Selasa, 11 Februari 2025

penggulingan sukarno 10


 at", "adanya dewan jenderal yang mau kudeta", 

"PKI akan merebut kekuasaan". Semua menjurus ke arah terciptanya syarat 

bagi Angkatan Darat untuk bertindak drastis terhadap PKI yang merupakan 

hantu bagi Amerika Serikat.




N S C—"Politbiro Perang Dingin"—memainkan peranan menentukan, adalah 

dalang dalam pengendalian usaha pembasmian kekuatan kiri Indonesia. 

IVSC-lah yang merekayasa, menetapkan berbagai langkah dan tindakan yang 

harus diambil. Di samping memperkuat kerja sama dengan Angkatan Darat 

dan meningkatkan perlawanan terhadap PKI, maka kesimpulan lainnya dari 

NSC, yang sangat penting adalah menciptakan dasar untuk bisa bertindak

represif terhadap PKI. Dalam bulan Maret 1965, Duta Besar AS, Jones, 

menyatakan pada seorang pejabat tinggi Amerika Serikat, "Menurut 

pandangan kami, tentu saja, sebuah usaha coup yang gagal dari PKI akan 

membikin perkembangan efektif untuk memulai penjungkir-balikan 

kecenderungan-kecenderungan politik di Indonesia—di mana Angkatan 

Darat bisa bebas untuk membasmi kaum komunis — "1

"Setahun sebelumnya. Duta Besar Jones sudah mencoba mendorong 

Nasution, supaya Angkatan Darat mengambil masalah-masalah dalam 

tangannya untuk melawan PKI.Aswi Warman Adam menulis, "'Dalam situasi yang panas ini bergulir 

isu Dewan Djenderal, Dokumen Gilchrist, dan rumor sakitnya Presiden 

Soekarno. Ketiga hal ini mungkin saja dimunculkan oleh pihak yang 

berkepentingan dengan konstelasi politik Indonesia. Asumsinya adalah 

pertama, AS takut PKI berkuasa dan tidak suka kepada Soekarno; kedua, tidak 

mau secara langsung mengambil kekuasaan dari Bung Karno karena tidak 

akan didukung rakyat; ketiga, PKI memiliki massa untuk berdemonstrasi, 

tetapi tidak punya pasukan dan senjata untuk berontak. Salah satu skenario 

AS—ternyata efektif—adalah memprovokasikan PKI melakukan suatu 

gerakan yang kemudian ditumpas oleh tentara dan pada saat yang sama 

Soekarno digerogoti kekuatannya." [Aswi Warman Adam, 1965: Orang

Orang di Balik Tragedi, Penerbit Galangpress, Yogyakarta, 2009, hal.viii].

21 September 1965, Galbraith mengirim memorandum ke Kementerian 

Luar Negeri AS yang antara lain berisikan: "Kesimpulan kami mengenai 

Soekarno adalah: dia sedang mendorong negerinya menjadi dikuasai oleh 

kaum komunis, ... dan ... jika kian lama dia berkuasa, kian mendekatlah 

Indonesia mencapai tujuan ini ... oleh karena itu segala sesuatu yang 

membikin Soekarno kian nyaman dan memperpanjang usianya tidaklah 

menjadi kepentingan Amerika Serikat."1

Jauh sebelum itu, pada tanggal 23 April 1965, dalam surat kepada 

Asisten Menlu Urusan Timur Jauh, William Bundy, Dubes Howard Jones 

menyatakan bahwa dia "mengetahui rencana rahasia untuk suatu kudeta di 

sini dan menulis kepada anda untuk memberitahukan anda kemungkinan 

tersebut." Jones menyatakan bahwa dia telah memberitahu hanya pada satu 

orang lain di Jakarta, Edward Masters, Kepala Seksi Politik Kedubes, 

"karena segala indikasi yang menyangkut pemerintah AS juga bisa 

merupakan ciuman maut tidak hanya terhadap usaha itu sendiri, namun 

terhadap orang-orang yang terlibat." Jones menjamin Bundy bahwa 

informasinya berdasarkan "kontak pribadi dengan salah seorang pemimpin 

kelompok kudeta tersebut yang mewakili elemen-elemen sipil dan militer 

yang penting." [Johnson Library, National Security File, Country File, 

Indonesia, Vol.IV, Memos. 3/65—9/65].

Di bidang internasional, pejabat Amerika menilai Indonesia bagaikan 

virus, khawatir akan pengaruh Indonesia yang giat mempropagandakan 

persatuan berporoskan nasakom. Dalam sebuah telegram dinyatakan bahwa 

"Pemerintah Indonesia sekarang ini telah menjadi sangat bermusuhan 

dengan apa yang paling pemerintah AS upayakan secara internasional saatini. Bila virus Indonesia diikuti dan menyebar di dalam dunia AA ini akan 

menjadi front pendobrak tersembunyi bagi komunisme internasional. 

Konsep koalisi 'nasakom internasional' dapat menjadi alat nyata bagi Cina 

komunis dan tidak diragukan memiliki lebih banyak daya tarik di dalam 

Islam-Timur Tengah yang terjepit ketimbang jenis revolusi penuh kekerasan 

yang menjadi arahnya komunis yang murni tanpa kompromi." [Telegram 

dari Kedubes di Jakarta untuk State Department 2641. Embtel 2640, Jakarta, 5 

Juni 1965. 0825Z].

Usaha-usaha memprovokasi PKI agar terperosok mengambil sikap untuk 

menjadi oposisi terhadap pemerintah, tidak berhasil. Berbagai kebijaksanaan 

pemerintah yang menekan atau merugikan PKI telah dihadapi oleh 

pimpinan PKI dengan cara menghindari konflik terbuka dengan pemerintah. 

Lebih-lebih lagi dengan Angkatan Darat. Dalam keadaan pimpinan 

Angkatan Darat mengambil langkah-langkah mendukung atau mensponsori 

pembentukan badan-badan atau organisasi-organisasi anti-komunis seperti 

Liga Demokrasi SOKSI, Manikebu, BPS; PKI mengambil langkah menghindari 

konflik dengan Angkatan Darat. Bahkan PKI mengangkat semboyan 

"mengeratkan hubungan dwitunggal rakyat dengan angkatan bersenjata", 

"Angkatan Bersenjata RI bukanlah angkatan bersenjata yang reaksioner", 

"Angkatan Bersenjata RI adalah anak rakyat", "ABRI lahir dari revolusi". Dalam 

PKI sendiri ditegakkan kepercayaan, bahwa tentara adalah anak rakyat yang 

bersenjata. Tak ditanamkan kecurigaan sedikit pun terhadap Angkatan 

Darat. Bahkan dibangun semangat ingin kerja sama dengan Angkatan Darat. 

Pada awal tahun enam puluhan, dengan lancar organisasi-organisasi massa 

di bawah pimpinan PKI aktif dalam pembentukan organisasi-organisasi 

kerja sama dengan militer seperti Badan Kerjasama Pemuda Militer (BKSPM),

Badan Kerjasama Buruh Militer (BKS Bumil), Badan Kerjasama Wanita Militer. Ini 

semua mengabdi kepada strategi PKI dengan jalan damai meneruskan revolusi

sampai selesai..

Jalan damai meneruskan revolusi ini mempunyai akar yang dalam pada 

PKI. Mengenai jalan revolusi, pada tahun 1953, Aidit menulis bahwa "Jalan 

Mao Tse-tung adalah satu-satunya jalan bagi revolusi Indonesia". "Tetapi 

jalan ini baru berguna, jika kita berhasil mempersatukannya dengan praktik 

yang konkret daripada revolusi Indonesia. Inilah yang kita maksudkan, 

bahwa revolusi Indonesia mempunyai jalannya sendiri. Ini berarti, bahwa 

kita harus banyak mempelajari Mao Tse-tung dan lebih banyak lagi 

mempelajari sifat-sifat nasional yang khusus dari negeri kita." Aidit 

menganjurkan supaya "kita harus belajar dari Kawan Mao Tse-tung tentang 

kelas-kelas dalam masyarakat, tentang tenaga pendorong dalam revolusi.tentang hegemoni proletariat, tentang pertumbuhan revolusi borjuis￾demokratis menjadi revolusi sosialis, tentang rol partai komunis dalam 

perjuangan besar seluruh rakyat dan tentang hubungan erat antara partai 

dengan m assa/'1

Menurut Stalin, Djalan Mao Tse-tung adalah jalan kemenangan revolusi 

Tiongkok, "revolusi bersenjata melawan kontra-revolusi bersenjata. Ini 

adalah salah satu kekhususan revolusi Tiongkok dan juga salah satu 

keunggulan revolusi Tiongkok."2

Mao Zedong mengajarkan, jalan revolusi Tiongkok adalah jalan revolusi 

"dari desa mengepung kota"; "jalan Gunung Cingkang", yaitu "kekuasaan 

politik lahir dari laras senapan". Revolusi Tiongkok dimenangkan dengan 

pelaksanaan tiga senjata utama revolusi Tiongkok, yaitu adanya "partai 

yang berdisiplin, yang dipersenjatai dengan teori Marxisme-Leninisme, yang 

menggunakan metode otokritik dan yang berhubungan dengan massa 

rakyat; tentara di bawah pimpinan partai yang demikian; front persatuan 

dari semua kelas revolusioner dan semua golongan revolusioner di bawah 

pimpinan partai yang demikian."3

Kemenangan Revolusi Tiongkok tak ayal lagi sangat mengilhami kaum 

komunis Indonesia. Di kalangan kader PKI ada usaha untuk belajar dari 

pengalaman revolusi Tiongkok. Awal tahun lima puluhan sudah 

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sejumlah karya Mao Tsetung, juga 

beredar terbitan bahasa Inggris atau Belanda: Masalah-Masalah Strategi

Peperangan Revolusioner Tiongkok; Tentang Praktik, Tentang Kontradiksi,

Pengantar Kata 'Komunis', Mengapa Kekuasaan Merah Tiongkok Dapat Hidup?,

Pidato di Depan Sidang Perundingan Seni-Sastra di Yenan, Membetulkan Pikiran

Yang Keliru di Dalam Partai, dan lain-lain. Sesuai dengan syarat-syarat sejarah 

konkret Indonesia pada waktu itu, dalam belajar dari revolusi Tiongkok, PKI

meninggalkan "jalan revolusi bersenjata" dan menempuh jalan damai, jalan

parlementer. Jalan damai ini membimbing semua kegiatan PKI demi 

penyelesaian revolusi Agustus.

Dalam Kongres Nasional V PKI, 1954, dirumuskan bahwa "seluruh 

pekerjaan PKI didasarkan atas teori-teori Marx, Engels, Lenin, Stalin, dan

Pikiran Mao Tsetung, serta Koreksi Besar Musso."

"Revolusi Indonesia dalam tingkat sekarang adalah revolusi demokrasi 

rakyat, yaitu revolusi daripada massa rakyat yang luas, yang dipimpin oleh 

proletariat dan ditujukan untuk melawan imperialisme, feodalisme, dan 

kaum borjuis komprador."1

Dinyatakan bahwa PKI berjuang untuk mewujudkan satu pemerintah 

demokrasi rakyat, yang mendasarkan dirinya atas massa, suatu pemerintah 

front persatuan nasional yang dibentuk atas dasar persekutuan kaum buruh 

dan kaum tani di bawah pimpinan kelas buruh. Pemerintah ini tidak 

merupakan diktator proletariat, melainkan pemerintah diktator rakyat. Ia 

tidak melakukan perubahan-perubahan sosialis, melainkan perubahan￾perubahan demokratis, yang mampu menjamin kemerdekaan nasional serta 

perkembangannya melalui jalan demokrasi dan kemajuan.

Pelaksanaan putusan-putusan Kongres Nasional V telah membawa PKI 

mencapai kemenangan gemilang dalam pemilihan umum pertama 1955 di 

Indonesia. PKI tampil jadi partai nomor empat, menyusul Masyumi, PNI, 

dan NU. Pemilihan-pemilihan umum daerah yang berlangsung tahun 1957 

menghasilkan PKI tampil sebagai partai terbesar di seluruh Indonesia. Jalan 

damai, jalan parlementer yang ditempuh pimpinan PKI nampaknya 

memberi harapan bagi masuknya PKI dalam kekuasaan negara RI. Dari 

pengalaman empiris menjelang tahun enam puluhan, adalah benar 

kesimpulan Richard Nixon, bahwa memang sulit untuk mengalahkan PKI lewat

pemilihan umum. Lebih-lebih lagi setelah Presiden Soekarno tampil dengan 

Konsepsi Presiden mengenai pembentukan kabinet gotong-royong, di mana 

wakil PKI ikut dalam kabinet. Ditambah lagi dengan Manipol dan Usdek serta 

gagasan persatuan nasional berporoskan nasakom, PKI sudah diberi dasar 

politik yang sangat kuat untuk memiliki hak sah m enduduki kursi 

pemerintahan. Bahkan dalam pengaturan kembali susunan kabinet Januari 

1965, D.N. Aidit jadi Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS, Njoto 

kemudian menjadi menteri negara diperbantukan pada presidium kabinet, Ir. 

Sakirman menjadi Wakil Ketua Depernas, dan di sejumlah provinsi wakil￾wakil PKI atau simpatisan PKI sampai menduduki kedudukan wakil 

gubernur. Dalam kabinet sudah masuk tokoh-tokoh Partindo seperti Oey 

Tjoe Tat, Armunanto, juga tokoh lainnya, Ir. Setiadi Reksodipuro, A. 

Astrawinata, S.H., dan lain-lain. Demikian pula di tingkat kabupaten dan 

kota-kota besar, terdapat pimpinan PKI yang tampil menjadi bupati sertawalikota dan wakil walikota. PKI mendemonstrasikan sukses-suksesnya 

yang gemilang dalam menempuh jalan damai menuju ke puncak kekuasaan 

negara. Ini bisa terjadi dalam kondisi khusus Indonesia, terutama dengan 

adanya faktor Soekarno sebagai presiden yang bercita-cita membangun 

sosialisme di Indonesia. Gagasan-gagasan Soekarno membangun sosialisme 

Indonesia dan politik luar negerinya adalah sehaluan dengan isi program 

dan politik PKI. Karena itu mendapat dukungan sepenuhnya dari PKI. 

