B. Simatupang sudah bersikap tegas anti komunis.
T.B. Simatupang yang sempat menjabat Kepala Staf Angkatan Perang
(KSAP) RI adalah perwira tinggi yang anti-komunis, yang mempunyai
pandangan strategis, setelah menarik pelajaran dari perkembangan
perjuangan rakyat negeri-negeri Amerika Latin dan Tiongkok. Simatupang
berpendapat harus "mencegah terulangnya pengalaman di daratan Cina yang
akhirnya Partai Komunis mengalahkan Partai Kuomintang dan komunisme
menggantikan San Min Chui". [T.B. Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran
Suatu Mitos, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal.157—158].
Simatupang menyatakan bahwa "di daratan Cina pada suatu waktu
Kuomintang telah dikalahkan Kun Chan Tang dan bahwa San Min Chui telah
diganti dengan komunisme".... "maka pada suatu ketika dapat timbul di
Indonesia .... partai komunis merebut kekuasaan dan bahwa Pancasila diganti
dengan komunisme." [Ibid, hal.165].
Dalam buku Membuktikan Ketidakbenaran Sebuah Mitos, Simatupang
memaparkan perbedaan pendapatnya mengenai hal ini dengan Presiden
Soekarno. [Ibid, hal.162 —167].
Dalam rangka menciptakan syarat buat pelarangan PKI, pada awal 1961
Simatupang menulis makalah yang memaparkan argumentasi bahwa
"Marxisme-Leninisme adalah bertentangan dengan Pancasila." Ini terjadi pada
saat mulai berlakunya Demokrasi Terpimpin di bawah pimpinan Bung
Karno, dan tokoh-tokoh pimpinan PKI mulai masuk ke dalam lembagalembaga tinggi negara.
Demikian pula A.H. Nasution. Bahkan A.H. Nasution dengan
menduduki jabatan KSAD, Wakil Panglima Besar Angkatan Bersenjata dan
Menteri Pertahanan, banyak melahirkan gagasan-gagasan yang berlawanan
dengan politik Bung Karno, terutama dalam menentang persatuan nasional
berporos nasakom, melahirkan gagasan strategi pertahanan Perang Wilayah,
dan dalam melahirkan gagasan dwifungsi ABRI serta melahirkan orde baru
menggantikan orde lama. [Baca Tim PDAT, Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi
Tanpa Partai, Perjalanan Hidup A.H. Nasution, Grafitipers, Jakarta, cetakan
kedua, 2002, 405 halaman].
Dalam berbagai kedudukannya, terutama sebagai Kepala Staf Angkatan
Darat (KSAD) dan Menteri Pertahanan, Nasution mengendalikan Angkatan
Darat untuk dengan tangguh bersikap anti komunis, dan berusaha
menempatkan militer pada pucuk kekuasaan negara. Ini berlawanan dengan
politik-politik Bung Karno yang memelopori realisasi semboyan persatuan
nasional berporoskan nasakom. Sudah semenjak tahun 1948, dengan realisasi
"Red Drive Proposals", dalam pelaksanaan program Kabinet Hatta, Nasution
adalah arsitek "Rera" , "reorganisasi dan rasionalisasi" Angkatan Bersenjata
yang bermuara pada disingkirkannya unsur-unsur kiri dari Angkatan
Bersenjata RI; [PDAT, 2002, hal.59].
Perkembangannya memuncak pada "Peristiwa Madiun" dengan Musso
dan pimpinan tertinggi PKI dibunuh, termasuk mantan PM Amir
Sjarifuddin, Nasution lah yang membuat perintah pada Angkatan Perang RI
menindak dan menangkap para tokoh juga membubarkan organisasiorganisasi pendukung dan simpatisan PKL [Idem, hal.61].
Pelaksanaan "Rasionalisasi" menyebabkan tersingkirnya unsur-unsur kiri
dari Angkatan Bersenjata. Ini menimbulkan ketidakpuasan yang melahirkan
aksi-aksi perwira dan prajurit yang diwakili Kolonel Bambang Supeno,
bekas perwira PETA Jawa Timur, bekas Komandan Akademi Militer, Candra
Dimuka.
Tanggal 13 Juli 1952, Bambang Supeno berkirim surat kepada pemerintah,
presiden, parlemen, dan semua pejabat teras AD. Isinya antara lain
menyatakan bahwa jiwa patriotisme revolusioner telah meluntur karena -
dengan rencana "perampingan" itu - para pejabat AD lebih mengutamakan
profesionalisme teknik kemiliteran dan menempatkan patriotisme sebagai
hal sekunder." [Idem, hal.85].
Peristiwa ini memicu parlemen melahirkan mosi Manai Sophiaan dari
PNI yang menuntut perubahan pimpinan Kementerian Pertahanan dan
Angkatan Perang serta menghentikan program MMB (Misi Militer Belanda).
Mosi ini menyebabkan kecewanya Nasution sebagai KSAD. Inilah yang
memicu Nasution memelopori peristiwa "17 Oktober 1952", yaitu peristiwa
menyampaikan petisi dengan aksi demonstrasi yang digerakkan AD dengan
mengarahkan meriam-meriam ke istana presiden dan menuntut presiden
membubarkan parlemen. Nasution jadi jurubicara menyampaikan petisi.
Tuntutan petisi ini ditolak dan dijawab presiden dengan menyatakan tidak
bersedia menjadi diktator. [Idem, hal.86—87].
Peristiwa ini berkembang sampai Nasution dipecat dari KSAD.
Pemilihan ganti KSAD menimbulkan kekisruhan kalangan pucuk pimpinan
Angkatan Darat. Wakil KSAD Zulkifli Lubis banyak berperan dalam upaya
mempersatukan kembali AD. Upaya Lubis menghasilkan "rapat kolegial" di
Jogjakarta 15—21 Februari 1955 yang menghasilkan kesepakatan berupa
"Piagam Jogjakarta", piagam keutuhan Angkatan Darat RI yang prinsipnya
mengikis sisa-sisa benih perpecahan akibat Peristiwa 17 Oktober 1952.
Tanggal 7 November 1955, kabinet memutuskan mengangkat kembali
Nasution jadi KSAD dengan pangkatnya dinaikkan jadi mayor jenderal.
Nasution tetap mencengkam pendirian anti-komunisnya dan usaha
menempatkan militer dalam pucuk kekuasaan negara. Nasution tampil dengan
konsep peran TNI yang "tepat" di dalam kehidupan kenegaraan, yaitu lewatkonsepsi "Jalan Tengah Tentara", cikal bakal dwifungsi ABRI, yang kemudian
bermuara pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. [Idem, hal.100].
Maka terjadi dan berkembanglah kerja sama presiden dengan Nasution.
Nasution sendiri tak menyia-nyiakan "peluang emas" ini. Ia menggunakan
kesempatan emas ini sebagai political bargaining untuk memasukkan
sejumlah aspirasinya. Nasution menawarkan sejumlah produk
kontemplasinya kepada Soekarno.
Yaitu pertama, Nasution bersedia menjadi co-formateur kabinet tanpa
diekspos kepada khalayak dan media massa.
Kedua, mendesak Soekarno agar anasir-anasir PKI - sebagai lawan politik
pihak militer - tidak disertakan di dalam kabinet.
Ketiga, ada wakil militer yang duduk di kabinet. Untuk itu Nasution
menunjuk Kolonel Suprajogi (Menteri Urusan Produksi) serta Kolonel Nazir
(Menteri Perhubungan). Dan mengusulkan agar sistem kerja Kabinet Karya
yang akan dipimpin Juanda itu menggunakan sistem pengorganisasian
seperti di MBAD. Serta mengusulkan dibentuknya Kementerian Negara
Urusan Kerja Sama Sipil—Militer untuk mengakhiri polemik dikotomi
sipil—militer. [Idem, hal. 113].
Dalam pembentukan Dewan Nasional yang merupakan salah satu
program Kabinet Juanda, Nasution berhasil memasukkan wakil-wakil
militer lewat pengertian diakuinya militer sebagai golongan fungsional.
Selanjutnya Nasution mengusulkan dalam sidang-sidang Panitia Perumus
Demokrasi Terpimpin tanggal 14 — 15 Agustus 1958 agar militer diberi tempat
di Dewan Nasional, DPR, maupun kabinet. [Idem, hal. 114].
Menurut Nasution, TNI tak akan bertindak sebagai penonton di pinggir
arena politik, akan tetapi TNI akan turut terlibat dalam kebijakan nasional di
bidang politik, ekonomi, keuangan, dan internasional. [Idem, hal.115].
Sidang-sidang Konstituante gagal merumuskan Undang-Undang Dasar
baru bagi RI. Nasution tampil dengan usul kembali kepada Undang-Undang
Dasar 1945. W alaupun Bung Karno atas nama pemerintah mengajukan usul
kembali ke Undang-Undang Dasar 45, Konstituante pun gagal mengambil
keputusan.
