Selasa, 11 Februari 2025

bobo ketakutan 3


 �Bajumu belum kau kancingkan. Lekas kau rapikan....”

Puti nyi pandanajeng  terkejut mendengar bisikan Panji. Begitu sadar dia cepat-cepat

mengancingkan baju hijau milik si penulis  yang dipakainya.

“Anak gadislesbian !” Tiba-tiba nenek berambut putih basah riap-riapan di atas batu

membuka mulut. “Bukankah kau orangnya yang tempo hari pernah kuberikan ilmu

menyelam seratus hari?!”

“Benar Nek. Aku tidak melupakan budi baikmu itu dan sekali lagi mengucapkan

terima kasih. Mohon maafmu kalau sampai saat ini belum dapat membalas budi baikmu

itu...” jawab Puti nyi pandanajeng  sambil melirik bergidik pada tangan kanan si nenek yang berwarna

merah dan berada dalam keadaan mengelupas dan mengepulkan asap panas. “Pedang Naga 

Suci 10000an ,” kata Puti nyi pandanajeng . “Senjata ini sebelumnya dalam keadaan tergulung. Pedang ini

yang melukai bahuku dan merobek jebol perut ular naga betina....” Si nenek menyeringai.

“Ini bukan saatnya bicara segala macam budi! Lihat tanganku yang memegang pedang!”

Puti nyi pandanajeng  tercekat ngeri. Sedang Panji tak bisa lagi menahan diri langsung

berteriak.

“Nek, tanganmu terluka parah! Mengapa kau masih memegangi senjata itu?!”

“Eh, anak muda banci beranting emas. Kita belum lama bertemu di tepi telaga. Aku

masih ingat namamu. Panji! Apa hubunganmu dengan gadislesbian  ini?!” “Dia... dia....” Panji tak

bisa menjawab. Si nenek tertawa cekikikan. “Waktu aku bertemu kau, katamu kau habis

berenang dan menyelam di telaga hanya untuk senang-senang menyegarkan diri. Kini aku 

tahu, kau tengah mencari gadislesbian  ini! Hik... hik... hik! Berarti kau punya rasa suka padanya!

Hik... hik... hik!”

Baik Panji maupun Puti nyi pandanajeng  jadi sama-sama bersemu merah wajah masing-

masing. Si nenek berpaling pada Puti nyi pandanajeng . Wajahnya yang keriputan tampak

mengerenyit menahan sakit yang amat sangat.

42



“Anak gadislesbian ! Waktu pertama bertemu denganku kau bilang kau akan mencari sebuah

batu hitam di dasar Telaga neraka penulis epilepsi . Katamu batu itu punya khasiat untuk 

menyembuhkan ibumu yang sakit gara-gara ditinggal kabur oleh bapakmu yang tergila-gila

dengan seorang wanita lesbi  penghibur! Apa kau sudah menemukan batu hitam itu?!”

Puti nyi pandanajeng  jadi tergagau dan tak bisa menjawab sebab  dia memang telah berdusta.

(Baca Episode ke-3 Lembah Akhirat)

“Parasmu berubah! Kau tak bisa menjawab. Berarti kau telah mendustai diriku!”

“Harap maafkan diriku Nek. Perlu waktu banyak untuk menerangkan....”

“Perpenulis kesetanan  dengan segala keterangan! Aku tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi

orang-orang di dalam telaga itu akan segera muncul. Aku....”

Sika Sure jelantik kembali mengerenyit. Kali ini sambil terbungkuk-bungkuk. Tangan 

kanannya tampak bergetar keras dan menebar bau daging terpanggang.

“Pedang celaka...” rutuk si nenek. Dia maju ke hadapan Puti nyi pandanajeng . “Tolong kau

pegangkan dulu pedang ini. Lalu kau dan kekasihmu si penulis  banci pakai anting itu lekas

ikut bersamaku!”

Habis berkata begitu Sika Sure Jelantik lalu angsurkan pedang yang dipegangnya 

pada Puti nyi pandanajeng . Tanpa ragu-ragu Puti nyi pandanajeng  cepat ulurkan tangan untuk menerima

senjata itu. Tapi tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat antara Sika Sure jelantik dan si 

gadislesbian . Pedang Naga Suci 10000an  terbetot lepas dari tangan si nenek. Bersamaan dengan itu

terdengar suara orang terpekik kesakitan! Lalu menyusul suara benda berdesing dan 

berkiblatnya cahaya putih disertai suara menderu-deru ditambah dengan tebaran angin

dingin luar biasa;

Baik Sika Sure Jelantik maupun Puti nyi pandanajeng  sama-sama tersurut kaget dan

memandang terbelalak ke depan.

“Kau!” teriakan keras keluar dari mulut Sika Sure Jelantik seraya menunjuk lurus-

lurus ke depan di mana di atas sebuah batu besar tegak berdiri seorang nenek berjubah

hitam. Di kepalanya bertengger sebuah topi berbentuk tanduk kerbau. Saat itu dia tegak 

berdiri sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya yang kulitnya kelihatan merah

terkelupas seolah melepuh! Nenek satu ini yaitu  Sabai Nan Rancak yang dikenal sebagai

nenek Puti nyi pandanajeng .

Sementara itu Pedang Naga Suci 10000an  yang tadi berada di tangan Sika Sure Jelantik

kini tampak menancap di atas sebuah batu sampai sedalam sepertiganya, Bagian atasnya

bergoyang-goyang pulang-balik memancarkan kilauan cahaya putih dan deru angin serta

hawa dingin.

Apa yang barusan telah terjadi?

Ketika Sika Sure Jelantik hendak menyerahkan Pedang Naga Suci 10000an  pada Puti

nyi pandanajeng , belum sempat gadislesbian  ini menyentuh senjata sakti mandraguna itu tiba-tiba

muncullah Sabai Nak Rancak. Dengan satu kelebatan cepat dan gerakan kilat dia berhasil 

merampas pedang dari tangan Sika Sure Jelantik. Namun begitu jari-jari tangannya meme-

gang gagang pedang langsung dia terpekik sebab  ternyata gagang senjata itu panas sekali

seolah dia memegang bara api. Sabai Nan Rancak kibas-kibaskan tangan kanannya. Ketika

diperhatikannya ternyata telapak tangannya telah terkelupas melepuh. Pedang sakti yang 

dilemparkannya menancap di batu sampai sepertiganya.

“Nenek Sabai!' berseru Puti nyi pandanajeng  begitu melihat neneknya berada di tempat itu,

tegak di atas batu sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang cidera. Sabai Nan Rancak

43



palingkan kepala. Darahnya langsung naik ke kepala begitu melihat cucunya berada di

tempat itu.

“Kau memang cucu murtad! Sejak dulu aku katakan aku tidak suka kau pergi ke

tanah Jawa ini. Ternyata...;”

Pada saat itu sekonyong-konyong ada orang tertawa mengekeh. Semua kepala

dipalingkan ke arah tebing telaga sebelah kiri di mana terdapat sebuah batu besar berwarna

coklat kehitaman. Di atas batu ini tampak duduk seorang kakek berkepala botak,

mengenakan pakaian putih lusuh.

Tiga orang langsung tercekat. Yang pertama yaitu  Sika Sure Jelantik. “Tua bangka

botak di atas batu itu. Kalau aku bisa lebih mendekat dan mencium bau badannya jangan-

jangan....” Si nenek goyangkan kepalanya hingga rambut putihnya yang basah riap-riapan

tersibak ke belakang. Kelihatanlah wajahnya yang angker, menatap tajam pada kakek botak

di atas batu yang saat itu masih saja terus tertawa.

Sabai Nak Rancak yaitu  orang ke dua yang ikut terkesiap melihat kehadiran kakek

botak itu, “Aku bertemu pertama kali dengan manusia satu ini di Lembah Merpati. Hatiku

menaruh syak wasangka tapi tampangnya lain, suaranya juga lain!”

Orang ketiga walau tercekat tapi diluar sadar bergerak maju satu langkah seraya

berseru.

“Kek!”

Kakek botak di atas batu menyeringai. Tangan kanannya dilambaikan ke arah Puti

nyi pandanajeng  sedang jari tangan kirinya disilangkan di depan bibir. “Ssstttt.... Jangan mengganggu

tawaku. Lagipula tak baik ketawa sebab  ada dua nenek sedang kesakitan di tempat ini! 

Ha... ha... ha!”

Melihat gelagat si botak terhadap Puti nyi pandanajeng  baik Sabai Nan Rancak dan Sika Sure

Jelantik jadi curiga. Sika Sure Jelantik segera hendak membentak tapi Sabai Nan Rancak 

keburu mendahului.

“Tua bangka botak! Dua kali dengan ini kita bertemu!”

“Ah, rupanya pertemuan pertama itu sangat berkesan di hatimu. Berarti sejak itu kau

tak pernah melupakan diriku!”

Wajah keriput Sabai Nan Rancak menjadi merah padam sementara kakek botak di

atas batu kembali tertawa gelak-gelak.

“Tua bangka botak, otakmu rupanya kotor dan mulutmu lancang! Perlu apa aku

mengingat-ingat dirimu! Tua bangka edan tak tahu diri!” Memaki Sabai Nan Rancak.

“Ah, pada pertemuan sekali ini kau jadi pemarah dan galak sekali. Padahal pada

pertemuan pertama di lembah itu kau tenggelam dalam rasa sedih yang amat dalam.

Sampai-sampai kau bertanya padaku, apakah aku bisa membantu membunuh dirimu!”

Kembali wajah Sabai Nan Rancak merah mengelam.

