bahwa, revolusi agraria adalah hakikat revolusi demokrasi
rakyat di Indonesia. Dengan suara bulat disetujui untuk tidak lagi
menggunakan semboyan "nasionalisasi tanah" atau semboyan "semua tanah
menjadi milik negara" tetapi semboyan yang tepat adalah "tanah untuk kaum
tani", "pembagian tanah untuk kaum tani", dan "milik perseorangan tani atas
tanah."
Menjelang Kongres Nasional V tahun 1956, PKI telah mengadakan
banyak diskusi tentang soal-soal agraria dan kaum tani, dan sebagai
kesimpulannya, politik agraria partai dirumuskan dalam program partai
sebagai berikut: "semua tanah yang oleh tuan tanah - tuan tanah asing maupun
tuan tanah - tuan tanah Indonesia harus disita tanpa penggantian kerugian. Kepada
kaum tani, pertama-tama kepada kaum tani tak bertanah dan kaum tani miskin,
diberikan dan dibagikan tanah dengan cuma-cuma." Sebagai semboyan
ditetapkan "tanah untuk kaum tani" dan "milik perseorangan tani atas tanah".
Riset di desa-desa Jawa Barat mengenai kehidupan petani ini
menunjukkan kenyataan berlangsungnya penghisapan feodal atas kaum tani.
Dari analisa kelas, "di desa-desa terdapat tuan tanah - tuan tanah, tani sedang,
tani miskin, buruh tani. Di samping itu ada lintah darat, tukang ijon, tengkulak,
kapitalis birokrat, bandit-bandit desa, pekerja-pekerja kerajinan tangan dan
pertukangan, kaum intelektual, dan seniman desa.
Rakyat pekerja di desa mengalami penghisapan dan penindasan yang
kejam dari:
1) tuan tanah jahat;
2) lintah darat;
3) tukang-ijon;
4) kapitalis birokrat;
5) tengkulak jahat;
6) bandit desa;
7) penguasa jahat.
Mereka sungguh-sungguh merupakan tujuh setan desa yang menghisap
darah kaum tani. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi tuan tanah
jahat merangkap lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat, dan lain-lain,
sehingga merupakan setan dasamuka. Hanya dengan mengakhiri
penghisapan dan penindasan setan-setan desa ini kaum tani dapat mencapai
pembebasan yang sungguh-sungguh. Tanpa berbuat demikian, adalah
omong kosong berbicara tentang penyelesaian revolusi nasional-demokratis,
apalagi tentang masyarakat adil dan makmur." [Idem, hal.27].
27. Gunakan Pancasila Menyerang PKI
MENGHADAPI perkembangan PKI yang pesat, lawan-lawan PKI
menggunakan Pancasila untuk menyerang PKI. 20 Oktober 1964, Harian
Revolusioner, koran Partai Murba, memuat tajuk rencana yang isinya antara
lain: 'secara tegas dan gamblang Menko/Wk. Ketua MPRS dalam ceramah di
Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora telah mengatakan bahwa bila kita
(Indonesia) telah mencapai tarap hidup adil makmur dan telah sampai pada
sosialisme Indonesia, maka kita tak membutuhkan lagi Pancasila'. Selanjutnya, 'Kita
katakan saja secara terang-terangan bahwa ucapan itu merupakan satu
pengkhianatan terhadap keyakinan 103 juta rakyat Indonesia.....' Tajuk Rencana
ini memfitnah D.N. Aidit 'mengkhianati 103 juta rakyat Indonesia dengan
menyatakan tak membutuhkan lagi Pancasila setelah Indonesia sampai padasosialisme. Aidit membantah tajuk rencana ini dengan satu surat terbuka
yang isinya sebagai berikut:
'Pertama, yang saya katakan dalam kuliah di hadapan Pendidikan Kader
Revolusi Angkatan Dwikora di Bank Indonesia, Jakarta, justru kebalikan
daripada apa yang ditulis oleh tajuk rencana Harian Revolusioner. Dalam
rangka menjawab salah sebuah pertanyaan, justru saya mengatakan bahwa
di dalam masyarakat sosialis, tahap kedua daripada revolusi Indonesia,
Pancasila sebagai alat pemersatu kita butuhkan, karena pada waktu itu juga
kita memerlukan persatuan. Saya pun dalam salah satu kuliah pernah
mengatakan, bahwa Pancasila adalah Dasar Negara Republik Indonesia,
karena Pancasila dapat mempersatukan rakyat Indonesia yang terdiri dari
banyak agama, filsafat, ajaran, suku bangsa, dsb.
Kedua, pidato saya di-tape dan didengar oleh ratusan peserta Pendidikan
Kader Revolusi yang bisa dijadikan saksi bahwa saya tidak mengucapkan
sesuatu yang mirip dengan apa yang ditulis dalam tajuk rencana Harian
Revolusioner.
Saya mengharap Harian Revolusioner dan semua koran yang sudah
mengutip tajuk rencana Harian Revolusioner, memuat surat terbuka saya ini.
Karena tajuk rencana berbisa dari Harian Revolusioner tersebut sudah
meracuni udara kerja sama dalam kegotong-royongan nasional berporoskan
Nasakom, saya pun mengharap pertolongan koran-koran lain untuk
memuat surat terbuka ini, untuk mana saya mengucapkan diperbanyak,
terima kasih sebelumnya.
Saya tidak merasa perlu mengembalikan tuduhan 'pengkhianatan'
kepada Harian Revolusioner berhubung dengan pemutarbalikkan ucapan
saya, karena sebelum itu pun Harian Revolusioner sudah pengkhianat.
Saya hanya mengharap kewaspadaan dari yang berwajib." [Jajasan
Pembaruan, Aidit membela Pantjasila, Djakarta, 1964, hal.6—7].
Berkenaan dengan 'heboh Pancasila' yang bersumber dari tajuk rencana
Hari Revolusioner itu. Harian Rakyat mengeluarkan editorial tanggal 30
Oktober 1964 yang antara lain memuat: 'Heboh Pancasila' jelas
hubungannya dengan meningkatnya kegiatan kontra-revolusi dan subversi
seperti yang disinyalir oleh Kotrar. Kata-kata yang mereka gunakan adalah
kata-kata yang membakar dan menghasut untuk bertindak secara fisik.
Mereka menggunakan kata-kata seperti 'gantung', 'talkinkan', 'bajingan',
'maling', 'jahanam', 'monyet', dsb. Untuk apa ini semua? Jelas, untuk apa
yang mereka katakan 'kita harus rame-rame patah cengke mengeroyoknya'
(pojok 'Revolusioner' yang dikutip Berita Indonesia tanggal 26 Oktober 1964).
Semuanya ini bersambung dengan berita-berita radio-radio imperialis yang
menggambarkan akan adanya coup d'etat di Indonesia dan berita sumbersumber imperialis yang mengatakan bahwa Bung Karno akan meletakkan
jabatan sebagai Presiden RI. Terang bahwa bukan hanya kata-kata yang
mereka pergunakan bertentangan dengan Pancasila, tetapi juga terang
bahwa mereka sepenuhnya bermain dengan kartu musuh rakyat Indonesia,
kartu 'Malaysia', kartu imperialis-imperialis Inggeris dan Amerika Serikat
yang ada di belakang 'Malaysia'." [Idem, hal.16].
28. Deklarasi Bogor - Tata Krama Nasakom
12 Desember 1964, Bung Karno melangsungkan rapat dengan pimpinan
partai-partai politik di Istana Bogor. Hadir antara lain: PNI, NU, PKI, Perti,
Partindo, PSII, Murba, IPKI, Partai Kristen, dan Partai Katolik yang
melahirkan Ikrar 4 Pasal yang dikenal dengan 'Deklarasi Bogor' sebagai
berikut:
1. Mendukung politik konfrontasi dengan Malaysia.
2. Memelihara persatuan nasional yang progresif revolusioner
berporoskan Nasakom.
3. Menempuh musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah.
4. Membantah isu bahwa Bung Karno akan meletakkan jabatan.
[Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi yang Berhak, cetakan kedua,
Transmedia Pustaka, Jakarta, 2008, hal.164 —165].
11 Mei 1965, di Jakarta berlangsung Sidang Pleno IV CC VII yang
diperluas. Dalam sidang ini, D.N. Aidit menyampaikan laporan politik
berjudul "Perhebat Ofensif Revolusioner Di Segala Bidang!" Laporan ini
memaparkan masalah memperhebat ofensif revolusioner untuk menciptakan iklim
politik yang sesuai dengan kebijaksanaan banting stir dalam ekonomi dan
pembangunan. Secara khusus ditekankan tentang pentingnya membasmi
Trotskisme, dan memperkuat persatuan Nasakom untuk mengembangkan
lebih lanjut situasi revolusioner. Dikemukakan bahwa Manipol yang lahir 6
tahun yang lalu telah memainkan peranan dalam meningkatkan ofensif
revolusioner, hingga memaksa musuh-musuh Manipol ambruk satu demi
satu. Ofensif Manipol ditujukan untuk membela dengan konsekuen Garis
Umum Revolusi Indonesia m enurut ajaran Manipol, yaitu dengan front nasional
yang bersokoguru buruh dan tani, berporos Nasakom dan berlandasan idiil
Pancasila, menyelesaikan revolusi nasional demokratis menuju ke Sosialisme
Indonesia. " [D .N. Aidit, Perhebat Ofensif Revolusioner Di Segala Bidang!,Laporan Politik Kepada Sidang Pleno IV CC VII yang diperluas, 11 Mei 1965,
Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1965, hal.8].
