Kita, itu,
beredar dan banyak didiskusikan brosur berisikan tulisan Kian Ling
berjudul Cara Berfikir, Cara Bekerja, Kritik dan Self-kritik. Secara sangat populer,
dalam brosur ini dipaparkan masalah memperbaiki cara berpikir, tentang
belajar dari massa, tentang pikiran yang harus diutamakan dalam melalui
jalan massa, tentang alam pikiran heroisme, tentang mengejar kesenangan,
tentang sifat suka dipuji-puji (cari muka), tentang sikap tegas dan sikap
berdasar sentimen, dan tentang sikap bekerja bertanggung jawab. [Kian Ling,
Berfikir, Bekerja, Kritik & Selfkritik, Penerbitan Demos, Surabaja, tjetakan ke-6].
Brosur ini memaparkan, bahwa Mao Zedong sangat mengutamakan
masalah cara berpikir. Dalam mendidik cara berpikir yang paling utama ialah
memberi kesempatan pada kader-kader kita untuk berani mengutarakan pendapatpendapatnya. [Idem, hal.5].
Brosur ini juga mengajarkan, bahwa belajar Marxisme-Leninisme, belajar
sejarah, belajar mengetahui pengalaman-pengalaman perjuangan rakyat di
negeri-negeri asing, ini semua dapat menambah pengetahuan kita. Tetapi
yang paling penting adalah belajar dari rakyat. Sebab pengetahuan rakyat dan
pengalaman rakyat adalah nyata dan terkaya, daya pencipta dari rakyat
adalah tenaga yang terbesar." [Idem, hal.6—7].
Dikemukakan, bahwa kritik dan self-kritik adalah senjata yang kuat bagi
kemajuan partai politik, juga suatu alat yang penting bagi kemajuan
pahlawan kerakyatan untuk seterusnya. Hanya organisasi dan anggota
partai revolusioner yang dapat memahami dan menggunakan ini. Apabila
alat ini tergenggam dalam tangan dan digunakan oleh anggota organisasi
revolusioner, maka organisasi akan mewujudkan sifat aktif dan semangat
tanggung jawab dari semua kader dengan sebaik-baiknya. Maka salah satu
bagian yang pokok dan pekerjaan terpenting dalam usaha meluaskan caracara demokrasi, ialah memimpin massa dalam hal kritik dan self-kritik.” [Idem,
hal.26].
Mengenai kegiatan diskusi tentang brosur Kian Ling ini, Aidit
menulis, "Belakangan ini kader-kader dan anggota-anggota partai banyak
membicarakan brosur kecil tulisan Kian Ling tentang cara berfikir, cara bekerja,
kritik dan self-kritik. Tersiarnya brosur kecil ini tepat pada waktunya, yaitu di
waktu kelemahan-kelemahan dalam partai sedang menonjol kelihatan, dan
untuk mengatasinya hanya jika kader-kader dan anggota-anggota partai
mempunyai cara berpikir yang tepat, cara bekerja yang tepat pula, dan
dengan rajin dan sungguh-sungguh mengadakan kritik dan self-kritik." [PTA,
Jilid I, hal.43].
Diskusi dan belajar dari tulisan Mengatasi Kelemahan Kita berarti
mempersenjatai anggota-anggota partai dengan kesadaran revolusioner dan
pendirian kelas sebagai seorang Marxis. Dikemukakan, bahwa "untuk
menjadi seorang Marxis, kita harus menghidupkan teori-teori yang kita
pelajari, menghubungkan teori-teori ini dengan nasib dan perjuangan rakyat
sehari-hari. Dengan demikian, kita bisa menciptakan dan memimpin aksiaksi untuk memperbaiki nasib rakyat. Jadi, seorang Marxis mesti mencipta,
dan memang tiap-tiap Marxis adalah pencipta, sebagaimana rakyat banyak
adalah juga pencipta." [PTA, Jilid I, hal.27].
Dalam tulisan ini, Aidit mengingatkan bahwa segenap anggota partai
harus berpegang teguh pada Program Umum Partai, yang merumuskan
bahwa kewajiban PKI ialah: Ke dalam "mengorganisasi dan mempersatukan
kaum buruh dan kaum tani, kaum intelek, pengusaha kecil, pengusaha
nasional, dan semua anasir anti-imperialisme dan anti-feodalisme, dan
semua golongan warga negara keturunan asing."
Sedangkan ke luar, kewajiban PKI adalah: "bersatu dengan proletariat
internasional, dengan semua rakyat yang tertindas, bangsa-bangsa yang
terjajah, dan nasion-nasion yang memandang kita sederajat, yang mencintai
kemerdekaan nasional, demokrasi rakyat, dan perdamaian dunia." [Idem,
hal.38].
Awal 1952, CC PKI menyelenggarakan Konferensi Nasional Partai.
Dalam konferensi ini dibicarakan secara mendalam politik partai terhadap
pemerintah Sukiman—Subardjo—Wibisono, soal politik anti DI-TII, soal
pengalaman front persatuan dengan borjuasi nasional, soal memperkuat
ideologi partai, soal perluasan anggota, dan soal-soal organisasi lainnya.
Konferensi Nasional ini telah mempersenjatai anggota-anggota dan kaderkader partai dalam meneruskan perjuangan untuk membatalkan persetujuan
KMB, menyelamatkan demokrasi, dan yang lebih mendesak lagi ialah untuk
menjatuhkan pemerintah Sukiman. Direncanakan, perluasan anggota partai
dari 10.000 waktu itu, menjadi 100.000 dalam waktu enam bulan. Untuk
pertama kalinya dilakukan usaha perluasan anggota yang berencana.
Dalam memperingati ulang tahun ke-32 PKI, Mei 1952, Aidit
menyampaikan pidato berjudul Menempuh Jalan Rakyat. Dalam pidato ini
dipaparkan semenjak terbentuknya PKI, kata-kata Marxisme dan sosialisme
menjadi populer di kalangan kaum buruh. Demikian populernya, hingga
kekuatan-kekuatan anti komunis pun menggunakannya sebagai topeng. Ini
ditunjukkan oleh kenyataan, adanya Partai Buruh Tejasukmana yang
membikin undang-undang merugikan kaum buruh, dan Partai Sosialis
Indonesia (PSI) Sutan Sjahrir yang partainya mengusung gambar-gambar
Marx, dan mengaku Marxisme sebagai dasar partainya. Dalam hal ini, Aidit
mengutip ucapan Lenin: "dialektika sejarah adalah demikian rupa, sehingga
kemenangan teoretis Marxisme memaksa musuh-musuhnya menyamar sebagai
kaum Marxis." [Idem, hal.54].
Perjuangan melawan kaum sosialis kanan ini ditekankan pentingnya
oleh Aidit dengan mengutip ucapan Lenin bahwa: "Perjuangan ini harus
dilakukan dengan tidak mengenal ampun, dan ia harus dijalankan tidak boleh
tidak, .... sampai pada titik di mana semua pemimpin oportunisme dan sosialsovinisme yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi menjadi diskredit sama sekali dan
diusir dari serikat-serikat buruh." [Idem, hal.55].
Masyarakat Indonesia yang bagaikan lautan borjuasi kecil merupakan
sumber bermunculannya kaum sosial demokrat, kaum sosialis kanan, yang
dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda mengambil posisi
kompromi dengan kolonialisme, sangat merugikan perjuangan revolusioner
rakyat. Oleh karena itu, pimpinan PKI sejak semula telah mengambil sikap
yang tegas melawan kaum sosialis kanan, menentang kaum sosial demokrat.
Ciri utama dari kaum sosial demokrat adalah, walaupun menyatakan
bahwa mereka mengakui sebagai pengikut Marx dan menerima Marxisme,
tapi mereka menentang ajaran pokok Marx diktator proletariat. Dalam politik
praktis, jadi menentang Uni Sovyet, negara diktator proletariat yang didirikan
di bawah pimpinan Lenin. Di bidang teori, kaum sosial demokrat jadi
menentang ajaran-ajaran Lenin, menentang Leninisme. Di Indonesia, mereka
jadi penentang politik-politik besar Bung Karno, menentang PKI.
Dalam pidatonya. Menempuh Jalan Rakyat, untuk memperingati 32 tahun
lahirnya PKI, Aidit memaparkan sikap PKI yang tegas melawan kaum sosial
demokrat. Dikemukakan, "Tiap-tiap komunis, tiap-tiap pemimpin buruh dan
pemimpin rakyat yang jujur, wajib melakukan perjuangan yang sengit terhadappemalsuan-pemalsuan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sosialis kanan. PKI
didirikan 32 tahun yang lalu justru dengan maksud supaya PKI menjadi suatu
partai yang hehas dari penyakit oportunisme, yaitu penyakit dari Internasionale ke-2,
dan supaya PKI berjuang sengit melawan tiap-tiap oportunisme di dalam dan di
luar partai seperti yang diajarkan oleh Lenin dan partainya. [Idem, hal.54].
