at", "adanya dewan jenderal yang mau kudeta",
"PKI akan merebut kekuasaan". Semua menjurus ke arah terciptanya syarat
bagi Angkatan Darat untuk bertindak drastis terhadap PKI yang merupakan
hantu bagi Amerika Serikat.
N S C—"Politbiro Perang Dingin"—memainkan peranan menentukan, adalah
dalang dalam pengendalian usaha pembasmian kekuatan kiri Indonesia.
IVSC-lah yang merekayasa, menetapkan berbagai langkah dan tindakan yang
harus diambil. Di samping memperkuat kerja sama dengan Angkatan Darat
dan meningkatkan perlawanan terhadap PKI, maka kesimpulan lainnya dari
NSC, yang sangat penting adalah menciptakan dasar untuk bisa bertindak
represif terhadap PKI. Dalam bulan Maret 1965, Duta Besar AS, Jones,
menyatakan pada seorang pejabat tinggi Amerika Serikat, "Menurut
pandangan kami, tentu saja, sebuah usaha coup yang gagal dari PKI akan
membikin perkembangan efektif untuk memulai penjungkir-balikan
kecenderungan-kecenderungan politik di Indonesia—di mana Angkatan
Darat bisa bebas untuk membasmi kaum komunis — "1
"Setahun sebelumnya. Duta Besar Jones sudah mencoba mendorong
Nasution, supaya Angkatan Darat mengambil masalah-masalah dalam
tangannya untuk melawan PKI.Aswi Warman Adam menulis, "'Dalam situasi yang panas ini bergulir
isu Dewan Djenderal, Dokumen Gilchrist, dan rumor sakitnya Presiden
Soekarno. Ketiga hal ini mungkin saja dimunculkan oleh pihak yang
berkepentingan dengan konstelasi politik Indonesia. Asumsinya adalah
pertama, AS takut PKI berkuasa dan tidak suka kepada Soekarno; kedua, tidak
mau secara langsung mengambil kekuasaan dari Bung Karno karena tidak
akan didukung rakyat; ketiga, PKI memiliki massa untuk berdemonstrasi,
tetapi tidak punya pasukan dan senjata untuk berontak. Salah satu skenario
AS—ternyata efektif—adalah memprovokasikan PKI melakukan suatu
gerakan yang kemudian ditumpas oleh tentara dan pada saat yang sama
Soekarno digerogoti kekuatannya." [Aswi Warman Adam, 1965: Orang
Orang di Balik Tragedi, Penerbit Galangpress, Yogyakarta, 2009, hal.viii].
21 September 1965, Galbraith mengirim memorandum ke Kementerian
Luar Negeri AS yang antara lain berisikan: "Kesimpulan kami mengenai
Soekarno adalah: dia sedang mendorong negerinya menjadi dikuasai oleh
kaum komunis, ... dan ... jika kian lama dia berkuasa, kian mendekatlah
Indonesia mencapai tujuan ini ... oleh karena itu segala sesuatu yang
membikin Soekarno kian nyaman dan memperpanjang usianya tidaklah
menjadi kepentingan Amerika Serikat."1
Jauh sebelum itu, pada tanggal 23 April 1965, dalam surat kepada
Asisten Menlu Urusan Timur Jauh, William Bundy, Dubes Howard Jones
menyatakan bahwa dia "mengetahui rencana rahasia untuk suatu kudeta di
sini dan menulis kepada anda untuk memberitahukan anda kemungkinan
tersebut." Jones menyatakan bahwa dia telah memberitahu hanya pada satu
orang lain di Jakarta, Edward Masters, Kepala Seksi Politik Kedubes,
"karena segala indikasi yang menyangkut pemerintah AS juga bisa
merupakan ciuman maut tidak hanya terhadap usaha itu sendiri, namun
terhadap orang-orang yang terlibat." Jones menjamin Bundy bahwa
informasinya berdasarkan "kontak pribadi dengan salah seorang pemimpin
kelompok kudeta tersebut yang mewakili elemen-elemen sipil dan militer
yang penting." [Johnson Library, National Security File, Country File,
Indonesia, Vol.IV, Memos. 3/65—9/65].
Di bidang internasional, pejabat Amerika menilai Indonesia bagaikan
virus, khawatir akan pengaruh Indonesia yang giat mempropagandakan
persatuan berporoskan nasakom. Dalam sebuah telegram dinyatakan bahwa
"Pemerintah Indonesia sekarang ini telah menjadi sangat bermusuhan
dengan apa yang paling pemerintah AS upayakan secara internasional saatini. Bila virus Indonesia diikuti dan menyebar di dalam dunia AA ini akan
menjadi front pendobrak tersembunyi bagi komunisme internasional.
Konsep koalisi 'nasakom internasional' dapat menjadi alat nyata bagi Cina
komunis dan tidak diragukan memiliki lebih banyak daya tarik di dalam
Islam-Timur Tengah yang terjepit ketimbang jenis revolusi penuh kekerasan
yang menjadi arahnya komunis yang murni tanpa kompromi." [Telegram
dari Kedubes di Jakarta untuk State Department 2641. Embtel 2640, Jakarta, 5
Juni 1965. 0825Z].
Usaha-usaha memprovokasi PKI agar terperosok mengambil sikap untuk
menjadi oposisi terhadap pemerintah, tidak berhasil. Berbagai kebijaksanaan
pemerintah yang menekan atau merugikan PKI telah dihadapi oleh
pimpinan PKI dengan cara menghindari konflik terbuka dengan pemerintah.
Lebih-lebih lagi dengan Angkatan Darat. Dalam keadaan pimpinan
Angkatan Darat mengambil langkah-langkah mendukung atau mensponsori
pembentukan badan-badan atau organisasi-organisasi anti-komunis seperti
Liga Demokrasi SOKSI, Manikebu, BPS; PKI mengambil langkah menghindari
konflik dengan Angkatan Darat. Bahkan PKI mengangkat semboyan
"mengeratkan hubungan dwitunggal rakyat dengan angkatan bersenjata",
"Angkatan Bersenjata RI bukanlah angkatan bersenjata yang reaksioner",
"Angkatan Bersenjata RI adalah anak rakyat", "ABRI lahir dari revolusi". Dalam
PKI sendiri ditegakkan kepercayaan, bahwa tentara adalah anak rakyat yang
bersenjata. Tak ditanamkan kecurigaan sedikit pun terhadap Angkatan
Darat. Bahkan dibangun semangat ingin kerja sama dengan Angkatan Darat.
Pada awal tahun enam puluhan, dengan lancar organisasi-organisasi massa
di bawah pimpinan PKI aktif dalam pembentukan organisasi-organisasi
kerja sama dengan militer seperti Badan Kerjasama Pemuda Militer (BKSPM),
Badan Kerjasama Buruh Militer (BKS Bumil), Badan Kerjasama Wanita Militer. Ini
semua mengabdi kepada strategi PKI dengan jalan damai meneruskan revolusi
sampai selesai..
Jalan damai meneruskan revolusi ini mempunyai akar yang dalam pada
PKI. Mengenai jalan revolusi, pada tahun 1953, Aidit menulis bahwa "Jalan
Mao Tse-tung adalah satu-satunya jalan bagi revolusi Indonesia". "Tetapi
jalan ini baru berguna, jika kita berhasil mempersatukannya dengan praktik
yang konkret daripada revolusi Indonesia. Inilah yang kita maksudkan,
bahwa revolusi Indonesia mempunyai jalannya sendiri. Ini berarti, bahwa
kita harus banyak mempelajari Mao Tse-tung dan lebih banyak lagi
mempelajari sifat-sifat nasional yang khusus dari negeri kita." Aidit
menganjurkan supaya "kita harus belajar dari Kawan Mao Tse-tung tentang
kelas-kelas dalam masyarakat, tentang tenaga pendorong dalam revolusi.tentang hegemoni proletariat, tentang pertumbuhan revolusi borjuisdemokratis menjadi revolusi sosialis, tentang rol partai komunis dalam
perjuangan besar seluruh rakyat dan tentang hubungan erat antara partai
dengan m assa/'1
Menurut Stalin, Djalan Mao Tse-tung adalah jalan kemenangan revolusi
Tiongkok, "revolusi bersenjata melawan kontra-revolusi bersenjata. Ini
adalah salah satu kekhususan revolusi Tiongkok dan juga salah satu
keunggulan revolusi Tiongkok."2
Mao Zedong mengajarkan, jalan revolusi Tiongkok adalah jalan revolusi
"dari desa mengepung kota"; "jalan Gunung Cingkang", yaitu "kekuasaan
politik lahir dari laras senapan". Revolusi Tiongkok dimenangkan dengan
pelaksanaan tiga senjata utama revolusi Tiongkok, yaitu adanya "partai
yang berdisiplin, yang dipersenjatai dengan teori Marxisme-Leninisme, yang
menggunakan metode otokritik dan yang berhubungan dengan massa
rakyat; tentara di bawah pimpinan partai yang demikian; front persatuan
dari semua kelas revolusioner dan semua golongan revolusioner di bawah
pimpinan partai yang demikian."3
Kemenangan Revolusi Tiongkok tak ayal lagi sangat mengilhami kaum
komunis Indonesia. Di kalangan kader PKI ada usaha untuk belajar dari
pengalaman revolusi Tiongkok. Awal tahun lima puluhan sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sejumlah karya Mao Tsetung, juga
beredar terbitan bahasa Inggris atau Belanda: Masalah-Masalah Strategi
Peperangan Revolusioner Tiongkok; Tentang Praktik, Tentang Kontradiksi,
Pengantar Kata 'Komunis', Mengapa Kekuasaan Merah Tiongkok Dapat Hidup?,
Pidato di Depan Sidang Perundingan Seni-Sastra di Yenan, Membetulkan Pikiran
Yang Keliru di Dalam Partai, dan lain-lain. Sesuai dengan syarat-syarat sejarah
konkret Indonesia pada waktu itu, dalam belajar dari revolusi Tiongkok, PKI
meninggalkan "jalan revolusi bersenjata" dan menempuh jalan damai, jalan
parlementer. Jalan damai ini membimbing semua kegiatan PKI demi
penyelesaian revolusi Agustus.
Dalam Kongres Nasional V PKI, 1954, dirumuskan bahwa "seluruh
pekerjaan PKI didasarkan atas teori-teori Marx, Engels, Lenin, Stalin, dan
Pikiran Mao Tsetung, serta Koreksi Besar Musso."
"Revolusi Indonesia dalam tingkat sekarang adalah revolusi demokrasi
rakyat, yaitu revolusi daripada massa rakyat yang luas, yang dipimpin oleh
proletariat dan ditujukan untuk melawan imperialisme, feodalisme, dan
kaum borjuis komprador."1
Dinyatakan bahwa PKI berjuang untuk mewujudkan satu pemerintah
demokrasi rakyat, yang mendasarkan dirinya atas massa, suatu pemerintah
front persatuan nasional yang dibentuk atas dasar persekutuan kaum buruh
dan kaum tani di bawah pimpinan kelas buruh. Pemerintah ini tidak
merupakan diktator proletariat, melainkan pemerintah diktator rakyat. Ia
tidak melakukan perubahan-perubahan sosialis, melainkan perubahanperubahan demokratis, yang mampu menjamin kemerdekaan nasional serta
perkembangannya melalui jalan demokrasi dan kemajuan.
Pelaksanaan putusan-putusan Kongres Nasional V telah membawa PKI
mencapai kemenangan gemilang dalam pemilihan umum pertama 1955 di
Indonesia. PKI tampil jadi partai nomor empat, menyusul Masyumi, PNI,
dan NU. Pemilihan-pemilihan umum daerah yang berlangsung tahun 1957
menghasilkan PKI tampil sebagai partai terbesar di seluruh Indonesia. Jalan
damai, jalan parlementer yang ditempuh pimpinan PKI nampaknya
memberi harapan bagi masuknya PKI dalam kekuasaan negara RI. Dari
pengalaman empiris menjelang tahun enam puluhan, adalah benar
kesimpulan Richard Nixon, bahwa memang sulit untuk mengalahkan PKI lewat
pemilihan umum. Lebih-lebih lagi setelah Presiden Soekarno tampil dengan
Konsepsi Presiden mengenai pembentukan kabinet gotong-royong, di mana
wakil PKI ikut dalam kabinet. Ditambah lagi dengan Manipol dan Usdek serta
gagasan persatuan nasional berporoskan nasakom, PKI sudah diberi dasar
politik yang sangat kuat untuk memiliki hak sah m enduduki kursi
pemerintahan. Bahkan dalam pengaturan kembali susunan kabinet Januari
1965, D.N. Aidit jadi Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS, Njoto
kemudian menjadi menteri negara diperbantukan pada presidium kabinet, Ir.
Sakirman menjadi Wakil Ketua Depernas, dan di sejumlah provinsi wakilwakil PKI atau simpatisan PKI sampai menduduki kedudukan wakil
gubernur. Dalam kabinet sudah masuk tokoh-tokoh Partindo seperti Oey
Tjoe Tat, Armunanto, juga tokoh lainnya, Ir. Setiadi Reksodipuro, A.
Astrawinata, S.H., dan lain-lain. Demikian pula di tingkat kabupaten dan
kota-kota besar, terdapat pimpinan PKI yang tampil menjadi bupati sertawalikota dan wakil walikota. PKI mendemonstrasikan sukses-suksesnya
yang gemilang dalam menempuh jalan damai menuju ke puncak kekuasaan
negara. Ini bisa terjadi dalam kondisi khusus Indonesia, terutama dengan
adanya faktor Soekarno sebagai presiden yang bercita-cita membangun
sosialisme di Indonesia. Gagasan-gagasan Soekarno membangun sosialisme
Indonesia dan politik luar negerinya adalah sehaluan dengan isi program
dan politik PKI. Karena itu mendapat dukungan sepenuhnya dari PKI.
