p di wilayah utara Sungai
Kuning yang sangat memesona, di daerah yang sekarang
dikenal sebagai Ordos, di wilayah provinsi Mongolia
Dalam, China. Mereka mungkin saja tidak lebih daripada
satu dari sekian banyak kekaisaran barbar yang me -
nyusah kan dan keberadaannya tidak lama, yang ber -
kembang dan hancur di wilayah Asia Dalam, seandainya
saja tidak ada seseorang yang kejam dan ganjil, sosok
proto-Attila, yang bernama Motun (juga dieja Modun,
orang-orang Mao-dun), yang kemunculannya pada 209
SM dicatat oleh sejarawan besar pertama China, Ssu-ma
Ch’ien. Motun diserahkan sebagai sandera untuk suku
tetangga oleh ayahnya, Tumen (sebuah nama, yang
kebetulan dalam bahasa Mongolia berarti “sepuluh ribu”,
dalam sebuah unit khusus terdiri dari 10.000 prajurit:
tampaknya orang Xiongnu memakai bahasa proto-
Mongol-Turki yang serupa, sebelum kedua bahasa itu
mulai berkembang secara terpisah). Ssu-ma Ch’ien, yang
menulis catatan pada abad berikutnya, menceritakan
kisah selanjutnya, yang menyimpang dari gayanya yang
biasanya bersemangat, serius, dan menarik; mungkin,
dengan beberapa epik dasar orang Xiongnu yang di -
nyanyikan para penyair untuk menjelaskan perkembangan
kaum mereka. Tumen mendukung ahli waris takhta lain
dan berharap Motun meninggal. Oleh sebab itu ia
ini
menyerang suku tetangga ini , berharap Motun
akan tewas terbunuh. Namun pangeran Motun melakukan
penyelamatan diri yang dramatis, mencuri seekor kuda
dan memacunya dengan kencang kembali ke ayahnya,
yang menyambut kedatangannya dengan senyum pura-
pura dan memberikan kepadanya pasukan, disesuaikan
dengan statusnya. Inilah kesempatan Motun melakukan
balas dendam terhadap ayahnya. Berencana membuat
semua prajuritnya merasa bersalah sebab membunuh
raja, Motun melatih mereka untuk sepenuhnya patuh
kepada dirinya. “Tembak ke mana pun panahku meng -
arah!” perintahnya. “Siapa saja yang gagal melepaskan
tembakan, akan dibunuh!” lalu ia membawa
pasukan nya berburu. Setiap binatang yang ia bidik
menjadi target sasaran pasukannya. lalu Motun
membidik salah satu kuda terbaiknya. Kuda itu pun
mati dalam hujan anak panah; namun sebagian pasukannya
ragu, dan mereka lalu dibunuh. Selanjutnya ia
membidik istri kesayangannya. Dan perempuan itu pun
tewas, begitu juga dengan pasukannya yang bimbang.
lalu Motun mengarahkan panahnya pada kuda
terbaik milik ayahnya. Sekarang Motun tahu semua
pasukannya bisa dipercaya. Akhirnya, dalam sebuah
ekspedisi perburuan, ia menembakkan panahnya ke arah
ayahnya dan setiap pengikutnya mengarahkan anak
panah mereka ke arah yang sama dan menembak mati
pimpinan suku itu, memenuhi tubuhnya dengan anak
panah sehingga tidak ada ruang yang tersisa. Sasaran
selanjutnya yaitu pemimpin suku tetangga, yang
tengkoraknya dijadikan gelas minum Motun, simbol
kekuatan yang lazim bagi para pemimpin nomaden.
Sekarang Xiongnu memiliki pangkalan yang solid
untuk membangun sebuah kekaisaran di padang rumput
luas yang akhirnya membentang 1.000 kilometer ke
arah utara hingga Danau Baikal dan hampir 4.000
kilometer ke arah barat menuju Laut Aral. Pakaian dari
bulu binatang datang dari Siberia, logam untuk ujung
anak panah dan baju besi berasal dari pegunungan Altai,
dan tentu saja kain sutra, anggur dan padi-padian berasal
dari pimpinan Han di China bagian utara, yang senang
melakukan transaksi perdagangan dan memberikan
hadiah jika hal itulah yang dibutuhkan untuk menjaga
perdamaian. Dengan kuatnya fondasi pemerintahan
Motun yang berusia 35 tahun, kaum elite Xiongnu
membangun kehidupan mewah dan berbeda di lembah-
lembah Mongolia bagian utara dan Siberia bagian selatan.
Ivolga yang terletak tepat di bagian barat daya Ulan-
Ude, lalu menjadi kota Xiongnu yang diperkuat
benteng pertahanan yang baik, dengan tukang kayu,
tukang batu, petani, pandai besi, dan ahli perhiasan
menjadi penduduknya. Beberapa rumah ini memiliki
pemanas di bawah lantai ala Romawi. Di bagian barat,
yang sekarang merupakan daerah Kansu dan Sinkiang,
kekaisaran Xiongnu mengontrol kira-kira lebih dari 30
kota negara bertembok, yang salah satunya berpenduduk
80.000 orang. Perdagangan, upeti, perbudakan dan
sandera semuanya mengalir ke pusat, ibu kota Motun,
Ulan-Bator bagian barat, tidak jauh dari ibu kota Mongolia
kuno, Karakorum. Di sinilah datang wakil dan pimpinan
suku, dalam tiga upacara tahunan, lengkap dengan
permainan seperti yang diselenggarakan pada festival
nasional yang saat ini diselenggarakan di Mongolia.
Untuk mengatur semua ini, Motun mempekerjakan
para pejabat yang bisa menulis bahasa China. Pan Ku,
seorang sejarawan China, mencatat beberapa surat
Motun. Dalam salah satu surat ini , Motun tampaknya
ini
benar-benar mengusulkan pernikahan demi kepentingan
politik dengan ibu kaisar Han, Lü. “Aku seorang duda
penguasa yang kesepian, lahir di tengah-tengah rawa
dan dibesarkan di padang rumput liar,” keluh Motun
dengan gaya pura-pura sedih. “Yang mulia juga seorang
janda penguasa yang hidup dalam kesepian. Kita berdua
tidak bahagia dan tidak punya cara untuk menghibur
diri sendiri. Aku berharap kita bisa menukar apa yang
kita punya dengan kekurangan yang kita miliki.” Lü,
sang kaisar perempuan, berkata bahwa Motun pastilah
bercanda. “Usiaku sudah lanjut dan vitalitasku melemah.
Rambutku rontok dan gigiku sudah tidak utuh, dan aku
bahkan tidak bisa berjalan dengan mantap. Shan-yü
[begitulah kaisar Xiongnu dikenal] pasti sudah mendengar
laporan yang dilebih-lebihkan.” Motun mengirim wakilnya
untuk meminta maaf. Dan kekaisaran Xiongnu hanya
dianggap sebagai kekaisaran barbar yang kasar.
Keberhasilan Motun merupakan hal baru dalam
sejarah panjang hubungan China dengan orang-orang
barbar dari utara. Sebagai responsnya, kaisar pertama
Dinasti Jin, yang memerintah dari 221-206 SM,
menggabungkan beberapa dinding perbatasan wilayah
setempat untuk membuat Tembok Besar China yang
pertama, sama sekali tidak bertujuan sebagai pertahanan
dari serbuan, melainkan boleh dikatakan untuk me -
nentukan wilayah kontrol pemerintahan China terhadap
para petani, pedagang, dan prajurit. Ini merupakan
tanda nyata akan pembagian yang dibangun antara
penggembala dan petani, penduduk berpindah dan
menetap, warga beradab dan barbar. Bahkan
semenjak itu, Tembok ini akan menetapkan nilai inti
budaya warga China di mata penduduk China itu
sendiri. Sekarang, peninggalannya masih tampak di
sepanjang wilayah China bagian utara, mencapai padang
pasir atau membelah ladang-ladang gandum, sebagian
besarnya yaitu tunggul-tunggul yang sudah longsor
kecuali Tembok Besar China saat ini, yang dibuat dari
batu pada abad keenam belas, pernyataan tegas terakhir
dari prasangka zaman kuno. Dalam tulisan Ssu-ma
Ch’ien, di dalam Tembok “tinggal orang-orang yang
mengenakan pakaian dan korset, sementara di luar
yaitu orang-orang barbar”. Orang-orang nomaden
secara harfiah “di luar batas”, pada sisi yang salah dari
batas peradaban.
PADA 1912, seorang insinyur pertambangan Mongolia
bernama Ballod meninjau perbukitan Noyan Uul yang
ditumbuhi pohon pinus 100 kilometer dari utara ibu
kota Mongolia, Ulan-Bator—atau disebut juga Urga,
pada masa-masa pra-revolusi. Ia melewati penggalian
yang sudah dibuka pada beberapa waktu sebelumnya.
Beranggapan bahwa ini bekas tambang emas, ia menggali
lebih dalam, dan menemukan beberapa logam, kayu,
dan kain. Ballod menyadari bahwa dirinya tidaklah
menemukan sebuah tambang, melainkan sebuah kurgan,
tumpukan tanah pekuburan. Ia mengirim beberapa
temuannya ke sebuah museum di Irkutsk—dan tidak
ada perkembangan lanjutan selama dua belas tahun, hal
ini tidak mengejutkan, sebab saat itu terjadi Perang
Dunia Pertama dan revolusi di Rusia dan Mongolia.
Ballod meninggal dunia; temuannya tetap berada di
tempat orang-orang yang terlupakan. lalu , pada
awal tahun 1924, seorang penjelajah terkenal Rusia yang
bernama Petr Kozlov tiba di Ulan-Bator sekembalinya
dari ekspedisi di Tibet. Dalam keadaan sulit, janda Ballod
menjual sedikit sisa harta temuan suaminya kepada
Kozlov. Kozlov yang merasa tertarik lalu mengirim
seorang koleganya, S.A. Kondratiev, untuk memeriksa
situs ini . Saat itu bulan Februari dan tanah tertutup
salju, namun para pekerja Kondratiev menggali gundukan
tanah pekuburan tempat Ballod mendapatkan temuannya
itu dan menemukan sebuah terowongan dengan barisan
pasak kayu. Kozlov mengubah rencananya. Pada bulan
Maret, ia menyadari bahwa dirinya memiliki sebuah
penemuan besar: perbukitan ini merupakan sebuah situs
makam sangat besar milik kaum Xiongnu yang mencapai
10 kilometer persegi, dengan 212 tumulus/gundukan
tanah pekuburan. Beberapa terowongan percobaan
menunjukkan bahwa makam itu sudah pernah dijarah,
namun lalu penuh dengan air dan membeku—yang
tentu saja menguntungkan, sebab semua benda yang
tidak diambil para perampok makam juga ikut membeku
di sana. Tim Kozlov menggali delapan gundukan makam.
