penuh
menggumuli (engagement) keragaman itu dengan cara pluralis dan
sivik.”20 Di sini ide mengenai civic pluralism (pluralisme kewargaan)
bertemu dengan civil society (warga sipil).
Masyarakat sipil, yang dipahami secara struktural berada di
antara keluarga dan negara, memiliki tempat sentral dalam
demokrasi. Namun, sebagaimana dibahas Hefner di banyak tempat
pemahaman struktural itu saja tak cukup; ada aspek kultural yang
menjadikan suatu pengelompokan warga sebagai bagian
warga sipil atau tidak.
Bagi Hefner, suatu warga disebut sebagai civic pluralist
ketika anggota-anggotanya membuang segala usaha atau niat
untuk menekan atau mengurangi keragaman dan menjawab
tantangan-tantangannya dengan cara yang lebih damai dan
partisipatoris. Pluralisme kewargaan tercapai ketika pluralitas
pengelompokkan terus tumbuh menjadi penerimaan dan
pengakuan keragaman itu. Syarat berikutnya bagi partisipasi
--- 41
warga sipil adalah membangun institusi-institusi publik untuk
pengaturan warga secara damai, di atas dasar pengakuan
keragaman dan dialog serta engagement antarkelompok
warga .21 Proses ini disebut Hefner dalam banyak tulisannya
sebagai scaling-up, yaitu ketika dialog-dialog yang terjadi dalam
warga sipil diinstitusionalisasikan dalam kebijakan publik
negara. Institusionalisasi ini bisa berarti bahwa (organisasi)
warga sipil, meskipun kerap berhadap-hadapan dengan
negara sebagai kekuatan kritis atas negara, pada suatu titik justru
perlu bekerjasama dengan negara agar apa yang dilakukannya
menjadi terinstitusionalkan.
Rekognisi, Representasi, dan Redistribusi
Dalam pembahasan sejauh ini, apa yang diungkapkan
mengenai warga —yang di dalamnya pluralisme kewargaan
hidup—tampak tak berbeda banyak dari demokrasi liberal.
Kuncinya sebetulnya ada pada sejauhmana keragaman itu dapat
ditampung dalam ruang publik warga yang pluralis. Seperti
diungkapkan Hefner, kelebihan penggunaan istilah “pluralisme
kewargaan” adalah untuk menunjukkan bahwa demokrasi tak serta
merta berarti demokrasi liberal, tetapi bisa pula memberikan ruang
yang lebih besar bagi nilai-nilai publik, termasuk yang berasal
dari kelompok identitas tertentu, seperti agama, adat, atau lainnya.22
Dalam politik liberal, khususnya dalam perkembangan mutakhir,
pluralitas nilai-nilai kelompok, termasuk yang berasal dari agama,
bukannya tak diakui, namun masih tampak terbatas, sebagaimana
akan didiskusikan di bawah. Ide mengenai pluralisme kewargaan
berusaha memperluas ruang pengakuan keragaman itu.
Terkait dengan kualitas ruang publik, yang ditentukan juga
oleh efektivitas dalam mencapai tujuan bersama, di antara
kebaikan bersama yang tak sulit disepakati adalah adanya keadilan
dan kesejahteraan. Sebagaimana dibahas di Bab 1 bahwa salah
satu ancaman terhadap pluralisme adalah politik identitas, yang
dipicu oleh/ atau bermuara pada adanya ketidakadilan; pluralisme
kewargaan pun tidak akan bisa terbangun apabila masih dijumpai
struktur ketidakadilan dalam berbagai aras kehidupan.
Pengelolaan keragaman dengan demikian memiliki beberapa
aspek. Keragaman perlu diakui, karena ia melekat dalam demokrasi
yang ingin menghargai otentisitas (dan otoritas) warga negara
--- 42
yang beragam. Di samping itu, pengelolaan keragaman harus
diletakkan sebagai instrumen antara untuk memperjuangkan
tujuan-tujuan bersama, yakni kesetaraan dan keadilan sosial. Hal
ini sekaligus menjadi jawaban bagi sebagian kritik atas
multikulturalisme yang mengkhawatirkan bahwa perhatian pada
keragaman akan mengalihkan perhatian kita dari ketidakadilan.
Beberapa aspek itu dapat diungkapkan dalam “strategi 3-Re” yang
mewakili pilar-pilar penopang dalam membangun keadilan, yaitu
rekognisi, representasi, dan redistribusi sumber daya.
Politik Rekognisi
Pengakuan (recognition) dan penghargaan pada yang lain dan
berbeda adalah dasar utama pluralisme kewargaan. Dalam tataran
hidup keseharian, ukuran rekognisi dilihat dari sejauhmana
entitas-entitas yang plural dalam warga menghormati dan
mengakui perbedaan dan keragaman. Pengakuan ini tak terbatas
pada toleransi, yang sekadar membiarkan yang liyan hidup sendiri,
melainkan menghargai keberadaan kelompok lain yang berbeda
dalam relasi antarkelompok. Dalam tataran politik formal,
rekognisi dilihat dari sejauhmana negara (pada tingkat nasional
maupun lokal) menghormati dan mengakui berbagai perbedaan
dan keragaman dalam warga . Sejauh mana konstitusi
mengekspresikan pengakuan itu, dan sejauh mana kebijakan-
kebijakan negara menegaskan jaminan konstitusi ini ?
Pengakuan ini tentu bukan hanya dalam konteks hak-hak sipil
dan politik, melainkan juga pada hak-hak sosial, ekonomi dan
kultural, termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap
kesatuan warga hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
(pasal 18 B UUD 145) dan penghormatan pada identitas budaya
dan hak tradisional (pasal 28 I).
Kebijakan yang bersifat menyeragamkan dan diskriminatif
adalah bentuk pelanggaran prinsip ini oleh negara (sekali lagi,
dalam tingkat nasional maupun lokal). Contoh kongkretnya adalah
kebijakan yang tidak mengakui beberapa kelompok warga
dalam administrasi kependudukan, menyangkut hak-hak sipil
penganut agama-agama lokal. Di sini kegagalan rekognisi bisa
berakibat juga pada pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi
mereka.23
--- 43
Politik Representasi
Dalam mengelola keragaman, demokrasi menawarkan
beberapa model, yakni melalui partisipasi dan kompetisi. Partisipasi
menyangkut keterlibatan warga negara dalam proses pengambilan
keputusan tentang hidup bersama, dan sesudah itu diikuti dengan
kontestasi ide-ide yang akan dipilih melalui mekanisme pemilihan.
Representasi diperlukan untuk menghadirkan aspirasi warga
negara dalam ranah publik. Di negara kita , representasi atau perwa-
kilan seringkali hanya merujuk pada fungsi artikulasi dan agregasi
kepentingan yang dijalankan oleh lembaga perwakilan formal
(parlemen). Namun, sesungguhnya, sebagaimana ditunjukkan
Hannah Pitikin24, ada empat wajah representasi: representasi for-
malistik, simbolik, deskriptif; dan substantif. Tiga wajah repre-
sentasi alternatif itu diperjelas oleh Harris, Stokke dan Tornquist.25
Representasi simbolik meliputi keterwakilan kultur,
kepercayaan dan identifikasi. Isu utamanya adalah cara bagaimana
seorang wakil dapat diterima sebagai wakil dari kelompok yang
diwakilinya. Tingkat keterwakilannya dapat dilihat sebagai tingkat
penerimaan dari orang atau kelompok yang diwakilinya.
Representasi deskriptif adalah tingkat kemiripan (resemblance)
antara yang mewakili dengan yang diwakili. Kemiripan meliputi
kesamaan berbasis kewilayahan, komunitas, kelompok dan gender.
Representasi substantif adalah aktivitas memperjuangkan
kepentingan tertentu yang direpresentasikan dalam ranah publik.
Tingkat keterwakilan dapat dilihat dari sejauhmana wakil bisa
memperjuangkan kepentingan yang diwakili.
Representasi bisa dilakukan secara langsung (self-
representation) atau melalui perantara. Dalam konsep empat
representasi politik di atas, aktor-aktor yang bisa menjadi wakil
bukan hanya warga politik, seperti partai politik, namun juga
kelompok atau institusi yang mengemban fungsi sebagai perantara,
seperti warga sipil (lembaga warga sipil, media massa),
warga politik (partai politik, kelompok kepentingan/ penekan),
dan pemimpin informal (pemimpin komunitas, pemimpin agama,
dan sebagainya). Keempat konsep representasi di atas penting
bersinergi, karena masing-masing memiliki kekuatan dan
kelemahannya sendiri-sendiri.
