Minggu, 12 Oktober 2025

Attila 10

 



uk Norwegia dan Danes,

Attila bergabung dengan Ermanaric dari Ostrogoth dan

Gundicarius (Gundahar atau Gunther) dari suku Burgundi,

menjalin kisah yang membawa tema besar tentang

penghormatan, keadilan, balas dendam, dan jalannya

takdir. Viking mengusung nama Attila bersama mereka

ke Iceland pada abad kesepuluh, dan hingga lalu  

sampai di Greenland, bersumber dari Greenlandic Lay

of Atli (Attila) pada abad kesepuluh. Gaung Attila bahkan

lebih jauh lagi hingga sampai ke Dunia Baru bersama

Thorfinn Karlsevni dan 100 Viking-nya, yang pada 1018

mendirikan sebuah koloni yang hidup singkat di pesisir

Newfoundland. Aku membayangkan mereka berkerumun

di sekeliling api unggun di rumah-rumah mereka di

padang rumput, mendengarkan penyair menyampaikan

sajaknya. Tidak ada skraeling (sebagaimana para Viking

menyebut suku Indian dan suku Inuit lokal) yang

terdengar, tapi ini menjadi sesuatu yang aneh bahwa

salah satu karya musik dan puisi yang terdengar di

Dunia Baru menceritakan tentang Attila, suku Hun, dan

pertempuran mereka dengan kaum Burgundi.

sebab  itulah yang menjadi inti legenda: satu insiden

kecil dalam sumber-sumber tertulis, namun   kuat dalam

ingatan warga  , mungkin sebab  dimainkan dengan

baik seperti sebuah perseteruan keluarga. Hanya sedikit

fragmen yang selamat yang menandakan kepopuleran -

nya—sebuah epik Latin abad kesembilan, versi Jerman

dan Inggris dari cerita yang sama, beberapa kisah Nordik.

Pahlawan utamanya yaitu  Walther, sandera di istana

Attila, dan seorang raja favorit. Ia melarikan diri dengan

sang putri, Hildegund (nama Jerman untuk Ildico).

Mereka punya harta. Hagen sang pahlawan, yang mungkin

seorang Burgundi atau Hun, mengejar mereka, bergabung

dengan Raja Gunther dari Burgundi. Terjadi pertempuran

besar, yang setelah itu ketiga tokoh ini berdamai lagi.

Dalam versi Inggris, Waldere, pada bagian yang selamat,

Hildegund mendesak Walther untuk menentang Gunther:

Teman Attila.

Bahkan sekarang, saat ini, jangan biarkan

keberanian

Ataupun gengsi meninggalkanmu.

Kisah ini tumpang tindih dengan kumpulan legenda

lainnya, tentang bangsa Burgundi itu sendiri, Nibelung,

atau Niflung. Di sini, seperti halnya dalam kisah lain,

para pujangga memperlakukan elemennya sebagai

komponen epik buatan sendiri: kita bisa membaca kisah

Attila yang dibujuk oleh Siegfried (Sigurd dalam mitologi

Nordik) menuju kamar harta Siegfried, tempat Attila

meninggal; atau Attila menyediakan perawan bagi Hagen,

yang melahirkan Aldrian, yang juga melakukan bujukan.

Dalam cerita lain, Hagen juga melahirkan Niflung, yang

lalu   kisah itu diberi judul dengan namanya. Tidak

ditemukan adanya kesatuan.

Ini versi lainnya.

Gunther dari suku Burgundi (yang dalam kehidupan

aslinya dibunuh oleh suku Hun sebelum Attila sekitar

tahun 437) memiliki harta karun. Ia juga punya seorang

saudara perempuan, Gudrun, yang dinikahkan dengan

Attila. Attila, berharap memiliki tempat harta tersembunyi

itu dari Gunther, membunuhnya dengan melemparkan

Gunther ke lubang ular. lalu   Gudrun melakukan

balas dendam mengerikan. Dalam versi terbesar yang

selamat dari legenda yang berjudul Volsungsaga, dikatakan

Gudrun melaksanakan jamuan makan besar, yang

menurutnya untuk menunjukkan bahwa ia menerima

nasibnya. Ternyata sama sekali tidak. Gudrun membunuh

kedua anak laki-lakinya dari Attila, dan lalu  , pada

jamuan itu—

“Sang raja bertanya di manakah kedua putranya.