“Tua bangka sialan! Lekas katakan siapa kau adanya! Atau kupanggang tubuhmu

dengan pukulan ini!” Sabai Nan Rancak mengancam seraya angkat tangan kanannya. Lang

sung tangan ini menjadi merah. Si nenek rupanya siap menghantamkan pukulan Kipas

Neraka!

Orang tua botak di atas batu angkat kedua tangannya lalu membungkuk dalam-

dalam. “Bukan maksudku hendak bersikap kurang ajar. Bukan maksudku hendak

menyinggung perasaanmu. Aku mohon maafmu. Bolehkah aku mendendangkan lagu yang 

pernah aku nyanyikan waktu di Lembah Merpati tempo hari?”

44



“Manusia jahanam! Siapa sudi mendengar nyanyianmu!” bentak Sabai Nan Rancak. 

Lalu dia berpaling pada cucunya. “Puti nyi pandanajeng ! Lekas kau katakan siapa adanya tua bangka

berotak miring ini!”

“Guru.... Aku....”

“Puti, aku menaruh firasat kau tahu siapa adanya orang tua botak itu. Siapapun dia

adanya kuharap kau tidak memberi tahu pada gurumu. Aku khawatir keadaan akan tambah

kacau di tempat ini!”

Yang bicara berbisik itu yaitu  Panji yang saat itu masih tegak di dekat Puti nyi pandanajeng . 

Si gadislesbian  yang memang tahu siapa adanya kakek botak itu sebenarnya sudah berniat untuk

tidak membuka rahasia. Namun sebab  yang bertanya yaitu  guru dan nenek kandungnya

sendiri maka Puti nyi pandanajeng  menjadi gugup.

Sabai Nan Rancak jadi curiga. Dia melangkah mendekati cucunya dan berkata dengan

suara mendesis dan air muka beringas.

“Berat dugaanku kau tahu siapa adanya kakek botak itu! Jika kau tidak memberi 

tahu, aku tak segan-segan menghajarmu dengan pukulan Kipas Neraka ini!” Sabai Nan

Rancak angkat tangan kanannya yang memancarkan warna merah. Namun gerakannya

tertahan ketika dari pinggiran telaga di samping kirinya melesat keluar tiga sosok tubuh.

Mereka yaitu  Pendekar 10000an  Bobo  anak manusia , Ratu pembunuh penulis kusta  dan Naga Kuning.

Melihat munculnya Pendekar 10000an  Bobo  anak manusia  dan Ratu pembunuh penulis kusta , Sabai Nan

Rancak bertambah naik amarahnya. “penulis  jahanam satu ini! Beberapa kali aku

ingin membunuhnya. Mungkin sekali ini baru bisa kesampaian. Aku akan

pergunakan pedang sakti yang menancap di batu!”

Sabai Nan Rancak kerahkan tenaga dalam ke tangan kiri untuk melindungi diri. Lalu

sekali berkelebat dia berhasil memegang gagang Pedang Naga Suci 10000an . Ketika senjata itu

hendak ditariknya, kembali nenek sakti dari Pulau Andalas ini terpekik dan tersurut tiga 

langkah sambil kibas-kibaskan tangan kirinya. Seperti kejadian dengan tangan kanannya

tadi, kini tangan kirinya ikut melepuh luka. Menyaksikan kejadian itu Sika Sure jelantik

ingat pada apa yang dialaminya lalu perhatikan tangan kanannya yang cidera.

Di atas batu tinggi kakek botak kembali tertawa bergelak. Namun mendadak tawanya 

lenyap, berganti dengan seruan kaget. “Oo alah!”

Dari dalam telaga untuk kesekian kalinya melesat keluar sosok-sosok manusia. Yang

sekarang ini yaitu  sosok arwah penulis dan si penulis kesetanan  Ngompol.

Kakek botak kerenyitkan kening dan goleng-goleng kepala. “Gawat... gawat!

Bagaimana tiga cecunguk ini bisa muncul bersamaan di tempat ini! Kalau aku tidak 

bertindak cepat, kalau anak itu tidak berlaku sigap keadaan bisa jadi tambah tak karuan...”

Si botak memandang ke jurusan Puti nyi pandanajeng .

Maksudnya hendak memberi isyarat tapi si gadislesbian  saat itu justru tengah memandang

ke arah lain yakni pada Pendekar 10000an  dan Ratu pembunuh penulis kusta  serta Naga Kuning.

Beg itu muncul di tepi telaga arwah penulis langsung berteriak keras hingga 

suaranya menggelegar di seantero tempat.

“Jangan ada yang berani menyentuh pedang!”

Selagi semua orang terkesima si nenek sakti dari puncak Gunung Gede ini berkelebat

menyambar Pedang Naga Suci 10000an  yang masih menancap di atas batu.

Beg itu jari-jari tangannya yang kurus menyentuh gagang pedang, Sinto Gendeng

menjerit keras dan terjajar ke belakang sampai dua langkah. Mukanya yang hitam keriput

kelihatah kelabu membesi. Ketika tangan kanannya diperhatikan, tangan itu ternyata telah

terkelupas. Maka disela desis kesakitan si nenek memaki panjang pendek. Lalu dia

bertindak nekad. Walau jelas-jelas tangan kanannya cidera tapi kembali dia mencekal

gagang pedang. Sekali ini dengan mengerahkan tenaga dalam. Ternyata dia sanggup 

memegang gagang senjata yang berbentuk kepala naga betina itu. Tapi hanya sesaat sebab 

dilain kejap kelihatan tubuhnya bergetar keras. Dari tangannya yang menggenggam pedang

mengepul asap putih disusul lelehan darah. Semakin dia mengerahkan tenaga dalam

semakin parah keadaan tangannya. Bahkan kini dari kepalanya yang ditancapi lima tusuk

konde perak tampak mengepul pula asap putih tipis.

Si nenek menjerit satu kali. Dia masih berusaha bertahan dan nekad hendak menarik

pedang yang menancap di batu. Lalu dia menjerit sekali lagi. Kali ini yang ke tiga jeritannya

disertai dengan terlemparnya tubuhnya sampai empat langkah lalu terjengkang di atas batu,

tepat di bawah batu tinggi di mana kakek botak berada! Dan seperti tadi kakek ini lagi-lagi 

keluarkan tawa mengekeh. Namun kali ini tawanya pendek saja sebab  dia menyusul 

dengan ucapan yang membuat orang-orang yang ada di tepi telaga itu menjadi tertegun.

46



Hanya si penulis kesetanan  Ngompol yang tampak serba salah menekapi bagian bawah perutnya yang 

ngocor mendengar jeritan-jeritan dan melihat keadaan tangan arwah penulis yang cidera.

“Berlaku nekad hanya akan mendapat kualat! Memaksakan niat hanya akan

mendapat laknat! Pedang Naga Suci 10000an  yaitu  pedang keramat! Pedang Naga Suci 10000an 

yaitu  sakti dan suci. Pedang Naga Suci 10000an  yaitu  pedangnya kaum hawa. sebab nya

hanya wanita lesbi  yang suci saja lah yang sanggup menyentuhnya!”

“Botak gila bermulut sedeng!” arwah penulis berteriak. “Apa kau kira aku ini 

manusia kotor!. Puluhan tahun silam aku telah menguasai senjata ini dan membawanya ke 

mana-mana lalu menyimpannya di satu tempat....”

“Orang sakti bertusuk konde lima,” menjawab kakek botak di atas batu tinggi,

“Mulutku mungkin lancang hingga hati dan perasaanmu tersinggung. Aku tidak

mengatakan dirimu manusia kotor. Tapi keadaan yang menyatakan. Hatimu mungkin baik.

Tapi ada perbedaan antara kebaikan dan kesucian. Seperti kataku Pedang Naga Suci 10000an 

hanya mampu disentuh oleh wanita lesbi  yang masih suci lahir dan batin.... Kalau kau

merasa dirimu suci harap kau mampu menilai sendiri....”

Merah padam wajah arwah penulis  Dia mengerling pada Sabai Nan Rancak dan

melihat tangan kanan nenek itu cidera berat. Dia memandang ke arah Sika Sure jelantik.

Ternyata nenek satu ini pun penuh luka tangan kanannya. Perlahan-lahan, setelah

menyadari arti ucapan kakek botak tadi, wajah tua nenek ini menjadi berubah.

“Kakek botak! Kau tidak mengenal diriku dan aku tidak tahu siapa dirimu!

Bagaimana kau bisa menilai aku ini suci atau tidak!” arwah penulis bertanya setengah

berteriak tanda dia masih belum puas.

“Seperti kataku tadi, aku bukan menilai kau suci atau tidak. Yang mampu

mengetahui kesucian dirimu yaitu  engkau sendiri. Usiamu sudah puluhan tahun. Apakah

seluruh hidupmu kau jalani dengan kesucian hati dan batin? Katamu dulu kau pernah 

menguasai dan membawa Pedang Naga Suci 10000an  kemana-mana. Mungkin sekali dimasa itu 

kau masih sebersih udara pagi, seputih kertas dan seharum bunga melati....” Habis berkata

begitu kakek botak lemparkan lirikan pada Sabai Nan Rancak dan Sika Sure Jelantik.

Untuk beberapa saat lamanya keadaan di tepi telaga itu menjadi sunyi sehening di 

pekuburan. Tak ada yang bicara. Tak ada yang bergerak. Tiba-tiba Naga Kuning keluarkan

tawa cekikikan.

“Sayang tokoh silat berjuluk Tua Gila tidak ada di tempat ini! Kalau saja dia hadir di

sini tentu dia gembira luar biasa melihat tiga kekasihnya dimasa mudanya berkumpul di

tempat ini! Ha... ha... ha!”

“Bocah penulis kesetanan ! Kau jangan berani bicara sembarangan!” teriak arwah penulis sebab 

merasa sangat tersinggung.

