dul: Untuk Demokrasi Dan Kabinet
Gotong Royong. Resepsi penutupan kongres dihadiri Bung Karno yangmenyampaikan pidato berjudul: "Yo sanak, yo kadang, yen mfltz nkn smg
kelangan".
Dalam pidatonya. Bung Karno menyatakan: "'Ya, Saudara-saudara,
barangkali sayalah satu-satunya presiden sesuatu negara di dunia ini, negara
yang bukan dinamakan negara sosialis, yang menghadiri satu kongres partai
komunis (tepuk tangan lama). Nah betapa tidak. Saudara-saudara! Betapa
tidak hendak saya hadiri, kan Saudara-saudara juga orang Indonesia, warga
negara Indonesia pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia, pejuang-pejuang
menentang imperialisme yang membela kemerdekaan Indonesia ini (tepuk
tangan yang gemuruh). Saudara-saudara adalah utusan-utusan daripada
sebagian rakyat Indonesia, Saudara-saudara adalah sama-sama orang-orang
bangsa Indonesia. Malah saya akan berkata dalam bahasa Jawa, Saudarasaudara itu "yo kadang, y o sanak, malah yen mati aku sing kelangan." (tepuk
tangan gemuruh lama).
Yah, Saudara-saudara, demikianlah keadaannya maka oleh karena itu
pun saya amat bergembira sekali tatkala saya hendak datang di ruangan
gedung ini, dari muka istana telah meliwati barisan, barangkali pemudapemuda komunis (tepuk tangan), semua menyerukan yel: Gotongroyong,
gotongroyong ... ho lopis kuntul haris, ho lopis kuntul haris, gotongroyong ... ho
lopis kuntul baris, ho lopis kuntul baris (semua hadirin bersama-sama menyerukan
"ho lopis kuntul baris"). Saya amat gembira oleh karena ya, memang Saudarasaudara, jikalau kita hendak menyelesaikan revolusi nasional kita ini, tidak
ada jalan lain melainkan gotong royong dan ho lopis kuntul baris (tepuk
tangan).
Di belakang ada ditulis, "Kongres Nasional VI PKI Untuk Demokrasi dan
Kabinet Gotong Royong." (tepuk tangan). Saya dengan tegas berkata kepada
Saudara-saudara, Kabinet Gotong Royong tetap menjadi cita-cita Bung Karno!
(tepuk tangan lama). Sebab sebagai tadi saya katakan, menyelesaikan revolusi
nasional kita, apalagi revolusi kita setelah memasuki fase sosial ekonominya
untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur sebagai amanat
penderitaan rakyat, tidak ada jalan lain melainkan dengan gotong royong
dan ho lopis kuntul baris. Maka oleh karena itu. Saudara-saudara, saya tadi
berkata, tetap bercita-cita kabinet gotong royong dan di samping itu.
Saudara-saudara melihat bahwa saya telah membentuk Dewan
Pertimbangan Agung atas dasar gotong royong, telah membentuk Depernas
atas dasar gotong royong dan insya Allah, saya akan membentuk MPR,
Majelis Permusyawaratan Rakyat, atas dasar gotong royong pula (tepuk
tangan lama). [Bung Karno, Yo Sanak, Yo Kadang, Malah Yen Mati Aku Sing
Kelangan, Jajasan Pembaruan, Djakarta, halaman 7—8]
Laporan D. N. Aidit menyatakan bahwa imperialisme Belanda masih
tetap musuh pertama rakyat Indonesia. Di samping itu dinyatakan bahwa
"imperialisme Amerika Serikat adalah musuh rakyat Indonesia yang paling
berbahaya berhubung imperialisme ini adalah yang paling agresif, paling
mampu melaksanakan maksud-maksud jahat, burhubung dengan
penanaman modalnya yang makin besar di Indonesia, berhubung masih
agak banyak orang-orang Indonesia yang berkedudukan penting tetapi naif
mengira imperialisme AS tidak begitu jahat. Politik anti-imperialisme tanpa
melawan infiltrasi-infiltrasi dan intrik-intrik AS adalah omong-kosong.
Imperialisme AS pada waktu sekarang adalah musuh Rakyat Indonesia yang lebih
berbahaya daripada imperialisme yang mana saja. Karena jika ia sudah masuk,
maka sukarlah untuk menendangnya ke luar." [D.N. Aidit, Untuk Demokrasi
Dan Kabinet Gotong Royong, PT A, Jilid III, hal.94]. Ini jelas menimbulkan hal
yang tak menyenangkan bagi Amerika Serikat.
Selanjutnya Aidit menyatakan, "Kewajiban pembebasan nasional kita
sekarang ialah membersihkan sisa-sisa kolonialisme Belanda, dengan teguh
melawan kegiatan subversif Amerika Serikat dengan SEATO-nya, mencegah
bertambahnya penanaman modal AS dan negeri-negeri imperialis lainnya,
dan memperlakukan perusahaan-perusahaan AS sama dengan perusahaanperusahaan Belanda apabila AS terus-menerus mempersenjatai gerombolangerombolan kontra-revolusioner atau memberikan bantuan senjata kepada
Belanda dalam agresi terhadap Republik Indonesia." [Idem, hal.95].
Laporan memaparkan masalah-masalah: "Indonesia masih tetap berada
dalam cengkeraman krisis ekonomi; harus memperluas perdagangan
dengan negeri-negeri sosialis; masalah pengangguran, kemiskinan, ketidakadilan ekonomi dan sosial; masalah memperbaiki pekerjaan front nasional
dan memencilkan lebih lanjut kekuatan kepala batu; masalah PKI
mempertahankan republik proklamasi sesudah gagalnya Konstituante
merumuskan Undang-Undang Dasar baru; sikap PKI terhadap kabinet
Soekarno—Djuanda adalah: PKI bisa menyokong dengan syarat-syarat jika
programnya maju, komposisinya dan menteri-menterinya cukup baik untuk
melaksanakan program, kedua, ialah beroposisi, jika programnya reaksioner
atau sekedar hanya sebagai demagogi saja, sehingga sangat tidak memenuhi
tuntutan-tuntuan politik dan ekonomi yang paling minimum dari rakyat.8. Dwi-Tunggal Rakyat dan Tentara
"MASALAH Angkatan Perang merupakan faktor yang tidak boleh dianggap
kecil dalam menggalang front persatuan nasional, dalam mengembangkan
kekuatan progresif, dalam memencilkan kekuatan kepala baru, dan dalam
usaha rakyat membentuk kabinet yang maju."
"Usaha kup yang dikendalikan kaum sosialis kanan dan kaum militeris
mencoba melakukan kudeta 17 Oktober 1952, 13 Agustus 1956, dan 16
November 1956, dapat digagalkan. Kegagalan ini disebabkan tiga faktor
penting: Pertama, Presiden Soekarno yang menyatukan diri dengan rakyat
mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan angkatan bersenjata, dan
Presiden Soekarno menolak menjadi diktator militeris. Kedua, APRI adalah
anak kandung revolusi rakyat, karena itu mayoritas dari para perwira, bintara, dan
tamtama APRI tidak mudah dipaksa untuk menjalankan perintah yang ditujukan
untuk melikuidasi republik proklamasi dengan jalan membentuk diktator militer
atau diktator perseorangan. Ketiga, rakyat Indonesia tidak hanya mencintai
demokrasi, tetapi di bawah pimpinan partai yang waspada, rakyat aktif
membela demokrasi itu. Itulah sebab-sebab pokok mengapa kudeta
M asyumi—PSI dan kaum militeris yang memihak mereka menemui
kegagalan."
Laporan melanjutkan: "Pada waktu-waktu yang diperlukan, PKI dan
rakyat bisa memberikan kekuasaan sampai batas-batas tertentu kepada
angkatan perang yang patriotik, selama kekuasaan ini tidak disalahgunakan.
Kita harus mencegah timbulnya kontradiksi yang tidak perlu atau yang
tajam antara rakyat dan angkatan perang, dan hal-hal yang mungkin menuju
ke arah pertajaman kontradiksi harus dihindari. Pelaksanaan garis
'dwitunggal rakyat dan tentara' yaitu garis 'rakyat bantu tentara dan tentara bantu
rakyat/ atau 'saling bantu rakyat dan tentara' adalah jaminan dalam
mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia." Di sini terjadi
kesalahan dalam menilai kualitas tentara. Dalam perkembangannya, di luar
kemauan PKI, di bawah pengendalian Soeharto, tentara yang dibantu inilah
yang membasmi PKI habis-habisan.
Mengenai memperkuat dan memperluas demokrasi, laporan
menyatakan: "Dengan pemberontakan kontra-revolusioner PRRI —Permesta
pada awal tahun 1958, tokoh-tokoh M asyumi—PSI dapat menjadi 'Raja
Sehari' di Sumatera Barat dan Sumatera Utara, berkat bayonet orang-orang
militer yang sepaham dengan mereka dan berkat dorongan dan bantuan
negara-negara imperialis yang dikepalai oleh Amerika Serikat."
