Diulurkan kedua tangannya ke-
pada saya. Tapi saya mundur dua langkah. Saya
biarkan saja dia meninggalkan saya. Sungguh,
sebetulnya saya tidak takut dibunuh. Hanya
saja saya kurang ikhlas jika mayat saya dibuang
begitu saja. Saya kasihan kepada keluarga kalau
sampai saya dicampakkan seperti bangkai. Men-
jelang maghrib, ada dua tentara menjemput.
“Sudah siap?” kata mereka. Saya merasakan
itulah pertanyaan untuk menyambut kematian.
Saya merasa malam itu akan dibunuh.
“Sudah,” saya jawab dengan tegar. Tapi saya
minta ijin untuk shalat maghrib dulu. “Boleh-
kah saya shalat maghrib dulu?” pinta saya. Dua
tentara itu tersenyum dan mengatakan, “Boleh!”
dan terus pergi. Saya kemudian shalat gaib dan
diteruskan shalat maghrib. Saya serahkan segala
jiwa raga kepada Allah. Saya memohon ampun
kepada Allah. Di pintu sel yang masih terbuka,
seorang tentara dengan tersenyum sudah ber-
diri. “Ayolah saya sudah siap,” kata saya. namun
malah bilang, “Ya, ya nanti saja.” Sampai malam
jemputan itu tak pernah datang. Padahal saya
sudah siap menunggu, kapan pun mau men-
jemput. Meski dengan jantung berdebar-debar,
saya siap menanti kematian, terlebih lagi
suara-suara pembunuhan terus berdengung di
telinga.
Aneh, entah mengapa dua tentara yang
menjemput saya itu tidak pernah datang lagi.
Hari-hari kemudian saya lalui dengan hati
yang risau. Meski saya tidak lagi diinterogasi,
namun teror mental tidak pernah sirna. Bahkan
setiap hari dan sepanjang malam, saya terus
berteriak-teriak sebab mendengar rintihan
orang-orang yang sedang disiksa. Aneh juga,
sebab dari hari ke hari dan lama-lama pe-
rasaan saya menjadi kebal. Saya tidak takut
lagi dengan kematian, saya tidak takut lagi
mendengar jeritan. Anehnya lagi, seolah-olah
ada suara-suara yang memaksa saya untuk me-
nyatakan cinta kepada Budi. Saya terkesiap.
Saya menolaknya dengan tegas. Saya menjawab-
nya di dalam batin, “Lihibbuka ya Allah laa
ma’buda Illahu laa hibbu Illallah, Allahu
Akbar, Allahus Somad.” Berkali-kali saya
menegaskan, “Uhibbuka ya Allah.” Bahwa saya
lebih mencintai Allah. Setiap suara itu datang,
saya selalu melawannya. Hampir-hampir saya
kelelahan melawannya. Setiap ada suara-suara
aneh itu, saya lalu menyiram tubuh tanpa mem-
buka pakaian. Tubuh segar kembali. Namun
suara-suara itu tidak mau pergi. Saya pun ber-
perang dengan makhluk yang tak terlihat itu.
Lelahnya melawan suara-suara aneh itu
membuat fisik saya melemah. Biji mata saya
bergeser ke atas. Sampai suatu hari saya diper-
temukan dengan kakak saya, . saat
saling pandang, matanya berkaca-kaca. Diraih-
nya kepala saya dan direbahkannya di pangku-
annya. Kakak saya itu mengatakan, besok kita
akan pulang. Tapi saya tidak percaya. Saya kata-
kan, besok itu justru kita akan dibunuh. Dia tak
bisa berkata-kata lagi. Diam dan tampak sedih.
Saya terharu. Hening! Sore harinya, apa yang
dikatakan kakak saya itu benar. Kecuali Syaiful
Hadi yang kemudian disidangkan, kami semua
dipulangkan, sesudah lebih 40 hari mendekam
di sel RTM Cimanggis dengan beragam penyik-
saan dan teror.
Kami pulang namun keadaan fisik kami amat
memprihatinkan. Tubuh saya cuma tinggal tu-
lang-belulang dibalut kulit. Posisi mata saya
juga tidak normal lagi. Tiba di rumah menjelang
maghrib, tapi keluarga segera mengantar saya
ke RS Islam Jakarta di Cempaka Putih. Namun
suara-suara gaib yang pernah menghantui saya
di sel, rasanya tiak mau pergi. Telinga saya
terus-menerus masih mendengarnya. Empat
setengah bulan lamanya, saya dirawat di RS itu.
Dua dokter dengan telaten merawat saya, yaitu
seorang psikiater dr Dadang Hawari dan ahli
jiwa dr Muad. Walaupun saya sudah bebas,
namun aparat kemananan masih terus memo-
nitor saya. Saya terus dibuntuti. Ke mana pun
saya pergi dan aktivitas apa pun juga, tak lepas
dari intaian para intel. Selama satu tahun saya
terus diawasi. Sampai akhirnya saya memutus-
kan untuk pindah rumah dari Jalan Cempaka
Putih Timur No 22.
“Allah yang akan
membela saya.”
PADA peristiwa Tanjung Priok tahun 1984,
saya yaitu mahasiswa Perguruan Tinggi Dak-
wah Islam (PTDI), di Jalan Tawes Tanjung Priok.
Saya kuliah 5 hari dalam 1 minggu. Selain kuliah
di kampus, saya juga menerima pelajaran
ekstrakurikuler berupa pengajian rutin setiap
Jumat malam di masjid PTDI. Penceramahnya
yaitu dosen-dosen PTDI. Saat itu ada permo-
honan dari jamaah kepada penceramah untuk
mengisi ceramah di luar kampus. Para pence-
ramah itu memang bernada keras menentang
kebijakan pemerintah untuk azas tunggal
Pancasila dan larangan kepada siswi-siswi di
sekolah umum maupun karyawati di perusaha-
an-perusahaan untuk memakai jilbab. Mereka
juga menentang koruptor-koruptor yang meng-
habiskan uang negara dan membuat rakyat
sengsara. Kerasnya isi ceramah-ceramah terse-
but mengundang minat para jamaah untuk
selalu hadir dan mendengarkan. Pengunjungnya
bukan hanya kaum bapak, tapi juga ibu-ibu
serta kaum remaja, termasuk kami dari maha-
siswa PTDI.
Pada malam itu saya masih belajar di kam-
pus PTDI hingga jam 20.00 WIB. Dan seperti
biasanya, selesai kuliah saya bersama kawan-
kawan menuju lokasi di mana ada pengajian.
Namun malam itu saya pulang dulu ke rumah
dan dari rumah baru menuju lokasi pengajian
dengan memakai ojek sepeda. Tapi di tengah
jalan, kami berpapasan dengan tukang ojek
lain yang berjalan kencang. Ia menyuruh kami
kembali dan jangan meneruskan perjalanan.
Saat itu sayup-sayup terdengar suara tembakan
dari kejauhan. Akhirnya tukang ojek yang saya
tumpangi kembali mengantar saya pulang ke
rumah.
Pagi harinya saya pergi ke kampus PTDI.
Tanda tanya besar ada dalam pikiran saya
melihat banyaknya tank di jalanan. Baik di
Jalan Tawes samping RS Suka Mulya maupun
di samping stasiun kereta api Tanjung Priok.
Sesampai di halaman kampus sudah banyak
orang sedang menceritakan kejadian semalam
di Jalan Sindang. Tentang penembakan ter-
hadap jamaah pengajian oleh aparat. Banyak
bapak-bapak dan ibu-ibu yang mencari anak-
nya, dan banyak juga istri yang mencari suami-
nya yang belum pulang dari pengajian di Jalan
Sindang. Sampai sore orang semakin banyak.
Bersama-sama dengan mahasiswa yang akan
kuliah malam harinya kami melakukan shalat
ghaib. Selesai itu sebagian orang pulang dan
sebagian tetap tinggal di kampus.
Sejak peristiwa itu kegiatan di kampus
PTDI vakum dan saya mendengar kabar masih
ada dosen PTDI dan beberapa mahasiswa yang
sedang dicari oleh aparat. Esok siangnya, hari
Jumat 14 September saya shalat Jumat di
mesjid PTDI. Selesai shalat Jumat ada orang
membagi-bagi selebaran. sebab penasaran
saya meminta brosur itu kemudian saya pulang
ke rumah. sebab khawatir dan takut kalo saya
juga sedang dicari aparat, saya pulang ke kam-
pung halaman di Ramendongkal, Pemalang,
Jawa Tengah. Saya khawatir dan takut sebab
saya aktif mengikuti pengajian yang mengaki-
batkan terjadinya peristiwa tragis itu.
Saya berangkat pagi hari dan sampai di
kampung malam harinya. Esok siangnya saya
main ke rumah kawan sambil membawa sele-
baran ini , maksud saya agar kawan-kawan
tahu isi brosur ini . Saya sendiri belum
membaca selebaran itu sampai saat kawan-
kawan saya memfotocopynya sebanyak 15 lem-
bar. sebab sudah sore saya pamit pulang tanpa
membawa lagi selebaran itu. Saya sampai di
rumah menjelang maghrib, dan langsung ber-
siap untuk shalat maghrib. Kira-kira jam 20.00
WIB datang seseorang memakai pakaian hijau
tentara, bernama Mapi, mengajak saya ke
Koramil Radundongkal. Aparat Koramil mena-
nyakan identitas saya dan soal selebaran. Saya
menjawab sejujurnya bahwa brosur ini saya
bawa dari Jakarta dan sudah saya berikan pada
teman. Saya sendiri sudah tidak punya lagi.
sesudah itu saya dibawa ke Polsek, dan di-
tanya pertanyan yang sama. Selesai diperiksa
saya diantar pulang ke rumah. Paginya, kira-
kira jam 08.00 saya dijemput kendaraan polisi
dan dibawa ke Polres Pemalang. Di kantor
Polres saya diinterograsi selama setengah hari,
kira-kira jam 13.00 WIB saya diijinkan pulang
dan diminta datang lagi besok. Esok harinya
saya datang ke Polres lalu dibawa ke Kodim
Pemalang. Di Kodim saya diinterogasi lagi dan
disuruh mengaku bahwa saya yaitu kelompok
komando jihad. Saya tidak mau menuruti per-
mintaan itu, tapi mereka menodongkan pistol
dengan ancaman akan “dikarungi”.
Selesai diinterogasi selama sekitar 13 jam,
saya diijinkan pulang. Esok harinya saya datang
lagi ke Polres, dan diajak ke CPM untuk diin-
terogasi lagi. Selama saya diperiksa Alhamdu-
lillah tidak mengalami pukulan baik oleh polisi
maupun tentara. Hanya waktu di Polres saya
diperlihatkan orang yang sedang disiksa dan
orang yang sedang dimasukkan ke dalam
karung. Perasaan saya benar-benar terteror oleh
rasa takut melihat peristiwa itu. Selesai di-
periksa selama 7 hari saya diijinkan pulang dan
hanya disuruh melapor setiap hari.
sebab harus membantu biaya sekolah
adik-adik, saya memutuskan untuk kembali ke
Jakarta. Saya pikir pemeriksaan terhadap saya
sudah selesai. Tapi baru beberapa hari di Ja-
karta saya mendapat informasi, bahwa saya
sedang dicari-cari oleh petugas Kodim dan PM.
