Kamis, 22 Februari 2024

prularisme 1

 


permasalahan mengenai keragaman (agama,

budaya, adat, bahasa, dan sebagainya) telah ada sejak awal sejarah

negara kita . Sesuai dengan dinamika sosial-politik dari satu periode

sejarah ke periode lain, masalah-masalah terkait keragaman itu

mengambil bentuk yang berbeda-beda. Dalam perkembangan

terakhir, gejala ini tak bisa dilepaskan dari terbukanya ruang

kebebasan sesudah  Reformasi 1998.

Secara umum, hubungan antaragama di negara kita  berjalan

baik di hampir seluruh wilayah negara kita , meskipun tidak bisa

dipungkiri masih ada beberapa masalah. Dalam beberapa tahun

terakhir, khususnya sesudah  Reformasi 1998, ada sumber-sumber

ketegangan dalam hubungan antarkomunitas agama, yang tak

jarang berubah menjadi kekerasan. Kekerasan komunal ini

melibatkan komunitas-komunitas beda agama dalam skala besar,

seperti beberapa kasus yang terjadi di sekitar 1998. Namun saat

ini, dua jenis kasus utama yang sering muncul adalah persoalan

rumah ibadah dan wacana penyesatan, baik terhadap kelompok

dalam suatu agama ataupun kelompok-kelompok keagamaan baru.

Ketegangan-ketegangan seperti itu dalam banyak kasus mengarah

pada penggunaan kekerasan oleh kelompok-kelompok warga 

tertentu.

Perlu ditegaskan, ketegangan ini  bukan sekadar

ketegangan antarkelompok agama tertentu, namun negara

memiliki andil yang cukup besar. Salah satu andil pemerintah

adalah dalam penegakan hukum yang tak tegas atau terlambat;

selain itu, beberapa kebijakan publik juga tak selalu membantu.

Sebagai contoh yang cukup mencolok adalah UU Pencegahan dan

Penodaan Agama yang lahir pada tahun 1965, tetapi terus dipakai

hingga kini ketika masa sudah berubah, yang diperkuat dengan

putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010. Pemerintah tentu tak

bisa dikatakan tak berbuat apa-apa. Ada usaha  revisi peraturan,

meskipun tak selalu kondusif untuk hubungan antaragama. Dalam

hal rumah ibadah, meskipun belum lama ini (2006) ada revisi

peraturan, kasus-kasus baru masih sering muncul. Pembentukan

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang dimandatkan

oleh peraturan ini  dan diharapkan menjadi instrumen penting

jaminan beribadah, belum sepenuhnya efektif, kecuali dalam

beberapa kasus; bahkan dalam beberapa kasus lain, justru membuat

masalah baru.

Secara umum, terlepas dari reformasi hukum, kebijakan

negara terhadap umat beragama masih dilandasi oleh paradigma

lama. Kemajuan yang bisa disebut adalah dimasukkannya pasal-

pasal HAM dalam UUD hasil amandemen, yang mempertegas

jaminan kebebasan beragama. Namun, masih ada pembedaan

terhadap “agama non-resmi”, yaitu di luar enam agama yang,

dalam manifestasi terakhir, muncul dalam Sensus 2010. UU No.

23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memperluas

pengakuan negara, tapi belum sepenuhnya menghapus unsur

diskriminatif. Kesulitan pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP)

untuk pemeluk “agama non-resmi” (dan dalam kasus terakhir,

pengungsi Ahmadiyah di Mataram) menjadi muara tak

terpenuhinya hak-hak sipil warga negara.

Dalam beberapa perumusan kebijakan publik lain, yang tak

selalu menyangkut isu-isu agama, ada tarik-menarik kelompok-

kelompok agama dengan negara. Misalnya, pada 2009 perumusan

UU Kesehatan sempat mengundang kontroversi yang melibatkan

para agamawan, khususnya mengenai hukum aborsi. Pada tahun

yang sama, ada pula RUU Jaminan Produk Halal yang melibatkan

perbedaan posisi negara (Kementerian Agama dan Kementerian

Kesehatan) dan kelompok Muslim (khususnya MUI), maupun

kalangan industri dan sebagian kelompok Kristen. Contoh-contoh

sebelumnya, seperti UU Pornografi dan UU Sistem Pendidikan

Nasional sempat juga menjadi sumber perselisihan kelompok-

kelompok antar maupun intraagama dan dengan pemerintah.

Perumusan peraturan daerah belakangan ini, bersamaan

dengan desentralisasi, telah menjadi ajang lain yang melibatkan

norma agama. sebab  desentralisasi, bentuk keragaman ini

menjadi lebih terartikulasikan, misalnya dalam perumusan perda-

perda diskriminatif. Sebagaimana dibahas di Bab 6 buku ini,

khususnya dalam pemilihan kepala daerah, agama juga tampil

dalam beragam wajahnya, dalam koalisi-koalisi politik, penggunaan

simbol-simbol agama, ataupun pelibatan ormas keagamaan untuk

mendukung kandidat.1

Perkembangan ini, maupun perkembangan-perkembangan

lain di atas, tak bisa dipahami tanpa memahami konteks terdekat

perubahan negara kita  dalam satu dasawarsa terakhir ini, maupun

konteks yang lebih jauh: usaha  mengatasi keragaman yang telah

ada sejak masa awal sejarah negara kita .

Secara umum, sejak akhir tahun 1980-an, isyarat menguatnya

peran agama dalam peristiwa sehari-hari di ruang publik maupun

dalam politik internasional merupakan fenomena umum yang

terjadi di seluruh dunia dan melibatkan komunitas banyak agama.

Kesadaran warga  pascaperistiwa terorisme atas nama agama

pada 9 September 2001 semakin memperkuat perasaan urgensi isu

ini. Keragaman dan persoalan telah menjadi isu penting di hampir

semua negara, baik negara maju maupun berkembang, bahkan

termasuk di negara-negara yang untuk waktu lama agama berhasil

“dijinakkan” dengan mendorongnya ke ruang privat semata.

Konteks lokal dan global itulah yang mewarnai persoalan

keragaman kita saat ini, khususnya keragaman agama.

Agama di Ruang Publik: Dari Fundamentalisme

ke Pluralisme

Bagaimana menyebut fenomena di atas? Istilah yang

digunakan para pengamat sangat beragam. Ada yang menyebut

sebagai mengerasnya fundamentalisme atau konservatisme,

radikalisasi umat beragama, mengentalnya identitas agama, atau

menguatnya politik identitas. Bagaimana fenomena ini disebut,

akan memengaruhi tanggapan atasnya dirumuskan.

Pada dasawarsa 1970 dan 1980-an (di sekitar meletusnya

Revolusi Islam Iran), fenomena kebangkitan agama-agama di

ruang publik disebut banyak sarjana sebagai fundamentalisme—

mengikuti berkembangnya aliran ini di AS sejak awal abad ke-

20—yang salah satu ciri awalnya adalah penafsiran literal atas

kitab suci. Dalam pemahaman yang melampaui penggunaan kata

itu, menurut sejarah awalnya, dalam konteks Protestan AS,

fundamentalisme adalah penegasan identitas keagamaan secara

total, melintasi sektor-sektor kehidupan lain, tak mau terkungkung

---  15

dalam kotaknya sendiri.2 Hal ini adalah anomali dalam sekularisme

sebagai paradigma sosiologis mengenai agama yang dominan

hingga tahun 90-an. Sekularisme bukanlah penghilangan tetapi

marjinalisasi agama dari ruang publik, sehingga ia tak memainkan

peran efektif di ruang publik. Namun, ada pula kenyataan sosiologis

yang sulit diingkari bahwa agama tak pernah berhasil diprivatkan,

tetapi “memaksa” memainkan peran di ruang publik.

Perdebatan panjang mengenai sekularisme tak bisa dibahas

di sini.3 Yang menarik dilihat adalah bahwa fenomena kebangkitan

agama menjadi isyarat adanya perubahan paradigma. Pluralisme

adalah bahasa baru yang mengakui fakta agama di ruang publik,

dan tak hanya satu, tetapi banyak agama. Dalam paradigma

pluralisme, ruang publik yang terdesekularisasi merupakan titik

berangkat kajiannya. Pertanyan utamanya adalah sejauh mana

dan bagaimana ungkapan religiusitas muncul di ruang publik, dan

apa konsekuensinya.

