Kamis, 22 Februari 2024

prularisme 4



 ah lebih dulu

dikembangkan oleh gerakan dakwah kampus. Mentoring

merupakan kegiatan pembinaan yang berlangsung secara kontinu

di bawah bimbingan seorang mentor atau murabbi. Siswa kelas

satu juga “dianjurkan” mengikuti “mentoring” agama Islam yang

diberikan setiap minggu oleh seorang mentor. Di sebagian sekolah,

kegiatan ini bahkan menjadi kewajiban, dan masuk dalam penilaian

rapor. Siswa yang tidak mengikutinya akan ditegur, dan kadang-

kadang orang tua siswa ini  diminta datang untuk

menjelaskan ketidakikutan anaknya. Dengan mengembangkan pola

pendekatan teman sebaya, program ini menjadi lebih menarik,

efektif dan memiliki keunggulan tersendiri. Bagi para aktivis

dakwah sekolah, mentoring adalah aktivitas utama (dakwah

khashah) dalam diseminasi nilai dan pandangan keislaman di

sekolah, sementara kegiatan lain sekadar penunjang, yang

berdampak strategis dalam kaderisasi aktivis dakwah di sekolah.

Pada umumnya sekolah yang didatangi mendukung pengadaan

mentoring sebagai bagian penting penyempurnaan proses

pembelajaran agama Islam.

Silabus, materi dan metode mentoring sangat bervariasi antara

satu dan lain Rohis. Salah satunya tergantung pada cara atau

pengaruh dari ormas yang mendominasi Rohis. Tetapi secara umum

materi yang dibahas terdiri dari dua jenis, yakni isu aktual dan

isu regular. Isu aktual adalah isu yang diangkat sesuai aktu-

alitasnya, sedangkan isu regular/ tetap diberikan secara kontinu,

--- 100

terus menerus sesuai jenjang materi pengaderan yang telah

ditetapkan. Isu/ materi regular terdiri dari pokok bahasan sehari-

hari yang bersifat ibadah (ubudiyah) hingga pergaulan (ukhuwah),

yang mencakup al-Qur’an, hadits, fiqh dan akhlaq hingga

penyuluhan problematika remaja seperti narkoba, tawuran, dan

seks bebas telah menjadi perhatian penting bagi seluruh elemen

warga . Program ini  sangat menarik bagi siswa karena

sangat dekat dengan keseharian mereka dan dapat memenuhi

keingintahuan mereka secara positif. Sedangkan beberapa isu

aktual yang dibicarakan, antara lain beberapa isu seperti ke-

pemimpinan, peran publik domestik, busana syar’i (jilbab) dan

poligami, pernikahan dini, kawin beda agama, SEPILIS (Seku-

larisme, Pluralisme, Liberalisme), UU Pornografi, gazwul fikri (pe-

rang pemikiran), Perang (Chechnya, Irak, Afganistan, Poso, Ambon-

Maluku), terorisme, kartun Nabi Muhammad, dan lain-lain.

Di samping kegiatan mentoring mingguan setiap minggu,

Rohis juga menyelenggarakan kegiatan Mabit (Malam Bina Iman

dan Takwa). Kegiatan ini biasanya dilakukan di akhir pekan Sabtu-

Minggu.110 Bisa dikatakan, Mabit merupakan ruang intensifikasi

mentoring di sekolah yang mengonsentrasikan siswa-siswi selama

sehari semalam berada di suatu tempat untuk kegiatan keislaman.

Materi yang diberikan antara lain nasehat atau tausiyah yang

diberikan seorang ustadz (alumni) mengenai moral dan ibadah,

tata pergaulan yang Islami (ta‘aruf vs pacaran), dan isu aktual

berkaitan dengan Islam dan dunia Islam. Evaluasi diri (muhasabah)

merupakan aspek yang penting dalam mabit, seperti renungan

malam yang dipandu oleh seorang ustadz/ senior/ mentor yang

menekankan pada Emotional-Spiritual Intelligence. Kegiatan ini

juga diisi dengan menonton film dan permainan-permainan yang

berisi pesan persaudaraan, solidaritas sesama muslim, ketekunan,

disiplin dan sebagainya.

Kegiatan mentoring dan mabit merupakan penyumbang utama

pada pembentukan identitas kelompok yang berbasis pada agama

di kalangan siswa. Solidaritas yang terbentuk dari kesamaan

identitas ini menjadi kekuatan bersama Rohis untuk  mendominasi

hampir seluruh kegiatan siswa (OSIS) di sekolah. Para aktivis secara

sistematis bekerja untuk menjadi anggota Majelis Perwakilan Kelas

(MPK) yang berfungsi mewakili seluruh aspirasi siswa dalam

perumusan program OSIS dan badan-badan otonom siswa di

Kaum Muda dan ---  101

sekolah, di samping menjalankan fungsi pengawasan. Keberhasilan

aktivis Rohis dalam agenda terakhir inilah yang melahirkan

suasana Islam yang cenderung dominatif dan sekaligus

diskriminatif di sekolah. Di sekolah-sekolah tertentu, suasana

dominatif dan diskriminatif ini berwujud dalam hilangnya akses

siswa non-Muslim untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler

tertentu, seperti Palang Merah Remaja (PMR) dan Karya Ilmiah

Remaja (KIR).

Berdakwah melalui Media Islam Popular

Perlu dicatat, sekolah bukanlah satu-satunya wahana yang

dipakai untuk pengukuhan agama sebagai identitas di kalangan

siswa sekolah menengah. Kegiatan pembinaan remaja melalui

masjid-masjid kampung juga sangat penting diperhatikan, dan

sayangnya studi tentang ini lebih jarang dilakukan, mungkin

karena persebarannya lebih rumit. Wahana lain yang juga sangat

penting dilihat dalam konteks ini adalah maraknya perkembangan

media Islami populer yang terjadi pada masa yang kurang lebih

bersamaan dan dalam satu dan lain cara saling bersinergi.

Perkembangan media Islam yang menarget pembaca remaja

saat ini sebagian besar digerakkan oleh para aktivis dakwah yang

konsen dengan isu remaja. Di tahun 1990-an saat modernisasi

menerpa remaja negara kita  lewat majalah remaja, seperti Kawanku,

Gadis, Aneka dan Hai yang menyajikan dan memopulerkan budaya

pop Barat, sebagian alumni gerakan dakwah kampus tahun 80-an

mendirikan sebuah majalah remaja dengan nama Annida yang

berarti ajakan atau panggilan kepada remaja Muslim untuk

mengimplementasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari.111

Meskipun Annida awal di tahun 1990-an tampil dalam bentuk

sederhana seperti ilustrasi cover dengan tanaman, binatang dan

olah foto yang jauh berbeda dengan tampilan majalah remaja

umum yang covernya memamerkan remaja trendy dengan gaya

rambut dan baju terbaru, Annida secara perlahan berhasil merebut

segmen pembaca remaja Muslim.112 Melalui rubrik yang

memberikan porsi besar terhadap cerita pendek (cerpen) dipadu

dengan konsultasi remaja dan esai mengenai berbagai belahan

dunia Islam lainnya yang mengalami perang dengan Israel dan

negara Barat lainnya, Annida mulai memperoleh perhatian remaja

Muslim. Cerpen memperoleh porsi terbesar isi majalah saat Annida

--- 102

berubah moto menjadi “Seri Kisah-Kisah Islami Annida” (1993—

2000) dan “Sahabat Remaja Berbagi Cerita” (2002—2003). Tampak-

nya hal ini merespons kecenderungan beberapa majalah remaja

pop lain (seperti Anita Cemerlang dan Ceria) yang saat itu secara

khusus memang memberikan porsi yang besar terhadap cerpen.113

Berbeda dengan cerpen yang tergelar di majalah-majalah

remaja pop yang menceritakan percintaan, persahabatan dan lain

sebagainya, cerpen Annida secara lugas mengajak para remaja

Muslim untuk mengenakan jilbab, meninggalkan perilaku yang

meniru Barat serta mengenalkan isu-isu penindasan Barat terhadap

negara Muslim, seperti Palestina, Irak, Maroko dan lain sebagainya.

Salah satu cerpen yang dimuat di Annida dan pada gilirannya

menjadi populer di kalangan remaja Muslim adalah karya Helvy

Tiana Rosa114 berjudul “Ketika Mas Gagah Pergi”. Cerpen ini

memaparkan sebuah kisah tentang seorang remaja bernama Gagah

yang seperti remaja umumnya tampil trendy, berbahasa gaul, dan

suka mendengar musik-musik Barat. Namun suatu hari Gagah

berubah total, ia tidak lagi tampil trendy, dan mulai tidak lagi

mendengar musik Barat. Ia mulai suka mengenakan baju koko,

memelihara jenggot, dan mendengarkan nasyid. Sang adik bernama

Gita spontan merasa heran melihat perubahan kakaknya ini .