Dalam gerakan buruh Indonesia sudah banyak bukti, bahwa kaum
sosialis kanan adalah pemecah gerakan buruh. Mereka adalah agen-agen
majikan yang menempatkan dirinya di tengah-tengah kaum buruh.
Perpecahan di kalangan kaum buruh perkebunan, buruh gula, buruh tekstil,
buruh minyak, buruh penerbangan, dll., adalah hasil dari pekerjaan
pemalsu-pemalsu Marxisme, yaitu majikan-majikan dari Partai Sosialis
Indonesia, Partai Buruh, dan pengikut-pengikut trotskis Tan Malaka dengan
SOBRI- nya.
Membantah pandangan yang menyatakan PKI akan melenyapkan
demokrasi dan menegakkan kediktatoran, Aidit menyatakan bahwa PKI
memang menghendaki diktator demokrasi rakyat, yaitu diktator rakyat
Indonesia atas musuh-musuh rakyat. Inilah perwujudan kesetiaan PKI pada
ajaran Marx diktator proletariat yang dimusuhi oleh kaum sosial demokrat.
Rakyat wajib mengetahui, bahwa kaum reaksioner ini adalah musuh rakyat,
dan kaum reaksioner hanya bisa ditindas untuk selama-lamanya dengan
diktatur dari demokrasi rakyat. Diktator demokrasi rakyat tidak ditujukan kepada
perseorangan, tetapi ditujukan kepada kaum reaksioner serta agen-agennya
yang berada di luar dan di dalam negeri.
Sejak awal tahun lima puluhan, pimpinan PKI dengan teguh
mengangkat semboyan anti imperialisme, terutama imperialisme Amerika.
Aidit menyatakan bahwa, "keinginan untuk damai adalah sangat besar pada
rakyat Indonesia. Pengalaman pendudukan fasis Jepang dan pengalaman
dua perang kolonial Belanda lebih meyakinkan rakyat Indonesia akan
kebenaran perjuangannya untuk perdamaian. Semangat perdamaian ini pula
yang membikin rakyat Indonesia di waktu yang akhir-akhir ini sangat
menentang politik imperialis Amerika. Politik-politik Amerika yang tidak
senonoh, yang antara lain berwujud embargo (embargo yang dilakukan
Amerika dalam rangka perang Korea), Frisco (Persetujuan kerja sama
dengan Jepang yang tercapai di San Fransisco) dan MSA (Mutual Security Act)
telah menimbulkan semangat anti Amerika yang bernyala-nyala di dada
putra-putra Indonesia yang terbaik. PKI yakin, bahwa perjuangan rakyat
untuk mencapai perdamaian abadi pasti akan mengalahkan persiapanpersiapan perang Amerika." [Idem, hal.68].Kemenangan revolusi Tiongkok di bawah pimpinan Mao Zedong sangat
mengilhami kader-kader PKI. Tahun 1953, di kala masalah jalan revolusi
Indonesia menjadi persoalan yang hangat di kalangan kader partai. Aidit
menulis "Jalan Mao Tjetung, adalah satu-satunya Jalan Bagi Revolusi Indonesia".
Dalam tulisannya ini, Aidit memaparkan pokok-pokok pikiran Mao
Zedong yang intinya adalah masalah pembangunan partai dan
pembangunan Front Persatuan Nasional. "'Kita harus belajar dari Kawan
Mao Tjetung tentang kelas-kelas dalam masyarakat, tentang karakter
revolusi, tentang tenaga pendorong dalam revolusi, tentang hegemoni
proletariat, tentang pertumbuhan revolusi borjuis demokratis menjadi
revolusi sosialis, tentang rol Partai Komunis dalam perjuangan besar seluruh
rakyat dan tentang arti hubungan yang erat antara partai dengan massa.
Bersamaan dengan itu, kita harus mempelajari sifat-sifat nasional yang
khusus dari ekonomi Indonesia, politik Indonesia, kebudayaan Indonesia,
adat-istiadat dan tradisi Indonesia." [Majalah Teori dan Politik MarxismeLeninisme, Bintang Merah No.12, Tahun IX, Desember 1963, hal.540—544].
Tapi Aidit tidak menekankan ajaran Mao Zedong mengenai arti
menentukan dari perjuangan bersenjata sebagai bentuk utama dari revolusi.
Tidak diperkenalkan ajaran Mao Zedong: "Tanpa Tentara Rakyat, Rakyat tidak
mempunyai apa-apa" dan ajaran "Kekuasaan politik lahir dari laras senapan".
Aidit memusatkan perhatian pada masalah taktik Tront Persatuan Nasional,
masalah kerja sama dengan burjuasi nasional, yang bentuk konkretnya
membangun dan menggalang kerja sama dengan Bung Karno. Aidit menulis:
"Taktik front nasional adalah taktik hangsa Indonesia untuk melawan penjajahan
dalam bentuk apa pun." [D.N. Aidit, Tront Persatuan Nasional dan Sejarahnya,
PT A, Jilid I, hal.70-78].
"Revolusi Tiongkok telah memberikan pelajaran tentang bentuk
perjuangan pokok revolusi di negeri jajahan, setengah jajahan dan setengah
feodal, yaitu perjuangan rakyat bersenjata melawan kontra-revolusi bersenjata.
Sesuai dengan hakikat revolusi adalah revolusi agraria, maka hakikat
perjuangan rakyat bersenjata itu adalah perjuangan bersenjata kaum tani
dalam revolusi agraria di bawah pimpinan kelas butuh. Praktik revolusi
Tiongkok pertama-tama adalah merupakan penerapan Marxisme-Leninisme
berdasar kondisi-kondisi konkret Tiongkok. Bersaman dengan itu ia juga
mengungkapkan hukum umum bagi revolusi-revolusi rakyat di negerinegeri jajahan, setengah jajahan, dan setengah feodal." [Politbiro CC PKI,
Tegakkan PKI yang Marxis-Leninis untuk Memimpin Revolusi Demokrasi Rakyat
Indonesia, Otokritik Politbiro CC PKI September 1966, Diterbitkan oleh Delegasi
CC PKI, September 1971, hal.114-115].Dalam pidatonya berjudul Menuju Indonesia Baru untuk memperingati
ulang tahun ke-33 PKI, Aidit dengan tajam memblejeti peranan kaum
pengkhianat nasional yang jadi alat imperialis dalam revolusi.
Dinyatakannya, "Imperialis Amerika terang-terangan mencampuri soal-soal intern
Republik Indonesia. Mereka mengirimkan agen-agen seperti Gerald Hopkins,
Campbell, dll, yang berkewajiban menghancurkan gerakan kemerdekaan yang
dipimpin oleh komunis. Mereka mengadakan intrik-intrik supaya Persetujuan
Renville diterima, tetapi bersamaan dengan itu mereka mengorganisasi semacam
'perlawanan' dari pemimpin-pemimpin Masjumi dalam kabinet Amir Sjarifuddin;
pemimpin-pemimpin Masjumi kemudian diperintah oleh agen-agen Amerika untuk
menyatakan 'tidak setuju' pada Persetujuan Renville dan selanjutnya menolak
untuk terus ambil bagian dalam pemerintah Amir Sjarifuddin. Dengan perbuatan
busuk ini mereka mau membubarkan pemerintah Amir Sjarifuddin dan membentuk
suatu pemerintah tanpa komunis.
Secara sukarela Amir meletakkan jabatan, terbentuk kabinet baru di
bawah pimpinan Hatta dengan inti Masjumi. Program kabinet ini justru
adalah untuk melaksanakan Persetujuan Renville. Kabinet Hatta
melaksanakan program rekonstruksi dan rasionalisasi (Re-Ra), yang dalam
praktiknya adalah membersihkan kaum kiri dari pasukan bersenjata RI.
Inilah realisasi "Red Drive Proposals", hasil pertemuan rahasia Sarangan.
Program Re-Ra ini mendapat tentangan dari berbagai pasukan.
Terjadilah aksi-aksi demonstrasi, sampai konflik-konflik yang berkembang
menjadi konflik bersenjata, sampai saling lucu-melucuti. Puncaknya terjadi
di Madiun. 19 September 1948, Perdana Menteri Hatta berpidato di depan
sidang BP KNIP, menyatakan "entah benar entah tidak, bahwa Musso akan
menjadi presiden republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifuddin perdana
menterinya." [Kementerian Penerangan RI, Mendajung Antara Dua Karang,
Pidato PM Hatta di depan BP KNIP, 20 September 1948, hal.87].
Peristiwa Madiun mengakibatkan tertembaknya Musso dalam satu
pertempuran, dan ditembakmatinya pimpinan tertinggi PKI lainnya
termasuk Amir Sjarifuddin, Maroeto Daroesman, Setiadjit, Sardjono,
Harjono, Soeripno, Sukarno, Ronomarsono, Katamhadi, Oey Gee Hwat di
Ngaliyan.
