LANGIT terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar
megah. Serombongan burung-burung pipit berarak
dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat.
Seorang pemuda gagah berjalan lenggang kangkung
seenaknya di satu lamping gunung. Keterikan sinar mata–
hari tiada diperdulikannya. Bahkan sambil berjalan itu dia
bersiul-siul entah membawakan lagu apa. Suara siulannya
menggema sepanjang jalan seantero lamping gunung. Bila
seorang tokoh silat dunia persilatan mendengar suara
siulan yang keras tiada menentu itu, segera dia akan
maklum bahwa orang yang mengeluarkan siulan itu bukan
lain daripada bobo penulis asli , pemuda gagah yang bergelar
Pendekar barbel Maut mainan 10000 an .
Di satu tempat bobo hentikan langkahnya. Dia meman–
dang ke bawah. Luar biasa sekali keindahan alam yang
dilihatnya. Pohon-pohon menghijau di kejauhan. Di utara
dua buah gunung menjulang tinggi laksana raksasa pen–
jaga negeri. Di barat sebuah sungai laksana seekor ular
besar meliuk-liuk memantulkan cahaya putih perak karena
ditimpa sinar matahari.
bobo menyeka peluh yang mencucur di keningnya
dengan ujung sapu tangan putih penutup kepalanya.
sesudah puas menikmati pemandangan yang indah itu dia
melanjutkan perjalanan kembali dan kali ini dengan
mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki sehingga dalam
sekejap saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia
berharap akan sampai sesenja-senjanya hari, ke tempat
tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai Bangkalan telah menyu–
ruhnya datang. Orang tua sakti itu telah menjanjikan akan
menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadanya.
Memasuki satu tikungan jalan di dekat kaki gunung,
bobo memperlambat larinya. Jalan di tikungan itu sempit
sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang batu yang curam
terjal serta luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke sana
jangan harap akan hidup sampai di dasar jurang. Kalaupun
dia hidup, ke luar dari dasar jurang pasti akan sia-sia!
Dari memperlambat larinya, tiba-tiba bobo penulis asli
berhenti. Tepat di tikungan jalan itu dilihatnya duduk men–
cangkung seorang laki-laki tua berambut putih. Badannya
kurus sekali. Demikian kurusnya hingga keadaannya tak
ubah seperti tengkorak atau jerangkong hidup!
Yang membuat bobo penulis asli heran ialah apa yang
tengah dikerjakan si orang tua tak dikenal itu. Sambil
duduk mencangkung, orang tua ini menghadapi sebuah
pigura kain putih yang lebarnya satu meter sedang pan–
jangnya hampir satu setengah meter. Pigura kain putih itu
disandarkan pada sebuah batu. Di atas terletak sehelai
daun pisang. Di sebuah daun pisang ini terdapat cairan
kental berkelompok-kelompok beraneka ragam warnanya.
Si orang tua membetulkan letak pigura kain putih di
hadapannya. Kemudian dengan ujung jari telunjuk tangan
kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan berwar–
na di atas daun pisang. Dengan jari yang berselomotan
cairan berwarna itu, si orang tua mulai menggurat-gurat di
atas kain putih. Demikian asyiknya sehingga dia tidak me–
ngetahui agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di situ.
bobo terus memperhatikan dengan tak bersuara.
Guratan-guratan yang dibuat si orang tua kelihatannya
dilakukan seenaknya dan asal-asalan saja. Tapi betapa
terkejutnya Pendekar 10000 an . Lewat setengah jam kemudian
di atas kain putih itu, meski belum begitu jelas, terlihat
gambaran seorang perempuan tengah berbaring di atas
tempat tidur dalam sebuah kamar yang bagus. Ternyata si
orang tua adalah seorang pelukis yang lihai tetapi juga
aneh! Lihai dan aneh karena dia melukis dengan ujung jari
telunjuk, dengan cairan-cairan berwarna yang diletakkan di
atas daun pisang dan di tempat sepi begitu rupa, di bawah
teriknya sinar matahari!