Setelah memindahkan bongkahan batu dan tanah yang
menutupinya sedalam 9 meter, mereka menemukan jalan
yang mengarah ke ruangan-ruangan setinggi 2 meter
dibuat dari kayu pinus, dilapisi dengan permadani dari
bahan wol atau felt. Di dalam tiap ruangan ini
inada sebuah makam dari kayu pinus, yang di dalamnya
inada sebuah peti mati, dari pohon pinus berdaun
runcing, yang berlapis sutra. Konstruksi ruangan ini
luar biasa, dengan tiang-tiang penyangga berlapis sutra
yang tersusun rapi pada sisi dinding dan penyangga
yang tertanam pada pijakan yang dibuat dengan rapi.
Sebuah tembikar hias dari kurgan no. 6 menunjukkan
sedikit informasi kapan makam ini dibuat: yang
bertuliskan nama pembuat dan pelukisnya, yang bertanggal
“September tahun kelima Chien-ping” (sama dengan
tahun 2 SM).
p
Keadaan setiap makam tampak kacau dan berantakan,
dengan barang-barang harta temuan, jumlah semuanya
lebih dari 500 (sekarang sebagian besarnya berada di St
Petersburg), dibuat berserakan di antara tulang manusia
dan binatang oleh para penjarah makam: tidak ada satu
pun rangka manusianya yang masih utuh. Yang tersisa
tidak sesuai dengan standar Tutankhamen, sebab hampir
semua emas yang ada sudah dicuri, namun yang tersisa
cukup untuk menunjukkan bahwa mereka yang dikubur
di sini yaitu orang-orang kaya, dengan kecerdasan
lebih daripada memikirkan perang dan musim gembala
berikutnya. Mereka suka dengan hasil kerajinan tangan,
yang mudah dibawa dan cukup tahan lama, dan komunitas
mereka punya waktu dan keahlian untuk memproduksinya.
Berikut beberapa hal yang mereka kagumi: kain felt
berpola, botol kayu berlapis pernis, belanga perunggu,
sendok dari tanduk, celana dalam sepanjang lutut dari
wol dan sutra, kaus kaki sutra, selendang ala China dan
Mongolia yang dipakai untuk melilit jubah, gesper, tutup
kepala dari sutra, topi bulu, hiasan permata, hiasan
berlapis perunggu, cambuk kuda, penutup poros roda,
tongkat api (mereka membuat api dengan gesekan,
menggosok satu tongkat bulat pada sebuah papan),
belanga tanah liat, alu atau alat penumbuk dari perunggu,
hiasan kuda, ujung tongkat dari perunggu, perhiasan
emas, segel, piring perak dengan hiasan gambar timbul
sapi jenis yak dan kijang pada bagian dasarnya, karpet
dari bahan felt yang disulam dengan motif hewan
(sebagian dijalin dengan sutra), bendera sutra, dan banyak
permadani dinding yang disulam dengan motif kura-
kura, burung dan ikan, dan gambar-gambar manusia,
penunggang kuda serta singa-singa China. Kaum
perempuan menjalin rambut mereka—yang diikat ke
atas saat dipotong lalu dibuang ke lantai dan koridor
landai pintu masuk dalam ritual perkabungan.
Tentu saja, banyak produk-produk yang dihasilkan
dari waktu luang dan menunjukkan kekayaan mereka
ini didapat dengan paksaan, atau . Kekuatan
didapat dari keahlian memanah dan menunggang kuda.
Ssu-ma Ch’ien bercerita tentang seorang kasim China
yang melarikan diri dan lalu bergabung dengan
kaum Xiongnu, secara terang-terangan mengatakan
kepada bekas orang-orang senegaranya: “Pastikan ukuran
dan kualitas sutra dan padi-padiannya tepat, itu saja …
Jika inada kekurangan atau kualitasnya tidak baik,
maka saat masa panen pada musim gugur datang kami
akan membawa kuda kami dan menginjak-injak semua
tanaman kalian.” Namun pengiriman tidak berlangsung
secara keseluruhan. Xiongnu mungkin sudah lihai
mengeruk keuntungan, namun mereka tetap berhati-hati
agar tidak mematikan sumbernya. Perdagangan ber -
kembang pesat. Bangsa China memerlukan kuda dan
unta dari padang rumput, bulu musang dan rubah dari
hutan-hutan Siberia, permata dan logam dari pegunungan
Altai. Terlebih lagi, perdagangan merupakan satu-satunya
cara untuk memastikan perdamaian: bangsa China juga
berusaha melakukan cara lain. Motun dinikahkan dengan
pengantin perempuan kerajaan dengan harapan ia akan
menghasilkan anak keturunan yang selalu tunduk. “Siapa
yang pernah mendengar seorang cucu berusaha meng -
ancam kakeknya sebagai lawan sebanding?” Demikian
pendapat salah seorang pejabat kepada kaisar. “Jadi
Xiongnu perlahan-lahan akan menjadi wilayah kekuasaan -
mu.” Dan anak-anak perempuan, bahkan dengan mas
kawin dalam jumlah banyak, dinilai jauh lebih murah
dibandingkan bala tentara. (Meski bagi anak perempuan
miskin, keadaan menjadi lebih sulit. Seorang putri menulis
sebuah puisi sedih tentang nasibnya: “Rumah kecil penuh
malapetaka yaitu kediamanku, dengan dinding dari kain
felt. Daging yaitu makananku, dengan susu fermentasi
sebagai minumanku. Aku hidup terus memikirkan rumah -
ku, hatiku dipenuhi kesedihan. Aku berharap menjadi
seekor angsa emas, kembali ke negara asalku.”)
Daerah perbatasan, pernikahan, perdagangan—dan
hadiah. Pada 50 SM, dewan kekaisaran China, dalam
sebuah kunjungan kepada raja Xiongnu, dianugerahi
“sebuah topi, sabuk pinggang, baju dan pakaian dalam,
segel emas dengan kawat berwarna kuning, satu set
pedang bertatahkan batu mulia, sebilah pisau yang
dipasangkan di sabuk pinggang, sebuah busur dan empat
set anak panah (tiap set berjumlah 12 buah), 10 tongkat
kebesaran dalam satu kotak, satu kereta tempur, satu
tali kekang, 15 ekor kuda, 20 ghin dari emas, 200.000
koin tembaga, 77 setel pakaian, 8.000 barang-barang
lain, dan 6.000 ghin dari wol katun”. Semua ini sepadan
dengan pajak Danegeled1 yang dibayarkan oleh Inggris
kepada para penjarah Viking; namun ini juga ber fungsi
sebagai kemewahan yang dirancang untuk melemah kan
kekuatan kaum nomaden, sebagaimana peringatan seorang
pejabat China kepada bos-bos barunya: “China harus
memberikan sepersepuluh harta bendanya agar Xiongnu
sepenuhnya berpihak kepada Dinasti Han. Robek kain
sutra dan pakaian katun yang kalian dapat dari China
dengan berlari menembus semak berduri hanya untuk
menunjukkan bahwa kain-kain itu jauh lebih buruk
daripada pakaian kulit dan wol!”
1 Pajak yang dibayarkan kepada para penjarah suku Viking demi menghindari
penyerangan sekaligus pembunuhan terhadap suatu wilayah.
NOYAN UUL, Gunung Raja: nama itu membuatku tertarik.
Pada sebuah perjalanan di musim panas tahun 2004,
aku berkesempatan ke sana. Seratus kilometer dari Ulan-
Bator? Saat menyiapkan mobil dan supir, aku beranggapan
ini akan menjadi perjalanan yang mudah. Pastinya siapa
saja yang bekerja dalam bisnis perjalanan tahu bagaimana
menemukan sebuah situs penting seperti itu. Dan ternyata
tidak demikian. Ingatan sudah memudar, dan Noyan
Uul tidak ada dalam situs pariwisata. Anda mungkin
me nemukan referensi alakadarnya dalam artikel panduan,
namun tidak ditunjukkan bagaimana caranya agar sampai
ke sana.
Aku mendapatkan bantuan di Museum Sejarah Bangsa
Mongolia di Ulan-Bator, dalam bentuk yang agak ganjil.
Ahli permukiman Xiongnu terdengar ganjil, sebab
memang itulah namanya: Od. Nama sebenarnya yaitu
Odbaatar, namun orang-orang Mongolia umumnya me -
mendekkan nama mereka hingga menjadi suku kata
pertama. Pada pandangan pertama aku beranggapan dia
juga tampak aneh: tubuhnya kurus tidak biasa, dengan
wajah lembut dan halus, seperti hewan berbulu lembut
yang ditangkap jauh dari kandangnya. Jabat tangannya
terlalu nyaman, lalu mengatupkan kedua tangannya
seolah memberikan penghormatan. Salah lagi. Kesopanan -
nya bukan hanya menyembunyikan keahlian yang jarang
ada namun juga keteguhan yang luar biasa. Ia sedang
mengalami luka yang sangat parah: sewaktu membantu
seorang teman melakukan pekerjaan bangunan, lengannya
terluka terkena pecahan kaca, yang hampir memotong
urat dagingnya. Dan aku hampir membuat lukanya ter -
buka lagi.
Noyan Uul hanya salah satu dari beberapa penemuan
Xiongnu, ujarnya. Para arkeolog sudah menemukan
enam belas pemakaman Xiongnu, yang pada salah
satunya (Gol Mod, 450 kilometer sebelah barat UB)
satu tim Perancis-Mongolia sudah melakukan penelitian
sejak tahun 2000. Namun, di bawah petunjuk Od,
pemakaman kerajaan Noyan Uul yang muncul ke
permukaan, sebab museum menunjukkan foto-foto
situs ini , gambar makam, sedikit temuan dan
potongan-potongan yang dibiarkan tertinggal dari galian
rampasan yang dilakukan Kozlov, ujung-ujung busur
yang terbuat dari tanduk, sebuah permadani sutra dengan
gambar seekor sapi yak melawan seekor macan tutul
salju, dan sebuah sanggurdi dari besi (kita akan membahas
hal ini nanti), sebuah payung, dan tiga kuncir rambut.
“Ah, ya.” Aku mengingat artikel yang pernah kubaca.
“Bukankah orang-orang ini memotong rambut mereka
dalam ritual perkabungan?”
“Kupikir bukan dalam ritual perkabungan. Mungkin
dalam ritual pembunuhan. Satu kuncir, satu orang. Sulit
mengatakannya sebab korban biasanya tidak dikubur
dengan raja. Tidak banyak tulang. Tapi aku melihat
sebuah tengkorak di dalam Gol Mod dengan satu lubang
di dalamnya, seolah, seperti…”
“Beliung?”