Saya tidak berani menemui, lalu saya pindah
tempat dan tinggal di salah satu mesjid hingga
saya merasa aman. Saya melanjutkan kuliah di
Universitas Addariyah, Jalan Mawar, Kel.
Semper, Jakarta Utara. Selama satu tahun
dalam pencarian petugas, keluarga saya, baik
yang ada di kampung maupun di Jakarta,
selalu mendapat teror. Ibu saya akhirnya jatuh
sakit dan meninggal dunia. sebab merasa
telah aman, menjelang lebaran 1985, saya
pulang kampung. sesudah beberapa hari saya
istirahat di kampung, mushola kami mengada-
kan pengajian yang diselengarakan malam hari.
Saya diundang dan diberi waktu untuk mem-
berikan mauizoh hasanah (ceramah) sesudah
pengajian selesai.
Seusai pengajian, saya pulang ke rumah.
Anak-anak di rumah sudah tidur. Lalu kira-kira
jam 24.00, ada 2 orang datang mengetuk pintu,
dan masuk ke rumah. Mereka mengatakan saya
dipanggil ke Koramil tanpa memberikan surat
panggilan. Saya bilang, “Sebentar Pak, saya
ganti baju dulu.” Mereka menjawab, “Tidak
usah, cuma sebentar Pak.” Dan ternyata di luar
sudah ada mobil menunggu, mereka menyuruh
saya naik ke mobil itu.
Kira-kira 30 menit, mobil sampai di Polsek
Pemalang dan saya disuruh istirahat di dalam
sel berukuran 1/2 x 4 m, yang gelap sebab
tanpa penerangan. Paginya saya bangun lalu
mandi dan makan. Selesai makan, saya dibawa
ke Kejaksaan Negeri Pemalang, diperiksa se-
bentar lalu dibawa ke Rutan. Dan jadilah saya
sebagai penghuni rutan, menempati sel yang
cukup luas berukuran sekitar 6 x 7 m. Di sel
atau kamar itu sudah ada 5 orang lain yang
menghuninya. Kami dijatah makan 3x sehari.
Perasaan saya mulai kacau, saya merasa sia-sia
bersembunyi selama satu tahun. Berbagai pi-
kiran berkecamuk di kepala saya, sementara hati
saya dicengkeram ketakutan yang membuat
saya akhirnya tak bisa berpikir apa-apa lagi.
Selama satu bulan lebih saya menjalani
kehidupaan sebagai seorang tahanan. Bangun
jam 04.00 lalu shalat shubuh, senam, mandi,
dan menunggu jatah makan pagi. Balik ke sel
lagi, menunggu jatah makan siang dan melaku-
kan kegiatan di halaman rutan, lalu masuk ke
sel lagi sampai esok hari tiba dan kembali me-
lakukan hal yang sama. Saya baru dapat pang-
gilan sidang di Pengadilan Negeri Pemalang
sesudah hampir dua bulan di penjara.
Dalam sidang pertama dibacakan dakwaan,
dan Hakim bertanya,
“Apakah saudara ada pembela?”
“Tidak ada,” jawab saya.
“Apakah Saudara perlu pembela?”
“Tidak usah,” jawab saya lagi.
“Mengapa tidak mau didampingi penga-
cara?” tanya Hakim.
“Saya khawatir menjadi beban keluarga,
sebab keluarga saya kurang mampu,” jawab
saya.
“Lalu siapa yang akan mendampingi Sau-
dara?”
“Allah yang akan mendampingi dan mem-
bela saya,” jawab saya lagi.
Pada sidang kedua, saya dituduh menghasut
pemerintah dalam perkara subversif dengan
ancaman hukuman seumur hidup. Sidang
selanjutnya, saya diancam dengan hukuman 15
tahun penjara. Semuanya kurang lebih 7x
sidang. Dalam sidang terakhir saya divonis
hukuman 6 tahun penjara potong masa tahanan.
sesudah kira-kira 1 tahun di Rutan Pemalang,
saya dipindahkan dengan tangan dirantai ke
LP Pekalongan yang cukup luas. Di sana banyak
kegiatan sehingga waktu berlalu tanpa terasa.
Setiap tanggal 17 Agustus, saya mendapat remisi
sehingga saya hanya menjalani hukuman 4 1/2
tahun penjara. Pada tanggal 4 September 1988
saya dibebaskan.
Sejak itu saya bisa menghirup udara bebas,
namun hidup terasa asing sebab dikucilkan
oleh warga . Saya diangap sampah masya-
rakat, tidak bisa lagi beraktivitas sebagaimana
sebelum kena perkara. Gerak-gerik saya selalu
ada yang mengawasi dan selalu dicurigai. Susah
cari kerjaan. Tapi kami tidak putus asa, selalu
berdoa dan berusaha untuk mencari keadilan.
Hanya itu yang bisa saya lakukan.
“Shalat Cuma
Bercelana Dalam.”
SAMPAI malam di hari Rabu yang tragis,
12 September 1984 itu, saya masih bekerja di
Pelabuhan Tanjung Priok. Saya bekerja di PT.
Tiga Saudara Simpang VI di Kebon Bawang. Bos
saya bernama Bapak H. Mas’ud, orang Madura.
Kepala operasionalnya Bapak Iwan, juga orang
Madura. Biasanya saya bekerja di Pos E GD 112,
namun pada hari itu kantor tempat saya bekerja
mendapat order dari PT. Tanjung milik Bapak
Kola. Saya pun diperintahkan meluncur ke kapal
KM Sawu. Saya mengendarai forklift Toyota 3,5
ton. Panasnya hawa di pelabuhan, seperti hari-
hari sebelumnya, membuat keringat terus-me-
nerus mengucur. Sepanjang hari, saya terus
bekerja. Pekerjaan baru rampung pukul 23.00
WIB. namun , sebab lampu forklift mati saya
meninggalkannya di sekitar Gudang 112-113.
sebab , bila saya paksakan membawanya tentu
amat membahayakan bila berjalan malam hari.
Saya berjalan kaki melalui Pos IV, sesudah surat
(SPR) saya ditandatangani pemakai.
Saya teruskan berjalan ke Terminal Tanjung
Priok, yang tak jauh dari pos itu. Di terminal
itulah saya melihat masih ada Metromini ju-
rusan Pulogadung. Rencananya saya akan
turun di halte Pool (Plumpang B) di Jalan Yos
Sudarso (By Pass). Ingin sekali segera beristi-
rahat di rumah kontrakan, sesudah bekerja
seharian dengan bermandi peluh. Namun baru
1 kilometer Metromini bertolak dari terminal,
tepatnya di Pertigaan Mambo, Metromini tak
bisa berbelok ke kanan untuk memasuki By
Pass. Sebab, pertigaan itu diblokir. Ada tum-
pukan bambu, dahan-dahan dan daun-daun
pohon, serta kursi. Akibatnya Metromini tak
bisa menerobos sebab terhalang. Saya dan
penumpang lain akhirnya diturunkan di perti-
gaan itu. Saya tidak tahu, gerangan apa yang
terjadi? Mengapa ada tumpukan bambu, dahan,
kursi yang menghalangi di jalan itu? Dari kon-
dekturlah baru saya tahu ada huru-hara se-
hingga perjalanan tidak bisa dilanjutkan.
Namun saya memutuskan untuk melanjut-
kan dengan berjalan kaki saja. Dari tempat itu
ke Pool cukup lumayan, kira-kira 4-5 kilome-
ter. Saya dan beberapa orang akhirnya berjalan
ke arah selatan memasuki Jalan Yos Sudarso.
Baru saja saya melangkah, mungkin baru be-
lasan langkah, sesampainya di Jembatan Bun-
tung, saya mendengar suara tembakan dari arah
depan di keremangan malam. Letusan senjata
api itu kontan membuat saya dan orang-orang
lain yang berjalan beriringan itu berhamburan
kocar-kacir. Yang terbayang cuma bagaimana
segera menyelamatkan diri. Kami berlarian
hingga ke gang-gang. Saya bersama beberapa
orang akhirnya bersembunyi di kolong jembatan
itu. Kami semua terdiam. Padahal kolong jem-
batan itu begitu gelap. Belum lagi tumpukan
sampah berserakan di sekelilingnya yang me-
nebarkan aroma tak sedap yang menyengat di
hidung. Di permukaannya juga begitu banyak
tanaman eceng gondok, nyaris menutupi per-
mukaan Kali Sunter.
Akan namun suasana seperti hampir tak ter-
perhatikan. sebab yang membuat kami se-
mua terdiam yaitu letusan senjata api yang
tidak henti-hentinya. Terdengar begitu dekat.
Perasaan takut, ngeri, bercampur penasaran
bergolak di dalam hati. Hati saya seakan
diaduk-aduk. Saya dan orang lain bersembunyi
di kolong jembatan sekitar tiga jam. sesudah
tiga jam itu, mungkin sebab merasa sudah
aman, atau mungkin pula merasa penasaran,
saya keluar bersama seseorang yang bernama
Abas. Saya menyusuri sisi jembatan. Begitu ada
di atas jembatan, saya dan Abas berjalan ke
arah selatan. Lampu-lampu jalan mati. Malam
itu begitu gelap. Apalagi di sepanjang Jalan Yos
Sudarso itu banyak ditumbuhi pohon-pohon
rimbun, membuat malam semakin begitu gulita.
Menolong Orang Malah Ditembak
Pelan-pelan kami berjalan dengan pera-
saan cemas. Saya melewati mulut Jalan Lorong
Fort Barat, lalu mulut Jalan Lorong 100 Barat.
Begitu di mulut Jalan Lorong 101 Barat, saya
berbelok memasuki jalan itu. Baru sekitar 100
meter saya melangkah, saya mendengar ada
suara rintihan. Saya terhenyak. Di dalam gelap
itu, saya melihat ada sesosok lunglai terkapar
di pinggir got. Saya tidak memeriksanya secara
teliti sebab memang gelap, namun saya bisa
memastikan orang itu terkena tembakan. Ka-
rena, saya sempat melihat di bawah dagunya,
ada darah mengucur.
sebab kondisi orang itu luka dan lemah
sekali, saya ingin membawanya ke RS Santo
Yosep di Jalan Ganggeng. Saya dan Abas segera
mengangkatnya. Namun saat kami baru me-
mapahnya sejauh 10 meter, terdengar suara
tembakan di belakang kami, sekaligus teriakan,
“Jangan bergerak!”. Entah mengapa, teriakan
itu tak membuat nyali kami bergetar. Kami
malah melangkah lebih cepat memapah orang
yang terluka itu. Saya tidak lagi mendengar
suara orang berteriak atau menghardik di bela-
kang. Yang terdengar cuma suara letusan sen-
jata api. Tiba-tiba saya tak dapat berjalan lagi.
Kaki saya terasa panas dan perih. Ah, rupanya
kaki saya terkena peluru. Saya pun tak berdaya.