"Cepatnya kebangkrutan demokrasi liberal di Indonesia disebabkan oleh
dua proses: Pertama, proses kesadaran rakyat Indonesia sendiri yang
berdasarkan pengalamannya sendiri melihat bahwa demokrasi liberal
identik dengan korupsi dan ketidak-mampuan dalam memecahkan
persoalan-persoalan pokok dan penting dari rakyat Indonesia. Kedua, karena
agitasi anti-parlemen, yang pada hakikatnya anti kehidupan demokratis oleh
promotor-promotor junta-militer dan elemen-elemen fasis lainnya."
Menghadapi krisis demokrasi liberal "di dalam tangan rakyat Indonesia
sudah ada senjata untuk mengatasinya, yaitu Konsepsi Presiden Soekarno
dan gagasan Demokrasi Terpimpin. Inilah jawaban rakyat Indonesia pada
waktu sekarang, supaya krisis demokrasi liberal berakhir dengan
kemenangan rakyat."
"PKI menerima Demokrasi Terpimpin dengan pengertian bahwa yang
diterimanya adalah demokrasi, meskipun bukan demokrasi rakyat, tetapi
demokrasi yang anti-liberalisme, anti diktator-militer, dan anti diktator
perseorangan. Segi positif dari Demokrasi Terpimpin ialah, di satu pihak
anti-diktator militer dan anti diktator-perseorangan, dan di pihak lain antiliberalisme. Anti liberalisme di lapangan politik, tidak bisa diartikan lain
kecuali pelaksanaan Konsepsi Presiden Soekarno 100%, yaitu pembentukan
Kabinet Gotong Royong berdasarkan perwakilan berimbang di antara
partai-partai dan golongan pendukung konsepsi presiden."
Laporan memaparkan sikap PKI di bidang internasional, yaitu "untuk
memperkuat front internasional anti-kolonial dan cinta damai." Diblejeti politik
luar negeri Hatta dan Sjahrir yang menggantungkan diri pada imperialisme.
Menurut Hatta: "berhubung dengan letak tanah air kita di tengah-tengah
perhubungan internasional itu, yang masa sekarang masih dilingkungi oleh
negara-negara besar kapitalis, adalah suatu politik yang bijaksana bahwa
kita tidak memperbesar lingkungan musuh kita." "Kata-kata ini diucapkan
oleh Hatta justru pada saat semangat anti-imperialisme dari rakyat sedang
meluap-luap dan ketika AS lewat penasihat-penasihatnya secara langsung
mencampuri persoalan dalam negeri Republik Indonesia untuk mengadakan
pengejaran terhadap kaum komunis." "Sesungguhnya tradisi politik luar
negeri Republik Indonesia semenjak berdirinya adalah berdasar hubungan
dan kerja sama persahabatan dengan Timur, walaupun Sutan Sjahrir
merintangi ini. Pembelaan pertama terhadap RI oleh wakil Sovyet Ukraina
dalam PBB, D. Manuilsky, adalah salah satu sendi penting yang telah
diletakkan untuk menegakkan kedudukan Indonesia dalam dunia
internasional. Ini diperkuat lagi oleh berhasilnya perlawanan rakyat
terhadap politik pro-Barat Sjahrir dengan diadakannya hubungan
diplomatik pertama dengan Republik Cekoslowakia waktu itu dalam tahun
1947 dan kemudian hubungan konsuler dengan Uni Sovyet dalam bulan Mei
1948. Negara-negara sosialis adalah pembela-pembela dan penyokongpenyokong setia yang sejak tahun-tahun pertama revolusi sudah membela
Republik Indonesia." Semua persetujuan ini tidak diratifikasi, bahkan
dianulir oleh Pemerintah Hatta; dan Suripno yang bertugas duta mewakili
RI dalam merundingkan persetujuan-persetujuan ini dipanggil pulang.
Laporan juga memaparkan masalah pembangunan partai, tentang
perkembangan partai antara Kongres Nasional V dan VI. Dicatat, bahwa
ketika Kongres Nasional V tercatat anggota berjumlah 49.042 dan calon
anggota 116.164 orang, kini berjumlah lebih dari 1.500.000. Ketika Konferensi
Nasional Partai awal tahun 1952 tercatat jumlah anggota 7.910. Konferensi
ini memutuskan meluaskan keanggotaan menjadi 100.000 dalam 6 bulan.
Ketika akhir tahun 1952 diperiksa hasil peluasan, maka tercatat 126.671
anggota dan calon anggota. Pada waktu Kongres Nasional V Partai, yaitu
bulan Maret 1954, tercatat anggota dan calon anggota 165.206. Pada
pertengahan 1959 sudah tercatat lebih dari 1.500.000 anggota dan calon
anggota di mana terdapat kira-kira 250.000 wanita atau 17% wanita.
Penyebaran partai secara merata dan intensif lebih didorong lagi dengan
dilaksanakannya Plan 3 Tahun Pertama Mengenai Organisasi dan Pendidikan
yang diputuskan oleh Sidang Pleno IV CC dalam bulan Juli 1956.
19. Pentingnya Pendidikan Marxisme-Leninisme
LAPORAN menyatakan, "pendidikan Marxisme-Leninisme syarat mutlak
untuk persatuan di dalam partai. Garis umum pembangunan partai yang
ditetapkan oleh Kongres Nasional V Partai, yaitu 'meneruskan pembangunan
PKI yang dibolsyewikkan, yang meluas di seluruh negeri, yang mempunyai karakter
massa yang luas, yang sepenuhnya terkonsolidasi di lapangan ideologi, politik, dan
organisasi' pada pokoknya sudah kita kerjakan dengan baik. Penyempurnaan
pelaksanaan garis pembangunan partai masih harus kita teruskan." Tepat
sekali kesimpulan yang pernah diambil oleh partai kita yaitu, bahwa
'Persatuan di dalam partai hanya mungkin jika didasarkan atas persatuan
pikiran, persatuan ideologi, yaitu pikiran atau ideologi Marxisme-Leninisme.
Hanya jika ada persatuan pikiran dari orang-orang komunis, barulah ada
persatuan yang sungguh-sungguh di dalam politik dan organisasi Partai
Komunis, barulah ada persatuan di dalam aksi-aksi rakyat yang dipimpin
oleh Partai Komunis." Ditegaskan lagi bahwa, "salah satu tugas terpenting
sekarang, ialah meneruskan pembangunan partai dengan penekanan pada
segi pembangunan ideologi. Dengan mengemukakan ini tidak berarti bahwa
kita boleh menganggap remeh masalah pembangunan organisasi.
Pembangunan organisasi adalah tetap penting, tetapi lebih penting lagi
pembangunan ideologi." Selanjutnya dikemukakan, bahwa "di dalam partai
harus dibangunkan keberanian melakukan kritik, terutama kritik dari bawah
kepada atasan, dengan berpegang pada pedoman yang dikemukakan oleh
Kawan Mao Zedong yaitu 'bertitik pangkal pada kemauan bersatu, dan melalui
kritik dan selt-kritik, mencapai persatuan baru atas dasar yang baru/ Dengan setia
mengamalkan kritik dan self-kritik berarti kita memerangi subjektivisme dan
dengan demikian kemungkinan membikin kesalahan menjadi diperkecil
serta persatuan di dalam partai lebih diperkuat."
Kongres ditutup dengan satu resepsi meriah, yang dihadiri sejumlah
menteri dan para pejabat tinggi negara, di mana Bung Karno menyampaikan
sambutannya dengan pidato berjudul "Yo sanak, yo kadang, yen mati aku sing
kelangan!" Dalam pidatonya, antara lain Bung Karno berkata: "Ya, saudarasaudara barangkali sayalah satu-satunya Presiden sesuatu negara di dunia
ini, negara yang bukan dinamakan negara sosialis, yang menghadiri satu
Kongres Partai Komunis ... (tepuk tangan lama). Nah, betapa tidak saudarasaudara! Betapa tidak hendak saya hadiri, kan udara-saudara juga orang
Indonesia, warganegara Indonesia, pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia,
pejuang menentang imperialisme yang membela kemerdekaan Inmdonesia
ini. (tepuk tangan yang gemuruh) Saudara-saudara adalah utusan-utusan
daripada sokoguru Rakyat Indonesia, saudara-saudara adalah sama-sama
orang bangsa Indonesia. Malah saya akan berkata dalam bahasa Jawa,
saudara-saudara itu 'yo kadangf yo sanakf malah yen mati aku sing
kelangan' (tepuk tangan gemuruh lama). [Bung Karno ... y o sanak, y o kadang,
malah yen mati aku sing kelangan, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1959, halaman
7]
Yah saudara-saudara, demikianlah keadaannya, maka oleh karena
itupun saya amat bergembira sekali tatkala saya hendak datang di ruangan
gedung ini, dari muka istana telah meliwati barisan, barangkali pemudapemuda Komunis (tepuk tangan), semua menyerukan yel: Gotongroyong,
gotongroyong....ho lopis kuntul baris, ho lopis kuntul baris, gotongroyong .... ho
lopis kuntul baris, ho lopis kuntul baris (semua hadirin bersama-sama menyerukan
"ho lopis kuntul baris"). Saya amat gembira oleh karena ya, memang saudarasaudara, jikalau kita hendak menyelesaikan revolusi nasional kita ini, tidak
ada jalan lain melainkan gotongroyong dan ho lopis kuntul baris (tepuk
tangan).
