Selasa, 11 Februari 2025

penggulingan sukarno 8

 


dul: Untuk Demokrasi Dan Kabinet

Gotong Royong. Resepsi penutupan kongres dihadiri Bung Karno yangmenyampaikan pidato berjudul: "Yo sanak, yo kadang, yen mfltz nkn smg 

kelangan".

Dalam pidatonya. Bung Karno menyatakan: "'Ya, Saudara-saudara, 

barangkali sayalah satu-satunya presiden sesuatu negara di dunia ini, negara 

yang bukan dinamakan negara sosialis, yang menghadiri satu kongres partai 

komunis (tepuk tangan lama). Nah betapa tidak. Saudara-saudara! Betapa 

tidak hendak saya hadiri, kan Saudara-saudara juga orang Indonesia, warga 

negara Indonesia pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia, pejuang-pejuang 

menentang imperialisme yang membela kemerdekaan Indonesia ini (tepuk

tangan yang gemuruh). Saudara-saudara adalah utusan-utusan daripada 

sebagian rakyat Indonesia, Saudara-saudara adalah sama-sama orang-orang 

bangsa Indonesia. Malah saya akan berkata dalam bahasa Jawa, Saudara￾saudara itu "yo kadang, y o sanak, malah yen mati aku sing kelangan." (tepuk

tangan gemuruh lama).

Yah, Saudara-saudara, demikianlah keadaannya maka oleh karena itu 

pun saya amat bergembira sekali tatkala saya hendak datang di ruangan 

gedung ini, dari muka istana telah meliwati barisan, barangkali pemuda￾pemuda komunis (tepuk tangan), semua menyerukan yel: Gotongroyong, 

gotongroyong ... ho lopis kuntul haris, ho lopis kuntul haris, gotongroyong ... ho

lopis kuntul baris, ho lopis kuntul baris (semua hadirin bersama-sama menyerukan

"ho lopis kuntul baris"). Saya amat gembira oleh karena ya, memang Saudara￾saudara, jikalau kita hendak menyelesaikan revolusi nasional kita ini, tidak 

ada jalan lain melainkan gotong royong dan ho lopis kuntul baris (tepuk

tangan).

Di belakang ada ditulis, "Kongres Nasional VI PKI Untuk Demokrasi dan

Kabinet Gotong Royong." (tepuk tangan). Saya dengan tegas berkata kepada 

Saudara-saudara, Kabinet Gotong Royong tetap menjadi cita-cita Bung Karno!

(tepuk tangan lama). Sebab sebagai tadi saya katakan, menyelesaikan revolusi 

nasional kita, apalagi revolusi kita setelah memasuki fase sosial ekonominya 

untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur sebagai amanat 

penderitaan rakyat, tidak ada jalan lain melainkan dengan gotong royong 

dan ho lopis kuntul baris. Maka oleh karena itu. Saudara-saudara, saya tadi 

berkata, tetap bercita-cita kabinet gotong royong dan di samping itu. 

Saudara-saudara melihat bahwa saya telah membentuk Dewan 

Pertimbangan Agung atas dasar gotong royong, telah membentuk Depernas 

atas dasar gotong royong dan insya Allah, saya akan membentuk MPR, 

Majelis Permusyawaratan Rakyat, atas dasar gotong royong pula (tepuk

tangan lama). [Bung Karno, Yo Sanak, Yo Kadang, Malah Yen Mati Aku Sing

Kelangan, Jajasan Pembaruan, Djakarta, halaman 7—8]


Laporan D. N. Aidit menyatakan bahwa imperialisme Belanda masih 

tetap musuh pertama rakyat Indonesia. Di samping itu dinyatakan bahwa 

"imperialisme Amerika Serikat adalah musuh rakyat Indonesia yang paling

berbahaya berhubung imperialisme ini adalah yang paling agresif, paling 

mampu melaksanakan maksud-maksud jahat, burhubung dengan 

penanaman modalnya yang makin besar di Indonesia, berhubung masih 

agak banyak orang-orang Indonesia yang berkedudukan penting tetapi naif 

mengira imperialisme AS tidak begitu jahat. Politik anti-imperialisme tanpa 

melawan infiltrasi-infiltrasi dan intrik-intrik AS adalah omong-kosong. 

Imperialisme AS pada waktu sekarang adalah musuh Rakyat Indonesia yang lebih

berbahaya daripada imperialisme yang mana saja. Karena jika ia sudah masuk, 

maka sukarlah untuk menendangnya ke luar." [D.N. Aidit, Untuk Demokrasi

Dan Kabinet Gotong Royong, PT A, Jilid III, hal.94]. Ini jelas menimbulkan hal 

yang tak menyenangkan bagi Amerika Serikat.

Selanjutnya Aidit menyatakan, "Kewajiban pembebasan nasional kita 

sekarang ialah membersihkan sisa-sisa kolonialisme Belanda, dengan teguh 

melawan kegiatan subversif Amerika Serikat dengan SEATO-nya, mencegah 

bertambahnya penanaman modal AS dan negeri-negeri imperialis lainnya, 

dan memperlakukan perusahaan-perusahaan AS sama dengan perusahaan￾perusahaan Belanda apabila AS terus-menerus mempersenjatai gerombolan￾gerombolan kontra-revolusioner atau memberikan bantuan senjata kepada 

Belanda dalam agresi terhadap Republik Indonesia." [Idem, hal.95].

Laporan memaparkan masalah-masalah: "Indonesia masih tetap berada 

dalam cengkeraman krisis ekonomi; harus memperluas perdagangan 

dengan negeri-negeri sosialis; masalah pengangguran, kemiskinan, ketidak￾adilan ekonomi dan sosial; masalah memperbaiki pekerjaan front nasional 

dan memencilkan lebih lanjut kekuatan kepala batu; masalah PKI 

mempertahankan republik proklamasi sesudah gagalnya Konstituante 

merumuskan Undang-Undang Dasar baru; sikap PKI terhadap kabinet 

Soekarno—Djuanda adalah: PKI bisa menyokong dengan syarat-syarat jika 

programnya maju, komposisinya dan menteri-menterinya cukup baik untuk 

melaksanakan program, kedua, ialah beroposisi, jika programnya reaksioner 

atau sekedar hanya sebagai demagogi saja, sehingga sangat tidak memenuhi 

tuntutan-tuntuan politik dan ekonomi yang paling minimum dari rakyat.8. Dwi-Tunggal Rakyat dan Tentara

"MASALAH Angkatan Perang merupakan faktor yang tidak boleh dianggap 

kecil dalam menggalang front persatuan nasional, dalam mengembangkan 

kekuatan progresif, dalam memencilkan kekuatan kepala baru, dan dalam 

usaha rakyat membentuk kabinet yang maju."

"Usaha kup yang dikendalikan kaum sosialis kanan dan kaum militeris 

mencoba melakukan kudeta 17 Oktober 1952, 13 Agustus 1956, dan 16 

November 1956, dapat digagalkan. Kegagalan ini disebabkan tiga faktor 

penting: Pertama, Presiden Soekarno yang menyatukan diri dengan rakyat 

mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan angkatan bersenjata, dan 

Presiden Soekarno menolak menjadi diktator militeris. Kedua, APRI adalah

anak kandung revolusi rakyat, karena itu mayoritas dari para perwira, bintara, dan

tamtama APRI tidak mudah dipaksa untuk menjalankan perintah yang ditujukan

untuk melikuidasi republik proklamasi dengan jalan membentuk diktator militer

atau diktator perseorangan. Ketiga, rakyat Indonesia tidak hanya mencintai 

demokrasi, tetapi di bawah pimpinan partai yang waspada, rakyat aktif 

membela demokrasi itu. Itulah sebab-sebab pokok mengapa kudeta 

M asyumi—PSI dan kaum militeris yang memihak mereka menemui 

kegagalan."

Laporan melanjutkan: "Pada waktu-waktu yang diperlukan, PKI dan 

rakyat bisa memberikan kekuasaan sampai batas-batas tertentu kepada 

angkatan perang yang patriotik, selama kekuasaan ini tidak disalahgunakan. 

Kita harus mencegah timbulnya kontradiksi yang tidak perlu atau yang 

tajam antara rakyat dan angkatan perang, dan hal-hal yang mungkin menuju 

ke arah pertajaman kontradiksi harus dihindari. Pelaksanaan garis 

'dwitunggal rakyat dan tentara' yaitu garis 'rakyat bantu tentara dan tentara bantu

rakyat/ atau 'saling bantu rakyat dan tentara' adalah jaminan dalam 

mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia." Di sini terjadi 

kesalahan dalam menilai kualitas tentara. Dalam perkembangannya, di luar 

kemauan PKI, di bawah pengendalian Soeharto, tentara yang dibantu inilah 

yang membasmi PKI habis-habisan.

Mengenai memperkuat dan memperluas demokrasi, laporan 

menyatakan: "Dengan pemberontakan kontra-revolusioner PRRI —Permesta 

pada awal tahun 1958, tokoh-tokoh M asyumi—PSI dapat menjadi 'Raja 

Sehari' di Sumatera Barat dan Sumatera Utara, berkat bayonet orang-orang 

militer yang sepaham dengan mereka dan berkat dorongan dan bantuan 

negara-negara imperialis yang dikepalai oleh Amerika Serikat."

