i perspektif negara Barat
yang memiliki masalah dengan persoalan imigran di satu sisi dan
masalah hak asasi di sisi lain. Ketidakpekaan Okin terhadap budaya
lain ditunjukkan dalam pengelompokan budaya yang rancu antara
budaya yang berakar pada tradisi agama dan budaya yang terkait
dengan wilayah tertentu. Dalam artikelnya, Okin menganggap
budaya sebagai struktur makna yang tunggal, “Many of the world’s
traditions and cultures, including those practiced within formerly
conquered or colonized nation states—which certainly encompass
most of the peoples of Africa, the Middle East, latin America, and
Asia—are quite distinctively patriarchal.”60 Okin memetakan
budaya dari bagian negara hingga benua. Tidak ada pembedaan
antara tradisi budaya, tradisi komunitas, wilayah, dan struktur
politik. Sementara itu, Benhabib menyebut tulisan Okin sebagai
“militantly insensitive” karena cukup serampangan dalam
menjelaskan tradisi agama Yahudi dan Muslim.61
Meskipun mendapat banyak kritik, beberapa kasus yang
diungkap oleh Okin dalam artikelnya memang menjadi persoalan
di beberapa negara yang menerapkan akomodasi sebagi respons
atas keragaman. Kasus-kasus ini tidak hanya terjadi di negara
Barat, akan tetapi juga negara-negara Asia. Jadi, mungkin saja
Okin cukup ceroboh dalam menjelaskan argumennya, akan tetapi
dilema antara akomodasi keragaman dan isu perempuan memang
nyata ada di mana-mana. Paparan berikut adalah beberapa contoh
kasus di berbagai negara.
Poligami di Perancis
Sekitar tahun 1980-an, pemerintah Perancis diam-diam
membolehkan imigran yang berpoligami untuk membawa istri-
istrinya hidup bersama di Paris. Mulanya, Pemerintah Perancis
tidak menyadari ada yang salah dari kebijakan ini. Sampai pada
akhirnya muncul sebuah laporan yang menyatakan para istri ini
menderita akibat kebijakan ini. Mereka berpendapat bahwa,
poligami mungkin merupakan hal yang dapat ditoleransi di Afrika—
daerah asal mereka—karena dengan begitu mereka bisa saling
meringankan pekerjaan masing-masing di ladang. Akan tetapi,
Keragaman dan Hak-hak wanita 71
kenyataan ini menjadi hal yang menyakitkan dalam konteks
Perancis. Apartemen yang sempit dan tidak adanya ruang privat
bagi masing-masing istri bisa menjadi pemicu kekerasan antaristri.
Belum ditambah dengan pertikaian anak-anak mereka.
Menyadari permasalahan ini, Pemerintah Perancis menge-
luarkan kebijakan monogami untuk para suami yang berpoligami
dengan hanya mengakui satu istri serta membatalkan per-
kawinannya dengan istri yang lain. Kebijakan ini benar-benar
membuat perempuan dalam posisi sudah jatuh tertimpa tangga
pula. Menjadi bagian dari perkawinan poligami saja sudah
merupakan ketidakadilan, apalagi ketika negara meminta
perkawinana mereka dibatalkan hanya karena persoalan tidak
sesuai dengan kebijakan negara. Ke mana para perempuan imigran
ini akan pergi di negeri yang asing bagi mereka?62
Shah Bano di India
Shah Bano seorang perempuan Muslim di India, dicerai oleh
suaminya dengan talak informal di tahun 1978 karena dimadu.
Setelah dicerai, dia tidak memiliki penghasilan untuk menghidupi
diri dan anaknya. Untuk itu dia menuntut mantan suaminya,
pengacara Mohammad Ahamd Khan, untuk memberi nafkah
kepadanya meskipun masa iddah (sering ditafsirkan dengan tiga
bulan sesudah perceraian) sudah berlalu. Usaha ini sebenarnya
cukup ganjil karena penafsiran yang dominan dalam fikih Islam,
mantan suami hanya berkewajiban untuk memberi nafkah mantan
istri selama masa iddah ini . Tuntutan Shah Bano ini
menimbulkan pertanyaan mengenai praktik hukum keluarga di
India yang berdasar pada hukum keluarga masing-masing
komunitas agama. Apalagi jika praktik ini dihadapkan dengan
pasal 125 Undang-Undang Prosedur Pidana India (Section 125 of
the Code of Criminal Procedure) yang menyatakan bahwa mantan
suami wajib memberikan biaya hidup kepada mantan istri jika ia
tidak mampu dan belum menikah kembali. Pertanyaannya, apakah
biaya hidup yang dijamin oleh pasal ini juga berlaku bagi Muslim
di India?
Keputusan Mahkamah Agung India menyebutkan bahwa
undang-undang prosedur pidana ini memang berlaku bagi
perempuan Muslim, dan menuntut mantan suami Shah Bano untuk
memberikan biaya hidup kepadanya sebesar Rs 130.63 Dasar hukum
--- 72
keputusan ini merujuk pada tujuan hukum untuk melindungi
mereka yang membutuhkan. Menurut hakim yang menangani
kasus ini, jangan sampai tujuan moral ini tertutup oleh kepen-
tingan agama. Beberapa tokoh Muslim marah dengan keputusan
ini karena bagi mereka hal ini merupakan serangan atas
tradisi Islam. Bahkan sebagian kelompok Muslim melakukan kam-
panye untuk membebaskan perempuan muslim yang dicerai dari
campur tangan perlindungan negara.64
Keputusan ini membuka perdebatan yang luas melebihi
substansi tuntutan Shah Bano. Melihat persoalan hukum dalam
setiap agama, Hakim Chandarchud berusaha mengungkap
ketidakadilan yang menimpa perempuan dalam semua komunitas
agama-agama. Menurutnya, ketidakadilan itu bahkan juga masih
ada dalam rancangan Hukum Keluarga Universal (Universal Civil
Code) yang sedang hangat didiskusikan maupun di dalam Shariat
(yang disahkan pada tahun 1937). Hal ini nampak jelas terutama
pada pasal-pasal mengenai kewajiban suami atas istri yang telah
dicerai.
Pernyataan ini membuka perdebatan yang cukup sengit di
India, baik antara Muslim dengan warga India secara umum
maupun debat di dalam kelompok muslim sendiri, antara kelompok
“progresif” dan “fundamentalis”.65 sebab itu gerakan untuk segera
mengesahkan Undang-undang bagi wanita Muslim (Muslim
Women’s Bill) terus berkembang. Akhirnya, UU ini disahkan pada
tahun 1986. Dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa
kebutuhan hidup dari seorang perempuan yang dicerai, jika ia tidak
mampu, akan dibantu oleh keluarganya, seperti saudara laki-laki
atau anak laki-lakinya, dan jika keluarga dimaksud tidak mampu
menanggung kebutuhan perempuan ini , maka komunitas
muslim bertanggung jawab untuk membantunya melalui dana
wakaf.66
Tampaknya walaupun undang-undang ini dimaksudkan
untuk mereformasi undang-undang sebelumnya, UU “reformasi”
ini jelas masih melanggengkan subordinasi perempuan. Bahwa
perempuan yang dicerai suaminya masih tetap harus tergantung
pada laki-laki dalam keluarganya atau komunitasnya. Upaya
perempuan yang telah dicerai untuk mandiri dan menjadi bagian
dari warga secara merdeka, tertutup rapat.
Setelah disahkannya undang-undang ini, karena merasa
Keragaman dan Hak-hak wanita 73
mengkhianati tradisi komunitas Muslim, Shah Bano
mengembalikan keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan
tuntutannya dan kembali bergantung kepada keluarganya untuk
kebutuhan hidupnya.
Kasus Agunah bagi wanita Yahudi Orthodoks
Hukum Keluarga Yahudi sangat mengagungkan peran
perempuan sebagai penjaga tradisi Yahudi, terutama melalui peran
domestik mereka sebagai ibu, pengasuh anak dan pengurus
keluarga. Keagungan-keagungan ini sayangnya juga diimbangi
dengan kerentanan yang cukup akut juga. Salah satunya adalah
praktik agunah yang masih dipraktikkan oleh kebanyakan penganut
Yahudi Orthodoks.
