ERAMPILAN YANG HILANG
DITEMUKAN KEMBALI
Lajos Kassai, master panahan (gambar utama dan sisipan),
memiliki sekitar 250 murid yang berkumpul di rumahnya di
dekat Kaposvar. Dia mengajar sendiri olahraga ini. Salah satu
murid wanita Kassai yaitu Protégée, Pettra Engelander (bawah),
yang membuka kursus di Gut Seeburg, dekat Berlin, bukti bahwa
perempuan suku Hun bisa melawan seefektif pria.
Gerbang Hitam Triers yaitu salah satu dari
beberapa benteng pertahanan militer kota
yang gagal menghentikan serbuan suku Hun.
Honoria, adik kaisar,
membujuk Attila untuk
membantu--ia
dijadikan sebagai
tawaran pernikahan,
meminta setengah
kekaisaran sebagai mas
kawinnya.
INVASI KE EROPA BARAT
Pada 451, Attila memanfaatkan permohonan
penyelamatan Pangeran Honoria sebagai alasan
untuk menyerang. Dia memimpin tentaranya
dari Hongaria di seluruh Jerman, melewati
lembah Moselle, Trier dan Metz, dan ke Prancis.
Ia menyerang beberapa kota, termasuk Reims
dan Troyes. kembali di Orleans, invasi itu
akhirnya dikalahkan oleh jenderal Romawi
Aetius di Catalaunian Plains di utara Troyes.
Aetius, digambarkan
dalam panel gading
abad ke-5, sudah
mengenal suku Hun
pada usia remaja, dan
mungkin telah
mengenal Attila.
Seperti jenderal besar
Romawi lainnya, dia
mengorganisasi
pertahanan kerajaan
melawan Attila.
Di katedral Reims, sebuah portal untuk memperingati
kemartiran Uskup Nicasius di tangan para Hun. Dia siap
untuk dieksekusi (kanan), menyerahkan kepalanya (kiri)
mengambarkan dirinya orang cuci.
Seorang infanteri Frank, konfederasi suku-suku
Jermanik di dataran rendah Rhine. Kaum Frank diserang
oleh suku Hun selama invasi ke Eropa bagian barat.
Tidak ada bukti kuat, namun beberapa orang percaya
bahwa harta karun Pouan, yang dipamerkan di museum
Troyes, yaitu kuburan harta Theodoric, raja Visigothic,
yang dibunuh oleh pasukan Attila dan dimakamkan
secara buru-buru di medan perang.
KAMPANYE ORANG ITALIA, DALAM FAKTA DAN FIKSI
Ketika Attila menginvasi Italia pada 452, ia mengambil Aquileia–tapi dia benar-
benar dibuat kebingungan dengan penerbangan ibu-bangau (kiri)? Dia tidak
pernah maju ke sisi selatan Po–dia benar-benar terhalang oleh Paus Leo I
(di atas)? Kejadian ini dengan cepat menjadi sebuah legenda.
Seribu tahun lalu , Raphael dihormati Paus sebelumnya, Leo X, dengan
menggambarkan dia seperti Leo I. The Meeting of Leo the Great With Attila
(1511-1514) di suite kepausan Vatikan memiliki cerita tersendiri. Hanya Paus
dan pembantu, Raphael: bahkan Attila pun juga panik (tengah).
Leo I awalnya memikul tanggung jawab dari Julius II, yang menugaskan
pekerjaan. Ketika Julius meninggal, Raphael menjadikan Leo I sebagai
pengganti Julius, yang telah menjadi salah satu pembantu Julius. Jadi Leo X
muncul dua kali, sebagai paus dan seorang pembantu.
Sebuah ilustrasi dalam Saxon Chronicle of the World menunjukkan bahwa Attila
meninggalkan Aquileia pertanda musim gugur sudah dekat.
p
Sebuah jendela kaca berwarna Prancis
pada 1883 menggambarkan Attila
menjadi prajurit Wagnerian.
Poster pemerintah AS pada Perang
Dunia Pertama yang mendesak
warganya untuk mengikuti perang.
Dalam bagian dua film epik Die Nibelungen (1924)
karya Fritz Lang, Attila seperti inti dari kejahatan.
Ini tergambar dari Bagian II, Kriemhild’s Revenge,
dengan Rudolf Klein-Rogge sebagai Attila yang
menakutkan. Hitler menyukai film ini, seperti
arsiteknya, Albert Speer, yang terinspirasi dengan
efek pencahayaan yang menghantui ketika ia
menggelar Nuremberg Rallies.
"SUKU HUN YANG MENJIJIKKAN"
Attila dan suku Hun hidup sebagai simbol
kebiadaban, memperoleh makna baru dan
palsu di zaman modern. Pada 1870-an di
Prancis, suku Hun datang membela Jerman,
bersatu di bawah kepemimpinan militer
Prusia, pertimbangannya bahwa Jerman
sendiri didukung. Juru bicara Inggris
lalu mengadopsi "Hun" sebagai istilah
hinaan bagi "Jerman", sebagaimana
dicontohkan dalam propaganda Perang
Dunia Pertama dan berita utama surat kabar.
Hari ini, istilah itu bertahan hanya sebagai
sebuah perkataan kuno.
SEBUAH KEMATIAN BERDARAH
Pendarahan pada malam pernikahannya dengan Ildico, istri barunya,
sangatlah dramatis untuk kehidupan Attila yang menakjubkan. Para
penulis dan ilustrator menceritakan kembali kejadian itu dengan cara
mereka sendiri. Hampir satu milenium setelah kejadian, penulis
anonim abad ke-14 atas karya Saxon Chronicle of the World
mengambarkan Attila sebagai raja abad pertengahan.
bola atau dadu dengan para tamu. Jika mau, kita bisa
naik sampan. Menghindari daerah rawa di ujung barat,
dengan rumput gajahnya yang tumbuh tidak beraturan
dan kasar, kita bisa mengayuh sepanjang pinggiran sungai
bagian selatan yang berkelok-kelok dan ditumbuhi
pepohonan, mengelilingi pulau kecil, berbelok di sebuah
tonggak yang penyok oleh dayung para pendayung yang
gila-gilaan, berkeringat dan tertawa, selama balapan
tahunan. Dan dari atas Avitus melihat semua pemandangan
ini, sebab perpustakaan yang ada di atas menghadap ke
pemandian, halaman rumput, dan danau; sementara
diri nya mendiktekan surat-surat dan berunding dengan
para pemimpinnya, ia suka memastikan tamu-tamunya
menikmati Arcadia ala Roma ini.
Dan apa lagi yang mungkin diinginkan para tamu,
selain bersampan, mandi, dan menikmati hidangan?
Sidonius memberi tahu kita dalam surat lain yang
menggambarkan aktivitas rumah pedesaan ini (sebenarnya,
terletak di dua permukiman dekat Nîmes, namun hal
semacam ini umum untuk golongan atas pada zaman
dahulu). Pagi hari, bisa saja ada babi berkeliaran saat
mereka sedang bermain bola, di mana para pemain
dalam posisi melingkar melempar bola sementara yang
lain berusaha menangkapnya. Di dalam rumah, tamu
lain bermain dadu. Pada salah satu sudut inada
setumpuk manuskrip, seolah-olah surat kabar Minggu,
Country Life dan beberapa artikel terbaru: sebagian
tentang kebaktian bagi kaum perempuan, dan literatur
tentang kemahiran berpidato dan kehebatan gaya penulisan
untuk kaum laki-laki. Lalu, saat laki-laki berdiskusi
tentang karya versi Latin terbaru dari beberapa penulis
Yunani terkenal, seorang kepala pelayan mengumumkan
waktu makan siang, saat itu pukul lima menurut jam air.
Makan siang itu terdiri dari daging panggang dan daging
rebus serta anggur, dinikmati sambil mendengarkan pem -
bacaan satu cerita pendek. Setelah itu, jalan-jalan sebentar
untuk menyenangkan hati diikuti dengan sauna. Di per -
mukiman-permukiman yang sayangnya tidak memiliki
cukup pemandian uap, para pelayan menggali sebuah
parit, mengisinya dengan batu-batu yang sudah dipanaskan
dan membangun atap dari cabang-cabang pohon dan di -
tutup dengan permadani. Sementara para tamu berkumpul,
para pelayan menyiramkan air pada batu-batu tadi.
Di sini kita bisa menghabiskan waktu selama berjam-jam,
selalu saja ada perbincangan lucu, di mana kami diselimuti
dan kesulitan bernapas sebab embun, yang membuat kami
berkeringat. Jika mandi uap ini sudah cukup memuaskan,
kami masuk ke pemandian air panas. Airnya yang hangat
menyenangkan, membuat rileks dan membersihkan pencernaan
yang tersumbat; dan lalu menyegarkan tubuh dengan
air dingin dari mata air dan sumur atau aliran sungai.
Mengenang saat kami berkeliling, meskipun daerah
ini yaitu sebuah provinsi yang paling mewah, puncak
dari perbaikan, elegan, dan mewah, di sana inada
ratusan vila lain yang lebih kecil, semuanya kira-kira ada
di sekitar 100 kota di Gaul, sebagian ukurannya sebesar
ibu kota daerah seperti Narbonne dan Lyons, bahkan
yang berukuran sedang, dan lebih cemerlang daripada
desa Attila di padang rumput Hongaria. Kemungkinan
salah satu sekretaris Attila yang berkebangsaan Roma
pernah mendengar tentang Avitacum, dan menceritakan
kepadanya akan hal-hal menyenangkan yang ada di sana.
Orang-orang seperti ini, dengan kemewahan yang korup,
akan menjadi mangsa yang mudah.
Dan lalu , bukankah ini menjadi tempat yang
sangat indah bagi seorang penakluk untuk meredakan
ketegangannya dari urusan-urusan pemerintahan—sebuah
desa untuk mengasingkan diri, semacam Berchtesgaden,
Chequers, atau Camp David—di mana beberapa perem -
puan cantik Roma dari kelas atas akan diperbolehkan
memainkan sandiwara dan menghibur, serta menantikan
kunjungan sesekali yang sangat ramah dari majikannya?
BAGAIMANA MEMULAINYA? Masalah utamanya yaitu
bagaimana bergerak ke Gaul tanpa terlihat mengancam
secara langsung, dan dengan demikian mengancam Roma
sekaligus berisiko kehilangan persahabatan dengan Aetius,
pelindung Gaul. Tampaknya suku Visigoth yaitu
kuncinya, sebab secara tradisional mereka yaitu musuh
baik bagi bangsa Romawi maupun Hun. Attila berusaha
mengirim seorang diplomat, yang sejujurnya, masih
orang baru. Bagi Roma, Attila membuat sebuah argumen
mencurigakan bahwa Visigoth menjadi pengikut yang
melarikan diri dari Hun, tuan besar mereka, dan harus
dibawa kembali. Dengan mengklaim hal ini, bisa menjadi
semacam pelindung diplomatik bagi Attila, sebab orang-
orang Visigoth yaitu musuh Roma, ia akan bertindak
“sebagai penjaga persahabatan bangsa Romawi”, dalam
istilah seorang pencatat kronik kontemporer, Prosper
dari Aquitaine, di mana pemilik lahan akan senang
meng ambil kembali tanah-tanah yang dirampas oleh
Visigoth hanya satu generasi sebelumnya.
