ntasi agama tidak terlalu kuat
dibandingkan dengan di wilayah yang komposisi agamanya
berimbang. Di wilayah dengan karakteristik keagamaan yang
homegen, pemilahan politik akan terbangun mengikuti basis
kategori yang lain: seperti etnik, kekerabatan, politik aliran ataupun
stratifikasi kelas sosial.
Sedangkan dalam wilayah kontestasi yang komposisi
agamanya berimbang, faktor agama menjadi relevan. Hal ini bisa
dilihat dalam proses kandidatisasi, yang membutuhkan latar
belakang agama seorang kandidat sebagai referensi utama dalam
menggalang koalisi politik di Pemilukada. Dalam membangun
koalisi, komposisi penduduk berdasarkan agama menjadi
pertimbangan. Biasanya, kandidat kepala daerah diambil dari
agama dengan komposisi pemeluk terbesar, disusul wakilnya
berasal dari agama dengan jumlah pemeluk terbesar berikutnya.
Koalisi semacam ini terutama terjadi di daerah-daerah yang
dihuni dua agama besar dengan komposisi yang relatif berimbang.
Misalnya, dalam Pemilukada di Maluku, pasangan kandidat
Gubernur dan Wakil Gubernur yang diajukan partai-partai
cenderung merupakan kombinasi Kristen dan Islam. Hal yang
sama juga terjadi dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Tengah.
Gubernur terpilih Kalimantan Tengah, Teras A Narang, yang
beragama Kristen dipasangkan dengan Ahmad Diran yang Islam.
Pemilukada Papua Barat pada tahun 2006, kombinasi beda agama
menjadi cara untuk membangun koalisi antarkandidat. Partai
Golkar mengusung pasangan beda agama: Yorris Raweyai (Kristen)
berpasangan dengan Abdul Killian (Islam).
Pemilukada di daerah yang sebelumnya dilanda konflik
cenderung menerapkan model koalisi beda agama. Kabupaten
Ketapang, Bengkayang, Kapuas Hulu, dan Sintang di Kalimantan
Barat cenderung mengikuti pola koalisi beda agama. Demikian pula
dengan pemilihan Gubernur di Kalimantan Barat pada tahun 2007
memunculkan kandidat yang mengkombinasikan Islam-Kristen,
seperti pasangan Usman Jafar dan LH Kadir, Oesman Sapta dan
Ignatius Lyong, dan Akil–Mecer.
Mengapa koalisi beda agama muncul di daerah-daerah yang
secara demografis komposisi agamanya relatif berimbang? Berbeda
dengan kecenderungan di daerah-daerah yang homogen dan
didominasi secara mayoritas oleh satu agama, kawasan dengan
komposisi berimbang cenderung rawan konflik komunal antar-
agama. Konflik bisa terjadi pada momentum politik tertentu seperti
Pemilukada, pergantian pejabat birokrasi, dan lain-lain. Isu
utama yang sering dimunculkan berkaitan dengan tingkat keter-
wakilan komunitas agama dalam posisi politik maupun redistribusi
ekonomi.
Dalam konteks semacam ini, bisa lahir dua bentuk respons
dari elite politik lokal. Elite politik cenderung memanfaatkan dan
mendayagunakan wacana ketimpangan representasi politik
antaragama untuk meraih dukungan politik. Dalam strategi ini,
elite politik “mengeksploitasi” wacana ketidakberimbangan keter-
wakilan dengan tujuan-tujuan pragmatis dalam proses elektoral.
Respons lain dari elite politik adalah dengan mengesam-
pingkan wacana ketimpangan dan mengusung wacana
perimbangan, dengan cara menggabungkan pasangan calon dari
latar belakang agama berbeda. Dengan cara seperti ini, kombinasi
beda agama menjadi strategi untuk merebut pasar suara pemilih
dalam Pemilukada. Dengan pasar politik yang semakin kompetitif
maka pendekatan mobilisasi pemilih dengan memakai senti-
men agama menjadi metode kampanye untuk meraih dukungan
pemilih. Dalam strategi ini, pasangan kandidat lebih fokus memo-
bilisasi calon pemilih yang menganut agama yang sama dengan
dirinya. Itu artinya, strategi mengusung kandidat dari dua latar
belakang agama yang berbeda, merupakan bagian strategi memper-
luas segmen pendukung. Dengan cara seperti itu, kandidat ber-
harap bisa merebut dukungan, bukan hanya dari satu komunitas
agama, melainkan bisa mendapatkan sokongan segmen pemilih
dari dua komunitas agama sekaligus. Bahkan, dengan model koalisi
politik semacam ini, para kandidat juga bisa membangun citra
pluralis, yang biasanya juga menarik minat pemilih mengambang
(swing voter).
