Tampilkan postingan dengan label Attila 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Attila 3. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Oktober 2025

Attila 3

 



h pantai, inada  dunia yang sangat

tidak-Yunani, yang terletak di padang rumput Pontic

yang menghampar luas tanpa pepohonan di daerah

Kazakhstan. Sekarang, wilayah ini sudah menjadi versi

Rusia wilayah Barat bagian tengah, yang dilunakkan

dengan cara dibajak. Waktu itu, area ini merupakan

jantung kegelapan liar bagi orang-orang barat dan menjadi

tanah air baru bagi suku-suku yang tidak terhitung

jumlahnya selama dua milenium atau merupakan wilayah

perlindungan dalam gelombang perpindahan mereka

yang berlangsung lambat ke wilayah barat. Suku Hun

bahkan berasal dari wilayah yang lebih jauh dari kawasan

ini, dari dunia mitos dan remang-remang, sebuah celah

terbuka pada meja biliar yang sangat besar, yang membuat

banyak suku saling berpindah tempat satu sama lain, ke

wilayah Romawi.

Apa yang membuat mereka pindah? Mengapa satu

suku kecil di pedalaman Asia tiba-tiba sangat ingin

muncul dalam tatanan dunia beradab? Dulu, sudah lazim

dinyatakan bahwa perpindahan besar-besaran dan serangan

nomaden terjadi sebab  perubahan iklim dan tekanan

populasi, seolah “tanah leluhur” memberikan tekanan

besar pada irama ekologi, yang mendorong penduduknya

bergerak menuju wilayah barat. Namun keadaan iklim

tidak menjadi penjelasan yang memuaskan, sebab  bagi

suku yang anggotanya lebih sedikit, gerakan ini mungkin

sama fatalnya dengan kekeringan yang membuat penduduk

Ethiopia melarat. 

Sebetulnya, ada denyut kekuasaan yang mengatur

pedalaman Eurasia. Sejarah bangsa China yang merupakan

serangkaian kekuasaan dinasti yang berlanjut, dengan

setiap masanya berakhir dari dekade menjadi abad,

selama 2.000 tahun. Kemunculan dan kehancuran dinasti

melalui satu periode merupakan peristiwa unik selama

empat milenium, dan banyak sejarawan telah meng -

habiskan masa hidup mereka membahas rentetan pola

yang mengagumkan ini. Jika memang ada, hal itu seperti -

nya berkaitan erat dengan gagasan penyatuan kekuasaan,

dalam perlombaan yang terus-menerus dilakukan setiap

dinasti, sejarah hidup mereka berasal dari interaksi

kompleks yang melibatkan—di antara elemen-elemen

lainnya—pertanian, sungai, kanal, tembok batas,

pemberontakan petani, peningkatan jumlah pasukan,

serbuan orang-orang barbar, perpajakan, pamong praja,

kekuasaan politik, korupsi, revolusi, kehancuran, dan

munculnya penantang baru dari luar peraturan yang

sudah ditetapkan. Bagi kita saat ini, yang menjadi masalah

yaitu  terkadang para pemimpin bangsa nomaden masuk

ke pusat wilayah China, dan kekuatan China mengambil

alih daerah perbatasan. Setiap gerakan akan mengguncang

daerah perbatasan, dan membuat satu atau dua suku

bergerak ke barat dan biasanya tidak diketahui kapan

dan bagaimana sejarahnya. Ini terjadi pada abad keempat

dan awal abad kelima di mana wilayah China bagian

utara kacau balau, sebagian sejarawan menjulukinya

dengan label Enam Belas Kerajaan dari Lima Bangsa

Barbar. Kekacauan ini  entah bagaimana berkurang

saat satu kelompok Turki, T’o-pa, mendirikan satu

kerajaan yang dikenal dengan nama Wei Utara pada

396. Apakah kekacauan itu, yang sebagian besarnya

tidak tercatat dalam sejarah, membawa gelombang kejut

para pengungsi ke barat, yang memaksa suku Hun

pindah? Tidak seorang pun punya petunjuk.

Aku bahkan tidak yakin ini menjadi masalah. Serangan

musim dingin di Asia tengah atau invasi oleh kelompok

pengungsi tidak bisa menjelaskan mengapa suku Hun

tergerak untuk menaklukkan, dan bangsa lainnya tidak

melakukan hal itu. Mengapa mereka berbeda? Keberhasilan

mereka tidak ada hubungannya dengan iklim dan proses

sejarah, dan segala hal menyangkut keterampilan perang

mereka, yang akan dijelaskan dengan teliti pada bab

berikutnya.

Mari kita berspekulasi tentang alasan-alasan mereka

pindah atas dasar kekurangan dan kelebihan mereka:

• Mereka kurang memiliki barang mewah

• Mereka punya kekuatan untuk merampok

Para penggembala nomaden menghasilkan lebih

daripada cukup kebutuhan hidup mereka, namun   selalu

kurang memiliki barang mewah, jika Anda mengambil

standar tingkat yang lebih tinggi dari kelompok yang

kehidupannya lebih mapan. Mereka sangat memerlukan   -

nya untuk kelangsungan hidup mereka. Gembala harus

digiring ke padang-padang rumput baru, tenda disimpan

dan didirikan, hewan peliharaan dibawa, dan kereta-

kereta barang diisi. Kepemilikan mengancam mobilitas,

dan oleh sebab nya juga mengancam kelangsungan

hidup. Dalam istilah ini, hidup mereka tidak sempurna.

Keadaan yang luar biasa untuk membangun karakter.

Anda bisa melihat hasilnya saat ini di Mongolia, di

daerah pedesaan yang jaraknya tidak lebih dari dua atau

tiga jam dari ibu kota. Penduduknya sangat mandiri:

kaum laki-lakinya tangguh seperti kuda mereka, meng -

gunakan laso seperti penunggang kuda dalam pertunjukan

sirkus, anak-anak dengan pipi merona merah dan kaum

perempuannya kuat, semuanya bersemangat kuat dan

memiliki gigi bagus, hasil dari makanan bebas gula.

Namun, dalam kunjungan singkat di musim panas kita

bisa melihat pemandangan romantis penggembala

nomaden ini. Para turis bisa dengan mudah menerima

versi terkini dari kehidupan liar terhormat ini, yang

menggiring ternaknya di antara padang-padang rumput

yang sudah dikenal, hidup mengikuti irama musim.

Namun, tiadakan generator bertenaga angin, sepeda

motor dan televisi; enyahkan sekolah di kota terdekat,

tempat anak-anak mereka bisa tinggal di sana; kembalilah

saat musim dingin, kembalikan imajinasi satu atau dua

abad yang lalu, bayangkan sebuah kehidupan tanpa buah

atau sayuran segar (masalah yang masih terjadi di wilayah-

wilayah terpencil), dan Anda akan melihat betapa

kehidupan ini begitu menjijikkan dan tidak berperi ke -

manusiaan. Musim dingin begitu mematikan. Badai es

yang menutupi rerumputan membuat ribuan kuda dan

domba mati. Belum lama ini, bencana seperti ini akan

membuat keluarga kelaparan, tanpa susu, daging, atau

bahan bakar kompos. Pada satu tingkatan, mereka

menderita dan akibat wajar yang ditimbulkan—ketabahan,

kekuatan, independensi yang kukuh—merupakan sumber

kebanggaan; di sisi lain, merupakan sumber rasa iri.

Tidak mengherankan para penggembala nomaden melihat

ada kemungkinan lebih baik di wilayah lain.

Pada fakta  nya, melihat wilayah lain sudah menjadi

cara hidup. Para penggembala nomaden bisa bertahan

sendiri selama beberapa bulan, mungkin hingga satu

tahun, namun   tidak dalam jangka panjang. Buktinya bisa

terlihat sekarang di Mongolia, seperti halnya pada abad

ketiga belas, sebab  wilayah ini merupakan tempat

bangkit dan jatuhnya setiap kekaisaran nomaden sejak

belum adanya bangsa Xiongnu. Untuk bertahan hidup

di padang rumput, Anda memerlukan sebuah tenda, dan

untuk menopang tenda dibutuhkan dinding kayu berkisi

dan kayu penopang atap. Kayu didapat dari pohon, dan

pohon ada di hutan dan perbukitan, bukan di padang

rumput yang membentang luas. Ditambah lagi, jika Anda

bisa mendapatkannya, harus ada kereta roda dua yang

berguna untuk mengangkut anak-anak dan orangtua,

tenda, ketel besar, dan harta benda lainnya. Kereta

barang juga dibuat dari kayu. sebab  itu untuk membuat

tenda dan kereta barang, maka penghuni padang rumput

memerlukan hutan. Untuk mendapat kayu Anda

memerlukan kapak, yang berarti memerlukan   logam,

baik yang dibuat oleh pandai besi lokal maupun didapat

dari jual beli. Kita sudah melihat satu warga   yang

lebih bervariasi dan bisa menyesuaikan diri dibandingkan

dengan para penggembala nomaden “murni”. Dan hanya

itu yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Di samping

itu, orang-orang nomaden, yaitu  manusia sebagaimana

halnya kita, menginginkan perbaikan kehidupan yang

tidak tersedia di wilayah padang rumput, seperti teh,

beras, gula, kain halus dan bervariasi, terutama sutra:

singkatnya, barang-barang yang dihasilkan oleh para

petani, dan yang lebih kompleksnya lagi, oleh warga  

urban. 

Pengembara nomaden tidak selalu hidup berkelana

di berbagai tempat. Banyak keluarga penggembala yang

benar-benar hidup menetap selama bertahun-tahun,

puluhan tahun, bahkan dari generasi ke generasi sebab 

kawanan gembala bergantung pada kapan dan di mana

menemukan padang rumput yang baik; dan kebutuhan

untuk menjamin kehidupan mereka, dari tahun ke tahun,

menginginkan kerja sama dan hukum-hukum yang tidak

tertulis. Namun, dalam jangka panjang, perubahan tidak

terelakkan. Musim berganti, penyakit merajalela, klan

menghasilkan anak keturunan, dan berkembang, terbagi,

dan lalu   memperebutkan padang rumput. Sepanjang

sejarah, daerah padang rumput menimbulkan perubahan -

nya sendiri, selain perubahan yang terjadi di sana oleh

warga   mapan yang berdiam di sekelilingnya.

Terapkan hal ini di seluruh wilayah dari mana suku

Hun berasal, padang rumput Pontic dan Kaspia. Ini

menjadi masalah yang perlahan-lahan dirasakan oleh

sekumpulan orang campuran dan generasi berikutnya.