Berbicara mengenai pluralisme kewargaan dengan penekanan
pada keragaman agama, di antara isu utama dalam representasi
--- 44
adalah, misalnya, apakah kelompok-kelompok keagamaan yang
beragam bisa merepresentasikan aspirasi mereka dalam ruang
publik? Siapa atau institusi apa yang digunakan untuk mere-
presentasikan aspirasi mereka? Dengan cara apa? Bagaimana
konfigurasi kekuatan dari intitusi representasi itu?
Politik Redistribusi
Isu politik redistribusi menyangkut beberapa ranah perhatian.
Pada ranah hidup keseharian, isunya adalah, dalam struktur
ekonomi-politik yang terbangun dalam warga , siapa yang
menguasai atau memiliki apa? Bagaimana pola hubungan produksi
dalam masyakarat (agraris, semi industrial, industrial)? Khususnya
menyangkut komunitas keagamaan, apakah pola hubungan
produksi sebangun dengan pengelompokan sosial keagamaan
ataukah saling silang? Isu-isu identitas keagamaan apa yang
muncul dalam pola hubungan ekonomi?
Pada ranah kebijakan, negara ditempatkan mewakili publik
dalam melakukan fungsi redistribusi. Dalam kacamata neoklasik,
negara berperan untuk mengatasi kegagalan pasar dengan
kebijakan kesejahteraan, seperti perlindungan, kebijakan afirmatif
pada warga miskin (subsidi, kemudahan akses) dan pemberian
pelayanan publik. Tujuan politik kesejahteraan negara adalah
kualitas kehidupan manusia yang lebih baik. Pertanyaannya adalah
apakah yang dilakukan oleh negara sebagai agensi publik dalam
meredistribusikan sumber daya kesejahteraan? Apakah ada
keberpihakan negara di sana, dan apakah itu bias keagamaan?
Apakah kelompok-kelompok keagamaan memiliki mekanisme untuk
mengatasi kegagalan negara dalam menjalankan fungsi
redistribusi?
Ranah Publik dalam Prisma Keragaman
Di bagian awal bab ini telah disebut dua ciri utama yang
menentukan kualitas ruang publik, yaitu tingkat keinklusifannya
dan kualitas deliberasi di dalamnya, yang bertujuan untuk sekaligus
mewakili atau mengakui aspirasi warga negara yang beragam,
dan juga menghasilkan keputusan dan tindakan bersama demi
pencapaian kebaikan bersama. Dalam rekognisi, representasi, dan
redistribusi, beragam kelompok atau kepentingan bersaing dan
bekerjasama di ruang publik. Keragaman bisa menjadi sumber
--- 45
masalah ketika ada bias, bahkan diskriminasi, tetapi bisa juga
menjadi kekayaan bersama.
Adanya keragaman dalam ruang publik bersama itu
memunculkan isu bagaimana menegosiasikan keragaman klaim
normatif (berdasar budaya, agama, sukubangsa, bahasa) dalam
ruang publik. Ketegangan antara “kesatuan” (unity) dan
“keragaman” (diversity) sebagai isu utama dalam warga plural
adalah, dalam konteks negara kita , isu pemaknaan bhinneka tunggal
ika. Meskipun sering diajukan sebagai solusi bagi masalah
keragaman negara kita , namun kita tahu slogan itu sebetulnya
adalah awal usaha memecahkan masalah, bukan akhirnya, dan
perlu ditafsirkan terus menerus. Di masa Orba, misalnya, kesatuan
ditekankan dengan mengurangi keragaman (atau menjadikannya
tak efektif, sebagai museum). Di masa ini, ketika kebebasan
semakin besar dan ada kebijakan desentralisasi, sebagai dua
konsekuensi utama dari Reformasi, kita masih bergulat untuk
memberikan tafsir baru bagi bhinneka tunggal ika.
Hal yang paradoksal, seperti diungkapkan Bhikhu Parekh,
adalah bahwa semakin beragam suatu warga dan semakin
dalam keragamannya, maka justru diperlukan kohesi/ persatuan
yang semakin besar juga untuk mengikat warga itu.
Memandang kritik atas nasionalisme negara bangsa sebagai
kekuatan yang menghomogenkan, tantangannya adalah bagaimana
memiliki persatuan tanpa keseragaman. Parekh melihat bahwa
di ruang publik, keragaman tetap harus muncul, tak bisa sekadar
ditoleransi. Ia berargumen, “Tanpa harus menyepakati semua nilai-
nilai dan praktik [kelompok-kelompok yang berbeda], suatu
warga multikultural mesti menemukan cara untuk ...
membentuk ulang wilayah publik mengikuti garis-garis
(keragaman) multikultural. Wilayah publik dan privat yang
dibentuk secara multikultural itu selanjutnya saling mendukung
dan memungkinkan semangat keragaman budaya masuk dengan
mulus ke beragam wilayah kehidupan dan menghidupi etos
multikultural warga secara keseluruhan.”26 Dengan cara ini,
menurut Parekh, keragaman tak menjadi perpecahan, sementara
kesatuan tak menjadi abstrak.
Apa makna “membentuk ulang wilayah publik mengikuti garis-
garis keragaman yang ada dalam warga ”? Banyak pemikir
telah mengusulkan beragam cara untuk mengakui keragaman nilai
dan praktik di ruang publik. Tanpa melihat ulang spektrum panjang
yang membedakan para pemikir itu, di sini hanya akan
diringkaskan beberapa pandangan untuk menunjukkan spektrum
pemikiran mengenai isu ini.
Liberalisme Rawls
Dalam pemikiran politik liberal, umumnya keragaman diatasi
dengan meletakkannya di ruang privat. Pemikir liberal yang lebih
mutakhir, seperti John Rawls, berusaha lebih serius menghadapi
keragaman di ruang publik. Upaya akomodasi keragaman (agama,
atau pandangan-pandangan lain yang disebut sebagai “doktrin
komprehensif ”) dilakukan melalui ide mengenai public reason
‘nalar publik’. Secara sederhana, (keragaman) doktrin komprehensif
hanya bisa muncul ke ruang publik sesudah diterjemahkan sebagai
nalar publik, yang berfungsi sebagai bahasa sivik atau kewar-
ganegaraan bersama.
Rawls menegaskan adanya fakta keberagaman yang selalu ada,
bersifat permanen, dan karenanya mesti diterima. Meskipun
demikian, ia yakin tetap perlu ada konsensus, dan setiap
warga memiliki sumber daya untuk mencapainya. Gagasan
nalar publik muncul sebagai bagian dari metodologi menemukan
konsensus itu. “Saya mengusulkan bahwa dalam nalar publik,
doktrin-doktrin komprehensif mengenai kebenaran digantikan oleh
gagasan yang dapat diterima nalar mengenai isu-isu politik (the
politically reasonable) yang disampaikan kepada warga negara
sebagai warga negara,” tegas Rawls.27 Lebih jauh, “Setiap doktrin
komprehensif, religius atau sekular, dapat diajukan dalam
argumen politik, tetapi pada saat yang sama diajukan alasan-alasan
publik untuk argumen mereka. Dengan begitu, pandangan mereka
bukan hanya untuk satu kelompok khusus, tetapi argumen yang
dapat (tapi tak harus) disetujui seluruh anggota warga .” Yang
penting di sini adalah bagaimana argumen yang diajukan dapat
dipahami dan dinilai terlepas dari doktrin komprehensif apa yang
dianutnya. Doktrin komprehensif dalam bentuk aslinya tetap tak
bisa diterima dalam ruang publik, tetapi bisa diajukan dalam bentuk
nalar publik.
Salah satu dari banyak kritik atas ide Rawls melihat bahwa
gagasan itu sebetulnya masih tak memberikan tempat yang cukup
bagi keragaman, karena keragaman yang akhirnya muncul di
--- 47
ruang publik adalah keragaman yang telah “dimiskinkan”, ketika
harus masuk dalam bingkai nalar publik. Nalar publik bukan
sekadar medium netral, tetapi memiliki kandungannya sendiri,
yaitu kandungan liberal, seperti tercermin dalam beberapa
asumsinya mengenai rasionalitas dalam komunikasi publik.28 Selain
itu, khususnya dalam situasi yang berpotensi ada kesenjangan
antarkelompok, persyaratan nalar publik sebagaimana dipahami
Rawls justru berpotensi menguntungkan kelompok tertentu dan
mendiskriminasi kelompok lainnya.
Nalar Kewargaan an-Na’im
Dalam konteks Muslim, gagasan Abdullahi an-Na’im mengenai
nalar kewargaan (civic reason) mirip dengan, dan sebagiannya
mungkin diturunkan dari gagasan nalar publik Rawls, namun ingin
memberikan ruang lebih besar bagi munculnya ekspresi budaya
atau agama di ruang publik. Salah satu kunci gagasan an-Na’im
adalah pembedaannya yang sangat tegas antara politik dari negara.