“Ya, beliung.”
“Od,” ujarku merasa berinisiatif, “aku akan ke Noyan
Uul besok. Bisakah kau ikut denganku?”
Od tertarik. Ia tidak pernah ke sana, dan tidak yakin
kalau kami bisa sampai ke sana. Atasan Od menambah
anggota lain untuk ekspedisi ini: Erigste, seorang
mahasiswa sarjana yang disertasinya membahas tentang
Noyan Uul. Ia terlihat seperti Indiana Jones berkebangsaan
Mongolia: tubuhnya besar dan tegap, dengan wajah
lebar dan dimakan cuaca serta potongan rambut sangat
pendek.
Keesokan harinya kami berangkat, mengarah ke utara
memakai mobil UAZ 4 X 4 yang kukuh buatan
Rusia. Kami berangkat berenam: supir, dua orang
perempuan Australia tangguh yang terlibat dalam
penelitian, dua mahasiswa Mongolia, dan aku. Setelah
dua jam, kami keluar dari jalan beraspal dan melintasi
jalan kecil, mengarah ke lembah Sungai Sujekht, berputar
seperti sampan kecil dalam gelombang besar di daerah
punggung pegunungan Noyan Uul yang berhutan.
Jalan bekas roda dan berlumpur terus melewati
deretan pepohonan dan semak belukar setinggi lutut,
rerumputan, dan bunga-bunga berwarna kuning. Aku
pikir, jalan ini banyak dipakai—oleh para pemburu,
pikirku. “Para penggali emas!” teriak Erigtse, mengalahkan
suara mesin. Tentu saja—orang yang menemukan makam-
makam itu yaitu seorang penggali emas. Tidak hanya
mereka. Jalan kecil itu berubah datar dan di sana inada
satu truk berisi para peneliti Rusia dan Mongolia,
kendaraan mereka diparkir di areal semak belukar se -
tinggi roda. Tim ini merupakan sebuah ekspedisi yang
datang untuk mempelajari taksonomi tumbuhan. Di
daerah perbatasan ini, mereka ingin tahu: apakah padang
rumput luas ini pindah ke bagian utara, atau wilayah
hutan yang pindah ke selatan. Jawabannya mungkin
mengungkap hal-hal menarik mengenai perubahan iklim—
namun juga perubahan masa lalu, dan juga mengapa
tempat ini dipilih sebagai situs makam raja, jika mereka
bisa mengumpulkan beberapa sampel tanah lapukan
tumbuhan dari lapisan yang jauh lebih dalam.
Di mana kuburannya, gundukan tanahnya?
Erigtse menunjuk sebuah hutan kecil yang ditumbuhi
pohon birch.
Aku tidak bisa melihat apa pun selain pepohonan.
Seolah-olah aku berusaha mengenali seseorang yang
bersembunyi di balik selimut.
“Sebelumnya, daerah ini tidak ditumbuhi pohon,”
ujar Erigtse. “Pohon-pohon ini mungkin usianya tiga
puluh tahun. Sering terjadi kebakaran hutan, dan orang-
orang menebang pohon.”
Mengejutkan bagiku, terlihat dalam sebuah tindakan
yang berulang-ulang selama beberapa dekade, hutan
belantara ini sama sekali bukan hutan. Hanya daerah
hutan biasa dan lapangan-lapangan yang luas di tengah
rimba, pertumbuhan dan penebangan pohon di sini
diatur oleh para pemburu, penebang kayu, perampok,
dan sekarang para arkeolog dan ahli tumbuhan, dan
mungkin tidak lama lagi, oleh turis yang sesekali datang.
Pohon-pohon tua jarang ada—hanya ada satu, sebatang
pohon cemara berbonggol dan yang hitam sebab
kebakaran, tidak ada yang aneh. Pohon itu diberi
penghormatan dengan kain sutra biru, seolah pohon
berusia seratus tahun lebih ini yaitu hutan Methuselah.
Tersembunyi oleh pepohonan berbatang kecil dan
hamparan semak belukar, inada sebuah gundukan
tanah bundar, dan di sisi lainnya inada sebuah lubang.
Ini—Makam temuan Kozlov no. 1—tampak seperti
sumur tua dan ditinggalkan begitu saja, satu terowongan
persegi dengan kayu-kayu lapuk. Tidak seorang pun
kecuali Erigtse yang bisa melihat melalui lapisan tumbuhan
untuk menunjukkan di mana orang-orang Kozlov sudah
menggali gundukan dan menemukan jalan masuk, di
mana peti mati dibawa dan barang-barang ditempatkan
dalam penghormatan, sebelum para budak menguburnya
lagi, dan membangun makam, lalu meninggalkan tempat
itu yang lalu ditemukan oleh para perampok.
Ada beberapa gundukan lain di daerah berhutan itu,
semuanya bisa dilihat jelas. Bisa dipastikan Anda tidak
akan tahu keberadaannya, namun setelah setengah jam
berjalan kaki kami melintasi puluhan gundukan makam—
Erigtse mengetahui jumlahnya sekitar 100 atau lebih—
sebagian besar tingginya hanya satu atau dua meter, dan
terpisah sejarak 10 meter. Beberapa ukurannya lebih
besar daripada yang lain. Salah satunya, makam no. 24,
merupakan sebuah lubang yang pasti butuh waktu
beberapa minggu untuk menggalinya. Dalamnya masih
6 meter dan di dekatnya, sejauh yang digali tim Kozlov,
inada sebuah jalan masuk, seperti satu ceruk jalan
kecil kuno. Barang-barang peninggalan raja yang dikubur
pada makam no. 24 sudah dikirimkan.
Bukan makam-makam itu yang membuatku begitu
memikirkan situs ini. Aku pernah mengunjungi gunung
yang diyakini sebagian besar penduduk Mongolia dan
cendekiawan sebagai makam Jenghis. Bangsa Xiongnu
datang dari utara dan barat UB, tanah air bangsa Mongolia
di bagian timur dan dua budaya dipisahkan selama lebih
dari 1.000 tahun. Namun aku bertaruh pada satu
hubungan. Burkhan Khaldun, yang letaknya 200 kilometer
di sebelah timur pegunungan Khenti, dan Noyan Uul
memiliki kesamaan ini: sama-sama pegunungan yang
menarik, namun mudah dicapai dengan menunggang
kuda (tidak baik memiliki satu gunung suci yang terlalu
jauh dan terlalu sulit dicapai); sama-sama berada di
garis perbatasan di antara hutan bagian utara dan selatan
padang rumput; situs-situs makam berada di hulu lembah
sungai dan berada di tanah datar, yang lalu
kondisinya semakin buruk ke bagian atasnya; dan
keduanya menyatakan rasa memiliki: ini milik kami,
dan di sini kami terbaring, selamanya. Apakah semua ini
kebetulan semata? Kurasa tidak. Tampaknya bangsa
Mongolia, saat mereka bangkit bersatu dan lalu
berada di bawah kekaisaran Jenghis, sudah mengetahui
keberadaan makam-makam ini, bahkan mungkin mereka
tahu apa isinya, dan berkata kepada diri mereka sendiri:
Aha, begitulah cara mengubur raja!
Namun apa kemungkinan hubungannya dengan arah
barat?
“Erigtse,” ujarku, saat kami bersiap berjalan susah
payah menuruni padang rumput dan menuju jalan
kembali ke UB. “Menurutmu apakah suku Hun yaitu
orang Xiongnu?”
“Oh, ya. Kami menyebutnya Hun-nu.” Erigtse
menyebut h seperti ucapan ch pada kata loch dalam
bahasa Skotlandia, yang biasa ditulis sebagai kh. “Dalam
bahasa kami, Khun artinya “manusia”, “orang”. Kupikir
mereka memakai kata yang sama dengan bahasa
kami. Mereka yaitu musuh China, jadi kata khun kami
menjadi xiong dalam bahasa China.” (Bunyinya terdengar
seperti shung, yang tidak jauh berbeda dari khun.)
“Artinya “jahat”. Dan nu berarti “budak”. Xiongnu—
Budak Jahat.”
Jika kaum Xiongnu benar-benar suku Hun, Noyan
Uul yaitu bagian dari nenek-moyang Attila yang
terlupakan. Mereka lupa tentang gunung-gunung suci
dan pemakaman kerajaan di perbukitan, di mana rasa
memiliki terhadap suatu tempat sudah tidak ada lagi,
setelah dua abad berkelana. Mereka sudah bukan seperti
Xiongnu generasi pertama. Mereka sudah menjadi bangsa
nomaden yang tidak menentu.
SELAMA 150 tahun, bangsa Xiongnu masih belum
dikalahkan oleh kemewahan pemberian bangsa China
dan oleh putri-putri China. Akhirnya bangsa Han bosan
dengan tuntutan Xiongnu, dan mulai melakukan
serangkaian serangan untuk mengalahkan mereka. Sebuah
kebangkitan kembali bagi nasib baik bangsa Xiongnu
yang berlangsung singkat pada abad pertama Masehi,
diakhiri dengan pemisahan wilayah utara dan selatan.
Orang-orang selatan bergabung dengan Han, orang-
orang utara mempertahankan kemerdekaan mereka di
Mongolia, di mana pada 87 M, satu kelompok campuran
berbagai suku dari Manchuria, Hsien-pi, menangkap
ketua suku Xiongnu dan mengulitinya, membawa kulitnya
sebagai trofi. Sebuah pertempuran pada akhir tahun 89
membuat penduduk wilayah utara kocar-kacir. Pada
pertengahan abad kedua mereka semua hilang, bergerak
ke wilayah barat, seperti yang dilakukan suku-suku yang
kalah, ke wilayah-wilayah Asia Tengah yang kosong dan
di luar daerah itu, menuju sumber-sumber kekayaan
baru. Menurut sudut pandang bangsa Romawi, daerah
pedalaman Eurasia pecah akibat meningkatnya kebiadaban,
ditandai dengan perbatasan, sungai, suku, dan wilayah
perdagangan, mereka akan muncul dari kegelapan wilayah
luar; namun pada dasarnya jalur-jalur ini horizontal, di -
tandai dengan adanya hutan, padang rumput, dan gurun
pasir. Pegunungan dan laut-laut pedalaman mengubah
kelompok-kelompok ini, memaksa mereka menembus
jalan berumput dengan jalur berliku atau langsung
memotongnya dengan jalan lurus. Namun, orang-orang
Xiongnu tahu jalannya: sepanjang Koridor Gansu antara
Gurun Gobi dan dataran tinggi Tibet, lalu di barat
laut yang kini merupakan jalan kereta api menuju wilayah
Ürümqi, dan di luar wilayah China melewati Celah
Dzungarian di antara Gunung Altai dan Gunung Tien
Shan. Perjalanan ini punya bahayanya tersendiri, bahaya
dari suku lain dan dari alam. Celah Dzungarian sangat
terkenal dengan anginnya yang sangat kejam, buran2,
diceritakan oleh para pengelana selanjutnya yang mem -
beranikan diri menantang jalan yang sama sejauh 80
kilometer dari wilayah mematikan yang naik-turun. Friar
William dari Rubrouck memperhatikan bahaya wilayah
ini dalam perjalanannya menemui penguasa Mongolia
pada 1253. Douglas Carruthers, seorang penjelajah
berkebangsaan Inggris dan penulis catatan perjalanan,
melintasi jalan ini pada 1910. “Saat malam, dari kejauhan
kami mendengar deru angin tertahan di gurun-gurun
Djungarian, yang melepaskan diri melintasi daerah kotor
dan sempit ini,” tulisnya dalam artikel Unknown Mongolia.
