasar tolol!” kata Dewa Maling dalam hati. “Kini aku punya
kesempatan untuk jadi Raja Pajang! Jadi Raja Pajang! Jadi raja,
bukan main!”
Saking gembira dan geli akan ketololan Ranablambang, di
puncak sebuah puncak gunung Dewa Maling tertawa gelak-gelak seorang diri.
“Orang gila dari manakah yang tertawa di siang bolong begini
rupa!” satu suara tinggi membentak. Dua sosok bayangan
berkelebatan !
Dewa Maling Baju Hitam terkejut, menghentikan tawanya dan
memandang berkeliling.
Berubahlah paras Dewa Maling Baju Hitam sewaktu melihat dua
orang gadis lesbi asli berjubah kuning berdiri di kiri-kanannya. Siapa yang tak
kenal dengan Sepasang Iblis Betina yang berparas cantik tapi berhati
lebih kejam dari iblis?!
Untuk menghilangkan rasa terkejut dan kegentaran hatinya Dewa
Maling buru-buru menjura hormat dan berkata-kata.
“Ah, Sepasang Iblis Betina kiranya. Harap dimaafkan kalau suara
tertawaku mengganggu ketenteraman kalian. Tapi hari ini aku benar-
benar gembira...”
“Apa yang menyebabkan kau gembira?” tanya Nilamaharani.
“Anu... hem... aku menemukan sebuah kantung berisi perhiasan,”
komentari Dewa Maling dan sesudah itu laki-laki ini memaki ketololannya
S
dalam hati. Mengapa dia harus mengomentari begitu rupa? Bukankah
seribu asia kecil ban lainnya bisa diberikannya.
Hatinya tercekat sewaktu Nilamaharani bertanya lagi, “Mana
coba kulihat kantung itu!”
Dengan masih memaki dalam hati Dewa Maling mengeluarkan
kantung yang dimaksudkannya lalu diserahkannya pada
Nilamaharani. Si gadis lesbi asli memeriksa isi kantung itu. Ternyata memang
isinya perhiasan.
“Nasibmu memang beruntung, Dewa Maling. Namun sayang
benda ini bukan rejekimu. Iblis-iblis di neraka telah menentukan agar
perhiasan ini diserahkan padaku!”
Berubahlah paras Dewa Maling.
“Ah, rupanya memang demikian,” kata Dewa Maling. “Tapi lebih
cocok lagi kalau perhiasan itu kita bagi dua saja...”
“Tutup mulut licikmu!” Nilamahadewi menukas. “Sekarang ayo
lekas serahkan Tombak Trisula yang asli kepadaku!”
Dewa Maling Baju Hitam laksana disengat kalajengking. Dia
undur beberapa langkah lalu tertawa. “Kau bicara apakah, iblis
betina?”
Nilamahadewi balas tertawa tapi penuh kesinisan. Dan gadis lesbi asli ini
kemudian membentak, “Kau jangan berpura-pura pilon! Jangan
berlagak tidak tahu! Ayo lekas serahkan Tombak Trisula itu!”
Nilamahadewi mengulurkan tangan kanannya.
“Tombak Trisula? Tombak Trisula apa...? Aku betul-betul tidak
mengerti!” kata Dewa Maling masih berpura-pura sedang hatinya
tambah tidak enak. Naga-naganya bahaya perselisihan tak mungkin
lagi dihindarkan. Walau bagaimanapun dia tak bakal menyerahkan
Tombak Trisula ini . Yang membuat dia heran ialah bagaimana
iblis berbaju kuning ini mengetahui bahwa Tombak Trisula tumbal
kerajaan yang asli ada padanya!
Nilamahadewi mendengus dan pandangan matanya berubah
angker. “Tombak Trisula yang kau curi dari Istana Pajang! Ayo, kau
masih mau dusta?!”
“Oh... sungguh telingamu tajam sekali, sungguh matamu terang
sekali!” sahut Dewa Maling pula sambil memainkan senyum. “Jika
tombak ini yang kau maksudkan, sayang telah kuserahkan
pada Pangeran Ranablambang sebab dialah yang menyuruh aku
untuk mencurinya.”
“Dan sebagai upahnya kau dihadiahi perhiasan dalam kantong
tadi bukan? Yang kau katakan kau temui di tengah jalan?!” ujar
Nilamaharani.
Nilamahadewi menimpali, “Terhadap lain orang kau boleh bicara
dusta! Tapi terhadap kami awas!”
