Tampilkan postingan dengan label Attila 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Attila 6. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Oktober 2025

Attila 6



 i seorang bendahara

kerajaan. Edika bisa langsung mendapatkan uang itu.

Musuh

212

1 Satu solidus sama beratnya dengan 4,54 gram/0,22 ons. Satu solidus emas pada

abad kelima, nilainya saat ini mencapai $600.

Namun, tidak secepat itu. Edika menjabarkan rencana -

nya. Saat ia kembali menghadap Attila untuk memberi

laporan tentang misi ini, Orestes dan lainnya akan ikut

bersamanya. “Attila selalu ingin tahu detail semua hadiah

yang didapat dan siapa yang memberikannya. Ia akan

menanyai setiap orang. Tidak ada cara bagi kami untuk

menyembunyikan lima puluh pon emas. Tapi Vigilas

harus kembali ke Konstantinopel dengan membawa

perintah perihal apa yang harus dilakukan dengan para

pelarian. Vigilas akan memberitahumu bagaimana

mengirimkan emasnya.”

Rencana ini tampak masuk akal bagi sang bendahara.

Vigilas yaitu  seorang laki-laki yang bisa dipercaya.

Setelah makan malam, Edika kembali ke kamarnya

sementara Chrysaphius berusaha bertemu dengan kaisar,

yang memanggil Kepala Pejabat Kerajaan, Martialis, laki-

laki yang bertanggung jawab atas pesan, penerjemah

(termasuk Vigilas), dan para pengawal istana. Rencana

semakin matang. Mereka bertiga memutuskan bahwa

Vigilas, walaupun sebelumnya berpengalaman dalam

kedutaan besar, sama sekali bukanlah orang yang tepat

untuk membawa surat balasan atas permintaan Attila.

Sekarang ia berada di bawah kewenangan Edika (cukup

adil, mengingat mereka berdualah pembuat rencananya,

namun   menempatkan seorang Roma di bawah wewenang

seorang Hun akan menjadi sumber ketegangan potensial).

Di samping itu, ada masalah yang lebih sulit untuk

diselesaikan, yang melibatkan negosiasi uang tebusan

sejumlah tahanan Roma yang ditawan oleh Attila. Dan

urusan ini seharusnya ditangani oleh seorang duta besar

kerajaan. Orang yang mereka pikirkan yaitu  Maximinus,

seorang laki-laki dari garis keturunan terkenal dan

merupakan orang kepercayaan kerajaan, persis seperti

DI 

perwakilan kelas tinggi yang diinginkan Attila. Meskipun

Priscus tidak mengatakan demikian, pasti juga inada 

agenda tersembunyi: mereka berharap ada seorang senior

yang bertanggung jawab saat Attila dibunuh.

Mereka memberikan arahan singkat kepada Maxi -

minus, tanpa memberi tahu tentang rencana pembunuhan

ini . Ia akan mengatakan bahwa Attila tidak perlu

melakukan pertemuan di seberang Sungai Danube, hal

itu secara terang-terangan akan menunjukkan bahwa

Attila bisa memasuki wilayah Roma semaunya. Jika ia

menginginkan sebuah pertemuan, ia bisa mengirim

wakilnya, Onegesius (yang akan kita ketahui lebih banyak

lagi nanti). Selain itu, surat dari kaisar dengan pasti

menyatakan bahwa: “Sebagai tambahan dari mereka

yang sudah diserahkan, aku sudah mengirimkan tujuh

belas orang pelarian kepadamu, sebab  sudah tidak

ada lagi yang lain.” Para pelarian ini akan dijemput dari

sebuah pangkalan militer di sebuah perbatasan baru, di

dekat Naissus, kota yang dihancurkan Hun dua tahun

sebelumnya.

Di sinilah Priscus masuk. Maximinus tahu tentang

dirinya dan kemampuannya dalam menulis. Mungkin,

Priscus yaitu  salah satu orang yang sibuk merancang

Kitab Undang-Undang Theodosius selama sepuluh tahun

terakhir. Ia pasti cukup mengenal Herodotus dan

Thucydides sehingga bisa meminjam gaya tulisan dan

susunan kata-kata mereka menjadi sumber tulisannya. Ia

juga cukup pintar membuat pidato. Ia akan menjadi

orang yang cocok untuk menulis catatan tentang misi

penting ini: teliti, seorang pejabat pemerintahan yang

sedikit kolot, dengan kemampuan yang baik dalam

mengolah kata-kata. sebab  pada dasarnya Priscus bukan -

lah seorang petualang, maka butuh lebih daripada sekadar


bujukan untuk mengikutsertakannya dalam urusan ini. 

Mereka pun melakukan persiapan. Ketujuh pejabat

ini disertai oleh seorang pebisnis, Rusticius, yang sudah

menjalin hubungan dengan salah satu dari beberapa

sekretaris Attila. Dan hubungan ini mengingatkan kita

bahwa tidak ada yang sesederhana kelihatannya dalam

persaingan antara barbar versus Roma ini, sebab 

sekretaris Attila ini yaitu  seorang bernama Constantius,

yang dikirim oleh Aetius untuknya—Aetius, sang jenderal

besar Roma, yang dengan senang hati membantu Attila

dengan kontak-kontak internasionalnya. Rusticius, dengan

teman dalam istana Attila, juga memiliki kelebihan

dengan bisa berbahasa Hun, yang terbukti akan berguna

pada saatnya nanti.

Delapan pejabat pun ditunjuk, lalu  , ditambah

dengan para pelayan Edika untuk mendirikan tenda dan

menyiapkan makanan, semuanya naik ke punggung

kuda: mungkin semuanya berjumlah lima belas kuda,

dengan satu tenda besar, beberapa tenda yang lebih

kecil untuk para pelayan, peralatan masak—perak, yang

cocok untuk kedutaan besar—dan merica, kurma, serta

buah-buahan kering yang akan berguna kalau jumlah

makanan segar semakin sedikit.

SETELAH MENEMPUH jarak lebih dari 300 kilometer dan

hampir dua minggu, mereka sampai di Serdica (Sofia).

Di sana, mendekati perbatasan wilayah baru Attila,

muncul sedikit ketegangan yang tersembunyi. Mereka

menunda perjalanan selama satu atau dua hari. Setelah

menyembelih beberapa domba dan sapi yang dibeli di

daerah setempat, pejabat Roma ini  menawarkan

keramahan kepada rekan perjalanan mereka yang

berkebangsaan Hun. Anggur pun disajikan. Mereka ber -

sulang: Untuk kaisar! Untuk Attila!

Vigilas-lah yang memicu masalah. Ingat, Vigilas masuk

dalam persekongkolan. Priscus tidak, dan tidak punya

bayangan akan ketegangan yang dirasakan Vigilas.

Mendadak Vigilas berpikir bahwa mungkin lebih baik ia

menunjukkan dirinya setia kepada kaisar, dan sambil

memberengut bicara kepada Priscus, “Sungguh tidak

pantas membandingkan dewa dengan manusia biasa.”

“Apa yang kau katakan?” Orestes-lah yang berbicara,

ia tahu bahasa Yunani.

“Aku mengatakan,” ujar Vigilas menghina, “sungguh

tidak pantas membandingkan dewa dengan manusia

biasa.”

“Benar. Attila yaitu  dewa. Senang mendengarnya

dari seorang Yunani.”

“Tidak. Theodosius yaitu  dewa, Attila yaitu  manusia

biasa.”

“Attila hanya manusia biasa?” Orang-orang Hun

mengacungkan senjatanya ke arah Vigilas. Setelah apa

yang Attila capai? Tidakkah Vigilas tahu bahwa kekuasaan

Attila berasal dari pedang Mars? Bagaimana mungkin

Attila melakukan hal itu jika ia bukan dewa? Dan se -

lanjut nya, dengan setiap tanda akan terjadinya kekerasan,

hingga Maximinus dan Priscus mengubah topik

pembicaraan dan dengan sikap bersahabat menenangkan

kemarahan mereka (orang-orang Hun) dengan hadiah

setelah makan malam berupa sutra dan mutiara.

Namun ketegangan tetap terasa. Orestes (tidak ikut

dalam persekongkolan) masih merasa dendam sebab 

tidak diikutsertakan dalam jamuan makan malam dengan

Edika, Vigilas, dan Chrysaphius saat di Konstantinopel.


Ia mengeluh kepada Maximinus, yang menyampaikan

masalah itu kepada Vigilas. Vigilas memberi tahu Edika,

yang khawatir masalah ini sudah sampai sejauh itu.

Edika berseberangan dengan Vigilas, dan Orestes ber -

seberangan dengan Edika, dan sekarang orang-orang

Romawi saling berseberangan satu sama lain. Vigilas

mengetahui rencana Edika yang akan membunuh Attila,

namun   Edika punya rencana sendiri yang tidak ia beri

tahukan kepada siapa pun. Dan para pejabat senior

Roma, Maximinus dan Rusticius, belum tahu setengah

dari rencana itu. Akan bagaimana akhirnya nanti?

Tidak lama lalu   mereka sudah melihat kota

Naissus. Kota itu hancur berantakan, seperti saat Hun

meninggalkan daerah ini dua tahun yang lalu: temboknya

runtuh, nyaris tidak ada penduduk, losmen-losmen

Kristen menjadi tempat untuk merawat orang-orang

sakit. Di antara reruntuhan tembok dan sungai, di mana

Hun membangun jembatan ponton untuk mesin-mesin

pengepung mereka, inada  tumpukan tulang belulang.

Terkejut melihat pengrusakan yang ada di sana, mereka

melanjutkan perjalanan dalam diam.

Tidak jauh dari sana inada  sebuah pangkalan

militer tempat mereka menghabiskan malam. Di sini

para pelarian Hun ditahan—namun   bukan tujuh belas

orang seperti yang dijanjikan dalam surat kaisar; hanya

lima.

