saat ini?!”
“Tua renta...”
Maki Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol itu dipotong oleh bentakan Si
Cadar Hitam. “Muka konyol , sudah mau mampus masih saja main
maki-makian! Terima ini!”
Selarik sinar hitam bersiut! Itulah serangan senjata Si Cadar
Hitam yang berbentuk toya dengan lingkaran-lingkaran tajam pada
kedua ujungnya!
“Ha... ha! Senjatamu masih saja senjata buruk dulu! Apakah kau
masih punya muka untuk mempergunakannya?!” ejek Raja pengemis tak sakti
Sakti Muka konyol seraya menangkis dengan jimat jengglot Mustiko Jagat.
Trang!
Bunga api memercik!
Si Cadar Hitam terkejut. Tangannya tergetar hebat, sakit dan
pedas. saat diperhatikannya senjatanya, astaga! Ternyata
lingkaran tajam yang sebelah kanan telah terbabat putus! Dia sama
sekali tidak menyangka kalau dalam satu tahun kehebatan lawannya
sudah maju jauh sekali dan tak menyangka lagi kalau jimat jengglot di tangan
Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol demikian dahsyatnya! Mau tak mau
nyalinya jadi menciut juga. Segera dia mengeluarkan jurus tenaga dalam nya
yang terhebat dan melakukan penyerangan dengan senjatanya yang
telah buntung! Si Cadar Hitam berlaku cerdik. Dia selalu mengelak
bila lawan hendak mengadu senjata, sebaliknya dia berusaha agar
dapat menyingkirkan jimat jengglot Mustiko Jagat dari tangan lawan!
Dalam ilmu tenaga dalam mungkin Si Cadar Hitam lebih hebat dan lebih
gesit gerakannya. Namun walau bagaimanapun yang menentukan
yaitu senjata di tangan masing-masing! sesudah bertempur dua
puluh jurus lebih akhirnya Si Cadar Hitam tak berdaya mengelakkan
satu tusukan yang amat cepat! Tubuhnya terjajar ke belakang
dengan dada mandi darah. Senjatanya yang buntung terlepas dan
begitu jatuh, tubuhnya masih berkelojot beberapa kali. Begitu racun
jimat jengglot merambas ke jantungnya, laki-laki itupun meregang nyawa!
“anak manusia hina! Mayatmu tak layak malang melintang di depan
mataku!” kata Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol . Sekali tendang saja
maka mencelatlah tubuh Si Cadar Hitam sejauh belasan tombak,
angsrok di antara semak-semak lebat!
Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol berpaling pada Kyai jaber al ali
Pramana. “Sekarang giliranmu, anjing tua!” bentaknya lalu menyerbu
dengan jimat jengglot di tangan!
Untuk kedua kalinya kedua orang itu kembali bertempur. Kini
lebih hebat, lebih cepat, dan lebih ganas!
Pertempuran antara Untung panarukan dan pengeroyok-
pengeroyoknya telah berjalan lebih dari empat puluh jurus. Dalam
keadaan luka parah Untung panarukan masih sempat memukul jatuh
salah satu sendok raksasa di tangan Sri Lestari dan merampas sendok raksasa nya yang
lain. Tapi untuk itu Untung panarukan menerima hantaman sabuk di
tangan Raja pengemis tak sakti Kepala Botak yang membuat pinggulnya serasa
remuk! Dengan penuh marah Untung panarukan melepaskan pukulan
Seribu Kati Memukul Awan ke arah Raja pengemis tak sakti Kepala Botak. Pukulan
yang dahsyat itu berhasil dikelit oleh si Kepala Botak sebaliknya
hampir saja melanda Sri Lestari di samping kiri. sebab itu Untung
tak mau lagi melepaskan pukulan ini takut mencelakai anak
kandung atau bekas istrinya sendiri!
“Lekas bentuk barisan bolang-baling!” tiba-tiba Sri Lestari atau
Raja pengemis tak sakti Cantik Ayu berseru.
Barisan bolang-baling yaitu satu barisan penggempur yang
tangguh. Barisan ini diciptakan oleh Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol
dan bisa dilakukan oleh tiga sampai tujuh orang. Dan kehebatan
barisan ini dirasakan sendiri oleh Untung panarukan . Serangan datang
dari berbagai jurusan dan dalam gerakan yang sama sekali
berlawanan dari gerakan tenaga dalam yang sewajarnya. Ini membingungkan
Untung panarukan . Meskipun beberapa jurus di muka dia berhasil
mengetahui kelemahan-kelemahan barisan bolang-baling itu namun
dirinya sudah sangat terdesak! Masih untung dia berhasil merampas
sendok raksasa Sri Lestari, kalau tidak mungkin sudah sejak tadi-tadi dia
mendapat celaka!
Dalam pada itu pertempuran antara Raja pengemis tak sakti Sakti Muka
konyol dan Kyai jaber al ali Pramana telah mencapai klimaks
kehebatannya. Dalam jurus yang ke enam puluh tiga, tokoh tenaga dalam dari
Gunung Bromo itu berhasil menghantam lengan kanan lawannya
hingga jimat jengglot Mustiko Jagat terlepas dan mental dari tangan
Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol . Laki-laki ini coba melompat untuk
menjangkau senjata itu tapi tak berhasil sebab saat itu Kyai jaber al ali
Pramana melepaskan pukulan Seribu Kati Memukul Awan yang
mana harus dielakkannya dengan cepat kalau tidak mau mendapat
celaka.
Kyai jaber al ali Pramana yaitu tokoh tenaga dalam berjiwa kesatria tulen!
Melihat lawan tidak bersenjata lagi segera selendang suteranya
disimpan di balik pakaian lalu meneruskan pertempuran dengan
tangan kosong.
Secara kebetulan, jimat jengglot Mustiko Jagat yang terlepas mental dari
tangan Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol melayang ke tempat
berlangsungnya pertempuran antara Untung panarukan dan
pengeroyok-pengeroyoknya. Melihat jimat jengglot ayahnya melayang mental
begitu rupa, dan di saat itu dia sendiri tidak pula memegangi senjata
apa-apa, dengan cepat Sri Lestari melompat. Sesaat kemudian
senjata itupun sudah berada dalam tangan kanannya!
Betapa terkejutnya Untung panarukan menyaksikan Sri Lestari
kembali memasuki kalangan pertempuran dengan Mustiko Jagat di
tangan. Sinar biru berkelebatan menggidikkan. Untuk ke sekian kalinya
Untung panarukan merasakan bulu kuduknya merinding. Terngiang
lagi di telinganya kutukan Empu Bharata yang dibunuhnya dulu,
“...kelak kau bakal mati di ujung jimat jengglot Mustiko Jagat...” Apakah
kutukan itu segera akan berbukti kini?!
Trang!
Untung panarukan terkejut. sendok raksasa di tangan kanannya patah dua
disambar jimat jengglot Mustiko Jagat. Telapak tangannya sakit sekali. Dalam
pada itu dia harus cepat pula menyelamatkan kepalanya dari gada
batu pualam putih di tangan Raja pengemis tak sakti Badan Gemuk, sedang dari
belakangnya, Raja pengemis tak sakti Hitam Manis atau Sri Kemuning
melancarkan pula satu tendangan maut! Untung panarukan
berkelebatan cepat untuk mengelakkan kedua serangan itu dan
berhasil. Namun dia melupakan kedudukan Sri Lestari yang saat itu
bergerak gerak luar biasa cepatnya, menyambar dari samping kiri dan
menusukkan Mustiko Jagat ke dadanya tanpa bisa ditangkis atau
dikelit lagi!
Sesaat sebelum Mustiko Jagat menghunjam di dada Untung
panarukan terdengar satu bentakan sekeras guntur!
“Jangan bunuh! Dia ayah kandungmu sendiri!”
Tapi teriakan yang mengguntur itu terlambat datangnya sebagai
peringatan. Mustiko Jagat telah lebih dulu menembus dada Untung
panarukan barulah semua orang, termasuk Sri Lestari terkejut!
Bekas perwira kerajaan itu terhuyung ke belakang sambil
memegangi i dada dengan kedua tangannya. Pada detik tubuhnya
hampir jatuh, satu bayangan putih berkelebatan menopang tubuhnya.
“Kasip! Terlambat! Terlambat...!” kata orang yang datang ini
sambil satu tangannya menggaruk-garuk kepalanya tiada henti.
“astaga pirang !” bentak Sri Lestari sewaktu dia melihat siapa
adanya orang yang menopang tubuh lawannya. “Kau masih mau ikut
campur urusan orang lain?!”
“gadis lesbi asli ! Apakah kau masih belum sadar kalau orang ini yaitu
ayah kandungmu sendiri?!” ujar si penulis rambut pirang yang
bukan lain Pendekar pendek kekar bobo angker adanya.
“Jangan bicara ngacok ngelantur!” bentak Sri Lestari. “Ayahku
yaitu Gambir Seta yang bergelar Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol !”
bobo angker tertawa kecut dan menyandarkan Untung panarukan
ke pangkuannya.