Walaupun rintangan besar dan kuat dari golongan komunisto-fobi dan 

perwira-perwira kanan Angkatan Darat untuk mencegah masuknya PKI 

dalam pemerintah pusat, Soekarno mengambil langkah-langkah yang 

memberi jalan bagi masuknya PKI sesuai dengan gagasannya persatuan 

nasional berporoskan nasakom. Dalam pada itu, kekuatan anti-komunis 

mendapat pukulan keras dengan putusan-putusan Bung Karno 

membubarkan PSI-Masyumi karena mendukung pemberontakan PRRI— 

Permesta, membubarkan dan melarang badan-badan, organisasi-organisasi 

atau gerakan-gerakan anti-komunis seperti Liga Demokrasi, Manikebu, 

Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme, dan Partai Murba. Dan surat￾surat kabar yang membawakan suara Perang Dingin, yaitu komunisto-fobi 

dilarang terbit. Maka perkembangan ini adalah cocok dengan isi 

memorandum Galbraith ke Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dalam 

menilai Soekarno. Tak pelak lagi, di mata penguasa Amerika Serikat, Soekarno

harus disingkirkan.

Bung Karno dan PKI kian tinggi mengangkat semboyan anti-Amerika. 

Puncak-puncak anti-Amerika ini termanifestasi dalam bentakan Bung Karno: 

"go to hell with your aids" terhadap bantuan Amerika Serikat, pengusiran 

Peace Corps dari Indonesia, tindakan terhadap Ampai dan Bill Palmer, 

Indonesia menarik diri dari keanggotaan International Olympic Committee

yang dikuasai Amerika Serikat, Bung Karno memutuskan untuk Indonesia 

menarik diri dari keanggotaan PBB karena Amerika mendukung masuknya 

Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB, Bung Karno mengajukan 

gagasan dan mengambil langkah-langkah untuk penyelenggaraan Conefo,

konferensi negara-negara Nefo dan pengambil-alihan berbagai maskapai 

milik kapital Amerika.

Semenjak awal tahun 1965, suasana tegang kian mencengkam Indonesia. 

Situasi internasional juga sangat tegang. Kampanye mengganyang Malaysia 

merupakan satu unsur meningkatkan ketegangan-ketegangan di Indonesia. 

Dalam pada itu, Indonesia, terutama Bung Karno sibuk mengusahakan 

suksesnya Konferensi Asia-Afrika kedua di Aljazair.

23 Juni 1965, dengan susunan delegasi Nasakom, Bung Karno memimpin

delegasi Indonesia berangkat ke Kairo untuk menuju Aljazair. Pada saat 

akan berlangsungnya sidang menteri-menteri luar negeri yang

mempersiapkan Konferensi Tingkat Tinggi dan pembukaan Konferensi A-A 

kedua itu, terjadilah coup di Aljazair. Menteri Pertahanan Huari 

Boumedienne menggulingkan Presiden Ben Belia. Maka terpaksa Konferensi 

A-A II ditunda. Dalam proses persiapan Konferensi A-A kedua inilah, 

Indonesia dengan gigih berkampanye mengganyang Malaysia.

Brian May menulis, "Ketika Soekarno melancarkan konfrontasi terhadap 

Malaysia, dia tidak hanya didukung oleh semua partai politik, tapi juga oleh 

pimpinan Angkatan Darat, yang waktu itu juga takut akan imperialisme 

Barat. Jenderal Nasution mengingatkan (dalam wawancaranya kepada Brian 

May pada Januari 1973) bahwa dalam pemberontakan-pemberontakan 

daerah, seorang pilot Amerika Serikat, Allan Pope, tertangkap ditembak 

jatuh ketika melakukan pemboman di Ambon dalam bulan April 1958 yang 

bertolak-terbang dari lapangan Clark, pangkalan udara Amerika Serikat 

dekat Manila. Nasution mengatakan bahwa Angkatan Darat menganggap 

pangkalan-pangkalan Inggris di sekitar Selat Malaka adalah ancaman￾ancaman semenjak tahun-tahun pertama RI."1

"Bagi Indonesia, pembentukan Malaysia berarti terkonsolidasinya 

kekuatan militer Inggris di depan pintu tangganya. Soekarno dan Angkatan 

Darat mencurigai Inggris, sebagaimana Amerika Serikat yang sudah 

membantu pemberontak-pemberontak daerah."2

Kampanye mengganyang Malaysia ikut menciptakan suasana tegang. 

Dalam keadaan sekian lama suasana tegang di Indonesia, "komplotan￾komplotan berkecamuk. Sudah enam kali usaha membunuh Soekarno 

dilakukan. Adalah beralasan untuk mencurigai, walaupun bukti-bukti 

hanyalah berupa tidak langsung, bahwa di antaranya CIA telah memainkan 

peranannya." 3

Hubungan antara Soekarno dan pimpinan Angkatan Darat, terutama T.B. 

Simatupang dan A.H. Nasution senantiasa tidak harmonis semenjak awal 

sejarah Republik Indonesia. Ketegangan pernah berkembang hingga menjadi 

"serangan yang paling mengagumkan yang nampaknya bagaikan satu 

percobaan coup pada 17 Oktober 1952, ketika perwira-perwira Angkatan 

Darat mengorganisasi demonstrasi massal, membariskan tank-tank di depan 

istana presiden dan mencoba memaksa Soekarno untuk membubarkan

parlemen. Soekarno menjawab, bahwa dia tidak bisa bertindak tanpa 

berkonsultasi dengan kabinet. Dalam batas-batas bahwa peristiwa ini sangat 

aneh dan rumit, kejadian ini adalah satu prototipe dari putsch 1 Oktober 

1965."1

Pemberontakan-pemberontakan daerah, hingga memuncak sampai 

berdirinya republik tandingan PRRI—Permesta adalah hasil tindak-tanduk 

perwira-perwira Angkatan Darat yang mendapat dukugan CIA untuk 

melawan Soekarno.

Ketegangan-ketegangan kian memuncak di Indonesia. Perang syaraf 

berlangsung dengan berbagai kampanye yang mengacaukan masyarakat 

berupa: berita Bung Karno sakit berat. Bung Karno akan meletakkan jabatan, 

adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan coup, bahaya PKI akan 

melakukan coup, dan sebagainya. Ini terjadi pada saat Perang Dingin kian 

berkecamuk di Asia. Amerika sedang meningkatkan perluasan Perang 

Vietnam. Amerika melakukan pemboman besar-besaran atas Vietnam Utara. 

Di Vietnam Selatan berlangsung berkali-kali coup yang direkayasa oleh CIA. 

Coup-coup ini bertujuan mendirikan pemerintah anti-komunis untuk 

melawan dan membasmi kaum komunis Vietnam Utara. The New York Times

7 November 1963 memaparkan, bahwa 1 November berlangsung coup d'etat

di Saigon. "Setiap orang di Saigon tahu, bahwa duta besar baru Amerika, 

Cabot Lodge, adalah tak menyenangi keluarga Ngo yang berkuasa, yang 

dianggap tak mampu memenangkan perang di Vietnam.... Ketika Ngo Dinh 

Diem menilpon Dubes Cabot Lodge, dubes menyatakan bahwa dia 

memperhatikan keselamatan presiden dan bahwa dia akan berbuat sebisa 

mungkin untuk menjamin pelayanan yang korek terhadap presiden dan 

keluarga. Paginya pasukan marinir menyerbu istana presiden, tapi Ngo Dinh 

Diem dan Ngo Dinh Nu sudah lenyap." Coup d'etat ini dilancarkan oleh satu 

'Dewan jenderal' yang segera mengumumkan berdirinya 'Dewan Militer

Revolusioner' di bawah pimpinan jenderal Duong Van Minh, Tran Van Don, 

dan Ton That Dinh, yang semulanya adalah pendukung Ngo Dinh Diem."2

30 Januari 1964, jam 03:30 pagi. Jenderal Nguyen Khanh seorang perwira 

yang hampir-hampir tak dikenal, bersama Kolonel Cao Van Vien dan 

Kolonel Nguyen Chanh Thi menggulingkan 'Dewan Militer Revolusioner'.

Dalam tempo kurang dari 90 hari, di Saigon berlangsung dua kali coup d'etat.

Sebelum terjadinya coup d'etat yang berturut-turut ini, koran Times of Vietnam

menulis artikel dengan judul "ClA membiayai coup d'etat yang berlangsung 

Hari Rabu yang lalu". Antara lain dipaparkan bahwa "grup agen-agen Cl A 

yang mengendalikan USIS, m undur bersembunyi, menyiarkan pesan-pesan 

rahasia yang menyerukan supaya Angkatan Darat Republik melancarkan 

unjuk kekuatan yang akan melancarkan coup d'etat.... Jutaan warga Amerika 

percaya pada pikiran para pemimpinnya bahwa kebebasan dan kedaulatan 

nasional mereka akan lenyap, jika mereka membiarkan Vietnam jatuh ke 

tangan komunis".

"Coup d'etat penggulingan Ngo Dinh Diem sudah lama dipersiapkan, 

tapi syarat-syarat untuk mewujudkannya belum ada. Diperlukan kuda 

tunggangan baru yang lebih setia dan lebih 'm am pu' dari Ngo Dinh Diem, 

dan yang lebih tak kenal kompromis."1

Buletin Informasi, mingguan Partai Demokrat Amerika, tanggal 11 

November 1967 menyatakan, bahwa coup d'etat itu sudah dipersiapkan 

selama dua tahun, dan bahwa 'lam pu hijau' sudah diberikan kepada Duong 

Van Minh oleh Jenderal Taylor ketika dia mampir di Saigon dalam bulan 

Oktober 1961. Penggulingan Ngo Dinh Diem tak memenuhi harapan 

Amerika Serikat. MacNamara menyatakan di depan Kongres pada tanggal 

27 Januari 1964 bahwa "perang melawan kaum komunis di Vietnam Selatan 

berubah menjadi lebih jelek, karena kenyataan Ngo Dinh Diem telah 

digulingkan.... Amerika Serikat sudah siap mengambil semua langkah 

untuk memastikan mencegah kemenangan bagi kaum komunis."

"Salah satu dari langkah yang dimaksudkan telah diwujudkan tiga hari 

kemudian, yaitu tanggal 30 Januari 1964, jam 03:30 pagi." Pada hari yang 

sama UPI mengawatkan berita bahwa sudah diketahui dengan baik. Jenderal 

Nguyen Khanh bekerja sama erat dengan pejabat Amerika pada teritorium 

militer pertama Vietnam Selatan, yang sudah menasihatinya agar 

melancarkan coup d'etat ini untuk mereorganisasi 'Dewan Militer Revolusioner'.

Sesuai dengan harapan Amerika Serikat untuk membasmi kaum komunis di 

Vietnam, dua hari sesudah merebut kekuasaan, 1 Februari 1964, Ketua 

Dewan Militer Revolusioner, Nguyen Khanh, mengumumkan Dekrit No.93 

yang menyatakan kaum komunis dan netralis berada di luar hukum. Dengan satu 

dekrit dari Ketua Dewan Militer Revolusioner, kaum komunis dan netralis 

dijadikan musuh negara yang harus dibasmi. Mengenai coup ini, UPI 

menulis: "Tak cukup hanya dengan memberi nasihat, pejabat Amerika 

mengikuti peristiwa itu secara langsung, hingga pada malam Rabu itu "Duta 

Besar Cabot Lodge sudah mengetahui akan berlangsungnya perebutan

kekuasaan/'1

Sebuah berita kawat dari AP tanggal 31 Januari 1964 menyatakan bahwa 

sebelum berlangsungnya pemberontakan. Presiden Johnson sudah 

diberitahu.

Vietnam Selatan bukanlah negeri pertama yang menjadi medan 

perebutan kekuasaan dengan rekayasa Cl A. Tahun 1954, Amerika Serikat 

mendalangi penggulingan pemerintah Jacobo Arbenz hasil pemilihan umum 

Guatemala, digantikan oleh Castillo Armaz hasil didikan akademi militer 

Amerika. Di Korea Selatan berlangsung penggulingan Syngh Man Rhee 

digantikan Park Chung Hi yang lebih bisa diperalat Amerika, di Thailand 

berlangsung coup d'etat atas Phibul Songram digantikan oleh Sarit Thanarat 

yang sangat pro-Amerika. Patrice Lumumba yang memimpin revolusi 

Kongo sampai menang, digulingkan dengan rekayasa CIA, hingga naik 

panggungnya agen CIA, Joseph Mobutu, yang kemudian menjadi Mobutu 

Sese Seko, dan jadi diktator sampai tahun 90-an. Dalam beberapa bulan 

antara Juli dan Oktober 1963 berlangsung penggulingan pemerintah di 

Ekuador, Republik Dominika, dan Honduras. 17 November 1963 

berlangsung coup d'etat oleh militer atas pemerintah Norodom Sihanouk. 

Silih berganti berlangsung coup demi coup di berbagai negeri. Semua tak 

lepas dari tindak-tanduk CIA membasmi unsur yang dinilai memihak pada 

komunisme atau tak menguntungkan bagi Amerika Serikat. Inilah salah satu 

ciri operasi melaksanakan the policy of containment—pembendungan 

komunisme—Perang Dingin yang dikobarkan Amerika Serikat.

Dengan perkembangan situasi di Indocina, Amerika khawatir akan 

terwujudnya "teori domino", yaitu jatuhnya Vietnam Selatan ke bawah 

kekuasaan komunis yang akan diikuti oleh jatuhnya berbagai negara Asia 

Tenggara lainnya ke tangan komunis. Lebih-lebih lagi, telah dibayangkan 

jatuhnya Indonesia ke tangan komunis. Maka usaha Perang Dingin,

membendung dan membasmi komunis kian dahsyat melanda Asia Tenggara. 