Hanya dalam hitungan detik, saya melihat dua
orang berseragam hijau mengambil paksa
orang yang kami papah itu. Orang yang terluka
itu diseret dengan kasar. Kami benar-benar tak
berdaya untuk menghalangi cengkerangan
tangan-tangan dua tentara itu. Sayang, saya
tidak bisa melihat dengan jelas identitas dan
wajah-wajah dua serdadu itu, sebab gelap.
Dengan menahan rasa sakit, saya bergegas
melangkahkan kaki ke arah barat, semakin
masuk ke dalam jalan itu. Melangkah tertatih-
tatih beberapa puluh meter, sampai di persim-
pangan tiba-tiba ada yang berteriak “tunggu!”.
Saya langsung mencari arah suara. Saya melihat
ada beberapa orang bercelana loreng dan ber-
kaos 06 panjang warna hijau. Ternyata mereka
yaitu tentara. Saya dan Abas diperiksa. Ten-
tara-tentara itu menyenter kami. Mereka me-
nyenteri kami dari ujung rambut sampai kaki.
Tak ada yang terlewatkan. Nyala senter ber-
henti tepat di baju dan celana. sebab , di baju
dan celana itulah, terlihat ada bercak darah.
Tanpa bertanya lagi, para tentara itu mengikat
kami berdua. Jempol kami diikat dengan tali
plastik. Selanjutnya kami dibawa berjalan 15
meter. Di tempat itu, sudah ada truk besar
berwarna hijau tua beratapkan terpal. Dengan
kasarnya, tentara-tentara itu melemparkan
kami ke atas truk. Ternyata di dalam truk itu
sudah ada beberapa orang. Saya sempat meli-
hat ada juga orang yang membawa radio kaset.
namun saya tidak tahu, siapa dia? Aparat atau
korbankah, saya tak berani bertanya. Tak lama
truk meluncur. Saya rasa kami dibawa ke mar-
kas Arhanudse. Truk sempat berhenti setengah
jam sebelum akhirnya bergerak kembali. Sete-
lah melewati jalan-jalan di kawasan Tanjung
Priok, truk kemudian berhenti.
Rupanya kami dibawa ke Kodim 0502 di
kawasan Sunter. Kami diturunkan satu per satu.
Kira-kira 20 orang. Semuanya dijejerkan. Ten-
tara-tentara itu seakan tidak peduli dan tanpa
belas kasihan dengan kondisi kami. Mereka
langsung menginterogasi kami. “Mana yang
mau jadi menteri?” tanya mereka. Tak ada ja-
waban yang meluncur dari mulut kami. sebab ,
memang tidak ada yang berniat menjadi men-
teri. Justru tentara-tentara itulah yang men-
jawabnya sendiri sambil mengayunkan tangan
ke pipi kami. “Ini ya?” tuduh mereka. sesudah
menginterogasi kami, mereka melucuti pakaian
yang melekat di tubuh kami. Padahal pada dini
hari itu, angin malam cukup dingin. Kami dije-
bloskan ke dalam sel gelap berukuran 2 x 4
meter. Malam itu hari sudah berganti. Sekarang
sudah tanggal 13 September 1984. Pagi hari
kira-kira pukul 06.00 WIB kami dikeluarkan
dengan tangan terikat ke depan dengan tali
plastik rapia.
Hari masih pagi. Kami digiring ke bagian
tengah lingkungan Kodim. Di bagian tengah itu
ada banyak batu-batu kerikil. Di tempat
itulah kami menjadi pelampiasan keganasan
para tentara. Kami disiksa. Kami semua disuruh
berguling-guling di atas kerikil seraya dipukuli
dengan gagang senjata laras panjang. Keke-
jaman mereka tak hanya sampai di situ. Kami
diinjak-injak seperti menginjak kotoran. Kami
disiksa tanpa henti. Penyiksaan berlangsung
sampai 18 jam. Baru pukul 00.00 WIB, tentara-
tentara itu berhenti menyiksa kami. Selama itu
pula kami tak diberi minum air setetes pun,
apalagi sesuap makanan. Kerongkongan terasa
begitu kering, perut terasa begitu kosong. Muka
kami bengkak-bengkak. Sakitnya di sekujur
tubuh seakan tak terperihkan lagi. Sebagai
manusia, kami merasa tidak mungkin lagi
hidup. namun Alhamdulillah, Allah masih me-
lindungi kami. Meski disiksa seharian sampai
malam tanpa diberi minum dan makan, kami
masih diberi kekuatan untuk hidup, kami
diberi semangat untuk hidup.
Pada dini hari tanggal 14 September itu,
sesudah disiksa habis-habisan, kami semua
dinaikkan ke truk militer yang terus meluncur
ke Markas Pomdam Jaya di Guntur, di kawasan
Pasar Rumput. Ibarat keluar dari mulut buaya
masuk ke mulut harimau, di Guntur itu kami
kembali disiksa, dijadikan sansak hidup. Se-
pertinya tahanan peristiwa Tanjung Priok itu
diperlakukan seperti binatang, sama sekali tak
ada rasa perikemanusian. Mereka juga melu-
cuti pakaian kami. Mereka benar-benar hampir
menelanjangi kami. Yang tersisa di tubuh kami
cuma celana dalam. Dalam kondisi seperti itu-
lah, mereka menyiksa kami sesuka hati. Kami
tak berdaya. Tiada tenaga untuk melawan. Yang
paling jelas, ketakutan menyelimuti kami.
sesudah disiksa kira-kira dua jam, kami dima-
sukkan ke sel, kali ini ukuran agak luas kira-
kira 10 x 4 meter. namun di sel itu ada lebih 100
tahanan. Sel seluas 40 meter persegi itu pun
penuh sesak. Kami dikurung seperti pindang.
Meski dalam kondisi yang amat mengenas-
kan, namun kami masih ingat Allah. Kami
melaksanakan shalat berjamaah dalam keadaan
darurat. Kami cuma punya niat untuk berdia-
log dengan Allah meski hanya memakai celana
dalam. Tak ada air untuk berwudhu, kami pun
bertayamum. Esok harinya kami kembali di-
keluarkan dari sel. Bukannya keadaan yang
lebih baik yang kami terima, namun penyiksaan
kembali kami rasakan. Ya Allah, lagi-lagi kami
disiksa. Rasanya saya ingin bunuh diri saja
agar penderitaan berakhir. Keinginan itu sem-
pat terlintas dalam hati saya. Begitu juga yang
lainnya. Untunglah kami masih punya kete-
guhan iman. Tak mudah goyah meski dengan
siksaan yang luar biasa menyakitkan dan meng-
hinakan itu. Kami hanya sanggup mengucap
istighfar dan memohon kepada Allah agar derita
itu cepat berakhir.
Selama ditahan di Guntur, tiada hari tanpa
penyiksaan. Hari-hari terasa panjang, melelah-
kan, dan amat menyakitkan. Selama 19 hari, saya
dan tahanan lainnya dihantui ketakutan. Yang
bisa lakukan cuma berdoa. Bibir kami seakan
tak henti-hentinya bergetar memanjatkan doa.
Saya merasakan Allah menjawab doa kami ke-
tika pada hari ke-20, kami dibawa ke Cimanggis
(RTM). Ruang sel lumayan bersih, tempat tidur-
nya dilipat (velbed). Saya dimasukkan ke dalam
sel bersama tiga orang lainnya, yaitu Zainal,
Tarmizi, dan Sulaiman. Semuanya asal Sumbar.
Hanya saya yang berasal dari Jawa Barat.
Proses satu per satu tahanan baru berlang-
sung selepas 20 hari dikurung di Cimanggis.
sesudah sebulan di Cimanggis, suatu Jumat dini
hari sekitar pukul 02.00 WIB, saya dipanggil
penjaga. Malam itu saya merasa ada yang ganjil.
Mereka memberi saya makan di kantin. Mereka
juga menyuruh saya tidur di ruang piket. Malam
itu saya merasakan sesuatu yang lain yang se-
harusnya saya bisa nikmati. Namun, malam itu
saya sama sekali tidak bisa tidur sampai pagi.
Hati saya bertanya-tanya ada apa? Rasa senang
yang seharusnya bisa saya rasakan ternyata
kalah oleh rasa takut yang terus menghantui
saya. Pagi harinya saya disuruh mengepel. Usai
ngepel, saya disuruh berolahraga. Lantas saya
disuruh membabat rumput. Saat matahari ber-
ada tepat di atas kepala, pukul 11.40 WIB saya
diajak ke mesjid untuk Shalat Jumat. sesudah
Jumatan, saya pergi ke kantin untuk makan.
sesudah mengisi perut, saya dipanggil ke
kantor. Di kantor itulah saya disodori 3 helai
kertas. Kertas-kertas itu berisi banyak pernya-
taan yang harus dijawab, dan harus ditanda-
tangani. Mereka mengancam. Jika saya tidak
menandatanganinya maka saya tak akan dibe-
baskan. Tanpa ada pilihan lain, maka saya ter-
paksa menandatangani. Berikutnya saya diantar
dengan jip warna hijau menuju Kodim 0502
Jakarta Utara. Saya tiba di Kodim malam hari
kira-kira jam 21.00 WIB. Dari situ, saya disuruh
pulang. Saya ingat, saya diberi ongkos Rp 1.500,-
Saya Dikira Hantu
Saya melangkah keluar Kodim, tempat yang
amat menakutkan. Rasanya ingin cepat-cepat
meninggalkan tempat itu. Saya ingin kembali
ke rumah yang saya tinggalkan sekitar dua bulan
yang lalu. Dalam perjalanan menuju rumah di
Pool Plumpang, saya melewati kantor RW di
Gang Dadali. namun saya sangat terkejut saat
anak-anak muda berlarian ketakutan saat
melihat saya. Di perbatasan antara RT 01 dan
RT 02 saya melihat beberapa sesepuh masya-
rakat, di antaranya Ustadz Rofi, H. Suminta
dan H. Cecep, dan Om Edy. namun mereka ter-
bengong-bengong melihat kedatangan saya. H.
Suminta bertanya, “Raharja ya?” H. Suminta
seolah-olah tak percaya. Dia bertanya berulang.
saat saya jawab, “Iya”, mereka masih terlihat
ragu-ragu.
Ternyata selama ini saya sudah dianggap
meninggal dunia dalam peristiwa tanggal 12
September 1984 itu. Bahkan setiap malam
Jumat di Mushola Baiturrohim dibacakan
Surat Yaasin bersama-sama selama 40 hari.
Jadi saya dikira hantu. Keesokan harinya rumah
saya ramai. Banyak orang berdatangan untuk
menanyakan anak-anak dan suaminya yang
sampai hari itu tidak pernah diketahui kabar-
nya. Meski ingatan saya masih normal, namun
penyiksaan di markas tentara itu meninggalkan
trauma. Kepada mereka, saya anjurkan untuk
membawa foto beberapa orang yang saya kenal
di Cimanggis. Di antaranya yang masih saya
ingat betul yaitu Safe’i Marulloh, Yudi Wah-
yudi, Ali Sadikin, dan Abas Rifa’i. Masih banyak
yang lainnya namun saya sudah kurang ingat.
Saya menganjurkan agar mereka mencari ke
Guntur.