Ia pun menceritakan ihwal ini  kepada seorang teman

dekatnya bernama Tika. Tika yang baru saja memutuskan untuk

mengenakan jilbab dengan spontan memberikan ucapan selamat

kepada Gita dan menyatakan bahwa kakaknya ini  telah

menjadi ikhwan. Gita yang bingung dengan istilah ikhwan segera

menanyakannya. Tika mengatakan bahwa ikhwan adalah istilah

untuk menyebut para laki-laki yang aktif di Rohis seperti di

sekolahnya. Sejak saat itu, Gita mulai memanggil kakaknya dengan

sebutan ikhwan, mulai datang ke acara-acara pengajian dan mulai

bertekad untuk mengenakan jilbab. Bahkan ibu Gita yang dulu

tidak mengenakan jilbab, kini mulai memakainya. Cerita ini ditutup

dengan tragedi kecelakaan Gagah sesaat sesudah  memberikan

ceramah di Bogor dan ingin pulang ke rumah untuk menghadiri

ulang tahun Gita. Meski Gagah telah wafat, ia meninggalkan

sebuah hadiah berisi jilbab dan gamis. Sejak saat itu, Gita berjanji

untuk mengenakan jilbab dan gamis dalam kehidupan sehari-hari.

Selain cerpen yang bertemakan “hijrah” sebagaimana

dipaparkan di atas, Annida juga mempunyai berbagai rubrik

Kaum Muda dan ---  103

tentang dunia remaja Muslim, di antaranya adalah rubrik Remaja

dan Aktivitas (R&A) dan Remaja Berprestasi Annida (RBA). Rubrik

R&A ini selalu menampilkan unit Rohis di sekolah-sekolah favorit

dengan kegiatan-kegiatan keislamannya. Sedangkan RBA menam-

pilkan para remaja berprestasi yang mengikuti ajang seleksi

Annida. Berbeda dengan remaja berprestasi ala majalah remaja

pop umumnya, RBA mempunyai kriteria khusus yaitu selain ber-

prestasi sebagaimana ditunjukkan dengan ragam aktivitas dan

prestasi baik di bidang akademik maupun sosial, RBA harus menge-

nakan jilbab bagi perempuan dan tidak merokok bagi laki-laki.115

Mereka yang terpilih sebagai RBA kebanyakan berlatar

belakang aktivis Rohis di sekolah atau universitas. Bahkan dalam

perkembangannya, Annida yang dulu tampil dalam ilustrasi cover

sederhana, sesudah  ajang RBA intens dilaksanakan perwajahannya

pun mulai berubah. Seperti majalah pop remaja umumnya, Annida

pun mulai menampilkan cover boys dan cover girls para remaja

berprestasinya dengan balutan jilbab trendy dan baju koko.

Singkatnya tipe ideal remaja Islam yang diandaikan Annida adalah

remaja yang cerdas, gaul namun tetap syar’i yang biasanya

diasosiasikan dengan aktivis Muslim di sekolah dan universitas.

Setelah Annida, beberapa majalah pop Islam mulai bertumbuh

dan merebut pembaca remaja Muslim, di antaranya Elfata, dan

Girliezone. Elfata berasal dari bahasa Arab berarti anak muda.

Lahir di tahun 2000-an saat media Muslim mulai menjamur di

era reformasi, Elfata menampilkan genre majalah remaja Muslim

yang berbeda dengan genre Annida kontemporer. Covernya tidak

menampilkan gambar perempuan atau laki-laki seperti tren majalah

Muslim saat ini, melainkan dengan cover ilustrasi seperti benda,

tulisan, perempuan berjilbab yang memikat dan tampak trendy.

Mengusung moto “Media Muslim Muda”, Elfata tampil dengan

rubrik yang menekankan pada feature dan esai yang mengajak

remaja untuk mengamalkan Islam sebagaimana yang diteladankan

oleh Nabi Muhammad dan para sahabat generasi pertama (salafi).

Tema-tema yang diangkat berusaha  menandingi budaya pop remaja

yang merujuk pada budaya Barat seperti kafe, perayaan Valentine

dan kecenderungan baru remaja Muslim seperti jilbab gaul dan

sebagainya. Salah satu edisi Elfata yang tampil dengan warna pink

dengan ilustrasi seorang perempuan berjilbab, mengangkat tema

mengenai “Jilbab di Cafe”.116 Edisi ini secara lugas mengkritik

--- 104

fenomena “jilbab gaul” yang ia sebut sebagai korban mode

dan bukan berasal dari ajaran Islam. Laporan ini mengajak

para pembaca Elfata  untuk memakai jilbab panjang yang

menutup aurat.

Selain itu, Elfata juga membuat sebuah rubrik yang khusus

menyajikan berita dunia Islam internasional dengan nama “Dunia

Islam”. Rubrik ini mengangkat isu-isu penindasan Islam di

Palestina, Maroko dan juga fenomena Islam di negara Barat yang

sulit mengekspresikan keberagamaannya. Sebagai contoh, berita

pelarangan jilbab di Perancis diulas sebagai contoh HAM yang

antijilbab. Di samping isu-isu Islam di negara kita  dan dunia

internasional, Elfata juga mengangkat tema aktual di lingkungan

gaul remaja semisal, SMS, Facebook dan lain sebagainya dengan

ajakan untuk tetap berperilaku Islami sesuai dengan ajaran salafi.

Berbeda dengan Annida dan Elfata yang memakai  istilah

Arab untuk nama medianya, pada tahun 2009 sebuah majalah

remaja Muslim baru terbit bernama Girliezone mengusung tema

“Smart Girl or Nothing!”. Dimotori oleh para penulis cerpen Annida

dan aktivis Forum Lingkar Pena (FLP), majalah ini tampil dengan

penekanan pada self development yaitu bagaimana menjadi

Muslimah yang baik di era modern kini. Edisi perdananya

diluncurkan pada bulan Februari 2009 berbarengan dengan

perayaan hari Valentine dengan tajuk “1001 Ekspresi Cinta”. Tampil

dengan cover berlatar belakang warna pink, edisi perdana

Girliezone ini mengupas Valentine’s day sebagai budaya Barat yang

tidak bersumber pada ajaran Islam karena cinta diekspresikan

dalam konteks nafsu dan kebendaan belaka seperti cokelat, bunga

dan bahkan hubungan seks. Girliezone secara tegas mengajak

remaja Muslim untuk tidak ikut merayakannya karena hal itu

dianggap meniru budaya Barat  atau tasyabbuh bil kuffar

(menyerupai kaum kafir)117

Sebagaimana majalah remaja pop Islam lainnya, Girliezone

juga mengangkat berita mengenai sekolah-sekolah dan beragam

aktivitasnya. Sekolah-sekolah yang ditampilkan tentu mempunyai

prestasi baik di bidang pendidikan maupun keagamaan. Di samping

itu, Girliezone juga menampilkan profil-profil penulis perempuan

dan selebriti Muslimah populer. Sebagai contoh pemeran film Anna

Althafun Nisa dalam film Ketika Cinta Bertasbih, Oki Setiana Dewi

dalam edisi perdana dihadirkan sebagai ikon Muslimah

Kaum Muda dan ---  105

kontemporer. Saat ditanya bagaimana tanggapan Oki terhadap

Valentine’s day dan pacaran, Oki dengan tegas menyatakan bahwa

perayaan hari Valentine bukan berasal dari Islam dan menolak

untuk berpacaran. Menurutnya, Islam hanya mengajarkan ta’aruf.

Ilustrasi dari beberapa majalah remaja Islam pop yang dikelola

oleh para aktivis dakwah di atas bagaimanapun juga turut

memberi warna dan membentuk tipe ideal remaja Muslim

negara kita  saat ini. Bahkan sebagian majalah ini 

direkomendasikan oleh para aktivis dakwah yang mengelola Rohis

di sekolah-sekolah sebagai bacaan tambahan saat mentoring

keislaman Rohis.118

Sekolah sebagai Institusi Publik dan Nasib Ruang

Publik Siswa di Sekolah

Dalam sebuah wawancara, seorang kepala sekolah menengah

umum favorit di Yogyakarta, yang Rohis berpengaruh dominan

dalam kegiatan siswa, menyatakan, “Jika anak-anak produk Rohis

ini religius, pintar, berakhlak, punya daya juang yang hebat,

terampil berorganisasi, peduli perkembangan situasi, peka terhadap

kesempatan pengembangan diri dan organisasi, mengapa

dikhawatirkan? Apa yang salah dengan mereka? Apa yang salah

dengan Rohis?”

Memang tidak ada yang salah dengan meningkatnya

penghayatan dan pengamalan agama di kalangan siswa. Sejauh

menyangkut hal ini, semua pihak memang harus melihatnya

sebagai hal yang sangat positif.  Bagi banyak orang tua dan guru,

kehadiran Rohis juga dipandang sangat positif sebagai benteng

agar siswa tidak terjebak dalam masalah narkoba, pergaulan bebas,

tawuran pelajar, dan berbagai perilaku yang dianggap menyimpang.