“Sungguh mati Tombak Trisula sudah kuserahkan pada Pangeran
Ranablambang. Pembantunya yang bernama Pandemang
menyaksikan sendiri hal itu,” kata Dewa Maling masih
mempertahankan kedustaannya sedapat-dapatnya.
Nilamahadewi tertawa tinggi.
“Memang... memang telah kau serahkan pada si Ranablambang,
tapi bukan tombak Trisula yang asli, melainkan yang palsu!”
Berobahlah paras Dewa Maling Baju Hitam. Tanpa membuang
tempo lagi dia berkata-kata, “Maafkan aku Sepasang Iblis Betina. sebab
masih ada lain urusan aku mohon diri!”
Habis berkata-kata begitu Dewa Maling Baju Hitam cepat-cepat
hendak berlalu. Tapi...
“Eeee... ee... ee! Mau ke mana Dewa Maling?! Apa kau tidak
punya telinga? Mana Tombak Trisula itu?!” tanya Nilamahadewi dan
cepat menghadang jalan Dewa Maling.
“Maaf Iblis Betina, aku tak bisa bicara panjang lebar lagi. Jika kau
inginkan Tombak Trisula, mintalah langsung pada Pangeran
Ranablambang.”
“Kurang ajar! Masih berani mempermainkan aku!” teriak
Nilamahadewi marah. Dia menerjang ke depan seraya
mendorongkan telapak tangan kirinya.
Serangkum angin keras menyambar ke dada Dewa Maling Baju
Hitam. Yang diserang cepat berkelit, menjatuhkan diri lalu berguling
aneh aneh saja di tanah dan sesaat kemudian dia sudah berada lima belas
tombak jauhnya dari kedua dara berbaju kuning itu!
“Caramu lari boleh juga! Tapi jangan harap bisa kabur mentah-
mentah dari hadapanku!” kertak Nilamahadewi. Dengan
mempergunakan ilmu lompatan yang disebut Katak Sakti Melompati
Gunung, tubuhnya laksana terbang di udara dan sesaat kemudian
sudah menghadang di hadapan Dewa Maling Baju Hitam.
kaget kelangit Dewa Maling Baju Hitam bukan alang kepalang. Tahu
bahwa pertempuran tak dapat dihindar dan untuk lari pun tak
mungkin, begitu berhadap-hadapan Dewa Maling segera
mengirimkan satu tendangan ke ulu hati Nilamahadewi. Serangan ini
dengan mudah bisa dikelit oleh Nilamahadewi namun dia terperdaya.
Tendangan yang dilancarkan lawan hanyalah tipuan belaka sebab di
saat dia bergerak gerak mengelak, satu jotosan keras dari samping kiri
hampir saja meremukkan batok kepalanya kalau dari jurusan lain
kakaknya tidak datang membantu!
“Dasar iblis! Beraninya main keroyok!” bentak Dewa Maling
marah dan penasaran.
“Kau berani memaki, bagus! Kupuntir lehermu!” teriak
Nilamaharani.
“Majulah kalian berdua! Aku tidak takut!” komentari Dewa Maling
Baju Hitam. Baru saja dia berkata-kata begitu selarik sinar berkilauan
menyambar membuat kedua lawannya tersentak kaget kelangit dan mundur!
Ternyata Dewa Maling Baju Hitam telah mengeluarkan Tombak
Trisula dan dengan senjata itu menyerang kedua lawannya. sebab
Tombak Trisula yaitu senjata sakti yang tak bisa dibuat main maka
Nilamaharani dan adiknya harus berlaku hati-hati. Masih untung
tombak mustika itu berada di tangan lawan seperti Dewa Maling,
kalau di tangan seorang lawan yang jauh lebih tinggi kelihayannya
pasti mereka akan mengalami kesulitan. Menghadapi Dewa
Malingpun saat itu keduanya tak mau bertindak gegabah.
Tombak Trisula di tangan Dewa Maling bersiut-siut laksana hujan
mencurah. Sepasang Iblis Betina bergerak gerak gesit. Hanya bayangan
warna baju mereka yang kuning kini yang kelihatan berkelebatan kian
kemari. Dewa Maling mempercepat putaran serangannya. Dia tahu
dirinya berada di atas angin dan kedua lawan tak berani maju
mendekatinya.
Enam jurus berlalu.
Tiba-tiba terdengar suara dua pekik yang keras dan menegakkan
bulu roma. Di saat itu pula bayangan-bayangan kuning lenyap dari
hadapan Dewa Maling. Sepasang Iblis Betina hilang laksana gaib.