Pada tanggal 5 Juli pagi, Soekarno bertemu dengan kabinet inti. Dan
sorenya di hadapan ribuan massa, yang sekali lagi dikumpulkan atas
"inisiatif" Nasution, Presiden Soekarno menyampaikan sebuah pidato.
Pidatonya itu ternyata adalah Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD '45. [Idem,
hal.123].
Demokrasi Terpimpin ternyata memberi syarat bagi perkembangan PKI.
Kemajuan dan sepak terjang PKI meresahkan pihak AD. Dengan wewenangyang masih melekat sebagai Peperpu (Penguasa Perang Pusat), Nasution
bersama para panglima di pusat m aupun daerah berupaya mencegah pengaruh
PKL Nasution memperoleh kesempatan untuk meredam aktivitas politik PKI
sebagai sebuah partai yang sah dan konstitusional atau tidak.
Tanggal 31 Desember 1959, pemerintah mengeluarkan Penpres No 7-
1959 mengenai: Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Partai. Nasution
berpendapat, bahwa dalam konsep semula ditentukan bahwa partai-partai
yang memberontak dibubarkan. Dengan itu terkenalah bukan saja partaipartai yang tokoh-tokohnya terlibat dalam PRRI, melainkan juga PKI.
Karena itu Nasution mendukungnya. [Dr. A.H. Nasution, Memenuhi
Panggilan Tugas, Jilid 5, CV Haji Masagung, Jakarta MCMLXXXIX, hal.21].
Menurut Penpres itu akan ditentukan, apakah sebuah partai memiliki
hak hidup berorganisasi atau dibekukan. Tak terkecuali PKI. Presiden
Soekarno membentuk tim penguji yang terdiri dari Mendagri Ipik
Gandamana, Menteri Pembina Jiwa Revolusi Dr. Roeslan Abdulgani, dan
Menteri Keamanan Nasional KSAD A.H. Nasution. Kedua anggota lainnya
menolak untuk "menguji" PKI, mereka mempercayakan kepada Nasution.
Menurut asumsi Nasution, walaupun dalam Penpres itu dirumuskan
partai-partaz' yang sedang memberontak, PKI tetap tak akan lulus untuk
persyaratan ideologis. Persoalannya adalah, menurut Nasution, bagaimanakah
cara mempertautkan Marxisme dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Nasionalisme. Bukankah PKI juga terikat secara internasional dengan partaipartai komunis lainnya?
Tak tercapai kebulatan antara ketiga anggota panitia mengenai klasifikasi
terhadap PKI. Diserahkan pada Presiden Soekarno. Presiden mengambil
jalan tengah, minta PKI mengubah Peraturan Dasarnya dengan menyatakan
menerima ketentuan-ketentuan yang dituntut oleh Penpres No.7. Dengan
Kongres Nasional Luar Biasa, PKI mengamendir Peraturan Dasarnya,
dengan menyatakan bahwa PKI menerima Pancasila sebagai dasar negara.
Berbeda dengan harapan Nasution, PKI lulus, diakui sebagai partai yang sah.
Tidak berhasil dengan metode legal-konstitusional, maka Nasution
berdasar wewenang keadaan darurat menggunakan metode inkonvensional.
Nasution memang memiliki legitimasi untuk menindak PKI berdasarkan
kriteria aktivitas yang dianggap dapat membahayakan keutuhan nasional
dan bangunan sistem demokrasi terpimpin.
Tindakan represif diambil Nasution. Berbagai aktivitas rapat umum dan
pemogokan buruh yang diadakan PKI dan partai-partai lainnya dilarang.
Demikian pula "organ" PKI Harian Rakjat yang berupaya bertahan hidup
dengan sirkulasi terbatas karena tekanan embargo jatah kertas koran.
Beberapa penerbitan majalah dan brosur PKI dilarang.
Karena tekanan AD yang terus-menerus sebagai representasi penguasa
perang terhadap PKI, secara perlahan polarisasi dalam realitas politik makin
mengarah pada dua kubu. Yaitu Soekarno dan PKI di satu pihak serta AD
dari faksi yang anti-PKI di lain pihak untuk membedakan dengan mereka
yang pro-Nasakom dan Soekarnois.
Ketidak-harmonisan //mitra,/ Soekarno—Nasution makin kentara dan
melebar, apalagi ketika Soekarno mau memasukkan orang-orang PKI ke
dalam kabinetnya. Atas dasar persatuan nasakom, Soekarno mencoba untuk
memasukkan unsur-unsur PKI sejak akhir tahun 1960-an. Upaya Soekarno
tersebut ditentang hebat faksi AD anti-PKI.
Dan akhirnya upaya tadi baru terwujud pada bulan Maret 1962. Ketika
itu D.N. Aidit dan M.H. Lukman - masing-masing sebagai ketua dan wakil
ketua PKI - selain menduduki jabatan yang telah diemban sebelumnya
sebagai wakil ketua MPRS dan wakil ketua DPR-GR, mereka dimasukkan
juga ke dalam formasi kabinet dengan kedudukan quasi-cabinet status,
termasuk di dalam Badan Musyawarah Pimpinan Negara.
Presiden Soekarno juga memperjuangkan agar anggota dan simpatisan
PKI bisa ditempatkan sebagai gubernur kepala daerah. Keinginan Presiden
Soekarno ini ditentang Nasution. Presiden setuju, tapi mengambil jalan
tengah, supaya membolehkan jadi wakil gubernur.
Memenuhi politik TNI yang direkayasa Nasution, menyerahnya kaum
pemberontak PRRI—Permesta yang disusul dengan kembalinya
Burhanuddin Harahap, Syafruddin Prawiranegara, dan Ventje Sumual ke
"pangkuan ibu pertiwi" telah melahirkan perbedaan pendapat.
Pada bulan Januari 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah
untuk menahan dan menangkap para pemimpin PSI—Masyumi. Termasuk
mereka yang dianggap tidak terlibat di dalam PRRI. Sebaliknya, Nasution
melihat dalam dimensi strategis-politis lain, yaitu kembalinya pemimpinpemimpin PRRI—Permesta dapat memperkuat barisan anti-komunis dalam
menghadapi gerakan komunisme di Indonesia.
Ketidakpuasan atas pembentukan DPR-GR dan menghadapi kian
meningkatnya kedudukan PKI dalam lembaga-lembaga tinggi negara
melahirkan reaksi dan perlawanan dalam bentuk dibangunnya organisasi
Liga Demokrasi, yang didukung tokoh-tokoh partai IPKI, PSI, Masyumi,
Katolik, Parkindo.
Guy Pauker, agen CIA, konsultan RAND Corporation menilai, "aktor
intelektual di balik pendirian Liga Demokrasi adalah SUAD. Tujuannyaadalah menciptakan krisis, hingga TNI dapat melakukan kup dengan
dukungan partai-partai tersebut. Tentu saja, setelah sebelumnya menentang
komposisi DPR-GR serta PKL [Ibid, hal. 135].
Menurut Nasution, pendirian Liga Demokrasi itu muncul atas inisiatif dan
prakarsa sekelompok perwira intel AD seperti Kolonel Sukendro dan para
tokoh IPKI. Selanjutnya menurut Nasution, Sukendro pernah mengaku
sebagai pendiri Liga Demokrasi.
Baik kawan, m aupun lawan meramalkan, jika berlangsung pemilihan
umum demokratis, PKI akan tampil sebagai pemenang. Untuk menghindari
ini, Nasution dan Angkatan Darat berusaha mencegah berlangsungnya
pemilihan umum, dengan menuntut pemerintah menundanya. Pemerintah
menyetujuinya.
Dalam menentang semboyan persatuan nasional berporos nasakom,
Nasution menampilkan usul menggunakan istilah Politik Karya (Polkar).
Sementara itu. Bung Karno maju terus dengan rencana retoolingnya,
termasuk retooling DPR dengan membentuk DPR Gotong-Royong. Untuk
membicarakan masalah ini, presiden mengundang ke Tampaksiring, Ali
Sastroamidjojo (PNI), Idham Chalid (NU), D.N. Aidit (PKI), dan Nasution
(ABRI). Nasution mengutus Kolonel Wiluyo Puspoyudo dengan
mengemban instruksi untuk mengamendir Nasakom dengan Politik Karya
(Polkar), yaitu parpol-parpol plus golongan-golongan karya sebagai istilah
menghimpun secara potensi sejalan dengan konsensus di Dewan Nasional.
Dengan demikian, posisi partai politik (parpol) dan golkar adalah sederajat.
