gustus 1950 tuntutan yang mendapat dukungan yang sangat luas berhasil
dengan dihapuskannya negara-negara bagian RIS satu demi satu dan
diwujudkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan satu pemerintah
pusat yang berkedudukan di Jakarta. Perjuangan buruh berlanjut dengan
tuntutan pembatalan Persetujuan KMB. Tuntutan ini mendapat dukungan
luas di kalangan kaum buruh dan massa rakyat. Setelah membayar sekitar 4miliar gulden antara tahun 1950 —1956, Indonesia secara sepihak
membatalkan persetujuan KMB.
Dengan modal kekuatan SOBSI cabang Surakarta dan Jogjakarta dan
beberapa Serikat Buruh (SBG, SBTI, SBKA, SB Mobil, SB Kehutanan, Sarbupri
dan lain-lain) dan berpedoman pada tugas pokok yang telah ditentukan
dalam Kongres Nasional I SOBSI ialah: untuk menggalang persatuan kaum
buruh guna memperjuangkan perbaikan nasib, hak-hak demokrasi dan
kemerdekaan tanah air sepenuhnya, maka dalam waktu yang singkat dapat
dibangun serikat-serikat buruh vertikal dan cabang-cabang SOBSI di seluruh
Indonesia.
Untuk perbaikan nasib, SOBSI mengajukan tuntutan tunjangan lebaran
sebanyak satu bulan gaji kotor bagi semua buruh negeri dan swasta, baik
bagi buruh tetap dan buruh harian. Tuntutan ini terbukti dipenuhi,
sekalipun tidak sepenuhnya. Dalam waktu hampir setahun sesudah
pembangunan kembali SOBSI telah dapat menghimpun tidak kurang dari 25
serikat buruh vertikal dan serikat buruh lokal yang kesemuanya meliputi
anggota tidak kurang dari 2.500.000 orang buruh.
September 1950 berlangsung pemogokan besar buruh perkebunan di
bawah pimpinan Sarbupri menuntut kenaikan upah. Pemogokan ini menang.
Ini meningkatkan kesadaran buruh berorganisasi. SOBSI giat
menyelenggarakan pendidikan kader serikat buruh, memberantas buta
huruf di kalangan buruh perkebunan, kehutanan dan industri lainnya.
Untuk penerangan dan pendidikan juga menerbitkan majalah "Bendera
Buruh". Anggota SOBSI juga menerbitkan "Suara SBKA", "Suara Sarbupri",
dan lain-lain.
Sesudah berhasilnya tuntutan pembatalan Persetujuan KMB, tuntutan
berkembang jadi untuk pembebasan Irian Barat dari kolonialisme Belanda.
Berlangsung berbagai macam kegiatan kaum buruh, mulai dari mengajukan
resolusi-resolusi kepada pemerintah, melakukan aksi-aksi rapat umum dan
demonstrasi-demonstrasi. Amerika Serikat jadi terlibat dalam masalah
penyelesaian sengketa Indonesia—Belanda mengenai Irian Barat. Aksi-aksi
kaum buruh Indonesia mendapat simpati dan solidaritas dari kaum buruh
semua benua. Berkat dukungan GSS, solidaritas kaum buruh jadi meluas ke
semua benua. Sebagaimana solidaritas kaum buruh sedunia menghadapi
masalah nasionalisasi Terusan Suez dan melawan agresi Inggris —Perancis
dan Israel tahun 1956, kaum buruh Asia—Afrika memberikan solidaritasnya
terhadap kaum buruh Indonesia untuk pengembalian Irian Barat ke
pangkuan Indonesia. Solidaritas ini ditunjukkan oleh kaum buruh
pelabuhan dan pelayaran Birma, Sri Langka, Mesir, Italia, Perancis, Belanda,
yang turut memboikot kapal-kapal Belanda. Solidaritas ditunjukkan pula
oleh kaum buruh dan rakyat negeri-negeri sosialis Uni Sovyet dan Eropa
Timur.
Aktivitas gerakan buruh Indonesia di bawah pimpinan SOBSI mendapat
perhatian internasional. Ini dibuktikan dengan banyak fungsi internasional
yang telah dipegang oleh serikat-serikat buruh Indonesia. Njono, Sekretaris
Jenderal SOBSI, dipilih menjadi Wakil Presiden GSS. Sugiri, anggota Sentral
Biro SOBSI, menjadi Sekretaris GSS, yang kemudian digantikan oleh Setiati
Suras to. Wakil Ketua Dewan Nasional SOBSI. Tjugito, Sektretaris Dewan
Nasional SOBSI terpilih sebagai Presiden Serikat Buruh Agraria dan
Kehutanan Sedunia. Wakil-wakil serikat buruh Indonesia selalu
diikutsertakan dalam persidangan badan-badan internasional dari PBB
sebagai wakil GSS, seperti dalam ILO, Ecafe, Ecosoc, Unesco, dan sebagainya.
Aksi-aksi kaum buruh dan massa rakyat mendukung pemerintah Bung
Karno melancarkan perjuangan untuk pengembalian Irian Barat kian
menggelora. Lewat perjuangan diplomatik yang ditempuh pemerintah, dan
lewat "jalan lain" yang diserukan Bung Karno, maka Irian Barat kembali ke
bawah naungan kedaulatan Republik Indonesia.
Berbagai keputusan politik yang sangat strategis telah pula dikeluarkan
oleh pemerintah Bung Karno pada tahun 1957 sampai dengan 1959, antara
lain: perjuangan pembebasan Irian Barat, pembatalan Persetujuan Konferensi
Meja Bundar, ambil alih/nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda,
dan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959; Konstituante dibubarkan, dan
Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali sebagai landasan
konstistusional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem politik liberal
ditinggalkan, dan dimulai sistem politik yang dikenal dengan Demokrasi
Terpimpin.
Dalam pada itu. Perang Dingin kian berkecamuk di Asia. Puncaknya
adalah Perang Vietnam dengan pengerahan seperempat juta pasukan
Amerika untuk membasmi komunis Vietnam dan Indocina. Perang Dingin
merasuk juga ke dalam gerakan buruh nasional dan internasional. Di bidang
internasional, dengan rekayasa CIA terbentuklah organisasi International
Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) yang anti komunis untuk
menandingi WFTU (GSS).
Di Indonesia, 21 September 1962, atas prakarsa Angkatan Darat dengan
petugasnya Brigjen. Suhardiman S.E. dan Brigjen. Djuhartono dibentuk
Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) untuk menghadapi
SOBSI. Aslinya, menurut gagasan Suhardiman, yang akan dibentuk adalah
Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia. Tokoh SOKSI, Suhardiman,mengakui bahwa pembentukan SOKSI adalah untuk mencegah kemenangan
PKI dalam pemilihan umum yang akan berlangsung. Diramalkan banyak
pihak, bahwa jika berlangsung pemilihan umum, PKI akan mendapat
kemenangan besar. Maka kekuatan kanan Angkatan Darat dengan
dipelopori Nasution menuntut ditundanya pemilihan umum untuk enam
tahun. Pemerintah Djuanda memutuskan untuk menunda pemilihan umum.
SOKSI tampil memandulkan gerakan buruh di Indonesia. Dengan
menghimpun 97 organisasi massa non-partisan dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar), inti kekuatan pokok ialah SOKSI, Kosgoro, MKGR, yang
diketuai oleh Brigjen. Djuhartono, dengan restu Menteri Panglima Angkatan
Darat Jenderal A. Yani.
Suhardiman, tokoh pendiri SOKSI, mengakui bahwa didirikannya SOKSI
adalah untuk mencegah kemenangan PKI dalam pemilihan umum. Konsep
karya dan kekaryaan ialah melumpuhkan gerakan buruh Indonesia. Konsep
ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perjuangan buruh di dalam
perusahaan negara, perusahaan yang diambil alih dan perusahaan vital
lainnya. Berdasarkan konsep karya dan kekaryaan inilah dihapus istilah
“buruh" dan menggantinya dengan istilah “karyawan", dengan dalih
perjuangan melawan Belanda sudah berakhir, perusahaan Belanda di
Indonesia sudah diambil alih, dan istilah “buruh" sudah tidak tepat lagi,
perlu dicegah dan ditiadakan perjuangan kelas.
Tanggal 17—25 September 1964 di Jakarta berlangsung Kongres Nasional
IV SOBSI. SOBSI telah jadi organisasi buruh terbesar. Telah tergembleng
dengan mengatasi berbagai tantangan seperti reaksi dalam luar negeri, dan
sesudah “Peristiwa Madiun" menghadapi Peraturan Kekuasaan Militer Pusat
No.1/1950 dan Undang-Undang Darurat No.16/1951 yang berisi larangan
dan membatasi hak mogok, menghadapi Razia Agustus pemerintah
Sukiman tahun 1951 yang melakukan penangkapan atas banyak pimpinan
gerakan buruh, dan dilakukannya SOB (Staat van Oorlog en Beleg) yang
mengekang hak-hak demokrasi, membatasi kebebasan mogok kaum buruh.