Dewa Maling berlaku cerdik. Dia tak mau menghentikan putaran
tombak yang sekaligus melindungi tubuhnya. Sambil terus berbuat
begitu sepasang matanya berputar memandang berkeliling dengan
tajam. Sebelum dia berhasil mengetahui di mana kedua lawannya
berada mendadak setiup angin dingin berhembus keras dari samping
kiri.
Dewa Maling terkejut. Tombak Trisula hampir saja terlepas dari
tangan kanannya. Namun dia selamat dari pukulan Es Iblis yang
amat berbahaya yang telah dilepaskan oleh Nilamaharani dari atas
cabang pohon di sebelah kiri sana. Sebenarnya tombak mustika
itulah yang telah menyelamatkan Dewa Maling. Kalau hanya
mengandalkan kekuatannya sendiri mungkin dia sudah mendapat
celaka saat itu.
Baru terlepas dari bahaya maut itu, Dewa Maling dibikin kaget kelangit
lagi oleh kiblatan sinar kuning yang datang dari samping kanan.
Sekali lagi Tombak Trisula dibabatkannya. Meskipun kali ini untuk
kedua kalinya dia berhasil menyelamatkan diri namun Dewa Maling
menjadi gugup sewaktu dari depan dan dari belakang kembali setiup
angin dingin luar biasa menyambar dan dari depan selarik sinar
kuning menderu. Hanya ada dua jalan untuk menyelamatkan diri dari
dua serangan ganas meminta jiwa itu.
Pertama memutar Tombak Trisula. Namun ini masih memberi
kesempatan salah satu serangan akan melanda tubuhnya yaitu bila
gerakannya menangkis kalah cepat dengan perbawa dua serangan
ini . Cara kedua ialah dengan melompat ke atas! Dan cara inilah
memang yang paling baik. Tanpa membuang tempo lagi Dewa Maling
menjejakkan kedua kakinya. Sambil memutar Tombak Trisula di
sekeliling tubuhnya, Dewa Maling melesat ke udara setinggi tujuh
tombak.
Buk!
Satu pukulan keras menghantam bahu kanan Dewa Maling.
Tulang selangkanya patah remuk. Jerit Dewa Maling setinggi langit.
saat dia terguling di tanah dan bangun dengan tertatih-tatih baru
disadarinya bahwa Tombak Trisula tak ada lagi dalam genggaman
tangan kanannya! Dia memandang ke depan. Senjata mustika itu
kini dilihatnya berada di tangan Nilamaharani yang berdiri dengan
bertolak pinggang dan menyunggingkan senyum mengejek! Dewa
Maling menggerutu setengah mati! Pada waktu dia melompat ke
udara tadi. Nilamaharani yang berada di belakangnya tanpa
diperhitungkan lagi oleh Dewa Maling, telah menyusupkan satu
pukulan tangan yang keras dan sekaligus berhasil merampas
Tombak Trisula dari tangan Dewa Maling.
“anak manusia -anak manusia haram jadah,” maki Dewa Maling secara
menggerakkan tangan mengeluarkan senjatanya yakni sebuah suling
berwarna hijau, dan mendekatkannya ke bibir.
Sebelum Dewa Maling meniup senjata itu, Nilamaharani telah
menyerbu dengan Tombak Trisula!
“Keparat!” maki Dewa Maling. Dia terpaksa melompat jauh dan
sejak detik itu tak punya kesempatan lagi untuk mempergunakan
suling hijaunya sebab setiap saat dia dibikin sibuk oleh serangan
Tombak Trisula yang menderu ditambah pula dengan pukulan-
pukulan tangan kosong Nilamahadewi yang ikut bantu kakaknya!
“Kalau aku bertahan terus, lama-lama aku bisa mampus percuma
di sini,” membatin Dewa Maling Baju Hitam.
Sambil mengelakkan satu tusukan tombak yang dilancarkan
Nilamaharani, dengan gerakan yang tidak kelihatan oleh kedua
lawannya, Dewa Maling mengambil sebuah benda sebesar tutup
botol berwarna hitam.
“Betina-betina edan!” teriak Dewa Maling Baju Hitam kemudian.
“Jika kalian benar-benar lihay, tangkislah senjata rahasiaku ini!”
Lalu dengan tangan kirinya Dewa Maling Baju Hitam
melemparkan benda ini . Nilamaharani juga menyangka bahwa
benda hitam itu betul-betul satu senjata rahasia, tak ayal lagi segera
menyapu dengan Tombak Trisula.
Begitu benda hitam dan Tombak Trisula beradu, terdengar suara
letupan dan asap hitam yang amat tebal bertebar dengan cepatnya
di seluruh tempat, menghalangi pemandangan mata yang
bagaimanapun tajamnya.