Dikemukakan, bahwa perkembangan situasi dalam negeri mengalami
kemajuan besar sesudah pedato "Tavip — Tahun Vivere Pericoloso" (17 Agustus
1964). Presiden Soekarno yang telah membangkitkan seluruh rakyat untuk
bemassa aksi dengan kegotong-royongan nasional berporoskan Nasakom
menentang nekolim, menentang kaum kapitalis komprador, kapitalis
birokrat, dan tuan tanah feodal - khususnya untuk mendobrak kemacetankemacetan dalam pelaksanaan UUPA dan UUPBH - mengganyang kaum
subversi, kontrarevolusioner, dan Manipolis munafik. Segera sesudah pidato
Tavip, 27 Agustus 1964, Presiden Soekarno mengadakan reshuffle
membentuk kabinet Dwikora I dengan Wakil-Wakil Ketua MPRS dan DPR
GR jadi menteri ex-officio, dan memasukkan sejumlah tokoh progresif ke
dalam kabinet, termasuk Njoto jadi menteri diperbantukan pada Presidium
Kabinet. Kemudian, dengan reshuffle, terbentuk kabinet Dwikora II pada 24
Februari 1965. Reshuffle dilaksanakan dengan melorot kedudukan beberapa
orang menteri yang paling ditentang rakyat, sedangkan beberapa kader PKI,
orang progresif simpatisan PKI diangkat menjadi menteri. Di antaranya
terdapat: A. Astrawinata, S.H. menjadi menteri kehakiman; Jenderal Mayor
Achmadi jadi menteri penerangan diperbantukan pada presiden; Ir. Setiadi
Reksoprodjo jadi menteri listrik dan ketenagaan; Joesoef Moeda Dalam,
menteri gubernur bank sentral; Armunanto, menteri pertambangan;
Ir. Surachman, menteri pengairan & pembangunan desa; Dr s. Achadi,
menteri transmigrasi & koperasi; Oey Tjoe Tat, menteri negara,
diperbantukan pada presidium kabinet.
"Bagaikan halilintar di panas terik. Presiden Soekarno mengomandokan
Indonesia keluar dari PBB, dan komando ini didukung serta dilaksanakan
oleh rakyat Indonesia dengan semangat dan antusiasme revolusioner yang
tinggi dan mendapat semua kekuatan progresif sedunia. Peristiwa
bersejarah ini telah menggugah hati dan pikiran umat manusia di dunia
supaya melenyapkan segala ilusi terhadap PBB dan merupakan titik balik
dalam kehidupan politik rakyat Indonesia dalam melaksanakan Trisakti
Tavip: berdaulat dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri dalam ekonomi, dan
berkepribadian dalam kebudayaan."
Garis Trisakti Tavip ini lebih dijelaskan lagi dalam pidato Berdikari
Presiden Soekarno di hadapan Sidang Umum III MPRS tanggal 11 April 1965,
dalam Resolusi MPRS tentang Deklarasi Peningkatan Perjuangan Melawan
Nekolim, dalam Ketetapan MPRS tentang Banting Stir untuk Berdiri di Atas
Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan, dalam Ketetapan MPRS
tentang Prinsip-Prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin
dan dalam pidato Tetap Maju Terus! yang bersejarah dari Presiden Soekarno
pada upacara Peringatan Dasawarsa Konferensi Bandung tanggal 18 April
1965. Semuanya ini merupakan landasan bagi rakyat Indonesia untuk lebih
maju lagi dalam mengembangkan situasi revolusioner." [Idem, hal.9 —10].
Dalam menanggulangi intrik-intrik dan racun perpecahan yang
disebarkan oleh musuh-musuh revolusi dan membikin lebih baik lagi kerja
sama Nasakom, PKI telah mengajukan empat pasal 'Tata Krama Nasakom'
sebagai senjata yang paling ampuh untuk mengurus kontradiksi-kontradiksi
yang timbul antara semua kekuatan revolusi.
"Untuk lebih membikin harmonis kerja sama Nasakom dalam rangka
memperkuat persatuan nasional, PKI telah mengajukan pada rapat raksasa
penutupan Kongres Nasional SOBSI tanggal 27 September 1964, 4 kode etik
atau 4 pasal totokromo Nasakom, yaitu sebagai berikut:
(1) Setiap aliran politik dalam Nasakom harus setia kepada Manipol dan
pedoman-pedoman pelaksanaannya.
(2) Di kalangan Nasakom dan semua golongan Manipolis tidak boleh
ada konfrontasi, tetapi yang ada ialah konsultasi, musyawarah untuk
mufakat dan kompetisi Manipolis. Kompetisi Manipolis berarti
berlomba dalam mengabdi rakyat, dalam melaksanakan Ampera.
(3) Di kalangan Nasakom tidak hanya harus bisa menerima, tetapi juga
harus bisa memberi. (Hal ini juga dinyatakan dalam tulisan Bung
Karno Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, tahun 1926).
(4) Masing-masing aliran dalam Nasakom harus menjaga supaya tidak
menerobos pekarangan aliran lain sampai merugikan aliran lain;
jangan sampai misalnya, sesuatu aliran politik membikin interpretasi
tentang ajaran aliran lain yang merugikan aliran lain itu. Jangan
sampai terjadi orang-orang yang tidak tahu sama sekali tentang alifbengkoknya Marxisme atau Komunisme membikin uraian-uraian
atau tulisan tentang Marxisme. Serahkan tentang interpretasi tiap
aliran kepada aliran yang bersangkutan.
Pada pokoknya, 4 pasal totokromo Nasakom ini sudah diterima oleh
seluruh nasion, mula-mula lewat Deklarasi Bogor dan kemudian diperkuat
dengan Ketetapan MPRS No.VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-Prinsip
Musyawarah untuk Mufakat dalam Demoktasi Terpimpin, yang antara lain
memuat pelarangan propaganda "anti-Nasionalisme, anti-Agama, dan antiKomunisme." [Idem, hal.12].
Presiden Soekarno dalam amanat 'Berdikari'- nya dengan tegas
menyatakan: 'Aku setuju dengan adanya suatu tatakrama Nasakom. Di Indonesia,
perkembangan Nasionalisme, perkembangan Agama, dan perkembangan
Komunisme dijamin. Ketiga-tiga aliran itu harus bekerja sama secara rukun.
Masing-masing tidak diperkenankan membicarakan aliran yang lain secara yang
merugikan aliran lain itu. Juga propaganda anti-Nasionalisme, anti-Agama, dan
anti-Komunisme dilarang' .
Tatakrama Nasakom ini merupakan senjata yang tepat untuk mengurus
kontradiksi di antara sesama kekuatan revolusi dan untuk lebih
membulatkan tekad rakyat Indonesia baik dalam meningkatkan konfrontasi
dengan 'Malaysia' m aupun untuk merampungkan tugas-tugas revolusi
Indonesia.
29. Melawan Trotskisme
"KOMBINASI imperialis, kapitalis birokrat (kabir), dan trotskis menandai
kegiatan-kegiatan kontra-revolusioner dalam tahun 1964. Tujuan pokok
mereka ialah memindahkan kontradiksi antara rakyat Indonesia dengan
imperialisme menjadi kontradiksi di kalangan rakyat Indonesia sendiri.
Mereka menjalankan politik anti-Komunis dan anti-Soekarno dengan kedok
"Pancasilaisme" dan "Soekarnoisme" dalam bentuk gerakan yang dinamakan
Badan Pendukung Soekarnoisme ("BPS"). Semuanya bergerak menurut tongkat
komando CL4, organisasi intelijen AS. Tetapi karena sangat jelas bagi rakyat
bahwa ajaran-ajaran Bung Karno sama sekali tidak anti-Komunisme, maka
dalam waktu singkat kedok mereka terbuka dan kemunafikannya menjadi
telanjang bulat. Apalagi setelah ada kristalisasi politik dengan tindakan
Presiden Soekarno dan pemerintah Indonesia terhadap Partai Murba,
termasuk tindakan terhadap beberapa tokoh trotskis yang menjadi tokoh
partai itu. Tindakan itu mengandung arti politik yang penting sekali. Kaum
Trotskis Indonesia sejak mereka mengkhianati PKI sesudah kegagalan
pemberontakan nasional pertama tahun 1926 dan mendirikan PARI (Partai
Republik Indonesia) selalu memainkan peranan memecah-belah persatuan
nasional. Di zaman Belanda, di dalam pendudukan fasis Jepang, sesudah
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang, pekerjaan
mereka terus memecah-belah persatuan nasional. Trotskisme sudah lama
merupakan bukan lagi penyelewengan dari Marxisme, tetapi sepenuhnya komplotan
bandit-bandit politik yang pekerjaannya tidak lain daripada membikin intrik-intrik
dan kriminalitas politik. Kaum Trotskis menggunakan jubah Marxisme untuk
menentang Marxisme, menggunakan semboyan-semboyan "revolusioner"
dan "kiri" untuk menentang gerakan revolusioner, sehingga massa rakyatyang belum terdidik politik dalam batas-batas tertentu dapat tertarik
olehnya. Kaum Trotskis terang bukannya kekuatan kiri dan bukannya
kekuatan tengah, tetapi kekuatan ultra-kanan yang sadar anti-Komunis.
