Selasa, 11 Februari 2025

bobo ketakutan 1



penulis kesetanan  Ngompol pegang lengan nenek di sebelahnya seraya berkata. “Aku melihat ada

dinding batu di bawah sana. Mari kita selidiki....”  sinenek yang bukan lain yaitu  Sinto 

Gendeng guru Pendekar 10000an  langsung mengomel.  

“Aku kemari mencari Pedang Naga Suci 10000an ! Buat mengobati muridku yang sedang

kapiran! Bukan untuk menyelidiki segala macam dinding! Lagi pula apa kau lupa. Sepasang

naga kuning pasti berada di dalam telaga ini. Salah bergerak kita bisa jadi mangsa mereka!”

“Memang kita harus hati-hati,” ikut bicara Panji. “Selain sepasang naga dan Makhluk

Api Liang Neraka bukan mustahil Kiai Gede Tapa Pamungkas memiliki makhluk peliharaan

lain....”

Ketiga orang ini  saat itu berada dalam Telaga neraka penulis epilepsi . Berkat ilmu yang

diberikan Ratu pembunuh penulis kusta  mereka bukan saja sanggup berenang sampai jauh ke dasar telaga

tapi luar biasanya juga mampu bernapas dan bicara dalam air tidak beda seolah mereka

berada di daratan terbuka.

Seperti diketahui sebagai penguasa salah satu kawasan laut selatan Ratu pembunuh penulis kusta 

memiliki berbagai kesaktian antara lain hidup di dalam air. Sehabis geger besar di

Pangandaran dia pernah membawa Bobo  ke dasar laut. sebab nya tidak sulit baginya untuk 

menyirap memberi kekuatan pada Sinto Gendeng, Panji dan penulis kesetanan  Ngompol hingga ketiga

orang ini mampu berada dalam air. Malah ilmunya jauh lebih hebat dari yang dimiliki oleh

tokoh rimba persilatan lainnya yakni Sika Sure Jelantik. Nenek satu ini telah menolong dan

memberikan ilmu serupa pada Puti nyi pandanajeng , namun hanya berkekuatan selama 100 hari.

“Sinto, jangan kau menakut-nakuti aku. Nanti aku ngompol lagi!” berkata penulis kesetanan 

Ngompol yang sudah punya rasa tidak enak.

“Siapa menakuti tua bangka sepertimu! Coba kau lihat ke kanan sebelah bawah!”

teriak arwah penulis 

penulis kesetanan  Ngompol lakukan apa yang dikatakan si nenek. Panji juga ikut menoleh. Begitu 

penulis kesetanan  Ngompol memperhatikan ke kanan ke arah dasar telaga pandangannya membentur

satu sosok aneh bergelung yang bukan lain yaitu  naga kembar betina peliharaan Kiai Gede

Tapa Pamungkas yang sebelumnya sudah mereka lihat sewaktu masih berada di tepi telaga.

“Kau benar Sinto! Celaka kita bertiga!” kata penulis kesetanan  Ngompol. Kakek ini langsung

tekap bagian bawah perutnya. Tapi sebab  takut dia tak bisa menahan kencingnya. Begitu

air kencing si kakek mencemari air telaga maka di dasar telaga terdengar suara 

menggemuruh. Air telaga menggelombang.

Naga betina yang memang sudah tahu kalau ada makhluk lain di dalam telaga, 

segera bergerak menggeliat. Kepalanya dipentang. Dari mulutnya keluar desisan keras yang 

membuat air telaga laksana ombak besar menghantam ke arah Sinto Gendeng, penulis kesetanan 

Ngompol dan Panji hingga ketiga orang ini terpental beberapa tombak. Naga betina ini siap

menyerbu. Tapi begitu sepasang matanya yang merah melihat cairan kuning mengambang

di hadapannya binatang ini keluarkan ringkikan aneh dan panjang menggidikkan lalu

bersurut menjauh.

“Ha... ha...! Naga itu takut melihat air kencingku!” kata penulis kesetanan  Ngompol tertawa

mengekeh sambil menunjuk-nunjuk ke arah naga betina. Tapi suara tawanya serta merta

lenyap dan berubah menjadi jeritan kaget ketika dari arah kiri naga jantan yang sebelumnya 

mendekam diam tiba-tiba membuka gelungan tubuhnya lalu meluncur ke arah tiga orang

itu.

Kini bukan cuma penulis kesetanan  Ngompol yang terkencing-kencing saking kaget dan takut. 

arwah penulis juga ikut basah kainnya. Sedang Panji serasa terbang nyawanya. Cairan

kuning bertebaran dimana- mana. Seperti naga betina tadi, begitu melihat dan mencium air

larangan yang keluar dari tubuh penulis kesetanan  Ngompol dan Sinto Gendeng, naga jantan meringkik

aneh dan meliukkan tubuh lalu berenang menjauh.

Di dasar telaga untuk kesekian kalinya muncul suara menggemuruh disertai

goncangan keras. Untuk beberapa lamanya air telaga menjadi keruh menghalangi 

pemandangan.

“Nek! Nenek Sinto Gendeng!”

Tiba-tiba ada teriakan memanggil arwah penulis 

“Edan! Siapa yang memanggil diriku di tempat seperti ini! Apa telaga ini ada 

hantunya?!” ujar arwah penulis  Dia memandang berkeliling. Tapi air telaga masih keruh. Si

nenek tak bisa melihat dengan jelas.

“Suaranya seperti suara anak kecil!” kata penulis kesetanan  Ngompol seraya celingak-celinguk

ikut mencari. “Jangan-jangan ada tuyul di tempat ini! Eh, apa ada tuyul berkeliaran dalam

air?!”

arwah penulis pentang dua matanya besar-besar.

“Nek! Saya di bawah sini!”

penulis kesetanan  Ngompol meniup ke bawah. Sesaat air telaga yang keruh menjadi jernih. Begitu 

dia memandang ke bawah dia melihat satu dinding tinggi berkeluk, laksana sebuah tonggak

raksasa. Lalu pada bagian bawah dinding batu itu dilihatnya satu sosok terpentang seolah

menempel ke dalam batu. penulis kesetanan  Ngompol pegang lengan arwah penulis lalu menunjuk ke

bawah sana. “Kau lihat dinding batu itu? Lihat di sebelah bawahnya. Ada patung anak

kecil!”

Saat itu air telaga telah jernih kembali. Penglihatan si nenek menjadi terang, “itu 

bukan patung! Itu manusia!” ujar arwah penulis  “Kalau patung mana mungkin bisa 

bicara!”

“Kalau manusia mengapa menempel di dalam dinding batu! Tidak berg era k-g era k!

Aku baru yakin itu manusia kalau mendengar dia kentut!” Habis berkata begitu penulis kesetanan 

Ngompol tertawa mengekeh. Tidak terasa kembali air kencingnya keluar.

“Biar saya berenang ke bawah,” berkata Panji.

“Ya, mari kita turun menyelidiki!” kata arwah penulis yang jadi penasaran. Lalu 

mendahului melesat ke bawah.

Sejarak lima tombak dari dasar telaga arwah penulis keluarkan seruan yang 

membuat penulis kesetanan  Ngompol kaget dan buru-buru tekap bagian bawah pusarnya.

“Astaga! Anak itu kiranya!”

“Heh, anak itu anak siapa?!” tanya penulis kesetanan  Ngompol.

arwah penulis tidak perdulikan pertanyaan orang terus saja dia berenang menukik

ke arah dasar dinding. Kali ini hanya Panji yang terus mengikuti sedang penulis kesetanan  Ngompol

berhenti berenang sebab  dia lebih tertarik pada rangkaian tulisan yang tertera di dinding

batu.

Di sebelah atas tertulis besar kata-kata “Liang Lahat”. Namun belum sempat dia

membaca seluruh tulisan yang ada di dinding berbentuk setengah lingkaran itu tiba-tiba di 

bawah sana arwah penulis berteriak memanggil. Si kakek segera berenang ke dasar telaga.

“Kau lihat sendiri! Yang ada dalam batu itu manusia atau patung!” kata Sinto

Gendeng begitu penulis kesetanan  Ngompol sampai di dekatnya. Si kakek memandang ke depan ke arah

yang ditunjuk arwah penulis  “Walah! Memang manusia. Anak kecil. Matanya bisa kedap

kedip tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Melesak menempel ke dalam dinding batu!”

“Dia memang tak bisa bergerak tapi bisa bicara! Aku akan menanyainya! Aku kenal

betul anak ini!” kata arwah penulis pula. “Naga Kuning, aku tahu kawasan ini ada di 

bawah pengawasanmu. Tapi coba katakan dulu permainan apa yang hendak kau per-

lihatkan padaku saat ini!”

Anak kecil yang dipendam di dasar Liang Lahat cibirkan mulutnya lalu menjawab.

“Ini bukan permainan. Saya dihukum pendam  ke  dalam  batu  oleh  Kiai  Gede  Tapa 

Pamungkas.”

“Heh, apa orang tua itu masih ada di sekitar sini?” bertanya arwah penulis sambil

melirik berkeliling.

“Dia sudah pergi. Tidak tahu pergi ke mana!”

“Ceritakan apa yang terjadi atas dirimu! Mengapa kau dihukum begini rupa?!”

