Tampilkan postingan dengan label Attila 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Attila 2. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Oktober 2025

Attila 2

 



p di wilayah utara Sungai

Kuning yang sangat memesona, di daerah yang sekarang

dikenal sebagai Ordos, di wilayah provinsi Mongolia

Dalam, China. Mereka mungkin saja tidak lebih daripada

satu dari sekian banyak kekaisaran barbar yang me -

nyusah kan dan keberadaannya tidak lama, yang ber -

kembang dan hancur di wilayah Asia Dalam, seandainya

saja tidak ada seseorang yang kejam dan ganjil, sosok

proto-Attila, yang bernama Motun (juga dieja Modun,

orang-orang Mao-dun), yang kemunculannya pada 209

SM dicatat oleh sejarawan besar pertama China, Ssu-ma

Ch’ien. Motun diserahkan sebagai sandera untuk suku

tetangga oleh ayahnya, Tumen (sebuah nama, yang

kebetulan dalam bahasa Mongolia berarti “sepuluh ribu”,

dalam sebuah unit khusus terdiri dari 10.000 prajurit:

tampaknya orang Xiongnu memakai   bahasa proto-

Mongol-Turki yang serupa, sebelum kedua bahasa itu

mulai berkembang secara terpisah). Ssu-ma Ch’ien, yang

menulis catatan pada abad berikutnya, menceritakan

kisah selanjutnya, yang menyimpang dari gayanya yang

biasanya bersemangat, serius, dan menarik; mungkin,

dengan beberapa epik dasar orang Xiongnu yang di -

nyanyikan para penyair untuk menjelaskan perkembangan

kaum mereka. Tumen mendukung ahli waris takhta lain

dan berharap Motun meninggal. Oleh sebab  itu ia

ini 

menyerang suku tetangga ini , berharap Motun

akan tewas terbunuh. Namun pangeran Motun melakukan

penyelamatan diri yang dramatis, mencuri seekor kuda

dan memacunya dengan kencang kembali ke ayahnya,

yang menyambut kedatangannya dengan senyum pura-

pura dan memberikan kepadanya pasukan, disesuaikan

dengan statusnya. Inilah kesempatan Motun melakukan

balas dendam terhadap ayahnya. Berencana membuat

semua prajuritnya merasa bersalah sebab  membunuh

raja, Motun melatih mereka untuk sepenuhnya patuh

kepada dirinya. “Tembak ke mana pun panahku meng -

arah!” perintahnya. “Siapa saja yang gagal melepaskan

tembakan, akan dibunuh!” lalu   ia membawa

pasukan nya berburu. Setiap binatang yang ia bidik

menjadi target sasaran pasukannya. lalu   Motun

membidik salah satu kuda terbaiknya. Kuda itu pun

mati dalam hujan anak panah; namun   sebagian pasukannya

ragu, dan mereka lalu   dibunuh. Selanjutnya ia

membidik istri kesayangannya. Dan perempuan itu pun

tewas, begitu juga dengan pasukannya yang bimbang.

lalu   Motun mengarahkan panahnya pada kuda

terbaik milik ayahnya. Sekarang Motun tahu semua

pasukannya bisa dipercaya. Akhirnya, dalam sebuah

ekspedisi perburuan, ia menembakkan panahnya ke arah

ayahnya dan setiap pengikutnya mengarahkan anak

panah mereka ke arah yang sama dan menembak mati

pimpinan suku itu, memenuhi tubuhnya dengan anak

panah sehingga tidak ada ruang yang tersisa. Sasaran

selanjutnya yaitu  pemimpin suku tetangga, yang

tengkoraknya dijadikan gelas minum Motun, simbol

kekuatan yang lazim bagi para pemimpin nomaden.

Sekarang Xiongnu memiliki pangkalan yang solid

untuk membangun sebuah kekaisaran di padang rumput

luas yang akhirnya membentang 1.000 kilometer ke

arah utara hingga Danau Baikal dan hampir 4.000

kilometer ke arah barat menuju Laut Aral. Pakaian dari

bulu binatang datang dari Siberia, logam untuk ujung

anak panah dan baju besi berasal dari pegunungan Altai,

dan tentu saja kain sutra, anggur dan padi-padian berasal

dari pimpinan Han di China bagian utara, yang senang

melakukan transaksi perdagangan dan memberikan

hadiah jika hal itulah yang dibutuhkan untuk menjaga

perdamaian. Dengan kuatnya fondasi pemerintahan

Motun yang berusia 35 tahun, kaum elite Xiongnu

membangun kehidupan mewah dan berbeda di lembah-

lembah Mongolia bagian utara dan Siberia bagian selatan.

Ivolga yang terletak tepat di bagian barat daya Ulan-

Ude, lalu   menjadi kota Xiongnu yang diperkuat

benteng pertahanan yang baik, dengan tukang kayu,

tukang batu, petani, pandai besi, dan ahli perhiasan

menjadi penduduknya. Beberapa rumah ini memiliki

pemanas di bawah lantai ala Romawi. Di bagian barat,

yang sekarang merupakan daerah Kansu dan Sinkiang,

kekaisaran Xiongnu mengontrol kira-kira lebih dari 30

kota negara bertembok, yang salah satunya berpenduduk

80.000 orang. Perdagangan, upeti, perbudakan dan

sandera semuanya mengalir ke pusat, ibu kota Motun,

Ulan-Bator bagian barat, tidak jauh dari ibu kota Mongolia

kuno, Karakorum. Di sinilah datang wakil dan pimpinan

suku, dalam tiga upacara tahunan, lengkap dengan

permainan seperti yang diselenggarakan pada festival

nasional yang saat ini diselenggarakan di Mongolia.

Untuk mengatur semua ini, Motun mempekerjakan

para pejabat yang bisa menulis bahasa China. Pan Ku,

seorang sejarawan China, mencatat beberapa surat

Motun. Dalam salah satu surat ini , Motun tampaknya

ini 

benar-benar mengusulkan pernikahan demi kepentingan

politik dengan ibu kaisar Han, Lü. “Aku seorang duda

penguasa yang kesepian, lahir di tengah-tengah rawa

dan dibesarkan di padang rumput liar,” keluh Motun

dengan gaya pura-pura sedih. “Yang mulia juga seorang

janda penguasa yang hidup dalam kesepian. Kita berdua

tidak bahagia dan tidak punya cara untuk menghibur

diri sendiri. Aku berharap kita bisa menukar apa yang

kita punya dengan kekurangan yang kita miliki.” Lü,

sang kaisar perempuan, berkata bahwa Motun pastilah

bercanda. “Usiaku sudah lanjut dan vitalitasku melemah.

Rambutku rontok dan gigiku sudah tidak utuh, dan aku

bahkan tidak bisa berjalan dengan mantap. Shan-yü

[begitulah kaisar Xiongnu dikenal] pasti sudah mendengar

laporan yang dilebih-lebihkan.” Motun mengirim wakilnya

untuk meminta maaf. Dan kekaisaran Xiongnu hanya

dianggap sebagai kekaisaran barbar yang kasar.

Keberhasilan Motun merupakan hal baru dalam

sejarah panjang hubungan China dengan orang-orang

barbar dari utara. Sebagai responsnya, kaisar pertama

Dinasti Jin, yang memerintah dari 221-206 SM,

menggabungkan beberapa dinding perbatasan wilayah

setempat untuk membuat Tembok Besar China yang

pertama, sama sekali tidak bertujuan sebagai pertahanan

dari serbuan, melainkan boleh dikatakan untuk me -

nentukan wilayah kontrol pemerintahan China terhadap

para petani, pedagang, dan prajurit. Ini merupakan

tanda nyata akan pembagian yang dibangun antara

penggembala dan petani, penduduk berpindah dan

menetap, warga   beradab dan barbar. Bahkan

semenjak itu, Tembok ini akan menetapkan nilai inti

budaya warga   China di mata penduduk China itu

sendiri. Sekarang, peninggalannya masih tampak di

sepanjang wilayah China bagian utara, mencapai padang

pasir atau membelah ladang-ladang gandum, sebagian

besarnya yaitu  tunggul-tunggul yang sudah longsor

kecuali Tembok Besar China saat ini, yang dibuat dari

batu pada abad keenam belas, pernyataan tegas terakhir

dari prasangka zaman kuno. Dalam tulisan Ssu-ma

Ch’ien, di dalam Tembok “tinggal orang-orang yang

mengenakan pakaian dan korset, sementara di luar

yaitu  orang-orang barbar”. Orang-orang nomaden

secara harfiah “di luar batas”, pada sisi yang salah dari

batas peradaban. 

PADA 1912, seorang insinyur pertambangan Mongolia

bernama Ballod meninjau perbukitan Noyan Uul yang

ditumbuhi pohon pinus 100 kilometer dari utara ibu

kota Mongolia, Ulan-Bator—atau disebut juga Urga,

pada masa-masa pra-revolusi. Ia melewati penggalian

yang sudah dibuka pada beberapa waktu sebelumnya.

Beranggapan bahwa ini bekas tambang emas, ia menggali

lebih dalam, dan menemukan beberapa logam, kayu,

dan kain. Ballod menyadari bahwa dirinya tidaklah

menemukan sebuah tambang, melainkan sebuah kurgan,

tumpukan tanah pekuburan. Ia mengirim beberapa

temuannya ke sebuah museum di Irkutsk—dan tidak

ada perkembangan lanjutan selama dua belas tahun, hal

ini tidak mengejutkan, sebab  saat itu terjadi Perang

Dunia Pertama dan revolusi di Rusia dan Mongolia.

Ballod meninggal dunia; temuannya tetap berada di

tempat orang-orang yang terlupakan. lalu  , pada

awal tahun 1924, seorang penjelajah terkenal Rusia yang

bernama Petr Kozlov tiba di Ulan-Bator sekembalinya

dari ekspedisi di Tibet. Dalam keadaan sulit, janda Ballod

menjual sedikit sisa harta temuan suaminya kepada

Kozlov. Kozlov yang merasa tertarik lalu   mengirim

seorang koleganya, S.A. Kondratiev, untuk memeriksa

situs ini . Saat itu bulan Februari dan tanah tertutup

salju, namun   para pekerja Kondratiev menggali gundukan

tanah pekuburan tempat Ballod mendapatkan temuannya

itu dan menemukan sebuah terowongan dengan barisan

pasak kayu. Kozlov mengubah rencananya. Pada bulan

Maret, ia menyadari bahwa dirinya memiliki sebuah

penemuan besar: perbukitan ini merupakan sebuah situs

makam sangat besar milik kaum Xiongnu yang mencapai

10 kilometer persegi, dengan 212 tumulus/gundukan

tanah pekuburan. Beberapa terowongan percobaan

menunjukkan bahwa makam itu sudah pernah dijarah,

namun   lalu   penuh dengan air dan membeku—yang

tentu saja menguntungkan, sebab  semua benda yang

tidak diambil para perampok makam juga ikut membeku

di sana. Tim Kozlov menggali delapan gundukan makam.

