Selasa, 11 Februari 2025

penggulingan sukarno 7


 Kita, itu, 

beredar dan banyak didiskusikan brosur berisikan tulisan Kian Ling 

berjudul Cara Berfikir, Cara Bekerja, Kritik dan Self-kritik. Secara sangat populer, 

dalam brosur ini dipaparkan masalah memperbaiki cara berpikir, tentang 

belajar dari massa, tentang pikiran yang harus diutamakan dalam melalui 

jalan massa, tentang alam pikiran heroisme, tentang mengejar kesenangan, 

tentang sifat suka dipuji-puji (cari muka), tentang sikap tegas dan sikap 

berdasar sentimen, dan tentang sikap bekerja bertanggung jawab. [Kian Ling, 

Berfikir, Bekerja, Kritik & Selfkritik, Penerbitan Demos, Surabaja, tjetakan ke-6].

Brosur ini memaparkan, bahwa Mao Zedong sangat mengutamakan 

masalah cara berpikir. Dalam mendidik cara berpikir yang paling utama ialah 

memberi kesempatan pada kader-kader kita untuk berani mengutarakan pendapat￾pendapatnya. [Idem, hal.5].

Brosur ini juga mengajarkan, bahwa belajar Marxisme-Leninisme, belajar 

sejarah, belajar mengetahui pengalaman-pengalaman perjuangan rakyat di 

negeri-negeri asing, ini semua dapat menambah pengetahuan kita. Tetapi 

yang paling penting adalah belajar dari rakyat. Sebab pengetahuan rakyat dan 

pengalaman rakyat adalah nyata dan terkaya, daya pencipta dari rakyat 

adalah tenaga yang terbesar." [Idem, hal.6—7].

Dikemukakan, bahwa kritik dan self-kritik adalah senjata yang kuat bagi 

kemajuan partai politik, juga suatu alat yang penting bagi kemajuan 

pahlawan kerakyatan untuk seterusnya. Hanya organisasi dan anggota 

partai revolusioner yang dapat memahami dan menggunakan ini. Apabila 

alat ini tergenggam dalam tangan dan digunakan oleh anggota organisasi 

revolusioner, maka organisasi akan mewujudkan sifat aktif dan semangat 

tanggung jawab dari semua kader dengan sebaik-baiknya. Maka salah satu

bagian yang pokok dan pekerjaan terpenting dalam usaha meluaskan cara￾cara demokrasi, ialah memimpin massa dalam hal kritik dan self-kritik.” [Idem,

hal.26].

Mengenai kegiatan diskusi tentang brosur Kian Ling ini, Aidit 

menulis, "Belakangan ini kader-kader dan anggota-anggota partai banyak 

membicarakan brosur kecil tulisan Kian Ling tentang cara berfikir, cara bekerja,

kritik dan self-kritik. Tersiarnya brosur kecil ini tepat pada waktunya, yaitu di 

waktu kelemahan-kelemahan dalam partai sedang menonjol kelihatan, dan 

untuk mengatasinya hanya jika kader-kader dan anggota-anggota partai 

mempunyai cara berpikir yang tepat, cara bekerja yang tepat pula, dan 

dengan rajin dan sungguh-sungguh mengadakan kritik dan self-kritik." [PTA, 

Jilid I, hal.43].

Diskusi dan belajar dari tulisan Mengatasi Kelemahan Kita berarti 

mempersenjatai anggota-anggota partai dengan kesadaran revolusioner dan 

pendirian kelas sebagai seorang Marxis. Dikemukakan, bahwa "untuk 

menjadi seorang Marxis, kita harus menghidupkan teori-teori yang kita 

pelajari, menghubungkan teori-teori ini dengan nasib dan perjuangan rakyat 

sehari-hari. Dengan demikian, kita bisa menciptakan dan memimpin aksi￾aksi untuk memperbaiki nasib rakyat. Jadi, seorang Marxis mesti mencipta, 

dan memang tiap-tiap Marxis adalah pencipta, sebagaimana rakyat banyak 

adalah juga pencipta." [PTA, Jilid I, hal.27].

Dalam tulisan ini, Aidit mengingatkan bahwa segenap anggota partai 

harus berpegang teguh pada Program Umum Partai, yang merumuskan 

bahwa kewajiban PKI ialah: Ke dalam "mengorganisasi dan mempersatukan 

kaum buruh dan kaum tani, kaum intelek, pengusaha kecil, pengusaha 

nasional, dan semua anasir anti-imperialisme dan anti-feodalisme, dan 

semua golongan warga negara keturunan asing."

Sedangkan ke luar, kewajiban PKI adalah: "bersatu dengan proletariat 

internasional, dengan semua rakyat yang tertindas, bangsa-bangsa yang 

terjajah, dan nasion-nasion yang memandang kita sederajat, yang mencintai 

kemerdekaan nasional, demokrasi rakyat, dan perdamaian dunia." [Idem,

hal.38].

Awal 1952, CC PKI menyelenggarakan Konferensi Nasional Partai. 

Dalam konferensi ini dibicarakan secara mendalam politik partai terhadap 

pemerintah Sukiman—Subardjo—Wibisono, soal politik anti DI-TII, soal 

pengalaman front persatuan dengan borjuasi nasional, soal memperkuat 

ideologi partai, soal perluasan anggota, dan soal-soal organisasi lainnya. 

Konferensi Nasional ini telah mempersenjatai anggota-anggota dan kader￾kader partai dalam meneruskan perjuangan untuk membatalkan persetujuan

KMB, menyelamatkan demokrasi, dan yang lebih mendesak lagi ialah untuk 

menjatuhkan pemerintah Sukiman. Direncanakan, perluasan anggota partai 

dari 10.000 waktu itu, menjadi 100.000 dalam waktu enam bulan. Untuk 

pertama kalinya dilakukan usaha perluasan anggota yang berencana.

Dalam memperingati ulang tahun ke-32 PKI, Mei 1952, Aidit 

menyampaikan pidato berjudul Menempuh Jalan Rakyat. Dalam pidato ini 

dipaparkan semenjak terbentuknya PKI, kata-kata Marxisme dan sosialisme 

menjadi populer di kalangan kaum buruh. Demikian populernya, hingga 

kekuatan-kekuatan anti komunis pun menggunakannya sebagai topeng. Ini 

ditunjukkan oleh kenyataan, adanya Partai Buruh Tejasukmana yang 

membikin undang-undang merugikan kaum buruh, dan Partai Sosialis 

Indonesia (PSI) Sutan Sjahrir yang partainya mengusung gambar-gambar 

Marx, dan mengaku Marxisme sebagai dasar partainya. Dalam hal ini, Aidit 

mengutip ucapan Lenin: "dialektika sejarah adalah demikian rupa, sehingga

kemenangan teoretis Marxisme memaksa musuh-musuhnya menyamar sebagai

kaum Marxis." [Idem, hal.54].

Perjuangan melawan kaum sosialis kanan ini ditekankan pentingnya 

oleh Aidit dengan mengutip ucapan Lenin bahwa: "Perjuangan ini harus

dilakukan dengan tidak mengenal ampun, dan ia harus dijalankan tidak boleh

tidak, .... sampai pada titik di mana semua pemimpin oportunisme dan sosial￾sovinisme yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi menjadi diskredit sama sekali dan

diusir dari serikat-serikat buruh." [Idem, hal.55].

Masyarakat Indonesia yang bagaikan lautan borjuasi kecil merupakan 

sumber bermunculannya kaum sosial demokrat, kaum sosialis kanan, yang 

dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda mengambil posisi 

kompromi dengan kolonialisme, sangat merugikan perjuangan revolusioner 

rakyat. Oleh karena itu, pimpinan PKI sejak semula telah mengambil sikap 

yang tegas melawan kaum sosialis kanan, menentang kaum sosial demokrat.

Ciri utama dari kaum sosial demokrat adalah, walaupun menyatakan 

bahwa mereka mengakui sebagai pengikut Marx dan menerima Marxisme, 

tapi mereka menentang ajaran pokok Marx diktator proletariat. Dalam politik 

praktis, jadi menentang Uni Sovyet, negara diktator proletariat yang didirikan 

di bawah pimpinan Lenin. Di bidang teori, kaum sosial demokrat jadi 

menentang ajaran-ajaran Lenin, menentang Leninisme. Di Indonesia, mereka 

jadi penentang politik-politik besar Bung Karno, menentang PKI.

Dalam pidatonya. Menempuh Jalan Rakyat, untuk memperingati 32 tahun 

lahirnya PKI, Aidit memaparkan sikap PKI yang tegas melawan kaum sosial 

demokrat. Dikemukakan, "Tiap-tiap komunis, tiap-tiap pemimpin buruh dan

pemimpin rakyat yang jujur, wajib melakukan perjuangan yang sengit terhadappemalsuan-pemalsuan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sosialis kanan. PKI

didirikan 32 tahun yang lalu justru dengan maksud supaya PKI menjadi suatu

partai yang hehas dari penyakit oportunisme, yaitu penyakit dari Internasionale ke-2,

dan supaya PKI berjuang sengit melawan tiap-tiap oportunisme di dalam dan di

luar partai seperti yang diajarkan oleh Lenin dan partainya. [Idem, hal.54].

