Selasa, 11 Februari 2025

bobo dikuburan 12

 


saat ini?!” 

“Tua renta...” 

Maki Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol  itu dipotong oleh bentakan Si 

Cadar Hitam. “Muka konyol , sudah mau mampus masih saja main 

maki-makian! Terima ini!” 

Selarik sinar hitam bersiut! Itulah serangan senjata Si Cadar 

Hitam yang berbentuk toya dengan lingkaran-lingkaran tajam pada 

kedua ujungnya! 

“Ha... ha! Senjatamu masih saja senjata buruk dulu! Apakah kau 

masih punya muka untuk mempergunakannya?!” ejek Raja pengemis tak sakti  

Sakti Muka konyol  seraya menangkis dengan jimat jengglot  Mustiko Jagat. 

Trang!

Bunga api memercik! 

Si Cadar Hitam terkejut. Tangannya tergetar hebat, sakit dan 

pedas. saat  diperhatikannya senjatanya, astaga! Ternyata 

lingkaran tajam yang sebelah kanan telah terbabat putus! Dia sama 

sekali tidak menyangka kalau dalam satu tahun kehebatan lawannya 

sudah maju jauh sekali dan tak menyangka lagi kalau jimat jengglot  di tangan 

Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol  demikian dahsyatnya! Mau tak mau 

nyalinya jadi menciut juga. Segera dia mengeluarkan jurus tenaga dalam nya 

yang terhebat dan melakukan penyerangan dengan senjatanya yang 

telah buntung! Si Cadar Hitam berlaku cerdik. Dia selalu mengelak 

bila lawan hendak mengadu senjata, sebaliknya dia berusaha agar 

dapat menyingkirkan jimat jengglot  Mustiko Jagat dari tangan lawan! 

Dalam ilmu tenaga dalam  mungkin Si Cadar Hitam lebih hebat dan lebih 

gesit gerakannya. Namun walau bagaimanapun yang menentukan 

yaitu  senjata di tangan masing-masing! sesudah  bertempur dua 

puluh jurus lebih akhirnya Si Cadar Hitam tak berdaya mengelakkan 

satu tusukan yang amat cepat! Tubuhnya terjajar ke belakang 

dengan dada mandi darah. Senjatanya yang buntung terlepas dan 

begitu jatuh, tubuhnya masih berkelojot beberapa kali. Begitu racun 

jimat jengglot  merambas ke jantungnya, laki-laki itupun meregang nyawa! 

“anak manusia  hina! Mayatmu tak layak malang melintang di depan 

mataku!” kata Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol . Sekali tendang saja 

maka mencelatlah tubuh Si Cadar Hitam sejauh belasan tombak, 

angsrok di antara semak-semak lebat! 

Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol  berpaling pada Kyai jaber al ali  

Pramana. “Sekarang giliranmu, anjing tua!” bentaknya lalu menyerbu 

dengan jimat jengglot  di tangan! 

Untuk kedua kalinya kedua orang itu kembali bertempur. Kini 

lebih hebat, lebih cepat, dan lebih ganas! 

Pertempuran antara Untung panarukan  dan pengeroyok-

pengeroyoknya telah berjalan lebih dari empat puluh jurus. Dalam 

keadaan luka parah Untung panarukan  masih sempat memukul jatuh 

salah satu sendok raksasa  di tangan Sri Lestari dan merampas sendok raksasa nya yang 

lain. Tapi untuk itu Untung panarukan  menerima hantaman sabuk di 

tangan Raja pengemis tak sakti  Kepala Botak yang membuat pinggulnya serasa 

remuk! Dengan penuh marah Untung panarukan  melepaskan pukulan 

Seribu Kati Memukul Awan ke arah Raja pengemis tak sakti  Kepala Botak. Pukulan 

yang dahsyat itu berhasil dikelit oleh si Kepala Botak sebaliknya 

hampir saja melanda Sri Lestari di samping kiri. sebab  itu Untung 

tak mau lagi melepaskan pukulan ini  takut mencelakai anak 

kandung atau bekas istrinya sendiri! 

“Lekas bentuk barisan bolang-baling!” tiba-tiba Sri Lestari atau 

Raja pengemis tak sakti  Cantik Ayu berseru. 

Barisan bolang-baling yaitu  satu barisan penggempur yang 

tangguh. Barisan ini diciptakan oleh Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol  

dan bisa dilakukan oleh tiga sampai tujuh orang. Dan kehebatan 

barisan ini dirasakan sendiri oleh Untung panarukan . Serangan datang 

dari berbagai jurusan dan dalam gerakan yang sama sekali 

berlawanan dari gerakan tenaga dalam  yang sewajarnya. Ini membingungkan 

Untung panarukan . Meskipun beberapa jurus di muka dia berhasil 

mengetahui kelemahan-kelemahan barisan bolang-baling itu namun 

dirinya sudah sangat terdesak! Masih untung dia berhasil merampas 

sendok raksasa  Sri Lestari, kalau tidak mungkin sudah sejak tadi-tadi dia 

mendapat celaka! 

Dalam pada itu pertempuran antara Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka 

konyol  dan Kyai jaber al ali  Pramana telah mencapai klimaks 

kehebatannya. Dalam jurus yang ke enam puluh tiga, tokoh tenaga dalam  dari 

Gunung Bromo itu berhasil menghantam lengan kanan lawannya 

hingga jimat jengglot  Mustiko Jagat terlepas dan mental dari tangan 

Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol . Laki-laki ini coba melompat untuk 

menjangkau senjata itu tapi tak berhasil sebab  saat itu Kyai jaber al ali  

Pramana melepaskan pukulan Seribu Kati Memukul Awan yang 

mana harus dielakkannya dengan cepat kalau tidak mau mendapat 

celaka.

Kyai jaber al ali  Pramana yaitu  tokoh tenaga dalam  berjiwa kesatria tulen! 

Melihat lawan tidak bersenjata lagi segera selendang suteranya 

disimpan di balik pakaian lalu meneruskan pertempuran dengan 

tangan kosong. 

Secara kebetulan, jimat jengglot  Mustiko Jagat yang terlepas mental dari 

tangan Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol  melayang ke tempat 

berlangsungnya pertempuran antara Untung panarukan  dan 

pengeroyok-pengeroyoknya. Melihat jimat jengglot  ayahnya melayang mental 

begitu rupa, dan di saat itu dia sendiri tidak pula memegangi  senjata 

apa-apa, dengan cepat Sri Lestari melompat. Sesaat kemudian 

senjata itupun sudah berada dalam tangan kanannya! 

Betapa terkejutnya Untung panarukan  menyaksikan Sri Lestari 

kembali memasuki kalangan pertempuran dengan Mustiko Jagat di 

tangan. Sinar biru berkelebatan  menggidikkan. Untuk ke sekian kalinya 

Untung panarukan  merasakan bulu kuduknya merinding. Terngiang 

lagi di telinganya kutukan Empu Bharata yang dibunuhnya dulu, 

“...kelak kau bakal mati di ujung jimat jengglot  Mustiko Jagat...” Apakah 

kutukan itu segera akan berbukti kini?! 

Trang!

Untung panarukan  terkejut. sendok raksasa  di tangan kanannya patah dua 

disambar jimat jengglot  Mustiko Jagat. Telapak tangannya sakit sekali. Dalam 

pada itu dia harus cepat pula menyelamatkan kepalanya dari gada 

batu pualam putih di tangan Raja pengemis tak sakti  Badan Gemuk, sedang dari 

belakangnya, Raja pengemis tak sakti  Hitam Manis atau Sri Kemuning 

melancarkan pula satu tendangan maut! Untung panarukan  

berkelebatan  cepat untuk mengelakkan kedua serangan itu dan 

berhasil. Namun dia melupakan kedudukan Sri Lestari yang saat itu 

bergerak gerak  luar biasa cepatnya, menyambar dari samping kiri dan 

menusukkan Mustiko Jagat ke dadanya tanpa bisa ditangkis atau 

dikelit lagi! 

Sesaat sebelum Mustiko Jagat menghunjam di dada Untung 

panarukan  terdengar satu bentakan sekeras guntur! 

“Jangan bunuh! Dia ayah kandungmu sendiri!” 

Tapi teriakan yang mengguntur itu terlambat datangnya sebagai 

peringatan. Mustiko Jagat telah lebih dulu menembus dada Untung 

panarukan  barulah semua orang, termasuk Sri Lestari terkejut! 

Bekas perwira kerajaan itu terhuyung ke belakang sambil 

memegangi i dada dengan kedua tangannya. Pada detik tubuhnya 

hampir jatuh, satu bayangan putih berkelebatan  menopang tubuhnya. 

“Kasip! Terlambat! Terlambat...!” kata orang yang datang ini 

sambil satu tangannya menggaruk-garuk kepalanya tiada henti. 

“astaga  pirang !” bentak Sri Lestari sewaktu dia melihat siapa 

adanya orang yang menopang tubuh lawannya. “Kau masih mau ikut 

campur urusan orang lain?!” 

“gadis lesbi asli  ! Apakah kau masih belum sadar kalau orang ini yaitu  

ayah kandungmu sendiri?!” ujar si penulis  rambut pirang  yang 

bukan lain Pendekar pendek kekar  bobo  angker  adanya. 