Gudrun menjawab: ‘Aku akan memberitahumu dan

membuat hatimu gembira. Kau membuatku sangat

menderita dengan membunuh abangku. Sekarang kau

akan mendengar apa yang akan kukatakan kepadamu.

Kau sudah kehilangan kedua putramu—tengkorak mereka

digunakan sebagai mangkuk di meja sana—dan kau

sendiri meminum darah mereka yang dicampur dengan

anggur. Lalu aku mengambil hati mereka dan membakar -

nya di atas panggangan, dan kau memakannya.’”

Senada dengan peran Ildoco sebagai perempuan

pembunuh, Gudrun membunuh Attila saat tidur dan

membakar aula tempat tidur pasukan Hun.

Ke dalam cerita ini kita bisa menambahkan latar

belakang cerita, yaitu Brunhild, yang dimenangkan oleh

Gunther dengan bantuan pahlawan dan pembantai naga,

Siegfried, yang sebelumnya menikah dengan Gudrun

sebelum Attila. Setelah membunuh Siegfried, Gunther

mendapatkan hartanya, yang menjadi penyebab Attila

membunuhnya.

Banyak kisah tentang ketamakan dan balas dendam

ini dihubungkan dengan Attila sebagai hal utama. Ia

mungkin merupakan musuh bagi harta Nibelung. Atau,

mungkin sebab  sebenarnya ia yaitu  orang luar non-

Jerman, ia mungkin memiliki peran yang tidak bisa

dipercaya akan seorang pemimpin yang kuat, penyayang,

dan dikorbankan. Begitulah Attila digambarkan dalam

epik Jerman paling terkenal pada masa pertengahan,

Nibelungenlied, ditulis sekitar tahun 1200 oleh beberapa

pujangga anonim bersumber dari berbagai kisah. Namun

Attila dalam kisah Nibelungenlied yaitu  sosok yang

justru tidak sombong. Dalam konteks zaman ketika epik

itu dibuat, Attila sebagai raja menunjukkan dua kebajikan:

kesetiaan dan kelembutan. Namun hal ini membuat

Attila agak tidak berguna dalam hubungannya dengan

kisah dramatis. Ia tidak tahu-menahu terhadap hampir

semua hal penting. Ia tidak tahu bahwa istrinya, Kriemhild,

berduka atas bekas suaminya Siegfried. Ia tidak punya

petunjuk tentang ketegangan yang terjadi antara bangsa

Burgundi yang datang berkunjung dan pasukan Hun-

nya. Ia tidak mencurigai apa pun, bahkan saat Burgundi

mendatangi gereja dengan senjata lengkap. Kriemhild-

lah yang mendikte tindakan itu, membuat Attila dalam

ketidaktahuan. Tidak ada yang bisa lebih aneh menyangkut

sejarah Attila, Attila yang cerdik yang tindakannya dengan

cermat sangat mempermalukan Priscus dan misi di -

plomatik nya, Attila yang membangun sebuah bangsa

dan kekaisaran, serta Attila yang menentang Konstanti -

nopel dan Romawi.

Kesetiaan dan kelembutan bukanlah kualitas yang

bagus bagi kepahlawanan berdarah biru, yang merupakan

bagian dari masalah yang dihadapi para penulis Jerman

abad kesembilan belas yang bergulat mengadaptasi

kekayaan nasional ini. Filsuf George Hegel menyatakan

semua ini harus dibuang sebagai hal yang reaksioner,

tidak relevan, sepele, dan basi; lebih baik para penulis

mencari sumber-sumber yang berfokus pada akar bangsa

Jerman yang sesungguhnya, ajaran Kristen, dan kekaisaran

Romawi. Para penulis memperhatikan. Di samping drama

Werner yang sangat disesalkan, ada lima drama lain

tentang Attila di Jerman pada abad kesembilan, diikuti

dengan empat drama lagi pada abad kedua puluh.

Penggubah drama Friedrich Hebbel mencoba sintesis

Hegelian dalam trilogi Nibelung yang ditampilkan pada

1861, memenuhi sosok Attila dengan kebajikan ajaran

Kristen, sehingga kematiannya mengarah pada dunia

Kristen baru yang berani.