Sambil megap-megap kehabisan nafas Untung panarukan berbisik,
“Sahabat kenapa kau beritahu siapa diriku...”
Baru saja Untung panarukan habis berkata-kata begitu satu tangan
menyambar dan bret! Terbukalah cadar hitam yang selama ini
menutup paras bekas perwira kerajaan itu. Terdengar jerit ngeri Sri
Kemuning. Dialah yang menyentakkan kain penutup paras Untung
panarukan . Jeritannya disusul oleh jeritan Sri Lestari dan seruan-
seruan tertahan orang-orang yang ada di situ yang merasa ngeri
melihat terlontar keluar biasaan seramnya paras Untung panarukan . Mata
kirinya hanya merupakan lobang belaka. Mulutnya kanan robek robek
sampai ke pipi, bibir menjela-jela. Cuping hidupnya yang sebelah kiri
tanggal, kedua daun telinganya papas buntung sedang seluruh kulit
muka hancur bergurat-gurat! Sebagai bekas istri sekalipun, Sri
Kemuning tidak mengenali Untung panarukan lagi!
Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol terkejut luar biasa! Benar-benar tak
diduganya kalau orang bercadar itu yaitu Untung panarukan ,
seorang bekas perwira kerajaan yang telah membunuhi Empu
Bharata dan yang telah disiksanya setengah mati enam belas tahun
yang silam!
Tiba-tiba laki-laki ini berteriak, “Jangan dengar omongan penulis
edan itu! Dia tak ada sangkut paut apa denganmu. Lestari! Akulah
ayah kandungmu!”
bobo mendengus marah!
“Iblis laknat!” bentak Pendekar pendek kekar . “Di saat orang hendak
menghembuskan nafas penghabisan apakah kau masih punya hati
demikian jahat untuk membantah kenyataan bahwa dia yaitu
Untung panarukan , ayah kandung gadis lesbi asli itu?!”
“Setan alas!” balas membentak Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol ,
“Kalau kau mau mampus bersamanya pergilah!” Habis berkata-kata
begitu Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol yang hendak menyekap rahasia
mengenai diri Untung panarukan segera melepaskan pukulan tangan
kosong yang luar biasa hebatnya.
“astaga bermuka konyol ! anak manusia macammu memang tak
layak dibiarkan hidup lebih lama!” teriak bobo .
Dia bersiul nyaring dan balas menghantam dengan tangan
kanannya! Satu larik sinar putih yang amat panas dan menyilaukan
mata menderu laksana petir menyambar!
Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol terpekik. Tubuhnya terguling.
Itulah pukulan Sinar Matahari.
Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol tak menyangka akan disambut
dengan serangan balasan yang dahsyat itu. Cepat-cepat dia
melompat ke samping. Tapi masih kurang cepat! Pekiknya
mengumandang. Tangan kanannya yang kurus kering kelihatan
hangus hitam pekat sedang tubuhnya terbanting ke tanah!
“penulis keparat! Mampuslah!” teriak Sri Lestari seraya
melompat dan menusukkan Mustiko Jagat ke kepala Pendekar pendek kekar .
“Lestari! Tahan!” teriak Sri Kemuning dengan cepat.
Sementara itu jimat jengglot sakti hanya tinggal setengah jengkal dari
batok kepala Pendekar pendek kekar , dengan sebat bobo memukul
pergelangan tangan gadis lesbi asli itu hingga Mustiko Jagat terlepas mental.
“Orang muda! Laki-laki yang bernama Untung panarukan tidak
bermuka seseram dia! Jangan kau bicara ngelantur tak karuan!” kata
Sri Kemuning pula.
bobo berpaling pada Kyai jaber al ali Pramana dan mengomentari , “Orang
tua itu lebih tahu dari aku! Dia yang menyelamatkan bekas suamimu
dari kematian!”
Sri Kemuning melangkah cepat. Dia ingin membuktikan sendiri
bahwa laki-laki bermuka seseram setan itu yaitu betul-betul Untung
panarukan , bekas suaminya! Dirobek robek nya pakaian Untung panarukan
dan saat di dada laki-laki ini dilihatnya sebuah tahi lalat besar
meraunglah dewi lesbi ini.
“Kanda Untung!” jeritnya seraya menubruk dan memeluk tubuh
Untung panarukan .
“Kemun...” Nama itu tak sempat disebut Untung panarukan sampai
ke akhirnya sebab malaekat maut telah lebih dulu mencabut
nyawanya!
Sementara itu dengan terhuyung-huyung Raja pengemis tak sakti Sakti Muka
konyol coba berdiri. Tapi tubuhnya roboh kembali sebab racun
pukulan Sinar Matahari dari Pendekar pendek kekar mulai merusak jaringan-
jaringan urat di dalam tubuhnya.
saat jimat jengglot Mustiko Jagat yang terpelanting jatuh di
hadapannya, timbul tenggelam kekuatan baru dalam dirinya. Dengan
merangkak susah payah senjata itu berhasil dijangkaunya. Begitu
tangan kirinya menyentuh senjata sakti itu, racun pukulan Sinar
Matahari dengan serta merta menjadi sirna. Dengan kekuatan baru,
Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol melemparkan jimat jengglot Mustiko Jagat ke
arah Pendekar pendek kekar . Tapi lemparannya itu meleset dan jimat jengglot Mustiko
Jagat melesat ke arah Sri Kemuning!
“Ibu, awas!” seru Sri Lestari.
Dia melompat hendak menyambar senjata itu. Tapi sebab
bingung dengan apa yang disaksikannya tadi, gadis lesbi asli ini bertindak
gugup. Dan hal ini harus dibayarnya dengan mahal! jimat jengglot Mustiko
Jagat menghantam pangkal lehernya! Baik bobo maupun Kyai jaber al ali
Pramana tidak punya kesempatan sama sekali untuk
menyelamatkan jiwa gadis lesbi asli itu!
Terdengar pekik Sri Lestari. Tubuhnya roboh dengan leher mandi
darah. Hanya beberapa kali saja tubuh itu kelihatan bergerak gerak -gerak,
sesudah itu diam tak berkutik lagi! Sri Kemuning laksana gila
melepaskan pelukannya pada tubuh Untung panarukan dan
menghambur ke tempat di mana anaknya menggeletak tak
bernyawa.
“anak manusia durjana!” bentak Kyai jaber al ali Pramana seraya melompat
menyerang Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol .
Tapi dari samping satu bayangan putih lebih cepat
mendahuluinya. Satu suara laksana ribuan tawon mengamuk
membising telinga dan di lain kejap terdengarlah jeritan setinggi
langit terlontar keluar dari tenggorokan Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol !
Tubuhnya bergedebuk ke tanah. Pinggangnya hampir putus dan
darah membanjir!
Kyai jaber al ali Pramana berdiri laksana patung, memandang tepat-
tepat pada Pendekar pendek kekar yang berdiri di hadapannya, memegangi
Kapak Maut Naga Geni pendek kekar . Senjata itulah yang telah menamatkan
riwayat Raja pengemis tak sakti Sakti Muka konyol .
“Senjata hebat. Dan gerakannya luar biasa cepatnya,” kata Kyai
jaber al ali Pramana dalam hati.
Tiba-tiba kedua orang itu dikejutkan oleh teriakan Raja pengemis tak sakti
Badan Gemuk. Mereka membalik dan... terlalu kasip untuk turun
tangan! Sri Kemuning telah mencabut jimat jengglot Mustiko Jagat dari leher
anaknya dan kemudian menusukkan senjata itu ke dadanya sendiri!
“astaga -astaga rendah! Gara-gara kalianlah semua ini terjadi!”
bentak Raja pengemis tak sakti Badan Gemuk. Bersama Raja pengemis tak sakti Kepala Botak
dia menyerbu bobo angker dan Kyai jaber al ali Pramana.
bobo memutar Kapak Naga Geni pendek kekar .
Crass!
Tangan kanan Raja pengemis tak sakti Badan Gemuk putus. Laki-laki ini
meraung macam harimau luka lalu lari terbirit-birit. Di tengah jalan
racun kapak telah merambas jantungnya hingga tubuhnya terhuyung
dan roboh tanpa nyawa di saat itu juga.
Raja pengemis tak sakti Kepala Botak yang menyerang Kyai jaber al ali Pramana
tidak bernasib lebih baik. Pukulan Seribu Kati Memukul Awan
mendarat di kepalanya yang tak berambut hingga memar macam
pepaya busuk, tubuhnya menyungkur tanah tanpa nyawa lagi!
Raja pengemis tak sakti Badan Kurus yang saat itu telah siuman dari
pingsannya begitu tahu kalau dirinya cuma tinggal sendirian di situ,
tanpa menunggu lebih lama segera pula ambil langkah seribu, lari ke
jurusan lenyapnya Raja pengemis tak sakti Badan Gemuk.