Sesuai hukum Yahudi, seorang suami masih dapat mengikat
istrinya walaupun hubungan mereka secara formal sudah cerai
menurut hukum negara. Hal ini bisa dilakukan jika sang suami
tidak mau memberikan get (pernyataan cerai secara agama).
wanita yang masih diikat ini (agunah), menurut hukum Yahudi
belumlah bebas dan belum dapat menikah lagi di bawah hukum
Yahudi sampai sang suami memberikan get. Meskipun secara
hukum negara, dia bisa menikah lagi, akan tetapi pernikahannya
bukan di bawah hukum agama, yang berarti dia sudah
meninggalkan ajaran agama tradisional. Yang lebih menyedihkan,
karena budaya Yahudi adalah budaya matrilineal, keturunan yang
dihasilkan dari perkawinan di luar tradisi agama ini dianggap
bukan bagian dari kelompok Yahudi. Dalam konteks ini, dilema
perempuan antara memenuhi hak asasi perempuan dan menjadi
bagian dari kelompoknya terjadi lagi.67
Nusyuz dan Poligami dalam Kompilasi Hukum Islam di
negara kita
Di tahun 1991, Presiden Republik negara kita mengeluarkan
Instruksi Presiden mengenai Kompilasi Hukum Islam. Instruksi
ini muncul terkait dengan dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Sejak saat itu, peradilan agama yang
sebelumnya hanya menjadi praktik peradilan bagi Muslim di
beberapa wilayah negara kita , seperti Jawa, Madura dan Kalimantan
Selatan, secara formal menjadi bagian dari praktik peradilan bagi
muslim di seluruh negara kita .
--- 74
Langkah pertama yang dilakukan pemerintah sesudah
membentuk Peradilan Agama adalah mengangkat hakim agama.
Namun dalam perjalanannya, banyaknya peradilan agama beserta
hakim-hakimnya memunculkan masalah baru, yakni kebutuhan
akan referensi dalam pengambilan keputusan. Sebelum dikeluarkan
Inpres ini, masing-masing hakim pengadilan agama memutus
perkara sesuai dengan pengetahuan mereka masing-masing dan
merujuk pada buku rujukan yang mereka miliki. Akibatnya,
seringkali dalam satu kasus yang sama, ada banyak keputusan
yang saling berbeda antara satu dengan yang lain. Kompilasi
Hukum Islam yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden ini
menjawab persoalan keragaman dalam putusan ini, meskipun pada
praktiknya perbedaan keputusan tetap tidak dapat dihindari.
Akan tetapi sebagaimana kritik yang diajukan pada hukum
keluarga Islam secara umum, Kompilasi Hukum Islam ini juga
mengikutkan watak patriarkal hukum Islam yang bersumber dari
kitab-kitab fikih klasik. Hal ini bisa dilihat misalnya pada pasal
mengenai poligami dan nusyuz, yakni istri yang tidak patuh pada
suami dan kepadanya suami berhak menjatuhkan talak.
Dua pasal ini adalah sebagian pasal yang dikritik oleh
Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama
Republik negara kita sebagai pasal yang tidak ramah terhadap
perempuan. Untuk itu, pada tahun 2004, Kelompok Kerja ini
mengajukan revisi atas pasal-pasal yang dianggap berkontribusi
pada tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga. Revisi ini terangkum dalam Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI).68
Setelah diumumkan kepada publik, keberadaan CLD KHI ini
menuai pro dan kontra di warga . Tidak pelak para para tokoh
di MUI (Majelis Ulama negara kita ), MMI (Majelis Mujahidin
negara kita ), FPI (Front Pembela Islam) dan HTI (Hizbut Tahrir
negara kita ) menolak draf yang diajukan oleh Kelompok Kerja
ini . Menurut mereka, apa yang diajukan oleh Kelompok Kerja
Pengarusutamaan Gender sudah jauh melampaui apa yang tertulis
di dalam al-Qur’an. Neng Zubaida, salah satu yang mewakili
perempuan di MUI mengatakan bahwa draf ini terlalu banyak
mengandung unsur duniawi dan mengabaikan unsur ukhrawi.69
Pro dan kontra di tengah warga ini terus memanas,
hingga akhirnya Menteri Agama RI memutuskan untuk
Keragaman dan Hak-hak wanita 75
membekukan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam ini pada
akhir tahun 2004. Hingga saat ini, Kompilasi Hukum Islam yang
dianggap tidak ramah terhadap perempuan bagi Kelompok
Pengarusutamaan Gender ini tetap menjadi acuan utama di
antara sumber rujukan lain bagi para hakim di Pengadilan
Agama dalam memutus persoalan-persoalan terkait dengan
hukum keluarga Islam.
Keragaman Budaya, Hukum Agama dan
wanita
Keragaman budaya yang dimaksud di sini, mengutip
pengertian Ralph Grillo, merujuk pada hidup saling berdampingan
di dalam ruang kesadaran politik yang sama untuk mengakui
perbedaan etnis, budaya, agama, bahasa, hukum dan tuntunan
moral serta praktik-praktik sosial yang mengikutinya.70 Namun
seringkali ketika beranjak pada pembicaraan mengenai akomodasi
keragaman, isu keragaman agama lebih mengemuka.71 Hal ini
berlaku baik pada kelompok yang melihat agama sebagai faktor
penting untuk diakomodasi maupun yang berusaha menafikannya.
Perancis adalah salah satu negara yang tidak membolehkan agama
menjadi identitas di ranah publik. Dengan konsep laicite-nya,
Perancis dengan tegas mengatakan kebijakan akomodasinya lebih
mementingkan beberapa identitas dan kategori sosial lain daripada
identitas agama dan etnis. Bahkan, Perancis secara spesifik
menyebutkan praktik-praktik dan kepercayaan apa saja yang boleh
dan tidak boleh ditunjukkan di ruang publik.72
Lain Perancis, lain pula Italia. Alessandro Ferrari (2008)
menyebutkan ada tiga karakter dari multikulturalisme model Italia.
Pertama adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (top-down)
bukan berdasar kebutuhan warga (bottom-up); kedua, lebih
memprioritaskan keragaman berdasar identitas agama yang
terlembagakan daripada perbedaan budaya yang lebih umum;
ketiga, akibatnya, warga terbagi-bagi dalam blok-blok sosial
dan tidak terintegrasi dalam jalinan sosial yang baik.73 Akibat lain,
prioritas atas identitas agama ini menjadikan masing-masing
kelompok agama harus saling berebut untuk mendapat pengakuan
yang seringkali menuntut mereka menutupi atau bahkan menekan
perbedaan-perbedaan di internal mereka.
--- 76
Yang menarik, selain gesekan budaya dengan agama dalam
banyak hal, diirisan yang lain budaya juga bergesekan dengan
hukum. sebab itu hukum agama acapkali menjadi alat ukur
bagaimana yurisdiksi menafsirkan keragaman budaya. Di antara
banyak hukum agama, hukum keluarga memiliki peran sangat
penting sebagai penanda identitas antarbudaya karena fungsi
gandanya. Hukum keluarga bagi suatu kelompok bisa berfungsi
sebagai penentu siapa yang menjadi bagian dalam kelompok dan
siapa yang tidak (fungsi pembatas/ demarkasi) namun di sisi lain
ia juga memiliki fungsi distributif yang mengatur hak dan
kewajiban antaranggota, demikian juga peran antaranggotanya.74
Mengingat signifikansi fungsi hukum keluarga ini, tak heran jika
ia seringkali menjadi pusat identitas kelompok yang perebutan dan
argumentasi antarkelompok terjadi.
Dalam konteks negara, perebutan dan argumentasi ini terjadi
dalam wilayah akomodasi. Akomodasi, dalam literatur
multikulturalisme merujuk pada sejumlah usaha negara untuk
memfasilitasi praktik dan norma kelompok. Misalnya,
membolehkan kelompok tertentu untuk tidak mengikuti hukum
negara seperti kasus kebolehan umat Sikh untuk tidak memakai
helm ketika naik motor; atau dengan memberikan kuasa kepada
kelompok tertentu, misalnya komunitas adat tertentu, untuk
mengatur kepentingan kelompok mereka sendiri.75 Akan tetapi,
akomodasi dalam konteks yang lebih luas merupakan sebuah proses
yang bekerja di banyak level dan wilayah yang berbeda, dan tidak
hanya melibatkan mereka yang berhubungan dengan praktik
peraturan atau kasus-kasus di ruang sidang saja.76 Bentuk-
bentuknya bisa berupa perubahan di tingkat kebijakan seperti
mengizinkan praktik atau institusi yang sebelumnya dilarang
misalnya lembaga syariah di Inggris dan dibolehkannya praktik
perkawinan tertentu seperti perjodohan antarkeluarga.
Sebagian orang menganggap akomodasi di bidang hukum
sebagai kesalahan karena menafikan premis kesetaraan di hadapan
hukum. Akan tetapi faktanya, perspektif legal-sosial menyatakan
bahwa klaim sistem hukum nasional yang seragam dan berlaku
untuk semua tidak pernah bisa bertahan lama. Sejak zaman
penjajahan dahulu, keberadaan hukum yang beragam sudah diakui.
