Selasa, 11 Februari 2025

bobo ketakutan 2

 


di kedua pipimu. Anakku,

kau ingat pertemuan kita pertama kali, dulu. Aku menemuimu, dalam keadaan menangis

berurai air mata. Sekarang pun kulihat sepasang matamu yang bagus basah oleh air mata.

Wajahmu menunjukkan adanya pukulan hati yang sangat berat. Sinar matamu seolah

menyembunyikan satu dendam kesumat. Anakku, apakah ini menyangkut persoalan dulu

juga? Masih ada hubungannya dengan penulis  yang kau bilang bernama Bobo  anak manusia 

bergelar Pendekar 10000an  itu? (Mengenal pertemuan pertama Sika Sure jelantik dengan

ibunya penulis ayan  Angin Timur harap lihat Episode Asmara Darah Tua Gila)

ibunya penulis ayan  Angin Timur mengangguk perlahan. “Kau tentu masih ingat Nek, waktu itu

kukatakan terus terang padamu ada satu ganjalan yang membuat aku tak mau berterus

terang pada penulis  itu bahwa aku mencintainya. Aku mengambil sikap rnenjauhinya. Aku

tak mau menjadi bahan permainan cinta murahnya. sebab  aku tahu banyak gadislesbian  cantik

mengelilinginya. Semua menaruh hati pada penulis  itu. Dan barusan saja aku melihat dia 

bercinta bermesra dengan salah satu dari gadislesbian  itu. Di depan mataku. Mereka berpegangan

tangan, saling berangkulan. Ma lah aku saksikan sendiri mereka....” Si gadislesbian  tidak sanggup

lanjutkan ucapannya. Kepalanya digelengkan beberapa kali. Air mata menggelinding jatuh

ke pipinya yang merah.

Sika Sure Jelantik usap kepala ibunya penulis ayan  Angin Timur. Seperti diketahui nenek satu ini 

yaitu  seorang berhati keras dan kejam. Namun bagaimanapun juga dia yaitu  seorang

21



wanita lesbi  yang ikut merasa pilu melihat kesedihan yang diderita wanita lesbi  iain. Apalagi

terhadap ibunya penulis ayan  Angin Timur yang sudah dianggapnya sebagai cucu atau anak

sendiri.

“Anakku, seperti yang aku bilang dulu. Kau menanam pohon beracun dalam

tubuhmu sendiri. Semakin jauh hari berlalu semakin tinggi pohon itu mencuat ke kepalamu

dan semakin dalam akarnya menghunjam ke kakimu. Kau harus segera mengambil 

keputusan. Menemui penulis  itu dan mengatakan terus terang bahwa kau mencintainya....”

“Aku tak sanggup melakukan itu Nek. Tidak ada seorang gadislesbian  pun yang mau

berbuat begitu bagaimanapun besar cintanya terhadap seorang penulis ...”  

“Kalau begitu kau mungkin terpaksa harus meninggalkannya....”

“Itu sama saja dengan bunuh diri!”

Sika Sure Jelantik tertawa panjang. “Anakku, itulah kehebatan cinta! Bisa membunuh

orang secara pelan-pelan bahkan bisa secara cepat! Nasib diriku sebagai contohnya. Sampai 

saat ini tanganku sudah gatal untuk membunuh bekas kekasihku yang serong dimasa muda!

Tapi belum juga kesampaian!”

“Nek, kalau seandainya kau bertemu dengan dia dan dia meminta maaf dengan

setulus hati, bagaimana jawabmu?!”

“Pertanyaan gila sekali!” tukas Sika Sure Jelantik. “Dia memang pernah menunjukkan

sikap menyesal dan minta maaf. Tapi apakah harga diriku ini hanya sebatas penyesalan dan 

permintaan maaf? Aku sudah keburu berkubang dalam rasa malu setinggi langit sedalam

lautan! Lalu suatu hari dia datang cengar-cengir bicara segala macam penyesalan dan minta

maaf. Tidak anakku! Sika Sure Jelantik bukan wanita lesbi  berhati loyang. Tapi juga tidak

memiliki hati emas! Dan sebagai wanita lesbi  hatimu dengan hatiku mungkin berbeda. 

Buktinya kau hanya diam saja ketika menyaksikan mereka bercinta di tepi telaga di depan

mata kepalamu!”

“Nek, apa betul kadangkala cinta itu yaitu  pengorbanan...?”

Sika Sure Jelantik tertawa gelak-gelak. “Pengorbanan yaitu  istilah orang yang

berada dalam keadaan dikalahkan dan lemah tak bisa berbuat apa. Apakah kau merasa

orang yang dikalahkan dalam merebut hati penulis  pujaanmu itu anakku?”

Paras ibunya penulis ayan  Angin Timur kelihatan bersemu merah.

“Apakah kau tak bisa lagi mengalihkan cintamu pada penulis  lain?”

“Dia yaitu  penulis  pertama dan yang terakhir yang aku cintai Nek. Hati dan cinta 

kasihku hanya untuk dia seorang walau mungkin aku tidak akan mendapatkannya....”

“Lalu kau mau menjadi perawan tua yang patah hati! Sungguh tolol perbuatanmu

anakku! Hidup hanya satu kali, jangan disia-siakan....”

“Tapi bagaimana dengan dirimu sendiri Nek? Setelah kekasihmu mengkhianati 

dirimu, apa kau sanggup berpaling pada lelaki lain?”

“Itu pertanyaan gila! Aku tak mau menjawab!” kata Sika Sure Jelantik seraya 

bantingkan kaki kanannya hingga tepian telaga itu terasa bergetar. “Sekarang aku mau

tanya. Apa yang membuatmu berada di Telaga neraka penulis epilepsi  ini. Kau boleh punya seribu

alasan cinta! Tapi pasti ada satu hai iain....”

“Tidak ada alasan lain Nek. Setelah aku menyirap kabar penulis  itu bersama

serombongan para tokoh silat tengah bergerak ke telaga maka aku segera ke sini. Aku

memang menemuinya. Tapi sedang....”

“Sekarang di maha beradanya penulis  itu?” tanya si nenek.


“Aku tidak tahu Nek. Mungkin sekali mereka masuk ke dalam telaga....”

Menerangkan ibunya penulis ayan  Angin Timur.

Terkejutlah si nenek mendengar hal itu. “Dengar, aku pernah bertemu dan menolong

seorang gadislesbian  tak dikenal. Tololnya aku tidak tahu namanya. Tapi ciri-cirinya berkulit putih, 

rambut panjang hitam dan pakaian merah. Menurut ceritanya dia tengah mencari sebuah 

batu hitam di Telaga neraka penulis epilepsi  ini. Batu itu berkhasiat untuk menyembuhkan ibunya

yang sedang sakit. Pertanyaanku, apakah kau melihat gadislesbian  dengan ciri-ciri yang aku

katakan itu?”

ibunya penulis ayan  Angin Timur menggeleng.

“Apa warna pakaian gadislesbian  yang bercinta dengan Pendekar 10000an ?” tanya si nenek

menyelidik lebih jauh.

“Hitam....”

Sika Sure jelantik mendongak ke langit lalu menatap tajam ke arah telaga. “Setahuku

Pendekar 10000an  tidak memiliki ilmu menyelam dalam air. Jika dia berani masuk ke dalam 

telaga berarti ada seseorang yang membekalinya ilmu. Hanya ada satu orang memiliki

kepandaian seperti itu. Ratu pembunuh penulis kusta . Tapi sang Ratu tak pernah mengenakan pakaian

hitam....”

“gadislesbian  berpakaian hitam bersama Pendekar 10000an  itu memang Ratu pembunuh penulis kusta  Nek,”

menjelaskan ibunya penulis ayan  Angin Timur.

“Hah?!” Si nenek tersentak kaget. “Kenapa tidak kau beri tahu dari tadi! Ratu

pembunuh penulis kusta  dan Pendekar 10000an  ada dalam telaga! Beberapa tokoh silat katamu sebelumnya telah

menuju ke sini tapi tak kelihatan mata hidungnya! Jangan-jangan mereka sudah berkumpul 

di dasar telaga sana! Pasti ada sesuatu! Anakku, ayo kau lekas ikut bersamaku ke dalam 

telaga!”

“Aku tak bisa Nek....”

“Aku akan berikan ilmu menyelam seratus hari padamu!”

“Bukan itu masalahnya Nek. Aku hanya tak ingin masuk ke dalam telaga. Kuharap

kau bisa  memahami...”

“Hemmm.... Baik. Aku bisa memahami. Jika bertemu dengan Pendekar 10000an  biar aku

memberi pelajaran padanya sampai nyawanya lepas dari badan!”

“Kuharap kau tidak melakukan hal itu Nek,” memohon ibunya penulis ayan  Angin Timur.

Si nenek tersenyum. “Kau benar-benar mencintai penulis  itu. Tapi aku tak bisa

menjamin apa aku akan membunuhnya atau tidak....” Tanpa menunggu jawaban ibunya penulis ayan  

Angin Timur si nenek segera saja melompat masuk ke dalam Telaga neraka penulis epilepsi .

Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Rahasia Cinta Tua Gila) Puti nyi pandanajeng  

telah ditelan oleh ular naga betina. Sebelumnya gadislesbian  ini menyaksikan bagaimana naga

betina itu menyedot dan menelan batu putih sebesar dua kepalan tangan yang

ditemukannya di dasar telaga.

Ketika tubuhnya disedot dan siap ditelan oleh naga betina itu Puti nyi pandanajeng  berusaha

selamatkan diri dengan coba menghantamkan satu: pukulan tangan kosong mengandung

tenaga dalam tinggi. Pukulan diarahkan tepat ke arah tanduk hijau yang mencuat di atas 

kepala naga betina. Namun belum sempat dia menghantam ular naga tiba-tiba ulurkan

lidahnya yang bercabang, langsung melibat tubuh si gadislesbian . Dalam keadaan tak berdaya,

sekali lidah menyentak maka tubuh Puti nyi pandanajeng  pun lenyap ke dalam mulut binatang itu.

Si gadislesbian  menjerit keras. Namun jeritannya tidak terdengar sebab  tubuhnya sudah

berada dalam mulut ular naga. Dilanda rasa takut yang amat sangat gadislesbian  ini akhirnya

pingsan. Tubuhnya melayang masuk ke dalam tenggorokan, terus amblas ke perut ular 

naga.

Puti nyi pandanajeng , cucu Sabai Nan Rancak dan Tua Gila ini tidak tahu berapa lama dia

berada dalam keadaan pingsan. Ketika dia siuman pertama sekali yang didengarnya yaitu 

suara hentakan keras duk... duk... duk... tak berkeputusan. Tubuhnya bergetar dan

tersentak-sentak setiap suara itu terdengar. Lalu ada hawa sangat dingin menyelimuti 

sekujur tubuhnya. Demikian dinginnya hingga dia merasa kulit dan daging tubuhnya seolah

disayat-sayat. Dalam keadaan seperti itu dia merasa dadanya sesak dan jalan napasnya 

seperti tertutup.

Perlahan-lahan Puti nyi pandanajeng  buka kedua matanya. Dia dapatkan dirinya terbaring di

dalam satu lorong redup berlantai tertutup cairan sangat licin berwarna kemerahan. Ada

bau tidak enak menyengat hidungnya. gadislesbian  ini coba berdiri. Tapi untuk sesaat dia hanya

mampu duduk. Saat itulah dia merasa ada cairan hangat di bawah hidungnya, sekitar pipi

sementara sepasang matanya terpaksa setengah dipejamkan sebab  hawa dingin aneh serta

bau menusuk di tempat itu membuat matanya menjadi perih.

Dirabanya bagian bawah hidungnya. Jari-jari tangannya menyentuh cairan hangat.

Ketika diperhatikannya ternyata darah.

“Ada darah keluar dari hidungku....”

Put! nyi pandanajeng  mengusap pipinya kiri kanan. “Darah lagi.... Yang ini keluar dari dua

liang telinga.... Aku.... Suara duk... duk... duk yang seperti hantaman palu itu….” Dia

membutuhkan waktu beberapa saat sebelum menyadari bahwa saat itu dia berada dalam

tubuh ular naga betina. Dihunjam oleh rasa takut gadislesbian  ini cepat tegak berdiri. Kakinya 

terpeleset oleh licinnya lantai yang dipijaknya yang bukan lain yaitu  perut besar ular naga

betina! Dia mencoba bangkit lagi sambil tangannya menggapai sesuatu di atas kepalanya

untuk tempat bergayut. Saat itu terdengar suara menggemuruh. Si gadislesbian  terpelanting dan

terpekik ketika tiba-tiba lorong perut ujar di mana dia berada saat itu berputar kencang dan

membantingkan tubuhnya hingga jungkir balik lalu meluncur sejauh beberapa tombak.

Sesaat kemudian Puti nyi pandanajeng  dapatkan dirinya berada dalam cairan busuk setinggi betis.

“Aku meluncur. Ke arah mana...? Mungkin ke bagian ekor atau ke arah kepala?

Napasku sesak.,.. Mataku perih.... Kepalaku seperti mau pecah! Agak-nya aku akan

menemui ajal dalam perut binatang ini! Aku tidak mau mati di sini. Aku harus melakukan

sesuatu....”

Anehnya pada saat-saat seperti itu tiba-tiba muncul bayangan wajah seorang gagah

yang telinga kanannya memakai anting-anting. “Panji...” desis Puti nyi pandanajeng . “penulis  itu....

Di mana dia sekarang? Dia tak bisa menolongku. Tak satu orang pun bisa menolongku....

Kalau saja dulu aku tidak meninggalkannya mungkin tidak begini nasibku. Kakek Tua Gila!

Ini semua gara-gara petunjuk gilamu! Panji.... Ah, mengapa di saat seperti ini aku ingin

sekali melihat penulis  itu....”

Megap-megap Puti nyi pandanajeng  bersandar ke dinding di belakangnya yang yaitu  bagian 

dari perut besar * ular naga. Dalam keadaan seperti itu dia melihat isi perut ular yang

baginya tampak aneh dan sangat menyeramkan. Tiba-tiba untuk kedua kalinya muncul

suara menggemuruh. Perut ular bergerak dan membanting tubuh si gadislesbian . Cairan busuk

mengguyur muka dan tubuhnya membuat gadislesbian  ini berteriak keras lalu semburkan muntah

campur darah. Sadarlah Puti nyi pandanajeng  kalau ada bagian tubuhnya di sebelah dalam yang telah

terluka.

“Aku tidak mau mati! Aku harus melakukan sesuatu! Aku harus keluar dari tempat

celaka ini!” Dia memandang berkeliling. 'Aku harus merangkak ke arah mulut ular. Itu satu-

satunya tempat untuk lolos. Tapi yang mana bagian kepala, mana bagian ekor? Atau

kuhantam saja isi perut binatang ini. Tubuhnya di sebelah dalam pasti tidak seatos sebelah 

luar! Makhluk aneh. Punya isi perut tapi tidak bertulang!”

Puti nyi pandanajeng  seka darah yang terus mengucur dari hidungnya. Tangan kanannya

diangkat. Tenaga dalam dialirkan penuh. Dia menghantam ke arah benda-benda aneh yang

merupakan bagian dari isi perut ular naga.

“Wusss!”

Pukulan sakti si gadislesbian  menderu dan keluarkan suara menggema dahsyat. Benda-

benda aneh di depan sana kelihatan hancur berantakan. Lalu ada cairan merah mengguyur

laksana curahan hujan. Saat yang sama terdengar suara ringkikan dahsyat. Tubuh ular naga

betina tersentak ke atas, lalu berputar bergulung-gulung. Puti nyi pandanajeng  terpental kian kemari.

Ketika dia jatuh ke bawah dia dapatkan dirinya terapung dalam cairan merah setinggi

pinggang. Sementara itu suara duk... duk... duk menghantam telinga dan kepalanya semakin

keras.

“Darah... di mana-mana darah....” Suara Puti nyi pandanajeng  menggigil bukan saja sebab 

hawa dingin yang mencucuk tapi juga oleh rasa takut amat sangat. Walau tenaganya seolah 

terkuras dia berusaha bergerak, merancah dalam cairan merah setinggi pinggang. Dia tidak

tahu apakah saat itu dia bergerak ke arah kepala atau ke bagian ekor ular. Sementara dari

bagian-bagian tubuh dalam ular naga yang hancur masih terus mengucur cairan darah yang

makin lama membuat sekujur tubuh putih nyi pandanajeng  basah kuyup. Sementara itu genangan

darah di bagian bawah perut semakin tinggi. Di satu sudut Puti nyi pandanajeng  tersandar benar-

benar kehabisan tenaga.

“Tamat riwayatku sekarang...” pikir si gadislesbian . Mulutnya terbuka megap-megap.

Dadanya tambah sesak. Dia mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tapi yang 

masuk ke rongga pernapasannya hanya bau busuk sedang dari lobang hidungnya tak terasa

lagi ada hembusan napas. Mulutnya terbuka megap-megap. Lututnya lung la i goyah. Sesaat

tubuhnya akan terperosok jatuh ke dalam genangan darah ular tiba-tiba jauh di sebelah

kirinya dari balik tubuh ular yang melingkar tampak seberkas cahaya terang.

25



“Mulut ular.... Pasti itu mulut ular....” Didorong oleh harapan untuk menyelamatkan 

diri dan keluar hidup-hidup dari dalam perut ular itu Puti nyi pandanajeng  . mengumpulkan sisa-sisa

tenaga yang masih ada. Perlahan-lahan dia bergerak menyusuri dinding perut ular ke arah

berkas cahaya yang muncul di sebelah sana.

Hanya satu tombak lagi dia akan mencapai tikungan perut ular dari arah mana

membersitnya cahaya terang tiba-tiba ular naga betina itu kembali memutar tubuh sambil

meringkik keras. Untuk kesekian kalinya keadaan di dalam perut ular itu seperti kiamat bagi

Puti nyi pandanajeng . Tubuhnya terpental kian kemari. Menghantam dinding perut dan terhempas ke

dalam genangan darah. Untung baginya ketika dia mencoba merangkak, genangan darah di

lekukan tubuh ular di mana dia berada hanya setinggi mata kaki. Dengan mata perih

setengah terpejam gadislesbian  ini berpaling ke kanan; Dia hanya melihat kegelapan.