Hari-hari awal kembali ke rumah meng-
hadirkan suasana hati yang amat lain. Meski
bayangan dan trauma penyiksaan selama dua
bulan di markas tentara itu tak mampu saya
hapus, namun saya berusaha hidup normal. Saya
ingin kembali merajut kehidupan yang pernah
hilang dirampas tentara, saat saya ditangkap
dan dijebloskan ke dalam sel. Hidup di dalam
kurungan itu amat menyakitkan, dan mening-
galkan luka amat mendalam. Hati serasa han-
cur berkeping-keping. Tubuh bonyok dan sakit
luar biasa. namun saya seakan kehilangan suara
sehingga jangankan untuk berteriak, untuk
berkata-kata saja mulut saya terasa terkunci.
Batin pun tak punya daya.
Harapan saya untuk hidup kembali seperti
sebelum meletusnya peristiwa Tanjung Priok
itu lenyap sesaat . sebab tahu-tahu, saya
dipecat dari PT. Tiga Saudara tanpa pesangon.
Runyamnya lagi, PT. Tiga Saudara minta ganti
rugi kepada saya, sebab unit forkliftnya yang
saya bawa ke pelabuhan tidak bisa dioperasi-
kan. Surat-surat kendaraan, seperti STNK dan
juga surat tagihannya tidak ada. Surat-surat itu
hilang entah di mana saat saya ditangkap.
Namun saya berusaha mencarinya. Saya pun
mendatangi dan mencarinya di Kodim 0502,
sebab saya ingat aparat keamanan membuka
paksa pakaian saya di markas itu.
Namun bukan perkara gampang untuk men-
cari surat-surat yang mungkin tidak penting
buat mereka, namun buat saya amat berharga.
Saya tidak menemukan surat-surat itu. Untung-
lah komandan jaga merasa kasihan kepada
saya. Dia kemudian menitipkan surat di dalam
amplop yang tidak saya ketahui isinya. Surat
itu ditujukan kepada kepada PT. Tiga Saudara.
Saya datang kembali ke PT. Tiga Saudara. Saya
berikan surat itu kepada bos PT. Tiga saudara,
H Mas’ud. sesudah menerima surat itu, H Mas’ud
sepertinya merasa ketakutan. Entah apa yang
tertulis di dalam surat itu, namun saya akhirnya
diterima kembali bekerja oleh H. Mas’ud. Tentu
saja saya senang bisa bekerja seperti dulu.
namun kegembiraan itu cuma sehari. Sebab,
baru satu hari bekerja badan saya terasa linu di
sekujur persendian. Penyiksaan yang saya terima
di Guntur membuat tubuh saya terasa teramat
sakit. sebab kondisi seperti itu, saya merasa
tak kuat lagi bekerja. Saya sadar bahwa kondisi
saya itu akan merepotkan banyak orang dan
bisa menjadi beban kantor. Akhirnya saya me-
milih untuk mengundurkan diri dari PT. Tiga
Saudara. Saya diberi uang Rp 300.000,-.
Dengan kondisi seperti itu, saya mengajak istri
dan satu anak saya untuk pulang ke Karawang.
Di kampung, saya tergolek di rumah. Setiap
malam ibu saya menempelkan beras kencur
dan jahe selama hampir satu bulan. Lama-lama
badan saya agak mendingan. sesudah badan
mulai merasa sehat, saya kembali ke Jakarta,
ke Tanjung Priok. Dari hari ke hari saya berke-
liling mencari pekerjaan. Namun, saya tak
kunjung mendapatkan kerja. sebab , hampir
seluruh rental forklift di Tanjung Priok menge-
tahui keadaan saya yang dianggap terlibat peris-
tiwa 12 September 1984 itu. Mungkin mereka
merasa takut jika harus menerima saya bekerja.
Sekitar lima tahun saya luntang-lantung, tanpa
pekerjaan yang jelas. Baru kira-kira tahun 1989,
saya dapat pekerjaan tetap di Tangerang.
Bertahun-tahun kenangan pahit peristiwa
12 September 1984 sulit terhapus dari ingatan.
Bertahun-tahun pula kasus itu seakan tak
berbekas. Tidak ada penuntasan kasus itu. Para
korban, seperti saya, seakan hilang di tengah-
tengah warga . Tidak ada yang memberikan
perhatian, terutama negara. Kami seakan men-
jadi orang buangan, bahkan mungkin sampah
warga . Tiada yang peduli dengan nasib
kami. Sampai terjadinya reformasi yang me-
numbangkan rezim Soeharto, pada 5 Oktober
1998 tepat di Hari ABRI (TNI), saya berangkat
ke markas Yayasan 12 September 84 di Kebon
Bawang, di rumah almarhum Amir Biki. Yayasan
itu dipimpin janda almarhum, Ibu Dewi Wardah.
Di situlah saya diinterviu dengan detail dan
teliti. Sebagai salah satu korban Tanjung Priok,
saya menjadi anggota yayasan yang kala itu
baru punya anggota 20 orang. Pada saat itu pula
saya diberi pengarahan strategis perjalanan
peristiwa Tanjung Priok yang sangat memilu-
kan oleh Saudara Asep Saripudin dan Saudara
Irta Sumitra.
Saya mulai bergaul dengan para korban tra-
gedi itu. Pelan-pelan saya mempelajari kasus
demi kasus sampai akhirnya saya bisa mema-
haminya. Yang lebih mengesankan, semangat
saya bersama rekan-rekan yang lain sangat luar
biasa. Kami tidak mengenal lelah, walau pulang
sampai larut malam dari markas yayasan. Ibu
Dewi Wardah membagi kami ke dalam beberapa
kelompok yang terdiri dari 2 hingga 4 orang.
Tugasnya yaitu mencari para korban dan
keluarga korban Tanjung Priok, atau siapa pun
yang memiliki kaitan dengan peristiwa tragis
itu. Alhasil titik terang mulai tampak. Para kor-
ban mulai berdatangan, bahkan warga dan
mahasiswa ikut peduli pada perjuangan kami.
sesudah bertahun-tahun lenyap ditelan sejarah,
peristiwa Tanjung Priok akhirnya menjadi
buah bibir. Peristiwa tragis itu menjadi berita
hangat di koran-koran, majalah, tabloid, dan
televisi. Peristiwa itu akhirnya membuka mata
warga di mana pun juga.
Dari hari ke hari, para korban tragedi itu
semakin bertambah. sebab sependeritaan,
kekuatan kami semakin solid. Mulailah muncul
bantuan dari donatur yang sangat peduli pada
perjuangan kami. Kami juga semakin getol
melakukan perjuangan, mulai melakukan rapat-
rapat di mesjid, hotel, dan tempat pertemuan
lainnya. Bukan hanya kami yang hadir, sejum-
lah intelektual, tokoh warga , dan tokoh
agama ikut hadir dalam rapat-rapat kami.
Bahkan Yayasan 12 September 84 juga didam-
pingi oleh API (Asosiasi Pembela Islam) yang
diketuai Bapak Hamdan Zoelva.
Untuk memperjuangkan nasib para korban
Tanjung Priok, kami terus bergerak. Kami
melakukan aksi-aksi ke DPR dan Komnas HAM.
Kami menuntut penuntasan kasus Tanjung
Priok. Selain itu pada tahun 1998 itu, dengan
dibantu mahasiswa dan perguruan tinggi, kami
bisa menyiapkan peringatan 14 tahun tragedi
Tanjung Priok. Berkat kegigihan para korban
dan dorongan dari semua pihak, terbentuklah
KPP HAM. Komnas HAM memanggil para kor-
ban untuk memberi kesaksian. Selama kira-kira
satu bulan setengah, kami para korban berda-
tangan ke Komnas HAM untuk bersaksi. Tentu
saja kami sangat berharap. Kami berharap tra-
gedi Tanjung Priok akan tuntas. Kami berdoa
agar kebenaran sungguh-sungguh terungkap.
Mencari Kuburan Korban
Namun, hampir dua bulan kami menunggu
aksi lanjutan KPP HAM, ternyata tak ada
kabarnya. Para korban kembali gundah. Kami
kembali mendemo KPP HAM. Kami hampir
kehilangan semangat, sebab perjuangan kami
kandas. Komnas HAM menyatakan, kalau
belum cukup fakta dan bukti maka para ter-
sangka kasus itu belum bisa diumumkan.
Untunglah kami tidak patah semangat. Kega-
galan itu justru membuat kami bekerja lebih
keras lagi untuk menemukan fakta atau bukti.
Para korban bekerja tanpa henti.
Kami disebar seperti intelejen untuk men-
cari pemakaman-pemakaman, baik pemakaman
umum maupun pemakaman keluarga. Usaha
tanpa henti itu membuahkan hasil. Alhamdu-
lillah penjaga tempat pemakaman umum (TPU)
Mengkok Sukapura, Cilincing, yaitu Bapak
Kemis dan Bapak Salim mau memberikan
kesaksian. Menurut kedua penjaga makam itu,
ada delapan korban tragedi itu dimakamkan
dalam tiga makam (lubang) pada tanggal 13
September 1984 oleh ratusan tentara. Ada 7
nama yang masih tertera, yaitu Tukimin SP,
Romli, Adi Samsu, Kasmoro, Zainal, Ramlan,
dan Abu Samah.
Pada 7 Desember 1998, KPP HAM yang
dipimpin Koesparmono Irsan dan tim dokter
serta kriminolog dari UI meninjau lokasi di
TPU Mengkok. Mulanya ada beberapa warga
yang tidak berkenan terhadap penggalian
makam-makam itu sehingga sempat terjadi
ketegangan, namun kami juga mendapat ban-
tuan dari pihak-pihak lain sehingga penggalian
itu bisa dilakukan. Tanggal 12 Desember 1998,
penggalian makam-makam itu selesai. Saya
dan kemudian membawa tulang-
belulang ini ke RS Cipto Mangunkusumo
(RSCM).
Kerangka di Mengkok itu diteliti oleh tim
forensik RSCM. Ternyata tulang-belulang itu
benar merupakan korban peristiwa Tanjung
Priok, terutama dilihat dari umur yang berusia
14 tahun dan luka akibat tembakan. Selesai
pemeriksaan, kerangka ini dimakamkan
di tempat pemakaman umum Budi Dharma,
Cilincing. Namun satu kerangka atas nama
Bachtiar ditunda pemakamannya. Kerangka
Bachtiar itu dibawa berkeliling ke DPR, lalu
Istana Negara, dan berakhir di kantor Gubernur
di Jalan Medan Merdeka Selatan.
sesudah menemukan makam-makam itu,
kami tak berhenti. Pada tangal 3 Desember
1998, kami menemukan lagi satu makam tidak
dikenal di Kramat Ganceng. Informasi itu kami
dapatkan dari Lurah Keramat Ganceng. Untuk
menemukan makam itu pun perlu kerja keras
dan berliku. Kami sadar bahwa tidak mudah
menemukan makam-makam korban Tanjung
Priok, kami pun memasang siasat. Saya ber-
sama empat korban lainnya pura-pura ingin
membeli tanah. Kami tahu bahwa Pak Lurah
juga makelar tanah, kami pun mendatanginya.