Lalu, bayangkan kelompok kecil Hun ini, terasing dari

padang rumput yang sudah sejak beberapa tahun tidak

menyenangkan, atau dari ambisi wilayah tetangga yang

sudah lama dilupakan. Mereka pindah ke padang rumput

baru, tidak disambut dengan baik sebagai gipsi, dianggap

hina, disangka , dan diancam oleh para tetangga

baru yang curiga, tidak memiliki tanah leluhur dan kain

lembut, karpet, gelas minum eksotis, dan perhiasan yang

memudahkan dan memeriahkan kehidupan nomaden.

Abaikan keramahan yang bertindak sebagai pelindung

bagi para pengembara nomaden dan pengetahuan akan

padang rumput lokal yang membuat hati tenang. Dalam

situasi seperti ini, tidakkah Anda sangat menginginkan

apa yang tidak Anda punyai?

Suku Hun yaitu  pengungsi yang menginginkan basis

permukiman, sumber makanan tetap, identitas diri yang

diperbarui, dan rasa bangga akan diri mereka sendiri.

Inilah kekurangan yang hanya bisa dipuaskan dengan

tiga cara: menemukan wilayah yang belum dikuasai

(tidak ada kesempatan untuk itu); atau melakukan

beberapa rencana baru dengan kelompok-kelompok

yang sudah mapan (licik, dengan sedikit tawaran sebagai

balasan); atau dengan paksaan. Masa depan yang mereka

hadapi akan sangat berbeda daripada masa depan

penggembala nomaden, sebab  begitu mereka pindah,

tanpa padang rumput yang diklaim kepunyaan mereka,

berusaha memakai   kekerasan di wilayah-wilayah

lain dan memperjualbelikan rencana pada kelompok

lain, dengan paksaan atau hanya sebagai cara satu-

satunya untuk bekerja sama, mereka dikendalikan nafsu

yang tidak akan pernah tenang. sebab  sekarang, setiap

kilometer ke arah barat, mereka akan menemukan padang

rumput yang semakin berkurang jumlahnya sebab  dihuni

oleh kelompok warga   yang tinggal menetap. Tidak

bisa dielakkan, mereka akan bergantung pada milik

orang lain. Hal ini mungkin akan bisa didapat dengan

jual beli; namun   suku Hun kurang pandai dalam hal

duniawi dibandingkan dengan suku-suku lainnya. Hanya

sedikit yang bisa ditawarkan selain wol, felt, dan hewan

peliharaan, satu-satunya pilihan lain yang mereka punya

yaitu  mencuri. Mereka akan berubah dari penggembala

nomaden menjadi gerombolan pencuri, di mana kekerasan

akan menjadi cara hidup sebagaimana yang terjadi pada

para Viking pengembara.

Suku Hun berpindah ke barat, jauh dari padang-

padang rumput Kazakhstan dan dataran di utara Laut

Aral, para pengembara yang menghadapi satu pilihan

antara punah dan dilupakan atau terkenal dengan mendaki

puncak penaklukan. Penaklukan menuntut persatuan

dan tujuan, dan untuk itulah akhirnya kita sampai pada

elemen terakhir dalam kebangkitan mereka menuju

kemasyhuran dan kekayaan: kepemimpinan. Kepemimpin -

an lah yang menjadi kekurangan mereka sebelumnya;

kepemimpinan itulah yang pada akhirnya melepaskan

kekuatan yang mengendalikan suku Hun. Pada suatu

masa pada abad keempat, suku Hun mendapatkan nama

pemimpin mereka yang pertama, orang pertama yang

membawa dirinya dan pengikutnya menjadi perhatian

dunia luar. Namanya terdengar seperti Balamber atau

Balamur, dan tidak ada hal lain yang diketahui tentang

sosok itu kecuali namanya. Dialah yang menginspirasi

pengikutnya, memfokuskan kekuatan tempur mereka

untuk menyerang suku demi suku, masing-masing mereka

memiliki kekuatan dan kelemahan sendiri. Untuk pertama

kalinya, seorang pemimpin besar mengeluarkan

keterampilan taktis dan menegakkan tradisi kepemimpinan,

yang akhirnya akan memunculkan Attila.

PADA 350 suku Hun melintasi Volga. Beberapa kelompok

pemanah berkuda kasar dan jumlahnya sedikit membawa

kereta barang mereka dan melilit tiang kuda dan lembu

ke padang rumput pedesaan yang hanya menyisakan

sedikit perubahan hingga Anton Chekhov melihat kejadian

itu saat ia kanak-kanak pada 1870-an, satu pengalaman

yang ia gambarkan dalam salah satu karya besarnya

yang berjudul The Steppe. Pandangan yang terhampar di

hadapan orang-orang Hun, padang rumput seluas 800

kilometer yang membentang dari Volga hingga Crimea,

yang dicatat Chekhov cilik (dalam terjemahan Ronald

Hingley) sebelum pembajak menuntut wilayah itu. Ini

hari baru, seperti yang dilihat melalui pandangan pahlawan

muda Chekhov, Yegorushka:

Sekarang sebuah dataran—luas, tidak berbatas, dikelilingi

oleh barisan bukit—terhampar di hadapan para pengembara.

Berkerumun dan saling melirik dari balik bahu masing-masing,

perbukitan itu bergabung menjadi dataran tinggi yang meluas

hingga ke kaki langit yang ada di bagian kanan jalan, dan

menghilang di kejauhan dalam warna ungu. Saat kau bergerak

terus dan terus, kau tidak akan tahu di mana awal dan akhir

dataran ini. Pertama, jauh di ujung sana langit menyentuh

bumi—di dekat beberapa gundukan makam kuno dan sebuah

kincir angin yang dari kejauhan menyerupai seorang laki-laki

yang sedang melambaikan tangannya—di daratan sana satu

kelompok dalam jumlah besar berwarna kuning bergerak

perlahan… hingga tiba-tiba seluruh padang rumput luas itu

meloloskan diri dari bayangan gerhana fajar, tersenyum dan

berkilau oleh embun… Burung-burung laut Arktik menukik

di atas jalan dengan pekikan bahagia, tikus-tikus tanah

memanggil kawanannya satu sama lain di rerumputan, dan

dari suatu tempat di bagian kiri muncul… Belalang, berbagai

jenis jangkrik memperdengarkan decitan monoton mereka di

rerumputan.

Namun waktu berlalu, embun menguap, hawa semakin

meningkat dan padang rumput yang mengecewakan me -

nyuguhkan pemandangan hijau bulan Juli. Rumput terkulai

lemas, kehidupan kehabisan segalanya. Perbukitan yang

terbakar sinar matahari, berwarna cokelat-hijau dan—dari

kejauhan—lembayung muda, dengan bayangan warna-warna

pastel yang menenteramkan, padang rumput, cakrawala yang

berembun, langit melengkung di atas dan terlihat begitu

dalam dan transparan di padang rumput ini, di mana tidak

ada pepohonan atau bukit-bukit tinggi—sekarang semuanya

tampak tidak memiliki batas dan kaku dengan kesengsaraan.

Pada pertengahan abad keempat, padang rumput ini

didominasi oleh orang-orang Sarmatia, persekutuan tidak

terbatas dari orang-orang Iran yang mengambil alih

wilayah ini dari bangsa Scythia lebih dari 500 tahun

yang lalu. Banyak yang diketahui tentang Sarmatia,

sebab  beberapa warisan seni mereka ditemukan di

bagian barat Siberia dan diserahkan kepada Peter Agung

dari Rusia. Mereka senang membuat karya seni porselen

berwarna pada logam bergambar binatang yang sedang

berkelahi—binatang khayalan atau harimau melawan

kuda atau sapi yak: satu gaya yang menyebar ke wilayah

barat pada suku Goth dan suku-suku Jerman. Sarmatia

memiliki spesialisasi bertempur memakai   tombak,

para prajurit mereka dilindungi dengan tutup kepala

berbentuk kerucut dan balutan jubah; tidak sebanding

dengan kekuatan tornado suku Hun.

Alan yaitu  salah satu grup Sarmatia, sebuah sub-

persekutuan yang dikenal sebagai As bagi orang Persia.

(Dari nama merekalah nama “Aryan” didapat, l menjadi

r dalam sebagian bahasa Iran; jadi suku yang sangat

dikagumi oleh Hitler ternyata sama sekali bukan suku

Jerman.) Sekarang kita memasuki sebuah wilayah dan

satu suku yang lalu   dikenal orang-orang Romawi.

Seneca, Lucan, dan Martial menyebut kehadiran mereka

pada awal Masehi [SM]. Martial, master bahasa epigram,

menyatakan tentang Caelia dan berbagai macam perilaku

seksualnya dengan bertanya, bagaimana mungkin seorang

gadis Romawi bisa menyerahkan dirinya kepada orang-

orang Parthia, Jerman, Dacia, Cilicia, Cappadocia, Pharia,

India dari Laut Merah, orang-orang Yahudi yang disunat,

dan “Alan dengan kuda Sarmatia-nya”, namun   tidak bisa

“menemukan kepuasan dari ras Romawi”. Orang-orang

Alan menyerang bagian selatan memasuki Cappadocia

(sekarang di timur laut Turki), di mana sejarawan Yunani

dan jenderal Arria yang melawan mereka pada abad

kedua menyatakan bahwa taktik pasukan kavaleri Alan

yaitu  pura-pura mundur (taktik yang lalu  

disempurnakan oleh para pemanah suku Hun). Ammianus

mengatakan mereka yaitu  para penggembala sapi yang

hidup nomaden di kereta barang beratapkan kulit kayu

dan memuja pedang yang melekat di tanah, sebuah

keyakinan yang kelak dianut oleh Attila sendiri. Mereka

yaitu  penyerang luar biasa dengan menunggang kuda

mereka yang tangguh. Orang Alan, lebih menyerupai

orang Eropa daripada Asia, dengan janggut penuh dan

mata biru, merupakan para pencinta perang, ahli meng -

gunakan pedang dan laso, mengeluarkan teriakan-teriakan

menakutkan dalam pertempuran, mencerca orang-orang

tua sebab  mereka tidak mati saat berjuang. Diceritakan

bahwa mereka menguliti para musuh dan menjadikannya

jerat kuda. Kebudayaan mereka begitu luas—makam

mereka ditemukan dalam jumlah ratusan di bagian utara

Rusia, sebagian besarnya memperingati prajurit perempuan

(oleh sebab  itu, mungkin, begitulah legenda-legenda

Yunani dari Amazon). Kebudayaan mereka juga fleksibel,

mudah berasimilasi dan bersedia untuk diasimilasi.

Bahkan, mungkin kemampuan beradaptasi yaitu  masalah

utama mereka pada pertengahan abad keempat: sebab 

mereka kurang bersatu untuk menghadapi pemanah

berkuda suku Hun. 