Dalam Nasakom terasa dominasi bahkan monopoli parpol. [Dr.A.H. Nasution,
1989, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 5, cetakan kedua, CV Haji Masagung,
Jakarta MCMLXXXIX, hal.7].
Setelah memperoleh jaringan yang diinginkan, AD berinisiatif untuk
menghimpun beberapa organisasi golongan fungsional di luar Front Nasional
dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Wadah baru
ini dimaksud untuk menandingi Front Nasional yang jelas-jelas pro-nasakom,
dan sekaligus untuk menghadapi PKI dalam bentuk penggalangan massa.
[PDAT, 1998, hal.136].
Sekber Golkar inilah yang menjadi cikal-bakal Partai Golkar penyangga
rezim orba Soeharto.
Berbagai gagasan diajukan dan diambil Nasution untuk mencegah
kemajuan PKI. Antara lain mengusulkan presiden seumur hidup,
menentang berlangsungnya Nasakomisasi dalam Angkatan Bersenjata,
menentang pengangkatan wakil PKI jadi gubernur, memelopori penerbitansurat-surat kabar Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, Suara Islam, untuk
mengatasi pencabutan izin surat-surat kabar yang anti Nasakom.
Di bawah pimpinannya sebagai Ketua MPRS, menolak pidato Bung
Karno "Nawaksara" hingga menurunkan Bung Karno dari kedudukan
Presiden RI. Salah satu kontribusi terbesar Nasution, yang saat itu menjabat
Ketua MPRS, adalah mengakhiri kekuasaan Presiden Soekarno. [Tim PD AT,
Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai, Perjalanan Hidup A.H. Nasution,
Grafitipers, cetakan kedua, Jakarta, 2002, hal.232 dan Dr. A.H. Nasution,
Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 5, cetakan kedua, Grafitipers, CV Haji
Masagung, Jakarta MCMLXXXIX].
Tanggal 6 Maret 1964, Dubes AS, Jones, mengirim telegram kepada
Departemen Luar Negeri AS tentang pembicaraannya dengan Nasution
perihal menguatnya posisi PKI di Indonesia. Dinyatakan bahwa Nasution
memberi jaminan bahwa bagaimanapun AD akan tetap anti-komunis dan pro
AS. Dalam laporan itu Jones menambahkan, dirinya mengakui akan
melanjutkan percakapan dengan menghubungi para pemimpin AD lainnya,
terutama Ahmad Yani.
Telegram Dubes Jones lainnya kepada Deplu AS tanggal 22 Januari 1965
mengungkapkan, bahwa salah seorang staf kedutaan (mungkin Kolonel
Willis Ethel yang disinyalir anggota CIA, ed.) telah mendiskusikan suatu rencana sehubungan dengan masa pasca Soekarno dengan Jenderal S. Parman.
Diskusi itu disebut-sebut sebagai bukti yang menunjukkan sentimen kuat di
pucuk pimpinan AD untuk mengambil kekuasaan sebelum Soekarno yang
telah sakit-sakitan itu meninggal dunia. [PDAT, 2002, hal.151].
Semenjak masa pembentukannya, di kalangan kaum kiri terdapat
pandangan, bahwa tentara adalah dilahirkan oleh revolusi, adalah berasal
dari anak-anak tani dan buruh. Sampai pada tahun enam puluhan,
pandangan ini dipertahankan terus oleh pimpinan PKI.
Dalam pidato kuliahnya di depan Seskoad, 1 Juli 1964, D.N. Aidit
menyatakan bahwa tentara adalah alat revolusi, anti imperialisme.
"Angkatan Bersenjata RI adalah anti-fasis, demokratis, anti-imperialis, dan
bercita-cita sosialisme Indonesia. Ia adalah alat untuk mengabdi Revolusi
Indonesia, untuk mengubah masyarakat Indonesia dewasa ini menjadi
masyarakat Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis sebagai
landasan untuk menuju ke sosialisme." [D.N. Aidit, Angkatan Bersendjata dan
Penjesuaian Kekuasaan Negara dengan Tugasi Revolusi, Jajasan Pembaruan,
Djakarta,1964, hal.7].
Satu penilaian yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Sebagai bagian dari pelaksanaan Red Drive Proposals hasil pertemuan
rahasia Sarangan, Juli 1948, maka dengan plan Reorganisasi dan Rasionalisasi
(Rera) pemerintahan Hatta, berlangsunglah pembersihan Angkatan
Bersenjata RI dari anasir-anasir kiri. W alaupun yang jadi Panglima Besar
adalah Sudirman yang bukan didikan militer Belanda, pada pokoknya
pucuk pimpinan Angkatan Bersenjata didominasi oleh perwira-perwira
bekas KNIL, atau hasil didikan militer Belanda. Mulai dari Jenderal Mayor
Oerip Soemohardjo, Kolonel Abdul Haris Nasution, Kolonel Tahi Bonar
Simatupang, Kolonel Kawilarang, dan lain-lainnya.
Untuk membendung PKI dan mengusahakan pelarangannya,
berlangsung pelaksanaan Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960 yang
menetapkan, bahwa partai-partai politik harus memiliki dasar yang tidak
bertentangan dengan Pancasila, dan tujuannya tidaklah untuk mengubah
dasar negara. Oleh karena PKI menganut ideologi pembimbing Marxisme
Leninisme, maka dikampanyekanlah bahwa Marxisme-Leninisme bertentangan
dengan Pancasila. Inilah yang dilakukan T.B. Simatupang. [Baca H. Rosihan
Anwar, Sukarno-Tentara-PKI, Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006].
Generasi selanjutnya yang mendominasi pimpinan Angkatan Darat
adalah hasil didikan akademi-akademi militer Amerika, Fort Benning, Fort
Leavenworth, Fort Bragg. Di antaranya terdapat Achmad Yani,
Brigjen. Soewarto, Brigjen. Sukendro, Sarwo Edi Wibowo.
Pada tahun 1965, perwira Angkatan Darat yang dididik di akademiakademi militer Amerika sudah berjumlah 2000 orang. Generasi perwiraperwira didikan akademi-akademi milter Amerika inilah yang mendominasi
pimpinan Angkatan Darat sampai saat ini.
Menurut David Jenkins, selama tahun 1957—1959, "para pemimpin
militer menolak segala gagasan para pemimpin sipil tentang kedudukan
militer sebagai alat negara non-politik dan berdampingan dengan Presiden
Soekarno. Mereka menolak menjadi salah satu dari dua pilar pemerintah
menghadapi musuh besar mereka, Partai Komunis Indonesia (PKI), yang sangat
populer di kalangan para pemilih dan berada di luar pemerintahan. Kuatnya
pengaruh militer secara dramatis di masyarakat pertama kali mendapat
legitimasinya ketika diterapkannya keadaan darurat, kemudian dengan
doktrin dwifungsi ABRI yang digagas Jenderal Nasution." [David Jenkins,
Soeharto & Barisan Jenderal Orba, Rezim Militer Indonesia 1975—1983,
Komunitas Bambu, Jakarta, 2010, hal.2, huruf miring Pen.].
Dalam periode 1959 —1965, para pemimpin tentara, dengan tokohnya
Jenderal Abdul Haris Nasution yang tangguh anti-komunis memperluas danmempertahankan kedudukan mereka dalam sektor non-militer. Sementara
itu doktrin mereka—dengan rumusan yang dikembangkan oleh
Brigjen. Soewarto, Komandan Seskoad di Bandung—digunakan untuk
melegitimasi apa yang kemudian disebut sebagai "jalan tengah tentara".
Untuk memastikan berlanjutnya peran militer di masyarakat, upaya ini
setidaknya sebagian didorong oleh perseteruan pihak militer dengan PKI
yang pada masa 1962 — 1965 membangun kekuatan dalam "segitiga kekuatan"
Soekarno-tentara-PKI.
Seskoad adalah candradimuka, tempat penggemblengan perwira-perwira
tinggi Angkatan Darat. Di bawah pimpinan Brigjen. Soewarto yang bekerja
sama erat dengan CM dan RAN D Corporation, Seskoad menjadi tempat
lahirnya doktrin Angkatan Darat yang anti-komunis.
Doktrin Angkatan Darat Tri Ubaya Shakti dihasilkan oleh seminar
pertama Angkatan Darat tahun 1964 di bawah prakarsa Jenderal Achmad
Jani. Doktrin ini memakukan kesetiaan Angkatan Darat pada Pancasila dan
ajaran-ajaran Bung Karno.
Tahun 1966, Seskoad menyelenggarakan lagi Seminar Angkatan Darat ke-
2 yang merombak Tri Ubaya Shakti membuang semua ajaran revolusioner
Bung Karno, //membersihkan,/ bau Soekarnoisme dan paham kiri. [David
Jenkins, Soeharto & Barisan Jenderal Orba, hal.6. Komunitas Bambu, Jakarta,
2010].
