organisasi buruh pertama di Indonesia berupa SS
Bond, yaitu persatuan pegawai Perusahaan Kereta Api (Staatsspoorweg
Maatschappij). Tahun 1908, terbentuklah Persatuan Pegawai Kereta Api dan
Tram, Vereniging van Spoorweg en Tram Personeel (VSTP) di Semarang. Banyak
anggota SS Bond pindah ke VSTP.
Tahun 1913, dari Belanda datanglah ke Indonesia, H.J.F.M. Sneevliet,
seorang revolusioner. Dia berpengaruh besar dalam VSTP dan menjadi
seorang anggota pimpinan penting, kemudian jadi sekretaris dan
penanggung jawab bagian propaganda dari VSTP. Sneevliet membawa
aliran Marxisme ke Indonesia.
Bulan Mei 1914, di Semarang berkumpul Sneevliet dan teman-temannya
yang sepaham, yaitu, antara lain: J.A. Brandsteder, P. Bergsma, dan
H.W. Dekker. Mereka mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging
(ISDV) yang bertujuan untuk menyebarkan Marxisme. Sesudah
terbentuknya ISDV’ bermunculanlah organisasi-organisasi buruh di
Indonesia. Buruh-buruh Jawatan Pegadaian Negeri bersatu membentuk
organisasi Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB); buruh-buruh
Pekerjaan Umum membentuk serikat buruh BOW (Burgerlijke Openbare
Werken—Pekerjaan Um um —) kemudian lahir Vereniging Inheemsche Personeel
BOW (VIPBOW); juga berdiri Serikat Buruh Guru Bangsa Indonesia,
Perhimpunan Guru Hindia Belanda (PGHB), Perhimpunan Guru Bantu
(PGB), dan Perserikatan Guru Ambachtsschool (PGAS), buruh-buruh
Jawatan Candu berserikat dalam "De Opiumregiebond Nederlands-Indie" tahun
1915, dan de Opiumregiebond Luar Djawa Madura tahun 1917, buruh duane
berserikat dalam Perhimpunan Bumiputera Pabean, dan banyak serikatserikat buruh kecil lainnya.
Tahun 1919, di Jogja didirikan Personeel Pabrieks Bond (PFB) yang mulamula hanya bertujuan memberi bantuan kepada keluarga buruh pabrik gula
di Jogja. Tetapi kemudian PFB meluas ke seluruh Jawa dan tujuannya juga
diperluas tidak lagi hanya terbatas memberi bantuan pada keluarga.
Pemimpin PFB yang terkemuka yaitu Raden Mas Surjopranoto, terkenal
dengan julukan "stakings koning" (raja pemogok) karena di bawah pimpinan
PFB, dalam tahun 1920 telah terjadi pemogokan besar yang diikuti oleh
ratusan ribu kaum buruh gula.
Sejak tahun 1916, ISDV sudah mengusahakan pembentukan vaksentral
(gabungan serikat-serikat buruh). ISDV berpendapat bahwa perlawanan
terhadap kaum kapitalis akan lebih m udah diatur dan akan lebih hebat
pukulannya jikalau kaum buruh Indonesia sudah tergabung dalam
vaksentral. Oleh Semaoen, murid dari Sneevliet telah diusahakan
mendirikan vaksentral lewat VSTP, tapi gagal.
Pertengahan tahun 1918 diusahakan lagi dengan mengundang penguruspengurus serikat buruh ke Semarang. Masalah yang hangat ketika itu adalah
soal "duurtetoeslag" — tunjangan kemahalan. Usaha ini gagal lagi.
Dalam bulan Maret 1917, disiarkan dalam koran De Indier tanggal 19
Maret 1917 tulisan Sneevliet berjudul "De Zegepraal", "Kemenangan"
menyambut meletusnya revolusi Februari di Russia, dan menganjurkan
rakyat Indonesia berteladan pada Revolusi ini. Kemenangan Revolusi
Oktober 1917 di Rusia menimbulkan kegembiraan dan keyakinan di
kalangan ISDV berpropaganda tentang revolusi dan sosialisme. Dengan
dibantu oleh Brandsteder, sekretaris organisasi pegawai marine dan
redaktur surat kabar serdadu dan matros, berlangsung propaganda
semangat perlawanan di kalangan angkatan bersenjata Belanda.
Atas anjuran Sneevliet, di Surabaya dibentuk semacam Sovyet, yaitu
"Dewan Matros dan Marine", dan kepada serdadu-serdadu dianjurkan untuk
juga membentuk dewan-dewan yang serupa. Kegiatan ini dianggap
berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, 5 Desember 1918,
pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengusir Sneevliet.
Pengusiran berlanjut terhadap Brandsteder, Bergsma, dan Baars.
Pengusiran-pengusiran ini tak banyak pengaruhnya, karena di kalangan
bangsa Indonesia telah lahir pemimpin-pemimpin kaum buruh yang
revolusioner.
Dalam Kongres PPPB di Bandung bulan Mei 1919, pemimpin PPPB
Raden Sasrokardono, menganjurkan supaya semua serikat buruh bersatu
dalam satu federasi. Dalam Kongres ini tercapai persetujuan antara
pemimpin PPPB, Raden Sasrokardono, dan pemimpin VSTP, Semaoen,
mengenai perlunya mempersatukan serikat-serikat buruh, dan tentang
tujuan gerakan buruh untuk mencapai pemerintah sendiri dan mengubah
masyarakat menjadi masyarakat sosialis.
Pada waktu itu, ISDV dan Sarekat Islam kian berpengaruh dalam
masyarakat, termasuk dalam gerakan buruh. Usaha pembentukan sebuah
vaksentral kian berlanjut. Terdapat perbedaan antara ISDV dengan Sarekat
Islam mengenai nama vaksentral yang dibentuk. ISDV menginginkan nama
Revolutionnaire Socialistische Vakcentrale (Gabungan Serikat Buruh Sosialis
Revolusioner). Sarekat Islam menginginkan nama Persatuan Pergerakan
Kaum Buruh (PPKB).
Akhir Desember 1919, dalam pertemuan wakil-wakil serikat buruh di
Jogjakarta, ISDV mengalah, menyetujui terbentuknya vaksentral dengan
nama PPKB. Dalam pertemuan ini dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari
pemuka-pemuka kaum buruh: Surjopranoto, Sosrokardono, Alimin, dan
Reksodiputro, untuk merumuskan Peraturan Dasar vaksentral.
Situasi sesudah Perang Dunia pertama sangat menguntungkan kapitalis
besar, karena besarnya permintaan akan ekspor Indonesia. Perseroan
Dagang Belanda Handels Vereniniging Amsterdam (HVA) mendapat laba besar.
Harga gula meningkat luar biasa, dari f5.25 per pikul dalam bulan Juli tahun
1918, menjadi f66.00 dalam bulan Mei 1920; kopi robusta dari fl6.12 per
pikul dalam bulan Juli 1918 menjadi f76.25 dalam bulan November 1919.
[D.N. Aidit, Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia, Jajasan Pembaruan, Djakarta,
1952, hal.42].
Tetapi sebaliknya bagi rakyat, tahun-tahun pertama seusai perang berarti
musim kelaparan. Kemiskinan berjangkit, kesulitan hidup memuncak.
Ketidaksenangan rakyat terus bertambah terutama tidak senang terhadap
bangsa Eropa. Upah riil kaum buruh sangat turun, karena naiknya harga
barang-barang impor, termasuk barang-barang keperluan sehari-hari,
sedangkan upah tidak ikut naik, atau kalau naik tidak sepadan dengan
naiknya harga barang kebutuhan sehari-hari.
Keadaan upah yang sangat buruk menyebabkan pimpinan PFB
merencanakan aksi buruh gula. Dalam bulan Maret 1920, pimpinan PFB
menyampaikan surat edaran kepada direksi dan administrasi ondernemingonderneming dan kepada sindikat-sindikat gula, di mana diajukan
permintaan supaya PFB diakui sebagai wakil buruh dan bersamaan dengan
itu juga dituntut perbaikan upah bagi buruh.
Di mana-mana terjadi pemogokan besar-besaran yang diikuti oleh
ratusan ribu buruh gula. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, umumnya di
perusahaan-perusahaan gula HVA.
Pemogokan yang hebat ini telah memaksa sindikat-sindikat gula
mengadakan kontak dengan pihak buruh, untuk berunding. Semaoen dari
Vaksentral PPKB memerintahkan supaya pemogokan dihentikan.
Akan tetapi Surjopranoto tidak mau mentaati perintah PPKB dan terus
mengadakan agitasi-agitasi untuk melanjutkan aksi. Malah pada tanggal 9
Agustus 1920 dikeluarkan ultimatum untuk mengadakan pemogokan umum.