“Jangan bicara ngacok ngelantur!” bentak Sri Lestari. “Ayahku 

yaitu  Gambir Seta yang bergelar Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol !” 

bobo  angker  tertawa kecut dan menyandarkan Untung panarukan  

ke pangkuannya. 

Sambil megap-megap kehabisan nafas Untung panarukan  berbisik, 

“Sahabat kenapa kau beritahu siapa diriku...” 

Baru saja Untung panarukan  habis berkata-kata begitu satu tangan 

menyambar dan bret! Terbukalah cadar hitam yang selama ini 

menutup paras bekas perwira kerajaan itu. Terdengar jerit ngeri Sri 

Kemuning. Dialah yang menyentakkan kain penutup paras Untung 

panarukan . Jeritannya disusul oleh jeritan Sri Lestari dan seruan-

seruan tertahan orang-orang yang ada di situ yang merasa ngeri 

melihat terlontar keluar biasaan seramnya paras Untung panarukan . Mata 

kirinya hanya merupakan lobang belaka. Mulutnya kanan robek robek  

sampai ke pipi, bibir menjela-jela. Cuping hidupnya yang sebelah kiri 

tanggal, kedua daun telinganya papas buntung sedang seluruh kulit 

muka hancur bergurat-gurat! Sebagai bekas istri sekalipun, Sri 

Kemuning tidak mengenali Untung panarukan  lagi! 

Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol  terkejut luar biasa! Benar-benar tak 

diduganya kalau orang bercadar itu yaitu  Untung panarukan , 

seorang bekas perwira kerajaan yang telah membunuhi  Empu 

Bharata dan yang telah disiksanya setengah mati enam belas tahun 

yang silam! 

Tiba-tiba laki-laki ini berteriak, “Jangan dengar omongan penulis  

edan itu! Dia tak ada sangkut paut apa denganmu. Lestari! Akulah 

ayah kandungmu!” 

bobo  mendengus marah! 

“Iblis laknat!” bentak Pendekar pendek kekar . “Di saat orang hendak 

menghembuskan nafas penghabisan apakah kau masih punya hati 

demikian jahat untuk membantah kenyataan bahwa dia yaitu  

Untung panarukan , ayah kandung gadis lesbi asli   itu?!” 

“Setan alas!” balas membentak Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol , 

“Kalau kau mau mampus bersamanya pergilah!” Habis berkata-kata 

begitu Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol  yang hendak menyekap rahasia 

mengenai diri Untung panarukan  segera melepaskan pukulan tangan 

kosong yang luar biasa hebatnya. 

“astaga  bermuka konyol ! anak manusia  macammu memang tak 

layak dibiarkan hidup lebih lama!” teriak bobo . 

Dia bersiul nyaring dan balas menghantam dengan tangan 

kanannya! Satu larik sinar putih yang amat panas dan menyilaukan 

mata menderu laksana petir menyambar! 

Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol  terpekik. Tubuhnya terguling. 

Itulah pukulan Sinar Matahari. 

Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol  tak menyangka akan disambut 

dengan serangan balasan yang dahsyat itu. Cepat-cepat dia 

melompat ke samping. Tapi masih kurang cepat! Pekiknya 

mengumandang. Tangan kanannya yang kurus kering kelihatan 

hangus hitam pekat sedang tubuhnya terbanting ke tanah! 

“penulis  keparat! Mampuslah!” teriak Sri Lestari seraya 

melompat dan menusukkan Mustiko Jagat ke kepala Pendekar pendek kekar . 

“Lestari! Tahan!” teriak Sri Kemuning dengan cepat. 

Sementara itu jimat jengglot  sakti hanya tinggal setengah jengkal dari 

batok kepala Pendekar pendek kekar , dengan sebat bobo  memukul 

pergelangan tangan gadis lesbi asli   itu hingga Mustiko Jagat terlepas mental. 

“Orang muda! Laki-laki yang bernama Untung panarukan  tidak 

bermuka seseram dia! Jangan kau bicara ngelantur tak karuan!” kata 

Sri Kemuning pula. 

bobo  berpaling pada Kyai jaber al ali  Pramana dan mengomentari , “Orang 

tua itu lebih tahu dari aku! Dia yang menyelamatkan bekas suamimu 

dari kematian!” 

Sri Kemuning melangkah cepat. Dia ingin membuktikan sendiri 

bahwa laki-laki bermuka seseram setan itu yaitu  betul-betul Untung 

panarukan , bekas suaminya! Dirobek robek nya pakaian Untung panarukan  

dan saat  di dada laki-laki ini dilihatnya sebuah tahi lalat besar 

meraunglah dewi lesbi  ini. 

“Kanda Untung!” jeritnya seraya menubruk dan memeluk tubuh 

Untung panarukan . 

“Kemun...” Nama itu tak sempat disebut Untung panarukan  sampai 

ke akhirnya sebab  malaekat maut telah lebih dulu mencabut 

nyawanya!

Sementara itu dengan terhuyung-huyung Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka 

konyol  coba berdiri. Tapi tubuhnya roboh kembali sebab  racun 

pukulan Sinar Matahari dari Pendekar pendek kekar  mulai merusak jaringan-

jaringan urat di dalam tubuhnya. 

saat  jimat jengglot  Mustiko Jagat yang terpelanting jatuh di 

hadapannya, timbul tenggelam  kekuatan baru dalam dirinya. Dengan 

merangkak susah payah senjata itu berhasil dijangkaunya. Begitu 

tangan kirinya menyentuh senjata sakti itu, racun pukulan Sinar 

Matahari dengan serta merta menjadi sirna. Dengan kekuatan baru, 

Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol  melemparkan jimat jengglot  Mustiko Jagat ke 

arah Pendekar pendek kekar . Tapi lemparannya itu meleset dan jimat jengglot  Mustiko 

Jagat melesat ke arah Sri Kemuning! 

“Ibu, awas!” seru Sri Lestari. 

Dia melompat hendak menyambar senjata itu. Tapi sebab  

bingung dengan apa yang disaksikannya tadi, gadis lesbi asli   ini bertindak 

gugup. Dan hal ini harus dibayarnya dengan mahal! jimat jengglot  Mustiko 

Jagat menghantam pangkal lehernya! Baik bobo  maupun Kyai jaber al ali  

Pramana tidak punya kesempatan sama sekali untuk 

menyelamatkan jiwa gadis lesbi asli   itu! 

Terdengar pekik Sri Lestari. Tubuhnya roboh dengan leher mandi 

darah. Hanya beberapa kali saja tubuh itu kelihatan bergerak gerak -gerak, 

sesudah itu diam tak berkutik lagi! Sri Kemuning laksana gila 

melepaskan pelukannya pada tubuh Untung panarukan  dan 

menghambur ke tempat di mana anaknya menggeletak tak 

bernyawa.

“anak manusia  durjana!” bentak Kyai jaber al ali  Pramana seraya melompat 

menyerang Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol . 

Tapi dari samping satu bayangan putih lebih cepat 

mendahuluinya. Satu suara laksana ribuan tawon mengamuk 

membising telinga dan di lain kejap terdengarlah jeritan setinggi 

langit terlontar keluar  dari tenggorokan Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol ! 

Tubuhnya bergedebuk ke tanah. Pinggangnya hampir putus dan 

darah membanjir! 

Kyai jaber al ali  Pramana berdiri laksana patung, memandang tepat-

tepat pada Pendekar pendek kekar  yang berdiri di hadapannya, memegangi  

Kapak Maut Naga Geni pendek kekar . Senjata itulah yang telah menamatkan 

riwayat Raja pengemis tak sakti  Sakti Muka konyol . 

“Senjata hebat. Dan gerakannya luar biasa cepatnya,” kata Kyai 

jaber al ali  Pramana dalam hati. 

Tiba-tiba kedua orang itu dikejutkan oleh teriakan Raja pengemis tak sakti  

Badan Gemuk. Mereka membalik dan... terlalu kasip untuk turun 

tangan! Sri Kemuning telah mencabut jimat jengglot  Mustiko Jagat dari leher 

anaknya dan kemudian menusukkan senjata itu ke dadanya sendiri! 

“astaga -astaga  rendah! Gara-gara kalianlah semua ini terjadi!” 

bentak Raja pengemis tak sakti  Badan Gemuk. Bersama Raja pengemis tak sakti  Kepala Botak 

dia menyerbu bobo  angker  dan Kyai jaber al ali  Pramana. 

bobo  memutar Kapak Naga Geni pendek kekar . 

Crass!

Tangan kanan Raja pengemis tak sakti  Badan Gemuk putus. Laki-laki ini 

meraung macam harimau luka lalu lari terbirit-birit. Di tengah jalan 

racun kapak telah merambas jantungnya hingga tubuhnya terhuyung 

dan roboh tanpa nyawa di saat itu juga. 

Raja pengemis tak sakti  Kepala Botak yang menyerang Kyai jaber al ali  Pramana 

tidak bernasib lebih baik. Pukulan Seribu Kati Memukul Awan 

mendarat di kepalanya yang tak berambut hingga memar macam 

pepaya busuk, tubuhnya menyungkur tanah tanpa nyawa lagi! 

Raja pengemis tak sakti  Badan Kurus yang saat itu telah siuman dari 

pingsannya begitu tahu kalau dirinya cuma tinggal sendirian di situ, 

tanpa menunggu lebih lama segera pula ambil langkah seribu, lari ke 

jurusan lenyapnya Raja pengemis tak sakti  Badan Gemuk. 

