ak
maju, memecah formasi pemanah berkuda Hun,
memotong jalan mereka ke barisan belakang yang menjadi
pelindung kereta-kereta. Dikelilingi oleh para pengawal
pribadinya, Attila mundur melewati jalur-jalur ber -
gelombang menuju lingkaran kereta yang membentuk
benteng beroda di barisan belakang. Dengan gesit, di
belakangnya melalui celah-celah prajurit, datanglah
Thorismund yang tersesat dalam kegelapan malam dan
mengira dirinya kembali ke keretanya sendiri, hingga
satu pukulan di kepala membuatnya terjatuh dari atas
kuda. Ia bisa saja tewas seperti ayahnya, seandainya
salah satu prajuritnya tidak menarik dan menyelamatkan -
nya.
Dengan datangnya malam, kekacauan mereda. Para
prajurit mendapati kawan seperjuangan mereka dan
bermalam di tenda-tenda yang bertebaran. Malam itu
tenang: jika terjadi hujan, Jordanes pastinya akan
menyebutkan hal itu. Namun aku pikir, ada awan, sebab
jika tidak, itu akan menjadi pemandangan yang dramatis.
Malam itu mungkin diterangi cahaya bulan separuh,
sebagaimana yang kita ketahui dari catatan fase peredaran
bulan. Dengan mencari keterangan dari New and Full
Moons 1001 BC to AD 16513, karya Herman Goldstine,
diketahui bahwa bulan baru muncul pada tanggal 15
Juni, satu minggu sebelum terjadi perang. Jadi bayangkan
malam sejuk di musim panas, menjadi gelap sebab
awan kelam, wajah-wajah pucat, dengusan kuda,
gemerincing dan keriat-keriut baju besi, rintihan para
prajurit yang terluka. Prajurit berkuda dan pejalan kaki
bergerak ke sana kemari mencari rekan mereka, tidak
bisa membedakan kawan atau lawan kecuali mereka
bicara. Aetius sendiri lenyap di antara orang-orang Hun,
yang tidak menyadari kehadirannya, sampai kudanya,
tersandung-sandung di atas mayat-mayat yang ber -
gelimpang an, tiba di sebuah perkemahan Goth dan
beberapa pasukan mengantarkannya sampai aman di
balik perlindungan perisai sekutunya itu, dan setelahnya,
mungkin ia tertidur selama beberapa jam sepanjang
malam singkat ini .
Ada hal lain yang tidak disebutkan oleh Jordanes.
Semburat jingga ketika fajar pastinya menjadi saksi
sebuah pemandangan yang luar biasa—Komet Halley
muncul di timur laut, didahului ekornya, seperti lampu
sorot yang menerangi langit di hadapannya. Hal itu
memang terjadi di sana, sebagaimana yang telah diketahui
oleh beberapa astronom sebab orbit Komet Halley
diperhitungkan secara akurat pada pertengahan abad
kesembilan. Sejak itu kalkulasi diperbaiki.4 Komet ini
telah dicatat kemunculannya oleh para astronom China
pada tanggal 9 atau 10 Juni, dan bisa terlihat di Eropa
pada tanggal 18 Juni. Pemandangan seperti ini akan
tersimpan dalam pikiran para pejuang, yang sama
tajamnya dengan ujung anak panah, sebab tidak ada
yang bisa dengan kuat menandai pentingnya peristiwa
itu. Banyak penampakan lain yang serupa. Dalam catatan
yang memakai huruf-huruf paku (cuneiform), para
astrolog Babylonia berkata bahwa ada penampakan
komet pada 164 SM dan 87 SM, bertepatan dengan
wafatnya para raja. Para penyulam menggambarkannya
pada Permadani Dinding Bayeux untuk mencatat
penampakannya ketika William sang Penakluk menyerang
Inggris pada 1066. Pada awal abad keempat belas, Giotto
melukis kehadiran komet ini kembali pada 1301 dalam
lukisannya yang berjudul Adoration of the Magi. Pastinya,
jika komet ini memang terlihat, manusia akan merasa
heran, dan menuliskannya, lalu menyanyikannya.
Mereka tidak melakukan hal itu. Satu-satunya orang
yang menyebutkan tentang komet ini yaitu seorang
uskup Spanyol dan pencatat kronik yang bernama
Hydatius, dan itu pun secara sekilas saja. Tentang pe -
perangan itu sendiri yang ditandai dengan satu peristiwa
astronomi penting—tidak ada catatan sama sekali.
Membuat kesimpulan dari hal yang tidak ada buktinya
ini berbahaya, namun ketiadaan bukti ini, digabungkan
dengan ketiadaan lain akan badai dan bulan, betul-betul
memberi kesan bahwa sehari setelah pertempuran itu
suasana fajar terasa kering, berkabut, dan mendung.
Jika memang demikian, bayangkan pasukan Romawi
yang selamat menatap dari balik tameng-tameng mereka
ke arah padang rumput tandus berdebu—mayat bergelim -
pangan di mana-mana, kuda-kuda tak bertuan sedang
makan rumput, pasukan Hun berlindung dalam
keheningan di kereta-kereta mereka, aliran Sungai Aube
ditandai dengan jajaran pepohonan yang melintasi dataran
tak berpohon yang terhampar hingga ujung kelabu yang
temaram.
Jalan buntu—yang menguntungkan pasukan Romawi,
sebab bisa dikatakan mereka berada di wilayah sendiri,
dengan arus perbekalan yang lancar, dan bisa mengurung
pasukan Hun hingga diserang kelaparan. Ini butuh
waktu. Attila tidak menunjukkan tanda-tanda pasukannya
menyerah, yang mengilhami sebuah gambaran ala Homer
dari Jordanes. “Attila seperti singa yang tertusuk tombak
pemburu, melangkah keluar masuk di mulut guanya
sendiri dan keberaniannya surut, namun tetap diam dan
tidak menakut-nakuti sekeliling dengan aumannya. Meski
demikian, raja yang suka perang ini tetap menakutkan
bagi lawannya.” Pasukan Roma dan Goth mempersiapkan
barisannya kembali, mendekat, dan memulai serangan
mereka, memaksa pasukan Hun dalam posisi bertahan
dengan serbuan hujan panah yang terus-menerus.
Attila melihat kemungkinan dari akhir pertempuran
ini. Para shamannya telah meramalkan kematian seorang
komandan, yang ternyata bukanlah Aetius, namun Attila
sendiri. Attila menyiapkan kematian seorang pahlawan
dengan persembahan korban, seolah akan memasuki
Valhalla versi Hun, kediaman para pejuang yang gugur
di medan perang. Ia memerintahkan tumpukan sadel
kayu dikubur—sebuah indikasi, bahwa suku Hun memiliki
sadel kayu, ala Mongol, bukan sadel dari kulit—siap
menghadapi serangan besar-besaran dari pasukan Romawi.
Mereka tidak akan membawa dirinya hidup-hidup, tidak
akan merasakan kepuasan sebab membunuh dirinya
atau melihat ia mati sebab terluka parah.
Sementara itu, pasukan Visigoth terkejut melihat raja
mereka tidak memimpin pasukan penyerang, persis saat
kemenangan terlihat pasti. Mereka mencari-cari dan
akhirnya menemukannya di antara tumpukan mayat.
Saat serangan berlanjut, mereka mengusung jenazahnya
dengan sebuah tandu, dipimpin oleh Thorismund dan
adiknya, membawa ayah mereka keluar untuk melaksana -
kan pemakaman di medan perang, dengan ritual ratapan—
tangisan yang tidak semestinya, begitu Jordanes menyebut -
nya. Tampaknya mereka melakukan prosesi pemakaman
yang berlangsung pelan ini, sepenuhnya disaksikan
pasukan Hun, untuk menunjukkan peng hormatan kepada
pemimpin mereka yang gugur. “Benar-benar sebuah
kematian, namun suku Hun menjadi saksi bahwa ini
yaitu sebuah kematian yang mulia.”
Jordanes mengatakan 165.000 orang tewas dalam
pertempuran yang berlangsung selama dua hari itu, dan
menyusul 15.000 lagi pada petempuran kecil antara
bangsa Frank melawan Gepid pada malam sebelumnya,
total 18.000 orang tewas. Ini jumlah yang menggelikan,
pada saat populasi penduduk di kota-kota hanya beberapa
ribu orang. Daerah pedalaman tidak bisa menyediakan
makanan yang cukup untuk jumlah sebanyak itu. Tidak
seorang pun yang tahu berapa jumlah sebenarnya yang
tewas, namun jika yang hilang sepersepuluh dari angka
yang dikatakan Jordanes, maka jumlahnya akan tetap
sangat besar. Dari pasukan yang bisa jadi masing-
masingnya berjumlah 25.000 orang, mungkin sepertiganya
tewas: aku kira-kira sekitar 15.000 orang; dan di antara
mereka, sebagaimana yang telah diprediksi para shaman,
inada seorang komandan, meskipun kedua pelaku
utama, Aetius dan Attila, bertahan hidup untuk bertempur
keesokan harinya.
BERUSAHA mengidentifikasi tempat terjadinya perang ini,
sebagaimana Maenchen-Helfen dengan sombong me -
nyatakan, merupakan “hiburan favorit bagi para sejarawan
lokal dan para kolonel yang sudah pensiun”, seolah-
olah masalah ini tidak menjadi perhatian para sarjana
yang serius. Namun ini merupakan titik balik dalam
sejarah Eropa. Hal ini penting sebab , seandainya saja
di sana ditemukan, dan mungkin para arkeolog akan
menemukan, beberapa bukti mengenai apa yang sebenar -
nya terjadi.
Pada bulan Agustus 1842, seorang pekerja sedang
menggali pasir sekitar 400 meter sebelah timur desa
Pouan, 30 meter sebelah utara Troyes, ketika di kedalaman
sekitar satu meter ia menemukan sebuah kerangka,
terbaring dalam sebuah kuburan yang tampaknya digali
tergesa-gesa hingga bahkan bentuknya tidak datar.
Kerangka itu membujur dalam lengkungan halus, seolah
terbaring di kursi berjemur. Di sampingnya inada dua
bilah pedang berkarat, beberapa hiasan emas, dan sebuah
cincin diukir dengan huruf-huruf yang mengandung
teka-teki, HEVA. Jean-Baptiste Buttat bisa saja merahasia -
kan temuannya, atau menjualnya secara pribadi. Untung -
nya, ia menjual kedua bilah pedang itu ke museum
Troyes, meskipun tidak memenuhi harga yang diminta
Buttat, dan hiasan emasnya dijual pada toko permata
setempat, yang pada 1858 menjualnya kepada Napoleon
III. Pemerintah daerah lalu menawarkan pedang
itu kepada kaisar, sehingga harta ini bisa menjadi
satu. Napolleon III melihat kebijaksanaan dari penawaran
ini, namun lalu , dengan murah hati, ia mengembali -
kannya. “Barang-barang antik milik pemerintah yaitu
milik daerah di mana barang-barang itu ditemukan,”
tulisnya, dan mengirim perhiasan yang ia beli ini 0
untuk disatukan dengan kedua pedang itu, mengembalikan
temuan asli ke museum Troyes. Di sana, di ruang bawah
tanah ala Roma, Harta Pouan mendapatkan tempat
kebanggaannya.