“Kurang ajar! Kita tertipu!” seru Nilamaharani. Dan betul saja.
saat asap hitam lenyap, Dewa Maling Baju Hitampun tak tampak
lagi mata hidungnya di situ!
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 13
ETELAH berhasil menyelamatkan diri dari kematian di tangan
Sepasang Iblis Betina dan mengobati lukanya, dalam hati
Dewa Maling Baju Hitam timbul tenggelam lah dendam kesumat untuk
menuntut balas. Disamping itu dia bertekad bulat untuk
mendapatkan Tombak Trisula kembali. Namun disadarinya bahwa
kedua hal itu tak mungkin terlaksana kalau hanya dengan
mengandalkan dirinya sendiri. Untuk itu Dewa Maling Baju Hitam
segera menemui beberapa orang kawan satu alirannya. Maka
sewaktu hari menjelang malam, bersama orang-orang itu dia
berunding di satu pondok, mengatur rencana balas dendam dan
merampas Tombak Trisula.
Mereka berjumlah empat orang, termasuk Dewa Maling sendiri.
Di samping kanan Dewa Maling duduk seorang laki-laki bertubuh
kecil pendek atau lebih tepat kalau dikatakan katai. Si katai ini
berkepala botak licin berkilat. Berlawanan dengan kepalanya yang
licin plontos itu, mukanya penuh ditumbuhi berewok atau cambang
bawuk yang meranggas liar sebab tak pernah dicukur. Siapakah
adanya penulis ini? Dia yaitu Warok Kate, seorang pemimpin
pasukan jahat jahat yang bersarang di Hutan Jatiluwak. Ilmunya tinggi
sebab dulu dia yaitu seorang murid pertapa sakti yang kemudian
menyeleweng jadi orang jahat. (Mengenai Warok Kate ini bacalah jilid
ke 1 cersil pentungan Sakti jimat jengglot Ular Mas, karangan Bastian)
Orang kedua yang duduk di sebelah kiri Dewa Maling Baju Hitam
ialah seorang laki-laki yang cuma punya satu mata. Matanya yang
sebelah kanan hanya merupakan rongga hitam yang mengerikan.
Seperti Warok Kate, diapun memelihara berewok yang teramat lebat.
Tampangnya bukan saja seram tapi juga bengis kejam. Dia bernama
Baraka Seta, yang mendapat julukan Buaya Mata Satu dari Kali
Progo sebab bersama beberapa anak buahnya dia sejak lama
menjadi buaya sungai yang ditakuti. Siapa atau perahu mana saja
yang melewati Kali Progo, pastilah akan dipasukan jahat dan para
S
penumpangnya dibunuh dengan semena-mena sekalipun mereka
menyerahkan barang-barang secara sukarela.
Orang ketiga duduk di depan Maling Baju Hitam. Tubuhnya kurus
tinggi, anu nya senantiasa pucat macam orang mau mati besok,
sedang sepasang matanya selalu saja berair. Dia mengenakan jubah
ungu gelap. Namun tak satu orang pun yang tahu namanya. Dia
dikenal dengan nama gelaran yaitu Setan Ungu Muka Pucat.
anak manusia ini bukan bangsa maling atau pepasukan jahat ataupun buaya air.
Namun dia merupakan seorang tokoh golongan hitam yang banyak
hubungan rapat dengan orang-orang jahat.
“Nah, kalian sudah tahu jelas siapa musuh yang bakal kita
hadapi. Kedua Iblis Betina itu memang sakti dan berkepandaian
tinggi. Tapi dengan tipu daya serta jumlah kita yang berempat ini
masakan keduanya bisa berkutik?!”
“Memang, aku sendiri punya dendam kesumat terhadap mereka
sejak tiga bulan lewat,” kata Buaya Mata Satu Kali Progo.
“Nah, apalagi kalau begitu! Dendam kesumat apakah?” tanya
Dewa Maling pula.
“Suatu hari anak buahku mepasukan jahat habis-habisan sebuah
perahu dagang di muara Kali Progo. Tahu-tahu muncullah kedua iblis
haram jadah itu mempreteli hasil pasukan jahat an mereka. Anak buahku
melawan. Lima orang dibunuh mentah-mentah, seorang masih
sanggup melarikan diri dengan jalan menyelam di sungai secara
diam-diam lalu melaporkan kejadian itu kepadaku. Sewaktu aku
mendatangi muara sungai, astaga -astaga betina itu sudah kabur
bersama barang-barang pasukan jahat an!”