Keesokan harinya mereka berangkat menuju Sungai

Danube, para pelarian Hun diikat, tepatnya—diikat

menjadi satu. Mereka mengarah ke barat laut, akan

menyeberangi sungai di Margus, berjarak 120 kilometer

dan memakan waktu empat atau mungkin lima hari

perjalanan. Priscus tidak mengenal jalan yang mereka


lalui. Setiap hari mereka terus melanjutkan perjalanan

dengan susah payah, menembus hutan, naik dan turun

bukit, terus-menerus sampai malam tiba. Mereka sampai

di tempat yang ditumbuhi pohon lebat, di mana jalan

setapaknya memiliki banyak cabang, belokan, dan jalan

memutar. Tidak ada cahaya, namun   mereka berjuang

dengan memakai   cahaya obor yang kelap-kelip,

berharap mereka masih mengarah ke barat laut. Tapi

lalu  , saat sadel terasa menyakitkan, kaki kesemutan,

dan kelelahan, mereka melihat langit terang persis di

hadapan mereka. Matahari, teriak orang-orang Romawi

dari balik bayangan—terbit di tempat yang salah! Ini

pertanda! Anda bisa bayangkan reaksi mereka yang

berdiri di depan. Itu timur, bodoh. Kita hanya perlu

memutar. Kita akan baik-baik saja.

lalu   mereka melanjutkan perjalanan melintasi

dataran berhutan, selalu mengarah ke barat laut melalui

jalan tunggal, hingga pada satu kesempatan mereka

berpapasan dengan sekelompok orang-orang Hun. Mereka

baru saja menyeberangi Sungai Danube mempersiapkan

jalan bagi Attila, yang akan datang untuk berburu di

hutan-hutan yang baru dikuasainya ini, bukan untuk

bersenang-senang dan mendapatkan daging, namun   sebagai

cara untuk melatih para prajuritnya di wilayah yang

tidak dikenal ini. Tidak jauh di depan sana itulah Sungai

Danube, dan banyak orang-orang Hun dengan sampan-

sampan yang bertindak sebagai tukang perahu bagi para

prajurit, yang mungkin memakai   rakit-rakit untuk

mengangkut kuda dan kereta mereka.

Di seberang sungai, mereka melanjutkan perjalanan

selama beberapa jam lagi sebelum diberi tahu oleh para

pemandu Hun mereka untuk menunggu sementara

pelayan Edika menghadap Attila untuk memberitahukan


kedatangan tamu-tamu mereka. Tengah malam, saat

mereka sedang makan malam di tenda, para pelayan

berkuda datang kembali membawa berita bahwa semuanya

sudah siap. Keesokan harinya, lewat tengah hari, mereka

sampai di perkemahan Attila—kereta-kereta kuda dan

beberapa tenda bundar berjajar terus melintasi padang

rumput terbuka yang sekarang merupakan salah satu

provinsi di Serbia, Vojvodina. Maximinus ingin mendirikan

tendanya sendiri di sisi bukit, namun   dilarang, sebab  itu

artinya tenda orang-orang Romawi lebih tinggi daripada

tenda Attila.

Dengan tenda-tenda didirikan di tempat rendah dan

sesuai peraturan, seorang delegasi senior Hun yang

dipimpin oleh Orestes dan Scottas datang untuk menanya -

kan apa yang sebenarnya diinginkan Roma. Delegasi

Roma merasakan kekhawatiran yang sangat besar dan

mereka saling melempar pandang. “Kaisar memerintah

kami untuk bicara dengan Attila, dan tidak dengan siapa

pun,” ujar Maximinus kepada mereka.

Scottas, adik dari orang kepercayaan Attila, Onegesius,

dan orang ketiga dalam hierarki kekaisaran Hun,

menyampaikan hal itu (Onegesius sendiri kini sedang

jauh di antara orang-orang Akatziri, menobatkan anak

tertua Attila, Ellac, sebagai raja baru suku kecil itu).

Delegasi Roma mengerti benar bahwa memang Attila

sendiri yang menanyakan hal itu. Tidak ada satu pun

orang Hun yang akan melakukan permintaan semacam

itu secara pribadi.

Maximinus mengikuti protokol, yang dengan itu, ia

sadar bahwa orang-orang Hun pasti sudah terbiasa,

sebab  sudah datang ke begitu banyak kedutaan besar di

Konstantinopel. “Bertengkar satu sama lain menyangkut


tujuan misi mereka, bukanlah kebiasaan para duta

besar. Kami pantas menerima perlakuan yang sama.

Jika kami tidak mendapatkannya, kami tidak akan

memberi tahu tujuan misi ini.” 

Semua diam, terkesima. Perwakilan Hun pergi dengan

Edika, dan kembali lagi tanpa laki-laki itu, menunjuk ke

arah Maximinus dengan mengumumkan bahwa Edika

baru saja berkata kepada Attila tentang tujuan kedutaan

besar Roma (setidaknya, tujuan resmi mereka; tujuan

tidak resmi masih rahasia yang hanya diketahui oleh

Edika dan Vigilas). Dan Attila tidak tertarik dengan hal

lain lagi yang harus mereka katakan. Jadi begitulah.

Sekarang delegasi Roma bisa kembali pulang.

Tidak ada yang perlu dilakukan. Delegasi Roma yang

kecewa sedang berkemas saat Vigilas, yang pasti menyadari

bahwa agenda tersembunyi mereka menjadi mustahil,

tampak putus asa. Dialah kunci rencana pembunuhan

ini; dan keputusannyalah untuk mendapatkan emas itu,

dan ia akan kehilangan hadiah yang sangat besar jika

rencana itu gagal. Mereka tidak bisa pergi begitu saja,

tanpa mendapat apa pun, ujarnya tanpa pikir panjang.

Lebih baik berbohong, katakan kita punya hal lain yang

harus didiskusikan, dan tetap berbohong daripada

mengatakan yang sebenarnya lalu   pulang begitu

saja! “Jika aku bisa berbicara dengan Attila, aku akan

dengan mudah memengaruhinya untuk menyampingkan

perbedaan-perbedaannya dengan kekaisaran Romawi.

Aku pernah menunjukkan sikap ramah kepadanya saat

di kedutaan besar Anatolius.”

Sementara itu, bagaimana dengan Edika? Ia tetap

menjaga sikap rendah hati, malu dengan pengkhianatan

kecilnya atas Roma, dan dalam keadaan terjepit. Ia

0

sudah memberitahukan tujuan kunjungan delegasi Roma,

namun   itu belum setengahnya. Ia juga mengetahui tujuan

sebenarnya, dan cemas kalau Orestes akan memberi

tahu Attila bahwa dirinya dan Vigilas makan malam

hanya dengan Chrysaphius yang menakutkan dan bermuka

dua. Apa yang akan dilakukan Attila jika ia tahu akan

hal itu? Khususnya sepanjang dirinya, Edika, yaitu 

orang asing, dan tidak penting. Edika menghabiskan

malam dilanda kebimbangan—membocorkannya atau

tidak? berkhianat atau tetap setia?—takut kalau-kalau,

apa pun yang ia lakukan, ia akan mendapat hukuman.

Keesokan paginya, tenda-tenda dikemasi, kuda-kuda

sudah siap berangkat, saat Priscus melihat betapa

tertekannya Maximinus. Hal itu mendorong Priscus

untuk berusaha sekali lagi. Ia mengisyaratkan Rusticius,

seorang pebisnis yang bisa berbicara bahasa Hun, yang

pasti sama tertekannya dengan kegagalan rencana

perdagangan yang sebentar lagi akan ia rasakan, dan

membawanya menemui Scottas. “Katakan kepadanya

bahwa dia akan mendapat banyak hadiah jika bisa

mengusahakan Maximinus berdiskusi dengan Attila.”

Rusticius menyampaikan hal itu. “Dan satu hal lagi—

katakan kepadanya ia juga akan memberikan keuntungan

bagi abangnya, Onegesius, sebab  jika ia ikut dalam

rencana luar biasa kita ini, ia juga akan mendapatkan

hadiah yang sangat besar. Aku yakin ia akan sangat

berterima kasih.” Scottas mendengarkannya dengan

sangat hati-hati. Priscus menatap matanya. “Kami dengar

kau juga berpengaruh terhadap Attila. Mungkin kau

ingin membuktikan hal itu?”

“Tentu saja,” ujar Scottas, “aku bicara dan bertindak

pada taraf yang sama dengan abangku.” Ia naik ke atas

kuda, dan memacunya menuju tenda Attila. 

D

Priscus kembali kepada kedua rekannya, yang berbaring

di rerumputan, dan mengejutkan mereka dengan kabar

yang ia bawa. Berdiri! Kembalikan kuda-kuda itu ke

sini! Siapkan hadiah! Siapkan pidato kalian! Dalam

sekejap, rasa putus asa berubah menjadi teriakan sukacita

dan terima kasih kepada Priscus, penyelamat mereka.

lalu   sebuah kebingungan lain melanda: bagaimana

caranya mereka akan menemui Attila? Bagaimana persisnya

mereka akan memberikan hadiah kepadanya?

Priscus sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di

tenda Attila pada waktu itu, jadi kita harus menerkanya.

Mungkin kedatangan Scottas itulah yang menimbulkan

krisis. Mungkin Edika melihat Scottas datang dengan

memacu kudanya, dan imajinasinya langsung bekerja

dengan cepat. Edika menerka-nerka sesuatu—Vigilas

akan disiksa untuk mengungkapkan semua itu—dirinya,

Edika, akan ketahuan sebagai seorang pengkhianat,

kecuali—Edika tidak bisa menunggu lagi, ia harus

bergerak sekarang untuk membuktikan kesetiaannya.

Saat Scottas pergi membawa berita bahwa Attila akan

tetap menemui delegasi Roma itu, Edika memohon agar

bisa bertemu… dan berkata kepada Attila segala hal

tentang rencana pembunuhan itu sebagaimana yang

diusulkan oleh kasim Chrysaphius, mengakui bahwa

dirinyalah yang seharusnya menjadi pembunuh, yang

akan dibayar dengan emas yang akan dikumpulkan oleh

Vigilas.

Sementara itu, Scottas sudah tiba kembali di tenda

rombongan Roma dan mereka pun sudah siap.

Mereka meneruskan perjalanan melintasi jalan mendaki

menuju tenda besar yang dikelilingi para pengawal.

Pintu dibuka (pasti tenda raja memiliki pintu kayu,

0

sebagaimana gers (tenda khas) orang-orang Mongolia

saat ini).

Mereka pun masuk.

Bagaimana suasana di dalam tenda? Priscus tidak

mengatakan apa pun tentang karpet lantai mahal, sebuah

kompor arang yang diletakkan di bagian tengahnya,

sebuah meja penuh dengan patung-patung dukun

berukuran kecil, sejumlah pengawal, para abdi dan

sekretaris, sebab  perhatiannya sepenuhnya tertuju pada

sosok Attila, laki-laki kecil menakutkan yang duduk di

sebuah kursi kayu, yang juga merupakan sebuah

singgasana, termasuk bagian lengan berukirnya yang

kuat dan bagian belakangnya yang tinggi.

Inilah pertama kalinya mereka melihat laki-laki yang

sudah begitu menghancurkan wilayah Balkan dan membuat

para pemimpin kekaisaran timur ketakutan selama

sepuluh tahun terakhir. Saat inilah Priscus menggambarkan

sosok Attila yang sampai kini bertahan dalam catatan

yang ditinggalkan orang kedua, Jordanes, seorang

sejarawan Goth, kata-kata yang dikutip dalam bab

sebelumnya, menggambar sosok laki-laki kecil dengan

gaya jalan angkuh, mata kecil yang melihat ke sana

kemari, dada bidang, kepala besar, janggut tipis dengan

bintik-bintik uban, hidung pendek mancung, warna kulit

yang buruk, dan dengan kombinasi tingkah laku yang

mengejutkan; pengendalian diri, keanggunan, dan percaya

diri yang luar biasa.