Sampai akhirnya kami melakukan survei di
tanah pemakaman.
Meski beberapa titik terang telah terungkap,
namun kami tidak berhenti mencari kemung-
kinan makam-makam lainnya. Ternyata, kami
mendapat kabar yang amat penting bahwa di
pemakaman itu ada kuburan masalah korban
Tanjung Priok. Sebetulnya kabar itu masuk akal.
sebab , menurut Lurah Marsudi, pada malam
kejadian 12 September 1984 pukul 21.00 WIB
sekitar 300 personil ABRI sibuk mengamankan
lokasi pemakaman. Padahal peristiwa penem-
bakan terjadi pada pukul 23.00 WIB. Semakin
kuat dugaan bahwa memang telah ada peren-
canaan pembunuhan massal bagi jamaah pada
malam itu. Namun sayangnya, Ketua Tim KPP
HAM enggan untuk mencari kuburan massal
itu. Seperti halnya di pemakaman Kramat
Ganceng itu, KPP HAM juga enggan menindak-
lanjuti informasi adanya kuburan massal di
Condet. KPP HAM merasa keberatan dengan
alasan penggalian itu dapat mengganggu
makam-makam lain sebab sudah tertindih.
Saya dan teman-teman berpikir betapa sulitnya
menelusuri jejak-jejak korban Tanjung Priok
itu. Kami berpikir, dengan cara apa lagi semua
kebenaran atas tragedi itu dapat dibuka, jika
informasi yang diberikan pun diabaikan oleh
orang-orang yang bertanggung jawab untuk
melakukan penyelidikan.
Semangat kami untuk terus berjuang me-
nuntut keadilan, tidak pernah padam. Meski
kinerja KPP HAM membuat kami kecewa, tetap
saja kami tak patah harapan. Bahkan para kor-
ban dan keluarganya membangun tenda kepri-
hatinan di Komnas HAM di Jalan Latuharhary,
Menteng, Jakarta Pusat. Kami bergiliran me-
nginap di tenda itu berhari-hari. Kami saling
memberi informasi satu dengan lainnya. Akhir-
nya KPP HAM memanggil para pihak-pihak
yang dianggap bertanggung jawab terhadap
tragedi Tanjung Priok, di antaranya Try Sutrisno,
mantan Pangdam Jaya, dan LB Murdani, man-
tan Pangab. Saat itulah kami menyaksikan lang-
sung para pelaku yang bertanggung jawab atas
derita yang selama ini membebani kami. Kami
melihat Try Sutrisno dengan wajah memerah
tampak grogi. Kami juga melihat Beny Murdani
yang hadir dalam keadaan sakit akibat terse-
rang stroke. Hampir menginjak tahun 2000
KPP HAM baru resmi mengumumkan para
pelaku.
sesudah berkas diserahkan ke Kejaksaan
Agung, sekitar setahun lamanya berkas itu
mengendap. Saat itulah, korban mulai tidak
sabar dan frustrasi. Beberapa korban dan kelu-
arga mulai kasak-kusuk menjual nama korban,
kemudian terjadi saling fitnah. Hal itulah yang
dimanfaatkan pihak militer. Dengan cara-cara
lama, mereka berhasil mengadu domba sesama
para korban. Puncaknya saat Ketua Yayasan
12 September 84 Dewi Wardah diganti oleh
Sofwan Sulaeman yang membuka kantor di
rumahnya Gang 4 Cilincing. Di sanalah keri-
butan sering terjadi hanya gara-gara uang dan
materi. Kemudian Beny Biki, adik kandung
almarhum Amir Biki mencoba menyelamatkan
perseteruan antara Sofwan dan Syarifudin
Rambe cs dengan Dewi Wardah cs.
Syarifudin Rambe cs terus bergerilya dengan
iming-iming uang kepada para korban. Maka
tejadilah islah pada 1 Maret 2001 di Mesjid
Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Islah
ini merupakan kesepakatan antara korban dan
pelaku untuk melakukan perdamaian. Selanjut-
nya nama Yayasan 12 September 84 diganti
menjadi Yayasan Bunga Bangsa oleh Jenderal
(purn) Try Sutrisno. Yayasan itu bermarkas di
Jalan Lorong 101 Timur di rumah Nasrun.
Sementara kelompok kami tetap mendesak
Kejaksaan dan DPR untuk melakukan penyi-
dikan. saat tiba saat pemeriksaan saksi, Beny
Biki membawa para korban untuk memberi-
kan kesaksian dibantu Kontras. namun , saat itu
kami selalu dihalang-halangi oleh mereka yang
menamakan diri Tim 7. Akibatnya, banyak kor-
ban yang tidak bisa memberikan kesaksiannya.
Meski begitu, terbentuklah pengadilan HAM
Ad Hoc pada September 2003 di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Tapi tetap saja militer
masih terus berupaya untuk mempengaruhi
saksi atau para korban. Dengan iming-iming
uang dan puluhan sepeda motor dan mobil. Asal
mereka memberikan kesaksian palsu, atau bila
perlu mencabut BAP di Kejaksaan Agung.
Berpikirlah dengan Jernih!
Mengingat masa lalu walau sedikit saja,
kadang saya merasa bodoh. Kok tega-teganya
militer memperlakukan kami seperti binatang
yang najis dan menjijikkan. Saya tidak bisa
melupakan hari-hari penuh penyiksaan di mana
tangan diikat seperti sapi yang hendak dipo-
tong. Saya sulit menghapus ingatan saat saya
ditelanjangi dan cuma pakai cawat, tanpa baju
pelindung. Padahal sel begitu pengap, lembab,
dan dingin. Terlebih lagi mereka membiarkan
kami dengan aurat terbuka saat berdialog
dengan Allah. Betapa sakitnya saat benda
apapun juga yang ada di tangan tentara, selalu
diayunkan ke seluruh tubuh, dari ujung jari
kaki sampai kepala. Padahal kita yaitu ciptaan
Allah, makhluk yang paling mulia. Bukan kuda
yang sering dicambuk oleh kusirnya. Siapa
bilang mereka lebih baik? Pedih rasanya meng-
ingat berjam-jam tidak diberi makan selama di
Guntur, padahal penyiksaan tidak pernah ber-
henti. Bayangkanlah, makanan baru diberi
pada jam 19.00 WIB. Itu pun dilempar seperti
memberi makan hewan. Cuma makanan yang
dibungkus daun dan kertas, tanpa minuman.
Padahal kerbau saja selalu diberi makan dan
minum, baik sebelum maupun sesudah mem-
bajak sawah.
Selama di tahanan, saya kehilangan kontak
dengan keluarga. Kami tidak boleh dibesuk oleh
siapa pun juga. Padahal, betapa keluarga di
rumah kebingungan dan menderita. Istri kehi-
langan suami, anak-anak kehilangan ayahnya,
ibu-ibu kehilangan anak-anaknya. Mereka tak
tahu di mana orang-orang yang mereka cintai
itu berada. Seakan hilang ditelan bumi. Hati saya
sering ditusuk-tusuk membayangkan apakah
keluarga saya sudah makan? Apakah anak-anak
dan istri saya sudah makan, sebab pencari
nafkahnya mendekam di sel. Dari mana mereka
dapat makan? Apakah mereka mengemis dan
mengharapkan belas kasihan orang lain? Saya
membayangkan keluarga saya sering kelaparan.
Sakit sekali membayangkannya.
Dengan sederetan tulisan saya ini, si miskin
yang teraniaya mengajak kepada teman-teman
senasib dan sependeritaan, janganlah sebab
rupiah Anda berbohong dan menjual diri Anda,
terlebih lagi keluarga Anda yang meninggal.
Janganlah kita mau diadu domba! Marilah kita
berpikir jernih.
Seumpal Jantung, Seliter Darah
Cimanggis, 22 September 1984
Karya:
Aku berenang, di tepian dzat tiada batas penghalang
Dalam remuk rasa cemas hatiku membara rana
Hari beribu bulan meringkus ruang dan waktu
Ku arungi berpuluh abad kehidupan penuh riak
dan gelombang
Sejarah kian menggumpal dalam jantungku
Malam segala nista ajarilah aku mati suri
Jangan kau ikut berduka, dan jangan kau
bangunkan sehelai rumput pun
Biarkan dia lepas pada alam terawang padang
ilalang
Gelembung rindu, dendam, suara tangis terlalu
panjang
Satu darah, sembilan belas satuan tataplah di
mataku anti api
Kau pandang, aku batu, kau gempur dengan peluru
padahal aku angin
Kau pandang, aku badai, baja dan mantra,
padahal aku gunung yang bisu
Sungai amarah mengalir, meluapkan lautan biru
Ku gali beribu lubang, mengubur sekian
kemungkinan
Sunyi teramat kejam, pesta dan tawamu penuh
hiasan
Berjuta orang meminta SEUMPAL, JANTUNG,
SELITER DARAH
Darah..........manusia tak berdosa tertumpah di
utara, ulah Sang Angkara
Priok..........berduka rekayasa penguasa durjana
Priok..........di manakah engkau bersemayam
kiranya?
Priok..........tak ada jalan pintas untukmu selain
Saturday
Hari keenam telah senja fajar, hari ketujuh
menanti janji
Itu bukan akhir dari segala pintu, ADILI HANTU-
HANTU DUNGU
Catatan:
Aku merenung dalam terali besi di RTM Cimanggis
Aspirasi dan ide aku tulis di kertas bungkus nasi
Dari tong sampah bekas penyidik
PENANYA ku dapatkan di bawah meja-meja
penyidik
Lalu ku tuangkan dalam bait-bait puisi
“Saya ingin menegakkan
kebenaran dan keadilan.”
Peristiwa
Sebelum terjadi peristiwa Tanjung Priok,
saya sudah mendengar beberapa kali ceramah-
ceramah keras yang menentang kebijakan
pemerintah. Isinya, antara lain menentang azas
tunggal Pancasila dan peraturan-peraturan per-
undangan yang menyinggung dan bertentangan
dengan akidah agama. Banyak peraturan-per-
aturan di warga yang bertentangan dengan
agama, batin saya seakan terpanggil untuk
mengikuti acara-acara ini . Sebagai remaja
Muslim saya ingin ikut menegakkan kebenaran
dan keadilan di negeri tercinta ini. Sejak itulah
saya berniat untuk menggali ilmu dari ceramah-
ceramah keras tentang pemerintahan Suharto
masa itu.
Tanggal 11 September 84 di tempat saya
tinggal ada pengumuman Tabligh Akbar di
jalan Sindang tanggal 12 September 84. Esok-
nya, sesudah Shalat Magrib saya berangkat
dengan beberapa teman. Sampai di sana, saya
langsung masuk di antara ribuan jamaah, duduk
di aspal beralaskan koran bekas. Saya mende-
ngarkan beberapa ceramah, dan keadaan mulai
kacau saat ada peceramah yang menginfor-
masikan tentang empat Ikhwan yang ditangkap
tentara. Saya dengar, katanya ada petugas Ba-
binsa masuk mushola tanpa buka sepatu dan
mengacak-acak isi lemari Mushola dan mero-
bek pamflet. sebab susah melepas pamflet di
dinding mushola, petugas itu menyiram pam-
flet dengan air got. Itu cerita yang saya dengar
sehubungan dengan penangkapan 4 ikhwan.
