Selasa, 11 Februari 2025

bobo dikuburan 13


 ! Kami berdua utusan orang-orang Kurawa, datang ke 

sini untuk mengambil pengantin laki-laki!” 

“Jangan membanyol tak karuan di sini!” sentak Kebopamenang. 

“Eh, siapa yang membanyol?!” ujar si dara yang di sebelah kiri. 

“Dengar! Ini bukan perjamuannya orang-orang gila! Pergilah dari 

sini!” 

“Mulutmu keliwat sembrono, Kebopamenang! Aku Nilamahadewi 

akan memberi sedikit pelajaran padamu!” 

Habis berkata-kata begitu, entah kapan tangannya bergerak gerak  tahu-tahu, 

plaak! Sebuah tamparan menghantam mulut si Kepala Desa hingga 

bibirnya pecah dan sebuah giginya tanggal! 

“gadis lesbi asli   keparat!” teriak Kebopamenang marah bukan main. 

Tangan kanannya yang membentuk tinju laksana kilat dipukulkan ke 

batok kepala Nilamahadewi. 

“Tua bangka tolol! Pergilah ke atas panggung sana!” seru 

Nilamahadewi. Kedua tangannya digerakkan ke muka. Begitu lengan 

si Kepala Desa berhasil ditangkapnya terus diputar dan sesaat 

kemudian tubuh Kepala Desa itu benar-benar dilempar melayang ke 

atas panggung, melabrak sebagian wayang-wayang golek lalu terus 

menubruk ki dalang hingga suasana di atas panggung jadi hiruk 

centang perenang! 

Semua orang kaget kelangit  bukan main. Beberapa di antaranya ada yang 

maju ke muka untuk memberi hajaran pada gadis lesbi asli  -gadis lesbi asli   yang berani 

berlaku kurang ajar itu. Tapi! Apa yang hendak mereka lakukan itu 

tidak kesampaian. Sebaliknya mereka menjadi tambah kaget kelangit  bukan 

main sebab  saat itu kedua gadis lesbi asli   berpakaian kuning tadi sudah tidak 

ada! Dan lebih-lebih kaget kelangit  lagi sebab  pengantin laki-laki pun lenyap 

dari pelaminan sedang pengantin dewi lesbi  tampak menjerit-jerit! 

“Kalian mau bawa ke mana aku?!” tanya penulis  yang dilarikan 

itu. Tubuhnya berada di atas bahu kiri Nilamaharani dan dalam 

keadaan tertotok. Namanya Mahesa Munggul. Dialah penulis  yang 

menjadi menantu Kepala Desa Kebopamenang yang kini dilarikan 

oleh Nilamaharani dan adiknya. 

“Jangan khawatir, kau tak akan kehilangan masa pengantin 

barumu, Mahesa Munggul...” 

“Aku tak kenal kau dari mana, kau tahu namaku? Apa maksudmu 

melarikan diriku?!” 

Nilamaharani tertawa. “Kau tidak mengenal aku itu tidak perlu! 

Malam pengantin baru kelak bakal kau temui bersamaku...” 

Kembali Nilamaharani hendak tertawa tapi tak jadi sebab  

adiknya memotong dengan ilmu penyusupan suara, “Kakakku! 

Jangan bicara terlalu ceroboh seperti itu!” 

“Apa maksud malam pengantin baru bersamamu itu!” kembali 

Mahesa Munggul mengajukan pertanyaan. Meskipun dirinya dipang–

gul oleh seorang dara jelita serta ucapan dara itu bisa membuat hati 

seorang penulis  bergelora, tapi saat itu Mahesa Munggul merasa 

sangat tidak enak. 

“Sudahlah, kau jangan banyak tanya!” kata Nilamaharani pula. 

Tak lama kemudian Mahesa Munggul melihat dirinya dibawa 

masuk menyeruak sebuah semak belukar. Dia heran sekali sebab  

sesudah itu ternyata dia memasuki sebuah ruangan yang diterangi 

dengan sebuah pelita aneh aneh saja . Belum habis rasa herannya itu dia sudah 

dibawa pula memasuki satu kamar bagus dan dirinya dibaringkan di 

atas tempat tidur yang empuk. 

Bau harum yang aneh aneh saja  dan merangsang menabur hidung penulis  

itu. Dilihatnya api pelita di dalam ruangan bertambah kecil sedang 

bau harum yang merangsang makin bertambah-tambah. 

“Lepaskan totokan di tubuhku,” katanya dengan suara keras. Dia 

merasa heran ke mana perginya dara baju kuning yang satu lagi. 

Sebaiknya Nilamaharani melontarkan senyum memikat dan 

duduk di tepi tempat tidur. Dipegangnya lengan penulis  itu dan 

berkata-kata, “Dengar Mahesa. Kalau kau bersikap menurut akan kusela–

matkan jiwamu. Kalau kau keras kepala...” 

“Kau mau berbuat apa terhadapku?!” 

“Ah, jangan bicara membentak begitu padaku, Mahesa...” kata 

Nilamaharani. Tiba-tiba dibungkukkannya kepalanya. Bibirnya 

menyentuh bibir penulis  itu. 

Seorang penulis  sudah barang tentu tak akan menolak jika 

dicium oleh dara jelita seperti Nilamaharani. Tapi di saat itu Mahesa 

Munggul merasakan satu keaneh aneh saja an yang mendirikan bulu 

tengkuknya.

Nilamaharani tertawa kecil. Nafasnya jelas memburu dan 

memanasi anu  Mahesa Munggul. Diciumnya lagi penulis  itu 

dengan penuh nafsu sedang tangannya merayap ke bawah pinggang. 

Jika saja Mahesa Munggul saat itu tidak berada dalam keadaan 

ditotok mungkin dia sudah melompat dari atas tempat tidur itu! 

“gadis lesbi asli   hina dina! Lekas kau lepaskan totokanku!” teriak Mahesa 

Munggul menggeledek. 

Nilamaharani tertawa lagi, tertawa lagi dan tangannya menjalar 

semakin berani... semakin berani hingga sekujur tubuh Mahesa 

Munggul menggeletar dilanda rangsangan yang tak pernah dirasa–

kannya sebelumnya. saat  Nilamaharani melepaskan totokan di 

tubuhnya, penulis  ini sudah lupa daratan dan lupa segala apa yang 

dimarah dan dingerikannya. Dengan keberingasan seorang penulis  

yang ditelan nafsu birahi, ditariknya tubuh Nilamaharani ke atas 

tempat tidur. Dipeluknya ketat-ketat laksana seekor ular menggelung 

hendak mengamuk mangsanya. gadis lesbi asli   itu tertawa dan menggeliat-

liat. Sementara itu pelita kayu yang menancap di dinding detik demi 

detik semakin kecil dan suram hingga akhirnya ruangan itu menjadi 

gelap. Hal ini tidak terperhatikan lagi oleh Mahesa Munggul yang 

benaknya sudah tertutup nafsu. 

***

Sebuah gerobak barang yang memuat segala macam sayur-

mayur meluncur di jalan buruk yang menuju ke Desa Tembilangan. 

Saat itu pagi hari. Udara sepanjang jalan terasa segar. Gerobak itu 

dikemudikan oleh seorang laki-laki separuh baya. Di sampingnya 

duduk seorang anak laki-laki empat belas tahun. 

“Menurut Ayah, apakah anak kepala desa yang jadi pengantin itu 

dilarikan oleh makhluk jadi-jadian yang menyaru gadis lesbi asli   cantik?” 

“Aku tidak tahu, Nak. Tapi apa yang terjadi ini benar-benar luar 

biasa. Sejak malam tadi seluruh penduduk ikut membantu mencari 

Mahesa Munggul, dan sampai pagi ini penulis  itu masih belum 

berhasil ditemukan...” 

“Kemungkinan... jangan-jangan dia sudah dibunuh, Ayah.” 

“Huss! Mulutmu enak saja bicara begitu!” kata ayah si anak. 

Tapi baru saja dia berkata-kata demikian tiba-tiba kuda betina  penarik 

gerobak yang dikemudikannya meringkik keras dan menaikkan 

kedua kaki depannya hingga gerobak sayur itu hampir saja terbalik 

bersama isi-isinya. 

Laki-laki pengemudi gerobak dan anaknya melompat dari atas 

gerobak. Di tengah jalan beberapa langkah di hadapan mereka 

bergelimpangan sesosok tubuh laki-laki yang tidak mengenakan 

pakaian barang selembar benang pun. Sekujur tubuhnya penuh 

dengan benjat-benjut bekas pukulan. Dengan langkah gemetar, 

pengemudi gerobak sayur itu mendekati sesosok tubuh di tengah 

jalan itu. Meski sebagian besar muka orang yang terhantar di tengah 

jalan itu rusak serta dilumuri darah tapi pengemudi gerobak masih 

bisa mengenali siapa dia adanya. Bahkan anak laki-lakinya yang juga 

mengenali berteriak, “Ay... ayah! Ini yaitu  Mahesa Munggul! Anak 

kepala desa kita!” 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 5

I PUNCAK-PUNCAK dan lereng-lereng puncak gunung  sejak pagi tadi 

kelihatan berkelebatan  kian kemari satu makhluk kuning. Dari 

jauh kelihatannya seperti seekor burung raksasa yang tengah 

mencari-cari mangsa untuk pengisi perutnya. Tapi bila didekati 

ternyata dia bukan lain seorang anak manusia  juga adanya yaitu seorang 

nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  berjubah kuning. Dengan mengandalkan ilmu 

meringankan tubuh serta ilmu larinya yang hebat dia berkelebatan  kian 

kemari seolah-olah ada sesuatu yang sedang diselidik dan dicarinya. 