Untuk beberapa lamanya sempat itu diselimuti kesunyian. Yang
terdengar hanya tiupan angin di sela-sela daun-daun pepohonan dan
suara hamparan ombak sayup-sayup di kejauhan.
“Kyai... sebaiknya kita kuburkan saja mayat orang-orang ini,” kata
bobo angker seraya memasukkan Kapak Maut Naga Geni pendek kekar ke
balik pakaiannya.
Demikianlah berakhirnya kisah ini. Menurut cerita, jimat jengglot Mustiko
Jagat diambil oleh Kyai jaber al ali Pramana. Untuk menghindarkan hal-hal
tak diinginkan yang mungkin terjadi, jimat jengglot itu kemudian dilemparkan
ke dalam laut di Selat Madura.
TAMAT
BASTIAN TITO
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI pendek kekar
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA
Ebook Oleh: syauqy_arr
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 1
ATAHARI yang tadi bersinar amat terik kini sinarnya itu
pupus ditelan awan hitam yang datang berarak dari arah
timur. Sesaat kemudian langitpun mendung hitam. Hujan
rintik-rintik mulai turun disertai sambaran kilat dan gelegar guntur.
Sekali lagi kilat menyabung. Sekali lagi pula guntur menggelegar
membuat seantero bumi bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini berganti
dengan hujan lebat. Demikian lebatnya hingga tak beda seperti
dicurahkan saja layaknya dari atas langit.
Sekejap saja segala apa yang ada di bumi menjadi basah. Laut
menggelombang, sungai menderas arusnya, sawah-sawah tergenang
air. Selokan-selokan kecil banjir.
Di antara semua itu, bertiup angin dingin yang mencucuk sampai
ke tulang-tulang sungsum.
Di kala setiap orang berada di tempat kediaman masing-masing,
di kala semua orang berusaha mencari tempat berteduh guna
menghindari hujan lebat itu, maka di samping sebuah puncak gunung batu
kelihatanlah dua sosok bayangan kuning berkelebatan lari dengan
amat cepatnya. Seolah-olah kedua orang itu tidak memperdulikan
lebatnya hujan, tidak mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin.
Juga sama sekali tidak mau ambil perhatian terhadap batu-batu licin
yang mereka lompati dalam lari mereka yang laksana terbang
cepatnya.
Dan yaitu lebih mengherankan lagi sebab kedua orang
berpakaian kuning itu nyatanya dua orang gadis lesbi asli cantik jelita. Dari
paras mereka yang hampir bersamaan itu jelas keduanya bersaudara
atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka berhenti di satu bagian
puncak gunung yang terjal. Pakaian mereka yang bagus dan panjang menjela
sudah basah kuyup oleh siraman air hujan. Demikian pula rambut
hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-masing.
Pakaian yang basah itu melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas
kelihatan membayang terlontar keluar potongan badan mereka yang bagus
M
ramping.
Keduanya memandang berkeliling. Mata mereka yang tajam
berusaha menembus tabir hujan dan kabut yang tebal.
“Heran,” kata salah seorang dari mereka. “Ke mana kaburnya
penulis itu...”
“Kalau dia sampai bertemu dengan lain orang, dan menuturkan
apa yang diketahuinya tentang diri kita sebelum kita berhasil
meringkusnya, celakalah kita, Kakak!”
gadis lesbi asli baju kuning yang dipanggilkan kakak menggigit bibirnya. Di
anu nya yang bulat telur itu jelas terlihat rasa cemas yang amat
sangat.
“Kurasa dia belum lari jauh, Adikku. Mari!”
Maka kedua gadis lesbi asli itupun berkelebatan dan di lain kejap sudah
lenyap dari tempat itu. Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat di
dalam lebatnya hujan ke arah kaki puncak gunung sebelah timur. Meski tiupan
angin keras sekali memapasi lari mereka, namun itu tidak
mengurangi kecepatan lari masing-masing! Di kaki puncak gunung keduanya
melompati sebuah anak sungai. Kilat tiba-tiba menyambar lagi. gadis lesbi asli
baju kuning yang berlari di sebelah belakang berseru, “Kakak!
Tunggu!”
“Hai ada apakah, Dewi?” tanya gadis lesbi asli yang lari di depan seraya
menghentikan larinya dan berbalik!
“Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah
pondok. Siapa tahu...”
“Mari kita selidiki,” ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani
sambil menarik lengan adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam waktu yang singkat kedua gadis lesbi asli itu telah sampai di
pondok yang tadi terlihat di kejauhan dalam terangnya sambaran
kilat. Di ambang pintu pondok yang tertutup berdiri seorang tua
berkerudung kain sarung yang telah kumal dan apak baunya.
Si orang tua kelihatan terkejut sekali sebab tahu-tahu di
hadapannya berdiri dua orang gadis lesbi asli berparas jelita.
“Ka... kalian... siapa?” tanya orang tua ini gugup. Dia khawatir
kalau dua gadis lesbi asli itu bukan anak manusia sungguhan.
Bukannya mengomentari , sebaliknya Nilamahadewi bertanya
membentak, “Orang tua! Apa kau lihat seorang pemudi baju putih
lewat di sini?”
“Ti... tidak,” komentari si orang tua masih gugup.
“Jangan dusta!” Nilamaharani membentak dengan melototkan
kedua matanya.
“Sungguh, aku tidak dusta...”
“Kita geledah pondoknya!” kata Nilamaharani lalu menggerakkan
tangan kirinya dan si orang tua terpelanting jatuh.
“Jangan!” seru orang tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak
menghalangi.
“Tua bangka tidak tahu diri!” bentak Nilamaharani dan
menendang pinggul si orang tua hingga mencelat mental dan
melingkar pingsan di halaman pondok di bawah siraman hujan lebat.
Dengan kakinya yang lain Nilamaharani menendang pintu pondok
hingga bobol. Begitu pintu hancur dan terpentang lebar sesosok
tubuh berpakaian putih kelihatan menghambur lewat jendela
samping.
“Itu dia!” teriak Nilamahadewi.
“Kau mau lari ke mana, hah?” ujar Nilamaharani seraya
mengulurkan tangannya mencekal leher pakaian si penulis .
Tapi penulis ini lebih cepat lagi. Dengan satu gerakan kilat dia
membungkuk lalu memutar larinya ke lain jurusan. Tapi justru dia
salah tindak sebab arah larinya itu memapasi Nilamahadewi yang
datang dari samping. Kini dia terkurung di tengah-tengah.
“Kalian ini anak manusia -anak manusia macam apakah?!” si penulis
berkata-kata dengan suara keras. “Sesudah menipu aku kalian inginkan
jiwaku pula!” penulis ini berumur sekitar dua puluh tahun. anu nya
cakap dan kulitnya kuning.
Nilamaharani tertawa bergumam. Ada bayangan yang aneh aneh saja di
balik tawanya itu. Dan bayangan aneh aneh saja ini membuat si penulis
merasa ngeri.
“Orang muda, jangan banyak mulut. Sudah menjadi ketentuan
bahwa kau harus mati di tangan kami!”
“Tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa terhadap kalian.
Bahkan aku telah turutkan kemauan kalian. Tapi saat aku tahu
bahwa kalian...”
Plaak!
“Heh, kuat juga kau ya?!” kata Nilamaharani. Dia melompat,
membungkuk menangkap salah satu kaki si penulis lalu
melemparkan penulis itu ke arah sebatang pohon waru.
Tak ampun lagi kepala penulis itu hancur, otaknya berhamburan.
Nyawanya putus sebelum tubuhnya jatuh melingkar di akar pohon!
“Baru lega hatiku sekarang,” kata Nilamaharani. Dibetulkannya
gelungan rambutnya.
Dia berpaling pada adiknya dan saat itu Nilamahadewi berkata-kata,
“Mari kita tinggalkan tempat ini.”
Keduanya segera meninggalkan tempat ini tapi belum jauh
tiba-tiba Nilamaharani menghentikan larinya.
“Astaga!”
“Ada apa?” tanya Nilamahadewi.
“Orang tua itu.”
“Kenapa dia?”
“Mungkin penulis itu telah membuka rahasia padanya.”
“Kalau begitu...” ujar Nilamahadewi seraya membalikkan tubuh.
Sesaat kemudian dia sudah berada kembali di depan pondok.
“Lekas bereskan dia, Adikku. Aku sudah tak tahan dinginnya
udara gila ini!”
Nilamahadewi tak perlu disuruh dua kali. Dia sudah tahu apa
yang harus dilakukannya. Kepala orang tua yang masih menggeletak
pingsan itu ditendangnya hingga rengkah.
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 2
UTAN Bintaran terkenal sebagai hutan yang banyak binatang
buruannya. Mulai dari kelinci sampai pada rusa-rusa muda
yang amat jinak. sebab itulah adipati-adipati di asia kecil Tengah
dan setiap orang yang gemar berburu, kerap kali melakukan
perburuan di hutan ini .