Dalam gerakan buruh Indonesia sudah banyak bukti, bahwa kaum 

sosialis kanan adalah pemecah gerakan buruh. Mereka adalah agen-agen 

majikan yang menempatkan dirinya di tengah-tengah kaum buruh. 

Perpecahan di kalangan kaum buruh perkebunan, buruh gula, buruh tekstil, 

buruh minyak, buruh penerbangan, dll., adalah hasil dari pekerjaan 

pemalsu-pemalsu Marxisme, yaitu majikan-majikan dari Partai Sosialis 

Indonesia, Partai Buruh, dan pengikut-pengikut trotskis Tan Malaka dengan 

SOBRI- nya.

Membantah pandangan yang menyatakan PKI akan melenyapkan 

demokrasi dan menegakkan kediktatoran, Aidit menyatakan bahwa PKI 

memang menghendaki diktator demokrasi rakyat, yaitu diktator rakyat 

Indonesia atas musuh-musuh rakyat. Inilah perwujudan kesetiaan PKI pada 

ajaran Marx diktator proletariat yang dimusuhi oleh kaum sosial demokrat. 

Rakyat wajib mengetahui, bahwa kaum reaksioner ini adalah musuh rakyat, 

dan kaum reaksioner hanya bisa ditindas untuk selama-lamanya dengan 

diktatur dari demokrasi rakyat. Diktator demokrasi rakyat tidak ditujukan kepada 

perseorangan, tetapi ditujukan kepada kaum reaksioner serta agen-agennya 

yang berada di luar dan di dalam negeri.

Sejak awal tahun lima puluhan, pimpinan PKI dengan teguh 

mengangkat semboyan anti imperialisme, terutama imperialisme Amerika. 

Aidit menyatakan bahwa, "keinginan untuk damai adalah sangat besar pada 

rakyat Indonesia. Pengalaman pendudukan fasis Jepang dan pengalaman 

dua perang kolonial Belanda lebih meyakinkan rakyat Indonesia akan 

kebenaran perjuangannya untuk perdamaian. Semangat perdamaian ini pula 

yang membikin rakyat Indonesia di waktu yang akhir-akhir ini sangat 

menentang politik imperialis Amerika. Politik-politik Amerika yang tidak 

senonoh, yang antara lain berwujud embargo (embargo yang dilakukan 

Amerika dalam rangka perang Korea), Frisco (Persetujuan kerja sama 

dengan Jepang yang tercapai di San Fransisco) dan MSA (Mutual Security Act)

telah menimbulkan semangat anti Amerika yang bernyala-nyala di dada 

putra-putra Indonesia yang terbaik. PKI yakin, bahwa perjuangan rakyat 

untuk mencapai perdamaian abadi pasti akan mengalahkan persiapan￾persiapan perang Amerika." [Idem, hal.68].Kemenangan revolusi Tiongkok di bawah pimpinan Mao Zedong sangat 

mengilhami kader-kader PKI. Tahun 1953, di kala masalah jalan revolusi

Indonesia menjadi persoalan yang hangat di kalangan kader partai. Aidit 

menulis "Jalan Mao Tjetung, adalah satu-satunya Jalan Bagi Revolusi Indonesia".

Dalam tulisannya ini, Aidit memaparkan pokok-pokok pikiran Mao 

Zedong yang intinya adalah masalah pembangunan partai dan 

pembangunan Front Persatuan Nasional. "'Kita harus belajar dari Kawan 

Mao Tjetung tentang kelas-kelas dalam masyarakat, tentang karakter 

revolusi, tentang tenaga pendorong dalam revolusi, tentang hegemoni 

proletariat, tentang pertumbuhan revolusi borjuis demokratis menjadi 

revolusi sosialis, tentang rol Partai Komunis dalam perjuangan besar seluruh 

rakyat dan tentang arti hubungan yang erat antara partai dengan massa. 

Bersamaan dengan itu, kita harus mempelajari sifat-sifat nasional yang 

khusus dari ekonomi Indonesia, politik Indonesia, kebudayaan Indonesia, 

adat-istiadat dan tradisi Indonesia." [Majalah Teori dan Politik Marxisme￾Leninisme, Bintang Merah No.12, Tahun IX, Desember 1963, hal.540—544].

Tapi Aidit tidak menekankan ajaran Mao Zedong mengenai arti 

menentukan dari perjuangan bersenjata sebagai bentuk utama dari revolusi. 

Tidak diperkenalkan ajaran Mao Zedong: "Tanpa Tentara Rakyat, Rakyat tidak

mempunyai apa-apa" dan ajaran "Kekuasaan politik lahir dari laras senapan".

Aidit memusatkan perhatian pada masalah taktik Tront Persatuan Nasional, 

masalah kerja sama dengan burjuasi nasional, yang bentuk konkretnya 

membangun dan menggalang kerja sama dengan Bung Karno. Aidit menulis: 

"Taktik front nasional adalah taktik hangsa Indonesia untuk melawan penjajahan

dalam bentuk apa pun." [D.N. Aidit, Tront Persatuan Nasional dan Sejarahnya,

PT A, Jilid I, hal.70-78].

"Revolusi Tiongkok telah memberikan pelajaran tentang bentuk

perjuangan pokok revolusi di negeri jajahan, setengah jajahan dan setengah 

feodal, yaitu perjuangan rakyat bersenjata melawan kontra-revolusi bersenjata.

Sesuai dengan hakikat revolusi adalah revolusi agraria, maka hakikat 

perjuangan rakyat bersenjata itu adalah perjuangan bersenjata kaum tani 

dalam revolusi agraria di bawah pimpinan kelas butuh. Praktik revolusi 

Tiongkok pertama-tama adalah merupakan penerapan Marxisme-Leninisme 

berdasar kondisi-kondisi konkret Tiongkok. Bersaman dengan itu ia juga 

mengungkapkan hukum umum bagi revolusi-revolusi rakyat di negeri￾negeri jajahan, setengah jajahan, dan setengah feodal." [Politbiro CC PKI, 

Tegakkan PKI yang Marxis-Leninis untuk Memimpin Revolusi Demokrasi Rakyat

Indonesia, Otokritik Politbiro CC PKI September 1966, Diterbitkan oleh Delegasi 

CC PKI, September 1971, hal.114-115].Dalam pidatonya berjudul Menuju Indonesia Baru untuk memperingati 

ulang tahun ke-33 PKI, Aidit dengan tajam memblejeti peranan kaum 

pengkhianat nasional yang jadi alat imperialis dalam revolusi. 

Dinyatakannya, "Imperialis Amerika terang-terangan mencampuri soal-soal intern

Republik Indonesia. Mereka mengirimkan agen-agen seperti Gerald Hopkins,

Campbell, dll, yang berkewajiban menghancurkan gerakan kemerdekaan yang

dipimpin oleh komunis. Mereka mengadakan intrik-intrik supaya Persetujuan

Renville diterima, tetapi bersamaan dengan itu mereka mengorganisasi semacam

'perlawanan' dari pemimpin-pemimpin Masjumi dalam kabinet Amir Sjarifuddin;

pemimpin-pemimpin Masjumi kemudian diperintah oleh agen-agen Amerika untuk

menyatakan 'tidak setuju' pada Persetujuan Renville dan selanjutnya menolak

untuk terus ambil bagian dalam pemerintah Amir Sjarifuddin. Dengan perbuatan

busuk ini mereka mau membubarkan pemerintah Amir Sjarifuddin dan membentuk

suatu pemerintah tanpa komunis.

Secara sukarela Amir meletakkan jabatan, terbentuk kabinet baru di 

bawah pimpinan Hatta dengan inti Masjumi. Program kabinet ini justru 

adalah untuk melaksanakan Persetujuan Renville. Kabinet Hatta 

melaksanakan program rekonstruksi dan rasionalisasi (Re-Ra), yang dalam 

praktiknya adalah membersihkan kaum kiri dari pasukan bersenjata RI. 

Inilah realisasi "Red Drive Proposals", hasil pertemuan rahasia Sarangan.

Program Re-Ra ini mendapat tentangan dari berbagai pasukan. 

Terjadilah aksi-aksi demonstrasi, sampai konflik-konflik yang berkembang 

menjadi konflik bersenjata, sampai saling lucu-melucuti. Puncaknya terjadi 

di Madiun. 19 September 1948, Perdana Menteri Hatta berpidato di depan 

sidang BP KNIP, menyatakan "entah benar entah tidak, bahwa Musso akan

menjadi presiden republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifuddin perdana

menterinya." [Kementerian Penerangan RI, Mendajung Antara Dua Karang,

Pidato PM Hatta di depan BP KNIP, 20 September 1948, hal.87].

Peristiwa Madiun mengakibatkan tertembaknya Musso dalam satu 

pertempuran, dan ditembakmatinya pimpinan tertinggi PKI lainnya 

termasuk Amir Sjarifuddin, Maroeto Daroesman, Setiadjit, Sardjono, 

Harjono, Soeripno, Sukarno, Ronomarsono, Katamhadi, Oey Gee Hwat di 

Ngaliyan.