Dengan terbungkuk-bungkuk dia berdiri di puncak sebuah puncak gunung  

yang paling tinggi lalu memandang berkeliling. 

“Heran,” katanya dalam hati, “seluruh puncak gunung  bahkan sampai ke 

Hutan Bintaran telah kuselidik. Tapi di mana kedua murid murtad itu 

berada?”

nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  ini memandang lagi berkeliling. Matanya yang 

hampir putih dan kabur itu lebih tajam dari mata seekor burung 

elang. Tapi ketajaman yang dimilikinya kali ini tak berdaya untuk 

menjalankan tugasnya. 

Sampai rembang petang, bahkan sampai matahari tenggelam 

dan siang berganti malam, nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  itu masih juga berkelebatan  

kian kemari. Namun akhirnya dia tahu apa yang dilakukannya itu 

yaitu  sia-sia belaka. Maka dia kembali ke puncak puncak gunung  yang paling 

tinggi dan duduk bersila di situ bersemedi. 

Sewaktu bintang-gumintang mulai bersembulan di angkasa raya, 

sewaktu rembulan tampak memunculkan dirinya di langit biru maka 

dari puncak puncak gunung  yang paling tinggi itu terdengarlah suara nyanyian 

yang menggema ke seluruh penjuru bahkan masuk ke dalam Hutan 

Bintaran membuat burung-burung hantu yang tadinya mengeluarkan 

suara yang menegakkan bulu roma kini diam gelisah. 

Seluruh bepuncak gunung an dan hutan belantara, seluruh kepekatan 

malam serta siuran angin dingin, telah dicengkam oleh suara 

nyanyian itu. 

D

Hidup sebatang kara 

Penuh sedih dan derita 

Tapi punya dua murid murtad celaka 

Lebih sedih lebih derita

Diam sebentar, terdengar suatu helaan nafas panjang, lalu untuk 

kedua kalinya kembali terdengar suara nyanyian itu. 

Hidup sebatang kara 

Penuh sedih dan derita 

Tapi punya dua murid murtad celaka 

Lebih sedih lebih derita 

Dari pagi sampai malam 

Delapan penjuru sudah kuperiksa 

Entah di mana mereka berada 

Namun aku tak putus asa 

Yang salah yang jahat dan kotor 

Pasti akan musnah 

sebab  isi dunia ini punya Tuhan Yang Kuasa 

Kalau kini belum bertemu 

Kelak nanti akan ketemu 

Kebenaran akan datang 

Hukum akan jatuh 

Namun masih ada satu jalan 

Jika dua murid murtad datang minta ampun 

Hukuman Tuhan pasti akan lebih ringan... 

Demikianlah sampai larut malam suara nyanyian itu masih juga 

terus terdengar dari puncak puncak gunung  diulang-ulang dari baris pertama 

sampai baris terakhir. 

Menjelang dinihari, di sebuah tempat rahasia di salah satu puncak gunung , 

dua orang gadis lesbi asli   berpakaian kuning duduk saling pandang. Mereka 

yaitu  Nilamaharani dan adiknya Nilamahadewi. 

“Aku yakin suara nyanyian yang bergema sejak permulaan malam 

tadi yaitu  suara guru. Bagaimana pendapatmu? Apa yang harus 

kita lakukan?” bertanya Nilamahadewi kepada kakaknya. 

Nilamaharani merenung sejenak. Lalu katanya, “Kita tunggu saja. 

Lambat laun dia tentu akan letih sendiri dan pergi meninggalkan 

tempat ini.” 

Sang adik menggeleng. 

“Kita sama tahu sifat guru,” katanya, “sekali dia melakukan 

sesuatu sampai kapan pun tak akan dihentikannya sebelum 

berhasil!”

“Dia tak tahu tempat rahasia kita ini.” 

“Tapi aku yakin sekali bahwa dia sudah mengetahui yang kita 

diami di daerah berpuncak gunung -puncak gunung  ini. Sampai berapa lama kita bisa 

menunggu di sini? Sampai mati nyiur melambai lambai ran sebab  kehabisan 

makanan?” 

Apa yang dikhawatirkan oleh adiknya itu cukup disadari oleh 

Nilamaharani.

“Memang kita tak bisa bertahan selamanya di sini. Namun sekali 

kita terlontar keluar , dia pasti melihat kita. Dan celakalah kita!” 

Nilamahadewi tertawa. 

“Kenapa kau tertawa?” tanya kakaknya. 

“Kata-kata yang kau ucapkan menunjukkan bahwa kau takut 

terhadapnya. Sekecil itukah nyalimu?” 

Paras Nilamaharani kelihatan menjadi kegelapan . Dia berdiri dengan 

cepat.

“Sejak dilahirkan aku bukan bangsa anak manusia  pengecut! 

Sekalipun ada sepuluh Ni Mindi Jalurkbalen di luar sana aku tidak 

takut! Mari terlontar keluar !” 

Nilamahadewi memegangi  lengan kakaknya. “Jangan terburu 

kesusu, Kakakku. Kita tunggu sampai matahari terbit...” 

“Selagi di luar gelap siapa tahu kita bisa lolos,” kata Nilamaharani 

pula.

“Ah, lagi-lagi kau menunjukkan kepengecutanmu!” 

“Sudah diam! Baik, aku akan turut ucapanmu!” bentak 

Nilamaharani.

Sementara itu di luar sana masih terdengar terus suara nyanyian, 

“Hidup sebatang kara... penuh sedih dan derita...” 

***

Sewaktu sang surya menyingsing di ufuk timur, dari puncak puncak gunung  

yang paling tinggi di daerah itu, nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  berjubah kuning yang 

telah menyanyi sepanjang malam, melihat dua buah titik kuning di 

lereng sebuah puncak gunung  yang terletak jauh di sebelah barat. 

“Nah... nah..., nah... Akhirnya dua murid murtad itu terlontar keluar  juga 

dari persembunyian mereka,” berkata-kata si nenek cantik seksi  dalam hati. Kerut-

kerut keriput di anu nya kelihatan bertambah banyak dua kali dari 

sebelumnya sedang sepasang matanya yang mengabur 

memantulkan sinar aneh aneh saja . Tanpa membuang tempo lagi nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  

ini segera berdiri dan menggerakkan kedua kakinya. Kelihatannya 

sepasang kakinya yang kurus kering itu cuma melangkah biasa. Tapi 

hebatnya dalam waktu yang singkat dia sudah berada jauh dari 

puncak puncak gunung  di mana dia berada sebelumnya. 

Laksana seekor burung walet, nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  itu ‘terbang’ ke 

jurusan terlihatnya dua titik kuning tadi. 

“Murid-murid murtad! Jangan kalian melarikan diri!” si nenek cantik seksi  tiba-

tiba berteriak. Hebat sekali, suaranya menggema ke seantero 

bepuncak gunung an laksana suara guntur mendera daerah itu! 

“Ni Mindi Jalurkbalen! Buka matamu lebar-lebar! Kami sama 

sekali tidak melarikan diri!” 

nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  yang bernama Ni Mindi Jalurkbalen membeliakkan 

matanya sebab  rasa kaget kelangit  yang tidak terperikan. Suara teriakan 

balasan itu tak kalah kerasnya dengan teriakannya tadi. 

“Tenaga dalamnya sudah jauh pesat! Pantas dia bisa berbuat 

seenak waduknya,” kata Ni Mindi Jalurkbalen. 

Disamping itu dia menjadi marah sekali sebab  bekas muridnya 

itu berani-beranian menyebut namanya secara kurang ajar! 

Dipercepatnya larinya. Di lain saat  pada akhirnya Ni Mindi 

Jalurkbalen dan Nilamaharani serta Nilamahadewi saling bertemu di 

puncak sebuah puncak gunung  sementara sang surya sudah muncul 

keseluruhannya, menerangi jagat. 

Untuk beberapa lamanya Ni Mindi Jalurkbalen berdiri dengan 

mulut menganga dan mata membeliak. Kemudian terdengarlah 

kumandang suara tertawanya. 

“Nah... nah... nah! Sungguh lucu! Sungguh aneh aneh saja ! Sudah 

terbalikkah dunia ini? Atau iblis menipu mataku?” 

“Tua renta tak tahu diri! Hentikan tawamu!” sentak Nilamaharani. 

“Kurang ajar! Berani kau membantah gurumu?!” 

“Mengapa tidak? Dan kalau kau tak lekas angkat kaki dari sini 

jangan menyesal umurmu cuma sampai hari ini!” 

“Hem, begitu?! Jangan keliwat sombong murid-murid laknat! 

Tadinya masih kusediakan sedikit pengampunan bagi kalian. Tapi 

sesudah  melihat kekurangajaran dan kesombongan kalian jangan 

harapkan belas kasihanku!” 

“Siapa yang butuh belas kasihanmu?!” tukas Nilamahadewi. 

Ni Mindi Jalurkbalen mengertakkan rahangnya. Untuk sesaat  

pipinya yang kempot kelihatan menggembung. 