Oleh karena itu, penggalangan persatuan nasional berporoskan Nasakom tidak
mungkin tanpa bertindak terhadap kaum Trotskis seperti yang sudah dilakukan oleh
Presiden Soekarno dan pemerintah Indonesia." [D.N. Aidit, Perhebat Ofensif
Revolusioner di Segala Bidang/, Laporan Politik Kepada Sidang Pleno IV CC
VII Yang Diperluas, 11 Mei 1965, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1965, hal.13 —
14].
Selanjutnya Aidit menyatakan, "Politik anti-demokrasi, anti-Rakyat,
anti-Nasakom, dan anti-Komunis dari kaum Trotskis dalam praktiknya tidak
berbeda dengan politik partai-partai terlarang Masyumi dan PSI. Hal ini
antara lain dapat dibuktikan dengan jelas sekali dari intrik-intrik dan
kampanye-kampanye mereka tentang pembubaran partai-partai, penaikan
harga beras resmi sehingga lebih tinggi harga pasar, usaha penaikan harga
bensin, penyetopan pemboikotan film imperialis AS, melancarkan politik
rasialis, dan anti-kerjasama dengan RRT, menghebohkan Pancasila,
membikin gerakan "Soekarno-isme-BPS", bersekongkol dengan agen-agen
Malaysia, dan bernafsu besar untuk mengganti Presiden Soekarno. Tetapi
politik dan intrik mereka dilawan oleh rakyat dengan gigih, dan dalam
perlawanan-perlawanan itu rakyat mendapat kemenangan satu demi satu
dan maksud-maksud jahat mereka menjadi terbongkar pula satu demi
satu ."[Idem, hal. 14].
"Dalam bulan-bulan terakhir tahun 1964, puncak-puncak ketegangan di
dalam negeri telah ditimbulkan oleh kombinasi imperialis, kapitalis birokrat,
dan Trotskis ini. Untuk menarik kekuatan tengah ke pihaknya, mereka
memfitnah bahwa kaum komunis akan "merebut kekuasaan" berdasarkan
apa yang mereka namakan 'dokumen rahasia PK T bikinan mereka sendiri,
yang berisi fitnahan-fitnahan tentang 'bahaya komunis' yang sedang
mengancam, berhubung dengan 'kesehatan Bung Karno' yang kata mereka
'makin memburuk'."
"CC PKI dan saya pribadi sangat menyayangkan bahwa WPM III
Chairul Saleh ikut menyebarkan dokumen palsu itu. Sementara kaum
tengah yang naif, yang belum berpengalaman dengan intrik-intrik dan
provokasi-provokasi kaum Trotskis, ada yang tertarik dan hanyut oleh
fitnahan mereka. Tetapi kesedaran politik yang tinggi daripada rakyat
Indonesia merupakan rintangan utama bagi maksud-maksud jahat mereka,
rakyat Indonesia tetap mengarahkan ujung tombak perlawanannya kepadaimperialisme, khususnya proyek bersama Inggris—AS 'Malaysia' dan
musuh-musuh yang sesungguhnya di dalam negeri."
"Mengenai apa yang dinamakan 'dokumen rahasia PKI' sudah kita
kupas kepalsuannya dalam pertemuan antara Presiden Soekarno dengan
semua partai politik di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964. Tiap orang
revolusioner yang berpengalaman mudah mengetahui bahwa apa yang dinamakan
'dokumen rahasia PKI' adalah hasil pekerjaan ceroboh daripada pelaksanaan cara
klasik agen-agen provokator Trotski yang bermaksud membikin edisi kedua dari
'Peristiwa Madiun'. Teknik provokasi mereka kali ini jauh lebih jelek daripada
untuk provokasinya dalam tahun 1948 (Peristiwa Madiun), padahal
kewaspadaan PKI dan Rakyat Indonesia sekarang sudah jauh lebih tinggi
daripada ketika tahun 1948. Pekerjaan mereka menghubungkan 'bahaya
komunisme' dengan 'kesehatan Bung Karno' yang kata mereka 'makin
memburuk' dan oleh karena itu sudah diperlukan 'troon-opvolger' hanya
mendemonstrasikan satunya mereka dengan kaum imperialis internasional
yang juga melancarkan tema yang sama lewat pers dan radio. Tokoh-tokoh
mereka dipuji-puji setinggi langit oleh kaum imperialis dan larangan
terhadap Partai Murba diratap-tangisi oleh kaum imperialis, termasuk alatalat propaganda 'Malaysia'. Dengan demikian, semua menjadi terang!"
"Jelaslah, bahwa perjuangan rakyat Indonesia melawan kaum pemecahbelah, terutama kaum kabir dan Trotskis, telah mencapai puncak
kemenangannya dengan diumumkannya kebulatan tekad semua partai
politik pada tanggal 12 Desember 1964, dengan pelarangan 'BPS' dan
pelarangan Partai Murba dengan semua ormas-ormasnya dan rituling
orang-orang Murba dari Front Nasional dan lembaga-lembaga negara pusat
sampai daerah, pencabutan izin terbit koran-koran 'BPS' dan komando
presiden untuk membubarkan semua pendukung dan antek-antek 'BPS'.
Semuanya ini merupakan kemenangan besar bagi persatuan nasional
berporoskan Nasakom dan merupakan tindakan-tindakan penting bagi
keselamatan Republik Indonesia." [Idem, hal.14 —15].
30. 'Situasi Revolusioner'
SELANJUTNYA, laporan menilai bahwa "Rakyat Indonesia sedang hidup
dan berjuang dalam situasi revolusioner.
Ciri-ciri utamanya adalah:
(1) massa rakyat sudah aktif berjuang untuk adanya perubahan yang dapat
memperbaiki penghidupan mereka;(2) segi anti-rakyat dalam kekuasaan politik makin terdesak, segi pro-rakyat
makin unggul dan politik pemerintah makin hanyak yang disesuaikan
dengan tuntutan-tuntutan rakyat;
(3) aksi-aksi massa rakyat makin meluas sehingga peranan massa rakyat makin
besar dan makin menentukan dalam kehidupan masyarakat dan politik
negara." [Idem, hal. 16].
Di sini Aidit menggunakan teori "dua aspek", yaitu terdapatnya aspek prorakyat dan aspek anti-rakyat dalam kekuasaan negara.
Karena menilai situasi revolusioner, maka harus dapat ditanggapi dan
dipahami dengan baik-baik, oleh siapa saja yang mau terus mengibarkan
panji revolusi. Satu kali rakyat menjadi pembentuk politik negeri, seterusnya
hal ini harus dipertahankan dan dikembangkan. Dan untuk itu semboyan
ialah: " Ofensif berarti sukses dan menang, defensif berarti gagal dan kalah." [Idem,
hal.17]. "Ofensif revolusioner kita juga harus diperhebat untuk
membersihkan kabinet dari unsur-unsur anti-rakyat dan untuk membentuk
Kabinet Gotong-Royong berporoskan Nasakom." [Idem, hal.47]
Mengenai bidang internasional, laporan menilai bahwa situasi
revolusioner terus menanjak dan mematang di poros Nefo; bahwa
persekutuan imperialis yang goyah dan penuh kontradiksi yang tajam; Nefo
terus bertambah kuat; PBB adalah alat manipulasi imperialis; pentingnya
konferensi-konferensi internasional melawan imperialisme, kolonialisme
dan neo-kolonialisme.
Di bidang gerakan komunis internasional, laporan menilai adanya 4 tipe
Partai Komunis yaitu:
(1) yang Marxis-Leninis;
(2) yang pimpinannya dikuasai oleh kaum revisionis, tetapi di dalamnya
terdapat oposisi Marxis-Leninis;
(3) yang sudah sepenuhnya dikuasai kaum revisionis dan orang-orang
Marxis-Leninis yang sudah dipecat telah membentuk lingkaranlingkaran Marxis-Leninis;
(4) yang sepenuhnya dikuasai kaum revisionis dan sudah didampingi
oleh Partai Komunis.
PKI termasuk Partai tipe pertama." [Idem, hal.76].