Richard Wagner-lah yang melihat bagaimana cara

terbaik untuk memperlakukan Attila. Pada empat operanya

dalam siklus Cincin Nibelung, ia melakukan hal yang

akan dilakukan penyair yang baik: ia mengambil hal-hal

terbaik yang cocok bagi dirinya dari legenda Jerman dan

Nordik, terutama fokus pada mitologi Nordik—timbunan

emas, Cincin Kekuatan, Topi Baja Tak Kasatmata, dewa-

dewa, raksasa, seekor naga, para perawan-prajurit ajaib—

sejarah yang ditolak, dan menghilangkan Attila sama

sekali.

MUNGKIN KENANGAN warga   akan mati, namun  

warga   Eropa meneruskannya dalam bentuk

barbarisme baru pada akhir abad kesembilan belas dan

kedua puluh. Dengan situasi yang pas, kekejaman dan

prasangka menjadi simbol yang sudah jadi. Keadaan ini

muncul pertama kali dalam Perang Franco-Jerman tahun

1870 (biasanya disebut “Franco-Prusia” oleh para

sejarawan Inggris, namun   Prusia sudah menjadi Jerman,

sejauh ini tidak ada perbedaan).

Pada musim panas tahun 1870, pasukan Jerman mem-

bunuh 17.000 prajurit Perancis dan membawa 100.000

tahanan di Sedan, dan mengarah ke selatan, menuju

Châlons dan Dataran Catalaunia, demi alasan geostrategi

yang sama sebagaimana Attila—tempat terbuka,

pergerakan yang cepat—bedanya, target mereka yaitu 

Paris. Sebuah artikel surat kabar yang tersebar secara

luas pada bulan Oktober tahun itu membuat satu

persamaan nyata antara serangan pasukan Jerman dan

suku Hun, membandingkan Kaiser Wilhelm I dengan

Attila dan mengenang kisah bagaimana St Genevieve

menyelamatkan Paris. Sekarang, sebagaimana lalu  ,

Tuhan akan membantu mereka yang membantu dirinya

sendiri; dan rupanya memang demikian. Dibebani dengan

banyaknya tahanan—oleh kesuksesan mereka sendiri—

lalu   diperlambat dengan serangan gerilya pasukan

Perancis, pasukan Prusia kewalahan dan berhenti

menyerang. Batas serangan mereka di wilayah barat,

anehnya, yaitu  Orléans, di mana Attila dahulu pernah

melakukan putaran balik. Gencatan senjata yang lalu  

terjadi menegaskan keberadaan Jerman sebagai Hun

Eropa zaman sekarang, dalam imajinasi bangsa Perancis.

Untuk 40 tahun ke depan, kedua kekuatan besar ini

memandang curiga satu sama lain, melihat pengkhianatan

dan barbarisme dalam diri masing-masing. Khususnya

Perancis, yang mendapatkan penghinaan dan tidak

berdaya, menunggu kesempatan untuk revanche (balas

dendam) kepada reinkarnasi suku Hun ini. 

Sebenarnya, bangsa Jerman menyambut baik per-

bandingan ini. Saat Jerman mengirim pasukannya ke

China untuk menghadapi Boxers, pemberontakan petani

yang pada 1900 mencoba mengusir semua orang asing

dari China, Kaiser Wilhelm II berkata pada pasukannya:

“Biarkan semua yang kalah berada dalam belas kasih

kalian. Persis seperti yang dilakukan suku Hun seribu

tahun yang lalu di bawah kepemimpinan Attila yang

mendapat reputasi sebab  kebajikan sehingga menjadikan

mereka hidup dalam tradisi sejarah… jadi buatlah nama

Jerman dikenal dengan cara yang sama di China sehingga

bahkan tidak akan pernah ada orang China yang berani

menaruh kecurigaan kepada seorang Jerman.”

Nasionalisme dan imperialisme Jerman berjalan

berbarengan. Melihat negara imperialis di sekitarnya—

Perancis, Rusia, Inggris—Jerman mencari koloni-koloni

baru dan membangun konvoi yang sebanding dengan

Inggris, kekuatan super di dunia. Oleh sebab  itu,

golongan pejabat Inggris-lah yang memperhatikan dengan

cermat terhadap  ekspansi Jerman ini .

Salah satu dari mereka yaitu  penjaga kesusastraan

kerajaan dan kebudayaan Inggris yang bernama Rudyard

Kipling.