Kejadian ini membuat remaja mushola
marah sehingga terjadi pembakaran motor Ba-
binsa. Para pengurus mushola ditangkap dan
hingga tanggal 12 September 84 belum dibebas-
kan. Dalam Tabligh Akbar dinyatakan bahwa
belum ada kejelasan nasib keempat orang
ini , apakah ada di Kodim atau di mana.
Amir Biki sudah menghubungi dan meminta
kepada pihak berwajib, untuk membebaskan
empat orang ini , namun tidak digubris.
Para jamaah Tabligh Akbar marah dan me-
minta agar empat orang ini dibebaskan
sekarang juga dan harus ada di atas mimbar
jam 23.00 WIB.
sesudah ditunggu sampai jam 23.00 WIB
belum juga dibebaskan, maka para jamaah
berjalan untuk menjemput 4 orang pengurus
mushola ini .
Jamaah terbagi dua, ada yang lewat Jalan
Yos Sudarso ada yang lewat Jalan Koja. Kami
tidak membawa senjata tajam, baik golok mau-
pun lainnya. sebab terbawa arus massa yang
jumlahnya ribuan orang, saya kebetulan ikut
massa yang lewat Koja. Di Jalan Raya Koja
sudah banyak tentara berbaris menghadang
massa yang bergerak menuju ke Kodim. Tidak
ada polisi, hanya aparat berpakaian loreng yang
kemudian mulai menembak ke arah massa.
Saya lihat banyak korban berjatuhan tertem-
bak. Saya sempat menggotong beramai-ramai
korban yang sudah meninggal ke mushola. Ada
juga korban lain yang tertembak telah dikum-
pulkan di sana. sesudah itu saya balik lagi ke
tempat semula untuk menuju ke Kodim lewat
Koja, ternyata massa sudah kocar-kacir menye-
lamatkan diri dari kejaran tentara. Saya melihat
bendera bertuliskan La illaha ilallah tergeletak
di jalan aspal. Saya memungutnya sambil terus
berlari sebab tembakan tetap gencar terdengar.
Saya merasa peluru hampir mengenai telinga
saya. Saya terus lari ke belakang sambil mele-
pas bendera yang tersangkut. Saya berlari ke
mana saja mengikuti jamaah yang lain tanpa
jelas arahnya. Yang ada dalam pikiran kami
hanya mencari jalan untuk menyelamatkan diri
dari kejaran tentara. Saya melihat kendaraan
tank baja ada di mana-mana.
sesudah berlari entah berapa lama tanpa
menghiraukan rasa lelah, akhirnya kami sampai
di perempatan Semper. Kami terus bergerak
untuk pulang ke rumah masing-masing. Di se-
kitar Semper banyak sekali tentara berjaga-jaga
dengan sikap tegang. Kami bersama naik mobil
untuk pulang, jurusan Cakung lewat Jalan
Cacing. namun saat mobil baru bergerak se-
kitar 50 meter, kami diberhentikan aparat mili-
ter, mereka menanyai kami satu-satu. “Dari
mana kamu?” Kami menjawab, bahwa kami
baru pulang nonton layar tancep. namun para
petugas tidak percaya dan menendang kaki salah
seorang dari kami. Akhirnya kami mengaku
bahwa kami baru selesai mendengarkan cera-
mah di Jalan Sindang.
Tentara-tentara itu dengan marah membawa
kami ke Kodim, naik mobil yang kami tumpangi.
Di halaman Kodim kami di tanya identitas, di-
suruh buka baju dan celana, dan tinggal mema-
kai celana dalam saja. Di situlah awal penyiksaan
kami. sesudah kartu pelajar saya diambil, kami
disiksa satu per satu.
Saya ingat betul bentuk penyiksaan yang
saya alami. Sundutan rokok pada tangan, badan
dan pipi sampai rokok ini mati. Diadu
dengan tahanan lain bernama Ferdinan (bela-
kangan, Ferdinan menjadi gila dan mengalami
trauma yang sangat parah, ia bisa menjerit his-
teris ketakutan hanya sebab melihat baju
hijau aparat tentara). Kami dipaksa untuk saling
memukul walaupun kami tidak mau. Namun
petugas itu terus memaksa dan memberikan
contoh “pukulan keras” dengan memukul saya.
Sesaat mata saya berkunang-kunang oleh
pukulannya. Penyiksaan terus berlanjut tanpa
henti. Tendangan, pukulan, gebukan popor sen-
jata, terus menghunjam tubuh hingga saya
merasa antara sadar dan tidak sadar.
sesudah babak-belur disiksa sekitar 30 menit,
saya langsung dimasukkan ke dalam sel yang
gelap dan pengap. Di dalam sel ada empat orang
ketakutan melihat saya. Saya katakan: “Jangan
takut, saya yaitu jamaah pengajian yang ber-
niat membebaskan empat orang yang di tahan
di Kodim. Mereka mengatakan bahwa mereka-
lah empat orang itu. Sambil mengucap Allahu
Akbar, saya peluk satu-persatu empat orang
ini tanpa ragu. Mereka langsung bertanya
tentang kejadian malam itu. Sambil meringis
kesakitan, saya langsung menceritakan kejadi-
annya. Saya lihat mereka kebingungan. Katanya
mereka dijanjikan besok akan dibebaskan tapi
sebab kejadian itu mereka tidak akan dibe-
baskan.
Tanpa terasa terdengar adzan shubuh. Saya
langsung shalat shubuh dengan bertayamum
di tembok sel Kodim. Usai shalat, saya bercerita
lagi pada mereka tentang kejadian tadi malam
dan mengatakan betapa tentara itu kejam dan
tidak berperikemanusiaan. Cerita itu didengar
oleh petugas. Saya langsung dikeluarkan dari
sel dan dikumpulkan bersama-sama di lapangan
untuk disiksa lagi tanpa henti.
Saya dipukul, ditendang, diinjak-injak sam-
bil dimaki-maki.
“Anjing saja lebih berharga dibandingkan kamu!
Kamu kecil-kecil sudah jadi PKI!!”
sebab siksaan yang tidak henti, saya hanya
bisa mengucap Allahu Akbar. Dalam hati saya
berpikir tidak akan hidup. Saya akan mati dan
dikarungi. Saya sempat berteriak marah sebab
tak tahan.
“Di sini Bapak menyiksa saya, nanti di akhi-
rat Bapak disate di neraka!”
Mendengar teriakan saya, mereka semakin
marah dan langsung beramai-ramai menyiksa
saya. Mereka memukul telinga dan kemaluan
saya dengan besi pelat. Sepertinya saya sempat
pingsan saat itu. Mereka juga menyiksa teman-
teman saya. Akhirnya kami dijemur di lapangan
dalam keadaan telanjang.
sesudah itu kami dinaikkan ke 2 truk besar.
Tiap truk memuat sekitar 15 orang. Saat itu
kuku jempol kiri saya terkelupas dan luka.
Kami berlumuran darah dan hanya memakai
celana dalam. Di tempat yang akhirnya saya
tahu bernama rumah tahanan Guntur, kami
dimasukkan dalam sebuah sel besar. sesudah
satu hari di Guntur baru kami diproses verbal.
Kami mengalami banyak teror dan ancaman
menakutkan. Polisi Militer itu mengatakan kami
akan ditembak mati dan dibuang ke laut.
Hari-hari di sel Guntur kami lewati dengan
ketakutan. Kepala saya digunduli. Tapi walau
dalam keadaan luka dan bau darah, saya tetap
menjalankan Shalat dengan bertayamum. Jika
malam dingin sekali. Kami tidur tidak beralas-
kan apa-apa, hanya memakai celana dalam yang
robek-robek dan penuh darah. Kami diberi
makan namun saya tidak bisa makan sebab
muka saya hancur. Dalam hati saya bertanya:
“Mengapa para tentara begitu kejam terhadap
tahanan peristiwa Priok?”
Kurang lebih 10 hari di Guntur, kami dipin-
dahkan lagi ke rumah tahanan Militer Cimang-
gis. Sel di sini terlihat baru, tapi tidak ada sinar
matahari yang masuk. Pagi hari kami hanya
diberi air putih, siang harinya sepiring nasi dan
ikan asin. Sekitar pukul 16.00 WIB kami diberi
sepiring nasi lagi. Begitu setiap hari. Tak ada
makanan yang manis, membuat kami terlalu
lemah untuk hidup normal. Banyak yang me-
ngalami kelumpuhan. Bahkan hampir semua
anak-anak dibawah 15 tahun tak dapat bergerak
(lumpuh) sebab terus dikurung sehingga darah
menjadi beku. Kami putus asa dan kehilangan
harapan. Kondisi ini terlalu berat untuk kami
tanggung.
sesudah 3 bulan, kami dipindahkan ke Rutan
Salemba. Kami tinggal dalam sel berukuran 2
X 1/2 meter. Satu sel diisi tiga orang. Tidur,
mandi, buang air, shalat di tempat yang sama,
membuat kami sangat menderita. Di Salemba
kurang lebih tiga bulan sambil menunggu
sidang di Pengadilan Jakarta Utara. Dalam pe-
ngadilan itu saya divonis hukuman 20 bulan
penjara potong masa tahanan. Tuduhan yang
didakwakan yaitu pengrusakan dan pengero-
yokan, serta melawan petugas. Saya melihat
bahwa semua bukti dan saksi-saksi direkayasa
oleh pengadilan pada massa itu.
Saya dipindahkan ke LP anak-anak Cipinang
bersama 5 orang korban priok lainnya sesudah
divonis. Di LP Cipinang saya sudah bisa dibesuk
dan untuk pertama kalinya bertemu lagi dengan
keluarga saya. Perasaan orang tua saya hancur
lebur melihat keadaan saya yang hampir tiap
minggu sakit sesak nafas akibat penyiksaan.
Penyakit ini terus kambuh dan tidak sembuh-
sembuh. Untunglah di LP Cipinang ada klinik
berobat gratis untuk semua napi. Saya baru
tahu bahwa keluarga saya selama ini mencari
saya ke mana-mana dan selalu dijawab tidak
tahu. Saya bahkan pernah dianggap sudah
meninggal dan sempat didoakan selama 40 hari.
Keluarga saya baru tahu sesudah mendapatkan
informasi dari korban yang telah dipulangkan
terlebih dulu. Semua ini yaitu derita yang
sungguh tak terperi bagi saya dan keluarga saya.
Sampai kini, penyakit sesak napas saya tak
kunjung sembuh. Putus asa dan marah rasanya.
Padahal setiap penyakit ini kambuh, saya tidak
sanggup ke dokter dan membeli obat sebab
biayanya sangat mahal. Beban hidup yang harus
saya tanggung saja sudah sangat berat, yaitu
keluarga dengan enam anak yang tidak ada
jaminan biaya sekolah dan biaya lainnya.