Kegiatan Rohis bisa dirasakan sebagai oase di tengah kepanikan

moral (moral panics) yang melanda para orang tua karena serbuan

budaya konsumtif hedonis yang menyerbu dunia mereka.

Pernyataan di atas juga sangat mungkin muncul pada banyak

orang tua. Tetapi mengapa Lusi, dalam suratnya yang dikutip di

awal tulisan ini, mengeluhkan perkembangan ini? Di sinilah

signifikansi perspektif pluralisme kewargaan dalam melihat

masalah ini. Yang menjadi masalah adalah pandangan keagamaan

yang berkembang cenderung mendorong kepada eksklusivisme

sempit dan kaku. Kenyataan ini sangat memprihatinkan karena

ia berlangsung di sekolah-sekolah publik yang dibiayai oleh

pemerintah, yang seharusnya menempatkan seluruh siswa sebagai

warga negara yang mempunyai hak-hak yang sama, tanpa

membedakan latar belakang agama, kelas sosial, sukubangsa, atau

jenis kelamin. Sekolah publik juga seharusnya menjadi ajang nilai-

nilai kewarganegaraan yang inklusif ditanamkan; dan penanaman

nilai-nilai itu tidak hanya terbatas dalam mata pelajaran yang

diberikan, tetapi juga dalam seluruh proses pendidikan di sekolah,

termasuk dalam kegiatan ekstrakurikuler dan juga kehidupan

sehari-hari pergaulan antarsiswa.

Dalam situasi ketika peran Rohis begitu dominan, aktivitas

ini  gampang menjurus kepada perilaku diskriminatif terhadap

siswa-siswi non-Muslim, dan juga, tidak kalah seriusnya, terhadap

siswa Muslim lain yang tidak mengikuti pandangan keislaman yang

sama. Ketika agama mulai menjadi pembentuk utama identitas

siswa, atau bahkan menjadi ideologi di sekolah, maka siswa mulai

belajar mengembangkan pandangan diskriminatif terhadap teman

lain seusianya.

Potensi ke arah terjadinya dominasi dan diskriminasi ini

secara teoritis sangat beralasan dan dalam kenyataannya bukan

tidak didukung oleh fakta-fakta di lapangan. Di atas telah disebut

kasus bagaimana kecenderungan itu telah melenyapkan akses siswa

non-Muslim dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti PMR dan KIR.

Cerita seorang ibu lain berikut ini adalah ilustrasi lainnya.

Dalam obrolan santai, ibu yang juga seorang aktivis ini

mengemukakan keprihatinannya atas perilaku putrinya yang

menunjukkan adanya pengerasan identitas. Putrinya yang berse-

kolah di sebuah SMUN Jakarta itu aktif dalam kegiatan Rohis dan

pernah beberapa kali minta izin untuk mengikuti kegiatan ekstra-

kurikuler yang disebut mabit. Menjelang momen pemilihan kepe-

ngurusan OSIS, putrinya tampak begitu sibuk mengorganisasi

teman-temannya, menggalang kekuatan agar OSIS tetap dipimpin oleh

siswa-siswi Muslim. Ketika sang ibu menanyakan alasan putrinya,

putrinya menjawab, “Kalau OSIS dikuasai yang lain (baca: non-

Muslim), maka agenda kegiatan OSIS akan menjadi tidak Islami.”

Tidak perlu diperdebatkan, pengembangan kesadaran

pluralisme kewargaan yang menempatkan setiap individu warga

negara secara setara di kalangan kaum muda, termasuk siswa

Kaum Muda dan 

sekolah menengah, tentu saja sangat penting dalam rangka

menjaga masa depan negara kita  yang menghargai keberagaman

budaya, agama, etnis dan berkeadilan. Kenyataan telah terjadinya

proses pengentalan identitas keagamaan di kalangan siswa-siswa

sekolah belakangan ini menegaskan  adanya kebutuhan mendesak

bagi perubahan kebijakan di berbagai tingkatan lembaga pendidikan

untuk mengatasinya. Apa pun wujud kebijakan itu, ia harus

ditujukan terutama kepada usaha  menjaga ruang publik siswa di

sekolah tetap terbuka dan sehat, dalam arti memberi ruang yang

sama kepada semua, yang berfungsi sebagai arena persemaian nilai-

nilai demokratis, dan menumbuhkan sikap yang menerima dan

menghargai perbedaan, serta memberi kesempatan kepada mereka

untuk mengelola perbedaan secara beradab.

Mencari Pendekatan Baru: “Mengalami

Pluralisme”

Di samping perlunya perubahan kebijakan, usaha  warga 

sipil untuk mengisi kegiatan siswa ke arah penumbuhan nilai-

nilai pluralisme kewargaan juga tidak bisa diabaikan. Tetapi, justru

di titik inilah kita melihat kelemahan yang dimiliki kalangan

pendukung pluralisme hingga saat ini. Harus diakui ada semacam

keterbatasan di kalangan pegiat pluralisme di tanah air dalam hal

cara-cara yang mungkin digunakan dalam mempromosikan

pluralisme. Imajinasi mereka tentang sarana-sarana kampanye

pluralisme sangat miskin dan terbatas. Perkembangan dahsyat

dalam teknologi baru dan budaya pop belum banyak dimanfaatkan.

Mereka umumnya berkutat pada pendekatan yang bersifat verbal,

berupa forum seminar dan diskusi publik dengan jenis audiens

yang relatif seragam. Ironis, karena usaha  yang dilakukan

kelompok lain yang berjalan ke arah sebaliknya, justru

memanfaatkan berbagai media yang menjangkau khalayak  yang

sangat luas. Mungkin inilah penjelasan bahwa keberhasilan

peningkatan kesadaran akan kemajemukan tetap terbatas selama

beberapa tahun terakhir. Sekalipun terjadi pertumbuhan pendukung

yang terjadi di kalangan pro-pluralisme, tampaknya hal itu lebih

terbatas kepada kalangan kalangan kelas menengah terdidik.

Sementara jangkauan pengaruh kelompok Islam eksklusif dirasa

merambah luas dan mencakup berbagai kalangan warga , baik

jenis kelamin, kelas sosial, tingkat pendidikan, maupun kelompok

umur, sehingga terasa mengkhawatirkan bagi kebhinnekaan

negara kita .

Pencarian pendekatan-pendekatan baru sangat dibutuhkan

untuk memperluas jangkauan dan meningkat efektivitasnya.

Pencarian ini menjadi semakin mendesak sejak dikeluarkannya

fatwa MUI yang mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan

liberalisme pada tahun 2005 lalu, yang, walaupun dari segi

argumennya sangat lemah, dalam kadar tertentu telah berhasil

menjadikan pluralisme sebagai “kata kotor” dalam kosakata wacana

keagamaan di tanah air, dan dengan demikian semakin mem-

persempit ruang gerak bagi pegiat pluralisme.

Penting dicatat bahwa target audiens yang berbeda akan

memerlukan strategi dan pendekatan yang berbeda untuk

mendapatkan hasil yang diharapkan secara maksimal. Demi-

kianlah, dibutuhkan pendekatan khusus yang mengakomodasi

kebutuhan nyata siswa dan pengayaan strategi dan pendekatan

yang memanfaatkan perkembangan dalam budaya populer yang

menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia kaum muda sekarang.

Dalam rangka konteks inilah, di bawah ini disajikan sharing

pengalaman untuk mencari pendekatan-pendekatan alternatif

dalam promosi pluralisme kepada kelompok usia yang sering

diabaikan ini.

Meskipun imajinasi pegiat pluralisme mengenai cara-cara yang

mungkin untuk ditempuh dalam mengampanyekan penghargaan

terhadap keragaman masih terbatas, kita masih bisa menemukan

beberapa terobosan ke arah itu sudah mulai dicoba. Salah satunya

adalah apa yang dikerjakan LKiS sejak 2005. Deskripsi berikut ini

dimaksudkan sebagai contoh yang mungkin dilakukan, dengan

tujuan merangsang usaha -usaha  alternatif serupa yang masih

harus terus dicari, untuk mendorong perkembangan ke arah yang

mendukung pemeliharaan negara kita  sebagai rumah bersama, yang

memperlakukan setiap individu dan kelompok sosial di dalamnya

secara adil dan tidak diskriminatif.