Suku Hun membuat klan mereka kocar-kacir satu

demi satu. Suku Alan yang tak lama lalu   menjadi

ledakan kelompok-kelompok kecil biasanya pergi dengan

memakai   nama Jerman mereka, Völkerwanderung,

Migrasi Suku. namun  , sementara menjadi penerima yang

baik, mereka juga memiliki bakat mempertahankan

identitas mereka sendiri. Dalam campuran para

pengembara, kaum Alan seperti kerikil halus, bercampur

dalam jumlah besar, namun   selalu tampak kasar. Dalam

dua generasi, klan-klan yang berbeda akan menjadi

tenaga-tenaga yang berguna bagi suku Hun dan juga

sekutu Romawi. Rekan mereka lainnya di Kaukasus

akan berubah menjadi orang-orang Ossetia di selatan

Rusia dan Georgia: dua suku kata pertama dari nama ini

mengingatkan panggilan mereka dalam bahasa Persia,

As, dengan gaya jamak Mongolia -ut (sehingga nama

daerah kantung kecil Rusia sekarang ini dikenal sebagai

Ossetia Utara—Alania menekankan asal-usul mereka

dua kali lipat). Pada masa akhir ke kaisaran lainnya,

mereka akan bergabung dengan suku Goth dalam

perjalanan menuju Spanyol—sebagian mengambil nama

Catalonia dari kombinasi Goth dan Alan—dan suku

Vandal, yang mengalahkan mereka dalam arus migrasi

ke Afrika Utara sekitar tahun 420. Kita nantinya akan

mendengarkan lagi keterangan tentang suku Alan dalam

kisah ini.

Di sepanjang Sungai Dnieper, hidup suku Ostrogoth.

Mereka menetap menjadi penduduk dengan mata

pencarian bertani, namun   pimpinan mereka yang patut

dimuliakan, Ermanaric,4 menjadi panutan bagi seorang

pimpinan Hun yang bercita-cita tinggi. Ia merupakan

sosok sentral dalam pengembaraan dari Laut Hitam ke

Laut Baltik, sebab  ia memerintah secara langsung,

hingga pada jaringan pengikutnya yang pernah kalah,

sekutu, pembayar upeti, dan rekan dagang. Menurut

sebuah cerita, Balamber melakukan aksinya sebab 

Ermanaric tidak bersikap seperti biasanya. Salah satu

pengikutnya menjadi pengkhianat dan melarikan diri,

meninggalkan istrinya yang malang, Sunilda, yang

lalu   menderita merasakan balas dendam Ermanaric.

Tubuh dan kaki Sunilda diikat pada dua ekor kuda, yang

lalu   saat dilecut akan berlari kencang ke arah

berlawanan, membuat tubuh perempuan malang itu

terbagi dua. Kedua abangnya berusaha membunuh raja

yang sudah tua itu, namun   hanya bisa melukainya, yang

lalu  , menurut Jordanes, “lemah sebab  dipukuli,

tubuh Ermanaric menjadi lemah”. Balamber, dengan

pasukan kavaleri Hun dan Alan, menghancurkan pasukan

Ermanaric persis di bagian utara Laut Hitam sekitar

tahun 376. Persekutuan terbuka dari suku-suku ini

hancur seperti ledakan balon: suku Ostrogoth kuno me -

lakukan aksi bunuh diri; dan Balamber menikahi se -

orang putri Goth untuk menutupi pengambilalihan itu.

Di Sungai Dniester, suku Visigoth dari kawasan yang

sekarang Rumania berada pada urutan berikutnya, yang

akan ditemukan oleh Valens. Mereka sudah menjadi

kaum yang angkuh dan rumit, sekarang tinggal di kota-

kota, dengan hukum dan peraturan terhormat yang

diputuskan oleh raja mereka, yang mereka sebut sebagai

hakim. Saat seorang utusan Romawi menyebut pemimpin

4 Nama Ermanaric mungkin berasal dari Hermann‐Rex, Raja Hermann, bahasa Goth

mengadopsi kata Latin dan mengubahnya menjadi reiks, yang, saat dituliskan,

menjadi ric. Ini merupakan akhiran umum untuk nama‐nama bangsawan Goth.


Visigoth sebagai “raja”, ia menolak: seorang raja memimpin

dengan kekuasaan, ujarnya, namun   seorang hakim me -

mimpin dengan kebijaksanaan. Romawi yang sudah

menyerah dengan gagasan tentang pemerintahan langsung,

memperlakukan orang Visigoth sebagai rekan dagang,

menghargai persediaan budak, padi-padian, pakaian,

anggur, dan koin. Sebagian dari mereka menganut ajaran

Kristen. Satu generasi sebelum suku Hun sampai, seorang

uskup Yunani yang bernama Ulfilas, telah me nemukan

alfabet untuk suku Goth dan menerjemahkan Injil.

Namun ajaran Kristen tidak pernah memikat sang

“hakim” dan kaum bangsawan lainnya, yang begitu kuat

mempertahankan keyakinan mereka sendiri—identitas

diri mereka sendiri—di hadapan penjajahan budaya baru

yang mengalir dari Konstantinopel. Setelah Valens

mengetahui kemerdekaan suku Visigoth dari kekuasaan

Athanaric pada 369, tampaknya akan menguntungkan

keduanya: persetujuan mereka menetapkan hubungan

dagang bersama, saling menghargai, kota penyangga

bagi Romawi melawan kelompok barbar dari Asia Dalam,

kemerdekaan bagi Athanaric untuk melakukan hal yang

ia inginkan tanpa khawatir akan adanya intervensi

kekuatan besar. Yang ia inginkan yaitu  mengakhiri ke -

beradaan Kristen. Hal ini berhasil ia capai dengan meng -

adakan satu ritual menakutkan untuk memaksakan

kembali kepercayaan kuno Goth, yang (seperti yang

secara tidak langsung dinyatakan oleh sejarawan Tacitus)

berpusat pada ibu dewi bumi, Nerthus. Para pejabat

Athanaric membawa patung kayu dewi ini  ke tenda-

tenda penduduk yang baru menganut Kristen dan

memerintahkan untuk meninggalkan keyakinan mereka

dengan memuja patung ini , dengan kematian sebagai

hukuman akhir. Sebagian besar dari mereka tampaknya

memilih untuk tetap hidup, kecuali seorang fanatik ber -

nama Saba, yang memilih menjadi martir. Saat ia

dinyatakan sebagai orang bodoh dan dicampakkan dari

desanya, Saba mengejek rekan-rekan satu sukunya hingga

mereka membuangnya ke sungai dan menenggelamkannya

dengan menekan tubuhnya memakai   sebilah kayu.

Saba menjadi, sebagaimana yang ia harapkan, santo

pertama dari suku Goth.

lalu  , keberadaan Romawi dan ajaran Kristen

bisa ditangkal; namun   tidak begitu halnya dengan suku

Hun yang semakin maju. Athanaric berusaha membuat

barisan pertahanan di sepanjang Sungai Dniester, namun  

bisa dengan mudah dilewati saat orang-orang Hun meng -

abaikan pasukan Goth, menyeberangi sungai itu pada

malam hari dan secara mendadak menyerang mereka

dari belakang. Setelah bergegas mundur ke sepanjang

wilayah yang sekarang yaitu  Moldova, pasukan Goth

mulai membuat benteng di sepanjang perbatasan Moldova,

Sungai Prut. Pada saat inilah semangat pasukan Goth

hancur, membuat mereka bergerak menyeberangi Sungai

Danube menuju Thrace dan memulai serangkaian serangan

yang memicu perang di Adrianopolis.

Di belakang mereka, bergerak maju dari dataran

rendah Ukraina, muncullah nenek-moyang Attila, bergerak

75 kilometer melintasi wilayah Cartpathia, mengitari

jalan menanjak di sepanjang jalan yang sekarang mengarah

dari Kolomyya melalui Taman Nasional Carpathia. Ini

merupakan rute yang biasa digunakan para penyerbu,

yang kembali digunakan hampir 1.000 tahun lalu  

oleh bangsa Mongolia. Dengan mudah Anda mendaki

Celah Yablunytsia (bagus untuk ski pada musim dingin,

dan bagus sebagai areal jalan kaki menyusuri hutan

pinus pada musim kemarau) sejauh 931 kilometer (3.072


kaki), lalu   masuk ke perbatasan Rumania, dan

meninggalkan dataran tinggi Transylvania di sebelah

kiri, mengikuti jalan sempit yang berliku-liku sepanjang

Sungai Theiss hingga padang rumput Hongaria.

Di sini, iring-iringan kereta kuda dan gembala menyebar

di seluruh lembah sungai Carpathia, pola hidup pedusunan

kuno dan kemampuan tempur kembali menjadi keahlian

mereka.

KEMBALINYA

SI PEMANAH BERKUDA

“KEJAM, BURUK RUPA, DAN TIDAK BERAKAL”: INILAH UCAPAN

Ammianus, yang menulis dari dalam kekaisaran Romawi,

lambang peradaban menurut pandangannya sendiri dan

para pembacanya. Tidak heran ia berprasangka; ia

menggambarkan Attila sebagai musuh paling efektif yang

pernah ada yang menyerang kekaisaran. Kita, dengan

keistimewaan bisa meninjau kejadian yang sudah berlalu

dan jaminan keamanan, harus menyampingkan prasangka,

menunjukkan penghargaan, dan mencari tahu untuk

memahami mengapa orang-orang Attila memiliki pengaruh

seperti itu.

Kekuatan mereka terletak pada empat elemen:

• Sebuah keterampilan kuno, memanah di atas kuda;

• Senjata kuno versi baru, busur berlekuk;

• Teknik taktis baru;

• Kepemimpinan.

p

Sosok manusianya sendiri menjadi pembahasan pada

bab-bab berikutnya. Sekarang yang menjadi ketertarikan

kita yaitu  hal di luar itu: keterampilan dan ambisi

penggembala nomaden berkuda yang bersenjatakan

busur. Memanah di atas kuda yaitu  teknik militer yang

bisa membuat mereka merebut wilayah berbudaya di

seluruh Eurasia selama 2.000 tahun, hingga senapan

melenyapkan keberadaan pemanah berkuda dari sejarah

seperti halnya melenyapkan samurai Jepang dan orang-

orang bersenjatakan tombak di Swiss. Dalam waktu

yang sangat singkat, keterampilan yang menjadi ciri

prajurit nomaden dari Manchuria hingga padang rumput

Rusia sudah tidak lagi digunakan dan hampir terlupakan,

hanya diingat oleh mereka yang menjadi sasaran panahnya

dan dalam ingatan para ahli strategi yang hanya duduk

di belakang meja. Para pemanah berkuda sendiri tidak

meninggalkan artikel   pedoman. Setelah mereka lenyap,

tidak seorang pun punya petunjuk bagaimana sebenarnya

memanah sambil berkuda—bagaimana memasang anak

panah pada tempatnya, dan lalu   menembakkannya,

dari waktu ke waktu, saat menunggang kuda, sekaligus

bagaimana seseorang melakukannya di tengah-tengah

formasi pasukan. Tidak seorang pun mencobanya.