Sekali waktu putera Adipati Muntilan bersama dua orang
pembantunya berangkat ke Hutan Bintaran untuk berburu.
Menjelang tengah hari mereka telah berhasil membunuhi tiga ekor
kelinci, menjebak hidup-hidup seekor tupai berbulu kegelapan . Tepat
sewaktu matahari mencapai titik tertingginya, putera Adipati itu
duduk melepaskan lelahnya di tepi sebuah telaga.
“Sejuk sekali air telaga ini,” kata putera Adipati itu sambil
merendamkan kedua kakinya ke dalam air telaga. “Telaga apakah ini
namanya, Paman?”
Salah seorang pembantu yang sudah agak lanjut usianya
mengomentari , “Kalau saya tidak salah, ini Telaga Puteri Intan Dewi.”
Lalu dituturkannya sedikit cerita tentang sampai bagaimana telaga
itu diberi nama demikian.
Baru saja pembantu itu menyelesaikan ceritanya, di tepi telaga
yang terletak di seberang mereka muncullah seekor anak rusa.
Binatang ini memandang kian kemari lalu melangkah lebih dekat ke
tepi telaga dan mencelupkan mulutnya ke dalam air.
Cepat-cepat Aryo Darmo, putera Adipati Muntilan itu, mengambil
busurnya. saat anak panah hendak dilepaskannya, selintas pikiran
timbul tenggelam dalam hatinya. Anak rusa itu bagus sekali bulunya. Coklat
berbintik-bintik putih besar-besar. Hatinyapun tak tega untuk
membunuhi binatang itu. sebab kelihatannya anak rusa ini cukup
jinak, maka Aryo Darmo akhirnya memutuskan untuk menangkapnya
hidup-hidup.
Aryo Darmo berdiri dan mengambil jalan memutar. Sesaat
kemudian dia sudah mengendap-endap di belakang anak rusa itu.
H
penulis ini pernah belajar ilmu tenaga dalam dari ayahnya. sebab nya dia
bisa bergerak gerak cepat. Begitulah, saat tinggal beberapa langkah lagi,
Aryo Darmo laksana seekor harimau melompat menerkam anak rusa
itu.
Tapi si anak rusa lebih cepat lagi. Dengan gesit dia melompat ke
samping hingga Aryo Darmo menangkap angin. Kalau dia tidak
mempergunakan kedua tangannya untuk jungkir balik pasti tubuhnya
akan terjun ke dalam telaga!
Yang membuat Aryo Darmo menjadi penasaran ialah anak rusa
itu tidak lari jauh, tapi berdiri sekitar enam tujuh langkah dari
hadapannya, memandang kepadanya dengan mengendip-endipkan
sepasang matanya, seolah-olah menantang putera Adipati Muntilan
itu untuk menangkapnya. Untuk kedua kalinya Aryo Darmo
melompat. Hampir penulis ini berhasil menangkap tengkuk binatang
itu, si anak rusa melompat binal dan lari ke dekat serumpun semak
belukar yang terletak sepuluh langkah dari si penulis .
“Sialan!” maki Aryo Darmo dengan kesal. “Kau mau lari ke mana,
hah?! Kau musti dapat kutangkap hidup-hidup!” Maka dikejarnya
binatang itu.
Demikianlah kejar mengejar terjadi hingga tanpa disadari Aryo
Darmo telah berada jauh dalam rimba belantara yang lebat. Penuh
lelah dan juga kesal penulis ini akhirnya mendudukkan dirinya di
satu akar pohon. Sewaktu dia memandang ke kiri dilihatnya anak
rusa tadi berdiri pula tak berapa jauh darinya dan mengedip-
ngedipkan sepasang matanya. Ini membuat hati Aryo Darmo tambah
kesal.
“Binatang celaka! Kalau tak dapat kutangkap hidup-hidup
bangkaimu pun tak jadi apa!” Lalu dicabutnya jimat jengglot nya dan
dilemparkannya ke arah binatang itu.
Si anak rusa yang rupanya tahu bahaya, siang-siang sudah
melompat berpindah tempat hingga jimat jengglot yang dilemparkan luput
dan menancap di sebatang pohon.
Benar-benar kini Aryo Darmo menjadi naik darah. “Binatang
celaka! Ke manapun akan kukejar kau!” sesudah mengambil jimat jengglot nya
dikejarnya kembali anak rusa itu. Dengan demikian semakin jauhlah
dia masuk ke dalam rimba belantara yang lebat.
Sementara itu tanpa setahu Aryo Darmo, dua pasang mata sejak
tadi mengikuti gerak geriknya.
Di satu tempat yang agak gelap sebab rapatnya pohon-pohon
dan semak belukar yang tumbuh tiba-tiba anak rusa yang dikejar
Aryo Darmo lenyap dari pemandangan. penulis ini menghentikan
larinya dan memandang berkeliling. Kemudian didengarnya suara
lengking binatang itu. Di lain kejap penulis ini menjadi terkejut
sewaktu di hadapannya muncul dua orang dara jelita berpakaian
kuning. Salah seorang dari mereka memegangi anak rusa yang sejak
tadi dikejar-kejarnya.
“Saudara, apakah kau menginginkan binatang ini?” tanya dara
yang memegangi rusa. Di bibirnya terlukis sekuntum senyum.
“Betul,” komentari Aryo Darmo. Lalu tanyanya, “Kalian berdua siapa?
Kenapa berada dalam rimba belantara begini rupa?”
“Aku Nilamaharani dan ini adikku Nilamahadewi,” komentari sang
dara masih dengan senyumnya yang memikat. “Kalau kami berikan
anak rusa ini padamu, sebagai gantinya kau mau berikan apa?”
“Ah, kau baik sekali, Saudari. Beri tahu di mana gudang raksasa mu, kelak
akan kusuruh orang-orangku untuk mengantarkan baju-baju bagus
dan perhiasan-perhiasan indah kepada kalian berdua. Eh, kalian ini
kakak beradik, bukan?”
Nilamaharani mengangguk. “Tempat kediaman kami mungkin
sukar dicari oleh orang-orang suruhanmu. Kecuali kalau kau tak
berkeberatan ikut bersama kami untuk mengetahuinya.”
“Tentu saja aku tidak keberatan,” komentari Aryo Darmo. Sudah
barang tentu mana ada penulis yang menolak begitu saja ajakan
dara berparas secantik Nilamaharani itu?
“Tapi,” kata Nilamahadewi, “tempat kami buruk, hanya sebuah
goa batu.”
“Itu bukan soal,” sahut Aryo Darmo.
“Kalau begitu kau peganglah anak rusa ini dan mari kita
berangkat,” kata Nilamaharani pula.
Aryo Darmo menerima anak rusa yang diberikan Nilamaharani
lalu ketiganyapun meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan mereka
tak hentinya bercakap-cakap. Demikian gembiranya Aryo Darmo
dapat berkenalan dengan dua dara jelita itu hingga boleh dikatakan
dia hampir tak perduli dengan si anak rusa. Kalau saja anak rusa itu
bukan ditangkap dan diberikan oleh Nilamaharani, mungkin sudah
sejak tadi-tadi dilepas dilemparkannya.
Mereka tiba di luar rimba belantara. Di hadapan mereka kini
terbentang satu daerah berpuncak gunung -puncak gunung . Kedua dara itu berlari menuju
ke sebuah puncak gunung di sebelah barat, diikuti oleh Aryo Darmo.
Memperhatikan cara lari kedua dara kakak beradik itu maklumlah si
penulis bahwa keduanya orang-orang berilmu. Dengan
mengandalkan ilmu lari yang diajarkan ayahnya, dicobanya
menyamai lari keduanya, namun sia-sia belaka. Dan diam-diam Aryo
Darmo jadi tambah tertarik pada dara-dara ini.
Setibanya di lereng puncak gunung yang dituju, Nilamaharani menyibakkan
serumpun semak belukar lebat. Maka kelihatanlah sebuah goa batu
yang amat bersih dan luas.
“Inilah tempat kediaman kami. Harap kau jangan...”
“Ah, tempat kalian bersih dan bagus,” kata Aryo Darmo
memotong. Lalu sesudah dipersilahkan diapun masuk.
Ruangan yang dimasukinya harum semerbak, diterangi oleh
sebuah pelita aneh aneh saja yaitu sepotong kayu yang ujungnya berapi dan
memancarkan sinar kehijauan, tertancap ke dinding. Ternyata di situ
ada dua buah ruangan dan keduanya sama sekali tidak seperti
ruangan dalam goa.
“Silahkan duduk,” kata Nilamaharani.
saat Aryo Darmo duduk membelakanginya, dara ini
mengedipkan matanya pada adiknya.
Melihat isyarat ini Nilamahadewi berkata-kata, “Saudara, kau
duduklah terus. Aku hendak terlontar keluar sebentar.”
