Selasa, 11 Februari 2025

bobo berkelahi 1

 


 




LANGIT terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar 

megah. Serombongan burung-burung pipit berarak 

dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat. 

Seorang pemuda gagah berjalan lenggang kangkung 

seenaknya di satu lamping gunung. Keterikan sinar mata–

hari tiada diperdulikannya. Bahkan sambil berjalan itu dia 

bersiul-siul entah membawakan lagu apa. Suara siulannya 

menggema sepanjang jalan seantero lamping gunung. Bila 

seorang tokoh silat dunia persilatan mendengar suara 

siulan yang keras tiada menentu itu, segera dia akan 

maklum bahwa orang yang mengeluarkan siulan itu bukan 

lain daripada bobo  penulis asli , pemuda gagah yang bergelar 

Pendekar barbel  Maut mainan 10000 an . 

Di satu tempat bobo  hentikan langkahnya. Dia meman–

dang ke bawah. Luar biasa sekali keindahan alam yang 

dilihatnya. Pohon-pohon menghijau di kejauhan. Di utara 

dua buah gunung menjulang tinggi laksana raksasa pen–

jaga negeri. Di barat sebuah sungai laksana seekor ular 

besar meliuk-liuk memantulkan cahaya putih perak karena 

ditimpa sinar matahari. 

bobo  menyeka peluh yang mencucur di keningnya 

dengan ujung sapu tangan putih penutup kepalanya. 

sesudah  puas menikmati pemandangan yang indah itu dia 

melanjutkan perjalanan kembali dan kali ini dengan 

mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki sehingga dalam 

sekejap saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia 

berharap akan sampai sesenja-senjanya hari, ke tempat 

tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai Bangkalan telah menyu–

ruhnya datang. Orang tua sakti itu telah menjanjikan akan 

menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadanya. 

Memasuki satu tikungan jalan di dekat kaki gunung, 

bobo  memperlambat larinya. Jalan di tikungan itu sempit 

sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang batu yang curam 

terjal serta luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke sana 

jangan harap akan hidup sampai di dasar jurang. Kalaupun 

dia hidup, ke luar dari dasar jurang pasti akan sia-sia! 

Dari memperlambat larinya, tiba-tiba bobo  penulis asli  

berhenti. Tepat di tikungan jalan itu dilihatnya duduk men–

cangkung seorang laki-laki tua berambut putih. Badannya 

kurus sekali. Demikian kurusnya hingga keadaannya tak 

ubah seperti tengkorak atau jerangkong hidup! 

Yang membuat bobo  penulis asli  heran ialah apa yang 

tengah dikerjakan si orang tua tak dikenal itu. Sambil 

duduk mencangkung, orang tua ini menghadapi sebuah 

pigura kain putih yang lebarnya satu meter sedang pan–

jangnya hampir satu setengah meter. Pigura kain putih itu 

disandarkan pada sebuah batu. Di atas terletak sehelai 

daun pisang. Di sebuah daun pisang ini terdapat cairan 

kental berkelompok-kelompok beraneka ragam warnanya. 

Si orang tua membetulkan letak pigura kain putih di 

hadapannya. Kemudian dengan ujung jari telunjuk tangan 

kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan berwar–

na di atas daun pisang. Dengan jari yang berselomotan 

cairan berwarna itu, si orang tua mulai menggurat-gurat di 

atas kain putih. Demikian asyiknya sehingga dia tidak me–

ngetahui agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di situ. 

bobo  terus memperhatikan dengan tak bersuara. 

Guratan-guratan yang dibuat si orang tua kelihatannya 

dilakukan seenaknya dan asal-asalan saja. Tapi betapa 

terkejutnya Pendekar 10000 an . Lewat setengah jam kemudian 

di atas kain putih itu, meski belum begitu jelas, terlihat 

gambaran seorang perempuan tengah berbaring di atas 

tempat tidur dalam sebuah kamar yang bagus. Ternyata si 

orang tua adalah seorang pelukis yang lihai tetapi juga 

aneh! Lihai dan aneh karena dia melukis dengan ujung jari 

 

 

telunjuk, dengan cairan-cairan berwarna yang diletakkan di 

atas daun pisang dan di tempat sepi begitu rupa, di bawah 

teriknya sinar matahari! 

Agar bisa memperhatikan lebih jelas, tapi juga untuk 

tidak mengganggu si orang tua, maka bobo  penulis asli  

melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang 

tua berdiri dan mundur beberapa langkah untuk meneliti 

lukisannya. 

“Ah... bagus sekali... bagus sekali! Bocah itu tentu akan 

senang melihatnya!” Suara orang tua ini kecil halus seperti 

perempuan. 

bobo  penulis asli  leletkan lidahnya. Ternyata si orang tua 

telah melukis seorang perempuan telanjang yang berbaring 

di atas sebuah tempat tidur dalam kamar yang bagus. 

Perempuan itu cantik sekali, rambutnya panjang menjela 

ke lantai kamar yang ditutupi permadani. Tubuhnya yang 

tiada tertutup pakaian demikian bagus dan mulusnya. Mau 

tak mau berdebar juga hati Pendekar 10000 an  melihat lukisan 

itu. Aneh orang yang demikian tua mempunyai daya cipta 

yang merangsang begitu rupa. Dan siapa pula bocah yang 

dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan 

senang melihat lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat 

lukisan perempuan telanjang? Betul-betul keblinger, pikir 

bobo . Dalam pada itu siapakah manusia ini? 

Sementara itu si orang tua kelihatan menambah 

beberapa guratan pada lukisannya. bobo  penulis asli  memper–

hatikan terus. Si orang tua tengah menuliskan serangkaian 

kalimat pada sudut kanan sebelah bawah lukisannya. 

Karena jauh bobo  tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin 

tahu akan apa yang ditulis si orang tua, bobo  penulis asli  

hendak melompat turun. Tapi niatnya dibatalkan karena di 

kejauhan didengarnya suara gemeletak roda kereta 

meningkahi derap kaki-kaki kuda. 

Sesaat kemudian kelihatanlah sebuah kereta putih 

yang ditarik oleh dua ekor kuda meluncur ke arah tikungan. 

Di bagian depan dan sisi kereta ada empat penunggang 

kuda yang berpakaian keprajuritan. Mendekati tikungan 

 

 

rombongan itu bergerak perlahan. 

Si orang tua masih juga asyik dengan lukisannya. 

Apakah dia tidak mendengar suara kedatangan kereta dan 

derap kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika rombongan 

tersebut berhenti di tikungan, si orang tua masih saja tidak 

berpaling. Apakah dia tuli? 

Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari 

kudanya. Dia memandang sejenak pada lukisan yang 

tersandar di batu lalu dengan sikap hormat menegur si 

orang tua. 

“Bapak, kuharap kau sudi ke pinggir sedikit agar kereta 

bisa lewat.” 

Orang tua itu mencelupkan jari telunjuk tangan kanan–

nya ke cairan berwarna putih di daun pisang lalu melan–

jutkan menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah 

kanan lukisan. 

Prajurit itu menduga si orang tua tuli. Maka dia 

melangkah ke samping dan menegur lagi lebih keras 

disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi tetap saja si orang tua 

tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala sedikitpun 

tidak! 

Dari dalam kereta terdengar suara seseorang. 

“Pengawal, ada apakah kereta berhenti?” 

“Kita mendapat sedikit rintangan Raden Mas Cokro,” 

jawab prajurit yang turun dari kuda. 