Hingga sekarang. Memanah sambil berkuda kembali

muncul, membawa satu pemahaman baru bagaimana

para pejuang ini mendapatkan keunggulan mereka—

dan banyak hal lain yang dibutuhkan selain keterampilan.

Hampir semua penggembala nomaden Eurasia yaitu 

penunggang kuda dan pemanah ahli, dan tidak satu pun

menandingi suku Hun dalam kemampuan mereka yang

bersifat merusak. Dan kepemimpinan mereka pun tidak

cukup memberikan informasi untuk menjelaskan

kesuksesan suku Hun. Attila memiliki tambahan lain


untuk menyokong kemenangannya, sesuatu yang istimewa

bagi suku Hun. Hanya dengan menghidupkan kembali

keahlian memanah sambil berkuda itulah yang akan

memungkinkan kita untuk mengungkap apa elemen

istimewa ini .

KEBANGKITAN kembali keterampilan kuno ini sepenuhnya

berkaitan dengan satu orang: Lajos Kassai, yang, menurut

dugaanku, yaitu  seorang pemanah berkuda pertama di

Eropa sejak keberadaan bangsa Mongolia pada 1242.

Bangsa Mongolia pergi dari Hongaria; di daerah itulah

basis Attila; jadi cocok jika mengatakan bahwa Kassai

yaitu  orang Hongaria—dan khususnya cocok sebab 

kediamannya berjarak beberapa hari berkuda dari

perbatasan luar Mongolia dan dari pusat pemerintahan

Attila pada abad kelima. Yang lalu   dibahas yaitu 

hasil karyanya: seperti yang Anda baca, menjajaki

keterkaitan keterampilan yang rumit, kekuatan, dedikasi,

dan keyakinan pada diri sendiri. Hal itulah yang dihadirkan

pemanah berkuda sekarang, dan pernah dihadirkan oleh

suku Hun terdahulu. Kassai berkelakar bahwa dirinya

yaitu  reinkarnasi Attila—”Aku merasa dilahirkan kembali

pada abad kedua puluh oleh kesalahan administrasi”—

namun   hal itu tidak sepenuhnya candaan, jika hal itu

yang dipikirkan Attila muda, bukannya Raja Attila.

Aku mengetahui tentang Kassai sebab  siapa saja

yang mengetahui tentang suku Hun dan seni memanah

sambil berkuda, menyebutkan namanya. Jika aku berada

di dunia kuda dan busur, aku akan mendengar tentang

dirinya di Colorado dan Berlin. Dan seperti saat itu, aku

pertama kali mendengar namanya dari pekerja museum

di Wina dan di sebuah kota di Hongaria utara yang

bernama Györ, dan kembali mendengarnya dari seorang

pencinta kuda Andalusia di Hongaria utara yang

mengetahui bahwa Kassai segera akan mendemonstrasikan

kepiawaiannya di sebuah festival olahraga di Budapest.

Kassai Lajos—jika Anda meletakkan nama keluarga di

depan, dalam gaya bahasa Hongaria dieja menjadi Cosh-

eye Lah-yosh: irama dan bunyi sh yang halus menjadikan

nama itu seolah sebuah puisi. Saat ini aku terobsesi

dengannya.

Aku dan Andrea Szegedi, penerjemahku, menemuinya

di sebuah pameran di Margareth Island di Sungai Danube.

Ia mengenakan kostum jubah sederhana, ala orang

nomaden, seorang Hun telah dilahirkan, dengan tiga

orang asisten yang menjual busur buatannya. Bisakah

kita bicara? Ia mengangguk, hanya itu, bahkan ia tidak

tersenyum. Di sebuah tenda minum, ia memandangku

lekat, mata biru dengan tatapan tegas dengan wajah

tanpa ekspresi. Aku ragu terhadap diriku sendiri, tidak

tahu apa pun tentang seni memanah sambil berkuda ini,

atau berapa lama kami akan berbincang, atau apakah

kami bisa bertemu dengannya lagi nanti. Ia mungkin

sudah berusaha menenangkanku dengan beberapa ucapan

halus. Perasaanku tidak berubah. Aku merasa tidak

nyaman—dan semakin tidak nyaman sehingga aku

berusaha merespons. 

Misalnya, dari mana ketertarikannya akan keterampilan

memanah sambil berkuda ini muncul?

“Dari dalam diriku,” jawabnya dengan bahasa Inggris

yang terputus-putus, memandangku dengan tatapan

sengit. “Apa maksudmu?”

“Tidak, aku hanya ingin tahu, kenapa bisa tertarik?”

Ia mengalihkan pandangannya kepada Andi, dan tiba-


tiba lanjut berbicara memakai   bahasa Hongaria.

“Dari dalam hatiku. Aku harus melakukannya. Itu saja.”

“Maksudku, apakah ada orang lain yang tertarik

akan hal ini?”

“Mereka yang mempelajari hal ini berasal dari mana

saja, dari AS, Kanada.”

“Mengapa mereka menyukainya?”

“Jika aku tidak bisa mengatakan kepadamu mengapa

aku melakukan hal ini, maka aku juga tidak bisa

mengatakan kepadamu mengapa mereka menyukai hal

ini.”

Aku mengerti mengapa ia tidak sabaran menghadapiku.

Aku yaitu  orang luar, dan pertanyaan yang kuajukan

yaitu  pertanyaan bodoh, lagi pula dia sedang

berkonsentrasi penuh, bukan kepadaku, namun   pada apa

yang akan ia lakukan, dan pada tuntutan emosi dan fisik

yang luar biasa. Rasanya seperti mendekati seorang

pemain tenis terkenal tepat sebelum pertandingan final

Wimbledon dan mengharapkan jawaban mendalam

tentang inti permainan tenis. Di samping itu, banyak hal

lain yang terjadi, di mana aku terlalu sibuk dengan

kamera dan alat perekam. Andi seorang mahasiswa

kedokteran: rambutnya berpotongan pendek, bisa

menunggang kuda, tinggi, luwes dalam bertutur kata,

dan secara menyeluruh, ia sangat profesional—setidaknya

begitulah anggapanku, hingga ia lalu   berkata

tentang kesan yang diberikan Kassai Lajos.

“Ya, dia tampak menakutkan. Tapi suasana hatinya

bisa berubah dalam sesaat. Senyumnya manis. Lalu dia

juga sangat lucu. Lajos berseru. Artinya seperti “bagus

sekali,” dalam bahasa kita. Lalu, kadang cara dia menatap

…” Andi membawa mobil yang membawa kami ke

sebuah jalan setapak, lurus melewati puszta, namun  

pikirannya tertinggal di padang rumput. “Kami punya

satu ungkapan, bahwa saat seseorang memandangmu

seperti tadi orang itu bisa melihat tulangmu. Begitulah

rasanya. Dia bisa melihat tulangku. Kassai hanya

menatapku dan menanyakan satu pertanyaan yang sangat

sederhana, dan aku harus berpikir keras menjawabnya,

sebab  ia memandang tepat ke dalam mataku, dan laki-

laki itu luar biasa.” Andi menghentikan ucapannya

sejenak. “Memang. Jujur, dia memang luar biasa.”

Jelas, perhatianku lebih banyak tertuju kepada Kassai

dibandingkan berbagai jawabannya yang aku dapatkan

selama wawancara itu. Aku memerlukan satu pertemuan

lagi di kediamannya, berbincang lebih lama, dan penelitian

lebih saksama agar bisa memahami. Seni memanah

sambil berkuda yaitu  mata pencahariannya. Untuk

menjelaskan hal itu kepadaku akan makan waktu

berminggu-minggu. Untungnya, ia sudah membuat kisah

hidupnya dalam sebuah artikel   berjudul Horseback Archery.

Namun artikel   itu hanya menceritakan sebagian kisahnya.

Sebagian lainnya muncul dalam bentuk aksi, dalam

meng ajar, dalam komitmen yang orang lain berikan

kepada nya. Tidak ada pemahaman nyata akan sosok

Kassai kecuali dalam tindakan, pemahaman lainnya bisa

menjadi nyata jika Anda menjadi seorang pemanah

berkuda sungguhan. 

Kassai yaitu  seorang laki-laki yang secara sempurna

cocok dengan takdir yang ia rasakan. Dan lalu  

mengalirlah keyakinan diri sekeras baja, identitas, dan

tujuan hidupnya yang sangat kuat. Hal ini sulit didapatkan

dalam dunia yang menurutnya dihantui oleh perubahan,

perkembangan, kesenangan baru, dan ambisi yang, begitu

diwujudkan, harus digantikan dengan ambisi lain. Kassai,

p


seperti seorang rahib, ia mendengar panggilan hatinya,

mengikutinya, dan sampai pada tujuannya. Namun, tidak

seperti rahib, Kassai tidak menemukan cara dan tujuannya

melalui pengajaran, atau suatu organisasi, atau seorang

Guru. Semua yaitu  dirinya. Dan keduanya menjadi

satu kombinasi karya fisik dan mental yang luar biasa.

Ada sosok pejuang Zen dalam dirinya, pejuang yang

mencapai keseimbangan diri untuk mengasah keterampilan

tempurnya—kecuali bahwa ia harus menjadi Guru bagi

dirinya sendiri, dan menjadikan keyakinan itu sebagai

agamanya sendiri. Dan Kassai memerlukan   waktu 20

tahun untuk melakukannya.

Aku bertanya lagi: Mengapa? Ia berkata dirinya tidak

punya pilihan lain dalam hal ini, seolah memanah sambil

berkuda ini sudah menjadi bawaan lahirnya. Tentu saja,

tidak bisa seperti itu, sebab  keahlian memanah tidak

bisa menjadi bawaan lahir. Bagi orang-orang nomaden,

hal ini tidak muncul secara alami namun   dalam pengajaran,

dalam keahlian yang ditanamkan pada masa kanak-

kanak dan disempurnakan selama puluhan tahun. Kassai

tidak memiliki kesempatan itu. Ia tumbuh dalam sebuah

dunia yang manusianya yaitu  petani dan penduduk

kota serta pekerja pabrik. Mungkin, waktu kecil ia men -

dapatkan pengajaran semacam itu, semacam kebutuh an

yang tidak disadarinya sebab  harus menyelamatkan diri

dari tekanan perlawanan revolusi yang didukung Soviet,

rasa muak akan komunisme. 