“Nanti akan saya jelaskan Nek. Tapi harap kau mau menolong membebaskan saya

dari dalam batu ini.”

“Kalau kesalahanmu tidak besar pasti hukumanmu tidak seberat ini! Apa yang kau 

lakukan bocah sial? Kau mengintip sang Kiai lagi kencing atau bagaimana? Hik... hik... hik!”

“Sinto! Jangari membanyol! Aku bisa kencing!” berkata penulis kesetanan  Ngompol.

“Tubuhnya tak bisa bergerak. Mungkin dia ditotok Nek,” kata Panji pula.

“Hemmm.... Kalau benar kau ditotok cepat beri tahu bagian tubuhmu sebelah mana

yang ditotok agar aku bisa menolong,” kata arwah penulis 

“Saya tidak ditotok. Tapi dipendam dalam batu! Saya bisa bergerak kalau bebas dari 

pendaman...” menerangkan Naga Kuning.

“Kalau begitu biar aku tarik tangan dan kakimu!” kata arwah penulis pula. Lalu

nenek ini cekal tangan kiri dan pergelangan kaki kanan Naga Kuning. Sekali menarik pasti 

anak itu bisa dikeluarkannya dari pendaman batu. Tapi sampai mukanya mengerenyit ke-

riputan dan rahangnya menggembung sosok Naga Kuning tak bisa dikeluarkan. Tubuh 

anak ini menempel laksana jadi satu dengan dinding batu Liang Lahat.

arwah penulis tak mau mengalah. Dia kerahkan tenaga dalam. Tetap saja tubuh

Naga Kuning tidak bergerak barang sedikit pun! Malah tiba-tiba dari bagian tubuh bawah

sebelah belakang si nenek kelihatan gelembung-gelembung air banyak sekali disertai suara

merepet berkepanjangan. Lalu air laut di sekitar situ mendadak menjadi bau:

“Sialan kau Sinto! Kau kentut ya!” teriak penulis kesetanan  Ngompol seraya berenang menjauh

sedang Panji tutup hidungnya dengan belakang telapak tangan sambil pergunakan tangan

kanan untuk mendorong air di sekitarnya yang menjadi bau akibat kentut si nenek. Di

dinding batu Naga Kuning tertawa gelak-gelak.

Sebaliknya arwah penulis hanya menyengir. 

“Baru kentut saja kalian sudah kelabakan! Belum lagi menghadapi bahaya besar!” 

kata si nenek pula.

“Nek...!” Naga Kuning ikut bersuara.

“Bocah sialan! Diam sajalah! Dan kau tua bangka tukang ngompol jangan diam saja!

Bantu aku mengeluarkan anak ini dari dalam batu! Kau juga Panji! Jangan pura-pura jadi

orang geblek! tarik pinggang anak ini!”

“Menurut penglihatanku anak ini tidak bisa dikeluarkan walau ada seratus kuda

yang menarik tubuhnya!” kata penulis kesetanan  Ngompol pula.

“Kau cuma bicara. Bantu saja. Tarik pinggangnya!” bentak arwah penulis 

“Nek....”

“Kau! Nak  -  Nek.... Nak - Nek! Diam!” bentak arwah penulis jengkel.

“Dengar dulu Nek.... Kakek ini benar. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa

mengeluarkan tubuh saya dari dalam dinding batu Liang Akhirat ini....”

“Kalau begitu nasibmu benar-benar sial! Kau akan mampus cepat atau lambat! Hik...

hik... hik! Sudah! Aku hanya menghabiskan waktu saja! Aku ada urusan lain di dasar telaga

ini!”

“Saya tahu apa yang kau cari. Saya tahu benda itu berada di mana. Jika kau mau 

menolong akan saya katakan padamu!”

“Naga Kuning, kalau kau memang tahu dimana beradanya benda yang dicari Nenek

ini, mengapa kau tidak lekas mengatakan?” berkata Panji. penulis  ini yang mulai tahu sifat

si nenek yang gampang naik darah berusaha membujuk,

arwah penulis pelototkan mata.

“Hemmm.... Dulu aku menolongmu waktu kau digebuk Sabai Nan Rancak. Aku 

tidak mengharapkan pamrih. Tapi hari ini keadaan lain. Baik, aku akan menolongmu. Sudah

kulakukan. Tapi tidak bisa. Lalu apa lagi?!”

“Ada caranya Nek...” kata Naga Kuning pula.

“Coba kau bilang!”

“Kiai Gede Tapa Pamungkas, Telaga neraka penulis epilepsi  dan segala apa yang telah

dibangun oleh sang Kiai di tempat ini yaitu Liang Akhirat dan Liang Lahat termasuk 

Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang Lahat, mempunyai satu pantangan besar,

Tidak boleh terkena air larangan. Semuanya bisa musnah!”

“Air larangan! Sebut saja air kencing!” tukas arwah penulis sambil menyeringai

buruk.

“Tapi air kencing itu tidak air kencing orang sembarangan Nek,” ujar Naga Kuning.

“Hanya mempan kalau air kencingnya yaitu  air kencing orang yang telah berusia lebih

dari tujuh puluh tahun tujuh bulan dan tujuh hari.... Air kencing temanmu penulis 

beranting-anting ini tidak mempan dan tak bisa menolongku!”

“Ada-ada saja...!” ujar penulis kesetanan  Ngompol lalu tertawa terbahak-bahak dan tentu saja

sambil ngompol lagi. Sementara Panji hanya bisa melongo mendengar kata-kata Naga

Kuning itu. 

“Kau bicara panjang lebar. Tapi belum mengatakan bagaimana caranya kami

menolongmu!” kata arwah penulis  “Atau mungkin tubuhmu bisa kukorek dengan tusuk

konde yang ada di kepalaku!” Si nenek langsung hendak mencabut dua buah tusuk konde 

perak di kepalanya.

“Saya tahu tusuk konde itu sakti mandraguna. Bisa menembus batu gunung sebesar

apapun. Tapi kesaktiannya tidak mungkin bisa membebaskan diri saya. Hanya ada satu cara

Nek. Tubuh saya hanya bisa bebas jika diguyur dengan air larangan!”


arwah penulis pelototkan mata mendengar keterangan Naga Kuning itu. Dia berpaling

pada penulis kesetanan  Ngompol yang saat itu memandang melongo ke arahnya. Dua kakek nenek 

ini lalu tertawa gelak-gelak sementara Panji diam-diam merasa tidak enak. Dia tidak

melihat ada hal yang lucu. penulis  ini maklum kalau telaga itu diselimuti berbagai macam 

keanehan yang terkadang mengandung keangkeran dan sekaligus bahaya maut.

sebab  tertawa begitu rupa penulis kesetanan  Ngompol dan arwah penulis sama-sama

terkencing-kencing. Akibatnya Telaga neraka penulis epilepsi  kembali tercemar air larangan. Suara

menggemuruh terdengar lagi di dasar telaga. Gelombang kembali menggoncang. Sepasang

naga meringkik panjang. Beberapa lamanya keadaan di telaga diselimuti kegelapan.

Begitu keadaan tenang dan air yang keruh jernih kembali arwah penulis berkata.

“Gila! Masakan air kencing lebih sakti dari senjata mustika dan lebih hebat dari kekuatan

tenaga dalam!”

“Nek, kau menyaksikan sendiri setiap kau dan temanmu mengeluarkan air kencing

keadaan di sini laksana mau kiamat. Sepasang naga meringkik ketakutan. Telaga ini laksana 

mau terjungkir balik!”

“Nek, saya rasa anak ini tidak bicara dusta...” berbisik Panji pada arwah penulis 

arwah penulis terdiam sejurus. “Naga Kuning, kalau memang air kencing yang bisa

membebaskan dirimu dari pendaman batu itu baiklah. Mari kita lihat! penulis kesetanan  Ngompol cepat

kau kencingi bocah itu!”

“Eh, mengapa aku?!” seru penulis kesetanan  Ngompol sambil memandang dengan sepasang

matanya yang jereng mendelik pada si nenek.

“Apa susahnya mengencingi anak itu! Apalagi kau tukang ngompol. Punya banyak 

persediaan air larangan! Sudah! Ayo kau kencingi dia! Hik... hik... hik!”

“Tunggu dulu!” Naga Kuning tiba-tiba berseru. “Yang mempan dan sanggup

membebaskan diri saya dari pendaman batu Liang Lahat ini hanyalah air kencing

wanita lesbi  yang usianya lebih dari tujuh puluh tahun tujuh bulan tujuh hari! Lalu air

larangan itu harus jatuh langsung dari atas. Tidak boleh mengucur lewat tubuh atau

pakaian....”

“Nah... nah... nah!” penulis kesetanan  Ngompol berseru keras lalu tertawa gelak-gelak dan

kencing lagi. “Sinto! Berarti hanya kau yang bisa menolongnya!”

Nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu pen-tang wajah marah dan untuk

beberapa lamanya dia tidak bisa berkata apa-apa.

“Aku tidak mau!” kata arwah penulis akhirnya. “Kau cuma mau mengerjaiku!”

