artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman
pribadi melalui metode penulisan langsung oleh
korban dan keluarga korban selama Januari -
April 2004. Selain itu juga dibantu melalui
metode wawancara yang dilakukan oleh Kontras.
artikel ini ditujukan bagi warga luas
agar bisa memahami peristiwa Tanjung Priok
yang sebenarnya. Termasuk penderitaan dan
harapan-harapan korban dan keluarga korban,
di samping munculnya berbagai intervensi ber-
bagai pihak untuk memetieskan dan mengabur-
kan fakta kasus Tanjung Priok. Selain itu, artikel
ini juga ditujukan kepada para jaksa penuntut
umum, majelis hakim dan seluruh aparat hu-
kum untuk memberikan fakta yang sebenarnya
di luar timbulnya berbagai fakta-fakta yang ter-
ungkap di persidangan. Lebih jauh, artikel ini
diharapkan dapat membuka kebenaran akan
peristiwa Tanjung Priok sebagai bagian dari
sejarah negara kita .
ban dan keluarga korban yang telah menyedi-
akan waktunya untuk menulis pengalaman yang
tentu saja tidak mudah untuk diungkapkan.
Selain itu juga kami mengucapkan terima kasih
kepada korban dan keluarga korban pelang-
garan HAM di Talangsari Lampung, Trisakti,
Semanggi I dan II, Mei 1998, penculikan aktivis
1998, dan pembunuhan massal di tahun 1965-
1966. Termasuk kawan-kawan mahasiswa yang
tergabung dalam Kompak, GMNI, HMI, dan
organisasi mahasiswa lainnya yang selama ini
turut mendukung perjuangan korban Tanjung
Priok. Semoga kita tetap bersama dalam mem-
perjuangkan hak-hak dan kebebasan asasi
manusia sehingga terwujud kebenaran dan
keadilan bagi korban pelanggaran HAM.
pra-gagas
Tiada yang adil di bumi ini, selain keadilan-Mu
Tiada yang kuat di bumi ini, selain kekuatan-Mu
Kami mengharapkan kehadiran-Mu
Kami menantikan mukjizat-Mu
Hanya keajaiban-Mu-lah yang dapat membantu
kami
Datangkanlah secercah harapan untuk kami
Tuhan sertailah kami bersama-Mu
Agar kami terhindar dari penguasa di bumi per-
tiwi ini Amin.....!!!
(Wanma Yetty, salah seorang korban peristiwa
Priok ‘84)
Puisi di atas ditulis oleh Wanma Yetty, anak
perempuan salah seorang korban peristiwa
berdarah di Tanjung Priok 12 September 1984.
Yetty, yang pada saat itu berusia 20 tahun tak
tahu menahu salah dan dosa ayahnya, juga ikut
terjerumus dalam jurang penderitaan yang
mengubah jalan hidupnya. Masa depannya se-
saat menjadi gelap.
Perisitwa Tanjung Priok telah mengubah
hidup Yetty dan ratusan orang lain. Berbagai
peristiwa besar telah terjadi di tempat ini. Se-
iring kapal-kapal yang datang dan pergi di pela-
buhannya, berbagai kisah hidup manusia pun
bergulir di Tanjung Priok.
Salah satu peristiwa besar yang terjadi di
Priok yaitu peristiwa yang terjadi pada 12 Sep-
tember 1984. Sebuah peristiwa yang sampai kini
masih menorehkan luka menganga dalam lem-
baran sejarah bangsa negara kita .
Banyak orang mungkin telah lupa pada apa
yang terjadi di Tanjung Priok bulan September
tahun 1984. Jangankan sebuah peristiwa yang
terjadi 20 tahun yang lalu, untuk peristiwa yang
baru terjadi satu tahun lalu pun, kita barangkali
sudah melupakannya. Atau mungkin kita tidak
lupa sebab koran masih memberitakan perju-
angan para korban sampai saat ini, tapi kita tidak
peduli. Ya, kita tidak mempedulikannya seperti
kita tidak peduli pada peristiwa-peristiwa pe-
langgaran hak asasi lainnya. Mengapa kita bisa
tidak peduli pada tragedi kemanusiaan seperti
peristiwa Priok? Jawabannya sangat relatif.
Pertama, kita bisa tidak peduli sebab kita
takut. Kedua, kita tak peduli sebab tak tahu
bagaimana cara untuk peduli. Ketiga, kita tak
peduli sebab kita telah menjadi manusia tanpa
hati nurani. Bila kita tidak peduli sebab sebab
pertama, itu mungkin sebab kita telah diben-
tuk menjadi manusia-manusia penakut selama
puluhan tahun tanpa kita sadari. Bila kita tak
peduli sebab sebab kedua, berarti kita masih
selamat dari wabah ketakutan yang membe-
lenggu hidup kita. Mungkin kita baru terjangkit
gejalanya saja. Dan bila kita tak peduli sebab
sebab ketiga, berarti wabah itu telah meracuni
seluruh jiwa-raga kita.
Termasuk dalam kategori yang manakah
diri kita? Semoga kita tidak termasuk dalam
ketiga kategori itu. Semoga kita masih menjadi
manusia yang peduli. Manusia yang tidak takut
untuk peduli, tahu bagaimana cara untuk pe-
duli, dan memiliki nurani yang bekerja dengan
baik. Tanpa kepedulian pada sesama, hidup kita
akan kehilangan makna. Hidup kita tidak akan
berarti banyak.
artikel ini juga tak lebih dari sebuah bentuk
kepedulian terhadap sebagian korban peristiwa
Priok. artikel ini tidak ditulis dengan tujuan mu-
luk. artikel ini ditulis hanya sebagai ungkapan
curahan hati para korban sendiri. Tak lebih dari
itu. Bila Anda membacanya dan kemudian men-
jadi peduli, itu akan menjadi sebuah rakhmat
bagi para korban.
“Malam ini akan ada
banjir darah!”
SEKITAR pukul 13.00 WIB, tanggal 10 Sep-
tember 1984 saya bersama almarhum Amir Biki,
sopirnya, dan seorang lagi yang saya lupa nama-
nya, berangkat dari rumah Amir Biki menuju
Mushola Assa’adah di gang 4 Koja. Di mushola
itu, Sertu Hermanu yang menjabat babinsa di
daerah itu dikabarkan masuk mushola tanpa
membuka sepatu. Tujuan kami siang itu ada-
lah untuk mengecek kebenaran peristiwanya,
sekaligus meredam gejolak warga sekitar.
Keadaan menjadi cukup genting sehubungan
dengan adanya pembakaran motor babinsa
Hermanu. Kami juga bermaksud menanyakan
perihal penangkapan empat orang pengurus
mushola ini .
Rencana Amir Biki yaitu mencoba men-
damaikan, tapi saat kami sampai di tempat,
kedua belah pihak sudah tak ada yang bisa
kami temui, termasuk Sertu Hermanu. Amir Biki
akhirnya mengumpulkan tokoh warga di
salah satu mesjid di gang Y untuk memberikan
arahan agar persoalannya jangan dibesar-
besarkan, namun warga dan keluarga yang
ditangkap berharap Amir Biki mengupayakan
pembebasan keempat orang ini .
Amir Biki menyanggupi permintaan kelu-
arga korban.
“Akan saya temui Komandan Kodim untuk
membicarakannya, mudah-mudahan bisa di-
bebaskan. Kalau tidak, saya akan minta pena-
hanannya dipindahkan ke Kapolres Jakarta
Utara,” kata almarhum waktu itu.
Berita yang tersebar saat itu, keempat orang
ini sudah babak belur.
Seusai pertemuan, kami pulang. Saya turun
di depan bioskop Permai, kemudian menuju
toko artikel Nusa Indah yang ada di sebelahnya.
Toko itu kepunyaan saya.
Hari mulai gelap, sebentar lagi hampir
maghrib dan pasar mulai ramai, sayapun mulai
membuka toko.
Esok harinya, tanggal 11-9-1984 pagi, saya
mencari Sertu Hermanu yang telah saya anggap
sebagai saudara sendiri. Selama ini dia sangat
akrab dan dekat dengan saya. Saya mencari ke
rumahnya di kampung Mangga, ternyata dia
tidak ada. Tujuan saya mencarinya hanya ingin
menanyakan kronologi peristiwa sebenarnya
sampai motornya dibakar dan dia masuk
mushola tanpa buka sepatu. Saya yakin Pak
Hermanu pasti mau berterus terang pada saya.
Tapi saya tidak berhasil menemuinya meski
seharian saya mencarinya.
Rabu, tanggal 12 September 1984, sekitar
pukul 13.00 WIB saya melihat Amir Biki sudah
ada di Jalan Sindang. Ia sedang mempersiap-
kan panggung bersama panitia Tabligh Akbar.
Kemudian sayapun ikut membantu memasang
speaker. Speaker yang paling jauh saya pasang
bersama Amir Biki di belakang penjagalan sapi.
Tepatnya di samping jalan menuju Mapolres
Jakarta Utara. Tapi saya lupa nama jalannya.
Sambil bergurau saya bertanya pada Amir
Biki, “Apakah memasang speaker sejauh itu
harus kena pajak?” Saya perkirakan kabel yang
dipakai sekitar 350 meter dari Jalan Sindang
atau panggung.
Amir Biki menjawab: “Biar Kapolres dengar
sebab barangkali dia budeg.”