Pastinya Attila punya setiap alasan atas rasa percaya

dirinya saat ini, sebab  sekarang ia mengetahui rencana

itu, dan bisa main kucing-kucingan dengan para delegasi

Roma.

Maximinus melangkah ke depan dan menyerahkan

gulungan perkamen kaisar. “Kaisar,” ujarnya, melalui

Vigilas, “berdoa semoga Yang Mulia dan para pengikutnya

dalam keadaan aman dan sehat.”

“Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan

dariku,” jawab Attila dengan nada dingin. lalu   ia

memandang Vigilas sebagai penerjemah dan membuatnya

menangis. Beraninya dia, bangsat tidak tahu malu,

muncul seperti ini—ini momen yang luar biasa, sebab 

Attila bisa saja menuduhnya saat itu juga atas rencana

pembunuhan ini —saat, menurut perjanjian terakhir,

tidak boleh ada duta besar yang datang menghadap

sebelum semua pelarian diserahkan!

Vigilas dengan tergagap berkata bahwa semua pelarian

sudah diserahkan. Tidak ada lagi yang lain… 

“Diam! Lancang, tidak tahu malu! Aku akan men -

jatuhkan hukuman tusuk kepadamu dan menjadikan

dirimu makanan burung, jika saja hal itu tidak melanggar

hak para duta besar. Banyak pelarian Hun di antara

penduduk Roma! Sekretaris: mana nama-namanya!”

Dan lalu  , mereka menjadi tidak berdaya, Vigilas,

Priscus, dan lainnya harus mendengarkan saat gulungan-

gulungan perkamen dipilih dan dibuka, keheningan yang

mencekam dibuyarkan dengan bunyi desau gulungan

daun lontar itu. lalu   terdengarlah nama-nama itu

dibacakan. “Tujuh belas,” ujar sang kaisar; lima orang

dijemput di luar wilayah Naissus; dan di sini, gulungan

demi gulungan, semuanya terdaftar siapa saja yang

diketahui melarikan diri melintasi perbatasan beberapa

tahun yang lalu—sejak masa putra Aetius, Carpilio,

menjadi sandera—semuanya pengkhianat, yang dengan

cermat dicatat oleh sekretariat—jumlahnya, mungkin


ratusan, siapa yang tahu berapa banyak? Siapa yang

menghitung? Pastinya bukan orang Romawi.

Suasana menjadi hening, dan akhirnya Attila angkat

bicara.

Ia akan mendapatkan para pelarian itu, seandainya

bukan sebab  ia enggan pasukan Hun bertarung melawan

pasukan Romawi dalam perang. Tentu saja, bukan sebab 

mereka bermanfaat bagi orang-orang Romawi. Adakah

kota atau perbatasan yang bisa selamat dari mereka

setelah mereka merencanakan untuk merebutnya? Tidak

satu pun. Vigilas segera akan pergi dengan seorang Hun,

Eslas, untuk meminta tanah mereka. Hanya saja lalu  ,

Priscus menyatakan secara tidak langsung, apakah

mungkin mendiskusikan uang tebusan untuk dibayarkan

bagi para tahanan Roma yang ditawan oleh Attila. Jika

Roma tidak patuh, maka akan terjadi perang.

Maximinus bisa tetap tinggal untuk merancang surat-

surat, dan untuk kalian yang lainnya—serahkan hadiah

dari kaisar, dan keluarlah.

KEMBALI KE TENDA mereka, para degelasi Roma ini ber -

usaha memahami apa yang baru saja terjadi.

“Aku tidak mengerti,” ujar Vigilas. “Terakhir kali, ia

begitu tenang dan lembut.”

Priscus angkat bahu. “Mungkin ia sudah mendengar

bahwa kau menyebut Theodosius II itu dewa dan dia

manusia biasa.”

Maximinus mengangguk. Pasti sebab  itu.

Vigilas tetap bingung. Ia yakin dirinya tidak bersalah.

Orang-orang Hun pastinya terlalu takut untuk melaporkan

perbincangan lancang saat makan malam itu (dan, ia

D

pasti beranggapan, Edika tidak akan pernah membocorkan

rahasia tentang rencana pembunuhan mereka, dan

mengutuk dirinya sendiri sebagai seorang pengkhianat).

Tepat pada waktu itu Edika datang. Ia memberi

isyarat kepada Vigilas dan menyampaikan sesuatu.

Sebagai mana yang diketahui Priscus lalu  , Edika

memberi tahu Vigilas untuk bersiap pergi dan menjemput

uang untuk para konspirator.

Inilah saat satu-satunya di mana Edika muncul sejak

ia memberi tahu Attila tentang rencana kedutaan besar.

Ia hanya bisa datang atas perintah Attila sendiri, Attila

sudah memutuskan bahwa Edika sama sekali bukan

seorang pengkhianat. Spekulasi yang dilakukan Edika

berhasil.

Jadi sekarang ada dua rencana—rencana pembunuhan

dan balas dendam Attila—di mana Edika memainkan

peran sentral dalam keduanya. Ia sudah sepakat dengan

rencana pertama, dan sekarang memulai rencana kedua.

Ada apa? tanya seseorang saat Edika pergi. Oh, tidak

penting—Vigilas mengibaskan tangannya tak acuh—

hanya masalah Attila yang masih marah tentang para

pelarian dan pangkat para delegasi, itu saja. Cukup

masuk akal; semua orang tahu bahwa Edika diberi kuasa

atas Vigilas sebelum mereka berangkat dari Konstantinopel.

Ia diselamatkan dari pertanyaan lebih jauh oleh

seorang anggota rombongan Attila, yang membawa

perintah-perintah baru. Tidak ada orang Romawi yang

akan membeli apa pun—tidak ada tahanan Roma, budak,

kuda, tidak ada apa pun kecuali makanan—hingga semua

masalah diselesaikan. Vigilas akan kembali ke

Konstantinopel bersama Eslas dan menyelesaikan masalah

pelarian itu. Lainnya tetap tinggal. Onegesius, dalam

0

perjalanan kembali dari mengawasi pelantikan putra

Attila yang dinobatkan sebagai Raja Akatziri, yaitu 

orang yang direncanakan akan menjadi duta besar Roma

selanjutnya, dan ia pasti akan mengambil hadiah yang ia

miliki.

Sekarang Attila sudah menempatkan setiap orang

sesuai dengan keinginannya. Rombongan Roma hampir

ditahan, sementara Vigilas—seperti yang sangat diketahui

Attila—pergi menjemput emas untuk pembunuhan Attila.

Saat ia kembali, perangkap pun akan dibuka.

SATU HARI setelah keberangkatan Vigilas, Attila me -

merintah kan semua orang untuk kembali ke Markas

Besar utamanya. Lagi pula tidak akan ada perburuan di

selatan Sungai Danube, sebab  ada hal lebih penting

yang harus diselesaikan. Suasana terlihat hiruk pikuk

saat melipat tenda, berkemas, dan memutar kereta kuda,

lalu memasang pelana kuda untuk menyusun barisan—

kereta kuda, para pengendara kuda terdepan, pemanah,

pengurus kuda, dan juru masak semuanya berbaris

dengan rapi di belakang rombongan Attila, semuanya

mengarah ke utara melintasi padang rumbut yang sekarang

merupakan bagian utara Serbia.

Setelah beberapa lama, barisan ini berpisah: Attila

berbelok menuju sebuah desa di mana ia akan menjemput

calon istrinya yang lain, putri salah seorang logade

setempat. Lainnya terus melintasi sebuah dataran dan

menyeberangi tiga sungai besar dan beberapa sungai

kecil. Terkadang ada penduduk lokal memakai  

sampan dari batang pohon yang dilubangi bagian

tengahnya, terkadang rombongan dan pasukan rendahan

berenang dengan kuda mereka, sementara rombongan

elite dengan kereta kuda memakai   rakit yang

memang dibawa untuk tujuan ini. Sepanjang jalan, para

penduduk memberi padi-padian, mead (minuman

beralkohol dari madu yang ditambah dengan ragi), dan

bir yang terbuat dari gandum. (Penting untuk dicatat

bahwa mereka yaitu  penduduk desa: bukan lagi

penggembala nomaden, namun   mereka bertahan hidup

sebagai petani menetap yang tinggal di gubuk-gubuk

dari anyaman dahan kayu dan jerami alang-alang.)

Setelah seharian perjalanan berat, mereka berkemah

di dekat sebuah danau kecil. Tengah malam mereka

dibangunkan dari tidur sebab  kelelahan oleh salah satu

badai musim panas yang menyapu puszta Hongaria,

salah satu badai yang sangat dahsyat sehingga meratakan

tenda dan menerbangkan baju ganti dan selimut mereka

ke danau. Tenda orang-orang Romawi tidak dirancang

untuk dipakai di hutan belantara; tidak seperti tenda

bundar khas Hongaria, yang tetap hangat dalam cuaca

paling dingin dan tahan terhadap badai. Dibutakan oleh

hujan, ditulikan oleh petir, orang-orang Romawi

menemukan jalan mereka kembali ke desa sebelumnya

dengan cahaya petir, berteriak-teriak minta tolong.

Penduduk desa terbangun, lampu-lampu di gubuk jerami

menyala, mengajak mereka masuk dalam dekapan

kehangatan perapian di gubuk jerami.

Dan ternyata tempat yang mereka diami yaitu  milik

perempuan yang merupakan kepala suku di sana. Bahkan

yang lebih mengejutkan, dia yaitu  seorang janda—satu

dari beberapa—dari Bleda, yang abangnya dibunuh oleh

Attila. Tampaknya ia sudah diizinkan untuk tetap

menguasai daerahnya dalam wilayah Bleda, di mana ia

masih memiliki pengaruh sebagai seorang ratu. Meskipun

saat itu sudah tengah malam, wanita itu menyiapkan


makanan. lalu   saat tubuh mereka kering dan

selesai makan, sudah ada rombongan beranggotakan

sejumlah perempuan muda menari, yang menurut

perkataan Priscus, untuk hubungan seks, yang merupakan

tanda penghormatan di antara orang-orang Hun.

