ah lebih dulu
dikembangkan oleh gerakan dakwah kampus. Mentoring
merupakan kegiatan pembinaan yang berlangsung secara kontinu
di bawah bimbingan seorang mentor atau murabbi. Siswa kelas
satu juga “dianjurkan” mengikuti “mentoring” agama Islam yang
diberikan setiap minggu oleh seorang mentor. Di sebagian sekolah,
kegiatan ini bahkan menjadi kewajiban, dan masuk dalam penilaian
rapor. Siswa yang tidak mengikutinya akan ditegur, dan kadang-
kadang orang tua siswa ini diminta datang untuk
menjelaskan ketidakikutan anaknya. Dengan mengembangkan pola
pendekatan teman sebaya, program ini menjadi lebih menarik,
efektif dan memiliki keunggulan tersendiri. Bagi para aktivis
dakwah sekolah, mentoring adalah aktivitas utama (dakwah
khashah) dalam diseminasi nilai dan pandangan keislaman di
sekolah, sementara kegiatan lain sekadar penunjang, yang
berdampak strategis dalam kaderisasi aktivis dakwah di sekolah.
Pada umumnya sekolah yang didatangi mendukung pengadaan
mentoring sebagai bagian penting penyempurnaan proses
pembelajaran agama Islam.
Silabus, materi dan metode mentoring sangat bervariasi antara
satu dan lain Rohis. Salah satunya tergantung pada cara atau
pengaruh dari ormas yang mendominasi Rohis. Tetapi secara umum
materi yang dibahas terdiri dari dua jenis, yakni isu aktual dan
isu regular. Isu aktual adalah isu yang diangkat sesuai aktu-
alitasnya, sedangkan isu regular/ tetap diberikan secara kontinu,
--- 100
terus menerus sesuai jenjang materi pengaderan yang telah
ditetapkan. Isu/ materi regular terdiri dari pokok bahasan sehari-
hari yang bersifat ibadah (ubudiyah) hingga pergaulan (ukhuwah),
yang mencakup al-Qur’an, hadits, fiqh dan akhlaq hingga
penyuluhan problematika remaja seperti narkoba, tawuran, dan
seks bebas telah menjadi perhatian penting bagi seluruh elemen
warga . Program ini sangat menarik bagi siswa karena
sangat dekat dengan keseharian mereka dan dapat memenuhi
keingintahuan mereka secara positif. Sedangkan beberapa isu
aktual yang dibicarakan, antara lain beberapa isu seperti ke-
pemimpinan, peran publik domestik, busana syar’i (jilbab) dan
poligami, pernikahan dini, kawin beda agama, SEPILIS (Seku-
larisme, Pluralisme, Liberalisme), UU Pornografi, gazwul fikri (pe-
rang pemikiran), Perang (Chechnya, Irak, Afganistan, Poso, Ambon-
Maluku), terorisme, kartun Nabi Muhammad, dan lain-lain.
Di samping kegiatan mentoring mingguan setiap minggu,
Rohis juga menyelenggarakan kegiatan Mabit (Malam Bina Iman
dan Takwa). Kegiatan ini biasanya dilakukan di akhir pekan Sabtu-
Minggu.110 Bisa dikatakan, Mabit merupakan ruang intensifikasi
mentoring di sekolah yang mengonsentrasikan siswa-siswi selama
sehari semalam berada di suatu tempat untuk kegiatan keislaman.
Materi yang diberikan antara lain nasehat atau tausiyah yang
diberikan seorang ustadz (alumni) mengenai moral dan ibadah,
tata pergaulan yang Islami (ta‘aruf vs pacaran), dan isu aktual
berkaitan dengan Islam dan dunia Islam. Evaluasi diri (muhasabah)
merupakan aspek yang penting dalam mabit, seperti renungan
malam yang dipandu oleh seorang ustadz/ senior/ mentor yang
menekankan pada Emotional-Spiritual Intelligence. Kegiatan ini
juga diisi dengan menonton film dan permainan-permainan yang
berisi pesan persaudaraan, solidaritas sesama muslim, ketekunan,
disiplin dan sebagainya.
Kegiatan mentoring dan mabit merupakan penyumbang utama
pada pembentukan identitas kelompok yang berbasis pada agama
di kalangan siswa. Solidaritas yang terbentuk dari kesamaan
identitas ini menjadi kekuatan bersama Rohis untuk mendominasi
hampir seluruh kegiatan siswa (OSIS) di sekolah. Para aktivis secara
sistematis bekerja untuk menjadi anggota Majelis Perwakilan Kelas
(MPK) yang berfungsi mewakili seluruh aspirasi siswa dalam
perumusan program OSIS dan badan-badan otonom siswa di
Kaum Muda dan --- 101
sekolah, di samping menjalankan fungsi pengawasan. Keberhasilan
aktivis Rohis dalam agenda terakhir inilah yang melahirkan
suasana Islam yang cenderung dominatif dan sekaligus
diskriminatif di sekolah. Di sekolah-sekolah tertentu, suasana
dominatif dan diskriminatif ini berwujud dalam hilangnya akses
siswa non-Muslim untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler
tertentu, seperti Palang Merah Remaja (PMR) dan Karya Ilmiah
Remaja (KIR).
Berdakwah melalui Media Islam Popular
Perlu dicatat, sekolah bukanlah satu-satunya wahana yang
dipakai untuk pengukuhan agama sebagai identitas di kalangan
siswa sekolah menengah. Kegiatan pembinaan remaja melalui
masjid-masjid kampung juga sangat penting diperhatikan, dan
sayangnya studi tentang ini lebih jarang dilakukan, mungkin
karena persebarannya lebih rumit. Wahana lain yang juga sangat
penting dilihat dalam konteks ini adalah maraknya perkembangan
media Islami populer yang terjadi pada masa yang kurang lebih
bersamaan dan dalam satu dan lain cara saling bersinergi.
Perkembangan media Islam yang menarget pembaca remaja
saat ini sebagian besar digerakkan oleh para aktivis dakwah yang
konsen dengan isu remaja. Di tahun 1990-an saat modernisasi
menerpa remaja negara kita lewat majalah remaja, seperti Kawanku,
Gadis, Aneka dan Hai yang menyajikan dan memopulerkan budaya
pop Barat, sebagian alumni gerakan dakwah kampus tahun 80-an
mendirikan sebuah majalah remaja dengan nama Annida yang
berarti ajakan atau panggilan kepada remaja Muslim untuk
mengimplementasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari.111
Meskipun Annida awal di tahun 1990-an tampil dalam bentuk
sederhana seperti ilustrasi cover dengan tanaman, binatang dan
olah foto yang jauh berbeda dengan tampilan majalah remaja
umum yang covernya memamerkan remaja trendy dengan gaya
rambut dan baju terbaru, Annida secara perlahan berhasil merebut
segmen pembaca remaja Muslim.112 Melalui rubrik yang
memberikan porsi besar terhadap cerita pendek (cerpen) dipadu
dengan konsultasi remaja dan esai mengenai berbagai belahan
dunia Islam lainnya yang mengalami perang dengan Israel dan
negara Barat lainnya, Annida mulai memperoleh perhatian remaja
Muslim. Cerpen memperoleh porsi terbesar isi majalah saat Annida
--- 102
berubah moto menjadi “Seri Kisah-Kisah Islami Annida” (1993—
2000) dan “Sahabat Remaja Berbagi Cerita” (2002—2003). Tampak-
nya hal ini merespons kecenderungan beberapa majalah remaja
pop lain (seperti Anita Cemerlang dan Ceria) yang saat itu secara
khusus memang memberikan porsi yang besar terhadap cerpen.113
Berbeda dengan cerpen yang tergelar di majalah-majalah
remaja pop yang menceritakan percintaan, persahabatan dan lain
sebagainya, cerpen Annida secara lugas mengajak para remaja
Muslim untuk mengenakan jilbab, meninggalkan perilaku yang
meniru Barat serta mengenalkan isu-isu penindasan Barat terhadap
negara Muslim, seperti Palestina, Irak, Maroko dan lain sebagainya.
Salah satu cerpen yang dimuat di Annida dan pada gilirannya
menjadi populer di kalangan remaja Muslim adalah karya Helvy
Tiana Rosa114 berjudul “Ketika Mas Gagah Pergi”. Cerpen ini
memaparkan sebuah kisah tentang seorang remaja bernama Gagah
yang seperti remaja umumnya tampil trendy, berbahasa gaul, dan
suka mendengar musik-musik Barat. Namun suatu hari Gagah
berubah total, ia tidak lagi tampil trendy, dan mulai tidak lagi
mendengar musik Barat. Ia mulai suka mengenakan baju koko,
memelihara jenggot, dan mendengarkan nasyid. Sang adik bernama
Gita spontan merasa heran melihat perubahan kakaknya ini .