Agama dalam Koalisi Partai
Dalam Pemilukada terlihat jelas kecenderungan tingkah laku
kandidat dan partai politik pendukungnya, dipengaruhi oleh logika
untuk memenangkan persaingan atau seringkali disebut sebagai
logika elektoralis. Dalam hal ini, partai politik cenderung
menyesuaikan program, strategi serta mencairkan batas
ketegangan ideologi yang dianutnya dengan kebutuhan pasar yang
lebih luas demi pemenangan Pemilukada. Kecenderungan partai
politik untuk lebih menekankan logika elektoralis membuat tipe
partai politik di negara kita mengarah pada tipe “catch-all party”.
Tipe catch–all party juga berpengaruh pada model rekruitmen
kandidat dalam Pilkada yang cenderung bergerak ke pola survival.
Secara umum, dalam pola survival, rekruitmen kandidat lebih
didasarkan dan diarahkan pada pencarian kandidat yang memiliki
sumber finansial yang kuat, basis massa yang luas serta tingkat
popularitas yang tinggi. Dalam logika itu, kandidat yang diusung
oleh partai politik tidak hanya berasal kader partainya melainkan
juga berasal dari nonkader, terutama figur-figur yang mempunyai
basis dukungan politik di akar rumput.
Konsekuensinya, walaupun secara historis, politik kepartaian
di negara kita mengikuti pemilahan politik aliran,188 namun, dalam
Pemilukada, pola kontestasi dan aliansi antarpartai tidak selalu
mengikuti logika politik aliran. Hal ini terlihat jelas dari munculnya
koalisi politik kepartaian yang bersifat “pelangi” melintasi
pemilahan batas politik aliran.
Dalam Pemilukada di beberapa daerah, terlihat jelas
ketidakyakinan partai-partai berbasis agama189 untuk
memenangkan kompetisi, apabila mereka bergandengan dengan
partai sejenis. Ketidakyakinan itu semakin kuat karena terjadi tren
penurunan perolehan suara partai agama, terutama partai Islam,
dari 38% dalam Pemilu 2004 menjadi sekitar 29% pada Pemilu
2009.190 Hampir semua partai Islam mengalami penurunan suara
secara signifikan.
Ketidakyakinan itu menyebabkan mereka membangun basis
koalisi antarpartai yang memiliki segmen pendukung yang berbeda.
Hal itu ditunjukkan dengan munculnya model koalisi politik antara
partai berbasis agama dengan partai nasionalis-sekuler.191 Hal yang
sama terjadi pada partai-partai nasionalis-sekuler; partai-partai
ini mempertimbangkan pasangan kandidat, yang memiliki
Penentu Kemenangan
Rudy adalah anak angkat Guru Ijai (KH. Zaini Abdul
Ghani), ulama paling berpengaruh di Martapura
Memiliki sumber ekonomi yang lebih banyak ketimbang
partai-partai Islam dan partai lain yang ada
Mengusung Perda SI sementara warga dan elemen
keagamaan memiliki tekat yang sama
Abu Bakar yang incumbent memiliki networking politik
yang bagus berkat keanggotaannya di Golkar dan Saifur
Rahman adalah anak tokoh agama kharismatis Dompu.
Rumah Guru Haji Salman Faris
Pasangan calon dianggap mampu membangun
kehidupan yang harmonis
Cabup adalah bupati yang sedang menjabat dan
cawabup merupakan kader Muhammadiyah di daerah
basis ormas ini
Kandidat adalah orang NU di daerah berbasis NU
basis pendukung dari komunitas sosial keagamaan, baik berasal
dari partai Islam maupun nonpartai. Dari nonpartai, biasanya
diambil dari organisasi massa Islam terbesar di suatu wilayah,
seperti NU, Muhammadiyah ataupun Nahdhatul Wathon. Pilihan
untuk mengambil pasangan kandidat yang berasal dari segmen
pendukung yang berbeda tentu saja dimaksudkan untuk
memperluas basis dukungan politik yang tidak bersifat homogen
melainkan lebih tersebar. Dengan cara itu, partai nasionalis akan
bisa menggalang dukungan dari para pemilih yang mempunyai
identifikasi kepartaian dengan partai-partai Islam.
Dalam Pemilukada Bulukumba, Sulawesi Selatan, terbentuk
koalisi partai nasionalis-partai Islam, antara PDI Perjuangan
dengan Partai Bulan Bintang. Di Cianjur. Jawa Barat terbangun
koalisi kader PKS yang merangkul Partai Demokrat. Di Kalimantan
Selatan, pasangan kandidat Bupati-Wakil Bupati berasal dari Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa
bergandengan dengan partai nasionalis. Di Dompu, Nusa Tenggara
Barat, calon gabungan dari PNU PKB dan PPDI membangun koalisi
dalam Pemilukada. Bahkan di daerah kantong Kristen, seperti Poso,
Sulawesi Tengah, tercipta koalisi partai Kristen, Partai Damai
Sejahtera dengan Partai Persatuan Daerah. Dalam Pemilukada Kota
Surabaya 2010, muncul kombinasi yang menarik, pasangan Fandi
Utomo dan Kol. Yulius Bustami diusung oleh partai-partai yang
berasaskan Islam seperti PKS, PPP dan PKNU, dengan berkoalisi
dengan Partai Damai Sejahtera.