“Kalau tidak mau bocah itu tidak akan memberi tahu di mana tersembunyinya benda 

yang kau cari itu.,.” kata penulis kesetanan  Ngompol yang membuat arwah penulis tambah marah,

“Perduli penulis kesetanan ! Dulu aku sendiri yang menyembunyikan benda itu. Aku masih bisa

mengira-ngira dimana letaknya! Aku pasti bisa mendapatkannya tanpa pertolongan penulis kesetanan 

kecil ini!”

“Jangan tolol Sinto. Kejadian itu puluhan tahun silam. Keadaan sudah berubah.

Sampai tubuhmu bongkok lalu lempang lalu bongkok lagi belum tentu kau bisa

menemukan!” ujar penulis kesetanan  Ngompol.

“Bocah penulis kesetanan ! Kau benar-benar mengerjaiku!” kata arwah penulis pada Naga Kuning

dengan mata melotot. 

“Sinto! Pertolongan itu mudah sekali melakukannya! Kau hanya menempatkan

dirimu di atas kepala anak itu. Lalu menyingsingkan kain bututmu, menungging sedikit dan

serrr.... Beres sudah!”.

“Sialan kau penulis kesetanan  Ngompol! Kau bisa berkata begitu sebab  bukan kau yang 

melakukan!” Menggerendeng arwah penulis 

“Nek, untuk kebaikan mungkin sekali ini kau terpaksa mengalah...” berkata Panji.

Sambil terus mengomel panjang pendek si nenek berenang berputar-putar. Akhirnya

dia naik ke atas. “Aku peringatkan pada kalian semua!” kata arwah penulis  “penulis kesetanan 

Ngompol! Kau lekas mendekam di belakang dinding batu sana! Jangan berani mengintip 

auratku! Kau juga Panji! ikuti kakek itu ke belakang dinding batu!”

“Sinto.... Sinto! Aurat gadislesbian  saja aku tidak doyan mengintip. Apalagi kayu hitam

lapuk yang sudah; dimakan rayap sepertimu!” penulis kesetanan  Ngompol tertawa gelak-gelak. Namun

dia melakukan juga apa yang dikatakan si nenek yaitu berenang ke balik dinding Liang La 

hat sambil tekap tubuhnya sebelah bawah dengan kedua tangan. Panji berenang mengikuti

di belakangnya. arwah penulis kembali memaki panjang pendek lalu bergerak mendekati

dinding batu , tepat di atas kepala Naga Kuning.

“Bocah  penulis kesetanan ! Aku akan menolongmu!  Tapi awas! Jangan kau berani melirik atau 

mengintip ke atas! Kalau itu kau lakukan jangan menyesal kedua matamu akan aku korek

dan seumur hidup kau akan terpendam dalam batu celaka itu!”

Naga Kuning mencibir.

“Nek, sepasang mata ini memang sudah puluhan tahun tidak melihat aurat terlarang.

Tapi kau tahu siapa diri saya. Lagipula mana mungkin saya berlaku tidak hormat terhadap

orang yang hendak menolong?!” Seperti diketahui Naga Kuning alias Naga Cilik atau Naga

Kecil ini sebenarnya yaitu  seorang kakek berusia jauh lebih tua dari arwah penulis atau

penulis kesetanan  Ngompol.

“Sudah! Kau bocah tua bangka pandai bicara! Aku segera menolongmu! Tutup 

matamu!” arwah penulis lalu tempelkan tubuhnya sebelah belakang yang bungkuk ke 

dinding Liang Lahat tepat di atas sosok Naga Kuning yang terpendam ke dalam dinding 

batu itu.

Naga Kuning segera pejamkan ke dua matanya. Tapi setelah menunggu cukup lama

tidak terjadi apa-apa.

“Nek, kau masih berada di atas atau bagaimana?!” Naga Kuning bertanya.

“Diam! Aku masih di dekat dinding di atas kepalamu! Tutup mulutmu! Kau hanya

membuyarkan perhatianku!” Terdengar bentakan arwah penulis 

Naga Kuning tak berani berkata apa-apa lagi. Tapi setelah kembali menunggu cukup

lama dan tetap tak terjadi apa-apa anak ini menjadi tidak sabaran. Kedua matanya dibuka.

”Nek....”

“Tutup mulutmu! Tutup matamu! Atau kutusuk sampai kau buta!”

“Saya sudah menunggu lama! Tapi kau tidak kencing-kencing juga!” jawab Naga

Kuning. Walau sesaat tapi anak ini masih sempat melihat si nenek di atasnya, menempel ke 

dinding batu menungging.

7



Dia berusaha menahan diri agar tidak tersenyum apalagi sampai tertawa cekikikan.

Dalam hati anak ini berkata, “Seumur hidup baru sekali ini aku melihat nenek-nenek.

Ternyata menyerupai ikan pepes kering kejemur matahari!”

Dari sebelah atas terdengar suara arwah penulis 

“Aku sudah berusaha kencing. Tapi tidak bisa-bisa! kencing sialan! Dipaksa tidak

mau. Biasanya sebentar-sebentar aku kencing!”

Di balik dinding batu Liang Lahat penulis kesetanan  Ngompol dan Panji tertawa cekikikan

mendengar ucapan arwah penulis tadi. Sebaliknya arwah penulis keluarkan suara

menggerendeng lalu mengedan-edan sekuat tenaga agar bisa kencing hingga tubuhnya

tambah bungkuk hampir terlipat. Setelah berusaha setengah mati tiba-tiba beerrrrr....

Naga Kuning merasa ada air hangat laksana mancur mengucur membasahi 

kepalanya. Air hangat dan bau pesing ini turun ke muka terus membasahi tubuhnya. Si 

bocah seperti mau muntah ketika ada air kencing membasahi mukanya mengalir ke bawah

hidung, turun ke bibirnya dan hampir tertelan!

Pada saat yang sama Naga Kuning merasa dinding batu dimana dia terpendam

menjadi panas. Tiba-tiba didahului suara menggemuruh seolah datang dari dasar telaga 

yang membuat dinding batu Liang Lahat itu bergoncang keras, tubuh Naga kuning terpental

keluar. Ada hawa aneh mendera keras membuat arwah penulis tersapu sampai beberapa

tombak.

“Hai! Apa yang terjadi?!” Terdengar suara penulis kesetanan  Ngompol berseru. Kakek ini dalam

keadaan terkencing-kencing keluar dari balik dinding batu bersama Panji. Wajah mereka

tampak pucat. Dilihatnya

Naga Kuning melayang dalam air sedang arwah penulis tengah berenang mendekati 

anak itu.

“Bocah penulis kesetanan ! Kau sudah kutolongi! Sekarang katakan di mana beradanya benda

yang kucari!” Tahu-tahu si nenek sudah berada di depan Naga Kuning yang saat itu tengah 

mengusap mukanya berulangkali berusaha membersihkan sisa-sisa air kencing Sinto

Gendeng yang tadi ikut, membasahi mukanya.

“Nek, terlebih dulu saya mengucapkan terima kasih. Kalau kau tidak mengencingi 

diri saya akan terpendam selamanya di Liang Lahat itu.... Sebelum saya memberi keterangan

saya mau bertanya dulu. Mana kakek yang dulu ikut mengobati lengan saya yang patah?

Dan siapa kakek satu ini? Apa pacarmu yang baru?!”

Panji tersentak mendengar ucapan si bocah yang begitu berani. penulis kesetanan  Ngompol sesaat

melongo lalu tertawa gelak-gelak dan kencing lagi. Sebaliknya arwah penulis langsung naik 

darah.

“Bocah kurang ajar! Naga Kuning! Kau minta aku gebuk?!”

“Harap maafkan, bukan maksud saya mau kurang ajar. Cuma mau menanya saja, itu

tanda saya suka padamu dan juga pada orang tua berjuluk Kakek Segala Tahu itu...”

“Bocah sialan! Kalau kau memang benar-benar anak kecil boleh saja kau bilang suka

padaku! Apa kau tidak sadar sudah berapa umurmu?!

“Ah, maafkan saya. Saya memang tidak tahu diri!''

kata Naga Kuning pula tersipu-sipu lalu ketika si nenek tidak melihat ke arahnya dia 

mencibirkan bibirnya. 

penulis kesetanan  Ngompol mendekati arwah penulis dan bertanya. “Menurutku anak ini paling 

bantar baru berusia dua belas tahun. Aku tidak mengerti pertanyaanmu tadi.

Memangnya bocah itu berapa usianya?”

“Kau tak perlu mengerti. Dibikin mengerti kau tak bakalan mengerti. Yang kau 

mengerti cuma beser alias ngompol!” jawab arwah penulis membentak saking kesalnya.

Dibentak begitu rupa dalam air penulis kesetanan  Ngompol melayang mundur dan unjukkan

muka sedih. Dalam keadaan seperti itu tetap saja dia kembali ngompol.

“Apa kataku! Sedih saja kau masih ngompol!” kata si nenek. Dia berpaling pada Naga 

Kuning. “Kau tunggu apa lagi! Ayo beri tahu di mana beradanya benda yang aku cari itu!”

“Nek, di dasar telaga ini tersimpan berbagai benda rahasia. Belasan orang coba

mencarinya. Mereka bukan saja tidak berjodoh dengan benda-benda itu tetapi mereka hanya 

mencari kematian. Tolong kau beri tahu benda apa yang tengah kau cari.”