Untuk beberapa lamanya sempat itu diselimuti kesunyian. Yang 

terdengar hanya tiupan angin di sela-sela daun-daun pepohonan dan 

suara hamparan ombak sayup-sayup di kejauhan. 

“Kyai... sebaiknya kita kuburkan saja mayat orang-orang ini,” kata 

bobo  angker  seraya memasukkan Kapak Maut Naga Geni pendek kekar  ke 

balik pakaiannya. 

Demikianlah berakhirnya kisah ini. Menurut cerita, jimat jengglot  Mustiko 

Jagat diambil oleh Kyai jaber al ali  Pramana. Untuk menghindarkan hal-hal 

tak diinginkan yang mungkin terjadi, jimat jengglot  itu kemudian dilemparkan 

ke dalam laut di Selat Madura. 

TAMAT


BASTIAN TITO 

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI pendek kekar  

bobo  angker 

SEPASANG IBLIS BETINA 

Ebook Oleh: syauqy_arr 

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 1

ATAHARI yang tadi bersinar amat terik kini sinarnya itu 

pupus ditelan awan hitam yang datang berarak dari arah 

timur. Sesaat kemudian langitpun mendung hitam. Hujan 

rintik-rintik mulai turun disertai sambaran kilat dan gelegar guntur. 

Sekali lagi kilat menyabung. Sekali lagi pula guntur menggelegar 

membuat seantero bumi bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini berganti 

dengan hujan lebat. Demikian lebatnya hingga tak beda seperti 

dicurahkan saja layaknya dari atas langit. 

Sekejap saja segala apa yang ada di bumi menjadi basah. Laut 

menggelombang, sungai menderas arusnya, sawah-sawah tergenang 

air. Selokan-selokan kecil banjir. 

Di antara semua itu, bertiup angin dingin yang mencucuk sampai 

ke tulang-tulang sungsum. 

Di kala setiap orang berada di tempat kediaman masing-masing, 

di kala semua orang berusaha mencari tempat berteduh guna 

menghindari hujan lebat itu, maka di samping sebuah puncak gunung  batu 

kelihatanlah dua sosok bayangan kuning berkelebatan  lari dengan 

amat cepatnya. Seolah-olah kedua orang itu tidak memperdulikan 

lebatnya hujan, tidak mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin. 

Juga sama sekali tidak mau ambil perhatian terhadap batu-batu licin 

yang mereka lompati dalam lari mereka yang laksana terbang 

cepatnya.

Dan yaitu  lebih mengherankan lagi sebab  kedua orang 

berpakaian kuning itu nyatanya dua orang gadis lesbi asli   cantik jelita. Dari 

paras mereka yang hampir bersamaan itu jelas keduanya bersaudara 

atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka berhenti di satu bagian 

puncak gunung  yang terjal. Pakaian mereka yang bagus dan panjang menjela 

sudah basah kuyup oleh siraman air hujan. Demikian pula rambut 

hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-masing. 

Pakaian yang basah itu melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas 

kelihatan membayang terlontar keluar  potongan badan mereka yang bagus 

M

ramping.

Keduanya memandang berkeliling. Mata mereka yang tajam 

berusaha menembus tabir hujan dan kabut yang tebal. 

“Heran,” kata salah seorang dari mereka. “Ke mana kaburnya 

penulis  itu...” 

“Kalau dia sampai bertemu dengan lain orang, dan menuturkan 

apa yang diketahuinya tentang diri kita sebelum kita berhasil 

meringkusnya, celakalah kita, Kakak!” 

gadis lesbi asli   baju kuning yang dipanggilkan kakak menggigit bibirnya. Di 

anu nya yang bulat telur itu jelas terlihat rasa cemas yang amat 

sangat. 

“Kurasa dia belum lari jauh, Adikku. Mari!” 

Maka kedua gadis lesbi asli   itupun berkelebatan  dan di lain kejap sudah 

lenyap dari tempat itu. Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat di 

dalam lebatnya hujan ke arah kaki puncak gunung  sebelah timur. Meski tiupan 

angin keras sekali memapasi lari mereka, namun itu tidak 

mengurangi kecepatan lari masing-masing! Di kaki puncak gunung  keduanya 

melompati sebuah anak sungai. Kilat tiba-tiba menyambar lagi. gadis lesbi asli   

baju kuning yang berlari di sebelah belakang berseru, “Kakak! 

Tunggu!”

“Hai ada apakah, Dewi?” tanya gadis lesbi asli   yang lari di depan seraya 

menghentikan larinya dan berbalik! 

“Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah 

pondok. Siapa tahu...” 

“Mari kita selidiki,” ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani 

sambil menarik lengan adiknya yang bernama Nilamahadewi. 

Dalam waktu yang singkat kedua gadis lesbi asli   itu telah sampai di 

pondok yang tadi terlihat di kejauhan dalam terangnya sambaran 

kilat. Di ambang pintu pondok yang tertutup berdiri seorang tua 

berkerudung kain sarung yang telah kumal dan apak baunya. 

Si orang tua kelihatan terkejut sekali sebab  tahu-tahu di 

hadapannya berdiri dua orang gadis lesbi asli   berparas jelita. 

“Ka... kalian... siapa?” tanya orang tua ini gugup. Dia khawatir 

kalau dua gadis lesbi asli   itu bukan anak manusia  sungguhan. 

Bukannya mengomentari , sebaliknya Nilamahadewi bertanya 

membentak, “Orang tua! Apa kau lihat seorang pemudi baju putih 

lewat di sini?” 

“Ti... tidak,” komentari si orang tua masih gugup. 

“Jangan dusta!” Nilamaharani membentak dengan melototkan 

kedua matanya. 

“Sungguh, aku tidak dusta...” 

“Kita geledah pondoknya!” kata Nilamaharani lalu menggerakkan 

tangan kirinya dan si orang tua terpelanting jatuh. 

“Jangan!” seru orang tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak 

menghalangi. 

“Tua bangka tidak tahu diri!” bentak Nilamaharani dan 

menendang pinggul si orang tua hingga mencelat mental dan 

melingkar pingsan di halaman pondok di bawah siraman hujan lebat. 

Dengan kakinya yang lain Nilamaharani menendang pintu pondok 

hingga bobol. Begitu pintu hancur dan terpentang lebar sesosok 

tubuh berpakaian putih kelihatan menghambur lewat jendela 

samping. 

“Itu dia!” teriak Nilamahadewi. 

“Kau mau lari ke mana, hah?” ujar Nilamaharani seraya 

mengulurkan tangannya mencekal leher pakaian si penulis . 

Tapi penulis  ini lebih cepat lagi. Dengan satu gerakan kilat dia 

membungkuk lalu memutar larinya ke lain jurusan. Tapi justru dia 

salah tindak sebab  arah larinya itu memapasi Nilamahadewi yang 

datang dari samping. Kini dia terkurung di tengah-tengah. 

“Kalian ini anak manusia -anak manusia  macam apakah?!” si penulis  

berkata-kata dengan suara keras. “Sesudah menipu aku kalian inginkan 

jiwaku pula!” penulis  ini berumur sekitar dua puluh tahun. anu nya 

cakap dan kulitnya kuning. 

Nilamaharani tertawa bergumam. Ada bayangan yang aneh aneh saja  di 

balik tawanya itu. Dan bayangan aneh aneh saja  ini membuat si penulis  

merasa ngeri. 

“Orang muda, jangan banyak mulut. Sudah menjadi ketentuan 

bahwa kau harus mati di tangan kami!” 

“Tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa terhadap kalian. 

Bahkan aku telah turutkan kemauan kalian. Tapi saat  aku tahu 

bahwa kalian...” 

Plaak!

“Heh, kuat juga kau ya?!” kata Nilamaharani. Dia melompat, 

membungkuk menangkap salah satu kaki si penulis  lalu 

melemparkan penulis  itu ke arah sebatang pohon waru. 

Tak ampun lagi kepala penulis  itu hancur, otaknya berhamburan. 

Nyawanya putus sebelum tubuhnya jatuh melingkar di akar pohon! 

“Baru lega hatiku sekarang,” kata Nilamaharani. Dibetulkannya 

gelungan rambutnya. 

Dia berpaling pada adiknya dan saat itu Nilamahadewi berkata-kata, 

“Mari kita tinggalkan tempat ini.” 

Keduanya segera meninggalkan tempat ini  tapi belum jauh 

tiba-tiba Nilamaharani menghentikan larinya. 

“Astaga!”

“Ada apa?” tanya Nilamahadewi. 

“Orang tua itu.” 

“Kenapa dia?” 

“Mungkin penulis  itu telah membuka rahasia padanya.” 

“Kalau begitu...” ujar Nilamahadewi seraya membalikkan tubuh. 

Sesaat kemudian dia sudah berada kembali di depan pondok. 

“Lekas bereskan dia, Adikku. Aku sudah tak tahan dinginnya 

udara gila ini!” 

Nilamahadewi tak perlu disuruh dua kali. Dia sudah tahu apa 

yang harus dilakukannya. Kepala orang tua yang masih menggeletak 

pingsan itu ditendangnya hingga rengkah. 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 2

UTAN Bintaran terkenal sebagai hutan yang banyak binatang 

buruannya. Mulai dari kelinci sampai pada rusa-rusa muda 

yang amat jinak. sebab  itulah adipati-adipati di asia kecil  Tengah 

dan setiap orang yang gemar berburu, kerap kali melakukan 

perburuan di hutan ini . 