Aryo Darmo mengangguk. Belum sempat dia bertanyakan mau ke
mana gadis lesbi asli itu, Nilamahadewi sudah lenyap di mulut goa. Aryo
Darmo tinggal sendirian di ruangan itu sebab sebelumnya
Nilamaharani sudah masuk ke ruangan yang satu lagi.
penulis ini memandang berkeliling. Kemudian pandangannya
ditujukan pada pelita kayu aneh aneh saja yang tertancap di dinding. Dia tak
habis mengerti bagaimana ada sepotong kayu yang dibakar terang
begitu rupa tanpa habis-habisnya yang apinya mengeluarkan sinar
kehijauan dan berbau harum pula. Selagi dia memperhatikan begitu
rupa dilihatnya sinar api tiba-tiba mengecil. Sebaliknya bau harum
bertambah-tambah, membuat penulis ini merasa adanya aliran
hawa aneh aneh saja di dalam darah di sekujur tubuhnya. Semakin lama
semakin santar juga bau harum itu dan detik demi detik Aryo Darmo
semakin terangsang dibuatnya.
Dari ruangan dalam Nilamaharani muncul. Aryo Darmo berpaling,
dan... Untuk beberapa saat lamanya nafasnya terasa terhenti. Kedua
matanya menyipit. Lalu cepat-cepat dipalingkannya kepalanya.
Terdengar suara tertawa kecil. Dan Nilamaharani melangkah ke
hadapan penulis itu. Aryo Darmo masih memandang ke jurusan lain,
tak berani melihat kepada dara ini.
Sewaktu Nilamaharani muncul tadi, bukan saja nafas penulis itu
serasa terhenti tapi dadanya ikut berdebar dan darahnya bergejolak.
Betapakan tidak! Dara itu telah berganti pakaian dengan sehelai
pakaian sutera kuning yang amat tipis hingga jelas kelihatan
potongan tubuh dan pakaian dalamnya. Senyum yang
dilayangkannya pun lain dan aneh aneh saja . Ini dirasakan betul oleh Aryo
Darmo, membuat rangsangan aneh aneh saja yang menjalari tubuh penulis itu
semakin menjadi-jadi.
“Kau melamun agaknya, Saudara Aryo,” ujar Nilamaharani.
penulis itu memalingkan kepalanya sedikit. “Adikmu pergi ke
manakah?” tanya putera Adipati Muntilan itu.
“Ah, dia kenapa dipikirkan? Biar saja dia pergi ke manapun tak
usah kita ributkan.”
Aryo Darmo terdiam. Dia tak mengerti mengapa si dara harus
bicara begitu.
“Aku telah menyediakan minuman untukmu di ruangan dalam,”
kata Nilamaharani.
“Terima kasih. Kenapa musti susah?”
“Jangan pakai peradatan segala. Mari kita masuk ke dalam,” ajak
Nilamaharani.
Aryo Darmo hendak mengomentari agar minuman itu dibawa saja ke
tempat itu. Namun sebelum itu terucapkan, Nilamaharani telah
menarik lengannya dan membawanya masuk ke ruangan dalam. Di
ruangan ini ada pelita kayu yang aneh aneh saja yang sinarnya lebih suram dari
ruangan sebelumnya. Segala sesuatunya kelihatan samar-samar.
Dan dalam kesamar-samaran itu Aryo Darmo masih dapat melihat
kalau saat itu dirinya dibawa ke arah sebuah pembaringan.
“Maharani, apakah maksudmu membawaku ke sini?” tanya Aryo
Darmo dengan suara bergetar.
“Aryo, kau tahu apa maksudku,” komentari Nilamaharani berbisik ke
telinga si penulis hingga hembusan nafasnya terasa hangat di pipi
Aryo Darmo. Kemudian penulis ini merasakan lengan kiri sang dara
melingkar di pinggangnya.
“Maharani, kau...”
Ucapan itu tidak terteruskan oleh Aryo Darmo sebab saat itu
Nilamaharani mendekatkan parasnya ke anu nya dengan amat
berani. Kemudian dirasakannya bibir gadis lesbi asli itu menempel di atas
bibirnya.
“Maharani, aku...”
Lagi-lagi Aryo Darmo tak bisa meneruskan kalimatnya. Kedua
lututnya goyah sebab diberati tubuh gadis lesbi asli itu. Akhirnya keduanya
terguling ke atas pembaringan.
“Kau tahu apa maksudku, Aryo. Kau laki-laki, aku dewi lesbi .
Jangan jadi orang bodoh!”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi-tapian, Aryo.”
Dan sikap malu serta pikir panjang Aryo Darmo cukup cuma
sampai di situ. Laksana seekor ular besar yang nyiur melambai lambai ran penulis
itu menggeliat atas pembaringan dan merangkul tubuh Nilamaharani
sekeras-kerasnya seperti mau melunyahkan dara itu sampai ke
tulang-tulangnya. Desau nafas panas dan tertawa bergumam
Nilamaharani membakar darah Aryo Darmo, membuat dia berlaku
lebih berani lagi. Pada puncak keberanian yang dilakukan Aryo
Darmo, tiba-tiba terdengarlah suara teriakan penulis itu laksana
geledek.
“Maharani, kau...!”
Teriakan yang menggetarkan empat dinding ruangan itu dibarengi
pula dengan pekik Nilamaharani.
Aryo Darmo tidak menunggu lebih lama. Disambarnya pakaiannya
lalu melompat dari pembaringan.
“Aryo! Kembali!” teriak Nilamaharani.
Mana penulis itu mau kembali! Apa yang dilihat dan
diketahuinya tak akan membuat dia kembali meski di depannya saat
itu menghadang setan kepala sepuluh sekalipun! Malah penulis ini
memaki beringas. “anak manusia keparat! Terkutuklah kau jadi puntung
neraka!” Dia terus menghambur ke pintu goa.
Tapi baru saja dia berada di luar, di sampingnya terdengar satu
suara bentakan, “penulis astaga ! Kau berani bermulut kotor
terhadap saudaraku. Terimalah kematianmu!”
Wuuut!
Selarik angin deras menyambar ke arah Aryo Darmo!
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 3
ENGAN sebat Aryo Darmo melompat ke samping sehingga
serangan mendadak yang berbahaya itu berhasil
dielakkannya. saat dia berpaling satu serangan lagi melesat
ke arahnya dan untuk kedua kalinya berhasil dikelitnya.
“anak manusia laknat! Tentunya kau juga sama terkutuknya dengan
kakakmu!” bentak Aryo Darmo.
Habis membentak begitu dengan tak kalah hebat dia
mengirimkan serangan balasan berupa satu tendangan ke ulu hati
lawannya yang bukan lain Nilamahadewi adanya!
Serangan maut itu dengan mudah dapat dielakkan oleh si dara
yang kemudian melancarkan serangan balasan yang amat
berbahaya. Terlambat sedikit saja pastilah kepala Aryo Darmo akan
dihantam satu jotosan keras. penulis itu menjadi tercekat hatinya.
Dari gerakan serangan serta angin pukulan lawan dia tahu bahwa
gadis lesbi asli itu memiliki kepandaian yang lebih, bahkan jauh lebih tinggi
darinya. Pada dasarnya bukan hal itu yang membuat Aryo Darmo
merasa takut dan ngeri. Tapi apa yang diketahui dan yang telah
dilihatnya beberapa saat yang lalulah membuat penulis ini
kemudian tak mau lagi melayani Nilamahadewi, tapi terus memutar
tubuh dan lari meninggalkan tempat ini .
“Adikku, jangan biarkan astaga itu kabur!” terdengar teriakan
Nilamaharani dari sibakan semak belukar di mulut goa.
“Tentu saja, Kakakku!” sahut Nilamahadewi. Dengan
mempergunakan ilmu lompat lihay yang bernama Katak Sakti
Melompati Gunung maka tubuhnya melesat tinggi ke udara dan di
lain saat sudah berada beberapa tombak di hadapan Aryo Darmo.
“Tubuh kasarmu boleh pergi, tapi nyawamu tinggalkan di sini,”
kata Nilamahadewi dengan seringai buruk.
“dewi lesbi dajal! Kau kira aku takut padamu?” sentak Aryo
Darmo.
Tubuhnya berkelebatan melancarkan satu pukulan tangan kosong
D
dari jarak delapan langkah. Sebelum pukulan tangan kosong
ini sampai, dia membuat satu lompatan sebat dan tahu-tahu
tangan kirinya telah menderu ke batok kepala Nilamahadewi.
“Uh! Jurus Angin Berhembus Pintu Menutup yang begini buruk
hendak kau andalkan?!” kata Nilamahadewi dengan tertawa
mengejek.
Dan memang, dengan amat mudah gadis lesbi asli itu berhasil
mengelakkan serangan yang dilancarkan Aryo Darmo. Penuh
penasaran si penulis mengirimkan serangan susulan yang bernama
Empat Dewa Murka. Serangan ini mempergunakan kedua tangan
dan kaki yang digerakkan susul-menyusul dan kehebatannya cukup
membuat kagum sebab tubuh Aryo Darmo dalam menyerang itu
hanya tinggal bayang-bayang saja.