Sebenarnya, temuan itu tidak banyak—dua bilah
pedang; sebuah hiasan leher, atau kalung; gelang; dua
buah gesper dan beberapa piagam dekoratif; dan cincin.
Sedikit temuan ini dibuat untuk menegaskan kekayaan
dan martabat. Perlengkapan ini dan kedua gagang pedang
berlapis daun emas, dan perhiasannya bertatahkan batu
akik berwarna merah tua. Pedang yang lebih besar,
pedang bermata ganda panjangnya hampir satu meter,
terbuat dari tiga keping logam pipih, ditempa, dan
dipatri dengan teknik yang dikenal dengan nama
Damascene. Namun pedang ini cukup ringan saat dipakai
dengan satu tangan. Bentuk pangkal pedangnya unik,
satu keping kayu berbentuk oval bertatahkan batu akik
berwarna merah tua. Pedang yang lebih pendek, senjata
bermata satu yang dikenal sebagai scramasax.
Pada 1860 seorang pengumpul benda-benda kuno,
Achille Peigné-Delacourt, menerbitkan kesimpulannya
tentang harta ini. “Satu penemuan yang ini bisa jadi
memiliki dampak yang tidak disangka-sangka,” begitu ia
mengawali tulisannya, “dan mungkin melengkapi cara-
cara untuk memecahkan pertanyaan-pertanyaan sejarah
yang sudah lama diperdebatkan.” Ini yaitu sebuah
alasan yang tepat. Mungkinkah—Peigné-Delacourt
mengutip seorang sejarawan terkenal, pastinya kutipan
dari Monsieur Camut-Chardon—ini yaitu peninggalan
dari seorang pejuang yang, setelah dilanda beberapa
malapetaka, jatuh ke dalam sungai? Tidak, jawab Peigné-
Delacourt, itu tidak mungkin, sebab tanah di mana
benda-benda ini ditemukan, sudah ada jauh sebelum
penampakan manusia di muka bumi. M. Camut-Chardon
telah melaporkan beberapa kesimpulan berani lainnya,
hanya untuk menolak pendapat itu. Peigné-Delacourt
mengambil kutipan itu dan melanjutkannya: “Aku akan
menyatakan bahwa akulah salah satu yang dengan tegas
menghubungkan kerangka dan hiasan yang ditemukan
di Pouan ini dengan Theodoric, raja Visigoth, yang
tewas dalam pertempuran melawan Attila pada 451.
“Kesimpulan ini mendorong kita untuk membetulkan
lokasi medan perang menuju ke daerah di mana
peninggalan ini ditemukan.”
Geografi lokasi penemuan ini tampaknya cocok
dengan catatan Jordanes. Jalan-jalan Roma memotong
dan bertemu di Troyes. Satu jalan dari Orléans, sekarang
sudah tidak ada, melintasi Troyes sejauh 25 kilometer
menuju ke barat laut, melewati Châtres (aslinya castra,
berarti perkemahan). Di sinilah pastinya lokasi per -
tempuran kecil antara pasukan Frank dan Gepid. Satu
jalan dari Troyes membentang ke arah utara, lurus seperti
panah, dan masih ada sampai sekarang, jalur N77, masih
berfungsi saat kekaisaran Romawi membangunnya di
sebuah daratan yang sama luasnya dengan lautan. Sekarang
semua nya menjadi wilayah agribisnis, penuh dengan
bangunan berwarna-warni: cokelat, hijau, dan kuning
lembut, namun 1.500 tahun yang lalu padang rumput
bertanah kapur ini merupakan daerah pedalaman yang
merupakan jalur yang menakutkan untuk berkuda.
Mengendarai mobil selama sepuluh menit akan meng -
antarmu ke Voué, yang pada masa kekaisaran Romawi
bernama Vadum. Tempat ini terletak pada aliran Sungai
Barbuise, dengan daerah pinggiran sungai yang rendah
dan kukuh, sama sekali tidak ada halangan untuk memacu
kuda di sana, kedalamannya hanya beberapa sentimeter,
yang bagian kirinya mengarah ke Pouan, dengan Sungai
Aube persis melewatinya. Tanahnya menanjak halus
menuju bagian timur Pouan. Di sini, menurut Peigné-
Delacourt, merupakan lokasi di mana pasukan Romawi
berkumpul, menghalangi pasukan Hun agar tidak bisa
menyeberangi sungai.
Aku tidak menaruh harapan besar bahwa daerah
Pouan akan mengungkap hal-hal baru. Di peta, posisinya
terletak di antara desa-desa yang tersebar di sepanjang
Dataran Catalaunia di utara Troyes. Aku pergi ke sana
pagi-pagi sekali pada suatu hari di musim semi, menyangka
kan menemukan hal membosankan dan tidak penting,
dan aku justru terpesona. Sungai Barbuise mengalir di
tanah datar berkapur dan melintasi barisan pepohonan
hijau, mengalir langsung ke desa, melintasi penggilingan
yang sebagian terbuat dari kayu, dan gereja kukuh
berwarna abu-abu, serta perumahan yang diterpa cahaya
matahari. Di sana inada lapangan tenis umum. Pouan
merupakan sebuah asrama yang menyenangkan bagi
orang-orang yang pulang pergi ke Troyes—atau begitulah
yang aku bayangkan, sebab tidak ada seorang pun di
sana yang bisa aku tanyai. Saatnya sarapan pagi.
Tampaknya di sana tidak ada alun-alun, tidak ada pusat
perbelanjaan, tidak ada tempat menarik bagi para borjuis.
Ah, toko roti. Di dalamnya inada meja-meja, dan ada
seorang perempuan sedang menyusun kursi, toko ini
juga mengiklankan kopi. Tidak, aku datang terlalu pagi.
Yang bisa aku harapkan saat ini yaitu informasi. Aku
harap kedatanganku tidak mengacaukan pekerjaan
perempuan itu, tapi apa dia bisa memberitahuku—
apakah penduduk yang tinggal di sekitar sini tahu tentang
Attila? Dengan sopan perempuan itu menunjukkan
kebingungannya. “Attila le Hun,” ujarku menjelaskan
m
“Pertempuran besar, di dekat sini, seribu enam ratus
tahun yang lalu. Pasukan Roma dan Hun. Dan harta
karun…?”
“Pardon, m’sieur, je ne sais rien. Sudahkah Anda
bertanya kepada mairie?”
Nah, aku tidak sabar menunggu kantor balai kota
buka. Itu saja. Aku membelokkan mobil, berhenti sejenak
untuk memikirkan satu jalur yang melintas di sepanjang
Sungai Barbuise, berhenti di samping sebuah rumah
setengah kayu untuk memeriksa peta, dan melihat seorang
perempuan bergegas datang ke arahku.
“Anda ingin tahu tentang Attila, m’sieur?” Ia terengah-
engah setelah berlari dari toko roti tadi. Pertanyaan
anehku seketika itu juga menjadi gosip. “Suamiku tahu
tentang Attila. Permisi, anakku, bus itu, tapi ini rumah
kami, masuklah dan tanyakan kepadanya.”
Ada jalan masuk menuju sebuah halaman bangunan
yang dikelilingi tembok, ada sebuah rumah pada satu
sisinya, dan pada sisi yang lain inada sebuah gudang—
yang mengejutkanku, rumah ini dijaga seekor singa yang
terbuat dari batu putih. Dari interior gudang yang
remang-remang melangkah keluar seseorang bertubuh
kurus dalam balutan celana jins dan sweter hijau—
”Raynard Jenneret. Seniman Patung”, seperti yang tertulis
pada papan tanda di gudang. Kami berkenalan satu
sama lain. Jenneret kebanyakan mengerjakan logam
menjadi kreasi bersiku-siku yang terlihat seperti mainan,
atau mesin-mesin fiksi ilmiah, atau patung lambang
suku, namun patung singa tadi lebih menunjukkan
ketertarikan pada hal tradisional. Ia menyukai sejarah.
Attila dan Aetius yaitu pengetahuan lamanya. Ia tahu
segala hal menyangkut harta karun dan pernah menggali
sendiri di sekitar situs sebab berharap menemukan
lebih banyak. Jadi ia bisa mengantarkanku ke sana?
Jenneret senang sekali. Kami menuruni sebuah jalan
setapak, melintasi ladang gandum musim dingin ke arah
kanan yang menanjak seperti gelombang halus di dataran
yang seluas lautan menuju sebuah kayu salib, benda
ganjil yang digunakan untuk menandai bagian tengah
sebuah ladang. Di sebelah kiri kami, lereng menanjak
menjadi dataran yang dibanjiri air bah pada zaman kuno,
di seberangnya inada Sungai Aube yang terletak satu
kilometer lagi. Sekarang aku melihat apa yang membuat
Pouan ini menarik. Selain memiliki sungai kecil yang
memesona, letaknya nyaris hanya satu atau dua meter
dari dataran banjir Sungai Aube. Padang gandum landai
ini dulu yaitu pinggiran sungai yang lunak, yang
diperhitungkan sebab nilai ekonomisnya sebagai daerah
sumber pasir. Tukang bangunan selalu memakai nya,
ujar Jenneret; sampai sekarang masih, saat beberapa
gundukan tanah kuning berikutnya tampak di sepanjang
lereng. Itu juga menjelaskan kayu salib tadi—20 tahun
yang lalu, seorang sablier sedang melakukan penambangan
saat pasir longsor dan menimbunnya. Persis di sana, di
lahan tidak terpakai yang ditumbuhi rumpun rerumputan
dan tanaman dogwood yang menjuntai, tempat di mana
harta itu ditemukan. Oh, tidak diragukan itu yaitu
makam Theodoric, dan di sinilah Attila bertempur
melawan Aetius. Semua orang tahu itu.
Ini, aku bisa sangat yakin, yaitu latar untuk satu
adegan yang dibayangkan oleh Peigné-Delacourt, sebuah
teori konspirasi yang ambisius, intrik, dan pembunuhan.