Bahkan mukadimahnya menyatakan bahwa Komunisme, MarxismeLeninisme, Maoisme, bertentangan dengan jiwa Pancasila, menyatakan
menolak Marxisme-Leninisme dan ajaran-ajaran Mao. Tri Ubaya Shakti juga
jadi bernapas rasialisme anti-ras Tionghoa. Seminar merumuskan gagasan
dwifungsi ABRI dengan menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata
mengemban dua tugas sebagai "kekuatan militer" dan sebagai "kekuatan
sosial-politik". Sebagai "kekuatan sosial-politik" tugas tentara meliputi
bidang "ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, dan agama". Tri Ubaya
Shakti adalah doktrin perjuangan Angkatan Darat yang melandasi usaha
penggulingan kekuasaan Bung Karno, yaitu pembentukan orde baru
menggantikan orde lama, yang dijelujuri komunisto-fobi. Di dalamnya
dirumuskan: bahwa "masih ada kekuatan PKI dan pendukungpendukungnya yang tidak bisa menerima usaha-usaha dan kegiatankegiatan pembaharuan dari orde lama ke orde baru."
Dengan demikian, doktrin Angkatan Darat telah berubah, dari
mendukung ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, jadi mencampakkan
ajaran-ajaran revolusioner itu, akhirnya menjadi tegas anti-komunis. Inilah
yang jadi ideologi pembimbing Angkatan Darat semenjak tahun 1966.
Dengan ideologi pembimbing ini. Angkatan Darat telah jadi f obi revolusi,
fobi kiri, jadi aparat pembasmian komunisme di Indonesia.
Angkatan Darat menyempurnakan doktrinnya pada Agustus 1966
dengan menetapkan Catur Dharma Eka Karya,—doktrin Cadek—empat tugas
satu karya—yang menetapkan bahwa di samping tugas di bidang
pertahanan dan keamanan, terdapat juga tugas di bidang-bidang lainnya
dalam masyarakat yang non-militer. Angkatan Darat jadi menyusup dan
berkuasa di semua bidang kemasyarakatan. Mulai dari kedudukan gubernur,
bupati, camat sampai kepala desa dipegang oleh Angkatan Darat
Dengan penyempurnaan Tri Ubaya Shakti, Angkatan Darat menjadi fobikiri dan fobi-revolusi. Pada 1983 dilakukan pemurnian lebih lanjut. Terdapat
pandangan yang berkembang di kalangan Angkatan Darat, bahwa doktrin
Catur Dharma Eka Karya, meski masih mencerminkan filsafat dasar angkatan
bersenjata, perlu diamandemen dengan mempertimbangkan adanya
perubahan struktur sejak 1969 dan seterusnya ... "kata revolusi tidak cocok lagi
dengan pandangan ABRI." [David Jenkins, 2010, hal.6].
CIA mempunyai hubungan erat dengan Angkatan Darat, terutama
dengan Kepala Badan Intelijen, Achmad Sukendro. Di awal tahun 1960
melanjutkan studi di Universitas Pittsburg, tapi Sukendro dan sebagian
besar anggota komando tertinggi Angkatan Darat mempunyai hubungan
erat dengan atase militer di Kedutaan Besar Amerika. [Baca: David Ransom,
Ford Country: Building an Elite for Indonesia, Oktober 1970].
Di bawah bimbingan Nasution dan Soewarto, Seskoad mengembangkan
satu doktrin strategi baru, yaitu strategi Perang Wilayah, yang memberikan
prioritas pada kontra-pemberontakan sebagai tugas tentara. Terutama sesudah
tahun 1962, ketika pemerintah Kennedy membantu Angkatan Darat
Indonesia mengembangkan program "Civic Mission" atau "Civic Action",
yang ini berarti organisasi infrastruktur politik mereka atau "organisasi
teritorial" yang dalam hal-hal tertentu sampai ke tingkat desa. Sebagai hasil
dari usul resmi Kementerian Luar Negeri Amerika dalam tahun 1962,
Pauker membantu menyusun rencana untuk mendirikan di Jakarta, Grup
Penasihat Latihan Militer (Miltag)— Military Training Advisory Group—,
Amerika untuk membantu pelaksanaan program "Civic Mission" dari Seskoad.
Seskoad juga mendidik perwira-perwira Angkatan Darat di bidang
ekonomi dan administrasi hingga beroperasi sesungguhnya bagaikan
setengah-negara, bebas dari pemerintah Soekarno. Dengan demikian.
Angkatan Darat mulai bekerja sama, bahkan menandatangani kontrakkontrak dengan Amerika Serikat, korporasi-korporasi asing di bidangbidang yang kini berada di bawah kontrolnya. "Pelaksanaan program
pendidikan ini dipercayakan kepada para perwira dan pejabat sipil yang
dekat dengan PSI." [ Southwood dan Flanagan, Indonesia: Law, h.35; Scott,
Exporting, h.233].
Pejabat-pejabat Amerika mengakui, bahwa para pejabat sipil itu, yang
m endapat dana dari Ford Foundation menjadi terlibat dalam apa yang oleh
attase militer Amerika waktu itu disebut "contingency planning" untuk
mencegah PKI merebut kekuasaan negara.
Para pejabat Amerika mengakui bahwa program latihan itu adalah
"perencanaan menyeluruh untuk mencegah perebutan kekuasaan oleh PKL"
Bantuan militer termasuk kontrak rahasia untuk menyerahkan 200 Aero
Commanders bagi militer Indonesia. Ini adalah pesawat terbang ringan yang
bisa dipakai untuk kegiatan "civic action" atau operasi kontrapemberontakan yang dilakukan Korps Penerbang Militer, yang semua
perwira seniornya sesungguhnya dapat pendidikan di Amerika.
Lewat proses pelaksanaan strategi dua puluh tahun Ford Foundation yang
dikendalikan Cl A, dan pelaksanaan contingency planning, maka terjadilah
perubahan TKR, Tentara Keselamatan Rakyat yang dilahirkan revolusi
Agustus 1945. TKR berubah wajah dan berganti hati, menjadi pasukan anti
revolusi, anti ajaran Bung Karno dan jadi pasukan pembunuh kaum kiri di
Indonesia.
8. Kubu Soeharto - CIA
RAND Corporation dan Ford Foundation yang berkolaborasi dengan CIA,
mendalangi pembentukan kubu Soeharto —CIA di Indonesia.
Semenjak tahun 1949, Ford Foundation sudah memiliki strategi 20 tahun
untuk membangun jaringan di Indonesia yang bisa berfungsi sebagai aparat
untuk merealisasi the policy of containment dan gagasan politik rollback
terhadap pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno. Ini berarti
dilaksanakannya "contingency planning" untuk mencegah PKI merebut
kekuasaan negara. Maka dibangunlah kekuatan yang dikendalikan CIA,
yang meliputi tenaga-tenaga yang bergerak di bidang politik, militer,
ekonomi, dan sosial. Tercatat kegiatan Guy Pauker, konsultan RAND
Corporation di Indonesia, merajut jaringan intelektual yang selanjutnya
mengabdi pada pelaksanaan "contingency planning". Dalam proses itu,
terbentuklah kubu Soeharto —CIA yang akhirnya memegang puncak
kekuasaan orba.Menurut Subandrio, "Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto
terbentuk ketika kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini
disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap pemberontakan Permesta,
kampanye pembebasan Irian Barat, dan slogan Ganyang Malaysia tidak
efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya
dan Asia Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab
dengan Nasution. Keakraban AS dengan Nasution—dari perspektif AS—
awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung Karno yang cenderung
lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan
Soeharto sudah menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri.
[Subandrio, Tentang G30S].
Awal Januari 1965, di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di
Beograd, datang sepucuk surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk
Yugoslavia, Yoga Soegama (kelak dijadikan Kepala Bakin oleh Soeharto).
Pengirimnya adalah Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga ditawari pulang ke
Jakarta dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik
bagi Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta,
langsung menghadap Panglima Kostrad di rumahnya. Jalan H. Agus Salim.
Mereka bermusyawarah di sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto.
[Subandrio, Idem].
Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung
tiga indikasi:
Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal.
Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di
Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah perwira AD.
Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad
Mayjen. Soeharto.
Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah bersama-sama
Soeharto menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno.
Ketiga, mereka bertujuan menghancurkan PKL Tiga indikasi ini bukan
kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali Moertopo (salah satu
anggota trio Soeharto—Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng alingaling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya seperti
orang tidak berdosa. [Subandrio, Idem].
Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat
gelap itu, tetapi rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu
menunjukkan adanya suatu komplotan Soeharto. Komplotan yang bergerak
dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang memainkan
wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung.
