Kamis, 22 Februari 2024

prularisme 5

 


, dibantah

oleh orang Krisen sendiri, dikatakan kabar fitnah, maka dengan

Musyawarah Antar-Agama ini telah mereka akui sendiri. Cuma

bilangan tahunnya saja yang mereka bantah …145

Sementara itu, kalangan Kristen jelas merasa keberatan

dengan formulasi yang diajukan oleh Natsir dalam usulan piagam

kesepakatan di atas, karena formulasi itu menyangkal sifat

misioner agama Kristen dan keyakinan bahwa berpindah agama

merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.

Harus diakui, problem proselitisasi atau “penyebaran agama”

menohok langsung pada jantung persoalan hubungan Kristen-

Islam, dua tradisi keagamaan Ibrahimi yang berwatak misioner.

Dan diskusi serta kontroversi mengenainya masih jauh dari selesai.

Dalam tubuh kekristenan, misalnya, DGD (Dewan Gereja se-Dunia)

belum lama ini memulai inisiatif untuk mendiskusikan “etika alih

agama” yang melibatkan hampir seluruh tradisi keagamaan, baik

Ibrahimi (Yudaisme-Kristen-Islam) maupun kepercayaan lokal.

Rekaman diskusi yang ada menunjukkan betapa persoalan alih

agama (conversion) tidak dapat sekadar dilihat sebagai kewajiban

menjalankan perintah agama, tetapi berkelindan erat dengan

persoalan hak kultural, politik, ekonomi, dan sebagainya. Wande

Abimola, seorang jurubicara agama lokal Yorùbá di Nigeria,

merumuskan dengan getir, “Alih agama adalah sebentuk genosida.

Ini merupakan aspek jahat dari kolonialisme, perbudakan, arogansi

dan hegemoni sekelompok orang terhadap kelompok lainnya. Mari

kita, sebagai pimpinan agama di seluruh dunia, berjuang melawan

aspek mengerikan dari agama ini dalam dunia modern.”146

Jauh di luar jangkauan esai ini untuk mendedah kompleksitas

masalah alih agama itu. Apa yang ingin saya tunjukkan, berangkat

dari peristiwa pada awal rezim Orba, adalah bahwa persoalan

“penyiaran agama” dan “pendirian tempat ibadah”—dua persoalan

kunci yang erat kaitannya dan mewarnai hampir seluruh rumusan

--- 128

pasal-pasal dalam RUU KUB, seperti terlihat di bawah ini—sudah

jadi fokus perhatian rezim yang baru berdiri; dan rezim ini

menanganinya lewat “politik perukunan”. Dalam pidato

sambutannya, yang dapat disebut sebagai locus classicus cetak biru

politik perukunan rezim Orba, Soeharto mencermati bahwa

pertentangan-pertentangan agama, walau “secara lahiriah

memang bersifat lokal dan bersumber pada salah pengertian”,

namun, katanya,

alat-alat Negara kita kemudian cukup mempunyai dokumen-

dokumen bukti bahwa sisa-sisa G-30S/PKI merencanakan memecah

belah persatuan kita dengan usaha mengadu-dombakan antara suku,

antara golongan, antara agama dan lain sebagainya.

sebab nya, menurut Soeharto, jika persoalan itu tidak segera

dipecahkan maka “akan dapat menjalar ke mana-mana yang dapat

menjadi masalah nasional. Bahkan, mungkin bukan sekadar

masalah nasional, melainkan dapat mengakibatkan bencana

nasional.”147

Di situ kita menemukan bagaimana kondisi darurat (“sisa-

sisa G-30S/PKI”) dipakai sebagai landasan kerukunan, dan sekaligus

“ancaman disintegrasi” yang dilekatkan pada unsur-unsur yang,

nantinya, pada tahun 1970-an dipopulerkan oleh Sudomo,

Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Keamanan dan

Ketertiban) pada masa itu, sebagai “SARA” (Suku, Agama, Ras,

dan Antar-golongan). Dengan kata lain, apa yang pada mulanya

merupakan realitas faktual, atau bahkan bisa disebut suatu

keniscayaan, yakni pluralitas warga , melalui SARA dipersepsi

sebagai potensi ancaman dan, karena itu, perlu diatur. Oleh sebab

itu tidak mengherankan jika para penyusun NA dan RUU KUB

berangkat dari kecurigaan yang sangat besar terhadap realitas

kemajemukan yang dinilai mereka “dapat mengundang kerawanan

sosial yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama dan

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang harus

diwaspadai” (RUU KUB, bagian Menimbang, butir b.).

Ketika memberi sambutannya, Menag waktu itu, K.H.M.

Dachlan, mengelaborasi lebih jauh gagasan Soeharto di atas. Kata

Menag,

Adanya kerukunan antara golongan beragama adalah merupakan

syarat mutlak bagi terwujudnya stabilisasi politik dan ekonomi yang

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 129

menjadi program Kabinet Ampera. Oleh sebab itu, kami

mengharapkan sungguh-sungguh adanya kerjasama antara

Pemerintah dan warga  beragama untuk menciptakan ‘iklim

kerukunan beragama’ ini, sehingga tuntutan hati nurani rakyat dan

cita-cita kita bersama ingin mewujudkan warga  yang adil dan

makmur yang dilindungi Tuhan Yang Maha Esa itu benar-benar

dapat berwujud.148

Dengan argumen itu, politik perukunan memperoleh titik

pijaknya: demi “stabilisasi politik dan ekonomi” yang sangat

diperlukan oleh ideologi developmentalisme rezim Orde Baru.

Ada aspek lain yang perlu disebut: penyiaran agama. Rupanya

soal penyiaran agama juga menjadi perhatian Soeharto. Di sini,

sekali lagi, teks pidato Soeharto menjadi locus classicus bagaimana

persoalan itu mau ditangani kemudian:

Pemerintah ingin menegaskan dan memberikan jaminan, bahwa

Pemerintah tidak akan menghalang-halangi suatu usaha penyebaran

Agama. Adalah merupakan tugas yang mulia bagi sesuatu Agama

untuk membawa mereka yang belum beragama, yang masih ada 

di negara kita , menjadi pemeluk-pemeluk agama yang yakin. Dengan

demikian, maka berarti pula telah melaksanakan secara konkret sila

ke-Tuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila

Pertanyaan yang segera muncul, tentu saja, siapakah

kelompok yang disebut “belum beragama” itu? Jawabannya, dalam

sejarah, sangat jelas: kelompok-kelompok yang keyakinannya tidak

diakui oleh negara. Kelompok terbesar, sudah tentu, adalah mereka

yang digolongkan sebagai penghayat kepercayaan lokal.

Menarik untuk dicatat di sini, penegasan bahwa “kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama” baru

muncul dalam dokumen resmi pada tahun 1978, lewat TAP MPR

No IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

(GBHN).150 Jika dibandingkan dengan ketetapan MPR mengenai

GBHN sebelumnya (TAP MPR No IV/MPR/1973), kita tidak akan

menemukan penegasan serupa. Maka dapat disimpulkan, baru

sejak  tahun 1978-an rezim Orba menegaskan posisi resminya

bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan agama.

Sebab, jika diperiksa lebih jauh dokumen-dokumen yang ada,

penegasan ini kemudian diulangi dalam setiap GBHN sepanjang

rezim Orde Baru dan dijadikan dasar bagi seluruh kebijakan Menteri

Agama. Kelompok-kelompok ini, yang disebut “belum beragama”

itu lalu menjadi—kalau istilah menyakitkan ini boleh dipakai—

semacam “ladang misi yang sah” bagi agama-agama misioner, baik

Kristen maupun Islam. Dalam esainya yang sudah klasik, Jane

Monnig Atkinson meminta kita menaruh perhatian pada kata

“belum” yang berarti ada “imperatif bagi orang yang belum

beragama untuk menerima dan masuk ke dalam agama-agama

yang diakui resmi oleh negara."

Tuturan ringkas di atas memperlihatkan bagaimana rezim

Orba sejak kemunculannya sudah harus terlibat secara mendalam

dengan persoalan agama-agama. Boleh dikatakan, Musyawarah

Antar Umat Beragama 1967 yang melahirkan “politik perukunan”

itu menjadi proyek agama rezim Orba yang paling masif, berjangka

panjang, dan paling menentukan gerak langgam agama-agama.

Daniel Dhakidae melukiskannya dengan kalimat-kalimat yang

sangat plastis sehingga layak dikutip utuh begini:

Agama sebagaimana dilihat dari luar adalah alat Orde Baru, dan

sama halnya Orde Baru adalah alat agama-agama. Agama-agama

sangat mementingkan ‘jiwa’. Orde Baru pun sangat mementingkan

‘mentalitet’, ‘semangat’, ‘semangat 1945’ dan ‘nilai-nilai 45’ dan lain-

lain. Namun, bila dimasuki lebih dalam, Orde Baru boleh dikatakan

adalah medan pertarungan antara agama dan negara. Orde Baru di

satu pihak menganggap agama sebagai sesuatu yang kudus, namun

di pihak lain meng-kriminal-kan agama dengan menempatkan

kejaksaan sebagai badan yang memeriksa kebenaran agama152

Harus diakui dengan jujur, dalam soal ini Orba berhasil

menancapkan dan memantapkan kekuasaannya lewat politik

perukunan yang dijalankannya. Diskursus kerukunan yang

dibuatnya telah tertancap dalam-dalam sehingga, ketika

pemerintahan Orba harus lengser pada Mei 1998, rezim kebenaran

(truth regime) Orba tetap bertahan utuh dengan segala perangkat,

institusi-institusi, maupun peralatannya. Salah satu indikator

paling konkret tidak lain adalah usulan RUU KUB dari Departemen

Agama.

Logika Kekuasaan RUU KUB

Dua catatan historis di atas—yang harus diakui terlalu kikir

dan sketsais, sehingga dapat membuat para penulis sejarah

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 

berang—memberi kita semacam kerangka guna membaca dan

mendedah RUU KUB secara kritis. Bagian berikut memberi

pembacaan saya atas logika kekuasaan yang melandasi RUU KUB,

dan khususnya NA yang dibuat untuk “menyiapkan pola pikir

akademik bagi tersusunnya RUU Kerukunan Umat Beragama” 

Satu catatan awal perlu disebut di sini. Akan sia-sia jika kita

mencari definisi kerja “kerukunan” dalam RUU KUB maupun NA

yang melandasinya. RUU KUB mendefinisikan “kerukunan umat

beragama” sebagai “kondisi hubungan antar umat beragama yang

ditandai oleh suasana harmonis, serasi, damai, akrab, saling

menghormati, toleran dan kerjasama dalam kehidupan

berwarga  baik intern maupun antar umat beragama” (RUU

KUB, Bab I, Pasal 1.2). Tetapi jika kita menengok NA, sia-sia mencari

latar belakang maupun penjabaran lebih lanjut dari definisi ini 

(bdk. NA, hlm. 7). Seakan-akan definisi itu “jatuh dari langit”, dan

kita tinggal menerimanya begitu saja. Bila kita menengok dokumen

resmi Depag mengenai kerukunan umat beragama, misalnya buku

Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Per undang-undangan

Kerukunan Umat Beragama, kita juga tidak menemukan penjelasan

apa-apa selain tuturan ringkas etimologi kata “rukun” yang berasal

dari bahasa Arab, serta rujukan pada pidato K.H. M. Dachlan yang

sudah saya sebut di atas.

Lalu mengapa RUU KUB lahir? Apa yang menjadi niat

dasarnya? Secara formal, seperti ditegaskan berkali-kali oleh Depag

maupun Menag saat menanggapi kontroversi yang timbul, RUU

KUB merupakan amanat UU No 25/2000 tentang Program

Pembangunan Nasional (PROPENAS).154 Namun usulan untuk

membuat RUU KUB hanya salah satu dari usulan program

PROPENAS dalam bidang Pembangunan Agama. Alasan lainnya,

seperti sudah disebut di muka, adalah untuk “menghimpun ulang

dan mensinkronisasikan segala peraturan yang ada … serta

melengkapinya dengan butir-butir pengalaman baru yang

diperlukan” ,

Namun, jika ditelisik lebih jauh, di balik alasan formal

pembuatan RUU KUB sebagai amanat PROPENAS maupun sebagai

usaha menghimpun dan mensinkronisasikan berbagai peraturan

tentang keagamaan, tersembunyi logika kekuasaan negara untuk

mengawasi, membina, dan bahkan mengendalikan kehidupan

beragama. Hal ini tampak jelas dalam NA. Tim penulis NA sendiri

mengakui, “Bagi pemerintah UU Kerukunan Umat Beragama ini

sangat urgen, karena akan memudahkan dalam pengawasan,

pembinaan dan pengendalian kehidupan beragama” 

Cetak miring ditambahkan.) Logika kekuasaan itulah yang paling

kentara di sekujur tubuh RUU KUB, terlebih dalam argumentasi

NA. Seperti dikatakan St. Sunardi, salah seorang peserta dalam

lokakarya penyusunan naskah tentang Kerukunan Umat Beragama

yang diadakan Depag, “cara berbicara tentang kerukunan masih

memakai  pendekatan keamanan. Kerawanan sosial menjadi

momok terbesar, hantu paling membahayakan, oleh karena itu

negara dengan segala kekuasaannya perlu diberi hak untuk

menghentikan penyebab kerawanan sosial ini .”

Kita sudah melihat bagaimana letimotiv “kerawanan sosial”

ini merupakan obsesi politik perukunan rezim Orba sudah sejak

awal mulanya, seperti tercermin dalam pidato Soeharto di atas.

