Selasa, 11 Februari 2025

tragedi tanjung priok 1



artikel  ini ditulis berdasarkan pengalaman

pribadi melalui metode penulisan langsung oleh

korban dan keluarga korban selama Januari -

April 2004. Selain itu juga dibantu melalui

metode wawancara yang dilakukan oleh Kontras.

artikel  ini ditujukan bagi warga  luas

agar bisa memahami peristiwa Tanjung Priok

yang sebenarnya. Termasuk penderitaan dan

harapan-harapan korban dan keluarga korban,

di samping munculnya berbagai intervensi ber-

bagai pihak untuk memetieskan dan mengabur-

kan fakta kasus Tanjung Priok. Selain itu, artikel 

ini juga ditujukan kepada para jaksa penuntut

umum, majelis hakim dan seluruh aparat hu-

kum untuk memberikan fakta yang sebenarnya

di luar timbulnya berbagai fakta-fakta yang ter-

ungkap di persidangan. Lebih jauh, artikel  ini

diharapkan dapat membuka kebenaran akan

peristiwa Tanjung Priok sebagai bagian dari

sejarah negara kita . 

ban dan keluarga korban yang telah menyedi-

akan waktunya untuk menulis pengalaman yang

tentu saja tidak mudah untuk diungkapkan.

Selain itu juga kami mengucapkan terima kasih

kepada korban dan keluarga korban pelang-

garan HAM di Talangsari Lampung, Trisakti,

Semanggi I dan II, Mei 1998, penculikan aktivis

1998, dan pembunuhan massal di tahun 1965-

1966. Termasuk kawan-kawan mahasiswa yang

tergabung dalam Kompak, GMNI, HMI, dan

organisasi mahasiswa lainnya yang selama ini

turut mendukung perjuangan korban Tanjung

Priok. Semoga kita tetap bersama dalam mem-

perjuangkan hak-hak dan kebebasan asasi 

manusia sehingga terwujud kebenaran dan 

keadilan bagi korban pelanggaran HAM.

pra-gagas


Tiada yang adil di bumi ini, selain keadilan-Mu

Tiada yang kuat di bumi ini, selain kekuatan-Mu

Kami mengharapkan kehadiran-Mu

Kami menantikan mukjizat-Mu

Hanya keajaiban-Mu-lah yang dapat membantu

kami

Datangkanlah secercah harapan untuk kami 

Tuhan sertailah kami bersama-Mu

Agar kami terhindar dari penguasa di bumi per-

tiwi ini Amin.....!!!

(Wanma Yetty, salah seorang korban peristiwa

Priok ‘84)

Puisi di atas ditulis oleh Wanma Yetty, anak

perempuan salah seorang korban peristiwa

berdarah di Tanjung Priok 12 September 1984.

Yetty, yang pada saat itu berusia 20 tahun tak

tahu menahu salah dan dosa ayahnya, juga ikut


terjerumus dalam jurang penderitaan yang

mengubah jalan hidupnya. Masa depannya se-

saat  menjadi gelap. 

Perisitwa Tanjung Priok telah mengubah

hidup Yetty dan ratusan orang lain. Berbagai

peristiwa besar telah terjadi di tempat ini. Se-

iring kapal-kapal yang datang dan pergi di pela-

buhannya, berbagai kisah hidup manusia pun

bergulir di Tanjung Priok. 

Salah satu peristiwa besar yang terjadi di

Priok yaitu  peristiwa yang terjadi pada 12 Sep-

tember 1984. Sebuah peristiwa yang sampai kini

masih menorehkan luka menganga dalam lem-

baran sejarah bangsa negara kita . 

Banyak orang mungkin telah lupa pada apa

yang terjadi di Tanjung Priok bulan September

tahun 1984. Jangankan sebuah peristiwa yang

terjadi 20 tahun yang lalu, untuk peristiwa yang

baru terjadi satu tahun lalu pun, kita barangkali

sudah melupakannya. Atau mungkin kita tidak

lupa sebab  koran masih memberitakan perju-

angan para korban sampai saat ini, tapi kita tidak

peduli. Ya, kita tidak mempedulikannya seperti

kita tidak peduli pada peristiwa-peristiwa pe-

langgaran hak asasi lainnya. Mengapa kita bisa

tidak peduli pada tragedi kemanusiaan seperti

peristiwa Priok? Jawabannya sangat relatif. 

Pertama, kita bisa tidak peduli sebab  kita

takut. Kedua, kita tak peduli sebab  tak tahu

bagaimana cara untuk peduli. Ketiga, kita tak

peduli sebab  kita telah menjadi manusia tanpa

hati nurani. Bila kita tidak peduli sebab  sebab

pertama, itu mungkin sebab  kita telah diben-

tuk menjadi manusia-manusia penakut selama

puluhan tahun tanpa kita sadari. Bila kita tak

peduli sebab  sebab kedua, berarti kita masih

selamat dari wabah ketakutan yang membe-

lenggu hidup kita. Mungkin kita baru terjangkit

gejalanya saja. Dan bila kita tak peduli sebab 

sebab ketiga, berarti wabah itu telah meracuni

seluruh jiwa-raga kita. 

Termasuk dalam kategori yang manakah

diri kita? Semoga kita tidak termasuk dalam

ketiga kategori itu. Semoga kita masih menjadi

manusia yang peduli. Manusia yang tidak takut

untuk peduli, tahu bagaimana cara untuk pe-

duli, dan memiliki nurani yang bekerja dengan

baik. Tanpa kepedulian pada sesama, hidup kita

akan kehilangan makna. Hidup kita tidak akan

berarti banyak.

artikel  ini juga tak lebih dari sebuah bentuk

kepedulian terhadap sebagian korban peristiwa

Priok. artikel  ini tidak ditulis dengan tujuan mu-

luk. artikel  ini ditulis hanya sebagai ungkapan



curahan hati para korban sendiri. Tak lebih dari

itu. Bila Anda membacanya dan kemudian men-

jadi peduli, itu akan menjadi sebuah rakhmat

bagi para korban.


“Malam ini akan ada

banjir darah!” 

SEKITAR pukul 13.00 WIB, tanggal 10 Sep-

tember 1984 saya bersama almarhum Amir Biki,

sopirnya, dan seorang lagi yang saya lupa nama-

nya, berangkat dari rumah Amir Biki menuju

Mushola Assa’adah di gang 4 Koja. Di mushola

itu, Sertu Hermanu yang menjabat babinsa di

daerah itu dikabarkan masuk mushola tanpa

membuka sepatu. Tujuan kami siang itu ada-

lah untuk mengecek kebenaran peristiwanya,

sekaligus meredam gejolak warga  sekitar.

Keadaan menjadi cukup genting sehubungan

dengan adanya pembakaran motor babinsa

Hermanu. Kami juga bermaksud menanyakan

perihal penangkapan empat orang pengurus

mushola ini .

Rencana Amir Biki yaitu  mencoba men-

damaikan, tapi saat  kami sampai di tempat,

kedua belah pihak sudah tak ada yang bisa

kami temui, termasuk Sertu Hermanu. Amir Biki

akhirnya mengumpulkan tokoh warga  di

salah satu mesjid di gang Y untuk memberikan

arahan agar persoalannya jangan dibesar-

besarkan, namun  warga  dan keluarga yang

ditangkap berharap Amir Biki mengupayakan

pembebasan keempat orang ini .

Amir Biki menyanggupi permintaan kelu-

arga korban. 

“Akan saya temui Komandan Kodim untuk

membicarakannya, mudah-mudahan bisa di-

bebaskan. Kalau tidak, saya akan minta pena-

hanannya dipindahkan ke Kapolres Jakarta

Utara,” kata almarhum waktu itu. 

Berita yang tersebar saat itu, keempat orang

ini  sudah babak belur. 

Seusai pertemuan, kami pulang. Saya turun

di depan bioskop Permai, kemudian menuju

toko artikel  Nusa Indah yang ada di sebelahnya.

Toko itu kepunyaan saya. 

Hari mulai gelap, sebentar lagi hampir

maghrib dan pasar mulai ramai, sayapun mulai

membuka toko.

Esok harinya, tanggal 11-9-1984 pagi, saya

mencari Sertu Hermanu yang telah saya anggap

sebagai saudara sendiri. Selama ini dia sangat

akrab dan dekat dengan saya. Saya mencari ke

rumahnya di kampung Mangga, ternyata dia

tidak ada. Tujuan saya mencarinya hanya ingin

menanyakan kronologi peristiwa sebenarnya

sampai motornya dibakar dan dia masuk

mushola tanpa buka sepatu. Saya yakin Pak

Hermanu pasti mau berterus terang pada saya.

Tapi saya tidak berhasil menemuinya meski

seharian saya mencarinya. 

Rabu, tanggal 12 September 1984, sekitar

pukul 13.00 WIB saya melihat Amir Biki sudah

ada di Jalan Sindang. Ia sedang mempersiap-

kan panggung bersama panitia Tabligh Akbar.

Kemudian sayapun ikut membantu memasang

speaker. Speaker yang paling jauh saya pasang

bersama Amir Biki di belakang penjagalan sapi.

Tepatnya di samping jalan menuju Mapolres

Jakarta Utara. Tapi saya lupa nama jalannya. 

Sambil bergurau saya bertanya pada Amir

Biki, “Apakah memasang speaker sejauh itu

harus kena pajak?” Saya perkirakan kabel yang

dipakai sekitar 350 meter dari Jalan Sindang

atau panggung. 

Amir Biki menjawab: “Biar Kapolres dengar

sebab  barangkali dia budeg.” 