Dia alihkan pandangan ke kiri. Harapan nya kembali muncul ketika dari arah sebelah 

sana kelihatan lagi berkas cahaya terang tadi.

sebab  hanya mampu merangkak, itulah yang dilakukan Puti nyi pandanajeng . Dalam

keadaan susah payah dan nyawa seolah sudah di depan mata akhirnya anak Andam Suri ini

berhasil mencapai bagian perut ular yang terang. Terduduk di atas perut ular yang

tergenang darah matanya terpacak ke depan. Dalam rongga besar perut ular itu dia melihat

sebuah benda putih melayang-layang seolah tanpa bobot. Benda inilah yang mengeluarkan

cahaya menerangi sebagian perut ular.

“Astaga, benda putih yang melayang itu.... Bukankah itu batu putih aneh yang aku 

temui di dasar telaga. Diperebutkan oleh dua ekor naga lalu akhirnya ditelan oleh naga 

betina?”

Puti nyi pandanajeng  merangkak maju. mendekati batu putih yang melayang-layang. Ketika

dirasakannya cukup dekat dengan sisa tenaga yang ada dia membuat lompatan. Coba

menangkap batu itu. Tapi luput. Puti nyi pandanajeng  tersungkur. Saat itu terdengar suara

menggemuruh. Perut ular bergoncang keras. Puti nyi pandanajeng  terbanting ke kiri, terhempas

menghantam dinding perut ular. Megap-megap dia terkapar di atas genangan darah. Tapi 

sepasang matanya berusaha memperhatikan dan mengikuti gerakan batu putih yang 

melayang-layang. Dia beringsut berusaha mendekat kembali. Ternyata batu putih itu 

melayang ke jurusannya. Si gadislesbian  tak menyia-nyiakan kesempatan. Untuk kedua kalinya dia

melompat. Luput lagi! Padahal telapak tangan kirinya sempat bergeseran dengan batu itu. 

Namun saat itu tiba-tiba si gadislesbian  merasakan satu keanehan terjadi dengan dirinya.

Waktu tangan kirinya bergeseran dengan batu putih dia merasa ada satu hawa aneh

yang membuat kekuatannya pulih sedikit. Walau dadanya masih terasa sesak dan darah

masih meleleh dari telinga serta hidungnya namun jalan napasnya terasa lebih longgar.

Dengan kekuatan yang ada kini gadislesbian  itu mampu berdiri. Pandangannya tak lepas dari batu

putih yang masih melayang-layang dalam perut ular. Tiba-tiba dia melihat dua buah benda

menempel di perut ular di hadapannya, di belakang batu putih. Pikiran si gadislesbian  jadi terbagi

dua. Satu pada batu putih yang ingin ditangkapnya, kedua pada dua benda yang menempel

di perut ular naga.

Benda pertama sebuah kitab dalam keadaan terkembang dan koyak.

“Aneh, perut ular ini dingin dan lembab. Semua tempat basah oleh darah. Tapi

mengapa kitab itu tetap kering. Kitab apa gerangan adanya...?”

Puti nyi pandanajeng  alihkan pandangannya pada benda kedua. Benda ini yaitu  sebuah batu

empat persegi panjang seukuran genggaman manusia. Salah satu ujungnya berbentuk bulat

26



dengan dua tonjolan di kiri kanan menyerupai kepala manusia lengkap dengan telinga tapi 

tanpa wajah.

Batu ini memiliki tujuh warna seperti tujuh warna pelangi yang mengingatkan Puti

nyi pandanajeng  pada payung tujuh warna nya serta gelar yang disandangnya yaitu Dewi Payung

Tujuh. “Batu warna pelangi...” kata si gadislesbian  dalam hati. Seperti kitab di sebelahnya batu ini

kelihatan kering, tidak basah atau pun terkena noda darah. “Dua benda aneh, bagaimana

bisa berada dalam perut ular...? Jangan-jangan dalam perut binatang ini pula tersimpan

Pedang Naga Suci 10000an ....”

Walau besar keinginan si gadislesbian  hendak menyelidik kitab serta batu aneh itu namun

dia memutuskan untuk mendapatkan batu putih lebih dulu. Maka kembali Puti nyi pandanajeng 

memusatkan perhatiannya pada batu putih yang melayang-layang dalam perut ular.

“Kalau binatang ini tidak bergerak dan aku tidak sampai terjungkir balik batu aneh 

itu pasti aku dapatkan!” Puti nyi pandanajeng  maju selangkah demi selangkah. Batu putih melayang

di atas kepalanya berputar-putar. Lalu perlahan-lahan turun ke bawah melewati pundak

kirinya. Si gadislesbian  cepat bersurut sambil memutar diri lalu menyergap. Dua tangannya

melesat ke atas.

“Dapat!” seru Puti nyi pandanajeng . “Plaaak!' Tangan kiri dari tangan kanannya saling beradu.

Dia hanya menangkap angin!

“Aneh.... Batu itu melayang perlahan. Dekat sekali di depan hidungku. Tapi mengapa

aku tak mampu menangkapnya?” Puti nyi pandanajeng  seka darah yang membasahi bagian atas

bibirnya. Sementara itu hawa dingin terasa semakin mencucuk dan bau tidak enak semakin

menusuk hidung.

Si gadislesbian  pandangi batu putih. “Aku harus dapatkan batu itu. Bagaimana caranya?”

Puti nyi pandanajeng  memutar otak. Sesaat dia pandangi dirinya sendiri yang basah kuyup oleh 

darah serta cairan busuk dalam perut ikan. Selintas pikiran menyeruak di kepala si gadislesbian .

Dengan cepat dibukanya baju merahnya. “Tak ada siapa-siapa di dalam perut ikan ini. Tak

ada yang akan melihat diriku setengah telanjang seperti ini!”

Puti nyi pandanajeng  peras baju merahnya sekering yang bisa dilakukan. Lalu baju itu

dikembangkan, dipegang dengan kedua tangan. Apa yang dilakukan Puti nyi pandanajeng  memang

masuk akal. Walau ruangan dalam perut naga itu cukup besar namun dengan mem-

pergunakan bajunya sebagai jaring, peluangnya untuk dapat menangkap batu putih itu akan 

lebih besar. Maka dalam keadaan tanpa pakaian di sebelah atas dia melangkah mendekati

batu putih. Ha nya dua langkah lagi dari hadapan batu putih, begitu Puti nyi pandanajeng  siap untuk 

menangkap benda itu dengan baju merahnya tiba-tiba batu putih melesat ke atas. Gerakan

yang hanya menangkap angin di atas pijakan yang licin membuat sang dara jatuh terbanting

dalam keadaan tertelentang. Selagi dia mencoba berdiri tiba-tiba batu putih melesat ke 

bawah. Menyambar ke arah dadanya yang polos sebelah kiri. In! yaitu  satu serangan yang

tidak terduga.

Puti nyi pandanajeng  cepat gulingkan diri untuk mengelak. Namun batu datang lebih cepat.

“Mati aku!” keluh Puti nyi pandanajeng . Dia lalu menjerit keras.

Batu putih menghantam permukaan dada kirinya dengan telak. Hantaman batu putih

yang hanya sebesar dua kepalan tangan itu membuat tubuhnya terhenyak laksana ditindih

dua gunung puluhan kati. Matanya mendelik besar. Di balik cairan darah yang mengotori

mukanya gadislesbian  itu sepucat kain kafan!


Sudah matikah aku....” Puti nyi pandanajeng  bertanya pada diri sendiri. “Duk... duk... duk.”

“Aku mendengar suara duk-duk-duk itu. Berarti aku belum mati. Tapi dadaku berat

sekali. Seolah ditindih batu sebesar kerbau....” Dia mencoba bangkit tapi tak mampu.

Memandang ke bawah gadislesbian  ini terkejut. Batu putih yang tadi menghantam tubuhnya 

ternyata menempel di dadanya yang putih, tepat di atas jantung. Dia kembali coba berdiri, 

berguling ke kiri lalu ke kanan. Tetap tak bisa. Tiba-tiba ada hawa aneh mengalir ke dalam 

tubuhnya. Hawa ini berasal dari batu putih yang menempel di dadanya yang telanjang.

Dadanya yang sesak perlahan-lahan menjadi lega. Rongga pernapasannya yang

sebelumnya seperti tersekat kini menjadi lancar, Darah yang tadi masih mengucur dari

telinga dan lobang hidungnya serta merta berhenti. Tubuhnya terasa seringan kapas. Ketika

dicobanya bangkit sekali lagi, ternyata dia bukan saja mampu berdiri tapi juga melesat ke

atas hampir menyundul tubuh atas ular naga. Waktu jatuh ke bawah dia merasa tubuhnya

seperti melayang dan kakinya sama sekali tidak tergelincir menginjak perut licin ular naga

yang digenangi darah! 

“Ada keanehan terjadi dengan diriku!” ujar Puti nyi pandanajeng  dalam hati.

Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba muncul suara menggemuruh. Ular naga betina

keluarkan ringkikan dahsyat lalu membanting-banting diri di dalam telaga. Kalau tadi

gerakan sedikit saja dari binatang itu membuat Puti nyi pandanajeng  seolah merasa kiamat dalam

perut ular, kini dengan tubuhnya yang begitu ringan dia sanggup bergerak cepat mengim-

bangi diri hingga tidak jungkir balik atau terhempas dan terbanting-banting.

Ketika dia tegak kembali Puti nyi pandanajeng  terkejut. Batu putih itu ternyata masih

menempel di atas dadanya yang kencang dan bergoyang-goyang mengikuti detak

jantungnya yang keras. Dengan gemetar Puti nyi pandanajeng  gerakkan tangan kanannya untuk

memegang batu itu. Hanya seujung rambut saja jari-jari tangannya akan menyentuh batu

putih, tibatiba satu tangan berkelebat seperti mengusap dadanya. Tahu-tahu batu putih itu 

tak ada lagi di atas dadanya. Disaat bersamaan muncul suara menggemuruh disertai suara

ringkik panjang. Namun tidak terjadi apa-apa. Perut ular di mana Puti nyi pandanajeng  berada tidak

bergerak sedikit pun. Bahkan suara duk-duk-duk bunyi jantungnya tidak terdengar seolah 

ular raksasa ini telah berhenti bernapas. Ketika dia memandang ke depan tersurutlah gadislesbian 

ini sampai punggungnya menyentuh perut naga.

Lima langkah di hadapannya tegak sosok tubuh seorang sangat tua berpakaian

berupa selempang kain putih. Rambutnya yang panjang putih menjulai ke bawah. Walau

hanya sebagian saja wajah orang ini yang kelihatan namun Puti nyi pandanajeng  segera mengenali.

Cepat Puti nyi pandanajeng  tutupkan kedua tangannya di dadanya yang terbuka polos.

“Kiai Gede Tapa Pamungkas. Orang tua yang aku lihat di ruang batu pualam. Yang

keluar dari makam putih...” desis Puti nyi pandanajeng  dalam hati.

Si orang tua gerakkan kepalanya sendiri. Rambutnya yang menjulai menutupi

wajahnya tersibak ke belakang. Kini kelihatan keseluruhan wajah orang tua ini, berkumis

dan berjanggut putih panjang. Sepasang matanya memandang tajam ke arah Puti nyi pandanajeng ,

membuat si gadislesbian  merasa tidak enak.

“Apa lagi yang ada di benak orang tua ini. Sebelumnya dia menyuruh anak-kecil

bernama Naga Kilning itu menjebloskan diriku ke dalam Liang Lahat. Kini tahu-tahu dia 

Wasia

t Malaikat

29



ada dalam perut ular naga. Apa memang dia tinggal di sini? Yang jelas dia mampu 

menerobos ruang dan waktu dan muncul secara tak terduga....”

“Suci kembali kepada suci. Hanya kesucian bisa menerima kesucian....” Tiba-tiba Kiai

Gede Tapa Pamungkas berkata.

“Apa maksud ucapan orang tua ini....” kata Puti nyi pandanajeng  dalam hati tak mengerti.

Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas ulurkan tangan kanannya yang memegang batu

putih. Walau jarak mereka terpisah lima langkah namun luar biasanya seolah bisa

memanjang tangan sang Kiai tahu-tahu sudah berada sejengkal di bawah dagu si gadislesbian .

Hawa dingin yang keluar dari batu putih menyambar menyapu wajah Puti nyi pandanajeng .

“Sesuatu yang suci yang bisa berada di tangan yang suci....” Kembali si orang tua

berkata.

“Orang tua.... Apa maksudmu. Aku tidak mengerti,” ujar Puti nyi pandanajeng .

“Bukankah kau masuk ke dalam Telaga neraka penulis epilepsi  untuk mencari benda ini? 

Ambillah!” Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan tangan kanannya yang memegang batu

putih. Kembali ada hawa dingin menyapu wajah sang dara.

Puti nyi pandanajeng  pandangi batu putih dalam genggaman si orang tua. Dalam hati dia 

berkata. “Yang kucari sebenarnya bukan batu putih itu....”

“Anak gadislesbian  mengapa kau mendadak menjadi ragu. Ambillah. Benda ini memang 

berjodoh denganmu. Tak ada satu kekuatan pun bisa menghalangi pemilikanmu atas benda 

ini.”

“Batu putih ini....”

“Dengar, aku tak mungkin berada lebih lama di tempat ini. Lekas ambil batu ini dan

tinggalkan Telaga neraka penulis epilepsi ....”

“Tapi aku terperangkap dalam perut ular besar ini. Bagaimana mungkin....”

“Kau akan menyesal seumur hidup jika tidak segera mengambil batu putih ini!”

memotong Kiai Gede Tapa Pamungkas.

Puti nyi pandanajeng  ulurkan tangan kanannya. Pada waktu itulah tiba-tiba keadaan dalam

perut ular menjadi sangat redup. Yang kelihatan hanya batu putih itu. Di kejauhan, entah

darimana arahnya menggema suara suitan aneh disusul suara ringkikan panjang. Lalu ada

suara menggelegar beberapa kali berturut-turut. Namun dalam perut ular tidak terjadi apa-

apa, tak ada goyangan bahkan getaran pun tidak terasa.

Kiai Gede Tapa Pamungkas lepaskan batu putih yang dipegangnya. Dalam gelap

benda ini berkilauan jatuh ke bawah, cepat disambut oleh Puti nyi pandanajeng . Hawa dingin

langsung menjalari tubuhnya.

“Anak gadislesbian  yang berjodoh, aku pergi sekarang. Selamat tinggal.... Kita tak akan

bertemu lagi. Anggap juga kita tak pernah bertemu!”

Memandang ke depan Puti nyi pandanajeng  hanya melihat sekilas bayangan putih berkelebat.

Lalu dia tak melihat apa-apa lagi. Orang tua itu lenyap dari hadapannya. Bersamaan dengan

itu perlahan-lahan keredupan di tempat itu berkurang.

“Dia muncul dan lenyap secara aneh. Kalau dia memang berniat baik mengapa dia

tidak menyelamatkan diriku keluar dari perut naga ini? Lalu segala ucapannya tadi? Sesuatu

yang suci hanya bisa berada di tangan yang suci. Apa maksudnya...?”

Selagi berpikir begitu tiba-tiba Puti nyi pandanajeng  merasakan seperti ada cairan sangat

dingin mengucuri tangan kanannya yang memegang batu putih. Ketika diperhatikan

terkejutlah gadislesbian  ini. Batu putih yang ada di atas telapak tangannya dilihatnya meleleh cair

30



seperti lapisan salju tersentuh hawa panas. Begitu batu putih berhenti meleleh kini di 

telapak tangannya si gadislesbian  melihat sebuah benda aneh, bergulung seperti sebuah ikat

pinggang. Ujung benda ini berbentuk kepala seekor naga, terbuat dari bahan keras putih

yang menurut dugaannya yaitu  sejenis tulang atau mungkin sekali gading. Bagian benda

yang bergulung memancarkan cahaya putih menyilaukan serta menebar hanya sangat

dingin.

Puti nyi pandanajeng  mendadak merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Dadanya berdebar

keras. Seumur hidup dia belum pernah melihat Pedang Naga Sues 10000an . Tua Gila walau

menyuruh dia mencari senjata mustika itu namun tidak pernah mengatakan bagaimana

bentuk atau warnanya.

“Jangan-jangan....” Puti nyi pandanajeng  gerakkan tangan kanannya memegang bagian benda

yang berbentuk kepala ular naga. Tiba-tiba!

“Sreeetttt!”

Laksana kilat benda yang bergulung bergerak membuka.

Cahaya putih berkiblat.

Puti nyi pandanajeng  terpekik. Benda yang dipegangnya terlepas.

Sesuatu yang tajam menggurat bahu di atas dada kirinya. Bersamaan dengan itu 

gadislesbian  ini terjajar dua langkah ke belakang. Lalu terdengar suara sesuatu robek besar.

“Craaaasss!”

Puti nyi pandanajeng  kembali menjerit.

Perut naga di sebelah depannya robek besar dan panjang laksana ditoreh oleh sebuah

benda yang sangat tajam. Bersamaan dengan itu ular naga meringkik keras dan

membalikkan tubuhnya, menggelepar kian kemari. Puti nyi pandanajeng  melihat air telaga masuk ke

dalam perut ular. Namun dari dalam perut ular menghantam tekanan yang sangat dahsyat 

disertai semburan darah, mendorong ke luar.

Benda putih yang tadi melukai dada kiri Puti nyi pandanajeng  melesat ke luar dari perut ular.

Samar-samar si gadislesbian  masih sempat melihat bentuk benda itu. Ternyata sebuah pedang

sangat tipis, memancarkan cahaya putih dengan hulu berbentuk kepala naga. 

“Pedang Naga Suci 10000an !” seru Puti nyi pandanajeng  dalam, hati dengan mata terbelalak. Dia

berusaha menyambar pedang itu dengan tangan kanan. Namun disaat yang sama tubuhnya 

terpental keluar perut ular yang robek besar. Tekanan yang dahsyat membuat pedang yang 

berusaha digapainya terdorong jauh hingga dia hanya menangkap air sedang dirinya-

sendiri terlempar jauh.

