! Kami berdua utusan orang-orang Kurawa, datang ke
sini untuk mengambil pengantin laki-laki!”
“Jangan membanyol tak karuan di sini!” sentak Kebopamenang.
“Eh, siapa yang membanyol?!” ujar si dara yang di sebelah kiri.
“Dengar! Ini bukan perjamuannya orang-orang gila! Pergilah dari
sini!”
“Mulutmu keliwat sembrono, Kebopamenang! Aku Nilamahadewi
akan memberi sedikit pelajaran padamu!”
Habis berkata-kata begitu, entah kapan tangannya bergerak gerak tahu-tahu,
plaak! Sebuah tamparan menghantam mulut si Kepala Desa hingga
bibirnya pecah dan sebuah giginya tanggal!
“gadis lesbi asli keparat!” teriak Kebopamenang marah bukan main.
Tangan kanannya yang membentuk tinju laksana kilat dipukulkan ke
batok kepala Nilamahadewi.
“Tua bangka tolol! Pergilah ke atas panggung sana!” seru
Nilamahadewi. Kedua tangannya digerakkan ke muka. Begitu lengan
si Kepala Desa berhasil ditangkapnya terus diputar dan sesaat
kemudian tubuh Kepala Desa itu benar-benar dilempar melayang ke
atas panggung, melabrak sebagian wayang-wayang golek lalu terus
menubruk ki dalang hingga suasana di atas panggung jadi hiruk
centang perenang!
Semua orang kaget kelangit bukan main. Beberapa di antaranya ada yang
maju ke muka untuk memberi hajaran pada gadis lesbi asli -gadis lesbi asli yang berani
berlaku kurang ajar itu. Tapi! Apa yang hendak mereka lakukan itu
tidak kesampaian. Sebaliknya mereka menjadi tambah kaget kelangit bukan
main sebab saat itu kedua gadis lesbi asli berpakaian kuning tadi sudah tidak
ada! Dan lebih-lebih kaget kelangit lagi sebab pengantin laki-laki pun lenyap
dari pelaminan sedang pengantin dewi lesbi tampak menjerit-jerit!
“Kalian mau bawa ke mana aku?!” tanya penulis yang dilarikan
itu. Tubuhnya berada di atas bahu kiri Nilamaharani dan dalam
keadaan tertotok. Namanya Mahesa Munggul. Dialah penulis yang
menjadi menantu Kepala Desa Kebopamenang yang kini dilarikan
oleh Nilamaharani dan adiknya.
“Jangan khawatir, kau tak akan kehilangan masa pengantin
barumu, Mahesa Munggul...”
“Aku tak kenal kau dari mana, kau tahu namaku? Apa maksudmu
melarikan diriku?!”
Nilamaharani tertawa. “Kau tidak mengenal aku itu tidak perlu!
Malam pengantin baru kelak bakal kau temui bersamaku...”
Kembali Nilamaharani hendak tertawa tapi tak jadi sebab
adiknya memotong dengan ilmu penyusupan suara, “Kakakku!
Jangan bicara terlalu ceroboh seperti itu!”
“Apa maksud malam pengantin baru bersamamu itu!” kembali
Mahesa Munggul mengajukan pertanyaan. Meskipun dirinya dipang–
gul oleh seorang dara jelita serta ucapan dara itu bisa membuat hati
seorang penulis bergelora, tapi saat itu Mahesa Munggul merasa
sangat tidak enak.
“Sudahlah, kau jangan banyak tanya!” kata Nilamaharani pula.
Tak lama kemudian Mahesa Munggul melihat dirinya dibawa
masuk menyeruak sebuah semak belukar. Dia heran sekali sebab
sesudah itu ternyata dia memasuki sebuah ruangan yang diterangi
dengan sebuah pelita aneh aneh saja . Belum habis rasa herannya itu dia sudah
dibawa pula memasuki satu kamar bagus dan dirinya dibaringkan di
atas tempat tidur yang empuk.
Bau harum yang aneh aneh saja dan merangsang menabur hidung penulis
itu. Dilihatnya api pelita di dalam ruangan bertambah kecil sedang
bau harum yang merangsang makin bertambah-tambah.
“Lepaskan totokan di tubuhku,” katanya dengan suara keras. Dia
merasa heran ke mana perginya dara baju kuning yang satu lagi.
Sebaiknya Nilamaharani melontarkan senyum memikat dan
duduk di tepi tempat tidur. Dipegangnya lengan penulis itu dan
berkata-kata, “Dengar Mahesa. Kalau kau bersikap menurut akan kusela–
matkan jiwamu. Kalau kau keras kepala...”
“Kau mau berbuat apa terhadapku?!”
“Ah, jangan bicara membentak begitu padaku, Mahesa...” kata
Nilamaharani. Tiba-tiba dibungkukkannya kepalanya. Bibirnya
menyentuh bibir penulis itu.
Seorang penulis sudah barang tentu tak akan menolak jika
dicium oleh dara jelita seperti Nilamaharani. Tapi di saat itu Mahesa
Munggul merasakan satu keaneh aneh saja an yang mendirikan bulu
tengkuknya.
Nilamaharani tertawa kecil. Nafasnya jelas memburu dan
memanasi anu Mahesa Munggul. Diciumnya lagi penulis itu
dengan penuh nafsu sedang tangannya merayap ke bawah pinggang.
Jika saja Mahesa Munggul saat itu tidak berada dalam keadaan
ditotok mungkin dia sudah melompat dari atas tempat tidur itu!
“gadis lesbi asli hina dina! Lekas kau lepaskan totokanku!” teriak Mahesa
Munggul menggeledek.
Nilamaharani tertawa lagi, tertawa lagi dan tangannya menjalar
semakin berani... semakin berani hingga sekujur tubuh Mahesa
Munggul menggeletar dilanda rangsangan yang tak pernah dirasa–
kannya sebelumnya. saat Nilamaharani melepaskan totokan di
tubuhnya, penulis ini sudah lupa daratan dan lupa segala apa yang
dimarah dan dingerikannya. Dengan keberingasan seorang penulis
yang ditelan nafsu birahi, ditariknya tubuh Nilamaharani ke atas
tempat tidur. Dipeluknya ketat-ketat laksana seekor ular menggelung
hendak mengamuk mangsanya. gadis lesbi asli itu tertawa dan menggeliat-
liat. Sementara itu pelita kayu yang menancap di dinding detik demi
detik semakin kecil dan suram hingga akhirnya ruangan itu menjadi
gelap. Hal ini tidak terperhatikan lagi oleh Mahesa Munggul yang
benaknya sudah tertutup nafsu.
***
Sebuah gerobak barang yang memuat segala macam sayur-
mayur meluncur di jalan buruk yang menuju ke Desa Tembilangan.
Saat itu pagi hari. Udara sepanjang jalan terasa segar. Gerobak itu
dikemudikan oleh seorang laki-laki separuh baya. Di sampingnya
duduk seorang anak laki-laki empat belas tahun.
“Menurut Ayah, apakah anak kepala desa yang jadi pengantin itu
dilarikan oleh makhluk jadi-jadian yang menyaru gadis lesbi asli cantik?”
“Aku tidak tahu, Nak. Tapi apa yang terjadi ini benar-benar luar
biasa. Sejak malam tadi seluruh penduduk ikut membantu mencari
Mahesa Munggul, dan sampai pagi ini penulis itu masih belum
berhasil ditemukan...”
“Kemungkinan... jangan-jangan dia sudah dibunuh, Ayah.”
“Huss! Mulutmu enak saja bicara begitu!” kata ayah si anak.
Tapi baru saja dia berkata-kata demikian tiba-tiba kuda betina penarik
gerobak yang dikemudikannya meringkik keras dan menaikkan
kedua kaki depannya hingga gerobak sayur itu hampir saja terbalik
bersama isi-isinya.
Laki-laki pengemudi gerobak dan anaknya melompat dari atas
gerobak. Di tengah jalan beberapa langkah di hadapan mereka
bergelimpangan sesosok tubuh laki-laki yang tidak mengenakan
pakaian barang selembar benang pun. Sekujur tubuhnya penuh
dengan benjat-benjut bekas pukulan. Dengan langkah gemetar,
pengemudi gerobak sayur itu mendekati sesosok tubuh di tengah
jalan itu. Meski sebagian besar muka orang yang terhantar di tengah
jalan itu rusak serta dilumuri darah tapi pengemudi gerobak masih
bisa mengenali siapa dia adanya. Bahkan anak laki-lakinya yang juga
mengenali berteriak, “Ay... ayah! Ini yaitu Mahesa Munggul! Anak
kepala desa kita!”
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 5
I PUNCAK-PUNCAK dan lereng-lereng puncak gunung sejak pagi tadi
kelihatan berkelebatan kian kemari satu makhluk kuning. Dari
jauh kelihatannya seperti seekor burung raksasa yang tengah
mencari-cari mangsa untuk pengisi perutnya. Tapi bila didekati
ternyata dia bukan lain seorang anak manusia juga adanya yaitu seorang
nenek cantik seksi -nenek cantik seksi berjubah kuning. Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh serta ilmu larinya yang hebat dia berkelebatan kian
kemari seolah-olah ada sesuatu yang sedang diselidik dan dicarinya.