Di belakang ada ditulis, "Kongres Nasional ke-VI PKI Untuk Demokrasi dan
Kabinet Gotongroyong" (tepuk tangan). Saya dengan tegas berkata kepada
saudara-saudara. Kabinet Gotongroyong tetap menjadi cita-cita Bung Karno!
(tepuk tangan lama). Sebab sebagai tadi saya katakan, menyelesaikan revolusi
nasional kita, apalagi revolusi kita setelah memasuki fase sosial ekonominya
untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur sebagai amanat
penderitaan Rakyat tidak ada jalan lain melainkan dengan gotongroyong
dan ho lopis kuntul baris. Maka oleh karena itu, saudara-saudara, saya tadi
berkata, tetap bercita-cita Kabinet Gotongroyong dan di samping itu,
saudara-saudara melihat bahwa saya telah membentuk Dewan
Pertimbangan Agung atas dasar gotongroyong, telah membentuk Depernas
atas dasar gotongroyong dan insya Allah, saya akan membentuk MPR,
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas dasar Gotong Royong pula (tepuk
tangan lama). [Bung Karno, y o sanak, y o kadang, malah yen mati aku sing
kelangan, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1959, halaman 7-8 ]
Pedato Presiden yang sangat bersahabat dengan PKI memberi pengaruh
baik bagi meningkatnya martabat PKL Kedudukan Presiden sebagai Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan yang didukung oleh PKI memainkan
peranan penting dalam mendorong maju situasi politik di Indonesia..
Dengan dijadikannya Manipol Garis-Garis Besar Haluan Negara, maka
terjadilah pengintegrasian program PKI ke dalam program negara. Ini terjadi
berkat hasil kerja D.N. Aidit sebagai Ketua Panitia perincian Manipol.
Program PKI untuk penyelesaian tuntutan-tuntutan revolusi Agustus
sampai keakar-akarnya, telah berintegrasi dengan Manipol, program negara.
Langkah-langkah Bung Karno melakukan dua kali regrouping kabinet
menghasilkan kian berkurangnya kekuatan kepala batu dalam kabinet, dan
masuknya Ketua dan wakil-wakil Ketua CC PKI ke dalam kabinet, yaitu
sebagai wakil-wakil Ketua MPRS dan Parlemen, D.N. Aidit dan M.H.
Lukman menjadi Menteri ex-officio. Menteri tanpa portefolio, dan Njoto
menjadi Menteri anggota Presidium Kabinet. Perkembangan PKI yang
sampai tokoh-tokoh pimpinan bisa masuk Pemerintah Pusat Indonesia
adalah menghantui Amerika Serikat. Para penguasa Amerika Serikat sudah
membayangkan bahwa di bawah kekuasaan Sukarno, Indonesia segera jatuh
ke dalam pelukan kekuasaan komunis.
Desember 1960 berlangsung Sidang Pleno ke-II CC ke-VI PKI di Jakarta.
Dalam sidang ini, D.N. Aidit menyampaikan laporan berjudul Maju Terus
Menggempur Imperialisme dan Feodalisme! Laporan menunjukkan bahwa
"periode yang ditinjau ditandai oleh pergulatan antara golongan yang
mendukung dan golongan yang menolak Manipol. Golongan yang menolak
dan menentang pelaksanaan Manipol tadinya dipelopori oleh Masyumi-PSI
dan 'Liga Demokrasi'. Sesuai dengan kehendak Rakyat terbanyak partaipartai kepala batu Masyumi-PSI telah dibubarkan oleh Presiden Sukarno.
Bubarnya partai-partai yang paling kanan ini merupakan suatu peristiwa
penting dalam sejarah perjuangan nasional kita" [D.N. Aidit, Maju Terus
Menggempur Imperialisme dan Feodalisme!, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1961,
hal. 3-4 ]
Laporan menyatakan, bahwa "Sidang Pleno CC kali ini dilangsungkan
dengan dijiwai oleh dua kemenangan besar, kemenangan nasional dan
kemenangan internasional. Kemenangan pertama ialah kemenangan Rakyat
Indonesia berhubung telah ditetapkannya dengan suara bulat oleh MPRS
Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Garis-Garis Besar Pola Pembangunan
Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Kemenangan kedua, ialah
kemenangan gerakan komunis sedunia dengan adanya Pernyataan para
wakil Partai Komunis dan Buruh beserta seruannya kepada Rakyat-Rakyat
di seluruh dunia yang dengan suara bulat dikumandangkan oleh 81 Partai
Komunis dan Buruh, mewakili 36 juta Komunis dari 5 benua dalam bulan
November yang baru lalu" [Idem, hal. 6-7 ]
Laporan menyatakan, bahwa PKI berpendapat bahwa Garis-Garis Besar
Pola Pembangunan Nasional menurut ketetapan nomor II MPRS sampai
batas-batas tertentu sesuai dengan watak revolusi Indonesia yang nasional
dan demokratis yang anti imperialisme dan anti feodalisme, yaitu tidak
mementingkan investasi modal asing, mementingkan Tandreform' dan
pertanian, mementingkan industrialisasi dan industri berat, dan
menempatkan ekonomi sektor negara pada kedudukan memimpin
perekonomian negeri.
Maka tak ayal lagi kekuatan reaksi menggalakkan rekayasa demi
pembasmian komunis di Indonesia dan penggulingan Presiden Sukarno.
Kekuatan reaksi menggerakkan berbagai usaha untuk mengisolasi PKI.
Salah satu di antaranya menggunakan Pancasila, yaitu berusaha memfitnah
PKI anti Pancasila. Dalam rangka menciptakan syarat untuk melarang PKI,
awal 1961, T.B. Simatupang menulis sebuah makalah tentang TNI dan Masa
depan Indonesia, yang memaparkan argumentasi bahwa "Marxisme-Leninisme
adalah bertentangan dengan Pancasila." Dalam makalahnya ini Simatupang
sudah menggunakan istilah "zaman post-Sukarno" [H. Rosihan Anwar,
Sukarno-Tentara-PKI, Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006 ]. .Ini berarti, sudah diperhitungkan
digantinya Sukarno sebagai Presiden. Dalam pada itu. Pemerintah telah
mengeluarkan Penpres No. 7/1959 dan Perpres No. 13/1960, yang
menetapkan, bahwa Pemerintah hanya mengakui Partai-Partai yang
dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan tujuannya tidak untuk
mengganti dasar negara. Partai-Partai diminta menyesuaikan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya dengan Penpres No. 7/1959 dan
Perpres No. 13/1960. Pemerintah membentuk Panitia Tiga yang terdiri dari
Roeslan Abdoelgani, Ketua DPA, A.H. Nasution Menteri Pertahanan dan
Ipik Gandamana, Menteri Dalam Negeri, untuk menyeleksi Partai-Partai
sehubungan dengan Penpres dan Perpres ini.
5 September 1960 Politbiro CC PKI mengeluarkan statement yang
menyatakan bahwa untuk memenuhi Penpres No. 7 Tahun 1959, Pasal 3,
bagi PKI tidaklah mempunyai keberatan apa-apa untuk menyatakan dengan
tegas, bahwa PKI menerima dan mempertahankan UUD '45 dan 'Pancasila'.
Dalam sidang Pleno ke-II CC PKI akhir Desember 1960, Politbiro CC
mengusulkan agar mengamendir Konstitusi Partai dengan menambahkan
rumusan berikut: "PKI menerima dan mempertahankan UUD '45, yaitu Undang
Undang Dasar Republik Indonesia yang dalam Pembukaannya memuat hasrat
Rakyat Indonesia untuk hidup merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dan
memuat Pancasila sebagai dasar-dasar negara; bertujuan membangun suatu
masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian Bangsa Indonesia, dan
mendasarkan program kerjanya pada Manifesto Politik Republik Indonesia serta
perinciannya yang sudah ditetapkan oleh Sidang Pertama MPRS tanggal 19
November 1960 sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia".
[Njono, Pengantar diskusi untuk memperkuat statement Politbiro CC PKI
mengenai Pen.Pres.N o.7/1959, Jajasan Pembaruan, 1961, dokumen Sidang
Pleno ke-II CC ke-VI PKI, hal. 29-30 ]. Usul ini diterima dan menjadi
keputusan sidang.
