uk Norwegia dan Danes,
Attila bergabung dengan Ermanaric dari Ostrogoth dan
Gundicarius (Gundahar atau Gunther) dari suku Burgundi,
menjalin kisah yang membawa tema besar tentang
penghormatan, keadilan, balas dendam, dan jalannya
takdir. Viking mengusung nama Attila bersama mereka
ke Iceland pada abad kesepuluh, dan hingga lalu
sampai di Greenland, bersumber dari Greenlandic Lay
of Atli (Attila) pada abad kesepuluh. Gaung Attila bahkan
lebih jauh lagi hingga sampai ke Dunia Baru bersama
Thorfinn Karlsevni dan 100 Viking-nya, yang pada 1018
mendirikan sebuah koloni yang hidup singkat di pesisir
Newfoundland. Aku membayangkan mereka berkerumun
di sekeliling api unggun di rumah-rumah mereka di
padang rumput, mendengarkan penyair menyampaikan
sajaknya. Tidak ada skraeling (sebagaimana para Viking
menyebut suku Indian dan suku Inuit lokal) yang
terdengar, tapi ini menjadi sesuatu yang aneh bahwa
salah satu karya musik dan puisi yang terdengar di
Dunia Baru menceritakan tentang Attila, suku Hun, dan
pertempuran mereka dengan kaum Burgundi.
sebab itulah yang menjadi inti legenda: satu insiden
kecil dalam sumber-sumber tertulis, namun kuat dalam
ingatan warga , mungkin sebab dimainkan dengan
baik seperti sebuah perseteruan keluarga. Hanya sedikit
fragmen yang selamat yang menandakan kepopuleran -
nya—sebuah epik Latin abad kesembilan, versi Jerman
dan Inggris dari cerita yang sama, beberapa kisah Nordik.
Pahlawan utamanya yaitu Walther, sandera di istana
Attila, dan seorang raja favorit. Ia melarikan diri dengan
sang putri, Hildegund (nama Jerman untuk Ildico).
Mereka punya harta. Hagen sang pahlawan, yang mungkin
seorang Burgundi atau Hun, mengejar mereka, bergabung
dengan Raja Gunther dari Burgundi. Terjadi pertempuran
besar, yang setelah itu ketiga tokoh ini berdamai lagi.
Dalam versi Inggris, Waldere, pada bagian yang selamat,
Hildegund mendesak Walther untuk menentang Gunther:
Teman Attila.
Bahkan sekarang, saat ini, jangan biarkan
keberanian
Ataupun gengsi meninggalkanmu.
Kisah ini tumpang tindih dengan kumpulan legenda
lainnya, tentang bangsa Burgundi itu sendiri, Nibelung,
atau Niflung. Di sini, seperti halnya dalam kisah lain,
para pujangga memperlakukan elemennya sebagai
komponen epik buatan sendiri: kita bisa membaca kisah
Attila yang dibujuk oleh Siegfried (Sigurd dalam mitologi
Nordik) menuju kamar harta Siegfried, tempat Attila
meninggal; atau Attila menyediakan perawan bagi Hagen,
yang melahirkan Aldrian, yang juga melakukan bujukan.
Dalam cerita lain, Hagen juga melahirkan Niflung, yang
lalu kisah itu diberi judul dengan namanya. Tidak
ditemukan adanya kesatuan.
Ini versi lainnya.
Gunther dari suku Burgundi (yang dalam kehidupan
aslinya dibunuh oleh suku Hun sebelum Attila sekitar
tahun 437) memiliki harta karun. Ia juga punya seorang
saudara perempuan, Gudrun, yang dinikahkan dengan
Attila. Attila, berharap memiliki tempat harta tersembunyi
itu dari Gunther, membunuhnya dengan melemparkan
Gunther ke lubang ular. lalu Gudrun melakukan
balas dendam mengerikan. Dalam versi terbesar yang
selamat dari legenda yang berjudul Volsungsaga, dikatakan
Gudrun melaksanakan jamuan makan besar, yang
menurutnya untuk menunjukkan bahwa ia menerima
nasibnya. Ternyata sama sekali tidak. Gudrun membunuh
kedua anak laki-lakinya dari Attila, dan lalu , pada
jamuan itu—
“Sang raja bertanya di manakah kedua putranya.