Menyangkut negara, ia adalah pendukung sekularisasi, dalam artian
bahwa negara bersikap netral, bukan menghalangi atau memusuhi
agama; bahwa dalam suatu negara Muslim, negara tidak memak-
sakan satu pandangan tentang Islam yang akan menghilangkan
kebebasan Muslim sendiri untuk memilih pandangan Islami lain
berdasarkan pemahaman lain yang sama absahnya. Alih-alih
memisahkan negara dari agama, ia justru berpendapat bahwa
agama tak bisa disingkirkan dari politik, tetapi juga bahwa otoritas
negara tak boleh memengaruhi agama. Kebijakan publik mesti
mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai warga negara, yang
semestinya mendapat ruang untuk mengekspresikan keyakinan
dan nilai-nilainya dalam politik.
Dalam hal ini, meskipun kerap disebut sebagai Muslim liberal,
ia memiliki kritik terhadap kelompok itu, “Tanggapan yang kerap
diajukan mereka yang merasa terancam oleh meningkatnya
fundamentalisme keagamaan, apakah itu kelompok elite yang
berkuasa ataupun intelektual liberal, adalah dengan menegaskan
bahwa agama mesti dipinggirkan sepenuhnya ke wilayah privat,
dan dengan demikian mengingkari perannya dalam mem-
promosikan tanggung jawab sosial pelaku ekonomi.”29 Menurutnya,
hal ini adalah respons yang keliru. Pembangunan sosial ekonomi,
atau globalisasi umumnya justru merupakan salah satu pemicu
utama sikap fundamentalis. Adanya persepsi mengenai ancaman
yang mau meminggirkan mereka memaksa kelompok-kelompok
yang terancam membentuk benteng perlindungan diri yang lebih
kokoh. Identitas yang terancam menimbulkan kebutuhan untuk
penegasan identitas. Meningkatnya konservatisme atau
fundamentalisme adalah salah satu bentuk respons atas tatanan
sosial-ekonomi-politik yang tak adil. Bentuk respons ini bisa tak
disetujui, namun salah satu pemicunya, tatanan sosial yang tak
adil, merupakan fakta yang harus diakui. Dalam membawa agama
ke ruang publik untuk menjawab tantangan itu, kaum
fundamentalis kerap memakai bahasa agama yang eksklusif
dan sering absolutis; yang perlu dilakukan kaum moderat bukanlah
mengingkari ruang bagi agama di ruang publik, namun
menampilkan bahasa keagamaan yang berbeda.
An-Na’im ingin membawa agama kembali ke ruang publik,
yaitu sebagai kontributor pemecahan masalah bersama. Ia melihat
perlunya suatu kerangka acuan moral dalam pembangunan atau
globalisasi, yang biasanya tidak responsif terhadap keprihatinan
menyangkut keadilan sosial. Keterlibatan agama dalam politik
diterima, bahkan disarankan, dalam usaha memengaruhi kebijakan
publik, namun yang ditentangnya adalah kelompok agama
memakai tangan negara untuk memaksakan pandangan
tertentu agama itu, karena hal ini justru menundukkan agama di
bawah otoritas negara. Untuk jangka pendek, hal ini
menguntungkan sekelompok orang tertentu, tetapi untuk jangka
panjang ia justru akan merugikan agama.
Bahasa alternatif yang diajukan an-Na’im adalah civic reason
‘nalar kewargaan’.30 Seperti halnya nalar publik, nalar kewargaan
bisa dipandang sebagai bahasa bersama yang memungkinkan
dialog mengenai nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan berbeda
dalam suatu warga yang beragam. Warga atau kelompok
warga melakukan dialog atau persuasi untuk meyakinkan warga
atau kelompok lain yang mungkin meyakini nilai-nilai yang
berbeda, agar dapat menerima nilai-nilainya. Jadi dialog adalah
usaha untuk memengaruhi dan mengubah pandangan warga
negara lain, untuk mencapai suatu konsensus, dan dalam banyak
hal, akhirnya memengaruhi kebijakan pubik. Di sini agama terlibat
dalam politik dalam kerangka kewarganegaraan.
Tiga batasan utama dalam gagasan an-Na’im tentang nalar
---
kewargaan adalah konstitusionalisme, HAM, dan kewarganegaraan
yang setara. Inti nalar sivik adalah bahwa orang tampil di ruang
publik sebagai warga negara, dan setiap warga negara adalah
setara. Kesetaraan ini perlu dijamin dalam konstitusi. Sebagai
hukum internasional, HAM adalah batasan lain yang tak boleh
dilanggar. Ide ini, bagi an-Na’im perlu dilegitimasi secara otentik
oleh kelompok-kelompok identitas mengikuti tradisinya masing-
masing—dan an-Na’im yakin bahwa nilai-nilai ini bersifat
cukup universal dan menemukan gemanya dalam setiap tradisi.
Meskipun demikian, kita melihat juga bahwa konstitusi pun dapat
diubah; yang penting di sini bukanlah kandungan substansial
konstitusi sebagai sesuatu yang statis, tetapi konstitusi sebagai
hasil konsensus, yang cukup stabil meskipun masih membuka
kemungkinan perubahan. Berbicara dalam konteks Muslim, ia
menunjukkan bahwa semua Muslim di dunia ini sesungguhnya
telah hidup dalam realitas negara bangsa modern yang
didefinisikan secara teritorial, bukan atas nama agama. Bahkan
negara-negara Islam pun didefinisikan dan dibatasi secara
teritorial. Salah satu contoh adalah fakta bahwa seorang Muslim
dari negara manapun memerlukan paspor, yang dikeluarkan
masing-masing negaranya, untuk melaksanakan ibadah haji ke
Arab Saudi. Dalam dua karya utamanya, an-Na’im membahas
dengan terinci bagaimana syariah bisa hidup (atau bahkan dapat
hidup dengan lebih sejahtera) di negara sekular.
Multilkulturalisme Parekh
Parekh, sebagai salah satu pendukung utama (salah satu versi)
multikulturalisme di masa kini, memiliki pandangan yang dalam
beberapa hal lebih radikal dibanding Rawls dan an-Na’im. Bagi
keduanya, baik gagasan nalar publik ataupun nalar kewargaan,
pada akhirnya yang muncul di ruang publik adalah individu-individu
otonom; identitas kelompok semestinya diterjemahkan dalam
suatu nalar yang bersifat publik. Bagi keduanya juga, bisa dikatakan
bahwa HAM adalah harga mati. Perbedaannya adalah an-Na’im,
sebagai partisipan Muslim dalam debat ini, mengusulkan bahwa
komunitas Muslim (atau komunitas-komunitas tertentu lain pada
umumnya) bertugas untuk menjustifikasi atau melegitimasi
gagasan-gagasan itu dengan argumen-argumen yang absah dalam
internal kelompok masing-masing.
Parekh bergerak lebih jauh dengan membuka kemungkinan
memperdebatkan atau membawa nilai-nilai kelompok itu ke ruang
publik. Ia juga membuka kemungkinan memberikan perlakuan
berbeda terhadap suatu kelompok, sebagai ungkapan kongkret dari
pengakuan keragaman budaya. Dalam konteks hukum, hal ini
mengarah pada pluralisme hukum, yang tak akan dibahas secara
khusus di sini. Secara lebih luas, ide penghargaan atas keragaman
budaya ini mengarah pada wacana mengenai hak kelompok, yang
menjadi pembedaan paling tajam dengan konsep liberal, yang hanya
mengakui hak individual. Dari sudut pandang liberal sendiri,
menurut Parekh, penekanan pada individu pun akhirnya harus
memberi tempat pada kelompok, karena sebagian dari otentisitas
individu melekat pada kelompok; menghargai individu berarti
menghargai pula kelompok identitasnya. Dengan demikian, yang
bisa muncul di wilayah publik bukan hanya individu-individu
otonom, namun juga kelompok. Untuk alasan yang mirip dengan
alasan kelahiran politik identitas, hak kelompok mendapatkan
tempat dalam multikulturalisme Parekh, sebagai alternatif dari
liberalisme politik. Namun, hak kelompok ini justru bekerja dalam
arah yang berlawanan dengan usaha pemberian hak yang setara
pada semua orang: hak kelompok mengecualikan (atau
mendiskriminasi secara positif) kelompok-kelompok tertentu yang
dianggap memiliki alasan untuk menerima perlakukan khusus itu.
Setiap orang dapat hadir dengan segala kekayaan budayanya di
ruang publik, tetapi juga mesti terbuka untuk deliberasi dengan
kemungkinan hasil akhir yang berbeda dengan yang diharapkan.
Bisa dikatakan bahwa Parekh nyaris tak memberi batasan mengenai
apa yang bisa didiskusikan.