25-30 April 1962 di Jakarta berlangsung Kongres Nasional ke-VII PKI.
Dalam laporan politiknya, D.N. Aidit menyempaikan bahwa "Menurut
Keputusan Presiden RI No. 123/1961, PKI telah mendapat pengakuan
sebagai Partai yang memenuhi syarat-syarat seperti yang ditentukan dalam
peraturan-peraturan tersebut" [D.N. Aidit, Untuk Demokrasi, Persatuan Dan
Mobilisasi, Laporan Umum kepada Kongres Nasional ke-VII PKI, 25 April
1962, Depagitprop CC PKI, Djakarta 1962, hal. 5].
Dalam Kongres ini D.N. Aidit menyampaikan laporan politik berjudul
"Untuk Demokrasi, Persatuan dan Mobilisasi". Kongres ini adalah Kongres
Luarbiasa, yang diadakan berhubung dengan keharusan penyesuaian
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan Program PKI dengan
ketentuan-ketentuan Penpres No. 7/1959 dan Perpres No. 13/1960. Kongres
mengesahkan Anggaran Dasar - Anggaran Rumah Tangga (Konstitusi) yang
dalam Preambulnya antara lain memuat: "Seluruh pekerjaan PKI didasarkan
atas teori Marxisme-Leninisme dan karena Marxisme-Leninisme bukanlah
dogma, melainkan suatu pedoman untuk aksi, maka dalam setiap
aktivitetnya PKI berpegang teguh pada prinsip memadukan kebenaran
umum Marxisme-Leninisme dengan praktek yang kongkrit daripada
perjuangan revolusioner Indonesia. PKI berjuang melawan revisionisme,
baik yang lama m aupun yang modern, juga melawan tiap fikiran yang tidak
kritis, melawan dogmatisme dan empirisisme.... Karena PKI telah
mengambil bagian yang sangat aktif dalam Revolusi Agustus 1945 dan terus
akan mengambil bagian yang sangat aktif dalam menyelesaikan tuntutantuntutan Revolusi Agustus sampai ke-akar-akarnya, maka azas dan tujuan
PKI tidak bertentangan dengan azas dan tujuan negara Republik Indonesia
dan programnya tidak dimaksud untuk merombak azas dan tujuan negara
tersebut. PKI menerima dan mempertahankan UUD 1945 yang dalam
Pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar-dasar negara dan bertujuan
membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian
bangsa Indonesia. PKI mendasarkan program kerjanya atas Manifesto Politik
RI dan perinciannya yang sudah ditetapkan oleh Sidang Pertama MPRS
sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara RI. PKI dalam memperjuangkan
tujuannya menggunakan jalan-jalan damai dan demokratis. Ini adalah yang
dikehendaki dan diperjuangkan dengan sekuat tenaga oleh PKI". [CC PKI,
AD-ART (KONSTITUSI) PKI, Djakarta, 1962, hal. 5-17 ] Dengan rumusan
tersebut di atas PKI memenuhi syarat yang dituntut oleh Penpres No. 7/1959
dan Perpres No. 13/1960, maka PKI diakui sebagai Partai yang sah.
Dalam laporan ini D.N. Aidit mengemukakan: "Badan-badan kenegaraan
seperti DPA, DPR GR, DEPERNAS, MPRS dan berbagai DPRD dan
Pemerintah Daerah, serta belakangan ini penggolongan-kembali atau
regruping (regrouping) Kabinet Kerja dan dibentuknya Musyawarah
Pimpinan Negara (MPN) memang semuanya ini merupakan usaha-usaha
untuk mengadakan pengubahan demokratis dalam sistim politik sesuai dengan
tuntutan-tuntutan massa Rakyat. Tetapi semuanya ini adalah usaha yang
masih harus dilanjutkan, karena pemerintahan dan alat-alat negara tidak
mengalami perubahan-perubahan yang besar seperti yang diinginkan oleh
Konsepsi Presiden Sukarno, Manipol, Djarek, Amanat Pembangunan
Presiden dan Resopim. Resopim tegas menghendaki adanya retuling alatalat negara". Dengan demikian, tetap tidak ada jaminan bahwa Plan
Pembangunan 8 Tahun, Triprogram Kabinet dan Trikomando Rakyat tidak
akan menjumpai rintangan-rintangan serius dari dalam dan luar aparaturnegara, tetap tidak akan ada tindakan tegas dan tepat terhadap imperialisme
dan feodalisme, terhadap mereka yang menyeleweng dan mensabot
pelaksanaan Ketetapan-Ketetapan MPRS, Triprogram dan Trikomando
Rakyat" [D.N. Aidit, Untuk Demokrasi, Persatuan dan Mobilisasi hal. 13 ]
20. Bung Kamo: "Go Ahead!"
KONGRES ditutup dengan sebuah resepsi meriah. Bung Karno
menyampaikan pedato sambutan dalam resepsi ini. Dalam pedatonya. Bung
Karno menyatakan: "Maka benar ucapan Lenin, revolusioner adalah tiaptiap orang yang di dalam nationale revolutie menentang kepada
imperialisme, tiap-tiap orang yang menghendaki pembebasan nasional
daripada sesuatu bangsa, pendek kata, sesuatu manusia yang menghendaki
kemerdekaan bangsa, kemerdekaan umat manusia, dia adalah revolusioner.
Nah, di dalam analisa yang demikian ini, saya kira, wah payah bagi saya
untuk mengatakan bahwa PKI bukan revolusioner. Ya, ada yang bilang, o,
PKI itu sebetulnya 'm au mengacau'. PKI itu sebetulnya, ya, kalau dipikirpikir sedalam-dalamnya, PKI itu 'kontra revolusioner' sebab mengacau
perjuangan kita untuk membebaskan Irian Barat', katanya.
Tidak, tidak. Saya melihat bahwa di dalam perjuangan membebaskan
Irian Barat, bahwa di dalam perjuangan menegakkan Republik, di dalam
perjuangan untuk mempertahankan Republik, kaum komunis memegang rol
yang sangat menguntungkan kepada perjuangan itu." Selanjutnya Bung
Karno menyatakan: "Saya dengan tegas berkata, adanya PKI berkembang
biak dari 150.000 orang menjadi 2 juta orang bukan kok saya, karena saya
bombong, bukan kok karena suatu ucapan 'komunis itu, orang komunis
Indonesia itu yo kadangku, yo sanakku'. Bukan, PKI menjadi besar, PKI
menjadi ndodro di mana-mana, PKI menjadi kuat, y alah oleh karena PKI
konsekwen memihak kaum buruh dan kaum tani (tepuk tangan lama). Karena
PKI konsekwen memperjuangkan nasib si jembel, konsekwen hendak
memberi kehidupan yang layak kepada Rakyat jelata, konsekwen
menentang imperialisme, konsekwen hendak mengibarkan bendera sang
Merah Putih di seluruh wilayah tanah air Indonesia, oleh karena itulah PKI
menjadi besar (tepuk tangan lama). Dalam menutup pedatonya. Bung karena
menyatakan "Maka oleh karena itulah, maka dengan barisan seluruh Rakyat
Indonesia yang berporos Nas-A-Kom saya minta sekali lagi pada segenap
Rakyat jangan lepaskan tujuan akhir yang ini dari pandangan mata kita.
Bahtera yang dikatakan oleh Saudara Aidit, kapal kencana, kata SaudaraAidit, ya Saudara Aidit memakai perkataan ini, kapal kencana (sambil
tertawa), untuk menuju tujuan itu yalah bernama negara Republik Indonesia
yang memakai wadah bukan saja Pancasila dan Nasakom dan Manipol
tetapi tujuannya oleh Saudara Aidit tadi pula Sosialisme Indonesia itu
memang dari tadinya sudah menjadi cita-cita dari Partai Komunis
Indonesia.....Maka saya saudara-saudara, menyambut penutupan Kongres
ke-VII dari PKI dengan ucapan Go Ahead!, jalan terus, mari kita bersamasama menyelesaikan revolusi Indonesia ini." [Presiden Ir. Dr. Sukarno, Go
Ahead! Jajasan Pembaruan Djakarta, 1965]
21. Imperialisme Amerika Musuh Nomor Satu Rakyat
Indonesia
KEKUATAN anti-komunis kian aktif bergerak menciptakan syarat untuk
pelarangan PKI. PKI bukannya mundur, tapi kian berkobar-kobar
menggerakkan rakyat melawan imperialisme AS, menuju pembentukan
Kabinet Gotong Royong. Sidang Pleno I CC berlangsung 10 Februari 1963,
dengan laporan politik D.N. Aidit berjudul: Berani, Berani, Sekali Lagi Berani.
Putusan sidang merumuskan imperialisme AS adalah musuh nomor satu dan
paling herhahaya dari rakyat Indonesia.. Satu kesimpulan yang membikin
Amerika Serikat naik pitam.