Ia pun menceritakan ihwal ini kepada seorang teman
dekatnya bernama Tika. Tika yang baru saja memutuskan untuk
mengenakan jilbab dengan spontan memberikan ucapan selamat
kepada Gita dan menyatakan bahwa kakaknya ini telah
menjadi ikhwan. Gita yang bingung dengan istilah ikhwan segera
menanyakannya. Tika mengatakan bahwa ikhwan adalah istilah
untuk menyebut para laki-laki yang aktif di Rohis seperti di
sekolahnya. Sejak saat itu, Gita mulai memanggil kakaknya dengan
sebutan ikhwan, mulai datang ke acara-acara pengajian dan mulai
bertekad untuk mengenakan jilbab. Bahkan ibu Gita yang dulu
tidak mengenakan jilbab, kini mulai memakainya. Cerita ini ditutup
dengan tragedi kecelakaan Gagah sesaat sesudah memberikan
ceramah di Bogor dan ingin pulang ke rumah untuk menghadiri
ulang tahun Gita. Meski Gagah telah wafat, ia meninggalkan
sebuah hadiah berisi jilbab dan gamis. Sejak saat itu, Gita berjanji
untuk mengenakan jilbab dan gamis dalam kehidupan sehari-hari.
Selain cerpen yang bertemakan “hijrah” sebagaimana
dipaparkan di atas, Annida juga mempunyai berbagai rubrik
Kaum Muda dan --- 103
tentang dunia remaja Muslim, di antaranya adalah rubrik Remaja
dan Aktivitas (R&A) dan Remaja Berprestasi Annida (RBA). Rubrik
R&A ini selalu menampilkan unit Rohis di sekolah-sekolah favorit
dengan kegiatan-kegiatan keislamannya. Sedangkan RBA menam-
pilkan para remaja berprestasi yang mengikuti ajang seleksi
Annida. Berbeda dengan remaja berprestasi ala majalah remaja
pop umumnya, RBA mempunyai kriteria khusus yaitu selain ber-
prestasi sebagaimana ditunjukkan dengan ragam aktivitas dan
prestasi baik di bidang akademik maupun sosial, RBA harus menge-
nakan jilbab bagi perempuan dan tidak merokok bagi laki-laki.115
Mereka yang terpilih sebagai RBA kebanyakan berlatar
belakang aktivis Rohis di sekolah atau universitas. Bahkan dalam
perkembangannya, Annida yang dulu tampil dalam ilustrasi cover
sederhana, sesudah ajang RBA intens dilaksanakan perwajahannya
pun mulai berubah. Seperti majalah pop remaja umumnya, Annida
pun mulai menampilkan cover boys dan cover girls para remaja
berprestasinya dengan balutan jilbab trendy dan baju koko.
Singkatnya tipe ideal remaja Islam yang diandaikan Annida adalah
remaja yang cerdas, gaul namun tetap syar’i yang biasanya
diasosiasikan dengan aktivis Muslim di sekolah dan universitas.
Setelah Annida, beberapa majalah pop Islam mulai bertumbuh
dan merebut pembaca remaja Muslim, di antaranya Elfata, dan
Girliezone. Elfata berasal dari bahasa Arab berarti anak muda.
Lahir di tahun 2000-an saat media Muslim mulai menjamur di
era reformasi, Elfata menampilkan genre majalah remaja Muslim
yang berbeda dengan genre Annida kontemporer. Covernya tidak
menampilkan gambar perempuan atau laki-laki seperti tren majalah
Muslim saat ini, melainkan dengan cover ilustrasi seperti benda,
tulisan, perempuan berjilbab yang memikat dan tampak trendy.
Mengusung moto “Media Muslim Muda”, Elfata tampil dengan
rubrik yang menekankan pada feature dan esai yang mengajak
remaja untuk mengamalkan Islam sebagaimana yang diteladankan
oleh Nabi Muhammad dan para sahabat generasi pertama (salafi).
Tema-tema yang diangkat berusaha menandingi budaya pop remaja
yang merujuk pada budaya Barat seperti kafe, perayaan Valentine
dan kecenderungan baru remaja Muslim seperti jilbab gaul dan
sebagainya. Salah satu edisi Elfata yang tampil dengan warna pink
dengan ilustrasi seorang perempuan berjilbab, mengangkat tema
mengenai “Jilbab di Cafe”.116 Edisi ini secara lugas mengkritik
--- 104
fenomena “jilbab gaul” yang ia sebut sebagai korban mode
dan bukan berasal dari ajaran Islam. Laporan ini mengajak
para pembaca Elfata untuk memakai jilbab panjang yang
menutup aurat.
Selain itu, Elfata juga membuat sebuah rubrik yang khusus
menyajikan berita dunia Islam internasional dengan nama “Dunia
Islam”. Rubrik ini mengangkat isu-isu penindasan Islam di
Palestina, Maroko dan juga fenomena Islam di negara Barat yang
sulit mengekspresikan keberagamaannya. Sebagai contoh, berita
pelarangan jilbab di Perancis diulas sebagai contoh HAM yang
antijilbab. Di samping isu-isu Islam di negara kita dan dunia
internasional, Elfata juga mengangkat tema aktual di lingkungan
gaul remaja semisal, SMS, Facebook dan lain sebagainya dengan
ajakan untuk tetap berperilaku Islami sesuai dengan ajaran salafi.
Berbeda dengan Annida dan Elfata yang memakai istilah
Arab untuk nama medianya, pada tahun 2009 sebuah majalah
remaja Muslim baru terbit bernama Girliezone mengusung tema
“Smart Girl or Nothing!”. Dimotori oleh para penulis cerpen Annida
dan aktivis Forum Lingkar Pena (FLP), majalah ini tampil dengan
penekanan pada self development yaitu bagaimana menjadi
Muslimah yang baik di era modern kini. Edisi perdananya
diluncurkan pada bulan Februari 2009 berbarengan dengan
perayaan hari Valentine dengan tajuk “1001 Ekspresi Cinta”. Tampil
dengan cover berlatar belakang warna pink, edisi perdana
Girliezone ini mengupas Valentine’s day sebagai budaya Barat yang
tidak bersumber pada ajaran Islam karena cinta diekspresikan
dalam konteks nafsu dan kebendaan belaka seperti cokelat, bunga
dan bahkan hubungan seks. Girliezone secara tegas mengajak
remaja Muslim untuk tidak ikut merayakannya karena hal itu
dianggap meniru budaya Barat atau tasyabbuh bil kuffar
(menyerupai kaum kafir)117
Sebagaimana majalah remaja pop Islam lainnya, Girliezone
juga mengangkat berita mengenai sekolah-sekolah dan beragam
aktivitasnya. Sekolah-sekolah yang ditampilkan tentu mempunyai
prestasi baik di bidang pendidikan maupun keagamaan. Di samping
itu, Girliezone juga menampilkan profil-profil penulis perempuan
dan selebriti Muslimah populer. Sebagai contoh pemeran film Anna
Althafun Nisa dalam film Ketika Cinta Bertasbih, Oki Setiana Dewi
dalam edisi perdana dihadirkan sebagai ikon Muslimah
Kaum Muda dan --- 105
kontemporer. Saat ditanya bagaimana tanggapan Oki terhadap
Valentine’s day dan pacaran, Oki dengan tegas menyatakan bahwa
perayaan hari Valentine bukan berasal dari Islam dan menolak
untuk berpacaran. Menurutnya, Islam hanya mengajarkan ta’aruf.
Ilustrasi dari beberapa majalah remaja Islam pop yang dikelola
oleh para aktivis dakwah di atas bagaimanapun juga turut
memberi warna dan membentuk tipe ideal remaja Muslim
negara kita saat ini. Bahkan sebagian majalah ini
direkomendasikan oleh para aktivis dakwah yang mengelola Rohis
di sekolah-sekolah sebagai bacaan tambahan saat mentoring
keislaman Rohis.118
Sekolah sebagai Institusi Publik dan Nasib Ruang
Publik Siswa di Sekolah
Dalam sebuah wawancara, seorang kepala sekolah menengah
umum favorit di Yogyakarta, yang Rohis berpengaruh dominan
dalam kegiatan siswa, menyatakan, “Jika anak-anak produk Rohis
ini religius, pintar, berakhlak, punya daya juang yang hebat,
terampil berorganisasi, peduli perkembangan situasi, peka terhadap
kesempatan pengembangan diri dan organisasi, mengapa
dikhawatirkan? Apa yang salah dengan mereka? Apa yang salah
dengan Rohis?”
Memang tidak ada yang salah dengan meningkatnya
penghayatan dan pengamalan agama di kalangan siswa. Sejauh
menyangkut hal ini, semua pihak memang harus melihatnya
sebagai hal yang sangat positif. Bagi banyak orang tua dan guru,
kehadiran Rohis juga dipandang sangat positif sebagai benteng
agar siswa tidak terjebak dalam masalah narkoba, pergaulan bebas,
tawuran pelajar, dan berbagai perilaku yang dianggap menyimpang.