Setelah memindahkan bongkahan batu dan tanah yang

menutupinya sedalam 9 meter, mereka menemukan jalan

yang mengarah ke ruangan-ruangan setinggi 2 meter

dibuat dari kayu pinus, dilapisi dengan permadani dari

bahan wol atau felt. Di dalam tiap ruangan ini 

inada  sebuah makam dari kayu pinus, yang di dalamnya

inada  sebuah peti mati, dari pohon pinus berdaun

runcing, yang berlapis sutra. Konstruksi ruangan ini 

luar biasa, dengan tiang-tiang penyangga berlapis sutra

yang tersusun rapi pada sisi dinding dan penyangga

yang tertanam pada pijakan yang dibuat dengan rapi.

Sebuah tembikar hias dari kurgan no. 6 menunjukkan

sedikit informasi kapan makam ini  dibuat: yang

bertuliskan nama pembuat dan pelukisnya, yang bertanggal

“September tahun kelima Chien-ping” (sama dengan

tahun 2 SM).

p

Keadaan setiap makam tampak kacau dan berantakan,

dengan barang-barang harta temuan, jumlah semuanya

lebih dari 500 (sekarang sebagian besarnya berada di St

Petersburg), dibuat berserakan di antara tulang manusia

dan binatang oleh para penjarah makam: tidak ada satu

pun rangka manusianya yang masih utuh. Yang tersisa

tidak sesuai dengan standar Tutankhamen, sebab  hampir

semua emas yang ada sudah dicuri, namun   yang tersisa

cukup untuk menunjukkan bahwa mereka yang dikubur

di sini yaitu  orang-orang kaya, dengan kecerdasan

lebih daripada memikirkan perang dan musim gembala

berikutnya. Mereka suka dengan hasil kerajinan tangan,

yang mudah dibawa dan cukup tahan lama, dan komunitas

mereka punya waktu dan keahlian untuk memproduksinya.

Berikut beberapa hal yang mereka kagumi: kain felt

berpola, botol kayu berlapis pernis, belanga perunggu,

sendok dari tanduk, celana dalam sepanjang lutut dari

wol dan sutra, kaus kaki sutra, selendang ala China dan

Mongolia yang dipakai untuk melilit jubah, gesper, tutup

kepala dari sutra, topi bulu, hiasan permata, hiasan

berlapis perunggu, cambuk kuda, penutup poros roda,

tongkat api (mereka membuat api dengan gesekan,

menggosok satu tongkat bulat pada sebuah papan),

belanga tanah liat, alu atau alat penumbuk dari perunggu,

hiasan kuda, ujung tongkat dari perunggu, perhiasan

emas, segel, piring perak dengan hiasan gambar timbul

sapi jenis yak dan kijang pada bagian dasarnya, karpet

dari bahan felt yang disulam dengan motif hewan

(sebagian dijalin dengan sutra), bendera sutra, dan banyak

permadani dinding yang disulam dengan motif kura-

kura, burung dan ikan, dan gambar-gambar manusia,

penunggang kuda serta singa-singa China. Kaum

perempuan menjalin rambut mereka—yang diikat ke

atas saat dipotong lalu dibuang ke lantai dan koridor

landai pintu masuk dalam ritual perkabungan.

Tentu saja, banyak produk-produk yang dihasilkan

dari waktu luang dan menunjukkan kekayaan mereka

ini didapat dengan paksaan, atau . Kekuatan

didapat dari keahlian memanah dan menunggang kuda.

Ssu-ma Ch’ien bercerita tentang seorang kasim China

yang melarikan diri dan lalu   bergabung dengan

kaum Xiongnu, secara terang-terangan mengatakan

kepada bekas orang-orang senegaranya: “Pastikan ukuran

dan kualitas sutra dan padi-padiannya tepat, itu saja …

Jika inada  kekurangan atau kualitasnya tidak baik,

maka saat masa panen pada musim gugur datang kami

akan membawa kuda kami dan menginjak-injak semua

tanaman kalian.” Namun pengiriman tidak berlangsung

secara keseluruhan. Xiongnu mungkin sudah lihai

mengeruk keuntungan, namun   mereka tetap berhati-hati

agar tidak mematikan sumbernya. Perdagangan ber -

kembang pesat. Bangsa China memerlukan   kuda dan

unta dari padang rumput, bulu musang dan rubah dari

hutan-hutan Siberia, permata dan logam dari pegunungan

Altai. Terlebih lagi, perdagangan merupakan satu-satunya

cara untuk memastikan perdamaian: bangsa China juga

berusaha melakukan cara lain. Motun dinikahkan dengan

pengantin perempuan kerajaan dengan harapan ia akan

menghasilkan anak keturunan yang selalu tunduk. “Siapa

yang pernah mendengar seorang cucu berusaha meng -

ancam kakeknya sebagai lawan sebanding?” Demikian

pendapat salah seorang pejabat kepada kaisar. “Jadi

Xiongnu perlahan-lahan akan menjadi wilayah kekuasaan -

mu.” Dan anak-anak perempuan, bahkan dengan mas

kawin dalam jumlah banyak, dinilai jauh lebih murah

dibandingkan bala tentara. (Meski bagi anak perempuan

miskin, keadaan menjadi lebih sulit. Seorang putri menulis

sebuah puisi sedih tentang nasibnya: “Rumah kecil penuh

malapetaka yaitu  kediamanku, dengan dinding dari kain

felt. Daging yaitu  makananku, dengan susu fermentasi

sebagai minumanku. Aku hidup terus memikirkan rumah -

ku, hatiku dipenuhi kesedihan. Aku berharap menjadi

seekor angsa emas, kembali ke negara asalku.”)

Daerah perbatasan, pernikahan, perdagangan—dan

hadiah. Pada 50 SM, dewan kekaisaran China, dalam

sebuah kunjungan kepada raja Xiongnu, dianugerahi

“sebuah topi, sabuk pinggang, baju dan pakaian dalam,

segel emas dengan kawat berwarna kuning, satu set

pedang bertatahkan batu mulia, sebilah pisau yang

dipasangkan di sabuk pinggang, sebuah busur dan empat

set anak panah (tiap set berjumlah 12 buah), 10 tongkat

kebesaran dalam satu kotak, satu kereta tempur, satu

tali kekang, 15 ekor kuda, 20 ghin dari emas, 200.000

koin tembaga, 77 setel pakaian, 8.000 barang-barang

lain, dan 6.000 ghin dari wol katun”. Semua ini sepadan

dengan pajak Danegeled1 yang dibayarkan oleh Inggris

kepada para penjarah Viking; namun   ini juga ber fungsi

sebagai kemewahan yang dirancang untuk melemah kan

kekuatan kaum nomaden, sebagaimana peringatan seorang

pejabat China kepada bos-bos barunya: “China harus

memberikan sepersepuluh harta bendanya agar Xiongnu

sepenuhnya berpihak kepada Dinasti Han. Robek kain

sutra dan pakaian katun yang kalian dapat dari China

dengan berlari menembus semak berduri hanya untuk

menunjukkan bahwa kain-kain itu jauh lebih buruk

daripada pakaian kulit dan wol!”

1 Pajak yang dibayarkan kepada para penjarah suku Viking demi menghindari

penyerangan sekaligus pembunuhan terhadap suatu wilayah.

NOYAN UUL, Gunung Raja: nama itu membuatku tertarik.

Pada sebuah perjalanan di musim panas tahun 2004,

aku berkesempatan ke sana. Seratus kilometer dari Ulan-

Bator? Saat menyiapkan mobil dan supir, aku beranggapan

ini akan menjadi perjalanan yang mudah. Pastinya siapa

saja yang bekerja dalam bisnis perjalanan tahu bagaimana

menemukan sebuah situs penting seperti itu. Dan ternyata

tidak demikian. Ingatan sudah memudar, dan Noyan

Uul tidak ada dalam situs pariwisata. Anda mungkin

me nemukan referensi alakadarnya dalam artikel   panduan,

namun   tidak ditunjukkan bagaimana caranya agar sampai

ke sana.

Aku mendapatkan bantuan di Museum Sejarah Bangsa

Mongolia di Ulan-Bator, dalam bentuk yang agak ganjil.

Ahli permukiman Xiongnu terdengar ganjil, sebab 

memang itulah namanya: Od. Nama sebenarnya yaitu 

Odbaatar, namun   orang-orang Mongolia umumnya me -

mendekkan nama mereka hingga menjadi suku kata

pertama. Pada pandangan pertama aku beranggapan dia

juga tampak aneh: tubuhnya kurus tidak biasa, dengan

wajah lembut dan halus, seperti hewan berbulu lembut

yang ditangkap jauh dari kandangnya. Jabat tangannya

terlalu nyaman, lalu   mengatupkan kedua tangannya

seolah memberikan penghormatan. Salah lagi. Kesopanan -

nya bukan hanya menyembunyikan keahlian yang jarang

ada namun   juga keteguhan yang luar biasa. Ia sedang

mengalami luka yang sangat parah: sewaktu membantu

seorang teman melakukan pekerjaan bangunan, lengannya

terluka terkena pecahan kaca, yang hampir memotong

urat dagingnya. Dan aku hampir membuat lukanya ter -

buka lagi.

Noyan Uul hanya salah satu dari beberapa penemuan

Xiongnu, ujarnya. Para arkeolog sudah menemukan

enam belas pemakaman Xiongnu, yang pada salah

satunya (Gol Mod, 450 kilometer sebelah barat UB)

satu tim Perancis-Mongolia sudah melakukan penelitian

sejak tahun 2000. Namun, di bawah petunjuk Od,

pemakaman kerajaan Noyan Uul yang muncul ke

permukaan, sebab  museum menunjukkan foto-foto

situs ini , gambar makam, sedikit temuan dan

potongan-potongan yang dibiarkan tertinggal dari galian

rampasan yang dilakukan Kozlov, ujung-ujung busur

yang terbuat dari tanduk, sebuah permadani sutra dengan

gambar seekor sapi yak melawan seekor macan tutul

salju, dan sebuah sanggurdi dari besi (kita akan membahas

hal ini nanti), sebuah payung, dan tiga kuncir rambut.

“Ah, ya.” Aku mengingat artikel   yang pernah kubaca.

“Bukankah orang-orang ini memotong rambut mereka

dalam ritual perkabungan?”

“Kupikir bukan dalam ritual perkabungan. Mungkin

dalam ritual pembunuhan. Satu kuncir, satu orang. Sulit

mengatakannya sebab  korban biasanya tidak dikubur

dengan raja. Tidak banyak tulang. Tapi aku melihat

sebuah tengkorak di dalam Gol Mod dengan satu lubang

di dalamnya, seolah, seperti…”

“Beliung?”