Mengapa partai-partai berbasis agama memilih untuk
melakukan koalisi pelangi? Survei JPPR (Jaringan Pendidikan
Pemilih untuk Rakyat) yang dipublikasi pada Juni 2006 sedikit
menjawab. Survei itu mengungkapkan, dari 213 Pemilukada yang
digelar, gabungan partai-partai Islam berada di peringkat paling
bawah yaitu 2,68% (enam daerah). Kemudian peringkat keempat
yaitu 4,91% (11 daerah) dimenangkan partai Islam tanpa berkoalisi.
Peringkat ketiga dimenangkan partai nasional tanpa koalisi
sebanyak 22,27% (51 daerah). Disusul gabungan partai-partai
nasionalis sebanyak 32,59% (73 daerah). Justru mayoritas
Pemilukada dimenangkan oleh partai nasionalis yang berkoalisi
dengan partai yang berbasis agama, terutama Partai Islam. Jumlah
ini mencapai 37,05% atau meliputi 83 daerah Pemilukada.
Agama dalam Kampanye
Seperti yang digambarkan sebelumnya, Pemilukada ditandai
dengan kuatnya logika elektoralis dalam memengaruhi tingkah
laku kandidat dan partai politik pendukungnya. Dalam logika ini,
kandidat dan partai politik pendukungnya membangun strategi
pemasaran politik untuk meraih dukungan pasar pemilih. Semakin
ketat proses kompetisi maka kandidat harus memakai ber-
bagai manuver untuk memenangkan kontestasi: mulai dari mem-
bangun ikatan identifikasi kepartaian, mobilisasi birokrasi,
pemunculan isu tertentu, pencitraan figur kandidat dalam iklan,
penggunaan instrumen ekonomi, sampai dengan pendekatan pri-
mordialisme. Berbagai strategi itu memperlihatkan setiap kandidat
harus memperkuat basis pendukung tradisionalnya dan selanjut-
nya memperluas dukungan dari segmen pemilih yang lebih luas.
Dalam konteks menggalang dukungan pemilih, penggunaan
representasi isu dan simbol agama juga dijumpai dalam Pemilukada
yang berlangsung di berbagai daerah, sejak tahun 2005. Bagaimana
isu dan simbol agama digunakan? Pertama, pemberian fatwa untuk
memilih atau tidak memilih kandidat tertentu. Hal ini terjadi dalam
Pemilukada Tasikmalaya dan Kabupaten Muna, Sulawei Tenggara;
pemuka agama memberikan fatwa “masuk neraka”, apabila
warga memilih pasangan calon tertentu.193 Contoh lain, dalam
Pemilukada Kabupaten Sleman, Pengurus Daerah Muhammadiyah
(PDM) Sleman membuat fatwa khusus untuk mendukung calon
tertentu, yang memiliki latar belakang Muhammadiyah. Calon
yang dimaksud adalah Ibnu Subiyanto-Sri Purnomo dari PDI
Perjuangan dan didukung Partai Amanat Nasional, yang kemudian
menjadi bupati terpilih untuk periode 2005—2010.
Kedua, penggunaan simbol agama dalam kampanye kandidat.
Dalam Pemilukada di beberapa Kabupaten, seperti: Pemalang,
Ponorogo, Jambi dan Padang, pasangan kandidat membagikan
kitab suci dan kitab-kitab keagamaan, yang disertai foto serta visi-
misi kandidat. Dalam Pemilukada kabupaten Indramayu, ribuan
eksemplar kitab suci al-Quran yang di halaman pertamanya
terpampang gambar foto Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin
dan bertuliskan visi serta misinya sebagai calon bupati dalam
Pemilukada 2005—2010. Gambar Bupati Indramayu yang
berukuran setengah halaman diletakkan di halaman pertama
sesudah sampul al-Quran. Kitab suci yang berisi muatan kampanye
itu beredar di sejumlah masjid, pondok pesantren serta tokoh agama
lain di daerah itu.
Selain itu, penggunaan wacana keagamaan juga tampak dalam
gambar di bawah ini. Dalam gambar berikut ini terlihat kandidat
membagikan sejumlah uang ke pemilih dengan “dibungkus” dengan
istilah keagamaan: zakat mal.
Ketiga, dalam Pemilukada, “agama” dihadirkan dalam bentuk
janji-janji kandidat untuk mengakomodasi kepentingan segmen
pemilih dari kelompok agama tertentu dalam kebijakan publik.