“Jurus Empat Dewa Murka!” seru Nilamaharani yang datang dari
belakang dengan mengeluarkan suara dari hidung.
Sekali tangannya bergerak gerak , serangkum angin menderu dahsyat.
Aryo Darmo terpaksa membatalkan setengah bagian terakhir dari
serangannya sewaktu dirasakannya hawa dingin meniup
punggungnya. Dengan cepat dia melompat ke samping, tapi masih
kurang cepat. Pukulan lawan menyerempet bahu serta lengan
kirinya. Aryo merasakan bagian tubuhnya yang tersambar angin amat
dingin itu menjadi kaku tegang tak bisa digerakkan lagi sedang hawa
dingin mencucuk menyembilu membuat gigi-giginya bergemeletakan!
“Celaka!” keluh penulis itu dalam hati. Keringat dingin memercik
di keningnya. Kedua dara berbaju kuning sementara itu hanya
beberapa langkah saja di hadapannya dan sama-sama siap
melancarkan serangan terakhir yang mematikan.
Sreet!
Aryo Darmo menggerakkan tangannya mencabut sebilah jimat jengglot
bereluk tujuh dari pinggangnya. Sinar jingga terlontar keluar dari badan
senjata itu tanda benda ini bukan senjata sembarangan.
“Kalau kau punya sepuluh jimat jengglot , cabutlah sekaligus!” kata
Nilamaharani mengejek.
Aryo Darmo mengertakkan rahang.
“dewi lesbi terkutuk! Matilah bersama kesombongan dan
kebejatanmu!” teriak penulis itu, lalu dengan cepat mengirimkan
serangan ganas.
Sinar jingga berkiblat berputar-putar bukan saja menyambar ke
arah Nilamaharani tapi juga sekaligus ke arah Nilamahadewi. Untuk
daerah sekitar Muntilan, permainan jimat jengglot Aryo Darmo sudah terkenal
hebat disamping ayahnya sendiri. Tapi hari itu kehebatannya tidak
dipandang sebelah matapun oleh kedua dara berbaju kuning itu.
Bahkan dengan senyum mengejek mereka maju mendekat lalu
melesat di antara sambaran jimat jengglot dan di lain kejap terdengarlah dua
kali suara bergedebuk yang dibarengi dengan jeritan Aryo Darmo.
penulis itu tersungkur di tanah. Tubuhnya bergerak gerak -gerak
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi untuk selama-lamanya.
Nilamaharani menarik nafas lega.
“Apakah dua orang bujang-bujangnya yang ada di tepi telaga
perlu kita bunuh pula, Kakak?” bertanya Nilamahadewi.
“Kurasa tak perlu. Mereka tak tahu apa-apa,” komentari
Nilamahadewi sambil memperhatikan tubuh Aryo Darmo, pelipis
kirinya rengkah sedang bahu kanannya hancur. “penulis tolol,” desis
gadis lesbi asli itu. “Aku katakan padanya akan menyelamatkan dirinya dari
kematian bila dia melakukan apa yang aku mau. Tapi dia kabur dari
kamar itu...!”
Nilamahadewi tak berkata-kata apa-apa. Dia tahu, sekalipun putera
Adipati itu menuruti kehendak kakaknya, kelak dia tetap akan
dibunuh juga. Akhirnya saat dilihatnya kakaknya berlalu dari situ,
diapun mengikuti.
***
saat mayat Aryo Darmo diusung oleh dua orang pembantunya
memasuki halaman Kadipaten Muntilan, saat itu Adipati Muntilan
Jala Wisena tengah mengadakan pembicaraan dengan beberapa
orang lurah. Tentu saja mereka terkejut bukan main melihat dua
orang pembantu kadipaten muncul membawa usungan.
Jala Wisena yang di masa mudanya dikenal sebagai “Orang
Gagah Dari Muntilan” berdiri dari kursinya.
“Ada apa? Siapa yang kalian bawa ini?” tanya Adipati itu dan
sebelum kedua pembantu ini mengomentari sudah
disingkapkannya daun-daun pisang yang menutupi sosok tubuh di
atas usungan kayu.
“Anakku!” teriak Jala Wisena menggelegar keras sewaktu
dilihatnya siapa yang menjadi mayat dan menggeletak di atas
usungan itu.
Empat orang lurah yang hadir di situ bagai terpaku di tempat
masing-masing sebab terkejut dan ngeri melihat kepala putera
Adipati mereka yang rengkah bergelimang darah.
“Apa yang telah terjadi?! Lekas katakan apa yang terjadi?!” tanya
Jala Wisena.
“Kami sendiri tidak tahu, Adipati,” komentari salah seorang
pembantu.
Marahlah Jala Wisena mendengar asia kecil ban itu. “Tidak tahu bapak
moyangmu! Anakku pergi berburu bersama kalian!” Satu tamparan
kemudian melayang ke pipi pembantu itu membuat dia hampir
terjerongkang di lantai.
“Ayo kau! Lekas beri keterangan atau mau kuhajar pula?!” bentak
Jala Wisena pada pembantu yang satu lagi.
“Benar Adipati, memang kami berdua mengantarkan Raden Aryo
Darmo berburu ke Hutan Bintaran. Sesampainya di Telaga Intan Dewi
kami berhenti dan pada waktu itu muncullah seekor anak rusa.
Raden Aryo menyuruh kami menunggu di tepi telaga sedang dia
sendiri pergi menangkap anak rusa itu. sebab lama ditunggu-tunggu
dia tidak kunjung kembali kami jadi khawatir lalu pergi mencarinya.
saat kami temui dia, Raden Aryo terhantar di tanah dalam keadaan
sudah tak bernafas.”
“Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan terkutuk begini rupa?!”
“Mungkin sekali dia telah dihadang pepasukan jahat , Adipati,” kata
salah seorang lurah.
“Di sekitar Bintaran sama sekali tak pernah ada pepasukan jahat ,
bahkan maling pun tidak!” komentari Jala Wisena. Kemudian matanya
tertuju pada jari manis tangan kanan anaknya. Di jari manis penulis
itu masih kelihatan sebentuk cincin emas berbatu hijau. Ini satu
pertanda bahwa Aryo Darmo bukan dibunuh oleh pepasukan jahat .
“Barangkali musuh lama yang membalaskan dendam kesumat,”
kata seorang lurah pula.
“Boleh jadi,” sahut Jala Wisena dengan mengeretakkan geraham-
gerahamnya. “Tapi seingatku anakku tak pernah punya musuh atau
silang sengketa dengan lain orang.” Kemudian dia berpaling pada
pembantu tadi dan berkata-kata, “Antarkan aku ke tempat kau menemui
mayatnya. Aku akan selidiki apa yang sebenarnya telah...”
Adipati Muntilan itu tak sempat meneruskan kata-katanya sebab
dari pintu ruangan dalam terdengar jerit istrinya yang kemudian lari
ke arah mayat puteranya yang masih menggeletak di atas usungan.
Ratap tangis istrinya membuat hati Adipati Muntilan ini laksana
disayat-sayat dan di lain pihak gelora amarahnya semakin membara.
Sesudah jenazah anaknya dibawa masuk dan istrinya dapat
dipertenang maka bersama keempat orang lurah dan diantar oleh
seorang pembantunya, berangkatlah Adipati Jala Wisena menuju ke
Hutan Bintaran.
“Di sinilah saya menemukan mayat Raden Aryo, Adipati,” kata
pembantu kadipaten bilamana mereka sampai di tempat yang dituju.
Adipati Jala Wisena memperhatikan keadaan di tempat itu. Noda-
noda darah kelihatan jelas. Semak-semak banyak yang rubuh tanda
di situ telah terjadi perkelahian. Kemudian sepasang mata Adipati
Muntilan ini terbentur pada sebuah benda yang segera diambilnya.
Benda itu yaitu jimat jengglot milik puteranya. Sambil menimang-nimang
senjata itu Adipati ini berpikir-pikir. Dia yakin sekali kalau di situ telah
terjadi perkelahian. Tapi antara anaknya dengan siapa? Pepasukan jahat
sudah jelas bukan. Di samping itu dia tahu anaknya memiliki
kepandaian yang cukup bisa diandalkan.
Jika dia kalah dalam perkelahian dan menemui kematian,
nyatalah lawannya seorang yang berilmu tinggi. Mungkin sekali
daerah sekitar situ tempat kediamannya seorang sakti yang tak mau
tempatnya dikotori oleh orang luaran hingga akhirnya si orang sakti
memergoki puteranya dan membunuhi penulis itu.