Oleh pemerintah Hindia Belanda, agitasi Surjopranoto ini dianggap
membahayakan apa yang dinamakannya "ketertiban umum". Larangan
mengadakan aksi dikeluarkan, karena menurut pemerintah aksi ini "bukan
untuk perbaikan nasib kaum buruh, tetapi sebetulnya aksi politik untuk
mengadakan kerusuhan." Bersamaan dengan larangan mengadakan aksi,
pemerintah juga "mengingatkan majikan untuk sebaiknya menambah upah
buruh." Pemerintah meletakkan tanggung jawab pada pengurus PFB jika
terjadi pemogokan umum. Akhirnya, Surjopranoto kena delik dalam bicara
dan dihukum dua bulan. Karena itu PFB menjadi lumpuh.
Kongres PPKB yang pertama diselenggarakan di Semarang pada tanggal
1 Agustus 1920. Kongres ini dihadiri oleh wakil 22 serikat buruh, dengan
anggota seluruhnya 72.000 orang. Dalam kongres ini mulai kelihatan
pertentangan antara aliran revolusioner yang diwakili oleh kaum komunis
dan aliran reformis yang diwakili oleh beberapa pemimpin Sarekat Islam.
Semaoen dan kawan-kawannya menyesali Surjopranoto yang dalam aksi
melawan pabrik gula telah mengecilkan arti rol daripada vaksentral, dan
tidak menghubungkan aksi-aksi buruh gula dengan soal-soal politik
menghantam penjajahan. Surjopranoto menyatakan keberatannya jika
vaksentral mencampuri soal-soal dalam PPB.
Dalam kongres ini juga terjadi perdebatan hangat tentang tempat
kedudukan vaksentral. Kaum komunis menghendaki supaya berkedudukan
di Semarang, sedang orang-orang SI menghendaki Jogja, yaitu kota pusat SI.
Diputuskan untuk sementara tempat kedudukan PPKB di Jogja, di mana
bertempat tinggal 4 dari 7 orang pengurus Besar PPKB. Susunan Pengurus
Besar PPKB pilihan kongres ialah: Semaoen sebagai ketua, R.M. Surjopranoto
sebagai wakil ketua, dan Haji Agus Salim sebagai sekretaris.
Kaum komunis mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam PPKB.
Dalam hal ini besar sekali peranan dari VSTP yang militan itu. Sejak mulai
berdirinya, PPKB sudah dihadapkan pada pekerjaan yang banyak, karena di
mana-mana timbul pemogokan-pemogokan.
Dalam bulan Agustus 1920 itu juga pada maskapai Semarang-CheribonStoomtram Maatschappij (SCS) timbul konflik antara buruh dengan maskapai.
Segera VSTP menyampaikan ultimatum pada direksi maskapai. Direksi
menyanggupi memberikan syarat-syarat kerja yang sama seperti yang
berlaku bagi pegawai S S, tetapi maskapai menolak tuntutan-tuntutan VSTP
yang lain. VSTP menganggap putusan direksi ini tidak cukup dan menuntut
kenaikan upah serta 8 jam kerja sehari. Suasana menjadi hangat, dan dalam
keadaan demikian timbul provokasi, yaitu pecahnya pemogokan di seluruh
jalan kereta-api Semarang—Tjirebon dengan tidak setahu VSTP. Tapi
pengaruh VSTP atas kaum buruh sangat besar dan dengan tindakan yang
diambil VSTP, pemogokan bisa dihentikan dengan segera.
Juga di Sumatera Timur pada permulaan September 1920, timbul
pemogokan di kalangan kaum buruh kereta-api Deli Spoor Maatschappij
(DSM) yang juga menuntut kenaikan upah. Aksi mogok ini juga menjalar
sampai kepada buruh Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Pangkalan
Brandan. Dengan dipenuhinya tuntutan buruh, segera pemogokan berhenti.
Dalam bulan November 1920, terjadilah sejumlah konflik perburuhan di
Surabaya. Atas usaha pemimpin-pemimpin dari PPKB dapat diorganisasi
buruh penjahit, buruh pelabuhan, dan buruh perusahaan teknik, dan serikat
buruh-serikat buruh ini digabungkan ke dalam vaksentral setempat.
Tuntutan kenaikan upah ditolak oleh majikan. Ini menyebabkan pecahnya
pemogokan-pemogokan di berbagai perusahaan. Pemogokan-pemogokan
ini ada juga yang mengakibatkan penutupan perusahaan (lock-out) sampai
tuntutan kaum buruh dikabulkan, dan ada yang memakan waktu sampai
dua bulan.
Baru pada akhir Desember 1920, kaum buruh perdagangan dan industri
di Surabaya bekerja kembali, dan keadaan ini membikin ramai kembali
kehidupan perusahaan yang tadinya dibikin sunyi oleh pemogokan.
Pemogokan-pemogokan dalam tahun 1920 umumnya berakhir dengan
kemenangan kaum buruh. Kemenangan-kemenangan ini memberikan
semangat dan kegembiraan berjuang pada kaum buruh, mendidik kaum
buruh akan pentingnya organisasi dan disipilin, dan membukakan pada
kaum buruh dan rakyat umumnya kebobrokan dari peraturan perburuhan
kolonial dan pemerintah kolonial.
Karena aksi-aksi kaum buruh, pemerintah terpaksa membicarakan soal
upah minimum bagi kaum buruh. Untuk ini oleh pemerintah dibentuk satu
komisi perburuhan. Tetapi setelah komisi ini memberikan laporannya pada
akhir Juni 1920, pemerintah kemudian menyatakan pendapatnya, bahwa
laporan ini "lebih bersifat menyatakan keinginan-keinginan teoretis dari
komisi daripada menyatakan apa yang mungkin dalam praktik. Menurut
pemerintah, peraturan upah minimum yang diusulkan oleh komisi adalah
"secara teori tidak bisa dipertahankan dan dalam praktik tidak bisa
dilaksanakan." Dengan perkataan lain, pemerintah tidak bertindak apa-apa
untuk perbaikan nasib buruh.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh gerakan buruh membikin
khawatir pihak pemerintah. Yang lebih mengkhawatirkannya lagi ialah,
bahwa rencana kaum komunis dalam serikat-serikat buruh makin lama
makin besar. Dengan melalui orang-orangnya, pemerintah Hindia Belanda
berusaha memecah-belah gerakan buruh dan mempengaruhi aliran-aliran
tertentu dalam SI. Dengan segala jalan, pemerintah Hindia Belanda
mempertajam pertentangan antara kaum komunis (PKI) dengan golongan
Islam (SI) untuk memecah PPKB. Aliran reformis dalam PPKB dengan
sendirinya mendapat sokongan dan dorongan dari pemerintah Hindia
Belanda. Dengan demikian, pertentangan antara aliran revolusioner dengan
aliran reformis makin lama makin tajam dalam PPKB.
Atas usul VIPBOW dengan maksud untuk "meredakan pertentangan"
yang ada dalam PPKB, pada tanggal 18—20 Juni 1921, di Jogja diadakan
rapat umum dihadiri oleh semua anggota PPKB. Tetapi dalam rapat ini,
pertentangan bukan makin reda, tetapi malahan menjadi lebih tajam danlebih terang. Di satu pihak, kaum komunis belum mampu menjalankan
taktik yang tepat untuk menggalang front persatuan buruh yang luas, dan di
pihak lain orang-orang seperti Hadji Agoes Salim, cs. dan pembesarpembesar PID (Jawatan Penyelidik Politik Hindia Belanda) dengan segala
jalan menggunakan tiap-tiap kesempatan untuk menimbulkan kekacauan
dan perpecahan. Dalam rapat ini, PPKB pecah menjadi dua pihak: "golongan
Semarang" yang dipimpin oleh kaum revolusioner, dan di pihak lain
"golongan Jogja" yang dipimpin oleh kaum reformis Hadji Agoes Salim, cs.
Di bawah pimpinan kaum komunis didirikan vaksentral baru dengan
nama Revolutionaire Vakcentrale (RV), yang berkedudukan di Semarang.
Dalam RV ini tergabung 14 serikat buruh pelabuhan, tambang, supir,
percetakan, penjahit, dsb., dengan VSTP sebagai tulang punggungnya. RV
dipimpin antara lain oleh Semaoen, P. Bergsma, Najoan, dll.
Surjopranoto bersama Hadji Agoes Salim meneruskan aktivitasnya
dengan nama PPKB di Jogja dengan PPPB sebagai tulang punggungnya.
Kaum komunis berhasil menarik serikat-serikat buruh yang penting
seperti VSTP, serikat buruh pelabuhan, tambang, dsb., ke dalam RV, tetapi
dua serikat buruh yang besar dan penting, yaitu serikat buruh gula (PFB)
dan PPPB, tidak dapat ditariknya. Kedua serikat buruh itu berada di bawah
pimpinan kaum reformis. Demikian juga serikat buruh guru berada dalam
pimpinan kaum reformis. Keadaan ini mempunyai pengaruh pada gerakan
buruh selanjutnya.
Dalam bulan Agustus 1921, terjadi pemogokan buruh pelabuhan di
Surabaya, ialah sebagai perlawanan terhadap majikan yang mau
menurunkan upah buruh. Kejadian ini segera dicampuri oleh RV dengan
mengirimkan Semaoen ke Surabaya.