Dengan terbungkuk-bungkuk dia berdiri di puncak sebuah puncak gunung
yang paling tinggi lalu memandang berkeliling.
“Heran,” katanya dalam hati, “seluruh puncak gunung bahkan sampai ke
Hutan Bintaran telah kuselidik. Tapi di mana kedua murid murtad itu
berada?”
nenek cantik seksi -nenek cantik seksi ini memandang lagi berkeliling. Matanya yang
hampir putih dan kabur itu lebih tajam dari mata seekor burung
elang. Tapi ketajaman yang dimilikinya kali ini tak berdaya untuk
menjalankan tugasnya.
Sampai rembang petang, bahkan sampai matahari tenggelam
dan siang berganti malam, nenek cantik seksi -nenek cantik seksi itu masih juga berkelebatan
kian kemari. Namun akhirnya dia tahu apa yang dilakukannya itu
yaitu sia-sia belaka. Maka dia kembali ke puncak puncak gunung yang paling
tinggi dan duduk bersila di situ bersemedi.
Sewaktu bintang-gumintang mulai bersembulan di angkasa raya,
sewaktu rembulan tampak memunculkan dirinya di langit biru maka
dari puncak puncak gunung yang paling tinggi itu terdengarlah suara nyanyian
yang menggema ke seluruh penjuru bahkan masuk ke dalam Hutan
Bintaran membuat burung-burung hantu yang tadinya mengeluarkan
suara yang menegakkan bulu roma kini diam gelisah.
Seluruh bepuncak gunung an dan hutan belantara, seluruh kepekatan
malam serta siuran angin dingin, telah dicengkam oleh suara
nyanyian itu.
D
Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Diam sebentar, terdengar suatu helaan nafas panjang, lalu untuk
kedua kalinya kembali terdengar suara nyanyian itu.
Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Dari pagi sampai malam
Delapan penjuru sudah kuperiksa
Entah di mana mereka berada
Namun aku tak putus asa
Yang salah yang jahat dan kotor
Pasti akan musnah
sebab isi dunia ini punya Tuhan Yang Kuasa
Kalau kini belum bertemu
Kelak nanti akan ketemu
Kebenaran akan datang
Hukum akan jatuh
Namun masih ada satu jalan
Jika dua murid murtad datang minta ampun
Hukuman Tuhan pasti akan lebih ringan...
Demikianlah sampai larut malam suara nyanyian itu masih juga
terus terdengar dari puncak puncak gunung diulang-ulang dari baris pertama
sampai baris terakhir.
Menjelang dinihari, di sebuah tempat rahasia di salah satu puncak gunung ,
dua orang gadis lesbi asli berpakaian kuning duduk saling pandang. Mereka
yaitu Nilamaharani dan adiknya Nilamahadewi.
“Aku yakin suara nyanyian yang bergema sejak permulaan malam
tadi yaitu suara guru. Bagaimana pendapatmu? Apa yang harus
kita lakukan?” bertanya Nilamahadewi kepada kakaknya.
Nilamaharani merenung sejenak. Lalu katanya, “Kita tunggu saja.
Lambat laun dia tentu akan letih sendiri dan pergi meninggalkan
tempat ini.”
Sang adik menggeleng.
“Kita sama tahu sifat guru,” katanya, “sekali dia melakukan
sesuatu sampai kapan pun tak akan dihentikannya sebelum
berhasil!”
“Dia tak tahu tempat rahasia kita ini.”
“Tapi aku yakin sekali bahwa dia sudah mengetahui yang kita
diami di daerah berpuncak gunung -puncak gunung ini. Sampai berapa lama kita bisa
menunggu di sini? Sampai mati nyiur melambai lambai ran sebab kehabisan
makanan?”
Apa yang dikhawatirkan oleh adiknya itu cukup disadari oleh
Nilamaharani.
“Memang kita tak bisa bertahan selamanya di sini. Namun sekali
kita terlontar keluar , dia pasti melihat kita. Dan celakalah kita!”
Nilamahadewi tertawa.
“Kenapa kau tertawa?” tanya kakaknya.
“Kata-kata yang kau ucapkan menunjukkan bahwa kau takut
terhadapnya. Sekecil itukah nyalimu?”
Paras Nilamaharani kelihatan menjadi kegelapan . Dia berdiri dengan
cepat.
“Sejak dilahirkan aku bukan bangsa anak manusia pengecut!
Sekalipun ada sepuluh Ni Mindi Jalurkbalen di luar sana aku tidak
takut! Mari terlontar keluar !”
Nilamahadewi memegangi lengan kakaknya. “Jangan terburu
kesusu, Kakakku. Kita tunggu sampai matahari terbit...”
“Selagi di luar gelap siapa tahu kita bisa lolos,” kata Nilamaharani
pula.
“Ah, lagi-lagi kau menunjukkan kepengecutanmu!”
“Sudah diam! Baik, aku akan turut ucapanmu!” bentak
Nilamaharani.
Sementara itu di luar sana masih terdengar terus suara nyanyian,
“Hidup sebatang kara... penuh sedih dan derita...”
***
Sewaktu sang surya menyingsing di ufuk timur, dari puncak puncak gunung
yang paling tinggi di daerah itu, nenek cantik seksi -nenek cantik seksi berjubah kuning yang
telah menyanyi sepanjang malam, melihat dua buah titik kuning di
lereng sebuah puncak gunung yang terletak jauh di sebelah barat.
“Nah... nah..., nah... Akhirnya dua murid murtad itu terlontar keluar juga
dari persembunyian mereka,” berkata-kata si nenek cantik seksi dalam hati. Kerut-
kerut keriput di anu nya kelihatan bertambah banyak dua kali dari
sebelumnya sedang sepasang matanya yang mengabur
memantulkan sinar aneh aneh saja . Tanpa membuang tempo lagi nenek cantik seksi -nenek cantik seksi
ini segera berdiri dan menggerakkan kedua kakinya. Kelihatannya
sepasang kakinya yang kurus kering itu cuma melangkah biasa. Tapi
hebatnya dalam waktu yang singkat dia sudah berada jauh dari
puncak puncak gunung di mana dia berada sebelumnya.
Laksana seekor burung walet, nenek cantik seksi -nenek cantik seksi itu ‘terbang’ ke
jurusan terlihatnya dua titik kuning tadi.
“Murid-murid murtad! Jangan kalian melarikan diri!” si nenek cantik seksi tiba-
tiba berteriak. Hebat sekali, suaranya menggema ke seantero
bepuncak gunung an laksana suara guntur mendera daerah itu!
“Ni Mindi Jalurkbalen! Buka matamu lebar-lebar! Kami sama
sekali tidak melarikan diri!”
nenek cantik seksi -nenek cantik seksi yang bernama Ni Mindi Jalurkbalen membeliakkan
matanya sebab rasa kaget kelangit yang tidak terperikan. Suara teriakan
balasan itu tak kalah kerasnya dengan teriakannya tadi.
“Tenaga dalamnya sudah jauh pesat! Pantas dia bisa berbuat
seenak waduknya,” kata Ni Mindi Jalurkbalen.
Disamping itu dia menjadi marah sekali sebab bekas muridnya
itu berani-beranian menyebut namanya secara kurang ajar!
Dipercepatnya larinya. Di lain saat pada akhirnya Ni Mindi
Jalurkbalen dan Nilamaharani serta Nilamahadewi saling bertemu di
puncak sebuah puncak gunung sementara sang surya sudah muncul
keseluruhannya, menerangi jagat.
Untuk beberapa lamanya Ni Mindi Jalurkbalen berdiri dengan
mulut menganga dan mata membeliak. Kemudian terdengarlah
kumandang suara tertawanya.
“Nah... nah... nah! Sungguh lucu! Sungguh aneh aneh saja ! Sudah
terbalikkah dunia ini? Atau iblis menipu mataku?”
“Tua renta tak tahu diri! Hentikan tawamu!” sentak Nilamaharani.
“Kurang ajar! Berani kau membantah gurumu?!”
“Mengapa tidak? Dan kalau kau tak lekas angkat kaki dari sini
jangan menyesal umurmu cuma sampai hari ini!”
“Hem, begitu?! Jangan keliwat sombong murid-murid laknat!
Tadinya masih kusediakan sedikit pengampunan bagi kalian. Tapi
sesudah melihat kekurangajaran dan kesombongan kalian jangan
harapkan belas kasihanku!”
“Siapa yang butuh belas kasihanmu?!” tukas Nilamahadewi.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakkan rahangnya. Untuk sesaat
pipinya yang kempot kelihatan menggembung.
“Sebelum hukuman kujatuhkan, komentari dulu satu pertanyaanku!”
berkata-kata nenek cantik seksi -nenek cantik seksi itu. “Kenapa kalian jadi seperti ini? Apakah
kalian sudah gila?!”