Dalam artikel nya, Peigné-Delacourt heran jika Thorismund,
yang sangat ingin menuntut takhta dari saudaranya,
tertarik ingin menemukan jenazah, siapa saja, yang bisa
312
p
u
s
ta
k
a
-i
n
d
o
.b
lo
g
s
p
o
t.
c
o
m
diidentifikasi, benar atau salah, sebagai ayahnya, dan
dikubur dengan tergesa-gesa, dengan menampakkan
kesedihan dan penunjukan singkat untuk menetapkan
dirinya sebagai seorang raja. Dan lalu , sebab
tidak pasti dengan hasil pertempuran dan tahu di mana
letak makam itu, maka apakah mungkin mereka yang
melakukan pemakaman akan dibiarkan tetap hidup?
Kedengarannya terlalu berlebihan, sebab pemakaman
dilangsungkan sangat cepat, nyaris di tengah sengitnya
pertempuran, tanpa gundukan tanah penanda makam
untuk menandainya. Namun ini bukan sepenuhnya
imajinasi Peigné-Delacourt, sebab ada temuan-temuan
lain di wilayah Pouan dan desa tetangganya, Villette,
yang terletak beberapa kilometer di bagian timur—dua
buah vas perunggu berukuran kecil, satu cangkir, kendi
bersepuh perunggu, tiga bilah pisau, jerat kuda: semuanya
mendukung gagasan itu—bagi Jenneret, itu sebuah
kepastian—bahwa ini yaitu medan pertempuran, dan
ini yaitu situs makam Theodoric.
Para ilmuwan Perancis cenderung setuju akan hal ini.
Sementara yang lainnya, menunjukkan kesamaan dengan
artefak dari kebudayaan lain di Rusia atau di sepanjang
Sungai Danube, mengabaikan pendapat adanya hubungan
dengan suku Visigoth. Perkiraan tanggal berkisar dari
abad ketiga hingga ketujuh. Ini sangat rancu, meski saat
mereka berusaha menemukan keakuratan yang lebih
besar, para arkeolog kembali pada usulan Peigné-Delacourt,
pada pertengahan abad kelima, pada Goth yang kaya
dan akhirnya kepada Theodoric.
Tentu saja, tulisan HEVA yang terukir pada cincin itu
akan menentukan hal ini, jika saja ada yang memiliki
petunjuk akan artinya. Cincin dan tulisan yang ditemukan
313
p
u
s
ta
k
a
-i
n
d
o
.b
lo
g
s
p
o
t.
c
o
m
khas Roma. Para ilmuwan setuju bahwa ini merupakan
kebetulan semata bahwa Heva yaitu ejaan umum bahasa
Latin untuk Eve, kecuali kita memakai gagasan
romantis bahwa bangsawan pemilik cincin ini mengukirnya
untuk menghormati perempuan simpanan Roma. Para
ilmuwan Goth sudah melontarkan beberapa kemungkinan,
mulai dari heiv, “rumah” atau “keluarga”, seperti dalam
heiva-franja, “kepala rumah tangga”, mungkin ada
hubungannya dengan bahasa Jerman Kuno, hefjan, untuk
membesarkan atau mendidik. Orang Anglo Saxon memiliki
kata hiwa, berarti seorang suami. Atau berarti “Serang!”,
bentuk perintah dari heven, untuk menyerang. Sepertinya
tidak masuk akal jika solusi untuk hal ini ada dalam
bahasa Goth atau Jerman. Meski begitu, mungkin bisa
dihubungkan dengan bahasa Latin. Lagi pula, tulisan
ini ditulis dengan huruf Latin, yang menimbulkan
sedikit spekulasi. Anggaplah ini cincin kerajaan, dan
diukir demikian: apa yang ingin dicatat Theodoric?
Ingat bahwa ia menginginkan hal-hal menyangkut
kebudayaan Roma. Theodoric yaitu teman Avitus,
seorang sarjana dan politikus paling terkenal di Gaul. Ia
tahu bahwa Roma menyatakan kekuasaannya dengan
empat huruf: SPQR, senatus populusque romanus, Senat
dan warga Roma. Aku beranggapan bahwa tulisan
HEVA yaitu sebuah ungkapan dengan empat huruf,
yang diingat dengan inisialnya. Namun, ini bukanlah
cincin yang menandakan kekuasaan kerajaan, sebab
tidak diambil ketika ia meninggal. Ini cincin pribadi,
sama pribadinya dengan pedang itu. Mungkin Theodoric
ingin menyatakan haknya sendiri bukan dalam istilah
pemerintahan, namun sebagai pencapaian pribadi. HIC
EST (“This Is”) cocok; tapi “This is” siapa atau apa?
Kita punya beberapa kemungkinan inisial untuk huruf
A: Aetius, Avitus, Aquitania. Theodoric sudah menaklukkan
Aquitaine. Bagaimana kalau HIC EST VICTOR
AQUITANIAE—”Inilah Penakluk Aquitaine”? Atau
mungkin Theodoric menginginkan kesuksesan yang lebih
besar—HIC EST VICTORIAE ANULUS, “Ini Cincin
Kemenangan” Kemungkinan yang sangat berbeda
disarankan oleh David Howlett, editor Dictionary of
Medieval Latin yang diterbitkan oleh Oxford University
Press. Satu tulisan pada anting timah Anglo-Saxon, yang
ditemukan di desa Weasenham All Saints di Nortfolk,
memberi kesan bahwa sebagian penduduk Eropa memiliki
ketertarikan mistik yang sama atas Tuhan, sebagaimana
Yahudi.5 Dalam hal itu, mungkin inisial ini berarti
Ha’shem Elohim V’ Adonai—Nama Tuhan yaitu “Raja”.
Jika memang benar, ini sungguh aneh. Ungkapan bahasa
Yahudi diabadikan dalam huruf-huruf Roma? Tapi kenapa,
dan dari mana? Pertanyaan ini menggugah imajinasi—
apakah ini sebuah trofi perang, hadiah, atau dibeli dari
komunitas Roma-Yahudi, sebuah jimat dengan makna
yang disembunyikan dari pemiliknya, yang terlihat seperti
Cincin Kekuatan dalam cerita Lord of the Ring karangan
Tolkien? Yah, semua itu khayalan semata. Namun hal ini
tetap membuka harapan bahwa Raynard Jenneret, atau
sablier masa depan lainnya, suatu saat akan menemukan
kepingan baju besi atau sebuah koin yang akhirnya akan
memberi tahu kita sama jelasnya seperti jika ditulis
dengan huruf Roma, bahwa Theodoric dimakamkan di
sini, dan dengan demikian menjadi
THORISMUND KINI ingin menyelesaikan tugasnya. Namun
Aetius, yang lebih tua dan lebih bijaksana, mempunyai
strategi yang lebih panjang di benaknya, yang melibatkan
hal yang sungguh mengherankan.
Aetius memutuskan untuk membiarkan pasukan Hun
pergi.
Butuh usaha dan logika berbelit-belit untuk tahu
alasannya. Pasukan Visigoth yaitu musuh tradisional
Roma, yang dijadikan sekutu hanya untuk menghadapi
bahaya besar dari Attila. Jika Attila sekarang kewalahan
dan disapu bersih dari kekaisaran, maka akan membuat
pasukan Visigoth dalam posisi kekuatan yang sama, dan
akan menjadi yang sama sebagaimana pasukan
Hun sebelumnya—dan terlebih lagi, pada fakta nya,
sebab Aetius tahu akan sejarah Hun dan pemikiran
bahwa dirinya bisa berurusan dengan mereka lagi. Ia
juga mengenal orang-orang Visigoth, dan tidak memercayai
mereka, apa pun yang dikatakan oleh Avitus tentang
ambisi mereka untuk dianggap beradab. Aetius melanjut -
kan. Ia siap dengan rencananya, dan yakin pasukan
Visigoth akan tetap menjadi sebuah ; sebagaimana
yang selalu terjadi sebelumnya, ia akan memerlukan
bantuan suku Hun untuk mengendalikan mereka. Bagi
Aetius, lebih baik berharap pada keseimbangan kekuatan
yang tidak menentu saat ini daripada menghadapi risiko
kehancuran total nanti. Attila hanya meminta setengah
kekaisaran; sedang suku Visigoth akan menginginkan
seluruhnya.
Tentu saja, ia tidak bisa memberitahukan hal ini
kepada Thorismund. Ia justru mengingatkan pangeran
Visigoth akan adiknya yang ada di kampung halaman.
Begitu mereka berdua tahu tentang kematian ayah
mereka, siapa yang akan tahu perselisihan macam apa
yang akan terjadi menyangkut pergantian takhta, jika
Thorismund, yang paling tua, tidak ada di sana untuk
menuntut haknya? Lebih baik ia meredakan amarahnya,
mundur dari perjanjian sebelumnya dengan Roma, dan
berangkat pulang untuk menyelamatkan takhtanya. Tidak
perlu cemas—mulai sekarang Roma akan menangani
pasukan Hun. Aetius membuat argumen yang serupa
pada sekutunya, Frank. Pasukan Hun yang selamat akan
segera datang, memotong atau mengitari Ardennes, yang
akan membuat mereka berada dalam posisi yang meng -
untungkan untuk memperluas kendali atas wilayah
ini , kecuali jika pasukan Frank cukup kuat untuk
menghalangi mereka. Lebih baik pasukan Frank juga
kembali pulang.
Kedua sekutu Aetius ini setuju. Dan begitulah, yang
mengejutkan pasukan Hun, hujan anak panah berhenti,
pasukan Visigoth bergerak menjauh ke barat daya
melakukan perjalanan sejauh 350 kilometer kembali ke
Toulouse, pasukan Frank kembali pulang ke Belgia, dan
suasana menjadi hening. Pasukan Attila, dalam barisan
kereta mereka, terheran-heran dengan apa maksud semua
ini. Mereka mengenal strategi mundur seperti ini, sebab
para pemanah mereka sering memakai taktik yang
sama dalam beberapa abad terakhir. Ini pasti taktik.
Mereka tetap siap siaga.
“Tapi ketika kesunyian panjang diikuti ketidakhadiran
musuh, semangat sang raja yang kuat ini kembali bangkit
memikirkan kemenangan, dan pikirannya kembali pada
ramalan kuno akan nasibnya.” Seorang komandan telah
tewas: oleh sebab itu, dia, Attila, ditakdirkan untuk
hidup. Tapi tidak ada gunanya melanjutkan pertempuran.
Setelah menjamin perjalanannya aman, kereta-kereta
pasukan Hun mulai bergerak, menyusuri jalan-jalan
melewati Troyes menuju Moselle, Sungai Rhine, dan
Hongaria yang letaknya jauh.
Lupus mungkin ada kaitannya dengan pelarian Attila.