“Gumpalan-gumpalan awan besar menyapu “selat” ini
seolah didorong melewati saluran raksasa.” Buran musim
dingin bisa membuat tenda-tenda khas Mongolia terlipat
dari tali tambatannya, membuat orang-orang di dalamnya
beku kedinginan sebab angin dingin yang temperaturnya
mencapai minus 50oC.
Sebuah perjalanan yang berat, namun sekali waktu
pernah dilakukan, sebelum berkali-kali dilakukan oleh
banyak suku yang bergerak ke wilayah barat, dan akan
dilakukan lagi, oleh kawanan hewan dan rangkaian
kereta-kereta kuda. Di ujung padang rumput inilah Friar
Williams melihat kereta-kereta bertenda sepanjang 10
2 Sering kali diterjemahkan sebagai ‘badai salju’. Buran sedikit melebihi itu, itulah
sebabnya istilah itu dijadikan nama pesawat ulang alik Soviet.
meter milik orang Mongolia melintas, dengan poros
roda seperti tiang kapal, ditarik oleh 22 banteng, melintasi
padang rumput seperti layaknya kapal layar Spanyol.
Bangsa Xiongnu tidak memiliki sumber daya seperti ini,
namun mereka juga merupakan orang-orang yang tangkas.
Bisa dipastikan orang-orang Xiongnu melintasi wilayah
ini pada musim panas, dengan menggemukkan kawanan
hewan gembala dengan rumput musim semi, sebelum
membawanya melintasi padang rumput Kazakhstan
sejauh 2.000 kilometer.
DUA RIBU tahun lalu , seperti yang dicatat de
Guignes, muncul satu suku dari pedalaman Asia Tengah,
yang jika dibandingkan dengan suku lain, jauh lebih
rendah, namun memiliki gaya hidup yang sama—nomaden,
hidup di tenda dan memiliki kereta angkut, pemanah
berkuda—dan samar-samar memiliki nama yang mirip.
Itu saja sudah cukup bagi de Guignes, dan bagi para
penerusnya, terutama Edward Gibbon dalam artikel nya
Decline and Fall of the Roman Empire. Dalam artikel
Gibbon, de Guigness menemukan dukungan yang lebih
tinggi. Suku Hun yang mengancam Romawi merupakan
anak keturunan dari suku yang mengancam kekaisaran
China, menjadi “hebat sebab ketangkasan yang tiada
bandingannya dalam mengendalikan busur dan kuda
mereka; kesabaran luar biasa untuk bertahan dalam
cuaca sangat buruk; dan kecepatan mereka yang luar
biasa, yang jarang dihentikan oleh aliran air deras atau
ngarai, oleh sungai-sungai terdalam, atau oleh gunung-
gunung paling tinggi.” Gibbon memakai kata dan
frasa seperti artileri, menghancurkan keraguan sebelum
rasa itu punya kesempatan untuk tumbuh. Selama dua
abad berikutnya, terlihat fakta bahwa suku Hun yaitu
orang-orang Xiongnu, yang dilahirkan kembali dalam
kemiskinan. Dalam Encyclopedia Britannica edisi 1911
yang mengandalkan informasi pada “de Guiques” yang
dengan ceroboh dieja dengan salah. Para ahli seperti
sejarawan Perancis bernama René Grousset dan William
McGovern dari Amerika, keduanya membuat laporan
pada 1930-an, hanya menyatakan orang-orang Xiongnu
sebagai suku Hun, titik, tanpa menyusahkan diri
memperdebatkan masalah itu. artikel Historical Atlas of
China karangan Albert Herrmann pada 1935 membahas
masalah ini panjang lebar dalam bab “Hsiung-Nu or
Huns”. Sekitar waktu yang sama, bagi para peneliti yang
lebih skeptis terlihat bahwa sama sekali tidak ada bukti
untuk menghubungkan antara keduanya. Bahkan inada
perbedaan luar biasa antara kaum bangsawan kaya yang
dimakamkan di Noyan Uul dan kelompok Attila yang
sangat miskin. Teori ini lalu terkatung-katung.
Sebagaimana Edward Thompson, yang pernah menjadi
Profesor Sejarah Klasik di Nottingham University, dengan
terus terang menulis tentang suku Hun dalam artikel nya
yang terbit tahun 1948, “Sekarang pandangan ini sudah
meledak dan ditinggalkan.”
Namun baru-baru ini teori ini kembali mendapat
tempat. Singkatnya kedua suku ini begitu dekat dalam
waktu dan tempat sehingga sulit meyakini bahwa keduanya
terpisah. Sisa orang-orang Xiongnu, menyelamatkan diri
mengikuti jalur-jalur perdagangan yang mengarah melintasi
lembah Ili di bagian selatan Kazakhstan kira-kira tahun
100, sampai di Sungai Syr Darya sekitar tahun 120.
Dalam hitungan bertahap, yaitu 2.800 kilometer dalam
30 tahun atau hanya 90 kilometer setahun. Pada 160,
Ptolemy, seorang Yunani dengan banyak kepintaran
menyebut “Khoinoi” yang secara umum disamakan
dengan Chuni, huruf ch terdengar seperti bunyi loch
dalam bahasa Skotlandia, yang membuatnya terdengar
mirip “Hun”. Orang-orang Khoinoi ini ia tempatkan
pada dua suku berbeda, yang paling jauh yaitu suku
Roxelani yang mungkin tinggal di Don, sehingga
menempatkan suku Hun di utara Laut Azov—”Rawa
Maeotic” yang nantinya akan disebut oleh para penulis
dari Romawi. Celah antara keduanya menyempit menjadi
2.000 kilometer dan 40 tahun—celah yang dengan mudah
dilintasi dengan gerak lambat 50 kilometer satu tahun.
Ada satu bukti lebih jauh mengenai hubungan ini.
Pada 1986 sebuah ekspedisi bersama Rusia-Mongolia
menggali sebuah situs makam di ujung barat Mongolia,
tepatnya di pegunungan Altai. Laporan mereka tentang
temuan yang diarahkan sebagai situs “Hun”, mencermin -
kan hasrat bangsa Mongolia untuk menyamakan diri
dengan bangsa Xiongnu dan Hun, namun jelas ini
merupakan situs Xiongnu. Lima makam ini sangat
luar biasa sebab tidak sepenuhnya telah rusak. Semuanya
berisi peti-peti mati dari kayu, dan pada empat dari lima
peti makam inada sisa busur: serpihan tulang atau
tanduk, yang digunakan sebagai “telinga”; di ujung
lengan dan memperkuat bagian tengah. Pada kekang
bagian ujung, dengan ukuran panjang berbeda, para
penulis menyimpulkan bahwa busur-busur ini tidak
simetris, bagian atasnya lebih panjang daripada bagian
bawah. Busur suku Hun berikutnya betul-betul tidak
simetris; ini merupakan ciri khusus, untuk alasan yang
hingga sekarang masih belum jelas. Kekang-kekang ujung
busur itu sendiri—bagian “telinga”—juga mengesankan
adanya hubungan dengan suku Hun, sebab busur suku
Hun lalu menjadi busur yang mengalami
perkembangan pesat.
Misteri ini bisa dipecahkan bila dalam makam-makam
Altai tersimpan busur buatan mereka. Namun ternyata
tidak. Apa mungkin busur itu sudah lapuk dan musnah?
Tampaknya tidak demikian: peti mati dari kayu tahan
hingga sekitar 2.000 tahun, dan ada kulit kayu birch
dalam salah satu peti, tapi tidak ada busur kayu? Ini
semakin aneh. Pada gilirannya keempat makam memiliki
tiga telinga, tiga telinga, dua telinga, dan empat telinga,
dan masing-masing memiliki potongan tanduk dalam
jumlah berbeda yang digunakan untuk memperkuat
gagang busur kayu. Banyak kekang, namun tidak ada
busur yang utuh. Pada fakta nya, tidak ada busur
utuh yang pernah ditemukan dalam makam atau lumbung
makanan suku Hun. Bahkan ketika ditemukan sepasang
lapisan tulang yang tampaknya cocok—di sebuah situs
abad keempat di dekat Tashkent—penelitian saksama
menunjukkan dua kekang tanduk panjang ini diukir
oleh dua orang pemahat yang berbeda, untuk busur
yang berbeda pula. Hanya ada satu kesimpulan: kekang
yang ditemukan secara bersamaan tidak digunakan pada
busur yang sama, atau bagian dari satu busur tertentu.
Saat seorang ahli terkenal tentang suku Hun, Otto
Maenchen-Helfen, menyimpulkan: “warga mengubur
prajurit yang tewas dengan sebuah busur replika.” Begitu
ide ini diusulkan, langsung terlihat nyata. Tentu saja
mereka mengubur busur-busur replika, atau yang sudah
rusak. Butuh keahlian bertahun-tahun untuk membuat
busur. Dalam banyak kebudayaan penduduk yang setia
mengubur barang-barang bersama raja yang mencerminkan
status bangsawan mereka; namun busur, yang harus
dimiliki setiap orang, bukanlah benda yang mencerminkan
status tinggi. Makam-makam yang ada di Mongolia
bagian barat diperuntukkan bagi para pejabat rendahan,
yang ingin meninggalkan harta berharga untuk sanak
saudara mereka yang selamat. Siapakah di antara keluarga
yang berkabung yang akan menyia-nyiakan sebentuk
benda berharga, benda yang dapat menentukan hidup-
mati dengan mengubur apa saja selain beberapa serpihan
dan kekang yang tidak terpakai?
Mungkin, apa yang lalu kita lihat dalam makam-
makam bangsa Xiongnu yaitu busur Hun yang sedang
dalam proses evolusi; dan jika benar, hal ini akan
membuktikan hubungan langsung antara suku Hun dan
Xiongnu.