Terutama di Indonesia. Soekarno harus disingkirkan! Semua aparat Perang

Dingin berjaya di Indonesia. Sesudah melalui masa panjang berlangsung 

kegiatan aparat-aparat RAND Corporation, Ford Foundation, datang giliran 

agen-agen CL4, Kubu Soeharto —CIA, sarjana-sarjana Mafia Berkeley, pejabat￾pejabat Kedutaan AS, badan-badan intelijen asing termasuk MI6 Inggris, 

media pers internasional, dan dalam negeri yang komunisto-fobi, semua 

oknum komunisto-fobi, dan Soekarno-fobi, berkecamuk memainkan 

peranannya masing-masing. Sadar atau tidak sadar telah hanyut dalam arus

Perang Dingin. Pada akhir 1964, "seorang pejabat intelijen Belanda dalam 

NATO mengatakan, bahwa badan-badan intelijen Barat akan melaksanakan 

'satu coup komunis yang prematur .... (yang pasti akan) ditakdirkan 

sebelumnya akan gagal, akan memberi kesempatan yang sah dan sangat 

diharapkan oleh Angkatan Darat untuk membasmi kaum komunis dan 

membikin Soekarno menjadi tawanan baik-hatinya Angkatan Darat'."1

Pada saat-saat yang tegang itu, "Di Jakarta dan Jawa Tengah, para 

konspirator sedang merencanakan coup 1 Oktober. Komplotan serampangan 

yang malang ini mendatangkan akibat malapetaka yang dahsyat; yaitu 

menghasilkan Angkatan Darat menggulingkan Soekarno dan 

berlangsungnya pembantaian manusia secara terorganisasi yang paling 

mengerikan dalam sejarah umat manusia."2

"21 September 1965, Jenderal Soeharto selaku Panglima Kostrad, dengan 

radiogram No.Rdg.T.293/9/1965, memerintahkan kepada Batalyon 454/ 

Diponegoro, 530/Brawijaya, 328/Siliwangi, dan Kesatuan Artileri dari Cimahi, 

supaya datang ke Jakarta selambat-lambatnya 23 September 1965, dengan 

membawa perlengkapan tempur garis satu. "3

"Dua minggu sebelum meletusnya peristiwa G30S, Kolonel Latief 

menghadap Jenderal Soeharto mempersoalkan adanya kegiatan Dewan 

Jenderal yang merencanakan coup d'etat terhadap Presiden Soekarno. Dua 

hari sebelum operasi pengambilan 6 jenderal, ia menemui Soeharto lagi. 

Pertemuan Latief terakhir dengan Soeharto terjadi di Rumah Sakit Pusat 

Angkatan Darat "Gatot Soebroto", 30 September 1965, pukul 23.00, selama 

30 menit. Jadi, Soeharto tahu betul tentang akan terjadinya G30S.

Terjadilah putsch 30 September, Gerakan Tiga Puluh September di bawah 

pimpinan Letkol. Untung, yang hanya berumur beberapa jam. Disusul 

dengan pembantaian manusia, kaum komunis, dan Soekarnois. Angkatan 

Darat dan semua aparat Perang Dingin, media pers komunisto-fobi dalam 

dan luar negeri, mengumandangkan bahwa PKI adalah dalang Gerakan Tiga

Puluh September. Sejumlah aparat kekuasaan Amerika Serikat sangat giat 

dalam hal ini.

Sejak semula, Soeharto sudah jadi pegangan Amerika Serikat. Peranan 

Amerika Serikat dalam kejadian penting ini terlihat dari kegiatan Kedutaan 

Besar Amerika Serikat di Jakarta. 5 Oktober 1965, Kedutaan Besar AS

mengirim nota kepada Kementerian Luar Negeri AS yang isinya antara lain: 

"Sekarang, kunci persoalan kita adalah apakah kita bisa membentuk 

perkembangan ini agar menguntungkan kita. Beberapa panduan berikut 

mungkin bisa memberikan sebagian jawaban atas bagaimana sikap kita 

seharusnya:

A. Hindari keterlibatan yang terang-terangan karena seiring 

berkembangnya perebutan kekuasaan.

B. Akan tetapi, secara tersembunyi, sampaikan dengan jelas kepada 

tokoh-tokoh kunci di ABRI seperti Nasution dan Soeharto tentang 

keinginan kita membantu apa yang kita bisa, sementara di saat 

bersamaan sampaikan kepada mereka asumsi kita bahwa kita 

sebaiknya menjaga agar setiap bentuk keterlibatan atau campur 

tangan kita tidak terlihat.

C. Pertahankan dan jika mungkin perluas kontak kita dengan militer.

D. Hindari langkah-langkah yang bisa diartikan sebagai tanda 

ketidakpercayaan terhadap ABRI (contohnya memindahkan warga 

kita atau mengurangi staf).

E. Sebarkan berita mengenai kesalahan PKI, pengkhianatan dan 

kebrutalannya (prioritas ini mungkin paling membutuhkan bantuan 

kita segera, yang dapat kita berikan kepada ABRI jika kita bisa 

menemukan jalan untuk melakukannya tanpa diketahui bahwa hal 

ini merupakan usaha AS).

F. Dukung seluruh masukan informasi dan sarana-sarana lainnya yang 

ada untuk bisa menyatukan ABRI."1

Salah satu isu kontroversial, mengenai keterlibatan Amerika Serikat 

dalam pembunuhan besar-besaran anggota dan kader PKI di seluruh 

Indonesia, memperoleh penjelasan resmi dalam bentuk dokumen mengenai 

salah satu radiogram Duta Besar Amerika untuk Indonesia saat itu, Marshall 

Green. Dalam radiogram yang dikirimkannya ke Washington pada 10 

Agustus 1966, Marshall Green melaporkan bahwa "daftar nama pemimpin 

teras, dan anggota PKI yang dibuat Kedutaan Besar Amerika, merupakan 

daftar yang dipakai sebagai acuan aparat keam anan—alias Angkatan 

Darat—Indonesia, untuk membersihkan Indonesia dari PKI. Tak mustahil, 

dari nama-nama yang disodorkan Marshall Green itu, sebagian kemudian

terbunuh/'1

Selain itu, dalam telegramnya pada 2 Desember 1965, Marshall Green 

juga mengaku "telah melakukan pembayaran (tersembunyi) dengan dana 

Rp50 juta kepada gerakan KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan 

Gerakan September Tiga Puluh). Dana itu diserahkan sebagai bantuan untuk 

membiayai aksi perlawanan terhadap orang-orang komunis."2

Di samping itu, dokumen Memorandum dari Gabungan Kepala Staf 

kepada Menteri Pertahanan McNamara memaparkan bantuan Amerika 

Serikat terhadap usaha Angkatan Bersenjata menggulingkan Bung Karno 

sebagai berikut:

Washington, 30 Desember 1965 

Perihal: Bantuan ke Indonesia

Berkaitan dengan pesan terakhir dari Kedutaan AS di Jakarta yang 

berisikan informasi bahwa Presiden Soekarno mungkin akan digulingkan 

setelah 1 Januari 1966, Indonesia mungkin meminta bantuan AS.

Jika ini terjadi, permintaan bantuan ekonomi mungkin akan cukup besar. 

Permintaan material militer mungkin tidak banyak. Barang-barang yang 

mungkin diminta termasuk amunisi, senjata otomatis ringan, kendaraan, radio 

portabel, dan mungkin suku cadang C-130 dan C-47. Bantuan training 

mungkin juga diminta.

Upaya penjatuhan Presiden Soekarno oleh ABRI bisa menguntungkan 

kepentingan keamanan AS di sana. Meski ABRI tampaknya tak ingin mencari 

sekutu asing dalam penerapan kebijakannya, seperti halnya Soekarno dulu. 

ABRI tampaknya akan menjadi kekuatan tunggal anti-komunis yang paling 

kuat di Indonesia, namun pada akhirnya pasti akan memerlukan 

kepemimpinan sipil. Kepentingan AS akan lebih terjamin jika pemerintah 

baru nanti cenderung pro-Barat. Atau setidaknya netral.

“Gabungan Kepala Staf merekomendasikan:

a. Amerika Serikat, jika diminta, akan siap memberikan kepada Indonesia

sejumlah bahan pangan/obat-obatan untuk menunjukkan dukungan 

terhadap pemerintah baru.

b. Karena kampanye pimpinan ABRI melawan PKI tampaknya berjalan

sesuai rencana dan bantuan militer AS tampaknya tak dibutuhkan

untuk keamanan internal, maka untuk saat ini AS hendaknya tidak 

secara terang-terangan memberikan bantuan militer kepada Indonesia.

c. Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan bersama-sama

menyusun kriteria untuk melanjutkan pemberian bantuan militer dan 

ekonomi.

d. Memorandum ini akan diteruskan ke Menteri Luar Negeri.

Atas nama Gabungan Kepala Staf:

David L. McDonald

Ketua1

Begitu putsch 30 September terjadi. Angkatan Darat segera menuding 

PKI sebagai dalangnya. Tapi tidak sedikit para pakar yang berpendapat lain. 

Rex Mortimer memaparkan, bahwa PKI secara sadar dan teguh menempuh 

jalan damai dalam mencapai strateginya. Dalam keadaan sudah berada di 

ambang masuk ke dalam kedudukan ikut memegang kekuasan negara, 

adalah tak masuk akal, PKI melakukan coup terhadap pemerintah yang 

didukungnya sendiri.

Brian May menulis, "Sampai sejauh mana PKI terlibat, tidaklah akan 

mempengaruhi putusan yang diambil oleh Angkatan Darat untuk 

menjadikan putsch itu segera menjadi batu-nisan bagi Soekarnoisme dan 

dasar bagi Angkatan Darat untuk naik berkuasa; dan jika ada orang komunis 

yang menentang petunjuk-petunjuk pimpinannya, ikut dalam komplotan 

in i,.....maka ini sudah cukup jadi alasan untuk membasmi seluruh partai itu."2

"Secara militer, putsch itu berlangsung tanpa persiapan yang cukup, 

tanpa kendaraan-kendaraan lapis baja dan tank-tank yang sangat vital; 

secara politik adalah nonsense,—omong kosong. Tidaklah mengherankan, 

bahwa sementara sarjana menghubungkan asal-usulnya putsch itu dengan 

kekecewaan dan puritanisme para perwira dari Jawa Tengah yang mistik; 

juga tak mengherankan bahwa para pemimpinnya melarikan diri dalam 

tempo 24 jam menghadapi Jenderal Mayor Soeharto yang akhirnya 

menguasai bangsa dengan 135 juta penduduk itu."3

Jan Pluvier menulis, "Segera sesudah terjadinya putsch Untung, Angkatan

Darat merebut kesempatan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi, terutama 

sesudah terbunuhnya sejumlah jenderal, untuk mewujudkan hal yang sudah 

bertahun-tahun diharapkan, yaitu mengambil sepenuhnya kekuasaan negara

dan membasmi PKL7,1

Willem Oltmans menulis, "1 Oktober akan menjadi satu hari bersejarah 

dalam arus revolusi Indonesia, di mana kalangan kanan pucuk pimpinan 

Angkatan Darat yang pro-Amerika akan melaksanakan rencana yang sudah

her tahun-tahun dipelihara, kali ini lewat tindakan dari orang-orang 

kepercayaan Soekarno, hingga dengan 'cara sopan santun' bisa menghadapi 

pendapat umum dan dunia, melaksanakan aksi massa terhadap musuh 

bebuyutan, yaitu membasmi PKL"1 2

Putsch Untung disusul oleh tuduhan Angkatan Darat bahwa PKI adalah 

dalang peristiwa berdarah itu. Media pers Angkatan Darat dan komunisto￾fobi menggelorakan histeria anti-komunis dan balas dendam. "Pertengahan 

November 1965, pembunuhan-pembunuhan mencapai puncaknya yang 

mengerikan. Soeharto menandatangani perintah yang memberi kuasa untuk 

melakukan pembersihan mutlak yang mendasar atas PKI dan para 

simpatisannya dari pemerintah. Perintah ini, No.22/KOTI/1965, untuk 

pembentukan 'tim-tim khusus' buat melaksanakan instruksi tersebut dan 

memberi kuasa pada 'tim-tim' itu untuk meminta bantuan Angkatan Darat 

di mana perlu."3

Sebelum berlangsungnya pengadilan dalam Mahkamah Militer Luar 

Biasa (Mahmilub) atas para pelaku putsch, sebelum adanya putusan 

pengadilan mengenai terlibatnya PKI dalam putsch, Soeharto sudah 

mengeluarkan instruksi untuk membasmi PKI. Demikian pula Nasution, 

yang juga menyerukan untuk membasmi Partai Komunis. "Semua pengikut 

dan simpatisannya harus dibasmi, kalau tidak peristiwa ini akan terulang," 

katanya di depan rapat staf RPKAD yang datang di Jawa Tengah. "Tidak 

hanya para pelaku yang harus dibasmi, tetapi juga dalang dan pendukung 

PKI," katanya di depan satu organisasi mahasiswa. Dan dalam 

kunjungannya ke pangkalan Angkatan Laut di Surabaya, dia menyerukan 

sekali lagi untuk membasmi PKI sampai ke akar-akarnya."4

Berlangsunglah penyerbuan-penyerbuan atas kantor-kantor PKI. Dan 

mulailah pembantaian manusia di seluruh negeri. CIA sendiri mengakui.

bahwa "dalam hal jumlah yang sudah terbunuh, pembantaian besar-besaran 

anti-PKI menduduki tempat pertama yang paling jelek dalam abad XX,.... 

Sebagaimana halnya pembunuhan massal oleh Nazi selama Perang Dunia 

II .... Dalam hal ini, coup di Indonesia jelaslah merupakan peristiwa yang 

lebih berarti, dibanding dengan banyak peristiwa yang sudah mendapat 

publikasi luas."1

"Amnesty International mencatat taksiran, bahwa lebih dari 500.000 

orang mati, tapi menambahkan bahwa banyak 'peninjau bebas' menaksir, 

bahwa lebih dari satu juta orang mati dalam masa 1965 —1966."2

Laksamana Sudomo Panglima Kopkamtib mengakui, "450.000 sampai

500.000 orang terbunuh."3

K.H. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa "orang Islam membantai

500.000 eks-PKI. Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh yang tidak 

termasuk orang Islam."4

Jenderal Sarwo Edhie Wibowo mengaku kepada Bapak Permadi, S.H., 

bahwa "yang meninggal terbunuh berjumlah tiga juta orang."5

Helen Louise Hunter, seorang peneliti dari CIA menulis, bahwa 

"Pembantaian yang dilakukan oleh massa anti PKI di Indonesia, adalah 

salah satu yang terburuk dalam jajaran pembantaian massa dari abad XX."6

Bertrand Russel menyatakan, bahwa dalam empat bulan saja 

pembantaian di Indonesia, orang yang mati sudah berjumlah lima kali lebih 

banyak dibandingkan dengan 12 tahun peperangan di Vietnam."7

"Dari bulan Juli 1954 sampai Juli 1963, Amerika sudah melancarkan 

42.500 operasi dan serangan militer, membunuh 156.000 orang dan melukai

52.000 orang."8

Julie Southwood dan Patrick Flanagan menulis, "Pembantaian massal di 

Indonesia pada dasarnya adalah suatu proyek pembunuhan sistematik tak 

pandang bulu. Satu proyek yang tujuannya jelas, cara dan tanggung 

jawabnya sistematik, yaitu di bawah pimpinan Angkatan Darat yang secarajelas menetapkan korban-korbannya, yaitu PKI dan para simpatisannya. Tak 

pandang bulu dalam kategori korban-korban, semua anggota harus dibunuh, 

tak pandang umur, kelamin, bersalah atau tid ak .../'1

Kalau disimpulkan, bukanlah hanya sekitar 500.000 orang yang dibunuh, 

tetapi telah berlangsung kekejaman—pembantaian besar-besaran—yaitu 

satu proyek pembunuhan yang sistematik tak pandang bulu, yang 

diperintah dan dikontrol oleh pemimpin-pemimpin Angkatan Darat."2

Soeharto adalah yang bertanggung jawab atas pembunuhan￾pembunuhan di Indonesia. Paul H. Salim menulis: "Tanggal 2 Oktober 1965, 

setelah mendengar berita tentang 'kup'. Kolonel Yasir Hadibroto, waktu itu 

Komandan Kesatuan Infanteri IV Kostrad di Sumatra Utara, datang, 

langsung menghadap komandannya di Markas Besar Kostrad di Jakarta, 

Mayjen. Soeharto.