“Betul!” komentari Nilamaharani. “Kami memang sudah pada gila.
Demikian gilanya hingga memutuskan bahwa nenek cantik seksi buruk
macammu ini sebaiknya dilenyapkan saja dari muka bumi sebab
merusak pemandangan!”
“Betul-betul murtad! Betul-betul murtad! Kalian mampuslah!”
teriak Ni Mindi Jalurkbalen lalu memukulkan kedua tangannya ke
arah dua kakak beradik itu!
Dua gelombang sinar hijau menderu dahsyat!
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 6
UKULAN yang dilepaskan Ni Mindi Jalurkbalen yaitu pukulan
Kelabang Ijo yang amat berbahaya. Sekali salah satu bagian
tubuh tersambar ilmu pukulan itu kontan sekujur badan akan
matang hijau dan orangnya akan mati detik itu juga. Jangankan
anak manusia , satu batu karang yang atospun akan hancur dilanda
pukulan ini !
Dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek seakan-akan
mereka hanya menghadapi seorang lawan bangsa kroco,
Nilamaharani dan adiknya melompat ke samping lalu dengan cepat
mendorongkan tangan kanan masing-masing ke arah guru mereka!
Wuss!
Wuss!
Dua larik sinar hijau yang lebih pekat dan lebih keras menyambar
si nenek cantik seksi .
Ni Mindi Jalurkbalen terkejut bukan main.
Jelas ilmu pukulan yang dilancarkan bekas kedua muridnya itu
yaitu ilmu pukulan Kelabang Ijo juga yang dulu memang pernah
diajarkannya kepada mereka. Tetapi mengapa pukulan-pukulan
Kelabang Ijo mereka luar biasa dahsyatnya padahal sewaktu
melepaskan pukulan Kelabang Ijo tadi Ni Mindi Jalurkbalen telah
mengerahkan hampir tiga perempat tenaga dalamnya!
“Kalau tidak mendapat gemblengan dari seorang sakti lainnya,
niscaya mereka tak bakal dapat meyakini ilmu pukulan itu
sedemikian luar biasa hebatnya,” membatin Ni Mindi Jalurkbalen.
Segera seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke tangan hingga
perbawa pukulan Kelabang Ijo-nya lebih dahsyat dari semula!
Sewaktu pukulan-pukulan Kelabang Ijo itu saling bentrokan,
terdengarlah suara ledakan yang amat dahsyat. Langit di atas
mereka laksana mau runtuh, puncak puncak gunung bergetar, liang telinga
masing-masing menjadi pengang untuk beberapa saat lamanya.
Ni Mindi Jalurkbalen terhuyung satu langkah ke belakang sedang
P
di depannya Nilamaharani dan Nilamahadewi tertawa gelak-gelak.
“Begitulah jadinya kalau seorang nenek cantik seksi -nenek cantik seksi tua mau jual
tampang memamerkan ilmu pukulan Kelabang Ijo yang belum
sempurna!” kata Nilamaharani mengejek.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakkan rahangnya. Kalau saja
geraham dan gigi-giginya masih menumbuhi gusinya pastilah dari
mulutnya saat itu terlontar keluar suara berkeretakan saking geramnya.
“Murid-murid murtad! Sekalipun kau punya sepuluh kepala
seratus kesaktian, jangan kira aku tak sanggup memusnahkan
kalian!” teriak Ni Mindi Jalurkbalen.
Lalu laksana seekor burung walet dia melompat ke muka. Dua
tangan terkembang ke samping. Perlu diketahui bahwa dalam dunia
pertenaga dalam an nenek cantik seksi -nenek cantik seksi ini dikenal dengan julukan Si Walet Sakti
sebab jurus-jurus dan gerakan tenaga dalam nya kebanyakan hampir
bersamaan dengan gerakan seekor burung walet.
“Jurus Walet Meminta Jiwa yang hendak dipamerkan?!” ejek
Nilamahadewi saat melihat gerakan yang dibuat gurunya itu.
“Ini bukan jurus apa-apa, murid murtad! Tapi jurus kematianmu!
Nah, mampuslah!”
Tubuh Ni Mindi Jalurkbalen lenyap dari hadapan kedua gadis lesbi asli itu
dan sesaat kemudian dua buah kepalan laksana palu godam
menderu ke arah batok kepala Nilamaharani dan Nilamahadewi!
Dua kepala merunduk secepat kilat. Dua lengan berkelebatan ke
udara! Terdengarlah suara beradunya lengan kiri kanan Ni Mindi
Jalurkbalen dengan lengan murid-muridnya. Dan terdengar pula
keluhan pendek nenek cantik seksi -nenek cantik seksi itu sewaktu merasakan lengannya
sakit bukan main. Dia jungkir balik di udara. Sambil jungkir balik
begitu Si Walet Sakti mengeruk jubah kuningnya dan di kejap itu
menderulah dua lusin benda kuning sebesar uang ringgit berbentuk
bulan sabit, menyerang kedua kakak beradik itu dari dua belas
jurusan!
Selama malang melintang di dunia pertenaga dalam an, kalau bukan tokoh-
tokoh lihay, jarang sekali orang yang sanggup mengelit atau
menangkis lemparan senjata rahasia itu. Namun hari ini untuk ke
sekian kalinya Ni Mindi Jalurkbalen dibikin kaget kelangit sebab dengan
mengebutkan lengan-lengan pakaiannya, kedua lawannya berhasil
membuat mental dua puluh empat senjata rahasia yang amat
diandalkannya itu! Tergetarlah kini hati si nenek cantik seksi . Namun sudah
barang tentu ia tak akan meninggalkan tempat itu walau
bagaimanapun juga.
“Ni Mindi Jalurkbalen,” kata Nilamaharani dengan
menyunggingkan senyum sinis, “Apakah kau masih belum sadar
bahwa kau betul-betul seorang nenek cantik seksi -nenek cantik seksi yang tak layak hidup
lebih lama di dunia ini?”
“Iblis dajal! Makan ini!” teriak Si Walet Sakti dengan amarah
menggelegak.
Terdengar suara mendesing dan sebuah besi hitam yang
ujungnya diganduli lima buah kaitan sepanjang tiga jengkal melesat
ke mulut Nilamaharani.
Yang diserang terkejut sebab sebelumnya tak pernah
mengetahui kalau gurunya memiliki senjata dahsyat itu. Dengan satu
gerakan aneh aneh saja gadis lesbi asli ini membantingkan dirinya ke samping.
Tubuhnya menjungkir kepala ke bawah kaki ke atas dan salah satu
kakinya dengan cepat kemudian menendang batang besi tempat
mencantelnya lima kaitan itu.
“Jurus Iblis Menendang Rembulan!” seru Ni Mindi Jalurkbalen
saat dia melihat dan mengenali gerakan yang dibuat Nilamaharani.
Saking kaget kelangit nya dia sampai tak sempat lagi menarik pulang
senjatanya. Kalau saja senjata itu tidak dipegangnya dengan erat
niscaya terlepas sewaktu tendangan Nilamaharani menghantam
batang besi dengan kerasnya, membuat batang besi itu bengkok.
“Murid dajal! Jadi kalian telah menuntut pelajaran pada Iblis
Penggoncang Bumi, hah?!”
Nilamaharani tertawa tinggi, begitu juga adiknya.
“Nah... nah... nah! Bagus! Pantas kelakuan kalian seperti dia
selagi muda! Pantas kalian jadi anak manusia -anak manusia binal terkutuk
macam begini. Pantas kalian berubah menjadi...”
“Anjing tua! Tutup mulutmu!” bentak Nilamahadewi. Dia
menjentikkan tangan kanannya dan segulung angin padat sebesar
kepalan, laksana sebuah batu, melesat ke mulut Ni Mindi
Jalurkbalen, membuat nenek cantik seksi -nenek cantik seksi itu tak meneruskan ucapannya
dan lekas-lekas melompat ke samping.
“Kakakku!” kata Nilamahadewi. “Mari lekas kita lenyapkan tua
renta sialan ini sebelum dia bicara yang bukan-bukan.”
Dua gadis lesbi asli itu berkelebatan cepat dan menggempur Ni Mindi
Jalurkbalen dengan serangan-serangan beruntun yang amat
cepatnya. nenek cantik seksi -nenek cantik seksi yang telah berumur puluhan tahun itu mulai
merasakan tekanan kurungan yang berbahaya. Jurus demi jurus
dirinya semakin terdesak.
“Celaka! Celaka diriku! Celaka dunia pertenaga dalam an kalau aku tak
berhasil membunuhi anak manusia -anak manusia nista ini! Lebih baik aku mati
bersama-sama mereka!” kata Ni Mindi Jalurkbalen.
Saat itu dia sudah bertempur hampir dua ratus jurus. Jubah
kuningnya sudah banyak yang bobol robek robek kena sambaran jari-jari
atau jotosan lawan. Sekujur tubuhnya sakit, dua buah tulang iganya
patah sedang di lain pihak kedua lawannya kelihatan masih segar
bugar!