Politik partai yang tepat dalam beroposisi, diikuti usaha pembangunan
partai dan penggalangan front persatuan nasional, akhirnya berhasil
menjatuhkan kabinet Sukiman yang anti demokratis, terbentuklah kabinet
Wilopo. Dengan jatuhnya kabinet Sukiman yang anti-demokrasi, terbentuk
kabinet baru di bawah pimpinan Wilopo yang komposisi dan programnya
dalam batas-batas tertentu dapat dikatakan maju. Untuk pertama kalinyaPNI memimpin kabinet, walaupun kekuatan Masyumi dan PSI cukup besar
di dalamnya. PKI mendukungnya, selama kabinet ini menjalankan
programnya yang demokratis.
Di bawah pengendalian Sultan Hamengku Buwono sebagai Menteri
Pertahanan, dengan T.B. Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang
dan A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, akan dilanjutkan
usaha rasionalisasi dalam Angkatan Bersenjata. Ini berarti pengurangan
jumlah pasukan yang menyebabkan pemecatan sejumlah besar perwira dan
prajurit. Rencana ini mendapat perlawanan dari sejumlah perwira, yang
dipelopori Kolonel Bambang Soepeno. Karena langkah-langkah yang
diambilnya menentang rasionalisasi ini, Bambang Soepeno dipecat dari
kedudukannya sebagai Panglima Teritorium oleh A.H. Nasution. Perbedaan
pendapat dalam pimpinan Angkatan Perang ini merembes ke parlemen,
maka muncullah mosi tidak percaya dari Manai Sophian terhadap
kebijaksanaan Menteri Pertahanan, Sultan Hamengku Buwono. Walaupun
ditentang oleh Masjumi dan PSI, mosi Manai Sophian diterima parlemen.
Jatuhlah kabinet Wilopo. Ini satu pukulan bagi Masyumi dan PSI.
Kesalahan-kesalahan Masyumi —PSI dan pemimpin-pemimpin militeris
lainnya di bidang politik menyebabkan mereka kian mata gelap. Terjadilah
usaha kup 17 Oktober 1952. Persekutuan kaum soska Masyumi dan pengikut
aliran trotskis dengan didukung kaum militeris mengerahkan massa
berdemonstrasi dengan moncong meriam diarahkan ke Istana Merdeka,
yang menuntut Bung Karno membubarkan parlemen. Bung Karno menolak,
menyatakan: 'Tidak mau jadi diktator". Usaha kup ini gagal. Biang
keladinya ditindak. Instansi Staf Angkatan Perang dihapuskan, berarti
T.B. Simatupang dibebaskan dari kedudukan Kepala Staf Angkatan Perang
(KSAP). Di samping itu, A.H. Nasution dibebaskan dari KSAD. Berlangsung
kekusutan dalam pucuk pimpinan Angkatan Bersenjata, terutama dalam
masalah menentukan pengganti Kepala Staf Angkatan Darat.
Dalam pada itu, kabinet Wilopo melakukan kesalahan mengenai
Peristiwa Tanjung Morawa, yang terkenal dengan peristiwa traktor maut.
Menteri Dalam Negeri Moh. Roem dari Masyumi bertanggung jawab atas
terjadinya penembakan terhadap kaum tani yang menentang ditraktornya
tanah garapan milik kaum tani.
Tanggal 14 Maret 1953, rakyat di Tanjung Morawa mulai beraksi
menentang pentraktoran tanah garapan mereka. Ormas-ormas Petani, BTI,
STI, dan Sakti yang mempunyai anggota yang terlibat bakal digusur bersatupadu menentang pentraktoran itu.
Pada 16 Maret pagi, polisi diperintahkan melakukan penembakan.
Sebanyak 21 orang kena sasaran, 6 di antaranya tewas, (dua orang anggota
Petani dan 4 orang turunan Tionghoa pekebun sayur-sayuran, yang lainnya
luka-luka berat dan ringan [B. Mohammad Said, Wilopo dan "Tanjong
Morawa", dalam Wilopo 70 tahun, Gunung Agung, Jakarta, MCMLXXIX,
hal.337].
Tanggal 23 Maret 1953, PM Wilopo menerima delegasi Front Persatuan
Tani, yang dipimpin oleh Sidik Kertapati, Ketua Umum Sakti, mengenai
penembakan Tanjung Morawa. Di situ, Kertapati dkk. telah memberitahu,
bahwa ia akan mengeluarkan kembali usul mosi tidak percaya yang sudah
dipeti-eskan beberapa waktu yang lalu, dalam mana dinyatakan kecaman
keras atas kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri. Moh. Roem. [Idem, hal.339].
Karena mosi tidak percaya dari Sidik Kertapati, kabinet Wilopo jatuh.
Bulan Juli 1953, terbentuk kabinet Ali Sastroamidjojo tanpa Masyumi—
PSI, yang programnya lebih demokratis dan lebih maju dari program
kabinet Wilopo. W alaupun belum merupakan kabinet front persatuan
nasional, PKI memberi dukungan pada kabinet Ali ini.
9. Kongres Nasional Ke-5 PKI
OKTOBER 1953 berlangsung sidang pleno CC PKI mempersiapkan Kongres
Nasional V PKI. Sidang ini memutuskan Laporan Umum CC, Rencana
Program PKI, Rencana Konstitusi PKI, Soal-soal Pemilihan Umum dan
Pemilihan CC baru. Setelah mendengar laporan Politbiro tentang putusan
Komisi Kontrol mengenai kawan Tan Ling Djie, dan setelah membicarakan
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh kawan Tan Ling Djie di lapangan
ideologi, politik, m aupun organisasi, sidang pleno CC memutuskan
memberhentikan Kawan Tan Ling Djie dari keanggotaannya dalam CC.
Sidang memilih Kawan-Kawan D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Njoto
masing-masing sebagai Sekretaris Jenderal, Wakil Sekretaris Jenderal I, dan
Wakil Sekretaris Jenderal II. Atas permintaannya sendiri, mengingat
aktivitas dan kesehatan Kawan Alimin, maka sidang pleno CC memutuskan
mengganti Kawan Alimin dengan Kawan Sakirman sebagai anggota
Politbiro CC PKI.
Dengan dikeluarkannya Kawan Tan Ling Djie dari CC, maka anggota CC
PKI adalah:
1. Achmad Soemadi;
2. Adjitorop, J;3. Aidit, D.N.;
4. Alimin;
5. Bachtaroeddin;
6. Djokosoedjono;
7. Lukman, M.H.;
8. Njoto;
9. Pardede, P;
10. Sakirman;
11. Sudisman,
12. Wikana;
13. Zaelani.
Politbiro CC PKI terdiri dari: Aidit, D.N.; Lukman, M.H.; Njoto;
Sudisman; Sakirman.
Sekretariat CC PKI terdiri dari: Aidit, D.N.; Lukman, M.H.; dan Njoto.
Sidang Pleno menyimpulkan, bahwa pikiran Kawan Tan Ling Djie sudah
menguasai partai selama revolusi tahun 1945 — 1948 sampai permulaan
tahun 1951, sehingga telah menghambat perkembangan partai. Pikiran Tan
Ling Djie di bidang organisasi "menghendaki adanya Partai Kelas Buruh di luar
PKI, yang anggotanya terdiri dari mereka yang pro komunis tapi tidak herani masuk
PKI." Di bidang politik: "mengecilkan kekuatan massa, membesarkan kekuatan
reaksi, membikin kelas buruh jauh dari soal-soal poilitik, mengutamakan perjuangan
perundang-undangan dan parlementer semata-mata; di bidang ideologi adalah
"subjektivisme, dengan manifestasinya sebagai aliran dogmatisme, dan
empirisisme." [Baca: Manuskrip 45 Tahun PKI, Bab V].
Maret 1954 berlangsung Kongres Nasional V PKI. Kongres mewakili
49.042 anggota serta 116.164 calon anggota. Kongres mengesahkan
dokumen-dokumen yang telah disiapkan oleh Sidang Pleno CC Oktober
1953 berupa laporan politik D.N. Aidit berjudul Jalan ke Demokrasi Rakyat
Bagi Indonesia, Konstitusi Baru PKI, Program PKL Juga disahkan koreksi besar
Musso, Resolusi Jalan Baru untuk Republik Indonesia. Diputuskan memperluas
susunan CC hingga menjadi terdiri dari: Achmad Soemadi, D.N. Aidit,
Bachtaroeddin, Djoko Soedjono, Jusuf Adjitorop, M.H. Lukman, Njoto,
Noersoehoed, Peris Pardede, Sakirman, Sudisman, Karel Supit, dan M.
Zaelani. Calon-calon anggota CC: Anwar A.Z., Anwar Kadir, Siswojo.