“Perempuan-perempuan yang menarik”, begitulah Priscus

menyebutnya: apa yang terjadi dengan pendapat rasis

bahwa penampilan dan perilaku orang-orang Hun sangat

mengerikan sehingga mereka hampir tidak bisa dikatakan

seperti manusia? Semua itu terhapus oleh fakta  

bahwa orang-orang Romawi itu kini berhadapan dengan

keramahan dan kecantikan. Hal ini sedikit memalukan

bagi mereka yang menganut ajaran Kristen, pejabat sipil,

dan diplomat terutama sebab  para perempuan ini dipilih

sebab  kecantikan mereka. Sopan santun menjadi

jawabannya. “Dengan senang hati kami menerima

makanan yang diletakkan di hadapan kami oleh para

perempuan itu, namun   menolak berhubungan seks dengan

mereka.”

Besoknya hari cerah dan panas. Orang-orang Romawi

mendapatkan kembali barang-barang mereka yang basah

kuyup, mengeringkannya dengan sinar matahari,

membayar kebaikan hati perempuan kepala suku desa

itu dengan memberikan hadiah berupa tiga mangkuk

emas dan buah kering sebagai tanda terima kasih, dan

melanjutkan jalan mereka.

Perjalanan pun dilanjutkan, selama satu minggu dan

mungkin menempuh lebih dari 200 kilometer. Mereka

sampai ke desa lain. Dan di sini perjalanan mereka

tersendat. Semua menunggu Attila sebab  ia akan

bergabung kembali dan harus dia yang memimpin

rombongan. Dan di sini pulalah, dengan kebetulan yang

mengejutkan, ada duta besar lain, yang berasal dari

D

kekaisaran barat Roma, dengan wajah-wajah familiar

dan terkenal: seorang jenderal dan seorang gubernur;

utusan yang kembali pulang, Constantius, sekretaris

yang aslinya dikirim oleh Aetius untuk Attila; seorang

bangsawan bernama Romulus dan menantu laki-lakinya,

yang tidak lain yaitu  ayah dari Orestes. Tampaknya

menjadi duta besar untuk Attila sudah merupakan bisnis

keluarga.

Para utusan kekaisaran barat punya kisah mereka

sendiri, yang berpusat pada mangkuk-mangkuk emas

dari Sirmium. Dulunya mangkuk ini  milik seorang

uskup yang, saat kotanya diserang pasukan Hun pada

awal tahun 440-an, memberikannya kepada sekretaris

Attila yang lain untuk disimpan dengan aman, beranggapan

bahwa hadiah itu mudah dibawa jika ia ditangkap. Dan

mangkuk itu lalu   menjadi milik Attila. Namun

sekretaris tadi menggadaikan mangkuk itu kepada seorang

bankir di Roma. Ketika Attila mengetahui hal ini, ia

menyalib laki-laki itu. Sekarang ia menginginkan salah

satunya, mangkuk ini  atau sang bankir. Seluruh

utusan yang ada di sini datang untuk memberi tahu

Attila bahwa, sebab  bankir itu menerima mangkuk

ini  secara jujur, maka tidak dianggap sebagai barang

curian dan pemimpin Hun sekarang tidak bisa menuntut

mangkuk itu ataupun bankir yang tidak bersalah ini .

Akhirnya Attila tiba, dan barisan rombongan yang

jumlahnya bertambah banyak itu melanjutkan perjalanan

melintasi sebuah dataran terbuka hingga mereka sampai

di sebuah desa yang sangat besar—ibu kota Attila, yang,

sebagaimana dikatakan pada bab sebelumnya, mungkin

20 kilometer sebelah barat wilayah Szeged saat ini,

cukup jauh dari wilayah Sungai Tisza yang berliku-liku

dan sering dilanda banjir.


SAAT ARAK-ARAKAN kerajaan bergerak di antara bangunan-

bangunan kayu, kaum perempuan memberikan ritual

penyambutan, mereka berbaris dengan secarik kain linen

putih di tangan yang membentuk sebuah kanopi yang di

bawahnya berjalan arak-arakan gadis-gadis muda, semua -

nya bernyanyi. Mereka bergerak di antara bangunan-

bangunan, lalu   lurus menuju kompleks kediaman

Onegesius.

Hanya setingkat di bawah kediaman Attila, kompleks

kediaman Onegesius ini  mengejutkan—sebuah

pemandian terbuat dari batu-batu yang dibawa dari

Pannonia, yang jaraknya 150 kilometer arah selatan.

Pemandian ini dibuat oleh seorang arsitek Roma yang

dipenjarakan di Sirmium. Priscus tidak menyebutkan

tungku perapian dan air panas, sine qua non untuk

pemandian, dan tidak menjelaskan bagaimana air bisa

masuk ke sana—tentu saja tidak ada saluran air, sebab 

dalam istilah Roma desa ini hanyalah desa biasa; mungkin

sebuah parit, atau hanya memakai   belanga air yang

dibawa oleh para tahanan Roma secara bolak-balik dari

sungai saat ingin mandi. Bagaimana pun, dalam kondisi

barbar seperti ini, pemandian yaitu  sebuah simbol

status yang luar biasa bagi Onegesius, sebab  pemandian

merupakan hal yang dipuja dalam peradaban, dan air

mandi merupakan inti sarinya. Ia akan menyetujui sebuah

puisi dari seorang pujangga paling terkenal pada masa

itu, Sidonius, yang menulis pujian terhadap pemandiannya

sendiri di selatan Gaul, pemandian yang nantinya akan

kita dengar mendapat pujian lain, dan yang mana Attila

sendiri akan mendengar kabar angin tentang hal ini dua

tahun lalu  :

D

Rasakanlah gelombang dingin setelah mandi uap,

Air dengan rasa dinginnya akan memeluk kulitmu

yang terbakar.

Priscus tidak menyebutkan Attila mandi, tapi tidak

bisa dibayangkan bahwa hasil karya menakjubkan itu

bisa masuk tanpa seizinnya, bahkan dorongan darinya.

Arsitek Roma yang tidak diketahui namanya ini tidak

diragukan lagi telah menyediakan Onegesius dengan

tepidarium, calidarium, hypocaust, dan mungkin

laconium,2 ruangan uap yang tentu saja lengkap dengan

tungku perapian. Pemandian itu tidak akan ada gunanya,

kata sang arsitek, jika kau tetap kedinginan saat musim

dingin. Arsitek itu berharap hal ini akan membuatnya

bebas. Ia tidak seberuntung itu; sebagaimana yang dicatat

Priscus, sebab  ia dijadikan pelayan pemandian.

Di dalam halaman berpagar itu, diawasi oleh istri

Onegesius—mungkin istri tuanya—para pelayan dari

banyak rumah menawarkan makanan dan anggur dari

piring dan gelas piala perak kepada para penunggang

kuda. Attila berkenan ikut menyantap makanan lezat di

kelompok sini dan minum di kelompok sana, dan para

pelayan memegang piring dan gelas untuk memberikan

penghormatan pada rombongan. Di bagian depan, di

luar halaman kediaman Onegesius di dekat pintu masuk

halaman lainnya, inada  sebuah tangga menuju istana.

Inilah pertama kalinya orang-orang Romawi melihat

tujuan mereka, meskipun saat itu mereka hanya bisa

melihat dinding kayu yang dibuat dari papan yang


diratakan dengan halus yang dibuat oleh tukang kayu

dari suku Goth atau Burgundi sehingga sambungannya

nyaris tidak terlihat. Hanya ukuran dinding itu sajalah

yang menunjukkan bahwa bangunan ini  yaitu 

istana. Attila menghilang masuk istana, langsung

melakukan pembicaraan dengan Onegesius menyangkut

Akatziri dan pemimpin baru mereka yang masih muda.

fakta  nya, masalah ini sungguh penting: putra Attila

jatuh dan lengan kanannya patah. Tidak diragukan lagi

seorang dukun harus dipanggil untuk menyembuhkannya,

dengan ritual-ritual yang benar.

Sementara itu, setelah makam malam yang disajikan

oleh istri Onegesius, para utusan Roma mendirikan

tenda di antara dua halaman itu, siap untuk menghadiri

panggilan ke istana keesokan harinya. Mereka menunggu.

Tidak seorang pun datang. Maximinus menyuruh Priscus

untuk menuju kediaman Onegesius, dengan beberapa

pelayan membawa hadiah untuk raja dan orang

kepercayaannya. Pintu-pintu masih tertutup. Ini akan

menjadi penantian yang panjang.

PRISCUS BERJALAN ke sana kemari, hampir di luar tembok

pertahanan. Seorang Hun mendekat, mengenakan pakaian

sebagaimana orang Hun kebanyakan, dalam balutan

baju tak berlengan dan celana panjang felt. Yang

mengherankan Priscus, orang Hun ini memanggilnya

dalam bahasa Yunani: Khaire! Suku Hun merupakan

kelompok campuran, mereka memakai   bahasa Hun

dan Goth secara rutin, sementara untuk berhubungan

dengan barat—seperti Onegesius sendiri—agaknya juga

memakai   bahasa Latin. Namun bukan bahasa Yunani.

Satu-satunya orang yang memakai   bahasa Yunani


di sekitar sini yaitu  para tahanan dari perang baru-

baru ini, mereka yang ingin ditebus oleh para utusan

Roma. Sekilas kita bisa membayangkan bahwa mereka

teraniaya dan kusut masai. Namun laki-laki ini, aku

bayangkan berusia lima puluhan, berpakaian menarik,

dengan rambut dijepit rapi dengan gaya orang Hun,

percaya diri, dan santai.

“Khaire!” balas Priscus, dan melontarkan serangkaian

pertanyaan. Siapa dia? Dari mana asalnya? Bagaimana

dia bisa menganut gaya barbar?

“Mengapa kau ingin tahu?”

“Kau bicara bahasa Yunani! Tentu saja aku ingin

tahu!”

Laki-laki itu tertawa, dan pastinya ia mengenalkan

diri, meski Priscus mengelak memberi tahu kita namanya,

untuk alasan yang nantinya akan menjadi jelas. Ya, laki-

laki itu keturunan Yunani, seorang pebisnis yang tinggal

di Viminacium, menikah dengan seorang istri kaya dan

hidup tenang saat pasukan Hun menyerang delapan

tahun yang lalu dan membumihanguskan wilayah tempat

tinggalnya. Ia berada di antara orang-orang yang ditangkap.

Tentu saja bisnisnya hancur berantakan, namun   sebab 

kekayaannya, Onegesius memilihnya sebagai sandera

terbaik. Dan kondisi ini menguntungkan kedua belah

pihak. Ia telah menunjukkan keberanian dalam memerangi

Roma dan Akatziri, yang mungkin berarti ia sudah men -

danai dan memerintah pasukannya sendiri. Bagaimana

pun, ia sudah mengumpulkan rampasan dalam jumlah

cukup untuk membayar kebebasannya. Sekarang ia

menjadi bagian dari rombongan Onegesius, dengan

seorang istri baru keturunan Hun dan anak-anak, dan

sekali lagi hidupnya menyenangkan. 