Gudrun menjawab: ‘Aku akan memberitahumu dan
membuat hatimu gembira. Kau membuatku sangat
menderita dengan membunuh abangku. Sekarang kau
akan mendengar apa yang akan kukatakan kepadamu.
Kau sudah kehilangan kedua putramu—tengkorak mereka
digunakan sebagai mangkuk di meja sana—dan kau
sendiri meminum darah mereka yang dicampur dengan
anggur. Lalu aku mengambil hati mereka dan membakar -
nya di atas panggangan, dan kau memakannya.’”
Senada dengan peran Ildoco sebagai perempuan
pembunuh, Gudrun membunuh Attila saat tidur dan
membakar aula tempat tidur pasukan Hun.
Ke dalam cerita ini kita bisa menambahkan latar
belakang cerita, yaitu Brunhild, yang dimenangkan oleh
Gunther dengan bantuan pahlawan dan pembantai naga,
Siegfried, yang sebelumnya menikah dengan Gudrun
sebelum Attila. Setelah membunuh Siegfried, Gunther
mendapatkan hartanya, yang menjadi penyebab Attila
membunuhnya.
Banyak kisah tentang ketamakan dan balas dendam
ini dihubungkan dengan Attila sebagai hal utama. Ia
mungkin merupakan musuh bagi harta Nibelung. Atau,
mungkin sebab sebenarnya ia yaitu orang luar non-
Jerman, ia mungkin memiliki peran yang tidak bisa
dipercaya akan seorang pemimpin yang kuat, penyayang,
dan dikorbankan. Begitulah Attila digambarkan dalam
epik Jerman paling terkenal pada masa pertengahan,
Nibelungenlied, ditulis sekitar tahun 1200 oleh beberapa
pujangga anonim bersumber dari berbagai kisah. Namun
Attila dalam kisah Nibelungenlied yaitu sosok yang
justru tidak sombong. Dalam konteks zaman ketika epik
itu dibuat, Attila sebagai raja menunjukkan dua kebajikan:
kesetiaan dan kelembutan. Namun hal ini membuat
Attila agak tidak berguna dalam hubungannya dengan
kisah dramatis. Ia tidak tahu-menahu terhadap hampir
semua hal penting. Ia tidak tahu bahwa istrinya, Kriemhild,
berduka atas bekas suaminya Siegfried. Ia tidak punya
petunjuk tentang ketegangan yang terjadi antara bangsa
Burgundi yang datang berkunjung dan pasukan Hun-
nya. Ia tidak mencurigai apa pun, bahkan saat Burgundi
mendatangi gereja dengan senjata lengkap. Kriemhild-
lah yang mendikte tindakan itu, membuat Attila dalam
ketidaktahuan. Tidak ada yang bisa lebih aneh menyangkut
sejarah Attila, Attila yang cerdik yang tindakannya dengan
cermat sangat mempermalukan Priscus dan misi di -
plomatik nya, Attila yang membangun sebuah bangsa
dan kekaisaran, serta Attila yang menentang Konstanti -
nopel dan Romawi.
Kesetiaan dan kelembutan bukanlah kualitas yang
bagus bagi kepahlawanan berdarah biru, yang merupakan
bagian dari masalah yang dihadapi para penulis Jerman
abad kesembilan belas yang bergulat mengadaptasi
kekayaan nasional ini. Filsuf George Hegel menyatakan
semua ini harus dibuang sebagai hal yang reaksioner,
tidak relevan, sepele, dan basi; lebih baik para penulis
mencari sumber-sumber yang berfokus pada akar bangsa
Jerman yang sesungguhnya, ajaran Kristen, dan kekaisaran
Romawi. Para penulis memperhatikan. Di samping drama
Werner yang sangat disesalkan, ada lima drama lain
tentang Attila di Jerman pada abad kesembilan, diikuti
dengan empat drama lagi pada abad kedua puluh.
Penggubah drama Friedrich Hebbel mencoba sintesis
Hegelian dalam trilogi Nibelung yang ditampilkan pada
1861, memenuhi sosok Attila dengan kebajikan ajaran
Kristen, sehingga kematiannya mengarah pada dunia
Kristen baru yang berani.