Kipling yaitu  orang pertama yang membuat pembaca

Inggris mengetahui bahwa Perancis menyamakan Jerman

dengan Hun. Pada 1902, ia terinspirasi satu kejadian

yang sudah lama dilupakan, di mana Jerman mengusulkan

demonstrasi angkatan laut gabungan untuk mengumpulkan

utang dari Venezuela. Kipling, yang sangat marah dengan

gagasan kerja sama dengan Jerman, menyampaikan

amarahnya lewat mulut seorang pendayung yang

menyimbolkan bahwa orang-orang yang bekerja keras

patut menjadi raja dan kaisar:

Dan sekarang kau beri tahu kami satu sumpah

rahasia

Yang kau buat dengan seorang musuh nyata!

Puisi yang berjudul “The Rowers” kini terdengar

obsesif, tidak jelas, membenarkan pernyataan sendiri,

dan secara menyeluruh menunjukkan dua kebajikan

murahan, sajak kosong dari beberapa kolonel pemarah.

Dalam pandangan perdamaian—Dari Narrow Seas

Setengah duniamu akan dijalankan—

Dengan satu awak kapal licik, untuk membuat

persekutuan baru

Dengan Goth dan Hun yang memalukan!

Dua belas tahun lalu  , ketakutan Kipling menjadi

fakta  , tanpa adanya pengakuan darinya bahwa

imperialisme Inggris dan Jerman saling bertolak belakang.

Meskipun demikian, Jerman menghadapi satu masalah

unik: terjadinya perang di dua daerah perbatasan yang

hampir pasti, melawan Perancis dan Rusia. Kunci

kemenangan yaitu  penaklukan yang sangat cepat ter -

hadap Perancis, yang berarti pergerakan cepat melintasi

wilayah Belgia yang netral, tanda-tanda perlawanan atau

penundaan apa pun akan ditanggapi dengan serangan

tanpa ampun. Jadi, dalam kasus Jerman, perang harus

melibatkan serangan tanpa alasan ke sebuah negara

netral dan kesiapan untuk memakai   teror. Hal ini

hampir tidak terelakkan sehingga menjadi fakta  ,

yang dilakukan beberapa hari setelah pergerakan Jerman

memasuki wilayah Belgia pada bulan Agustus 1914. Di

kota universitas Leuven (Louvain), beberapa penembak

jitu Belgia membangkitkan reaksi berlebihan yang

mengerikan, yang membuktikan sebuah propaganda bagi

musuh-musuh Jerman. Ratusan orang tewas, ribuan

lainnya ditahan, 1.000 bangunan dibakar, termasuk

perpustakaan kuno beserta 230.000 artikel   yang ada di

dalamnya. Surat kabar The Times terbitan tanggal 29

Agustus menyatakan kekalahan “Oxford dari Belgia”, di

tangan “Hun”. Kipling sendiri mendesak Inggris untuk

berperang:

Demi semua yang kita punya dan yang ada

Demi nasib semua anak-anak kita,

Bangkit dan laksanakan perang.

Hun ada di pintu gerbang!

Reaksi ini pun tidak membatasi Inggris. “Flames of

Louvian” muncul untuk menyimbolkan nasib “Belgia

kecil yang malang”, dan bangsa-bangsa yang belum

mengalami peperangan menjadi ketakutan. Di sepenjuru

Eropa, kekejaman membenarkan balas dendam dan

kebenaran diri sendiri. Dari Switzerland, seorang pujangga

Perancis dan lalu   meraih Nobel, Romain Rolland,

dulunya agak pro-Jerman, menulis sebuah surat protes

kepada penulis Jerman dan pujangga peraih Nobel tahun

1912, Gerhard Hauptmann, membuat analogi Jerman-

Hun dan menanyakan apa saja yang terjadi dengan

warisan Goethe? Hauptman yang dulunya kritis terhadap

nasionalisme Prusia, dengan tidak sabaran menjawab

bahwa saat ini Jerman akan dianggap sebagai putra

Attila dibandingkan putra Goethe, sebuah pernyataan

keras yang membuatnya mendapatkan tanda kehormatan

dalam menghormati ulang tahun Kaiser.