Politik partai yang tepat dalam beroposisi, diikuti usaha pembangunan 

partai dan penggalangan front persatuan nasional, akhirnya berhasil 

menjatuhkan kabinet Sukiman yang anti demokratis, terbentuklah kabinet 

Wilopo. Dengan jatuhnya kabinet Sukiman yang anti-demokrasi, terbentuk 

kabinet baru di bawah pimpinan Wilopo yang komposisi dan programnya 

dalam batas-batas tertentu dapat dikatakan maju. Untuk pertama kalinyaPNI memimpin kabinet, walaupun kekuatan Masyumi dan PSI cukup besar 

di dalamnya. PKI mendukungnya, selama kabinet ini menjalankan 

programnya yang demokratis.

Di bawah pengendalian Sultan Hamengku Buwono sebagai Menteri 

Pertahanan, dengan T.B. Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang 

dan A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, akan dilanjutkan 

usaha rasionalisasi dalam Angkatan Bersenjata. Ini berarti pengurangan 

jumlah pasukan yang menyebabkan pemecatan sejumlah besar perwira dan 

prajurit. Rencana ini mendapat perlawanan dari sejumlah perwira, yang 

dipelopori Kolonel Bambang Soepeno. Karena langkah-langkah yang 

diambilnya menentang rasionalisasi ini, Bambang Soepeno dipecat dari 

kedudukannya sebagai Panglima Teritorium oleh A.H. Nasution. Perbedaan 

pendapat dalam pimpinan Angkatan Perang ini merembes ke parlemen, 

maka muncullah mosi tidak percaya dari Manai Sophian terhadap 

kebijaksanaan Menteri Pertahanan, Sultan Hamengku Buwono. Walaupun 

ditentang oleh Masjumi dan PSI, mosi Manai Sophian diterima parlemen. 

Jatuhlah kabinet Wilopo. Ini satu pukulan bagi Masyumi dan PSI.

Kesalahan-kesalahan Masyumi —PSI dan pemimpin-pemimpin militeris 

lainnya di bidang politik menyebabkan mereka kian mata gelap. Terjadilah 

usaha kup 17 Oktober 1952. Persekutuan kaum soska Masyumi dan pengikut 

aliran trotskis dengan didukung kaum militeris mengerahkan massa 

berdemonstrasi dengan moncong meriam diarahkan ke Istana Merdeka, 

yang menuntut Bung Karno membubarkan parlemen. Bung Karno menolak, 

menyatakan: 'Tidak mau jadi diktator". Usaha kup ini gagal. Biang 

keladinya ditindak. Instansi Staf Angkatan Perang dihapuskan, berarti 

T.B. Simatupang dibebaskan dari kedudukan Kepala Staf Angkatan Perang 

(KSAP). Di samping itu, A.H. Nasution dibebaskan dari KSAD. Berlangsung 

kekusutan dalam pucuk pimpinan Angkatan Bersenjata, terutama dalam 

masalah menentukan pengganti Kepala Staf Angkatan Darat.

Dalam pada itu, kabinet Wilopo melakukan kesalahan mengenai 

Peristiwa Tanjung Morawa, yang terkenal dengan peristiwa traktor maut.

Menteri Dalam Negeri Moh. Roem dari Masyumi bertanggung jawab atas 

terjadinya penembakan terhadap kaum tani yang menentang ditraktornya 

tanah garapan milik kaum tani.

Tanggal 14 Maret 1953, rakyat di Tanjung Morawa mulai beraksi 

menentang pentraktoran tanah garapan mereka. Ormas-ormas Petani, BTI, 

STI, dan Sakti yang mempunyai anggota yang terlibat bakal digusur bersatu￾padu menentang pentraktoran itu.

Pada 16 Maret pagi, polisi diperintahkan melakukan penembakan. 

Sebanyak 21 orang kena sasaran, 6 di antaranya tewas, (dua orang anggota 

Petani dan 4 orang turunan Tionghoa pekebun sayur-sayuran, yang lainnya 

luka-luka berat dan ringan [B. Mohammad Said, Wilopo dan "Tanjong

Morawa", dalam Wilopo 70 tahun, Gunung Agung, Jakarta, MCMLXXIX, 

hal.337].

Tanggal 23 Maret 1953, PM Wilopo menerima delegasi Front Persatuan 

Tani, yang dipimpin oleh Sidik Kertapati, Ketua Umum Sakti, mengenai 

penembakan Tanjung Morawa. Di situ, Kertapati dkk. telah memberitahu, 

bahwa ia akan mengeluarkan kembali usul mosi tidak percaya yang sudah 

dipeti-eskan beberapa waktu yang lalu, dalam mana dinyatakan kecaman 

keras atas kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri. Moh. Roem. [Idem, hal.339].

Karena mosi tidak percaya dari Sidik Kertapati, kabinet Wilopo jatuh.

Bulan Juli 1953, terbentuk kabinet Ali Sastroamidjojo tanpa Masyumi— 

PSI, yang programnya lebih demokratis dan lebih maju dari program 

kabinet Wilopo. W alaupun belum merupakan kabinet front persatuan 

nasional, PKI memberi dukungan pada kabinet Ali ini.

9. Kongres Nasional Ke-5 PKI

OKTOBER 1953 berlangsung sidang pleno CC PKI mempersiapkan Kongres 

Nasional V PKI. Sidang ini memutuskan Laporan Umum CC, Rencana 

Program PKI, Rencana Konstitusi PKI, Soal-soal Pemilihan Umum dan 

Pemilihan CC baru. Setelah mendengar laporan Politbiro tentang putusan 

Komisi Kontrol mengenai kawan Tan Ling Djie, dan setelah membicarakan 

kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh kawan Tan Ling Djie di lapangan 

ideologi, politik, m aupun organisasi, sidang pleno CC memutuskan 

memberhentikan Kawan Tan Ling Djie dari keanggotaannya dalam CC.

Sidang memilih Kawan-Kawan D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Njoto 

masing-masing sebagai Sekretaris Jenderal, Wakil Sekretaris Jenderal I, dan 

Wakil Sekretaris Jenderal II. Atas permintaannya sendiri, mengingat 

aktivitas dan kesehatan Kawan Alimin, maka sidang pleno CC memutuskan 

mengganti Kawan Alimin dengan Kawan Sakirman sebagai anggota 

Politbiro CC PKI.

Dengan dikeluarkannya Kawan Tan Ling Djie dari CC, maka anggota CC 

PKI adalah:

1. Achmad Soemadi;

2. Adjitorop, J;3. Aidit, D.N.;

4. Alimin;

5. Bachtaroeddin;

6. Djokosoedjono;

7. Lukman, M.H.;

8. Njoto;

9. Pardede, P;

10. Sakirman;

11. Sudisman,

12. Wikana;

13. Zaelani.

Politbiro CC PKI terdiri dari: Aidit, D.N.; Lukman, M.H.; Njoto; 

Sudisman; Sakirman.

Sekretariat CC PKI terdiri dari: Aidit, D.N.; Lukman, M.H.; dan Njoto.

Sidang Pleno menyimpulkan, bahwa pikiran Kawan Tan Ling Djie sudah 

menguasai partai selama revolusi tahun 1945 — 1948 sampai permulaan 

tahun 1951, sehingga telah menghambat perkembangan partai. Pikiran Tan 

Ling Djie di bidang organisasi "menghendaki adanya Partai Kelas Buruh di luar

PKI, yang anggotanya terdiri dari mereka yang pro komunis tapi tidak herani masuk

PKI." Di bidang politik: "mengecilkan kekuatan massa, membesarkan kekuatan

reaksi, membikin kelas buruh jauh dari soal-soal poilitik, mengutamakan perjuangan

perundang-undangan dan parlementer semata-mata; di bidang ideologi adalah 

"subjektivisme, dengan manifestasinya sebagai aliran dogmatisme, dan

empirisisme." [Baca: Manuskrip 45 Tahun PKI, Bab V].

Maret 1954 berlangsung Kongres Nasional V PKI. Kongres mewakili 

49.042 anggota serta 116.164 calon anggota. Kongres mengesahkan 

dokumen-dokumen yang telah disiapkan oleh Sidang Pleno CC Oktober 

1953 berupa laporan politik D.N. Aidit berjudul Jalan ke Demokrasi Rakyat

Bagi Indonesia, Konstitusi Baru PKI, Program PKL Juga disahkan koreksi besar 

Musso, Resolusi Jalan Baru untuk Republik Indonesia. Diputuskan memperluas 

susunan CC hingga menjadi terdiri dari: Achmad Soemadi, D.N. Aidit, 

Bachtaroeddin, Djoko Soedjono, Jusuf Adjitorop, M.H. Lukman, Njoto, 

Noersoehoed, Peris Pardede, Sakirman, Sudisman, Karel Supit, dan M. 

Zaelani. Calon-calon anggota CC: Anwar A.Z., Anwar Kadir, Siswojo.