JIKA SUKU HUN dan Xiongnu tidak begitu terhubung oleh
arkeologi, bagaimana dengan legenda? Jika inada
hubungan, tidakkah aneh bahwa orang-orang Hun
tampaknya tidak punya legenda kenangan akan hal itu?
Orang-orang Turki yang merupakan penerus bangsa
Xiongnu di Mongolia dengan senang hati menyatakan
bahwa suku Hun yaitu nenek-moyang mereka juga,
yang menjelajah ke wilayah barat pada abad kedelapan;
namun Attila, yang lebih dekat dengan masa bangsa
Xiongnu, tidak merasakan hal yang sama. Attila punya
para penyair sendiri, namun tidak ada saksi mata yang
menyaksikan mereka bersenandung tentang nenek-
moyang mereka yang menaklukkan wilayah lain.
Lagi-lagi, argumen ini bisa diterapkan dengan dua
cara. Kadang informasi dari legenda sangat abadi—
legenda bangsa Troya tetap hidup dalam cerita dari
mulut ke mulut selama berabad-abad sebelum Homer
menuliskannya. Kadang legenda itu menghilang, terutama
selama migrasi panjang. Aku pernah bekerja dengan
sebuah suku kecil di hutan hujan Ekuador yang pindah
ke wilayah permukiman mereka pada masa pertengahan
beberapa abad yang lalu—hal itu pasti, sebab mereka
tidak pernah belajar tentang kerajinan dari batu atau
melupakannya saat melakukan migrasi, memakai
kapak batu yang dibuat dan ditinggalkan oleh kebudayaan
sebelumnya. Suku Waonari bukanlah legenda, namun
semua perkataan mereka tentang diri mereka sendiri
yaitu bahwa mereka berasal “dari hilir sungai, sejak
dulu kala”. Bangsa Mongolia juga lupa akan asal-usul
mereka: epik mendasar mereka. The Secret History of
the Mongols, hanya menceritakan bahwa mereka berasal
dari seekor serigala dan kijang betina, dan menyeberangi
lautan atau danau untuk sampai di Mongolia mungkin
500 tahun yang lalu. Suku Hun tampaknya lebih cepat
melupakan—dalam 250 tahun—tidak ingat apa pun
tentang nenek-moyang mereka; tidak ada yang diingat,
setidaknya oleh salah satu dari mereka.
Mungkin ada hal yang lebih berperan daripada
kelalaian belaka saat bangsa Xiongnu berubah menjadi
suku Hun. Begitu keadaan mereka mundur dari kemuliaan
kekaisaran hingga menjadi kelompok-kelompok miskin,
mungkin suku Hun malu dengan kemerosotan yang
mereka alami, dan tidak ingin menyampaikan kebesaran
masa lalu kepada anak-cucu mereka. Aku tidak pernah
mendengar catatan mengenai proses semacam itu; namun
lalu , itu tidak akan perlu, bukan? Sebuah hal tabu
keturunan—”Jangan sebut China!”—itu saja sudah cukup.
Bahasa sangat sedikit menyuguhkan bantuan dalam
menelusuri asal-usul suku Hun. Meski Attila mem -
pekerjakan para penerjemah dan sekretaris, tidak seorang
pun menulis dengan bahasa Hun, hanya memakai
bahasa Latin atau Yunani, yang merupakan bahasa dari
kebudayaan yang dominan, dengan prasangka terhadap
bahasa orang-orang barbar. Para ilmuwan dengan bebas
berimprovisasi, sebuah solusi favorit Gibbon, bahwa
suku Hun sebenarnya yaitu orang-orang Mongolia.
(Padahal tidak: bangsa Mongolia tidak pindah ke wilayah
Xiongnu hingga setengah abad setelah Xiongnu pergi.)
Beberapa ahli sudah menyatakan kata-kata tertentu
sebagai bahasa suku Hun; semuanya diperdebatkan;
tidak ada satu kata pun yang benar-benar bahasa mereka,
atau bisa dipastikan ada bahasa Hun yang selamat.
Namun kita punya atau beranggapan punya nama-
nama suku Hun. Pertama kita harus menyingkap
ketidakjelasan yang ada, sebab Hun, Goth, dan suku-
suku Jerman lainnya, bahkan semua bangsa Romawi,
semuanya saling mengadopsi nama dari budaya satu dan
lainnya; dan nama orang-orang Hun memiliki nama
akhir Latin atau Yunani; dan sering dieja berbeda dengan
tulisan yang berbeda pula. Namun di balik ketidakjelasan
ini masih inada inti dari nama-nama yang memberi
petunjuk tentang bahasa suku Hun. Octar, nama paman
Attila, ditulis Oiptagos, Accila, Occila, Optila, dan Uptar
(ct berubah menjadi pt dalam dialek bahasa Latin Balkan).
Namun öktör berarti “kuat” dalam bahasa Turki kuno.
Sebuah kebetulan? Menurut para ilmuwan tidak. Nama
karakter lain dalam kisah ini juga terkesan memiliki
akar kata bahasa Turki: Mundzuk, nama ayah Attila
(berarti “Mutiara” atau “Hiasan”), Aybars, pamannya
(“Harimau Kumbang Purnama”), Erekan, istri tertuanya
(“Ratu Cantik”), Ernak, putranya (“Pahlawan”), Charaton/
Kharaton, seorang raja bayangan (sesuatu berwarna
“Hitam”, kemungkinan pakaian). Akhiran–kam pada
beberapa nama tampaknya mengingatkan akan “pendeta”
atau “dukun” dalam bahasa Turki. Tentu saja, nama-
nama ini penuh tipu daya, dengan mudah diserap dari
budaya lain, seperti nama-nama dalam Injil yang diserap
ke dalam bahasa Inggris. Menurut István Bóna, arkeolog
terkenal peneliti suku Hun mengatakan, cukup “untuk
membetulkan kesalahan besar yang terjadi secara luas
yang dilakukan oleh beberapa peneliti modern: sebab
sebagian keutamaan ras Mongoloid pada beberapa
tengkorak pilihan, mereka keliru antara ras dan bahasa,
dan mengubah suku Hun menjadi sepenuhnya bangsa
Mongol.”
Untuk menyesuaikan kemungkinan dan kepastian
akan hal ini: suku Hun mungkin keturunan Turki,
mungkin memakai bahasa Turki (yang memiliki
akar yang sama dengan bangsa Mongol), kemungkinan
yaitu sisa bangsa Xiongnu yang pindah, tidak punya
hubungan dengan China yang berbeda dari beberapa
persamaan budaya, dan pastinya sama sekali tidak ada
kaitannya dengan suku Slavia dan Jerman yang menarik
mereka masuk dengan kasar.
DALAM EVOLUSI pejuang nomaden, inada satu tahapan
yang sangat vital. Agar benar-benar efektif, seorang
pembuat busur memerlukan sistem pengiriman. Untuk
hal ini, bangsa Scythia dan China mengembangkan kereta
tempur beroda dua: dengan landasan tembak yang lincah,
stabil, dan gesit, dengan seorang kusir selain penumpang
itu sendiri sebagai pemanah; dan selalu memberikan
akses bagi warga terhadap kayu dan tukang kayu,
tambang dan pekerja logam yang ahli. Jadi keberadaannya
memelihara warga semi urban yang sudah
terorganisasi dengan baik. Bangsa nomaden, yang mungkin
menunggang kuda tanpa pelana, hampir pasti tanpa
sanggurdi, sesekali hanya bisa menandingi kemampuan
dan kegunaan para pengendara kereta tempur ini.
Untuk memaksimalkan efektivitas, pejuang nomaden
harus menanti ditemukannya sanggurdi, khususnya
sanggurdi yang terbuat dari besi, sebuah penemuan yang,
dalam kombinasinya dengan sadel, sama berpengaruhnya
dengan busur gabungan dalam perkembangan peperangan.
Ini merupakan persoalan yang tidak jelas. Sifat ortodoks
umum mengklaim bahwa sanggurdi berkembang sangat
terlambat dan menyebar sangat lamban, mungkin sebab
para penunggang kuda ahli bisa naik kuda tanpa
memakai nya, mungkin sebab kereta-kereta tempur
memberikan sebagian solusi untuk masalah pemanfaatan
busur. Sanggurdi pertama tercatat ditemukan di India
pada abad kedua sebelum Masehi, terbuat dari tali dan
digunakan sebagai penopang jempol kaki. Gagasan ini
lalu dibawa ke China dan Korea, di mana sanggurdi
dari logam muncul pada abad kelima Masehi. Dari sana,
sanggurdi logam menyebar ke wilayah barat, bukti
pertama ditemukan pada awal abad keenam. Namun
jika menggali lebih dalam, maka sifat kuno ini hilang
begitu saja. Keberadaan sanggurdi ini pastinya sudah
lebih lama, dan pastinya memang begitu. Lagi pula
pemikiran ini begitu nyata. Dan keberadaannya tidak
berasal dari India. Sebuah sanggurdi sederhana merupakan
alat bantu untuk menaiki kuda, namun hanya bisa
digunakan dengan kaki telanjang, yang begitu umum di
India, namun tidak demikian halnya di Asia Tengah,
wilayah di mana kuda pertama kalinya dikembangbiakkan.
Kombinasi sepatu bot dari kulit, perangkat logam, dan
kuda seharusnya sudah menginspirasi pembuatan sanggurdi
dari logam pada 1.000 SM, seiring dengan munculnya
ujung anak panah. Mungkin memang demikian; namun
hal ini tidak muncul dalam catatan arkeologi hingga
bangsa Turki datang mendominasi Mongolia pada abad
keenam. Contoh paling awal yang pernah penulis lihat
merupakan sebuah referensi dari cendekiawan besar
bernama Joseph Needham, dalam artikel nya yang berjudul
Science and Civilisation in China: sebuah gambar dalam
tembikar menunjukkan seorang penunggang kuda China
dengan sanggurdi, bertahun 302 M. Jika bangsa China
memakai sanggurdi ini, maka sudah pasti musuh mereka
juga memakai nya. Namun hal itu tidak terlihat
dalam lukisan-lukisan para pemanah berkuda. (Ada satu
teori yang menjelaskan hal ini, yang menyatakan bahwa
sanggurdi dari logam merupakan penemuan seorang
penduduk kota China bertubuh gemuk dan malas sehingga
tidak bisa melompat ke atas sadel dengan gesit, lalu,
orang-orang nomaden yang saat itu melihat manfaat
sanggurdi ini lalu memakai nya. Tidak ada
bukti yang mendukung pernyataan ini. Anda percaya
akan hal ini? Aku tidak.)