Di bawah ini kita akan melihat bagaimana praktik politik

perukunan itu bekerja dalam RUU KUB. RUU KUB disusun

berdasarkan lima pertimbangan (lihat RUU KUB bagian

“Menimbang”) yang, bila dibaca dengan teliti, mencerminkan

asumsi-asumsi di balik penyusunan itu:

1. Ideologis-konstitusional, yakni Pancasila dan pasal 29 ayat (1) dan

(2) UUD 1945. Di sini, karena berlandaskan Pancasila dan UUD

1945, maka negara merasa “bertanggungjawab untuk menciptakan

kehidupan bernegara yang harmonis, aman sejahtera lahir dan

batin.”

2. Kecurigaan terhadap pluralitas warga . Walau realitas

kemajemukan warga   diterima sebagai “kekayaan dan

kekuatan bangsa serta anugerah Tuhan”, namun ditandaskan di

situ bahwa “kemajemukan itu dapat mengundang kerawanan sosial

yang dapat mengganggu kerukunan”, bahkan “mengancam

persatuan dan kesatuan bangsa yang harus diwaspadai”. Dengan

kata lain, pluralitas sekaligus diterima dan dicurigai sebagai

ancaman disintegrasi.

3. Kriminalisasi agama. Di mata para penyusun RUU KUB, “faktor-

faktor agama” dipandang sebagai penyebab utama ancaman

disintegrasi dan kerawanan sosial tadi, selain “faktor-faktor non-

agama”.

4. Pendekatan regulatif. Untuk mewujudkan warga  yang

“rukun”, menurut para penyusun RUU KUB, maka “diperlukan

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 

pengaturan yang lebih seksama dan terarah melalui perundang-

undangan”.

5. Rekayasa perukunan. Hukum dan peraturan dibaca sebagai

“instrumen perekayasa sosial” yang perlu dilakukan demi

terwujudnya kehidupan yang lebih “harmonis”. Mengingat hukum

dan peraturan keagamaan yang sudah ada belum memadai, maka

diperlukan UU KUB.

Kelima pertimbangan ini  sudah dengan sangat gamblang

memberi gambaran logika kekuasaan yang menjiwai RUU KUB.

Jika mau dipadatkan dalam satu kalimat, maka tesis dasar yang

diusung oleh para penyusun NA dan RUU KUB dapat dirumuskan

sebagai berikut: Kerukunan antarumat beragama dapat dan harus

direkayasa oleh kekuasaan melalui instrumen hukum! Dengan kata

lain, kerukunan yang dibayangkan oleh para penyusun NA dan

RUU KUB adalah kerukunan hasil rekayasa yang “datang dari atas”

(baca: negara)—suatu model kerukunan yang didasarkan pada

“paradigma pembinaan”, memakai istilah St. Sunardi, yang

ditengarai makin kuat diberlakukan sejak tahun 1970-an, seiring

dengan makin menguatnya ideologi developmentalisme dan

konsolidasi Orba.156 Dalam paradigma seperti ini, maka diandaikan,

pertama, adanya negara yang kuat (strong state); dan, kedua,

campur tangan negara ke dalam ranah agama dianggap sebagai

“penyelesaian”.

Sesungguhnya sudah sejak awal St. Sunardi mengingatkan

betapa berbahaya jika paradigma seperti itu diikuti. Bukan saja

dua pra-andaian tadi, tetapi juga dalam paradigma ini  “elite

dan umat menjadi obyek binaan”, dan “kehidupan umat beragama

didaruratkan secara permanen”, sehingga pada akhirnya yang

dicapai hanyalah “kerukunan semu”. Akan tetapi suara kritis St.

Sunardi hampir tak bergema sama sekali, entah dalam penyusunan

NA maupun RUU KUB. NA hanya mengutip pertanyaan terakhir

yang diajukan St. Sunardi sebagai bagian dari keberatan pada

“tataran historis” (NA, hlm. 62), tanpa ada tanggapan. Seakan-

akan, apa yang dikemukakan St. Sunardi bukan merupakan kritik

substansial terhadap rencana pembuatan RUU KUB itu sendiri.

Agaknya “nasib” yang menimpa St. Sunardi juga dirasakan

oleh narasumber lain. Malah sering lebih parah. Suara-suara kritis

mereka sekadar dicantumkan dalam daftar “keberatan-keberatan

terhadap RUU KUB”  tanpa ada

tanggapan, sehingga bisa disimpulkan bahwa bagi Depag soal

“urgensi” (sic!) RUU ini sudah dianggap tidak bermasalah;

sementara itu argumen yang diajukan mereka acap kali mengalami

distorsi makna yang sering menyesatkan.

Dua contoh bisa disebut di sini. Dalam salah satu bagian NA,

ketika menjelaskan alasan perlunya RUU KUB pada tataran

filosofis, tiba-tiba penyusun NA menarik kesimpulan begini, “Klaim

kebenaran terhadap agama adalah akar ketidakrukunan” . Sudah tentu, pendakuan semacam itu sama sekali ceroboh. Sebab

jika pendakuan ini benar, maka setiap agama yang mau hidup rukun

harus melepaskan “klaim kebenaran” yang, tentunya, mustahil dila-

kukan. Lalu dari mana NA menarik kesimpulan itu? Jika ditelusuri,

kalimat ini  rupanya diambil begitu saja dari makalah M.

Amin Abdullah yang disajikan dalam Lokakarya Penyusunan RUU

tentang Kerukunan Umat Beragama Depag (23 Juli 2002).158 Mena-

rik untuk dicermati, jika dibaca dalam konteks aslinya, sekalipun

kalimat itu secara verbatim memang ada, Amin Abdullah

mengartikannya sama sekali berbeda dengan maksud NA. Menurut

Abdullah, al-Qur’an (Q.S. Ali ‘Imran [3]:64) sudah memberi suruhan

bahwa umat Islam harus selalu mencari titik temu (kalimatun

sawa’) “di luar aspek teologis yang memang sudah berbeda sejak

semula”. Klaim kebenaran (truth claim) masing-masing agama

tidak mungkin dijadikan titik temu. Bagi Abdullah, titik temu yang

harus dicari salah satunya adalah lewat “pintu masuk etika, karena

lewat pintu gerbang etika manusia beragama secara universal

menemui tantangan-tantangan kemanusiaan yang sama.”

Kasus nyaris serupa menimpa Prof. Dr. John A. Titaley,159

narasumber lain Lokakarya Depag, dengan akibat yang sama fatal.

Ketika membicarakan tataran komparatif mengenai perlunya RUU

KUB, para penyusun NA mengedepankan definisi “agama” sebagai

berikut:

Secara struktural, suatu fenomena sosial dapat dikatakan agama

apabila mencakup paling sedikit 4 unsur yaitu keyakinan, upacara,

etika, dan unsur umat. Di negara kita  definisi agama mensyaratkan

adanya: kepercayaan kepada Tuhan YME, adanya nabi, adanya kitab

suci, dan adanya umat (NA, hlm. 15).

Rupanya paragraf ini dipetik dari paparan Titaley, namun

dalam konteks yang sama sekali lain. Setelah menguraikan empat

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 135

unsur yang mencirikan suatu fenomena sosial sebagai fenomena

keagamaan, Titaley justru mempertanyakan definisi “kita” tentang

agama yang, baginya, “masih sangat terbatas”. Unsur-unsur yang

disebut NA di atas bagi Titaley justru memperlihatkan keterbatasan

pendefinisian ini , karena “masih sangat Abrahamik sekali

sifatnya”. Artinya unsur-unsur itu hanya berlaku dalam “agama-

agama Abraham, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam”, tidak mampu

menampung agama-agama di luar ketiga agama Abrahamik tadi,

seperti Hindu, Buddha, Sikh, Zoroaster, dan lain-lain. Titaley malah

bertanya, “Apakah perlakukan kita sebagai bangsa terhadap agama-

agama di negara kita  itu masih Abrahamik, yaitu berarti masih

Keyahudian (sic!), ataukah sudah merdeka”?

Apa yang menimpa St. Sunardi, Amin Abdullah maupun John

A. Titaley di atas sudah menunjukkan betapa NA disusun dengan

cara yang ceroboh. Juga tim penyusun NA (dan RUU KUB) agaknya

sudah mengandaikan begitu saja bahwa RUU itu urgen dibutuhkan,

tanpa perlu repot-repot memeriksa pra-andaian ini , maupun

memeriksa akibat-akibat berbahaya jika model kerukunan dalam

paradigma pembinaan yang disebut St. Sunardi itu mau diterapkan.

Berangkat dari paradigma itu, dan berdasarkan lima

pertimbangan di atas, tim penyusun NA lalu menentukan sembilan

bidang yang perlu diatur dalam RUU KUB. Dalam Matriks-1 di

bawah, saya mengolah sembilan bidang ini  dan mengait-

kannya dengan peraturan dan perundang-undangan terkait untuk

memperlihatkan bagaimana paradigma pembinaan ini  telah

menjadi kerangka dasar hampir seluruh kebijakan negara terhadap

kehidupan keagamaan di tanah air.160

Dalam NA, kesembilan bidang yang perlu diatur (dan

direkayasa) itu dikelompokkan sebagai “faktor-faktor yang dapat

menimbulkan ketidakrukunan umat beragama”, khususnya  apa

yang disebut “faktor keagamaan” ). Selain

kesembilan faktor itu, NA juga menambahkan dua faktor yang

secara eksplisit tidak muncul dalam RUU KUB: “kegiatan kelompok

sempalan” dan “transparansi informasi keagamaan”.

Penting dicatat di sini, sekalipun NA dan RUU KUB mengakui

ada dua kategori faktor-faktor yang dapat menimbulkan

ketidakrukunan umat beragama, yakni “faktor agama” dan “faktor

non-agama”, namun RUU KUB sama sekali tidak menyinggung

faktor non-agama dan dalam uraian NA kita tidak menemukan

Matriks-1:  Wilayah Cakupan “Paradigma Pembinaan”

Ranah yang akan

diatur menurut RUU

KUB (angka bab

merujuk pada RUU

KUB)

Penyiaran Agama (Bab

IV)

Bantuan Asing

Keagamaan (Bab V)

Peringatan Hari Besar

Keagamaan (Bab VI)

Pendirian Tempat

Ibadah Umum (Bab VII)

Penguburan Jenazah

(Bab VIII)

Peraturan/Perundang-

undangan terkait

Keputusan Menteri

Agama Nomor 70 Tahun

1978

Keputusan Menteri Agama

Nomor 77 Tahun 1978

tanggal 15 Agustus 1978

Surat Edaran Menteri

Agama Nomor MA/432/

1981 tanggal 2

September 1981

Keputusan Menteri

Agama dan Menteri

Dalam Negeri Nomor

01/BER/mdn-mag/1969

Surat Edaran Kagri No.

A.287/E/3 tanggal 14

Mei 1947

Surat Menteri Agama No

B.VI/11215/1978 tanggal

18 Oktober 1978 kepada

Gubernur Kepala Daerah

Tingkat I di seluruh

negara kita 

UU No 20 Tahun 2003

tentang Sistem

Catatan

Disatukan dalam Keputusan

Bersama Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri Nomor I

Tahun 1979 tentang Tatacara

Pelaksanaan Penyiaran Agama dan

Bantuan Luar Negeri kepada

Lembaga Keagamaan di negara kita 

“Dalam hal peribadatan atau adanya

unsur peribadatan … maka hanya

pemeluk agama yang bersangkutan

yang dapat menghadirinya.”

Diperbarui menjadi Peraturan

Bersama Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri No 8 dan No

9 Tahun 2006 dengan memasukkan

pendirian FKUB (Forum Kerukunan

Umat Beragama)

“Kuburan yang bersifat wakaf

hanya dipergunakan sesuai dengan

niat orang yang mewakafkan. Pada

kuburan ini tidak mungkin

seseorang yang tidak beragama

Islam dikubur.”

Khusus menyangkut kelompok

kepercayaan. Menurut surat ini,

“penguburan jenazah adalah

menyangkut keyakinan agama,

maka dalam negara Republik

negara kita  yang berdasarkan

Pancasila (sic!) tidak dikenal

adanya tatacara penguburan

menurut aliran kepercayaan dan

tidak dikenal pula adanya penye-

butan ‘Aliran Kepercayaan’ sebagai

‘Agama’ baik dalam Kartu Tanda

Penduduk (KTP) dan lain-lain.”

“Peserta didik pada setiap satuan

pendidikan berhak mendapatkan

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 137

Sumber: Diolah berdasarkan RUU KUB dan Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Beragama,

Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama.

pendidikan agama sesuai dengan

agama yang dianutnya dan diajar-

kan oleh pendidik yang seagama”

(pasal 12 ayat 1 butir a).

“Perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercaya-

annya itu” (pasal 2 ayat 1)

“Seorang wanita Islam dilarang

melangsungkan perkawinan dengan

seorang pria yang tidak beragama

Islam” (pasal 44 Kompilasi Hukum

Islam)

Baik perwalian (pasal 32),

pengasuhan (pasal 37) maupun

pengangkatan anak (pasal 39) hanya

dapat dilakukan oleh pihak yang

seagama

Diperkuat dengan Putusan MK No

110/PUU-VII/2009

Dua Instruksi Menag ini berkaitan

dengan Aliran Kepercayaan

Instruksi Menag ini berkaitan dengan

organisasi dan aliran dalam Islam

yang bertentangan dengan ajaran

Islam

Pendidikan Nasional

UU No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan

Inpres No 1 Tahun 1991

tentang Kompilasi

Hukum Islam

UU No 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan

Anak

UU No. 1/PNPS/1965

tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/

atau Penodaan Agama

Instuksi Menteri Agama

Nomor 4 Tahun 1978,

ditindaklanjuti dengan

Instruksi Menteri Agama

Nomor 14 Tahun 1978

Instruksi Menteri Agama

Nomor 8 Tahun 1979

Pendidikan Agama

(Bab IX)

Perkawinan Antar

Pemeluk Beda Agama

(Bab X)

Pengangkatan Anak

Beda Agama (Bab XI)

Penodaan,

Penghinaan, dan

Penyalahgunaan

Agama (Bab XII)

relasi-relasi dialektis antara kedua faktor ini . Padahal, “faktor

non-agama”, yang dalam NA meliputi kesenjangan ekonomi, kepen-

tingan politik, persaingan antarras dan suku, penduduk asli dan

pendatang, serta perbedaan nilai sosial budaya  selama

ini ditengarai menjadi sumber konflik bernuansakan agama.