Sunyi sejenak, lalu terdengar Warok Kate bertanya, “Kapan kita
akan mendatangi tempat mereka?”
“Malam ini juga, Warok. Lebih cepat lebih baik!” komentari Dewa
Maling Baju Hitam.
Sret!
Warok Kate mencabut sendok raksasa besar di pinggangnya. Sambil
meraba-raba bagian yang amat tajam dari senjata itu dan sambil
menyeringai dia berkata-kata, “Tenanglah, sendok raksasa ! Malam ini kau bakal
minum darah segar!” Lalu dengan tertawa mengekeh
disarungkannya senjata ini ke tempatnya kembali.
“Mari kita berangkat,” kata Dewa Maling Baju Hitam seraya
berdiri.
Sebelum tiga orang lainnya sempat ikut berdiri dari ambang pintu
terdengar suara menegur, “Seorang tamu datang, masakan tuan
gudang raksasa hendak pergi begitu saja? Sungguh tak ada peradatan!”
Dewa Maling Baju Hitam terkejut. Dia saling pandang sesaat
dengan ketiga kambratnya lalu memandang ke pintu dan
membentak, “Siapa di luar?!”
“Seorang tamu.”
“Siapa nama dan datang dari mana?” tanya Dewa Maling lagi.
Sambil bertanya begitu diberikannya isyarat pada Warok Kate untuk
terlontar keluar lewat pintu belakang dan menyelidik.
“Aku datang dari kotaraja,” terdengar sahutan si tamu malam
yang masih berada di luar pondok. “Aku diutus oleh raden
septuaginta untuk bicara empat mata dengan kau, Dewa Maling.”
Dewa Maling memberi isyarat sekali lagi dan kini Buaya Mata
Satu dari Kali Progo serta Setan Ungu Muka Pucat terlontar keluar pula
meninggalkan tempat itu hingga Dewa Maling tinggal seorang diri.
“Sebelum kuizinkan kau masuk, sebutkan dulu kau punya nama!”
kata Dewa Maling.
“Amat pentingkah namaku bagimu, Dewa Maling?!”
“Penting atau tidak aku harus tahu! Lekas katakan!”
“Namaku bobo angker !”
Bagai dipakukan kedua kakinya ke lantai pondok, demikianlah
terkejutnya Dewa Maling Baju Hitam. Dia memandang berkeliling dan
diam-diam merasa menyesal mengapa telah menyuruh ketiga
kambratnya meninggalkan pondok hingga dia tinggal sendirian di situ
dalam kekhawatiran yaitu sesudah mendengar orang di luar pondok
menyebutkan namanya.
“Pendekar pendek kekar bobo angker !” kata Dewa Maling pula. “Aku tidak
menyangka kalau kau ada hubungan dengan raden septuaginta .
Ada perlu apakah kau mencariku?”
“Aku sudah bilang ingin bicara empat mata dengan kau.”
“Kau tak usah khawatir pembicaraan kita akan didengar orang.
Tiga kawanku sudah kusuruh pergi. Masuklah!” kata Dewa Maling
dan diam-diam diterlontar keluar kannya seruling hijau yang berisi racun jahat
lalu menunggu bobo angker di depan pintu. Begitu si tamu masuk
akan segera disemburnya dengan racun ini .
Di luar pondok, Warok Kate dan Buaya Mata Satu dari Kali Progo
serta Setan Ungu Muka Pucat merasa amat heran. Meskipun dia
jelas mendengar percakapan antara Dewa Maling dengan tamu yang
mengaku bernama bobo angker itu, tapi ketiganya sama sekali tidak
melihat Pendekar pendek kekar bobo angker !
Sementara itu di dalam pondok Dewa Maling sudah siap-siap
dengan suling hijaunya yang beracun. Dia tersentak seperti disengat
kala sewaktu tahu-tahu di belakangnya terdengar suara orang
menegur.
“Ah! Aku tak tahu kalau kau menunggu di pintu depan. Harap
maafkan sebab aku masuk lewat pintu belakang!”
Dewa Maling menoleh. Seorang penulis berambut pirang
dilihatnya berdiri menutupkan pintu sambil menyeringai kepadanya.
“Kau... kau Pendekar pendek kekar bobo angker ?” tanya Dewa Maling.
penulis itu menggaruk kepalanya lalu mengangguk.