Kehadiran penjajah tidak serta merta menggantikan hukum yang
berlaku dalam warga , baik hukum yang bersumber dari adat
Keragaman dan Hak-hak wanita 77
istiadat maupun agama. Di dunia modern sekarang, hal ini pun
terjadi. Banyak negara mengakui keberadaan hukum yang berbeda
dalam hukum formal yang diakui secara nasional. Hal ini terjadi
di Inggris maupun di banyak negara lain, termasuk negara kita . Di
beberapa negara di Asia dan Afrika, sistem hukum negara banyak
mengakomodasi keragaman dengan secara kelembagaan mengakui
keragaman hukum keluarga untuk masing-masing kelompok,
seperti yang berlaku di India. Beberapa kasus di Amerika Latin
juga demikian, negara mengakomodasi sistem hukum kelompok
warga yang berbeda terutama terkait dengan sistem hukum
masing-masing suku yang tinggal di sana.77
Kebijakan akomodasi dalam berbagai manifestasi hukumnya
secara umum bertujuan untuk menjamin masing-masing kelompok
mempunyai pilihan untuk menjaga, nomos mereka: yakni suatu
keadaan normatif yang hukum dan narasi budaya saling
berhubungan dan tidak bisa dipisahkan.78 Akomodasi atas budaya
atau hukum tertentu mengandaikan negara menisbahkan kuasa
kepada kelompok pemilik budaya atau hukum tertentu. Di sinilah
paradoks kerentanan multicultural (the paradox of multicultural
vulnerability) bisa terjadi. Paradoks ini merupakan konsekuensi
yang tidak bisa dihindari dari kebijakan negara untuk
mengakomodasi budaya tertentu, dan biasanya perempuan dan
anak-anak dalam kelompok ini menanggung beban yang tidak
proporsional.79 Logika ini pada praktiknya menimbulkan
pertanyaan terkait dengan perlindungan atas hak dasar individu
di dalam anggota kelompok. Pertanyaan konkritnya adalah apakah
akomodasi yang diberikan mampu melindungi hak dasar masing-
masing individu anggota kelompok ini sebagai warga negara,
terutama perempuan yang suaranya sering tidak terdengar dan
bahkan diabaikan?
Contoh-contoh yang sudah ditampilkan di atas—poligami,
Shah Bano, Agunah dan Kompilasi Hukum Islam—menunjukkan
bahwa dalam beberapa kasus kebijakan akomodasi hukum agama,
perempuan adalah kelompok yang dirugikan. Kebijakan akomodasi
bisa menjadi agen pelanggengan budaya patriarkal.
Kesetaraan dan Kebebasan, tapi Tidak Liberal
Ada beberapa saran yang diajukan melihat dilema ini. Susan
Okin berpendapat, Kymlicka mungkin benar bahwa dalam kasus
--- 78
diskriminasi yang cukup terbuka, misalnya kasus-kasus seperti
menolak memberikan pendidikan kepada perempuan atau tidak
memberi hak suara, kelompok yang seperti ini tidak berhak untuk
mendapatkan akomodasi. Akan tetapi, diskriminasi terhadap
perempuan lebih banyak terjadi dalam wilayah privat, seperti peran
gender yang bias di dalam kelompok ataupun keluarga. Dalam
kasus budaya minoritas yang patriarkal yang hidup berdampingan
dengan budaya mayoritas yang lebih tidak patriarkal, Okin
berpendapat ada dua hal yang bisa dilakukan; yang pertama
membiarkan budaya minoritas yang patriarkal untuk musnah atau
mendorong mereka untuk melakukan usaha agar budaya ini
diterima oleh budaya mayoritas.80 Tentu jika pilihan ini diberikan,
hal yang paling mungkin terjadi adalah punahnya budaya minoritas
ini karena usaha untuk mewarnai budaya kelompok
mayoritas butuh perjuangan panjang.
Okin menyadari bahwa tidak ada respons yang sederhana atas
pertanyaan apakah multikulturalisme buruk untuk perempuan.
Akan tetapi, Okin percaya bahwa prospek bagi perempuan untuk
menikmati kebebasan dan kesetaraan hanya bisa didapatkan jika
mereka berasimilasi dengan warga liberal yang lebih luas.81
Perspektif hak asasi perempuan yang universal, bahwa hak asasi
yang dipahami oleh penggagasnya berlaku untuk semua perempuan
tanpa kecuali, begitu memengaruhi cara berpikir Okin sehingga
gerakan feminis global yang menyerukan untuk menghargai
perbedaan budaya perempuan dan identitas agama tidak
menggoyahkannya. Monica Mookherjee, salah seorang pendukung
keragaman hak asasi perempuan, dengan tegas menyatakan
ketidaksetujuannya dengan menyatakan, “Feminist should not
reject ideals such as equality and freedom, but would do well to
recognize that they can be interpreted in non-liberal ways.”82
Sementara itu bagi Seyla Benhabib (2002) persoalan ini bisa
diselesaikan dengan model deliberasi demokrasi di negara-negara
liberal, yaitu dengan apa yang dia sebut sebagai pendekatan ganda
atas deliberasi demokrasi (dual-track approach to deliberative
democracy). Cara kerja model ini dengan melihat pada dua sisi
yakni di level negara dan warga . Masing-masing warga
negara hendaknya menerima peraturan ataupun intervensi yang
dilakukan pemerintah baik secara langsung maupun tidak
langsung, sementara itu mereka juga hendaknya menganggap
Keragaman dan Hak-hak wanita
dialog-dialog yang normatif dan perdebatan di tengah-tengah
warga sebagai sesuatu yang penting bagi tata kelola
warga pluralis yang demokratik.83
Bagaimana pendekatan ini bekerja dalam kasus Shah Bano?
Menurut Benhabib, dalam kasus ini, norma-norma yang
dipertentangkan bukanlah jumlah tunjangan cerai yang dia terima,
akan tetapi persoalan: (1) praktek cerai dan poligami sepihak yang
memberikan previlese pada laki-laki; (2) usaha pelanggengan
ketergantungan perempuan yang diceraikan secara ekonomi kepada
saudara-saudara lelakinya; dan (3) keyakinan bahwa tidak ada yang
bisa dilakukan untuk membuat perempuan bebas dan mandiri.84
Jika dilihat dari konteks Shah Bano tinggal dan hidup, yakni
seorang perempuan yang berani mengambil inisiatif menuntut
haknya dan didukung oleh hakim yang menangani, seharusnya
ketiga tuntutan itu bisa diperoleh. Namun bahwa dia akhirnya
memutuskan untuk menarik semua tuntutannya membuat kita
harus berpikir, hal ini hanya mungkin terjadi karena tuntutannya
terkait dengan tradisi, sebuah ruang yang dia hidup dan dihidupi.
Kesadaran akan tradisi membuat kita bisa memahami para feminis
yang menentang pilihan solusi Okin. Mengenai praktik pratriarkhal
yang menjadi bagian dari tradisi, tidak mudah menggantikannya
dengan kebebasan dan kesetaraan, yang meskipun indah,
menjadikannya asing dalam komunitas tradisinya.
Walaupun akhirnya dia memilih kembali kepada
komunitasnya dan menolak keputusan pengadilan, Shah Bano
sudah mencoba menguji peraturan yang ada, yakni peraturan
mengenai hukum personal dan keluarga di India yang menganut
wholesale multiculturalism “multikulturalisme mutlak”. Sementara
di level komunitas Muslim India, Shah Bano menggoyang tradisi
yang sudah mapan; bahwa mekanisme tradisional mengenai
keadilan dan dukungan keluarga yang dulu bisa menyelesaikan
persoalan perempuan—melalui para lelaki di keluarganya—harus
berubah. Beranjak dari kasus ini, komunitas muslim akhirnya
berpikir akan pentingnya reformasi pada Undang-undang
Perkawinan dan Perceraian yang selanjutnya disambut oleh
kelompok perempuan, LSM, pemerintah dan juga organisasi
pembangunan internasional.
Secara konseptual pendekatan ganda ini cukup bagus, karena
menempatkan negara dan kelompok dalam posisi sejajar. Konsep
ini juga mengandaikan bahwa baik negara maupun kelompok juga
harus bekerja keras untuk perbaikan kelompok yang rentan.
Namun, kasus Shah Bano yang memilih kembali kepada tradisinya
menjadikan kita harus berpikir ulang, apakah konsep ini juga
berlaku jika permasalahannya ada pada akomodasi hukum
keluarga/ tradisi agama? sebab sekali lagi, hukum agama sangat
terkait dengan tradisi yang dihidupi, identitas kelompok dan
konsep teologis.
Tiga Prinsip Akomodasi Transformatif
Dalam banyak penelitian mengenai kesadaran gender
mengungkap bahwa perempuan seringkali memiliki banyak alasan
untuk memercayai bahwa mempertahankan satu paket yang berisi
manfaat dan kerugian lebih disukai daripada memilih sesuatu di
luar sana yang belum tentu baik. Menyadari hal ini, jalan keluar
yang ditawarkan oleh Ayelet Shachar menarik untuk di
pertimbangkan. Shachar mengkritik model pendekatan sekuler
mutlak (secular absolutist model) dalam pengelolalan keragaman.