Sekarang di tahun 2004 ini, saya pasrah
menjalani hidup. Seberapa beratpun resiko
hidup, saya tetap akan jalani. Semua derita dan
sakit ini tetap akan saya bawa mati, walau saya
sakit akibat penyiksaan tentara yang tidak ber-
perikemanusiaan dan semena-mena. Saya hanya
bisa pasrah. Saya hanya bisa menunggu nasib
dan tetap setia menanti keadilan Allah. Saya
memang hanya ingin menegakkan kebenaran
dan keadilan.
“Saya dibotakin dengan
kode Ekstrim Kanan...”
SAYA ditangkap di Desa Kadu Jengkol Ke-
camatan Pandeglang pada tanggal 2 November
1984 jam 01.00 WIB. Saya langsung dibawa ke
Kodim Pandeglang, kemudian dibawa ke kantor
intel di daerah Tanah Abang, Jakarta. Sesampai-
nya di sana ± jam 05.30 WIB, tangan kiri saya
langsung diborgol dan diikat ke kiri, sambil
ditanya di mana Syarifin Maloko dan M. Natsir?
Saya menjawab tidak tahu, yang kemudian di-
ikuti pemukulan terhadap saya dengan meng-
gunakan bekas kaki kursi antara kayu dan besi
oleh petugas Laksusda Jaya dengan 3 orang di
belakang saya, satu orang di depan saya mela-
kukan pemukulan secara bertubi-tubi yang
mengenai punggung. Pemukulan ini di-
lakukan hingga saya merasa tidak tahan dan
kemudian meneriakkan “Allahu Akbar”, namun
tetap saja dipukuli tanpa peduli. sesudah itu saya
membusungkan dada secara tidak sadar sebab
rasa sakit di punggung yang tak tertahankan
akibat pemukulan ini . Di saat itulah, dada
saya dihantam dengan sekuat tenaga sampai
akhirnya saya pingsan. Dan ini yang menyebab-
kan penyiksaan ini berhenti. sesudah saya
sadar, saya diperintahkan mandi dan diizinkan
shalat subuh ± jam 06.00 WIB.
Sehari semalam di Tanah Abang dengan
penyiksaan yang terus menerus, kemudian di-
pindah ke Kramat V (Kantor Laksus). Sesam-
painya di Kramat V, saya dimasukkan ke dalam
sel bekas Rhoma Irama. Tidak lama kemudian,
saya dipanggil dan ditanya di mana Syarifin
Maloko dan M. Natsir? Saya menjawab: “Saya
tidak tahu”. Jawaban ini menjadi alasan
untuk menyetrum bekas pukulan yang berwarna
hitam kebiru-biruan yang masih terasa sakit
(membengkak). Dua hari dua malam di Kramat
V, kemudian dipindah ke RTM Cimanggis-
Bogor. Setibanya di sana, saya ditunggu petugas
Militer di bawah Komando Pom, Kolonel Pra-
nowo. Kira-kira jam 21.00 WIB, saya dipanggil
oleh petugas Polisi Militer. Saya pikir ada
besukan dari keluarga, tahu-tahunya saya di-
masukkan ke dalam ruangan. Di sana sudah
berkumpul prajurit-prajurit Polisi Militer yang
siap menyiksa saya. Pertama-tama kepala saya
dicukur (dibotaki), namun kira-kira sekitar ram-
but sebelah kanan disisakan dan diikat dengan
tali karet (ini mungkin artinya kode ekstrim
kanan [eka]). sesudah dicukur, saya ditanya
bahwa benar kamu yang bernama Ratono?
“Betul,” jawab saya.
“Coba apa ceramah anda!” tanya mereka lagi.
Kemudian saya menjawab yang intinya ada-
lah saya berceramah antara lain: saya tadinya
Angkatan Laut sekarang Hijrah Angkatan Allah.
Sebagai Angkatan Laut siap membela Negara,
RATONO
Pancasila dan Undang-undang 45, sedangkan
Angkatan Allah (Hizbullah) siap membela demi
tegaknya Islam, kalau perlu sampai tetes darah
penghabisan. Sebelum saya menjawab sesuai
jawaban ini , maka berulang kali saya di-
tanya.
sesudah itu saya disuruh ke depan, disuruh
koprol, jatuh ke kiri, push up, sit up yang jum-
lahnya ratusan kali, kalau tidak kuat langsung
diinjak-injak. Yang terakhir, tangan kanan saya
ditaruh di atas kepala saya sambil memegang
telinga kiri, kemudian disuruh berputar dengan
cepat. Dalam kecepatan tinggi saya disuruh
lari, sehingga saya nabrak-nabrak tembok sam-
pai pingsan. sesudah sadar, saya dimasukkan ke
dalam sel dengan jalan jongkok sambil tangan
kiri di atas kepala. Kurang lebih sampai sebulan
sesudah mengalami penyiksaan, saya tidak
dapat rukuk, sujud dan bergerak leluasa serta
mengeluarkan dahak bercampur darah.
“SEKARANG, di tahun 2004 ini, saya pas-
rah menjalani hidup. Seberapa beratpun
risiko hidup, saya tetap akan jalani. Semua
derita dan sakit ini tetap akan saya bawa
mati, walau saya sakit akibat penyiksaan ten-
tara yang tidak berperikemanusiaan dan
semena-mena. Saya hanya bisa pasrah. Saya
hanya bisa menunggu nasib dan tetap setia
menanti keadilan Allah. Saya memang hanya
ingin menegakkan kebenaran dan keadilan.”
Korban Peristiwa Tanjung Priok
Ungkapan di atas, menggambar-
kan penderitaan panjang mereka yang menjadi
korban dalam peristiwa Tanjung Priok 1984.
Dua puluh tahun, yaitu waktu yang tidak
sebentar. Apalagi jika ia harus dijalani dengan
derita dan sakit yang terbawa sampai mati.
Dalam tahun-tahun ini , derita itu hampir
diam tak bersuara. Ia berusaha menggetarkan
sayup suara dari satu sudut utara kota Jakarta.
Perlahan-lahan, ia juga muncul di sudut-sudut
lain bumi nusantara. Namun, tetap saja suara
itu terdengar sayup. Ia bergetar, gemetar dan
takut. Takut akan tirani kuasa yang selalu siap
menerkam laksana serigala menerkam domba
di rimba belantara.
Waktupun berlalu. Di awal tahun 1998,
tunas baru bangsa yang gelisah mendengar
suara-suara semacam itu, meronta dan beron-
tak. Hingga akhirnya tepat pada 21 Mei 1998,
pucuk tirani kuasa orde baru turun dari sing-
gasana yang penuh percik darah dan airmata.
Sayup suara itu lalu kian jelas terdengar. Bahkan
ia menjadi bunyi suara yang begitu lantang.
Bunyi suara yang ingin berkata dan bercerita
tentang luka yang telah lama dipendam. Cerita
luka yang ingin berkisah tentang kebenaran.
Kebenaran yang sebenar-benarnya. Bunyi suara
itu juga menggema menuntut keadilan. Keadilan
seadil-adilnya. Suara itulah suara mereka yang
tertindas dan berjuang.
Sepintas uraian di atas sekadar mengawali
catatan penutup yang akan saya tuangkan se-
cara pendek dalam tulisan ini. Banyak pesan
dan catatan penting yang terungkap dari cerita
singkat yang ditulis para korban dalam artikel
ini. Dalam cerita-cerita itu, kita bisa melihat
secara jelas bagaimana hak-hak dan kebebasan
manusia bisa begitu mudah dirampas. Namun
selanjutnya, kita juga dapat merasakan bahwa
mereka tidak lalu menyerah dan berdiam diri.
Segala upaya ditempuh tanpa mengenal lelah.
Sekalipun harus menghadapi tembok kekua-
saan yang tinggi. Sekalipun aral rintang yang
diskriminatif dan tidak manusiawi datang silih
berganti. Tujuan mereka sudah pasti; merebut
kembali harkat dan martabatnya yang terampas.
Tanjung Priok, Memori Masa Lalu yang
Kelam
Tulisan-tulisan dalam artikel ini, yaitu me-
mori masa lalu yang kelam dan sulit dilupakan.
Dalam ungkapannya seperti tertulis di atas,
tentu saja mewakili gejolak rasa dari
saudara, serta sahabat lainnya yang juga terluka,
putus asa dan berjuang. , ,
, , , Ishaka
Bola, Ratono, , , Yetty,
Ustadz Syarif yang diwakili Hasan Tantowi,
, , dan Jaja
Raharja yaitu sosok-sosok korban yang juga
mewakili korban-korban lainnya yang mungkin
belum menuangkan kisahnya secara terbuka.
Kisah yang secara berulang selalu diceritakan
kembali sebagai memori kelam mereka dalam
peristiwa dua puluh tahun silam itu.
Memori kelam itu begitu terpaku dalam
ingatan mereka. Saat diciduk, mereka dipaksa
berjalan dan melihat tanpa mata. Berjam-jam
mereka diperiksa lalu ditahan. Berhari-hari
mereka disekap, diinterogasi dan disiksa da-
lam kantor-kantor militer. Berminggu-minggu
mereka makan tak beraturan dan hidup dalam
ketakutan. Ada di antaranya yang tak bisa makan
sebab hancurnya wajah akibat siksaan. Tidur-
pun beralaskan lantai kotor yang juga menjadi
tempat sembahyang dan buang kotoran. Tak
ada sinar matahari, apalagi rembulan. Pakaian
di tubuh pun masih ternoda darah dan berbau.
Tapi tetap saja aparat-aparat itu tak peduli.
Mereka dipenjara tanpa peradilan. Jikapun
ada, hanya peradilan yang penuh tanda tanya.
Tak jelas mereka ditangkap atas kesalahan apa.
Tak jelas mengapa dan berapa lama mereka
harus ditahan. Tak ada vonis penjara bagi me-
reka yang membuktikan mereka bersalah. Jika
bersalah, mengapa tak disidangkan secara
sewajarnya, begitu tanya sang anak.
Memori kelam itu juga tak hanya dirasakan
langsung oleh mereka yang dipenjarakan sebagai
tahanan politik. Sang istri yang suaminya dita-
han, dipaksa menjawab berbagai pertanyaan
yang sama sekali tak diketahuinya. Anak-anak
pun banyak yang harus ditinggal sang ayah
tercinta selamanya, bersama sirnanya cita-cita
dan harapan di masa depan yang pernah di-
angankan. Mereka kehilangan tulang punggung
keluarga. Seringkali, sang anak pun “dipaksa
keadaan” untuk bercerita tentang sosok ayah
atau sanak keluarganya seperti “penjahat” me-
nurut versi penguasa. Meskipun kini, mereka
sedikit bisa bercerita lantang bahwa sang pen-
jahat itu justru yaitu penguasa di masa itu.
Mereka yang masih hidup dan juga ahli waris
dari mereka yang meninggal, sulit memperoleh
pekerjaan. Berbekal sekolah seadanya, mereka
dibentur tembok-tembok usaha yang enggan
berurusan dengan mereka, sebab mereka di-
anggap “berbahaya” atau Gerakan Pengacau
Keamanan. Para pemilik lahan kerja itu jelas
juga takut akan terkaman serigala kekuasaan
yang siap mematikan usaha mereka. “Masa
depan kami benar-benar dirampas,” tulis Yetty,
salah seorang korban yang ditinggalkan ayahnya.