Agak sulit untuk mengatakan bahwa para penyusun NA alpa

atas persoalan ini. Menurut saya, kealpaan itu justru meng-

garisbawahi asumsi RUU KUB yang di atas saya sebut sebagai

“kriminalisasi agama”, yakni bahwa bagi para penyusun NA agama

dilihat sebagai sumber utama, kalau bukan sumber satu-satunya,

kerawanan sosial, sehingga seluruh usaha  diarahkan untuk

mengendalikannya. Dari mana watak serba-curiga ini muncul?

Saya akan kembali pada soal ini nanti di bawah.

Jika sembilan bidang itu dikategorisasikan, dan ditempatkan

dalam matriks, maka hasilnya adalah Matriks 2. Matriks ini 

menggambarkan betapa ekstensifnya ranah kehidupan yang mau

dicakup, diatur dan direkayasa oleh RUU KUB. Apa yang disebut

sebagai “faktor agama” dalam NA, pada dasarnya, hampir meliputi

seluruh ranah dan tahap-tahap kehidupan manusia, sejak

dilahirkan, memilih keyakinan, menjalani pendidikan, memilih

pasangan, mengangkat anak, sampai ke liang lahat. Hal itu semua

mau diatur negara lewat rekayasa RUU KUB. Yang menarik, kalau

ditelusuri lebih jauh, apa yang disebut NA sebagai “faktor agama”

yang dapat menimbulkan ketidakrukunan itu berakar pada watak

“serba-curiga” yang mewarnai hampir seluruh argumentasi pasal-

pasal RUU KUB dalam NA.

Matriks-2: Faktor-faktor Agama menurut NA yang dapat

menimbulkan ketidakrukunan dan luas cakupannya

Kategori

I. Penodaan Agama

II.Kelompok-Kelompok

Sempalan

III. Aktivitas

Penyebaran Agama

IV. Segregasi Sosial

Ruang Lingkup/Pasal-pasal dalam RUU KUB

- ”Simbol-simbol suci keagamaan” (NA, hlm. 28)

- Berdasarkan UU No. 1/PNPS/1965: Melarang penafsiran dan

memberi wewenang kepada Depag menentukan “ajaran-

ajaran pokok keagamaan”.

- ”Kelompok-kelompok kecil yang memiliki penafsiran agak ber-

beda dengan kelompok yang lebih besar” (NA, hlm. 28—29)

- Penyiaran agama (psl 8; NA, hlm. 23—24)·Bantuan asing

keagamaan (psl 9; NA, hlm. 24)·Pendidikan agama (psl 14;

NA, hlm. 26)·Perkawinan antar pemeluk beda agama (psl 15;

NA, hlm. 24—25)·Pengangkatan anak beda agama (psl. 16;

NA, hlm. 25—26)

- Peringatan hari besar keagamaan (psl 10; NA, hlm. 26—27)

- Pendirian tempat ibadah (psl 11—12; NA, hlm. 29—30)

- Perawatan dan penguburan jenazah (psl 13; NA, hlm. 27—28)

- Transparansi informasi keagamaan (NA, hlm. 29)

Sumber: Diolah berdasarkan NA dan RUU KUB

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 139

Mari kita melihat dari dekat watak “serba-curiga” ini 

yang punya implikasi sangat jauh pada penataan hubungan

antarkelompok dalam warga . Sebagai kategori yang paling

ekstensif, aktivitas misi agama (lihat kategori III dalam Matriks-

2) merembes masuk ke dalam banyak pasal yang dicakup RUU

KUB. Hampir dalam seluruh bidang yang diatur RUU KUB, jika

dibaca alasannya dalam NA, berkaitan dengan kategori ini. Dengan

kata lain, aktivitas misi atau penyebaran agama yang berusaha

menarik lebih banyak pengikut dari agama lain menjadi hantu

yang memambangi hampir seluruh argumentasi NA tentang

perlunya RUU KUB. Beberapa contoh bisa disebut:

 Soal perkawinan pemeluk agama yang berbeda. Menurut NA,

“perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda sering menjadi

faktor pemicu terjadinya konflik. Hal itu terlihat jika perka-

winan dijadikan salah satu alat untuk mengajak pasangan

agar berpindah agama” (NA, hlm. 25, cetak miring ditam-

bahkan).

 Soal pengangkatan anak, menurut NA, “seyogyanya harus

dilakukan oleh orang yang seagama dengan orang tua kandung

dari anak yang diangkat. Dengan adanya kesamaan agama maka

pengangkatan anak tidak akan dijadikan media untuk memaksa

keyakinan agama orang tua angkat kepada anak angkatnya”

(NA, hlm. 26, cetak miring ditambahkan).

 Pendidikan agama. Menurut NA, jika pelajaran agama yang

diberikan kepada anak-anak yang masih usia sekolah dasar dan

menengah berbda dengan agama si anak, “maka kemungkinan

akan menggoyahkan keyakinan atau agama anak sehingga dapat

menimbulkan penafsiran bahwa lembaga pendidikan

merupakan alat terselubung konversi agama” (NA, hlm. 26, cetak

miring ditambahkan)

 Soal bantuan luar negeri. Menurut NA, “Setiap bantuan

keagamaan berupa materi yang berasal dari luar negeri harus

memberitahukan kepada Departemen Agama dan instansi terkait

agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai

media untuk berpindah agama” (NA, hlm. 73, cetak miring

ditambahkan)

Contoh-contoh di atas, yang dapat diperpanjang lagi, sudah

cukup untuk memperlihatkan “watak serba-curiga” yang diidap

para penyusun NA, dan mewarnai pembuatan RUU KUB. Mengapa?

Agak sulit mencari jawaban pastinya. Namun Olaf Schumann,

salah seorang yang mengamati usaha -usaha  dialog antaragama

di negara kita  sejak awal, menengarai bahwa watak serba-curiga

ini merupakan warisan rezim Orba yang mendua: pada satu pihak,

rezim Orba kelihatan sangat obsesif dengan kerukunan antarumat

beragama—ingat “trilogi kerukunan” yang mashyur itu?—tetapi,

pada pihak lain, justru merawat benih-benih kecurigaan. Sebab,

seperti ditulis dengan baik oleh Schumann, “kerukunan rakyat

yang terlalu besar dianggap berbahaya bagi pelaksanaan kekuasaan

pemerintah yang tak terbatas, sehingga kerukunan harus dibatasi

… Rupanya tidak ada hal yang lebih berbahaya bagi Soeharto

daripada kerukunan rakyat.”161 Untuk itu, rezim Orba mengganti

kerukunan dengan politik perukunan!

Sikap penuh curiga ini, tentu saja, punya konsekuensi jauh:

satu-satunya cara untuk menjaga diri dari usaha  “penyebaran

agama” dari pemeluk agama lain adalah melakukan “politik

segregasi” yang ketat (lihat kategori IV dalam matriks di atas).

Alhasil, konsekuensi paling jauh dari RUU KUB adalah segregasi

ruang dan waktu warga  atas nama agama!162 Itulah alasan-

nya mengapa NA beranggapan perlu untuk mengatur bukan hanya

soal pendirian tempat ibadah dan perayaan hari-hari besar ke-

agamaan, tetapi juga soal “perawatan dan penguburan jenazah”

serta “transparansi informasi keagamaan”, walau yang terakhir

ini tidak menjadi salah satu pasal dalam RUU KUB.

Lebih jauh lagi, dalam benak penyusun RUU KUB, persoalan

segregasi sosial itu sungguh-sungguh mau dijalankan dengan ketat.

Bahkan, kalau perlu, dengan ancaman hukuman yang kerap terasa

absurd. Dua contoh ini bisa menunjukkan absurditas ancaman itu:

 Bila ada pemeluk agama lain ikut serta dalam upacara ibadah

berbeda, maka “Kepada siapapun yang mengikuti upacara ibadah/

ritual keagamaan tertentu pada hari-hari besar keagamaan

padahal ia bukan penganut agama ini , maka harus

dipersilahkan untuk keluar dari upacara ini  secara suka

rela atau secara paksa oleh aparat penegak hukum” 

cetak miring ditambahkan). Kita dapat membayangkan betapa

banyak aparat penegak hukum dibutuhkan untuk mengawasi

ibadah/ritual keagamaan, sejak mulai mengawasi mereka yang

hadir dalam ibadah sampai, kalau perlu, untuk mengeluarkan

mereka yang dicurigai!

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 

 Soal penguburan jenazah: “Barangsiapa yang melaksanakan

pemakaman tidak menurut agama yang dipeluk oleh yang

meninggal atau dimakamkan di tempat pemakaman yang tidak

seharusnya, dapat dicegah atau dipaksa secara hukum segala

kegiatannya untuk dihentikan” (NA, h. 58, cetak miring

ditambahkan). Sayang tidak diberitahu, bagaimana nasib jenazah

yang pemakamannya harus dibatalkan itu.

Absurditas ancaman hukuman ini patut membuat kita

bertanya diri: sudah sedemikian parahkah kecurigaan itu tertanam

dalam hubungan antarkelompok agama di negara ini? Jika benar,

maka ini merupakan tantangan terberat yang harus dihadapi dalam

mengembangkan pluralisme kewargaan. Bagian berikut mau

memberi sketsa pergulatannya.

Mengembangkan Paradigma Alternatif?

Elaborasi di atas sudah memperlihatkan bagaimana teknologi

kekuasaan rezim Orba bekerja melalui politik perukunannya. Seperti

pernah ditengarai dengan jitu oleh St. Sunardi, politik perukunan

itu berakar dalam paradigma pembinaan dengan mengandaikan

negara yang kuat, yang mampu mengintervensi, membina, dan

mengatur hampir seluruh aspek kehidupan warganya. Khususnya

dalam dinamika kehidupan keagamaan.

Pengalaman panjang selama rezim Orba memperlihatkan

bagaimana paradigma itu bekerja dan menentukan langgam hidup

keagamaan. Bahkan ketika rezim itu runtuh, paradigma

pembinaan tetap bertahan menjadi cara pandang paling dominan

negara, seperti tampak dalam RUU KUB maupun putusan MK

baru-baru ini untuk mempertahankan UU No. 1/PNPS/1965. Bagian

ini mau memberi sketsa pergulatan dan arah-arah ke depan jika

kita mau mengembangkan pluralisme kewargaan sebagai

paradigma alternatif.

Harus diakui, diskusi mengenai pluralisme kewargaan di

negara kita  masih sangat jarang. Bahkan istilah itu pun langka

dipakai, sehingga kerap membuat bingung. Sebagian kerancuannya,

menurut saya, bersumber pada dua kata yang dipadukan: civic

maupun pluralism. Sebab pluralism, setidaknya di negara kita ,

hampir selalu dikaitkan dengan diskursus keagamaan, dibahasakan

dengan kosakata maupun tatabahasa keagamaan yang kerap, pada

ujungnya, mencapai jalan buntu. Apalagi semenjak MUI

mengharamkan pluralisme yang, bagi mereka, disalahartikan

entah sebagai relativisme maupun sinkretisme.163 sebab  itu ketika

kata pluralism disandingkan dengan civic , banyak aktivis

pluralisme menjadi bingung. Esai sederhana ini tidak bermaksud

mendedah kerumitan jalinan konsep pluralisme kewargaan secara

utuh. Apa yang ingin saya lakukan adalah mengambil kerangka

dasarnya guna mencandra arah-arah pergulatan ke depan.

Seperti dielaborasi oleh Zainal Abidin Bagir dalam Bab 1 buku

ini, konsep pluralisme kewargaan diajukan sebagai alternatif guna

menerobos jalan buntu diskursus pluralisme di tanah air yang

selama ini memakai kosakata keagamaan. Pluralisme kewargaan

diniatkan untuk menggeser titik diskusinya ke arah pengembangan

kapasitas warga di dalam mengelola perbedaan. Dalam hal ini,

civic  dipahami lebih sebagai ruang negosiasi tempat

keanekaragaman kultural, pilihan gaya hidup, cara pandang,

paham keagamaan dan lainnya diakui dan dibicarakan secara

santun, sehingga tatanan dan aturan main hidup bersama dapat

ditegakkan demi kemashalatan semua orang. Maka pluralisme

kewargaan menaruh perhatian pada dua aras sekaligus: pada satu

sisi, pengembangan civic culture, di mana perbedaan tidak hanya

diakui dan dirayakan, tetapi sekaligus dinegosiasikan terus menerus;

dan, pada sisi lainnya, sistem, tatanan, maupun aturan main yang

mampu menjaga proses negosiasi ini .