Pelarian ini merasuki imajinasinya, yang pada masa

kecilnya dicetuskan oleh sebuah novel tentang suku Hun

yang berjudul The Invisible Man, karya Géza Gárdonyi.

Novel yang menceritakan tentang seorang budak Thracian,

Zeta, yang mengembara ke istana Attila bersama pejabat

sipil Yunani, Priscus (sosok tak kasatmata itu sendiri,

yang memoar perjalanannya yang dilakukan pada 449,

menjadi pembahasan kita pada bab berikutnya). Zeta

mengalami banyak petualangan, jatuh cinta dengan

seorang gadis Hun yang tingkahnya tidak keruan, menolak

gadis lain yang mencintainya, lalu mengalami beberapa

kampanye dengan Attila, bertempur dalam perang besar

di Dataran Catalaunia, menyaksikan pemakaman Attila,

dan akhirnya menyelamatkan diri dengan seorang gadis

yang menurutnya yaitu  cinta sejatinya. Semua kisah ini

agaknya terlalu berlebihan, dengan banyak tanda seru

besar, namun   kisahnya yang bagus, singkat, dan jelas

cukup baik bagi anak-anak, dan benar-benar terkenal di

Hongaria. Novel ini terus dicetak ulang semenjak di -

publikasikan pada 1902, mencerminkan dan memperkuat

popularitas Attila dan memperluas kepercayaan bahwa

suku Hun yaitu  nenek-moyang orang Hongaria yang

sebenarnya, tidak penting bahwa semua orang tahu

benar bahwa nenek-moyang mereka yang sebenarnya

datang sebagai bangsa Magyar lebih dari 400 tahun

lalu  .

Silakan baca terjemahan bahasa Inggris-nya, yang

sayangnya berganti judul menjadi Slave of the Huns,

menggambarkan dengan istilah mengerikan dan berlebih-

lebihan tentang gerombolan Attila sewaktu menyiapkan

keberangkatan mereka ke wilayah barat:

Para pemuda berlatih di lapangan-lapangan dalam kelompok-

kelompok sangat besar. Bunyi terompet terdengar sebagai

pertanda. Bunyi panjang berarti mundur. Dua bunyi pendek

keras berarti kuda akan berlari dengan kecepatan sedang dan

menembak. Aku tidak bisa menguasai gerakan ini. Orang-

orang Hun sudah berlatih sejak masih kanak-kanak; ketika

kuda melaju sangat cepat sehingga mereka tampak seperti

berenang di udara, penunggangnya akan memutar badan,

tengkurap dan menembakkan anak-anak panah jauh di

belakang. Sebagian lagi bahkan menembakkan anak panah

dengan posisi telentang.

SELAMA BERMINGGU-MINGGU, kelompok ini terus

berdatangan, suku Alan dengan tombak mereka, suku

Nubade dalam balutan baju kulit serigala, suku Blemmy

yang berjenggot, suku Gelon yang bertato dan

memakai   senjata sabit besar, dan suara bising kereta-

kereta kuda suku Bastarnes, suku Akatiri dengan busur

yang tingginya satu setengah kali tubuh mereka, suku

Skirian yang bertubuh kurus dan bertulang panjang, dan

suku Heruls, Kvad, Ostrogoth, dan suku-suku lainnya

dijabarkan pada halaman-halaman berikutnya, 

Sepuluh ribu di sini, dua puluh ribu di sana, suku Jazyge saja

berjumlah lima puluh ribu orang, delapan puluh ribu suku

Gepid, enam puluh ribu suku Goth. Kami menghitungnya

selama berminggu-minggu, hanya dengan mendengarkan

perkataan para pemimpin, berapa jumlah mereka. Saat kami

melintasi setengah juta tanda, kami menyerah. Hingga saat

ini, aku tidak tahu berapa banyak orang yang berkumpul…

pastinya lebih dari satu juta kuda dan beribu-ribu kereta kuda

di sana. 

Hal rumit bagi seorang anak laki-laki yang menggemari

aksi dan kebebasan, terbawa hanyut oleh hal yang

dilebih-lebihkan seorang penulis. “Ya, suku Hun yaitu 

nenek-moyang kami, para pemanah berkuda terbaik di

dunia,” ujar Kassai. “Aku membayangkan kuda berpacu

dengan liar, dengan mulut berbuih, serta busur mengacung.

Sensasi luar biasa! Aku ingin seperti mereka, pejuang

mengerikan dan tak kenal takut.”

Langkah pertama yaitu  menjadi seorang pemanah.

Saat kanak-kanak dan berlanjut ketika dewasa, hidup di

dekat wilayah Kaposvár, 40 kilometer dari selatan Danau

Balaton, Kassai sudah membuat puluhan busur,

mengumpulkan informasi dan pengalaman. Ia mencoba

jenis kayu berbeda sebab  alasan kekuatan dan ke -

cepatannya, cara terbaik melapisi urat daging (di bagian

belakang busur, untuk menahan regangan) dan tanduk

(pada bagian tengah, untuk menahan tekanan), pada

anak panah untuk berat dan kekakuannya, dan pada

kepala anak panah untuk penetrasinya. Kassai menjadi

seorang pemanah yang baik, juga menambah kemampuan -

nya menembak dengan cepat.1 Keahlian ini saja sudah

cukup menantang. Otot dan urat lengan bawah serta

bahu harus sangat keras seperti besi. Ketiga jari yang

digunakan untuk menembak harus terbiasa dengan luka

lecet akibat tali busur, sebab  dalam pertempuran sengit,

pemanah berkuda tidak bisa memakai   kulit pelindung

jari seperti yang digunakan pemanah modern atau cincin

yang dipakai pada ibu jari yang lalu   digunakan

oleh para pemanah dari Turki. Jika Anda dilatih semenjak

kecil, maka jari-jarimu menyesuaikan diri dengan menjadi

mati rasa, namun   Kassai tidak diajar dari kecil; maka ia

melilit jarinya dengan plester.

Namun semua ini baru untuk keahlian memanah,

belum untuk menunggang kuda. Setelah mencoba beberapa

1 Mempersiapkan sebuah tradisi semenjak didapat secara ekstrem oleh salah satu

teman Kassai, Celestino Poletti yang berdarah Italia, yang memakai   salah satu

busur Kassai, memegang rekor dunia menembakkan anak panah sebanyak‐banyaknya

selama 24 jam. Ini pasti salah satu pencapaian manusia yang paling gila. Ia berdiri

menembakkan satu anak panah setiap 5 detik, 11 anak panah dalam satu menit,

700 anak panah dalam satu jam, seiring waktu berjalan ia telah menembakkan

17.000 anak panah.


latihan formal berkuda, Kassai menyadari bahwa tidak

ada seorang pun yang bisa mengajarinya menunggang

kuda seperti orang-orang nomaden. Praktisnya satu-

satunya tempat di mana ia bisa mempelajari keahlian itu

saat ini yaitu  Mongolia, di mana anak-anak berumur

tiga tahun diikatkan pada kuda hingga keduanya menyatu.

Sudah terlambat, dan Mongolia terlalu jauh bagi Kassai;

ia sudah dewasa dan akan mengajari dirinya sendiri.

Inilah yang ia lakukan pada usai dua puluh tahunan

dengan bantuan kuda bersemangat yang bernama Prankish,

yang membaptisnya dengan api, menyemangatinya

berpacu di bawah dahan-dahan rendah, menyeretnya

dengan sanggurdi, dan terjerembab dalam kubangan

lumpur. “Satu-satunya kesempatan aku merasakan daerah

pedesaan yaitu  saat kepalaku terbenam di dalamnya.”

Suatu hari, ia memacu kudanya dengan kencang dan

berhenti di lereng bukit yang terjal. Prankish menghentikan

langkahnya. Dalam keheningan yang tidak disangka-

sangka, Kassai memandang sekeliling. Ia berada di sebuah

lembah buntu, yang lerengnya begitu terjal dan dekat,

hingga sepertinya ia bisa menjangkaunya saat mengulurkan

tangan. Rasanya ia menemukan tempatnya di dunia ini,

sebuah tempat di mana, dalam kata-kata yang emotif

bahkan dalam terjemahannya, “menerima kesunyian

yang ramah dari pengasingan diri yang sengaja ia lakukan,

aku bisa mengasingkan diri dari dunia yang bising dan

mengembangkan seni memanah berkuda menuju

kesempurnaan.”

namun  , itu bukanlah sebuah tempat untuk hidup atau

berkuda, sebab  daerah itu merupakan hutan yang sangat

lebat, bagian-bagian terbukanya penuh dengan rumput

liar, daerah yang paling rendah yaitu  wilayah berlumpur

yang kotor dan ditumbuhi alang-alang. Ini merupakan

wilayah pertanian negara, namun   tidak ber manfaat sebagai

tanah pertanian; jadi Kassai menyewa lahan ini seluas

15 hektar dan bermaksud menyesuaikannya untuk

memanah berkuda.

Dan ini merupakan proses panjang dan berlangsung

lambat. Lembah seperti itu, di mana alam yang

mengaturnya, menginginkan penghargaan pantas dalam

hubungannya sebagai satu kesatuan lahir yang berkuasa.

Seorang manusia mungkin saja bisa bersahabat dalam

waktu singkat dengan kehadirannya di dunia, namun   ia

harusnya tidak menimbulkan kerusakan permanen. Ia

harus mengikuti angin, air, tumbuhan, juga gerakan

hewan dan manusia. Bagaimana angin berembus di

sekitar garis tinggi permukaan bukit? Ke arah mana air

mengalir? Apa yang terjadi saat hujan lebat, atau musim

kering berkepanjangan? Di mana tempat pertama dan

terakhir salju meleleh? Ke arah mana kuda berjalan, dan

di mana mereka suka berbaring? Di mana mereka

merumput saat siang dan malam? Kapan manusia datang,

di lokasi mana mereka secara spontan berhenti lalu  

berbincang dan membuat api unggun? Di mana, khususnya,

mereka suka menembak? Butuh waktu empat tahun

bagi Kassai untuk menyerap semua ini, dan aroma

padang rumput saat musim berubah, merasakan setiap

puncak bukit dan setiap daerah rawa, dan memutuskan

bagaimana cara terbaik untuk merealisasikan impiannya.