Kongres menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negeri setengah jajahan
dan setengah feodal. Untuk menjadi negeri merdeka, demokratis, makmur
dan maju, maka soal yang pokok adalah mengganti pemerintah tuan-tuan
feodal, dan komprador, serta menciptakan pemerintah rakyat, pemerintah
demokrasi rakyat. Jalan keluar terletak dalam mengubah imbangan kekuatan
antara kaum imperialis, kelas tuan tanah, dan borjuasi komprador di satu
pihak, dan kekuatan rakyat di pihak yang lain. Jalan keluar terletak dalam
membangkitkan, memobilisasi dan mengorganisasi massa, terutama kaum
buruh dan kaum tani. Kongres yakin, bahwa revolusi agraria adalah hakikat
revolusi demokrasi rakyat di Indonesia. Dengan suara bulat disetujui untuk
tidak lagi menggunakan semboyan "nasionalisasi tanah" atau semboyan
"semua tanah menjadi milik negara" tetapi semboyan yang tepat adalah "tanah
untuk kaum tani", "pembagian tanah untuk kaum tani", dan "milik perseorangan
tani atas tanah".
Dalam Laporan Umum Aidit yang disahkan kongres dikemukakan, dua
kewajiban partai yang sangat mendesak, yaitu menggalang front persatuan
nasional dan masalah melakukan pembangunan partai. Partai harus secara benar
memecahkan masalah front persatuan, masalah bersatu, dan berpisah
dengan borjuasi nasional, dan masalah persekutuan kaum buruh dan kaum
tani sebagai basis front persatuan. Mengenai pembangunan partai
dikemukakan, bahwa kita harus mempunyai partai model Partai Komunis
Uni Sovyet dan model Partai Komunis Tiongkok. Dengan tiada teori
Marxisme-Leninisme tidak mungkin kita mempunyai partai yang demikian.
Hanya apabila kita menguasai ilmu Marxisme-Leninisme dan mempunyai
kepercayaan kepada massa, berhubungan erat dengan massa dan memimpin
massa maju ke depan, hanya dengan demikian kita bisa mendobrak semua
rintangan dan mengatasi semua kesulitan dan dengan demikian kekuatan
kita akan menjadi tak terkalahkan.
Kongres juga mengesahkan Manifes Pemilihan Umum PKI. Manifes ini
mengajukan seruan: Bersatu menuju ke kotak pemilihan untuk suatu pemerintah
demokrasi rakyat! Menjelang berlangsungnya pemilihan umum, sidang
Politbiro CC 29 September 1955 mendiskusikan secara mendalam hakikat
pemerintah demokrasi rakyat dan syarat-syarat pembentukannya, maka
mengambil sebuah resolusi yang mengoreksi seruan ini dengan rumusan
baru: "Lewat pemilihan umum yang akan datang membentuk pemerintah koalisi
nasional!
Dalam resolusi ini ditegaskan, tujuan PKI memenangkan pemilihan
umum bukanlah untuk membentuk pemerintah demokrasi rakyat, tapi
membentuk pemerintah koalisi nasional. Pemerintah ini tidak sama dengan
pemerintah demokrasi rakyat yang menjadi tujuan dalam Program PKI.
Dengan semboyan baru ini, PKI tampil berkampanye untuk mengalahkan
Masyumi dan PSI yang anti-komunis, untuk memenangkan partai-partai
demokratis lainnya dalam pemilihan umum. PKI memblejeti politik-politik
reaksioner anti komunis dari Masyumi dan PSI. Hasil pemilihan umum
adalah: PKI tampil sebagai salah satu dari empat partai besar. PSI
mengalami kekalahan besar. Pemilihan umum untuk parlemen disusul oleh
pemilihan untuk anggota Konstituante. PKI tampil menghadapi pemilihan
anggota Konstituante dengan semboyan Pertahankan Republik Proklamasi 1945!
Seselesainya pemilihan umum yang memberikan kemenangan bagi PKI,
Juli 1956 dilangsungkan sidang pleno ke-4 CC Kongres V. Sidang
menyimpulkan pengalaman dan merumuskan taktik serta politik baru demi
menyelesaikan revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya. Disimpulkan
adanya tiga kekuatan, yaitu kiri, tengah, dan kepala batu; dan adanya tiga konsep
mengenai penyelesaian revolusi Agustus. Maka sidang pleno CC
menyimpulkan: Dengan sekuat tenaga dan tak jemu-jemunya mengembangkan
kekuatan progresif, bersatu dengan kekuatan tengah, dan memencilkan kekuatan
kepala batu.
10. Usaha Reaksi Melawan PKI
SESUDAH Kongres Nasional V PKI, kekuatan anti komunis tidak redaredanya mengusahakan provokasi demi menghancurkan PKI. Salah satu
usaha Masyumi adalah dengan menggunakan nama Badan Koordinasi
Organisasi Islam (BKOI) mengerahkan ratusan ribu massa berdemonstrasi
berdarah di Jakarta. Semboyan-semboyan yang diusung adalah anti-komunis.
Dalam peristiwa ini terjadi tindak kekerasan, perusakan, dan
penghancuran perabot rumah tangga serta gugurnya seorang perwira
Angkatan Darat, Kapten Supartawidjaja. Karena peristiwa ini, pemerintah
mengeluarkan larangan berdemonstrasi. PKI memprotes larangan ini,
karena ini berarti mengekang hak-hak demokrasi.
Tanggal 14 September 1953, Harian Rakjat mengumumkan statement
Politbiro CC PKI berjudul "Peringati Peristiwa Madiun Secara Intern!"
Politbiro CC PKI mengeluarkan statement itu, karena pada tanggal 4
September 1953, Harian Abadi menyiarkan pernyataan Bekas Pejuang Islam
Indonesia (BPII), menuntut pemerintah Indonesia untuk menetapkan hari
pemberontakan kaum komunis PKI cs. di Madiun tanggal 18 September itu menjadi
hari berkabung nasional dan supaya seluruh rakyat diperintahkan menaikkan
bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung."
Harian Pedoman, 7 September menyiarkan pernyataan BKOI Jakarta
mengenai Peristiwa Madiun yang isinya sama dengan pernyataan BPII
tersebut di atas. Harian Abadi, 10 September 1953 memuat pengumuman Liga
Pembela Demokrasi yang isinya pada pokoknya sama dengan pernyataan BPII
tersebut.
Sebagai penanggung jawab statement Politbiro tersebut, Aidit diajukan
ke meja Pengadilan Negeri Jakarta. Tuduhan jaksa adalah, Aidit “menghina
dan menyerang kehormatan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta. "
Dalam proses pengadilan ini, Aidit tampil dengan pidato Menggugat
Peristiwa Madiun. Dari tergugat, Aidit berubah jadi menggugat. Aidit
menyatakan bahwa Peristiwa Madiun memang adalah provokasi dan tangan
Hatta — Sukiman—Natsir, cs., memang berlumuran darah, demi menghancurkan PKI. Aidit menuntut Hatta diajukan ke pengadilan, sebagai seorang
yang bertanggung jawab atas terjadinya Peristiwa Madiun itu, yang
bertanggung jawab atas realisasi program anti-komunis dari Amerika, yaitu
The Red Drive Proposals, yang diajukan pada pemerintah Hatta. [Aidit D.N.,
Menggugat Peristiwa Madiun, PTA, Jilid I, hal.351—380]. [Baca juga: Suar
Suroso, Peristiwa Madiun, Realisasi Doktrin Truman di Asia, Hasta Mitra,
Jakarta, 2010].
Aidit bebas dari semua tuntutan pengadilan. Serangan terhadap PKI
dengan menggunakan Peristiwa Madiun berubah menjadi “senjata makan
tuan".
Berlawanan dengan keinginan AS yang giat menarik Indonesia untuk
masuk pakta militer SEATO demi membendung negara sosialis RRT,
pemerintah Ali Sastroamidjojo mempersiapkan penyelenggaraan Konferensi
Asia—Afrika dengan mengundang RRT. Menjelang berlangsungnya
Konferensi Asia—Afrika di Bandung, Amerika mengambil langkah-langkah
untuk menggagalkannya, termasuk dengan aksi CIA menyabot pesawat
terbang yang membawa delegasi RRT. Usaha untuk membunuh PM Zhou
Enlai yang mestinya menumpang pesawat itu gagal.
Bulan April 1955, di bawah pemerintahan Ali Sastroamidjojo, dengan
sukses berlangsung Konferensi Asia—Afrika yang bersejarah. John Foster
Dulles, Menlu Amerika Serikat bersuara sumbang terhadap konferensi ini.
Politik netral yang dianut oleh banyak negara Asia—Afrika dinilai adalah
immoril oleh Wakil Presiden Nixon dan John Foster Dulles.
11. Pemilihan Umum Pertama dalam Sejarah Indonesia,
Gagasan Bung Karno Membentuk Kabinet Gotong Royong.