Walaupun rintangan besar dan kuat dari golongan komunisto-fobi dan
perwira-perwira kanan Angkatan Darat untuk mencegah masuknya PKI
dalam pemerintah pusat, Soekarno mengambil langkah-langkah yang
memberi jalan bagi masuknya PKI sesuai dengan gagasannya persatuan
nasional berporoskan nasakom. Dalam pada itu, kekuatan anti-komunis
mendapat pukulan keras dengan putusan-putusan Bung Karno
membubarkan PSI-Masyumi karena mendukung pemberontakan PRRI—
Permesta, membubarkan dan melarang badan-badan, organisasi-organisasi
atau gerakan-gerakan anti-komunis seperti Liga Demokrasi, Manikebu,
Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme, dan Partai Murba. Dan suratsurat kabar yang membawakan suara Perang Dingin, yaitu komunisto-fobi
dilarang terbit. Maka perkembangan ini adalah cocok dengan isi
memorandum Galbraith ke Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dalam
menilai Soekarno. Tak pelak lagi, di mata penguasa Amerika Serikat, Soekarno
harus disingkirkan.
Bung Karno dan PKI kian tinggi mengangkat semboyan anti-Amerika.
Puncak-puncak anti-Amerika ini termanifestasi dalam bentakan Bung Karno:
"go to hell with your aids" terhadap bantuan Amerika Serikat, pengusiran
Peace Corps dari Indonesia, tindakan terhadap Ampai dan Bill Palmer,
Indonesia menarik diri dari keanggotaan International Olympic Committee
yang dikuasai Amerika Serikat, Bung Karno memutuskan untuk Indonesia
menarik diri dari keanggotaan PBB karena Amerika mendukung masuknya
Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB, Bung Karno mengajukan
gagasan dan mengambil langkah-langkah untuk penyelenggaraan Conefo,
konferensi negara-negara Nefo dan pengambil-alihan berbagai maskapai
milik kapital Amerika.
Semenjak awal tahun 1965, suasana tegang kian mencengkam Indonesia.
Situasi internasional juga sangat tegang. Kampanye mengganyang Malaysia
merupakan satu unsur meningkatkan ketegangan-ketegangan di Indonesia.
Dalam pada itu, Indonesia, terutama Bung Karno sibuk mengusahakan
suksesnya Konferensi Asia-Afrika kedua di Aljazair.
23 Juni 1965, dengan susunan delegasi Nasakom, Bung Karno memimpin
delegasi Indonesia berangkat ke Kairo untuk menuju Aljazair. Pada saat
akan berlangsungnya sidang menteri-menteri luar negeri yang
mempersiapkan Konferensi Tingkat Tinggi dan pembukaan Konferensi A-A
kedua itu, terjadilah coup di Aljazair. Menteri Pertahanan Huari
Boumedienne menggulingkan Presiden Ben Belia. Maka terpaksa Konferensi
A-A II ditunda. Dalam proses persiapan Konferensi A-A kedua inilah,
Indonesia dengan gigih berkampanye mengganyang Malaysia.
Brian May menulis, "Ketika Soekarno melancarkan konfrontasi terhadap
Malaysia, dia tidak hanya didukung oleh semua partai politik, tapi juga oleh
pimpinan Angkatan Darat, yang waktu itu juga takut akan imperialisme
Barat. Jenderal Nasution mengingatkan (dalam wawancaranya kepada Brian
May pada Januari 1973) bahwa dalam pemberontakan-pemberontakan
daerah, seorang pilot Amerika Serikat, Allan Pope, tertangkap ditembak
jatuh ketika melakukan pemboman di Ambon dalam bulan April 1958 yang
bertolak-terbang dari lapangan Clark, pangkalan udara Amerika Serikat
dekat Manila. Nasution mengatakan bahwa Angkatan Darat menganggap
pangkalan-pangkalan Inggris di sekitar Selat Malaka adalah ancamanancaman semenjak tahun-tahun pertama RI."1
"Bagi Indonesia, pembentukan Malaysia berarti terkonsolidasinya
kekuatan militer Inggris di depan pintu tangganya. Soekarno dan Angkatan
Darat mencurigai Inggris, sebagaimana Amerika Serikat yang sudah
membantu pemberontak-pemberontak daerah."2
Kampanye mengganyang Malaysia ikut menciptakan suasana tegang.
Dalam keadaan sekian lama suasana tegang di Indonesia, "komplotankomplotan berkecamuk. Sudah enam kali usaha membunuh Soekarno
dilakukan. Adalah beralasan untuk mencurigai, walaupun bukti-bukti
hanyalah berupa tidak langsung, bahwa di antaranya CIA telah memainkan
peranannya." 3
Hubungan antara Soekarno dan pimpinan Angkatan Darat, terutama T.B.
Simatupang dan A.H. Nasution senantiasa tidak harmonis semenjak awal
sejarah Republik Indonesia. Ketegangan pernah berkembang hingga menjadi
"serangan yang paling mengagumkan yang nampaknya bagaikan satu
percobaan coup pada 17 Oktober 1952, ketika perwira-perwira Angkatan
Darat mengorganisasi demonstrasi massal, membariskan tank-tank di depan
istana presiden dan mencoba memaksa Soekarno untuk membubarkan
parlemen. Soekarno menjawab, bahwa dia tidak bisa bertindak tanpa
berkonsultasi dengan kabinet. Dalam batas-batas bahwa peristiwa ini sangat
aneh dan rumit, kejadian ini adalah satu prototipe dari putsch 1 Oktober
1965."1
Pemberontakan-pemberontakan daerah, hingga memuncak sampai
berdirinya republik tandingan PRRI—Permesta adalah hasil tindak-tanduk
perwira-perwira Angkatan Darat yang mendapat dukugan CIA untuk
melawan Soekarno.
Ketegangan-ketegangan kian memuncak di Indonesia. Perang syaraf
berlangsung dengan berbagai kampanye yang mengacaukan masyarakat
berupa: berita Bung Karno sakit berat. Bung Karno akan meletakkan jabatan,
adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan coup, bahaya PKI akan
melakukan coup, dan sebagainya. Ini terjadi pada saat Perang Dingin kian
berkecamuk di Asia. Amerika sedang meningkatkan perluasan Perang
Vietnam. Amerika melakukan pemboman besar-besaran atas Vietnam Utara.
Di Vietnam Selatan berlangsung berkali-kali coup yang direkayasa oleh CIA.
Coup-coup ini bertujuan mendirikan pemerintah anti-komunis untuk
melawan dan membasmi kaum komunis Vietnam Utara. The New York Times
7 November 1963 memaparkan, bahwa 1 November berlangsung coup d'etat
di Saigon. "Setiap orang di Saigon tahu, bahwa duta besar baru Amerika,
Cabot Lodge, adalah tak menyenangi keluarga Ngo yang berkuasa, yang
dianggap tak mampu memenangkan perang di Vietnam.... Ketika Ngo Dinh
Diem menilpon Dubes Cabot Lodge, dubes menyatakan bahwa dia
memperhatikan keselamatan presiden dan bahwa dia akan berbuat sebisa
mungkin untuk menjamin pelayanan yang korek terhadap presiden dan
keluarga. Paginya pasukan marinir menyerbu istana presiden, tapi Ngo Dinh
Diem dan Ngo Dinh Nu sudah lenyap." Coup d'etat ini dilancarkan oleh satu
'Dewan jenderal' yang segera mengumumkan berdirinya 'Dewan Militer
Revolusioner' di bawah pimpinan jenderal Duong Van Minh, Tran Van Don,
dan Ton That Dinh, yang semulanya adalah pendukung Ngo Dinh Diem."2
30 Januari 1964, jam 03:30 pagi. Jenderal Nguyen Khanh seorang perwira
yang hampir-hampir tak dikenal, bersama Kolonel Cao Van Vien dan
Kolonel Nguyen Chanh Thi menggulingkan 'Dewan Militer Revolusioner'.
Dalam tempo kurang dari 90 hari, di Saigon berlangsung dua kali coup d'etat.
Sebelum terjadinya coup d'etat yang berturut-turut ini, koran Times of Vietnam
menulis artikel dengan judul "ClA membiayai coup d'etat yang berlangsung
Hari Rabu yang lalu". Antara lain dipaparkan bahwa "grup agen-agen Cl A
yang mengendalikan USIS, m undur bersembunyi, menyiarkan pesan-pesan
rahasia yang menyerukan supaya Angkatan Darat Republik melancarkan
unjuk kekuatan yang akan melancarkan coup d'etat.... Jutaan warga Amerika
percaya pada pikiran para pemimpinnya bahwa kebebasan dan kedaulatan
nasional mereka akan lenyap, jika mereka membiarkan Vietnam jatuh ke
tangan komunis".
"Coup d'etat penggulingan Ngo Dinh Diem sudah lama dipersiapkan,
tapi syarat-syarat untuk mewujudkannya belum ada. Diperlukan kuda
tunggangan baru yang lebih setia dan lebih 'm am pu' dari Ngo Dinh Diem,
dan yang lebih tak kenal kompromis."1
Buletin Informasi, mingguan Partai Demokrat Amerika, tanggal 11
November 1967 menyatakan, bahwa coup d'etat itu sudah dipersiapkan
selama dua tahun, dan bahwa 'lam pu hijau' sudah diberikan kepada Duong
Van Minh oleh Jenderal Taylor ketika dia mampir di Saigon dalam bulan
Oktober 1961. Penggulingan Ngo Dinh Diem tak memenuhi harapan
Amerika Serikat. MacNamara menyatakan di depan Kongres pada tanggal
27 Januari 1964 bahwa "perang melawan kaum komunis di Vietnam Selatan
berubah menjadi lebih jelek, karena kenyataan Ngo Dinh Diem telah
digulingkan.... Amerika Serikat sudah siap mengambil semua langkah
untuk memastikan mencegah kemenangan bagi kaum komunis."
"Salah satu dari langkah yang dimaksudkan telah diwujudkan tiga hari
kemudian, yaitu tanggal 30 Januari 1964, jam 03:30 pagi." Pada hari yang
sama UPI mengawatkan berita bahwa sudah diketahui dengan baik. Jenderal
Nguyen Khanh bekerja sama erat dengan pejabat Amerika pada teritorium
militer pertama Vietnam Selatan, yang sudah menasihatinya agar
melancarkan coup d'etat ini untuk mereorganisasi 'Dewan Militer Revolusioner'.
Sesuai dengan harapan Amerika Serikat untuk membasmi kaum komunis di
Vietnam, dua hari sesudah merebut kekuasaan, 1 Februari 1964, Ketua
Dewan Militer Revolusioner, Nguyen Khanh, mengumumkan Dekrit No.93
yang menyatakan kaum komunis dan netralis berada di luar hukum. Dengan satu
dekrit dari Ketua Dewan Militer Revolusioner, kaum komunis dan netralis
dijadikan musuh negara yang harus dibasmi. Mengenai coup ini, UPI
menulis: "Tak cukup hanya dengan memberi nasihat, pejabat Amerika
mengikuti peristiwa itu secara langsung, hingga pada malam Rabu itu "Duta
Besar Cabot Lodge sudah mengetahui akan berlangsungnya perebutan
kekuasaan/'1
Sebuah berita kawat dari AP tanggal 31 Januari 1964 menyatakan bahwa
sebelum berlangsungnya pemberontakan. Presiden Johnson sudah
diberitahu.
Vietnam Selatan bukanlah negeri pertama yang menjadi medan
perebutan kekuasaan dengan rekayasa Cl A. Tahun 1954, Amerika Serikat
mendalangi penggulingan pemerintah Jacobo Arbenz hasil pemilihan umum
Guatemala, digantikan oleh Castillo Armaz hasil didikan akademi militer
Amerika. Di Korea Selatan berlangsung penggulingan Syngh Man Rhee
digantikan Park Chung Hi yang lebih bisa diperalat Amerika, di Thailand
berlangsung coup d'etat atas Phibul Songram digantikan oleh Sarit Thanarat
yang sangat pro-Amerika. Patrice Lumumba yang memimpin revolusi
Kongo sampai menang, digulingkan dengan rekayasa CIA, hingga naik
panggungnya agen CIA, Joseph Mobutu, yang kemudian menjadi Mobutu
Sese Seko, dan jadi diktator sampai tahun 90-an. Dalam beberapa bulan
antara Juli dan Oktober 1963 berlangsung penggulingan pemerintah di
Ekuador, Republik Dominika, dan Honduras. 17 November 1963
berlangsung coup d'etat oleh militer atas pemerintah Norodom Sihanouk.
Silih berganti berlangsung coup demi coup di berbagai negeri. Semua tak
lepas dari tindak-tanduk CIA membasmi unsur yang dinilai memihak pada
komunisme atau tak menguntungkan bagi Amerika Serikat. Inilah salah satu
ciri operasi melaksanakan the policy of containment—pembendungan
komunisme—Perang Dingin yang dikobarkan Amerika Serikat.
Dengan perkembangan situasi di Indocina, Amerika khawatir akan
terwujudnya "teori domino", yaitu jatuhnya Vietnam Selatan ke bawah
kekuasaan komunis yang akan diikuti oleh jatuhnya berbagai negara Asia
Tenggara lainnya ke tangan komunis. Lebih-lebih lagi, telah dibayangkan
jatuhnya Indonesia ke tangan komunis. Maka usaha Perang Dingin,
membendung dan membasmi komunis kian dahsyat melanda Asia Tenggara.