Pada suatu titik, ketika keragaman muncul di ruang publik,
mau tak mau mesti dilakukan penilaian atas nilai-nilai budaya
lain. Parekh menunjukkan banyak contoh ketegangan ini; misalnya,
poligami (di kalangan sebagian kelompok Muslim dan Kristen),
sunat perempuan (yang populer di beberapa budaya Afrika),
pemakaian simbol-simbol keagamaan (jilbab untuk perempuan,
turban kaum Sikh), dan sebagainya. Bagaimanakah penilaian atas
praktik atau suatu sistem nilai tertentu dapat dilakukan di ruang
publik yang terdiri dari banyak penganut sistem nilai yang berbeda?
Bagaimana memberi ruang untuk nilai-nilai atau praktik-praktik
yang dianggap penting bagi kelompok-kelompok budaya tertentu
---
sembari mempertahankan “norma-norma universal”?
Parekh mengajukan beberapa alternatif. Pertama, kaum
universalis bisa berpegang hanya pada hak-hak asasi manusia.
Namun Parekh melihat bahwa norma HAM terlalu “tipis” untuk
dapat mencakup semua wilayah perseteruan; HAM masih
memungkinkan multitafsir dalam penilaian praktik-praktik seperti
itu. Meskipun dianggap universal, HAM tak dapat serta merta
diterapkan begitu saja, namun biasanya berinteraksi dengan budaya
lokal dan sejarah warga yang berbeda-beda, dan persoalan
kita justru menyangkut persinggungan terhadap keragaman
budaya ini . Kedua, prinsip nilai-nilai bersama; pertanyaannya
apakah semua komunitas dalam suatu warga benar-benar
berbagi nilai-nilai bersama itu? Dan bagaimana jika nilai-nilai itu
tak baik, dalam ukuran pihak lain? Ketiga, prinsip no-harm: sejauh
tak ada yang dirugikan atau disakiti, praktik-praktik ini bisa
diterima. Akan tetapi, bisakah harm didefinisikan secara netral-
budaya? (misalnya, lihat kasus poligami atau eutanasia). Keempat,
dan hal ini yang menjadi pilihan Parekh, adalah konsensus dialogis
atau dialog antarbudaya.
Dialog pun tentu juga terbatas, dan harus mulai dari suatu
kesepakatan bersama mengenai nilai-nilai tertentu, yang disebut
Parekh sebagai nilai-nilai operatif publik. Namun, nilai-nilai ini
tidak sakral, selalu terbuka untuk dipertanyakan dan dinego-
siasikan. Konsensus yang tercapai pun, dengan sendirinya, bersifat
tentatif dan mungkin dipertanyakan kembali dalam situasi berbeda.
Nilai-nilai operatif publik dibentuk oleh nilai-nilai konstitusional
dan legal, dan norma-norma yang berlaku di suatu warga ,
yang secara umum membentuk konsepsi warga itu mengenai
kebaikan atau struktur moral kehidupan publiknya.31 Dalam debat
publik, kelompok-kelompok yang bertentangan akan saling
memengaruhi; dan proses ini berpotensi memengaruhi hubungan
internal kelompok itu sendiri atau memaksa warga
mempertanyakan ulang nilai-nilainya.
Kelebihan sekaligus kekurangan dialog adalah ia tak
sepenuhnya terstruktur, dalam artian bahwa kriteria-kriteria yang
dipakai untuk mempertimbangkan suatu norma atau hukum
mungkin justru dipertanyakan dalam dialog itu, dan bisa jadi hasil
akhirnya tetap tak memenuhi keinginan semua pihak. Dengan
demikian, Parekh tak dapat memberikan seperangkat kriteria atau
aturan, namun hanya contoh-contoh (khususnya kasus-kasus
kontroversial seperti sunat perempuan dan poligami) yang
mendukung optimisme bahwa dialog dapat berjalan dan berakhir
dengan suatu kesimpulan, meskipun konsensus yang tercapai belum
tentu memuaskan semua pihak. Pada akhirnya, terlepas dari
kelemahan penggunaan standar-standar universal, dialog tetap
merupakan cara terbaik.
Kita kembali pada satu isu lain, mengenai redistribusi. Ketika
berbicara nalar publik, nalar kewargaan atau dialog, efektivitasnya
bergantung pada akses yang dimiliki setiap warga dan kelompok
kepada ruang publik. Satu kritik yang kerap diajukan adalah bahwa
kesenjangan sosial (ekonomi, pendidikan, posisi sosial) berarti pula
kesenjangan akses pada ruang publik, dan ketidaksetaraan pelaku-
pelaku dialog. Kenyataan ini sering menjadi sumber skeptisisme
efektivitas dialog, dan memang harus diakui skeptisisme ini cukup
berdasar. Meskipun demikian, ketimbang menjadikan alasan ini
sebagai usaha melemahkan dialog, lebih baik memosisikan usaha
memberikan akses yang setara pada ruang publik sebagai agenda
pemberdayaan warga yang dilakukan bersamaan dengan
pengembangan dialog. Kewajiban ini menjadi tugas warga
sipil dan pemerintah.
Implikasi Negosiasi/ Agensi
Budaya Kewargaan sebagai “Budaya Nasional”?
Jika dialog memungkinkan dibukanya ruang negosiasi yang
cukup luas bagi seluruh kelompok warga , maka yang
diperlukan, selain nilai-nilai operatif publik, adalah suatu
kemampuan yang dihidupkan dalam suatu budaya bersama warga
negara (civic culture). Bagi Bhikhu Parekh, suatu warga
multikultural tak hanya perlu merayakan perbedaan tetapi juga
merawat suatu “budaya kewargaan bersama” yang menyatukan
mereka. Meskipun demikian, memperhatikan argumen di atas,
tampaknya sulit memiliki suatu budaya atau “identitas nasional”
bersama yang diakui atau dipegang semua warga. Kandungan
substantif itu hanya mungkin untuk hal-hal atau prinsip yang
bersifat umum, sementara untuk hal-hal yang kongkret, pintu
negosiasi melalui dialog tetap terbuka. Budaya itu dalam artian
substantifnya akan terus berubah.
---
Mengambil contoh negara kita , ide mengenai bhinneka tunggal
ika dan Pancasila sering disebut sebagai salah satu penanda identitas
nasional bangsa negara kita . Ide ini diterima sebagai konsensus sejak
masa awal kemerdekaan negara kita , namun penafsirannya berubah
dan berkembang dari masa ke masa. Ketika Pancasila diberikan
“tafsir resmi”, maka ia menjadi dogmatik dan kehilangan fungsinya
sebagai sesuatu yang diterima semua warga negara. Syarat
penerimaan itu adalah kemungkinan semua orang untuk terlibat
dalam memberikan tafsiran atasnya—dengan kata lain, selain ide
yang bersifat umum, yang penting bukanlah kandungan spesifik
dari budaya bersama itu, namun kemungkinan budaya itu
berfungsi sebagai kerangka untuk partisipasi warga negara.
Salah satu penanda utama pluralisme kewargaan,
sebagaimana tampak dalam pengalaman beberapa negara, adalah
bahwa perbedaan budaya diungkapkan dalam kerangka budaya
kewargaan bersama yang berdasar pada nilai-nilai bersama, yang
terungkap dalam pemaknaan baru atas identitas politik.32 Untuk
memenuhi tuntutan ini, model pluralisme kewargaan perlu untuk,
pertama, mengizinkan suatu budaya kewargaan yang terbuka, yang
institusi dan praktek suatu komunitas politik terbuka untuk
diperiksa dan ditafsir ulang; kedua, persatuan politik dipahami
bukan dalam kerangka nilai-nilai politik bersama (karena
kandungan budaya kewargaan itu selalu terbuka untuk
didiskusikan), tetapi dalam kerangka kompetensi kewargaan
bersama untuk menegosiasikan perbedaan.
Budaya kewargaan adalah sebuah istilah populer, yang dalam
tulisan ini memiliki definisinya sendiri.33 Di sini, budaya kewargaan
dimaknai sebagai suatu budaya yang memungkinkan pergulatan
(engagement) warga , atau kumpulan warga negara, demi
mencapai konsensus-konsensus sosial untuk menyelesaikan
masalah bersama. Pergulatan itu sendiri merupakan bagian dari
partisipasi yang merupakan unsur sentral warga demokratis.
Peran Negara, Kesetaraan Hukum dan Akomodasi
Kemajemukan
Sejauh ini telah disampaikan tugas negara dalam warga
yang menghidupi pluralisme kewargaan. Secara umum, negara
bertanggungjawab menjaga ruang publik, sebagai sarana partisipasi
warga . Penjagaan ruang publik berarti menjaga ruang
ini agar bebas dari dominasi kelompok tertentu, dan
memfasilitasi akses partisipasi semua kelompok warga , yang
akan menentukan kualitas ruang publik ini . Dengan
penjagaan ini, negara dapat berperan dalam memfasilitasi nalar
kewargaan. Lebih jauh, seperti dibahas di atas, dengan beberapa
alasan, tugas itu sama sekali tak bisa dilepaskan dari tugas
redistribusi.