Pada tanggal 11 Januari 1922, terjadi pemogokan buruh pegadaian di
bawah pimpinan PPPB (anggota PPKB), mula-mula di Jogja, tetapi dua
minggu kemudian menjalar ke beberapa daerah di Jawa. Berbeda dengan
pemogokan-pemogokan lain yang sudah diterangkan di atas, pemogokan ini
bukan karena soal upah, tetapi disebabkan oleh sikap pegawai atasan
peranakan bangsa Belanda yang bertindak sewenang-wenang terhadap
pegawai Indonesia. Dengan perkataan-perkataan yang tidak menyenangkan,
pegawai atasan yang umumnya terdiri dari bangsa Belanda menyuruh
pegawai-pegawai bangsa Indonesia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang
dianggap hina, misalnya disuruh mengangkat barang-barang yang akan
dilelang ke dalam los. Pegawai menuntut supaya ada pesuruh yang khusus
untuk mengangkut barang-barang itu, dan menuntut supaya di kalanganpegawai juga, juga oleh pegawai atasan, dipergunakan bahasa Jawa Dipo
yang demokratis.
Tuntutan-tuntutan ini tidak mendapat perhatian, dan inilah yang
menyebabkan pemogokan besar-besaran, 79 dari 360 rumah gadai ambil
bagian dalam pemogokan ini. Untuk menindas pemogokan ini, pemerintah
Hindia Belanda menggunakan ketentuan hukuman-jabatan, artinya kepalakepala pegadaian begitu saja bisa memperhentikan pegawai yang dianggap
"menolak pekerjaan" atau "mengadakan tentangan". Dengan demikian,
kaum pemogok, sejumlah kira-kira 1.000 orang, yaitu 20% dari seluruh
pegawai jawatan pegadaian, dipecat dari pekerjaannya.
Aksi kaum buruh pegadaian yang hebat ini mengalami kegagalan,
karena pemimpin PPPB yang reformis tidak memberikan tuntunan tegas.
Pemimpin-pemimpin yang terlalu banyak berusaha ke atas, misalnya
beraudiensi kepada pembesar-pembesar pemerintah, dan kurang
mengorganisasi serta membangunkan semangat kaum pemogok. Kesalahan
yang besar lagi ialah, bahwa kaum pemogok tidak dikumpulkan secara
teratur untuk diberi penjelasan tentang jalannya dan hasilnya perundingan
serta bagaimana sikap pemogok selanjutnya. Ketika kaum pemogok dipecat
dari pekerjaannya, sama sekali tidak ada petunjuk dari pimpinan apa yang
harus mereka lakukan selanjutnya; dengan putusan sendiri-sendiri ada yang
pergi ke desa untuk bertani, ada yang berdagang, ada yang mencari
pekerjaan lain, dan sebagian mengabdikan diri sepenuhnya pada organisasi
revolusioner. Keadaan yang tidak teratur ini, oleh reaksi dan kaum reformis
kemudian dipergunakan untuk menakut-nakuti kaum buruh, terutama
buruh pegadaian, agar tidak berani mengadakan aksi-aksi.
Hal yang sangat baik ialah, bahwa dalam menghadapi pemogokan buruh
pegadaian yang ditindas oleh pemerintah Hindia Belanda, baik pihak RV
m aupun pihak PPKB, kedua-duanya mengeluarkan pernyataan tentang
betapa pentingnya pemogokan ini dan menyerukan supaya seluruh kaum
buruh Indonesia menyokong pemogokan, dan dinyatakan juga supaya
kaum buruh bersiap-siap agar sewaktu-waktu diperlukan bisa mengadakan
pemogokan umum. Di berbagai tempat diorganisasi rapat-rapat penerangan
di mana juga dijelaskan kebobrokan pemerintah kolonial. Pemerintah
menganggap ini sudah "keterlaluan" dan berpendapat bahwa hak berapat
sudah dipergunakan tidak sebagaimana mestinya. Aktivitas kaum buruh
dianggap mengganggu "ketertiban umum" dan atas dasar inilah di daerah
Jogjakarta hak berapat dipersempit. Di samping itu, beberapa pemimpin
buruh antara lain P. Bergsma dipisahkan dari gerakan buruh Indonesia
dengan jalan mengeluarkannya dari Indonesia.
Semaoen tidak ikut serta dalam memimpin pemogokan pegadaian,
karena dalam bulan Oktober 1921 dia pergi ke luar negeri untuk menghadiri
kongres kaum buruh Timur Jauh di Moskow, di mana dibicarakan juga
masalah organisasi buruh di negeri-negeri jajahan. Dia baru kembali pada
akhir Mei 1922.
Atas inisiatif anggota-anggota PKI, 25 Juni 1922 di Surabaya diadakan
rapat bersama dari serikat-serikat buruh, di mana dalam rapat ini
dinyatakan perlunya diadakan fusi antara Revolutionnaire Vakcentrale dengan
PPKB. Usaha ini berhasil, dengan tercapainya fusi dalam rapat yang sengaja
diadakan untuk itu di Madiun pada tanggal 3 September 1922. Demikianlah
perpecahan dalam gerakan buruh bulan Juni 1921 sebagai hasil pekerjaan
memecah-belah dari elemen-elemen reaksioner dapat kembali dipersatukan
atas usaha kaum komunis dalam satu vaksentral yang diberi nama
Persatuan Vakbond Hindia (PVH). Dalam PVH tergabung VSTP, PPPB, PPBf
Kweekschoolbond, Perhimpunan Guru Bantu (PGB), dll., serikat buruh
pemerintah maupun partikelir, dan seluruhnya meliputi 20.000 anggota.
Sasaran yang pertama dari PVH adalah maklumat pemerintah tentang
akan dicabutnya tambahan upah karena kemahalan, yang telah berjalan
beberapa tahun. Alasan pemerintah ialah untuk menghemat belanja
pemerintah. Seluruh kaum buruh bersatu dalam menghadapi tindakan
pemerintah ini.
Keadaan upah kaum buruh dalam tahun-tahun 1922 adalah sangat buruk.
Ini menyebabkan timbulnya desakan yang sangat keras dari kaum buruh
untuk mengadakan pemogokan, dan dalam berbagai kongres soal mogok
menjadi pembicaraan yang hangat. Dalam menghadapi desakan kaum
buruh semacam ini, pemimpin-pemimpin reformis menunjukkan tidak
setianya kepada kepentingan kaum buruh dan mencari jalan untuk
menyelamatkan diri sendiri. Dengan demikian, kaum buruh mengenal siapa
pemimpinnya yang sejati dan siapa yang bukan.
Dalam Kongres PPPB, bulan Agstus 1922 di Ambarawa, soal mogok juga
menjadi pembicaraan yang hangat. Dalam kongres ini ditekankan oleh
pemimpin-pemimpin reformis dari SI yang duduk dalam PPPB supaya
jangan sampai diadakan pemogokan karena pemogokan hanya akan
membikin lebih celaka nasib kaum buruh. "Lihatlah pengalaman
pemogokan yang kalah bulan Agustus 1921," demikian kata pemimpinpemimpin reformis. Kongres PPPB kali ini sangat tidak memuaskan para
pengunjung kongres, karena dalam keadaan nasib kaum buruh berada
dalam ancaman, pemimpin-pemimpin tidak memberikan jalan dan
pembelaan. Mereka hanya memberikan jalan sebagai yang diinginkan oleh
majikan, yaitu supaya tidak mogok.
Sebaliknya dalam lingkungan VSTP, kaum komunis mendapat pengaruh
yang lebih besar. Tentang maksud pemerintah untuk mencabut tambahan
upah karena kemahalan dan tentang maklumat pemerintah mengenai
penghematan menjadi pembicaraan yang hangat dalam rapat-rapat kaum
buruh kereta api.
Juga dalam kongres PVH di Semarang pada akhir Desember 1922, dan
dalam pimpinan serikat-serikat buruh di Surabaya pada akhir tahun itu juga,
soal pemogokan menjadi pembicaraan hangat.
Bulan Januari 1923, VSTP mengeluarkan surat sebaran yang berisi
pernyataan akan mengadakan pemogokan jika peraturan pemerintah
tentang penghematan dijalankan. Ini masuk akal, karena jika terjadi
penghematan maka akan terjadi massa-ontslag (pemecatan besar-besaran).
Surat sebaran ini dibagikan dan ditempelkan di stasiun serta dibaca oleh
kaum buruh dengan penuh perhatian.
Dalam rapat umum VSTP bulan Februari 1923, soal pemogokan
dibicarakan dan dalam rapat ini diingatkan kepada direksi-direksi maskapai
spoor dan tram supaya 'Tidak bermain dengan api".
Dalam kongres VSTP tanggal 3—4 Maret 1923 diputuskan bahwa VSTP
menggabungkan diri pada Gabungan Serikat Buruh Internasional
(Profintern). Ini adalah langkah untuk menghubungkan aksi-aksi kaum
buruh Indonesia dengan kaum buruh sedunia untuk menanamkan
solidaritas internasional pada kaum buruh Indonesia, bahwa perjuangan
kaum buruh Indonesia adalah bagian dari perjuangan kaum buruh sedunia.