Di bawah pimpinan SOBSI, kaum buruh Indonesia telah memainkan
peranan sangat penting dalam aksi pengambilalihan perusahaan-perusahaan
milik kapital asing, kapital Belanda pada masa aksi pengembalian Irian Barat.
1 Mei 1963, pemerintah Belanda menyerahkan Irian Barat kepada
pemerintah Indonesia. Selanjutnya gerakan buruh berkembang meningkat
menghadapi kapital Amerika Serikat. Puncaknya sampai pada pengambil
alihan kapital perusahaan minyak Amerika Caltex dan Stanvac.Di bawah pimpinan Bung Karno, pemerintah mengeluarkan kebijakan
UU No.86/1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing,
termasuk sektor pertambangan. Selain itu. Bung Karno memberlakukan UU
Nomor 44 Tahun 1960 yang mempertegas pengelolaan minyak dalam
kontrol negara. Kaum buruh di bawah pimpinan SOBSI dengan gairah
m endukung politik anti imperialisme Amerika Serikat Bung Karno. Politik
ini mencapai puncaknya: 26 Maret 1964, dalam suatu rapat umum. Bung
Karno menyatakan: "Go to hell with your aids!" yang ditujukan kepada
Amerika Serikat. Di Indonesia bergelora suasana anti Amerika. Kelas buruh
Indonesia di bawah pimpinan SOBSI merupakan kekuatan pokok dalam
gerakan anti Amerika ini. 7 Januari 1965, Indonesia menyatakan keluar dari
PBB.
PADA awal abad XX di Indonesia mulai lahir kecambah gerakan nasional.
20 Mei 1908 di Jakarta, atas inisiatif Dr. Wahidin Soedirohoesodo terbentuk
organisasi Boedi Oetomo, yang bercita-citakan memajukan pendidikan.
Keanggotaannya terdiri dari para intelektual, pegawai negeri, mahasiswa
kedokteran, yang pada umumnya berasal dari kalangan bangsawan feodal
Jawa yang berpikiran maju.
Baru mulai tahun 1930 Boedi Oetomo menerima anggota yang berasal dari
luar Jawa. W alaupun komposisi kelas keanggotaan organisasi ini tidak
meliputi kaum buruh dan tani, tapi dalam proses perkembangan situasi
Indonesia, Boedi Oetomo juga terlibat atau ikut pada gerakan politik, ikut
Radicale Concentratie pada bulan November 1918. Pembentukan Boedi Oetomo
dinilai sebagai permulaan Kebangkitan Nasional Indonesia. Maka hari itu
diperingati setiap tahun sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Tahun 1911, di Bogor berdiri Sarekat Dagang Islam. Keanggotaannya
terdiri dari para pedagang dan pengusaha kecil penganut Islam yang
mendapat dukungan dari para intelektual Bumiputera.
Diilhami nama Sarekat Dagang Islam, tahun 1912 berdiri organisasi
Sarekat Islam yang berintikan anggota-anggota dari kalangan pedagang dan
pengusaha batik Surakarta dan Solo. Pada permulaannya, Sarekat Islam
dimaksudkan untuk menghadapi persaingan dengan pedagang dan
pengusaha Tionghoa. [Ir. S.J. Rutgers, Indonesie, Het Koloniale System in de
periode tussen de eerste en tweede wereldoorlog,—Indonesia, Sistem Kolonial dalam
periode antara perang dunia pertama dan kedua—Uitgeverij Pegasus Amsterdam,
1947, halaman 141 — 142].
Pada awal abad XX, penganut Islam di Sumatera Barat mulai
membangun organisasi. Dari badan kerja sama untuk kebutuhan sehari-hari,
berkembang sampai lahirnya organisasi yang memperkenalkan cara
pendidikan yang modern. Atas anjuran Haji Djalaloeddin Thaib, lahirlah
organisasi Sumatera Thawalib. Dalam perkembangannya, "politik mulai
masuk dalam sekolah-sekolah Islam Thawalib di Padang Panjang, dan
terutama komunisme. Satu politik radikal terhadap Belanda ketimbang satu
ideologi materialisme historis, menyelinap ke dalam kalangan pengikut
Thawalib.
Salah seorang dari gurunya, Datoek Batoeah memperkenalkan
komunisme pada tahun 1923, setelah dia kembali dari kunjungan ke Jawa.
Dia dibantu oleh guru lainnya, Natar Zainoeddin. Kedua-duanya
menggunakan metode propaganda yang sudah biasa, yaitu tabligh dan
publikasi-publikasi. Masalah-masalah yang berhubungan dengan Sarekat
Islam menjadi buah pembicaraan di kalangan mereka, terutama sesudah
Abdoel Moeis, wakil ketua partai Sarekat Islam pada bagian kedua tahun
1910-an sering berkunjung ke daerah kampung halamannya untuk
berpropaganda dan meneliti kepentingan rakyat setempat." [Deliar Noer,
The Modernist Muslim Movement In Indonesia 1900-1942, Kuala Lumpur
Oxford University Press, Oxford, New York, Jakarta, second impression, 1978,
hal.46—48].
Pada 18 November 1912, atas inisiatif Kiai Haji Ahmad Dahlan didirikan
organisasi Muhammadiyah di Jogjakarta, dengan tujuan menyebarkan Islam
di kalangan penduduk Indonesia, dan meningkatkan ke-Islaman di kalangan
anggotanya. Muhammadiyah berwatak kemasyarakatan dan pendidikan.
Waktu mudanya. Kiai Haji Ahmad Dahlan dapat pendidikan agama Islam di
Mekah. Kembali dari Mekah, Kiai Haji Ahmad Dahlan mengajarkan
perubahan-perubahan atas kebiasaan Islam yang berlaku selama ini.
Termasuk menunjukkan arah kiblat yang benar, yaitu ke Mekah. Tahun 1909,
Kiai Haji Ahmad Dahlan sudah masuk Boedi Oetomo dengan tujuan
memberikan pendidikan agama bagi anggota-anggotanya. Muhammadiyah
cepat berkembang ke luar Jogjakarta.
M enurut Deliar Noer: "Pada permulaan, diperkenalkannya Muhammadiyah di Minangkabau mendapat perlawanan dari pihak Sumatera Thawalib
Padang Panjang yang sudah dapat pengaruh komunisme.Sumatera Thawalib Padang Panjang berada di bawah pengaruh
komunisme 'dalam arti pengaruh politik radikal melawan Belanda,
bukannya ideologi berdasarkan materialisme dialektis'. Perkembangan ini
menyebabkan terdapatnya dua kelompok di dalam Thawalib, yaitu
kelompok yang pro-komunis yang ikut orang komunis berjuang melawan
Belanda, .... dan kelompok lain yang anti-komunis, yang memusatkan
dirinya pada perjuangan untuk reform pendidikan tanpa mempersoalkan
kedudukan Belanda." [Deliar Noer, 1978, hal.77].
Lahirnya kekuatan kiri dalam Thawalib di Padang Panjang adalah berkat
peranan Haji Datoek Batoeah dan Natar Zainoeddin, yang kemudian
diasingkan Belanda ke Digul dan dalam perkembangannya menjadi tokoh
terkemuka komunis di Sumatera Barat.
"Para propagandis Muhammadiyah di pantai Timur Sumatera, yang
kebanyakan berasal dari Minangkabau sering berkonflik dengan pejabat
pemerintah setempat atau para pendukung kesultanan yang umumnya
adalah pengikut mazhab Syafi'i. Gerakan kaum reformis Islam di
Minangkabau sungguh mempunyai ciri khusus yang sering berjalin dengan
politik. Banyak pemimpinnya ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah
Belanda, salah seorang pemimpinnya yang terkemuka adalah Haji Rasoel,
yang sebenarnya tidak tergabung pada satu organisasi pun, tapi dituduh
Belanda sebagai membahayakan tata tertib dan keamanan." [Idem, hal.95].
Pemerintah kolonial Belanda memperhatikan perkembangan Sarekat
Islam. "Haji Agus Salim, anggota Seksi Politik Badan Kepolisian, mendapat
tugas untuk memasuki dan menyelidiki Sarekat Islam dari dalam. 1915, Haji
Agus Salim masuk Sarekat Islam, mula-mula tidak begitu dikenal, akhirnya
tampil sebagai salah seorang anggota pimpinan, terutama mempunyai
peranan dalam menyusun politik keorganisasian dengan warna Islam."
[Deliar Noer, Idem, hal.109 —110].
Di samping masuk Sarekat Islam, Haji Agus Salim juga menjadi anggota
ISDP. [Idem, hal.lll].
Bersamaan dengan itu, prestise Abdoel Moeis meningkat dalam Sarekat
Islam, dalam Kongres tahun 1916 dia dipilih menjadi seorang Wakil Ketua
Centraal Sarekat Islam. "Bekerja sama dengan Haji Agoes Salim, Abdoel Moeis
membentuk jaringan dalam Sarekat Islam melawan pengaruh komunisme
terhadap Sarekat Islam." [Idem, hal.lll].