Pada fakta  nya, hidup di sini lebih baik daripada

di Viminacium. Ia harus tahu; dirinya berada dalam

posisi unik untuk membandingkan dua budaya. Ia berkata,

dalam kekaisaran Romawi, orang biasa bergantung pada

para pemimpin mereka, jadi semangat tempur mereka

sudah hilang. Namun para jenderal yaitu  para pengecut

yang tidak berguna, jadi kami pasti akan kalah perang.

Dalam perdamaian, kami berada dalam belas kasihan

para pemungut pajak dan pelaku kriminal. Keadilan

tidak ada lagi. Yang kaya menyuap para hakim, yang

miskin merana dalam penjara hingga mereka mati.

Menghadapi ketidakmampuan, ketidakamanan, korupsi,

dan tekanan, tidak mengherankan lebih baik tinggal di

sini.

Priscus, ingat, yaitu  seorang pejabat sipil yang

menulis sebuah laporan resmi. Ia terbuka terhadap

kritikan, sebab  tidak seorang pun menyangkal bahwa

kekaisaran Romawi mengalami kemunduran untuk alasan

yang persis sama seperti yang dikatakan orang Yunani

yang menjadi orang Hun ini. Namun secara resmi hal

ini akan terlihat tidak baik jika membiarkan hal semacam

ini berlangsung tanpa adanya bantahan. Jadi Priscus

menulis sendiri sebuah balasan resmi. Mereka yang

merancang konstitusi Roma yaitu  orang-orang baik

dan bijaksana. Mereka menentukan adanya prajurit yang

kuat, pelatihan militer yang baik, pajak yang adil, hakim

yang adil, dan pengacara independen untuk membela

hak-hak orang-orang sipil. Jika pengadilan berjalan

begitu lama, hal itu disengaja sebab  hakim ingin

memastikan bahwa mereka mengambil keputusan yang

tepat. Betapa orang-orang barbar tidak seperti orang

Romawi, yang memperlakukan budak mereka seperti

perlakuan seorang ayah dan menghukum mereka, seperti


anak mereka sendiri, jika berbuat salah, sehingga mereka

menjauh dari perilaku yang tidak sesuai. Bahkan dalam

kematiannya, seorang Roma bisa memberikan kebebasan

lebih lanjut, sebab  surat wasiat secara resmi sifatnya

mengikat. Mengapa, bahkan kaisar sendiri tidak bisa

lepas dari hukum. Ini sebuah pembahasan yang sangat

panjang, yang semuanya berasal dari kutipan langsung,

jika Yunani kuno punya kutipan langsung. Dan itu ada

dalam terjemahan Blockley. Dan apa hasil dari pidato

penutup ini?

“Kenalanku itu terharu dan berkata bahwa hukum

sudah adil dan pemerintah Roma bersikap baik.”

Nah, benar. Pernahkah kita mendengar hal yang

sangat tidak bisa dipercaya ini? Laki-laki yang tidak

diketahui namanya ini, yang sudah memiliki seorang

istri, bisnis, rumah, dan kehilangan tanahnya dan hidup

melewati peperangan, lalu   memulai hidup barunya

lagi dari nol di negeri asing—mendengar ungkapan

formal dan penuh keyakinan langsung dari seorang

pejabat tentang panduan bagaimana untuk menjadi

seperti Socrates, dan ia terharu?

Banyak orang menduga-duga beberapa kekurangan

Priscus di sini. Deklamasi bertele-tele dan lemah, ujar

Gibbon. Tidak dapat dipertahankan… yang mendatangkan

pandangan terhadap kemampuannya mencatat kejadian,

ujar Thompson. Namun aku pikir, Priscus tahu persis

apa tujuannya. Ini merupakan cara umum bagi seorang

sarjana atau pejabat sipil dalam melakukan kritikan: Ini

hanyalah sebuah hipotesis atau pendapat orang lain,

yang tentu saja tidak aku dukung, jadi bukan salahku

jika mereka yang membaca tulisanku menganggap hal

ini serius. Galileo lalu   memakai   cara ini dalam

artikel  nya yang berjudul Dialogue mengusulkan gagasan

sistem tata surya yang berpusat pada matahari; begitu

juga dengan Luther dalam “Ninety-five Theses” yang

mengecam paus dan melakukan Reformasi. Dengan cara

yang lebih halus, inilah yang dilakukan Priscus—

memakai   satu kesempatan pertemuan untuk diam-

diam menyisipkan kritik tajam terhadap warga  

Roma, lalu   membuatnya bahkan lebih persuasif

dengan mempertemukannya dengan kesombongan ilmiah

yang membosankan dan ketus. Itulah sebabnya mengapa

laki-laki itu tetap tidak diberitahukan namanya: Priscus

menceritakan kejadian itu secara berlebihan, dan berharap

tidak akan mempermalukan sumbernya atau berisiko

mendapatkan bantahan. Protesnya ini bukan untuk

ditanggapi dengan kesedihan, namun   dengan anggukan

paham dan tidak dipahami secara harfiah.

PINTU-PINTU terbuka. Sebuah pesan disampaikan, dan

dijawab. Onegesius muncul menerima hadiah, dan datang

untuk menemui Maximinus, yang mendesaknya untuk

mengunjungi Roma sebagai seorang duta besar dan

meng usahakan perjanjian damai baru. Onegesius

menjauhkan diri. Ia hanya akan melakukan apa yang

diinginkan Attila—”atau apakah orang-orang Romawi

ini beranggapan bahwa mereka akan menekanku begitu

rupa sehingga aku akan mengkhianati kaisarku?”

Mengabdi kepada Attila, ujar Onegesius, lebih baik

daripada hidup kaya raya di antara orang-orang Romawi!

Lebih baik ia tetap di negerinya. 

Keesokan harinya, saatnya bagi Priscus sebagai perantara

untuk berhubungan dengan Attila. Ia mendekati dinding

istana yang terbuat dari kayu dan dipersilakan masuk.

D

Sekarang ia melihat ukuran kompleks kediaman Attila

yang sebenarnya, yang berisi sebuah istana, satu aula

makan terpisah, dan sekelompok besar bangunan-

bangunan lain, beberapa papan berhias ukiran, lainnya

papan dengan kulit kayu yang sudah diampelas, diratakan

dan disesuaikan, sebagian—milik istri tua Attila, Erekan—

papan berdiri tegak dengan fondasi batu. Sekarang,

sebab  ia sudah dikenal oleh para pejabat Attila, Priscus

berjalan melintasi sekumpulan penjaga, pelayan, para

utusan dari suku-suku barbar lainnya, dan orang-orang

Hun biasa yang gelisah menunggu pertimbangan Attila

atas keluhan mereka. Suara-suara omongan terdengar

dalam bahasa Hun, Goth, dan Latin. Dalam kumpulan

ini  juga inada  anggota utusan Roma lainnya,

yang datang untuk menyelesaikan perdebatan tentang

mangkuk-mangkuk emas itu. Priscus masuk ke kediaman

ratu, mungkin melepaskan sandalnya dan lalu  

berjalan di atas permadani felt, dan melihat sang ratu

berbaring di sebuah dipan, ala Roma, dikelilingi oleh

gadis-gadis pelayan yang sedang menyulam jubah linen.

Tidak ada penerjemah, jadi Priscus menyerahkan hadiah

secara langsung, dan kembali.

Ia berada dalam kerumunan di luar istana Attila saat

sang kaisar dan Onegesius keluar. Attila punya kebiasaan

memandang sekilas ke sekelilingnya (sebuah trik ke -

pemimpinan yang diajarkan kepada politisi dan pembicara

saat ini untuk membantu mereka mendapatkan perhatian

dari semua orang yang hadir dan menunjukkan kesan

berkuasa). Saat para pemohon itu mengajukan per -

mohonan mereka dan menerima pertimbangannya,

anggota kedutaan besar Roma lainnya muncul untuk

mencari tahu apa yang sedang terjadi. Priscus bertanya

tentang masalah mangkuk emas itu. Dan hasilnya bukanlah


kabar baik. Pendirian Attila tetap tidak berubah;

kembalikan mangkuk itu, atau terjadi perang. Salah satu

dari mereka, Romulus, dengan pengalaman cukup lama

sebagai seorang perwakilan, menjelaskan kenapa.

Sebelumnya tidak ada pemimpin yang pernah melakukan

pencapaian sejauh ini dalam waktu singkat. Kekuasaan

telah membuat Attila sombong. Ia juga berambisi untuk

mendapatkan lebih banyak lagi. Attila ingin menyerang

Persia. Persia? Terdengar suara-suara terkejut dari

kerumunan itu, yang mendesak Romulus untuk men -

ceritakan kisah perang pada 395, saat pasukan Hun

menyerang melalui Kaukasus dan kembali melewati batu-

batu menyala di Pantai Kaspia. Ya, tidak lama lagi Persia

akan mendapat giliran.

“Lebih baik Persia daripada kita.”

“Ya, tapi lalu apa?” Kali ini yang berkata yaitu  salah

satu pejabat senior kekaisaran Romawi barat, dari wilayah

kecil Pannonia yang sekarang di bawah kekuasaan Hun.

Attila akan kembali sebagai penguasa, ujarnya. Sekarang

kita memanggilnya jenderal terhormat, sehingga upeti

kita tampak seperti pembayaran tetap. Namun jika ia

mengalahkan Persia ia tidak akan tertarik dengan emas

Roma. Ia ingin dipanggil sebagai seorang raja dan

membuat Roma sebagai pelayannya. Para jenderal Hun

sudah sama baiknya dengan jenderal Roma, ujarnya,

dan—

Pada saat itu Onegesius keluar. Satu pertanyaan mem -

bingungkan berakhir saat Maximinus dipanggil untuk

menghadap Attila.

Di dalam, seperti yang ia laporkan lalu  , ia ber -

kesempatan melakukan pengakuan dosa. Attila meng -

inginkan duta besar yang ia kenal, yang berpangkat

DI

tinggi seperti Nomus, Anatolius, atau Senator, orang

yang pernah ia temui. Saat Maximinus berkata hal ini

mungkin akan membuat kaisar curiga ada pengkhianatan

jika Attila memilih mereka, maka Attila berkata: Lakukan

seperti perintahku, kecuali kau menginginkan perang.

Kembali ke tenda, saat Maximinus mempertimbangkan

apa yang akan ia lakukan, datanglah undangan makan

malam untuk rombongan utusan Roma. Ini yaitu 

kesempatan pertama untuk melihat Attila bersantai, jika

memang pernah. Saat waktunya tiba, para utusan Roma

ini berjalan menuju aula makan, di mana para pelayan

menyuguhkan secangkir anggur sehingga para tamu bisa

berdoa sebelum dipersilakan duduk. 