Hal ini tergambar dalam kontrak politik antara calon Gubernur
Banten Zulkieflimansyah-Marissa Haque dengan sejumlah kiai dan
ulama di Provinsi Banten. Klausul kontrak itu, yang berbunyi
“larangan keluar malam bagi kaum perempuan di atas jam 21:00
WIB”. Di Kabupaten Cianjur, salah satu kandidat menjanjikan
terbitnya Perda Syariat Islam di daerah itu yang merupakan bagian
dari pencanangan Cianjur sebagai “Gerbang Marhamah” (Gerakan
Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah).
Di Kalimantan Barat, pasangan Cornelis dan Christiandy
mengangkat isu-isu primordial selama kampanye dalam
Pemilukada tahun 2007, dengan mendatangi kantong-kantong
pemilih Kristen. Mereka juga cukup intens melakukan sosialisasi
di kalangan warga Kristiani yang populasinya hanya 33%
dari 40,32 juta penduduk (Katolik 22% dan Protestan 11%).
Pasangan kandidat ini juga mengangkat isu-isu politik lokal yang
terkait dengan representasi komunitas Kristen dalam politik
maupun ekonomi. Wacana itu dibangun tentu saja untuk meraih
dukungan tokoh adat dan gereja. Wacana politik yang dibangun
meliputi janji memberikan perlindungan maksimal kepada
warga marginal, kalangan minoritas dan terpinggirkan,
pemerataan pembangunan, mempermudah izin mendirikan gereja,
memberikan perhatian maksimal kepada warga di pedalaman,
menghapus dominasi kelompok mayoritas, serta membuat
perimbangan jabatan struktural antara kelompok Islam dan
Kristiani di Kantor Gubernur Kalbar. Wacana yang bersifat
primordialis itu ternyata cukup ampuh menarik simpati
warga pemilih. Hal ini membuat pasangan Cornelis dan
Christiandy mampu meraih kemenangan di delapan daerah
pemilihan, bahkan di tiga kabupaten pemilih mayoritas Kristiani
menang telak.
Sebaliknya kampanye pasangan “pelangi” umumnya
mengangkat isu keharmonisan antaragama dan etnis, investasi
meningkat, menghargai keberagaman untuk menuju Kalimantan
Barat terbuka. Wacana ini didengungkan selama kampanye,
namun ternyata tidak sepenuhnya mampu menarik simpati
warga pemilih. Sehingga Usman Jafar–LH Kadir hanya
menang telak di tiga kabupaten dengan penduduk agama mayoritas
Islam. Sedangkan Oesman Sapta–Ignatius Lyong hanya unggul di
Kabupaten Ketapang. Perolehan suara Akil–Mecer secara
keseluruhan tidak sampai 300.000 suara.
Keempat, dalam Pemilukada juga muncul fenomena “agama”
hadir dalam politik pencitraan; pasangan kandidat memakai
lambang dan simbol agama agar terkesan sebagai penganut agama
yang saleh dan taat.195 Sosok yang ingin ditampilkan adalah seorang
pemimpin yang religius, dengan memakai simbol-simbol
agama. Sebagai contoh dalam Pemilukada Gubernur Jawa Timur,
setiap pasangan kandidat tampil di TV lokal untuk membangun
citra pemimpin yang religius. Tayangan-tayangan yang dicitrakan
dalam iklan para kandidat berkendak membangun persepsi publik
bahwa para kandidat adalah sosok pemimpin yang dekat dengan
rakyat kecil, memiliki religusitas yang baik, dan sebagai pemimpin
yang amanah ‘dapat dipercaya’. Misalnya, Pakde Karwo,
menampilkan iklan pencitraan dirinya dengan mengeluarkan album
shalawat kontemporer—dalam iklan ini ditampilkan sang
kandidat sedang berdoa dan bercengkerama dengan anak-anak kecil
di masjid. Kompetitornya, Soenarjo juga menampilkan suatu acara
yang khusus ditayangkan selama bulan Ramadhan. Acaranya
dikemas setiap menjelang buka puasa di JTV yang bernama
“pitutur luhur”—acara ini berisi nasehat-nasehat luhur dari
tradisi orang Jawa. Hal yang sama juga dilakukan kandidat lainnya,
Achmady. Achmady berusaha menampilkan citra seorang santri
NU yang fasih berceramah lazimnya seorang yang religius.
Ahmady merancang acara ceramah agama di TV lokal yang selalu
disertai dalil-dalil agama.
Dalam kerangka politik pencitraan ini, para kandidat juga
sering memanfaatkan momentum peringatan hari raya keagamaan
untuk menyampaikan iklan politiknya. Momen yang paling sering
dipilih oleh para kandidat untuk menayangkan acaranya adalah
momen yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Momen
Ramadhan dijadikan sebagai saat untuk berlomba-lomba meraih
popularitas dan dukungan pemilih. Sehingga tidak aneh kemudian,
selama bulan Ramadhan iklan kampanye para calon Gubernur
tidak pernah absen tampil di media. Para kandidat biasanya
menayangkan acaranya pada momen-momen menjelang buka
puasa. Pemilihan waktu ini mengikuti tren acara di stasiun-
stasiun televisi nasional yang selalu menyiarkan kultum dari
ustadz dan ulama ternama, setiap menjelang berbuka puasa.