“Bocah geblek!” maki arwah penulis  “Kau mau menipuku atau bagaimana?! Tadi

kau bilang tahu apa yang aku cari. Sekarang malah bertanya!”

“Maafkan saya Nek. Soalnya seperti saya bilang tadi ada beberapa benda sangat

berharga dicari orang di Telaga neraka penulis epilepsi  ini. Saya takut memberi keterangan

keliru....”

Setelah menggerendeng lebih dulu baru si nenek memberi tahu.

“Aku mencari sebilah pedang sakti. Pedang Naga Suci 10000an . Senjata ini tidak

bersarung. Bentuknya bergulung seperti ikat pinggang. Puluhan tahun lalu pedang itu aku

sembunyikan di satu tempat di dasar telaga ini. Sekarang senjata itu harus segera

kutemukan untuk mengobati muridku!”

“Maksudmu mengobati Pendekar 10000an  Bobo  anak manusia ?” tanya Naga Kuning.

“Betul!” jawab arwah penulis  Lalu tidak sabaran dia berkata. “Ayo lekas kau

terangkan dimana pedang itu beradanya!”

“Naga Kuning,” tiba-tiba Panji berkata. “Aku punya seorang sahabat, gadislesbian  bernama

Puti nyi pandanajeng . Berpakaian serba merah.... Katanya dia ke sini mau mencari sesuatu. Sebuah 

batu....”

“penulis kesetanan  alas!” teriak arwah penulis  “gadislesbian  hantu siapa yang kau tanya! Jangan berani

bicara memotong ucapan orang! Kau tahu aku tidak suka kau ikut ke tempat ini! Kalau

bukan gara-gara Kakek Segala Tahu sialan itu jangan harap….”

“Sinto! Jangan membentak terus-terusan. Aku jadi kaget-kagetan dan kencing terus!”

penulis kesetanan  Ngompol berkata.

Tadinya si nenek juga hendak mendamprat kakek satu ini. Tapi dia akhirnya

berpaling pada Naga Kuning dan berkata. “Kau masih belum mau bicara mengatakan di

mana pedang sakti itu?!”

Naga Kuning menghela napas dalam. Wajahnya tampak murung.

“Nek, sebenarnya kau datang terlambat....”

Mata arwah penulis membeliak. Wajah tuanya membersitkan seribu kerutan. penulis kesetanan 

Ngompol yang merasa tegang mendengar percakapan kedua prang itu diam-diam kembali

terkencing di celana.

“Bocah penulis kesetanan ! Apa kau bilang?! Aku terlambat? Memangnya pedang sakti itu sudah

diambil orang lain? Siapa?!”


Senjata itu masih ada dalam telaga ini, Nek. Masih dalam keadaan tergulung. Tapi 

berada di perut naga kembar yang betina itu....” Menerangkan Naga Kuning seraya

menunjuk pada naga kuning betina yang mendekam di kejauhan.

arwah penulis menatap sejurus ke arah naga betina. “Aku tidak percaya. Bagaimana

pedang itu bisa berada dalam perut naga. Mana ada ular doyan pedang!”

“Kau betul Sinto,” menimpali penulis kesetanan  Ngompol. “Bocah ini hendak menipu kita!”

“Nenek Sinto, kau tahu siapa diri saya ini. Mana mungkin hendak berlaku culas

padamu. Dua kali dengan ini kau menolong diri saya. Walau cuma seorang tua bangka

bertampang bocah buruk tapi saya bukan bangsa manusia yang tidak mengerti budi orang. 

Saya sudah memberi tahu apa yang kau ingin tahu. Walau budimu belum dapat saya balas

namun saya terpaksa meninggalkanmu. Air larangan sudah terlalu banyak di tempat ini.

Bukan mustahil sebentar lagi telaga ini akan amblas musnah. Lebih baik kalian cepat-cepat

pergi dari sini....”

“Sebelum aku menemukan pedang itu aku tidak akan keluar dari Telaga

neraka penulis epilepsi  ini!” jawab arwah penulis  “Dan kau bocah jelek. Jangan buru-buru

ngambek! Apa yang barusan kau bilang tidak masuk akal....”

“Nek, kau hidup sudah puluhan tahun. Kawanmu yang kau panggil dengan nama

penulis kesetanan  Ngompol ini pasti juga sudah lebih delapan puluh tahun malang melintang di rimba

persilatan. Saya jauh lebih tua dari kalian. Apa di usia kalian yang begini tua masih tidak

menyadari kalau hidup di dunia ini banyak yang tidak masuk akal? Bahwa untuk

menghadapi semua yang tidak masuk akal itu manusia harus punya seribu akal? Satu

contoh, kita manusia-manusia biasa bisa berada di dalam air begini dalam, apa masuk akal?!

Kiai Gede Tapa Pamungkas makhluk setengah manusia setengah roh. Sepasang naga 

kembar bukan ular besar biasa. Di luar langit masih ada langit lain. Di luar akal masih ada

akal lain! Siapa berani melupakan kekuasaan Gusti Allah?!”

Walau jadi terdiam mendengar ucapan Naga Kuning tapi tak urung arwah penulis 

tetap saja unjukkan wajah cemberut.

“Nek,” kata Naga Kuning lagi. “Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Pedang

sakti bergulung itu ditelan oleh naga betina: Dan bukan cuma Pedang Naga Suci 10000an . Ada

seorang gadislesbian  cantik bernama Puti nyi pandanajeng  ikut ditelan naga dan kini mendekam di dalam

perut binatang jejadian itu!”

arwah penulis keluarkan seruan tercekat dan pandangi Naga Kuning dengan mata

melotot sementara penulis kesetanan  Ngompol lag Magi terkencing sebab  kaget mendengar keterangan

si bocah yang mengejutkan, sementara itu Panji menjadi pucat pasi. “Puti nyi pandanajeng .... Puti....”

penulis  ini menyebut nama si gadislesbian  berulang kali.

“Kalau keteranganmu betul, apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan

pedang yang ada dalam perut naga itu....”

“Juga menolong gadislesbian  yang kau bilang cantik itu!” ujar penulis kesetanan  Ngompol. Lalu dia 

berkata pada arwah penulis  “Turut ceritamu bukankah gadislesbian  itu yang kau katakan sebagai

cucu Sukat Tandika, bekas kekasihmu di masa muda?” 



Kembali arwah penulis unjukkan muka cemberut. “Urusan utama ku mendapatkan

Pedang Naga Suci 10000an . Soal cucu Tua Gila itu kalau memang bisa kutolong akan kulakukan. 

Tapi jika orang ditelan ular menurutmu apa masih bisa hidup?”

“Ah, menyedihkan sekali kalau gadislesbian  yang katanya cantik itu sampai menemui ajal

ditelan ular...” kata penulis kesetanan  Ngompol pula. “Naga Kuning, kau pasti tahu caranya bagaimana

mendapatkan pedang dan menyelamatkan gadislesbian  itu.” . “Naga Kuning, kau harus menolong

kami!” ujar Panji.

“Saya tidak tahu bagaimana caranya. Mungkin kita terpaksa menunggu....”

“Kami tidak punya waktu lama. Selain hanya bisa bertahan sampai tengah malam

nanti, juga muridku perlu cepat disembuhkan. Satu peristiwa besar yang menebar nyawa

dan darah agaknya akan terjadi di neraka penulis epilepsi  ini.... Kami harus bergerak cepat sebelum

orang-orang Lembah Akhirat menimbulkan bencana lebih besar....”

“Naga itu takut dengan air kencing!” berkata Panji. “Bagaimana kalau kalian berdua

mengguyur-nya dengan air larangan itu. Begitu dia mampus kita bedol perutnya!”

“Kau betul Panji!” ujar arwah penulis pertama kali menyetujui ucapan si penulis .

“penulis kesetanan  Ngompol! Ayo lekas siapkan kencingmu yang banyak. Kita serbu ular naga betina

itu!” kata arwah penulis 

“Nenek Sinto dan Kakek penulis kesetanan  Ngompol, naga itu bukan binatang biasa. Air larangan

memang bisa membunuhnya. Namun kalau dia mati setahuku tubuhnya akan lenyap 

berubah menjadi pasir kuning. Rohnya melesat ke angkasa. Aku khawatir bersama rohnya

dia akan membawa serta Pedang Naga Suci 10000an  dan gadislesbian  bernama Puti nyi pandanajeng  itu...”

Mendengar keterangan Naga Kuning itu tiga orang yang ada di hadapan Naga 

Kuning menjadi bingung.

ini urusan gila! Pasti ada cara untuk mendapatkan senjata itu. Apapun akan

kulakukan untuk menolong muridku....”

“Seandainya pedang itu sudah kau dapat dan Pendekar 10000an  berhasil disembuhkan,

lalu apa yang akan kau lakukan dengan Pedang Naga Suci 10000an  itu Nek?”

Pertanyaan Naga Kuning yang tiba-tiba itu membuat arwah penulis sesaat terdiam.

Tapi tiba-tiba dia membentak marah yang membuat penulis kesetanan  Ngompol tersembur air

kencingnya.

“Bocah penulis kesetanan ! Aku sekarang tahu apa yang ada di benakmu! Kau sengaja tidak mau

menolongku.   sebab  kau khawatir aku akan mengambil dan menguasai pedang itu!”

