Selasa, 11 Februari 2025

penggulingan sukarno 5


 organisasi buruh pertama di Indonesia berupa SS 

Bond, yaitu persatuan pegawai Perusahaan Kereta Api (Staatsspoorweg

Maatschappij). Tahun 1908, terbentuklah Persatuan Pegawai Kereta Api dan 

Tram, Vereniging van Spoorweg en Tram Personeel (VSTP) di Semarang. Banyak 

anggota SS Bond pindah ke VSTP.

Tahun 1913, dari Belanda datanglah ke Indonesia, H.J.F.M. Sneevliet, 

seorang revolusioner. Dia berpengaruh besar dalam VSTP dan menjadi 

seorang anggota pimpinan penting, kemudian jadi sekretaris dan 

penanggung jawab bagian propaganda dari VSTP. Sneevliet membawa 

aliran Marxisme ke Indonesia.

Bulan Mei 1914, di Semarang berkumpul Sneevliet dan teman-temannya 

yang sepaham, yaitu, antara lain: J.A. Brandsteder, P. Bergsma, dan 

H.W. Dekker. Mereka mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging

(ISDV) yang bertujuan untuk menyebarkan Marxisme. Sesudah 

terbentuknya ISDV’ bermunculanlah organisasi-organisasi buruh di 

Indonesia. Buruh-buruh Jawatan Pegadaian Negeri bersatu membentuk 

organisasi Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB); buruh-buruh 

Pekerjaan Umum membentuk serikat buruh BOW (Burgerlijke Openbare

Werken—Pekerjaan Um um —) kemudian lahir Vereniging Inheemsche Personeel

BOW (VIPBOW); juga berdiri Serikat Buruh Guru Bangsa Indonesia, 

Perhimpunan Guru Hindia Belanda (PGHB), Perhimpunan Guru Bantu 

(PGB), dan Perserikatan Guru Ambachtsschool (PGAS), buruh-buruh 

Jawatan Candu berserikat dalam "De Opiumregiebond Nederlands-Indie" tahun 

1915, dan de Opiumregiebond Luar Djawa Madura tahun 1917, buruh duane 

berserikat dalam Perhimpunan Bumiputera Pabean, dan banyak serikat￾serikat buruh kecil lainnya.

Tahun 1919, di Jogja didirikan Personeel Pabrieks Bond (PFB) yang mula￾mula hanya bertujuan memberi bantuan kepada keluarga buruh pabrik gula 

di Jogja. Tetapi kemudian PFB meluas ke seluruh Jawa dan tujuannya juga 

diperluas tidak lagi hanya terbatas memberi bantuan pada keluarga. 

Pemimpin PFB yang terkemuka yaitu Raden Mas Surjopranoto, terkenal 

dengan julukan "stakings koning" (raja pemogok) karena di bawah pimpinan 

PFB, dalam tahun 1920 telah terjadi pemogokan besar yang diikuti oleh 

ratusan ribu kaum buruh gula.

Sejak tahun 1916, ISDV sudah mengusahakan pembentukan vaksentral 

(gabungan serikat-serikat buruh). ISDV berpendapat bahwa perlawanan 

terhadap kaum kapitalis akan lebih m udah diatur dan akan lebih hebat 

pukulannya jikalau kaum buruh Indonesia sudah tergabung dalam 

vaksentral. Oleh Semaoen, murid dari Sneevliet telah diusahakan 

mendirikan vaksentral lewat VSTP, tapi gagal.

Pertengahan tahun 1918 diusahakan lagi dengan mengundang pengurus￾pengurus serikat buruh ke Semarang. Masalah yang hangat ketika itu adalah 

soal "duurtetoeslag" — tunjangan kemahalan. Usaha ini gagal lagi.

Dalam bulan Maret 1917, disiarkan dalam koran De Indier tanggal 19 

Maret 1917 tulisan Sneevliet berjudul "De Zegepraal", "Kemenangan"

menyambut meletusnya revolusi Februari di Russia, dan menganjurkan 

rakyat Indonesia berteladan pada Revolusi ini. Kemenangan Revolusi 

Oktober 1917 di Rusia menimbulkan kegembiraan dan keyakinan di 

kalangan ISDV berpropaganda tentang revolusi dan sosialisme. Dengan 

dibantu oleh Brandsteder, sekretaris organisasi pegawai marine dan 

redaktur surat kabar serdadu dan matros, berlangsung propaganda 

semangat perlawanan di kalangan angkatan bersenjata Belanda.

Atas anjuran Sneevliet, di Surabaya dibentuk semacam Sovyet, yaitu 

"Dewan Matros dan Marine", dan kepada serdadu-serdadu dianjurkan untuk 

juga membentuk dewan-dewan yang serupa. Kegiatan ini dianggap 

berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, 5 Desember 1918, 

pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengusir Sneevliet. 

Pengusiran berlanjut terhadap Brandsteder, Bergsma, dan Baars. 

Pengusiran-pengusiran ini tak banyak pengaruhnya, karena di kalangan 

bangsa Indonesia telah lahir pemimpin-pemimpin kaum buruh yang 

revolusioner.

Dalam Kongres PPPB di Bandung bulan Mei 1919, pemimpin PPPB

Raden Sasrokardono, menganjurkan supaya semua serikat buruh bersatu 

dalam satu federasi. Dalam Kongres ini tercapai persetujuan antara 

pemimpin PPPB, Raden Sasrokardono, dan pemimpin VSTP, Semaoen, 

mengenai perlunya mempersatukan serikat-serikat buruh, dan tentang 

tujuan gerakan buruh untuk mencapai pemerintah sendiri dan mengubah 

masyarakat menjadi masyarakat sosialis.

Pada waktu itu, ISDV dan Sarekat Islam kian berpengaruh dalam 

masyarakat, termasuk dalam gerakan buruh. Usaha pembentukan sebuah 

vaksentral kian berlanjut. Terdapat perbedaan antara ISDV dengan Sarekat 

Islam mengenai nama vaksentral yang dibentuk. ISDV menginginkan nama 

Revolutionnaire Socialistische Vakcentrale (Gabungan Serikat Buruh Sosialis 

Revolusioner). Sarekat Islam menginginkan nama Persatuan Pergerakan 

Kaum Buruh (PPKB).

Akhir Desember 1919, dalam pertemuan wakil-wakil serikat buruh di 

Jogjakarta, ISDV mengalah, menyetujui terbentuknya vaksentral dengan 

nama PPKB. Dalam pertemuan ini dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari 

pemuka-pemuka kaum buruh: Surjopranoto, Sosrokardono, Alimin, dan 

Reksodiputro, untuk merumuskan Peraturan Dasar vaksentral.

Situasi sesudah Perang Dunia pertama sangat menguntungkan kapitalis 

besar, karena besarnya permintaan akan ekspor Indonesia. Perseroan

Dagang Belanda Handels Vereniniging Amsterdam (HVA) mendapat laba besar. 

Harga gula meningkat luar biasa, dari f5.25 per pikul dalam bulan Juli tahun 

1918, menjadi f66.00 dalam bulan Mei 1920; kopi robusta dari fl6.12 per 

pikul dalam bulan Juli 1918 menjadi f76.25 dalam bulan November 1919. 

[D.N. Aidit, Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 

1952, hal.42].

Tetapi sebaliknya bagi rakyat, tahun-tahun pertama seusai perang berarti 

musim kelaparan. Kemiskinan berjangkit, kesulitan hidup memuncak. 

Ketidaksenangan rakyat terus bertambah terutama tidak senang terhadap 

bangsa Eropa. Upah riil kaum buruh sangat turun, karena naiknya harga 

barang-barang impor, termasuk barang-barang keperluan sehari-hari, 

sedangkan upah tidak ikut naik, atau kalau naik tidak sepadan dengan 

naiknya harga barang kebutuhan sehari-hari.

Keadaan upah yang sangat buruk menyebabkan pimpinan PFB

merencanakan aksi buruh gula. Dalam bulan Maret 1920, pimpinan PFB

menyampaikan surat edaran kepada direksi dan administrasi onderneming￾onderneming dan kepada sindikat-sindikat gula, di mana diajukan 

permintaan supaya PFB diakui sebagai wakil buruh dan bersamaan dengan 

itu juga dituntut perbaikan upah bagi buruh.

Di mana-mana terjadi pemogokan besar-besaran yang diikuti oleh 

ratusan ribu buruh gula. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, umumnya di 

perusahaan-perusahaan gula HVA.

Pemogokan yang hebat ini telah memaksa sindikat-sindikat gula 

mengadakan kontak dengan pihak buruh, untuk berunding. Semaoen dari 

Vaksentral PPKB memerintahkan supaya pemogokan dihentikan.

Akan tetapi Surjopranoto tidak mau mentaati perintah PPKB dan terus 

mengadakan agitasi-agitasi untuk melanjutkan aksi. Malah pada tanggal 9 

Agustus 1920 dikeluarkan ultimatum untuk mengadakan pemogokan umum.