Saya tidak mengerti apa maksud kata-kata
Amir Biki tadi. sesudah selesai speaker diarah-
kan ke Mapolres, saya berdua dengan Amir Biki
kembali ke panggung. Di situ sudah ramai anak-
anak muda bersama panitia, sibuk dengan tugas
masing-masing.
sesudah usai persiapan panggung, saya ke
Permai untuk membuka toko. Selepas Shalat
Isya, kira-kira jam 20.00 WIB saya kembali ke
tempat pengajian atau Tabligh. Ternyata sudah
ramai sekali jamaahnya.
Jam 20.30 WIB protokol mulai membuka
acara, dan sebagian penceramah sudah hadir.
Protokol kemudian mempersilakan Amir Biki
naik ke podium. Amir Biki memperkenalkan diri
dan mengatakan bahwa ia baru pertama kali
naik podium.
“Baru kali ini saya bicara dan kemungkinan
ini yang terakhir kali,” ujar Amir Biki.
sesudah itu baru dia mengumumkan bahwa
Syarifin Maloko tetap hadir di tengah-tengah
kita, jadi tidak benar Syarifin Maloko telah
ditangkap oleh mereka. Isunya waktu itu Pak
Syarifin telah ditangkap.
Penceramah kedua, yaitu almarhum Salim
Kadar. Namun isi ceramahnya saya tidak per-
hatikan.
Kemudian tampil M. Nasir yang isi ceramah-
nya banyak menyinggung kebijakan pemerintah,
mengulas soal KB, dan soal fasilitas ekonomi
yang begitu mudah diperoleh etnis Cina. Setiap
saya ikuti ceramahnya, ia hampir selalu me-
nyinggung masalah-masalah itu.
Penceramah selanjutnya yaitu Pak Syarifin
Maloko, tapi Pak Syarifin tidak berkenan ber-
bicara malam itu. Ia hanya menampakkan diri
di hadapan jamaah. Itupun sesudah didesak oleh
Amir Biki.
Ceramah dilanjutkan oleh Yayan Hendra-
yana yang banyak membicarakan LB Murdani,
mencercanya sebagai kafir, dan semacamnya.
Hanya sedikit yang saya dengar sebab memang
tidak terlalu memerhatikan.
Penceramah terakhir yaitu Pak Ratono
yang sekaligus menjadi pengganti Syarifin
Maloko. Inipun tidak saya perhatikan isi cera-
mahnya, yang saya bisa tangkap antara lain ten-
tang menuntut pembebasan keempat jamaah
yang ditahan di Kodim.
Kira-kira jam 22.30 WIB Amir Biki naik
mimbar lagi. Ia berbicara masalah jamaah
yang ditahan di Kodim. Kemudian menerang-
kan bahwa ia telah ke Kodim untuk memohon
keempat orang ini dibebaskan, namun
tidak berhasil. sebab itu, Amir Biki mengajak
jamaah untuk beramai-ramai datang ke Kodim
0502 Jakarta Utara untuk meminta pembebasan
keempat orang ini . Amir Biki berkata, “Kita
tunggu sampai jam 23.00 WIB, apabila keempat
orang ini tidak dibebaskan juga, maka kita
semua ke Kodim! Malam ini akan ada banjir
darah. sebab saya tahu moncong senjata TNI
telah diarahkan ke kepala saya!” Perkataan Amir
Biki berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan
dengan, “Apabila saya meninggal malam ini,
saya minta kepada jamaah untuk mengusung
jenazah saya keliling Jakarta!”
Itu permintaan Amir Biki, namun sebelum
Amir Biki selesai ceramahnya, ada jamaah mem-
buat kegaduhan di depan panggung sampai
pagar di situ ada yang roboh. Amir Biki lalu
memperingatkan agar tidak membuat kega-
duhan. “Jangan mengecewakan saya, saya pe-
ringatkan bahwa yang membuat kegaduhan itu
bukan jamaah kita,” serunya.
sebab keadaan tabligh mulai kacau, saya
pun naik ke panggung untuk mengamankan
massa. Tak lama kemudian massa terbagi dua,
sebagian ke Koja melalui Jalan Sindang dan se-
bagian ke Kodim. Saya satu kelompok dengan
Amir Biki. sebab saya berdekatan dengan Amir
Biki di atas panggung maka sayalah yang diberi
bendera untuk memimpin jamaah. namun pim-
pinan komandonya tetap dipegang oleh Amir
Biki.
Sebelum turun dari panggung, saya mena-
nyakan pada Amir Biki tujuan ke Kodim ini
mau apa? Amir Biki menjawab bahwa tujuan-
nya hanya untuk meminta empat orang teman
tadi agar dibebaskan.
“Begini Pak Amir, kalau tujuan kita ke
Kodim ingin berontak, saya tidak ikut,” saya
menegaskan.
“Bukan untuk itu, dan saya minta jangan ada
yang melawan aparat sebab itu bukan tujuan
kita!” Begitu jawaban Amir Biki.
Saya masih mencoba mengusulkan lagi agar
tidak pergi malam itu.
“Bagaimana kalau besok siang saja kita
ramai-ramai ke sana?” Usul saya.
“Sudahlah, malam ini saja,” jawab Amir Biki.
Dan kemudian kami berangkat.
“Ayoo…!”
Saya melompat turun dari panggung sambil
mengucap basmallah. Saya langsung mulai di-
dorong-dorong massa yang sambil berjalan
mengucapkan Takbir Allahu Akbar terus-me-
nerus. Massa bergerak melalui Jalan Sindang,
sampai di depan pagar Rawa Badak berbelok
ke kanan menuju Jalan Yos Sudarso. Sampai di
depan pemadam kebakaran, bendera yang saya
bawa hampir direbut anak-anak seumuran kelas
3 SMP. Belakangan baru saya tahu anak itu
namanya Irta sebab dia juga kena tembak
malam itu.
Saya pertahankan bendera itu sebab khawa-
tir disalahgunakan. Itu yang ada dalam pikiran
saya. Saya hanya menitipkan tas kecil berisi
radio tape Sony dan kaset rekaman pengajian/
ceramah malam itu. Tas lalu dibawa Irta (ter-
nyata tas beserta isinyapun kemudian hilang).
sesudah sampai di lampu merah, saya dan
rombongan belok ke kiri menuju Kodim. Kira-
kira 30 meter dari lampu merah, saya melihat
aparat berbaris menghadang rombongan kami.
Saya terus didorong massa untuk maju. saat
jarak antara kami dan pasukan TNI tinggal 2
m, ada perintah dari TNI untuk berhenti.
Saya sesaat itu berhenti dan menahan
jamaah dengan tiang bendera sambil berteriak:
“Berhenti, berhenti, berhenti!!” Saya mencoba
menahan rombongan sambil menunggu Amir
Biki. Posisi kami persis di depan gereja di
samping Mapolres Jakarta Utara, tepatnya di
halte bis. Saya masih sempat menghitung ten-
tara yang ada di depan saya. Di jalan menuju
Kodim berbaris 6 orang dan yang menuju Tan-
jung Priok ada 5 orang. Itu yang dapat saya
hitung, sebelas orang. Pada saat yang sama,
saya terus berusaha menahan massa supaya
jangan mendesak ke depan lagi. Saya halangi
dengan tiang bendera yang saya bawa, tapi
tiba-tiba ada bunyi tembakan yang memekak-
kan telinga. Saya terjatuh sebab kaget dan
panik. Sebelumnya sama sekali tidak ada tem-
bakan peringatan. Massa panik sebab tem-
bakan langsung diarahkan pada kami. Lama
bunyi tembakkan kira-kira 5 sampai 10 menit.
Sangat lama rasanya. Saya sempat melihat jam
tangan, jarum jam menunjuk pukul 23:15 WIB.
Lampu jalan masih menyala terang, dan kala
itu juga saya melihat orang di samping kanan
roboh di dekat saya dan di kiri saya dua orang
juga roboh. Dekat sekali dengan saya. Menge-
rikan.
Saya mendengar suara rintihan kesakitan
di sekeliling saya, di antara suara tembakan
yang terus menyalak. Saya lihat orang-orang
ditembak lagi, saya lihat moncong-moncong se-
napan itu mengeluarkan cahaya api dan bunyi
keras. Saya hanya bisa diam dan memasrahkan
diri kepada Allah di dalam hati. Saya pikir
sayapun pasti akan ditembak juga. Detik-detik
berlalu begitu mencekam. Tak lama kemudian
aparat-aparat yang menembak bergerak mun-
dur agak jauh dari saya sambil terus menem-
bak. Mereka mencoba melihat lebih jauh ke
belakang, ke arah rombongan lain yang me-
nuju kami. Ternyata itu yaitu rombongan Amir
Biki. Saya dengar ada yang berteriak bahwa itu
yaitu Amir Biki. Disusul lagi teriakan dari
anggota pasukan lainnya,
“Habisi saja!!”
Dan saat saya mencoba melihat ke be-
lakang, saya lihat Amir Biki roboh bersama
beberapa orang lainnya. Sisa rombongan yang
mencoba melarikan diri, terus diuber tentara.
Tak berapa lama kemudian pasukan TNI
lain datang lagi. Ini bisa saya lihat sebab sinar
lampu mobil TNI yang dari arah Tanjung Priok
begitu menyilaukan mata. Saya perkirakan
orang-orang yang tergeletak di sepanjang jalan
sekitar 30-50 orang, campur aduk antara yang
luka dan meninggal. Selama sekitar 30 menit
kami mulai dikumpulkan dengan diseret begitu
saja di jalanan lalu dilemparkan ke atas truk
terbuka. saat tubuh saya mau diseret, mereka
sempat memeriksa mata saya yang terpejam.