Richard Wagner-lah yang melihat bagaimana cara
terbaik untuk memperlakukan Attila. Pada empat operanya
dalam siklus Cincin Nibelung, ia melakukan hal yang
akan dilakukan penyair yang baik: ia mengambil hal-hal
terbaik yang cocok bagi dirinya dari legenda Jerman dan
Nordik, terutama fokus pada mitologi Nordik—timbunan
emas, Cincin Kekuatan, Topi Baja Tak Kasatmata, dewa-
dewa, raksasa, seekor naga, para perawan-prajurit ajaib—
sejarah yang ditolak, dan menghilangkan Attila sama
sekali.
MUNGKIN KENANGAN warga akan mati, namun
warga Eropa meneruskannya dalam bentuk
barbarisme baru pada akhir abad kesembilan belas dan
kedua puluh. Dengan situasi yang pas, kekejaman dan
prasangka menjadi simbol yang sudah jadi. Keadaan ini
muncul pertama kali dalam Perang Franco-Jerman tahun
1870 (biasanya disebut “Franco-Prusia” oleh para
sejarawan Inggris, namun Prusia sudah menjadi Jerman,
sejauh ini tidak ada perbedaan).
Pada musim panas tahun 1870, pasukan Jerman mem-
bunuh 17.000 prajurit Perancis dan membawa 100.000
tahanan di Sedan, dan mengarah ke selatan, menuju
Châlons dan Dataran Catalaunia, demi alasan geostrategi
yang sama sebagaimana Attila—tempat terbuka,
pergerakan yang cepat—bedanya, target mereka yaitu
Paris. Sebuah artikel surat kabar yang tersebar secara
luas pada bulan Oktober tahun itu membuat satu
persamaan nyata antara serangan pasukan Jerman dan
suku Hun, membandingkan Kaiser Wilhelm I dengan
Attila dan mengenang kisah bagaimana St Genevieve
menyelamatkan Paris. Sekarang, sebagaimana lalu ,
Tuhan akan membantu mereka yang membantu dirinya
sendiri; dan rupanya memang demikian. Dibebani dengan
banyaknya tahanan—oleh kesuksesan mereka sendiri—
lalu diperlambat dengan serangan gerilya pasukan
Perancis, pasukan Prusia kewalahan dan berhenti
menyerang. Batas serangan mereka di wilayah barat,
anehnya, yaitu Orléans, di mana Attila dahulu pernah
melakukan putaran balik. Gencatan senjata yang lalu
terjadi menegaskan keberadaan Jerman sebagai Hun
Eropa zaman sekarang, dalam imajinasi bangsa Perancis.
Untuk 40 tahun ke depan, kedua kekuatan besar ini
memandang curiga satu sama lain, melihat pengkhianatan
dan barbarisme dalam diri masing-masing. Khususnya
Perancis, yang mendapatkan penghinaan dan tidak
berdaya, menunggu kesempatan untuk revanche (balas
dendam) kepada reinkarnasi suku Hun ini.
Sebenarnya, bangsa Jerman menyambut baik per-
bandingan ini. Saat Jerman mengirim pasukannya ke
China untuk menghadapi Boxers, pemberontakan petani
yang pada 1900 mencoba mengusir semua orang asing
dari China, Kaiser Wilhelm II berkata pada pasukannya:
“Biarkan semua yang kalah berada dalam belas kasih
kalian. Persis seperti yang dilakukan suku Hun seribu
tahun yang lalu di bawah kepemimpinan Attila yang
mendapat reputasi sebab kebajikan sehingga menjadikan
mereka hidup dalam tradisi sejarah… jadi buatlah nama
Jerman dikenal dengan cara yang sama di China sehingga
bahkan tidak akan pernah ada orang China yang berani
menaruh kecurigaan kepada seorang Jerman.”
Nasionalisme dan imperialisme Jerman berjalan
berbarengan. Melihat negara imperialis di sekitarnya—
Perancis, Rusia, Inggris—Jerman mencari koloni-koloni
baru dan membangun konvoi yang sebanding dengan
Inggris, kekuatan super di dunia. Oleh sebab itu,
golongan pejabat Inggris-lah yang memperhatikan dengan
cermat terhadap ekspansi Jerman ini .
Salah satu dari mereka yaitu penjaga kesusastraan
kerajaan dan kebudayaan Inggris yang bernama Rudyard
Kipling.