Segala hal menyangkut keahlian yang kuno dan sudah

terlupakan ini harus digali lagi dari kepingan-kepingan

informasi. Lingkungan ini ia jadikan tempat latihan alam

seluas 90 meter, yang akan dipasangi sasaran. Kassai

membeli kuda kedua yang ia beli dari seorang pemburu

barang antik, sebab  kakinya pincang maka harganya

murah. Selama berbulan-bulan merawatnya dengan penuh

kasih sayang, Bella menjadi seekor kuda yang jinak,

berkulit licin dan sensitif. Bersama Bella, Kassai mengetahui

bagaimana membiasakan seekor kuda pada tali kekang,

sadel, dan perasaan aneh akan kehadiran seorang pemanah

berkuda. Bella belajar berlari datar di sepanjang lapangan,

lalu   menerima suara riuh ganjil dan sensasi tongkat,

pita, tas, bola yang berputar dan dilempar di atas kepala -

nya, hingga akhirnya ia siap dengan desingan busur,

anak panah, dan perasaan seorang penunggang yang

me lepaskan tembakan dari waktu ke waktu, tanpa

memberi tanda berbelok atau mengubah langkah kecuali

gerakan-gerakan kecil kaki dan perpindahan berat tubuh

ke depan dan ke belakang.

Pengalaman pertama seni memanah sambil berkuda

merupakan sebuah pengungkapan. Target Kassai yaitu 

sekarung jerami. Bahkan saat melintas tidak lebih 2 atau

3 meter dari sebelah kanannya sekalipun, ia hanya bisa

menembakkan satu anak panah setiap melintas, dan sulit

sekali mengenai tanda sasaran. Dalam keadaan tertentu,

Kassai menganggap hampir tidak mungkin melakukan

aksi paling terkenal pemanah berkuda, “tembakan Parthia”

dari atas bahu, yang berasal dari nama bangsa Parthia

dan lalu   diubah dalam bahasa Inggris menjadi

“tembakan pemisah”. Ia berlatih selama berminggu-

minggu, berkuda lima belas hingga dua puluh kali sehari.

Bella semakin lama semakin bertambah kuat; namun  

Kassai—sudah menjadi seorang pemanah ahli, yang men -

juarai beberapa kompetisi—tetap putus asa sebagaimana

biasanya. Tampaknya tidak ada cara untuk menguasai

kombinasi gerakan itu, gerakan maju dan melenting

serta langkah kudanya, lalu lompatan tubuhnya sendiri,

ayunan lengan dalam respons otomatis. Tampaknya

benar-benar tidak mungkin membidik dan menembak

sasaran dengan akurat, dan lalu   memasang anak

panah lagi.

Kassai hampir kehilangan harapan. Ada sesuatu yang

tidak ia miliki, sesuatu yang harus dipelajari Attila, setiap

pejuang Hun, dan setiap pemanah berkuda dahulu kala,

sejak mereka kecil hingga lalu   benar-benar menjadi

bagian dalam diri mereka sehingga tidak pernah disebutkan

kepada beberapa orang luar yang mencatat cara mereka

melakukannya. Kassai berhenti menunggang kuda, bukan

untuk melepaskan impiannya, namun   untuk mencari inti

dari keahlian yang ingin ia dapatkan, ke terampilan orang

barbar yang disembunyikan oleh per adaban yang

tersembunyi.

Kassai beralih ke dalam batin. Ia akan meninggalkan

upaya yang mendominasi seni memanah standar, fokus

rasional pada ketepatan, jalan yang mengarah pada

penyeimbang dan alat-alat pembidik untuk olahraga

kompetisi. Teknologi dan logika tidak memberikan hasil.

Ia justru beralih pada seni memanah Zen, yang meng -

andalkan keselarasan internal, meraih kesuksesan dengan

berusaha lebih sedikit. Semuanya bermula dari hati, hal

sama yang dilakukan saat seorang anak kecil belajar

mengayuh sepeda, atau “mengendurkan konsen trasi”

yang dengan cara ini seorang atlet pada pertandingan

besar—lempar lembing, lompat tinggi, lompat galah—

mencatat rekor yang tampaknya dilakukan tanpa kesulitan.

Kassai kembali pada hal mendasar: kuda dan pe -

nunggang nya. Ia menunggang kuda tanpa sadel. Ia ingin

merasakan tubuh, otot, keringat dan napas kudanya,

dan pada saat bersamaan melebur menjadi satu dengannya.

Rasa sakit menjadi kebiasaan. Ia terus merasakannya.

Selama berminggu-minggu air kencingnya berdarah

akibat benturan ini . Kassai belajar bahwa: rasa

sakit dan penderitaan tidaklah sama. Ini bukanlah

penderitaan, sebab  tidak ada yang membebankan hal

ini kepadanya, dan ia bebas merasakan lebih banyak

rasa sakit, dalam pengertian bahwa ia sedang melakukan

peningkatan. Luka sembuh dengan cepat, seperti yang

ia katakan, dan kami bisa melanjutkan langkah kami

untuk menghadapi rintangan selanjutnya, selalu menuju

pada daya tahan luar biasa. Ia telah memilih jalan ini

sebagaimana halnya seorang rahib yang memilih

mengenakan jubah biasa dan hukum cambuk, dan semua

ini membuat dirinya dipenuhi perasaan bahagia yang

begitu dahsyat, mendekati pembebasan. Apakah ini

terlalu obsesif, sedikit gila, mungkin? Memang benar,

dan Kassai menyambut kegilaan ini dengan senang hati.

sebab  dari kegilaan ini muncul kesadaran yang

sudah diperbarui, dan keberhasilan. Ia belajar memisahkan

tubuh bagian atas dan bawah. Ia membayangkan jalur

lintasan dibuat melewati udara dengan lengan kirinya

yang terentang, sehingga dengan tangan kiri terulur

menggenggam segelas air, ia bisa menjaga tangannya

tetap tenang sementara menunggangi kuda yang berderap

tanpa sadel. Kassai lalu membeli lebih banyak kuda, dan

berlatih dengan semua kuda itu. Ia mencoba kondisi

paling buruk—tanah hujan, berlumpur, bersalju. Khususnya

ia melatih keahlian “Parthia”, “memisah”, tembakan

dari atas bahu, menjaga pinggang menghadap ke depan

sementara tubuhnya berputar 180 derajat. Ia akan

mengubah dirinya menjadi sosok sentaurus atau manusia

bertubuh setengah kuda yang dijadikan orang Yunani

sebagai simbol pemanah berkuda bangsa Scythia.

Sementara itu, ia menyempurnakan teknik memanah.

Satu hambatan paling besar yaitu  perlunya melancarkan

tembakan demi tembakan dengan cepat. Ini bukan hal

yang pernah dilakukan pemanah biasa, jadi bahkan

seorang pemanah ahli sekalipun tidak perlu merasakan

cara mengisi anak panah lagi. Sebuah anak panah memiliki

takik di ujungnya yang dimasukkan ke tali busur, namun  ,

seperti yang diketahui para pemanah amatir, butuh

waktu beberapa detik dan banyak gerakan untuk me -

masang satu anak panah—merendahkan busur, mendatar -

kannya, menjangkau tempat anak panah, mengambil

satu anak panah, membetulkan arahnya dengan “ujung

bulu” mengacung menjauhi tali, memasang celahnya

pada tali, ujung tiga jari tembak terkait pada tali, men -

cengkeram anak panah antara jari pertama dan kedua,

menarik tali, fokus ulang pada sasaran yang jauh,

membidik, dan akhirnya melepaskan tembakan. Semuanya

mungkin memakan waktu setengah menit, dan lebih

lama lagi untuk membaca instruksi selanjutnya. 

Kassai memerlukan   waktu berbulan-bulan dan lebih

banyak eksperimen agar bisa menembak dengan cepat.

Pada awalnya, lupakan tempat anak panah. Fungsinya

hanya untuk menyimpan anak panah; gunanya bukan

untuk anak panah yang akan Anda tembakkan, sebab 

sangat memperlambat pengisian anak panah dengan

menjangkau ke pinggang atau ke atas bahu untuk

mengambil satu panah dari tempat penyimpanannya.

Begini caranya: pegang beberapa panah pada tangan

kiri yang menggenggam busur, pastikan terpisah seperti

susunan kartu; jangkau di antara tali dan busur; cengkeram

satu panah dengan dua jari yang membengkok dua kali

sehingga mencengkeram kuat pada kedua sisi; ibu jari

dibiarkan leluasa; tarik panah ke belakang sehingga tali

terselip langsung pada takik anak panah; dan tarik,

sementara mengangkat busur, semuanya dalam serangkaian

gerakan mulus. Tapi mudah mengatakannya. Melaksana -

kan nya sama dengan melakukan gerakan sangat penting

yang sama tekunnya seperti mempelajari huruf Braille

(misalnya, untuk memastikan takik dalam panah sudah

tepat, gunakan ibu jari untuk mengeceknya—dan tanpa

latihan merasakan takik benar-benar sangat sulit, selalu

lakukan perbaikan, lakukan terus saat kuda berpacu).

Setelah satu tahun—ia bisa menembak tiga anak panah

dalam enam detik.

Sekarang saatnya menerapkan keahlian barunya.

Kassai mulai memasang dan membidik saat kuda berpacu,

menyasar tiga arah secara teratur, ke depan, ke samping

dan ke belakang. lalu  , akhirnya, hal itu menjadi

fakta  : kuda melaju melewati karung sasaran,

menembak tiga panah—dan gagal, seperti biasanya,

hingga suatu hari ketiga anak panah itu mengenai sasaran.

Hal ini, tentu saja, sebuah keberuntungan; namun   jika

bisa dilakukan sekali, maka bisa dilakukan lagi, seribu

kali, seratus ribu kali, dengan ketekunan hati. Itulah

momen yang membuat Kassai pertama kalinya benar-

benar merasa seperti seorang pemanah berkuda.

Butuh waktu empat tahun meraih pencapaian sejauh

itu, dan ini hanyalah sebuah permulaan. Penemuan-

penemuan baru membentang di hadapannya. Pemanah

biasa menarik busur ke tulang pipi atau dagunya, dan

sering kali bibirnya menyentuh tali busur, dan membidik

di sepanjang anak panah. Kassai mencoba hal ini selama

berbulan-bulan, hingga terpaksa mengakui, bahwa sia-

sia saja memanah dari atas kuda yang sedang berpacu.

Semua tekanan yang ada, menarik busur, otot-otot lengan

dan bahu menjadi kaku, membuat seluruh tubuh remuk

sebab  gerakan yang berbeda—bagaimana mungkin

dalam keadaan seperti ini seorang penunggang kuda

bisa memilih saat yang tepat untuk melepaskan tembakan?