Dari jendela kereta kemudian keluar kepala seorang 

laki-laki berparas gagah, berkumis rapi dan mengenakan 

belangkon yang bagus. Begitu sepasang mata laki-taki ini 

membentur lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka 

tertariklah hatinya. Dengan segera dia turun dari kereta. 

Digeleng-gelengkan kepalanya. 

“Lukisanmu luar biasa bagusnya, orang tua,” kata laki-

laki ini. 

Untuk pertama kalinya orang tua bertubuh jerangkong 

itu palingkan kepala. Dia tersenyum sedikit pada laki-laki 

berpakaian dan berbelangkon bagus lalu meneruskan lagi 

pekerjaannya. 

 

 

“Orang tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini. 

Apakah kau sudi menjualnya?” 

Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap 

orang demikian jumawa maka si orang tua hentikan 

pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan 

tersenyum lagi. 

“Terima kasih atas rasa kagummu Raden Mas. Tapi 

sayang, lukisan ini bukan untuk dijual...” 

Raden Mas Cokro menatap paras orang tua itu. 

“Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja 

harganya...” 

Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya. 

“Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual. 

Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain.” 

“Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini,” kata 

Raden Mas Cokro. 

“Menyesal sekali...” 

“Akan kubeli lima puluh ringgit.” 

“Maaf Raden Mas...” 

“Seratus ringgit!” 

“Ah... sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun 

tak dapat kukabulkan Raden Mas...” 

“Kalau begitu biar kubeli dua ratus ringgit!” 

Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah kantong kain 

dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling 

pandang dan kerenyitkan alis keheranan. Meski lukisan itu 

bagus luar biasa tapi dua ratus ringgit belul-betul harga 

yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak 

sampai setengah ringgit satu minggu, menciut hati 

keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar semahal itu si 

orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya! 

“Ini terimalah.” kata Raden Mas Cokro seraya 

mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua ratus uang 

ringgit di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya. 

Tapi lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala. 

“Walau dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini tak dapat 

kujual Raden Mas. Mohon maafmu...” 

 

 

Raden Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan 

sikap si orang tua. Maka berkatalah dia, “Apa dengan 

harga semahal itu kau tetap tak mau menjualnya pada 

Adipati Pamekasan?” 

“Ah...” Si orang tua menjura dalam-dalam. “Tak tahunya 

aku tengah berhadapan dengan Adipati Pamekasan,” 

katanya. Dihelanya nafas panjang lalu sambungnya, 

“Benar-benar ini satu kehormatan besar bagiku Adipati 

Cokro. Namun benar-benar pula aku mohon dimaafkan, 

lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan 

buatkan lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau 

tak perlu membayar mahal... Kau pasti tak akan kecewa 

Raden Mas...” 

Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa. 

Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke 

dalam kereta. 

“Lain kali kalau ada kesempatan aku akan temui kau, 

orang tua. Di mana tempat tinggalmu?” tanya Raden Mas 

Cokro lewat jendela kereta. 

Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil tersenyum dia 

menjawab, “Aku seorang pengembara luntang lantung, 

Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman yang tetap. 

Bila lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku 

akan antarkan sendiri ke Pamekasan...” 

Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasa–

ran. Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintah–

kannya anak buahnya melanjutkan perjalanan! 

Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan 

pekerjaannya. 

Di atas batu tinggi bobo  penulis asli  tak habis pikir dan 

garuk-garuk kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit! 

Harga tawaran yang semahal itu ditolak oleh si orang tua. 

Betul-betul manusia ini aneh sekali! 

Mendadak bobo  penulis asli  mendengar suara kaki yang 

berlari cepat. Belum lagi sempat dia berpaling sesosok 

tubuh tahu-tahu telah berdiri di samping si orang tua. 

Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranya 

 

 

begitu dia muncul di depan mata. Karena manusia ini 

tentunya memiliki kepandaian tinggi, maka bobo  penulis asli  

memperhatikan dengan seksama. 

Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek. 

Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi 

satu. Manusia tak berleher ini berambut gondrong yang 

dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian dada 

terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak 

sedap dipandang ialah wajahnya. Mukanya yang berminyak 

itu bermata lebar merah, hidung besar, bibir tebal dan tak 

bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar serta kuning 

kelihatan menjorok ke luar. 

“Ha... ha... ha. Ini betul-betul satu lukisan yang bagus 

luar biasa!” berkata si gemuk yang baru datang ini. Bola 

matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang 

tersandar di batu. 

Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya 

tidak berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan kata-

kata pada bagian bawah kanan lukisan itu. 

“Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan padaku!” kata 

si gemuk dengan suara keras lantang hingga menguman–

dang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam 

jurang batu. Hebat sekali tenaga dalam manusia ini! 

Namun kehebatan ini seperti tiada terasa dan tiada diper–

dulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah 

mendekati orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya 

di situ dianggap sepi. Bahkan apa yang dikatakannya tadi 

tiada diambil perhatian oleh si orang tua! 

“Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi?!” 

bentak si gemuk. 

Barulah orang tua itu berpaling. 

Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik 

ke atas. Ketika kedua alis itu turun maka sekelumit 

senyum tersungging di bibirnya. 

“Ah, kalau mataku tak salah lihat... bukankah saat ini 

aku tengah berhadapan dengan salah seorang Dua Iblis 

Dari Selatan?” 

 

 

bobo  penulis asli  

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 2

 

 

 

I GEMUK terkesiap karena tiada menyana kalau 

orang tua kurus kering itu mengetahui dirinya. 

Menurut taksirannya, pastilah si orang tua itu bukan 

manusia sembarangan. 

“Bagus sekali kau kenali aku!” kata si gemuk. “Ini 

membuat aku tak banyak cerewet untuk meminta lukisan 

itu padamu!” 

Si orang tua tertawa panjang. 

Siapakah manusia gemuk itu? Dalam dunia persilatan 

di daerah selatan pada masa itu dikenal dua orang sakti 

bersaudara yang berkepandaian tinggi. Yang seorang 

berbadan kurus kerempeng bermuka jelek menyeramkan. 

Dia berjuluk Iblis Kurus. Yang kedua berbadan gemuk 

pendek juga bermuka buruk seram dan bergelar Iblis 

Gemuk. Dan Iblis Gemuk inilah yang tengah berhadapan 

dengan si orang tua itu! Iblis Gemuk dan Iblis Kurus kedua-

duanya lebih dikenal dengan sebutan Dua Iblis Dari 

Selatan. Di mana ada Iblis Kurus biasanya di situ juga hadir 

Iblis Gemuk. Entah mengapa sekali ini cuma seorang yang 

muncul. Dan dalam dunia persilatan keduanya adalah 

tokoh-tokoh golongan hitam yang berhati jahat sehingga 

pantas sekali julukan ‘Iblis’ itu bagi keduanya! Di samping 

berhati jahat, Iblis Gemuk mempunyai kesukaan mengum–

pulkan barang-barang antik seperti senjata-senjata kuno, 

patung-patung dan lukisan. Pada waktu dia melihat lukisan 

yang dibuat si orang tua maka hatinyapun tertariklah dan 

dia musti mendapatkan lukisan itu. Tentu saja bukan 

dengan jalan membeli, tapi menurut caranya sendiri yaitu 

kekerasan. 

sesudah  meneliti paras Iblis Gemuk sebentar, maka 

menjawablah si orang tua, “Lukisan ini tak bisa kuberikan 

padamu, atau pada siapapun.” 