Kipling yaitu orang pertama yang membuat pembaca
Inggris mengetahui bahwa Perancis menyamakan Jerman
dengan Hun. Pada 1902, ia terinspirasi satu kejadian
yang sudah lama dilupakan, di mana Jerman mengusulkan
demonstrasi angkatan laut gabungan untuk mengumpulkan
utang dari Venezuela. Kipling, yang sangat marah dengan
gagasan kerja sama dengan Jerman, menyampaikan
amarahnya lewat mulut seorang pendayung yang
menyimbolkan bahwa orang-orang yang bekerja keras
patut menjadi raja dan kaisar:
Dan sekarang kau beri tahu kami satu sumpah
rahasia
Yang kau buat dengan seorang musuh nyata!
Puisi yang berjudul “The Rowers” kini terdengar
obsesif, tidak jelas, membenarkan pernyataan sendiri,
dan secara menyeluruh menunjukkan dua kebajikan
murahan, sajak kosong dari beberapa kolonel pemarah.
Dalam pandangan perdamaian—Dari Narrow Seas
Setengah duniamu akan dijalankan—
Dengan satu awak kapal licik, untuk membuat
persekutuan baru
Dengan Goth dan Hun yang memalukan!
Dua belas tahun lalu , ketakutan Kipling menjadi
fakta , tanpa adanya pengakuan darinya bahwa
imperialisme Inggris dan Jerman saling bertolak belakang.
Meskipun demikian, Jerman menghadapi satu masalah
unik: terjadinya perang di dua daerah perbatasan yang
hampir pasti, melawan Perancis dan Rusia. Kunci
kemenangan yaitu penaklukan yang sangat cepat ter -
hadap Perancis, yang berarti pergerakan cepat melintasi
wilayah Belgia yang netral, tanda-tanda perlawanan atau
penundaan apa pun akan ditanggapi dengan serangan
tanpa ampun. Jadi, dalam kasus Jerman, perang harus
melibatkan serangan tanpa alasan ke sebuah negara
netral dan kesiapan untuk memakai teror. Hal ini
hampir tidak terelakkan sehingga menjadi fakta ,
yang dilakukan beberapa hari setelah pergerakan Jerman
memasuki wilayah Belgia pada bulan Agustus 1914. Di
kota universitas Leuven (Louvain), beberapa penembak
jitu Belgia membangkitkan reaksi berlebihan yang
mengerikan, yang membuktikan sebuah propaganda bagi
musuh-musuh Jerman. Ratusan orang tewas, ribuan
lainnya ditahan, 1.000 bangunan dibakar, termasuk
perpustakaan kuno beserta 230.000 artikel yang ada di
dalamnya. Surat kabar The Times terbitan tanggal 29
Agustus menyatakan kekalahan “Oxford dari Belgia”, di
tangan “Hun”. Kipling sendiri mendesak Inggris untuk
berperang:
Demi semua yang kita punya dan yang ada
Demi nasib semua anak-anak kita,
Bangkit dan laksanakan perang.
Hun ada di pintu gerbang!
Reaksi ini pun tidak membatasi Inggris. “Flames of
Louvian” muncul untuk menyimbolkan nasib “Belgia
kecil yang malang”, dan bangsa-bangsa yang belum
mengalami peperangan menjadi ketakutan. Di sepenjuru
Eropa, kekejaman membenarkan balas dendam dan
kebenaran diri sendiri. Dari Switzerland, seorang pujangga
Perancis dan lalu meraih Nobel, Romain Rolland,
dulunya agak pro-Jerman, menulis sebuah surat protes
kepada penulis Jerman dan pujangga peraih Nobel tahun
1912, Gerhard Hauptmann, membuat analogi Jerman-
Hun dan menanyakan apa saja yang terjadi dengan
warisan Goethe? Hauptman yang dulunya kritis terhadap
nasionalisme Prusia, dengan tidak sabaran menjawab
bahwa saat ini Jerman akan dianggap sebagai putra
Attila dibandingkan putra Goethe, sebuah pernyataan
keras yang membuatnya mendapatkan tanda kehormatan
dalam menghormati ulang tahun Kaiser.