Kegiatan Rohis bisa dirasakan sebagai oase di tengah kepanikan
moral (moral panics) yang melanda para orang tua karena serbuan
budaya konsumtif hedonis yang menyerbu dunia mereka.
Pernyataan di atas juga sangat mungkin muncul pada banyak
orang tua. Tetapi mengapa Lusi, dalam suratnya yang dikutip di
awal tulisan ini, mengeluhkan perkembangan ini? Di sinilah
signifikansi perspektif pluralisme kewargaan dalam melihat
masalah ini. Yang menjadi masalah adalah pandangan keagamaan
yang berkembang cenderung mendorong kepada eksklusivisme
sempit dan kaku. Kenyataan ini sangat memprihatinkan karena
ia berlangsung di sekolah-sekolah publik yang dibiayai oleh
pemerintah, yang seharusnya menempatkan seluruh siswa sebagai
warga negara yang mempunyai hak-hak yang sama, tanpa
membedakan latar belakang agama, kelas sosial, sukubangsa, atau
jenis kelamin. Sekolah publik juga seharusnya menjadi ajang nilai-
nilai kewarganegaraan yang inklusif ditanamkan; dan penanaman
nilai-nilai itu tidak hanya terbatas dalam mata pelajaran yang
diberikan, tetapi juga dalam seluruh proses pendidikan di sekolah,
termasuk dalam kegiatan ekstrakurikuler dan juga kehidupan
sehari-hari pergaulan antarsiswa.
Dalam situasi ketika peran Rohis begitu dominan, aktivitas
ini gampang menjurus kepada perilaku diskriminatif terhadap
siswa-siswi non-Muslim, dan juga, tidak kalah seriusnya, terhadap
siswa Muslim lain yang tidak mengikuti pandangan keislaman yang
sama. Ketika agama mulai menjadi pembentuk utama identitas
siswa, atau bahkan menjadi ideologi di sekolah, maka siswa mulai
belajar mengembangkan pandangan diskriminatif terhadap teman
lain seusianya.
Potensi ke arah terjadinya dominasi dan diskriminasi ini
secara teoritis sangat beralasan dan dalam kenyataannya bukan
tidak didukung oleh fakta-fakta di lapangan. Di atas telah disebut
kasus bagaimana kecenderungan itu telah melenyapkan akses siswa
non-Muslim dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti PMR dan KIR.
Cerita seorang ibu lain berikut ini adalah ilustrasi lainnya.
Dalam obrolan santai, ibu yang juga seorang aktivis ini
mengemukakan keprihatinannya atas perilaku putrinya yang
menunjukkan adanya pengerasan identitas. Putrinya yang berse-
kolah di sebuah SMUN Jakarta itu aktif dalam kegiatan Rohis dan
pernah beberapa kali minta izin untuk mengikuti kegiatan ekstra-
kurikuler yang disebut mabit. Menjelang momen pemilihan kepe-
ngurusan OSIS, putrinya tampak begitu sibuk mengorganisasi
teman-temannya, menggalang kekuatan agar OSIS tetap dipimpin oleh
siswa-siswi Muslim. Ketika sang ibu menanyakan alasan putrinya,
putrinya menjawab, “Kalau OSIS dikuasai yang lain (baca: non-
Muslim), maka agenda kegiatan OSIS akan menjadi tidak Islami.”
Tidak perlu diperdebatkan, pengembangan kesadaran
pluralisme kewargaan yang menempatkan setiap individu warga
negara secara setara di kalangan kaum muda, termasuk siswa
Kaum Muda dan
sekolah menengah, tentu saja sangat penting dalam rangka
menjaga masa depan negara kita yang menghargai keberagaman
budaya, agama, etnis dan berkeadilan. Kenyataan telah terjadinya
proses pengentalan identitas keagamaan di kalangan siswa-siswa
sekolah belakangan ini menegaskan adanya kebutuhan mendesak
bagi perubahan kebijakan di berbagai tingkatan lembaga pendidikan
untuk mengatasinya. Apa pun wujud kebijakan itu, ia harus
ditujukan terutama kepada usaha menjaga ruang publik siswa di
sekolah tetap terbuka dan sehat, dalam arti memberi ruang yang
sama kepada semua, yang berfungsi sebagai arena persemaian nilai-
nilai demokratis, dan menumbuhkan sikap yang menerima dan
menghargai perbedaan, serta memberi kesempatan kepada mereka
untuk mengelola perbedaan secara beradab.
Mencari Pendekatan Baru: “Mengalami
Pluralisme”
Di samping perlunya perubahan kebijakan, usaha warga
sipil untuk mengisi kegiatan siswa ke arah penumbuhan nilai-
nilai pluralisme kewargaan juga tidak bisa diabaikan. Tetapi, justru
di titik inilah kita melihat kelemahan yang dimiliki kalangan
pendukung pluralisme hingga saat ini. Harus diakui ada semacam
keterbatasan di kalangan pegiat pluralisme di tanah air dalam hal
cara-cara yang mungkin digunakan dalam mempromosikan
pluralisme. Imajinasi mereka tentang sarana-sarana kampanye
pluralisme sangat miskin dan terbatas. Perkembangan dahsyat
dalam teknologi baru dan budaya pop belum banyak dimanfaatkan.
Mereka umumnya berkutat pada pendekatan yang bersifat verbal,
berupa forum seminar dan diskusi publik dengan jenis audiens
yang relatif seragam. Ironis, karena usaha yang dilakukan
kelompok lain yang berjalan ke arah sebaliknya, justru
memanfaatkan berbagai media yang menjangkau khalayak yang
sangat luas. Mungkin inilah penjelasan bahwa keberhasilan
peningkatan kesadaran akan kemajemukan tetap terbatas selama
beberapa tahun terakhir. Sekalipun terjadi pertumbuhan pendukung
yang terjadi di kalangan pro-pluralisme, tampaknya hal itu lebih
terbatas kepada kalangan kalangan kelas menengah terdidik.
Sementara jangkauan pengaruh kelompok Islam eksklusif dirasa
merambah luas dan mencakup berbagai kalangan warga , baik
jenis kelamin, kelas sosial, tingkat pendidikan, maupun kelompok
umur, sehingga terasa mengkhawatirkan bagi kebhinnekaan
negara kita .
Pencarian pendekatan-pendekatan baru sangat dibutuhkan
untuk memperluas jangkauan dan meningkat efektivitasnya.
Pencarian ini menjadi semakin mendesak sejak dikeluarkannya
fatwa MUI yang mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan
liberalisme pada tahun 2005 lalu, yang, walaupun dari segi
argumennya sangat lemah, dalam kadar tertentu telah berhasil
menjadikan pluralisme sebagai “kata kotor” dalam kosakata wacana
keagamaan di tanah air, dan dengan demikian semakin mem-
persempit ruang gerak bagi pegiat pluralisme.
Penting dicatat bahwa target audiens yang berbeda akan
memerlukan strategi dan pendekatan yang berbeda untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan secara maksimal. Demi-
kianlah, dibutuhkan pendekatan khusus yang mengakomodasi
kebutuhan nyata siswa dan pengayaan strategi dan pendekatan
yang memanfaatkan perkembangan dalam budaya populer yang
menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia kaum muda sekarang.
Dalam rangka konteks inilah, di bawah ini disajikan sharing
pengalaman untuk mencari pendekatan-pendekatan alternatif
dalam promosi pluralisme kepada kelompok usia yang sering
diabaikan ini.
Meskipun imajinasi pegiat pluralisme mengenai cara-cara yang
mungkin untuk ditempuh dalam mengampanyekan penghargaan
terhadap keragaman masih terbatas, kita masih bisa menemukan
beberapa terobosan ke arah itu sudah mulai dicoba. Salah satunya
adalah apa yang dikerjakan LKiS sejak 2005. Deskripsi berikut ini
dimaksudkan sebagai contoh yang mungkin dilakukan, dengan
tujuan merangsang usaha -usaha alternatif serupa yang masih
harus terus dicari, untuk mendorong perkembangan ke arah yang
mendukung pemeliharaan negara kita sebagai rumah bersama, yang
memperlakukan setiap individu dan kelompok sosial di dalamnya
secara adil dan tidak diskriminatif.