Kita tahu, di negara kita , hal ini adalah pertanyaan lama,

namun tidak usang. Apa yang disebut “desekularisasi” bukanlah

hal baru, karena sesungguhnya tak pernah terjadi “sekularisasi

yang lengkap” sejak awal sejarah negara kita .4 Sejak awal

kelahirannya, negara kita  adalah negara yang beragam. Sebuah

negara kepulauan yang wilayahnya berbeda secara geografis,

penduduknya memakai  bahasa yang berbeda-beda, hidup

dalam tradisi dan kepercayaan yang berbeda, adalah realitas lama

yang telah ada sejak awal sejarahnya. Proyek nasionalisme yang

menyertai pembentukan negara-bangsa, sejak setidaknya awal abad

ke-20, harus diakui telah berjasa menyatukan komunitas dengan

keragaman luar biasa, melintasi pulau, etnisitas, bahasa, agama

dan status sosial. Agenda utama negara-bangsa baru ini adalah

penyatuan keragaman itu di bawah suatu identitas nasional.

Dibandingkan dengan beberapa negara lain, bahasa nasional, yang

sesungguhnya bukan bahasa mayoritas pada waktu itu, adalah

salah satu instrumen penting. Pemerintahan era Orde Lama dan

Orde Baru dapat dikatakan berhasil dalam proyek ini, sejauh

menjadikan keragaman bahasa, sukubangsa dan kepercayaan itu

tak efektif sebagai kekuatan pemecah bangsa.

Kritik utama yang kita tahu adalah bahwa penyatuan ini 

lebih sebagai usaha  homogenisasi yang dilakukan secara

otoritarian. Beragam sektor kehidupan, termasuk agama,

--- 16

diinkorporasi dan diatur. Pemerintahan saat itu, setidaknya untuk

sementara, berhasil menjinakkan keragaman, yang memang bisa

menjadi potensi konflik, bahkan menanamkan etos nasionalisme

kesatuan negara kita . Dalam perjalanan berikutnya, negara kita  tetap

menjadi contoh penting sejarah negara-bangsa: bagaimana

perlawanan atas pemerintahan otoriter itu, reformasi dan lalu

demokratisasi, kemudian memunculkan tuntutan kebebasan

berekspresi dan distribusi kekuasan melalui desentralisasi (otonomi

daerah). Hal ini menghidupkan kembali keragaman yang seringkali

menolak menjadi jinak, dan bersamanya ketegangan-ketegangan

antarkomunitas dan komunitas dengan negara, yang beberapa

contoh sudah diberikan di atas.

Pemetaan Teoretis “Keragaman Agama”:

Identitas dalam Konteks Negara-Bangsa

Masalah keragaman agama yang kita alami kini memang

relatif baru, namun memiliki akar yang jauh. “Masalah keragaman

agama” bukanlah sekadar beragam agama di satu tempat dan satu

masa secara bersamaan. Bahwa agama-agama, yang masing-

masing memiliki doktrinnya sendiri dan sangat berbeda, telah ada

bersama-sama (dalam berbagai modusnya: ko-eksistensi, konflik,

dan sebagainya) selama ribuan tahun terakhir ini, tak bisa

disangkal. Keragaman dalam artian ini tak selalu menimbulkan

masalah, setidaknya bukan masalah yang kita hadapi kini. Namun,

keragaman agama di sini dipandang secara fenomenologis sebagai

keragaman kekuatan-kekuatan sosial-politik yang efektif dalam

warga , yang dinisbahkan kepada komunitas agama-agama

yang berbeda. Masalah muncul ketika ada persaingan kepentingan

atau klaim.

Ketika tampil di ruang publik, keragaman agama tak selalu

menjadi masalah, ketika, misalnya, satu agama mendominasi dan

agama-agama lain menjadi subordinat. Sejarah agama-agama

dunia (khususnya Kristen dan Islam) mengalami periode ini. Konflik

terjadi ketika siapa yang dominan dan siapa yang subordinat tidak

jelas, sengaja diperebutkan, atau ketika keseimbangan itu akan

diganggu. Namun itu adalah periode-periode antara, yang relatif

berlangsung singkat. Perang Salib adalah contoh konflik yang

muncul ketika ada perebutan kekuasan antarkekuasan imperium

---  17

beridentitas agama. Sejarah kejayaan peradaban Andalusia adalah

contoh toleransi dalam skema itu. Harmoni atau toleransi terjadi

ketika satu agama mendominasi dan yang lain, karena lebih lemah,

menerima posisi subordinat dengan kompensasi perlindungan.

Dalam situasi ini, ketika setiap pihak menerima posisi ini ,

masalah mengenai “keragaman agama” adalah masalah apakah

penguasa mentoleransi pihak lain. Mungkin terlalu berani

mengklaim bahwa sebagian besar sejarah manusia, sampai periode

modern, adalah sejarah ketika agama-agama bersandingan dalam

skema ini  dan sayangnya dianggap adil.

Ada banyak penyederhanaan di sini. Sejarah Muslim Andalusia

berbeda dengan sejarah imperium yang didominasi Gereja Katolik.

Sejarah kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara juga

berbeda. Juga, tulisan ini tak bermaksud menilai apakah itu keliru

atau tidak. Yang ingin ditunjukkan adalah bahwa masalah

keragaman agama yang kita hadapi mengambil bentuk berbeda,

dan muncul karena dipicu setidaknya dua hal: efektivitas identitas

agama di ruang publik dan ide mengenai kesetaraan yang tak

membedakan identitas agama dalam konteks negara-bangsa.

Inti konsep citizenship ‘kewarganegaraan’ adalah kesadaran

atas kesetaraan manusia sebagai warganegara dan, identitas sebagai

warganegara itu menjadi bingkai politik, untuk semua orang,

terlepas dari identitas lain apa pun yang dimilikinya, termasuk

identitas keagamaan. Identitas-identitas lain itu tak seharusnya

menjadi persyaratan untuk memperoleh hak-hak dasar manusia

(dan dengan demikian, minoritas agama menempati posisi yang

sama dengan mayoritas, yang satu tak menjadi subordinat dari

yang lain).5

Perkembangan ide negara-bangsa menjadi faktor kunci di sini.

Dalam sejarah modern, kesadaran bahwa ada identitas lain, yang

lebih besar dan melampaui identitas keagamaan, yang memainkan

peranan penting bersamaan dengan melemahnya kekuatan agama

dalam negara, di sekitar abad ke-17. Pakta Westphalia pada 1648

mengakhiri perang-perang agama (terutama dalam internal

Kristen) di Barat, dan melemahkan agama sebagai kekuatan politik

dan militer. Agama (Kristen, dalam hal ini) tentu tak hilang, justru

sebaliknya; namun kekuasaannya telah dibatasi, demi menghindari

perang-perang agama ini . Periode sejarah itu dianggap

berperan penting dalam tumbuhnya ide negara-bangsa. Melalui

--- 18

imperialisme, banyak wilayah lain di dunia dijajah oleh kekuatan

imperialis Barat, dan melaluinya ide negara-bangsa pun tersebar.

Di Eropa, pada sejarah awalnya, ide negara-bangsa (dan juga

imperialisme) berjalan bersamaan dengan pemberian keistimewaan

pada Kristen, karena wilayah ini  relatif cukup homogen,

hingga secara bertahap peran agama semakin lama semakin

termarjinalkan. Di negara-negara jajahan, seperti negara kita , ide

ini menjadi alat pemersatu bangsa melampaui identitas-identitas

agama atau sukubangsa. Inilah penanda kelahiran konsep baru

dalam peradaban manusia, khususnya menyangkut relasi

kelompok-kelompok yang berbeda, yaitu konsep negara-bangsa.

Idealnya, dalam suatu negara-bangsa, semua identitas dari

kelompok yang berbeda-beda itu dilampaui; identitas terpenting

adalah identitas nasional.

Dalam perjalanannya, konsep negara-bangsa ikut menyalakan

api Perang Dunia yang melanda nyaris seluruh dunia. Akan tetapi,

kemudian lahir pencapaian-pencapaian kemanusiaan yang penting

sebagai manifestasi cita-cita universalitas kesetaraan manusia

dalam konsep negara-bangsa, mulai dari Deklarasi Hak-Hak Asasi

Manusia pada 1948, hingga banyak konvensi internasional seperti

ICCPR, ECOSOC, dan banyak konvensi antidiskriminasi lain.

Namun, pada era globalisasi saat ini, sebagian cita-cita

universalitas ini  dipertanyakan kembali. Bisa jadi, globalisasi,

yang meruntuhkan tembok-tembok antarkomunitas, justru

menimbulkan kehampaan dalam ruang yang besar, tanpa batas-

batas jelas, dan menjadi pemicu penegasan batas-batas identitas

lama maupun baru. Faktor lain adalah janji globalisasi mengenai

keadilan yang terasa ambigu. Penyatuan kemanusiaan

dikhawatirkan menjadi homogenisasi yang menghilangkan

keragaman.