“sesudah  tahu siapa aku apakah kau berani menolak?!” 

ujar Iblis Gemuk. 

“Ah sudahlah pekerjaanku masih belum selesai. 

Kuharap kau jangan ganggu aku, Iblis Gemuk.” Si orang tua 

memutar kepalanya kembali dan hendak meneruskan 

pekerjaannya. 

Tapi Iblis Gemuk segera membentak keras. 

“Suka atau tidak suka lukisan itu musti kau serahkan 

padaku! Kalau tidak kau akan menyesal orang tua...!” 

Si orang tua menarik nafas dalam. Lalu tanpa menga–

cuhkan Iblis Gemuk lagi dia hendak meneruskan kembali 

pekerjaannya. Marahlah Iblis Gemuk. Dengan tumit kaki 

kirinya hendak didorongnya orang tua itu ke samping. Tapi 

belum lagi tumit itu sampai, si orang tua sudah berkelit dan 

berdiri. 

Iblis Gemuk terkejut Meski acuh tak acuh tapi gerakan–

nya untuk mengenyampingkan orang tua tadi adalah salah 

satu jurus yang dinamakan Menggeser Bukit yang tidak 

mudah untuk dikelit. Ini membuat Iblis Gemuk tambah 

marah dan serta merta pukulkan tangan kirinya ke arah 

dada orang tua yang kurus kering macam jerangkong itu! 

“Manusia tidak tahu diri!” bentak si orang tua mulai 

marah, “Lekas kau pergi dari sini...!” 

“Aku akan pergi tapi sesudahnya menghadiahkan satu 

pukulan padamu dan mendapatkan lukisan itu!” 

Si orang tua menggerendeng lalu papasi jotosan lawan 

dengan lambaikan tangan kanannya ke muka! Iblis Gemuk 

menjadi kaget sewaktu merasakan bagaimana sambaran 

angin yang keluar dari tangan si orang tua membuat bukan 

saja pukulannya membelok ke samping tapi sekaligus 

membuat tubuhnya terhuyung-huyung sampai empat 

lahgkah ke belakang! 

“Orang tua badan tengkorak! Cepat terangkan siapa 

kau sesungguhnya?!” bentak Iblis Gemuk. 

 

 

Si orang tua tertawa pendek. 

“Tak perlu kau tahu namaku. Lekas tinggalkan tempat 

ini sebelum aku betul-betul marah!” 

“Manusia jerangkong sialan! Terpaksa tulang-tulang di 

badanmu kubikin berantakan!” 

Habis berkata begitu Iblis Gemuk segera menyerbu ke 

muka dan kirimkan serangan yang ganas. Dalam tempo 

yang singkat maka terjadilah pertempuran yang hebat di 

tikungan jalan yang sempit itu. Di samping mereka, 

menunggu jurang batu yang luas dan dalam. Salah saja 

membuat gerakan atau terpukul oleh lawan atau terpele–

set, tak ampun lagi pasti akan jatuh ke dalam jurang! 

Pertempuran telah berjalan delapan jurus. 

bobo  geleng-gelengkan kepala. Tak dinyana si orang tua 

yang kurus kering itu memiliki gerakan yang demikian 

sebat dan entengnya. Beberapa kali dia melihat bahwa 

orang tua ini mempunyai peluang untuk menjatuhkan 

tangan jahat terhadap lawannya, namun tiada dipergu–

nakan. Nyatalah bahwa orang tua ini berhati demikian 

polosnya sehingga menghadapi lawan yang terang-

terangan hendak bermaksud buruk kepadanya, dia masih 

belum mau lepaskan tangan keras! 

“Iblis Gemuk! Apakah kau masih belum mau angkat 

kaki dari sini?!” 

“Kunyuk kurus kering! Terima jurus Memukul Gunung 

Menentang Bukit ini!” teriak Iblis Gemuk. Tinju kanannya 

menderu ke arah batok kepala lawan sedang kaki kanan 

serentak dengan itu menendang ke arah dada! Belum lagi 

pukulan dan tendangan itu sampai, anginnya saja sudah 

menderu dahsyat! 

Buukk! 

Terdengar menyusul suara keluhan tinggi. Tubuh Iblis 

Gemuk terbanting ke belakang, punggungnya menghantam 

gundukan batu di atas mana bobo  penulis asli  duduk, kemu–

dian melosong jatuh duduk di tanah. Nafasnya megap-

megap ketika berdiri. Masih untung dia terbanting ke 

samping kanan, kalau ke samping kiri pastilah akan 

 

 

terlempar masuk jurang dan tamat riwayatnya. 

“Masih belum cukup peringatan yang kuberikan 

padamu Iblis Gemuk?!” tanya si orang tua. 

Iblis Gemuk berkemak kemik. Mukanya pucat. Nyatalah 

dia telah menderita luka di dalam yang cukup parah akibat 

pukulan lawan yang tadi menghantam dada kirinya! 

“Bangsat tua! Kau tunggu di sini! Hari ini juga Dua Iblis 

Dari Selatan akan menunjukkan jalan ke akhirat padamu!” 

Si orang tua tertawa mengekeh. 

“Kau mau panggil kambratmu si Iblis Kurus...? 

Silahkan... silahkan! Masa ada tamu yang bakal datang aku 

hendak pergi tinggalkan tempat ini? Pekerjaankupun 

belum selesai!” 

Iblis Gemuk meludah ke tanah lalu berkelebat tinggal–

kan tempat itu, sedang si orang tua seperti tiada terjadi 

apa-apa kembali meneruskan pekerjaannya! 

Di atas batu yang tinggi bobo  penulis asli  memutar otaknya 

berusaha mengingat-ingat siapa adanya orang tua yang 

berkepandaian tinggi itu. Belum lagi berhasil mendadak 

entah dari mana datangnya, tahu-tahu bobo  penulis asli  meli–

hat di bawahnya telah berdiri seorang nenek-nenek berba–

dan bungkuk berambut putih yang mukanya buruk sekali. 

Karena bobo  sama sekali tiada mendengar kedatangan 

perempuan ini nyata sekali dia memiliki ilmu kepandaian 

yang tinggi luar biasa! 

sesudah  memperhatikan sejenak lukisan yang tersandar 

di atas batu maka perempuan tua renta ini menegur 

bertanya, “Orang tua, apakah kau melihat dua orang 

kawanku lewat di sini...?” 

Tidak seperti biasanya, sekali ini begitu ditegur maka 

orang tua itu hentikan pekerjaannya dan berpaling. Mata–

nya yang sudah dimakan umur itu meneliti dengan seksa–

ma sedang keningnya berkerenyit. 

“Hanya ada seorang yang lewat di sini barusan,” jawab 

si orang tua. “Iblis Gemuk, apakah dia yang kau 

maksudkan?” 

“Bukan!” jawab perempuan tua itu. Dia melirik pada 

 

 

lukisan yang tersandar di batu. “Itu kau yang membuat–

nya?” 

“Betul.” 

“Bagus sekali! Kuharap pada tanggal satu bulan muka 

lukisan itu harus kau bawa ke Gunung Sumpang dan 

menyerahkannya padaku! Kau dengar?” 

“Tentu saja dengar. Tapi menyesal sobat, lukisan ini tak 

bisa kuberikan pada siapa-siapa!” 

“Aku tak perduli!” sentak si perempuan bongkok. 

“Umurmu memang kulihat sudah lanjut! Tapi tentu kau tak 

ingin buru-buru mampus! Karenanya jangan banyak mulut! 