Berkali-kali laporan menunjukkan, bahwa kita berada dalam situasi
revolusioner. Dalam situasi revolusioner ini, perjuangan antara kekuatankekuatan revolusioner dengan kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner
makin tajam. Satu-satunya sikap yang harus dilakukan oleh kaum
revolusioner adalah ofensif dan memperhebat ofensif.
Anggota-anggota Partai harus merupakan pejuang yang berani, berdisiplin,
pandai, dan berkebudayaan[Idem, hal.82]. Selanjutnya laporan menyerukan:
Perhebat amal kepada rakyat sampai mengenai soal-soal kecil sehari-hari;
Kembangkan pekerjaan teori untuk lebih meningkatkan daya juang dan seni
memimpin partai; Kobarkan ofensif revolusioner di bidang kebudayaan.
Ketua Partai Murba, Sukarni, ditangkap pada bulan Januari 1965. Oleh
Keputusan Presiden pada tanggal 21 September 1965, Partai Murba dilarang
sepenuhnya.
31. Tesis "45 Tahun PKI"
MENJELANG berlangsungnya peringatan ulang tahun ke-45 PKI, 23 Mei
1965, Politbiro CC PKI mengeluarkan Tesis 45 Tahun PKL Dalam Tesis ini
dikemukakan, bahwa "tamatnya riwayat kolonialisme Belanda di Indonesia
telah mengakibatkan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam kedudukan
musuh-musuh rakyat. Sidang Pleno I CC PKI Kongres VII yang diadakan
pada awal 1963, setelah mempertimbangkan kedudukan serta peranan
imperialisme AS di Indonesia dari segi politik, ekonomi, militer, dan
kebudayaan, telah menyimpulkan bahwa 'musuh rakyat Indonesia yang nomor
satu dan yang paling berbahaya pada waktu sekarang ialah imperialisme
AS'." [Politbiro CC PKI, Tesis 45 Tahun PKI, 23 Mei 1920-23 Mei 1965, Harian
Rakjat, 7 Mei 1965].
"Aksi-aksi anti imperialisme Inggris—AS dimulai dengan petisi-petisi,
rapat-rapat protes, demonstrasi-demonstrasi, dan kemudian berkembang
menjadi aksi pemboikotan terhadap film-film AS. Dalam waktu yang relatif
singkat sekali, perjuangan ini memuncak dalam aksi-aksi pengambil-alihan
perusahaan-perusahaan Inggris dan AS di Indonesia oleh kaum buruh yang
mendapat sokongan luas dari rakyat. Suatu faktor yang ikut menentukan
suksesnya aksi-aksi itu ialah karena aksi-aksi tidak hanya aksi massa dari
bawah, tetapi juga karena dikombinasi dengan perjuangan di atas. Ini
realisasi yang sukses dari garis 'revolusi dari atas dan dari bawah' .
"Sukses-sukses besar dalam pengambil-alihan perusahan-perusahaan
imperialisme Belanda, Inggris, dan AS dan yang dijadikan milik negara atau
ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah, sesungguhnya adalah
lompatan maju, dan merupakan perkembangan ke kiri dari sistem ekonomi
Indonesia".
Mengenai Trotskisme, Tesis 45 Tahun PKI memaparkan, bahwa "suatu
kemenangan besar yang dicapai oleh gerakan revolusioner rakyat Indonesiaialah pelarangan oleh pemerintah terhadap kegiatan Partai Murba dan
organisasi-organisasi pendukungnya yang merupakan sarang kegiatan
kaum pemecah-belah Trotskis di Indonesia.
Sementara orang mengira, bahwa masalah Trotskisme bukanlah masalah
nasional, melainkan hanya masalah PKI saja. Pandangan yang demikian
didasarkan pada anggapan yang keliru, seakan-akan Trotskisme itu adalah
suatu 'sekte' daripada Marxisme. Memang benar, bahwa pada awalnya
Trotskisme adalah suatu penyelewengan borjuis kecil dari Marxisme.
Akan tetapi dengan kemenangan yang gilang-gemilang Revolusi Sosialis
Oktober Besar Rusia 1917, yang mendemonstrasikan kebenaran ajaran Lenin
tentang revolusi sosialis, a.l. tentang mungkinnya sosialisme menang di satu
negeri, maka Trotskisme sebagai suatu sekte dalam gerakan kelas buruh
telah digugurkan sepenuhnya oleh sejarah.
Semenjak itu, Trotskisme telah menjadi gerakan yang sama sekali tidak
mendasarkan diri atas ajaran-ajaran Marxisme dan sudah tidak ada lagi baubaunya Marxisme sedikit pun. Kaum Trotskis telah menjadi kekuatan ultra
kanan yang bersemboyan 'kiri', kekuatan anti-Marxis yang berjubah 'Marxis'
dan telah menjadi komplotan penjahat politik dengan semboyan-semboyan
'revolusioner' yang menjadi barisan depan dari kekuatan kontrarevolusioner internasional. Secara politik dan organisasi, mereka adalah alat
yang penting untuk memecah-belah gerakan revolusioner kelas buruh dan
gerakan pembebasan nasional rakyat-rakyat tertindas di mana-mana. Di
Indonesia kaum Trotskis sudah mulai memecah-belah gerakan revolusioner
dalam pemberontakan nasional yang pertama rakyat Indonesia dalam tahun
1926, dan melakukan provokasi ketika kaum komunis mengorganisasi
gerakan di bawah tanah untuk melawan fasisme Jepang yang
mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari kalangan kader-kader
revolusioner. Mereka melakukan usaha-usaha kudeta dan usaha-usaha
pecah-belah dengan mendirikan 'Persatuan Perjuangan' yang secara
munafik menyerukan program dan semboyan-semboyan 'revolusioner'
dalam Revolusi Agustus, mereka memecah-belah gerakan buruh, mereka
bergandengan tangan dengan kaum revisionis modern dalam usaha untuk
menjatuhkan PKI, mereka melancarkan polemik-polemik tentang Pancasila
dan 'Soekarnoisme' pada saat-saat gerakan revolusioner justru semakin
membutuhkan kebulatan persatuan untuk mengganyang musuh-musuh
revolusi.
Sesungguhnya Trotskisme dalam gerakan revolusioner adalah bagaikan
penyakit kanker dalam tubuh manusia, yang menyerang pada saat-saat dan
tempat-tempat yang tidak diduga-duga. Itulah sebabnya, mengganyang dan
mengakhiri Trotskisme merupakan tugas urgen setiap patriot dan orang
revolusioner untuk dilaksanakan dalam tahun 1965 juga."
Mengenai Marxisme, Tesis mengemukakan, bahwa tugas membantu
orang-orang yang jujur dalam mempelajari Marxisme dan menelanjangi
pemalsu-pemalsu Marxisme adalah tugas penting proletariat Indonesia
dewasa ini dalam rangka membikin Marxisme menjadi milik nasion. Setiap
komunis haruslah menyadari benar-benar, bahwa menjadikan Marxisme milik
nasion pada hakikatnya adalah usaha untuk memenangkan secara penuh
revolusi nasional demokratis dan revolusi sosialis. Oleh karena itu, tugas
tersebut menuntut dari setiap komunis untuk bekerja lebih keras, memeras
energi dan keringat lebih banyak dan memperbesar pengabdiannya kepada
rakyat dan revolusi Indonesia/'
Dengan diterimanya Manipol sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara,
RI dengan resmi mempunyai program yang progresif revolusioner bagi
seluruh nasion Indonesia untuk menyelesaikan revolusi Indonesia.
Kekuatan-kekuatan reaksioner telah mendapat pukulan-pukulan berat dan
pengaruh mereka dalam kekuasaan politik sangat berkurang. Pada dewasa
ini kekuasaan negara RI mengandung dua aspek, yaitu aspek anti-rakyat dan aspek
pro-rakyat. Kekuatan aspek pro-rakyat sudah semakin besar dan memegang
inisiatif dan berofensif, sedangkan aspek anti-rakyat walaupun masih cukup
kuat, semakin terdesak dalam kedudukan terjepit. PKI berjuang agar aspek
pro-rakyat itu semakin kuat dan akhirnya dapat berdominasi, dan agar aspek
anti-rakyat dikeluarkan dari kekuasaan negara.
Teori 'dua aspek kekuasaan negara' ini tidak tepat. Membagi kekuasaan
negara ke dalam dua aspek yaitu aspek pro-rakyat dan aspek anti-rakyat
tidaklah sesuai dengan kenyataan objektif. Hakikat kualitas kekuasaan
negara ditentukan oleh kualitas angkatan bersenjata yang menjadi tulangpunggung negara. Dalam kenyataan, ABRI adalah utuh sebagai satu-satunya
kesatuan yang mendominasi kekuasaan negara. Karena itu, tidak ada aspek
yang pro-rakyat dan aspek anti-rakyat dalam kekuasaan negara, kekuasaan
negara tetap didominasi oleh Angkatan Bersenjata RI.