Sedangkan H.O.S. Tjokroaminoto mempunyai pandangan yang
berbolak-balik, pandangan yang dualis menghadapi pemerintah kolonial
Belanda. Di tahun 1912 dia menyatakan bahwa "menurut syari'ah Islam, kita
harus menaati komando (perintah) pemerintah Belanda, kita harus dengan
tegas setia pada dan mengikuti undang-undang serta peraturan-peraturan
pemerintah.../' [Idem, hal. 111 — 112].
Di samping itu dia membantah bahwa Sarekat Islam adalah partai politik,
adalah partai yang revolusioner...." [Idem].
Ciri politik dari Sarekat Islam dirumuskan dalam Deklarasi PrinsipPrinisp dan Program Aksi yang disahkan kongres nasional kedua tahun 1917.
Antara lain dirumuskan: bahwa "Partai menganut agama Islam yang
'memuja cita-cita demokrasi', sebagaimana halnya 'agama itu sendiri adalah
untuk mendidik jiwa rakyat'. Dinyatakan bahwa Centraal Sarekat Islam
'berjuang melawan kapitalisme yang haram, yang merupakan sumber dari
keadaan ekonomi yang kian buruk dewasa ini'. Salah satu pasal dari
Program Aksi menyatakan tuntutan untuk 'mendirikan Dewan-Dewan
Daerah, sebagai perpanjangan hak-hak Voksraad (Dewan Rakyat yang
didirikan pemerintah Belanda) dengan tujuan untuk mengubahnya menjadi
badan perwakilan rakyat yang sungguh-sungguh." [Idem, hal. 115].
Perbedaan pendapat penting terjadi dalam Sarekat Islam mengenai
keikutsertaan Sarekat Islam dalam Volksraad (dewan rakyat yang dibentuk
pemerintah kolonial Belanda). Berbeda dengan Abdoel Moeis dan Haji
Agoes Salim, Semaun, salah seorang pemimpin Sarekat Islam dari Semarang
berpendapat, bahwa "Volksraad adalah semata-mata satu pertunjukan
omong-kosong, satu akal-akalan kapitalis untuk membohongi rakyat dengan
maksud untuk mengeruk laba yang lebih besar."
Tapi Sarekat Islam menyetujui pendapat Abdoel Moeis dan merestuinya
masuk Volksraad. Masalah ini muncul kembali pada tahun 1918, ketika
tanggal 23 Februari, ketika Tjokroaminoto diangkat pemerintah jadi anggota
Volksraad. Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis menggunakan Volksraad
untuk menyuarakan tuntutannya dengan bekerja sama dengan wakil Partai
SDAP, (Sociaal Democratische Arbeiders Partij), Ch. G. Cramer. Dalam
perkembangan-nya, H.A. Salim pun membalik, menyatakan Volksraad
adalah hanya komedi omong.
Menjelang pecahnya Perang Dunia pertama, sejumlah pimpinan
maskapai besar Belanda yang ketakutan akan menyebarnya perang ke
daerah Indonesia, mengadakan kegiatan bersama mendirikan Badan untuk
menjalankan Indie Weerbaar Actie (Aksi Ketahanan India). Maksudnya adalah
menggerakkan dukungan rakyat untuk memperkuat pertahanan Indonesia.
Mereka minta dukungan pada Sarekat Islam dan organisasi-organisasi
lainnya seperti Boedi Oetomo dan lain-lain. Dalam Sarekat Islam, Abdoel
Moeis mempelopori dukungan terhadap aksi ini. Tapi ditentang oleh
Semaoen dari cabang Semarang. Semaoen membawakan suara ISDV yang
menentang Indie Weerbaar Actie.
Perbedaan pendapat dalam Sarekat Islam muncul lagi dalam hubungan
dengan gerakan buruh. Kongres III Sarekat Islam tahun 1918, memberikan
bimbingan untuk memperbaiki syarat-syarat pemogokan, yaitu pemogokan
hanya dijalankan bila sudah dilangsungkan langkah-langkah damai
menyelesaikan perselisihan, yaitu dilangsungkannya langkah perundingan.
Para pemimpin Sarekat Islam memasuki berbagai serikat buruh untuk
memberikan bimbingan-bimbingannya. Dengan demikian, terdapat tiga
masalah besar yang menjadi pusat pertentangan dalam Sarekat Islam:
pertama, masalah sikap terhadap Volksraad; kedua, masalah mendukung atau
menentang Indie Weerbaar Actie; dan ketiga, masalah gerakan buruh.
Para pemimpin Sarekat Islam yang anti-komunis mulai mempersoalkan
dan mencurigai kegiatan ISDV sebagai kegiatan yang dapat dukungan
Belanda sebagai cara untuk memecah-belah Sarekat Islam yang
pertumbuhannya sungguh menimbulkan ketakutan di kalangan Belanda.
[Idem, hal. 122].
Abdoel Moeis menuduh kedatangan Sneevliet ke Indonesia adalah untuk
memecah-belah gerakan rakyat Indonesia, sangat membahayakan tanah air,
karena itu menuntut agar pemerintah mengusir Sneevliet dari Indonesia.
H.A. Salim dan Sosrokardono, Sekretaris Centraal Sarekat Islam memiliki
pandangan yang sama. H.A. Salim memandang kegiatan ISDV adalah usaha
memindahkan perbedaan-perbedaan di Eropa ke Indonesia.
Tjokroaminoto kurang memperhatikan masalah prinsip tentang
bertentangan atau tidaknya komunisme atau nasionalisme dengan Islam.
Dia mampu menyesuaikan diri dengan suasana di sekitarnya. Bagi para
pemimpin non-komunis lainnya dari Sarekat Islam, terutama bagi
H.A. Salim dan Abdoel Moeis, juga bagi Soerjopranoto, soal ini adalah
masalah prinsip. Mereka memperjuangkan pemecatan orang-orang komunis
dari Sarekat Islam. Mereka memperjuangkan pikiran, bahwa anggota partai
lainnya tak bisa menjadi anggota Sarekat Islam. Bagi para anggota Sarekat
Islam, ini berarti harus memilih antara keanggotaan Sarekat Islam atau
dipecat.
Semenjak itu, Sarekat Islam mengambil langkah-langkah disipliner, yang
sesungguhnya ditujukan terhadap orang komunis. H.A. Salim menjadi
jurubicara golongan anti-komunis dalam Sarekat Islam. Dengan tangguh
membela individualisme, H.A. Salim menggunakan ajaran Q ur'an untuk
menyatakan, bahwa tujuan Sarekat Islam adalah menciptakan tata
kehidupan politik yang mendatangkan kesamaan dan kebahagiaan bagi
seluruh umat manusia. H.A. Salim membela "individualisme, yang
memperbolehkan setiap orang mendapatkan kebutuhannya tanpa
mengganggu kebutuhan dan kebahagiaan orang lain, sedangkan sosialisme
membikin kesejahteraan dan kebahagiaan setiap orang tergantung pada
kesejahteraan dan kebahagiaan semua orang."
Menghadapi serangan terhadap orang-orang komunis ini, Semaoen
berargumentasi, bahwa orang komunis sudah berbuat, mengubah Sarekat
Islam dari yang asalnya adalah partai kapitalis menjadi partai rakyat. Dia
menyatakan bahwa cita-cita PKI dan Sarekat Islam tidaklah bertentangan.
Oleh karena itu, dia meminta agar tindakan disipliner terhadap PKI itu tidak
dijalankan.
Di kala Tjokroaminoto berada dalam penjara. Kongres Sarekat Islam
tahun 1921, memutuskan menyetujui pendapat H.A. Salim dan Abdoel
Moeis untuk memecat orang komunis, termasuk cabang-cabang Sarekat
Islam Semarang, Solo, Salatiga, Sukabumi, dan Bandung.
Sarekat Islam terpecah menjadi SI Putih yang dipimpin H.A. Salim,
Abdoel Moeis, Surjopranoto, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
dengan berpusat di Jogjakarta. Dan SI Merah dipimpin Semaoen, Alimin,
Darsono, yang berhaluan kiri dengan berpusat di Semarang. Tjokroaminoto
pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut.
Dalam Kongres SI tahun 1923 di Madiun, diputuskan, menetapkan
disiplin partai terhadap PKI, mengeluarkan anggota-anggota PKI dari SI,
menetapkan sikap non-koperasi terhadap pemerintah Hindia Belanda,
mengubah SI menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia,
Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya
pernyataan Komintern yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Pada saat
kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua
Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa PanIslamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis
karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu, Agus Salim
mengecam SI Merah Semarang yang mendukung PKI.
Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam beleid Belanda
mengenai keuangan Tjokroaminoto. SI Merah Semarang juga menentang
pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto
lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).
KAUM komunis menyelenggarakan Kongres Luar Biasa PKI dan SI Merah
pada 4 Maret 1923 di Bandung untuk menetapkan langkah selanjutnya
sehubungan dengan pemecatan yang dilakukan Kongres SI. Kongres dua
hari di Bandung, dan dilanjutkan di Sukabumi. Hadir dalam kongres ini
wakil-wakil dari lima belas cabang PKI dan tiga belas cabang SI Merah serta
tiga belas serikat buruh." [Ruth T.McVey, The Rise of Indonesian Communism,
Cornell University Press, Ithaca, New York, 1965, hal.155].