Setelah sekian lama mengembangkan kegiatan promosi

pluralisme, muncul keinginan untuk memperluas audiens, dan

pilihannya adalah siswa sekolah menengah. Pilihan ini diambil

karena usaha  berbagai kelompok untuk mempromosikan plural-

isme dan demokrasi di negara kita  terlalu banyak mencurahkan

Kaum Muda dan ---  109

perhatian kepada orang dewasa, sementara siswa atau kaum muda

terabaikan. Pengabaian ini memprihatinkan karena pada saat yang

sama kelompok umur ini telah menjadi ladang persemaian berbagai

kelompok Islam fundamentalis yang mempromosikan pandangan

keagamaan konservatif-eksklusivistik. Melalui berbagai media dan

kegiatan ekstrakurikuler yang diorganisasi atau diarahkan oleh

para aktivis dakwah kampus, seperti kelompok Tarbiyah atau HTI,

para siswa ini dijejali pandangan sosial dan keagamaan

fundamentalistik yang eksklusif, tidak toleran, dan diskriminatif

terhadap kelompok di luarnya. Akibatnya, perkembangan yang

sehat dalam hubungan sosial siswa dari berbagai latar belakang

yang berbeda dikorbankan, sementara ruang bebas yang diperlukan

untuk tumbuhnya kreativitas dan prakarsa mandiri terhambat.

Ketika memikirkan strategi untuk kampanye pluralisme di

kalangan siswa, gagasan yang muncul adalah menciptakan media

populer untuk kampanye pluralisme, semacam Ikhtilaf (buletin

mingguan yang diterbitkan LKiS saat itu yang disebarkan ke

berbagai masjid di tanah air untuk menyemai nilai-nilai pluralisme)

yang diedarkan di kalangan siswa. Setelah berdiskusi awal dengan

berbagai pihak sekolah dan siswa, tercapai kesepakatan bahwa

sebuah workshop akan diselelenggarakan di sebuah sekolah di

Yogyakarta sebagai kegiatan pembuka. Namun, acara ini tidak bisa

terlaksana karena ada boikot dari pihak perhimpunan Rohis se-

DIY. Peristiwa itu menyadarkan kami bahwa kelompok-kelompok

Islam eksklusif telah menanamkan pengaruhnya begitu kuat di

sekolah-sekolah menengah umum di Yogyakarta dan mendorong kami

mencari strategi baru yang menarik bagi kalangan siswa dan yang

tidak mengundang resistensi, terutama di tengah merebaknya

penolakan terhadap “Islam liberal” dan sesudah  baru saja dikeluar-

kannya fatwa MUI mengenai keharaman Sekularisme, Pluralisme

dan Liberalisme. Juga disadari bahwa pendekatan yang dipakai

selama hampir sepuluh tahun terakhir, tidak tepat diterapkan bagi

audiens dari kelompok usia ini. Maka, eksplorasi pendekatan-pendekatan

alternatif yang responsif terhadap tren dalam kebudayaan anak muda

dan media komunikasi baru dibutuhkan, demi efektivitas dan

menghindari kontroversi yang tidak perlu.

Melalui diskusi internal akhirnya kami sampai kepada gagasan

mengembangkan konsep “mengalami pluralisme” (experiencing

pluralism), yakni menanamkan kesadaran pluralisme bukan

--- 110

dengan mendiskusikan pengertian dan arti penting dari konsep

normatif ini, tetapi dengan memberikan pengalaman bertemu

dengan realitas perbedaan itu sendiri. Dalam hal ini, pluralisme

dimaknai secara sangat luas; bukan hanya agama, tetapi juga

pengelompokkan sosial, kelas ekonomi, jenis kelamin, orientasi

seksual, maupun sukubangsa dan kebudayaan uniknya.

Wahana yang disepakati untuk menerjemahkan konsep ini

adalah dengan menciptakan sebuah komunitas menulis kreatif di

kalangan siswa dari berbagai sekolah. Kegiatan dimulai dengan

mengadakan workshop menulis kreatif bagi para siswa Yogyakarta

yang mendaftar. Kegiatan ini kemudian ditindaklanjuti dengan

penyediaan fasilitas kepada komunitas alumni workshop untuk

menerbitkan buletin sebagai media ekspresi. Para alumni ini

kemudian menerbitkan Coret, buletin empat halaman, yang mereka

kelola sendiri mulai dari tahap pemilihan tema, penyuntingan

naskah hingga lay out naskah siap terbit, dengan didampingi

seorang fasilitator. Buletin yang terbit dua minggu sekali itu

kemudian disebarkan ke berbagai sekolah menengah di Yogyakarta.

Setelah berhasil dengan aktivitas awal di Yogyakarta, kegiatan ini

direplikasi di Solo, Magelang, dan Jepara pada tahun berikutnya.

Di masing-masing kota itu kemudian muncul komunitas-

komunitas muda sejenis,  Jeda (Magelang), Toelis (Solo) dan Oekir

(Jepara). Sebagai kegiatan tambahan, LKiS juga memfasilitasi

komunitas-komunitas itu untuk menyelenggarakan diskusi santai

tentang berbagai isu yang relevan dengan minat mereka, seperti

mendiskusikan novel atau film maupun isu-isu aktual yang

menarik perhatian mereka

Kegiatan-kegiatan, yang berkaitan dengan produksi buletin,

yang dijalani para siswa peserta workshop dan pengelola buletin

seluruhnya bersifat teknis: membuat perencanaan, mendiskusikan

tema, menyeleksi naskah, menulis, menyunting, menata letak, dan

memproduksi. Yang membuat seluruh kegiatan ini relevan dengan

kampanye pluralisme adalah bahwa sejak awal, tim LKiS

menyeleksi siswa yang mengikuti workshop dan kemudian bekerja

untuk buletin, datang dari latar belakang yang berbeda, dari segi

kultur, jenis kelamin, agama, etnisitas dan kelompok sosial.

Dengan cara demikian, tanpa berbicara tentang pluralisme

secara eksplisit, kegiatan itu memberi mereka kesempatan untuk

bertemu, berinteraksi, dan bekerjasama dengan siswa-siswi yang

Kaum Muda dan ---  111

datang dari latar belakang yang berbeda. Melalui proses itu

diharapkan terjadi proses saling memahami perbedaan dan

menerima keunikan masing-masing untuk dipadukan dalam

sebuah pekerjaan bersama. Dengan kata lain, melalui seluruh

kegiatan itu diharapkan mereka mempunyai pengalaman nyata

berhadapan dengan berbagai jenis perbedaan dan memberi mereka

kesempatan untuk mengembangkan kapasitas untuk mengelola

keragaman itu di masa depan.

Pendekatan ini diambil dengan mendasarkan diri pada sebuah

asumsi terkait interaksi dan prasangka antarbudaya yang kurang

lebih berbunyi bahwa pada umumnya, sikap orang terhadap orang

lain yang berbeda tidak dibentuk berdasarkan pengalaman

interaksinya sendiri, tetapi lebih ditentukan oleh serapan atas

berbagai persepsi, prasangka, stereotipe, stigma dan labelling yang

berkembang di lingkungan tempatnya tumbuh. Asumsinya, jika

seseorang dari latar belakang tertentu memiliki sejumlah

pengalaman nyata berinteraksi, bertemu atau bahkan bekerjasama

dengan seseorang yang datang dari latar belakang kultural religius,

dan pengalamannya menunjukkan bahwa orang ini  baik dan

dapat dipercaya, maka pengalaman itu akan membuat segala

bentuk prasangka, stereotyping, atau stigmatisasi, tidak  bekerja.

Atau, minimal, dia akan membangun mekanisme sendiri untuk

memeriksanya. Dalam interaksi antarbudaya atau agama yang

seringkali lebih banyak didasarkan atas prasangka ketimbang

informasi akurat tentang orang lain, expose atau peristiwa

berjumpa dengan orang lain itu sangat menentukan dan seluruh

pandangan atau prasangka tentang orang lain bisa terkoreksi akibat

perjumpaan itu.

LKiS percaya bahwa sikap menghargai keragaman atau

pluralisme pada tingkat individual tidak bisa ditanamkan dalam

sebuah proses sekali-jadi. Ia tumbuh dalam rentang waktu, melalui

proses mempersepsi, meragukan, mempertanyakan, membuat

jawaban, dan meragukan kembali dan seterusnya di dalam dirinya

mengenai dirinya dan orang lain. Hal inilah mungkin yang

membedakan proses menanamkan kesadaran pluralisme dengan

proses indoktrinasi di kalangan kelompok keagamaan

fundamentalis. Menanamkan kesadaran pluralisme memerlukan

proses yang lebih dalam, dan tidak bisa dipaksakan, karena ia

memerlukan semacam penalaran kritis di dalam prosesnya.

--- 112

Memberikan pengalaman untuk berjumpa dan memahami

orang lain yang berasal dari agama yang berbeda pada dasarnya

bisa juga berarti mengembalikan iman yang dimiliki sebagai

sesuatu yang personal, yang oleh para penyeru eksklusivisme

selalu berusaha didepersonalisasi. Memegang agama atau iman

sebagai sesuatu yang personal merupakan bagian dari proses

menjadi seorang inklusif dengan mengakui “human agency” dalam

mendefinisikan kebenaran yang mereka perjuangkan. Argumen ini

berkebalikan dengan seorang eksklusivis yang meyakini bahwa

mereka mengikuti dan berjuang untuk sesuatu yang dipahami

secara literal dari teks-teks suci, tanpa melibatkan interpretasi

manusia. Posisi yang pertama akan memberi dasar bagi seseorang

untuk bersikap terbuka terhadap keyakinan orang lain.