“Ya, beliung.”

“Od,” ujarku merasa berinisiatif, “aku akan ke Noyan

Uul besok. Bisakah kau ikut denganku?”

Od tertarik. Ia tidak pernah ke sana, dan tidak yakin

kalau kami bisa sampai ke sana. Atasan Od menambah

anggota lain untuk ekspedisi ini: Erigste, seorang

mahasiswa sarjana yang disertasinya membahas tentang

Noyan Uul. Ia terlihat seperti Indiana Jones berkebangsaan

Mongolia: tubuhnya besar dan tegap, dengan wajah

lebar dan dimakan cuaca serta potongan rambut sangat

pendek. 

Keesokan harinya kami berangkat, mengarah ke utara

memakai   mobil UAZ 4 X 4 yang kukuh buatan

Rusia. Kami berangkat berenam: supir, dua orang

perempuan Australia tangguh yang terlibat dalam

penelitian, dua mahasiswa Mongolia, dan aku. Setelah

dua jam, kami keluar dari jalan beraspal dan melintasi

jalan kecil, mengarah ke lembah Sungai Sujekht, berputar

seperti sampan kecil dalam gelombang besar di daerah

punggung pegunungan Noyan Uul yang berhutan.

Jalan bekas roda dan berlumpur terus melewati

deretan pepohonan dan semak belukar setinggi lutut,

rerumputan, dan bunga-bunga berwarna kuning. Aku

pikir, jalan ini banyak dipakai—oleh para pemburu,

pikirku. “Para penggali emas!” teriak Erigtse, mengalahkan

suara mesin. Tentu saja—orang yang menemukan makam-

makam itu yaitu  seorang penggali emas. Tidak hanya

mereka. Jalan kecil itu berubah datar dan di sana inada 

satu truk berisi para peneliti Rusia dan Mongolia,

kendaraan mereka diparkir di areal semak belukar se -

tinggi roda. Tim ini merupakan sebuah ekspedisi yang

datang untuk mempelajari taksonomi tumbuhan. Di

daerah perbatasan ini, mereka ingin tahu: apakah padang

rumput luas ini pindah ke bagian utara, atau wilayah

hutan yang pindah ke selatan. Jawabannya mungkin

mengungkap hal-hal menarik mengenai perubahan iklim—

namun   juga perubahan masa lalu, dan juga mengapa

tempat ini dipilih sebagai situs makam raja, jika mereka

bisa mengumpulkan beberapa sampel tanah lapukan

tumbuhan dari lapisan yang jauh lebih dalam.

Di mana kuburannya, gundukan tanahnya?

Erigtse menunjuk sebuah hutan kecil yang ditumbuhi

pohon birch.

Aku tidak bisa melihat apa pun selain pepohonan.

Seolah-olah aku berusaha mengenali seseorang yang

bersembunyi di balik selimut.

“Sebelumnya, daerah ini tidak ditumbuhi pohon,”

ujar Erigtse. “Pohon-pohon ini mungkin usianya tiga

puluh tahun. Sering terjadi kebakaran hutan, dan orang-

orang menebang pohon.”

Mengejutkan bagiku, terlihat dalam sebuah tindakan

yang berulang-ulang selama beberapa dekade, hutan

belantara ini sama sekali bukan hutan. Hanya daerah

hutan biasa dan lapangan-lapangan yang luas di tengah

rimba, pertumbuhan dan penebangan pohon di sini

diatur oleh para pemburu, penebang kayu, perampok,

dan sekarang para arkeolog dan ahli tumbuhan, dan

mungkin tidak lama lagi, oleh turis yang sesekali datang.

Pohon-pohon tua jarang ada—hanya ada satu, sebatang

pohon cemara berbonggol dan yang hitam sebab 

kebakaran, tidak ada yang aneh. Pohon itu diberi

penghormatan dengan kain sutra biru, seolah pohon

berusia seratus tahun lebih ini yaitu  hutan Methuselah.

Tersembunyi oleh pepohonan berbatang kecil dan

hamparan semak belukar, inada  sebuah gundukan

tanah bundar, dan di sisi lainnya inada  sebuah lubang.

Ini—Makam temuan Kozlov no. 1—tampak seperti

sumur tua dan ditinggalkan begitu saja, satu terowongan

persegi dengan kayu-kayu lapuk. Tidak seorang pun

kecuali Erigtse yang bisa melihat melalui lapisan tumbuhan

untuk menunjukkan di mana orang-orang Kozlov sudah

menggali gundukan dan menemukan jalan masuk, di

mana peti mati dibawa dan barang-barang ditempatkan

dalam penghormatan, sebelum para budak menguburnya

lagi, dan membangun makam, lalu meninggalkan tempat

itu yang lalu   ditemukan oleh para perampok.

Ada beberapa gundukan lain di daerah berhutan itu,

semuanya bisa dilihat jelas. Bisa dipastikan Anda tidak

akan tahu keberadaannya, namun   setelah setengah jam

berjalan kaki kami melintasi puluhan gundukan makam—

Erigtse mengetahui jumlahnya sekitar 100 atau lebih—

sebagian besar tingginya hanya satu atau dua meter, dan

terpisah sejarak 10 meter. Beberapa ukurannya lebih

besar daripada yang lain. Salah satunya, makam no. 24,

merupakan sebuah lubang yang pasti butuh waktu

beberapa minggu untuk menggalinya. Dalamnya masih

6 meter dan di dekatnya, sejauh yang digali tim Kozlov,

inada  sebuah jalan masuk, seperti satu ceruk jalan

kecil kuno. Barang-barang peninggalan raja yang dikubur

pada makam no. 24 sudah dikirimkan.

Bukan makam-makam itu yang membuatku begitu

memikirkan situs ini. Aku pernah mengunjungi gunung

yang diyakini sebagian besar penduduk Mongolia dan

cendekiawan sebagai makam Jenghis. Bangsa Xiongnu

datang dari utara dan barat UB, tanah air bangsa Mongolia

di bagian timur dan dua budaya dipisahkan selama lebih

dari 1.000 tahun. Namun aku bertaruh pada satu

hubungan. Burkhan Khaldun, yang letaknya 200 kilometer

di sebelah timur pegunungan Khenti, dan Noyan Uul

memiliki kesamaan ini: sama-sama pegunungan yang

menarik, namun   mudah dicapai dengan menunggang

kuda (tidak baik memiliki satu gunung suci yang terlalu

jauh dan terlalu sulit dicapai); sama-sama berada di

garis perbatasan di antara hutan bagian utara dan selatan

padang rumput; situs-situs makam berada di hulu lembah


sungai dan berada di tanah datar, yang lalu  

kondisinya semakin buruk ke bagian atasnya; dan

keduanya menyatakan rasa memiliki: ini milik kami,

dan di sini kami terbaring, selamanya. Apakah semua ini

kebetulan semata? Kurasa tidak. Tampaknya bangsa

Mongolia, saat mereka bangkit bersatu dan lalu  

berada di bawah kekaisaran Jenghis, sudah mengetahui

keberadaan makam-makam ini, bahkan mungkin mereka

tahu apa isinya, dan berkata kepada diri mereka sendiri:

Aha, begitulah cara mengubur raja!

Namun apa kemungkinan hubungannya dengan arah

barat?

“Erigtse,” ujarku, saat kami bersiap berjalan susah

payah menuruni padang rumput dan menuju jalan

kembali ke UB. “Menurutmu apakah suku Hun yaitu 

orang Xiongnu?”

“Oh, ya. Kami menyebutnya Hun-nu.” Erigtse

menyebut h seperti ucapan ch pada kata loch dalam

bahasa Skotlandia, yang biasa ditulis sebagai kh. “Dalam

bahasa kami, Khun artinya “manusia”, “orang”. Kupikir

mereka memakai   kata yang sama dengan bahasa

kami. Mereka yaitu  musuh China, jadi kata khun kami

menjadi xiong dalam bahasa China.” (Bunyinya terdengar

seperti shung, yang tidak jauh berbeda dari khun.)

“Artinya “jahat”. Dan nu berarti “budak”. Xiongnu—

Budak Jahat.”

Jika kaum Xiongnu benar-benar suku Hun, Noyan

Uul yaitu  bagian dari nenek-moyang Attila yang

terlupakan. Mereka lupa tentang gunung-gunung suci

dan pemakaman kerajaan di perbukitan, di mana rasa

memiliki terhadap suatu tempat sudah tidak ada lagi,

setelah dua abad berkelana. Mereka sudah bukan seperti

Xiongnu generasi pertama. Mereka sudah menjadi bangsa

nomaden yang tidak menentu.

SELAMA 150 tahun, bangsa Xiongnu masih belum

dikalahkan oleh kemewahan pemberian bangsa China

dan oleh putri-putri China. Akhirnya bangsa Han bosan

dengan tuntutan Xiongnu, dan mulai melakukan

serangkaian serangan untuk mengalahkan mereka. Sebuah

kebangkitan kembali bagi nasib baik bangsa Xiongnu

yang berlangsung singkat pada abad pertama Masehi,

diakhiri dengan pemisahan wilayah utara dan selatan.

Orang-orang selatan bergabung dengan Han, orang-

orang utara mempertahankan kemerdekaan mereka di

Mongolia, di mana pada 87 M, satu kelompok campuran

berbagai suku dari Manchuria, Hsien-pi, menangkap

ketua suku Xiongnu dan mengulitinya, membawa kulitnya

sebagai trofi. Sebuah pertempuran pada akhir tahun 89

membuat penduduk wilayah utara kocar-kacir. Pada

pertengahan abad kedua mereka semua hilang, bergerak

ke wilayah barat, seperti yang dilakukan suku-suku yang

kalah, ke wilayah-wilayah Asia Tengah yang kosong dan

di luar daerah itu, menuju sumber-sumber kekayaan

baru. Menurut sudut pandang bangsa Romawi, daerah

pedalaman Eurasia pecah akibat meningkatnya kebiadaban,

ditandai dengan perbatasan, sungai, suku, dan wilayah

perdagangan, mereka akan muncul dari kegelapan wilayah

luar; namun   pada dasarnya jalur-jalur ini horizontal, di -

tandai dengan adanya hutan, padang rumput, dan gurun

pasir. Pegunungan dan laut-laut pedalaman mengubah

kelompok-kelompok ini, memaksa mereka menembus

jalan berumput dengan jalur berliku atau langsung

memotongnya dengan jalan lurus. Namun, orang-orang

Xiongnu tahu jalannya: sepanjang Koridor Gansu antara

Gurun Gobi dan dataran tinggi Tibet, lalu   di barat

laut yang kini merupakan jalan kereta api menuju wilayah

Ürümqi, dan di luar wilayah China melewati Celah

Dzungarian di antara Gunung Altai dan Gunung Tien

Shan. Perjalanan ini punya bahayanya tersendiri, bahaya

dari suku lain dan dari alam. Celah Dzungarian sangat

terkenal dengan anginnya yang sangat kejam, buran2,

diceritakan oleh para pengelana selanjutnya yang mem -

beranikan diri menantang jalan yang sama sejauh 80

kilometer dari wilayah mematikan yang naik-turun. Friar

William dari Rubrouck memperhatikan bahaya wilayah

ini dalam perjalanannya menemui penguasa Mongolia

pada 1253. Douglas Carruthers, seorang penjelajah

berkebangsaan Inggris dan penulis catatan perjalanan,

melintasi jalan ini pada 1910. “Saat malam, dari kejauhan

kami mendengar deru angin tertahan di gurun-gurun

Djungarian, yang melepaskan diri melintasi daerah kotor

dan sempit ini,” tulisnya dalam artikel   Unknown Mongolia.