Sekali waktu putera Adipati Muntilan bersama dua orang 

pembantunya berangkat ke Hutan Bintaran untuk berburu. 

Menjelang tengah hari mereka telah berhasil membunuhi  tiga ekor 

kelinci, menjebak hidup-hidup seekor tupai berbulu kegelapan . Tepat 

sewaktu matahari mencapai titik tertingginya, putera Adipati itu 

duduk melepaskan lelahnya di tepi sebuah telaga. 

“Sejuk sekali air telaga ini,” kata putera Adipati itu sambil 

merendamkan kedua kakinya ke dalam air telaga. “Telaga apakah ini 

namanya, Paman?” 

Salah seorang pembantu yang sudah agak lanjut usianya 

mengomentari , “Kalau saya tidak salah, ini Telaga Puteri Intan Dewi.” 

Lalu dituturkannya sedikit cerita tentang sampai bagaimana telaga 

itu diberi nama demikian. 

Baru saja pembantu itu menyelesaikan ceritanya, di tepi telaga 

yang terletak di seberang mereka muncullah seekor anak rusa. 

Binatang ini memandang kian kemari lalu melangkah lebih dekat ke 

tepi telaga dan mencelupkan mulutnya ke dalam air. 

Cepat-cepat Aryo Darmo, putera Adipati Muntilan itu, mengambil 

busurnya. saat  anak panah hendak dilepaskannya, selintas pikiran 

timbul tenggelam  dalam hatinya. Anak rusa itu bagus sekali bulunya. Coklat 

berbintik-bintik putih besar-besar. Hatinyapun tak tega untuk 

membunuhi  binatang itu. sebab  kelihatannya anak rusa ini cukup 

jinak, maka Aryo Darmo akhirnya memutuskan untuk menangkapnya 

hidup-hidup.

Aryo Darmo berdiri dan mengambil jalan memutar. Sesaat 

kemudian dia sudah mengendap-endap di belakang anak rusa itu. 

H

penulis  ini pernah belajar ilmu tenaga dalam  dari ayahnya. sebab nya dia 

bisa bergerak gerak  cepat. Begitulah, saat  tinggal beberapa langkah lagi, 

Aryo Darmo laksana seekor harimau melompat menerkam anak rusa 

itu.

Tapi si anak rusa lebih cepat lagi. Dengan gesit dia melompat ke 

samping hingga Aryo Darmo menangkap angin. Kalau dia tidak 

mempergunakan kedua tangannya untuk jungkir balik pasti tubuhnya 

akan terjun ke dalam telaga! 

Yang membuat Aryo Darmo menjadi penasaran ialah anak rusa 

itu tidak lari jauh, tapi berdiri sekitar enam tujuh langkah dari 

hadapannya, memandang kepadanya dengan mengendip-endipkan 

sepasang matanya, seolah-olah menantang putera Adipati Muntilan 

itu untuk menangkapnya. Untuk kedua kalinya Aryo Darmo 

melompat. Hampir penulis  ini berhasil menangkap tengkuk binatang 

itu, si anak rusa melompat binal dan lari ke dekat serumpun semak 

belukar yang terletak sepuluh langkah dari si penulis . 

“Sialan!” maki Aryo Darmo dengan kesal. “Kau mau lari ke mana, 

hah?! Kau musti dapat kutangkap hidup-hidup!” Maka dikejarnya 

binatang itu. 

Demikianlah kejar mengejar terjadi hingga tanpa disadari Aryo 

Darmo telah berada jauh dalam rimba belantara yang lebat. Penuh 

lelah dan juga kesal penulis  ini akhirnya mendudukkan dirinya di 

satu akar pohon. Sewaktu dia memandang ke kiri dilihatnya anak 

rusa tadi berdiri pula tak berapa jauh darinya dan mengedip-

ngedipkan sepasang matanya. Ini membuat hati Aryo Darmo tambah 

kesal.

“Binatang celaka! Kalau tak dapat kutangkap hidup-hidup 

bangkaimu pun tak jadi apa!” Lalu dicabutnya jimat jengglot nya dan 

dilemparkannya ke arah binatang itu. 

Si anak rusa yang rupanya tahu bahaya, siang-siang sudah 

melompat berpindah tempat hingga jimat jengglot  yang dilemparkan luput 

dan menancap di sebatang pohon. 

Benar-benar kini Aryo Darmo menjadi naik darah. “Binatang 

celaka! Ke manapun akan kukejar kau!” sesudah  mengambil jimat jengglot nya 

dikejarnya kembali anak rusa itu. Dengan demikian semakin jauhlah 

dia masuk ke dalam rimba belantara yang lebat. 

Sementara itu tanpa setahu Aryo Darmo, dua pasang mata sejak 

tadi mengikuti gerak geriknya. 

Di satu tempat yang agak gelap sebab  rapatnya pohon-pohon 

dan semak belukar yang tumbuh tiba-tiba anak rusa yang dikejar 

Aryo Darmo lenyap dari pemandangan. penulis  ini menghentikan 

larinya dan memandang berkeliling. Kemudian didengarnya suara 

lengking binatang itu. Di lain kejap penulis  ini menjadi terkejut 

sewaktu di hadapannya muncul dua orang dara jelita berpakaian 

kuning. Salah seorang dari mereka memegangi  anak rusa yang sejak 

tadi dikejar-kejarnya. 

“Saudara, apakah kau menginginkan binatang ini?” tanya dara 

yang memegangi  rusa. Di bibirnya terlukis sekuntum senyum. 

“Betul,” komentari Aryo Darmo. Lalu tanyanya, “Kalian berdua siapa? 

Kenapa berada dalam rimba belantara begini rupa?” 

“Aku Nilamaharani dan ini adikku Nilamahadewi,” komentari sang 

dara masih dengan senyumnya yang memikat. “Kalau kami berikan 

anak rusa ini padamu, sebagai gantinya kau mau berikan apa?” 

“Ah, kau baik sekali, Saudari. Beri tahu di mana gudang raksasa mu, kelak 

akan kusuruh orang-orangku untuk mengantarkan baju-baju bagus 

dan perhiasan-perhiasan indah kepada kalian berdua. Eh, kalian ini 

kakak beradik, bukan?” 

Nilamaharani mengangguk. “Tempat kediaman kami mungkin 

sukar dicari oleh orang-orang suruhanmu. Kecuali kalau kau tak 

berkeberatan ikut bersama kami untuk mengetahuinya.” 

“Tentu saja aku tidak keberatan,” komentari Aryo Darmo. Sudah 

barang tentu mana ada penulis  yang menolak begitu saja ajakan 

dara berparas secantik Nilamaharani itu? 

“Tapi,” kata Nilamahadewi, “tempat kami buruk, hanya sebuah 

goa batu.” 

“Itu bukan soal,” sahut Aryo Darmo. 

“Kalau begitu kau peganglah anak rusa ini dan mari kita 

berangkat,” kata Nilamaharani pula. 

Aryo Darmo menerima anak rusa yang diberikan Nilamaharani 

lalu ketiganyapun meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan mereka 

tak hentinya bercakap-cakap. Demikian gembiranya Aryo Darmo 

dapat berkenalan dengan dua dara jelita itu hingga boleh dikatakan 

dia hampir tak perduli dengan si anak rusa. Kalau saja anak rusa itu 

bukan ditangkap dan diberikan oleh Nilamaharani, mungkin sudah 

sejak tadi-tadi dilepas dilemparkannya. 

Mereka tiba di luar rimba belantara. Di hadapan mereka kini 

terbentang satu daerah berpuncak gunung -puncak gunung . Kedua dara itu berlari menuju 

ke sebuah puncak gunung  di sebelah barat, diikuti oleh Aryo Darmo. 

Memperhatikan cara lari kedua dara kakak beradik itu maklumlah si 

penulis  bahwa keduanya orang-orang berilmu. Dengan 

mengandalkan ilmu lari yang diajarkan ayahnya, dicobanya 

menyamai lari keduanya, namun sia-sia belaka. Dan diam-diam Aryo 

Darmo jadi tambah tertarik pada dara-dara ini. 

Setibanya di lereng puncak gunung  yang dituju, Nilamaharani menyibakkan 

serumpun semak belukar lebat. Maka kelihatanlah sebuah goa batu 

yang amat bersih dan luas. 

“Inilah tempat kediaman kami. Harap kau jangan...” 

“Ah, tempat kalian bersih dan bagus,” kata Aryo Darmo 

memotong. Lalu sesudah  dipersilahkan diapun masuk. 

Ruangan yang dimasukinya harum semerbak, diterangi oleh 

sebuah pelita aneh aneh saja  yaitu sepotong kayu yang ujungnya berapi dan 

memancarkan sinar kehijauan, tertancap ke dinding. Ternyata di situ 

ada dua buah ruangan dan keduanya sama sekali tidak seperti 

ruangan dalam goa. 

“Silahkan duduk,” kata Nilamaharani. 

saat  Aryo Darmo duduk membelakanginya, dara ini 

mengedipkan matanya pada adiknya. 

Melihat isyarat ini Nilamahadewi berkata-kata, “Saudara, kau 

duduklah terus. Aku hendak terlontar keluar  sebentar.” 