[Subandrio, Idem].
Dalam pelaksanaan strategi dua puluh tahun, sebagai langkah awal, Ford
Foundation mengirimkan tim aju yang terdiri atas "akademisi" dari
Universitas Cornell dan MIT, di antaranya Prof. Guy Pauker yang dikenal
sebagai analis pada RAND Corporation, di samping jabatan akademisnya
sebagai Ketua Pusat Studi Asia Tenggara pada Berkeley University. Tugas
tim tersebut sederhana, yaitu mencari dan mengidentifikasi individuindividu dari lapisan elite intelektual Indonesia yang memiliki prospek
untuk dipilih menjalani proses rekrutmen selanjutnya. Dalam rangka
memudahkan proses identifikasi dan spotting, Guy Pauker membentuk suatu
organisasi Friends of the United States di Jakarta (yang di kemudian hari
berkembang menjadi Usindo). Secara alamiah, organisasi sosial tersebut
menarik minat banyak kalangan elite Indonesia yang berasal dari kalangan
aristokrat dan intelektual.
Berdasarkan proses spotting yang dilakukan oleh tim terhadap lapisan
elite Indonesia tersebut, teridentifikasi dua nama, yakni Prof. Soemitro
Djojohadikoesoemo dan Soedjatmoko dari Universitas Indonesia (UI).
Keduanya adalah intelektual Indonesia dengan cultural breeding Belanda
yang dikenal sebagai tokoh terkemuka dari Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Di samping dua nama tersebut, tim juga menyebutkan adanya "a very
small group" di komunitas elite Indonesia baik dari kalangan sipil dan militer
yang dikategorikan //potensial,/. Dari kalangan sipil, disebutkan nama-nama
antara lain Ali Boediardjo dan Miriam Boediardjo (kemudian dibina di
bawah MIT), Selo Sumardjan (kemudian dibina di bawah Cornell
University), dan lain sebagainya. Dari kalangan militer, dipilih antara lain
Kolonel Soewarto (yang menempuh pendidikan Sesko di US Army
Command and General Staff College, Fort Leavenworth) yang kemudian
menjabat sebagai Wakil Komandan Seskoad
Dalam hal ini, Cornell University dan MIT berperan dalam membangun
serta memperdalam kontak-kontak yang telah dirintis oleh tim aju dengan
lapisan elite Indonesia tersebut di atas, sementara pendidikan dan breeding
Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) yang kemudian
dikepalai oleh Widjojo Nitisastro sebagai direktur.
Di kemudian hari, kader-kader yang dihimpun ini lebih dikenal dengan
julukan Berkeley Mafia. Mafia ini terbukti berperan vital sebagai penerus
pengaruh dan penguasaan Amerika Serikat atas Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (FE-UI) pasca pengasingan Soemitro
Djojohadikoesoemo akibat keterlibatan PSI dalam pemberontakan
PRRI/Permesta.
Para ekonom masa depan Indonesia diserahkan pada UC Berkeley
University. Berdasarkan rekomendasi Soemitro Djojohadikoesoemo, tim
memberangkatkan gelombang pertama akademisi Fakultas Ekonomi UI
untuk menempuh Ph.D. di bidang ekonomi dan pembangunan di UC
Berkeley. Gelombang pertama ini dipimpin oleh orang kepercayaan
Soemitro, yakni Widjojo Nitisastro dan beranggotakan Soedjatmoko,
Mohammad Sadli, Emil Salim, Ali Wardhana, Subroto, dan Barli Halim.
Pada tataran institusional, pembentukan jaringan ini berjalan seiring
dengan pengembangan kelembagaan pada institusi akademis kedua negara,
sesuai dengan cetak-biru yang terdapat dalam Modern Indonesia Project, yakni
menciptakan kampus sebagai pusat pengaruh dan penggodokan cetak-biru
strategis pembangunan negara sasaran. Sebagai contoh, segera setelah tiba di
UC Berkeley, Mohammad Sadli langsung bermitra dengan Prof. Guy Pauker
untuk mengelola Pusat Studi Asia Tenggara, sementara Prof. Soemitro
Djojohadikoesoemo juga membentuk Lembaga. [StarBrain Indonesia, I
Posted: Selasa, 15 Maret 2011: Intelijen, Universitas, dan Jaringan Spionase
Internasional dalam Perspektif Strategi Raya era Global ].
Peter Dale Scott menulis, bahwa sekitar tahun 1953, NSC sudah
mengesahkan satu dari sejumlah dokumen kebijaksanaan yang menyerukan
untuk "mengambil aksi diperlukan dengan berkolaborasi dengan negerinegeri sahabat, untuk mencegah komunis mengontrol Indonesia secara
permanen." Dengan putusan NSC 171/1, pada tahun itu sudah
diperhitungkan latihan militer untuk mempertinggi pengaruh Amerika,
bahkan melalui CIA ditempuh usaha pertama yang ditujukan pada partaipartai politik kanan ("kanan yang moderat" menurut sebutan NSC 171)
terutama partai Islam Masyumi dan partai "sosialis" PSI. Jutaan dolar yang
sudah dikucurkan CIA buat Masyumi dan PSI pada pertengahan tahun
1950-an adalah faktor yang mempengaruhi peristiwa-peristiwa 1965, dan
para perwira yang cenderung pada PSI - terutama Soewarto dan Sarwo
Edhie menjadi tokoh-tokoh perencanaan dan melaksanakan tugas anti PKI,
menghadapi G30S.
Guy Pauker adalah agen CIA yang paling terkemuka beraksi di
Indonesia. Dia mengajar di Universitas California, Berkeley, bekerja sebagai
seorang konsultan RAND Corporation, di mana dia sering mengadakan
hubungan dengan perwira-perwira militer Indonesia. Dalam salah satu buku
terbitan RAND Corporation yang dicetak Princeton University Press, ditulis
bahwa Pauker telah mendesak perwira militer yang dihubunginya untukmengambil tanggung jawab penuh" bagi kepemimpinan bangsanya dan
untuk "memenuhi tugas ... memukul, membersihkan rumah."
Sahabat Pauker yang paling akrab di kalangan militer adalah Brigjen.
Soewarto yang dapat pendidikan akademi militer Fort Leavenworth
Amerika tahun 1959, yang memainkan peranan dalam menciptakan gagasan
kontra-pemberontakan. Soewarto membangun Seskoad di Bandung menjadi
tempat latihan untuk mengambil alih kekuasaan politik. Seskoad menjadi
titik pusat pemberian bantuan dari Pentagon, CIA, RAND Corporation, dan
Ford Foundation. Di samping latihan militer dan kontra-pemberontakan,
Seskoad melatih para perwira dalam hal ekonomi dan administrasi, dan
karena itu mendidik mereka sesungguhnya untuk beroperasi sebagai
setengah negara yang bebas dari pemerintah."
Seskoad juga mendidik perwira-perwira Angkatan Darat di bidang
ekonomi dan administrasi hingga beroperasi sesungguhnya bagaikan
setengah-negara, bebas dari pemerintah Soekarno. Dengan demikian.
Angkatan Darat mulai bekerja sama, bahkan menandatangani kontrakkontrak dengan Amerika Serikat, korporasi-korporasi asing di bidangbidang yang kini berada di bawah kontrolnya. "Pelaksanaan program
pendidikan ini dipercayakan kepada para perwira dan pejabat sipil yang
dekat dengan PSI". [Southwood and Flanagan, Indonesia: Law, h.35; Scott,
Exporting, h.233].
Pejabat-pejabat Amerika mengakui, bahwa para pejabat sipil itu, yang
m endapat dana dari Ford Foundation menjadi terlibat dalam apa yang oleh
atase militer Amerika waktu itu disebut "contingency planning" untuk
mencegah PKI merebut kekuasaan negara.
Para pejabat Amerika mengakui bahwa program latihan itu adalah
"perencanaan menyeluruh untuk mencegah perebutan kekuasaan oleh PKL"
Bantuan militer termasuk kontrak rahasia untuk menyerahkan 200 Aero
Commanders bagi militer Indonesia. Ini adalah pesawat terbang ringan yang
bisa dipakai untuk kegiatan "civic action" atau operasi kontrapemberontakan yang dilakukan Korps Penerbang Militer, yang semua
perwira seniornya sesungguhnya dapat pendidikan di Amerika.
Sebuah penyelidikan Senat Amerika mengungkapkan, bahwa penyuplai
militer Amerika yang punya hubungan dengan CIA, terutama Lockheed,
telah merundingkan penjualan peralatan dengan pembayaran lewat
perantara dengan cara sebegitu rupa, hingga pembayarannya tidak
melibatkan Nasution atau Yani, tetapi pada pimpinan yang kurang dikenal
dari faksi ketiga tentara, Jenderal Mayor Soeharto. Dana rahasia yang diatur oleh
Angkatan Udara Amerika Serikat atas nama CIA yang dicucikan sebagai
"komisi" tentang penjualan alat-alat dan servis Lockheed, demi untuk upah
politik bagi pejabat-pejabat militer - yaitu faksi Soeharto yang didukung CIA.