Bersamaan dengan itu dari dalam perut naga betina terlempar pula dua buah benda

yaitu kitab putih yang koyak dan batu persegi panjang yang dibalut tujuh warna.

Naga betina yang perutnya jebol sepanjang dua tombak dan mengeluarkan asap aneh 

membanting-banting diri kian kemari hingga air telaga laksana dibuncah gelombang. Tanah,

pasir serta bebatuan dan semua benda yang ada di tempat itu termasuk sosok Puti nyi pandanajeng  

terpental-pental kian kemari. Keadaan gelap mengelam. Di kejauhan terdengar suara

menggemuruh laksana gunung runtuh.

“Celaka! Kemana lenyapnya pedang tadi...” ujar Puti nyi pandanajeng . Dia menggapai-gapai

kian kemari. Kaki dan tangannya digerak-gerakkan. Tiba-tiba dia merasa satu keanehan.

Gerakan nya tadi membuat tubuhnya mampu bertahan dan tidak terpental lagi. Padahal air 

telaga masih terus membuncah.

31



“Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini!” pikir Puti nyi pandanajeng . Dia memandang

berkeliling berusaha mencari dimana adanya pedang putih yang tadi terlepas dari

tangannya. Sesaat ketika .keadaan mulai tenang dan terang kembali yang dilihatnya bukan 

pedang itu melainkan sosok-sosok jerangkong dan tulang belulang manusia serta beberapa

mayat mengapung di sekitarnya. 

Lalu telinganya menangkap riakan-riakan halus di sebelah atas. Ketika dia 

mendongak memperhatikan terkejutlah gadislesbian  ini. Di atas sana di antara mereka memegang

sebuah benda panjang yang memancarkan cahaya putih.

“Pedang itu!” seru Puti nyi pandanajeng  dalam hati. Segera saja gadislesbian  ini berenang ke atas.

Lagi-lagi dia merasa aneh. Dia hanya menggerakkan tangan serta kaki biasa-biasa saja. Tapi

tubuhnya melesat ke atas cepat sekali. Hingga dalam waktu singkat dia sudah berada di 

dekat kelompok orang-orang itu.

i dalam telaga, beberapa saat sebelum perut ular naga dibusai robek oleh pedang pu-

tih. Dua orang yang barusan dilihat arwah penulis di dalam Telaga neraka penulis epilepsi 

itu bukan lain yaitu  Pendekar10000an dan Ratu pembunuh penulis kusta . “Ratu keparat bermata biru

itu! Pasti-dia yang punya gara-gara sampai si anak penulis kesetanan  ikut masuk ke dalam telaga ini! 

Berani- beraninya gadislesbian  itu mencampuri urusanku!” 

Untuk sesaat nenek sakti dari Gunung Gede ini lupakan kemarahannya terhadap

Naga Kuning. Kini kejengkelannya ditumpahkan pada Ratu pembunuh penulis kusta  dan muridnya.

arwah penulis cepat berenang menyongsong Bobo  dan Ratu pembunuh penulis kusta . Panji serta

penulis kesetanan  Ngompol berenang mengikuti di sebelah belakang. Begitu sampai di hadapan Ratu

pembunuh penulis kusta  si nenek langsung mendamprat.

“Ratu pembunuh penulis kusta ! Gara-garamu muridku jadi celaka sengsara! Sekarang beraninya kau 

mencampuri urusanku! Bertindak menjadi penghalang! Menolong bocah kurang ajar itu! 

Apa maumu! Berada di pihak mana kau sebenarnya?!”

Dibentak oleh guru penulis  yang dicintainya seperti itu Ratu pembunuh penulis kusta  hanya bisa 

tundukkan kepala sambil pegang cermin bulat sakti yang tadi dipergunakannya menangkis 

serangan tusuk konde yang hendak menusuk mata kiri Naga Kuning. Di atas kaca itu kini

tampak menempel dua buah tusuk konde yang tadi dipakai arwah penulis untuk

menyerang si bocah. Walau dia maklum mengapa si nenek sampai marah besar namun Ratu 

pembunuh penulis kusta  merasa sedih. Baginya apa perlunya si nenek mengungkit persoalan lama yang 

dianggapnya sudah selesai.

Melihat Ratu pembunuh penulis kusta  hanya diam sambil tundukkan kepala arwah penulis berpaling 

pada muridnya.

“Anak penulis kesetanan ! Bukankah kau aku perintahkan tetap di tepi telaga untuk berjaga-jaga?!

Mengapa masuk ke sini bersama gadislesbian  bermata biru ini?! Kalian berdua dasar manusia-

manusia gatal!”

“Eyang, kami datang ke sini bukan untuk mengacau. Ratu pembunuh penulis kusta  melihat sesuatu

yang mungkin...”

“Bukan untuk mengacau katamu! Dia mencampuri urusanku! Dia menghalangiku 

membunuh anak itu!” bentak arwah penulis hingga penulis kesetanan  Ngompol yang ada di sebelahnya

tersentak kaget dan terkencing.

Bobo  garuk-garuk kepala. “Eyang, apa perlunya membunuh Naga Kuning. Dia anak

baik.... Dia pernah menolongku. Dia....”

“Kalau bicara soal tolong-menolong aku dua kali menyelamatkan dirinya! Berarti dua

kali pula aku boleh membunuhnya!” jawab arwah penulis hampir berteriak hingga

gelembung-gelembung air melayang-layang di sekitar mulutnya.

Naga Kuning yang sejak tadi berdiam diri tibatiba berenang ke hadapan Sinto 

Gendeng lalu berkata. “Nek, betul sekali ucapanmu. Kau telah menyelamatkan diriku

sampai dua kali! Jika kau memang merasa sebagai wakil Tuhan untuk mencabut nyawaku 

silahkan kau bunuh aku saat ini juga!”

Lalu, “Brettt!”

Naga Kuning robek baju hitamnya hingga dadanya terpentang telanjang. Di atas dada

itu terpampang gambar ular naga berwarna kuning. Sepasang matanya berwarna merah. Di

33



mata arwah penulis gambar ini seolah hidup dan bergerak ke arahnya dengan kepala

terpentang. Si nenek cepat berenang mundur dengan wajah berubah. Ketika dia mem-

perhatikan wajah Naga Kuning, wajah itu dilihatnya bukan lagi wajah seorang bocah

melainkan wajah seorang kakek-kakek.

Melihat gurunya terpojok, Bobo  cepat ambil dua buah tusuk konde perak yang 

menempel di cermin bulat yang dipegang Ratu pembunuh penulis kusta  lalu diserahkannya pada Sinto 

Gendeng.

“Anak penulis kesetanan ! Kau hanya bisa membuat aku malu setengah mati! Kapan kau bisa

menyenangkan diriku si tua bangka ini! Jauh-jauh aku ke sini sebab  hendak menolongmu!

Mencari Pedang Naga Suci 10000an  untuk mengobati dirimu! Malah kau berbuat kurang ajar

terhadapku!” Dengan wajah cemberut arwah penulis sambar dua buah tusuk konde perak

yang diserahkan muridnya.

“Maafkan saya Nek,” kata Bobo . “Jika kau tidak suka melihat kami berada di sini,

kami akan naik ke atas kembali....” Lalu Bobo  memberi isyarat pada Ratu pembunuh penulis kusta .

“Aku juga merasa tidak perlu berada lebih lama di tempat ini!” ucap Naga Kuning.

Lalu dia berenang pula menuju permukaan telaga.

Pada waktu itulah tiba-tiba ada suara ringkikan keras disusul oleh menebarnya

sesuatu seperti kabut di sebelah atas telaga. Lalu menyusul suara menggemuruh dan

bersamaan dengan itu air telaga tampak berubah merah oleh darah lalu bergulung-gulung

hingga semua orang yang ada di tempat itu berpelantingan kian kemari!

Dalam keadaan yang tiba-tiba menjadi kelam di atas sana ada seberkas cahaya putih

berkiblat. penulis kesetanan  Ngompol pegangi perutnya yang bocor berat terkencing-kencing. Sinto

Gendeng letakkan dua. tangan di atas mata. Hatinya berdebar melihat kilauan cahaya putih

itu. Dia berteriak pada penulis kesetanan  Ngompol. “Ikuti aku cepat!”

Sepasang kakek nenek itu segera berenang ke arah kilatan cahaya putih. Panji 

mengikuti. Bobo  dan Ratu pembunuh penulis kusta  sesaat saling-pandang dalam kebimbangan. Akhirnya 

keduanya berenang menyusul orang-orang tadi.

Di sebelah depan arwah penulis dan penulis kesetanan  Ngompol berhenti berenang ketika 

mereka menyadari bahwa sebenarnya mereka bergerak mendekati sosok besar ular naga

betina yang perutnya kelihatan robek besar. Lalu dari perut itu melesat keluar sebuah benda

yang memancarkan cahaya putih berkilauan. Disusul oleh sosok seorang gadislesbian  tanpa baju.