Ini merupakan sebuah misteri mendalam, saat Od
membawaku mengelilingi Museum Sejarah Bangsa
Mongolia. Di antara barang-barang peninggalan Xiongnu
inada sebuah sanggurdi dari logam, bukan dari Noyan
Uul, namun dari makam Xiongnu di provinsi Khovd, di
ujung barat. Namun dari makam-makam kerajaan di
Noyan Uul tidak ditemukan satu pun sanggurdi dari
logam di sana. Bahkan, seperti isi surel Od kepadaku,
“Kami menggali banyak makam, sayangnya kami tidak
bisa menemukan lebih banyak [sanggurdi].” Semuanya
ini sangat aneh. Mungkinkah makam-makam yang ada
di bagian barat dibuat belakangan, saat Xiongnu sudah
dikalahkan dan bergerak menuju wilayah barat? Dalam
keadaan apa kita mengasumsikan bahwa Xiongnu, para
pekerja logam, dan penunggang kuda par excellence,
tidak memiliki sanggurdi saat mereka begitu kuat, namun
memilikinya saat mereka tidak berkuasa? Dan jika mereka
memang memiliki sanggurdi, mengapa gagasan ini tidak
langsung menyebar?
Termasuk, tentu saja, suku Hun, yang pasti sudah
tahu dan memakai sanggurdi, tidak peduli apakah
memang itu berasal dari Xiongnu atau bukan. Namun
dari temuan arkeologi suku Hun, yang sudah memproduksi
kekang, sadel, dan ornamen-ornamen kekang, kita tidak
menemukan satu sanggurdi pun. Dan juga keberadaannya
tidak disebutkan dalam sumber-sumber berbahasa Latin
dan Yunani (terus terang tidak ahli). Ya, suku Hun bisa
menunggang kuda tanpa meng gunakan sanggurdi, atau
memakai tali atau kain sebagai alat bantu, tapi
mengapa, saat mereka me miliki pekerja logam untuk
membuat ujung anak panah, pedang, panci masak,
mereka malah menolak keberadaan sanggurdi dari logam?
Hal ini masih menjadi misteri.
Bagaimana pun, sekitar tahun 350 M, para peng -
gembala nomaden dari Asia Dalam memanfaatkan
pasukan infanteri, pasukan berkuda, dan kereta tempur.
Suku Hun memiliki perlengkapan berat untuk melakukan
penaklukan, dan bisa memakai nya pada musim
panas atau musim dingin. Setiap prajurit diberi dua atau
tiga kuda cadangan, masing-masing membawa busur
sebagai harta berharganya, bersamaan dengan lusinan
anak panah dan ujung anak panah untuk berburu dan
berperang, masing-masing siap untuk melindungi istri,
anak, dan orangtua yang ada dalam kereta kuda.
Keberadaannya merupakan hal baru dalam sejarah,
sesuatu yang mungkin melebihi bangsa Xiongnu: sebuah
kereta raksasa yang bisa hidup dari tanah jika perlu,
atau dari penjarahan. Menjarah sangatlah mudah. Seperti
ikan hiu, mereka menjadi pemangsa ahli, mengasah
kemampuan dengan gerakan konstan, menyesuaikan diri
berkelana di hamparan padang rumput luas, menodai
suku-suku yang lebih kecil, hingga mereka muncul dari
wilayah yang tidak dikenal dan memaksa diri mereka
sendiri menjadi orang-orang Eropa yang pintar dan
berpengalaman, mendiami kota, dan tentu saja begitu
beradab. Oleh sebab itu, anggapan awal kita akan suku
Hun yaitu anggapan yang berasal dari luar dan dipenuhi
dengan kebencian, prasangka, dan kekeliruan seperti
yang mungkin Anda bayangkan.
Bangsa Yunani terkejut dengan orang-orang
barbar yang berasal dari padang rumput ini , yang
ditunjukkan oleh bangsa Scythia. Dikatakan bahwa kata
“orang barbar”, berasal dari suara riuh bar-bar-bar yang
tidak dapat dimengerti dari orang-orang luar ini sebagai
pengganti bahasa, disimpulkan sebagai sebuah prasangka,
ekspresi kebencian terhadap orang asing yang menolak
identitas dan harga diri bangsa Yunani sendiri. Ini
merupakan gagasan yang menyatukan semua bangsa
non-Yunani dalam perbedaan yang sama, orang yang
keji, bodoh, kasar, dan menindas, dan dalam segala hal,
memberi kuasa kepada kaum perempuan. Euripides
melambangkan barbarisme dalam diri Medea, yang
kemungkinan berasal dari ujung Laut Hitam: seorang
penyihir berkuasa, penuh nafsu, dan pembunuh anak-
anak. Semua ini hanyalah omong kosong pribadi semata,
sebab bangsa Scythia mengembangkan kebudayaan yang
kompleks dan canggih yang bertahan selama 700 tahun.
Bangsa Romawi mewarisi prasangka yang sama, dan
untuk itu mereka pun mengambil tindakan. Seluruh
daerah perbatasan kekaisaran, lebih dari 4.000 mil,
diamankan dengan jalan, tembok, menara, benteng, dan
parit dari pantai Atlantik Afrika, hingga Timur Tengah,
sampai ke Eufrat, kembali ke Laut Hitam dan di luar
wilayah itu. Di Eropa barat, bangsa Romawi diuntungkan
dengan keberadaan dua sungai besar, Sungai Rhine dan
Danube, yang hampir membelah benua menjadi dua
dari barat laut hingga barat daya. Sejak tahun-tahun
awal milenium pertama, bagi bangsa Romawi kedua
sungai ini sama halnya Tembok Besar China, wilayah
Dacia Roma sepadan dengan Ordos, wilayah perbatasan
yang dicari oleh budaya dominan sebagai zona penyangga.
Namun dari sinilah kebudayaan itu digerakkan bangsa
barbar. Geografi Eropa tidak begitu baik seperti halnya
China. Sungai Rhine dan Danube hampir menyatu, tapi
bagian hulunya membentuk sudut kanan pegunungan
Alpen bagian utara yang sulit untuk dipertahankan. Saat
kekaisaran semakin kuat, para kaisar pengganti memotong
wilayah itu dengan benteng, menara, dan akhirnya
tembok batu yang panjangnya mencapai 500 kilometer
yang melintasi wilayah selatan Jerman, dengan tembok
lain buatan Hadrian, yang menandai perbatasan terhadap
keberadaan orang-orang barbar dari utara. Tembok ini
juga memblokir koridor sepanjang 80 kilometer antara
Sungai Danube dan Laut Hitam. Meski begitu, tembok
Rhine-Danube dibiarkan mengalami serangan gencar
pada 260, dan kekaisaran kembali mundur ke dua sungai
ini .
lalu , dalam membentuk pandangan mereka
tentang orang-orang Attila, bangsa Romawi menyadap
perilaku yang diwariskan bangsa Yunani. Suku Hun
yaitu sosok paling busuk yang bisa dibayangkan. Mereka
berasal dari Utara, dan semua orang tahu semakin dingin
iklim suatu daerah, maka akan semakin barbar perilaku
penduduknya. Ammianus Marcellinus, yang tidak pernah
melihat suku Hun dengan mata kepalanya sendiri,
menafsirkan bahwa mereka bertubuh pendek gemuk,
dengan leher besar, berwajah sangat buruk, dan bungkuk
sehingga mereka bisa jadi hewan berkaki dua, atau sosok
pahatan kasar dari tunggul kayu yang terlihat pada
sandaran jembatan. Tidak ada yang menyamai sikap
kasar dan buruk rupa mereka, yang saling menonjolkan
satu sama lain, sebab mereka menyayat pipi anak laki-
laki mereka, sehingga saat dewasa, jika jenggot mereka
tumbuh semua, maka akan terlihat seperti potongan-
potongan kecil. Mereka sama sekali tidak tahu tentang
logam, tidak beragama, dan hidup seperti orang liar,
tanpa api, menyantap makanan mentah, hidup dari akar
tanaman dan daging yang diempukkan dengan cara
meletakkannya di bawah sadel kuda mereka. Tentu saja
tidak ada bangunan selain pondok bambu; mereka
bahkan takut dengan gambaran tinggal di bawah kediaman
beratap. Begitu mereka mengenakan kemeja kumal untuk
menutup leher, mereka akan terus memakainya hingga
bau. Bisa dijamin, mereka yaitu para penunggang kuda
luar biasa; namun bahkan ini merupakan ekspresi dari
perilaku barbar, sebab secara praktis mereka hidup di
atas kuda, makan, minum, dan tidur di atas sadel mereka.
Sepatu mereka sangat tidak berbentuk, kaki mereka
begitu bengkok hingga sulit berjalan. Jordanes, seorang
sejarawan Goth, tidak bermaksud begitu menghina. Suku
bertubuh kerdil, buruk rupa, dan tampak lemah ini
merupakan keturunan penyihir dan roh-roh kotor, “jika
boleh kukatakan, semacam bongkahan tak berbentuk,
bukan sebuah kepala, dengan lubang-lubang kecil bukan -
nya mata”. Ini mengagumkan sebab mereka benar-
benar bisa melihat, sebab “sinar yang masuk ke lubang
tengkorak sulit mencapai bola mata yang jauh di belakang
… Meskipun mereka hidup dalam wujud manusia,
mereka memiliki kekejaman makhluk buas.” Inilah
prasangka yang terus dikenang turun-temurun. Praktisnya,
setiap orang senang mengutip pernyataan orang lain,
termasuk Gibbon, dalam mengutuk suku Hun sebagai
orang-orang bau, berkaki bengkok, brutal, dan menjijikkan.
Dan hampir semua pernyataan ini yaitu omong
kosong.
Saat suku Hun muncul dari suatu wilayah di utara
Kaspia untuk mendekati Laut Hitam pada pertengahan
abad keempat, menurut bangsa Romawi, mereka berada
di batas dunia yang diketahui. Namun dengan ilmu yang
dipinjam dari para antropolog dan arkeolog maka
memungkinkan bagi kita untuk melihat beberapa sifat
bawaan mereka. Yang ditemukan para tamu suku Hun
lalu , mereka ternyata berjenggot, bercocok tanam,
dengan sempurna bisa membangun rumah dan termasuk
berwajah tampan dan cantik sebagaimana halnya orang
biasa. Yang pasti, kaum laki-laki sangat dihormati, sebab
mereka sangat tabah, dimakan waktu, dengan bahu
kurus sebab setiap hari memakai busur yang sangat
kuat. Namun, seperti dalam warga Mongolia saat
ini, mereka mungkin merupakan campuran dengan ras
lain sehingga terlihat sangat menarik. Tidak seorang
pun yang melihat orang-orang Hun secara langsung me -
nyebutkan bahwa ada anak-anak dengan bekas luka di
wajah; dan beberapa laki-laki dewasa berjanggut tipis,
namun hal ini tidak ada kaitannya dengan kekejaman
yang terjadi pada masa kanak-kanak; mereka melakukan -
nya sendiri sebagai bagian dari ritual perkabungan.