Titik pusat paling penting dari latihan dan bantuan Amerika adalah
untuk hubungan-hubungan organisasi teritorial dengan "administrasi sipil,
organisasi-organisasi agama dan kebudayaan, kalangan pemuda, veteran,
serikat-serikat buruh, organisasi-organisasi tani, partai-partai politik, dan
kelompok-kelompok di tingkat-tingkat regional dan lokal." Hubunganhubungan politik dengan kelompok-kelompok sipil ini memberikan jaringan
struktur untuk penindasan kejam terhadap PKI dalam waktu dekat.
Roger Hilsman, yang punya karier lama dalam CIA dan Kementerian
Luar Negeri, mencatat bahwa tahun 1963, sebagai hasil pelaksanaan
program latihan, "militer Amerika dan Indonesia sudah saling mengenal
lebih baik. Terdapat hubungan dan saling menghargai antar sesama
pribadi."
Komite Luar Negeri Congress Amerika mengakui pada waktu
berlangsungnya kup tahun 1965, lebih dari 1200 perwira Indonesia,
termasuk tokoh-tokoh militer senior sudah mendapat didikan di Amerika
Serikat.
Tahun 1965, sekelompok perwira militer muda didorong oleh CIA,
supaya berusaha melakukan kup terhadap Presiden Soekarno dan
membunuh enam pucuk pimpinan tentara. CIA merebut kesempatan ini
untuk mengganti Presiden Soekarno dengan Jenderal Mayor Soeharto. CIA
menggalakkan kampanye propaganda masif menimpakan dosa
pembunuhan enam jenderal itu pada PKI. Kampanye bohong media
memainkan peranan penting membangkitkan kemarahan rakyat terhadap
PKI. Potret mayat-mayat jenderal yang membusuk dipertunjukkan pada
semua surat kabar dan siaran tv. Diiringi dengan kisah-kisah bikinan CIA
yang secara palsu dinyatakan, bahwa para jenderal sudah dipotong-potong
dan matanya dicongkel oleh wanita-wanita komunis yang bersenjatakan
pisau silet. CIA juga menyebarkan desas-desus dalam berita pers bahwa
Tiongkok sudah menyeludupkan senjata bagi PKI untuk membangkitkan
pemberontakan tak lama lagi.
Dalam pada itu, sekelompok militer Indonesia dan pemimpin-pemimpin
ekonomi yang sudah mendapat pendidikan CIA di Centre for South and
Southeast Asian Studies di UC Berkeley yang kemudian terkenal dengan
"Berkeley Mafia", sudah kembali ke Indonesia dan menjadi pendorong di
belakang kup militer 1 Oktober 1965. Selanjutnya mereka menjadi tulang
punggung kubu Soeharto dan pemerintahan Soeharto. Anggota-anggota
utama dari "Berkeley Mafia" ini adalah: Widjojo Nitisastro, yang kemudian
menjadi Menteri Ketua Badan Perancang Nasional (Bappenas) 1967—1983,
Menko Ekonomi, Keuangan, dan Perindustrian (1973 — 1983), Penasihat
Bappenas (1983 — 1998), Penasihat Presiden Bidang Ekonomi (1993 — 1998),
Ketua Tim Pembantu Ekonomi (1999—2001); Ali Wardhana, Menteri
Keuangan (1973 — 1983), Menko Ekonomi, Keuangan, dan Perindustrian
(1983 — 1988); Mohammad Sadli, Menteri Pertambangan; Subroto, Menteri
Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi (1973 —1978), Menteri
Pertambangan dan Energi (1978 — 1988); Emil Salim, Wakil Ketua Bappenas
(1967—1971), Menteri Aparat Negara (1971 —1973), Menteri Pengangkutan,
Komunikasi, dan Turisme (1973 —1978), Menteri Pengawasan Perkembangan
dan Lingkungan Hidup (1978 — 1983), Menteri Kependudukan dan
Lingkungan.
Tahun 1961, Angkatan Darat menugaskan Letkol. Suhardiman untuk
mendirikan organisasi buruh, SOKSI, — Sentral Organisasi Karyawan
Swadiri Indonesia. Suhardiman mengakui, bahwa pembentukan SOKSI
adalah untuk membendung perkembangan PKI, untuk mencegah
kemenangan PKI dalam pemilihan umum yang akan datang. SOKSI menjadi
anggota International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) yang
disponsori CIA.
Pada tahun 1964, untuk menghadapi kekuatan PKI dan Bung Karno,
Angkatan Darat menugaskan Letkol. Suhardiman dari SOKSI menghimpun
berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan
nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sekber
Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir
untuk menghadapi perkembangan PKI dan organisasi-organisasi yang
dipimpin PKI. Sekber Golkar inilah yang kemudian berubah menjadi
Golongan Karya, yang kemudian menjadi Partai Golkar.
Untuk menguasai kehidupan bidang informasi. Angkatan Darat
menerbitkan surat kabar sendiri, yaitu harian Berita Yudha (1965) dan
Angkatan Bersenjata. Di samping itu, para wartawan anti-komunis dipelopori
Harmoko mendirikan organisasi Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). BPS
didirikan pada tanggal 1 September 1964 dengan menyatakan
mempopulerkan //Soekarnoisme,/ sebagai senjata untuk mendukung
penyelesaian revolusi dan terbentuknya masyarakat sosialisme Indonesia
berdasarkan Pancasila dan berpedoman Manipol, Usdek. M enurut siaran
BPS, simpati langsung diperolehnya dari Jenderal A.H. Nasution, sejak awal
juga sudah menerima dukungan dari Amerika Serikat. Namun dukungan
Washington dikritik sendiri sebagai satu kekeliruan, karena menimbulkan
kecurigaan rakyat Indonesia.
Tugas BPS sebenarnya dinyatakan dalam program perjuangannya, yaitu
berperan sebagai champion social dengan melakukan economic reform dan
political reform, satu tatanan baru yang menolak tatanan ekonomi dan politik
yang sedang operasional, seperti yang digariskan Bung Karno dan sudah
disahkan menjadi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh MPRS.
Pada tanggal 17 Desember 1964, Presiden Soekarno membubarkan BPS
dan pada 23 Februari 1965 memerintahkan supaya semua atribut BPS
ditutup dan dihentikan kegiatannya. //Soekarnoisme,/ yang dimaksudkan
sebagai ajaran Bung Karno, di tangan BPS menjadi lain artinya, yaitu
menunggu momentum untuk menghancurkan ajaran itu. Pada tahun 1983,
diterbitkan buku yang berjudul Perlawanan Pers Indonesia BPS terhadap
gerakan PKI, yang ditulis oleh Tribuana Said dan D.S. Muljanto. Buku ini
membuka baju penyamaran BPS dan memakai baju aslinya sambil mengakui
adanya hubungan BPS dengan unsur-unsur Angkatan Darat dan beberapa
partai politik seperti Murba, NU, IPKI , PSII, dan Partai Katolik. [Manai
Sophiaan, Penghargaan Bagi Yang Berhak, VisiMedia, 2008].
David Jenkins menulis, bahwa ketika Soeharto meraih kekuasaan pada
pertengahan 1960-an, ia benar-benar menyandarkan diri pada sekelompok
kecil penasihat dari Angkatan Darat. Inilah bagian dariJcwFw Soeharto-CIA.
Pada Agustus 1966, ia membentuk Staf Pribadi (SPRI) yang terdiri dari enam
orang perwira tinggi AD serta dua tim sipil, para spesialis bidang ekonomi.
Pada 1968, SPRI beranggotakan 12 orang. Mereka secara luas dipandang
sebagai "pemerintah bayangan" yang punya kekuasaan lebih besar
dibanding kabinet, utamanya dalam penyusunan kebijakan. Para anggota
SPRI bertanggung jawab terhadap soal-soal keuangan, politik, intelijen
dalam dan luar negeri, kesejahteraan sosial, masalah-masalah pemilu, juga
dengan "masalah umum" dan "masalah khusus".