Kongres menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negeri setengah jajahan 

dan setengah feodal. Untuk menjadi negeri merdeka, demokratis, makmur 

dan maju, maka soal yang pokok adalah mengganti pemerintah tuan-tuan 

feodal, dan komprador, serta menciptakan pemerintah rakyat, pemerintah

demokrasi rakyat. Jalan keluar terletak dalam mengubah imbangan kekuatan

antara kaum imperialis, kelas tuan tanah, dan borjuasi komprador di satu 

pihak, dan kekuatan rakyat di pihak yang lain. Jalan keluar terletak dalam 

membangkitkan, memobilisasi dan mengorganisasi massa, terutama kaum 

buruh dan kaum tani. Kongres yakin, bahwa revolusi agraria adalah hakikat 

revolusi demokrasi rakyat di Indonesia. Dengan suara bulat disetujui untuk 

tidak lagi menggunakan semboyan "nasionalisasi tanah" atau semboyan 

"semua tanah menjadi milik negara" tetapi semboyan yang tepat adalah "tanah

untuk kaum tani", "pembagian tanah untuk kaum tani", dan "milik perseorangan

tani atas tanah".

Dalam Laporan Umum Aidit yang disahkan kongres dikemukakan, dua 

kewajiban partai yang sangat mendesak, yaitu menggalang front persatuan

nasional dan masalah melakukan pembangunan partai. Partai harus secara benar 

memecahkan masalah front persatuan, masalah bersatu, dan berpisah 

dengan borjuasi nasional, dan masalah persekutuan kaum buruh dan kaum 

tani sebagai basis front persatuan. Mengenai pembangunan partai 

dikemukakan, bahwa kita harus mempunyai partai model Partai Komunis 

Uni Sovyet dan model Partai Komunis Tiongkok. Dengan tiada teori 

Marxisme-Leninisme tidak mungkin kita mempunyai partai yang demikian. 

Hanya apabila kita menguasai ilmu Marxisme-Leninisme dan mempunyai 

kepercayaan kepada massa, berhubungan erat dengan massa dan memimpin 

massa maju ke depan, hanya dengan demikian kita bisa mendobrak semua 

rintangan dan mengatasi semua kesulitan dan dengan demikian kekuatan 

kita akan menjadi tak terkalahkan.

Kongres juga mengesahkan Manifes Pemilihan Umum PKI. Manifes ini 

mengajukan seruan: Bersatu menuju ke kotak pemilihan untuk suatu pemerintah

demokrasi rakyat! Menjelang berlangsungnya pemilihan umum, sidang 

Politbiro CC 29 September 1955 mendiskusikan secara mendalam hakikat 

pemerintah demokrasi rakyat dan syarat-syarat pembentukannya, maka 

mengambil sebuah resolusi yang mengoreksi seruan ini dengan rumusan 

baru: "Lewat pemilihan umum yang akan datang membentuk pemerintah koalisi

nasional!

Dalam resolusi ini ditegaskan, tujuan PKI memenangkan pemilihan 

umum bukanlah untuk membentuk pemerintah demokrasi rakyat, tapi 

membentuk pemerintah koalisi nasional. Pemerintah ini tidak sama dengan 

pemerintah demokrasi rakyat yang menjadi tujuan dalam Program PKI. 

Dengan semboyan baru ini, PKI tampil berkampanye untuk mengalahkan 

Masyumi dan PSI yang anti-komunis, untuk memenangkan partai-partai 

demokratis lainnya dalam pemilihan umum. PKI memblejeti politik-politik 

reaksioner anti komunis dari Masyumi dan PSI. Hasil pemilihan umum

adalah: PKI tampil sebagai salah satu dari empat partai besar. PSI 

mengalami kekalahan besar. Pemilihan umum untuk parlemen disusul oleh 

pemilihan untuk anggota Konstituante. PKI tampil menghadapi pemilihan 

anggota Konstituante dengan semboyan Pertahankan Republik Proklamasi 1945!

Seselesainya pemilihan umum yang memberikan kemenangan bagi PKI, 

Juli 1956 dilangsungkan sidang pleno ke-4 CC Kongres V. Sidang 

menyimpulkan pengalaman dan merumuskan taktik serta politik baru demi 

menyelesaikan revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya. Disimpulkan 

adanya tiga kekuatan, yaitu kiri, tengah, dan kepala batu; dan adanya tiga konsep

mengenai penyelesaian revolusi Agustus. Maka sidang pleno CC 

menyimpulkan: Dengan sekuat tenaga dan tak jemu-jemunya mengembangkan

kekuatan progresif, bersatu dengan kekuatan tengah, dan memencilkan kekuatan

kepala batu.

10. Usaha Reaksi Melawan PKI

SESUDAH Kongres Nasional V PKI, kekuatan anti komunis tidak reda￾redanya mengusahakan provokasi demi menghancurkan PKI. Salah satu 

usaha Masyumi adalah dengan menggunakan nama Badan Koordinasi 

Organisasi Islam (BKOI) mengerahkan ratusan ribu massa berdemonstrasi 

berdarah di Jakarta. Semboyan-semboyan yang diusung adalah anti-komunis.

Dalam peristiwa ini terjadi tindak kekerasan, perusakan, dan 

penghancuran perabot rumah tangga serta gugurnya seorang perwira 

Angkatan Darat, Kapten Supartawidjaja. Karena peristiwa ini, pemerintah 

mengeluarkan larangan berdemonstrasi. PKI memprotes larangan ini, 

karena ini berarti mengekang hak-hak demokrasi.

Tanggal 14 September 1953, Harian Rakjat mengumumkan statement

Politbiro CC PKI berjudul "Peringati Peristiwa Madiun Secara Intern!"

Politbiro CC PKI mengeluarkan statement itu, karena pada tanggal 4 

September 1953, Harian Abadi menyiarkan pernyataan Bekas Pejuang Islam 

Indonesia (BPII), menuntut pemerintah Indonesia untuk menetapkan hari

pemberontakan kaum komunis PKI cs. di Madiun tanggal 18 September itu menjadi

hari berkabung nasional dan supaya seluruh rakyat diperintahkan menaikkan

bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung."

Harian Pedoman, 7 September menyiarkan pernyataan BKOI Jakarta 

mengenai Peristiwa Madiun yang isinya sama dengan pernyataan BPII 

tersebut di atas. Harian Abadi, 10 September 1953 memuat pengumuman Liga

Pembela Demokrasi yang isinya pada pokoknya sama dengan pernyataan BPII 

tersebut.

Sebagai penanggung jawab statement Politbiro tersebut, Aidit diajukan 

ke meja Pengadilan Negeri Jakarta. Tuduhan jaksa adalah, Aidit “menghina

dan menyerang kehormatan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta. "

Dalam proses pengadilan ini, Aidit tampil dengan pidato Menggugat

Peristiwa Madiun. Dari tergugat, Aidit berubah jadi menggugat. Aidit 

menyatakan bahwa Peristiwa Madiun memang adalah provokasi dan tangan 

Hatta — Sukiman—Natsir, cs., memang berlumuran darah, demi menghan￾curkan PKI. Aidit menuntut Hatta diajukan ke pengadilan, sebagai seorang 

yang bertanggung jawab atas terjadinya Peristiwa Madiun itu, yang 

bertanggung jawab atas realisasi program anti-komunis dari Amerika, yaitu 

The Red Drive Proposals, yang diajukan pada pemerintah Hatta. [Aidit D.N., 

Menggugat Peristiwa Madiun, PTA, Jilid I, hal.351—380]. [Baca juga: Suar 

Suroso, Peristiwa Madiun, Realisasi Doktrin Truman di Asia, Hasta Mitra, 

Jakarta, 2010].

Aidit bebas dari semua tuntutan pengadilan. Serangan terhadap PKI 

dengan menggunakan Peristiwa Madiun berubah menjadi “senjata makan

tuan".

Berlawanan dengan keinginan AS yang giat menarik Indonesia untuk 

masuk pakta militer SEATO demi membendung negara sosialis RRT, 

pemerintah Ali Sastroamidjojo mempersiapkan penyelenggaraan Konferensi 

Asia—Afrika dengan mengundang RRT. Menjelang berlangsungnya 

Konferensi Asia—Afrika di Bandung, Amerika mengambil langkah-langkah 

untuk menggagalkannya, termasuk dengan aksi CIA menyabot pesawat 

terbang yang membawa delegasi RRT. Usaha untuk membunuh PM Zhou 

Enlai yang mestinya menumpang pesawat itu gagal.

Bulan April 1955, di bawah pemerintahan Ali Sastroamidjojo, dengan 

sukses berlangsung Konferensi Asia—Afrika yang bersejarah. John Foster 

Dulles, Menlu Amerika Serikat bersuara sumbang terhadap konferensi ini. 

Politik netral yang dianut oleh banyak negara Asia—Afrika dinilai adalah 

immoril oleh Wakil Presiden Nixon dan John Foster Dulles.

11. Pemilihan Umum Pertama dalam Sejarah Indonesia,

Gagasan Bung Karno Membentuk Kabinet Gotong Royong.