Namun, tentu saja Visigoth tidak menyambut baik
kedatangan Attila ini. Mereka juga harus dinetralkan.
Secara bersamaan, Attila mengirim satu pesan untuk
Theodoric dengan argumen berbeda, memintanya meng -
ingat kembali siapa sebenarnya musuh suku Visigoth—
misal, Roma—dan dengan kata lain menawar kan bantuan.
Sebagaimana komentar Jordanes, “Di balik keganasannya,
Attila berkepribadian halus.” Meski tidak terlalu halus.
Apakah Attila benar-benar cukup naif, berpikir bahwa
musuhnya tidak bisa melihat di mana sesungguhnya
bahaya paling besar berada? Aku berpikir, Attila pasti
sudah tahu.
Ambisi Attila didukung oleh satu kerajaan barbar
baru di tempat jauh, yaitu Vandal di Afrika Utara. Dalam
satu anekdot mengejutkan Jordanes menjelaskan alasannya.
Seorang putri Visigoth, putri dari Theodoric, menikah
dengan pangeran Vandal bernama Huneric, putra Raja
Gaiseric. Pada mulanya, semua berjalan mulus. lalu
lahirlah anak-anak. Lalu Huneric berubah menjadi brutal
dan paranoid. “Dia kejam, bahkan kepada anak-anaknya
sendiri, dan hanya sebab curiga istrinya berusaha
meracuninya, ia memotong lubang dan cuping hidung
istrinya, sehingga merampas kecantikan alaminya, dan
mengirimnya kembali kepada ayahnya di Gaul, di mana
perempuan menyedihkan ini menjadi hadiah keburukan
yang tidak enak dipandang mata, yang pernah ada.
Perilaku kejam ini, yang dipengaruhi oleh orang-orang
yang bahkan tidak dikenalnya, membuat ayahnya
melakukan balas dendam sekuat tenaga.” Jadi Gaiseric
punya alasan untuk cemas terhadap apa yang akan
dilakukan Theodoric. Satu serangan awal oleh Attila
akan sangat berguna.
Sungguh sebuah keuntungan bagi Attila jika ia berhasil
mencapai tujuannya! Dengan dikalahkannya suku Visigoth,
Attila akan berkuasa dari Kaspia hingga Atlantik, daerah
kekuasaan yang sama luasnya dengan bagian kekaisaran
Romawi jika digabungkan, dan dengan jalur persediaan
melintasi Gaul membelah antara Bacaudae yang sulit
dikendalikan di bagian utara dan legiun Roma di bagian
selatan. Hal ini pastinya akan memungkinkan bagi nya
untuk menghancurkan Bacaudae atau cukup meng -
abaikan mereka dan langsung menyerang Gaul. Attila
akan menguasai seluruh Eropa bagian utara, sebuah
keseimbangan kekaisaran dinamis baru, dan lalu
mendominasi, dan akhirnya—mengapa tidak?—menakluk -
kan imperium yang terpisah, korup, dan hancur yang
ada di selatan.
Strategi jangka panjang ini yaitu sebuah rekaan,
namun ada beberapa bukti bahwa setidaknya Attila
memulai rencana ini. Ia mengirim satu pesan kepada
Valentinian III di Roma, menyatakan tujuannya untuk
menyerang Visigoth dan meyakinkan bahwa ia tidak
punya perselisihan dengan kekaisaran barat. Waktu itu
musim semi tahun 450, saat yang tepat untuk bersiap
melakukan perjalanan panjang ke arah barat—tapi untuk
dua peristiwa yang mengubah segalanya, menggoda
Attila untuk meraih sesuatu yang di luar jangkauannya,
dan hal itulah yang menjamin kehancuran dirinya.
KAISAR VALENTINIAN III, yang masih berusia tiga puluh
tahunan, memiliki seorang adik perempuan, Honoria,
keduanya yaitu anak dari Galla Placidia yang hebat,
janda dua kali, putri dari Theodosius Agung. Kisahnya
sendiri merupakan sebuah drama. Wanita itu dibawa
keluar dari Roma oleh pimpinan suku Goth, Athaulf,
diserahkan kembali ke Roma setelah suaminya itu
terbunuh, dan menikahi pimpinan Roma, musuh Athaulf,
Constantius (Constantius yang lain, bukan sekretaris
Attila yang bernama sama). lalu yang terjadi
sekarang yaitu sebuah melodrama: kisah putrinya,
putri Honoria, yang harga dirinya terluka dan bagaimana
ia mengubah sejarah.
Keluarga kekaisaran menetap di ibu kota yang sekarang,
Ravenna, selama 25 tahun, sejak kekalahan John (atau
Johannes). Honoria sejak masa remaja dibesarkan dalam
posisi berkuasa dan memiliki hak istimewa, dan diberi
gelar kehormatan “Augusta” jauh lebih dini demi
kebaikannya sendiri. Ia memiliki kediaman sendiri di
istana itu, sebuah tempat tinggal yang diurus oleh seorang
pelayan bernama Eugenius. Seperti ibunya, ia juga seorang
perempuan ambisius: tidak seperti ibunya, ia punya
rencana untuk memerintah dengan haknya sendiri; dan
tidak seperti abangnya yang pengecut dan lemah, Kaisar
Valentinian, Honoria punya keberanian. Hanya ke -
sempatan yang tidak ia miliki, yang mungkin akan ia
dapatkan jika abangnya tidak memiliki keturunan,
mengancam takdirnya dalam ketidakjelasan. Namun
mimpi untuk berkuasa tetap ada, untuk mencapainya ia
memerlukan seorang pendamping. Eugenius kandidat
yang cocok, pertama sebagai seorang konspirator, dan
lalu lebih daripada itu, sebagaimana kisah yang
ditambahkan oleh Gibbon: “Honoria menjalani hubungan
yang terlalu dini bagi gadis seusianya yang baru menginjak
enam belas tahun sehingga ia benci dengan kejayaan
yang bersifat mendesak yang selamanya meniadakan
dirinya dari kesenangan akan rasa cinta yang terhormat:
di tengah kesia-siaan dan kemegahan yang tidak
memuaskan, Honoria mengeluh, menyerah pada dorongan
hati, dan memasrahkan dirinya ke dalam pelukan pengurus
rumah tangganya, Eugenius.”
Hal ini sedikit menganggu cerita mengetahui bahwa
ia benar-benar bukanlah seorang gadis yang tidak tahu
arah, namun ketika hal ini terjadi ia berusia tiga puluhan
dan mempunyai rencana. Gibbon berkata bahwa Honoria
lalu hamil, dan terpaksa mengasingkan diri di
sebuah daerah terpencil di Konstantinopel. Tidak ada
lagi seorang pun yang menyebutkan kehamilan atau
pengasingan di Konstantinopel, dan Gibbon tidak memberi
tahu sumber pernyataannya ini. Namun, bagaimana pun
hubungan dan rencana Honoria ini terbongkar, Eugenius
dijatuhi hukuman mati dan Honoria ditunangkan dengan
seorang konsul kaya dan dapat dipercaya serta tidak
berniat melakukan intrik.
Marah besar sebab kehilangan cintanya, kegagalan
rencananya, dan calon suami yang membosankan, Honoria
merencanakan balas dendam mengerikan dan kehidupan
baru yang akan memberinya kekuasaan yang sudah lama
ia inginkan. Seperti yang ia ketahui dari pesan yang
baru-baru ini diterima abangnya dari Attila, yang saat
itu sudah menjadi penguasa monarki paling kuat di luar
wilayah kekaisaran, bahwa raja Hun ini berencana
memperluas kekuasaannya ke wilayah Visigoth dan
mungkin akan menguasai seluruh wilayah Gaul.
Beginilah balas dendam yang akan dilakukan Honoria
terhadap abangnya: ia akan menjadi pendamping Attila.
Ia akan memerintah, jika bukan sebagai kaisar perempuan
di Roma, maka sebagai kaisar perempuan di Gaul.
Catatan Gibbon tentang rencana Honoria ini benar-
benar bergaya Hollywood, dengan alur klasik dan sedikit
nuansa Xenophobia:
Ketidaksabarannya akan kehidupan selibat yang lama dan sia-
sia mendorong Honoria untuk mengambil resolusi ganjil dan
nekat … demi mengejar cinta, atau lebih tepatnya balas
dendam, putri Placidia itu mengorbankan setiap kewajiban,
setiap prasangka, dan menawarkan dirinya ke dalam pelukan
seorang barbar yang bahasanya saja tidak ia mengerti, yang
sosoknya hampir tidak menyerupai manusia, dan yang memiliki
keyakinan dan kelakuan yang ia benci.
Dari sumber-sumber lain kita memiliki cukup catatan
untuk memercayai gagasan utama kisah ini. Di antara
rombongannya ada seorang kasim setia, Hyacinthus,
yang dipercaya oleh Honoria untuk misi luar biasanya
ini. Honoria memberinya sebuah cincin kepada Hyacinthus
agar diserahkan kepada pemimpin Hun, Attila, sebagai
bukti itikad baiknya, memohon bantuan. Sebagai ganti
sejumlah uang, Attila langsung datang dan menyelamatkan -
nya dari pernikahan yang ia benci. Cincin itu mengandung
maksud bahwa sebagai balasan penyelamatan itu, Honoria
akan menjadi istrinya.
Valentinian memiliki mata-mata, namun Hyacinthus
sudah lama pergi sebelum kaisar itu tahu apa yang
terjadi. Kabar tentang skandal ini menyebar di warga
kelas atas, dan juga didengar oleh Theodosius di
Konstantinopel. Theodosius, yang baru saja memenangkan
Attila setelah rencana pembunuhan itu, tidak ingin
membuat Attila atau perjanjian damai baru mereka itu
terganggu. Ia memberi saran kepada Valentinian untuk
langsung menyerahkan Honoria. Honoria bisa dikirim
langsung menyeberangi Sungai Danube, dan dibuang.
Namun Valentinian tidak akan menerima tantangan
terhadap kekuasaannya ini. Tidak ada catatan bagaimana
Hyacinthus menyelesaikan misinya, sebab tidak ada
pejabat pencatat sejarah di Markas Besar Attila untuk
mencatat semua kejadian itu. Aku punya firasat bahwa
Onegesius pada awalnya tidak ingin menyusahkan tuannya
dengan kedatangan utusan dan tawarannya yang gila-
gilaan—namun lalu memiliki pemikiran kedua.