Lukisan ini harus kau bawa ke Gunung Sumpang pada 

tanggal satu bulan di muka!” 

“Tidak mungkin!” 

“Kau membantah?!” 

Orang tua berbadan kurus gelengkan kepala. 

“Jangankan diminta, dibeli pun aku tidak sudi!” 

“Kalau begitu kau ingin cepat-cepat mati!” 

“Sobat, Iblis Gemuk meminta lukisan ini. Aku tidak 

berikan. Adipati Pamekasan berniat membelinya dua ratus 

ringgit, aku tidak jual. Sekarang kau juga menghendakinya. 

Tetap saja aku tak bisa memberikan!” 

“Kalau begitu kau berikanlah nyawamu!” sahut si 

perempuan tua seraya mundur satu langkah dan siap-siap 

untuk kirimkan satu pukulan. 

“Tahan dulu sobat!” ujar si orang tua berbadan kurus. 

“Sesungguhnya ada apakah hingga kau begitu 

menginginkan lukisan itu?!” 

“Itu kau tak perlu tanya! Aku mau lukisanmu habis per–

kara! Ayo, kau mau serahkan apa tidak?!” 

“Lucu! Sungguh lucu!” 

“Apa yang lucu?!” sentak si perempuan bungkuk 

bermuka keriput. 

“Lukisan begini rupa banyak orang yang meng–

inginkannya, apa itu bukan lucu?!” 

“Orang tua, jangan kau banyak cingcong. Lekas serah–

kan lukisan itu kalau tidak nasibmu akan seperti ini!” Habis 

 

 

berkata begitu perempuan tersebut pukulkan tangan 

kirinya ke arah batu di atas mana bobo  penulis asli  duduk 

sembunyi sejak tadi! 

Byur! 

Sekali pukul saja maka hancurlah bagian dasar batu 

besar yang tinggi itu. Bagian atasnya laksana pohon 

tumbang, rubuh ke bawah dan menggelinding ke dalam 

jurang dengan suara menggemuruh. bobo  sendiri begitu 

merasa bagian bawah batu hancur segera melesat dan 

berpindah ke puncak batu yang lain! 

Si orang tua tarik nafas panjang-panjang dan geleng-

gelengkan kepala. “Pukulan yang bagus luar biasa! Puku–

lan yang hebat!” katanya memuji. Kemudian dipandanginya 

paras perempuan di hadapannya. “Sungguh mataku yang 

telah tua ini tidak bisa mengenali orang! Mulanya aku 

masih bersangsi, tapi melihat pukulan Penghancur Baja 

yang kau lepaskan itu tadi kini aku yakin bahwa aku betul-

betul berhadapan dengan Nenek Rambut Putih yang 

terkenal itu!” 

Jika si orang tua kenali nama gelarannya ini tidak 

mengherankan si perempuan bungkuk berambut putih. 

Tapi adalah membuat dia diam-diam merasa kaget sewak–

Ztu si orang tua mengetahui nama pukulan yang tadi 

dilepaskannya! 

“Kalau kau sudah tahu tingginya langit luasnya lautan, 

apakah kau masih banyak cerewet tak mau serahkan 

lukisan itu?!” 

“Langit memang tinggi, laut memang luas! Tapi apakah 

semua itu dapat melebihi tinggi dan luasnya budi manusia 

yang berhati luhur?” 

Terkejut Nenek Rambut Putih mendengar ucapan itu. 

“Lekas beri tahu siapa kau!” sentaknya. 

Si orang tua geleng-gelengkan kepala. 

“Manusia tetap manusia sekalipun dia punya seribu 

nama! Manusia tak perlu agul-agulkan nama terhadap 

sesama manusia. Karena dia dilahirkan tiada bernama...!” 

“Cacing kurus! Aku tak punya waktu lama! Terpaksa 

 

 

lukisan itu kuambil sekarang juga!” kata Nenek Rambut 

Putih. Habis berkata demikian laksana kilat dia melompat 

menyambar lukisan perempuan telanjang yang tersandar di 

batu. 

Namun mendadak sontak perempuan tua itu 

merasakan lengan kanannya nyeri seperti orang 

kesemutan! Ternyata si orang tua telah melepaskan satu 

sentilan ujung jari ke arahnya! 

“Jadi kau punya ilmu yang diandalkan hah?!” lengking 

Nenek Rambut Putih. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia 

segera menyerang. Maka untuk kesekian kalinya di jalan 

menikung yang sempit itu terjadi lagi pertempuran. Kini 

lebih seru dari pertempuran antara si orang tua dengan 

Iblis Gemuk sebelumnya. Sepuluh jurus berlalu sangat 

cepat. Tubuh kedua orang yang bertempur boleh dikatakan 

lenyap berubah menjadi bayang-bayang. Batu-batu kerikil 

berhamburan, debu jalanan beterbangan. 

bobo  penulis asli  memperhatikan dengan mata tak berke–

dip. Nenek Rambut Putih gerakannya sangat gesit. Setiap 

pukulan atau tendangan yang dilancarkannya hebat luar 

biasa serta mendatangkan angin yang bersiuran. Tapi 

lawannya juga tak kalah hebat, malah sesudah lewat 

sepuluh jurus Nenek Rambut Putih berhasil didesaknya ke 

tepi jurang! 

“Perempuan tua, jika kau tak mau tinggalkan tempat ini 

secara baik-baik pasti riwayatmu akan tamat di dasar 

jurang sana!” 

Nenek Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya. Dia 

melompat ke sebuah batu datar dan dari sini lancarkan 

satu tendangan ganas. Lawannya berkelit gesit ke sam–

ping. Akibatnya tendangan itu melanda sebuah batu di 

hadapan Nenek Rambut Putih. Batu itu hancur berkeping-

keping! Si orang tua badan jerangkong terkejut melihat hal 

ini. Rupa-rupanya lawan benar-benar inginkan jiwanya. 

Maka segera dirubah permainan silatnya. Dalam sekejap 

saja tubuhnya lenyap dan membuat Nenek Rambut Putih 

kebingungan sendiri! 

 

 

Bret! 

Si nenek tersurut mundur. Pakaiannya di pinggang 

robek besar dan kulit badannya terasa dingin sedang di 

hadapannya manusia yang menjadi lawannya tertawa-tawa 

dan menegur, “Kita tak ada permusuhan. Sebaiknya lekas 

tinggalkan tempat ini!” 

Tenggorokan Nenek Rambut Putih kelihatan turun naik. 

Kegemasan nyata sekali terlihat pada parasnya yang tua 

keriputan. Dia menyadari bahwa manusia itu bukan tan–

dingannya. Meski demikian untuk menutupi rasa malunya, 

Nenek Rambut Putih berkata, “Sayang aku tengah mencari 

dua orang sahabatku. Kalau tidak, sampai seribu jurus pun 

aku akan ladeni kau.” 

Si orang tua ganda tertawa. 

“Permusuhan tanpa alasan bisa dicari,” sahutnya 

“Berlalulah...!” 

“Tanggal satu di bulan muka lukisan itu harus sudah 

kau sampaikan ke Gunung Sumpang! Kalau tidak aku dan 

kawan-kawan tak akan memberi ampun padamu, orang 

tua!” 

“Aku tidak punya kesalahan apa-apa padamu. Perlu apa 

minta-minta ampun segala?!” menyahuti si orang tua. Tapi 

Nenek Rambut Putih telah berkelebat dan menghilang dari 

tempat itu! 