Seluruh jaringan perjanjian yang sulit ini berhasil
diselesaikan dalam waktu dua bulan, dan sekali lagi
Jerman mengikuti jejak langkah Attila. Pasukan Ketiga
mereka bergerak ke Dataran Catalaunia, dan sekali lagi
gagal meraih kemenangan instan yang mereka cari. Kali
ini Inggris menjadi sekutu Perancis, dan dengan cepat
mengadopsi analogi Perancis dan Kipling yang menghina,
begitu juga dengan julukan yang merendahkan terhadap
orang-orang dengan menyebut mereka dengan istilah
Boches.3
Persamaan fasih Kipling—Jerman = Hun—menjadi
hal lumrah, hampir selalu sebagai satu penyamarataan,
“orang Hun”. Pencarian cepat di internet menghasilkan
contoh-contoh dalam jumlah ratusan. War Ilustrated
terbitan 1 Desember 1917 memuat artikel berjudul
“Jejak Suku Hun”. Robert Lindsay Mackay dari Batalion
11 Argyll dan Sutherland Highlanders menulis dalam
artikel hariannya: “Terlihat jelas bahwa bagaimana pun
Hun bermaksud menahan pasukan ketiganya, namun
gerakan yang lebih dulu kami lakukan di wilayah yang
kami masuki dan menghabisi bagian sayap pasukan
mereka, membuat ia kecewa.”
Namun ada yang aneh dengan istilah itu. Tidak
seorang pun pernah membicarakan tentang Hun Attila
sebagai “Hun”. Namun—jika kita bersandar pada sumber-
sumber literatur—bagi pengguna bahasa Inggris di mana
saja, “Hun” muncul untuk menyatakan Jerman, orang-
orang Jerman, dan kebiadaban Jerman. Secara khusus
ini yaitu masalah orang Inggris: orang Perancis tidak
menyebut le Hun, meskipun awalnya analogi ini berasal
dari mereka. Sebutan Les Boches atau le Boche saja
sudah cukup, yang entah mengapa sepertinya lebih
manusiawi, lebih sejajar dengan istilah bahasa Jerman
untuk prajurit Inggris, Tommy, dalam bahasa Inggris
paralel dengan Fritz dan Jerry. Baik Perancis ataupun
Jerman tidak punya satu istilah dengan konotasi ke -
biadaban “Hun”.
Kita mungkin akan beranggapan bahwa “Hun” yaitu
penggunaan bahasa Inggris secara universal. Pastinya
kondisi ini cukup buruk untuk membenarkan penyebaran -
nya. Ketika Perbatasan barat dibuat menjadi parit-parit
perlindungan, para prajurit memasuki sebuah mimpi
buruk di mana tampaknya kemungkinan besar dan rumor
kekejaman apa pun dijadikan sebagai fakta. Prajurit
biasa “tahu” bahwa pasukan Jerman merebus mayat
sampai mendidih untuk dijadikan lemak, menyalib para
tahanan di negeri tanpa penghuni, dan bertarung dengan
sangkur bermata gergaji, senjata yang lebih bagus untuk
merobek perut para prajurit Inggris. Seperti yang ditulis
Paul Fussell dalam The Great War and Modern Memory,
“Sangkur seperti ini menunjukkan keburukan karakter
Jerman, hingga sampai saat ini rumor ini tetap ada
dan menjadi satu hal spesifik dari keburukan suku Hun.”
namun , hal itu tidak pernah terlihat di garis depan.
Tommy merasakan keakraban dengan Boches dan Boche
(tunggal), dan Fritz, dan Jerry, terjebak seperti dirinya
dalam ketakutan yang didiktekan oleh kekurangajaran
dari atas. Terkadang, Tommy mengacu pada “Jerry tua”,
bahkan “Jerry tua yang malang,” kata “tua” untuk
menyatakan keakraban, bahkan kasih sayang. Para prajurit
tidak membicarakan tentang “Hun”, sebab mereka
tidak sebenci yang diharapkan orang-orang yang tidak
berperang. Dalam drama Journey’s End, oleh bekas
prajurit R.C. Sherriff, para prajurit di parit-parit per -
lindungan membicarakan “Boche”, tidak pernah mem -
bicara kan “Hun”. Bahkan hal ini benar-benar diucapkan
oleh satu tokoh, “Pasukan Jerman benar-benar sopan,
ya? Maksudku, di luar yang diberitakan di surat kabar.”