Dia ditanyai oleh Soeharto, 'Di mana kamu ketika pemberontakan PKI di

Madiun tahun 19487'

'Saya baru saja dipindahkan ke Jawa Barat. Pasukan saya diperintahkan untuk

menghadapi 3 batalyon komunis di Wonosobo/ Yasir menjawab.

'Orang yang berontak hari ini adalah keturunan dari PKI Madiun. Pergi

beresken mereka semua. D.N. Aidit di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana!'

perintah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.

Di Jawa Tengah, D.N. Aidit, Ketua PKI, ditangkap, dibawa ke markas 

Batalyon Kostrad di Boyolali, dan dibunuh!

Pukul 3.00 sore, tanggal 24 November 1965, Kolonel Yasir diterima oleh 

Soeharto di Istana Yogyakarta. Dia melaporkan segala sesuatu berkenaan 

dengan penangkapan PKI dan cara membereskan Aidit. Setelah memberikan 

laporannya. Kolonel Yasir memberanikan diri untuk bertanya, 'Waktu Bapak

mengatakan 'bereskan' tentang D.N. Aidit, apakah itu yang Bapak maksud?'

Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto hanya tersenyum." [Mystery Almost

Solved!! by Paul H. Salim, Calgary, Canada, http://www.antenna.nl/wvi/

eng/ic/pki/sal/myst.html].

Pembendungan dan pembasmian komunisme berlangsung dahsyat, 

seiring dengan memuncaknya Perang Dingin di Asia Tenggara. Perang 

Vietnam kian bergejolak. Meluas sampai ke Laos dan Kamboja. Amerika 

Serikat sampai-sampai mengerahkan seperempat juta pasukan, 

menggunakan semua senjata yang paling modern waktu itu untukmenundukkan Republik Demokrasi Vietnam dan membasmi kaum komunis 

Vietnam. Pembasmian kaum komunis Indonesia berlangsung tanpa 

pengiriman pasukan Amerika masuk Indonesia. Di Indonesia, terutama 

dalam Angkatan Darat terdapat kekuatan anti-komunis yang dapat 

diandalkan Amerika untuk membasmi PKI. Pentagon dan Gedung Putih 

dengan NSC-nya sebagai Politbiro Perang Dingin sudah sekian tahun 

merekayasa realisasi strategi Perang Dingin terhadap Indonesia. Soekarno 

harus disingkirkan, dan PKI harus dibasmi. Selama enam tahun, dari tahun 

1959 sampai 1965 telah dilaksanakan kesimpulan NSC - Politbiro Perang

Dingin - yaitu perkuat kerja sama dengan Angkatan Darat, tingkatkan 

perlawanan terhadap PKI, dan ciptakan dasar untuk bertindak represif 

terhadap PKI. Putsch 30 September adalah hasil total-jenderal rekayasa 

canggih, penggunaan operasi intelijen, kampanye "'perang syaraf", 

pengerahan semua oknum anti-komunis dan anti Soekarno serta 

pemanfaatan kesalahan-kesalahan PKI sendiri. Putsch adalah bertentangan 

dengan teori Marxisme-Leninisme tentang revolusi. Tidak terdapat dalam 

program PKI. Juga tak masuk akal, dengan putsch PKI menggulingkan 

pemerintah yang didukungnya sendiri, di mana duduk tokoh-tokoh utama 

pimpinan PKI. Lebih tak masuk akal lagi, dengan putsch PKI menggulingkan 

Bung Karno, yang ajaran dan politiknya mati-matian dibelanya, karena 

menguntungkan PKI. Dengan peristiwa putsch ini terwujudlah kesimpulan 

Politbiro Perang Dingin, yaitu menciptakan dasar untuk bertindak respresif 

terhadap PKI. Peristiwa ini, oleh Angkatan Darat betul-betul dijadikan dasar

untuk bertindak represif terhadap PKI. Dengan demikian Soekarno pun 

digulingkan. Penggulingan Bung Karno dan pembasmian PKI adalah 

realisasi the policy of containment - politik pembendungan komunisme - strategi

sejagat Perang Dingin yang dilancarkan Amerika Serikat semenjak usainya Perang

Dunia II. Inilah salah satu puncak Perang Dingin di Asia.






























PENULIS buku ini. Suar Suroso, boleh dikatakan satu-satunya orang 

Indonesia yang sampai sekarang menekuni masalah filsafat materialisme 

dialetika dan historis, gerakan komunis internasional, m aupun gerakan 

buruh internasional. Dalam hubungan masalah-masalah itulah ia 

menjelaskan terbelahnya dunia menjadi dua kubu, yaitu kubu sosialis atau 

komunis dan kubu kapitalis atau imperialis yang saling bermusuhan. 

Sampai akhir Perang Dunia II, kedua kubu ini masih bisa bekerja sama 

dalam usaha mengalahkan musuh bersama, yaitu fasisme Jerman—Italia— 

Jepang, dengan membentuk persekutuan Amerika—Inggris—Perancis— 

Rusia—Tiongkok. Tapi sejak tahun 1945, ketika Presiden Amerika Serikat 

Franklin Delano Roosevelt (1882 — 1945) meninggal dan digantikan oleh 

Harry S. Truman (1884 — 1972), dunia praktis kembali terbagi menjadi dua 

kutub yang saling bermusuhan dengan kesengitan yang semakin tinggi, 

saling mematikan: kutub sosialis/komunis di bawah Uni Sovyet dan kubu 

kapitalis/imperialis di bawah Amerika Serikat.

Suar berusaha menjelaskan bahwa permusuhan itulah yang menimbul￾kan apa yang dinamakan Perang Dingin, yaitu perang yang berlangsung di 

front politik, ekonomi, dan propaganda, dan hanya sedikit di front persenja￾taan. Kedua pihak tidak pernah sampai terjun langsung bermuka-muka, satu 

dan lain hal karena ditemukannya senjata pemusnah massal: senjata nuklir. 

Walau demikian. Perang Dingin tidak kurang panas daripada Perang Panas. 

Perang Dinginlah yang menyebabkan terjadi banyak kudeta, seperti yang 

telah terjadi di Korea, Vietnam, dan Indonesia, juga menyebabkan terjadi 

banyak revolusi, seperti telah terjadi di Tiongkok, Vietnam, dan Kuba.

Untuk menghadapi Perang Dingin, di kubu kapitalis/imperialis 

dikembangkan apa yang dinamakan "the policy of containment”, yaitu politik 

pembasmian komunisme sejagat, bersama sarana-sarana dan cara-carapelaksanaannya, yang tanpa bosan-bosannya dijelaskan dan diuraikan oleh 

Suar dalam bukunya yang cukup banyak, seperti: Asal-Usul Teori Sosialisme,

Marxisme Sampai Komune Paris; Marxisme, Sebuah Kajian: Dinyatakan Punah

Ternyata Kiprah; Peristiwa Madiun: Realisasi Doktrin Truman di Asia; Bung

Karno, Marxisme & Pancasila; 'Peristiwa Madiun', PKI Korban Perdana Perang

Dingin; Bung Karno Korban Perang Dingin; dan akhirnya buku ini: Akar dan

Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno.

Nyaris di hampir semua buku ini Suar merasa perlu membahas "the

policy of containment" karena ia tahu bahwa media massa dunia, baik cetak 

m aupun elektronik, dan dunia penerbitan, sudah lama, sampai dewasa ini, 

dikuasai dan ditongkrongi oleh kubu kapitalis/imperialis, hingga 

pemberitaan mengenai kejadian dan uraian mengenai peristiwa dunia pun 

jomplang ke arah kepentingan kutub tersebut. Kalau kita boleh bicara 

tentang rekayasa terbesar di dunia sekarang ini, itulah rekayasa di bidang 

media massa dan penerbitan.

Untuk mengimbangi kejomplangan itu. Suar menulis buku-bukunya ini. 

Untuk itu dia gali tanpa lelah bahan-bahan yang sampai sedemikian jauh 

belum diketahui umum, bahkan bersifat rahasia dan hanya dikuasai oleh 

dinas-dinas rahasia. Tentu usaha ini tidak seimbang dengan rekayasa 

terbesar zaman kita itu tadi. Tapi Suar berkeyakinan bahwa kutub 

sosialis/komunis harus mengadakan perlawanan. Sepatah kata dalam 

perlawanan itu sama dahsyatnya dengan peluru yang mengena 

ditembakkan ke arah musuh. Maka itu tidak segan ia membalik-balik bahan 

yang tersembunyi tidak hanya dalam bahasa yang "lazim", yaitu bahasa 

Indonesia dan Inggris, tapi juga dalam bahasa Belanda, Jerman, Perancis, 

Tionghoa, dan Rusia, seperti terlihat dalam Daftar Kepustakaan.

Dan apa yang istimewa dalam buku ini? Dari Daftar Kepustakaan 

kelihatan, tak kurang 30 buku yang ditulis oleh D.N. Aidit, bekas Ketua 

Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk Pilihan Tulisan Aidit Jilid I, II, dan 

III. Lebih istimewa lagi ialah kritik terhadap segi-segi ideologi, teori, dan 

organisasi PKI, seperti: Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP), 

semboyan persatuan nasional berporoskan nasakom, mendukung demokrasi

terpimpin di bawah Presiden Soekarno, revolusi dari atas dan dari bawah, teori

dua aspek kekuasaan negara, semboyan dwitunggal rakyat dan ABRI,

pembangunan partai kader dan partai massa sekaligus, menjadikan Marxisme milik

nasion.

Saya tak perlu menunjukkan halamannya. Pembaca perlu mencarinya 

sendiri. Untuk itu saya haturkan: Selamat membaca.DALAM rangka usaha pelurusan sejarah bangsa, ratusan bahkan ribuan 

tulisan, analisis, dan buku-buku studi telah terbit di Indonesia oleh penulis￾penulis Indonesia sendiri, bersangkutan dengan masalah krusial bangsa 

dewasa ini, yaitu masalah pelurusan sejarah. Masalah pelurusan sejarah 

Indonesia juga sudah berpuluh kali menjadi tema utama seminar-seminar di 

Indonesia m aupun di luar negeri.

Situasi pemberlakuan dan pemanfaatan hak-hak demokrasi, khususnya 

hak dengan bebas menyatakan pendapat, yaitu freedom of speech dan freedom

of expression dewasa ini, sedang tumbuh subur dan berkembang terus. Baik 

dalam kuantitas m aupun kualitas. Tidak sedikit tulisan tersebut ditimba dari 

pengalaman langsung penulisnya sendiri, korban akibat pemelintiran 

sejarah bangsa yang dilakukan penguasa orba.

Berbagai lapisan masyarakat, dalam jumlah tak terhitung, khususnya 

yang disebut "orang-orang biasa", dengan sadar menggunakan kebebasan 

media komunikasi demi perjuangan untuk reformasi, demokrasi, dan HAM. 

Termasuk media internet seperti wehsite (meliputi diskusi interaktif) atau 

blog pribadi, mailing-list, youtube, facebook, twitter, dll.

Situasi yang dimulai dan berlangsung terus sejak gerakan massa 

reformasi dan demokrasi Mei 1998 telah secara formal mengakhiri rezim 

orde baru. Sejak Presiden B.J. Habibie menggantikan Presiden Soeharto 

sebagai presiden ke-3 Republik Indonesia, secara luas dan leluasa 

kesempatan demokrasi ini digunakan oleh para aktivis dan pejuang-pejuang 

reformasi dan demokrasi demi perubahan yang konsisten, untuk tegaknya 

negara Republik Indonesia sebagai negara hukum.

Secara lebih spesifik, kegiatan dan perjuangan tersebut berlangsung 

dengan mengajukan tuntutan diakhirinya pelanggaran hak-hak asasi 

manusia serta dipulihkannya hak-hak kewarganegaraan dan politik parakorban Peristiwa 1965, yang sampai detik ini masih mengalami diskriminasi 

dan stigmatisasi dari jurusan penguasa dan para pendukung rezim orde 

baru. Perjuangan tersebut semakin sengit terfokus sekitar tuntutan adil agar 

Kejaksaan Agung mengambil langkah konkret melaksanakan Rekomendasi 

Komnas HAM 23 Juli 2012 sekitar penanganan pelanggaran HAM berat oleh 

aparat negara di sekitar Peristiwa 1965.

Secara formal, rezim orde baru sudah runtuh, tetapi dalam kenyataan 

hidup sehari-hari, kebijakan politik dan tindakan penguasa tetap menolak 

rehabilitasi hak-hak kewarganegaraan dan hak politik jutaan korban 

Peristiwa 1965.

Suar Suroso (82 tahun), mantan wakil pemuda Indonesia di organisasi 

mancanegara, yaitu Gerakan Pemuda Demokratis Sedunia, GPDS, dengan 

tekun mengikuti perkembangan politik di tanah air. Dalam periode setelah 

ambruknya rezim orde baru. Suar Suroso termasuk salah seorang penulis 

sejarah bangsa, yang dengan tekun dan teliti secara efektif memanfaatkan 

situasi keberadaan kebebasan menyatakan pendapat di Indonesia.

Dalam waktu panjang. Suar Suroso mengadakan riset, menekuni, 

menggeluti, serta menulis karya-karya penting dalam rangka pelurusan 

sejarah bangsa yang direkayasa dan dibengkokkan rezim orde baru. 