Aryo Darmo mengangguk. Belum sempat dia bertanyakan mau ke 

mana gadis lesbi asli   itu, Nilamahadewi sudah lenyap di mulut goa. Aryo 

Darmo tinggal sendirian di ruangan itu sebab  sebelumnya 

Nilamaharani sudah masuk ke ruangan yang satu lagi. 

penulis  ini memandang berkeliling. Kemudian pandangannya 

ditujukan pada pelita kayu aneh aneh saja  yang tertancap di dinding. Dia tak 

habis mengerti bagaimana ada sepotong kayu yang dibakar terang 

begitu rupa tanpa habis-habisnya yang apinya mengeluarkan sinar 

kehijauan dan berbau harum pula. Selagi dia memperhatikan begitu 

rupa dilihatnya sinar api tiba-tiba mengecil. Sebaliknya bau harum 

bertambah-tambah, membuat penulis  ini merasa adanya aliran 

hawa aneh aneh saja  di dalam darah di sekujur tubuhnya. Semakin lama 

semakin santar juga bau harum itu dan detik demi detik Aryo Darmo 

semakin terangsang dibuatnya. 

Dari ruangan dalam Nilamaharani muncul. Aryo Darmo berpaling, 

dan... Untuk beberapa saat lamanya nafasnya terasa terhenti. Kedua 

matanya menyipit. Lalu cepat-cepat dipalingkannya kepalanya. 

Terdengar suara tertawa kecil. Dan Nilamaharani melangkah ke 

hadapan penulis  itu. Aryo Darmo masih memandang ke jurusan lain, 

tak berani melihat kepada dara ini. 

Sewaktu Nilamaharani muncul tadi, bukan saja nafas penulis  itu 

serasa terhenti tapi dadanya ikut berdebar dan darahnya bergejolak. 

Betapakan tidak! Dara itu telah berganti pakaian dengan sehelai 

pakaian sutera kuning yang amat tipis hingga jelas kelihatan 

potongan tubuh dan pakaian dalamnya. Senyum yang 

dilayangkannya pun lain dan aneh aneh saja . Ini dirasakan betul oleh Aryo 

Darmo, membuat rangsangan aneh aneh saja  yang menjalari tubuh penulis  itu 

semakin menjadi-jadi. 

“Kau melamun agaknya, Saudara Aryo,” ujar Nilamaharani. 

penulis  itu memalingkan kepalanya sedikit. “Adikmu pergi ke 

manakah?” tanya putera Adipati Muntilan itu. 

“Ah, dia kenapa dipikirkan? Biar saja dia pergi ke manapun tak 

usah kita ributkan.” 

Aryo Darmo terdiam. Dia tak mengerti mengapa si dara harus 

bicara begitu. 

“Aku telah menyediakan minuman untukmu di ruangan dalam,” 

kata Nilamaharani. 

“Terima kasih. Kenapa musti susah?” 

“Jangan pakai peradatan segala. Mari kita masuk ke dalam,” ajak 

Nilamaharani.

Aryo Darmo hendak mengomentari  agar minuman itu dibawa saja ke 

tempat itu. Namun sebelum itu terucapkan, Nilamaharani telah 

menarik lengannya dan membawanya masuk ke ruangan dalam. Di 

ruangan ini ada pelita kayu yang aneh aneh saja  yang sinarnya lebih suram dari 

ruangan sebelumnya. Segala sesuatunya kelihatan samar-samar. 

Dan dalam kesamar-samaran itu Aryo Darmo masih dapat melihat 

kalau saat itu dirinya dibawa ke arah sebuah pembaringan. 

“Maharani, apakah maksudmu membawaku ke sini?” tanya Aryo 

Darmo dengan suara bergetar. 

“Aryo, kau tahu apa maksudku,” komentari Nilamaharani berbisik ke 

telinga si penulis  hingga hembusan nafasnya terasa hangat di pipi 

Aryo Darmo. Kemudian penulis  ini merasakan lengan kiri sang dara 

melingkar di pinggangnya. 

“Maharani, kau...” 

Ucapan itu tidak terteruskan oleh Aryo Darmo sebab  saat itu 

Nilamaharani mendekatkan parasnya ke anu nya dengan amat 

berani. Kemudian dirasakannya bibir gadis lesbi asli   itu menempel di atas 

bibirnya.

“Maharani, aku...” 

Lagi-lagi Aryo Darmo tak bisa meneruskan kalimatnya. Kedua 

lututnya goyah sebab  diberati tubuh gadis lesbi asli   itu. Akhirnya keduanya 

terguling ke atas pembaringan. 

“Kau tahu apa maksudku, Aryo. Kau laki-laki, aku dewi lesbi . 

Jangan jadi orang bodoh!” 

“Tapi...”

“Tidak ada tapi-tapian, Aryo.” 

Dan sikap malu serta pikir panjang Aryo Darmo cukup cuma 

sampai di situ. Laksana seekor ular besar yang nyiur melambai lambai ran penulis  

itu menggeliat atas pembaringan dan merangkul tubuh Nilamaharani 

sekeras-kerasnya seperti mau melunyahkan dara itu sampai ke 

tulang-tulangnya. Desau nafas panas dan tertawa bergumam 

Nilamaharani membakar darah Aryo Darmo, membuat dia berlaku 

lebih berani lagi. Pada puncak keberanian yang dilakukan Aryo 

Darmo, tiba-tiba terdengarlah suara teriakan penulis  itu laksana 

geledek.

“Maharani, kau...!” 

Teriakan yang menggetarkan empat dinding ruangan itu dibarengi 

pula dengan pekik Nilamaharani. 

Aryo Darmo tidak menunggu lebih lama. Disambarnya pakaiannya 

lalu melompat dari pembaringan. 

“Aryo! Kembali!” teriak Nilamaharani. 

Mana penulis  itu mau kembali! Apa yang dilihat dan 

diketahuinya tak akan membuat dia kembali meski di depannya saat 

itu menghadang setan kepala sepuluh sekalipun! Malah penulis  ini 

memaki beringas. “anak manusia  keparat! Terkutuklah kau jadi puntung 

neraka!” Dia terus menghambur ke pintu goa. 

Tapi baru saja dia berada di luar, di sampingnya terdengar satu 

suara bentakan, “penulis  astaga ! Kau berani bermulut kotor 

terhadap saudaraku. Terimalah kematianmu!” 

Wuuut! 

Selarik angin deras menyambar ke arah Aryo Darmo! 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 3

ENGAN sebat Aryo Darmo melompat ke samping sehingga 

serangan mendadak yang berbahaya itu berhasil 

dielakkannya. saat  dia berpaling satu serangan lagi melesat 

ke arahnya dan untuk kedua kalinya berhasil dikelitnya. 

“anak manusia  laknat! Tentunya kau juga sama terkutuknya dengan 

kakakmu!” bentak Aryo Darmo. 

Habis membentak begitu dengan tak kalah hebat dia 

mengirimkan serangan balasan berupa satu tendangan ke ulu hati 

lawannya yang bukan lain Nilamahadewi adanya! 

Serangan maut itu dengan mudah dapat dielakkan oleh si dara 

yang kemudian melancarkan serangan balasan yang amat 

berbahaya. Terlambat sedikit saja pastilah kepala Aryo Darmo akan 

dihantam satu jotosan keras. penulis  itu menjadi tercekat hatinya. 

Dari gerakan serangan serta angin pukulan lawan dia tahu bahwa 

gadis lesbi asli   itu memiliki kepandaian yang lebih, bahkan jauh lebih tinggi 

darinya. Pada dasarnya bukan hal itu yang membuat Aryo Darmo 

merasa takut dan ngeri. Tapi apa yang diketahui dan yang telah 

dilihatnya beberapa saat yang lalulah membuat penulis  ini 

kemudian tak mau lagi melayani Nilamahadewi, tapi terus memutar 

tubuh dan lari meninggalkan tempat ini . 

“Adikku, jangan biarkan astaga  itu kabur!” terdengar teriakan 

Nilamaharani dari sibakan semak belukar di mulut goa. 

“Tentu saja, Kakakku!” sahut Nilamahadewi. Dengan 

mempergunakan ilmu lompat lihay yang bernama Katak Sakti 

Melompati Gunung maka tubuhnya melesat tinggi ke udara dan di 

lain saat sudah berada beberapa tombak di hadapan Aryo Darmo. 

“Tubuh kasarmu boleh pergi, tapi nyawamu tinggalkan di sini,” 

kata Nilamahadewi dengan seringai buruk. 

“dewi lesbi  dajal! Kau kira aku takut padamu?” sentak Aryo 

Darmo.

Tubuhnya berkelebatan  melancarkan satu pukulan tangan kosong 

D

dari jarak delapan langkah. Sebelum pukulan tangan kosong 

ini  sampai, dia membuat satu lompatan sebat dan tahu-tahu 

tangan kirinya telah menderu ke batok kepala Nilamahadewi. 

“Uh! Jurus Angin Berhembus Pintu Menutup yang begini buruk 

hendak kau andalkan?!” kata Nilamahadewi dengan tertawa 

mengejek.