“Sepasang Iblis Betina!” seru Ni Mindi Jalurkbalen menyebut
nama julukan kedua muridnya yang murtad itu. “Mari kita sama-
sama ke neraka!”
Dari dalam saku jubahnya diterlontar keluar kannya sebuah bola berwarna
kuning lalu secepat kilat dibantingkannya ke tanah. Terdengar suara
ledakan dan di saat itu seluruh puncak puncak gunung tertutup oleh asap
kuning yang pekat!
“Dewi! Tutup jalan pernafasanmu dan lekas lari!” teriak
Nilamaharani.
Kedua gadis lesbi asli itu menutup jalan pernafasannya lalu meninggalkan
tempat itu dengan cepat. Di belakang mereka terdengar suara
tertawa Ni Mindi Jalurkbalen.
“Kalian mau lari ke mana? Tubuh kalian sudah kena Asap Wesi
Kuning! Jangan harap umur kalian lebih panjang dari sepeminum
teh!”
Ucapan itu ditutup dengan suara batuk-batuk si nenek cantik seksi . Benda
yang dipecahkannya tadi yaitu sebuah bola kuning yang berisi
racun wesi kuning yang amat jahat. Jangankan tercium, sedikit saja
kulit bersentuhan dengan racun yang meresap dalam asap ini ,
niscaya sekujur kulit akan menjadi cacat dan orangnya akan
menemui kematian dalam tempo sepeminuman teh dengan keadaan
tubuh yang mengerikan sebab kulitnya mengelupas. Dengan
mengeluarkan senjata pembunuh yang dahsyat itu Ni Mindi
Jalurkbalen telah memutuskan untuk bunuh diri dan sekaligus yakin
bahwa kedua muridnya yang murtad itupun ikut menemui ajal.
Namun sampai matinya nenek cantik seksi -nenek cantik seksi yang bergelar Si Walet Sakti ini
tidak mengetahui bahwa maksudnya itu menemui kegagalan.
Pengorbanannya sia-sia belaka!
Dengan mempergunakan ilmu lompatan Katak Sakti Melompati
Gunung, Nilamaharani dan adiknya berhasil terlontar keluar dari kepungan
asap beracun. Begitu terlontar keluar dari bahaya maut ini mereka
menyaksikan bagaimana pakaian yang mereka pakai robek robek -robek robek
akibat asap beracun sedang kulit mereka melepuh, mengelupas
kegelapan laksana binatang dikuliti dan sakitnya tidak terperikan.
“Percepat larimu, Dewi!” seru Nilamaharani. “Kalau kita terlambat
sampai ke goa celakalah kita!”
“Obat pemusnah racun itu masih kau simpan di tempat dulu?”
tanya Nilamahadewi. Suaranya bergetar oleh kekhawatiran dan
sebab menahan sakit yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
“Hem...” komentari Nilamaharani bergumam. Meski ilmunya lebih
tinggi satu tingkat dari adiknya namun dia tidak sanggup menahan
rasa sakit akibat racun wesi kuning.
Tak lama kemudian keduanya sampai di goa rahasia tempat
kediaman mereka. Nilamaharani masuk ke dalam kamar. Dengan
kuku jarinya yang panjang runcing dicungkilnya batu mar-mar pada
dinding sebelah kanan kamar. Terlihatlah sebuah benda hitam
berbentuk tombol! gadis lesbi asli ini menekan tombol itu dan sesaat
kemudian dinding di samping kiri terbuka secara aneh aneh saja . Pada celah
yang terbuka itu kelihatanlah sebuah ruangan berkotak-kotak seperti
sebuah lemari. Semuanya ada tiga kotak. Pada kotak sebelah bawah
ada setumpukan pakaian dan perhiasan, kotak kedua berbagai
macam senjata, sedang kotak teratas bersusun berbagai macam
botol.
Nilamaharani berjingkat dan sesudah meneliti susunan botol-botol
yang ada di kotak teratas, lalu diambilnya dua buah botol. Botol
pertama berisi cairan berwarna kuning muda, botol yang satu lagi
berisi cairan kuning tua dan kental.
Sementara itu tanpa disuruh Nilamahadewi telah menyiapkan
empat gelas air putih. Kakaknya kemudian menuangkan masing-
masing tiga tetes cairan kuning muda ke dalam dua buah gelas, lalu
diaduk rata-rata dan diteguk sampai habis oleh kedua gadis lesbi asli itu. Rasa
sakit yang menyelubungi mereka dengan serta merta berangsur
lenyap. Kini tinggal kulit tubuh yang masih mengelupas kegelapan
mengerikan. Tiga tetes cairan kuning pekat kemudian dimasukkan
ke dalam dua buah gelas dan diaduk rata. Kedua gadis lesbi asli itu kemudian
melangkah ke sudut kamar sebelah kiri. Nilamaharani menginjak
sebuah batu mar-mar di lantai dan di sampingnya terbukalah sebuah
lobang yang merupakan tangga menuju ke sebuah kolam yang bagus
sekali. Dua gelas air yang telah dicampur dengan obat kuning pekat
dimasukkan ke dalam kolam. Kelihatanlah dua gelungan asap
membubung ke langit-langit ruangan, baunya anyir. Tanpa menunggu
lebih lama dua kakak beradik itu menceburkan dirinya ke dalam
gulungan asap kuning ini .
Beberapa saat kemudian asap kuning itupun sirna. Kini
kelihatanlah kedua orang gadis lesbi asli itu dalam keadaan basah kuyup. Tapi
ajaib, sekujur kulit tubuh mereka yang tadi terkelupas kegelapan kini
telah kembali seperti sediakala!
Mereka melompat dari dalam kolam.
“Untung sekali guru kita Iblis Penggoncang Bumi memberikan
obat-obat itu tempo hari. Kalau tidak tamatlah riwayat kita...” kata
Nilamahadewi.
“Jangan keburu berbesar hati!” potong kakaknya. “Kita masih
belum terlontar keluar dari bahaya maut! Kita harus bersemedi selama tiga
hari untuk mengeluarkan sisa-sisa racun wesi kuning dari paru-paru
kita!”
Kedua gadis lesbi asli itu naik ke tingkat atas kembali. sesudah
memasukkan botol-botol obat dan menutup celah yang merupakan
lemari itu, maka keduanya mencari tempat untuk mulai bersemedi
selama tiga hari. Begitulah dahsyatnya racun wesi kuning.
Bagaimana dengan Ni Mindi Jalurkbalen? Orang tua yang malang ini
terpaksa meregang nyawa di puncak puncak gunung tanpa mengetahui bahwa
pengorbanan yang dilakukannya yaitu sia-sia belaka.
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 7
I MALAM yang gelap gulita tanpa bintang tanpa rembulan,
hanya angin malam yang bertiup menyilir dingin, kelihatan
satu sosok bayangan hitam berkelebatan gesit di luar tembok
kotaraja. Dia sampai di tembok sebelah tenggara. Tanpa suara dan
tanpa diketahui oleh lima orang pengawal yang ada di situ, sosok
tubuh itu melompat ke atas tembok yang tingginya enam tombak,
dari situ terus melompat turun memasuki kotaraja, melompat dari
satu pohon ke lain pohon, dari satu atap gudang raksasa ke lain atap gudang raksasa
sampai akhirnya tak lama kemudian dia sudah berada di wuwungan
istana!
Siapakah anak manusia yang demikian hebat ilmu mengentengi
tubuhnya hingga sanggup melompat di atas atap dan dari pohon ke
pohon begitu rupa? Untuk mengomentari pertanyaan itu kita harus
kembali pada tiga hari sebelumnya...
Di sebuah kampung kecil bernama Sukablabak yang terletak
setengah hari perjalanan dari Muntilan, pada tengah malam yang
kelam pekat, dalam sebuah pondok berdinding kayang beratap
rumbia duduklah seorang laki-laki bertubuh kecil, bermuka cekung.
Dia memelihara kumis yang tebal melintang berkeluk ke atas.
Demikian tebalnya dia punya kumis hingga amat tidak pantas
dibandingkan dengan mukanya yang kecil cekung. Sepasang
matanya yang besar senantiasa tak bisa diam, berputar-putar ke
segenap penjuru pondok. Jelas ini menandakan rasa ketidaksabaran
menyamaki dirinya.
“Ini sudah lewat tengah malam, Pandemang. Kenapa dia masih
belum muncul?”
Laki-laki berkumis melintang itu bertanya pada seorang yang
bertubuh tinggi besar di sampingnya bertampang keras kasar. Di
pinggangnya kiri kanan tersisip masing-masing sebilah sendok raksasa empat
persegi besar macam sendok raksasa pejagal ternak. Rambutnya pirang ,
memelihara kumis serta berewok.
D
“Mungkin dia mendapat halangan, Pangeran,” komentari orang
bertubuh tinggi besar bernama Pandemang. “Tapi percayalah, dia
pasti datang menepati janjinya. Bukankah kita sudah memberikan
uang serta perhiasan banyak padanya?”