Persis di situlah locus persoalan yang kita hadapi mengingat

warisan politik perukunan rezim Orba. Mary Kalantzis dalam

tulisan pendek yang sudah saya rujuk mengingatkan bahwa

pluralisme kewargaan menghendaki kompetensi warga yang

khusus, yakni kemampuan untuk mendialogkan secara santun,

yang menjadi bagian tak terelakkan dari proses negosiasi

perbedaan. Akan tetapi, politik perukunan yang secara masif

dilakukan rezim Orba menyumbat kompetensi warga di dalam

mengelola perbedaan tanpa harus memakai jalan kekerasan. Ketika

bangunan rezim itu ambruk, kita justru menyaksikan maraknya

warlordism di banyak daerah yang menyulut kekerasan.165 Apalagi,

seperti sudah didedah di atas, politik perukunan itu sangat diwarnai

oleh watak serba-curiga, khususnya terhadap usaha  penyebaran

agama. Kecurigaan ini, pada gilirannya, telah sangat mewarnai

hubungan antarkelompok. Untuk merujuk pada kasus paling anyar,

misalnya, beberapa waktu lalu sebagian kelompok Islam di daerah

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 

Bekasi bahkan mengancam akan melakukan “perang agama”

terhadap umat Kristen sebagai reaksi terhadap “kristenisasi” yang,

konon, gencar dilakukan di wilayah itu.166 Belum lagi rangkaian

penutupan paksa tempat-tempat ibadah, baik gereja maupun

masjid milik Ahmadiyah, maupun pemenjaraan paksa aktivis

Baha’i di Lampung. Yang aneh dan ironis (malah tragis), acap kali

dalam peristiwa itu aparat pemerintahan justru ikut terlibat.

Terlalu banyak kasus-kasus serupa terjadi untuk ditelisik satu

demi satu. Syukurlah bahwa setidaknya ada tiga lembaga yang

menaruh perhatian pada kasus-kasus ini dan menerbitkan laporan

tahunan mereka. Selain CRCS-UGM yang mengambil sudut

pandang “kehidupan keberagamaan” secara umum sebagai tema

laporan tahunannya, Setara Institute dan The Wahid Institute

memberi tekanan khusus pada persoalan “kebebasan beragama”.

Bahkan The Wahid Institute memiliki program monthly report on

religious freedom yang telah menerbitkan laporan bulanan secara

teratur. Terlepas dari berbagai kelemahan metodologis laporan

ini ,167 ikhtiar ketiga lembaga ini  sangat pantas dihargai

sebagai usaha untuk mengembangkan indeks kebebasan beragama

maupun kehidupan keberagamaan secara umum yang dapat

dipakai guna memantau dan menilai sejauh mana jaminan

konstitusional atas hak-hak dasar warga itu dilaksanakan oleh

pemerintah.

Dari kasus-kasus yang sempat direkam dan dilaporkan ketiga

lembaga ini  tampak jelas bagaimana watak serba-curiga

sudah sangat mempengaruhi hubungan antar-kelompok agama di

negara kita . Lagi pula, peran dominan negara yang diwariskan oleh

rezim Orde Baru sudah menumpulkan kompetensi warga di dalam

mengelola perbedaan. Menurut saya, itulah tantangan terberat

jika pluralisme kewargaan mau dikembangkan. Dibutuhkan suatu

pergeseran paradigmatis tidak hanya pada tataran hukum, tetapi

juga guna memaknai ulang proses-proses perjumpaan dialogis yang

berlangsung dalam warga .

Pada tataran hukum, dorongan dan momentum kuat bagi

pergeseran paradigmatis itu sesungguhnya sudah disediakan oleh

arus reformasi pasca-Mei 1998. Terlepas dari banyak

kekurangannya, tumbangnya Soeharto membuka peluang lebar

bagi penataan ulang sistem kenegaraan yang tampak jelas dalam

amandemen konstitusi yang berjalan empat kali (1999—200). 

ini merupakan terobosan paling penting bagi terciptanya sistem

pemerintahan konstitusional-demokratis yang mensyaratkan dua

hal pokok: Pertama, pembatasan kekuasaan, melalui pembagian

kekuasaan ke dalam tiga aras (trias politica) yang masing-masing

independen; dan, kedua, adanya jaminan bagi hak-hak asasi

manusia tanpa melihat faktor pembeda maupun latar belakangnya.

Dalam dua aspek dasar itu, amandemen konstitusi sudah berhasil.

Sulit disangkal bahwa konstitusi hasil amandemen telah

memberikan jaminan konstitusional sangat kuat pada kebebasan

berkeyakinan dan beribadah.168 Pasal 28E UUD 1945, misalnya,

sangat tegas dalam hal itu:

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,

memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara

dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak

atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,

sesuai dengan hati nuraninya (cetak miring ditambahkan).

Dengan hal itu menjadi gamblang bahwa hak dan kebebasan

beragama atau berkeyakinan merupakan pilihan yang bebas “sesuai

dengan hati nurani” seseorang yang harus dihormati. Tidak ada

institusi apa pun yang dapat menghalangi, meniadakan atau

memaksakan agama atau keyakinan seseorang.

Namun rekaman berbagai kasus kontemporer ketiga lembaga

yang sudah saya rujuk di atas memperlihatkan bahwa jaminan

konstitusional itu hanya indah di atas kertas. Bagaimanapun juga,

konstitusi hanyalah rambu-rambu dasar pada tataran normatif,

bukan legally binding product yang dapat langsung diterapkan.

Maksudnya, jaminan konstitusional ini  masih harus

diterjemahkan ke dalam produk-produk hukum dan peraturan yang

mengikat serta dapat diterapkan. Di situlah persoalannya: amar

konstitusi itu belum diterjemahkan sepenuhnya ke dalam produk

perundang-undangan maupun peraturan. Dalam kajiannya, Setara

Institute malah menengarai bahwa persoalan ini berakar pada “bias

tafsir konstitusi”,169 atau apa yang di muka saya sebut sebagai

posisi serba-taksa yang mewarnai baik perumusan sila pertama

Pancasila maupun turunannya dalam konstitusi. Pada saat

bersamaan, khususnya pada tataran peraturan daerah yang marak

sebagai konsekuensi dari proses otonomi daerah, sangat banyak

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 

peraturan yang justru bertentangan dengan semangat dasar

konstitusi.

Masalahnya jadi jauh lebih kompleks karena dua matra lain

dari gugus persoalan yang sama. Pertama, munculnya produk

peraturan yang bahkan tidak dikenal dalam hierarki perundang-

undangan, seperti diatur UU No. 10 tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tetapi punya

jangkauan sangat luas di dalam mengatur bidang keagamaan. Dua

contoh paradigmatis bisa dirujuk di sini. Pertama, PBM (Peraturan

Bersama Menteri) antara Menag dan Mendagri  No. 9/2006 dan

No. 8/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/

Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat

Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan

Pendirian Rumah Ibadah. PBM ini, yang merupakan hasil

kompromi yang penuh kontroversi dan lika-liku antara majelis-

majelis keagamaan di negara kita , awalnya diniatkan sebagai revisi

atas SKB (Surat Keputusan Bersama) Menag dan Mendagri No. 1/

Ber/MDN-MAG/1969 yang terbit tanggal 13 September 1969 yang

mengatur pendirian rumah ibadah. Akan tetapi jangkauan PBM

jauh lebih luas ketimbang sekadar revisi, karena memerintahkan

pendirian FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang

memegang peran menentukan dalam pemberian ijin rumah ibadah.

Kedua, masa depan keberadaan JAI (Jamaah Ahmadiyah negara kita )

justru ditentukan oleh SKB No. 3/2008, Kep-033/A/JA/6/2008 dan

No. 199/2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut,

Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah negara kita 

dan Warga Masyarakat, yang ditandatangani Menag, Jaksa Agung

dan Mendagri tanggal 9 Juni 2008. Walau di dalam SKB itu tidak

ada istilah “pembekuan” atau “pelarangan dan pembubaran” JAI,

seperti yang dituntut mereka yang anti terhadap Ahmadiyah,

keluarnya SKB merupakan salah satu titik panas dalam rangkaian

tindak kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di seluruh pelosok.

Sebagaimana dicatat oleh ketiga laporan tahunan yang sudah

dirujuk di muka, kekerasan terhadap anggota Ahmadiyah sangat

mewarnai masa-masa sesudah  keluarnya SKB. Bahkan baru-baru

ini, desa Manislor di Kabupaten Kuningan yang sebagian besar

penduduknya memeluk Ahmadiyah, mengalami teror dan diserang

oleh kelompok-kelompok garis keras yang mendaku jadi wakil kaum

Muslim secara keseluruhan.

Matra kedua lebih terkait pada aspek penerapan undang-

undang atau peraturan yang ada. Dari berbagai kasus kekerasan

terhadap jamaah Ahmadiyah maupun penutupan paksa rumah

ibadah umat kristiani yang sempat direkam, tampak sangat jelas

“politik pembiaran” yang dilakukan aparat penegak hukum. Malah,

dalam banyak kasus, dapat ditengarai keterlibatan aparat birokrasi

maupun polisi di situ. Kasus rencana penyegelan masjid Ahmadiyah

di Manislor, misalnya, sulit dilepaskan dari peran Bupati Kuningan

H. Aang Hamid Suganda yang menerbitkan Surat Perintah No.

451.2/2065/SAT.POL.PP. Anehnya, Surat Perintah ini , selain

didasarkan pada UU No 32 Tahun 2004 tentang kewenangan Kepala

Daerah, hanya berdasarkan rekomendasi MUI Kabupaten Kuningan

serta aspirasi tokoh ulama dan ormas Islam. Bahkan SKB tentang

Ahmadiyah pun tidak dirujuk! Sementara pada kasus teror untuk

menghentikan paksa ibadah jemaat HKBP (Huria Kristen Batak

Protestan) di Pondok Timur, Bekasi beberapa waktu lalu oleh

sekelompok ormas Islam, jelas terlihat aparat keamanan tidak

menjalankan fungsinya. Akibatnya jemaat yang sedang beribadah

diserbu, hingga membuat seorang ibu jatuh dan terinjak-injak.

Tentu saja, di tengah konteks politik pembiaran yang berulang

kali terjadi, sangat sulit membayangkan bagaimana pluralisme

kewargaan dapat tumbuh kembang. Sebab untuk menjaga proses-

proses negosiasi perbedaan dalam ruang civic, jelas dibutuhkan

kemauan politik negara guna menjamin agar proses-proses

ini  tidak didominasi atau dihentikan paksa oleh sekelompok

kalangan yang memakai jalan kekerasan. Kegagalan negara dan

aparatus pemerintahan di dalam memberi jaminan ini, membuat

ruang-ruang civic kehilangan dinamikanya.

Pada sisi lain, dinamika negosiasi perbedaan pada ruang civic

juga ditentukan oleh kemampuan untuk melangkaui watak serba-

curiga yang mewarnai hubungan antarkelompok keagamaan,

khususnya Islam dan Kristen. Kita sudah melihat di atas bagaimana

kecurigaan itu tertanam begitu dalam, memiliki akar historis yang

panjang dan terus menerus menjadi objek politik perukunan Orde

Baru guna melestarikan jaring-jaring kekuasaannya. Cara rezim

itu menangani persoalan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-

golongan), misalnya, merupakan cermin par excellence bagaimana

politik perukunan itu bekerja. Di situ, alih-alih orang belajar

mengenal perbedaan dan menghormatinya sebagai bagian tak

Negara, Kekuasaan, dan “Agama” 

terelakkan dari warga  multikultural, SARA justru dijadikan

hantu menakutkan, ancaman terhadap integrasi bangsa dan

karenanya tidak dapat dibicarakan secara terbuka. Maka, walau

warga  negara kita  adalah warga  multikultural, akan

tetapi seluruh etos, nilai dan kebijakan negara justru bersifat

monokulturalis yang berusaha melebur perbedaan yang ada ke

dalam arus budaya dominan. Kembali di situ kemampuan warga

di dalam mengelola perbedaan disumbat, bahkan perbedaan faktual

lalu dicurigai sebagai faktor disintegrasi yang patut diwaspadai.

Sekalipun politik perukunan ini sangat dominan, dan di atas

kita sudah melihat bagaimana cara pandang ini  mewarnai

hampir setiap kebijakan keagamaan selama ini, bukan berarti tidak

ada usaha -usaha  genuine warga  maupun kelompok-kelompok

sipil guna mengembangkan model-model alternatif kerukunan.

Terobosan menarik pernah dibuat, misalnya, pada pertengahan

dekade 1970-an oleh alm. Prof. Mukti Ali melalui program live-in

bersama para aktivis keagamaan yang datang dari berbagai latar

belakang. Sekalipun tidak berjalan secara berkesinambungan,

namun beberapa aktivis yang mengikuti program ini  sampai

kini dikenal sebagai tokoh-tokoh yang memperjuangkan pluralisme

di negara kita . Tetapi eksperimen yang jauh lebih penting dilakukan

oleh alm. Y.B Mangunwijaya, alm. Gus Dur, alm. Pdt Eka

Darmaputera, alm. Ibu Gdong Bagus Oka, alm. Th. Sumartana,

Djohan Efendi, Daniel Dhakidae, dan lainnya lewat pembentukan

DIAN (Dialog Antar Iman) atau Interfidei di Yogyakarta pada awal

dekade 1990-an. Eksperimen DIAN/Interfidei menarik untuk dicatat

karena, menurut saya, ini merupakan langkah awal suatu usaha 

serius dan berkelanjutan guna mengembangkan model alternatif

kerukunan dari bawah melalui perjumpaan dialogis yang genuine

tanpa harus mengandalkan kekuatan negara.