PKI mengerahkan semua kekuatannya untuk memenangkan Pemilihan
Umum tahun 1955. Pemilihan ini dilangsungkan bulan September adalah
untuk memilih anggota parlemen dan Desember untuk anggota dewan
Konstituante. Hasilnya, empat besar dalam Pemilu ini adalah Partai
Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante
(22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9
persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4
persen). Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante
(16,4 persen). PKI tampil sebagai pemenang, menjadi salah satu dari empat
partai besar: PNI, Masjumi, NU, dan PKI. PSI memperoleh 5 kursi di
parlemen.
Sesudah Pemilihan Umum, situasi politik jelas bergeser ke kiri. Presiden
Soekarno dalam pidatonya 21 Februari 1957 mengumumkan Konsepsi
Presiden yang berisikan rencana pembentukan Kabinet Gotong Royong, kabinet
berkaki empat, kabinet yang berisikan wakil partai-partai politik yang
memenangkan pemilihan umum. Politbiro CC PKI menyambut dan
m endukung Konsepsi Presiden ini. Maka ditampilkanlah semboyan: Ubah
imbangan kekuatan untuk melaksanakan Konsepsi Presiden 100%!
Kekuatan kepala batu kian kalap. Terjadi "Peristiwa 13 Agustus 1956",
percobaan penahanan oleh Kolonel Zulkifli Lubis atas diri Menlu Roeslan
Abdoelgani dari kabinet Ali II yang pada waktu itu akan ke London
menghadiri konferensi mengenai masalah Terusan Suez. Terjadi lagi kudeta
Lubis tanggal 16 November 1956, percobaan perebutan kekuasaan di Jakarta
oleh Kolonel Zulkifli Lubis dengan jalan mengerahkan pasukan RPKAD
(Resimen Para Komando Angkatan Darat) dari Bandung ke Jakarta dengan
maksud mengepung dan melucuti ABRI yang ada di Jakarta. Usaha kup ini
gagal, Zulkifli Lubis dipecat.
Dalam pada itu, "sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno.
Sikap AS ini didukung oleh komplotannya. Inggris dan Australia. Sejak AS
menghentikan bantuannya, mereka malah membangun hubungan dengan
faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira
dan pasukan Indonesia. Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh Cl A,
mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta
muncul pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD, Kolonel
Zulkifli Lubis, berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintah.
Namun usaha ini dipatahkan." [Soebandrio, Kesaksianku Tentang G30S].
4 Juli 1957, terjadi pelemparan granat ke Kantor CC PKI dan Kantor
Dewan Nasional SOBSI. 30 November 1957 Bung Karno diteror dengan
pelemparan granat ketika menghadiri acara pada sebuah sekolah di Jalan
Cikini. Presiden Soekarno selamat, sejumlah murid luka-luka dan meninggal.
Kaum reaksi yang tak lagi mampu menempuh jalan demokrasi, kini beralih
ke teror berdarah dan usaha pembunuhan atas Presiden Soekarno. Dan
berlanjut pada pemberontakan sampai mendirikan pemerintah tandingan
terhadap Republik Indonesia.
12. Tiga Kekuatan dan Tiga Konsep Penyelesaian Revolusi
SELESAINYA Pemilihan Umum yang memberikan kemenangan bagi PKI,
Juli 1956 dilangsungkan sidang pleno ke-4 CC Kongres V. Sidang
menyimpulkan pengalaman dan merumuskan taktik serta politik baru demi
menyelesaikan revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya. Disimpulkan
adanya tiga kekuatan, yaitu kiri, tengah, dan kepala batu; dan adanya tiga konsep
mengenai penyelesaian revolusi Agustus. Maka sidang pleno CC
menyimpulkan: Garis politik PKI menghadapi tiga kekuatan dan tiga konsep
penyelesaian tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus ialah: Dengan sekuat tenaga
dan tak jemu-jemunya mengembangkan kekuatan progresifbersatu dengan
kekuatan tengah, dan memencilkan kekuatan kepala batu.
Konsep PKI menyelesaikan tuntutan-tuntutan revolusi Agustus 1945
adalah: Menghapuskan imperialisme dan feodalisme sampai ke akar-akarnya. Ini
adalah konsep rakyat. Berdasarkan konsep ini, mereka yang tidak antiimperialisme dan tidak anti-feodalisme adalah bukan rakyat, tetapi antirakyat, anti-Revolusi Agustus 1945.
Mengenai Front Persatuan Nasional, laporan menyatakan bahwa PKI
menghargai semboyan yang juga dianjurkan oleh Bung Karno, yaitu
semboyan tentang 'kerja sama kaum agama, nasionalis, dan komunis'. Ini adalah
semboyan yang cocok dengan kebutuhan yang mendesak dari rakyat
Indonesia sekarang, yaitu persatuan.
Mengenai jalan parlementer, laporan menyatakan, bahwa kalau
tergantung pada kaum komunis, maka bentuk yang sebaik-baiknya, bentuk
yang ideal dari peralihan ke sistem kekuasaan Rakyat yang demokratis, yaitu tingkat
persiapan ke sistem sosialis, ialah bentuk yang damai, bentuk yang parlementer.
Jadi, jika tergantung pada kaum komunis, jalan damailah yang dipilih. Di
samping itu, dalam Program PKI dinyatakan: "bahwa perjuangan parlementer
saja tidaklah cukup untuk mencapai tujuan membentuk suatu pemerintah
Demokrasi Rakyat. Ini adalah satu kebenaran, karena pekerjaan PKI bukan
pekerjaan parlementer saja, tetapi juga dan terutama pekerjaan-pekerjaan di
kalangan massa kaum buruh, kaum tani, inteligensia, dan massa pekerja
serta massa demokratis lainnya. Pekerjaan PKI ialah mengubah imbangan
kekuatan antara kaum imperialis, kelas tuan tanah, dan borjuasi kompradordi satu pihak, dan kekuatan rakyat di pihak lain. [D.N. Aidit, Bersatulah
untuk Menyelesaikan Tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945, PTA, Jilid II,
cetakan kedua, hal.20—80].
13. Sidang-Sidang Konstituante,
PKI Membela Pancasila Dasar Negara
TANGGAL 22 April 1956 dibuka sidang Konstituante. Bung Karno
menyampaikan pidato pembukaan dengan judul: Susunlah Undang-Undang
Dasar yang Res Publika. Dengan m enduduki 80 dari 550 kursi Konstituante,
wakil-wakil PKI aktif dalam perdebatan penyusunan Undang-Undang Dasar
baru bagi Republik Indonesia.
Dalam sidang-sidang Kontituante, berlangsung perjuangan sengit dalam
bentuk perdebatan antara pembela dan penentang Pancasila sebagai dasar
negara. Dalam pidatonya tanggal 20 Mei 1957, berjudul Untuk Konstitusi
Republik Proklamasi 1945, di depan sidang Konstituante, D.N. Aidit
memaparkan pendirian PKI.
'TKI menghendaki Undang-Undang Dasar yang akan kita susun,
seharusnyalah kita beri tempat yang terhormat kepada unsur kesatuan
bangsa yang modern (nasion) yang bersumber pada Sumpah Pemuda 1928//
[D.N. Aidit, Untuk Konstitusi Republik Proklamasi 1945, PTA, Jilid kedua,
cetakan kedua. Panitia Penerbitan Karja-Karja D.N. Aidit, 1965, hal.136].
Sidang-sidang Konstituante mencapai titik jalan buntu, dalam
menetapkan dasar negara Republik Indonesia. Pihak Masyumi dan kalangan
Islam lainnya menentang Pancasila dan menghendaki Islam sebagai dasar
negara. Kaum nasionalis PNI dan PKI menghendaki Pancasila sebagai dasar
negara. Sedangkan PSI, Partai Murba, menghendaki sosio-ekonomi sebagai
dasar negara. Dalam pemungutan suara, walaupun pendukung Pancasila
adalah mayoritas, tapi tidak mencapai dua pertiga jumlah suara yang
dituntut oleh Tata Tertib Sidang. Alasan-alasan Masyumi menentang
Pancasila sebagai dasar negara dikemukakan oleh Kasman Singodimedjo,
Moh. Natsir, Isa Ansjari, dan Zainal Abidin Achmad dalam sidang-sidang
Konstituante.