Berhubung dengan adanya dua aspek dalam kekuasaan negara RI,
perjuangan revolusioner rakyat Indonesia dilakukan dengan
mengombinasikan perjuangan massa aksi revolusioner rakyat dari bawah,
dengan tindakan-tindakan revolusioner badan-badan kekuasaan negara dari
atas sesuai dengan prinsip menjalankan 'revolusi dari atas dan dari bawah'.
Aksi-aksi massa rakyat yang berkobar belum bisa dikategorikan revolusi,
demikian pula tindakan-tindakan Bung Karno melakukan retooling aparat
negara belumlah membawa perobahan kualitatif dalam kekuasaan negara.
Karena itu tidaklah tepat menilai perkembangan ini sebagai berlangsungnya
'revolusi dari atas dan dari bawah'.
Tesis menilai, bahwa Indonesia berada dalam situasi revolusioner.
Ciri-ciri utamanya adalah:
(1) massa rakyat sudah aktif berjuang untuk adanya perubahan yang
dapat memperbaiki penghidupan mereka;
(2) segi anti-rakyat dalam kekuasaan politik makin terdesak, segi prorakyat makin unggul dan politik pemerintah makin banyak yang
disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan rakyat; dan
(3) aksi-aksi massa rakyat makin meluas sehingga peranan massa rakyat
makin besar dan makin menentukan dalam kehidupan masyarakat
dan politik negara.
Dalam situasi demikian, semboyan kita ialah: 'Ofensif berarti sukses dan
menang, defensif berarti gagal dan kalah'.
Tesis menekankan pentingnya dengan konsekuen melaksanakan Trisakti
Tavip, pentingnya garis umum penggalangan front persatuan nasional
dengan rumus do-do-re-mi-fa, ( 1-1-2-3-4 ), yaitu: 1. tenaga memimpin ialah
kelas buruh, 1 tenaga pokok ialah kaum tani; 2 persekutuan kelas buruh dan
kaum tani sebagai basis front persatuan nasional; 3 kekuatan pendorong
revolusi ialah buruh, tani, dan borjuis kecil yang merupakan rakyat pekerja,
dan 4 kekuatan revolusioner yaitu buruh, tani, borjuis kecil, dan borjuasi
nasional yang merupakan kekuatan rakyat yang dirugikan oleh
imperialisme dan feodalisme.
Mengenai Nasakom, Tesis mengemukakan bahwa kerja sama politik
Nasakom adalah ciri yang khas dalam hal penggalangan front nasional
revolusioner di Indonesia. Ide persatuan Nasakom, yang sudah dikemukakan
oleh Presiden Soekarno dalam tahun 1926, adalah pencerminan kenyataan
kehidupan politik dalam masyarakat Indonesia, di mana tiga aliran politik
yang besar, yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme, berakar dan
berpengaruh dalam sejarah gerakan kemerdekaan nasional. Jasa yang besar
dari Bung Karno bagi revolusi dan rakyat Indonesia bahwa beliau sebagai
putra Indonesia berhasil menggali dan mengembangkan tradisi kegotongroyongan Nasakom itu. Juga Lenin dengan kearifan seorang Marxis yang
senantiasa dihangati oleh apinya internasionalisme proletar, telah
menunjukkan pada kelas buruh dan rakyat Indonesia, jauh sebelum kelas
buruh Indonesia mendirikan partainya, apa yang oleh Bung Karno
dicetuskan sebagai ide Nasakom tersebut dalam artikel yang berjudul
'Kebangkitan Asia' (1913). (Dalam artikelnya ini, Lenin menilai tinggi
kebangkitan gerakan nasionalis dengan mengangkat panji Islam, ... dan
sejumlah besar penduduk turunan Tionghoa di Jawa sudah membawa
gerakan revolusioner dari tanah airnya/' Pen.) [Lenin, Probuzhdyeniye A zii—
Kebangkitan Asia, Kumpulan Karya, edisi Rusia, cetakan ke-5. Jilid 23,
hal.145 —146, Moskwa, 1961].
Dalam menanggulangi intrik-intrik dan racun perpecahan yang
disebarkan oleh musuh-musuh revolusi dan membikin lebih baik lagi kerja
sama Nasakom, PKI telah mengajukan empat pasal 'Tata Krama Nasakom'
sebagai senjata yang paling ampuh untuk mengurus kontradiksi-kontradiksi
yang timbul antara semua kekuatan revolusi. Empat kode etik atau empat
f asal tatakrama Nasakom itu y alah:
Pertama: setiap aliran politik dalam Nasakom harus setia pada Manipol
dan pedoman-pedoman pelaksanaannya.
Kedua: di kalangan Nasakom dan semua golongan Manipolis tidak boleh
ada konfrontasi, tetapi yang ada adalah konsultasi, musyawarah untuk
mufakat dan kompetisi Manipolis. Kompetisi Manipolis berarti berlomba
dalam mengabdi Rakyat, dalam melaksanakan Ampera.
Ketiga: di kalangan Nasakom tidak hanya harus bisa menerima, tapi juga
harus bisa memberi. Hal ini juga dinyatakan dalam tulisan Bung Karno
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme tahun 1926.
Keempat: masing-masing aliran dalam Nasakom harus menjaga supaya
tidak menerobos pekarangan aliran lain, sampai merugikan aliran lain;
jangan sampai, misalnya sesuatu aliran politik membikin interpretasi
tentang ajaran lain yang merugikan aliran lain itu. Jangan sampai terjadi
orang-orang yang tidak tahu alif bengkoknya Marxisme membikin uraianuraian atau tulisan tentang Marxisme atau Komunisme yang bertentangan
dengan Marxisme. Serahkan interpretasi tentang ajaran, tiap aliran kepada
aliran politik yang bersangkutan.
Presiden Sukarno dalam amanat 'Berdikari'nya dengan tegas menyatakan:
'Aku setuju dengan adanya suatu tatakrama Nasakom. Di Indonesia, perkembangan
Nasionalisme, perkembangan Agama, dan perkembangan Komunisme dijamin.
Ketiga-tiga aliran itu harus bekerjasama secara rukun. Masing-masing tidak
diperkenankan membicarakan aliran yang lain secara yang merugikan aliran lain itu.
Juga propaganda anti Nasionalisme, anti Agama dan anti Komunisme dilarang'.
Pada pokoknya 4 f asal tatakrama Nasakom itu sudah diterima oleh
seluruh nasion, mula-mula liwat Deklarasi Bogor dan kemudian diperkuat
dengan ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-Prinsip
Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin. Tatakrama Nasakom
ini merupakan senjata yang tepat untuk mengurus kontradiksi di antara
sesama kekuatan revolusi dan untuk lebih membulatkan tekad RakyatIndonesia baik dalam meningkatkan konfrontasi dengan 'Malaysia' m aupun
untuk merampungkan tugas-tugas revolusi Indonesia.
Tesis menyatakan bahwa Revolusi Indonesia sekarang sudah mempunyai
Garis Umumnya yang tepat, yaitu: 'Dengan front nasional yang bersokoguru
buruh dan tani, berporos Nasakom dan bertandasan idiil Pancasila, menyelesaikan
Revolusi nasional demokratis, menuju ke sosialisme Indonesia'. Setia kepada Garis
Umum ini, PKI tidak hanya menerima, tetapi dengan tak kenal jemu terus
menanamkan di dalam fikiran Rakyat Indonesia mahapentingnya Pancasila
sebagai alat dan filsafat pemersatu. Kaum Komunisto-phobi memfitnah,
bahwa PKI menerima Pancasila 'hanya' sebagai alat pemersatu. Tetapi PKI
telah menjawab, bahwa PKI menerima Pancasila justru sebagai alat
pemersatu. Di sinilah bedanya antara PKI dan kaum Komunisto-phobi atau
Manipolis-munafik yang meremehkan masalah persatuan kekuatankekuatan revolusi. PKI menerima Pancasila tidak sebagai 'taktik' dalam arti
semacam tipu muslihat, melainkan berdasarkan analisa Marxis yang
bertolak dari pandangan materialisme dialektik bahwa Pancasila merupakan
kenyataan yang mencerminkan keyakinan-keyakinan yang hidup di dalam
masyarakat Indonesia, sehingga PKI menerima Pancasila sebagai suatu
keseluruhan yang tidak terpotong-potong, karena kekuatan Pancasila
terletak justru di dalam kesatuannya. Atau sebagai yang dikatakan oleh
Bung Karno, penggali Pancasila itu sendiri bahwa jika diperas Pancasila
menjadi Trisila, dan diperas lagi menjadi Ekasila yaitu gotongroyong.
Sikap PKI yang menerima Pancasila adalah sikap yang objektif dan
ilmiah dan sekali-kali tidak berarti bahwa PKI telah menjadi revisionis. Sikap
PKI yang tepat terhadap Pancasila ini justru telah membikin makin
terpojoknya kaum Komunisto-phobi yang karena kekalapannya telah
melakukan usaha dari yang halus sampai yang paling kotor untuk
memfitnah bahwa sikap PKI tersebut adalah sikap yang 'munafik'.