Mungkin keduanya sudah mendengar kabar tentang
Hyacinthus, sebab Attila tidak merespons hal itu hingga
ia lalu mengingatnya lagi. Semua ini memakan
waktu beberapa minggu. Saat Hyacinthus kembali kepada
Honoria melaporkan kesuksesan misinya, Valentinian
menangkap kasim itu, menyiksanya untuk membocorkan
detail rencana itu, dan lalu dipancung.
Valentinian pasti juga tergoda untuk menyingkirkan
adik perempuannya itu, namun dilarang oleh ibunya yang
pernah mengalami masa jaya, Galla Placidia, yang
memerintahkan perlindungan bagi putrinya yang ber -
perilaku menyimpang. Valentinian menyerahkan adiknya;
beberapa tahun lalu Placidia meninggal, pada saat
itu juga Honoria menghilang dari sejarah, tenggelam
dalam pernikahannya yang membosankan—suaminya
menjaganya agar tidak menimbulkan kerusakan lagi.
Namun akibat dari tindakan Honoria ini terus berlanjut,
dipicu oleh kejadian tidak terduga kedua pada 450.
Honoria memberi tawaran yang luar biasa pada musim
semi tanggal 28 Juli, saat Theodosius, kaisar Roma timur
jatuh dari kuda sehingga punggungnya patah. Dua hari
lalu sang kaisar meninggal dunia pada usia 50
tahun, meninggalkan dua orang putri, tidak ada ahli
waris laki-laki, dan satu masalah. Dinobatkan sebagai
kaisar saat kanak-kanak, 43 tahun yang lalu, Theodosius
tidak pernah menjadi kaisar yang kuat. Kekuatan di
belakang takhta berasal dari kakak perempuannya,
Pulcheria, dan ia tidak akan menyerahkan kekuasaan ini
hanya sebab adiknya sudah meninggal. Dalam waktu
tiga minggu Pulcheria menikah dengan soerang senator
Thracia ber nama Marcian. Yang menimbulkan keheranan
orang-orang istana, Marcian ternyata sudah dinobatkan
sebagai penerus takhta oleh Theodosius sebelum meninggal
dunia. Marcian, seperti halnya Pulcheria, bukanlah orang
S
yang suka mengalah. Sekarang yaitu momen yang baik
untuk menunjukkan ketetapan hatinya dan menghentikan
pengiriman emas ke wilayah utara, sebab Attila, di
tengah rencana serangan kaisar Hun itu ke barat, tidak
punya waktu atau kecenderungan untuk mengubah jalur
pergerakannya. Salah satu tindakan Marcian yang pertama
yaitu tidak mengakui pembayaran untuk Attila yang
telah disetujui oleh Theodosius.
Attila sudah siap mengumpulkan pasukan yang tidak
pernah dilihat bangsa Romawi sebelumnya, menggerakkan
semua suku dari kekaisarannya, sebuah daftar yang
semakin panjang seiring tahun-tahun yang berlalu, hingga
para penulis kronik mendukung bahwa pasukan ini
berasal dari suku-suku mitos dan dengan fasih mengatakan
bahwa pasukan itu berjumlah setengah juta orang. Yah,
ini sulit menandingi kekuatan gabungan pasukan Romawi,
namun mungkin jumlah sebenarnya ratusan ribu. Di
antara mereka yaitu pasukan Gepid dari perbukitan
Transylvania, di bawah pimpinan raja Ardaric, yang
banyak dikagumi (ujar Jordanes) atas kesetiaan dan
kebijaksanaannya; tiga kontingen Ostrogoth dari wilayah
baru mereka di selatan Sungai Danube, yang kini kembali
di bawah Konstantinopel, namun menyediakan pasukan
untuk menyerang kedua pihak, pasukan yang ini
dikomandoi oleh Valamir—yang ketus, lihai bicara,
cerdas—dengan dua orang letnan, Theodomir dan
Vidimir; pasukan Rugia, mungkin aslinya berasal dari
bagian utara Polandia, yang tidak lama lalu menetap
di perbukitan Wina bagian utara; pasukan Skiria, yang
prajurit infanterinya menjadi tulang punggung unit-unit
infanteri pasukan Hun semenjak kepemimpinan Ruga
dan yang bekas rajanya, Edika, telah menunjukkan
reputasi baik di mata Attila, dengan membuktikan
kesetiaannya dalam menggagalkan rencana pembunuhan;
pasukan Akatziri dan Heruli dari Laut Azov, di dekat
daerah asal suku Hun; pasukan kuda bertombak suku
Alan yang termasyhur, beberapa dari mereka pernah
ditaklukkan sebelumnya; dari Rhineland, beberapa
kontingen Thuringia, dan sisa-sisa pasukan Burgundi
yang tetap tinggal sementara lainnya sudah melakukan
migrasi ke barat; dan dari Moravia, orang-orang
Langobard (“Long-Beards”/Janggut Panjang), yang pernah
menetap di Elbe dan kelak bermigrasi ke Italia dengan
nama Lombard, dan menjadikan nama ini sebagai nama
tanah air mereka yang terletak di sekitar Milan.
Attila kini terjepit. Dia sudah bersiap untuk melakukan
ekspedisi penyerangan, puluhan ribu prajurit yang harus
diberi makan, ketiadaan dana dari Konstantinopel, dan
kemungkinan yang paling nyata bahwa rencana jangka
panjangnya—pertama Visigoth, lalu Gaul, lalu kekaisaran
Romawi itu sendiri—akan dihabisi oleh pasukan Marcian.
Tidak ada waktu lagi. Tapi ke mana harus melakukan
serangan lebih dulu?
Mungkinkah pasukan Marcian yaitu macan kertas,
yang akan remuk saat serangan kuat pertama? Jauh dari
itu. Seorang utusan Hun meminta bantuan dalam waktu
yang sangat singkat. Sebagaimana dalam salah satu
catatan, Marcian membalas bahwa emas itu untuk teman-
temannya, dan logam untuk musuh-musuhnya. Hal yang
paling bisa diharapkan Attila yaitu “hadiah” jika ia
menjaga perdamaian. Dan jika dia mengancam melakukan
perang, maka ia yakin akan melawan pasukan yang
tidak sebanding dengan pasukannya sendiri. Harapan
kembali muncul, pada akhir tahun 450, Marcian mengirim
utusannya, Apollonius; namun , mengetahui ia tidak
membawa uang tebusan, dengan marah Attila menolak
SI
menemuinya, mengirim sebuah pesan bahwa ia bisa
meninggalkan hadiah apa pun yang ia punya dan pergi,
atau dihukum mati. Apollonius, seorang jenderal dan
salah satu utusan Marcian yang paling senior, bukanlah
orang yang bisa diintimidasi. Ia membalas, permintaan
Attila yang semacam itu tidak bisa dibenarkan. Tentu
saja, Attila punya kekuatan untuk mencuri dan membunuh;
dan hanya itu yang akan ia lakukan, jika ia menginginkan
hadiah dari Roma tanpa negosiasi. Atau, ia bisa saja
berdiplomasi, dan mendapatkan hadiahnya. Sebuah
respons yang berani dan tegas, dan cukup menghakimi.
Attila masih menolak untuk berunding, namun membiarkan
Apollonius pergi, membawa kembali hadiah niat baik
itu bersamanya.
Ada satu kesempatan di mana Attila bisa mendapatkan
apa yang ia inginkan tanpa pertempuran—kesempatan
yang sangat kecil, namun cukup pantas untuk diselidiki.
Ia memiliki cincin dan janji dari Honoria, sebagaimana
yang disampaikan oleh Hyacinthus. Jadi apakah tindakan
gila seorang perempuan yang sembrono dengan kesedihan
dan frustasi ini menginspirasi respons yang sama gilanya?
Adik perempuan kaisar sendiri memohon pertolongan,
yakni—dengan cincinnya—menawarkan diri kepadanya
dalam ikatan pernikahan; dan selayaknya seorang istri
yang datang dengan mas kawin—dalam hal ini, mas
kawin yang hanya dibatasi oleh impian Attila. Hanya
ada dua masalah: pertama, Honoria harus di bebaskan;
lalu wanita itu harus mencapai apa yang selama
ini selalu diinginkannya, yaitu menjadi penguasa bersama
Valentinian. Selama Honoria bertunangan, Attila berasumsi
bahwa dirinya memiliki hak untuk membuat semua ini
menjadi fakta .
Priscus menceritakan kisah ini: “Attila mengirim para
utusan menyatakan bahwa Honoria tidak boleh disalahkan,
dan bahwa jika perempuan itu tidak menerima tongkat
kerajaan, maka ia yang akan menuntut balas… Pihak
kekaisaran Romawi membalas bahwa Honoria tidak bisa
datang dan menikahi Attila sebab ia sudah diberikan
kepada laki-laki lain, dan Honoria tidak memiliki hak
atas tongkat kerajaan sebab menurut aturan pemerintah
Roma bukan milik kaum perempuan melainkan kaum
laki-laki.”
Ini gila. Bagi para utusan Valentinian, pernyataan
Attila ini mungkin terlihat sama tidak masuk akalnya
dengan pernyataan Idi Amin, diktator bertubuh gemuk
dari Uganda pada 1970-an, kepada Gedung Putih bahwa
dirinya yaitu Penakluk Kerajaan Inggris. Ketika hal
yang tidak bisa dielakkan ini terjadi, Attila berubah
pikir an. Serangan akan ditujukan ke barat, secepat
mungkin untuk mencegah aksi pasukan Marcian di
Konstantinopel. Attila akan melupakan Visigoth, dan
langsung menyerang Gaul. Dengan kemenangan yang ia
dapat di sana, semua Eropa bagian utara akan berada
dalam kekuasaannya, dan bahkan kekaisaran yang bersatu
akan gentar.
MESKI BEGITU, pertama, ada masalah untuk sampai ke
sana. Ini memerlukan ekspedisi yang belum pernah
Attila lakukan sebelumnya, ia akan melintasi pegunungan
dan sungai serta hutan, yang pernah ia lakukan saat
bergerak menyerang Balkan, namun belum pernah
menghadapi jarak sejauh ini secara terus-menerus tanpa
henti—tentu saja, ia memang sama sekali belum pernah
menghadapi perjalanan sejauh ini. Dan kecepatan menjadi
intinya. Yang dibutuhkan yaitu kekuatan yang setara
dengan Blitzkrieg: serangan kilat ke Moselle, dan lalu
menghancurkan daerah pinggiran yang akan memperdaya
dan mengubah arah oposisi lalu membuat satu
pangkalan di Atlantik. Untuk itu Attila memerlukan
pasukan kavaleri, dengan pasukan infanteri bertugas
melakukan pembersihan di belakangnya. Lebih baik
melakukannya tanpa balok kayu penggempur, trebuset/alat
pelontar, dan menara-menara pengepung yang pernah
ia bawa saat menyerang Naissus. Peralatan itu hanya
bisa bergerak sejauh 15 kilometer sehari dan perlu agar
tetap kukuh. Pastinya ia akan menempuh seluruh
Perancis—lebih dari 700 kilometer—dalam satu bulan.