Dalam eksperimen ini, alih-alih menjadi ajang seremonial

serba teratur dan kesibukan mencari bingkai “teologi kerukunan”,

pluralisme justru ditarik menjadi eksperimen hidup bersama yang

dilandasi semangat dialogis. Pengalaman konkret ini, pada

gilirannya, membentuk habitus baru untuk berkembangnya

pluralisme. Apa yang sedang berlangsung di situ sesungguhnya

suatu eksperimentasi untuk mengolah kehidupan bersama yang

melintasi sekat-sekat dan batasan-batasan etnis, ras, agama,

kepercayaan, ideologi, adat, dan sebagainya; suatu eksperimentasi

demi pemerkayaan silang yang lahir dari rasa saling percaya

(mutual trust) dan saling mengakui (mutual recognition). Proses-

proses inilah yang membuat alm. Th. Sumartana, pemikir visioner

dari DIAN/Interfidei, menyebut kelompok-kelompok antariman atau

lintas-SARA sebagai “kecambah civil society di negara kita ”.

Sesungguhnya St. Sunardi sudah menawarkan pemahaman

alternatif tentang kerukunan ini saat diundang untuk memberi

masukan dalam lokakarya Depag guna menyusun RUU KUB. Dalam

makalahnya yang sudah saya rujuk di muka, Sunardi meng-

ingatkan agar kerukunan, alih-alih diletakkan dalam paradigma

“pembinaan” yang mengandalkan strong state (dan melahirkan

politik perukunan), lebih baik dipahami sebagai “nilai maupun

strategi demokratisasi”. Walau masih berbentuk sketsa-sketsa lepas,

makalah Sunardi menyajikan lintasan eksperimentasi yang kaya:

mula-mula kerukunan dikaitkan dengan tanggungjawab agama-

agama, lalu menjadi oto kritik terhadap kehadiran agama-agama,

sebelum nantinya—mulai dekade 1990-an—bertaut dengan

gerakan-gerakan pro-demokrasi guna mencari “demokrasi

pluralistik” yang diidam-idamkan. Di situ kerukunan berangkat

dari perjumpaan konkret pada tataran warga , sebagai proses

belajar untuk menegosiasikan perbedaan dan menemukan tatanan

serta aturan hidup bersama di dalam mengolah persoalan-

persoalan kemanusiaan yang menjadi tanggungjawab agama-

agama, seperti kemiskinan, pembodohan, ketidak-adilan, dan

sebagainya.

Menurut saya, persis di situlah agenda besar pluralisme

kewargaan. Untuk meringkaskan esai yang sudah terlalu panjang

ini, dapat ditandaskan bahwa arah-arah pergulatan pluralisme

kewargaan ke depan harus bergerak pada dua tataran: pertama,

tuntutan “politik kesetaraan” guna memaksimalkan jaminan

konstitusional pada aras pengelolaan negara, perbaikan sistem

hukum maupun pelaksanaannya; dan, kedua, pada aras

warga , mengembangkan kemampuan warga di dalam

menegosiasikan perbedaan-perbedaan yang ada, serta mengolahnya

demi kemashalatan bersama. Dalam dua aras itulah nasib

negara kita  sebagai “rumah bersama” bagi setiap kelompok

dipertaruhkan.


AGAMA dalam demokrasi merupakan tema diskusi yang

kembali menarik perhatian berbagai kalangan, terutama ketika

negara kita  memasuki fase transisi dari sebuah rezim politik yang

otoriter-sentralistik ke bentuk rezim yang lebih liberal.

Perbincangan tentang tema ini bisa dimulai dengan serangkaian

pertanyaan sederhana; bagaimana agama dihadirkan dalam ruang-

ruang demokrasi dalam warga  majemuk? Siapa saja kekuatan

politik yang merepresentasikannya? Dengan cara apa representasi

itu dilakukan? Apa dampak dari kehadiran agama dalam ruang

demokrasi ini ? Apakah agama memperkuat demokrasi atau

sebaliknya? Dengan cara apa agama memperkuat atau

memperlemah demokrasi?

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjawab seluruh

pertanyaan di atas, namun memusatkan perhatian pada bagaimana

agama direpresentasikan dalam arena demokrasi elektoral di ranah

lokal, khususnya dalam prosesi pemilihan umum kepala daerah.

Mengapa hanya fokus pada arena elektoral di tingkat lokal? sebab 

sejak tahun 1999, seiring dengan bekerjanya proses desentralisasi

dan demokratisasi, lokus politik mulai bergeser dari Jakarta ke

daerah-daerah. Konsekuensi dari bekerjanya proses itu, ruang

politik di daerah menjadi semakin lebar dan terbuka. Terbukanya

ruang politik itu memungkinkan berbagai kebhinnekaan yang

tertekan dan terpendam di masa kekuasaan otoritarian Orde Baru

(Orba) mendapatkan saluran untuk keluar. Sehingga, tidak aneh

kemudian, ranah publik di daerah menjadi arena aktualisasi

kepentingan berbasis pada pemilahan sosial warga  yang

berkarakter ideologis, kultural, ekonomi-politik. Singkatnya, proses

liberalisasi politik di era pasca-Orba memungkinkan para aktor

dalam politik lokal menikmati situasi politik yang lebih bebas dalam

menyampaikan dan mengorganisasi kepentingannya melalui partai

politik atau organisasi-organisasi politik lainnya.

Selain itu, reformasi kelembagaan demokrasi mendorong

aktor-aktor politik lokal jauh lebih banyak, beragam dan semakin

padat dibandingkan pada masa Orba. Di masa Orba, aktor-aktor

politik yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik sa-

ngat terbatas dan hanya berkisar di lingkaran kecil elite birokrasi

dan militer, sehingga beragam artikulasi kepentingan di luar

birokrasi lebih banyak ditanggapi melalui proses klientelisme atau

penyerapan aspirasi tanpa proses pelibatan aktor-aktor di luar

birokrasi negara. Dalam posisi itu, warga  hanya dibutuhkan

apabila diundang (invited space) oleh birokrasi negara. Ruang yang

ada adalah ruang yang diciptakan oleh birokrasi. Bahkan, lebih

banyak dilibatkan dalam kerangka mobilisasi dibandingkan parti-

sipasi. Setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998, aktor-aktor

yang terlibat dalam proses politik lokal semakin plural dan semarak.

Dengan demikian, kalau di masa lalu, aktor politik lokal yang domi-

nan hanyalah birokrasi dan militer, maka saat ini aktor yang terli-

bat sangat beragam dan tersegmentasi menurut garis pe-

milahan agama, etnik, profesi, kelas, kelompok, kepentingan dan

lain-lain.

Renegoisasi Batas-Batas

Dengan kehadiran aktor yang semakin plural maka terjadi

apa yang disebut oleh Henk S. Nordholt dan Gerry van Klinken

sebagai proses renegoisasi batas-batas (renegotiating boundaries),179

proses relasi kuasa antara daerah dengan pusat, antara negara

dengan komunitas180 atau antarkekuatan dalam politik lokal

dipertanyakan dan digugat kembali. Proses negoisasi itu salah

satunya terekspresikan dalam pertarungan yang sangat simbolik,

seperti yang muncul dalam fenomena teritorialisasi. Teritorialisasi

merupakan strategi yang dilakukan oleh elite politik lokal untuk

memengaruhi dan membangun kontrol atas suatu wilayah dengan

cara memberikan nama dan karakter atas suatu wilayah sehingga

dapat dibedakan dengan karakter wilayah lain.181 Proses

teritorialisasi sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, karena hal

ini juga dilakukan pada masa Orba, dengan kriteria-kriteria

kemajuan dan pembangunan. Namun, pasca-Orba, mulai muncul

pemberian karakter yang dikaitkan dengan identifikasi dengan

ikatan komunal dalam suatu wilayah. Sehingga, akhirnya muncul

atribut yang dilekatkan pada suatu wilayah, seperti “Serambi

Mekkah”, “Serambi Madinah”, “Kota Injil” dan sebagainya.

Proses renegoisasi batas-batas bukan hanya berkait dengan

hal yang bersifat simbolik semata melainkan juga berhubungan

dengan redistribusi sumber daya ekonomi-politik. Dengan demikian,

pertarungan teritori sekaligus mewakili pertarungan sumber daya

yang jumlahnya terbatas. Sampai di sini muncul strategi

teritorialisasi yang bertautan dengan klaim kepemilikan atau

kendali atas pemanfaatan sumber daya ekonomi-politik dalam

suatu wilayah.

Di ranah politik lokal, kontestasi untuk memperebutkan

sumber daya negara bisa tergambarkan dalam berbagai arena:

mulai dari pertarungan dalam pengisian posisi dalam struktur

birokrasi,  persaingan dalam arena Pemilukada, kontestasi dalam

proses pembuat kebijakan publik, perebutan sumber daya dalam

politik alokasi anggaran publik sampai pada fenomena pemekaran

daerah. Berbagai kekuatan politik-ekonomi dan ideologis memiliki

kehendak untuk menentukan ke arah mana sebuah wilayah atau

teritori akan ditata, dikontrol dan dikembangkan. Dalam usaha 

kontrol terhadap wilayah ini , berbagai kekuatan itu

memerlukan negara lokal, karena dengan  menguasai negaral lokal

maka kekuatan politik dominan itu bisa menentukan arah kebijakan

publik, redistribusi anggaran publik serta sekaligus bisa melakukan

kontrol secara otoritatif.182 Dengan otoritas yang digenggam maka

kekuatan politik dominan itu mempergunakan negara lokal untuk

memengaruhi dan mengontrol aktivitas warga  yang ada di

wilayah ini .

Dari Konflik Kekerasan ke Kontestasi

Dalam konteks kehendak menguasai negara lokal dan sekaligus

kontrol atas kebijakan publik, maka bisa dipahami pergeseran

dalam politik menghadirkan agama di ranah politik lokal. Dalam

periode awal transisi (1999—2000), penggunaan sentimen agama

dan etnik muncul sangat kuat dalam konflik kekerasan antarwarga

yang terjadi di berbagai wilayah di negara kita . Sehingga, wilayah-

wilayah berlangsungnya proses negoisasi batas-batas kemudian

menjelma menjadi wilayah-wilayah konflik. Ketika tidak ditemukan

cara untuk mengelola konflik maka dengan cepat wilayah konflik

itu menjadi wilayah-wilayah kekerasan.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, sesudah  tahun

2000, fenomena penggunaan politik representasi agama-etnik

bergeser dari konflik-kekerasan antarkelompok warga ke arena

“merebut” negara lokal, seperti persaingan dalam proses rekruitmen

pejabat birokrasi, kontestasi dalam arena Pemilukada, proses

pembuatan kebijakan publik, politik alokasi anggaran publik dan

tuntutan pemekaran. Dalam isu pemekaran, para pengusung

pemekaran menegaskan wacana representasi dan redistribusi

ekonomi dalam mendorong pemisahan dari daerah induk.

Sedangkan, dalam arena Pemilukada, agama direpresentasikan

dalam cara elite politik lokal untuk meraih dukungan politik dan

memenangkan kontestasi.

Dalam sebelas tahun terakhir ini, sudah berlangsung tiga

gelombang pemilihan kepala daerah di berbagai daerah. Gelombang

pertama berlangsung sepanjang tahun 2000—2005. Dalam periode

ini, proses rekruitmen kepala daerah masih dilakukan secara tidak

langsung yakni melalui pemilihan DPRD; kandidat dicalonkan oleh

partai politik atau koalisi partai politik yang mempunyai kursi di

DPRD. Selanjutnya, anggota DPRD memilih kandidat yang

dinominasi. Dalam konteks semacam itu, para elite politik berperan

sebatas memainkan isu politik identitas untuk memengaruhi

konfigurasi kepartaian di DPRD.

 Namun, sejak tahun 2005 hingga 2008, ruang politik lokal

menjadi semakin semarak dan  kompetitif, ketika berlangsung

perubahan sistem rekruitmen pejabat politik dari sistem pemilihan

tidak langsung ke sistem pemilihan kepala daerah secara langsung,

yang selanjutnya disebut Pemilukada. Gelombang berikutnya

sepanjang tahun 2010.

Pada saat yang bersamaan, partai politik di daerah juga

semakin majemuk. Pada Pemilu 1999, jumlah partai politik yang

mengikuti Pemilu sebesar 48 partai. Jumlah itu menurun pada

Pemilu 2004 menjadi 24 partai dan selanjutnya kembali meningkat

menjadi 34 partai politik.185 Bahkan dalam pascaPemilu 2009 sejalan

dengan pemberlakuan ambang batas parlemen di tingkat nasional,

konfigurasi kepartaian di daerah jauh lebih plural dibandingkan

dengan di tingkat nasional. Kalau di parlemen nasional, jumlah

partai politik yang memperoleh kursi hanya sembilan partai, maka

jumlah partai politik yang meraih kursi di parlemen daerah lebih

banyak, mencapai 12—15 partai. Peta politik kepartaian yang

semakin majemuk di tingkat lokal itu membuat pola kontestasi

dan koalisi dalam politik lokal  menjadi semakin dinamis, terutama

dalam Pemilukada.

Dengan digelarnya Pemilukada, partai politik mempunyai

medan politik baru. Dalam medan itu, partai politik bersaing dan

juga berkoalisi dalam meraih dukungan pemilih. Ujung akhir dari

persaingan itu adalah posisi politik yang memungkinkan mereka

memperoleh akses yang lebih besar pada kebijakan dan politik

alokasi sumber daya ekonomi maupun politik.

