permasalahan mengenai keragaman (agama,
budaya, adat, bahasa, dan sebagainya) telah ada sejak awal sejarah
negara kita . Sesuai dengan dinamika sosial-politik dari satu periode
sejarah ke periode lain, masalah-masalah terkait keragaman itu
mengambil bentuk yang berbeda-beda. Dalam perkembangan
terakhir, gejala ini tak bisa dilepaskan dari terbukanya ruang
kebebasan sesudah Reformasi 1998.
Secara umum, hubungan antaragama di negara kita berjalan
baik di hampir seluruh wilayah negara kita , meskipun tidak bisa
dipungkiri masih ada beberapa masalah. Dalam beberapa tahun
terakhir, khususnya sesudah Reformasi 1998, ada sumber-sumber
ketegangan dalam hubungan antarkomunitas agama, yang tak
jarang berubah menjadi kekerasan. Kekerasan komunal ini
melibatkan komunitas-komunitas beda agama dalam skala besar,
seperti beberapa kasus yang terjadi di sekitar 1998. Namun saat
ini, dua jenis kasus utama yang sering muncul adalah persoalan
rumah ibadah dan wacana penyesatan, baik terhadap kelompok
dalam suatu agama ataupun kelompok-kelompok keagamaan baru.
Ketegangan-ketegangan seperti itu dalam banyak kasus mengarah
pada penggunaan kekerasan oleh kelompok-kelompok warga
tertentu.
Perlu ditegaskan, ketegangan ini bukan sekadar
ketegangan antarkelompok agama tertentu, namun negara
memiliki andil yang cukup besar. Salah satu andil pemerintah
adalah dalam penegakan hukum yang tak tegas atau terlambat;
selain itu, beberapa kebijakan publik juga tak selalu membantu.
Sebagai contoh yang cukup mencolok adalah UU Pencegahan dan
Penodaan Agama yang lahir pada tahun 1965, tetapi terus dipakai
hingga kini ketika masa sudah berubah, yang diperkuat dengan
putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010. Pemerintah tentu tak
bisa dikatakan tak berbuat apa-apa. Ada usaha revisi peraturan,
meskipun tak selalu kondusif untuk hubungan antaragama. Dalam
hal rumah ibadah, meskipun belum lama ini (2006) ada revisi
peraturan, kasus-kasus baru masih sering muncul. Pembentukan
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang dimandatkan
oleh peraturan ini dan diharapkan menjadi instrumen penting
jaminan beribadah, belum sepenuhnya efektif, kecuali dalam
beberapa kasus; bahkan dalam beberapa kasus lain, justru membuat
masalah baru.
Secara umum, terlepas dari reformasi hukum, kebijakan
negara terhadap umat beragama masih dilandasi oleh paradigma
lama. Kemajuan yang bisa disebut adalah dimasukkannya pasal-
pasal HAM dalam UUD hasil amandemen, yang mempertegas
jaminan kebebasan beragama. Namun, masih ada pembedaan
terhadap “agama non-resmi”, yaitu di luar enam agama yang,
dalam manifestasi terakhir, muncul dalam Sensus 2010. UU No.
23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memperluas
pengakuan negara, tapi belum sepenuhnya menghapus unsur
diskriminatif. Kesulitan pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
untuk pemeluk “agama non-resmi” (dan dalam kasus terakhir,
pengungsi Ahmadiyah di Mataram) menjadi muara tak
terpenuhinya hak-hak sipil warga negara.
Dalam beberapa perumusan kebijakan publik lain, yang tak
selalu menyangkut isu-isu agama, ada tarik-menarik kelompok-
kelompok agama dengan negara. Misalnya, pada 2009 perumusan
UU Kesehatan sempat mengundang kontroversi yang melibatkan
para agamawan, khususnya mengenai hukum aborsi. Pada tahun
yang sama, ada pula RUU Jaminan Produk Halal yang melibatkan
perbedaan posisi negara (Kementerian Agama dan Kementerian
Kesehatan) dan kelompok Muslim (khususnya MUI), maupun
kalangan industri dan sebagian kelompok Kristen. Contoh-contoh
sebelumnya, seperti UU Pornografi dan UU Sistem Pendidikan
Nasional sempat juga menjadi sumber perselisihan kelompok-
kelompok antar maupun intraagama dan dengan pemerintah.
Perumusan peraturan daerah belakangan ini, bersamaan
dengan desentralisasi, telah menjadi ajang lain yang melibatkan
norma agama. sebab desentralisasi, bentuk keragaman ini
menjadi lebih terartikulasikan, misalnya dalam perumusan perda-
perda diskriminatif. Sebagaimana dibahas di Bab 6 buku ini,
khususnya dalam pemilihan kepala daerah, agama juga tampil
dalam beragam wajahnya, dalam koalisi-koalisi politik, penggunaan
simbol-simbol agama, ataupun pelibatan ormas keagamaan untuk
mendukung kandidat.1
Perkembangan ini, maupun perkembangan-perkembangan
lain di atas, tak bisa dipahami tanpa memahami konteks terdekat
perubahan negara kita dalam satu dasawarsa terakhir ini, maupun
konteks yang lebih jauh: usaha mengatasi keragaman yang telah
ada sejak masa awal sejarah negara kita .
Secara umum, sejak akhir tahun 1980-an, isyarat menguatnya
peran agama dalam peristiwa sehari-hari di ruang publik maupun
dalam politik internasional merupakan fenomena umum yang
terjadi di seluruh dunia dan melibatkan komunitas banyak agama.
Kesadaran warga pascaperistiwa terorisme atas nama agama
pada 9 September 2001 semakin memperkuat perasaan urgensi isu
ini. Keragaman dan persoalan telah menjadi isu penting di hampir
semua negara, baik negara maju maupun berkembang, bahkan
termasuk di negara-negara yang untuk waktu lama agama berhasil
“dijinakkan” dengan mendorongnya ke ruang privat semata.
Konteks lokal dan global itulah yang mewarnai persoalan
keragaman kita saat ini, khususnya keragaman agama.
Agama di Ruang Publik: Dari Fundamentalisme
ke Pluralisme
Bagaimana menyebut fenomena di atas? Istilah yang
digunakan para pengamat sangat beragam. Ada yang menyebut
sebagai mengerasnya fundamentalisme atau konservatisme,
radikalisasi umat beragama, mengentalnya identitas agama, atau
menguatnya politik identitas. Bagaimana fenomena ini disebut,
akan memengaruhi tanggapan atasnya dirumuskan.
Pada dasawarsa 1970 dan 1980-an (di sekitar meletusnya
Revolusi Islam Iran), fenomena kebangkitan agama-agama di
ruang publik disebut banyak sarjana sebagai fundamentalisme—
mengikuti berkembangnya aliran ini di AS sejak awal abad ke-
20—yang salah satu ciri awalnya adalah penafsiran literal atas
kitab suci. Dalam pemahaman yang melampaui penggunaan kata
itu, menurut sejarah awalnya, dalam konteks Protestan AS,
fundamentalisme adalah penegasan identitas keagamaan secara
total, melintasi sektor-sektor kehidupan lain, tak mau terkungkung
--- 15
dalam kotaknya sendiri.2 Hal ini adalah anomali dalam sekularisme
sebagai paradigma sosiologis mengenai agama yang dominan
hingga tahun 90-an. Sekularisme bukanlah penghilangan tetapi
marjinalisasi agama dari ruang publik, sehingga ia tak memainkan
peran efektif di ruang publik. Namun, ada pula kenyataan sosiologis
yang sulit diingkari bahwa agama tak pernah berhasil diprivatkan,
tetapi “memaksa” memainkan peran di ruang publik.
Perdebatan panjang mengenai sekularisme tak bisa dibahas
di sini.3 Yang menarik dilihat adalah bahwa fenomena kebangkitan
agama menjadi isyarat adanya perubahan paradigma. Pluralisme
adalah bahasa baru yang mengakui fakta agama di ruang publik,
dan tak hanya satu, tetapi banyak agama. Dalam paradigma
pluralisme, ruang publik yang terdesekularisasi merupakan titik
berangkat kajiannya. Pertanyan utamanya adalah sejauh mana
dan bagaimana ungkapan religiusitas muncul di ruang publik, dan
apa konsekuensinya.