Politik identitas adalah nama baru untuk situasi ini, yang

ditandai dengan kebangkitan kelompok-kelompok identitas sebagai

tanggapan untuk represi yang memarjinalisasikan mereka di masa

lalu. Identitas berubah menjadi politik identitas ketika menjadi

basis perjuangan aspirasi kelompok.

Politik Identitas

Menyebut isu hubungan antarkomunitas agama sebagai isu

politik identitas membuka kaitan analisis dengan identitas-identitas

---  19

lain. Pertama, hal ini penting untuk menghindari eksepsionalisme

religius yang akan menggiring kita pada fokus yang terpusat pada

isu keagamaan (atau bahkan teologis). Di samping itu, hal ini dapat

membantu memperbaiki pemahaman kita yang lebih luas mengenai

isu-isu lain yang menjadi potensi dan pemicu konflik antar-

komunitas (atau bahkan “peradaban”?) dan kemungkinan-kemung-

kinan lebih dari satu identitas bekerja bersamaan (misalnya dalam

konflik-konflik yang disebut etnoreligius, atau kombinasi

ketakadilan gender dengan etnisitas atau agama). Analisis politik

identitas juga bisa mengejutkan, ketika pengakuan hak suatu

sukubangsa pribumi ternyata memiliki struktur permasalahan

yang sama dengan tuntutan kesetaraan perlakuan atas keragaman

orientasi seksual, kesetaraan gender, maupun tuntutan pelaksanaan

hukum agama yang berbeda-beda di wilayah dengan mayoritas

keagamaan tertentu.

Dari kacamata kelompok-kelompok identitas, hal ini berkaitan

dengan aspirasi ganda yang biasa diajukan untuk menghubungkan

penindasan dan tuntutan penghargaan pada otentisitas budaya

mereka, yang hidup sejahtera di masa sebelum kolonialisme atau

imperialisme, atau suatu periode sejarah tertentu. Taiaiake Alfred

mengajukan alasan ini untuk kelompok indigenous-nya:

Indigenous governance systems embody distinctive political values,

radically different from those of the mainstream. Western notions of

domination (human and natural) are noticeably absent; in their place

we find harmony, autonomy, and respect. We have a responsibility to

recover, understand, and preserve these values, not only because

they represent a unique contribution to the history of ideas, but

because renewal of respect for traditional values is the only lasting

solution to the political, economic, and social problems that beset our

people.6

Bandingkan klaim ini dengan klaim kelompok-kelompok

indigenous lain di seluruh dunia, juga misalnya, dengan Hizbut

Tahrir negara kita , yang melihat segala persoalan masa kini dapat

diselesaikan dengan merujuk pada penerapan syariah oleh suatu

khilafah yang telah terbukti di masa lalu! Dalam tuntutan-tuntutan

semacam ini, terkadang ada klaim berlebihan mengenai integritas

dan kekompakan nilai-nilai ini  hingga ke suatu gambaran

mengenai homogenitasnya, yang seakan-akan mengingkari adanya

multitafsir. Keragaman internal dalam keragaman berbagai sistem

--- 20

ini  sesungguhnya bisa jadi tak kalah kaya dengan keragaman

antarkelompok, dan usaha  menampilkan kekompakan yang padu

bisa berujung pada esensialisme yang bermasalah. Sebagaimana

dibahas selanjutnya, identitas, dan dengan demikian juga kelompok

identitas, sifatnya tak solid/ statis, tetapi cair dan dapat mengambil

berbagai bentuk.

Dari contoh di atas, segera kita melihat bahwa politik identitas

bisa bersifat positif bisa negatif untuk pluralisme. Ia positif, ketika

menjadi dorongan untuk mengakui adanya perbedaan, demi

otentisitas suatu kelompok warga . Lebih jauh, isunya tak

berhenti pada merayakan perbedaan, akan tetapi mengakomodasi

perbedaan itu, bahkan hingga ke tingkat pemberian keistimewaan

atau perlakuan berbeda; atau ketika menjadi pengingat adanya

ketidakadilan yang dilakukan pada suatu kelompok.

Ia menjadi negatif ketika perlakuan berbeda menjadi

diskriminasi untuk kelompok lain. Di samping itu, suatu politik

identitas juga akan salah arah jika ada klaim berlebihan atas

soliditas identitas kelompok yang diperjuangkan. Sebagaimana

dibahas di atas, identitas bersifat majemuk, tumpang-tindih dan

sedikit banyak cair, tak statis. Masalah lain yang kemungkinan

muncul berhubungan dengan isu representasi: siapakah yang

mewakili kelompok? Isu ini bisa menjadi krusial, mengingat bahwa

dalam satu kelompok identitas, ada kepentingan yang berbeda-

beda. Misalnya, siapakah yang mewakili kelompok Islam, ketika

suatu “aspirasi Islami” diperjuangkan? Yang membuat

permasalahan lebih sulit adalah ketika akomodasi dilakukan oleh

negara, dengan mengambil satu representasi yang belum tentu

representatif.

Tak semua gerakan keagamaan dapat disebut sebagai ungkapan

politik identitas. Namun, ada beberapa ciri politik identitas:

(persepsi) adanya penindasan di masa lalu, tuntutan untuk keadilan

melalui perlakuan berbeda untuk mengompensasikan penindasan

itu, dan penggunaan suatu identitas sebagai basis klaim ini —

terlihat dalam beberapa masalah keragaman agama yang kita alami

di negara kita  kini—lepas dari apakah klaim-klaim itu bisa

dijustifikasi atau tidak. Gerakan separatisme, pemekaran kabupaten

atau provinsi, otonomi khusus, penciptaan daerah istimewa,

akomodasi nilai-nilai keagamaan pada tingkat daerah (dalam

“perda-perda syariah”) atau nasional (dalam UU terkait kehalalan

---  21

produk, perbankan Islam, kesehatan, pornografi, dan sebagainya),

dan banyak contoh lain, menunjukkan bagaimana identitas

dimobilisasi untuk perjuangan kelompoksekaligus menjadi peluang

atau justru masalah.7

Agama sebagai Identitas

Analisis kebangkitan agama sebagai politik identitas mau tak

mau harus memperhatikan karakter identitas sendiri. Dapatkah

agama diperlakukan sebagai (salah satu) identitas? Selain dipandang

sebagai kumpulan doktrin normatif (teologis) atau kepercayaan,

agama disebut secara bervariasi oleh para peneliti sebagai budaya,

kelompok, doktrin komprehensif, identitas, dan sebagainya. Dengan

penyebutan-penyebutan itu tampak bahwa agama menjadi satu di

antara banyak faktor penyumbang keragaman; karena ada pula

identitas, budaya, kelompok, doktrin komprehensif yang nonagama

(misalnya bersumber pada etnisitas, ras, orientasi seksual,

kelompok gender, ideologi, filsafat hidup, dan sebagainya).

Paling tidak ada dua keberatan umum terhadap perspektif yang

melihat agama sebagai identitas. Pertama, anggapan bahwa

“agama tak boleh menjadi identitas”, karena dengan demikian ia

akan sekadar dijadikan dasar klaim atau tembok tebal yang

membedakan seorang/ kelompok beragama dari orang/ kelompok

agama lain. Kedua, anggapan bahwa agama “bukanlah sekadar

identitas”, tetapi ia merupakan pandangan hidup, kumpulan

kepercayaan atau doktrin yang mengajukan klaim kebenaran, yang

berbeda dari identitas-identitas lain seperti pekerjaan, jenis

kelamin, etnis, dan sebagainya; pendeknya, agama lebih penting

dari “sekadar identitas”.

Kedua keberatan normatif itu bisa dipahami. Untuk keberatan

pertama, yang bisa dikatakan adalah bahwa kita berharap agama

tak menjadi kekuatan pembeda, tetapi memang itulah yang terjadi

kini. Persis karena itulah konsep identitas dianggap bisa membantu

memahami peristiwa-peristiwa keragaman agama mutakhir,

termasuk di negara kita , ketika identitas agama menjadi dasar klaim

untuk pemenuhan suatu aspirasi tertentu atau tuntutan perlakukan

yang berbeda. Memandang agama sebagai identitas memberikan

penekanan bukan pada kandungan (teologis, ritual, dan sebagainya)

agama itu sendiri, tetapi fungsi sosial yang dijalankan. Hal ini

adalah persoalan pilihan perspektif yang akan digunakan sebagai

--- 22

alat analisis, bukan penilaian ontologis mengenai apa itu

sesungguhnya agama. Memandang agama sebagai identitas tidak

berarti mengingkari dimensi teologis agama atau dimensi-dimensi

lainnya, yang di atas telah diakui bahwa dimensi kandungan agama

itu jelas lebih penting bagi pemeluk agamanya sendiri.