Selama ini, Lupus menjadi sandera dan pemandu, baik
itu secara terpaksa ataupun sukarela. Mungkin, dengan
alasan menyelamatkan dirinya dan kotanya, ketika di
medan perang ia memberi saran kepada Attila. Sekarang,
dalam kondisi selamat, ia menyarankan betapa lebih
baik agar pasukan mundur, dan membawa balok-balok
penggempur mereka keluar dari Troyes secepat mungkin.
Jika memang demikian, maka sarannya itu berhasil;
meski tidak menguntungkan Lupus, jika ada kebenaran
dari kisah hidupnya ini. Setelah melihat Attila dengan
selamat kembali ke Sungai Rhine, ia diperbolehkan
kembali pulang, sebagaimana yang dijanjikan—dan
disambut dengan penyambutan yang kurang meng -
gembirakan.
Dari warga nya ia hanya menerima penolakan atas semua
keuntungan yang telah ia berikan kepada mereka; bukannya
disambut dengan baik, seperti yang seharusnya ia dapatkan,
sebab telah menjauhkan warga kotanya dari kehilangan
mata pencaharian dan bahkan nyawa mereka sendiri, bagaimana
ia telah mengantarkan Attila menuju Sungai Rhine, Lupus
malah menerima pertentangan dan ketidakpuasan seolah
dirinya sudah menjadi salah satu pasukan Hun. Oleh sebab
itu Lupus lalu mengasingkan diri ke Gunung Lassoir, di
dekat Châtillon-sur-Seine.
lalu , terjadilah penyesalan, ia kembali ke Troyes
dan hidup selama 25 tahun berikutnya. Dalam keadaan
sekarat ia akhirnya dimaafkan, terkenal, dan banyak
PERTEMPURAN DI DARATAN CATALAUNIA SERING DILIHAT
sebagai salah satu pertempuran besar yang menentukan
dalam sejarah dunia, pertempuran yang menyelamatkan
Eropa barat dari Attila. Tidak sesederhana itu. Ini bukan -
lah Perang Stalingrad, satu titik balik yang menghentikan
penyerang barbar dari niatnya semula; tapi lebih seperti
Perang Dunkirk ala Hun, di mana satu pasukan besar
melarikan diri untuk kembali bertempur di lalu
hari. Orléans menjadi titik balik, begitulah pandangan
Attila saat ia menghindari perang dan berbalik arah;
namun ini tidak memberikan kesimpulan pasti. lalu ,
setelah beberapa minggu, Attila berusaha menjaga
pasukannya tetap utuh. Pertempuran di Dataran Catalaunia
merupakan aksi pasukan belakang, yang terpaksa terjadi
pada saat ia sudah memutuskan mundur.
Bagaimana jika ia menang? Setelah kehilangan inisiatif
di Orléans, Attila akan menguasai pangkalan jembatan
di Gaul. Lapangan-lapangan terbuka di Champagne
menawarkan padang-padang rumput berharga dan wilayah
yang cocok bagi aksi para pemanah berkuda. Namun itu
hanya bisa digunakan jika ia bisa menahan pasukan
Metz, Trier, dan Moselle ke Sungai Rhine. Daerah itu
yaitu jalur perbekalannya, jalur utama yang nantinya
akan memberi keuntungan lebih banyak hingga ia bisa
merebut semua wilayah Gaul, setengah kekaisaran yang
diklaim sebagai mas kawin Honoria. Sekarang semuanya
hilang, setidaknya untuk saat ini. Ia melarikan diri dan
dengan satu kesempatan—ia tidak mungkin tahu bahwa
Aetius memutuskan membiarkan ia pergi untuk alasan
politik yang berhubungan dengan kematian Theodoric.
Tidak seorang pun yang ada dalam masa yang
membingungkan ini yang setuju bahwa ini yaitu
pertempuran penting, untuk hasil yang didapatkan nanti.
Pada tahun yang sama, di Marseille, seorang penulis
kronik berusaha mencatat apa yang ia ketahui dari
peristiwa-peristiwa ini. Orang bijak yang tidak diketahui
namanya ini, hanya dikenal sebagai Penulis Kronik tahun
452, yaitu seorang Kristen yang taat, tujuannya yaitu
meneruskan catatan sejarah yang ditulis oleh Jerome,
yang berakhir pada akhir abad keempat. Namun saat ia
sampai pada peristiwa-peristiwa di bab terakhir, ia hanya
menulis: “Attila menyerang Gaul dan menginginkan
seorang istri seolah perempuan itu sudah menjadi haknya.
Di sana Attila mengalami dan menderita kekalahan
serius, dan mundur kembali ke daerah asalnya.” Para
ilmuwan menganggap ini menarik sebab si penulis
kronik tahu tentang skandal Honoria, dan jelas merasa
yakin akan hal ini. Para ilmuwan juga menjadi tertarik
dengan hal yang tidak dikatakannya. sebab ini bukanlah
sejarah naratif, melainkan lebih merupakan daftar
kronologis, kita harus menebak apa yang ia yakini dan
apa yang tidak. Penulis kronik ini menyelesaikan tulisannya
pada 452, ketika Aetius masih menjadi salah satu orang
paling kuat di kekaisaran (dan mungkin dalam perjalanan
kembali ke Arles, satu hari menunggang kuda dari
Marseille), namun ia tidak mengatakan bahwa ini
kemenangan menentukan bagi Aetius yang termasyhur,
sebab pada saat menulis kejadian ini Aetius tidak
terkesan sebagai seorang penyelamat. “Pada saat ini,
kondisi negara tampaknya benar-benar kacau, sebab
bahkan hampir setiap provinsi memiliki seorang penduduk
barbar, dan ajaran sesat Arian yang sangat buruk, yang
sudah menyekutukan dirinya sendiri dengan bangsa
barbar dan menyebar ke seluruh dunia, dan menegaskan
nama ajarannya sebagai Katolik.” Yang terpenting, Attila
masih hidup dan membuat keributan, dan itu kabar
yang sangat buruk, sebab saat itu ia berencana dan
mungkin sedang melakukan serangan yang jauh lebih
serius. Singkatnya, dunia sedang mengalami kemerosotan
dan itu semua sebab kesalahan Aetius.
PADA MUSIM gugur tahun 451, Attila kembali ke ibu
kotanya di Hongaria, dengan istana kayunya, rumah-
rumah dengan tembok pertahanan, pemandian Onegesius,
dan tenda-tenda yang mengelilinginya serta kereta-
keretanya. Apakah ia akan bahagia di sana, menikmati
harta rampasan yang didapat dari serangan di Gaul?
Orang lain mungkin iya. Attila mungkin sudah mempelajari
kesalahannya, berencana mendirikan satu kekaisaran
yang, jika dipelihara, akan menjadi pendamping yang
kekal bagi Roma dan Konstantinopel, dan melakukan
hubungan dagang dengan keduanya. Namun Attila
bukanlah Jenghis, yang merencanakan stabilitas dan
memaksakan impiannya melalui kaki tangan dan para
pengikutnya. Ia terjebak dalam situasi kehidupannya.
Setelah beberapa minggu terpaksa mundur dan menjadi
malu sebab nya, tidak banyak lagi persediaan sutra,
anggur, budak, dan emas. Para pemimpin suku yang
menjadi pengikutnya menjadi gelisah.
Tidak seorang pun mencatat apa yang ia lakukan
selama musim dingin tahun itu. Namun kita bisa menduga
bahwa itu bukan hal yang baik. Pada musim panas tahun
451, Kaisar Marcian memanggil 520 orang uskupnya
untuk berkumpul di Nicaea pada musim gugur, untuk
menyelesaikan permasalahan yang mempersulit Kristen,
mengatakan bahwa ia sendiri berharap ada di sana
“kecuali ada urusan penting kenegaraan yang membuatnya
tetap tinggal di medan perang”—yang nyatanya memang
terjadi, dan yang menjadi masalah yaitu Thrace. Ada
hal yang menarik dirinya ke perbatasan Sungai Danube.
Hal yang mengubah lokasi pelaksanaan pertemuan
Dewan Gereja Keempat dari Nicaea menjadi ke Chalcedon,
menyelamatkan sebagian wilayah Hellespont dari
Konstantinopel. Dan ada sesuatu yang menahan para
uskup dari perbatasan Sungai Danube menuju Chalcedon.
Jika sesuatu itu yaitu Attila, kembali dari kegagalannya
di Gaul, maka untuk membuat dana terus mengalir itu
tidak akan cukup, sebab ini yaitu daerah-daerah yang
sama yang pernah berkali-kali dijarah suku Hun. Mereka
diperas habis-habisan.
Saat ini Attila tahu bahwa musuhnya, Roma, tidak
percaya pada Visigoth yang menjadi sekutunya. Keduanya
akan bersatu hanya untuk mempertahankan Gaul. Jika
ia bisa memastikan bahwa musuhnya yaitu Roma, dan
hanya Roma, pastinya ia akan mendapatkan kemenangan,
sebagaimana yang sudah pasti terjadi di Orléans jika saja
tidak ada Avitus, Theodoric, dan suku Visigoth. Seperti
semua diktator, Attila pasti tahu bahwa persekutuannya
yang berbahaya hanya bisa disatukan oleh pandangan-
pandangan yang sangat hebat, dan janji sebuah ke -
menangan yang bahkan lebih besar. Apa prospek yang
lebih besar daripada Roma itu sendiri—rapuh, sebagaimana
yang diketahui semua orang, sebab kekaisaran ini
pernah dikuasai orang-orang barbar, yaitu Visigoth, 40
tahun sebelumnya?
Namun ada kemungkinan-kemungkinan lain yang
menarik di sepanjang jalan, khususnya kota yang menjaga
jalan tinggi utama menuju Italia dari wilayah Pannonia
yang ditaklukkan pasukan Hun. Kota pertama merupakan
sebuah hadiah kecil, kota Ljubljana di Slovenia (Emona
pada masa kekaisaran Romawi), yang begitu dikuasai,
membuka jalan menuju Sungai Isonzo yang kecil dan
penting, perbatasan tradisional Italia (dan sebab alasan
itu situs ini mengalami tidak kurang dari dua belas
pertempuran dalam Perang Dunia Pertama). Apa yang
terletak di ujung utara Isonzo itulah yang menarik
perhatian pasukan Hun.
Kota benteng Aquileia memiliki sejarah membanggakan
sebab mempertahankan sudut timur laut tanah airnya.
Hampir dua abad yang lalu, kaum perempuannya ikut
bertempur melawan seorang pemberontak, Maximin,
dengan menyumbangkan rambut mereka untuk dijadikan
tali yang digunakan pada mesin-mesin pertahanan kota.