Kita tahu, di negara kita , hal ini adalah pertanyaan lama,
namun tidak usang. Apa yang disebut “desekularisasi” bukanlah
hal baru, karena sesungguhnya tak pernah terjadi “sekularisasi
yang lengkap” sejak awal sejarah negara kita .4 Sejak awal
kelahirannya, negara kita adalah negara yang beragam. Sebuah
negara kepulauan yang wilayahnya berbeda secara geografis,
penduduknya memakai bahasa yang berbeda-beda, hidup
dalam tradisi dan kepercayaan yang berbeda, adalah realitas lama
yang telah ada sejak awal sejarahnya. Proyek nasionalisme yang
menyertai pembentukan negara-bangsa, sejak setidaknya awal abad
ke-20, harus diakui telah berjasa menyatukan komunitas dengan
keragaman luar biasa, melintasi pulau, etnisitas, bahasa, agama
dan status sosial. Agenda utama negara-bangsa baru ini adalah
penyatuan keragaman itu di bawah suatu identitas nasional.
Dibandingkan dengan beberapa negara lain, bahasa nasional, yang
sesungguhnya bukan bahasa mayoritas pada waktu itu, adalah
salah satu instrumen penting. Pemerintahan era Orde Lama dan
Orde Baru dapat dikatakan berhasil dalam proyek ini, sejauh
menjadikan keragaman bahasa, sukubangsa dan kepercayaan itu
tak efektif sebagai kekuatan pemecah bangsa.
Kritik utama yang kita tahu adalah bahwa penyatuan ini
lebih sebagai usaha homogenisasi yang dilakukan secara
otoritarian. Beragam sektor kehidupan, termasuk agama,
--- 16
diinkorporasi dan diatur. Pemerintahan saat itu, setidaknya untuk
sementara, berhasil menjinakkan keragaman, yang memang bisa
menjadi potensi konflik, bahkan menanamkan etos nasionalisme
kesatuan negara kita . Dalam perjalanan berikutnya, negara kita tetap
menjadi contoh penting sejarah negara-bangsa: bagaimana
perlawanan atas pemerintahan otoriter itu, reformasi dan lalu
demokratisasi, kemudian memunculkan tuntutan kebebasan
berekspresi dan distribusi kekuasan melalui desentralisasi (otonomi
daerah). Hal ini menghidupkan kembali keragaman yang seringkali
menolak menjadi jinak, dan bersamanya ketegangan-ketegangan
antarkomunitas dan komunitas dengan negara, yang beberapa
contoh sudah diberikan di atas.
Pemetaan Teoretis “Keragaman Agama”:
Identitas dalam Konteks Negara-Bangsa
Masalah keragaman agama yang kita alami kini memang
relatif baru, namun memiliki akar yang jauh. “Masalah keragaman
agama” bukanlah sekadar beragam agama di satu tempat dan satu
masa secara bersamaan. Bahwa agama-agama, yang masing-
masing memiliki doktrinnya sendiri dan sangat berbeda, telah ada
bersama-sama (dalam berbagai modusnya: ko-eksistensi, konflik,
dan sebagainya) selama ribuan tahun terakhir ini, tak bisa
disangkal. Keragaman dalam artian ini tak selalu menimbulkan
masalah, setidaknya bukan masalah yang kita hadapi kini. Namun,
keragaman agama di sini dipandang secara fenomenologis sebagai
keragaman kekuatan-kekuatan sosial-politik yang efektif dalam
warga , yang dinisbahkan kepada komunitas agama-agama
yang berbeda. Masalah muncul ketika ada persaingan kepentingan
atau klaim.
Ketika tampil di ruang publik, keragaman agama tak selalu
menjadi masalah, ketika, misalnya, satu agama mendominasi dan
agama-agama lain menjadi subordinat. Sejarah agama-agama
dunia (khususnya Kristen dan Islam) mengalami periode ini. Konflik
terjadi ketika siapa yang dominan dan siapa yang subordinat tidak
jelas, sengaja diperebutkan, atau ketika keseimbangan itu akan
diganggu. Namun itu adalah periode-periode antara, yang relatif
berlangsung singkat. Perang Salib adalah contoh konflik yang
muncul ketika ada perebutan kekuasan antarkekuasan imperium
--- 17
beridentitas agama. Sejarah kejayaan peradaban Andalusia adalah
contoh toleransi dalam skema itu. Harmoni atau toleransi terjadi
ketika satu agama mendominasi dan yang lain, karena lebih lemah,
menerima posisi subordinat dengan kompensasi perlindungan.
Dalam situasi ini, ketika setiap pihak menerima posisi ini ,
masalah mengenai “keragaman agama” adalah masalah apakah
penguasa mentoleransi pihak lain. Mungkin terlalu berani
mengklaim bahwa sebagian besar sejarah manusia, sampai periode
modern, adalah sejarah ketika agama-agama bersandingan dalam
skema ini dan sayangnya dianggap adil.
Ada banyak penyederhanaan di sini. Sejarah Muslim Andalusia
berbeda dengan sejarah imperium yang didominasi Gereja Katolik.
Sejarah kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara juga
berbeda. Juga, tulisan ini tak bermaksud menilai apakah itu keliru
atau tidak. Yang ingin ditunjukkan adalah bahwa masalah
keragaman agama yang kita hadapi mengambil bentuk berbeda,
dan muncul karena dipicu setidaknya dua hal: efektivitas identitas
agama di ruang publik dan ide mengenai kesetaraan yang tak
membedakan identitas agama dalam konteks negara-bangsa.
Inti konsep citizenship ‘kewarganegaraan’ adalah kesadaran
atas kesetaraan manusia sebagai warganegara dan, identitas sebagai
warganegara itu menjadi bingkai politik, untuk semua orang,
terlepas dari identitas lain apa pun yang dimilikinya, termasuk
identitas keagamaan. Identitas-identitas lain itu tak seharusnya
menjadi persyaratan untuk memperoleh hak-hak dasar manusia
(dan dengan demikian, minoritas agama menempati posisi yang
sama dengan mayoritas, yang satu tak menjadi subordinat dari
yang lain).5
Perkembangan ide negara-bangsa menjadi faktor kunci di sini.
Dalam sejarah modern, kesadaran bahwa ada identitas lain, yang
lebih besar dan melampaui identitas keagamaan, yang memainkan
peranan penting bersamaan dengan melemahnya kekuatan agama
dalam negara, di sekitar abad ke-17. Pakta Westphalia pada 1648
mengakhiri perang-perang agama (terutama dalam internal
Kristen) di Barat, dan melemahkan agama sebagai kekuatan politik
dan militer. Agama (Kristen, dalam hal ini) tentu tak hilang, justru
sebaliknya; namun kekuasaannya telah dibatasi, demi menghindari
perang-perang agama ini . Periode sejarah itu dianggap
berperan penting dalam tumbuhnya ide negara-bangsa. Melalui
--- 18
imperialisme, banyak wilayah lain di dunia dijajah oleh kekuatan
imperialis Barat, dan melaluinya ide negara-bangsa pun tersebar.
Di Eropa, pada sejarah awalnya, ide negara-bangsa (dan juga
imperialisme) berjalan bersamaan dengan pemberian keistimewaan
pada Kristen, karena wilayah ini relatif cukup homogen,
hingga secara bertahap peran agama semakin lama semakin
termarjinalkan. Di negara-negara jajahan, seperti negara kita , ide
ini menjadi alat pemersatu bangsa melampaui identitas-identitas
agama atau sukubangsa. Inilah penanda kelahiran konsep baru
dalam peradaban manusia, khususnya menyangkut relasi
kelompok-kelompok yang berbeda, yaitu konsep negara-bangsa.
Idealnya, dalam suatu negara-bangsa, semua identitas dari
kelompok yang berbeda-beda itu dilampaui; identitas terpenting
adalah identitas nasional.
Dalam perjalanannya, konsep negara-bangsa ikut menyalakan
api Perang Dunia yang melanda nyaris seluruh dunia. Akan tetapi,
kemudian lahir pencapaian-pencapaian kemanusiaan yang penting
sebagai manifestasi cita-cita universalitas kesetaraan manusia
dalam konsep negara-bangsa, mulai dari Deklarasi Hak-Hak Asasi
Manusia pada 1948, hingga banyak konvensi internasional seperti
ICCPR, ECOSOC, dan banyak konvensi antidiskriminasi lain.
Namun, pada era globalisasi saat ini, sebagian cita-cita
universalitas ini dipertanyakan kembali. Bisa jadi, globalisasi,
yang meruntuhkan tembok-tembok antarkomunitas, justru
menimbulkan kehampaan dalam ruang yang besar, tanpa batas-
batas jelas, dan menjadi pemicu penegasan batas-batas identitas
lama maupun baru. Faktor lain adalah janji globalisasi mengenai
keadilan yang terasa ambigu. Penyatuan kemanusiaan
dikhawatirkan menjadi homogenisasi yang menghilangkan
keragaman.
Politik identitas adalah nama baru untuk situasi ini, yang
ditandai dengan kebangkitan kelompok-kelompok identitas sebagai
tanggapan untuk represi yang memarjinalisasikan mereka di masa
lalu. Identitas berubah menjadi politik identitas ketika menjadi
basis perjuangan aspirasi kelompok.