Pada satu ketika, Kassai mencoba memakai   teknologi

memastikan sasaran dengan lampu merah saat ia berpacu

melewatinya. Yang mengejutkan, usaha ini benar-benar

gagal. Ia bahkan tidak bisa membidik sasaran bergoyang

agar tetap berjarak satu meter dari target. “Percobaan

ini membuktikan bahwa aku benar-benar tahu segala hal

yang perlu diketahui tentang seni memanah sambil

berkuda,” ujarnya masam, “kecuali bagaimana supaya

anak panah tepat mengenai bagian tengah sasaran.”

Jawabannya yaitu , pertama-tama, berusaha menarik

busur, bukan ke dagu, namun   sejurus uluran lengan,

menarik panah ke dada, yakinkan hati, emosi; dan

kedua, biarkan alam bawah sadar memilih waktu untuk

melepaskan tembakan. sebab  ada saat yang tepat dalam

gerakan yang kacau balau. Saat itu muncul ketika kuda

melangkah, dengan keempat kakinya tidak menyentuh

tanah secara bersamaan, satu detik saat ketenangan

terjadi. Dalam istilah Kassai, momen itu datang “di

puncak lompatan, saat kami mengapung di udara sebelum

kuku kuda menyentuh tanah lagi”. Tapi tidak ada waktu

bagi otak memanfaatkan momen ini dalam kesadaran

nyata. Otak tidak bisa berpikir, tidak bisa menganalisis.

Yang ada hanyalah tindakan.

Bagaimana Anda membidik? Anda tidak bisa

melakukannya, sebab  tidak ada waktu. Abaikan pikiran,

dan sepenuhnya Anda meresponsnya memakai  

perasaan.

Tapi untuk melakukan hal itu otak memerlukan  

pengalaman yang tepat, informasi yang akurat. Sama

halnya dengan melukis dan membuat puisi, perasaan

tidak ada artinya tanpa fondasi teknis, pengalaman

selama bertahun-tahun, rasa sakit, kegagalan, dan

keputusasaan. Ada pergulatan mendalam di dalam diri

Kassai untuk mengungkap proses ini.

lalu   ia berhasil menemukan surga itu:

Saat fajar aku menunggang kudaku di atas karpet kristal dari

tetesan embun dan menembakkan anak panahku yang dibasahi

kabut pagi ke arah target. Air yang disibak anak panah basah

hampir membentuk garis lurus di udara. lalu   aku tiba-

tiba menyadari panasnya sinar matahari yang membakar

wajahku hingga memerah, semua yang ada di sekelilingku

meretih sebab  panas yang terik, dan lereng bukit yang

berwarna kuning menggemakan suara lonceng dari desa

tetangga, pertanda waktu tengah hari.

Dalam mimpi aku terjaga, memimpikan terjaga. Waktu

meleleh seperti madu manis dalam teh yang disajikan pagi

hari. Sudah berapa lama aku ingin merasakan sensasi itu! Aku

mengejarnya seperti anak laki-laki kecil yang ingin menangkap

seekor kupu-kupu di padang rumput berbunga. Serangga

cantik itu terbang berkelok-kelok seperti sehelai kertas diembus

angin, lalu mendarat pada setangkai bunga harum. Anak kecil

itu mengejarnya, terengah-engah mengejar dan berusaha

menjangkaunya dengan gerakan janggal menjepitnya jemari,

namun   kupu-kupu itu terbang menjauh, dan anak laki-laki itu

berlari, dan kembali tersandung saat mengejarnya.

Aku mendapatkan kupu-kupu itu di tanganku. Aku

menutupnya rapat dalam genggamanku, berhati-hati agar

tidak melukai sayapnya yang rapuh. Angin perubahan menerpa

ketika aku menantikan saat bisa memindahkan semua

kekuatanku pada satu tantangan baru.

Tantangan seni memanah berkuda ini sangat serius,

yang sekarang sudah menjadi semangat hidup itu sendiri—

secara harfiah: dan Kassai akan berkata bahwa ia akan

mati tanpanya. Untuk mendanai obsesinya ini, Kassai

p

memerlukan   pemasukan; jadi ia harus membuat misi

pribadi ini menjelma menjadi sebuah bisnis, yang berarti

menciptakan satu cabang olahraga baru, berikut dengan

peraturannya. Lembah yang ia tempati memberinya

ruang gerak. Lapangan seluas 90 meter, dengan tiga

target, masing-masing berjarak 90 sentimeter untuk

ditembak secara bersamaan—depan, samping, dan

belakang sambil berkuda yang waktunya harus tidak

boleh lebih dari enam belas detik, sementara penunggang

ahli memakan waktu delapan atau sembilan detik.

Namun, tembakan pertama tidak boleh diluncurkan dari

jarak 30 meter dari lapangan, dan target terakhir harus

ditembak secepat mungkin dengan “tembakan terpisah”

saat penunggang menjauh. Tiga tembakan dalam enam

detik, satu tembakan tiap dua detiknya. Untuk meluncur -

kan cabang olahraga barunya ini, Kassai perlu membuat

nama bagi dirinya sendiri, memakai   keahliannya

untuk menunjukkan apa yang bisa dilakukan. 

Ide besar Kassai selanjutnya yaitu  ini: menunggang

kudanya—sekarang ia punya sebelas ekor—secara

bergantian, sepanjang lapangan yang sudah ia siapkan

sendiri, melepaskan tembakan secara terus-menerus

selama dua belas jam. Kassai menutup lembah, mencegah

masuk orang-orang yang ingin tahu, “teman-teman yang

tidak setia, para musuh yang gigih, dan orang-orang

bermuka dua”—menunjukkan bagaimana sulitnya orang

lain menghadapi orang-orang fanatik yang tidak

menyenangkan dan menuntut ini—dan berlatih selama

enam bulan. “Tidak sehari pun aku tidak membayangkan

diriku berada di medan pertempuran. Meski sendirian,

aku sama sekali tidak kesepian barang satu menit pun.

Aku membayangkan kawan-kawan seperjuanganku

memenuhi lembah lengkap dengan senjata dan musuh

yang mematikan.” Tantangan ini membuka tingkatan

kesuksesan dan kebebasan baru. “Kupikir hidup menguji

kita semua, namun   hanya mereka yang benar-benar

beruntunglah yang memilih jalan mereka sendiri,

membuatnya sebesar apa yang mungkin mereka bisa

tanggung.” Tentu saja, ini sama sekali bukan demi

kepentingan spiritual: jalan yang dilakukan Kassai akan

digunakan untuk membangun sisi bisnis. Sekarang saatnya

dunia tahu akan kelahiran kembali seni memanah sambil

berkuda.

Dan lalu   terjadilah. Guinness Book of Records,

televisi, dan surat kabar diberi tahu, para asisten dan

teman dihubungi kembali untuk menjaga kuda dan

mengumpulkan anak panah. Suatu hari pada bulan Juni,

pukul lima pagi, Kassai memulainya, pertama meng -

gunakan kuda-kuda lambat, menembakkan lima anak

panah setelah mereka berpacu selama sepuluh atau dua

belas detik; lalu  , saat cuaca mulai memanas dan

waktu berlalu, Kassai menunggang kuda-kuda cepat,

yang mengitari lapangan kurang dari tujuh detik,

menembakkan tiga anak panah setiap sekali jalan. Pada

pukul lima sore, Kassai sudah mengitari lapangan sebanyak

286 kali dan menembakkan sekitar 1.000 anak panah.

Kassai sangat kelelahan, dalam keadaan sadar. Para

asisten dan murid saling tos girang merayakan pencapaian

Kassai ini. “Selamanya aku merasa berutang atas antusiasme

mereka,” tulis Kassai, dengan ironi luar biasa. “Butuh

waktu dua jam lagi bagiku agar bisa bangkit. lalu  

tiba-tiba, kekalahan yang sangat luar biasa menyerangku

seperti kematian. Aku menunjukkan sedikit aktivitas

dalam acara tarian pada malam harinya.”


HINGGA KINI, sudah lima belas tahun Kassai mengasah

prestasinya sehingga mendekati sempurna. Olahraga ini,

memakai   sistem skor, sudah ditetapkan dan ber -

kembang dengan baik. Sejak awal tahun 1990-an beratus-

ratus perempuan dan laki-laki, yang setiap tahun

bertambah jumlahnya, sudah mempraktikkan keterampilan

yang sangat melelahkan ini, pertama di Hongaria, dan

sekarang di Jerman dan Austria, dengan beberapa murid

yang bersemangat di Amerika Serikat. Pada tingkatan

tertentu mereka yang sudah ahli ini berusaha mendorong

olahraga ini agar dimasukkan ke dalam Olimpiade.

Todd Delle, dari Arizona, mengetahui Kassai saat ia

menyelenggarakan sebuah sesi latihan di Amerika Serikat.

Tiba-tiba, sebuah ketertarikan jangka panjang dalam

panahan dan berkuda mendapatkan intensitas baru,

sebab  ia melihat hal ini lebih daripada sekadar olahraga

biasa. Ini merupakan gabungan kekuatan tubuh dan

pikiran, keduanya saling mencerminkan satu sama lain,

hal mendasar untuk berhadapan dengan keberhasilan

dan kegagalan hidup itu sendiri, “sebab  Anda tidak

bisa sepenuhnya memahami kesuksesan tanpa mengerti

kegagalan terlebih dahulu”. Namun itu bukan hanya

sekadar sebuah pencapaian individu; ini juga tentang

kelompok, di mana setiap orang saling menyemangati

anggota lainnya—kolaborasi semangat yang jarang ada

dalam olahraga kompetisi. Semangat inilah yang harus

ada sebagaimana halnya kemampuan yang menjadi dasar

individu dan kelangsungan hidup kelompok dalam

pertempuran. Sekarang banyak orang yang menyatakan

bisa mengajar seni memanah berkuda ini. “Aku sudah

bertemu dengan sebagian dari mereka,” ujar Delle

menjelaskan. “Yang membuat Kassai berbeda yaitu  hal

yang ia ajarkan bukan sekadar mekanisme bagaimana

p


menembak anak panah dari punggung kuda yang sedang

berpacu. Yang ia ajarkan yaitu  hati dan jiwa seorang

pejuang.”

Di sanalah Anda mendapatkannya. Jika Kassai yaitu 

sosok pemanah Attila, ia juga merupakan sosok pemimpin

Attila, dalam menghormati hal ini: ia telah membuat

sebuah kelompok yang didedikasikan untuk satu tujuan

tertentu. Dalam kasus Kassai, semua yang ia lakukan

bersifat positif, yang memberikan efek kreatif baik pada

individu maupun kelompok. Kassai bercerita bagaimana

menjadi seorang pejuang, namun   menghilangkan sisi

brutal kehidupan seorang pejuang. Dalam kasus Attila,

itu merupakan sebuah dimensi yang sepenuhnya berbeda.