Perhatikan anggur itu. Secara tradisional suku Hun

meminum kumiss, susu kuda betina yang difermentasi,

dan bir dari gandum. Anggur yaitu  minuman tambahan

baru dalam makanan suku Hun, barang penting untuk

diperdagangkan, dan menjadi bagian sambutan jamuan

makan formal seperti saat ini.

Di sanalah Attila, dalam pakaian sehari-hari, bahkan

tali sepatunya tidak memakai   hiasan pasukan Hun

biasanya, pedang di pinggang, duduk di sebuah dipan

bergaya Roma, dengan Ellac muda duduk mencolok di

ujung satunya lagi, tangan kanannya yang patah barangkali

sudah diikat. Sekarang ia raja yang punya hak mutlak,

namun   ia tidak tampak seperti itu, matanya memandang

putus asa dalam kekaguman terhadap ayahnya. Adiknya

yang bernama Ernak, kesayangan Attila, duduk di

sampingnya. Sebenarnya, Priscus sekarang melihat, aula

makan ini juga merupakan kamar tidur resmi Attila. Di

belakang Attila inada  dipan kedua, dan di belakangnya

beberapa langkah lagi inada  sebuah ranjang tertutup


tirai gantung linen dan sutra dengan banyak hiasan.

Kursi berjajar di sepanjang dinding, satu kursi satu

pelayan. Priscus tidak menghitung jumlahnya, tapi aku

membayangkan 30 atau 40, seperti jamuan kenegaraan

yang pantas untuk para utusan Roma baik dari bagian

timur atau barat. Onegesius di sebelah kanan Attila, sisi

kehormatan, dengan para perwakilan Hun di sisi yang

sama. Para utusan Roma duduk di sebelah kiri. Para

pelayan memberikan gelas-gelas piala dari emas dan

perak. Seorang pelayan memberi Attila anggur dalam

cangkir kayu. Secara formal sang kaisar menyapa tamunya

secara bergiliran, cangkirnya diberikan kepada setiap

tamu, yang menyesap sedikit anggur dan mengembalikan -

nya, dan lalu   semua orang meminum sedikit anggur

dari gelasnya masing-masing. Priscus kesulitan menjelaskan

berapa lama acara perkenalan ini berlangsung, namun  

kedengarannya seperti penggabungan sesi minum ala

Roma dan komuni ala Kristen. lalu   meja-meja

dibawa masuk, satu meja untuk satu kelompok terdiri

dari tiga atau empat orang, sehingga setiap orang bisa

menikmati hidangan tanpa meninggalkan tempat duduk -

nya. Sekarang saatnya makanan dihidangkan: berbagai

jenis daging dan roti, di atas piring-piring besar dari

perak—untuk setiap orang kecuali Attila, yang me -

nunjukkan akar budaya nomadennya yang sederhana

dan jujur dengan memakai   piring dan cangkir dari

kayu.

Hidangan pertama berakhir, dan semuanya harus

berdiri menghabiskan minuman mereka, bersulang, dan

mendoakan kesehatan Attila. Sekarang hidangan lain.

Priscus tidak menyebutkan apa yang dihidangkan: ia

tidak tertarik dengan makanan, dan selain itu, pandangan -

nya semakin kabur, pengaruh anggur dan makanan


bercampur. Hidangan kedua berupa masakan lain. Jamuan

bagian kedua pun selesai. Semua berdiri. Kembali

bersulang, dan mereka menghabiskan segelas anggur

lagi. Pandangan semakin gelap. Lalu datanglah obor-

obor dari kayu pinus, dan saatnya hiburan. Dua orang

penyair melantunkan lagu karangan mereka sendiri

untuk memuji kemenangan dan keberanian Attila. Ini

sangat berpengaruh. Di sekeliling aula para pemuda

mengingat pertempuran dengan anggukan dan senyuman,

mereka yang lebih tua menangis. Sekarang saatnya tampil

seorang pelawak. Bagi seorang Roma, sulit membayangkan

hal yang lebih buruk daripada seorang pelawak Hun,

dan tentu saja aksinya sepenuhnya menyangkut orang-

orang Romawi. Priscus menganggap aksi pelawak itu

menyakitkan, mengucapkan kata-kata dari daerah

terpencil yang tidak bisa dipahami dan sama sekali

tidak masuk akal. Namun bagi suku Hun, pelawak itu

sangat lucu. Mereka tertawa terpingkal-pingkal. 

Dan penampilan terbaik pun datanglah. Inilah momen

yang mereka tunggu-tunggu. Zercon, orang kerdil berkaki

pincang, tak berhidung, bungkuk, yang ditangkap di

Lybia yang pernah menjadi pelawak Bleda. Semua orang

tahu kisahnya saat ia melarikan diri, ditangkap, dan

men dapatkan seorang istri dari salah satu pelayan

majikannya. Satu atau dua tahun setelah Bleda dibunuh,

Attila memisahkan Zercon dari istrinya dan memberikan -

nya kepada Aetius; Aetius lalu   mengembalikannya

kepada Aspar, majikan pertamanya. Betapa aneh kehidupan

yang dialami Zercon, mulanya ia tertangkap saat menjadi

pengemis di Lybia, lalu   digilir di antara para

bangsawan, jenderal, dan pimpinan Romawi, kepada

orang Hun, lalu kepada orang Romawi, dan kini kembali

kepada orang Hun lagi. Kepala suku Skiria, Edika,


dengan kontak-kontak internasionalnya itulah, yang

entah bagai mana membawanya kembali ke istana Attila,

memengaruhi orang kerdil itu bahwa ia berhak untuk

mendapatkan kembali istrinya yang hilang. Attila tidak

senang melihat hal ini sebab  mengingatkannya kepada

Bleda, dan istri yang hilang tetap hilang. 

Sekarang Zercon memasuki aula. Ia bukanlah orang

tolol; ia tahu nasibnya tergantung pada nilai hiburannya;

jadi ia mungkin saja punya aksi, pidato, atau sejenisnya,

diucapkan dengan gayanya yang cadel, dan sengaja

mencampurkan bahasa Hun, Goth, dan Latin. Bagi nalar

modern, ini gagasan mengerikan. Malangnya, kepekaan

terhadap kecacatan yaitu  hal yang agak modern.

Sebagian besar penonton hingga awal abad dua puluh

akan menyukai hal ini, seperti mereka menyukai

perempuan-perempuan berjanggut, orang-orang kerdil,

dan Laki-laki Gajah. Untuk menggambarkan bagaimana

aksi ini, bayangkan orang kerdil berkulit hitam dengan

kaki pincang menyanyikan lagu di sebuah aula dengan

aksen Franco-Jerman, dan dengan aksen cadel dan gagap.

Para penonton tertawa terbahak-bahak, menunjuk ke

arahnya, memukul-mukul paha mereka, dan tertawa-

tawa sampai air mata mereka berlinangan.

Semuanya kecuali Attila, yang duduk dengan wajah

dingin dan tanpa ekspresi. Lagi pula, ia sudah melihat

penampilan Zercon selama tujuh tahun. Cukup sudah.

Ia hanya menunjukkan respons saat Ernak muda datang

dan berdiri di sampingnya. Ernak putranya yang istimewa.

Sebagaimana seorang Latin dengan bahasa Hun pernah

berbisik kepada Priscus bahwa sang dukun pernah

memberi tahu kepada Attila bahwa suku Hun akan

hancur, namun   keberuntungan mereka akan didapatkan

kembali oleh Ernak. Attila menyuruh putranya mendekat

D

sambil menyentuh lembut pipinya, dan tersenyum lembut,

sementara Zercon menutup aksinya.

URUSAN RESMI berlangsung selama lima hari lalu  :

surat-surat dituliskan untuk sang kaisar; seorang tahanan

perempuan Roma ditebus seharga 500 solidi; istri tua

Attila, Erekan, menyajikan hidangan lain, hidangan

makan malam terakhir bersama Attila. Mereka akan

berangkat dengan satu masalah yang harus diselesaikan,

menyangkut Constantius, sekretaris yang dikirim Attila

oleh Aetius. Aetius sudah berjanji memberikan istri kaya

untuk Constantius. Kaisar sudah menemukan perempuan

yang tepat, namun   rencana itu terhambat oleh politik

istana. Sebagai bagian dari hubungan bilateral dan

diplomasi antara Roma dan Hun, Attila bersikeras bahwa

sekretarisnya harus mendapatkan istri yang dijanjikan

itu. Itu hal yang sudah disetujui. Maka biarkan saja tetap

begitu!

lalu   kedutaan besar bersiap melakukan perjalanan

pulang. Ini bukan perjalanan yang menyenangkan. Mereka

melihat seorang mata-mata disula—pengingat menyeram -

kan akan kekejaman Attila dan kemampuan para algojonya

yang luar biasa—dan dua budak sekarat mati perlahan-

lahan sebab  melakukan pembunuhan, leher mereka

digantung pada dahan pohon berbentuk huruf V. Setelah

setengah perjalanan, rekan Hun mereka kembali pulang

dengan gaya mereka yang menjijikkan, mengambil

kembali kuda yang sudah Attila berikan sebagai hadiah.

Dan di tengah satu-satunya jalan dari Konstantinopel,

mereka bertemu Vigilas, kembali dengan seorang pengawal

Hun, Eslas, dan 50 pon emas (yang disembunyikan

dengan hati-hati) yang rencananya akan diberikan kepada


Edika untuk mendanai pembunuhan Attila. sebab  ia

dikirim untuk membicarakan masalah pelarian dan

tahanan, jadi kedatangannya kembali bukanlah sebuah

rahasia besar. Tidak ada pelarian Hun bersamanya, namun  

rupanya ia membawa surat lain dari kaisar menyangkut

masalah itu. Ia memimpin utusan kecil para budak dan

kuda, dan sama sekali tidak sadar bahwa ia masuk

perangkap. Tentu saja ia tidak boleh mengetahui hal

yang sebenarnya, sebab  rencana ini hanya diketahui

Edika dan Attila, dan Edika belum terlihat atau terdengar

sejak memberikan arahan singkat kepada Vigilas tepat

setelah ia menyampaikan rencana pembunuhan itu kepada

Attila. Tampaknya ia tidak sadar bahwa salah satu bagian

utama dalam persekongkolan mereka—bahwa seharusnya

ada seorang delegasi Roma berpangkat tinggi di wilayah

Hun saat Attila dibunuh, seolah-olah oleh pejabatnya

sendiri—sudah tersingkirkan. Vigilas begitu yakin sehingga

ia membawa serta putranya untuk menemani.

