Selasa, 11 Februari 2025

penggulingan sukarno 9


  bahwa, revolusi agraria adalah hakikat revolusi demokrasi 

rakyat di Indonesia. Dengan suara bulat disetujui untuk tidak lagi 

menggunakan semboyan "nasionalisasi tanah" atau semboyan "semua tanah

menjadi milik negara" tetapi semboyan yang tepat adalah "tanah untuk kaum

tani", "pembagian tanah untuk kaum tani", dan "milik perseorangan tani atas

tanah."

Menjelang Kongres Nasional V tahun 1956, PKI telah mengadakan 

banyak diskusi tentang soal-soal agraria dan kaum tani, dan sebagai 

kesimpulannya, politik agraria partai dirumuskan dalam program partai 

sebagai berikut: "semua tanah yang oleh tuan tanah - tuan tanah asing maupun

tuan tanah - tuan tanah Indonesia harus disita tanpa penggantian kerugian. Kepada

kaum tani, pertama-tama kepada kaum tani tak bertanah dan kaum tani miskin,

diberikan dan dibagikan tanah dengan cuma-cuma." Sebagai semboyan 

ditetapkan "tanah untuk kaum tani" dan "milik perseorangan tani atas tanah".

Riset di desa-desa Jawa Barat mengenai kehidupan petani ini 

menunjukkan kenyataan berlangsungnya penghisapan feodal atas kaum tani. 

Dari analisa kelas, "di desa-desa terdapat tuan tanah - tuan tanah, tani sedang,

tani miskin, buruh tani. Di samping itu ada lintah darat, tukang ijon, tengkulak,

kapitalis birokrat, bandit-bandit desa, pekerja-pekerja kerajinan tangan dan

pertukangan, kaum intelektual, dan seniman desa.

Rakyat pekerja di desa mengalami penghisapan dan penindasan yang 

kejam dari:

1) tuan tanah jahat;

2) lintah darat;

3) tukang-ijon;

4) kapitalis birokrat;

5) tengkulak jahat;

6) bandit desa;

7) penguasa jahat.

Mereka sungguh-sungguh merupakan tujuh setan desa yang menghisap 

darah kaum tani. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi tuan tanah 

jahat merangkap lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat, dan lain-lain, 

sehingga merupakan setan dasamuka. Hanya dengan mengakhiri 

penghisapan dan penindasan setan-setan desa ini kaum tani dapat mencapai 

pembebasan yang sungguh-sungguh. Tanpa berbuat demikian, adalah 

omong kosong berbicara tentang penyelesaian revolusi nasional-demokratis, 

apalagi tentang masyarakat adil dan makmur." [Idem, hal.27].

27. Gunakan Pancasila Menyerang PKI

MENGHADAPI perkembangan PKI yang pesat, lawan-lawan PKI 

menggunakan Pancasila untuk menyerang PKI. 20 Oktober 1964, Harian 

Revolusioner, koran Partai Murba, memuat tajuk rencana yang isinya antara 

lain: 'secara tegas dan gamblang Menko/Wk. Ketua MPRS dalam ceramah di

Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora telah mengatakan bahwa bila kita

(Indonesia) telah mencapai tarap hidup adil makmur dan telah sampai pada

sosialisme Indonesia, maka kita tak membutuhkan lagi Pancasila'. Selanjutnya, 'Kita

katakan saja secara terang-terangan bahwa ucapan itu merupakan satu

pengkhianatan terhadap keyakinan 103 juta rakyat Indonesia.....' Tajuk Rencana

ini memfitnah D.N. Aidit 'mengkhianati 103 juta rakyat Indonesia dengan 

menyatakan tak membutuhkan lagi Pancasila setelah Indonesia sampai padasosialisme. Aidit membantah tajuk rencana ini dengan satu surat terbuka 

yang isinya sebagai berikut:

'Pertama, yang saya katakan dalam kuliah di hadapan Pendidikan Kader 

Revolusi Angkatan Dwikora di Bank Indonesia, Jakarta, justru kebalikan 

daripada apa yang ditulis oleh tajuk rencana Harian Revolusioner. Dalam 

rangka menjawab salah sebuah pertanyaan, justru saya mengatakan bahwa 

di dalam masyarakat sosialis, tahap kedua daripada revolusi Indonesia, 

Pancasila sebagai alat pemersatu kita butuhkan, karena pada waktu itu juga 

kita memerlukan persatuan. Saya pun dalam salah satu kuliah pernah 

mengatakan, bahwa Pancasila adalah Dasar Negara Republik Indonesia, 

karena Pancasila dapat mempersatukan rakyat Indonesia yang terdiri dari 

banyak agama, filsafat, ajaran, suku bangsa, dsb.

Kedua, pidato saya di-tape dan didengar oleh ratusan peserta Pendidikan 

Kader Revolusi yang bisa dijadikan saksi bahwa saya tidak mengucapkan 

sesuatu yang mirip dengan apa yang ditulis dalam tajuk rencana Harian 

Revolusioner.

Saya mengharap Harian Revolusioner dan semua koran yang sudah 

mengutip tajuk rencana Harian Revolusioner, memuat surat terbuka saya ini.

Karena tajuk rencana berbisa dari Harian Revolusioner tersebut sudah 

meracuni udara kerja sama dalam kegotong-royongan nasional berporoskan 

Nasakom, saya pun mengharap pertolongan koran-koran lain untuk 

memuat surat terbuka ini, untuk mana saya mengucapkan diperbanyak, 

terima kasih sebelumnya.

Saya tidak merasa perlu mengembalikan tuduhan 'pengkhianatan' 

kepada Harian Revolusioner berhubung dengan pemutarbalikkan ucapan 

saya, karena sebelum itu pun Harian Revolusioner sudah pengkhianat.

Saya hanya mengharap kewaspadaan dari yang berwajib." [Jajasan 

Pembaruan, Aidit membela Pantjasila, Djakarta, 1964, hal.6—7].

Berkenaan dengan 'heboh Pancasila' yang bersumber dari tajuk rencana 

Hari Revolusioner itu. Harian Rakyat mengeluarkan editorial tanggal 30 

Oktober 1964 yang antara lain memuat: 'Heboh Pancasila' jelas

hubungannya dengan meningkatnya kegiatan kontra-revolusi dan subversi 

seperti yang disinyalir oleh Kotrar. Kata-kata yang mereka gunakan adalah 

kata-kata yang membakar dan menghasut untuk bertindak secara fisik. 

Mereka menggunakan kata-kata seperti 'gantung', 'talkinkan', 'bajingan', 

'maling', 'jahanam', 'monyet', dsb. Untuk apa ini semua? Jelas, untuk apa 

yang mereka katakan 'kita harus rame-rame patah cengke mengeroyoknya' 

(pojok 'Revolusioner' yang dikutip Berita Indonesia tanggal 26 Oktober 1964). 

Semuanya ini bersambung dengan berita-berita radio-radio imperialis yang

menggambarkan akan adanya coup d'etat di Indonesia dan berita sumber￾sumber imperialis yang mengatakan bahwa Bung Karno akan meletakkan 

jabatan sebagai Presiden RI. Terang bahwa bukan hanya kata-kata yang 

mereka pergunakan bertentangan dengan Pancasila, tetapi juga terang 

bahwa mereka sepenuhnya bermain dengan kartu musuh rakyat Indonesia, 

kartu 'Malaysia', kartu imperialis-imperialis Inggeris dan Amerika Serikat 

yang ada di belakang 'Malaysia'." [Idem, hal.16].

28. Deklarasi Bogor - Tata Krama Nasakom

12 Desember 1964, Bung Karno melangsungkan rapat dengan pimpinan 

partai-partai politik di Istana Bogor. Hadir antara lain: PNI, NU, PKI, Perti, 

Partindo, PSII, Murba, IPKI, Partai Kristen, dan Partai Katolik yang 

melahirkan Ikrar 4 Pasal yang dikenal dengan 'Deklarasi Bogor' sebagai 

berikut:

1. Mendukung politik konfrontasi dengan Malaysia.

2. Memelihara persatuan nasional yang progresif revolusioner 

berporoskan Nasakom.

3. Menempuh musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah.

4. Membantah isu bahwa Bung Karno akan meletakkan jabatan.

[Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi yang Berhak, cetakan kedua,

Transmedia Pustaka, Jakarta, 2008, hal.164 —165].

11 Mei 1965, di Jakarta berlangsung Sidang Pleno IV CC VII yang 

diperluas. Dalam sidang ini, D.N. Aidit menyampaikan laporan politik 

berjudul "Perhebat Ofensif Revolusioner Di Segala Bidang!" Laporan ini 

memaparkan masalah memperhebat ofensif revolusioner untuk menciptakan iklim

politik yang sesuai dengan kebijaksanaan banting stir dalam ekonomi dan

pembangunan. Secara khusus ditekankan tentang pentingnya membasmi 

Trotskisme, dan memperkuat persatuan Nasakom untuk mengembangkan 

lebih lanjut situasi revolusioner. Dikemukakan bahwa Manipol yang lahir 6 

tahun yang lalu telah memainkan peranan dalam meningkatkan ofensif 

revolusioner, hingga memaksa musuh-musuh Manipol ambruk satu demi 

satu. Ofensif Manipol ditujukan untuk membela dengan konsekuen Garis

Umum Revolusi Indonesia m enurut ajaran Manipol, yaitu dengan front nasional

yang bersokoguru buruh dan tani, berporos Nasakom dan berlandasan idiil

Pancasila, menyelesaikan revolusi nasional demokratis menuju ke Sosialisme

Indonesia. " [D .N. Aidit, Perhebat Ofensif Revolusioner Di Segala Bidang!,Laporan Politik Kepada Sidang Pleno IV CC VII yang diperluas, 11 Mei 1965, 

Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1965, hal.8].