Di samping itu, sidang memutuskan menetapkan Tri Tugas Praktis Partai,
yaitu:
1. mengonsolidasi kemenangan-kemenangan,
2. menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi,
3. melawan neo-kolonialisme.
[D.N. Aidit, Berani, Berani, Sekali Lagi Berani!, Laporan Politik kepada
sidang pleno I CC VII, 10 Februari 1963, Jajasan Pembaruan, Djakarta,
1963, hal.28]
Perkembangan PKI sudah menimbulkan kekhawatiran di kalangan
kaum kanan. Diperhitungkan, kalau berlangsung pemilihan umum, PKI
akan mencapai kemenangan besar, bahkan kedudukan presiden bisa direbut
oleh wakil PKI. Maka untuk mencegah terjadinya hal ini, pihak Angkatan
Darat mengusulkan penundaan pemilihan umum. Dan A.H. Nasution
mengajukan gagasan presiden seumur hidup, agar wakil PKI tidak bisa
merebut kedudukan ini. Gagasan ini diajukannya pada Suwirjo, Ketua PNI.
Suwir j o mendukung gagasan ini. Maka diusulkan Bung Karno jadi presiden
seumur hidup melalui Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963. [Baca:
Y.T.Taher, MASHI (Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia)]
Tanggal 26 Mei 1963, berlangsung rapat umum memperingati Hari
Ulang Tahun ke-43 PKI di Istana Olah Raga Gelora Bung Karno. Dalam rapat
umum ini, D.N. Aidit berpidato dengan judul Hayo, Ringkus dan Ganyang
Kontra-Revolusi! [D.N. Aidit, Hayo, Ringkus dan Ganyang Kontra-Revolusi!,
Pidato Ultah ke-43 PKI di Istana Olah Raga Gelora Bung Karno, 26 Mei 1963,
Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1963]. Dalam pidato ini dipaparkan: bahwa
meningkatnya martabat PKI secara nasional dan internasional menyebabkan
kawan dan lawan "mempelajari PKI". Dicatat bahwa pengembalian Irian
Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963
merupakan peristiwa penting, satu kemenangan dalam perjuangan
mengonsolidasi seluruh wilayah Republik Indonesia. Kemenangan lain yang
telah kita capai sebagai hasil kerja sama rakyat dan angkatan bersenjata ialah
pemulihan keamanan dalam negeri, dan sejak tanggal 1 Mei 1963, SOB telah
dihapuskan di seluruh Indonesia, termasuk Peperti serta Peperda, menurut
ketentuan semua kekuasaan pemerintah di pusat dan di daerah-daerah
sudah harus diserahkan kembali kepada Pemerintahan Sipil. [Idem, hal.6].
22. Teori "Dua Aspek Kekuasaan Negara" dan Metode
Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP)
DALAM pidatonya ini, Aidit mengemukakan teori dua aspek kekuasaan negara,
yaitu terdapatnya kekuatan pro-rakyat dan kekuatan anti-rakyat dalam
kekuasaan negara. Dikemukakan bahwa "kekuasaan negara Republik
Indonesia sekarang ini masih terdiri dari dua segi. Untuk dapat menjalankan
tugas-tugas revolusi sekarang, segi yang mewakili kepentingan-kepentingan
rakyat harus dapat mengungguli dan mendesak keluar mereka yang
mewakili kepentingan-kepentingan musuh-musuh rakyat di dalam
kekuasaan negara." [Idem, hal.17]. "Kaum komunis Indonesia akan terus
bekerja keras untuk mengonsolidasi dan memperkokoh segi rakyat dalam
kekuasaan negara, dengan setia kepada azas revolusi dari atas dan dari bawah,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidato
Djarek." [Idem, hal.17].
'Teori Dua Aspek' jelas merupakan penyelewengan oportunisme atau
revisionisme, karena mengingkari ajaran Marxisme — Leninisme bahwa
'negara adalah suatu alat kekuasaan kelas tertentu yang tidak dapat
didamaikan dengan anti-podenya (kelas yang berlawanan dengannya)/Tidak mungkin RI dikuasai bersama oleh rakyat dan musuh rakyat [Politbiro
CC PKI, Tegakkan PKI yang Marxis—Leninis untuk Memimpin Revolusi
Demokrasi Rakyat Indonesia, Otokritik Politbiro CC PKI September 1966,
Diterbitkan oleh Delegasi CC PKI, September 1971, hal.136].
"Pimpinan partai telah menggunakan teori tentang kontradiksi dalam
kekuasaan negara secara subjektif. Kecuali itu dengan menganggap
kedudukan borjuasi nasional sebagai segi rakyat dalam kekuasaan negara RI
dan Presiden Soekarno sebagai pemimpinnya, berarti menganggap bahwa
borjuasi nasional mampu memimpin revolusi borjuis demokratis tipe baru.
Ini bertentangan dengan kenyataan sejarah.
Pimpinan PKI mengatakan bahwa 'teori dua aspek' sama sekali tidak
sama dengan 'teori perubahan struktur' dari pemimpin-pemimpin Partai
Komunis Italia yang revisionis itu. Tetapi baik secara teori maupun
berdasarkan kenyataan praktik tidak ada perbedaan antara kedua Teori' itu.
Kedua-duanya bertolak dari jalan damai mencapai sosialisme, keduaduanya mengkhayalkan perubahan secara berangsur-angsur perimbangan
intern dan susunan negara; kedua-duanya sama-sama revisionis.
'Teori dua aspek' yang anti-revolusi itu jelas dinyatakan dalam keterangan
bahwa 'Perjuangan PKI mengenai kekuasaan negara ialah mendorong
supaya aspek pro-rakyat makin besar dan bisa berdominasi, sedangkan
kekuatan-kekuatan yang anti-rakyat dikeluarkan dari kekuasaan negara/
[Idem, hal.142 —144].
"Oleh pimpinan partai, jalan yang anti-revolusi itu bahkan dinamakan
jalan 'revolusi dari atas dan dari bawah'. Dari atas berarti bahwa PKI harus
mendorong kekuasaan negara untuk melakukan tindakan-tindakan
revolusioner guna mengadakan perubahan-perubahan dalam personalia dan
aparatur negara. Sedangkan dari bawah berarti membangkitkan,
mengorganisasi, dan memobilisasi rakyat untuk mencapai perubahanperubahan tersebut. Sungguh suatu fantasi yang luar biasa! Pimpinan partai
tidak belajar dari kenyataan bahwa Konsepsi Presiden Soekarno tentang
pembentukan Kabinet Gotong-Royong (Pemerintah Koalisi Nasional tipe
lama) sudah delapan tahun sejak diumumlkan, belum pernah dan tidak ada
tanda-tanda akan dilaksanakan, walaupun terus dituntut. Apalagi
perubahan kekuasaan negara!
Lenin memang pernah menunjukkan terbukanya kemungkinan 'aksi dari
atas', yaitu ketika terdapat kemungkinan mengambil bagian dalam
pemerintah revolusioner sementara menjelang revolusi Rusia tahun 1905.
Ketika itu adalah periode dari pergolakan-pergolakan politik dan revolusirevolusi telah mulai. Apabila tidak mungkin bertindak dari atas, menurut
Lenin harus dilakukan tekanan dari bawah, dan untuk itu proletariat harus
dipersenjatai.
Jelaslah betapa bedanya situasi dan syarat-syarat yang diajukan Lenin
tentang terbukanya kemungkinan 'aksi dari atas' dan syarat-syarat 'aksi dari
bawah'. Yang satu diajukan dalam situasi revolusioner, yang lain diajukan
bukan hanya dalam situasi relatif damai, tetapi juga secara oportunis.
'Teori dua aspek' adalah sama dengan pemutarbalikan Kautsky terhadap
Marxisme tentang negara. Kautsky secara teori tidak menyangkal bahwa
negara adalah alat kekuasaan kelas. Yang dikaburkan atau dihilangkan oleh
Kautsky ialah 'bahwa pembebasan kelas tertindas tidaklah mungkin bukan hanya
tanpa revolusi yang keras, tetapi juga tanpa penghancuran aparat kekuasaan negara
yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa....'
Untuk membersihkan diri dari lumpur oportunisme, partai kita harus
membuang 'teori dua aspek dalam kekuasaan negara' dan menegakkan kembali
ajaran-ajaran Marxisme—Leninisme tentang negara dan revolusi." [Idem,
hal.144 —146]
September 1963, Aidit berkunjung ke Tiongkok dan berpidato di depan
Sekolah Sentral PKT. Dalam pidatonya memperkenalkan PKI dan Soal-Soal
Pokok Revolusi Indonesia antara lain dikemukakannya: "Untuk dapat
memimpin perkembangan politik, PKI menjalankan garis umum
meneruskan penggalangan front nasional dan meneruskan pembangunan
partai.