Mengenai Marxisme Tesis menilai bahwa berkat anjuran-anjuran Bung
Karno, kian banyak orang mempelajari Marxisme. Karena perkembangan ini,
pimpinan Partai secara berkelebihan ingin menjadikan Marxisme milik
nasion Indonesia. Dikemukakan bahwa menjadikan Marxisme milik nasion
pada hakekatnya adalah untuk memenangkan secara penuh revolusi
nasional demokratis dan revolusi sosialis. Dalam hal ini telah dilupakan
watak kias dari Marxisme, yaitu Marxisme adalah ideologi kias buruh,
hingga tidak mungkin untuk dijadikan milik nasion yang terdiri dari
berbagai kias.
Tesis mengemukakan bahwa kenyataan objektif yang dihadapi PKI, yaitu,
negeri kepulauan yang luas, yang banyak penduduknya, tetapi tidak meratadan terdiri dari banyak sukubangsa yang kemajuannya tidak sama,
mengharuskan PKI untuk menjadikan dirinya partai kader dan partai massa
sekali gus, berdisiplin baja, tersebar di seluruh negeri dan terkonsolidasi
dalam ideologi, politik dan organisasi. Tanpa Partai yang demikian, tidaklah
mungkin bagi PKI membawa maju gerakan revolusioner Rakyat Indonesia
ke pintu gerbang kemenangan. Teori kepartaian Marxis-Leninis menetapkan
Partai itu adalah detasemen pelopor dari kias, jadi haruslah Partai kader, tidak
mungkin sekali gus sebagai Partai massa. Partai massa tidak mungkin
menjalankan prinsip organisasi sentralisme demokratis. Menetapkan
pembangunan Partai kader dan Partai massa sekaligus adalah berlawanan
dengan teori Partai tipe baru ajaran Lenin. W alaupun Tesis mengemukakan
bahwa "Haruslah senantiasa diingat, bahwa PKI adalah Partai tipe baru,
bentuk tertinggi organisasi dan pelopor dari kias buruh, dan ini hanya mungkin
apabila PKI secara teguh mendasarkan dirinya kepada prinsip-prinsip
sentralisme demokratis. Melaksanakan sentralisme demokratis dalam
kehidupan Partai secara konsekwen adalah syarat utama untuk terdapatnya
disiplin baja di dalam Partai". Yang terjadi y alah melenyapkan kepeloporan
Partai memimpin revolusi".
32. Lagi-Lagi Dwitunggal Rakyat dan ABRI
MENGENAI Angkatan Bersenjata, Tesis mengemukakan, bahwa Angkatan
Bersenjata RI lahir dari pangkuan Revolusi Agustus 1945 yang memiliki
tradisi anti-fasisme, anti-imperialisme, demokratis dan bercita-cita
sosialisme Indonesia. Oleh karena itu adalah alat revolusi Indonesia yang
juga dipimpin oleh Manipol untuk bersama-sama kekuatan revolusi lainnya
mengubah Indonesia dewasa ini menjadi masyarakat Indonesia yang
merdeka penuh dan demokratis menuju ke sosialisme. Mayoritas anggota
Angkatan Bersenjata RI terdiri dari putra-putra kaum buruh dan tani, yang
merupakan sokoguru revolusi Indonesia. Kelas buruh dan PKI, bersama
dengan kekuatan revolusioner lainnya, mempunyai andil besar dalam
membangun Angkatan Bersenjata ini. Oleh karena itu, adalah juga
kewajiban PKI untuk mengeratkan hubungan 'Dwitunggal Rakyat dan
Angkatan Bersenjata RT supaya dalam kejadian apa pun angkatan bersenjata
atau bagian terbesarnya senantiasa berdiri teguh di pihak rakyat, di pihak
revolusi.
Kaum imperialis asing dan agen-agennya di dalam negeri selalu
berusaha keras untuk mengadu-domba rakyat Indonesia khususnya PKI,dengan ABRI atau sebaliknya. Mereka selalu menggambarkan seakan-akan
terdapat permusuhan antara kaum komunis Indonesia dengan ABRI.
Sebagai jawaban untuk menanggulangi maksud jahat kaum imperialis itu,
kaum komunis selalu mengibarkan tinggi semboyan 'Dwitunggal Rakyat dan
Angkatan Bersenjata' dan sepenuhnya mendukung apa yang dikatakan oleh
Presiden Soekarno di dalam amanat kepada MPRS: 'Hanya satu permintaanku,
yaitu supaya rakyat manipolis, yang sedang melangsungkan ofensif manipolis,
bekerja sama seerat-eratnya dengan alat-alat negara untuk meringkus reaksi dan
kontra-revolusi itu. Kepada alat-alat negara, polisikah dia, AD kah dia, AL kah dia,
AU kah dia, jaksa kah dia, hakim kah dia, kepala daerah kah dia, aku minta supaya
mereka benar-benar memihak rakyat/
Sesungguhnya, penilaian tentang Angkatan Bersenjata RI ini tidak sesuai
dengan kenyataan. Walaupun adalah benar, bahwa ABRI lahir dalam
pangkuan revolusi, mayoritas anggotanya terdiri dari anak kaum buruh dan
tani, tapi kualitas ABRI ditentukan oleh kualitas pimpinannya, kualitas para
perwira yang umumnya dididik di akademi-akademi militer Amerika yang
anti komunis. Walaupun secara resmi ABRI menerima Manipol, tetapi dalam
praktik yang membimbing tindak-tanduknya bukanlah Manipol
sebagaimana yang diharapkan Bung Karno dan PKI. Maka semboyan
'Dwitunggal Rakyat dan ABRI' tidaklah membikin ABRI menjadi dekat
kepada rakyat, lebih-lebih lagi tidak menjadi bersedia mengabdi rakyat dan
menjadi alat revolusi. Semboyan ini mencabut kewaspadaan partai dan
rakyat atas bahaya yang mungkin datang dari pihak kanan Angkatan
Bersenjata.
Kesalahan dalam hal ini bersumber pada subjektivisme, yaitu bertolak
dari keinginan subjektif agar ABRI jadi mengabdi rakyat dan revolusi, tidak
bertolak dari kenyataan objektif bahwa kualitas ABRI sesungguhnya
ditentukan oleh kualitas para komandannya, yaitu perwira-perwira hasil
didikan akademi militer Amerika dan perwira-perwira yang sadar antikomunis. Ini berarti tidak menggunakan pandangan materialisme dan
metode dialektika dalam menilai hakikat ABRI.
Tesis Ulang Tahun ke-45 PKI mencerminkan keyakinan pimpinan PKI
bahwa tujuan strategis membentuk pemerintahan demokrasi rakyat akan
tercapai dengan mulus, lewat pembentukan Kabinet Gotong-Royong.
Semboyan persatuan nasional berporoskan Nasakom, di bawah pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin diharapkan bisa menjurus ke arah tujuan ini. Karena
itu, secara sadar dan gigih pimpinan PKI menjunjung tinggi semboyan
Dwitunggal ABRI dan Rakyat. Dengan telah berlangsungnya pembubaran PSI
dan Masyumi serta Partai Murba dan retooling-retooling hingga terjadi
penyingkiran tokoh-tokoh Murba dari pimpinan Front Nasional dan
pemerintah pusat serta daerah, pelarangan penerbitan surat-surat kabar
partai-partai terlarang, membikin pimpinan PKI kian yakin akan tercapainya
tujuan strategis pembentukan Kabinet Gotong-Royong sebagai langkah maju
menuju terwujudnya sistim demokrasi rakyat di Indonesia lewat jalan damai.
33. Serentetan Kesimpulan Teoretis yang Problematis
TESIS 45 Tahun PKI telah mengedepankan serentetan rumusan baru yang
teoretis, yang dianggap bersifat penyimpulan pengalaman sejarah Indonesia.
Antara lain adalah semboyan "persatuan nasional berporoskan Nasakom",
"mendukung demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno", "revolusi dari atas
dan dari bawah", "teori dua aspek kekuasaan negara", "semboyan Dwitunggal
Rakyat dan ABRI", "pembangunan partai kader dan partai massa sekaligus",
"menjadikan Marxisme milik nasion". Semua ini adalah rumusan teoretis yang
belum diuji kebenarannya dalam praktik, dan dirumuskan berdasarkan
keinginan subjektif, tidak berdasarkan pengalaman praktik objektif.
Akibatnya yang fatal adalah ketergantungan PKI pada Soekarno dan kehilangan
kewaspadaan terhadap ABRI yang sudah lama bersiap bertindak membasmi
PKI.