Saya terus memejamkan mata dan tidak ber-
gerak meski mereka menendang kaki kiri saya
keras sekali. Orang yang memeriksa saya ber-
teriak, “Ini sudah mati!” Lalu saya diseret dan
dilempar ke dalam truk. Kebetulan saya jatuh
di pojok kanan depan bak sehingga tidak di-
jatuhi banyak tubuh-tubuh lain yang menyusul
dilemparkan satu per satu. Waktu itu ada juga
satu tubuh yang menindih saya, saya langsung
menggeser-gesernya perlahan dengan kaki kiri
saya sebab tubuh orang yang sudah mati ter-
nyata sangat berat.
sesudah selesai dinaikkan semua, mobil mulai
melaju. Ternyata menuju arah Kodim 0502 dan
berhenti dulu di Makodim. Saya bisa mengenali
dari pohon palem yang tinggi yang ada di sam-
ping halaman Makodim. Tak lama kemudian
mobil melaju lagi, ternyata kami dibawa ke
Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo. Di sini
kami belum sempat diturunkan sebab ada
perintah harus dibawa ke RSPAD. Mobilpun
keluar menuju RSPAD, dan setibanya di sana
kami mulai diturunkan. Yang masih hidup
seperti saya didahulukan. Saya tak sempat me-
lihat berapa yang meninggal dan yang luka-
luka malam itu, saya disuntik lalu dipinggirkan
dekat pintu. Yang luka parah langsung dita-
ngani Dokter. Saya sempat melihat Pak Tri
Sutrisno dan LB. Moerdani bersama 3 orang lagi
yang saya tidak kenal langsung menuju kamar
mayat. Saat itu kurang lebih jam 03.00 WIB.
Dini hari.
“Saya diambil intel
dari rumah.”
SEBAB terjadinya peristiwa Tanjung Priok
12 September ‘84 setidaknya sebab empat per-
soalan yang menjadi masalah. Persoalan per-
tama yaitu soal penghapusan Piagam Jakarta
yang diganti dengan azas tunggal Pancasila. Per-
soalan kedua yaitu soal membangun rumah
ibadah bukan pada tempatnya. Lalu ketiga, soal
tanah negara yang ditempati rakyat diambil ne-
gara. Katanya untuk digunakan negara, ternyata
ditempati para konglomerat. Dan persoalan atau
isu keempat yaitu soal penggusuran pedagang
kaki lima dan tukang becak.
Sepengetahuan saya, sesudah Piagam Jakarta
dihapus dan diganti azas tungal Pancasila, para
ulama dan da'i bermusyawarah. Hasilnya ada-
lah Tabligh Akbar se-Jakarta dan sekitarnya.
Dalam Tabligh Akbar itu, isi pengajian ber-
tujuan memberikan pemahaman tentang Akidah
Islamiah dan menerangkan terhapusnya Piagam
Jakarta diganti dengan azas tungal Pancasila.
Isi keterangan utama para da'i tentang masalah
penghapusan Piagam Jakarta dianggap sebagai
hilangnya azas Islam dari GBHN. Da'i juga
menerangkan bahwa hal itu berarti dalam azas
tunggal Pancasila tidak ada lagi azas Islam.
Selanjutnya para ulama dan da'i meminta
dengan sangat kepada pimpinan negara agar
jangan sampai Piagam Jakarta dihapus. namun
permintaan ini tidak dikabulkan. Pemerin-
tah malah menanggapi dan menuding ulama
dan da'i sebagai provokator dan penghasut.
Inilah titik awal persoalan yang muncul pada
tahun 1984.
Persoalan kedua yaitu membangun rumah
ibadah yang bukan pada tempatnya, misalnya
membangun gereja di lingkungan umat Islam.
Ini membuat umat Islam marah. Para ulama
dan da’i juga sudah memperingatkan pemerin-
tah tentang masalah itu.
Persoalan ketiga, yaitu tanah negara yang
ditempati rakyat diambil negara. Katanya untuk
digunakan negara, ternyata malah ditempati
para konglomerat. Ini membuat para ulama, da'i
dan warga di sekitarnya marah. Padahal
sebelumnya yang menempati tanah ini
yaitu rakyat kecil yang miskin, tanah rakyat
kecil penduduk asli negara kita . Tapi pemerintah
seakan tidak peduli. Itulah yang dilakukan
pemerintah negara kita saat itu pada rakyatnya
sendiri.
Belum lagi kemarahan itu reda, pemerintah
malah menggusur pedagang kaki lima dan
tukang becak. Kemarahan semakin mengental
dan meluas di kalangan pedagang kaki lima
dan tukang becak. Pemerintah saat itu benar-
benar tidak memerhatikan dan tidak peduli
pada nasib rakyat kecil. Tidak ada kebijakan
yang berpihak pada nasib rakyat kecil yang ada
di Jakarta. Inilah poin keempat yang memicu
peristiwa Priok pada tahun 1984.
Kondisi saat itu menjadi memburuk. Para
ulama dan da’i serta umat Islam Jakarta dan
sekitarnya, marah dan mulai tidak terkendali.
Suasananya seperti yang terjadi di daerah Tan-
jung Priok antara Pemuda dan Babinsa. Titik
persoalannya saat seorang petugas Babinsa
melihat tulisan yang tidak enak dibaca di tem-
bok mushola yang berada di Koja. Petugas
Babinsa itu lalu masuk ke mushola tapi tanpa
melepas sepatu. Kemudian ia menemui dua
orang pemuda yang berada di dalam mushola
dan mengajak kedua pemuda itu keluar menuju
rumah Ketua RW. Maksudnya untuk menyele-
saikan masalah yang berkaitan dengan tulisan
yang ada di tembok mushola. Belum lagi pem-
bicaraan selesai, tiba-tiba motor Babinsa yang
ada di luar dibakar beberapa pemuda. Keadaan
menjadi panas dan genting. Akhirnya pemuda
yang berada di rumah Ketua RW dan pemuda
yang dicurigai membakar motor Babinsa dibo-
yong ke Kodim. Semuanya empat orang. Dan 4
pemuda itu akhirnya ditahan di Polres.
Seorang pemuka Agama bernama Amir Biki
yang rumahnya di daerah Tanjung Priok, men-
dengar tentang empat pemuda yang ditahan oleh
petugas Babinsa. sesudah Amir Biki mengetahui
pemuda-pemuda yang ditahan itu, ia mencoba
mencari mereka ke Kodim. Pada waktu ditanya-
kan kepada Kodim perihal 4 pemuda itu, orang
Kodim menjawab, “Empat orang ini tidak
ditahan di sini, coba tanyakan saja ke Danres.”
Kemudian Amir Biki mencari ke Danres, tapi
ternyata tidak ada juga. Akhirnya Amir Biki
menyimpulkan bahwa dirinya telah dipermain-
kan oleh petugas-petugas itu.
Keempat orang dalam kejadian itu belum
juga ditemukan. Kemudian Amir Biki bermusya-
warah dengan para ulama dan da’i untuk me-
ngadakan pengajian Akbar di Tanjung Priok.
Musyawarah menyetujui pengajian pada tang-
gal 12 September 1984.
Amir Biki mengundang para ulama dan da’i
datang ke Tanjung Priok untuk memberikan
ceramah dan mengundang umat Islam agar
membanjiri pengajian itu. Itulah undangan
yang disampaikan kepada umat Islam se-
Jakarta dan sekitarnya.
Pengajian dimulai pukul 20.00 WIB sam-
pai pukul 23.00 WIB. Inti ceramahnya, yaitu
umat Islam harus waspada untuk menghadapi
musuh-musuh Islam. Kedua, umat Islam me-
minta kepada pemerintah agar keempat orang
yang ditahan dibebaskan. Jika tidak dibebas-
kan maka umat Islam akan menuju ke Kodim
seperti diperintahkan oleh Amir Biki. Peristiwa
itu akan dipimpin langsung oleh Amir Biki.
Akhirnya perjalanan ke Kodim pun terjadi
sebab aparat tidak mengabulkan apa yang
diminta oleh da’i dan umat Islam. Para jamaah
yang menghadiri pengajian semua menuju ke
Kodim dan sebagian umat Islam menuju ke
Koja. Baru sekitar 5-10 menit berjalan, sudah
terdengar tembakan. Tembakan yang mengarah
langsung ke barisan jamaah. Akibatnya jamaah
bubar tercerai-berai sebab ada yang kena
tembak dan ada yang mati. Tembakan demi
tembakan seperti sudah dipersiapkan dan
memakai alat-alat yang berat seperti panser.
Sebelum peristiwa Tanjung Priok, saya
sudah aktif di pengajian-pengajian. Saya terus
berdiam di rumah selama 10 hari sejak peristiwa
Tanjung Priok, tapi akhirnya saya diambil oleh
petugas intel dari rumah saya di Cempaka
Putih dan dibawa ke Kodim Jakarta Pusat di
daerah Senen. Begitu sampai di Kodim, saya
ditanya masalah peristiwa Tanjung Priok. Saya
terangkan asal-usul kejadian Tanjung Priok
yang saya tahu, tapi belum selesai menjawab,
saya dipukuli dan dimaki sebagai GPK (Gerakan
Pengacau Keamanan).
sesudah 3 hari disekap dan diinterogasi di
Kodim, saya dibawa ke Cimanggis dengan jari
jempol diikat dan mata ditutup kain hitam.