“Bukan kita, tapi aku!” tukas si kumis melintang yang
dipanggilkan Pangeran itu.
“Ya, aku,” kata Pandemang pula.
“Aku, aku, bukan aku kau!” berkata-kata lagi pangeran itu.
“Ya, maksud hamba Pangeran,” kata Pandemang. Hatinya kesal.
Tapi dia sudah tahu dan terbiasa dengan sifat sang Pangeran yang
seperti itu, keras kepala, lekas marah dan tak boleh bicara salah
terhadapnya meski kebanyakan dia sendiri yang tidak mengerti
dimaksud orang.
“Aku tunggu sampai sepeminuman teh lagi,” kata pangeran itu,
“kalau dia masih belum datang, terpaksa kubatalkan rencana
semula. Dan kau Pandemang, kau harus minta kembali uang serta
perhiasan itu padanya.”
“Ah... ah... ah...! Aku sejak dari tadi sudah berada di sini,
Pangeran Ranablambang!” tiba-tiba terdengar satu suara.
Ranablambang dan Pandemang sama-sama berbalik dengan
cepat dan astaga! Orang yang mereka tunggu-tunggu ternyata sudah
duduk menjelepok enak-enakan di sudut pondok di belakang mereka
dan tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok itu menjadi bergetar.
“Bagaimana kau bisa masuk ke sini tanpa tahu kami?” tanya
Ranablambang heran. Pangeran ini dan juga Pandemang bukanlah
orang-orang yang tidak tahu ilmu tenaga dalam dan kesaktian. Telinga dan
mata mereka sudah terlatih baik. Tapi nyatanya orang yang mereka
tunggu sudah nyelonong masuk ke pondok itu tanpa mereka ketahui!
Si baju hitam menghentikan gelak tawanya dan menunjuk ke
atas. “Lewat atap itu,” katanya mengomentari pertanyaan Pangeran
Ranablambang seraya menunjuk ke atap pondok. Dan saat sang
Pangeran serta Pandemang memandang ke atas kelihatanlah
bagaimana atap pondok itu sudah berlobang besar!
Pangeran Ranablambang jadi melengak. “Tak percuma kau
digelari Dewa Maling Baju Hitam,” katanya kemudian.
Si baju hitam kembali memperdengarkan suara tertawanya lalu
berdiri dengan perlahan-lahan. “Sebaiknya kita mulai saja dengan
urusan kita, Pangeran. Nah, katakanlah apa maumu yang
sebenarnya menyuruh aku datang ke mari.”
Pangeran Ranablambang melangkah lebih dekat ke hadapan laki-
laki berpakaian hitam itu lalu berkata-kata dengan amat pelahan, “Aku
ingin kau mengambil Tombak Trisula dari kamar Sri Baginda di
istana...”
“Tombak Trisula?!” ujar Dewa Maling.
“Sst... jangan bicara keliwat keras!” ujar Pangeran
Ranablambang. “Kau harus berhasil Dewa Maling. Tombak itu sangat
kubutuhkan agar aku bisa menduduki singgasana. sebab memasuki
istana tidak gampang, apalagi senjata itu disimpan di satu tempat
rahasia di dalam kamar Sri Baginda.”
“Kau tunjukkan saja tempat rahasia itu, aku pasti berhasil
mengambil senjata yang kau inginkan,” kata Dewa Maling pula.
“Jangan menganggap remeh orang-orang di istana,” kata
Ranablambang mendesis. “Kau dengarlah penjelasanku. Tiga
langkah dari pintu kamar Sri Baginda ada sebuah lampu kuno
yang terbuat dari perak, tergantung di dinding pada sebuah paku
besar. Tekanlah paku itu tiga kali berturut-turut maka dinding kamar
yang terletak di depan lampu itu yaitu pada bagian atas kepala
peraduan Baginda akan terbuka dan di dalamnya ada sebuah lemari
besi. Lemari ini tidak mempunyai kunci tapi hanya akan terbuka bila
kau menekan sebuah tombol kegelapan di bagian samping kanannya. Di
bagian ini ada dua belas buah tombol kegelapan . Ingat, yang harus
kau tekan ialah tombol kegelapan yang ke sembilan dari tepi muka
lemari. Bila tombol itu sudah kau tekan —cukup satu kali tekan saja—
maka pintu lemari besi akan terbuka dan di dalamnya kau dapat
melihat Tombak Trisula itu. Tapi sekali-kali jangan kau segera
mengambilnya. Begitu lemari terbuka, akan terdengar suara
mendesis halus. Tunggu sampai desis itu berhenti, dan terus tunggu
sampai sebuah tombol putih muncul dengan sendirinya di bagian
atas lemari sebelah dalam. Sesudah itu baru kau bisa mengambil
Tombak Trisula. Dan sebelum pergi, jangan lupa...”
“Tunggu dulu...” bisik Dewa Maling Baju Hitam. Dan detik itu pula
tubuhnya melesat menembus lobang atap dan lenyap di luar sana.
“Ada apa?!” seru Pangeran Ranablambang dan Pandemang
terkejut. Keduanya cepat membuka pintu dan melompat terlontar keluar .
Mereka melihat Dewa Maling berlari laksana terbang ke jurusan
selatan.
“Kalian tunggu saja di pondok!” masih terdengar suara Dewa
Maling di kejauhan sebelum tubuhnya lenyap ditelan kepekatan
gelap malam.
Pangeran Ranablambang dan pembantu kepercayaannya cuma
bisa saling pandang penuh tanda tanya di dalam hati masing-masing.
Yang mereka lakukan tidak lain hanyalah tetap menunggu di pondok
ini sebagaimana yang dipesankan oleh Dewa Maling Baju
Hitam.
Hampir tiga kali peminuman teh barulah Dewa Maling kembali
dan segera dihujani pertanyaan oleh Pangeran Ranablambang serta
Pandemang begitu mereka masuk ke pondok.
“Waktu kau memberi keterangan tadi,” kata Dewa Maling, “aku
melihat bayangan seseorang di atas atap sana. Aku melompat ke
atas tapi aneh aneh saja begitu sampai di luar, orang itu lenyap! Aku tak
percaya kalau pemandangan telah menipuku. sebab nya seluruh
daerah ini kuselidik, tapi tetap astaga itu tak berhasil kutemui!”
“Mungkin sekali dia mata-mata raden ,” kata Pandemang.
Ketiga orang itu berdiam diri beberapa lamanya. Kemudian
kelihatan Pangeran Ranablambang menggelengkan kepalanya.
“Tidak mungkin,” katanya, “tak seorang mata-mata kerajaanpun
yang sanggup naik ke atas atap itu tanpa kita ketahui. Apalagi
dengan hadirnya Dewa Maling di sini!”
“Kurasa mungkin aku salah lihat,” kata Dewa Maling. Maksudnya
berkata-kata demikian ialah agar mereka jangan terlibat lebih lama dalam
segala macam dugaan itu. Meski hatinya sendiri kurang enak, Dewa
Maling kemudian berkata-kata, “Lanjutkanlah keteranganmu, Pangeran.”
“Sesudah tombol putih muncul di dalam lemari sebelah atas kau
baru boleh mengambil Tombak Trisula itu. Dan sebelum pergi jangan
lupa untuk menekan lebih dulu tombol putih itu.”
“Pangeran,” kata Dewa Maling Baju Hitam pula, “jika kau tahu
dengan jelas seluk-beluk penyimpanan senjata tumbal kerajaan itu,
mengapa tidak kau sendiri yang mencurinya?”
Pangeran Ranablambang memuntir-muntir kumisnya yang tebal
melintang lalu tertawa pelahan. “Masing-masing kita sudah
ditakdirkan punya pekerjaan dan tugas sendiri-sendiri,” katanya.
Yang sebenarnya ialah dia tak mempunyai nyali untuk melakukan hal
itu sebab istana penuh dijaga oleh pengawal-pengawal kelas satu
dan hulubalang-hulubalang istimewa yang berilmu tinggi. Di atas
semua itu raden septuaginta yaitu yang berbahaya. Sekali saja
dia gugup dan membuat kesalahan dalam melakukan pencurian itu
pasti tamatlah riwayatnya.
“Perlu aku ingatkan padamu, Dewa Maling. Istana penuh dengan
orang-orang berkepandaian tinggi, terutama raden septuaginta .
Jangan kau salah tindak sebab istana, terutama kamar Sri Baginda,
penuh dengan alat-alat rahasia.”
“Sri Baginda bagaimana?”
“Dia tak perlu kau khawatirkan. Dia tengah mengadakan
perjalanan ke daerah.”
“Baik, tapi apa yang kulakukan ini musti ada ubi ada talasnya
Pangeran,” kata Dewa Maling pula.
“Kau tak perlu khawatir!” kata Pangeran Ranablambang. Dari
dalam sabuknya diterlontar keluar kannya sebuah kantong kulit dan
diajukannya ke hadapan Dewa Maling.