Politik Identitas
Menyebut isu hubungan antarkomunitas agama sebagai isu
politik identitas membuka kaitan analisis dengan identitas-identitas
--- 19
lain. Pertama, hal ini penting untuk menghindari eksepsionalisme
religius yang akan menggiring kita pada fokus yang terpusat pada
isu keagamaan (atau bahkan teologis). Di samping itu, hal ini dapat
membantu memperbaiki pemahaman kita yang lebih luas mengenai
isu-isu lain yang menjadi potensi dan pemicu konflik antar-
komunitas (atau bahkan “peradaban”?) dan kemungkinan-kemung-
kinan lebih dari satu identitas bekerja bersamaan (misalnya dalam
konflik-konflik yang disebut etnoreligius, atau kombinasi
ketakadilan gender dengan etnisitas atau agama). Analisis politik
identitas juga bisa mengejutkan, ketika pengakuan hak suatu
sukubangsa pribumi ternyata memiliki struktur permasalahan
yang sama dengan tuntutan kesetaraan perlakuan atas keragaman
orientasi seksual, kesetaraan gender, maupun tuntutan pelaksanaan
hukum agama yang berbeda-beda di wilayah dengan mayoritas
keagamaan tertentu.
Dari kacamata kelompok-kelompok identitas, hal ini berkaitan
dengan aspirasi ganda yang biasa diajukan untuk menghubungkan
penindasan dan tuntutan penghargaan pada otentisitas budaya
mereka, yang hidup sejahtera di masa sebelum kolonialisme atau
imperialisme, atau suatu periode sejarah tertentu. Taiaiake Alfred
mengajukan alasan ini untuk kelompok indigenous-nya:
Indigenous governance systems embody distinctive political values,
radically different from those of the mainstream. Western notions of
domination (human and natural) are noticeably absent; in their place
we find harmony, autonomy, and respect. We have a responsibility to
recover, understand, and preserve these values, not only because
they represent a unique contribution to the history of ideas, but
because renewal of respect for traditional values is the only lasting
solution to the political, economic, and social problems that beset our
people.6
Bandingkan klaim ini dengan klaim kelompok-kelompok
indigenous lain di seluruh dunia, juga misalnya, dengan Hizbut
Tahrir negara kita , yang melihat segala persoalan masa kini dapat
diselesaikan dengan merujuk pada penerapan syariah oleh suatu
khilafah yang telah terbukti di masa lalu! Dalam tuntutan-tuntutan
semacam ini, terkadang ada klaim berlebihan mengenai integritas
dan kekompakan nilai-nilai ini hingga ke suatu gambaran
mengenai homogenitasnya, yang seakan-akan mengingkari adanya
multitafsir. Keragaman internal dalam keragaman berbagai sistem
--- 20
ini sesungguhnya bisa jadi tak kalah kaya dengan keragaman
antarkelompok, dan usaha menampilkan kekompakan yang padu
bisa berujung pada esensialisme yang bermasalah. Sebagaimana
dibahas selanjutnya, identitas, dan dengan demikian juga kelompok
identitas, sifatnya tak solid/ statis, tetapi cair dan dapat mengambil
berbagai bentuk.
Dari contoh di atas, segera kita melihat bahwa politik identitas
bisa bersifat positif bisa negatif untuk pluralisme. Ia positif, ketika
menjadi dorongan untuk mengakui adanya perbedaan, demi
otentisitas suatu kelompok warga . Lebih jauh, isunya tak
berhenti pada merayakan perbedaan, akan tetapi mengakomodasi
perbedaan itu, bahkan hingga ke tingkat pemberian keistimewaan
atau perlakuan berbeda; atau ketika menjadi pengingat adanya
ketidakadilan yang dilakukan pada suatu kelompok.
Ia menjadi negatif ketika perlakuan berbeda menjadi
diskriminasi untuk kelompok lain. Di samping itu, suatu politik
identitas juga akan salah arah jika ada klaim berlebihan atas
soliditas identitas kelompok yang diperjuangkan. Sebagaimana
dibahas di atas, identitas bersifat majemuk, tumpang-tindih dan
sedikit banyak cair, tak statis. Masalah lain yang kemungkinan
muncul berhubungan dengan isu representasi: siapakah yang
mewakili kelompok? Isu ini bisa menjadi krusial, mengingat bahwa
dalam satu kelompok identitas, ada kepentingan yang berbeda-
beda. Misalnya, siapakah yang mewakili kelompok Islam, ketika
suatu “aspirasi Islami” diperjuangkan? Yang membuat
permasalahan lebih sulit adalah ketika akomodasi dilakukan oleh
negara, dengan mengambil satu representasi yang belum tentu
representatif.
Tak semua gerakan keagamaan dapat disebut sebagai ungkapan
politik identitas. Namun, ada beberapa ciri politik identitas:
(persepsi) adanya penindasan di masa lalu, tuntutan untuk keadilan
melalui perlakuan berbeda untuk mengompensasikan penindasan
itu, dan penggunaan suatu identitas sebagai basis klaim ini —
terlihat dalam beberapa masalah keragaman agama yang kita alami
di negara kita kini—lepas dari apakah klaim-klaim itu bisa
dijustifikasi atau tidak. Gerakan separatisme, pemekaran kabupaten
atau provinsi, otonomi khusus, penciptaan daerah istimewa,
akomodasi nilai-nilai keagamaan pada tingkat daerah (dalam
“perda-perda syariah”) atau nasional (dalam UU terkait kehalalan
--- 21
produk, perbankan Islam, kesehatan, pornografi, dan sebagainya),
dan banyak contoh lain, menunjukkan bagaimana identitas
dimobilisasi untuk perjuangan kelompoksekaligus menjadi peluang
atau justru masalah.7
Agama sebagai Identitas
Analisis kebangkitan agama sebagai politik identitas mau tak
mau harus memperhatikan karakter identitas sendiri. Dapatkah
agama diperlakukan sebagai (salah satu) identitas? Selain dipandang
sebagai kumpulan doktrin normatif (teologis) atau kepercayaan,
agama disebut secara bervariasi oleh para peneliti sebagai budaya,
kelompok, doktrin komprehensif, identitas, dan sebagainya. Dengan
penyebutan-penyebutan itu tampak bahwa agama menjadi satu di
antara banyak faktor penyumbang keragaman; karena ada pula
identitas, budaya, kelompok, doktrin komprehensif yang nonagama
(misalnya bersumber pada etnisitas, ras, orientasi seksual,
kelompok gender, ideologi, filsafat hidup, dan sebagainya).
Paling tidak ada dua keberatan umum terhadap perspektif yang
melihat agama sebagai identitas. Pertama, anggapan bahwa
“agama tak boleh menjadi identitas”, karena dengan demikian ia
akan sekadar dijadikan dasar klaim atau tembok tebal yang
membedakan seorang/ kelompok beragama dari orang/ kelompok
agama lain. Kedua, anggapan bahwa agama “bukanlah sekadar
identitas”, tetapi ia merupakan pandangan hidup, kumpulan
kepercayaan atau doktrin yang mengajukan klaim kebenaran, yang
berbeda dari identitas-identitas lain seperti pekerjaan, jenis
kelamin, etnis, dan sebagainya; pendeknya, agama lebih penting
dari “sekadar identitas”.
Kedua keberatan normatif itu bisa dipahami. Untuk keberatan
pertama, yang bisa dikatakan adalah bahwa kita berharap agama
tak menjadi kekuatan pembeda, tetapi memang itulah yang terjadi
kini. Persis karena itulah konsep identitas dianggap bisa membantu
memahami peristiwa-peristiwa keragaman agama mutakhir,
termasuk di negara kita , ketika identitas agama menjadi dasar klaim
untuk pemenuhan suatu aspirasi tertentu atau tuntutan perlakukan
yang berbeda. Memandang agama sebagai identitas memberikan
penekanan bukan pada kandungan (teologis, ritual, dan sebagainya)
agama itu sendiri, tetapi fungsi sosial yang dijalankan. Hal ini
adalah persoalan pilihan perspektif yang akan digunakan sebagai
--- 22
alat analisis, bukan penilaian ontologis mengenai apa itu
sesungguhnya agama. Memandang agama sebagai identitas tidak
berarti mengingkari dimensi teologis agama atau dimensi-dimensi
lainnya, yang di atas telah diakui bahwa dimensi kandungan agama
itu jelas lebih penting bagi pemeluk agamanya sendiri.