Sebuah kuil dibuat untuk “Venus Botak” guna
menghormati pengorbanan mereka. Aquileia merupakan
salah satu kota terkaya, terkuat, dan paling terkenal di
pesisir pantai Adriatik, dibangun sebagai gerbang ke
arah timur, sebuah simpul yang menghubungkan jalan-
jalan kota dari Roma ke arah selatan dan pegunungan
Alpen ke arah utara dengan rute-rute laut dari Adriatik.
Jadi kota ini lebih daripada sekadar basis militer.
Kehidupan perdagangannya yang sangat pesat berutang
banyak pada kehadiran sejumlah besar komunitas Yahudi,
“Orientali” dalam sumber-sumber Latin, yang mungkin
merupakan penduduk aslinya. Biar bagaimana pun,
merekalah yang memperkenalkan tenun sutra, teknik
pewarnaan kain, dan terutama pembuatan kaca, yang
sudah dipraktikkan di Timur Tengah selama 2.000 tahun.
Merekalah yang mendorong pembuatan sebuah kanal
sepanjang 5 kilometer yang melintasi hilir Sungai Isonzo
yang berawa dari laut. Hasilnya sudah diteliti dalam
sebuah makalah oleh Samuel Kurinsky,1 seorang pedagang
Yahudi berkebangsaan Amerika, dermawan, dan sarjana
dengan ketertarikan khusus tentang sejarah pembuatan
kaca. Ia menulis, “Komunitas Yahudi mungkin merupakan
salah satu kelompok yang paling besar dan secara
ekonomi paling berpengaruh dalam Diaspora, dan hanya
dikalahkan oleh Roma dan Alexandria.” Pada dasarnya,
sebab mayoritas penduduk kota ini yaitu bangsa
Romawi dan adanya pertumbuhan ajaran Kristen,
kelompok Yahudi mengalami penindasan, terutama di
bawah seorang uskup akhir abad keempat yang bernama
Chromazio. Sepertinya, dialah yang menyetujui
pembakaran sinagog pada 388, yang lalu dimaklumi
oleh Santo Ambrose, dengan gaya standar khas antisemitik,
sebagai “sebuah tindakan pemeliharaan Tuhan”. Sepanjang
waktu, bangunan-bangunan Kristen menggantikan
bangunan-bangunan Yahudi, sebagian di antaranya berhasil
digali dalam penemuan oleh para arkeolog dari tahun
1940-an, yang sering digambarkan sebagai “paleo-
Kristen” atau “pagan” meskipun inada ikonografi
Yahudi. Di antara temuan ini ada beberapa lantai mozaik
mewah, salah satunya persis di bawah menara lonceng
sebuah gereja yang kelak dijadikan basilika Kristen, dan
lainnya yang berukuran sangat besar—lebih dari 800
meter persegi, menjadi yang terbesar pada masa itu—
inada di bawah basilika itu sendiri. Di sampingnya
inada barisan lantai marmer, mikvah segi delapan
(ritual pemandian), yang airnya berasal dari sebuah mata
air, dengan enam tangga sesuai dengan aturan Yahudi.
Para pembuat kaca di Aquileia mendapatkan sedikit
perhatian di bawah pengawasan Kurinsky. Seni ini masih
menjadi misteri bagi bangsa Eropa, kapan orang-orang
Yahudi sampai di sekitar teluk pesisir pantai Adriatik,
sehingga produk-produk mereka laris di banyak wilayah
dan menimbulkan kebencian sebagian orang Kristen.
Santo Jerome, pernah sebentar menjadi penduduk
Aquileia, mengeluhkan bahwa pembuatan gelas menjadi
salah satu perdagangan “yang membuat orang Semit
merebut dunia Roma”. Temuan-temuan baru-baru ini
membuat para ahli heran, sebab produk paling awal
ada yang diproduksi di Eropa. Kejutan di atas kejutan—
beberapa di antaranya inada nama pembuatnya,
sebagian dari mereka yaitu budak, setidaknya salah
satunya yaitu perempuan. Dua buah bejana kaca
ditemukan di Linz, kota di sepanjang Sungai Danube
pada jalur perdagangan Roma melintasi Dolomites. Dan
pada bejana itu tertulis ungkapan Sentia Secunda facit
Aquileiae vitra: “Sentia No. 2 membuat kaca Aquileia”.
Tembok kukuh dan kuat dari kota penting dan kaya
ini sering kali dikepung, namun tidak pernah kalah—
kecuali satu kali, saat Alaric memimpin pasukan Visigoth
ke Roma pada 401. Jika Alaric bisa melakukannya,
begitu juga dengan Attila. Dan, seperti yang akan
disampaikan oleh para pengintai Attila, bahwa Aetius
tidak memerintahkan kota ini untuk bersiap menghadapi
pertempuran sebab ia yakin telah memukul mundur
pasukan Hun kembali ke wilayah asalnya.
SERANGAN TERJADI pada akhir bulan Juni tahun 452. Kita
bisa menduganya berkat seorang paus dan beberapa
ekor burung. Paus Leo I, yang menulis surat pada bulan
Mei atau Juni, tidak menyebutkan adanya serangan di
Italia, jadi tidak mungkin serangan ini berlangsung
sebelum bulan itu; dan serangan Attila tidak bisa dimulai
lebih lama dari itu, menurut sebuah sumber yang tidak
bisa dipercaya: burung-burung bangau yang bersarang
di atap rumah-rumah di Aquileia.
Burung bangau ini masuk ke dalam cerita kita sebab
peristiwa ini bukanlah serangan mendadak. Penduduk
Aquileia tidak memerlukan perintah dari Aetius: mereka
tahu bagaimana menahan serangan, punya akses mudah
dari hilir sungai ke laut terbuka. Setelah hampir dua
bulan menunggu, dengan Aquileia tetap bertahan, Attila
pasti sudah mulai mendengar kegelisahan dari para
jenderalnya. Berapa lama hal ini akan terjadi? Kebun-
kebun anggur, buah-buahan, dan ladang-ladang gandum
akan mencukupi pasokan makanan bagi pasukan hingga
akhir musim panas, namun di mana barang rampasannya?
Priscus, dikutip oleh Jordanes, menceritakan kisah ini:
Pasukan sudah berbisik-bisik dan berharap pergi ketika Attila,
yang dengan tenang dan hati-hati berjalan mengelilingi tembok,
berpikir apakah ia harus mengemasi kemah atau tinggal di
sini lebih lama, melihat beberapa burung putih, yakni bangau,
yang bersarang di bubungan atap, membawa anak-anaknya
pergi dari kota hingga ke daerah pedalaman, berlawanan
dengan kebiasaan mereka. sebab Attila yaitu seorang
penyelidik yang sangat cerdik, ia punya firasat dan berkata
kepada anak buahnya: “Lihat, burung-burung itu tahu apa
yang akan terjadi, mereka meninggalkan kota yang akan
dilanda malapetaka ini, meninggalkan benteng-benteng
berbahaya yang akan hancur. Jangan sangka ini tidak ada
artinya; ini pasti; mereka tahu apa yang akan terjadi; takut
masa depan kota ini akan mengubah kebiasaan mereka.
Gibbon yang selalu memiliki ungkapan bagus,
menggambarkan peristiwa ini menjadi:
[Attila] memperhatikan seekor bangau yang bersiap pergi
meninggalkan sarangnya di salah satu menara dan terbang
dengan anak-anaknya menuju daerah pedesaan. Dengan
pemikiran awal seorang negarawan, ia menangkap kejadian
sepele yang berpotensi menimbulkan takhayul ini; dan berteriak,
dengan nada keras dan ceria, bahwa burung lokal seperti itu,
selalu sangat berkaitan dengan kehidupan manusia, tidak
akan meninggalkan tempat asalnya, kecuali menara-menara
itu akan mengalami kehancuran dan kesunyian di masa yang
akan datang.
Apakah ada kebenaran dalam kisah memesona ini?
Mungkin, sebab suku Hun akan mencari-cari dan
menghargai pertanda, baik dari alam ataupun buatan
manusia (seperti pertanda yang dibaca pada jejak darah
sebelum pertempuran di Dataran Catalaunia). Bagi bangsa
Romawi dan barbar, burung yaitu makhluk pertanda
buruk, khususnya gagak, burung hantu, dan bangau,
sebagaimana halnya orang-orang cerewet bagi kita: “Satu
untuk kesedihan, dua untuk kesenangan.” Sekarang,
burung-burung bangau memang makhluk yang memiliki
kebiasaan, yang mana Attila lebih banyak mengetahui
hal ini daripada Gibbon; sebagaimana halnya kita, berkat
lahirnya ornitologi (ilmu burung). Bangau pada
umumnya—tidak seperti induk yang kesepian ala Disney
sebagaimana yang dikisahkan Gibbon—tidak punya
tempat asal. Mereka bermigrasi, terbang ke selatan
sebab musim dingin. Bangau putih, Ciconia ciconia,
meninggalkan sarang musim panas mereka di daerah
Eropa antara pertengahan Agustus dan awal September,
menuju daratan Afrika. Burung muda lebih dahulu,
disusul oleh induk mereka. Populasi bangau di Barat
terbang pada satu jalur, dan populasi timur pada jalur
lainnya, keduanya berputar di Mediterania, kedua
kelompok ini terpisah sepanjang garis lintang dengan
presisi yang luar biasa, 11o LT, hanya 200 kilometer dari
Aquileia bagian barat. Bangau barat terbang melintasi
Spanyol, sementara bangau populasi timur, termasuk
yang di Aquileia, melintasi Turki dan Laut Mati menuju
lembah Nil dan terus terbang ke selatan. Attila, datang
dari Hongaria, akan terbiasa dengan kebiasaan bangau
putih timur; dan begitu juga dengan para shamannya,
yang, sebagaimana kita ketahui dari pertempuran di
Dataran Catalaunia, ikut dalam rombongan ini .
Seorang shaman yang pintar mungkin akan mencari
satu tanda luar biasa untuk mendukung apa saja yang
ada dalam pikiran Attila. Tampaknya tidak mungkin
burung bangau tahu banyak tentang seluk beluk serangan
perang; tapi ini bisa jadi mungkin, kukira, sebab asap
dan kehancuran sarang itulah yang membuat mereka
pergi lebih cepat, yang bertepatan dengan serangan di
Aquileia, dengan ketelitian seperti bangau, beberapa hari
sebelum pertengahan Agustus. Bukan hal yang dibuat-
buat, membayangkan seorang shaman, mengetahui
harapan-harapan Attila, muncul dengan menyampaikan
satu alasan untuk meneruskan serangan. Bagaimanakah
caranya menggerakkan kepercayaan dengan lebih baik
ketimbang menyatakan kemenangan yang tidak terelakkan?