Di luar yang diberitakan di surat kabar. Istilah “Hun”
dipakai oleh warga biasa yang tidak berperang
dengan satu ketertarikan untuk membangkitkan kebencian,
seperti yang dilakukan Kipling dan para pejabat pelaku
propaganda serta para penulis berita halaman depan
anti-Jerman. E.A. Mackintosh, dibunuh di Cambrai pada
bulan November 1917, saat berusia 24, mengenang
dalam “Recruiting”:
“Pemuda, kau dibutuhkan, pergi dan bantulah,”
Pada dinding kereta
Tertempel poster itu, dan aku berpikir
Tentang tangan-tangan yang menulisnya
Banyak orang sipil berharap mereka
“Bisa pergi dan bertarung melawan Hun.”
Tidakkah kau lihat mereka berterima kasih pada
Tuhan
Bahwa usia mereka lebih dari empat puluh satu
tahun?
Pada hari Minggu, 10 November 1918, satu hari se -
belum gencatan senjata, News of the World, menyatakan
akhir pertempuran dengan judul artikel HUN SUR -
RENDER CERTAIN.
“Hun” pada masanya, dan masa itu sudah berlalu.
Pada awal tahun 1930-an, hal itu keluar menjadi model
dan ejekan dalam pembicaraan orang-orang istana,
menjadi istilah sebelum munculnya kengerian yang lebih
besar, “Nazi”. Hitler sang anti-Semit melepaskan kejahatan
yang lebih mematikan sehingga kebiadaban “Hun” jadi
terlihat remeh. Dua artikel yang diterbitkan tahun 1940-
an—The Hun in Africa dan Harrying the Hun —yaitu
gaung yang terakhir. Sekarang, istilah ini menjadi sebuah
ungkapan kuno, hanya digunakan untuk membangkitkan
satu momen pada masanya dan prasangka kunonya.
DI HONGARIA, kampung halamannya, kebangkitan Attila
menjadi sosok yang termasyhur dimulai tidak lama
setelah kedatangan orang-orang Hongaria, bangsa Magyar,
pada 896. Menjadi bagian terbaik abad itu, para pejuang
nomaden ini berlaku seperti Hun terakhir, menyerang
ke Bulgaria, Perancis, Italia, dan Jerman, hingga Kaisar
Otto I menghentikan cara-cara bandit mereka di pinggiran
Sungai Lech tahun 955. Setelah itu, dengan tidak adanya
tempat lagi untuk berpindah dan tidak ada bangsa yang
lebih lemah untuk diserang, mereka mulai menetap.
Pada 970-an pimpinan saat itu, Geza, melakukan
persetujuan dengan Kaisar Otto II dan paus. Persetujuan
itu begini bunyinya: dirinya akan dibaptis, dan melepaskan
para budak Kristen, sebagai ganti pengakuan sebagai
seorang raja. Untuk memperkuat perjanjian itu, ia
menunangkan putranya Vaik, namanya menjadi István
(Stephen), dengan Gisela, putri dari Raja Bavaria, salah
satu cabang monarki Otto II. Ketentuan tentang me -
lepaskan para budak Kristen tidak disetujui oleh para
bangsawan Hongaria, dan jabatan raja itu masih menjadi
perselisihan sengit hingga Geza meninggal dunia pada
997. Stephen muda yang berusia 22 tahun, akhirnya
menuntut kekuasaan kerajaan, dan menobatkan dirinya
sebagai raja pada 1001. Untuk menandai peristiwa itu,
Paus Sylvester II mengirim sebuah mahkota kepada
Stephen, yang secara tradisi dipakai oleh semua raja
Hongaria selama seribu tahun berikutnya. Mahkota
(atau replika: keasliannya diperdebatkan) itu bisa dilihat
sekarang di Museum Nasional Hongaria, simbol Hongaria
yang berkilauan dan stabilitas Kristen di tengah-tengah
wilayah Eropa. Stephen melanjutkan dengan membuat
sepuluh keuskupan di bawah dua kepala uskup dan
bertindak sebagai pelindung bagi banyak biara. Lima
puluh tahun setelah kematiannya pada 1038, ia dijadikan
orang suci gereja.