“Gumpalan-gumpalan awan besar menyapu “selat” ini

seolah didorong melewati saluran raksasa.” Buran musim

dingin bisa membuat tenda-tenda khas Mongolia terlipat

dari tali tambatannya, membuat orang-orang di dalamnya

beku kedinginan sebab  angin dingin yang temperaturnya

mencapai minus 50oC.

Sebuah perjalanan yang berat, namun   sekali waktu

pernah dilakukan, sebelum berkali-kali dilakukan oleh

banyak suku yang bergerak ke wilayah barat, dan akan

dilakukan lagi, oleh kawanan hewan dan rangkaian

kereta-kereta kuda. Di ujung padang rumput inilah Friar

Williams melihat kereta-kereta bertenda sepanjang 10

2 Sering kali diterjemahkan sebagai ‘badai salju’. Buran sedikit melebihi itu, itulah

sebabnya istilah itu dijadikan nama pesawat ulang alik Soviet.

meter milik orang Mongolia melintas, dengan poros

roda seperti tiang kapal, ditarik oleh 22 banteng, melintasi

padang rumput seperti layaknya kapal layar Spanyol.

Bangsa Xiongnu tidak memiliki sumber daya seperti ini,

namun   mereka juga merupakan orang-orang yang tangkas.

Bisa dipastikan orang-orang Xiongnu melintasi wilayah

ini pada musim panas, dengan menggemukkan kawanan

hewan gembala dengan rumput musim semi, sebelum

membawanya melintasi padang rumput Kazakhstan

sejauh 2.000 kilometer. 

DUA RIBU tahun lalu  , seperti yang dicatat de

Guignes, muncul satu suku dari pedalaman Asia Tengah,

yang jika dibandingkan dengan suku lain, jauh lebih

rendah, namun   memiliki gaya hidup yang sama—nomaden,

hidup di tenda dan memiliki kereta angkut, pemanah

berkuda—dan samar-samar memiliki nama yang mirip.

Itu saja sudah cukup bagi de Guignes, dan bagi para

penerusnya, terutama Edward Gibbon dalam artikel  nya

Decline and Fall of the Roman Empire. Dalam artikel  

Gibbon, de Guigness menemukan dukungan yang lebih

tinggi. Suku Hun yang mengancam Romawi merupakan

anak keturunan dari suku yang mengancam kekaisaran

China, menjadi “hebat sebab  ketangkasan yang tiada

bandingannya dalam mengendalikan busur dan kuda

mereka; kesabaran luar biasa untuk bertahan dalam

cuaca sangat buruk; dan kecepatan mereka yang luar

biasa, yang jarang dihentikan oleh aliran air deras atau

ngarai, oleh sungai-sungai terdalam, atau oleh gunung-

gunung paling tinggi.” Gibbon memakai   kata dan

frasa seperti artileri, menghancurkan keraguan sebelum

rasa itu punya kesempatan untuk tumbuh. Selama dua

abad berikutnya, terlihat fakta bahwa suku Hun yaitu 

orang-orang Xiongnu, yang dilahirkan kembali dalam

kemiskinan. Dalam Encyclopedia Britannica edisi 1911

yang mengandalkan informasi pada “de Guiques” yang

dengan ceroboh dieja dengan salah. Para ahli seperti

sejarawan Perancis bernama René Grousset dan William

McGovern dari Amerika, keduanya membuat laporan

pada 1930-an, hanya menyatakan orang-orang Xiongnu

sebagai suku Hun, titik, tanpa menyusahkan diri

memperdebatkan masalah itu. artikel   Historical Atlas of

China karangan Albert Herrmann pada 1935 membahas

masalah ini panjang lebar dalam bab “Hsiung-Nu or

Huns”. Sekitar waktu yang sama, bagi para peneliti yang

lebih skeptis terlihat bahwa sama sekali tidak ada bukti

untuk menghubungkan antara keduanya. Bahkan inada 

perbedaan luar biasa antara kaum bangsawan kaya yang

dimakamkan di Noyan Uul dan kelompok Attila yang

sangat miskin. Teori ini lalu   terkatung-katung.

Sebagaimana Edward Thompson, yang pernah menjadi

Profesor Sejarah Klasik di Nottingham University, dengan

terus terang menulis tentang suku Hun dalam artikel  nya

yang terbit tahun 1948, “Sekarang pandangan ini sudah

meledak dan ditinggalkan.”

Namun baru-baru ini teori ini  kembali mendapat

tempat. Singkatnya kedua suku ini begitu dekat dalam

waktu dan tempat sehingga sulit meyakini bahwa keduanya

terpisah. Sisa orang-orang Xiongnu, menyelamatkan diri

mengikuti jalur-jalur perdagangan yang mengarah melintasi

lembah Ili di bagian selatan Kazakhstan kira-kira tahun

100, sampai di Sungai Syr Darya sekitar tahun 120.

Dalam hitungan bertahap, yaitu 2.800 kilometer dalam

30 tahun atau hanya 90 kilometer setahun. Pada 160,

Ptolemy, seorang Yunani dengan banyak kepintaran

menyebut “Khoinoi” yang secara umum disamakan

dengan Chuni, huruf ch terdengar seperti bunyi loch

dalam bahasa Skotlandia, yang membuatnya terdengar

mirip “Hun”. Orang-orang Khoinoi ini ia tempatkan

pada dua suku berbeda, yang paling jauh yaitu  suku

Roxelani yang mungkin tinggal di Don, sehingga

menempatkan suku Hun di utara Laut Azov—”Rawa

Maeotic” yang nantinya akan disebut oleh para penulis

dari Romawi. Celah antara keduanya menyempit menjadi

2.000 kilometer dan 40 tahun—celah yang dengan mudah

dilintasi dengan gerak lambat 50 kilometer satu tahun.

Ada satu bukti lebih jauh mengenai hubungan ini.

Pada 1986 sebuah ekspedisi bersama Rusia-Mongolia

menggali sebuah situs makam di ujung barat Mongolia,

tepatnya di pegunungan Altai. Laporan mereka tentang

temuan yang diarahkan sebagai situs “Hun”, mencermin -

kan hasrat bangsa Mongolia untuk menyamakan diri

dengan bangsa Xiongnu dan Hun, namun   jelas ini

merupakan situs Xiongnu. Lima makam ini  sangat

luar biasa sebab  tidak sepenuhnya telah rusak. Semuanya

berisi peti-peti mati dari kayu, dan pada empat dari lima

peti makam inada  sisa busur: serpihan tulang atau

tanduk, yang digunakan sebagai “telinga”; di ujung

lengan dan memperkuat bagian tengah. Pada kekang

bagian ujung, dengan ukuran panjang berbeda, para

penulis menyimpulkan bahwa busur-busur ini  tidak

simetris, bagian atasnya lebih panjang daripada bagian

bawah. Busur suku Hun berikutnya betul-betul tidak

simetris; ini merupakan ciri khusus, untuk alasan yang

hingga sekarang masih belum jelas. Kekang-kekang ujung

busur itu sendiri—bagian “telinga”—juga mengesankan

adanya hubungan dengan suku Hun, sebab  busur suku

Hun lalu   menjadi busur yang mengalami

perkembangan pesat. 

Misteri ini bisa dipecahkan bila dalam makam-makam

Altai tersimpan busur buatan mereka. Namun ternyata

tidak. Apa mungkin busur itu sudah lapuk dan musnah?

Tampaknya tidak demikian: peti mati dari kayu tahan

hingga sekitar 2.000 tahun, dan ada kulit kayu birch

dalam salah satu peti, tapi tidak ada busur kayu? Ini

semakin aneh. Pada gilirannya keempat makam memiliki

tiga telinga, tiga telinga, dua telinga, dan empat telinga,

dan masing-masing memiliki potongan tanduk dalam

jumlah berbeda yang digunakan untuk memperkuat

gagang busur kayu. Banyak kekang, namun   tidak ada

busur yang utuh. Pada fakta  nya, tidak ada busur

utuh yang pernah ditemukan dalam makam atau lumbung

makanan suku Hun. Bahkan ketika ditemukan sepasang

lapisan tulang yang tampaknya cocok—di sebuah situs

abad keempat di dekat Tashkent—penelitian saksama

menunjukkan dua kekang tanduk panjang ini  diukir

oleh dua orang pemahat yang berbeda, untuk busur

yang berbeda pula. Hanya ada satu kesimpulan: kekang

yang ditemukan secara bersamaan tidak digunakan pada

busur yang sama, atau bagian dari satu busur tertentu.

Saat seorang ahli terkenal tentang suku Hun, Otto

Maenchen-Helfen, menyimpulkan: “warga   mengubur

prajurit yang tewas dengan sebuah busur replika.” Begitu

ide ini diusulkan, langsung terlihat nyata. Tentu saja

mereka mengubur busur-busur replika, atau yang sudah

rusak. Butuh keahlian bertahun-tahun untuk membuat

busur. Dalam banyak kebudayaan penduduk yang setia

mengubur barang-barang bersama raja yang mencerminkan

status bangsawan mereka; namun   busur, yang harus

dimiliki setiap orang, bukanlah benda yang mencerminkan

status tinggi. Makam-makam yang ada di Mongolia

bagian barat diperuntukkan bagi para pejabat rendahan,

yang ingin meninggalkan harta berharga untuk sanak

saudara mereka yang selamat. Siapakah di antara keluarga

yang berkabung yang akan menyia-nyiakan sebentuk

benda berharga, benda yang dapat menentukan hidup-

mati dengan mengubur apa saja selain beberapa serpihan

dan kekang yang tidak terpakai? 