“Sebelum hukuman kujatuhkan, komentari dulu satu pertanyaanku!” 

berkata-kata nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  itu. “Kenapa kalian jadi seperti ini? Apakah 

kalian sudah gila?!” 

“Betul!” komentari Nilamaharani. “Kami memang sudah pada gila. 

Demikian gilanya hingga memutuskan bahwa nenek cantik seksi  buruk 

macammu ini sebaiknya dilenyapkan saja dari muka bumi sebab  

merusak pemandangan!” 

“Betul-betul murtad! Betul-betul murtad! Kalian mampuslah!” 

teriak Ni Mindi Jalurkbalen lalu memukulkan kedua tangannya ke 

arah dua kakak beradik itu! 

Dua gelombang sinar hijau menderu dahsyat! 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 6

UKULAN yang dilepaskan Ni Mindi Jalurkbalen yaitu  pukulan 

Kelabang Ijo yang amat berbahaya. Sekali salah satu bagian 

tubuh tersambar ilmu pukulan itu kontan sekujur badan akan 

matang hijau dan orangnya akan mati detik itu juga. Jangankan 

anak manusia , satu batu karang yang atospun akan hancur dilanda 

pukulan ini ! 

Dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek seakan-akan 

mereka hanya menghadapi seorang lawan bangsa kroco, 

Nilamaharani dan adiknya melompat ke samping lalu dengan cepat 

mendorongkan tangan kanan masing-masing ke arah guru mereka! 

Wuss! 

Wuss! 

Dua larik sinar hijau yang lebih pekat dan lebih keras menyambar 

si nenek cantik seksi . 

Ni Mindi Jalurkbalen terkejut bukan main. 

Jelas ilmu pukulan yang dilancarkan bekas kedua muridnya itu 

yaitu  ilmu pukulan Kelabang Ijo juga yang dulu memang pernah 

diajarkannya kepada mereka. Tetapi mengapa pukulan-pukulan 

Kelabang Ijo mereka luar biasa dahsyatnya padahal sewaktu 

melepaskan pukulan Kelabang Ijo tadi Ni Mindi Jalurkbalen telah 

mengerahkan hampir tiga perempat tenaga dalamnya! 

“Kalau tidak mendapat gemblengan dari seorang sakti lainnya, 

niscaya mereka tak bakal dapat meyakini ilmu pukulan itu 

sedemikian luar biasa hebatnya,” membatin Ni Mindi Jalurkbalen. 

Segera seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke tangan hingga 

perbawa pukulan Kelabang Ijo-nya lebih dahsyat dari semula! 

Sewaktu pukulan-pukulan Kelabang Ijo itu saling bentrokan, 

terdengarlah suara ledakan yang amat dahsyat. Langit di atas 

mereka laksana mau runtuh, puncak puncak gunung  bergetar, liang telinga 

masing-masing menjadi pengang untuk beberapa saat  lamanya. 

Ni Mindi Jalurkbalen terhuyung satu langkah ke belakang sedang 

P

di depannya Nilamaharani dan Nilamahadewi tertawa gelak-gelak. 

“Begitulah jadinya kalau seorang nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  tua mau jual 

tampang memamerkan ilmu pukulan Kelabang Ijo yang belum 

sempurna!” kata Nilamaharani mengejek. 

Ni Mindi Jalurkbalen mengertakkan rahangnya. Kalau saja 

geraham dan gigi-giginya masih menumbuhi gusinya pastilah dari 

mulutnya saat itu terlontar keluar  suara berkeretakan saking geramnya. 

“Murid-murid murtad! Sekalipun kau punya sepuluh kepala 

seratus kesaktian, jangan kira aku tak sanggup memusnahkan 

kalian!” teriak Ni Mindi Jalurkbalen. 

Lalu laksana seekor burung walet dia melompat ke muka. Dua 

tangan terkembang ke samping. Perlu diketahui bahwa dalam dunia 

pertenaga dalam an nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  ini dikenal dengan julukan Si Walet Sakti 

sebab  jurus-jurus dan gerakan tenaga dalam nya kebanyakan hampir 

bersamaan dengan gerakan seekor burung walet. 

“Jurus Walet Meminta Jiwa yang hendak dipamerkan?!” ejek 

Nilamahadewi saat  melihat gerakan yang dibuat gurunya itu. 

“Ini bukan jurus apa-apa, murid murtad! Tapi jurus kematianmu! 

Nah, mampuslah!” 

Tubuh Ni Mindi Jalurkbalen lenyap dari hadapan kedua gadis lesbi asli   itu 

dan sesaat kemudian dua buah kepalan laksana palu godam 

menderu ke arah batok kepala Nilamaharani dan Nilamahadewi! 

Dua kepala merunduk secepat kilat. Dua lengan berkelebatan  ke 

udara! Terdengarlah suara beradunya lengan kiri kanan Ni Mindi 

Jalurkbalen dengan lengan murid-muridnya. Dan terdengar pula 

keluhan pendek nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  itu sewaktu merasakan lengannya 

sakit bukan main. Dia jungkir balik di udara. Sambil jungkir balik 

begitu Si Walet Sakti mengeruk jubah kuningnya dan di kejap itu 

menderulah dua lusin benda kuning sebesar uang ringgit berbentuk 

bulan sabit, menyerang kedua kakak beradik itu dari dua belas 

jurusan!

Selama malang melintang di dunia pertenaga dalam an, kalau bukan tokoh-

tokoh lihay, jarang sekali orang yang sanggup mengelit atau 

menangkis lemparan senjata rahasia itu. Namun hari ini untuk ke 

sekian kalinya Ni Mindi Jalurkbalen dibikin kaget kelangit  sebab  dengan 

mengebutkan lengan-lengan pakaiannya, kedua lawannya berhasil 

membuat mental dua puluh empat senjata rahasia yang amat 

diandalkannya itu! Tergetarlah kini hati si nenek cantik seksi . Namun sudah 

barang tentu ia tak akan meninggalkan tempat itu walau 

bagaimanapun juga. 

“Ni Mindi Jalurkbalen,” kata Nilamaharani dengan 

menyunggingkan senyum sinis, “Apakah kau masih belum sadar 

bahwa kau betul-betul seorang nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  yang tak layak hidup 

lebih lama di dunia ini?” 

“Iblis dajal! Makan ini!” teriak Si Walet Sakti dengan amarah 

menggelegak.

Terdengar suara mendesing dan sebuah besi hitam yang 

ujungnya diganduli lima buah kaitan sepanjang tiga jengkal melesat 

ke mulut Nilamaharani. 

Yang diserang terkejut sebab  sebelumnya tak pernah 

mengetahui kalau gurunya memiliki senjata dahsyat itu. Dengan satu 

gerakan aneh aneh saja  gadis lesbi asli   ini membantingkan dirinya ke samping. 

Tubuhnya menjungkir kepala ke bawah kaki ke atas dan salah satu 

kakinya dengan cepat kemudian menendang batang besi tempat 

mencantelnya lima kaitan itu. 

“Jurus Iblis Menendang Rembulan!” seru Ni Mindi Jalurkbalen 

saat  dia melihat dan mengenali gerakan yang dibuat Nilamaharani. 

Saking kaget kelangit nya dia sampai tak sempat lagi menarik pulang 

senjatanya. Kalau saja senjata itu tidak dipegangnya dengan erat 

niscaya terlepas sewaktu tendangan Nilamaharani menghantam 

batang besi dengan kerasnya, membuat batang besi itu bengkok. 

“Murid dajal! Jadi kalian telah menuntut pelajaran pada Iblis 

Penggoncang Bumi, hah?!” 

Nilamaharani tertawa tinggi, begitu juga adiknya. 

“Nah... nah... nah! Bagus! Pantas kelakuan kalian seperti dia 

selagi muda! Pantas kalian jadi anak manusia -anak manusia  binal terkutuk 

macam begini. Pantas kalian berubah menjadi...” 

“Anjing tua! Tutup mulutmu!” bentak Nilamahadewi. Dia 

menjentikkan tangan kanannya dan segulung angin padat sebesar 

kepalan, laksana sebuah batu, melesat ke mulut Ni Mindi 

Jalurkbalen, membuat nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  itu tak meneruskan ucapannya 

dan lekas-lekas melompat ke samping. 

“Kakakku!” kata Nilamahadewi. “Mari lekas kita lenyapkan tua 

renta sialan ini sebelum dia bicara yang bukan-bukan.” 

Dua gadis lesbi asli   itu berkelebatan  cepat dan menggempur Ni Mindi 

Jalurkbalen dengan serangan-serangan beruntun yang amat 

cepatnya. nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  yang telah berumur puluhan tahun itu mulai 

merasakan tekanan kurungan yang berbahaya. Jurus demi jurus 

dirinya semakin terdesak. 

“Celaka! Celaka diriku! Celaka dunia pertenaga dalam an kalau aku tak 

berhasil membunuhi  anak manusia -anak manusia  nista ini! Lebih baik aku mati 

bersama-sama mereka!” kata Ni Mindi Jalurkbalen. 

Saat itu dia sudah bertempur hampir dua ratus jurus. Jubah 

kuningnya sudah banyak yang bobol robek robek  kena sambaran jari-jari 

atau jotosan lawan. Sekujur tubuhnya sakit, dua buah tulang iganya 

patah sedang di lain pihak kedua lawannya kelihatan masih segar 

bugar!