PKI mengerahkan semua kekuatannya untuk memenangkan Pemilihan 

Umum tahun 1955. Pemilihan ini dilangsungkan bulan September adalah

untuk memilih anggota parlemen dan Desember untuk anggota dewan 

Konstituante. Hasilnya, empat besar dalam Pemilu ini adalah Partai 

Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante 

(22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 

persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 

persen). Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante 

(16,4 persen). PKI tampil sebagai pemenang, menjadi salah satu dari empat 

partai besar: PNI, Masjumi, NU, dan PKI. PSI memperoleh 5 kursi di 

parlemen.

Sesudah Pemilihan Umum, situasi politik jelas bergeser ke kiri. Presiden 

Soekarno dalam pidatonya 21 Februari 1957 mengumumkan Konsepsi

Presiden yang berisikan rencana pembentukan Kabinet Gotong Royong, kabinet 

berkaki empat, kabinet yang berisikan wakil partai-partai politik yang 

memenangkan pemilihan umum. Politbiro CC PKI menyambut dan 

m endukung Konsepsi Presiden ini. Maka ditampilkanlah semboyan: Ubah

imbangan kekuatan untuk melaksanakan Konsepsi Presiden 100%!

Kekuatan kepala batu kian kalap. Terjadi "Peristiwa 13 Agustus 1956",

percobaan penahanan oleh Kolonel Zulkifli Lubis atas diri Menlu Roeslan 

Abdoelgani dari kabinet Ali II yang pada waktu itu akan ke London 

menghadiri konferensi mengenai masalah Terusan Suez. Terjadi lagi kudeta 

Lubis tanggal 16 November 1956, percobaan perebutan kekuasaan di Jakarta 

oleh Kolonel Zulkifli Lubis dengan jalan mengerahkan pasukan RPKAD

(Resimen Para Komando Angkatan Darat) dari Bandung ke Jakarta dengan 

maksud mengepung dan melucuti ABRI yang ada di Jakarta. Usaha kup ini 

gagal, Zulkifli Lubis dipecat.

Dalam pada itu, "sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno.

Sikap AS ini didukung oleh komplotannya. Inggris dan Australia. Sejak AS 

menghentikan bantuannya, mereka malah membangun hubungan dengan 

faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira 

dan pasukan Indonesia. Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh Cl A, 

mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta 

muncul pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD, Kolonel 

Zulkifli Lubis, berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintah. 

Namun usaha ini dipatahkan." [Soebandrio, Kesaksianku Tentang G30S].

4 Juli 1957, terjadi pelemparan granat ke Kantor CC PKI dan Kantor 

Dewan Nasional SOBSI. 30 November 1957 Bung Karno diteror dengan 

pelemparan granat ketika menghadiri acara pada sebuah sekolah di Jalan 

Cikini. Presiden Soekarno selamat, sejumlah murid luka-luka dan meninggal. 

Kaum reaksi yang tak lagi mampu menempuh jalan demokrasi, kini beralih

ke teror berdarah dan usaha pembunuhan atas Presiden Soekarno. Dan 

berlanjut pada pemberontakan sampai mendirikan pemerintah tandingan 

terhadap Republik Indonesia.

12. Tiga Kekuatan dan Tiga Konsep Penyelesaian Revolusi

SELESAINYA Pemilihan Umum yang memberikan kemenangan bagi PKI, 

Juli 1956 dilangsungkan sidang pleno ke-4 CC Kongres V. Sidang 

menyimpulkan pengalaman dan merumuskan taktik serta politik baru demi 

menyelesaikan revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya. Disimpulkan 

adanya tiga kekuatan, yaitu kiri, tengah, dan kepala batu; dan adanya tiga konsep

mengenai penyelesaian revolusi Agustus. Maka sidang pleno CC 

menyimpulkan: Garis politik PKI menghadapi tiga kekuatan dan tiga konsep 

penyelesaian tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus ialah: Dengan sekuat tenaga

dan tak jemu-jemunya mengembangkan kekuatan progresifbersatu dengan

kekuatan tengah, dan memencilkan kekuatan kepala batu.

Konsep PKI menyelesaikan tuntutan-tuntutan revolusi Agustus 1945 

adalah: Menghapuskan imperialisme dan feodalisme sampai ke akar-akarnya. Ini 

adalah konsep rakyat. Berdasarkan konsep ini, mereka yang tidak anti￾imperialisme dan tidak anti-feodalisme adalah bukan rakyat, tetapi anti￾rakyat, anti-Revolusi Agustus 1945.

Mengenai Front Persatuan Nasional, laporan menyatakan bahwa PKI 

menghargai semboyan yang juga dianjurkan oleh Bung Karno, yaitu 

semboyan tentang 'kerja sama kaum agama, nasionalis, dan komunis'. Ini adalah 

semboyan yang cocok dengan kebutuhan yang mendesak dari rakyat 

Indonesia sekarang, yaitu persatuan.

Mengenai jalan parlementer, laporan menyatakan, bahwa kalau 

tergantung pada kaum komunis, maka bentuk yang sebaik-baiknya, bentuk 

yang ideal dari peralihan ke sistem kekuasaan Rakyat yang demokratis, yaitu tingkat

persiapan ke sistem sosialis, ialah bentuk yang damai, bentuk yang parlementer.

Jadi, jika tergantung pada kaum komunis, jalan damailah yang dipilih. Di 

samping itu, dalam Program PKI dinyatakan: "bahwa perjuangan parlementer

saja tidaklah cukup untuk mencapai tujuan membentuk suatu pemerintah

Demokrasi Rakyat. Ini adalah satu kebenaran, karena pekerjaan PKI bukan 

pekerjaan parlementer saja, tetapi juga dan terutama pekerjaan-pekerjaan di 

kalangan massa kaum buruh, kaum tani, inteligensia, dan massa pekerja 

serta massa demokratis lainnya. Pekerjaan PKI ialah mengubah imbangan 

kekuatan antara kaum imperialis, kelas tuan tanah, dan borjuasi kompradordi satu pihak, dan kekuatan rakyat di pihak lain. [D.N. Aidit, Bersatulah

untuk Menyelesaikan Tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945, PTA, Jilid II, 

cetakan kedua, hal.20—80].

13. Sidang-Sidang Konstituante,

PKI Membela Pancasila Dasar Negara

TANGGAL 22 April 1956 dibuka sidang Konstituante. Bung Karno 

menyampaikan pidato pembukaan dengan judul: Susunlah Undang-Undang

Dasar yang Res Publika. Dengan m enduduki 80 dari 550 kursi Konstituante, 

wakil-wakil PKI aktif dalam perdebatan penyusunan Undang-Undang Dasar 

baru bagi Republik Indonesia.

Dalam sidang-sidang Kontituante, berlangsung perjuangan sengit dalam 

bentuk perdebatan antara pembela dan penentang Pancasila sebagai dasar 

negara. Dalam pidatonya tanggal 20 Mei 1957, berjudul Untuk Konstitusi

Republik Proklamasi 1945, di depan sidang Konstituante, D.N. Aidit 

memaparkan pendirian PKI.

'TKI menghendaki Undang-Undang Dasar yang akan kita susun, 

seharusnyalah kita beri tempat yang terhormat kepada unsur kesatuan 

bangsa yang modern (nasion) yang bersumber pada Sumpah Pemuda 1928// 

[D.N. Aidit, Untuk Konstitusi Republik Proklamasi 1945, PTA, Jilid kedua, 

cetakan kedua. Panitia Penerbitan Karja-Karja D.N. Aidit, 1965, hal.136].

Sidang-sidang Konstituante mencapai titik jalan buntu, dalam 

menetapkan dasar negara Republik Indonesia. Pihak Masyumi dan kalangan 

Islam lainnya menentang Pancasila dan menghendaki Islam sebagai dasar 

negara. Kaum nasionalis PNI dan PKI menghendaki Pancasila sebagai dasar 

negara. Sedangkan PSI, Partai Murba, menghendaki sosio-ekonomi sebagai 

dasar negara. Dalam pemungutan suara, walaupun pendukung Pancasila 

adalah mayoritas, tapi tidak mencapai dua pertiga jumlah suara yang 

dituntut oleh Tata Tertib Sidang. Alasan-alasan Masyumi menentang 

Pancasila sebagai dasar negara dikemukakan oleh Kasman Singodimedjo, 

Moh. Natsir, Isa Ansjari, dan Zainal Abidin Achmad dalam sidang-sidang 

Konstituante.