Betapa melelahkannya penderitaan fisik, betapa latihan

spiritualnya begitu menggembirakan pikiran, betapa luar

biasanya kerja tim, semuanya bertujuan pada penaklukan,

pembunuhan, pengrusakan, perkosaan, dan penjarahan.

LEMBAH MILIK Kassai sekarang bukan hanya menjadi

pusat olahraga namun   juga pusat pemujaan, cara hidup,

dan bisnis yang membuatnya tetap ada.

Lengkungan lembah itu sekarang menjadi tempat

bagi kediaman Kassai—sederhana, berbentuk bundar,

terbuat dari kayu, dengan perabotan dipahat dari batang

pohon; sebuah gudang, manis dengan aroma jerami

untuk empat puluh ekor kuda, sebuah sekolah berkuda

tertutup dan sebuah arena; dua lajur pacu untuk memanah

sambil berkuda dan dua lapangan untuk memanah sambil

berdiri; dan, di sisi bukit, sebuah Kazakh (tenda khas

Mongolia) di mana anak-anak setempat datang untuk

mempelajari sejarah hidup. Dengan pembuatan parit

begitu rupa, rawa yang ada menjadi sebuah danau. Di

sebuah kota di dekat sana, inada  beberapa bengkel

yang membuat busur, anak panah, dan sadel. Seluruh

wilayah itu menjadi penyokong bagi anggota pelatihan—

jumlahnya ratusan, terutama bangsa Hongaria, namun  

juga ada orang Jerman, Austria, dengan beberapa orang

Inggris, dan bahkan sedikit orang Amerika—dan

kebutuhan peralatan mereka.

Anda bisa melihat Kassai bekerja pada hari Sabtu

setiap bulan. Saat aku di sana, 35 orang siswa berbaris

mulai dari yang hampir ahli hingga anak laki-laki berusia

enam tahun. Dan ada sebelas orang perempuan. Lagi

pula, dalam jajaran pejuang Hun, juga ada perempuan,

begitu juga dengan bangsa Scythia. Salah satu muridnya

yang paling mahir bernama Petra Engeländer, yang

mengadakan pelatihan sendiri di dekat wilayah Berlin.

Kassai menguasai dunianya seperti seorang sersan mayor

mengajarkan seni tempur. Dengan penonton mencapai

seratus orang menyaksikannya dari sisi arena, hari dimulai

dengan latihan keras dan teliti, dengan enam puluh

orang murid berjajar mengikuti gerakan Kassai,

meregangkan lengan dan leher, lalu   mengambil

posisi seolah-olah sedang menembakkan anak panah,

kaki dan lengan direntangkan, lengan satunya ditarik ke

dada lalu   dilepaskan ke belakang seolah sudah

melepaskan tembakan dengan teriakan “Hö!” dari Kassai,

dan jawaban “Ha!” dari para murid, lalu   satu

langkah, berputar 180 derajat dan melakukan hal yang

sama lagi, dengan tangan kanan dan kiri. 

“Menembak dengan dua tangan merupakan hal

penting, agar simetris. Ini tidak sama dengan busur

panjang Inggris,” ujarnya menjelaskan saat kami berjalan

menyusuri lembah. “Kita harus siap menyerang dengan

baik dari dua arah.”

lalu   dilanjutkan dengan lebih banyak variasi

pada latihan yang sama—pura-pura menembak berjajar,

ke depan, ke samping, ke belakang, sambil berjongkok,

yang sekarang diiringi dengan gendang seorang dukun,

dengan Kassai bergerak maju mundur pada barisan—

hingga, setelah hampir satu jam, para murid berlari ke

kandang, mengenakan jubah pejuang menyerupai kimono

dan muncul kembali dengan kuda-kuda yang akan mereka

tunggangi tanpa pelana. Pertama mereka melontarkan

karung-karung jerami satu sama lain; lalu   meng -

gunakannya untuk perang bantal, dan papan pada

tonggak untuk dibelah dan tombak kayu untuk melukai

badan.

Semuanya ini cukup menakjubkan; namun   demonstrasi

Kassai-lah yang dinantikan para penonton, dan memang

luar biasa. Tiga laki-laki berdiri di sepanjang arena,

masing-masingnya memegang sebuah galah di mana

sebuah target bundar melintang sepanjang 90 sentimeter.

Kassai melintasi arena. Saat melintas, laki-laki tadi mulai

berlari, memegang targetnya satu meter di atas kepalanya.

Butuh waktu enam detik bagi Kassai untuk melintasi

laki-laki tadi, dan dalam waktu itulah ia melepaskan tiga

anak panah. lalu   pada sasaran selanjutnya—tiga

tembakan—dan selanjutnya—tiga tembakan lagi. Delapan

belas detik, sembilan anak panah, masing-masingnya

dilepaskan dengan Ha!, dan semuanya mengenai sasaran.

Dan lalu  , sebagai sebuah ulangan, kuda berpacu,

dengan tiga laki-laki yang sama, kecuali kali ini masing-

masingnya memegang dua target yang tidak terpasang

pada galah. Saat mereka berlari dan Kassai memacu

kudanya melintas, mereka melempar tiga target ke atas

bahu. Enam target terbang, enam tembakan panah, dan

semuanya berjarak satu meter dari kedua laki-laki yang

berlari itu, dan tidak satu target pun yang luput. Pelari

terakhir berlutut, seolah berterima kasih pada tuhan

sebab  ia selamat, dan semua yang mengelilingi arena

bertepuk tangan. Kassai tetap memasang wajah cemberut

seperti biasanya.

lalu  , saat berjalan menyusuri lembah, aku

melihat lima peserta menembak pada sasaran yang

dilambungkan ke udara. Aku menonton selama beberapa

menit. Tidak satu pun dari lima tembakan yang mengenai

sasaran. Dan mereka bahkan tidak menembakkan anak

panah dari atas kuda yang sedang melaju kencang.

lalu  , KASSAI-LAH yang mampu menjawab pertanyaan

penting itu: jika suku Hun yaitu  pemanah berkuda,

dengan gaya hidup yang nyaris sama dengan puluhan

suku nomaden lainnya, lalu mengapa mereka jauh lebih

sukses dibandingkan suku lainnya? Tidak semua suku

dikalahkan oleh Attila. Penaklukan oleh suku Hun

dimulai dua generasi sebelumnya, saat suku Alan dan

Goth melarikan diri dari kejaran mereka.

Kunci teknis dari kesuksesan suku Hun—secara

harfiah, senjata rahasia mereka—yaitu  busur Hun.

Sekarang, busur itu pasti terlihat berbeda sebab  tidak

simetris, seperti milik bangsa Xiongnu; di mana bagian

atasnya lebih panjang daripada bagian bawah. Benar

atau tidaknya suku Hun mewarisi desain busurnya dari

bangsa Xiongnu, bentuk busur ini  sudah ada selama

beberapa abad; dan juga tersebar ke wilayah barat, ke

Jepang. Anehnya, bentuk tidak simetris ini sama sekali

tidak berpengaruh pada kekuatan, jarak tembak atau

keakuratan busur; jadi tujuannya tetap kontroversial.

Mungkin panjang bagian bawah busur dikurangi untuk

meringankan pegangan, seperti saat Anda dengan cepat

mengayunkannya di atas leher kuda untuk melepaskan

tembakan ke bagian kanan (atau, jika Anda benar-benar

ahli, melepaskan tembakan dengan tangan kiri). Mungkin

lebih mudah melepaskan tembakan saat berlutut, tapi

kapan Anda perlu berlutut? Kassai, memainkan batinnya,

bertanya-tanya jika, saat ditarik, busur akan menjadi

simbol kemah suku Hun, atau dewa yang melingkupinya,

surga di atas sana, namun   hal itu tidak benar-benar

ditambahkan. Aku cenderung berpikir bahwa ini yaitu 

masalah identitas, sebab  detailnya merupakan objek

umum yang berisi elemen yang muncul secara acak atau

sebab  alasan-alasan sepele dan sederhana, oleh sebab

itu mereka menjadi hal tradisional, sehingga tidak ada

alasan bagus untuk mengubahnya. Mungkin busur  Hun

tidak simetris sebab  memang selalu begitu adanya, sejak

sehelai papan yang baru dipotong dari pohon yang

cenderung lebih tidak simetris daripada simetris. Mungkin,

jika Anda berani bertanya kepada Attila mengapa busur

Hun lebih besar pada bagian atasnya, ia akan menjawab

melalui penerjemahnya: Begitulah cara orang-orang Hun

membuat busur.

Namun busur Hun juga berbeda dalam dua hal

lainnya, menambah hal ketiga yang benar-benar menjadi

masalah: ukuran busur yang lebih besar; memiliki satu

lengkungan tambahan, dan akhirnya, yang paling penting;

ukuran dan bentuk busur ini memberi kekuatan lebih.

Rancangan ini muncul sebagai respons pada perubahan

lingkungan pertempuran di padang rumput. Busur kecil

bangsa Scythia bertahan cukup lama selama 2.000 tahun

hingga, pada abad ketiga SM, tetangganya di bagian

timur, bangsa Sarmatia, mengembangkan pertahanan

melawan anak panah bangsa Scythia. Mereka melindungi

p

kuda dan pejuangnya dengan baju besi dan mengajar

mereka bertarung dalam formasi dekat. Ada berbagai

macam cara untuk menghadapi ini—dengan pedang,

lembing, tombak, pasukan berkuda bersenjata. Namun

yang paling efektif yaitu  sebuah busur yang bisa

menembus baju besi. Busur Hun-lah yang ditemukan di

makam-makam Xiongnu: sebuah busur dengan tanduk

“sayap” kecil, dengan panjang sekitar tiga sentimeter,

yang melengkung keluar tubuh pemanah. Tanduk “sayap”

inilah, bukan kayu busur, yang memegang tali busur.

“Sayap” membuat ujung busur menjadi rendah dengan

kekakuan yang tidak sebanding dengan kekakuan kayu

itu sendiri, saat kuku jari melakukan sentuhan yang

tidak bisa dilakukan jari telanjang. “Sayap” ini juga

memanjangkan busur dalam hitungan beberapa persen

yang sangat penting; panjang tambahan yang meningkat -

kan daya ungkit. Dengan ini para pemanah bisa mem -

bengkokkan busur dengan tenaga lebih sedikit, sebab 

lengkungan telinga seolah menjadi bagian dari sebuah

roda dengan diameter besar. Saat pemanah mengangkat

busur, lengkungan telinga membuka, dengan efek mem -

perpanjang tali busur. Saat dilepas, lengkungan telinga

kembali menggulung,