Sebagian mereka memang kemudian dibe-
baskan. Akan namun , bukan dalam makna mem-
peroleh kebebasan yang susungguhnya. Mereka
tetap harus dipenjara dalam kepedihan luka
yang mendalam. sesudah keluar dari tembok-
jeruji, tubuh-tubuh mereka berubah seperti
tengkorak hidup. Bahkan sebagian dari mereka
harus menderita cacat dan lumpuh selama be-
lasan tahun. Putus asa dan kehilangan harapan,
tampaknya terus terasakan oleh mereka. Mereka
yang terus hidup dan dalam kondisi sakit atau
cacat pun masih harus dihinggapi dengan ke-
adaan hari-hari yang amat sulit. Biaya per-
obatan yang mahal membuat jerit sakit, sesak
nafas, trauma hingga gangguan jiwa berlalu
tanpa rasa. Tanggungan keluarga, jaminan biaya
sekolah, kesehatan, perumahan sekejap hilang
dan menjadi angan-angan. Beban itu betul-betul
teramat berat.
Cerita mereka tentang peristiwa Tanjung
Priok, juga bercerita bagaimana lembaga-
lembaga publik disalahgunakan oleh penguasa.
Rumah sakit yang semestinya melayani masya-
rakat luas, justru melayani penguasa dan ber-
ubah fungsi menjadi bagian dari mesin peng-
ingkaran hak rakyat. Bahasa “jenguk” pun tak
lagi punya makna sebenarnya. Berbulan-
bulan, mereka dipaksa menunggu dalam keti-
dakpastian tentang anggota keluarganya yang
dirawat tanpa kabar. Sebersit kabar pun ter-
kadang harus ditukar dengan sogokan. Begitu
pula dengan rumah keadilan. Rumah-rumah
keadilan seperti pengadilan, kejaksaan dan ke-
polisian begitu tak berdaya menghadapi kekua-
saan yang zalim. Dengan kesadaran dan tanpa
kesadaran, para penjaga rumah-rumah keadilan
menjalankan tugas dan abdinya kepada sang
kuasa.
Pada masa orde baru, semua memori di atas
tidak dilihat sebagai bukti bahwa telah terjadi
kejahatan yang amat serius. Semua kerusakan
dan kerugian di atas juga masih sulit diterima
sebagai bukti bahwa mereka yaitu korban.
Hingga saatnya pun tiba. Mereka, para korban,
mulai bergerak dan berjuang.
Bergerak dan Berjuang
Dalam artikel ini, korban dan keluarga kor-
ban peristiwa Tanjung Priok bercerita tentang
bagaimana mereka bergerak dan berjuang
Upaya membongkar kembali peristiwa ini ber-
awal dari inisiatif beberapa korban menjelang
pertengahan tahun 1998. Persis saat kebebasan
berbicara menjadi lebih terbuka. beberapa
orang yang merasa menjadi korban dari peris-
tiwa Tanjung Priok mulai berkumpul dalam
satu ikatan. Mereka mendata ulang korban dan
keluarga korban lainnya. Mengumpulkan infor-
masi tentang orang-orang yang hilang ataupun
meninggal dunia. Mendata lokasi tempat mereka
dimakamkan, apabila diduga telah meninggal.
Tidak hanya di Jakarta, tapi juga di Cikampek,
Karawang, Tasikmalaya, dan Garut. Sebagian
bisa ditemukan kuburannya berdasarkan fakta
dan data yang telah terkumpul.
Berbagai aktivitas juga terus disusun, diren-
canakan dan dijalankan. Mereka berulangkali
berusaha mendatangi berbagai lembaga resmi
pemerintah. Mereka menuntut negara bertang-
gungjawab. Ya, bertanggungjawab. Dari sudut
pandang hak-hak asasi manusia, pertanggung-
jawaban atas kejahatan hak asasi manusia yang
serius yaitu sebuah prasyarat bagi keadilan.
Keadilan tidak dapat dicapai terkecuali mereka
yang bertanggungjawab atas kejahatan itu,
dihukum oleh pengadilan yang imparsial dan
kompeten.
Dengan keyakinan itulah para korban terus
bergerak. Awalnya mereka mendatangi Komnas
HAM agar ada penyelidikan atas kasus itu. Tapi
sayang, tidak ada respon yang cukup serius.
sesudah berkali-kali didatangi dan didesak oleh
berbagai kalangan warga , Komnas HAM
akhirnya mengambil langkah penyelidikan
untuk peristiwa Tanjung Priok. Penyelidikan
dilakukan dan berakhir dengan kesimpulan yang
kontroversial. Dalam laporannya, Komnas HAM
menyimpulkan bahwa pelanggaran berat HAM
juga dilakukan oleh warga . “Mendengar
kesimpulan dan rekomendasi Komnas HAM,
saya malah sakit hati”, kata salah seorang kor-
ban saat ditanya komentarnya. Bukan hanya
itu. Langkah Komnas HAM untuk menyelidiki
hilangnya beberapa orang tanpa kabar dianggap
tidak maksimal. Padahal beberapa lokasi yang
diduga sebagai lokasi dimana korban dikubur
telah diketahui. Baru sesudah didesak berbagai
kalangan, Komnas HAM melakukan penyeli-
dikan lanjutan. Hasil penyelidikan ini selanjut-
nya diserahkan kepada Jaksa Agung. Pada
tahap inilah kasus Tanjung Priok benar-benar
mengalami kemacetan. Jaksa Agung membiar-
kan kasus ini terus berlama-lama tanpa ada
kejelasan bagaimana hasilnya.
Pada waktu yang bersamaan, ada gerakan
lain. beberapa korban melakukan islah dengan
Try Sutrisno, Mantan Panglima Kodam Jaya-
karta. Dalam artikel ini salah seorang korban
menjelaskan bahwa Try Sutrisno, yang juga
mantan Wakil Presiden semasa Suharto, men-
janjikan dana abadi kepada para korban Tan-
jung Priok. Namun, menurut korban hal itu
semua cuma janji kosong. Banyak janji yang
hingga kini tak terpenuhi atau tak sesuai dengan
harapan. Dari cerita artikel ini, hal yang mesti
dicermati berkenaan dengan islah yaitu ; per-
tama, kaburnya kesepakatan untuk saling
memaafkan antara korban, keluarga korban
dengan beberapa mantan petinggi militer saat
peristiwa Tanjung Priok terjadi. Menurut Budi
Hardiman, memaafkan itu mengandaikan sub-
jek yang dimaafkan. Subjek dapat dimaafkan
hanya jika kesalahan bisa diidentifikasi. Dalam
hal islah, tidak jelas perbuatan apa yang dimaaf-
kan. Juga tidak terlalu jelas batas antara yang
meminta maaf dan yang memaafkan. Antara
yang berbuat sesuatu dan menerima akibat dari
sesuatu. Antara pelaku dan korban. Yang terlihat
jelas yaitu mereka yang pernah mengalami
kekerasan dan menuntut. Mantan petinggi
militer dan juga TNI sendiri, memandang islam
sebagai jalan yang tepat untuk mengakhiri per-
selisihan. Kedua, islah tidak dikenal dalam
ketentuan hukum, baik hukum nasional mau-
pun internasional. Dalam hukum nasional,
penyelesaian lain di luar pengadilan terhadap
kejahatan masa lalu, bisa dilakukan melalui
KKR. Dalam hukum internasional pemberian
pengampunan, pemaafan tidak dikenal untuk
kejahatan yang paling serius. Penyiksaan misal-
nya. Dalam Komentar Umum yang disetujui
Komite HAM PBB pada sidang ke-44 tahun
1992 yang berkaitan dengan larangan penyik-
saan. Komite menyatakan bahwa amnesti ter-
hadap tindak penyiksaan pada umumnya tidak
sesuai dengan kewajiban Negara untuk menye-
lidiki perbuatan ini ; untuk menjamin
kebebasan dari perbuatan ini dalam yuris-
diksi mereka; dan untuk memastikan bahwa
perbuatan ini tidak terjadi lagi di masa
depan.
Terlebih lagi, sebagian korban mengaku
tidak mengetahui hal ihwal rencana perda-
maian lewat islah. Lihat saja pernyataan salah
seorang korban bernama yang
mewakili beberapa korban lainnya yang meno-
lak cara islah. “Saya kecewa, sebab Rambe cs
mengikrarkan perdamaian (islah) dengan para
pelaku tragedi Tanjung Priok. Buat saya dan
juga teman-teman lain yang satu pandangan,
islah itu tidak sah,” tegas , salah
seorang korban yang tertembak kakinya.
Secercah Harapan
Kini, peristiwa itu tengah diperiksa oleh
Pengadilan. Ini sebuah kemajuan, meski masih
cukup jauh untuk sampai pada tujuan. sesudah
berjalan hampir dua puluh tahun, tepatnya
sejak 12 September 1984, hasil dari perjuangan
hak-hak itu baru terlihat. Itupun sesudah mela-
lui kontraksi perjuangan korban yang panjang.
Meski belum seperti yang diharapkan, digelar-
nya pengadilan HAM Ad Hoc bagi kejahatan
kemanusiaan dalam perkara Tanjung Priok,
menunjukkan kemajuan dalam penegakan
hukum dan penghormatan hak-hak asasi manu-
sia di negara kita . Baru kali ini, perwira militer
aktif dan non aktif bisa diadili di depan penga-
dilan sipil.
Tentu saja, kemajuan seperti ini bukan ja-
minan bahwa keadilan akan dirasakan oleh para
korban. Apalagi banyak kalangan memberikan
kritik tajam terhadap proses pelaksanaan pe-
ngadilan itu sendiri. Ada di antaranya yang
menganggap bahwa jikapun pelaku dihukum,
korban tetap tidak akan mendapat apa-apa.
Yang terlihat yaitu pengadilan yang bersifat
ritual dan seremonial bagaimana para militer
ini diadili. Namun demikian, banyak korban
yang menunjukan sikap seperti tak pernah
mengenal putus asa. Berbagai usaha terus di-
tempuh. “Saya ingin menegakkan kebenaran dan
keadilan,” begitu kata , salah seorang
korban yang masih terus mengikuti jalannya
pengadilan HAM Ad Hoc untuk peristiwa Tan-
jung Priok.
Terakhir, saya ingin katakan bahwa tulisan-
tulisan dalam artikel ini ingin bercerita kepada
kita bahwa tidak mudah melupakan apa yang
pernah berlalu dalam hidup mereka. Tidak juga
mudah untuk menerima apa yang telah terjadi
di masa lalu. Seperti banyak orang bilang, masa
lalu mungkin tak bisa lagi diubah. Namun,
yaitu tak adil rasanya jika kita berdiam diri
dalam ketidakmenentuan masa depan. Oleh
sebab itu, yaitu penting bagi kita untuk se-
cara bersama membangun masa depan dengan
belajar pada masa lalu. Paling tidak, masa lalu
yang dilukiskan secara lisan oleh mereka yang
menjadi korban, tertindas dan berjuang.