Agama dalam Politik Lokal

Agama dalam Politik Demografi

Dalam Pemilukada, para kandidat tidak hanya merebut

dukungan elite, melainkan harus meraih dukungan suara dari

pemilih di tingkat akar rumput. Hal ini menimbulkan implikasi

luas pada cara kandidat dan partai politik pendukungnya

membangun strategi untuk memenangkan kompetisi. Kalau dalam

Pilkada tidak langsung melalui DPRD, para kandidat hanya cukup

menggalang strategi dukungan terhadap elite-elite partai di DPRD,

maka dalam Pemilukada para kandidat harus memperhitungkan

suara pemilih di akar rumput.

sebab  harus mendapatkan dukungan langsung dari pemilih,

maka faktor demografi, terutama peta segmentasi pemilih, menjadi

penting dalam proses elektoral di daerah. Faktor demografi yang

dimaksud bukan hanya komposisi pemilih secara kuantitatif,

melainkan karakteristik pemilih. Pemilih dilihat sebagai segmentasi

pasar yang memiliki karakteristik tertentu.

Basis pemilahan sosial di setiap wilayah kontestasi akan

sangat bervariasi: mulai dari mengikuti pemilahan etnik, agama,

kekerabatan maupun kelas sosial. Semakin majemuk sebuah

warga , maka pemilahan sosialnya semakin jamak, baik dalam

parameter horisontal maupun vertikal. Secara horisontal,

warga  dipilah berdasarkan perbedaan yang bersifat setara:

agama dan etnisitas, usia, jenis kelamin maupun profesi.

Sedangkan secara vertikal, warga  disusun dalam kategori

yang tidak setara berdasarkan stratifikasi sosial-ekonomi.

Sudah dipastikan dalam Pemilukada, komposisi pemilih

berdasarkan agama menjadi kriteria yang cukup penting. Dari sisi

karakteristik sosial-keagamaan, wilayah kontestasi bisa dibagi ke

dalam tiga kategori besar: pertama, wilayah kontestasi yang

memiliki karakter homogen, yang hampir 100 persen, penduduk

dalam wilayah itu memeluk agama yang sama. Kategori kedua

adalah wilayah yang karakteristik mayoritas, yang lebih dari 50

persen penduduk di wilayah ini  menganut suatu agama.

Kategori ketiga adalah wilayah kontestasi yang berimbang, yang

komposisi penduduk berdasarkan agama relatif seimbang.

Di wilayah kontestasi yang memiliki karakter homogen dan

mayoritas, politik represe ntasi agama tidak terlalu kuat

dibandingkan dengan di wilayah yang komposisi agamanya

berimbang. Di wilayah dengan karakteristik keagamaan yang

homegen, pemilahan politik akan terbangun mengikuti basis

kategori yang lain: seperti etnik, kekerabatan, politik aliran ataupun

stratifikasi kelas sosial.

Sedangkan dalam wilayah kontestasi yang komposisi

agamanya berimbang, faktor agama menjadi relevan. Hal ini bisa

dilihat dalam proses kandidatisasi, yang membutuhkan latar

belakang agama seorang kandidat sebagai referensi utama dalam

menggalang koalisi politik di Pemilukada. Dalam membangun

koalisi, komposisi penduduk berdasarkan agama menjadi

pertimbangan. Biasanya, kandidat kepala daerah diambil dari

agama dengan komposisi pemeluk terbesar, disusul  wakilnya

berasal dari agama dengan jumlah pemeluk terbesar berikutnya.

Koalisi semacam ini terutama terjadi di daerah-daerah yang

dihuni dua agama besar dengan komposisi yang relatif berimbang.

Misalnya, dalam Pemilukada di Maluku, pasangan kandidat

Gubernur dan Wakil Gubernur yang diajukan partai-partai

cenderung merupakan kombinasi Kristen dan Islam. Hal yang

sama juga terjadi dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Tengah.

Gubernur terpilih Kalimantan Tengah, Teras A Narang, yang

beragama Kristen dipasangkan dengan Ahmad Diran yang Islam.

Pemilukada Papua Barat pada tahun 2006, kombinasi beda agama

menjadi cara untuk membangun koalisi antarkandidat. Partai

Golkar mengusung pasangan beda agama: Yorris Raweyai  (Kristen)

berpasangan dengan Abdul Killian (Islam).

Pemilukada di daerah yang sebelumnya dilanda konflik

cenderung menerapkan model koalisi beda agama. Kabupaten

Ketapang, Bengkayang, Kapuas Hulu, dan Sintang di Kalimantan

Barat cenderung mengikuti pola koalisi beda agama. Demikian pula

dengan pemilihan Gubernur di Kalimantan Barat pada tahun 2007

memunculkan kandidat yang mengkombinasikan Islam-Kristen,

seperti pasangan Usman Jafar dan LH Kadir, Oesman Sapta dan

Ignatius Lyong, dan Akil–Mecer.

Mengapa koalisi beda agama muncul di daerah-daerah yang

secara demografis komposisi agamanya relatif berimbang? Berbeda

dengan kecenderungan di daerah-daerah  yang homogen dan

didominasi secara mayoritas oleh satu agama, kawasan dengan

komposisi berimbang cenderung rawan konflik komunal antar-

agama. Konflik bisa terjadi pada momentum politik tertentu seperti

Pemilukada, pergantian pejabat birokrasi, dan lain-lain. Isu

utama yang sering dimunculkan berkaitan dengan tingkat keter-

wakilan komunitas agama dalam posisi politik maupun redistribusi

ekonomi.

Dalam konteks semacam ini, bisa lahir dua bentuk respons

dari elite politik lokal. Elite politik cenderung memanfaatkan dan

mendayagunakan wacana ketimpangan representasi politik

antaragama untuk meraih dukungan politik. Dalam strategi ini,

elite politik “mengeksploitasi” wacana ketidakberimbangan keter-

wakilan dengan tujuan-tujuan pragmatis dalam proses elektoral.

Respons lain dari elite politik adalah dengan mengesam-

pingkan wacana ketimpangan dan mengusung wacana

perimbangan, dengan cara menggabungkan pasangan calon dari

latar belakang agama berbeda. Dengan cara seperti ini, kombinasi

beda agama menjadi strategi untuk merebut pasar suara pemilih

dalam Pemilukada. Dengan pasar politik yang semakin kompetitif

maka pendekatan mobilisasi pemilih dengan memakai  senti-

men agama menjadi metode kampanye untuk meraih dukungan

pemilih. Dalam strategi ini, pasangan kandidat lebih fokus memo-

bilisasi calon pemilih yang menganut agama yang sama dengan

dirinya. Itu artinya, strategi mengusung kandidat dari dua latar

belakang agama yang berbeda, merupakan bagian strategi memper-

luas segmen pendukung. Dengan cara seperti itu, kandidat ber-

harap bisa merebut dukungan, bukan hanya dari satu komunitas

agama, melainkan bisa mendapatkan sokongan segmen pemilih

dari dua komunitas agama sekaligus. Bahkan, dengan model koalisi

politik semacam ini, para kandidat juga bisa membangun citra

pluralis, yang biasanya juga menarik minat pemilih mengambang

(swing voter).


Agama dalam Koalisi Partai

Dalam Pemilukada terlihat jelas kecenderungan tingkah laku

kandidat dan partai politik pendukungnya, dipengaruhi oleh logika

untuk memenangkan persaingan atau seringkali disebut sebagai

logika elektoralis. Dalam hal ini, partai politik cenderung

menyesuaikan program, strategi serta mencairkan batas

ketegangan ideologi yang dianutnya dengan kebutuhan pasar yang

lebih luas demi pemenangan Pemilukada. Kecenderungan partai

politik untuk lebih menekankan logika elektoralis membuat tipe

partai politik di negara kita  mengarah pada tipe “catch-all party”.

Tipe catch–all party juga berpengaruh pada model rekruitmen

kandidat dalam Pilkada yang cenderung bergerak ke pola survival.

Secara umum, dalam pola survival, rekruitmen kandidat lebih

didasarkan dan diarahkan pada pencarian kandidat yang memiliki

sumber finansial yang kuat, basis massa yang luas serta tingkat

popularitas yang tinggi. Dalam logika itu, kandidat yang diusung

oleh partai politik tidak hanya berasal kader partainya melainkan

juga berasal dari nonkader, terutama figur-figur yang mempunyai

basis dukungan politik di akar rumput.

Konsekuensinya, walaupun secara historis, politik kepartaian

di negara kita  mengikuti pemilahan politik aliran,188 namun, dalam

Pemilukada, pola kontestasi dan aliansi antarpartai tidak selalu

mengikuti logika politik aliran. Hal ini terlihat jelas dari munculnya

koalisi politik kepartaian yang bersifat “pelangi” melintasi

pemilahan batas politik aliran.

Dalam Pemilukada di beberapa daerah, terlihat jelas

ketidakyakinan partai-partai berbasis agama189 untuk

memenangkan kompetisi, apabila mereka bergandengan dengan

partai sejenis. Ketidakyakinan itu semakin kuat karena terjadi tren

penurunan perolehan suara partai agama, terutama partai Islam,

dari 38% dalam Pemilu 2004 menjadi sekitar 29% pada Pemilu

2009.190  Hampir semua partai Islam mengalami penurunan suara

secara signifikan.

Ketidakyakinan itu menyebabkan mereka membangun basis

koalisi antarpartai yang memiliki segmen pendukung yang berbeda.

Hal itu ditunjukkan dengan munculnya model koalisi politik antara

partai berbasis agama dengan partai nasionalis-sekuler.191 Hal yang

sama terjadi pada partai-partai nasionalis-sekuler; partai-partai

ini  mempertimbangkan pasangan kandidat, yang memiliki


Penentu Kemenangan

Rudy adalah anak angkat Guru Ijai (KH. Zaini Abdul

Ghani), ulama paling berpengaruh di Martapura

Memiliki sumber ekonomi yang lebih banyak ketimbang

partai-partai Islam dan partai lain yang ada

Mengusung Perda SI sementara warga  dan elemen

keagamaan memiliki tekat yang sama

Abu Bakar yang incumbent memiliki networking politik

yang bagus berkat keanggotaannya di Golkar dan Saifur

Rahman adalah anak tokoh agama kharismatis Dompu.

Rumah Guru Haji Salman Faris

Pasangan calon dianggap mampu membangun

kehidupan yang harmonis

Cabup adalah bupati yang sedang menjabat dan

cawabup merupakan kader Muhammadiyah di daerah

basis ormas ini 

Kandidat adalah orang NU di daerah berbasis NU

basis pendukung dari komunitas sosial keagamaan, baik berasal

dari partai Islam maupun nonpartai. Dari nonpartai, biasanya

diambil dari organisasi massa Islam terbesar di suatu wilayah,

seperti NU, Muhammadiyah ataupun Nahdhatul Wathon. Pilihan

untuk mengambil pasangan kandidat yang berasal dari segmen

pendukung yang berbeda tentu saja dimaksudkan untuk

memperluas basis dukungan politik yang tidak bersifat homogen

melainkan lebih tersebar. Dengan cara itu, partai nasionalis akan

bisa menggalang dukungan dari para pemilih yang mempunyai

identifikasi kepartaian dengan partai-partai Islam.

Dalam Pemilukada Bulukumba, Sulawesi Selatan, terbentuk

koalisi partai nasionalis-partai Islam, antara PDI Perjuangan

dengan Partai Bulan Bintang. Di Cianjur. Jawa Barat terbangun

koalisi  kader PKS yang merangkul Partai Demokrat. Di Kalimantan

Selatan, pasangan kandidat Bupati-Wakil Bupati berasal dari Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) dan  Partai Kebangkitan Bangsa

bergandengan dengan partai nasionalis. Di Dompu, Nusa Tenggara

Barat, calon gabungan dari PNU PKB dan PPDI membangun koalisi

dalam Pemilukada. Bahkan di daerah kantong Kristen, seperti Poso,

Sulawesi Tengah, tercipta koalisi partai Kristen, Partai Damai

Sejahtera dengan Partai Persatuan Daerah. Dalam Pemilukada Kota

Surabaya 2010, muncul kombinasi yang menarik, pasangan Fandi

Utomo dan Kol. Yulius Bustami diusung oleh partai-partai yang

berasaskan Islam seperti PKS, PPP dan PKNU, dengan berkoalisi

dengan Partai Damai Sejahtera.

Mengapa partai-partai berbasis agama memilih untuk

melakukan koalisi pelangi? Survei JPPR (Jaringan Pendidikan

Pemilih untuk Rakyat) yang dipublikasi pada Juni 2006 sedikit

menjawab. Survei itu mengungkapkan, dari 213 Pemilukada yang

digelar, gabungan partai-partai Islam berada di peringkat paling

bawah yaitu 2,68% (enam daerah). Kemudian peringkat keempat

yaitu 4,91% (11 daerah) dimenangkan partai Islam tanpa berkoalisi.

Peringkat ketiga dimenangkan partai nasional tanpa koalisi

sebanyak 22,27% (51 daerah). Disusul gabungan partai-partai

nasionalis sebanyak 32,59% (73 daerah). Justru mayoritas

Pemilukada dimenangkan oleh partai nasionalis yang berkoalisi

dengan partai yang berbasis agama, terutama Partai Islam. Jumlah

ini mencapai 37,05% atau meliputi 83 daerah Pemilukada.

Agama dalam Kampanye

Seperti yang digambarkan sebelumnya, Pemilukada ditandai

dengan kuatnya logika elektoralis dalam memengaruhi tingkah

laku kandidat dan partai politik pendukungnya. Dalam logika ini,

kandidat dan partai politik pendukungnya membangun strategi

pemasaran politik untuk meraih dukungan pasar pemilih. Semakin

ketat proses kompetisi maka kandidat harus memakai  ber-

bagai manuver untuk memenangkan kontestasi: mulai dari mem-

bangun ikatan identifikasi kepartaian, mobilisasi birokrasi,

pemunculan isu tertentu, pencitraan figur kandidat dalam iklan,

penggunaan instrumen ekonomi, sampai dengan pendekatan pri-

mordialisme. Berbagai strategi itu memperlihatkan setiap kandidat

harus memperkuat basis pendukung tradisionalnya dan selanjut-

nya memperluas dukungan dari segmen pemilih yang lebih luas.