"Cepatnya kebangkrutan demokrasi liberal di Indonesia disebabkan oleh 

dua proses: Pertama, proses kesadaran rakyat Indonesia sendiri yang 

berdasarkan pengalamannya sendiri melihat bahwa demokrasi liberal 

identik dengan korupsi dan ketidak-mampuan dalam memecahkan 

persoalan-persoalan pokok dan penting dari rakyat Indonesia. Kedua, karena 

agitasi anti-parlemen, yang pada hakikatnya anti kehidupan demokratis oleh 

promotor-promotor junta-militer dan elemen-elemen fasis lainnya." 

Menghadapi krisis demokrasi liberal "di dalam tangan rakyat Indonesia 

sudah ada senjata untuk mengatasinya, yaitu Konsepsi Presiden Soekarno 

dan gagasan Demokrasi Terpimpin. Inilah jawaban rakyat Indonesia pada 

waktu sekarang, supaya krisis demokrasi liberal berakhir dengan 

kemenangan rakyat."

"PKI menerima Demokrasi Terpimpin dengan pengertian bahwa yang 

diterimanya adalah demokrasi, meskipun bukan demokrasi rakyat, tetapi 

demokrasi yang anti-liberalisme, anti diktator-militer, dan anti diktator 

perseorangan. Segi positif dari Demokrasi Terpimpin ialah, di satu pihak 

anti-diktator militer dan anti diktator-perseorangan, dan di pihak lain anti￾liberalisme. Anti liberalisme di lapangan politik, tidak bisa diartikan lain 

kecuali pelaksanaan Konsepsi Presiden Soekarno 100%, yaitu pembentukan 

Kabinet Gotong Royong berdasarkan perwakilan berimbang di antara 

partai-partai dan golongan pendukung konsepsi presiden."

Laporan memaparkan sikap PKI di bidang internasional, yaitu "untuk

memperkuat front internasional anti-kolonial dan cinta damai." Diblejeti politik 

luar negeri Hatta dan Sjahrir yang menggantungkan diri pada imperialisme. 

Menurut Hatta: "berhubung dengan letak tanah air kita di tengah-tengah 

perhubungan internasional itu, yang masa sekarang masih dilingkungi oleh 

negara-negara besar kapitalis, adalah suatu politik yang bijaksana bahwa 

kita tidak memperbesar lingkungan musuh kita." "Kata-kata ini diucapkan 

oleh Hatta justru pada saat semangat anti-imperialisme dari rakyat sedang 

meluap-luap dan ketika AS lewat penasihat-penasihatnya secara langsung 

mencampuri persoalan dalam negeri Republik Indonesia untuk mengadakan 

pengejaran terhadap kaum komunis." "Sesungguhnya tradisi politik luar 

negeri Republik Indonesia semenjak berdirinya adalah berdasar hubungan 

dan kerja sama persahabatan dengan Timur, walaupun Sutan Sjahrir 

merintangi ini. Pembelaan pertama terhadap RI oleh wakil Sovyet Ukraina 

dalam PBB, D. Manuilsky, adalah salah satu sendi penting yang telah 

diletakkan untuk menegakkan kedudukan Indonesia dalam dunia 

internasional. Ini diperkuat lagi oleh berhasilnya perlawanan rakyat 

terhadap politik pro-Barat Sjahrir dengan diadakannya hubungan

diplomatik pertama dengan Republik Cekoslowakia waktu itu dalam tahun 

1947 dan kemudian hubungan konsuler dengan Uni Sovyet dalam bulan Mei 

1948. Negara-negara sosialis adalah pembela-pembela dan penyokong￾penyokong setia yang sejak tahun-tahun pertama revolusi sudah membela 

Republik Indonesia." Semua persetujuan ini tidak diratifikasi, bahkan 

dianulir oleh Pemerintah Hatta; dan Suripno yang bertugas duta mewakili 

RI dalam merundingkan persetujuan-persetujuan ini dipanggil pulang.

Laporan juga memaparkan masalah pembangunan partai, tentang 

perkembangan partai antara Kongres Nasional V dan VI. Dicatat, bahwa 

ketika Kongres Nasional V tercatat anggota berjumlah 49.042 dan calon 

anggota 116.164 orang, kini berjumlah lebih dari 1.500.000. Ketika Konferensi 

Nasional Partai awal tahun 1952 tercatat jumlah anggota 7.910. Konferensi 

ini memutuskan meluaskan keanggotaan menjadi 100.000 dalam 6 bulan. 

Ketika akhir tahun 1952 diperiksa hasil peluasan, maka tercatat 126.671 

anggota dan calon anggota. Pada waktu Kongres Nasional V Partai, yaitu 

bulan Maret 1954, tercatat anggota dan calon anggota 165.206. Pada 

pertengahan 1959 sudah tercatat lebih dari 1.500.000 anggota dan calon 

anggota di mana terdapat kira-kira 250.000 wanita atau 17% wanita. 

Penyebaran partai secara merata dan intensif lebih didorong lagi dengan 

dilaksanakannya Plan 3 Tahun Pertama Mengenai Organisasi dan Pendidikan

yang diputuskan oleh Sidang Pleno IV CC dalam bulan Juli 1956.

19. Pentingnya Pendidikan Marxisme-Leninisme

LAPORAN menyatakan, "pendidikan Marxisme-Leninisme syarat mutlak 

untuk persatuan di dalam partai. Garis umum pembangunan partai yang 

ditetapkan oleh Kongres Nasional V Partai, yaitu 'meneruskan pembangunan

PKI yang dibolsyewikkan, yang meluas di seluruh negeri, yang mempunyai karakter

massa yang luas, yang sepenuhnya terkonsolidasi di lapangan ideologi, politik, dan

organisasi' pada pokoknya sudah kita kerjakan dengan baik. Penyempurnaan 

pelaksanaan garis pembangunan partai masih harus kita teruskan." Tepat 

sekali kesimpulan yang pernah diambil oleh partai kita yaitu, bahwa 

'Persatuan di dalam partai hanya mungkin jika didasarkan atas persatuan 

pikiran, persatuan ideologi, yaitu pikiran atau ideologi Marxisme-Leninisme. 

Hanya jika ada persatuan pikiran dari orang-orang komunis, barulah ada 

persatuan yang sungguh-sungguh di dalam politik dan organisasi Partai 

Komunis, barulah ada persatuan di dalam aksi-aksi rakyat yang dipimpin 

oleh Partai Komunis." Ditegaskan lagi bahwa, "salah satu tugas terpenting

sekarang, ialah meneruskan pembangunan partai dengan penekanan pada 

segi pembangunan ideologi. Dengan mengemukakan ini tidak berarti bahwa 

kita boleh menganggap remeh masalah pembangunan organisasi. 

Pembangunan organisasi adalah tetap penting, tetapi lebih penting lagi 

pembangunan ideologi." Selanjutnya dikemukakan, bahwa "di dalam partai 

harus dibangunkan keberanian melakukan kritik, terutama kritik dari bawah 

kepada atasan, dengan berpegang pada pedoman yang dikemukakan oleh 

Kawan Mao Zedong yaitu 'bertitik pangkal pada kemauan bersatu, dan melalui

kritik dan selt-kritik, mencapai persatuan baru atas dasar yang baru/ Dengan setia 

mengamalkan kritik dan self-kritik berarti kita memerangi subjektivisme dan 

dengan demikian kemungkinan membikin kesalahan menjadi diperkecil 

serta persatuan di dalam partai lebih diperkuat."

Kongres ditutup dengan satu resepsi meriah, yang dihadiri sejumlah 

menteri dan para pejabat tinggi negara, di mana Bung Karno menyampaikan 

sambutannya dengan pidato berjudul "Yo sanak, yo kadang, yen mati aku sing

kelangan!" Dalam pidatonya, antara lain Bung Karno berkata: "Ya, saudara￾saudara barangkali sayalah satu-satunya Presiden sesuatu negara di dunia 

ini, negara yang bukan dinamakan negara sosialis, yang menghadiri satu 

Kongres Partai Komunis ... (tepuk tangan lama). Nah, betapa tidak saudara￾saudara! Betapa tidak hendak saya hadiri, kan udara-saudara juga orang 

Indonesia, warganegara Indonesia, pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia, 

pejuang menentang imperialisme yang membela kemerdekaan Inmdonesia 

ini. (tepuk tangan yang gemuruh) Saudara-saudara adalah utusan-utusan 

daripada sokoguru Rakyat Indonesia, saudara-saudara adalah sama-sama 

orang bangsa Indonesia. Malah saya akan berkata dalam bahasa Jawa, 

saudara-saudara itu 'yo kadangf yo sanakf malah yen mati aku sing

kelangan' (tepuk tangan gemuruh lama). [Bung Karno ... y o sanak, y o kadang,

malah yen mati aku sing kelangan, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1959, halaman

7]

Yah saudara-saudara, demikianlah keadaannya, maka oleh karena 

itupun saya amat bergembira sekali tatkala saya hendak datang di ruangan 

gedung ini, dari muka istana telah meliwati barisan, barangkali pemuda￾pemuda Komunis (tepuk tangan), semua menyerukan yel: Gotongroyong,

gotongroyong....ho lopis kuntul baris, ho lopis kuntul baris, gotongroyong .... ho

lopis kuntul baris, ho lopis kuntul baris (semua hadirin bersama-sama menyerukan

"ho lopis kuntul baris"). Saya amat gembira oleh karena ya, memang saudara￾saudara, jikalau kita hendak menyelesaikan revolusi nasional kita ini, tidak 

ada jalan lain melainkan gotongroyong dan ho lopis kuntul baris (tepuk

tangan).