Setelah sekian lama mengembangkan kegiatan promosi
pluralisme, muncul keinginan untuk memperluas audiens, dan
pilihannya adalah siswa sekolah menengah. Pilihan ini diambil
karena usaha berbagai kelompok untuk mempromosikan plural-
isme dan demokrasi di negara kita terlalu banyak mencurahkan
Kaum Muda dan --- 109
perhatian kepada orang dewasa, sementara siswa atau kaum muda
terabaikan. Pengabaian ini memprihatinkan karena pada saat yang
sama kelompok umur ini telah menjadi ladang persemaian berbagai
kelompok Islam fundamentalis yang mempromosikan pandangan
keagamaan konservatif-eksklusivistik. Melalui berbagai media dan
kegiatan ekstrakurikuler yang diorganisasi atau diarahkan oleh
para aktivis dakwah kampus, seperti kelompok Tarbiyah atau HTI,
para siswa ini dijejali pandangan sosial dan keagamaan
fundamentalistik yang eksklusif, tidak toleran, dan diskriminatif
terhadap kelompok di luarnya. Akibatnya, perkembangan yang
sehat dalam hubungan sosial siswa dari berbagai latar belakang
yang berbeda dikorbankan, sementara ruang bebas yang diperlukan
untuk tumbuhnya kreativitas dan prakarsa mandiri terhambat.
Ketika memikirkan strategi untuk kampanye pluralisme di
kalangan siswa, gagasan yang muncul adalah menciptakan media
populer untuk kampanye pluralisme, semacam Ikhtilaf (buletin
mingguan yang diterbitkan LKiS saat itu yang disebarkan ke
berbagai masjid di tanah air untuk menyemai nilai-nilai pluralisme)
yang diedarkan di kalangan siswa. Setelah berdiskusi awal dengan
berbagai pihak sekolah dan siswa, tercapai kesepakatan bahwa
sebuah workshop akan diselelenggarakan di sebuah sekolah di
Yogyakarta sebagai kegiatan pembuka. Namun, acara ini tidak bisa
terlaksana karena ada boikot dari pihak perhimpunan Rohis se-
DIY. Peristiwa itu menyadarkan kami bahwa kelompok-kelompok
Islam eksklusif telah menanamkan pengaruhnya begitu kuat di
sekolah-sekolah menengah umum di Yogyakarta dan mendorong kami
mencari strategi baru yang menarik bagi kalangan siswa dan yang
tidak mengundang resistensi, terutama di tengah merebaknya
penolakan terhadap “Islam liberal” dan sesudah baru saja dikeluar-
kannya fatwa MUI mengenai keharaman Sekularisme, Pluralisme
dan Liberalisme. Juga disadari bahwa pendekatan yang dipakai
selama hampir sepuluh tahun terakhir, tidak tepat diterapkan bagi
audiens dari kelompok usia ini. Maka, eksplorasi pendekatan-pendekatan
alternatif yang responsif terhadap tren dalam kebudayaan anak muda
dan media komunikasi baru dibutuhkan, demi efektivitas dan
menghindari kontroversi yang tidak perlu.
Melalui diskusi internal akhirnya kami sampai kepada gagasan
mengembangkan konsep “mengalami pluralisme” (experiencing
pluralism), yakni menanamkan kesadaran pluralisme bukan
--- 110
dengan mendiskusikan pengertian dan arti penting dari konsep
normatif ini, tetapi dengan memberikan pengalaman bertemu
dengan realitas perbedaan itu sendiri. Dalam hal ini, pluralisme
dimaknai secara sangat luas; bukan hanya agama, tetapi juga
pengelompokkan sosial, kelas ekonomi, jenis kelamin, orientasi
seksual, maupun sukubangsa dan kebudayaan uniknya.
Wahana yang disepakati untuk menerjemahkan konsep ini
adalah dengan menciptakan sebuah komunitas menulis kreatif di
kalangan siswa dari berbagai sekolah. Kegiatan dimulai dengan
mengadakan workshop menulis kreatif bagi para siswa Yogyakarta
yang mendaftar. Kegiatan ini kemudian ditindaklanjuti dengan
penyediaan fasilitas kepada komunitas alumni workshop untuk
menerbitkan buletin sebagai media ekspresi. Para alumni ini
kemudian menerbitkan Coret, buletin empat halaman, yang mereka
kelola sendiri mulai dari tahap pemilihan tema, penyuntingan
naskah hingga lay out naskah siap terbit, dengan didampingi
seorang fasilitator. Buletin yang terbit dua minggu sekali itu
kemudian disebarkan ke berbagai sekolah menengah di Yogyakarta.
Setelah berhasil dengan aktivitas awal di Yogyakarta, kegiatan ini
direplikasi di Solo, Magelang, dan Jepara pada tahun berikutnya.
Di masing-masing kota itu kemudian muncul komunitas-
komunitas muda sejenis, Jeda (Magelang), Toelis (Solo) dan Oekir
(Jepara). Sebagai kegiatan tambahan, LKiS juga memfasilitasi
komunitas-komunitas itu untuk menyelenggarakan diskusi santai
tentang berbagai isu yang relevan dengan minat mereka, seperti
mendiskusikan novel atau film maupun isu-isu aktual yang
menarik perhatian mereka
Kegiatan-kegiatan, yang berkaitan dengan produksi buletin,
yang dijalani para siswa peserta workshop dan pengelola buletin
seluruhnya bersifat teknis: membuat perencanaan, mendiskusikan
tema, menyeleksi naskah, menulis, menyunting, menata letak, dan
memproduksi. Yang membuat seluruh kegiatan ini relevan dengan
kampanye pluralisme adalah bahwa sejak awal, tim LKiS
menyeleksi siswa yang mengikuti workshop dan kemudian bekerja
untuk buletin, datang dari latar belakang yang berbeda, dari segi
kultur, jenis kelamin, agama, etnisitas dan kelompok sosial.
Dengan cara demikian, tanpa berbicara tentang pluralisme
secara eksplisit, kegiatan itu memberi mereka kesempatan untuk
bertemu, berinteraksi, dan bekerjasama dengan siswa-siswi yang
Kaum Muda dan --- 111
datang dari latar belakang yang berbeda. Melalui proses itu
diharapkan terjadi proses saling memahami perbedaan dan
menerima keunikan masing-masing untuk dipadukan dalam
sebuah pekerjaan bersama. Dengan kata lain, melalui seluruh
kegiatan itu diharapkan mereka mempunyai pengalaman nyata
berhadapan dengan berbagai jenis perbedaan dan memberi mereka
kesempatan untuk mengembangkan kapasitas untuk mengelola
keragaman itu di masa depan.
Pendekatan ini diambil dengan mendasarkan diri pada sebuah
asumsi terkait interaksi dan prasangka antarbudaya yang kurang
lebih berbunyi bahwa pada umumnya, sikap orang terhadap orang
lain yang berbeda tidak dibentuk berdasarkan pengalaman
interaksinya sendiri, tetapi lebih ditentukan oleh serapan atas
berbagai persepsi, prasangka, stereotipe, stigma dan labelling yang
berkembang di lingkungan tempatnya tumbuh. Asumsinya, jika
seseorang dari latar belakang tertentu memiliki sejumlah
pengalaman nyata berinteraksi, bertemu atau bahkan bekerjasama
dengan seseorang yang datang dari latar belakang kultural religius,
dan pengalamannya menunjukkan bahwa orang ini baik dan
dapat dipercaya, maka pengalaman itu akan membuat segala
bentuk prasangka, stereotyping, atau stigmatisasi, tidak bekerja.
Atau, minimal, dia akan membangun mekanisme sendiri untuk
memeriksanya. Dalam interaksi antarbudaya atau agama yang
seringkali lebih banyak didasarkan atas prasangka ketimbang
informasi akurat tentang orang lain, expose atau peristiwa
berjumpa dengan orang lain itu sangat menentukan dan seluruh
pandangan atau prasangka tentang orang lain bisa terkoreksi akibat
perjumpaan itu.
LKiS percaya bahwa sikap menghargai keragaman atau
pluralisme pada tingkat individual tidak bisa ditanamkan dalam
sebuah proses sekali-jadi. Ia tumbuh dalam rentang waktu, melalui
proses mempersepsi, meragukan, mempertanyakan, membuat
jawaban, dan meragukan kembali dan seterusnya di dalam dirinya
mengenai dirinya dan orang lain. Hal inilah mungkin yang
membedakan proses menanamkan kesadaran pluralisme dengan
proses indoktrinasi di kalangan kelompok keagamaan
fundamentalis. Menanamkan kesadaran pluralisme memerlukan
proses yang lebih dalam, dan tidak bisa dipaksakan, karena ia
memerlukan semacam penalaran kritis di dalam prosesnya.
--- 112
Memberikan pengalaman untuk berjumpa dan memahami
orang lain yang berasal dari agama yang berbeda pada dasarnya
bisa juga berarti mengembalikan iman yang dimiliki sebagai
sesuatu yang personal, yang oleh para penyeru eksklusivisme
selalu berusaha didepersonalisasi. Memegang agama atau iman
sebagai sesuatu yang personal merupakan bagian dari proses
menjadi seorang inklusif dengan mengakui “human agency” dalam
mendefinisikan kebenaran yang mereka perjuangkan. Argumen ini
berkebalikan dengan seorang eksklusivis yang meyakini bahwa
mereka mengikuti dan berjuang untuk sesuatu yang dipahami
secara literal dari teks-teks suci, tanpa melibatkan interpretasi
manusia. Posisi yang pertama akan memberi dasar bagi seseorang
untuk bersikap terbuka terhadap keyakinan orang lain.