Alasan-alasannya adalah: Pancasila itu "sila-silanya bertentangan,
terutama sila ke-Tuhanan dan sila Kedaulatan Rakyat; Pancasila kalah
universal daripada Islam; Pancasila Tidak berakar' di dalam masyarakat dan
di dalam kalbu rakyat; kalau masyarakat kita digali, maka yang ada
sebenarnya 'lebih dari lima sila'; Pancasila itu hanya titik pertemuan dalam
kata-kata; perumusan serangkai ide yang ada dalam Pancasila itu dirasakan
hampa tak dapat berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam; ia tidak
mendapat akar sama sekali dalam kalbu rakyat; Pancasila itu adalah suatu
abstraksi, suatu 'pure concept' yang dalam kenyataan tidak bisa berdiri
sendiri; kita dapat membandingkannya dengan angka-angka yang kita pakai,
angka 5 umpamanya dalam realitas tidak berdiri sendiri, dalam kenyataan
kita hanya dapat menemui umpamanya lima kuda, 5 kursi, 5 orang, 5 kapal,
dan seterusnya; Islam adalah sesuatunya yang 'dialektis Indonesia';
Pancasila itu sekuler, dan sekulerisme itu di dalam penghidupan
perseorangan tidak memberi petunjuk-petunjuk yang tegas; Islam
memberikan kepada kita dasar-dasar yang abadi dan tidak berubah".
Bahkan perdebatan berlangsung sampai-sampai Isa Ansjari mengajukan
ancaman, bahwa "soal DI itu tak akan bisa selesai jika Pancasila tetap jadi
dasar negara, dan bahwa soal DI itu akan selesai jika Islam dijadikan dasar
negara." Semua alasan yang menentang Pancasila ini dibantah dengan
argumen-argumen yang meyakinkan oleh Njoto dalam pidatonya. Dan
dikemukakannya sikap PKI yang tangguh membela Pancasila sebagai dasar
negara. [Njoto, PKI dan Pantjasila, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1958].
Njoto membantah alasan Kasman Singodimedjo yang menyatakan
"Pancasila kalah universal daripada Islam". Njoto menyatakan bahwa "tidak
ada kedengaran bantahan terhadap keterangan Saudara-saudara dari fraksi
Katolik yang menyatakan bahwa 'Rakyat Indonesia terdiri dari berbagaibagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan yang
bersifat universal masing-masing'. Sdr. Asmara Hadi malahan membuktikan
bahwa Pancasila itu lebih universal daripada Islam. Saya hanya ingin
menambahkan ini: kalaupun saudara-saudara dari golongan Islam tidak
mau dikatakan Pancasila 'mencakup' juga Islam, baiklah, tetapi sudah jelas
Pancasila mencakup Katolisisme, Protestantisme, Hinduisme, dll.—adakah
Katolisisme, Protestantisme, Hinduisme di dalam Islam?"
Mengenai alasan Moh. Natsir menentang Pancasila bahwa Pancasila itu
'tidak berakar' di dalam masyarakat dan di dalam kalbu rakyat. Njoto
membantahnya dengan menyatakan: "Tetapi jika lebih dari 50% kaum
pemilih di dalam pemilihan umum untuk Konstituante tempo hari
memberikan suaranya untuk partai-partai yang mempertahankan Pancasila,
bagaimana lagi mau dibuktikan bahwa Pancasila itu 'tidak berakar'?
Bukankah sesuatu yang dikatakan masuk akal itu adalah sesuatu yang
bukan hanya diucapkan tetapi yang dapat dibuktikan akan kebenarannya?"
Terhadap alasan Zainal Abidin Achmad, bahwa kalau masyarakat kita
digali maka yang ada sebenarnya "lebih daripada 5 sila", Njoto menyatakan:
Sdr. Zainal Abidin Achmad barangkali tidak menduga, bahwa
keterangannya ini, daripada melemahkan, justru menguatkan Pancasila.
Justru karena bermacam ragam yang ada dalam masyarakat kita dan karena
itu bermacam-ragam pula yang dapat digali daripadanya, maka tidak
mungkin masyarakat kita hidup dengan satu agama, satu kepercayaam atau
satu aliran saja".
Moh. Natsir menentang Pancasila dengan alasan: "Pancasila itu hanya
titik pertemuan dalam kata-kata". "Perumusan serangkai ide yang ada
dalam Pancasila itu dirasakan hampa, tak dapat berkata apa-apa kepada
jiwa umat Islam"."Ia tidak mendapat akar sama sekali dalam kalbu rakyat".
"Kita dapat membandingkannya dengan angka-angka yang kita pakai.
Angka 5 umpamanya dalam realitas tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataan
kita hanya dapat menemui umpamanya 5 kuda, 5 kursi, 5 orang, 5 kapal,
dan seterusnya."
Njoto membantahnya dengan menyatakan: "Kalau tujuannya
merendahkan Pancasila, barangkali akan lebih baik jika Sdr. Natsir tidak
berhenti membandingkan Pancasila dengan '5 kuda', tapi juga misalnya
dengan '5 picis', atau '5 sen' ..... Tapi apakah begini ini argumentasi yang
berharga, apakah begitu ini argumentasi! Lagi pula benarkah Pancasila itu
tanpa substansi? Yang kita bicarakan bukan panca tok, tetapi Pancasila!
Pancasila 'suatu abstraksi'? Tetapi keyakinan mana, kepercayaan mana yang
sesungguhnya bukan suatu abstraksi atau suatu pengabstraksian? Pancasila
itu 'kata-kata saja'? Tapi kalau dituruti jalan pikiran Sdr. Natsir ini—a p a
yang bukan 'kata-kata saja'? San Min Cu I Dr. Sun Yat-sen yang terdiri dari
nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme apakah hanya 'kata-kata' saja'?
Slogan yang telah menghancurkan Perancis feodal yang mengemukakan
kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan apakah hanya 'kata-kata saja'?
Tentu saya dapat melanjutkan pertanyaan-pertanyaan saya ini, saudara
Ketua, dengan misalnya menanyakan kepada Sdr. Natsir apakah dia kalau
mengatakan dalam perjuangan kemerdekaan ini 'setia', 'tulus', 'rela', dll.
bukan hanya 'kata-kata saja'! Pancasila 'm au tetap berdiri sendiri' dan tidak
mau 'mengakarkan diri' kata Sdr. Natsir. Pancasila bukannya mau berdiri
sendiri, Pancasila mau dan sudah dan akan terus berdiri bersama-sama umat
Kristen, Protestan, Hindu Bali, Nasionalis, Sosialis, Komunis, Islam, semua!
Pancasila bukannya tidak mau mengakarkan diri, Pancasila mau dan sudah,
dan akan terus mengakarkan diri pada rakyat, rakyat Indonesia."
Akhirnya, Sdr. Kasman Singodimedjo yang juga berkeberatan terhadap
Pancasila memuji Islam sebagai sesuatu yang—kata beliau—'dialektis
Indonesia'. Terlebih dulu saya harus mengakui bahwa saya tak mengerti
sama sekali apa yang dimaksudkan 'dialektis' oleh Sdr. Kasman. Sejak
Herakleitos melalui Spinoza sampai ke Hegel dan Marx, dialektika itu selalu
berarti hukum berpikir, metode berpikir. Kini tiba-tiba Sdr. Kasman
menggunakan istilah filsafat ini dengan begitu jauh diperosotkan. Sehingga
artinya seolah-olah hanyalah identik dengan perkataan 'cocok'—'dialektis
Indonesia', beliau katakan dengan menterengnya, sedangkan yang
dimaksud hanyalah 'cocok' atau mungkin 'dicocok-cocokkan'. Berbicara
tentang cocok tak cocok, teringatlah saya akan pepatah Italia 'meterre la coda
dove con va il capo' - masukkan dari ekornya, kalau dari kepalanya tak bisa
masuk. Tentang apa yang dikatakan Sdr. Kasman 'dialektis Indonesia' saya
hanya ingin mengingatkan, pertama, akan yang diterangkan Sdr. Asmara
Hadi, bahwa kebajikan-kebajikan yang diuraikan golongan Islam itu tidak
spesifik Islam, dan kedua, akan kenyataan bahwa Islam itu tidak khas
Indonesia. [Njoto: PKI dan Pantjasila, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1958,
hal.26—33].
Sampai tahun 1959, Konstituante belum berhasil menyusun UUD baru.
Pada saat bersamaan. Presiden Soekarno menyampaikan konsepsinya
tentang Demokrasi Terpimpin. Perdana Menteri Djuanda atas nama
pemerintah mengajukan usul dalam sidang Konstituante untuk kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945. Sejak itu diadakanlah pemungutan suara
untuk menentukan Indonesia kembali ke UUD 1945. Dari 3 kali pemungutan
suara yang dilakukan, sebenarnya mayoritas anggota yang terdiri dari
fraksi-fraksi PNI, PKI, dan kaum nasionalis menginginkan kembali ke UUD
1945, namun ditentang oleh Masyumi dan kalangan Islam hingga terbentur
dengan jumlah yang tidak mencapai 2/3 suara keseluruhan. Setelah
pemungutan suara ketiga, serempak para fraksi memutuskan tidak akan lagi
mengikuti sidang Konstituante setelah reses 3 Juli 1959. Keadaan gawat
inilah yang menyebabkan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959, yang mengakhiri riwayat lembaga Konstituante, dan
memutuskan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.