Oleh karena alasan itulah, memahami isu keragaman agama
dalam bingkai konsep identitas akan membuka kemungkinan
eksplorasi isu ini secara agak berbeda. Sebagai isu identitas, fokus
utamanya adalah agency ‘agensi’ (yang mengidentifikasikan diri
atau diidentifikasi dengan suatu agama) dan praktiknya, bukan
pada ajaran agama itu sendiri. Identitas keagamaan yang berbeda-
beda pada setiap individu tak menimbulkan masalah; akan menjadi
masalah ketika dalam komunitas yang lebih luas, ada persentuhan,
gesekan, atau persaingan antaridentitas ini . Singkatnya, isu
keragaman agama adalah isu agama di ruang publik, bukan
sekadar fakta adanya beragam (komunitas) agama secara bersama-
sama di suatu tempat. Identitas keagamaan baru menjadi masalah
ketika ia berperan efektif di ruang publik, ketika ia dimobilisasi
dan dijadikan dasar klaim untuk politik identitas, lebih-lebih untuk
menafikan identitas lain—baik identitas kelompok lain, atau
identitas lain dalam diri seseorang.
Bagi Anthony Kwame Appiah, fakta adanya lebih dari satu
agama dalam jumlah (minoritas) yang signifikan hanya menjadi
satu faktor pembentuk keragaman agama; faktor lain adalah ketika
perilaku mereka dipengaruhi oleh identitas itu. Appiah
menunjukkan hal ini dengan mengatakan bahwa ketika identitas
itu tak efektif sebagai dasar tuntutan politik, misalnya, maka
masalah yang ada (kesenjangan ekonomi atau representasi politik
yang tak inklusif atau seimbang) tidak menjadi masalah
“keragaman agama”, tetapi disebut dengan nama lain. Hal ini juga
benar menyangkut penanda-penanda identitas lain, seperti ras atau
etnisitas.8
Selain itu, pemahaman baru identitas sebagai sesuatu yang
bersifat tidak kaku-statis, namun cair dan terus berubah,
membantu memahami realitas praktik keagamaan kontemporer
maupun ide normatif mengenai hubungan antarumat beragama.
Argumen ini berlanjut pada pemahaman mengenai fakta adanya
identitas majemuk (multiple identities) dalam diri seseorang yang
lebih sesuai dengan fakta keberagaman saat ini. Seseorang tak
--- 23
pernah hanya memiliki satu identitas saja, tetapi sah diidentifikasi
(atau mengidentifikasi dirinya) berdasarkan agamanya, bahasanya,
sukubangsanya, gendernya, juga pekerjaannya, Ada perdebatan
panjang mengenai identitas sebagai sesuatu yang diwarisi dan tak
berubah, atau merupakan pilihan/ kontruksi. Singkatnya, sebagian
identitas adalah terberi (given), sebagian lain merupakan hasil
bentukan diri sendiri, yang juga merupakan tanggapan atas
bagaimana orang lain memandang kita.
Identitas majemuk itu efektif dalam wilayah-wilayah tertentu;
satu identitas “dipakai” dalam situasi tertentu, identitas lain dalam
situasi lain, namun juga beragam identitas itu tak selalu bisa
dipilah-pilah. Yang biasanya terjadi adalah usaha negosiasi di
antara beragam identitas. Ketika suatu identitas mendominasi atau
menundukkan seluruh identitas lain dalam semua situasi, yang
terjadi adalah, apa yang disebut Bhikhu Parekh, sebagai patologi
identitas, yang dilihatnya kerap terjadi dalam kaitannya dengan
identitas agama.9 Bagi orang yang menganggap agama adalah
sumber utama pandangan hidup mereka, dasar keberadaan mereka,
dan mengatur seluruh kehidupan mereka, sulit melihat kekeliruan
ekspresi identitas orang beragama dalam kehidupan bernegara yang
plural.
Menarik garis tegas bahwa suatu identitas hanya bisa
diekspresikan dalam situasi atau ruang tertentu akan dengan
mudah terjebak menjadi pemisahan lama antara ruang privat dan
ruang publik yang sering dipertanyakan. Yang perlu dilakukan,
dan yang menjadi agenda utama diskursus identitas, adalah
negosiasi identitas-identitas yang kerap memiliki ketegangan.
Menyangkut agama, mengakui sifat majemuk identitas berarti
peringatan untuk tidak melihat identitas seseorang/ kelompok
semata didefinisikan oleh agamanya.10 Identitas agama pun
kenyataannya berinteraksi dengan identitas-identitas lain
(misalnya sukubangsa atau gender). Bersikeras bahwa semua yang
saya lakukan hanya dibentuk oleh agama, berarti mengklaim
keagamaan saya paling benar, atau meng-agama-kan semua sektor
kehidupan.11
Sampai di sini, kita bisa kembali menekankan sentralitas
identitas sebagai warga negara dalam konteks suatu negara-
bangsa. sebab kenyataan historis bahwa selama seratus tahun
terakhir ini konsep negara-bangsa menjadi konteks utama
--- 24
kehidupan manusia di hampir seluruh wilayah dunia, maka
identitas sebagai warga negara telah menjadi sentral. Identitas
ini bersifat politis, diwariskan oleh keputusan-keputusan politik
di masa lalu, namun kini mau tak mau bingkai politik ini
ikut menentukan kehidupan kita, dengan segala konsekuensinya.
Aspirasi keagamaan seseorang pun, misalnya seorang Muslim yang
mau melaksanakan ibadah haji, kini tak bisa terlepas dari identitas
kewarganegaraannya, karena bagaimana pun ia membutuhkan
administrasi negara (paspor dan visa) untuk melakukan ibadah
itu, yang berarti pengakuan gari-garis geopolitik sebagai kenyataan
hidup sehari-hari kita, bahkan di “ruang privat”.
Idealnya, identitas sebagai warga negara berarti bahwa semua
manusia di suatu negara-bangsa, apa pun identitas, memiliki hak
dan kewajiban yang setara sebagai warga negara. Dan persis di
sinilah isu kita: mempertemukan ide kesetaraan itu dengan
pengakuan perbedaan, yang merupakan jantung pluralisme.
Argumen ini akan menjadi topik utama Bab 2. Satu hal terakhir
yang perlu dibahas sebelum itu adalah mengenai pemaknaan istilah
“pluralisme”, yang terlanjur populer dengan pemaknaan beragam.
Semantik “Pluralisme”: ---
Di awal bab ini telah dibahas beberapa persoalan utama
keragaman di negara kita masa kini, dan asal-usul masalah
keragaman ini dalam konteks negara-bangsa sebagai lokus
masalah; yang kemudian membawa kita pada analisis identitas
dan politik identitas. Hal ini menjadi dasar merumuskan
tanggapan atas masalah keragaman ini , yang dibangun
secara teoretis dari ketiga konsep itu. “Pluralisme” adalah istilah
umum untuk tanggapan yang ingin diajukan di sini.
Dalam wacana kontemporer di negara kita , “pluralisme” telah
menjadi istilah populer dalam menghadapi keragaman. Yang
menarik, karena istilah ini memiliki banyak makna, penolakan
terhadapnya menguat sejak fatwa MUI pada 2005 mengharamkan
pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Seharusnya hal ini tak
serta merta dijadikan indikator menurunnya pluralisme, dalam
artian etos yang mengakui keragaman dan menghadapinya secara
beradab dalam konteks suatu negara bangsa, namun lebih
mencerminkan kontestasi konseptual atas istilah “pluralisme” dan
usaha mendominasi pemaknaannya. Namun, karena fatwa ini
--- 25
khusus diletakkan dalam makna teologis,12 hal ini kemudian
dipandang kurang jernih, baik oleh yang pro ataupun kontra
“pluralisme”. sebab itu, penting mencermati debat tentang hal
ini, yang sebagiannya terbatas sebagai isu semantic dan sebagian
lain terkait persepsi mengenai bagaimana memahami agama
sebagai kekuatan sosial di ruang publik. Hal ini perlu ditekankan,
karena di negara kita dalam beberapa tahun terakhir ini, wacana
mengenai pluralisme terlalu menekankan pada isu teologis
menyangkut kepercayaan agama.13
Dalam fatwanya, MUI mendefinisikan pluralisme agama
sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif;
oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa
hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama
akan masuk dan hidup berdampingan di surga.” Penjelasan atas
fatwa itu menegaskan bahwa yang ditolak adalah pandangan yang
menganggap semua agama sama. Dengan kata lain, sesungguhnya
hal ini adalah pandangan tentang relativisme agama; ditolak
karena dianggap berpotensi mendangkalkan akidah. Meskipun
demikian, di ujung penjelasannya, disebut bahwa “fatwa ini justru
menegaskan bahwa masing-masing agama dapat mengklaim
kebenaran agamanya sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling
menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan
hubungan antarpara pemeluknya.”