Sehubungan dengan ini. Suar Suroso pernah menulis sebuah artikel khusus 

yang mengungkap pemelintiran sejarah Indonesia yang dilakukan oleh ahli 

sejarah orde baru, Dr. Nugroho Notosusanto.

Kiranya sudah jelas, dalam rangka mengakhiri kehidupan politik dan 

ideologi orde baru, ada satu masalah yang mutlak harus ditangani bersama. 

Yaitu, menyangkut masalah pelurusan sejarah bangsa, khususnya sejarah 

gerakan politik sejak masa kolonialisme sampai dewasa ini.

Menelusuri sejumlah besar literatur yang diterbitkan dalam periode 

pasca-Soeharto, Suar Suroso adalah salah seorang penulis langka yang 

dengan berencana melakukan studi dan penulisan sejarah gerakan politik di 

Indonesia secara gamblang. Ia mengedepankan sejumlah dokumen dan 

fakta-fakta yang diakui kebenarannya, sesuai dengan bahan-bahan 

dokumentasi dan literatur kiri di Indonesia dan mancanegara. Atas dasar itu. 

Suar Suroso melakukan analisis dan mengemukakan kesimpulannya. Ia 

dengan rinci menguraikan dalam artikel-artikel dan buku-bukunya, tentang 

perkembangan gerakan politik bertujuan kemerdekaan di Indonesia, yang 

berporoskan gerakan revolusioner Marxis, nasionalis, dan agama. Meliputi 

periode sejak didirikannya Budi Utomo, Sarekat Islam, Sarekat Rakyat, dan 

ISDP, Partai Sosial Demokrat Indonesia yang kemudian menjelma menjadi 

Partai Komunis Indonesia, PKI.Dengan jelas Suar Suroso menguraikan dan menganalisis perkembangan 

gerakan politik kiri Marxis yang berkembang menjadi PKL Suatu parpol 

yang tak henti-hentinya berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Menurut 

Suar Suroso, inilah yang menyebabkan PKI merupakan ancaman terbesar 

bagi dominasi AS di Asia Tenggara, teristimewa setelah makin kuatnya kerja 

sama dan persatuan kekuatan politik yang diwakili Bung Karno dan 

kekuatan kiri yang diwakili oleh PKL

Buku Suar Suroso yang baru berjudul: Akar dan Dalang Pembantaian

Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno adalah buku politik 

penting yang menjadi khazanah berharga dalam literatur sejarah gerakan 

politik kiri di Indonesia. Sekaligus merupakan karya serius dan penting oleh 

penulis, dalam perjuangan besar demi pencerahan di Indonesia, teristimewa 

menyangkut pelurusan sejarah yang direkayasa oleh rezim orde baru.

Buku terbaru Suar Suroso, bersama dengan tulisan-tulisan yang banyak 

dan buku-buku yang telah diterbitkannya: sekitar Marxisme dan Bung 

Karno; mengenai campur tangan dan subversi CIA (AS) dalam urusan 

dalam negeri Indonesia khususnya yang menyangkut "Red Drive Proposals 

AS" (1948); mengenai Peristiwa Madiun; tentang bantuan senjata dan 

keuangan Cl A pada pemberontakan separatis PRRI/Permesta (1957); 

Peristiwa Pembantaian Massal 1965/67/68; dan teristimewa perebutan 

kekuasaan negara dan pemerintahan Presiden Soekarno oleh Jenderal 

Soeharto, merupakan sumber pengetahuan yang ditulis atas dasar studi dan 

penelitian cukup lama dan menyeluruh.

Buah pena Suar Suroso tersebut merupakan literatur-historis yang 

berharga dan bahan referensi dan studi yang tidak-boleh-tidak harus dibaca 

dan dipelajari oleh setiap pemeduli sejarah kontemporer Indonesia dan bagi 

siapa saja yang ingin mendalami sejarah perkembangan politik 

kemerdekaan Indonesia.

BUKU karya Suar Suroso yang terbit kali ini adalah salah satu dari buku 

karya kesembilan yang membahas tentang peristiwa besar dan penting yang 

membuka periode baru dalam sejarah perjuangan bangsa dan rakyat 

Indonesia, yaitu dari periode perjuangan mencapai Indonesia yang 

demokratis untuk mencapai Indonesia yang makmur dan sejahtera berbalik 

menjadi negeri neo-kolonial neo-liberal dengan pandangan pragmatisme 

model AS.

Kesembilan buku Suar ialah:

1. Bung Karno Korban Perang Dingin;

2. Peristiwa Madiun - PKI Korban Perang Dingin;

3. Bung Karno, Marxisme, dan Pancasila;

4. Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah;

5. Peristiwa Madiun - Realisasi Doktrin Truman di Asia;

6. Asal Usul Teori Sosialisme, Marxisme sampai Komune Paris;

7. Jelita Senandung Hidup;

8. Pelita Keajaiban Dunia; dan

9. Akar dan Dalang - Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan

Bung Karno.

Dalam buku-buku tersebut, terutama dalam buku Akar dan Dalang, Suar 

Suroso telah menyanggah secara kategoris berbagai pikiran dan uraian yang 

dikemukakan oleh orde baru dan pembela-pembelanya, sarjana pembela 

imperialis, kolonialis, baik di dalam m aupun di luar negeri. Pertama, Buku

Putih Komkaptib yang ditulis oleh Laksamana Sudomono. Buku 

Prof. Nugroho Notosusanto, The Coup Attempt of the September 30 Movement

Indonesia yang ditulis bersama dengan Ismail Saleh, juga disanggahnya.

Suar Suroso dalam buku Akar dan Dalang, membongkar semua 

persekongkolan AS—Inggris untuk menumbangkan Presiden Soekarno dan

menghancurkan PKI 1965 yang sudah dimulai sejak tahun 1960-an dan 

sudah tentu hal itu juga kelanjutan dari Peristiwa Madiun 1948 yang 

diarsiteki Marie Cochra'n dengan usulannya "Red Drive Proposal" pada 

Wapres/Perdana Menteri Drs. Moh Hatta, ini sebagai realisasi Doktrin 

Truman, Presiden AS, "policy of containment" 1946 di Asia, selanjutnya 

diperkuat dengan doktrin rollback Presiden Eisenhower 1949. Komunis tidak 

hanya dibendung, tapi harus dibasmi.

Doktrin-doktrin yang menjadi dasar dan pelaksanaan politik Perang 

Dingin inilah yang dinamakan akar dari peristiwa yang terjadi di Indonesia, 

sedangkan persekongkolan AS—Inggris yang berkomplot dengan 

Mayjen. Soeharto, Panglima Kostrad waktu itu, bersama dengan Yoga 

Sugama dan Ali Murtopo adalah dalang sesungguhnya Peristiwa September 

1965. Pembunuhan terhadap Jenderal A. Yani, cs. (SUAD), pimpinan teras 

PKI, D.N. Aidit, Lukman, Nyoto, Sakirman, dan kader-kader serta anggota 

simpatisan PKI di seluruh Indonesia, penahanan Presiden Soekarno hingga 

wafatnya, pembunuhan 500 ribu—3 juta orang, pemenjaraan 2 juta orang 

tanpa salah apa pun selama 14 tahun lebih, dan lain-lain, adalah korban 

pembasmian komunis, mereka yang anti kolonial dan imperialis.

Suar Suroso juga menjelaskan secara rinci kegiatan bagaimana AS 

mempersiapkan perwira TNI untuk menggulingkan Presiden Soekarno 

dengan mendidik dan melatih mereka. Tidak kurang 2000 perwira AD yang 

pernah belajar di Akademi Militer Western Institute for Secutity Cooperation 

di Fort Benning, Georgia, dan The Commander in Burgency Training Center 

di Fort Bragg, Fayetteville, NC. AS juga pernah mengirim beberapa orang 

secara rahasia mengajar kontra pemberontakan ke Indonesia.

Dalam buku ini juga dibeberkan secara rinci peranan: National Security

Council (NSC); Pemerintah Bayangan (The Shadow Government); Central

Intelligence Agency (CIA); RAND Corporation; Ford Foundation; pakta-pakta 

militer; dari tentara rakyat ke TNI; kubu Soeharto—Cl A; dan lainnya. 

Dasar pemikiran politik membasmi komunis dan gerakan anti kolonialisme￾imperialisme tidak hanya untuk masa lalu, tetapi sampai sekarang ini, di era 

kapitalisme global, menjadi politik luar negeri AS dan negeri kapitalis 

lainnya. Perang agresi di Timur Tengah adalah wujud konkret masih terus 

dilaksanakan politik dasar tersebut. Demikian juga masih akan terus 

dilaksanakan termasuk di negeri lain dan Indonesia dewasa ini, yang beda 

hanya bentuk dan caranya. Inilah watak kapitalisme global selama masih di 

dunia ini.

Demikian juga kritik terhadap kekeliruan dan kesalahan politik 

pemikiran pimpinan CC PKI, D.N. Aidit, tak luput dari perhatian SuarSuroso, demikian luas, dalam, rinci, dan lengkap persoalan yang dibahas 

dengan menggunakan pandangan serta metode memandangnya sangat 

kritis. Buku ini sangat menarik, berharga untuk dibaca, dibahas oleh siapa 

pun, terutama bagi mereka yang ingin mempelajari sejarah perjuangan 

rakyat Indonesia sebagai bekal perjuangan perubahan pada hari ini dan hari 

esok, melepaskan diri dari kekangan neo-kolonial, neo-liberal, dan 

pandangan hidup pragmatis model AS yang membuat Indonesia amburadul, 

penuh korupsi, pembiusan narkoba, perkelahian, kejahatan terorisme, 

politik pembiaran, untuk Indonesia merdeka demokratis (demos kratos bukan 

demong kratos dan oligo kratos), berdaulat dalam politik, berdikari dalam 

ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, untuk mencapai Indonesia 

yang adil, makmur, dan sejahtera —sosialisme Indonesia. Inilah arah dan 

tujuan perjuangan rakyat Indonesia dewasa ini, tetapi perlu waktu yang 

relatif lama. Keteguhan tekad dan pendirian seperti diteladani oleh pejuang￾pejuang pendahulu kita semua mutlak perlu dimiliki oleh pejuang rakyat 

Indonesia.

BUKU Suar Suroso, Akar dan Dalang, merupakan suatu tulisan yang sifatnya 

analisa politik tentang apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1960-an. 

Pada waktu terjadinya Peristiwa G30S.

Penulis Suar Suroso sebagai seorang Marxis tentunya menggunakan cara 

Marxisme dalam penulisannya itu sesuai dengan anjuran Bung Karno yang 

terkenal dalam sejarah politiknya selama ia menjadi Presiden RI. Apakah 

Bung Karno sendiri menggunakan secara konsisten metode analisa itu, saya 

sebaiknya serahkan jawabannya pada para pembaca.

Saya sendiri pernah mencoba untuk menanyakan tentang hal itu kepada 

beliau, di dalam pesawat terbang pada waktu saya diperintahkan mengikuti 

beliau, dalam perjalanan dari Tokyo ke Wina pada tahun 19621

Saya tidak dapat melupakan menjalankan perintah itu sebagai Panglima 

Kodam Kaltim karena KSAD Nasution mengejek saya bahwa saya cocok 

berfungsi sekaligus sebagai seorang bodyguard Bung Karno.

Suar Suroso dalam bukunya telah menguraikan tentang proses politik 

yang terjadi pada periode itu dilihat dari sudut global m aupun internal 

Indonesia.

Penulis juga berusaha menguraikan mengenai sejarah pribadi dari 

sejumlah "political actors" yang tersangkut dalam sejarah politik itu, 

termasuk dari Ketua PKI, D.N. Aidit.

Untuk generasi zaman sekarang bangsa kita, saya kira perlu dan berguna 

untuk baca buku ini. Paling tidak untuk mengetahui bagaimana seorang 

Marxis Indonesia memandang Peristiwa G30S dan perkembangan politik 

global dari negara-negara Barat pada periode itu. Saya sebagai penulis pada zaman sekarang ini, dapat mengatakan bahwa 

semua hal di universum ini tidak statis. Semua hal ihwal mengalami evolusi 

yang bersifat biologis dan non-biologis.

Tentu juga ideologi atau filosofi mengalami suatu evolusi yang dapat 

diikuti oleh para pemikir dan ilmuwan dari dunia Barat m aupun pemikir 

dan ilmuwan dari dunia Timur sepanjang masa.

Karena itu sejarah umat manusia mengenal munculnya serentetan orang￾orang yang tersohor dan dinyatakan sebagai filosof-filosof baru, di eranya 

masing-masing mulai dari Plato, Aristotle, yang telah mempengaruhi jalan 

pemikiran para pemikir Barat hampir seribu tahun.

Di samping fenomena perkembangan filosofi tadi itu, ternyata ilmu 

pengetahuan atau science secara umum dan technological science khususnya, 

ternyata mengalami perkembangan evolusioner yang pesat, malahan lebih 

cepat bilion-bilion kali daripada evolusi biologis menurut hukumnya yang 

dikatakan oleh Raymond Kurzweil dalam bukunya: The Singulirity is Near

sebagai "The Law of Accelerating Returns"1

Tentu saja Suar Suroso akan melanjutkan menulis buku karya-karyanya 

yang baru yang patut dibaca oleh generasi bangsa kita sekarang.

Saya sebagai penulis dalam memberikan tanggapan atas permintaan 

penulis Suar Suroso terhadap tulisannya itu, merasa perlu untuk 

menyatakan bahwa efek dari permintaannya itu, sangat menyentuh diri saya. 

Karena saya serentak sadar bahwa saya sebetulnya tidak pernah langsung 

tertarik untuk menjadi penulis seperti saya sekarang ini.

Dalam memenuhi permintaan Suar Suroso ini, anehnya pada diri saya 

timbul kebutuhan untuk sekaligus menulis tentang proses terjadinya diri 

saya sebagai seorang penulis dalam bentuk dan macam seperti yang saya 

peragakan sekarang ini. Yaitu mungkin sebagai suatu produk terakhir dari 

proses sejarah pribadi diri saya yang berumur 92 tahun ini.

Mungkin karena latar belakang pendidikan saya itu medis, saya condong 

pada permulaan menganalisa keadaan di sekitar saya dari sudut pandangan 

psikologis atau psikiatris, di sampingnya juga "biologis modern", sesuai 

dengan latar belakang pendidikan saya itu.