“Saya memang ditugaskan oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk menjaga segala

sesuatu yang ada di Telaga neraka penulis epilepsi . Setelah sang Kiai meninggalkan telaga tanggung

jawab lebih besar berada di pundak saya....”

“Kau bocah tolol, tua bangka geblek! Kiai Gede Tapa Pamungkas telah

menghukummu, mengapa kau masih perdulikan orang yang sudah tidak ada itu?!”

Menukas arwah penulis 

'Nek, Kiai Gede menghukum saya sebab  memang saya bersalah. Walau dia tidak ada

lagi di tempat ini tapi beban tugas yang diberikannya tetap menjadi tanggung jawab saya.

Saya hanya ingin mengatakan. Jika pedang itu kau pergunakan sepenuhnya untuk

menyembuhkan muridmu, siapa yang mau mencegah. Tetapi, setelah muridmu sembuh kau

masih ingin menguasai senjata mustika sakti ini  maka itu berarti menyalahi maksud

dan tujuan, menyalahi adat dan aturan....”

11



“Bocah pintar ngomong!” semprot arwah penulis  “Katamu dalam hidup ini manusia

harus memakai seribu akal! Apa salahnya kalau aku mengikuti kata-katamu itu dan

memiliki Pedang Naga Suci 10000an ?! Dulu pun senjata itu sudah berada di tanganku....

Daripada jatuh ke tangan orang jahat bukankah lebih baik aku yang menguasainya?! Perduli 

penulis kesetanan  dengan segala adat dan aturan. Maksud dan tujuan bisa berubah sesuai keadaan! Itu

baru namanya hidup memakai akal!”

Naga Kuning tersenyum. “Manusia memang harus memakai seribu akal dalam

menghadapi tantangan hidup. Tapi akal yang mana? Ada akal yang sepenuhnya datang dari

otak atau alam pikiran. Ada akal yang memadu otak dengan perasaan hati. Lalu ada akal

yang mempergunakan otak tapi juga dipengaruhi oleh dorongan yang datang dari bawah

pusar. Saya tidak tahu kau memakai akal yang mana Nek.... Jika maksudmu mendapatkan

Pedang Naga Suci bukan semata sebab  hendak menolong muridmu, saya khawatir kau

akan menghadapi urusan besar. sebab  Kiai telah menceritakan riwayat pedang itu. Senjata

mustika itu hanya boleh dimiliki oleh seseorang. Terserah orang itu nanti mau memberikan

kepada siapa. Saya rasa kau sudah tahu hal itu Nek, jadi tak perlu saya beberkan.”

Dari wajah si nenek Naga Kuning maklum kalau arwah penulis masih tidak puas.

Maka dia menunjuk ke atas ke arah dinding batu Liang Lahat. “Nek, sebelum kita

meneruskan bicara, ada baiknya kau membaca dulu apa yang tertera di dinding batu itu....”

“Perlu apa aku mengikuti nasihatmu! Membaca segala tulisan bobrok di atas batu

sialan!” bentak arwah penulis 

Naga Kuning tidak perduli. Dia berenang ke atas. penulis kesetanan  Ngompol ikut berenang ke 

atas sebab  sebelumnya memang dia sudah membaca sedikit rangkaian tulisan di atas batu

itu. Sesampainya di atas dan melihat arwah penulis masih tetap berada di bawah sana, 

Naga Kuning berseru.

“Nek, jika kau tak mau membaca sendiri tulisan di batu ini, biaraku bacakan dan kau

silahkan pasang kuping mendengarkan!”

Lalu Naga Kuning membaca keras-keras rangkaian tulisan yang ada di batu.

LIANG LAHAT

Sesungguhnya insan hidup terbuat dari tanah

Hidupnya terbatas dari tanah ke tanah

Namun mengapa manusia menjadi lupa

Bersikap sombong membusung dada

Bersikap angkuh besar kepala

insan hidup tak ada arti di hadapan Sang Penguasa

Tapi mengapa insan berani menantang Sang Pencipta

Berani tapi putih, lembut tapi jantan, perkasa tapi jujur

12



Bukankah itu lebih baik daripada berani tapi hitam, lembut tapi culas, perkasa tapi

serakah! Liang lahat!

Di sini tersimpan saksi bisu dari keserakahan, saksi buta dari keculasan, saksi tuli dari 

ketidakjujuran

Bisakah kekuatan insan memecah kebisuan, menyalangkan kebutaan hati, mendengar

desah ketidakadilan

Bisakah tongkat si buta mengetuk membuka pintu kebenaran

Yang kuasa dan Sang Pencipta yaitu  tempat bertanya, tempat meminta

Adakah manusia bertanya dengan segala kebersihan hati? Adakah insan meminta

dengan kejujuran jiwa....

Naga kuning belum sempat mengakhiri membaca bait-bait tulisan yang ada di atas 

batu. Masih tertinggal satu bait lagi. Namun arwah penulis yang merasa semua yang 

dibacakan si bocah sengaja untuk menyindir dirinya, kembali menjadi marah dan

membentak.

“Naga Kuning! Kau boleh membaca tulisan itu sampai seribu kali. Mulai dari pagi

sampai pagi lagi tujuh hari tujuh malam! Jangan harap aku akan terpengaruh! Kalau saja

kau. bukan orang yang dipercayakan Kiai Gede Tapa Pamungkas guruku, sudah dari tadi-

tadi kau kulabrak! Sekarang dengar ucapanku! Apa yang akan kulakukan nanti dengan

Pedang Naga Suci 10000an  yaitu  urusanku sendiri! Jika kau coba menghalangi aku terpaksa

akan melupakan segala macam budi....”

“Kalau memang begitu Nek, urusan lebih baik diselesaikan sekarang sebelum

semuanya menjadi kapiran! Saya akan mendahuluinya mendapatkan senjata sakti itu! 

Kalaupun kau berhasil mendapatkan pertama kali, saya bersumpah untuk merampasnya!”

Merasa ditantang marahlah arwah penulis  Dia tidak perduli lagi siapa adanya Naga

Kuning. Melihat ketegangan yang terjadi penulis kesetanan  Ngompol sudah ter-kencing-kencing. Dia

berusaha mencegah terjadinya bentrokan namun saat itu didahului satu pekikan keras 

nenek sakti dari Gunung Gede itu melesat ke arah si anak.

“Bocah penulis kesetanan ! Aku tidak meminta kau membalas segala budi pertolonganku! Tapi

yaitu  tolol dan kurang ajar kalau kau mencoba menghalangiku!”

Tangan kanan si nenek bergerak ke arah kepala.

penulis kesetanan  Ngompol maklum apa yang dilakukan si nenek. Cepat-cepat dia tekap 

perutnya sebelah bawah. Panji yang juga sudah bisa memperkirakan apa yang hendak 

diperbuat arwah penulis segera berseru. “Nek! Jangan serang anak itu! Kita memerlukan

dia!” Yang dikhawatirkan penulis  ini yaitu  kalau dia sampai kehilangan jejak Puti nyi pandanajeng .

Namun arwah penulis yang sudah khilaf sebab  nekad dan marah gerakkan

tangannya. Dua tusuk konde perak laksana sepasang anak panah lepas dari busurnya

melesat berkilauan di dalam air. Tusuk konde pertama mencari sasaran tepat di mata kiri si

bocah, satunya lagi mengarah dada kiri tepat di jurusan jantung. Jelas Sinto Gendeng

bertekad menghabisi anak ini!

Lima tusuk konde yang selalu menancap di kepala arwah penulis bukanlah tusuk

konde biasa sebab  merupakan senjata yang sangat berbahaya dan mengandung racun 

mematikan. Kini dua dari lima tusuk konde itu dipakai untuk menyerang dan membunuh

Naga Kuning.

13



Naga Kuning yang mendapat serangan itu seolah terkesiap dan tidak percaya kalau si

nenek benar-benar hendak menurunkan tangan jahat terhadapnya. Dia tidak sempat

bergerak mengelak atau pun menangkis.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba berkiblat satu sinar putih menyilaukan yang

sesaat menerangi seantero dasar telaga. Air telaga yang dingin berubah menjadi panas.

Tusuk konde perak yang melesat ke arah mata kiri Naga Kuning terpental ke atas sewaktu

ujung tusuk konde hanya tinggal setengah jengkal saja dari sasaran!

Seseorang telah turun tangan menolong anak itu. Namun tusuk konde kedua yang 

mengarah jantung tidak mungkin dihindari. Ujung tusuk konde yang lancip menghantam

telak dada kiri Naga Kuning. Tapi begitu menyentuh dada si anak senjata itu tidak mampu

melukai apalagi menancap tembus dan menusuk sampai ke jantung. Seolah menghantam 

satu permukaan licin dan atos tusuk konde itu terpental ke samping.