Di belakang ada ditulis, "Kongres Nasional ke-VI PKI Untuk Demokrasi dan

Kabinet Gotongroyong" (tepuk tangan). Saya dengan tegas berkata kepada 

saudara-saudara. Kabinet Gotongroyong tetap menjadi cita-cita Bung Karno!

(tepuk tangan lama). Sebab sebagai tadi saya katakan, menyelesaikan revolusi 

nasional kita, apalagi revolusi kita setelah memasuki fase sosial ekonominya 

untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur sebagai amanat 

penderitaan Rakyat tidak ada jalan lain melainkan dengan gotongroyong 

dan ho lopis kuntul baris. Maka oleh karena itu, saudara-saudara, saya tadi 

berkata, tetap bercita-cita Kabinet Gotongroyong dan di samping itu, 

saudara-saudara melihat bahwa saya telah membentuk Dewan 

Pertimbangan Agung atas dasar gotongroyong, telah membentuk Depernas 

atas dasar gotongroyong dan insya Allah, saya akan membentuk MPR, 

Majelis Permusyawaratan Rakyat atas dasar Gotong Royong pula (tepuk

tangan lama). [Bung Karno, y o sanak, y o kadang, malah yen mati aku sing

kelangan, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1959, halaman 7-8 ]

Pedato Presiden yang sangat bersahabat dengan PKI memberi pengaruh 

baik bagi meningkatnya martabat PKL Kedudukan Presiden sebagai Kepala 

Negara dan Kepala Pemerintahan yang didukung oleh PKI memainkan 

peranan penting dalam mendorong maju situasi politik di Indonesia..

Dengan dijadikannya Manipol Garis-Garis Besar Haluan Negara, maka 

terjadilah pengintegrasian program PKI ke dalam program negara. Ini terjadi 

berkat hasil kerja D.N. Aidit sebagai Ketua Panitia perincian Manipol. 

Program PKI untuk penyelesaian tuntutan-tuntutan revolusi Agustus 

sampai keakar-akarnya, telah berintegrasi dengan Manipol, program negara. 

Langkah-langkah Bung Karno melakukan dua kali regrouping kabinet 

menghasilkan kian berkurangnya kekuatan kepala batu dalam kabinet, dan 

masuknya Ketua dan wakil-wakil Ketua CC PKI ke dalam kabinet, yaitu 

sebagai wakil-wakil Ketua MPRS dan Parlemen, D.N. Aidit dan M.H. 

Lukman menjadi Menteri ex-officio. Menteri tanpa portefolio, dan Njoto 

menjadi Menteri anggota Presidium Kabinet. Perkembangan PKI yang 

sampai tokoh-tokoh pimpinan bisa masuk Pemerintah Pusat Indonesia 

adalah menghantui Amerika Serikat. Para penguasa Amerika Serikat sudah 

membayangkan bahwa di bawah kekuasaan Sukarno, Indonesia segera jatuh 

ke dalam pelukan kekuasaan komunis.

Desember 1960 berlangsung Sidang Pleno ke-II CC ke-VI PKI di Jakarta. 

Dalam sidang ini, D.N. Aidit menyampaikan laporan berjudul Maju Terus

Menggempur Imperialisme dan Feodalisme! Laporan menunjukkan bahwa 

"periode yang ditinjau ditandai oleh pergulatan antara golongan yang

mendukung dan golongan yang menolak Manipol. Golongan yang menolak 

dan menentang pelaksanaan Manipol tadinya dipelopori oleh Masyumi-PSI 

dan 'Liga Demokrasi'. Sesuai dengan kehendak Rakyat terbanyak partai￾partai kepala batu Masyumi-PSI telah dibubarkan oleh Presiden Sukarno. 

Bubarnya partai-partai yang paling kanan ini merupakan suatu peristiwa 

penting dalam sejarah perjuangan nasional kita" [D.N. Aidit, Maju Terus

Menggempur Imperialisme dan Feodalisme!, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1961, 

hal. 3-4 ]

Laporan menyatakan, bahwa "Sidang Pleno CC kali ini dilangsungkan 

dengan dijiwai oleh dua kemenangan besar, kemenangan nasional dan 

kemenangan internasional. Kemenangan pertama ialah kemenangan Rakyat 

Indonesia berhubung telah ditetapkannya dengan suara bulat oleh MPRS 

Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Garis-Garis Besar Pola Pembangunan 

Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Kemenangan kedua, ialah 

kemenangan gerakan komunis sedunia dengan adanya Pernyataan para 

wakil Partai Komunis dan Buruh beserta seruannya kepada Rakyat-Rakyat 

di seluruh dunia yang dengan suara bulat dikumandangkan oleh 81 Partai 

Komunis dan Buruh, mewakili 36 juta Komunis dari 5 benua dalam bulan 

November yang baru lalu" [Idem, hal. 6-7 ]

Laporan menyatakan, bahwa PKI berpendapat bahwa Garis-Garis Besar 

Pola Pembangunan Nasional menurut ketetapan nomor II MPRS sampai 

batas-batas tertentu sesuai dengan watak revolusi Indonesia yang nasional 

dan demokratis yang anti imperialisme dan anti feodalisme, yaitu tidak 

mementingkan investasi modal asing, mementingkan Tandreform' dan 

pertanian, mementingkan industrialisasi dan industri berat, dan 

menempatkan ekonomi sektor negara pada kedudukan memimpin 

perekonomian negeri.

Maka tak ayal lagi kekuatan reaksi menggalakkan rekayasa demi 

pembasmian komunis di Indonesia dan penggulingan Presiden Sukarno. 

Kekuatan reaksi menggerakkan berbagai usaha untuk mengisolasi PKI. 

Salah satu di antaranya menggunakan Pancasila, yaitu berusaha memfitnah 

PKI anti Pancasila. Dalam rangka menciptakan syarat untuk melarang PKI, 

awal 1961, T.B. Simatupang menulis sebuah makalah tentang TNI dan Masa

depan Indonesia, yang memaparkan argumentasi bahwa "Marxisme-Leninisme

adalah bertentangan dengan Pancasila." Dalam makalahnya ini Simatupang 

sudah menggunakan istilah "zaman post-Sukarno" [H. Rosihan Anwar, 

Sukarno-Tentara-PKI, Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965, 

Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006 ]. .Ini berarti, sudah diperhitungkan 

digantinya Sukarno sebagai Presiden. Dalam pada itu. Pemerintah telah

mengeluarkan Penpres No. 7/1959 dan Perpres No. 13/1960, yang 

menetapkan, bahwa Pemerintah hanya mengakui Partai-Partai yang 

dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan tujuannya tidak untuk 

mengganti dasar negara. Partai-Partai diminta menyesuaikan Anggaran 

Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya dengan Penpres No. 7/1959 dan 

Perpres No. 13/1960. Pemerintah membentuk Panitia Tiga yang terdiri dari 

Roeslan Abdoelgani, Ketua DPA, A.H. Nasution Menteri Pertahanan dan 

Ipik Gandamana, Menteri Dalam Negeri, untuk menyeleksi Partai-Partai 

sehubungan dengan Penpres dan Perpres ini.

5 September 1960 Politbiro CC PKI mengeluarkan statement yang 

menyatakan bahwa untuk memenuhi Penpres No. 7 Tahun 1959, Pasal 3, 

bagi PKI tidaklah mempunyai keberatan apa-apa untuk menyatakan dengan 

tegas, bahwa PKI menerima dan mempertahankan UUD '45 dan 'Pancasila'. 

Dalam sidang Pleno ke-II CC PKI akhir Desember 1960, Politbiro CC 

mengusulkan agar mengamendir Konstitusi Partai dengan menambahkan 

rumusan berikut: "PKI menerima dan mempertahankan UUD '45, yaitu Undang

Undang Dasar Republik Indonesia yang dalam Pembukaannya memuat hasrat

Rakyat Indonesia untuk hidup merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dan

memuat Pancasila sebagai dasar-dasar negara; bertujuan membangun suatu

masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian Bangsa Indonesia, dan

mendasarkan program kerjanya pada Manifesto Politik Republik Indonesia serta

perinciannya yang sudah ditetapkan oleh Sidang Pertama MPRS tanggal 19

November 1960 sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia".