Model ini menjamin hak yang seragam untuk semua perempuan
tanpa memperhatikan afiliasi kelompoknya seperti yang terjadi di
Perancis dan Belanda. Namun di waktu yang bersamaan, dia juga
tidak setuju dengan model pendekatan keagamaan partikular
(religious particularis model) yang mencontoh sistem millet Dinasti
Umayyah, yakni masing-masing kelompok agama diberi
kewenangan untuk menjalankan hukum agamanya bagi anggota
kelompok masing-masing. Model yang terakhir saat ini dipraktikkan
di Kenya, India dan Israel.85 Berada di antara keduanya, Ayelet
Shachar menawarkan apa yang dia sebut dengan “akomodasi
transformatif ”, yang baik kelompok minoritas maupun negara
berbagi yurisdiksi atas wilayah-wilayah yang diperebutkan,
misalnya hukum keluarga, hukum pidana dan pendidikan. Untuk
kepentingan makalah ini saya hanya fokus pada aplikasi tawaran
ini dalam hukum keluarga.
Dalam praktiknya, “akomodasi transformatif ” memberikan
kelompok minoritas sebagian hak untuk mengurus dirinya sendiri
dengan mengundang mereka berbagi wilayah yurisdiksi dengan
negara (joint governance). Dalam waktu yang sama, model
akomodasi ini juga mendorong baik negara maupun kelompok
minoritas ini memberi perhatian lebih kepada kepentingan
Keragaman dan Hak-hak wanita 81
anggota yang rentan seperti perempuan, dengan memaksa mereka
merebut haknya sebagai warga negara yang berarti menjadi bagian
dari yurisdiksi kelompok dan negara.86 Paling tidak ada dua hal
penting dalam model akomodasi ini. Pertama, negara memberikan
wewenang kepada suatu kelompok untuk mengurus persoalan
mereka sendiri terkait dengan hukum, akan tetapi kewenangan
ini tidak mutlak. Pada tingkatan tertentu negara berhak untuk
intervensi. Kedua, bersamaan dengan hal ini , proses
penguatan pada kelompok yang rentan terus dilakukan, sehingga
mereka mampu berkontribusi setara dengan anggota kelompok
yang lain.
Shachar mensyaratkan tiga prinsip dasar agar akomodasi
transformatif ini bisa diterapkan; yaitu bahwa persoalan ini
bisa dibagi dalam beberapa otoritas (sub-matter allocation of
authority), tidak ada yang paling berkuasa pada persoalan ini
(no monopoly rule), dan adanya pilihan alternatif jalan keluar
(establishment of clearly delineated choice options). Prinsip pertama
mengandaikan bahwa setiap anggota kelompok pada dasarnya juga
menjadi anggota kelompok yang lain. Identitas itu majemuk.
Seorang adalah Muslim dan menjadi bagian dari komunitas
Muslim, akan tetapi dalam waktu yang sama adalah ia warga
negara. sebab itu, dalam beberapa persoalan sosial yang penting,
seperti perkawinan, pendidikan, hukum pidana, dan lain
sebagainya, seorang warga negara menjadi subjek otoritas agama,
kelompok dan negara dalam satu waktu.
Yang menarik, Shachar meyakini bahwa setiap persoalan sosial
ini pada dasarnya bisa dibagi dalam beberapa bagian persoalan
atau “sub-matters” yakni “sesuatu yang berbeda-beda, terpisah
akan tetapi saling melengkapi”. Misalnya dalam masalah
perkawinan dan cerai. Dalam hal perkawinan dan cerai, negara
dan kelompok berbagi otoritas di dalamnya. Negara menjadi pihak
yang mengurus fungsi distributifnya yakni terkait dengan
perlindungan hak dan kewajiban antarpasangan, sementara
kelompok lebih peduli pada fungsi demarkasi yang menunjukkan
seseorang menjadi bagian dari kelompoknya atau tidak.87
Prinsip kedua, tiada yang paling berkuasa (no-monopoly rule),
mensyaratkan tidak adanya pihak yang merasa paling berkuasa
atas satu persoalan sosial yang akan berefek pada individu yang
merupakan bagian dari kelompok maupun negara. Kedua prinsip
ini, pembagian otoritas dalan satu persoalan (sub-matter allocation
of authority) dan tidak ada yang paling berkuasa (no monopoly
rule) menjamin bahwa sebagai pemilik kuasa yang saling
melengkapi, baik negara maupun kelompok minoritas adalah pihak
yang saling tergantung satu sama yang lain. Kedua prinsip ini
tidak hanya mempromosikan dialog dan kerjasama antara negara
dan kelompok minoritas, akan tetapi juga mendorong para
pengambil kebijakan untuk memperhatikan fakta bahwa seorang
individu itu memiliki afiliasi yang beragam, kompleks, tergantung
situasi dan kadang afiliasi-afiliasi ini saling bertentangan satu
dengan yang lain.
Prinsip ketiga, adanya alternatif pilihan jalan keluar
(establishment of clearly delineated choice options), terkait dengan
pengakuan individu sebagai subjek penting dalam arena sosial yang
diperebutkan. Pengakuan bahwa setiap arena sosial memiliki
pembagian otoritas (sub-matters) memungkinkan seorang individu
memilih antara yurisdiksi negara atau kelompoknya jika salah
satu pemegang otoritas gagal merespons kebutuhannya.
Ketersediaan pilihan ini memberi peluang pihak yang
membutuhkan perlindungan, biasanya perempuan, untuk
bernegosiasi dan mendapatkan keadilan mengenai persoalan yang
diperebutkan. Dalam kasus perkawinan dan perceraian misalnya,
seorang perempuan jika merasa kelompoknya tidak mampu
memenuhi hak-hak yang dibutuhkan, dia bisa merubah loyalitas
yurisdiksi terkait fungsi distributif ini dari kelompok kepada
negara. Jika negara dianggap lebih mampu memenuhi kebutuhan
yang tidak didapatkannya dalam kelompok. Prinsip ini memberikan
ruang bagi perempuan untuk keluar dari kelompoknya dalam
masalah yurisdiksi yang dimaksud, tanpa perlu mencabut
keanggotaannya dari kelompok ini secara keseluruhan
(entirely out). Jadi, daripada memaksa anggota kelompok untuk
sepenuhnya menjadi bagian dari kelompok (entirely in) atau
sepenuhnya keluar (entirely out) sebagaimana yang ditawarkan
dalam hak untuk keluar (rights to exit option), akomodasi
transformatif memungkinkan seorang anggota kelompok untuk
keluar sebagian tergantung kasus yang dihadapi (partially exit).89
Prinsip ketiga ini berpotensi bagus untuk menyelesaikan
praktik-praktik hukum keluarga yang mendiskriminasi perempuan.
Dalam kasus agunah misalnya, jika mantan suami tidak mau
Keragaman dan Hak-hak wanita 83
memberikan get (surat/ ucapan cerai secara formal agama Yahudi),
sementara mantan istri ingin menikah kembali dalam tradisi
Yahudi, akomodasi transformatif memberi jalan keluar dengan
pilihan untuk keluar dari kelompok ini dalam kasus ini dan
meminta bantuan negara sebagai pemegang sebagian kuasa atas
persoalan perkawinan ini. Dalam hal ini, negara melalui perangkat-
perangkatnya meminta kelompok yang memiliki otoritas
melepaskan semua penghalang bagi perempuan ini untuk
menikah kembali dalam tradisi Yahudi.90 Dalam tradisi Islam, hal
ini pernah dipraktikkan di Belanda oleh beberapa perempuan
Maroko. Mereka pada dasarnya sudah menerima surat cerai di
bawah hukum Belanda. Akan tetapi, agar pernikahan selanjutnya
tidak dianggap sebagai zina di bawah hukum keluarga Maroko
(Islam), mereka meminta pengadilan Belanda untuk meminta suami
mereka menceraikan sesuai dengan hukum Islam.
Meskipun tampak cukup komprehensif untuk dipraktikkan,
akomodasi transformatif ini membutuhkan syarat minimal dari
negara. Dalam menjalankan fungsi distributifnya, negara
berkewajiban untuk menyediakan pendidikan dasar dan beberapa
sumber yang diperlukan jika suatu saat “keluar sebagian” (partially
exit) ini jadi pilihan. Dalam konteks ini, akomodasi transformatif
tidak hanya didesain untuk membuka dialog yang terus menerus
antara pemilik otoritas yakni kelompok dan negara, akan tetapi
juga sebagai alat untuk menguatkan anggota kelompok yang
rentan. Bentuknya bisa sangat jelas seperti perlindungan atas
properti dan hak asuh anak dalam kasus perceraian atau dalam
bentuk yang tidak begitu nyata seperti menguatkan peran mereka
di dalam warga .