Seiring dengan perkembangan minat pada produksi film di
kalangan anak muda, LKiS masuk ke dalam ranah audio-visual
dengan membentuk komunitas muda untuk pembuatan film
dokumenter. Serupa dengan kegiatan menulis di atas, kegiatan ini
juga dimulai dengan workshop dan disusul dengan komunitas
pembuat film dokumenter di empat kota. Kegiatan yang terakhir
ini ternyata lebih banyak peminatnya.
Menarik dicatat, melalui kegiatan yang terakhir ini kami
menyaksikan bahwa ternyata jenis teknologi tertentu, seperti
handycam, justru punya fungsi tersendiri dalam membantu siswa
menjadi lebih sensitif terhadap orang lain. Dengan handycam di
tangannya, ternyata seorang siswa cenderung mengambil objek
gambar yang asing menurut perspektifnya. Kelihatannya, semakin
asing sebuah objek gambar, semakin menarik objek itu bagi yang
bersangkutan. Jadi, ada kecenderungan untuk merengkuh objek
yang berjarak—secara metaforik—darinya. Dengan kata lain,
keasingan/ kelainan adalah sebuah pesona. Tetapi pada sisi lain,
berbeda dengan kegiatan menulis yang siswa dapat menulis ulang
semua hasil pengamatan dan pernyataan orang lain, dengan
rekaman handycam-nya paling jauh siswa hanya bisa mengedit
dan merangkai gambar-gambar yang ada tanpa bisa mengubahnya.
Dengan kata lain, siswa mau tidak mau harus membiarkan gambar
yang direkam berbicara sendiri sebagai subjek, dan harus dipahami
sebagaimana yang mereka katakan tentang dirinya.
Dalam diskusi-diskusi tentang relasi antarbudaya sering
dikatakan bahwa dalam kesempatan pertama berjumpa orang lain
Kaum Muda dan --- 113
dari latar belakang budaya dan agama, orang biasanya tidak
melihat mereka sebagaimana mereka adanya, melainkan melihat
mereka sebagaimana dia ingin melihatnya. Artinya, kita seringkali
melihat orang lain berdasarkan sikap kita sendiri, termasuk
prasangka yang kita punyai. Dalam pengalaman ini, siswa tampak
dengan cepat bisa melampaui tahap perjumpaan awal. Dalam posisi
itu, siswa hanya memerlukan beberapa langkah lanjutan untuk
mentransformasikan dirinya menjadi seorang inklusivis yang
menghargai dan menerima perbedaan apa adanya.
Akhirnya, saya ingin menutup bagian ini dengan menuturkan
sebuah penggalan cerita dari acara launching film dokumenter
karya para siswa dari berbagai SMU di Magelang, yang
diselenggarakan di Studio Mendut, milik seorang seniman bernama
Sutanto. Setelah selesai penayangan tiga film dokumenter karya
para siswa Magelang, seorang ibu muda berjilbab maju ke depan
ketika para audiens dipersilahkan menyampaikan kesan dan
apresiasinya atas beberapa karya film yang ditayangkan. Ibu
ini menyatakan ingin minta maaf kepada Tika, karena selama
ini dia telah memelihara prasangka buruk kepada orang seperti
Tika. Tika adalah seorang waria yang kisah hidupnya menjadi tema
dari sebuah film dokumenter yang dibuat beberapa siswa di
Magelang. Suasana mengharukan terjadi ketika sang ibu akhirnya
memeluk Tika di panggung. Peristiwa itu, perubahan pandangan
penonton itu, adalah hasil tidak disengaja dari seluruh proses yang
berlangsung. Ibu itu bukanlah satu-satunya orang yang merasa
tersentuh dengan film Jalan Tika. Ada beberapa audiens lain yang
juga mengemukakan simpatinya kepada orang-orang seperti Tika
yang selama ini dipandang buruk dan dimarjinalkan. Perubahan
sikap yang sama telah terjadi terlebih dulu pada anak ibu itu dan
teman-temannya yang memilih menjadikan Tika sebagai tema film
dokumenter mereka. Semula, mereka tertarik membuat film
tentang Tika karena rasa penasaran mengenai bagaimana orang-
orang seperti Tika menjalani hidup keseharian. Rasa penasaran
itu berubah menjadi pemahaman dan empati melalui sebuah expose
yang wajar atas kehidupan orang lain yang berbeda.
Penutup
Pemaparan pengalaman di atas sekadar satu contoh kegiatan
yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan dan memelihara
--- 114
kesadaran pluralisme di kalangan siswa. Diperlukan keterlibatan
banyak pihak untuk melakukan hal serupa, dengan pendekatan
yang disesuaikan dengan konteks masing-masing. Dari pengalaman
ini, kami belajar bahwa walaupun telah terjadi dominasi yang
kuat atas ruang publik siswa, para siswa sendiri bukanlah subjek
yang tunduk begitu saja pada kenyataan dominatif yang
dihadapinya. Di beberapa sekolah yang kami kunjungi, sebagian
siswa, yang merasa kegiatan Rohis di sekolahnya terlalu menekan,
juga menyusun strategi resistensi dengan gaya mereka masing-
masing. Dalam kaitan ini, kembali dingatkan perlunya berbagai
pihak yang peduli pada dunia pendidikan kita untuk terus
memikirkan berbagai kebijakan yang mencegah suasana dominatif
dan diskriminatif, sekaligus mengukuhkan nilai pluralisme
kewargaan di sekolah.
Riset aktual tim LKiS mengenai ruang publik siswa di tiga
SMUN favorit di Yogya menunjukkan bahwa para siswa dapat
membangun strategi melawan kecenderungan eksklusif itu secara
lebih efektif ketika kebijakan sekolah memberi ruang yang cukup
untuk mengembangkan berbagai kegiatan kreatif sesuai dengan
minat mereka, dan hal itu membuat mereka lebih terbuka kepada
perbedaan.119 Sekali lagi, hal ini menegaskan pentingnya peran
pemerintah atau pengelola pendidikan untuk menjaga ruang publik
sekolah, agar tak didominasi satu kelompok, agar akses semua
orang ke sana tetap terbuka secara setara.
Kata Pengantar 115
BAB 5
Negara, Kekuasaan, dan “Agama”:
Membedah Politik Perukunan
Rezim Orba
Trisno S. Sutanto
--- 116
TANGGAL 19 April 2010, sesudah melalui perdebatan
panjang dan panas, pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK)
mengambil sikap, lewat Putusan No. 110/PUU-VII/2009, menolak
usulan mencabut UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama.120 Walau hasil itu
sudah diduga sebelumnya, namun putusan MK yang bersifat final
tak pelak membuat banyak kalangan terkejut.
Lewat putusannya, MK tidak hanya semakin memperkuat
posisi penting UU ini , yang menjadi alat utama politik agama
sepanjang rezim Orde Baru (Orba) dan terus bertahan sampai
sekarang, tetapi sekaligus memperkuat posisi dominan negara
dalam urusan agama maupun antaragama. Walau juga harus
dicatat bahwa MK menyadari kebutuhan untuk melakukan revisi
atas UU itu.
Esai ini tidak dimaksudkan sebagai telaah menyeluruh dan
rinci mengenai putusan MK itu. Apa yang akan saya lakukan
adalah memproblematisasikan diskursus kerukunan yang
diciptakan rezim Orba sebagai bagian politik agamanya, yang UU
No. 1/PNPS/1965 berperan penting.121 Sebab sudah lama ditengarai,
dalam hubungan antarumat beragama di negara kita , persoalan-
persoalan dasar dan bagaimana persoalan itu mau ditangani,
sangat ditentukan oleh peran negara. Oleh karena itu suatu telaah
kritis tentang diskursus kerukunan sudah menjadi kebutuhan
negara kita mungkin merupakan negara, di mana agama
samawi mendapat kedudukan yang paling kuat:
dipelihara, disokong oleh pemerintah, tetapi sekaligus
juga dikontrol dan dijaga, sehingga dikurung terlalu
ketat. Perkembangan kehidupan keagamaan tentu saja
memerlukan pedoman, tetapi sekaligus butuh pem-
bebasan untuk berkembang sebagaimana mestinya.
Karel Steenbrink*
Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 117
mendesak guna membangun model alternatif civic pluralism atau
pluralisme kewargaan.