“Sepasang Iblis Betina!” seru Ni Mindi Jalurkbalen menyebut 

nama julukan kedua muridnya yang murtad itu. “Mari kita sama-

sama ke neraka!” 

Dari dalam saku jubahnya diterlontar keluar kannya sebuah bola berwarna 

kuning lalu secepat kilat dibantingkannya ke tanah. Terdengar suara 

ledakan dan di saat itu seluruh puncak puncak gunung  tertutup oleh asap 

kuning yang pekat! 

“Dewi! Tutup jalan pernafasanmu dan lekas lari!” teriak 

Nilamaharani.

Kedua gadis lesbi asli   itu menutup jalan pernafasannya lalu meninggalkan 

tempat itu dengan cepat. Di belakang mereka terdengar suara 

tertawa Ni Mindi Jalurkbalen. 

“Kalian mau lari ke mana? Tubuh kalian sudah kena Asap Wesi 

Kuning! Jangan harap umur kalian lebih panjang dari sepeminum 

teh!”

Ucapan itu ditutup dengan suara batuk-batuk si nenek cantik seksi . Benda 

yang dipecahkannya tadi yaitu  sebuah bola kuning yang berisi 

racun wesi kuning yang amat jahat. Jangankan tercium, sedikit saja 

kulit bersentuhan dengan racun yang meresap dalam asap ini , 

niscaya sekujur kulit akan menjadi cacat dan orangnya akan 

menemui kematian dalam tempo sepeminuman teh dengan keadaan 

tubuh yang mengerikan sebab  kulitnya mengelupas. Dengan 

mengeluarkan senjata pembunuh yang dahsyat itu Ni Mindi 

Jalurkbalen telah memutuskan untuk bunuh diri dan sekaligus yakin 

bahwa kedua muridnya yang murtad itupun ikut menemui ajal. 

Namun sampai matinya nenek cantik seksi -nenek cantik seksi  yang bergelar Si Walet Sakti ini 

tidak mengetahui bahwa maksudnya itu menemui kegagalan. 

Pengorbanannya sia-sia belaka! 

Dengan mempergunakan ilmu lompatan Katak Sakti Melompati 

Gunung, Nilamaharani dan adiknya berhasil terlontar keluar  dari kepungan 

asap beracun. Begitu terlontar keluar  dari bahaya maut ini  mereka 

menyaksikan bagaimana pakaian yang mereka pakai robek robek -robek robek  

akibat asap beracun sedang kulit mereka melepuh, mengelupas 

kegelapan  laksana binatang dikuliti dan sakitnya tidak terperikan. 

“Percepat larimu, Dewi!” seru Nilamaharani. “Kalau kita terlambat 

sampai ke goa celakalah kita!” 

“Obat pemusnah racun itu masih kau simpan di tempat dulu?” 

tanya Nilamahadewi. Suaranya bergetar oleh kekhawatiran dan 

sebab  menahan sakit yang menyelimuti sekujur tubuhnya. 

“Hem...” komentari Nilamaharani bergumam. Meski ilmunya lebih 

tinggi satu tingkat dari adiknya namun dia tidak sanggup menahan 

rasa sakit akibat racun wesi kuning. 

Tak lama kemudian keduanya sampai di goa rahasia tempat 

kediaman mereka. Nilamaharani masuk ke dalam kamar. Dengan 

kuku jarinya yang panjang runcing dicungkilnya batu mar-mar pada 

dinding sebelah kanan kamar. Terlihatlah sebuah benda hitam 

berbentuk tombol! gadis lesbi asli   ini menekan tombol itu dan sesaat 

kemudian dinding di samping kiri terbuka secara aneh aneh saja . Pada celah 

yang terbuka itu kelihatanlah sebuah ruangan berkotak-kotak seperti 

sebuah lemari. Semuanya ada tiga kotak. Pada kotak sebelah bawah 

ada  setumpukan pakaian dan perhiasan, kotak kedua berbagai 

macam senjata, sedang kotak teratas bersusun berbagai macam 

botol.

Nilamaharani berjingkat dan sesudah  meneliti susunan botol-botol 

yang ada di kotak teratas, lalu diambilnya dua buah botol. Botol 

pertama berisi cairan berwarna kuning muda, botol yang satu lagi 

berisi cairan kuning tua dan kental. 

Sementara itu tanpa disuruh Nilamahadewi telah menyiapkan 

empat gelas air putih. Kakaknya kemudian menuangkan masing-

masing tiga tetes cairan kuning muda ke dalam dua buah gelas, lalu 

diaduk rata-rata dan diteguk sampai habis oleh kedua gadis lesbi asli   itu. Rasa 

sakit yang menyelubungi mereka dengan serta merta berangsur 

lenyap. Kini tinggal kulit tubuh yang masih mengelupas kegelapan  

mengerikan. Tiga tetes cairan kuning pekat kemudian dimasukkan 

ke dalam dua buah gelas dan diaduk rata. Kedua gadis lesbi asli   itu kemudian 

melangkah ke sudut kamar sebelah kiri. Nilamaharani menginjak 

sebuah batu mar-mar di lantai dan di sampingnya terbukalah sebuah 

lobang yang merupakan tangga menuju ke sebuah kolam yang bagus 

sekali. Dua gelas air yang telah dicampur dengan obat kuning pekat 

dimasukkan ke dalam kolam. Kelihatanlah dua gelungan asap 

membubung ke langit-langit ruangan, baunya anyir. Tanpa menunggu 

lebih lama dua kakak beradik itu menceburkan dirinya ke dalam 

gulungan asap kuning ini . 

Beberapa saat kemudian asap kuning itupun sirna. Kini 

kelihatanlah kedua orang gadis lesbi asli   itu dalam keadaan basah kuyup. Tapi 

ajaib, sekujur kulit tubuh mereka yang tadi terkelupas kegelapan  kini 

telah kembali seperti sediakala! 

Mereka melompat dari dalam kolam. 

“Untung sekali guru kita Iblis Penggoncang Bumi memberikan 

obat-obat itu tempo hari. Kalau tidak tamatlah riwayat kita...” kata 

Nilamahadewi.

“Jangan keburu berbesar hati!” potong kakaknya. “Kita masih 

belum terlontar keluar  dari bahaya maut! Kita harus bersemedi selama tiga 

hari untuk mengeluarkan sisa-sisa racun wesi kuning dari paru-paru 

kita!”

Kedua gadis lesbi asli   itu naik ke tingkat atas kembali. sesudah  

memasukkan botol-botol obat dan menutup celah yang merupakan 

lemari itu, maka keduanya mencari tempat untuk mulai bersemedi 

selama tiga hari. Begitulah dahsyatnya racun wesi kuning. 

Bagaimana dengan Ni Mindi Jalurkbalen? Orang tua yang malang ini 

terpaksa meregang nyawa di puncak puncak gunung  tanpa mengetahui bahwa 

pengorbanan yang dilakukannya yaitu  sia-sia belaka. 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 7

I MALAM yang gelap gulita tanpa bintang tanpa rembulan, 

hanya angin malam yang bertiup menyilir dingin, kelihatan 

satu sosok bayangan hitam berkelebatan  gesit di luar tembok 

kotaraja. Dia sampai di tembok sebelah tenggara. Tanpa suara dan 

tanpa diketahui oleh lima orang pengawal yang ada di situ, sosok 

tubuh itu melompat ke atas tembok yang tingginya enam tombak, 

dari situ terus melompat turun memasuki kotaraja, melompat dari 

satu pohon ke lain pohon, dari satu atap gudang raksasa  ke lain atap gudang raksasa  

sampai akhirnya tak lama kemudian dia sudah berada di wuwungan 

istana!

Siapakah anak manusia  yang demikian hebat ilmu mengentengi 

tubuhnya hingga sanggup melompat di atas atap dan dari pohon ke 

pohon begitu rupa? Untuk mengomentari  pertanyaan itu kita harus 

kembali pada tiga hari sebelumnya... 

Di sebuah kampung kecil bernama Sukablabak yang terletak 

setengah hari perjalanan dari Muntilan, pada tengah malam yang 

kelam pekat, dalam sebuah pondok berdinding kayang beratap 

rumbia duduklah seorang laki-laki bertubuh kecil, bermuka cekung. 

Dia memelihara kumis yang tebal melintang berkeluk ke atas. 

Demikian tebalnya dia punya kumis hingga amat tidak pantas 

dibandingkan dengan mukanya yang kecil cekung. Sepasang 

matanya yang besar senantiasa tak bisa diam, berputar-putar ke 

segenap penjuru pondok. Jelas ini menandakan rasa ketidaksabaran 

menyamaki dirinya. 

“Ini sudah lewat tengah malam, Pandemang. Kenapa dia masih 

belum muncul?” 

Laki-laki berkumis melintang itu bertanya pada seorang yang 

bertubuh tinggi besar di sampingnya bertampang keras kasar. Di 

pinggangnya kiri kanan tersisip masing-masing sebilah sendok raksasa  empat 

persegi besar macam sendok raksasa  pejagal ternak. Rambutnya pirang , 

memelihara kumis serta berewok. 

D

“Mungkin dia mendapat halangan, Pangeran,” komentari orang 

bertubuh tinggi besar bernama Pandemang. “Tapi percayalah, dia 

pasti datang menepati janjinya. Bukankah kita sudah memberikan 

uang serta perhiasan banyak padanya?” 