Mungkin, apa yang lalu   kita lihat dalam makam-

makam bangsa Xiongnu yaitu  busur Hun yang sedang

dalam proses evolusi; dan jika benar, hal ini akan

membuktikan hubungan langsung antara suku Hun dan

Xiongnu.

JIKA SUKU HUN dan Xiongnu tidak begitu terhubung oleh

arkeologi, bagaimana dengan legenda? Jika inada 

hubungan, tidakkah aneh bahwa orang-orang Hun

tampaknya tidak punya legenda kenangan akan hal itu?

Orang-orang Turki yang merupakan penerus bangsa

Xiongnu di Mongolia dengan senang hati menyatakan

bahwa suku Hun yaitu  nenek-moyang mereka juga,

yang menjelajah ke wilayah barat pada abad kedelapan;

namun   Attila, yang lebih dekat dengan masa bangsa

Xiongnu, tidak merasakan hal yang sama. Attila punya

para penyair sendiri, namun   tidak ada saksi mata yang

menyaksikan mereka bersenandung tentang nenek-

moyang mereka yang menaklukkan wilayah lain. 

Lagi-lagi, argumen ini bisa diterapkan dengan dua

cara. Kadang informasi dari legenda sangat abadi—

legenda bangsa Troya tetap hidup dalam cerita dari

mulut ke mulut selama berabad-abad sebelum Homer

menuliskannya. Kadang legenda itu menghilang, terutama

selama migrasi panjang. Aku pernah bekerja dengan

sebuah suku kecil di hutan hujan Ekuador yang pindah

ke wilayah permukiman mereka pada masa pertengahan

beberapa abad yang lalu—hal itu pasti, sebab  mereka

tidak pernah belajar tentang kerajinan dari batu atau

melupakannya saat melakukan migrasi, memakai  

kapak batu yang dibuat dan ditinggalkan oleh kebudayaan

sebelumnya. Suku Waonari bukanlah legenda, namun  

semua perkataan mereka tentang diri mereka sendiri

yaitu  bahwa mereka berasal “dari hilir sungai, sejak

dulu kala”. Bangsa Mongolia juga lupa akan asal-usul

mereka: epik mendasar mereka. The Secret History of

the Mongols, hanya menceritakan bahwa mereka berasal

dari seekor serigala dan kijang betina, dan menyeberangi

lautan atau danau untuk sampai di Mongolia mungkin

500 tahun yang lalu. Suku Hun tampaknya lebih cepat

melupakan—dalam 250 tahun—tidak ingat apa pun

tentang nenek-moyang mereka; tidak ada yang diingat,

setidaknya oleh salah satu dari mereka.

Mungkin ada hal yang lebih berperan daripada

kelalaian belaka saat bangsa Xiongnu berubah menjadi

suku Hun. Begitu keadaan mereka mundur dari kemuliaan

kekaisaran hingga menjadi kelompok-kelompok miskin,

mungkin suku Hun malu dengan kemerosotan yang

mereka alami, dan tidak ingin menyampaikan kebesaran

masa lalu kepada anak-cucu mereka. Aku tidak pernah

mendengar catatan mengenai proses semacam itu; namun  

lalu  , itu tidak akan perlu, bukan? Sebuah hal tabu

keturunan—”Jangan sebut China!”—itu saja sudah cukup.

Bahasa sangat sedikit menyuguhkan bantuan dalam

menelusuri asal-usul suku Hun. Meski Attila mem -

pekerjakan para penerjemah dan sekretaris, tidak seorang

pun menulis dengan bahasa Hun, hanya memakai  

bahasa Latin atau Yunani, yang merupakan bahasa dari

kebudayaan yang dominan, dengan prasangka terhadap

bahasa orang-orang barbar. Para ilmuwan dengan bebas

berimprovisasi, sebuah solusi favorit Gibbon, bahwa

suku Hun sebenarnya yaitu  orang-orang Mongolia.

(Padahal tidak: bangsa Mongolia tidak pindah ke wilayah

Xiongnu hingga setengah abad setelah Xiongnu pergi.)

Beberapa ahli sudah menyatakan kata-kata tertentu

sebagai bahasa suku Hun; semuanya diperdebatkan;

tidak ada satu kata pun yang benar-benar bahasa mereka,

atau bisa dipastikan ada bahasa Hun yang selamat.

Namun kita punya atau beranggapan punya nama-

nama suku Hun. Pertama kita harus menyingkap

ketidakjelasan yang ada, sebab  Hun, Goth, dan suku-

suku Jerman lainnya, bahkan semua bangsa Romawi,

semuanya saling mengadopsi nama dari budaya satu dan

lainnya; dan nama orang-orang Hun memiliki nama

akhir Latin atau Yunani; dan sering dieja berbeda dengan

tulisan yang berbeda pula. Namun di balik ketidakjelasan

ini masih inada  inti dari nama-nama yang memberi

petunjuk tentang bahasa suku Hun. Octar, nama paman

Attila, ditulis Oiptagos, Accila, Occila, Optila, dan Uptar

(ct berubah menjadi pt dalam dialek bahasa Latin Balkan).

Namun öktör berarti “kuat” dalam bahasa Turki kuno.

Sebuah kebetulan? Menurut para ilmuwan tidak. Nama

karakter lain dalam kisah ini juga terkesan memiliki

akar kata bahasa Turki: Mundzuk, nama ayah Attila

(berarti “Mutiara” atau “Hiasan”), Aybars, pamannya

(“Harimau Kumbang Purnama”), Erekan, istri tertuanya

(“Ratu Cantik”), Ernak, putranya (“Pahlawan”), Charaton/

Kharaton, seorang raja bayangan (sesuatu berwarna

“Hitam”, kemungkinan pakaian). Akhiran–kam pada

beberapa nama tampaknya mengingatkan akan “pendeta”

atau “dukun” dalam bahasa Turki. Tentu saja, nama-

nama ini penuh tipu daya, dengan mudah diserap dari

budaya lain, seperti nama-nama dalam Injil yang diserap

ke dalam bahasa Inggris. Menurut István Bóna, arkeolog

terkenal peneliti suku Hun mengatakan, cukup “untuk

membetulkan kesalahan besar yang terjadi secara luas

yang dilakukan oleh beberapa peneliti modern: sebab 

sebagian keutamaan ras Mongoloid pada beberapa

tengkorak pilihan, mereka keliru antara ras dan bahasa,

dan mengubah suku Hun menjadi sepenuhnya bangsa

Mongol.”

Untuk menyesuaikan kemungkinan dan kepastian

akan hal ini: suku Hun mungkin keturunan Turki,

mungkin memakai   bahasa Turki (yang memiliki

akar yang sama dengan bangsa Mongol), kemungkinan

yaitu  sisa bangsa Xiongnu yang pindah, tidak punya

hubungan dengan China yang berbeda dari beberapa

persamaan budaya, dan pastinya sama sekali tidak ada

kaitannya dengan suku Slavia dan Jerman yang menarik

mereka masuk dengan kasar. 

DALAM EVOLUSI pejuang nomaden, inada  satu tahapan

yang sangat vital. Agar benar-benar efektif, seorang

pembuat busur memerlukan sistem pengiriman. Untuk

hal ini, bangsa Scythia dan China mengembangkan kereta

tempur beroda dua: dengan landasan tembak yang lincah,

stabil, dan gesit, dengan seorang kusir selain penumpang

itu sendiri sebagai pemanah; dan selalu memberikan

akses bagi warga   terhadap kayu dan tukang kayu,

tambang dan pekerja logam yang ahli. Jadi keberadaannya

memelihara warga   semi urban yang sudah

terorganisasi dengan baik. Bangsa nomaden, yang mungkin

menunggang kuda tanpa pelana, hampir pasti tanpa

sanggurdi, sesekali hanya bisa menandingi kemampuan

dan kegunaan para pengendara kereta tempur ini.

Untuk memaksimalkan efektivitas, pejuang nomaden

harus menanti ditemukannya sanggurdi, khususnya

sanggurdi yang terbuat dari besi, sebuah penemuan yang,

dalam kombinasinya dengan sadel, sama berpengaruhnya

dengan busur gabungan dalam perkembangan peperangan.

Ini merupakan persoalan yang tidak jelas. Sifat ortodoks

umum mengklaim bahwa sanggurdi berkembang sangat

terlambat dan menyebar sangat lamban, mungkin sebab 

para penunggang kuda ahli bisa naik kuda tanpa

memakai  nya, mungkin sebab  kereta-kereta tempur

memberikan sebagian solusi untuk masalah pemanfaatan

busur. Sanggurdi pertama tercatat ditemukan di India

pada abad kedua sebelum Masehi, terbuat dari tali dan

digunakan sebagai penopang jempol kaki. Gagasan ini

lalu   dibawa ke China dan Korea, di mana sanggurdi

dari logam muncul pada abad kelima Masehi. Dari sana,

sanggurdi logam menyebar ke wilayah barat, bukti

pertama ditemukan pada awal abad keenam. Namun

jika menggali lebih dalam, maka sifat kuno ini hilang

begitu saja. Keberadaan sanggurdi ini pastinya sudah

lebih lama, dan pastinya memang begitu. Lagi pula

pemikiran ini begitu nyata. Dan keberadaannya tidak

berasal dari India. Sebuah sanggurdi sederhana merupakan

alat bantu untuk menaiki kuda, namun   hanya bisa

digunakan dengan kaki telanjang, yang begitu umum di

India, namun   tidak demikian halnya di Asia Tengah,

wilayah di mana kuda pertama kalinya dikembangbiakkan.

Kombinasi sepatu bot dari kulit, perangkat logam, dan

kuda seharusnya sudah menginspirasi pembuatan sanggurdi

dari logam pada 1.000 SM, seiring dengan munculnya

ujung anak panah. Mungkin memang demikian; namun  

hal ini tidak muncul dalam catatan arkeologi hingga

bangsa Turki datang mendominasi Mongolia pada abad

keenam. Contoh paling awal yang pernah penulis lihat

merupakan sebuah referensi dari cendekiawan besar

bernama Joseph Needham, dalam artikel  nya yang berjudul

Science and Civilisation in China: sebuah gambar dalam

tembikar menunjukkan seorang penunggang kuda China

dengan sanggurdi, bertahun 302 M. Jika bangsa China

memakai sanggurdi ini, maka sudah pasti musuh mereka

juga memakai  nya. Namun hal itu tidak terlihat

dalam lukisan-lukisan para pemanah berkuda. (Ada satu

teori yang menjelaskan hal ini, yang menyatakan bahwa

sanggurdi dari logam merupakan penemuan seorang

penduduk kota China bertubuh gemuk dan malas sehingga

tidak bisa melompat ke atas sadel dengan gesit, lalu,

orang-orang nomaden yang saat itu melihat manfaat

sanggurdi ini lalu   memakai  nya. Tidak ada

bukti yang mendukung pernyataan ini. Anda percaya

akan hal ini? Aku tidak.)