Pimpinan PKI diwakili hanya oleh Semaoen, Soebakat, dan Soekarsono.
Sedangkan yang lainnya: Tan Malaka, Bergsma, Harry Dekker,
Gondojoewono, dan Dengah berada dalam penjara atau sedang di luar
negeri.
Dalam kongres ini, Semaoen dan pimpinan PKI lainnya menyerang
Tjokroaminoto dan pimpinan Centraal Sarekat Islam. Dinyatakannya, bahwa
SI tidaklah lagi mewakili kepentingan rakyat; hanyalah PKI yang bisa
berbuat untuk ini, yang jadi pembela rakyat miskin dan berjuang untuk
kemerdekaan dari kekuasaan kapitalis asing.
"Haji Misbach dan Sugono menekankan bahwa ajaran-ajaran Marxis
sama dengan ajaran-ajaran Qur'an, dan PKI berjuang untuk kemerdekaan
beragama dan membela hak-hak penduduk Muslim Indonesia untuk tak
dihalang-halangi melakukan ibadah agama. Darsono menyatakan bahwa
sebelum masuknya kapital asing, rakyat menikmati kemakmuran dan
keadilan sosial, PKI berjuang untuk kembali ke zaman yang demikian."
[Idem, hal.155 —156].
Karena SI menggunakan alasan agama untuk menentang komunisme,
maka dalam kongres ini PKI menyatakan dukungannya pada Islam tanpa
mencampakkan pendirian, bahwa agama dan politik, tidak bisa dicampuradukkan.
Kongres memutuskan untuk membangun cabang SI Merah di mana ada
SI Putih. Selanjutnya, SI Merah akan menggunakan nama Sarekat Rakyat (SR).
Kongres mengambil resolusi, antara lain: menentang keputusan pemerintah
mengenai pajak dan sistem kuli kontrak, dan menyatakan bermaksud
membela kepentingan kaum tani. Untuk bisa efektif menyelesaikan masalahmasalah tani, diputuskan untuk membentuk Komite Tani pada setiap
cabang Sarekat Rakyat.
Sarekat Rakyat berkembang pesat, terutama di Jawa Tengah dan Timur.
Aktivis-aktivis yang bekerja dalam Sarekat Rakyat umumnya adalah para
pimpinan gerakan buruh yang bergabung dalam VSTP.Pertengahan tahun 1924, PKI dan Sarekat Rakyat menjadi sasaran utama
serangan pemerintah. Banyak orang non-komunis menjadi korban serangan
pemerintah. Korban ini mendapat penghargaan di mata rakyat. Ini menjadi
sebab meningkatnya keanggotaan Sarekat Rakyat. Serangan pemerintah
terhadap kegiatan PKI dan Sarekat Rakyat mengkhawatirkan pimpinan PKI,
yang membayangkan akan munculnya larangan melakukan kegiatan.
Jawaban terhadap serangan-serangan pemerintah itu adalah, PKI
mengurangi jumlah rapat-rapat terbuka Sarekat Rakyat, memusatkan pada
rapat-rapat kecil. Pada waktu itu, semua rapat dihadiri oleh petugas
pemerintah dengan mencatat yang hadir dan isi rapat, mengontrol kartu
anggota para hadirin. Pengunjung rapat kian mengecil, tapi propaganda
berjalan lebih intensif.
Tanggal 27 dan 28 September 1924, pimpinan PKI menyelenggarakan
rapat yang memutuskan untuk mengintensifkan pekerjaan di kalangan
kaum buruh terutama perkebunan, kereta api, perhubungan, pelabuhan,
pertambangan, dan mengurangi gerakan yang bersifat massal.
Terjadi pergeseran dalam pimpinan PKI dengan tampilnya grup Ali
Archam. Menurut Ruth McVey, "Ali Archam, menginginkan seharusnya
partai memimpin aksi-aksi proletariat yang murni untuk tujuan
mempersiapkan revolusi." [Idem, hal.262].
Maka dipertimbangkan untuk mengubah seksi-seksi Sarekat Rakyat
menjadi cabang PKI. Tanggal 11 s/d 15 Desember berlangsung konferensi
khusus di Kutagede untuk membicarakan masalah ini. Hadir 96 utusan dari
38 Seksi PKI mewakili 1.140 anggota, dan wakil dari 46 cabang Sarekat
Rakyat mewakili 31.000 anggota. Dalam konferensi ini, Ali Archam
mempertahankan rencana yang diajukan oleh pimpinan PKI mengenai
pembubaran Sarekat Rakyat. Dalam kongres ini diajukan tesis Ali Archam
mengenai "membangun satu partai kelas buruh yang bebas, barisan depan
yang paling konsekuen."
"Tetapi mempunyai kekeliruan dalam membubarkan organisasi massa
Sarekat Rakyat yang menampung kaum tani, sesuatu yang seharusnya
dilakukan adalah memperbesar organisasi Sarekat Rakyat. Sebagai akibat
selanjutnya, organisasi PKI menjadi kurang meluas dan keanggotaannya
menjadi terbatas. Gelombang besar kaum tani yang ingin masuk PKI
menjadi terhalang." [Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip 45 Tahun PKI, Bab II].
Pembubaran Sarekat Rakyat mendapat perhatian dari Komintern.
Sesudah mendengar laporan Semaoen, sidang Komite Eksekutif VI yang
diperluas Komintern, di Moskow 21 Maret sampai 6 April 1925, mengkritik
pembubaran Sarekat Rakyat. Tindakan ini menunjukkan bahwa "PKI
belumlah menjadi partai yang benar-benar bersifat proletar/' [Ir. S. Rutgers,
1947, hal.159].
Pemerintah menindak Sarekat Rakyat dengan melakukan larangan
terhadap sekolah-sekolah yang didirikannya. Larangan ini mendapat
perlawanan keras. Maka terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata. Sejumlah
pimpinan Sarekat Rakyat dan PKI ditangkap dan dipenjarakan. Tahun itu
juga PKI dan Sarekat Rakyat dinyatakan terlarang, dan kegiatan-kegiatannya
dinyatakan ilegal.
3. Lahirnya PKI
PADA tanggal 9 Mei 1914, berlangsung rapat pertama penganut paham
sosialisme, kaum sosial demokrat Indonesia, yang melahirkan Indische Sociaal
Democratische Vereniging (ISDV)—Perhimpunan Sosial Demokrat H india—
dengan dipimpin oleh Henk Sneevliet.
Dari delapan pasal program ISDV terdapat antara lain rumusan-rumusan
berdasarkan paham sosialisme: memperjuangkan kemerdekaan atas
kehancuran kapitalisme; kaum buruh dan tani karena senasib harus bersatu
berlawan; mendidik rakyat dengan pengetahuan sosialisme; dan
menyebarkan buku-buku sosialisme. Inilah gerakan kiri yang anti-kolonialisme
dan diilhami cita-cita sosialisme.
Dengan program delapan pasal itu, ISDV berusaha mengadakan
persatuan dengan Sarekat Islam, Budi Utomo, dan Indische Partij. Mulailah
terdapat kecambah tiga aliran besar dalam masyarakat Indonesia. Sarekat
Islam mewakili kalangan Islam, Budi Utomo dan Indische Partij kalangan
nasionalis, dan ISDV kalangan Marxis.
Kemenangan Revolusi Oktober tahun 1917, memberi inspirasi bagi
gerakan sosialisme dunia. Salah satu pelajaran yang diberikannya adalah:
keharusan membangun partai tipe baru, yaitu partai yang berdasarkan
prinsip organisasi sentralisme demokratis. Marxisme dan ajaran tentang partai
tipe baru menjalar ke Indonesia. ISDV adalah kekuatan kiri yang bercita-citakan
sosialisme, melawan sistem kolonialisme, tapi belum merupakan partai tipe baru.
Gerakan sosialisme internasional berpengaruh pada ISDV. Ketika
Internasionale II telah merosot menjadi Internasionale kuning, yaitu
memihak pada borjuasi dalam perang-perang imperialis Perang Dunia
pertama, kaum sosialis revolusioner dipimpin Lenin mencampakkan
Internasionale II, dan tahun 1919 mendirikan Internasionale III, yaitu
Komintern (Internasionale Komunis).
Di Indonesia, dalam ISDV terjadi perpecahan antara kaum sosialdemokrat yang diwakili J.E. Stokvis dengan kaum sosialis revolusioner
diwakili Henk Sneevliet. Jadi, perjuangan melawan pandangan sosial
demokrat (sosialis kanan) sudah berlangsung semenjak dari ISDV.
J.E. Stokvis mengikuti pandangan Internasionale kedua, tidak setuju
jalan revolusioner yang ditempuh di Russia. J.E. Stokvis takut, kalau jalan ini
ditempuh di Indonesia, akan membahayakan kedudukan Belanda.