Saya dibawa pakai mobil truk bersama tahanan
lain. Setibanya di tahanan Cimanggis, kami lang-
sung diturunkan di kantor penjagaan. Setiap
orang kemudian dipangkas rambutnya secara
tidak teratur dan langsung diperintahkan
masuk dengan berjalan merangkak digiring
petugas. Kami terus merangkak menuju kamar
yang hanya muat satu orang. Di kamar itu, saya
disekap sekitar satu minggu, dan selama di-
sekap saya diberi makan hanya nasi putih dan
air putih saja. Dua kali satu hari, itupun nasi-
nya hanya lima sendok makan. Itulah jatah
makan saya selama satu minggu.
sesudah satu minggu, saya dikeluarkan dari
kamar itu. Saya langsung disuruh merangkak
menuju ke rumah tahanan umum sambil di-
bentak-bentak oleh petugas yang mengawal
saya. Saya disuruh merangkak sampai ke
rumah tahanan umum sampai kaki saya sulit
digerakkan.
Di rumah tahanan umum, saya bertemu
Sarifudin Rambe, Yusron, Irta, dan Sahi. Saya
ditempatkan satu sel bersama 4 orang itu, jadi
ada lima orang termasuk saya. Di sel itu, saya
masih mendapat jatah makan sehari dua kali.
Pertama jam 12.00 WIB dan kedua jam 16.00
WIB. Jatah makan yang diberikan, masih sama,
lima sendok makan nasi putih dan semangkuk
kecil sayur bening yang tidak bergaram. Tanpa
rasa. Minumnya air putih. Kondisi para tahanan
sangat memprihatinkan sebab masalah ma-
kanan yang sangat kurang dan tanpa vitamin
serta gizi. Akhirnya sebagian tahanan sakit
lumpuh, tidak bisa jalan.
Saya ditahan di Cimanggis sekitar 40 hari.
Kemudian dipindahkan ke Kodim Jakarta
Pusat. Di Kodim Jakarta Pusat, saya ditahan
sekitar satu minggu. Akhirnya saya dikeluar-
kan dengan syarat setiap minggu harus apel ke
Kodim selama enam bulan.
“Mereka Bilang, Di Sini
Tidak Ada Tuhan.”
RABU malam, tanggal 12 September 1984,
pukul 19.30 WIB. Ba’da isya saya berangkat
dari Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat. Saya
pergi bersama dua adik saya, yaitu Muhtarom
dan Sabeni, serta seorang teman, Junaidi. Kami
menuju ke tempat pengajian di Jalan Sindang,
Tanjung Priok. Sesampai di jalan itu, jamaah
pengajian sudah penuh membeludak. Saya
perkirakan jumlah jamaah sekitar 5.000 orang.
Begitu hiruk-pikuk. Malam itu, saya merasakan
agak lain dari suasana pengajian-pengajian se-
belumnya. Padatnya jamaah membuat saya tak
mampu menerobos kerumunan massa untuk
mendekati panggung, tempat para penceramah.
Saya dan rombongan cuma bisa berdiri dalam
jarak kira-kira 50 meter dari panggung.
Malam itu memang terasa agak lain. Mung-
kin, sebab penceramah yang hadir cukup
banyak. Yakni Ratono, Yayan Hendrayana, M.
Nasir, Syarifin Maloko, Salim Kadar, dan Amir
Biki. Terlebih lagi, para penceramah minta
kepada Kodim Jakarta Utara agar membebaskan
empat warga yang ditangkap terkait insiden di
Masjid As-Sa’adah, Koja. Terutama Amir Biki,
dia memberi ultimatum agar pembebasan
empat ikhwan itu dilakukan sebelum jam
23.00 WIB.
Amir Biki sebenarnya bukanlah seorang
penceramah. Dia yaitu tokoh warga
Tanjung Priok. Begitu juga Salim Kadar. Tapi
malam itu keduanya meminta empat orang yang
ditahan di Kodim segera dibebaskan. Menurut
informasi, keempat ikhwan ini yakni
Saripudin Rambe, Ahmad Sahi, Sofwan Sulai-
man, dan Nur Muhamad Nur ditangkap dalam
peristiwa Koja, tanggal 10 September 1984.
Penangkapan itu yaitu buntut dari tindakan
seorang aparat Babinsa, Sersan Hermanu yang
masuk mushola untuk mencopot pamflet-pam-
flet yang bernada keras terhadap pemerintah,
namun tidak melepas sepatu, pada 8 September
1984. Sampai akhirnya warga marah dan ter-
jadilah pembakaran sepeda motor Babinsa itu.
Tokoh-tokoh warga Tanjung Priok
minta agar keempat orang itu dibebaskan.
Hampir semua elemen warga termasuk
pengurus dan aktivis masjid. Bahkan pengurus
Masjid Al-Fudholah yang dipimpin Abdullah
Al-Jufri yang biasanya dikenal sebagai orang
yang cukup dekat dengan pemerintah, kali ini
juga menuntut pembebasan keempat orang itu.
Selama itu, memang kelompok Al-Fudholah
sering disindir dalam setiap ceramah, bahkan
kelompok Amir Biki yang memilih bersikap
oposan menyebutnya sebagai “ayam sayur”.
Saya ingin memberi gambaran sedikit bahwa
khususnya di Jakarta Utara, terlebih lagi di
kawasan Tanjung Priok, situasinya cukup panas.
Semangat untuk menentang pemberlakukan
Azas Tunggal Pancasila serta menolak kebi-
jakan pemerintah menjadi materi ceramah
sehari-hari. Pengajian seringkali digelar, tidak
hanya di dalam lingkungan masjid, namun juga
di areal publik seperti di jalan umum. Para mu-
baligh yang sering berceramah di Jakarta Utara,
antara lain Ratono, Syarifin Maloko, Yayan
Hendrayana, M Nasir, Tony Ardi, Abdul Qodir
Jailani, Mawardi Nur, Abu Hamidi yang juga
Rektor PTDI. warga Tanjung Priok tam-
paknya begitu rentan dan emosinya sewaktu-
waktu bisa meledak.
Rupanya ledakan dahsyat itu terjadi pada
12 September 1984. Malam itu, ribuan jamaah
was-was menunggu, apakah keempat orang yang
ditahan itu akan dibebaskan seperti diultima-
tum penceramah, khususnya Amir Biki. Maka
begitu jarum detik jam menunjuk angka 23.00
WIB, dan keempat orang itu tidak juga ada di
panggung, maka bergeraklah massa menuju
Kodim. Amir Biki langsung memimpin. Namun
baru saja bergerak, di depan Mapolres Jakarta
Utara, dihadang tentara. Saat itu, saya berada
di depan gedung bioskop Permai, kira-kira 100-
an meter dari tempat massa dihadang tentara.
Dalam barisan itu, massa sebetulnya bergerak
tertib. Tidak ada pelemparan ke gedung-gedung
terutama gedung bioskop. Jika ada yang menga-
takan demikian, saya pastikan mereka telah
berbohong.
Berlindung di Kubah Mesjid
Tak sampai 15 menit kemudian terdengar-
lah suara tembakan. Saya sempat menyaksikan
seseorang diangkat ke belakang sebab tertem-
bak. Suasana yang tadinya berjalan dengan
tertib dalam sekejap berubah total. Massa ber-
hamburan, kocar-kacir berlarian ke belakang
mencari tempat berlindung. Semua orang ber-
usaha menyelamatkan diri masing-masing. Saya
pun tercerai-berai dengan rombongan dari
Cempaka Putih. Saya menyelamatkan diri ke
dalam Mesjid Persis, di sebelah bioskop Permai.
Saya tidak tahu di mana adik-adik saya.
Begitu masuk, mesjid dalam keadaan gelap.
Lampu mati. Ternyata di dalam mesjid sudah
banyak orang berlindung. Suara tembakan
masih terdengar di telinga, meski mulai jarang.
Hanya saja, meski sudah berlindung di dalam
mesjid, hati masih cemas. Saya belum merasa
aman. Soalnya, tentara melakukan penyisiran.
Pintu gerbang mesjid yang telah dikunci, masih
digoyang-goyang oleh tentara. sebab cemas,
bersama orang-orang lain yang tidak saya kenal,
saya menyelamatkan diri ke atas mesjid sampai
ke kubah.
Dari tempat itu, saya menyaksikan dengan
jelas apa yang ada di Jalan Yos Sudarso, terma-
suk beberapa panser melintas. Cahaya lampunya
disorotkan ke segenap penjuru. Saya juga meli-
hat bola api memerah di wilayah Koja. Malam
itu sangat mencekam. Saya bersembunyi di
kubah mesjid sampai menjelang adzan shubuh.
Begitu terdengar lantunan adzan shubuh, semua
orang yang ngumpet di kubah satu persatu
turun untuk menjalankan shalat shubuh berja-
maah. Saya lihat lampu sudah mulai menyala
kembali. Baru sesudah pagi saat ada hiruk-
pikuk manusia, saya memberanikan diri untuk
keluar dari mesjid. Saya kemudian pulang ke
rumah di Cempaka Putih. Rasa haru menyeli-
muti rumah itu. sebab , mereka menganggap
saya sudah mati malam itu. Alhamdulillah, adik-
adik saya juga baru berani pulang pagi hari.