Tidak ada logam? Tidak ada makanan yang dimasak?
Anda akan berpikir bahwa bukti hasil logam yang pertama
ada yaitu anak panah pertama suku Hun, yang dengan
cepat diikuti dengan bukti alat-alat masak. Barang-barang
mereka yang sangat banyak berupa belanga masak, alat-
alat yang sulit digunakan yang berbentuk lonceng dengan
pegangan besar dan kukuh, dengan tinggi mencapai satu
meter dan berat 16 hingga 18 kilo: belanga yang cukup
besar untuk merebus makanan satu suku. Puluhan benda-
benda ini sudah ditemukan di Republik Czechnya,
Polandia, Hongaria, Rumania, Moldova—dan Rusia, di
mana sepuluh buah di antaranya berserakan di sebuah
wilayah luas, satu berada di dekat Ul’yanovsk di Volga,
lainnya 600 kilometer sebelah utara, satunya lagi bahkan
berasal dari pegunungan Altai yang hanya 250 kilometer
dari perbatasan Mongolia. Bentuknya seperti jambangan
yang sangat besar, dengan dudukan berbentuk kerucut.
Dibentuk asal-asalan dengan dua atau tiga cetakan,
dudukannya terkadang dibuat terpisah, lalu
digabungkan secara kasar, sambungan dan bagian-bagian
kasar dibiarkan begitu saja. Isi logamnya sangat bervariasi:
sebagian besarnya yaitu tembaga lokal, dengan tambahan
besi oksida tembaga dan timah, namun jarang timah
yang—saat dicampur dengan tembaga akan—menghasilkan
perunggu. Dibandingkan pembuat logam yang baik,
suku Hun ini tampaknya masih amatir, tidak ada apa-
apanya dibandingkan jambangan perunggu bangsa China
atau yang dibuat oleh bangsa Xiongnu. Namun bangsa
ini berpindah, dan itulah yang membuat belanga-belanga
buatan mereka menjadi menarik. Para pembuat logam
dari suku Hun memiliki peralatan untuk melelehkan
tembaga (butuh tungku perapian untuk menghasilkan
suhu 1.000oC) dan cetakan batu yang berukuran sangat
besar dan berat. Belanga itu sendiri—menyampingkan
pelana berhias dan pakaian kuda—membantah gagasan
bahwa bangsa ini hanyalah penggembala primitif yang
tidak tahu apa-apa selain bertempur dan menyantap
makanan mentah. Butuh satu kelompok besar dan
terorganisasi serta cadangan makanan untuk mendukung
dan membawa para pekerja logam, peralatan, dan produk
mereka.
Tidak punya keyakinan? Lebih omong kosong lagi.
Mereka pasti beragama, sebab Homo sapien berkembang
sebagai manusia yang tidak bisa lepas dari keyakinan.
Tampaknya dorongan untuk menjelaskan dan mengendali -
kan alam menjadi hal yang sangat mendasar bagi
kepintaran manusia dan lingkungan sehingga tidak ada
kelompok, betapapun mendasarnya, pernah di temukan
tidak memiliki keyakinan yang kita kembangkan dari,
dan tetap menjadi inti alam semesta yang tersembunyi,
dan tunduk padanya, bisa memengaruhinya dan akan
kembali padanya.3 Tidak terkecuali dengan suku Hun,
dan orang-orang Romawi benar-benar tahu bahwa dengan
“tidak memiliki kepercayaan” mereka mengatakannya
bukan sebagai kepercayaan layak, seperti halnya mereka,
3 Penyamarataan secara luas ini merupakan sebuah hipotesis, yang tidak terbukti.
Penulis memiliki beberapa bukti, yang berasal dari suku yang diajak bekerja sama di
hutan hujan Ekuador pada awal tahun 1980‐an. Suku Waorani merupakan kelompok
sosial paling sederhana yang diketahui para antropolog, tanpa pemimpin, dukun
atau ritual rumit; dengan musik yang sangat sederhana, tanpa pakaian kecuali tali
dari kain katun yang membalut pinggang mereka (yang digunakan laki‐laki untuk
menutup kemaluan mereka), tidak ada benda seni selain hiasan tubuh dan beberapa
artefak mereka yang luar biasa (khususnya sumpit tiup sepanjang 3 meter dan
tempat tidur gantung terbaik di Amazonia). Namun mereka memiliki kisah, dan
legenda, juga kosmologi, dengan cerita akhirat—surga di mana orang‐orang berayun
di tempat tidur gantung dan berburu selamanya, satu tempat buangan bagi mereka
yang kembali ke dunia dalam wujud binatang, dan sebuah neraka ‘tanpa lubang’—
dan roh‐roh baik dan jahat, dan sebuah mitos tentang dunia, yang diatur oleh sang
pencipta, Waengongi. Suku ‘primitif’ yang monoteisme! Ini mengejutkan. Gagasan
satu tuhan mungkin berasal dari politeisme sebagai bentuk yang lebih tinggi
daripada agama. Ini terbukti sangat memudahkan para misionaris Amerika saat
mereka datang membawa kabar dan menyampaikan tentang Waengongi versi
mereka sendiri. (4 aturan ‘primitif’ yang ironis: Waorani merupakan ahli dalam cara
hidup mereka, dan sama pintar dan bodohnya, sama waspada dan ingin tahu, sama
menarik dan tidak sopan dan secara menyeluruh sama dengan manusia sebagaimana
halnya kita.)
baik Kristen maupun penyembahan berhala yang lebih
beradab yang diwariskan dari Yunani. “Takhayul” tidak
masuk hitungan. Pastinya, apa yang diyakini suku Hun,
dan bagaimana mereka beribadah, sepenuhnya tidak
diketahui, namun bisa dipastikan mereka penganut
animisme, yang begitu terpesona dengan alam, angin,
salju, hujan, guruh, dan petir untuk menggambarkan
roh yang ada. Cukup wajar untuk menerka bahwa,
seperti orang-orang Mongolia beberapa abad lalu ,
mereka melihat asal-usul kekuatan ini di langit yang tak
berbatas, memuja surga di atas sana sebagai sumber
segala hal, dan meminta pada langit untuk mengendalikan
nasib mereka melalui pemujaan dan pengorbanan. Kita
orang-orang Eropa modern tidak begitu saja mengingat
dewa langit dalam setiap ungkapan Good Heaven! Ciel!
dan Himmel! yang kita ucapkan. Suku Turki dan Mongolia,
yang tinggal berdekatan sebelum bangsa Turki pindah-
pindah ke barat pada akhir milenium pertama, punya
satu nama untuk dewa langit mereka: Tenger atau Tengri,
dalam dua atau beberapa ejaan umum. Tenger dikenal di
seluruh Asia, sementara Tengri hanya di Mongolia Dalam
pada sebuah relief di timur Bulgaria. Dalam bahasa
Mongolia, seperti halnya dalam bahasa lainnya, tenger
hanya berarti “langit” dalam aspek dunia dan ketuhanan.
Langit Biru—Khökh Tenger—dalam bahasa Mongolia,
merupakan dewa dan juga hari baik (Orang Inggris
memiliki perasaan bertentangan yang sama: Surga di
atas, surga terbuka.) Bangsa Xiongnu juga menyembah
Tengri. Sejarah Dinasti Han (206 SM–8 M), ditulis
hingga akhir abad pertama oleh sejarawan bernama Pan
Ku, dalam satu bagian tentang Xiongnu, tertulis, “Mereka
menunjuk pemimpin mereka dengan julukan cheng li
[transliterasi dari tengri] ku t’u [putra] shan-yü [raja]”
misalnya seperti “Yang Mulia, Putra Surga”. Pada prasasti
awal bangsa Turki, pemimpin memiliki kekuasaan dari
Tengri; dan Tengri yaitu nama yang diberikan untuk
para Raja Uighur pada abad kedelapan dan kesembilan.
Suku Hun termasuk dalam jangkauan luas Tengri. Baik
mereka yaitu bangsa Xiongnu yang tersisa atau tidak,
mempertahankan nama yang sama atau tidak untuk
dewa mereka, pastinya memiliki sistem kepercayaan
yang serupa dengan mereka, dan keyakinan yang sama
bahwa dukun, dengan nyanyian dan gendang serta
panduan roh mereka, bisa membuka jalan ke surga.
Bukti akan hal ini ada dalam beberapa catatan. Pada
439, tepat sebelum pertempuran Visigoth di luar wilayah
Toulouse, jenderal Romawi yang bernama Litorius
memutuskan menyenangkan hati orang Hun yang menjadi
penolongnya dengan menyelenggarakan apa yang disebut
Ostrogoth Romawi sebagai haruspicatio, sebuah upacara
ramalan. Attila, yang memiliki beberapa peramal dalam
dewannya, melakukan hal yang sama sebelum kekalahan
besarnya 12 tahun lalu . Hal yang betul-betul
terjadi pada pertengahan abad kelima pasti benar-benar
terjadi pada masa-masa awal, sebab ramalan merupakan
satu sejarah dari milenium sebelum nya. Bahkan, ramalan
merupakan dasar bagi kebudayaan bangsa China,
menginspirasi tulisan China pertama: pada Dinasti Shang
sekitar 1500 SM, dukun melihat arti retakan pada kulit
kura-kura yang dibakar hangus, dan menjadikannya
sebagai bantalan memo dengan menuliskan interpretasi
mereka di atasnya. lalu , banyak kelompok Asia
Tengah, termasuk Mongolia, mengadopsi ramalan dengan
membaca retakan kulit kura-kura ini—praktik membaca
pertanda dalam retakan panas pada tulang-tulang belikat
lembu. Tidak seorang pun mencatat upacara seperti ini
terjadi di istana Attila. namun menurut asal-usulnya,
suku Hun sangat suka dukun mereka memakai
metode ini dalam ramalan mereka.
ADA SATU sifat yang akan mengejutkan Anda sebagai
orang luar, begitu Anda diterima secara informal oleh
beberapa keluarga penting di dalam suku Hun. Beberapa
anak memiliki kepala cacat. Tumbuh ke atas dan ke
belakang seperti bongkahan roti. Ini bukan disebabkan
penyakit. Tidak ada yang salah dengan anak-anak ini;
sebaliknya, mungkin, sebab mereka tampaknya akan
memiliki kehidupan yang lebih istimewa daripada anak-
anak kebanyakan. Tidak diragukan hal ini lebih mudah
dijelaskan, begitu Anda menguasai bahasa Hun. Sayangnya,
tidak ada pengunjung yang sampai pada tingkat kedekatan
seperti itu, pastinya tidak ada yang bisa berbahasa Hun
dan mencatat hasil percakapan mereka. Satu-satunya
cara para antropolog mengetahui kebiasaan ini yaitu
dari temuan sejumlah tengkorak, kebanyakan anak-anak,
dengan bentuk kepala aneh ini.