Dengan kata lain, satu hal yang jelas ditolak adalah salah
satu pemaknaan pluralisme sebagai pandangan teologis. Respons
terhadap fatwa ini cukup marak dalam beberapa tahun ini. Salah
satu yang dipersoalkan adalah pendefinisian itu. Tulisan ini
memakai kata “pluralisme” dalam pemaknaan yang berbeda
dari fatwa MUI, ataupun sebagian pemaknaan lain yang
menentangnya—yang memahami sebagai paham tentang ajaran
agama atau posisi teologis. Tak ada kritik yang ingin diajukan
untuk fatwa MUI itu, karena tak relevan dengan pluralisme yang
didiskusikan di sini, kecuali bahwa ia menganggap hanya ada satu
pemaknaan tunggal atas pluralisme dan, sayangnya, belakangan
kerap dipakai sebagai alat untuk stigmatisasi.
Pemahaman teologis, dalam artian keyakinan keagamaan
yang mengandung klaim kebenaran seperti dibahas di atas, pada
--- 26
dasarnya bersifat individual, diyakini oleh individu-individu, dan
karena itulah muncul tipologi populer eksklusif, inklusif, dan
pluralis yang mengacu pada sikap individual (baik dalam hal klaim
kebenaran maupun isu keselamatan di Hari Akhir). Pemahaman
pluralisme seperti ini juga yang kemudian menghadirkan pilihan
“pluralisme reduktif”, misalnya semacam yang diajukan John Hick,
yang mereduksi perbedaan dengan mencoba menemukan
konvergensi tujuan atau konsep dalam agama-agama; atau filsafat
perennial Seyyed Hossein Nasr, yang meneorikan kesamaan dasar
atau akar yang sama dari agama-agama yang berbeda. Benar,
ketika MUI mengeluarkan fatwa antipluralisme yang
menghebohkan pada 2005, pandangan filosofis pluralisme agama
disajikan secara terlalu sederhana dan tidak akurat sebagai
pandangan bahwa “semua agama sama”. Sesungguhnya pandangan
Hick dan Nasr tidak bisa dikatakan sebagai menganut pandangan
“semua agama sama”, tetapi agama-agama berbeda yang memiliki
konvergensi tujuan atau sumber yang sama. Namun, sulit diingkari
bahwa pluralisme teologis memang cenderung reduktif,
menekankan pada pencarian kesamaan dan cenderung meremehkan
perbedaan.14
Lebih jauh, jika pluralisme sering diajukan sebagai cara
pemecahan konflik antarkelompok agama, agak sulit melihat
relevansi langsung pandangan teologis seseorang dengan persoalan
sosial-politik yang multisebab. Setidaknya yang bisa dikatakan
adalah bahwa ada jurang yang cukup besar antara suatu keyakinan
teologis dengan konflik-konflik (atas nama) agama yang terjadi
belakangan ini. Bahkan, bisa jadi pandangan ini didasarkan
pada asumsi yang keliru mengenai perilaku sosial: bahwa suatu
kepercayaan teologis otomatis diterjemahkan secara sempurna pada
perilaku sosial. Kenyataannya, suatu pilihan teologi yang eksklusif
tak serta merta berarti konflik sosial.
Konsekuensi pertama yang sudah diisyaratkan di atas adalah
penegasan bahwa masalah-masalah terkait keragaman agama
seperti dideskripsikan di atas bukanlah persoalan teologis. Ketika
keragaman teologis telah ada selama ribuan tahun, dan dapat
menjadi kekuatan efektif untuk memecah warga dan menjadi
sumber konflik; realitas kita di negara kita saat ini, menunjukkan
bahwa persoalan keragaman lebih dari itu, dan memiliki akarnya
dalam tatakelola keragaman warga .
--- 27
Jika secara generik pluralisme dipahami sebagai bukan saja
deskripsi adanya banyak agama tetapi juga merupakan tanggapan
normatif atas masalah-masalah yang muncul dengan adanya
keragaman itu, maka sesungguhnya pluralisme teologis hanyalah
satu arus dalam wacana pluralisme; sebagai tanggapan atas
masalah yang dimunculkan keragaman agama, ia tidaklah
mencukupi, atau terkadang dapat juga mengalihkan perhatian kita
dari isu pokoknya. sebab itu, perlu dikembangkan tanggapan lain
yang lebih memadai.
Terkait erat di sini adalah perlunya melihat agama sebagai
tak serta merta berarti (kandungan) ajaran agama, atau sebagai
teologi dalam artian di atas. Meskipun fokus yang dipilih di sini
adalah keragaman agama, namun agama juga memiliki dimensi
yang luas—agama bisa berarti kepercayaan atau ajaran teologis,
kitab suci, ritual atau praktik-praktik lainnya, otoritas keagamaan,
juga institusi.15 Dalam ilmu sosial, dimensi-dimensi itu dapat
dibahas tidak untuk melakukan penilaian besar/ salah ajaran
agama, namun sejauh ia terwujud dalam realitas sosial dan efektif
sebagai suatu kekuatan sosial.
Pendekatan yang menghindari persoalan (klaim kebenaran)
teologis ini, dan lebih melihat agama dalam dimensi sosial-
politiknya, sama sekali tak berarti memarjinalkan teologi. Bagi
kaum beragama, dimensi teologis, spiritual, atau praktik suatu
agama yang dianutnya jauh lebih penting ketimbang melihat
agama sebagai fenomena sosial-historis; dan sesungguhnya
kedalaman agama ada dalam dimensi-dimensi itu. Hal ini sama
sekali tak diingkari. Namun untuk kepentingan problem yang
diajukan di sini, pendekatan yang berbeda atau penekanan pada
dimensi-dimensi lain agama lebih relevan.
Selain itu, kalaupun suatu teologi eksklusif dianggap sebagian
dari sumber masalah, tugas mengubahnya akan menjadi dinamika
internal komunitas ini . Dalam tulisan ini, fokus perbincangan
adalah persoalan hubungan antarkomunitas, khususnya dalam
konteks suatu kehidupan bernegara. Untuk mengambil contoh
kasus yang cukup hangat di negara kita saat ini, dalam kasus
Ahmadiyah, diskusi mengenai apakah keyakinan Ahmadiyah
“sesat” atau tidak tentu adalah diskusi internal Muslim yang
berkepentingan dengan keyakinan itu; namun nasib pemeluk
Ahmadiyah sebagai warga negara negara kita , adalah persoalan
--- 28
kebangsaan, yang menjadi perhatian semua warga negara
negara kita . sebab nya, ungkapan sebagian tokoh Muslim bahwa
non-Muslim tak perlu ikut berbicara soal Ahmadiyah bisa diterima
sejauh menyangkut akidah Ahmadiyah; namun ketika isunya
adalah hak sosial-politik pemeluk Ahmadiyah dan perlindungan
atas mereka dari serangan pihak lain (siapapun itu), hal itu adalah
isu yang harus diperhatikan semua warga negara negara kita . Dalam
pembahasan di bawah, dimensi kedua itu nanti akan disebut sebagai
dimensi sivik. Meskipun teologi ingin dipisahkan dari pembahasan
di sini, di akhir Bab 2 akan dibahas mengenai posisi teologi dalam
diskusi mengenai pluralisme kewargaan, karena bagaimana pun,
teologi tak bisa sepenuhnya diabaikan.
Dalam literatur ilmu sosial, pluralisme, ketika digunakan
secara spesifik untuk merujuk pada pluralisme agama sekalipun,
digunakan secara jauh lebih luas, terutama sebagai isu sosial, lebih
khusus lagi isu sosial-politik, yaitu mengenai tata kelola
warga yang beragam. Persoalan-persoalan yang kita ajukan
di atas, yang diantar oleh ilustrasi latar belakang yang cukup luas
itu, terutama adalah pertanyaan politik.
Pluralisme atau Multikulturalisme?
Istilah pluralisme digunakan secara beragam, dan karenanya
sedikit banyak perlu dijernihkan. Ada beberapa istilah lain yang
digunakan untuk merujuk pada tata kelola warga yang
beragam, misalnya adalah multikulturalisme, komunitarianisme,
pluralisme kultural, dan sebagainya. Terlepas dari sejarah masing-
masing penggunaannya, istilah untuk menggambarkan tanggapan
atas isu keragaman, pada saat ini sulit—dan tidak perlu—untuk
mengklaim adanya satu definisi yang benar, setidaknya untuk
kepentingan tulisan ini. Kata “pluralisme” sendiri, dalam wacana
non-teologisnya pun juga memiliki beberapa pengertian. Ada yang
memakai nya secara cukup netral (misalnya John Bowen
ketika menyebut “pluralisme normatif ”); ada yang
memaksudkannya sebagai suatu tanggapan khas yang tak mesti
terkait dengan agama (misalnya penggunaan istilah “pluralisme
gender”, untuk mengacu pada pandangan yang mengakui adanya
keragaman gender).