Ini merupakan sebuah misteri mendalam, saat Od

membawaku mengelilingi Museum Sejarah Bangsa

Mongolia. Di antara barang-barang peninggalan Xiongnu

inada  sebuah sanggurdi dari logam, bukan dari Noyan

Uul, namun   dari makam Xiongnu di provinsi Khovd, di

ujung barat. Namun dari makam-makam kerajaan di

Noyan Uul tidak ditemukan satu pun sanggurdi dari

logam di sana. Bahkan, seperti isi surel Od kepadaku,

“Kami menggali banyak makam, sayangnya kami tidak

bisa menemukan lebih banyak [sanggurdi].” Semuanya

ini sangat aneh. Mungkinkah makam-makam yang ada

di bagian barat dibuat belakangan, saat Xiongnu sudah

dikalahkan dan bergerak menuju wilayah barat? Dalam

keadaan apa kita mengasumsikan bahwa Xiongnu, para

pekerja logam, dan penunggang kuda par excellence,

tidak memiliki sanggurdi saat mereka begitu kuat, namun  

memilikinya saat mereka tidak berkuasa? Dan jika mereka

memang memiliki sanggurdi, mengapa gagasan ini tidak

langsung menyebar?

Termasuk, tentu saja, suku Hun, yang pasti sudah

tahu dan memakai   sanggurdi, tidak peduli apakah

memang itu berasal dari Xiongnu atau bukan. Namun

dari temuan arkeologi suku Hun, yang sudah memproduksi

kekang, sadel, dan ornamen-ornamen kekang, kita tidak

menemukan satu sanggurdi pun. Dan juga keberadaannya

tidak disebutkan dalam sumber-sumber berbahasa Latin

dan Yunani (terus terang tidak ahli). Ya, suku Hun bisa

menunggang kuda tanpa meng gunakan sanggurdi, atau

memakai   tali atau kain sebagai alat bantu, tapi

mengapa, saat mereka me miliki pekerja logam untuk

membuat ujung anak panah, pedang, panci masak,

mereka malah menolak keberadaan sanggurdi dari logam?

Hal ini masih menjadi misteri.

Bagaimana pun, sekitar tahun 350 M, para peng -

gembala nomaden dari Asia Dalam memanfaatkan

pasukan infanteri, pasukan berkuda, dan kereta tempur.

Suku Hun memiliki perlengkapan berat untuk melakukan

penaklukan, dan bisa memakai  nya pada musim

panas atau musim dingin. Setiap prajurit diberi dua atau

tiga kuda cadangan, masing-masing membawa busur

sebagai harta berharganya, bersamaan dengan lusinan

anak panah dan ujung anak panah untuk berburu dan

berperang, masing-masing siap untuk melindungi istri,

anak, dan orangtua yang ada dalam kereta kuda.

Keberadaannya merupakan hal baru dalam sejarah,

sesuatu yang mungkin melebihi bangsa Xiongnu: sebuah

kereta raksasa yang bisa hidup dari tanah jika perlu,

atau dari penjarahan. Menjarah sangatlah mudah. Seperti

ikan hiu, mereka menjadi pemangsa ahli, mengasah

kemampuan dengan gerakan konstan, menyesuaikan diri

berkelana di hamparan padang rumput luas, menodai

suku-suku yang lebih kecil, hingga mereka muncul dari

wilayah yang tidak dikenal dan memaksa diri mereka

sendiri menjadi orang-orang Eropa yang pintar dan

berpengalaman, mendiami kota, dan tentu saja begitu

beradab. Oleh sebab  itu, anggapan awal kita akan suku

Hun yaitu  anggapan yang berasal dari luar dan dipenuhi

dengan kebencian, prasangka, dan kekeliruan seperti

yang mungkin Anda bayangkan.

Bangsa Yunani terkejut dengan  orang-orang

barbar yang berasal dari padang rumput ini , yang

ditunjukkan oleh bangsa Scythia. Dikatakan bahwa kata

“orang barbar”, berasal dari suara riuh bar-bar-bar yang

tidak dapat dimengerti dari orang-orang luar ini sebagai

pengganti bahasa, disimpulkan sebagai sebuah prasangka,

ekspresi kebencian terhadap orang asing yang menolak

identitas dan harga diri bangsa Yunani sendiri. Ini

merupakan gagasan yang menyatukan semua bangsa

non-Yunani dalam perbedaan yang sama, orang yang

keji, bodoh, kasar, dan menindas, dan dalam segala hal,

memberi kuasa kepada kaum perempuan. Euripides

melambangkan barbarisme dalam diri Medea, yang

kemungkinan berasal dari ujung Laut Hitam: seorang

penyihir berkuasa, penuh nafsu, dan pembunuh anak-

anak. Semua ini hanyalah omong kosong pribadi semata,

sebab  bangsa Scythia mengembangkan kebudayaan yang

kompleks dan canggih yang bertahan selama 700 tahun.

Bangsa Romawi mewarisi prasangka yang sama, dan

untuk itu mereka pun mengambil tindakan. Seluruh

daerah perbatasan kekaisaran, lebih dari 4.000 mil,

diamankan dengan jalan, tembok, menara, benteng, dan

parit dari pantai Atlantik Afrika, hingga Timur Tengah,

sampai ke Eufrat, kembali ke Laut Hitam dan di luar

wilayah itu. Di Eropa barat, bangsa Romawi diuntungkan

dengan keberadaan dua sungai besar, Sungai Rhine dan

Danube, yang hampir membelah benua menjadi dua

dari barat laut hingga barat daya. Sejak tahun-tahun

awal milenium pertama, bagi bangsa Romawi kedua

sungai ini sama halnya Tembok Besar China, wilayah

Dacia Roma sepadan dengan Ordos, wilayah perbatasan

yang dicari oleh budaya dominan sebagai zona penyangga.

Namun dari sinilah kebudayaan itu digerakkan bangsa

barbar. Geografi Eropa tidak begitu baik seperti halnya

China. Sungai Rhine dan Danube hampir menyatu, tapi

bagian hulunya membentuk sudut kanan pegunungan

Alpen bagian utara yang sulit untuk dipertahankan. Saat

kekaisaran semakin kuat, para kaisar pengganti memotong

wilayah itu dengan benteng, menara, dan akhirnya

tembok batu yang panjangnya mencapai 500 kilometer

yang melintasi wilayah selatan Jerman, dengan tembok

lain buatan Hadrian, yang menandai perbatasan terhadap

keberadaan orang-orang barbar dari utara. Tembok ini

juga memblokir koridor sepanjang 80 kilometer antara

Sungai Danube dan Laut Hitam. Meski begitu, tembok

Rhine-Danube dibiarkan mengalami serangan gencar

pada 260, dan kekaisaran kembali mundur ke dua sungai

ini . 

lalu  , dalam membentuk pandangan mereka

tentang orang-orang Attila, bangsa Romawi menyadap

perilaku yang diwariskan bangsa Yunani. Suku Hun

yaitu  sosok paling busuk yang bisa dibayangkan. Mereka

berasal dari Utara, dan semua orang tahu semakin dingin

iklim suatu daerah, maka akan semakin barbar perilaku

penduduknya. Ammianus Marcellinus, yang tidak pernah

melihat suku Hun dengan mata kepalanya sendiri,

menafsirkan bahwa mereka bertubuh pendek gemuk,

dengan leher besar, berwajah sangat buruk, dan bungkuk

sehingga mereka bisa jadi hewan berkaki dua, atau sosok

pahatan kasar dari tunggul kayu yang terlihat pada

sandaran jembatan. Tidak ada yang menyamai sikap

kasar dan buruk rupa mereka, yang saling menonjolkan

satu sama lain, sebab  mereka menyayat pipi anak laki-

laki mereka, sehingga saat dewasa, jika jenggot mereka

tumbuh semua, maka akan terlihat seperti potongan-

potongan kecil. Mereka sama sekali tidak tahu tentang

logam, tidak beragama, dan hidup seperti orang liar,

tanpa api, menyantap makanan mentah, hidup dari akar

tanaman dan daging yang diempukkan dengan cara

meletakkannya di bawah sadel kuda mereka. Tentu saja

tidak ada bangunan selain pondok bambu; mereka

bahkan takut dengan gambaran tinggal di bawah kediaman

beratap. Begitu mereka mengenakan kemeja kumal untuk

menutup leher, mereka akan terus memakainya hingga

bau. Bisa dijamin, mereka yaitu  para penunggang kuda

luar biasa; namun   bahkan ini merupakan ekspresi dari

perilaku barbar, sebab  secara praktis mereka hidup di

atas kuda, makan, minum, dan tidur di atas sadel mereka.

Sepatu mereka sangat tidak berbentuk, kaki mereka

begitu bengkok hingga sulit berjalan. Jordanes, seorang

sejarawan Goth, tidak bermaksud begitu menghina. Suku

bertubuh kerdil, buruk rupa, dan tampak lemah ini

merupakan keturunan penyihir dan roh-roh kotor, “jika

boleh kukatakan, semacam bongkahan tak berbentuk,

bukan sebuah kepala, dengan lubang-lubang kecil bukan -

nya mata”. Ini mengagumkan sebab  mereka benar-

benar bisa melihat, sebab  “sinar yang masuk ke lubang

tengkorak sulit mencapai bola mata yang jauh di belakang

… Meskipun mereka hidup dalam wujud manusia,

mereka memiliki kekejaman makhluk buas.” Inilah

prasangka yang terus dikenang turun-temurun. Praktisnya,

setiap orang senang mengutip pernyataan orang lain,

termasuk Gibbon, dalam mengutuk suku Hun sebagai

orang-orang bau, berkaki bengkok, brutal, dan menjijikkan.

Dan hampir semua pernyataan ini yaitu  omong

kosong.

Saat suku Hun muncul dari suatu wilayah di utara

Kaspia untuk mendekati Laut Hitam pada pertengahan

abad keempat, menurut bangsa Romawi, mereka berada

di batas dunia yang diketahui. Namun dengan ilmu yang

dipinjam dari para antropolog dan arkeolog maka

memungkinkan bagi kita untuk melihat beberapa sifat

bawaan mereka. Yang ditemukan para tamu suku Hun

lalu  , mereka ternyata berjenggot, bercocok tanam,

dengan sempurna bisa membangun rumah dan termasuk

berwajah tampan dan cantik sebagaimana halnya orang

biasa. Yang pasti, kaum laki-laki sangat dihormati, sebab 

mereka sangat tabah, dimakan waktu, dengan bahu

kurus sebab  setiap hari memakai   busur yang sangat

kuat. Namun, seperti dalam warga   Mongolia saat

ini, mereka mungkin merupakan campuran dengan ras

lain sehingga terlihat sangat menarik. Tidak seorang

pun yang melihat orang-orang Hun secara langsung me -

nyebutkan bahwa ada anak-anak dengan bekas luka di

wajah; dan beberapa laki-laki dewasa berjanggut tipis,

namun   hal ini tidak ada kaitannya dengan kekejaman

yang terjadi pada masa kanak-kanak; mereka melakukan -

nya sendiri sebagai bagian dari ritual perkabungan.