Apa yang menjadi fokus telaah ini adalah diskursus tentang
kerukunan, yakni bagaimana paham kerukunan dirumuskan,
dikembangkan, disebarluaskan, dan dipakai sebagai kebijakan
negara dalam “membina kehidupan umat beragama”, untuk
memakai istilah resminya. Seluruh kompleksitas itulah yang
disebut dalam teks ini sebagai “politik perukunan”. Ringkasnya,
apa yang saya sebut sebagai politik perukunan rezim Orba berjalan
dalam empat tahapan: Pertama, melakukan pendefinisian agama
yang benar dan sehat, dengan memberi wewenang sangat besar—
lewat UU No. 1/PNPS/1965—pada Departemen Agama dan
aparatusnya yang dianggap mampu menyelidiki dan ikut
menentukan “pokok-pokok ajaran agama”. Kedua, melakukan politik
penyingkiran (exclusionary politics) penduduk yang menghayati
aliran kepercayaan sebagai “belum beragama”, dan meletakkan
kriteria kebenaran agama pada kelompok agama-agama Ibrahimi.
Ketiga, mengawasi aktivitas misioner agama-agama Ibrahimi, dan
sekaligus memelihara “benih kecurigaan”, khususnya aktivitas
“penyebaran agama” dalam relasi antara Islam dengan Kristen.
Akhirnya, keempat, membentuk segregasi sosial di antara umat
beragama yang, jika perlu, harus diawasi secara ketat—bahkan
lewat ancaman hukuman yang absurd. Lewat empat tahapan itulah
rezim Orba berhasil menancapkan kekuasaannya dalam tubuh
agama-agama, dan menentukan gerak serta langgam kehidupan
beragama di tanah air.
Esai ini mengelaborasi politik perukunan yang secara masif
dilakukan rezim Orba ini , karena melaluinya dapat dicandra
bagaimana kekuasaan negara mempersepsi—bahkan menciptakan
(dalam artian inventing)—apa yang disebut sebagai “persoalan
antaragama”, lalu membuat serangkaian kebijakan, mekanisme,
dan aturan main untuk menanganinya. Jadi, di sini saya tidak
akan mengkaji kerukunan (harmony) itu sendiri, melainkan politik
perukunan (harmonising politics), yakni kerukunan yang
didefinisikan, diterapkan, dijaga oleh dan demi langgengnya rezim
kekuasaan negara. Melalui telaah diskursus tentang kerukunan
itu sekaligus dapat dicandra politik agama rezim Orba yang,
menurut saya, masih tetap mewarnai kebijakan negara sampai
sekarang.
--- 118
Mengapa RUU KUB?
Dalam soal ini, teks Naskah Akademik (selanjutnya: NA) dan
draf awal Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama
(RUU KUB) yang diproduksi Depag tahun 2002/2003 dapat menjadi
pintu masuk guna mengkaji bagaimana negara (lewat Departemen
Agama, sekarang Kementerian Agama) merumuskan paham
kerukunan, menyebarluaskan, dan memakainya.122
Sejak kemunculannya, RUU KUB telah menimbulkan
kontroversi pendapat di tengah warga . Pihak Depag sendiri
pernah menyangkal keberadaan RUU yang kontroversial ini .
Akan tetapi dalam Surat Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan Depag No: BD/BA.02/433/2003 yang ditandatangani
oleh Kepala Balitbang dan Diklat Keagamaan Depag, Prof. Dr. HM.
Atho Mudzar, diakui bahwa draf RUU KUB ini “baru
merupakan kajian intern Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan dan belum dibahas bersama Majelis-Majelis Agama.”123
Soal yang sama juga ditegaskan Menteri Agama waktu itu,
Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawar dalam rapat dengar pendapat
dengan Komisi VI DPR RI.124 Tiga bulan kemudian, dalam rapat
kerja Menteri Agama dengan Komisi VI DPR RI, kembali soal RUU
KUB mencuat. Menteri Agama mengakui, RUU itu belum bisa
diselesaikan pemerintah karena masih ada pihak-pihak yang
menentang RUU itu, meskipun “pihak yang melakukan penolakan
kecil.”125
Walau tidak berhasil diundangkan, bukan berarti bahwa
paradigma dan cara pandang RUU KUB tidak lagi gayut untuk
dibicarakan; malah sebaliknya. Terlepas dari kontroversi dan sikap
Depag yang seakan “menutup-nutupi” keberadaan RUU KUB,
dokumen NA sangat layak dikaji secara mendalam dan kritis
karena tiga alasan fundamental berikut. Pertama, NA memberi
kita celah untuk mendedah bagaimana kekuasaan negara
membangun politik agama guna mengendalikan hubungan
antarumat beragama. Teks ini, yang disusun oleh Tim Penyusun
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat
Beragama (dikenal sebagai Tim-7) yang diketuai Dr. H. Ichtijanto
SA, SH, APU., berdasarkan lokakarya tiga hari (antara tanggal
23—35 Juli 2002) yang diselenggarakan Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan Depag, merupakan dokumen unik, kalau bukan
satu-satunya, yang mencerminkan dengan jelas kerangka dasar
Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 119
cara pandang negara terhadap persoalan-persoalan antarumat
beragama. Itulah sebabnya dalam esai ini saya memusatkan
perhatian lebih pada argumentasi NA.
Kedua , RUU KUB disusun sebagai kompilasi berbagai
peraturan dan perundangan yang menyangkut hubungan antar-
umat beragama, sehingga nantinya dapat menjadi “UU payung”
bagi seluruh kebijakan tentang keagamaan. Sekalipun rezim Orde
Baru sudah tumbang pasca-Mei 1998, tetapi paradigma dan cara
pandang yang ada masih sangat dominan menafasi NA sampai
sekarang. RUU KUB yang diproduksi pasca-Mei 1998 adalah contoh
nyata bagaimana paradigma ini bertahan. Begitu juga, putus-
an MK April lalu memperlihatkan betapa kuat dan berakarnya UU
No. 1/PNPS/1965 yang menjadi bagian penting dari paradigma itu.
Akhirnya, ketiga, pembuatan RUU KUB diniatkan sebagai
“pengganti” UU No. 1/PNPS/1965.126 Putusan MK yang disinggung
di atas, walau menolak sama sekali usul pencabutan UU No. 1/
PNPS/1965, juga menyiratkan keinginan untuk melakukan revisi
terhadap UU ini , “baik dalam lingkup formil perundang-
undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur
materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan
kesalahan penafsiran dalam praktik.”127 Mengingat revisi UU tidak
menjadi tugas MK, maka usaha ini akan diserahkan kepada
proses politik di DPR. Bisa diduga, seandainya revisi ini
memang dilakukan, salah satu alternatif yang akan disodorkan
adalah RUU KUB, atau RUU lain yang memiliki nalar maupun
semangat yang sama dengannya.128 Sebab, seperti jelas dari uraian
di bawah ini, cara pandang RUU KUB melukiskan paradigma
dominan bagaimana kekuasaan negara lewat piranti-pirantinya
memperlakukan “masalah keagamaan”, termasuk di dalamnya
hubungan antaragama.
sebab itu, menurut saya, keberadaan NA dan RUU KUB
sangat layak untuk dikaji dan dibicarakan secara kritis, sehingga
kita dapat membongkar praktik-praktik dan operasi teknologi
kekuasaan negara dalam membentuk, mengawasi, dan
mengendalikan hubungan antarumat beragama. RUU KUB
bukanlah produk yang tiba-tiba muncul. Sebelumnya, paling tidak,
ada dua usaha serupa. Upaya pertama, sekitar awal 1982, Depag
pernah mengeluarkan RUU “Tata Kehidupan Beragama”129 yang
berisi hampir mirip dengan RUU KUB, dengan luas cakupan yang
--- 120
lebih sederhana. Tetapi usul ini ditolak keras oleh berbagai
kalangan, termasuk Fraksi ABRI tanggal 10 Mei 1982, karena
dianggap “tidak sesuai dengan Pancasila dan P4”—argumen khas
masa itu. Berikutnya, dipicu oleh kerusuhan yang merebak
menjelang Pemilu 1997 yang banyak gedung gereja dibakar; Menag
saat itu, Dr. Tarmizi Taher, sempat mengusulkan perlunya UU
Kerukunan Agama. Namun usul itu, yang konon berasal dari “Sese-
puh Gereja Protestan Maluku di Ambon”, ditolak oleh banyak
kalangan. Hasilnya, alih-alih UU, usaha Taher melahirkan buku
berjudul Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di
negara kita , yang menjadi salah satu sumber penting penyusunan NA.130
Dua tuturan ini memperlihatkan bahwa usaha negara
mengatur hubungan antarumat beragama tidak dimulai dari RUU
KUB, melainkan punya akar yang jauh ke belakang. Oleh karena
itu dibutuhkan pertama-tama telaah historis untuk menempatkan
RUU KUB dalam konteksnya, sebelum nantinya telaah sistematis
diusahakan. Dalam esai ini, pertama-tama saya akan memberikan
latar sejarah yang lebih luas sebelum, nantinya, melihat konteks
dekat bagaimana diskursus kerukunan timbul serta motif-motif
dasarnya. Dengan memperhitungkan konteks ini, pada bagian akhir
saya akan mendedah diskursus kerukunan itu sendiri, khususnya
di dalam NA yang, menurut para penyusunnya, merupakan usaha
untuk “menyiapkan pola pikir akademik bagi tersusunnya RUU
Kerukunan Umat Beragama.”131
Setidaknya, menurut saya, tiga hal ini perlu dikaji (yang juga
diisyaratkan NA sendiri).132 Pertama, pergulatan yang tak pernah
selesai guna menata hubungan antara agama (khususnya Islam)
dengan negara yang melahirkan posisi serba-taksa dengan segala
konsekuensinya. Di sini, diskusi mengenai rumusan sila pertama
Pancasila dan turunannya dalam pasal 29 UUD 1945 menjadi
penting. Kedua, cikal bakal lahirnya paham “kerukunan” pada masa
awal rezim Orba, yang sekaligus menandai dua soal paling dasar
yang menjadi leitmotiv penyusunan RUU KUB: penyebaran agama
dan pembangunan rumah ibadah. Dan, ketiga, serangkaian
kebijakan agama yang akan dikompilasi dan disinkronkan dalam
RUU KUB. Sebab, menurut NA sendiri, RUU KUB merupakan usaha
yang “idealnya menghimpun ulang dan mensinkronisasikan segala
peraturan yang ada … serta melengkapinya dengan butir-butir
pengalaman baru yang diperlukan.”133
Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 121
Jika dua hal pertama lebih sebagai sketsa historis, bagian
ketiga sudah membawa kita masuk ke dalam urat nadi NA dan
RUU KUB sendiri.