Politik pencitraan didukung oleh kehadiran media massa lokal
yang semakin menjamur. Media massa, terutama media TV lokal,
menjadi instrumen penting dalam mengakomodasi politik
pencitraan yang coba dibangun oleh para calon kepala daerah
ini . Dengan demikian, kehadiran media TV lokal
memungkinkan para kandidat memiliki medan politik baru dengan
melakukan pertarungan politik di “udara”.
Di jalanan, banner-banner, baliho, spanduk menjadi ajang
membangun citra diri para kandidat. Dalam banner ini ada
beberapa gambar kandidat yang ditampilkan dengan simbol-simbol
agama. Seperti gambar di bawah ini, terlihat para calon kepala
daerah yang memakai atribut keagamaan dalam iklan-iklan politik,
seperti sorban, kerudung dan peci. Penggunaan atribut keagamaan
--- 164
dalam iklan politik itu tentu dilakukan untuk membangun politik
pencitraan, bahwa para kandidat merupakan pemimpin yang
religius.
Cara lain yang digunakan oleh kandidat adalah menampilkan
gambar figur tokoh agama yang karismatik atau dihormati
warga , dalam setiap iklan yang dipasang oleh para kandidat.
Tidak aneh kemudian, dalam iklan terpampang foto kiai
berpengaruh di antara gambar pasangan kandidat. Pesan yang ingin
dibangun lewat penampilan kiai dalam iklan kandidat ini
adalah bahwa kandidat itu telah mendapatkan dukungan kuat dari
kiai yang ditampilkan. Strategi ini merupakan bagian dari
bekerjanya logika elektoralis, karena di beberapa wilayah,
kontestasi merupakan basis massa kiai ini . Sehingga, dengan
menampilkan kiai dalam iklan kandidat diharapkan kandidat itu
--- 165
akan mendapatkan dukungan suara dari kalangan santri, baik yang
berada di lingkungan pesantren maupun di luar lingkungan
pesantren. Dalam hal ini, para kandidat ingin memanfaatkan
struktur hubungan patronase antara kiai dengan santrinya.
Di tengah penggunaan simbol-simbol agama sebagai strategi
mendapatkan dukungan, muncul fenomena yang berbeda yakni
dengan mempersoalkan kejelasan atau kadar agama yang dipeluk
kandidat. Hal seperti ini muncul dalam pemilihan Gubernur Bali.
Salah satu kandidat: Prof. Drg. I Gde Winasa mendapatkan “se-
rangan” yang berkaitan dengan agama yang dipeluknya. Isu ini
diwacanakan oleh Aliansi Muda Hindu negara kita (AMHI)
mendatangi KPU Bali meminta agar formulir pendaftaran I Gde
Winasa diverifikasi kembali. Alasannya, secara administratif
Winasa ditenggarai memiliki agama ganda.196 Upaya memper-
soalkan kadar keberagamaan kandidat bukan hanya terjadi di Bali
melainkan juga berlangsung dalam Pemilukada Banyuwangi.197
Kelima, agama dihadirkan dalam identifikasi diri dengan
organisasi keagamaan. Hal ini terlihat dalam Pemilukada di
Kalimantan Selatan tahun 2005. Dari pasangan yang diusung Partai
Golkar, misalnya, menyandingkan kadernya Gt. Iskandar SA
dengan Hafiz Anshary (seorang ulama). Begitu juga dengan
pasangan Ismet Ahmad dan Habib Abu Bakar. Sedangkan pasangan
Rudy Arifin dan Rosehan NB, walaupun keduanya memang bukan
ulama tetapi pasangan ini mengidentifikasi diri dari organisasi
keagamaan besar di Kalimantan Selatan, yakni NU. Begitu juga
dengan pasangan Syachril Darham dan Nor Aidi dengan jargon
politiknya “Raja A’A Nih”. Meskipun tidak direkomendasi oleh
organisasi keagamaan sebesar NU dan Muhammadiyah, tetapi
strategi perekrutan tim kampanye juga melibatkan beberapa ulama
kondang seperti “Dai Sejuta Umat” KH Zainuddin MZ dan “Dai Seribu
Sungai” KH Ahmad Bakeri.
Agama dalam Suara Pemilih
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah agama
menjadi preferensi utama pemilih dalam menentukan pilihannya?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak tunggal. Berbagai hasil riset
dan publikasi memberikan gambaran yang beragam tentang
pengaruh agama dalam penentuan preferensi pemilih dalam
Pemilukada.
Hasil kajian Lingkaran Survei negara kita (LSI) pada tahun 2008
memberikan gambaran yang menarik. Dari tiga kasus Pemilukada
yang diteliti LSI (Kota Ambon, Kota Manado, dan Kabupaten
Bolaang Mongondow) tampak adanya pola dan peran yang berbeda.