Seiring dengan perkembangan minat pada produksi film di

kalangan anak muda, LKiS masuk ke dalam ranah audio-visual

dengan membentuk komunitas muda untuk pembuatan film

dokumenter. Serupa dengan kegiatan menulis di atas, kegiatan ini

juga dimulai dengan workshop dan disusul dengan komunitas

pembuat film dokumenter di empat kota. Kegiatan yang terakhir

ini ternyata lebih banyak peminatnya.

Menarik dicatat, melalui kegiatan yang terakhir ini kami

menyaksikan bahwa ternyata jenis teknologi tertentu, seperti

handycam, justru punya fungsi tersendiri dalam membantu siswa

menjadi lebih sensitif terhadap orang lain. Dengan handycam di

tangannya, ternyata seorang siswa cenderung mengambil objek

gambar yang asing menurut perspektifnya. Kelihatannya, semakin

asing sebuah objek gambar, semakin menarik objek itu bagi yang

bersangkutan. Jadi, ada kecenderungan untuk merengkuh objek

yang berjarak—secara metaforik—darinya. Dengan kata lain,

keasingan/ kelainan adalah sebuah pesona. Tetapi pada sisi lain,

berbeda dengan kegiatan menulis yang siswa dapat menulis ulang

semua hasil pengamatan dan pernyataan orang lain, dengan

rekaman handycam-nya paling jauh siswa hanya bisa mengedit

dan merangkai gambar-gambar yang ada tanpa bisa mengubahnya.

Dengan kata lain, siswa mau tidak mau harus membiarkan gambar

yang direkam berbicara sendiri sebagai subjek, dan harus dipahami

sebagaimana yang mereka katakan tentang dirinya.

Dalam diskusi-diskusi tentang relasi antarbudaya sering

dikatakan bahwa dalam kesempatan pertama berjumpa orang lain

Kaum Muda dan ---  113

dari latar belakang budaya dan agama, orang biasanya tidak

melihat mereka sebagaimana mereka adanya, melainkan melihat

mereka sebagaimana dia ingin melihatnya. Artinya, kita seringkali

melihat orang lain berdasarkan sikap kita sendiri, termasuk

prasangka yang kita punyai. Dalam pengalaman ini, siswa tampak

dengan cepat bisa melampaui tahap perjumpaan awal. Dalam posisi

itu, siswa hanya memerlukan beberapa langkah lanjutan untuk

mentransformasikan dirinya menjadi seorang inklusivis yang

menghargai dan menerima perbedaan apa adanya.

Akhirnya, saya ingin menutup bagian ini dengan menuturkan

sebuah penggalan cerita dari acara launching film dokumenter

karya para siswa dari berbagai SMU di Magelang, yang

diselenggarakan di Studio Mendut, milik seorang seniman bernama

Sutanto. Setelah selesai penayangan tiga film dokumenter karya

para siswa Magelang, seorang ibu muda berjilbab maju ke depan

ketika para audiens dipersilahkan menyampaikan kesan dan

apresiasinya atas beberapa karya film yang ditayangkan. Ibu

ini  menyatakan ingin minta maaf kepada Tika, karena selama

ini dia telah memelihara prasangka buruk kepada orang seperti

Tika. Tika adalah seorang waria yang kisah hidupnya menjadi tema

dari sebuah film dokumenter yang dibuat beberapa siswa di

Magelang. Suasana mengharukan terjadi ketika sang ibu akhirnya

memeluk Tika di panggung. Peristiwa itu, perubahan pandangan

penonton itu, adalah hasil tidak disengaja dari seluruh proses yang

berlangsung. Ibu itu bukanlah satu-satunya orang yang merasa

tersentuh dengan film Jalan Tika. Ada beberapa audiens lain yang

juga mengemukakan simpatinya kepada orang-orang  seperti Tika

yang selama ini dipandang buruk dan dimarjinalkan. Perubahan

sikap yang sama telah terjadi terlebih dulu pada anak ibu itu dan

teman-temannya yang memilih menjadikan Tika sebagai tema film

dokumenter mereka. Semula, mereka tertarik membuat film

tentang Tika karena rasa penasaran mengenai bagaimana orang-

orang seperti Tika menjalani hidup keseharian. Rasa penasaran

itu berubah menjadi pemahaman dan empati melalui sebuah expose

yang wajar atas kehidupan orang lain yang berbeda.

Penutup

Pemaparan pengalaman di atas sekadar satu contoh kegiatan

yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan dan memelihara

--- 114

kesadaran pluralisme di kalangan siswa. Diperlukan keterlibatan

banyak pihak untuk melakukan hal serupa, dengan pendekatan

yang disesuaikan dengan konteks masing-masing. Dari pengalaman

ini, kami belajar bahwa walaupun telah terjadi dominasi yang

kuat atas ruang publik siswa, para siswa sendiri bukanlah subjek

yang tunduk begitu saja pada kenyataan dominatif yang

dihadapinya. Di beberapa sekolah yang kami kunjungi, sebagian

siswa, yang merasa kegiatan Rohis di sekolahnya terlalu menekan,

juga menyusun strategi resistensi dengan gaya mereka masing-

masing. Dalam kaitan ini, kembali dingatkan perlunya berbagai

pihak yang peduli pada dunia pendidikan kita untuk terus

memikirkan berbagai kebijakan yang mencegah suasana dominatif

dan diskriminatif, sekaligus mengukuhkan nilai pluralisme

kewargaan di sekolah.

Riset aktual tim LKiS mengenai ruang publik siswa di tiga

SMUN favorit di Yogya menunjukkan bahwa  para siswa dapat

membangun strategi melawan kecenderungan eksklusif itu secara

lebih efektif ketika kebijakan sekolah memberi ruang yang cukup

untuk mengembangkan berbagai kegiatan kreatif sesuai dengan

minat mereka, dan hal itu membuat mereka lebih terbuka kepada

perbedaan.119 Sekali lagi, hal ini menegaskan pentingnya peran

pemerintah atau pengelola pendidikan untuk menjaga ruang publik

sekolah, agar tak didominasi satu kelompok, agar akses semua

orang ke sana tetap terbuka secara setara.

Kata Pengantar 115

BAB 5

Negara, Kekuasaan, dan “Agama”:

Membedah Politik Perukunan

Rezim Orba

Trisno S. Sutanto

--- 116

TANGGAL 19 April 2010, sesudah  melalui perdebatan

panjang dan panas, pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK)

mengambil sikap, lewat Putusan No. 110/PUU-VII/2009, menolak

usulan mencabut UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama.120 Walau hasil itu

sudah diduga sebelumnya, namun putusan MK yang bersifat final

tak pelak membuat banyak kalangan terkejut.

Lewat putusannya, MK tidak hanya semakin memperkuat

posisi penting UU ini , yang menjadi alat utama politik agama

sepanjang rezim Orde Baru (Orba) dan terus bertahan sampai

sekarang, tetapi sekaligus memperkuat posisi dominan negara

dalam urusan agama maupun antaragama. Walau juga harus

dicatat bahwa MK menyadari kebutuhan untuk melakukan revisi

atas UU itu.

Esai ini tidak dimaksudkan sebagai telaah menyeluruh dan

rinci mengenai putusan MK itu. Apa yang akan saya lakukan

adalah memproblematisasikan diskursus kerukunan yang

diciptakan rezim Orba sebagai bagian politik agamanya, yang UU

No. 1/PNPS/1965 berperan penting.121 Sebab sudah lama ditengarai,

dalam hubungan antarumat beragama di negara kita , persoalan-

persoalan dasar dan bagaimana persoalan itu mau ditangani,

sangat ditentukan oleh peran negara. Oleh karena itu suatu telaah

kritis tentang diskursus kerukunan sudah menjadi kebutuhan

negara kita  mungkin merupakan negara, di mana agama

samawi mendapat kedudukan yang paling kuat:

dipelihara, disokong oleh pemerintah, tetapi sekaligus

juga dikontrol dan dijaga, sehingga dikurung terlalu

ketat. Perkembangan kehidupan keagamaan tentu saja

memerlukan pedoman, tetapi sekaligus butuh pem-

bebasan untuk berkembang sebagaimana mestinya.

Karel Steenbrink*

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 117

mendesak guna membangun model alternatif civic pluralism atau

pluralisme kewargaan.