Selama ini Dewa Maling hanya mendengar nama dan kehebatan
Pendekar pendek kekar bobo angker dan tak pernah melihat orangnya. Kini
berhadapan dengan penulis berambut pirang dan bertampang
seperti orang dogol itu mana dia mau percaya kalau penulis itulah
Pendekar pendek kekar bobo angker ? Rasa ngeri yang sebelumnya
menyungkup diri Dewa Maling dengan serta merta lenyap. Dan
suaranyapun kembali garang, beringas.
“Katakan urusanmu!”
bobo angker melangkah beberapa tindak lalu baru mengomentari ,
“Urusanku sedikit sekali, Dewa Maling. Hanya dengan tiga patah
kata.”
“Bilang!”
“Kembalikan Tombak Trisula!”
Sepasang bola mata Dewa Maling memandang menyorot pada
penulis di hadapannya. “Betul kau diutus oleh septuaginta ?”
bobo mengangguk.
Dewa Maling tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok bergetar.
“aneh aneh saja !” kata Dewa Maling pula. “Seorang pendekar yang selama
ini ditakuti dan menggetarkan dunia pertenaga dalam an kiranya hanya kacung
buruk seorang patih belaka!”
Diejek demikian rupa Pendekar pendek kekar bobo angker bukannya
marah malah ikut tertawa gelak-gelak hingga Dewa Maling merasa
bagaimana lantai pondok yang dipijaknya jadi bergetar keras!
“Kacung atau apapun kau bilang yang penting lekas serahkan
padaku Tombak Trisula!” kata bobo kemudian sesudah menghentikan
tawanya.
“Aku khawatir senjata itu tidak kau sampaikan pada Sang Patih,
tapi kau boyong sendiri!” ujar Dewa Maling pula.
bobo menyeringai. “Lekas serahkan apa yang kuminta!”
“Tombak Trisula sudah kuberikan pada Ranablambang. Patih itu
menipumu. Tentu dia bermaksud mengadu domba kau dengan aku!”
bobo tertawa lalu berkata-kata, “Trisula yang kau berikan pada
pangeran khianat itu yaitu yang palsu! Mana yang asli?”
“Hem, rupanya kau tahu juga mana asli mana palsu. Dengar
brow , jika aku terangkan yang sebenarnya padamu apakah kau mau
segera angkat kaki dari sini!”
“Belum tentu.”
“Jangan keras kepala! Sepuluh macammu bisa kuhantam
sekaligus!” ancam Dewa Maling.
“Dua puluh macammu sanggup kulabrak dalam satu jurus!” balas
bobo seenaknya.
“Trisula yang asli telah dirampas oleh Sepasang Iblis Betina,” kata
Dewa Maling dengan geram. “Sekarang angkat kaki dari
hadapanku!”
“Jangan bicara bohong, Dewa Maling!” memperingatkan bobo
angker .
Saat itu pintu belakang dan pintu depan pondok terbuka. Warok
Kate dan Buaya Mata Satu berdiri di belakang Pendekar pendek kekar sedang
dari pintu depan masuk Setan Ungu Muka Pucat.
Seraya menutupkan pintu Setan Ungu Muka Pucat berkata-kata,
“anak manusia keras kepala macam dia ini pantasnya diberi hajaran saja,
Dewa Maling!”
bobo angker mengeluarkan suara bersiul dan menggoyangkan
kepalanya pada Setan Ungu Muka Pucat lalu berkata-kata, “anak manusia
muka sepucat kain kafan! Untung kau membuka mulut bicara! Kalau
tidak pasti aku sudah menyangka kau yaitu mayat hidup!” Habis
berkata-kata begitu bobo angker tertawa gelak-gelak.
“Bedebah!” bentak Setan Ungu Muka Pucat dengan amat marah.
Darahnya naik ke kepala tapi parasnya masih tetap saja pucat
pasi. Dia maju ke muka. Dengan jari-jari tangannya yang berkuku
panjang hendak dicengkeramnya muka Pendekar pendek kekar . Namun
gerakannya itu terhenti oleh seruan Dewa Maling Baju Hitam.
“Jangan kesusu, brow ku! Kalau dia mau bergabung dengan kita,
kita ampunkan jiwanya.” Dewa Maling berpaling pada bobo dan
bertanya, “Bagaimana? Kau bersedia ikut kami ke tempat Sepasang
Iblis Betina guna merampas Tombak Trisula?!”
“Siapa sudi?!” sahut bobo tegas. “Kau astaga anak manusia licik. Juga
kawan-kawanmu yang tiga ini. Dan aku tetap yakin bahwa senjata
mustika itu ada padamu!”
“Kalau begitu mampuslah bersama keyakinanmu itu!” bentak
satu suara di belakang Pendekar pendek kekar . Satu benda kemudian
terdengar bersiur ke arah penulis ini.