Apa inti dari semua ini? Orang Hongaria, penganut
Kristen, bangsawan tuan tanah pada (katakanlah) tahun
1020 dilahirkan dari seorang kakek yang dulunya
perampok penyembah berhala, dan dari kakek-kakek-
buyut yang dulunya yaitu orang-orang nomaden yang
buta huruf. Tidak banyak identitas di sana, tidak juga
akar yang dalam, tidak juga klaim sejarah terhadap suatu
wilayah. Sekarang, orang yang kekurangan akan hal ini,
entah mengapa suka mempelajari mereka. Itulah yang
dilakukan orang-orang Hongaria, dengan lega melihat
ke belakang, pada orang-orang dan pemimpin yang ke -
suksesannya sepertinya begitu hebat untuk membayangi
kesuksesan mereka sendiri.
Dengan sangat cepat, cerita-cerita rakyat dinyanyikan
oleh para penyair tentang tiga pahlawan besar: Attila,
Árpád, dan Stephen. Stephen ke Árpád, hanya satu abad,
hubungan yang mudah. Namun antara Árpád dan Attila
ada kekosongan selama empat abad dan ribuan mil
wilayah yang tidak tercatat. namun , kekosongan seperti
itu, yaitu berkah bagi para pujangga, dan dengan cepat
kekosongan ini terisi dengan kisah-kisah berikut
ini.
Saat Raja Attila meninggal dunia, ia meninggalkan
dua orang putra. Putra pertama, Dengizich, tewas di
pertempuran. Yang kedua, Ernak, menjadi terkenal
sebagai Csaba, atau Chaba (berarti “domba”—misal—
dari bangsanya). Ia yaitu putra dari Honoria, seorang
putri kekaisaran Romawi (yang Attila nikahi dengan
cara yang tidak bisa dijelaskan). Chaba kembali ke Asia,
meninggalkan 3.000 prajuritnya, Szekler, sebagai para
penjaga perbatasan (székel = “penjaga perbatasan” dalam
bahasa Hongaria). Chaba berdoa bahwa kapan pun
bangsanya dalam masalah, Alam sendiri yang akan
memberitahunya, dan ia akan kembali untuk melindungi
mereka. Dua kali ia memacu kuda pulang untuk
menyelamatkan mereka. Tahun demi tahun berlalu, dan
Chaba meninggal dunia. Pada akhirnya, musuh-musuh
kuat bangkit dan mengancam Székely. Chaba akhirnya
kembali untuk terakhir kalinya, ia memimpin satu
pasukan melintasi langit berbintang membuat pasukan
musuh kocar-kacir. Jalur pasukan hantu yang bersinar
itu menjadi jalan menuju Surga. Orang-orang Hongaria
menyebut Milky Way sebagai “Jalan bagi Jiwa”, dan
mengenang Chaba dan ayahnya yang gagah berani,
Attila. Dari Chaba diikuti oleh beberapa generasi di
mana suku Hun bergabung dengan Magyar: Ugek, Elód,
dan lalu Álmos, yang punya siklus epiknya sendiri,
sebab dialah, yang seperti Musa, memimpin bangsanya
kembali ke Carpathia, tempat dirinya me ninggal, dan
akhirnya dilanjutkan oleh Árpád. Sekarang orang-orang
Magyar kembali ke tanah kelahiran mereka, di mana
mereka membentuk satu persekutuan dengan Székely,
yang langsung menjalankan tugas mereka sebagai penjaga
perbatasan; dan itulah sebabnya mengapa mereka sampai
saat ini tetap menjadi kelompok minoritas di Romania
tengah yang memakai bahasa Hongaria, masih
menyatakan bahwa mereka keturunan Attila.
