luarga diputus
begitu saja. Saya tidak pernah bisa untuk meng-
hubungi mereka. Saya benar-benar gelisah.
Di tengah-tengah kesedihan itu, saya di-
panggil dan dikeluarkan dari sel. Saya diperin-
tahkan untuk menengok adik saya, .
Saya nyaris terpukul, pedih, dan sakit hati saat
melihat dia basah kuyup dan selalu dihantui
ketakutan. Adik saya itu menangis seolah-olah
melihat saudaranya disiksa, dipukul, ditendang,
dan disetrum. Yakinlah saya bahwa adik saya
sudah stres. Saya sempat mendengar seorang
penjaga berbicara sesama temannya bahwa ada
perempuan yang gila. Hati saya terasa teriris-
iris, teramat menyakitkan.
sesudah berbagai pemeriksaan yang melelah-
kan, tampaknya aparat keamanan baru sadar
bahwa saya bukanlah orang yang mereka cari.
Begitu juga teman-teman adik saya. Akhirnya
sesudah “dihilangkan” selama hampir dua bulan
kami dipulangkan. Tidak ada penjelasan apa
pun, apalagi permohonan maaf atas kesalahan
yang mereka lakukan. Mereka memulangkan
kami seperti melepaskan ayam. Kami diantar
namun tidak sampai di rumah. Janganlah bicara
soal proses penyerahan dan permintaan maaf,
itu sudah pasti tidak ada.
Pulang ke Rumah, Tapi Usaha Hancur
Pulang ke rumah yaitu sesuatu yang
mungkin tak terbayangkan. Maka begitu men-
jejakkan kaki di rumah, kebahagiaan tak ter-
lukiskan lagi. Berkumpul bersama keluarga
yaitu harapan yang nyaris tak terangankan.
Sepulang dari Cimanggis, rasa sakit bekas sik-
saan terus membekas. sebab tendangan yang
bertubi-tubi membuat dada saya masih terasa
sakit selama berminggu-minggu. Sampai-sam-
pai saya harus tidur telentang, sebab kalau
miring saja terasa semakin sakit. sebab kondisi
tubuh saya yang sangat lemah, keluarga mem-
bawa saya ke RS Islam Jakarta di Cempaka
Putih. Seluruh biaya ditanggung keluarga tanpa
ada bantuan sedikit pun dari ABRI. Malah saya
melihat aparat wanita berjilbab yang memata-
matai kami di rumah sakit. Begitu juga biaya
pengobatan , yang belakangan saya
ketahui bahwa dia yaitu satu-satunya perem-
puan yang jadi korban dalam peristiwa Tan-
jung Priok. menderita stres akibat
penyiksaan dan penderitaan yang dialaminya.
sesudah peristiwa itu, ia menjadi orang yang
sangat tertutup, suka bicara sendiri dan selalu
merasa dibayang-bayangi ketakutan yang amat
sangat. Ia merasa terus menerus ada yang mem-
buntuti, merasa ada suara-suara tembakan,
merasa mendengar suara-suara tangisan dan
gangguan lainnya.
Kembali ke rumah sebetulnya membuat
saya harus merangkai kembali kehidupan yang
pernah hilang. Saya ingin melakukan usaha
dagang lagi seperti yang pernah saya rintis
jauh sebelum diciduk. Saya ingin bangkit. Akan
namun kenyataan pahit tak bisa saya tolak.
Usaha dagang saya telah hancur, langganan
pergi ke orang lain, dan modal pun sudah ludes.
Saya kehilangan pekerjaan sebagai pedagang.
Keadaan ekonomi keluarga saya benar-benar
morat-marit. Saya kembali pusing.
Waktu terus berjalan. Saya harus berjuang
untuk keluarga. Kami harus bertahan hidup.
Namun dari hari ke hari, keadaan ekonomi
keluarga saya makin sulit. Rasanya tak ada pi-
lihan lain untuk menutupi kesulitan ekonomi
yang semakin menghimpit, akhirnya saya
menjual rumah di Cempaka Putih Timur. Saya
memboyong keluarga ke sebuah rumah kecil di
pinggiran Jakarta. Rupanya penderitaan belum
berhenti juga. Para tetangga selalu mencibir
sebab saya dianggap terlibat kasus Tanjung
Priok. Bahkan seringkali hansip nongkrong di
depan rumah. sebab merasa terus diawasi,
saya sempat menutup diri. Trauma atas peris-
tiwa Tanjung Priok membuat saya berusaha
untuk melupakan seluruh kejadian yang per-
nah diderita. Saya berpikir, mungkin ini bagian
dari jalan hidup yang harus saya alami. Saya
harus pasrah atas seluruh penderitaan yang
dialami di dunia.
Sebenarnya sekarang ini saya tidak ingin
lagi menceritakan semua pengalaman pahit
yang saya alami. sesudah 20 tahun, telah hilang
seluruh rasa dendam dan sakit hati terhadap
perlakuan yang tidak manusiawi yang pernah
saya terima. namun demi mengungkap kebe-
naran yang selama ini saya yakini, demi sebuah
pembelajaran berharga, maka dengan terpaksa
saya menceritakan kembali sejarah sebagian
hidup saya yang tetap harus menjadi sebuah
kebenaran. Harapan saya agar semua peristiwa
kekerasan penuh penyiksaan yang saya alami
tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
06./WANMA YETTY/
(ANAK BACHTIAR JOHAN)
“Kehilangan Ayah,
Kehilangan Masa Depan.”
SAMPAI hari ini, luka di hati saya tak pernah
sembuh. Setiap mengingat malam mencekam
pada 12 September 1984, hati bagai disayat-sayat
sembilu. Betapa tidak, begitu kejamnya aparat
keamanan pada malam mengerikan itu, mem-
buat saya tidak pernah mampu melupakannya.
Saya ingin mengungkapkan bahwa sejumput
malam itu membuat nasib saya dan keluarga
terombang-ambing selama bertahun-tahun.
saat itu, malam Kamis, ayah saya Bachtiar
Johan pergi keluar rumah. Katanya akan ada di
pengajian, yang jaraknya kira-kira cuma 50
meter dari rumah. namun tak berapa lama, ayah
kembali dan mandi, lalu shalat isya. sesudah
itu, ayah berganti pakaian. Ayah suka mengo-
leksi batik. Malam itu ayah mengenakan baju
batik berwarna cokelat bercampur merah bata
dengan celana warna cokelat. Ayah menggu-
nakan selop kulit bertali dan memakai kopiah.
Ayah terlihat begitu rapi dan bersih. Malam itu
ayah tampak gagah dan berani. Ayah memang
tegas dan tak gentar untuk menegakkan sesu-
atu yang benar.
Sebelum pergi, ayah mencium saya dan ibu,
yang malam itu kami berdua sedang sakit dan
cuma bisa berbaring. Ayah berpesan kepada
saya, “Besok kamu pasti sembuh, dan doakan
ayah semoga selamat ya!” Tepatnya jam 20.00
WIB ayah melangkahkan kakinya keluar rumah
sambil memandang ke arah ibu dan saya. Ter-
nyata itu yaitu pandangan terakhir dari ayah.
Tiga jam kemudian pecahlah peristiwa Tanjung
Priok. Dan ayah tidak pernah pulang ke rumah.
Ayah hilang tak tentu rimbanya. Kami baru
tersadar bahwa firasat sebetulnya telah ada,
namun hanya Allah-lah yang Maha Tahu. Kami
sekeluarga shock. Seakan tak percaya, ayah
sebagai tulang punggung keluarga tiada lagi
bersama kami.
Ayah pergi dengan meninggalkan ibu, saya
dan 4 adik yang masih sekolah. Kepergian ayah
ternyata mengubah hidup keluarga saya. Cita-
cita dan harapan di masa depan yang pernah
diangankan saya dan adik-adik juga ikut sirna.
Waktu itu saya sedang memasuki ABA dan adik
yang nomor 3 mendapatkan PMDK (Penelu-
suran Minat Bakat dan Kemampuan) dari UI
sehingga tidak perlu lagi tes SIPENMARU.
namun cuma jadi harapan hampa. Kami tak
pernah sampai menginjak ke perguruan tinggi.
Saya dan adik-adik cuma sampai SMA.
Hari-hari sepeninggal ayah yaitu hari-hari
yang teramat panjang dan melelahkan. Saya dan
adik-adik menyadari bahwa kami harus meng-
hidupi diri sendiri. Kami melupakan cita-cita
untuk sekolah tinggi, dan kami harus berkutat
dengan realita hidup. Mulailah saya mencari
pekerjaan, begitu juga adik-adik. Bermodalkan
ijazah SMA, saya menyusuri jalanan, mengetuk
pintu dari kantor satu ke kantor yang lain.
Sekali dua kali kami lolos, namun selalu tergan-
jal saat wawancara. Begitu pewawancara tahu,
kami yaitu anak korban Tanjung Priok, secepat
itu pula pintu kantor selalu tertutup. Mereka
tidak mau menerima dan berurusan dengan
anak-anak atau keluarga yang tersangkut kasus
Tanjung Priok. Masa depan kami benar-benar
dirampas.