Oleh pemerintah Hindia Belanda, agitasi Surjopranoto ini dianggap 

membahayakan apa yang dinamakannya "ketertiban umum". Larangan 

mengadakan aksi dikeluarkan, karena menurut pemerintah aksi ini "bukan 

untuk perbaikan nasib kaum buruh, tetapi sebetulnya aksi politik untuk 

mengadakan kerusuhan." Bersamaan dengan larangan mengadakan aksi, 

pemerintah juga "mengingatkan majikan untuk sebaiknya menambah upah 

buruh." Pemerintah meletakkan tanggung jawab pada pengurus PFB jika 

terjadi pemogokan umum. Akhirnya, Surjopranoto kena delik dalam bicara 

dan dihukum dua bulan. Karena itu PFB menjadi lumpuh.

Kongres PPKB yang pertama diselenggarakan di Semarang pada tanggal 

1 Agustus 1920. Kongres ini dihadiri oleh wakil 22 serikat buruh, dengan

anggota seluruhnya 72.000 orang. Dalam kongres ini mulai kelihatan 

pertentangan antara aliran revolusioner yang diwakili oleh kaum komunis 

dan aliran reformis yang diwakili oleh beberapa pemimpin Sarekat Islam. 

Semaoen dan kawan-kawannya menyesali Surjopranoto yang dalam aksi 

melawan pabrik gula telah mengecilkan arti rol daripada vaksentral, dan 

tidak menghubungkan aksi-aksi buruh gula dengan soal-soal politik 

menghantam penjajahan. Surjopranoto menyatakan keberatannya jika 

vaksentral mencampuri soal-soal dalam PPB.

Dalam kongres ini juga terjadi perdebatan hangat tentang tempat 

kedudukan vaksentral. Kaum komunis menghendaki supaya berkedudukan 

di Semarang, sedang orang-orang SI menghendaki Jogja, yaitu kota pusat SI.

Diputuskan untuk sementara tempat kedudukan PPKB di Jogja, di mana 

bertempat tinggal 4 dari 7 orang pengurus Besar PPKB. Susunan Pengurus 

Besar PPKB pilihan kongres ialah: Semaoen sebagai ketua, R.M. Surjopranoto 

sebagai wakil ketua, dan Haji Agus Salim sebagai sekretaris.

Kaum komunis mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam PPKB.

Dalam hal ini besar sekali peranan dari VSTP yang militan itu. Sejak mulai 

berdirinya, PPKB sudah dihadapkan pada pekerjaan yang banyak, karena di 

mana-mana timbul pemogokan-pemogokan.

Dalam bulan Agustus 1920 itu juga pada maskapai Semarang-Cheribon￾Stoomtram Maatschappij (SCS) timbul konflik antara buruh dengan maskapai. 

Segera VSTP menyampaikan ultimatum pada direksi maskapai. Direksi 

menyanggupi memberikan syarat-syarat kerja yang sama seperti yang 

berlaku bagi pegawai S S, tetapi maskapai menolak tuntutan-tuntutan VSTP

yang lain. VSTP menganggap putusan direksi ini tidak cukup dan menuntut 

kenaikan upah serta 8 jam kerja sehari. Suasana menjadi hangat, dan dalam 

keadaan demikian timbul provokasi, yaitu pecahnya pemogokan di seluruh 

jalan kereta-api Semarang—Tjirebon dengan tidak setahu VSTP. Tapi 

pengaruh VSTP atas kaum buruh sangat besar dan dengan tindakan yang 

diambil VSTP, pemogokan bisa dihentikan dengan segera.

Juga di Sumatera Timur pada permulaan September 1920, timbul 

pemogokan di kalangan kaum buruh kereta-api Deli Spoor Maatschappij

(DSM) yang juga menuntut kenaikan upah. Aksi mogok ini juga menjalar 

sampai kepada buruh Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Pangkalan 

Brandan. Dengan dipenuhinya tuntutan buruh, segera pemogokan berhenti.

Dalam bulan November 1920, terjadilah sejumlah konflik perburuhan di 

Surabaya. Atas usaha pemimpin-pemimpin dari PPKB dapat diorganisasi 

buruh penjahit, buruh pelabuhan, dan buruh perusahaan teknik, dan serikat 

buruh-serikat buruh ini digabungkan ke dalam vaksentral setempat.

Tuntutan kenaikan upah ditolak oleh majikan. Ini menyebabkan pecahnya 

pemogokan-pemogokan di berbagai perusahaan. Pemogokan-pemogokan 

ini ada juga yang mengakibatkan penutupan perusahaan (lock-out) sampai 

tuntutan kaum buruh dikabulkan, dan ada yang memakan waktu sampai 

dua bulan.

Baru pada akhir Desember 1920, kaum buruh perdagangan dan industri 

di Surabaya bekerja kembali, dan keadaan ini membikin ramai kembali 

kehidupan perusahaan yang tadinya dibikin sunyi oleh pemogokan.

Pemogokan-pemogokan dalam tahun 1920 umumnya berakhir dengan 

kemenangan kaum buruh. Kemenangan-kemenangan ini memberikan 

semangat dan kegembiraan berjuang pada kaum buruh, mendidik kaum 

buruh akan pentingnya organisasi dan disipilin, dan membukakan pada 

kaum buruh dan rakyat umumnya kebobrokan dari peraturan perburuhan 

kolonial dan pemerintah kolonial.

Karena aksi-aksi kaum buruh, pemerintah terpaksa membicarakan soal 

upah minimum bagi kaum buruh. Untuk ini oleh pemerintah dibentuk satu 

komisi perburuhan. Tetapi setelah komisi ini memberikan laporannya pada 

akhir Juni 1920, pemerintah kemudian menyatakan pendapatnya, bahwa 

laporan ini "lebih bersifat menyatakan keinginan-keinginan teoretis dari 

komisi daripada menyatakan apa yang mungkin dalam praktik. Menurut 

pemerintah, peraturan upah minimum yang diusulkan oleh komisi adalah 

"secara teori tidak bisa dipertahankan dan dalam praktik tidak bisa 

dilaksanakan." Dengan perkataan lain, pemerintah tidak bertindak apa-apa 

untuk perbaikan nasib buruh.

Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh gerakan buruh membikin 

khawatir pihak pemerintah. Yang lebih mengkhawatirkannya lagi ialah, 

bahwa rencana kaum komunis dalam serikat-serikat buruh makin lama 

makin besar. Dengan melalui orang-orangnya, pemerintah Hindia Belanda 

berusaha memecah-belah gerakan buruh dan mempengaruhi aliran-aliran 

tertentu dalam SI. Dengan segala jalan, pemerintah Hindia Belanda 

mempertajam pertentangan antara kaum komunis (PKI) dengan golongan 

Islam (SI) untuk memecah PPKB. Aliran reformis dalam PPKB dengan 

sendirinya mendapat sokongan dan dorongan dari pemerintah Hindia 

Belanda. Dengan demikian, pertentangan antara aliran revolusioner dengan 

aliran reformis makin lama makin tajam dalam PPKB.

Atas usul VIPBOW dengan maksud untuk "meredakan pertentangan" 

yang ada dalam PPKB, pada tanggal 18—20 Juni 1921, di Jogja diadakan 

rapat umum dihadiri oleh semua anggota PPKB. Tetapi dalam rapat ini, 

pertentangan bukan makin reda, tetapi malahan menjadi lebih tajam danlebih terang. Di satu pihak, kaum komunis belum mampu menjalankan 

taktik yang tepat untuk menggalang front persatuan buruh yang luas, dan di 

pihak lain orang-orang seperti Hadji Agoes Salim, cs. dan pembesar￾pembesar PID (Jawatan Penyelidik Politik Hindia Belanda) dengan segala 

jalan menggunakan tiap-tiap kesempatan untuk menimbulkan kekacauan 

dan perpecahan. Dalam rapat ini, PPKB pecah menjadi dua pihak: "golongan 

Semarang" yang dipimpin oleh kaum revolusioner, dan di pihak lain 

"golongan Jogja" yang dipimpin oleh kaum reformis Hadji Agoes Salim, cs.

Di bawah pimpinan kaum komunis didirikan vaksentral baru dengan 

nama Revolutionaire Vakcentrale (RV), yang berkedudukan di Semarang. 

Dalam RV ini tergabung 14 serikat buruh pelabuhan, tambang, supir, 

percetakan, penjahit, dsb., dengan VSTP sebagai tulang punggungnya. RV

dipimpin antara lain oleh Semaoen, P. Bergsma, Najoan, dll.

Surjopranoto bersama Hadji Agoes Salim meneruskan aktivitasnya 

dengan nama PPKB di Jogja dengan PPPB sebagai tulang punggungnya.

Kaum komunis berhasil menarik serikat-serikat buruh yang penting 

seperti VSTP, serikat buruh pelabuhan, tambang, dsb., ke dalam RV, tetapi 

dua serikat buruh yang besar dan penting, yaitu serikat buruh gula (PFB)

dan PPPB, tidak dapat ditariknya. Kedua serikat buruh itu berada di bawah 

pimpinan kaum reformis. Demikian juga serikat buruh guru berada dalam 

pimpinan kaum reformis. Keadaan ini mempunyai pengaruh pada gerakan 

buruh selanjutnya.

Dalam bulan Agustus 1921, terjadi pemogokan buruh pelabuhan di 

Surabaya, ialah sebagai perlawanan terhadap majikan yang mau 

menurunkan upah buruh. Kejadian ini segera dicampuri oleh RV dengan 

mengirimkan Semaoen ke Surabaya.