Baru saja Nenek Rambut Putih lenyap di balik tikungan 

sebelah kanan, maka dari tikungan sebelah kiri terdengar 

seruan nyaring, “Orang tua keparat! Aku datang untuk 

menagih jiwamu!” 

 

 

bobo  penulis asli  

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 3

 

 

 

ERNYATA yang datang bukan lain daripada Iblis 

Gemuk yang tadi telah bertempur dengan si orang tua 

berbadan kurus. Kali ini dia datang bukan sendirian, 

tapi bersama seorang laki-laki berbadan tinggi yang kurus 

luar biasa, lebih kurus dari si orang tua sendiri. Keadaan 

tubuhnya serta tampangnya yang mengerikan persis 

seperti jerangkong hidup. Seperti Iblis Gemuk, manusia ini 

pun menguncir ke atas rambutnya yang gondrong dan dia 

bukan lain daripada Iblis Kurus, kakak kandung dan kakak 

seperguruan Iblis Gemuk. Iblis Kurus memang memiliki 

ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada Iblis 

Gemuk. Karena itulah Iblis Gemuk telah mencari kakaknya 

itu di kaki gunung dan membawanya ke tempat si orang 

tua melanjutkan pertempuran yang telah terjadi sebelum–

nya! 

Si orang tua yang tadi sudah hendak mencangkung 

untuk melanjutkan pekerjaannya, mendengar suara seruan 

nyaring itu segera berdiri. 

“Hem... kau betul-betul datang menepati janji, Iblis 

Gemuk!” kata si orang tua sambil melirik pada Iblis Kurus. 

Iblis Kurus memandang mencemooh. 

“Adikku, apakah ini manusianya yang telah berani 

turunkan tangan lancang terhadapmu?!” 

“Betul, memang dia bangsatnya!” sahut Iblis Gemuk. 

Iblis Kurus memperhatikan lukisan di belakang si orang 

tua. Lukisan itu memang bagus sekali serta merangsang. 

Tidak salah kalau adiknya demikian tertarik dan meng–

inginkannya. 

“Manusia kurus cacingan macam ini saja kau tidak 

T

 

 

sanggup menghadapi. Betul-betul membuat nama besarku 

menjadi luntur!” 

Si orang tua tertawa dingin. 

“Tampang dan tubuhmu jauh lebih buruk dari aku, Iblis 

Kurus. Karenanya tak perlu mencela orang lain...” 

“Kakakku, kurasa tak perlu kita bicara panjang lebar 

dengan bangsat tua ini. Mari kita musnahkan dia!” ujar 

Iblis Gemuk. 

Si orang tua tertawa mengekeh. “Nyalimu melembung 

besar kembali Iblis Gemuk! Tentu kau mengandalkan 

kakakmu ini, bukan?!” 

“Orang tua keparat! Ajal sudah di depan mata masih 

bisa bicara sombong!” 

Si orang tua berpaling pada Iblis Kurus lalu berkata, 

“Sobat, nama besar kalian berdua sudah lama kudengar. 

Antara kita tak ada permusuhan...” 

“Sesudah kau berani berlaku lancang terhadap adikku, 

apakah itu bukan berarti permusuhan?!” potong Iblis 

Kurus. 

“Itu salah adikmu sendiri!” sahut orang tua itu dengan 

nada sabar. “Dia inginkan lukisanku. Aku menolak. Dia 

memaksa malah lakukan kekerasan. Salahkah kalau aku 

memberi sedikit pelajaran padanya?!” 

“Tapi tidak seorangpun yang boleh turun tangan 

seenaknya terhadap Dua Iblis Dari Selatan!” tukas Iblis 

Gemuk. 

Si orang tua tertawa mengejek. 

“Sifat manusia memang banyak yang aneh,” katanya. 

“Ingin menggebuk orang lain, tapi digebuk tidak mau!” 

Iblis Kurus rangkapkan tangan di muka dada. 

“Orang tua, sebaiknya kau serahkan saja lukisan itu 

pada adikku. Niscaya kami Dua Iblis Dari Selatan tidak 

akan bikin urusan menjadi panjang!” 

Orang tua itu geleng-gelengkan kepala. 

“Heran,” katanya, “mengapa di dunia ini masih banyak 

manusia-manusia yang ingin memaksakan kehendaknya 

terhadap orang lain...” 

 

 

“Kau mau serahkan lukisan itu atau tidak?!” bentak 

Iblis Kurus. “Kalau begitu lekas terangkan namamu! Aku 

tidak pernah membunuh manusia tanpa tahu nama atau 

julukannya sekalipun manusia tak berguna macam kau!” 

Si orang tua tertawa panjang tapi kali ini tawanya 

bernada rawan. 

“Seharian ini banyak sekali orang-orang yang ingin tahu 

namaku,” katanya. “Padahal semua manusia dilahirkan 

tidak bernama...” 

“Jangan ngaco! Lekas beritahu namamu!” hardik Iblis 

Kurus sambil maju satu langkah. 

Sebagai jawaban maka kali ini orang tua aneh itu 

keluarkan serangkaian nyanyian: 

Puluhan tahun mengembara 

Tiada berumah tiada bertempat tinggal 

Delapan penjuru angin penuh dengan keindahan 

Bukankah pekerjaan baik, melukis segala yang indah? 

Mendengar suara nyanyian itu terkejutlah Dua Iblis Dari 

Selatan. Mereka saling pandang sejenak. 

“Jadi rupanya kaulah syeikh slawi Aneh yang selama ini 

malang melintang dalam dunia persilatan?!” ujar Iblis 

Kurus. Hatinya berdebar juga mengetahui siapa adanya 

manusia di hadapannya, tapi dia tidak takut 

Si orang tua yang memang syeikh slawi Aneh adanya 

mengusap-usap dagunya. 

“Sungguh tiada diduga hari ini Dua Iblis Dari Selatan 

akan berhadapan dengan syeikh slawi Aneh akan pasrahkan 

jiwanya di tanganku!” syeikh slawi Aneh tertawa panjang-

panjang. “Rupanya hari ini aku terpaksa mencabut pan–

tangan membunuh yang sejak lama kulakukan. Orang lain 

hendaki jiwaku, mana mungkin aku berpangku tangan...?!” 

“Bagus! Sekarang terima jurus pertama ini kunyuk tua!” 

teriak Iblis Kurus dan dengan serta merta menyerang ke 

muka. 

Dibandingkan dengan Iblis Gemuk yang kepandaiannya 

sudah tinggi maka Iblis Kurus jauh lebih tinggi lagi ilmu 

silatnya. Tahu menghadapi lawan yang tangguh maka Iblis 

 

 

Kurus keluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya 

sehingga dalam waktu yang singkat serangannya laksana 

hujan bertubi-tubi melanda tubuh syeikh slawi Aneh! 

Dalam lima jurus pertama syeikh slawi Aneh dibikin 

terdesak hebat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis 

Gemuk untuk bergerak mengambil lukisan perempuan 

telanjang yang tersandar di batu! 

Meski dalam keadaan terdesak, syeikh slawi Aneh masih 

sempat melihat gerakan lawannya yang satu itu. Maka 

dengan melengking tinggi orang tua ini melompat sejauh 

dua tombak lalu menukik laksana kilat dan lancarkan satu 

tendangan ke arah Iblis Gemuk. 

Iblis Gemuk terpaksa batalkan niatnya untuk mengam–

bil lukisan itu dan buru-buru menyingkir karena angin 

tendangan lawan deras dan bahayanya bukan olah-olah! 