Jual Rumah, Pulang Kampung
Nasib kami yang tak menentu membuat ibu
mengambil putusan lain pada tahun 1985. Ibu
memboyong kami untuk pulang kampung di
Padang. Ibu menjual rumah dan semua yang
ada dari rumah. Perabot-perabot yang kami
miliki tidak lagi tersisa. Ibu berharap, biarlah
kami hidup berkumpul bersama-sama di kam-
pung halaman. Hidup sederhana pun tidak jadi
masalah. Namun semua rencana untuk hidup
damai di kampung halaman tidak seperti yang
dibayangkan ibu. Untuk memulai hidup baru
itu bukanlah hal yang gampang. Saya dan adik-
adik dari kecil sudah terbiasa hidup di rantau
yang banyak membuka wawasan kami. Maka
begitu kembali ke kampung, saya dan adik-
adik seperti hidup terasing. sebab , untuk ber-
bahasa daerah saja saya merasa kaku.
Akhirnya saya memutuskan untuk kembali
ke Jakarta. Satu persatu kami berangkat dan
tinggal di Tebet. Pada tahun 1987, kami kembali
berkumpul di Tebet, termasuk ibu. Kami memu-
lai lagi hidup dari nol. Kami mengontrak rumah.
Uang hasil jual rumah dan segala isinya sudah
habis, sebab untuk biaya hidup sehari-hari dan
biaya sekolah adik-adik. Pada tahun 1990, saya
mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan asing.
Adik saya ada juga bekerja satu kantor dengan
saya. Sedangkan ibu berjualan kue-kue basah.
Semuanya demi menyambung hidup. sesudah
mendapatkan pengalaman, saya dan adik keluar
dari perusahaan itu. Saya lalu melamar lagi di
perusahaan elektronik milik Jepang dan di-
training di Malaysia. Saya akhirnya tinggal di
Malaysia sekitar 4 tahun. Mungkin sebab keju-
juran yang saya miliki, saya ditugaskan untuk
mengontrol barang yang siap dikirim ke luar
negeri. Walaupun jauh dari keluarga, saya mela-
kukan semua pekerjaan dengan senang hati
demi memenuhi kehidupan ibu dan adik-adik.
Pada tahun 1995 saya pulang kembali ke
Tanah Air dan berkumpul lagi dengan keluarga.
Namun niat untuk membahagiakan ibu belum
terwujud juga. Impian untuk mempunyai rumah
kembali, walaupun kecil, belum tercapai. Ingin
sekali rasanya membahagiakan ibu. namun di
Jakarta, anak-anak dan keluarga korban kasus
Tanjung Priok sepertinya tak pernah menda-
patkan tempat. namun ya sudahlah, saya dan
adik-adik akhirnya menjalani hidup ini apa
adanya. Saya sadar, anak-anak korban kasus
Tanjung Priok tidak bisa mengkhayal, terlebih
lagi yang tinggi-tinggi dan muluk-muluk. Tapi
saya tak putus asa. Sering saya berkhayal, suatu
saat pasti ada setitik cahaya, meski entah kapan
datangnya. Saya punya feeling, tidak akan ada
diskriminasi lagi korban atau anak-anak korban
Tanjung Priok bila pemerintah dan pimpinan
negeri ini diganti. Saat itulah pasti perbuatan
yang busuk-busuk akan terbongkar. Bukankah
pepatah, sepandai-pandai tupai melompat suatu
saat akan terjatuh pula. Bahwa menyimpan
barang yang busuk serapi apapun, pasti ke-
tahuan juga baunya.
Berpikir Cahaya Datang
Rupanya khayalan saya itu tak terlalu jauh.
Demonstrasi mahasiswa besar-besaran di tahun
1998 yang didukung warga membuat
rezim Soeharto jatuh. Saya sangat senang men-
dengar itu. Saya pikir, mungkin inilah saatnya
cahaya itu datang untuk mengungkap kebe-
naran. Saya berharap cahaya itu bisa melacak
hilangnya ayah di zaman kekuasaan Orde Baru.
Ayah pergi dan lenyap ditelan rentetan peluru
penguasa yang bodoh dan bobrok tapi berani-
nya cuma kepada rakyat yang lemah. Buat saya,
perginya seorang ayah bukan suatu musibah,
melainkan akibat kekejaman pemerintah yang
menindas rakyatnya sendiri.
Maka harapan demi harapan untuk meng-
ungkap kebenaran seolah-olah menjadi obsesi.
Saya sadar, perjuangan saya, keluarga dan juga
para korban lainnya terlalu berliku. Bersama
Kontras yang selalu mendampingi, kami tidak
pernah putus asa. Walaupun penuh rintangan,
kami terus melangkah. Menyusun agenda-
agenda, membuat berbagai kegiatan, melakukan
lobi-lobi ke berbagai pihak, menggelar aksi-
aksi, agar pemerintah bangkit dari tidurnya,
agar pemerintah sadar akan kekejaman yang
pernah kami rasakan.
Perjuangan saya, keluarga, dan juga para
korban, terlalu berliku-liku. Kontras sebagai
pendamping kami tidak pernah putus asa,
walaupun penuh rintangan, kami terus ber-
jalan dan membuat kegiatan serta agenda-
agenda, melobi-lobi dan membuat aksi agar
pemerintah kita ini bangkit dari tidurnya. Kami
yakin Tuhan selalu menyertai langkah-langkah
kami. Kami mendorong Kejagung dan DPR
agar kasus Tanjung Priok betul-betul diproses
sampai ke pengadilan. Kami menyadari betapa
pentingnya berbagai elemen warga , dari
LSM seperti Kontras, ormas-ormas Islam, maha-
siswa, dan lain-lain. Juga begitu pentingnya
peran pers. Tanpa mereka, kasus Tanjung Priok
rasanya tidak mungkin dikenal oleh publik
secara luas.
Alhamdulillah ada seberkas cahaya terang.
Pengadilan HAM Ad Hoc akan segera digelar.
Tentu saja saya membayangkan harapan yang
selama ini memenuhi benak saya, akan terwu-
jud. namun di sisi lain, ada juga korban-korban
yang diliputi kebingungan. Suatu waktu, kira-
kira satu setengah bulan menjelang pengadilan
digelar, kelompok korban yang melakukan islah
dengan para pelaku, goncang. Mereka mengadu
ke Kontras, sebab selama ini yang diperhatikan
yaitu kelompok yang gigih membawa kasus
Tanjung Priok ke pengadilan. Sedangkan ke-
lompok islah selalu dicuekin Kontras.
Kontras lalu membuat sebuah pertemuan
keluarga korban di Wisma Hijau Cimanggis.
Misinya untuk memberikan kepada para kor-
ban berbagai persiapan menghadapi digelar-
nya pengadilan. Selama tiga hari, kami diberi
berbagai pengetahuan yang selama ini tidak
pernah kami ketahui. Kami diberi pengetahuan
mengenai hukum dan pasal-pasalnya. Kami juga
diberi pemahaman tentang hak-hak korban
yang harus menjadi tanggung jawab negara
seperti kompensasi, rehabilitas dan restitusi
(KRR).
Beberapa hari kemudian sesudah pulang dari
Wisma Hijau Cimanggis, Kontras juga meng-
adakan pertemuan di Utan Kayu. Seperti
pertemuan sebelumnya, kami kembali diberi
pemahaman menyangkut kesiapan menghadapi
pengadilan. Kontras menyatakan, para korban
tidak perlu kaget dan canggung, dan tidak perlu
takut. sebab , tujuannya yaitu menuju jalan
kebenaran. Di situ korban priok masih menga-
takan kemurnian dari hatinya atas kejadian yang
menimpa keluarganya.
sesudah pertemuan di Utan Kayu itu, rupanya
pihak TNI bergerak cepat menuju ke rumah-
rumah korban, terutama kelompok islah dan
Tim 7. Pada 1 Maret 2001, memang telah terjadi
islah antara para pelaku dan korban Tanjung
Priok. Piagam perdamaian kasus Tanjung Priok
itu ditandatangani oleh Try Sutrisno, Sugeng
Subroto, Pranowo, Soekarno, Rudolf Butar
Butar, Sriyanto, dan H. Matoni bersama dengan
korban yang diwakili oleh Tim 7. Mereka di-
rangkul kembali. sebab kehidupan ekonomi
para korban yang kekurangan, TNI menjanjikan
angin surga dan memberikan cicilan motor
kepada korban. TNI semakin gencar saat
pengadilan sudah di depan mata. Memang,
sangat disayangkan, para korban begitu mudah-
nya dipengaruhi dan mau diadu domba sesama
korban. Cara apapun dilakukan TNI agar jejak-
nya di masa silam tidak terungkap. Para korban
yang bisa dirangkul akan diberi motor dan
amplop. Para korban itu dipanggil oleh Babin-
kum TNI untuk meringankan pihak pelaku.
Para korban ditekan untuk berbohong.
Sebetulnya saya sudah merasakan akan
langkah-langkah TNI itu. Saya mendapat kabar
dari seorang pengurus korban Tanjung Priok
(Tim 7) bahwa sebelum pertemuan di Wisma
Hijau Cimanggis, dia pamit dulu kepada Pak
Try Sutrisno dan Sriyanto. Maka ada korban
yang sebelumnya bertekad bulat untuk melang-
kah ke pengadilan, jadi berbelok. Saya akui,
uang memang bisa menjadi segalanya. namun
itu tak terlepas dari gerakan yang dilakukan
Tim 7 yang mengancam korban-korban yang
lemah dan ketakutan. Di sinilah saya sadar
bahwa saya tidak bisa menyalahkan korban
yang melakukan islah.