Dikemukakan, bahwa perkembangan situasi dalam negeri mengalami 

kemajuan besar sesudah pedato "Tavip — Tahun Vivere Pericoloso" (17 Agustus 

1964). Presiden Soekarno yang telah membangkitkan seluruh rakyat untuk 

bemassa aksi dengan kegotong-royongan nasional berporoskan Nasakom 

menentang nekolim, menentang kaum kapitalis komprador, kapitalis 

birokrat, dan tuan tanah feodal - khususnya untuk mendobrak kemacetan￾kemacetan dalam pelaksanaan UUPA dan UUPBH - mengganyang kaum 

subversi, kontrarevolusioner, dan Manipolis munafik. Segera sesudah pidato 

Tavip, 27 Agustus 1964, Presiden Soekarno mengadakan reshuffle

membentuk kabinet Dwikora I dengan Wakil-Wakil Ketua MPRS dan DPR 

GR jadi menteri ex-officio, dan memasukkan sejumlah tokoh progresif ke 

dalam kabinet, termasuk Njoto jadi menteri diperbantukan pada Presidium 

Kabinet. Kemudian, dengan reshuffle, terbentuk kabinet Dwikora II pada 24 

Februari 1965. Reshuffle dilaksanakan dengan melorot kedudukan beberapa 

orang menteri yang paling ditentang rakyat, sedangkan beberapa kader PKI, 

orang progresif simpatisan PKI diangkat menjadi menteri. Di antaranya 

terdapat: A. Astrawinata, S.H. menjadi menteri kehakiman; Jenderal Mayor 

Achmadi jadi menteri penerangan diperbantukan pada presiden; Ir. Setiadi 

Reksoprodjo jadi menteri listrik dan ketenagaan; Joesoef Moeda Dalam, 

menteri gubernur bank sentral; Armunanto, menteri pertambangan; 

Ir. Surachman, menteri pengairan & pembangunan desa; Dr s. Achadi, 

menteri transmigrasi & koperasi; Oey Tjoe Tat, menteri negara, 

diperbantukan pada presidium kabinet.

"Bagaikan halilintar di panas terik. Presiden Soekarno mengomandokan 

Indonesia keluar dari PBB, dan komando ini didukung serta dilaksanakan 

oleh rakyat Indonesia dengan semangat dan antusiasme revolusioner yang 

tinggi dan mendapat semua kekuatan progresif sedunia. Peristiwa 

bersejarah ini telah menggugah hati dan pikiran umat manusia di dunia 

supaya melenyapkan segala ilusi terhadap PBB dan merupakan titik balik 

dalam kehidupan politik rakyat Indonesia dalam melaksanakan Trisakti 

Tavip: berdaulat dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri dalam ekonomi, dan

berkepribadian dalam kebudayaan."

Garis Trisakti Tavip ini lebih dijelaskan lagi dalam pidato Berdikari

Presiden Soekarno di hadapan Sidang Umum III MPRS tanggal 11 April 1965, 

dalam Resolusi MPRS tentang Deklarasi Peningkatan Perjuangan Melawan

Nekolim, dalam Ketetapan MPRS tentang Banting Stir untuk Berdiri di Atas

Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan, dalam Ketetapan MPRS

tentang Prinsip-Prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin

dan dalam pidato Tetap Maju Terus! yang bersejarah dari Presiden Soekarno 

pada upacara Peringatan Dasawarsa Konferensi Bandung tanggal 18 April 

1965. Semuanya ini merupakan landasan bagi rakyat Indonesia untuk lebih 

maju lagi dalam mengembangkan situasi revolusioner." [Idem, hal.9 —10].

Dalam menanggulangi intrik-intrik dan racun perpecahan yang 

disebarkan oleh musuh-musuh revolusi dan membikin lebih baik lagi kerja 

sama Nasakom, PKI telah mengajukan empat pasal 'Tata Krama Nasakom'

sebagai senjata yang paling ampuh untuk mengurus kontradiksi-kontradiksi 

yang timbul antara semua kekuatan revolusi.

"Untuk lebih membikin harmonis kerja sama Nasakom dalam rangka 

memperkuat persatuan nasional, PKI telah mengajukan pada rapat raksasa 

penutupan Kongres Nasional SOBSI tanggal 27 September 1964, 4 kode etik

atau 4 pasal totokromo Nasakom, yaitu sebagai berikut:

(1) Setiap aliran politik dalam Nasakom harus setia kepada Manipol dan 

pedoman-pedoman pelaksanaannya.

(2) Di kalangan Nasakom dan semua golongan Manipolis tidak boleh 

ada konfrontasi, tetapi yang ada ialah konsultasi, musyawarah untuk 

mufakat dan kompetisi Manipolis. Kompetisi Manipolis berarti 

berlomba dalam mengabdi rakyat, dalam melaksanakan Ampera.

(3) Di kalangan Nasakom tidak hanya harus bisa menerima, tetapi juga 

harus bisa memberi. (Hal ini juga dinyatakan dalam tulisan Bung 

Karno Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, tahun 1926).

(4) Masing-masing aliran dalam Nasakom harus menjaga supaya tidak 

menerobos pekarangan aliran lain sampai merugikan aliran lain; 

jangan sampai misalnya, sesuatu aliran politik membikin interpretasi 

tentang ajaran aliran lain yang merugikan aliran lain itu. Jangan 

sampai terjadi orang-orang yang tidak tahu sama sekali tentang alif￾bengkoknya Marxisme atau Komunisme membikin uraian-uraian 

atau tulisan tentang Marxisme. Serahkan tentang interpretasi tiap 

aliran kepada aliran yang bersangkutan.

Pada pokoknya, 4 pasal totokromo Nasakom ini sudah diterima oleh 

seluruh nasion, mula-mula lewat Deklarasi Bogor dan kemudian diperkuat 

dengan Ketetapan MPRS No.VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-Prinsip

Musyawarah untuk Mufakat dalam Demoktasi Terpimpin, yang antara lain 

memuat pelarangan propaganda "anti-Nasionalisme, anti-Agama, dan anti￾Komunisme." [Idem, hal.12].

Presiden Soekarno dalam amanat 'Berdikari'- nya dengan tegas 

menyatakan: 'Aku setuju dengan adanya suatu tatakrama Nasakom. Di Indonesia,

perkembangan Nasionalisme, perkembangan Agama, dan perkembangan

Komunisme dijamin. Ketiga-tiga aliran itu harus bekerja sama secara rukun.

Masing-masing tidak diperkenankan membicarakan aliran yang lain secara yang

merugikan aliran lain itu. Juga propaganda anti-Nasionalisme, anti-Agama, dan

anti-Komunisme dilarang' .

Tatakrama Nasakom ini merupakan senjata yang tepat untuk mengurus 

kontradiksi di antara sesama kekuatan revolusi dan untuk lebih 

membulatkan tekad rakyat Indonesia baik dalam meningkatkan konfrontasi 

dengan 'Malaysia' m aupun untuk merampungkan tugas-tugas revolusi 

Indonesia.

29. Melawan Trotskisme

"KOMBINASI imperialis, kapitalis birokrat (kabir), dan trotskis menandai 

kegiatan-kegiatan kontra-revolusioner dalam tahun 1964. Tujuan pokok 

mereka ialah memindahkan kontradiksi antara rakyat Indonesia dengan 

imperialisme menjadi kontradiksi di kalangan rakyat Indonesia sendiri. 

Mereka menjalankan politik anti-Komunis dan anti-Soekarno dengan kedok 

"Pancasilaisme" dan "Soekarnoisme" dalam bentuk gerakan yang dinamakan 

Badan Pendukung Soekarnoisme ("BPS"). Semuanya bergerak menurut tongkat 

komando CL4, organisasi intelijen AS. Tetapi karena sangat jelas bagi rakyat 

bahwa ajaran-ajaran Bung Karno sama sekali tidak anti-Komunisme, maka 

dalam waktu singkat kedok mereka terbuka dan kemunafikannya menjadi 

telanjang bulat. Apalagi setelah ada kristalisasi politik dengan tindakan 

Presiden Soekarno dan pemerintah Indonesia terhadap Partai Murba, 

termasuk tindakan terhadap beberapa tokoh trotskis yang menjadi tokoh 

partai itu. Tindakan itu mengandung arti politik yang penting sekali. Kaum 

Trotskis Indonesia sejak mereka mengkhianati PKI sesudah kegagalan 

pemberontakan nasional pertama tahun 1926 dan mendirikan PARI (Partai 

Republik Indonesia) selalu memainkan peranan memecah-belah persatuan 

nasional. Di zaman Belanda, di dalam pendudukan fasis Jepang, sesudah 

proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang, pekerjaan 

mereka terus memecah-belah persatuan nasional. Trotskisme sudah lama

merupakan bukan lagi penyelewengan dari Marxisme, tetapi sepenuhnya komplotan

bandit-bandit politik yang pekerjaannya tidak lain daripada membikin intrik-intrik

dan kriminalitas politik. Kaum Trotskis menggunakan jubah Marxisme untuk 

menentang Marxisme, menggunakan semboyan-semboyan "revolusioner" 

dan "kiri" untuk menentang gerakan revolusioner, sehingga massa rakyatyang belum terdidik politik dalam batas-batas tertentu dapat tertarik 

olehnya. Kaum Trotskis terang bukannya kekuatan kiri dan bukannya 

kekuatan tengah, tetapi kekuatan ultra-kanan yang sadar anti-Komunis. 