Pencerminan dari hal itu dapat dibaca dalam tulisan saya dalam buku 

pertama tentang analisa saya terhadap dirinya tokoh-tokoh politik seperti 

Soekarno, Hatta, dan Syahrir, dalam periode permulaan sejarah modern

bangsa kita pada periode penjajahan Jepang, menjelang proklamasi

kemerdekaan, dan "pemindahan terpaksa" pemerintah baru RI itu ke 

Yogyakarta dahulu itu.

Saya menyatakan bahwa bapak-bapak kita itu pada waktu itu masih 

berada dalam suatu situasi mental, yaitu sedang dalam menjalani suasana 

"honeymoon" masing-masing, karena mereka ketiga-tiganya baru menikah.

Bahkan Sjahrir baru menikah untuk kedua kalinya, setelah berpisah 

dengan istrinya yang perempuan Belanda, dan mendapatkan adik ipar 

seorang mahasiswa senior kedokteran teman kita, yaitu Soedjatmoko.

Sedangkan Bung Karno baru dapat menikah dengan Fatmawati setelah 

berpisah dengan Ibu Inggit, dan Bung Hatta baru menikah juga.

Kita sebagai mahasiswa kedokteran pada waktu itu mengerti bahwa 

mereka bertiga itu berada dalam kondisi psikologis tertentu yang bisa 

dikatakan khusus.

Dalam kondisi berat seperti itu, ternyata mereka itu tidak dapat bantuan 

yang semestinya dari tokoh-tokoh intelektual yang telah diangkat sebagai 

anggota kabinet baru pada waktu itu. Mereka ini adalah hasil dari 

pendidikan tinggi di Nederland, negara penjajah bangsa kita. Kelompok 

intelektual ini setelah dapat kedudukan dalam kabinet dari pemerintah baru 

RI berada dalam keadaan semacam "euphory" atau kegembiraan luar biasa. 

Seakan-akan melupakan tugas mereka yang sebetulnya harus dilaksanakan 

dengan semangat revolusioner sesuai dengan tuntutan zamannya.

Dalam keadaan mental seperti itu ternyata bisa terjadi kebijakan dan 

tindakan yang bisa dinamakan absurd atau kurang tepat.

Termakan oleh psywar musuh, yaitu kolonialis Belanda dan Inggris yang 

mewakili Sekutu, mereka mengeluarkan dalam kepanikan. Dekrit 5 Oktober

1945 tentang Berdirinya TKR.

Kemungkinan besar hal itu bisa terjadi karena mereka terpengaruh 

psywar dari intelijen pihak Sekutu dan kolonialis Belanda yang dipanikkan 

oleh laporan bahwa telah terjadi suatu revolusi besar di kota Surabaya pada 

waktu itu.

Suatu hal yang mengagetkan dan menakutkan kolonialis Inggris pada 

saat itu adalah dapat terbentuknya kekuatan rakyat bersenjata raksasa di 

kota Surabaya itu.

Tapi secara lihai, intelijen Inggris justru memakai kejadian yang 

menakutkan mereka itu untuk menyerang dengan tindakan psywar, 

pemerintah baru RI itu. Dan taktik mereka itu berhasil.

Pemerintah RI tanpa terlebih dahulu mengirimkan observer untuk menilai 

keadaan yang sebenarnya, dalam kepanikannya menggelar langsung rapat 

kabinet untuk membicarakan hal itu.Pembicaraan itu boleh dikatakan merupakan suatu diskusi yang 

dijalankan oleh kelompok “intelektual tinggi" hasil pendidikan universitas 

Negeri Belanda.

Mereka itu terdiri atas orang-orang yang terpilih dengan teliti oleh suatu 

tim psikolog yang khusus bertugas untuk menjalankan tugas yang sangat 

penting untuk pemerintah kolonialis Belanda. Hasil dari seleksi itu adalah 

dapat terbentuknya suatu kelompok calon mahasiswa untuk dimasukkan 

dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi atau universitas di beberapa kota 

di Nederland. Macam dari lembaga-lembaga itu telah ditentukan oleh suatu 

board yang khusus dibentuk untuk keperluan itu jauh sebelumnya.

Yang paling penting dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi di 

Nederland itu adalah misalnya Fakultas Indologi yang relatif baru dibentuk 

dalam rangka ambisi besar Nederland untuk mencapai terjadinya negara 

"Groot Nederland"/Nederland Agung, yang meliputi: negara-induk

Nederland, koloni Hindia-Belanda, Suriname, dan Curacao di benua 

Amerika Selatan.

Tidak perlu saya katakan bahwa para intelektual yang terpilih tersebut di 

atas, semua harus dijiwai dengan konsep ambisius itu.

Ternyata Van Mook termasuk salah seorang inti dalam pelaksanaan 

konsep ini.

Jadi jelas bahwa semua orang yang telah diangkat Bung Karno dalam 

kabinet presidentil dan kemudian kelompok yang masuk kabinet Sjahrir 

yang pertama itu tadi merupakan kelompok orang intelektual bangsa 

Indonesia yang mau tidak mau telah diresapi dengan ambisi besar 

pemerintah kolonialis Belanda.

Hal inilah yang disadari oleh kelompok mahasiswa yang independen di 

Jakarta dahulu itu. Independen artinya tidak ikut dalam kelompok￾kelompok yang sudah menggabungkan dirinya kepada tokoh-tokoh politik 

tradisional masing-masing pada zaman itu.

Kelompok independen ini misalnya secara tegas berpendirian bahwa: 

begitu diproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia, itu berarti bahwa itu 

merupakan suatu ultimatum perang terhadap negara kolonialis Kerajaan 

Nederland. Arti itu tidak dapat ditawar-tawar oleh negara apa pun juga di 

planet ini.

Semangat mendasar itu, tidak dapat diganti dengan surogat berupa 

perundingan dalam bentuk apa pun juga.

Jadi dengan sendirinya para pejuang kemerdekaan sebagai konsekuensi 

dari telah dinyatakan Proklamasi Kemerdekaan RI, hanya ada dua golongan 

pejuang kemerdekaan yaitu:

1) Mereka yang tanpa ragu-ragu merasa berhak untuk merdeka.

2) Golongan mereka yang masih bisa merundingkan dan meminta 

pendapat bangsa lain tentang hak kemerdekaannya itu.

Penggolongan ini perlu disadari supaya bangsa kita dapat 

menyederhanakan pengertian tentang "Proklamasi Kemerdekaan RI" itu.

Ternyata prinsip itu belum merata di antara tokoh-tokoh yang telah 

diangkat dalam kabinet "pemerintahan-initial" RI pada waktu itu.

Hal inilah yang menyebabkan dapat dikeluarkan Dekrit 5 Oktober 1945 itu, 

yang ternyata mengakibatkan terjadinya reaksi-berantai yang bersifat sangat 

negatif dan terang merugikan dalam jangka panjang. Antara lain memberi 

jalan pada tindakan musuh-musuh kemerdekaan rakyat kita untuk 

mengadakan subversif secara luas yang bersifat sangat destruktif.

Dekrit 5 Oktober 1945 oleh sementara anggota kabinet dianggap sebagai 

suatu usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa 

pemerintah baru RI dapat menguasai keadaan yang kacau di Surabaya itu 

(kacau dilihat dari sudut pandang imperialis Inggris).

Bapak-bapak pemimpin dalam pemerintah baru RI itu tidak dapat atau 

belum sadar bahwa negara-negara Barat yang merasa menang dalam Perang 

Dunia ke-2 yang besar itu, sudah mempunyai "master-konsep" sendiri yang 

tidak bisa dipengaruhi oleh konsep pemikiran mereka yang boleh dikatakan 

naif itu.

Lebih-lebih jika dihubungkan dengan fakta bahwa dekrit itu sama sekali 

tidak diikuti oleh suatu konsep militer yang relevan walaupun misalnya 

dalam bentuk sederhana yang dapat diterima, dalam tahap perkembangan 

politik pada waktu itu.

Sekutu terus melanjutkan melaksanakan konsep mereka yang meliputi 

juga nusantara kita. Dalam masalah ini mereka tentunya mendengarkan 

suara Belanda dan Inggris yang merasa ikut serta dalam menang dalam 

perang besar itu.

Kita bangsa Indonesia, tidak pernah terpaksa untuk secara aktif ikut 

dalam perang besar itu, seperti misalnya rakyat India yang dijajah Inggris, 

kira-kira hampir sama lamanya seperti bangsa Indonesia dijajah kolonialis 

Belanda.

Hal itu terjadi karena Belanda menyerah kepada Jepang tanpa 

mengadakan perlawanan dengan tentara-semu KNIL-nya.

Rakyat India yang dijajah Inggris terpaksa harus ikut mengorbankan 

dirinya dalam diikutkan perang oleh penjajahnya, yaitu kolonialis Inggris.

Bahkan kesatuan-kesatuan militer Inggris yang terdiri atas suku-suku 

bangsa India telah dipaksa Inggris untuk ikut dalam perang besar itu, di

dalam beberapa medan perang di benua Asia dan bahkan juga dapat 

dikerahkan oleh Inggris untuk menghadapi arek-arek Soeroboyo yang 

bersenjata seusainya PD-2 pada bulan Oktober—November sampai awal 

Desember 1945.

Kurang tepatnya penginterpretasian tentang esensi dan dampak jangka 

panjang dari Dekrit 5 Oktober 1945 oleh para elite-politik dari semua 

kepartaian (termasuk PKI), ternyata dapat menimbulkan penentuan garis 

politik partai-partai itu yang kurang atau bahkan tidak tepat. Mereka itu 

tidak sadar bahwa Dekrit 5 Oktober itu, telah memberikan kesempatan 

kepada eks-opsir KNIL yang selama itu "dormant" dan berada dalam 

keadaan frustasi dan demoralisasi yang mendalam, setelah menyerah tanpa 

syarat kepada tentara Jepang, untuk malah bisa masuk jajaran tentara RI 

secara resmi dan legal berdasarkan Dekrit 5 Oktober 1945 itu.

Malahan mereka dapat dorongan dan bantuan dari Mr. Ali 

Sastroamidjojo dan Mr. Amir Sjarifuddin berdasarkan konsep politik pribadi

mereka, sebagai menteri-menteri dalam kabinet pemerintah RI yang baru itu.

Ternyata eks-opsir KNIL hampir semua malahan dapat masuk dalam 

eselon yang tertinggi tentara Indonesia seperti di Kementerian Pertahanan 

dan di Markas Besar Tentara RI yang sedang berada dalam taraf 

pembentukan pada waktu itu.

Para bekas perwira PETA yang baru dilucuti Jepang juga dapat 

kesempatan untuk masuk dalam instansi tertinggi tentara Indonesia, yaitu 

Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara RI.

Berarti bahwa Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara RI 

sudah mulai dari permulaan terbentuknya dapat dimasuki oleh elemen￾elemen kontra-revolusioner. Bekas opsir KNIL dan bekas perwira PETA 

yang tidak revolusioner dan secara pasif menghadapi Jepang bekas atasan mereka

yang sudah kalah perang.

Hal ini tentunya diketahui oleh intelijen Belanda dan intelijen Inggris dan 

diteruskan kepada CIA.

Kebanyakan eks-opsir KNIL di Jawa Barat dapat langsung masuk dalam 

Divisi Siliwangi yang pimpinannya sudah dapat diinfiltrasi oleh bekas KNIL 

Divisi Siliwangi yang bermarkas di kota Bandung.

Jelas sekarang untuk para pembaca bahwa Dekrit 5 Oktober 1945

mempunyai segi yang sangat menguntungkan untuk bekas opsir-opsir KNIL 

dan bekas perwira PETA yang sudah berada dalam keadaan frustrasi berat 

karena dilucuti Jepang dan kemudian ternyata tidak mempunyai inisiatif 

untuk merebut senjata atau tidak mempunyai keberanian moral untuk 

melucuti tentara Jepang.

Jadi, bekas KNIL dan bekas perwira PETA berada dalam kondisi moral 

yang sama. Keduanya mengalami frustrasi berat, tapi mereka tetap tidak 

sadar bahwa mereka berdua mempunyai identitas yang sebenarnya memang 

sama yaitu sebagai 'Tentara semu" yang dibentuk oleh bangsa-bangsa asing 

yang menjajah bangsa Indonesia, yaitu kolonialis Belanda dan fasis Jepang.

Di samping kesalahan yang fatal itu tadi, elite-politik kepartaian juga 

tetap tidak dapat melihat hakikat yang sesungguhnya dari organisasi KNIL 

dan PETA.

Kedua kelompok orang yang berseragam dan bersenjata itu adalah 

sebetulnya bukan kesatuan tentara yang mempunyai sifat sebagai suatu 

bagian dari angkatan bersenjata yang sungguh-sungguh dapat digunakan 

untuk perang menghadapi musuh dari luar negeri.

Kedua organisasi militer-semu itu hanya merupakan "tentara-polisi" 

untuk menghadapi rakyat di kalangan bawah, yaitu buruh dan petani yang 

berontak melawan pemerintah kolonial Belanda dan pejajah fasis Jepang 

nanti seandainya dapat bertahan lebih lama lagi di Indonesia.

KNIL sebagai alat penjajah kolonialis Belanda dan PETA sebagai alat 

penjajah fasis Jepang kedua-duanya tentu saja harus dididik melawan 

komunisme oleh majikannya.

Personel, teristimewa golongan perwiranya, dari kedua organisasi alat 

penjajah itu terpilih dan berasal dari kalangan bangsawan atasan dan 

menengahan.

Kesalahan dalam menginterpretasi hakikat dan dampak Dekrit 5 Oktober

1945 ini oleh bapak-bapak pejabat pemerintah RI dan elite-politik kepartaian 

sangat mempengaruhi proses jalannya politik di RI mulai dari tahun 1945, 

Peristiwa Madiun 1948, dan sampai dengan tahun 1950-an, dan terus 

berjalan sampai dan sesudah terjadinya G30S yang disusul oleh 

terbentuknya orde baru Soeharto yang tidak secara kebetulan memakai 

dengan sengaja, opsir dan perwira KNIL dan PETA untuk mempertahankan 

kekuasaannya yang karena itu berkualitas sebagai rezim penindas rakyat 

dan sangat anti-komunis. Soeharto sendiri pernah bisa dipilih oleh penjajah 

Belanda dan Jepang untuk masuk KNIL dan PETA.

Bagian dari sejarah RI ini tentunya diketahui sepenuhnya oleh Cl A yang 

dapat input dari intelijen Kerajaan Belanda dan intelijen Kerajaan Inggris.