Sebagian antropolog, seperti Heddy Shri Ahimsa-Putra,16
memakai pemahaman pluralisme sebagai (fakta) kema-
--- 29
jemukan budaya, meskipun ia juga melihat bahwa adanya “isme”
di situ menjadikannya problematis jika istilah itu dimaksudkan
secara deskriptif. Pluralisme dalam pandangannya mencitrakan
mosaik yang masih mengandung segregasi budaya. Pluralisme
bersifat lebih pasif, sementara multikulturalisme, baginya, lebih
aktif, dalam artian bukan saja menerima adanya kemajemukan
tetapi juga mendorong saling mengetahui dan menghormati.
Antropolog lain, Parsudi Suparlan, memiliki pandangan yang mirip.
Ia mengontraskan “warga multikultural negara kita ” yang mau
dibangun sebagai hasil Reformasi dengan “tatanan kehidupan Orde
Baru yang bercorak ‘warga majemuk’ (plural society).” Istilah
“plural society” memang memiliki sejarah panjang, digunakan oleh
Furnival untuk menggambarkan warga kolonial yang
majemuk dan tersegregasi.17 Bagi Heddy maupun Parsudi, ada
perbedaan derajat atau kedalaman dari kedua istilah itu:
warga multikultural telah melangkah lebih jauh dari
plural(isme).
Hal ini bisa jadi hanya persoalan pendefinisian—
meskipun, sekali lagi, sejarah penggunaan kata ini tak sepenuhnya
bisa dinafikan. Dalam wacana disiplin ilmu yang lain, misalnya
studi agama atau ilmu politik, ada juga pemaknaan yang berbeda
untuk pluralisme. Diana Eck menggambarkan pluralisme yang
dipahaminya sebagai sesuatu yang aktif, bukan sekadar
penerimaan keragaman. Baginya sekadar toleransi tidaklah cukup,
namun pluralisme menuntut “engagement with diversity”—pada
titik ini, ia bahkan bisa dikatakan telah bergerak lebih jauh dari
multikulturalisme Heddy ataupun Parsudi.
Yang menarik, seorang tokoh pemikir multikulturalisme
kontemporer, Bhikhu Parekh, tampaknya memakai kedua
istilah ini secara tidak rigid, bahkan mungkin identik. Sebelum
bukunya yang berjudul Rethinking Multiculturalism (2000) terbit,
ia menuliskan ringkasan buku itu dalam sebuah artikel yang
memakai istilah “(cultural ) pluralism”. Parekh sendiri
menyebutkan beberapa jenis multikulturalisme (akomodatif,
isolasionis, universalis, dan sebagainya), yang oleh Heddy Ahimsa-
Putra disebut pluralisme.
Penjernihan semantik ini perlu, bukan untuk mengunggulkan
satu definisi di atas yang lain, namun untuk menekankan bahwa
pada akhirnya, ketimbang terlalu sibuk dalam persoalan semantik
--- 30
dan penghakiman dari suatu sudut pandang, yang penting
dipastikan adalah konsep apa yang ingin disampaikan. Dalam
tulisan ini, term untuk menyebut masalah keragaman dengan
karakter sebagaimana dikemukakan di atas adalah “pluralisme
kewargaan” (civic pluralism).
---
Penggunaan istilah kewargaan diajukan, alasan pertama,
sebagai pembeda dari wacana pluralisme teologis, sekaligus
menunjukkan bahwa pemecahan masalah terkait keragaman
agama kini menuntut dikembangkannya pendekatan yang lebih
langsung bergulat dengan masalah-masalah sosial-politik itu.
Wilayah nonteologis itu di sini diidentifikasi sebagai wilayah
kewargaan, yaitu arena ketika warga negara, sebagai warga
negara, baik secara sendiri-sendiri atau dalam suatu asosiasi,
bertindak (menyampaikan pendapat, melakukan sesuatu, men-
dukung, menentang, dan sebagainya). Bab 2 akan membahas ini
lebih jauh.
Sesungguhnya, problematika keragaman ini tak terbatas pada
negara kita . Dua contoh dalam konteks lebih luas, khususnya
Amerika Serikat di masa ini, adalah paparan Martin Marty dan
Diana Eck.18 Marty, salah seorang yang memimpin Funda-
mentalism Project di University of Chicago pada 1980—1990-an,
mengakui adanya wacana teologis tentang pluralisme, yang
memang kerap menimbulkan kekhawatiran suatu komunitas
agama, apalagi pluralisme teologis, sejauh memberikan pengakuan
akan agama-agama lain tak menempati posisi tertinggi dalam
hirarki nilai-nilai dalam agama—yang lebih penting bagi agama-
agama adalah kebenaran, keadilan, keselamatan pemeluknya,
bukan (hubungan dengan) agama lain. Namun, Marty memusatkan
perhatiannya bukan pada pluralisme teologis, dan dia melihat
bukan di sinilah masalah utama dalam ketegangan antarkomunitas
agama. Fokusnya adalah apa yang disebutnya “religiously informed
civic pluralism” (terjemahan paling dekat adalah: “pluralisme ke-
wargaan yang sadar agama”).
Gagasan mengenai pluralisme kewargaan memusatkan
perhatian pada bagaimana warga , yang terdiri dari kelompok-
kelompok identitas yang berbeda dapat hidup bersama, khususnya
dalam ikatan konteks suatu negara-bangsa yang mempersatukan
--- 31
kelompok-kelompok berbeda itu. Wilayah isu ini, sebagaimana
ditegaskan dengan kuat oleh Marty, tak lain dan tak bukan adalah
wilayah politik. Isunya bukan sikap teologis seseorang, tetapi apa
yang disebutnya sistem tata kelola pluralis (pluralist polity). Titik
berangkatnya adalah pluralisme struktural minimal bahwa
warga terdiri dari unsur-unsur yang bersaing satu dengan
lainnya, seperti agama, sukubangsa, dan pemerintahan, dan dari
sana kemudian bergerak untuk menemukan aturan main bersama.
Diana Eck membedakan wilayah kewargaan (civic) dengan teo-
logis secara cukup tegas, meskipun belum cukup mendalam, ketika
berbicara mengenai pluralisme agama baru di Amerika Serikat.
Eck, yang memimpin Pluralism Project di Harvard University dan
juga salah satu figur acuan penting yang kerap muncul dalam
wacana negara kita , dalam salah beberapa artikelnya (2008a, 2008b)
membedakan arena wacana pluralisme, antara pluralisme teologis
dan pluralisme kewargaan. Masing-masing memiliki bahasa yang
berbeda, namun salah satu kekeliruan yang umum adalah apa yang
disebutnya sebagai kebingungan atau pengacauan arena wacana.
Contoh yang diberikannya adalah seorang anggota parlemen
Minnesota, AS yang keberatan pada Dalai Lama yang akan berbicara
kepada para wakil rakyat di sana, dengan alasan “Buddhisme tidak
sejalan dengan prinsip-prinsip Kristen.” Atau, ketika beberapa
orang Amerika beragama Hindu ingin mengajukan sebuah gereja
Baptis Selatan ke meja hijau, karena gereja itu meminta jemaatnya
pada hari perayaan Diwali untuk mendoakan Hindu yang “tersesat
dalam kegelapan Hinduisme … yang menyembah tuhan-tuhan
yang bukan Tuhan.” Dalam kedua hal ini, kekacauan arena wacana
terjadi ketika keberatan teologis diterjemahkan menjadi penolakan
atas hak orang/ kelompok lain—sebuah fenomena yang kerap kita
lihat di sini, terutama dalam kasus yang telah dicontohkan di atas,
kasus Ahmadiyah. Seorang beragama berpotensi terlibat dalam
kedua arena wacana ini , karena setiap orang memiliki
beragam identitas sekaligus, misalnya dalam hal ini identitas
sebagai orang beragama sekaligus warga negara. Namun bagi Eck
penting membedakan dan bersikap jernih ketika memakai
bahasa dalam arena yang berbeda-beda, “Ketika mengemudi dan
akan pindah jalur, kita menyalakan lampu.”