Kisah-kisah ini disampaikan oleh para pujangga pagan,
yang tidak punya tempat di negeri Kristen yang memiliki
para biarawan yang terpelajar. Saat tradisi penyampaian
cerita dari mulut ke mulut mati, cara tertulis ambil
bagian, membajak kisah-kisah lama dan mempertahankan
agenda nasionalis mereka. Pada abad ketiga belas, dalam
Gesta Hungarorum, seorang biarawan Benedectine yang
tidak diketahui namanya mengulang pernyataan bahwa
Attila yaitu nenek-moyang langsung dari Árpád dan
invasi bangsa Magyar ke Carpathia pada 896 tidak lebih
daripada kembali ke wilayah kepunyaannya, berkat
Attila.4 Tidak lama setelah Gesta ditulis, Hun mengalami
kemunduran singkat sebagai pahlawan sebab bangsa
Hongaria menyamakan mereka dengan Mongol, yang
menghancurkan negeri itu pada 1241-1242. Reputasi
Attila dipulihkan kembali oleh seorang pencatat kronik
bernama Simon Kézai, yang menggambarkan pahlawannya
dikelilingi kekayaan; bahkan kandang kudanya dihiasi
kain beludru ungu. Dengan demikian, Attila tetap menjadi
nenek-moyang dan raja-pahlawan. Bahkan diyakini bahwa
pedang Attila, Pedang Mars, dimiliki para raja Hongaria
hingga akhirnya diberikan kepada seorang duke Jerman
pada 1063, yang memberikannya kepada kaisarnya,
Henry IV, yang…
Dan begitulah legenda tentang legenda bisa diteruskan
selamanya, jika kita mau. Pada akhir abad kelima belas,
Attila sudah menjadi seperti Charlemagne dari Hongaria,
nenek-moyang bukan hanya dari Árpád dan Stephen,
namun juga penerus mereka, raja terhebat Hongaria,
Matthias Corvinus, yang dipuji oleh para pejabat istananya
sebagai “Attila kedua” sebab memulihkan kekuasaan
dan kejayaan Hongaria di bawah satu monarki yang
kuat dan terpusat. Matthias senang akan perbandingan
ini. Sejarawan kesayangannya, Antonio Bonfini asal
Italia, menampilkan Attila sebagai seorang Romawi dan
proto-Renaissance, membuatkan pidato-pidato hebat
untuk menandai pembunuhan Bleda dan Pertempuran
di Dataran Catalaunia. Persamaan dengan Attila, bagaimana
pun, tidak selalu menyenangkan. Salah satu pengecam
Matthias, Callimachus, seorang aristokrat Italia dengan
cinta abadi akan monarki Polandia, melihat Matthias
sebagai bagi perdamaian di Eropa dan menyerang
Matthias-sebagai-Attila dalam biografi suku Hun,
menampilkannya sebagai penyerang dari belakang, raja
lalim perampas wilayah. Namun ia bahkan tidak
membantah bahwa Attila yaitu leluhur Hongaria, sebuah
mitos yang cocok dengan aristokrasi dan juga raja
Hongaria. Pada abad kedelapan belas, Ésterházys—putri
dari Kekaisaran Suci Romawi, pelindung Haydn, pemilik
kastil yang dikenal sebagai Versailles Hongaria—menelusuri
jejak silsilah mereka yang membanggakan namun palsu,
kembali pada Attila.
Jadi tidak mengejutkan bahwa orang-orang Hongaria
saat ini memiliki pemahaman yang berbeda-beda terhadap
Attila dari orang-orang Eropa barat. Dan ini pun tidak
sepenuhnya benar. Pada akhirnya sosok Attila menjadi
lebih seorang penjarah daripada kaisar; namun yang ia
lakukan tidak lebih daripada apa yang akan dilakukan
para pemimpin pada masanya jika mereka bisa, yakni
mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dari korban
dan musuh. Hanya kemenangan yang memungkinkan
ketersediaan waktu dan kesenangan bagi munculnya
kebajikan yang lebih beradab; dan Attila tidak begitu
sukses dalam hal ini. Ia bisa mendirikan sebuah kekaisaran
yang membentang dari Atlantik hingga Kaspia; ia bisa
menentang Romawi pada masa jayanya; para ahli warisnya
bisa merebut Romawi, lalu menyerang Konstantinopel
dan mengalihkan jalannya sejarah. Jika ia pernah memiliki
visi yang samar akan hal itu, ia tidak bisa fokus pada hal
itu, apalagi meraihnya, sebab pada akhirnya ia tidak
bisa mengendalikan kekaisaran: justru dialah yang
dikendalikan, dan mengarahkannya pada kematiannya
dan kematian kekaisaran itu sendiri dalam waktu yang
sangat singkat. Warisan yang ia tinggalkan yaitu nama -
nya, sosoknya, dan misteri yang menyelubunginya.
p





.jpeg)
.jpeg)