Pada tanggal 11 Januari 1922, terjadi pemogokan buruh pegadaian di 

bawah pimpinan PPPB (anggota PPKB), mula-mula di Jogja, tetapi dua 

minggu kemudian menjalar ke beberapa daerah di Jawa. Berbeda dengan 

pemogokan-pemogokan lain yang sudah diterangkan di atas, pemogokan ini 

bukan karena soal upah, tetapi disebabkan oleh sikap pegawai atasan 

peranakan bangsa Belanda yang bertindak sewenang-wenang terhadap 

pegawai Indonesia. Dengan perkataan-perkataan yang tidak menyenangkan, 

pegawai atasan yang umumnya terdiri dari bangsa Belanda menyuruh 

pegawai-pegawai bangsa Indonesia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang 

dianggap hina, misalnya disuruh mengangkat barang-barang yang akan 

dilelang ke dalam los. Pegawai menuntut supaya ada pesuruh yang khusus 

untuk mengangkut barang-barang itu, dan menuntut supaya di kalanganpegawai juga, juga oleh pegawai atasan, dipergunakan bahasa Jawa Dipo 

yang demokratis.

Tuntutan-tuntutan ini tidak mendapat perhatian, dan inilah yang 

menyebabkan pemogokan besar-besaran, 79 dari 360 rumah gadai ambil 

bagian dalam pemogokan ini. Untuk menindas pemogokan ini, pemerintah 

Hindia Belanda menggunakan ketentuan hukuman-jabatan, artinya kepala￾kepala pegadaian begitu saja bisa memperhentikan pegawai yang dianggap 

"menolak pekerjaan" atau "mengadakan tentangan". Dengan demikian, 

kaum pemogok, sejumlah kira-kira 1.000 orang, yaitu 20% dari seluruh 

pegawai jawatan pegadaian, dipecat dari pekerjaannya.

Aksi kaum buruh pegadaian yang hebat ini mengalami kegagalan, 

karena pemimpin PPPB yang reformis tidak memberikan tuntunan tegas. 

Pemimpin-pemimpin yang terlalu banyak berusaha ke atas, misalnya 

beraudiensi kepada pembesar-pembesar pemerintah, dan kurang 

mengorganisasi serta membangunkan semangat kaum pemogok. Kesalahan 

yang besar lagi ialah, bahwa kaum pemogok tidak dikumpulkan secara 

teratur untuk diberi penjelasan tentang jalannya dan hasilnya perundingan 

serta bagaimana sikap pemogok selanjutnya. Ketika kaum pemogok dipecat 

dari pekerjaannya, sama sekali tidak ada petunjuk dari pimpinan apa yang 

harus mereka lakukan selanjutnya; dengan putusan sendiri-sendiri ada yang 

pergi ke desa untuk bertani, ada yang berdagang, ada yang mencari 

pekerjaan lain, dan sebagian mengabdikan diri sepenuhnya pada organisasi 

revolusioner. Keadaan yang tidak teratur ini, oleh reaksi dan kaum reformis 

kemudian dipergunakan untuk menakut-nakuti kaum buruh, terutama 

buruh pegadaian, agar tidak berani mengadakan aksi-aksi.

Hal yang sangat baik ialah, bahwa dalam menghadapi pemogokan buruh 

pegadaian yang ditindas oleh pemerintah Hindia Belanda, baik pihak RV

m aupun pihak PPKB, kedua-duanya mengeluarkan pernyataan tentang 

betapa pentingnya pemogokan ini dan menyerukan supaya seluruh kaum 

buruh Indonesia menyokong pemogokan, dan dinyatakan juga supaya 

kaum buruh bersiap-siap agar sewaktu-waktu diperlukan bisa mengadakan 

pemogokan umum. Di berbagai tempat diorganisasi rapat-rapat penerangan 

di mana juga dijelaskan kebobrokan pemerintah kolonial. Pemerintah 

menganggap ini sudah "keterlaluan" dan berpendapat bahwa hak berapat 

sudah dipergunakan tidak sebagaimana mestinya. Aktivitas kaum buruh 

dianggap mengganggu "ketertiban umum" dan atas dasar inilah di daerah 

Jogjakarta hak berapat dipersempit. Di samping itu, beberapa pemimpin 

buruh antara lain P. Bergsma dipisahkan dari gerakan buruh Indonesia 

dengan jalan mengeluarkannya dari Indonesia.

Semaoen tidak ikut serta dalam memimpin pemogokan pegadaian, 

karena dalam bulan Oktober 1921 dia pergi ke luar negeri untuk menghadiri 

kongres kaum buruh Timur Jauh di Moskow, di mana dibicarakan juga 

masalah organisasi buruh di negeri-negeri jajahan. Dia baru kembali pada 

akhir Mei 1922.

Atas inisiatif anggota-anggota PKI, 25 Juni 1922 di Surabaya diadakan 

rapat bersama dari serikat-serikat buruh, di mana dalam rapat ini 

dinyatakan perlunya diadakan fusi antara Revolutionnaire Vakcentrale dengan 

PPKB. Usaha ini berhasil, dengan tercapainya fusi dalam rapat yang sengaja 

diadakan untuk itu di Madiun pada tanggal 3 September 1922. Demikianlah 

perpecahan dalam gerakan buruh bulan Juni 1921 sebagai hasil pekerjaan 

memecah-belah dari elemen-elemen reaksioner dapat kembali dipersatukan 

atas usaha kaum komunis dalam satu vaksentral yang diberi nama 

Persatuan Vakbond Hindia (PVH). Dalam PVH tergabung VSTP, PPPB, PPBf

Kweekschoolbond, Perhimpunan Guru Bantu (PGB), dll., serikat buruh 

pemerintah maupun partikelir, dan seluruhnya meliputi 20.000 anggota.

Sasaran yang pertama dari PVH adalah maklumat pemerintah tentang 

akan dicabutnya tambahan upah karena kemahalan, yang telah berjalan 

beberapa tahun. Alasan pemerintah ialah untuk menghemat belanja 

pemerintah. Seluruh kaum buruh bersatu dalam menghadapi tindakan 

pemerintah ini.

Keadaan upah kaum buruh dalam tahun-tahun 1922 adalah sangat buruk. 

Ini menyebabkan timbulnya desakan yang sangat keras dari kaum buruh 

untuk mengadakan pemogokan, dan dalam berbagai kongres soal mogok 

menjadi pembicaraan yang hangat. Dalam menghadapi desakan kaum 

buruh semacam ini, pemimpin-pemimpin reformis menunjukkan tidak 

setianya kepada kepentingan kaum buruh dan mencari jalan untuk 

menyelamatkan diri sendiri. Dengan demikian, kaum buruh mengenal siapa 

pemimpinnya yang sejati dan siapa yang bukan.

Dalam Kongres PPPB, bulan Agstus 1922 di Ambarawa, soal mogok juga 

menjadi pembicaraan yang hangat. Dalam kongres ini ditekankan oleh 

pemimpin-pemimpin reformis dari SI yang duduk dalam PPPB supaya 

jangan sampai diadakan pemogokan karena pemogokan hanya akan 

membikin lebih celaka nasib kaum buruh. "Lihatlah pengalaman 

pemogokan yang kalah bulan Agustus 1921," demikian kata pemimpin￾pemimpin reformis. Kongres PPPB kali ini sangat tidak memuaskan para 

pengunjung kongres, karena dalam keadaan nasib kaum buruh berada 

dalam ancaman, pemimpin-pemimpin tidak memberikan jalan dan

pembelaan. Mereka hanya memberikan jalan sebagai yang diinginkan oleh 

majikan, yaitu supaya tidak mogok.

Sebaliknya dalam lingkungan VSTP, kaum komunis mendapat pengaruh 

yang lebih besar. Tentang maksud pemerintah untuk mencabut tambahan 

upah karena kemahalan dan tentang maklumat pemerintah mengenai 

penghematan menjadi pembicaraan yang hangat dalam rapat-rapat kaum 

buruh kereta api.

Juga dalam kongres PVH di Semarang pada akhir Desember 1922, dan 

dalam pimpinan serikat-serikat buruh di Surabaya pada akhir tahun itu juga, 

soal pemogokan menjadi pembicaraan hangat.

Bulan Januari 1923, VSTP mengeluarkan surat sebaran yang berisi 

pernyataan akan mengadakan pemogokan jika peraturan pemerintah 

tentang penghematan dijalankan. Ini masuk akal, karena jika terjadi 

penghematan maka akan terjadi massa-ontslag (pemecatan besar-besaran). 

Surat sebaran ini dibagikan dan ditempelkan di stasiun serta dibaca oleh 

kaum buruh dengan penuh perhatian.

Dalam rapat umum VSTP bulan Februari 1923, soal pemogokan 

dibicarakan dan dalam rapat ini diingatkan kepada direksi-direksi maskapai 

spoor dan tram supaya 'Tidak bermain dengan api".

Dalam kongres VSTP tanggal 3—4 Maret 1923 diputuskan bahwa VSTP

menggabungkan diri pada Gabungan Serikat Buruh Internasional 

(Profintern). Ini adalah langkah untuk menghubungkan aksi-aksi kaum 

buruh Indonesia dengan kaum buruh sedunia untuk menanamkan 

solidaritas internasional pada kaum buruh Indonesia, bahwa perjuangan 

kaum buruh Indonesia adalah bagian dari perjuangan kaum buruh sedunia. 