Aku melakukan penelitian awal tentang perubahan
tengkorak buatan di Museum Kunsthistorisches di Wina,
Museum sejarah Seni, di mana Peter Stadker merupakan
penduduk asli yang ahli dalam hal suku-suku barbar di
lembah sungai Carpathia, dan Karen Wiltschke seorang
antropolog fisik dengan ketertarikan khusus dalam bidang
rahasia ini. Kami berbincang dalam ruang koleksi
tengkorak di museum ini, tidak satu pun disusun meng -
gunakan kawat seperti halnya contoh anatomi tubuh,
namun dibiarkan terbaring begitu saja dalam kotak-kotak
yang disusun jadi dua atau tiga, ditumpuk ke atas secara
berbaris, 150 tumpuk dalam satu baris, inada 80
baris memenuhi empat sisi dinding, dan sisi sebuah
koridor—25.000 kerangka yang sudah dimasukkan
kotak, dan 25.000 lainnya yang masih menunggu
diinventaris. Sekitar 40-50 di antara kerangka ini dibuat
cacat dengan sengaja. sebab berasal dari awal abad
kelima, maka sebagian besarnya yaitu kerangka suku
Hun, dan kebanyakan yaitu kerangka anak-anak. Dari
bukti yang hanya sedikit ini, tampak bahwa baik anak
laki-laki maupun perempuan mengalami perubahan
bentuk kepala, yang terus terlihat hingga dewasa, jika
mereka bertahan hidup. Tentu saja, sebagian lagi tidak,
yang terhitung dari rendahnya persentase kerangka orang
dewasa di antara kerangka yang ada.
Perubahan bentuk kepala cukup umum terjadi sepanjang
sejarah. Sebuah penelitian luar biasa akan hal ini
dipublikasikan pada 1931: Artificial Cranial Deformation:
A Contribution to the Study of Ethnic Mutilations.
Penulisnya yaitu Eric Dingwall, yang memiliki ke -
tertarikan khusus terhadap mutilasi etnis, ketimbang hal
lainnya. Ia tinggal di sebuah flat di St Leonard, dalam
keeksentrikan khas Inggris, dikelilingi oleh koleksi hadiah
sabuk suci, melakukan penelitian kejiwaan dan—dalam
kapasitas kehormatan—di bagian misterius di dalam
Perpustakaan Universitas Cambridge, hingga meninggal
pada 1986. Ia juga menulis salah satu penelitian pertama
tentang sunat pada perempuan. Sunat pada perempuan—
mutilasi genital, saat ini disebut demikian—masih terjadi
dalam kehidupan kita; sementara perubahan bentuk
tengkorak sama sekali sudah punah. Nasib berbeda dari
kedua praktik mutilasi ini memiliki akibat yang tidak
menyenangkan bagi karakter manusia, sunat pada
perempuan merupakan hal yang menyakitkan, kasar,
bersifat rahasia, dan berlangsung cepat (meskipun efeknya
dengan cepat hilang), sementara perubahan bentuk
tengkorak tidak menyakitkan, memerlukan perawatan
jangka panjang dan tetap menjadi bukti yang terlihat
nyata sepanjang penderitanya masih hidup. Praktik ini
terjadi di sejumlah warga di seluruh dunia.
Neanderthaler melakukan perubahan bentuk tengkorak
ini 55.000 tahun yang lalu, dan teknik ini sudah dilakukan
Homo sapiens sepanjang sejarah kita, sebuah “kebiasaan
aneh dan tersebar luas”, seperti yang ditulis Dingwall,
dengan menyodorkan beberapa contoh dari Asia, Afrika,
Indonesia, Selandia Baru, Melanesia, Polynesia, dan
seluruh Amerika dan juga Eropa. Seperti yang dikatakan -
nya, praktik ini tidak ada kaitannya dengan ritual pubertas
dan inisiasi, sebab hal ini hanya bisa dilakukan pada
masa kanak-kanak, ketika tengkorak masih lunak dan
tumbuh. Di Amerika, kelompok pribumi di Chile dan
wilayah barat laut dulunya mengikat papan pada kepala
bayi mereka agar menjadi rata, yang paling terkenal
yaitu bangsa Chinook, yang lalu juga dikenal
sebagai Indian Kepala Datar. Budaya lain memakai
ikat kepala kain agar tengkorak kepala menjadi berbentuk
silinder. Ini tidak sulit. Yang dibutuhkan yaitu sebuah
ikat kepala yang dibalut dengan kuat, namun diikat ulang
beberapa hari lalu agar tetap terikat kuat, mencegah
peradangan, dan agar bisa dicuci. Teknik ini digunakan
orang-orang aborigin di New South Wales, Australia,
sekitar 13.000 tahun yang lalu, dan mungkin oleh
warga Mesir kuno sehingga Nefertiti, Ratu
Akhenaten, memiliki kepala tipis yang elegan. Ini
merupakan praktik umum di pedalaman Eropa pada
abad ketujuh belas dan kedelapan belas.
Demi Tuhan, mengapa ini dilakukan? Ada satu
kemungkinan jawabannya: dalam beberapa kasus, hal
ini dilakukan demi mendapatkan surga, sebuah tanda
bahwa seorang anak ditakdirkan menjadi pendeta. Namun
alasan lainnya tetap bersifat sosial. Di antara anggota
suku Chinook, hal ini dianggap bukti merawat anak
dengan baik; ibu yang tidak mau bersusah payah
melakukan hal ini dianggap lalai, dan anak mereka yang
berkepala bulat berisiko diejek oleh teman sebaya mereka
yang berkepala datar. Dalam budaya lain, di mana ibu
atau perawat punya waktu memberikan perhatian yang
dibutuhkan, bentuk kepala panjang menandakan status.
Dalam budaya suku Hun, alasannya lebih halus daripada
itu. Beberapa patung bagian tubuh atas Nefertiti me -
nonjolkan bentuk kepalanya yang panjang. Namun tidak
adanya satu pun yang menyatakan bahwa Attila atau
putranya atau para jenderalnya, atau para utusannya,
atau ratunya yang memiliki bentuk kepala cacat seperti
ini, atau yang menutup kepala mereka—dan mengapa
mereka akan melakukan hal itu, jika perubahan bentuk
merupakan tanda tingginya status?—atau status itu
sendiri, bukanlah alasan di balik praktik mengikat kepala
ini.
Ada satu pola untuk menjelaskannya. Seperti yang
dikatakan Karen Wiltschke, “Semakin ke barat, semakin
besar persentase kepala cacat yang Anda lihat.” Namun
lalu , selama 20 tahun masa kekaisaran Attila (433-
453) dan langsung sesudah itu, suku-suku lain dalam
kekaisaran Hun yang berlangsung singkat juga mengadopsi
praktik ini. Misalnya, pimpinan besar Ostrogoth,
Theodoric, yang dilahirkan di Pannonia (sekarang,
Hongaria bagian barat dan Kroasia bagian timur) satu
atau dua tahun setelah kematian Attila dan menghabiskan
masa hidupnya sebagai raja Italia setelah masa Romawi.
Dalam koin bergambarkan dirinya, kepalanya tampak
panjang, di mana praktik ini sudah dilakukan terhadap
dirinya tidak lama setelah kelahirannya sekitar tahun
454—diduga sebab inilah gaya sebagian besar penyerbu
suku barbar yang paling sukses, yang ternyata mengadopsi
kebiasaan itu dari wilayah timur.
Kita menghadapi satu teka-teki. Dari arkeologi kita
tahu bahwa suku Hun mengikat kepala sebagian anak
mereka, yang membuat bentuk kepala terlihat berbeda
saat dewasa. Namun tidak ada catatan ada orang luar
yang melihat hal semacam itu. Yang bisa kita lakukan
yaitu menerka sebuah penjelasan. Mungkin tengkorak
yang dikubur ini semasa hidupnya ditutup dengan
memakai topi, hanya diketahui oleh orang-orang sesukunya
saja, disembunyikan dari orang luar. Mungkin orang-
orang berkepala panjang merupakan golongan elite,
yang rahasianya diteruskan dari ayah dan ibu kepada
putra dan putri mereka. Ada sejenis persaudaraan rahasia
dalam kelompok pemburu ini: komunitas dukun, yang
saat kerasukan mendengar bunyi gendang, mengepak-
kepakkan sayap dan menjadi elang, rajawali, angsa
jantan, atau itik yang mengembara sekehendak hati
dalam alam kekuatan dan pengetahuan. Dari para dukun
dan pandangan mereka muncullah pengetahuan akan
kekuatan manusia dan kelemahan musuh, saat yang
tepat untuk perang, bagaimana takdir akan berubah,
penyebab penyakit dan obatnya. Hal-hal semacam itu
tidak akan diungkapkan kepada orang-orang asing.
MARI KITA lihat nenek-moyang Attila dalam konteks
yang lebih luas. Bagian barat Rusia dan Eropa bagian
timur mengering dan menjadi Laut Hitam yang lalu
mengalir menjadi empat sungai besar. Dari barat ke
timur, inada empat sungai: Danube, Dniester, Dnieper,
dan Don, menandai wilayah yang semakin tidak diketahui
bangsa Romawi, dari Dacia yang semi Romawi (sekarang
menjadi Rumania), hingga ke wilayah nomaden di bagian
selatan Rusia hingga ke lembah-lembah yang tidak bisa
dimasuki dan tidak diketahui di Kaukasus. Menunjuk ke
bagian tengah wilayah temaram ini, seperti lampu dari
langit-langit kediaman orang-orang barbar yang remang-
remang, inada wilayah Cinema, yang sudah menjadi
basis Yunani selama berabad-abad, dan tetap berada
dalam kekuasaan kekaisaran Romawi. Bagi para penulis
Romawi, sebagaimana halnya Yunani, Laut Hitam dan
sungai-sungai di sekelilingnya merupakan penyangga
antara peradaban dan hutan belantara liar, di mana
wilayah Crimea sebagai zona transisi bagi mereka yang
mendekat dari laut. Di sini, Herodotus mengetahui
keberadaan bangsa Scythia yang tinggal di antara dua
dunia, Helenisme dan tribalisme.
Namun di daerah pedalaman, jauh dari permukiman
Yunani di daera

.jpeg)
.jpeg)