Seluruh jaringan perjanjian yang sulit ini berhasil

diselesaikan dalam waktu dua bulan, dan sekali lagi

Jerman mengikuti jejak langkah Attila. Pasukan Ketiga

mereka bergerak ke Dataran Catalaunia, dan sekali lagi

gagal meraih kemenangan instan yang mereka cari. Kali

ini Inggris menjadi sekutu Perancis, dan dengan cepat

mengadopsi analogi Perancis dan Kipling yang menghina,

begitu juga dengan julukan yang merendahkan terhadap

orang-orang dengan menyebut mereka dengan istilah

Boches.3

Persamaan fasih Kipling—Jerman = Hun—menjadi

hal lumrah, hampir selalu sebagai satu penyamarataan,

“orang Hun”. Pencarian cepat di internet menghasilkan

contoh-contoh dalam jumlah ratusan. War Ilustrated

terbitan 1 Desember 1917 memuat artikel berjudul

“Jejak Suku Hun”. Robert Lindsay Mackay dari Batalion

11 Argyll dan Sutherland Highlanders menulis dalam

artikel   hariannya: “Terlihat jelas bahwa bagaimana pun

Hun bermaksud menahan pasukan ketiganya, namun  

gerakan yang lebih dulu kami lakukan di wilayah yang

kami masuki dan menghabisi bagian sayap pasukan

mereka, membuat ia kecewa.”

Namun ada yang aneh dengan istilah itu. Tidak

seorang pun pernah membicarakan tentang Hun Attila

sebagai “Hun”. Namun—jika kita bersandar pada sumber-

sumber literatur—bagi pengguna bahasa Inggris di mana

saja, “Hun” muncul untuk menyatakan Jerman, orang-

orang Jerman, dan kebiadaban Jerman. Secara khusus

ini yaitu  masalah orang Inggris: orang Perancis tidak

menyebut le Hun, meskipun awalnya analogi ini berasal

dari mereka. Sebutan Les Boches atau le Boche saja

sudah cukup, yang entah mengapa sepertinya lebih

manusiawi, lebih sejajar dengan istilah bahasa Jerman

untuk prajurit Inggris, Tommy, dalam bahasa Inggris

paralel dengan Fritz dan Jerry. Baik Perancis ataupun

Jerman tidak punya satu istilah dengan konotasi ke -

biadaban “Hun”.

Kita mungkin akan beranggapan bahwa “Hun” yaitu 

penggunaan bahasa Inggris secara universal. Pastinya

kondisi ini cukup buruk untuk membenarkan penyebaran -

nya. Ketika Perbatasan barat dibuat menjadi parit-parit

perlindungan, para prajurit memasuki sebuah mimpi

buruk di mana tampaknya kemungkinan besar dan rumor

kekejaman apa pun dijadikan sebagai fakta. Prajurit

biasa “tahu” bahwa pasukan Jerman merebus mayat

sampai mendidih untuk dijadikan lemak, menyalib para

tahanan di negeri tanpa penghuni, dan bertarung dengan

sangkur bermata gergaji, senjata yang lebih bagus untuk

merobek perut para prajurit Inggris. Seperti yang ditulis

Paul Fussell dalam The Great War and Modern Memory,

“Sangkur seperti ini menunjukkan keburukan karakter

Jerman, hingga sampai saat ini rumor ini  tetap ada

dan menjadi satu hal spesifik dari keburukan suku Hun.”

namun  , hal itu tidak pernah terlihat di garis depan.

Tommy merasakan keakraban dengan Boches dan Boche

(tunggal), dan Fritz, dan Jerry, terjebak seperti dirinya

dalam ketakutan yang didiktekan oleh kekurangajaran

dari atas. Terkadang, Tommy mengacu pada “Jerry tua”,

bahkan “Jerry tua yang malang,” kata “tua” untuk

menyatakan keakraban, bahkan kasih sayang. Para prajurit

tidak membicarakan tentang “Hun”, sebab  mereka

tidak sebenci yang diharapkan orang-orang yang tidak

berperang. Dalam drama Journey’s End, oleh bekas

prajurit R.C. Sherriff, para prajurit di parit-parit per -

lindungan membicarakan “Boche”, tidak pernah mem -

bicara kan “Hun”. Bahkan hal ini benar-benar diucapkan

oleh satu tokoh, “Pasukan Jerman benar-benar sopan,

ya? Maksudku, di luar yang diberitakan di surat kabar.”