Berdasarkan garis umum ini, kaum komunis Indonesia mengibarkan
Tripanji Partai untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus
1945 sampai ke akar-akarnya, yaitu:
1) Panji Front Nasional,
2) Panji Pembangunan Partai,
3) Panji Revolusi Agustus 1945."
"Mengibarkan panji Revolusi Agustus 1945 tinggi-tinggi berarti menarik
sebanyak mungkin rakyat Indonesia berkeliling di sekitarnya dan berjuang
untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus sampai ke akarakarnya, yaitu hapusnya imperialisme dan feodalisme di Indonesia. Panji
Revolusi Agustus memakukan arti penting daripada menggunakan
pengalaman-pengalaman perjuangan selama Revolusi Agustus 1945.
Pengalaman Revolusi Agustus 1945 memberi pelajaran-pelajaran bahwa
untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia, adalah sangat penting rol
daripada peperangan gerilya. Tapi peperangan gerilya ketika itu akan lebih
berhasil dan mencapai kemenangan, jika kita melakukan MKTBP (Metode
Kombinasi Tiga Bentuk Perdjuangan), ialah perjuangan gerilya di desa-desa.
aksi-aksi revolusioner di kota-kota oleh kaum buruh, terutama buruh
transportasi, dan bekerja baik dan intensif di kalangan kekuatan bersenjata
m usuh/' [D.N. Aidit, Revolusi Indonesia dan Tugas-Tugas Mendesak PKI,
Ceramah Ketua PKI D. N. Aidit di Sekolah Tinggi Partai dari CC PKT, 2
September 1963, Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1964, hal.37].
"Pimpinan partai mengemukakan bahwa 'Partai tidak boleh menjiplak
teori perjuangan bersenjata di luar negeri, tetapi harus menjalankan Metode
Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP), yaitu perjuangan gerilya di desa
(terutama terdiri dari buruh buruh tani dan tani miskin); aksi-aksi revolusioner oleh
kaum buruh (terutama buruh transportasi) di kota-kota; dan pekerjaan intensif di
kalangan kekuatan bersenjata musuh." "Pimpinan Partai mengkritik sementara
kawan, karena dianggapnya dalam belajar dari pengalaman perjuangan
bersenjata rakyat Tiongkok hanya melihat persamaan-persamaannya.
Sebaliknya pimpinan partai mengemukakan perbedaan-perbedaan syarat
yang harus diperhitungkan, sehingga kesimpulannya ialah bahwa metode
yang khas bagi revolusi Indonesia adalah 'MKTBP'.
Menggunakan pengalaman negeri-negeri lain secara dogmatis adalah
salah. Tetapi menolak menggunakan pengalaman negeri lain yang telah
teruji kebenarannya sebagai salah salah satu teori revolusi rakyat adalah
juga salah. Lenin mengajarkan bahwa "suatu gerakan yang mulai di sebuah
negeri yang muda dapat berhasil baik hanya jika ia mengolah pengalaman negerinegeri lain secara kritis dan mengujinya secara bebas."
Kenyataan membuktikan bahwa "teori MKTBP" bukan hasil pengalaman
secara kritis dari negeri lain yang dipadu dengan praktik konkret Indonesia,
sehingga merupakan salah satu teori revolusi yang khas Indonesia; ia bukan
metode yang khas Indonesia. Revolusi Rusia tahun 1905 seperti diterangkan
oleh Lenin dalam Kuliah Tentang Revolusi 1905: adalah merupakan kombinasi
daripada pemogokan-pemogokan kaum buruh, perjuangan anti-feodal
kaum tani di desa-desa dan pemberontakan tentara dengan pemogokan
buruh sebagai pelopornya. Revolusi Tiongkok juga mengombinasikan
perang agraria revolusioner, pekerjaan di desa-desa dan kota-kota yang
diduduki oleh musuh, dan pekerjaan dalam kekuatan bersenjata musuh
dengan perang agraria revolusioner sebagai bentuk pokoknya."
"Tiga bentuk perjuangan yang harus dikombinasi, masing-masing
dipimpin bukan menuruti jalan revolusi, tetapi menuruti "jalan damai".
Perjuangan kaum tani untuk melawan penghisapan dan penindasan sisa-sisa
feodalisme, apabila mendapat pimpinan yang tepat tidak bisa tidak pasti
berkembang ke arah bentuknya yang tertinggi yaitu revolusi agraria untuk
membebaskan kaum tani dari penindasan tuan tanah. Perjuangan ini hanyamungkin mencapai kemenangan sempurna apabila dilakukan dengan
bersenjata di bawah pimpinan PKL Tetapi pimpinan partai tidak
memusatkan pimpinannya ke arah perkembangan perjuangan tani yang
semakin tinggi dan mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan
yang akan terjadi/' [Politbiro CC PKI, Tegakkan PKI yang Marxis—Leninis,
hal.124 —125].
Berpangkal pada pendirian yang salah bahwa 'Angkatan Bersenjata RI
bukanlah angkatan bersenjata yang reaksioner' maka soal 'bekerja di kalangan
kekuatan bersenjata musuh' diartikan sebagai 'mengintegrasikan alat-alat
negara yang penting dengan rakyat' atau 'mengeratkan hubungan
dwitunggal rakyat dan angkatan bersenjata'. Ini berati mengintegrasikan alat
kekerasan kelas-kelas penindas dengan kelas-kelas tertindas. Kesalahan
demikian terjadi karena pimpinan partai mengingkari ajaran Marxisme —
Leninisme tentang negara, memandang RI bukan negara borjuis dan
Angkatan Bersenjata RI bukan alat negara borjuis. Pimpinan partai
melupakan kenyataan bahwa Angkatan Bersenjata RI secara keseluruhan,
walaupun dilahirkan oleh Revolusi Agustus, tetapi sejak revolusi itu gagal
dan kekuasaan negara jatuh sepenuhnya di tangan borjuis reaksioner,
dengan sendirinya menjadi alat kekuasaan kelas yang menguasai negara itu.
Asal kelas dari para bintara dan tamtama yang banyak dari anak-anak kaum
buruh dan kaum tani memang dapat merupakan elemen yang memihak
rakyat. Tetapi hal ini tidak mengubah kedudukan angkatan bersenjata secara
keseluruhan sebagai alat negara yang mengabdi kepentingan kelas yang
berkuasa.
Untuk memenuhi tugas sejarahnya yang besar, berat, tetapi mulia, yaitu
memimpin revolusi rakyat anti-imperialisme dan anti-kapitalisme-birokrasi,
kaum Marxis — Leninis Indonesia harus tegas meninggalkan jalan damai
yang revisionis itu, meninggalkan "teori MKTBP", dan mengibarkan tinggi
panji revolusi rakyat bersenjata. Seperti juga pengalaman revolusi rakyat
Tiongkok yang jaya, kaum Marxis—Leninis Indonesia harus menggalang
daerah basis revolusioner; mereka harus 'membangun desa-desa yang
terbelakang menjadi daerah basis yang maju, terkonsolidasi, menjadi bentengbenteng revolusiuoner yang besar secara militer, politik, ekonomi, dan kebudayaan'
[Idem, hal.127—129].
MENGENAI kontradiksi-kontradiksi dalam Gerakan Komunis Internasional
yang sedang bergejolak waktu itu, Aidit mengemukakan: "'Kita tetap
mengharap supaya semua polemik dan kecam-mengecam benar-benar
dihentikan, baik dalam pidato-pidato dan dalam tulisan-tulisan, baik
terhadap Partai Buruh Albania m aupun terhadap Partai-Partai Komunis dan
Buruh lainnya. Sikap PKI yang memegang teguh prinsip-prinsip Marxisme—
Leninisme, tetapi luwes dalam membawakannya,, juga dalam masalah keretakan
GKI ini mendapat sambutan baik dari para kader dan anggota PKL Partai
kita yakin akan kebenaran sikapnya dan mendidik para anggota untuk
bersikap kritis, rendah hati, percaya pada diri sendiri, dan bersungguhsungguh dalam menghadapi masalah persatuan GKI.
"Dalam perjuangan untuk memulihkan persatuan dalam GKI, kita harus
terus melawan revisionisme, baik klasik m aupun modern, dan terus
melawan dogmatisme, baik klasik m aupun modern. Deklarasi Moskow 1957
menunjukkan dengan tepat bahwa bahaya utama dalam GKI pada dewasa
ini adalah revisionisme modern dan Pernyataan Moskow 1960 menugaskan
Partai-Partai Marxis —Leninis untuk menelanjangi terus-menerus dan
berjuang aktif melawan revisionisme Yugoslavia yang sekarang makin erat
dalam genggaman imperialisme AS. Berhenti melawan revisionisme baik
klasik m aupun modern berarti berhenti berjuang sungguh-sungguh
melawan imperialisme dan musuh-musuh rakyat lainnya. Berhenti melawan
dogmatisme baik klasik maupun modern, berarti memisahkan diri dari
massa dan nasion, menutup kemungkinan partai menjadi pemimpin massa
dan nasion. Kedua-duanya adalah berbahaya dan yang paling berbahaya
ialah yang tidak dilawan." [Idem, hal.22].