Terutama di Indonesia. Soekarno harus disingkirkan! Semua aparat Perang
Dingin berjaya di Indonesia. Sesudah melalui masa panjang berlangsung
kegiatan aparat-aparat RAND Corporation, Ford Foundation, datang giliran
agen-agen CL4, Kubu Soeharto —CIA, sarjana-sarjana Mafia Berkeley, pejabatpejabat Kedutaan AS, badan-badan intelijen asing termasuk MI6 Inggris,
media pers internasional, dan dalam negeri yang komunisto-fobi, semua
oknum komunisto-fobi, dan Soekarno-fobi, berkecamuk memainkan
peranannya masing-masing. Sadar atau tidak sadar telah hanyut dalam arus
Perang Dingin. Pada akhir 1964, "seorang pejabat intelijen Belanda dalam
NATO mengatakan, bahwa badan-badan intelijen Barat akan melaksanakan
'satu coup komunis yang prematur .... (yang pasti akan) ditakdirkan
sebelumnya akan gagal, akan memberi kesempatan yang sah dan sangat
diharapkan oleh Angkatan Darat untuk membasmi kaum komunis dan
membikin Soekarno menjadi tawanan baik-hatinya Angkatan Darat'."1
Pada saat-saat yang tegang itu, "Di Jakarta dan Jawa Tengah, para
konspirator sedang merencanakan coup 1 Oktober. Komplotan serampangan
yang malang ini mendatangkan akibat malapetaka yang dahsyat; yaitu
menghasilkan Angkatan Darat menggulingkan Soekarno dan
berlangsungnya pembantaian manusia secara terorganisasi yang paling
mengerikan dalam sejarah umat manusia."2
"21 September 1965, Jenderal Soeharto selaku Panglima Kostrad, dengan
radiogram No.Rdg.T.293/9/1965, memerintahkan kepada Batalyon 454/
Diponegoro, 530/Brawijaya, 328/Siliwangi, dan Kesatuan Artileri dari Cimahi,
supaya datang ke Jakarta selambat-lambatnya 23 September 1965, dengan
membawa perlengkapan tempur garis satu. "3
"Dua minggu sebelum meletusnya peristiwa G30S, Kolonel Latief
menghadap Jenderal Soeharto mempersoalkan adanya kegiatan Dewan
Jenderal yang merencanakan coup d'etat terhadap Presiden Soekarno. Dua
hari sebelum operasi pengambilan 6 jenderal, ia menemui Soeharto lagi.
Pertemuan Latief terakhir dengan Soeharto terjadi di Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat "Gatot Soebroto", 30 September 1965, pukul 23.00, selama
30 menit. Jadi, Soeharto tahu betul tentang akan terjadinya G30S.
Terjadilah putsch 30 September, Gerakan Tiga Puluh September di bawah
pimpinan Letkol. Untung, yang hanya berumur beberapa jam. Disusul
dengan pembantaian manusia, kaum komunis, dan Soekarnois. Angkatan
Darat dan semua aparat Perang Dingin, media pers komunisto-fobi dalam
dan luar negeri, mengumandangkan bahwa PKI adalah dalang Gerakan Tiga
Puluh September. Sejumlah aparat kekuasaan Amerika Serikat sangat giat
dalam hal ini.
Sejak semula, Soeharto sudah jadi pegangan Amerika Serikat. Peranan
Amerika Serikat dalam kejadian penting ini terlihat dari kegiatan Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Jakarta. 5 Oktober 1965, Kedutaan Besar AS
mengirim nota kepada Kementerian Luar Negeri AS yang isinya antara lain:
"Sekarang, kunci persoalan kita adalah apakah kita bisa membentuk
perkembangan ini agar menguntungkan kita. Beberapa panduan berikut
mungkin bisa memberikan sebagian jawaban atas bagaimana sikap kita
seharusnya:
A. Hindari keterlibatan yang terang-terangan karena seiring
berkembangnya perebutan kekuasaan.
B. Akan tetapi, secara tersembunyi, sampaikan dengan jelas kepada
tokoh-tokoh kunci di ABRI seperti Nasution dan Soeharto tentang
keinginan kita membantu apa yang kita bisa, sementara di saat
bersamaan sampaikan kepada mereka asumsi kita bahwa kita
sebaiknya menjaga agar setiap bentuk keterlibatan atau campur
tangan kita tidak terlihat.
C. Pertahankan dan jika mungkin perluas kontak kita dengan militer.
D. Hindari langkah-langkah yang bisa diartikan sebagai tanda
ketidakpercayaan terhadap ABRI (contohnya memindahkan warga
kita atau mengurangi staf).
E. Sebarkan berita mengenai kesalahan PKI, pengkhianatan dan
kebrutalannya (prioritas ini mungkin paling membutuhkan bantuan
kita segera, yang dapat kita berikan kepada ABRI jika kita bisa
menemukan jalan untuk melakukannya tanpa diketahui bahwa hal
ini merupakan usaha AS).
F. Dukung seluruh masukan informasi dan sarana-sarana lainnya yang
ada untuk bisa menyatukan ABRI."1
Salah satu isu kontroversial, mengenai keterlibatan Amerika Serikat
dalam pembunuhan besar-besaran anggota dan kader PKI di seluruh
Indonesia, memperoleh penjelasan resmi dalam bentuk dokumen mengenai
salah satu radiogram Duta Besar Amerika untuk Indonesia saat itu, Marshall
Green. Dalam radiogram yang dikirimkannya ke Washington pada 10
Agustus 1966, Marshall Green melaporkan bahwa "daftar nama pemimpin
teras, dan anggota PKI yang dibuat Kedutaan Besar Amerika, merupakan
daftar yang dipakai sebagai acuan aparat keam anan—alias Angkatan
Darat—Indonesia, untuk membersihkan Indonesia dari PKI. Tak mustahil,
dari nama-nama yang disodorkan Marshall Green itu, sebagian kemudian
terbunuh/'1
Selain itu, dalam telegramnya pada 2 Desember 1965, Marshall Green
juga mengaku "telah melakukan pembayaran (tersembunyi) dengan dana
Rp50 juta kepada gerakan KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan
Gerakan September Tiga Puluh). Dana itu diserahkan sebagai bantuan untuk
membiayai aksi perlawanan terhadap orang-orang komunis."2
Di samping itu, dokumen Memorandum dari Gabungan Kepala Staf
kepada Menteri Pertahanan McNamara memaparkan bantuan Amerika
Serikat terhadap usaha Angkatan Bersenjata menggulingkan Bung Karno
sebagai berikut:
Washington, 30 Desember 1965
Perihal: Bantuan ke Indonesia
Berkaitan dengan pesan terakhir dari Kedutaan AS di Jakarta yang
berisikan informasi bahwa Presiden Soekarno mungkin akan digulingkan
setelah 1 Januari 1966, Indonesia mungkin meminta bantuan AS.
Jika ini terjadi, permintaan bantuan ekonomi mungkin akan cukup besar.
Permintaan material militer mungkin tidak banyak. Barang-barang yang
mungkin diminta termasuk amunisi, senjata otomatis ringan, kendaraan, radio
portabel, dan mungkin suku cadang C-130 dan C-47. Bantuan training
mungkin juga diminta.
Upaya penjatuhan Presiden Soekarno oleh ABRI bisa menguntungkan
kepentingan keamanan AS di sana. Meski ABRI tampaknya tak ingin mencari
sekutu asing dalam penerapan kebijakannya, seperti halnya Soekarno dulu.
ABRI tampaknya akan menjadi kekuatan tunggal anti-komunis yang paling
kuat di Indonesia, namun pada akhirnya pasti akan memerlukan
kepemimpinan sipil. Kepentingan AS akan lebih terjamin jika pemerintah
baru nanti cenderung pro-Barat. Atau setidaknya netral.
“Gabungan Kepala Staf merekomendasikan:
a. Amerika Serikat, jika diminta, akan siap memberikan kepada Indonesia
sejumlah bahan pangan/obat-obatan untuk menunjukkan dukungan
terhadap pemerintah baru.
b. Karena kampanye pimpinan ABRI melawan PKI tampaknya berjalan
sesuai rencana dan bantuan militer AS tampaknya tak dibutuhkan
untuk keamanan internal, maka untuk saat ini AS hendaknya tidak
secara terang-terangan memberikan bantuan militer kepada Indonesia.
c. Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan bersama-sama
menyusun kriteria untuk melanjutkan pemberian bantuan militer dan
ekonomi.
d. Memorandum ini akan diteruskan ke Menteri Luar Negeri.
Atas nama Gabungan Kepala Staf:
David L. McDonald
Ketua1
Begitu putsch 30 September terjadi. Angkatan Darat segera menuding
PKI sebagai dalangnya. Tapi tidak sedikit para pakar yang berpendapat lain.
Rex Mortimer memaparkan, bahwa PKI secara sadar dan teguh menempuh
jalan damai dalam mencapai strateginya. Dalam keadaan sudah berada di
ambang masuk ke dalam kedudukan ikut memegang kekuasan negara,
adalah tak masuk akal, PKI melakukan coup terhadap pemerintah yang
didukungnya sendiri.
Brian May menulis, "Sampai sejauh mana PKI terlibat, tidaklah akan
mempengaruhi putusan yang diambil oleh Angkatan Darat untuk
menjadikan putsch itu segera menjadi batu-nisan bagi Soekarnoisme dan
dasar bagi Angkatan Darat untuk naik berkuasa; dan jika ada orang komunis
yang menentang petunjuk-petunjuk pimpinannya, ikut dalam komplotan
in i,.....maka ini sudah cukup jadi alasan untuk membasmi seluruh partai itu."2
"Secara militer, putsch itu berlangsung tanpa persiapan yang cukup,
tanpa kendaraan-kendaraan lapis baja dan tank-tank yang sangat vital;
secara politik adalah nonsense,—omong kosong. Tidaklah mengherankan,
bahwa sementara sarjana menghubungkan asal-usulnya putsch itu dengan
kekecewaan dan puritanisme para perwira dari Jawa Tengah yang mistik;
juga tak mengherankan bahwa para pemimpinnya melarikan diri dalam
tempo 24 jam menghadapi Jenderal Mayor Soeharto yang akhirnya
menguasai bangsa dengan 135 juta penduduk itu."3
Jan Pluvier menulis, "Segera sesudah terjadinya putsch Untung, Angkatan
Darat merebut kesempatan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi, terutama
sesudah terbunuhnya sejumlah jenderal, untuk mewujudkan hal yang sudah
bertahun-tahun diharapkan, yaitu mengambil sepenuhnya kekuasaan negara
dan membasmi PKL7,1
Willem Oltmans menulis, "1 Oktober akan menjadi satu hari bersejarah
dalam arus revolusi Indonesia, di mana kalangan kanan pucuk pimpinan
Angkatan Darat yang pro-Amerika akan melaksanakan rencana yang sudah
her tahun-tahun dipelihara, kali ini lewat tindakan dari orang-orang
kepercayaan Soekarno, hingga dengan 'cara sopan santun' bisa menghadapi
pendapat umum dan dunia, melaksanakan aksi massa terhadap musuh
bebuyutan, yaitu membasmi PKL"1 2
Putsch Untung disusul oleh tuduhan Angkatan Darat bahwa PKI adalah
dalang peristiwa berdarah itu. Media pers Angkatan Darat dan komunistofobi menggelorakan histeria anti-komunis dan balas dendam. "Pertengahan
November 1965, pembunuhan-pembunuhan mencapai puncaknya yang
mengerikan. Soeharto menandatangani perintah yang memberi kuasa untuk
melakukan pembersihan mutlak yang mendasar atas PKI dan para
simpatisannya dari pemerintah. Perintah ini, No.22/KOTI/1965, untuk
pembentukan 'tim-tim khusus' buat melaksanakan instruksi tersebut dan
memberi kuasa pada 'tim-tim' itu untuk meminta bantuan Angkatan Darat
di mana perlu."3
Sebelum berlangsungnya pengadilan dalam Mahkamah Militer Luar
Biasa (Mahmilub) atas para pelaku putsch, sebelum adanya putusan
pengadilan mengenai terlibatnya PKI dalam putsch, Soeharto sudah
mengeluarkan instruksi untuk membasmi PKI. Demikian pula Nasution,
yang juga menyerukan untuk membasmi Partai Komunis. "Semua pengikut
dan simpatisannya harus dibasmi, kalau tidak peristiwa ini akan terulang,"
katanya di depan rapat staf RPKAD yang datang di Jawa Tengah. "Tidak
hanya para pelaku yang harus dibasmi, tetapi juga dalang dan pendukung
PKI," katanya di depan satu organisasi mahasiswa. Dan dalam
kunjungannya ke pangkalan Angkatan Laut di Surabaya, dia menyerukan
sekali lagi untuk membasmi PKI sampai ke akar-akarnya."4
Berlangsunglah penyerbuan-penyerbuan atas kantor-kantor PKI. Dan
mulailah pembantaian manusia di seluruh negeri. CIA sendiri mengakui.
bahwa "dalam hal jumlah yang sudah terbunuh, pembantaian besar-besaran
anti-PKI menduduki tempat pertama yang paling jelek dalam abad XX,....
Sebagaimana halnya pembunuhan massal oleh Nazi selama Perang Dunia
II .... Dalam hal ini, coup di Indonesia jelaslah merupakan peristiwa yang
lebih berarti, dibanding dengan banyak peristiwa yang sudah mendapat
publikasi luas."1
"Amnesty International mencatat taksiran, bahwa lebih dari 500.000
orang mati, tapi menambahkan bahwa banyak 'peninjau bebas' menaksir,
bahwa lebih dari satu juta orang mati dalam masa 1965 —1966."2
Laksamana Sudomo Panglima Kopkamtib mengakui, "450.000 sampai
500.000 orang terbunuh."3
K.H. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa "orang Islam membantai
500.000 eks-PKI. Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh yang tidak
termasuk orang Islam."4
Jenderal Sarwo Edhie Wibowo mengaku kepada Bapak Permadi, S.H.,
bahwa "yang meninggal terbunuh berjumlah tiga juta orang."5
Helen Louise Hunter, seorang peneliti dari CIA menulis, bahwa
"Pembantaian yang dilakukan oleh massa anti PKI di Indonesia, adalah
salah satu yang terburuk dalam jajaran pembantaian massa dari abad XX."6
Bertrand Russel menyatakan, bahwa dalam empat bulan saja
pembantaian di Indonesia, orang yang mati sudah berjumlah lima kali lebih
banyak dibandingkan dengan 12 tahun peperangan di Vietnam."7
"Dari bulan Juli 1954 sampai Juli 1963, Amerika sudah melancarkan
42.500 operasi dan serangan militer, membunuh 156.000 orang dan melukai
52.000 orang."8
Julie Southwood dan Patrick Flanagan menulis, "Pembantaian massal di
Indonesia pada dasarnya adalah suatu proyek pembunuhan sistematik tak
pandang bulu. Satu proyek yang tujuannya jelas, cara dan tanggung
jawabnya sistematik, yaitu di bawah pimpinan Angkatan Darat yang secarajelas menetapkan korban-korbannya, yaitu PKI dan para simpatisannya. Tak
pandang bulu dalam kategori korban-korban, semua anggota harus dibunuh,
tak pandang umur, kelamin, bersalah atau tid ak .../'1
Kalau disimpulkan, bukanlah hanya sekitar 500.000 orang yang dibunuh,
tetapi telah berlangsung kekejaman—pembantaian besar-besaran—yaitu
satu proyek pembunuhan yang sistematik tak pandang bulu, yang
diperintah dan dikontrol oleh pemimpin-pemimpin Angkatan Darat."2
Soeharto adalah yang bertanggung jawab atas pembunuhanpembunuhan di Indonesia. Paul H. Salim menulis: "Tanggal 2 Oktober 1965,
setelah mendengar berita tentang 'kup'. Kolonel Yasir Hadibroto, waktu itu
Komandan Kesatuan Infanteri IV Kostrad di Sumatra Utara, datang,
langsung menghadap komandannya di Markas Besar Kostrad di Jakarta,
Mayjen. Soeharto.