Dalam kongres VSTP ini, Semaoen mendapat kekuasaan untuk mengadakan 

perundingan-perundingan dulu dengan pembesar-pembesar kereta api 

sebelum VSTP mengadakan pemogokan. Di sini kelihatan tindakan yang 

hati-hati dari pihak VSTP, tidak gegabah dalam mengadakan aksi-aksi. 

Tetapi pemimpin VSTP tidak menekankan kaum buruh supaya jangan 

mengadakan pemogokan, seperti yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin 

reformis.

Tanggal 12 April 1923 diadakan rapat antara kepala-kepala dinas kereta 

api dengan pengurus besar VSTP.

Dan dalam pertemuan ini, pimpinan VSTP mengajukan tuntutan pokok 

sebagai berikut:

1. tetap mempertahankan "duurtebijslag" (tambahan kemahalan, 

tambahan kenaikan upah),

2. dijalankan 8 jam kerja sehari.

3. supaya diadakan badan arbitrase jika ada perselisihan antara majikan 

dan buruh.

Selain dari itu dituntut upah minimum f l,— sehari, sedangkan upah 

yang sudah diakui tahun 1921 tidak boleh dikurangi.

Usul-usul VSTP tidak ada yang diterima. Mengenai 8 jam kerja sehari 

dijanjikan akan diadakan enquete tentang waktu kerja dan waktu istirahat 

dan tentang badan arbitrase kepala inspektur S S tidak mempunyai 

keberatan prinsipiil, tetapi dianggapnya bahwa badan demikian tidak perlu 

untuk pegawai negeri.

Setelah nyata bahwa perundingan tidak membawa hasil, Semaoen 

menerangkan bahwa selanjutnya kaum buruhlah yang akan berbicara dan 

dia tidak tanggung akan akibatnya.

Berhubung dengan kegagalan perundingan VSTP - SS, di mana-mana 

diadakan rapat-rapat penerangan oleh VSTP. Kegiatan-kegiatan dalam 

mengadakan penerangan-penerangan, di mana kolonialisme mendapat 

serangan yang sengit, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda 

mengadakan peringatan pada Semaoen supaya perkataan dan perbuatannya 

jangan "terlalu galak". Peringatan pemerintah ini dijawab dengan kontan, 

bahwa kaum buruh tidak bisa menjamin keinginan pemerintah.

Tanggal 29—30 April 1923, di Surabaya diadakan rapat vaksentral PVH.

Dalam rapat ini diputuskan bahwa pemogokan umum dari kaum buruh 

spoor dan tram akan dilangsungkan jika salah seorang pemimpin buruh 

ditangkap oleh pemerintah.

Dalam rapat VSTP di Semarang, tanggal 6 Mei, sekali lagi diterangkan 

oleh Semaoen, bahwa pemogokan harus diadakan jika terjadi penangkapan 

atas salah seorang pemimpin buruh.

Pemerintah Hinda Belanda memprovokasi pemogokan dengan 

menangkap Semaoen pada tanggal 6 Mei 1923 dengan alasan persdelict.

Segera buruh kereta api mengadakan rapat, di mana diproklamasikan 

pemogokan yang dimulai pada hari itu juga, mula-mula di Semarang 

kemudian meluas ke Madiun dan Surabaya. Pemogokan kemudian bersifat 

umum dan diikuti oleh 13.000 dari 20.000 buruh kereta api. Juga buruh 

bangsa Eropa ambil bagian dalam pemogokan ini. Pemogokan ini oleh 

pemerintah dinyatakan di luar hukum. Di daerah-daerah di mana terjadi 

pemogokan, hak berapat sangat dipersempit, sedangkan propaganda 

pemogokan diancam dengan hukuman (artikel 161 bis Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana).

Dengan sangat membatasi hak berapat dan dengan larangan 

berpropaganda, pemerintah berusaha memisahkan pemimpin-pemimpin 

buruh dari massa kaum buruh. Dalam bulan Mei itu juga pemogokan dapat 

ditindas oleh pemerintah. Dengan putusan Pemerintah tanggal 1 Agustus 

1923, Semaoen diasingkan ke Timor, tetapi atas permintaannya sendiri, 

Semaoen diberi kesempatan untuk meninggalkan Indonesia.

Demikianlah pemerintah Hindia Belanda membikin lumpuh serikat￾serikat buruh yang terbesar; PFB dalam bulan Agustus 1920, PPPB dalam 

bulan Januari 1922; dan VSTP dalam bulan Mei 1923. Tetapi dengan ini sama 

sekali tidak berarti bahwa aktivitas gerakan buruh revolusioner menjadi 

berhenti, dan juga tidak berarti bahwa pengaruh kaum komunis menjadi 

berkurang. Malahan pemecatan-pemecatan terhadap buruh pegadaian dan 

buruh kereta api, telah menyebabkan lahirnya pemimpin-pemimpin baru 

dari kalangan pemogok yang dipecat. Ini juga antara lain yang 

menyebabkan, bahwa sehabis tiap-tiap pemogokan besar, timbul beberapa 

serikat buruh baru yang dipimpin oleh kaum pemogok yang dipecat. Dan 

dari mereka tidak sedikit yang kemudian menjadi pemimpin Sarekat Islam, 

Sarekat Rakyat, dan PKI.

Kaum buruh Indonesia mendapat pengalaman, bahwa dalam keadaan 

yang paling sulit, di mana krisis menimpa nasib kaum buruh yang memang 

sudah celaka, kaum komunis Indonesia dengan PKI sebagai partainya, 

berdiri di depan memberikan pimpinan dan pembelaannya, walaupun kaum 

komunis sendiri berada dalam ancaman penjara dan buangan. Pengalaman 

kaum buruh Indonesia sendiri memberi pelajaran bahwa hanya kaum 

revolusioner yang setia pada perjuangan kaum buruh, sebagai kebalikan 

daripada kaum reformis, yang meninggalkan barisan kaum buruh di kala 

taufan reaksi sedang mengamuk.

Kaum buruh Indonesia mendapat pelajaran, bahwa omongan-omongan 

"keras" dan "radikal" dari pemimpin-pemimpin reformis dalam keadaan di 

mana tidak ada perjuangan hidup-mati antara buruh dengan majikan belum 

bisa dijadikan ukuran bahwa dalam keadaan pertarungan melawan majikan 

mereka akan memihak kaum buruh.

Atas inisiatif Gabungan Serikat Buruh Internasional Merah (Profintern),

dalam bulan Juni 1924 diadakan konferensi buruh transportasi Pasifik di 

Kanton. Dalam konferensi ini hadir wakil-wakil buruh pelayaran dan 

pelabuhan dari pelabuhan-pelabuhan yang penting di daerah Pasifik. Dari 

Indonesia hadir Alimin dan Budisutjitro, dan mereka kecuali menghadiri 

konferensi juga bertemu dengan Dr. Sun Yat Sen, yang ketika itu memimpin 

revolusi Tiongkok.

Dalam konferensi ini antara lain diputuskan, untuk mengeratkan 

hubungan buruh transportasi di daerah Pasifik, membentuk kantor yang 

berkedudukan di Kanton dengan bagian-bagiannya untuk Tiongkok, 

Filipina, Jepang, India, dan Indonesia.

Pada akhir Desember 1924, di Surabaya diadakan Konferensi Buruh 

Pelabuhan dan Pelayaran. Dalam konferensi ini nampak sekali betapa 

besarnya pengaruh Konferensi Kaum Buruh Transportasi di Kanton dan ini 

telah mendorong buruh pelabuhan dan pelayaran Indonesia untuk lebih 

mempersatukan diri. Demikianlah terjadi penggabungan antara Serikat Laut 

dan Gudang di Semarang dengan Serikat Kaum Buruh Pelabuhan di Jakarta 

dan Surabaya menjadi Serikat Pegawai Pelabuhan dan Lautan (SPPL), dan 

SPPL dirancangkan untuk digabungkan menjadi Serikat Pegawai Laut 

Indonesia (SPLI), yaitu organisasi anak kapal Indonesia yang didirikan oleh 

Semaoen di Amsterdam pada kira-kira pertengahan tahun 1924.

Selain daripada itu, juga di Surabaya, dalam rapat yang dihadiri serikat￾serikat buruh kereta api, pegadaian, duane, gula, minyak, dll., diputuskan 

mengadakan Sekretariat Serikat Buruh Indonesia Merah, yang akan masuk 

menjadi anggota Gabungan Serikat Buruh Internasional Merah (Profintern)

di Moskow dan juga menjadi anggota Pan Pacific Labour Union di Kanton.

Tanggal 21 Juli 1923, pecahlah pemogokan buruh percetakan di bawah 

pimpinan Serikat Buruh Cetak di Semarang. Mula-mula hanya di satu 

perusahaan, tapi kemudian menjalar ke perusahaan-perusahaan lain.

Tanggal 1 Agustus 1925, pecah pemogokan di Rumah Sakit Umum 

Negeri (CBZ) Semarang, sebagai protes terhadap perbuatan angkuh dan 

keras dari dokter bangsa Belanda. Serikat Buruh Pegawai Rumah Sakit 

Umum adalah anggota dari vaksentral PVH, yang pada waktu itu mengikat 

20 serikat buruh yang meliputi 30.000 anggota. Bersamaan waktunya, terjadi 

juga pemogokan buruh transportasi pada Semarangse Stoomboot dan

Prauwenveer di bawah pimpinan SPPL, di mana ikut serta 1.000 kapten dan 

matros-matros kapal bangsa Indonesia.