Saya tidak mengerti apa maksud kata-kata

Amir Biki tadi. sesudah  selesai speaker diarah-

kan ke Mapolres, saya berdua dengan Amir Biki

kembali ke panggung. Di situ sudah ramai anak-

anak muda bersama panitia, sibuk dengan tugas

masing-masing.

sesudah  usai persiapan panggung, saya ke

Permai untuk membuka toko. Selepas Shalat

Isya, kira-kira jam 20.00 WIB saya kembali ke

tempat pengajian atau Tabligh. Ternyata sudah

ramai sekali jamaahnya. 

Jam 20.30 WIB protokol mulai membuka

acara, dan sebagian penceramah sudah hadir.

Protokol kemudian mempersilakan Amir Biki

naik ke podium. Amir Biki memperkenalkan diri

dan mengatakan bahwa ia baru pertama kali

naik podium. 

“Baru kali ini saya bicara dan kemungkinan

ini yang terakhir kali,” ujar Amir Biki. 

sesudah  itu baru dia mengumumkan bahwa

Syarifin Maloko tetap hadir di tengah-tengah

kita, jadi tidak benar Syarifin Maloko telah 

ditangkap oleh mereka. Isunya waktu itu Pak

Syarifin telah ditangkap. 

Penceramah kedua, yaitu almarhum Salim

Kadar. Namun isi ceramahnya saya tidak per-

hatikan. 

Kemudian tampil M. Nasir yang isi ceramah-

nya banyak menyinggung kebijakan pemerintah,

mengulas soal KB, dan soal fasilitas ekonomi

yang begitu mudah diperoleh etnis Cina. Setiap

saya ikuti ceramahnya, ia hampir selalu me-

nyinggung masalah-masalah itu. 

Penceramah selanjutnya yaitu  Pak Syarifin

Maloko, tapi Pak Syarifin tidak berkenan ber-

bicara malam itu. Ia hanya menampakkan diri

di hadapan jamaah. Itupun sesudah  didesak oleh

Amir Biki. 

Ceramah dilanjutkan oleh Yayan Hendra-

yana yang banyak membicarakan LB Murdani,

mencercanya sebagai kafir, dan semacamnya.

Hanya sedikit yang saya dengar sebab  memang

tidak terlalu memerhatikan. 

Penceramah terakhir yaitu  Pak Ratono

yang sekaligus menjadi pengganti Syarifin

Maloko. Inipun tidak saya perhatikan isi cera-

mahnya, yang saya bisa tangkap antara lain ten-

tang menuntut pembebasan keempat jamaah

yang ditahan di Kodim.

Kira-kira jam 22.30 WIB Amir Biki naik

mimbar lagi. Ia berbicara masalah jamaah

yang ditahan di Kodim. Kemudian menerang-

kan bahwa ia telah ke Kodim untuk memohon

keempat orang ini  dibebaskan, namun

tidak berhasil. sebab  itu, Amir Biki mengajak

jamaah untuk beramai-ramai datang ke Kodim

0502 Jakarta Utara untuk meminta pembebasan

keempat orang ini . Amir Biki berkata, “Kita

tunggu sampai jam 23.00 WIB, apabila keempat

orang ini tidak dibebaskan juga, maka kita

semua ke Kodim! Malam ini akan ada banjir

darah. sebab  saya tahu moncong senjata TNI

telah diarahkan ke kepala saya!” Perkataan Amir

Biki berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan

dengan, “Apabila saya meninggal malam ini,

saya minta kepada jamaah untuk mengusung

jenazah saya keliling Jakarta!” 

Itu permintaan Amir Biki, namun  sebelum

Amir Biki selesai ceramahnya, ada jamaah mem-

buat kegaduhan di depan panggung sampai

pagar di situ ada yang roboh. Amir Biki lalu

memperingatkan agar tidak membuat kega-

duhan. “Jangan mengecewakan saya, saya pe-

ringatkan bahwa yang membuat kegaduhan itu

bukan jamaah kita,” serunya.

sebab  keadaan tabligh mulai kacau, saya

pun naik ke panggung untuk mengamankan

massa. Tak lama kemudian massa terbagi dua,

sebagian ke Koja melalui Jalan Sindang dan se-

bagian ke Kodim. Saya satu kelompok dengan

Amir Biki. sebab  saya berdekatan dengan Amir

Biki di atas panggung maka sayalah yang diberi

bendera untuk memimpin jamaah. namun  pim-

pinan komandonya tetap dipegang oleh Amir

Biki.

Sebelum turun dari panggung, saya mena-

nyakan pada Amir Biki tujuan ke Kodim ini

mau apa? Amir Biki menjawab bahwa tujuan-

nya hanya untuk meminta empat orang teman

tadi agar dibebaskan. 

“Begini Pak Amir, kalau tujuan kita ke

Kodim ingin berontak, saya tidak ikut,” saya

menegaskan. 

“Bukan untuk itu, dan saya minta jangan ada

yang melawan aparat sebab  itu bukan tujuan

kita!” Begitu jawaban Amir Biki. 

Saya masih mencoba mengusulkan lagi agar

tidak pergi malam itu. 

“Bagaimana kalau besok siang saja kita

ramai-ramai ke sana?” Usul saya.

“Sudahlah, malam ini saja,” jawab Amir Biki.

Dan kemudian kami berangkat. 

“Ayoo…!”

Saya melompat turun dari panggung sambil

mengucap basmallah. Saya langsung mulai di-

dorong-dorong massa yang sambil berjalan

mengucapkan Takbir Allahu Akbar terus-me-

nerus. Massa bergerak melalui Jalan Sindang,

sampai di depan pagar Rawa Badak berbelok

ke kanan menuju Jalan Yos Sudarso. Sampai di

depan pemadam kebakaran, bendera yang saya

bawa hampir direbut anak-anak seumuran kelas

3 SMP. Belakangan baru saya tahu anak itu

namanya Irta sebab  dia juga kena tembak

malam itu.

Saya pertahankan bendera itu sebab  khawa-

tir disalahgunakan. Itu yang ada dalam pikiran

saya. Saya hanya menitipkan tas kecil berisi

radio tape Sony dan kaset rekaman pengajian/

ceramah malam itu. Tas lalu dibawa Irta (ter-

nyata tas beserta isinyapun kemudian hilang). 

sesudah  sampai di lampu merah, saya dan

rombongan belok ke kiri menuju Kodim. Kira-

kira 30 meter dari lampu merah, saya melihat

aparat berbaris menghadang rombongan kami.

Saya terus didorong massa untuk maju. saat 

jarak antara kami dan pasukan TNI tinggal 2

m, ada perintah dari TNI untuk berhenti.

Saya sesaat  itu berhenti dan menahan

jamaah dengan tiang bendera sambil berteriak:

“Berhenti, berhenti, berhenti!!” Saya mencoba

menahan rombongan sambil menunggu Amir

Biki. Posisi kami persis di depan gereja di

samping Mapolres Jakarta Utara, tepatnya di

halte bis. Saya masih sempat menghitung ten-

tara yang ada di depan saya. Di jalan menuju

Kodim berbaris 6 orang dan yang menuju Tan-

jung Priok ada 5 orang. Itu yang dapat saya

hitung, sebelas orang. Pada saat yang sama,

saya terus berusaha menahan massa supaya

jangan mendesak ke depan lagi. Saya halangi

dengan tiang bendera yang saya bawa, tapi

tiba-tiba ada bunyi tembakan yang memekak-

kan telinga. Saya terjatuh sebab  kaget dan

panik. Sebelumnya sama sekali tidak ada tem-

bakan peringatan. Massa panik sebab  tem-

bakan langsung diarahkan pada kami. Lama

bunyi tembakkan kira-kira 5 sampai 10 menit.

Sangat lama rasanya. Saya sempat melihat jam

tangan, jarum jam menunjuk pukul 23:15 WIB.

Lampu jalan masih menyala terang, dan kala

itu juga saya melihat orang di samping kanan

roboh di dekat saya dan di kiri saya dua orang

juga roboh. Dekat sekali dengan saya. Menge-

rikan. 

Saya mendengar suara rintihan kesakitan

di sekeliling saya, di antara suara tembakan

yang terus menyalak. Saya lihat orang-orang

ditembak lagi, saya lihat moncong-moncong se-

napan itu mengeluarkan cahaya api dan bunyi

keras. Saya hanya bisa diam dan memasrahkan

diri kepada Allah di dalam hati. Saya pikir

sayapun pasti akan ditembak juga. Detik-detik

berlalu begitu mencekam. Tak lama kemudian

aparat-aparat yang menembak bergerak mun-

dur agak jauh dari saya sambil terus menem-

bak. Mereka mencoba melihat lebih jauh ke

belakang, ke arah rombongan lain yang me-

nuju kami. Ternyata itu yaitu  rombongan Amir

Biki. Saya dengar ada yang berteriak bahwa itu

yaitu  Amir Biki. Disusul lagi teriakan dari

anggota pasukan lainnya, 

“Habisi saja!!” 

Dan saat  saya mencoba melihat ke be-

lakang, saya lihat Amir Biki roboh bersama

beberapa orang lainnya. Sisa rombongan yang

mencoba melarikan diri, terus diuber tentara.