Di Kota Ambon, agama tampak tidak memainkan peran dalam
preferensi pemilih. Dalam arti, pemilih yang beragama Islam tidak
lebih condong untuk memilih kandidat yang beragama Islam, dan
demikian juga sebaliknya. Di kalangan pemilih Islam dalam Pilkada
Kota Manado misalnya, lebih cenderung memilih pasangan
kandidat yangada calon yang beragama Islam. Atau
sebaliknya, di Kabupaten Bolaang Mongondow di kalangan pemilih
Kristen lebih cenderung memilih pasangan kandidat yang beragama
Kristen.198
Survei Demos pada tahun 2007 memperlihatkan bahwa para
pemilih di tingkat lokal lebih melekatkan identitas primordial
dibandingkan imajinasi tentang nasionalisme. Dalam ruang
kontestasi politik, muncul wacana “putra daerah” yang menun-
jukkan hubungan-hubungan genealogis, asal-usul kedaerahan
ataupun latar belakang keagamaan kandidat. Sehingga dalam
survei Demos ini , 40% warga yang diwawancarai
mengaku bahwa mereka lebih mengidentifikasi diri mereka sebagai
penduduk kabupaten/ kota, 11% penduduk desa, 23% mengidenti-
fikasi diri mereka sebagai anggota sebuah komunitas etnis atau
klan tertentu, 4% komunitas religius, 13% mengidentifikasi sebagai
pendukung partai, 7% sebagai kelas sosial dan hanya 2%
mengidentifikasi sebagai warga negara kita . Bahkan di daerah
konflik, identitas berbasis etnis atau klan menjadi sekitar 36% dan
26% di daerah-daerah pemekaran. Dengan kata lain, pemilih
membangun identifikasi diri dan kelompok dengan kembali
menguatkan ikatan-ikatan identitas mereka dengan entitas-entitas
kultural yang didasarkan pada agama, etnis, kedaerahan atau
dengan hubungan-hubungan komunitarian.199
Penelitian lain justru memperlihatkan gambaran semakin
berkurangnya faktor agama dalam preferensi pemilih. Kisah ini
bisa diperoleh dari analisis yang dipaparkan oleh The Wahid
Institute (WI).200 Ada catatan menarik disampaikan WI, yaitu
bahwa walaupun dalam prosesi Pemilukada langsung yang digelar
sepanjang tahun 2005—2006, beberapa kandidat dan partai
pendukungnya memakai isu dan simbol agama, namun faktor
--- 167
agama bukanlah faktor penentu kemenangan kandidat. Faktor
penentunya justru berasal dari isu-isu populisme dan jaringan
politik yang dimiliki oleh partai dan kandidat.
Kalau mengacu pada analisis WI maka berkurangnya variabel
agama sebagai preferensi utama dalam menentukan pilihan pemilih
sebenarnya menunjukkan keterbatasan dari bekerjanya politik
aliran. Walaupun para kandidat dan pendukungnya berusaha
memakai wacana politik aliran, namun dalam konteks
pemilihan langsung, para pemilih mulai lebih otonom dalam
menentukan pilihannya. Pilihan dalam Pemilukada tidak lagi
dideterminasi oleh elite agama, seperti kiai maupun pendeta.
Melainkan muncul variabel-variabel baru yang memengaruhi
perilaku memilih, seperti faktor isu-isu lokal yang muncul maupun
persepsi terhadap rekam jejak kandidat. Hal itu artinya, variabel
agama menjadi mulai dikesampingkan.
Apa yang disimpulkan dalam analisis WI justru
memperlihatkan bahwa perilaku memilih dalam Pemilukada
cenderung bersifat kontekstual dan bervariasi. Dalam hal ini, setiap
wilayah kontestasi memiliki karakter memilih yang bisa tergambar
dari dinamika perilaku memilihnya. Dalam ruang politik yang
semakin bebas, maka perilaku memilih tidak hanya dideterminasi
oleh ikatan-ikatan sosiologis (ikatan komunal ataupun patron-
klien), melainkan ditentukan oleh banyak faktor lain, seperti ikatan
identifikasi kepartaian, persepsi pemilih atas isu atau kandidat,
maupun faktor pragmatisme ekonomi.
Fakta itu berarti bahwa ikatan komunal-keagamaan bukan
satu-satunya variabel dalam menjelaskan perilaku memilih. Ketika
identifikasi kepartaian kuat maka pilihan pemilih akan mengikuti
pilihan partainya. Begitu juga dengan munculnya faktor
pragmatisme; pilihan pemilih akan sangat ditentukan oleh pola
transaksional yang dilakukan oleh para kandidat.