Dalam konteks menggalang dukungan pemilih, penggunaan

representasi isu dan simbol agama juga dijumpai dalam Pemilukada

yang berlangsung di berbagai daerah, sejak tahun 2005.  Bagaimana

isu dan simbol agama digunakan? Pertama, pemberian fatwa untuk

memilih atau tidak memilih kandidat tertentu. Hal ini terjadi dalam

Pemilukada Tasikmalaya dan Kabupaten Muna, Sulawei Tenggara;

pemuka agama memberikan fatwa  “masuk neraka”, apabila

warga  memilih pasangan calon tertentu.193 Contoh lain, dalam

Pemilukada Kabupaten Sleman, Pengurus Daerah Muhammadiyah

(PDM) Sleman membuat fatwa khusus untuk mendukung calon

tertentu, yang memiliki latar belakang Muhammadiyah.  Calon

yang dimaksud adalah Ibnu Subiyanto-Sri Purnomo dari PDI

Perjuangan dan didukung Partai Amanat Nasional, yang kemudian

menjadi bupati terpilih untuk periode 2005—2010.

Kedua, penggunaan simbol agama dalam kampanye kandidat.

Dalam Pemilukada di beberapa Kabupaten, seperti: Pemalang,

Ponorogo, Jambi dan Padang, pasangan kandidat membagikan

kitab suci dan kitab-kitab keagamaan, yang disertai foto serta visi-

misi kandidat. Dalam Pemilukada  kabupaten Indramayu, ribuan

eksemplar kitab suci al-Quran yang di halaman pertamanya

terpampang gambar foto Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin

dan bertuliskan visi serta misinya sebagai calon bupati dalam

Pemilukada 2005—2010. Gambar Bupati Indramayu yang

berukuran setengah halaman diletakkan di halaman pertama

sesudah  sampul al-Quran. Kitab suci yang berisi muatan kampanye

itu beredar di sejumlah masjid, pondok pesantren serta tokoh agama

lain di daerah itu.

Selain itu, penggunaan wacana keagamaan juga tampak dalam

gambar di bawah ini. Dalam gambar berikut ini terlihat kandidat

membagikan sejumlah uang ke pemilih  dengan “dibungkus” dengan

istilah keagamaan: zakat mal.

Ketiga, dalam Pemilukada, “agama” dihadirkan dalam bentuk

janji-janji kandidat untuk mengakomodasi kepentingan segmen

pemilih dari kelompok agama tertentu dalam kebijakan publik.

Hal ini tergambar dalam kontrak politik antara calon Gubernur

Banten Zulkieflimansyah-Marissa Haque dengan sejumlah kiai dan

ulama di Provinsi Banten. Klausul kontrak itu, yang berbunyi

“larangan keluar malam bagi kaum perempuan di atas jam 21:00

WIB”. Di Kabupaten Cianjur, salah satu kandidat menjanjikan

terbitnya Perda Syariat Islam di daerah itu yang merupakan bagian

dari pencanangan Cianjur sebagai “Gerbang Marhamah” (Gerakan

Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah).

Di Kalimantan Barat, pasangan Cornelis dan Christiandy

mengangkat isu-isu primordial  selama kampanye dalam

Pemilukada tahun 2007, dengan mendatangi kantong-kantong

pemilih Kristen. Mereka juga cukup intens melakukan sosialisasi

di kalangan warga  Kristiani yang populasinya hanya 33%

dari 40,32 juta penduduk (Katolik 22% dan Protestan 11%).

Pasangan kandidat ini juga mengangkat isu-isu politik lokal yang

terkait dengan representasi komunitas Kristen dalam politik

maupun ekonomi. Wacana itu dibangun tentu saja untuk meraih

dukungan tokoh adat dan gereja. Wacana politik yang dibangun

meliputi janji memberikan perlindungan maksimal kepada

warga  marginal, kalangan minoritas dan terpinggirkan,

pemerataan pembangunan, mempermudah izin mendirikan gereja,

memberikan perhatian maksimal kepada warga  di pedalaman,

menghapus dominasi kelompok mayoritas, serta membuat

perimbangan jabatan struktural antara kelompok Islam dan

Kristiani di Kantor Gubernur Kalbar. Wacana yang bersifat

primordialis itu ternyata cukup ampuh menarik simpati

warga  pemilih. Hal ini membuat pasangan Cornelis dan

Christiandy mampu meraih kemenangan di delapan daerah

pemilihan, bahkan di tiga kabupaten pemilih mayoritas Kristiani

menang telak.

Sebaliknya kampanye pasangan “pelangi” umumnya

mengangkat isu keharmonisan antaragama dan etnis, investasi

meningkat, menghargai keberagaman untuk menuju Kalimantan

Barat terbuka. Wacana ini  didengungkan selama kampanye,

namun ternyata tidak sepenuhnya mampu menarik simpati

warga  pemilih. Sehingga Usman Jafar–LH Kadir hanya

menang telak di tiga kabupaten dengan penduduk agama mayoritas

Islam. Sedangkan Oesman Sapta–Ignatius Lyong hanya unggul di

Kabupaten Ketapang. Perolehan suara Akil–Mecer secara

keseluruhan tidak sampai 300.000 suara.

Keempat, dalam Pemilukada juga muncul fenomena “agama”

hadir dalam politik pencitraan; pasangan kandidat memakai 

lambang dan simbol agama agar terkesan sebagai penganut  agama

yang saleh dan taat.195 Sosok yang ingin ditampilkan adalah seorang

pemimpin yang religius, dengan memakai  simbol-simbol

agama. Sebagai contoh dalam Pemilukada Gubernur Jawa Timur,

setiap pasangan kandidat tampil di TV lokal untuk membangun

citra pemimpin yang religius. Tayangan-tayangan yang dicitrakan

dalam iklan para kandidat berkendak membangun persepsi publik

bahwa para kandidat adalah sosok pemimpin yang dekat dengan

rakyat kecil, memiliki religusitas yang baik, dan sebagai pemimpin

yang amanah ‘dapat dipercaya’. Misalnya, Pakde Karwo,

menampilkan iklan pencitraan dirinya dengan mengeluarkan album

shalawat kontemporer—dalam iklan ini  ditampilkan sang

kandidat sedang berdoa dan bercengkerama dengan anak-anak kecil

di masjid. Kompetitornya, Soenarjo juga menampilkan suatu acara

yang khusus ditayangkan selama  bulan Ramadhan. Acaranya

dikemas setiap menjelang buka puasa di JTV yang bernama

“pitutur luhur”—acara ini  berisi nasehat-nasehat luhur dari

tradisi orang Jawa. Hal yang sama juga dilakukan kandidat lainnya,

Achmady. Achmady berusaha  menampilkan citra seorang santri

NU yang fasih berceramah lazimnya seorang yang religius.

Ahmady merancang acara ceramah agama di TV lokal yang selalu

disertai dalil-dalil agama.

Dalam kerangka politik pencitraan ini, para kandidat juga

sering memanfaatkan momentum peringatan hari raya keagamaan

untuk menyampaikan iklan politiknya. Momen yang paling sering

dipilih oleh para kandidat untuk menayangkan acaranya adalah

momen yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Momen

Ramadhan dijadikan sebagai saat untuk berlomba-lomba meraih

popularitas dan dukungan pemilih. Sehingga tidak aneh kemudian,

selama bulan Ramadhan iklan kampanye para calon Gubernur

tidak pernah absen tampil di media. Para kandidat biasanya

menayangkan acaranya pada momen-momen menjelang buka

puasa. Pemilihan waktu ini  mengikuti tren acara di stasiun-

stasiun televisi nasional yang selalu menyiarkan kultum dari

ustadz dan ulama ternama, setiap menjelang berbuka puasa.

Politik pencitraan didukung oleh kehadiran media massa lokal

yang semakin menjamur. Media massa, terutama media TV lokal,

menjadi instrumen penting dalam mengakomodasi politik

pencitraan yang coba dibangun oleh para calon kepala daerah

ini . Dengan demikian, kehadiran media TV lokal

memungkinkan para kandidat memiliki medan politik baru dengan

melakukan pertarungan politik di “udara”.

Di jalanan, banner-banner, baliho, spanduk menjadi ajang

membangun citra diri para kandidat. Dalam banner ini  ada

beberapa gambar kandidat yang ditampilkan dengan simbol-simbol

agama. Seperti gambar di bawah ini, terlihat para calon kepala

daerah yang memakai atribut keagamaan dalam iklan-iklan politik,

seperti sorban, kerudung dan peci. Penggunaan atribut keagamaan

--- 164

dalam iklan politik itu tentu dilakukan untuk membangun politik

pencitraan, bahwa para kandidat merupakan pemimpin yang

religius.

   

Cara lain yang digunakan oleh kandidat adalah menampilkan

gambar figur tokoh agama yang karismatik atau dihormati

warga , dalam setiap iklan yang dipasang oleh para kandidat.

Tidak aneh kemudian, dalam iklan terpampang foto kiai

berpengaruh di antara gambar pasangan kandidat. Pesan yang ingin

dibangun lewat penampilan kiai dalam iklan kandidat ini 

adalah bahwa kandidat itu telah mendapatkan dukungan kuat dari

kiai yang ditampilkan. Strategi ini merupakan bagian dari

bekerjanya logika elektoralis, karena di beberapa wilayah,

kontestasi  merupakan basis massa kiai ini . Sehingga, dengan

menampilkan kiai dalam iklan kandidat diharapkan kandidat itu

--- 165

akan mendapatkan dukungan suara dari kalangan santri, baik yang

berada di lingkungan pesantren maupun di luar lingkungan

pesantren. Dalam hal ini, para kandidat ingin memanfaatkan

struktur hubungan patronase antara kiai dengan santrinya.

Di tengah penggunaan simbol-simbol agama sebagai strategi

mendapatkan dukungan, muncul fenomena yang berbeda yakni

dengan mempersoalkan kejelasan atau kadar agama yang dipeluk

kandidat. Hal seperti ini muncul dalam pemilihan Gubernur Bali.

Salah satu kandidat: Prof. Drg. I Gde Winasa mendapatkan “se-

rangan” yang berkaitan dengan agama yang dipeluknya. Isu ini

diwacanakan oleh Aliansi Muda Hindu negara kita  (AMHI)

mendatangi KPU Bali meminta agar formulir pendaftaran I Gde

Winasa diverifikasi kembali. Alasannya, secara administratif

Winasa ditenggarai memiliki agama ganda.196 Upaya memper-

soalkan kadar keberagamaan kandidat bukan hanya terjadi di Bali

melainkan juga berlangsung dalam Pemilukada Banyuwangi.197

Kelima, agama dihadirkan dalam identifikasi diri dengan

organisasi keagamaan. Hal ini terlihat dalam Pemilukada di

Kalimantan Selatan tahun 2005. Dari pasangan yang diusung Partai

Golkar, misalnya, menyandingkan kadernya Gt. Iskandar SA

dengan Hafiz Anshary (seorang ulama). Begitu juga dengan

pasangan Ismet Ahmad dan Habib Abu Bakar. Sedangkan pasangan

Rudy Arifin dan Rosehan NB, walaupun keduanya memang bukan

ulama tetapi pasangan ini mengidentifikasi diri dari organisasi

keagamaan besar di Kalimantan Selatan, yakni NU. Begitu juga

dengan pasangan Syachril Darham dan Nor Aidi dengan jargon

politiknya “Raja A’A Nih”. Meskipun tidak direkomendasi oleh

organisasi keagamaan sebesar NU dan Muhammadiyah, tetapi

strategi perekrutan tim kampanye juga melibatkan beberapa ulama

kondang seperti “Dai Sejuta Umat” KH Zainuddin MZ dan “Dai Seribu

Sungai” KH Ahmad Bakeri.

Agama dalam Suara Pemilih

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah agama

menjadi preferensi utama pemilih dalam menentukan pilihannya?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak tunggal. Berbagai hasil riset

dan publikasi memberikan gambaran yang beragam tentang

pengaruh agama dalam penentuan preferensi pemilih dalam

Pemilukada.

Hasil kajian Lingkaran Survei negara kita  (LSI) pada tahun 2008

memberikan gambaran yang menarik. Dari tiga kasus Pemilukada

yang diteliti LSI (Kota Ambon, Kota Manado, dan Kabupaten

Bolaang Mongondow) tampak adanya pola dan peran yang berbeda.