Tak berapa lama kemudian pasukan TNI

lain datang lagi. Ini bisa saya lihat sebab  sinar

lampu mobil TNI yang dari arah Tanjung Priok

begitu menyilaukan mata. Saya perkirakan

orang-orang yang tergeletak di sepanjang jalan

sekitar 30-50 orang, campur aduk antara yang

luka dan meninggal. Selama sekitar 30 menit

kami mulai dikumpulkan dengan diseret begitu

saja di jalanan lalu dilemparkan ke atas truk

terbuka. saat  tubuh saya mau diseret, mereka

sempat memeriksa mata saya yang terpejam.

Saya terus memejamkan mata dan tidak ber-

gerak meski mereka menendang kaki kiri saya

keras sekali. Orang yang memeriksa saya ber-

teriak, “Ini sudah mati!” Lalu saya diseret dan

dilempar ke dalam truk. Kebetulan saya jatuh

di pojok kanan depan bak sehingga tidak di-

jatuhi banyak tubuh-tubuh lain yang menyusul

dilemparkan satu per satu. Waktu itu ada juga

satu tubuh yang menindih saya, saya langsung

menggeser-gesernya perlahan dengan kaki kiri

saya sebab  tubuh orang yang sudah mati ter-

nyata sangat berat.

sesudah  selesai dinaikkan semua, mobil mulai

melaju. Ternyata menuju arah Kodim 0502 dan

berhenti dulu di Makodim. Saya bisa mengenali

dari pohon palem yang tinggi yang ada di sam-

ping halaman Makodim. Tak lama kemudian

mobil melaju lagi, ternyata kami dibawa ke 

Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo. Di sini

kami belum sempat diturunkan sebab  ada

perintah harus dibawa ke RSPAD. Mobilpun

keluar menuju RSPAD, dan setibanya di sana

kami mulai diturunkan. Yang masih hidup 

seperti saya didahulukan. Saya tak sempat me-

lihat berapa yang meninggal dan yang luka-

luka malam itu, saya disuntik lalu dipinggirkan

dekat pintu. Yang luka parah langsung dita-

ngani Dokter. Saya sempat melihat Pak Tri

Sutrisno dan LB. Moerdani bersama 3 orang lagi

yang saya tidak kenal langsung menuju kamar

mayat. Saat itu kurang lebih jam 03.00 WIB.

Dini hari. 



“Saya diambil intel 

dari rumah.” 

SEBAB terjadinya peristiwa Tanjung Priok

12 September ‘84 setidaknya sebab  empat per-

soalan yang menjadi masalah. Persoalan per-

tama yaitu  soal penghapusan Piagam Jakarta

yang diganti dengan azas tunggal Pancasila. Per-

soalan kedua yaitu  soal membangun rumah

ibadah bukan pada tempatnya. Lalu ketiga, soal

tanah negara yang ditempati rakyat diambil ne-

gara. Katanya untuk digunakan negara, ternyata

ditempati para konglomerat. Dan persoalan atau

isu keempat yaitu soal penggusuran pedagang

kaki lima dan tukang becak. 

Sepengetahuan saya, sesudah  Piagam Jakarta

dihapus dan diganti azas tungal Pancasila, para

ulama dan da'i bermusyawarah. Hasilnya ada-

lah Tabligh Akbar se-Jakarta dan sekitarnya. 

Dalam Tabligh Akbar itu, isi pengajian ber-

tujuan memberikan pemahaman tentang Akidah

Islamiah dan menerangkan terhapusnya Piagam

Jakarta diganti dengan azas tungal Pancasila.

Isi keterangan utama para da'i tentang masalah

penghapusan Piagam Jakarta dianggap sebagai

hilangnya azas Islam dari GBHN. Da'i juga

menerangkan bahwa hal itu berarti dalam azas

tunggal Pancasila tidak ada lagi azas Islam. 

Selanjutnya para ulama dan da'i meminta

dengan sangat kepada pimpinan negara agar

jangan sampai Piagam Jakarta dihapus. namun 

permintaan ini  tidak dikabulkan. Pemerin-

tah malah menanggapi dan menuding ulama

dan da'i sebagai provokator dan penghasut.

Inilah titik awal persoalan yang muncul pada

tahun 1984. 

Persoalan kedua yaitu membangun rumah

ibadah yang bukan pada tempatnya, misalnya

membangun gereja di lingkungan umat Islam.

Ini membuat umat Islam marah. Para ulama

dan da’i juga sudah memperingatkan pemerin-

tah tentang masalah itu. 

Persoalan ketiga, yaitu tanah negara yang

ditempati rakyat diambil negara. Katanya untuk

digunakan negara, ternyata malah ditempati

para konglomerat. Ini membuat para ulama, da'i

dan warga  di sekitarnya marah. Padahal

sebelumnya yang menempati tanah ini 

yaitu  rakyat kecil yang miskin, tanah rakyat

kecil penduduk asli negara kita . Tapi pemerintah

seakan tidak peduli. Itulah yang dilakukan

pemerintah negara kita  saat itu pada rakyatnya

sendiri.

Belum lagi kemarahan itu reda, pemerintah

malah menggusur pedagang kaki lima dan

tukang becak. Kemarahan semakin mengental

dan meluas di kalangan pedagang kaki lima

dan tukang becak. Pemerintah saat itu benar-

benar tidak memerhatikan dan tidak peduli

pada nasib rakyat kecil. Tidak ada kebijakan

yang berpihak pada nasib rakyat kecil yang ada

di Jakarta. Inilah poin keempat yang memicu

peristiwa Priok pada tahun 1984.

Kondisi saat itu menjadi memburuk. Para

ulama dan da’i serta umat Islam Jakarta dan

sekitarnya, marah dan mulai tidak terkendali.

Suasananya seperti yang terjadi di daerah Tan-

jung Priok antara Pemuda dan Babinsa. Titik

persoalannya saat  seorang petugas Babinsa

melihat tulisan yang tidak enak dibaca di tem-

bok mushola yang berada di Koja. Petugas

Babinsa itu lalu masuk ke mushola tapi tanpa

melepas sepatu. Kemudian ia menemui dua

orang pemuda yang berada di dalam mushola

dan mengajak kedua pemuda itu keluar menuju

rumah Ketua RW. Maksudnya untuk menyele-

saikan masalah yang berkaitan dengan tulisan

yang ada di tembok mushola. Belum lagi pem-

bicaraan selesai, tiba-tiba motor Babinsa yang

ada di luar dibakar beberapa pemuda. Keadaan

menjadi panas dan genting. Akhirnya pemuda

yang berada di rumah Ketua RW dan pemuda

yang dicurigai membakar motor Babinsa dibo-

yong ke Kodim. Semuanya empat orang. Dan 4

pemuda itu akhirnya ditahan di Polres.

Seorang pemuka Agama bernama Amir Biki

yang rumahnya di daerah Tanjung Priok, men-

dengar tentang empat pemuda yang ditahan oleh

petugas Babinsa. sesudah  Amir Biki mengetahui

pemuda-pemuda yang ditahan itu, ia mencoba

mencari mereka ke Kodim. Pada waktu ditanya-

kan kepada Kodim perihal 4 pemuda itu, orang

Kodim menjawab, “Empat orang ini  tidak

ditahan di sini, coba tanyakan saja ke Danres.”

Kemudian Amir Biki mencari ke Danres, tapi

ternyata tidak ada juga. Akhirnya Amir Biki

menyimpulkan bahwa dirinya telah dipermain-

kan oleh petugas-petugas itu.

Keempat orang dalam kejadian itu belum

juga ditemukan. Kemudian Amir Biki bermusya-

warah dengan para ulama dan da’i untuk me-

ngadakan pengajian Akbar di Tanjung Priok.

Musyawarah menyetujui pengajian pada tang-

gal 12 September 1984. 

Amir Biki mengundang para ulama dan da’i

datang ke Tanjung Priok untuk memberikan

ceramah dan mengundang umat Islam agar

membanjiri pengajian itu. Itulah undangan

yang disampaikan kepada umat Islam se-

Jakarta dan sekitarnya. 

Pengajian dimulai pukul 20.00 WIB sam-

pai pukul 23.00 WIB. Inti ceramahnya, yaitu

umat Islam harus waspada untuk menghadapi

musuh-musuh Islam. Kedua, umat Islam me-

minta kepada pemerintah agar keempat orang

yang ditahan dibebaskan. Jika tidak dibebas-

kan maka umat Islam akan menuju ke Kodim

seperti diperintahkan oleh Amir Biki. Peristiwa

itu akan dipimpin langsung oleh Amir Biki.

Akhirnya perjalanan ke Kodim pun terjadi

sebab  aparat tidak mengabulkan apa yang

diminta oleh da’i dan umat Islam. Para jamaah

yang menghadiri pengajian semua menuju ke

Kodim dan sebagian umat Islam menuju ke

Koja. Baru sekitar 5-10 menit berjalan, sudah

terdengar tembakan. Tembakan yang mengarah

langsung ke barisan jamaah. Akibatnya jamaah

bubar tercerai-berai sebab  ada yang kena

tembak dan ada yang mati. Tembakan demi

tembakan seperti sudah dipersiapkan dan

memakai alat-alat yang berat seperti panser. 

Sebelum peristiwa Tanjung Priok, saya

sudah aktif di pengajian-pengajian. Saya terus

berdiam di rumah selama 10 hari sejak peristiwa

Tanjung Priok, tapi akhirnya saya diambil oleh

petugas intel dari rumah saya di Cempaka

Putih dan dibawa ke Kodim Jakarta Pusat di

daerah Senen. Begitu sampai di Kodim, saya

ditanya masalah peristiwa Tanjung Priok. Saya

terangkan asal-usul kejadian Tanjung Priok

yang saya tahu, tapi belum selesai menjawab,

saya dipukuli dan dimaki sebagai GPK (Gerakan

Pengacau Keamanan). 

sesudah  3 hari disekap dan diinterogasi di

Kodim, saya dibawa ke Cimanggis dengan jari

jempol diikat dan mata ditutup kain hitam.