Dia ditanyai oleh Soeharto, 'Di mana kamu ketika pemberontakan PKI di
Madiun tahun 19487'
'Saya baru saja dipindahkan ke Jawa Barat. Pasukan saya diperintahkan untuk
menghadapi 3 batalyon komunis di Wonosobo/ Yasir menjawab.
'Orang yang berontak hari ini adalah keturunan dari PKI Madiun. Pergi
beresken mereka semua. D.N. Aidit di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana!'
perintah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.
Di Jawa Tengah, D.N. Aidit, Ketua PKI, ditangkap, dibawa ke markas
Batalyon Kostrad di Boyolali, dan dibunuh!
Pukul 3.00 sore, tanggal 24 November 1965, Kolonel Yasir diterima oleh
Soeharto di Istana Yogyakarta. Dia melaporkan segala sesuatu berkenaan
dengan penangkapan PKI dan cara membereskan Aidit. Setelah memberikan
laporannya. Kolonel Yasir memberanikan diri untuk bertanya, 'Waktu Bapak
mengatakan 'bereskan' tentang D.N. Aidit, apakah itu yang Bapak maksud?'
Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto hanya tersenyum." [Mystery Almost
Solved!! by Paul H. Salim, Calgary, Canada, http://www.antenna.nl/wvi/
eng/ic/pki/sal/myst.html].
Pembendungan dan pembasmian komunisme berlangsung dahsyat,
seiring dengan memuncaknya Perang Dingin di Asia Tenggara. Perang
Vietnam kian bergejolak. Meluas sampai ke Laos dan Kamboja. Amerika
Serikat sampai-sampai mengerahkan seperempat juta pasukan,
menggunakan semua senjata yang paling modern waktu itu untukmenundukkan Republik Demokrasi Vietnam dan membasmi kaum komunis
Vietnam. Pembasmian kaum komunis Indonesia berlangsung tanpa
pengiriman pasukan Amerika masuk Indonesia. Di Indonesia, terutama
dalam Angkatan Darat terdapat kekuatan anti-komunis yang dapat
diandalkan Amerika untuk membasmi PKI. Pentagon dan Gedung Putih
dengan NSC-nya sebagai Politbiro Perang Dingin sudah sekian tahun
merekayasa realisasi strategi Perang Dingin terhadap Indonesia. Soekarno
harus disingkirkan, dan PKI harus dibasmi. Selama enam tahun, dari tahun
1959 sampai 1965 telah dilaksanakan kesimpulan NSC - Politbiro Perang
Dingin - yaitu perkuat kerja sama dengan Angkatan Darat, tingkatkan
perlawanan terhadap PKI, dan ciptakan dasar untuk bertindak represif
terhadap PKI. Putsch 30 September adalah hasil total-jenderal rekayasa
canggih, penggunaan operasi intelijen, kampanye "'perang syaraf",
pengerahan semua oknum anti-komunis dan anti Soekarno serta
pemanfaatan kesalahan-kesalahan PKI sendiri. Putsch adalah bertentangan
dengan teori Marxisme-Leninisme tentang revolusi. Tidak terdapat dalam
program PKI. Juga tak masuk akal, dengan putsch PKI menggulingkan
pemerintah yang didukungnya sendiri, di mana duduk tokoh-tokoh utama
pimpinan PKI. Lebih tak masuk akal lagi, dengan putsch PKI menggulingkan
Bung Karno, yang ajaran dan politiknya mati-matian dibelanya, karena
menguntungkan PKI. Dengan peristiwa putsch ini terwujudlah kesimpulan
Politbiro Perang Dingin, yaitu menciptakan dasar untuk bertindak respresif
terhadap PKI. Peristiwa ini, oleh Angkatan Darat betul-betul dijadikan dasar
untuk bertindak represif terhadap PKI. Dengan demikian Soekarno pun
digulingkan. Penggulingan Bung Karno dan pembasmian PKI adalah
realisasi the policy of containment - politik pembendungan komunisme - strategi
sejagat Perang Dingin yang dilancarkan Amerika Serikat semenjak usainya Perang
Dunia II. Inilah salah satu puncak Perang Dingin di Asia.
PENULIS buku ini. Suar Suroso, boleh dikatakan satu-satunya orang
Indonesia yang sampai sekarang menekuni masalah filsafat materialisme
dialetika dan historis, gerakan komunis internasional, m aupun gerakan
buruh internasional. Dalam hubungan masalah-masalah itulah ia
menjelaskan terbelahnya dunia menjadi dua kubu, yaitu kubu sosialis atau
komunis dan kubu kapitalis atau imperialis yang saling bermusuhan.
Sampai akhir Perang Dunia II, kedua kubu ini masih bisa bekerja sama
dalam usaha mengalahkan musuh bersama, yaitu fasisme Jerman—Italia—
Jepang, dengan membentuk persekutuan Amerika—Inggris—Perancis—
Rusia—Tiongkok. Tapi sejak tahun 1945, ketika Presiden Amerika Serikat
Franklin Delano Roosevelt (1882 — 1945) meninggal dan digantikan oleh
Harry S. Truman (1884 — 1972), dunia praktis kembali terbagi menjadi dua
kutub yang saling bermusuhan dengan kesengitan yang semakin tinggi,
saling mematikan: kutub sosialis/komunis di bawah Uni Sovyet dan kubu
kapitalis/imperialis di bawah Amerika Serikat.
Suar berusaha menjelaskan bahwa permusuhan itulah yang menimbulkan apa yang dinamakan Perang Dingin, yaitu perang yang berlangsung di
front politik, ekonomi, dan propaganda, dan hanya sedikit di front persenjataan. Kedua pihak tidak pernah sampai terjun langsung bermuka-muka, satu
dan lain hal karena ditemukannya senjata pemusnah massal: senjata nuklir.
Walau demikian. Perang Dingin tidak kurang panas daripada Perang Panas.
Perang Dinginlah yang menyebabkan terjadi banyak kudeta, seperti yang
telah terjadi di Korea, Vietnam, dan Indonesia, juga menyebabkan terjadi
banyak revolusi, seperti telah terjadi di Tiongkok, Vietnam, dan Kuba.
Untuk menghadapi Perang Dingin, di kubu kapitalis/imperialis
dikembangkan apa yang dinamakan "the policy of containment”, yaitu politik
pembasmian komunisme sejagat, bersama sarana-sarana dan cara-carapelaksanaannya, yang tanpa bosan-bosannya dijelaskan dan diuraikan oleh
Suar dalam bukunya yang cukup banyak, seperti: Asal-Usul Teori Sosialisme,
Marxisme Sampai Komune Paris; Marxisme, Sebuah Kajian: Dinyatakan Punah
Ternyata Kiprah; Peristiwa Madiun: Realisasi Doktrin Truman di Asia; Bung
Karno, Marxisme & Pancasila; 'Peristiwa Madiun', PKI Korban Perdana Perang
Dingin; Bung Karno Korban Perang Dingin; dan akhirnya buku ini: Akar dan
Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno.
Nyaris di hampir semua buku ini Suar merasa perlu membahas "the
policy of containment" karena ia tahu bahwa media massa dunia, baik cetak
m aupun elektronik, dan dunia penerbitan, sudah lama, sampai dewasa ini,
dikuasai dan ditongkrongi oleh kubu kapitalis/imperialis, hingga
pemberitaan mengenai kejadian dan uraian mengenai peristiwa dunia pun
jomplang ke arah kepentingan kutub tersebut. Kalau kita boleh bicara
tentang rekayasa terbesar di dunia sekarang ini, itulah rekayasa di bidang
media massa dan penerbitan.
Untuk mengimbangi kejomplangan itu. Suar menulis buku-bukunya ini.
Untuk itu dia gali tanpa lelah bahan-bahan yang sampai sedemikian jauh
belum diketahui umum, bahkan bersifat rahasia dan hanya dikuasai oleh
dinas-dinas rahasia. Tentu usaha ini tidak seimbang dengan rekayasa
terbesar zaman kita itu tadi. Tapi Suar berkeyakinan bahwa kutub
sosialis/komunis harus mengadakan perlawanan. Sepatah kata dalam
perlawanan itu sama dahsyatnya dengan peluru yang mengena
ditembakkan ke arah musuh. Maka itu tidak segan ia membalik-balik bahan
yang tersembunyi tidak hanya dalam bahasa yang "lazim", yaitu bahasa
Indonesia dan Inggris, tapi juga dalam bahasa Belanda, Jerman, Perancis,
Tionghoa, dan Rusia, seperti terlihat dalam Daftar Kepustakaan.
Dan apa yang istimewa dalam buku ini? Dari Daftar Kepustakaan
kelihatan, tak kurang 30 buku yang ditulis oleh D.N. Aidit, bekas Ketua
Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk Pilihan Tulisan Aidit Jilid I, II, dan
III. Lebih istimewa lagi ialah kritik terhadap segi-segi ideologi, teori, dan
organisasi PKI, seperti: Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP),
semboyan persatuan nasional berporoskan nasakom, mendukung demokrasi
terpimpin di bawah Presiden Soekarno, revolusi dari atas dan dari bawah, teori
dua aspek kekuasaan negara, semboyan dwitunggal rakyat dan ABRI,
pembangunan partai kader dan partai massa sekaligus, menjadikan Marxisme milik
nasion.
Saya tak perlu menunjukkan halamannya. Pembaca perlu mencarinya
sendiri. Untuk itu saya haturkan: Selamat membaca.DALAM rangka usaha pelurusan sejarah bangsa, ratusan bahkan ribuan
tulisan, analisis, dan buku-buku studi telah terbit di Indonesia oleh penulispenulis Indonesia sendiri, bersangkutan dengan masalah krusial bangsa
dewasa ini, yaitu masalah pelurusan sejarah. Masalah pelurusan sejarah
Indonesia juga sudah berpuluh kali menjadi tema utama seminar-seminar di
Indonesia m aupun di luar negeri.
Situasi pemberlakuan dan pemanfaatan hak-hak demokrasi, khususnya
hak dengan bebas menyatakan pendapat, yaitu freedom of speech dan freedom
of expression dewasa ini, sedang tumbuh subur dan berkembang terus. Baik
dalam kuantitas m aupun kualitas. Tidak sedikit tulisan tersebut ditimba dari
pengalaman langsung penulisnya sendiri, korban akibat pemelintiran
sejarah bangsa yang dilakukan penguasa orba.
Berbagai lapisan masyarakat, dalam jumlah tak terhitung, khususnya
yang disebut "orang-orang biasa", dengan sadar menggunakan kebebasan
media komunikasi demi perjuangan untuk reformasi, demokrasi, dan HAM.
Termasuk media internet seperti wehsite (meliputi diskusi interaktif) atau
blog pribadi, mailing-list, youtube, facebook, twitter, dll.
Situasi yang dimulai dan berlangsung terus sejak gerakan massa
reformasi dan demokrasi Mei 1998 telah secara formal mengakhiri rezim
orde baru. Sejak Presiden B.J. Habibie menggantikan Presiden Soeharto
sebagai presiden ke-3 Republik Indonesia, secara luas dan leluasa
kesempatan demokrasi ini digunakan oleh para aktivis dan pejuang-pejuang
reformasi dan demokrasi demi perubahan yang konsisten, untuk tegaknya
negara Republik Indonesia sebagai negara hukum.
Secara lebih spesifik, kegiatan dan perjuangan tersebut berlangsung
dengan mengajukan tuntutan diakhirinya pelanggaran hak-hak asasi
manusia serta dipulihkannya hak-hak kewarganegaraan dan politik parakorban Peristiwa 1965, yang sampai detik ini masih mengalami diskriminasi
dan stigmatisasi dari jurusan penguasa dan para pendukung rezim orde
baru. Perjuangan tersebut semakin sengit terfokus sekitar tuntutan adil agar
Kejaksaan Agung mengambil langkah konkret melaksanakan Rekomendasi
Komnas HAM 23 Juli 2012 sekitar penanganan pelanggaran HAM berat oleh
aparat negara di sekitar Peristiwa 1965.
Secara formal, rezim orde baru sudah runtuh, tetapi dalam kenyataan
hidup sehari-hari, kebijakan politik dan tindakan penguasa tetap menolak
rehabilitasi hak-hak kewarganegaraan dan hak politik jutaan korban
Peristiwa 1965.
Suar Suroso (82 tahun), mantan wakil pemuda Indonesia di organisasi
mancanegara, yaitu Gerakan Pemuda Demokratis Sedunia, GPDS, dengan
tekun mengikuti perkembangan politik di tanah air. Dalam periode setelah
ambruknya rezim orde baru. Suar Suroso termasuk salah seorang penulis
sejarah bangsa, yang dengan tekun dan teliti secara efektif memanfaatkan
situasi keberadaan kebebasan menyatakan pendapat di Indonesia.
Dalam waktu panjang. Suar Suroso mengadakan riset, menekuni,
menggeluti, serta menulis karya-karya penting dalam rangka pelurusan
sejarah bangsa yang direkayasa dan dibengkokkan rezim orde baru.