Meski dilanda kecemasan, saya dan seisi rumah
menenangkan diri.
sesudah dua hari dari peristiwa berdarah itu,
terjadilah peristiwa di luar dugaan. Tanggal 14
September 1984, sekitar pukul 21.00 WIB, se-
jumlah tentara menggedor rumah. Mereka
menggeledah seluruh kamar dan mengambil
barang-barang yang katanya untuk barang
bukti, seperti pisau dapur dan artikel . Tanpa
penjelasan, saya dibawa secara paksa ke Kodim
Jakarta Pusat. Malam itu 7 orang yang ada di
rumah itu diculik. Saya, , Junaidi,
Zueni, adik saya Saefani, , Mukadi,
Sabri diciduk.
Di Kodim kami diinterogasi selama 24 jam.
Rambut kami digunduli seperti seorang krimi-
nal. Setiap diinterogasi selalu ada yang me-
nampar dan memaki-maki. Dari Kodim, saya
dan teman-teman dibawa ke Jalan Kramat V,
Jakarta Pusat. Di tempat yang terkenal angker
itu, kami kembali diperiksa sampai menjelang
shubuh. Lagi-lagi bukan hanya bentakan-ben-
takan namun juga kami tak kuasa dipukuli
bertubi-tubi. sesudah dipermak di tempat itu,
kami dibawa dalam satu mobil ke Markas Pom-
dam Jaya di Guntur. Sampai di Guntur kira-kira
shubuh. Di markas itu, segala identitas kami
didata. kemudian dipisah. Saya ber-
sama teman yang laki-laki dikumpulkan. Ten-
tara-tentara itu dengan kejinya menelanjangi
kami. Yang tersisa hanya celana dalam.
Dalam tubuh tanpa dibalut pakaian itu,
kami disiksa di atas kerikil tajam. Kami dipaksa
berguling-guling di atas kerikil itu, sementara
tentara memukuli dengan tongkat dan menen-
dangi dengan sepatu lars. Dari mulut mereka
terlontar hinaan yang menyakitkan. “Dasar PKI!
Anak gerombolan GPK!” hardik mereka. Kami
cuma mampu mengucap, “Allahu Akbar!”
Namun setiap kami mengucap kalimat takbir
itu, mereka selalu melontarkan ejekan yang
amat menyakitkan hati. “Di sini tidak ada
Tuhan,” bentak mereka. Astaghfirullah! Hati
seperti berkeping-keping. Sementara tubuh saya
dan teman-teman tak henti-hentinya mengelu-
arkan darah. Darah segar mengucur dari kepala
sampai kaki.
sesudah disiksa dan dihina, saya dan teman-
teman dijebloskan ke dalam ruangan. Ternyata
di situ sudah banyak tahanan, kira-kira 60-an
orang. Belakangan saya tahu mereka juga kor-
ban peristiwa Tanjung Priok. Saya perhatikan
wajah-wajah mereka. Rasa cemas dan pasrah
yang tampak. Saya mulai membersihkan darah
dari sekujur tubuh. Sementara celana dalam
yang penuh darah tetap saya pakai, sebab
tidak ada gantinya. namun meski dalam kondisi
seperti itu, saya ingin melaksanakan shalat
shubuh. Akhirnya kami nelakukan shalat shu-
buh berjamaah hanya dengan memakai celana
dalam saja. Sarung yang saya pakai saat
ditangkap entah ke mana sesudah dilucuti di
Guntur.
Diberi Jaket Penuh Semut
Usai shalat shubuh, kami digiring masuk ke
sel sempit dan lembab. Tidak ada tikar, apalagi
selimut. Di dalam sel itu, saya juga tidak dapat
mengetahui waktu, sebab sangat gelap. Siang
hari saja saat ada pantulan cahaya matahari, di
dalam sel cuma terlihat remang-remang. Dua
hari saya diperiksa secara marathon. Jika men-
jawab pertanyaan yang tidak sesuai dengan ke-
mauan mereka, langsung dihajar dan disundut
rokok. Siksaan itu membuat saya tidak ber-
daya. Saya pasrah saja, memberikan jawaban
yang mereka inginkan.
Selama mendekam di sel, saya cuma menge-
nakan celana dalam berhari-hari. Seringkali
tubuh menggigil sesudah disiksa. Suatu saat
saya mengadu kepada petugas jaga. Saya
katakan bahwa badan saya meriang sebab sel
saya terlalu lembab sebab tidak ada tikar.
Rupanya ada seorang petugas PM yang melem-
par pakaian di tengah kegelapan malam. Saya
senang sebab ada juga petugas yang punya
rasa iba. Saya ambil pakaian itu yang ternyata
yaitu jaket mahasiswa. Namun jas itu penuh
dengan semut. Bagaimana saya bisa memakai
jaket penuh semut itu? Akhirnya saya malah
sibuk mengusir semut yang memenuhi sel. Siang
harinya saya lihat ternyata jaket ini penuh
dengan bercak darah. Ternyata “kebaikan-
kebaikan” itu palsu. Pernah terjadi pada suatu
hari, sebelum diperiksa saya disuruh makan.
namun saya tetap tidak bisa makan. Kemudian
saya disuruh minum air yang telah mendidih
yang ditumpahkan ke ember. Kerongkongan
saya memang haus, namun saya tidak jadi
minum, sebab air itu bercampur air kotor. Saya
merasakan penderitaan di Guntur itu selama
satu minggu.
Suatu hari menjelang subuh, saya dikumpul-
kan dengan teman-teman dan tahanan lain.
Kami semua dalam keadaan diikat dengan tali
rapia.
“Kami mau dibawa ke mana?” Saya mencoba
bertanya.
“Mau dibuang ke laut!” jawab seorang PM
dengan ketus.
Hampir semua tahanan tahu mereka akan
dibuang ke laut. Apa yang tidak mungkin saat
itu? Sepanjang perjalanan, petugas PM yang
mengawal tidak segan-segan meludahi siapa
saja yang ketahuan menoleh ke kanan dan ke
kiri, disertai makian. Namun di luar dugaan,
sesudah kami diangkut dengan truk, rupanya
kami dibawa ke arah Cimanggis. Belakangan
saya tahu bahwa tempat itu yaitu RTM (Rumah
Tahanan Militer) Cimanggis. Sesampainya di
RTM Cimanggis, kami dikumpulkan dengan
cara berbaris. Satu per satu diabsen untuk
masuk ke dalam sel. Berbeda dengan sel di
Guntur, sel di Cimanggis tidak ada kesan ang-
ker. Terlihat baru dan bersih. Saya berpikir,
mungkin para korban Tanjung Priok-lah yang
pertama-tama menempati sel itu. Kapasitas
tiap sel tidak sama. Ada yang untuk cuma satu
orang, ada yang untuk dua orang, ada yang
menampung tiga sampai lima orang. Di sel,
saya bersama dua tahanan lain, yaitu Asnami
yang tertembak tangannya dan Win Alfatib
yang ditangkap gara-gara ngerumpi kasus
Tanjung Priok. Saya sempat dipindah ke sel,
sehingga saya memanfaatkan untuk berkenalan
sekaligus bertukar pikiran dengan tahanan lain.
Saling bertanya apa latar belakang sampai
masuk ke RTM Cimanggis.
Masing-masing tahanan diperlakukan tidak
sama. sesudah melewati satu bulan, ada tahanan
yang diberi kebebasan keluar sel untuk kerja
bakti, namun ada yang sama sekali tidak boleh
keluar dari sel. Saya termasuk yang tidak boleh
keluar sel. Saya baru bisa keluar sel jika di-
periksa oleh polisi dan jaksa. Selain itu untuk
berobat sebab luka di sebelah hidung dan
kepala akibat tendangan sepatu. Itu pun hanya
sekali. Saya juga pernah keluar sel saat
dipanggil untuk memijat seorang PM, padahal
saya bukan ahli pijat. Pernah pula saya keluar
sel saat dikumpulkan di lapangan untuk
didata sambil berolah raga. Saya diperboleh-
kan keluar sel untuk shalat Jumat berjamaah,
tapi itu pun cuma sekali. Selebihnya saya cuma
dikurung di sel.
Lebih dari empat bulan saya ditahan di
Cimanggis. Saya ingat betul, ada dua tahanan
yang lumpuh akibat berbulan-bulan tidak
mendapatkan sinar matahari. Selama mende-
kam di sel itu, tidak ada keluarga yang mene-
ngok saya. Boleh jadi sebab keberadaan saya
tidak pernah diketahui oleh keluarga. Ber-
bulan-bulan saya hanya bisa curhat (curahan
hati) pengalaman masing-masing dari penyik-
saan yang kejam sampai masalah-masalah
peristiwa Tanjung Priok. Saya akhirnya dipin-
dahkan ke Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Sua-
sananya berbeda jauh dengan RTM Cimanggis.
Saya boleh dijenguk keluarga. Setiap pagi
seperti tahanan lain, saya yang menempati sel
Blok A boleh keluar sel. Mulailah saya ber-
diskusi mengatur strategi menghadapi persi-
dangan dengan Agus dan Ramli. Belakangan
Agus ikut kelompok islah, sedangkan Ramli
tidak ada kabar beritanya sampai kini.
Di Rutan Salemba saya sempat dipindah-
kan ke Blok N. Di situlah, saya bertemu dan
berkumpul dengan ustadz-ustadz dan beberapa
aktivis yang terlibat peristiwa Tanjung Priok.