Dalam kongres VSTP ini, Semaoen mendapat kekuasaan untuk mengadakan
perundingan-perundingan dulu dengan pembesar-pembesar kereta api
sebelum VSTP mengadakan pemogokan. Di sini kelihatan tindakan yang
hati-hati dari pihak VSTP, tidak gegabah dalam mengadakan aksi-aksi.
Tetapi pemimpin VSTP tidak menekankan kaum buruh supaya jangan
mengadakan pemogokan, seperti yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin
reformis.
Tanggal 12 April 1923 diadakan rapat antara kepala-kepala dinas kereta
api dengan pengurus besar VSTP.
Dan dalam pertemuan ini, pimpinan VSTP mengajukan tuntutan pokok
sebagai berikut:
1. tetap mempertahankan "duurtebijslag" (tambahan kemahalan,
tambahan kenaikan upah),
2. dijalankan 8 jam kerja sehari.
3. supaya diadakan badan arbitrase jika ada perselisihan antara majikan
dan buruh.
Selain dari itu dituntut upah minimum f l,— sehari, sedangkan upah
yang sudah diakui tahun 1921 tidak boleh dikurangi.
Usul-usul VSTP tidak ada yang diterima. Mengenai 8 jam kerja sehari
dijanjikan akan diadakan enquete tentang waktu kerja dan waktu istirahat
dan tentang badan arbitrase kepala inspektur S S tidak mempunyai
keberatan prinsipiil, tetapi dianggapnya bahwa badan demikian tidak perlu
untuk pegawai negeri.
Setelah nyata bahwa perundingan tidak membawa hasil, Semaoen
menerangkan bahwa selanjutnya kaum buruhlah yang akan berbicara dan
dia tidak tanggung akan akibatnya.
Berhubung dengan kegagalan perundingan VSTP - SS, di mana-mana
diadakan rapat-rapat penerangan oleh VSTP. Kegiatan-kegiatan dalam
mengadakan penerangan-penerangan, di mana kolonialisme mendapat
serangan yang sengit, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda
mengadakan peringatan pada Semaoen supaya perkataan dan perbuatannya
jangan "terlalu galak". Peringatan pemerintah ini dijawab dengan kontan,
bahwa kaum buruh tidak bisa menjamin keinginan pemerintah.
Tanggal 29—30 April 1923, di Surabaya diadakan rapat vaksentral PVH.
Dalam rapat ini diputuskan bahwa pemogokan umum dari kaum buruh
spoor dan tram akan dilangsungkan jika salah seorang pemimpin buruh
ditangkap oleh pemerintah.
Dalam rapat VSTP di Semarang, tanggal 6 Mei, sekali lagi diterangkan
oleh Semaoen, bahwa pemogokan harus diadakan jika terjadi penangkapan
atas salah seorang pemimpin buruh.
Pemerintah Hinda Belanda memprovokasi pemogokan dengan
menangkap Semaoen pada tanggal 6 Mei 1923 dengan alasan persdelict.
Segera buruh kereta api mengadakan rapat, di mana diproklamasikan
pemogokan yang dimulai pada hari itu juga, mula-mula di Semarang
kemudian meluas ke Madiun dan Surabaya. Pemogokan kemudian bersifat
umum dan diikuti oleh 13.000 dari 20.000 buruh kereta api. Juga buruh
bangsa Eropa ambil bagian dalam pemogokan ini. Pemogokan ini oleh
pemerintah dinyatakan di luar hukum. Di daerah-daerah di mana terjadi
pemogokan, hak berapat sangat dipersempit, sedangkan propaganda
pemogokan diancam dengan hukuman (artikel 161 bis Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana).
Dengan sangat membatasi hak berapat dan dengan larangan
berpropaganda, pemerintah berusaha memisahkan pemimpin-pemimpin
buruh dari massa kaum buruh. Dalam bulan Mei itu juga pemogokan dapat
ditindas oleh pemerintah. Dengan putusan Pemerintah tanggal 1 Agustus
1923, Semaoen diasingkan ke Timor, tetapi atas permintaannya sendiri,
Semaoen diberi kesempatan untuk meninggalkan Indonesia.
Demikianlah pemerintah Hindia Belanda membikin lumpuh serikatserikat buruh yang terbesar; PFB dalam bulan Agustus 1920, PPPB dalam
bulan Januari 1922; dan VSTP dalam bulan Mei 1923. Tetapi dengan ini sama
sekali tidak berarti bahwa aktivitas gerakan buruh revolusioner menjadi
berhenti, dan juga tidak berarti bahwa pengaruh kaum komunis menjadi
berkurang. Malahan pemecatan-pemecatan terhadap buruh pegadaian dan
buruh kereta api, telah menyebabkan lahirnya pemimpin-pemimpin baru
dari kalangan pemogok yang dipecat. Ini juga antara lain yang
menyebabkan, bahwa sehabis tiap-tiap pemogokan besar, timbul beberapa
serikat buruh baru yang dipimpin oleh kaum pemogok yang dipecat. Dan
dari mereka tidak sedikit yang kemudian menjadi pemimpin Sarekat Islam,
Sarekat Rakyat, dan PKI.
Kaum buruh Indonesia mendapat pengalaman, bahwa dalam keadaan
yang paling sulit, di mana krisis menimpa nasib kaum buruh yang memang
sudah celaka, kaum komunis Indonesia dengan PKI sebagai partainya,
berdiri di depan memberikan pimpinan dan pembelaannya, walaupun kaum
komunis sendiri berada dalam ancaman penjara dan buangan. Pengalaman
kaum buruh Indonesia sendiri memberi pelajaran bahwa hanya kaum
revolusioner yang setia pada perjuangan kaum buruh, sebagai kebalikan
daripada kaum reformis, yang meninggalkan barisan kaum buruh di kala
taufan reaksi sedang mengamuk.
Kaum buruh Indonesia mendapat pelajaran, bahwa omongan-omongan
"keras" dan "radikal" dari pemimpin-pemimpin reformis dalam keadaan di
mana tidak ada perjuangan hidup-mati antara buruh dengan majikan belum
bisa dijadikan ukuran bahwa dalam keadaan pertarungan melawan majikan
mereka akan memihak kaum buruh.
Atas inisiatif Gabungan Serikat Buruh Internasional Merah (Profintern),
dalam bulan Juni 1924 diadakan konferensi buruh transportasi Pasifik di
Kanton. Dalam konferensi ini hadir wakil-wakil buruh pelayaran dan
pelabuhan dari pelabuhan-pelabuhan yang penting di daerah Pasifik. Dari
Indonesia hadir Alimin dan Budisutjitro, dan mereka kecuali menghadiri
konferensi juga bertemu dengan Dr. Sun Yat Sen, yang ketika itu memimpin
revolusi Tiongkok.
Dalam konferensi ini antara lain diputuskan, untuk mengeratkan
hubungan buruh transportasi di daerah Pasifik, membentuk kantor yang
berkedudukan di Kanton dengan bagian-bagiannya untuk Tiongkok,
Filipina, Jepang, India, dan Indonesia.
Pada akhir Desember 1924, di Surabaya diadakan Konferensi Buruh
Pelabuhan dan Pelayaran. Dalam konferensi ini nampak sekali betapa
besarnya pengaruh Konferensi Kaum Buruh Transportasi di Kanton dan ini
telah mendorong buruh pelabuhan dan pelayaran Indonesia untuk lebih
mempersatukan diri. Demikianlah terjadi penggabungan antara Serikat Laut
dan Gudang di Semarang dengan Serikat Kaum Buruh Pelabuhan di Jakarta
dan Surabaya menjadi Serikat Pegawai Pelabuhan dan Lautan (SPPL), dan
SPPL dirancangkan untuk digabungkan menjadi Serikat Pegawai Laut
Indonesia (SPLI), yaitu organisasi anak kapal Indonesia yang didirikan oleh
Semaoen di Amsterdam pada kira-kira pertengahan tahun 1924.
Selain daripada itu, juga di Surabaya, dalam rapat yang dihadiri serikatserikat buruh kereta api, pegadaian, duane, gula, minyak, dll., diputuskan
mengadakan Sekretariat Serikat Buruh Indonesia Merah, yang akan masuk
menjadi anggota Gabungan Serikat Buruh Internasional Merah (Profintern)
di Moskow dan juga menjadi anggota Pan Pacific Labour Union di Kanton.
Tanggal 21 Juli 1923, pecahlah pemogokan buruh percetakan di bawah
pimpinan Serikat Buruh Cetak di Semarang. Mula-mula hanya di satu
perusahaan, tapi kemudian menjalar ke perusahaan-perusahaan lain.
Tanggal 1 Agustus 1925, pecah pemogokan di Rumah Sakit Umum
Negeri (CBZ) Semarang, sebagai protes terhadap perbuatan angkuh dan
keras dari dokter bangsa Belanda. Serikat Buruh Pegawai Rumah Sakit
Umum adalah anggota dari vaksentral PVH, yang pada waktu itu mengikat
20 serikat buruh yang meliputi 30.000 anggota. Bersamaan waktunya, terjadi
juga pemogokan buruh transportasi pada Semarangse Stoomboot dan
Prauwenveer di bawah pimpinan SPPL, di mana ikut serta 1.000 kapten dan
matros-matros kapal bangsa Indonesia.