Satu kritik yang bisa diajukan kepada Eck adalah bahwa
pemaparannya itu, meskipun penting untuk mengingatkan adanya
--- 32
perbedaan kedua wilayah itu, mungkin telah menarik garis yang
terlalu tegas antara wilayah teologis dan wilayah
kewarganegaraan, sehingga mudah terjebak dalam pengkotak-
kotakan identitas, padahal identitas, sebagaimana akan dibahas
di bawah, bersifat cukup cair. Ide Eck dekat dengan gagasan yang
mendorong agama ke wilayah privat, untuk menyelamatkan ruang
publik. Setidaknya dalam artian ini, pandangan seperti itu kerap
dipertanyakan akibat semakin jelasnya fakta bahwa agama mau
tak mau ada di ruang publik, sebagaimana dibahas di atas; dan
dengan demikian, jika mengikuti pandangan ini, kita kembali ke
titik nol lagi. Pembedaan ini harus ditarik dengan hati-hati, dan
dengan pandangan bahwa masalah yang ingin kita pecahkan
adalah justru ketegangan yang muncul dengan hadirnya
(keragaman) agama di ruang publik.
Peta Buku Ini
Secara umum buku ini memahami isu keragaman yang kita
alami di negara kita saat ini, khususnya sesudah Reformasi 1998,
sebagai persoalan menguatnya identitas keagamaan (di samping
identitas-identitas lain) dan klaim-klaim yang diajukan atas dasar
pengakuan dan pemberian ruang pada kelompok identitas itu. Hal
ini dapat menjadi tantangan dalam warga demokratis yang
kesetaraan warga negara, dari kelompok identitas apa pun, menjadi
prinsip utama. Konsepsi yang diajukan dalam buku ini adalah plu-
ralisme kewargaan. Bab-bab berikutnya dalam buku ini mengambil
fokus pada beberapa aspek penting dari permasalahan itu.
Bab 2 (Zainal Abidin Bagir dan AA GN Ari Dwipayana)
melanjutkan pembahasan di bab ini dengan memberikan kan-
dungan yang lebih substansial pada gagasan pluralisme kewargaan.
Secara umum, pluralisme kewargaan mencakup hubungan
antarkomunitas agama satu dengan lainnya, baik antar maupun
intraagama, dan komunitas agama dengan negara. “Pluralisme”
merujuk pada bentuk tanggapan atas masalah keragaman.
Sedangkan istilah “kewargaan” (civic) mengandung ide sentral
bahwa tanggapan yang diajukan berpusat pada suatu ide mengenai
“kewargaan”, yaitu posisi individu sebagai warga suatu negara,
yang setara satu sama lain. Selain itu, hal ini juga dekat dengan
ide “civil”, yang mengisyaratkan bahwa persoalan yang muncul
karena ada keragaman klaim normatif diselesaikan secara beradab,
--- 33
tanpa niat untuk mengurangi atau memarjinalkan keragaman. Di
sini ide pluralisme kewargaan bertemu dengan ide warga
sipil dalam teori demokrasi. Masalah utama yang diajukan di sini
adalah mengenai bagaimana menegosiasikan akomodasi perbedaan,
sembari mempertahankan prinsip kesetaraan warga negara.
Kesulitan menemukan prinsip universal untuk mengakomodasi
perbedaan memaksa menjadikan dialog sebagai salah satu cara
terpenting menemukan cara terbaik untuk kasus-kasus yang
beragam. Salah satu tugas penting pemerintah untuk ini adalah
penjagaan ruang publik agar selalu aman untuk deliberasi itu.
Bab 3 (Mustaghfiroh Rahayu) mengangkat dilema yang inheren
dalam usaha negara mengakomodasi perbedaan (dengan
memberikan perlakuan berbeda) di antara kelompok warga negara,
yang justru bisa terjebak pada pengingkaran kesetaraan, bahkan
terjatuh pada diskriminasi. Problematika akomodasi ini tampak
ketika menyangkut perempuan sebagai (sub-) kelompok dari suatu
kelompok identitas. Salah satu ilustrasi kasus di negara kita yang
dibahas di sini terutama terkait dengan hukum yang didasarkan
pada suatu pandangan keagamaan (Islam), khususnya mengenai
perempuan sebagai salah satu subjek yang diatur. Isu ini tentu
tak terbatas pada negara kita atau Islam, dan bab ini menyajikan
beberapa kasus untuk perbandingan. Salah satu inspirasi bab itu
adalah pertanyaan termasyhur dari seorang feminis Susan Okin,
“Is multiculturalism bad for women?”, yang konteksnya
menjangkau negara-negara yang menerapkan kebijakan
multikulturalisme. Problem ini, yang disebut sebagian penulis
sebagai “kerentanan multikultural” adalah salah satu tantangan
mendasar ketika berbicara mengenai akomodasi perbedaan,
utamanya melalui hukum, yang kemungkinannya dibuka oleh
pluralisme kewargaan atau multikulturalisme. Jalan mudah bagi
negara untuk akomodasi adalah dengan memilih kelompok (dan
pandangan kelompok itu) yang dianggap representatif, mewakili
semua anggota kelompok. Akan tetapi, jalan ini bukanlah jalan
akomodasi yang tepat ketika kelompok itu, misalnya, masih
mempertahanklan tradisi patriarkal yang merugikan subkelompok
perempuan dalam kelompok itu. Bagaimana kemudian melakukan
akomodasi sekaligus sensitif terhadap isu-isu gender? Salah satu
pemecahan masalah yang diajukan di bab ini adalah apa yang
disebut sebagai “akomodasi transformatif”, yang memberi peran
--- 34
cukup besar dalam suatu kelompok untuk menghidupkan debat
internal dalam dirinya sendiri, dan dengan demikian nilai-nilai
yang diakomodasi adalah nilai-nilai yang kurang lebih telah
menjadi konsensus kelompok itu. Isu serupa akan muncul apabila
yang dibahas adalah suatu kelompok identitas budaya atau adat,
misalnya.
Bab berikutnya (Bab 4, ditulis Farid Wajidi), mengambil fokus
pada pengembangan pluralisme kewargaan di kalangan kaum
muda, yang sering terlupakan dalam wacana pluralisme. Wacana
dominan adalah wacana yang terutama menyangkut elite suatu
kelompok agama, “memakai bahasa orang tua”, dan
mengajukan isu-isu yang berbeda dari isu-isu yang digumuli kaum
muda. Bab ini, yang mengambil kasus beberapa sekolah menengah
negeri, mengajukan pertanyaan tentang bagaimana ruang publik
yang disediakan untuk semua kelompok dapat didominasi oleh
kelompok-kelompok tertentu dan dengan demikian justru
mengingkari pluralitas partisipan di ruang itu. Salah satu
pertanyaan adalah bagaimana negara, yang bertugas melindungi
ruang publik, dapat memainkan perannya di sini. Bagaimana pula
organisasi warga sipil perlu memikir ulang cara-cara mereka
dalam mendekati kaum muda. Isu mengenai ruang publik yang
bebas dari intimidasi dan terbuka untuk semua kelompok adalah
salah satu isu sentral dalam pluralisme kewargaan, karena tanpa
itu unsur mempertahankan kesetaraan dalam pengakuan
perbedaan menjadi tak bermakna.
Bab 5 (Trisno S. Sutanto) melihat dimensi lain dari tata kelola
keragaman di negara kita , khususnya dari sisi hukum, melalui studi
atas beberapa dokumen yang dianggap mewakili pandangan negara
mengenai agama dan keragaman agama. Salah satu dokumen
terpenting yang dilihat di sini adalah naskah akademik dari suatu
draft RUU tentang kerukunan beragama yang berhenti di tengah
jalan pada tahun 2003. Meskipun keberadaan drafnya sendiri
sempat diingkari, naskah akademiknya sudah cukup
menggambarkan dengan baik politik negara mengenai keragaman
agama. Ide mengenai kerukunan beragama di sini masih dilandasi
politik kerukunan yang dikembangkan sebelum Reformasi dan
berlanjut hingga kini; yang cenderung menampilkan pengaturan
negara yang terlalu kuat dan diskriminatif dalam banyak aspek
kehidupan umat beragama. Fokus bab ini adalah tinjauan kritis
--- 35
atas paradigma pemerintah dalam mengelola keragaman di
negara kita . Diskusi ini menjadi relevan pada saat ini, karena pada
tahun 2011 ini, DPR seharusnya membahas sebuah RUU
Kerukunan Umat Beragama.