Pada tanggal 5 Oktober 1925, buruh mesin dan pabrik mesin Nederlandsch

Indie mengadakan pemogokan dan pada tanggal 19 November 1925 meluas 

ke pabrik mesin Braat. Pemogokan ini berhasil agak baik.

Pada tanggal 2 Desember 1925, Federasi Buruh Pabrik dan Persatuan 

Buruh Pabrik serta Persatuan Buruh Listrik memutuskan akan mengajukan 

beberapa tuntutan kepada 7 pabrik mesin dan bengkel di Surabaya. Pada 

tanggal 14 Desember 1925, timbul pemogokan di semua pabrik mesin dan 

maskapai Droogdok. Di Jakarta pada bulan September 1925, pegawai Rumah 

Sakit Sentral (CBZ) melakukan pemogokan. Di Medan, pegawai pemerintah

dan partikelir yang terorganisasi dalam SPPL pada bulan Oktober 1925 juga 

mengadakan pemogokan.

Takut kalau-kalau pemogokan menjalar lebih jauh, dan untuk menjaga 

apa yang dinamakan "ketertiban umum", pemerintah Hindia Belanda 

berusaha memisahkan pemimpin buruh yang masih ada (sebagian sudah 

dibuang) dari massa kaum buruh. Dengan putusan pemerintah tanggal 17 

Desember 1925, tiga orang yang tersangkut sebagai pemimpin pemogokan, 

yaitu Aliarcham, Mardjohan, dan Darsono, diinternir, sedang Alimin dan 

Musso masih sempat meloloskan diri dari Indonesia. Dalam bulan Januari 

1926, Darsono diizinkan meninggalkan Indonesia dan dia pergi ke luar 

negeri.

Tahun 1926 adalah tahun pecahnya pemberontakan bersenjata nasional 

yang pertama di Indonesia, di bawah pimpinan PKI. Dalam pemberontakan 

ini semua pimpinan utama serikat buruh yang anggota PKI tak hanya 

terlibat, bahkan memainkan peranan memimpin. Mulai dari Aliarcham, 

Alimin, Musso, Budisutjitro, dan lain-lain.

Aksi-aksi pemogokan kaum buruh telah mendahului pemberontakan 

bersenjata. Pemerintah kolonial Belanda melakukan penindasan berdarah. 

Menangkapi, memenjarakan, sampai menghukum gantung sejumlah tokoh 

pemberontakan, dan melakukan pembuangan ke Boven Digul. Alimin dan 

Musso dapat meloloskan diri ke luar negeri, sedangkan Aliarcham, 

Budisutjitro, Sardjono, Najoan dibuang ke pembuangan. Pemberontakan 

dapat dipadamkan oleh kekuasaan bersenjata pemerintah kolonial. 

Pemberontakan nasional bersenjata 1926 adalah sangkakala revolusi 

Indonesia.

W alaupun gerakan buruh di Indonesia telah banyak sekali mengalami 

pukulan-pukulan yang berat dari pemerintah kolonial Belanda, dan 

akibatnya untuk beberapa waktu tidak tampak kegiatan-kegiatannya yang 

besar dalam kalangan kaum buruh, tetapi ini tidak berarti semangat 

persatuan dan perjuangan kaum buruh Indonesia terhenti.

Pada bulan Juli 1927, di Bandung telah didirikan organisasi dari kaum 

buruh kereta api yang dinamakan Persatuan Beambte Spoor dan Tram (PBST)

yang pada tingkat pertama menjauhkan diri dari lapangan politik. Majalah 

PBST "Kereta Api" merupakan juru bicara dan penghubung dengan anggota.

Di samping itu juga didirikan di Jakarta berbagai organisasi seperti 

Hogere Kweekscholen Bond (HKSB), Perserikatan Normaal School (PNS),

Kweekschool Bond (KB), Perhimpunan Guru Bantu (PGB), Perhimpunan Guru

Ambachtsschool (PGAS), Persatuan Guru Desa (PGD), dan begitu juga bangkit 

kembali serikat buruh yang dahulu pernah didirikan seperti Pegadaian

(PPPB), Opium Regie Bond (ORB), Persatuan Pegawai Garam Hindia Belanda

( PPGHB), Perkumpulan Personeel Afdelings Bank (PPAB).

Pada bulan Juli 1928, didirikan suatu bentuk gabungan serikat buruh 

yang diberi nama Sarekat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) yang dipimpin oleh 

Marsudi, tetapi yang setahun kemudian (Juli 1929), karena tanda-tanda 

kegiatannya telah mulai nampak dan dianggap merupakan ancaman baru 

bagi pemerintah Hindia Belanda, maka SKBI dilarang berdiri, rumah-rumah 

pengurusnya digeledah dan pimpinannya ditangkap.

Sementara itu dalam kalangan pegawai negeri telah timbul semangat 

untuk mempersatukan organisasi pegawai negeri. Dalam konferensi yang 

dihadiri oleh hampir semua organisasi kaum buruh pegawai negeri, di 

Jogjakarta telah berhasil didirikan sebuah gabungan serikat buruh pegawai 

negeri yang dinamakan Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) yang 

dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso.

Pada tahun 1929 bulan Mei, di Surabaya telah diusahakan juga 

penggabungan serikat-serikat buruh partikelir dan berdirilah Pusat 

Persatuan Buruh Indonesia (PPBl), tetapi organisasi ini tidak dapat meluas 

dan anggotanya hanya berjumlah 10.000 orang. Kedua Vaksentral ini 

memusatkan perhatiannya pada akibat-akibat krisis ekonomi yang dihadapi 

oleh dunia kapitalis dan yang juga mengancam kehidupan kaum buruh 

Indonesia, dalam bentuk bezuiniging (penghematan), pemecatan, penurunan 

upah, pengurangan jaminan sosial dan sebagainya.

Kegelisahan umum ini tidak saja dihadapi oleh kaum buruh negeri dan 

swasta, tetapi juga oleh kaum pekerja golongan lainnya seperti kaum tani, 

pengusaha kecil, bahkan juga oleh anggota angkatan bersenjata.

Kegelisahan ini memuncak pada tanggal 3 Februari 1933, ketika para 

kelasi bangsa Indonesia bekerja sama dengan kelasi bangsa Belanda dan 

dengan kaum buruh pelabuhan dan pelayaran. Mereka memberontak 

melawan pemerintah Belanda dalam peristiwa yang terkenal dengan 

"Peristiwa Kapal Tujuh". Pemberontakan ini didahului oleh gerakan 

revolusioner kaum buruh di Marine Establishment Surabaya.

Oleh karena kurang siapnya semua kekuatan yang menjadi pendukung 

pemberontakan maka pemberontakan dapat ditindas dengan serangan 

biadab yang menimbulkan banyak sekali korban manusia. Dengan 

kekalahan pemberontakan ini tidak berarti perjuangan rakyat Indonesia 

melawan penindasan Belanda padam. Sebaliknya, semangat perjuangan 

untuk merebut kemerdekaan nasional makin meluas, sampai ke dalam 

lingkungan Angkatan Bersenjata Belanda.

Pada tanggal 21 Mei 1937, di Jakarta didirikan Gabungan Politik 

Indonesia (GAPI) yang menetapkan satu tuntutan pokok kepada pemerintah 

Hindia Belanda, yaitu agar dibentuk parlemen. Semboyan yang diputuskan 

sebagai pokok kegiatan dalam Kongres Rakyat Indonesia pada tahun 1939 di 

Jakarta, yang sangat luas dikampanyekan oleh pimpinan GAPI pada waktu 

itu adalah "Indonesia Berparlemen".

Belanda mengambil tindakan dengan membubarkan Partindo 18 

November 1936. Golongan progresif di Indonesia tersebar dalam berbagai 

organisasi. Maka pada tahun 1937, atas inisiatif Musso didirikan organisasi 

baru yang diberi nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah 

pimpinan Mr. Sartono, Mr. Amir Sjarifoeddin, dan Mr. Muh. Yamin.

Program perjuangannya adalah:

1. Melawan semua aliran yang hendak menghancurkan demokrasi,

2. Mendirikan dewan-dewan perwakilan yang bertanggung jawab 

kepada rakyat,

3. Hak memilih langsung dan umum,

4. Hak-hak kebebasan mengeluarkan pendapat, hak berapat dan 

berserikat, kebebasan pers, kebebasan perseorangan, dan

5. Menghapuskan hak-hak luar biasa gubernur jenderal untuk 

menangkap dan mengirim orang ke tempat pembuangan, antara lain 

ke Boven Digul atau Endeh, dan membuang seseorang tanpa diadili 

terlebih dahulu.

Gerindo membukakan pintu yang luas bagi kebangkitan gerakan nasional, 

dan Gerindo menyokong perjuangan organisasi-organisasi serikat buruh 

dalam mengatasi berbagai kesulitan hidup. Ia pun melakukan usaha untuk 

mendirikan organisasi serikat buruh di kalangan kaum buruh industri 

minyak, tetapi dilarang oleh pemerintah.