Ruang itu dapat diciptakan oleh pemerintah, melalui pem-
bentukan lembaga-lembaga yang memang dibentuk untuk itu,
maupun ruang yang terbentuk sendiri dari bawah. Contoh ruang
pertama adalah saluran partisipasi melalui pembentukan lembaga
seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
atau Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).34 Contoh saluran
partisipasi yang kedua sangat beragam; bisa datang dari pemben-
tukan organisasi-organisasi kewarga an dari bawah, hingga
media massa—yang kini terbuka lebih luas melalui medium internet.
Contoh lain untuk menunjukkan urgensi pemerintah dalam
menjaga ruang publik, melalui penegakan hukum, adalah model
fasilitasi oleh pemerintah, seperti yang dilakukan ketika ketegangan
dalam kasus Ahmadiyah mencapai salah satu puncaknya pada
2008. Pemerintah, khususnya melalui Departemen Agama, ketika
itu membuka ruang dialog yang patut diapresiasi; meskipun
pembukaan ruang itu tak diikuti dengan penegakan hukum atas kasus-
kasus penyerangan Ahmadiyah, sehingga dialog tak bisa mencapai
sasaran.35 Sayangnya, kelemahan seperti ini masih terus terjadi.
Satu hal yang menjadi pengingat bahwa kekerasan adalah
sesuatu yang benar-benar tak bisa ditoleransi. Kekerasan hanya
menjadi wewenang penegak hukum, dan itu pun dibatasi dengan
sangat ketat oleh UU, termasuk HAM. Di luar itu, setiap bentuk
kekerasan tidak dapat ditoleransi. Dalam penegakan hukum seperti
itulah, sebagai salah satu tugas terpenting negara, yang menjadi
kelemahan mendasar pemerintah pasca-Reformasi. Perlu dicatat
bahwa kelemahan penegakan hukum bukan hanya terjadi dalam
kasus-kasus menyangkut agama saja, tetapi tidak menutup
kemungkinan, di luar isu kekerasan, tampak lebih menonjol dalam
kasus-kasus lain, seperti korupsi. Penjagaan ruang publik dari
dominasi atau intimidasi adalah salah satu fungsi negara yang
paling elementer.
Namun, di samping itu, negara diharapkan berperan lebih
---
jauh. Selain konstitusi, salah satu instrumen penting pertama
dalam tata kelola warga yang beragam dan dasar bagi kohesi
adalah hukum. Ketika hukum dibicarakan di sini, di antara isu
utamanya adalah jaminan kebebasan beragama dan pengakuan
kemajemukan agama-agama. Hukum modern, secara umum,
menegaskan aspek kesetaraan warga negara. Meskipun demikian,
ada contoh dari banyak negara, termasuk negara kita , yang
melegalisasi perlakuan berbeda. Martin Marty, yang berbicara
mengenai pluralist polity, melihat bahwa hukum sebagai aturan
main bisa mengambil banyak bentuk. Contoh dari AS yang
diberikannya adalah Pasal 6 Konstitusi dan Amendemen Pertama.
Di Israel, lembaga kerabian Ortodoks memiliki hak legal lebih
tinggi, dan Yahudi dari kelompok ini diistimewakan, meskipun
tetap ada kebebasan bagi kelompok-kelompok lain. Adanya
perlindungan (meskipun bukan persamaan) kelompok-kelompok
agama melalui aturan main itu, bagi Marty, sudah cukup untuk
menyebut adanya pluralist polity, meskipun terbatas.36 Yang jelas,
diskriminasi tidak diperbolehkan di sini.
Di negara kita , Pasal 29 UUD, pasal-pasal terkait HAM dalam
Amendemen UUD, serta beberapa undang-undang menunjukkan
sudah adanya aturan ini. Selain memberikan jaminan kebebasan
beragama, hukum telah mengatur aspek-aspek lain yang mungkin
menyangkut keberagamaan secara langsung atau tidak. Meskipun
demikian, mesti diakui pula bahwa masih ada hukum-hukum yang
diskriminatif. Sebagai contoh, UU Administrasi Kependudukan
(2006) sudah merupakan langkah maju karena memungkinkan
kelompok-kelompok agama tak resmi mendapatkan hak-hak sosial
politiknya (misalnya terkait pencatatan perkawinan), meskipun
tetap ada kelompok-kelompok yang belum mendapatkan hak-
haknya.
Selain jaminan kebebasan beragama, peran lain negara adalah
dalam mengakomodasi keragaman. Pengakuan yang serius atas
adanya kelompok-kelompok yang beragam berarti tak menutup
pintu bagi akomodasi, atau perlakuan yang berbeda untuk
kelompok-kelompok itu sebagai penjagaan atas otentisitasnya,
sejauh ia tak menjadi diskriminatif terhadap kelompok-kelompok
lain. Inilah, misalnya, isu yang muncul dalam perdebatan mengenai
Rancangan UU Produk Halal: apakah UU yang mengakomodasi
kepentingan Muslim ini diskriminatif atau tidak? Bagaimana
dengan UU Perbankan Syariah atau Peradilan Agama? Adakah
perbedaan keduanya?
Secara historis, di negara kita , sebagaimana ditunjukkan
antropolog John Bowen, setidaknya ada tiga jenis keragaman
normatif yang secara riil sudah menjadi bagian sejarah dan realitas
sosial kita, dan menjadi dasar tuntutan pengakuan dan perlakuan
berbeda. Keragaman yang dimaksud adalah keragaman wilayah
(regional), agama, dan sukubangsa, yang terkadang semuanya
tumpang tindih dengan adat.39 Penegasan perbedaan di tengah
usaha penyatuan itu selalu muncul, namun mengambil bentuk
yang berbeda-beda. Di masa pemerintahan otoriter Orba pun
akomodasi telah dilakukan secara terbatas (dan sering didistorsi
oleh pemerintah), namun kini, dalam ruang kebebasan yang lebih
besar, persoalan lama ini terasa lebih sulit. Di masa ini, melalui
desentralisasi, pemberian status khusus atau istimewa pada
wilayah-wilayah tertentu adalah contoh lainnya. Jika dirunut
sejarahnya, semua ini sesungguhnya sudah berawal sejak masa
kolonial.
Keragaman sukubangsa bersama adat dan tradisinya sampai
tingkat tertentu berhasil dijinakkan di masa Orde Baru, meskipun
kini tampaknya menguat kembali. Yang tampak semakin sulit
dikontrol dan terus memainkan peran efektif pada saat ini adalah
keragaman agama. Tuntutan-tuntutan yang muncul atas nama
sukubangsa jelas masih ada, dan terkadang bercampur baur dengan
identitas keagamaan, namun, sebagaimana dikemukakan Heddy
Shri Ahimsa Putra, ada pergeseran yang amat kentara bahwa
agama lebih menjadi persoalan saat ini.
Khususnya di kalangan Muslim, sebagaimana ditunjukkan
Hefner, negosiasi alot di masa awal kemerdekaan kita, ketika
UUD dan Pancasila didiskusikan pertama kali dan tujuh kata yang
mengandung syariat Islam dicoret, memang berhasil menciptakan
konsensus yang dipuji banyak sejarawan, namun tuntutan untuk
kompensasi dari sebagian kelompok Muslim tak selesai di sana,
dan berlanjut hingga kini. Dalam sejarah berikutnya, hubungan
Muslim (dan dengan kelompok-kelompok agama) dengan
pemerintah dan militer ditentukan oleh usaha -usaha sebagian
kelompok Muslim itu untuk mendapatkan pengakuan lebih besar.
Hal ini tentu membuka peluang “kerjasama” atau pemanfaatan
mereka oleh rezim yang berkuasa, misalnya ketika melawan
gerakan partai komunis di sekitar tahun 1965, sesudah selama
tahun-tahun sebelumnya sebagian kelompok Muslim merasa
seperti diterlantarkan. Preseden ini terulang di masa Orba, ketika
untuk waktu yang lama sebagian kelompok Muslim itu merasa
seperti tak mendapat tempat meskipun sudah berkorban, namun
kemudian “berbulan madu” dengan rezim Orba di ujung kekua-
saannya, ketika rezim itu membutuhkan dukungan Muslim.
Kenyataannya, para pemimpin Muslim yang progresif justru berada
di garda terdepan dalam gerakan Reformasi. Segera sesudah
Reformasi, sebagian kelompok yang masih merasa kecewa,
mengajukan usaha untuk mengembalikan tujuh kata itu ke UUD.
Hingga saat ini, kontinuitas dengan peristiwa-peristiwa di
sejarah awal negara kita itu masih penting dipahami, ketika
kita melihat beberapa usaha untuk mendapatkan pengakuan lebih
besar hingga kini.