Pada tanggal 5 Oktober 1925, buruh mesin dan pabrik mesin Nederlandsch
Indie mengadakan pemogokan dan pada tanggal 19 November 1925 meluas
ke pabrik mesin Braat. Pemogokan ini berhasil agak baik.
Pada tanggal 2 Desember 1925, Federasi Buruh Pabrik dan Persatuan
Buruh Pabrik serta Persatuan Buruh Listrik memutuskan akan mengajukan
beberapa tuntutan kepada 7 pabrik mesin dan bengkel di Surabaya. Pada
tanggal 14 Desember 1925, timbul pemogokan di semua pabrik mesin dan
maskapai Droogdok. Di Jakarta pada bulan September 1925, pegawai Rumah
Sakit Sentral (CBZ) melakukan pemogokan. Di Medan, pegawai pemerintah
dan partikelir yang terorganisasi dalam SPPL pada bulan Oktober 1925 juga
mengadakan pemogokan.
Takut kalau-kalau pemogokan menjalar lebih jauh, dan untuk menjaga
apa yang dinamakan "ketertiban umum", pemerintah Hindia Belanda
berusaha memisahkan pemimpin buruh yang masih ada (sebagian sudah
dibuang) dari massa kaum buruh. Dengan putusan pemerintah tanggal 17
Desember 1925, tiga orang yang tersangkut sebagai pemimpin pemogokan,
yaitu Aliarcham, Mardjohan, dan Darsono, diinternir, sedang Alimin dan
Musso masih sempat meloloskan diri dari Indonesia. Dalam bulan Januari
1926, Darsono diizinkan meninggalkan Indonesia dan dia pergi ke luar
negeri.
Tahun 1926 adalah tahun pecahnya pemberontakan bersenjata nasional
yang pertama di Indonesia, di bawah pimpinan PKI. Dalam pemberontakan
ini semua pimpinan utama serikat buruh yang anggota PKI tak hanya
terlibat, bahkan memainkan peranan memimpin. Mulai dari Aliarcham,
Alimin, Musso, Budisutjitro, dan lain-lain.
Aksi-aksi pemogokan kaum buruh telah mendahului pemberontakan
bersenjata. Pemerintah kolonial Belanda melakukan penindasan berdarah.
Menangkapi, memenjarakan, sampai menghukum gantung sejumlah tokoh
pemberontakan, dan melakukan pembuangan ke Boven Digul. Alimin dan
Musso dapat meloloskan diri ke luar negeri, sedangkan Aliarcham,
Budisutjitro, Sardjono, Najoan dibuang ke pembuangan. Pemberontakan
dapat dipadamkan oleh kekuasaan bersenjata pemerintah kolonial.
Pemberontakan nasional bersenjata 1926 adalah sangkakala revolusi
Indonesia.
W alaupun gerakan buruh di Indonesia telah banyak sekali mengalami
pukulan-pukulan yang berat dari pemerintah kolonial Belanda, dan
akibatnya untuk beberapa waktu tidak tampak kegiatan-kegiatannya yang
besar dalam kalangan kaum buruh, tetapi ini tidak berarti semangat
persatuan dan perjuangan kaum buruh Indonesia terhenti.
Pada bulan Juli 1927, di Bandung telah didirikan organisasi dari kaum
buruh kereta api yang dinamakan Persatuan Beambte Spoor dan Tram (PBST)
yang pada tingkat pertama menjauhkan diri dari lapangan politik. Majalah
PBST "Kereta Api" merupakan juru bicara dan penghubung dengan anggota.
Di samping itu juga didirikan di Jakarta berbagai organisasi seperti
Hogere Kweekscholen Bond (HKSB), Perserikatan Normaal School (PNS),
Kweekschool Bond (KB), Perhimpunan Guru Bantu (PGB), Perhimpunan Guru
Ambachtsschool (PGAS), Persatuan Guru Desa (PGD), dan begitu juga bangkit
kembali serikat buruh yang dahulu pernah didirikan seperti Pegadaian
(PPPB), Opium Regie Bond (ORB), Persatuan Pegawai Garam Hindia Belanda
( PPGHB), Perkumpulan Personeel Afdelings Bank (PPAB).
Pada bulan Juli 1928, didirikan suatu bentuk gabungan serikat buruh
yang diberi nama Sarekat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) yang dipimpin oleh
Marsudi, tetapi yang setahun kemudian (Juli 1929), karena tanda-tanda
kegiatannya telah mulai nampak dan dianggap merupakan ancaman baru
bagi pemerintah Hindia Belanda, maka SKBI dilarang berdiri, rumah-rumah
pengurusnya digeledah dan pimpinannya ditangkap.
Sementara itu dalam kalangan pegawai negeri telah timbul semangat
untuk mempersatukan organisasi pegawai negeri. Dalam konferensi yang
dihadiri oleh hampir semua organisasi kaum buruh pegawai negeri, di
Jogjakarta telah berhasil didirikan sebuah gabungan serikat buruh pegawai
negeri yang dinamakan Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) yang
dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso.
Pada tahun 1929 bulan Mei, di Surabaya telah diusahakan juga
penggabungan serikat-serikat buruh partikelir dan berdirilah Pusat
Persatuan Buruh Indonesia (PPBl), tetapi organisasi ini tidak dapat meluas
dan anggotanya hanya berjumlah 10.000 orang. Kedua Vaksentral ini
memusatkan perhatiannya pada akibat-akibat krisis ekonomi yang dihadapi
oleh dunia kapitalis dan yang juga mengancam kehidupan kaum buruh
Indonesia, dalam bentuk bezuiniging (penghematan), pemecatan, penurunan
upah, pengurangan jaminan sosial dan sebagainya.
Kegelisahan umum ini tidak saja dihadapi oleh kaum buruh negeri dan
swasta, tetapi juga oleh kaum pekerja golongan lainnya seperti kaum tani,
pengusaha kecil, bahkan juga oleh anggota angkatan bersenjata.
Kegelisahan ini memuncak pada tanggal 3 Februari 1933, ketika para
kelasi bangsa Indonesia bekerja sama dengan kelasi bangsa Belanda dan
dengan kaum buruh pelabuhan dan pelayaran. Mereka memberontak
melawan pemerintah Belanda dalam peristiwa yang terkenal dengan
"Peristiwa Kapal Tujuh". Pemberontakan ini didahului oleh gerakan
revolusioner kaum buruh di Marine Establishment Surabaya.
Oleh karena kurang siapnya semua kekuatan yang menjadi pendukung
pemberontakan maka pemberontakan dapat ditindas dengan serangan
biadab yang menimbulkan banyak sekali korban manusia. Dengan
kekalahan pemberontakan ini tidak berarti perjuangan rakyat Indonesia
melawan penindasan Belanda padam. Sebaliknya, semangat perjuangan
untuk merebut kemerdekaan nasional makin meluas, sampai ke dalam
lingkungan Angkatan Bersenjata Belanda.
Pada tanggal 21 Mei 1937, di Jakarta didirikan Gabungan Politik
Indonesia (GAPI) yang menetapkan satu tuntutan pokok kepada pemerintah
Hindia Belanda, yaitu agar dibentuk parlemen. Semboyan yang diputuskan
sebagai pokok kegiatan dalam Kongres Rakyat Indonesia pada tahun 1939 di
Jakarta, yang sangat luas dikampanyekan oleh pimpinan GAPI pada waktu
itu adalah "Indonesia Berparlemen".
Belanda mengambil tindakan dengan membubarkan Partindo 18
November 1936. Golongan progresif di Indonesia tersebar dalam berbagai
organisasi. Maka pada tahun 1937, atas inisiatif Musso didirikan organisasi
baru yang diberi nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah
pimpinan Mr. Sartono, Mr. Amir Sjarifoeddin, dan Mr. Muh. Yamin.
Program perjuangannya adalah:
1. Melawan semua aliran yang hendak menghancurkan demokrasi,
2. Mendirikan dewan-dewan perwakilan yang bertanggung jawab
kepada rakyat,
3. Hak memilih langsung dan umum,
4. Hak-hak kebebasan mengeluarkan pendapat, hak berapat dan
berserikat, kebebasan pers, kebebasan perseorangan, dan
5. Menghapuskan hak-hak luar biasa gubernur jenderal untuk
menangkap dan mengirim orang ke tempat pembuangan, antara lain
ke Boven Digul atau Endeh, dan membuang seseorang tanpa diadili
terlebih dahulu.
Gerindo membukakan pintu yang luas bagi kebangkitan gerakan nasional,
dan Gerindo menyokong perjuangan organisasi-organisasi serikat buruh
dalam mengatasi berbagai kesulitan hidup. Ia pun melakukan usaha untuk
mendirikan organisasi serikat buruh di kalangan kaum buruh industri
minyak, tetapi dilarang oleh pemerintah.