Apa yang menjadi fokus telaah ini adalah diskursus tentang

kerukunan, yakni bagaimana paham kerukunan dirumuskan,

dikembangkan, disebarluaskan, dan dipakai sebagai kebijakan

negara dalam “membina kehidupan umat beragama”, untuk

memakai istilah resminya. Seluruh kompleksitas itulah yang

disebut dalam teks ini sebagai “politik perukunan”. Ringkasnya,

apa yang saya sebut sebagai politik perukunan rezim Orba berjalan

dalam empat tahapan: Pertama, melakukan pendefinisian agama

yang benar dan sehat, dengan memberi wewenang sangat besar—

lewat UU No. 1/PNPS/1965—pada Departemen Agama dan

aparatusnya yang dianggap mampu menyelidiki dan ikut

menentukan “pokok-pokok ajaran agama”. Kedua, melakukan politik

penyingkiran (exclusionary politics) penduduk yang menghayati

aliran kepercayaan sebagai “belum beragama”, dan meletakkan

kriteria kebenaran agama pada kelompok agama-agama Ibrahimi.

Ketiga, mengawasi aktivitas misioner agama-agama Ibrahimi, dan

sekaligus memelihara “benih kecurigaan”, khususnya aktivitas

“penyebaran agama” dalam relasi antara Islam dengan Kristen.

Akhirnya, keempat, membentuk segregasi sosial di antara umat

beragama yang, jika perlu, harus diawasi secara ketat—bahkan

lewat ancaman hukuman yang absurd. Lewat empat tahapan itulah

rezim Orba berhasil menancapkan kekuasaannya dalam tubuh

agama-agama, dan menentukan gerak serta langgam kehidupan

beragama di tanah air.

Esai ini mengelaborasi politik perukunan yang secara masif

dilakukan rezim Orba ini , karena melaluinya dapat dicandra

bagaimana kekuasaan negara mempersepsi—bahkan menciptakan

(dalam artian inventing)—apa yang disebut sebagai “persoalan

antaragama”, lalu membuat serangkaian kebijakan, mekanisme,

dan aturan main untuk menanganinya. Jadi, di sini saya tidak

akan mengkaji kerukunan (harmony) itu sendiri, melainkan politik

perukunan (harmonising politics), yakni kerukunan yang

didefinisikan, diterapkan, dijaga oleh dan demi langgengnya rezim

kekuasaan negara. Melalui telaah diskursus tentang kerukunan

itu sekaligus dapat dicandra politik agama rezim Orba yang,

menurut saya, masih tetap mewarnai kebijakan negara sampai

sekarang.

--- 118

Mengapa RUU KUB?

Dalam soal ini, teks Naskah Akademik (selanjutnya: NA) dan

draf awal Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama

(RUU KUB) yang diproduksi Depag tahun 2002/2003 dapat menjadi

pintu masuk guna mengkaji bagaimana negara (lewat Departemen

Agama, sekarang Kementerian Agama) merumuskan paham

kerukunan, menyebarluaskan, dan memakainya.122

Sejak kemunculannya, RUU KUB telah menimbulkan

kontroversi pendapat di tengah warga . Pihak Depag sendiri

pernah menyangkal keberadaan RUU yang kontroversial ini .

Akan tetapi dalam Surat Badan Litbang Agama dan Diklat

Keagamaan Depag No: BD/BA.02/433/2003 yang ditandatangani

oleh Kepala Balitbang dan Diklat Keagamaan Depag, Prof. Dr. HM.

Atho Mudzar, diakui bahwa draf RUU KUB ini  “baru

merupakan kajian intern Badan Litbang Agama dan Diklat

Keagamaan dan belum dibahas bersama Majelis-Majelis Agama.”123

Soal yang sama juga ditegaskan Menteri Agama waktu itu,

Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawar dalam rapat dengar pendapat

dengan Komisi VI DPR RI.124 Tiga bulan kemudian, dalam rapat

kerja Menteri Agama dengan Komisi VI DPR RI, kembali soal RUU

KUB mencuat. Menteri Agama mengakui, RUU itu belum bisa

diselesaikan pemerintah karena masih ada pihak-pihak yang

menentang RUU itu, meskipun “pihak yang melakukan penolakan

kecil.”125

Walau tidak berhasil diundangkan, bukan berarti bahwa

paradigma dan cara pandang RUU KUB tidak lagi gayut untuk

dibicarakan; malah sebaliknya. Terlepas dari kontroversi dan sikap

Depag yang seakan “menutup-nutupi” keberadaan RUU KUB,

dokumen NA sangat layak dikaji secara mendalam dan kritis

karena tiga alasan fundamental berikut. Pertama, NA memberi

kita celah untuk mendedah bagaimana kekuasaan negara

membangun politik agama guna mengendalikan hubungan

antarumat beragama. Teks ini, yang disusun oleh Tim Penyusun

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat

Beragama (dikenal sebagai Tim-7) yang diketuai Dr. H. Ichtijanto

SA, SH, APU., berdasarkan lokakarya tiga hari (antara tanggal

23—35 Juli 2002) yang diselenggarakan Badan Litbang Agama dan

Diklat Keagamaan Depag, merupakan dokumen unik, kalau bukan

satu-satunya, yang mencerminkan dengan jelas kerangka dasar

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 119

cara pandang negara terhadap persoalan-persoalan antarumat

beragama. Itulah sebabnya dalam esai ini saya memusatkan

perhatian lebih pada argumentasi NA.

Kedua , RUU KUB disusun sebagai kompilasi berbagai

peraturan dan perundangan yang menyangkut hubungan antar-

umat beragama, sehingga nantinya dapat menjadi “UU payung”

bagi seluruh kebijakan tentang keagamaan. Sekalipun rezim Orde

Baru sudah tumbang pasca-Mei 1998, tetapi paradigma dan cara

pandang yang ada masih sangat dominan menafasi NA sampai

sekarang. RUU KUB yang diproduksi pasca-Mei 1998 adalah contoh

nyata bagaimana paradigma ini  bertahan. Begitu juga, putus-

an MK April lalu memperlihatkan betapa kuat dan berakarnya UU

No. 1/PNPS/1965 yang menjadi bagian penting dari paradigma itu.

Akhirnya, ketiga, pembuatan RUU KUB diniatkan sebagai

“pengganti” UU No. 1/PNPS/1965.126 Putusan MK yang disinggung

di atas, walau menolak sama sekali usul pencabutan UU No. 1/

PNPS/1965, juga menyiratkan keinginan untuk melakukan revisi

terhadap UU ini , “baik dalam lingkup formil perundang-

undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur

materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan

kesalahan penafsiran dalam praktik.”127 Mengingat revisi UU tidak

menjadi tugas MK, maka usaha  ini  akan diserahkan kepada

proses politik di DPR. Bisa diduga, seandainya revisi ini 

memang dilakukan, salah satu alternatif yang akan disodorkan

adalah RUU KUB, atau RUU lain yang memiliki nalar maupun

semangat yang sama dengannya.128 Sebab, seperti jelas dari uraian

di bawah ini, cara pandang RUU KUB melukiskan paradigma

dominan bagaimana kekuasaan negara lewat piranti-pirantinya

memperlakukan “masalah keagamaan”, termasuk di dalamnya

hubungan antaragama.

sebab  itu, menurut saya, keberadaan NA dan RUU KUB

sangat layak untuk dikaji dan dibicarakan secara kritis, sehingga

kita dapat membongkar praktik-praktik dan operasi teknologi

kekuasaan negara dalam membentuk, mengawasi, dan

mengendalikan hubungan antarumat beragama. RUU KUB

bukanlah produk yang tiba-tiba muncul. Sebelumnya, paling tidak,

ada dua usaha  serupa. Upaya pertama, sekitar awal 1982, Depag

pernah mengeluarkan RUU “Tata Kehidupan Beragama”129 yang

berisi hampir mirip dengan RUU KUB, dengan luas cakupan yang

--- 120

lebih sederhana. Tetapi usul ini ditolak keras oleh berbagai

kalangan, termasuk Fraksi ABRI tanggal 10 Mei 1982, karena

dianggap “tidak sesuai dengan Pancasila dan P4”—argumen khas

masa itu.  Berikutnya, dipicu oleh kerusuhan yang merebak

menjelang Pemilu 1997 yang banyak gedung gereja dibakar; Menag

saat itu, Dr. Tarmizi Taher, sempat mengusulkan perlunya UU

Kerukunan Agama. Namun usul itu, yang konon berasal dari “Sese-

puh Gereja Protestan Maluku di Ambon”, ditolak oleh banyak

kalangan. Hasilnya, alih-alih UU, usaha  Taher melahirkan buku

berjudul Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di

negara kita , yang menjadi salah satu sumber penting penyusunan NA.130

Dua tuturan ini  memperlihatkan bahwa usaha  negara

mengatur hubungan antarumat beragama tidak dimulai dari RUU

KUB, melainkan punya akar yang jauh ke belakang. Oleh karena

itu dibutuhkan pertama-tama telaah historis untuk menempatkan

RUU KUB dalam konteksnya, sebelum nantinya telaah sistematis

diusahakan. Dalam esai ini, pertama-tama saya akan memberikan

latar sejarah yang lebih luas sebelum, nantinya, melihat konteks

dekat bagaimana diskursus kerukunan timbul serta motif-motif

dasarnya. Dengan memperhitungkan konteks ini, pada bagian akhir

saya akan mendedah diskursus kerukunan itu sendiri, khususnya

di dalam NA yang, menurut para penyusunnya, merupakan usaha

untuk “menyiapkan pola pikir akademik bagi tersusunnya RUU

Kerukunan Umat Beragama.”131

Setidaknya, menurut saya, tiga hal ini perlu dikaji (yang juga

diisyaratkan NA sendiri).132 Pertama, pergulatan yang tak pernah

selesai guna menata hubungan antara agama (khususnya Islam)