Dalam literatur seputar pluralisme dan multikulturalisme,
diskusi mengenai akomodasi mau tak mau menyentuh isu
mengenai hak komunal atau kelompok. Menarik dicermati bahwa
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai UU Pencegahan
Penodaan Agama (April 2010), isu mengenai perlindungan negara
dan akomodasi atas hak komunal suatu kelompok identitas (dalam
hal UU itu, kelompok agama) disebut sebagai salah satu ciri negara
negara kita sebagai negara Pancasila, dengan sila pertamanya yang
berbunyi “KetuhananYang Maha Esa”. Bagi MK, identitas komunal
budaya, suku, dan agama mendapat perlindungan negara.42 Bahkan
“beragama dalam konteks hak asasi individu tidak dapat dipisahkan
dari hak beragama dalam konteks hak asasi komunal”.43
Sampai tingkat tertentu, pandangan ini dapat dimengerti.
Identitas seseorang seringkali sebagiannya melekat dalam identitas
kelompok; keanggotaan dalam suatu kelompok juga menuntut
perlakuan tertentu kepada individu demi menjaga identitas itu.
Namun pada saat yang sama, ada pula problem representasi:
siapakah yang mewakili suatu kelompok? Inilah, misalnya, yang
tampak jelas dalam isu mengenai apakah Muslim Ahmadiyah
masih dapat dianggap sebagai bagian dari komunitas Muslim,
beserta segala konsekuensi sosial politiknya. Contoh lain adalah
penerapan suatu hukum yang khusus berlaku untuk suatu
kelompok, misalnya hukum terkait perkawinan, dan akibatnya bagi
subkelompok identitas tertentu, misalnya perempuan. sebab nya,
di luar perdebatan mengenai batas-batas yang dituntut oleh klaim
identitas itu, dalam sudut pandang negara, salah satu isu penting
ketika berbicara mengenai perlindungan negara atas suatu
komunitas adalah isu representasi: siapa yang mewakili suatu
komunitas? Bab 3 membahas problematika ini dengan cukup
mendalam; meskipun konteks bab itu adalah perempuan, namun
struktur problematikanya identik dengan subkelompok lain.
Isu keterwakilan perlu didiskusikan, karena dapat dengan
mudah terjebak pada pemberian keistimewaan pada suatu
subkelompok dalam kelompok itu dan merugikan yang lain. Isu
ini memaksa kita berpikir ulang mengenai konsep budaya, atau
kelompok identitas apa pun. Pertama, setiap identitas (budaya,
agama, atau gender, dan sebagainya) tidak bersifat monolit, statis,
selesai, namun hidup terus, berkembang, berubah, dan
mengandung multitafsir bahkan dalam komunitasnya sendiri.
sebab itu, tak selalu mudah mengakui pewakilan budaya pada
suatu kelompok tertentu dalam budaya itu. Budaya yang hidup
biasanya terus hidup bersama kontestasinya. Dengan argumen ini,
klaim suatu budaya mayoritas berpotensi kehilangan
kemayoritasannya ketika kita melihat bahwa dalam satu budaya
tertentu ada beragam kelompok yang memiliki pandangan berbeda.
Klaim negara kita sebagai negara mayoritas Muslim (dari segi
angka menurut sensus) tak serta merta berarti bahwa semua
Muslim di sini memiliki pandangan yang sama mengenai bentuk
negara, atau penerapan syariah, misalnya. Kegagalan menyadari
hal ini membuat hasil Pemilu 2009 tampak mengagetkan:
bagaimana mungkin dalam sebuah negara mayoritas Muslim,
partai-partai Islam dan wakil-wakil Islam gagal memperoleh suara
terbanyak? Di sini ada asumsi monolit: perilaku politik pemeluk
Muslim selayaknya sama, dan “sesuai dengan Islam” dan bahwa
“pandangan Islami” mengenai hal ini adalah satu. Kenyataannya,
asumsi ini jelas keliru. Dalam hal pemilihan umum, “aspirasi
Muslim” diwakili oleh beragam kelompok, mulai dari yang menolak
demokrasi dan dengan demikian menolak berpartisipasi dalam
pemilu, hingga kelompok yang meyakini bahwa kepentingannya
diwakili oleh partai politik Islam, ataupun yang tak menganggap
bahwa identitas Islam relevan untuk suatu partai politik. Hal
serupa juga bisa terjadi dalam pembicaraan mengenai keterwakilan
perempuan, misalnya benarkah seorang wakil perempuan di
---
parlemen akan mewakili kepentingan perempuan, dan kepentingan
kelompok perempuan yang mana? Benarkah rakyat Aceh
mengehendaki wilayahnya menjadi wilayah yang menerapkan
syariah Islam, sebagaimana dipahami institusi-institusi pelaksana
syariah di sana atau bahkan pemerintah pusat yang “meng-
hadiahkan” otonomi syariah di sana?
Meskipun satu kelompok diikat oleh kepercayaan dan
pengalaman yang sama, bisa jadi ada agenda yang berbeda-beda.
Ketakcermatan memperhatikan isu keterwakilan ini, dan asumsi
monolit/ esensialis akan menggagalkan politik keragaman.
Keragaman (internal) dalam keragaman antarbudaya menjadi isu
yang tak kalah penting dalam pembicaraan tentang pluralisme.
Dalam suatu budaya minoritas pun, mungkin ada minoritas
internal yang tertindas. Argumen ini membawa kepada isu
selanjutnya.
Suatu budaya tak serta merta “baik” seluruhnya, dan
mengandung hal-hal yang sulit diterima. Hal ini barangkali terlalu
remeh, tetapi terkadang terlupakan dalam semangat pembelaan
atas kepentingan kelompok atau budaya yang diajukan atas nama
menghargai keragaman. Bagi pejuang perempuan, misalnya,
multikulturalisme bisa menjadi hal buruk, jika setiap budaya
mengandung unsur patriarkal atau tradisi lain yang merendahkan
atau bahkan membahayakan perempuan. Isu ini menjadi penting
yang cukup lama diperdebatkan, bermula dari pertanyaan Susan
Okin, “Is multiculturalism bad for women?” Penghargaan kepada
suatu budaya tak selayaknya menutup mata (baik mata dalam
budaya itu, maupun mata orang luar dan pemerintah) dari praktik
ketidakadilan yang mungkin ada dalam budaya itu.
Fakta bahwa nilai-nilai dalam suatu kelompok identitas ada
beragam pandangan, dan bahwa nilai-nilai itu bersifat tak statis
dan dapat berubah membawa kita pada persoalan dinamika internal
dalam suatu kelompok. Di luar wilayah yang dapat atau perlu
dimasuki negara, ada wilayah kontestasi internal suatu komunitas.
Dalam wilayah inilah nilai-nilai itu diperdebatkan, dan mungkin
berubah. An-Na’im menekankan pentingnya memberi perhatian
pada dinamika internal kelompok ini. Menyangkut HAM, misalnya,
ia menunjukan urgensi komunitas internal suatu agama dalam
memberikan dasar bagi legitimasinya, sesuai dengan tradisinya.
Menyangkut syariah, beranjak dari premis bahwa dalam sejarah
--- 60
tradisi pemikiran Islam telah ada keragaman yang besar mengenai
syariah, ia melihat isunya bukan hanya apakah aspirasi syariah
boleh dibawa ke ruang publik atau tidak, tetapi bagaimana suatu
kelompok yang memiliki aspirasi itu membawanya ke ruang publik.
Di sini peran debat internal dalam suatu komunitas, untuk
merumuskan konsepsi mereka mengenai kebaikan bersama, dan
pengakuan atas adanya keragaman, bahkan dalam internal
kelompok itu, menjadi sangat penting.
Meskipun demikian, an-Na’im membedakan antara
keterlibatan dalam politik dan negara. Ia menyarankan keterlibatan
politik kelompok-kelompok agama, namun menentang dengan tegas
usaha meminta negara menjadi otoritas pelaksanaan aturan atau
nilai-nilai agama—bagaimana pun ia dipahami. Sekali negara (pada
tingkat nasional atau lokal) menjadi pemegang dan pelaksana
otoritas hal-hal keagamaan, maka aspirasi keagamaan kelompok
lain dalam komunitas itu sendiri akan dinafikan. Dengan kata lain,
kebebasan beragama individu-individu tertentu yang mungkin tak
sejalan dengan “arus utama” (atau klaim sebagai perwakilan arus
utama) menjadi hilang.