Bersama kelima orang itu Adipati Jala Wisena kemudian
menyelidiki daerah yang banyak puncak gunung -puncak gunung nya itu. Dia berhenti di
satu tempat di mana, dengan jelas dilihatnya bekas-bekas tapak
kaki. Di tempat ini agaknya juga telah terjadi perkelahian. Dia
memandang berkeliling dan tak melihat hal-hal lain yang
mencurigakan. Namun baik Adipati Jala Wisena maupun empat
orang lurah serta pembantu kadipaten itu, tak seorangpun yang
menyadari kalau saat itu mereka tengah menjadi incaran dua pasang
mata yang tersembunyi di balik semak belukar lebat.
“Bagaimana pendapatmu?” tanya pemilik salah sepasang mata
itu yang bukan lain yaitu Nilamahadewi adanya.
“Adipati tua ini tampangnya boleh juga. Tapi terlalu banyak orang
begini pasti sia-sia. Atau mungkin kau mau mencoba?”
“Kau pancinglah yang lain-lainnya. Aku sendiri nanti akan menipu
Adipati itu, membawanya ke goa masuk lewat jalan belakang.”
sesudah berunding maka kedua gadis lesbi asli itupun masuk ke dalam goa
kembali sementara di luar sana Adipati Jala Wisena masih terus
menyelidik tempat sekitar situ dengan seksama.
Sepeminum teh berlalu...
“Kita selidiki tempat lain...” kata Jala Wisena setengah putus asa.
Baru saja Adipati Muntilan itu bergerak gerak hendak meninggalkan
tempat itu bersama rombongannya mendadak entah dari mana
datangnya melesatlah sebuah benda putih di hadapan mereka dan
menyangsang di serumpunan semak belukar. Jala Wisena cepat
mengambil benda itu yang ternyata yaitu segulungan kertas. saat
dibuka, di bagian dalam gulungan ada tulisan yang berbunyi:
“Kalau ingin tahu siapa pembunuh puteramu, suruhlah orang-
orangmu ke Telaga Intan Dewi. Kau sendiri harus pergi ke sebelah
barat.”
Jala Wisena memperlihatkan surat itu pada keempat lurah. Untuk
beberapa lamanya mereka saling berpandangan dan diam dalam
jalan pikiran masing-masing.
“Kalau bukan seorang yang berilmu tinggi pasti tak bakal
sanggup melemparkan gulungan surat ini,” kata Jala Wisena.
“Saya khawatir ini hanyalah tipuan belaka, Adipati,” kata salah
seorang lurah.
“Mungkin,” sahut Adipati Muntilan lalu berpikir sejenak. “Tetapi
mungkin pula petunjuk dari seorang yang tak mau memperlihatkan
diri.” Dan sesudah menimbang lebih dalam akhirnya laki-laki itu
memutuskan untuk mengikuti petunjuk dalam surat ini .
Keempat lurah itu beserta pembantunya disuruhnya pergi ke jurusan
telaga sedang dia sendiri menuju ke barat.
Menuju ke bagian barat berarti meninggalkan kaki-kaki puncak gunung dan
masuk kembali ke Hutan Bintaran sebelah timur. Daerah ini
diselimuti kegelapan sebab sinar matahari boleh dikatakan tak
dapat menembus lebatnya pohon-pohon dan semak belukar yang
tumbuh di sana.
Belum jauh dia memasuki bagian hutan ini tiba-tiba dia
dikejutkan oleh suara teriakan dewi lesbi minta tolong. Cepat Jala
Wisena menuju ke arah datangnya teriakan itu. Seorang dara jelita
berpakaian kuning dilihatnya terhampar di bawah sebatang pohon
besar. Mukanya pucat pasi dan membayangkan rasa takut yang
amat sangat. Pakaian kuningnya tersingkap demikian rupa hingga
jelas kelihatan pahanya yang putih mulus.
“gadis lesbi asli muda, apakah yang terjadi?” tanya Adipati Muntilan
seraya memapah gadis lesbi asli itu berdiri. Diam-diam dia amat mengagumi
kejelitaan paras si gadis lesbi asli .
“Sa... satu makh... makhluk aneh aneh saja hendak menyergapku,” komentari
gadis lesbi asli itu seraya bangun dan membetulkan pakaiannya yang
tersingkap.
“Bagaimana sampai kau tersesat ke dalam rimba belantara ini?”
“Aku... aku mengejar kupu-kupu... aduh! Kakiku sakit sekali!”
gadis lesbi asli itu kelihatan terhuyung-huyung hendak jatuh. Adipati Jala
Wisena cepat menopangnya.
“gudang raksasa mu jauhkah dari sini?”
“Tidak... tak berapa jauh. Tapi... kakiku terkilir dan sakit sekali.
Tak bisa berjalan. Oh... tolonglah!”
“Mari kuantarkan kau ke tempatmu,” kata Jala Wisena lalu
dipapahnya pinggang gadis lesbi asli itu dan diajaknya berjalan.
Tapi si gadis lesbi asli lagi-lagi mengeluh kesakitan. “Aku tak bisa berjalan.
Sakit sekali. Tolonglah dukung... aaa.”
Adipati dari Muntilan itu jadi serba salah. Tidak ditolong gadis lesbi asli itu
kelihatannya menderita sekali. Ditolongnya berarti dia harus
mendukung tubuh gadis lesbi asli itu dan ini membuat hatinya berdebar dan
darah dalam tubuhnya mengalir lebih cepat dari biasanya.
“Aduh... tolonglah,” terdengar lagi gadis lesbi asli pakaian kuning itu
mengeluh.
Akhirnya Jala Wisena tak bisa berbuat lain daripada mendukung
si gadis lesbi asli dan membawanya ke sebuah tempat di kaki puncak gunung yang
ditunjukkan.
“Melangkahlah ke pohon beringin itu,” kata gadis lesbi asli baju kuning.
Jala Wisena melangkah ke pohon yang dimaksudkan.
“Tolong tarik akar gantung yang berdempetan di sebelah kanan.”
Jala Wisena melakukan lagi apa yang dikatakan si gadis lesbi asli . aneh aneh saja !
Begitu dua buah akar gantung yang berdempetan ditariknya maka
terdengar suara berderak dan batang pohon beringin di hadapannya
yang sebelah bawah kelihatan terbuka sebuah pintu. Si gadis lesbi asli
menyuruhnya masuk. Dengan heran dan penuh tidak mengerti Jala
Wisena masuk ke dalam. Pintu di belakangnya kemudian tertutup
dengan sendirinya. Jala Wisena seorang yang banyak pengalaman
dalam dunia pertenaga dalam an. Tak syak lagi dia bahwa gadis lesbi asli itu yaitu
murid seorang sakti yang diam di tempat ini .
Jala Wisena menuruni sebuah tangga batu. Mereka sampai di
satu pelataran yang luasnya cuma satu kali satu meter dan di
hadapan pelataran itu ada sebuah tangga yang menuju ke
sebuah pintu yang terbuka. Sinar terang menyeruak dari ruangan di
belakang pintu ini .
“Itu tempatku,” kata gadis lesbi asli yang didukungnya.
Jala Wisena menaiki anak tangga demi anak tangga dan akhirnya
sampai di ambang pintu yang terbuka. Hampir tidak percaya laki-laki
ini sewaktu melihat ruangan yang amat bagus di hadapannya.
Ruangan itu yaitu sebuah kamar lengkap dengan pembaringan.
“Baringkan aku di tempat tidur itu,” pinta si baju kuning.
Adipati Muntilan membaringkan gadis lesbi asli ini di atas tempat
tidur.
“Terima kasih,” kata gadis lesbi asli itu sambil melontarkan satu senyum
yang mempesona.
“gadis lesbi asli , kau ini siapakah sebenarnya dan tinggal dengan siapa di
sini?” tanya Adipati Jala Wisena.
“Sebelum aku mengomentari , sudilah kau yang telah menolongku
memberi tahu siapa kau adanya,” kata gadis lesbi asli itu pula, padahal
sesungguhnya dia sudah tahu betul siapa adanya Jala Wisena.
“Aku Jala Wisena, Adipati Muntilan.”
“Astaga!” si gadis lesbi asli kelihatan terkejut. “Aku telah berlaku lancang
menyuruhmu seenaknya. Tidak tahunya kau seorang berpangkat
tinggi. Harapkan sudi memaafkan kelancanganku, Adipati.”
Jala Wisena tertawa kecil.
“Bagaimana Adipati sampai berada di Hutan Bintaran?”
Jala Wisena tak segera mengomentari . Akhirnya dia berkata-kata juga,
“Aku tengah mencari seseorang.”
“Siapa?”
“Pembunuh puteraku.”
Bola mata gadis lesbi asli yang terlentang di tempat tidur itu membesar
dan bertambah bagus kelihatannya.
“Bau apakah ini?” tanya Jala Wisena sewaktu hidungnya
dihambur bau harum semerbak. Dia memandang berkeliling sebab
dirasakannya kamar itu bertambah suram dari sewaktu mula-mula
dia memasukinya. Pandangannya sampai pada sebuah lampu aneh aneh saja
yang terbuat dari kayu yang ditancapkan ke dinding kamar.