“Bukan kita, tapi aku!” tukas si kumis melintang yang 

dipanggilkan Pangeran itu. 

“Ya, aku,” kata Pandemang pula. 

“Aku, aku, bukan aku kau!” berkata-kata lagi pangeran itu. 

“Ya, maksud hamba Pangeran,” kata Pandemang. Hatinya kesal. 

Tapi dia sudah tahu dan terbiasa dengan sifat sang Pangeran yang 

seperti itu, keras kepala, lekas marah dan tak boleh bicara salah 

terhadapnya meski kebanyakan dia sendiri yang tidak mengerti 

dimaksud orang. 

“Aku tunggu sampai sepeminuman teh lagi,” kata pangeran itu, 

“kalau dia masih belum datang, terpaksa kubatalkan rencana 

semula. Dan kau Pandemang, kau harus minta kembali uang serta 

perhiasan itu padanya.” 

“Ah... ah... ah...! Aku sejak dari tadi sudah berada di sini, 

Pangeran Ranablambang!” tiba-tiba terdengar satu suara. 

Ranablambang dan Pandemang sama-sama berbalik dengan 

cepat dan astaga! Orang yang mereka tunggu-tunggu ternyata sudah 

duduk menjelepok enak-enakan di sudut pondok di belakang mereka 

dan tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok itu menjadi bergetar. 

“Bagaimana kau bisa masuk ke sini tanpa tahu kami?” tanya 

Ranablambang heran. Pangeran ini dan juga Pandemang bukanlah 

orang-orang yang tidak tahu ilmu tenaga dalam  dan kesaktian. Telinga dan 

mata mereka sudah terlatih baik. Tapi nyatanya orang yang mereka 

tunggu sudah nyelonong masuk ke pondok itu tanpa mereka ketahui! 

Si baju hitam menghentikan gelak tawanya dan menunjuk ke 

atas. “Lewat atap itu,” katanya mengomentari  pertanyaan Pangeran 

Ranablambang seraya menunjuk ke atap pondok. Dan saat  sang 

Pangeran serta Pandemang memandang ke atas kelihatanlah 

bagaimana atap pondok itu sudah berlobang besar! 

Pangeran Ranablambang jadi melengak. “Tak percuma kau 

digelari Dewa Maling Baju Hitam,” katanya kemudian. 

Si baju hitam kembali memperdengarkan suara tertawanya lalu 

berdiri dengan perlahan-lahan. “Sebaiknya kita mulai saja dengan 

urusan kita, Pangeran. Nah, katakanlah apa maumu yang 

sebenarnya menyuruh aku datang ke mari.” 

Pangeran Ranablambang melangkah lebih dekat ke hadapan laki-

laki berpakaian hitam itu lalu berkata-kata dengan amat pelahan, “Aku 

ingin kau mengambil Tombak Trisula dari kamar Sri Baginda di 

istana...”

“Tombak Trisula?!” ujar Dewa Maling. 

“Sst... jangan bicara keliwat keras!” ujar Pangeran 

Ranablambang. “Kau harus berhasil Dewa Maling. Tombak itu sangat 

kubutuhkan agar aku bisa menduduki singgasana. sebab  memasuki 

istana tidak gampang, apalagi senjata itu disimpan di satu tempat 

rahasia di dalam kamar Sri Baginda.” 

“Kau tunjukkan saja tempat rahasia itu, aku pasti berhasil 

mengambil senjata yang kau inginkan,” kata Dewa Maling pula. 

“Jangan menganggap remeh orang-orang di istana,” kata 

Ranablambang mendesis. “Kau dengarlah penjelasanku. Tiga 

langkah dari pintu kamar Sri Baginda ada  sebuah lampu kuno 

yang terbuat dari perak, tergantung di dinding pada sebuah paku 

besar. Tekanlah paku itu tiga kali berturut-turut maka dinding kamar 

yang terletak di depan lampu itu yaitu pada bagian atas kepala 

peraduan Baginda akan terbuka dan di dalamnya ada sebuah lemari 

besi. Lemari ini tidak mempunyai kunci tapi hanya akan terbuka bila 

kau menekan sebuah tombol kegelapan  di bagian samping kanannya. Di 

bagian ini ada  dua belas buah tombol kegelapan . Ingat, yang harus 

kau tekan ialah tombol kegelapan  yang ke sembilan dari tepi muka 

lemari. Bila tombol itu sudah kau tekan —cukup satu kali tekan saja— 

maka pintu lemari besi akan terbuka dan di dalamnya kau dapat 

melihat Tombak Trisula itu. Tapi sekali-kali jangan kau segera 

mengambilnya. Begitu lemari terbuka, akan terdengar suara 

mendesis halus. Tunggu sampai desis itu berhenti, dan terus tunggu 

sampai sebuah tombol putih muncul dengan sendirinya di bagian 

atas lemari sebelah dalam. Sesudah itu baru kau bisa mengambil 

Tombak Trisula. Dan sebelum pergi, jangan lupa...” 

“Tunggu dulu...” bisik Dewa Maling Baju Hitam. Dan detik itu pula 

tubuhnya melesat menembus lobang atap dan lenyap di luar sana. 

“Ada apa?!” seru Pangeran Ranablambang dan Pandemang 

terkejut. Keduanya cepat membuka pintu dan melompat terlontar keluar . 

Mereka melihat Dewa Maling berlari laksana terbang ke jurusan 

selatan. 

“Kalian tunggu saja di pondok!” masih terdengar suara Dewa 

Maling di kejauhan sebelum tubuhnya lenyap ditelan kepekatan 

gelap malam. 

Pangeran Ranablambang dan pembantu kepercayaannya cuma 

bisa saling pandang penuh tanda tanya di dalam hati masing-masing. 

Yang mereka lakukan tidak lain hanyalah tetap menunggu di pondok 

ini  sebagaimana yang dipesankan oleh Dewa Maling Baju 

Hitam.

Hampir tiga kali peminuman teh barulah Dewa Maling kembali 

dan segera dihujani pertanyaan oleh Pangeran Ranablambang serta 

Pandemang begitu mereka masuk ke pondok. 

“Waktu kau memberi keterangan tadi,” kata Dewa Maling, “aku 

melihat bayangan seseorang di atas atap sana. Aku melompat ke 

atas tapi aneh aneh saja  begitu sampai di luar, orang itu lenyap! Aku tak 

percaya kalau pemandangan telah menipuku. sebab nya seluruh 

daerah ini kuselidik, tapi tetap astaga  itu tak berhasil kutemui!” 

“Mungkin sekali dia mata-mata raden ,” kata Pandemang. 

Ketiga orang itu berdiam diri beberapa lamanya. Kemudian 

kelihatan Pangeran Ranablambang menggelengkan kepalanya. 

“Tidak mungkin,” katanya, “tak seorang mata-mata kerajaanpun 

yang sanggup naik ke atas atap itu tanpa kita ketahui. Apalagi 

dengan hadirnya Dewa Maling di sini!” 

“Kurasa mungkin aku salah lihat,” kata Dewa Maling. Maksudnya 

berkata-kata demikian ialah agar mereka jangan terlibat lebih lama dalam 

segala macam dugaan itu. Meski hatinya sendiri kurang enak, Dewa 

Maling kemudian berkata-kata, “Lanjutkanlah keteranganmu, Pangeran.” 

“Sesudah tombol putih muncul di dalam lemari sebelah atas kau 

baru boleh mengambil Tombak Trisula itu. Dan sebelum pergi jangan 

lupa untuk menekan lebih dulu tombol putih itu.” 

“Pangeran,” kata Dewa Maling Baju Hitam pula, “jika kau tahu 

dengan jelas seluk-beluk penyimpanan senjata tumbal kerajaan itu, 

mengapa tidak kau sendiri yang mencurinya?” 

Pangeran Ranablambang memuntir-muntir kumisnya yang tebal 

melintang lalu tertawa pelahan. “Masing-masing kita sudah 

ditakdirkan punya pekerjaan dan tugas sendiri-sendiri,” katanya. 

Yang sebenarnya ialah dia tak mempunyai nyali untuk melakukan hal 

itu sebab  istana penuh dijaga oleh pengawal-pengawal kelas satu 

dan hulubalang-hulubalang istimewa yang berilmu tinggi. Di atas 

semua itu raden  septuaginta  yaitu  yang berbahaya. Sekali saja 

dia gugup dan membuat kesalahan dalam melakukan pencurian itu 

pasti tamatlah riwayatnya. 

“Perlu aku ingatkan padamu, Dewa Maling. Istana penuh dengan 

orang-orang berkepandaian tinggi, terutama raden  septuaginta . 

Jangan kau salah tindak sebab  istana, terutama kamar Sri Baginda, 

penuh dengan alat-alat rahasia.” 

“Sri Baginda bagaimana?” 

“Dia tak perlu kau khawatirkan. Dia tengah mengadakan 

perjalanan ke daerah.” 

“Baik, tapi apa yang kulakukan ini musti ada ubi ada talasnya 

Pangeran,” kata Dewa Maling pula. 

“Kau tak perlu khawatir!” kata Pangeran Ranablambang. Dari 

dalam sabuknya diterlontar keluar kannya sebuah kantong kulit dan 

diajukannya ke hadapan Dewa Maling. 