Batas ini memang tak selalu jelas, dan karenanya negara perlu
selalu berhati-hati. Isu perda berdasarkan ajaran keagamaan
tertentu, atau isu “aliran sesat/ menyimpang” adalah contoh-contoh
dilema antara pengakuan perbedaan dan usaha melindunginya,
dan penjagaan agar dia tak menjadi diskriminatif yang masih
diperdebatkan. Sampai di sini, isu mengenai teologi yang dibahas
di Bab 1 dapat kembali muncul. Isu teologis pada dasarnya
merupakan debat internal suatu komunitas, yang tak dapat dan
tak perlu dicampuri negara. Hal ini adalah bagian dari perjuangan
internal yang sebaiknya dibiarkan apa adanya. Tugas pemerintah
adalah memberikan ruang yang aman bagi semua peserta dalam
debat itu.
Kita sadar, dialog internal ataupun dialog di ruang publik
bersama tak selalu konklusif, dan membutuhkan proses panjang.
Meskipun demikian, strategi ini menjadi pilihan yang lebih menarik
dan bermakna jika dibandingkan dengan alternatifnya, yaitu
pengambilan keputusan oleh negara yang sifatnya top-down dan
memaksa, dan karenanya akan mengingkari partisipasi dari
individu dan kelompok warga yang beragam. Tawaran lebih
jauh mengenai strategi ini, yaitu ide mengenai “akomodasi
---
transformatif ” dibahas dalam Bab 3 (dalam konteks spesifik
perempuan), ketika membicarakan dilema akomodasi suatu agama
atau budaya dan kemungkinan pertentangannya dengan aspirasi
subkelompok itu. Secara umum tawaran itu adalah usaha melihat
dinamika antara apa yang terjadi di ruang publik dan dalam
internal suatu komunitas.
Kesimpulan: Dari Plural ke Kewargaan
Pluralisme kewargaan adalah usaha menggagas suatu modus
politik negara demokratis yang majemuk. “Pluralisme” berarti
memberikan pengakuan atas kemajemukan itu dan ruang yang
lebih besar bagi setiap komponen kemajemukan itu untuk tampil
mewarnai kehidupan publik. “Kewargaan” mengacu pada dua hal:
pertama, modus politik itu didasarkan pada prinsip
kewarganegaraan yang setara, termasuk bahwa seseorang atau
kelompok dapat diperlakukan berbeda karena perbedaan
identitasnya, tapi tak dapat didiskriminasi atau mendiskriminasi
warga negara lain. Kedua, setiap warganegara dituntut
berpartisipasi sebagai bagian dari warga sipil; namun
partisipasi itu mesti juga dilakukan secara beradab, tanpa
mendominasi ruang publik. Isu redistribusi kesejahteraan dan
keadilan muncul setidaknya karena dua alasan. Pertama, ia menjadi
syarat adanya kesetaraan akses pada ruang publik dan dengan
demikian menjadi syarat melakukan dialog atau mengajukan nalar
kewargaan; di samping itu, ia menjadi agenda utama atau tujuan
bersama yang ingin dicapai melalui deliberasi dan tindakan-
tindakan kolektif warga .
Di luar itu, komponen penting lain adalah budaya kewargaan,
suatu budaya bersama yang membingkai konsensus bersama untuk
memecahkan masalah-masalah bangsa, sekaligus juga kompetensi
ataupun etos untuk memecahkan masalah, ketegangan, konflik
antarwarga atau kelompok dengan cara yang beradab. Budaya
kewargaan dikembangkan karena beberapa alasan: pertama,
sarana partisipasi warga sebagai warganegara yang setara;
kedua, basis budaya bersama untuk pencapaian konsensus; ketiga,
sebagai sarana pemecahan masalah yang tidak perlu diregulasikan,
namun selalu dinegosiasikan. Sesuai karakter dan signifikansinya,
metode utamanya adalah dialog. Budaya kewargaan sering
mewakili etos yang dapat diinstitusionalisasikan, tapi mungkin
juga hidup dalam suatu warga sebagai jalan komplementer
di luar hukum. Jika pengakuan keragaman hanya ditegakkan
dengan hukum, ia akan menjadi terlalu legalistik dan mengingkari,
atau bahkan memiskinkan, kemampuan warga memecahkan
masalahnya sendiri.
Terkadang hukum dibuat dengan argumen susaha individu
atau kelompok warga tidak main hakim sendiri; namun
alternatif dari regulasi tentu bukanlah main hakim sendiri, tapi
dialog pada tingkat warga . Kompetensi kewargaan bukan
hanya kompetensi untuk terlibat dalam politik dalam perumusan
kebijakan atau pemilihan pemimpin, tapi juga kompetensi untuk
menyelesaikan masalah secara beradab tanpa harus melalui hukum.
Bagaimana pun hukum terbatas, dan tak perlu mencakup seluruh
wilayah kehidupan manusia. Nyatanya, sebagian besar masalah
sesungguhnya diselesaikan sendiri oleh warga dengan sumber
dayanya, tanpa melalui hukum negara, meskipun negara dapat
saja memfasilitasinya, minimal tidak merusaknya.
Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dialog adalah
mekanisme yang “tak sempurna”, dalam artian ia tak menjamin
hasil yang memuaskan semua pihak atau suatu hasil terbaik.
Konsensus dialogis tidak selalu menekankan pada penilaian atas
dasar seperangkat prinsip tertentu, tetapi dapat mulai dengan suatu
sistem nilai yang sudah ada, namun kemudian membuka ruang
dialog untuk menegosiasikan keberatan-keberatan. Sifatnya sangat
kontekstual, dan hasil akhirnya terbuka. Dialog memang bukan
jaminan diperolehnya penyelesaian yang memuaskan semua pihak
dan karenanya dipatuhi oleh semua. Namun argumen terakhir
untuk dialog adalah: adakah cara lain yang lebih baik?
Satu prasyarat penting untuk semua ini adalah adanya ruang
publik yang berkualitas, yang menjadi lokus pluralisme. sebab nya
salah satu tugas terpenting negara ada di sini, namun di sini
jugalah negara sering gagal: menjaga ruang publik yang bebas
dan aman dari intimidasi, dominasi, atau bahkan kekerasan. Banyak
dari masalah kita yang kini tampak sebagai masalah amat besar
sesungguhnya tampak amat sulit dipecahkan karena adanya
kekerasan yang tak diatasi dengan baik. Jika saja kita bisa
membayangkan tak adanya kekerasan sama sekali, banyak masalah
amat sulit yang kita alami kini, baik itu terkait ketegangan antar
atau intra komunitas-komunitas agama, menjadi jauh lebih ringan.
--- 63
Sebaliknya, kegagalan mengatasi kekerasan, jika terus berlanjut,
akan mengancam negara kita menjadi negara gagal.
Tentu pluralisme kewargaan bukanlah suatu rumus yang akan
menyelesaikan semua masalah keragaman agama. Selain beberapa
keterbatasan yang ada dalam setiap ide, kita juga tahu bahwa
dalam setiap ide mengenai tata kelola warga , antara ide
dengan kenyataan selalu ada jurang—bisa lebar, bisa sempit.
Setidaknya ide ini diharapkan membuka pandangan baru mengenai
keragaman, untuk membantu identifikasi masalah-masalah kita,
dan bagaimana mengelolanya.
--- 64
Kata Pengantar 65
BAB 3
Akomodasi Transformatif:
Tawaran atas Pengelolaan
Keragaman dan Hak-hak
wanita
Mustaghfiroh Rahayu
--- 66
SELAMA beberapa tahun terakhir ini di negara kita , isu
perempuan sering muncul dan menonjol dalam pembicaraan
mengenai keragaman identitas dan ekspresinya. Dalam waktu yang
tak lama, pada tahun 2008, salah satu yang cukup menonjol adalah
perdebatan mengenai Rancangan Undang-Undang Pornografi (RUU
Pornografi) yang akhirnya menjadi UU No. 44 tentang Pornografi.
Pada tahun 2009 pernikahan sirri dan di bawah umur yang
dilakukan oleh Syech Puji menjadi pembicaraan hangat. Pada tahun
2010, muncul polemik di warga terkait Rancangan Undang-
undang Hukum Materiil Peradilan Agama atau yang dikenal
dengan UU nikah sirri. Pada tataran lokal, memperhatikan
kebijakan-kebijakan yang dibuat di daerah, ada lebih banyak lagi
perda-perda yang dianggap diskriminatif, khususnya terhadap
perempuan.45
Isu perempuan yang menjadi perdebatan seru di tengah
warga ini membuat kita menelaah kembali persoalan-
persoalan perempuan dan pengelolaan keragaman di negara kita .