Oleh karena itu, penggalangan persatuan nasional berporoskan Nasakom tidak

mungkin tanpa bertindak terhadap kaum Trotskis seperti yang sudah dilakukan oleh

Presiden Soekarno dan pemerintah Indonesia." [D.N. Aidit, Perhebat Ofensif

Revolusioner di Segala Bidang/, Laporan Politik Kepada Sidang Pleno IV CC 

VII Yang Diperluas, 11 Mei 1965, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1965, hal.13 — 

14].

Selanjutnya Aidit menyatakan, "Politik anti-demokrasi, anti-Rakyat, 

anti-Nasakom, dan anti-Komunis dari kaum Trotskis dalam praktiknya tidak 

berbeda dengan politik partai-partai terlarang Masyumi dan PSI. Hal ini 

antara lain dapat dibuktikan dengan jelas sekali dari intrik-intrik dan 

kampanye-kampanye mereka tentang pembubaran partai-partai, penaikan 

harga beras resmi sehingga lebih tinggi harga pasar, usaha penaikan harga 

bensin, penyetopan pemboikotan film imperialis AS, melancarkan politik 

rasialis, dan anti-kerjasama dengan RRT, menghebohkan Pancasila, 

membikin gerakan "Soekarno-isme-BPS", bersekongkol dengan agen-agen 

Malaysia, dan bernafsu besar untuk mengganti Presiden Soekarno. Tetapi 

politik dan intrik mereka dilawan oleh rakyat dengan gigih, dan dalam 

perlawanan-perlawanan itu rakyat mendapat kemenangan satu demi satu 

dan maksud-maksud jahat mereka menjadi terbongkar pula satu demi 

satu ."[Idem, hal. 14].

"Dalam bulan-bulan terakhir tahun 1964, puncak-puncak ketegangan di 

dalam negeri telah ditimbulkan oleh kombinasi imperialis, kapitalis birokrat, 

dan Trotskis ini. Untuk menarik kekuatan tengah ke pihaknya, mereka 

memfitnah bahwa kaum komunis akan "merebut kekuasaan" berdasarkan 

apa yang mereka namakan 'dokumen rahasia PK T bikinan mereka sendiri, 

yang berisi fitnahan-fitnahan tentang 'bahaya komunis' yang sedang 

mengancam, berhubung dengan 'kesehatan Bung Karno' yang kata mereka 

'makin memburuk'."

"CC PKI dan saya pribadi sangat menyayangkan bahwa WPM III 

Chairul Saleh ikut menyebarkan dokumen palsu itu. Sementara kaum 

tengah yang naif, yang belum berpengalaman dengan intrik-intrik dan 

provokasi-provokasi kaum Trotskis, ada yang tertarik dan hanyut oleh 

fitnahan mereka. Tetapi kesedaran politik yang tinggi daripada rakyat 

Indonesia merupakan rintangan utama bagi maksud-maksud jahat mereka, 

rakyat Indonesia tetap mengarahkan ujung tombak perlawanannya kepadaimperialisme, khususnya proyek bersama Inggris—AS 'Malaysia' dan 

musuh-musuh yang sesungguhnya di dalam negeri."

"Mengenai apa yang dinamakan 'dokumen rahasia PKI' sudah kita 

kupas kepalsuannya dalam pertemuan antara Presiden Soekarno dengan 

semua partai politik di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964. Tiap orang

revolusioner yang berpengalaman mudah mengetahui bahwa apa yang dinamakan

'dokumen rahasia PKI' adalah hasil pekerjaan ceroboh daripada pelaksanaan cara

klasik agen-agen provokator Trotski yang bermaksud membikin edisi kedua dari

'Peristiwa Madiun'. Teknik provokasi mereka kali ini jauh lebih jelek daripada 

untuk provokasinya dalam tahun 1948 (Peristiwa Madiun), padahal 

kewaspadaan PKI dan Rakyat Indonesia sekarang sudah jauh lebih tinggi 

daripada ketika tahun 1948. Pekerjaan mereka menghubungkan 'bahaya 

komunisme' dengan 'kesehatan Bung Karno' yang kata mereka 'makin 

memburuk' dan oleh karena itu sudah diperlukan 'troon-opvolger' hanya 

mendemonstrasikan satunya mereka dengan kaum imperialis internasional 

yang juga melancarkan tema yang sama lewat pers dan radio. Tokoh-tokoh 

mereka dipuji-puji setinggi langit oleh kaum imperialis dan larangan 

terhadap Partai Murba diratap-tangisi oleh kaum imperialis, termasuk alat￾alat propaganda 'Malaysia'. Dengan demikian, semua menjadi terang!"

"Jelaslah, bahwa perjuangan rakyat Indonesia melawan kaum pemecah￾belah, terutama kaum kabir dan Trotskis, telah mencapai puncak 

kemenangannya dengan diumumkannya kebulatan tekad semua partai 

politik pada tanggal 12 Desember 1964, dengan pelarangan 'BPS' dan 

pelarangan Partai Murba dengan semua ormas-ormasnya dan rituling 

orang-orang Murba dari Front Nasional dan lembaga-lembaga negara pusat 

sampai daerah, pencabutan izin terbit koran-koran 'BPS' dan komando 

presiden untuk membubarkan semua pendukung dan antek-antek 'BPS'. 

Semuanya ini merupakan kemenangan besar bagi persatuan nasional 

berporoskan Nasakom dan merupakan tindakan-tindakan penting bagi 

keselamatan Republik Indonesia." [Idem, hal.14 —15].

30. 'Situasi Revolusioner'

SELANJUTNYA, laporan menilai bahwa "Rakyat Indonesia sedang hidup 

dan berjuang dalam situasi revolusioner.

Ciri-ciri utamanya adalah:

(1) massa rakyat sudah aktif berjuang untuk adanya perubahan yang dapat

memperbaiki penghidupan mereka;(2) segi anti-rakyat dalam kekuasaan politik makin terdesak, segi pro-rakyat

makin unggul dan politik pemerintah makin hanyak yang disesuaikan

dengan tuntutan-tuntutan rakyat;

(3) aksi-aksi massa rakyat makin meluas sehingga peranan massa rakyat makin

besar dan makin menentukan dalam kehidupan masyarakat dan politik

negara." [Idem, hal. 16].

Di sini Aidit menggunakan teori "dua aspek", yaitu terdapatnya aspek pro￾rakyat dan aspek anti-rakyat dalam kekuasaan negara.

Karena menilai situasi revolusioner, maka harus dapat ditanggapi dan 

dipahami dengan baik-baik, oleh siapa saja yang mau terus mengibarkan 

panji revolusi. Satu kali rakyat menjadi pembentuk politik negeri, seterusnya 

hal ini harus dipertahankan dan dikembangkan. Dan untuk itu semboyan 

ialah: " Ofensif berarti sukses dan menang, defensif berarti gagal dan kalah." [Idem,

hal.17]. "Ofensif revolusioner kita juga harus diperhebat untuk 

membersihkan kabinet dari unsur-unsur anti-rakyat dan untuk membentuk 

Kabinet Gotong-Royong berporoskan Nasakom." [Idem, hal.47]

Mengenai bidang internasional, laporan menilai bahwa situasi 

revolusioner terus menanjak dan mematang di poros Nefo; bahwa 

persekutuan imperialis yang goyah dan penuh kontradiksi yang tajam; Nefo 

terus bertambah kuat; PBB adalah alat manipulasi imperialis; pentingnya 

konferensi-konferensi internasional melawan imperialisme, kolonialisme 

dan neo-kolonialisme.

Di bidang gerakan komunis internasional, laporan menilai adanya 4 tipe

Partai Komunis yaitu:

(1) yang Marxis-Leninis;

(2) yang pimpinannya dikuasai oleh kaum revisionis, tetapi di dalamnya 

terdapat oposisi Marxis-Leninis;

(3) yang sudah sepenuhnya dikuasai kaum revisionis dan orang-orang 

Marxis-Leninis yang sudah dipecat telah membentuk lingkaran￾lingkaran Marxis-Leninis;

(4) yang sepenuhnya dikuasai kaum revisionis dan sudah didampingi 

oleh Partai Komunis.

PKI termasuk Partai tipe pertama." [Idem, hal.76].