“Terima ini. Limapuluh keping uang emas. Kelak jika kau sudah 

berhasil menjalankan apa yang aku perintahkan, kau bakal 

mendapat jabatan tinggi dalam istana!” 

Dewa Maling tersenyum. Disambutnya kantong uang itu. 

Disimpannya di balik pakaian hitamnya. 

“Kalau Tombak Trisula sudah berada di tanganku, ke mana musti 

kuantar?”

Pangeran Ranablambang mengatakan nama tempat, maka 

sesaat kemudian ketiga orang itu meninggalkan pondok ini . 

Pangeran Ranablambang yaitu  putera Sri Baginda yang 

memerintah Kesultanan Surakerto pada masa itu. Sebenarnya dia 

tidak boleh memakai gelar atau sebutan Pangeran sebab  dia cuma 

seorang putera dari salah satu selir Sri Baginda. Namun dengan 

penuh congkak dan ketinggian hati Ranablambang telah 

mempredikatkan dirinya dengan sebutan itu. Dasar orang tak tahu 

diuntung, meski dia tak punya hak untuk menggantikan Sri Baginda, 

namun di hatinya sudah sejak lama bergejolak niat untuk menduduki 

singgasana. Maka saat  diketahuinya bahwa setiap pewaris takhta 

kerajaan harus menerima Tombak Trisula sebagai sahnya dia 

menjadi Raja, segera diaturnya rencana untuk mencuri senjata 

tumbal kerajaan itu. Untuk melakukannya sendiri Ranablambang 

tidak bernyali meski dia memiliki kepandaian yang tinggi. Maka 

melalui seorang pembantu kepercayaannya yakni Pandemang, 

disuruhnyalah laki-laki itu menemui seorang tokoh tenaga dalam  golongan 

hitam yang dikenal dengan nama gelaran Dewa Maling Baju Hitam. 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 8

ENGAN mengandalkan ilmu lari serta ilmu meringankan 

tubuhnya ditambah dengan pakaian hitam dan kegelapan 

malam yang turut membantunya, dengan mudah pada 

akhirnya Dewa Maling sudah berada di atas wuwungan istana. Meski 

dia sudah diberi tahu jelas setiap liku-liku istana dan tempat 

penyimpanan Tombak Trisula, namun dia tak mau memandang 

enteng orang-orang yang ada di dalam istana. Terutama raden  

septuaginta  yang berumur setengah abad lebih itu, ilmu 

kepandaiannya tak bisa dibuat main! 

Dari tempatnya berada saat itu Dewa Maling dapat melihat kira-

kira lima puluh orang pengawal tingkat rendah berada di sekeliling 

istana. Kemudian ditambah lagi dengan dua puluh hulubalang yang 

berkepandaian tinggi. 

“Berabe juga,” kata Dewa Maling dalam hati. 

Tapi dia sudah mempunyai akal. Laksana seekor burung walet dia 

melompat ke satu bagian yang gelap di halaman samping istana. 

Dengan mengendap-endap didekatinya seorang pengawal. Sekali 

totok saja pengawal itu sudah tak berdaya. Di tempat gelap 

dibukanya pakaian pengawal itu lalu sesudah  membuka pakaiannya 

pula, dengan cepat dikenakannya pakaian si pengawal. 

Di tangga istana ditemuinya seorang hulubalang. sesudah  menjura 

pada hulubalang itu dia berkata-kata, “raden  septuaginta  

mengharapkan kedatangan hulubalang dengan segera sebab  ada 

satu urusan penting.” 

sebab  yang menyampaikan pesan itu seorang bawahannya 

tentu saja sang hulubalang tidak menaruh curiga. 

“Di mana raden  berada?” 

“Ikutilah saya,” komentari si pengawal alias Dewa Maling. 

Maka hulubalang itupun mengikuti pengawal ini . Sampai di 

tempat gelap Dewa Maling tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan 

secepat kilat menotok pangkal leher sang hulubalang. Dalam 

D

keadaan tak berdaya hulubalang itu dilucutinya pakaiannya. Dengan 

menyamar sebagai seorang hulubalang, dengan mudah Dewa Maling 

memasuki istana, langsung menuju di mana terletaknya kamar Sri 

Baginda.

Di pintu kamar berdiri dua orang hulubalang berkepandaian 

tinggi. Dewa Maling tidak takuti mereka. Tetapi membuat kekerasan 

sama saja dengan mengundang datangnya bahaya. Dengan langkah 

gagah Dewa Maling sampai di hadapan kedua hulubalang itu. 

“Kalian bersiap-siaplah. Sebentar lagi raden  septuaginta  akan 

datang ke sini menggeledah kamar Sri Baginda,” kata Dewa Maling. 

Kedua hulubalang itu heran. Salah seorang dari mereka bertanya, 

“Memangnya ada apakah?” 

“Kau yang mengawal kamar ini apa masih belum tahu? Betul-

betul keterlaluan kalian! Apa saja yang kalian buat di sini?” 

Semakin heran kedua hulubalang itu dan mereka bertanya lagi, 

“Ada apakah?!” 

“Seorang jahat diketahui telah menyelinap masuk ke dalam 

kamar ini!” kata Dewa Maling pula. 

“Apa?!” ujar dua hulubalang terkejut hampir bersamaan. 

“anak manusia -anak manusia  tolol! Kalian tidur saja di sini! Lihatlah pintu di 

belakang kalian yang terbuka itu!” 

Mendengar ucapan itu kedua hulubalang serentak membalikkan 

tubuh. Begitu mereka ke dalam. Dengan cepat kemudian pintu 

kamar ditutupkan kembali. 

Sesuai dengan keterangan Pangeran Ranablambang, tiga 

langkah di sebelah kanan pintu, pada dinding tergantunglah sebuah 

lampu dari perak bakar berukir-ukir bagus sekali buatannya. Dewa 

Maling Baju Hitam menekan paku besar di mana lampu itu 

tergantung, tiga kali berturut-turut. Di belakangnya terdengar suara 

barang bergerak gerak . saat  dia berpaling dilihatnya dinding kamar di 

atas kepala peraduan Sri Baginda terbuka dan tampaklah sebuah 

lemari besi. Cepat Dewa Maling melangkah ke hadapan lemari. 

Ditelitinya sejenak lalu dilihatnya deretan tombol-tombol kegelapan  di 

samping kanan lemari besi itu, semuanya ada 12 buah. 

Dengan hati-hati Dewa Maling menekan tombol kegelapan  yang 

kesembilan dari sebelah muka lemari. Ia menunggu dengan 

berdebar. Lalu dilihatnya pintu lemari terbuka dan di dalamnya 

tampaklah sebuah tombak pendek yang ujungnya bercabang tiga. 

Sinar senjata mustika tumbal kerajaan itu bukan saja menerangi 

seluruh lemari, tapi juga menyeruak sampai ke muka Dewa Maling, 

menyilaukan mata laki-laki ini. 

Sewaktu pintu lemari besi itu terbuka, terdengarlah suara 

mendesis. Begitu suara mendesis pada bagian atas lemari lenyap, 

dari sebelah dalam muncullah sebuah tombol putih. Inilah saat di 

mana Dewa Maling harus mengambil Tombak Trisula. Diulurkannya 

tangannya mengambil senjata mustika tumbal kerajaan itu. 

Pada saat Dewa Maling mengambil Tombak Trisula, di luar kamar 

dua orang hulubalang sampai di hadapan pintu. Setiap dua jam 

sekali, hulubalang-hulubalang yang mengawal pintu kamar Sri 

Baginda selalu diganti. Tentu saja kedua hulubalang ini terheran 

melihat kamar itu tiada berpengawal sama sekali. 

“Ke mana hulubalang-hulubalang yang seharusnya ada di sini?!” 

tanya salah seorang dari mereka. 

“Aku khawatir ada sesuatu yang tidak beres. Kau menyelidiklah 

ke ujung gang sebelah sana, aku akan memeriksa kamar Sri 

Baginda.”

Dengan cepat hulubalang yang satu itu membuka pintu kamar. Di 

dalam kamar, Dewa Maling yang bertelinga tajam telah mendengar 

percakapan kedua hulubalang itu. Maka dengan cepat dia 

menyelinap di samping pintu sebelah kiri. Sewaktu pintu terbuka 

tubuhnya tertutup oleh daun pintu. Dan selangkah lagi hulubalang itu 

masuk ke dalam kamar, Dewa Maling mengayunkan tinjunya ke 

batok kepala hulubalang itu. Dengan mengeluarkan keluhan pendek 

si hulubalang tersungkur di lantai. 

Dewa Maling cepat terlontar keluar  dari kamar itu. 

Tapi...!

Wutt...!

Angin keras menyambar perutnya. Dia terkejut bukan main dan 

terpaksa melompat ke belakang mencari selamat. Yang 

menyerangnya ternyata yaitu  hulubalang yang tadi disangkanya 

telah jatuh pingsan. 

“Kurang ajar! Makan ini!” kertak Dewa Maling lalu mengirimkan 

satu tendangan ke dada lawan. 

Sret!

Si hulubalang mencabut pentungan nya dan memapas kaki Dewa 

Maling dengan senjata itu. Mau tak mau Dewa Maling terpaksa 

menarik pulang kakinya kembali. Dengan beringas dia melompat dan 

dari atas mengirimkan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. 