“Duduklah di tepi tempat tidur ini, Adipati.”
Jala Wisena memalingkan kepalanya. “Terima kasih,” katanya.
“Aku harus pergi sekarang.”
“Kenapa terburu-buru? Aku berjanji akan membantu mencari
pembunuh puteramu...”
sebab sebelumnya yakin bahwa gadis lesbi asli itu yaitu murid seorang
sakti maka tentu dia dan gurunya kenal baik seluk-beluk daerah
sekitar bepuncak gunung an di situ dan Hutan Bintaran.
“Tadi kau katakan ada makhluk aneh aneh saja yang hendak
menyergapmu. Makhluk apa gerangan?”
“Tubuhnya tinggi besar, mukanya amat mengerikan sebab
ditumbuhi tanduk dan giginya besar-besar merupakan taring. Ngeri
sekali... Tak mau aku mengingat-ingatnya, Adipati. Kuharap kau
jangan bertanyakan tentang makhluk itu lagi...”
“Kau tentu tak tinggal sendirian di sini...”
“Betul, tapi sudah sejak lama guruku pergi bertapa dan sampai
saat ini masih belum kembali.”
“Siapakah gurumu?” tanya Jala Wisena.
“Sayang aku dipesan untuk tidak memberitahukannya kepada
siapapun,” komentari gadis lesbi asli itu. Dia menggerakkan tubuhnya sedikit dan
pakaiannya di sebelah bawah tersingkap membuat betis dan
sebagian pahanya menyembul terlontar keluar . “Sejak beliau pergi, aku
sendirian di sini. Semuanya serba sepi, Adipati. Tak ada kawan untuk
penghibur hati.”
Sementara itu Jala Wisena merasakan ada hawa aneh aneh saja yang
mengungkungi dirinya. Aliran darahnya tidak seperti biasanya.
Akhirnya diputuskannya untuk pergi dari situ.
“Sebelum aku pergi kuharap kau sudi memberi tahu namamu.”
“Namaku Nilamahadewi...”
“Baiklah, sampai bertemu lagi, Nila...”
“Tunggu, jangan pergi dulu!” ujar gadis lesbi asli itu seraya bangkit dan
duduk di tepi tempat tidur.
“Aku harus menyuguhkan minuman untukmu.”
“Ah, tak usah pakai segala macam peradatan, Nila!”
“Tapi...” Nilamahadewi berdiri dengan terhuyung-huyung.
“Kau mau ke mana, sebaiknya berbaring saja agar sakit kakimu
lekas sembuh,” kata Adipati Jala Wisena seraya hendak memegangi
bahu Nilamahadewi sebab dilihatnya gadis lesbi asli itu hampir jatuh
terjerembab.
Namun sebelum tangannya memegangi bahu itu tiba-tiba tangan
si gadis lesbi asli menyelinap dalam satu gerakan totokan yang lihay. Tak
ampun lagi sekujur tubuh Jala Wisena menjadi kaku tegang!
“Nila, apa-apaan ini?!” seru Jala Wisena.
Nilamahadewi tertawa mengikik. Tangannya bergerak gerak kembali
dan untuk selanjutnya Adipati itu tak bisa membuka suara lagi
sebab urat lehernya sudah kena ditotok! Dalam keadaan tak
berdaya Jala Wisena dibaringkan di atas tempat tidur. Sepasang
mata Adipati Muntilan ini membeliak besar sewaktu dilihat dan
dirasakannya jari-jari tangan Nilamahadewi satu demi satu membuka
pakaian yang melekat di tubuhnya!
***
Matahari telah condong ke barat. Empat orang lurah dan seorang
pembantu Kadipaten Muntilan yang sejak tadi berada di tepi Telaga
Puteri Intan Dewi mulai merasa gelisah.
“Jangan-jangan kita sudah kena tipu,” kata salah seorang dari
mereka.
“Bagaimana kalau kita kembali saja ke tempat tadi?”
mengusulkan yang lain.
Akhirnya kelimanya meninggalkan telaga ini dan kembali ke
tempat di mana mereka telah berpisah dengan Adipati Jala Wisena.
Tapi...
“Gusti Allah!” jerit salah seorang lurah yang berada di paling
depan. Langkahnya terhenti, demikian juga langkah yang lain-
lainnya. Namun itu cuma sesaat sebab kelimanya kemudian
berhamburan ke hadapan tubuh Adipati Jala Wisena yang
menggeletak di tanah tanpa pakaian dengan muka hancur tak
bernyawa lagi!
***
bobo angker
SEPASANG IBLIS BETINA 4
ESA Tembilangan merupakan satu desa yang subur makmur
dan penduduknya hidup tenteram. Hari itu boleh dikatakan
seluruh penduduk bersenang hati sebab nanti malam akan
diadakan pesta besar di gudang raksasa kepala desa yaitu pesta perkawinan
anak laki-lakinya yang tertua dengan seorang gadis lesbi asli desa yang
beranu ayu, berkulit hitam manis.
Di halaman depan telah dibangun sebuah panggung untuk
tempat pertunjukan wayang golek. Hiburan semacam ini jarang
terjadi di desa itu. sebab itulah senang hati penduduk jadi
bertambah-tambah. Meski pertunjukan itu beberapa jam lagi baru
akan dimulai tapi telah banyak orang —terutama anak-anak— yang
berkumpul di sekitar panggung.
Kira-kira sepeminuman teh sesudah bedug maghrib ditabuh
orang maka kelihatanlah penduduk Desa Tembilangan dan desa-
desa tetangga datang, berbondong-bondong menghadiri pesta
perkawinan itu. Tak ada seorang tamupun yang tak memuji
kecantikan pengantin dewi lesbi . Dan tak ada seorang tamupun
yang tidak merasa kagum akan kegagahan anu pengantin laki-laki.
Seperti pinang dibelah dua, satu bulan satu matahari, demikianlah
orang-orang memberikan perumpamaan.
Sementara itu di atas panggung, ki dalang telah mulai
menjalankan tugasnya. Malam itu sengaja dipilihnya cerita
pewayangan yang termasyhur yaitu cerita Bharatayuda. Semua orang
menonton dengan penuh perhatian.
Semakin larut malam, semakin asyik cerita yang dibawakan oleh
ki dalang. Suasana tegang terjadi sewaktu Werkuda betina ra atau yang
dikenal dengan panggilan Bima yaitu salah seorang dari lima
bersaudara Pandawa, muncul ke tengah kancah perang saudara itu,
berhadapan dengan tokoh Kurawa yang tak asing lagi yakni
Duryudana atau Suyudana.
“Yoy Suyudana! Ambillah gadamu. Mari kita bertempur!” kata
D
Bima.
Suyudana menggereng. “Memang saat inilah yang aku tunggu-
tunggu, Werkuda betina ra!”
Maka kedua orang itupun berhadap-hadapanlah dengan masing-
masing memegangi sebuah gada di tangan. Sebelum ki dalang
melanjutkan kisah pewayangan yang penuh ketegangan itu tiba-tiba
berkelebatan lah dua bayangan kuning di atas kepalanya yang dibarengi
dengan ucapan persis seperti yang diucapkan ki dalang tadi yaitu,
“Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu...!”
Tentu saja semua orang jadi terkejut. Ki dalang menghentikan
penuturannya. Semua memandang ke hadapan panggung di mana
berdiri dua orang dara berbaju kuning yang parasnya cantik sekali.
Untuk sejenak lamanya suasana sunyi. Sunyi sepi yang tidak enak.
“Ah, tamu-tamu dari manakah yang datang dengan menirukan
ucapanku?” bertanya ki dalang.
Salah seorang dara berpakaian kuning tertawa panjang sedang
yang satu lagi beliakkan matanya dan membentak, “Tutup mulutmu!
Kami tak ada urusan dengan kau!”
Kebopamenang, kepala desa yang mengadakan pesta perka–
winan berdiri dari kursinya dan melangkah ke hadapan dara-dara
jelita itu. “gadis lesbi asli -gadis lesbi asli cantik, siapa gerangan kalian? Mengapa
datang dengan cara begini rupa?”
“Kebopamenang, kau kembalilah ke tempatmu! Kami tak punya
urusan dengan kau!” si dara yang di samping kanan mengomentari .
Tentu saja ucapan itu membuat kegelapan parasnya si Kepala Desa,
apalagi dara itu tadi terang-terangan menyebut namanya seenaknya
saja padahal dia telah berusia lebih dari enam puluh!
“Ada urusan atau tidak nyatanya kau dan kawanmu telah meng–
ganggu jalannya pesta perkawinan ini,” kata Kebopamenang pula.
“Oh, begitu.”
“Ya! Dan sebab aku juga merasa tak ada urusan dengan kalian
berdua, kuharap kalian suka angkat kaki dari sini!”
Kedua gadis lesbi asli itu tertawa panjang-panjang.
“Ketahuilah