Alasan-alasannya adalah: Pancasila itu "sila-silanya bertentangan, 

terutama sila ke-Tuhanan dan sila Kedaulatan Rakyat; Pancasila kalah 

universal daripada Islam; Pancasila Tidak berakar' di dalam masyarakat dan 

di dalam kalbu rakyat; kalau masyarakat kita digali, maka yang ada 

sebenarnya 'lebih dari lima sila'; Pancasila itu hanya titik pertemuan dalam

kata-kata; perumusan serangkai ide yang ada dalam Pancasila itu dirasakan 

hampa tak dapat berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam; ia tidak 

mendapat akar sama sekali dalam kalbu rakyat; Pancasila itu adalah suatu 

abstraksi, suatu 'pure concept' yang dalam kenyataan tidak bisa berdiri 

sendiri; kita dapat membandingkannya dengan angka-angka yang kita pakai, 

angka 5 umpamanya dalam realitas tidak berdiri sendiri, dalam kenyataan 

kita hanya dapat menemui umpamanya lima kuda, 5 kursi, 5 orang, 5 kapal, 

dan seterusnya; Islam adalah sesuatunya yang 'dialektis Indonesia'; 

Pancasila itu sekuler, dan sekulerisme itu di dalam penghidupan 

perseorangan tidak memberi petunjuk-petunjuk yang tegas; Islam 

memberikan kepada kita dasar-dasar yang abadi dan tidak berubah".

Bahkan perdebatan berlangsung sampai-sampai Isa Ansjari mengajukan 

ancaman, bahwa "soal DI itu tak akan bisa selesai jika Pancasila tetap jadi 

dasar negara, dan bahwa soal DI itu akan selesai jika Islam dijadikan dasar 

negara." Semua alasan yang menentang Pancasila ini dibantah dengan 

argumen-argumen yang meyakinkan oleh Njoto dalam pidatonya. Dan 

dikemukakannya sikap PKI yang tangguh membela Pancasila sebagai dasar 

negara. [Njoto, PKI dan Pantjasila, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1958].

Njoto membantah alasan Kasman Singodimedjo yang menyatakan 

"Pancasila kalah universal daripada Islam". Njoto menyatakan bahwa "tidak 

ada kedengaran bantahan terhadap keterangan Saudara-saudara dari fraksi 

Katolik yang menyatakan bahwa 'Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai￾bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan yang 

bersifat universal masing-masing'. Sdr. Asmara Hadi malahan membuktikan 

bahwa Pancasila itu lebih universal daripada Islam. Saya hanya ingin 

menambahkan ini: kalaupun saudara-saudara dari golongan Islam tidak 

mau dikatakan Pancasila 'mencakup' juga Islam, baiklah, tetapi sudah jelas 

Pancasila mencakup Katolisisme, Protestantisme, Hinduisme, dll.—adakah 

Katolisisme, Protestantisme, Hinduisme di dalam Islam?"

Mengenai alasan Moh. Natsir menentang Pancasila bahwa Pancasila itu 

'tidak berakar' di dalam masyarakat dan di dalam kalbu rakyat. Njoto 

membantahnya dengan menyatakan: "Tetapi jika lebih dari 50% kaum 

pemilih di dalam pemilihan umum untuk Konstituante tempo hari 

memberikan suaranya untuk partai-partai yang mempertahankan Pancasila, 

bagaimana lagi mau dibuktikan bahwa Pancasila itu 'tidak berakar'? 

Bukankah sesuatu yang dikatakan masuk akal itu adalah sesuatu yang 

bukan hanya diucapkan tetapi yang dapat dibuktikan akan kebenarannya?"

Terhadap alasan Zainal Abidin Achmad, bahwa kalau masyarakat kita 

digali maka yang ada sebenarnya "lebih daripada 5 sila", Njoto menyatakan:

Sdr. Zainal Abidin Achmad barangkali tidak menduga, bahwa 

keterangannya ini, daripada melemahkan, justru menguatkan Pancasila. 

Justru karena bermacam ragam yang ada dalam masyarakat kita dan karena 

itu bermacam-ragam pula yang dapat digali daripadanya, maka tidak 

mungkin masyarakat kita hidup dengan satu agama, satu kepercayaam atau 

satu aliran saja".

Moh. Natsir menentang Pancasila dengan alasan: "Pancasila itu hanya 

titik pertemuan dalam kata-kata". "Perumusan serangkai ide yang ada 

dalam Pancasila itu dirasakan hampa, tak dapat berkata apa-apa kepada 

jiwa umat Islam"."Ia tidak mendapat akar sama sekali dalam kalbu rakyat". 

"Kita dapat membandingkannya dengan angka-angka yang kita pakai. 

Angka 5 umpamanya dalam realitas tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataan 

kita hanya dapat menemui umpamanya 5 kuda, 5 kursi, 5 orang, 5 kapal, 

dan seterusnya."

Njoto membantahnya dengan menyatakan: "Kalau tujuannya

merendahkan Pancasila, barangkali akan lebih baik jika Sdr. Natsir tidak 

berhenti membandingkan Pancasila dengan '5 kuda', tapi juga misalnya

dengan '5 picis', atau '5 sen' ..... Tapi apakah begini ini argumentasi yang

berharga, apakah begitu ini argumentasi! Lagi pula benarkah Pancasila itu 

tanpa substansi? Yang kita bicarakan bukan panca tok, tetapi Pancasila! 

Pancasila 'suatu abstraksi'? Tetapi keyakinan mana, kepercayaan mana yang 

sesungguhnya bukan suatu abstraksi atau suatu pengabstraksian? Pancasila 

itu 'kata-kata saja'? Tapi kalau dituruti jalan pikiran Sdr. Natsir ini—a p a 

yang bukan 'kata-kata saja'? San Min Cu I Dr. Sun Yat-sen yang terdiri dari 

nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme apakah hanya 'kata-kata' saja'? 

Slogan yang telah menghancurkan Perancis feodal yang mengemukakan 

kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan apakah hanya 'kata-kata saja'? 

Tentu saya dapat melanjutkan pertanyaan-pertanyaan saya ini, saudara 

Ketua, dengan misalnya menanyakan kepada Sdr. Natsir apakah dia kalau 

mengatakan dalam perjuangan kemerdekaan ini 'setia', 'tulus', 'rela', dll. 

bukan hanya 'kata-kata saja'! Pancasila 'm au tetap berdiri sendiri' dan tidak 

mau 'mengakarkan diri' kata Sdr. Natsir. Pancasila bukannya mau berdiri 

sendiri, Pancasila mau dan sudah dan akan terus berdiri bersama-sama umat 

Kristen, Protestan, Hindu Bali, Nasionalis, Sosialis, Komunis, Islam, semua! 

Pancasila bukannya tidak mau mengakarkan diri, Pancasila mau dan sudah, 

dan akan terus mengakarkan diri pada rakyat, rakyat Indonesia."

Akhirnya, Sdr. Kasman Singodimedjo yang juga berkeberatan terhadap 

Pancasila memuji Islam sebagai sesuatu yang—kata beliau—'dialektis 

Indonesia'. Terlebih dulu saya harus mengakui bahwa saya tak mengerti

sama sekali apa yang dimaksudkan 'dialektis' oleh Sdr. Kasman. Sejak 

Herakleitos melalui Spinoza sampai ke Hegel dan Marx, dialektika itu selalu 

berarti hukum berpikir, metode berpikir. Kini tiba-tiba Sdr. Kasman 

menggunakan istilah filsafat ini dengan begitu jauh diperosotkan. Sehingga 

artinya seolah-olah hanyalah identik dengan perkataan 'cocok'—'dialektis 

Indonesia', beliau katakan dengan menterengnya, sedangkan yang 

dimaksud hanyalah 'cocok' atau mungkin 'dicocok-cocokkan'. Berbicara 

tentang cocok tak cocok, teringatlah saya akan pepatah Italia 'meterre la coda

dove con va il capo' - masukkan dari ekornya, kalau dari kepalanya tak bisa 

masuk. Tentang apa yang dikatakan Sdr. Kasman 'dialektis Indonesia' saya 

hanya ingin mengingatkan, pertama, akan yang diterangkan Sdr. Asmara 

Hadi, bahwa kebajikan-kebajikan yang diuraikan golongan Islam itu tidak 

spesifik Islam, dan kedua, akan kenyataan bahwa Islam itu tidak khas 

Indonesia. [Njoto: PKI dan Pantjasila, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1958, 

hal.26—33].

Sampai tahun 1959, Konstituante belum berhasil menyusun UUD baru. 

Pada saat bersamaan. Presiden Soekarno menyampaikan konsepsinya 

tentang Demokrasi Terpimpin. Perdana Menteri Djuanda atas nama 

pemerintah mengajukan usul dalam sidang Konstituante untuk kembali ke 

Undang-Undang Dasar 1945. Sejak itu diadakanlah pemungutan suara 

untuk menentukan Indonesia kembali ke UUD 1945. Dari 3 kali pemungutan 

suara yang dilakukan, sebenarnya mayoritas anggota yang terdiri dari 

fraksi-fraksi PNI, PKI, dan kaum nasionalis menginginkan kembali ke UUD 

1945, namun ditentang oleh Masyumi dan kalangan Islam hingga terbentur 

dengan jumlah yang tidak mencapai 2/3 suara keseluruhan. Setelah 

pemungutan suara ketiga, serempak para fraksi memutuskan tidak akan lagi 

mengikuti sidang Konstituante setelah reses 3 Juli 1959. Keadaan gawat 

inilah yang menyebabkan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 

5 Juli 1959, yang mengakhiri riwayat lembaga Konstituante, dan 

memutuskan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.