Saya dibawa pakai mobil truk bersama tahanan

lain. Setibanya di tahanan Cimanggis, kami lang-

sung diturunkan di kantor penjagaan. Setiap

orang kemudian dipangkas rambutnya secara

tidak teratur dan langsung diperintahkan

masuk dengan berjalan merangkak digiring

petugas. Kami terus merangkak menuju kamar

yang hanya muat satu orang. Di kamar itu, saya

disekap sekitar satu minggu, dan selama di-

sekap saya diberi makan hanya nasi putih dan

air putih saja. Dua kali satu hari, itupun nasi-

nya hanya lima sendok makan. Itulah jatah

makan saya selama satu minggu.

sesudah  satu minggu, saya dikeluarkan dari

kamar itu. Saya langsung disuruh merangkak

menuju ke rumah tahanan umum sambil di-

bentak-bentak oleh petugas yang mengawal

saya. Saya disuruh merangkak sampai ke

rumah tahanan umum sampai kaki saya sulit

digerakkan. 

Di rumah tahanan umum, saya bertemu

Sarifudin Rambe, Yusron, Irta, dan Sahi. Saya

ditempatkan satu sel bersama 4 orang itu, jadi

ada lima orang termasuk saya. Di sel itu, saya

masih mendapat jatah makan sehari dua kali.

Pertama jam 12.00 WIB dan kedua jam 16.00

WIB. Jatah makan yang diberikan, masih sama,

lima sendok makan nasi putih dan semangkuk

kecil sayur bening yang tidak bergaram. Tanpa

rasa. Minumnya air putih. Kondisi para tahanan

sangat memprihatinkan sebab  masalah ma-

kanan yang sangat kurang dan tanpa vitamin

serta gizi. Akhirnya sebagian tahanan sakit

lumpuh, tidak bisa jalan.

Saya ditahan di Cimanggis sekitar 40 hari.

Kemudian dipindahkan ke Kodim Jakarta

Pusat. Di Kodim Jakarta Pusat, saya ditahan

sekitar satu minggu. Akhirnya saya dikeluar-

kan dengan syarat setiap minggu harus apel ke

Kodim selama enam bulan. 

 


“Mereka Bilang, Di Sini

Tidak Ada Tuhan.”

RABU malam, tanggal 12 September 1984,

pukul 19.30 WIB. Ba’da isya saya berangkat

dari Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat. Saya

pergi bersama dua adik saya, yaitu Muhtarom

dan Sabeni, serta seorang teman, Junaidi. Kami

menuju ke tempat pengajian di Jalan Sindang,

Tanjung Priok. Sesampai di jalan itu, jamaah

pengajian sudah penuh membeludak. Saya

perkirakan jumlah jamaah sekitar 5.000 orang.

Begitu hiruk-pikuk. Malam itu, saya merasakan

agak lain dari suasana pengajian-pengajian se-

belumnya. Padatnya jamaah membuat saya tak

mampu menerobos kerumunan massa untuk

mendekati panggung, tempat para penceramah.

Saya dan rombongan cuma bisa berdiri dalam

jarak kira-kira 50 meter dari panggung.

Malam itu memang terasa agak lain. Mung-

kin, sebab  penceramah yang hadir cukup

banyak. Yakni Ratono, Yayan Hendrayana, M.

Nasir, Syarifin Maloko, Salim Kadar, dan Amir

Biki. Terlebih lagi, para penceramah minta

kepada Kodim Jakarta Utara agar membebaskan

empat warga yang ditangkap terkait insiden di

Masjid As-Sa’adah, Koja. Terutama Amir Biki,

dia memberi ultimatum agar pembebasan

empat ikhwan itu dilakukan sebelum jam

23.00 WIB. 

Amir Biki sebenarnya bukanlah seorang

penceramah. Dia yaitu  tokoh warga 

Tanjung Priok. Begitu juga Salim Kadar. Tapi

malam itu keduanya meminta empat orang yang

ditahan di Kodim segera dibebaskan. Menurut

informasi, keempat ikhwan ini  yakni

Saripudin Rambe, Ahmad Sahi, Sofwan Sulai-

man, dan Nur Muhamad Nur ditangkap dalam

peristiwa Koja, tanggal 10 September 1984.

Penangkapan itu yaitu  buntut dari tindakan

seorang aparat Babinsa, Sersan Hermanu yang

masuk mushola untuk mencopot pamflet-pam-

flet yang bernada keras terhadap pemerintah,

namun  tidak melepas sepatu, pada 8 September

1984. Sampai akhirnya warga marah dan ter-

jadilah pembakaran sepeda motor Babinsa itu.

Tokoh-tokoh warga  Tanjung Priok

minta agar keempat orang itu dibebaskan.

Hampir semua elemen warga  termasuk

pengurus dan aktivis masjid. Bahkan pengurus

Masjid Al-Fudholah yang dipimpin Abdullah

Al-Jufri yang biasanya dikenal sebagai orang

yang cukup dekat dengan pemerintah, kali ini

juga menuntut pembebasan keempat orang itu.

Selama itu, memang kelompok Al-Fudholah

sering disindir dalam setiap ceramah, bahkan

kelompok Amir Biki yang memilih bersikap

oposan menyebutnya sebagai “ayam sayur”.

Saya ingin memberi gambaran sedikit bahwa

khususnya di Jakarta Utara, terlebih lagi di

kawasan Tanjung Priok, situasinya cukup panas.

Semangat untuk menentang pemberlakukan

Azas Tunggal Pancasila serta menolak kebi-

jakan pemerintah menjadi materi ceramah

sehari-hari. Pengajian seringkali digelar, tidak

hanya di dalam lingkungan masjid, namun  juga

di areal publik seperti di jalan umum. Para mu-

baligh yang sering berceramah di Jakarta Utara,

antara lain Ratono, Syarifin Maloko, Yayan

Hendrayana, M Nasir, Tony Ardi, Abdul Qodir

Jailani, Mawardi Nur, Abu Hamidi yang juga

Rektor PTDI. warga  Tanjung Priok tam-

paknya begitu rentan dan emosinya sewaktu-

waktu bisa meledak.

Rupanya ledakan dahsyat itu terjadi pada

12 September 1984. Malam itu, ribuan jamaah

was-was menunggu, apakah keempat orang yang

ditahan itu akan dibebaskan seperti diultima-

tum penceramah, khususnya Amir Biki. Maka

begitu jarum detik jam menunjuk angka 23.00

WIB, dan keempat orang itu tidak juga ada di

panggung, maka bergeraklah massa menuju

Kodim. Amir Biki langsung memimpin. Namun

baru saja bergerak, di depan Mapolres Jakarta

Utara, dihadang tentara. Saat itu, saya berada

di depan gedung bioskop Permai, kira-kira 100-

an meter dari tempat massa dihadang tentara.

Dalam barisan itu, massa sebetulnya bergerak

tertib. Tidak ada pelemparan ke gedung-gedung

terutama gedung bioskop. Jika ada yang menga-

takan demikian, saya pastikan mereka telah

berbohong.

Berlindung di Kubah Mesjid

Tak sampai 15 menit kemudian terdengar-

lah suara tembakan. Saya sempat menyaksikan

seseorang diangkat ke belakang sebab  tertem-

bak. Suasana yang tadinya berjalan dengan

tertib dalam sekejap berubah total. Massa ber-

hamburan, kocar-kacir berlarian ke belakang

mencari tempat berlindung. Semua orang ber-

usaha menyelamatkan diri masing-masing. Saya

pun tercerai-berai dengan rombongan dari

Cempaka Putih. Saya menyelamatkan diri ke

dalam Mesjid Persis, di sebelah bioskop Permai.

Saya tidak tahu di mana adik-adik saya. 

Begitu masuk, mesjid dalam keadaan gelap.

Lampu mati. Ternyata di dalam mesjid sudah

banyak orang berlindung. Suara tembakan 

masih terdengar di telinga, meski mulai jarang.

Hanya saja, meski sudah berlindung di dalam

mesjid, hati masih cemas. Saya belum merasa

aman. Soalnya, tentara melakukan penyisiran.

Pintu gerbang mesjid yang telah dikunci, masih

digoyang-goyang oleh tentara. sebab  cemas,

bersama orang-orang lain yang tidak saya kenal,

saya menyelamatkan diri ke atas mesjid sampai

ke kubah.

Dari tempat itu, saya menyaksikan dengan

jelas apa yang ada di Jalan Yos Sudarso, terma-

suk beberapa panser melintas. Cahaya lampunya

disorotkan ke segenap penjuru. Saya juga meli-

hat bola api memerah di wilayah Koja. Malam

itu sangat mencekam. Saya bersembunyi di

kubah mesjid sampai menjelang adzan shubuh.

Begitu terdengar lantunan adzan shubuh, semua

orang yang ngumpet di kubah satu persatu

turun untuk menjalankan shalat shubuh berja-

maah. Saya lihat lampu sudah mulai menyala

kembali. Baru sesudah  pagi saat  ada hiruk-

pikuk manusia, saya memberanikan diri untuk

keluar dari mesjid. Saya kemudian pulang ke

rumah di Cempaka Putih. Rasa haru menyeli-

muti rumah itu. sebab , mereka menganggap

saya sudah mati malam itu. Alhamdulillah, adik-

adik saya juga baru berani pulang pagi hari.