Peristiwa itu membuat saya dan teman-
teman yang konsisten mendukung pengadilan
HAM menjadi terpukul. Saya menghubungi
teman-teman yang masih kuat dan mengerti
atas hak-haknya. Kami kembali menghubungi
Kontras dan bertemu dengan korban-korban
yang masih konsisten. Tinggallah 14 orang yang
berjalan bersama Kontras menuju pengadilan.
Kami tetap bertekad meski cibiran datang
tak henti-hentinya. Ada beberapa korban yang
mencibir bahwa pengadilan kasus Tanjung Priok
itu hanya janji-janji buta. Jadi sangat tak mung-
kin. Kalau pun digelar, itu pun cuma ilusi untuk
para korban, bukan kesungguhan pemerintah.
Tapi saya tidak pesimis. Saya harus kuat, saya
tidak boleh berputus asa, walaupun kejenuhan
dan kebosanan selalu menghantui. namun , ini-
lah perjuangan. Semakin dekat, semakin berat.
Akhirnya Tuhan mendengar dan mengabulkan
semua doa dan jerih payah kami. Itu tentu tak
lepas dari peran Kontras yang dengan setia men-
dampingi kami. Saya berdoa semoga Kontras
terus maju, walau selalu dihantui teror.
Begitulah kisah hidup saya, ibu, dan adik-
adik, yang selama bertahun-tahun, tidak punya
kebebasan dan tidak punya suara. Saya me-
rasakan bahwa betapa pahitnya hidup kami
sehingga tak mampu terlukiskan dengan kata-
kata. Sepenggal catatan ini semoga bisa menjadi
kenangan walaupun pahit sekali. Tapi saya
harus tegar, sebab saya tidak sendirian. Banyak
orang yang senasib dengan saya. Semuanya kehi-
langan cahaya. Saya berharap suatu saat cahaya
itu akan datang. Semoga Tuhan mendengar
doa hamba-Nya yang mencari kebenaran de-
ngan jalan kejujuran disertai iman. Amin... ya
robbal alamin....
07./HASAN TANTOWI/
(ANAK USTADZ SYARIF)
“12 tahun menjadi
orang cacat!”
Nama : Syarif
Umur : 60 tahun
Alamat : Jalan Jati 4 RT 05 Tanjung Priok,
Jakarta Utara
Pekerjaan : Guru ngaji
Pertama Ditangkap
Pada tanggal 7 September 1984, Ustadz
Syarif pulang ke Garut. Ia tidak berada di
Jakarta pada tanggal 12 September 1984, hari
terjadinya peristiwa Tanjung Priok. Tapi pada
tanggal 15 September 1984, Ustadz Syarif
ditangkap di Garut, “diambil” dari rumahnya
di kampung Cimasuk Girang, Desa Suci, Keca-
matan Karawitan Kabupaten Garut. Tepatnya
pada jam 02.00 dini hari oleh beberapa orang
petugas dari Korem.
Petugas Korem yang datang pada waktu itu
sekitar 25 orang dengan memakai 2 minibus
Carry dan sebuah mobil Kijang. Menurut infor-
masi mereka, Ustadz Syarif yaitu pelarian
dari Tanjung Priok, sebab itu harus segera
ditangkap.
Ustadz Syarif langsung dibawa ke Korem
Garut, kemudian dibawa Laksus Jakarta se-
belum ke Guntur. Ustadz Syarif diperiksa dan
disiksa selama di Guntur. Ia dipukul memakai
gagang senjata serta disetrum berulang kali
selama pemeriksaan.
sesudah itu Ustadz Syarif dipindahkan ke
rumah tahanan Cimangis tanpa diadili. Ia di-
vonis selama kurang lebih 7 bulan tahanan.
Selama ditahan, Ustadz Syarif sempat jatuh
sakit akibat penyiksaan yang tidak manusiawi
dan dibawa ke rumah sakit RSPAD Gatot
Subroto Jakarta. Ia dirawat selama 4 bulan.
Kira-kira bulan Juli 1985, ia keluar dari rumah
sakit Gatot Subroto Jakarta.
Ustadz Syarif sejak ditangkap petugas dari
Korem Garut sampai diinterogasi hampir se-
lalu dianiaya dan disiksa di luar perikemanu-
siaan. Mau tidak mau kondisinya mengalami
cacat fisik dan mental yang sangat luar biasa.
Korem Garut juga punya andil terhadap kon-
disi ini. Tangan dan kaki Ustadz Syarif selama
10 tahun tidak dapat berfungsi secara normal,
mentalnya mengalami kemunduran (cacat men-
tal sebab trauma) selama 2 tahun sampai akhir-
nya beliau meninggal dunia.
Pada tanggal 26 September 1996, Ustadz
Syarif—ayah saya—meninggal dunia. Kematian-
nya mengakibatkan Ibu saya kehilangan masa
depan dan kehidupan sehari-hari kami menjadi
sangat memprihatinkan.
Detail Peristiwa
Penangkapan Ustadz Syarif terjadi pada 15
September 1984 jam 02.00 WIB dini hari. Ia
diambil dari rumah oleh beberapa orang petu-
gas yang memperkenalkan diri sebagai petugas
dari Korem Garut. Ustadz Syarif dan istri akhir-
nya tak bisa menolak perintah petugas itu.
Mereka dibawa turun dari rumah dan berjalan
kaki sejauh 2 km ke lapangan di mana sudah
ada mobil menunggu. Di dalam mobil itu sudah
menunggu beberapa orang petugas berpakaian
preman. Kemudian Ustadz Syarif dan istri
dibawa ke Korem Garut dan setibanya di sana
mereka dipisahkan. Ustadz Syarif dan istrinya
ditempatkan di ruangan sendiri-sendiri. Peme-
riksaannya juga masing-masing oleh petugas
yang berbeda.
Menurut cerita Ustadz Syarif, selama dipe-
riksa ia ditanya panjang lebar. Mulai dari soal
berapa lama tinggal di Tanjung Priok sampai
kegiatan apa saja yang dilakukan selama itu.
Petugas yang memeriksa saat itu bertanya sam-
bil marah-marah dan terus menuduh Ustadz
Syarif sebagai pelarian dari Tanjung Priok.
Petugas itu sempat memukul pakai kursi, saking
tidak percaya apa yang dikatakan oleh Ustadz
Syarif bahwa ia bukan pelarian. Menurut petu-
gas itu Ustadz Syarif jelas terlibat kasus Priok
dan sebab nya melarikan diri ke kampung
halamannya di Garut.
Selama kurang lebih 15 jam Ustadz Syarif
diperiksa petugas secara marathon, namun tetap
saja mereka tidak percaya terhadap penje-
lasannya. Namun demikian, petugas itu me-
nyuruh Ustadz Syarif untuk pulang dulu dan
memintanya kembali besok pagi. Tepat jam
17.00 WIB hari Sabtu, Ustadz Syarif pulang ke
rumah tanpa diantar petugas.
Sementara itu, istri Ustadz Syarif yang di-
periksa petugas lain di ruangan yang berbeda,
juga ditanya soal kegiatan selama tinggal di
Tanjung Priok. Perihal kegiatan mengajar ngaji,
kegiatan ngaji di Majelis Taklim, siapa pencera-
mahnya, apa yang dikatakan oleh Mubalighnya,
dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Spontan
istri Ustadz Syarif menjawab tidak tahu sebab
ia memang tidak mengetahuinya.
Menurut istri Ustadz Syarif, petugas yang
memeriksanya sempat mengeluarkan pistol
untuk menakut-nakuti, mengacung-acungkan
pistol itu ke mukanya. Oleh petugas, ia disuruh
mengaku bahwa Ustadz Syarif ikut dalam peris-
tiwa Tanjung Priok. sesudah semua pertanyaan
beres, hari itu juga istri Ustadz Syarif disuruh
pulang ke rumah, tepatnya pada pukul 16.30
WIB hari Sabtu.
Sesuai dengan perjanjian sebelumnya, Us-
tadz Syarif diminta datang lagi ke Korem Garut
pada hari minggu tanggal 16 September 1984
jam 08.00 pagi. Namun sampai jam 10.00 WIB
Ustadz Syarif belum datang juga ke Korem
Garut. Sebenarnya Ustadz Syarif tidak bermak-
sud datang terlambat. Menurutnya ia terlambat
sebab badannya terasa sakit dan ia berobat
dulu ke seorang mantri. Tapi keterlambatan itu
dianggap petugas sebagai upaya Ustadz Syarif
untuk melarikan diri.
Saat itu juga Ustadz Syarif dibawa lagi ke
Korem Garut, dan diperlakukan lebih parah lagi.
Ia ditendang-tendang pakai sepatu dan dipukul
pakai gagang/popor senjata sampai menjelang
malam. Selanjutnya, ia dibawa oleh petugas
dengan tangan diikat ke belakang dan kedua
matanya ditutup pakai kain hitam. Ustadz Syarif
disuruh naik ke atas mobil jip yang sudah di-
sediakan untuk dibawa ke Laksusda Jaya
Jakarta.