Sehubungan dengan ini. Suar Suroso pernah menulis sebuah artikel khusus
yang mengungkap pemelintiran sejarah Indonesia yang dilakukan oleh ahli
sejarah orde baru, Dr. Nugroho Notosusanto.
Kiranya sudah jelas, dalam rangka mengakhiri kehidupan politik dan
ideologi orde baru, ada satu masalah yang mutlak harus ditangani bersama.
Yaitu, menyangkut masalah pelurusan sejarah bangsa, khususnya sejarah
gerakan politik sejak masa kolonialisme sampai dewasa ini.
Menelusuri sejumlah besar literatur yang diterbitkan dalam periode
pasca-Soeharto, Suar Suroso adalah salah seorang penulis langka yang
dengan berencana melakukan studi dan penulisan sejarah gerakan politik di
Indonesia secara gamblang. Ia mengedepankan sejumlah dokumen dan
fakta-fakta yang diakui kebenarannya, sesuai dengan bahan-bahan
dokumentasi dan literatur kiri di Indonesia dan mancanegara. Atas dasar itu.
Suar Suroso melakukan analisis dan mengemukakan kesimpulannya. Ia
dengan rinci menguraikan dalam artikel-artikel dan buku-bukunya, tentang
perkembangan gerakan politik bertujuan kemerdekaan di Indonesia, yang
berporoskan gerakan revolusioner Marxis, nasionalis, dan agama. Meliputi
periode sejak didirikannya Budi Utomo, Sarekat Islam, Sarekat Rakyat, dan
ISDP, Partai Sosial Demokrat Indonesia yang kemudian menjelma menjadi
Partai Komunis Indonesia, PKI.Dengan jelas Suar Suroso menguraikan dan menganalisis perkembangan
gerakan politik kiri Marxis yang berkembang menjadi PKL Suatu parpol
yang tak henti-hentinya berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Menurut
Suar Suroso, inilah yang menyebabkan PKI merupakan ancaman terbesar
bagi dominasi AS di Asia Tenggara, teristimewa setelah makin kuatnya kerja
sama dan persatuan kekuatan politik yang diwakili Bung Karno dan
kekuatan kiri yang diwakili oleh PKL
Buku Suar Suroso yang baru berjudul: Akar dan Dalang Pembantaian
Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno adalah buku politik
penting yang menjadi khazanah berharga dalam literatur sejarah gerakan
politik kiri di Indonesia. Sekaligus merupakan karya serius dan penting oleh
penulis, dalam perjuangan besar demi pencerahan di Indonesia, teristimewa
menyangkut pelurusan sejarah yang direkayasa oleh rezim orde baru.
Buku terbaru Suar Suroso, bersama dengan tulisan-tulisan yang banyak
dan buku-buku yang telah diterbitkannya: sekitar Marxisme dan Bung
Karno; mengenai campur tangan dan subversi CIA (AS) dalam urusan
dalam negeri Indonesia khususnya yang menyangkut "Red Drive Proposals
AS" (1948); mengenai Peristiwa Madiun; tentang bantuan senjata dan
keuangan Cl A pada pemberontakan separatis PRRI/Permesta (1957);
Peristiwa Pembantaian Massal 1965/67/68; dan teristimewa perebutan
kekuasaan negara dan pemerintahan Presiden Soekarno oleh Jenderal
Soeharto, merupakan sumber pengetahuan yang ditulis atas dasar studi dan
penelitian cukup lama dan menyeluruh.
Buah pena Suar Suroso tersebut merupakan literatur-historis yang
berharga dan bahan referensi dan studi yang tidak-boleh-tidak harus dibaca
dan dipelajari oleh setiap pemeduli sejarah kontemporer Indonesia dan bagi
siapa saja yang ingin mendalami sejarah perkembangan politik
kemerdekaan Indonesia.
BUKU karya Suar Suroso yang terbit kali ini adalah salah satu dari buku
karya kesembilan yang membahas tentang peristiwa besar dan penting yang
membuka periode baru dalam sejarah perjuangan bangsa dan rakyat
Indonesia, yaitu dari periode perjuangan mencapai Indonesia yang
demokratis untuk mencapai Indonesia yang makmur dan sejahtera berbalik
menjadi negeri neo-kolonial neo-liberal dengan pandangan pragmatisme
model AS.
Kesembilan buku Suar ialah:
1. Bung Karno Korban Perang Dingin;
2. Peristiwa Madiun - PKI Korban Perang Dingin;
3. Bung Karno, Marxisme, dan Pancasila;
4. Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah;
5. Peristiwa Madiun - Realisasi Doktrin Truman di Asia;
6. Asal Usul Teori Sosialisme, Marxisme sampai Komune Paris;
7. Jelita Senandung Hidup;
8. Pelita Keajaiban Dunia; dan
9. Akar dan Dalang - Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan
Bung Karno.
Dalam buku-buku tersebut, terutama dalam buku Akar dan Dalang, Suar
Suroso telah menyanggah secara kategoris berbagai pikiran dan uraian yang
dikemukakan oleh orde baru dan pembela-pembelanya, sarjana pembela
imperialis, kolonialis, baik di dalam m aupun di luar negeri. Pertama, Buku
Putih Komkaptib yang ditulis oleh Laksamana Sudomono. Buku
Prof. Nugroho Notosusanto, The Coup Attempt of the September 30 Movement
Indonesia yang ditulis bersama dengan Ismail Saleh, juga disanggahnya.
Suar Suroso dalam buku Akar dan Dalang, membongkar semua
persekongkolan AS—Inggris untuk menumbangkan Presiden Soekarno dan
menghancurkan PKI 1965 yang sudah dimulai sejak tahun 1960-an dan
sudah tentu hal itu juga kelanjutan dari Peristiwa Madiun 1948 yang
diarsiteki Marie Cochra'n dengan usulannya "Red Drive Proposal" pada
Wapres/Perdana Menteri Drs. Moh Hatta, ini sebagai realisasi Doktrin
Truman, Presiden AS, "policy of containment" 1946 di Asia, selanjutnya
diperkuat dengan doktrin rollback Presiden Eisenhower 1949. Komunis tidak
hanya dibendung, tapi harus dibasmi.
Doktrin-doktrin yang menjadi dasar dan pelaksanaan politik Perang
Dingin inilah yang dinamakan akar dari peristiwa yang terjadi di Indonesia,
sedangkan persekongkolan AS—Inggris yang berkomplot dengan
Mayjen. Soeharto, Panglima Kostrad waktu itu, bersama dengan Yoga
Sugama dan Ali Murtopo adalah dalang sesungguhnya Peristiwa September
1965. Pembunuhan terhadap Jenderal A. Yani, cs. (SUAD), pimpinan teras
PKI, D.N. Aidit, Lukman, Nyoto, Sakirman, dan kader-kader serta anggota
simpatisan PKI di seluruh Indonesia, penahanan Presiden Soekarno hingga
wafatnya, pembunuhan 500 ribu—3 juta orang, pemenjaraan 2 juta orang
tanpa salah apa pun selama 14 tahun lebih, dan lain-lain, adalah korban
pembasmian komunis, mereka yang anti kolonial dan imperialis.
Suar Suroso juga menjelaskan secara rinci kegiatan bagaimana AS
mempersiapkan perwira TNI untuk menggulingkan Presiden Soekarno
dengan mendidik dan melatih mereka. Tidak kurang 2000 perwira AD yang
pernah belajar di Akademi Militer Western Institute for Secutity Cooperation
di Fort Benning, Georgia, dan The Commander in Burgency Training Center
di Fort Bragg, Fayetteville, NC. AS juga pernah mengirim beberapa orang
secara rahasia mengajar kontra pemberontakan ke Indonesia.
Dalam buku ini juga dibeberkan secara rinci peranan: National Security
Council (NSC); Pemerintah Bayangan (The Shadow Government); Central
Intelligence Agency (CIA); RAND Corporation; Ford Foundation; pakta-pakta
militer; dari tentara rakyat ke TNI; kubu Soeharto—Cl A; dan lainnya.
Dasar pemikiran politik membasmi komunis dan gerakan anti kolonialismeimperialisme tidak hanya untuk masa lalu, tetapi sampai sekarang ini, di era
kapitalisme global, menjadi politik luar negeri AS dan negeri kapitalis
lainnya. Perang agresi di Timur Tengah adalah wujud konkret masih terus
dilaksanakan politik dasar tersebut. Demikian juga masih akan terus
dilaksanakan termasuk di negeri lain dan Indonesia dewasa ini, yang beda
hanya bentuk dan caranya. Inilah watak kapitalisme global selama masih di
dunia ini.
Demikian juga kritik terhadap kekeliruan dan kesalahan politik
pemikiran pimpinan CC PKI, D.N. Aidit, tak luput dari perhatian SuarSuroso, demikian luas, dalam, rinci, dan lengkap persoalan yang dibahas
dengan menggunakan pandangan serta metode memandangnya sangat
kritis. Buku ini sangat menarik, berharga untuk dibaca, dibahas oleh siapa
pun, terutama bagi mereka yang ingin mempelajari sejarah perjuangan
rakyat Indonesia sebagai bekal perjuangan perubahan pada hari ini dan hari
esok, melepaskan diri dari kekangan neo-kolonial, neo-liberal, dan
pandangan hidup pragmatis model AS yang membuat Indonesia amburadul,
penuh korupsi, pembiusan narkoba, perkelahian, kejahatan terorisme,
politik pembiaran, untuk Indonesia merdeka demokratis (demos kratos bukan
demong kratos dan oligo kratos), berdaulat dalam politik, berdikari dalam
ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, untuk mencapai Indonesia
yang adil, makmur, dan sejahtera —sosialisme Indonesia. Inilah arah dan
tujuan perjuangan rakyat Indonesia dewasa ini, tetapi perlu waktu yang
relatif lama. Keteguhan tekad dan pendirian seperti diteladani oleh pejuangpejuang pendahulu kita semua mutlak perlu dimiliki oleh pejuang rakyat
Indonesia.
BUKU Suar Suroso, Akar dan Dalang, merupakan suatu tulisan yang sifatnya
analisa politik tentang apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1960-an.
Pada waktu terjadinya Peristiwa G30S.
Penulis Suar Suroso sebagai seorang Marxis tentunya menggunakan cara
Marxisme dalam penulisannya itu sesuai dengan anjuran Bung Karno yang
terkenal dalam sejarah politiknya selama ia menjadi Presiden RI. Apakah
Bung Karno sendiri menggunakan secara konsisten metode analisa itu, saya
sebaiknya serahkan jawabannya pada para pembaca.
Saya sendiri pernah mencoba untuk menanyakan tentang hal itu kepada
beliau, di dalam pesawat terbang pada waktu saya diperintahkan mengikuti
beliau, dalam perjalanan dari Tokyo ke Wina pada tahun 19621
Saya tidak dapat melupakan menjalankan perintah itu sebagai Panglima
Kodam Kaltim karena KSAD Nasution mengejek saya bahwa saya cocok
berfungsi sekaligus sebagai seorang bodyguard Bung Karno.
Suar Suroso dalam bukunya telah menguraikan tentang proses politik
yang terjadi pada periode itu dilihat dari sudut global m aupun internal
Indonesia.
Penulis juga berusaha menguraikan mengenai sejarah pribadi dari
sejumlah "political actors" yang tersangkut dalam sejarah politik itu,
termasuk dari Ketua PKI, D.N. Aidit.
Untuk generasi zaman sekarang bangsa kita, saya kira perlu dan berguna
untuk baca buku ini. Paling tidak untuk mengetahui bagaimana seorang
Marxis Indonesia memandang Peristiwa G30S dan perkembangan politik
global dari negara-negara Barat pada periode itu. Saya sebagai penulis pada zaman sekarang ini, dapat mengatakan bahwa
semua hal di universum ini tidak statis. Semua hal ihwal mengalami evolusi
yang bersifat biologis dan non-biologis.
Tentu juga ideologi atau filosofi mengalami suatu evolusi yang dapat
diikuti oleh para pemikir dan ilmuwan dari dunia Barat m aupun pemikir
dan ilmuwan dari dunia Timur sepanjang masa.
Karena itu sejarah umat manusia mengenal munculnya serentetan orangorang yang tersohor dan dinyatakan sebagai filosof-filosof baru, di eranya
masing-masing mulai dari Plato, Aristotle, yang telah mempengaruhi jalan
pemikiran para pemikir Barat hampir seribu tahun.
Di samping fenomena perkembangan filosofi tadi itu, ternyata ilmu
pengetahuan atau science secara umum dan technological science khususnya,
ternyata mengalami perkembangan evolusioner yang pesat, malahan lebih
cepat bilion-bilion kali daripada evolusi biologis menurut hukumnya yang
dikatakan oleh Raymond Kurzweil dalam bukunya: The Singulirity is Near
sebagai "The Law of Accelerating Returns"1
Tentu saja Suar Suroso akan melanjutkan menulis buku karya-karyanya
yang baru yang patut dibaca oleh generasi bangsa kita sekarang.
Saya sebagai penulis dalam memberikan tanggapan atas permintaan
penulis Suar Suroso terhadap tulisannya itu, merasa perlu untuk
menyatakan bahwa efek dari permintaannya itu, sangat menyentuh diri saya.
Karena saya serentak sadar bahwa saya sebetulnya tidak pernah langsung
tertarik untuk menjadi penulis seperti saya sekarang ini.
Dalam memenuhi permintaan Suar Suroso ini, anehnya pada diri saya
timbul kebutuhan untuk sekaligus menulis tentang proses terjadinya diri
saya sebagai seorang penulis dalam bentuk dan macam seperti yang saya
peragakan sekarang ini. Yaitu mungkin sebagai suatu produk terakhir dari
proses sejarah pribadi diri saya yang berumur 92 tahun ini.
Mungkin karena latar belakang pendidikan saya itu medis, saya condong
pada permulaan menganalisa keadaan di sekitar saya dari sudut pandangan
psikologis atau psikiatris, di sampingnya juga "biologis modern", sesuai
dengan latar belakang pendidikan saya itu.