Maka J.E. Stokvis dan kawan-kawannya meninggalkan ISDV,
membentuk Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP)—Partai Sosial
Demokrat India—dan menjadi cabang Sociaal Democratische Arbeiders Partij
(SDAP)—Partai Buruh Sosial Demokrat—Belanda. SDAP adalah anggota
Internasionale II. Sedangkan Henk Sneevliet bertahan dalam ISDV.
Sesuai dengan keputusan Komintern agar semua partai sosial demokrat
mengubah namanya menjadi Partai Komunis, timbul tuntutan dalam ISDV,
terutama dari cabang Semarang, dengan Semaoen sebagai tokohnya, agar
ISDV diubah menjadi Partai Komunis. Tapi tuntutan ini ditentang oleh
C.Hartoch yang ketika itu menjadi Ketua Tahunan ISDV.
Tanggal 23 Mei 1920 berlangsung Konferensi Tahunan VII ISDV. Terjadi
perdebatan sengit dalam konferensi, antara Semaoen dan Bergsma di satu
pihak, lawan C. Hartoch di pihak lain. Perbedaan adalah mengenai ikut
Internasonale II atau Internasionale III. Isinya adalah menyangkut sikap
terhadap diktator proletariat ajaran Marx, menerima atau menolak diktator
proletariat, masalah jalan menuju sosialisme; jalan revolusi menggulingkan
kapitalisme atau jalan mengubah kapitalisme jadi sosialisme; jalan
revolusioner atau jalan reformisme.
Konferensi memutuskan untuk mengubah nama ISDV menjadi
Perserikatan Komunist di India atau Partij der Komunisten in Indie (PKI) dengan
hanya mendapat tentangan dari C. Hartogh. Yang terpilih jadi ketua adalah
Semaoen dan wakil ketua Darsono. Putusan ini direferendumkan lagi
dengan mengikut-sertakan semua cabang. Hasilnya adalah: 33 setuju, 1
blanko, dan 2 tidak setuju.
Sesudah terpilih sebagai ketua partai, awal Oktober Semaoen meninggalkan
Indonesia ke Uni Sovyet untuk menghadiri Kongres Rakyat Negeri-Negeri Timur
dan Kongres Kaum Buruh Timur Jauh.
Juni dan Juli 1921, Darsono menghadiri Kongres III Komintern di
Moskow. [Ruth Thomas McVey, The Rise of Indonesian Communism, Southeast
Asia studies, Yale University, by arrangement with HRAP Press, 1963, hal.129].
Kepergian Semaoen ke Uni Sovyet, menyebabkan pimpinan PKI berada
di tangan Bergsma dan Tan Malaka—yang baru beberapa bulan masukPKI—sedangkan Darsono sudah berada di Eropa, bekerja untuk Komintern
dan menghadiri Kongres III Komintern di Moskow. [Idem, hal. 128].
Dalam bulan Desember 1921, berlangsung Kongres Luar Biasa PKI.
Dalam kongres ini diputuskan secara resmi, PKI bergabung ke dalam
Internasionale III atau Komintern. Tan Malaka terpilih menggantikan
Semaoen sebagai ketua partai.
Februari 1922, Tan Malaka ditangkap, dan Maret dibuang ke Belanda.
Tanggal 4 Juni 1922, sekitar sepuluh hari sekembali dari Uni Sovyet,
Semaoen berpidato dalam rapat yang dihadiri 3000 orang, menyampaikan
kesannya dari kunjungan ke Uni Sovyet. Dia menyatakan bahwa Lenin
berpesan: "bagi partai-partai komunis di Asia, janganlah menjiplak taktik
yang ditempuh oleh Partai Bolsyewik, karena kondisi Rusia tidak sama
dengan negeri-negeri Asia; haruslah menempuh jalan yang sesuai dengan
kondisi negerinya sendiri." [Idem, hal.133 —134].
Dalam tahun 1923, perlawanan kaum buruh terhadap penindasan kapital
meningkat. Aksi-aksi buruh, termasuk berbagai pemogokan yang merugikan
kapital Belanda. Berlangsung pemogokan besar buruh kereta api dipimpin
VSTP. Semaoen yang jadi pemimpin pemogokan ditangkap. Dikirim ke
pembuangan.
Di samping pemogokan, terjadi aksi-aksi melempar granat ke rumah
pembesar-pembesar Belanda. Termasuk rumah Gubernur Jenderal Fock.
Aksi-aksi ini mengkhawatirkan kekuasaan kolonial. Para pemimpin PKI
ditangkap, di antaranya Haji Misbach. 20 Oktober 1923 ditangkap pula Ali
Archam. 28 Maret 1924 diadili di Pengadilan Negeri Semarang, dijatuhi
hukum penjara 4 bulan karena tuduhan menghina pegawai negeri. Ali
Archam naik banding, pengadilan tinggi memutuskan hukuman 6 bulan.
Juni 1924 berlangsung Kongres II PKI di gedung Alhambra Jakarta.
Kongres mengambil keputusan-keputusan antara lain:
1. Mengubah nama Perserikatan Komunis di India menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI).
2. Mengesahkan Anggaran Dasar Partai yang baru.
3. Hoofdbestuur disingkat H.B. (CC) dipindahkan dari Semarang ke
Jakarta.
4. Mengesahkan terjemahan Manifes Partai Komunis dalam bahasa
Indonesia oleh Partondo.
5. Mengesahkan "Thesis" tentang Masyarakat Indonesia yang disusun
oleh Sukandar, Kepala Agitprop.
6. Memilih pimpinan sentral PKL Alibasah Winata sebagai ketua,
Boedisoetjitro sebagai sekretaris, dan Ali Archam, Alimin, serta
Moesso sebagai komisaris.
Program Partai dirumuskan lebih luas dari program delapan pasal ISDV.
Program PKI sudah mengandung watak nasional dan menyangkut massa
yang luas, meliputi program untuk kaum buruh, kaum tani, wanita, pemuda,
intelektual, dsb. Juga ada program umumnya yang bertujuan membentuk
pemerintah Sovyet Indonesia. Tujuan perjuangan ialah menciptakan
masyarakat sosialis, dan sifat perjuangan adalah internasional. [Lembaga
Sejarah PKI, Manuskrip 45 Tahun PKI, Jakarta, 1965].
Pada tanggal 24 November, lima bulan sesudah berlangsungnya Kongres
II, Winata ditangkap dan dipenjarakan bersama beberapa orang pimpinan
sentral lainnya dan pimpinan daerah.
Situasi mendorong untuk diadakannya Kongres III yang berlangsung
dalam bulan Desember 1924 di Jogjakarta.
Kongres memilih Sardjono sebagai Ketua menggantikan Winata.
Anggota Komisaris ditambah dengan Mardjohan untuk Semarang, Prawiro
Sardjono untuk Surabaya, Kusno untuk Bandung, Suwarno untuk Solo, A.B.
Assor untuk Ternate, Abdul Xarim M.S. untuk Sumatera Timur/Aceh dan
Sutan Said Ali untuk Sumatera Barat. Kongres ke-III dijiwai oleh fikiran Ali
Archam mengenai pemberontakan untuk merebut kekuasaan politik.
4. Pemberontakan Nasional 1926,
Sangkakala Revolusi Indonesia
UNTUK menghancurkan PKI, pemerintah kolonial Belanda menyatakan
pemimpin-pemimpin PKI, Ali Archam, Natar Zainoeddin, Haji Misbach,
Haji Datoek Batoeah, Mardjohan, dll., sebagai orang-orang yang
membahayakan ketertiban umum dan harus diasingkan. Penangkapan Ali
Archam disusul pula dengan penangkapan-penangkapan atas Boedisoetjitro,
Partondo, Ambijah, Soeradi, Samsi, Soemantri, Soendoro, Rabijah, Ngadino,
Brotosewojo, dll. Banyak yang dipenjarakan dan ada yang dibuang ke
pengasingan. Haji Misbach diajukan ke pengadilan. Tahun 1925 dibuang ke
Manokwari.
Tanggal 25 Desember 1925, PKI melangsungkan konferensi di Candi
Prambanan. Hadir dalam konferensi ini Sardjono, Boedisoetjitro, Soegono,
Koesnogoenoko, Najoan, Heroejoewono, Winanta, Gondojoewono, Said Ali,
Abdoel Moentalip, dan Marco. Sardjono menganjurkan agar diadakan aksibersama, dimulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung aksi
bersenjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu pun harus
ditarik dalam pemberontakan. Sesudah konferensi, oleh Hoofdbestuur PKI
dibentuk Comite Pemberontakan (CP) yang terdiri dari Dahlan sebagai
ketua, Sukrawinata sebagai sekretaris, Heroejoewono, Samoedro,
Baharoedin Saleh, sebagai anggota, CP berpusat di Bandung.
Untuk mendapatkan pertimbangan dari Komintern, oleh Hoofdbestuur
diutus Alimin menemui wakil Komite Eksekutif Komintern di Timur Jauh,
kemudian disusul lagi oleh Musso. Karena agak lama belum ada berita dari
utusan itu, dikirim lagi Sardjono dan Boedisoetjitro ke Singapura untuk
menemui Tan Malaka yang pada waktu itu menjadi salah seorang anggota
sekretariat Komite Eksekutif Komintern untuk Timur Jauh.