Dari Korem Garut mereka berangkat tengah
malam. Dan sampai di Laksusda hampir Shu-
buh, sebab tidak lama kemudian terdengar
kumandang Adzan Shubuh dari salah satu
mesjid. Di Laksusda, Ustadz Syarif baru dibuka
tutup matanya sesudah dimasukkan ke sebuah
ruangan. Sesaat Ustadz Syarif baru bisa meli-
hat sekelilingnya. Ia melihat sudah ada orang
lain yang berada di Laksusda. Ia lalu diperiksa
lagi oleh petugas Laksusda dan kembali mene-
rima pukulan dan setruman yang membuatnya
semakin tersiksa.
sesudah diperiksa dan disiksa di Laksusda,
Ustadz Syarif kemudian dibawa ke Guntur.
sesudah beberapa hari disekap di Guntur, ia
kemudian dibawa oleh petugas ke Rumah
Tahanan Militer (RTM) Cimanggis. Ia dipenjara
di sana selama kurang lebih 7 bulan sampai
kemudian Ustadz Syarif jatuh sakit.
Ustadz Syarif dibawa ke rumah sakit RSPAD
Gatot Subroto Jakarta. Ia langsung mendapat
perawatan serius sebab keadaannya cukup
parah. Ia mengalami pendarahan di otak dan
urat sarafnya tidak berfungsi. Dokter yang
menangani memeriksanya dengan sinar X.
Sakitnya jelas akibat penyiksaan di luar perike-
manusian, sebab waktu diperiksa oleh petugas
tidak pernah lepas dari pukulan, tendangan dan
setruman. Lebih biadabnya lagi, selama ditahan
di Cimanggis, keluarganya tidak diberi kabar
mengenai keberadaan Ustadz Syarif. Padahal
selama itu, pihak keluarga terus mencari infor-
masi mengenai nasib Ustadz Syarif. Pihak
keluarganya malah diperlakukan seperti bola
ping-pong selama mencari informasi. Kami da-
tang ke Guntur dan mendapat jawaban bahwa
tidak ada Ustadz Syarif di Guntur. Penjaga piket
menyuruh agar kami menanyakan ke Salemba.
Tapi di Salemba kami disuruh menanyakan ke
Laksus. Kamipun ke Laksus, dan malah kem-
bali disuruh menanyakan ke Rutan Cipinang.
Dengan setengah putus asa keluarga Ustadz
Syarif ke Rutan Cipinang, tapi di sana kembali
mendapat perlakuan yang sama. kami disuruh
menanyakan lagi ke Guntur. Keterlaluan sekali.
Kejadian ini terus terjadi setiap kali istri Ustadz
Syarif dan keluarga menanyakan kepada petugas
yang mereka datangi. Beberapa bulan lamanya
pihak keluarga mencari informasi keberadaan
Ustadz Syarif sampai putus asa sebab tidak
ada informasi sama sekali dari aparat yang
bersangkutan.
Baru berapa bulan kemudian, ada informasi
bahwa Ustadz Syarif berada di RTM Cimanggis.
Sayapun segera berangkat untuk mengeceknya.
Saya sebagai anaknya datang ke RTM Cimang-
gis, untuk menanyakan keberadaan Ustadz
Syarif. Saya menemui seorang petugas RTM
Cimanggis, pangkatnya waktu itu Serka (Sersan
kepala). Saya tanyakan langsung kepadanya ten-
tang ayah saya, dan dia menjawab, “Kamu bisa
ketemu sama Bapak kamu, tapi ada syaratnya.”
Kemudian saya tanyakan apa syaratnya? Ter-
nyata saya diminta menyerahkan uang sebesar
Rp 350.000,- kalau mau bertemu ayah saya.
Saya langsung sewot dan binggung. Untuk apa
uang sebesar itu? Darimana saya bisa menda-
patkan uang itu? Saya sampai adu argumentasi
sebab uang sebesar itu rasanya tak mungkin
saya dapatkan. Akhirnya saya keluar dari RTM
Cimanggis dan pulang.
“Rumah sakit mana Pak?!”
“Tidak usah tahu kamu Ustadz Syarif ada di
rumah sakit mana! Yang penting kamu harus
menyediakan uangnya!” bentak petugas itu pada
saya sebelum saya pulang dengan perasaan
marah dan kesal, tapi sekaligus tak berdaya.
Beberapa bulan berlalu tanpa hasil. Infor-
masi akhirnya datang dari seorang perawat
yang merawat Ustadz Syarif di RSPAD Gatot
Subroto. Perawat itu tahu Ustadz Syarif dan
memberi tahu orang tuanya. Dia bisik-bisik
waktu memberi informasi bahwa Ustadz Syarif
ada di rumah sakit Gatot Subroto di lantai tiga.
Perawat itu juga wanti-wanti agar tidak mem-
beri tahu bahwa ia yang memberi informasi,
takut ketahuan petugas lain bahwa dia yang
memberi informasi kepada keluarga Ustadz
Syarif.
sesudah mendapat informasi tentang keber-
adaan Ustadz Syarif, akhirnya saya dan keluarga
bisa bertemu beliau. Saat pertama bertemu,
kami sangat sedih melihat postur tubuhnya
yang kurus kering seperti tengkorak hidup.
Dan beliau tidak bisa berjalan, kakinya tidak
bisa digerakkan, begitu juga tangannya. Bagi
keluarga Ustadz Syarif, kondisinya waktu itu
sangat membuat terpukul sekali, walaupun kami
lega bisa bertemu lagi dengannya. Keluarga
kami juga masih harus main kucing-kucingan
dengan petugas saat itu, dan anehnya, Ustadz
Syarif tidak pernah disidangkan dan divonis
untuk berapa bulan atau berapa tahun. Jika ia
bersalah mengapa tidak disidangkan sebagai-
mana mestinya? Sebagai seorang tahanan se-
lama empat bulan lebih, Ustadz Syarif dirawat di
rumah sakit Gatot Subroto dan tidak dipungut
biaya sepeserpun. Kami dari pihak keluarga
hanya mengeluarkan biaya transpor besuk se-
lama tiga bulan lebih dari Garut ke Jakarta.
Bulan Juli 1985 Ustadz Syarif dibawa pulang
ke rumah sebab beliau sudah agak sembuh
dan sudah bisa berjalan sedikit-sedikit. Sepu-
langnya dari rumah sakit, tidak seperti semula
keadaan fisiknya, ia menjadi cacat sebab kedua
kaki dan tangannya tidak normal lagi akibat
penyiksaan sewaktu diperiksa oleh petugas.
Sampai meninggal dunia pada tahun 1996, kon-
disinya tak berubah. Jadi selama 12 tahun ia
menjadi orang cacat dan 2 tahun sebelum beliau
meninggal sempat jatuh sakit lagi sampai tidak
sadarkan diri. Tepatnya bulan September 1996
Ustadz Syarif meninggal dunia di rumahnya di
Garut.
“Disiksa Seperti
Anjing.”
MENJELANG peristiwa 12 September 1984
meletus, situasi di Tanjung Priok sudah me-
manas. Pengajian dan tabligh akbar marak di
mana-mana. Semuanya bersuara menentang
Azas Tunggal Pancasila. Memang, sejak peme-
rintahan rezim Suharto (Orde Baru) memaksa-
kan kehendaknya agar semua ormas, termasuk
ormas Islam, harus menerima Azas Tunggal
Pancasila, gejolak muncul tanpa henti. Suara-
suara menolak berteriak lantang. Pengajian atau
tabligh akbar digelar dan semuanya meneriak-
kan penolakan azas tunggal.
Pada 12 September 1984 malam diadakan-
lah tabligh akbar di Jalan Sindang. Seperti
pengajian-pengajian sebelumnya, malam itu
ribuan umat Islam membanjiri arena tabligh
akbar. Malam itu penceramah yang hadir antara
lain Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana,
Ratono, M. Nasir dan Salim Kadar. Di situ juga
ada Amir Biki, tokoh warga Tanjung Priok.
Malam itu saya hadir di antara ribuan umat.
Pada malam itu para penceramah tidak lagi
membicarakan penolakan azas tunggal, namun
masalah pengotoran mushola yang dilakukan
petugas Babinsa (bintara pembina desa) dan
penangkapan empat anggota warga oleh
aparat beberapa hari sebelumnya. Salah satu
penceramah yang memberikan ceramah ada-
lah Amir Biki. Dengan suara lantang, Amir Biki
menegaskan, “Jika empat orang yang ditahan
di Kodim tidak dikeluarkan pada jam 23.00
WIB, maka kita akan meminta bersama-sama
ke Kodim.”
sebab permintaan itu tidak juga dipenuhi
aparat, maka tepat dead line pukul 23.00 WIB,
tabligh akbar pun berhenti. Ribuan umat itu
bergerak menuju Kodim 0502 dengan diiringi
gema takbir “Allah Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar!” Amir Biki berjalan di barisan depan.
Akan namun saat massa berjalan di depan Polres
702 Jakarta Utara di Jalan Yos Sudarso, massa
dihadang aparat TNI AD dari kesatuan Arhanud.
Mereka menyandang senjata lengkap yang
diarahkan ke barisan massa.
sebab di depan ada blokade tentara, barisan
massa terdepan pun berhenti, namun sambil
terus meneriakkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Allahu Akbar!” Namun hanya dalam hitungan
detik, terdengar suara tembakan dari arah
depan. Sesaat itu pula massa di barisan ter-
depan berjatuhan. Secara spontan saya tiarap.