Di luar yang diberitakan di surat kabar. Istilah “Hun”

dipakai oleh warga   biasa yang tidak berperang

dengan satu ketertarikan untuk membangkitkan kebencian,

seperti yang dilakukan Kipling dan para pejabat pelaku

propaganda serta para penulis berita halaman depan

anti-Jerman. E.A. Mackintosh, dibunuh di Cambrai pada

bulan November 1917, saat berusia 24, mengenang

dalam “Recruiting”: 

“Pemuda, kau dibutuhkan, pergi dan bantulah,”

Pada dinding kereta 

Tertempel poster itu, dan aku berpikir

Tentang tangan-tangan yang menulisnya

Banyak orang sipil berharap mereka

“Bisa pergi dan bertarung melawan Hun.”

Tidakkah kau lihat mereka berterima kasih pada

Tuhan

Bahwa usia mereka lebih dari empat puluh satu

tahun?

Pada hari Minggu, 10 November 1918, satu hari se -

belum gencatan senjata, News of the World, menyatakan

akhir pertempuran dengan judul artikel HUN SUR -

RENDER CERTAIN.

“Hun” pada masanya, dan masa itu sudah berlalu.

Pada awal tahun 1930-an, hal itu keluar menjadi model

dan ejekan dalam pembicaraan orang-orang istana,

menjadi istilah sebelum munculnya kengerian yang lebih

besar, “Nazi”. Hitler sang anti-Semit melepaskan kejahatan

yang lebih mematikan sehingga kebiadaban “Hun” jadi

terlihat remeh. Dua artikel   yang diterbitkan tahun 1940-

an—The Hun in Africa dan Harrying the Hun —yaitu 

gaung yang terakhir. Sekarang, istilah ini menjadi sebuah

ungkapan kuno, hanya digunakan untuk membangkitkan

satu momen pada masanya dan prasangka kunonya.

DI HONGARIA, kampung halamannya, kebangkitan Attila

menjadi sosok yang termasyhur dimulai tidak lama

setelah kedatangan orang-orang Hongaria, bangsa Magyar,

pada 896. Menjadi bagian terbaik abad itu, para pejuang

nomaden ini berlaku seperti Hun terakhir, menyerang

ke Bulgaria, Perancis, Italia, dan Jerman, hingga Kaisar

Otto I menghentikan cara-cara bandit mereka di pinggiran

Sungai Lech tahun 955. Setelah itu, dengan tidak adanya

tempat lagi untuk berpindah dan tidak ada bangsa yang

lebih lemah untuk diserang, mereka mulai menetap.

Pada 970-an pimpinan saat itu, Geza, melakukan

persetujuan dengan Kaisar Otto II dan paus. Persetujuan

itu begini bunyinya: dirinya akan dibaptis, dan melepaskan

para budak Kristen, sebagai ganti pengakuan sebagai

seorang raja. Untuk memperkuat perjanjian itu, ia

menunangkan putranya Vaik, namanya menjadi István

(Stephen), dengan Gisela, putri dari Raja Bavaria, salah

satu cabang monarki Otto II. Ketentuan tentang me -

lepaskan para budak Kristen tidak disetujui oleh para

bangsawan Hongaria, dan jabatan raja itu masih menjadi

perselisihan sengit hingga Geza meninggal dunia pada

997. Stephen muda yang berusia 22 tahun, akhirnya

menuntut kekuasaan kerajaan, dan menobatkan dirinya

sebagai raja pada 1001. Untuk menandai peristiwa itu,

Paus Sylvester II mengirim sebuah mahkota kepada

Stephen, yang secara tradisi dipakai oleh semua raja

Hongaria selama seribu tahun berikutnya. Mahkota

(atau replika: keasliannya diperdebatkan) itu bisa dilihat

sekarang di Museum Nasional Hongaria, simbol Hongaria

yang berkilauan dan stabilitas Kristen di tengah-tengah

wilayah Eropa. Stephen melanjutkan dengan membuat

sepuluh keuskupan di bawah dua kepala uskup dan

bertindak sebagai pelindung bagi banyak biara. Lima

puluh tahun setelah kematiannya pada 1038, ia dijadikan

orang suci gereja.