Meski dilanda kecemasan, saya dan seisi rumah

menenangkan diri.

sesudah  dua hari dari peristiwa berdarah itu,

terjadilah peristiwa di luar dugaan. Tanggal 14

September 1984, sekitar pukul 21.00 WIB, se-

jumlah tentara menggedor rumah. Mereka

menggeledah seluruh kamar dan mengambil

barang-barang yang katanya untuk barang

bukti, seperti pisau dapur dan artikel . Tanpa

penjelasan, saya dibawa secara paksa ke Kodim

Jakarta Pusat. Malam itu 7 orang yang ada di

rumah itu diculik. Saya, , Junaidi,

Zueni, adik saya Saefani, , Mukadi,

Sabri diciduk. 

Di Kodim kami diinterogasi selama 24 jam.

Rambut kami digunduli seperti seorang krimi-

nal. Setiap diinterogasi selalu ada yang me-

nampar dan memaki-maki. Dari Kodim, saya

dan teman-teman dibawa ke Jalan Kramat V,

Jakarta Pusat. Di tempat yang terkenal angker

itu, kami kembali diperiksa sampai menjelang

shubuh. Lagi-lagi bukan hanya bentakan-ben-

takan namun  juga kami tak kuasa dipukuli

bertubi-tubi. sesudah  dipermak di tempat itu,

kami dibawa dalam satu mobil ke Markas Pom-

dam Jaya di Guntur. Sampai di Guntur kira-kira

shubuh. Di markas itu, segala identitas kami

didata.  kemudian dipisah. Saya ber-

sama teman yang laki-laki dikumpulkan. Ten-

tara-tentara itu dengan kejinya menelanjangi

kami. Yang tersisa hanya celana dalam. 

Dalam tubuh tanpa dibalut pakaian itu,

kami disiksa di atas kerikil tajam. Kami dipaksa

berguling-guling di atas kerikil itu, sementara

tentara memukuli dengan tongkat dan menen-

dangi dengan sepatu lars. Dari mulut mereka

terlontar hinaan yang menyakitkan. “Dasar PKI!

Anak gerombolan GPK!” hardik mereka. Kami

cuma mampu mengucap, “Allahu Akbar!”

Namun setiap kami mengucap kalimat takbir

itu, mereka selalu melontarkan ejekan yang

amat menyakitkan hati. “Di sini tidak ada

Tuhan,” bentak mereka. Astaghfirullah! Hati

seperti berkeping-keping. Sementara tubuh saya

dan teman-teman tak henti-hentinya mengelu-

arkan darah. Darah segar mengucur dari kepala

sampai kaki.

sesudah  disiksa dan dihina, saya dan teman-

teman dijebloskan ke dalam ruangan. Ternyata

di situ sudah banyak tahanan, kira-kira 60-an

orang. Belakangan saya tahu mereka juga kor-

ban peristiwa Tanjung Priok. Saya perhatikan

wajah-wajah mereka. Rasa cemas dan pasrah

yang tampak. Saya mulai membersihkan darah

dari sekujur tubuh. Sementara celana dalam

yang penuh darah tetap saya pakai, sebab 

tidak ada gantinya. namun  meski dalam kondisi

seperti itu, saya ingin melaksanakan shalat

shubuh. Akhirnya kami nelakukan shalat shu-

buh berjamaah hanya dengan memakai celana

dalam saja. Sarung yang saya pakai saat

ditangkap entah ke mana sesudah  dilucuti di

Guntur.

Diberi Jaket Penuh Semut

Usai shalat shubuh, kami digiring masuk ke

sel sempit dan lembab. Tidak ada tikar, apalagi

selimut. Di dalam sel itu, saya juga tidak dapat

mengetahui waktu, sebab  sangat gelap. Siang

hari saja saat ada pantulan cahaya matahari, di

dalam sel cuma terlihat remang-remang. Dua

hari saya diperiksa secara marathon. Jika men-

jawab pertanyaan yang tidak sesuai dengan ke-

mauan mereka, langsung dihajar dan disundut

rokok. Siksaan itu membuat saya tidak ber-

daya. Saya pasrah saja, memberikan jawaban

yang mereka inginkan. 

Selama mendekam di sel, saya cuma menge-

nakan celana dalam berhari-hari. Seringkali

tubuh menggigil sesudah  disiksa. Suatu saat 

saya mengadu kepada petugas jaga. Saya

katakan bahwa badan saya meriang sebab  sel

saya terlalu lembab sebab  tidak ada tikar.

Rupanya ada seorang petugas PM yang melem-

par pakaian di tengah kegelapan malam. Saya

senang sebab  ada juga petugas yang punya

rasa iba. Saya ambil pakaian itu yang ternyata

yaitu  jaket mahasiswa. Namun jas itu penuh

dengan semut. Bagaimana saya bisa memakai

jaket penuh semut itu? Akhirnya saya malah

sibuk mengusir semut yang memenuhi sel. Siang

harinya saya lihat ternyata jaket ini  penuh

dengan bercak darah. Ternyata “kebaikan-

kebaikan” itu palsu. Pernah terjadi pada suatu

hari, sebelum diperiksa saya disuruh makan.

namun  saya tetap tidak bisa makan. Kemudian

saya disuruh minum air yang telah mendidih

yang ditumpahkan ke ember. Kerongkongan

saya memang haus, namun saya tidak jadi

minum, sebab  air itu bercampur air kotor. Saya

merasakan penderitaan di Guntur itu selama

satu minggu.

Suatu hari menjelang subuh, saya dikumpul-

kan dengan teman-teman dan tahanan lain.

Kami semua dalam keadaan diikat dengan tali

rapia. 

“Kami mau dibawa ke mana?” Saya mencoba

bertanya.

“Mau dibuang ke laut!” jawab seorang PM

dengan ketus.

Hampir semua tahanan tahu mereka akan

dibuang ke laut. Apa yang tidak mungkin saat

itu? Sepanjang perjalanan, petugas PM yang

mengawal tidak segan-segan meludahi siapa

saja yang ketahuan menoleh ke kanan dan ke

kiri, disertai makian. Namun di luar dugaan,

sesudah  kami diangkut dengan truk, rupanya

kami dibawa ke arah Cimanggis. Belakangan

saya tahu bahwa tempat itu yaitu  RTM (Rumah

Tahanan Militer) Cimanggis. Sesampainya di

RTM Cimanggis, kami dikumpulkan dengan

cara berbaris. Satu per satu diabsen untuk

masuk ke dalam sel. Berbeda dengan sel di

Guntur, sel di Cimanggis tidak ada kesan ang-

ker. Terlihat baru dan bersih. Saya berpikir,

mungkin para korban Tanjung Priok-lah yang

pertama-tama menempati sel itu. Kapasitas

tiap sel tidak sama. Ada yang untuk cuma satu

orang, ada yang untuk dua orang, ada yang

menampung tiga sampai lima orang. Di sel,

saya bersama dua tahanan lain, yaitu Asnami

yang tertembak tangannya dan Win Alfatib

yang ditangkap gara-gara ngerumpi kasus

Tanjung Priok. Saya sempat dipindah ke sel,

sehingga saya memanfaatkan untuk berkenalan

sekaligus bertukar pikiran dengan tahanan lain.

Saling bertanya apa latar belakang sampai

masuk ke RTM Cimanggis.

Masing-masing tahanan diperlakukan tidak

sama. sesudah  melewati satu bulan, ada tahanan

yang diberi kebebasan keluar sel untuk kerja

bakti, namun  ada yang sama sekali tidak boleh

keluar dari sel. Saya termasuk yang tidak boleh

keluar sel. Saya baru bisa keluar sel jika di-

periksa oleh polisi dan jaksa. Selain itu untuk

berobat sebab  luka di sebelah hidung dan

kepala akibat tendangan sepatu. Itu pun hanya

sekali. Saya juga pernah keluar sel saat 

dipanggil untuk memijat seorang PM, padahal

saya bukan ahli pijat. Pernah pula saya keluar

sel saat  dikumpulkan di lapangan untuk

didata sambil berolah raga. Saya diperboleh-

kan keluar sel untuk shalat Jumat berjamaah,

tapi itu pun cuma sekali. Selebihnya saya cuma

dikurung di sel.

Lebih dari empat bulan saya ditahan di

Cimanggis. Saya ingat betul, ada dua tahanan

yang lumpuh akibat berbulan-bulan tidak

mendapatkan sinar matahari. Selama mende-

kam di sel itu, tidak ada keluarga yang mene-

ngok saya. Boleh jadi sebab  keberadaan saya

tidak pernah diketahui oleh keluarga. Ber-

bulan-bulan saya hanya bisa curhat (curahan

hati) pengalaman masing-masing dari penyik-

saan yang kejam sampai masalah-masalah

peristiwa Tanjung Priok. Saya akhirnya dipin-

dahkan ke Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Sua-

sananya berbeda jauh dengan RTM Cimanggis.

Saya boleh dijenguk keluarga. Setiap pagi

seperti tahanan lain, saya yang menempati sel

Blok A boleh keluar sel. Mulailah saya ber-

diskusi mengatur strategi menghadapi persi-

dangan dengan Agus dan Ramli. Belakangan

Agus ikut kelompok islah, sedangkan Ramli

tidak ada kabar beritanya sampai kini.

Di Rutan Salemba saya sempat dipindah-

kan ke Blok N. Di situlah, saya bertemu dan

berkumpul dengan ustadz-ustadz dan beberapa 

aktivis yang terlibat peristiwa Tanjung Priok.