Orang-orang di samping saya ikut tiarap. Saat
itu saya sempat berpikir, kenapa kok di tembaki
dengan peluru tajam, apakah tidak ada cara
lain untuk menghalau massa, kecuali dengan
menembakinya? Suara-suara tembakan itu tak
berhenti sekitar 10-15 menit. Desingan peluru
di atas kepala amat menyeramkan. Kalau saja
saya berani mengangkat, mungkin batok kepala
saya sudah ditembus peluru. Begitu suara tem-
bakan tak terdengar lagi, saya dan beberapa
orang yang bertiarap langsung bangun. Saya
ingin menghindari agar tidak menjadi sasaran
empuk peluru-peluru itu. Namun tiba-tiba pe-
luru dimuntahkan lagi. Saya tidak mampu
bergerak, sebab lutut kiri saya terkena timah
panas. Saya juga melihat beberapa orang di
dekat saya yang sama-sama berdiri itu ber-
jatuhan satu per satu.
Tidak berapa lama suara-suara tembakan
itu berhenti lagi. Di tengah menahan sakit itu,
saya mendengar derap langkah tentara. Mereka
mendekati tubuh orang-orang yang ditembaki-
nya. Satu per satu memeriksa tubuh-tubuh yang
berlimpangan di aspal itu. Mereka membolak-
balik tubuh para korban, dengan sepatu lars
sambil mencaci-maki. saat para tentara itu
membolak-balik tubuh saya yang masih hidup,
tentara berteriak kencang sekali, “Nah, ini
masih hidup!” Dengan cepat tentara-tentara
lainnya mendekati saya sambil berteriak, “Tem-
bak lagi, tembak lagi!” Rasa takut bercampur
marah bergolak dalam hati. Saya berdoa, Ya
Allah lindungi hamba-Mu ini dari orang-orang
yang zalim. Tak henti-henti hati saya berdoa.
Untunglah ada tentara lain yang berteriak,
“Jangan…. jangan…. jangan! Bawa saja, bawa
saja!” Saya kemudian dibentak, “Buka baju!”
Dalam keadaan telanjang itu saya disiksa.
Padahal saya menahan sakit luar biasa akibat
lutut yang berdarah-darah ditembus peluru.
Saya dipukuli dan ditendangi. Saya merasakan
betapa dada teramat sakit. Bahkan hidung saya
patah akibat dihajar tanpa ampun. Saya benar-
benar diperlakukan sewenang-wenang seperti
memperlakukan seekor anjing. Duhai Allah,
hamba cuma menyuarakan kebenaran, namun
diperlakukan seperti binatang.
sesudah tubuh saya remuk, tentara-tentara
itu menyeret saya. Tubuh saya kemudian di-
lempar ke ke dalam truk bersama-sama korban
lainnya. Saya membatin, mengapa tentara kita
memperlakukan bangsanya sendiri seperti
sampah yang tak berguna? Saya ini bukan korup-
tor dan bukan juga pencuri. Koruptor yang
merampok uang rakyat bermilyar-milyar malah
masih enak-enakan di hotel mewah. Betapa
bancinya ABRI (TNI) kita, sebab beraninya
cuma pada rakyat kecil seperti saya.
Saya dan para korban yang lain dibawa ke
RSPAD Gatot Subroto di daerah Kwini, di dekat
Senen. Kami dipilah-pilah, mana yang masih
hidup, dan mana yang sudah meninggal. Yang
masih hidup diturunkan dari truk dan dikumpul-
kan di teras RSPAD. Rata-rata merintih kesa-
kitan sebab dibiarkan begitu saja. Tidak berapa
lama datanglah Panglima ABRI Jenderal LB
Murdani dan Pangdam Jaya Mayjen Try Su-
trisno. Keduanya berdialog dengan seorang
korban yang kemudian baru saya ketahui, ia
bernama . Saya dan korban lain-
nya dibawa ke lantai tiga untuk mendapat per-
tolongan dan perawatan. Selama dua bulan saya
dirawat dan disekap di RSPAD. Setiap kamar
korban selalu dalam pengawasan dan penjagaan
yang sangat ketat. Selama dua bulan itu kami
dilarang dijenguk oleh siapa pun juga. Bela-
kangan saya tahu bahwa selama itu pula ibu dan
ayah saya mencari-cari saya ke mana-mana te-
tapi hasilnya nihil. Orangtua saya itu datang ke
Kodim 0502 Jakarta Utara, ke Polres Jakarta
Utara, ke Laksusda Jaya, bahkan ke RSPAD tem-
pat saya dirawat. namun selalu gagal, sebab
selalu dijawab tidak ada korban Tanjung Priok.
Padahal orangtua saya itu dilanda kecemasan
luar biasa. Jejak saya dihilangkan begitu saja.
Meskipun sudah mencari ke mana-mana,
namun jejak saya tak pernah terlacak, orangtua
saya dan keluarga. Akhirnya mereka mengang-
gap saya telah meninggal dunia. namun , aneh-
nya kubur saya pun tidak tentu rimbanya. Di
rumah, orangtua saya mengadakan tahlilan.
Mereka berdoa agar saya mendapat tempat yang
layak di sisi Allah. Mereka memang tidak tahu
bahwa saya masih hidup dan dirawat di
RSPAD. namun semua pintu yang diketuk untuk
mencari tahu nasib saya, semuanya tertutup.
sesudah dua bulan dirawat di RSPAD saya di-
perbolehkan pulang. Begitu saya tiba di rumah,
keluarga saya dan para tetangga tercengang
melihat saya. Mereka juga bersedih melihat
kondisi saya. Saat berangkat dari rumah pada
tanggal 12 September 1984, saya dalam ke-
adaan sehat. namun dua bulan kemudian, saya
pulang dengan mempergunakan tongkat di kiri
dan di kanan. Sambil menahan tangis yang
menyayat hati, saya peluk ibu dan ayah saya
sebab bersusah-susah mencari saya. Saya amat
merindukan mereka.
Dipulangkan untuk Diciduk Lagi
Satu minggu saya merasakan enaknya ting-
gal di rumah bersama ayah dan ibu. Tiba-tiba
petugas dari Kodim Jakarta Utara datang ke
rumah. Dia menjemput saya, tanpa membawa
surat penangkapan. Katanya, saya dipanggil ke
Kodim. Saya bersikeras tidak mau, akan namun
mereka memaksa dan terus memaksa saya ikut
ke Kodim. Lagi-lagi saya bertahan. Petugas
penjemput itu kembali ke Makodim Jakarta
Utara. namun tidak lama dia datang lagi ke
rumah saya. Kali ini tidak datang sendirian.
Dia datang membawa banyak petugas Kodim
Jakarta Utara dengan senjata lengkap di tangan.
Mereka memaksa saya untuk ikut mereka ke
Makodim, bahkan mereka meminta tolong
kepada ketua RT untuk mendampingi saya ke
Makodim. Saya akhirnya dibawa tanpa bisa
dicegah lagi. Saya sendiri tidak berdaya melihat
banyak tentara ke rumah saya dengan menyan-
dang senjata. sesudah dari Kodim, saya dibawa
ke Guntur selama dua hari, lalu saya ditahan di
Rutan Salemba sambil menunggu proses persi-
dangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Akhirnya saya divonis satu tahun enam bulan
penjara, sebab dianggap melawan petugas yang
sah. Saya beserta teman-teman menjalani
hukuman ini dengan segala suka dan duka.
Selepas menjalani hukuman penjara, kasus
Tanjung Priok seakan lenyap. Upaya untuk
mengungkapkan secara tuntas kasus ini
seolah-olah selalu berhadapan dengan tembok
kokoh. Begitu sulitnya untuk bisa menembus-
nya. Barulah sesudah belasan tahun, yaitu pada
saat awal-awal masa reformasi, saya bersama
Yusron, Irta, dan beberapa teman lainnya, men-
coba mengangkat kasus tragis ini . Kami
berharap kasus tragedi ini bisa lebih di-
ketahui warga secara luas dan pemerintah
bahwa ada tindakan kesewenang-wenangan
yang dilakukan oleh aparat keamanan. Kami
ingin warga sadar bahwa rezim Suharto
atau yang lebih dikenal sebagai Orde Baru
berlaku tidak adil dan tidak manusiawi. Saya
dan teman-teman memandang reformasi meru-
pakan momen yang tepat untuk mengangkat,
mempublikasikan, dan sekaligus memperkara-
kan masalah orang-orang yang bersalah dalam
kasus Tanjung Priok. Kami ingin mereka
bertanggung jawab. Untuk itu mereka harus
dibawa ke muka pengadilan. Sebab, peristiwa
Tanjung Priok menimbulkan banyak korban
jiwa dan banyak korban yang luka-luka seumur
hidupnya.
Kami para korban tragedi itu ingin sekali
buka suara. namun bertahun-tahun kami tidak
mampu membuka mulut. sebab , ancaman
dan intimidasi pada masa Orde Baru bukanlah
isapan jempol. Sekali kami berteriak, maka
langsung dicap pemberontak atau gerakan
pengacau keamanan (GPK). Ujung-ujungnya
penangkapan dengan mudah dilakukan. Namun,
begitu reformasi, seakan semua sumbatan itu
tercabut. Simpul-simpul ketakutan seakan lepas
dari katupnya. Maka saat dilangsungkan
mimbar bebas di panggung terbuka Taman
Ismail Marzuki, para korban tidak lagi punya
kecemasan dan ketakutan. Siapa saja boleh naik
panggung, siapa saja boleh mengungkapkan isi
hatinya. Siapa saja boleh meledakkan amarah-
nya yang selama bertahun-tahun terpendam.
Malam itu TIM seakan menjadi saksi “bersuara-
nya” para korban Tanjung Priok. Tidak sedikit
para korban yang memperlihatkan bekas luka
yang dideritanya. Kami satu per satu menunjuk-
kan cacat bekas penyiksaan aparat keamanan.