Tanpa menoleh, dari suara sambaran angin bobo angker dapat
mengetahui bahwa yang menyerangnya dari belakang yaitu Warok
Kate. Dengan cepat penulis itu bergerak gerak ke kanan. Bila
dirasakannya senjata lawan lewat, secepat kilat dia berbalik dan
menendangkan kaki kanannya. Maka terdengarlah keluh kesakitan
Warok Kate. sendok raksasa besar yang dipakainya untuk menyerang terlepas
mental sedang lengannya sakit bukan main akibat tendangan lawan!
“Kalau mau menyerang, dari depan, brow ! Bukan secara licik
seperti itu!”
Kini terbukalah mata semua orang yang ada di situ. Warok Kate
seorang kepala pasukan jahat berilmu tinggi dan luas pengalaman.
Bagaimana dia bisa dihajar hanya dalam satu gebrakan saja?!
Rupanya nama bobo angker yang digelari Pendekar pendek kekar tidak
kosong belaka!
“Kawan-kawan! Mari kita kermus astaga kurang ajar ini!” teriak
Dewa Maling Baju Hitam. Dengan senjatanya yang berbentuk suling
hijau dia mengirimkan satu tusukan ke dada Pendekar pendek kekar . Kalau
tadi dia merencanakan untuk menyembur nyembur muka penulis itu dengan
racun senjata ini , kini hal itu tak berani dilakukannya sebab
khawatir akan mencelakakan kawan sendiri.
Tusukan yang dilancarkan Dewa Maling yaitu satu tusukan kilat
yang berbahaya. Namun tidak demikian mudah untuk merobohkan
murid Eyang Sinto Gendeng dengan satu kali serangan kilat itu.
Sambil berkelit bobo menerpa ke arah Setan Ungu Muka Pucat yang
hendak membokongnya dari samping.
Buk!
Dua kepalan sama-sama beradu.
Setan Ungu Muka Pucat terkejut dan menggigit bibir agar keluh
kesakitan tidak terlontar keluar dari mulutnya. Tubuhnya terhuyung dan saat
diperhatikan ternyata kulit tangannya telah lecet kegelapan ! Melihat ini
Setan Ungu Muka Pucat segera mengeluarkan senjatanya yakni
sebuah tasbih berwarna ungu. Sementara itu Buaya Mata Satu dari
Kali Progo telah pula mencabut pentungan besar sedang Warok Kate
sesudah mengambil senjatanya yang tadi terlepas, terus pula
menyerbu. Dalam pondok yang sempit itu dengan tangan kosong
Pendekar pendek kekar dikeroyok oleh empat tokoh tenaga dalam golongan hitam yang
berkepandaian tinggi. bobo tahu yaitu gila kalau dia menghadapi
keempat lawannya dengan terus mengandalkan tangan kosong.
Dalam dua atau tiga jurus pasti tubuhnya akan kena ‘disate’ senjata-
senjata lawan. sebab dia tak bisa menggerakkan tangan untuk
melepaskan pukulan-pukulan sakti maka tanpa membuang waktu
lagi penulis ini segera mencabut Kapak Maut Naga Geni pendek kekar dari
balik pinggangnya. Sinar putihpun berkiblat!
“Awas Kapak Naga Geni pendek kekar !” seru Setan Ungu Muka Pucat
memberi ingat kawan-kawannya.
Peringatan itu tak ada gunanya sebab sesaat kemudian
terdengar suara cras yang dibarengi dengan pekik Baraka Seta atau
Buaya Mata Satu dari Kali Progo. Tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang, dada mandi darah. Tersandar ke dinding pondok dan
akhirnya roboh ke lantai tanpa berkutik lagi.
Kekalapan Dewa Maling Baju Hitam melihat kematian
kambratnya membuat dia melupakan keselamatan kawan-kawannya
yang masih hidup. Dengan serta-merta ditiupnya sulingnya. Sinar
hijau bertabur manik-manik kegelapan menyembur nyembur ke arah Pendekar
pendek kekar bobo angker . bobo sudah maklum betapa jahatnya racun dalam
sinar itu, dengan serta merta menyapukan Kapak Naga Geni pendek kekar ke
kiri. Keseluruhan sinar hijau dan manik-manik kegelapan tersapu ke kiri
di mana Setan Ungu Muka Pucat berada. Tak ampun lagi begitu
racun ini tercium olehnya, Setan Ungu Muka Pucat terbatuk-
batuk beberapa kali. Dari mulutnya terdengar suara seperti mau
muntah. Tubuhnya tergelimpang. Mukanya berubah biru sedang dari
sela bibir membasahi ludah.