Mereka yaitu  Ratono, Tony Ardi, Yayan

Hendrayana, Salim Kadar, Abu Hamidi, Mayjen

(purn) HR Darsono, AM Fatwa, Abdul Qodir

Jailani, Sucipto yang purnawirawan, Tasrip

Tuasikal, Rani Yuningsih, Eddy Ramli, dan

Jayadi. Sebetulnya masih banyak lagi, namun 

itulah nama-nama yang masih saya ingat. 

Saya mulai disidang pada Januari 1985.

Tuduhan yang ditimpakan kepada saya yaitu 

pertama, ikut pengajian gelap alias tanpa izin,

dan kedua melakukan penyebaran pamflet.

Sidang itu berlangsung sekitar lima bulan.

saat  majelis hakim yang dipimpin M. Sukarno

membacakan putusannya pada pertengahan

Mei 1985, alhamdulillah saya divonis bebas.

Merasa akibat tindakan sewenang-wenang itu,

saya melalui pengacara dari Pusbakum (Gloria

Tarigan dan kawan-kawan) mengajukan ganti

rugi Rp 200 juta. 

sesudah  bebas, saya merasakan udara segar.

Itu artinya intimidasi, ancaman, dan penyik-

saan yang menghantui berbulan-bulan, tidak

akan lagi saya jumpai. Saya mencoba untuk

menghapus ketakutan-ketakutan yang selama

ini saya rasakan. Pada bulan pertama, kedua,

ketiga bahkan sampai satu tahun, saya masih

rajin menanyakan perihal gugatan ganti rugi

yang saya ajukan. Namun setiap saya bertanya

selalu ketidakjelasan yang saya terima. sebab 

tidak adanya kepastian, sampai-sampai saya

merasa bosan sendiri untuk mengurusnya. Soal

itu akhirnya terlupakan ditelan waktu bertahun-

tahun. 

Tergugah Amien Rais

Mencari keadilan dan mengungkap kebe-

naran bukanlah perkara mudah. Jalannya

begitu berliku dan terjal. Bertahun-tahun saya

hidup sebagai korban kasus Tanjung Priok

dengan segala bekas luka, baik di fisik maupun

secara psikis. Bahkan semangat untuk memper-

juangkan nasib akibat perbuatan aparat yang

semena-mena rasa-rasanya hampir padam.

Alhamdulillah, semangat baru berkobar lagi

sesudah  masa reformasi. Semangat saya bangkit

lagi sesudah  mendengar pidato Amien Rais di

Masjid Al-Husna pada tahun 1998 Saat itu

Amien Rais memberikan semangat baru bagi

para korban Tanjung Priok untuk bangkit me-

nuntut balik dan meminta hak-haknya seperti

konpensasi, rehabilitasi, dan reparasi. Mulai

dari situlah, para korban Tanjung Priok mulai

menyatukan tenaga yang dipelopori Dewi

Wardah, istri almarhum Amir Biki. Kami mulai

menyusun strategi dengan membuat wadah

yang menampung semua aspirasi korban yaitu

Yayasan 12 September 84. Ketuanya yaitu 

Dewi Wardah. 

Sementara itu, ada juga para korban yang

lainnya membentuk tim advokasi yang disebut

Sontak (Solidaritas untuk Korban Tanjung

Priok) yang dipimpin Ustadz Syarifin Maloko

SH. Ada juga kelompok yang lain yang dipimpin

Ustadz Yayan Hendrayana. Namanya Kompak.

Meski ada beberapa  kelompok, namun  kami

selalu berjalan bergandengan lebih memper-

juangkan nasib kami. Kami selalu mengadakan

diskusi-diskusi, Tablig Akbar, melakukan

audensi, sampai melakukan demonstrasi untuk

mendapat simpati warga . Cukup berat,

namun  sebab  semangat juang yang tinggi

membuat suatu yang berat itu terasa ringan.

Waktu terus berjalan. Para korban yang

tadinya solid mulai tercerai. Mulailah terjadi

perbedaan pendapat dan berdampak negatif.

Awal kebobrokan mental dari korban Tanjung

Priok terjadi saat banyak pihak yang bersim-

pati memberikan bantuan uang, baik lewat Dewi

Wardah, lewat Asep, lewat Sofwan Sulaiman,

atau lewat Sarifudin Rambe maupun lewat Beny

Biki. Mulai timbul kecurigaan dan saling fitnah

antara Beni Biki dan Dewi Wardah. Mereka ber-

dua merasa paling berhak dan merasa benar,

padahal yang korban tetaplah para korban

peristiwa Tanjung Priok. Para korban tidak

mendapat apa-apa kecuali beban malu perteng-

karan itu.

Kami bersatu kembali saat  didampingi

API (Asosiasi Pembela Islam). namun  nyatanya

dalam perjalanan, API tidak bisa berbuat

banyak juga. Akhirnya kami mengadakan pen-

dekatan dengan Kontras. Suka dan duka ber-

jalan bersama Kontras. Alhasil kasus Tanjung

Priok bisa sampai ke pengadilan HAM Ad Hoc.

Cuma saja, dari 80 korban Tanjung Priok, yang

tersisa 14 orang yang tetap konsisten mencari

kebenaran di pengadilan. Tak terelakkan per-

pecahan itu berdampak yang tidak baik. Saya

pikir banyak sikap para korban yang kekanak-

kanakan. 

Bertahun-tahun kami berjuang dengan

harta dan raga untuk mengangkat kasus Tan-

jung Priok ke pengadilan. Tentu dengan susah

payah. namun  ternyata di saat yang bertahun-

tahun diperjuangkan itu ada di depan mata,

justru ada yang kontra dengan persidangan itu.

Alasannya sudah terjadi islah. Saya bertanya-

tanya, apa sebenarnya yang terjadi, apakah gara-

gara islah atau ada alasan lain? Kalau alasannya

sudah melakukan islah, bukankah islah tidak

bertentangan dengan proses hukum? Mana

mungkin pelanggaran HAM berat hanya dise-

lesaikan dengan musyawarah duduk satu

majelis, makan-makan ngobrol ngalor-ngidul,

membuat piagam lalu selesai, apakah cara itu

bisa menyelesaikan masalah?

Ditinjau secara formal maupun material,

menurut saya, islah tidak sah. Secara formal,

kasus Tanjung Priok merupakan tanggung

jawab sepenuhnya pengadilan HAM Ad Hoc

yang sekarang sedang digelar, bukan oknum

pembuat islah. Secara material, materi dalam

piagam islah tidak ada pengakuan kesalahan,

tidak masuk dalam lembaran negara, tidak ada

penjelasan akan pemberian kompensasi dan

lain-lain. Justru sekitar dua minggu sesudah 

penandatanganan islah, Presiden Abdurrahman

memerintahkan kepada Jaksa Agung agar

segera membentuk pengadilan HAM Ad Hoc.

Saya heran, para korban yang dulu begitu gigih

membela hak-haknya, mereka malah berkola-

borasi dengan TNI. Mereka banyak berbohong

saat memberi kesaksian dan memutarbalikkan

fakta bahwa yang bertangung jawab yaitu 

Amir Biki bukan TNI (ABRI saat itu), padahal

Amir Biki yaitu  korban. Selain itu mereka

kerap mempengaruhi jalannya persidangan

misalnya dengan berkaos bertuliskan “islah”

setiap persidangan, serta tak jarang membuat

kegaduhan yang membuat majelis Hakim mem-

peringatkan mereka. Terlepas dari itu semua,

memang islah juga punya nilai-nilai positifnya.

Yakni, mengurangi ketegangan antara korban

dan tentara atau TNI di pengadilan dan adanya

kemauan untuk menyelesaikan masalah oleh

kedua belah pihak.

 


“Senjata Itu Nempel 

di Kepala.”

HUJAN rintik-rintik turun di Tanjung Priok,

malam Kamis, tanggal 12 September 1984.

Malam itu saya bersama teman-teman sedang

nongkrong di perempatan. sebab  ada penga-

jian di Jalan Sindang, saya mengajak teman-

teman. namun  mereka tidak mau. Saya akhirnya

berangkat sendirian. Waktu itu jam sekitar pukul

20.00 WIB. Sampai di tempat pengajian, saya

melihat jamaah sudah berjubel. Ribuan jamaah

memadati tempat pengajian. Pelan-pelan saya

masuk ke dalam barisan jamaah itu. Saya men-

cari posisi yang nyaman untuk mendengarkan

ceramah. Malam itu penceramah yang saya ingat

sampai sekarang yaitu  Syarifin Maloko dan

almarhum Amir Biki. Amir Biki malam itu mem-

beri ultimatum.

“Malam ini kalau teman kita atau ikhwan

kita belum berada di podium sampai jam 23.00

WIB, maka kita bersama-sama pergi ke Kodim,”

teriak Amir Biki di panggung. Memang sejak

dua hari sebelumnya empat orang ditangkap

akibat insiden di Mushola Assa’adah, Koja. Batas

ultimatum telah sampai jam 23.00 WIB, namun 

empat orang yang dituntut agar dibebaskan

tidak diluluskan aparat keamanan. Sesuai jan-

jinya Amir Biki memberikan komando kepada

massa untuk bergerak ke Kodim 0502 Jakarta

Utara. namun  Amir Biki mengingatkan, jangan

ada yang merusak! Massa membalas dengan

mengacung-acungkan bendera seraya meneri-

akkan takbir. Massa bergerak menuju Kodim

sambil bertakbir, “Allahu Akbar, Allahu Akbar!”