Alhamdulillah warga warga dan maha-
siswa yang hadir memberikan respons positif.
Dampaknya buat kami, empati mereka menjadi
kekuatan kami. Kini, saya tidak takut lagi untuk
mengungkapkan semua perasaan saya yang se-
lama ini saya pendam, sebab ketakutan luar
biasa menghantui saya.
Saya punya semangat baru. Sebuah sema-
ngat untuk terus berjuang agar tragedi Tanjung
Priok yang membawa korban itu sampai ke
pengadilan. Mulailah saya, bersama Yusron,
Irta dan kawan-kawan yang lain menghubungi
Syarifin Maloko SH, salah seorang korban yang
juga mubaligh. Kami terus berbicara satu sama
lain. Kami bicara dari hati ke hati. Mengungkap-
kan segala yang tersimpan di dada. Meledakkan
semua amarah selama ini. Kami sepakat untuk
bersatu agar perjuangan kami solid dan kuat.
Lalu terbentuklah wadah yang diberi nama
Sontak (Solidaritas Nasional Korban Tanjung
Priok). Syarifin Maloko yang memimpin lem-
baga itu. Kami terus berdiskusi untuk mencari
solusi bagaimana mengusung dan mengungkap-
kan tragedi yang amat memilukan itu. Untuk
konkretnya, dibentuklah tim advokasi API
(Asosiasi Pembela Islam) yang dipimpin oleh
Hamdan Zoelva SH. Kami terus melakukan
aksi-aksi untuk menggalang kekuatan guna
meluluskan pengungkapan peristiwa itu secara
tuntas.
Namun dalam perjalanan, entah apa yang
menjadi latar belakangnya, gandengan tangan
para korban tampaknya merenggang. Muncul
beberapa wadah lagi. Yayasan 12 September 84
yang diketuai Dewi Wardah Dari masa ke-
pemimpinan Dewi Wardah ini, di samping
menampung korban-korban Tanjung Priok
juga mencari kekayaan. Ini dilakukan oleh pe-
ngurus-pengurusnya yang memakan uang darah
para korban yang mati maupun yang luka-luka.
Tidak lama, kepemimpinan Wardah digantikan
Sofwan Sulaiman. Ternyata sama juga. Bahkan
di bawah kepemimpinan Sofwan, mulailah isu-
isu islah digulirkan oleh Syarifudin Rambe.
Syarifudin Rambe menghubungi Sopwan Ali
sebagai mediator untuk bertemu dengan Hayono
Isman, kawan dekat Try Sutrisno anaknya Isfan
Fajar Satrio.
Muncul juga Mukhtar Beni Biki yang bekerja
sama dengan lembaga advokasi lainnya. Kemu-
dian terjadilah pemeriksaan-pemeriksaan di
Komnas HAM terhadap saksi korban dan
orang-orang yang diduga pelakunya. Amat
menyakitkan saat Komnas HAM mengata-
kan bahwa dalam peristiwa Tanjung Priok,
tidak ada pelanggaran HAM. Kami para korban
gusar. Komnas HAM akhirnya ditekan dan dide-
mo oleh orang-orang yang peduli dengan kasus
ini . Komnas HAM kemudian mengubah
pernyataan bahwa dalam peristiwa Tanjung
Priok telah terjadi pelanggaran HAM berat.
“Ditembak di Depan
Rumah.”
SAYA menghadiri pengajian di Jalan Sindang
pada 12 September 1984 malam. namun saya
tidak sampai ke podium atau panggung, ter-
lebih lagi sebab massa sudah menyemut. Saya
hanya mendengarkan melalui loudspeaker di
Jalan Lorong 100 Timur. Menjelang jam 23.00
WIB, saya mendengar ada suara riuh yang
mengajak massa untuk membebaskan empat
orang yang ditahan Kodim. sebab penasaran,
saya berusaha menuju podium. Belum juga
sampai di podium, massa sudah beramai-ramai
berjalan kaki menuju Kodim 0502 Jakarta
Utara. Saya ikut di barisan belakang. Saat saya
berada di sekitar gedung bioskop Lido, saya
mendengar bunyi tembakan beruntun. Saya
lalu berbelok ke kanan mengarah ke kantor
Dinas Kebakaran Jakarta Utara. Saat itu saya
menyaksikan ribuan orang itu berlarian kocar-
kacir. Mereka mencari perlindungan untuk
menghindari sasaran tembakan. Saya tetap
berjalan di trotoar.
Sampai di Perempatan Permai saya menye-
berang Jalan Yos Sudarso. Saat melangkah itu,
saya dengar tembakan terus-menerus dari arah
Polres Jakarta Utara. Dengan cepat saya ber-
usaha menyelamatkan diri. Saya merunduk dan
menjatuhkan diri di aspal. Saat itu saya men-
dengar rintihan kesakitan, “Allahu Akbar,
Allahu Akbar….” namun suasana malam itu
begitu panik dan kacau. Saya terus berlindung
agar tak kena peluru yang dimuntahkan ten-
tara. Saya bisa mencapai Jalan Lorong 103
Barat dan terus menuju rumah di Jalan Lorong
100 Barat. Saya segera masuk ke rumah.
Akan namun rumah gelap, sebab lampu
mati. Untungnya masih ada sinar dari lampu
jalan. Saya lalu keluar untuk mengecek meteran
listrik, apakah turun atau tidak? Ternyata
memang meteran listrik tidak turun. Rupanya
listrik di rumah-rumah dipadamkan oleh PLN.
Pada saat itulah saya ditembak tentara. Peluru
menembus paha kiri saya. Darah mengucur.
Saya merintih kesakitan dan minta tolong.
Tetangga saya keluar dan begitu melihat saya
tergeletak di pinggir rumah, tetangga saya itu
langsung mengeluarkan mobilnya dari garasi.
Dia membawa saya ke RS Sukmul di Jalan
Tawes. Namun belum sampai di RS, begitu
melintas di depan asrama Arhanud, mobil di-
berhentikan. Tentara-tentara itu memeriksa, dan
begitu melihat saya tertembak, saya disuruh
turun. Saya disuruh naik becak. Mobil tetangga
saya itu disuruh balik. Di RS Sukmul saya lang-
sung diberi pertolongan. Jam 01.30 WIB, saya
lihat ada seorang korban yang datang ke RS
itu. Petugas medis langsung memberikan per-
tolongan.
Jam 05.00 WIB sebuah mobil ambulans
masuk RS Sukmul. Ternyata ambulans itu tidak
membawa korban namun justru menjemput
saya dan korban yang satunya lagi. Ambulans
jemputan itu mengangkut kami ke RSPAD di
Jakarta Pusat. Saya langsung dibawa ke lantai
8 bersama tentara-tentara yang kena tembak
di Timor-Timur. Sekitar pukul 08.00, semua
korban Tanjung Priok dicek, selanjutnya di-
kumpulkan di lantai 3. Setengah jam kemudian
saya dirawat di lantai 1. Luka saya dibersihkan.
sesudah paha saya dibersihkan, saya dikemba-
likan lagi ke lantai 3. Di sanalah saya dirawat
sampai luka di paha kiri saya benar-benar sem-
buh. Barulah saya dioperasi penyambungan
tulang. Saya hitung saya dirawat di RSPAD
selama 42 hari.
Dari RSPAD saya dibawa ke Guntur. Saya
diperiksa bersama 7 korban lainnya. sesudah
itu, saya dibawa ke Kodim 0502 Jakarta Utara.
Kembali saya diinterogasi. Saya bersama 7 orang
korban itu akhirnya diperbolehkan pulang.
namun kami diwajibkan untuk melapor Senin-
Kamis ke Kodim. namun , saya tidak sekalipun
melakukannya. Saya langsung pindah rumah
ke rumah orangtua saya di daerah Makasar,
Jakarta Timur.
Berjuang untuk Keadilan
Bertahun-tahun kasus Tanjung Priok terku-
bur. Tanpa ada yang peduli. Syukurlah harapan
saya dan juga para korban lainnya ada titik
terang di masa reformasi. Mulanya tergugah
oleh ceramah Bapak Amien Rais di Mesjid Al-
Husna, dekat Terminal Tanjung Priok. saat
Amien Rais mengatakan para korban bisa me-
nuntut, segeralah para korban mendaftarkan
diri di mesjid PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah
Islamiyah) yang dirancang oleh Sontak yang
dipimpin Syarifin Maloko. sesudah ada rapat
untuk mendirikan Yayasan 12 September 84
yang kemudian dipimpin Ibu Dewi Wardah.
Yayasan dan Sontak bersama Asosiasi
Pembela Islam (API) dan Kontras kemudian
mendatangi Komnas HAM. Saya sendiri tak
henti-hentinya bersama Kontras, mencari
kuburan para korban peristiwa Tanjung Priok.
Saya ikut mendatangi makam-makam di daerah
Condet dan Pondok Rangon di Jakarta Timur,
juga di Mengkok, Jakarta Utara. Berikutnya
makam-makam di Mengkok digali. Ditemukan-
lah 8 kerangka korban kasus Tanjung Priok.
sesudah itu digali pula makam-makam di
Pondok Rangon. Kami temukan pula 8 kerangka
korban Tanjung Priok. Hanya di Condet yang
tidak berhasil digali, sebab makam-makam
para korban Tanjung Priok itu sudah ditumpuk
dengan kerangka warga setempat. Sampai
akhirnya kasus Tanjung Priok diproses secara
hukum.