Lalu menyusul pula dua buah benda berupa kitab dan sebuah batu berwarna.

Si nenek tidak perdulikan gadislesbian  setengah telanjang atau pun kitab dan batu berwarna.

Yang diperhatikannya yaitu  benda panjang yang memancarkan cahaya putih dan melesat 

paling depan.

“Pedang Naga Suci 10000an !” seru si nenek. Dia segera melesat ke atas untuk menyambar

senjata sakti mandraguna itu. Hanya sedikit lagi jari-jari tangannya akan menyentuh gagang

pedang berbentuk kepala naga putih itu, tiba-tiba dari samping melesat sesosok tubuh dan

tahu-tahu pedang yang hendak diambil arwah penulis telah berada dalam genggaman

orang lain.

“Jahanam!” maki arwah penulis  “Siapa kau! Serahkan pedang itu padaku!” Di

hadapannya, di dalam air, arwah penulis melihat seorang nenek berjubah hitam berambut 

putih mengambang-ngambang kian kemari. Jari-jari tangannya yang memegang pedang 

selain sangat panjang juga berwarna merah.

34



Bobo  dan Ratu pembunuh penulis kusta , Naga Kuning serta Panji segera mengenali nenek berjubah

hitam yang memegang pedang putih itu yaitu  Sika Sure Jelantik.

Seperti diketahui Sika Sure Jelantik memang memiliki ilmu kepandaian berada lama 

di dalam air. Namun tidak seperti ilmu yang dimiliki Ratu pembunuh penulis kusta  (yang oleh Ratu pembunuh penulis kusta 

seperti diceritakan sebelumnya diberikan pada Sinto Gendeng, penulis kesetanan  Ngompol, Panji dan

Bobo ) atau Naga Kuning. Dia tidak mampu bicara dalam air. Sewaktu dimaki oleh Sinto

Gendeng dia hanya menggoyang-goyangkan tangan lalu melesat ke permukaan telaga.

Melihat orang hendak melarikan diri arwah penulis segera mengejar.

Sementara itu penulis kesetanan  Ngompol dan Ratu pembunuh penulis kusta  terbagi perhatiannya pada dua

benda lain yang terlempar keluar dari perut robek ular naga betina. sebab  batu berwarna

kebetulan melesat tak jauh dari tempatnya berada maka penulis kesetanan  Ngompol segera \ berenang

mengejar dan berhasil menangkap benda itu. Untuk sesaat dia memperhatikan terheran-

heran.  

“Sialan! Cuma sebuah batu! Kukira apa! Tapi bentuknya mengapa aneh begini. Ujung 

satunya seperti muka manusia tanpa wajah. Ada kuping. Lalu warnanya tujuh macam. Lalu

eh.... Batu ini dingin sekali! Ah....” Si kakek kembali terkencing. Semula batu itu hendak

dibuangnya begitu saja. “Kalau batu ini keluar dari perut naga berarti batu ini bukan benda

sembarangan. Buktinya begitu kupegang aku terus-terusan kencing!” Akhirnya penulis kesetanan 

Ngompol sembunyikan batu itu di kantong celananya yang gombrong.

Di bagian lain telaga, Ratu pembunuh penulis kusta  telah berhasil pula menangkap benda yang 

melayang di air. Ketika diperhatikannya ternyata benda itu yaitu  sebuah kitab yang telah

koyak.

“Aneh, ada kitab keluar dari perut naga besar, terbuat dari daun lontar putih yang 

langka. Agaknya sudah puluhan tahun mendekam dalam perut naga itu. Tapi tidak berubah

warna, dan tidak basah,... Hanya ada bagian kitab yang koyak. Kitab apa ini adanya?”

Sang Ratu tutupkan kitab yang terkembang itu. Pada saat itulah dia membaca tulisan

besar yang berada di sampul kitab. Bibirnya bergetar ketika melafalkan apa yang tertulis di

situ. “Wasiat Malaikat”.

Entah mengapa Ratu pembunuh penulis kusta  mendadak merasakan tengkuknya menjadi dingin dan

sekujur tubuhnya seperti digeletari satu kekuatan aneh.

“Kitab Wasiat Malaikat. Aku memang pernah mendengar. Rimba persilatan memang 

mempergunjingkannya sejak puluhan tahun lalu. Para tokoh berusaha menyirap kabar,

mencarinya sampai kemana-mana. Datuk Lembah Akhirat mengaku memiliki dan

menyimpan kitab ini. Ternyata.... Mungkin kitab ini bukan kitab yang asli. Atau mungkin

Datuk Lembah Akhirat menebar cerita bohong untuk maksud tertentu....” Sebelum ada

orang yang tahu Ratu pembunuh penulis kusta  segera sembunyikan kitab daun lontar itu di balik baju

hitamnya.

Kembali kepada Sika Sure jelantik.

Beg itu gagang Pedang Naga Suci 10000an  tergenggam di tangannya, Sika Sure Jelantik

merasa ada hawa panas menyengat telapak dan jari-jari tangannya. Hawa panas ini terus

menjalar sepanjang lengan dan masuk ke tubuhnya. Walau dia berada dalam air namun 

sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat. Si nenek segera kerahkan tenaga dalam hingga 

hawa hangat itu berkurang sedikit, ini memang satu keanehan yang tidak diketahui oleh 

Sika Sure Jelantik. Sesuai dengan keterangan yang pernah diberikan oleh Kiai Gede Tapa

Pamungkas dan hanya diketahui oleh arwah penulis serta Tua Gila maka pedang mustika

35



sakti itu hanya berjodoh dan hanya bisa disentuh serta dimiliki oleh seorang wanita lesbi 

suci. Jika pedang dipegang oleh wanita lesbi  suci maka senjata ini akan mengeluarkan hawa

sejuk dingin. Sebaliknya jika disentuh oleh wanita lesbi  yang dalam hidupnya tidak lagi

memiliki kesucian maka senjata itu akan mengeluarkan hawa panas yang kalau tidak

dilepaskan lama-kelamaan akan membuat tangannya melepuh bahkan keracunan sekujur

tubuhnya. Seperti diketahui Sika Sure Jelantik pernah menjalani hidup yang tidak suci 

selama berhubungan dengan Tua Gila di masa mudanya. Demikian pula dengan Sinto

Gendeng. Hingga Pedang Naga Suci tak akan mungkin dapat mereka kuasai. Kalau

dipaksakan malah bisa membahayakan diri mereka sendiri.

Melihat Sika Sure Jelantik tidak perdulikan bentakannya malah seperti berusaha

hendak berenang menuju permukaan telaga, arwah penulis menjadi tambah marah.

“Tua bangka itu kelihatannya memang bukan wanita lesbi  baik-baik! Biar aku beri 

hadiah untuk ketololannya!” Habis berkata begitu arwah penulis melesat mengejar sambil

lepaskan satu pukulan sakti. Melihat gerak tangan si nenek Bobo  tahu pukulan apa yang

dilepaskan sang guru. Yakni pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.

Di atas sana Sika Sure Jelantik tersentak kaget ketika satu gelombang angin yang 

dahsyat membuat air telaga bersibak membentuk jalur ganas seperti terowongan besar. Ada

suara menggemuruh di bawah kakinya. Sadar kalau dirinya diserang Sika Sure Jelantik

cepat menyingkir sambil gerakkan tangan kirinya untuk menangkis dengan pukulan sakti.

Namun sadar kalau saat itu dia tengah memegang sebuah senjata sakti maka tidak

menunggu lebih lama serta merta si nenek babatkan Pedang Naga Suci 10000an  ke bawah.

ahaya putih menyilaukan mata bertebar dalam air. Telaga neraka penulis epilepsi  laksana

disergap puluhan kilat. Hawa aneh dingin menebar seolah air telaga berubah

menjadi es. Semua orang yang ada di dalam telaga menggeletar kedinginan. penulis kesetanan 

Ngompol rapatkan dua kakinya lalu melipat lutut sampai ke dada. Seperti biasa dia tak

dapat menahan kencing. 

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dari sebelah atas menggemuruh gelombang air.

sebab  paling dekat dengan sumber cahaya dan hantaman gelombang arwah penulis yang 

pertama sekali terpental. Nenek sakti ini memaki panjang pendek sementara tubuhnya

terpental jungkir balik. Menyusul penulis kesetanan  Ngompol dan Panji. Bobo  dan Ratu pembunuh penulis kusta  yang

berada di sebelah belakang, walau jauh tetap saja ikut kena sambaran gelombang air dan

mencelat beberapa tombak.

Sementara itu Naga Kuning satu-satunya orang yang agaknya tahu apa yang bakal

terjadi. Begitu melihat kiblatan cahaya putih disusul oleh suara gemuruh air, cepat-cepat

anak ini berenang ke dasar telaga lalu berlindung di balik dinding tinggi Liang La hat. 