Priscus akan mengetahui apa yang terjadi nanti. Saat

Vigilas menyeberang memasuki wilayah Hun, pasukan

Hun sudah menunggu. Seorang pengawal dikirimkan

untuk memberi kejutan. Dan itu menjadi kejutan yang

sangat mencengangkan. Vigilas ditangkap, digeledah,

tas-tasnya yang berisi emas dirampas, dan bersama

putranya diseret menghadap Attila.

Jadi untuk apa persisnya semua emas ini? tanya Attila,

seolah ia tidak tahu. 

Untukku, atau untuk orang lain—Attila membiarkan

Vigilas menjelaskannya dengan terbata-bata, membuatnya

tenggelam dalam kata-kata penuh kebohongan dan

keangkuhan—sehingga kita tidak akan gagal mengetahui

tujuan kedutaan besar sebab  kurangnya persediaan.

Atau, ujarnya berusaha keras mencari alasan, atau…

sebab  kekurangan kuda dan binatang untuk membawa

barang, kalau-kalau mereka lelah sebab  perjalanan

panjang, dan masih banyak lagi yang harus dibeli. (Dalam

hal ini, apa gunanya emas di wilayah Hun, padahal

sekarang rombongan Roma sudah pulang?) Dan untuk

menebus tahanan. Banyak tahanan di wilayah Roma

memohon kepadanya untuk menebus sanak saudara

mereka.

Apa yang mungkin saja dilakukan Vigilas, seandainya

ia benar-benar yakin dengan dirinya sendiri, yaitu 

kembali kepada Attila dengan marah atas tindakan seperti

ini—seorang duta besar ditangkap dan dirampok! Ini

tidak pernah terdengar! Sang kaisar akan mendengar

hal ini, dll., dll. Malahan, ia tetap dimaki sebab  ucapan -

nya sendiri yang tidak jujur.

“Bangsat tidak berguna!” teriak Attila, mengungkapkan

kemarahannya dengan efektif. Inilah ucapannya seperti

yang dilaporkan Priscus: “Kau tidak akan bisa selamat

di pengadilan dengan tipu muslihatmu itu! Alasan-

alasanmu itu tidak akan menyelamatkanmu dari

hukuman!” Vigilas diperlakukan sebagai pelaku kriminal

biasa, dianggap dari suku Hun, bukan dari Roma,

mengabaikan jabatannya sebagai seorang diplomat. Attila

sangat yakin dengan anggapannya, dan membual. Uang

itu jauh lebih banyak daripada yang dibutuhkan delegasi

Roma untuk perbekalan, kuda, hewan-hewan pengangkut

barang, dan membayar tebusan para tahanan. Dan, lagi

pula, pastinya Vigilas ingat bahwa Attila menolak tebusan

para tahanan saat ia datang pertama kali bersama

Maximinus.

lalu  , Attila mengangguk ke arah para pengawal

yang menahan putra Vigilas. Sebilah pedang dihunus.

Satu kata dariku, ujar Attila, dan anak laki-laki ini akan

tewas. Sekarang katakan yang sebenarnya kepadaku.

Inilah momen yang dinantikan Attila semenjak ia

pertama kali mengetahui rencana pembunuhan ini sekitar

enam minggu sebelumnya. Seorang duta besar Roma

tertangkap dalam satu rencana pembunuhan, sungguh

duta besar yang bodoh. Adakah hal yang lebih baik

daripada ini dalam mengungkap perbuatan orang Romawi

yang bermuka dua dan keunggulan suku Hun?

Vigilas terpuruk, menangis, dan memanggil-manggil

Attila, atas nama keadilan, biarkan pedang itu untukku,

tidak untuk anak laki-lakinya yang tidak tahu apa-apa.

Kalau begitu, katakan yang sebenarnya.

Dan semuanya disampaikan: kebenarannya, sebagai -

mana yang sudah diketahui Attila selama ini. Chrysaphius,

Edika, pertemuan di istana Konstantinopel, persetujuan

kaisar, emas, dan semuanya.

Dan itu cukup untuk menyelamatkan beberapa nyawa.

Jika Attila bisa marah, maka ia juga bisa bermurah hati.

Namun ada hal lain yang harus digali dari masalah ini.

Vigilas dirantai dan menjadi sandera. Ia, yang katanya

datang untuk menebus tahanan lain, juga akan ditebus.

Putranya akan dikirim pulang menyampaikan kabar itu,

dan akan kembali dengan emas sebanyak 50 pon lagi.

Ada hal yang puitis dalam kejadian ini. Lima puluh pon

yaitu  jumlah yang disarankan untuk mendanai

pembunuhan seorang kaisar. Sekarang Attila meminta

jumlah yang sama hanya untuk seorang duta besar.

Untuk kedua kalinya kaisar Roma akan kehilangan apa

yang sudah ia lakukan, dan tidak mendapatkan apa-apa

selain penghinaan. Bagi siapa saja yang memiliki perasaan

D

dramatik, dan Attila sangat memiliki hal itu, pembalasan

dendam ini hebat sekali.

Namun hal itu tidak ada gunanya kecuali ia bisa

memastikan bahwa penghinaan itu tersebar luas, baik

bagi sang kaisar maupun Chrysaphius, kasim yang

mengerikan itu. Ia mengirim Orestes dan Eslas, keduanya

terbukti jujur, bersama dengan putra Vigilas. Tugas

mereka yaitu  membuat sang kaisar semakin sakit hati.

Saat mereka menemui Theodosius di Konstantinopel,

Orestes menggantungkan tas yang dipakai oleh Vigilas

untuk menyembunyikan emasnya itu di lehernya.

Chrysaphius, tentu saja hadir saat itu. Attila menyampaikan

kepada Eslas apa yang harus disampaikan:

Apakah kaisar dan Chrysaphius mengenali tas ini? 

Hening sejenak untuk menunggu penjelasan dan

pengakuan, lalu   Eslas meneruskan pesan Attila:

“Theodosius yaitu  putra dari seorang ayah bangsawan.

Begitu juga dengan diriku, Attila, putra dari ayahku,

Raja Hun, Mundzuk. Aku mewarisi garis keturunan

bangsawanku, tapi Theodosius tidak. Sekarang siapa

yang barbar, dan siapa yang lebih beradab?”

Jawabannya jelas: tas itu membuktikan maksudnya.

Theodosius, dengan merencanakan pembunuhan Attila,

sudah bertindak seperti seorang budak yang berkhianat.

Sebagai hasilnya, Attila menyatakan, ia tidak akan

membebaskan Theodosius dari kesalahan itu kecuali

menyerahkan kasim itu untuk dijatuhi hukuman.

Dan ada masalah lain yang juga harus diselesaikan:

masalah istri Constantius. Perempuan yang ia maksudkan

sudah menikah dengan orang lain, dengan membawa

mas kawinnya. Namun Theodosius pastinya mengetahui

hal ini, di mana ia lebih baik membawa perempuan itu


kembali. Atau apakah ia tidak punya kendali atas

pelayannya sendiri? Dalam hal ini, Attila akan senang

memberikan tawaran kepada seorang laki-laki yang

kemungkinan besar tidak akan bisa menolaknya.

Hanya ada satu jalan untuk keluar dari kekacauan ini

dan menyelamatkan nyawa Chrysaphius: temukan seorang

perempuan yang lebih kaya dan mempunyai koneksi

yang lebih baik ketimbang perempuan yang pernah

dijanjikan kepada Constantius, dan lalu   bayar,

bayar, dan bayar. Perwakilan pun dipersiapkan, dipimpin

oleh orang-orang yang bahkan lebih terkenal daripada

Maximinus. Sebagai pertukaran untuk uang pada skala

yang belum pernah terjadi sebelumnya, semuanya

diselesaikan. Attila meninggalkan bagian selatan Sungai

Danube, wilayah yang butuh perjuangan untuk mem -

pertahankannya. Constantius mendapatkan istri kaya

(menantu jenderal dan konsul Plinthas, yang putranya

sudah meninggal dunia). Vigilas ditebus, Chrysaphius

selamat dan membuat rencana lagi, para tahanan perang

Roma dibebaskan, para pelarian Hun dengan senang

hati dilupakan.

Dan Attila bebas kembali memusatkan perhatiannya

pada target yang lebih mudah daripada Konstantinopel—

kekaisaran Romawi itu sendiri, yang sedang dalam

kehancuran.



PADA 450 PERBATASAN BAGIAN SELATAN WILAYAH ATTILA DI

sepanjang Sungai Danube dalam keadaan damai.

Pergerakan Attila menyeberangi Sungai Danube,

perselisihan mengenai para tahanan dan pelarian, dan

sekarang orang-orang Romawi timur yang memainkan

rencana buruk dan bodoh terhadap dirinya: semuanya

mendatangkan uang dan keamanan yang ia butuhkan

untuk meningkatkan statusnya dari bangsawan perampok

menjadi pembangun kekaisaran. Attila mungkin saja

sudah mengambil langkah untuk konsolidasi dan stabilitas.

Namun itu bukan sifat Attila. Bagi seorang bangsawan

perampok, uang dan keamanan tidak akan pernah cukup.

Semua ini tidak akan membuat Konstantinopel percaya

untuk menghargai komitmen-komitmen baru ini untuk

jangka panjang. Matanya mengarah ke wilayah barat.

Tentu saja, perdamaian dengan Roma sudah lima belas

tahun berlangsung, berakar dari persekutuan Hun-Roma

yang disokong oleh teman lama suku Hun, Aetius.


Namun Attila bukanlah orang yang membiarkan

persahabatan bertahan dengan uang tebusan. Tahun itu

juga, para pengikutnya, kemungkinan bahkan para logade-

nya sendiri akan merasa gelisah. Ia harus melakukan

sesuatu.

Roma sendiri terlalu kuat bagi seorang gila yang

ingin menantangnya—namun  —povinsi bagian utaranya,

Gaul, merupakan target yang lebih mudah. Gaul yang

miskin dan kacau balau sudah menjadi arena bermain

bagi pasukan barbar selama hampir 50 tahun. Bangsa

Briton telah melarikan diri dari pulau kecil mereka yang

bermasalah lalu   menuju barat laut, wilayah yang

akan menjadi Brittany. Suku Vandal, Alan, dan Suevi

sudah menyeberangi Sungai Rhine pada 406, bergerak

ke barat daya menuju Spanyol; bangsa Burgundi, yang

diusir keluar dari wilayah Main oleh gabungan pasukan

Romawi dan Hun pada 534-537, sudah menetap di

Savoy; dan suku Visigoth berkelana melalui Roma dan

Spanyol menuju Aquitaine, di mana pada 439 Roma

mengakui kemerdekaan mereka. Kelompok-kelompok

perampok pengembara, suku Bacaudae, meneror wilayah

utara. Dan suku Alan tinggal di dekat wilayah Valence,

yang lebih dekat dengan Orléans.