Sabai Nan Rancak yang juga merasa tersindir gerak-gerakkan sepuluh jari tangannya

hingga mengeluarkan suara berkeretekan dan memandang mendelik pada Naga Kuning.

Lalu Sika Sure Jelantik terdengar menggereng. Tangan kanannya perlahan-lahan

diangkat ke atas.

“Tunggu! Jangan kalian marah padaku!” teriak Naga Kuning mencibir. “Aku bicara

apa adanya! Kalian muncul di sini sebenarnya mencari apa? Pedang Naga Suci 10000an ? Turut

ucapan kakek botak di atas batu sana jelas kalian tidak bakal bisa mendapatkannya....”

“Siapa bilang aku ke sini mencari pedang!” teriak Sika Sure Jelantik.

“Aku juga!” menimpali Sabai Nan Rancak.

47



“Aku memang ke sini mencari Pedang Naga Suci 10000an !” ujar arwah penulis polos 

tanpa malu-malu. Lalu dia berpaling pada Bobo  dan berkata. “Anak penulis kesetanan ! Lekas kau ambil 

pedang sakti itu!”

“Guru.... Eyang, aku tak bisa melakukah hal itu. Senjata itu bukan milikku...” jawab

Bobo .

“Benar-benar anak penulis kesetanan ! Senjata itu milikku. Aku yang membawanya dan

menyembunyikannya di dasar Telaga neraka penulis epilepsi ! Setelah puluhan tahun pedang itu 

akhirnya ditemui. Sekarang pedang itu aku berikan padamu sebagai pasangan barbel  Maut 

pembasmi 10000an !”

“Saya tak berani mengambilnya, Nek...” kata Bobo .

“Tolol pengecut!” teriak arwah penulis marah. “Apa kau tidak ingat justru senjata itu

yaitu  obat mujarab untuk memulihkan kesaktian dan tenaga dalammu!”

Bobo  terkesima. Dia bukannya tidak mengetahui hal itu, tapi setelah mendengar kata-

kata kakek botak tadi hatinya menjadi was-was. Pertama pedang itu katanya yaitu  pedang

wanita lesbi . Kedua hanya orang suci saja yang mampu menyentuhnya. Dia sendiri 

bukankah pernah satu kali ketiduran dengan Ratu pembunuh penulis kusta ? Secara tak sadar murid Sinto

Gendeng itu melirik ke arah Ratu pembunuh penulis kusta . Bagi sang Ratu lirikan itu membuat hatinya jadi

bergoncang. Tiba-tiba Ratu pembunuh penulis kusta  melompat ke depan. gadislesbian  ini heran sendiri sebab  

gerakannya luar biasa cepat. Di sekelilingnya tak satu orang pun yang melihat jelas apa yang

dilakukan gadislesbian  ini. Tahu-tahu dia telah tegak sambil memegang gagang Pedang Naga Suci

10000an  yang menancap di batu!

Sang Ratu merasakan ada satu hawa dingin sejuk menjalar masuk ke dalam tubuhnya

hingga saat dia merasakan satu ketenangan dan ketentraman luar biasa. Tubuhnya seperti

seringan kapas hingga saat itu dia seolah melayang di atas mega. Tak ada hawa panas, tak

ada sengatan seperti bara api. Kulit tangannya yang halus tidak terkelupas. Dia sama sekali

tidak cidera sedikitpun! Tapi ketika dia coba mencabut senjata itu dari dalam batu, bagai-

manapun dia mengerahkan seluruh tenaga luar dan tenaga dalam, Pedang Naga Suci 10000an 

tidak bergeming barang sedikit pun!

“Ratu pembunuh penulis kusta , kau berhasil memegang Pedang Naga Suci 10000an  tanpa terluka tanpa

cidera! Berarti kau yaitu  seorang gadislesbian  yang masih suci lahir dan batin. Tapi kau tidak

mampu mencabut senjata mustika sakti itu dari dalam batu, Itu satu pertanda bahwa kau

tidak berjodoh untuk memilikinya.”

Ratu pembunuh penulis kusta  dan semua orang yang ada di tepi telaga memandang ke arah orang

yang bicara yakni si kakek botak di atas batu tinggi.

Bobo  garuk-garuk kepala. Dalam hati dia berkata. “Setelah kejadian di Puri tempo 

hari, menurut si kakek botak ternyata gadislesbian  ini masih suci. Lalu apakah diriku juga bisa

dianggap masih suci?” Bobo  pandangi Pedang Naga Suci 10000an  yang sampai saat itu masih

menancap di batu.

“Bobo !” Tiba-tiba terdengar teriakan arwah penulis  “Lekas kau ambil pedang itu! 

Jika Ratu pembunuh penulis kusta  masih suci berarti dia masih perawan dan kau masih perjaka! Selain itu 

kau memerlukan pedang itu untuk menyembuhkan semua kelemahanmu!”

Murid arwah penulis bergerak melangkah.

“Tunggu dulu!” kakek botak berseru. “Sudah kukatakan bahwa Pedang Naga Suci 

10000an  yaitu  senjatanya wanita lesbi ....”



“Jangan dengarkan ucapannya! Anak penulis kesetanan  lekas kau ambil pedang itu lalu 

tinggalkan tempat ini! Aku akan menghajar siapa yang berani menghalangi! penulis kesetanan  Ngompol 

harap kau bantu aku!”

Pendekar 10000an  jadi bimbang. Saat itulah Puti nyi pandanajeng  memandang ke jurusan si kakek 

botak. Orang tua ini tidak menunggu lebih lama. Dia kedipkan matanya lalu tanpa ada lain

orang yang sempat melihat dia tudingkan ibu jari tangan kirinya ke arah Pedang Naga Suci 

10000an  yang menancap di batu.


Maklum akan arti isyarat kedipan mata dan gerakan ibu jari yang diberikan kakek

botak, maka secepat kilat Puti nyi pandanajeng  berkelebat ke arah batu besar tempat Pedang 

Naga Suci 10000an  menancap.

“Berani pegang pedang berarti mampus!”

arwah penulis berteriak keras. Nenek ini lalu menerjang ke arah Puti nyi pandanajeng  dengan

jurus yang disebut Kepala Naga Menyusup Awan. Tubuh si nenek laksana terbang di udara.

Tangan kiri menyambar ke pinggang sedang tangan kanan memukul ke arah kepala Puti 

nyi pandanajeng .

Bobo  yang menyaksikan gerakan sang guru jadi terperangah. Garukan kepalanya

terhenti di samping kuping kanan. Dia maklum jurus yang dilancarkan Eyang Sinto

Gendeng saat itu sangat cepat dan berbahaya. Puti nyi pandanajeng  tak mungkin mengelakkan diri.

Di  saat  yang  sama  Sika  Sure  Jelantik tak tinggal diam. Melihat arwah penulis 

menyerang Puti nyi pandanajeng  yang sebelumnya dipercayakannya untuk menitipkan Pedang Naga

Suci 10000an , maka sambil berteriak beringas, “Tua bangka edan! Hendak kau apakan cucuku?!”

Sika Sure Jelantik lantas memotong gerakan nenek sakti dari Gunung Gede ini dengan satu

pukulan sakti yang “dilancarkan dengan tangan kiri. Lima larik sinar hitam berkiblat dari 

ujung lima kuku tangan kirinya yang hitam. 

“Tua bangka penulis kesetanan !” maki arwah penulis dalam hati. “Berani dia  menyerangku!  Dia

menyebut gadislesbian  itu cucunya! Apa-apaan ini! Aku tahu betul siapa dia! Sama sekali tidak

punya hubungan apa-apa dengan si gadislesbian  walau sama-sama datang dari seberang!”

Sabai Nan Rancak juga terkejut. Sesaat dia bimbang. Ada yang harus dilakukannya

dalam keadaan seperti itu. Semua berlangsung begitu cepat. Kalau dia ikut turun ke 

gelanggang pertempuran siapa yang hendak diserbunya. Sejak dulu sesuai dengan tugas 

yang diberikan Sutan Alam Rajo Di Bumi, tokoh silat di Gunung Singgalang, saat itu dia

ingin segera membunuh arwah penulis  Apalagi arwah penulis jelas menyerang cucunya 

dan berusaha merampas Pedang Naga Suci 10000an . Tapi menduga bahwa ada hubungan 

tertentu antara Puti nyi pandanajeng  dengan Sika Sure Jelantik yang juga dibencinya maka dia

khawatir Sika Sure Jelantik nantinya akan kembali merampas pedang sakti itu dari tangan si

gadislesbian .

“Tak ada jalan lain! Aku harus mendahului merampas pedang sakti itu!” kata Sabai

Nan Rancak dalam hati. Maka dia segera melepas pukulan K/pas Neraka. Sinar merah

panas bertabur di udara lalu melebar menyapu apa saja yang ada di depannya. Siap

menghantam Sika Sure Jelantik, arwah penulis bahkan Puti nyi pandanajeng .

Melihat bahaya besar mengancam Puti nyi pandanajeng , Panji tak tinggal diam. penulis  ini

segera turun tangan membantu. Yang dilakukannya yaitu  menyergap arwah penulis yakni

lawan yang paling dekat dengan si gadislesbian . Seperti-diketahui walau memiliki ilmu silat 

namun tingkat kepandaian penulis  ini jauh dibawah semua orang yang ada di tempat itu. 

Sebenarnya Panji sendiri mengetahui hal ini. terjun ke gelanggang pertempuran tokoh-tokoh

silat tingkat tinggi itu sama saja dengan mengantar nyawa. Namun apapun yang terjadi atas 

dirinya Panji tidak rela kalau Puti nyi pandanajeng  sampai mendapat celaka.

arwah penulis memaki dalam hati begitu tahu ada orang hendak menelikung

pinggangnya. Masih melayang di udara arwah penulis hantamkan kaki kanannya.