Ini tidak boleh terjadi. Attila terjebak dalam paradoks.
Ia memerlukan kecepatan; tapi ada kota-kota yang harus
dinetralkan. Para pemanah berkuda yang bergerak cepat,
bisa melancarkan serangan dengan baik di daerah terbuka
melawan pasukan infanteri dan kavaleri Roma yang
bersenjata lengkap, tapi tidak ada gunanya berkuda
melintasi kota-kota benteng seperti Trier dan Metz,
meninggalkan batalion mereka tidak tersentuh untuk
membalas dendam demi kesenangan semata. Lagi pula
ia memerlukan mesin-mesin pengepung, yang berarti
kereta perang. Tentu saja akan ada beberapa kereta
perang, untuk membawa persediaan anak panah bagi
para pemanah; namun mesin berat semacam itu perlu
dukungan yang kompak, yang berarti sekumpulan sapi
jantan, makanan ternak, dan para penunggang kuda
terdepan, yang juga memerlukan makanan. Meng -
gunakan strategi menggabungkan pemanah berkuda dan
mesin pengepung di daerah yang dekat memang
memungkinkan, namun ini tidak mungkin dilakukan
untuk penyerangan ke daerah yang sangat jauh.
Ini risiko mengerikan. Jika mungkin, Attila akan
menghindari konflik yang tentunya sangat buruk. Sekali
lagi ia kembali pada masalah Honoria. Saat ini—dengan
pasukannya yang berada persis di perbatasan kekaisaran,
sama seperti pasukan Jerman pada 1914—Attila tampak -
nya sudah meyakinkan dirinya sendiri bahwa sebenarnya
ia menghadapi masalah besar. Ia kembali mengirim para
utusan, dengan tuntutan yang lebih tinggi. Honoria
yaitu haknya—mereka membawa cincin itu sebagai
bukti—begitu juga dengan semua yang menjadi milik
wanita itu, sebab Honoria menerima itu semua dari
ayahnya dan haknya dikurangi hanya sebab ketamakan
abangnya.
Dan apa yang sebenarnya dimiliki oleh Honoria, dan
yang kini seharusnya menjadi milik Attila? Priscus
menyatakan alasan Attila: “Valentinian seharusnya
menyerahkan setengah kekaisaran-nya kepada Attila.”
Ini tuntutan yang menghina: seluruh Gaul. Dan
kembali terjadi penolakan yang tidak bisa dielakkan.
Lalu dikirim lagi utusan terakhir, tuntutan Attila yang
tidak kenal kompromi, yang saat ini pastinya sudah
melanjutkan perjalanannya ke barat melalui hutan-hutan
Jerman menuju Rhine. Duta besarnya berkata kepada
Valentinian: “Attila pemimpinku dan pemimpinmu sudah
memberikan perintah kepadamu, melalui aku, untuk
menyiapkan istanamu untuknya.”
Akhirnya Roma menerima pesan itu. Tidak ada lagi
penyangkalan bahwa Visigoth yang menjadi target, tidak
ada lagi kepercayaan pada persahabatan lama antara
Attila dan Aetius, tidak ada penundaan untuk berharap
pada pertukaran diplomatik. Jika Attila tak dihentikan,
ia akan terus bergerak hingga kekaisaran Romawi
tumbang.
SETELAH MELIHAT KE BELAKANG, SAAT ORANG-ORANG TAHU
bahwa ini menjadi peringatan mendesak bagi seluruh
Eropa, mereka menyadari sudah ada pertanda, peringatan,
keajaiban, dan isyarat akan datangnya : gempa
di Spanyol, gerhana bulan, aurora yang cahayanya secara
tidak wajar berpendar terlalu jauh ke selatan, seperti
hantu-hantu bersenjatakan tombak yang menyala-nyala
memancar dari kutub. Pada bulan Mei 451 sebuah komet
terlihat jelas di langit saat fajar—Komet Halley, begitu
kita menyebutnya saat ini, bagian kepalanya yang bersinar
dan ekornya melambai-lambai sama menakutkannya
seperti misil menyala sebuah ketapel dari langit.
yang sudah terbangun dengan mantap selama 50 tahun—
Visigoth merebut Aquitaine; Alan, Vandal, dan Suevi
ter sebar di utara Gaul; Burgundi di Savoy; Frank ter -
hampar di sepanjang Meuse; Afrika Utara kalah; Britania
terpecah; Brittany menetapkan hukum bagi daerahnya
sendiri; para perampok suku Bacaudiae berkeliaran—
tampaknya Eropa sudah berada di ambang klimaks.
Dalam melancarkan serangan ke Barat, pasukan Hun
menghadapi satu masalah serupa yang dihadapi pasukan
Jerman saat mereka bersiap menyerang Perancis pada
1914, dan juga pada 1939. Masuk melalui Rhine, Perancis
memiliki pertahanan alam dalam bentuk pegunungan
Vosges, memberi jalan ke Eifel dan Ardennes di utara.
Praktis satu-satunya jalan yaitu melalui Moselle, melintasi
daerah yang sekarang bernama Luxembourg, dan
lalu keluar memasuki daratan Champagne. Namun,
tidak baik melakukan serangan melalui pegunungan me -
nuju pusat Perancis (Gaul) jika pasukannya bisa diserang
dari utara—dari Belgia atau, dalam hal ini, wilayah yang
dikuasai bangsa Frank.
Attila punya masalah dengan bangsa Frank. Raja
Frank sudah meninggal, dan kedua putranya memperebut -
kan takhta. Putra yang lebih tua pernah mendekati Attila
untuk minta bantuan; yang lebih muda, yang usianya
tidak lebih dari lima belas atau enam belas tahun, mencari
dukungan dari Roma, dan mendapatkannya dari Aetius.
Priscus melihat anak kedua raja Frank ini di Roma pada
akhir tahun 450, dan terkejut dengan penampilannya:
“Janggut pertamanya saja belum tumbuh, dan rambut
pirangnya terlalu panjang, sebahu.” Aetius lalu
mengangkatnya sebagai anak—cara umum untuk
memastikan persekutuan yang kuat—dan pemuda bau
kencur itu pun pulang membawa hadiah dan janji-janji.
Ia sungguh-sungguh akan mendapat bantuan yang ia
butuhkan untuk mengamankan takhta, dan pemuda itu
pun jatuh ke dalam kekuasaan Roma. Tidak perlu
mendapatkan bantuan pengikut Roma di sayap kanan,
lebih daripada yang bisa dipenuhi pasukan Jerman agar
Belgia yang netral masuk dalam kamp Sekutu. Agar
berhasil menyerang Perancis, Jerman harus memberi
pelajaran “Belgia yang malang”. Untuk menyerang Gaul,
pertama Attila harus menetralkan suku Frank yang
malang.
Awal tahun 451 pasukan utama Attila bergerak maju
di sepanjang jalur-jalur perbatasan Sungai Danube,
menyebar ke salah satu sisinya, menyeberangi anak-anak
sungai dengan berjalan kaki atau memakai kayu-
kayu ponton yang ditebang dari hutan yang ada di
sekitar. Satu sayap pasukan sepertinya bergerak ke selatan
dan lalu berakhir di Sungai Rhine, melalui Basel,
Strasbourg, Speyer, Worms, Frankfurt, dan Mainz,
lalu bertemu dengan pasukan utama, yang menyusuri
perbatasan lama dari Sungai Danube menuju Sungai
Rhine. Pasukan Hun mungkin menyeberang di dekat
Koblenz, menebang pohon di sepanjang pinggirannya
untuk membuat rakit dan jembatan-jembatan ponton
bagi kereta kuda mereka.
Dari sana, pada Maret 451, Attila bisa mengirim
pasukan kecil untuk menyapu bersih suku Frank yang
belum bertarung untuk Roma. Bukti yang mendukung
hal ini yaitu Childeric, putra yang lebih tua yang sudah
mendekati Attila, kelak muncul di antara orang-orang
Frank sebagai seorang raja yang bertubuh jangkung dari
bangsanya. Pastinya, tidak lama lalu pasukan Frank
membentuk satu kontingen dalam pasukan Attila begitu
juga dalam pasukan Romawi; dan ini tidak akan mungkin
terjadi jika mereka masih sepenuhnya bersekutu dengan
Romawi, bersiap dan menunggu menyerang Attila dari
belakang.
Catatan tentang serangan ini semuanya berasal dari
para penulis Kristen, sebab pada masa itu ajaran Kristen
yang menjaga lentera peradaban tetap menyala: semuanya
dalam bentuk surat tertulis, dan sebagian besarnya yaitu
hagiografi dari para uskup martir, yang sama-sama
memusingkan dan penuh imajinasi sebagaimana kebenaran
sejarah. Namun meski demikian, hal ini mungkin saja
digunakan untuk memetakan perkembangan serangan
Attila. Mungkin ada pasukan kedua yang menyeberang
di dekat Strasbourg, dan beberapa pasukan oposisi dari
Burgundi. Namun serangan utama datang dari dekat
persimpangan Sungai Rhine dan Moselle di Koblenz.
Pada musim semi, pasukan Hun dan sekutu mereka dari
berbagai bangsa maju menuju dua sisi Moselle, masing-
masing pasukan menyusuri jalan-jalan berliku, menyatu
di jembatan batu sembilan lengkung di Trier.