Adakah pendukung lain yang lebih baik selain kekuatan
alam, yang menyatakan kehancuran kota itu sama pastinya
seperti tikus yang menyatakan sebuah kapal sebentar
lagi akan tenggelam?
Biar bagaimana pun, muslihat ini berhasil. Semangat
pasukan Hun kembali bangkit, mengilhami lagi taktik-
taktik yang dikembangkan saat menaklukkan Naissus
pada 447, hanya lima tahun sebelumnya. “Buat apa
mengatakan lebih banyak lagi?” komentar Jordanes.
“Attila mengobarkan semangat para prajuritnya untuk
kembali memulai serangan di Aquileia.” Formasi serangan
mulai terbentuk—sling (tali pelontar) untuk melemparkan
batu-batu besar, “kalajengking” (busur silang besar untuk
menembakkan anak panah sepanjang satu meter), balok
penggempur gerbang mengayun di bawah lindungan
tameng—yang dalam waktu sangat singkat menghancurkan
tembok pertahanan Aquileia, dengan akibat mengerikan
bagi kota itu, “yang dirampas, dibumihanguskan dan
dihancurleburkan begitu kejam sampai tidak meninggalkan
bekas”—sebuah pernyataan berlebihan yang akan kita
bahas kembali nanti.
Sementara itu, apa peran Aetius dan Roma selama
pergerakan Attila ini? Tidak banyak, menurut sumber
utama kita, Prosper, seorang pencatat kronik dan ahli
teologi dari Aquitaine yang menjadi salah satu sosok
agamawan dan sastrawan terkemuka di Roma, yang
mungkin bekerja sebagai pejabat di dewan Paus Leo I.
Dia orang yang berpendapat kasar dan ringkas. Baginya,
Aetius hanya berpangku tangan dan bersikap pengecut.
Jenderal Roma itu tidak membuat ketetapan. Ia tidak
melihat pertahanan pegunungan Alpen. Ia akan berjalan
cepat menyelamatkan diri bersama kaisar, jika saja
perasaan malu tidak menahannya. Meskipun begitu,
tidak ada gunanya menjadikan hal ini sebagai sebuah
ajaran. Prosper memiliki satu agenda, yaitu ingin
merendahkan martabat Aetius sehingga pemimpinnya,
Paus, bisa mengambil peran utama, bersama dengan
Tuhan, pada peristiwa-peristiwa yang akan datang.
fakta nya, kekaisaran tidak pernah melindungi jalan
di pegunungan Alpen, sebab wilayah itu merupakan
pintu masuk yang terlalu lebar sehingga tidak mudah
dipertahankan. Italia pernah diserang enam kali selama
abad kelima, dan tidak sekali pun para penyerang
mendapat perlawanan hingga mereka sampai ke lembah
Isonzo dan Aquileia.
Apa yang sebenarnya terjadi setelah kekalahan Aquileia
tidak begitu jelas. Attila tampaknya menyerang sepuluh
kota-kota kecil—di antaranya Concordia dan Altinum—
di daerah sekitarnya, namun tidak bergerak menuju
pemerintahan kekaisaran di Ravenna. Mungkin ia mengira
kota ini target yang terlalu tangguh; atau mungkin saja
dia tahu bahwa kaisar sedang berada di Roma; bagaimana
pun, ia justru terus bergerak ke utara, menyusuri pinggiran
lembah Po. Daripada bernasib seperti Aquileia, kota-
kota lainnya membukakan gerbang-gerbang mereka:
Padua, Vicenza, Verona, Brescia, Bergamo, dan akhirnya,
Milan. Di sana pasukan Hun membakar dan merampas
apa yang ada sehingga penduduknya melarikan diri.
Menurut salah satu catatan, Attila menduduki istana
kekaisaran, di mana ia melihat satu lukisan yang me -
nunjukkan seorang Scythia tampak lesu di hadapan dua
kaisar Roma, Timur dan Barat. Attila suka ide ini, namun
benci dengan subjek lukisan ini , dan memerintahkan
seorang seniman lokal untuk melukis gambar yang
serupa, dengan dirinya duduk di singgasana dan kedua
kaisar menumpahkan emas ke kakinya.
Pergerakan Attila kini tersendat-sendat. Seorang
penakluk akan bergerak ke selatan melintasi Apennines
menuju Roma, menyapu semua yang ada di hadapannya.
Priscus mengatakan bahwa Attila, mengikuti jejak Alaric
dan dengan tujuan yang sama, diperingatkan oleh para
shamannya bahwa ia mungkin akan mengalami nasib
yang sama jika menyerang Roma, yaitu kematian
mendadak setelah memperoleh kemenangan. Pastinya
suasana kematian sudah terasa di udara, dalam bentuk
cuaca yang panas, kekurangan pangan, dan wabah
penyakit. Puncak musim panas sudah berakhir, namun
September di dataran Italia bagian utara begitu menyesak -
kan napas; dan wilayah ini merupakan kediaman nyamuk-
nyamuk malaria. Lainnya mengalami nasib serupa nanti.
Pada 540 pasukan Frank “diserang diare dan disentri,
yang tidak bisa mereka atasi sebab kurangnya makanan
yang memadai. Mereka benar-benar mengatakan bahwa
sepertiga pasukan Frank binasa sebab penyakit ini.”
Pasukan Frank lainnya tewas sebab sebab yang sama
pada 553.
Kemungkinan, pasukan yang dipimpin oleh Aetius
juga merasakan akibat yang sama, meski hanya ada satu
kalimat singkat dan membingungkan dari Hydatius,
pencatat kronik asal Spanyol, yang menulis pada sekitar
tahun 470 untuk mendukung hal ini. Meskipun begitu,
bukannya melakukan serangan balasan secara mati-mati -
an, Roma memilih cara diplomatik, yang ditulis oleh
Prosper, yang senang mencatat peranan yang dilakukan
pimpinannya, Paus Leo I.
Leo sebenarnya merupakan figur penting, yang dibuat
semakin penting oleh Prosper, yang dalam istilah sekarang
akan dianggap sebagai semacam garis kanan yang men -
jijikkan. Pemilihan Leo, diundur sebab ketidak hadirannya
pada 440, ditunggu dengan “kedamaian dan kesabaran
yang luar biasa”. Dia mencabut ajaran sesat dengan
semangat mengagumkan, membakar artikel -artikel sebagai -
mana halnya yang seharusnya dilakukan oleh seorang
manusia yang diilhami oleh semangat ketuhanan. Ia
menunjukkan dirinya menjadi seorang paus yang kuat
persis di saat gereja mendapat paling besar,
Attila, yang membunuh abangnya, Bleda, dan mengambil
kekuatan absolut di luar wilayah Danube. Para pemimpin
dunia seperti Aetius merupakan contoh dari harga diri,
ambisi, ketidakadilan, sikap tidak menghormati, dan
tidak sopan, yang jika dibandingkan dengan Leo, sama
sekali tidak memiliki salah satunya. Ia bahkan menentang
kaisar Roma timur, Theodosius II, yang pada Dewan
Kedua di Ephesus tahun 449 mengizinkan pernyataan
bahwa Kristus tidak memiliki keistimewaan seperti
ibunya, namun hanyalah seorang manusia biasa. Ketika
Theodosius wafat pada 450, Marcian, yang diangkat
oleh adik perempuan Theodosius untuk menjadi
penggantinya, muncul sebagai penyelamat ajaran kuno
itu, ajaran Leo, pada Dewan Keempat di Chalcedon.
Wanita, bagi Prosper, tidaklah relevan. Istri Marcian,
Pulcheria, yang kepadanya Marcian berutang; Galla
Placidia, ibu Kaisar Valentinian; dan Honoria yang aneh,
salah satu perempuan hebat pada zamannya; tidak
mendapatkan penjelasan. Dan tentu saja, sekarang Attila
mengancam jantung kekaisaran, Aetius sangat buruk
dan tidak berguna, dan semuanya menjadi urusan Leo.
Aetius mengandalkan keputusannya sendiri, sementara
Leo bersandar kepada Tuhan. Misi Aetius untuk Attila
yaitu keputusan dari Senat dan Valentinian III. “Tidak
ditemukan jalan yang lebih baik selain mengirim utusan
kepada raja mengerikan ini dan meminta
perdamaian.” Ia membawa dua orang rekannya: Trygetius,
bekas prefek kekaisaran dan perunding berpengalaman
dengan Gaiseric dari suku Vandal di Afrika, dan bekas
konsul bernama Avienus, yang sekarang merupakan salah
satu dari dua senator terkuat di Roma. Kemungkinan,
peran utama Leo yaitu merundingkan uang tebusan
untuk para tahanan. lalu , hal ini merupakan
sebuah misi para utusan terkemuka. namun , dalam tulisan
Prosper, Leo dan Tuhan yaitu penyelamat Roma yang
sebenarnya. Sebagai hasilnya, pada catatan-catatan
berikutnya sepenuhnya ia menceritakan tentang keduanya,
atau mengubah mereka menjadi sesuatu yang sangat
berbeda.
Attila kelihatannya cukup siap untuk menemui ketiga
utusan ini, mungkin melihat cerminan logade elitenya
sendiri, yang dikepalai oleh shaman paling senior di
Roma. Seperti yang dinyatakan Prosper, “Sang Raja
menerima seluruh delegasi dengan penuh hormat, dan
ia sangat tersanjung dengan kehadiran pendeta tertinggi
sehingga memerintahkan orang-orangnya untuk
menghentikan permusuhan dan, menjanjikan perdamaian,
kembali ke wilayah Danube.”
Itu saja. Ajaib. sebab Leo, menurut pandangan
Prosper, yaitu penjelmaan Kristus yang bekerja melalui
manusia. “Orang terpilih yang menerima berkat Tuhan,”
ujarnya dalam konteks lain, “tidak mengizinkan mereka
berpangku tangan atau membebaskan mereka dari
serangan Musuh, namun agar mereka bisa bekerja dengan
baik dan menaklukkan Musuh.”
Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi
pada pertemuan itu. Mungkin, menurut beberapa sumber,
pertemuan dilaksanakan di pesisir Danau Garda, “di
aliran Sungai Mincius” (sekarang bernama Mincio, yang
mengalir keluar dari Danau Garda di Peschiera), meskipun
apa yang akan dilakukan Attila menyusuri jalur timur
sebelum melakukan serangan ke Roma, tidak bisa aku
bayangkan; Attila seharusnya bergerak ke selatan. Pastinya,
terjadi tawar-menawar yang alot. Kemungkinan besar,
Attila akan mengancam Italia dengan nasib mengerikan,
sebagaimana yang dikatakan Jordanes, “kecuali jika
mereka mengirim Honoria untuknya, berikut dengan
bagian hartanya dari kekayaan kerajaan.” Hal itu akan
membuka jalan bagi sebuah tawaran balik: bukan Honoria,
yang sekarang sudah ditunangkan atau “terikat kesucian”
(mungkin hal yang sama, penolakan besar Honoria atas
suaminya); namun untuk masalah kekayaan kerajaan bisa
dilakukan kesepakatan. Para tahanan akan dibebaskan,
dibayar tunai, rasa hormat dipuaskan.