“Terima ini. Limapuluh keping uang emas. Kelak jika kau sudah
berhasil menjalankan apa yang aku perintahkan, kau bakal
mendapat jabatan tinggi dalam istana!”
Dewa Maling tersenyum. Disambutnya kantong uang itu.
Disimpannya di balik pakaian hitamnya.
“Kalau Tombak Trisula sudah berada di tanganku, ke mana musti
kuantar?”
Pangeran Ranablambang mengatakan nama tempat, maka
sesaat kemudian ketiga orang itu meninggalkan pondok ini .
Pangeran Ranablambang yaitu putera Sri Baginda yang
memerintah Kesultanan Surakerto pada masa itu. Sebenarnya dia
tidak boleh memakai gelar atau sebutan Pangeran sebab dia cuma
seorang putera dari salah satu selir Sri Baginda. Namun dengan
penuh congkak dan ketinggian hati Ranablambang telah
mempredikatkan dirinya dengan sebutan itu. Dasar orang tak tahu
diuntung, meski dia tak punya hak untuk menggantikan Sri Baginda,
namun di hatinya sudah sejak lama bergejolak niat untuk menduduki
singgasana. Maka saat diketahuinya bahwa setiap pewaris takhta
kerajaan harus menerima Tombak Trisula sebagai sahnya dia
menjadi Raja, segera diaturnya rencana untuk mencuri senjata
tumbal kerajaan itu. Untuk melakukannya sendiri Ranablambang
tidak bernyali meski dia memiliki kepandaian yang tinggi. Maka
melalui seorang pembantu kepercayaannya yakni Pandemang,
disuruhnyalah laki-laki itu menemui seorang tokoh tenaga dalam golongan
hitam yang dikenal dengan nama gelaran Dewa Maling Baju Hitam.
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 8
ENGAN mengandalkan ilmu lari serta ilmu meringankan
tubuhnya ditambah dengan pakaian hitam dan kegelapan
malam yang turut membantunya, dengan mudah pada
akhirnya Dewa Maling sudah berada di atas wuwungan istana. Meski
dia sudah diberi tahu jelas setiap liku-liku istana dan tempat
penyimpanan Tombak Trisula, namun dia tak mau memandang
enteng orang-orang yang ada di dalam istana. Terutama raden
septuaginta yang berumur setengah abad lebih itu, ilmu
kepandaiannya tak bisa dibuat main!
Dari tempatnya berada saat itu Dewa Maling dapat melihat kira-
kira lima puluh orang pengawal tingkat rendah berada di sekeliling
istana. Kemudian ditambah lagi dengan dua puluh hulubalang yang
berkepandaian tinggi.
“Berabe juga,” kata Dewa Maling dalam hati.
Tapi dia sudah mempunyai akal. Laksana seekor burung walet dia
melompat ke satu bagian yang gelap di halaman samping istana.
Dengan mengendap-endap didekatinya seorang pengawal. Sekali
totok saja pengawal itu sudah tak berdaya. Di tempat gelap
dibukanya pakaian pengawal itu lalu sesudah membuka pakaiannya
pula, dengan cepat dikenakannya pakaian si pengawal.
Di tangga istana ditemuinya seorang hulubalang. sesudah menjura
pada hulubalang itu dia berkata-kata, “raden septuaginta
mengharapkan kedatangan hulubalang dengan segera sebab ada
satu urusan penting.”
sebab yang menyampaikan pesan itu seorang bawahannya
tentu saja sang hulubalang tidak menaruh curiga.
“Di mana raden berada?”
“Ikutilah saya,” komentari si pengawal alias Dewa Maling.
Maka hulubalang itupun mengikuti pengawal ini . Sampai di
tempat gelap Dewa Maling tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan
secepat kilat menotok pangkal leher sang hulubalang. Dalam
D
keadaan tak berdaya hulubalang itu dilucutinya pakaiannya. Dengan
menyamar sebagai seorang hulubalang, dengan mudah Dewa Maling
memasuki istana, langsung menuju di mana terletaknya kamar Sri
Baginda.
Di pintu kamar berdiri dua orang hulubalang berkepandaian
tinggi. Dewa Maling tidak takuti mereka. Tetapi membuat kekerasan
sama saja dengan mengundang datangnya bahaya. Dengan langkah
gagah Dewa Maling sampai di hadapan kedua hulubalang itu.
“Kalian bersiap-siaplah. Sebentar lagi raden septuaginta akan
datang ke sini menggeledah kamar Sri Baginda,” kata Dewa Maling.
Kedua hulubalang itu heran. Salah seorang dari mereka bertanya,
“Memangnya ada apakah?”
“Kau yang mengawal kamar ini apa masih belum tahu? Betul-
betul keterlaluan kalian! Apa saja yang kalian buat di sini?”
Semakin heran kedua hulubalang itu dan mereka bertanya lagi,
“Ada apakah?!”
“Seorang jahat diketahui telah menyelinap masuk ke dalam
kamar ini!” kata Dewa Maling pula.
“Apa?!” ujar dua hulubalang terkejut hampir bersamaan.
“anak manusia -anak manusia tolol! Kalian tidur saja di sini! Lihatlah pintu di
belakang kalian yang terbuka itu!”
Mendengar ucapan itu kedua hulubalang serentak membalikkan
tubuh. Begitu mereka ke dalam. Dengan cepat kemudian pintu
kamar ditutupkan kembali.
Sesuai dengan keterangan Pangeran Ranablambang, tiga
langkah di sebelah kanan pintu, pada dinding tergantunglah sebuah
lampu dari perak bakar berukir-ukir bagus sekali buatannya. Dewa
Maling Baju Hitam menekan paku besar di mana lampu itu
tergantung, tiga kali berturut-turut. Di belakangnya terdengar suara
barang bergerak gerak . saat dia berpaling dilihatnya dinding kamar di
atas kepala peraduan Sri Baginda terbuka dan tampaklah sebuah
lemari besi. Cepat Dewa Maling melangkah ke hadapan lemari.
Ditelitinya sejenak lalu dilihatnya deretan tombol-tombol kegelapan di
samping kanan lemari besi itu, semuanya ada 12 buah.
Dengan hati-hati Dewa Maling menekan tombol kegelapan yang
kesembilan dari sebelah muka lemari. Ia menunggu dengan
berdebar. Lalu dilihatnya pintu lemari terbuka dan di dalamnya
tampaklah sebuah tombak pendek yang ujungnya bercabang tiga.
Sinar senjata mustika tumbal kerajaan itu bukan saja menerangi
seluruh lemari, tapi juga menyeruak sampai ke muka Dewa Maling,
menyilaukan mata laki-laki ini.
Sewaktu pintu lemari besi itu terbuka, terdengarlah suara
mendesis. Begitu suara mendesis pada bagian atas lemari lenyap,
dari sebelah dalam muncullah sebuah tombol putih. Inilah saat di
mana Dewa Maling harus mengambil Tombak Trisula. Diulurkannya
tangannya mengambil senjata mustika tumbal kerajaan itu.
Pada saat Dewa Maling mengambil Tombak Trisula, di luar kamar
dua orang hulubalang sampai di hadapan pintu. Setiap dua jam
sekali, hulubalang-hulubalang yang mengawal pintu kamar Sri
Baginda selalu diganti. Tentu saja kedua hulubalang ini terheran
melihat kamar itu tiada berpengawal sama sekali.
“Ke mana hulubalang-hulubalang yang seharusnya ada di sini?!”
tanya salah seorang dari mereka.
“Aku khawatir ada sesuatu yang tidak beres. Kau menyelidiklah
ke ujung gang sebelah sana, aku akan memeriksa kamar Sri
Baginda.”
Dengan cepat hulubalang yang satu itu membuka pintu kamar. Di
dalam kamar, Dewa Maling yang bertelinga tajam telah mendengar
percakapan kedua hulubalang itu. Maka dengan cepat dia
menyelinap di samping pintu sebelah kiri. Sewaktu pintu terbuka
tubuhnya tertutup oleh daun pintu. Dan selangkah lagi hulubalang itu
masuk ke dalam kamar, Dewa Maling mengayunkan tinjunya ke
batok kepala hulubalang itu. Dengan mengeluarkan keluhan pendek
si hulubalang tersungkur di lantai.
Dewa Maling cepat terlontar keluar dari kamar itu.
Tapi...!
Wutt...!
Angin keras menyambar perutnya. Dia terkejut bukan main dan
terpaksa melompat ke belakang mencari selamat. Yang
menyerangnya ternyata yaitu hulubalang yang tadi disangkanya
telah jatuh pingsan.
“Kurang ajar! Makan ini!” kertak Dewa Maling lalu mengirimkan
satu tendangan ke dada lawan.
Sret!
Si hulubalang mencabut pentungan nya dan memapas kaki Dewa
Maling dengan senjata itu. Mau tak mau Dewa Maling terpaksa
menarik pulang kakinya kembali. Dengan beringas dia melompat dan
dari atas mengirimkan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat.