Mereka yaitu Ratono, Tony Ardi, Yayan
Hendrayana, Salim Kadar, Abu Hamidi, Mayjen
(purn) HR Darsono, AM Fatwa, Abdul Qodir
Jailani, Sucipto yang purnawirawan, Tasrip
Tuasikal, Rani Yuningsih, Eddy Ramli, dan
Jayadi. Sebetulnya masih banyak lagi, namun
itulah nama-nama yang masih saya ingat.
Saya mulai disidang pada Januari 1985.
Tuduhan yang ditimpakan kepada saya yaitu
pertama, ikut pengajian gelap alias tanpa izin,
dan kedua melakukan penyebaran pamflet.
Sidang itu berlangsung sekitar lima bulan.
saat majelis hakim yang dipimpin M. Sukarno
membacakan putusannya pada pertengahan
Mei 1985, alhamdulillah saya divonis bebas.
Merasa akibat tindakan sewenang-wenang itu,
saya melalui pengacara dari Pusbakum (Gloria
Tarigan dan kawan-kawan) mengajukan ganti
rugi Rp 200 juta.
sesudah bebas, saya merasakan udara segar.
Itu artinya intimidasi, ancaman, dan penyik-
saan yang menghantui berbulan-bulan, tidak
akan lagi saya jumpai. Saya mencoba untuk
menghapus ketakutan-ketakutan yang selama
ini saya rasakan. Pada bulan pertama, kedua,
ketiga bahkan sampai satu tahun, saya masih
rajin menanyakan perihal gugatan ganti rugi
yang saya ajukan. Namun setiap saya bertanya
selalu ketidakjelasan yang saya terima. sebab
tidak adanya kepastian, sampai-sampai saya
merasa bosan sendiri untuk mengurusnya. Soal
itu akhirnya terlupakan ditelan waktu bertahun-
tahun.
Tergugah Amien Rais
Mencari keadilan dan mengungkap kebe-
naran bukanlah perkara mudah. Jalannya
begitu berliku dan terjal. Bertahun-tahun saya
hidup sebagai korban kasus Tanjung Priok
dengan segala bekas luka, baik di fisik maupun
secara psikis. Bahkan semangat untuk memper-
juangkan nasib akibat perbuatan aparat yang
semena-mena rasa-rasanya hampir padam.
Alhamdulillah, semangat baru berkobar lagi
sesudah masa reformasi. Semangat saya bangkit
lagi sesudah mendengar pidato Amien Rais di
Masjid Al-Husna pada tahun 1998 Saat itu
Amien Rais memberikan semangat baru bagi
para korban Tanjung Priok untuk bangkit me-
nuntut balik dan meminta hak-haknya seperti
konpensasi, rehabilitasi, dan reparasi. Mulai
dari situlah, para korban Tanjung Priok mulai
menyatukan tenaga yang dipelopori Dewi
Wardah, istri almarhum Amir Biki. Kami mulai
menyusun strategi dengan membuat wadah
yang menampung semua aspirasi korban yaitu
Yayasan 12 September 84. Ketuanya yaitu
Dewi Wardah.
Sementara itu, ada juga para korban yang
lainnya membentuk tim advokasi yang disebut
Sontak (Solidaritas untuk Korban Tanjung
Priok) yang dipimpin Ustadz Syarifin Maloko
SH. Ada juga kelompok yang lain yang dipimpin
Ustadz Yayan Hendrayana. Namanya Kompak.
Meski ada beberapa kelompok, namun kami
selalu berjalan bergandengan lebih memper-
juangkan nasib kami. Kami selalu mengadakan
diskusi-diskusi, Tablig Akbar, melakukan
audensi, sampai melakukan demonstrasi untuk
mendapat simpati warga . Cukup berat,
namun sebab semangat juang yang tinggi
membuat suatu yang berat itu terasa ringan.
Waktu terus berjalan. Para korban yang
tadinya solid mulai tercerai. Mulailah terjadi
perbedaan pendapat dan berdampak negatif.
Awal kebobrokan mental dari korban Tanjung
Priok terjadi saat banyak pihak yang bersim-
pati memberikan bantuan uang, baik lewat Dewi
Wardah, lewat Asep, lewat Sofwan Sulaiman,
atau lewat Sarifudin Rambe maupun lewat Beny
Biki. Mulai timbul kecurigaan dan saling fitnah
antara Beni Biki dan Dewi Wardah. Mereka ber-
dua merasa paling berhak dan merasa benar,
padahal yang korban tetaplah para korban
peristiwa Tanjung Priok. Para korban tidak
mendapat apa-apa kecuali beban malu perteng-
karan itu.
Kami bersatu kembali saat didampingi
API (Asosiasi Pembela Islam). namun nyatanya
dalam perjalanan, API tidak bisa berbuat
banyak juga. Akhirnya kami mengadakan pen-
dekatan dengan Kontras. Suka dan duka ber-
jalan bersama Kontras. Alhasil kasus Tanjung
Priok bisa sampai ke pengadilan HAM Ad Hoc.
Cuma saja, dari 80 korban Tanjung Priok, yang
tersisa 14 orang yang tetap konsisten mencari
kebenaran di pengadilan. Tak terelakkan per-
pecahan itu berdampak yang tidak baik. Saya
pikir banyak sikap para korban yang kekanak-
kanakan.
Bertahun-tahun kami berjuang dengan
harta dan raga untuk mengangkat kasus Tan-
jung Priok ke pengadilan. Tentu dengan susah
payah. namun ternyata di saat yang bertahun-
tahun diperjuangkan itu ada di depan mata,
justru ada yang kontra dengan persidangan itu.
Alasannya sudah terjadi islah. Saya bertanya-
tanya, apa sebenarnya yang terjadi, apakah gara-
gara islah atau ada alasan lain? Kalau alasannya
sudah melakukan islah, bukankah islah tidak
bertentangan dengan proses hukum? Mana
mungkin pelanggaran HAM berat hanya dise-
lesaikan dengan musyawarah duduk satu
majelis, makan-makan ngobrol ngalor-ngidul,
membuat piagam lalu selesai, apakah cara itu
bisa menyelesaikan masalah?
Ditinjau secara formal maupun material,
menurut saya, islah tidak sah. Secara formal,
kasus Tanjung Priok merupakan tanggung
jawab sepenuhnya pengadilan HAM Ad Hoc
yang sekarang sedang digelar, bukan oknum
pembuat islah. Secara material, materi dalam
piagam islah tidak ada pengakuan kesalahan,
tidak masuk dalam lembaran negara, tidak ada
penjelasan akan pemberian kompensasi dan
lain-lain. Justru sekitar dua minggu sesudah
penandatanganan islah, Presiden Abdurrahman
memerintahkan kepada Jaksa Agung agar
segera membentuk pengadilan HAM Ad Hoc.
Saya heran, para korban yang dulu begitu gigih
membela hak-haknya, mereka malah berkola-
borasi dengan TNI. Mereka banyak berbohong
saat memberi kesaksian dan memutarbalikkan
fakta bahwa yang bertangung jawab yaitu
Amir Biki bukan TNI (ABRI saat itu), padahal
Amir Biki yaitu korban. Selain itu mereka
kerap mempengaruhi jalannya persidangan
misalnya dengan berkaos bertuliskan “islah”
setiap persidangan, serta tak jarang membuat
kegaduhan yang membuat majelis Hakim mem-
peringatkan mereka. Terlepas dari itu semua,
memang islah juga punya nilai-nilai positifnya.
Yakni, mengurangi ketegangan antara korban
dan tentara atau TNI di pengadilan dan adanya
kemauan untuk menyelesaikan masalah oleh
kedua belah pihak.
“Senjata Itu Nempel
di Kepala.”
HUJAN rintik-rintik turun di Tanjung Priok,
malam Kamis, tanggal 12 September 1984.
Malam itu saya bersama teman-teman sedang
nongkrong di perempatan. sebab ada penga-
jian di Jalan Sindang, saya mengajak teman-
teman. namun mereka tidak mau. Saya akhirnya
berangkat sendirian. Waktu itu jam sekitar pukul
20.00 WIB. Sampai di tempat pengajian, saya
melihat jamaah sudah berjubel. Ribuan jamaah
memadati tempat pengajian. Pelan-pelan saya
masuk ke dalam barisan jamaah itu. Saya men-
cari posisi yang nyaman untuk mendengarkan
ceramah. Malam itu penceramah yang saya ingat
sampai sekarang yaitu Syarifin Maloko dan
almarhum Amir Biki. Amir Biki malam itu mem-
beri ultimatum.
“Malam ini kalau teman kita atau ikhwan
kita belum berada di podium sampai jam 23.00
WIB, maka kita bersama-sama pergi ke Kodim,”
teriak Amir Biki di panggung. Memang sejak
dua hari sebelumnya empat orang ditangkap
akibat insiden di Mushola Assa’adah, Koja. Batas
ultimatum telah sampai jam 23.00 WIB, namun
empat orang yang dituntut agar dibebaskan
tidak diluluskan aparat keamanan. Sesuai jan-
jinya Amir Biki memberikan komando kepada
massa untuk bergerak ke Kodim 0502 Jakarta
Utara. namun Amir Biki mengingatkan, jangan
ada yang merusak! Massa membalas dengan
mengacung-acungkan bendera seraya meneri-
akkan takbir. Massa bergerak menuju Kodim
sambil bertakbir, “Allahu Akbar, Allahu Akbar!”