Oleh karena alasan itulah, memahami isu keragaman agama

dalam bingkai konsep identitas akan membuka kemungkinan

eksplorasi isu ini secara agak berbeda. Sebagai isu identitas, fokus

utamanya adalah agency ‘agensi’ (yang mengidentifikasikan diri

atau diidentifikasi dengan suatu agama) dan praktiknya, bukan

pada ajaran agama itu sendiri. Identitas keagamaan yang berbeda-

beda pada setiap individu tak menimbulkan masalah; akan menjadi

masalah ketika dalam komunitas yang lebih luas, ada persentuhan,

gesekan, atau persaingan antaridentitas ini . Singkatnya, isu

keragaman agama adalah isu agama di ruang publik, bukan

sekadar fakta adanya beragam (komunitas) agama secara bersama-

sama di suatu tempat. Identitas keagamaan baru menjadi masalah

ketika ia berperan efektif di ruang publik, ketika ia dimobilisasi

dan dijadikan dasar klaim untuk politik identitas, lebih-lebih untuk

menafikan identitas lain—baik identitas kelompok lain, atau

identitas lain dalam diri seseorang.

Bagi Anthony Kwame Appiah, fakta adanya lebih dari satu

agama dalam jumlah (minoritas) yang signifikan hanya menjadi

satu faktor pembentuk keragaman agama; faktor lain adalah ketika

perilaku mereka dipengaruhi oleh identitas itu. Appiah

menunjukkan hal ini dengan mengatakan bahwa ketika identitas

itu tak efektif sebagai dasar tuntutan politik, misalnya, maka

masalah yang ada (kesenjangan ekonomi atau representasi politik

yang tak inklusif atau seimbang) tidak menjadi masalah

“keragaman agama”, tetapi disebut dengan nama lain. Hal ini juga

benar menyangkut penanda-penanda identitas lain, seperti ras atau

etnisitas.8

Selain itu, pemahaman baru identitas sebagai sesuatu yang

bersifat tidak kaku-statis, namun cair dan terus berubah,

membantu memahami realitas praktik keagamaan kontemporer

maupun ide normatif mengenai hubungan antarumat beragama.

Argumen ini berlanjut pada pemahaman mengenai fakta adanya

identitas majemuk (multiple identities) dalam diri seseorang yang

lebih sesuai dengan fakta keberagaman saat ini. Seseorang tak

---  23

pernah hanya memiliki satu identitas saja, tetapi sah diidentifikasi

(atau mengidentifikasi dirinya) berdasarkan agamanya, bahasanya,

sukubangsanya, gendernya, juga pekerjaannya, Ada perdebatan

panjang mengenai identitas sebagai sesuatu yang diwarisi dan tak

berubah, atau merupakan pilihan/ kontruksi. Singkatnya, sebagian

identitas adalah terberi (given), sebagian lain merupakan hasil

bentukan diri sendiri, yang juga merupakan tanggapan atas

bagaimana orang lain memandang kita.

Identitas majemuk itu efektif dalam wilayah-wilayah tertentu;

satu identitas “dipakai” dalam situasi tertentu, identitas lain dalam

situasi lain, namun juga beragam identitas itu tak selalu bisa

dipilah-pilah. Yang biasanya terjadi adalah usaha  negosiasi di

antara beragam identitas. Ketika suatu identitas mendominasi atau

menundukkan seluruh identitas lain dalam semua situasi, yang

terjadi adalah, apa yang disebut Bhikhu Parekh, sebagai patologi

identitas, yang dilihatnya kerap terjadi dalam kaitannya dengan

identitas agama.9 Bagi orang yang menganggap agama adalah

sumber utama pandangan hidup mereka, dasar keberadaan mereka,

dan mengatur seluruh kehidupan mereka, sulit melihat kekeliruan

ekspresi identitas orang beragama dalam kehidupan bernegara yang

plural.

Menarik garis tegas bahwa suatu identitas hanya bisa

diekspresikan dalam situasi atau ruang tertentu akan dengan

mudah terjebak menjadi pemisahan lama antara ruang privat dan

ruang publik yang sering dipertanyakan. Yang perlu dilakukan,

dan yang menjadi agenda utama diskursus identitas, adalah

negosiasi identitas-identitas yang kerap memiliki ketegangan.

Menyangkut agama, mengakui sifat majemuk identitas berarti

peringatan untuk tidak melihat identitas seseorang/ kelompok

semata didefinisikan oleh agamanya.10 Identitas agama pun

kenyataannya berinteraksi dengan identitas-identitas lain

(misalnya sukubangsa atau gender). Bersikeras bahwa semua yang

saya lakukan hanya dibentuk oleh agama, berarti mengklaim

keagamaan saya paling benar, atau meng-agama-kan semua sektor

kehidupan.11

Sampai di sini, kita bisa kembali menekankan sentralitas

identitas sebagai warga negara dalam konteks suatu negara-

bangsa. sebab  kenyataan historis bahwa selama seratus tahun

terakhir ini konsep negara-bangsa menjadi konteks utama

--- 24

kehidupan manusia di hampir seluruh wilayah dunia, maka

identitas sebagai warga negara telah menjadi sentral. Identitas

ini bersifat politis, diwariskan oleh keputusan-keputusan politik

di masa lalu, namun kini mau tak mau bingkai politik ini 

ikut menentukan kehidupan kita, dengan segala konsekuensinya.

Aspirasi keagamaan seseorang pun, misalnya seorang Muslim yang

mau melaksanakan ibadah haji, kini tak bisa terlepas dari identitas

kewarganegaraannya, karena bagaimana pun ia membutuhkan

administrasi negara (paspor dan visa) untuk melakukan ibadah

itu, yang berarti pengakuan gari-garis geopolitik sebagai kenyataan

hidup sehari-hari kita, bahkan di “ruang privat”.

Idealnya, identitas sebagai warga negara berarti bahwa semua

manusia di suatu negara-bangsa, apa pun identitas, memiliki hak

dan kewajiban yang setara sebagai warga negara. Dan persis di

sinilah isu kita: mempertemukan ide kesetaraan itu dengan

pengakuan perbedaan, yang merupakan jantung pluralisme.

Argumen ini akan menjadi topik utama Bab 2. Satu hal terakhir

yang perlu dibahas sebelum itu adalah mengenai pemaknaan istilah

“pluralisme”, yang terlanjur populer dengan pemaknaan beragam.

Semantik “Pluralisme”: --- 

Di awal bab ini telah dibahas beberapa persoalan utama

keragaman di negara kita  masa kini, dan asal-usul masalah

keragaman ini  dalam konteks negara-bangsa sebagai lokus

masalah; yang kemudian membawa kita pada analisis identitas

dan politik identitas. Hal ini  menjadi dasar merumuskan

tanggapan atas masalah keragaman ini , yang dibangun

secara teoretis dari ketiga konsep itu. “Pluralisme” adalah istilah

umum untuk tanggapan yang ingin diajukan di sini.

Dalam wacana kontemporer di negara kita , “pluralisme” telah

menjadi istilah populer dalam menghadapi keragaman. Yang

menarik, karena istilah ini memiliki banyak makna, penolakan

terhadapnya menguat sejak fatwa MUI pada 2005 mengharamkan

pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Seharusnya hal ini tak

serta merta dijadikan indikator menurunnya pluralisme, dalam

artian etos yang mengakui keragaman dan menghadapinya secara

beradab dalam konteks suatu negara bangsa, namun lebih

mencerminkan kontestasi konseptual atas istilah “pluralisme” dan

usaha  mendominasi pemaknaannya. Namun, karena fatwa ini

---  25

khusus diletakkan dalam makna teologis,12 hal ini kemudian

dipandang kurang jernih, baik oleh yang pro ataupun kontra

“pluralisme”. sebab  itu, penting mencermati debat tentang hal

ini, yang sebagiannya terbatas sebagai isu semantic dan sebagian

lain terkait persepsi mengenai bagaimana memahami agama

sebagai kekuatan sosial di ruang publik. Hal ini perlu ditekankan,

karena di negara kita  dalam beberapa tahun terakhir ini, wacana

mengenai pluralisme terlalu menekankan pada isu teologis

menyangkut kepercayaan agama.13

Dalam fatwanya, MUI mendefinisikan pluralisme agama

sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama

adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif;

oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa

hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.

Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama

akan masuk dan hidup berdampingan di surga.” Penjelasan atas

fatwa itu menegaskan bahwa yang ditolak adalah pandangan yang

menganggap semua agama sama. Dengan kata lain, sesungguhnya

hal ini adalah pandangan tentang relativisme agama; ditolak

karena dianggap berpotensi mendangkalkan akidah. Meskipun

demikian, di ujung penjelasannya, disebut bahwa “fatwa ini justru

menegaskan bahwa masing-masing agama dapat mengklaim

kebenaran agamanya sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling

menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan

hubungan antarpara pemeluknya.”