Tidak adanya informasi tertulis, tidak lama lalu
muncul legenda-legenda yang menyatakan adanya
keajaiban. Sebuah kodeks abad ketiga belas versi Hongaria
(Gesta Hungarorum), di mana Attila ketakutan dan
pasrah dengan sebuah penglihatan akan malaikat bersenjata
yang marah, merupakan salah satu hal yang inada
dalam bab 12 seperti di bawah ini. Pastinya Attila bukan -
lah seorang laki-laki yang memberikan banyak perhatian
kepada para paus. Ia sudah punya cukup banyak masalah
untuk menghentikan pergerakannya. Penyakit, kelaparan,
apresiasi mendadak yang benar-benar ia tentang: Attila
sekarang pasti sudah melihat dirinya mengalami hal
yang terlalu sulit untuk ia atasi. Di samping itu, posisinya
yang terbuka sangatlah berbahaya, berada di tengah-
tengah Italia, di mana Roma di sisi satunya lagi, serta
Konstantinopel yang lebih dekat ke Hongaria daripada
dirinya.
Ia memutar arah melintasi Isonzo, dan pulang ke
Hongaria.
Pada musim gugur tahun 452, saat es melapisi Sungai
Danube, Attila mengirim lebih banyak utusan ke Marcian,
mengancam akan melakukan pengrusakan “sebab hal
yang sudah dijanjikan Theodosius tidak dilaksanakan
sepenuhnya dengan baik, dan mengatakan bahwa ia
akan menunjukkan pada musuh-musuhnya bahwa dirinya
bisa lebih kejam daripada sebelumnya”.
Namun ini hanya gertakan. Ia sudah kehilangan
ribuan prajuritnya di Dataran Catalaunia, ribuan lagi
yang tewas sebab penyakit di Italia. Ia tidak kembali
pulang tepat waktu untuk mendapat keuntungan penuh
dari rerumputan musim panas. Bahkan jika serangan di
Italia impas dengan uang tebusan yang dibawa Leo,
maka tidak ada yang akan didapat dari Marcian, dan
sekarang, sekali lagi, ia harus mengurus pasukannya
yang kelelahan dan para komandannya agar tetap senang.
Tidak ada lagi utusan. Musim dingin itu, keheningan
yang tidak menyenangkan terasa di perbatasan Sungai
Danube, meninggalkan Marcian yang tidak tenang dengan
apa yang akan mungkin direncanakan Attila. Musim
semi tiba, sesuatu harus dilakukan.
KEMBALI KE ITALIA, puluhan kota menderita akibat
serangan pasukan Hun, atau lalu dinyatakan
demikian. Tampaknya, tidak ada yang seburuk nasib
Aquileia. Kata-kata Jordanes menggema selama beberapa
abad, ditulis ulang oleh Gibbon: “Generasi penerus
hampir tidak bisa menemukan reruntuhan Aquileia.”
Para penulis lainnya, tanpa memeriksa lebih saksama
menyatakan bahwa kota itu mengalami kerusakan total
dan kehancuran yang abadi.
Nah, tidak sepenuhnya demikian. Boleh saja membuat
dugaan terhadap kebenaran, sebab ada hal yang diketahui
dari Aquileia setelah diserang pasukan Attila.
Enam tahun lalu , kota yang menurut dugaan
begitu rata sehingga reruntuhannya nyaris tidak terlihat
itu kembali bangkit. Kota ini dihuni oleh sekelompok
penduduk beragama Kristen dan seorang uskup. Uskup
itu bernama Nicetas, dan pada bulan Maret 458 ia me -
nulis surat kepada Leo, yang balasannya inada dalam
koleksi surat-suratnya. Nicetas mengatasi krisis bukan
hanya sebab kehancuran, namun sebab alasan pemulihan
kembali. Situasinya sangat mengerikan: keluarga tercerai-
berai, kaum laki-laki dibawa sebagai tahanan, kaum
perempuan terabaikan; namun sekarang, dengan pertolong -
an Tuhan, hal itu bisa diperbaiki. Setidaknya sebagian
kaum laki-laki mereka sudah kembali. Jadi Attila benar-
benar melepaskan tahanan, barangkali sebab Paus Leo
sudah menebus mereka. Berapa banyak yang tidak
selamat untuk ditebus? Apa yang terjadi dengan mereka
yang selamat, tapi tidak ditebus? Diperbudak, itu pasti,
dan entah apakah mereka tewas ataukah bekerja untuk
beberapa pemimpin Hun di Hongaria.
Nicetas punya dua masalah. Masalah pertama yaitu :
sebagian kaum perempuan daerah ini sudah menikah
lagi sebab berpikir suami mereka meninggal dunia.
Apa status pernikahan mereka sekarang? Ini satu per -
tanyaan yang sulit untuk dijawab, sebab menerapkan
aturan lain akan membuat ratusan keluarga menjadi
berantakan. namun , Leo bukanlah seorang paus yang
peragu: ia menjawab bahwa pernikahan kedua harus
dibatalkan, dan suami pertama diterima kembali. namun ,
tidak disebutkan tentang kaum perempuan yang dibawa
oleh pasukan Hun; mereka dianggap hilang selamanya,
dan tidak menjadi permasalahan agama sama sekali.
Masalah kedua menyangkut status mereka yang
kembali sebagai penganut ajaran Kristen. Sebagian dari
mereka, sewaktu menjadi tahanan, tampaknya dipaksa
mengikuti ajarah bidah, menjalani komuni heretik, atau
(jika mereka masih anak-anak) ditangkap dan dibaptis
oleh penganut bidah. Menggambarkan suku Hun sebagai
penganut ajaran sesat benar-benar terdengar aneh.
Nyatanya, masalah ini yaitu bukti bahwa pasukan Attila
masih menganut agama campuran, dan termasuk suku
Goth, yang telah menganut ajaran Arianisme satu abad
sebelumnya. Nicetas mungkin tidak bisa membedakan
antara seorang Goth dan seorang Hun, namun ajaran
sesat yaitu hal yang membuat kepausan sangat marah.
Leo menyatakan bahwa perpindahan keyakinan yang
dipaksakan itu bukanlah perubahan ke yakinan: mereka
akan diterima kembali, dan dimaafkan.
Akhirnya, drama-drama dalam negeri memainkan
peranannya, dan kota yang bangkit kembali ini tidak
lama lalu menjadi cukup kaya dengan komunitas
Kristen untuk membangun basilika mereka di atas
reruntuhan sebuah sinagog. Orang Yahudi, tampaknya,
sudah pergi. Benar, terjadi kemerosotan di kota ini. Satu
abad lalu , bangsa barbar lain melakukan serangan,
kali ini oleh bangsa Lombards, yang menegaskan
kemundurannya, dan banyak penduduk kota Aquileia
yang memilih melarikan diri ke barat menuju sebuah
permukiman baru di sebuah danau di pinggir laut dan
pulau-pulau di Laguna Veneta yang tidak menjanjikan,
namun lebih aman.
Bagi banyak orang, hubungan ini menjadi pernyataan
sederhana bahwa penduduk kota Aquileia yang berhasil
melarikan diri dari pasukan Hun sampai di wilayah
Venesia, yang menurut dugaan merupakan tempat
perlindungan yang aman sebab pasukan Hun tidak
berani membawa kuda mereka ke daerah yang dikelilingi
lumpur. Mungkin orang-orang Yahudi dari Aquileia yang
menuntun ke daerah ini, namun bagi penduduk yang
mayoritas Kristen hal ini lebih luas daripada itu. Tidak
sampai tahun 569, setelah invasi kaum barbar lainnya,
uskup Aquileia, Paulus, membawa relikui dan tanda
kebesarannya ke pelabuhan Grado, 10 kilometer sebelah
selatan Aquileia, dan dengan jarak yang kurang lebih
sama menuju Adriatik jika kita bisa berenang tanpa
tenggelam. Dari sini, setelah satu abad persaingan, pihak
yang berwenang akhirnya masuk kekaisaran Venesia.
Tidak sampai abad kesembilan bahwa Venesia mulai
mengubah kanal-kanal menjadi terusan dan meng -
hubungkan pulau-pulau dengan jembatan, dan membuat
hal baru dan besar yang akan mendorong para penulis
di masa mendatang untuk mengubah fakta sejarah yang
sangat kacau balau dan merepotkan ini menjadi cerita
rakyat yang pendek dan ringkas.
Venice masih memelihara hubungan dengan akar
budaya dan tradisi Aquileia, demi kepentingan industri
pariwisatanya. Di pulau-pulau sekitar; Murano dan
Burano, penduduknya masih membuat kaca, sebagian
berkat jasa budak Sentia dan rekan mereka di Aquileia
sebelum Attila membuat hidup mereka berantakan.
KEMATIAN MENDADAK,
MAKAM RAHASIA
JARANG SEKALI SEORANG GADIS MENJADI TERKENAL sebab
tidak melakukan apa pun. Dalam peradaban Yunani dan
Latin, gadis itu bernama Ildico, para sejarawan me -
nyamakannya dengan Hildegunde, nama Jerman. Bisa
jadi ia yaitu seorang putri Jerman yang dikirim oleh
beberapa pengikut jauh untuk memperoleh berkah Attila.
Attila sudah memiliki sejumlah istri, bukan sebab ia
laki-laki dengan energi seksual yang besar, namun sebab
kehadiran perempuan kelas atas merupakan sebuah
bentuk penghormatan, dan perampasan terhadap mereka
yaitu satu cara untuk menegaskan dominasi terhadap
para pengikut yang jauh dan tidak bisa dipercaya.
Jordanes, mengutip bagian yang hilang dari Priscus,
menyatakan bahwa Ildico yaitu gadis yang sangat
cantik. Sumber lain tidak ada yang menyebutkan gadis
ini. Namun demikian, ia yaitu istri terakhir Attila,
dijemput atau dibawa pada musim semi tahun 453.
Apa yang terjadi pada malam pernikahan Attila dengan
Ildico diceritakan oleh Priscus, yang memang bersama
Attila selama empat tahun sebelumnya dan merasakan
ketertarikan luar biasa pada kejadian ini. Selama tiga
tahun sebelumnya, ia bersama pimpinan lamanya,
Maximinus di Nil, menyusun subbab dalam perselisihan
jangka panjang tentang keseimbangan ketuhanan dan
kemanusiaan dalam diri Kristus. Perselisihan ini tercetus
lagi pada 448, ketika seorang pendeta senior bernama
Eutyches menyatakan bahwa Kristus yaitu tunggal,
sepenuh nya tuhan, dan sama sekali bukan manusia.