Pencerminan dari hal itu dapat dibaca dalam tulisan saya dalam buku
pertama tentang analisa saya terhadap dirinya tokoh-tokoh politik seperti
Soekarno, Hatta, dan Syahrir, dalam periode permulaan sejarah modern
bangsa kita pada periode penjajahan Jepang, menjelang proklamasi
kemerdekaan, dan "pemindahan terpaksa" pemerintah baru RI itu ke
Yogyakarta dahulu itu.
Saya menyatakan bahwa bapak-bapak kita itu pada waktu itu masih
berada dalam suatu situasi mental, yaitu sedang dalam menjalani suasana
"honeymoon" masing-masing, karena mereka ketiga-tiganya baru menikah.
Bahkan Sjahrir baru menikah untuk kedua kalinya, setelah berpisah
dengan istrinya yang perempuan Belanda, dan mendapatkan adik ipar
seorang mahasiswa senior kedokteran teman kita, yaitu Soedjatmoko.
Sedangkan Bung Karno baru dapat menikah dengan Fatmawati setelah
berpisah dengan Ibu Inggit, dan Bung Hatta baru menikah juga.
Kita sebagai mahasiswa kedokteran pada waktu itu mengerti bahwa
mereka bertiga itu berada dalam kondisi psikologis tertentu yang bisa
dikatakan khusus.
Dalam kondisi berat seperti itu, ternyata mereka itu tidak dapat bantuan
yang semestinya dari tokoh-tokoh intelektual yang telah diangkat sebagai
anggota kabinet baru pada waktu itu. Mereka ini adalah hasil dari
pendidikan tinggi di Nederland, negara penjajah bangsa kita. Kelompok
intelektual ini setelah dapat kedudukan dalam kabinet dari pemerintah baru
RI berada dalam keadaan semacam "euphory" atau kegembiraan luar biasa.
Seakan-akan melupakan tugas mereka yang sebetulnya harus dilaksanakan
dengan semangat revolusioner sesuai dengan tuntutan zamannya.
Dalam keadaan mental seperti itu ternyata bisa terjadi kebijakan dan
tindakan yang bisa dinamakan absurd atau kurang tepat.
Termakan oleh psywar musuh, yaitu kolonialis Belanda dan Inggris yang
mewakili Sekutu, mereka mengeluarkan dalam kepanikan. Dekrit 5 Oktober
1945 tentang Berdirinya TKR.
Kemungkinan besar hal itu bisa terjadi karena mereka terpengaruh
psywar dari intelijen pihak Sekutu dan kolonialis Belanda yang dipanikkan
oleh laporan bahwa telah terjadi suatu revolusi besar di kota Surabaya pada
waktu itu.
Suatu hal yang mengagetkan dan menakutkan kolonialis Inggris pada
saat itu adalah dapat terbentuknya kekuatan rakyat bersenjata raksasa di
kota Surabaya itu.
Tapi secara lihai, intelijen Inggris justru memakai kejadian yang
menakutkan mereka itu untuk menyerang dengan tindakan psywar,
pemerintah baru RI itu. Dan taktik mereka itu berhasil.
Pemerintah RI tanpa terlebih dahulu mengirimkan observer untuk menilai
keadaan yang sebenarnya, dalam kepanikannya menggelar langsung rapat
kabinet untuk membicarakan hal itu.Pembicaraan itu boleh dikatakan merupakan suatu diskusi yang
dijalankan oleh kelompok “intelektual tinggi" hasil pendidikan universitas
Negeri Belanda.
Mereka itu terdiri atas orang-orang yang terpilih dengan teliti oleh suatu
tim psikolog yang khusus bertugas untuk menjalankan tugas yang sangat
penting untuk pemerintah kolonialis Belanda. Hasil dari seleksi itu adalah
dapat terbentuknya suatu kelompok calon mahasiswa untuk dimasukkan
dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi atau universitas di beberapa kota
di Nederland. Macam dari lembaga-lembaga itu telah ditentukan oleh suatu
board yang khusus dibentuk untuk keperluan itu jauh sebelumnya.
Yang paling penting dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi di
Nederland itu adalah misalnya Fakultas Indologi yang relatif baru dibentuk
dalam rangka ambisi besar Nederland untuk mencapai terjadinya negara
"Groot Nederland"/Nederland Agung, yang meliputi: negara-induk
Nederland, koloni Hindia-Belanda, Suriname, dan Curacao di benua
Amerika Selatan.
Tidak perlu saya katakan bahwa para intelektual yang terpilih tersebut di
atas, semua harus dijiwai dengan konsep ambisius itu.
Ternyata Van Mook termasuk salah seorang inti dalam pelaksanaan
konsep ini.
Jadi jelas bahwa semua orang yang telah diangkat Bung Karno dalam
kabinet presidentil dan kemudian kelompok yang masuk kabinet Sjahrir
yang pertama itu tadi merupakan kelompok orang intelektual bangsa
Indonesia yang mau tidak mau telah diresapi dengan ambisi besar
pemerintah kolonialis Belanda.
Hal inilah yang disadari oleh kelompok mahasiswa yang independen di
Jakarta dahulu itu. Independen artinya tidak ikut dalam kelompokkelompok yang sudah menggabungkan dirinya kepada tokoh-tokoh politik
tradisional masing-masing pada zaman itu.
Kelompok independen ini misalnya secara tegas berpendirian bahwa:
begitu diproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia, itu berarti bahwa itu
merupakan suatu ultimatum perang terhadap negara kolonialis Kerajaan
Nederland. Arti itu tidak dapat ditawar-tawar oleh negara apa pun juga di
planet ini.
Semangat mendasar itu, tidak dapat diganti dengan surogat berupa
perundingan dalam bentuk apa pun juga.
Jadi dengan sendirinya para pejuang kemerdekaan sebagai konsekuensi
dari telah dinyatakan Proklamasi Kemerdekaan RI, hanya ada dua golongan
pejuang kemerdekaan yaitu:
1) Mereka yang tanpa ragu-ragu merasa berhak untuk merdeka.
2) Golongan mereka yang masih bisa merundingkan dan meminta
pendapat bangsa lain tentang hak kemerdekaannya itu.
Penggolongan ini perlu disadari supaya bangsa kita dapat
menyederhanakan pengertian tentang "Proklamasi Kemerdekaan RI" itu.
Ternyata prinsip itu belum merata di antara tokoh-tokoh yang telah
diangkat dalam kabinet "pemerintahan-initial" RI pada waktu itu.
Hal inilah yang menyebabkan dapat dikeluarkan Dekrit 5 Oktober 1945 itu,
yang ternyata mengakibatkan terjadinya reaksi-berantai yang bersifat sangat
negatif dan terang merugikan dalam jangka panjang. Antara lain memberi
jalan pada tindakan musuh-musuh kemerdekaan rakyat kita untuk
mengadakan subversif secara luas yang bersifat sangat destruktif.
Dekrit 5 Oktober 1945 oleh sementara anggota kabinet dianggap sebagai
suatu usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa
pemerintah baru RI dapat menguasai keadaan yang kacau di Surabaya itu
(kacau dilihat dari sudut pandang imperialis Inggris).
Bapak-bapak pemimpin dalam pemerintah baru RI itu tidak dapat atau
belum sadar bahwa negara-negara Barat yang merasa menang dalam Perang
Dunia ke-2 yang besar itu, sudah mempunyai "master-konsep" sendiri yang
tidak bisa dipengaruhi oleh konsep pemikiran mereka yang boleh dikatakan
naif itu.
Lebih-lebih jika dihubungkan dengan fakta bahwa dekrit itu sama sekali
tidak diikuti oleh suatu konsep militer yang relevan walaupun misalnya
dalam bentuk sederhana yang dapat diterima, dalam tahap perkembangan
politik pada waktu itu.
Sekutu terus melanjutkan melaksanakan konsep mereka yang meliputi
juga nusantara kita. Dalam masalah ini mereka tentunya mendengarkan
suara Belanda dan Inggris yang merasa ikut serta dalam menang dalam
perang besar itu.
Kita bangsa Indonesia, tidak pernah terpaksa untuk secara aktif ikut
dalam perang besar itu, seperti misalnya rakyat India yang dijajah Inggris,
kira-kira hampir sama lamanya seperti bangsa Indonesia dijajah kolonialis
Belanda.
Hal itu terjadi karena Belanda menyerah kepada Jepang tanpa
mengadakan perlawanan dengan tentara-semu KNIL-nya.
Rakyat India yang dijajah Inggris terpaksa harus ikut mengorbankan
dirinya dalam diikutkan perang oleh penjajahnya, yaitu kolonialis Inggris.
Bahkan kesatuan-kesatuan militer Inggris yang terdiri atas suku-suku
bangsa India telah dipaksa Inggris untuk ikut dalam perang besar itu, di
dalam beberapa medan perang di benua Asia dan bahkan juga dapat
dikerahkan oleh Inggris untuk menghadapi arek-arek Soeroboyo yang
bersenjata seusainya PD-2 pada bulan Oktober—November sampai awal
Desember 1945.
Kurang tepatnya penginterpretasian tentang esensi dan dampak jangka
panjang dari Dekrit 5 Oktober 1945 oleh para elite-politik dari semua
kepartaian (termasuk PKI), ternyata dapat menimbulkan penentuan garis
politik partai-partai itu yang kurang atau bahkan tidak tepat. Mereka itu
tidak sadar bahwa Dekrit 5 Oktober itu, telah memberikan kesempatan
kepada eks-opsir KNIL yang selama itu "dormant" dan berada dalam
keadaan frustasi dan demoralisasi yang mendalam, setelah menyerah tanpa
syarat kepada tentara Jepang, untuk malah bisa masuk jajaran tentara RI
secara resmi dan legal berdasarkan Dekrit 5 Oktober 1945 itu.
Malahan mereka dapat dorongan dan bantuan dari Mr. Ali
Sastroamidjojo dan Mr. Amir Sjarifuddin berdasarkan konsep politik pribadi
mereka, sebagai menteri-menteri dalam kabinet pemerintah RI yang baru itu.
Ternyata eks-opsir KNIL hampir semua malahan dapat masuk dalam
eselon yang tertinggi tentara Indonesia seperti di Kementerian Pertahanan
dan di Markas Besar Tentara RI yang sedang berada dalam taraf
pembentukan pada waktu itu.
Para bekas perwira PETA yang baru dilucuti Jepang juga dapat
kesempatan untuk masuk dalam instansi tertinggi tentara Indonesia, yaitu
Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara RI.
Berarti bahwa Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara RI
sudah mulai dari permulaan terbentuknya dapat dimasuki oleh elemenelemen kontra-revolusioner. Bekas opsir KNIL dan bekas perwira PETA
yang tidak revolusioner dan secara pasif menghadapi Jepang bekas atasan mereka
yang sudah kalah perang.
Hal ini tentunya diketahui oleh intelijen Belanda dan intelijen Inggris dan
diteruskan kepada CIA.
Kebanyakan eks-opsir KNIL di Jawa Barat dapat langsung masuk dalam
Divisi Siliwangi yang pimpinannya sudah dapat diinfiltrasi oleh bekas KNIL
Divisi Siliwangi yang bermarkas di kota Bandung.
Jelas sekarang untuk para pembaca bahwa Dekrit 5 Oktober 1945
mempunyai segi yang sangat menguntungkan untuk bekas opsir-opsir KNIL
dan bekas perwira PETA yang sudah berada dalam keadaan frustrasi berat
karena dilucuti Jepang dan kemudian ternyata tidak mempunyai inisiatif
untuk merebut senjata atau tidak mempunyai keberanian moral untuk
melucuti tentara Jepang.
Jadi, bekas KNIL dan bekas perwira PETA berada dalam kondisi moral
yang sama. Keduanya mengalami frustrasi berat, tapi mereka tetap tidak
sadar bahwa mereka berdua mempunyai identitas yang sebenarnya memang
sama yaitu sebagai 'Tentara semu" yang dibentuk oleh bangsa-bangsa asing
yang menjajah bangsa Indonesia, yaitu kolonialis Belanda dan fasis Jepang.
Di samping kesalahan yang fatal itu tadi, elite-politik kepartaian juga
tetap tidak dapat melihat hakikat yang sesungguhnya dari organisasi KNIL
dan PETA.
Kedua kelompok orang yang berseragam dan bersenjata itu adalah
sebetulnya bukan kesatuan tentara yang mempunyai sifat sebagai suatu
bagian dari angkatan bersenjata yang sungguh-sungguh dapat digunakan
untuk perang menghadapi musuh dari luar negeri.
Kedua organisasi militer-semu itu hanya merupakan "tentara-polisi"
untuk menghadapi rakyat di kalangan bawah, yaitu buruh dan petani yang
berontak melawan pemerintah kolonial Belanda dan pejajah fasis Jepang
nanti seandainya dapat bertahan lebih lama lagi di Indonesia.
KNIL sebagai alat penjajah kolonialis Belanda dan PETA sebagai alat
penjajah fasis Jepang kedua-duanya tentu saja harus dididik melawan
komunisme oleh majikannya.
Personel, teristimewa golongan perwiranya, dari kedua organisasi alat
penjajah itu terpilih dan berasal dari kalangan bangsawan atasan dan
menengahan.
Kesalahan dalam menginterpretasi hakikat dan dampak Dekrit 5 Oktober
1945 ini oleh bapak-bapak pejabat pemerintah RI dan elite-politik kepartaian
sangat mempengaruhi proses jalannya politik di RI mulai dari tahun 1945,
Peristiwa Madiun 1948, dan sampai dengan tahun 1950-an, dan terus
berjalan sampai dan sesudah terjadinya G30S yang disusul oleh
terbentuknya orde baru Soeharto yang tidak secara kebetulan memakai
dengan sengaja, opsir dan perwira KNIL dan PETA untuk mempertahankan
kekuasaannya yang karena itu berkualitas sebagai rezim penindas rakyat
dan sangat anti-komunis. Soeharto sendiri pernah bisa dipilih oleh penjajah
Belanda dan Jepang untuk masuk KNIL dan PETA.
Bagian dari sejarah RI ini tentunya diketahui sepenuhnya oleh Cl A yang
dapat input dari intelijen Kerajaan Belanda dan intelijen Kerajaan Inggris.