Sementara itu di internal kelompok, sebuah usaha lain perlu
dilakukan agar para perempuan ini bisa berkontribusi pada
keputusan-keputusan bersama. Hal ini penting dilakukan karena
keyakinan bahwa pilihan “all or nothing” tidak bisa diterapkan
dalam kasus hukum keluarga yang berbasis tradisi agama. Bagi
Shachar, penguatan kapasitas perempuan dalam tradisi mereka
sehingga bisa mewarnai pengambilan keputusan, jauh lebih baik
daripada membebaskan mereka dari tradisinya. Faktanya, banyak
feminis muslim melakukan hal ini. Daripada menolak warisan
budayanya, mereka melakukan penguatan berdasar pada akar
tradisinya. Tujuannya bukan untuk “membebaskan” perempuan
dari kungkungan tradisi, akan tetapi mempromosikan kesetaraan
gender melalui penafsiran kembali ajaran dan praktik agama
ini .
Pertanyaannya kemudian, jika akomodasi transformatif ini
didesain untuk menyelesaikan persoalan dalam nomoi (kelompok
minoritas), apakah teori ini juga bisa digunakan untuk membaca
persoalan perempuan dalam akomodasi hukum Islam di negara kita ?
Polemik mengenai RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
terkait pasal pencatatan perkawinan adalah salah satu contoh
pembagian kuasa dalam persoalan perkawinan. Baik kelompok,
yakni Muslim, maupun negara saling berebut makna perkawinan,
dan dalam konteks itu mereka pada posisi yang sama. Yang
membuat kasus ini lebih menarik bahwa dalam konteks kuasa
kelompok ini pun, Muslim tidak monolit. Ada banyak pandangan
mengenai fungsi demarkasi hukum Islam ini. Bagi sebagian orang,
fungsi demarkasi ini tidak hanya terkait penanda seseorang menjadi
bagian kelompok atau tidak, akan tetapi juga mengikutkan fungsi
distributifnya, apakah praktik tradisi ini menjamin keadilan bagi
dua belah pihak yang terlibat karena itu mensyaratkan adanya
pencatatan.
Namun sayangnya dalam hal sengketa keluarga, prinsip
pembagian kuasa ini tidak berlaku lagi. Dengan diberlakukannya
UU No. 7 tentang Peradilan Agama, hukum agama Islam menjadi
satu-satunya penyelesaian hukum atas sengketa keluarga Muslim.
Tidak ada peluang bagi pasangan muslim untuk menyelesaikan
persoalan rumah tangganya di luar hukum Islam, yang dalam hal
ini keluar dari yurisdiksi kelompok, dan meminta perlindungan
negara untuk menyelesaikannya secara sekuler. Hal ini terjadi
mulai dari pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama),
banding (Pengadilan Tinggi Agama) hingga kasasi (Mahkamah
Agung). Ketiadaan kesempatan ini menjadikan akomodasi
transformatif sulit diterapkan karena prinsip keduanya tiada yang
bekuasa (no monopoly r ule) tidak tersedia yang otomatis
meniadakan prinsip ketiga, adanya alternatif jalan keluar
(establishment of clearly delineated choice options).
Saya katakan sulit, bukan tidak mungkin. Upaya yang sedang
bergerak saat ini terkait dengan pembahasan Rancangan UU
Hukum Materiil Peradilan Agama dan revisi UU Perkawinan bisa
dijadikan jalan untuk membuka ruang tersedianya kedua prinsip
Keragaman dan Hak-hak wanita 85
yang belum ada. Hal ini penting karena tersedianya pilihan jalan
lain bagi suatu komunitas untuk menyelesaikan persoalan adalah
kebutuhan mutlak dalam warga beragam yang demokratik.
Adanya pilihan lain ini juga bisa menjadi indikator atas
penghormatan hak-hak individu sehingga kekerasan atas nama
negara dan kelompok dalam keluarga bisa diperkecil.
Alternatif ini tidak akan membahayakan identitas kelompok,
karena sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Shachar, pemberian
jalan keluar ini tidak dimaksudkan agar seorang individu
melepaskan keanggotaannya dalam kelompok, akan tetapi hanya
keluar dari tradisi kelompoknya dalam kasus tertentu (partially
exit). Di banyak kasus lain ia tetaplah anggota kelompok ini
dan berkewajiban menjalankan semua aturannya.
Optimisme ini menjadi lebih kuat karena ketika berbicara
penguatan dari dalam, sebagai salah satu bagian penting dalam
akomodasi transformatif, komunitas muslim negara kita cukup siap
dengan hal ini. Sejak gerakan kesadaran gender di kembangkan
pada tahun 1980-an, para aktivis Muslim adalah bagian dari
kelompok yang menyambut program ini di garda depan. LSM
berlatar belakang Islam yang bergerak di isu gender bermunculan,
seperti P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat), Puan Amal Hayati, Rahima, Fahmina Institute, LKiS
(Lembaga Kajian Islam dan Sosial) dan lain-lain. Selain itu,
kesadaran gender juga menjadi salah satu program di banyak anak
lembaga sosial kewarga an seperti Fatayat NU dan Nasy’atul
Aisyiah. Sejak saat itu, penafsiran kembali teks-teks agama
dilakukan dan ekplorasi atas khazanah tradisional yang ramah
perempuan terus digali. Para kader-kader hasil dari pelatihan dan
workshop yang dilakukan oleh lembaga-lembaga ini bersama
dengan perempuan Muslim lain inilah yang diharapkan bisa
mendorong tersedianya ruang alternatif penyelesaian dalam
sengketa keluarga Muslim di negara kita .
Penutup dan Pertanyaan Lebih Lanjut
Model inovasi Shachar ini memang menarik. Akomodasi
transformatif tidak hanya dengan serius menanggapi kebutuhan
kelompok minoritas untuk mendapatkan otonomi dan pengaturan
sendiri, akan tetapi juga dengan tepat merefleksikan banyaknya
kepentingan dan loyalitas yang komplek dari seorang individu yang
--- 86
menjadikannya subjek baik yurisdiksi negara maupun kelompok.
Selain itu, teori ini juga memberi ruang adanya dialog inter dan
intragroup. Dialog dalam kelompok sendiri memungkinkan seorang
perempuan melihat kembali praktik dan interpretasi terkait dengan
persoalan-persoalan yang dihadapinya dan mendialogkannya
dengan anggota kelompok yang lain. Sementara dialog
antarkelompok, memberi ruang bagi perempuan untuk
mengkomunikasikan persoalan-persoalan mereka ke wilayah
publik yang lebih luas. Upaya menarik perhatian publik ini tidak
hanya berfungsi sebagai pendidikan akan tetapi juga dukungan
jika suatu saat pelanggaran di wilayah privat terjadi.
Permasalahan yang mungkin muncul dari tawaran Shachar
ini adalah pertanyaan kesetaraan di depan hukum. Bagi para
pendukung multikuturalisme, ini bukanlah kritik baru, karena
mereka memiliki pengertian keadilan yang berbeda. Keadilan bagi
mereka bukanlah persamaan perlakuan yang berlaku universal,
akan tetapi keadilan adalah perlakuan yang proporsional sesuai
dengan kebutuhan masing-masing orang. Di sisi lain, bagi para
penentang multikulturalisme, tawaran Shachar ini hanya akan
memperpanjang daftar ketidaksetujuan.
Permasalahan lain yang perlu diperhatikan dari tawaran
Shachar adalah komunitas global berbasis agama. Muslim di
negara kita adalah bagian dari muslim di belahan dunia yang lain.
Demikian juga dengan Yahudi dan Kristen. Ketiga agama besar
dunia ini menganggap hukum keluarga merupakan bagian dari
tradisi hukum universal yang mengatur komunitas agama mereka
secara global. Persoalan yang terjadi di tingkal lokal sejatinya
adalah persoalan di tingkat global juga. Perubahan penafsiran
hukum Islam yang berlaku di negara kita pada dasarnya juga
memengaruhi konstelasi global hukum Islam. Memang,
kesempatan untuk mengakomodasi keragaman praktik lokal hukum
Islam masih terbuka, akan tetapi jika ide mengenai tradisi global
ini masih dipertahankan, apalagi menguat, penafsiran kembali atas
praktik hukum komunitas yang cukup substansial tentu akan
dipertentangkan.94
Hal lain jika akomodasi transformatif ini akan dipraktikkan
adalah sebelumnya baik kelompok maupun negara harus cukup
hati-hati dan tegas menentukan mana bagian dari pembagian
kuasa yang bisa dinegosiasikan dan mana yang tidak. Persoalan
Keragaman dan Hak-hak wanita 87
keyakinan, tentu saja adalah hal yang tidak bisa dinegosiasikan
dan hanya menjadi hak kelompok, akan tetapi pelaksanaan hak
berdasar keyakinan adalah hal yang bisa dinegosiasikan, dan
masing-masing otoritas bisa berkompetisi dalam hal ini. Tidak
adanya kesepakatan dalam wilayah mana yang bisa dinegosiasikan
dan tidak, justru menjerumuskan kembali kepada paradoks
kerentanan multicultural (the paradox of multicultural
vulnerability).