Sampai di Jalan Yos Sudarso, atau di depan
Polres Jakarta Utara, massa berhenti, sebab
dihadang tentara. Saya melihat tentara mundur
namun mengarahkan senjatanya ke arah massa.
Dalam sekejap saja, senjata-senjata yang di-
sandang tentara itu menumpahkan peluru ke
arah massa. Dengan cepat saya tiarap bersama
massa. Saya tidak ingin kena tembak tentara
yang terus memberondong secara membabi-
buta. Bila tetap saya diam, kemungkinan besar
saya jadi sasaran empuk. Saya lalu berlari untuk
menghindari, saya berlari ke arah gereja di
samping Polres.
Namun saya tak bisa menghindar lagi saat
kaki saya ditembus peluru. Sakitnya luar biasa.
Dengan cepat massa yang kocar-kacir masih
sempat menolong saya. Saya dibawa ke Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Di RSCM
ternyata sudah ada beberapa korban yang luka-
luka terkena tembakan. Bahkan ada seorang
ibu marah-marah kepada dokter sebab tidak
dilayani dengan baik. Dalam erangan kesakitan,
saya melihat beberapa tentara datang mem-
bawa senjata. Mereka langsung menerobos ke
RSCM. Tentara-tentara itu membawa korban-
korban dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto,
termasuk saya. Di RSPAD saya kembali melihat
banyak korban yang tergolek lemah. Korban-
korban itu dijejerkan. Tak berapa lama, saya
melihat petinggi-petinggi ABRI berdatangan,
di antaranya Pangab Jenderal LB Murdani dan
Pangdam Jaya Mayjen Try Sutrisno.
Ditanya Pulang, Ternyata Dibohongi
Dua bulan saya dirawat di RSPAD. Luka
saya mulai sembuh. Pihak rumah sakit pun
bertanya, “Irta, mau pulang atau tidak?”
“Mau,” saya langsung menjawab begitu.
“Apakah kamu mau pulang?” kembali bebe-
rapa tentara (CPM) menanyakan kepada saya.
“Mau,” saya pun mengulangi jawaban saya.
Lantas saya disuruh keluar. Saya melihat
beberapa anggota PM bersenjata lengkap.
Mereka memerintahkan saya naik ke mobil.
Namun ternyata saya tidak diantar pulang ke
rumah. Mobil dibelokkan dan saya malah di-
bawa ke Guntur. Ternyata saya dibohongi. Sam-
pai di Guntur jam 09.00 WIB. Sejak datang
saya diinterogasi terus-menerus sampai sore.
Saya ditanyai bermacam-macam pertanyaan
oleh PM, bahkan saya ditakut-takuti. Bukan
hanya itu, muka saya pun digaplok. Keras se-
kali, dan teramat sakit. Wajah terasa panas.
Malam harinya saya dipindahkan ke RTM
Cimanggis. Begitu tiba, pakaian saya dilucuti.
Saya cuma diperbolehkan memakai celana
dalam. Saya menghabiskan malam yang sangat
dingin. Angin menusuk pori-pori. Pagi harinya
saya diinterogasi kembali oleh intel. Saya di-
paksa untuk mengakui barang-barang bukti
seperti golok, panah, bendera dan lain-lain,
sebagai milik saya. sebab saya tidak menjawab
sesuai dengan kemauan mereka, intel-intel itu
menodongkan senjatanya ke kepala saya. Ting-
gal tarik pelatuknya, dor! Maka tamatlah saya.
Selama tiga bulan saya hidup dalam ancaman.
sesudah itu, barulah saya diadili Pengadilan
Negeri Jakarta Utara selama dua bulan. Ber-
samaan dengan saya, ada 28 terdakwa yang di-
anggap melakukan perlawanan kepada petugas.
Masing-masing hukuman berlainan. Ada yang
divonis 1 tahun 6 bulan, ada yang dihukum 2
tahun, ada juga yang diganjar 3 tahun penjara.
Setiap kali palu hakim digetokkan, keluarga ter-
dakwa menangis bahkan menjerit-jerit. Betapa
orang-orang itu mendapatkan hukuman atas
kesalahan yang tidak pernah dilakukannya.
sesudah menjalani hukuman, saya kembali
ke warga . namun kebiadaban yang saya
terima tentu tak mudah menghilang. Bersama
beberapa teman sesama korban tragedi Tanjung
Priok, saya berkumpul di rumah almarhum Amir
Biki di Kebon Bawang. Waktu itu cuma ada lima
orang korban. Kelima korban itu diberi penga-
rahan oleh istri almarhum Amir Biki, Dewi
Wardah. Kata Dewi Wardah, “Nabi Muhammad
yaitu seorang pedagang, maka kita sebagai
umat Nabi Muhammad SAW harus mengikuti
jejak nabi sebagai pedagang.” Dewi Wardah
kemudian memberi kami modal untuk berda-
gang berupa minyak wangi.
Esoknya mulailah saya berdagang, begitu
juga teman-teman yang lain. Seminggu berlalu,
kami berkumpul lagi. Kami diberi pengarahan
lagi. Kesimpulannya, para korban Tanjung Priok
harus bersatu. Caranya harus mendirikan suatu
perkumpulan. Kami ditanyai satu persatu, soal
apa nama perkumpulan itu. Satu demi satu
memberikan usul. Akhirnya kami sepakat untuk
menamakan sebagai Yayasan 12 September 84.
Keesokan harinya, kami bersama-sama pergi
ke notaris. Sahlah sudah Yayasan 12 September
84 sesudah dibuatkan akte di hadapan notaris.
Dewi Wardah merelakan rumahnya dijadikan
kantor yayasan itu. Pembagian tugas pun di-
mulai. Kami membuat spanduk yang isinya
berupa pengumuman kepada warga Tan-
jung Priok bahwa siapa saja yang pada tragedi
itu menjadi korban atau setidaknya keluarganya,
diharapkan untuk melapor ke Yayasan 12
September 84.
Usaha itu membuahkan hasil, meski tidak
terlampau mencolok. Beberapa korban berda-
tangan. Ada juga keluarga korban yang datang
ke yayasan. Data-data mereka dicatat. Ada kor-
ban kena tembak, ada yang melapor keluarga-
nya hilang, bahkan mungkin telah meninggal
meski tidak tentu di mana makamnya. Begitu
jumlahnya 10 orang korban, kami pergi ke
Komnas HAM. Kami bertemu dengan Ketua
Komnas HAM, Baharudin Lopa, juga anggota
Komnas HAM yaitu M. Salim dan Asmara
Nababan. Keesokan harinya kami datang lagi,
tanpa ada yang mendampingi. Kami datang
sendiri, paling-paling bersama keluarga korban
yang memberikan dukungan.
Sayangnya Komnas HAM tidak memberikan
tanggapan yang begitu serius. Namun kami
tidak patah arang. Kami terus mencari jalan
untuk bisa terus berjuang mengungkapkan tra-
gedi berdarah di Tanjung Priok. Para korban
akhirnya minta bantuan pengacara API (Aso-
siasi Pembela Islam). Didampingi API, kami
mendatangi DPR. Di gedung rakyat itu, kami
bertemu anggota DPR dari Fraksi PPP. Esoknya,
kembali kami mendatangi DPR. Saat itu kami
bertemu dengan Ketua MPR Amien Rais yang
menanyai kami satu persatu. Namun lagi-lagi,
belum ada yang memuaskan dari DPR dan MPR.
Kami tidak putus asa. Kami terus berjuang. Kami
mendatangi ormas-ormas Islam untuk minta
dukungan, seperti Persis, Muhammadiyah,
Dewan Dakwah, Nahdatul Ulama, dan Mutha-
hari.
Di tengah perjalanan, ternyata ada perbe-
daan antara para korban. Memang, kelelahan
menghinggapi para korban, sebab bertahun-
tahun berjuang, keadilan belum juga ditemu-
kan. Ada yang tetap konsisten untuk terus
berjuang agar yang hak itu ditegakkan, namun
ada juga yang ingin “jalan damai”. Saya menjadi
bingung, namun saya tidak mau terperosok ke
jalan yang keliru. Dalam keadaan kebingungan
selama dua bulan saya putuskan untuk men-
cari kesibukan sendiri. Bersama Dewi Wardah,
saya berjualan ke luar kota. Saya pergi ke Batam
dan Yogyakarta. Di Pekalongan, saya sempat
berjualan kain batik. namun selama itu pula
saya selalu berpikir tentang kasus Tanjung
Priok. Sampai akhirnya saya bertanya kepada
Dewi Wardah, “Bagaimana kasus kita ini Bu?”
Dewi Wardah menjawab, “Kita harus serius
tentang kasus kita ini. Sebelum kita menerus-
kan kasus kita ini kita harus bertanya kepada
orang pintar atau kiai atau ustadz.” Kami lalu
mencari orang pintar sampai ke Sukabumi.
Begitu saya dengar kasus Tanjung Priok
dilimpahkan ke Kejaksaan Agung (Kejakgung)
atas rekomendasi Komnas HAM, bersama
Dewi Wardah, saya pergi ke Kejakgung. Tapi
begitu saya mendengar rekomendasi Komnas
HAM di Kejakgung, saya malah sakit hati. Betapa
tidak, rekomendasi itu menyatakan bahwa yang
melakukan pelanggaran HAM yaitu masya-
rakat Tanjung Priok. Kontan tekanan datang
mengarah ke Komnas HAM, baik dari ormas
Islam maupun LSM. Barulah rekomendasi itu
berubah bahwa telah terjadi pelanggaran HAM
berat di Tanjung Priok. Secara pribadi sebagai
korban kasus itu, saya merasa puas. Penye-
lidikan pun terus berlangsung.