Dan memang, dengan amat mudah gadis lesbi asli   itu berhasil 

mengelakkan serangan yang dilancarkan Aryo Darmo. Penuh 

penasaran si penulis  mengirimkan serangan susulan yang bernama 

Empat Dewa Murka. Serangan ini mempergunakan kedua tangan 

dan kaki yang digerakkan susul-menyusul dan kehebatannya cukup 

membuat kagum sebab  tubuh Aryo Darmo dalam menyerang itu 

hanya tinggal bayang-bayang saja. 

“Jurus Empat Dewa Murka!” seru Nilamaharani yang datang dari 

belakang dengan mengeluarkan suara dari hidung. 

Sekali tangannya bergerak gerak , serangkum angin menderu dahsyat. 

Aryo Darmo terpaksa membatalkan setengah bagian terakhir dari 

serangannya sewaktu dirasakannya hawa dingin meniup 

punggungnya. Dengan cepat dia melompat ke samping, tapi masih 

kurang cepat. Pukulan lawan menyerempet bahu serta lengan 

kirinya. Aryo merasakan bagian tubuhnya yang tersambar angin amat 

dingin itu menjadi kaku tegang tak bisa digerakkan lagi sedang hawa 

dingin mencucuk menyembilu membuat gigi-giginya bergemeletakan! 

“Celaka!” keluh penulis  itu dalam hati. Keringat dingin memercik 

di keningnya. Kedua dara berbaju kuning sementara itu hanya 

beberapa langkah saja di hadapannya dan sama-sama siap 

melancarkan serangan terakhir yang mematikan. 

Sreet!

Aryo Darmo menggerakkan tangannya mencabut sebilah jimat jengglot  

bereluk tujuh dari pinggangnya. Sinar jingga terlontar keluar  dari badan 

senjata itu tanda benda ini  bukan senjata sembarangan. 

“Kalau kau punya sepuluh jimat jengglot , cabutlah sekaligus!” kata 

Nilamaharani mengejek. 

Aryo Darmo mengertakkan rahang. 

“dewi lesbi  terkutuk! Matilah bersama kesombongan dan 

kebejatanmu!” teriak penulis  itu, lalu dengan cepat mengirimkan 

serangan ganas. 

Sinar jingga berkiblat berputar-putar bukan saja menyambar ke 

arah Nilamaharani tapi juga sekaligus ke arah Nilamahadewi. Untuk 

daerah sekitar Muntilan, permainan jimat jengglot  Aryo Darmo sudah terkenal 

hebat disamping ayahnya sendiri. Tapi hari itu kehebatannya tidak 

dipandang sebelah matapun oleh kedua dara berbaju kuning itu. 

Bahkan dengan senyum mengejek mereka maju mendekat lalu 

melesat di antara sambaran jimat jengglot  dan di lain kejap terdengarlah dua 

kali suara bergedebuk yang dibarengi dengan jeritan Aryo Darmo. 

penulis  itu tersungkur di tanah. Tubuhnya bergerak gerak -gerak 

beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi untuk selama-lamanya. 

Nilamaharani menarik nafas lega. 

“Apakah dua orang bujang-bujangnya yang ada di tepi telaga 

perlu kita bunuh pula, Kakak?” bertanya Nilamahadewi. 

“Kurasa tak perlu. Mereka tak tahu apa-apa,” komentari 

Nilamahadewi sambil memperhatikan tubuh Aryo Darmo, pelipis 

kirinya rengkah sedang bahu kanannya hancur. “penulis  tolol,” desis 

gadis lesbi asli   itu. “Aku katakan padanya akan menyelamatkan dirinya dari 

kematian bila dia melakukan apa yang aku mau. Tapi dia kabur dari 

kamar itu...!” 

Nilamahadewi tak berkata-kata apa-apa. Dia tahu, sekalipun putera 

Adipati itu menuruti kehendak kakaknya, kelak dia tetap akan 

dibunuh juga. Akhirnya saat  dilihatnya kakaknya berlalu dari situ, 

diapun mengikuti. 

***

saat  mayat Aryo Darmo diusung oleh dua orang pembantunya 

memasuki halaman Kadipaten Muntilan, saat itu Adipati Muntilan 

Jala Wisena tengah mengadakan pembicaraan dengan beberapa 

orang lurah. Tentu saja mereka terkejut bukan main melihat dua 

orang pembantu kadipaten muncul membawa usungan. 

Jala Wisena yang di masa mudanya dikenal sebagai “Orang 

Gagah Dari Muntilan” berdiri dari kursinya. 

“Ada apa? Siapa yang kalian bawa ini?” tanya Adipati itu dan 

sebelum kedua pembantu ini  mengomentari  sudah 

disingkapkannya daun-daun pisang yang menutupi sosok tubuh di 

atas usungan kayu. 

“Anakku!” teriak Jala Wisena menggelegar keras sewaktu 

dilihatnya siapa yang menjadi mayat dan menggeletak di atas 

usungan itu. 

Empat orang lurah yang hadir di situ bagai terpaku di tempat 

masing-masing sebab  terkejut dan ngeri melihat kepala putera 

Adipati mereka yang rengkah bergelimang darah. 

“Apa yang telah terjadi?! Lekas katakan apa yang terjadi?!” tanya 

Jala Wisena. 

“Kami sendiri tidak tahu, Adipati,” komentari salah seorang 

pembantu.

Marahlah Jala Wisena mendengar asia kecil ban itu. “Tidak tahu bapak 

moyangmu! Anakku pergi berburu bersama kalian!” Satu tamparan 

kemudian melayang ke pipi pembantu itu membuat dia hampir 

terjerongkang di lantai. 

“Ayo kau! Lekas beri keterangan atau mau kuhajar pula?!” bentak 

Jala Wisena pada pembantu yang satu lagi. 

“Benar Adipati, memang kami berdua mengantarkan Raden Aryo 

Darmo berburu ke Hutan Bintaran. Sesampainya di Telaga Intan Dewi 

kami berhenti dan pada waktu itu muncullah seekor anak rusa. 

Raden Aryo menyuruh kami menunggu di tepi telaga sedang dia 

sendiri pergi menangkap anak rusa itu. sebab  lama ditunggu-tunggu 

dia tidak kunjung kembali kami jadi khawatir lalu pergi mencarinya. 

saat  kami temui dia, Raden Aryo terhantar di tanah dalam keadaan 

sudah tak bernafas.” 

“Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan terkutuk begini rupa?!” 

“Mungkin sekali dia telah dihadang pepasukan jahat , Adipati,” kata 

salah seorang lurah. 

“Di sekitar Bintaran sama sekali tak pernah ada pepasukan jahat , 

bahkan maling pun tidak!” komentari Jala Wisena. Kemudian matanya 

tertuju pada jari manis tangan kanan anaknya. Di jari manis penulis  

itu masih kelihatan sebentuk cincin emas berbatu hijau. Ini satu 

pertanda bahwa Aryo Darmo bukan dibunuh oleh pepasukan jahat . 

“Barangkali musuh lama yang membalaskan dendam kesumat,” 

kata seorang lurah pula. 

“Boleh jadi,” sahut Jala Wisena dengan mengeretakkan geraham-

gerahamnya. “Tapi seingatku anakku tak pernah punya musuh atau 

silang sengketa dengan lain orang.” Kemudian dia berpaling pada 

pembantu tadi dan berkata-kata, “Antarkan aku ke tempat kau menemui 

mayatnya. Aku akan selidiki apa yang sebenarnya telah...” 

Adipati Muntilan itu tak sempat meneruskan kata-katanya sebab  

dari pintu ruangan dalam terdengar jerit istrinya yang kemudian lari 

ke arah mayat puteranya yang masih menggeletak di atas usungan. 

Ratap tangis istrinya membuat hati Adipati Muntilan ini laksana 

disayat-sayat dan di lain pihak gelora amarahnya semakin membara. 

Sesudah jenazah anaknya dibawa masuk dan istrinya dapat 

dipertenang maka bersama keempat orang lurah dan diantar oleh 

seorang pembantunya, berangkatlah Adipati Jala Wisena menuju ke 

Hutan Bintaran. 

“Di sinilah saya menemukan mayat Raden Aryo, Adipati,” kata 

pembantu kadipaten bilamana mereka sampai di tempat yang dituju. 

Adipati Jala Wisena memperhatikan keadaan di tempat itu. Noda-

noda darah kelihatan jelas. Semak-semak banyak yang rubuh tanda 

di situ telah terjadi perkelahian. Kemudian sepasang mata Adipati 

Muntilan ini terbentur pada sebuah benda yang segera diambilnya. 

Benda itu yaitu  jimat jengglot  milik puteranya. Sambil menimang-nimang 

senjata itu Adipati ini berpikir-pikir. Dia yakin sekali kalau di situ telah 

terjadi perkelahian. Tapi antara anaknya dengan siapa? Pepasukan jahat  

sudah jelas bukan. Di samping itu dia tahu anaknya memiliki 

kepandaian yang cukup bisa diandalkan. 

Jika dia kalah dalam perkelahian dan menemui kematian, 

nyatalah lawannya seorang yang berilmu tinggi. Mungkin sekali 

daerah sekitar situ tempat kediamannya seorang sakti yang tak mau 

tempatnya dikotori oleh orang luaran hingga akhirnya si orang sakti 

memergoki puteranya dan membunuhi  penulis  itu. 