Bab terakhir (Bab 6, AA GN Ari Dwipayana) melihat sisi lain
keterlibatan agama dalam ruang publik. Sebagai konsekuensi
desentralisasi yang mengikuti Reformasi, dinamika politik lokal
kini memainkan peran penting, yang tak selalu sama dengan apa
yang terjadi pada aras nasional. Tulisan ini secara khusus melihat
wajah-wajah agama dalam pemilihan kepala daerah. Yang dilihat
bukan hanya apakah agama memengaruhi preferensi pemilih,
tetapi juga bagaimana agama difungsikan dalam proses
pemilukada, dalam bentuk koalisi antarpartai atau koalisi kandidat
dari latar belakang keagamaan tertentu, penggunaan simbol-simbol
agama sebagai alat kampanye, dan juga pemanfaatan ormas kea-
gamaan. Meskipun, berdasarkan beberapa penelitian, faktor agama
tak selalu memengaruhi preferensi pemilih, namun kenyataannya
ia memainkan peran efektif dalam politik lokal. Sayangnya, peran
ini sering dimainkan dalam bentuk politisasi agama. Tulisan ini
menganjurkan peran lain yang lebih konstruktif yang seharusnya
dimainkan agama dalam dinamika politik lokal, yaitu sebagai
kekuatan sosial untuk penguatan budaya kewargaan dan
pengawasan pemerintah, baik sebelum dan sesudah pemilukada.
Seluruh bab dalam buku ini telah didiskusikan berulang kali
oleh para penulisnya (dengan bantuan beberapa orang lain) secara
bersama-sama, dan mereka telah mencoba untuk mengkoherenkan
bab-bab di buku ini. Meskipun demikian, jelas ini adalah buku
yang ditulis beberapa orang berbeda, dan karenanya tak bisa
diasumsikan bahwa para penulisnya telah mencapai kesepakatan
dalam semua hal. Harapan kami adalah tulisan-tulisan ini sedikit
banyak dapat bermanfaat untuk melihat peran agama di ruang
publik secara konstruktif, dan cara-cara yang baik untuk mengelola
keragaman itu dalam konteks negara demokratis yang beradab.
Akhirnya, penting juga disampaikan bahwa sejak awal buku ini
juga memiliki aspirasi untuk membantu usaha pengembangan
semangat pluralisme dan penerjemahannya secara lebih kongkret
dalam berbagai sektor kehidupan di negara kita .
Para penulis buku ini memiliki keinginan untuk menampilkan
ide-ide yang orisinal dan segar, namun juga sadar bahwa arena
--- 36
wacana mengenai pluralisme di negara kita telah cukup marak dan
diramaikan dengan beragam pandangan. sebab nya kami tak
berpretensi terlalu banyak; yang ingin dilakukan adalah usaha awal
untuk mencoba mendekati permasalahan keragaman di negara kita
secara agak berbeda. Harapan utama bukanlah untuk
menyelesaikan masalah yang kompleks ini, namun setidaknya
dapat menjadi stimulasi untuk membicarakan masalah lama itu
dengan cara yang baru.
KERAGAMAN dalam warga , menyangkut
bahasa, etnisitas, agama, dan sebagainya, adalah fakta kehidupan
saat ini yang tak dapat diingkari. Kalaupun dalam suatu negara
ada keseragaman dalam satu hal, ia akan beragam dalam hal-hal
lain. Dalam pengertian ini, sulit atau bahkan mustahil menemukan
suatu negara yang homogen. Dalam warga demokratis yang
majemuk, persoalan utama adalah bagaimana mengelola
keragaman itu?
Pada Bab I, beberapa karakter permasalahan keragaman
agama saat ini telah digarisbawahi. Secara ringkas, ada dua hal
utama yang perlu ditanggapi. Pertama, adanya kebangkitan
identitas agama di ruang publik, atau usaha -usaha untuk
membawa aspirasi keagamaan ke ruang publik, yang sering
terungkap dalam politik identitas. Di satu sisi, pengakuan aspirasi
kelompok-kelompok itu penting untuk suatu warga
demokratis dan pluralis, demi penjagaan otentisitas kelompok-
kelompok warga yang nilai-nilainya tak selalu sama dengan
kelompok-kelompok lain. Di sisi lain, bahaya besarnya adalah jika
pengakuan perbedaan yang dikuti perlakuan berbeda itu menjadi
diskriminasi. Di sinilah pentingnya faktor kedua dalam konteks
suatu negara-bangsa yang demokratis sekaligus plural: prinsip
kewarganegaraan yang setara, yang menganggap semua orang dan
kelompok warga memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Dalam suatu warga pluralis, yang diharapkan serius
mengakui dan menjaga perbedaan, pertanyaannya adalah
bagaimana mengelola keragaman; bagaimana mengakui perbedaan,
dan pada saat yang sama mengusaha kan kesetaraan.
Bagian pertama tulisan ini meringkaskan tiga prinsip utama
dalam warga yang menghidupkan pluralisme kewargaan:
rekognisi, representasi dan redistribusi. Lokus pluralisme
kewargaan pada akhirnya adalah ruang publik, yang keragaman
--- 39
diakui dan diakomodasi; kesepakatan-kesepakatan dan tindakan-
tindakan untuk kebaikan bersama, seperti keadilan, kesejahteraan
dan kesetaraan diusaha kan. Bagian kedua membahas bagaimana,
dalam ungkapan Bhikhu Parekh, “membentuk ulang ruang publik
mengikuti garis-garis keragaman multikultural.” Bagian terakhir
bab ini membahas implikasi dari gagasan-gagasan itu, termasuk
menyangkut perlunya suatu “budaya atu identitas nasional”
sebagai dasar kesatuan untuk keragaman, dan tugas negara. Di
bagian akhir ini muncul kembali isu-isu yang diangkat di awal
tulisan ini, khususnya mengenai rekognisi dan representasi.
Keragaman di Ruang Publik dan Partisipasi
Perkembangan praktik demokrasi di beberapa negara
menunjukkan bahwa kehidupan bersama dalam warga
majemuk bisa berdiri jika ditopang oleh beberapa pilar. Pilar
pertama adalah adanya konstitusi. Konstitusi negara demokratis
dicirikan dengan adanya pembagian kekuasaan di antara institusi-
institusi pemerintahan, prinsip akuntabilitas yang mengontrol
perimbangan kekuasaan, dan penerimaan/ pengakuan hak-hak
warga negara (hak sipil, politik, sosial, ekonomi, kultural).
Sementara konstitusi dan hukum menjadi aturan-aturan
formal negara, pilar lain adalah suatu kultur kewargaan yang
dihidupi warga negara. Pilar ini perlu ditekankan secara khusus,
karena dalam banyak kasus, proses demokratisasi tidak dapat
berjalan berkelanjutan ketika tidak ditopang oleh kultur kewargaan.
Dalam situasi itu, demokratisasi hanya menghasilkan kelembagaan
baru, namun tidak diikuti perubahan perilaku yang demokratis,
bahkan dalam perjalanan selanjutnya dapat mendelegitimasi atau
menghilangkan kepercayan pada institusi demokrasi yang
dibangun.
Dari sisi ini, bisa dikatakan lebih jauh bahwa keragaman
dalam warga sesungguhnya merupakan syarat utama
demokrasi; karena keragaman identitas, kepentingan, dan otoritas
mempersulit suatu kelompok tunggal untuk memenangkan
monopoli kekuasaan. Keragaman itu hanya bermakna, dan dapat
menjadi kekuatan yang efektif jika ada budaya partisipasi yang
mendorong warga negara untuk terlibat dalam diskusi mengenai
hal-hal yang menjadi keprihatinan bersama.19 Namun, masih ada
syarat berikutnya agar demokrasi itu berjalan.
--- 40
Penting dilihat lebih jauh, kualitas ruang publik dalam
warga mejemuk itu, bisa diukur dengan dua hal. Pertama,
tingkat inklusivitasnya—seberapa banyak keragaman dapat
ditampung dalam ruang publik. Semakin eksklusif ruang publik,
maka semakin kecil peluang dari lebih banyak kelompok
warga untuk terlibat dalam proses kehidupan bersama, dan
sebaliknya. Kedua, bagaimana deliberasi dilakukan di ruang publik
dan apa produknya. Pertanyaan ini penting, karena tujuan akhir
terwujudnya warga majemuk yang demokratis hanya bisa
dicapai melalui kualitas keputusan-keputusan dan tindakan-
tindakan kolektif yang dilakukan oleh warga. Jika tidak, ia hanya
sekadar menjadi “kerumunan”. Idealnya, di ruang publik kumpulan
warga direkatkan satu sama lain oleh penghormatan pada keadilan
dan kerjasama mengejar kebaikan bersama. Kualitas ruang publik
dengan begitu dilihat juga dari seberapa besar ruang bersama
digunakan untuk mencapai tujuan, kepentingan ataupun kebaikan
bersama.
Catatan terakhir untuk hal ini adalah bahwa partisipasi warga
negara itu dilangsungkan dalam mekanisme yang beradab dan
nonkoersif, sehingga semua ragam identitas dan kepentingan dapat
tertampung dan deliberasi dilakukan dengan bebas dan aman.
“Masyarakat sipil dan demokratisasi membutuhkan bukan hanya
adanya keragaman, tapi juga komitmen untuk secara