Bagi kelompok yang kontra dengan RUU Pornografi mengatakan
bahwa rancangan undang-undang ini mengancam keberlangsungan
adat dan tradisi di negara kita . Nilai-nilai moral yang ditawarkan
sebagai standar pertimbangan untuk menilai bagaimana
perempuan berpakaian dikhawatirkan justru akan menjadikan
perempuan sebagai objek pidana dan bertentangan dengan
kebhinnekaan yang sudah disepakati bersama.46 Sementara kasus
Syech Puji menunjukkan bahwa pemberian ruang untuk
mempraktikkan ajaran agama tertentu bisa menjadikan perempuan
jatuh dalam kelompok yang tak diuntungkan. Dengan dalih bahwa
apa yang dilakukan mencontoh praktik Nabi Muhammad di
masanya, Pujiono Cahyo Widianto (Syech Puji) menikahi gadis di
bawah umur, Luthfiana Ulfa (12 tahun). Kejadian ini membuka
kembali perbincangan mengenai apa yang berhak diatur oleh
Keragaman dan Hak-hak wanita 67
negara terkait dengan praktik agama tertentu dan bagaimana isu
perempuan masuk dalam perbincangan itu.47
Sementara perdebatan belum sampai pada kesepakatan, publik
kembali dikejutkan dengan Rancangan Undang-undang Hukum
Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) yang diajukan oleh
pemerintah. Polemik pun kembali muncul. Undang-undang yang
menurut salah satu penyusunnya ditujukan untuk melindungi
perempuan ini mendapat respons cukup keras di warga .
Klausul pidana dan denda bagi pasangan yang menikah tidak di
hadapan pejabat pencatat nikah (Pasal 143), dimaknai oleh sebagian
warga sebagai pemidanaan terhadap pelaku nikah sirri.48
Mengapa negara memidanakan sesuatu yang sah menurut agama?
Apakah tidak lebih baik negara memidanakan para pelaku kumpul
kebo yang jelas melanggar norma agama? Begitu sebagian
pertanyaan publik. Sekali lagi, pengakuan atas keragaman harus
bertemu dengan tradisi dan hukum agama, dan perempuan menjadi
pihak yang tidak diuntungkan dalam pertemuan ini .
Feminisme dan pengakuan atas keragaman (entah itu bernama
multikulturalisme ataupun pluralisme) pada dasarnya berbagi
ruang yang sama ketika berbicara mengenai konsep yang lebih
inklusif atas keadilan dengan pengakuan keragaman. Keduanya
sangat kritis terhadap istilah keadilan formal yang mendefinisikan
keadilan dalam bingkai hak-hak individu yang sama bagi masing-
masing orang. Bagi feminis dan juga multikulturalis,49 keadilan
yang nyata membutuhkan pengakuan atas hak kelompok yang
spesifik, yang mengakui kebutuhan khusus dan kerentanan dari
masing-masing kelompok.50 Akan tetapi, dua hal yang beririsan
dalam konsep ini, faktanya memunculkan dilema dalam praktik.
Tuntutan atas kesetaraan gender dalam banyak praktik berkonflik
dengan akomodasi terhadap salah satu budaya atas nama
multikulturalisme. Akomodasi praktik poligami dan sunat
perempuan adalah sebagian contohnya.51
Dilema ini menjadi tidak terelakkan karena kebanyakan budaya
dan tradisi agama yang mapan memiliki tradisi yang
mendiskriminasi dan seringkali sulit untuk dikompromikan dengan
norma-norma gender. Akibatnya, usaha negara mengelola
keragaman seringkali berkonflik dengan hak-hak perempuan.
Dalam hal ini, perempuan dihadapkan pada pilihan yang sulit. Di
satu sisi, dia diharapkan tetap loyal terhadap tradisi kelompoknya;
--- 68
di sisi lain, tradisi yang terakomodasi ini memperlakukan
mereka secara tidak adil.
Tulisan singkat ini melihat hubungan yang kompleks antara
mempertahankan budaya/ praktik agama, akomodasi negara, dan
subordinasi perempuan dalam akomodasi. Untuk kepentingan
tulisan ini, saya mengkhususkan melihat kasus-kasus akomodasi
hukum/ praktik agama di beberapa negara dan menganalisis
tawaran penyelesaian yang diberikan oleh para pakar ketika melihat
dilema ini.
Dilema Multikuralisme52 di Berbagai Negara
Lebih dari tiga dekade, kita menyaksikan perubahan yang
signifikan terkait bagaimana setiap negara di dunia ini berhadapan
dengan keragaman, baik keragaman budaya, agama maupun
bahasa. Keragaman yang dahulu dianggap sebagai ancaman bagi
stabilitas politik dan karenanya ditentang, sejak tiga dekade lalu
malah menjadi bagian dalam pengambilan kebijakan. Salah satu
bentuk penerimaan atas keberagaman itu adalah adanya kebijakan
multikultural yang diterapkan di beberapa negara. Kebijakan
multikultur memiliki arti yang cukup spesifik terkait dengan
akomodasi negara atas praktik dan tradisi kelompok minoritas di
negara ini . Beberapa negara yang memberlakukan kebijakan
multikultur, di antaranya: Kanada, Australia, Amerika Serikat dan
beberapa Negara di Eropa.53
Meskipun sejak tahun lalu kebijakan ini mendapat kritik tajam
dari Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Inggris David
Cameron, dan Presiden Perancis Nicholas Sarkozy, di banyak negara
lain multikulturalisme masih dipertahankan sebagai salah satu
cara yang ampuh untuk mengelola keragaman. Pada 17 Oktober
2010, Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan bahwa
multikulturalisme telah gagal, bahkan gagal total. Menurutnya,
mengidealkan sebuah hidup yang saling berdampingan satu sama
lain dengan para imigran adalah sebuah ilusi.54 Imigran yang
dimaksud, walaupun tidak secara terang-terangan, adalah Muslim
dari negara-negara di Asia. Hampir dengan nada yang sama,
Perdana Menteri Inggris David Cameron pada konferensi mengenai
“Keamanan Internasional” di Munich 5 Februari 2011 lalu,
menyatakan multikulturalisme di Inggris juga gagal. Menurutnya,
kebijakan multikultur hanyalah membuat ekstremisme di kalangan
Keragaman dan Hak-hak wanita 69
Muslim meningkat. Selanjutnya dia juga menyerukan untuk
mengaudit dengan ketat lembaga-lembaga Muslim yang
mendapatkan dana dari pemerintah. Salah satu kriteria yang
diajukan untuk menilai lembaga ini adalah hak asasi manusia.
Apakah lembaga-lembaga ini menghargai hak asasi manusia?
Apakah mempromosikan hak-hak perempuan?55 Pernyataan dua
pemimpin negara Eropa ini diikuti pula oleh Presiden Perancis
Nicholas Sarkozy. Dalam sebuah debat di TV tanggal 11 Februari
2011, Presiden Sarkozy menyatakan bahwa selama ini Perancis
begitu memikirkan identitas para pendatang, sementara kurang
memperhatikan identitas negara yang menerimanya. sebab itu,
kebijakan yang mendorong adanya keragaman agama dan budaya
sudah gagal.56
Kritik atas multikulturalisme bukanlah hal baru dalam sejarah
kebijakan ini. Di tahun 1999, seorang ilmuwan filsafat politik dan
feminis dari Amerika mengajukan pertanyaan provokatif terkait
dengan kebijakan ini. Pertanyaan ini dituangkan dalam
sebuah artikel yang berjudul “Is Multiculturalism Bad for Women?”.
Dalam pengamatan Okin atas praktik multikulturalisme di negara-
negara Barat, perempuan menjadi kelompok yang dirugikan. Hal
ini terjadi karena pada dasarnya kebanyakan dari budaya
warga itu patriarkal, dan sebagian besar (tidak semua) budaya
yang menuntut diberi hak kelompok adalah budaya yang lebih
patriarkal dari budaya-budaya patriarkal di sekitarnya.57 Akibatnya,
akomodasi kelompok minoritas sama saja dengan akomodasi atas
budaya patriarkal yang tentunya akan semakin memperburuk
masa depan perempuan di kelompok ini .
Menurut Okin hal ini bisa terjadi karena, pertama, para
pendukung hak kelompok minoritas menggangap budaya suatu
kelompok bersifat monolit, tunggal, tidak ada varian di dalamnya;
sehingga akomodasi terhadap budaya ini dianggap sudah
menyelamatkan budaya minoritas secara keseluruhan. Kedua, para
pendukung hak kelompok minoritas ini abai pada persoalan-
persoalan di wilayah privat yang terjadi di dalam bilik-bilik rumah
tangga. Pada akhirnya, perempuan sebagai penjaga wilayah privat
tetap tidak berubah nasibnya sebagaimana sebelum akomodasi atau
bahkan lebih buruk.58
Berbagai respons muncul atas artikel Okin ini . Salah satu
yang sering dikemukakan adalah perspektif Barat dari artikel ini
--- 70
yang berakibat pada kurang peka terhadap budaya di luar Barat.
Azizah al-Hibri menyebutnya sebagai perspektif “Western
Patriarchal Feminism”59 karena Okin melihat persoalan perempuan
dalam akomodasi multikultural ini dar