Dengan kata lain, satu hal yang jelas ditolak adalah salah

satu pemaknaan pluralisme sebagai pandangan teologis. Respons

terhadap fatwa ini cukup marak dalam beberapa tahun ini. Salah

satu yang dipersoalkan adalah pendefinisian itu. Tulisan ini

memakai  kata “pluralisme” dalam pemaknaan yang berbeda

dari fatwa MUI, ataupun sebagian pemaknaan lain yang

menentangnya—yang memahami sebagai paham tentang ajaran

agama atau posisi teologis. Tak ada kritik yang ingin diajukan

untuk fatwa MUI itu, karena tak relevan dengan pluralisme yang

didiskusikan di sini, kecuali bahwa ia menganggap hanya ada satu

pemaknaan tunggal atas pluralisme dan, sayangnya, belakangan

kerap dipakai sebagai alat untuk stigmatisasi.

Pemahaman teologis, dalam artian keyakinan keagamaan

yang mengandung klaim kebenaran seperti dibahas di atas, pada

--- 26

dasarnya bersifat individual, diyakini oleh individu-individu, dan

karena itulah muncul tipologi populer eksklusif, inklusif, dan

pluralis yang mengacu pada sikap individual (baik dalam hal klaim

kebenaran maupun isu keselamatan di Hari Akhir). Pemahaman

pluralisme seperti ini juga yang kemudian menghadirkan pilihan

“pluralisme reduktif”, misalnya semacam yang diajukan John Hick,

yang mereduksi perbedaan dengan mencoba menemukan

konvergensi tujuan atau konsep dalam agama-agama; atau filsafat

perennial Seyyed Hossein Nasr, yang meneorikan kesamaan dasar

atau akar yang sama dari agama-agama yang berbeda. Benar,

ketika MUI mengeluarkan fatwa antipluralisme yang

menghebohkan pada 2005, pandangan filosofis pluralisme agama

disajikan secara terlalu sederhana dan tidak akurat sebagai

pandangan bahwa “semua agama sama”. Sesungguhnya pandangan

Hick dan Nasr tidak bisa dikatakan sebagai menganut pandangan

“semua agama sama”, tetapi agama-agama berbeda yang memiliki

konvergensi tujuan atau sumber yang sama. Namun, sulit diingkari

bahwa pluralisme teologis memang cenderung reduktif,

menekankan pada pencarian kesamaan dan cenderung meremehkan

perbedaan.14

Lebih jauh, jika pluralisme sering diajukan sebagai cara

pemecahan konflik antarkelompok agama, agak sulit melihat

relevansi langsung pandangan teologis seseorang dengan persoalan

sosial-politik yang multisebab. Setidaknya yang bisa dikatakan

adalah bahwa ada jurang yang cukup besar antara suatu keyakinan

teologis dengan konflik-konflik (atas nama) agama yang terjadi

belakangan ini. Bahkan, bisa jadi pandangan ini  didasarkan

pada asumsi yang keliru mengenai perilaku sosial: bahwa suatu

kepercayaan teologis otomatis diterjemahkan secara sempurna pada

perilaku sosial. Kenyataannya, suatu pilihan teologi yang eksklusif

tak serta merta berarti konflik sosial.

Konsekuensi pertama yang sudah diisyaratkan di atas adalah

penegasan bahwa masalah-masalah terkait keragaman agama

seperti dideskripsikan di atas bukanlah persoalan teologis. Ketika

keragaman teologis telah ada selama ribuan tahun, dan dapat

menjadi kekuatan efektif untuk memecah warga  dan menjadi

sumber konflik; realitas kita di negara kita  saat ini, menunjukkan

bahwa persoalan keragaman lebih dari itu, dan memiliki akarnya

dalam tatakelola keragaman warga .

---  27

Jika secara generik pluralisme dipahami sebagai bukan saja

deskripsi adanya banyak agama tetapi juga merupakan tanggapan

normatif atas masalah-masalah yang muncul dengan adanya

keragaman itu, maka sesungguhnya pluralisme teologis hanyalah

satu arus dalam wacana pluralisme; sebagai tanggapan atas

masalah yang dimunculkan keragaman agama, ia tidaklah

mencukupi, atau terkadang dapat juga mengalihkan perhatian kita

dari isu pokoknya. sebab  itu, perlu dikembangkan tanggapan lain

yang lebih memadai.

Terkait erat di sini adalah perlunya melihat agama sebagai

tak serta merta berarti (kandungan) ajaran agama, atau sebagai

teologi dalam artian di atas. Meskipun fokus yang dipilih di sini

adalah keragaman agama, namun agama juga memiliki dimensi

yang luas—agama bisa berarti kepercayaan atau ajaran teologis,

kitab suci, ritual atau praktik-praktik lainnya, otoritas keagamaan,

juga institusi.15 Dalam ilmu sosial, dimensi-dimensi itu dapat

dibahas tidak untuk melakukan penilaian besar/ salah ajaran

agama, namun sejauh ia terwujud dalam realitas sosial dan efektif

sebagai suatu kekuatan sosial.

Pendekatan yang menghindari persoalan (klaim kebenaran)

teologis ini, dan lebih melihat agama dalam dimensi sosial-

politiknya, sama sekali tak berarti memarjinalkan teologi. Bagi

kaum beragama, dimensi teologis, spiritual, atau praktik suatu

agama yang dianutnya jauh lebih penting ketimbang melihat

agama sebagai fenomena sosial-historis; dan sesungguhnya

kedalaman agama ada dalam dimensi-dimensi itu. Hal ini sama

sekali tak diingkari. Namun untuk kepentingan problem yang

diajukan di sini, pendekatan yang berbeda atau penekanan pada

dimensi-dimensi lain agama lebih relevan.

Selain itu, kalaupun suatu teologi eksklusif dianggap sebagian

dari sumber masalah, tugas mengubahnya akan menjadi dinamika

internal komunitas ini . Dalam tulisan ini, fokus perbincangan

adalah persoalan hubungan antarkomunitas, khususnya dalam

konteks suatu kehidupan bernegara. Untuk mengambil contoh

kasus yang cukup hangat di negara kita  saat ini, dalam kasus

Ahmadiyah, diskusi mengenai apakah keyakinan Ahmadiyah

“sesat” atau tidak tentu adalah diskusi internal Muslim yang

berkepentingan dengan keyakinan itu; namun nasib pemeluk

Ahmadiyah sebagai warga negara negara kita , adalah persoalan

--- 28

kebangsaan, yang menjadi perhatian semua warga negara

negara kita . sebab nya, ungkapan sebagian tokoh Muslim bahwa

non-Muslim tak perlu ikut berbicara soal Ahmadiyah bisa diterima

sejauh menyangkut akidah Ahmadiyah; namun ketika isunya

adalah hak sosial-politik pemeluk Ahmadiyah dan perlindungan

atas mereka dari serangan pihak lain (siapapun itu), hal itu adalah

isu yang harus diperhatikan semua warga negara negara kita . Dalam

pembahasan di bawah, dimensi kedua itu nanti akan disebut sebagai

dimensi sivik. Meskipun teologi ingin dipisahkan dari pembahasan

di sini, di akhir Bab 2 akan dibahas mengenai posisi teologi dalam

diskusi mengenai pluralisme kewargaan, karena bagaimana pun,

teologi tak bisa sepenuhnya diabaikan.

Dalam literatur ilmu sosial, pluralisme, ketika digunakan

secara spesifik untuk merujuk pada pluralisme agama sekalipun,

digunakan secara jauh lebih luas, terutama sebagai isu sosial, lebih

khusus lagi isu sosial-politik, yaitu mengenai tata kelola

warga  yang beragam. Persoalan-persoalan yang kita ajukan

di atas, yang diantar oleh ilustrasi latar belakang yang cukup luas

itu, terutama adalah pertanyaan politik.

Pluralisme atau Multikulturalisme?

Istilah pluralisme digunakan secara beragam, dan karenanya

sedikit banyak perlu dijernihkan. Ada beberapa istilah lain yang

digunakan untuk merujuk pada tata kelola warga  yang

beragam, misalnya adalah multikulturalisme, komunitarianisme,

pluralisme kultural, dan sebagainya. Terlepas dari sejarah masing-

masing penggunaannya, istilah untuk menggambarkan tanggapan

atas isu keragaman, pada saat ini sulit—dan tidak perlu—untuk

mengklaim adanya satu definisi yang benar, setidaknya untuk

kepentingan tulisan ini. Kata “pluralisme” sendiri, dalam wacana

non-teologisnya pun juga memiliki beberapa pengertian. Ada yang

memakai nya secara cukup netral (misalnya John Bowen

ketika menyebut “pluralisme normatif ”); ada yang

memaksudkannya sebagai suatu tanggapan khas yang tak mesti

terkait dengan agama (misalnya penggunaan istilah “pluralisme

gender”, untuk mengacu pada pandangan yang mengakui adanya

keragaman gender).