Tesis juga memamerkan kemajuan-kemajuan yang dicapai PKI dalam
memimpin perkembangan situasi, yang menunjukkan kian terpojoknya
kekuatan kanan. Dalam kenyataan, D.N. Aidit, Ketua CC, sudah menjadi
Wakil Ketua MPRS dan menteri ex-officio; M.H. Lukman Wakil, Ketua I CC,
menjadi Wakil Ketua DPR juga menteri ex-officio; Njoto, Wakil Ketua II CC
menjadi menteri diperbantukan pada presidium kabinet; Sakirman, anggota
Dewan Harian Politbiro menjadi anggota Dewan Perancang Nasional;
sejumlah kader partai telah diangkat menjadi menteri, seperti Ir. Setiadi
Reksoprodjo, menteri listrik dan ketenagaan, Jusuf Muda Dalam menjadi
menteri kepala bank sentral, dan sejumlah jabatan wakil gubernur diduduki
oleh kader PKI, seperti Sujono Atmo, Wakil Gubernur Jawa Tengah, dll. Ini
semua menunjukkan kian besarnya kemungkinan PKI mencapai kedudukan
dominan dalam kekuasaan negara di bawah kepemimpinan Soekarno.
Amerika Serikat sangat khawatir akan perkembangan ini. Ini dianggap mengancam
dan membahayakan kedudukannya di Indonesia. Oleh karena itu, rencana
penggulingan Soekarno yang sudah ditetapkan semenjak akhir tahun lima
puluhan, kian digalakkan, dengan usaha pembasmian PKI demi
penggulingan Presiden Soekarno.Puncak peringatan ulang tahun ke-45 PKI berlangsung dengan
diselenggarakannya sebuah rapat raksasa di Stadion Gelora Bung Karno.
Bung Karno berpidato berjudul: Subur, Subur, Suburlah PKI! Antara lain
beliau berkata: "'Dalam Kongres VI PKI saya berkata, 'y o sanak, y o kadang, yen
mati aku kelangan' (tepuk tangan). Apalagi saudara-saudara, apalagi di dalam
rangka politik yang kita jalankan, yaitu politik yang sudah dari sejak dahulu
saya kemukakan, yaitu menggalang menjadi satu semua tenaga revolusioner
progresif, dalam bahasa asingnya, de samenbundeling van alle progressieve
revolutionnaire krachten, menggabungkan menjadi satu semua tenaga-tenaga
revolusioner progresif. Di dalam kerangka politik yang demikian itu maka
sebenarnya bukanlah satu barang yang aneh, bahwa pemerintah Republik
Indonesia merangkul kepada PKI, bahwa saya sebagai mandataris daripada
MPRS merangkul kepada PKI, bahwa saya sebagai Pemimpin Besar Revolusi
Indonesia merangkul kepada PKI (tepuk tangan panjang), sebab siapa yang
bisa membantah bahwa PKI adalah unsur yang hebat di dalam penyelesaian
Revolusi Indonesia ini? (tepuk tangan panjang). Tadi telah disitir oleh Kawan
Aidit apa sebabnya menurut pendapat saya PKI menjadi besar. PKI ndodro,
ndodro itu, lihat tangan saya lho, menjalar, menjalar, menjalar. PKI menjadi
kuat, PKI menjadi sekarang beranggotakan 3 juta, pemudanya 3 juta,
simpatisannya 20 juta. Apa sebabnya PKI demikian? Ialah oleh karena PKI
adalah konsekuen progresif revolusioner (tepuk tangan). Nah, sudah barang
tentu Saudara-saudara, saya yang berpendapat bahwa revolusi Indonesia ini
tidak dapat diselesaikan jikalau tidak digabungkan menjadi satu semua,
semua tenaga progresif revolusioner, saya merangkul PKI, saya berkata PKI,
yo sanakku, yo kadangku, yen mati aku melu kelangan (tepuk tangan).
"Saudara-saudara, pernah saya ceriterakan kepada saudara-saudara, dan
tadi pun sudah disitir, dikatakan oleh Kawan Aidit, beberapa senjata ampuh
yang saya berikan kepada revolusi Indonesia, ialah antara lain Pancasila,
antara lain penggalangan semua tenaga progresif revolusioner dalam
Nasakom, antara lain Manipol-Usdek, antara lain "Berdikari". Nasakom ini.
Saudara-saudara, pernah saya ceriterakan kepada khalayak ramai Indonesia
sendiri, bahwa utusan-utusan daripada perayaan Dasawarsa A-A tempo hari,
kagum melihat Nasakom, heran bahwa Indonesia bisa menjadi besar dan
kuat, heran bahwa Indonesia yang tadinya dikatakan oleh kaum imperialis
akan lekas hancur, Indonesia akan lekas gugur, Indonesia rakyatnya akan
mati kelaparan, Indonesia kacau-balau, bahwa Indonesia itu sebaliknya,
ternyata kuat, rakyatnya ternyata teguh, rakyatnya ternyata sehat-sehat,
karena Indonesia menjalankan politik Nasakom. Tadi Bung Aidit berkata
sebagai bantahan terhadap kepada kaum imperialis yang mengatakan
bahwa Indonesia kekurangan pangan, bahwa Indonesia kekurangan
makanan, bahwa rakyat Indonesia malahan saking banyaknya makanan, ubi
singkong dipakai untuk menutup jebolnya gili-gili. Mana ada di dunia ini
yang menutup jebolnya gili-gili dengan ubi-ubi singkong Saudara-saudara.
Hanya Indonesia sendiri saking banyaknya makanan (tepuk tangan)."
Nasakom menjadi kekaguman semua utusan-utusan Dasawarsa A-A.
Nasakom menjadi, malahan satu contoh bagi negara-negara Asia—Afrika
yang akan melanjutkan perjuangannya menentang imperialisme. Sesudah
itu dimengerti oleh semua utusan-utusan saudara, maka gampanglah bagi
saya untuk menerangkan kepada mereka apa sebabnya Indonesia
mengambil inisiatif untuk mengadakan Conefo, Conference of the New
Emerging Forces. Utusan-utusan ini sebetulnya saudara-saudara terlebih
dahulu telah kagum kepada Indonesia bahwa Indonesialah yang
mengemukakan ide New Emerging Forces ini, bukan negara lain. Indonesia
yang mengemukakan ide New Emerging Forces. Indonesia yang bekerja keras
untuk melaksanakan penggabungan dari semua tenaga New Emerging Forces.
Indonesia sekarang hendak mengadakan Conefo, Conference of the New
Emerging Forces. Sebelah ini saudara-saudara, sebelah Gelora Bung Karno, di
sana sekarang ini sedang dibangun perlengkapan-perlengkapan, gedunggedung untuk Conference of the New Emerging Forces. Saya sekarang Saudarasaudara, memanggil kepada seluruh rakyat Indonesia untuk membantu
kepada pembangunan ini agar supaya tahun muka Saudara-saudara, benarbenar di Indonesia, di Jakarta, bisa diadakan Conference of the New Emerging
Forces itu. Nah, sesudah utusan-utusan dari Dasawarsa itu melihat hebatnya,
manfaatnya politik Nasakom, m udah bagi saya untuk menerangkan kepada
mereka bahwa Conefo adalah sebetulnya satu Nasakom Internasional. Apa
sebab Nasakom Internasional? Sebabnya ialah di dalam Conefo itu
hendaknya kita gabungkan semua, asal tenaga anti imperialis baik dari
negara-negara yang capnya nasional m aupun dari negara-negara yang
capnya agama m aupun daripada negara-negara yang capnya komunis,
bahkan daripada negara-negara kapitalis yang di situ ada perkumpulanperkumpulan atau tenaga-tenaga progresif saudara-saudara. Dus Conefo
menggabungkan, ya negara-negara nasionalis yang anti-imperialis, ya
negara-negara agama yang anti-imperialis, ya, negara komunis, ya negaranegara lain. Saudara-saudara, yang di dalamnya adalah tenaga-tenaga
progresif. Oleh karena itu, maka aku bisa menerapkan kepada utusanutusan Dasawarsa itu bahwa Conefo adalah satu Nasakom Internasional".
Di sini, di kalangan Indonesia sendiri, saudara-saudara, ada orang-orang
yang menanya kepada saya. Bung atau Pak, kenapa politik Bung Karno
menggabungkan semua tenaga anti-imperialis, semua tenaga revolusioner
dalam perkataan Nasakom? Kenapa 'Kom'? Kenapa kok tidak seperti tahun
dua puluh enam waktu Bung Karno buat pertama kali mencetuskan ide
persatuan daripada tenaga-tenaga revolusioner ini? Nasionalis, Islam,
Marxisme atau Nasionalis, Agama, Marxis, kenapa Bung Karno tidak memakai
perkataan Nasamarx? Kok pakai perkataan Nasakom? Kenapa 'Korn'?
Kenapa tidak 'Sos'? Kenapa tidak "Marx'? Nasamarx atau Nasasos? Kok
Bung Karno memakai perkataan Nasakom? Jelaslah di sini Saudara-saudara,
dengarkan, perkataan yang paling dicatut, dicatut oleh pencoleng-pencoleng
poilitik, oleh coro-coro politik, perkataan yang paling dicatut pencolengpencoleng dan coro-coro ini ialah perkataan Marxisme saudara-saudara.