“Bukk!”



Panji mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental sampai dua tombak. Tergeletak di bawah

batu tinggi di mana kakek botak berada. Dari sela bibirnya kelihatan lelehan darah.

Sementara itu sesaat lagi lima larik sinar hitam pukulan maut Sika Sure Jelantik akan

menghantam Puti nyi pandanajeng  dan sinar merah pukulan Kipas Neraka menebar kematian tiba-

tiba di udara berkelebat se-gulungan benda aneh, putih halus berkilauan. ,   “Jahanam apa

pula ini?!”

arwah penulis memaki sewaktu tangannya yang siap menghantam Puti nyi pandanajeng 

terjirat oleh sesuatu yang tak segera bisa dilihat dan dipastikannya. 

Disaat yang sama sekonyong-konyong menggemuruh kiblatan cahaya putih disertai 

menebarnya hawa yang sangat dingin. Lima larik sinar hitam pukulan yang dilepaskan Sika

Sure Jelantik buyar laksana disapu topan.

Pukulan Kipas Neraka masih mampu menyebar dan menderu namun arahnya

berubah ke atas menghantam udara kosong. Beberapa orang terpental lalu jatuh tergeletak

di sekitar tebing batu. Selagi orang-orang ini berusaha bangkit dengan tubuh bergeletar

kedinginan tiba-tiba dari atas melayang jatuh sebuah benda hitam.

“Taaarrr!”

Sebelum jatuh ke atas batu benda ini meledak. Lalu asap hitam yang memerihkan

mata bertabur menutupi pemandangan.

Kutuk serapah terdengar di mana-mana.

Ketika asap hitam lenyap dan udara di tepi telaga terang kembali maka di tempat itu

yang kelihatan hanya tinggal tiga orang.

Yang pertama yaitu  arwah penulis  Nenek sakti ini memaki panjang pendek sambil 

menggerak-gerakkan kedua tangannya yang dilibat oleh sejenis benang halus berwarna 

putih berkilat. Dia segera mengenali benang itu. Membeliaklah sepasang matanya.

“penulis kesetanan  alas! Ini pasti pekerjaannya Tua Gila! Jahanam benar! Kakek botak tadi pasti

dia!”

Orang kedua yaitu  Sabai Nan Rancak. Nenek satu ini melangkah mundar mandir

sambil keluarkan suara menggerutu. Ketika dia memutar langkah maka pandangannya

saling bentur dengan arwah penulis 

“Kalau kau memang membenci manusia satu itu, mengapa kau tidak mengejarnya!

Aku curiga kalian sudah sejak lama berserikat!” Sabai Nan Rancak menyemprot Sinto 

Gendeng yang merupakan saingannya dimasa gadislesbian  remaja dalam memperebutkan Sukat

Tandika alias Tua Gila.

Mendengar kata-kata Sabai Nan Rancak itu marahlah arwah penulis  “Aku tahu

otakmu miring sejak dulu! Aku juga tahu kau mencari Tua Gila bukan untuk membalas

dendam. Tapi hendak berbaik-baik dan ingin menjadi gendaknya kembali! Rupanya kau

mau minta dibikin bunting lagi hah?!”

“Nenek penulis kesetanan  bermulut kotor!” teriak Sabai Nan Rancak lalu lepaskan pukulan Kipas

Neraka dengan tenaga dalam penuh. arwah penulis tidak tinggal diam. Dia tahu kehebatan

pukulan lawan. Tapi tahu pula kelemahannya. Pukulan Kipas Neraka seperti diketahui

menebar lebar sama rata dengan tanah. sebab nya begitu sinar merah berkiblat Sinto Gen-

deng segera melesat setinggi tiga tombak. Lalu dari atas dia menghantam dengan Pukulan

Sinar Matahari!

Seperti diketahui Pukulan Sinar Matahari telah menimbulkan kegegeran selama

Pendekar 10000an  Bobo  anak manusia  malang melintang dalam rimba persilatan. Namun sekali ini

yang mengeluarkan pukulan sakti itu yaitu  sang dedengkotnya yakni nenek sakti Sinto 

Gendeng guru Pendekar 10000an . Maka kedahsyatannya tak bisa dibayangkan.

Tempat itu laksana dilabrak petir raksasa. Udara dilanda kesilauan luar biasa. Hawa

panas membakar seolah matahari hanya satu tombak di atas batok kepala. Air Telaga

neraka penulis epilepsi  bergemericik seperti mendidih.

Cahaya putih Pukulan Sinar Matahari saling labrak dengan sinar merah pukulan

Kipas Neraka. sebab  arwah penulis menghantam dari atas maka pukulan saktinya

melabrak pukulan sakti lawan di bagian tengah yang merupakan titik lemahnya.

Satu letusan keras menggelegar. Batu dan tanah di tepi telaga bergetar hebat. Air

telaga muncrat sampai dua tombak. Pohon-pohon berderak. Ranting-ranting putus dan

dedaunan luruh ke tanah laksana dilanda topan.

arwah penulis melayang turun. Tubuhnya seolah barusan menembus dinding api.

Ketika dia menjejakkan kaki di tanah jelas nenek ini terhuyung-huyung. Lututnya goyah. 

Tiga tombak di depannya Sabai Nan Rancak terjengkang di tanah dengan muka seputih kain

kafan. Tiba-tiba nenek sakti dari Singgalang ini berteriak keras. Dia bangkit berdiri dengan

muka seperti iblis. Dengan gerakan cepat dia menanggalkan Mantel Sakti yang 

dikenakannya sambil melangkah cepat mendekati lawan.

arwah penulis yang maklum akan kehebatan Mantel Sakti yang dulunya yaitu 

milik Datuk Tinggi Raja Di Langit ini tidak mau berlaku ayal. Dengan tangan kiri dia segera 

cabut dua tusuk konde peraknya. Lalu tangan kanannya diangkat ke atas. Ketika tangan kiri 

kanan arwah penulis menghantam ke depan maka dua tusuk konde perak menderu di

udara dan pukulan sakti bernama Tameng Sakti Menerpa Hujan berkiblat.

Sabai Nan Rancak belum sempat mengebutkan mantel hitamnya untuk menyerang

arwah penulis  Tahu-tahu lengan bajunya sebelah kanan robek besar. Dia masih untung

sebab  tusuk konde beracun yang dilemparkan arwah penulis hanya merobek pakaiannya. 

Namun selagi dia terhuyung-huyung menahan dahsyatnya hantaman pukulan Tameng

Sakti Menerpa Hujan, tusuk konde kedua menyambar deras ke sisi kirinya. Sabai Nan

Rancak angkat tangan kiri ke atas, pergunakan mantel hitam untuk menangkis.

“Breeeettt!”

Mantel Sakti robek besar. Ujung tusuk konde menekuk bengkok tapi masih terus

menembus mantel lalu bagian kepalanya menoreh lengan kiri Sabai Nan Rancak. Nenek ini

terpekik dan pucat wajahnya begitu melihat dari balik lengan kiri jubah hitamnya yang 

robek ada darah meleleh. Saat itu juga dia merasakan tangannya panas. Hawa panas segera

menjalar ke seluruh tubuhnya. Terhuyung-huyung dia sandarkan diri ke pohon besar di tepi

telaga. Memandang ke depan dia tidak melihat lagi sosok arwah penulis  Hanya tampak

nenek berambut putih riap-riapan Sika Sure Jelantik tegak sekitar sepuluh langkah darinya, 

memandang menyeringai seolah mengejeknya. Lalu nenek itu pun berkelebat pergi.

“Tusuk konde jahanam...” maki Sabai Nan Rancak. Dia jatuhkan mantel hitam ke

tanah. La lu dengan tangan kanannya dirobeknya jubah hitam di bagian mana lengannya 

terluka akibat goresan tusuk konde perak. Dengan cepat nenek ini tekan kuat-kuat le-

ngannya yang cidera. Dari luka di lengan itu membersit lelehan darah berwarna kehitaman.

“Racun.... Tusuk konde celaka itu ternyata mengandung racun jahat!” Tidak menunggu 

lebih lama Sabai Nan Rancak segera totok urat besar di pangkal lehernya sebelah kiri.

Pada saat itulah tiba-tiba ada seorang tinggi besar berambut tegak kaku berkelebat di

depannya. Di mukanya yang hitam ada dua belas lobang mengerikan. Sepasang alisnya 

yang tebal bergabung menjadi satu. Di bahu kanannya sebelah belakang ada satu lobang

luka besar yang tembus sampai ke bagian dada dan menebar bau busuk. Walau peng-

lihatannya saat itu mulai buram namun Sabai Nan Rancak masih bisa mengenali siapa

adanya orang berpakaian serba hitam itu. Hantu Balak Anam!

“Kau muncul lagi! Aku tak suka melihatmu! Lekas menyingkir dari hadapanku!”

Hantu Balak Anam menyeringai. 

“ingat dua kali pertemuan kita sebelumnya Sabai?”

“Perpenulis kesetanan  dengan pertanyaanmu! Cepat minggat dari hadapanku!” bentak Sabai Nan

Rancak.

Hantu Balak Anam kembali menyeringai. Dia melirik pada Mantel Sakti yang ada di 

tanah. Takut mantel itu hendak diambil orang si nenek segera injakkan kaki kanannya di

atas mantel.