“Kurang ajar! Bocah itu ternyata memang benar telah memiliki ilmu lumba-lumba

putih yang membuat tubuhnya licin seperti kulit ikan!” mengomel arwah penulis  “Tapi 

siapa yang barusan menolong menangkis tusuk konde yang mengarah matanya. Padahal

aku tahu betul kedua mata anak ini yaitu  dua titik terlemah segala kesaktian yang

dimilikinya!”

arwah penulis memandang berkeliling penuh marah. Sepasang matanya mendelik

berapi-api. Rahangnya menggembung dan mukanya yang keriput kelam membesi. Dalam

marahnya dia melihat dua sosok tubuh melayang dalam air. Begitu mengenali kedua orang

itu maka meledaklah dampratannya.

ebelum kita melanjutkan apa yang terjadi di dasar Telaga neraka penulis epilepsi  mari kita 

ikuti dulu apa yang berlangsung di salah satu tepian telaga.

Setelah gurunya Eyang arwah penulis dan Seta n Ngompol masuk ke dalam telaga

bersama Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo dan perginya Kakek Segala Tan if, di tepi 

telaga hanya tinggal Pendekar 10000an  Bobo  anak manusia  berdua dengan Ratu pembunuh penulis kusta . Untuk

beberapa lama kedua orang ini hanya berdiam diri. Sesekali Bobo  melirik. gadislesbian  di

sebelahnya dilihatnya memandang ke arah telaga terus-terusan. Murid arwah penulis ini

mendehem beberapa kali lalu membuka pembicaraan dengan bertanya.

“Menurutmu apakah guruku akan berhasil mendapatkan Pedang Naga Suci 10000an  itu?”

“Kau khawatir mereka gagal dan kau tidak bisa ditolong?” Ratu pembunuh penulis kusta  malah balik

bertanya.

“Soal diriku sudah nasib jadi begini. Tak ada yang perlu disesalkan. Yang aku 

khawatirkan yaitu  mendadak terjadi satu hal besar di tempat ini. Dan aku tidak bisa

berbuat apa. Apalagi barbel  pembasmi 10000an  milikku entah di mana beradanya. Guruku pasti

marah besar kalau....” Bobo  tiba-tiba ingat pada cermin bulat yang dimiliki Ratu pembunuh penulis kusta .

“Mana cermin saktimu. Mungkin kau bisa melihat melalui cermin itu di mana beradanya 

barbel  pembasmi 10000an .

Ratu pembunuh penulis kusta  segera keluarkan cermin saktinya. Dia segera memusatkan perhatian

dan pandangan mata ke permukaan cermin itu. Sesaat kemudian tampak cermin bergetar.

Bobo  mendekat dan coba melihat. Tapi dia tidak melihat apa-apa dalam cermin itu.

“Kau melihat sesuatu Ratu..,?” bertanya Bobo .

“Cermin bergetar....” kata Ratu pembunuh penulis kusta  perlahan. , Bobo  memperhatikan. Cermin

bulat itu memang tampak bergetar dalam pegangan gadislesbian  sakti bermata biru. “Ada daya

tolak dari satu kekuatan sakti. Aku hanya melihat sesuatu berwarna kuning. Bergerak sangat

cepat. Tidak jelas apakah sosok manusia. Sulit diterka lelaki atau wanita lesbi ....”

“Maksudmu kalau itu yaitu  sosok manusia maka dia mengenakan pakaian serba

kuning?”

“Mungkin.... Aku tak berani memastikan. Bayangan kuning lenyap dari dalam

cermin. Aku tak bisa memantau lebih jauh....”

Bobo  termenung sambil garuk-garuk kepala. “Be-rat dugaanku. Bayangan kuning ya

rig kau lihat dalam cermin yaitu  sosok orang berpakaian dan bercadar kuning. Waktu

terjadi pertempuran di teluk dia muncul menolong. Jangan-jangan senjata itu ada pada-

nya....'

“Aku menduga demikian. Kau tak usah khawatir. Senjatamu berada di tempat yang

aman....”

“Aku tetap khawatir. Soalnya siapa bisa menduga sifat manusia.... Di luar bisa saja

baik. Di dalam mungkin penuh maksud tertentu....”

Ratu pembunuh penulis kusta  terdiam. Pandangan matanya masih terus ke arah telaga. Sejak 

peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dulu dia selalu memendam rasa bersalah tak berkeputusan.

Walau sebelumnya masalah itu sempat mereka bicarakan dan Bobo  telah menganggap

selesai namun di lubuk hati gadislesbian  ini selalu ada perasaan penyesalan yang sulit

15



dilupakannya. sebab  itu setiap Bobo  mengatakan sesuatu dia seolah merasa bahwa ucapan

penulis  itu seolah merupakan sindiran yang ada hubungannya dengan peristiwa lama.

Melihat sang Ratu berhening diri, diam-diam Bobo  menduga mungkin gadislesbian  itu

tersinggung dengan ucapannya tadi. Maka sambil memegang jari-jari tangan kiri Ratu

pembunuh penulis kusta , Bobo  berkata. “Ratu, jangan kau merasa tersinggung. Segala ucapanku polos 

belaka. Tak ada sangkut pautnya dengan diri kita berdua atau apapun yang pernah terjadi

antara kita berdua....”

“Aku tahu...” jawab Ratu pembunuh penulis kusta  dengan suara setengah berbisik. “Tapi sulit bagiku 

melenyapkan rasa bersalah dari lubuk hati ini. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana

perasaanku terhadap diriku sendiri dan terhadap dirimu. Aku....”

Ratu pembunuh penulis kusta  tersendat. Ucapannya terhenti. Sepasang matanya yang biru tampak

basah. Bobo  meremas jari-jari tangan gadislesbian  itu. Malah dengan tangannya yang lain dia

merangkul bahu sang Ratu seraya berbisik.

“Ratu, jangan menangis....”

“Kalau tidak menangis rasanya hati ini belum lega Bobo . Dada ini serasa sesak 

berkepanjangan. Tekanan batin mengikuti kemana pun aku pergi....”

“Kau gadislesbian  gagah. Kau mampu menyingkirkan semua itu....”

“Aku manusia biasa. Manusia biasa yang jalan hidupnya ditakdirkan lain....”

“Jangan menyalahi dirimu. Jangan menyalahi siapa-siapa. Kau yaitu  kau dan aku

senang serta bangga melihat kau apa adanya....”

“Betul ucapanmu itu Bobo ?” tanya Ratu pembunuh penulis kusta  seraya menatap dalam-dalam ke 

mata Pendekar 10000an . Dua pasang mata sama beradu pandang. Dua hati berpadu rasa. Dua

jantung berdegup penuh cinta.

Bobo  tersenyum dan anggukkan kepala.

Entah siapa yang bergerak lebih dulu tahu-tahu dua insan itu telah tenggelam dalam

pelukan mesra.

“Bobo ...” bisik Ratu pembunuh penulis kusta  sambil membelai kuduk penulis  itu.

“Hemmm....” Bobo  bergumam.

“Seringkali rasa bahagia seperti yang kualami saat ini menipu diriku sendiri. 

Membuat aku lupa siapa diriku sebenarnya'....”

“Bukankah kukatakan tadi kau yaitu  kau. Dan aku bangga melihat kau apa

adanya...” kata Pendekar 10000an  balas membelai punggung Ratu pembunuh penulis kusta  dengan usapan jari-

jari tangan yang lembut. Ratu pembunuh penulis kusta  pejamkan kedua matanya. Wajahnya disandarkan di

dada kiri Bobo . “Aku suka mendengar kata-katamu itu Bobo . Tapi aku sadar hatiku tak bisa 

ditipu oleh jalan pikiran. Sebaiknya pikiranku tidak pula dapat ditipu oleh suara hati. 

Sesuatu i       di lubuk hati ini mendekam sejak lama, tak kuasa aku utarakan. Bahkan

mungkin terpaksa harus ku-tanam lebih dalam dan*lebih jauh”. Lebih dalam dari pusat

bumi. Lebih jauh dari ujung dunia. Biarlah hanya getaran nya saja yang tetap hidup dalam

alam-i       ku yang serba aneh. Alamku yang tak mungkin bersatu dengan alammu....”

Bobo  mendekap pipi Ratu pembunuh penulis kusta  dengan dua tangannya lalu mengangkat kepala

gadislesbian  itu. Se-pasang mata biru Ratu pembunuh penulis kusta  tampak berkaca-kaca. Walau basah oleh air

mata tapi di balik segala kedukaan yang ada masih terbayang cahaya bahagia dan mesra. 

Sudah sejak lama gadislesbian  ini membayangkan betapa indah dan mesranya jika berada dalam

pelukan Bobo . Semua ini menjadi kenyataan. Mereka bermesraan. Namun sampai berapa

lama kemesraan ini akan didapat dan dirasakannya?

16



“Tuhan.... Jangan kau pupus dan sirnakan kebahagiaan ini dari tanganku....” Suara

yang muncul di lubuk hati Ratu pembunuh penulis kusta  lebih merupakan bayangan ketakutan daripada

permintaan. Lehernya yang putih jenjang bergerak-gerak pertanda dia berusaha menahan

gelora hatinya. Bobo  merunduk. Dengan permukaan bibirnya ditelusurinya leher dan

tengkuk yang ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Ratu pembunuh penulis kusta  merasakan kehangatan

yang tak pernah dialaminya sebelumnya. Sesaat terbayang kembali olehnya peristiwa di

Purr Pelebur Kutuk. Ketika mereka berdua-dua berada di atas ketiduran tanpa sehelai

benang pun menutupi aurat.