Selain itu, dalam Pemilukada, beberapa tahun terakhir ini
muncul dua fenomena perilaku memilih yang semakin menguat:
golput dan pemilih berayun (swing voter). Dari data yang
dikeluarkan oleh Lingkaran Survei negara kita (2008), menunjukkan
bahwa tingkat golput dalam Pemilukada mencapai angka rata-rata
27,9%. Angka itu lebih tinggi dari angka golput dalam Pemilu
Legislatif 2004 dan Pilpres 2004 putaran pertama maupun kedua.
Dalam Pemilukada di sejumlah wilayah, angka golput ini bahkan
--- 168
mencapai hampir separuh—seperti yang terjadi dalam Pilkada Kota
Surabaya, Kota Medan, Kota Banjarmasin, Kota Jayapura, Kota
Depok dan Provinsi Kepulauan Riau dan terakhir di Jawa Tengah.
Bahkan, tidak jarang, jumlah golput ini lebih tinggi dibandingkan
dengan perolehan suara pemenang Pemilukada.
Sedangkan kehadiran pemilih berayun (swing voter) dalam
Pemilukada juga semakin lama semakin tampak jelas. Berbeda
dengan pemilih loyal pada pilihan partainya, swing voter ini tidak
mempunyai kesetiaan yang ajeg terhadap suatu partai atau bahkan
pilihan yang diambil komunitasnya, sehingga, setiap saat, swing
voters akan bisa “mengayunkan” dukungannya ke partai atau
kandidat yang mereka suka. Dalam menentukan pilihannya, swing
voters sangat ditentukan oleh isu atau juga kandidat. Isu-isu yang
menjadi ketertarikan swing voters sangat jamak: mulai dari isu
pelayanan dasar, isu yang menyangkut rasa aman, ataupun isu-
isu yang sangat primordial. Selain isu, faktor kandidat juga menjadi
faktor yang menentukan pilihan swing voters. Dalam hal kandidat,
swing voters akan melihat tidak hanya soal tingkat popularitas
kandidat, melainkan tingkat kepercayaan pada kandidat.
Dalam Pemilu-Pemilu pascaOrba, besaran swing voter semakin
meningkat. Bahkan, banyak analisis yang menyatakan bahwa peta
akhir pertarungan akan sangat ditentukan oleh ke mana swing
voters mengalihkan dukungannya. Oleh karenanya, para kandidat
dalam Pemilukada melihat kehadiran swing voter sebagai segmen
pemilih yang perlu digarap, melalui strategi membangun agenda
isu maupun politik pencitraan.
Titik Simpul: Agama dalam Pemilukada
Apa yang terjadi dalam Pemilukada menunjukkan kepada kita
Pemilukada menjadi medan baru bagi elite politik lokal untuk
berkontestasi ataupun membangun koalisi antaraktor. Dalam
medan baru ini , elite politik lokal mengikuti dua logika
utama: logika representasi dan logika elektoralis. Dalam logika
representasi, para elite politik berusaha mengidentifikasikan dirinya
dengan agama dan menunjukkan bahwa ia sekaligus berkehendak
menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi aspirasi kelompok
keagamaan. Pada saat yang bersamaan juga mulai muncul logika
representasi yang lebih menekankan pada persoalan pemenuhan
hak-hak dasar warga. Hal ini ditunjukkan dengan kuatnya wacana
--- 169
populisme dalam proses Pemilukada, seperti pelayanan kesehatan
dan pendidikan gratis.
Sedangkan dalam logika elektoralis, para elite politik
dideterminasi perilakunya oleh kehendak untuk menang dan meraih
dukungan dalam Pemilukada. Hal inilah yang menyebabkan
munculnya strategi politik yang pragmatis—lewat usaha
mengkombinasi pasangan dari latar keagamaan yang berbeda,
koalisi “pelangi” lintas partai maupun strategi politik yang khusus
masuk dalam segmen pasar pemilih. Dalam konteks semacam itu,
bisa dimengerti bahwa kecenderungan penggunaan wacana, simbol
dan sentimen keagamaan dalam Pemilukada sebagai bagian strategi
pragmatis-elektoralis dari para elite politik yang tengah
berkontestasi.
Namun demikian, strategi elite untuk meraih dukungan politik
dengan memakai sentimen agama memiliki dampak yang
bervariasi. Di beberapa daerah, strategi itu efektif untuk menarik
perhatian pemilih. Sebaliknya, di wilayah kontestasi yang berbeda,
strategi yang mengangkat wacana dan sentimen agama justru
tidak mampu menjaring dukungan dari pemilih.
Dengan demikian, Pemilukada bukan hanya ruang manuver
para elite, melainkan memungkinkan memberi ruang yang lebih
besar bagi pemilih untuk menegosiasikan pilihannya pada kandidat.
Sampai di sini muncul model politik pertukaran antara kandidat
dengan pemilih. Di beberapa daerah, pertukaran ini membuat
hadirnya bentuk-bentuk kontrak politik antara segmentasi pemilih
dengan kandidat. Dalam bentuk lain, pertukaran itu juga terjadi
dalam bentuk pragmatis-transaksional.