“Tak usah khawatir Sabai. Aku tidak akan merampas Mantel Sakti itu. Aku tahu itu

yaitu  barang curian. Kau mencari penyakit sendiri sebab  dengan mencuri kau menambah

musuh. Apa kau masih belum mengerti kalau kau telah diperalat orang? Dengar baik-baik

Sabai. Terakhir sekali bertemu aku menanyakan padamu apa kau punya hubungan tertentu 

dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi dari puncak Singgalang...”

“Manusia jahanam! Pergi dari hadapanku!” hardik Sabai Nan Rancak. Tangan

kanannya diangkat.

“Kau berada dalam keadaan terluka Sabai. Lukamu bukan luka biasa. Kurasa saat ini

sekujur tubuhmu sudah dijalari racun. Kalau kau kerahkan tenaga dalam untuk

menghantamku dengan Pukulan Kipas Neraka, sama saja kau mempercepat kematian

sendiri!”

Pucatlah paras si nenek. Tengkuknya dingin sebab  dia menyadari apa yang

dikatakan Hantu Balak Anam benar adanya.

“Dengar apa yang akan kukatakan padamu Sabai. Beberapa tokoh silat Pulau

Andalas kembali ditemui tewas akibat pembunuhan keji. Ada berita bahwa kaulah yang

telah membunuh mereka....”

“Fitnah busuk! Mana mungkin aku membunuh para tokoh itu. Selama ini aku berada

di tanah Jawa!” kata Sabai Nan Rancak hampir berteriak. “Katakan siapa yang melancarkan

fitnah keji itu! Mungkin sekali kau!”

Hantu Balak Anam tertawa, “ingat, dulu aku pernah sampai dua kali menanyakan

apa hubunganmu dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi. Kau tidak mau memberi tahu. Itu tak

jadi apa. Tapi terus terang aku menaruh curiga padamu Sabai. Kalau terbukti kau memang

berkomplot dengan Sutan keparat itu, aku akan mengadu jiwa denganmu! Lihat tubuhku 

yang bolong ini! Kekasih gelapmu itulah yang telah mencelakai diriku!”

“Manusia jahanam! Mulutmu lancang dan kotor!” Sabai Nan Rancak melompat ke

hadapan Hantu Balak Anak dari Sijunjung yang diserang cepat menghindar. 

“Tua bangka tolol! Tidak tahu kalau dirimu diperalat orang! Kau tahu Sabai! Aku

mendapat kabar Sutan Alam Rajo Di Bumi lenyap dari puncak Singgalang. Cepat atau

lambat dia akan segera muncul di tanah Jawa ini. Mungkin dia tak dapat menahan rindunya

terhadapmu. Tapi mungkin juga dia datang untuk membunuhmu!”

Habis berkata begitu Hantu Balak Anam putar tubuh lalu dengan langkah tenang dia 

tinggalkan tempat itu. Sabai Nan Rancak kembali terduduk di bawah pohon besar.

Tubuhnya terasa semakin panas dan pemandangannya bertambah kabur.

“Celaka! Racun jahat tusuk konde nenek iblis itu. Sanggupkah aku bertahan atau aku

akan menemui ajal di tempat ini?”

Sabai Nan Rancak kerahkan tenaga dalam, atur jalan darah dan pernafasan. Dia

menotok lagi tubuhnya di beberapa bagian. Saat itulah tiba-tiba satu bayangan biru

berkelebat di hadapannya. Bau sangat harum menusuk- penciumannya. Si nenek angkat 

kepalanya.

“gadislesbian  berbaju biru, pikiranku sedang kacau. Apakah kita pernah bertemu? Apakah 

kau datang bermaksud baik atau jahat?”

“Lupakan semua pertanyaanmu itu Nek. Kau terluka cukup parah. Ada racun

mengalir dalam tubuhmu, izinkan aku menolong.”

Sabai Nan Rancak tampak bimbang. “Terima kasih.... Tapi aku tidak percaya padamu.

Aku memilih lebih baik mati saja. Kehidupan dimasa laluku hanya derita sengsara. 

Kehidupan dimasa datang hanyalah neraka! Jangan berani menolong! Jangan berani 

menyentuh tubuhku!”

“Aku tak pernah melihat racun sejahat ini. Siapa yang telah mencelakaimu Nek?”

“Iblis wanita lesbi  bernama Sinto Gendeng! Musuh besarku sejak lama. Sial nasib 

diriku! Ternyata kepandaiannya luar biasa dan mampu bergerak mendahuluiku. Apa salah

kalau saat ini aku rasanya kepingin mati saja?!”

Berubahlah paras si gadislesbian  berbaju biru mendengar keterangan Sabai Nan Rancak itu.

Dalam hati dia bertanya-tanya silang sengketa apa yang ada antara si nenek dengan guru

penulis  yang dikasihinya itu.

“Nek, jangan tolol. Tidak ada yang paling menyedihkan daripada menemui kematian

secara penasaran. Lihat jariku!”

“Eh, kau hendak melakukan apa?!” tanya Sabai Nan Rancak ketika dilihatnya gadislesbian  

cantik di hadapannya meluruskan jari telunjuk tangan kanannya. Jawaban yang diterima si

nenek yaitu  satu totokan tepat di pertengahan keningnya. Sabai Nan Rancak menjerit

keras. Topi berbentuk tanduk kerbau yang melekat di kepalanya terlempar ke atas. Dari

ubun-ubunnya mengepul asap kehijau-hijauan.

ibunya penulis ayan  Angin Timur menghela napas lega. “Terlambat aku menolongnya-nyawa

nenek satu ini tak mungkin diselamatkan lagi....” Lalu dari baiik pakaian birunya dia

mengeluarkan sebutir obat berwarna hijau. Obat ini dimasukkannya ke dalam mulut Sabai

Nan Rancak. Dengan satu totokan pada tenggorokan si nenek, obat itu meluncur masuk ke

dalam perut Sabai Nan Rancak.

“Sebetulnya aku ingin menunggu sampai kau siuman Nek. Banyak yang bisa kita 

bicarakan. Sayang waktuku sangat sempit. Mungkin lain waktu kita bisa bertemu lagi....

Semoga lekas sembuh.” Setelah pandangi wajah tua keriput itu sesaat ibunya penulis ayan  Angin Timur

segera tinggalkan tempat itu.

Seperti diceritakan sebelumnya, setelah ada letusan yang menebar asap hitam

memerihkan mata menutup pemandangan beberapa orang yang tadi berada di sekitar

tepian Telaga neraka penulis epilepsi  lenyap. Yang tinggal hanyalah Sinto Gendeng, Sika Sure 

Jelantik dan Sabai Nan Rancak.

Sesudah terjadi bentrokan hebat antara Sabai dan Sinto Gendeng, Sika Sure Jelantik

tinggalkan tempat itu sementara arwah penulis sendiri telah lenyap lebih dulu. Nenek ini

berkelebat pergi ke arah lenyapnya kakek tukang kencing si penulis kesetanan  Ngompol.

Lalu kemana perginya orang-orang yang lain?

Di arah timur Telaga neraka penulis epilepsi  saat itu tampak kakek berkepala botak berjalan

memanggul sesosok tubuh penulis  tanpa baju. Kakek ini tampaknya seperti berjalan biasa

saja. Namun orang yang ada di belakangnya dan berusaha mengejar tetap saja mengalami

kesulitan mendekati si kakek.

penulis  yang dipanggul di bahu kiri si kakek ternyata yaitu  Panji yang saat itu

berada dalam keadaan setengah sadar akibat tendangan kaki kanan arwah penulis  Sekujur

tubuhnya terikat dalam gulungan benang halus berwarna putih berkilauan.

“Kek! Tunggu!” Seseorang di sebelah belakang berseru memanggil kakek botak.

Kakek botak seolah tak acuh. Dia lari terus. Di satu kelokan jalan dia membelok ke

kiri, menyelinap ke balik serumpunan pohon bambu dan mendekam di situ. Ketika orang

yang mengejar sampai di tikungan jalan tentu saja dia jadi kehilangan.

“Kek! Di mana kau! Aku tahu kau bersembunyi! Ini bukan saatnya bergurau!” Orang 

yang mengejar ini bukan lain yaitu  Puti nyi pandanajeng . Di tangan kanannya gadislesbian  ini memegang

Pedang Naga Suci 10000an  yang berkilauan terkena siraman matahari.

“Sssttt! Aku di sini.... Lekas kemari!”

Batang-batang bambu terkuak ke samping. Dari celah-celah pohon muncul satu 

kepala botak menyeringai. Puti nyi pandanajeng  cepat melompat lalu menyelinap ke balik

rerumpunan bambu.

“Cucuku, lekas kau simpan pedang sakti itu!” kata kakek botak begitu melihat Puti 

nyi pandanajeng  masih memegang pedang telanjang.

Si gadislesbian  sesaat jadi bingung. “Bagaimana aku mau menyembunyikan. Pedang ini

tidak bersarung....”

“Anak tolol! Sejak diciptakan senjata itu memang tidak punya sarung!” Dengan cepat 

kakek botak mengambil Pedang Naga Suci 10000an  dari tangan Puti nyi pandanajeng . Dengan tangan

kanannya dia menekuk ujung pedang lalu enak saja seperti sebuah ikat pinggang senjata itu 

digulungnya. Bersamaan dengan tergulungnya pedang, cahaya putih yang menyilaukan

lenyap dengan sendirinya. Puti nyi pandanajeng  jadi terheran-heran menyaksikan hal itu. Sedang

kakek botak kepanasan tangannya.

“Lekas kau sembunyikan senjata ini di balik pakaian. Hati- hati. Jangan sampai jatuh.

Jangan sampai ketahuan orang lain!”