Ratu pembunuh penulis kusta  mendesah halus. Tubuhnya menggeliat. Pelukannya tiba-tiba

mengencang seolah Bobo  tak akan dilepaskannya untuk selama-lamanya. Bobo  merasakan

dada basah keringatan berdegup kencang di wajahnya yang memanas. Hampir dia terlupa 

dan hendak membenamkan wajahnya di belahan dada gadislesbian  itu tiba-tiba Bobo  ingat, 

perlahan-lahan ditariknya kepalanya. Dilihatnya wajah Ratu pembunuh penulis kusta  memerah. Sepasang

matanya terpejam, bibirnya yang merah terbuka merenggang dan cuping hidungnya 

bergerak-gerak.

Bobo  ingin sekali mengecup bibir yang bagus dan basah itu. Namun penulis  ini

masih dapat menahan diri. Dalam gelora yang membakar darahnya dia masih ingat untuk

tidak berbuat lebih jauh. Jangan sampai dorongan hatinya mempengaruhi jalan pikiran. 

“Ratu,” bisik Bobo  di antara desah napasnya yang panas clan menderu. “Tadi kau

mengatakan alammu masih berbeda dengan alamku. Padahal setelah peristiwa di Puri itu,

bukankah kutukan yang menimpa dirimu telah sirna? Kau bukan lagi makhluk setengah

manusia setengah ikan? Kau benar-benar telah menjadi seorang anak manusia, seorang 

gadislesbian  dengan segala kecantikan, keanggunan dan kesucian yang ada.”

Sepasang mata Ratu pembunuh penulis kusta  yang basah masih terpejam. Dua tangannya masih

merangkul lembut punggung dan belakang kepala penulis  itu. “Kau betul. Diriku dan juga

diri semua anak buahku telah bebas dari kutukan yang menyengsarakan itu. Namun dalam

kebahagiaan itu aku juga menyadari. Sekian lama hidup di dasar samudera dalam alam

yang berbeda telah menjadikan diriku bersatu men-darah daging dengan alam yang serba

aneh itu. Membuat diriku asing di tengah alammu walau wujud diriku tidak beda dengan

manusia lainnya. Aku merasa diri ini tidak punya tempat dalam dunia ini....”

“Itu hanya perasaanmu saja Ratu. Perlahan-lahan tapi pasti kau akan terbiasa. Kau

kelak akan merasakan betapa bahagianya hidup di dunia ini. Dengan segala masalahnya

baik suka maupun duka...”

Ratu pembunuh penulis kusta  gelengkan kepalanya. Air mata jatuh berderai dari celah-celah barisan

bulu matanya yang panjang dan lentik. Mulutnya terbuka namun tidak ada ucapan yang

sanggup dikeluarkannya. Hanya suara hatinya yang berkata dan tak mungkin terdengar

oleh Bobo . “Kau tidak tahu Bobo , bukan hidup di alammu itu yang menakutkan diriku. Tapi

hidup tanpa dirimu di sampingku yang membuat aku seolah merasa mati dalam hidup ini.

Aku boleh tahu besarnya kasih sayang kecintaanku padamu. Tapi aku tidak tahu apakah

kau memiliki dan berapa besarnya kasih sayang dan rasa cintamu terhadapku. Yang aku

tahu yaitu  aku tak bakal dapat memiliki dirimu. Ini seperti sudah menjadi takdir. Kau tak

akan pernah menjadi milikku. Hati ini tahu, perasaan ini-mengerti, ada seorang iain yang

kau kasihi dan kau cintai dengan seputih hatimu. Bobo , setinggi gunung kasih sayangku, 

sedalam lautan cintaku padamu tapi aku sadar bahwa aku hanya akan meratap dalam 

kebahagiaanmu bersama gadislesbian  lain itu....”

17



Ratu pembunuh penulis kusta  berusaha menahan sengguk tangis hingga bahunya terguncang-

guncang. Bobo  peluk gadislesbian  ini erat-erat. Terasa kehangatan air mata Ratu pembunuh penulis kusta 

menyentuh dadanya.

“Ratu, kau harus berani menghadapi kenyataan. Hidup yang sebenarnya hidup

yaitu  hidup di alam ini, bukan di alammu. Kita akan bersama-sama. Kita akan berjalan 

berdampingan dalam suka maupun susah....”

Ratu pembunuh penulis kusta  angkat kepalanya. Sepasang matanya yang biru dibuka. Menatap 

lembut penuh mesra. Senyum menyeruak di bibirnya yang bagus. “Semua yang kau

ucapkan itu pancaran suara hatimu yang tulus. Tapi Bobo . Tidak mungkin kita bersama-

sama, berjalan berdampingan dalam suka maupun susah. sebab  aku tahu kau bukan

milikku. Ada gadislesbian  lain yang lebih baik dan cocok untuk dirimu....”

Bobo  hendak menggaruk kepalanya mendengar kata-kata Ratu pembunuh penulis kusta  itu tapi si

gadislesbian  tersenyum dan pegangi tangan sang pendekar.

“Kau tahu hal itu Bobo . Kau tak akan mau menipu dirimu sendiri. Yang aku pinta 

saat ini hanyalah izinkan diri ini sedikit lebih lama berada dalam keadaan seperti ini, 

bermesra berdua-dua dengan dirimu. sebab  mungkin ini kesempatanku yang pertama dan

yang terakhir....”

“Eh, memangnya kau mau ke mana? Mau melakukan apa?” tanya Bobo .

“Kau bukan milikku tapi milik gadislesbian  lain. Cintamu bukan milikku tapi milik seorang

lain. Kau harus mengakui itu. Aku tak perlu menyebut siapa adanya gadislesbian  itu....”

“Aku....” Bobo  gelengkan kepala dan usap pipi sang Ratu dengan jari-jari tangan

kanannya. “Kalau kau sudah tahu.... Aku akan berterus-terang padamu. Aku memang 

pernah menyukai dan mencintai seorang gadislesbian ....”

Ratu pembunuh penulis kusta  pejamkan sepasang matanya yang biru. Jauh di lubuk hatinya seolah

ada sembilu menyayat perih. Bibirnya bergetar.

“Tapi aku hanya bertepuk sebelah tangan,” terdengar kembali suara Bobo . “Aku

senang orang tak suka. Aku sayang orang tak cinta....”

Ratu pembunuh penulis kusta  perlahan-lahan buka kedua matanya. gadislesbian  ini berusaha menguatkan

hatinya untuk bisa berucap.

“Bobo , cinta tak selalu seperti apa yang kita lihat. Bagi seorang gadislesbian  cinta yang ada

dalam hatinya terhadap seorang penulis  tidak ubahnya seperti gunung es yang kelihatan 

hanya secuil di permukaan samudera. Bagian cinta yang sangat besar disimpan dan

disembunyikan di bawah permukaan laut. Di dalam laut hati sanubarinya. Dipeliharanya

baik-baik....”

“Ah, aku tidak mengerti...” ujar Bobo . Kembali dia hendak menggaruk kepala tapi

lagi-lagi tangannya dipegang oleh Ratu pembunuh penulis kusta .

“Gila! Kepalaku mau pecah rasanya sebab  gatal! Aku tak bisa menggaruk! Lepaskan 

peganganmu Ratu.”

Ratu pembunuh penulis kusta  tersenyum. Sambil terus pegangi tangan Bobo  dia berkata.

“Sebagian dari keindahan cinta justru yaitu  pada ketidakmengertian itu Bobo ...,”

Perlahan-lahan Ratu pembunuh penulis kusta  angsurkan wajahnya mendekati wajah Pendekar 10000an .

Murid Eyang arwah penulis ini jadi kelagapan ketika bibir gadislesbian  itu menyentuh

permukaan bibirnya. Tapi kegelapan si penulis  hanya sebentar. Dilain saat dua insan ini

tenggelam dalam kemesraan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.

18



“Bobo ...” suara Ratu pembunuh penulis kusta  bergumam diantara desau napas. Wajahnya disusupkan

ke pundak si penulis  dan sepasang matanya melirik ke arah timur, ke balik serumpunan

semak belukar. “Sudah pergi.... Dia sudah pergi.... Pasti hatinya akan tersayat perih

menyaksikan aku dan penulis  yang dicintainya dalam keadaan begini rupa. Apakah dia

bisa mengerti, apakah gadislesbian  itu mau memahami. Bahwa hanya ini kebahagiaan hidup yang

bisa kudapatkan dan tak lebih dari ini. Aku hanya meminta secuil kebahagiaan ini. Kalau ini 

satu dosa semoga kau mau memaafkan dan Tuhan mau mengampuni. Sahabat, aku tidak

akan menodai diriku dan diri penulis  yang kau kasihi. Kau akan mendapatkan nya sebagai

seorang kekasih yang bersih. Aku berdoa untuk kebahagiaan kalian berdua....”

“Ratu, aku mendengar seperti kau bicara sendirian...” kata Bobo  seraya mendekap

wajah Ratu pembunuh penulis kusta  dengan dua tangannya,

“Bobo , kita sudah terlalu lama di tempat ini. Kau tahu kawasan ini kurang amah. 

Orang-orang Lembah Akhirat bisa muncul setiap saat. Lagipula aku punya firasat ada

sesuatu bakal terjadi di dasar telaga. Sebaiknya kita menyusul orang-orang itu masuk ke 

dalam telaga....”