Mereka pastinya tidak sampai melebihi itu. Trier
sudah menjadi ibu kota Roma yang terletak di utara pe -
gunungan Alpen hingga pemerintah provinsi memindah -
kan nya ke Arles 50 tahun yang lalu, dan wilayah ini
sudah menjadi benteng selama tiga abad. Temboknya
yang setinggi 7 meter menghubungkan empat pintu
gerbang yang sangat besar, yang salah satunya masih ada
sampai sekarang, diselamatkan oleh seorang rahib Yunani
yang menetap di sana pada abad ketujuh, melindunginya
dengan aura kesucian. Saat pasukan Hun menghampiri,
gerbang utara ini bersinar kuning lembut, namun selama
beberapa abad terkena patina hitam yang memengaruhi
semua batu pasir yang menua, dan menjadi Porta Nigra,
Gerbang Hitam. Di Gaul, sejak dulu hingga kini, tidak
ada yang lebih bisa menunjukkan kekuatan Roma,
dibandingkan gardu yang kukuh dan menjulang ini,
dengan tinggi 30 meter, panjang 36 meter, dan lebar 22
meter. Masing-masing blok batu beratnya mencapai 6
ton, beberapa di antaranya inada nama dan tanggal
yang diukir oleh para tukang batu yang bangga. Dipotong
dengan gergaji perunggu bertenaga air dari Moselle,
batu-batu itu tidak direkatkan dengan memakai
semen, namun dengan klem logam menjadi tiga tingkat
yang terdiri dari 144 jendela lengkung dan dua menara
pendek lebar. Dua lengkung, dengan gerbang dan pintu
besi, mengarah ke dalam kota tua dan kediaman
penduduknya yang berjumlah 80.000 orang. Ini yaitu
miniatur Roma. Istananya yang terbuat dari marmer,
dibangun atas perintah Konstantin pada 300-310, tersusun
dari 1,5 juta ubin yang dibawa dari Pyrenees dan Afrika.
Pemandian yang ada di kota ini merupakan yang terbesar
di seluruh kekaisaran, kecuali yang ada di Diocletian
dan Caracalla yang ada di Roma itu sendiri, dilengkapi
dengan ruang olahraga, pemandian air hangat, dingin,
dan suam-suam kuku, tungku perapian batu bara, dan
gudang bawah tanah dua lantai. Di dalam stadion,
20.000 orang bisa menonton perkelahian para gladiator,
pelaku kriminal yang menjadi makanan singa-singa lapar,
dan drama di panggung yang diungkit dari lantai
(semuanya kini tinggal reruntuhan).
Jadi Trier pasti sudah menghentikan pergerakan
pasukan Hun. Namun mereka melewatinya tanpa ber -
istirahat. Kita tidak tahu apa yang terjadi saat itu.
Kurang nya catatan sejarah mengesankan bahwa garnisun -
nya, yang dikosongkan sejak Arles menjadi ibu kota
Gaul, menutup diri dan membiarkan pasukan Hun
bergerak masuk mengelilingi mereka. Pasukan Hun
bergerak terus, pasti meninggalkan satu pasukan cadangan
untuk memblokir lembah di hulu sungai kalau-kalau
pasukan Trier kembali mendapatkan keberanian mereka.
Biar bagaimana pun, satu-satunya informasi yang kita
miliki, kota berikutnya yang menjadi jalur pergerakan
mereka yaitu Metz. Menurut satu catatan, pasukan
Hun dengan sia-sia menggempur dinding-dinding Metz
dengan mesin penggempur benteng, dan maju ke benteng
yang terletak di hulu, di mana, persis sebelum Paskah,
mereka mendengar kabar bahwa satu bagian dinding
Metz yang digempur sudah runtuh. Dengan memacu
kuda mereka dengan cepat pada malam hari kembali ke
hilir sungai, pasukan ini langsung menerobos dan kota
itu berhasil dikalahkan pada tanggal 8 April. Seorang
pendeta ditawan, yang lain dipenggal lehernya, dan
banyak yang tewas di dalam rumah mereka yang dibakar.
lalu , turun menuju lereng batu kapur di kaki
bukit Ardennes yang landai, dan keluar di hamparan
tanah datar campi, savana terbuka yang diberi nama
Campania, lalu menjadi Champagne. Wilayah ini lalu
dikenal sebagai Dataran Catalaunia, sesuai nama Latin
suku lokal di sana, yang masih dipakai pada nama kota
saat ini yaitu Chálons. Tampaknya ada sedikit pengalihan
di utara Chálons, menuju Reims, ibu kota Gaul, tempat
pertemuan semua jalan utama. Kota kuno ini, dengan
gerbang kemenangan yang dibangun oleh Augustus dan
mimbarnya, nyaris kosong, penduduk melarikan diri ke
hutan, namun ada sedikit orang berharap hal terbaik, dan
berkumpul bersama uskup besar dan para pendeta kota
itu. Menurut legenda, wali gereja yang bernama Nicasius,
menyanyikan Kitab Mazmur 119 saat pasukan Hun
sampai di tempat mereka. Mungkin ia berharap surat
Mazmur yang paling panjang ini, dengan 176 ayat, akan
memberikan perlindungan khusus. Ternyata tidak. Ia
baru saja membacakan ayat ke 25—”Jiwaku melekat
pada debu, hidupkanlah aku sesuai dengan firman-
Mu.”—saat seorang prajurit Hun menebas kepalanya.
Kelak ia dikenang sebagai Santo Nicaise.
Meskipun demikian, serangan utama berada di barat,
menuju Orléans, di mana musuh-musuh lama Attila,
suku Alan, menyiapkan penyerangan. Pasukan Hun,
dengan kereta kuda mereka, bergerak dengan kecepatan
kurang dari Blizkrieg, melintasi tidak lebih dari 20
kilometer sehari, melalui satu daerah pedesaan yang
kosong sebab penduduknya ketakutan. Penduduk yang
memiliki harta, menguburnya; yang kaya gemetar
ketakutan dalam rumah-rumah besar mereka yang
berbenteng; mereka yang miskin, melarikan diri ke hutan
dan pegunungan.
Mereka bahkan melarikan diri ke sebuah kota kecil
di bagian utara, jauh dari jangkauan pasukan Hun.
Orang-orang Paris tidak ingin terjebak di pulau sungai
mereka. lalu (tentu saja) kehadiran orang sucilah
yang membuat mereka sadar. Genevieve, seperti perem -
puan suci lainnya di lalu hari, telah menerima
didikan Kristen sejak kecil, sebelum mengenakan kerudung
di usia lima belas tahun dan lalu dikenal sebab
kesederhanaan, kebersahajaan, dan pandangannya,
perempuan yang pasti memberi ilham kepada perempuan
lain seperti dirinya. Ia pintar dalam pengobatan ajaib
dan melihat masa depan, kedua keahlian ini menjadi
berguna saat pasukan Hun menyerang. Ia melihat bahwa
serangan ini yaitu kehendak Tuhan, yang hanya bisa
diredakan dengan doa dan penyesalan. Ia membuat satu
permohonan dramatis kepada penduduk kota untuk
tidak meninggalkan rumah mereka, namun menghadap
Tuhan untuk mencari keselamatan. Kaum laki-laki
mencacinya dan pergi melarikan diri, namun para
perempuan pemberani mempermalukan para laki-laki
pengecut dengan tetap tinggal, dan eksodus pun berhenti.
Diam di tempat dan melihat sekeliling, pasukan Hun
sama sekali tidak mendekati Paris. Tentu saja tidak perlu,
sebab itu bukanlah rute mereka. Namun Paris mengenang
gadis desa sederhana ini, yang mengalihkan kepanikan
yang bisa saja mengubah ibu kota Perancis masa depan
ini menjadi sebuah kota hantu, dan membuat Genevieve
menjadi orang suci pelindung kota.
Sementara itu, di manakah pasukan Romawi? Kapan
pasukan Hun pertama kalinya menyerang, tidak ada
yang tahu tujuan mereka. Mungkin Italia. Valentinian
sudah memerintahkan sebagian besar pasukan untuk
tetap di markas mereka. Aetius, sebagai tindakan pen -
cegahan, dikirim dengan satu pasukan kecil menuju
Arles, di ujung Rhône, di mana ia menunggu perkembang -
an keadaan, pasti sangat tidak sabaran.
Sekarang pasukan Hun mengarah ke barat daya,
bertujuan melintasi padang terbuka Champagne, melewati
Loire, lalu ke selatan menuju ibu kota daerah
Visigoth, Toulouse. Ini akan tetap menjauhkan mereka
dari Massif Central, dan, begitu keluar dari hutan
belantara Loire menuju daerah terbuka, pasukan kavaleri
mereka bisa beroperasi penuh.
Meski demikian, mereka terlebih dahulu melalui dua
kota besar, Troyes dan Orléans.
Orléans akan menjadi kunci keberhasilan, sebab
tidak terkalahkan selama berabad-abad. Nama aslinya,
atau versi Latin dari nama asli Keltik-nya, yaitu
Genabum, sebab terletak di genu, siku, Sungai Loire, di
mana sungai ini menikung ke bagian paling utara.
Saat musim dingin, Sungai Loire mengalir deras; namun
di musim panas menjadi sungai dangkal, cara terbaik
melintasinya yaitu melalui hutan lebat pohon ek baik
yang menuju pesisir pantai maupun yang menuju pusat
kota di pegunungan, dan turun ke Sungai Rhône menuju
Mediterania. Namun tempat ini juga menjadi pertemuan
jalan-jalan, salah satunya mengarah ke utara melintasi
sebuah jembatan batu. Singkatnya, ini yaitu gerbang
menuju barat laut. Caesar pernah membakarnya, Marcus
Aurelius membangunnya kembali, menamainya dengan
namanya sendiri, Aurelianum, yang lalu diubah
menjadi Orléans. Pada abad kelima daerah ini kaya,
besar, dan maju, jauh mengalahkan kota Paris yang kecil,
dan tidak terganggu dengan keberadaan satu klan Alan
yang tinggal di sekitar hutan.
Butuh waktu tiga minggu bagi pasukan Hun untuk
melintasi 330 kilometer dari Metz menuju Orléans,
andai tidak ada halangan. Mereka akan sampai di sana
pada awal bulan Mei. Penduduk berlindung di balik
tembok kota mereka yang kukuh dan bersiap untuk
pengepungan. Sementara itu, seorang pimpinan Kristen,
Anianus—kelak dijadikan orang suci gereja sebab
pengabdiannya dan mendapat julukan sebagai Santo
Aignan (atau Agnan)—bergegas menghubungi Aetius
untuk mencari tahu bantuan apa yang mungkin bisa
Aetius berikan, dan kapan. Aetius berada di Arles, di
ujung Rhône, perjalanan panjang bagi Anianus, baik
lewat jalan darat maupun lewat sungai, mungkin kombinasi
keduanya. Ia berkuda di sepanjang aliran Sungai Loire
di musim semi sejauh 300 kilometer (2 minggu), melintasi
batas air di St Etienne menuju Rhône (satu hari),
lalu bergerak cepat menuruni tepian sungai sejauh
200 kilometer (lima hari lagi). Setidaknya akan makan
waktu yang sama bagi Aetius untuk bergerak ke utara:
katakanlah, seluruhnya lima minggu—genting, terutama
saat pasukan Hun bukanlah satu-satunya bahaya yang
mereka hadapi. Orang-orang Alan yang tinggal di sana
mendadak ingat bahwa sanak keluarga mereka yaitu
pengikut Hun, dan merupakan bagian dari pasukan yang
sedang bergerak mendekati wilayah mereka. Sang
pimpinan, Sangibanus, mengirim pesan kepada Attila,
mengatakan bahwa ia akan membantu mengambil alih
Orléans dengan imbalan perlakuan yang adil.