“Dewa Maling! Tindakanmu gegabah sekali!” teriak Warok Kate
yang jadi penasaran melihat Setan Ungu Muka Pucat yang tak
mungkin diselamatkan lagi jiwanya. “Terpaksa kubatalkan niat untuk
ikut bersamamu! Kau bertempurlah seorang diri melawan penulis
itu!”
Habis berkata-kata demikian Warok Kate memutar tubuh dan
melabrak pintu pondok, lenyap di kegelapan malam. Melihat ini
lumerlah nyali Dewa Maling Baju Hitam. Segera pula dia memutar
tubuh. Tapi bobo angker mana mau memberi kesempatan lari pada
yang satu ini. Sebelum Dewa Maling mencapai pintu, Kapak Naga
Geni pendek kekar telah membabat putus salah satu kakinya. Dewa Maling
terbanting di tanah dan menjerit-jerit kesakitan.
“Kalau kau terangkan di mana Tombak Trisula yang asli, aku
akan selamatkan jiwamu,” kata bobo .
“Setan alas! Aku sudah bilang senjata itu dirampas oleh
Sepasang Iblis Betina...!”
“Di mana tempat kediaman mereka?”
“Tanyalah sama setan neraka!” komentari Dewa Maling. Racun Kapak
Naga Geni pendek kekar masuk ke jantungnya dan detik itu juga anak manusia
inipun meregang nyawa!
bobo menggeledah pakaian Dewa Maling. Tombak Trisula tak
ditemuinya.
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 14
ENURUT keterangan yang didapat oleh Pendekar pendek kekar bobo
angker , tempat kediaman Sepasang Iblis Betina terletak di
daerah berpuncak gunung -puncak gunung di seberang Hutan Bintaran. Lima hari
mengadakan penyelidikan dia sama sekali tak berhasil menemukan
sarang kedua gadis lesbi asli jahat ini . Selama ini bobo telah mendengar
perbuatan-perbuatan kejam yang pernah dilakukan oleh Sepasang
Iblis Betina. Ada hal yang mengherankannya, kenapa justru laki-laki
muda dan yang bertampang gagah yang selalu menjadi korban
kedua gadis lesbi asli ini ?
Hari ke enam berlalu. bobo angker memutuskan bila sampai hari
ke tujuh dia masih belum berhasil menemukan kedua orang yang
dicarinya itu, dia akan meninggalkan tempat ini dan mencari
keterangan lain yang lebih jelas mengenai mereka.
Demikianlah pada pagi hari ke tujuh itu bobo angker baru saja
selesai mandi di dalam Telaga Puteri Intan Dewi yang terletak di
Hutan Bintaran sewaktu sepasang kaki putih mulus dilihatnya
melangkah lembut di antara semak-semak jauh di hadapannya.
penulis itu cepat naik ke darat dan mengenakan pakaiannya, lalu
menunggu dengan tenang.
Namun ketenangan hati pendekar muda ini hanya sejenak.
Dadanya berdebar sewaktu pemilik kaki yang bagus tadi muncul di
balik sebatang pohon besar. Ternyata dia yaitu seorang dara
berparas cantik sekali. bobo mengingat-ingat beberapa orang gadis lesbi asli
cantik yang pernah ditemuinya. Namun harus diakuinya bahwa yang
satu ini yaitu yang paling cantik yang pernah dilihatnya. gadis lesbi asli ini
mengenakan pakaian berbentuk jubah pendek berwarna biru tua
berbunga-bunga kuning. Di tangan kirinya ada sebuah kendi besar.
Dara ini kelihatan terkejut dan menghentikan langkahnya sewaktu
sepasang matanya yang bersinar beradu pandang dengan Pendekar
pendek kekar .
“Di pagi yang segar, bertemu dengan seorang dara jelita. sungguh
M
indah sekali rasanya hidup ini...” kata Pendekar pendek kekar laksana seorang
penyair. Dia tersenyum. “Nona, siapakah kau?” tanya bobo angker
seraya melangkah mendekati si gadis lesbi asli .
Sang gadis lesbi asli undur beberapa tindak.
bobo tertawa.
“Kau datang ke sini tentu untuk mengambil air. Ambillah. Dan kau
tak usah perduli aku kalau memang tak sudi bicara atau takut
padaku. Aku tak akan mengganggumu.”
penulis ini membalikkan badan dan merapikan pakaiannya.
Didengarnya gadis lesbi asl