Dalam kongresnya yang kedua pada bulan Mei 1939, gerakan ini telah
memiliki 73 cabang di seluruh Indonesia. Berhubung dengan pecahnya
Perang Dunia kedua, Gerindo mengeluarkan pernyataan yang antara lain
berbunyi sebagai berikut: "Gerindo mempunyai kepentingan bersama
partai-partai borjuis untuk menghancurkan fasisme, tetapi Gerindo menganut
cita-cita ideologi kerakyatan. Kontradiksi besar dunia ini tidak disebabkan
oleh pertentangan antara bangsa-bangsa, atau pun antara Asia dan dunia
Barat, tetapi disebabkan oleh pertentangan antara demokrasi dan fasisme.
Gerindo harus menahan pengaruh fasisme yang mencoba memasuki
Indonesia." [Dewan Nasional SOBSI, Sejarah Gerakan Buruh Indonesia,
disusun kembali oleh Sadali, Pustaka Pena, Jakarta 2002, hal.47].
Usaha menyatukan serikat-serikat buruh berlangsung terus. Di Semarang
dibentuk gabungan semua serikat buruh perusahaan swasta dengan nama
Gabungan Serikat-Serikat Sekerja Partikelir Indonesia (GASPI). Atas ajakan
GASPI, terbentuklah panitia untuk mendirikan sebuah vaksentral nasional
yang luas di Jakarta dengan pimpinan Mr. Hendromartono dan
Mr. Suprapto. Segera berdirilah cabang-cabang GASPI di Jogjakarta,
Surakarta, dan sebagainya.
Pada 24—26 Juli 1941, di Semarang diadakan konferensi besar yang
dihadiri 7 serikat buruh besar vertikal, 22 serikat buruh lokal, dan gabungan
lain-lainnya. Segera terbentuk gabungan antara GASPI dan PVPN yang
diberi nama GASBI. Dalam pimpinan GASBI duduk antara lain: R.P. Suroso,
Mr. Hendromartono, Mr. Suprapto, Harjono, dan S.K. Trimurti.
Salah satu putusan penting konferensi adalah tuntutan kepada
pemerintah Hindia Belanda agar serikat buruh diakui dan diberikan
kebebasan berorganisasi. Kekuatan persatuan buruh mendukung GASBI
menyebabkan pemerintah Hindia Belanda menunjuk Mr. Hendromartono
sebagai penasihat pemerintah dalam konferensi International Labour
Organisation (ILO) di Jenewa. GASBI mendesak pemerintah agar
Mr. Hendromartono bukan dijadikan penasihat, tapi sebagai anggota
delegasi Indonesia.
Gerindo adalah satu-satunya organisasi di Indonesia yang mengambil
sikap tegas terhadap Jepang dan berusaha menghimpun kekuatan nasional
melawan bahaya besar fasisme. Tapi politik anti-fasis itu belum sempat
disebar dan ditanamkan di kalangan rakyat luas. Berbagai semboyan
dilontarkan oleh kaum fasis Jepang seperti "Asia untuk Asia", "Asia Timur
Raya", "Jepang adalah saudara Tua", "Ramalan Djojobojo" yang
menyebutkan kedatangan bangsa kulit kuning sebagai penolong orang Jawa.
Semua itu dimaksudkan untuk menimbulkan kepercayaan terhadap fasisme
Jepang. Oleh karena itu Jepang dapat masuk ke Indonesia dengan mudah
sekali, hampir tanpa perlawanan, sehingga pada tanggal 8 Maret 1942,
Panglima Perang Belanda, Ter Poorten, menyerah kalah tanpa syarat kepada
Jenderal Jepang Imamura di Kali Jati, dekat Bandung.
Di bawah kekuasaan fasis Jepang, dalam keadaan yang sangat sulit,
gerakan buruh Indonesia berlangsung terus. Tindakan pertama
pemerintahan fasis Jepang adalah mengejar kekuatan progresif dan
demokratis rakyat Indonesia. Semua organisasi rakyat Indonesia, termasuk
partai-partai politik, serikat buruh, organisasi pemuda, wanita, sampai juga
organisasi kooperasi dan organisasi sosial lainnya harus mendaftarkan diri.
Kemudian pemerintah melarang berdirinya semua organisasi. Yang
diperkenankan hanya yang bermaksud memperkuat langsung kedudukan
Jepang di Indonesia. Organisasi-organisasi demikian ini adalah misalnya
Gerakan Tiga A, yang berarti mengakui Dai Nippon adalah Pemimpin,
Pelindung, dan Cahaya Asia, Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa),
Kumiai, dan sebagainya.
Di samping itu, dengan segera kaum fasis Jepang mendirikan organisasi
yang bermaksud mengerahkan tenaga manusia Indonesia sebanyakbanyaknya untuk melakukan kerja paksa membangun benteng-benteng
perlindungan, parit-parit, penyimpanan logistik untuk perang jangka
panjang, dan lain-lain untuk keperluan perang. Organisasi pengerahan
tenaga ini dinamakan Romusha (buruh yang dipekerjakan dengan paksa)
Untuk kepentingan memperkuat usaha perang, Jepang mengorganisasi
pemuda-pemuda dalam dinas ketentaraan bernama Pembela Tanah Air
(PETA) dan pasukan sukarela Heiho (pasukan pembantu).
Oleh pemerintahan militer Jepang, hal berapat, mengeluarkan pendapat,
hak berserikat, dan semua hak-hak demokrasi ditiadakan. Gerindo dan
organisasi-organisasi berpikiran maju terus-menerus menggerakkan
perlawanan terhadap Jepang. Banyak pemimpin Gerindo dan serikat buruh
ditangkap, disiksa di luar batas perikemanusiaan, dipenjarakan, dan
dibunuh, antara lain Pamoedji, Soekajat, Haji Abdoel Azis, Hadji Abdoel
Rahim, dan lain-lain. Beratus-ratus lainnya dihukum penjara dari lima tahun
sampai seumur hidup seperti Subianto Koesoemo. Mr. Amir Sjarifuddin
dijatuhi hukuman mati. Berkat pembelaan Bung Karno, hukuman matinya
tidak dilaksanakan.
Penindasan melahirkan perlawanan rakyat dengan berbagai sabotase,
penggulingan kereta-api seperti yang terjadi di Blitar dan Madiun. Bahkan
terjadi pemberontakan di Madiun, Pemberontakan Tani Lohbener Indramayu;
Februari 1944, Pemberontakan Tani Singaparna; November 1944, Sindang
(Kabupaten Indramayu); pemberontakan bersenjata PETA yang dipimpin
Soeprijadi di Blitar, Februari 1945.
Para kader dan aktivis PPST berusaha menghubungi "orang-orang lama"
dari zaman VSTP yang pernah ambil bagian dalam pemogokan VSTP tahun
1923, sehingga terjadilah perpaduan antara kader-kader tua bawah tanah
dengan kader-kader muda.
Grup Jakarta memainkan peranan penting dalam menggerakkan
kegiatan di kalangan buruh kereta api di kota-kota lainnya. Di antaranya
terdapat anggota-anggota pimpinan seperti Legiman, Harjono,
Atmodihardjo, Soekiran, Mansoer Loebis, Tjokropoespito, Soeharjono,
Alinoer, Ambas, Zoelkifli, B.S. Anwir, Goerdali, Soeko, Darso, Soetarto,
Soewarno, dan Rachmat.
Mereka yang berperan dalam koordinasi itu di antaranya ialah: Mr.
Hendromartono, Mr. Samjono, Soeratin, dan Soedarso. Perluasan grup-grup
revolusioner berlangsung terus. Grup Bandung dipimpin oleh masinis
Sutrisno, Cikampek oleh Soetarman. Kemudian meluas ke Cirebon,
Purwokerto, Kroya, Surabaya, Semarang, Solo, dan tempat-tempat lainnya.
Dengan meningkatnya semangat anti-Jepang di kalangan rakyat,
terutama setelah tersiar kabar pemberontakan Indramayu, Singaparna, Blitar,
dan lain-lainnya, maka buruh kereta api juga kian meningkatkan
aktivitasnya, antara lain ikut menyelamatkan orang-orang yang dicari oleh
Kempeitai (polisi militer Jepang yang sangat ganas dan kejam), melakukan
gerakan antara lain bekerja secara "slow down", memperlambat datangnya
kereta api tertentu, memperlambat pengiriman bahan makanan untuk
kepentingan perang dan sebagainya.
Di samping aktivitas buruh kereta api, juga di daerah-daerah tumbuh
gerakan di bawah tanah. Ketika terjadi perlucutan senjata terhadap tentara
Jepang, pemuda-pemuda buruh kereta api bersama pemuda-pemuda
lainnya siap ambil bagian di kota-kota besar, antara lain di Surabaya,
Semarang, Solo, Jogjakarta, dan Bandung. Dalam perlucutan senjata Jepang
inilah gugur di antaranya Arifin, pemuda buruh sepatu, ketika bertempur
melawan Kempeitai di markasnya di daerah Pasar Pon Solo. Para pemuda
tersebut akhirnya berhasil melucuti dan mengambil alih senjata Jepang dan
menundukkan Kempeitai Jepang tersebut.