Tan Malaka yang sedang berada di Filipina menyatakan menentang
putusan Konferensi Prambanan. Tan Malaka meninggalkan PKI. Dan
selanjutnya, bersama Soebakat dan Djamaloeddin Tamin di ibukota Thailand,
22 Juni 1927 memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia
(PARI), menjauhkan diri dari Komintern. Tahun 1948 mendirikan Partai
Murba di Jogjakarta.
Tindak-tanduk Tan Malaka menentang putusan Konferensi Prambanan
mengenai rencana pemberontakan nasional, sikapnya mencampakkan PKI
dan mendirikan partai sendiri Partai Republik Indonesia (PARI) tahun 1927;
tahun 1928 menghadiri Kongres VI Komintern, Tan Malaka mengkritik
pimpinan Komintern yang tidak menyimpulkan pengalaman gerakan dan
pemberontakan-pemberontakan di Tiongkok yang gagal, hingga Bukharin
menyatakan Tan Malaka adalah Trotskis. Tan Malaka menjauhi Komintern
dan berkolaborasi dengan fasisme Jepang, yang berarti menentang putusan
Komintern untuk melawan fasisme; berhubungan erat dengan Partai
Revolutionnaire Communistische Partij Nederlandsch, seksi dari Internationale
IV (Internasionale Trotskis).
Dalam kenyataannya, Tan Malaka berhubungan erat dengan
Internasionale IV, Internasionale Trotskis. Anggota Internasionale IV di
Belanda, De Revolutionnaire Communistische Partij Nederlandsche Sectie van de
Vierde Internationale, menerbitkan tulisan Tan Malaka dalam publikasinya De
Tribune. [Tan Malaka-archief, Nederlandstalig Marxistisch Internet-Archief].
Dan tahun 1948, Tan Malaka mendirikan Partai Murba, yang dalam
perkembangannya menempuh jalan anti-PKI, menentang politik nasakom
Bung Karno. Akhirnya tahun 1965 dinyatakan bubar oleh Bung Karno.
Penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap kurang lebih dari
50 orang kader PKI sebagai akibat pemogokan buruh kereta api tahun 1923
tidak melemahkan PKI, bahkan semakin memperkuat dan memperbanyak
anggota PKL [Baca: Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip 45 Tahun PKI, Jakarta,
1965].
PKI dinyatakan terlarang. Semenjak awal perjuangan melawan
kolonalisme, kekuatan kiri telah jadi pelopor.
Puncak perlawanan terhadap kolonial Belanda pecah pada 12 November
1926. Di bawah pimpinan PKI meletus pemberontakan nasional bersenjata
pertama. Pemberontakan ditumpas Belanda dengan kekerasan senjata.
Berguguran pahlawan anti kolonial, ditembak mati atau dihukum gantung
seperti yang dialami Si Patai, Si Manggulung di Minangkabau, dan Egom,
Hasan, serta Dirdja dihukum gantung di penjara Tjiamis, 9 September 1927.
Haji Sukri dan lima kawannya digantung di penjara Pandeglang, Haji Hasan
di Tjimareumeuh, Garut; Kartawirya dan Aman di Padalarang, Ojod di
Ngagrek di Jawa Barat. Si Patai gugur tertembak dalam perlawanan di
Gunung Bukit Pauh Sembilan, Sumatera Barat. Kepala Si Patai dipotong dan
ditancapkan pada sepotong bambu dan dengan kejam diarak keliling kota.
Si Manggulung, M. Joesoef Sampono Kajo, Badaroeddin gelar Said dihukum
gantung di penjara Sawah Lunto bulan Maret 1927. Tujuh pahlawan putra
Priangan, lima pahlawan Banten, empat pahlawan putra Minang telah
dihukum gantung dan banyak lagi putra terbaik Indonesia telah gugur.
Ribuan ditangkap, dipenjarakan, dan dibuang ke pembuangan Digul.
Egom sewaktu mendapat kunjungan keluarganya sehari sebelum
dilaksanakan hukuman gantung dengan tenang berpesan agar sanak
keluarganya jangan gusar atas celaan-celaan musuh. Ia meyakinkan itu
untuk membela rakyat yang tertindas dan untuk kemerdekaan tanah airnya.
Ia yakin bahwa cita-cita perjuangannya yaitu komunisme pasti menang.
Demikian pula waktu Manggulung dan kawan-kawannya menjalani
hukuman gantung
M enurut J.Th. Petrus Bloemberger, sejumlah 1.308 orang, umumnya
kader-kader partai, dibuang ke Boven Digul. Tercatat tokoh-tokoh PKI
dikirim ke pembuangan: Ali Archam, Haji Datoek Batoeah, Kiai Haji
Achmad Dasoeki Siradj, Kiai Ki Anom Dardiri Soeromidjojo (Ramidjo)
bersama istri dan tiga anak, Darsono, Darsini, serta Trikojo yang masih bayi,
Natar Zainoeddin, Xarim M.S., dan lain-lain. Perlakuan yang kejam di luar
perikemanusiaan bukan hanya terjadi selama penangkapan dan
pemeriksaaan, tetapi juga selama di dalam penjara.
Dalam pembuangan, Ali Archam diserang malaria hitam. Untuk
pengobatannya diusahakan pemindahan ke tempat yang ada rumah sakit.
Tapi di perjalanan, Ali Archam meninggal dunia. Diadakan upacarapemakaman yang dihadiri oleh banyak kawan seperjuangan dan
sepembuangan. Di bagian kepala jenazah tertulis sajak dalam bahasa
Belanda yang terjemahannya adalah sebagai berikut:
Bagi kami, kau tak hilang. Tidak!
Masa-kini kami, tumbuh dari masa-lampau mu.
Tangan kami yang meneruskan. Kerja agung juang hidupmu.
Kami tancapkan kata mulia hidupmu.
Dengan penuh harapan. Obor yang dinyalakan dalam malam gelapmu
Kami serahkan kepada angkatan kemudian.
W alaupun pemberontakan ini dipadamkan oleh pemerintah kolonial
Belanda dengan kekerasan senjata, pemberontakan nasional bersenjata ini
telah memainkan peranan penting bagi kebangkitan bangsa Indonesia. Ia
menunjukkan bahwa kolonialisme Belanda bisa dilawan. Pemberontakan ini
menggoyahkan kekuasaan koionial Belanda. Ia merupakan sangkakala
revolusi nasional Indonesia. Kekuatan kiri di bawah pimpinan PKI
merupakan kekuatan pokok dan pelopor dalam perjuangan ini.
Banten adalah suatu daerah di mana pemberontakan berlangsung
dengan seru dan agak lama dibanding dengan daerah lainnya di Jawa.
Banten yang terkenal sebagai daerah pengaruh Islam, ternyata gigih
melakukan pemberontakan di bawah pimpinan PKI. Pemberontakan
dipadamkan Belanda dengan serangan bersenjata. Kekuasaan kolonial
Belanda tak kenal ampun menindas PKI. PKI jadi partai terlarang.
5. Krisis Kapitalisme, Indonesia di Bawah Fasisme
DUNIA dilanda krisis kapitalisme. Menghadapi krisis ini, di Jerman, Itali,
dan Jepang, muncul fasisme, perkembangan lebih tinggi dari imperialisme.
Menghadapi bahaya fasisme yang siap mengobarkan Perang Dunia kedua,
Komintern dalam Kongresnya yang ke-7 tahun 1935, menyimpulkan bahwa
fasisme berarti bahaya peperangan, menyerukan agar Partai-Partai Komunis
semua negeri melakukan pembentukan Front Anti Fasis.
Sebagai anggota Komintern, PKI mengikuti garis Komintern, bergerak
melawan bahaya fasisme Jepang. Tahun 1935, Musso dapat menyelundup
masuk Indonesia, membawa garis Komintern. Menghimpun kader-kader
PKI yang tersisa, mendirikan CC PKI ilegal. Kader-kader PKI bergerak,
berhasil membangun organisasi Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Gerindo dipimpin oleh Dr. A. Kapau Gani, Mr. Amir Sjarifoeddin.Secara rahasia, di bawah pimpinan PKI ilegal, kaum komunis tetap aktif,
berorganisasi menggerakkan rakyat. Terbentuk dan bergeraklah organisasi
Gerindo di bawah pimpinan Amir Sjarifoeddin. Tahun 1939, di Jakarta
terbentuk organisasi Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) dipimpin kaderkader PKI ilegal. Pembentukannya dihadiri antara lain: Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo, Widarta, Armunanto, Dr. Liem Koen Hien.
Di Jakarta, kader-kader PKI seperti Wikana, D.N. Aidit, Hoetabarat,
Soemarto, Ronosoedarmo, Sojas, dan lain-lainnya, aktif ambil bagian dalam
memimpin berbagai organisasi legal, semi-ilegal, dan ilegal. Mereka
menghimpun massa dan menggunakan organisasi-organisasi itu untuk
mendidik dan melatih massa melawan fasisme Jepang.