Pancasila: Jalan Tengah yang Selalu Goyah
Sulit membayangkan adanya institusi yang lebih berkuasa
ketimbang institusi agama dan negara. Keduanya bisa dikatakan—
kalau ibarat ini dapat dipakai—semacam kutub-kutub yang
membentuk pusat-pusat kekuasaan dalam kehidupan manusia.
Sebagai pusat kekuasaan, keduanya memiliki kewenangan yang
bersifat absolut: tidak ada institusi lain, kecuali agama dan negara,
yang mampu meminta ketundukan total dari anggota atau
warganya. Bukankah hanya atas nama agama atau negara,
manusia rela mengorbankan nyawanya, atau membunuh
sesamanya, entah “demi tanah air” atau “demi membela Tuhan”?
sebab nya, tidak mengherankan jika kedua institusi itu selalu
menarik, selalu menggoda dan memikat bagi siapapun juga yang
ingin memperoleh dan/ atau mempertahankan kekuasaannya.
Sekaligus juga dapat dikatakan, kedua kutub kewenangan yang
absolut itu terus menerus bertanding untuk memonopoli sumber-
sumber kekuasaan atas diri manusia.
Sejarah di negara kita bisa dibaca sebagai medan pertandingan
kedua kutub itu, suatu pergulatan guna mencapai titik kompromi
yang paling dapat diterima guna menata hubungan antara
keduanya. Tanpa harus masuk ke dalam rincian historisnya, bisa
disimpulkan bahwa Pancasila merupakan hasil kompromi dari dua
arus besar menjelang kemerdekaan: nasionalis-religius, yang
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dan nasionalis-
sekuler yang menolak usulan itu.
Di kemudian hari, saat menjabat sebagai Menteri Agama pada
rezim Orba, alm. Prof. Dr. Mukti Ali merumuskan kalimat-kalimat
yang sangat terkenal mengenai hal itu, begini:
negara kita telah memilih jalannya sendiri. negara kita bukanlah negara
teokratis, dan juga bukan negara sekuler. Dasar Negara kita,
Pancasila, sudah benar dengan menegaskan negara ini berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan bahwa negara kita
merupakan negara multi relijius. Tetapi, agama (Islam), dalam
bentuknya yang resmi, bukan dasar negara … tidak dijadikan sebagai
agama negara. Namun demikian, pemerintah akan merumuskan
--- 122
suatu prinsip-prinsip operasional bagi pembangunan agama, yang
diperuntukkan kepada semua komunitas beragama di negara kita ,
dalam rangka melindungi, membantu, mendukung dan membina
semua bentuk kegiatan keagamaan.134
Namun kompromi yang dicapai itu sangat rentan dipakai
sebagai arena pertarungan tafsir, dan karakternya yang serba-
taksa menambah pelik persoalan. Hal ini setidaknya dapat dicandra
dalam tiga persoalan fundamental yang selalu memambangi
hubungan antara agama dengan negara sepanjang sejarah.
Per tama, rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
problematis. Dengan sangat mudah, rumusan itu bisa dibelokkan
menjadi prinsip monoteistik, sehingga “Ketuhanan Yang Maha Esa”
diubah menjadi kepercayaan terhadap “Tuhan Yang Maha Esa”.
Hal ini dapat dilihat dalam Ayat 1 pasal 29 UUD 1945, “Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam penjelasan
resmi UUD 1945 dikatakan, “Ayat ini menegaskan kepercayaan
bangsa negara kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” Perhatikan
bagaimana “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi “Tuhan Yang
Maha Esa”! Padahal jelas sekali ada jurang konseptual yang sangat
lebar antara “Ketuhanan yang Maha Esa” dengan “Tuhan Yang
Maha Esa”. Seorang teolog Protestan dari Jerman yang lama
menekuni persoalan antaragama di sini, Prof. Dr. Olaf Schumann,
memberi kita insight jurang konseptual itu:
Istilah ‘ketuhanan’ merupakan istilah yang sangat abstrak; bukan
‘Tuhan’, melainkan ‘ketuhanan’, suatu prinsip mengenai Tuhan, tetapi
bukan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, ia pun sangat sulit untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Dalam bahasa Inggris
barangkali bisa diterjemahkan dengan istilah divinity, pasti bukan
‘deity’ atau ‘God’, dan dalam bahasa Jerman Gottheit atau
Gottlichkeit, ia pun bukan Gott. Hanya teologi yang dapat menjelaskan
dengan memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan
ketuhanan itu secara nyata.135
Boleh jadi memang hanya teologi yang dapat menjelaskan,
tetapi dalam sejarah menjadi jelas bahwa apa yang terjadi bukanlah
debat tafsir teologis, melainkan pertarungan kekuasaan politik
terus menerus.
Posisi serba-taksa yang diambil dari rumusan alm. Mukti Ali
itu, terbukti, mewarnai hampir seluruh persoalan antarumat
Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 123
beragama sampai sekarang. Termasuk di dalamnya argumentasi
yang disusun MK baru-baru ini. Bagi para hakim MK, pasal 29
ayat (1) UUD 1945 itu menjadi ciri unik prinsip negara hukum
negara kita , yaitu suatu “negara hukum yang menempatkan prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama”. Hal ini punya
implikasi jauh, seperti diuraikan MK:
Konstitusi Negara Kesatuan Republik negara kita tidak memberikan
kemungkinan adanya kampanye kebebasan untuk tidak beragama,
kebebasan untuk promosi anti agama serta tidak memungkinkan
untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab yang
menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama
Tuhan. Elemen inilah yang merupakan salah satu elemen yang
menandakan perbedaan pokok antara negara hukum negara kita
dengan negara hukum Barat, sehingga dalam pelaksanaan
pemerintahan negara, pembentukan hukum, pelaksanaan
pemerintahan serta peradilan, dasar ketuhanan dan ajaran serta
nilai-nilai agama menjadi alat ukur untuk menentukan hukum yang
baik atau hukum yang buruk, bahkan untuk menentukan hukum
yang konstitusional atau hukum yang tidak konstitusional.136
Di sini akan menarik untuk membandingkan tafsir MK itu
dengan tafsir salah seorang tokoh pejuang kemerdekaan, H. Agoes
Salim. Menurut Agoes Salim, sila pertama dalam Pancasila bahkan
tidak dapat dipakai untuk menafikan hak dan kemerdekaan mereka
yang ateis (meniadakan Tuhan) ataupun politeis (atau tradisi
kepercayaan nonmonoteis), sebab hal itu adalah “kemerdekaan
keyakinan yang mutlak”. Begini Agoes Salim menguraikan
pandangannya yang visioner itu:
Dapatkah dengan asas negara itu (yakni “kepercayaan kepada
Ketuhanan yang Maha Esa”—TS) kita mengakui kemerdekaan
keyakinan orang yang meniadakan Tuhan? Atau keyakinan agama
yang mengakui Tuhan berbilangan (yakni “politeis”—TS) atau berbagi-
bagi? Tentu dan pasti! Sebab undang-undang dasar kita, sebagai
juga undang-undang dasar tiap-tiap negara yang mempunyai adab
dan kesopanan mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan
agama, sekadar dengan batas yang ini tadi itu, yaitu asal jangan
melanggar adab kesopanan ramai, tertib keamanan dan damai.137
Sayang sekali, gagasan Agoes Salim itu kini hanya menjadi
tumpukan sejarah yang sudah dilupakan orang. Tafsir dominan
--- 124
atas sila pertama Pancasila maupun terjemahannya ke dalam pasal
29 ayat (1) UUD 1945 lebih mengikuti tafsir MK di atas.