Berkali-kali laporan menunjukkan, bahwa kita berada dalam situasi

revolusioner. Dalam situasi revolusioner ini, perjuangan antara kekuatan￾kekuatan revolusioner dengan kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner 

makin tajam. Satu-satunya sikap yang harus dilakukan oleh kaum 

revolusioner adalah ofensif dan memperhebat ofensif.

Anggota-anggota Partai harus merupakan pejuang yang berani, berdisiplin, 

pandai, dan berkebudayaan[Idem, hal.82]. Selanjutnya laporan menyerukan: 

Perhebat amal kepada rakyat sampai mengenai soal-soal kecil sehari-hari; 

Kembangkan pekerjaan teori untuk lebih meningkatkan daya juang dan seni 

memimpin partai; Kobarkan ofensif revolusioner di bidang kebudayaan.

Ketua Partai Murba, Sukarni, ditangkap pada bulan Januari 1965. Oleh 

Keputusan Presiden pada tanggal 21 September 1965, Partai Murba dilarang 

sepenuhnya.

31. Tesis "45 Tahun PKI"

MENJELANG berlangsungnya peringatan ulang tahun ke-45 PKI, 23 Mei 

1965, Politbiro CC PKI mengeluarkan Tesis 45 Tahun PKL Dalam Tesis ini 

dikemukakan, bahwa "tamatnya riwayat kolonialisme Belanda di Indonesia 

telah mengakibatkan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam kedudukan 

musuh-musuh rakyat. Sidang Pleno I CC PKI Kongres VII yang diadakan 

pada awal 1963, setelah mempertimbangkan kedudukan serta peranan 

imperialisme AS di Indonesia dari segi politik, ekonomi, militer, dan 

kebudayaan, telah menyimpulkan bahwa 'musuh rakyat Indonesia yang nomor

satu dan yang paling berbahaya pada waktu sekarang ialah imperialisme

AS'." [Politbiro CC PKI, Tesis 45 Tahun PKI, 23 Mei 1920-23 Mei 1965, Harian

Rakjat, 7 Mei 1965].

"Aksi-aksi anti imperialisme Inggris—AS dimulai dengan petisi-petisi, 

rapat-rapat protes, demonstrasi-demonstrasi, dan kemudian berkembang 

menjadi aksi pemboikotan terhadap film-film AS. Dalam waktu yang relatif 

singkat sekali, perjuangan ini memuncak dalam aksi-aksi pengambil-alihan 

perusahaan-perusahaan Inggris dan AS di Indonesia oleh kaum buruh yang 

mendapat sokongan luas dari rakyat. Suatu faktor yang ikut menentukan 

suksesnya aksi-aksi itu ialah karena aksi-aksi tidak hanya aksi massa dari 

bawah, tetapi juga karena dikombinasi dengan perjuangan di atas. Ini 

realisasi yang sukses dari garis 'revolusi dari atas dan dari bawah' .

"Sukses-sukses besar dalam pengambil-alihan perusahan-perusahaan 

imperialisme Belanda, Inggris, dan AS dan yang dijadikan milik negara atau 

ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah, sesungguhnya adalah 

lompatan maju, dan merupakan perkembangan ke kiri dari sistem ekonomi 

Indonesia".

Mengenai Trotskisme, Tesis 45 Tahun PKI memaparkan, bahwa "suatu 

kemenangan besar yang dicapai oleh gerakan revolusioner rakyat Indonesiaialah pelarangan oleh pemerintah terhadap kegiatan Partai Murba dan 

organisasi-organisasi pendukungnya yang merupakan sarang kegiatan 

kaum pemecah-belah Trotskis di Indonesia.

Sementara orang mengira, bahwa masalah Trotskisme bukanlah masalah 

nasional, melainkan hanya masalah PKI saja. Pandangan yang demikian 

didasarkan pada anggapan yang keliru, seakan-akan Trotskisme itu adalah 

suatu 'sekte' daripada Marxisme. Memang benar, bahwa pada awalnya 

Trotskisme adalah suatu penyelewengan borjuis kecil dari Marxisme.

Akan tetapi dengan kemenangan yang gilang-gemilang Revolusi Sosialis 

Oktober Besar Rusia 1917, yang mendemonstrasikan kebenaran ajaran Lenin 

tentang revolusi sosialis, a.l. tentang mungkinnya sosialisme menang di satu 

negeri, maka Trotskisme sebagai suatu sekte dalam gerakan kelas buruh 

telah digugurkan sepenuhnya oleh sejarah.

Semenjak itu, Trotskisme telah menjadi gerakan yang sama sekali tidak 

mendasarkan diri atas ajaran-ajaran Marxisme dan sudah tidak ada lagi bau￾baunya Marxisme sedikit pun. Kaum Trotskis telah menjadi kekuatan ultra 

kanan yang bersemboyan 'kiri', kekuatan anti-Marxis yang berjubah 'Marxis' 

dan telah menjadi komplotan penjahat politik dengan semboyan-semboyan 

'revolusioner' yang menjadi barisan depan dari kekuatan kontra￾revolusioner internasional. Secara politik dan organisasi, mereka adalah alat 

yang penting untuk memecah-belah gerakan revolusioner kelas buruh dan 

gerakan pembebasan nasional rakyat-rakyat tertindas di mana-mana. Di 

Indonesia kaum Trotskis sudah mulai memecah-belah gerakan revolusioner 

dalam pemberontakan nasional yang pertama rakyat Indonesia dalam tahun 

1926, dan melakukan provokasi ketika kaum komunis mengorganisasi 

gerakan di bawah tanah untuk melawan fasisme Jepang yang 

mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari kalangan kader-kader 

revolusioner. Mereka melakukan usaha-usaha kudeta dan usaha-usaha 

pecah-belah dengan mendirikan 'Persatuan Perjuangan' yang secara 

munafik menyerukan program dan semboyan-semboyan 'revolusioner' 

dalam Revolusi Agustus, mereka memecah-belah gerakan buruh, mereka 

bergandengan tangan dengan kaum revisionis modern dalam usaha untuk 

menjatuhkan PKI, mereka melancarkan polemik-polemik tentang Pancasila 

dan 'Soekarnoisme' pada saat-saat gerakan revolusioner justru semakin 

membutuhkan kebulatan persatuan untuk mengganyang musuh-musuh 

revolusi.

Sesungguhnya Trotskisme dalam gerakan revolusioner adalah bagaikan 

penyakit kanker dalam tubuh manusia, yang menyerang pada saat-saat dan 

tempat-tempat yang tidak diduga-duga. Itulah sebabnya, mengganyang dan

mengakhiri Trotskisme merupakan tugas urgen setiap patriot dan orang

revolusioner untuk dilaksanakan dalam tahun 1965 juga."

Mengenai Marxisme, Tesis mengemukakan, bahwa tugas membantu 

orang-orang yang jujur dalam mempelajari Marxisme dan menelanjangi 

pemalsu-pemalsu Marxisme adalah tugas penting proletariat Indonesia 

dewasa ini dalam rangka membikin Marxisme menjadi milik nasion. Setiap 

komunis haruslah menyadari benar-benar, bahwa menjadikan Marxisme milik

nasion pada hakikatnya adalah usaha untuk memenangkan secara penuh 

revolusi nasional demokratis dan revolusi sosialis. Oleh karena itu, tugas 

tersebut menuntut dari setiap komunis untuk bekerja lebih keras, memeras 

energi dan keringat lebih banyak dan memperbesar pengabdiannya kepada 

rakyat dan revolusi Indonesia/'

Dengan diterimanya Manipol sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, 

RI dengan resmi mempunyai program yang progresif revolusioner bagi 

seluruh nasion Indonesia untuk menyelesaikan revolusi Indonesia. 

Kekuatan-kekuatan reaksioner telah mendapat pukulan-pukulan berat dan 

pengaruh mereka dalam kekuasaan politik sangat berkurang. Pada dewasa 

ini kekuasaan negara RI mengandung dua aspek, yaitu aspek anti-rakyat dan aspek

pro-rakyat. Kekuatan aspek pro-rakyat sudah semakin besar dan memegang 

inisiatif dan berofensif, sedangkan aspek anti-rakyat walaupun masih cukup 

kuat, semakin terdesak dalam kedudukan terjepit. PKI berjuang agar aspek

pro-rakyat itu semakin kuat dan akhirnya dapat berdominasi, dan agar aspek

anti-rakyat dikeluarkan dari kekuasaan negara.

Teori 'dua aspek kekuasaan negara' ini tidak tepat. Membagi kekuasaan 

negara ke dalam dua aspek yaitu aspek pro-rakyat dan aspek anti-rakyat

tidaklah sesuai dengan kenyataan objektif. Hakikat kualitas kekuasaan 

negara ditentukan oleh kualitas angkatan bersenjata yang menjadi tulang￾punggung negara. Dalam kenyataan, ABRI adalah utuh sebagai satu-satunya 

kesatuan yang mendominasi kekuasaan negara. Karena itu, tidak ada aspek 

yang pro-rakyat dan aspek anti-rakyat dalam kekuasaan negara, kekuasaan 

negara tetap didominasi oleh Angkatan Bersenjata RI.