Namun lagi-lagi lawannya sanggup berkelit. Angin pukulan 

menghantam lantai kamar. Permadani yang menutupi lantai itu 

robek robek  bertaburan sedang lantai batu pualam hancur berkeping-

keping dan seantero kamar bergetar laksana digoncang lindu! 

Si hulubalang begitu mengelak dengan sigap melancarkan 

serangan. pentungan nya berkiblat empat kali berturut-turut! 

“Setan alas!” maki Dewa Maling penasaran. Tangan kanannya 

yang memegangi  Tombak Trisula digerakkan. 

Trang!

pentungan  di tangan si hulubalang patah dua. Hulubalang itu 

berseru kaget kelangit  dan lekas melompat ke belakang. Namun lebih cepat 

dari gerakannya itu, Tombak Trisula meluncur menusuk dadanya. 

Hulubalang ini  mengeluh pendek. Sesudah itu tubuhnya 

terguling di atas permadani dengan tiga lobang luka di dadanya! 

Di luar terdengar suara langkah-langkah kaki mendatangi. Dewa 

Maling menuju ke pintu dengan cepat. Justru pada saat itu 

hulubalang-hulubalang istana yang berkepandaian tinggi tengah 

memasuki itu kamar. Tanpa pikir panjang Dewa Maling memegangi  

daun pintu dan membantingkannya. Tiga orang hulubalang tak 

keburu mengelak. Dada dan tubuh mereka dihantam daun pintu 

dengan kerasnya. Ketiganya kontan roboh tak sadarkan diri dengan 

hidung masing-masing bercucuran darah! 

Sewaktu raden  septuaginta  dan lima orang hulubalang sampai 

di kamar ini , Dewa Maling sudah melarikan diri lewat jendela. 

“Jaga dengan ketat seluruh tembok kotaraja!” kata raden  

septuaginta .

Sehabis memberi perintah itu dia segera melompati jendela dan 

lenyap. septuaginta  berumur setengah abad lebih. Dalam ilmu dan 

kesaktian dia termasuk golongan tokoh-tokoh yang disegani. Otaknya 

yang cerdik segera dapat menarik kesimpulan bahwa seorang maling 

tingkat tinggi pastilah tidak akan melarikan diri lewat jalan biasa. 

sebab nya, begitu tiba di halaman samping istana, septuaginta  tak 

ayal lagi segera melompat ke atas wuwungan. Apa yang diduganya 

ternyata tidak meleset. Begitu dia menginjakkan kakinya di atas 

wuwungan, pada ujung atap istana sebelah utara dilihatnya dalam 

kegelapan berkelebatan  sesosok tubuh berpakaian hulubalang. 

Sebelumnya raden  septuaginta  sudah diberi tahu bahwa pencuri 

yang menyusup ke dalam istana itu menyamar atau berpakaian 

sebagai seorang hulubalang! 

Dengan mengertakkan geraham, raden  ini segera lari di 

sepanjang atap mengejar maling ini . 

Sementara itu sambil lari dilihatnya belasan hulubalang dan 

puluhan pengawal-pengawal tingkat tinggi telah bertebar berjaga-

jaga di setiap sudut. Dapat dipastikan bahwa si pencuri tak akan bisa 

lolos begitu saja! 

Sewaktu raden  septuaginta  sampai di ujung atap sebelah utara 

istana, dia jadi amat penasaran sebab  orang yang dikejarnya lenyap 

tiada bekas. Di bawah dilihatnya dua orang hulubalang dan sembilan 

pengawal kelas satu berjaga-jaga. 

“Tak mungkin pencuri itu lolos dari sini tanpa diketahui orang-

orang di bawah sana,” kata septuaginta  dalam hati. “Pasti dia 

bersembunyi di sekitar sini.” 

Baru saja sang patih kerajaan berpikir begitu, di ujung barat 

didengarnya suara hiruk pikuk dan seruan, “Api! Api!” 

saat  septuaginta  berpaling ke barat, benar saja, dilihatnya atap 

istana tenggelam dalam kobaran api. 

“Pengawal-pengawal kelas II dan kelas III lekas padamkan api! 

Yang lain-lain tetap di tempat! Ini yaitu  pancingan musuh!” teriak 

septuaginta  dengan suara lantang mengandalkan tenaga dalam 

hingga terdengar ke segala penjuru. 

Dengan matanya yang tajam septuaginta  memandang teliti ke 

segenap penjuru, terutama ke tempat-tempat yang gelap. 

“Heran, ke mana perginya maling itu.” kata Sang Patih pada 

dirinya sendiri. Lalu berserulah dia, “Maling edan! Sebaiknya 

menyerahlah! Kau sudah terkurung, tak mungkin bisa kabur!” 

Baru saja raden  septuaginta  berseru demikian, mendadak di 

bawahnya terdengar teriakan, “Itu dia malingnya! Lekas kejar! Itu dia 

malingnya... lekas kejar!” 

Tak ayal lagi para hulubalang dan pengawal-pengawal yang ada di 

situ segera ikut mengejar. raden  septuaginta  segera pula hendak 

menggerakkan kakinya. Tapi sekilas pikiran timbul tenggelam  dalam benaknya 

yang cerdik dan berpengalaman. Dia tetap di tempatnya dan 

memandang ke bawah dengan seksama. Dari tempatnya berdiri itu 

jelas dilihatnya hulubalang yang tadi berteriak dan menuding sambil 

berlari, memperlambat larinya hingga akhirnya dia tinggal seorang 

diri di belakang! 

“Pasti dia astaga nya!” kertak septuaginta . Tanpa membuang 

tempo lagi dia melompat ke bawah. 

Selagi tubuhnya melayang di udara, mendadak tampak belasan 

benda berkilauan menyambar ke arahnya. Ternyata hulubalang di 

bawah sana telah melemparkan senjata-senjata rahasia kepada 

Sang Patih. 

“Maling besar! Jangan harap kau bisa lolos hidup-hidup dari sini!” 

teriak septuaginta . Tangan kirinya dipukulkan ke lawan. Belasan 

senjata rahasia yang menyerangnya berpelantingan. 

Di bawahnya terdengar kekehan si hulubalang yang memang 

bukan lain yaitu  Dewa Maling adanya. “septuaginta , kau memang 

cerdik. Kejar dan tangkaplah aku!” 

Dewa Maling Baju Hitam berkelebatan  ke tembok istana yang saat 

itu sudah tak dijaga lagi sebab  hulubalang-hulubalang dan para 

pengawal telah berlarian mengejar ‘maling’ yang tadi diteriakinya! 

“Ayo kejar aku!” tantang Dewa Maling kembali begitu dia 

menginjakkan kakinya di atas tembok. 

Sebagai asia kecil ban, sambil melesat mengejar, raden  septuaginta  

melepaskan satu pukulan tangan kosong yang hebat. Tembok istana 

hancur berantakan, tapi Dewa Maling sudah lenyap dari situ. Hanya 

suara kekehannya terdengar di pohon besar di luar tembok istana. 

“Kurang ajar! Kau mau lari ke mana, hah?!” kertak septuaginta  

dan segera menyusul. 

Kedua orang itu untuk beberapa lamanya saling kejar mengejar di 

atas atap-atap gudang raksasa  penduduk dan kemudian, untuk kedua kalinya 

septuaginta  kehilangan orang kejarannya itu di sebelah timur 

kotaraja.

Ke mana pulakah lenyapnya Dewa Maling saat itu? 

Sesungguhnya dia tak berada jauh dari Sang Patih kerajaan. Dengan 

mengandalkan ilmunya yang dinamakan Cecak Merayap di Atap, 

Dewa Maling laksana seekor cecak ‘menempelkan’ dirinya di bawah 

ujung atap gudang raksasa  penduduk yang gelap! 

Sewaktu dilihatnya patih itu pergi ke jurusan lain segera Dewa 

Maling bergerak gerak  ke jurusan yang berlawanan dan akhirnya sampai di 

tembok kotaraja yang dikawal ketat. Para pengawal yang bertugas di 

sini disamping berjaga-jaga mereka juga asyik membicarakan 

tentang menyusupnya seorang maling lihay yang berhasil mencuri 

senjata mustika tumbal kerajaan. Dewa Maling tidak takutkan 

pengawal-pengawal ini malah dengan sikap keren dia melangkah ke 

hadapan mereka dan membentak, 

“Kalian kunyuk-kunyuk dogol semua! Kawan-kawan kalian 

bertempur mati-matian di depan masjid mengeroyok maling 

penyusup! Kalian enak-enakan ngobrol di sini! Lekas bantu mereka! 

Biar aku yang berjaga-jaga di tempat ini!” 

Mendengar bentakan yang menggeledek itu, tanpa curiga dan 

banyak tanya para pengawal dan hulubalang-hulubalang yang ada di 

situ segera lari menuju ke tempat di mana dikatakan terjadi 

pertempuran hebat. 

“Dasar anak manusia -anak manusia  tolol!” ujar Dewa Maling penuh geli. 

Kemudian segera dilompatinya tembok tinggi batas kerajaan dan 

dalam tempo yang singkat dia sudah lenyap di kegelapan malam. 

Namun belum lagi sepeminuman teh berlalu, Dewa Maling 

merasa ada seseorang yang mengejarnya di belakang. Dan belum 

sempat dia memalingkan kepala, satu bentakan nyaring terdengar 

sejarak sepuluh tombak di belakangnya. 

“Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, astaga  pencuri!” 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 9

ADA waktu prajurit-prajurit pengawal dan para hulubalang lari 

secepatnya menuju ke masjid, mereka berpapasan dengan 

raden  septuaginta . 

“Kalian mau ke mana?!” tanya Sang Patih heran. 

“Di depan masjid tengah terjadi pertempuran. Maling yang 

mencuri Tombak Trisula sedang dikeroyok. Kami ke sana untuk 

memberikan bantuan,” menerangkan salah seorang hulubalang. 

Heranlah raden  septuaginta . Dia barusan lewat menyelidik di 

depan masjid dan di sana tak terjadi keributan apa-apa, apalagi 

pertempuran.

“Kalian telah kena tipu!” kata septuaginta  pula. “Dari siapa kalian 

tahu ada pertempuran di depan masjid?” 

“Seorang hulubalang kelas satu mengatakannya pada kami!” 

“Kalian tolol semua!” bentak Sang Patih gusar bukan main. 

Diikuti oleh pengawal-pengawal serta hulubalang-hulubalang itu 

dia segera menuju ke tembok timur. 

“Mana dia?!” tanya septuaginta  dengan mata membeliak. 

“Tadi..., tadi... dia bilang akan berjaga-jaga di si...” 

Plaak!

Tamparan Patih septuaginta  mendarat di pipi hulubalang itu 

hingga ucapannya yang tergagap-gagap ketakutan terputus sampai 

di situ. 

sesudah  memaki habis-habisan, tanpa membuang tempo Sang 

Patih segera melompati tembok kerajaan dan lenyap dari 

pemandangan orang-orang ini . 

Kurang dari sepeminuman teh dia berlari, di depannya dilihatnya 

seorang berpakaian hulubalang berlari dengan sebat sekali. Nyatalah 

orang itu memiliki ilmu lari yang lihay dan disamping itu, septuaginta  

merasa gembira sebab  inilah anak manusia  yang dicari-carinya. raden  

yang berumur setengah abad lebih ini segera mengerahkan pula ilmu 

larinya yang tak kalah hebat dan dalam tempo singkat dia berhasil 

P

mendekati orang yang dikejarnya dalam jarak sepuluh tombak. Maka 

membentaklah dia, “Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, 

astaga  pencuri!” 

Orang yang lari di depan terkejut dan memalingkan kepalanya. 

Ternyata dia memanglah Dewa Maling Baju Hitam. 

“septuaginta ! Kau keliwat setia mengikutiku terus-terusan. Aku 

akan beri hadiah atas kesetiaanmu itu! Ini terimalah!” kata Dewa 

Maling. Lalu dalam jarak kurang dari delapan tombak dia 

menghantamkan tangan kanannya ke belakang. 

raden  septuaginta  yang tengah lari kencang tak punya 

kesempatan untuk menangkis, dengan serta merta membuang diri 

ke samping kiri. 

Wuss! 

Angin pukulan lawan lewat di sampingnya, keras dan panas 

bukan main. 

Braak!

Angin pukulan yang lewat terus menghantam sebuah pohon 

besar. Bukan saja pohon itu menjadi hangus hitam sampai ke 

ranting-rantingnya tetapi juga tumbang dengan mengeluarkan suara 

bergemuruh.

“Kau berkelit dari seranganku, septuaginta ! Berarti kau masih 

mau hidup. Kalau mau terus bernafas kunasihatkan padamu agar 

kembali ke kotaraja!” 

raden  septuaginta  mendengus. Dalam jarak sedekat itu kini dia 

bisa melihat jelas anu  si pencuri. Hatinya terkejut. Tak disangkanya 

yang melarikan Tombak Trisula itu yaitu  Dewa Maling Baju Hitam, 

seorang tokoh pencuri yang terkenal lihay di dunia pertenaga dalam an. Pantas 

saja dia sanggup melarikan senjata tumbal kerajaan itu. 

“Sebelum kuterima nasihatmu, kau dengar dulu nasihatku!” 

mengomentari  septuaginta . “Lekas serahkan kembali Tombak Trisula. 

Dan kepalamu itu akan selamat dari kehancuran!” 

Dewa Maling tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Patih itu. 

“Kau jauh dari sarangmu, raden ! Kalau bicara jangan kelewat 

sombong!” 

“Lekas kembalikan Tombak Trisula itu!” 

“Silahkan ambil sendiri!” sahut Dewa Maling Baju Hitam 

seenaknya dan sambil menimang-nimang Tombak Trisula yang 

dipegangnya di tangan kiri. 

raden  septuaginta  gusar bukan main. Namun dia tak segera 

turun tangan. Ada beberapa hal yang harus diketahuinya. Pertama, 

meski Dewa Maling terkenal sebagai pencuri kelas wahid yang tak 

ada bandingannya di dunia pertenaga dalam an namun bagaimana dia bisa 

berhasil mencuri Tombak Trisula sedang senjata mustika itu 

disimpan di tempat yang paling tersembunyi dan penuh dengan 

senjata-senjata rahasia yang mengancam jiwa setiap orang yang 

berani mengambilnya secara sembarangan? 

Hal kedua yang ingin diketahui oleh raden  septuaginta  ialah 

apakah ada seseorang yang bersembunyi di belakang pencuri itu dan 

sekaligus memberi tahu seluk-beluk penyimpanan Tombak Trisula, 

dengan kata lain seorang telah memperalat Dewa Maling Baju Hitam! 

“Dewa Maling, untuk apa olehmu Tombak Trisula tumbal kerajaan 

itu? Sekalipun kau memilikinya jangan harap kau bakal bisa menjadi 

raja!”

Kembali Dewa Maling tertawa gelak-gelak. 

“Aku mau jadi raja atau mau jadi setan pelayangan, itu bukan 

urusanmu, raden !” sahutnya. 

“Jika kau mau mengembalikan senjata itu dan menerangkan 

siapa orang yang berdiri di belakangmu, aku akan bikin habis 

persoalan. Dan disamping itu aku akan berikan hadiah besar 

untukmu.” 

“Sudahlah, raden . Kau kembalilah ke Kotaraja. Kenapa 

memusingkan benda yang bukan milik bapak moyangmu?” 

Marahlah raden  septuaginta . “Aku bertanggung komentari atas 

segala apa yang terjadi di kerajaan!” katanya. “Kalau kau tetap keras 

kepala, jangan harap kau bakal melihat matahari pagi!” 

“Kalau begitu kau yang sebetulnya buru-buru inginkan mati, 

septuaginta ! Marilah kutolong kau mencari jalan ke neraka!” Habis 

berkata-kata begitu Dewa Maling Baju Hitam melompat dan menyerang 

dengan mempergunakan Tombak Trisula. Senjata mustika bermata 

tiga itu menusuk sebat ke dada raden  septuaginta . 

Trang!

Bunga api berpercikan. 

Dewa Maling Baju Hitam kaget kelangit  bukan main. Dia hampir tak 

melihat kapan lawannya itu mencabut pentungan  yang tergantung di 

pinggang kirinya dan tahu-tahu senjata itu sudah berada di 

tangannya, dipakai untuk menangkis serangan Tombak Trisula! 

Memang dalam ilmu pentungan , raden  septuaginta  memiliki 

kepandaian yang tinggi sekali. Pada umur tiga puluh lima tahun dia 

sudah dijuluki sebagai Raja pentungan  dari Pajang dan kini dalam umur 

setengah abad lebih ternyata ilmu kepandaiannya semakin tinggi! 

Meski Dewa Maling terkejut bukan main, tapi Sang Patih pun tak 

kurang kaget kelangit nya. Sewaktu bentrokan senjata tadi, lengannya 

tergetar keras dan kesemutan. Bahkan saat  ditelitinya salah satu 

bagian mata pentungan nya telah rompal akibat beradu dengan Tombak 

Trisula!

Melihat betapa ampuhnya senjata mustika yang dipakai tumbal 

kerajaan itu, Patih septuaginta  maklum bahwa saat itu dia tak boleh 

membuang-buang waktu. Maka begitu menyerang dia segera 

mengeluarkan ilmu pentungan nya yang paling hebat dan selama ini 

menggetarkan dunia pertenaga dalam an di asia kecil  Tengah! 

Di lain pihak Dewa Maling memaklumi pula bahwa dalam ilmu 

tenaga dalam  bersenjata dia hanya akan sanggup melayani Raja pentungan  dari 

Pajang itu dalam tempo yang singkat. Untuk itu dia harus 

mengandalkan kegesitan atau mengusahakan menghantam pentungan  

lawan dengan Tombak Trisula, atau cepat-cepat angkat kaki dari situ 

dengan mempergunakan tipu muslihat! Namun meski bagaimanapun 

kegusaran yang ada di hati Dewa Maling membuat laki-laki ini 

memutuskan untuk melayani terlebih dulu Sang Patih sampai 

beberapa puluh jurus. Demikianlah maka kedua orang berilmu tinggi 

itu saling bertempur dengan hebatnya dalam gelapnya malam. 

Dua puluh jurus berlalu. Saat itu Dewa Maling sudah berada di 

bawah angin. Serangan pentungan  lawan datang bertubi-tubi, kadang-

kadang mencurah laksana air hujan. 

“astaga  tua ini lihay betul!” maki Dewa Maling Baju Hitam dalam