Bersama kelima orang itu Adipati Jala Wisena kemudian 

menyelidiki daerah yang banyak puncak gunung -puncak gunung nya itu. Dia berhenti di 

satu tempat di mana, dengan jelas dilihatnya bekas-bekas tapak 

kaki. Di tempat ini agaknya juga telah terjadi perkelahian. Dia 

memandang berkeliling dan tak melihat hal-hal lain yang 

mencurigakan. Namun baik Adipati Jala Wisena maupun empat 

orang lurah serta pembantu kadipaten itu, tak seorangpun yang 

menyadari kalau saat itu mereka tengah menjadi incaran dua pasang 

mata yang tersembunyi di balik semak belukar lebat. 

“Bagaimana pendapatmu?” tanya pemilik salah sepasang mata 

itu yang bukan lain yaitu  Nilamahadewi adanya. 

“Adipati tua ini tampangnya boleh juga. Tapi terlalu banyak orang 

begini pasti sia-sia. Atau mungkin kau mau mencoba?” 

“Kau pancinglah yang lain-lainnya. Aku sendiri nanti akan menipu 

Adipati itu, membawanya ke goa masuk lewat jalan belakang.” 

sesudah  berunding maka kedua gadis lesbi asli   itupun masuk ke dalam goa 

kembali sementara di luar sana Adipati Jala Wisena masih terus 

menyelidik tempat sekitar situ dengan seksama. 

Sepeminum teh berlalu... 

“Kita selidiki tempat lain...” kata Jala Wisena setengah putus asa. 

Baru saja Adipati Muntilan itu bergerak gerak  hendak meninggalkan 

tempat itu bersama rombongannya mendadak entah dari mana 

datangnya melesatlah sebuah benda putih di hadapan mereka dan 

menyangsang di serumpunan semak belukar. Jala Wisena cepat 

mengambil benda itu yang ternyata yaitu  segulungan kertas. saat  

dibuka, di bagian dalam gulungan ada  tulisan yang berbunyi: 

“Kalau ingin tahu siapa pembunuh puteramu, suruhlah orang-

orangmu ke Telaga Intan Dewi. Kau sendiri harus pergi ke sebelah 

barat.”

Jala Wisena memperlihatkan surat itu pada keempat lurah. Untuk 

beberapa lamanya mereka saling berpandangan dan diam dalam 

jalan pikiran masing-masing. 

“Kalau bukan seorang yang berilmu tinggi pasti tak bakal 

sanggup melemparkan gulungan surat ini,” kata Jala Wisena. 

“Saya khawatir ini hanyalah tipuan belaka, Adipati,” kata salah 

seorang lurah. 

“Mungkin,” sahut Adipati Muntilan lalu berpikir sejenak. “Tetapi 

mungkin pula petunjuk dari seorang yang tak mau memperlihatkan 

diri.” Dan sesudah  menimbang lebih dalam akhirnya laki-laki itu 

memutuskan untuk mengikuti petunjuk dalam surat ini . 

Keempat lurah itu beserta pembantunya disuruhnya pergi ke jurusan 

telaga sedang dia sendiri menuju ke barat. 

Menuju ke bagian barat berarti meninggalkan kaki-kaki puncak gunung  dan 

masuk kembali ke Hutan Bintaran sebelah timur. Daerah ini 

diselimuti kegelapan sebab  sinar matahari boleh dikatakan tak 

dapat menembus lebatnya pohon-pohon dan semak belukar yang 

tumbuh di sana. 

Belum jauh dia memasuki bagian hutan ini  tiba-tiba dia 

dikejutkan oleh suara teriakan dewi lesbi  minta tolong. Cepat Jala 

Wisena menuju ke arah datangnya teriakan itu. Seorang dara jelita 

berpakaian kuning dilihatnya terhampar di bawah sebatang pohon 

besar. Mukanya pucat pasi dan membayangkan rasa takut yang 

amat sangat. Pakaian kuningnya tersingkap demikian rupa hingga 

jelas kelihatan pahanya yang putih mulus. 

“gadis lesbi asli   muda, apakah yang terjadi?” tanya Adipati Muntilan 

seraya memapah gadis lesbi asli   itu berdiri. Diam-diam dia amat mengagumi 

kejelitaan paras si gadis lesbi asli  . 

“Sa... satu makh... makhluk aneh aneh saja  hendak menyergapku,” komentari 

gadis lesbi asli   itu seraya bangun dan membetulkan pakaiannya yang 

tersingkap.

“Bagaimana sampai kau tersesat ke dalam rimba belantara ini?” 

“Aku... aku mengejar kupu-kupu... aduh! Kakiku sakit sekali!” 

gadis lesbi asli   itu kelihatan terhuyung-huyung hendak jatuh. Adipati Jala 

Wisena cepat menopangnya. 

“gudang raksasa mu jauhkah dari sini?” 

“Tidak... tak berapa jauh. Tapi... kakiku terkilir dan sakit sekali. 

Tak bisa berjalan. Oh... tolonglah!” 

“Mari kuantarkan kau ke tempatmu,” kata Jala Wisena lalu 

dipapahnya pinggang gadis lesbi asli   itu dan diajaknya berjalan. 

Tapi si gadis lesbi asli   lagi-lagi mengeluh kesakitan. “Aku tak bisa berjalan. 

Sakit sekali. Tolonglah dukung... aaa.” 

Adipati dari Muntilan itu jadi serba salah. Tidak ditolong gadis lesbi asli   itu 

kelihatannya menderita sekali. Ditolongnya berarti dia harus 

mendukung tubuh gadis lesbi asli   itu dan ini membuat hatinya berdebar dan 

darah dalam tubuhnya mengalir lebih cepat dari biasanya. 

“Aduh... tolonglah,” terdengar lagi gadis lesbi asli   pakaian kuning itu 

mengeluh.

Akhirnya Jala Wisena tak bisa berbuat lain daripada mendukung 

si gadis lesbi asli   dan membawanya ke sebuah tempat di kaki puncak gunung  yang 

ditunjukkan. 

“Melangkahlah ke pohon beringin itu,” kata gadis lesbi asli   baju kuning. 

Jala Wisena melangkah ke pohon yang dimaksudkan. 

“Tolong tarik akar gantung yang berdempetan di sebelah kanan.” 

Jala Wisena melakukan lagi apa yang dikatakan si gadis lesbi asli  . aneh aneh saja ! 

Begitu dua buah akar gantung yang berdempetan ditariknya maka 

terdengar suara berderak dan batang pohon beringin di hadapannya 

yang sebelah bawah kelihatan terbuka sebuah pintu. Si gadis lesbi asli   

menyuruhnya masuk. Dengan heran dan penuh tidak mengerti Jala 

Wisena masuk ke dalam. Pintu di belakangnya kemudian tertutup 

dengan sendirinya. Jala Wisena seorang yang banyak pengalaman 

dalam dunia pertenaga dalam an. Tak syak lagi dia bahwa gadis lesbi asli   itu yaitu  

murid seorang sakti yang diam di tempat ini . 

Jala Wisena menuruni sebuah tangga batu. Mereka sampai di 

satu pelataran yang luasnya cuma satu kali satu meter dan di 

hadapan pelataran itu ada  sebuah tangga yang menuju ke 

sebuah pintu yang terbuka. Sinar terang menyeruak dari ruangan di 

belakang pintu ini . 

“Itu tempatku,” kata gadis lesbi asli   yang didukungnya. 

Jala Wisena menaiki anak tangga demi anak tangga dan akhirnya 

sampai di ambang pintu yang terbuka. Hampir tidak percaya laki-laki 

ini sewaktu melihat ruangan yang amat bagus di hadapannya. 

Ruangan itu yaitu  sebuah kamar lengkap dengan pembaringan. 

“Baringkan aku di tempat tidur itu,” pinta si baju kuning. 

Adipati Muntilan membaringkan gadis lesbi asli   ini  di atas tempat 

tidur.

“Terima kasih,” kata gadis lesbi asli   itu sambil melontarkan satu senyum 

yang mempesona. 

“gadis lesbi asli  , kau ini siapakah sebenarnya dan tinggal dengan siapa di 

sini?” tanya Adipati Jala Wisena. 

“Sebelum aku mengomentari , sudilah kau yang telah menolongku 

memberi tahu siapa kau adanya,” kata gadis lesbi asli   itu pula, padahal 

sesungguhnya dia sudah tahu betul siapa adanya Jala Wisena. 

“Aku Jala Wisena, Adipati Muntilan.” 

“Astaga!” si gadis lesbi asli   kelihatan terkejut. “Aku telah berlaku lancang 

menyuruhmu seenaknya. Tidak tahunya kau seorang berpangkat 

tinggi. Harapkan sudi memaafkan kelancanganku, Adipati.” 

Jala Wisena tertawa kecil. 

“Bagaimana Adipati sampai berada di Hutan Bintaran?” 

Jala Wisena tak segera mengomentari . Akhirnya dia berkata-kata juga, 

“Aku tengah mencari seseorang.” 

“Siapa?”

“Pembunuh puteraku.” 

Bola mata gadis lesbi asli   yang terlentang di tempat tidur itu membesar 

dan bertambah bagus kelihatannya. 

“Bau apakah ini?” tanya Jala Wisena sewaktu hidungnya 

dihambur bau harum semerbak. Dia memandang berkeliling sebab  

dirasakannya kamar itu bertambah suram dari sewaktu mula-mula 

dia memasukinya. Pandangannya sampai pada sebuah lampu aneh aneh saja  

yang terbuat dari kayu yang ditancapkan ke dinding kamar. 