Berhubung dengan adanya dua aspek dalam kekuasaan negara RI, 

perjuangan revolusioner rakyat Indonesia dilakukan dengan 

mengombinasikan perjuangan massa aksi revolusioner rakyat dari bawah, 

dengan tindakan-tindakan revolusioner badan-badan kekuasaan negara dari 

atas sesuai dengan prinsip menjalankan 'revolusi dari atas dan dari bawah'.

Aksi-aksi massa rakyat yang berkobar belum bisa dikategorikan revolusi, 

demikian pula tindakan-tindakan Bung Karno melakukan retooling aparat 

negara belumlah membawa perobahan kualitatif dalam kekuasaan negara.

Karena itu tidaklah tepat menilai perkembangan ini sebagai berlangsungnya 

'revolusi dari atas dan dari bawah'.

Tesis menilai, bahwa Indonesia berada dalam situasi revolusioner.

Ciri-ciri utamanya adalah:

(1) massa rakyat sudah aktif berjuang untuk adanya perubahan yang 

dapat memperbaiki penghidupan mereka;

(2) segi anti-rakyat dalam kekuasaan politik makin terdesak, segi pro￾rakyat makin unggul dan politik pemerintah makin banyak yang 

disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan rakyat; dan

(3) aksi-aksi massa rakyat makin meluas sehingga peranan massa rakyat 

makin besar dan makin menentukan dalam kehidupan masyarakat 

dan politik negara.

Dalam situasi demikian, semboyan kita ialah: 'Ofensif berarti sukses dan

menang, defensif berarti gagal dan kalah'.

Tesis menekankan pentingnya dengan konsekuen melaksanakan Trisakti

Tavip, pentingnya garis umum penggalangan front persatuan nasional 

dengan rumus do-do-re-mi-fa, ( 1-1-2-3-4 ), yaitu: 1. tenaga memimpin ialah 

kelas buruh, 1 tenaga pokok ialah kaum tani; 2 persekutuan kelas buruh dan 

kaum tani sebagai basis front persatuan nasional; 3 kekuatan pendorong 

revolusi ialah buruh, tani, dan borjuis kecil yang merupakan rakyat pekerja, 

dan 4 kekuatan revolusioner yaitu buruh, tani, borjuis kecil, dan borjuasi 

nasional yang merupakan kekuatan rakyat yang dirugikan oleh 

imperialisme dan feodalisme.

Mengenai Nasakom, Tesis mengemukakan bahwa kerja sama politik 

Nasakom adalah ciri yang khas dalam hal penggalangan front nasional

revolusioner di Indonesia. Ide persatuan Nasakom, yang sudah dikemukakan 

oleh Presiden Soekarno dalam tahun 1926, adalah pencerminan kenyataan 

kehidupan politik dalam masyarakat Indonesia, di mana tiga aliran politik 

yang besar, yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme, berakar dan 

berpengaruh dalam sejarah gerakan kemerdekaan nasional. Jasa yang besar 

dari Bung Karno bagi revolusi dan rakyat Indonesia bahwa beliau sebagai 

putra Indonesia berhasil menggali dan mengembangkan tradisi kegotong￾royongan Nasakom itu. Juga Lenin dengan kearifan seorang Marxis yang 

senantiasa dihangati oleh apinya internasionalisme proletar, telah 

menunjukkan pada kelas buruh dan rakyat Indonesia, jauh sebelum kelas 

buruh Indonesia mendirikan partainya, apa yang oleh Bung Karno 

dicetuskan sebagai ide Nasakom tersebut dalam artikel yang berjudul 

'Kebangkitan Asia' (1913). (Dalam artikelnya ini, Lenin menilai tinggi 

kebangkitan gerakan nasionalis dengan mengangkat panji Islam, ... dan

sejumlah besar penduduk turunan Tionghoa di Jawa sudah membawa 

gerakan revolusioner dari tanah airnya/' Pen.) [Lenin, Probuzhdyeniye A zii—

Kebangkitan Asia, Kumpulan Karya, edisi Rusia, cetakan ke-5. Jilid 23, 

hal.145 —146, Moskwa, 1961].

Dalam menanggulangi intrik-intrik dan racun perpecahan yang 

disebarkan oleh musuh-musuh revolusi dan membikin lebih baik lagi kerja 

sama Nasakom, PKI telah mengajukan empat pasal 'Tata Krama Nasakom'

sebagai senjata yang paling ampuh untuk mengurus kontradiksi-kontradiksi 

yang timbul antara semua kekuatan revolusi. Empat kode etik atau empat 

f asal tatakrama Nasakom itu y alah:

Pertama: setiap aliran politik dalam Nasakom harus setia pada Manipol 

dan pedoman-pedoman pelaksanaannya.

Kedua: di kalangan Nasakom dan semua golongan Manipolis tidak boleh 

ada konfrontasi, tetapi yang ada adalah konsultasi, musyawarah untuk 

mufakat dan kompetisi Manipolis. Kompetisi Manipolis berarti berlomba 

dalam mengabdi Rakyat, dalam melaksanakan Ampera.

Ketiga: di kalangan Nasakom tidak hanya harus bisa menerima, tapi juga 

harus bisa memberi. Hal ini juga dinyatakan dalam tulisan Bung Karno 

Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme tahun 1926.

Keempat: masing-masing aliran dalam Nasakom harus menjaga supaya 

tidak menerobos pekarangan aliran lain, sampai merugikan aliran lain; 

jangan sampai, misalnya sesuatu aliran politik membikin interpretasi 

tentang ajaran lain yang merugikan aliran lain itu. Jangan sampai terjadi 

orang-orang yang tidak tahu alif bengkoknya Marxisme membikin uraian￾uraian atau tulisan tentang Marxisme atau Komunisme yang bertentangan 

dengan Marxisme. Serahkan interpretasi tentang ajaran, tiap aliran kepada 

aliran politik yang bersangkutan.

Presiden Sukarno dalam amanat 'Berdikari'nya dengan tegas menyatakan: 

'Aku setuju dengan adanya suatu tatakrama Nasakom. Di Indonesia, perkembangan

Nasionalisme, perkembangan Agama, dan perkembangan Komunisme dijamin.

Ketiga-tiga aliran itu harus bekerjasama secara rukun. Masing-masing tidak

diperkenankan membicarakan aliran yang lain secara yang merugikan aliran lain itu.

Juga propaganda anti Nasionalisme, anti Agama dan anti Komunisme dilarang'.

Pada pokoknya 4 f asal tatakrama Nasakom itu sudah diterima oleh 

seluruh nasion, mula-mula liwat Deklarasi Bogor dan kemudian diperkuat 

dengan ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-Prinsip

Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin. Tatakrama Nasakom 

ini merupakan senjata yang tepat untuk mengurus kontradiksi di antara 

sesama kekuatan revolusi dan untuk lebih membulatkan tekad RakyatIndonesia baik dalam meningkatkan konfrontasi dengan 'Malaysia' m aupun 

untuk merampungkan tugas-tugas revolusi Indonesia.

Tesis menyatakan bahwa Revolusi Indonesia sekarang sudah mempunyai 

Garis Umumnya yang tepat, yaitu: 'Dengan front nasional yang bersokoguru

buruh dan tani, berporos Nasakom dan bertandasan idiil Pancasila, menyelesaikan

Revolusi nasional demokratis, menuju ke sosialisme Indonesia'. Setia kepada Garis 

Umum ini, PKI tidak hanya menerima, tetapi dengan tak kenal jemu terus 

menanamkan di dalam fikiran Rakyat Indonesia mahapentingnya Pancasila 

sebagai alat dan filsafat pemersatu. Kaum Komunisto-phobi memfitnah, 

bahwa PKI menerima Pancasila 'hanya' sebagai alat pemersatu. Tetapi PKI 

telah menjawab, bahwa PKI menerima Pancasila justru sebagai alat 

pemersatu. Di sinilah bedanya antara PKI dan kaum Komunisto-phobi atau 

Manipolis-munafik yang meremehkan masalah persatuan kekuatan￾kekuatan revolusi. PKI menerima Pancasila tidak sebagai 'taktik' dalam arti 

semacam tipu muslihat, melainkan berdasarkan analisa Marxis yang 

bertolak dari pandangan materialisme dialektik bahwa Pancasila merupakan 

kenyataan yang mencerminkan keyakinan-keyakinan yang hidup di dalam 

masyarakat Indonesia, sehingga PKI menerima Pancasila sebagai suatu 

keseluruhan yang tidak terpotong-potong, karena kekuatan Pancasila 

terletak justru di dalam kesatuannya. Atau sebagai yang dikatakan oleh 

Bung Karno, penggali Pancasila itu sendiri bahwa jika diperas Pancasila 

menjadi Trisila, dan diperas lagi menjadi Ekasila yaitu gotongroyong.

Sikap PKI yang menerima Pancasila adalah sikap yang objektif dan 

ilmiah dan sekali-kali tidak berarti bahwa PKI telah menjadi revisionis. Sikap 

PKI yang tepat terhadap Pancasila ini justru telah membikin makin 

terpojoknya kaum Komunisto-phobi yang karena kekalapannya telah 

melakukan usaha dari yang halus sampai yang paling kotor untuk 

memfitnah bahwa sikap PKI tersebut adalah sikap yang 'munafik'.