[Njono, Pengantar diskusi untuk memperkuat statement Politbiro CC PKI

mengenai Pen.Pres.N o.7/1959, Jajasan Pembaruan, 1961, dokumen Sidang 

Pleno ke-II CC ke-VI PKI, hal. 29-30 ]. Usul ini diterima dan menjadi 

keputusan sidang.

25-30 April 1962 di Jakarta berlangsung Kongres Nasional ke-VII PKI. 

Dalam laporan politiknya, D.N. Aidit menyempaikan bahwa "Menurut 

Keputusan Presiden RI No. 123/1961, PKI telah mendapat pengakuan 

sebagai Partai yang memenuhi syarat-syarat seperti yang ditentukan dalam 

peraturan-peraturan tersebut" [D.N. Aidit, Untuk Demokrasi, Persatuan Dan

Mobilisasi, Laporan Umum kepada Kongres Nasional ke-VII PKI, 25 April 

1962, Depagitprop CC PKI, Djakarta 1962, hal. 5].

Dalam Kongres ini D.N. Aidit menyampaikan laporan politik berjudul 

"Untuk Demokrasi, Persatuan dan Mobilisasi". Kongres ini adalah Kongres 

Luarbiasa, yang diadakan berhubung dengan keharusan penyesuaian 

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan Program PKI dengan 

ketentuan-ketentuan Penpres No. 7/1959 dan Perpres No. 13/1960. Kongres

mengesahkan Anggaran Dasar - Anggaran Rumah Tangga (Konstitusi) yang 

dalam Preambulnya antara lain memuat: "Seluruh pekerjaan PKI didasarkan 

atas teori Marxisme-Leninisme dan karena Marxisme-Leninisme bukanlah 

dogma, melainkan suatu pedoman untuk aksi, maka dalam setiap 

aktivitetnya PKI berpegang teguh pada prinsip memadukan kebenaran 

umum Marxisme-Leninisme dengan praktek yang kongkrit daripada 

perjuangan revolusioner Indonesia. PKI berjuang melawan revisionisme, 

baik yang lama m aupun yang modern, juga melawan tiap fikiran yang tidak

kritis, melawan dogmatisme dan empirisisme.... Karena PKI telah

mengambil bagian yang sangat aktif dalam Revolusi Agustus 1945 dan terus 

akan mengambil bagian yang sangat aktif dalam menyelesaikan tuntutan￾tuntutan Revolusi Agustus sampai ke-akar-akarnya, maka azas dan tujuan 

PKI tidak bertentangan dengan azas dan tujuan negara Republik Indonesia 

dan programnya tidak dimaksud untuk merombak azas dan tujuan negara 

tersebut. PKI menerima dan mempertahankan UUD 1945 yang dalam 

Pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar-dasar negara dan bertujuan 

membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian 

bangsa Indonesia. PKI mendasarkan program kerjanya atas Manifesto Politik 

RI dan perinciannya yang sudah ditetapkan oleh Sidang Pertama MPRS 

sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara RI. PKI dalam memperjuangkan 

tujuannya menggunakan jalan-jalan damai dan demokratis. Ini adalah yang 

dikehendaki dan diperjuangkan dengan sekuat tenaga oleh PKI". [CC PKI, 

AD-ART (KONSTITUSI) PKI, Djakarta, 1962, hal. 5-17 ] Dengan rumusan 

tersebut di atas PKI memenuhi syarat yang dituntut oleh Penpres No. 7/1959 

dan Perpres No. 13/1960, maka PKI diakui sebagai Partai yang sah.

Dalam laporan ini D.N. Aidit mengemukakan: "Badan-badan kenegaraan 

seperti DPA, DPR GR, DEPERNAS, MPRS dan berbagai DPRD dan 

Pemerintah Daerah, serta belakangan ini penggolongan-kembali atau 

regruping (regrouping) Kabinet Kerja dan dibentuknya Musyawarah 

Pimpinan Negara (MPN) memang semuanya ini merupakan usaha-usaha 

untuk mengadakan pengubahan demokratis dalam sistim politik sesuai dengan 

tuntutan-tuntutan massa Rakyat. Tetapi semuanya ini adalah usaha yang 

masih harus dilanjutkan, karena pemerintahan dan alat-alat negara tidak 

mengalami perubahan-perubahan yang besar seperti yang diinginkan oleh 

Konsepsi Presiden Sukarno, Manipol, Djarek, Amanat Pembangunan 

Presiden dan Resopim. Resopim tegas menghendaki adanya retuling alat￾alat negara". Dengan demikian, tetap tidak ada jaminan bahwa Plan 

Pembangunan 8 Tahun, Triprogram Kabinet dan Trikomando Rakyat tidak 

akan menjumpai rintangan-rintangan serius dari dalam dan luar aparaturnegara, tetap tidak akan ada tindakan tegas dan tepat terhadap imperialisme 

dan feodalisme, terhadap mereka yang menyeleweng dan mensabot 

pelaksanaan Ketetapan-Ketetapan MPRS, Triprogram dan Trikomando 

Rakyat" [D.N. Aidit, Untuk Demokrasi, Persatuan dan Mobilisasi hal. 13 ]

20. Bung Kamo: "Go Ahead!"

KONGRES ditutup dengan sebuah resepsi meriah. Bung Karno 

menyampaikan pedato sambutan dalam resepsi ini. Dalam pedatonya. Bung 

Karno menyatakan: "Maka benar ucapan Lenin, revolusioner adalah tiap￾tiap orang yang di dalam nationale revolutie menentang kepada 

imperialisme, tiap-tiap orang yang menghendaki pembebasan nasional 

daripada sesuatu bangsa, pendek kata, sesuatu manusia yang menghendaki 

kemerdekaan bangsa, kemerdekaan umat manusia, dia adalah revolusioner. 

Nah, di dalam analisa yang demikian ini, saya kira, wah payah bagi saya 

untuk mengatakan bahwa PKI bukan revolusioner. Ya, ada yang bilang, o, 

PKI itu sebetulnya 'm au mengacau'. PKI itu sebetulnya, ya, kalau dipikir￾pikir sedalam-dalamnya, PKI itu 'kontra revolusioner' sebab mengacau 

perjuangan kita untuk membebaskan Irian Barat', katanya.

Tidak, tidak. Saya melihat bahwa di dalam perjuangan membebaskan 

Irian Barat, bahwa di dalam perjuangan menegakkan Republik, di dalam 

perjuangan untuk mempertahankan Republik, kaum komunis memegang rol 

yang sangat menguntungkan kepada perjuangan itu." Selanjutnya Bung 

Karno menyatakan: "Saya dengan tegas berkata, adanya PKI berkembang 

biak dari 150.000 orang menjadi 2 juta orang bukan kok saya, karena saya 

bombong, bukan kok karena suatu ucapan 'komunis itu, orang komunis 

Indonesia itu yo kadangku, yo sanakku'. Bukan, PKI menjadi besar, PKI 

menjadi ndodro di mana-mana, PKI menjadi kuat, y alah oleh karena PKI 

konsekwen memihak kaum buruh dan kaum tani (tepuk tangan lama). Karena 

PKI konsekwen memperjuangkan nasib si jembel, konsekwen hendak 

memberi kehidupan yang layak kepada Rakyat jelata, konsekwen 

menentang imperialisme, konsekwen hendak mengibarkan bendera sang 

Merah Putih di seluruh wilayah tanah air Indonesia, oleh karena itulah PKI 

menjadi besar (tepuk tangan lama). Dalam menutup pedatonya. Bung karena 

menyatakan "Maka oleh karena itulah, maka dengan barisan seluruh Rakyat 

Indonesia yang berporos Nas-A-Kom saya minta sekali lagi pada segenap 

Rakyat jangan lepaskan tujuan akhir yang ini dari pandangan mata kita. 

Bahtera yang dikatakan oleh Saudara Aidit, kapal kencana, kata SaudaraAidit, ya Saudara Aidit memakai perkataan ini, kapal kencana (sambil 

tertawa), untuk menuju tujuan itu yalah bernama negara Republik Indonesia 

yang memakai wadah bukan saja Pancasila dan Nasakom dan Manipol 

tetapi tujuannya oleh Saudara Aidit tadi pula Sosialisme Indonesia itu 

memang dari tadinya sudah menjadi cita-cita dari Partai Komunis

Indonesia.....Maka saya saudara-saudara, menyambut penutupan Kongres

ke-VII dari PKI dengan ucapan Go Ahead!, jalan terus, mari kita bersama￾sama menyelesaikan revolusi Indonesia ini." [Presiden Ir. Dr. Sukarno, Go

Ahead! Jajasan Pembaruan Djakarta, 1965]

21. Imperialisme Amerika Musuh Nomor Satu Rakyat

Indonesia

KEKUATAN anti-komunis kian aktif bergerak menciptakan syarat untuk 

pelarangan PKI. PKI bukannya mundur, tapi kian berkobar-kobar 

menggerakkan rakyat melawan imperialisme AS, menuju pembentukan 

Kabinet Gotong Royong. Sidang Pleno I CC berlangsung 10 Februari 1963, 

dengan laporan politik D.N. Aidit berjudul: Berani, Berani, Sekali Lagi Berani.