Namun rupanya ada gerakan lain. beberapa
korban melakukan islah dengan Pak Try Su-
trisno. Pak Try menjanjikan dana abadi kepada
para korban Tanjung Priok. Namun itu semua
cuma janji kosong. Sebagian korban menuntut
lebih keras agar para pelaku penembakan atau-
pun yang bertanggung jawab segera diadili di
pengadilan. Sebanyak 14 korban terus berjuang
untuk mencari keadilan, meski diteror dan
diintimidasi. sebab , kami cuma menuntut
hukum ditegakkan seadil-adilnya.
“Dihantui Suara-suara
Aneh.”
KAMIS, 13 September 1984. Pagi-pagi sekali
saya mendengar peristiwa berdarah meletus di
Tanjung Priok. Kabar itu terdengar santer dari
mulut ke mulut, meski belum jelas benar. Saya
agak cemas, sahabat saya yang
tinggal serumah dengan kami belum pulang
juga. Semalam dia memang ikut hadir pada
pengajian di Jalan Sindang, Tanjung Priok.
, kakak saya, segera keluar rumah.
Kakak saya ingin mencari informasi, apa yang
terjadi sebenarnya semalam? namun hampir
semua jalan yang menuju ke Tanjung Priok di-
blokir. Tidak seorang pun diperbolehkan pergi
menuju arah Tanjung Priok.
Sementara sepanjang siang hari itu rumah
kami di Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat,
didatangi aparat militer. Tentara itu menanya-
kan, “Ke mana perginya kakakmu?” Saya men-
jawab dengan jujur bahwa kakak saya pergi
untuk mencari berita apa yang telah terjadi pada
malam tadi. Namun sepertinya aparat militer
itu tidak puas. Beberapa kali aparat militer itu
bolak-balik datang ke rumah, dan menanyakan
hal yang sama. Saya mulai risau, dag-dig-dug.
Akhirnya kakak saya pulang dengan pera-
saan cemas. Tak lama sesudah itu Syaiful pun
datang dengan selamat. Namun kami dilanda
kecemasan. Esoknya, saat hati kami masih
diliputi rasa was-was, tiba-tiba kami dikejutkan
oleh suara orang menggedor pintu secara tidak
sopan. Kakak saya membuka pintu.
Namun dia segera diseret keluar rumah. Bebe-
rapa orang berdiri di depan pintu, Saya hitung
sekitar lima orang, di antaranya yang pernah
datang kemarin. Di luar saya lihat ada dua truk
penuh tentara. Kakak saya langsung diborgol.
Melihat kejadian itu, saya langsung mem-
bentak. “Mana surat tugas?” Mereka tidak
menjawab. Saya meradang lagi, “Ke mana kakak
saya akan dibawa?” namun mereka tetap diam
seribu bahasa. Bahkan tentara itu balik ber-
tanya, “Kamu kan ? Kamu ikut saya!”
Saya pun dibawa secara paksa. Namun, saya
sempat minta ijin untuk berganti pakaian. Saya
bangunkan kakak ipar saya, sebab aparat
militer itu ingin masuk ke kamar kakak saya.
sebab sedang tidur, saat itu kakak ipar saya
keadaannya setengah telanjang. namun aparat
itu memaksakan untuk masuk. Melihat itu, saya
segera berdiri di pintu dan menghalangi mereka.
Saya bangunkan kakak ipar saya itu. Dengan
cepat tentara-tentara itu mengobrak-abrik
kamar itu.
Bahkan tentara-tentara itu menggeledah
seluruh isi rumah. Semua kamar diobrak-abrik.
Kamar saya juga tidak luput. Mereka mengambil
Al Quran yang masih terbuka bekas saya baca.
Mereka juga membawa lemari artikel dan dua
keranjang berisi artikel . Tak ada ruang yang ter-
lewati. Sampai dapur juga diacak-acak. Mereka
mengambil pisau dapur dan penggaris besi
yang biasa dipergunakan untuk membuat teng-
teng kacang. Saya sempat bertanya, untuk apa
artikel dan alat-alat dapur itu dibawa? Mereka
menjawab bahwa semua itu untuk tanda bukti.
Baru belakangan aku berpikir, tanda bukti se-
buah kebiadaban pemerintah Orde Baru. Aneh
memang, sebab saya tidak ikut terlibat dalam
peristiwa Tanjung Priok. Bahkan saya tidak ikut
pengajian malam itu. Apakah aparat keamanan
itu mengambil saya hanya gara-gara saya aktif
di pengajian? Apakah mereka menciduk saya
hanya gara-gara saya kenal dengan beberapa
penceramahnya? Sebuah logika yang tidak
masuk akal.
Namun alasan-alasan itu rasanya tidak ber-
arti. Tentara-tentara itu seperti robot yang cuma
bisa menciduk tanpa perlu tahu alasannya,
kecuali dugaan-dugaan keji. Saya sadar bahwa
saya tidak mampu menolak mereka. Di depan
mata terbayang kematian. Garis hidup saya
mungkin akan berakhir. Dengan perasaan sedih,
saya berpamitan dengan kakak ipar saya. Saya
peluk dia erat-erat sambil derai air mata mem-
basahi pipi. Saya merogoh saku. Ada uang Rp
100.000, yang segera saya berikan kepadanya.
Saya tidak punya harapan lagi. Saya titip anak-
anak saya. Saya pasrahkan kepada Allah Yang
Maha Agung. Dengan cucuran air mata, saya
tinggalkan rumah itu bersama dengan 6 orang
lainnya. Selain kakak saya dan
, mereka menciduk juga tamu dan
juga teman-teman Syaiful yang ada di rumah
kami. Kami pergi tanpa membawa bekal apa-
pun, kecuali pakaian yang menutupi tubuh.
Kami digiring seperti maling yang tertang-
kap basah. Malam itu suasana di sekitar saya
terlihat senyap. Para tetangga tak ada yang
menyaksikan. Mungkin saja mereka sudah tidur
sebab malam makin larut. namun siapa sih yang
berani terlebih melihat dua truk militer penuh
tentara menjemput kami. Aroma ketakutan
menyebar di sekeliling kami. namun saya pas-
rahkan hidup kepada Allah. Saya tahu mati
syahid yaitu dambaan umat yang beriman.
saat akan dinaikkan ke atas truk, saya meno-
lak. Saya katakan, sebab saya perempuan, saya
tidak mau dicampur dengan lelaki. Saya di-
bawa dengan mobil jip yang di dalamnya ada
seorang Kowad dan seorang aparat militer
(pria). Kowad itu nyeletuk, “Duh, asyiknya...”.
Nadanya menghina, tanpa saya tahu apa mak-
sudnya. Saya sempat diturunkan di sebuah pos
polisi di Cempaka putih. namun saya tidak me-
lihat kakak dan teman-temannya di pos itu.
Saya pun panik. Saya bertanya, namun tak di-
gubris. Akhirnya saya dibawa ke Kodim Jakarta
Pusat. Alangkah bahagianya hati, sebab saya
dapat bertemu dengan kakak dan teman-
temannya dalam keadaan hidup dan terborgol.
Beribu syukur saya ucapkan kepada Allah
SWT. Soalnya, saat itu begitu misterius di mana
banyak orang hilang tak tentu rimbanya. Mati
tak jelas makamnya. Penculikan dan pembu-
nuhan amat menakutkan.
Jilbab Saya Dirobek
Kebahagiaan itu cuma sesaat. Saat bersa-
maan hati serasa pilu. Saya menyaksikan kakak
dan teman-temannya diinterogasi tentara.
Bukan cuma ditanyai, tentara-tentara itu mela-
kukan penyiksaan untuk mengorek informasi
maupun pengakuan. Saya menyaksikan kakak
saya dan teman-temannya dipukuli, rambutnya
dijambak, kepalanya digoyang-goyangkan, jeng-
gotnya ditarik, sampai tubuhnya ditelanjangi
dan disetrum. Hati serasa disayat-sayat. Saya
cuma bisa bertakbir di dalam hati.
Saya juga mendapat giliran diinterogasi.
Yang menginterogasi yaitu Kowad yang satu
mobil dengan saya. Dia menanyakan nama ayah
saya. namun saya keberatan. sebab , saya kha-
watir ayah juga akan ditangkap. Padahal ayah
menjadi tumpuan sebab anak-anak saya titip-
kan padanya. namun Kowad itu tak berhenti
mengorek keterangan. Dia melakukannya de-
ngan penyiksaan pula. Dia menampar pipi saya
dengan keras. Bahkan biadabnya, dia mengan-
cam akan menelanjangi saya di depan kakak
saya dan teman-temannya. Secepat kilat dia
sudah merobek jilbab yang saya kenakan dengan
gunting. Saya benar-benar terkejut. Saya ber-
diri dan mundur sambil memasang kuda-kuda.
Terlihat dia bingung, dan menyuruh saya
duduk kembali. Di tengah ketakutan itu, saya
masih mendengar jeritan kakak dan teman-
temannya yang disiksa. Pikiran saya tak karu-
karuan.
Pemeriksaan sempat berhenti menjelang
shubuh. Saya bisa shalat shubuh meski hanya
dapat bersajadahkan selembar koran. sesudah
itu mulai lagi diinterogasi. Kowad itu kembali
mengulang pertanyaan, “Nama ayah kamu?”