Baru saja syeikh slawi Aneh jejakkan kakinya di tanah, 

maka Iblis Kurus telah menyerbunya dengan dua ten–

dangan, dua pukulan! 

Namun kali ini syeikh slawi Aneh telah rubah permainan 

silatnya. Matanya yang tajam dan penuh pengalaman itu 

sudah melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan. 

Maka sekali tubuhnya berkelebat, Iblis Kurus merasakan 

desakan serangan yang hebat sekali membuat dia 

selangkah demi selangkah dan jurus demi jurus terdesak 

hebat. Dia sama sekali tak dapat melihat gerakan lawan 

dan tahu-tahu tangan atau kaki orang tua itu sudah berada 

dekat kepala atau tubuhnya! Hanya dengan mengandalkan 

ilmu meringankan tubuhnya yang sempurnalah maka dia 

masih sanggup elakkan semua serangan lawan itu! Tapi 

sampai beberapa lama dia sanggup bertahan?! 

Iblis Kurus menjadi gemas sekali. Semakin lama se–

akan terdesak dia. Gerakan lawan yang campur aduk tak 

bisa dilihatnya mengacaukan serangan serta jurus-jurus 

pertahanannya yang terlihai. Iblis Kurus keluarkan keringat 

dingin sewaktu dirinya didesak hebat ke tepi jurang! Setiap 

dicobanya untuk melompat ke samping selalu dia berha–

dapan dengan tendangan-tendangan atau jotosan-jotosan 

 

 

lawan yang menyambar di muka hidungnya hingga dia 

terpaksa membatalkan niatnya untuk melompat ke 

samping! Dalam pada itu, detik demi detik tepi jurang 

semakin dekat juga. Dalam jurus pertempuran yang kelima 

belas tepi jurang yang terjal itu hanya tinggal beberapa 

langkah saja lagi di belakangnya! 

“Gemuk! Lekas bantu aku!” teriak Iblis Kurus. 

Mendengar ini Iblis Gemuk yang memang sejak tadi 

sudah punya niat untuk mengeroyok si orang tua yang 

sebelumnya telah menghajarnya segera cabut senjata dari 

balik pakaian. Senjatanya ini berbentuk pedang tapi 

bergerigi seperti gergaji. Karena senjata ini ditimpa dan 

dilapisi emas murni maka sinar kuning kelihatan menderu 

sewaktu pedang itu membabat ke arah punggung Si 

Pelukis Aneh! 

syeikh slawi Aneh yang tengah mendesak gencar Iblis 

Kurus menjadi terkejut sewaktu merasakan sambaran 

angin yang deras datang menerpanya dari belakang! 

Didahului dengan satu lambaian tangan kanan yang 

mendatangkan angin keras, maka syeikh slawi Aneh dengan 

cepat memutar badan menghadapi serangan pedang 

berbentuk gergaji di tangan Iblis Gemuk! 

Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Kurus untuk 

melompat ke samping menjauhi tepi jurang batu lalu 

dengan cepat mencabut pula senjatanya yang bentuknya 

sama dengan yang di tangan Iblis Gemuk. 

Melihat pengeroyokan curang ini, bobo  penulis asli  menjadi 

penasaran. Segera dia hendak melompat dari atas puncak 

batu untuk membantu si orang tua. Tapi tindakannya tak 

jadi dilakukan karena pada saat itu dilihat si kakek telah 

berkelebat dan kini di tangannya memegang pelepah 

pisang yang berdaun lebar di mana sebelumnya dia 

meletakkan cairan-cairan aneka warna yang dipergunakan 

untuk melukis! Dengan mempergunakan benda ini sebagai 

senjata maka si orang tua menghadapi kedua lawannya 

dengan hebat luar biasa! Karena daun pisang itu lebar 

sekali, ditambah dengan saluran tenaga dalam yang tinggi 

 

 

maka setiap benda itu berkilat menderulah angin deras 

luar biasa yang menerpa setiap serangan pedang Iblis 

Gemuk dan Iblis Kurus! 

Dua sinar kuning senjata pengeroyok bergulung-gulung 

ganas. Agaknya Dua Iblis Dari Selatan itu mulai mengelu–

arkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedang mereka. 

“Bagus! Bagus! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Aku 

mau lihat!” seru syeikh slawi Aneh. Daun pisang di tangannya 

bergerak kian kemari melumpuhkan sama sekali setiap 

jurus serangan yang dilancarkan. 

Yang membuat Pendekar 10000 an  bobo  penulis asli  jadi 

leletkan lidah ialah karena tak sekalipun pedang-pedang di 

tangan lawan sanggup membuat satu goresan pada daun 

pisang. Dan yang paling luar biasa ialah meski digerakkan 

demikian cepatnya dan dipergunakan sebagai senjata 

namun cairan-cairan aneka warna yang ada di daun pisang 

itu tidak satu tetespun yang tumpah atau meleleh! Benar-

benar luar biasa kehebatan syeikh slawi Aneh! 

Dalam mengagumi kehebatan orang tua itu tiba-tiba 

terdengar pekikan setinggi langit. Ternyata daun pisang di 

tangan Pelukis Aneh telah menerpa dada Iblis Kurus. 

Pedangnya mental sedang tubuhnya terpelanting sampai 

beberapa tombak dan celakanya terus terguling ke tepi 

jurang! Dengan salah satu tangannya Iblis Kurus coba 

memegang sebuah batu runcing yang menonjol di tepi 

jurang. Tapi pukulan daun pisang yang dialiri tenaga dalam 

yang tadi menghantam dadanya telah melumpuhkan sama 

sekali kekuatan Iblis Kurus. Meski dia berhasil memegang 

batu runcing itu dan menahan dirinya agar tidak jatuh ke 

dalam jurang namun sia-sia saja. Sesaat kemudian 

pegangannya terlepas dan tak ampun lagi tubuhnya 

melayang masuk jurang. Batu-batu runcing menantinya di 

dasar jurang! Untuk kedua kalinya terdengar jeritan Iblis 

Kurus. Yang sekali ini lebih mengerikan! 

Melihat kakaknya yang berilmu lebih tinggi menemui 

kematian begitu rupa, Iblis Gemuk jadi bergidik. Berdua dia 

tak sanggup menghadapi syeikh slawi Aneh, apalagi seorang 

 

 

diri! Maka tanpa pikir panjang dan tanpa tunggu lebih lama 

Iblis Gemuk segera ambil langkah seribu! 

syeikh slawi Aneh tertawa mengekeh. Diambilnya pedang 

Iblis Kurus yang menggeletak di tanah. 

“Orang jahat, matamu sudah tak layak hidup lebih 

lama, Iblis Gemuk!” teriak syeikh slawi Aneh lalu lemparkan 

pedang ke arah Iblis Gemuk yang tancap gas larikan diri! 

Pedang itu menancap tepat di pertengahan punggung Iblis 

Gemuk terus menembus sampai di luar ujung pada 

dadanya! 

Tamatlah riwayat Dua Iblis Dari Selatan! 

syeikh slawi Aneh mengusap mukanya. Ditariknya nafas 

dalam-dalam lalu dia duduk menjelapok di tanah dan 

memandangi lukisannya. Kemudian tanpa palingkan 

kepala dari lukisan itu, dia berseru, “Orang yang sembunyi 

di atas batu tinggi harap turun!” 

Kagetlah bobo  penulis asli . 

Pendekar ini garuk-garuk kepalanya. Lalu tanpa 

sungkan-sungkan lagi keluar dari persembunyiannya dan 

melompat turun. 