Apa inti dari semua ini? Orang Hongaria, penganut

Kristen, bangsawan tuan tanah pada (katakanlah) tahun

1020 dilahirkan dari seorang kakek yang dulunya

perampok penyembah berhala, dan dari kakek-kakek-

buyut yang dulunya yaitu  orang-orang nomaden yang

buta huruf. Tidak banyak identitas di sana, tidak juga

akar yang dalam, tidak juga klaim sejarah terhadap suatu

wilayah. Sekarang, orang yang kekurangan akan hal ini,

entah mengapa suka mempelajari mereka. Itulah yang

dilakukan orang-orang Hongaria, dengan lega melihat

ke belakang, pada orang-orang dan pemimpin yang ke -

suksesannya sepertinya begitu hebat untuk membayangi

kesuksesan mereka sendiri.

Dengan sangat cepat, cerita-cerita rakyat dinyanyikan

oleh para penyair tentang tiga pahlawan besar: Attila,

Árpád, dan Stephen. Stephen ke Árpád, hanya satu abad,



hubungan yang mudah. Namun antara Árpád dan Attila

ada kekosongan selama empat abad dan ribuan mil

wilayah yang tidak tercatat. namun  , kekosongan seperti

itu, yaitu  berkah bagi para pujangga, dan dengan cepat

kekosongan ini  terisi dengan kisah-kisah berikut

ini.

Saat Raja Attila meninggal dunia, ia meninggalkan

dua orang putra. Putra pertama, Dengizich, tewas di

pertempuran. Yang kedua, Ernak, menjadi terkenal

sebagai Csaba, atau Chaba (berarti “domba”—misal—

dari bangsanya). Ia yaitu  putra dari Honoria, seorang

putri kekaisaran Romawi (yang Attila nikahi dengan

cara yang tidak bisa dijelaskan). Chaba kembali ke Asia,

meninggalkan 3.000 prajuritnya, Szekler, sebagai para

penjaga perbatasan (székel = “penjaga perbatasan” dalam

bahasa Hongaria). Chaba berdoa bahwa kapan pun

bangsanya dalam masalah, Alam sendiri yang akan

memberitahunya, dan ia akan kembali untuk melindungi

mereka. Dua kali ia memacu kuda pulang untuk

menyelamatkan mereka. Tahun demi tahun berlalu, dan

Chaba meninggal dunia. Pada akhirnya, musuh-musuh

kuat bangkit dan mengancam Székely. Chaba akhirnya

kembali untuk terakhir kalinya, ia memimpin satu

pasukan melintasi langit berbintang membuat pasukan

musuh kocar-kacir. Jalur pasukan hantu yang bersinar

itu menjadi jalan menuju Surga. Orang-orang Hongaria

menyebut Milky Way sebagai “Jalan bagi Jiwa”, dan

mengenang Chaba dan ayahnya yang gagah berani,

Attila. Dari Chaba diikuti oleh beberapa generasi di

mana suku Hun bergabung dengan Magyar: Ugek, Elód,

dan lalu   Álmos, yang punya siklus epiknya sendiri,

sebab  dialah, yang seperti Musa, memimpin bangsanya

kembali ke Carpathia, tempat dirinya me ninggal, dan

akhirnya dilanjutkan oleh Árpád. Sekarang orang-orang

Magyar kembali ke tanah kelahiran mereka, di mana

mereka membentuk satu persekutuan dengan Székely,

yang langsung menjalankan tugas mereka sebagai penjaga

perbatasan; dan itulah sebabnya mengapa mereka sampai

saat ini tetap menjadi kelompok minoritas di Romania

tengah yang memakai   bahasa Hongaria, masih

menyatakan bahwa mereka keturunan Attila.