Tentang dampak jangka panjang yang sangat negatif itu, saya telah
menulis secara terperinci dalam salah satu jilid buku seri saya, yaitu
Pemikiran Militer.
Keadaan seperti yang saya terangkan di atas itu tentu saja dipantau
dengan cermat oleh intelijen kolonialis Belanda dan Inggris dan dengan
sendirinya diteruskan kepada organisasi intelijen Amerika pada waktu itu,
yang kemudian berkembang menjadi Cl A yang lebih sempurna.
Tentang dampak jangka panjang dari Dekrit 5 Oktober 1945 pemerintah
baru RI itu saya kira perlu saya uraikan. Hal ini saya jalankan karena saya
ingat petuah dari seorang pakar strategi perang pada zaman kuno, seorang
bangsa Tionghoa, yang mengatakan: "Untuk bisa menang dalam perang
perlu diingat tiga masalah yang bisa dikatakan dengan sederhana, yaitu:
terutama kenali dirimu sendiri. Kedua, kenali musuhmu; ketiga, kenali
betul-betul medan yang kamu hendak gunakan untuk menggelar seluruh
kekuatan perangmu. Dengan mengenal ketiga masalah itu dengan baik,
kamu mempunyai kemungkinan besar untuk unggul dalam perangmu itu."
Ternyata yang terberat untuk dilaksanakan dari tiga petuah itu adalah
petuah yang pertama, yaitu mengenal sungguh-sungguh objektif dan jujur
pada dirimu sendiri.
Menurut pengalaman saya, memang sangat sukar untuk mengenal diri
sendiri itu. Saya sendiri pernah mengalami proses yang sangat rumit itu
mulai dari kanak-kanak um ur delapan tahun. Saya, oleh bapak saya, disuruh
pada libur panjang musim panas pergi ke rumah eyang kakung saya yang
hidup sebagai petani di pedesaan di daerah Kediri, Jawa Timur.
Kata bapak saya, tujuan untuk menghabiskan libur panjang saya di
rumah eyang kakung itu untuk belajar menemukan jati diri saya.
Apa arti sebetulnya yang disebut bapak saya itu saya tentunya tidak tahu
dan tidak mengerti.
Tidak ada gunanya untuk meminta keterangan lebih lanjut pada waktu
itu. Karena justru karena saya tidak tahu itu saya harus pergi dan
menghabiskan liburan saya di "dalemnya" kakung di pedesaan yang
bersejarah kuno itu.
Saya pada waktu itu sudah ikut organisasi Kepanduan Bangsa
Indonesia/KBI dan saya pergi sendiri dengan berseragam pandu KBI dengan
kereta api dari Surabaya ke Keras. Dari stasiun kecil itu saya masih harus
naik dokar ke Desa Karangtalun, tempat rumah eyang saya itu. Episode
dalam kehidupan saya itu tidak dapat saya lupakan dan membekas begitu
mendalam dalam benak saya sehingga saya dapat menulis novel dua jilid
tentang pengalaman saya sebagai kanak-kanak yang belajar menemukan jati
dirinya.
Novel dua jilid itu berjudul Si Pemburu.
Maaf, saya sedikit menyimpang dan melantur.Masalah mengenal diri dalam arti sempit adalah riwayat kehidupan
pribadi seseorang dan dalam arti luas di dalam rangka strategi perang bukan
merupakan masalah kecil yang dapat begitu saja diremehkan.
Kelompok saya sebagai mahasiswa kedokteran senior independen sering
mendiskusikannya pada waktu menjelang terjadinya Proklamasi
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan sesudah itu.
Seperti yang telah saya uraikan di atas, kelompok kita mengadakan
analisa itu kebanyakan berdasarkan metode yang berhubungan erat dengan
kuliah-kuliah kita di dalam ilmu psikologi dan psikiatri. Kita belum
mengenal cara-cara menganalisa yang lain seperti misalnya secara Marxisme
yang pada waktu itu mulai dipamerkan secara demonstratif oleh orangorang penganut Sjahrir yang terkenal berideologi sosialis, mereka
kebanyakan hidup di gedung kos di Jalan Menteng 31 Jakarta.
Tempat hidup kelompok independen kita adalah kompleks gedung yang
besar dengan halaman depan luas dan mencolok di Jalan Prapatan nomor 10
dekat daerah Pasar Senen Jakarta.
Kelompok kita dalam suatu diskusi pernah mensinyalir bahwa pada
waktu itu suatu penyakit jiwa yaitu Multiple Personality Disease, nampaknya
telah mulai menjangkiti para pemimpin pemerintah baru kita dan juga
beberapa orang mahasiswa teman kita. Bentuk dari kejangkitan itu menurut
diagnosa kelompok kita bisa macam-macam. Untungnya kelompok kita
pada waktu itu masih memandang terjadinya fenomena itu dari sudut
pandang black humor.
Tetapi apakah fenomena adanya kejangkitan penyakit jiwa seperti yang
saya uraikan di atas hanya terjadi di Jakarta di kalangan pimpinan negara
dan di kalangan intelektual yang berasal dari Negeri Belanda dan kalangan
mahasiswa asli Jakarta?
Ternyata jawabannya adalah berdasarkan teori ilmiah: yaitu
kemungkinan besar penyakit penyimpangan jiwa itu mempunyai peluang
untuk terjadi dalam suatu suasana yang sangat tegang atau genting seperti
yang terjadi pada waktu itu di Jakarta menjelang usainya PD II, dan
mungkin juga sebagai akibat dari suatu proses dari "agitasi diri sendiri" yang
terlalu hebat.
Mengapa saya berani mengatakan demikian. Karena saya pernah
menyaksikan fenomena seperti itu pada tahun 1970. Pada waktu itu saya
berada di RRC dalam rangka melaksanakan perintah Panglima Tertinggi
Bung Karno, yaitu: setelah menyelesaikan tugas belajar di lembaga
pendidikan militer tertinggi di Uni Sovyet yaitu di War College Suworov,
saya harus mengadakan peninjauan di RRC dan VietnamPada waktu itu di RRC masih berlangsung dengan hebat RBKP/ Revolusi
Besar Kaum Proletar Tiongkok dan masih berkobarnya Perang Vietnam.
Saya akan persingkat cerita saya ini. Pokoknya pada kunjungan saya di
kota Peking, sekarang Beijing, bertemu dan dapat bicara dengan Jusuf
Adjitorop atau Josef Simanjuntak, seorang mantan anggota CC PKI yang
sedang berobat di kota itu.
Dalam pembicaraan itu saya dapat mengambil kesimpulan bahwa ia itu
menunjukkan gejala penyakit Multiple Personality Disease dalam suatu taraf
yang serius. Hal itu tidak mengherankan saya, karena saya tahu juga bahwa
saya berhadapan dengan seorang pasien sakit lever/hepatitis yang parah.
Di samping itu, J.A. menunjukkan gejala penyakit MPD yang serius juga.
Ia merasa bahwa ia itu seorang pemimpin Partai Komunis Cina. Ia bicara
tentang RRC, sebagai "benteng revolusi" dan tentang RBKP yang perlu harus
dijalankan dalam ucapan yang memperkuat diagnosa saya itu.
Saya pada waktu itu menarik kesimpulan bahwa J.A. itu sama sekali
lupa bahwa PKI belum pernah memegang kekuasaan negara, jadi masih
mempunyai status yang sama seperti partai-partai lain di Indonesia. Jadi
berarti bahwa menjalankan Marxisme oleh PKI tidak bisa mengikuti teorinya
V.I. Lenin atau Mao Zedong yang sudah memegang kekuasaan negara pada
zaman mereka.1
Pada saat itu timbul pikiran pada diri saya bahwa di situ harus antara
lain dicari jawabannya mengapa Peristiwa G30S bisa terjadi.
Jika diringkas, mungkin pemikiran dogmatis seperti itulah yang menjadi
salah satu sebab terjadinya G30S.
Marx dan Engels jika saya tidak salah pernah mengatakan bahwa
ideologi mereka itu bukan merupakan suatu dogma.
Apakah Bung Karno yang menganjurkan orang memakai Marxisme
sebagai cara untuk menganalisa suatu problem, ia sendiri secara konsekuen
memakainya? Bagaimana tentang ide nasakom yang ia sudah pernah
ucapkan pada tahun 1920-an? Apakah suatu ide seperti "bekerja sama
nasakom" dapat secara terlepas dari hubungan spasial dan temporal
digunakan?
Menurut teori politik baru abad 21 dalam buku Andrew Heywood,
Politics, misalnya, dianjurkan untuk dapat dibedakan di antara "facts dan
values".
Apakah ide kerja sama nasakom bisa merupakan suatu fakta yang bisa
dikatakan ilmiah?
Saya kira masalah-masalah seperti ini kita sebagai generasi sekarang
harus tetap tinjau secara scientific berdasarkan teori-teori baru abad-21 yang
ada sekarang di bidang politik, filosofi, dan lain-lain.
Semua hal ihwal dalam universum ini tidak statis tapi berevolusi secara
abadi.
Tapi setelah terjadi Dekrit 5 Oktober 1945, kelompok kita mahasiswa
independen pada waktu itu, mulai memandang fenomena yang terjadi itu
dari sudut pandang yang lebih serius. Karena kita mulai curiga bahwa pihak
musuh mulai menunggangi keadaan dengan kemampuan organisasi
intelijennya. Hal inilah yang dilupakan oleh para tokoh dan elite-kepartaian
pada zaman itu.
Di samping itu saya kira terjadinya bahaya penyimpangan jiwa seperti
gejala penyakit Multiple Personality Disease itu tetap kita masukkan dalam
perhitungan kita.
Untuk menjelaskan keadaan proses perkembangan sejarah pada waktu
itu, saya pikir perlu menggunakan gambaran timeline dari kejadian-kejadian
yang penting dilihat dari sudut ilmiah atau historiografi mulai dari saat
masuknya fasis Jepang di Indonesia.
Melihat timeline dari kejadian sejarah yang penting di atas, jelas bahwa
pada waktu terjadinya proklamasi tidak terjadi sesuatu yang perlu dicatat.
juga pada terjadinya rapat raksasa di Lapangan Ikada di Jakarta tidak terjadi
apa-apa yang patut dicatat dalam sejarah.
Jadi di Jakarta sebagai tempatnya pemerintah RI yang diproklamirkan
pada 17 Agustus 1945, tidak terjadi suatu gejala dari tanda adanya suatu
revolusi dengan model tertentu.
Pada waktu itu semua berjalan normal tanpa adanya gejolak yang dapat
menarik perhatian penduduk kota Jakarta pada umumnya, malahan Bung
Karno dan Bung Hatta masih sempat mengadakan korespondensi dengan
pihak militer Inggris di Jakarta.1
Lain halnya yang terjadi di kota Surabaya. Pada tanggal 19 September
1945 di Surabaya terjadi sesuatu yang menggemparkan seluruh penduduk
kota Surabaya. Yaitu penggagalan usaha kolonialis Belanda untuk
menunjukkan bahwa ia masih berkuasa dan masih dapat menunjukkan
kekuatannya, dengan secara simbolik dan angkuh mengibarkan bendera
kerajaan Belanda di atas gedung hotel di tengah kota Surabaya. Demonstrasi
tetap masih adanya kekuasaan kolonialis Belanda itu gagal karena langsung
dihancur-leburkan oleh tindakan tegas dan tepat dari warga kota Surabaya.
Secara objektif sebetulnya bisa dikatakan bahwa peristiwa penurunan
dan perobekan bendera Kerajaan Belanda yang terjadi pada 19 September
1945 itu adalah suatu insiden berdarah yang dapat dipandang sebagai
permulaan dari revolusi dan perang kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sedangkan 1 Oktober 1945, dengan diserbunya secara massal oleh rakyat
Surabaya dan menyerahnya Markas Besar Kempei Tai di Surabaya sebagai
simbol kekuasaan fasis Jepang itu, dapat dipandang sebagai pelaksanaan
suatu garis proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Bung Karno atas
nama rakyat Indonesia, yang menyatakan supaya ambil alih kekuasaan
dijalankan secara seksama dan dalam waktu yang sesingkatnya.
Penduduk Surabaya secara menyeluruh dengan demikian merupakan
warga RI yang pertama dapat melaksanakan apa yang tercantum dalam
proklamasi kemerdekaan RI yang dibacakan oleh Bung Karno itu.
Mengapa masalah yang bersifat sederhana itu tidak dapat diakui pada
waktu itu oleh bapak-bapak tokoh-tokoh pejabat yang baru diangkat
menjadi anggota kabinet dari pemerintahan yang baru RI?
Malahan rakyat Surabaya dituduh tidak berdisiplin dan mungkin ingin
mendirikan negara sendiri.Saya mengerti bahwa penilaian seperti itu asalnya dari orang-orang yang
tetap tidak dapat atau belum mampu melepaskan belenggu penjajahan
kolonialis Belanda.
Jadi di mana untuk pertama kali terbentuknya tentara dari negara RI itu?
Pada 17 Agustus 1945, PETA yang masih memegang senjata tidak
menyatakan sebagai tentara RI secara spontan.
Pada 22 Agustus, seluruh PETA dapat dikatakan sudah dilucuti oleh
Jepang, dan dapat terlihat pada 19 September, perwira-perwira PETA
nampak berpakaian sipil mirip tokoh-tokoh politik sipil berjalan di samping
kelompok Bung Karno dan Bung Hatta. Nampak jelas dalam foto
dokumentasi itu, eks-Shodanco Mufreni, anggota dari Daidan I di Jakarta di
bawah pimpinan Daidanco Mr. Kasman Singodimedjo (kemudian menjadi
anggota Kabinet Pemerintah RI).
Sedangkan massa raksasa penduduk Jakarta meninggalkan dengan
tenang lapangan Gambir yang besar itu.
Hanya terdengar suara ribuan kaki manusia yang sedang berjalan pada
waktu itu.
Apakah pandangan seperti itu dapat dikatakan sebagai suatu gambaran
adanya terjadi suatu revolusi?