 

 

bobo  penulis asli  

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 4

 

 

 

ENDEKAR 10000 an  bobo  penulis asli  jejakkan sepasang kaki 

di tanah tanpa keluarkan sedikit pun suara. Begitu 

dia berdiri di hadapan si orang tua segera dia menj–

ura dan berkata, “Aku yang muda merasa beruntung sekali 

dapat bertemu dengan tokoh silat terkenal di delapan 

penjuru angin.” 

Pelukis Aneh tidak palingkan kepalanya dari lukisan 

yang tengah dipandangnya. 

“Siapa namamu...?” 

“bobo .” 

“Apa kau punya gelar?” 

bobo  penulis asli  yang tak mau tonjolkan diri menjawab 

dengan gelengan kepala. 

Lantas syeikh slawi Aneh bertanya lagi, “Kenapa kau 

sembunyi di atas batu sana?” 

“Aku tak ingin mengganggumu, orang tua.” 

“Bagus, kau tahu peradatan juga rupanya.” 

Untuk pertama kalinya syeikh slawi Aneh palingkan wajah 

dan meneliti bobo  penulis asli  sejurus. Lalu dia memandang 

lagi pada lukisannya dan menggoyangkan kepala. 

“Menurutmu apakah lukisanku ini bagus?” tanya Si 

Pelukis Aneh. 

“Bagus luar biasa,” jawab bobo  penulis asli . 

syeikh slawi Aneh tertawa pendek. 

“Kalau lukisan ini kuberikan padamu, apakah kau mau 

menerimanya...?” 

bobo  berpikir sejenak. Adipati Pamekasan telah mena–

war lukisan itu sampai dua ratus ringgit, Si orang tua tidak 

menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis Kurus menemui 

P

 

 

kematian karena inginkan lukisan itu. Nenek Rambut Putih 

dibikin kelabakan sewaktu memaksakan kehendaknya 

atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau kini syeikh slawi 

Aneh hendak berikan lukisan perempuan telanjang itu 

kepadanya! 

bobo  menjawab, “Ah, hatimu terlalu baik orang tua. Aku 

yang rendah ini mana berani menerima buah ciptaanmu 

yang bagus luar biasa ini?!” 

syeikh slawi Aneh tertawa dan usap-usap dagunya. 

“Manusia kerap kali tertipu oleh pandangan matanya,” 

berkata syeikh slawi Aneh. “Apa yang kelihatan bagus itu 

belum tentu betul-betul bagus. Bukankah begitu...?” 

bobo  anggukkan kepala. 

“Kau mengangguk! Tapi apa kau bisa beri satu contoh 

daripada sesuatu yang kelihatan bagus namun nyatanya 

buruk?” 

Pertanyaan si orang tua yang tiada terduga membuat 

bobo  penulis asli  jadi garuk-garuk kepalanya. Di kejauhan 

dilihatnya sebuah gunung hijau membiru. Dia kemudian 

menunjuk ke arah gunung itu. 

“Kau lihat gunung yang jauh itu, orang tua?” 

“Ya... ya..., aku lihat.” 

“Dari sini kelihatannya bagus sekali. Biru kehijauan. 

Tapi coba kita mendekatinya. Gunung yang bagus itu tak 

lebih daripada pohon-pohon besar liar, semak-semak 

belukar, tanah, batu-batu dan lain sebagainya.” 

Pelukis Aneh tertawa. “Kau betul! Otakmu cerdik. Tentu 

kau murid seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu orang 

muda?” 

bobo  penulis asli  tak menjawab. Dia tak bisa menjawab. 

Dia tahu betul kalau gurunya Eyang Sinto Gendeng akan 

marah sekali bila namanya digembar-gembor di luaran. 

Maka akhirnya pemuda ini menjawab dengan senyum-

senyum, “Pengalaman adalah guru yang paling baik dan 

bijaksana bagi setiap manusia...” 

syeikh slawi Aneh kerenyitkan kening dan menatap paras 

si pemuda lekat-lekat. Sesaat kemudian mengumandang–

 

 

lah suara tertawa orang tua ini di seantero lamping gunung 

dan jurang batu. 

“Tong kosong selalu berbunyi nyaring. Tong penuh tak 

akan mengeluarkan suara nyaring! Orang berilmu tinggi 

akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu sedikit 

sering jual tampang, jual pamer dan bermulut besar. 

Kuharap saja bocah itu kelak akan mempunyai sifat 

macammu, bobo !” 

Telah dua kali dengan ini si orang tua menyebut 

‘bocah’. Maka bertanyalah bobo , “Pelukis Aneh, siapakah 

yang kau maksudkan dengan bocah itu?” 

“Calon muridku!” jawab syeikh slawi Aneh. Kemudian 

ditelitinya lukisan di hadapannya. 

bobo  memperhatikan pula dengan seksama. Lukisan 

perempuan telanjang itu betul-betul bagus luar biasa. 

Betul-betul seperti melihat manusia hidup di depan mata. 

Memandang lama-lama bobo  penulis asli  menjadi jengah juga. 

“Tadi kulihat Adipati Pamekasan hendak membeli 

lukisan ini sampai dua ratus ringgit. Kenapa kau tidak 

menjualnya?” tanya bobo . 

syeikh slawi Aneh tertawa. 

“Bacalah tulisan di sudut kanan bawah.” katanya. 

bobo  penulis asli  baru ingat pada tulisan itu. Tadi waktu 

memandang lukisan matanya hanya terpukau pada tubuh 

telanjang si perempuan cantik saja. Kini diperhatikannya 

bagian yang dikatakan si orang tua. Pada sudut bawah 

sebelah kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi: 

Lukisan ini kuwariskan kepada calon muridku: Wira 

Prakarsa. 

bobo  manggut-manggut 

“Calon muridmu itu, di manakah sekarang?” 

“Tentu saja di rumahnya.” sahut syeikh slawi Aneh. 

“Umurnya baru sepuluh tahun. Kelak pada umur duabelas 

tahun baru dia kuambil jadi murid.” 

“Lalu apa perlu lukisan perempuan telanjang ini hendak 

kau serahkan padanya?” tanya bobo  tak mengerti, 

“Ah... itu satu hal yang aku tak bisa terangkan, orang 

 

 

muda.” 

bobo  maklum tentu ada apa-apanya. Namun demikian, 

pendekar ini berkata pula, “Begitu selesai apakah lukisan 

ini akan kau berikan pada calon muridmu itu?” 

Pelukis Aneh gelengkan kepala, “Aku tidak terlalu 

bodoh.” jawabnya. “Sekarang saja orang-orang jahat sudah 

pada memaksa dengan kekerasan untuk inginkan lukisan 

ini. Kalau diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa 

berabe. Nanti pada dua tahun di muka baru kuberikan.” 

“Dua tahun di muka calon muridmu itu baru berumur 

duabelas tahun. Bagaimanapun dia tetap masih disebut 

anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini 

macam ke padanya bukan merupakan satu hal yang tidak 

pada tempatnya...?!” 

syeikh slawi Aneh tertawa. 

“Aku sudah bilang segala sesuatu yang bagus itu 

seringkali menipu kita. Dan di dalam seribu satu keanehan 

dunia, kita manusia ini tahu apa?!” 

bobo  maklum kalau si orang tua adalah seorang yang 

pandai dan bijaksana. Di samping itu mempunyai sifat 

aneh sehingga tak salah kalau dunia persilatan memberi 

gelar syeikh slawi Aneh kepadanya! 