dengan negara yang melahirkan posisi serba-taksa dengan segala

konsekuensinya. Di sini, diskusi mengenai rumusan sila pertama

Pancasila dan turunannya dalam pasal 29 UUD 1945 menjadi

penting. Kedua, cikal bakal lahirnya paham “kerukunan” pada masa

awal rezim Orba, yang sekaligus menandai dua soal paling dasar

yang menjadi leitmotiv penyusunan RUU KUB: penyebaran agama

dan pembangunan rumah ibadah. Dan, ketiga, serangkaian

kebijakan agama yang akan dikompilasi dan disinkronkan dalam

RUU KUB. Sebab, menurut NA sendiri, RUU KUB merupakan usaha 

yang “idealnya menghimpun ulang dan mensinkronisasikan segala

peraturan yang ada …  serta melengkapinya dengan butir-butir

pengalaman baru yang diperlukan.”133

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 121

Jika dua hal pertama lebih sebagai sketsa historis, bagian

ketiga sudah membawa kita masuk ke dalam urat nadi NA dan

RUU KUB sendiri.

Pancasila: Jalan Tengah yang Selalu Goyah

Sulit membayangkan adanya institusi yang lebih berkuasa

ketimbang institusi agama dan negara. Keduanya bisa dikatakan—

kalau ibarat ini dapat dipakai—semacam kutub-kutub yang

membentuk pusat-pusat kekuasaan dalam kehidupan manusia.

Sebagai pusat kekuasaan, keduanya memiliki kewenangan yang

bersifat absolut: tidak ada institusi lain, kecuali agama dan negara,

yang mampu meminta ketundukan total dari anggota atau

warganya. Bukankah hanya atas nama agama atau negara,

manusia rela mengorbankan nyawanya, atau membunuh

sesamanya, entah “demi tanah air” atau “demi membela Tuhan”?

sebab nya, tidak mengherankan jika kedua institusi itu selalu

menarik, selalu menggoda dan memikat bagi siapapun juga yang

ingin memperoleh dan/ atau mempertahankan kekuasaannya.

Sekaligus juga dapat dikatakan, kedua kutub kewenangan yang

absolut itu terus menerus bertanding untuk memonopoli sumber-

sumber kekuasaan atas diri manusia.

Sejarah di negara kita  bisa dibaca sebagai medan pertandingan

kedua kutub itu, suatu pergulatan guna mencapai titik kompromi

yang paling dapat diterima guna menata hubungan antara

keduanya. Tanpa harus masuk ke dalam rincian historisnya, bisa

disimpulkan bahwa Pancasila merupakan hasil kompromi dari dua

arus besar menjelang kemerdekaan: nasionalis-religius, yang

memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dan nasionalis-

sekuler yang menolak usulan itu.

Di kemudian hari, saat menjabat sebagai Menteri Agama pada

rezim Orba, alm. Prof. Dr. Mukti Ali merumuskan kalimat-kalimat

yang sangat terkenal mengenai hal itu, begini:

negara kita  telah memilih jalannya sendiri. negara kita  bukanlah negara

teokratis, dan juga bukan negara sekuler. Dasar Negara kita,

Pancasila, sudah benar dengan menegaskan negara ini berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan bahwa negara kita 

merupakan negara multi relijius. Tetapi, agama (Islam), dalam

bentuknya yang resmi, bukan dasar negara … tidak dijadikan sebagai

agama negara. Namun demikian, pemerintah akan merumuskan

--- 122

suatu prinsip-prinsip operasional bagi pembangunan agama, yang

diperuntukkan kepada semua komunitas beragama di negara kita ,

dalam rangka melindungi, membantu, mendukung dan membina

semua bentuk kegiatan keagamaan.134

Namun kompromi yang dicapai itu sangat rentan dipakai

sebagai arena pertarungan tafsir, dan karakternya yang serba-

taksa menambah pelik persoalan. Hal ini setidaknya dapat dicandra

dalam tiga persoalan fundamental yang selalu memambangi

hubungan antara agama dengan negara sepanjang sejarah.

Per tama, rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang

problematis. Dengan sangat mudah, rumusan itu bisa dibelokkan

menjadi prinsip monoteistik, sehingga “Ketuhanan Yang Maha Esa”

diubah menjadi kepercayaan terhadap “Tuhan Yang Maha Esa”.

Hal ini dapat dilihat dalam Ayat 1 pasal 29 UUD 1945, “Negara

berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam penjelasan

resmi UUD 1945 dikatakan, “Ayat ini menegaskan kepercayaan

bangsa negara kita  terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” Perhatikan

bagaimana “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi “Tuhan Yang

Maha Esa”! Padahal jelas sekali ada jurang konseptual yang sangat

lebar antara “Ketuhanan yang Maha Esa” dengan “Tuhan Yang

Maha Esa”. Seorang teolog Protestan dari Jerman yang lama

menekuni persoalan antaragama di sini, Prof. Dr. Olaf Schumann,

memberi kita insight jurang konseptual itu:

Istilah ‘ketuhanan’ merupakan istilah yang sangat abstrak; bukan

‘Tuhan’, melainkan ‘ketuhanan’, suatu prinsip mengenai Tuhan, tetapi

bukan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, ia pun sangat sulit untuk

diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Dalam bahasa Inggris

barangkali bisa diterjemahkan dengan istilah divinity, pasti bukan

‘deity’ atau ‘God’, dan dalam bahasa Jerman Gottheit atau

Gottlichkeit, ia pun bukan Gott. Hanya teologi yang dapat menjelaskan

dengan memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan

ketuhanan itu secara nyata.135

Boleh jadi memang hanya teologi yang dapat menjelaskan,

tetapi dalam sejarah menjadi jelas bahwa apa yang terjadi bukanlah

debat tafsir teologis, melainkan pertarungan kekuasaan politik

terus menerus.

Posisi serba-taksa yang diambil dari rumusan alm. Mukti Ali

itu, terbukti, mewarnai hampir seluruh persoalan antarumat

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 123

beragama sampai sekarang. Termasuk di dalamnya argumentasi

yang disusun MK baru-baru ini. Bagi para hakim MK, pasal 29

ayat (1) UUD 1945 itu menjadi ciri unik prinsip negara hukum

negara kita , yaitu suatu “negara hukum yang menempatkan prinsip

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama”. Hal ini punya

implikasi jauh, seperti diuraikan MK:

Konstitusi Negara Kesatuan Republik negara kita  tidak memberikan

kemungkinan adanya kampanye kebebasan untuk tidak beragama,

kebebasan untuk promosi anti agama serta tidak memungkinkan

untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab yang

menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama

Tuhan. Elemen inilah yang merupakan salah satu elemen yang

menandakan perbedaan pokok antara negara hukum negara kita 

dengan negara hukum Barat, sehingga dalam pelaksanaan

pemerintahan negara, pembentukan hukum, pelaksanaan

pemerintahan serta peradilan, dasar ketuhanan dan ajaran serta

nilai-nilai agama menjadi alat ukur untuk menentukan hukum yang

baik atau hukum yang buruk, bahkan untuk menentukan hukum

yang konstitusional atau hukum yang tidak konstitusional.136

Di sini akan menarik untuk membandingkan tafsir MK itu

dengan tafsir salah seorang tokoh pejuang kemerdekaan, H. Agoes

Salim. Menurut Agoes Salim, sila pertama dalam Pancasila bahkan

tidak dapat dipakai untuk menafikan hak dan kemerdekaan mereka

yang ateis (meniadakan Tuhan) ataupun politeis (atau tradisi

kepercayaan nonmonoteis), sebab hal itu adalah “kemerdekaan

keyakinan yang mutlak”. Begini Agoes Salim menguraikan

pandangannya yang visioner itu:

Dapatkah dengan asas negara itu (yakni “kepercayaan kepada

Ketuhanan yang Maha Esa”—TS) kita mengakui kemerdekaan

keyakinan orang yang meniadakan Tuhan? Atau keyakinan agama

yang mengakui Tuhan berbilangan (yakni “politeis”—TS) atau berbagi-

bagi? Tentu dan pasti! Sebab undang-undang dasar kita, sebagai

juga undang-undang dasar tiap-tiap negara yang mempunyai adab

dan kesopanan mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan

agama, sekadar dengan batas yang ini  tadi itu, yaitu asal jangan

melanggar adab kesopanan ramai, tertib keamanan dan damai.137

Sayang sekali, gagasan Agoes Salim itu kini hanya menjadi

tumpukan sejarah yang sudah dilupakan orang. Tafsir dominan

--- 124

atas sila pertama Pancasila maupun terjemahannya ke dalam pasal

29 ayat (1) UUD 1945 lebih mengikuti tafsir MK di atas.