“Tap! Eyang arwah penulis meminta kita berjaga-jaga di sini....”

“Jika sesuatu akan terjadi pasti akan terjadi walau kita berjaga-jaga bagaimanapun.

Mari....” Ratu pembunuh penulis kusta  memegang lengan Pendekar 10000an , siap mengajaknya terjun ke dalam

air.

“Ratu, kau tahu aku tak mungkin masuk ke dalam air sepertimu, Kecuali kau 

mendekap dan menyirap diriku seperti yang kau lakukan terhadap orang-orang itu.”

“Hemmm....” Sang Ratu meragu sejenak. Kalau dilakukannya apa yang dipinta Bobo 

yakni memberikan ilmu kemampuan masuk ke dalam telaga dengan cara mendekap,

mungkin lain yang akan terjadi. Mungkin salah seorang dari mereka akan lupa diri.

“Guruku ada di dalam telaga. Dia pasti marah besar kalau diketahuinya aku ikut

masuk. Padahal dia sudah berpesan agar kita tetap berada di sini untuk berjaga-jaga.”

“Aku tahu sifat gurumu. Gampang marah gampang pula baiknya.”

“Tapi Ratu mungkin bahaya lebih besar akan menghadang diriku di dalam telaga 

sana. Walau aku masih mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan juga memiliki ilmu tidur

yang diberikan Si Raja Penidur tapi aku khawatir....”

“Celaka bisa terjadi di mana-mana. Kalau dihadang, malapetaka malah tak datang.

Kalau lengah celaka malah jatuh menimpa.”

Bobo  terdiam mendengar ucapan Ratu pembunuh penulis kusta  itu.

“Apa yang kau pikirkan Bobo ? Kau takut mati tenggelam dalam air? ingat kejadian

setelah geger besar di Pangandaran? Kau dan aku naik kereta kuda. La lu kita sama-sama

masuk ke dalam samudera....”

“Ah!” Bobo  gerakkan tangan kanannya yang tidak lagi dipegang Ratu pembunuh penulis kusta  lalu

menggaruk kepala sepuas-puasnya. Dia tidak menolak lagi sewaktu Ratu pembunuh penulis kusta  menarik 

tangannya untuk kedua kali dan mencebur masuk ke dalam Telaga neraka penulis epilepsi .

19



__________________________________________________________________________________

LIMA

Ketika Bobo  dan Ratu pembunuh penulis kusta  bermesraan di tepi telaga seseorang berkelebat ke balik

serumpunan semak belukar di sudut telaga tak berapa jauh dari dua muda-mudi itu

berada. Orang ini mengenakan pakaian biru, berambut panjang pirang. Bau tubuh

dan pakaiannya- yang harum menebar ke mana-mana. Bau harum inilah yang membuat 

Ratu buyung menyadari bahwa ada seseorang bersembunyi tak jauh dari tempat itu. Bobo 

sendiri sebab  telah hilang kesaktiannya tidak mampu mencium bau harum ini . Dari

bau wangi ini  Ratu pembunuh penulis kusta  sudah bisa memperkirakan siapa adanya orang ini .

Sambil terus bercakap-cakap dengan Bobo , Ratu pembunuh penulis kusta  menyelidik, Memandang

berkeliling akhirnya dia mengetahui bahwa orang itu bersembunyi di baiik serumpunan 

semak belukar. Rasa berdosa tiba-tiba saja muncul dalam hati Ratu pembunuh penulis kusta . Tapi sebagai 

manusia biasa yang tidak luput dari pengaruh perasaan, apalagi perasaan seorang pe-

rempuan yang selalu mempunyai rasa cemburu dan rasa ingin memiliki seseorang, maka

Ratu pembunuh penulis kusta  tidak memberitahukan kehadiran orang itu pada Bobo . Dia juga tak mau

memutus percakapan dan buru-buru pergi dari tempat itu. Apa salahnya kalau saat itu dia

boleh mereguk sedikit kebahagiaan, berdua-dua bermesraan dengan orang kepada siapa dia

berhutang budi dan kepada siapa cinta kasihnya tercurah.

Lain halnya dengan orang yang bersembunyi di balik semak-semak yang bukan lain 

ibunya penulis ayan  Angin Timur adanya. Gad is ini merasa sekujur tubuhnya bergeletar laksana

dipanggang menyaksikan Bobo  bermesraan dengan Ratu pembunuh penulis kusta . Jari-jari tangannya 

terkepal dan dua matanya menyorotkan sinar marah penuh cemburu! Kalau dia tidak

berpikir panjang saat itu juga mau dia melompat keluar dan melabrak kedua orang itu.

Tetapi begitu pikiran jernih memasuki kepalanya maka perlahan-lahan gadislesbian  ini bisa

menguasai dirinya. Malah diam-diam dia menyadari mungkin semua itu terjadi sebab 

kesalahannya sendiri. Selama ini dia mengambil sikap curiga dan selalu menjauhi Bobo . Apa

yang harus disesalinya kalau kini penulis  itu jatuh ke tangan gadislesbian  lain? Namun

bagaimanapun dia ingin berpikir jernih, rasa mementingkan diri sendiri tidak mungkin

dipupusnya sama sekali.

“Ratu pembunuh penulis kusta , ternyata kau yaitu  gadislesbian  gampangan. Dan kau Bobo , kau tak lebih

dari seorang penulis  mata keranjang yang sanggup bercinta dengan siapa saja dan tega 

melukai hati setiap gadislesbian ...”

ibunya penulis ayan  Angin timur bersimpuh di tanah. Wajahnya ditutup dengan sepasang 

tangannya yang berjari-jari halus. “Apa yang harus aku lakukan? Menangis? Berteriak

marah! Atau lebih baik kupukul sendiri kepala ini hingga pecah?! Aku mencarinya ke teluk.

Dari kabar yang kudapat katanya dia dalam bahaya. Ternyata kini dia berada di tepi telaga. 

Bercinta dengan Ratu murahan itu!”

ibunya penulis ayan  Angin Timur turunkan kedua tangannya. Wajahnya menjadi sangat merah.

Dua matanya laksana kobaran api. Cepat-cepat kepalanya dipalingkan ke jurusan lain. Tak 

sanggup dia menyaksikan bagaimana Ratu pembunuh penulis kusta  dan Bobo  anak manusia  saling berkecupan.

“Mesum.... Hidup ini ternyata penuh kemesuman!” jerit ibunya penulis ayan  Angin Timur.

Tinjunya kiri kanan dipukul-pukulkannya ke paha. Tiba-tiba dia mendengar suara sesuatu

masuk ke dalam telaga. Ketika dia menoleh Ratu pembunuh penulis kusta  dan Pendekar 10000an  Bobo  anak manusia 

tak ada lagi di tempat itu.


“Mereka masuk ke dalam telaga. Aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan.

Jangan-jangan Ratu itu memiliki istana di dalam telaga. Tempat mereka berdua bisa berbuat

apa saja. Aku harus masuk ke dalam telaga! Harus! Tapi tak mungkin.... Walau aku bisa

berenang tak mungkin mampu bertahan lama dalam telaga itu!” Kembali si gadislesbian  dibuncah

perasaan marah dan cemburu. Dia melangkah mondar-mandir. Dia berpikir keras apa yang

harus dilakukannya agar kedua orang itu segera keluar dari dalam telaga. “Aku tak 

mungkin membakar telaga ini! Aku juga tak punya racun untuk ditebar hingga mereka

sesak napas dan terpaksa keluar dari dalam air. Apa yang harus kulakukan! Apa!!!”

Selagi dia melangkah mondar-mandir di tepi telaga seperti itu tiba-tiba saja sesosok 

tubuh berjubah hitam tegak di hadapannya. Dia melihat sepasang tangan berkuku panjang. 

Lalu dia mendengar suara tawa cekikikan.

“gadislesbian  cantik berlesung pipit! Kita bertemu lagi! Hik... hik... hik!”

ibunya penulis ayan  Angin Timur angkat kepalanya. Dia melihat satu wajah bundar putih penuh

keriput.

Rambut putih yang dulu dilihatnya digulung di atas kepala kini tergerai lepas riap-

riapan. Orang ini semakin jauh lebih tua daripada ketika pertama kali ditemuinya.

“Nenek Sika Sure jelantik...” ujar ibunya penulis ayan  Angin Timur.

Si nenek tertawa panjang. “Aku senang kau masih ingat namaku. Padahal aku tak

pernah tahu siapa namamu! Hik..; hik... hik!”

“Nenek Sika aku gembira bisa bertemu lagi denganmu. Apa yang membawamu ke

Telaga neraka penulis epilepsi  ini?” bertanya si gadislesbian .

“Justru aku yang ingin bertanya. Apa yang membuatmu hingga berada di tempat ini! 

Hik... hik... hik! Dari cahaya matamu, dari rona air mukamu aku menduga keras kau berada

dalam gelombang perasaan hati yang sulit kau kendalikan! Betul kan...?! Hik... hik... hik!”

ibunya penulis ayan  Angin Timur tidak menjawab. gadislesbian  ini cuma menatap dengan tersenyum 

pada si nenek.

“Ah, kau tersenyum. Sepasang lesung pipit itu masih ada