Sampai di Jalan Yos Sudarso, atau di depan

Polres Jakarta Utara, massa berhenti, sebab 

dihadang tentara. Saya melihat tentara mundur

namun  mengarahkan senjatanya ke arah massa.

Dalam sekejap saja, senjata-senjata yang di-

sandang tentara itu menumpahkan peluru ke

arah massa. Dengan cepat saya tiarap bersama

massa. Saya tidak ingin kena tembak tentara

yang terus memberondong secara membabi-

buta. Bila tetap saya diam, kemungkinan besar

saya jadi sasaran empuk. Saya lalu berlari untuk

menghindari, saya berlari ke arah gereja di

samping Polres. 

Namun saya tak bisa menghindar lagi saat 

kaki saya ditembus peluru. Sakitnya luar biasa.

Dengan cepat massa yang kocar-kacir masih

sempat menolong saya. Saya dibawa ke Rumah

Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Di RSCM

ternyata sudah ada beberapa korban yang luka-

luka terkena tembakan. Bahkan ada seorang

ibu marah-marah kepada dokter sebab  tidak

dilayani dengan baik. Dalam erangan kesakitan,

saya melihat beberapa tentara datang mem-

bawa senjata. Mereka langsung menerobos ke

RSCM. Tentara-tentara itu membawa korban-

korban dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto,

termasuk saya. Di RSPAD saya kembali melihat

banyak korban yang tergolek lemah. Korban-

korban itu dijejerkan. Tak berapa lama, saya

melihat petinggi-petinggi ABRI berdatangan,

di antaranya Pangab Jenderal LB Murdani dan

Pangdam Jaya Mayjen Try Sutrisno. 

Ditanya Pulang, Ternyata Dibohongi

Dua bulan saya dirawat di RSPAD. Luka

saya mulai sembuh. Pihak rumah sakit pun

bertanya, “Irta, mau pulang atau tidak?” 

“Mau,” saya langsung menjawab begitu. 

“Apakah kamu mau pulang?” kembali bebe-

rapa tentara (CPM) menanyakan kepada saya.

“Mau,” saya pun mengulangi jawaban saya.

Lantas saya disuruh keluar. Saya melihat

beberapa anggota PM bersenjata lengkap.

Mereka memerintahkan saya naik ke mobil.

Namun ternyata saya tidak diantar pulang ke

rumah. Mobil dibelokkan dan saya malah di-

bawa ke Guntur. Ternyata saya dibohongi. Sam-

pai di Guntur jam 09.00 WIB. Sejak datang

saya diinterogasi terus-menerus sampai sore.

Saya ditanyai bermacam-macam pertanyaan

oleh PM, bahkan saya ditakut-takuti. Bukan

hanya itu, muka saya pun digaplok. Keras se-

kali, dan teramat sakit. Wajah terasa panas. 

Malam harinya saya dipindahkan ke RTM

Cimanggis. Begitu tiba, pakaian saya dilucuti.

Saya cuma diperbolehkan memakai celana

dalam. Saya menghabiskan malam yang sangat

dingin. Angin menusuk pori-pori. Pagi harinya

saya diinterogasi kembali oleh intel. Saya di-

paksa untuk mengakui barang-barang bukti

seperti golok, panah, bendera dan lain-lain,

sebagai milik saya. sebab  saya tidak menjawab

sesuai dengan kemauan mereka, intel-intel itu

menodongkan senjatanya ke kepala saya. Ting-

gal tarik pelatuknya, dor! Maka tamatlah saya.

Selama tiga bulan saya hidup dalam ancaman. 

sesudah  itu, barulah saya diadili Pengadilan

Negeri Jakarta Utara selama dua bulan. Ber-

samaan dengan saya, ada 28 terdakwa yang di-

anggap melakukan perlawanan kepada petugas.

Masing-masing hukuman berlainan. Ada yang

divonis 1 tahun 6 bulan, ada yang dihukum 2

tahun, ada juga yang diganjar 3 tahun penjara.

Setiap kali palu hakim digetokkan, keluarga ter-

dakwa menangis bahkan menjerit-jerit. Betapa

orang-orang itu mendapatkan hukuman atas

kesalahan yang tidak pernah dilakukannya.

sesudah  menjalani hukuman, saya kembali

ke warga . namun  kebiadaban yang saya

terima tentu tak mudah menghilang. Bersama

beberapa teman sesama korban tragedi Tanjung

Priok, saya berkumpul di rumah almarhum Amir

Biki di Kebon Bawang. Waktu itu cuma ada lima

orang korban. Kelima korban itu diberi penga-

rahan oleh istri almarhum Amir Biki, Dewi

Wardah. Kata Dewi Wardah, “Nabi Muhammad

yaitu  seorang pedagang, maka kita sebagai

umat Nabi Muhammad SAW harus mengikuti

jejak nabi sebagai pedagang.” Dewi Wardah

kemudian memberi kami modal untuk berda-

gang berupa minyak wangi. 

Esoknya mulailah saya berdagang, begitu

juga teman-teman yang lain. Seminggu berlalu,

kami berkumpul lagi. Kami diberi pengarahan

lagi. Kesimpulannya, para korban Tanjung Priok

harus bersatu. Caranya harus mendirikan suatu

perkumpulan. Kami ditanyai satu persatu, soal

apa nama perkumpulan itu. Satu demi satu

memberikan usul. Akhirnya kami sepakat untuk

menamakan sebagai Yayasan 12 September 84.

Keesokan harinya, kami bersama-sama pergi

ke notaris. Sahlah sudah Yayasan 12 September

84 sesudah  dibuatkan akte di hadapan notaris.

Dewi Wardah merelakan rumahnya dijadikan

kantor yayasan itu. Pembagian tugas pun di-

mulai. Kami membuat spanduk yang isinya

berupa pengumuman kepada warga  Tan-

jung Priok bahwa siapa saja yang pada tragedi

itu menjadi korban atau setidaknya keluarganya,

diharapkan untuk melapor ke Yayasan 12

September 84. 

Usaha itu membuahkan hasil, meski tidak

terlampau mencolok. Beberapa korban berda-

tangan. Ada juga keluarga korban yang datang

ke yayasan. Data-data mereka dicatat. Ada kor-

ban kena tembak, ada yang melapor keluarga-

nya hilang, bahkan mungkin telah meninggal

meski tidak tentu di mana makamnya. Begitu

jumlahnya 10 orang korban, kami pergi ke

Komnas HAM. Kami bertemu dengan Ketua

Komnas HAM, Baharudin Lopa, juga anggota

Komnas HAM yaitu M. Salim dan Asmara

Nababan. Keesokan harinya kami datang lagi,

tanpa ada yang mendampingi. Kami datang

sendiri, paling-paling bersama keluarga korban

yang memberikan dukungan.

Sayangnya Komnas HAM tidak memberikan

tanggapan yang begitu serius. Namun kami

tidak patah arang. Kami terus mencari jalan

untuk bisa terus berjuang mengungkapkan tra-

gedi berdarah di Tanjung Priok. Para korban

akhirnya minta bantuan pengacara API (Aso-

siasi Pembela Islam). Didampingi API, kami

mendatangi DPR. Di gedung rakyat itu, kami

bertemu anggota DPR dari Fraksi PPP. Esoknya,

kembali kami mendatangi DPR. Saat itu kami

bertemu dengan Ketua MPR Amien Rais yang

menanyai kami satu persatu. Namun lagi-lagi,

belum ada yang memuaskan dari DPR dan MPR.

Kami tidak putus asa. Kami terus berjuang. Kami

mendatangi ormas-ormas Islam untuk minta

dukungan, seperti Persis, Muhammadiyah,

Dewan Dakwah, Nahdatul Ulama, dan Mutha-

hari.

Di tengah perjalanan, ternyata ada perbe-

daan antara para korban. Memang, kelelahan

menghinggapi para korban, sebab  bertahun-

tahun berjuang, keadilan belum juga ditemu-

kan. Ada yang tetap konsisten untuk terus

berjuang agar yang hak itu ditegakkan, namun 

ada juga yang ingin “jalan damai”. Saya menjadi

bingung, namun  saya tidak mau terperosok ke

jalan yang keliru. Dalam keadaan kebingungan

selama dua bulan saya putuskan untuk men-

cari kesibukan sendiri. Bersama Dewi Wardah,

saya berjualan ke luar kota. Saya pergi ke Batam

dan Yogyakarta. Di Pekalongan, saya sempat

berjualan kain batik. namun  selama itu pula

saya selalu berpikir tentang kasus Tanjung

Priok. Sampai akhirnya saya bertanya kepada

Dewi Wardah, “Bagaimana kasus kita ini Bu?”

Dewi Wardah menjawab, “Kita harus serius

tentang kasus kita ini. Sebelum kita menerus-

kan kasus kita ini kita harus bertanya kepada

orang pintar atau kiai atau ustadz.” Kami lalu

mencari orang pintar sampai ke Sukabumi.

Begitu saya dengar kasus Tanjung Priok

dilimpahkan ke Kejaksaan Agung (Kejakgung)

atas rekomendasi Komnas HAM, bersama

Dewi Wardah, saya pergi ke Kejakgung. Tapi

begitu saya mendengar rekomendasi Komnas

HAM di Kejakgung, saya malah sakit hati. Betapa

tidak, rekomendasi itu menyatakan bahwa yang

melakukan pelanggaran HAM yaitu  masya-

rakat Tanjung Priok. Kontan tekanan datang

mengarah ke Komnas HAM, baik dari ormas

Islam maupun LSM. Barulah rekomendasi itu

berubah bahwa telah terjadi pelanggaran HAM

berat di Tanjung Priok. Secara pribadi sebagai

korban kasus itu, saya merasa puas. Penye-

lidikan pun terus berlangsung. 