Tentang dampak jangka panjang yang sangat negatif itu, saya telah 

menulis secara terperinci dalam salah satu jilid buku seri saya, yaitu 

Pemikiran Militer.

Keadaan seperti yang saya terangkan di atas itu tentu saja dipantau 

dengan cermat oleh intelijen kolonialis Belanda dan Inggris dan dengan

sendirinya diteruskan kepada organisasi intelijen Amerika pada waktu itu, 

yang kemudian berkembang menjadi Cl A yang lebih sempurna.

Tentang dampak jangka panjang dari Dekrit 5 Oktober 1945 pemerintah 

baru RI itu saya kira perlu saya uraikan. Hal ini saya jalankan karena saya 

ingat petuah dari seorang pakar strategi perang pada zaman kuno, seorang 

bangsa Tionghoa, yang mengatakan: "Untuk bisa menang dalam perang 

perlu diingat tiga masalah yang bisa dikatakan dengan sederhana, yaitu: 

terutama kenali dirimu sendiri. Kedua, kenali musuhmu; ketiga, kenali 

betul-betul medan yang kamu hendak gunakan untuk menggelar seluruh 

kekuatan perangmu. Dengan mengenal ketiga masalah itu dengan baik, 

kamu mempunyai kemungkinan besar untuk unggul dalam perangmu itu."

Ternyata yang terberat untuk dilaksanakan dari tiga petuah itu adalah 

petuah yang pertama, yaitu mengenal sungguh-sungguh objektif dan jujur 

pada dirimu sendiri.

Menurut pengalaman saya, memang sangat sukar untuk mengenal diri 

sendiri itu. Saya sendiri pernah mengalami proses yang sangat rumit itu 

mulai dari kanak-kanak um ur delapan tahun. Saya, oleh bapak saya, disuruh 

pada libur panjang musim panas pergi ke rumah eyang kakung saya yang 

hidup sebagai petani di pedesaan di daerah Kediri, Jawa Timur.

Kata bapak saya, tujuan untuk menghabiskan libur panjang saya di 

rumah eyang kakung itu untuk belajar menemukan jati diri saya.

Apa arti sebetulnya yang disebut bapak saya itu saya tentunya tidak tahu 

dan tidak mengerti.

Tidak ada gunanya untuk meminta keterangan lebih lanjut pada waktu 

itu. Karena justru karena saya tidak tahu itu saya harus pergi dan 

menghabiskan liburan saya di "dalemnya" kakung di pedesaan yang 

bersejarah kuno itu.

Saya pada waktu itu sudah ikut organisasi Kepanduan Bangsa 

Indonesia/KBI dan saya pergi sendiri dengan berseragam pandu KBI dengan 

kereta api dari Surabaya ke Keras. Dari stasiun kecil itu saya masih harus 

naik dokar ke Desa Karangtalun, tempat rumah eyang saya itu. Episode 

dalam kehidupan saya itu tidak dapat saya lupakan dan membekas begitu 

mendalam dalam benak saya sehingga saya dapat menulis novel dua jilid 

tentang pengalaman saya sebagai kanak-kanak yang belajar menemukan jati 

dirinya.

Novel dua jilid itu berjudul Si Pemburu.

Maaf, saya sedikit menyimpang dan melantur.Masalah mengenal diri dalam arti sempit adalah riwayat kehidupan 

pribadi seseorang dan dalam arti luas di dalam rangka strategi perang bukan 

merupakan masalah kecil yang dapat begitu saja diremehkan.

Kelompok saya sebagai mahasiswa kedokteran senior independen sering 

mendiskusikannya pada waktu menjelang terjadinya Proklamasi 

Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan sesudah itu.

Seperti yang telah saya uraikan di atas, kelompok kita mengadakan 

analisa itu kebanyakan berdasarkan metode yang berhubungan erat dengan 

kuliah-kuliah kita di dalam ilmu psikologi dan psikiatri. Kita belum 

mengenal cara-cara menganalisa yang lain seperti misalnya secara Marxisme 

yang pada waktu itu mulai dipamerkan secara demonstratif oleh orang￾orang penganut Sjahrir yang terkenal berideologi sosialis, mereka 

kebanyakan hidup di gedung kos di Jalan Menteng 31 Jakarta.

Tempat hidup kelompok independen kita adalah kompleks gedung yang 

besar dengan halaman depan luas dan mencolok di Jalan Prapatan nomor 10 

dekat daerah Pasar Senen Jakarta.

Kelompok kita dalam suatu diskusi pernah mensinyalir bahwa pada 

waktu itu suatu penyakit jiwa yaitu Multiple Personality Disease, nampaknya 

telah mulai menjangkiti para pemimpin pemerintah baru kita dan juga 

beberapa orang mahasiswa teman kita. Bentuk dari kejangkitan itu menurut 

diagnosa kelompok kita bisa macam-macam. Untungnya kelompok kita 

pada waktu itu masih memandang terjadinya fenomena itu dari sudut 

pandang black humor.

Tetapi apakah fenomena adanya kejangkitan penyakit jiwa seperti yang 

saya uraikan di atas hanya terjadi di Jakarta di kalangan pimpinan negara 

dan di kalangan intelektual yang berasal dari Negeri Belanda dan kalangan 

mahasiswa asli Jakarta?

Ternyata jawabannya adalah berdasarkan teori ilmiah: yaitu

kemungkinan besar penyakit penyimpangan jiwa itu mempunyai peluang 

untuk terjadi dalam suatu suasana yang sangat tegang atau genting seperti 

yang terjadi pada waktu itu di Jakarta menjelang usainya PD II, dan 

mungkin juga sebagai akibat dari suatu proses dari "agitasi diri sendiri" yang 

terlalu hebat.

Mengapa saya berani mengatakan demikian. Karena saya pernah 

menyaksikan fenomena seperti itu pada tahun 1970. Pada waktu itu saya 

berada di RRC dalam rangka melaksanakan perintah Panglima Tertinggi 

Bung Karno, yaitu: setelah menyelesaikan tugas belajar di lembaga 

pendidikan militer tertinggi di Uni Sovyet yaitu di War College Suworov, 

saya harus mengadakan peninjauan di RRC dan VietnamPada waktu itu di RRC masih berlangsung dengan hebat RBKP/ Revolusi 

Besar Kaum Proletar Tiongkok dan masih berkobarnya Perang Vietnam.

Saya akan persingkat cerita saya ini. Pokoknya pada kunjungan saya di 

kota Peking, sekarang Beijing, bertemu dan dapat bicara dengan Jusuf 

Adjitorop atau Josef Simanjuntak, seorang mantan anggota CC PKI yang 

sedang berobat di kota itu.

Dalam pembicaraan itu saya dapat mengambil kesimpulan bahwa ia itu 

menunjukkan gejala penyakit Multiple Personality Disease dalam suatu taraf 

yang serius. Hal itu tidak mengherankan saya, karena saya tahu juga bahwa 

saya berhadapan dengan seorang pasien sakit lever/hepatitis yang parah.

Di samping itu, J.A. menunjukkan gejala penyakit MPD yang serius juga. 

Ia merasa bahwa ia itu seorang pemimpin Partai Komunis Cina. Ia bicara 

tentang RRC, sebagai "benteng revolusi" dan tentang RBKP yang perlu harus 

dijalankan dalam ucapan yang memperkuat diagnosa saya itu.

Saya pada waktu itu menarik kesimpulan bahwa J.A. itu sama sekali 

lupa bahwa PKI belum pernah memegang kekuasaan negara, jadi masih 

mempunyai status yang sama seperti partai-partai lain di Indonesia. Jadi 

berarti bahwa menjalankan Marxisme oleh PKI tidak bisa mengikuti teorinya 

V.I. Lenin atau Mao Zedong yang sudah memegang kekuasaan negara pada 

zaman mereka.1

Pada saat itu timbul pikiran pada diri saya bahwa di situ harus antara 

lain dicari jawabannya mengapa Peristiwa G30S bisa terjadi.

Jika diringkas, mungkin pemikiran dogmatis seperti itulah yang menjadi 

salah satu sebab terjadinya G30S.

Marx dan Engels jika saya tidak salah pernah mengatakan bahwa 

ideologi mereka itu bukan merupakan suatu dogma.

Apakah Bung Karno yang menganjurkan orang memakai Marxisme 

sebagai cara untuk menganalisa suatu problem, ia sendiri secara konsekuen 

memakainya? Bagaimana tentang ide nasakom yang ia sudah pernah 

ucapkan pada tahun 1920-an? Apakah suatu ide seperti "bekerja sama 

nasakom" dapat secara terlepas dari hubungan spasial dan temporal 

digunakan?

Menurut teori politik baru abad 21 dalam buku Andrew Heywood, 

Politics, misalnya, dianjurkan untuk dapat dibedakan di antara "facts dan 

values".

Apakah ide kerja sama nasakom bisa merupakan suatu fakta yang bisa 

dikatakan ilmiah?

Saya kira masalah-masalah seperti ini kita sebagai generasi sekarang 

harus tetap tinjau secara scientific berdasarkan teori-teori baru abad-21 yang 

ada sekarang di bidang politik, filosofi, dan lain-lain.

Semua hal ihwal dalam universum ini tidak statis tapi berevolusi secara 

abadi.

Tapi setelah terjadi Dekrit 5 Oktober 1945, kelompok kita mahasiswa 

independen pada waktu itu, mulai memandang fenomena yang terjadi itu 

dari sudut pandang yang lebih serius. Karena kita mulai curiga bahwa pihak 

musuh mulai menunggangi keadaan dengan kemampuan organisasi 

intelijennya. Hal inilah yang dilupakan oleh para tokoh dan elite-kepartaian 

pada zaman itu.

Di samping itu saya kira terjadinya bahaya penyimpangan jiwa seperti 

gejala penyakit Multiple Personality Disease itu tetap kita masukkan dalam 

perhitungan kita.

Untuk menjelaskan keadaan proses perkembangan sejarah pada waktu 

itu, saya pikir perlu menggunakan gambaran timeline dari kejadian-kejadian 

yang penting dilihat dari sudut ilmiah atau historiografi mulai dari saat 

masuknya fasis Jepang di Indonesia.

Melihat timeline dari kejadian sejarah yang penting di atas, jelas bahwa 

pada waktu terjadinya proklamasi tidak terjadi sesuatu yang perlu dicatat.

juga pada terjadinya rapat raksasa di Lapangan Ikada di Jakarta tidak terjadi 

apa-apa yang patut dicatat dalam sejarah.

Jadi di Jakarta sebagai tempatnya pemerintah RI yang diproklamirkan 

pada 17 Agustus 1945, tidak terjadi suatu gejala dari tanda adanya suatu 

revolusi dengan model tertentu.

Pada waktu itu semua berjalan normal tanpa adanya gejolak yang dapat 

menarik perhatian penduduk kota Jakarta pada umumnya, malahan Bung 

Karno dan Bung Hatta masih sempat mengadakan korespondensi dengan 

pihak militer Inggris di Jakarta.1

Lain halnya yang terjadi di kota Surabaya. Pada tanggal 19 September 

1945 di Surabaya terjadi sesuatu yang menggemparkan seluruh penduduk 

kota Surabaya. Yaitu penggagalan usaha kolonialis Belanda untuk 

menunjukkan bahwa ia masih berkuasa dan masih dapat menunjukkan 

kekuatannya, dengan secara simbolik dan angkuh mengibarkan bendera 

kerajaan Belanda di atas gedung hotel di tengah kota Surabaya. Demonstrasi 

tetap masih adanya kekuasaan kolonialis Belanda itu gagal karena langsung 

dihancur-leburkan oleh tindakan tegas dan tepat dari warga kota Surabaya.

Secara objektif sebetulnya bisa dikatakan bahwa peristiwa penurunan 

dan perobekan bendera Kerajaan Belanda yang terjadi pada 19 September 

1945 itu adalah suatu insiden berdarah yang dapat dipandang sebagai 

permulaan dari revolusi dan perang kemerdekaan bangsa Indonesia.

Sedangkan 1 Oktober 1945, dengan diserbunya secara massal oleh rakyat 

Surabaya dan menyerahnya Markas Besar Kempei Tai di Surabaya sebagai 

simbol kekuasaan fasis Jepang itu, dapat dipandang sebagai pelaksanaan 

suatu garis proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Bung Karno atas 

nama rakyat Indonesia, yang menyatakan supaya ambil alih kekuasaan 

dijalankan secara seksama dan dalam waktu yang sesingkatnya.

Penduduk Surabaya secara menyeluruh dengan demikian merupakan 

warga RI yang pertama dapat melaksanakan apa yang tercantum dalam 

proklamasi kemerdekaan RI yang dibacakan oleh Bung Karno itu.

Mengapa masalah yang bersifat sederhana itu tidak dapat diakui pada 

waktu itu oleh bapak-bapak tokoh-tokoh pejabat yang baru diangkat 

menjadi anggota kabinet dari pemerintahan yang baru RI?

Malahan rakyat Surabaya dituduh tidak berdisiplin dan mungkin ingin 

mendirikan negara sendiri.Saya mengerti bahwa penilaian seperti itu asalnya dari orang-orang yang 

tetap tidak dapat atau belum mampu melepaskan belenggu penjajahan 

kolonialis Belanda.

Jadi di mana untuk pertama kali terbentuknya tentara dari negara RI itu?

Pada 17 Agustus 1945, PETA yang masih memegang senjata tidak 

menyatakan sebagai tentara RI secara spontan.

Pada 22 Agustus, seluruh PETA dapat dikatakan sudah dilucuti oleh 

Jepang, dan dapat terlihat pada 19 September, perwira-perwira PETA 

nampak berpakaian sipil mirip tokoh-tokoh politik sipil berjalan di samping 

kelompok Bung Karno dan Bung Hatta. Nampak jelas dalam foto 

dokumentasi itu, eks-Shodanco Mufreni, anggota dari Daidan I di Jakarta di 

bawah pimpinan Daidanco Mr. Kasman Singodimedjo (kemudian menjadi 

anggota Kabinet Pemerintah RI).

Sedangkan massa raksasa penduduk Jakarta meninggalkan dengan 

tenang lapangan Gambir yang besar itu.

Hanya terdengar suara ribuan kaki manusia yang sedang berjalan pada 

waktu itu.

Apakah pandangan seperti itu dapat dikatakan sebagai suatu gambaran 

adanya terjadi suatu revolusi?