Namun tak urung Naga Kuning masih juga terpental dan dinding di balik mana dia 

bersembunyi mengeluarkan suara berderak. Lalu ujung dinding sebelah atas kelihatan 

patah, melayang jatuh dengan dahsyat, menambah hebatnya gelombang air telaga. Naga

Kuning memandang ke atas. Penglihatannya tertutup oleh keruhnya air telaga. Apa lagi saat

itu air telaga telah bercampur baur pula dengan darah naga serta kencing penulis kesetanan  Ngompol 

dan arwah penulis 

“Aku tak dapat melihat jelas. Pandanganku tidak tembus. Tapi aku yakin seseorang

telah menemukan Pedang Naga Suci 10000an . Lalu mempergunakan senjata sakti itu untuk

menangkis serangan arwah penulis  Siapa yang kini menguasai pedang itu. Aku melihat

nenek berambut putih di atas sana. Tadi juga aku sempat melihat ada sosok tubuh setengah

telanjang. Jelas tubuh seorang gadislesbian  sebab  dadanya kulihat montok, kencang dan putih

bagus! Hik... hik..! Atau jangan-jangan....” Si bocah tertawa sendirian.

Saat itu Puti nyi pandanajeng  baru saja berhasil hentikan tubuhnya yang terlontar setelah

terjungkir balik dalam air beberapa kali. Dia mengingat-ingat apa yang barusan terjadi

sambil usap-usap bahu kirinya yang tergurat. “Aku melihat cahaya putih berkiblat. Lalu ada

rasa perih akibat goresan luka di bahuku. Tubuhku kemudian terlempar dari perut ular

yang jebol....” Di bawah sana si gadislesbian  tiba-tiba mendengar suara orang membentak. Berarti

dia tidak sendirian di dalam telaga itu.

“Jahanam! Apa yang terjadi!” Yang berteriak yaitu  arwah penulis  Dadanya

mendenyut sakit seolah ditindih oleh, batu besar sementara sekujur tubuhnya menggeletar

kedinginan. Cepat nenek ini dorongkan kedua tangannya ke atas. Melepas pukulan sakti 

Benteng Topan Melanda Samudera.

“Byuuuurrrr! Byuuuurrr!”

Air telaga laksana menggelegak lalu mendobrak ke atas di dua tempat. Telaga

neraka penulis epilepsi  kembali bergoncang keras. arwah penulis tertawa, mengikik lalu berteriak.

“Mampus kau!” Yang dimakinya yaitu  wanita lesbi  tua berjubah hitam di atas sana. Tapi

nenek sakti ini mendadak keluarkan seruan tegang ketika dari atas kembali menyambar

sinar putih. Kali ini sinar itu tidak menebar melainkan berbentuk panjang. Laksana tombak

37



raksasa melesat ke arahnya. Sekali lagi si nenek berteriak keras lalu menyingkir. Ujung sinar

putih menyambar lebih cepat. Agaknya kali ini arwah penulis tak mungkin selamatkan diri.

“Eyang!” seru Pendekar 10000an  Bobo  anak manusia . Di luar sadar tanpa-ingat keadaan dirinya

dia segera berenang untuk menolong gurunya.

“Pendekar 10000an ! Jangan mencari mati!” Naga Kuning yang menyaksikan kejadian itu 

berseru keras. “Celaka! Guru dan murid pasti akan menemui ajal! Apa yang harus aku

lakukan!” Bocah ini tekuk jari-jari tangannya dalam gerakan seperti hendak mencakar. Lalu

dua tangannya dihantamkan ke arah datangnya sinar putih. Dua larik cahaya biru pekat 

menerpa ke atas, membabat cahaya putih yang menghunjam ke arah sosok Sinto Gendeng,

Beg itu dua larik cahaya biru menyentuh sinar putih dua tangan Naga Kuning 

bergetar keras lalu tubuhnya terpental sampai dua tombak. Si bocah terperangah

menyaksikan bagaimana serangannya amblas sementara itu sinar putih terus menderu ke 

arah arwah penulis  ketika dia meraba mulutnya terasa ada cairan hangat. “Aku terluka.,..”

Membatin Naga Kuning. Air muka bocah ini tampak berubah.

Sesaat lagi sinar putih itu akan menghantam tubuh arwah penulis tiba-tiba dari 

samping kiri melesat satu cahaya putih yang tak kalah hebat kilauannya dari sinar putih 

yang menyerang si nenek.

Dua sinar saling beradu mengeluarkan letupan keras. Air telaga mencuat ke berbagai

penjuru. arwah penulis selamat walau tubuhnya terpental dan untuk sesaat lamanya 

melayang-layang dalam air yang keruh. Nenek ini bergidik ketika di dasar telaga samar-

samar dilihatnya satu lobang besar dan dalam akibat hantaman'-sinar putih tadi.

“Siapa yang barusan menolongku?!” ujar arwah penulis dalam hati. Dia memandang

berkeliling. Di sebelah sana dilihatnya penulis kesetanan  Ngompol mengambang dalam air. Cairan

kuning yang keluar dari bawah perutnya bersatu dengan air telaga yang berwarna merah

ternoda darah ular naga betina. Jauh di samping kiri arwah penulis melihat Naga Kuning 

bersandar di dinding Liang Lahat. Anak ini berdiri pejamkan mata sambil rangkapkan

sepasang tangan di depan dada. Dari sela bibirnya tampak keluar cairan merah. “Bocah itu 

tadi berusaha menolongku. Tapi aku tahu ada seorang iain yang barusan menyelamatkan

jiwaku!”

arwah penulis putar kepalanya ke jurusan lain. Pandangannya membentur sosok 

Ratu pembunuh penulis kusta  yang saat itu berada di dasar telaga, tegak sambil pegangi cermin bulatnya. 

Wajahnya pucat. Matanya yang biru membelalak sedang bibirnya bergetar. Tapi itu hanya

sebentar. Sesaat kemudian gadislesbian  ini kelihatan mampu menguasai dirinya kembali.

“gadislesbian  itu...” desis si nenek. “Dia yang menyelamatkan diriku. Tapi agaknya bukan

hanya dengan mengandalkan kesaktian cerminnya. Ada satu kekuatan lain menyertai

kilatan yang keluar dari cerminnya itu. Aku dapat merasakan.... aku melihat ada pancaran

cahaya putih aneh di sekitar tubuhnya! Mulai dari kepala sampai ke kaki. Astaga! Itu yaitu 

pancaran cahaya batin yang jarang dimiliki manusia! Dan tidak sembarang orang bisa

melihatnya seperti yang aku saksikan saat ini....” arwah penulis berenang mendekati penulis kesetanan 

Ngompol lalu berkata, “Coba kau perhatikan gadislesbian  berpakaian hitam yang memegang

cermin bulat itu....”

“Aku sudah melihatnya dari tadi. Wajahnya cantik. Sepasang matanya bagus sekali.

Tak pernah aku melihat mata luar biasa mempesona seperti itu. Apa maksudmu Sinto. Apa

kau hendak menjodohkan diriku dengan si jelita itu?”

“Tua bangka bangkotan tak tahu diri!” maki arwah penulis 



penulis kesetanan  Ngompol tertawa bergelak hingga air kencingnya kembali terpancar.

“Aku mau tanya! Apa kau melihat ada cahaya aneh seolah membungkus sekujur

tubuhnya?”

penulis kesetanan  Ngompol tekap mulutnya dengan tangan kiri sedang tangan kanan nenekap 

bagian bawah perutnya. Orang tua bermata jereng berkuping lebar ini goleng-golengkan 

kepala. “Aku tidak melihat segala macam cahaya aneh yang kau katakan itu Sinto.”

“Benar dugaanku,” kata si nenek sakti dalam hati. “Tidak semua orang bisa melihat

cahaya yang membungkus tubuh gadislesbian  itu.... Bagaimana dia tahu-tahu bisa berada dalam

keadaan seperti itu.... Coba aku tanyakan pada anak penulis kesetanan  itu.” arwah penulis hendak

berenang mendekati Pendekar 10000an . Namun di dasar telaga Bobo  telah lebih dulu bergerak

berenang mendekati Ratu pembunuh penulis kusta .

Sesaat setelah berada dekat sang Ratu, murid arwah penulis jadi tertegun. Dua

matanya memperhatikan gadislesbian  jelita itu lekat-lekat.

“Ada kelainan pada gadislesbian  ini. Wajahnya lebih berseri. Parasnya tambah cantik.

Tubuhnya seolah memancarkan daya pesona luar biasa. Sepasang matanya juga tampak

lebih biru, lebih bercahaya. Aku juga melihat satu keanehan. Ketika tadi dia melancarkan

serangan dengan cermin sakti, ada seberkas cahaya memancar di balik pakaian hitamnya....“

Merasa dirinya diperhatikan Ratu pembunuh penulis kusta  palingkan kepala pada Bobo  lalu bertanya. 

“Caramu memandangku aneh sekali Bobo . Ada apa? Apa yang ada dalam pikiranmu?”

“Kau telah menyelamatkan guruku. Aku sangat berterima kasih,” jawab Bobo .

Ratu pembunuh penulis kusta  pandangi cermin saktinya.

“Aku, melihat ada sinar aneh di balik pakaianmu ketika kau mengerahkan tenaga

dalam dan melancarkan serangan dengan cermin....”

“Sinar aneh apa...?”

“Aku tidak tahu. Kau sendiri apa tidak sadar...?”