Rute Attila mengarah melintasi Sungai Aube dan
Seine melalui Troyes, dan mengelilinginya, sebab ini
yaitu satu pasukan besar, dengan kereta-kereta kuda,
yang akan memakai setiap jalan yang ada. Attila
akan menandai wilayah utara dari Troyes, sekarang Aube
département, padang rumput Champagne yang sangat
luas bertanah kapur, di mana Sungai Seine dan Aube
berkelok-kelok ke arah satu sama lain melintasi Dataran
Catalaunia. Troyes, sebuah tempat indah dengan rumah-
rumah terbuat dari kayu dan beratap jerami dan mungkin
ada satu dua vila yang terbuat dari batu, tidak dibatasi
tembok—mangsa mudah bagi pasukan Hun yang bergerak
maju. Di sana inada satu gereja besar, yang melambung -
kan nama seorang uskup, Lupus, yang terkenal sebab
menjadi bagian dari misi Britania pasca-Roma 20 tahun
sebelumnya, dan akan menjadi lebih terkenal lagi—
singkat nya, dengan nama buruk—sebagai akibat ke -
datangan pasukan Attila.
Pasukan Attila akan memasuki Troyes. Daerah itu
merupakan sumber perbekalan yang terlalu bagus untuk
diabaikan. Tidak diragukan lagi aksi perampasan pun
dimulai, menginspirasi sebuah legenda di mana fakta
dan fiksi bercampur baur, namun sering ditampilkan
sebagai sejarah. Menurut biografi resmi Lupus, ia me -
nyelamatkan kota dan warga Troyes dengan meng -
hadapi Attila, sebuah pertemuan yang mungkin melibatkan
asal-usul salah satu ungkapan terkenal. Anggaplah
pertemuan itu terjadi, tidak ada catatan bagaimana Lupus
memperkenalkan dirinya, namun diduga kejadiannya
seperti: Aku Lupus, utusan dari Tuhan. Mendengar hal
ini, Attila memberikan jawaban cerdas dan singkat,
dalam bahasa Latin yang sempurna:
“Ego sum Attila, flagellum Dei.”—“Aku Attila,
Momok dari Tuhan.”
Tentu saja hal ini ditambahkan oleh seorang Kristen,
yang dibuat sebab keberhasilan Attila memerlukan
semacam penjelasan. Tidak bisa dibayangkan seorang
penyembah berhala bisa berlaku melampaui kerajaan
Tuhan sendiri, menentang keinginan Tuhan. Oleh sebab
itu, penyembah berhala atau bukan, ia pasti mendapat
dukungan dari Tuhan, satu-satunya penjelasan yang
mungkin yaitu bahwa umat Kristen tidak hidup untuk
memenuhi harapan Tuhan dan sedang dihukum atas
waktu yang mereka sia-siakan. Sebuah cerita rakyat
menceritakan seorang pertapa yang ditangkap pasukan
Hun, meramalkan malapetaka: “Kau yaitu Momok
Tuhan, tapi Tuhan akan, jika itu membuat-Nya senang,
menghentikan perantara yang ia gunakan untuk melakukan
balas dendam. Kau akan dikalahkan, sehingga kau akan
tahu bahwa kekuatanmu tidak berasal dari kekuatan
dunia.” Isidore dari Seville, seorang penulis ensiklopedia
abad keenam dan ketujuh, juga memakai ungkapan
ini untuk menggambarkan suku Hun. Dalam waktu
dua abad, ungkapan itu menjadi klise: sebuah ungkapan
yang akan kita temui di bab 12.
Argumen yang tepat sama akan digunakan oleh
seorang pimpinan pagan selanjutnya untuk menantang
agama monoteisme lain, saat Jenghis Khan menyapu
bersih dunia Islam pada 1220. Dikatakan bahwa Jenghis
berkata kepada penduduk Bukhara: “Aku yaitu hukuman
dari Tuhan. Jika kalian tidak pernah melakukan kesalahan
besar, Tuhan tidak akan mengirim hukuman seperti
diriku kepada kalian semua.” Dalam kedua kasus ini,
sejarawan yang mencatat perkataan pemimpin ini memiliki
sebuah agenda, untuk mengingatkan mereka yang yakin
pada agama akan pentingnya berbuat saleh. Jadi gereja-
geraja itu membuat para pemimpin pagan menjalankan
satu tujuan agung, di samping tujuan mereka sendiri.
Saat kisah terus berlanjut, sang uskup diintimidasi.
sebab Attila, yang kelihatannya merupakan pembalasan
yang bersifat ilahiah, maka penenangan, bukannya
tantangan, yang berkuasa: “Makhluk hidup apa yang
bisa bertahan terhadap hukuman dari Tuhan?” balas
Attila. Sehingga keduanya menganggap satu sama lain
bermanfaat. Attila setuju mengampuni Troyes—tak lebih
banyak daripada yang bisa diambil oleh seekor ayam
dari tempat itu—dengan syarat bahwa Lupus harus
tinggal bersamanya hingga ia merasa pantas membiarkan -
nya pergi. Sang uskup bisa membuktikan bahwa jemaahnya
juga berhati baik dan akan memberikan bantuan, atau
jika Attila memerlukan nilai tawar di lain waktu
nantinya. Ini yaitu sebuah kesepakatan yang agaknya
cukup baik untuk reputasi Lupus. Apakah ia seorang
sandera, sebagaimana pernyataannya secara pasti? Ataukah
lebih menyerupai seorang pemandu, sebuah contoh awal
yang kini dikenal sebagai Sindrom Sandera, di mana
korban, dalam perlindungan diri, lalu terlibat
dalam tindakan kriminal?
SEMENTARA ITU, Anianus berada di Arles, dengan gigih
membujuk Aetius untuk melakukan pergerakan. Orléans
tidak bisa lagi bertahan selama satu bulan. Menurut
catatan hidupnya, ia menetapkan tenggat: “Biarlah
ramalan Roh Kudus terpenuhi, sehingga pada hari
kedelapan [sebelum] kalends (misal tanggal 1) Juli,
bangsat kejam itu akan memutuskan untuk memorak -
porandakan daerah itu berkeping-keping. Aku memohon
agar pasukan Patricia bisa datang membantu pada tanggal
yang diperkirakan.” Beberapa hari setelah pertengahan
bulan Juni dan semuanya akan hancur. Aetius berjanji
membantu, dan Anianus kembali pulang.
Aetius sekarang menghadapi tugas yang tidak
menyenangkan, berperang melawan orang-orang yang
ia kenal sejak kecil, yang para prajuritnya pernah ia
gunakan sebagai prajurit bayaran, yang bersama mereka
ia menjaga perdamaian selama lima belas tahun terakhir.
Untuk melawan mereka, ia harus berteman dengan
musuh-musuh Attila, suku Visigoth, yang terkuat di
antara pasukan barbar lainnya yang tersebar di wilayah
Gaul, dan musuh tradisional Roma.
Theodoric sudah berhenti berperang dengan Attila.
Lebih dari dua puluh tahun terakhir, ia juga menjadi
musuh Aetius, dan tidak ada harapan untuk mendapat
bantuan darinya. Oleh sebab itu ia bersiap mempertahan -
kan wilayahnya sendiri, penduduknya, dan ibu kotanya,
Toulouse. Ia tidak akan berperang melawan Attila me -
lintasi wilayah Gaul yang bermusuhan. Aetius mengetahui
semua ini. Agar Theodoric mau ikut ambil bagian,
diperlukan diplomasi yang cerdik, sehingga ia harus
men dapatkan dukungan dari Kaisar Valentinian sendiri.
Saat hal ini terjadi, ada seseorang yang bisa mengatasi
hal ini dari dekat, yakni di Clermont-Ferrand. Tentu saja
orang itu yaitu Avitus: bangsawan, sarjana, diplomat,
kaisar masa depan, dan teman Theodoric. Setelah pensiun
dari pemerintahan, selama sebelas tahun terakhir ia
menikmati hidupnya sebagai seorang aristokrat kaya,
mengawasi Avitacum dan tanahnya yang sangat luas,
dengan pohon-pohon pinus, air terjun, dan danau yang
sangat menyenangkan, tidak hanya mengejar kesenangan
perasaan dan pikiran, namun juga agenda politik dan
budaya. Dari pengalaman pribadi Avitus tahu bahwa
kekuatan militer saja tidak bisa mempertahankan
kekaisaran. Ia sudah menyaksikan bangsa-bangsa barbar
yang mengembara akhirnya menetap dan melakukan
perubahan. Idenya begini: perdamaian akan tumbuh
dari pendidikan dengan cara-cara yang dilakukan oleh
Roma. Seperti yang dinyatakan oleh O.M. Dalton dalam
terbitannya tentang surat-surat Sidonius, Avitus mungkin
meyakini bahwa “pemahaman perdamaian terhadap
sebagian besar penduduk barbar yang paling beradab
akan menyelamatkan kekaisaran yang terlalu lemah
untuk dipimpin oleh Italia”. Jika memang demikian—
dan karya Dalton berikutnya memang menyatakan
demikian—maka Avitus mengimpikan “aristokrasi Teutonic
semakin lama semakin halus dengan pengaruh Latin,
yang akan menanamkan kualitas ras-ras yang kurang
modern pada bangsa Romawi dan penerimaan yang
lebih luas terhadap kebudayaan Italia kepada penduduk
mereka”. Theodoric dan suku Visigoth-nya yaitu bukti
bahwa tujuan semacam itu bisa berhasil.
Setelah membawa bangsanya hingga pengujung
pengembaraan, Theodoric sekarang memiliki ambisi
untuk bersaing, jika bukan terhadap Roma, maka
setidaknya terhadap provinsi-provinsi lain dalam seni
peradaban. Ia tersanjung memiliki persahabatan dengan
seorang lelaki yang bahkan dikagumi oleh bangsa Romawi.
Dari kediamannya di daratan Danau Aydat, Avitus
membawakan kepuasan halus kepada para kepala suku
Visigoth yang tak terdidik, yang dibalut jubah bulu, dan
pada ibu kotanya, Toulouse (lalu menjadi Tolosa),
250 kilometer dari barat daya. Para pemuda Goth
sekarang mempelajari Aeneid dan hukum Roma. Sang
bangsawan bahkan menawarkan bimbingan pribadi untuk
mengajarkan mereka yang paling muda dan paling pintar,
Theodoric lainnya. Dari semua bangsawan Roma, Avitus
yaitu satu-satunya yang dijamin mendapat penerimaan
baik dari Theodoric. Mereka berteman, dan nyaris
sebanding.