Saya tetap tidak mau menyebutkan. Sampai
akhirnya aparat menyeret kakak saya dan me-
mukulinya persis di samping saya. Akibat tak
tahan mendapat penyiksaan yang tertubi-tubi,
akhirnya kakakku menyebut nama ayah kami.
saat fajar mulai menyingsing Kowad ini
melemparkan roti. Namun saya tidak menerima
perlakuan seperti itu. Perut saya mendadak
kenyang sesaat . Saya pikir, lebih baik ber-
puasa dibandingkan mendapat penghinaan seperti
itu.
Hari itu lewat begitu saja tanpa ada makan
siang. Menjelang sore hari kira-kira pukul 16.00
WIB rombongan kami dipindahkan ke Mapolres
Jakarta Pusat. Di tempat itu, kami kembali
menjalani proses pemeriksaan. Polisi kembali
menginterogasi. Saat maghrib tiba, saya berbuka
puasa. Ada nasi yang sangat keras (pera) tanpa
lauk-pauk. Namun perut saya tak mau menerima
makanan hingga akhirnya saya berbuka tanpa
memasukkan makanan ke dalam tubuh. Setiap
saat saya hanya dapat bertakbir sebab selalu
mendengar jeritan-jeritan yang memilukan
dari ruangan lain. Hati saya serasa dicabik-
cabik mendengar jeritan-jeritan itu.
Tengah malam itu juga rombongan kami
dibawa ke Markas Pomdam Jaya di Guntur. Di
markas itu, kembali kami mendapat siksaan.
Di hadapan saya, aparat menelanjangi kakak
saya dan teman-temannya. Pakaian mereka di-
lucuti semua. Mereka cuma mengenakan celana
dalam. Dan dalam kondisi seperti itu mereka
sengaja dipertontonkan di depan saya. Naudzu-
billah! sesudah itu saya melihat mereka digiring
ke belakang markas ini . Tak lama terde-
ngar jeritan melengking tak henti-hentinya.
Saya mendengar teriakan kakak saya yang
amat menyayat hati, “Allahu Akbar...!” Teriakan
itu berulangkali saya dengar sebab tak semenit
pun penyiksaan berhenti. Tanpa sadar saya pun
menyahut keras; “Allahu Akbar....” Saya berdoa,
semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada
kami yang sedang menerima cobaan. Aparat
militer yang ada di depan saya menatap ke arah
saya, seraya bertanya kepada atasannya, “Mau
diapakan perempuan ini?” Atasannya tidak
memberikan jawaban yang jelas. Lalu saya di-
masukkan ke sebuah kamar. Saya merebahkan
tubuh di atas dipan. namun aparat militer di
sana mengintip dan berteriak-teriak memanggil
saya dengan kata-kata menggoda “Hai, hai!”.
Saya makin ketakutan. Saya membayangkan
mereka akan berbuat lebih jahat lagi. Saya cemas
akan godaan-godaan mereka. Saking takutnya,
sepanjang malam itu saya tidak bisa memejam-
kan mata. Sepanjang malam itu pula dari luar
kamar terdengar jeritan orang-orang yang
disiksa.
Akibat depresi itu saya nyaris kehilangan
memori. Saya lupa berapa lama saya ditahan di
Guntur. Jika tak keliru antara 2-3 hari. Apalagi
selama ditahan di Guntur, hanya perlakuan
tidak manusiawi yang saya terima. Tidak ada
air yang layak untuk mandi sebab airnya ber-
bau kapur yang membuat bibir pecah-pecah.
Akibatnya, selama di Guntur saya tidak pernah
mandi. Mereka tidak memberikan sikat gigi.
Jangankan membayangkan makanan yang enak,
makanan yang layak saja tidak pernah diberi-
kan, sehingga setiap kali makan, mulut saya
tak mampu untuk mengunyah dan menelan
makanan itu. Didera penderitaan seperti itu,
penyiksaan juga tak berkurang. Dua orang
Kowad sempat menelanjangi saya secara paksa.
Ya Allah, saya meronta keras dan merasa sangat
terhina. Dua wanita tentara itu tidak lagi mem-
perlakukan saya sebagai seorang wanita, terlebih
lagi sebagai seorang muslimah. Mereka benar-
benar kejam. Setiap kali melakukan interogasi,
setiap saat pula mereka membentak-bentak agar
saya mengakui saja terlibat pengajian di Tan-
jung Priok pada 12 September 1984. Saya di-
paksa untuk menceritakan kasus Tanjung Priok
itu. Mereka menanyakan tentang Pancasila dan
lainnya. sebab kesal, saya balik bertanya “Me-
ngapa saya ditangkap?” Ternyata mereka tidak
mampu menjawabnya. Mereka justru memaksa
saya untuk membubuhkan cap jempol dan sidik
jari.
Dirayu Kapten
sesudah ditahan 2-3 hari di Guntur, pada
suatu malam saya dimasukkan ke mobil. Saya
sendirian. Hati saya bertambah ketar-ketir. Saya
pikir, malam itu tamatlah riwayat saya. Mereka
akan membunuh saya secara misterius. namun
saya pasrahkan saja kepada Allah SWT. Di
mobil itu saya bertayamum kemudian shalat
sambil duduk. Saya melirik keluar, mobil mele-
wati daerah Cililitan, kemudian Kramat Jati dan
terus menuju ke arah Bogor. Tak lama kemudian
saya tiba di suatu tempat yang belakangan saya
ketahui sebagai RTM (Rumah Tahanan Militer)
Cimanggis, sebuah rumah tahanan yang dipe-
runtukkan bagi terpidana militer. Saya digiring
turun dari mobil. Saya melewati sebuah lorong,
dan di situ ada sebuah pintu bertulisankan
“Abdul Qodir Jailani”. Bahagia rasanya sebab
beliau masih hidup. Saya melihat dari sebuah
lubang beliau tertelungkup. namun ke mana
kakak saya dan teman-temannya? Sejak hari
pertama, saya didera pertanyaan seperti itu,
sampai saya sendiri bosan mengucapkannya.
Di tempat itu, kembali saya mendengar je-
ritan-jeritan pilu orang-orang yang disiksa
aparat militer. Setiap malam, gerak-gerik saya
dimonitor. Saya tidak punya tempat untuk sem-
bunyi, apalagi tempat berlindung. Saya seakan
diawasi banyak mata dengan wajah menyeringai.
Ada suara-suara gaib yang menghantui. Maka
setiap malam, saya selalu berteriak-teriak bak
orang gila. Saya nyaris tak tertahan menanggung
derita itu. Sungguh selama ini saya punya kepri-
badian yang sulit goyah, keimanan saya sulit
terkalahkan. namun akibat teriakan-teriakan se-
tiap malam itu, tahanan lain menganggap saya
sudah gila. Tiba-tiba saya merasakan mental
saya menciut. Saya malu setiap ditatap tahanan
lain. Mental saya benar-benar hancur. Ada saja
aparat yang menggoda saya. Suatu saat
selepas saya dari kamar mandi, tahu-tahu ada
seorang aparat berpangkat sersan mayor meng-
goda sambil senyum-senyum. Amat menjijik-
kan! Bahkan saya terkejut bukan kepalang
saat seorang Kapten Budi Utomo masuk ke
sel saya. Dia menginterogasi saya. Yang tidak
terduga dia bertanya, apakah tubuh saya bisa
dilihat? Jawaban yang saya berikan cukup
diplomatis sehingga dia bisa tersenyum. namun
segera saya melanjutkan kata-kata bahwa dia
boleh melihat asal kami menikah dulu. Men-
dadak dia geram dan mengatakan bahwa dia
sudah punya istri. namun itulah cara satu-satu-
nya yang saya ajukan untuk mempertahankan
diri dari kezalimannya. sesudah peristiwa itu
saya terus-menerus diteror siang malam. Suara-
suara aneh selalu menghantui. Bahkan sel saya
pernah dilempari ular. Mental saya benar-benar
diteror. Jiwa saya terguncang, fisik pun mulai
memburuk akibat kurang istirahat.
Suatu hari tubuh terasa sulit digerakkan.
Kaku! Dalam benak, saya bertanya, sudah mati-
kah saya? Dengan kekuatan yang ada, saya ke-
rahkan seluruh tenaga sambil berucap “La haula
walaa quwwata Illah billahil’aliyyil adzim”,
saya berhasil bangkit. Saya menuju ke kamar
mandi. Namun setiap kali hendak melepaskan
pakaian, seolah-olah ada mata yang meng-
awasi. Mata itu seakan ingin sekali melihat saya
tanpa pakaian. Saya akhirnya tidak jadi mem-
buka pakaian. Saya siramkan air ke tubuh tanpa
membuka pakaian. Maka setiap akan pergi ke
kamar mandi sebetulnya saya dihantui keta-
kutan. Belum lagi telinga saya selalu mendengar
suara-suara aneh bahwa saya segera dibunuh.
Saya ungkapkan kecemasan itu kepada Kapten
Budi yang masuk ke sel pada suatu sore.
“Kalau mau dibunuh, ngomong ya!” katanya.
“Sekarang saya ngomong,” kata saya.
“Entar ngomongnya!” jawabnya.
“Kalau entar, saya sudah mati,” jawab saya.
Kapten Budi lalu menawarkan jasa. Untuk
melindungi saya, dia akan tinggal bersama saya
di sel.
“Tapi di luar,” kata saya.
“Di dalam,” katanya.
Dia lalu pergi. Saya berteriak, “Paaak!”. Dia
berbalik lagi.