Wikana menggunakan kesempatan politik Kaigun (Angkatan Laut
Jepang) untuk menarik pemuda-pemuda dengan mendirikan "Asrama
Indonesia Merdeka", dalam kegiatan pendidikan dimasukkan pikiranpikiran anti-fasis.
D. N. Aidit juga menggunakan "Asrama Menteng 31" untuk
mempropagandakan ide-ide anti-fasis. Pada akhir tahun 1944, D.N. Aidit
bersama dengan M.H. Lukman, Sidik Kertapati, dll., mendirikan satu
organisasi yang lebih tegas coraknya anti-fasis dan yang bertujuan untuk
mencapai Indonesia Merdeka, yaitu Gerakan Indonesia Merdeka
(Gerindom).
Di samping itu, Wikana, D.N. Aidit, dll., juga mempunyai hubungan
dengan berbagai grup dan kelompok anti-fasis di Jakarta. Kekuasaan fasis
Jepang mencium kegiatan orang-orang komunis, dan melakukan
penangkapan-penangkapan. Jepang menangkap Koesnandar, Soebijanto
Koesoemo, Hardjo Soepingi. Juga Sudisman, Tjoegito, Sjaifoellah, Fatah Jasin.
Di Semarang ditangkap Kasim dan Broto, di Nganjuk ditangkap Tarmoedji,
di Tulung Agung ditangkap Soeparto, di Blitar ditangkap Noto. Tak lama
kemudian ditangkap Azis di Sidoardjo. Pamoedji, Ketua CC PKI juga
ditangkap di Purworejo. Menyusul ditangkap di Jakarta, Mr. Amir
Sjarifuddin. Selanjutnya bukan hanya kader-kader PKI, tokoh-tokoh lainnya
Dr. Kajadoe, Mr. Soemanang, Ki Mangoensarkoro, Dr. A. Kapau Gani juga
ditangkap. Akibat siksaan, banyak di antara mereka yang meninggal dunia
seperti Pamoedji, Sjaifoellah. Soekajat dan Azis serta Abdoerrahim dijatuhi
hukuman mati dengan dipenggal kepalanya di Kantor Kenpeitai di Jalan
Alun-Alun Tjontong Surabaya. Mr. Amir Sjarifoeddin dijatuhi hukuman
mati, tapi berkat perjuangan kekuatan progresif, terutama berkat jaminan
yang diberikan Bung Karno, hukuman itu diubah menjadi hukuman seumurhidup. Prof.Dr. Moechtar dan Dr. Kajadoe dibunuh dengan dipenggal
lehernya di Jakarta.
6. Revolusi Agustus 1945
AGUSTUS 1945, Jepang bertekuk-lutut pada Sekutu. Kader-kader PKI yang
ilegal aktif ambil bagian mempersiapkan Indonesia Merdeka. Adalah sangat
menonjol kegiatan mereka yang aktif dalam pendidikan Asrama Menteng 31.
Setelah proklamasi kemerdekaan diumumkan, Amir Sjarifoeddin yang
dipenjarakan Jepang di penjara Lowokwaru Malang, dibebaskan pemuda, di
bawah pimpinan Roedhito, pimpinan Pesindo. Dalam kabinet pertama RI,
Amir Sjarifuddin menjadi menteri penerangan.
Pada tahun-tahun revolusi ini buku-buku teori Marxisme-Leninisme
telah mulai masuk ke Indonesia yang dibawa oleh kaum komunis Indonesia
yang kembali dari Australia dan Negeri Belanda. Tetapi buku-buku teori ini
dalam bahasa asing, terutama Inggris dan Belanda. Kader-kader yang dapat
mempelajarinya sangat terbatas jumlahnya, sehingga pengetahuan teori
belum merata menjadi milik kader-kader partai, tetapi hal ini telah
memungkinkan lahirnya tulang punggung partai yang mempelajari teori
Marxisme-Leninisme.
Januari 1947, berlangsung Kongres Nasional PKI ke-4 di Solo. Dalam
Kongres ini diputuskan antara lain mengenai program "terwujudnya
masyarakat sosialis di Indonesia" pada waktu itu juga. Di samping itu, disetujui
politik "Persetujuan Linggarjati", yang bersifat kapitulasi terhadap kaum
imperialis Belanda. Mengenai organisasi, kongres pada pokoknya masih
memakai ketentuan-ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga tahun 1924.
Kongres IV memilih CC baru yang terdiri dari kawan-kawan: Sardjono,
Winanta, Ngadiman Hardjosoebroto, Maroeto Daroesman, Soetrisno,
Soeripno, dll. Dalam kongres itu juga atas usul CS Surakarta, terpilih kawan
Aidit sebagai anggota CC. Sesudah Kongres IV ini, CC PKI pindah dari Solo
ke Jogjakarta. [Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip 45 Tahun PKI, Bab IV, Jakarta,
1965].
Pulangnya Moesso bersama Soeripno, Mei 1948, membawa gagasan baru
bagi PKI dan Revolusi Indonesia. Atas desakan keras dari Musso dan
kesediaan sebagian besar kader-kader partai, maka bulan Agustus 1948 itu
juga diadakan konferensi partai, yang melahirkan satu resolusi Jalan Baru
untuk Republik Indonesia. Pekerjaan Musso mengoreksi kesalahan-kesalahan
pimpinan partai dipermudah berhubung dengan sudah adanya sayap
Leninis di dalam CC Partai.
Resolusi Jalan Baru ini adalah hasil diskusi yang serius dan diambil oleh
konferensi tersebut secara bulat. Konferensi Nasional Partai Luar Biasa ini
telah mengumumkan CC yang baru, yang terdiri antara lain kawan-kawan:
Moesso, Tan Ling Djie, Maroeto Daroesman, Ngadiman Hardjosoebroto,
Amir Sjarifoeddin Alimin, Sardjono, Achmad Soemadi, Djoko Soedjono,
Wikana, Soeripno, Aidit, Loekman, Njoto, Sudisman, Soetrisno, Roeskak, dll.
Resolusi Jalan Baru bagi Republik Indonesia. Ini adalah self-kritik pimpinan
PKI atas kesalahan-kesalahannya di masa lampau. Resolusi ini mengoreksi
kesalahan-kesalahan PKI, di bidang organisasi, politik, dan ideologi. Yang
paling penting di bidang organisasi adalah harus membangun satu partai
kelas buruh yang mampu memimpin revolusi Indonesia. Untuk itu harus
disatukan partai-partai kelas buruh yang ada, hingga menjadi satu-satunya
partai kelas buruh, dengan menggunakan nama PKI yang sudah punya
tradisi dalam sejarah Indonesia.
Maka direncanakan untuk menyelenggarakan kongres untuk
melangsungkan fusi antara partai-partai yang berdasarkan MarxismeLeninisme, yaitu penyatuan PKI, Partai Buruh Indonesia, dan Partai Sosialis
serta mengesahkan konstitusi baru partai. Kebangkitan PKI merupakan duri
dalam daging di mata penguasa Amerika Serikat. Maka pelaksanaan
Doktrin Truman, The Policy of Containment, bermuara pada Peristiwa Madiun,
tahun 1948.
7. Provokasi Madiun
DALAM sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat tanggal 20 September
1948, Perdana Menteri Hatta menyatakan: "Seperti diketahui PKI - Muso
telah mengadakan coup, perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan di
sana suatu pemerintahan baru sebagai permulaan untuk merobohkan
pemerintah Indonesia.
Sudah tersiar ucapan dari Soemarsono, yang bunyinya dari 'M adiun
mulai kemenangan'. Dan nyatalah bahwa pemberontakan ini bermaksud
untuk merobohkan pemerintah dan menguasai seluruh republik.
Tersiar pula berita - entah benar entah tidak - bahwa Musso akan
menjadi presiden republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifuddin perdana
menterinya/' [Kementerian Penerangan Republik Indonesia, Mendajung
Antara Dua Karang, keterangan pemerintah diutjapkan oleh Drs. Mohammad
Hatta di muka Sidang B.P.K.N.P. di Djokja pada tahun 1948, hal.87].
Penggulingan kabinet Amir Sjarifuddin, yang terjadi sebelum
kembalinya Musso ke Indonesia, adalah permulaan langkah penting yang
berkembang menjadi aksi pukulan terhadap PKL Dalam peristiwa ini,
kekuatan kiri berhasil disingkirkan dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. W alaupun ada Panglima Besar Soedirman, kekuatan bersenjata RI
jadi berada di bawah pimpinan A.H. Nasution dan Tahi Bonar Simatupang,
dua tokoh perwira yang sadar anti-komunis.
Pimpinan tertinggi PKI, Musso, tertembak mati dalam satu pertempuran.
Dan sejumlah kader tinggi PKI, termasuk Amir Sjarifuddin, Maroeto
Daroesman, Setiadjit, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno,
Djokosoejono, Katamhadi, dan D. Mangku, ditembak mati di Ngaliyan.