14. Amerika dan Pemberontakan PRRI - Permesta
DENGAN gagalnya usaha kup di pusat, kegiatan reaksi berkembang
menjadi gerakan separatis petualangan militer di daerah. 20 Desember 1956,
Kolonel Achmad Husein mendirikan Dewan Banteng di Buktitinggi,
Sumatera Tengah. Tanggal 10 Februari 1958 didirikan organisasi yang
bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesiayang diketuai oleh Letnan Kolonel Achmad Husein. Gerakan Husein ini
akhirnya 15 Februari 1958 memproklamirkan berdirinya Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Bukittinggi
dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Sebelum itu, 22
Desember 1956, Kolonel Maludin Simbolon mendirikan Dewan Gajah di
Sumatera Timur, Di Manado, Sulawesi Utara 18 Februari 1957 dengan
dipelopori oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor
Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba didirikan Dewan Manguni. Di
Sumatera Selatan oleh Kolonel Harun Sohar dibentuk Dewan Garuda.
Dewan-Dewan yang dipimpin oleh perwira-perwira Angkatan Darat ini
mengambil sikap menentang Pemerintah Pusat. Dewan Banteng bahkan
mengeluarkan ultimatum menuntut pembubaran Pemerintah Pusat. Dengan
didukung oleh dewan-dewan lainnya, akhirnya tanggal 15 Februari 1958,
memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) duduk
tokoh-tokoh Masyumi dan PSI: Sjafroeddin Prawiranegara, Soemitro
Dj oj ohadikoesoemo.
Atas instruksi Presiden Eisenhower, pihak Amerika melakukan suatu
operasi tertutup, artinya tidak diakui secara resmi, berbeda dengan operasi
di Vietnam misalnya, untuk mendukung pemberontakan, dengan Dulles
bersaudara. Direktur CIA, Allen Dulles, dan Menteri Luar Negeri, John
Foster Dulles, bertindak sebagai operatornya. Keputusan untuk menjatuhkan
Presiden Soekarno ini telah diambil oleh Presiden Eisenhower pada tanggal 25
September 1957, lima bulan sebelum Proklamasi PRRI" [Tim Weiner,
Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya, Jakarta,
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal.186].
Dalam arsip CIA yang berhasil didapat oleh Weiner, ada tiga poin
rencana yang akan dilakukan untuk menjalankan program penggulingan
Soekarno ini, yaitu:
1. Menyediakan senjata dan bantuan militer lainnya bagi para
komandan militer yang anti Soekarno.
2. Memperkuat determinasi, kemauan, dan kepaduan dari perwiraperwira pemberontak Angkatan Darat di Sumatra dan Sulawesi
3. Mendukung dan mendorong, agar bertindak baik secara sendirisendiri m aupun bersama-sama, elemen-elemen anti komunis dan non
komunis di kalangan partai-partai politik di Pulau Jawa.
Bantuan persenjataan pertama dari Amerika untuk PRRI seperti
peluncur roket, granat, senapan, dan amunisi yang cukup untuk
mempersenjatai 8.000 tentara, tiba pada pertengahan Januari 1958 di
pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Bantuan-bantuan lain tiba secara
bergelombang ke dua basis utama pemberontakan, Sumatra dan Sulawesi
Utara, memanfaatkan keberadaan fasilitas dan pangkalan militer Amerika
dan Inggris yang berada di Filipina, Singapura, Malaya, dan Taiwan.
Derasnya bantuan dari luar negeri, khususnya AS ini disebabkan oleh sikap
konsisten anti komunis PRRI/Permesta, sebagai alasan utama
pemberontakannya.
Kerja sama Amerika dengan PRRI/Permesta ini tidak hanya dengan
tokoh-tokoh militernya saja, namun juga dengan tokoh-tokoh sipil anti
Soekarno dan anti komunis, termasuk tokoh-tokoh politik papan atas,
khususnya dari dua partai politik, yaitu Masyumi dan Partai Sosialis
Indonesia (PSI), hal mana menyebabkan kedua partai tersebut dilarang oleh
pemerintah pada tahun 1960. Tokoh PSI, Dr. Soemitro Djojohadikusumo,
pada tanggal 15 Januari 1958 meninggalkan Sumatra Barat menuju ke
Singapura dan kemudian ke Eropa Barat, untuk menggalang dana dan
bantuan-bantuan lainnya dari luar negeri, termasuk upaya mendapatkan
senjata. [Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi, Yayasan Obor,
Jakarta, 2008, hal. 322].
Seorang pilot berkebangsaan Amerika yang merupakan seorang agen
Cl A, Allen Pope, ditangkap setelah pesawatnya ditembak jatuh oleh
pasukan Indonesia, saat ia sedang melaksanakan sebuah misi pemboman
untuk kepentingan Permesta di atas perairan Maluku, pada tanggal 18 Mei
1958. Pada hari berikutnya. Direktur Cl A, Allen Dulles, mengirim telegram
kepada semua personel Cl A yang berada di Indonesia, Filipina, Taiwan, dan
Singapura, berisi perintah agar mereka segera meninggalkan posisi,
menghentikan pengiriman uang, menutup jalur pengiriman senjata,
memusnahkan semua bukti dan m undur teratur. [Tim Weiner, hal.194].
Selama PRRI—Permesta berkuasa, telah dibunuh sejumlah besar kader
dan anggota PKI serta organisasi-organisasi revolusioner, SOBSI, Pemuda
Rakyat, Perbum, CTN. Terkenal dengan peristiwa pembunuhan di kamp
tahanan Situjuh, Suliki, Atar, Simun, Sumatera Barat, atas perintah Achmad
Husein. Antara lain, terbunuh kawan Djamhur Hamzah, Wakil Sekretaris II
Comite Provinsi PKI Sumatera Barat.
Dalam pidatonya di depan parlemen, 11 Februari 1957, D.N. Aidit
menyatakan, bahwa "Kejadian-kejadian di Sumatera Utara, Sumatera
Tengah, dan Sumatera Selatan, adalah rentetan kejadian yang sengaja
ditimbulkan oleh sebuah partai kecil yang kalah dalam pemilihan umum
yang lalu yang berhasil mendalangi sebuah partai besar dan oknum-oknum
liar, yang tidak melihat kemungkinan dengan jalan demokratis dapat dudukkembali dalam kekuasaan sentral, dan yang hanya melihat dengan jalan
menggunakan saluran partai-partai lain, dengan jalan mempertajam
pertentangan antara partai-partai agama dengan PKI dan PNI, dengan bikinbikinan menimbulkan kemarahan rakyat di daerah-daerah supaya
memberontak terhadap pemerintah pusat, dengan jalan mengadu-domba
suku satu dengan lainnya dan dengan jalan menghasut orang-orang militer
supaya memberontak kepada atasannya. Kedua: kejadian-kejadian tersebut
terang sejalan dan berhubungan dengan rencana kaum imperialis, yang
dipelopori oleh Amerika Serikat untuk menarik Indonesia ke dalam pakta
militer SEATO.... Adalah sepenuhnya sejalan dengan rencana Amerika
Serikat yang diatur oleh Pentagon (Kementerian Pertahanan) dan State
Department (Kementerian Luar Negeri) Amerika Serikat, oleh 'jenderaljenderal' DI/TII, serta kakitangan-kakitangan Amerika Serikat yang ada di
Indonesia." [D.N. Aidit, Konfrontasi Peristiwa Madiun (1948)—Peristiwa
Sumatera (1956), PT A, Jilid II, hal.103 —104].
Keterlibatan Amerika Serikat dalam peristiwa PRRI—Permesta
ditunjukkan oleh kenyataan, bahwa Menteri Pertahanan Robert McNamara
memberi informasi pada Presiden Johnson, bahwa program bantuan militer
terutama selama masa Soekarno telah "menyumbang secara berarti bagi
Tentara yang pro Amerika dan yang berani bergerak menentang PKI, begitu
ada kesempatan untuk bertindak." ["Foreign Relations of the US 1964 — 1968,
Volume XXVI, Indonesia; Malaysia—Singapore; Philippines, U.S. Department
of State, October 27, 1966]. Dalam karya-karya George Kahin ditunjukkan,
bahwa intervensi CIA di Indonesia berakar pada Pemerintahan Eisenhower.