Putusan sidang merumuskan imperialisme AS adalah musuh nomor satu dan

paling herhahaya dari rakyat Indonesia.. Satu kesimpulan yang membikin 

Amerika Serikat naik pitam.

Di samping itu, sidang memutuskan menetapkan Tri Tugas Praktis Partai, 

yaitu:

1. mengonsolidasi kemenangan-kemenangan,

2. menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi,

3. melawan neo-kolonialisme.

[D.N. Aidit, Berani, Berani, Sekali Lagi Berani!, Laporan Politik kepada 

sidang pleno I CC VII, 10 Februari 1963, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 

1963, hal.28]

Perkembangan PKI sudah menimbulkan kekhawatiran di kalangan 

kaum kanan. Diperhitungkan, kalau berlangsung pemilihan umum, PKI 

akan mencapai kemenangan besar, bahkan kedudukan presiden bisa direbut 

oleh wakil PKI. Maka untuk mencegah terjadinya hal ini, pihak Angkatan 

Darat mengusulkan penundaan pemilihan umum. Dan A.H. Nasution 

mengajukan gagasan presiden seumur hidup, agar wakil PKI tidak bisa 

merebut kedudukan ini. Gagasan ini diajukannya pada Suwirjo, Ketua PNI. 

Suwir j o mendukung gagasan ini. Maka diusulkan Bung Karno jadi presiden

seumur hidup melalui Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963. [Baca: 

Y.T.Taher, MASHI (Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia)]

Tanggal 26 Mei 1963, berlangsung rapat umum memperingati Hari 

Ulang Tahun ke-43 PKI di Istana Olah Raga Gelora Bung Karno. Dalam rapat 

umum ini, D.N. Aidit berpidato dengan judul Hayo, Ringkus dan Ganyang

Kontra-Revolusi! [D.N. Aidit, Hayo, Ringkus dan Ganyang Kontra-Revolusi!,

Pidato Ultah ke-43 PKI di Istana Olah Raga Gelora Bung Karno, 26 Mei 1963, 

Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1963]. Dalam pidato ini dipaparkan: bahwa 

meningkatnya martabat PKI secara nasional dan internasional menyebabkan 

kawan dan lawan "mempelajari PKI". Dicatat bahwa pengembalian Irian 

Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 

merupakan peristiwa penting, satu kemenangan dalam perjuangan 

mengonsolidasi seluruh wilayah Republik Indonesia. Kemenangan lain yang 

telah kita capai sebagai hasil kerja sama rakyat dan angkatan bersenjata ialah 

pemulihan keamanan dalam negeri, dan sejak tanggal 1 Mei 1963, SOB telah 

dihapuskan di seluruh Indonesia, termasuk Peperti serta Peperda, menurut 

ketentuan semua kekuasaan pemerintah di pusat dan di daerah-daerah 

sudah harus diserahkan kembali kepada Pemerintahan Sipil. [Idem, hal.6].

22. Teori "Dua Aspek Kekuasaan Negara" dan Metode

Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP)

DALAM pidatonya ini, Aidit mengemukakan teori dua aspek kekuasaan negara,

yaitu terdapatnya kekuatan pro-rakyat dan kekuatan anti-rakyat dalam 

kekuasaan negara. Dikemukakan bahwa "kekuasaan negara Republik 

Indonesia sekarang ini masih terdiri dari dua segi. Untuk dapat menjalankan 

tugas-tugas revolusi sekarang, segi yang mewakili kepentingan-kepentingan 

rakyat harus dapat mengungguli dan mendesak keluar mereka yang 

mewakili kepentingan-kepentingan musuh-musuh rakyat di dalam 

kekuasaan negara." [Idem, hal.17]. "Kaum komunis Indonesia akan terus 

bekerja keras untuk mengonsolidasi dan memperkokoh segi rakyat dalam 

kekuasaan negara, dengan setia kepada azas revolusi dari atas dan dari bawah,

sebagaimana yang dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidato 

Djarek." [Idem, hal.17].

'Teori Dua Aspek' jelas merupakan penyelewengan oportunisme atau 

revisionisme, karena mengingkari ajaran Marxisme — Leninisme bahwa 

'negara adalah suatu alat kekuasaan kelas tertentu yang tidak dapat 

didamaikan dengan anti-podenya (kelas yang berlawanan dengannya)/Tidak mungkin RI dikuasai bersama oleh rakyat dan musuh rakyat [Politbiro 

CC PKI, Tegakkan PKI yang Marxis—Leninis untuk Memimpin Revolusi

Demokrasi Rakyat Indonesia, Otokritik Politbiro CC PKI September 1966,

Diterbitkan oleh Delegasi CC PKI, September 1971, hal.136].

"Pimpinan partai telah menggunakan teori tentang kontradiksi dalam 

kekuasaan negara secara subjektif. Kecuali itu dengan menganggap 

kedudukan borjuasi nasional sebagai segi rakyat dalam kekuasaan negara RI 

dan Presiden Soekarno sebagai pemimpinnya, berarti menganggap bahwa 

borjuasi nasional mampu memimpin revolusi borjuis demokratis tipe baru. 

Ini bertentangan dengan kenyataan sejarah.

Pimpinan PKI mengatakan bahwa 'teori dua aspek' sama sekali tidak 

sama dengan 'teori perubahan struktur' dari pemimpin-pemimpin Partai 

Komunis Italia yang revisionis itu. Tetapi baik secara teori maupun 

berdasarkan kenyataan praktik tidak ada perbedaan antara kedua Teori' itu. 

Kedua-duanya bertolak dari jalan damai mencapai sosialisme, kedua￾duanya mengkhayalkan perubahan secara berangsur-angsur perimbangan 

intern dan susunan negara; kedua-duanya sama-sama revisionis.

'Teori dua aspek' yang anti-revolusi itu jelas dinyatakan dalam keterangan 

bahwa 'Perjuangan PKI mengenai kekuasaan negara ialah mendorong 

supaya aspek pro-rakyat makin besar dan bisa berdominasi, sedangkan 

kekuatan-kekuatan yang anti-rakyat dikeluarkan dari kekuasaan negara/ 

[Idem, hal.142 —144].

"Oleh pimpinan partai, jalan yang anti-revolusi itu bahkan dinamakan 

jalan 'revolusi dari atas dan dari bawah'. Dari atas berarti bahwa PKI harus 

mendorong kekuasaan negara untuk melakukan tindakan-tindakan 

revolusioner guna mengadakan perubahan-perubahan dalam personalia dan 

aparatur negara. Sedangkan dari bawah berarti membangkitkan, 

mengorganisasi, dan memobilisasi rakyat untuk mencapai perubahan￾perubahan tersebut. Sungguh suatu fantasi yang luar biasa! Pimpinan partai 

tidak belajar dari kenyataan bahwa Konsepsi Presiden Soekarno tentang 

pembentukan Kabinet Gotong-Royong (Pemerintah Koalisi Nasional tipe 

lama) sudah delapan tahun sejak diumumlkan, belum pernah dan tidak ada 

tanda-tanda akan dilaksanakan, walaupun terus dituntut. Apalagi 

perubahan kekuasaan negara!

Lenin memang pernah menunjukkan terbukanya kemungkinan 'aksi dari

atas', yaitu ketika terdapat kemungkinan mengambil bagian dalam 

pemerintah revolusioner sementara menjelang revolusi Rusia tahun 1905. 

Ketika itu adalah periode dari pergolakan-pergolakan politik dan revolusi￾revolusi telah mulai. Apabila tidak mungkin bertindak dari atas, menurut

Lenin harus dilakukan tekanan dari bawah, dan untuk itu proletariat harus 

dipersenjatai.

Jelaslah betapa bedanya situasi dan syarat-syarat yang diajukan Lenin 

tentang terbukanya kemungkinan 'aksi dari atas' dan syarat-syarat 'aksi dari

bawah'. Yang satu diajukan dalam situasi revolusioner, yang lain diajukan 

bukan hanya dalam situasi relatif damai, tetapi juga secara oportunis.

'Teori dua aspek' adalah sama dengan pemutarbalikan Kautsky terhadap 

Marxisme tentang negara. Kautsky secara teori tidak menyangkal bahwa 

negara adalah alat kekuasaan kelas. Yang dikaburkan atau dihilangkan oleh 

Kautsky ialah 'bahwa pembebasan kelas tertindas tidaklah mungkin bukan hanya

tanpa revolusi yang keras, tetapi juga tanpa penghancuran aparat kekuasaan negara

yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa....'

Untuk membersihkan diri dari lumpur oportunisme, partai kita harus 

membuang 'teori dua aspek dalam kekuasaan negara' dan menegakkan kembali 

ajaran-ajaran Marxisme—Leninisme tentang negara dan revolusi." [Idem,

hal.144 —146]

September 1963, Aidit berkunjung ke Tiongkok dan berpidato di depan 

Sekolah Sentral PKT. Dalam pidatonya memperkenalkan PKI dan Soal-Soal 

Pokok Revolusi Indonesia antara lain dikemukakannya: "Untuk dapat 

memimpin perkembangan politik, PKI menjalankan garis umum 

meneruskan penggalangan front nasional dan meneruskan pembangunan 

partai.