Tidak ada logam? Tidak ada makanan yang dimasak?

Anda akan berpikir bahwa bukti hasil logam yang pertama

ada yaitu anak panah pertama suku Hun, yang dengan

cepat diikuti dengan bukti alat-alat masak. Barang-barang

mereka yang sangat banyak berupa belanga masak, alat-

alat yang sulit digunakan yang berbentuk lonceng dengan

pegangan besar dan kukuh, dengan tinggi mencapai satu

meter dan berat 16 hingga 18 kilo: belanga yang cukup

besar untuk merebus makanan satu suku. Puluhan benda-

benda ini sudah ditemukan di Republik Czechnya,

Polandia, Hongaria, Rumania, Moldova—dan Rusia, di

mana sepuluh buah di antaranya berserakan di sebuah

wilayah luas, satu berada di dekat Ul’yanovsk di Volga,

lainnya 600 kilometer sebelah utara, satunya lagi bahkan

berasal dari pegunungan Altai yang hanya 250 kilometer

dari perbatasan Mongolia. Bentuknya seperti jambangan

yang sangat besar, dengan dudukan berbentuk kerucut.

Dibentuk asal-asalan dengan dua atau tiga cetakan,

dudukannya terkadang dibuat terpisah, lalu  

digabungkan secara kasar, sambungan dan bagian-bagian

kasar dibiarkan begitu saja. Isi logamnya sangat bervariasi:

sebagian besarnya yaitu  tembaga lokal, dengan tambahan

besi oksida tembaga dan timah, namun   jarang timah

yang—saat dicampur dengan tembaga akan—menghasilkan

perunggu. Dibandingkan pembuat logam yang baik,

suku Hun ini tampaknya masih amatir, tidak ada apa-

apanya dibandingkan jambangan perunggu bangsa China

atau yang dibuat oleh bangsa Xiongnu. Namun bangsa

ini berpindah, dan itulah yang membuat belanga-belanga

buatan mereka menjadi menarik. Para pembuat logam

dari suku Hun memiliki peralatan untuk melelehkan

tembaga (butuh tungku perapian untuk menghasilkan

suhu 1.000oC) dan cetakan batu yang berukuran sangat

besar dan berat. Belanga itu sendiri—menyampingkan

pelana berhias dan pakaian kuda—membantah gagasan

bahwa bangsa ini hanyalah penggembala primitif yang

tidak tahu apa-apa selain bertempur dan menyantap

makanan mentah. Butuh satu kelompok besar dan

terorganisasi serta cadangan makanan untuk mendukung

dan membawa para pekerja logam, peralatan, dan produk

mereka.

Tidak punya keyakinan? Lebih omong kosong lagi.

Mereka pasti beragama, sebab  Homo sapien berkembang

sebagai manusia yang tidak bisa lepas dari keyakinan.

Tampaknya dorongan untuk menjelaskan dan mengendali -

kan alam menjadi hal yang sangat mendasar bagi

kepintaran manusia dan lingkungan sehingga tidak ada

kelompok, betapapun mendasarnya, pernah di temukan

tidak memiliki keyakinan yang kita kembangkan dari,

dan tetap menjadi inti alam semesta yang tersembunyi,

dan tunduk padanya, bisa memengaruhinya dan akan

kembali padanya.3 Tidak terkecuali dengan suku Hun,

dan orang-orang Romawi benar-benar tahu bahwa dengan

“tidak memiliki kepercayaan” mereka mengatakannya

bukan sebagai kepercayaan layak, seperti halnya mereka,

3 Penyamarataan secara luas ini merupakan sebuah hipotesis, yang tidak terbukti.

Penulis memiliki beberapa bukti, yang berasal dari suku yang diajak bekerja sama di

hutan hujan Ekuador pada awal tahun 1980‐an. Suku Waorani merupakan kelompok

sosial paling sederhana yang diketahui para antropolog, tanpa pemimpin, dukun

atau ritual rumit; dengan musik yang sangat sederhana, tanpa pakaian kecuali tali

dari kain katun yang membalut pinggang mereka (yang digunakan laki‐laki untuk

menutup kemaluan mereka), tidak ada benda seni selain hiasan tubuh dan beberapa

artefak mereka yang luar biasa (khususnya sumpit tiup sepanjang 3 meter dan

tempat tidur gantung terbaik di Amazonia). Namun mereka memiliki kisah, dan

legenda, juga kosmologi, dengan cerita akhirat—surga di mana orang‐orang berayun

di tempat tidur gantung dan berburu selamanya, satu tempat buangan bagi mereka

yang kembali ke dunia dalam wujud binatang, dan sebuah neraka ‘tanpa lubang’—

dan roh‐roh baik dan jahat, dan sebuah mitos tentang dunia, yang diatur oleh sang

pencipta, Waengongi. Suku ‘primitif’ yang monoteisme! Ini mengejutkan. Gagasan

satu tuhan mungkin berasal dari politeisme sebagai bentuk yang lebih tinggi

daripada agama. Ini terbukti sangat memudahkan para misionaris Amerika saat

mereka datang membawa kabar dan menyampaikan tentang Waengongi versi

mereka sendiri. (4 aturan ‘primitif’ yang ironis: Waorani merupakan ahli dalam cara

hidup mereka, dan sama pintar dan bodohnya, sama waspada dan ingin tahu, sama

menarik dan tidak sopan dan secara menyeluruh sama dengan manusia sebagaimana

halnya kita.)


baik Kristen maupun penyembahan berhala yang lebih

beradab yang diwariskan dari Yunani. “Takhayul” tidak

masuk hitungan. Pastinya, apa yang diyakini suku Hun,

dan bagaimana mereka beribadah, sepenuhnya tidak

diketahui, namun   bisa dipastikan mereka penganut

animisme, yang begitu terpesona dengan alam, angin,

salju, hujan, guruh, dan petir untuk menggambarkan

roh yang ada. Cukup wajar untuk menerka bahwa,

seperti orang-orang Mongolia beberapa abad lalu  ,

mereka melihat asal-usul kekuatan ini di langit yang tak

berbatas, memuja surga di atas sana sebagai sumber

segala hal, dan meminta pada langit untuk mengendalikan

nasib mereka melalui pemujaan dan pengorbanan. Kita

orang-orang Eropa modern tidak begitu saja mengingat

dewa langit dalam setiap ungkapan Good Heaven! Ciel!

dan Himmel! yang kita ucapkan. Suku Turki dan Mongolia,

yang tinggal berdekatan sebelum bangsa Turki pindah-

pindah ke barat pada akhir milenium pertama, punya

satu nama untuk dewa langit mereka: Tenger atau Tengri,

dalam dua atau beberapa ejaan umum. Tenger dikenal di

seluruh Asia, sementara Tengri hanya di Mongolia Dalam

pada sebuah relief di timur Bulgaria. Dalam bahasa

Mongolia, seperti halnya dalam bahasa lainnya, tenger

hanya berarti “langit” dalam aspek dunia dan ketuhanan.

Langit Biru—Khökh Tenger—dalam bahasa Mongolia,

merupakan dewa dan juga hari baik (Orang Inggris

memiliki perasaan bertentangan yang sama: Surga di

atas, surga terbuka.) Bangsa Xiongnu juga menyembah

Tengri. Sejarah Dinasti Han (206 SM–8 M), ditulis

hingga akhir abad pertama oleh sejarawan bernama Pan

Ku, dalam satu bagian tentang Xiongnu, tertulis, “Mereka

menunjuk pemimpin mereka dengan julukan cheng li

[transliterasi dari tengri] ku t’u [putra] shan-yü [raja]”

misalnya seperti “Yang Mulia, Putra Surga”. Pada prasasti

awal bangsa Turki, pemimpin memiliki kekuasaan dari

Tengri; dan Tengri yaitu  nama yang diberikan untuk

para Raja Uighur pada abad kedelapan dan kesembilan.

Suku Hun termasuk dalam jangkauan luas Tengri. Baik

mereka yaitu  bangsa Xiongnu yang tersisa atau tidak,

mempertahankan nama yang sama atau tidak untuk

dewa mereka, pastinya memiliki sistem kepercayaan

yang serupa dengan mereka, dan keyakinan yang sama

bahwa dukun, dengan nyanyian dan gendang serta

panduan roh mereka, bisa membuka jalan ke surga.

Bukti akan hal ini ada dalam beberapa catatan. Pada

439, tepat sebelum pertempuran Visigoth di luar wilayah

Toulouse, jenderal Romawi yang bernama Litorius

memutuskan menyenangkan hati orang Hun yang menjadi

penolongnya dengan menyelenggarakan apa yang disebut

Ostrogoth Romawi sebagai haruspicatio, sebuah upacara

ramalan. Attila, yang memiliki beberapa peramal dalam

dewannya, melakukan hal yang sama sebelum kekalahan

besarnya 12 tahun lalu  . Hal yang betul-betul

terjadi pada pertengahan abad kelima pasti benar-benar

terjadi pada masa-masa awal, sebab  ramalan merupakan

satu sejarah dari milenium sebelum nya. Bahkan, ramalan

merupakan dasar bagi kebudayaan bangsa China,

menginspirasi tulisan China pertama: pada Dinasti Shang

sekitar 1500 SM, dukun melihat arti retakan pada kulit

kura-kura yang dibakar hangus, dan menjadikannya

sebagai bantalan memo dengan menuliskan interpretasi

mereka di atasnya. lalu  , banyak kelompok Asia

Tengah, termasuk Mongolia, mengadopsi ramalan dengan

membaca retakan kulit kura-kura ini—praktik membaca

pertanda dalam retakan panas pada tulang-tulang belikat

lembu. Tidak seorang pun mencatat upacara seperti ini

terjadi di istana Attila. namun   menurut asal-usulnya,

suku Hun sangat suka dukun mereka memakai  

metode ini dalam ramalan mereka.

ADA SATU sifat yang akan mengejutkan Anda sebagai

orang luar, begitu Anda diterima secara informal oleh

beberapa keluarga penting di dalam suku Hun. Beberapa

anak memiliki kepala cacat. Tumbuh ke atas dan ke

belakang seperti bongkahan roti. Ini bukan disebabkan

penyakit. Tidak ada yang salah dengan anak-anak ini;

sebaliknya, mungkin, sebab  mereka tampaknya akan

memiliki kehidupan yang lebih istimewa daripada anak-

anak kebanyakan. Tidak diragukan hal ini lebih mudah

dijelaskan, begitu Anda menguasai bahasa Hun. Sayangnya,

tidak ada pengunjung yang sampai pada tingkat kedekatan

seperti itu, pastinya tidak ada yang bisa berbahasa Hun

dan mencatat hasil percakapan mereka. Satu-satunya

cara para antropolog mengetahui kebiasaan ini yaitu 

dari temuan sejumlah tengkorak, kebanyakan anak-anak,

dengan bentuk kepala aneh ini.