Ratu pembunuh penulis kusta  terdiam sesaat baru menjawab. “Memang ada satu keanehan kurasakan 

dalam tubuhku. Aku mempergunakan cermin sakti untuk menangkis sinar putih yang

datang dari atas telaga. Gurumu memang selamat. Tapi aku merasa bahwa bukan cuma

kekuatan cermin sakti ini yang telah menolong nenek itu. Seolah ada satu kekuatan lain

dalam tubuhku. Kekuatan itu datangnya dari sini....” Ratu pembunuh penulis kusta  usapkan tangan kirinya

ke bagian perut di atas pusar di mana dia menyembunyikan kitab kuno terbuat dari daun

lontar yang telah koyak itu. “Kitab Wasiat Malaikat.... Kitab ini yang jadi sumber kekuatan

dahsyat dan aneh itu...” ujar Ratu pembunuh penulis kusta  dalam hati dengan dada berdebar.

“Ada apa Ratu...?” tanya Pendekar 10000an .

“Apakah akan kuceritakan saja padanya...?” pikir Ratu pembunuh penulis kusta . Hatinya bimbang.

Lalu didengarnya Bobo  berkata.

“Tadi aku memperhatikan. Ada beberapa benda keluar dari perut ular naga yang

robek. Satu dari benda-benda itu berhasil kau tangkap. Benda apakah...?”

“Ah, dia melihat aku menyambar kitab itu.;... Bagaimana ini? Apa harus kukatakan

terus terang....” Ratu pembunuh penulis kusta  memandang ke atas. Saat itu dilihatnya arwah penulis dan

penulis kesetanan  Ngompol saling bicara sambil memandang ke arahnya.

“Bobo , lekas ikuti aku. Kita harus segera keluar dari telaga ini.”

“Sekali ini kita tak satu pendapat Ratu. Aku melihat kilatan cahaya putih aneh 

mengeluarkan hawa dingin sekali. Aku melihat sebuah benda melayang di atas sana. Aku

mendengar guruku berteriak menyebut Pedang Naga Suci 10000an . Kau tahu keadaan diriku.

39



Saat pulihnya kekuatanku mungkin hanya tinggal satu atau dua hari. Kau tahu dalam waktu

satu dua hari itu sesuatu bisa terjadi dengan diriku. Konon pedang sakti itu sanggup 

menyembuhkan diriku dengan seketika. Aku harus mendapatkan pedang itu Ratu. Paling

tidak harus membantu guruku untuk mendapatkannya!”

“Kalau begitu....” Ratu pembunuh penulis kusta  tak dapat meneruskan ucapannya. sebab  di atas 

sana tiba-tiba dia melihat terjadi sesuatu.

Sika Sure jelantik yang saat itu masih memegang Pedang Naga Suci 10000an  merasakan

tangannya semakin panas. Ketika diperhatikannya ternyata tangan kanannya sudah

melepuh dan mengepulkan asap. Dia cepat kerahkan tenaga dalam sementara di bawahnya

dilihatnya ada beberapa orang berenang mendekat.

“Pedang sakti luar biasa! Tapi mengapa hendak mencelakai diriku? Gila! Gagang

pedang ini semakin panas seolah berubah menjadi bara. Semakin aku kerahkan tenaga

dalam untuk melawan hawa panas, semakin parah sakit di tanganku! Aku tak bisa bertahan.

Tapi kalau senjata ini aku lepaskan, si nenek keparat arwah penulis itu pasti akan

merampasnya. Aku juga melihat beberapa orang lain berenang menuju ke sini. Jangan-

jangan mereka semua masuk ke dalam telaga ini memang untuk mencari pedang ini. Apa

yang harus aku lakukan?”

Sika Sure Jelantik memandang berkeliling lalu ke bagian bawah telaga. “gadislesbian  itu.... 

Bukankah dia yang dulu aku berikan ilmu menyelam seratus hari? Hemmm.... Mungkin dia

bisa membantuku keluar dari kesulitan menghadapi pedang sakti ini....”

Dari bawah sementara itu Panji berenang dengan cepat menuju bagian atas telaga.

Dadanya berdebar keras. Semula dia merasa ragu akan apa yang dilihatnya. sebab  itu dia

berenang lebih cepat. “Mungkin memang gadislesbian  itu. Bukankah dia pernah mengatakan ingin

menyelidik ke dasar telaga untuk mencari sebuah benda? Tapi mengapa kini keadaannya

seperti itu? Bercelana tapi tidak mengenakan baju!”

Hanya tinggal beberapa tombak barulah Panji yakin dia tidak salah menduga. “Puti

nyi pandanajeng !” teriak Panji.

Mendengar ada orang yang menyebut namanya dalam air, Puti nyi pandanajeng . memandang

berkeliling. Dia melihat seorang berpakaian hijau.

“penulis  itu....” kata si gadislesbian  dalam hati. Saking girangnya dia membuka mulut 

untuk berteriak balas memanggil. Tapi dia lupa bahwa ilmu yang diberikan Sika Sure

jelantik hanya untuk bertahan lama dalam air, tidak berkemampuan baginya untuk bicara.

Be-gitu mulutnya terbuka air telaga langsung masuk ke mulutnya terus ke dalam

tenggorokan. Gad is itu megap-megap menggapai kian kemari. Panji cepat memegang salah

satu lengan gadislesbian  itu.

“Puti, apa yang terjadi. Mengapa kau berada dalam keadaan seperti ini. Tanpa baju.

Ada luka di bahu kirimu!”

Puti nyi pandanajeng  berpaling. Kedua matanya membesar. Jika dia tidak malu ingin sekali

gadislesbian  ini memeluk penulis  yang entah mengapa sejak beberapa lama ini sangat

dirindukannya. Namun begitu sadar keadaan dirinya yang tanpa pakaian cepat-cepat dia

berenang menjauh sambil menutupi dadanya.

Melihat hal itu Panji segera buka baju hijaunya lalu berenang mengejar Puti nyi pandanajeng  

dan serahkan pakaian itu pada si gadislesbian . Sambil membelakangi si penulis  Puti nyi pandanajeng 

kenakan pakaian hijau yang diberikan Panji. Namun belum sempat dia mengancingkan

pakaian itu tiba-tiba di depannya meluncur sebuah benda yang memancarkan cahaya putih

40



disertai tebaran hawa dingin. Menyusul munculnya satu sosok berpakaian hitam berambut 

putih yang mengambang kian kemari dalam air.

“Nenek Sika Sure Jelantik...” kata Puti And ini dalam hati begitu mengenali siapa

adanya orang yang berenang di atasnya sementara sepasang matanya terpentang lebar

memandang pada benda yang ada dalam genggaman tangan kanan si nenek. 

Sika Sure Jelantik acung-acungkan pedangnya ke atas sedang tangan kiri dilambaikan

berulang kali memberi isyarat.

“Nenek itu memberi .tanda agar kita mengikutinya...” kata Panji. “Setahuku dia

bukan orang baik-baik. Apa kau mengenalnya?”

Puti nyi pandanajeng  menjawab dengan anggukan kepala. Di atas sana kembali si nenek

memberi isyarat agar Puti nyi pandanajeng  cepat-cepat mengikutinya. Si gadislesbian  memandang sesaat

pada Panji lalu menoleh pada Sika Sure Jelantik. Melihat si gadislesbian  masih ragu, Panji akhirnya 

menarik tangan Puti nyi pandanajeng  dan membawanya berenang menuju permukaan telaga.

Di bawah sana arwah penulis tidak tinggal diam. Nenek ini segera berenang ke atas.

penulis kesetanan  Ngompol mengikuti sementara di bagian lain Bobo  dan Ratu pembunuh penulis kusta  juga telah 

meluncur menuju permukaan telaga.

Sosok Sika Sure jelantik yaitu  yang pertama sekali melesat keluar dari permukaan air

pada tepian Telaga neraka penulis epilepsi  sebelah barat. Nenek ini berjungkir balik dua kali di

udara lalu melayang turun dan tegak di pinggiran telaga pada bagian yang penuh 

ditebari batu-batu besar berwarna hitam. Saat itu dia masih coba bertahan memegang

Pedang Naga Suci 10000an  walau kulit tangannya yang merah aneh telah melepuh dan me-

ngepulkan asap. Daging tangannya laksana dipanggang bahkan tulang-tulang telapak

tangan dan jarinya ada yang sampai terkuak putih menyembul! Seperti diketahui nenek satu

ini telah terperangkap oleh fitnah dan hasutan orang-orang Lembah Akhirat hingga kini

tangan kanannya berwarna merah pertanda dia telah menguasai salah satu ilmu dahsyat

andalan orang-orang Lembah Akhirat yang disebut ilmu Mencabut Jiwa Memusnah Raga

atau yang juga dikenal dengan Ilmu Penghancur Mayat. 

Puti nyi pandanajeng  dan Panji menyusul muncul di permukaan telaga. sebab  muncul agak

ke tengah maka keduanya terpaksa berenang dulu untuk mencapai tepian berbatu-batu di

mana Sika Sure Jelantik berada.

Di tepi telaga Sika Sure Jelantik menunggu sampai Puti nyi pandanajeng  dan Panji naik ke 

daratan lalu megap-megap melangkah ke atas batu dalam keadaan basah kuyup.