Menyelesaikan persoalan dilema pengelolaan keragaman dan
hak perempuan memang tidak mudah. Satu pendekatan yang cukup
sukses untuk menyelesaikan persoalan di suatu tempat, tidak serta
merta bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan di tempat
lain. sebab setiap persoalan mengandung nuansa lokalitasnya
masing-masing. Apakah tawaran Shachar ini mampu menjawab
persoalan hukum keluarga Muslim di negara kita ? Saya sudah
--- 88
Kata Pengantar 89
BAB 4
Kaum Muda dan
---
Farid Wajidi
--- 90
PADA bulan Desember 2006, Lusi Margiyani, seorang ibu
dari seorang siswa SMU Negeri favorit di Yogyakarta, menulis
surat bernada protes kepada Kepala Sekolah anaknya.95 Lusi
tergerak menulis surat sesudah mendengar cerita yang disampaikan
anaknya. Menjelang peringatan hari ulang tahun SMU ini ,
ada pengumuman melalui pengeras suara agar ketua kelas
berkumpul di lobi. Dalam pertemuan itu disampaikan bahwa setiap
kelas diminta untuk menampilkan sebuah pertunjukan untuk
memeriahkan acara ini . Pengumuman itu tentu saja
menyenangkan, tetapi sang anak merasa heran karena ada
ketentuan bahwa bila menampilkan kelompok musik, anak
perempuan tidak diperkenankan tampil sebagi vokalis ataupun
berpuisi atau semacamnya.
Meskipun tidak diungkapkan secara terang-terangan, alasan
di balik pelarangan ini mudah diduga; merujuk pada
kepercayaan suatu agama yang membatasi atau melarang
perempuan menampilkan dirinya di depan umum, termasuk
larangan memperdengarkan suara, karena suara perempuan
termasuk aurat, yang tidak boleh diperdengarkan kepada lawan
jenis yang bukan muhrimnya. Lusi menyatakan sangat prihatin
dan tidak bisa memahami ketentuan yang diskriminatif ini.
Sejumlah pertanyaan dikemukakannya: apakah ketentuan ini resmi
dari sekolah? Ataukah hanya karena kebijakan dibuat oleh panitia?
Apakah “hanya” karena anak perempuan sehingga dibatasi
kesempatan dan kebebasan untuk berekspresi?
Lusi meyakini tidak mungkin institusi pendidikan, seperti
sekolahnya, menerapkan peraturan yang diskriminatif, karena
tidak ada satu landasan hukum apa pun yang mendukung adanya
ketentuan yang tidak adil. Tetapi, lanjut suratnya, “Kalaupun itu
bukan kebijakan dari sekolah, katakanlah inisiatif dari panitia atau
kelompok tertentu yang cukup berpengaruh di SMU ini, apakah
Kaum Muda dan --- 91
sekolah tidak mengetahui tentang ketentuan ini? Apakah sekolah
akan membiarkan atau mengizinkan hal itu terjadi?”
Surat itu sebenarnya berbicara tentang Rohis (seksi kerohanian
Islam), organisasi keagamaan siswa di tingkat sekolah, bagian dari
OSIS, yang dirasakan semakin mendominasi kehidupan siswa di
sekolah. Lusi sebenarnya sudah merasakan kegelisahan sejak awal
pendaftaran kembali siswa kelas I. Saat itu anaknya mendapatkan
selembar daftar pertanyaan, semacam survei/ penjajagan,
bersamaan dengan lembar peraturan lain dari sekolah. Lembar
ini bukan dari sekolah, tapi dari kelompok Rohis. Pertanyaan-
pertanyaan dalam lembar ini , menurutnya, sangat
menggiring anak untuk menjadi eksklusif, kurang toleran, dan
terlalu mengintervensi kehidupan pribadi siswa. Dia merasa, meski
tidak resmi dari sekolah, lembaran ini akan terasa menekan
bagi siswa karena didistribusikan di salah satu meja yang harus
dilalui setiap siswa ketika proses pendaftaran ulang.
Menutup suratnya, Lusi menulis, “Kami merasa perlu
menyampaikan hal ini di atas, karena kami merasa ikut
handarbeni96 dan bertanggungjawab dengan pendidikan yang
berlangsung di sekolah tempat anak saya belajar. Saya
menyekolahkan anak saya di SMA Negeri (yang bukan swasta
berbasis agama, ataupun eksklusif hanya untuk jenis kelamin
tertentu) agar dia mengalami proses berinteraksi dan belajar dengan
teman dari berbagai latar belakang (agama, tingkat ekonomi, lawan
jenis, suku dsb). Bukannya kami tidak menyetujui dengan
“bimbingan” yang dilakukan dari unit Rohis, karena kami juga
keluarga Muslim. Namun, kami sebagai Muslim senantiasa
berusaha ikut mewujudkan agar ajaran yang kami yakini membawa
rahmat bagi semua seisi alam (rahmatan lil `alamin).”
Surat ini mewakili kegelisahan sejumlah orang tua yang
menyekolahkan anak mereka di beberapa sekolah negeri favorit di
Yogyakarta. sebab terlibat cukup intens dengan para siswa
sekolah menengah dalam beberapa tahun terakhir ini, saya berkali-
kali mendengarkan cerita senada. Bagi saya, cerita-cerita itu
merupakan riak dari sesuatu yang lebih dalam, yakni gejala
menguatnya pengaruh keagamaan tertentu yang membentuk
identitas eksklusif para siswa di sekolah.
Tulisan ini ingin menyingkap lebih jauh fenomena menguatnya
identitas keagamaan di ruang publik Sekolah Menengah Umum
--- 92
Negeri (SMUN). Gejala menguatnya pengaruh agama sebagai unsur
pembentuk identitas siswa tidak selalu berarti negatif, dalam
beberapa hal justru bisa menjadi positif. Yang dipersoalkan di sini
adalah ketika identitas eksklusif itu menonjol dan mendominasi
ruang publik sekolah umum (negeri), yang pada gilirannya
berpotensi menghambat ekspresi identitas lain dan melahirkan
praktik diskriminatif. Dalam tarikan nafas yang sama, tulisan ini
bermaksud mengemukakan tantangan pengembangan kesadaran
pluralisme kewargaan (civic pluralism) di lingkungan sekolah-
sekolah menengah umum, dan di kalangan anak muda umumnya,
yang sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian negara kita yang
plural di masa depan.
Dalam suratnya, Lusi menyebut ihwal di atas sebagai “gejala
fundamentalisasi di kalangan siswa sekolah”. Penyebutan ini bisa
diperdebatkan. Tetapi kalau anda berkesempatan mengunjungi
salah satu sekolah semacam ini, anda akan menyaksikan sebuah
pemandangan “Islami” yang mencolok. Di berbagai sudut sekolah
terlihat berbagai kaligrafi al-Qur’an, di dalam kelas ada pajangan
doa-doa berbahasa Arab, sticker yang berisi kebanggaan terhadap
Islam terpampang di berbagai tempat, kadang-kadang, juga tampak
sticker solidaritas Palestina. Segregasi siswa lelaki perempuan
bukan hanya dilaksanakan pada upacara berbau keagamaan tetapi
juga acara yang bersifat umum. Bukan saja di ruang ibadah
(musala atau masjid), tetapi juga di kelas bahkan di aula sekolah
dipasang tirai/ hijab ketika ada acara yang bukan bernuansa agama.
Bersalaman antara siswa perempuan dan lelaki dilarang, karena
tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ada ruang kantin terpisah untuk
siswa dan siswi. Para siswa bermain bola memakai celana panjang,
karena alasan harus menutup aurat. Ada tadarus massal yang
wajib diikuti. Para siswa selalu dianjurkan untuk shalat
berjama’ah. Jilbab menjadi pembeda antara siswi beragama Islam
dan siswi non-Muslim. (Biasanya, tidak ada aturan tertulis
mengenai pemakaian jilbab ini, tetapi beberapa siswi mengaku
mereka akan mendapatkan teguran kalau tidak mengenakannya.
Di sebuah SMUN di Bantul, Yogyakarta, bahkan pernah terjadi
rambut siswi dipotong karena tidak mengenakan jilbab dengan
benar sehingga sebagian rambutnya menyembul di dahinya.