Koordinator SPRI, Mayjen. Alamsjah Ratu Prawiranegara menjadi
teman dekat Soeharto sejak mereka bertugas bersama di Markas Besar AD
pada tahun 1960. Tiga orang lainnya, Ali Murtopo, Sudjono Humardhani,
dan Yoga Sugama menjadi pembantu Soeharto ketika ia menjadi Panglima
Kodam Diponegoro, Jawa Tengah pada akhir 1950-an. Mereka kemudian
bertugas bersama Soeharto lagi ketika di Kostrad. Alamsjah dan Sudjono
Humardhani memiliki latar belakang keuangan militer, sedangkan Ali
Murtopo dan Yoga Sugama adalah perwira intelijen yang dinamai Opsus
(Operasi Khusus) yang didirikan di dalam Kostrad pada 1964 untuk mencari
cara mengakhiri "konfrontasi" dengan Malaysia. [David Jenkins, Soeharto &
Barisan Jenderal Orba, Rezim Militer Indonesia 1975—1983, Komunitas Bambu,
2010, hal.27—28].
David Jenkins juga menulis: "Di bawah Soeharto, kekuasaan bukan saja
terpusat, tetapi berada pada segelintir tangan. Dalam analisa terakhir,
presiden tergantung pada bantuan kira-kira 12 orang tokoh kunci militer,
masing-masing memimpin organisasi dengan ketat dan sering saling
bertentangan dalam piramida kekuasaan.
Pada pertengahan 1970-an angota "kelompok inti" ini termasuk Jenderal
Maraden Panggabean, Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Panglima
ABRI; Letjen, (kemudian Jenderal) Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri;
Letjen, (kemudian Jenderal) Yoga Sugama, Kepala Bakin, sebelumnya
menjabat ketua "dapur kabinet" urusan politik; Laksamana Sudomo, Kepala
Staf Kopkamtib; Mayjen. (kemudian Jenderal) Benny Mur dani, asisten
intelijen Menteri Pertahanan; Letnan Jenderal Sudharmono, Menteri
Sekretaris Negara; Letjen, (kemudian Jenderal) Darjatmo, Kepala Staf urusan
non-militer Menteri Pertahanan; Letjen. Ibnu Sutowo, Presiden Direktur
Pertamina; selanjutnya mungkin ada satu atau dua orang lagi." [David
Jenkins, Soeharto & Barisan Jenderal Orba, Rezim Militer Indonesia 1975—1983,
Komunitas Bambu, 2010, hal.25—26].
Mayjen. Soeharto menjelang September 1965 berada pada puncak
kekuasaan teritorial dan ekonomi, apalagi militer/intelijen, karena faktorfaktor penunjang bantuan dana dari CIA/AS, Pertaminanya Ibnu Sutowo,
Freeport Sulphur dari Irian-Jaya, melalui para perantara A.M. Dasaad,
Alamsyah Ratuprawira, Walandouw, dan Bob Hasan. Di bidang militer
Soeharto menguasai selain Kostrad, juga bekas-bekas pasukan dan
komandan di Jawa Tengah, Jawa Timur (Basuki Rahmat), dan RPKAD serta
dinas-dinas kavaleri dan artileri Jawa Barat.
Ford Foundation di bawah pimpinan Paul Hoffman dan bekerja sama
erat dengan Rockefeller Foundation, bergerak cepat memenuhi kata-kata
Dean Rusk untuk Indonesia. Sebagai Kepala dari Marshall Plan di Eropa,
Hoffman memberi bantuan mengatur kemerdekaan Indonesia dengan
memotong bantuan Marshall Plan bagi Belanda, bahkan mengancam akan
memotong habis bantuan itu, jika Belanda terus membahayakan
kemerdekaan Indonesia. Karena Amerika adalah penyuplai bagi Belanda,
Hoffman dan Ford Foundation bekerja sama melalui universitas-universitas
Amerika - MIT, Cornell, Berkeley, dan akhirnya Harvard - untuk mencetak
baru hierarki Indonesia menjadi adminstrator modern, terlatih untuk bekerja
dalam kekuasaan yang tidak langsung dari orang-orang Amerika. Dalam
jargon Ford sendiri, mereka menciptakan satu "elite yang dimodernisasi"
Ford Foundation berkolaborasi dengan RAND Corporation menyusun
dan melaksanakan strategi dua puluh tahun untuk menghadapi Indonesia.Tahun 1949, Soedjatmoko dan Soemitro Djojohadikoesoemo adalah dua
orang yang direkrut CIA lewat Ford Foundation dan RAND Corporation
untuk melaksanakan strategi Ford Foundation di Indonesia. Setelah
pemberontakan bersenjata PRRI tahun 1958 ditumpas, Soemitro
Djojohadikoesoemo yang menjadi salah seorang tokohnya, diselamatkan
CIA di luar negeri, di Singapura.
Sebelum itu, Soemitro lewat kedudukannya sebagai Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia sudah sempat merajut jaringan sejumlah
intelektual muda ahli ekonomi didikannya. Antara lain terdapat Selo
Soemardjan, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Sadli. Ketika Soemitro di
pengasingan, fakultasnya tetap jalan terus. Kedudukannya tidak digantikan
orang. Siswa-siswanya dapat menemuinya dalam perjalanan dari dan ke
Amerika Serikat. Seorang tokoh buruh seperti Jay Lovestone, ketua program
international CIA, memelihara hubungan erat dan menyaksikan pesan-pesan
Soemitro lewat sahabat-sahabat Indonesianya.
Tahun 1959, Pauker menguraikan pelajaran yang ditarik dari kekalahan
PSI dalam pemilihan umum dan dari kegagalan pemberontakan di luar Jawa
dalam sebuah tulisan berjudul "Southeast Asia as a Trouble Area in the Next
Decade". Partai-partai seperti PSI adalah 'Tidak cocok untuk kompetisi yang
sengit/' dan menurut dia, "komunisme akan menang di Asia Tenggara ...
jika tidak didapatkan kekuatan melawannya yang efektif." Menurut dia,
kekuatan-kekuatan saingan "yang dipersenjatai dengan paling baik" adalah
anggota-anggota perwira korps nasional sebagai perseorangan dan tentara
nasional sebagai kekuatan yang terorganisasi."
Soeharto mengakui, bahwa setelah dia diputuskan untuk belajar di
Seskoad, "segeralah Pak Gatot Soebroto mengontak Brigjen. Soewarto,
seorang komandan Seskoad sekaligus agen aktif CIA, yang kemudian berhasil
menatar dan membekaliku dalam suatu kursus regular sebagai staf
komando Angkatan Darat. [Hafis Azhari, Catatan Harian Seorang Mantan
Presiden (Membongkar Dokumen Soeharto)]. Brigjen. Soewarto adalah lulusan
dari Fort Leavenworth pada tahun 1959. Menjabat Wakil Komandan Seskoad.
Di Seskoad mereka digabungkan dengan orang-orang PSI dan Masyumi
lainny, bersama Brigjen. Syarif Thajeb —seorang yang digembleng di
Harvard, jadi menteri pendidikan. [Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di
Indonesia].
Demikianlah, di bawah kendali Guy Pauker berlangsung proses
perajutan jaringan, hingga terbentuknya grup Soeharto-CIA. Ke dalamnya
termasuk Adam Malik yang jadi wakil presiden, dua belas jenderal: Jenderal
Maraden Panggabean, Menteri Pertahanan dan Keamanan dan PanglimaABRI; Letjen, (kemudian Jenderal Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri;
Letjen, (kemudian Jenderal) Yoga Sugama, Kepala Bakin, sebelumnya
menjabat ketua "dapur kabinet" urusan politik; Laksamana Sudomo Kepala
Staf Kopkamtob; Mayjen. (kemudian Jenderal) Benny Murdani, asisten
intelijen Menteri Pertahanan; Letnan Jenderal Sudharmono, Menteri
Sekretaris Negara; Letjen, (kemudian Jenderal) Darjatmo, Kepala Staf urusan
non-militer Menteri Pertahanan; Letjen Ibnu Sutowo, Presiden Direktur
Pertamina; dan sekelompok sarjana Mafia Berkeley: Widjojo Nitisastro, yang
kemudian menjadi Menteri Ketua Badan Perancang Nasional (Bappenas)
1967—1983, Menko Ekonomi, Keuangan dan Perindustrian (1973 — 1983),
Penasehat Bappenas (1983 — 1998), Penasihat Presiden Bidang Ekonomi
(1993 — 1998), Ketua Team Pembantu Ekonomi (1999—2001); Ali Wardhana,
Menteri Keuangan (1973 — 1983), Menko Ekonomi, Keuangan, dan
Perindustrian (1983 — 1988); Mohammad Sadli, Menteri Pertambangan;
Subroto, Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi (1973 —1978),
Menteri Pertambangan dan Energi (1978 — 1988); Emil Salim, Wakil Ketua
Bappenas (1967—1971), Menteri Aparat Negara (1971 —1973), Menteri
Pengangkutan, Komunikasi, dan Turisme (1973 —1978), Menteri
Pengawasan Perkembangan dan Lingkungan Hidup (1978 — 1983); Menteri
Kependudukan dan Lingkungan.