Mengenai Marxisme Tesis menilai bahwa berkat anjuran-anjuran Bung 

Karno, kian banyak orang mempelajari Marxisme. Karena perkembangan ini, 

pimpinan Partai secara berkelebihan ingin menjadikan Marxisme milik 

nasion Indonesia. Dikemukakan bahwa menjadikan Marxisme milik nasion 

pada hakekatnya adalah untuk memenangkan secara penuh revolusi 

nasional demokratis dan revolusi sosialis. Dalam hal ini telah dilupakan 

watak kias dari Marxisme, yaitu Marxisme adalah ideologi kias buruh, 

hingga tidak mungkin untuk dijadikan milik nasion yang terdiri dari 

berbagai kias.

Tesis mengemukakan bahwa kenyataan objektif yang dihadapi PKI, yaitu, 

negeri kepulauan yang luas, yang banyak penduduknya, tetapi tidak meratadan terdiri dari banyak sukubangsa yang kemajuannya tidak sama, 

mengharuskan PKI untuk menjadikan dirinya partai kader dan partai massa

sekali gus, berdisiplin baja, tersebar di seluruh negeri dan terkonsolidasi 

dalam ideologi, politik dan organisasi. Tanpa Partai yang demikian, tidaklah 

mungkin bagi PKI membawa maju gerakan revolusioner Rakyat Indonesia 

ke pintu gerbang kemenangan. Teori kepartaian Marxis-Leninis menetapkan 

Partai itu adalah detasemen pelopor dari kias, jadi haruslah Partai kader, tidak 

mungkin sekali gus sebagai Partai massa. Partai massa tidak mungkin 

menjalankan prinsip organisasi sentralisme demokratis. Menetapkan 

pembangunan Partai kader dan Partai massa sekaligus adalah berlawanan 

dengan teori Partai tipe baru ajaran Lenin. W alaupun Tesis mengemukakan 

bahwa "Haruslah senantiasa diingat, bahwa PKI adalah Partai tipe baru, 

bentuk tertinggi organisasi dan pelopor dari kias buruh, dan ini hanya mungkin 

apabila PKI secara teguh mendasarkan dirinya kepada prinsip-prinsip 

sentralisme demokratis. Melaksanakan sentralisme demokratis dalam 

kehidupan Partai secara konsekwen adalah syarat utama untuk terdapatnya 

disiplin baja di dalam Partai". Yang terjadi y alah melenyapkan kepeloporan 

Partai memimpin revolusi".

32. Lagi-Lagi Dwitunggal Rakyat dan ABRI

MENGENAI Angkatan Bersenjata, Tesis mengemukakan, bahwa Angkatan 

Bersenjata RI lahir dari pangkuan Revolusi Agustus 1945 yang memiliki 

tradisi anti-fasisme, anti-imperialisme, demokratis dan bercita-cita 

sosialisme Indonesia. Oleh karena itu adalah alat revolusi Indonesia yang 

juga dipimpin oleh Manipol untuk bersama-sama kekuatan revolusi lainnya 

mengubah Indonesia dewasa ini menjadi masyarakat Indonesia yang 

merdeka penuh dan demokratis menuju ke sosialisme. Mayoritas anggota 

Angkatan Bersenjata RI terdiri dari putra-putra kaum buruh dan tani, yang 

merupakan sokoguru revolusi Indonesia. Kelas buruh dan PKI, bersama 

dengan kekuatan revolusioner lainnya, mempunyai andil besar dalam 

membangun Angkatan Bersenjata ini. Oleh karena itu, adalah juga 

kewajiban PKI untuk mengeratkan hubungan 'Dwitunggal Rakyat dan

Angkatan Bersenjata RT supaya dalam kejadian apa pun angkatan bersenjata 

atau bagian terbesarnya senantiasa berdiri teguh di pihak rakyat, di pihak 

revolusi.

Kaum imperialis asing dan agen-agennya di dalam negeri selalu 

berusaha keras untuk mengadu-domba rakyat Indonesia khususnya PKI,dengan ABRI atau sebaliknya. Mereka selalu menggambarkan seakan-akan 

terdapat permusuhan antara kaum komunis Indonesia dengan ABRI. 

Sebagai jawaban untuk menanggulangi maksud jahat kaum imperialis itu, 

kaum komunis selalu mengibarkan tinggi semboyan 'Dwitunggal Rakyat dan

Angkatan Bersenjata' dan sepenuhnya mendukung apa yang dikatakan oleh 

Presiden Soekarno di dalam amanat kepada MPRS: 'Hanya satu permintaanku,

yaitu supaya rakyat manipolis, yang sedang melangsungkan ofensif manipolis,

bekerja sama seerat-eratnya dengan alat-alat negara untuk meringkus reaksi dan

kontra-revolusi itu. Kepada alat-alat negara, polisikah dia, AD kah dia, AL kah dia,

AU kah dia, jaksa kah dia, hakim kah dia, kepala daerah kah dia, aku minta supaya

mereka benar-benar memihak rakyat/

Sesungguhnya, penilaian tentang Angkatan Bersenjata RI ini tidak sesuai 

dengan kenyataan. Walaupun adalah benar, bahwa ABRI lahir dalam 

pangkuan revolusi, mayoritas anggotanya terdiri dari anak kaum buruh dan 

tani, tapi kualitas ABRI ditentukan oleh kualitas pimpinannya, kualitas para 

perwira yang umumnya dididik di akademi-akademi militer Amerika yang 

anti komunis. Walaupun secara resmi ABRI menerima Manipol, tetapi dalam 

praktik yang membimbing tindak-tanduknya bukanlah Manipol 

sebagaimana yang diharapkan Bung Karno dan PKI. Maka semboyan 

'Dwitunggal Rakyat dan ABRI' tidaklah membikin ABRI menjadi dekat 

kepada rakyat, lebih-lebih lagi tidak menjadi bersedia mengabdi rakyat dan 

menjadi alat revolusi. Semboyan ini mencabut kewaspadaan partai dan 

rakyat atas bahaya yang mungkin datang dari pihak kanan Angkatan 

Bersenjata.

Kesalahan dalam hal ini bersumber pada subjektivisme, yaitu bertolak 

dari keinginan subjektif agar ABRI jadi mengabdi rakyat dan revolusi, tidak 

bertolak dari kenyataan objektif bahwa kualitas ABRI sesungguhnya 

ditentukan oleh kualitas para komandannya, yaitu perwira-perwira hasil 

didikan akademi militer Amerika dan perwira-perwira yang sadar anti￾komunis. Ini berarti tidak menggunakan pandangan materialisme dan 

metode dialektika dalam menilai hakikat ABRI.

Tesis Ulang Tahun ke-45 PKI mencerminkan keyakinan pimpinan PKI 

bahwa tujuan strategis membentuk pemerintahan demokrasi rakyat akan 

tercapai dengan mulus, lewat pembentukan Kabinet Gotong-Royong. 

Semboyan persatuan nasional berporoskan Nasakom, di bawah pelaksanaan 

Demokrasi Terpimpin diharapkan bisa menjurus ke arah tujuan ini. Karena 

itu, secara sadar dan gigih pimpinan PKI menjunjung tinggi semboyan 

Dwitunggal ABRI dan Rakyat. Dengan telah berlangsungnya pembubaran PSI 

dan Masyumi serta Partai Murba dan retooling-retooling hingga terjadi

penyingkiran tokoh-tokoh Murba dari pimpinan Front Nasional dan 

pemerintah pusat serta daerah, pelarangan penerbitan surat-surat kabar 

partai-partai terlarang, membikin pimpinan PKI kian yakin akan tercapainya 

tujuan strategis pembentukan Kabinet Gotong-Royong sebagai langkah maju 

menuju terwujudnya sistim demokrasi rakyat di Indonesia lewat jalan damai.

33. Serentetan Kesimpulan Teoretis yang Problematis

TESIS 45 Tahun PKI telah mengedepankan serentetan rumusan baru yang 

teoretis, yang dianggap bersifat penyimpulan pengalaman sejarah Indonesia. 

Antara lain adalah semboyan "persatuan nasional berporoskan Nasakom", 

"mendukung demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno", "revolusi dari atas

dan dari bawah", "teori dua aspek kekuasaan negara", "semboyan Dwitunggal

Rakyat dan ABRI", "pembangunan partai kader dan partai massa sekaligus", 

"menjadikan Marxisme milik nasion". Semua ini adalah rumusan teoretis yang 

belum diuji kebenarannya dalam praktik, dan dirumuskan berdasarkan 

keinginan subjektif, tidak berdasarkan pengalaman praktik objektif. 

Akibatnya yang fatal adalah ketergantungan PKI pada Soekarno dan kehilangan

kewaspadaan terhadap ABRI yang sudah lama bersiap bertindak membasmi 

PKI.