Agar bisa memperhatikan lebih jelas, tapi juga untuk
tidak mengganggu si orang tua, maka bobo penulis asli
melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang
tua berdiri dan mundur beberapa langkah untuk meneliti
lukisannya.
“Ah... bagus sekali... bagus sekali! Bocah itu tentu akan
senang melihatnya!” Suara orang tua ini kecil halus seperti
perempuan.
bobo penulis asli leletkan lidahnya. Ternyata si orang tua
telah melukis seorang perempuan telanjang yang berbaring
di atas sebuah tempat tidur dalam kamar yang bagus.
Perempuan itu cantik sekali, rambutnya panjang menjela
ke lantai kamar yang ditutupi permadani. Tubuhnya yang
tiada tertutup pakaian demikian bagus dan mulusnya. Mau
tak mau berdebar juga hati Pendekar 10000 an melihat lukisan
itu. Aneh orang yang demikian tua mempunyai daya cipta
yang merangsang begitu rupa. Dan siapa pula bocah yang
dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan
senang melihat lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat
lukisan perempuan telanjang? Betul-betul keblinger, pikir
bobo . Dalam pada itu siapakah manusia ini?
Sementara itu si orang tua kelihatan menambah
beberapa guratan pada lukisannya. bobo penulis asli memper–
hatikan terus. Si orang tua tengah menuliskan serangkaian
kalimat pada sudut kanan sebelah bawah lukisannya.
Karena jauh bobo tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin
tahu akan apa yang ditulis si orang tua, bobo penulis asli
hendak melompat turun. Tapi niatnya dibatalkan karena di
kejauhan didengarnya suara gemeletak roda kereta
meningkahi derap kaki-kaki kuda.
Sesaat kemudian kelihatanlah sebuah kereta putih
yang ditarik oleh dua ekor kuda meluncur ke arah tikungan.
Di bagian depan dan sisi kereta ada empat penunggang
kuda yang berpakaian keprajuritan. Mendekati tikungan
rombongan itu bergerak perlahan.
Si orang tua masih juga asyik dengan lukisannya.
Apakah dia tidak mendengar suara kedatangan kereta dan
derap kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika rombongan
tersebut berhenti di tikungan, si orang tua masih saja tidak
berpaling. Apakah dia tuli?
Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari
kudanya. Dia memandang sejenak pada lukisan yang
tersandar di batu lalu dengan sikap hormat menegur si
orang tua.
“Bapak, kuharap kau sudi ke pinggir sedikit agar kereta
bisa lewat.”
Orang tua itu mencelupkan jari telunjuk tangan kanan–
nya ke cairan berwarna putih di daun pisang lalu melan–
jutkan menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah
kanan lukisan.
Prajurit itu menduga si orang tua tuli. Maka dia
melangkah ke samping dan menegur lagi lebih keras
disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi tetap saja si orang tua
tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala sedikitpun
tidak!
Dari dalam kereta terdengar suara seseorang.
“Pengawal, ada apakah kereta berhenti?”
“Kita mendapat sedikit rintangan Raden Mas Cokro,”
jawab prajurit yang turun dari kuda.
Dari jendela kereta kemudian keluar kepala seorang
laki-laki berparas gagah, berkumis rapi dan mengenakan
belangkon yang bagus. Begitu sepasang mata laki-taki ini
membentur lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka
tertariklah hatinya. Dengan segera dia turun dari kereta.
Digeleng-gelengkan kepalanya.
“Lukisanmu luar biasa bagusnya, orang tua,” kata laki-
laki ini.
Untuk pertama kalinya orang tua bertubuh jerangkong
itu palingkan kepala. Dia tersenyum sedikit pada laki-laki
berpakaian dan berbelangkon bagus lalu meneruskan lagi
pekerjaannya.
“Orang tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini.
Apakah kau sudi menjualnya?”
Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap
orang demikian jumawa maka si orang tua hentikan
pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan
tersenyum lagi.
“Terima kasih atas rasa kagummu Raden Mas. Tapi
sayang, lukisan ini bukan untuk dijual...”
Raden Mas Cokro menatap paras orang tua itu.
“Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja
harganya...”
Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
“Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual.
Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain.”
“Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini,” kata
Raden Mas Cokro.
“Menyesal sekali...”
“Akan kubeli lima puluh ringgit.”
“Maaf Raden Mas...”
“Seratus ringgit!”
“Ah... sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun
tak dapat kukabulkan Raden Mas...”
“Kalau begitu biar kubeli dua ratus ringgit!”
Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah kantong kain
dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling
pandang dan kerenyitkan alis keheranan. Meski lukisan itu
bagus luar biasa tapi dua ratus ringgit belul-betul harga
yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak
sampai setengah ringgit satu minggu, menciut hati
keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar semahal itu si
orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya!
“Ini terimalah.” kata Raden Mas Cokro seraya
mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua ratus uang
ringgit di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya.
Tapi lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala.
“Walau dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini tak dapat
kujual Raden Mas. Mohon maafmu...”
Raden Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan
sikap si orang tua. Maka berkatalah dia, “Apa dengan
harga semahal itu kau tetap tak mau menjualnya pada
Adipati Pamekasan?”
“Ah...” Si orang tua menjura dalam-dalam. “Tak tahunya
aku tengah berhadapan dengan Adipati Pamekasan,”
katanya. Dihelanya nafas panjang lalu sambungnya,
“Benar-benar ini satu kehormatan besar bagiku Adipati
Cokro. Namun benar-benar pula aku mohon dimaafkan,
lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan
buatkan lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau
tak perlu membayar mahal... Kau pasti tak akan kecewa
Raden Mas...”
Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa.
Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke
dalam kereta.
“Lain kali kalau ada kesempatan aku akan temui kau,
orang tua. Di mana tempat tinggalmu?” tanya Raden Mas
Cokro lewat jendela kereta.
Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil tersenyum dia
menjawab, “Aku seorang pengembara luntang lantung,
Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman yang tetap.
Bila lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku
akan antarkan sendiri ke Pamekasan...”
Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasa–
ran. Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintah–
kannya anak buahnya melanjutkan perjalanan!
Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan
pekerjaannya.
Di atas batu tinggi bobo penulis asli tak habis pikir dan
garuk-garuk kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit!
Harga tawaran yang semahal itu ditolak oleh si orang tua.
Betul-betul manusia ini aneh sekali!
Mendadak bobo penulis asli mendengar suara kaki yang
berlari cepat. Belum lagi sempat dia berpaling sesosok
tubuh tahu-tahu telah berdiri di samping si orang tua.
Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranya
begitu dia muncul di depan mata. Karena manusia ini
tentunya memiliki kepandaian tinggi, maka bobo penulis asli
memperhatikan dengan seksama.
Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek.
Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi
satu. Manusia tak berleher ini berambut gondrong yang
dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian dada
terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak
sedap dipandang ialah wajahnya. Mukanya yang berminyak
itu bermata lebar merah, hidung besar, bibir tebal dan tak
bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar serta kuning
kelihatan menjorok ke luar.
“Ha... ha... ha. Ini betul-betul satu lukisan yang bagus
luar biasa!” berkata si gemuk yang baru datang ini. Bola
matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang
tersandar di batu.
Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya
tidak berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan kata-
kata pada bagian bawah kanan lukisan itu.
“Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan padaku!” kata
si gemuk dengan suara keras lantang hingga menguman–
dang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam
jurang batu. Hebat sekali tenaga dalam manusia ini!
Namun kehebatan ini seperti tiada terasa dan tiada diper–
dulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah
mendekati orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya
di situ dianggap sepi. Bahkan apa yang dikatakannya tadi
tiada diambil perhatian oleh si orang tua!
“Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi?!”
bentak si gemuk.