Namun lagi-lagi lawannya sanggup berkelit. Angin pukulan
menghantam lantai kamar. Permadani yang menutupi lantai itu
robek robek bertaburan sedang lantai batu pualam hancur berkeping-
keping dan seantero kamar bergetar laksana digoncang lindu!
Si hulubalang begitu mengelak dengan sigap melancarkan
serangan. pentungan nya berkiblat empat kali berturut-turut!
“Setan alas!” maki Dewa Maling penasaran. Tangan kanannya
yang memegangi Tombak Trisula digerakkan.
Trang!
pentungan di tangan si hulubalang patah dua. Hulubalang itu
berseru kaget kelangit dan lekas melompat ke belakang. Namun lebih cepat
dari gerakannya itu, Tombak Trisula meluncur menusuk dadanya.
Hulubalang ini mengeluh pendek. Sesudah itu tubuhnya
terguling di atas permadani dengan tiga lobang luka di dadanya!
Di luar terdengar suara langkah-langkah kaki mendatangi. Dewa
Maling menuju ke pintu dengan cepat. Justru pada saat itu
hulubalang-hulubalang istana yang berkepandaian tinggi tengah
memasuki itu kamar. Tanpa pikir panjang Dewa Maling memegangi
daun pintu dan membantingkannya. Tiga orang hulubalang tak
keburu mengelak. Dada dan tubuh mereka dihantam daun pintu
dengan kerasnya. Ketiganya kontan roboh tak sadarkan diri dengan
hidung masing-masing bercucuran darah!
Sewaktu raden septuaginta dan lima orang hulubalang sampai
di kamar ini , Dewa Maling sudah melarikan diri lewat jendela.
“Jaga dengan ketat seluruh tembok kotaraja!” kata raden
septuaginta .
Sehabis memberi perintah itu dia segera melompati jendela dan
lenyap. septuaginta berumur setengah abad lebih. Dalam ilmu dan
kesaktian dia termasuk golongan tokoh-tokoh yang disegani. Otaknya
yang cerdik segera dapat menarik kesimpulan bahwa seorang maling
tingkat tinggi pastilah tidak akan melarikan diri lewat jalan biasa.
sebab nya, begitu tiba di halaman samping istana, septuaginta tak
ayal lagi segera melompat ke atas wuwungan. Apa yang diduganya
ternyata tidak meleset. Begitu dia menginjakkan kakinya di atas
wuwungan, pada ujung atap istana sebelah utara dilihatnya dalam
kegelapan berkelebatan sesosok tubuh berpakaian hulubalang.
Sebelumnya raden septuaginta sudah diberi tahu bahwa pencuri
yang menyusup ke dalam istana itu menyamar atau berpakaian
sebagai seorang hulubalang!
Dengan mengertakkan geraham, raden ini segera lari di
sepanjang atap mengejar maling ini .
Sementara itu sambil lari dilihatnya belasan hulubalang dan
puluhan pengawal-pengawal tingkat tinggi telah bertebar berjaga-
jaga di setiap sudut. Dapat dipastikan bahwa si pencuri tak akan bisa
lolos begitu saja!
Sewaktu raden septuaginta sampai di ujung atap sebelah utara
istana, dia jadi amat penasaran sebab orang yang dikejarnya lenyap
tiada bekas. Di bawah dilihatnya dua orang hulubalang dan sembilan
pengawal kelas satu berjaga-jaga.
“Tak mungkin pencuri itu lolos dari sini tanpa diketahui orang-
orang di bawah sana,” kata septuaginta dalam hati. “Pasti dia
bersembunyi di sekitar sini.”
Baru saja sang patih kerajaan berpikir begitu, di ujung barat
didengarnya suara hiruk pikuk dan seruan, “Api! Api!”
saat septuaginta berpaling ke barat, benar saja, dilihatnya atap
istana tenggelam dalam kobaran api.
“Pengawal-pengawal kelas II dan kelas III lekas padamkan api!
Yang lain-lain tetap di tempat! Ini yaitu pancingan musuh!” teriak
septuaginta dengan suara lantang mengandalkan tenaga dalam
hingga terdengar ke segala penjuru.
Dengan matanya yang tajam septuaginta memandang teliti ke
segenap penjuru, terutama ke tempat-tempat yang gelap.
“Heran, ke mana perginya maling itu.” kata Sang Patih pada
dirinya sendiri. Lalu berserulah dia, “Maling edan! Sebaiknya
menyerahlah! Kau sudah terkurung, tak mungkin bisa kabur!”
Baru saja raden septuaginta berseru demikian, mendadak di
bawahnya terdengar teriakan, “Itu dia malingnya! Lekas kejar! Itu dia
malingnya... lekas kejar!”
Tak ayal lagi para hulubalang dan pengawal-pengawal yang ada di
situ segera ikut mengejar. raden septuaginta segera pula hendak
menggerakkan kakinya. Tapi sekilas pikiran timbul tenggelam dalam benaknya
yang cerdik dan berpengalaman. Dia tetap di tempatnya dan
memandang ke bawah dengan seksama. Dari tempatnya berdiri itu
jelas dilihatnya hulubalang yang tadi berteriak dan menuding sambil
berlari, memperlambat larinya hingga akhirnya dia tinggal seorang
diri di belakang!
“Pasti dia astaga nya!” kertak septuaginta . Tanpa membuang
tempo lagi dia melompat ke bawah.
Selagi tubuhnya melayang di udara, mendadak tampak belasan
benda berkilauan menyambar ke arahnya. Ternyata hulubalang di
bawah sana telah melemparkan senjata-senjata rahasia kepada
Sang Patih.
“Maling besar! Jangan harap kau bisa lolos hidup-hidup dari sini!”
teriak septuaginta . Tangan kirinya dipukulkan ke lawan. Belasan
senjata rahasia yang menyerangnya berpelantingan.
Di bawahnya terdengar kekehan si hulubalang yang memang
bukan lain yaitu Dewa Maling adanya. “septuaginta , kau memang
cerdik. Kejar dan tangkaplah aku!”
Dewa Maling Baju Hitam berkelebatan ke tembok istana yang saat
itu sudah tak dijaga lagi sebab hulubalang-hulubalang dan para
pengawal telah berlarian mengejar ‘maling’ yang tadi diteriakinya!
“Ayo kejar aku!” tantang Dewa Maling kembali begitu dia
menginjakkan kakinya di atas tembok.
Sebagai asia kecil ban, sambil melesat mengejar, raden septuaginta
melepaskan satu pukulan tangan kosong yang hebat. Tembok istana
hancur berantakan, tapi Dewa Maling sudah lenyap dari situ. Hanya
suara kekehannya terdengar di pohon besar di luar tembok istana.
“Kurang ajar! Kau mau lari ke mana, hah?!” kertak septuaginta
dan segera menyusul.
Kedua orang itu untuk beberapa lamanya saling kejar mengejar di
atas atap-atap gudang raksasa penduduk dan kemudian, untuk kedua kalinya
septuaginta kehilangan orang kejarannya itu di sebelah timur
kotaraja.
Ke mana pulakah lenyapnya Dewa Maling saat itu?
Sesungguhnya dia tak berada jauh dari Sang Patih kerajaan. Dengan
mengandalkan ilmunya yang dinamakan Cecak Merayap di Atap,
Dewa Maling laksana seekor cecak ‘menempelkan’ dirinya di bawah
ujung atap gudang raksasa penduduk yang gelap!
Sewaktu dilihatnya patih itu pergi ke jurusan lain segera Dewa
Maling bergerak gerak ke jurusan yang berlawanan dan akhirnya sampai di
tembok kotaraja yang dikawal ketat. Para pengawal yang bertugas di
sini disamping berjaga-jaga mereka juga asyik membicarakan
tentang menyusupnya seorang maling lihay yang berhasil mencuri
senjata mustika tumbal kerajaan. Dewa Maling tidak takutkan
pengawal-pengawal ini malah dengan sikap keren dia melangkah ke
hadapan mereka dan membentak,
“Kalian kunyuk-kunyuk dogol semua! Kawan-kawan kalian
bertempur mati-matian di depan masjid mengeroyok maling
penyusup! Kalian enak-enakan ngobrol di sini! Lekas bantu mereka!
Biar aku yang berjaga-jaga di tempat ini!”
Mendengar bentakan yang menggeledek itu, tanpa curiga dan
banyak tanya para pengawal dan hulubalang-hulubalang yang ada di
situ segera lari menuju ke tempat di mana dikatakan terjadi
pertempuran hebat.
“Dasar anak manusia -anak manusia tolol!” ujar Dewa Maling penuh geli.
Kemudian segera dilompatinya tembok tinggi batas kerajaan dan
dalam tempo yang singkat dia sudah lenyap di kegelapan malam.
Namun belum lagi sepeminuman teh berlalu, Dewa Maling
merasa ada seseorang yang mengejarnya di belakang. Dan belum
sempat dia memalingkan kepala, satu bentakan nyaring terdengar
sejarak sepuluh tombak di belakangnya.
“Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, astaga pencuri!”
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 9
ADA waktu prajurit-prajurit pengawal dan para hulubalang lari
secepatnya menuju ke masjid, mereka berpapasan dengan
raden septuaginta .
“Kalian mau ke mana?!” tanya Sang Patih heran.
“Di depan masjid tengah terjadi pertempuran. Maling yang
mencuri Tombak Trisula sedang dikeroyok. Kami ke sana untuk
memberikan bantuan,” menerangkan salah seorang hulubalang.
Heranlah raden septuaginta . Dia barusan lewat menyelidik di
depan masjid dan di sana tak terjadi keributan apa-apa, apalagi
pertempuran.
“Kalian telah kena tipu!” kata septuaginta pula. “Dari siapa kalian
tahu ada pertempuran di depan masjid?”
“Seorang hulubalang kelas satu mengatakannya pada kami!”
“Kalian tolol semua!” bentak Sang Patih gusar bukan main.
Diikuti oleh pengawal-pengawal serta hulubalang-hulubalang itu
dia segera menuju ke tembok timur.
“Mana dia?!” tanya septuaginta dengan mata membeliak.
“Tadi..., tadi... dia bilang akan berjaga-jaga di si...”
Plaak!
Tamparan Patih septuaginta mendarat di pipi hulubalang itu
hingga ucapannya yang tergagap-gagap ketakutan terputus sampai
di situ.
sesudah memaki habis-habisan, tanpa membuang tempo Sang
Patih segera melompati tembok kerajaan dan lenyap dari
pemandangan orang-orang ini .
Kurang dari sepeminuman teh dia berlari, di depannya dilihatnya
seorang berpakaian hulubalang berlari dengan sebat sekali. Nyatalah
orang itu memiliki ilmu lari yang lihay dan disamping itu, septuaginta
merasa gembira sebab inilah anak manusia yang dicari-carinya. raden
yang berumur setengah abad lebih ini segera mengerahkan pula ilmu
larinya yang tak kalah hebat dan dalam tempo singkat dia berhasil
P
mendekati orang yang dikejarnya dalam jarak sepuluh tombak. Maka
membentaklah dia, “Jangan harap kau bisa kabur seenaknya,
astaga pencuri!”
Orang yang lari di depan terkejut dan memalingkan kepalanya.
Ternyata dia memanglah Dewa Maling Baju Hitam.
“septuaginta ! Kau keliwat setia mengikutiku terus-terusan. Aku
akan beri hadiah atas kesetiaanmu itu! Ini terimalah!” kata Dewa
Maling. Lalu dalam jarak kurang dari delapan tombak dia
menghantamkan tangan kanannya ke belakang.
raden septuaginta yang tengah lari kencang tak punya
kesempatan untuk menangkis, dengan serta merta membuang diri
ke samping kiri.
Wuss!
Angin pukulan lawan lewat di sampingnya, keras dan panas
bukan main.
Braak!
Angin pukulan yang lewat terus menghantam sebuah pohon
besar. Bukan saja pohon itu menjadi hangus hitam sampai ke
ranting-rantingnya tetapi juga tumbang dengan mengeluarkan suara
bergemuruh.
“Kau berkelit dari seranganku, septuaginta ! Berarti kau masih
mau hidup. Kalau mau terus bernafas kunasihatkan padamu agar
kembali ke kotaraja!”
raden septuaginta mendengus. Dalam jarak sedekat itu kini dia
bisa melihat jelas anu si pencuri. Hatinya terkejut. Tak disangkanya
yang melarikan Tombak Trisula itu yaitu Dewa Maling Baju Hitam,
seorang tokoh pencuri yang terkenal lihay di dunia pertenaga dalam an. Pantas
saja dia sanggup melarikan senjata tumbal kerajaan itu.
“Sebelum kuterima nasihatmu, kau dengar dulu nasihatku!”
mengomentari septuaginta . “Lekas serahkan kembali Tombak Trisula.
Dan kepalamu itu akan selamat dari kehancuran!”
Dewa Maling tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Patih itu.
“Kau jauh dari sarangmu, raden ! Kalau bicara jangan kelewat
sombong!”
“Lekas kembalikan Tombak Trisula itu!”
“Silahkan ambil sendiri!” sahut Dewa Maling Baju Hitam
seenaknya dan sambil menimang-nimang Tombak Trisula yang
dipegangnya di tangan kiri.
raden septuaginta gusar bukan main. Namun dia tak segera
turun tangan. Ada beberapa hal yang harus diketahuinya. Pertama,
meski Dewa Maling terkenal sebagai pencuri kelas wahid yang tak
ada bandingannya di dunia pertenaga dalam an namun bagaimana dia bisa
berhasil mencuri Tombak Trisula sedang senjata mustika itu
disimpan di tempat yang paling tersembunyi dan penuh dengan
senjata-senjata rahasia yang mengancam jiwa setiap orang yang
berani mengambilnya secara sembarangan?
Hal kedua yang ingin diketahui oleh raden septuaginta ialah
apakah ada seseorang yang bersembunyi di belakang pencuri itu dan
sekaligus memberi tahu seluk-beluk penyimpanan Tombak Trisula,
dengan kata lain seorang telah memperalat Dewa Maling Baju Hitam!
“Dewa Maling, untuk apa olehmu Tombak Trisula tumbal kerajaan
itu? Sekalipun kau memilikinya jangan harap kau bakal bisa menjadi
raja!”
Kembali Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
“Aku mau jadi raja atau mau jadi setan pelayangan, itu bukan
urusanmu, raden !” sahutnya.
“Jika kau mau mengembalikan senjata itu dan menerangkan
siapa orang yang berdiri di belakangmu, aku akan bikin habis
persoalan. Dan disamping itu aku akan berikan hadiah besar
untukmu.”
“Sudahlah, raden . Kau kembalilah ke Kotaraja. Kenapa
memusingkan benda yang bukan milik bapak moyangmu?”
Marahlah raden septuaginta . “Aku bertanggung komentari atas
segala apa yang terjadi di kerajaan!” katanya. “Kalau kau tetap keras
kepala, jangan harap kau bakal melihat matahari pagi!”
“Kalau begitu kau yang sebetulnya buru-buru inginkan mati,
septuaginta ! Marilah kutolong kau mencari jalan ke neraka!” Habis
berkata-kata begitu Dewa Maling Baju Hitam melompat dan menyerang
dengan mempergunakan Tombak Trisula. Senjata mustika bermata
tiga itu menusuk sebat ke dada raden septuaginta .
Trang!
Bunga api berpercikan.
Dewa Maling Baju Hitam kaget kelangit bukan main. Dia hampir tak
melihat kapan lawannya itu mencabut pentungan yang tergantung di
pinggang kirinya dan tahu-tahu senjata itu sudah berada di
tangannya, dipakai untuk menangkis serangan Tombak Trisula!
Memang dalam ilmu pentungan , raden septuaginta memiliki
kepandaian yang tinggi sekali. Pada umur tiga puluh lima tahun dia
sudah dijuluki sebagai Raja pentungan dari Pajang dan kini dalam umur
setengah abad lebih ternyata ilmu kepandaiannya semakin tinggi!
Meski Dewa Maling terkejut bukan main, tapi Sang Patih pun tak
kurang kaget kelangit nya. Sewaktu bentrokan senjata tadi, lengannya
tergetar keras dan kesemutan. Bahkan saat ditelitinya salah satu
bagian mata pentungan nya telah rompal akibat beradu dengan Tombak
Trisula!
Melihat betapa ampuhnya senjata mustika yang dipakai tumbal
kerajaan itu, Patih septuaginta maklum bahwa saat itu dia tak boleh
membuang-buang waktu. Maka begitu menyerang dia segera
mengeluarkan ilmu pentungan nya yang paling hebat dan selama ini
menggetarkan dunia pertenaga dalam an di asia kecil Tengah!
Di lain pihak Dewa Maling memaklumi pula bahwa dalam ilmu
tenaga dalam bersenjata dia hanya akan sanggup melayani Raja pentungan dari
Pajang itu dalam tempo yang singkat. Untuk itu dia harus
mengandalkan kegesitan atau mengusahakan menghantam pentungan
lawan dengan Tombak Trisula, atau cepat-cepat angkat kaki dari situ
dengan mempergunakan tipu muslihat! Namun meski bagaimanapun
kegusaran yang ada di hati Dewa Maling membuat laki-laki ini
memutuskan untuk melayani terlebih dulu Sang Patih sampai
beberapa puluh jurus. Demikianlah maka kedua orang berilmu tinggi
itu saling bertempur dengan hebatnya dalam gelapnya malam.
Dua puluh jurus berlalu. Saat itu Dewa Maling sudah berada di
bawah angin. Serangan pentungan lawan datang bertubi-tubi, kadang-
kadang mencurah laksana air hujan.
“astaga tua ini lihay betul!” maki Dewa Maling Baju Hitam dalam