Aku melakukan penelitian awal tentang perubahan

tengkorak buatan di Museum Kunsthistorisches di Wina,

Museum sejarah Seni, di mana Peter Stadker merupakan

penduduk asli yang ahli dalam hal suku-suku barbar di

lembah sungai Carpathia, dan Karen Wiltschke seorang

antropolog fisik dengan ketertarikan khusus dalam bidang

rahasia ini. Kami berbincang dalam ruang koleksi

tengkorak di museum ini, tidak satu pun disusun meng -

gunakan kawat seperti halnya contoh anatomi tubuh,

namun   dibiarkan terbaring begitu saja dalam kotak-kotak

yang disusun jadi dua atau tiga, ditumpuk ke atas secara

berbaris, 150 tumpuk dalam satu baris, inada  80

baris memenuhi empat sisi dinding, dan sisi sebuah

koridor—25.000 kerangka yang sudah dimasukkan

kotak, dan 25.000 lainnya yang masih menunggu

diinventaris. Sekitar 40-50 di antara kerangka ini dibuat

cacat dengan sengaja. sebab  berasal dari awal abad

kelima, maka sebagian besarnya yaitu  kerangka suku

Hun, dan kebanyakan yaitu  kerangka anak-anak. Dari

bukti yang hanya sedikit ini, tampak bahwa baik anak

laki-laki maupun perempuan mengalami perubahan

bentuk kepala, yang terus terlihat hingga dewasa, jika

mereka bertahan hidup. Tentu saja, sebagian lagi tidak,

yang terhitung dari rendahnya persentase kerangka orang

dewasa di antara kerangka yang ada.

Perubahan bentuk kepala cukup umum terjadi sepanjang

sejarah. Sebuah penelitian luar biasa akan hal ini

dipublikasikan pada 1931: Artificial Cranial Deformation:

A Contribution to the Study of Ethnic Mutilations.

Penulisnya yaitu  Eric Dingwall, yang memiliki ke -

tertarikan khusus terhadap mutilasi etnis, ketimbang hal

lainnya. Ia tinggal di sebuah flat di St Leonard, dalam

keeksentrikan khas Inggris, dikelilingi oleh koleksi hadiah

sabuk suci, melakukan penelitian kejiwaan dan—dalam

kapasitas kehormatan—di bagian misterius di dalam

Perpustakaan Universitas Cambridge, hingga meninggal

pada 1986. Ia juga menulis salah satu penelitian pertama

tentang sunat pada perempuan. Sunat pada perempuan—

mutilasi genital, saat ini disebut demikian—masih terjadi

dalam kehidupan kita; sementara perubahan bentuk

tengkorak sama sekali sudah punah. Nasib berbeda dari

kedua praktik mutilasi ini memiliki akibat yang tidak

menyenangkan bagi karakter manusia, sunat pada

perempuan merupakan hal yang menyakitkan, kasar,

bersifat rahasia, dan berlangsung cepat (meskipun efeknya

dengan cepat hilang), sementara perubahan bentuk

tengkorak tidak menyakitkan, memerlukan   perawatan

jangka panjang dan tetap menjadi bukti yang terlihat

nyata sepanjang penderitanya masih hidup. Praktik ini

terjadi di sejumlah warga   di seluruh dunia.

Neanderthaler melakukan perubahan bentuk tengkorak

ini 55.000 tahun yang lalu, dan teknik ini sudah dilakukan

Homo sapiens sepanjang sejarah kita, sebuah “kebiasaan

aneh dan tersebar luas”, seperti yang ditulis Dingwall,

dengan menyodorkan beberapa contoh dari Asia, Afrika,

Indonesia, Selandia Baru, Melanesia, Polynesia, dan

seluruh Amerika dan juga Eropa. Seperti yang dikatakan -

nya, praktik ini tidak ada kaitannya dengan ritual pubertas

dan inisiasi, sebab  hal ini hanya bisa dilakukan pada

masa kanak-kanak, ketika tengkorak masih lunak dan

tumbuh. Di Amerika, kelompok pribumi di Chile dan

wilayah barat laut dulunya mengikat papan pada kepala

bayi mereka agar menjadi rata, yang paling terkenal

yaitu  bangsa Chinook, yang lalu   juga dikenal

sebagai Indian Kepala Datar. Budaya lain memakai  

ikat kepala kain agar tengkorak kepala menjadi berbentuk

silinder. Ini tidak sulit. Yang dibutuhkan yaitu  sebuah

ikat kepala yang dibalut dengan kuat, namun   diikat ulang

beberapa hari lalu   agar tetap terikat kuat, mencegah

peradangan, dan agar bisa dicuci. Teknik ini digunakan

orang-orang aborigin di New South Wales, Australia,

sekitar 13.000 tahun yang lalu, dan mungkin oleh

warga   Mesir kuno sehingga Nefertiti, Ratu

Akhenaten, memiliki kepala tipis yang elegan. Ini

merupakan praktik umum di pedalaman Eropa pada

abad ketujuh belas dan kedelapan belas. 

Demi Tuhan, mengapa ini dilakukan? Ada satu

kemungkinan jawabannya: dalam beberapa kasus, hal

ini dilakukan demi mendapatkan surga, sebuah tanda

bahwa seorang anak ditakdirkan menjadi pendeta. Namun

alasan lainnya tetap bersifat sosial. Di antara anggota

suku Chinook, hal ini dianggap bukti merawat anak

dengan baik; ibu yang tidak mau bersusah payah

melakukan hal ini dianggap lalai, dan anak mereka yang

berkepala bulat berisiko diejek oleh teman sebaya mereka

yang berkepala datar. Dalam budaya lain, di mana ibu

atau perawat punya waktu memberikan perhatian yang

dibutuhkan, bentuk kepala panjang menandakan status.

Dalam budaya suku Hun, alasannya lebih halus daripada

itu. Beberapa patung bagian tubuh atas Nefertiti me -

nonjolkan bentuk kepalanya yang panjang. Namun tidak

adanya satu pun yang menyatakan bahwa Attila atau

putranya atau para jenderalnya, atau para utusannya,

atau ratunya yang memiliki bentuk kepala cacat seperti

ini, atau yang menutup kepala mereka—dan mengapa

mereka akan melakukan hal itu, jika perubahan bentuk

merupakan tanda tingginya status?—atau status itu

sendiri, bukanlah alasan di balik praktik mengikat kepala

ini.

Ada satu pola untuk menjelaskannya. Seperti yang

dikatakan Karen Wiltschke, “Semakin ke barat, semakin

besar persentase kepala cacat yang Anda lihat.” Namun

lalu  , selama 20 tahun masa kekaisaran Attila (433-

453) dan langsung sesudah itu, suku-suku lain dalam

kekaisaran Hun yang berlangsung singkat juga mengadopsi

praktik ini. Misalnya, pimpinan besar Ostrogoth,

Theodoric, yang dilahirkan di Pannonia (sekarang,

Hongaria bagian barat dan Kroasia bagian timur) satu

atau dua tahun setelah kematian Attila dan menghabiskan

masa hidupnya sebagai raja Italia setelah masa Romawi.

Dalam koin bergambarkan dirinya, kepalanya tampak

panjang, di mana praktik ini sudah dilakukan terhadap

dirinya tidak lama setelah kelahirannya sekitar tahun

454—diduga sebab  inilah gaya sebagian besar penyerbu

suku barbar yang paling sukses, yang ternyata mengadopsi

kebiasaan itu dari wilayah timur.

Kita menghadapi satu teka-teki. Dari arkeologi kita

tahu bahwa suku Hun mengikat kepala sebagian anak

mereka, yang membuat bentuk kepala terlihat berbeda

saat dewasa. Namun tidak ada catatan ada orang luar

yang melihat hal semacam itu. Yang bisa kita lakukan

yaitu  menerka sebuah penjelasan. Mungkin tengkorak

yang dikubur ini semasa hidupnya ditutup dengan

memakai topi, hanya diketahui oleh orang-orang sesukunya

saja, disembunyikan dari orang luar. Mungkin orang-

orang berkepala panjang merupakan golongan elite,

yang rahasianya diteruskan dari ayah dan ibu kepada

putra dan putri mereka. Ada sejenis persaudaraan rahasia

dalam kelompok pemburu ini: komunitas dukun, yang

saat kerasukan mendengar bunyi gendang, mengepak-

kepakkan sayap dan menjadi elang, rajawali, angsa

jantan, atau itik yang mengembara sekehendak hati

dalam alam kekuatan dan pengetahuan. Dari para dukun

dan pandangan mereka muncullah pengetahuan akan

kekuatan manusia dan kelemahan musuh, saat yang

tepat untuk perang, bagaimana takdir akan berubah,

penyebab penyakit dan obatnya. Hal-hal semacam itu

tidak akan diungkapkan kepada orang-orang asing.

MARI KITA lihat nenek-moyang Attila dalam konteks

yang lebih luas. Bagian barat Rusia dan Eropa bagian

timur mengering dan menjadi Laut Hitam yang lalu  

mengalir menjadi empat sungai besar. Dari barat ke

timur, inada  empat sungai: Danube, Dniester, Dnieper,

dan Don, menandai wilayah yang semakin tidak diketahui

bangsa Romawi, dari Dacia yang semi Romawi (sekarang

menjadi Rumania), hingga ke wilayah nomaden di bagian

selatan Rusia hingga ke lembah-lembah yang tidak bisa

dimasuki dan tidak diketahui di Kaukasus. Menunjuk ke

bagian tengah wilayah temaram ini, seperti lampu dari

langit-langit kediaman orang-orang barbar yang remang-

remang, inada  wilayah Cinema, yang sudah menjadi

basis Yunani selama berabad-abad, dan tetap berada

dalam kekuasaan kekaisaran Romawi. Bagi para penulis

Romawi, sebagaimana halnya Yunani, Laut Hitam dan

sungai-sungai di sekelilingnya merupakan penyangga

antara peradaban dan hutan belantara liar, di mana

wilayah Crimea sebagai zona transisi bagi mereka yang

mendekat dari laut. Di sini, Herodotus mengetahui

keberadaan bangsa Scythia yang tinggal di antara dua

dunia, Helenisme dan tribalisme.

Namun di daerah pedalaman, jauh dari permukiman

Yunani di daera