Suatu waktu saya diundang kelompok

Rambe cs di Mesjid Sunda Kelapa, Menteng.

Saya bersama beberapa  korban datang. Namun

saya kecewa, sebab  Rambe cs mengikrarkan

perdamaian (islah) dengan para pelaku tragedi

Tanjung Priok. sesudah  terjadinya islah saya

mempuyai inisiatif bersama teman-teman di

antaranya  bahwa kami harus

berpisah dengan teman-teman yang melakukan

islah. Saya menemui Beni Biki dan saya disuruh

ke Kontras. Dia memberi masukan kepada saya

dan , bahwa para korban harus

mencabut islah.

Esoknya, saya bersama mahasiswa PTDI

(Perguruan Tinggi Dakwah Islam) dan Beny

Biki pergi Kejakgung. Tujuannya untuk meng-

ikrarkan pencabutan islah yang dilakukan di

Mesjid Sunda Kelapa. Buat saya dan juga teman-

teman lain yang satu pandangan, islah itu tidak

sah.



“Saya Amat Terpaksa 

Menceritakannya.”

“DAR, dar, dar! Buka! Buka pintu!” Ter-

dengar gedoran begitu keras di pintu rumah.

Suara di luar rumah bukan lagi sebuah per-

mintaan untuk dibukakan pintu, melainkan

sebuah hardikan. Saya kaget, begitu juga peng-

huni lainnya. Lebih-lebih gedoran pintu itu

terjadi di malam merangkak larut. Bagaimana

kami tidak kaget, malam itu sudah jam 21.00

WIB. Saya dan penghuni lainnya sudah mulai

beristirahat. Malam itu tanggal 14 September

1984, kami telah mengunci pintu-pintu rumah.

Bahkan lampu ruang tamu sudah dimatikan

pula. Malam semakin pekat. Suasana sunyi

mengiringi penghuni rumah untuk beristirahat

tidur. Tapi, sesaat  keinginan saya untuk ber-

istirahat berubah total saat  pintu digedor.

Dari luar, teriakannya makin lama makin keras.

Dugaan saya, paling-paling orang-orang

mabuk, yang memaksa meminta sesuatu tanpa

mengenal arti sopan-santun. Lantaran pena-

saran dan rasa ingin tahu yang besar, saya

memberanikan diri membuka pintu. Begitu

pintu terkuak sesaat  itu pula saya terperan-

jat. Di depan pintu telah berdiri segerombolan

tentara dengan wajah yang begitu menakutkan.

Ternyata, dugaan saya meleset. Orang-orang

yang menggedor pintu rumah saya ternyata

bukan pemuda mabuk, namun  segerombolan

tentara berseragam dan menyandang senjata

lengkap. Tak banyak yang mereka katakan.

Mereka justru langsung memaksa masuk ke

dalam rumah. Mereka menggeledah semua

kamar, mengobrak-abrik, mencari sesuatu.

artikel -artikel  diangkuti. Bahkan mereka meng-

ambil pisau dapur dan besi penggaris untuk

membuat tengteng kacang. Selesai menggeledah

seluruh ruangan, tanpa berkata apa-apa, gerom-

bolan tentara itu langsung memborgol seisi

rumah yang jumlahnya 7 orang, termasuk adik

perempuan saya, . Tanpa memberi

kesempatan kepada kami untuk melakukan

persiapan, kami diseret ke atas truk. Tanpa surat

penangkapan, dan tanpa penjelasan apa-apa. 

Selama di perjalanan, kami hanya terdiam.

Segudang pertanyaan besar menggejolak di

dalam batin. Saat itu hanya rasa takut yang

terasakan. Kami hanya bisa diam dan diam.

Kengerian menggelayuti kami. sebab , kami

tahu gerombolan yang menculik kami yaitu 

anggota ABRI. Kami sadar, kalau pun kami

melakukan protes atau bertanya-tanya, mereka

akan semakin memperlakukan kami lebih se-

wenang-wenang lagi. Mereka membawa kami

ke Kodim Jakarta Pusat. Mulailah berbagai

perlakuan di luar batas perikemanusiaan kami

terima. Kami digeletakan di teras ubin yang

dingin, tanpa kursi dan tikar. Beberapa kali


tendangan sepatu lars hinggap di tubuh ini.

Saking kencangnya sampai tubuh kami terlem-

par ke dinding atau terhuyung-huyung jatuh

sambil mencium ubin kotor. sesudah  itu mereka

membawa kami ke Laksusda Jaya. Kembali

penyiksaan kami terima. Ketakutan kian ber-

tambah-tambah. Dari Laksusda kami dibawa

ke Guntur yang terasa angker. Di pos piket pen-

jagaan, mereka melucuti pakaian kami, kecuali

celana dalam. Dalam keadaan hampir telan-

jang, kami dipaksa berjalan sambil berjongkok

menuju sel yang sangat sempit dan tinggi se-

perti cerobong asap. 

Mau Mendirikan Negara Islam?

Kami diperiksa sejak pagi hingga sore tanpa

istirahat. Padahal, kami begitu lelah dan keta-

kutan. Pukul 08.30 WIB kami dibawa keluar

sel untuk diinterogasi. Saya diperiksa oleh ten-

tara yang masih saya ingat berkumis tebal. Di

belakang saya, ada orang yang selalu meng-

awasi. Mulailah mereka mengajukan perta-

nyaan-pertanyaan yang saya sendiri tidak tahu

jawabannya. Pertanyaan selalu dihubungkan

dengan kasus Tanjung Priok. Saya dipaksa

untuk menjawab sesuai keinginan pemeriksa.

Misalnya, saya dipaksa mengakui bahwa saya

mau mendirikan Negara Islam. Atau saya di-

paksa menjawab “ya” melakukan pemberon-

takan atau setidaknya mencaci-maki pejabat.

Jika jawaban-jawaban itu tidak sesuai

dengan kemauan mereka, tidak ada ampun lagi.

Si pemeriksa membentak-bentak, sedangkan

orang-orang yang mengawasi dari belakang

langsung menghajar dengan bengis. Tak puas

dengan tangan, mereka menghajar saya dengan

bambu sampai pundak saya terlihat menghitam.

Penderitaan itu tak bisa saya hindari. Begitu

juga teman-teman yang lain. Bayangkan dari

pukul 08.00 WIB sampai pukul 15.00 WIB,

saya cuma diinterogasi, dibentak-bentak, dan

dihajar habis-habisan. 

Tanpa penjelasan apapun, aparat membawa

kami ke satu tempat yang belakangan kami

ketahui bernama Pomdam Jaya di Jalan Guntur.

Pada hari kedua di Guntur sekitar pukul 14.00

WIB saya dikeluarkan dari sel dan dijemur

dipanas matahari bersama , salah

seorang dari 7 orang yang ditangkap di rumah

saya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Aparat-

aparat itu memaksa kami untuk saling ber-

pelukan dan berciuman, layaknya lelaki dan

perempuan. Sungguh suatu perilaku yang amat

biadab. Saat malam tiba, tubuh terasa meng-

gigil kedinginan, namun  kami dilarang memakai

baju, apalagi selimut. 

Saya menangis di dalam hati. Merenungi

kejadian demi kejadian yang dialami. Saya

tidak pernah membayangkan penderitaan itu

sebelumnya. Peristiwa ini sungguh luar biasa.

Ayah saya yaitu  seorang pejuang kemerdekaan,

namun saya, anak pejuang itu, diperlakukan

sedemikian buruk dan hina oleh orang yang

mengaku pejuang dan patriot bangsa. Sungguh,

rasanya tak habis pikir atas semua yang telah

terjadi. 

Suatu pagi buta sesudah  dua-tiga hari disiksa

di Pomdam Jaya, saya dibangunkan. Tentara-

tentara membangunkan kami sebelum shubuh.

Dikumpulkan dan kemudian disuruh naik ke

atas truk. Saya mendengar seorang tentara

menanyakan masih adakah borgol di karung?

Suara yang datar itu pun sudah sangat mena-

kutkan. Bayang-bayang kematian seakan melin-

tas di depan mata. Bagaimana tidak, saya sudah

sering melihat mayat di dalam karung dengan

kondisi tangan terikat dibuang begitu saja di

pinggir jalan. Mungkin saja, pertanyaan seorang

tentara itu cuma untuk menakut-nakuti, namun 

kami memang benar-benar ketakutan. 

Di pagi buta itu, kami dibawa ke RTM (Ru-

mah Tahanan Militer) Cimanggis, sebuah tempat

untuk tentara-tentara yang ditahan. Di sana

kami ditahan hampir dua bulan lamanya. Pen-

deritaan tak terperihkan lagi. Saya cuma bisa

pasrah. Namun, ada satu hal yang membuat

saya gusar. Di tengah penderitaan di Cimanggis,

saya selalu ingat istri dan anak-anak yang masih

kecil-kecil di rumah. Sebagai kepala keluarga

dan menjadi topangan hidup keluarga, saya ber-

tanya dalam hati, siapakah yang memberi makan

mereka? Siapa yang menjaga mereka? Bagai-

mana nasib mereka sejak saya diciduk? Beban

pikiran itu terus berkecamuk di hati. Saya tidak

tahu, apakah mereka mengetahui keberadaan

saya? Sebingung apakah mereka mencari-cari

saya? Hubungan saya dengan ke