24. Partai Massa dan Partai Kader
"HASIL lain yang telah kita capai ialah bahwa kita sudah dapat
membangun partai massa yang bukan saja merupakan teras dari gerakan
komunis yang besar, tapi sejak tahun 1959, sejak Kongres Nasional VI, PKI
sudah merupakan organisasi komunis yang besar. Hasil ini kita capai
melalui pelaksanaan Plan 3 Tahun Pertama Mengenai Organisasi dan
Pendidikan, selesai dalam tahun 1959, yang telah dapat mengaktifkan
organisasi basis partai dan mendidik anggota-anggota baik dengan aksi-aksi
massa m aupun dengan pendidikan teori. Dengan terlaksananya Plan 3
Tahun Pertama, maka mayoritas kader dari tingkat Central sampai ke basis
sudah terdidik dalam teori dan semangat Marxisme—Leninisme. Merekalah
yang menjadi tulang punggung bagi pembangunan PKI selanjutnya/'
"Plan 3 Tahun Kedua Mengenai Pendidikan dan Organisasi telah
mengonsolidasi hasil-hasil itu lebih lanjut. Pengalaman partai kita untuk
membangun partai massa ini membuktikan, bahwa dengan pimpinan
Central yang bulat dan pendidikan dalam semangat dan teori Marxisme—
Leninisme yang terus-menerus. Partai Komunis dapat merupakan partai
yang pada satu pihak banyak jumlah anggotanya (massal) tapi pada pihak
lain merupakan organisasi yang tersentralisasi dengan disiplin yang kuat.
Pengalaman kita membuktikan, bahwa partai massa semacam itu tidak lebur
menjadi organisasi massa biasa, tapi tetap merupakan bentuk organisasi
yang tertinggi dari kelas buruh dan menjalankan fungsinya sebagai
detasemen terdepan, sebagai partai Lenin, partai tipe baru. Partai semacam
itu adalah partai massa dan partai kader sekaligus. Itulah partai kita.
Dari pengalaman pembangunan partai, pernah kita simpulkan bahwa
pada kaum komunis Indonesia terdapat tiga ciri, yaitu pertama, kaum
komunis Indonesia dijiwai oleh perpaduan patriotisme proletar dan
internasionalisme proletar, kedua, kaum komunis Indonesia berpendirian,
bahwa pembangunan organisasi penting, tetapi pembangunan ideologi lebih
penting lagi, dan ketiga, kaum komunis Indonesia teguh memegang prinsip
Marxisme —Leninisme, tapi luwes dalam membawakannya. Ketiga ciri ini
harus kita pelihara dan kita kembangkan, harus menjadi darah-daging kita."
[Idem, hal.26 ].
Mengenai Plan 4 Tahun, Aidit mengemukakan bahwa, "Tidak berapa
lama lagi Plan 3 Tahun Kedua Mengenai Pendidikan dan Organisasi sudah
akan berakhir dan Plan kita yang baru. Plan 4 Tahun mengenai Kebudayaan,
Ideologi, dan Organisasi akan dimulai. Sesuai dengan keputusan Kongres VII
Gerakan Akhiran untuk menyelesaikan Plan 3 Tahun Kedua dilakukan
dengan poros 4 Meningkat, yaitu (1) meningkat Sekolah Politik dan Kursus
Rakyat, (2) meningkat anggota partai dan ormas, (3) meningkat jumlah calon
menjadi anggota partai, (4) meningkat pemasukan iuran. Pengalamanpengalaman menunjukkan bahwa kunci untuk mensukseskan 4 Meningkat
itu ialah dengan meningkatkan SP dan KR. Itu berarti bahwa dengan
pendidikan teori dan politik yang tepat, aktivitas anggota-anggota menjadi
dipertinggi dan dijamin terlaksananya tugas-tugas yang lain.
Tapi kita sekarang bukan saja berkecimpung dalam mengakhiri Plan 3
Tahun Kedua. Partai kita sedang bersiap-siap untuk menyongsong Gerakan
Awalan Plan 4 Tahun. Plan raksasa yang akan datang. Dengan Plan ini kitaakan membikin Partai kita lebih mampu dan lebih mahir menghadapi tugas
dan pekerjaan apa pun.
Sebagaimana sudah dikatakan dalam Sidang Pleno I CC dalam rangka
pelaksanaan segi Kebudayaan dari Plan 4 Tahun ini, partai kita harus
mengorganisasi gerakan besar-besaran untuk meningkatkan taraf
kebudayaan rakyat pekerja, terutama kaum komunis, mulai dari kegiatan
PBH, pendidikan-pendidikan umum tingkat SR sampai menengah,
pendidikan-pendidikan khusus mengenai kesenian dan kejuruan, sampai
kepada berbagai cabang akademi dan fakultas. Melalui pendidikanpendidikan ini kita akan dapat memenuhi tugas kebutuhan urgen daripada
partai pada taraf perjuangan sekarang, yaitu kader-kader komunis atau
Marxis-Leninis yang berpengetahuan umum dan khusus (mempunyai
keahlian tertentu), kader-kader yang "komunis dan ahli." [Idem, hal.27].
Mengenai ideologi, Aidit mengemukakan, bahwa "dewasa ini ajaran
Marxisme—Leninisme sudah berakar di Indonesia. Benih Marxisme yang
telah disebarkan di bumi Indonesia sejak tahun 1914 oleh ISDV (PSDH) dan
melahirkan PKI (1920) kini telah erat berpadu dengan gerakan revolusioner
rakyat Indonesia. Marxisme-Leninisme telah membantu kita untuk
menyimpulkan pengalaman-pengalaman revolusi kita, menganalisa
masyarakat kita dan memahami soal-soal revolusi kita. Pada gilirannya,
Marxisme-Leninisme telah tumbuh dan diperkaya dengan pengalamanpengalaman revolusioner rakyat kita sendiri. Itulah hasil daripada pengindonesiaan Marxisme-Leninisme, hasil daripada perpaduan kebenaran
universal Marxisme-Leninisme dengan praktik konkret revolusi Indonesia,
hasil penerapan Marxisme-Leninisme di bumi Indonesia dengan gaya-gaya
Indonesia. Kini Marxisme-Leninisme sudah mulai dipelajari tidak hanya di
dalam partai tetapi juga oleh orang-orang progresif di luar partai dengan
bantuan partai. Lambat laun Marxisme akan menjadi milik tidak hanya dari
kaum komunis atau proletariat saja tapi akan menjadi milik seluruh nasion.
Kita kaum komunis Indonesia menganggap hal ini suatu proses penting
yang wajar yang akan mempercepat tercapainya masyarakat sosialis di
Indonesia." [Idem, hal.28—29]
Menutup pidatonya, Aidit mengemukakan, bahwa "dengan semangat
yang tinggi dan keberanian yang besar, kita akan dapat mendobrak segala
rintangan dalam meneruskan pembangunan Partai Komunis Indonesia yang
lebih luas dan lebih terkonsolidasi yang kader-kadernya pandai, berani, dan
berkebudayaan. PKI yang demikian itu akan mampu memberi sumbangan
positif dan besar dalam memperkuat kegotong-royongan nasional
berporoskan Nasakom dalam melaksanakan Manipol, Panca Program Front
Nasional, dan Dekon.
Memang adalah hukum perkembangan masyarakat, bahwa bila kelaskelas revolusioner makin maju dan kelas-kelas reaksioner makin tersudut,
maka makin meruncinglah perjuangan kelas dan makin kotor cara-cara yang
digunakan oleh kekuatan reaksi untuk mempertahankan diri. [Idem, hal.29—30].
25. Mengobarkan Semangat Berani
23—26 Desember 1963 berlangsung Sidang Pleno II CC PKI yang diperluas
dengan Komisi Verifikasi dan Komisi Kontrol Central di Jakarta. Dalam
sidang ini, D.N. Aidit menyampaikan laporan berjudul Kobarkan Semangat
Banteng! Maju Terus, Pantang Mundurl Dalam laporan ini Aidit memaparkan
dua tema besar: 1. Maju terus untuk landreform yang konsekuen,
mengganyang 'Malaysia', dan membentuk kabinet gotong-royong berporos
Nasakom!; 2. Ganyang terus imperialisme dan revisionisme! [D.N. Aidit,
Kobarkan Semangat Banteng! Maju Terus Pantang Mundur!, laporan politik
kepada Sidang Pleno kll CC VII yang diperluas dengan Komisi Verifikasi
dan Komisi Kontrol Central, 23—26 Desember 1963 di Jakarta, Jajasan
Pembaruan, Djakarta, 1964, hal.12 dan 44].