Kedua, masalahnya jadi jauh lebih kompleks ketika

ketidakjelasan itu diterjemahkan ke dalam produk-produk hukum,

baik perundangan maupun peraturan yang mengikat. Seperti

tampak dalam hampir setiap peraturan keagamaan, rumusan pasal

29 ayat (1) sering dipakai sebagai “justifikasi konstitusional”

sehingga pemerintah dapat melakukan intervensi ke dalam

ranah agama. Maksudnya, karena negara ini didasarkan pada

Ketuhanan Yang Maha Esa, maka seakan-akan penegasan

“kepercayaan” ini memberi pembenaran, dan bahkan menjadi

kewajiban bagi negara untuk ikut mengatur hidup keagamaan

warga nya.

Agaknya gagasan semacam ini, bahwa negara punya

kewajiban untuk ikut mencampuri dan mengatur ranah ke-

agamaan, tertanam sangat kuat dan menjadi cara pandang banyak

orang. Misalnya, dalam makalah yang disampaikan saat Kon-

ferensi Tokoh Agama ICRP beberapa waktu lalu, Ketua MK Prof.

Dr. Moh. Mahfud MD menegaskan, pasal 29 UUD 1945 meng-

gariskan tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap

kebebasan beragama. “Dalam konteks negara negara kita  yang

mengakui posisi penting agama,” lanjut Mahfud,

perlindungan terhadap kebebasan beragama harus dipadukan dengan

perlindungan terhadap kemurnian ajaran agama. Hal ini berarti

bahwa kebebasan beragama memang dijamin, tetapi kebebasan

beragama secara menyimpang tidak dapat dibenarkan. Tanggung

jawab negara terhadap agama tidak hanya sebatas memberi

perlindungan kebebasan beragama kepada para pemeluk agama,

tetapi juga memberikan pelayanan terhadap pemeluk agama dan

melindungi kemurnian ajaran agama dari penyelewengan atau

penyimpangan.138

Tentu saja orang dapat bertanya, atas dasar apa kewenangan

negara untuk tidak hanya mengatur, tetapi bahkan “melindungi

kemurnian ajaran agama”? Lagi pula akan sangat problematis

untuk memerikan apa yang disebut “kemurnian ajaran agama”,

karena hal ini langsung terkait dengan pertarungan tafsir

keagamaan yang batas-batas ranahnya tidak pernah jelas.

Ketiga, berkaitan dengan ayat 2 dari pasal 29 UUD 1945 yang

dirujuk Mahfud sebagai kerangka dasar tugas negara itu, “Negara

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 125

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu” (cetak miring ditambahkan).

Kita tahu bahwa ayat ini, khususnya bagian yang dicetak miring,

boleh dibilang menjadi fokus perbantahan tentang eksistensi

kelompok-kelompok kepercayaan lokal yang seharusnya dibedakan

dengan kelompok-kelompok keagamaan. Akan tetapi, tafsir

dominan atas ayat ini selalu menafikan keberadaan dan hak-hak

kelompok kepercayaan lokal ini .

Harus diakui, jika dicermati latar belakang penyusunannya,

frase “dan kepercayaannya itu” tidak merujuk pada eksistensi

kelompok-kelompok kepercayaan yang ada, melainkan pada fakta

pluralitas internal dalam umat Islam. Usul tambahan frase yang

dicetak miring dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 datang dari Mr.

K.R.M.T. Wongsonagoro, Bupati Sragen yang menjadi anggota

Panitia Kecil Perancang UUD pada rapat tanggal 13 Juli 1945. Kita

tidak memiliki rekaman langsung proses penyusunan pasal itu.

Namun risalah yang ada memperlihatkan, alasan dari usulan

Wongsonagoro itu didasarkan pada pertimbangan bahwa pasal itu

“mungkin diartikan, bahwa negara boleh memaksa orang Islam

untuk menjalankan syari’at agama.”139

Terlepas dari soal itu, pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yang sering

dipakai sebagai landasan jaminan konstitusional bagi kebebasan

beragama, sesungguhnya memiliki cakupan yang sangat terbatas.

Bukan saja karena jaminan itu tidak mencakup hak-hak kelompok

kepercayaan, tetapi juga, seperti diingatkan telaah Hyung-Jun Kim,

pasal ini  mengandung tiga cacat fundamental: (a) tidak jelas

dalam soal relasi agama dengan negara; (b) tidak jelas sampai sejauh

mana pemerintah dapat mencampuri ranah internal agama; dan

(c) tidak menjamin apakah seseorang dapat menyebarluaskan

paham keagamaannya.140 Argumen ini semakin menegaskan bahwa

jalan kompromi Pancasila—dengan posisi serba-taksanya,

bahwa “negara kita  bukanlah negara teokratis, dan juga bukan

negara sekuler”—justru membuka ruang lebar bagi intervensi

negara.  Hal  itu jelas terlihat dalam logika yang melatari

penyusunan NA.

Tetapi, sebelum itu, kita harus melihat secara lebih teliti latar

dekat bagaimana paham “kerukunan” muncul dan menjadi

semacam obsesi rezim Orba sejak awal mulanya.

--- 126

Paham Kerukunan Yang (Selalu) Bermasalah

Agaknya sulit disangkal bahwa persoalan “kerukunan” telah

menjadi obsesi rezim Orba sejak awal mulanya. Malah, kalau mau

dilacak, diskursus mengenai kerukunan muncul dan menguat

bersamaan dengan kemunculan dan menguatnya rezim itu, sesudah 

melalui prahara nasional yang menyebabkan lebih kurang setengah

sampai dua juta orang dibantai.

Di tengah situasi yang chaotic itu, rezim Orba baru saja

diresmikan langsung berhadapan dengan persoalan-persoalan

agama yang pelik, khususnya kasus “kristenisasi” yang konon

menyebabkan lebih kurang dua juta penduduk berpindah agama

menjadi Kristen,141 dan kasus pembangunan gedung gereja Metodis

di Meulaboh tahun 1967 yang menyulut kemarahan kaum Muslim,

bahkan mendorong tindakan brutal di Makassar pada tanggal 1

Oktober 1967.142 Pada tanggal 30 November 1967, atas inisiatif

Depag, Musyawarah Antar Agama di Jakarta dilangsungkan,

dengan pidato sambutan Pejabat Presiden Mayjen Soeharto. Selain

di Jakarta, kegiatan serupa juga dilakukan awal Desember di

Garut. Namun situasi yang sudah memanas, dan bibit-bibit

kecurigaan yang sudah tertanam begitu dalam, khususnya di

lingkungan Kristen dan Islam, membuat suasana musyawarah di

Jakarta bagaikan debat kusir berkepanjangan tanpa ada

kesepakatan. Hasil maksimal yang disepakati oleh kedua pihak

hanyalah pembentukan Panitia Musyawarah Antar Agama yang

akan berfungsi membantu pemerintah memecahkan kesulitan-

kesulitan yang timbul.143

Kegagalan Musyawarah tahun 1967 itu makin mempertajam

kecurigaan antarkelompok. Kalangan Islam, misalnya seperti

diwakili oleh Lukman Harun, menuduh bahwa kegagalan itu

disebabkan karena para pemimpin Kristen (dan Katolik) menolak

menandatangani piagam kesepakatan yang diusulkan Soeharto,

“agar tidak menjadikan umat beragama sebagai sasaran

penyebaran agama lain”.144 Buya Hamka, dalam tulisannya di Panji

Masyarakat tahun 1968, dengan nada menyindir menyebut

musyawarah itu punya dampak positif bagi umat Kristen, karena:

Bagi golongan Kristen, Protestan dan Katholik, musyawarah ini telah

memberikan hasil yang sangat, sangat positif. Baru sekali ini, sejak

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 127

Zending dan Missi dibawa oleh penjajah ke negeri ini, sampai sekarang

zaman merdeka, mereka dapat mengatakan dengan terus terang di

hadapan pemimpin-pemimpin dan pemuka Islam, ulamanya dan

zu’amanya, bahwa mengkristenkan seluruh umat Islam ini adalah

mission sacré mereka, kewajiban suci mereka. Dengan demikian kalau

dahulu disebut-sebut usaha mereka mengkristenkan pulau Jawa

dalam 25 tahun dan seluruh negara kita  dalam 50 tahun