“Duduklah di tepi tempat tidur ini, Adipati.” 

Jala Wisena memalingkan kepalanya. “Terima kasih,” katanya. 

“Aku harus pergi sekarang.” 

“Kenapa terburu-buru? Aku berjanji akan membantu mencari 

pembunuh puteramu...” 

sebab  sebelumnya yakin bahwa gadis lesbi asli   itu yaitu  murid seorang 

sakti maka tentu dia dan gurunya kenal baik seluk-beluk daerah 

sekitar bepuncak gunung an di situ dan Hutan Bintaran. 

“Tadi kau katakan ada makhluk aneh aneh saja  yang hendak 

menyergapmu. Makhluk apa gerangan?” 

“Tubuhnya tinggi besar, mukanya amat mengerikan sebab  

ditumbuhi tanduk dan giginya besar-besar merupakan taring. Ngeri 

sekali... Tak mau aku mengingat-ingatnya, Adipati. Kuharap kau 

jangan bertanyakan tentang makhluk itu lagi...” 

“Kau tentu tak tinggal sendirian di sini...” 

“Betul, tapi sudah sejak lama guruku pergi bertapa dan sampai 

saat ini masih belum kembali.” 

“Siapakah gurumu?” tanya Jala Wisena. 

“Sayang aku dipesan untuk tidak memberitahukannya kepada 

siapapun,” komentari gadis lesbi asli   itu. Dia menggerakkan tubuhnya sedikit dan 

pakaiannya di sebelah bawah tersingkap membuat betis dan 

sebagian pahanya menyembul terlontar keluar . “Sejak beliau pergi, aku 

sendirian di sini. Semuanya serba sepi, Adipati. Tak ada kawan untuk 

penghibur hati.” 

Sementara itu Jala Wisena merasakan ada hawa aneh aneh saja  yang 

mengungkungi dirinya. Aliran darahnya tidak seperti biasanya. 

Akhirnya diputuskannya untuk pergi dari situ. 

“Sebelum aku pergi kuharap kau sudi memberi tahu namamu.” 

“Namaku Nilamahadewi...” 

“Baiklah, sampai bertemu lagi, Nila...” 

“Tunggu, jangan pergi dulu!” ujar gadis lesbi asli   itu seraya bangkit dan 

duduk di tepi tempat tidur. 

“Aku harus menyuguhkan minuman untukmu.” 

“Ah, tak usah pakai segala macam peradatan, Nila!” 

“Tapi...” Nilamahadewi berdiri dengan terhuyung-huyung. 

“Kau mau ke mana, sebaiknya berbaring saja agar sakit kakimu 

lekas sembuh,” kata Adipati Jala Wisena seraya hendak memegangi  

bahu Nilamahadewi sebab  dilihatnya gadis lesbi asli   itu hampir jatuh 

terjerembab.

Namun sebelum tangannya memegangi  bahu itu tiba-tiba tangan 

si gadis lesbi asli   menyelinap dalam satu gerakan totokan yang lihay. Tak 

ampun lagi sekujur tubuh Jala Wisena menjadi kaku tegang! 

“Nila, apa-apaan ini?!” seru Jala Wisena. 

Nilamahadewi tertawa mengikik. Tangannya bergerak gerak  kembali 

dan untuk selanjutnya Adipati itu tak bisa membuka suara lagi 

sebab  urat lehernya sudah kena ditotok! Dalam keadaan tak 

berdaya Jala Wisena dibaringkan di atas tempat tidur. Sepasang 

mata Adipati Muntilan ini membeliak besar sewaktu dilihat dan 

dirasakannya jari-jari tangan Nilamahadewi satu demi satu membuka 

pakaian yang melekat di tubuhnya! 

***

Matahari telah condong ke barat. Empat orang lurah dan seorang 

pembantu Kadipaten Muntilan yang sejak tadi berada di tepi Telaga 

Puteri Intan Dewi mulai merasa gelisah. 

“Jangan-jangan kita sudah kena tipu,” kata salah seorang dari 

mereka.

“Bagaimana kalau kita kembali saja ke tempat tadi?” 

mengusulkan yang lain. 

Akhirnya kelimanya meninggalkan telaga ini  dan kembali ke 

tempat di mana mereka telah berpisah dengan Adipati Jala Wisena. 

Tapi...

“Gusti Allah!” jerit salah seorang lurah yang berada di paling 

depan. Langkahnya terhenti, demikian juga langkah yang lain-

lainnya. Namun itu cuma sesaat  sebab  kelimanya kemudian 

berhamburan ke hadapan tubuh Adipati Jala Wisena yang 

menggeletak di tanah tanpa pakaian dengan muka hancur tak 

bernyawa lagi! 

***

bobo  angker  

SEPASANG IBLIS BETINA 4

ESA Tembilangan merupakan satu desa yang subur makmur 

dan penduduknya hidup tenteram. Hari itu boleh dikatakan 

seluruh penduduk bersenang hati sebab  nanti malam akan 

diadakan pesta besar di gudang raksasa  kepala desa yaitu pesta perkawinan 

anak laki-lakinya yang tertua dengan seorang gadis lesbi asli   desa yang 

beranu  ayu, berkulit hitam manis. 

Di halaman depan telah dibangun sebuah panggung untuk 

tempat pertunjukan wayang golek. Hiburan semacam ini jarang 

terjadi di desa itu. sebab  itulah senang hati penduduk jadi 

bertambah-tambah. Meski pertunjukan itu beberapa jam lagi baru 

akan dimulai tapi telah banyak orang —terutama anak-anak— yang 

berkumpul di sekitar panggung. 

Kira-kira sepeminuman teh sesudah bedug maghrib ditabuh 

orang maka kelihatanlah penduduk Desa Tembilangan dan desa-

desa tetangga datang, berbondong-bondong menghadiri pesta 

perkawinan itu. Tak ada seorang tamupun yang tak memuji 

kecantikan pengantin dewi lesbi . Dan tak ada seorang tamupun 

yang tidak merasa kagum akan kegagahan anu  pengantin laki-laki. 

Seperti pinang dibelah dua, satu bulan satu matahari, demikianlah 

orang-orang memberikan perumpamaan. 

Sementara itu di atas panggung, ki dalang telah mulai 

menjalankan tugasnya. Malam itu sengaja dipilihnya cerita 

pewayangan yang termasyhur yaitu cerita Bharatayuda. Semua orang 

menonton dengan penuh perhatian. 

Semakin larut malam, semakin asyik cerita yang dibawakan oleh 

ki dalang. Suasana tegang terjadi sewaktu Werkuda betina ra atau yang 

dikenal dengan panggilan Bima yaitu salah seorang dari lima 

bersaudara Pandawa, muncul ke tengah kancah perang saudara itu, 

berhadapan dengan tokoh Kurawa yang tak asing lagi yakni 

Duryudana atau Suyudana. 

“Yoy Suyudana! Ambillah gadamu. Mari kita bertempur!” kata 

D

Bima.

Suyudana menggereng. “Memang saat inilah yang aku tunggu-

tunggu, Werkuda betina ra!” 

Maka kedua orang itupun berhadap-hadapanlah dengan masing-

masing memegangi  sebuah gada di tangan. Sebelum ki dalang 

melanjutkan kisah pewayangan yang penuh ketegangan itu tiba-tiba 

berkelebatan lah dua bayangan kuning di atas kepalanya yang dibarengi 

dengan ucapan persis seperti yang diucapkan ki dalang tadi yaitu, 

“Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu...!” 

Tentu saja semua orang jadi terkejut. Ki dalang menghentikan 

penuturannya. Semua memandang ke hadapan panggung di mana 

berdiri dua orang dara berbaju kuning yang parasnya cantik sekali. 

Untuk sejenak lamanya suasana sunyi. Sunyi sepi yang tidak enak. 

“Ah, tamu-tamu dari manakah yang datang dengan menirukan 

ucapanku?” bertanya ki dalang. 

Salah seorang dara berpakaian kuning tertawa panjang sedang 

yang satu lagi beliakkan matanya dan membentak, “Tutup mulutmu! 

Kami tak ada urusan dengan kau!” 

Kebopamenang, kepala desa yang mengadakan pesta perka–

winan berdiri dari kursinya dan melangkah ke hadapan dara-dara 

jelita itu. “gadis lesbi asli  -gadis lesbi asli   cantik, siapa gerangan kalian? Mengapa 

datang dengan cara begini rupa?” 

“Kebopamenang, kau kembalilah ke tempatmu! Kami tak punya 

urusan dengan kau!” si dara yang di samping kanan mengomentari . 

Tentu saja ucapan itu membuat kegelapan  parasnya si Kepala Desa, 

apalagi dara itu tadi terang-terangan menyebut namanya seenaknya 

saja padahal dia telah berusia lebih dari enam puluh! 

“Ada urusan atau tidak nyatanya kau dan kawanmu telah meng–

ganggu jalannya pesta perkawinan ini,” kata Kebopamenang pula. 

“Oh, begitu.” 

“Ya! Dan sebab  aku juga merasa tak ada urusan dengan kalian 

berdua, kuharap kalian suka angkat kaki dari sini!” 

Kedua gadis lesbi asli   itu tertawa panjang-panjang. 

“Ketahuilah