Di Kota Ambon, agama tampak tidak memainkan peran dalam

preferensi pemilih. Dalam arti, pemilih yang beragama Islam tidak

lebih condong untuk memilih kandidat yang beragama Islam, dan

demikian juga sebaliknya. Di kalangan pemilih Islam dalam Pilkada

Kota Manado misalnya, lebih cenderung memilih pasangan

kandidat yangada calon yang beragama Islam. Atau

sebaliknya, di Kabupaten Bolaang Mongondow di kalangan pemilih

Kristen lebih cenderung memilih pasangan kandidat yang beragama

Kristen.198

Survei Demos pada tahun 2007 memperlihatkan bahwa para

pemilih di tingkat lokal lebih melekatkan identitas primordial

dibandingkan imajinasi tentang nasionalisme. Dalam ruang

kontestasi politik, muncul wacana “putra daerah” yang menun-

jukkan hubungan-hubungan genealogis, asal-usul kedaerahan

ataupun latar belakang keagamaan kandidat. Sehingga dalam

survei Demos ini , 40% warga  yang diwawancarai

mengaku bahwa mereka lebih mengidentifikasi diri mereka sebagai

penduduk kabupaten/ kota, 11% penduduk desa, 23% mengidenti-

fikasi diri mereka sebagai anggota sebuah komunitas etnis atau

klan tertentu, 4% komunitas religius, 13% mengidentifikasi sebagai

pendukung partai, 7% sebagai kelas sosial dan hanya 2%

mengidentifikasi sebagai warga negara kita . Bahkan di daerah

konflik, identitas berbasis etnis atau klan menjadi sekitar 36% dan

26% di daerah-daerah pemekaran. Dengan kata lain, pemilih

membangun identifikasi diri dan kelompok dengan kembali

menguatkan ikatan-ikatan identitas mereka dengan entitas-entitas

kultural yang didasarkan pada agama, etnis, kedaerahan atau

dengan hubungan-hubungan komunitarian.199

Penelitian lain justru memperlihatkan gambaran semakin

berkurangnya faktor agama dalam preferensi pemilih. Kisah ini

bisa diperoleh dari analisis yang dipaparkan oleh The Wahid

Institute (WI).200 Ada catatan menarik disampaikan WI, yaitu

bahwa walaupun dalam prosesi Pemilukada langsung yang digelar

sepanjang tahun 2005—2006, beberapa kandidat dan partai

pendukungnya memakai  isu dan simbol agama, namun faktor

--- 167

agama bukanlah faktor penentu kemenangan kandidat. Faktor

penentunya justru berasal dari isu-isu populisme dan jaringan

politik yang dimiliki oleh partai dan kandidat.

Kalau mengacu pada analisis WI maka berkurangnya variabel

agama sebagai preferensi utama dalam menentukan pilihan pemilih

sebenarnya menunjukkan keterbatasan dari bekerjanya politik

aliran. Walaupun para kandidat dan pendukungnya berusaha 

memakai  wacana politik aliran, namun dalam konteks

pemilihan langsung, para pemilih mulai lebih otonom dalam

menentukan pilihannya. Pilihan dalam Pemilukada tidak lagi

dideterminasi oleh elite agama, seperti kiai maupun pendeta.

Melainkan muncul variabel-variabel baru yang memengaruhi

perilaku memilih, seperti faktor isu-isu lokal yang muncul maupun

persepsi terhadap rekam jejak kandidat. Hal itu artinya, variabel

agama menjadi mulai dikesampingkan.

Apa yang disimpulkan dalam analisis WI justru

memperlihatkan bahwa perilaku memilih  dalam Pemilukada

cenderung bersifat kontekstual dan bervariasi. Dalam hal ini, setiap

wilayah kontestasi memiliki karakter memilih yang bisa tergambar

dari dinamika perilaku memilihnya. Dalam ruang politik yang

semakin bebas, maka perilaku memilih tidak hanya dideterminasi

oleh ikatan-ikatan sosiologis (ikatan komunal ataupun patron-

klien), melainkan ditentukan oleh  banyak faktor lain, seperti ikatan

identifikasi kepartaian, persepsi pemilih atas isu atau kandidat,

maupun faktor pragmatisme ekonomi.

Fakta itu berarti bahwa ikatan komunal-keagamaan bukan

satu-satunya variabel dalam menjelaskan perilaku memilih. Ketika

identifikasi kepartaian kuat maka pilihan pemilih akan mengikuti

pilihan partainya. Begitu juga dengan munculnya faktor

pragmatisme; pilihan pemilih akan sangat ditentukan oleh pola

transaksional yang dilakukan oleh para kandidat.

Selain itu, dalam Pemilukada, beberapa tahun terakhir ini

muncul dua fenomena perilaku memilih yang semakin menguat:

golput dan pemilih berayun (swing voter). Dari data yang

dikeluarkan oleh Lingkaran Survei negara kita  (2008), menunjukkan

bahwa tingkat golput dalam Pemilukada mencapai angka rata-rata

27,9%. Angka itu lebih tinggi dari angka golput dalam Pemilu

Legislatif 2004 dan Pilpres 2004 putaran pertama maupun kedua.

Dalam Pemilukada di sejumlah wilayah, angka golput ini bahkan

--- 168

mencapai hampir separuh—seperti yang terjadi dalam Pilkada Kota

Surabaya, Kota Medan, Kota Banjarmasin, Kota Jayapura, Kota

Depok dan Provinsi Kepulauan Riau dan terakhir di Jawa Tengah.

Bahkan, tidak jarang, jumlah golput ini lebih tinggi dibandingkan

dengan perolehan suara pemenang Pemilukada.

Sedangkan kehadiran pemilih berayun (swing voter) dalam

Pemilukada juga semakin lama semakin tampak jelas. Berbeda

dengan pemilih loyal pada pilihan partainya, swing voter ini tidak

mempunyai kesetiaan yang ajeg terhadap suatu partai atau bahkan

pilihan yang diambil komunitasnya, sehingga, setiap saat, swing

voters akan bisa “mengayunkan” dukungannya ke partai atau

kandidat yang mereka suka. Dalam menentukan pilihannya, swing

voters sangat ditentukan oleh isu atau juga kandidat. Isu-isu yang

menjadi ketertarikan swing voters sangat jamak: mulai dari isu

pelayanan dasar, isu yang menyangkut rasa aman, ataupun isu-

isu yang sangat primordial. Selain isu, faktor kandidat juga menjadi

faktor yang menentukan pilihan swing voters. Dalam hal kandidat,

swing voters akan melihat tidak hanya soal tingkat popularitas

kandidat, melainkan tingkat kepercayaan pada kandidat.

Dalam Pemilu-Pemilu pascaOrba, besaran swing voter semakin

meningkat. Bahkan, banyak analisis yang menyatakan bahwa peta

akhir pertarungan akan sangat ditentukan oleh ke mana swing

voters mengalihkan dukungannya. Oleh karenanya, para kandidat

dalam Pemilukada melihat kehadiran swing voter sebagai segmen

pemilih yang perlu digarap, melalui strategi membangun agenda

isu maupun politik pencitraan.

Titik Simpul: Agama dalam Pemilukada

Apa yang terjadi dalam Pemilukada menunjukkan kepada kita

Pemilukada menjadi medan baru bagi elite politik lokal untuk

berkontestasi ataupun membangun koalisi antaraktor. Dalam

medan baru ini , elite politik  lokal mengikuti dua logika

utama: logika representasi dan logika elektoralis. Dalam logika

representasi, para elite politik berusaha  mengidentifikasikan dirinya

dengan agama dan menunjukkan bahwa ia sekaligus berkehendak

menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi aspirasi kelompok

keagamaan. Pada saat yang bersamaan juga mulai muncul logika

representasi yang lebih menekankan pada persoalan pemenuhan

hak-hak dasar warga. Hal ini ditunjukkan dengan kuatnya wacana

--- 169

populisme dalam proses Pemilukada, seperti pelayanan kesehatan

dan pendidikan gratis.

Sedangkan dalam logika elektoralis, para elite politik

dideterminasi perilakunya oleh kehendak untuk menang dan meraih

dukungan dalam Pemilukada. Hal inilah yang menyebabkan

munculnya strategi politik yang pragmatis—lewat usaha 

mengkombinasi pasangan dari latar keagamaan yang berbeda,

koalisi “pelangi” lintas partai maupun strategi politik yang khusus

masuk dalam segmen pasar pemilih. Dalam konteks semacam itu,

bisa dimengerti bahwa kecenderungan penggunaan wacana, simbol

dan sentimen keagamaan dalam Pemilukada sebagai bagian strategi

pragmatis-elektoralis dari para elite politik yang tengah

berkontestasi.

Namun demikian, strategi elite untuk meraih dukungan politik

dengan memakai  sentimen agama memiliki dampak yang

bervariasi. Di beberapa daerah, strategi itu efektif untuk menarik

perhatian pemilih. Sebaliknya, di wilayah kontestasi yang berbeda,

strategi yang mengangkat wacana dan sentimen agama  justru

tidak mampu menjaring dukungan dari pemilih.

Dengan demikian, Pemilukada bukan hanya ruang manuver

para elite, melainkan memungkinkan memberi ruang yang lebih

besar bagi pemilih untuk menegosiasikan pilihannya pada kandidat.

Sampai di sini muncul model politik pertukaran antara kandidat

dengan pemilih. Di beberapa daerah, pertukaran ini membuat

hadirnya bentuk-bentuk kontrak politik antara segmentasi pemilih

dengan kandidat. Dalam bentuk lain, pertukaran itu juga terjadi

dalam bentuk pragmatis-transaksional.

Agama, Demokrasi dan --- 

Kalau kita kembali ke pertanyaan awal, maka pertanyaan yang

muncul adalah mengenai implikasi dari representasi agama dalam

ruang demokrasi? Apakah agama memperkuat demokrasi atau

sebaliknya? Dan dengan cara apa agama memperkuat atau

memperlemah demokrasi?

Dalam perspektif komparatif, apa yang terjadi di negara kita 

bukan sesuatu yang unik. sebab  di berbagai negara yang

menerapkan demokrasi-pluralis-multipartai, representasi politik

dengan mengangkat sentimen agama juga menjadi sebuah

fenomena yang jamak. Kehadiran partai yang mempunyai basis

ideologis agama ataupun memakai  wacana dan sentimen

keagamaan dalam kampanye juga menjadi ciri kontestasi di Pemilu

beberapa negara demokrasi-pluralis yang menganut sistem

multipartai.

Dengan demikian, seperti halnya terjadi di negara-negara

demokrasi yang majemuk, maka pilihan terhadap demokrasi-

pluralis tidak bisa tidak membuka ruang lebar terhadap berbagai

representasi kepentingan dalam warga  yang beragam, baik

dalam kategori agama, etnik maupun kategori lain. Itu artinya

prinsip dasar yang perlu diakui dan dihormati dalam sistem

demokrasi dalam warga  majemuk adalah kebebasan sipil.

Bahwa setiap segmen sosial dalam warga , termasuk

komunitas agama seharusnya mendapat ruang politik untuk

mengartikulasi dan mengagregasikan kepentingan, termasuk

melalui organisasi politik berbentuk partai politik.

Namun, ruang politik terbuka bagi keberagaman itu

seharusnya diikuti dengan usaha  membangun budaya kewargaan

dalam demokrasi. Budaya kewargaan adalah, pertama, budaya

politik yang meletakkan setiap pemilih sebagai warga negara yang

sadar dengan hak-haknya. Keinsafan sebagai warga inilah yang

menjadi pijakan awal dalam membangun civic engagement,

keterlibatan warga dalam ruang demokrasi. Dengan cara itu, proses

elektoral tidak dimaknai sebagai sekadar memberikan suara pada

para kandidat, melainkan sebagai bagian dalam aktualisasi prinsip-

prinsip dasar kewarganegaraan (citizenship).

Kedua, dalam konteks membangun budaya kewargaan itu,

juga perlu ditekankan bahwa representasi politik yang muncul dari

semesta kepentingan dalam warga  seharusnya berupa

representasi substansif bukan semata-mata bersifat simbolik-

artifisial, apalagi dibungkus dengan politik pencitraan. Hal ini

penting dikedepankan untuk mencegah agama dipakai hanya

sebagai instrumen untuk menggalang dukungan dan

memenangkan kompetisi. Agama harus ditempatkan sebagai

inspirasi dalam membangun kehidupan bersama yang lebih baik.

Ketiga, di tengah keragaman kepentingan itu seharusnya ada

kesepakatan dasar yang dibangun oleh setiap komunitas tentang

nilai-nilai bersama (common good). Konsensus itu bisa dalam

bentuk nilai-nilai bersama yang disepakati atau selanjutnya

diturunkan ke dalam  mekanisme-prosedur sebagai aturan main

bersama. Sampai di sini perlu dirumuskan mengenai apa yang

disebut dengan ruang publik. Ruang publik bisa menjadi lapangan

bersama bagi semua kepentingan dalam warga ; dan sudah

dipastikan ruang publik itu juga perlu dijaga tingkat kepublikannya.

sebab  bisa saja ruang publik justru bisa secara cepat berubah

menjadi ruang komunal ataupun ruang personal. Proses

komunalisasi ruang publik ini mulai terjadi ketika segmen

warga  yang berbasis etnik atau agama, mulai mengklaim

menjadi pemilik dan melakukan kontrol atas suatu wilayah

tertentu, dan selanjutnya memberikan karakter tertentu dalam

wilayah ini . Selain komunalisasi, ruang publik bisa dikontrol

sepenuhnya secara personal oleh elite dominan, dengan

membangun jaringan ekonomi-politik yang bersifat patronase.

Dengan membangun kesepakatan tentang ke-publik-an maka

setiap segmen warga  bisa menarik batas-batas yang tegas

antara: ruang perseorangan, komunal dan publik. Konsensus

politik inilah yang menjadi semacam kerangka bersama yang

digunakan oleh berbagai kelompok kepentingan dalam  warga 

ketika mengelola kehidupan bersama termasuk dalam membangun

aturan main untuk berbagai bentuk kontestasi.

Akhirnya, agama bisa memberikan dampak penguatan pada

demokrasi ketika agama mengambil bagian dalam proses

transformasi budaya politik elite maupun warga : dari budaya

politik elektoralis-pragmatis menjadi budaya pluralisme-

kewargaan. Dengan cara itu, agama tidak  hanya sekadar hadir di

bilik suara.