Jika demikian adanya, "kapan sebetulnya dapat dikatakan revolusi 

kemerdekaan itu mulai?"

Apa yang saya tulis ini bukan sama sekali suatu usaha untuk mengejek a

la arek Soeroboyo, tapi saya dengan serius mengajak para pembaca 

merenungkan hal ini secara ilmiah untuk menemukan kebenarannya dan 

bila perlu mengadakan peninjauan ke belakang secara jujur ilmiah.

M udah-mudahan apa yang saya tulis ini dapat memberikan input yang 

berguna kepada saudara Suar Suroso

Saya minta maaf atas kesalahan-kesalahan besar dan kecil yang mungkin 

terselip dalam tulisan saya ini.

Terima kasih saya ucapkanATAS permintaan penulisnya, saya berusaha untuk memberikan tanggapan 

berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya terhadap buku Akar dan

Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno.

Buku tersebut sangat baik dan perlu dibaca oleh generasi muda 

khususnya generasi penerus yang masih mencintai bangsa dan tanah airnya. 

Buku tersebut menyajikan berbagai fakta tentang peranan kaum 

kolonialis/imperialis yang penuh kelicikan, baik dalam memecah-belah 

bangsa dan menjadikan kaum reaksioner di dalam negeri dalam menjadikan 

dan mempertahankan Indonesia negeri jajahan dari zaman kolonialisme 

klasik (penjajahan model lama) hingga kolonialisme/imperialisme modern 

(penjajahan model atau dalam bentuk baru).

Tulisan Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan

Penggulingan Bung Karno menggambarkan bahwa sejarah perkembangan 

masyarakat dan bangsa Indonesia tak pernah terputus dari waktu ke waktu, 

dari bentuk satu tahap ke tahap berikutnya.

Gerakan revolusioner rakyat Indonesia yang tumbuh sejak dalam 

cengkeraman kolonialis Belanda tak pernah berhenti meskipun berulang kali 

menghadapi pukulan-pukulan dan penindasan yang sangat berat. 

Perkembangan tersebut terus meningkat, hingga terjadinya syarat-syarat 

perubahan dari negeri jajahan menjadi negeri merdeka, yaitu terciptanya 

krisis revolusioner yang membuat rakyat secara nasional bangkit melakukan 

revolusi hingga berdirinya negara Republik Indonesia. Peristiwa sejarah 

tersebut menjadi sangat penting dipelajari oleh kaum revolusioner, bahwa 

faktor-faktor objektif itu lahir dan berkembang sebagai suatu keharusan 

yang tak dapat direka-reka, sebagaimana krisis yang terjadi di Indonesia dan 

di mana pun di dunia. Kita, suka atau tidak suka, inginkan atau tidak, ia 

merupakan keharusan yang akan terjadi. Tetapi, revolusi itu akan berjalan

mencapai perspektifnya apabila tampil peranan subjektif yang memimpin 

revolusi. Pimpinan revolusi berupa organisasi kelas yang mempunyai 

program-program perubahan yang membebaskan negeri dan masyarakat 

dari penjajahan. Dari sini, peranan subjektif yang diperlukan tidak bersifat 

individual, melainkan secara organisasi yang harus tampil dengan program￾program perubahan mendatang, sehingga rakyat mengetahui ke mana arah 

revolusi itu dan rakyat yang terorganisasi memberikan dukungan 

sepenuhnya.

Sebagaimana diketahui, kolonialis Belanda sejak bertekuk lutut pada 

fasisme Jepang yang menguasai Indonesia, bersekutu dengan imperialisme 

Amerika Serikat dan Inggris, hingga kemudian Amerika Serikat 

menjatuhkan bom di Hiroshima. Namun demikian, Belanda tidak mengakui 

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Dalam hal ini, 

kolonialis Belanda bersama Amerika Serikat justru menyusun siasat untuk 

menghancurkan kekuatan bersenjata rakyat yang dipimpin oleh kaum 

komunis dan kaum revolusioner, dengan berkomplot bersama kaum 

reaksioner didikan dan menjadi kaki-tangan kolonialis Belanda sebagai 

kekuatan utama di dalam negeri. Siasat licik Belanda berhasil menempatkan 

perwira-perwira KNIL memimpin kekuatan bersenjata yang resmi menjadi 

TNI. Kemudian melakukan berbagai provokasi hingga terjadinya Peristiwa 

Madiun. Siasat imperialis Belanda berhasil menghancurkan kekuatan 

bersenjata di bawah pimpinan kaum revolsuioner yang dilanjutkan dengan 

pendudukan kembali oleh Belanda melalui agresi militer kedua dan 

terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS)

Meskipun secara formal kemudian RIS dibubarkan, tetapi secara riil 

kolonialis Belanda berhasil menguasai sebagian teritorial wilayah Indonesia, 

yaitu Irian Barat. Secara militer, TNI dikuasai oleh para perwira KNIL yang 

kemudian menjadi kaki-tangan setia kaum imperialisme. Selanjutnya, TNI 

yang sebagian besar pucuk pimpinannya terdiri dari perwira KNIL itu 

berhasil pula melakukan konsolidasi (reorganisasi), terutama setelah 

diberlakukannya Dwifungsi ABRI dan menjadi backing para tuan tanah, 

sehingga bagaikan membangun negara di dalam negara Republik Indonesia. 

Keadaan demikian menjadikan Indonesia masyarakat setengah jajahan dan 

setengah feodal.

Dalam keadaan demikian, meskipun dalam politik luar negeri anti 

imperialisme tampak demikian hebat dan mendapat dukungan dari Asia— 

Afrika dan Amerika Latin yang dipelopori Indonesia di bawah Presiden 

Soekarno sehingga membangun kekuatan Nefo, akan tetapi kaum imperialis 

melalui kekuatan reaksioner di dalam negeri justru berhasil mengonsolidasi

diri, menguasai, dan memimpin situasi hingga berpuncak pada terjadinya 

Peristiwa G30S.

Buku Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan

Bung Karno telah mengupas berbagai rencana kaum imperialis dengan 

strategi menguasai (menjajah kembali) Indonesia. Rencana kaum imperialis 

dalam menjalankan Perang Dingin dengan strategi global menguasai dunia, 

telah berhasil melalui taktik menaklukkan dan menguasai berbagai negeri, 

termasuk Indonesia.

Sementara itu, kaum revolusioner Indonesia di bawah pimpinan partai 

telah melakukan kesalahan-kesalahan dan memiliki kelemahan-kelemahan 

serius di bidang teori, politik, organisasi, dan ideologi.

Kesalahan dan kelemahan ini bukanlah bersifat individu pimpinan partai, 

sehingga sangatlah tidak tepat jika ada sementara orang yang 

menumpahkannya kepada seseorang pimpinan. Sudah barang tentu, 

semakin tinggi kedudukan seseorang dalam pimpinan partai, semakin besar 

pula harus memikul tanggung jawab terhadap kesalahan tersebut. Semua itu 

telah mereka tebus dengan nyawa dalam memikul tanggung jawab. 

Sedangkan mereka yang menyalahkan sana-sini, tidak berbuat sesuatu bagi 

rakyat dan bangsanya.

Setelah terjadinya pembantaian besar-besaran terhadap rakyat yang tak 

berdosa dan digulingkannya pemerintahan Bung Karno oleh kaum 

imperialis melalui kekuatan setianya di dalam negeri, maka dilakukannya 

penancapan kakinya di bumi pertiwi, yang menjadikan Indonesia negeri dan 

masyarakat jajahan model baru dengan sisa-sisa feodal.

Bagi kaum revolusioner dalam hal ini, kiranya perlu menyatukan 

pandangan terhadap materi masyarakat dan negeri Indonesia sebagai hal 

pokok. Dengan demikian, akan menemukan jalan akan "apa yang harus

dikerjakan" dan "dari mana dimulai". Tentu dengan berpegang teguh pada 

prinsip "Tidak ada satu kelas yang akan melepaskan kekuasaan secara sukarela".

Pembelejetan pelanggaran H AM berat dan kejahatan kemanusiaan oleh 

rezim kaki tangan imperialis adalah penting, tapi tidak berilusi mendapat 

belas kasihan dan tidak menjadikannya sebagai pekerjaan pokok yang harus 

digeluti sepanjang usia.

Demikian tanggapan saya terhadap buku Akar dan Dalang Pembantaian

Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno.

PEMBANTAIAN manusia tak berdosa dan penggulingan Bung Karno 

adalah maha-malapetaka menimpa Indonesia di pertengahan abad ke-20. Ini 

merupakan halaman hitam sejarah. Bukan saja sejarah Indonesia, bahkan 

sejarah dunia. Betapa tidak! Indonesia waktu itu adalah negeri besar kelima 

di dunia dalam jumlah penduduk. Rakyat Indonesia yang besar dan beradab 

telah jadi korban kebiadaban strategi negara adikuasa. Indonesia yang 

cemerlang, mercusuar perjuangan rakyat-rakyat sedunia melawan 

kekuasaan lalim imperialisme, berubah wajah jadi pengekor negara adidaya. 

Ini dipicu oleh Peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Tak sedikit buku ditulis di dalam dan luar negeri mengenai Peristiwa

Gerakan 30 September. Tapi peristiwa itu tetap misterius. Lantang 

berkumandang suara mencari dalang. Tapi dalang hanya dicari dengan 

berkutit sekitar tindak-tanduk pribadi-pribadi atau kesaksian dan 

pengakuan pribadi-pribadi termasuk hasil-hasil pengadilan mahmilub yang 

dikendalikan militer. Sedangkan lembaga yang mendunia, yang

mengendalikan pribadi-pribadi itu, bahkan yang merekayasa dan 

mengendalikan banyak peristiwa dunia, tidak disinggung. Lebih sayang lagi, 

tak terjadi usaha serius membongkar akar malapetaka itu. Maka tak bisa lain. 

Peristiwa Gerakan 30 September itu tetap misterius.

Peristiwa ini bukanlah hanya menyangkut Indonesia. Lebih-lebih lagi 

bukan hanya menyangkut Bung Karno, PKI, dan Angkatan Darat. Ini terjadi 

dalam dunia yang sedang dilanda Perang Dingin. Indonesia sedang jadi 

sasaran Perang Dingin. Para pelaku, jagal-jagal pembantai manusia sampai 

para pelaku penggulingan Bung Karno hanyalah eksekutor, pelaksana sadar 

atau tidak sadar dari strategi Perang Dingin, yaitu pembasmian kaum 

komunis di mana saja muncul, termasuk pembasmian atas kaum komunis 

Indonesia; strategi yang bertujuan membikin punah PKI di Indonesia untukselama-lamanya. Maka akar peristiwa ini tidaklah terdapat di Indonesia. 

Hanyalah dengan mengupas secara menyeluruh, mengupas saling 

hubungannya dengan dunia yang sedang dilanda Perang Dingin, barulah 

bisa membongkar akar dan menemukan dalangnya, barulah jelas-jemelas 

hakikat sesungguhnya peristiwa itu. Maka akan jelas, bahwa peristiwa itu 

bukanlah misteri. Demi tujuan inilah, penulis mempersembahkan kepada 

pembaca buku Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan

Penggulingan Bung Karno ini.

Penulis sangat berterima kasih pada editor. Bung Koesalah Soebagyo 

Toer, yang sudah mengedit naskah dan mengusahakan penerbitannya, serta 

menyumbangkan tulisan Sekapur Sirih menyambut terbitnya buku ini. Juga 

terima kasih pada Bung Ibrahim Isa yang bermurah hati memberi kata 

Sambutan yang sangat inspiratif. Demikian pula kepada Bung Nurman yang 

menyumbang dengan tanggapan dan kata Sambutan yang ikut memberi 

bobot pada buku ini. Dan terima kasih khusus saya sampaikan pada Pak 

Hario Kecik, Purnawirawan Brigjen. TNI, mantan Panglima Daerah Militer 

Kalimantan Timur, dengan tanggapan beliau sebanyak 20 halaman kwarto, 

yang selengkapnya dimuat sebagai Sambutan, sedangkan bagian yang 

bersifat masukan, yaitu yang menyangkut paparan sejarah periode awal 

Revolusi Agustus, terutama mengenai Dekrit 5 Oktober 1945 dalam hubungan 

dengan pembangunan kekuatan bersenjata RI, dipakai penulis untuk 

menyempurnakan Bab VIII naskah bagian subjudul: 7. Dari Tentara

Keselamatan Rakyat (TKR), Jadi Pasukan Anti Ajaran Bung Karno dan Jadi

Pembasmi Komunis.

Di samping menggunakan masukan dari Pak Hario Kecik ini, subjudul 

tersebut dilengkapi dengan bahan dari Doktrin TNI-Angkatan Darat Tri

Ubaya Shakti, hasil Seminar ke-2 Angkatan Darat, 25 s/d 31 Agustus 1966 di 

Grha Wiyata Yudha / Seskoad Bandung, yang Mukadimah-nya antara lain 

menyatakan Komunisme, Marxisme-Leninisme, Maoisme adalah bertentangan

dengan Pancasila.

Menyangkut sejarah PKI, penulis menggunakan sejumlah kutipan dari 

Manuskrip 45 Tahun PKI, hasil riset Lembaga Sejarah PKI yang belum 

diterbitkan. Karena itu, terima kasih khusus saya sampaikan pada Pak 

Utomo Sumaun, Ketua Umum LPRKROB, salah seorang sekretaris dari 

Lembaga Sejarah PKI, yang juga telah menulis kata Sambutan yang memberi 

bobot tambahan bagi buku ini.

Dan tak lupa, terima kasih khusus disampaikan pada Bung Bilven yang 

berkat perhatian dan bantuannya. Penerbit Ultimus telah berjasa dengan 

berhasil menerbitkan buku ini.

M udah-mudahan buku ini bisa jadi sekedar sumbangsih bagi merintis 

usaha membuka kunci misteri Peristiwa G30S, membongkar akar dan 

membikin telanjang dalang maha-malapetaka yang telah melanda bangsa 

Indonesia, dalam usaha besar memaparkan sejarah berdasarkan pandangan 

yang menyeluruh, cari kebenaran dari kenyataan. Semoga buku ini bisa jadi 

secercah urun demi membebaskan bangsa kita dari pembodohan yang 

berlangsung di bawah kekuasaan rezim militeris orba Soeharto lewat 

tulisan-tulisan sejarah yang menyesatkan.

Kepada para pembaca yang berkenan memberi kesan dan kritik-kritik, 

penulis mengucapkan banyak terima kasih.