Suatu waktu saya diundang kelompok
Rambe cs di Mesjid Sunda Kelapa, Menteng.
Saya bersama beberapa korban datang. Namun
saya kecewa, sebab Rambe cs mengikrarkan
perdamaian (islah) dengan para pelaku tragedi
Tanjung Priok. sesudah terjadinya islah saya
mempuyai inisiatif bersama teman-teman di
antaranya bahwa kami harus
berpisah dengan teman-teman yang melakukan
islah. Saya menemui Beni Biki dan saya disuruh
ke Kontras. Dia memberi masukan kepada saya
dan , bahwa para korban harus
mencabut islah.
Esoknya, saya bersama mahasiswa PTDI
(Perguruan Tinggi Dakwah Islam) dan Beny
Biki pergi Kejakgung. Tujuannya untuk meng-
ikrarkan pencabutan islah yang dilakukan di
Mesjid Sunda Kelapa. Buat saya dan juga teman-
teman lain yang satu pandangan, islah itu tidak
sah.
“Saya Amat Terpaksa
Menceritakannya.”
“DAR, dar, dar! Buka! Buka pintu!” Ter-
dengar gedoran begitu keras di pintu rumah.
Suara di luar rumah bukan lagi sebuah per-
mintaan untuk dibukakan pintu, melainkan
sebuah hardikan. Saya kaget, begitu juga peng-
huni lainnya. Lebih-lebih gedoran pintu itu
terjadi di malam merangkak larut. Bagaimana
kami tidak kaget, malam itu sudah jam 21.00
WIB. Saya dan penghuni lainnya sudah mulai
beristirahat. Malam itu tanggal 14 September
1984, kami telah mengunci pintu-pintu rumah.
Bahkan lampu ruang tamu sudah dimatikan
pula. Malam semakin pekat. Suasana sunyi
mengiringi penghuni rumah untuk beristirahat
tidur. Tapi, sesaat keinginan saya untuk ber-
istirahat berubah total saat pintu digedor.
Dari luar, teriakannya makin lama makin keras.
Dugaan saya, paling-paling orang-orang
mabuk, yang memaksa meminta sesuatu tanpa
mengenal arti sopan-santun. Lantaran pena-
saran dan rasa ingin tahu yang besar, saya
memberanikan diri membuka pintu. Begitu
pintu terkuak sesaat itu pula saya terperan-
jat. Di depan pintu telah berdiri segerombolan
tentara dengan wajah yang begitu menakutkan.
Ternyata, dugaan saya meleset. Orang-orang
yang menggedor pintu rumah saya ternyata
bukan pemuda mabuk, namun segerombolan
tentara berseragam dan menyandang senjata
lengkap. Tak banyak yang mereka katakan.
Mereka justru langsung memaksa masuk ke
dalam rumah. Mereka menggeledah semua
kamar, mengobrak-abrik, mencari sesuatu.
artikel -artikel diangkuti. Bahkan mereka meng-
ambil pisau dapur dan besi penggaris untuk
membuat tengteng kacang. Selesai menggeledah
seluruh ruangan, tanpa berkata apa-apa, gerom-
bolan tentara itu langsung memborgol seisi
rumah yang jumlahnya 7 orang, termasuk adik
perempuan saya, . Tanpa memberi
kesempatan kepada kami untuk melakukan
persiapan, kami diseret ke atas truk. Tanpa surat
penangkapan, dan tanpa penjelasan apa-apa.
Selama di perjalanan, kami hanya terdiam.
Segudang pertanyaan besar menggejolak di
dalam batin. Saat itu hanya rasa takut yang
terasakan. Kami hanya bisa diam dan diam.
Kengerian menggelayuti kami. sebab , kami
tahu gerombolan yang menculik kami yaitu
anggota ABRI. Kami sadar, kalau pun kami
melakukan protes atau bertanya-tanya, mereka
akan semakin memperlakukan kami lebih se-
wenang-wenang lagi. Mereka membawa kami
ke Kodim Jakarta Pusat. Mulailah berbagai
perlakuan di luar batas perikemanusiaan kami
terima. Kami digeletakan di teras ubin yang
dingin, tanpa kursi dan tikar. Beberapa kali
tendangan sepatu lars hinggap di tubuh ini.
Saking kencangnya sampai tubuh kami terlem-
par ke dinding atau terhuyung-huyung jatuh
sambil mencium ubin kotor. sesudah itu mereka
membawa kami ke Laksusda Jaya. Kembali
penyiksaan kami terima. Ketakutan kian ber-
tambah-tambah. Dari Laksusda kami dibawa
ke Guntur yang terasa angker. Di pos piket pen-
jagaan, mereka melucuti pakaian kami, kecuali
celana dalam. Dalam keadaan hampir telan-
jang, kami dipaksa berjalan sambil berjongkok
menuju sel yang sangat sempit dan tinggi se-
perti cerobong asap.
Mau Mendirikan Negara Islam?
Kami diperiksa sejak pagi hingga sore tanpa
istirahat. Padahal, kami begitu lelah dan keta-
kutan. Pukul 08.30 WIB kami dibawa keluar
sel untuk diinterogasi. Saya diperiksa oleh ten-
tara yang masih saya ingat berkumis tebal. Di
belakang saya, ada orang yang selalu meng-
awasi. Mulailah mereka mengajukan perta-
nyaan-pertanyaan yang saya sendiri tidak tahu
jawabannya. Pertanyaan selalu dihubungkan
dengan kasus Tanjung Priok. Saya dipaksa
untuk menjawab sesuai keinginan pemeriksa.
Misalnya, saya dipaksa mengakui bahwa saya
mau mendirikan Negara Islam. Atau saya di-
paksa menjawab “ya” melakukan pemberon-
takan atau setidaknya mencaci-maki pejabat.
Jika jawaban-jawaban itu tidak sesuai
dengan kemauan mereka, tidak ada ampun lagi.
Si pemeriksa membentak-bentak, sedangkan
orang-orang yang mengawasi dari belakang
langsung menghajar dengan bengis. Tak puas
dengan tangan, mereka menghajar saya dengan
bambu sampai pundak saya terlihat menghitam.
Penderitaan itu tak bisa saya hindari. Begitu
juga teman-teman yang lain. Bayangkan dari
pukul 08.00 WIB sampai pukul 15.00 WIB,
saya cuma diinterogasi, dibentak-bentak, dan
dihajar habis-habisan.
Tanpa penjelasan apapun, aparat membawa
kami ke satu tempat yang belakangan kami
ketahui bernama Pomdam Jaya di Jalan Guntur.
Pada hari kedua di Guntur sekitar pukul 14.00
WIB saya dikeluarkan dari sel dan dijemur
dipanas matahari bersama , salah
seorang dari 7 orang yang ditangkap di rumah
saya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Aparat-
aparat itu memaksa kami untuk saling ber-
pelukan dan berciuman, layaknya lelaki dan
perempuan. Sungguh suatu perilaku yang amat
biadab. Saat malam tiba, tubuh terasa meng-
gigil kedinginan, namun kami dilarang memakai
baju, apalagi selimut.
Saya menangis di dalam hati. Merenungi
kejadian demi kejadian yang dialami. Saya
tidak pernah membayangkan penderitaan itu
sebelumnya. Peristiwa ini sungguh luar biasa.
Ayah saya yaitu seorang pejuang kemerdekaan,
namun saya, anak pejuang itu, diperlakukan
sedemikian buruk dan hina oleh orang yang
mengaku pejuang dan patriot bangsa. Sungguh,
rasanya tak habis pikir atas semua yang telah
terjadi.
Suatu pagi buta sesudah dua-tiga hari disiksa
di Pomdam Jaya, saya dibangunkan. Tentara-
tentara membangunkan kami sebelum shubuh.
Dikumpulkan dan kemudian disuruh naik ke
atas truk. Saya mendengar seorang tentara
menanyakan masih adakah borgol di karung?
Suara yang datar itu pun sudah sangat mena-
kutkan. Bayang-bayang kematian seakan melin-
tas di depan mata. Bagaimana tidak, saya sudah
sering melihat mayat di dalam karung dengan
kondisi tangan terikat dibuang begitu saja di
pinggir jalan. Mungkin saja, pertanyaan seorang
tentara itu cuma untuk menakut-nakuti, namun
kami memang benar-benar ketakutan.
Di pagi buta itu, kami dibawa ke RTM (Ru-
mah Tahanan Militer) Cimanggis, sebuah tempat
untuk tentara-tentara yang ditahan. Di sana
kami ditahan hampir dua bulan lamanya. Pen-
deritaan tak terperihkan lagi. Saya cuma bisa
pasrah. Namun, ada satu hal yang membuat
saya gusar. Di tengah penderitaan di Cimanggis,
saya selalu ingat istri dan anak-anak yang masih
kecil-kecil di rumah. Sebagai kepala keluarga
dan menjadi topangan hidup keluarga, saya ber-
tanya dalam hati, siapakah yang memberi makan
mereka? Siapa yang menjaga mereka? Bagai-
mana nasib mereka sejak saya diciduk? Beban
pikiran itu terus berkecamuk di hati. Saya tidak
tahu, apakah mereka mengetahui keberadaan
saya? Sebingung apakah mereka mencari-cari
saya? Hubungan saya dengan ke