Perselisihan menjadi sengit, di mana Roma dan
Konstantinopel kembali bertikai dalam hal ini. Dewan
Gereja Keempat di Chalcedon tahun 452 berusaha
menggarisbawahi satu hal, menyatakan bahwa Kristus
yaitu satu manusia dengan dua sifat, dengan istilah
lain Kristus yaitu Tuhan sekaligus manusia. Namun
sebagai akibatnya, dewan ini juga menyatakan persamaan
Roma terhadap Konstantinopel, yang mulai saat itu akan
memiliki kekuasaan atas Balkan dan semua daerah di
timur. Roma sangat marah, begitu juga dengan kaum
Monophysitisme di Mesir—mereka yang menerima
gagasan bahwa Kristus memiliki satu sifat. Priscus dan
Maximinus sedang merundingkan perdamaian dengan
dua kelompok Mesir yang suka menentang itu ketika
Maximinus meninggal dunia. lalu pada awal tahun
453, Priscus baru saja kembali ke Konstantinopel, dan
mendapati wilayah itu masih kacau balau sebab per -
selisihan religius. Ia bahkan memberi nasihat kepada
gubernur militer kota itu tentang cara-cara terbaik
mengendali kan kerusuhan. Rupanya, masih ada hubungan
baik antara Yunani dan Hun, mungkin melalui perantara
suku Goth yang multibahasa, yang membawa berita
mengejutkan dari Hongaria.
Catatan asli Priscus tidak selamat, namun disalin oleh
Jordanes. Dalam tulisan itu Jordanes menceritakan
tentang hal yang terjadi setelah pernikahan, saat Attila
pergi tidur dengan pengantin barunya yang masih muda:
Ia bersenang-senang secara berlebihan dan terbaring sebab
terlalu banyak minum anggur lalu tertidur. Ia mengalami
pecah pembuluh darah (hemoragi), dan darah, yang biasanya
mengalir melalui hidung, tidak melewati jalur yang seharusnya
melainkan turun mengalir ke kerongkongan dan membunuhnya.
Mati sebab mabuk itu pun menjadi hal memalukan untuk
akhir hidup seorang raja yang meraih kemenangan dalam
peperangan. Keesokan harinya, ketika menjelang sore, para
pelayan raja yang menduga ada sesuatu yang tidak beres,
pertama berteriak keras lalu mendobrak pintu kamar. Mereka
mendapati Attila tidak terluka sedikit pun, namun tewas sebab
darah yang mengalir dari tubuhnya dan pengantinnya menangis
dengan wajah menunduk di balik tudung kepalanya.
Detail ini membingungkan—seorang gadis muda,
terlalu banyak minum, tidak ada gejala penyakit, satu
malam penuh gairah, mayat, pengantin menangis,
penyebab kematian yang misterius. Apa yang salah?
Kelak, imajinasi memainkan peranannya dan Ildico
menjadi subjeknya—putri yang salah yang ditempatkan
untuk melakukan balas dendam, belati tersembunyi,
racun, siapa tahu ini perbuatan curang? Kisah-kisah
serupa muncul setelah kematian Jenghis Khan, menyatakan
bahwa ia yaitu korban aksi balas dendam istri terbarunya.
Manusia kebanyakan tidak suka bila para raja mereka
tewas begitu saja; harus ada kejadian atau pertanda dan
drama tingkat tinggi. Namun sama sekali tidak ada
pertanda waktu itu, dan keadaan Ildico yang terkejut
akan kejadian ini menentang peristiwa itu. Kemungkinan
besar, Attila yang sekarang berada dalam pertengahan
usia lima puluh tahun, menderita suatu penyakit yang
parah.
Tapi apa? Aku rasa pertanyaan itu bisa terjawab
dengan bantuan detail-detail medis.
Laporan itu menyebutkan adanya darah, mengalir
melalui hidung dan mulut. Pernyataan berlebihan untuk
sebuah hal dramatis—bahwa sang raja meninggal saat
dirinya dalam keadaan bergairah penuh, seolah itu yaitu
energi kreatifnya, misalkan satu serangan jantung atau
stroke saat melakukan hubungan seksual. Baik serangan
jantung ataupun stroke tidak akan menyebabkan
pendarahan eksternal. Darah ini hanya bisa keluar
dari sebagian organ yang memiliki hubungan dengan
mulut—paru-paru, perut, atau kerongkongan. Paru-paru
tidak mengalami pecah pembuluh darah secara mendadak
(hanya pendarahan pelan setelah beberapa tahun penyakit
yang melemahkan, seperti TB). Kemungkinannya tinggal
perut dan kerongkongan.
Kita bahas perut lebih dahulu. Attila bisa jadi tercekik
saat muntah. Namun tidak disebutkan tentang adanya
muntahan; darahlah yang menarik perhatian para
pelayannya. Satu kemungkinan yaitu bahwa darah itu
bisa jadi berasal dari bisul dinding lambung, yang sudah
membengkak selama beberapa waktu, tanpa menimbulkan
gejala apa pun (bisul terkadang tidak terasa sakit). Salah
satu komponen dalam pertumbuhan bisul yaitu stres,
dan Attila mengalaminya lebih besar ketimbang
kebanyakan orang. Efek dari bertahun-tahun memikirkan
perang mungkin sekarang bercampur dengan kesadaran
menyakitkan bahwa ia sudah melakukan segala hal yang
ia bisa, namun nyatanya tidak akan pernah ada Kekaisaran
Hun Agung yang mencakup Gaul dan tanah air Hun,
abaikan dunia timur Konstantinopel dan Roma di barat.
Jika Attila pernah meyakini bahwa ia ditakdirkan untuk—
oleh Langit Biru atau Dewa Perang, atau apa pun dewa
yang disembah para shamannya—menguasai dunia,
sekarang ia tahu benar bahwa ia harus berpuas diri
dengan menempati wilayah yang lebih kecil. Memang,
ini yaitu sebuah akhir. Jadi mungkin yang terjadi yaitu
pecahnya bisul, yang menyebabkan Attila muntah, yang
secara normal membuatnya terbangun, kecuali ia tidur
tidak sadarkan diri akibat anggur dan kelelahan.
Ada alasan lain dan, aku pikir, merupakan kemungkinan
yang sedikit lebih meyakinkan. Orang Hun yaitu
peminum yang luar biasa, bukan hanya bir gandum
buatan mereka, namun juga anggur yang mereka impor
dari Roma. Anggurlah yang disebut oleh Priscus dalam
jamuan makam malamnya bersama Attila. Selama 20
tahun Attila telah mengonsumsi alkohol, mungkin dalam
jumlah besar (ingat kebiasaan suku Hun menghabiskan
minuman mereka setiap kali bersulang). Ada satu kondisi
yang disebabkan oleh penyakit sebab terlalu banyak
mengonsumsi alkohol yang dikenal dengan istilah portal
hypertension, yang menimbulkan oesophageal varices,
yang dalam bahasa umum berarti meregangnya pembuluh
darah di kerongkongan. Pembuluh darah yang mem -
bengkak dan melemah ini bisa pecah begitu saja tanpa
tanda-tanda, membuat darah mendadak mengalir deras,
yang akan, bagi orang yang berbaring telentang dalam
keadaan pingsan sebab mabuk, langsung masuk ke
paru-parunya. Jika Attila terbangun, atau sadar, ia akan
berdiri, mengeluarkan darah, dan mungkin sembuh.
Minuman keras, hipertensi, dan melemahnya pembuluh
darah di kerongkongan—itulah kemungkinan komplikasi
yang menewaskannya. Ia tenggelam dalam genangan
darahnya sendiri.
Ildico yang malang dan tidak tahu apa-apa terbangun
keesokan harinya di samping jenazahnya, dan hanya
bisa terisak, terlalu terkejut dan takut untuk mencari
pertolongan, atau bahkan membuka pintu saat para
pelayan yang heran dengan suasana hening di kamar itu
lalu mengetuk pintu dan berteriak.
Jordanes mencatat peristiwa ini. Berita ini menyebar
luas. Para pelayan yang putus asa dan bingung memanggil
yang lain. warga ramai terkejut. Saat kebenaran
mengerikan ini terdengar, mereka mulai melakukan
ritual perkabungan, di mana setiap budaya mengekspresi -
kannya dengan cara masing-masing. Dalam hal ini,
mereka mengeluarkan pisau dan memotong sedikit
rambut mereka—kebiasaan yang masih bertahan selama
tiga abad sejak masa kekaisaran Xiongnu, di mana dalam
makam-makam kerajaannya para arkeolog menemukan
jalinan rambut yang dipotong dari pangkal. Kaum laki-
laki juga mengiris pipi mereka, sebuah tindakan yang
menimbulkan gurat luka yang menjadi deskripsi suku
Hun oleh beberapa penulis. Seperti tulisan Jordanes,
mereka “menodai wajah mereka yang memang seram
dengan luka-luka dalam untuk berkabung atas perginya
pejuang terkenal, bukan dengan tangisan dan ratapan
perempuan, namun dengan darah laki-laki”. Ini merupakan
ritual biasa di banyak suku dari wilayah Balkan hingga
Asia Tengah, dan sudah terkenal di Barat. Sidonius
mengenang hal ini untuk memuji keberanian pahlawannya,
Avitus: “Dalam keadaan terluka, kau mengungguli dia
yang ratapannya berarti melukai diri sendiri dan
mengerutkan pipinya dengan logam dan mencungkil
bekas luka merah pada wajah-wajah yang mengerikan.”
Jenazahnya diletakkan di padang rumput, terbaring
di dalam sebuah tenda dari sutra di hadapan semua
orang yang berduka. Para penunggang kuda mengelilingi
tenda, “mirip gaya permainan sirkus”, sementara salah
seorang ajudan senior Attila menyampaikan nyanyian
pemakaman, yang sepertinya diulang oleh Priscus kata
demi kata, yang meskipun tentu saja diterjemahkan dari
bahasa Hun menjadi bahasa Goth dan lalu menjadi
bahasa Yunani, yang lalu diterjemahkan Jordanes
menjadi versi Latin, yang akhirnya dari sanalah versi
berikut ini dihasilkan:
Pemimpin suku Hun, Raja Attila, terlahir dari ayahnya,
Mundzuk, raja dari suku-suku paling berani, dengan kekuatan
yang belum pernah





.jpeg)
.jpeg)