Dalam kongresnya yang kedua pada bulan Mei 1939, gerakan ini telah 

memiliki 73 cabang di seluruh Indonesia. Berhubung dengan pecahnya 

Perang Dunia kedua, Gerindo mengeluarkan pernyataan yang antara lain 

berbunyi sebagai berikut: "Gerindo mempunyai kepentingan bersama 

partai-partai borjuis untuk menghancurkan fasisme, tetapi Gerindo menganut 

cita-cita ideologi kerakyatan. Kontradiksi besar dunia ini tidak disebabkan 

oleh pertentangan antara bangsa-bangsa, atau pun antara Asia dan dunia 

Barat, tetapi disebabkan oleh pertentangan antara demokrasi dan fasisme. 

Gerindo harus menahan pengaruh fasisme yang mencoba memasuki 

Indonesia." [Dewan Nasional SOBSI, Sejarah Gerakan Buruh Indonesia,

disusun kembali oleh Sadali, Pustaka Pena, Jakarta 2002, hal.47].

Usaha menyatukan serikat-serikat buruh berlangsung terus. Di Semarang 

dibentuk gabungan semua serikat buruh perusahaan swasta dengan nama 

Gabungan Serikat-Serikat Sekerja Partikelir Indonesia (GASPI). Atas ajakan 

GASPI, terbentuklah panitia untuk mendirikan sebuah vaksentral nasional 

yang luas di Jakarta dengan pimpinan Mr. Hendromartono dan 

Mr. Suprapto. Segera berdirilah cabang-cabang GASPI di Jogjakarta, 

Surakarta, dan sebagainya.

Pada 24—26 Juli 1941, di Semarang diadakan konferensi besar yang 

dihadiri 7 serikat buruh besar vertikal, 22 serikat buruh lokal, dan gabungan 

lain-lainnya. Segera terbentuk gabungan antara GASPI dan PVPN yang 

diberi nama GASBI. Dalam pimpinan GASBI duduk antara lain: R.P. Suroso, 

Mr. Hendromartono, Mr. Suprapto, Harjono, dan S.K. Trimurti.

Salah satu putusan penting konferensi adalah tuntutan kepada 

pemerintah Hindia Belanda agar serikat buruh diakui dan diberikan 

kebebasan berorganisasi. Kekuatan persatuan buruh mendukung GASBI 

menyebabkan pemerintah Hindia Belanda menunjuk Mr. Hendromartono 

sebagai penasihat pemerintah dalam konferensi International Labour

Organisation (ILO) di Jenewa. GASBI mendesak pemerintah agar 

Mr. Hendromartono bukan dijadikan penasihat, tapi sebagai anggota 

delegasi Indonesia.

Gerindo adalah satu-satunya organisasi di Indonesia yang mengambil 

sikap tegas terhadap Jepang dan berusaha menghimpun kekuatan nasional 

melawan bahaya besar fasisme. Tapi politik anti-fasis itu belum sempat 

disebar dan ditanamkan di kalangan rakyat luas. Berbagai semboyan 

dilontarkan oleh kaum fasis Jepang seperti "Asia untuk Asia", "Asia Timur 

Raya", "Jepang adalah saudara Tua", "Ramalan Djojobojo" yang 

menyebutkan kedatangan bangsa kulit kuning sebagai penolong orang Jawa. 

Semua itu dimaksudkan untuk menimbulkan kepercayaan terhadap fasisme 

Jepang. Oleh karena itu Jepang dapat masuk ke Indonesia dengan mudah 

sekali, hampir tanpa perlawanan, sehingga pada tanggal 8 Maret 1942, 

Panglima Perang Belanda, Ter Poorten, menyerah kalah tanpa syarat kepada 

Jenderal Jepang Imamura di Kali Jati, dekat Bandung.

Di bawah kekuasaan fasis Jepang, dalam keadaan yang sangat sulit, 

gerakan buruh Indonesia berlangsung terus. Tindakan pertama 

pemerintahan fasis Jepang adalah mengejar kekuatan progresif dan 

demokratis rakyat Indonesia. Semua organisasi rakyat Indonesia, termasuk 

partai-partai politik, serikat buruh, organisasi pemuda, wanita, sampai juga 

organisasi kooperasi dan organisasi sosial lainnya harus mendaftarkan diri. 

Kemudian pemerintah melarang berdirinya semua organisasi. Yang

diperkenankan hanya yang bermaksud memperkuat langsung kedudukan 

Jepang di Indonesia. Organisasi-organisasi demikian ini adalah misalnya 

Gerakan Tiga A, yang berarti mengakui Dai Nippon adalah Pemimpin,

Pelindung, dan Cahaya Asia, Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa),

Kumiai, dan sebagainya.

Di samping itu, dengan segera kaum fasis Jepang mendirikan organisasi 

yang bermaksud mengerahkan tenaga manusia Indonesia sebanyak￾banyaknya untuk melakukan kerja paksa membangun benteng-benteng 

perlindungan, parit-parit, penyimpanan logistik untuk perang jangka 

panjang, dan lain-lain untuk keperluan perang. Organisasi pengerahan 

tenaga ini dinamakan Romusha (buruh yang dipekerjakan dengan paksa) 

Untuk kepentingan memperkuat usaha perang, Jepang mengorganisasi 

pemuda-pemuda dalam dinas ketentaraan bernama Pembela Tanah Air 

(PETA) dan pasukan sukarela Heiho (pasukan pembantu).

Oleh pemerintahan militer Jepang, hal berapat, mengeluarkan pendapat, 

hak berserikat, dan semua hak-hak demokrasi ditiadakan. Gerindo dan 

organisasi-organisasi berpikiran maju terus-menerus menggerakkan 

perlawanan terhadap Jepang. Banyak pemimpin Gerindo dan serikat buruh 

ditangkap, disiksa di luar batas perikemanusiaan, dipenjarakan, dan 

dibunuh, antara lain Pamoedji, Soekajat, Haji Abdoel Azis, Hadji Abdoel 

Rahim, dan lain-lain. Beratus-ratus lainnya dihukum penjara dari lima tahun 

sampai seumur hidup seperti Subianto Koesoemo. Mr. Amir Sjarifuddin 

dijatuhi hukuman mati. Berkat pembelaan Bung Karno, hukuman matinya 

tidak dilaksanakan.

Penindasan melahirkan perlawanan rakyat dengan berbagai sabotase, 

penggulingan kereta-api seperti yang terjadi di Blitar dan Madiun. Bahkan 

terjadi pemberontakan di Madiun, Pemberontakan Tani Lohbener Indramayu; 

Februari 1944, Pemberontakan Tani Singaparna; November 1944, Sindang 

(Kabupaten Indramayu); pemberontakan bersenjata PETA yang dipimpin 

Soeprijadi di Blitar, Februari 1945.

Para kader dan aktivis PPST berusaha menghubungi "orang-orang lama" 

dari zaman VSTP yang pernah ambil bagian dalam pemogokan VSTP tahun 

1923, sehingga terjadilah perpaduan antara kader-kader tua bawah tanah 

dengan kader-kader muda.

Grup Jakarta memainkan peranan penting dalam menggerakkan 

kegiatan di kalangan buruh kereta api di kota-kota lainnya. Di antaranya 

terdapat anggota-anggota pimpinan seperti Legiman, Harjono, 

Atmodihardjo, Soekiran, Mansoer Loebis, Tjokropoespito, Soeharjono,

Alinoer, Ambas, Zoelkifli, B.S. Anwir, Goerdali, Soeko, Darso, Soetarto, 

Soewarno, dan Rachmat.

Mereka yang berperan dalam koordinasi itu di antaranya ialah: Mr. 

Hendromartono, Mr. Samjono, Soeratin, dan Soedarso. Perluasan grup-grup 

revolusioner berlangsung terus. Grup Bandung dipimpin oleh masinis 

Sutrisno, Cikampek oleh Soetarman. Kemudian meluas ke Cirebon, 

Purwokerto, Kroya, Surabaya, Semarang, Solo, dan tempat-tempat lainnya.

Dengan meningkatnya semangat anti-Jepang di kalangan rakyat, 

terutama setelah tersiar kabar pemberontakan Indramayu, Singaparna, Blitar, 

dan lain-lainnya, maka buruh kereta api juga kian meningkatkan 

aktivitasnya, antara lain ikut menyelamatkan orang-orang yang dicari oleh 

Kempeitai (polisi militer Jepang yang sangat ganas dan kejam), melakukan 

gerakan antara lain bekerja secara "slow down", memperlambat datangnya 

kereta api tertentu, memperlambat pengiriman bahan makanan untuk 

kepentingan perang dan sebagainya.

Di samping aktivitas buruh kereta api, juga di daerah-daerah tumbuh 

gerakan di bawah tanah. Ketika terjadi perlucutan senjata terhadap tentara 

Jepang, pemuda-pemuda buruh kereta api bersama pemuda-pemuda 

lainnya siap ambil bagian di kota-kota besar, antara lain di Surabaya, 

Semarang, Solo, Jogjakarta, dan Bandung. Dalam perlucutan senjata Jepang 

inilah gugur di antaranya Arifin, pemuda buruh sepatu, ketika bertempur 

melawan Kempeitai di markasnya di daerah Pasar Pon Solo. Para pemuda 

tersebut akhirnya berhasil melucuti dan mengambil alih senjata Jepang dan 

menundukkan Kempeitai Jepang tersebut.