Sebagian antropolog, seperti Heddy Shri Ahimsa-Putra,16

memakai  pemahaman pluralisme sebagai (fakta) kema-

---  29

jemukan budaya, meskipun ia juga melihat bahwa adanya “isme”

di situ menjadikannya problematis jika istilah itu dimaksudkan

secara deskriptif. Pluralisme dalam pandangannya mencitrakan

mosaik yang masih mengandung segregasi budaya. Pluralisme

bersifat lebih pasif, sementara multikulturalisme, baginya, lebih

aktif, dalam artian bukan saja menerima adanya kemajemukan

tetapi juga mendorong saling mengetahui dan menghormati.

Antropolog lain, Parsudi Suparlan, memiliki pandangan yang mirip.

Ia mengontraskan “warga  multikultural negara kita ” yang mau

dibangun sebagai hasil Reformasi dengan “tatanan kehidupan Orde

Baru yang bercorak ‘warga  majemuk’ (plural society).” Istilah

“plural society” memang memiliki sejarah panjang, digunakan oleh

Furnival untuk menggambarkan warga  kolonial yang

majemuk dan tersegregasi.17 Bagi Heddy maupun Parsudi, ada

perbedaan derajat atau kedalaman dari kedua istilah itu:

warga  multikultural telah melangkah lebih jauh dari

plural(isme).

Hal ini  bisa jadi hanya persoalan pendefinisian—

meskipun, sekali lagi, sejarah penggunaan kata ini tak sepenuhnya

bisa dinafikan. Dalam wacana disiplin ilmu yang lain, misalnya

studi agama atau ilmu politik, ada juga pemaknaan yang berbeda

untuk pluralisme. Diana Eck menggambarkan pluralisme yang

dipahaminya sebagai sesuatu yang aktif, bukan sekadar

penerimaan keragaman. Baginya sekadar toleransi tidaklah cukup,

namun pluralisme menuntut “engagement with diversity”—pada

titik ini, ia bahkan bisa dikatakan telah bergerak lebih jauh dari

multikulturalisme Heddy ataupun Parsudi.

Yang menarik, seorang tokoh pemikir multikulturalisme

kontemporer, Bhikhu Parekh, tampaknya memakai  kedua

istilah ini secara tidak rigid, bahkan mungkin identik. Sebelum

bukunya yang berjudul Rethinking Multiculturalism (2000) terbit,

ia menuliskan ringkasan buku itu dalam sebuah artikel yang

memakai  istilah “(cultural ) pluralism”. Parekh sendiri

menyebutkan beberapa jenis multikulturalisme (akomodatif,

isolasionis, universalis, dan sebagainya), yang oleh Heddy Ahimsa-

Putra disebut pluralisme.

Penjernihan semantik ini perlu, bukan untuk mengunggulkan

satu definisi di atas yang lain, namun untuk menekankan bahwa

pada akhirnya, ketimbang terlalu sibuk dalam persoalan semantik

--- 30

dan penghakiman dari suatu sudut pandang, yang penting

dipastikan adalah konsep apa yang ingin disampaikan. Dalam

tulisan ini, term untuk menyebut masalah keragaman dengan

karakter sebagaimana dikemukakan di atas adalah “pluralisme

kewargaan” (civic pluralism).

--- 

Penggunaan istilah kewargaan diajukan, alasan pertama,

sebagai pembeda dari wacana pluralisme teologis, sekaligus

menunjukkan bahwa pemecahan masalah terkait keragaman

agama kini menuntut dikembangkannya pendekatan yang lebih

langsung bergulat dengan masalah-masalah sosial-politik itu.

Wilayah nonteologis itu di sini diidentifikasi sebagai wilayah

kewargaan, yaitu arena ketika warga negara, sebagai warga

negara, baik secara sendiri-sendiri atau dalam suatu asosiasi,

bertindak (menyampaikan pendapat, melakukan sesuatu, men-

dukung, menentang, dan sebagainya). Bab 2 akan membahas ini

lebih jauh.

Sesungguhnya, problematika keragaman ini tak terbatas pada

negara kita . Dua contoh dalam konteks lebih luas, khususnya

Amerika Serikat di masa ini, adalah paparan Martin Marty dan

Diana Eck.18 Marty, salah seorang yang memimpin Funda-

mentalism Project di University of Chicago pada 1980—1990-an,

mengakui adanya wacana teologis tentang pluralisme, yang

memang kerap menimbulkan kekhawatiran suatu komunitas

agama, apalagi pluralisme teologis, sejauh memberikan pengakuan

akan agama-agama lain tak menempati posisi tertinggi dalam

hirarki nilai-nilai dalam agama—yang lebih penting bagi agama-

agama adalah kebenaran, keadilan, keselamatan pemeluknya,

bukan (hubungan dengan) agama lain. Namun, Marty memusatkan

perhatiannya bukan pada pluralisme teologis, dan dia melihat

bukan di sinilah masalah utama dalam ketegangan antarkomunitas

agama. Fokusnya adalah apa yang disebutnya “religiously informed

civic pluralism” (terjemahan paling dekat adalah: “pluralisme ke-

wargaan yang sadar agama”).

Gagasan mengenai pluralisme kewargaan memusatkan

perhatian pada bagaimana warga , yang terdiri dari kelompok-

kelompok identitas yang berbeda dapat hidup bersama, khususnya

dalam ikatan konteks suatu negara-bangsa yang mempersatukan

---  31

kelompok-kelompok berbeda itu. Wilayah isu ini, sebagaimana

ditegaskan dengan kuat oleh Marty, tak lain dan tak bukan adalah

wilayah politik. Isunya bukan sikap teologis seseorang, tetapi apa

yang disebutnya sistem tata kelola pluralis (pluralist polity). Titik

berangkatnya adalah pluralisme struktural minimal bahwa

warga  terdiri dari unsur-unsur yang bersaing satu dengan

lainnya, seperti agama, sukubangsa, dan pemerintahan, dan dari

sana kemudian bergerak untuk menemukan aturan main bersama.

Diana Eck membedakan wilayah kewargaan (civic) dengan teo-

logis secara cukup tegas, meskipun belum cukup mendalam, ketika

berbicara mengenai pluralisme agama baru di Amerika Serikat.

Eck, yang memimpin Pluralism Project di Harvard University dan

juga salah satu figur acuan penting yang kerap muncul dalam

wacana negara kita , dalam salah beberapa artikelnya (2008a, 2008b)

membedakan arena wacana pluralisme, antara pluralisme teologis

dan pluralisme kewargaan. Masing-masing memiliki bahasa yang

berbeda, namun salah satu kekeliruan yang umum adalah apa yang

disebutnya sebagai kebingungan atau pengacauan arena wacana.

Contoh yang diberikannya adalah seorang anggota parlemen

Minnesota, AS yang keberatan pada Dalai Lama yang akan berbicara

kepada para wakil rakyat di sana, dengan alasan “Buddhisme tidak

sejalan dengan prinsip-prinsip Kristen.” Atau, ketika beberapa

orang Amerika beragama Hindu ingin mengajukan sebuah gereja

Baptis Selatan ke meja hijau, karena gereja itu meminta jemaatnya

pada hari perayaan Diwali untuk mendoakan Hindu yang “tersesat

dalam kegelapan Hinduisme … yang menyembah tuhan-tuhan

yang bukan Tuhan.” Dalam kedua hal ini, kekacauan arena wacana

terjadi ketika keberatan teologis diterjemahkan menjadi penolakan

atas hak orang/ kelompok lain—sebuah fenomena yang kerap kita

lihat di sini, terutama dalam kasus yang telah dicontohkan di atas,

kasus Ahmadiyah. Seorang beragama berpotensi terlibat dalam

kedua arena wacana ini , karena setiap orang memiliki

beragam identitas sekaligus, misalnya dalam hal ini identitas

sebagai orang beragama sekaligus warga negara. Namun bagi Eck

penting membedakan dan bersikap jernih ketika memakai 

bahasa dalam arena yang berbeda-beda, “Ketika mengemudi dan

akan pindah jalur, kita menyalakan lampu.”