“bobo .” berkata Pelukis Aneh. “Kalau aku tak salah raba 

agaknya kau tengah dalam satu perjalanan atau 

pengembaraan. Tengah menuju ke manakah kau 

sebetulnya?” 

bobo  penulis asli  merasa bimbang untuk mengatakannya 

terus terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah 

menuju Goa Belerang untuk menemui Kiai Bangkalan. 

Maka pendekar ini menjawab, “Manusia macamku ini 

berjalan hanya sepembawa kaki saja, orang tua.” 

sesudah  bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya bobo  

penulis asli  minta diri dan meneruskan perjalanan. Sampai di 

kaki gunung, matahari bersinar semakin terik. Tanpa 

perdulikan keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar 

10000 an  bobo  penulis asli  teruskan perjalanannya dengan mem–

pergunakan ilmu lari cepatnya, dan sambil bersiul-siul. 

 

 

Ketika dia berada di sebuah kaki bukit, mendadak di 

puncak bukit dilihatnya dua titik kuning laksana bintang 

malam bergerak cepat ke arah selatan. 

bobo  hentikan larinya guna dapat meneliti lebih jelas. 

Dua buah titik itu sangat jauh, tapi bobo  yakin itu adalah 

dua orang manusia yang tengah berlari cepat. bobo  

memperhatikan terus. Dua titik kuning itu menuruni bukit 

di sebelah selatan terus laksana terbang menuju ke daerah 

berbatu-batu dan terus lagi ke pegunungan di mana 

sebelumnya bobo  berada. Akhirnya dua titik kuning itu 

lenyap di batas pemandangan Pendekar 10000 an  bobo  penulis asli . 

Sewaktu bobo  ingat akan syeikh slawi Aneh yang 

ditemuinya di lamping pegunungan itu, mendadak hatinya 

menjadi berdesir, lebih cepat kalau dikatakan berdebar! 

Dua titik kuning itu pasti dua orang berkepandaian tinggi 

yang mempergunakan ilmu lari cepat. Dan keduanya 

mungkin pula orang-orang jahat yang sengaja pergi ke 

gunung itu untuk melakukan perbualan yang tidak baik 

terhadap syeikh slawi Aneh. 

bobo  merutuki dirinya sendiri karena sampai berpikir 

begitu jauh. Diputarnya badannya hendak melanjutkan 

perjalanan namun langkah.yang dibuatnya tertahan-tahan 

olen rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar 10000 an  memba–

likkan diri lalu berlari cepat kejurusan selatan. 

Dua kali peminum teh baru bobo  penulis asli  sampai ke 

tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa terkejutnya 

Pendekar 10000 an  sewaktu dia sampai di tempat itu! 

Larinya dengan serta merta terhenti. Sepasang kakinya 

laksana dipakukan ke bumi! Matanya menyipit, dada 

menggemuruh, kedua tinju terkepal sedang rahang 

terkatup rapat-rapat! 

“Terkutuk!” desis Pendekar 10000 an . 

Dia berlutut di hadapan tubuh syeikh slawi Aneh yang 

menggeletak di tikungan jalan. Tubuh orang tua ini 

mengerikan sekali. Mulai dari kepala sampai ke kaki 

ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang terbuat 

dari besi berlapiskan emas. Benda-benda yang merupakan 

 

 

senjata rahasia hebat ini pastilah mengandung racun yang 

luar biasa jahatnya karena saat itu bobo  melihat tubuh Si 

Pelukis Aneh berada dalam keadaan gembung membiru. 

Yang mengerikan ialah apa yang tercengkeram di 

tangan kanan syeikh slawi Aneh yang sudah tidak bernyawa 

itu. Pada jari-jari tangan kanannya tergenggam sebuah 

kutungan lengan yang tertutup kain kuning! Warna lain ini 

mengingatkan bobo  pada dua titik kuning yang dilihatnya 

sebelumnya. Melihat kepada bentuknya pastilah potongan 

lengan jubah seseorang. Tidak dapat tidak rupanya telah 

terjadi lagi pertempuran di tempat itu antara syeikh slawi 

Aneh dan dua orang berpakaian kuning yang dilihat bobo  di 

kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah utara. Meski 

menemui kematian di tangan dua pengeroyok namun Si 

Pelukis Aneh masih sanggup membetot putus lengan kiri 

salah seorang lawannya hingga tanggal dan dalam matinya 

masih mencengkeran lengan itu! 

bobo  penulis asli  tersentak sewaktu dia ingat pada lukisan 

perempuan telanjang. Tapi lukisan itu telah lenyap dari 

situ! Pasti dua manusia berpakaian kuning pengeroyok Si 

Pelukis Aneh itulah yang telah mencurinya! bobo  berdiri 

perlahan. Dia tak berani menyentuh tubuh syeikh slawi Aneh 

meski dirinya kebal terhadap segala macam racun. Dia 

harus menggali sebuah lubang dan mengubur orang tua 

itu. Tengah dia memandang berkeliling mencari tempat 

yang baik mendadak bobo  melihat sepasang kaki kecil 

tersembul di balik unggukan batu yang terletak tak berapa 

jauh dari tepi jurang. 

Cepat-cepat Pendekar 10000 an  melangkah ke batu itu. Di 

sini ditemuinya seorang anak kecil berpakaian compang-

camping, menggeletak tak bergerak. Kepalanya ada benjut 

besar. Sewaktu diperiksa ternyata dia cuma pingsan. 

sesudah  ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya anak ini 

siuman. Begitu siuman begitu dia menangis. Tampangnya 

tolol sekali! “Namamu tentu Wira.” tegur Pendekar 10000 an . 

Anak itu hentikan tangis dan seka kedua matanya lalu 

memandang pada bobo  penulis asli . Sewaktu dia melihat 

 

 

tubuh syeikh slawi Aneh maka anak ini kembali menangis 

lebih keras. sesudah  reda bobo  menanyakan bagaimana dia 

sampai berada di tempat itu. 

Dengan terhenti-henti oleh sesenggukan maka si anak 

memberi penuturan. Namanya memang Wira Prakarsa, 

calon murid syeikh slawi Aneh. Katanya dia tengah bermain-

main di depan rumah sewaktu dua orang berpakaian 

kuning bertampang mengerikan mendatanginya. Salah 

seorang dari mereka langsung mendukungnya dan 

membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang jalan 

orang yang mendukungnya itu tiada henti menanyakan di 

mana letak pegunungan yang biasanya didatangi oleh 

calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli akhirnya dia 

memberi tahu. Dan sewaktu sampai di tempat syeikh slawi 

Aneh maka langsung saja kedua orang berpakaian kuning 

itu menyerang calon gurunya. 

Menurut penuturan si anak lama sekali ketiga orang itu 

bertempur. Kemudian ada sambaran angin yang menye–

rempetnya hingga membuat dia terpelanting. Kepalanya 

membentur batu lalu dia tak ingat apa-apa lagi! 

bobo  maklum kini apa yang telah terjadi. 

“Apa kau pernah melihat kedua orang itu sebelumnya?” 

Wira Prakarsa menggeleng. 

“Tadi kau katakan muka kedua orang itu mengerikan 

sekali. Bisa kau mengatakan apa-apa yang mengerikan 

itu?” 

Si anak seka lagi sepasang matanya lalu menjawab 

dengan


Related Posts:

  • bobo berkelahi 1  LANGIT terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar megah. Serombongan burung-burung pipit berarak dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat. Seorang pemuda gagah berjalan lenggang kan… Read More