Seorang peneliti yang sudah berkeliling ke sekolah-sekolah untuk
mengamati hal ini di berbagai kota mencatat, “... di beberapa
Kaum Muda dan --- 93
sekolah umum …, suasana sering terasa seperti sebuah madrasah
di pesantren. Bahkan terkadang terkesan lebih ‘kolot’ dari pesantren
NU yang ada di Jawa.”
Sekalipun gejala ini tidak muncul tiba-tiba, baru belakangan
ini banyak pihak semakin menyadari adanya gejala pengerasan
identitas agama di kalangan siswa sekolah. Perhatian tentang ini
semakin menguat sesudah banyak orang terperangah menyaksikan
kenyataan bahwa pelaku bom bunuh diri di hotel JW Marriot dan
Ritz Carlton pada tahun 2009 lalu adalah seorang anak muda yang
baru saja menamatkan pendidikan sekolah menengah umum.97
Orang juga bertanya-tanya apakah ini mencerminkan wajah dari
dunia pendidikan kita sekarang? Apa gerangan yang terjadi di dunia
pendidikan kita terkait dengan kesadaran dan sikap penghargaan
atas keragaman yang merupakan karakteristik bangsa negara kita ?
Gejala apakah ini? Bagaimana semua itu bisa terjadi? Struktur
apakah yang sedang bekerja? Bagaimana hal itu dilihat dari sudut
pandang pluralisme kewargaan? Apa implikasinya bagi masa depan
negara kita yang beragam? Apa yang dapat dilakukan?
Korporatisme Negara Orde Baru dan Pendekatan
Islam Kultural
Tidak sulit mengatakan bahwa pembacaan komparatif
mengenai hal ini menegaskan pandangan bahwa gejala ini
tampaknya tidak unik di negara kita . Ia merupakan bagian dari gejala
global yang merepresentasikan bantahan atas teori sekularisasi
seiring dengan perkembangan tahap lanjut modernisasi masya-
rakat global.98 Semakin kuat argumen, untuk menyatakan teori
sekularisasi, yang mengatakan bahwa agama akan semakin tergeser
dan tergusur oleh perkembangan modernisasi, tidak terbukti.
Semuanya tidak berjalan linier sebagaimana digariskan dalam teori-
teori perubahan sosial beberapa dekade lalu. Dalam konteks Islam
telah terjadi persebaran ideologi Islam transnasional yang
mencerminkan krisis dunia modern sekaligus reaksi terhadapnya.
Modernisasi yang mengguncangkan institusi sosial dan kebudayaan
tidak hanya menawarkan berbagai inovasi dan harapan baru, tetapi
juga melahirkan kegelisahan dan perasaan tidak aman yang
mendorong orang mencari sandaran hidup yang hilang, dan agama
tampak menawarkan jalan keluar yang diinginkan.99
--- 94
Dalam konteks negara kita , faktor di atas bertemu faktor lain
(struktur kesempatan), yaitu adanya ruang tertentu yang ditutup
dan dibuka oleh pemerintah. Perkembangan ini harus kita lihat
sebagai “kelanjutan” dari sejarah perjumpaan agama (Islam) dan
negara yang belum juga mencapai titik akhirnya. Dalam kadar
tertentu, hal ini harus disebut sebagai buah dari keberhasilan
proyek Islam kultural yang mengalami intensifikasi selama masa
Orde Baru dan kemudian mendapatkan ruang ekspresi yang lebih
terbuka sesudah Orde Baru runtuh. Sejak kemerdekaan, debat
tentang posisi Islam dan negara tidak pernah selesai. Dalam
berbagai penggalan sejarah, ketegangan terkait dengan hal ini tidak
pernah pupus antara kelompok yang menghendaki Islam
mendapatkan tempat khusus dalam sistem ketatanegaraan
negara kita dan mereka yang menginginkan negara diatur dengan
prinsip-prinsip sebuah negara sekuler. Perdebatan sempat terhenti
semenjak Sukarno membubarkan konstituante pada tahun 1958,
tetapi pembubaran itu tidak pernah berhasil memadamkan
keinginan kelompok Islam tertentu untuk terus-menerus
memperjuangkan pandangan mereka.
Muncul optimisme di kalangan yang terakhir ini ketika rezim
Sukarno jatuh pada pertengahan 1960-an, tetapi segera disusul
kekecewaan sesudah Soeharto menolak merehabilitasi sejumlah
politisi Muslim dan membatasi ruang gerak Islam politik.
Selanjutnya, Orde Baru secara sistematis meminggirkan Islam
politik. Kecuali menjelang masa kejatuhannya, Orde Baru lebih
melihat Islam sebagai bahaya yang harus disingkirkan demi
kelangsungan kekuasaan Soeharto, tetapi pada saat yang sama
cukup terbuka dan mendukung ekspresi kulturalnya. Dalam hal
ini, kebijakan Soeharto lebih mirip dengan pendekatan Snouck
Hurgronje (1857—1936)100 terhadap Islam pada masa kolonial.
Upaya penjinakan itu bisa dikatakan mencapai puncaknya ketika
Orde Baru mengeluarkan kebijakan menjadikan Pancasila sebagai
asas tunggal bagi semua organisasi kewarga an pada tahun
1985. Kelompok yang menolak ideologi Pancasila dengan mudah
distigma sebagai gerakan separatis, atau berkeinginan mendirikan
negara Islam.
Menghadapi situasi represif, para aktivis Islam mau tidak mau
harus mencari jalan lain dan akhirnya memilih berkonsentrasi
pada gerakan kultural. Perlu dicatat, di samping alasan politik,
Kaum Muda dan --- 95
ada pemahaman diri yang baru di kalangan para aktivis sesudah
kegagalan mereka memperjuangkan gagasan politik Islam di pentas
nasional. Ada kesadaran bahwa kegagalan itu sendiri
mencerminkan ketidaksiapan kultural warga Muslim untuk
sebuah gagasan Islamisasi politik. Pembacaan ini kemudian
mendorong mereka mengambil jalan melingkar dengan
berkonsentrasi pada dunia pendidikan dan dakwah sebelum
situasinya matang untuk sebuah perjuangan Islam politik yang
lebih kokoh. Penolakan terhadap piagam Jakarta di sidang-sidang
MPRS selama paruh kedua tahun 1950-an dipandang tidak hanya
disebabkan oleh kondisi politik yang tidak mendukung, tetapi juga
dilatari oleh minimnya pemahaman terhadap Islam di tengah
warga Muslim negara kita .
Dalam hal ini, peran Mohammad Natsir dan lembaga yang
didirikannya pada 1967, Dewan Dakwah Islamiyah negara kita (DDII)
sangat sentral dalam merintis gerakan Islam kultural, yang
kemudian merumuskan pendekatan dakwah sebagai cara alternatif
dalam menebarkan Islam di tengah situasi politik negara kita yang
sangat membatasi ruang gerak mereka. DDII kemudian
merumuskan beberapa program untuk mewujudkan tujuan
dakwahnya, seperti pelatihan dai, dan penerbitan buku-buku,
terutama para pemikir Ikhwanul Muslimin, dan pengiriman para
dai ke berbagai penjuru pedesaan di negara kita . Akses internasional
Natsir ke OKI memberi mereka kesempatan untuk menyekolahkan
generasi muda Muslim ke Timur Tengah yang disokong oleh
Pemerintah Saudi Arabia dan Kuwait. Melalui jaringannya, DDII
memfasilitasi proses transmisi pemikiran Ikhwanul Muslimin (IM)
di negara kita yang kemudian menyebar ke masjid-masjid kampus.101
Pada saat yang sama, PII (Pelajar Islam negara kita ) sebagai
organisasi pelajar Islam yang juga mulai terwarnai pengaruh IM
sedang giat-giatnya melakukan pengaderan di kalangan pelajar.