Kubu Soeharto-CIA inilah yang berhasil menggulingkan Bung Karno,
menjadi pucuk kekuasaan orba yang fasistis anti-komunis. Sesuatu yang
diidamkan oleh pemerintrah Amerika Serikat.
Dengan demikian, lewat pengendalian CIA, dengan mengoperasikan
RAND Corporation, Ford Foundation, Universitas-Universitas Berkeley,
Cornell dan MIT, serta penggemblengan Seskoad, dengan pengucuran dana
dari Ford Foundation, menggunakan kekuatan kalangan Masyumi, PSI,
Murba, serta Katolik, dengan tulang punggung Angkatan Darat,
terbentuklah kubu Soeharto-CIA. Kubu ini meliputi kekuatan politik, militer,
ekonomi, persuratkabaran, gerakan buruh. Grup inilah yang jadi eksekutor
doktrin the policy of containment - Doktrin Truman - dan gagasan rollback John
Foster Dulles. Inilah aparat pembasmian kekuatan kiri di Indonesia dan
penggulingan Bung Karno tahun 1965. Dan NSC Amerika Serikat, Politbiro
Perang Dingin, adalah otak, inisiator, perekayasa, dalang semua pembasmian
kekuatan komunis dan kekuatan kiri di dunia, termasuk di Indonesia.
INDONESIA jelita dijuluki untaian zamrud khatulistiwa. Negeri kepulauan
dengan belasan ribu pulau tertebar di samudera biru antara Lautan Teduh
dan Samudera Indonesia. Alamnya indah, subur, dan kaya. Beriklim
nyaman sepanjang masa. Berpenduduk nomor empat terbesar di dunia
sesudah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Rakyatnya rajin, ulet bekerja.
Punya tradisi heroik membela kebebasan negeri. Tapi, sempat tiga setengah
abad dikuasai penjajah Belanda.
Dalam sejarah tercatat, demi kebebasan, rakyat berjuang melancarkan
berbagai perang melawan penjajahan Portugis, Spanyol, dan Belanda. Pada
tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan kepada seluruh rakyat Maluku
untuk mengusir Portugis dari Maluku, Sultan Babullah Ternate berperang
selama 5 tahun (1570 —1575) melawan Portugis; 1617, berkobar gerakan
perlawanan rakyat Minahasa di Sulawesi Utara untuk mengusir kolonial
Spanyol; tahun 1643, pecah perang Minahasa Serikat melawan Spanyol; dan
terus-menerus berlangsung berbagai perang melawan penjajah Belanda:
Perang Hasanuddin melawan VOC (1667), Perang Banten melawan VOC
(1682, 1886, 1888), Perang Surapati (1686 dan 1706), Perang Tondano (1807—
1809), Perang Diponegoro (1825 — 1830), Perang Pattimura (1817), Perang
Palembang, Perang Banjar/Dayak, Perang Bali (pertempuran penghabisan
tahun 1908), Perang Batak, Perang Lombok (1894—1895), Perang
Banjarmasin (1906), Perang Jambi (1907), Perang Paderi di Minangkabau
(tahun 1821 hingga 1837), Perang Tapanuli (Singa Mangaraja ke-10 tewas
tahun 1907), Perang Riau (1913), Perang Aceh (1873 — 1908). Berguguran
pahlawan di medan tempur. Tradisi heroik rakyat melawan penjajahan
menghiasi sejarah bangsa Indonesia.
Demi kebebasan dan keadilan, semenjak pertengahan abad XIX, dunia
dilanda cita-cita sosialisme. Tahun 1848, Marx dan Engels berhasil
merumuskan Manifes Partai Komunis, yang dimulai dengan kalimat: "Ada
hantu berkeliaran di Eropa - hantu komunisme." Dan ditutup dengan
kalimat: "Kaum proletar tidak akan kehilangan apa pun kecuali belenggu
mereka. Mereka akan memperoleh dunia." [Karl Marx, Friedrich Engels,
Manifes Partai Komunis, Penerbit Indonesia Progresif, 1973, hal.51 dan 114].
Cita-cita yang terkandung dalam Manifes ini adalah melenyapkan
penghisapan manusia oleh manusia, membangun sosialisme. Cita-cita ini
menjalar ke Asia, masuk Indonesia.
Kolonialisme Belanda mengeruk laba besar-besaran dengan
mencengkamkan kuku kapitalisme. Sebelum tahun 1870, eksploitasi yang
dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia
didasarkan atas peraturan "Cultuur Stelsel" . Peraturan ini dilahirkan dalam
tahun 1830 di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal van den Bosch.
"Cultuur Stelsel" mewajibkan kaum tani: 1. menyerahkan sebagian hasil
buminya kepada pemerintah Hindia Belanda, 2. kerja paksa (rodi) untuk
pemerintah 3. memikul berbagai macam pajak.
Kemudian, kewajiban "menyerahkan sebagian hasil buminya" dan "kerja
paksa" diganti dengan menyerahkan sebagian tanahnya untuk ditanami
bahan-bahan ekspor yang laku pada waktu itu (kopi, teh, indigo).
Rakyat diwajibkan mengerjakan tanah bagian pemerintah mulai dari
membuka tanah, menanam, memelihara, menjaga, memetik hasilnya,
mengangkut ke gudang, menjaga gudangnya, hingga bahan-bahan itu
terjual. Pekerjaan ini semua dikerjakan dengan paksaan.
Maka kemelaratan menimpa rakyat yang ditindas "Cultuur Stelsel".
Sedangkan Belanda menguras beratus-ratus juta florin (gulden Belanda).
Kekejaman "Cultuur Stelsel" dikritik dengan tajam oleh Eduard Douwes
Dekker (Multatuli) dengan karya sastranya Max Havelaar. Multatuli dalam
tahun 1856 menjadi asisten residen di Lebak.
Mengkritik "Cultuur Stelsel", Frederick Engels dalam suratnya kepada
Kari Kautsky menulis: "Di Jawa berlangsung ... Belanda mengorganisasi
produksi atas dasar masyarakat komunisme kuno di bawah pengawasan
negara.... Hasilnya, rakyat hidup dalam taraf keterbelakangan yang primitif.
dan 70 juta marks (sekarang pasti lebih) setiap tahun dikuras masuk
perbendaharaan nasional Belanda." [Surat Engels kepada Kari Kautsky, 16-2-
1884, Marx and Engels Selected Correspondence, second edition, Progress
Publishers, Moscow, 1965, hal.368].
Imperialisme telah menghancurkan "Cultuur Stelsel" dan monopoli
negara, karena sistem ini sudah tidak cocok lagi dengan tingkat kapitalisme
yang sudah mencapai puncaknya. Apa yang disebut oleh kaum liberal
dengan sistem "baru" dan "kerja merdeka" kemudian berwujud sistem
"baru" dalam mengeksploitasi dan "kerja merdeka" bagi kapital monopoli.
Sedangkan bagi kaum buruh dan kaum tani, sebagaimana juga di zaman
"Cultuur Stelsel" dan sistem monopoli negara, yang tersedia hanyalah
kemelaratan.
Di samping kemewahan luar biasa hidup para pemilik kapital, berjutajuta kuli bangsa Indonesia, yang diikat oleh kontrak-kontrak yang
berdasarkan "ordonansi kuli" (yang pertama untuk Sumatera Timur tahun
1880), dan jika mereka bekerja kurang keras sedikit saja, mereka mendapat
pecut dengan rotan. Mereka terikat pada apa yang dinamakan "poenale
sanctie", yaitu ketentuan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda bagi
mereka yang menyalahi kontrak. Misalnya bagi mereka yang melarikan diri
karena tidak tahan siksaan.
"Dari 100 kuli kontrak saban tahun meninggal 30 orang. Wanita-wanita
muda tidak sedikit yang juga diangkut ke daerah-daerah perkebunan, jauh
dari tempat kelahirannya, dengan upah beberapa sen sehari, dan mereka
pada akhirnya banyak terpaksa menjalankan prostitusi." [D.N. Aidit, Sejarah
Gerakan Buruh Indonesia, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1952, hal.23].
Dalam tahun 1923 saja ditaksir kapital asing di Indonesia berjumlah 2.650
juta gulden. Laba yang dikurasnya tiap tahun berjumlah 500 juta gulden.
[Sanoesi Pane, Indonesia Sepandjang Masa].
Muncullah berbagai usaha perkebunan modern dan perindustrian yang
dikuasai kapitalis Belanda. Kapitalisme melahirkan kelas buruh. Kontradiksi
kelas muncul dalam masyarakat Indonesia. Kelas buruh melawan
penghisapan kapitalis Belanda. Untuk perjuangan ini kaum buruh mulai
bersatu, membentuk organisasinya sendiri.
Tahun 1905, lahirlah