Puti nyi pandanajeng  cepat mengambil Pedang Naga Suci yang kini berada dalam keadaan

tergulung lalu memasukkannya ke balik baju hijaunya. “Kek, menurutmu Pedang Naga Suci

10000an  hanya bisa disentuh oleh wanita lesbi  yang masih suci. Barusan kau enak saja memegang



bahkan menggulung senjata itu tanpa cidera seperti yang terjadi dengan nenek Sika Sure 

Jelantik dan arwah penulis serta Sabai Nan Rancak....”

Kakek botak tersenyum. “Aku memang bukan wanita lesbi , bukan juga manusia suci.

Tapi aku tidak punya niat jahat untuk merampas atau memiliki senjata ini....” 

“Tapi Kek....”

“Sudah! Jangan banyak tanya dulu. Lekas ikut aku. Kita harus sembunyi. Aku

khawatir ada orang mengikuti....” Kakek botak balikkan badan, melangkah cepat memasuki

kerapatan pepohonan.

“Tunggu Kek!”

“Apa lagi? Kenapa kau jadi begini bawel?!”

“Kek, aku tahu kau belakangan ini suka menyamar. Tapi lama-lama aku jadi bingung

sendiri melihat mukamu....”

“Kalau begitu jangan lihat mukaku!” kata si kakek lalu tertawa mengekeh sambil 

usap-usap kepalanya yang plontos.

Puti nyi pandanajeng  geleng-geleng kepala. Ketika orang tua itu hendak melangkah cepat dia

pegang lengannya dan bertanya. “Kek, sahabatku penulis  yang kau panggul ini bagaimana 

keadaannya?” Puti nyi pandanajeng  merasa cemas melihat noda darah di mulut Panji.

“Tak usah khawatir. Dia cuma pingsan,” jawab si kakek. “Eh, kau suka padanya 

bukan...?”

“Kau tahu apa mengenai hubungan kami berdua. Aku mengenalnya belum lama,”

jawab Puti nyi pandanajeng . Kakek botak tertawa. “Cinta kalau ditunggu tak pernah datang. Malah

suka muncul secara tiba-tiba.

“Ha... ha... ha! Aku tahu kau suka padanya. Aku bisa melihat dari sinar matamu dan

nada suaramu waktu bertanya....”

Paras Puti nyi pandanajeng  menjadi merah. Terlebih ketika dilihatnya Panji menggerakkan

kepala dan membuka mata. Walau tidak melihat tapi kakek botak tahu kalau penulis  yang

dipanggulnya telah sadarkan diri.

“Anak muda, kau sudah siuman. Apa sudah bisa berjalan sendiri? Pinggangku mau

patah sejak tadi memanggulmu!”

“Kakek, aku tidak mengenalmu. Tapi kau telah menolongku. Aku mengucapkan

terima kasih. Jika kau mau melepas lilitan benang aneh ini aku segera akan turun dari

bahumu!” 

Kakek botak tertawa lalu gerakkan tangan kanannya yang memegang ujung benang

putih halus. Tubuh Panji tersentak ke udara. Bergulung-gulung beberapa kali lalu jatuh ke

tanah dengan kaki lebih dulu. Sesaat penulis  ini tegak terhuyung-huyung. Kakek botak

menunggu sampai Panji sanggup berdiri dengan benar baru menarik benang putih halus

yang masih melilit sebagian tubuhnya.

“Sudah... sudah! Tak usah pakai segala macam peradatan!” kata si kakek botak ketika

Panji hendak menjura memberi penghormatan padanya. “Lekas ikuti aku. Kita harus

sembunyi sampai keadaan aman!”

“Kek, aku harus mencari seseorang. Aku terpaksa tidak bisa ikut bersamamu!”

“Eh, apa-apaan kau ini! Tadi kau mengejarku. Sekarang malah mau pergi!” Kakek

botak pelototkan mata.

“Aku ada urusan sangat penting. Aku harus menemui Bobo  anak manusia . Kita sudah 

mendapatkan Pedang Naga Suci 10000an . Saatnya kita menolong penulis  itu....”

56



Mendengar kata-kata si gadislesbian  kakek kepala botak jadi terkesiap. “Astaga! Kau benar

cucuku. Tapi yang lebih penting saat ini yaitu  menyelamatkan lebih dulu senjata mustika

itu. Kau tahu mengapa aku sengaja membawamu bersembunyi di tempat ini. Semua orang

yang tadi ada di telaga pasti berusaha mendapatkan Pedang Naga Suci 10000an . Se-karang kalian

berdua ikuti saja aku. Ada satu goa rahasia tak jauh dari tempat ini. Kita sembunyi dulu di 

sana sampai keadaan aman.”

Kakek botak lalu putar tubuhnya dan berjalan mendahului di sebelah depan. Panji 

memberi kesempatan pada. Puti nyi pandanajeng  untuk melangkah di belakang si kakek. Ketika gadislesbian 

ini lewat di depannya dia segera berbisik. “Tadi kau bicara menyebut-nyebut Pedang Naga

Suci 10000an . Tapi aku tidak melihat senjata itu. Kau simpan di mana?”

“Aku tak bisa menerangkan sekarang....” jawab Puti nyi pandanajeng .

Panji»masih belum puas. “Kakek botak itu. Apa kau kenal padanya. Apa dia bisa

dipercaya?”

“Dia kakekku sendiri. Aku cucunya. Dia yang memberi petunjuk padaku hingga 

mendapatkan Pedang Naga Suci 10000an . Apa atasanku tidak mempercayainya?”

“Aku ingat pada ceritamu tentang batu hitam. Ternyata kau hanya mengelabui 

diriku,” ujar Panji agak kecewa. Namun sambil tersenyum dia menunjuk pada kakek botak

yang sudah jauh di depan sana. 

“Aku melihat wajahnya aneh. Sepertinya dia....”

“Hemmm....” Puti And ini bergumam. Dalam hati gadislesbian  ini berkata. “Jangan-jangan

dia tahu kalau kakekku ini menyamar mengenakan topeng tipis.” Dengan tersenyum si 

gadislesbian  akhirnya berkata, “Ternyata matamu cukup tajam. Tidak banyak orang punya

kepandaian meneliti sepertimu. Tapi sekali lagi aku bilang, sekarang bukan waktunya mene-

rangkan segala-galanya. Nanti saja....” Habis berkata begitu Puti nyi pandanajeng  segera bergerak

cepat menyusul kakek botak. Panji akhirnya mengikuti di belakang. Baru saja ke dua orang

ini berjalan beberapa langkah tiba-tiba dari arah kanan terdengar suara bentakan-bentakan.

Lalu ada sinar merah, kuning dan hitam berkiblat di udara. Serta merta ranting dan daun-

daun pepohonan yang ada di sekitar tempat itu terbakar hangus. Semak belukar dikobari

api.

“Astaga! Apa yang terjadi?!” ujar Panji. Baru saja penulis  ini berkata begitu tiba-tiba

kakek botak sudah berada di hadapan mereka.

“Lekas ikuti aku. Sesuatu terjadi di sebelah sana. Mungkin hanya tipuan belaka. 

Jangan melakukan sesuatu tanpa izinku!” Lalu kakek botak cepat berkelebat di antara 

kerapatan pepohonan. Panji dan Puti nyi pandanajeng  mengikuti sambil berpegangan tangan.

Berjalan sejarak lima belas tombak ke. tiga orang itu sampai di «satu tempat yang

ditumbuhi rapat pohon-pohon jati tua yang tidak lagi memiliki daun.

Di depan sebatang pohon jati besar berdiri seorang penulis  berwajah tampan. Dia

mengenakan pakaian serba hitam dan rambutnya gondrong sebahu. penulis  ini tegak

dengan kaki merenggang, tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan diangkat di 

atas kepala dengan jari-jari terkepal.

Delapan langkah dari hadapan penulis  tadi tegak Ratu pembunuh penulis kusta . Cermin bulat sakti

tergenggam di tangan kanannya. Sepasang matanya yang biru memandang tak berkesip 

pada penulis  di depannya yang bukan lain yaitu  Raden Layang Kemitir yang dalam

rimba persilatan memperkenalkan diri dengan julukan Utusan Dari Akhirat. Seperti

dituturkan dalam Episode Utusan Dart Akhirat penulis  yang yaitu  putra seorang

bangsawan terhormat di kuburan penulis gila  ini telah menemukan sebuah kitab sakti bernama Matahari 

Sumber Segala Kesaktian. Kitab ini ditemukannya di balik pakaian Si Muka Bangkai alias Si

Muka Mayat, guru Pangeran Matahari yang menemui aja! sewaktu terjadi bentrokan besar

di Pangandaran. Berbekal ilmu kesaktian yang tersimpan di dalam kitab maka arwah Si 

Muka Bangkai yang menampakkan diri secara aneh memerintahkan Layang Kemitir untuk 

mencari dan membunuh tiga musuh besarnya yang sekaligus musuh Pangeran Matahari. 

Ketiga orang itu yaitu  Santiko alias Bujang Gila Tapak Sakti, Tua Gila dan Bobo  anak manusia .

Ketika Bobo  dan Ratu pembunuh penulis kusta  meninggalkan Telaga neraka penulis epilepsi  kedua orang ini

segera melakukan pengejaran terhadap Puti nyi pandanajeng  yang telah mendapatkan Pedang Naga

Suci 10000an . sebab  Bobo  tidak mampu berlari secepat yang dilakukannya, maka untuk dapat

mengejar Puti nyi pandanajeng , Ratu pembunuh penulis kusta  menempuh jalan pintas. Mereka hampir berhasil

memapasi orang yang dikejar namun justru di tempat itu berselisih jalan dengan Utusan

Dari Akhirat. penulis  ini dalam perjalanan menuju Telaga neraka penulis epilepsi . Rupanya dia 

juga telah menyirap kabar akan terjadi sesuatu di telaga yang luas itu. Beg itu melihat Bobo ,

Utusan Dari Akhirat segera menghadang.