Laporan memaparkan bahwa: "Partai kita bersama dengan Presiden
Soekarno telah berhasil mengobarkan semangat keberanian di kalangan
massa rakyat Indonesia yang luas. Tahun 1963 benar-benar telah menjadi
'tahun keberanian', dan satu kali keberanian sudah dibangkitkan serta sudah
menjadi milik rakyat, semua rintangan dan penghalang pasti akan dapat
diganyang." "Berkat keberanian yang telah tumbuh, kita juga telah lebih
tinggi mengibarkan Tripanji Bangsa: Panji Demokrasi, Panji Persatuan, dan
Panji Mobilisasi. [Idem, hal.7]
Pada peringatan ulang tahun ke-44, 23 Mei 1964, di Surabaya, D.N. Aidit
menyampaikan pidato berjudul "Jadilah komunis yang baik dan lebih baik lagi!
Dalam pidatonya ini dipaparkan bahwa "sejarah PKI adalah proses
pengintegrasian Marxisme dengan revolusi Indonesia"; dan "masalah
penemuan teori-teori revolusi Indonesia yang antara lain: revolusi Indonesia
bersifat nasional demokratis dan merupakan bagian dari revolusi rakyatrakyat sedunia; masalah keharusan menggalang front persatuan nasional
dan front internasional anti-imperialisme; tentang adanya tiga kekuatan dan
tiga konsepsi mengenai revolusi Indonsia; mengenai keharusan melakukan
metode kombinasi tiga bentuk perjuangan, yaitu perjuangan di kalangan kaum tani,
kaum buruh di kota-kota dan mengintergrasikan alat-alat negara yang pokok dengan
perjuangan revolusioner rakyat. " [D.N. Aidit, Jadilah Komunis yang Baik dan
Lebih Baik Lagi!, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1964, hal.45]
Perkembangan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, dan dikobarkannya
semboyan persatuan nasional berporos Nasakom menyebabkan kian
meningkatnya pengaruh PKL Ini tidak diinginkan oleh kaum kanan. Dengan
tujuan untuk membubarkan PKI, maka kaum soska, bekerja sama dengan penganut
aliran trotskis menampilkan gagasan pembubaran partai-partai. Dalam rangka
kampanye untuk tujuan itu, semenjak 2 Juni 1964 sampai 9 Juli 1964
berlangsung polemik harian Merdeka dan Harian Rakjat. Polemik terjadi
mengenai peranan partai-partai politik dalam Demokrasi Terpimpin; Tentang
aksi sepihak kaum tani; soal-soal Marxisme, Pancasila, Manipol, Landreform,
UUPA-UUPBH, Anti-Manikebu, dan lain-lain. 2 Juni 1964, harian Merdeka
menyiarkan tulisan Induk Karangan berjudul Gagasan Satu Partai. Gagasan
ini menimbulkan polemik yang berkembang jadi menyangkut masalah
peranan partai-partai politik dalam Demokrasi Terpimpin, mengenai aksi
sepihak kaum tani; mengenai Marxisme, Pancasila, Manipol, Landreform;
UUPA; UUPBH; anti-Manikebu dan banyak lainnya. Begitu pentingnya arti
Polemik ini, hingga dalam Kata Pengantar Polemik Merdeka Harian Rakjat,
Njoto menulis, "Polemik ini boleh dibilang sudah sebagian dari sejarah.
Tetapi karena membentuk sejarah yang mendatang tak mungkin tanpa
belajar dari sejarah yang silam, maka perang argumentasi yang seperti
peluru-peluru desing-berdesing dalam pertempuran untuk merebut benteng
Manipol ini kiranya bisa dipelajari oleh siapa pun - politikus-politikus dan
jurnalis-jurnalis, mahasiswa-mahasiswa, golongan rakyat mana pun"
[Penerbit Harian Rakjat, Polemik Merdeka Harian Rakjat, Djakarta, 1964, hal.4].
Polemik yang berlangsung sebulan suntuk itu harus dihentikan karena
permintaan Kejaksaan Agung.
3 Juli 1964 berlangsung Konferensi Nasional I PKI di Jakarta. D.N. Aidit
menyampaikan laporan berjudul Dengan Semangat Banteng Merah
Mengkonsolidasi Organisasi Komunis yang Besar. Dalam laporan ini dipaparkan
masalah mengintensifkan pembajaan diri dan pendidikan diri, ditekankan
lagi masalah "Pembangunan organisasi penting, tetapi pembangunan
ideologi lebih penting lagi"; "Tahu Marxisme dan kenal keadaan".
"Dituntut agar tiap-tiap anggota partai memenuhi 9 syarat keanggotaan,
yaitu:
(1) melaksanakan dengan baik semua tugas yang diberikan oleh partai
kepada kita;(2) menjaga supaya diri kita tidak merosot menjadi pekerja politik yang
berpikiran sempit, yang lupa pada tugas sejarah yang besar dan
tenggelam mengurusi soal-soal tetek-bengek yang tidak ada
hubungannya dengan revolusi;
(3) dalam memegang jabatan apa saja kita harus senantiasa menjadi
tokoh politik dan tokoh negara tipe Lenin;
(4) sebagai tokoh masyarakat, kita harus senantiasa bersikap tegas dan
jelas, tidak plintat-plintut dalam membela kepentingan rakyat dan
revolusi;
(5) dalam keadaan bagaimanapun tetap bersemangat banteng merah,
tidak takut menghadapi pertempuran dan tidak kenal ampun
terhadap musuh-musuh rakyat;
(6) tidak mabuk karena sukses, tidak panik menghadapi segala
keruwetan dan bahaya, dan tidak putus asa kalau mengalami
pukulan-pukulan dan kegagalan-kegagalan;
(7) bijaksana dan berhati-hati dalam memutuskan masalah-masalah yang
banyak seluk-beluknya, yang menghendaki pandangan-pandangan
yang dalam, mengenai masalah-masalah itu;
(8) lurus dan jujur terhadap partai dan rakyat;
(9) cinta yang tidak ada taranya kepada rakyat/'
[D.N. Aidit, Dengan semangat Banteng Merah mengonsolidasi organisasi
komunis yang besar!, pidato dalam Konferensi Nasional Partai I, dimuat
dalam Jadilah Komunis yang Baik dan Lebih Baik Lagi!, Jajasan Pembaruan,
Djakarta, 1964, hal.14]
26. PKI dan Masalah Tani
2 Februari sampai 23 Maret 1964, Aidit memimpin rombongan riset ke
sejumlah desa Jawa Barat, melakukan praktik "tiga sama": sama bekerja,
mengerjakan apa saja yang dikerjakan petani; sama makan, makan apa saja
yang dimakan petani; dan sama tidur, tidur di tempat petani dan secara
petani. Dalam hasil riset ini Aidit menulis: "Kita telah menyimpulkan
dengan baik tentang maha pentingnya kaum tani atau desa dalam revolusi.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman kita sendiri selama Revolusi
Agustus 1945, kita telah menarik kesimpulan bahwa kaum tani atau desadesa di negeri kita memainkan 4 peranan penting dalam revolusi, yaitu
sebagai:
1) sumber bahan makanan;2) sumber prajurit revolusioner;
3) tempat m undur apabila terpukul di kota-kota;
4) pangkalan untuk melakukan serangan dan merebut kembali kota-kota.
Inilah pelajaran maha penting dari Revolusi Agustus 1945. Pelajaran ini
kita bayar dengan banyak korban. Oleh karena itu, kita tidak boleh
melupakan pelajaran itu.
Pentingnya peranan kaum tani dalam kehidupan bangsa makin lama
makin dirasakan dan diakui oleh semua golongan. Di waktu ini, masalah
tani sudah diakui secara luas sebagai masalah yang paling pokok dalam
kehidupan politik dalam negeri. Tidak ada masalah nasional yang besar
yang bisa diselesaikan tanpa menghubungkannya dengan penyelesaian
masalah tani. Hal ini bukan hanya keyakinan PKI saja, tetapi makin lama
makin menjadi keyakinan setiap Manipolis yang jujur dan konsekuen.
Dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah telah ditekankan tentang
pentingnya pertanian dan perkebunan sebagai dasar perekonomian negeri,
tentang pentingnya landreform, sedangkan kaum tani sudah diakui di dalam
Manipol sebagai sokoguru Revolusi Indonesia di samping kaum buruh."
[D.N. Aidit, Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan Desa, Laporan singkat
tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani Jawa Barat,
Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1964, h al.ll —12].
Lambang Palu Arit yang dijunjung PKI mencerminkan bahwa PKI
menjadikan buruh dan tani sebagai sokoguru revolusi. Semenjak semula PKI
telah menjadikan masalah tani dan tanah masalah pokok dari revolusi. Oleh
karena itu dalam programnya, PKI mengangkat semboyan nasionalisasi tanah
atau semua tanah jadi milik negara. Tapi Kongres Nasional V PKI tahun 1954
merumuskan