Jika demikian adanya, "kapan sebetulnya dapat dikatakan revolusi
kemerdekaan itu mulai?"
Apa yang saya tulis ini bukan sama sekali suatu usaha untuk mengejek a
la arek Soeroboyo, tapi saya dengan serius mengajak para pembaca
merenungkan hal ini secara ilmiah untuk menemukan kebenarannya dan
bila perlu mengadakan peninjauan ke belakang secara jujur ilmiah.
M udah-mudahan apa yang saya tulis ini dapat memberikan input yang
berguna kepada saudara Suar Suroso
Saya minta maaf atas kesalahan-kesalahan besar dan kecil yang mungkin
terselip dalam tulisan saya ini.
Terima kasih saya ucapkanATAS permintaan penulisnya, saya berusaha untuk memberikan tanggapan
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya terhadap buku Akar dan
Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno.
Buku tersebut sangat baik dan perlu dibaca oleh generasi muda
khususnya generasi penerus yang masih mencintai bangsa dan tanah airnya.
Buku tersebut menyajikan berbagai fakta tentang peranan kaum
kolonialis/imperialis yang penuh kelicikan, baik dalam memecah-belah
bangsa dan menjadikan kaum reaksioner di dalam negeri dalam menjadikan
dan mempertahankan Indonesia negeri jajahan dari zaman kolonialisme
klasik (penjajahan model lama) hingga kolonialisme/imperialisme modern
(penjajahan model atau dalam bentuk baru).
Tulisan Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan
Penggulingan Bung Karno menggambarkan bahwa sejarah perkembangan
masyarakat dan bangsa Indonesia tak pernah terputus dari waktu ke waktu,
dari bentuk satu tahap ke tahap berikutnya.
Gerakan revolusioner rakyat Indonesia yang tumbuh sejak dalam
cengkeraman kolonialis Belanda tak pernah berhenti meskipun berulang kali
menghadapi pukulan-pukulan dan penindasan yang sangat berat.
Perkembangan tersebut terus meningkat, hingga terjadinya syarat-syarat
perubahan dari negeri jajahan menjadi negeri merdeka, yaitu terciptanya
krisis revolusioner yang membuat rakyat secara nasional bangkit melakukan
revolusi hingga berdirinya negara Republik Indonesia. Peristiwa sejarah
tersebut menjadi sangat penting dipelajari oleh kaum revolusioner, bahwa
faktor-faktor objektif itu lahir dan berkembang sebagai suatu keharusan
yang tak dapat direka-reka, sebagaimana krisis yang terjadi di Indonesia dan
di mana pun di dunia. Kita, suka atau tidak suka, inginkan atau tidak, ia
merupakan keharusan yang akan terjadi. Tetapi, revolusi itu akan berjalan
mencapai perspektifnya apabila tampil peranan subjektif yang memimpin
revolusi. Pimpinan revolusi berupa organisasi kelas yang mempunyai
program-program perubahan yang membebaskan negeri dan masyarakat
dari penjajahan. Dari sini, peranan subjektif yang diperlukan tidak bersifat
individual, melainkan secara organisasi yang harus tampil dengan programprogram perubahan mendatang, sehingga rakyat mengetahui ke mana arah
revolusi itu dan rakyat yang terorganisasi memberikan dukungan
sepenuhnya.
Sebagaimana diketahui, kolonialis Belanda sejak bertekuk lutut pada
fasisme Jepang yang menguasai Indonesia, bersekutu dengan imperialisme
Amerika Serikat dan Inggris, hingga kemudian Amerika Serikat
menjatuhkan bom di Hiroshima. Namun demikian, Belanda tidak mengakui
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Dalam hal ini,
kolonialis Belanda bersama Amerika Serikat justru menyusun siasat untuk
menghancurkan kekuatan bersenjata rakyat yang dipimpin oleh kaum
komunis dan kaum revolusioner, dengan berkomplot bersama kaum
reaksioner didikan dan menjadi kaki-tangan kolonialis Belanda sebagai
kekuatan utama di dalam negeri. Siasat licik Belanda berhasil menempatkan
perwira-perwira KNIL memimpin kekuatan bersenjata yang resmi menjadi
TNI. Kemudian melakukan berbagai provokasi hingga terjadinya Peristiwa
Madiun. Siasat imperialis Belanda berhasil menghancurkan kekuatan
bersenjata di bawah pimpinan kaum revolsuioner yang dilanjutkan dengan
pendudukan kembali oleh Belanda melalui agresi militer kedua dan
terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS)
Meskipun secara formal kemudian RIS dibubarkan, tetapi secara riil
kolonialis Belanda berhasil menguasai sebagian teritorial wilayah Indonesia,
yaitu Irian Barat. Secara militer, TNI dikuasai oleh para perwira KNIL yang
kemudian menjadi kaki-tangan setia kaum imperialisme. Selanjutnya, TNI
yang sebagian besar pucuk pimpinannya terdiri dari perwira KNIL itu
berhasil pula melakukan konsolidasi (reorganisasi), terutama setelah
diberlakukannya Dwifungsi ABRI dan menjadi backing para tuan tanah,
sehingga bagaikan membangun negara di dalam negara Republik Indonesia.
Keadaan demikian menjadikan Indonesia masyarakat setengah jajahan dan
setengah feodal.
Dalam keadaan demikian, meskipun dalam politik luar negeri anti
imperialisme tampak demikian hebat dan mendapat dukungan dari Asia—
Afrika dan Amerika Latin yang dipelopori Indonesia di bawah Presiden
Soekarno sehingga membangun kekuatan Nefo, akan tetapi kaum imperialis
melalui kekuatan reaksioner di dalam negeri justru berhasil mengonsolidasi
diri, menguasai, dan memimpin situasi hingga berpuncak pada terjadinya
Peristiwa G30S.
Buku Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan
Bung Karno telah mengupas berbagai rencana kaum imperialis dengan
strategi menguasai (menjajah kembali) Indonesia. Rencana kaum imperialis
dalam menjalankan Perang Dingin dengan strategi global menguasai dunia,
telah berhasil melalui taktik menaklukkan dan menguasai berbagai negeri,
termasuk Indonesia.
Sementara itu, kaum revolusioner Indonesia di bawah pimpinan partai
telah melakukan kesalahan-kesalahan dan memiliki kelemahan-kelemahan
serius di bidang teori, politik, organisasi, dan ideologi.
Kesalahan dan kelemahan ini bukanlah bersifat individu pimpinan partai,
sehingga sangatlah tidak tepat jika ada sementara orang yang
menumpahkannya kepada seseorang pimpinan. Sudah barang tentu,
semakin tinggi kedudukan seseorang dalam pimpinan partai, semakin besar
pula harus memikul tanggung jawab terhadap kesalahan tersebut. Semua itu
telah mereka tebus dengan nyawa dalam memikul tanggung jawab.
Sedangkan mereka yang menyalahkan sana-sini, tidak berbuat sesuatu bagi
rakyat dan bangsanya.
Setelah terjadinya pembantaian besar-besaran terhadap rakyat yang tak
berdosa dan digulingkannya pemerintahan Bung Karno oleh kaum
imperialis melalui kekuatan setianya di dalam negeri, maka dilakukannya
penancapan kakinya di bumi pertiwi, yang menjadikan Indonesia negeri dan
masyarakat jajahan model baru dengan sisa-sisa feodal.
Bagi kaum revolusioner dalam hal ini, kiranya perlu menyatukan
pandangan terhadap materi masyarakat dan negeri Indonesia sebagai hal
pokok. Dengan demikian, akan menemukan jalan akan "apa yang harus
dikerjakan" dan "dari mana dimulai". Tentu dengan berpegang teguh pada
prinsip "Tidak ada satu kelas yang akan melepaskan kekuasaan secara sukarela".
Pembelejetan pelanggaran H AM berat dan kejahatan kemanusiaan oleh
rezim kaki tangan imperialis adalah penting, tapi tidak berilusi mendapat
belas kasihan dan tidak menjadikannya sebagai pekerjaan pokok yang harus
digeluti sepanjang usia.
Demikian tanggapan saya terhadap buku Akar dan Dalang Pembantaian
Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno.
PEMBANTAIAN manusia tak berdosa dan penggulingan Bung Karno
adalah maha-malapetaka menimpa Indonesia di pertengahan abad ke-20. Ini
merupakan halaman hitam sejarah. Bukan saja sejarah Indonesia, bahkan
sejarah dunia. Betapa tidak! Indonesia waktu itu adalah negeri besar kelima
di dunia dalam jumlah penduduk. Rakyat Indonesia yang besar dan beradab
telah jadi korban kebiadaban strategi negara adikuasa. Indonesia yang
cemerlang, mercusuar perjuangan rakyat-rakyat sedunia melawan
kekuasaan lalim imperialisme, berubah wajah jadi pengekor negara adidaya.
Ini dipicu oleh Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Tak sedikit buku ditulis di dalam dan luar negeri mengenai Peristiwa
Gerakan 30 September. Tapi peristiwa itu tetap misterius. Lantang
berkumandang suara mencari dalang. Tapi dalang hanya dicari dengan
berkutit sekitar tindak-tanduk pribadi-pribadi atau kesaksian dan
pengakuan pribadi-pribadi termasuk hasil-hasil pengadilan mahmilub yang
dikendalikan militer. Sedangkan lembaga yang mendunia, yang
mengendalikan pribadi-pribadi itu, bahkan yang merekayasa dan
mengendalikan banyak peristiwa dunia, tidak disinggung. Lebih sayang lagi,
tak terjadi usaha serius membongkar akar malapetaka itu. Maka tak bisa lain.
Peristiwa Gerakan 30 September itu tetap misterius.
Peristiwa ini bukanlah hanya menyangkut Indonesia. Lebih-lebih lagi
bukan hanya menyangkut Bung Karno, PKI, dan Angkatan Darat. Ini terjadi
dalam dunia yang sedang dilanda Perang Dingin. Indonesia sedang jadi
sasaran Perang Dingin. Para pelaku, jagal-jagal pembantai manusia sampai
para pelaku penggulingan Bung Karno hanyalah eksekutor, pelaksana sadar
atau tidak sadar dari strategi Perang Dingin, yaitu pembasmian kaum
komunis di mana saja muncul, termasuk pembasmian atas kaum komunis
Indonesia; strategi yang bertujuan membikin punah PKI di Indonesia untukselama-lamanya. Maka akar peristiwa ini tidaklah terdapat di Indonesia.
Hanyalah dengan mengupas secara menyeluruh, mengupas saling
hubungannya dengan dunia yang sedang dilanda Perang Dingin, barulah
bisa membongkar akar dan menemukan dalangnya, barulah jelas-jemelas
hakikat sesungguhnya peristiwa itu. Maka akan jelas, bahwa peristiwa itu
bukanlah misteri. Demi tujuan inilah, penulis mempersembahkan kepada
pembaca buku Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan
Penggulingan Bung Karno ini.
Penulis sangat berterima kasih pada editor. Bung Koesalah Soebagyo
Toer, yang sudah mengedit naskah dan mengusahakan penerbitannya, serta
menyumbangkan tulisan Sekapur Sirih menyambut terbitnya buku ini. Juga
terima kasih pada Bung Ibrahim Isa yang bermurah hati memberi kata
Sambutan yang sangat inspiratif. Demikian pula kepada Bung Nurman yang
menyumbang dengan tanggapan dan kata Sambutan yang ikut memberi
bobot pada buku ini. Dan terima kasih khusus saya sampaikan pada Pak
Hario Kecik, Purnawirawan Brigjen. TNI, mantan Panglima Daerah Militer
Kalimantan Timur, dengan tanggapan beliau sebanyak 20 halaman kwarto,
yang selengkapnya dimuat sebagai Sambutan, sedangkan bagian yang
bersifat masukan, yaitu yang menyangkut paparan sejarah periode awal
Revolusi Agustus, terutama mengenai Dekrit 5 Oktober 1945 dalam hubungan
dengan pembangunan kekuatan bersenjata RI, dipakai penulis untuk
menyempurnakan Bab VIII naskah bagian subjudul: 7. Dari Tentara
Keselamatan Rakyat (TKR), Jadi Pasukan Anti Ajaran Bung Karno dan Jadi
Pembasmi Komunis.
Di samping menggunakan masukan dari Pak Hario Kecik ini, subjudul
tersebut dilengkapi dengan bahan dari Doktrin TNI-Angkatan Darat Tri
Ubaya Shakti, hasil Seminar ke-2 Angkatan Darat, 25 s/d 31 Agustus 1966 di
Grha Wiyata Yudha / Seskoad Bandung, yang Mukadimah-nya antara lain
menyatakan Komunisme, Marxisme-Leninisme, Maoisme adalah bertentangan
dengan Pancasila.
Menyangkut sejarah PKI, penulis menggunakan sejumlah kutipan dari
Manuskrip 45 Tahun PKI, hasil riset Lembaga Sejarah PKI yang belum
diterbitkan. Karena itu, terima kasih khusus saya sampaikan pada Pak
Utomo Sumaun, Ketua Umum LPRKROB, salah seorang sekretaris dari
Lembaga Sejarah PKI, yang juga telah menulis kata Sambutan yang memberi
bobot tambahan bagi buku ini.
Dan tak lupa, terima kasih khusus disampaikan pada Bung Bilven yang
berkat perhatian dan bantuannya. Penerbit Ultimus telah berjasa dengan
berhasil menerbitkan buku ini.
M udah-mudahan buku ini bisa jadi sekedar sumbangsih bagi merintis
usaha membuka kunci misteri Peristiwa G30S, membongkar akar dan
membikin telanjang dalang maha-malapetaka yang telah melanda bangsa
Indonesia, dalam usaha besar memaparkan sejarah berdasarkan pandangan
yang menyeluruh, cari kebenaran dari kenyataan. Semoga buku ini bisa jadi
secercah urun demi membebaskan bangsa kita dari pembodohan yang
berlangsung di bawah kekuasaan rezim militeris orba Soeharto lewat
tulisan-tulisan sejarah yang menyesatkan.
Kepada para pembaca yang berkenan memberi kesan dan kritik-kritik,
penulis mengucapkan banyak terima kasih.