PII melalui training-training kepada pelajar memberikan benih-
benih militansi di kalangan pelajar.102
Inisiatif senada di jalur Islam kultural juga dirintis di tempat-
tempat lain. Salah satu yang terpenting adalah kegiatan dakwah
di Masjid Salman, Bandung, yang dimotori Imaduddin
Abdurrahim. Kegiatan masjid kampus semacam ini berkembang
pesat terutama pada tahun 1980-an di berbagai kampus terkemuka
di negara kita yang dengan satu atau lain cara terhubung dalam
--- 96
satu jaringan kerja antaraktivis dakwah. Maraknya kegiatan
dakwah di masjid kampus ini juga disumbang oleh kebijakan NKK/
BKK sejak 1978 yang juga sangat membatasi ruang gerak politik
mahasiswa di kampus dan membuat mereka mengambil alternatif
melibatan diri dalam kegiatan masjid kampus.103 Berhasil
mengembangkan kegiatan dakwah di tingkat kampus, sebagian
aktivis masjid kemudian tertarik memperluas pengaruhnya ke
sekolah-sekolah menengah, atau bahkan ke tingkat pendidikan di
bawahnya, dengan menyediakan diri mereka menjadi murabbi
‘mentor’ dalam kegiatan dakwah sekolah.104
Menarik dicatat, menyadari situasi yang melingkupi mereka,
dalam usaha masuk dan mengembangkan kegiatan dakwah di
sekolah ini, para aktivis dakwah kampus bekerja dan
memanfaatkan kebijakan korporatisme negara Orde Baru. Pada
tingkat sekolah, kebijakan korporatisme berdampak pada semua
prosedur dan birokrasi sekolah; lembaga-lembaga yang bekerja di
dunia pendidikan baru dapat berjalan sesudah menyesuaikan diri
dengan ketentuan dan mendapatkan restu seizin rezim penguasa,
termasuk lembaga-lembaga kesiswaan. Sebagai bagian dari
kebijakan korporatisme, Orde Baru menjadikan OSIS (Organisasi
Siswa Intra Sekolah) satu-satunya wadah resmi/ organisasi pelajar
di lingkungan sekolah untuk mempermudah proses ideologisasi
dan kontrol. Melalui organisasi ini semua kegiatan ekstrakurikuler
siswa diatur sedemikian rupa, mulai dari kesenian, olahraga,
hingga kegiatan keagamaan. Organisasi kesiswaan di luar OSIS
seperti PII (Pelajar Islam negara kita ), IPNU-IPPNU (Ikatan Pelajar
Nahdatul Ulama) dan IPM/ IRM (Ikatan Pelajar/ Remaja
Muhammadiyah) tidak diperkenankan berada dan beraktivitas di
dalam sekolah. Sebagai gantinya, otoritas sekolah dan pemerintah
hanya mengizinkan siswa Muslim yang ingin bergiat di bidang
keagamaan berkiprah di Seksi Kerohanian Islam (Rohis), yang
menjadi bagian dari OSIS.105
Pelarangan organisasi pelajar Islam mainstream memberi
ruang terbuka bagi kelompok keagamaan Islam baru yang lebih
puritan. Tanpa disadari banyak orang, memanfaatkan situasi ini,
sejak akhir 1970-an, kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) atau
Tarbiyah sudah mulai menyebarkan ajarannya ke sekolah
menengah umum melalui sistem sel. Gerakan dakwah kampus
(terutama kampus umum) melahirkan kader-kader dakwah yang
Kaum Muda dan --- 97
kemudian kembali ke almamaternya, SMU, dan mengembangkan
dakwah sekolah.106
Di bawah naungan OSIS, kegiatan keagamaan pun terus
berkembang. Situasi semakin mendukung ketika Soeharto
mendekat ke kalangan Islam pada awal tahun 1990-an, akibat
keretakan hubungannya dengan kelompok militer yang selama ini
menjadi pendukung utama kekuasaannya. Berbagai kelompok
agama dirangkul dan berbagai simbol dan jargon agama digunakan
dalam berbagai kegiatan formal. Di tengah warga , simbol-
simbol Islam semakin banyak digunakan. Busana muslim dan
muslimah, ritual-ritual keagamaan, publikasi Islam, bank Islam,
seni Islam, dan berbagai kegiatan keagamaan menjamur (di masjid,
institusi pendidikan, kantor, pabrik, rumah dan berbagai lingkung-
an). Masjid diramaikan, bukan hanya sebagai tempat ibadah tetapi
juga tempat pengembangan gerakan sosial bahkan politik.107
Pada titik inilah, term dakwah mulai digunakan secara lebih
luas. Bukan hanya di tempat ibadah, tetapi juga di dalam
warga , di universitas dan lingkungan sekolah. Dakwah adalah
payung berbagai kegiatan kelompok Islam yang dapat dilakukan
tanpa kontrol berlebihan, termasuk di sekolah. Dalam situasi ini,
aktivis dakwah kampus/ sekolah semakin leluasa menyebarkan
pengaruhnya. Di lingkungan sekolah gerakan dakwah dimulai
dengan menghidupkan kembali musala sekolah, yang kemudian
berubah menjadi arena untuk mengekspresikan diri dan
kepentingan siswa-siswi Muslim. Di tempat inilah identitas
keagamaan siswa Muslim ditekankan dan berbagai strategi
perluasan pengaruh Rohis disusun.108
Perkembangan ini semakin semarak ketika Reformasi bergulir.
Dalam perubahan situasi sosial politik, Rohis menjadi lebih leluasa
merancang dan melaksanakan kegiatan mereka. Hambatan
struktural sudah lebih bisa diatasi. Pada awal Reformasi pintu
terbuka bagi kalangan pendukung gerakan keagamaan di sekolah
seperti LSM sekolah. Pada fase ini berbagai kelompok yang selama
ini bekerja diam-diam tidak lagi harus menutup-nutupi
kegiatannya, terutama para alumni yang semakin aktif terlibat
dalam dakwah sekolah. Namun, hal ini tidak berlaku bagi
organisasi pelajar seperi IPNU-IPPNU, PII dan IRM. Pintu sekolah
secara formal tetap saja tertutup bagi mereka, sementara ruang
yang tersedia sudah dikuasai oleh kelompok Islam baru.
--- 98
Gerakan dakwah menangkap dan memanfaatkan struktur
kesempatan yang tersedia dengan melancarkan strategi yang lebih
menarik dan sesuai dengan kebutuhan yang berkembang, termasuk
mengakomodasi kecenderungan budaya populer yang semakin
merasuki kehidupan remaja kota. Mereka mulai membuka diri,
dan tidak lagi membatasi diri pada konsolidasi ke dalam. Pendekatan
kepada guru, kepala sekolah dan warga sekolah dilakukan secara
terbuka. Alumni yang menjadi aktivis dakwah kampus semakin
didorong untuk mendekat kembali ke sekolah asalnya untuk
memperkuat gerakan dakwah sekolah. Mereka kemudian terkenal
dengan sebutan ADS (Aktivis Dakwah Sekolah).
Era Reformasi juga ditandai dengan ekspresi agama yang
semakin kentara di ruang publik dan semakin mendapat tempat di
dalam warga maupun kehidupan bernegara. Mengikuti
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, berbagai kelompok
Islam menjadikan pengembangan kehidupan keagamaan sebagai
agenda penting. Pembinaan keagamaan didorong bukan hanya di
wilayah warga , tetapi diperjuangkan sebagai kebijakan
pemerintah daerah, yang sekali lagi memberi ruang lebih luas bagi
kegiatan dakwah di dunia pendidikan. Situasi ini juga membuat
Rohis semakin berpengaruh dan semakin bertumbuh di sekolah-
sekolah, terutama sekolah menengah negeri terkemuka.
Hal yang penting diperhatikan adalah terjadinya pergeseran
fungsi Rohis dalam rentang waktu ini . Pada awal tahun
1980-an, sosok Rohis masih berbau kultural. Rohis pada umumnya
berfungsi membantu penyelenggaraan kegiatan keagaamaan,
seperti Perayaan Hari Besar Islam (PHBI) dan beberapa kegiatan
seremonial lainnya, atau aneka lomba kesenian Islam (misalnya
Qiro’ah atau seni baca al-Qur’an). Sebagai bagian dari OSIS, Rohis
tak ubahnya seperti seksi-seksi di bidang-bidang lain. Artinya
mereka bertanggung jawab kepada OSIS dan seluruh kegiatan
mereka harus dilaporkan dan dikoordinasikan dengan pengurus
OSIS. Pada tahun 2000-an, Rohis semakin mengokohkan
eksistensinya di sekolah. Di beberapa sekolah, Rohis bahkan sama
populernya dengan OSIS, atau bahkan mengunggulinya. Pada saat
yang sama, meskipun secara pelan sudah mulai berlangsung sejak
awal tahun 1990-an, Rohis, terutama di SMUN terkemuka di
beberapa kota, sudah bermetamorfosis menjadi gerakan yang
cenderung ideologis, walaupun corak ideologisnya disesuaikan
Kaum Muda dan --- 99
dengan dunia remaja dan dikemas untuk konsumsi anak sekolah.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa kelompok fundamentalis
relatif telah sukses memakai sekolah-sekolah menengah
umum sebagai salah satu tempat untuk sosialisasi ajaran,
rekruitmen serta pengorganisasian para anggotanya. Gerakan
mereka kadang-kadang dilakukan secara terang-terangan atas
nama organisasi, atau sekadar mengirimkan aktivis (terutama
alumni sekolah bersangkutan) untuk menjadi mentor agama Islam.
Lalu, apa saja yang dilakukan Rohis di sekolah?
Mentoring Islam di Sekolah
Di luar penampakan simbolik yang digambarkan di awal
tulisan ini, kegiatan terpenting Rohis adalah mentoring agama
Islam. Kegiatan andalan ini diadaptasi dari liqa’109 yang merupakan
tradisi Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), yang sud