Berkat serangan Tentara Merah Sovyet di Timur Laut Tiongkok hingga
memasuki semenanjung Korea, dan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima
dan Nagasaki oleh pasukan Amerika, Jepang bertekuk lutut. Berakhirlah
Perang Dunia kedua.
17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Pemuda
Indonesia memainkan peranan penting mendukung usaha merebut
kemerdekaan dan melucuti senjata Jepang. Tidak sedikit pemuda gugur
melawan Jepang. Dalam pada itu, organisasi pemuda bermunculan di
banyak tempat.
"Di Jawa Barat muncul Angkatan Pemuda Indonesia di bawah pimpinan
Wikana dan Chaerul Saleh dibantu oleh Hanapi, Koesnandar, Pardjono,
Djohar Nur, dan D.N. Aidit. Organisasi ini bertujuan memperteguh Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat dengan
memperjuangkan susunan masyarakat yang berdasarkan sama rata samarasa serta bersifat anti fasis/' [Hardjito, Risalah Gerakan Pemuda, Pustaka
Antara, Djakarta, 1952, hal.31].
Di samping API, terdapat Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI),
berpusat di Semarang di bawah pimpinan Ibnu Parna, Pemuda Republik
Indonesia (PRI) berpusat di Surabaya di bawah pimpinan Soemarsono;
Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI) berpusat di Jogyakarta di
bawah pimpinan Lagiono. Selain organisasi-organisasi tersebut, juga berdiri
Gabungan Pegawai Angkatan Muda (GPAM) yang kemudian menjadi
badan federasi dari segenap organisasi pemuda jawatan-jawatan dan
akhirnya menjadi Angkatan Pemuda Pembangunan Indonesia (APPI).
Tanggal 9 — 10 November 1945, berlangsung Kongres Pemuda Indonesia
di Jogjakarta untuk menggabungkan organisasi-organisasi pemuda yang ada.
Kongres berhasil mendirikan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia
(BKPRI). BKPRI dibantu oleh 1. Dewan Pekerja Perjuangan dan 2. Dewan
Pekerja Pembangunan.
Pada tanggal itu, terbentuk pula organisasi Pemuda Sosialis Indonesia
(Pesindo), penggabungan 7 organisasi pemuda:
1. Angkatan Pemuda Indonesia,
2. Gerakan Pemuda Republik Indonesia,
3. Angkatan Muda Republik Indonesia,
4. Pemuda Republik Indonesia,
5. Angkatan Muda Kereta Api,
6. Angkatan Muda Gas dan Listrik,
7. Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telepon.
Pesindo memiliki kekuatan bersenjata.
Dalam perkembangannya, dalam kongres III tahun 1950, Pesindo berubah
menjadi Pemuda Rakyat. Dalam Peraturan Dasar hasil kongres V dinyatakan
bahwa Pemuda Rakyat adalah pembantu setia dan terpercaya dari PKI.
Kongres VI tahun 1961 merumuskan bahwa Pemuda Rakyat sebagai
pembantu yang setia dan terpercaya dari PKI akan selalu menjunjung tinggi
kepercayaan yang ditumpahkan kepadanya dan dengan sekuat tenaga akan
melaksanakan secara aktif program PKI. Ini berarti Pemuda Rakyat harus setia
mengabdi cita-cita revolusi Agustus 1945 dan kepentingan-kepentingan vital
massa pemuda dengan dengan jalan lebih memperkuat persatuan dan
mengeratkan hubungannya dengan massa pemuda, giat belajar teori
fundamental Marxisme-Leninisme dan meningkatkan pengetahuan
umumnya serta memperhebat kegiatannya di bidang olahraga dan kesenian
untuk menjadikannya pejuang-pejuang m uda yang sehat dan gembira.
Tanggal 27 November 1945, dengan sebuah pengumuman, dinyatakan
berdirinya susunan Dewan Pekerja Perjuangan dengan Pemimpin Umum
Soemarsono, Wakil Pemimpin Umum Soerjantokoesoemo, Ketua Sekretaris
Bb. Kaslan, Ketua Bagian Penerangan Widarta, Ketua Bagian Penghubung S.
Moestapha, Ketua Bagian Pengawas Pramono, Ketua Bagian Pertahanan Ks.
Koesnandar.
Kongres Pemuda Indonesia II dilangsungkan di Jogjakarta 8—9 Juni 1946.
Dalam kongres, berpidato Presiden Soekarno; Menteri Pemuda, Wikana; dan
Menteri Pertahanan, Amir Sjarifuddin. Kongres memutuskan Dewan
Pimpinan Pusat BKPRI terdiri dari: Soepardo, Pemimpin Umum; A. Boechari,
Wakil Pemimpin Umum I; Soepeno, Wakil Pemimpin Umum II; Warsana,
Penulis. Dan Badan Pekerja BKPRI dengan Soemarsono, Pemimpin Umum;
Soepardi, Penulis I; Bb. Kaslan, Penulis II. Kongres memutuskan
menyediakan dua orang untuk kandidat bagi Dewan Pertahanan Negara,
yaitu Soemarsono dan Soepardo.
Di Australia, proklamasi kemerdekaan Indonesia mendapat sambutan
yang hangat sekali. Masyarakat Indonesia di Australia, terutama mereka
yang bekerja sebagai buruh pelabuhan dan pelayaran, sangat tanggap
terhadap situasi tanah airnya. Kapal-kapal Belanda untuk tujuan Indonesia
yang sudah penuh muatan, mereka tunda keberangkatannya. Kelasi-kelasi
Indonesia yang bekerja di kapal Belanda menolak untuk berlayar.
Sementara itu di kalangan buruh pelabuhan Australia yaitu Austalian
Seamen's Union dan Australian Waterside Workers Union melakukan aksi
bersama. Sampai melakukan pemogokan dan pemboikotan terhadap kapalkapal Belanda. Kaum buruh Australia menuntut "Kapal-kapal Belanda supaya
segera menghentikan pengangkutan senjata dan amunisi yang digunakan untuk
memerangi rakyat Indonesia."
Akhirnya di seluruh kapal Belanda di Australia berlangsung boikot dan
pemogokan sampai pekerja-pekerja dapur menolak bekerja sama dengan
Belanda. [Dewan Nasional SOBSI, Sejarah Gerakan Buruh Indonesia, disusun
kembali oleh Sadali, Pustaka Pena, Jakarta 2002, hal.58].
Restoran-restoran Tionghoa di Brisbane sampai membantu memberi
makan gratis kepada kaum buruh Indonesia yang sedang mogok. Solidaritas
ini juga terjadi di Singapura. Sekitar 7.000 buruh India dan Tionghoa
melakukan pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda.
Aksi-aksi juga terjadi di Amerika. Sekitar 200 orang buruh pelayaran
Indonesia yang ada di Amerika Serikat pada tanggal 19 Oktober 1945
melakukan pemogokan dan demonstrasi di New York. Selama berbulanbulan mereka berhasil memboikot 11 kapal Belanda dengan mengikatnya di
pelabuhan. Kapal-kapal itu semula hendak mengangkut alat-alat perang
Belanda yang didapatkan dari Amerika Serikat. Berkat perjuangan kaum
buruh pelayaran Indonesia yang gigih dan berkat solidaritas Serikat Buruh
Pelayaran Amerika Serikat (National Maritime Union of USA), maka alat-alat
perang Belanda itu terpaksa dibongkar.
Di samping mencurahkan tenaga di garis depan, kaum buruh Indonesia
pun dengan serentak ikut mengambil alih kekuasaan atas semua pabrik,
perusahaan, perkebunan, tambang, dan sebagainya, dari tangan Jepang dan
menyerahkannya kepada pemerintah Republik Indonesia. Semua pabrik dan
perkebunan diberi plakat bertulisan "Milik Republik Indonesia". Untuk
penjagaan keamanan dan mencegah sabotase, di mana-mana didirikan
laskar buruh. Ada Laskar Buruh Minyak, Laskar Buruh Kereta Api, Laskar
Buruh Gula, dan sebagainya.
Tanggal 13 Maret 1946, berdiri Serikat Buruh Kereta-api (SBKA);
1 November 1945, berdiri Serikat Buruh Postel; 12 Oktober 1945, berdiri
Serikat Buruh Jawatan Pekerjaan Umum (SBPU); 3 Maret 1946, berdiri
Serikat Buruh Gula (SBG); 24 November 1945, berdiri Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI)} 17 Februari 1947, berdiri Serikat Buruh
Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri).
Untuk lebih mempersatukan seluruh kekuatan kaum buruh dan
mengkoordinir semua kegiatannya, maka oleh beberapa serikat buruh
pegawai negeri diusahakan terbentuknya satu organisasi gabungan yang
dinamakan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI). Tapi karena adanya
pertentangan yang agak hebat dalam GASBI, terutama disebabkan oleh
perebutan kedudukan pimpinan, maka elemen-elemen yang tidak puas
memisahkan diri dari gabungan tersebut, dan mendirikan Gabungan Serikat
Buruh Vertikal (SBV).