Tesis juga memamerkan kemajuan-kemajuan yang dicapai PKI dalam 

memimpin perkembangan situasi, yang menunjukkan kian terpojoknya 

kekuatan kanan. Dalam kenyataan, D.N. Aidit, Ketua CC, sudah menjadi 

Wakil Ketua MPRS dan menteri ex-officio; M.H. Lukman Wakil, Ketua I CC, 

menjadi Wakil Ketua DPR juga menteri ex-officio; Njoto, Wakil Ketua II CC 

menjadi menteri diperbantukan pada presidium kabinet; Sakirman, anggota 

Dewan Harian Politbiro menjadi anggota Dewan Perancang Nasional; 

sejumlah kader partai telah diangkat menjadi menteri, seperti Ir. Setiadi 

Reksoprodjo, menteri listrik dan ketenagaan, Jusuf Muda Dalam menjadi 

menteri kepala bank sentral, dan sejumlah jabatan wakil gubernur diduduki 

oleh kader PKI, seperti Sujono Atmo, Wakil Gubernur Jawa Tengah, dll. Ini 

semua menunjukkan kian besarnya kemungkinan PKI mencapai kedudukan 

dominan dalam kekuasaan negara di bawah kepemimpinan Soekarno. 

Amerika Serikat sangat khawatir akan perkembangan ini. Ini dianggap mengancam

dan membahayakan kedudukannya di Indonesia. Oleh karena itu, rencana 

penggulingan Soekarno yang sudah ditetapkan semenjak akhir tahun lima 

puluhan, kian digalakkan, dengan usaha pembasmian PKI demi 

penggulingan Presiden Soekarno.Puncak peringatan ulang tahun ke-45 PKI berlangsung dengan 

diselenggarakannya sebuah rapat raksasa di Stadion Gelora Bung Karno. 

Bung Karno berpidato berjudul: Subur, Subur, Suburlah PKI! Antara lain 

beliau berkata: "'Dalam Kongres VI PKI saya berkata, 'y o sanak, y o kadang, yen

mati aku kelangan' (tepuk tangan). Apalagi saudara-saudara, apalagi di dalam 

rangka politik yang kita jalankan, yaitu politik yang sudah dari sejak dahulu 

saya kemukakan, yaitu menggalang menjadi satu semua tenaga revolusioner 

progresif, dalam bahasa asingnya, de samenbundeling van alle progressieve

revolutionnaire krachten, menggabungkan menjadi satu semua tenaga-tenaga 

revolusioner progresif. Di dalam kerangka politik yang demikian itu maka 

sebenarnya bukanlah satu barang yang aneh, bahwa pemerintah Republik 

Indonesia merangkul kepada PKI, bahwa saya sebagai mandataris daripada 

MPRS merangkul kepada PKI, bahwa saya sebagai Pemimpin Besar Revolusi 

Indonesia merangkul kepada PKI (tepuk tangan panjang), sebab siapa yang 

bisa membantah bahwa PKI adalah unsur yang hebat di dalam penyelesaian 

Revolusi Indonesia ini? (tepuk tangan panjang). Tadi telah disitir oleh Kawan 

Aidit apa sebabnya menurut pendapat saya PKI menjadi besar. PKI ndodro, 

ndodro itu, lihat tangan saya lho, menjalar, menjalar, menjalar. PKI menjadi 

kuat, PKI menjadi sekarang beranggotakan 3 juta, pemudanya 3 juta, 

simpatisannya 20 juta. Apa sebabnya PKI demikian? Ialah oleh karena PKI 

adalah konsekuen progresif revolusioner (tepuk tangan). Nah, sudah barang 

tentu Saudara-saudara, saya yang berpendapat bahwa revolusi Indonesia ini 

tidak dapat diselesaikan jikalau tidak digabungkan menjadi satu semua, 

semua tenaga progresif revolusioner, saya merangkul PKI, saya berkata PKI, 

yo sanakku, yo kadangku, yen mati aku melu kelangan (tepuk tangan).

"Saudara-saudara, pernah saya ceriterakan kepada saudara-saudara, dan 

tadi pun sudah disitir, dikatakan oleh Kawan Aidit, beberapa senjata ampuh 

yang saya berikan kepada revolusi Indonesia, ialah antara lain Pancasila, 

antara lain penggalangan semua tenaga progresif revolusioner dalam 

Nasakom, antara lain Manipol-Usdek, antara lain "Berdikari". Nasakom ini. 

Saudara-saudara, pernah saya ceriterakan kepada khalayak ramai Indonesia 

sendiri, bahwa utusan-utusan daripada perayaan Dasawarsa A-A tempo hari, 

kagum melihat Nasakom, heran bahwa Indonesia bisa menjadi besar dan 

kuat, heran bahwa Indonesia yang tadinya dikatakan oleh kaum imperialis 

akan lekas hancur, Indonesia akan lekas gugur, Indonesia rakyatnya akan 

mati kelaparan, Indonesia kacau-balau, bahwa Indonesia itu sebaliknya, 

ternyata kuat, rakyatnya ternyata teguh, rakyatnya ternyata sehat-sehat, 

karena Indonesia menjalankan politik Nasakom. Tadi Bung Aidit berkata 

sebagai bantahan terhadap kepada kaum imperialis yang mengatakan

bahwa Indonesia kekurangan pangan, bahwa Indonesia kekurangan 

makanan, bahwa rakyat Indonesia malahan saking banyaknya makanan, ubi 

singkong dipakai untuk menutup jebolnya gili-gili. Mana ada di dunia ini 

yang menutup jebolnya gili-gili dengan ubi-ubi singkong Saudara-saudara. 

Hanya Indonesia sendiri saking banyaknya makanan (tepuk tangan)."

Nasakom menjadi kekaguman semua utusan-utusan Dasawarsa A-A. 

Nasakom menjadi, malahan satu contoh bagi negara-negara Asia—Afrika 

yang akan melanjutkan perjuangannya menentang imperialisme. Sesudah 

itu dimengerti oleh semua utusan-utusan saudara, maka gampanglah bagi 

saya untuk menerangkan kepada mereka apa sebabnya Indonesia 

mengambil inisiatif untuk mengadakan Conefo, Conference of the New

Emerging Forces. Utusan-utusan ini sebetulnya saudara-saudara terlebih 

dahulu telah kagum kepada Indonesia bahwa Indonesialah yang 

mengemukakan ide New Emerging Forces ini, bukan negara lain. Indonesia 

yang mengemukakan ide New Emerging Forces. Indonesia yang bekerja keras 

untuk melaksanakan penggabungan dari semua tenaga New Emerging Forces.

Indonesia sekarang hendak mengadakan Conefo, Conference of the New

Emerging Forces. Sebelah ini saudara-saudara, sebelah Gelora Bung Karno, di 

sana sekarang ini sedang dibangun perlengkapan-perlengkapan, gedung￾gedung untuk Conference of the New Emerging Forces. Saya sekarang Saudara￾saudara, memanggil kepada seluruh rakyat Indonesia untuk membantu 

kepada pembangunan ini agar supaya tahun muka Saudara-saudara, benar￾benar di Indonesia, di Jakarta, bisa diadakan Conference of the New Emerging

Forces itu. Nah, sesudah utusan-utusan dari Dasawarsa itu melihat hebatnya, 

manfaatnya politik Nasakom, m udah bagi saya untuk menerangkan kepada 

mereka bahwa Conefo adalah sebetulnya satu Nasakom Internasional. Apa 

sebab Nasakom Internasional? Sebabnya ialah di dalam Conefo itu 

hendaknya kita gabungkan semua, asal tenaga anti imperialis baik dari 

negara-negara yang capnya nasional m aupun dari negara-negara yang 

capnya agama m aupun daripada negara-negara yang capnya komunis,

bahkan daripada negara-negara kapitalis yang di situ ada perkumpulan￾perkumpulan atau tenaga-tenaga progresif saudara-saudara. Dus Conefo 

menggabungkan, ya negara-negara nasionalis yang anti-imperialis, ya 

negara-negara agama yang anti-imperialis, ya, negara komunis, ya negara￾negara lain. Saudara-saudara, yang di dalamnya adalah tenaga-tenaga 

progresif. Oleh karena itu, maka aku bisa menerapkan kepada utusan￾utusan Dasawarsa itu bahwa Conefo adalah satu Nasakom Internasional".

Di sini, di kalangan Indonesia sendiri, saudara-saudara, ada orang-orang 

yang menanya kepada saya. Bung atau Pak, kenapa politik Bung Karno

menggabungkan semua tenaga anti-imperialis, semua tenaga revolusioner 

dalam perkataan Nasakom? Kenapa 'Kom'? Kenapa kok tidak seperti tahun 

dua puluh enam waktu Bung Karno buat pertama kali mencetuskan ide 

persatuan daripada tenaga-tenaga revolusioner ini? Nasionalis, Islam, 

Marxisme atau Nasionalis, Agama, Marxis, kenapa Bung Karno tidak memakai 

perkataan Nasamarx? Kok pakai perkataan Nasakom? Kenapa 'Korn'? 

Kenapa tidak 'Sos'? Kenapa tidak "Marx'? Nasamarx atau Nasasos? Kok

Bung Karno memakai perkataan Nasakom? Jelaslah di sini Saudara-saudara, 

dengarkan, perkataan yang paling dicatut, dicatut oleh pencoleng-pencoleng 

poilitik, oleh coro-coro politik, perkataan yang paling dicatut pencoleng￾pencoleng dan coro-coro ini ialah perkataan Marxisme saudara-saudara. 