Berdasarkan garis umum ini, kaum komunis Indonesia mengibarkan 

Tripanji Partai untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 

1945 sampai ke akar-akarnya, yaitu:

1) Panji Front Nasional,

2) Panji Pembangunan Partai,

3) Panji Revolusi Agustus 1945."

"Mengibarkan panji Revolusi Agustus 1945 tinggi-tinggi berarti menarik 

sebanyak mungkin rakyat Indonesia berkeliling di sekitarnya dan berjuang 

untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus sampai ke akar￾akarnya, yaitu hapusnya imperialisme dan feodalisme di Indonesia. Panji 

Revolusi Agustus memakukan arti penting daripada menggunakan 

pengalaman-pengalaman perjuangan selama Revolusi Agustus 1945. 

Pengalaman Revolusi Agustus 1945 memberi pelajaran-pelajaran bahwa 

untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia, adalah sangat penting rol 

daripada peperangan gerilya. Tapi peperangan gerilya ketika itu akan lebih 

berhasil dan mencapai kemenangan, jika kita melakukan MKTBP (Metode

Kombinasi Tiga Bentuk Perdjuangan), ialah perjuangan gerilya di desa-desa.

aksi-aksi revolusioner di kota-kota oleh kaum buruh, terutama buruh 

transportasi, dan bekerja baik dan intensif di kalangan kekuatan bersenjata 

m usuh/' [D.N. Aidit, Revolusi Indonesia dan Tugas-Tugas Mendesak PKI,

Ceramah Ketua PKI D. N. Aidit di Sekolah Tinggi Partai dari CC PKT, 2 

September 1963, Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1964, hal.37].

"Pimpinan partai mengemukakan bahwa 'Partai tidak boleh menjiplak 

teori perjuangan bersenjata di luar negeri, tetapi harus menjalankan Metode 

Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP), yaitu perjuangan gerilya di desa

(terutama terdiri dari buruh buruh tani dan tani miskin); aksi-aksi revolusioner oleh

kaum buruh (terutama buruh transportasi) di kota-kota; dan pekerjaan intensif di

kalangan kekuatan bersenjata musuh." "Pimpinan Partai mengkritik sementara 

kawan, karena dianggapnya dalam belajar dari pengalaman perjuangan 

bersenjata rakyat Tiongkok hanya melihat persamaan-persamaannya. 

Sebaliknya pimpinan partai mengemukakan perbedaan-perbedaan syarat 

yang harus diperhitungkan, sehingga kesimpulannya ialah bahwa metode 

yang khas bagi revolusi Indonesia adalah 'MKTBP'.

Menggunakan pengalaman negeri-negeri lain secara dogmatis adalah 

salah. Tetapi menolak menggunakan pengalaman negeri lain yang telah 

teruji kebenarannya sebagai salah salah satu teori revolusi rakyat adalah 

juga salah. Lenin mengajarkan bahwa "suatu gerakan yang mulai di sebuah

negeri yang muda dapat berhasil baik hanya jika ia mengolah pengalaman negeri￾negeri lain secara kritis dan mengujinya secara bebas."

Kenyataan membuktikan bahwa "teori MKTBP" bukan hasil pengalaman 

secara kritis dari negeri lain yang dipadu dengan praktik konkret Indonesia, 

sehingga merupakan salah satu teori revolusi yang khas Indonesia; ia bukan 

metode yang khas Indonesia. Revolusi Rusia tahun 1905 seperti diterangkan 

oleh Lenin dalam Kuliah Tentang Revolusi 1905: adalah merupakan kombinasi 

daripada pemogokan-pemogokan kaum buruh, perjuangan anti-feodal 

kaum tani di desa-desa dan pemberontakan tentara dengan pemogokan 

buruh sebagai pelopornya. Revolusi Tiongkok juga mengombinasikan 

perang agraria revolusioner, pekerjaan di desa-desa dan kota-kota yang 

diduduki oleh musuh, dan pekerjaan dalam kekuatan bersenjata musuh 

dengan perang agraria revolusioner sebagai bentuk pokoknya."

"Tiga bentuk perjuangan yang harus dikombinasi, masing-masing 

dipimpin bukan menuruti jalan revolusi, tetapi menuruti "jalan damai". 

Perjuangan kaum tani untuk melawan penghisapan dan penindasan sisa-sisa 

feodalisme, apabila mendapat pimpinan yang tepat tidak bisa tidak pasti 

berkembang ke arah bentuknya yang tertinggi yaitu revolusi agraria untuk 

membebaskan kaum tani dari penindasan tuan tanah. Perjuangan ini hanyamungkin mencapai kemenangan sempurna apabila dilakukan dengan 

bersenjata di bawah pimpinan PKL Tetapi pimpinan partai tidak 

memusatkan pimpinannya ke arah perkembangan perjuangan tani yang 

semakin tinggi dan mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan 

yang akan terjadi/' [Politbiro CC PKI, Tegakkan PKI yang Marxis—Leninis,

hal.124 —125].

Berpangkal pada pendirian yang salah bahwa 'Angkatan Bersenjata RI

bukanlah angkatan bersenjata yang reaksioner' maka soal 'bekerja di kalangan 

kekuatan bersenjata musuh' diartikan sebagai 'mengintegrasikan alat-alat 

negara yang penting dengan rakyat' atau 'mengeratkan hubungan 

dwitunggal rakyat dan angkatan bersenjata'. Ini berati mengintegrasikan alat 

kekerasan kelas-kelas penindas dengan kelas-kelas tertindas. Kesalahan 

demikian terjadi karena pimpinan partai mengingkari ajaran Marxisme — 

Leninisme tentang negara, memandang RI bukan negara borjuis dan 

Angkatan Bersenjata RI bukan alat negara borjuis. Pimpinan partai 

melupakan kenyataan bahwa Angkatan Bersenjata RI secara keseluruhan, 

walaupun dilahirkan oleh Revolusi Agustus, tetapi sejak revolusi itu gagal 

dan kekuasaan negara jatuh sepenuhnya di tangan borjuis reaksioner, 

dengan sendirinya menjadi alat kekuasaan kelas yang menguasai negara itu. 

Asal kelas dari para bintara dan tamtama yang banyak dari anak-anak kaum 

buruh dan kaum tani memang dapat merupakan elemen yang memihak 

rakyat. Tetapi hal ini tidak mengubah kedudukan angkatan bersenjata secara 

keseluruhan sebagai alat negara yang mengabdi kepentingan kelas yang 

berkuasa.

Untuk memenuhi tugas sejarahnya yang besar, berat, tetapi mulia, yaitu 

memimpin revolusi rakyat anti-imperialisme dan anti-kapitalisme-birokrasi, 

kaum Marxis — Leninis Indonesia harus tegas meninggalkan jalan damai 

yang revisionis itu, meninggalkan "teori MKTBP", dan mengibarkan tinggi 

panji revolusi rakyat bersenjata. Seperti juga pengalaman revolusi rakyat 

Tiongkok yang jaya, kaum Marxis—Leninis Indonesia harus menggalang 

daerah basis revolusioner; mereka harus 'membangun desa-desa yang

terbelakang menjadi daerah basis yang maju, terkonsolidasi, menjadi benteng￾benteng revolusiuoner yang besar secara militer, politik, ekonomi, dan kebudayaan'

[Idem, hal.127—129].

MENGENAI kontradiksi-kontradiksi dalam Gerakan Komunis Internasional 

yang sedang bergejolak waktu itu, Aidit mengemukakan: "'Kita tetap 

mengharap supaya semua polemik dan kecam-mengecam benar-benar 

dihentikan, baik dalam pidato-pidato dan dalam tulisan-tulisan, baik 

terhadap Partai Buruh Albania m aupun terhadap Partai-Partai Komunis dan 

Buruh lainnya. Sikap PKI yang memegang teguh prinsip-prinsip Marxisme—

Leninisme, tetapi luwes dalam membawakannya,, juga dalam masalah keretakan 

GKI ini mendapat sambutan baik dari para kader dan anggota PKL Partai 

kita yakin akan kebenaran sikapnya dan mendidik para anggota untuk 

bersikap kritis, rendah hati, percaya pada diri sendiri, dan bersungguh￾sungguh dalam menghadapi masalah persatuan GKI.

"Dalam perjuangan untuk memulihkan persatuan dalam GKI, kita harus 

terus melawan revisionisme, baik klasik m aupun modern, dan terus 

melawan dogmatisme, baik klasik m aupun modern. Deklarasi Moskow 1957 

menunjukkan dengan tepat bahwa bahaya utama dalam GKI pada dewasa 

ini adalah revisionisme modern dan Pernyataan Moskow 1960 menugaskan 

Partai-Partai Marxis —Leninis untuk menelanjangi terus-menerus dan 

berjuang aktif melawan revisionisme Yugoslavia yang sekarang makin erat 

dalam genggaman imperialisme AS. Berhenti melawan revisionisme baik 

klasik m aupun modern berarti berhenti berjuang sungguh-sungguh 

melawan imperialisme dan musuh-musuh rakyat lainnya. Berhenti melawan 

dogmatisme baik klasik maupun modern, berarti memisahkan diri dari 

massa dan nasion, menutup kemungkinan partai menjadi pemimpin massa 

dan nasion. Kedua-duanya adalah berbahaya dan yang paling berbahaya 

ialah yang tidak dilawan." [Idem, hal.22].