Berkat serangan Tentara Merah Sovyet di Timur Laut Tiongkok hingga 

memasuki semenanjung Korea, dan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima 

dan Nagasaki oleh pasukan Amerika, Jepang bertekuk lutut. Berakhirlah 

Perang Dunia kedua.

17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Pemuda 

Indonesia memainkan peranan penting mendukung usaha merebut 

kemerdekaan dan melucuti senjata Jepang. Tidak sedikit pemuda gugur 

melawan Jepang. Dalam pada itu, organisasi pemuda bermunculan di 

banyak tempat.

"Di Jawa Barat muncul Angkatan Pemuda Indonesia di bawah pimpinan 

Wikana dan Chaerul Saleh dibantu oleh Hanapi, Koesnandar, Pardjono, 

Djohar Nur, dan D.N. Aidit. Organisasi ini bertujuan memperteguh Negara 

Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat dengan 

memperjuangkan susunan masyarakat yang berdasarkan sama rata samarasa serta bersifat anti fasis/' [Hardjito, Risalah Gerakan Pemuda, Pustaka 

Antara, Djakarta, 1952, hal.31].

Di samping API, terdapat Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), 

berpusat di Semarang di bawah pimpinan Ibnu Parna, Pemuda Republik 

Indonesia (PRI) berpusat di Surabaya di bawah pimpinan Soemarsono; 

Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI) berpusat di Jogyakarta di 

bawah pimpinan Lagiono. Selain organisasi-organisasi tersebut, juga berdiri 

Gabungan Pegawai Angkatan Muda (GPAM) yang kemudian menjadi 

badan federasi dari segenap organisasi pemuda jawatan-jawatan dan 

akhirnya menjadi Angkatan Pemuda Pembangunan Indonesia (APPI).

Tanggal 9 — 10 November 1945, berlangsung Kongres Pemuda Indonesia 

di Jogjakarta untuk menggabungkan organisasi-organisasi pemuda yang ada. 

Kongres berhasil mendirikan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia 

(BKPRI). BKPRI dibantu oleh 1. Dewan Pekerja Perjuangan dan 2. Dewan 

Pekerja Pembangunan.

Pada tanggal itu, terbentuk pula organisasi Pemuda Sosialis Indonesia 

(Pesindo), penggabungan 7 organisasi pemuda:

1. Angkatan Pemuda Indonesia,

2. Gerakan Pemuda Republik Indonesia,

3. Angkatan Muda Republik Indonesia,

4. Pemuda Republik Indonesia,

5. Angkatan Muda Kereta Api,

6. Angkatan Muda Gas dan Listrik,

7. Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telepon.

Pesindo memiliki kekuatan bersenjata.

Dalam perkembangannya, dalam kongres III tahun 1950, Pesindo berubah 

menjadi Pemuda Rakyat. Dalam Peraturan Dasar hasil kongres V dinyatakan 

bahwa Pemuda Rakyat adalah pembantu setia dan terpercaya dari PKI.

Kongres VI tahun 1961 merumuskan bahwa Pemuda Rakyat sebagai 

pembantu yang setia dan terpercaya dari PKI akan selalu menjunjung tinggi 

kepercayaan yang ditumpahkan kepadanya dan dengan sekuat tenaga akan 

melaksanakan secara aktif program PKI. Ini berarti Pemuda Rakyat harus setia 

mengabdi cita-cita revolusi Agustus 1945 dan kepentingan-kepentingan vital 

massa pemuda dengan dengan jalan lebih memperkuat persatuan dan 

mengeratkan hubungannya dengan massa pemuda, giat belajar teori 

fundamental Marxisme-Leninisme dan meningkatkan pengetahuan 

umumnya serta memperhebat kegiatannya di bidang olahraga dan kesenian 

untuk menjadikannya pejuang-pejuang m uda yang sehat dan gembira.

Tanggal 27 November 1945, dengan sebuah pengumuman, dinyatakan 

berdirinya susunan Dewan Pekerja Perjuangan dengan Pemimpin Umum 

Soemarsono, Wakil Pemimpin Umum Soerjantokoesoemo, Ketua Sekretaris 

Bb. Kaslan, Ketua Bagian Penerangan Widarta, Ketua Bagian Penghubung S. 

Moestapha, Ketua Bagian Pengawas Pramono, Ketua Bagian Pertahanan Ks. 

Koesnandar.

Kongres Pemuda Indonesia II dilangsungkan di Jogjakarta 8—9 Juni 1946. 

Dalam kongres, berpidato Presiden Soekarno; Menteri Pemuda, Wikana; dan 

Menteri Pertahanan, Amir Sjarifuddin. Kongres memutuskan Dewan 

Pimpinan Pusat BKPRI terdiri dari: Soepardo, Pemimpin Umum; A. Boechari, 

Wakil Pemimpin Umum I; Soepeno, Wakil Pemimpin Umum II; Warsana, 

Penulis. Dan Badan Pekerja BKPRI dengan Soemarsono, Pemimpin Umum; 

Soepardi, Penulis I; Bb. Kaslan, Penulis II. Kongres memutuskan 

menyediakan dua orang untuk kandidat bagi Dewan Pertahanan Negara, 

yaitu Soemarsono dan Soepardo.

Di Australia, proklamasi kemerdekaan Indonesia mendapat sambutan 

yang hangat sekali. Masyarakat Indonesia di Australia, terutama mereka 

yang bekerja sebagai buruh pelabuhan dan pelayaran, sangat tanggap 

terhadap situasi tanah airnya. Kapal-kapal Belanda untuk tujuan Indonesia 

yang sudah penuh muatan, mereka tunda keberangkatannya. Kelasi-kelasi 

Indonesia yang bekerja di kapal Belanda menolak untuk berlayar.

Sementara itu di kalangan buruh pelabuhan Australia yaitu Austalian

Seamen's Union dan Australian Waterside Workers Union melakukan aksi 

bersama. Sampai melakukan pemogokan dan pemboikotan terhadap kapal￾kapal Belanda. Kaum buruh Australia menuntut "Kapal-kapal Belanda supaya

segera menghentikan pengangkutan senjata dan amunisi yang digunakan untuk

memerangi rakyat Indonesia."

Akhirnya di seluruh kapal Belanda di Australia berlangsung boikot dan 

pemogokan sampai pekerja-pekerja dapur menolak bekerja sama dengan 

Belanda. [Dewan Nasional SOBSI, Sejarah Gerakan Buruh Indonesia, disusun 

kembali oleh Sadali, Pustaka Pena, Jakarta 2002, hal.58].

Restoran-restoran Tionghoa di Brisbane sampai membantu memberi 

makan gratis kepada kaum buruh Indonesia yang sedang mogok. Solidaritas 

ini juga terjadi di Singapura. Sekitar 7.000 buruh India dan Tionghoa 

melakukan pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda.

Aksi-aksi juga terjadi di Amerika. Sekitar 200 orang buruh pelayaran 

Indonesia yang ada di Amerika Serikat pada tanggal 19 Oktober 1945 

melakukan pemogokan dan demonstrasi di New York. Selama berbulan￾bulan mereka berhasil memboikot 11 kapal Belanda dengan mengikatnya di

pelabuhan. Kapal-kapal itu semula hendak mengangkut alat-alat perang 

Belanda yang didapatkan dari Amerika Serikat. Berkat perjuangan kaum 

buruh pelayaran Indonesia yang gigih dan berkat solidaritas Serikat Buruh

Pelayaran Amerika Serikat (National Maritime Union of USA), maka alat-alat 

perang Belanda itu terpaksa dibongkar.

Di samping mencurahkan tenaga di garis depan, kaum buruh Indonesia 

pun dengan serentak ikut mengambil alih kekuasaan atas semua pabrik, 

perusahaan, perkebunan, tambang, dan sebagainya, dari tangan Jepang dan 

menyerahkannya kepada pemerintah Republik Indonesia. Semua pabrik dan 

perkebunan diberi plakat bertulisan "Milik Republik Indonesia". Untuk 

penjagaan keamanan dan mencegah sabotase, di mana-mana didirikan 

laskar buruh. Ada Laskar Buruh Minyak, Laskar Buruh Kereta Api, Laskar 

Buruh Gula, dan sebagainya.

Tanggal 13 Maret 1946, berdiri Serikat Buruh Kereta-api (SBKA);

1 November 1945, berdiri Serikat Buruh Postel; 12 Oktober 1945, berdiri 

Serikat Buruh Jawatan Pekerjaan Umum (SBPU); 3 Maret 1946, berdiri 

Serikat Buruh Gula (SBG); 24 November 1945, berdiri Persatuan Guru 

Republik Indonesia (PGRI)} 17 Februari 1947, berdiri Serikat Buruh 

Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri).

Untuk lebih mempersatukan seluruh kekuatan kaum buruh dan 

mengkoordinir semua kegiatannya, maka oleh beberapa serikat buruh 

pegawai negeri diusahakan terbentuknya satu organisasi gabungan yang 

dinamakan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI). Tapi karena adanya 

pertentangan yang agak hebat dalam GASBI, terutama disebabkan oleh 

perebutan kedudukan pimpinan, maka elemen-elemen yang tidak puas 

memisahkan diri dari gabungan tersebut, dan mendirikan Gabungan Serikat

Buruh Vertikal (SBV).