Satu kritik yang bisa diajukan kepada Eck adalah bahwa

pemaparannya itu, meskipun penting untuk mengingatkan adanya

--- 32

perbedaan kedua wilayah itu, mungkin telah menarik garis yang

terlalu tegas antara wilayah teologis dan wilayah

kewarganegaraan, sehingga mudah terjebak dalam pengkotak-

kotakan identitas, padahal identitas, sebagaimana akan dibahas

di bawah, bersifat cukup cair. Ide Eck dekat dengan gagasan yang

mendorong agama ke wilayah privat, untuk menyelamatkan ruang

publik. Setidaknya dalam artian ini, pandangan seperti itu kerap

dipertanyakan akibat semakin jelasnya fakta bahwa agama mau

tak mau ada di ruang publik, sebagaimana dibahas di atas; dan

dengan demikian, jika mengikuti pandangan ini, kita kembali ke

titik nol lagi. Pembedaan ini harus ditarik dengan hati-hati, dan

dengan pandangan bahwa masalah yang ingin kita pecahkan

adalah justru ketegangan yang muncul dengan hadirnya

(keragaman) agama di ruang publik.

Peta Buku Ini

Secara umum buku ini memahami isu keragaman yang kita

alami di negara kita  saat ini, khususnya sesudah  Reformasi 1998,

sebagai persoalan menguatnya identitas keagamaan (di samping

identitas-identitas lain) dan klaim-klaim yang diajukan atas dasar

pengakuan dan pemberian ruang pada kelompok identitas itu. Hal

ini dapat menjadi tantangan dalam warga  demokratis yang

kesetaraan warga negara, dari kelompok identitas apa pun, menjadi

prinsip utama. Konsepsi yang diajukan dalam buku ini adalah plu-

ralisme kewargaan. Bab-bab berikutnya dalam buku ini mengambil

fokus pada beberapa aspek penting dari permasalahan itu.

Bab 2 (Zainal Abidin Bagir dan AA GN Ari Dwipayana)

melanjutkan pembahasan di bab ini dengan memberikan kan-

dungan yang lebih substansial pada gagasan pluralisme kewargaan.

Secara umum, pluralisme kewargaan mencakup hubungan

antarkomunitas agama satu dengan lainnya, baik antar maupun

intraagama, dan komunitas agama dengan negara. “Pluralisme”

merujuk pada bentuk tanggapan atas masalah keragaman.

Sedangkan istilah “kewargaan” (civic) mengandung ide sentral

bahwa tanggapan yang diajukan berpusat pada suatu ide mengenai

“kewargaan”, yaitu posisi individu sebagai warga suatu negara,

yang setara satu sama lain. Selain itu, hal ini juga dekat dengan

ide “civil”, yang mengisyaratkan bahwa persoalan yang muncul

karena ada keragaman klaim normatif diselesaikan secara beradab,

---  33

tanpa niat untuk mengurangi atau memarjinalkan keragaman. Di

sini ide pluralisme kewargaan bertemu dengan ide warga 

sipil dalam teori demokrasi. Masalah utama yang diajukan di sini

adalah mengenai bagaimana menegosiasikan akomodasi perbedaan,

sembari mempertahankan prinsip kesetaraan warga negara.

Kesulitan menemukan prinsip universal untuk mengakomodasi

perbedaan memaksa menjadikan dialog sebagai salah satu cara

terpenting menemukan cara terbaik untuk kasus-kasus yang

beragam. Salah satu tugas penting pemerintah untuk ini adalah

penjagaan ruang publik agar selalu aman untuk deliberasi itu.

Bab 3 (Mustaghfiroh Rahayu) mengangkat dilema yang inheren

dalam usaha  negara mengakomodasi perbedaan (dengan

memberikan perlakuan berbeda) di antara kelompok warga negara,

yang justru bisa terjebak pada pengingkaran kesetaraan, bahkan

terjatuh pada diskriminasi. Problematika akomodasi ini tampak

ketika menyangkut perempuan sebagai (sub-) kelompok dari suatu

kelompok identitas. Salah satu ilustrasi kasus di negara kita  yang

dibahas di sini terutama terkait dengan hukum yang didasarkan

pada suatu pandangan keagamaan (Islam), khususnya mengenai

perempuan sebagai salah satu subjek yang diatur. Isu ini tentu

tak terbatas pada negara kita  atau Islam, dan bab ini menyajikan

beberapa kasus untuk perbandingan. Salah satu inspirasi bab itu

adalah pertanyaan termasyhur dari seorang feminis Susan Okin,

“Is multiculturalism bad for women?”, yang konteksnya

menjangkau negara-negara yang menerapkan kebijakan

multikulturalisme. Problem ini, yang disebut sebagian penulis

sebagai “kerentanan multikultural” adalah salah satu tantangan

mendasar ketika berbicara mengenai akomodasi perbedaan,

utamanya melalui hukum, yang kemungkinannya dibuka oleh

pluralisme kewargaan atau multikulturalisme. Jalan mudah bagi

negara untuk akomodasi adalah dengan memilih kelompok (dan

pandangan kelompok itu) yang dianggap representatif, mewakili

semua anggota kelompok. Akan tetapi, jalan ini bukanlah jalan

akomodasi yang tepat ketika kelompok itu, misalnya, masih

mempertahanklan tradisi patriarkal yang merugikan subkelompok

perempuan dalam kelompok itu. Bagaimana kemudian melakukan

akomodasi sekaligus sensitif terhadap isu-isu gender? Salah satu

pemecahan masalah yang diajukan di bab ini adalah apa yang

disebut sebagai “akomodasi transformatif”, yang memberi peran

--- 34

cukup besar dalam suatu kelompok untuk menghidupkan debat

internal dalam dirinya sendiri, dan dengan demikian nilai-nilai

yang diakomodasi adalah nilai-nilai yang kurang lebih telah

menjadi konsensus kelompok itu. Isu serupa akan muncul apabila

yang dibahas adalah suatu kelompok identitas budaya atau adat,

misalnya.

Bab berikutnya (Bab 4, ditulis Farid Wajidi), mengambil fokus

pada pengembangan pluralisme kewargaan di kalangan kaum

muda, yang sering terlupakan dalam wacana pluralisme. Wacana

dominan adalah wacana yang terutama menyangkut elite suatu

kelompok agama, “memakai  bahasa orang tua”, dan

mengajukan isu-isu yang berbeda dari isu-isu yang digumuli kaum

muda. Bab ini, yang mengambil kasus beberapa sekolah menengah

negeri, mengajukan pertanyaan tentang bagaimana ruang publik

yang disediakan untuk semua kelompok dapat didominasi oleh

kelompok-kelompok tertentu dan dengan demikian justru

mengingkari pluralitas partisipan di ruang itu. Salah satu

pertanyaan adalah bagaimana negara, yang bertugas melindungi

ruang publik, dapat memainkan perannya di sini. Bagaimana pula

organisasi warga  sipil perlu memikir ulang cara-cara mereka

dalam mendekati kaum muda. Isu mengenai ruang publik yang

bebas dari intimidasi dan terbuka untuk semua kelompok adalah

salah satu isu sentral dalam pluralisme kewargaan, karena tanpa

itu unsur mempertahankan kesetaraan dalam pengakuan

perbedaan menjadi tak bermakna.

Bab 5 (Trisno S. Sutanto) melihat dimensi lain dari tata kelola

keragaman di negara kita , khususnya dari sisi hukum, melalui studi

atas beberapa dokumen yang dianggap mewakili pandangan negara

mengenai agama dan keragaman agama. Salah satu dokumen

terpenting yang dilihat di sini adalah naskah akademik dari suatu

draft RUU tentang kerukunan beragama yang berhenti di tengah

jalan pada tahun 2003. Meskipun keberadaan drafnya sendiri

sempat diingkari, naskah akademiknya sudah cukup

menggambarkan dengan baik politik negara mengenai keragaman

agama. Ide mengenai kerukunan beragama di sini masih dilandasi

politik kerukunan yang dikembangkan sebelum Reformasi dan

berlanjut hingga kini; yang cenderung menampilkan pengaturan

negara yang terlalu kuat dan diskriminatif dalam banyak aspek

kehidupan umat beragama. Fokus bab ini adalah tinjauan kritis

---  35

atas paradigma pemerintah dalam mengelola keragaman di

negara kita . Diskusi ini menjadi relevan pada saat ini, karena pada

tahun 2011 ini, DPR seharusnya membahas sebuah RUU

Kerukunan Umat Beragama.