Baru pada tanggal 29 November 1946, atas inisiatif golongan progresif,
telah berhasil diadakan pertemuan antara semua organisasi vaksentral dan
serikat-serikat buruh, termasuk GASBI dan GSBV, di mana dicapai kata
sepakat untuk melebur gabungan-gabungan serikat buruh tersebut ke dalam
satu vaksentral dengan nama Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
(SOBSI).
Pada bulan Mei 1947, dilangsungkan Kongres Nasional pertama SOBSI
di Malang yang mendapat kunjungan dari hampir semua serikat buruh yang
terdapat di daerah Republik Indonesia. Kongres juga dihadiri oleh utusanutusan kaum buruh dari daerah-daerah yang diduduki Belanda dan utusan
kaum buruh dari luar negeri.
Program perjuangan yang diputuskan oleh kongres yang sangat penting
ini adalah:
1. Mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
2. Melakukan pembangunan ekonomi dan sosial.
3. Dalam lapangan perbaikan nasib kaum buruh, juga diputuskan
untuk memperbaiki peraturan gaji bagi pegawai negeri Republik
Indonesia dan menyusun Undang-Undang Perburuhan yang di
antaranya memuat ketentuan mengenai 7 jam bekerja sehari.
4. Dalam lapangan organisasi, kongres memutuskan Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga, di mana dirumuskan adanya
demokrasi terpimpin, prinsip susunan organisasi bersifat federasi,
tentang keanggotaan dan ketentuan-ketentuan mengenai iuran serta
dibentuknya satu presidium dan pimpinan harian dari SOBSI.
5. Selanjutnya diputuskan untuk menggabungkan diri dengan
Gabungan Serikat Buruh Sedunia (GS S) atau World Federation of Trade
Unions (WFTU).
6. Sebagai pimpinan terpilih antara lain: Harjono, Oei Gee Hwat, Njono,
Asraroeddin, Djokosoejono, K. Werdojo, S.K. Trimurti, R.H. Koesnan,
dan lain-lain.
Dengan demikian, kian terkonsolidasilah kekuatan organisasi buruh di
Indonesia. Tidak saja di dalam negeri, bahkan telah punya hubungan luar
negeri dengan SOBSI menjadi anggota GSS. GSS adalah Gabungan Serikat
Buruh Sedunia, World Federation of Trade Unions (WFTU) yang didirikan 3
Oktober 1945 di Praha.
Kemenangan yang penting lainnya adalah di bawah pemerintahan Amir
Sjarifuddin dengan S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan dihasilkan
Undang-Undang Kerja tahun 1947. Dalam Undang-Undang Kerja ini
dicantumkan pengakuan bahwa Hari Satu Mei adalah hari raya resmi,
ditetapkan 7 jam kerja sehari dan 40 jam kerja seminggu, diadakan larangan
kerja berat untuk buruh wanita.
Kekuatan reaksioner dalam negeri secara terus-menerus berusaha
memecah-belah persatuan kaum buruh. Dengan berkedok semboyansemboyan "menentang Persetujuan Linggarjati dan Renville" mereka
mendirikan organisasi buruh di luar persatuan yang telah ada dengan nama
Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) yang menjadi bagian dari Partai
Masjumi dan Gabungan Serikat Buruh Revolusioner Indonesia (GASBRI)
dari Partai Murba. GASBRI tahun 1951 mengubah namanya menjadi SOBRI
(Sentral Organisasi Buruh Revolusioner Indonesia).Tahun 1948 adalah permulaan berkobarnya Perang Dingin, realisasi
Doktrin Truman, the Poliicy of Containment, politik pembendungan komunisme
sejagat. Tak ayal lagi, adanya pemerintah Indonesia dengan Amir
Sjarifoeddin sebagai perdana menterinya, adalah bagaikan duri di mata
Amerika Serikat. Dengan "Red Drive Proposals", usul pembasmian kaum kiri
di Indonesia, maka meletuslah "Peristiwa Madiun" September 1948. Amir
Sjarifoeddin terbunuh, bersama pucuk pimpinan PKI, termasuk Musso,
sekjen CC PKI., Suripno, dll., ketua umum dan pimpinan utama SOBSI,
Harjono, Oei Gee Hwat, D. Mangku, dan tokoh-tokoh gerakan buruh lainnya
terbunuh.
Gerakan buruh mengalami pukulan berat karena usaha pecah-belah..
Dalam waktu yang singkat dan dengan cara yang sama sekali tidak
demokratis, elemen-elemen reaksioner memaksa serikat buruh untuk keluar
dari SOBSI, satu-satunya gabungan serikat buruh yang ada waktu itu.
Seperti Serikat Buruh Gula, Serikat Buruh Listrik dan Gas Indonesia, juga
PGRI, Serikat Buruh Jawatan Pekerjaan Umum, Serikat Buruh Pegadaian,
Serikat Buruh Radio Republik Indonesia. Perang Dingin merasuk ke dalam
gerakan buruh, nasional dan internasional. Anggota-angota SOBSI diceraiberaikan. Demikian pula GSS mendapat saingan dengan lahirnya
International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) yang disponsori CIA 7
Desember 1949 di London. ICFTU didirikan oleh organisasi-organisasi
serikat buruh yang anti-komunisme, menentang GSS.
Peristiwa Madiun yang merupakan pelaksanaan Doktrin Truman, yaitu
pelaksanaan the policy of containment, politik pembendungan komunisme
sejagat, adalah salah satu halaman gelap dalam sejarah Indonesia. Dengan
Peristiwa Madiun, pemerintah Hatta berhasil menyingkirkan kekuatan kiri
dari Angkatan Bersenjata RI. Ini sesuai dengan "Red Drive Proposals", yang
diajukan Amerika Serikat pada pemerintah Indonesia dalam "Pertemuan
rahasia Sarangan".
Sesudah kaum kiri disingkirkan dari pemerintah dan angkatan
bersenjata, maka 19 Desember 1948 berlangsunglah agresi kolonial Belanda
kedua terhadap Republik Indonesia. Belanda berhasil menduduki ibukota
republik dan menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta.
Kehidupan Republik Indonesia berlanjut dengan terbentuknya
Pemerintah Darurat Republik Indonesia di bawah pimpinan Sjafroeddin
Prawiranegara. berkedudukan di Suliki, Sumatera Tengah. Dan rakyat
dengan kekuatan bersenjata yang setia kepada republik melancarkan perang
gerilya yang kian lama kian berkobar. Belanda melancarkan aksi diplomatikdengan dukungan Amerika Serikat, hingga berhasil melangsungkan
Konferensi Meja Bundar di Den Haag yang menelorkan Persetujuan KMB.
Terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan negaranegara bagiannya terdiri dari:
A. Daerah Kekuasaan RIS 1 mencakup: Negara Pasundan, Republik
Indonesia, Negara Jawa Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Madura,
Negara Sumatera Selatan, Negara Sumatera Timur,
B. Daerah Kekuasaan RIS 2 meliputi: Negara Riau, Negara Jawa Tengah,
Negara Dayak Besar, Negara Bangka, Negara Belitung, Negara Kalimantan
Timur, Negara Kalimantan Barat, Negara Kalimantan Tenggara, Negara
Banjar, Negara Dayak Besar.
Dengan Persetujuan KMB berarti hasil Revolusi Agustus 1945 dilikuidasi.
Indonesia kembali jadi tempat investasi kapital asing, jadi sumber bahan
mentah bagi industri negeri-negeri kapitalis, jadi sumber tenaga kerja yang
murah, dan jadi pasar komoditi negara-negara imperialis. Indonesia harus
membayar hutang kepada negara Belanda sebesar 4,5 miliar gulden. Irian
Barat tetap berada di bawah kekuasaan Belanda. Dan RIS berada di bawah
naungan mahkota Kerajaan Belanda.
Di bawah kekuasaan RIS, gerakan buruh tak pernah henti, bahkan
berlangsung pembangunan kembali serikat-serikat buruh. Tenaga-tenaga
pimpinan yang berhasil menangkis pembasmian selama kontra-revolusi
dalam Peristiwa Madiun, menghimpun kembali sedikiit demi sedikit, dengan
sekuat tenaga berusaha menghidupkan dan membangun kembali SOBSL
Pada waktu itu telah ada beberapa gabungan serikat buruh seperti
Gabungan Serikat Buruh Republik Indonesia (GASBRI), Himpunan Serikat
Buruh Indonesia (HISBI), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), di
samping SOBS1, dan mereka menyetujui untuk membentuk suatu koordinasi
mengenai aktivitas-aktivitas bersama.
Dalam rangka usaha mempertahankan Republik Proklamasi 1945, maka
oleh kaum buruh dan rakyat Indonesia diadakan aksi-aksi bersama untuk
melikuidasi negara-negara bagian RIS yang diciptakan oleh Gubernur
Jenderal Van Mook. Aksi-aksi demonstrasi, boikot, serta pemogokan
dilakukan oleh massa kaum buruh di berbagai daerah, hingga pada 17
A