14. Amerika dan Pemberontakan PRRI - Permesta

DENGAN gagalnya usaha kup di pusat, kegiatan reaksi berkembang 

menjadi gerakan separatis petualangan militer di daerah. 20 Desember 1956, 

Kolonel Achmad Husein mendirikan Dewan Banteng di Buktitinggi, 

Sumatera Tengah. Tanggal 10 Februari 1958 didirikan organisasi yang 

bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesiayang diketuai oleh Letnan Kolonel Achmad Husein. Gerakan Husein ini 

akhirnya 15 Februari 1958 memproklamirkan berdirinya Pemerintah

Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Bukittinggi 

dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Sebelum itu, 22 

Desember 1956, Kolonel Maludin Simbolon mendirikan Dewan Gajah di 

Sumatera Timur, Di Manado, Sulawesi Utara 18 Februari 1957 dengan 

dipelopori oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor 

Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba didirikan Dewan Manguni. Di 

Sumatera Selatan oleh Kolonel Harun Sohar dibentuk Dewan Garuda.

Dewan-Dewan yang dipimpin oleh perwira-perwira Angkatan Darat ini 

mengambil sikap menentang Pemerintah Pusat. Dewan Banteng bahkan 

mengeluarkan ultimatum menuntut pembubaran Pemerintah Pusat. Dengan 

didukung oleh dewan-dewan lainnya, akhirnya tanggal 15 Februari 1958, 

memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia

(PRRI). Dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) duduk 

tokoh-tokoh Masyumi dan PSI: Sjafroeddin Prawiranegara, Soemitro 

Dj oj ohadikoesoemo.

Atas instruksi Presiden Eisenhower, pihak Amerika melakukan suatu 

operasi tertutup, artinya tidak diakui secara resmi, berbeda dengan operasi 

di Vietnam misalnya, untuk mendukung pemberontakan, dengan Dulles 

bersaudara. Direktur CIA, Allen Dulles, dan Menteri Luar Negeri, John 

Foster Dulles, bertindak sebagai operatornya. Keputusan untuk menjatuhkan

Presiden Soekarno ini telah diambil oleh Presiden Eisenhower pada tanggal 25

September 1957, lima bulan sebelum Proklamasi PRRI" [Tim Weiner, 

Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya, Jakarta, 

PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal.186].

Dalam arsip CIA yang berhasil didapat oleh Weiner, ada tiga poin 

rencana yang akan dilakukan untuk menjalankan program penggulingan 

Soekarno ini, yaitu:

1. Menyediakan senjata dan bantuan militer lainnya bagi para 

komandan militer yang anti Soekarno.

2. Memperkuat determinasi, kemauan, dan kepaduan dari perwira￾perwira pemberontak Angkatan Darat di Sumatra dan Sulawesi

3. Mendukung dan mendorong, agar bertindak baik secara sendiri￾sendiri m aupun bersama-sama, elemen-elemen anti komunis dan non 

komunis di kalangan partai-partai politik di Pulau Jawa.

Bantuan persenjataan pertama dari Amerika untuk PRRI seperti 

peluncur roket, granat, senapan, dan amunisi yang cukup untuk 

mempersenjatai 8.000 tentara, tiba pada pertengahan Januari 1958 di

pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Bantuan-bantuan lain tiba secara 

bergelombang ke dua basis utama pemberontakan, Sumatra dan Sulawesi 

Utara, memanfaatkan keberadaan fasilitas dan pangkalan militer Amerika 

dan Inggris yang berada di Filipina, Singapura, Malaya, dan Taiwan. 

Derasnya bantuan dari luar negeri, khususnya AS ini disebabkan oleh sikap 

konsisten anti komunis PRRI/Permesta, sebagai alasan utama 

pemberontakannya.

Kerja sama Amerika dengan PRRI/Permesta ini tidak hanya dengan 

tokoh-tokoh militernya saja, namun juga dengan tokoh-tokoh sipil anti 

Soekarno dan anti komunis, termasuk tokoh-tokoh politik papan atas, 

khususnya dari dua partai politik, yaitu Masyumi dan Partai Sosialis 

Indonesia (PSI), hal mana menyebabkan kedua partai tersebut dilarang oleh 

pemerintah pada tahun 1960. Tokoh PSI, Dr. Soemitro Djojohadikusumo, 

pada tanggal 15 Januari 1958 meninggalkan Sumatra Barat menuju ke 

Singapura dan kemudian ke Eropa Barat, untuk menggalang dana dan 

bantuan-bantuan lainnya dari luar negeri, termasuk upaya mendapatkan 

senjata. [Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi, Yayasan Obor, 

Jakarta, 2008, hal. 322].

Seorang pilot berkebangsaan Amerika yang merupakan seorang agen 

Cl A, Allen Pope, ditangkap setelah pesawatnya ditembak jatuh oleh 

pasukan Indonesia, saat ia sedang melaksanakan sebuah misi pemboman 

untuk kepentingan Permesta di atas perairan Maluku, pada tanggal 18 Mei 

1958. Pada hari berikutnya. Direktur Cl A, Allen Dulles, mengirim telegram 

kepada semua personel Cl A yang berada di Indonesia, Filipina, Taiwan, dan 

Singapura, berisi perintah agar mereka segera meninggalkan posisi, 

menghentikan pengiriman uang, menutup jalur pengiriman senjata, 

memusnahkan semua bukti dan m undur teratur. [Tim Weiner, hal.194].

Selama PRRI—Permesta berkuasa, telah dibunuh sejumlah besar kader 

dan anggota PKI serta organisasi-organisasi revolusioner, SOBSI, Pemuda

Rakyat, Perbum, CTN. Terkenal dengan peristiwa pembunuhan di kamp 

tahanan Situjuh, Suliki, Atar, Simun, Sumatera Barat, atas perintah Achmad 

Husein. Antara lain, terbunuh kawan Djamhur Hamzah, Wakil Sekretaris II 

Comite Provinsi PKI Sumatera Barat.

Dalam pidatonya di depan parlemen, 11 Februari 1957, D.N. Aidit 

menyatakan, bahwa "Kejadian-kejadian di Sumatera Utara, Sumatera 

Tengah, dan Sumatera Selatan, adalah rentetan kejadian yang sengaja 

ditimbulkan oleh sebuah partai kecil yang kalah dalam pemilihan umum 

yang lalu yang berhasil mendalangi sebuah partai besar dan oknum-oknum 

liar, yang tidak melihat kemungkinan dengan jalan demokratis dapat dudukkembali dalam kekuasaan sentral, dan yang hanya melihat dengan jalan 

menggunakan saluran partai-partai lain, dengan jalan mempertajam 

pertentangan antara partai-partai agama dengan PKI dan PNI, dengan bikin￾bikinan menimbulkan kemarahan rakyat di daerah-daerah supaya 

memberontak terhadap pemerintah pusat, dengan jalan mengadu-domba 

suku satu dengan lainnya dan dengan jalan menghasut orang-orang militer 

supaya memberontak kepada atasannya. Kedua: kejadian-kejadian tersebut 

terang sejalan dan berhubungan dengan rencana kaum imperialis, yang 

dipelopori oleh Amerika Serikat untuk menarik Indonesia ke dalam pakta 

militer SEATO.... Adalah sepenuhnya sejalan dengan rencana Amerika 

Serikat yang diatur oleh Pentagon (Kementerian Pertahanan) dan State

Department (Kementerian Luar Negeri) Amerika Serikat, oleh 'jenderal￾jenderal' DI/TII, serta kakitangan-kakitangan Amerika Serikat yang ada di 

Indonesia." [D.N. Aidit, Konfrontasi Peristiwa Madiun (1948)—Peristiwa

Sumatera (1956), PT A, Jilid II, hal.103 —104].

Keterlibatan Amerika Serikat dalam peristiwa PRRI—Permesta 

ditunjukkan oleh kenyataan, bahwa Menteri Pertahanan Robert McNamara 

memberi informasi pada Presiden Johnson, bahwa program bantuan militer 

terutama selama masa Soekarno telah "menyumbang secara berarti bagi 

Tentara yang pro Amerika dan yang berani bergerak menentang PKI, begitu 

ada kesempatan untuk bertindak." ["Foreign Relations of the US 1964 — 1968,

Volume XXVI, Indonesia; Malaysia—Singapore; Philippines, U.S. Department

of State, October 27, 1966]. Dalam karya-karya George Kahin ditunjukkan, 

bahwa intervensi CIA di Indonesia berakar pada Pemerintahan Eisenhower.