Nasib wilayah Gaul, mungkin kekaisaran, sekarang
tergantung pada hubungan pribadi tiga orang laki-laki:
Aetius, sang komandan; Avitus, bangsawan cinta damai;
dan Theodoric, raja barbar yang mencemaskan motif
bangsa Romawi, namun sangat menginginkan kebudayaan
Romawi.
Dua hari setelah keberangkatan Anianus, Aetius
bersama Avitus menyelesaikan masalahnya. Aku mem -
bayangkan mereka berdua di dalam perpustakaan yang
penuh dengan gulungan perkamen, memandang ke luar
jendela ke arah pohon-pohon pinus, pemandian air
panas, dan pegunungan yang ada di sekitarnya. Ini bukan
masalah biasa, sebab Aetius ingin Avitus memanfaatkan
koneksi-koneksi damainya dengan Theodoric untuk
meyakinkannya akan pentingnya perang ini. Attila
bukanlah Theodoric. Jadi akan sia-sia saja memikirkan
perundingan, perdamaian, dan pendidikan. Puisi Sidonius
menyampaikan inti sarinya yang berbunyi seperti ini:
“Avitus, ini bukanlah kehormatan baru di mana aku
memohon kepadamu. Atas perintahmu, musuh-musuh
menjadi damai dan jika diperintahkan perang, maka kau
akan melakukannya. Demi kepentinganmu, suku Goth
tetap di dalam perbatasan mereka, dan demi kepentingan -
mu pula mereka akan menyerang. Buatlah mereka me -
lakukannya sekarang.”
Dan Avitus pun berangkat, membawa permintaan
penting untuk Theodoric dari Kaisar Valentinian sendiri,
yang Jordanes ubah menjadi seruan, yang menurut kami,
disampaikan oleh sang bangsawan secara pribadi:
Para pemberani bangsa ini, sungguh akan bijaksana bagi kalian
untuk bergabung melawan penindas kekaisaran Romawi, yang
berniat memperbudak seluruh dunia, yang tidak memerlukan
alasan untuk berperang, kecuali berpikir bahwa yang
dilakukannya itu benar. Ia meraih apa pun yang bisa ia raih,
ia merebut kebanggaan diri, ia menghina hukum manusia dan
tuhan, ia menunjukkan dirinya sendiri sebagai musuh segala
alam. Ia benar-benar musuh dari semua hal yang pantas
dibenci. Aku memohon agar kalian mengingat tentang hal
pasti yang tidak boleh dilupakan: bahwa suku Hun tidak
menang dengan berperang, yang akibatnya kita semua rasakan,
namun , yang lebih mengganggu, mereka mendapatkannya
sebab pengkhianatan. Janganlah mementingkan diri sendiri,
bisakah harga diri kalian membiarkan hal ini terus berlangsung
tanpa ada hukuman? Mari membangun kekuatan, jangan
pedulikan bahaya, dan bergabunglah bersama kami.
Theodoric memberi respons seperti seorang pahlawan,
menyatakan balasannya kepada Avitus di depan para
pemimpin sukunya:
Orang Romawi, kalian akan mendapatkan apa yang kalian
inginkan. Kalian juga sudah membuat Attila menjadi musuh
kami. Kami akan mengikuti kaisar ke mana pun dia memanggil
kami, dan bagaimana pun sombongnya dirinya dengan beberapa
kemenangan terhadap orang-orang kuat, suku Goth tahu
bagaimana bertarung melawan para penindas ini. Aku tidak
menyatakan perang sebagai beban, kecuali tanpa alasan yang
pantas; sebab dia yang telah mendapat senyuman Martabat,
tidak akan pernah takut sedikit pun.
Dan dengan demikian diplomasi dan daya tarik
menghasilkan hal yang tidak bisa dicapai perang mana
pun: sebuah kekuatan yang bisa menghadapi pasukan
barbar paling kuat yang mengancam kekaisaran. “Akankah
penduduk dan ras-ras masa depan meyakini hal ini?”
komentar menantu Avitus, Sidonius, kelak, ingin sekali
menegaskan pentingnya negosiasi daripada perang. “Satu
surat kaisar Roma membatalkan penaklukan pasukan
barbar!”
Atas ucapannya itu, Theodoric menerima sebuah
penghargaan yang pantas. “Para bangsawan bersorak-
sorai, dan dengan gembira orang-orang mengikuti”—
tidak lagi bertahan, namun bergerak maju, untuk
menghentikan pergerakan Attila, dengan Theodoric
memimpin “satu rombongan besar yang tidak terhitung
jumlahnya”, diapit oleh kedua putranya, Thorismund
dan Theodoric, empat putranya yang lain tetap tinggal
untuk menjaga perbatasan wilayah mereka. “Sungguh
kesatuan perang yang membahagiakan,” komentar
Jordanes, yang memang seorang Goth. “Persahabatan
yang menyenangkan, dengan membantu dan menghibur
mereka yang ia pilih untuk ikut menghadapi bahaya!”
Dan sekarang, dengan sedikit waktu yang tersisa,
Aetius mengirim para kurir ke setiap kota besar dan
setiap klan barbar yang sudah menemukan wilayah baru
dan kehidupan baru mereka di Gaul. terbesar
Attila ini sekarang mendapatkan sekutu-sekutu
baru: suku Swabian dari Bayeux, Countances, dan
Clermont; suku Frank dari Rennes; suku Sarmatia dari
Poitiers dan Autun; suku Saxon, Liticia, Burgundi, dan
suku lainnya yang tidak begitu dikenal; bahkan beberapa
suku Bacaudae dari Brittany. Banyak di antaranya yang
memiliki pengetahuan tersendiri terhadap perkembangan
Attila, sebab para pedagang datang membawa kabar,
dan klan-klan barbar memiliki teman dan kerabat yang
berjuang untuk Attila. Informasi berseliweran—jadi tidak
terlalu mengherankan saat Aetius mengetahui tawaran
Sangibanus untuk berpihak kepada Attila dalam serangan
yang akan terjadi di Orléans.
SETELAH PASUKAN ROMAWI dan barbar bersatu, tidak ada
catatan di mana persisnya, mereka bergerak menuju
Orléans mengejar pasukan Hun, pengejaran yang
dimenangkan oleh Aetius secara tipis, mungkin satu
hari, atau kemungkinan besar beberapa hari, dengan
cukup waktu untuk menarik Sangibanus, pemimpin suku
Alan yang peragu, ke dalam barisannya dan “melancarkan
serangan di sekitar kota”.
Sebagian mengatakan pasukan Hun berhasil menang,
hal yang tidak mungkin, namun menjadi kisah besar yang
melanjutkan drama Anianus, yang sekarang kembali ke
kota setelah perjalanannya ke Arles dalam keadaan kalut.
Dengan adanya pasukan Hun di setiap gerbang dan
penduduk kota yang tidak berdaya berdoa (tentu saja,
sebab ini menurut catatan orang Kristen), Anianus dua
kali mengirim seorang pelayan tepercaya ke benteng itu
untuk melihat apakah ada bantuan datang. Setiap pulang,
pelayan itu mengangkat bahu. Anianus mengirim seorang
kurir menemui Aetius: “Pergi dan katakan kepada
putraku, Aetius, jika ia tidak datang hari ini, ia akan
terlambat.” Anianus bimbang dan meragukan ke -
percayaannya. Namun lalu , terjadi badai selama
tiga hari yang membebaskannya dari serangan itu. Jelas
sudah. Kini akhir benar-benar akan tiba. Kota itu siap
menyerah. Mereka mengirim satu pesan kepada Attila
untuk mendiskusikan persyaratan. Persyaratan? Tidak
ada persyaratan, ujar Attila, dan kembali mengirimkan
utusan yang ketakutan ini . Gerbang-gerbang dibuka,
pasukan Hun sudah di dalam saat terdengar teriakan:
awan debu, tidak lebih besar daripada tangan manusia,
mengingatkan pada pertolongan yang datang dari masa
kekeringan dalam penyelamatan Elijah—pasukan kavaleri
Roma, melaju kencang seperti elang, memacu kuda
mereka menyelamatkan kota. “Ini pertolongan Tuhan!”
teriak uskup, dan banyak orang mengikuti ucapannya,
“Ini pertolongan Tuhan!” Jembatan kembali direbut,
daerah pinggiran sungai disapu bersih, para penyerang
dipukul mundur dari jalan-jalan kota. Attila memberi
tanda agar pasukannya mundur. Tentu saja ini yaitu
saat yang tepat waktu—ingat tanggal 14 Juni—yang
ditentukan Anianus sebagai tanggal terakhir bagi Aetius.1
Peristiwa genting semacam itu menjadi propaganda
yang bagus bagi umat Kristen, dan oleh sebab nya tidak
begitu didukung oleh para sejarawan. Namun kejadian
ini mungkin mengandung kebenaran, sebab Sidonius
menyebutkannya, dan ia yaitu orang yang hidup pada
zaman itu. Sekitar tahun 478 Sidonius menulis surat
kepada penerus Anianus, Prosper, berkenaan dengan
janji, di mana ia membuat sang uskup menuliskan
“seluruh kisah pengepungan dan penyerangan Orléans,
ketika kota ini diserang dan ditembus, namun kota ini
tidak pernah hancur”. Apakah pasukan Hun memang
berada di dalam tembok kota Orléans atau tidak saat
Aetius dan Theodoric tiba, tidak diragukan bahwa
kedatangan pasukan Romawi ini menyelamatkan
kota itu. Peristiwa ini akan tetap masuk dalam doa kota
selama lebih dari 1.000 tahun, tulang belulang Santo
Agnan dipuja-puja hingga dibakar oleh Huguenots pada
1562, sebab kota ini memberikan kecintaan mereka
kepada santo mereka yang lebih terkenal, Joan dari Arc,
yang menyelamatkan kota itu dari serangan lain pasukan
Inggris satu abad sebelumnya.
Jadi, tidak penting apakah Attila benar-benar melakukan
penyerbuan besar-besaran terhadap kota itu atau tidak.
Para pengintainya akan memberi tahu tentang pertahanan
yang baru dibuat dan bala bantuan yang datang ke kota
itu. Tidak ada pertemuan antara pasukan Aetius dan
pasukan Goth; tidak ada kesempatan kemenangan mudah
terhadap kota yang memiliki benteng kuat ini; lagi pula
tidak ada bantuan dari Sangibanus; tidak ada, kecuali
strategi mundur dari hutan-hutan Loire menuju daerah
terbuka, di mana Attila bisa bertempur dengan aturannya
sendiri.