Baru pada tanggal 29 November 1946, atas inisiatif golongan progresif, 

telah berhasil diadakan pertemuan antara semua organisasi vaksentral dan 

serikat-serikat buruh, termasuk GASBI dan GSBV, di mana dicapai kata 

sepakat untuk melebur gabungan-gabungan serikat buruh tersebut ke dalam 

satu vaksentral dengan nama Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia

(SOBSI).

Pada bulan Mei 1947, dilangsungkan Kongres Nasional pertama SOBSI

di Malang yang mendapat kunjungan dari hampir semua serikat buruh yang 

terdapat di daerah Republik Indonesia. Kongres juga dihadiri oleh utusan￾utusan kaum buruh dari daerah-daerah yang diduduki Belanda dan utusan 

kaum buruh dari luar negeri.

Program perjuangan yang diputuskan oleh kongres yang sangat penting 

ini adalah:

1. Mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

2. Melakukan pembangunan ekonomi dan sosial.

3. Dalam lapangan perbaikan nasib kaum buruh, juga diputuskan 

untuk memperbaiki peraturan gaji bagi pegawai negeri Republik 

Indonesia dan menyusun Undang-Undang Perburuhan yang di 

antaranya memuat ketentuan mengenai 7 jam bekerja sehari.

4. Dalam lapangan organisasi, kongres memutuskan Anggaran Dasar 

dan Anggaran Rumah Tangga, di mana dirumuskan adanya 

demokrasi terpimpin, prinsip susunan organisasi bersifat federasi, 

tentang keanggotaan dan ketentuan-ketentuan mengenai iuran serta 

dibentuknya satu presidium dan pimpinan harian dari SOBSI.

5. Selanjutnya diputuskan untuk menggabungkan diri dengan 

Gabungan Serikat Buruh Sedunia (GS S) atau World Federation of Trade

Unions (WFTU).

6. Sebagai pimpinan terpilih antara lain: Harjono, Oei Gee Hwat, Njono, 

Asraroeddin, Djokosoejono, K. Werdojo, S.K. Trimurti, R.H. Koesnan, 

dan lain-lain.

Dengan demikian, kian terkonsolidasilah kekuatan organisasi buruh di 

Indonesia. Tidak saja di dalam negeri, bahkan telah punya hubungan luar 

negeri dengan SOBSI menjadi anggota GSS. GSS adalah Gabungan Serikat 

Buruh Sedunia, World Federation of Trade Unions (WFTU) yang didirikan 3 

Oktober 1945 di Praha.

Kemenangan yang penting lainnya adalah di bawah pemerintahan Amir 

Sjarifuddin dengan S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan dihasilkan 

Undang-Undang Kerja tahun 1947. Dalam Undang-Undang Kerja ini 

dicantumkan pengakuan bahwa Hari Satu Mei adalah hari raya resmi, 

ditetapkan 7 jam kerja sehari dan 40 jam kerja seminggu, diadakan larangan 

kerja berat untuk buruh wanita.

Kekuatan reaksioner dalam negeri secara terus-menerus berusaha 

memecah-belah persatuan kaum buruh. Dengan berkedok semboyan￾semboyan "menentang Persetujuan Linggarjati dan Renville" mereka 

mendirikan organisasi buruh di luar persatuan yang telah ada dengan nama 

Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) yang menjadi bagian dari Partai 

Masjumi dan Gabungan Serikat Buruh Revolusioner Indonesia (GASBRI)

dari Partai Murba. GASBRI tahun 1951 mengubah namanya menjadi SOBRI

(Sentral Organisasi Buruh Revolusioner Indonesia).Tahun 1948 adalah permulaan berkobarnya Perang Dingin, realisasi 

Doktrin Truman, the Poliicy of Containment, politik pembendungan komunisme

sejagat. Tak ayal lagi, adanya pemerintah Indonesia dengan Amir 

Sjarifoeddin sebagai perdana menterinya, adalah bagaikan duri di mata 

Amerika Serikat. Dengan "Red Drive Proposals", usul pembasmian kaum kiri 

di Indonesia, maka meletuslah "Peristiwa Madiun" September 1948. Amir 

Sjarifoeddin terbunuh, bersama pucuk pimpinan PKI, termasuk Musso, 

sekjen CC PKI., Suripno, dll., ketua umum dan pimpinan utama SOBSI,

Harjono, Oei Gee Hwat, D. Mangku, dan tokoh-tokoh gerakan buruh lainnya 

terbunuh.

Gerakan buruh mengalami pukulan berat karena usaha pecah-belah.. 

Dalam waktu yang singkat dan dengan cara yang sama sekali tidak 

demokratis, elemen-elemen reaksioner memaksa serikat buruh untuk keluar 

dari SOBSI, satu-satunya gabungan serikat buruh yang ada waktu itu. 

Seperti Serikat Buruh Gula, Serikat Buruh Listrik dan Gas Indonesia, juga 

PGRI, Serikat Buruh Jawatan Pekerjaan Umum, Serikat Buruh Pegadaian, 

Serikat Buruh Radio Republik Indonesia. Perang Dingin merasuk ke dalam 

gerakan buruh, nasional dan internasional. Anggota-angota SOBSI dicerai￾beraikan. Demikian pula GSS mendapat saingan dengan lahirnya 

International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) yang disponsori CIA 7 

Desember 1949 di London. ICFTU didirikan oleh organisasi-organisasi 

serikat buruh yang anti-komunisme, menentang GSS.

Peristiwa Madiun yang merupakan pelaksanaan Doktrin Truman, yaitu 

pelaksanaan the policy of containment, politik pembendungan komunisme 

sejagat, adalah salah satu halaman gelap dalam sejarah Indonesia. Dengan 

Peristiwa Madiun, pemerintah Hatta berhasil menyingkirkan kekuatan kiri 

dari Angkatan Bersenjata RI. Ini sesuai dengan "Red Drive Proposals", yang 

diajukan Amerika Serikat pada pemerintah Indonesia dalam "Pertemuan

rahasia Sarangan".

Sesudah kaum kiri disingkirkan dari pemerintah dan angkatan 

bersenjata, maka 19 Desember 1948 berlangsunglah agresi kolonial Belanda 

kedua terhadap Republik Indonesia. Belanda berhasil menduduki ibukota 

republik dan menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta.

Kehidupan Republik Indonesia berlanjut dengan terbentuknya 

Pemerintah Darurat Republik Indonesia di bawah pimpinan Sjafroeddin 

Prawiranegara. berkedudukan di Suliki, Sumatera Tengah. Dan rakyat 

dengan kekuatan bersenjata yang setia kepada republik melancarkan perang 

gerilya yang kian lama kian berkobar. Belanda melancarkan aksi diplomatikdengan dukungan Amerika Serikat, hingga berhasil melangsungkan 

Konferensi Meja Bundar di Den Haag yang menelorkan Persetujuan KMB.

Terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan negara￾negara bagiannya terdiri dari:

A. Daerah Kekuasaan RIS 1 mencakup: Negara Pasundan, Republik 

Indonesia, Negara Jawa Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Madura, 

Negara Sumatera Selatan, Negara Sumatera Timur,

B. Daerah Kekuasaan RIS 2 meliputi: Negara Riau, Negara Jawa Tengah, 

Negara Dayak Besar, Negara Bangka, Negara Belitung, Negara Kalimantan 

Timur, Negara Kalimantan Barat, Negara Kalimantan Tenggara, Negara 

Banjar, Negara Dayak Besar.

Dengan Persetujuan KMB berarti hasil Revolusi Agustus 1945 dilikuidasi. 

Indonesia kembali jadi tempat investasi kapital asing, jadi sumber bahan 

mentah bagi industri negeri-negeri kapitalis, jadi sumber tenaga kerja yang 

murah, dan jadi pasar komoditi negara-negara imperialis. Indonesia harus 

membayar hutang kepada negara Belanda sebesar 4,5 miliar gulden. Irian 

Barat tetap berada di bawah kekuasaan Belanda. Dan RIS berada di bawah 

naungan mahkota Kerajaan Belanda.

Di bawah kekuasaan RIS, gerakan buruh tak pernah henti, bahkan 

berlangsung pembangunan kembali serikat-serikat buruh. Tenaga-tenaga 

pimpinan yang berhasil menangkis pembasmian selama kontra-revolusi 

dalam Peristiwa Madiun, menghimpun kembali sedikiit demi sedikit, dengan 

sekuat tenaga berusaha menghidupkan dan membangun kembali SOBSL

Pada waktu itu telah ada beberapa gabungan serikat buruh seperti 

Gabungan Serikat Buruh Republik Indonesia (GASBRI), Himpunan Serikat 

Buruh Indonesia (HISBI), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), di 

samping SOBS1, dan mereka menyetujui untuk membentuk suatu koordinasi 

mengenai aktivitas-aktivitas bersama.

Dalam rangka usaha mempertahankan Republik Proklamasi 1945, maka 

oleh kaum buruh dan rakyat Indonesia diadakan aksi-aksi bersama untuk 

melikuidasi negara-negara bagian RIS yang diciptakan oleh Gubernur 

Jenderal Van Mook. Aksi-aksi demonstrasi, boikot, serta pemogokan 

dilakukan oleh massa kaum buruh di berbagai daerah, hingga pada 17 

A