Saudara-saudara mengetahui bahwa misalnya PSI, Partai Sosialis Indonesia
yang sudah saya bubarkan itu, PSI itu selalu menepuk dada: Kami Marxis,
kami Marxis, kami Marxis! Saya berkata mereka bukan Marxis! Mereka
adalah pencoleng daripada Marxisme (tepuk tangan panjang). Karena itu aku
tidak mau memakai perkataan Nasamarx. Kalau aku memakai perkataan
Nasamarx, jangan-jangan nanti orang-orang PSI juga ikut-ikut di dalam
Nasamarx ini Saudara-saudara. Padahal mereka adalah kontra-revolusioner.
Padahal mereka adalah pencoleng Marxisme! (tepuk tangan panjang
menggemuruh).
Kecuali itu saya dengan sengaja memakai perkataan 'Kom', Nasakom,
oleh karena di Indonesia ini banyak orang yang fobi saudara-saudara, fobi
kepada 'Kom'. Fobi kepada 'Kom' artinya takut kepada 'Kom' khususnya
takut kepada PKI, benci kepada PKI, hendak menghancur-leburkan PKI.
Terus terang saja, terus terang saja di kalangan Nas ada yang komunisto-fobi,
di kalangan agama ada yang komunisto-fobi, di kalangan angkatan
bersenjata dulu ada yang ber-komunisto-fobi. Nah, ini penyakit fobi ini
hendak saya berantas Saudara-saudara, hendak saya berantas. Maka oleh
karena itu dengan sengaja di dalam penggabungan nationale revolutionnaire
krachten ini saya pakai perkataan 'Kom', 'Kom', 'Kom', sekali lagi 'Kom'
(tepuk tangan menggelegar). [Bung Karno, Subur, Subur, Suburlah PKI, Pidato
Presiden Soekarno pada rapat raksasa ulang tahun ke-45 PKI, Yayasan
Pembaruan, Jakarta, 1965].
17 Agutus 1965, Presiden Soekarno berpidato dengan judul Capailah
Bintang-Bintang di Langit (TAKARI). Mengenai agresi imperialisme Amerika
Serikat di Vietnam, Bung Karno berkata: "Mereka yang datang dari jarak
sejauh separo bola-bumi, mereka itu namanya 'pembela perdamaian',
sedang rakyat Vietnam yang tinggal di negerinya sendiri, mengurusi
urusannya sendiri dan mengatur tata hidupnya sendiri, rakyat Vietnam ini
dinamakan 'agresor'. Salah satu harus gila. Saudara-saudara: Vietnam atau
Amerika Serikat. Kedua-duanya gila tidak mungkin, kedua-duanya waras
pun tidak mungkin! Saudara-saudara bisa menyimpulkan sendiri mana
yang waras dan mana yang gila!
Akhirnya 'alasan' AS mengapa melakukan 'escalation' atau
peperangannya di Indocina adalah 'untuk mencegah Vietnam menjadi
negeri komunis.' Saya tidak pernah mendengar Paman Ho berkeberatan AS
merupakan negeri kapitalis, jika rakyat Amerika memang menghendaki
demikian, kenapa AS berkeberatan Vietnam 'menjadi negeri komunis' jika
rakyat Vietnam menghendaki demikian? Hak menentukan nasib sendiri
berarti pula hak menentukan macam pemerintah yang dikehendaki oleh
sesuatu rakyat di negerinya sendiri. Ini bahkan tercantum dalam 'Declaration
of Independence' Amerika sendiri! Ataukah dokumen besar ini telah
dilemparkan sendiri oleh bangsa yang melahirkannya?
Kalau agresi AS terhadap Vietnam itu kita biarkan, maka dia akan
merupakan bahaya besar bagi seluruh tata hidup internasional kita.
Sekarang agresi itu terjadi di Vietnam, besok dia mungkin terjadi di bumi
lain. Dia malahan sudah terjadi juga di Dominika. Maka dari itu, demi
keselamatan masing-masing dan demi keselamatan kolektif kita, kita
bangsa-bangsa yang cinta merdeka dan cinta damai, harus melawan agresi
AS itu, dan harus aktif memberikan sokongan kita kepada Saudara-saudara
di Vietnam itu.
Kepada pemerintah AS, ingin saya nasihatkan—kuharap mereka masih
bisa mendengar nasihat!—supaya mengakui kesalahannya dan segera
menarik diri sama sekali dari Vietnam dan dari seluruh Indocina. Percuma
mereka memusuhi Republik Demokrasi Vietnam 'tak sudi berunding',
karena apabila AS tidak menarik diri sama sekali dari Vietnam, semua orang
melihat justru AS lah yang tidak sudi penyelesaian secara damai. Baik
disadari oleh AS bahwa satu-satunya alternatif baginya adalah keluar sama
sekali dari seluruh Asia Tenggara! Jika mereka emoh menarik diri, mereka
bisa kehilangan segala-galanya, segala-galanya! Hai, Amerika dan Inggris!
Zaman ini bukan zamannya imperalisme lagi. Zaman ini adalah zaman antiimperialisme. Zaman ini adalah zaman hancurnya imperialisme!"
"... aku tahu bahwa tak pernah imperialisme itu menyerah dengan
sukarela. Mereka hanya menyerah, jika mereka dipaksa, yaitu dipaksa
dengan kekuatan yang mahadahsyat, dengan machtsvorming dan
machtsaanwending nasional dan internasional. Di sinilah letak pentingnya
Conefo, karena melalui Conefo itu kita akan menggalang 'samenbundeling van
alle internationale revolutionnaire krachten', yang kusebut juga 'nasakom
internasional—gabungannya negara-negara nasionalis, negara-negara agama
dan negara-negara komunis dalam skala dunia, untuk melabrak babak-belur
nekolim dan untuk membangun dunia kembali, membangun dunia baru —
dunia tanpa imperialisme dan tanpa eksploitasi/' [Presiden Soekarno,
Tjapailah Bintang-Bintang di Langit (TAKARI), Pidato pada hari ulang tahun
ke-20 RI, 17 Agustus 1965, Penerbit PT. Rakjat, Djakarta, hal.24]
Dalam pada itu, kekuatan anti-komunis kian terpukul dengan
ditangkapnya Ketua Partai Murba, Sukarni, pada bulan Januari 1965. Dengan
Keputusan Presiden Nomor 291 Tahun 1965, mulai tanggal 21 September
1965 Partai Murba dibubarkan. Dalam reshuffle kabinet. Presiden Soekarno
mengganti Menteri Perdagangan Adam Malik. Memutuskan mengeluarkan
semua wakil Partai Murba dari pimpinan Front Nasional, memerintahkan
pencabutan izin-terbit semua surat kabar BPS dan Partai Murba.
34. Memuncaknya Reaksi Anti-PKI dan
Usaha Menggulingkan Bung Kamo
23 Agustus 1965, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.16 tentang
Pencabutan Undang-Undang Penanaman Kapital Asing di Indonesia. Dalam
undang-undang ini dijelaskan bahwa "Berdasarkan pada prinsip berdiri di
atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dalam arti tidak menggantungkan diri
kepada negara asing, untuk melipatgandakan produksi nasional demi
mempertinggi tingkat hidup rakyat Indonesia dalam menyelesaikan tahap
pertama untuk memasuki tahap kedua revolusi Indonesia, yaitu tahap
sosialisme Indonesia, berdasarkan Pancasila perlu adanya pembantingan
setir dalam menghadapi operasi modal asing di Indonesia. Penanaman atau
operasi modal asing menurut sifatnya tidak lain daripada menghisap
kekayaan dari negara Republik Indonesia dan menjalankan penghisapan
manusia atas manusia, dan karena itu membawa bencana bagi rakyat
Indonesia. Oleh sebab itu riwayat penanaman atau operasi modal asing yang
mentransfer keuntungannya berlimpah-limpah ke luar negeri harus diakhiri
untuk selama-lamanya dengan mencabut Undang-Undang Penanaman Modal
Asing di Indonesia" [Lembaran Negara, Tahun 1965, No. 78].
Dengan pencabutan Undang-Undang Penanaman Modal Asing ini berarti,
bahwa penanaman atau operasi modal asing di Indonesia tidak akan ada
lagi, sedangkan yang sudah ada harus diakhiri, atau dilikuidasi. Maka kian
bergeloralah gerakan anti-imperialisme terutama anti-Amerika. AmerikaSerikat yang sedang mulai kewalahan menghadapi Perang Vietnam, jadi
tambah mata gelap menghadapi perkembangan di Indonesia. Tak ayal lagi,
Soekarno harus digulingkan. Maka semua unsur kekuatan pendukung
Amerika di Indonesia digalakkan demi usaha penggulingan Bung Karno.
PKI yang jadi pendukung tangguh Bung Karno, pertama-tama harus dilenyapkan.
Untuk itu, haruslah diciptakan syarat, yaitu adanya alasan buat bertindak
drastis bagi Angkatan Darat terhadap PKL
Bergejolaklah kampanye perang syaraf dengan berbagai isu: Disebarkan
berita "Bung Karno sakit ber