Kolonel Leroy Pletcher Prouty, (January 24, 1917 - June 5, 2001), mantan 

Kepala Operasi-Operasi Khusus dari Gabungan Kepala Staf dalam 

Pemerintahan Presiden J.P. Kennedy menulis, bahwa "pemberontakan di 

Indonesia yang digalakkan oleh Cl A, tidaklah seperti invasi di Teluk Playa 

Giron, Kuba, tahun 1961, tapi adalah betul-betul satu operasi militer yang 

menyeluruh. Invasi di Playa Giron tahun 1961 dilakukan oleh satu pasukan 

kecil sekitar 1500 orang Kuba di pengasingan yang dilatih oleh CIA di 

Guatemala. Tetapi pemberontakan di Indonesia tahun 1958 melibatkan tidak 

kurang dari 42.000 pemberontak bersenjata yang didukung CIA dengan 

menggunakan seperangkatan bomber dan sejumlah besar pesawat 

pengangkut bermesin empat ditambah lagi dengan bantuan kapal selam dari 

Angkatan Laut Amerika Serikat. Juga melibatkan usaha bantuan pelatihan 

dan logistik dari pihak Pilipina, Okinawa, Taiwan, dan Singapura. Tapi 

walaupun pakai kekuatan bersenjata yang sedemikian rupa, pemberontakan 

tahun 1958 seperti invasi di Playa Giron, adalah sepenuhnya gagal total.

Angkatan Darat Soekarno mengusir pemberontak di Sumatera dan Sulawesi 

masuk laut." [L. Fletcher Prouty, Indonesia 1958: Nixon, the CIA, and the Secret

War, appeared in the August, 1976 issue of Gallery magazine].

15. Demokrasi Terpimpin

DENGAN kembali diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945, berlaku 

lagi sistem presidentil. Bung Karno menampilkan gagasan Demokrasi

Terpimpin. PKI mendukung Demokrasi Terpimpin sebagaimana dinyatakan 

oleh D.N. Aidit, 24 Oktober 1958: "PKI menerima Demokrasi Terpimpin

dengan pengertian bahwa yang diterima adalah demokrasi, dan demokrasi 

yang tidak liberal. Segi positif dari Demokrasi Terpimpin ialah, di satu pihak 

anti-diktator-militer dan diktator perseorangan, dan di pihak lain anti 

liberalisme. Anti-liberalisme di lapangan politik, tidak bisa diartikan lain 

kecuali pelaksanaan Konsepsi Presiden Soekarno 100%, yaitu pembentukan 

kabinet Gotong Royong berdasarkan perwakilan berimbang dan tanpa 

"dagang sapi". Anti liberalisme di lapangan ekonomi tidak bisa diartikan 

lain kecuali anti "free fight liberalism" di lapangan ekonomi, dan ini berarti 

mengutamakan sektor negara untuk memimpin sektor partikelir. Segi-segi 

positif dari Demokrasi Terpimpin harus dikembangkan dan ditujukan untuk 

pelaksanaan Konsepsi Presiden 100%. Demokrasi Terpimpin dan Konsepsi

Presiden Soekarno adalah satu kesatuan, yang pertama adalah jalan untuk 

mencapai yang kedua." [D.N. Aidit, Mendukung Demokrasi Terpimpin Adalah

Politik Yang Paling Revolusioner!, PTA, Jilid II, cetakan kedua, hal.477—479].

Tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 

yang berisikan: pembubaran Konstituante, berlakunya kembali UUD 1945 

dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950, pembentukan Majelis 

Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan 

Agung Sementara (DPAS). Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS 

sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, presiden 

mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur 

Pembentukan MPRS sebagai berikut: MPRS terdiri atas Anggota DPR 

Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan 

golongan-golongan. Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh presiden. Yang 

dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra 

Tingkat I dan Golongan Karya. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh 

presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan presiden 

atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh presiden. MPRS mempunyai

seorang ketua dan beberapa wakil ketua yang diangkat oleh presiden. 

Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan 

Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 

Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah. 

Ciri-ciri baru dari lembaga-lembaga negara yang dibentuk menurut 

Peraturan Presiden ini adalah mencerminkan perwakilan dari tiga golongan 

masyarakat Indonesia, yaitu golongan Nasionalis, Islam, dan Komunis, 

perwujudan dari kerja sama berporoskan Nasakom ajaran Bung Karno. 

Maka terbentuklah MPRS dengan Pejabat Ketua Chairul Saleh, Wakil-Wakil 

Ketua Ali Sastroamidjojo, Idham Chalid, D.N. Aidit, dan Kol. Puspojudo.

16. Manifesto Politik RI (Manipol)

DALAM peringatan hari 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno berpidato 

dengan judul Penemuan Kembali Revolusi Kita (Manifesto Politik). Dewan 

Pertimbangan Agung membentuk sebuah Komisi yang diketuai D.N. Aidit 

untuk memerinci pidato presiden tersebut. Dalam sidang-sidangnya tanggal 

23 s/d 25 September 1959, Dewan Pertimbangan Agung menyetujui hasil 

kerja komisi perumus, yang isinya sebagai berikut: I Preambul, II Persoalan￾Persoalan Pokok Revolusi Indonesia: 1. Dasar/Tujuan dan Kewajiban 

Revolusi Indonesia, 2. Kekuatan-Kekuatan Sosial Revolusi Indonesia, 3. Sifat 

Revolusi Indonesia, 4 Musuh-Musuh Revolusi Indonesia. III Usaha-Usaha 

Pokok (Program Umum ) A. Bidang Politik, B. Bidang Ekonomi, C. Bidang 

Sosial, D. Bidang Mental dan Kebudayaan, E. Bidang Keamanan, 

F. Pembentukan Badan-Badan Baru. G. Pelaksana. [Departemen Penerangan 

R.I., Manifesto Politik Republik Indonesia, 17 Agustus 1959, Pertjetakan Negara, 

Djakarta, 1959, hal.8].

Sidang pertama MPRS yang dibuka 10 November 1960, memutuskan 

Ketetapan MPRS tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis￾Garis Besar daripada Haluan Negara". Atas dasar itu tercapailah penetapan 

Garis-Garis Revolusi Nasional Indonesia yang terang dan tandas untuk 

mencapai Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan 

makmur. Dan menjadi jelaslah oleh karenanya bagi seluruh rakyat Indonesia 

dan seluruh dunia garis-konsepsionil mengenai Ideologi Nasional Indonesia 

untuk menuju kepada Masyarakat Adil dan Makmur, berdasarkan Pancasila 

atau Sosialisme Indonesia." [MPRS dan Departemen Penerangan, Ringkasan

Ketetapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara-Republik Indonesia,

Pertjetakan Negara, Djakarta,1961, hal.10 —11].Dengan rumusan hasil komisi D.N. Aidit ini, program PKI telah terintegrasi

ke dalam Manipol, ke dalam program negara. Seiring dengan itu tokoh-tokoh 

pimpinan PKI mulai masuk dalam pucuk pimpinan negara, duduk dalam 

kabinet sebagai Menteri ex-officio dan anggota presidium kabinet. Maka 

sementara peneliti menilai, bahwa sedang berlangsung proses bertambah

kuatnya "aspek pro rakyat dalam kekuasaan negara" dan proses ini adalah 

realisasi "revolusi dari atas" dalam pelaksanaan program umum PKI. 

[Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip 45 Tahun PKI, Bab V]. Perkembangan ini 

jelas-jemelas merisaukan kalangan anti-komunis yang didalangi Amerika 

Serikat.

Demikian pula pimpinan lembaga-lembaga tersebut. Hingga D.N. Aidit, 

MH. Lukman, Sakirman, masuk ke dalam pimpinan DPR Gotong Royong, 

MPRS, DPAS, dan Depernas. Dan dalam presidium kabinet yang langsung 

dipimpin presiden terdapat Njoto. Dalam pada itu, di daerah-daerah mulai 

terdapat wakil gubernur komunis. Walikota Jakarta Raya dijabat oleh Henk 

Ngantung, wakil-wakil ketua DPRD-DPRD, walikota atau wakil walikota 

komunis. Dan dalam dua kali regrouping kabinet yang dilakukan presiden, 

Wakil-Wakil Ketua MPRS dan Parlemen dijadikan Menteri ex-officio, Menteri 

tanpa portefolio. Dengan demikian, D.N. Aidit dan M.H. Lukman jadi 

menteri ex-officio. Sedangkan Njoto jadi menteri diperbantukan pada 

presidium kabinet. Setapak demi setapak berlangsung Nasakomisasi dalam 

pimpinan lembaga-lembaga negara. Tapi di lain pihak, wakil-wakil militer, 

terutama Angkatan Darat juga menyusup ke semua pimpinan lembaga 

negara.

17. Yo Sanak, Yo Kadang, Yen Mati Aku Sing Kelangan,

Amerika Musuh Rakyat Paling Berbahaya 7

7 sampai dengan 14 September 1959 di Jakarta berlangsung Kongres 

Nasional VI PKI. Kongres dihadiri oleh delegasi-delegasi persahabatan Dimo 

Ditchev dari Partai Komunis Bulgaria; Lerzy Albrecht, Partai Buruh 

Persatuan Polandia; Morris Hughes, Partai Komunis Australia; Ursinio Rojas, 

Partai Sosialis Rakyat Kuba; Pai liku. Partai Buruh Sosialis Hongaria; Kurt 

Barthels, Partai Persatuan Sosialis Jerman; Giuseppe Boffa, Partai Komunis 

Italia. Kongres menyimpulkan dan menarik pelajaran dari pengalaman 

semenjak Kongres Nasional V. Dalam Kongres ini, D. N. Aidit 

menyampaikan laporan umum berju