Kisah-kisah ini disampaikan oleh para pujangga pagan,

yang tidak punya tempat di negeri Kristen yang memiliki

para biarawan yang terpelajar. Saat tradisi penyampaian

cerita dari mulut ke mulut mati, cara tertulis ambil

bagian, membajak kisah-kisah lama dan mempertahankan

agenda nasionalis mereka. Pada abad ketiga belas, dalam

Gesta Hungarorum, seorang biarawan Benedectine yang

tidak diketahui namanya mengulang pernyataan bahwa

Attila yaitu  nenek-moyang langsung dari Árpád dan

invasi bangsa Magyar ke Carpathia pada 896 tidak lebih

daripada kembali ke wilayah kepunyaannya, berkat

Attila.4 Tidak lama setelah Gesta ditulis, Hun mengalami

kemunduran singkat sebagai pahlawan sebab  bangsa

Hongaria menyamakan mereka dengan Mongol, yang

menghancurkan negeri itu pada 1241-1242. Reputasi

Attila dipulihkan kembali oleh seorang pencatat kronik

bernama Simon Kézai, yang menggambarkan pahlawannya

dikelilingi kekayaan; bahkan kandang kudanya dihiasi

kain beludru ungu. Dengan demikian, Attila tetap menjadi

nenek-moyang dan raja-pahlawan. Bahkan diyakini bahwa

pedang Attila, Pedang Mars, dimiliki para raja Hongaria

hingga akhirnya diberikan kepada seorang duke Jerman


pada 1063, yang memberikannya kepada kaisarnya,

Henry IV, yang…

Dan begitulah legenda tentang legenda bisa diteruskan

selamanya, jika kita mau. Pada akhir abad kelima belas,

Attila sudah menjadi seperti Charlemagne dari Hongaria,

nenek-moyang bukan hanya dari Árpád dan Stephen,

namun   juga penerus mereka, raja terhebat Hongaria,

Matthias Corvinus, yang dipuji oleh para pejabat istananya

sebagai “Attila kedua” sebab  memulihkan kekuasaan

dan kejayaan Hongaria di bawah satu monarki yang

kuat dan terpusat. Matthias senang akan perbandingan

ini. Sejarawan kesayangannya, Antonio Bonfini asal

Italia, menampilkan Attila sebagai seorang Romawi dan

proto-Renaissance, membuatkan pidato-pidato hebat

untuk menandai pembunuhan Bleda dan Pertempuran

di Dataran Catalaunia. Persamaan dengan Attila, bagaimana

pun, tidak selalu menyenangkan. Salah satu pengecam

Matthias, Callimachus, seorang aristokrat Italia dengan

cinta abadi akan monarki Polandia, melihat Matthias

sebagai  bagi perdamaian di Eropa dan menyerang

Matthias-sebagai-Attila dalam biografi suku Hun,

menampilkannya sebagai penyerang dari belakang, raja

lalim perampas wilayah. Namun ia bahkan tidak

membantah bahwa Attila yaitu  leluhur Hongaria, sebuah

mitos yang cocok dengan aristokrasi dan juga raja

Hongaria. Pada abad kedelapan belas, Ésterházys—putri

dari Kekaisaran Suci Romawi, pelindung Haydn, pemilik

kastil yang dikenal sebagai Versailles Hongaria—menelusuri

jejak silsilah mereka yang membanggakan namun   palsu,

kembali pada Attila.

Jadi tidak mengejutkan bahwa orang-orang Hongaria

saat ini memiliki pemahaman yang berbeda-beda terhadap

Attila dari orang-orang Eropa barat. Dan ini pun tidak

sepenuhnya benar. Pada akhirnya sosok Attila menjadi

lebih seorang penjarah daripada kaisar; namun   yang ia

lakukan tidak lebih daripada apa yang akan dilakukan

para pemimpin pada masanya jika mereka bisa, yakni

mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dari korban

dan musuh. Hanya kemenangan yang memungkinkan

ketersediaan waktu dan kesenangan bagi munculnya

kebajikan yang lebih beradab; dan Attila tidak begitu

sukses dalam hal ini. Ia bisa mendirikan sebuah kekaisaran

yang membentang dari Atlantik hingga Kaspia; ia bisa

menentang Romawi pada masa jayanya; para ahli warisnya

bisa merebut Romawi, lalu menyerang Konstantinopel

dan mengalihkan jalannya sejarah. Jika ia pernah memiliki

visi yang samar akan hal itu, ia tidak bisa fokus pada hal

itu, apalagi meraihnya, sebab  pada akhirnya ia tidak

bisa mengendalikan kekaisaran: justru dialah yang

dikendalikan, dan mengarahkannya pada kematiannya

dan kematian kekaisaran itu sendiri dalam waktu yang

sangat singkat. Warisan yang ia tinggalkan yaitu  nama -

nya, sosoknya, dan misteri yang menyelubunginya.

p