“Pendekar 10000an ! Kau sudah ditakdirkan mati di tanganku! Apa sekali ini kau masih

mampu kabur?!”

Beg itu membentak Layang Kemitir langsung menghantam dengan pukulan Gerhana

Matahari ke arah Bobo . Langit seolah menjadi redup. Tiga larik sinar aneh menyambar

ganas. Ratu pembunuh penulis kusta  yang berada di samping murid arwah penulis cepat mendorong

penulis  itu hingga Bobo  terpelanting dua tombak dan jatuh di balik sebatang pohon besar.

“Ratu! Lekas menyingkir! penulis  itu hendak menyerang dengan pukulan Gerhana

Matahari!” Bobo  berteriak memperingatkan sebab  dia mengenal sekali pukulan sakti yang

akan dilancarkan Utusan Dari Akhirat.  

api saat itu ada satu keberanian luar biasa dalam diri Ratu pembunuh penulis kusta . Tangan kanannya

menyelinap ke balik pakaian mengeluarkan cermin saktinya. Ketika dia mengerahkan

tenaga dalam mendadak dia merasa ada satu kekuatan aneh mendahului aliran

tenaga dalamnya. Begitu dia mengiblatkan cermin saktinya maka menggemuruhlah selarik

sinar putih, panas menyilaukan mata laksana ada puluhan kilat menyambar menjadi satu!

Ratu pembunuh penulis kusta  terkesiap sendiri ketika menyaksikan bagaimana cahaya putih yang keluar 

dari cerminnya menghantam Pukulan Gerhana Matahari yang mengeluarkan sinar merah,

kuning dan hitam hingga melesat bertaburan ke udara. Menghantam ranting-ranting dan

daun pepohonan hingga terbakar. Ranting-ranting yang dikobari api itu begitu luruh ke 

bawah langsung membakar semak belukar kering yang ada di sekitar tempat itu. “Lagi-lagi

cermin ini mengeluarkan kehebatan luar biasa tidak seperti biasanya...” kata sang Ratu

dalam hati. 

Layang Kemitir tegak terbelalak. Dadanya berdenyut sakit. Matanya perih dan

sepasang lututnya bergetar. Sejak mewarisi ilmu kesaktian dari kitab Matahari; Sumber

Segala Kesaktian, penulis  ini merasa dirinya sebagai yang paling hebat. sebab -nya dia

menjadi kecut ketika serangannya tadi dihantam mental oleh cahaya putih yang keluar dari

cermin bulat di tangan Ratu pembunuh penulis kusta . Sambil menggeram dia angkat tangannya lurus-lurus

ke atas. Jari-jari tangan dikepal.

“Bobo , siapa sebenarnya penulis  edan ini?” bertanya Ratu pembunuh penulis kusta .

“Dia mengaku murid Si Muka Bangkai, mengaku sebagai saudara seperguruan

Pangeran Matahari. Awas Ratu! Dia hendak melepas pukulan Merapi Meletus,” bisik Bobo  

pada Ratu pembunuh penulis kusta . “Sebaiknya kita lekas menyingkir. Tak usah melayani penulis  geblek

itu. Aku khawatir....”

“Kau tetap saja di balik pohon itu. Siapapun yang berani berlaku kurang ajar

terhadap kita perlu diberi pelajaran pahit!” jawab Ratu pembunuh penulis kusta . Saat itu tangan kirinya

mengusap ke dada dimana tersimpan Kitab Wasiat Malaikat. gadislesbian  ini tahu sekali bahwa

kekuatan hebat yang mengalir mendahului hawa sakti cermin bulatnya berasal dari kitab 

sakti itu. sebab nya penuh percaya diri dia tegak tak bergeming menghadapi Layang

Kemitir.

“gadislesbian  cantik bermata biru!” seru Layang Kemitir seraya sunggingkan seringai genit

yang menjijikkan Ratu pembunuh penulis kusta . “Apa gunanya membela penulis  anak manusia  yang bakalan

menemui ajal menjadi bangkai tak berguna itu! Lebih baik kau ikut padaku. Kita bisa hidup

bersenang-senang sepanjang umur dunia!”

“penulis  jahanam! Berani kau bicara kurang ajar!” teriak Pendekar 10000an . Dia

melompat dari balik pohon, siap menyerang Layang Kemitir. Tapi Ratu pembunuh penulis kusta  cepat

menahan dadanya dan mendorong Bobo .

“Ho... ooo! Pendekar 10000an  Bobo  anak manusia ? Ke-kasihmu atau istrimu?! Ha... ha... ha!”

Bobo  menggeram marah sampai tubuhnya bergetar keras.

Ratu pembunuh penulis kusta  sendiri tetap tenang walau dari hidungnya saat itu dia keluarkan suara

mendengus.

Sepasang matanya yang biru dan wajahnya yang cantik membersitkan hawa 

menggidikkan tapi dari mulutnya malah keluar suara tawa memanjang.

“penulis  tak tahu diri! Baru memiliki ilmu se-dangkal comberan sudah bicara

takabur setinggi langit! Kau mau melepaskan pukulan Merapi Meletus?! Silahkan! Aku mau

lihat sampai di mana kehebatanmu!”

Ratu pembunuh penulis kusta  melintangkan cermin saktinya di depan dada. Pada saat itu juga hawa

sakti mencuat keluar dari perutnya di bagian mana dia menyembunyikan Kitab Wasiat

Malaikat. Hawa aneh ini lalu masuk ke dalam cermin sakti hingga benda itu memancarkan

sinar menyilaukan.

Utusan Dari Akhirat sesaat jadi terkesiap melihat keangkeran cahaya yang keluar dari 

cermin bulat. Selain itu diam-diam dia merasa terkejut bagaimana Ratu pembunuh penulis kusta  tahu bahwa 

dia hendak melepaskan pukulan Merapi Meletus. Otak cerdik dan akal panjang seperti yang

dimiliki Pangeran Matahari, walau kadarnya masih sangat rendah, mulai bekerja.

“gadislesbian  cantik bermata biru: Aku kagum akan kecantikan dan keberanianmu.

Mungkin saat ini kau tidak menyukai diriku. Tapi kalau umur sama panjang siapa tahu kita 

kelak akan bertemu dalam satu jalinan cinta mesra. Ha... ha... ha!”

“Hemmm.... Begitu?!” ujar Ratu pembunuh penulis kusta  menyahut sementara Pendekar 10000an  Bobo 

anak manusia  merasa kupingnya panas dan hatinya geram sekali mendengar ucapan orang.

“Kalau aku boleh tahu sudah berapakah usiamu anak muda?”

“Eh, apa maksudmu gadislesbian  cantik?” tanya Layang Kemitir agak heran.

“Apa kau tuli? Orang bertanya berapa usiamu? sebab  kemarin kami berdua melihat

kau kencing berdiri. Kencingmu saja masih belum lempang, bagaimana mau bercinta

dengan gadislesbian  secantik Ratu pembunuh penulis kusta ...” Yang berkata yaitu  Pendekar 10000an  Bobo  anak manusia .

Habis berkata begitu dia tertawa gelak-gelak.

Merah padam tampang Layang Kemitir mendengar ucapan Bobo  itu. Dadanya

laksana disulut api. Dalam keadaan seperti itu Pendekar 10000an  kembali menambahkan ejekan.

“Kalau kencing saja belum becus aku curiga jangan-jangan setiap kencing kau tidak pernah

cebok!”

Ratu pembunuh penulis kusta  tertawa cekikikan. “Anak muda! Benar-benar memalukan! jangankan 

aku, kambing betina pun mungkin tidak suka padamu! Hik... hik... hik!”

“Bangsat keparat!” teriak Utusan Pari Akhirat dengan darah mendidih. Tangan

kanannya diturunkan ke bawah. Ketika tangan itu hendak dihantamkannya ke arah Ratu 

pembunuh penulis kusta  dia tersirap kaget sebab  orang yang hendak diserang tak ada lagi di tempatnya

semula. Yang masih tegak di tempat itu yaitu  Pendekar 10000an  Bobo  anak manusia . “Hemmm.... ini

kesempatan paling baik untuk menamatkan riwayat penulis  itu!” Maka Utusan Dari 

Akhirat segera menghantam ke arah Bobo .

Namun pada saat itu tiba-tiba dari samping terdengar suara teriakan keras disertai

berkelebatnya satu bayangan hitam, menyusul kiblatan cahaya putih menyilaukan.

Seperti diketahui meski memiliki ilmu kesaktian yang didapatnya dari kitab 

Matahari, Sumber Segala Kesaktian, namun pada dasarnya Layang Kemitir alias Utusan

Dari Akhirat tidak memiliki kepandaian silat tinggi dan tenaga dalam inti. Begitu ada orang

berkelebat ke arahnya dia bukannya mengelak malah dengan nekad coba menghantamkan

pukulan Me-rapi Meletus ke arah orang yang menyerangnya. Padahal untuk itu dia harus 

memutar tubuh. Dalam ilmu silat setiap gerakan yaitu  waktu. Kalau gerakan tidak didasari

kecepatan maka mudah sekali bagi lawan untuk mencuri kesempatan melakukan serangan. 

Sebelum Utusan Dari Akhirat sempat berbalik satu tendangan mendarat di bahu kanannya

sebelum dia sempat melepaskan pukulan saktinya.

“Bukkk!

Utusan Dari Akhirat mencelat sampai tiga tombak. penulis  ini terkapar di tanah.

Mengerang kesakitan. “Hancur bahuku.... Hancur bahuku...” katanya berulang kali.

Saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengekeh. “Apa yang terjadi di

tempat ini?!” Ada orang bertanya. Lalu menyusul suara kaleng berkerontangan keras

menusuk pendengaran. “Siapa yang barusan kena gebuk? Ha... ha... ha!”

Sesaat kemudian di tempat itu muncullah seorang kakek bungkuk berpakaian lusuh

penuh tambalan. Dia menyandang sebuah buntalan di bahu kirinya. Tangan kanan 

memegang sebuah kaleng rombeng yang diguncang terus-menerus. Di kepalanya ada

caping bambu yang masih baru. Di tangan kirinya orang tua ini memegang sebatang tongkat

kayu.

Orang tua ini yang bukan lain yaitu  Kakek Segala Tahu adanya kerontangkan

kalengnya tiga kau lalu berkata. “Hai, aku mau lihat! Siapa saja yang ada di tempat ini!”

Kakek Segala Tahu memandang berkeliling. Tentu saja kakek ini tidak bisa melihat apa-apa 

sebab  kedua matanya tertutup selaput putih alias buta! Tapi sambil senyum-senyum dia

berkata. “Aku mencium bau pesing sangat santar. Sinto, apakah kau berada di sekitar sini? 

Bau pesingmu biasanya tidak sesantar ini. Apa ada orang lain di dekatmu? Kalau benar

dugaanku maka orang itu yaitu  sahabat lama si penulis kesetanan  Ngompol!”

Di balik serumpun semak belukar arwah penulis dan penulis kesetanan  Ngompol saling 

pandang. Kalau si nenek memaki dalam hati maka penulis kesetanan  Ngompol tak habis pikir 

bagaimana orang buta seperti Kakek Segala Tahu itu memiliki kemampuan untuk

mengetahui siapa orang yang ada di dekatnya.

Kakek Segala Tahu mendongak sambil gosok-gosok telinga kirinya dengan ujung

tongkat. “Ada seseorang enak-enakan duduk di atas pohon sebelah sana! Siapa kau adanya? 

Harap memberi tahu nama!”

Saat itu di atas cabang sebuah pohon jati terdengar suara orang menjawab. “Kek, aku

si bocah konyol Naga Kuning!”

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. “Ah, suaramu masih saja ceria. Tanganmu

yang cidera tentu telah sembuh! Aku dengar ada musibah besar terjadi di tempat

kediamanmu di dasar Telaga neraka penulis epilepsi !” Orang tua ini kerontangkan kaleng rom-

bengnya. Dia mendongak ke atas. “Hari telah petang. Udara agak mendung. Tapi telingaku 

mencium bau yang sangat harum mewangi di tempat ini. Siapakah kau gerangan...?”

Sepi. Tak ada yang menjawab. Tak ada gerakan.

“Ah, si cantik itu tak mau menjawab. Malu dia rupanya. Atau mungkin juga dia tak

mau kehadirannya diketahui orang?” Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak.

Di balik pohon keladi hutan berdaun lebar ibunya penulis ayan  Angin Timur mendekam tak 

bergerak. Dia memang sengaja bersembunyi sebab  tidak ingin kehadirannya diketahui

orang.

“Aku tahu masih ada beberapa prang di tempat ini. Jika kalian memang para sahabat 

mengapa tidak memberi tahu...?”

“Kek! Aku Bobo  anak manusia ! Aku bersama Ratu pembunuh penulis kusta . Dia yang barusan menghajar

seorang penulis  berjuluk Utusan Dari Akhirat!”

“Ratu pembunuh penulis kusta ! Apa kabarmu?! Pendekar 10000an ! Aku senang mendengar suaramu.

Syukur kau masih hidup! Ha... ha... ha!” Orang tua ini memandang berkeliling. “Masih ada 

beberapa orang lagi di tempat ini. Sembunyi di balik pohon atau semak belukar! Tak jadi

apa! tak jadi apa. Tapi semua kalian yang hadir di tempat ini! ingat malam nanti yaitu 

malam bulan purnama empat belas hari! Malam ini yaitu  malam perjanjian. Kita

berkumpul di Telaga neraka penulis epilepsi  sebelah barat! Nah, aku pergi sekarang! Sampai nanti

malam!” Si kakek kerontangkan kalengnya tiga kali.

Semua orang yang ada di tempat itu menjadi terkesiap sebab  baru sadar bahwa

malam nanti yaitu  malam bulan purnama empat belas hari. Ketika mereka memandang

lagi ke depan Kakek Segala Tahu tak ada lagi di tempat itu.

Sementara itu di satu tempat yang terlindung Puti nyi pandanajeng  memandang pada kakek

botak di sampingnya. Si kakek gelengkan kepala. “Jangan kau berani membuka mulut! Kita

tidak perlu memberi tahu kehadiran kita di sini. Aku punya firasat sesuatu akan terjadi di

tempat ini. Kau dan Panji tetap di sini. Aku coba menyelidik ke balik pohon besar sana. Aku

barusan melihat ada seseorang menyelinap di tempat itu.”

Tak jauh dari situ, di balik pohon keladi hutan berdaun sangat lebar ibunya penulis ayan  Angin

Timur merasakan tubuhnya tegang ketika tiba-tiba di belakangnya ada satu suara berkata

perlahan tapi jelas.

“Sahabat berwajah jelita. Waktu kita tidak lama. Ambil senjata ini. Berikan pada

pemiliknya sebelum malam tiba....”

Sebuah benda yang memancarkan cahaya berkilauan tiba-tiba diangsurkan di depan

ibunya penulis ayan  Angin Timur hingga gadislesbian  ini tersurut kaget.

“barbel  pembasmi 10000an  yang dikabarkan lenyap!” desis ibunya penulis ayan  Angin Timur. Dia

berpaling ke samping. Saat itu tepat di sebelahnya tegak seorang mengenakan pakaian serba

kuning. Wajah dan rambutnya tertutup cadar berwarna kuning pula.

“Siapa kau.... Mengapa senjata ini ada padamu?” tanya ibunya penulis ayan  Angin Timur.

“Seperti kataku tadi. Kita tak punya waktu lama. Lekas simpan senjata ini.

Sembunyikan di balik pakaianmu. Lekas ambil!”

Walau hatinya bimbang tapi sebab , mengenali sekali bahwa senjata itu yaitu  barbel 

pembasmi 10000an  milik Bobo  maka ibunya penulis ayan  Angin Timur segera mengambil dan

menyimpannya di balik pakaiannya.

“Sekarang dengar. Di sekitar tempat ini ada beberapa orang bermaksud jahat. Lihat

ke depan, ke arah semak belukar lebat....”

ibunya penulis ayan  Angin Timur menoleh ke arah yang dikatakan. Di jurusan itu dia melihat

beberapa orang berpakaian aneh dan mukanya dicat merah, hijau dan hitam. “Mereka

yaitu  orang-orang Lembah Akhirat. Mereka tengah memata-matai kita. Mereka punya 

maksud jahat! Mereka mencari Pedang Naga Suci 10000an ! Bermaksud merampasnya!”

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya ibunya penulis ayan  Angin Timur.

“Aku tahu kau memiliki gerakan laksana angin secepat kilat. Kita harus bertindak 

cepat merampas pedang mustika itu. Lalu....”

ibunya penulis ayan  Angin Timur terkejut. “Kau berada di pihak mana sebenarnya? Mengapa

kau hendak merampas senjata orang?!”

“Bukankah kau ingin menolong Pendekar 10000an . Bagaimana kalau orang-orang Lembah 

Akhirat bergerak lebih cepat. Kita harus mendahului sebelum terlambat. Hanya Pedang

Naga Suci 10000an  yang bisa menyembuhkan musibah yang menimpa diri orang yang kau cintai

itu....”

Berubahlah paras ibunya penulis ayan  Angin Timur.

“Dengar, selain orang-orang Lembah Akhirat, ada orang lain yang juga punya niat

jahat. Sekarang ikuti apa yang aku katakan. Aku akan melompat ke arah gadislesbian  .bernama

Puti nyi pandanajeng  itu lalu membelok dan lari ke kanan. Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya 

mencuri perhatian, Kau mendatangi si gadislesbian  dari arah lain. Kau harus mampu mengambil

Pedang Naga Suci 10000an  yang disembunyikan di balik kain. Sebelum tengah malam kita

bertemu di barat Telaga neraka penulis epilepsi . Tapi ingat. Jangan dulu bergabung dengan para

tokoh! Kau harus bisa membawa Pendekar 10000an  ke satu tempat di mana ada dua pohon yang

batang nya tumbuh saling bersilang. Bagaimana caranya tak perlu kubilang. Terserah

akalmu yang panjang. Kau siap?”

ibunya penulis ayan  Angin Timur menatap mata bening orang bercadar kuning itu. “Pedang

Naga Suci 10000an  bukan senjata sembarangan. Siapa yang berniat jahat bisa celaka sendiri.

Paling tidak tangannya akan terkelupas sampai kelihatan tulang!”

“Aku tahu kau yaitu  seorang perawan suci. Maksud kita mengambil Pedang Naga 

Suci 10000an  bukan untuk merampas atau mencuri. Kita punya niat baik tersembunyi. Menolong

seorang kekasih. Kekasihmu sendiri. Jangan ada keraguan di dalam hati!”

“Baik, aku siap. Tapi ingat satu hal. Jika kau menipu, lehermu akan kupatahkan lebih

dulu!”

Orang bercadar tersenyum di balik cadarnya. Dengan tangan kanannya dibelainya 

pipi ibunya penulis ayan  Angin Timur seraya berkata. “Tidak ada yang paling bahagia di dunia ini

selain menolong orang yang kau cintai! Nan, aku bergerak sekarang! Buang rasa bimbang

yang masih mengambang!”