Saudara-saudara mengetahui bahwa misalnya PSI, Partai Sosialis Indonesia 

yang sudah saya bubarkan itu, PSI itu selalu menepuk dada: Kami Marxis, 

kami Marxis, kami Marxis! Saya berkata mereka bukan Marxis! Mereka 

adalah pencoleng daripada Marxisme (tepuk tangan panjang). Karena itu aku 

tidak mau memakai perkataan Nasamarx. Kalau aku memakai perkataan 

Nasamarx, jangan-jangan nanti orang-orang PSI juga ikut-ikut di dalam 

Nasamarx ini Saudara-saudara. Padahal mereka adalah kontra-revolusioner. 

Padahal mereka adalah pencoleng Marxisme! (tepuk tangan panjang

menggemuruh).

Kecuali itu saya dengan sengaja memakai perkataan 'Kom', Nasakom, 

oleh karena di Indonesia ini banyak orang yang fobi saudara-saudara, fobi 

kepada 'Kom'. Fobi kepada 'Kom' artinya takut kepada 'Kom' khususnya 

takut kepada PKI, benci kepada PKI, hendak menghancur-leburkan PKI. 

Terus terang saja, terus terang saja di kalangan Nas ada yang komunisto-fobi, 

di kalangan agama ada yang komunisto-fobi, di kalangan angkatan 

bersenjata dulu ada yang ber-komunisto-fobi. Nah, ini penyakit fobi ini 

hendak saya berantas Saudara-saudara, hendak saya berantas. Maka oleh 

karena itu dengan sengaja di dalam penggabungan nationale revolutionnaire

krachten ini saya pakai perkataan 'Kom', 'Kom', 'Kom', sekali lagi 'Kom' 

(tepuk tangan menggelegar). [Bung Karno, Subur, Subur, Suburlah PKI, Pidato 

Presiden Soekarno pada rapat raksasa ulang tahun ke-45 PKI, Yayasan 

Pembaruan, Jakarta, 1965].

17 Agutus 1965, Presiden Soekarno berpidato dengan judul Capailah

Bintang-Bintang di Langit (TAKARI). Mengenai agresi imperialisme Amerika 

Serikat di Vietnam, Bung Karno berkata: "Mereka yang datang dari jarak 

sejauh separo bola-bumi, mereka itu namanya 'pembela perdamaian', 

sedang rakyat Vietnam yang tinggal di negerinya sendiri, mengurusi 

urusannya sendiri dan mengatur tata hidupnya sendiri, rakyat Vietnam ini

dinamakan 'agresor'. Salah satu harus gila. Saudara-saudara: Vietnam atau 

Amerika Serikat. Kedua-duanya gila tidak mungkin, kedua-duanya waras 

pun tidak mungkin! Saudara-saudara bisa menyimpulkan sendiri mana 

yang waras dan mana yang gila!

Akhirnya 'alasan' AS mengapa melakukan 'escalation' atau 

peperangannya di Indocina adalah 'untuk mencegah Vietnam menjadi 

negeri komunis.' Saya tidak pernah mendengar Paman Ho berkeberatan AS 

merupakan negeri kapitalis, jika rakyat Amerika memang menghendaki 

demikian, kenapa AS berkeberatan Vietnam 'menjadi negeri komunis' jika 

rakyat Vietnam menghendaki demikian? Hak menentukan nasib sendiri 

berarti pula hak menentukan macam pemerintah yang dikehendaki oleh 

sesuatu rakyat di negerinya sendiri. Ini bahkan tercantum dalam 'Declaration

of Independence' Amerika sendiri! Ataukah dokumen besar ini telah 

dilemparkan sendiri oleh bangsa yang melahirkannya?

Kalau agresi AS terhadap Vietnam itu kita biarkan, maka dia akan 

merupakan bahaya besar bagi seluruh tata hidup internasional kita. 

Sekarang agresi itu terjadi di Vietnam, besok dia mungkin terjadi di bumi 

lain. Dia malahan sudah terjadi juga di Dominika. Maka dari itu, demi 

keselamatan masing-masing dan demi keselamatan kolektif kita, kita 

bangsa-bangsa yang cinta merdeka dan cinta damai, harus melawan agresi 

AS itu, dan harus aktif memberikan sokongan kita kepada Saudara-saudara 

di Vietnam itu.

Kepada pemerintah AS, ingin saya nasihatkan—kuharap mereka masih 

bisa mendengar nasihat!—supaya mengakui kesalahannya dan segera 

menarik diri sama sekali dari Vietnam dan dari seluruh Indocina. Percuma 

mereka memusuhi Republik Demokrasi Vietnam 'tak sudi berunding', 

karena apabila AS tidak menarik diri sama sekali dari Vietnam, semua orang 

melihat justru AS lah yang tidak sudi penyelesaian secara damai. Baik 

disadari oleh AS bahwa satu-satunya alternatif baginya adalah keluar sama 

sekali dari seluruh Asia Tenggara! Jika mereka emoh menarik diri, mereka 

bisa kehilangan segala-galanya, segala-galanya! Hai, Amerika dan Inggris! 

Zaman ini bukan zamannya imperalisme lagi. Zaman ini adalah zaman anti￾imperialisme. Zaman ini adalah zaman hancurnya imperialisme!"

"... aku tahu bahwa tak pernah imperialisme itu menyerah dengan 

sukarela. Mereka hanya menyerah, jika mereka dipaksa, yaitu dipaksa 

dengan kekuatan yang mahadahsyat, dengan machtsvorming dan 

machtsaanwending nasional dan internasional. Di sinilah letak pentingnya 

Conefo, karena melalui Conefo itu kita akan menggalang 'samenbundeling van

alle internationale revolutionnaire krachten', yang kusebut juga 'nasakom

internasional—gabungannya negara-negara nasionalis, negara-negara agama

dan negara-negara komunis dalam skala dunia, untuk melabrak babak-belur 

nekolim dan untuk membangun dunia kembali, membangun dunia baru — 

dunia tanpa imperialisme dan tanpa eksploitasi/' [Presiden Soekarno, 

Tjapailah Bintang-Bintang di Langit (TAKARI), Pidato pada hari ulang tahun 

ke-20 RI, 17 Agustus 1965, Penerbit PT. Rakjat, Djakarta, hal.24]

Dalam pada itu, kekuatan anti-komunis kian terpukul dengan 

ditangkapnya Ketua Partai Murba, Sukarni, pada bulan Januari 1965. Dengan 

Keputusan Presiden Nomor 291 Tahun 1965, mulai tanggal 21 September 

1965 Partai Murba dibubarkan. Dalam reshuffle kabinet. Presiden Soekarno 

mengganti Menteri Perdagangan Adam Malik. Memutuskan mengeluarkan 

semua wakil Partai Murba dari pimpinan Front Nasional, memerintahkan 

pencabutan izin-terbit semua surat kabar BPS dan Partai Murba.

34. Memuncaknya Reaksi Anti-PKI dan

Usaha Menggulingkan Bung Kamo

23 Agustus 1965, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.16 tentang 

Pencabutan Undang-Undang Penanaman Kapital Asing di Indonesia. Dalam 

undang-undang ini dijelaskan bahwa "Berdasarkan pada prinsip berdiri di 

atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dalam arti tidak menggantungkan diri 

kepada negara asing, untuk melipatgandakan produksi nasional demi 

mempertinggi tingkat hidup rakyat Indonesia dalam menyelesaikan tahap 

pertama untuk memasuki tahap kedua revolusi Indonesia, yaitu tahap 

sosialisme Indonesia, berdasarkan Pancasila perlu adanya pembantingan 

setir dalam menghadapi operasi modal asing di Indonesia. Penanaman atau 

operasi modal asing menurut sifatnya tidak lain daripada menghisap 

kekayaan dari negara Republik Indonesia dan menjalankan penghisapan 

manusia atas manusia, dan karena itu membawa bencana bagi rakyat 

Indonesia. Oleh sebab itu riwayat penanaman atau operasi modal asing yang 

mentransfer keuntungannya berlimpah-limpah ke luar negeri harus diakhiri

untuk selama-lamanya dengan mencabut Undang-Undang Penanaman Modal 

Asing di Indonesia" [Lembaran Negara, Tahun 1965, No. 78].

Dengan pencabutan Undang-Undang Penanaman Modal Asing ini berarti, 

bahwa penanaman atau operasi modal asing di Indonesia tidak akan ada 

lagi, sedangkan yang sudah ada harus diakhiri, atau dilikuidasi. Maka kian 

bergeloralah gerakan anti-imperialisme terutama anti-Amerika. AmerikaSerikat yang sedang mulai kewalahan menghadapi Perang Vietnam, jadi 

tambah mata gelap menghadapi perkembangan di Indonesia. Tak ayal lagi, 

Soekarno harus digulingkan. Maka semua unsur kekuatan pendukung 

Amerika di Indonesia digalakkan demi usaha penggulingan Bung Karno. 

PKI yang jadi pendukung tangguh Bung Karno, pertama-tama harus dilenyapkan.

Untuk itu, haruslah diciptakan syarat, yaitu adanya alasan buat bertindak 

drastis bagi Angkatan Darat terhadap PKL

Bergejolaklah kampanye perang syaraf dengan berbagai isu: Disebarkan 

berita "Bung Karno sakit ber