Kolonel Leroy Pletcher Prouty, (January 24, 1917 - June 5, 2001), mantan
Kepala Operasi-Operasi Khusus dari Gabungan Kepala Staf dalam
Pemerintahan Presiden J.P. Kennedy menulis, bahwa "pemberontakan di
Indonesia yang digalakkan oleh Cl A, tidaklah seperti invasi di Teluk Playa
Giron, Kuba, tahun 1961, tapi adalah betul-betul satu operasi militer yang
menyeluruh. Invasi di Playa Giron tahun 1961 dilakukan oleh satu pasukan
kecil sekitar 1500 orang Kuba di pengasingan yang dilatih oleh CIA di
Guatemala. Tetapi pemberontakan di Indonesia tahun 1958 melibatkan tidak
kurang dari 42.000 pemberontak bersenjata yang didukung CIA dengan
menggunakan seperangkatan bomber dan sejumlah besar pesawat
pengangkut bermesin empat ditambah lagi dengan bantuan kapal selam dari
Angkatan Laut Amerika Serikat. Juga melibatkan usaha bantuan pelatihan
dan logistik dari pihak Pilipina, Okinawa, Taiwan, dan Singapura. Tapi
walaupun pakai kekuatan bersenjata yang sedemikian rupa, pemberontakan
tahun 1958 seperti invasi di Playa Giron, adalah sepenuhnya gagal total.
Angkatan Darat Soekarno mengusir pemberontak di Sumatera dan Sulawesi
masuk laut." [L. Fletcher Prouty, Indonesia 1958: Nixon, the CIA, and the Secret
War, appeared in the August, 1976 issue of Gallery magazine].
15. Demokrasi Terpimpin
DENGAN kembali diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945, berlaku
lagi sistem presidentil. Bung Karno menampilkan gagasan Demokrasi
Terpimpin. PKI mendukung Demokrasi Terpimpin sebagaimana dinyatakan
oleh D.N. Aidit, 24 Oktober 1958: "PKI menerima Demokrasi Terpimpin
dengan pengertian bahwa yang diterima adalah demokrasi, dan demokrasi
yang tidak liberal. Segi positif dari Demokrasi Terpimpin ialah, di satu pihak
anti-diktator-militer dan diktator perseorangan, dan di pihak lain anti
liberalisme. Anti-liberalisme di lapangan politik, tidak bisa diartikan lain
kecuali pelaksanaan Konsepsi Presiden Soekarno 100%, yaitu pembentukan
kabinet Gotong Royong berdasarkan perwakilan berimbang dan tanpa
"dagang sapi". Anti liberalisme di lapangan ekonomi tidak bisa diartikan
lain kecuali anti "free fight liberalism" di lapangan ekonomi, dan ini berarti
mengutamakan sektor negara untuk memimpin sektor partikelir. Segi-segi
positif dari Demokrasi Terpimpin harus dikembangkan dan ditujukan untuk
pelaksanaan Konsepsi Presiden 100%. Demokrasi Terpimpin dan Konsepsi
Presiden Soekarno adalah satu kesatuan, yang pertama adalah jalan untuk
mencapai yang kedua." [D.N. Aidit, Mendukung Demokrasi Terpimpin Adalah
Politik Yang Paling Revolusioner!, PTA, Jilid II, cetakan kedua, hal.477—479].
Tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
yang berisikan: pembubaran Konstituante, berlakunya kembali UUD 1945
dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950, pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan
Agung Sementara (DPAS). Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS
sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, presiden
mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur
Pembentukan MPRS sebagai berikut: MPRS terdiri atas Anggota DPR
Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan. Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh presiden. Yang
dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra
Tingkat I dan Golongan Karya. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh
presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan presiden
atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh presiden. MPRS mempunyai
seorang ketua dan beberapa wakil ketua yang diangkat oleh presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257
Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Ciri-ciri baru dari lembaga-lembaga negara yang dibentuk menurut
Peraturan Presiden ini adalah mencerminkan perwakilan dari tiga golongan
masyarakat Indonesia, yaitu golongan Nasionalis, Islam, dan Komunis,
perwujudan dari kerja sama berporoskan Nasakom ajaran Bung Karno.
Maka terbentuklah MPRS dengan Pejabat Ketua Chairul Saleh, Wakil-Wakil
Ketua Ali Sastroamidjojo, Idham Chalid, D.N. Aidit, dan Kol. Puspojudo.
16. Manifesto Politik RI (Manipol)
DALAM peringatan hari 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno berpidato
dengan judul Penemuan Kembali Revolusi Kita (Manifesto Politik). Dewan
Pertimbangan Agung membentuk sebuah Komisi yang diketuai D.N. Aidit
untuk memerinci pidato presiden tersebut. Dalam sidang-sidangnya tanggal
23 s/d 25 September 1959, Dewan Pertimbangan Agung menyetujui hasil
kerja komisi perumus, yang isinya sebagai berikut: I Preambul, II PersoalanPersoalan Pokok Revolusi Indonesia: 1. Dasar/Tujuan dan Kewajiban
Revolusi Indonesia, 2. Kekuatan-Kekuatan Sosial Revolusi Indonesia, 3. Sifat
Revolusi Indonesia, 4 Musuh-Musuh Revolusi Indonesia. III Usaha-Usaha
Pokok (Program Umum ) A. Bidang Politik, B. Bidang Ekonomi, C. Bidang
Sosial, D. Bidang Mental dan Kebudayaan, E. Bidang Keamanan,
F. Pembentukan Badan-Badan Baru. G. Pelaksana. [Departemen Penerangan
R.I., Manifesto Politik Republik Indonesia, 17 Agustus 1959, Pertjetakan Negara,
Djakarta, 1959, hal.8].
Sidang pertama MPRS yang dibuka 10 November 1960, memutuskan
Ketetapan MPRS tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GarisGaris Besar daripada Haluan Negara". Atas dasar itu tercapailah penetapan
Garis-Garis Revolusi Nasional Indonesia yang terang dan tandas untuk
mencapai Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur. Dan menjadi jelaslah oleh karenanya bagi seluruh rakyat Indonesia
dan seluruh dunia garis-konsepsionil mengenai Ideologi Nasional Indonesia
untuk menuju kepada Masyarakat Adil dan Makmur, berdasarkan Pancasila
atau Sosialisme Indonesia." [MPRS dan Departemen Penerangan, Ringkasan
Ketetapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara-Republik Indonesia,
Pertjetakan Negara, Djakarta,1961, hal.10 —11].Dengan rumusan hasil komisi D.N. Aidit ini, program PKI telah terintegrasi
ke dalam Manipol, ke dalam program negara. Seiring dengan itu tokoh-tokoh
pimpinan PKI mulai masuk dalam pucuk pimpinan negara, duduk dalam
kabinet sebagai Menteri ex-officio dan anggota presidium kabinet. Maka
sementara peneliti menilai, bahwa sedang berlangsung proses bertambah
kuatnya "aspek pro rakyat dalam kekuasaan negara" dan proses ini adalah
realisasi "revolusi dari atas" dalam pelaksanaan program umum PKI.
[Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip 45 Tahun PKI, Bab V]. Perkembangan ini
jelas-jemelas merisaukan kalangan anti-komunis yang didalangi Amerika
Serikat.
Demikian pula pimpinan lembaga-lembaga tersebut. Hingga D.N. Aidit,
MH. Lukman, Sakirman, masuk ke dalam pimpinan DPR Gotong Royong,
MPRS, DPAS, dan Depernas. Dan dalam presidium kabinet yang langsung
dipimpin presiden terdapat Njoto. Dalam pada itu, di daerah-daerah mulai
terdapat wakil gubernur komunis. Walikota Jakarta Raya dijabat oleh Henk
Ngantung, wakil-wakil ketua DPRD-DPRD, walikota atau wakil walikota
komunis. Dan dalam dua kali regrouping kabinet yang dilakukan presiden,
Wakil-Wakil Ketua MPRS dan Parlemen dijadikan Menteri ex-officio, Menteri
tanpa portefolio. Dengan demikian, D.N. Aidit dan M.H. Lukman jadi
menteri ex-officio. Sedangkan Njoto jadi menteri diperbantukan pada
presidium kabinet. Setapak demi setapak berlangsung Nasakomisasi dalam
pimpinan lembaga-lembaga negara. Tapi di lain pihak, wakil-wakil militer,
terutama Angkatan Darat juga menyusup ke semua pimpinan lembaga
negara.
17. Yo Sanak, Yo Kadang, Yen Mati Aku Sing Kelangan,
Amerika Musuh Rakyat Paling Berbahaya 7
7 sampai dengan 14 September 1959 di Jakarta berlangsung Kongres
Nasional VI PKI. Kongres dihadiri oleh delegasi-delegasi persahabatan Dimo
Ditchev dari Partai Komunis Bulgaria; Lerzy Albrecht, Partai Buruh
Persatuan Polandia; Morris Hughes, Partai Komunis Australia; Ursinio Rojas,
Partai Sosialis Rakyat Kuba; Pai liku. Partai Buruh Sosialis Hongaria; Kurt
Barthels, Partai Persatuan Sosialis Jerman; Giuseppe Boffa, Partai Komunis
Italia. Kongres menyimpulkan dan menarik pelajaran dari pengalaman
semenjak Kongres Nasional V. Dalam Kongres ini, D. N. Aidit
menyampaikan laporan umum berju