Bab terakhir (Bab 6, AA GN Ari Dwipayana) melihat sisi lain

keterlibatan agama dalam ruang publik. Sebagai konsekuensi

desentralisasi yang mengikuti Reformasi, dinamika politik lokal

kini memainkan peran penting, yang tak selalu sama dengan apa

yang terjadi pada aras nasional. Tulisan ini secara khusus melihat

wajah-wajah agama dalam pemilihan kepala daerah. Yang dilihat

bukan hanya apakah agama memengaruhi preferensi pemilih,

tetapi juga bagaimana agama difungsikan dalam proses

pemilukada, dalam bentuk koalisi antarpartai atau koalisi kandidat

dari latar belakang keagamaan tertentu, penggunaan simbol-simbol

agama sebagai alat kampanye, dan juga pemanfaatan ormas kea-

gamaan. Meskipun, berdasarkan beberapa penelitian, faktor agama

tak selalu memengaruhi preferensi pemilih, namun kenyataannya

ia memainkan peran efektif dalam politik lokal. Sayangnya, peran

ini sering dimainkan dalam bentuk politisasi agama. Tulisan ini

menganjurkan peran lain yang lebih konstruktif yang seharusnya

dimainkan agama dalam dinamika politik lokal, yaitu sebagai

kekuatan sosial untuk penguatan budaya kewargaan dan

pengawasan pemerintah, baik sebelum dan sesudah pemilukada.

Seluruh bab dalam buku ini telah didiskusikan berulang kali

oleh para penulisnya (dengan bantuan beberapa orang lain) secara

bersama-sama, dan mereka telah mencoba untuk mengkoherenkan

bab-bab di buku ini. Meskipun demikian, jelas ini adalah buku

yang ditulis beberapa orang berbeda, dan karenanya tak bisa

diasumsikan bahwa para penulisnya telah mencapai kesepakatan

dalam semua hal. Harapan kami adalah tulisan-tulisan ini sedikit

banyak dapat bermanfaat untuk melihat peran agama di ruang

publik secara konstruktif, dan cara-cara yang baik untuk mengelola

keragaman itu dalam konteks negara demokratis yang beradab.

Akhirnya, penting juga disampaikan bahwa sejak awal buku ini

juga memiliki aspirasi untuk membantu usaha  pengembangan

semangat pluralisme dan penerjemahannya secara lebih kongkret

dalam berbagai sektor kehidupan di negara kita .

Para penulis buku ini memiliki keinginan untuk menampilkan

ide-ide yang orisinal dan segar, namun juga sadar bahwa arena

--- 36

wacana mengenai pluralisme di negara kita  telah cukup marak dan

diramaikan dengan beragam pandangan. sebab nya kami tak

berpretensi terlalu banyak; yang ingin dilakukan adalah usaha  awal

untuk mencoba mendekati permasalahan keragaman di negara kita 

secara agak berbeda. Harapan utama bukanlah untuk

menyelesaikan masalah yang kompleks ini, namun setidaknya

dapat menjadi stimulasi untuk membicarakan masalah lama itu

dengan cara yang baru.


KERAGAMAN dalam warga , menyangkut

bahasa, etnisitas, agama, dan sebagainya, adalah fakta kehidupan

saat ini yang tak dapat diingkari. Kalaupun dalam suatu negara

ada keseragaman dalam satu hal, ia akan beragam dalam hal-hal

lain. Dalam pengertian ini, sulit atau bahkan mustahil menemukan

suatu negara yang homogen. Dalam warga  demokratis yang

majemuk, persoalan utama adalah bagaimana mengelola

keragaman itu?

Pada Bab I, beberapa karakter permasalahan keragaman

agama saat ini telah digarisbawahi. Secara ringkas, ada dua hal

utama yang perlu ditanggapi. Pertama, adanya kebangkitan

identitas agama di ruang publik, atau usaha -usaha  untuk

membawa aspirasi keagamaan ke ruang publik, yang sering

terungkap dalam politik identitas. Di satu sisi, pengakuan aspirasi

kelompok-kelompok itu penting untuk suatu warga 

demokratis dan pluralis, demi penjagaan otentisitas kelompok-

kelompok warga  yang nilai-nilainya tak selalu sama dengan

kelompok-kelompok lain. Di sisi lain, bahaya besarnya adalah jika

pengakuan perbedaan yang dikuti perlakuan berbeda itu menjadi

diskriminasi. Di sinilah pentingnya faktor kedua dalam konteks

suatu negara-bangsa yang demokratis sekaligus plural: prinsip

kewarganegaraan yang setara, yang menganggap semua orang dan

kelompok warga  memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Dalam suatu warga  pluralis, yang diharapkan serius

mengakui dan menjaga perbedaan, pertanyaannya adalah

bagaimana mengelola keragaman; bagaimana mengakui perbedaan,

dan pada saat yang sama mengusaha kan kesetaraan.

Bagian pertama tulisan ini meringkaskan tiga prinsip utama

dalam warga  yang menghidupkan pluralisme kewargaan:

rekognisi, representasi dan redistribusi. Lokus pluralisme

kewargaan pada akhirnya adalah ruang publik, yang keragaman

---  39

diakui dan diakomodasi; kesepakatan-kesepakatan dan tindakan-

tindakan untuk kebaikan bersama, seperti keadilan, kesejahteraan

dan kesetaraan diusaha kan. Bagian kedua membahas bagaimana,

dalam ungkapan Bhikhu Parekh, “membentuk ulang ruang publik

mengikuti garis-garis keragaman multikultural.” Bagian terakhir

bab ini membahas implikasi dari gagasan-gagasan itu, termasuk

menyangkut perlunya suatu “budaya atu identitas nasional”

sebagai dasar kesatuan untuk keragaman, dan tugas negara. Di

bagian akhir ini muncul kembali isu-isu yang diangkat di awal

tulisan ini, khususnya mengenai rekognisi dan representasi.

Keragaman di Ruang Publik dan Partisipasi

Perkembangan praktik demokrasi di beberapa negara

menunjukkan bahwa kehidupan bersama dalam warga 

majemuk bisa berdiri jika ditopang oleh beberapa pilar. Pilar

pertama adalah adanya konstitusi. Konstitusi negara demokratis

dicirikan dengan adanya pembagian kekuasaan di antara institusi-

institusi pemerintahan, prinsip akuntabilitas yang mengontrol

perimbangan kekuasaan, dan penerimaan/ pengakuan hak-hak

warga negara (hak sipil, politik, sosial, ekonomi, kultural).

Sementara konstitusi dan hukum menjadi aturan-aturan

formal negara, pilar lain adalah suatu kultur kewargaan yang

dihidupi warga negara. Pilar ini perlu ditekankan secara khusus,

karena dalam banyak kasus, proses demokratisasi tidak dapat

berjalan berkelanjutan ketika tidak ditopang oleh kultur kewargaan.

Dalam situasi itu, demokratisasi hanya menghasilkan kelembagaan

baru, namun tidak diikuti perubahan perilaku yang demokratis,

bahkan dalam perjalanan selanjutnya dapat mendelegitimasi atau

menghilangkan kepercayan pada institusi demokrasi yang

dibangun.

Dari sisi ini, bisa dikatakan lebih jauh bahwa keragaman

dalam warga  sesungguhnya merupakan syarat utama

demokrasi; karena keragaman identitas, kepentingan, dan otoritas

mempersulit suatu kelompok tunggal untuk memenangkan

monopoli kekuasaan. Keragaman itu hanya bermakna, dan dapat

menjadi kekuatan yang efektif jika ada budaya partisipasi yang

mendorong warga negara untuk terlibat dalam diskusi mengenai

hal-hal yang menjadi keprihatinan bersama.19 Namun, masih ada

syarat berikutnya agar demokrasi itu berjalan.

--- 40

Penting dilihat lebih jauh, kualitas ruang publik dalam

warga  mejemuk itu, bisa diukur dengan dua hal. Pertama,

tingkat inklusivitasnya—seberapa banyak keragaman dapat

ditampung dalam ruang publik. Semakin eksklusif ruang publik,

maka semakin kecil peluang dari lebih banyak kelompok

warga  untuk terlibat dalam proses kehidupan bersama, dan

sebaliknya. Kedua, bagaimana deliberasi dilakukan di ruang publik

dan apa produknya. Pertanyaan ini penting, karena tujuan akhir

terwujudnya warga  majemuk yang demokratis hanya bisa

dicapai melalui kualitas keputusan-keputusan dan tindakan-

tindakan kolektif yang dilakukan oleh warga. Jika tidak, ia hanya

sekadar menjadi “kerumunan”. Idealnya, di ruang publik kumpulan

warga direkatkan satu sama lain oleh penghormatan pada keadilan

dan kerjasama mengejar kebaikan bersama. Kualitas ruang publik

dengan begitu dilihat juga dari seberapa besar ruang bersama

digunakan untuk mencapai tujuan, kepentingan ataupun kebaikan

bersama.

Catatan terakhir untuk hal ini adalah bahwa partisipasi warga

negara itu dilangsungkan dalam mekanisme yang beradab dan

nonkoersif, sehingga semua ragam identitas dan kepentingan dapat

tertampung dan deliberasi dilakukan dengan bebas dan aman.

“Masyarakat sipil dan demokratisasi membutuhkan bukan hanya

adanya keragaman, tapi juga komitmen untuk secara