24. Partai Massa dan Partai Kader

"HASIL lain yang telah kita capai ialah bahwa kita sudah dapat 

membangun partai massa yang bukan saja merupakan teras dari gerakan 

komunis yang besar, tapi sejak tahun 1959, sejak Kongres Nasional VI, PKI 

sudah merupakan organisasi komunis yang besar. Hasil ini kita capai 

melalui pelaksanaan Plan 3 Tahun Pertama Mengenai Organisasi dan 

Pendidikan, selesai dalam tahun 1959, yang telah dapat mengaktifkan 

organisasi basis partai dan mendidik anggota-anggota baik dengan aksi-aksi 

massa m aupun dengan pendidikan teori. Dengan terlaksananya Plan 3

Tahun Pertama, maka mayoritas kader dari tingkat Central sampai ke basis 

sudah terdidik dalam teori dan semangat Marxisme—Leninisme. Merekalah 

yang menjadi tulang punggung bagi pembangunan PKI selanjutnya/'

"Plan 3 Tahun Kedua Mengenai Pendidikan dan Organisasi telah 

mengonsolidasi hasil-hasil itu lebih lanjut. Pengalaman partai kita untuk 

membangun partai massa ini membuktikan, bahwa dengan pimpinan 

Central yang bulat dan pendidikan dalam semangat dan teori Marxisme— 

Leninisme yang terus-menerus. Partai Komunis dapat merupakan partai 

yang pada satu pihak banyak jumlah anggotanya (massal) tapi pada pihak 

lain merupakan organisasi yang tersentralisasi dengan disiplin yang kuat. 

Pengalaman kita membuktikan, bahwa partai massa semacam itu tidak lebur 

menjadi organisasi massa biasa, tapi tetap merupakan bentuk organisasi 

yang tertinggi dari kelas buruh dan menjalankan fungsinya sebagai 

detasemen terdepan, sebagai partai Lenin, partai tipe baru. Partai semacam 

itu adalah partai massa dan partai kader sekaligus. Itulah partai kita.

Dari pengalaman pembangunan partai, pernah kita simpulkan bahwa 

pada kaum komunis Indonesia terdapat tiga ciri, yaitu pertama, kaum 

komunis Indonesia dijiwai oleh perpaduan patriotisme proletar dan 

internasionalisme proletar, kedua, kaum komunis Indonesia berpendirian, 

bahwa pembangunan organisasi penting, tetapi pembangunan ideologi lebih 

penting lagi, dan ketiga, kaum komunis Indonesia teguh memegang prinsip 

Marxisme —Leninisme, tapi luwes dalam membawakannya. Ketiga ciri ini 

harus kita pelihara dan kita kembangkan, harus menjadi darah-daging kita." 

[Idem, hal.26 ].

Mengenai Plan 4 Tahun, Aidit mengemukakan bahwa, "Tidak berapa 

lama lagi Plan 3 Tahun Kedua Mengenai Pendidikan dan Organisasi sudah 

akan berakhir dan Plan kita yang baru. Plan 4 Tahun mengenai Kebudayaan,

Ideologi, dan Organisasi akan dimulai. Sesuai dengan keputusan Kongres VII 

Gerakan Akhiran untuk menyelesaikan Plan 3 Tahun Kedua dilakukan 

dengan poros 4 Meningkat, yaitu (1) meningkat Sekolah Politik dan Kursus 

Rakyat, (2) meningkat anggota partai dan ormas, (3) meningkat jumlah calon 

menjadi anggota partai, (4) meningkat pemasukan iuran. Pengalaman￾pengalaman menunjukkan bahwa kunci untuk mensukseskan 4 Meningkat 

itu ialah dengan meningkatkan SP dan KR. Itu berarti bahwa dengan 

pendidikan teori dan politik yang tepat, aktivitas anggota-anggota menjadi 

dipertinggi dan dijamin terlaksananya tugas-tugas yang lain.

Tapi kita sekarang bukan saja berkecimpung dalam mengakhiri Plan 3 

Tahun Kedua. Partai kita sedang bersiap-siap untuk menyongsong Gerakan 

Awalan Plan 4 Tahun. Plan raksasa yang akan datang. Dengan Plan ini kitaakan membikin Partai kita lebih mampu dan lebih mahir menghadapi tugas 

dan pekerjaan apa pun.

Sebagaimana sudah dikatakan dalam Sidang Pleno I CC dalam rangka 

pelaksanaan segi Kebudayaan dari Plan 4 Tahun ini, partai kita harus 

mengorganisasi gerakan besar-besaran untuk meningkatkan taraf 

kebudayaan rakyat pekerja, terutama kaum komunis, mulai dari kegiatan 

PBH, pendidikan-pendidikan umum tingkat SR sampai menengah, 

pendidikan-pendidikan khusus mengenai kesenian dan kejuruan, sampai 

kepada berbagai cabang akademi dan fakultas. Melalui pendidikan￾pendidikan ini kita akan dapat memenuhi tugas kebutuhan urgen daripada 

partai pada taraf perjuangan sekarang, yaitu kader-kader komunis atau 

Marxis-Leninis yang berpengetahuan umum dan khusus (mempunyai 

keahlian tertentu), kader-kader yang "komunis dan ahli." [Idem, hal.27].

Mengenai ideologi, Aidit mengemukakan, bahwa "dewasa ini ajaran 

Marxisme—Leninisme sudah berakar di Indonesia. Benih Marxisme yang 

telah disebarkan di bumi Indonesia sejak tahun 1914 oleh ISDV (PSDH) dan 

melahirkan PKI (1920) kini telah erat berpadu dengan gerakan revolusioner 

rakyat Indonesia. Marxisme-Leninisme telah membantu kita untuk 

menyimpulkan pengalaman-pengalaman revolusi kita, menganalisa 

masyarakat kita dan memahami soal-soal revolusi kita. Pada gilirannya, 

Marxisme-Leninisme telah tumbuh dan diperkaya dengan pengalaman￾pengalaman revolusioner rakyat kita sendiri. Itulah hasil daripada peng￾indonesiaan Marxisme-Leninisme, hasil daripada perpaduan kebenaran 

universal Marxisme-Leninisme dengan praktik konkret revolusi Indonesia, 

hasil penerapan Marxisme-Leninisme di bumi Indonesia dengan gaya-gaya 

Indonesia. Kini Marxisme-Leninisme sudah mulai dipelajari tidak hanya di 

dalam partai tetapi juga oleh orang-orang progresif di luar partai dengan 

bantuan partai. Lambat laun Marxisme akan menjadi milik tidak hanya dari 

kaum komunis atau proletariat saja tapi akan menjadi milik seluruh nasion. 

Kita kaum komunis Indonesia menganggap hal ini suatu proses penting 

yang wajar yang akan mempercepat tercapainya masyarakat sosialis di 

Indonesia." [Idem, hal.28—29]

Menutup pidatonya, Aidit mengemukakan, bahwa "dengan semangat 

yang tinggi dan keberanian yang besar, kita akan dapat mendobrak segala 

rintangan dalam meneruskan pembangunan Partai Komunis Indonesia yang 

lebih luas dan lebih terkonsolidasi yang kader-kadernya pandai, berani, dan

berkebudayaan. PKI yang demikian itu akan mampu memberi sumbangan 

positif dan besar dalam memperkuat kegotong-royongan nasional

berporoskan Nasakom dalam melaksanakan Manipol, Panca Program Front 

Nasional, dan Dekon.

Memang adalah hukum perkembangan masyarakat, bahwa bila kelas￾kelas revolusioner makin maju dan kelas-kelas reaksioner makin tersudut, 

maka makin meruncinglah perjuangan kelas dan makin kotor cara-cara yang

digunakan oleh kekuatan reaksi untuk mempertahankan diri. [Idem, hal.29—30].

25. Mengobarkan Semangat Berani

23—26 Desember 1963 berlangsung Sidang Pleno II CC PKI yang diperluas 

dengan Komisi Verifikasi dan Komisi Kontrol Central di Jakarta. Dalam 

sidang ini, D.N. Aidit menyampaikan laporan berjudul Kobarkan Semangat

Banteng! Maju Terus, Pantang Mundurl Dalam laporan ini Aidit memaparkan 

dua tema besar: 1. Maju terus untuk landreform yang konsekuen, 

mengganyang 'Malaysia', dan membentuk kabinet gotong-royong berporos 

Nasakom!; 2. Ganyang terus imperialisme dan revisionisme! [D.N. Aidit, 

Kobarkan Semangat Banteng! Maju Terus Pantang Mundur!, laporan politik 

kepada Sidang Pleno kll CC VII yang diperluas dengan Komisi Verifikasi 

dan Komisi Kontrol Central, 23—26 Desember 1963 di Jakarta, Jajasan 

Pembaruan, Djakarta, 1964, hal.12 dan 44].