Kedua, masalahnya jadi jauh lebih kompleks ketika
ketidakjelasan itu diterjemahkan ke dalam produk-produk hukum,
baik perundangan maupun peraturan yang mengikat. Seperti
tampak dalam hampir setiap peraturan keagamaan, rumusan pasal
29 ayat (1) sering dipakai sebagai “justifikasi konstitusional”
sehingga pemerintah dapat melakukan intervensi ke dalam
ranah agama. Maksudnya, karena negara ini didasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka seakan-akan penegasan
“kepercayaan” ini memberi pembenaran, dan bahkan menjadi
kewajiban bagi negara untuk ikut mengatur hidup keagamaan
warga nya.
Agaknya gagasan semacam ini, bahwa negara punya
kewajiban untuk ikut mencampuri dan mengatur ranah ke-
agamaan, tertanam sangat kuat dan menjadi cara pandang banyak
orang. Misalnya, dalam makalah yang disampaikan saat Kon-
ferensi Tokoh Agama ICRP beberapa waktu lalu, Ketua MK Prof.
Dr. Moh. Mahfud MD menegaskan, pasal 29 UUD 1945 meng-
gariskan tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap
kebebasan beragama. “Dalam konteks negara negara kita yang
mengakui posisi penting agama,” lanjut Mahfud,
perlindungan terhadap kebebasan beragama harus dipadukan dengan
perlindungan terhadap kemurnian ajaran agama. Hal ini berarti
bahwa kebebasan beragama memang dijamin, tetapi kebebasan
beragama secara menyimpang tidak dapat dibenarkan. Tanggung
jawab negara terhadap agama tidak hanya sebatas memberi
perlindungan kebebasan beragama kepada para pemeluk agama,
tetapi juga memberikan pelayanan terhadap pemeluk agama dan
melindungi kemurnian ajaran agama dari penyelewengan atau
penyimpangan.138
Tentu saja orang dapat bertanya, atas dasar apa kewenangan
negara untuk tidak hanya mengatur, tetapi bahkan “melindungi
kemurnian ajaran agama”? Lagi pula akan sangat problematis
untuk memerikan apa yang disebut “kemurnian ajaran agama”,
karena hal ini langsung terkait dengan pertarungan tafsir
keagamaan yang batas-batas ranahnya tidak pernah jelas.
Ketiga, berkaitan dengan ayat 2 dari pasal 29 UUD 1945 yang
dirujuk Mahfud sebagai kerangka dasar tugas negara itu, “Negara
Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 125
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu” (cetak miring ditambahkan).
Kita tahu bahwa ayat ini, khususnya bagian yang dicetak miring,
boleh dibilang menjadi fokus perbantahan tentang eksistensi
kelompok-kelompok kepercayaan lokal yang seharusnya dibedakan
dengan kelompok-kelompok keagamaan. Akan tetapi, tafsir
dominan atas ayat ini selalu menafikan keberadaan dan hak-hak
kelompok kepercayaan lokal ini .
Harus diakui, jika dicermati latar belakang penyusunannya,
frase “dan kepercayaannya itu” tidak merujuk pada eksistensi
kelompok-kelompok kepercayaan yang ada, melainkan pada fakta
pluralitas internal dalam umat Islam. Usul tambahan frase yang
dicetak miring dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 datang dari Mr.
K.R.M.T. Wongsonagoro, Bupati Sragen yang menjadi anggota
Panitia Kecil Perancang UUD pada rapat tanggal 13 Juli 1945. Kita
tidak memiliki rekaman langsung proses penyusunan pasal itu.
Namun risalah yang ada memperlihatkan, alasan dari usulan
Wongsonagoro itu didasarkan pada pertimbangan bahwa pasal itu
“mungkin diartikan, bahwa negara boleh memaksa orang Islam
untuk menjalankan syari’at agama.”139
Terlepas dari soal itu, pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yang sering
dipakai sebagai landasan jaminan konstitusional bagi kebebasan
beragama, sesungguhnya memiliki cakupan yang sangat terbatas.
Bukan saja karena jaminan itu tidak mencakup hak-hak kelompok
kepercayaan, tetapi juga, seperti diingatkan telaah Hyung-Jun Kim,
pasal ini mengandung tiga cacat fundamental: (a) tidak jelas
dalam soal relasi agama dengan negara; (b) tidak jelas sampai sejauh
mana pemerintah dapat mencampuri ranah internal agama; dan
(c) tidak menjamin apakah seseorang dapat menyebarluaskan
paham keagamaannya.140 Argumen ini semakin menegaskan bahwa
jalan kompromi Pancasila—dengan posisi serba-taksanya,
bahwa “negara kita bukanlah negara teokratis, dan juga bukan
negara sekuler”—justru membuka ruang lebar bagi intervensi
negara. Hal itu jelas terlihat dalam logika yang melatari
penyusunan NA.
Tetapi, sebelum itu, kita harus melihat secara lebih teliti latar
dekat bagaimana paham “kerukunan” muncul dan menjadi
semacam obsesi rezim Orba sejak awal mulanya.
--- 126
Paham Kerukunan Yang (Selalu) Bermasalah
Agaknya sulit disangkal bahwa persoalan “kerukunan” telah
menjadi obsesi rezim Orba sejak awal mulanya. Malah, kalau mau
dilacak, diskursus mengenai kerukunan muncul dan menguat
bersamaan dengan kemunculan dan menguatnya rezim itu, sesudah
melalui prahara nasional yang menyebabkan lebih kurang setengah
sampai dua juta orang dibantai.
Di tengah situasi yang chaotic itu, rezim Orba baru saja
diresmikan langsung berhadapan dengan persoalan-persoalan
agama yang pelik, khususnya kasus “kristenisasi” yang konon
menyebabkan lebih kurang dua juta penduduk berpindah agama
menjadi Kristen,141 dan kasus pembangunan gedung gereja Metodis
di Meulaboh tahun 1967 yang menyulut kemarahan kaum Muslim,
bahkan mendorong tindakan brutal di Makassar pada tanggal 1
Oktober 1967.142 Pada tanggal 30 November 1967, atas inisiatif
Depag, Musyawarah Antar Agama di Jakarta dilangsungkan,
dengan pidato sambutan Pejabat Presiden Mayjen Soeharto. Selain
di Jakarta, kegiatan serupa juga dilakukan awal Desember di
Garut. Namun situasi yang sudah memanas, dan bibit-bibit
kecurigaan yang sudah tertanam begitu dalam, khususnya di
lingkungan Kristen dan Islam, membuat suasana musyawarah di
Jakarta bagaikan debat kusir berkepanjangan tanpa ada
kesepakatan. Hasil maksimal yang disepakati oleh kedua pihak
hanyalah pembentukan Panitia Musyawarah Antar Agama yang
akan berfungsi membantu pemerintah memecahkan kesulitan-
kesulitan yang timbul.143
Kegagalan Musyawarah tahun 1967 itu makin mempertajam
kecurigaan antarkelompok. Kalangan Islam, misalnya seperti
diwakili oleh Lukman Harun, menuduh bahwa kegagalan itu
disebabkan karena para pemimpin Kristen (dan Katolik) menolak
menandatangani piagam kesepakatan yang diusulkan Soeharto,
“agar tidak menjadikan umat beragama sebagai sasaran
penyebaran agama lain”.144 Buya Hamka, dalam tulisannya di Panji
Masyarakat tahun 1968, dengan nada menyindir menyebut
musyawarah itu punya dampak positif bagi umat Kristen, karena:
Bagi golongan Kristen, Protestan dan Katholik, musyawarah ini telah
memberikan hasil yang sangat, sangat positif. Baru sekali ini, sejak
Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 127
Zending dan Missi dibawa oleh penjajah ke negeri ini, sampai sekarang
zaman merdeka, mereka dapat mengatakan dengan terus terang di
hadapan pemimpin-pemimpin dan pemuka Islam, ulamanya dan
zu’amanya, bahwa mengkristenkan seluruh umat Islam ini adalah
mission sacré mereka, kewajiban suci mereka. Dengan demikian kalau
dahulu disebut-sebut usaha mereka mengkristenkan pulau Jawa
dalam 25 tahun dan seluruh negara kita dalam 50 tahun