SATU MINGGU dan 160 kilometer lalu , pasukan
Hun kembali mendekati Troyes, kereta-kereta kuda
mereka melintasi jalan-jalan berdebu, para prajurit pejalan
kaki terlihat memenuhi padang terbuka di atas wilayah
pedesaan, para pemanah berkuda berjajar di sekitar, dan
pasukan Aetius berada di kedua sisi, gelisah menunggu
saat yang tepat untuk menyerang.
Pasti saat itu terjadi bentrokan, dan mungkin tempat
ini menjadi pertemuan dua kubu pasukan pengendara
kuda terdepan, pasukan Frank yang pro-Roma dan
pasukan Gepid yang pro-Hun yang bergerak mundur.
Mereka bertemu dan terjadi pertempuran kecil, mungkin
di dekat desa Châtres, yang berasal dari nama latin
castra, sebuah kamp. Châtres terletak di Dataran
Catalaunia, yang kota utamanya yaitu Chálons—dalam
bahasa latin Duro-Catalaunum (“Daerah kronis di
Catalauni”)—dan para ahli sejarah berikutnya sering
menyebut pertempuran setelah itu sebagai Pertempuran
Chálons. Pada fakta nya, Chálons masih 50 kilometer
lagi di utara; sumber-sumber dalam bahasa Latin yang
lebih dekat dengan masa itu menyebutnya Pertempuran
Tricassis (Troyes), 25 kilometer ke arah selatan, yang,
menurut mereka, terjadi di sekitar tempat yang namanya
terdengar seperti Mauriacum (pengucapannya bervariasi),
saat ini menjadi Méry-sur-Seine, hanya 3 kilometer dari
Châtres.
Sekarang saatnya membuat keputusan. Attila dalam
posisi bertahan, dan pasukannya kelelahan. Mana yang
lebih baik: mengambil semua risiko dalam pertempuran,
atau mundur dan bertempur hari berikutnya? Tapi
mungkin tidak ada hari esok baginya. Satu pasukan
yang mundur melalui wilayah musuh sama saja seperti
sekumpulan orang-orang sakit, mangsa empuk. Di
samping itu, berhenti dan lari, bahkan jika mungkin,
tidak ada kemungkinan bagi seorang prajurit untuk
hidup, pastinya tidak ada jalan bagi seorang pemimpin
untuk mempertahankan kekuasaannya. Apakah mungkin
ini yaitu momen kehancuran yang sudah diramalkan,
o
di mana Ernak muda akan bangkit sebagai pemimpin
baru? Para shamannya akan mengetahui hal ini. Ternak
pun dibantai, isi perutnya diperiksa, tulang-tulangnya
digesek, percikan darah diteliti—dan diramalkan akan
terjadi malapetaka. Para shaman punya beberapa kabar
baik di antara kabar buruk. Seorang komandan musuh
akan tewas. Hanya ada satu komandan musuh yang
menjadi persoalan bagi Attila: teman lama sekaligus
musuh barunya, Aetius. Jadi Aetius dihukum. Bagus,
sebab “Attila menganggap kematian Aetius yaitu hal
yang dinginkan bahkan dengan mempertaruhkan
nyawanya sendiri, sebab Aetius sudah menghalangi
rencananya.” Dan bagaimana Aetius bisa meninggal jika
Attila menghindari pertempuran?
Attila didampingi kelompok-kelompok yang kurang
bisa diandalkan dalam jumlah yang sangat besar dari
suku-suku kecil, dan kereta-kereta kudanya yang penting
dan berat, penuh dengan persediaan. Namun ia juga
punya pilihan senjata dari pasukan Hun, para pemanah
berkuda. Jika ia bisa menyerang dengan cepat, selambat-
lambatnya pada hari itu juga, serangan malam memuat
mereka berkesempatan menyusun rencana lagi dan
bertempur keesokan hari.
Saat itu tanggal 21 Juni, atau kurang lebih, 1.500
jam. Medan perang berupa dataran terbuka di dekat
Sungai Méry, yang bergelombang ke arah timur dan
utara. Pasukan Hun akan menghindar agar tidak dipaksa
ke arah kiri, di mana mereka akan terjebak oleh tiga
sungai, tempat pertemuan Sungai Aube dan Seine. Mereka
akan berperang seperti pasukan Goth bertarung di
Adrianopolis, dengan barisan kereta pertahanan bertindak
sebagai basis pasokan, dan pemanah berkuda melancarkan
serangan angin puyuh mereka ke arah musuh yang
bersenjata lengkap. Pasukan Hun membelakangi sungai
dan menghadang pasukan Romawi saat mereka menyebar
di dataran ini. Attila sendiri memosisikan dirinya di
bagian tengah, para sekutu utamanya—Valamir dengan
pasukan Ostrogoth, dan Ardanic dengan pasukan Gepid—
berada di kiri dan kanan, serta puluhan pemimpin suku
berbaris di belakang menunggu tanda dari Attila.
Di pihak Roma, Aetius dan pasukannya berada di
salah satu sayap, Theodoric dan pasukan Visigoth di
sayap lain, dengan pasukan Sangibanus yang tidak dapat
dipercaya di sayap tengah.
Di seberang tanah yang bergelombang halus di dataran
ini, kedua belah pihak bisa melihat satu sama lain dengan
jelas, dan masing-masingnya akan mengetahui strategi
pasukan lawan. Attila berharap para pemanahnya bisa
menembus bagian tengah pasukan Romawi; Aetius ber-
harap kedua sayap pasukannya yang kuat akan menyusup
ke belakang pemanah dan memotong mereka dari kereta-
kereta persediaan.
Persis di dekatnya inada sebuah gundukan tanah
yang sedikit lebih tinggi, yang memberi satu keuntungan,
yang mungkin agak terlambat dilihat Attila. Saat ia
melihatnya, dan memerintahkan satu pasukan kavaleri
untuk merebut daerah itu, Aetius sudah bersiap di sana.
Aetius, baik sebab kesempatan dan rencana cerdiknya,
lebih dekat dengan gundukan tinggi ini . Pasukan
Visigoth, dengan pasukan kavalerinya yang dikomandani
oleh putra tertua Theodoric, Thorismund, sampai terlebih
dahulu di puncak bukit itu, memaksa pasukan Hun
mundur dengan tergesa-gesa dari lerengnya yang rendah.
Ronde pertama dimenangkan Aetius. Tidak ada hal
lain yang diperlukan selain serangan frontal. Attila
menyusun kembali dan memanggil pasukannya, dalam
satu pidato singkat (tentu saja dalam bahasa Hun) di
mana Jordanes, yang seorang Goth, mengutipnya dalam
bahasa Latin seolah kata per kata. Wajar saja menyimpul -
kan bahwa sang raja mengatakan sesuatu, dan mungkin
kata-kata itu memang benar-benar diingat dan dimasukkan
ke dalam cerita rakyat; namun Jordanes menuliskannya
satu abad lalu , saat suku Hun sudah lama hilang,
sehingga apa yang sebenarnya dikatakan Attila hanyalah
dugaan. Jika Attila diumpamakan sebagai Henry V, maka
ini yaitu versi Shakespeare, bukan hal yang benar.
Berikut inti sarinya:
Setelah kalian menaklukkan begitu banyak bangsa, sebagai
raja kalian aku menganggap diriku bodoh—bukan, dungu—
menghalangi kalian dengan ucapan. Apa gunanya kalian semua
jika bukan untuk bertempur? Dan apa yang lebih manis bagi
laki-laki pemberani daripada melakukan balas dendam secara
pribadi? Jatuhkan ras-ras yang penuh pertentangan itu!
Tataplah saat mereka berkumpul berjajar dengan tameng,
jangan bandingkan dengan jumlah yang terluka, tapi dengan
kabut pertempuran. Maka di sanalah terjadi pertempuran!
Biarkan semangatmu bangkit dan kemarahan berkobar!
Sekarang tunjukkan kecerdikan kalian, pasukan Hun, kehebatan
senjata kalian. Mengapa Surga membuat suku Hun berjaya di
antara bangsa lainnya, jika bukan untuk mempersiapkan
mereka demi kesenangan kita akan pertempuran ini? Siapa
lagi yang mengatakan kepada nenek-moyang kita jalan melintasi
rawa-rawa Maeotic, siapa lagi yang membuat pasukan bersenjata
mengalah pada pasukan yang belum bersenjata? Aku akan
melemparkan tombak pertama. Jika ada yang tetap tinggal
saat Attila bertarung, maka ia akan mati.
Tentu saja, pernyataan itu tidak asli. Jordanes suka
menangkap semacam semangat sampai-titik-darah-
penghabisan yang telah menyemangati para pejuang dari
berbagai zaman: teriakan perang bangsa Sioux “Hari ini
hari yang baik untuk mati!”, Horatius dalam epik Victoria
Macaulay (“Bagaimanakah kematian yang lebih baik
bagi laki-laki selain menghadapi rintangan yang
menakutkan?”), dan Anglo-Saxon yang mendorong
pengikutnya melawan bangsa Viking pada Perang Maldon
tahun 991:
Keberanian bisa tumbuh sangat besar, mempertegas
kemauan,
Semangat menjadi lebih ganas saat hati kita lemah.
Dan pertempuran Attila ini sendiri? Jordanes meng -
gambarkan peristiwa itu dengan ungkapan-ungkapan
hiperbolis, menggema dalam pembangkitan semangat
dari banyak pertempuran dalam berbagai bahasa. Yang
dalam terjemahannya, dengan mudah ditampilkan dalam
sajak bebas:
Baku hantam mereka bertarung, dalam sengitnya
pertempuran,
Kebingungan, bergelimangan, tiada kenal henti,
Pertempuran yang tidak sebanding dengan catatan masa lalu.
Tindakan itu sudah dilakukan! Para pahlawan yang
kehilangan peristiwa ajaib ini
Jangan harap bisa melihat hal seperti ini lagi.
Beberapa detail catatan dengan sedikit nilai kebenaran
ini berhasil selamat mengarungi waktu, bercampur dengan
cerita rakyat. Sungai kecil yang mengalir melintasi dataran
itu, “jika kita mau meyakini para pendahulu kita”,
meluap dengan aliran darah, sehingga para prajurit yang
kepanasan dan kehausan melepaskan dahaga mereka
dengan darah yang mengalir dari luka mereka sendiri.
Theodoric tua kalah dan menghilang dalam medan
pertempuran ini, terinjak hingga tewas oleh pasukan
Visigoth-nya sendiri atau (seperti yang dikatakan sebagian
orang) terbunuh oleh tombak Andag, seorang prajurit
Ostrogoth2.
Petang menjelang, berganti malam yang tampaknya
menjadi hari paling panjang tahun itu. Taktik angin
puyuh para pemanah Hun tidak banyak berpengaruh
pada barisan pasukan Romawi dan Visigoth yang berger





.jpeg)
.jpeg)