Laporan memaparkan bahwa: "Partai kita bersama dengan Presiden 

Soekarno telah berhasil mengobarkan semangat keberanian di kalangan 

massa rakyat Indonesia yang luas. Tahun 1963 benar-benar telah menjadi 

'tahun keberanian', dan satu kali keberanian sudah dibangkitkan serta sudah 

menjadi milik rakyat, semua rintangan dan penghalang pasti akan dapat 

diganyang." "Berkat keberanian yang telah tumbuh, kita juga telah lebih 

tinggi mengibarkan Tripanji Bangsa: Panji Demokrasi, Panji Persatuan, dan

Panji Mobilisasi. [Idem, hal.7]

Pada peringatan ulang tahun ke-44, 23 Mei 1964, di Surabaya, D.N. Aidit 

menyampaikan pidato berjudul "Jadilah komunis yang baik dan lebih baik lagi!

Dalam pidatonya ini dipaparkan bahwa "sejarah PKI adalah proses 

pengintegrasian Marxisme dengan revolusi Indonesia"; dan "masalah 

penemuan teori-teori revolusi Indonesia yang antara lain: revolusi Indonesia 

bersifat nasional demokratis dan merupakan bagian dari revolusi rakyat￾rakyat sedunia; masalah keharusan menggalang front persatuan nasional 

dan front internasional anti-imperialisme; tentang adanya tiga kekuatan dan 

tiga konsepsi mengenai revolusi Indonsia; mengenai keharusan melakukan 

metode kombinasi tiga bentuk perjuangan, yaitu perjuangan di kalangan kaum tani,

kaum buruh di kota-kota dan mengintergrasikan alat-alat negara yang pokok dengan

perjuangan revolusioner rakyat. " [D.N. Aidit, Jadilah Komunis yang Baik dan

Lebih Baik Lagi!, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1964, hal.45]

Perkembangan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, dan dikobarkannya 

semboyan persatuan nasional berporos Nasakom menyebabkan kian 

meningkatnya pengaruh PKL Ini tidak diinginkan oleh kaum kanan. Dengan

tujuan untuk membubarkan PKI, maka kaum soska, bekerja sama dengan penganut

aliran trotskis menampilkan gagasan pembubaran partai-partai. Dalam rangka 

kampanye untuk tujuan itu, semenjak 2 Juni 1964 sampai 9 Juli 1964 

berlangsung polemik harian Merdeka dan Harian Rakjat. Polemik terjadi 

mengenai peranan partai-partai politik dalam Demokrasi Terpimpin; Tentang 

aksi sepihak kaum tani; soal-soal Marxisme, Pancasila, Manipol, Landreform,

UUPA-UUPBH, Anti-Manikebu, dan lain-lain. 2 Juni 1964, harian Merdeka

menyiarkan tulisan Induk Karangan berjudul Gagasan Satu Partai. Gagasan 

ini menimbulkan polemik yang berkembang jadi menyangkut masalah 

peranan partai-partai politik dalam Demokrasi Terpimpin, mengenai aksi 

sepihak kaum tani; mengenai Marxisme, Pancasila, Manipol, Landreform; 

UUPA; UUPBH; anti-Manikebu dan banyak lainnya. Begitu pentingnya arti 

Polemik ini, hingga dalam Kata Pengantar Polemik Merdeka Harian Rakjat, 

Njoto menulis, "Polemik ini boleh dibilang sudah sebagian dari sejarah. 

Tetapi karena membentuk sejarah yang mendatang tak mungkin tanpa 

belajar dari sejarah yang silam, maka perang argumentasi yang seperti 

peluru-peluru desing-berdesing dalam pertempuran untuk merebut benteng 

Manipol ini kiranya bisa dipelajari oleh siapa pun - politikus-politikus dan 

jurnalis-jurnalis, mahasiswa-mahasiswa, golongan rakyat mana pun" 

[Penerbit Harian Rakjat, Polemik Merdeka Harian Rakjat, Djakarta, 1964, hal.4]. 

Polemik yang berlangsung sebulan suntuk itu harus dihentikan karena 

permintaan Kejaksaan Agung.

3 Juli 1964 berlangsung Konferensi Nasional I PKI di Jakarta. D.N. Aidit 

menyampaikan laporan berjudul Dengan Semangat Banteng Merah

Mengkonsolidasi Organisasi Komunis yang Besar. Dalam laporan ini dipaparkan 

masalah mengintensifkan pembajaan diri dan pendidikan diri, ditekankan 

lagi masalah "Pembangunan organisasi penting, tetapi pembangunan 

ideologi lebih penting lagi"; "Tahu Marxisme dan kenal keadaan".

"Dituntut agar tiap-tiap anggota partai memenuhi 9 syarat keanggotaan, 

yaitu:

(1) melaksanakan dengan baik semua tugas yang diberikan oleh partai 

kepada kita;(2) menjaga supaya diri kita tidak merosot menjadi pekerja politik yang 

berpikiran sempit, yang lupa pada tugas sejarah yang besar dan 

tenggelam mengurusi soal-soal tetek-bengek yang tidak ada 

hubungannya dengan revolusi;

(3) dalam memegang jabatan apa saja kita harus senantiasa menjadi 

tokoh politik dan tokoh negara tipe Lenin;

(4) sebagai tokoh masyarakat, kita harus senantiasa bersikap tegas dan 

jelas, tidak plintat-plintut dalam membela kepentingan rakyat dan 

revolusi;

(5) dalam keadaan bagaimanapun tetap bersemangat banteng merah, 

tidak takut menghadapi pertempuran dan tidak kenal ampun 

terhadap musuh-musuh rakyat;

(6) tidak mabuk karena sukses, tidak panik menghadapi segala 

keruwetan dan bahaya, dan tidak putus asa kalau mengalami 

pukulan-pukulan dan kegagalan-kegagalan;

(7) bijaksana dan berhati-hati dalam memutuskan masalah-masalah yang 

banyak seluk-beluknya, yang menghendaki pandangan-pandangan 

yang dalam, mengenai masalah-masalah itu;

(8) lurus dan jujur terhadap partai dan rakyat;

(9) cinta yang tidak ada taranya kepada rakyat/'

[D.N. Aidit, Dengan semangat Banteng Merah mengonsolidasi organisasi

komunis yang besar!, pidato dalam Konferensi Nasional Partai I, dimuat 

dalam Jadilah Komunis yang Baik dan Lebih Baik Lagi!, Jajasan Pembaruan, 

Djakarta, 1964, hal.14]

26. PKI dan Masalah Tani

2 Februari sampai 23 Maret 1964, Aidit memimpin rombongan riset ke 

sejumlah desa Jawa Barat, melakukan praktik "tiga sama": sama bekerja,

mengerjakan apa saja yang dikerjakan petani; sama makan, makan apa saja 

yang dimakan petani; dan sama tidur, tidur di tempat petani dan secara 

petani. Dalam hasil riset ini Aidit menulis: "Kita telah menyimpulkan 

dengan baik tentang maha pentingnya kaum tani atau desa dalam revolusi.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman kita sendiri selama Revolusi 

Agustus 1945, kita telah menarik kesimpulan bahwa kaum tani atau desa￾desa di negeri kita memainkan 4 peranan penting dalam revolusi, yaitu 

sebagai:

1) sumber bahan makanan;2) sumber prajurit revolusioner;

3) tempat m undur apabila terpukul di kota-kota;

4) pangkalan untuk melakukan serangan dan merebut kembali kota-kota.

Inilah pelajaran maha penting dari Revolusi Agustus 1945. Pelajaran ini

kita bayar dengan banyak korban. Oleh karena itu, kita tidak boleh 

melupakan pelajaran itu.

Pentingnya peranan kaum tani dalam kehidupan bangsa makin lama 

makin dirasakan dan diakui oleh semua golongan. Di waktu ini, masalah 

tani sudah diakui secara luas sebagai masalah yang paling pokok dalam 

kehidupan politik dalam negeri. Tidak ada masalah nasional yang besar 

yang bisa diselesaikan tanpa menghubungkannya dengan penyelesaian 

masalah tani. Hal ini bukan hanya keyakinan PKI saja, tetapi makin lama 

makin menjadi keyakinan setiap Manipolis yang jujur dan konsekuen. 

Dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah telah ditekankan tentang 

pentingnya pertanian dan perkebunan sebagai dasar perekonomian negeri, 

tentang pentingnya landreform, sedangkan kaum tani sudah diakui di dalam 

Manipol sebagai sokoguru Revolusi Indonesia di samping kaum buruh." 

[D.N. Aidit, Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan Desa, Laporan singkat 

tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani Jawa Barat, 

Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1964, h al.ll —12].

Lambang Palu Arit yang dijunjung PKI mencerminkan bahwa PKI 

menjadikan buruh dan tani sebagai sokoguru revolusi. Semenjak semula PKI 

telah menjadikan masalah tani dan tanah masalah pokok dari revolusi. Oleh 

karena itu dalam programnya, PKI mengangkat semboyan nasionalisasi tanah

atau semua tanah jadi milik negara. Tapi Kongres Nasional V PKI tahun 1954 

merumuskan