Para ahli sejarah suka membahas sesuatu yang pasti

ada dan memiliki ciri sendiri seperti suku-suku dan

negara berbangsa tunggal, namun   di daerah Gaul pada

abad kelima, individu, pasukan, dan suku-suku mengalir

masuk dan menyebar serta bergabung lalu berpisah

secara terus-menerus, sehingga sulit menentukan kesatuan

dasarnya, atau biarkan semuanya menjadi sebuah cerita.

Tidak ada aturan geografis atau politik yang bertahan

lama. Suku-suku barbar ini cenderung masuk dari timur

ke barat, kecuali jika mereka menetap ataupun tidak;

SI 

mereka yaitu  musuh pasukan Romawi, kecuali jika

tidak; mereka memelihara identitas mereka sendiri;

kecuali jika tidak.

Satu kebenaran yang tidak bisa disangkal yaitu 

bahwa daerah pinggiran Gaul sekarang cukup tenang,

menawarkan beberapa terobosan menarik bagi Attila. 

Di ujung timur laut, orang-orang Frank memiliki

kebebasan yang kuat. Setelah mendapatkan kemenangan

dari suku-suku yang ikut campur tangan di sepanjang

Sungai Rhine, orang-orang Hun kini punya akses mudah

terhadap mereka. 

Di bagian barat laut, satu wilayah sangat luas yang

berpusat di Brittany, suku Bacaudae gelisah seperti

biasanya. Attila mengenal mereka berkat seorang dokter

kaya asal Yunani, yang bernama Eudoxius, yang pernah

menetap bersama mereka, mendapat masalah, dan harus

melarikan diri dari sana. sebab  dianggap pengkhianat

oleh orang-orang Romawi, ia tak bisa kembali ke Roma.

Dan ia malah melarikan diri ke suku Hun.

Di pinggiran barat daya, sekarang Aquitaine, orang-

orang Visigoth sudah menetap setelah migrasi panjang

mereka melintasi wilayah Spanyol. Suku Visigoth yaitu 

musuh lama baik bagi bangsa Romawi maupun Hun.

Pasukan Hun-lah, di bawah pimpinan letnan kepala

bawahan Aetius, yang bernama Litorius, yang membasmi

orang-orang Visigoth dari Narbonne pada 437, dan

lalu   hampir menyapu bersih wilayah dekat ibu

kota Visigoth, Toulouse, pada tahun berikutnya.

namun  , jantung wilayah Gaul terus bergejolak, sebab 

provinsi-provinsi Gallo-Roma di bagian tengah dan

selatan meminta bantuan Roma untuk memberi

perlindungan sekaligus mengembangkan budaya mereka.


Pada 418 mereka memiliki administrasi daerah sendiri,

Dewan Tujuh Provinsi yang memaksakan budaya Roma

dan ajaran Kristen terhadap ibu kota barunya, Arles

(sekarang tetap menjadi sebuah kota yang kaya akan

peninggalan bangsa Romawi), yang mendominasi delta

Sungai Rhône. Di sinilah Aetius menjadi penjaga wilayah

Gaul sejak tahun 424 dan seterusnya, bertahan sekuat

mungkin, pertama terhadap Visigoth, namun   juga terhadap

Jerman di perbatasan Rhine. Tentu saja, untuk melakukan

hal ini ia mempekerjakan beberapa orang barbar yang

sangat bertentangan dengannya—seperti yang juga ia

lakukan dalam menangani masalahnya sendiri: saat

Aetius, penjaga Gaul melawan Frank dan Hun, dipecat

oleh pengawas bernama Galla Placidia pada 432, Aetius

memimpin pasukan pemberontak dari prajurit upahan

berkebangsaan Frank dan Hun untuk memaksakan

pengembalian jabatannya. Pada 450 Aetius masih

memainkan peran yang sama, kekuatannya menyebar di

sepanjang jaringan jalan-jalan di Roma hingga kota-kota

garnisun seperti Trier yang menjaga lembah Moselle,

dan Orléans, mempertahankan Loire dari suku Visigoth

yang ada di bagian selatan, dan bangsa Britons dan

Bacaudaer yang liar dari barat laut. namun  , ini yaitu 

sebuah provinsi yang menyusut untuk memper tahankan

inti wilayahnya. Sungai Rhine, perbatasan kuno, memiliki

benteng-benteng sendiri, namun   letaknya di luar Ardennes,

dan sulit untuk memperkuat pasukan dalam keadaan

darurat. 

Kekuatan militer dan Aetius hanya membentuk

setengahnya. Untuk setengahnya lagi, yang bersifat

budaya, kita kembali pada Avitus, seorang ahli kenegaraan,

pencinta seni, dan kaisar masa depan. Ia bermukim di

15 kilometer barat daya Clermont-Ferrand, di bukit

SI 

vulkanik curam di Massif Central, di samping sebuah

danau yang terbentuk saat lava zaman prasejarah mengalir

dan menutup sebuah sungai kecil. Orang-orang Romawi

menyebutnya Danau Aidacum. Sekarang dikenal dengan

nama Danau Aydat, terbentang seluas 2 kilometer, lebih

kecil ukurannya dibandingkan saat masa Roma, namun  

tepiannya masih dikelilingi pepohonan dan lahan-lahan

terbuka. Di sinilah Avitus membangun sebuah vila untuk

mengatur Avitacum, begitu ia menyebutnya. Hal ini

disebutkan dalam sebuah surat oleh menantunya yang

bernama Sidonius, salah satu pujangga paling terkenal

pada masanya, yang meyakinkan ketenarannya dengan

berkirim surat bernada menjilat kepada orang-orang

kaya dan berkuasa.1 Pidato puji-pujian yang dipertanyakan

ini, ditulis tidak lama setelah kejadian ini, menandakan

pemerintahan singkat Avitus sebagai seorang kaisar pada

455-456, persis sebelum ia meninggal, saat Sidonious

berusia dua puluh lima tahunan. Dalam puisi dan surat

yang penuh dengan pujian dan keangkuhan (ia akan

menyukai kata itu) ia melukis sebuah gambaran yang

menyatakan apa artinya menjadi provinsi Roma persis

sebelum serangan suku Hun. Rasanya seperti melihat

masa lalu, pada akhir minggu panjang zaman Edwardian

persis sebelum tahun 1914, atau kehidupan istimewa

Anglo-Indian tahun 1930-an, atau Amerika Selatan kuno

dalam artikel   Gone With the Wind persis sebelum terjadinya

Perang Dunia. Ada sebuah kekaisaran yang akan menguasai

semua wilayah, namun  , kekayaan provinsi ini berlangsung

dalam pesta-pesta rumahan dan pemandian, makan


malam, olahraga, dan diskusi literatur yang menarik,

seolah-olah perubahan tidak akan pernah terjadi.

Avitus, salah satu orang paling terkenal pada masanya,

pada 450, keluarganya hampir sebanding dengan keluarga

raja Gaul. Ia pimpinan provinsi pada masa-masa kacau.

Sebagai kepala dari sebuah keluarga kaya dan berpengaruh,

ia menjadi seorang komandan militer di bawah Aetius,

dan pengabdiannya dihargai dengan posisi senior di

Gaul, baik secara militer maupun sipil. Pada 439, setelah

banyak utusan gagal, ia membujuk raja Visigoth,

Theodoric, untuk menandatangani perjanjian damai.

Pada 450 Avitus menjadi pelindung seni yang terkenal,

seorang tuan rumah yang boros, dan seorang kolektor

manuskrip yang bersemangat, dikagumi di seluruh

kekaisaran sebab  keahlian diplomatisnya.

Surat Sidonius membawa kita pada tur di kediaman

Avitus yang mewah. Di bagian barat menjulang satu

bukit curam, dengan punggung bukit di bagian utara

dan selatan vila dan tamannya seluas 2 acre. inada 

danau di bagian timur. Jika dilihat dari sisi modern,

Avitacum lebih menyerupai sebuah desa daripada vila,

mencakup akomodasi terpisah untuk para pengurus

lahan, para petani penyewa, dan para budak. Satu

kompleks bangunan penting, yang menjadi wujud pusat

kekayaan, budaya, dan identitas, yang terdiri dari

pemandian, yang mengelilingi bagian bawah daerah

berhutan yang curam. Dari hutan di atas sana, saat para

penebang pohon bekerja, kayu-kayu gelondongan “yang

menumpuk meluncur hampir dengan sendirinya menuju

ujung tungku perapian”. Di samping perapian inada 

pemandian air panas, dengan uap panas yang dialirkan

dari susunan pipa-pipa yang rumit. Di luar pemandian

panas itu inada  ruang minyak, di mana para ahli pijat

SI 

meramu minyak wangi, dan frigidarium. Semua ruangan

ini beratap kerucut dengan dinding beton putih, tidak

dihiasi lukisan dinding biasa, namun   dengan baris-baris

sajak yang dibuat dengan cermat dan indah. Tiga

lengkungan dengan tiang-tiang penyangga terbuat dari

porfiria mengarah ke sebuah kolam renang yang

panjangnya 20 meter, airnya diambil dari sungai kecil

yang mengalir dari bukit, menyembur melalui enam

pipa berujung kepala singa dengan suara gemuruh yang

menenggelamkan suara percakapan. Di sampingnya

inada  ruang makan kaum perempuan, gudang utama,

dan ruangan tempat menenun. Berhadapan dengan danau

inada  sebuah serambi bertiang sangat besar, yang dari

sana inada  sebuah koridor menuju satu ruang terbuka

di mana para budak dan keluarga mereka berkumpul

untuk mendapatkan makanan.

Di dekat sana—susunannya semakin sulit dipahami—

inada  ruang makan musim dingin dengan satu kubah

perapian, dan ruang makan musim panas, dengan tangga

pendek mengarah ke sebuah beranda yang menghadap

ke danau. Di sini para tamu menikmati pemandangan

para nelayan yang sedang melempar jaring atau

menyiapkan kawat yang digantung dari pelampung untuk

menangkap ikan trout tadi malam. Jika suasana terlalu

panas, kita selalu bisa bersandar di ruangan yang meng -

hadap ke utara, tempat yang bagus untuk tidur diiringi

suara jangkrik. Alam juga punya nyanyian lain: suara

kodok saat senja, suara angsa pada sore hari, ayam

jantan sebelum subuh, burung gagak saat matahari terbit,

burung bulbul di semak-semak, dan burung walet di atas

kasau. Berjalan menyusuri lereng berumput menuju

danau mengantar kita ke sebuah hutan kecil, dinaungi

oleh dua pohon jeruk besar, tempat keluarga bermain


KET