Peristiwa Madiun adalah teror putih kedua yang melanda PKI dalam
sejarahnya. Ini adalah realisasi Doktrin Truman, adalah salah satu puncak
realisasi the policy of containment, politik pembendungan dan pembasmian
komunisme sejagat yang digalakkan Amerika Serikat di Asia. Inilah
permulaan Perang Dingin yang melanda Asia. [Baca: Suar Suroso, Peristiwa
Madiun, Realisasi Doktrin Truman di Asia, Hasta Mitra, Jakarta, 2010].
Tapi PKI dan gerakan kiri tidak punah.
Tahun 1950, dalam proses perlawanan menuntut pembatalan
Persetujuan KMB, organisasi-organisasi revolusioner bermunculan.
Tanggal 17 Agustus 1950, terbentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat yang
didirikan oleh kira-kira 15 orang, antara lain: D.N. Aidit, Njoto, Joebaar
Ajoeb, Henk Ngantung, Soedjojono, dll. Mukadimah Lekra dengan jelas
memaparkan perjuangannya melawan kebudayaan imperialisme dan
feodalisme yang dekaden, yang direstorasi lewat persetujuan KMB.
Tanggal 4 Juni 1950, terbentuk Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), yang
dipimpin oleh Umi Sardjono, Nj. Moedigdo, Suwarti, S.K.Trimurti. Dalam
Kongres ke-2, Maret 1954, Gerwis berubah nama menjadi Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani).
Pada November 1950, dalam Kongres ke-3, Pesindo mengubah namanya
menjadi Pemuda Rakyat, dipimpin oleh Ir. Setiadi Reksoprodjo, Baharoeddin,
Francisca Fanggidey, Asmoedji, Soekatno, Iskandar Soehekti, Soerjono Hamzah. Ini
sesuai dengan tuntutan Resolusi Jalan Baru yang menuntut adanya hanyasatu partai pelopor, dan Pesindo yang dulunya memainkan peranan partai
serta gerakan pemuda dikonsekuenkan menjadi organisasi massa pemuda.
Bulan September 1950 atas inisiatif Comite Seksi Surakarta dengan
dorongan anggota Politbiro CC yang berada di Jakarta, telah dilakukan
pemakaman kembali jenazah 11 pemimpin dan kader partai yang ditembak
mati oleh pemerintah Hatta di Ngalian pada tanggal 19 Desember 1948.
Meskipun usaha melakukan pemakaman kembali itu mengalami rintanganrintangan yang luar biasa dari pemerintah, namun akhirnya mencapai
sukses. Puluhan ribu anggota, pencinta PKI dan massa rakyat dari daerah
Surakarta dan daerah lainnya hadir dalam upacara pemakaman itu, di mana
panji-panji PKI dikibarkan dengan megahnya. CC PKI mengirimkan
wakilnya untuk menghadiri upacara penting ini. Peristiwa yang
mengharukan ini telah menghapuskan suasana panik di kalangan massa
anggota partai, dan lebih lanjut telah membuka tabir kejahatan pemerintah
Hatta, dan ini merupakan pendorong kebangkitan kembali PKI sesudah luka
parah akibat teror putih Madiun.
8. Kebangkitan Kembali PKI
JANUARI 1951, terbentuk Politbiro CC PKI yang baru yang terdiri dari D.N.
Aidit, M.H. Lukman, Njoto, Alimin. Di bawah pimpinan Politbiro ini, PKI
dibangun kembali. Dengan garis politik melaksanakan Resolusi Jalan Baru,
berlangsung penyatuan pikiran, menyatukan ideologi, politik, dan
organisasi.
Di bidang organisasi, politbiro atas nama CC bekerja dengan
mengadakan Komisaris-Komisaris CC (KCC) di provinsi-provinsi. Sebagai
sambungan dan petugas dari CC, KCC membangun partai di daerah-daerah.
Para anggota KCC adalah: Sumatera Timur, Joesoef Adjitorop; Sumatera
Tengah, Bachtaroeddin; Sumatera Selatan, M. Zaelani; Jawa Barat, Lagiono;
Jawa Tengah, Pak Karto; Jawa Timur, B. Oloan Hutapea; Indonesia Timur,
Karel Supit. Para KCC berfungsi mendaftar kembali dan menghimpun
anggota, melakukan penyaringan bekas anggota-anggota Partai Buruh
Indonesia dan Partai Sosialis yang akan masuk ke dalam partai; melakukan
persiapan-persiapan untuk pembentukan Comite-Comite Partai menurut
konstitusi baru (SC, OSC, dan RC —Seksi Comite, Onderseksi Comite, dan
Resort Comite).
Tanggal 28 Maret 1951, diumumkan Program PKI untuk Pemerintah
Nasional Koalisi. Dalam Program ini diajukan tuntutan PKI untukpembentukan pemerintah kerja sama berbagai partai. Pembangunan kembali
PKI diikuti dengan aktifnya kader-kader PKI membangun kembali serikatserikat buruh. Kaum reaksi segera mengobarkan kegiatan anti-komunis,
dengan menimbulkan perpecahan-perpecahan dalam gerakan buruh.
Kegiatan ini didalangi oleh PSI, dengan jalan pembentukan Serikat Buruh
Perkebunan menyaingi Sarbupri terjadi di Jember. Dan pembakaran gudang
tembakau di Besuki, dituduhkan bahwa itu dilakukan oleh PKI. Menyusul
kegiatan-kegiatan provokatif terhadap PKI ini, SOBSI yang sudah
merupakan kekuatan besar mempersatukan serikat-serikat buruh yang ada
mendapat saingan dengan terbentuknya SOBRI (Sentral Organisasi Buruh
Revolusioner Indonesia) oleh Partai Murba.
Tanggal 16 Agustus 1951, berlangsung Razia Agustus, yaitu penangkapan
besar-besaran yang dilancarkan pemerintah Sukiman terhadap kader-kader
PKI. Provokasi serangan terhadap pos polisi Tandjung Priok, dinyatakan
pemerintah Sukiman sebagai serangan komunis terhadap pemerintah.
Dengan alasan ini, penangkapan terjadi di seluruh negeri. Lebih dari 2000
kader PKI ditangkap dan ditahan polisi. CC PKI melakukan perlawanan
dengan protes keras. Yang terjadi adalah waktu itu meningkatnya aksi-aksi
menentang politik pemerintah Sukiman yang membikin persetujuan kerja
sama militer dengan Amerika Serikat, yaitu persetujuan tentang keamanan
Mutual Security Act (MSA) yang secara rahasia ditandatangani Menteri Luar
Negeri Achmad Soebardjo. Persetujuan ini adalah dalam rangka usaha
Amerika menarik Indonesia masuk pakta militer SEATO.
Atas dukungan PKI, perlawanan yang terus-menerus meningkat
terhadap kabinet Sukiman, menyebabkan kejatuhannya dan digantikan oleh
kabinet Wilopo, mewakili PNI. Untuk pertama kali, PNI menduduki
pimpinan kabinet RI. Dalam kabinet terdapat wakil-wakil Masyumi dan PSI.
PKI menyambut dan mendukung kabinet Wilopo, dengan politik:
mendukung politiknya yang maju, dan menentang politiknya yang
reaksioner.
Dalam usaha menyatukan barisan, berlangsung diskusi mengenai tulisan
D.N. Aidit, Mengatasi Kelemahan Kita, segera sesudah terjadinya Razia
Agustus Sukiman. Artikel yang ditulis atas nama Alamputra, mempunyai arti
dan peranan penting dalam pendidikan ideologi anggota-anggota partai.
Isinya menganalisa situasi, yang menyimpulkan adanya bahaya fasisme
yang melancarkan aksi anti komunis Dan menganalisa keadaan partai
menghadapi pukulan reaksi ini. Dipaparkan terdapatnya dua
kecenderungan kanan dan "kiri", yaitu kelemahan-kelemahan dalam partai,
kelemahan dalam sikap-sikap anggota partai menghadapi pukulan reaksi.
Dan ditunjukkan jalan keluar mengatasi kelemahan-kelemahan ini.
Pokoknya, dilakukan penjernihan ideologi, yang mempunyai peranan
mempersatukan partai.
Tulisan ini mengutip Lenin mengenai arti penting self-kritik: "Sikap suatu
partai politik terhadap kesalahannya sendiri adalah salah satu cara yang paling
penting dan terpercaya untuk mengukur kesungguhan partai itu dan bagaimana ia
dalam praktik menunaikan kewajiban-kewajibannya terhadap kelasnya dan massa
pekerja. Terus terang mengakui suatu kesalahan, menyelidiki sebab-sebabnya,
menganalisa keadaan-keadaan yang telah menimbulkannya - itulah tandanya partai
yang sungguh-sungguh, itulah caranya ia harus menunaikan kewajibankewajibannya, itulah caranya ia harus mendidik dan melatih kelas, dan kemudian
massa." [D.N. Aidit, Mengatasi Kelemahan Kita, Pilihan Tulisan, Jilid I, cetakan
kedua. Panitia Penerbitan Karya-Karya D.N. Aidit, 1965, hal.14—46].
Di samping mendiskusikan tulisan Aidit, Mengatasi Kelemahan