Agama, Demokrasi dan ---
Kalau kita kembali ke pertanyaan awal, maka pertanyaan yang
muncul adalah mengenai implikasi dari representasi agama dalam
ruang demokrasi? Apakah agama memperkuat demokrasi atau
sebaliknya? Dan dengan cara apa agama memperkuat atau
memperlemah demokrasi?
Dalam perspektif komparatif, apa yang terjadi di negara kita
bukan sesuatu yang unik. sebab di berbagai negara yang
menerapkan demokrasi-pluralis-multipartai, representasi politik
dengan mengangkat sentimen agama juga menjadi sebuah
fenomena yang jamak. Kehadiran partai yang mempunyai basis
ideologis agama ataupun memakai wacana dan sentimen
keagamaan dalam kampanye juga menjadi ciri kontestasi di Pemilu
beberapa negara demokrasi-pluralis yang menganut sistem
multipartai.
Dengan demikian, seperti halnya terjadi di negara-negara
demokrasi yang majemuk, maka pilihan terhadap demokrasi-
pluralis tidak bisa tidak membuka ruang lebar terhadap berbagai
representasi kepentingan dalam warga yang beragam, baik
dalam kategori agama, etnik maupun kategori lain. Itu artinya
prinsip dasar yang perlu diakui dan dihormati dalam sistem
demokrasi dalam warga majemuk adalah kebebasan sipil.
Bahwa setiap segmen sosial dalam warga , termasuk
komunitas agama seharusnya mendapat ruang politik untuk
mengartikulasi dan mengagregasikan kepentingan, termasuk
melalui organisasi politik berbentuk partai politik.
Namun, ruang politik terbuka bagi keberagaman itu
seharusnya diikuti dengan usaha membangun budaya kewargaan
dalam demokrasi. Budaya kewargaan adalah, pertama, budaya
politik yang meletakkan setiap pemilih sebagai warga negara yang
sadar dengan hak-haknya. Keinsafan sebagai warga inilah yang
menjadi pijakan awal dalam membangun civic engagement,
keterlibatan warga dalam ruang demokrasi. Dengan cara itu, proses
elektoral tidak dimaknai sebagai sekadar memberikan suara pada
para kandidat, melainkan sebagai bagian dalam aktualisasi prinsip-
prinsip dasar kewarganegaraan (citizenship).
Kedua, dalam konteks membangun budaya kewargaan itu,
juga perlu ditekankan bahwa representasi politik yang muncul dari
semesta kepentingan dalam warga seharusnya berupa
representasi substansif bukan semata-mata bersifat simbolik-
artifisial, apalagi dibungkus dengan politik pencitraan. Hal ini
penting dikedepankan untuk mencegah agama dipakai hanya
sebagai instrumen untuk menggalang dukungan dan
memenangkan kompetisi. Agama harus ditempatkan sebagai
inspirasi dalam membangun kehidupan bersama yang lebih baik.
Ketiga, di tengah keragaman kepentingan itu seharusnya ada
kesepakatan dasar yang dibangun oleh setiap komunitas tentang
nilai-nilai bersama (common good). Konsensus itu bisa dalam
bentuk nilai-nilai bersama yang disepakati atau selanjutnya
diturunkan ke dalam mekanisme-prosedur sebagai aturan main
bersama. Sampai di sini perlu dirumuskan mengenai apa yang
disebut dengan ruang publik. Ruang publik bisa menjadi lapangan
bersama bagi semua kepentingan dalam warga ; dan sudah
dipastikan ruang publik itu juga perlu dijaga tingkat kepublikannya.
sebab bisa saja ruang publik justru bisa secara cepat berubah
menjadi ruang komunal ataupun ruang personal. Proses
komunalisasi ruang publik ini mulai terjadi ketika segmen
warga yang berbasis etnik atau agama, mulai mengklaim
menjadi pemilik dan melakukan kontrol atas suatu wilayah
tertentu, dan selanjutnya memberikan karakter tertentu dalam
wilayah ini . Selain komunalisasi, ruang publik bisa dikontrol
sepenuhnya secara personal oleh elite dominan, dengan
membangun jaringan ekonomi-politik yang bersifat patronase.
Dengan membangun kesepakatan tentang ke-publik-an maka
setiap segmen warga bisa menarik batas-batas yang tegas
antara: ruang perseorangan, komunal dan publik. Konsensus
politik inilah yang menjadi semacam kerangka bersama yang
digunakan oleh berbagai kelompok kepentingan dalam warga
ketika mengelola kehidupan bersama termasuk dalam membangun
aturan main untuk berbagai bentuk kontestasi.
Akhirnya, agama bisa memberikan dampak penguatan pada
demokrasi ketika agama mengambil bagian dalam proses
transformasi budaya politik elite maupun warga : dari budaya
politik elektoralis-pragmatis menjadi budaya pluralisme-
kewargaan. Dengan cara itu, agama tidak hanya sekadar hadir di
bilik suara.