Barulah orang tua itu berpaling.
Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik
ke atas. Ketika kedua alis itu turun maka sekelumit
senyum tersungging di bibirnya.
“Ah, kalau mataku tak salah lihat... bukankah saat ini
aku tengah berhadapan dengan salah seorang Dua Iblis
Dari Selatan?”
bobo penulis asli
RAHASIA LUKISAN TELANJANG 2
I GEMUK terkesiap karena tiada menyana kalau
orang tua kurus kering itu mengetahui dirinya.
Menurut taksirannya, pastilah si orang tua itu bukan
manusia sembarangan.
“Bagus sekali kau kenali aku!” kata si gemuk. “Ini
membuat aku tak banyak cerewet untuk meminta lukisan
itu padamu!”
Si orang tua tertawa panjang.
Siapakah manusia gemuk itu? Dalam dunia persilatan
di daerah selatan pada masa itu dikenal dua orang sakti
bersaudara yang berkepandaian tinggi. Yang seorang
berbadan kurus kerempeng bermuka jelek menyeramkan.
Dia berjuluk Iblis Kurus. Yang kedua berbadan gemuk
pendek juga bermuka buruk seram dan bergelar Iblis
Gemuk. Dan Iblis Gemuk inilah yang tengah berhadapan
dengan si orang tua itu! Iblis Gemuk dan Iblis Kurus kedua-
duanya lebih dikenal dengan sebutan Dua Iblis Dari
Selatan. Di mana ada Iblis Kurus biasanya di situ juga hadir
Iblis Gemuk. Entah mengapa sekali ini cuma seorang yang
muncul. Dan dalam dunia persilatan keduanya adalah
tokoh-tokoh golongan hitam yang berhati jahat sehingga
pantas sekali julukan ‘Iblis’ itu bagi keduanya! Di samping
berhati jahat, Iblis Gemuk mempunyai kesukaan mengum–
pulkan barang-barang antik seperti senjata-senjata kuno,
patung-patung dan lukisan. Pada waktu dia melihat lukisan
yang dibuat si orang tua maka hatinyapun tertariklah dan
dia musti mendapatkan lukisan itu. Tentu saja bukan
dengan jalan membeli, tapi menurut caranya sendiri yaitu
kekerasan.
sesudah meneliti paras Iblis Gemuk sebentar, maka
menjawablah si orang tua, “Lukisan ini tak bisa kuberikan
padamu, atau pada siapapun.”
“sesudah tahu siapa aku apakah kau berani menolak?!”
ujar Iblis Gemuk.
“Ah sudahlah pekerjaanku masih belum selesai.
Kuharap kau jangan ganggu aku, Iblis Gemuk.” Si orang tua
memutar kepalanya kembali dan hendak meneruskan
pekerjaannya.
Tapi Iblis Gemuk segera membentak keras.
“Suka atau tidak suka lukisan itu musti kau serahkan
padaku! Kalau tidak kau akan menyesal orang tua...!”
Si orang tua menarik nafas dalam. Lalu tanpa menga–
cuhkan Iblis Gemuk lagi dia hendak meneruskan kembali
pekerjaannya. Marahlah Iblis Gemuk. Dengan tumit kaki
kirinya hendak didorongnya orang tua itu ke samping. Tapi
belum lagi tumit itu sampai, si orang tua sudah berkelit dan
berdiri.
Iblis Gemuk terkejut Meski acuh tak acuh tapi gerakan–
nya untuk mengenyampingkan orang tua tadi adalah salah
satu jurus yang dinamakan Menggeser Bukit yang tidak
mudah untuk dikelit. Ini membuat Iblis Gemuk tambah
marah dan serta merta pukulkan tangan kirinya ke arah
dada orang tua yang kurus kering macam jerangkong itu!
“Manusia tidak tahu diri!” bentak si orang tua mulai
marah, “Lekas kau pergi dari sini...!”
“Aku akan pergi tapi sesudahnya menghadiahkan satu
pukulan padamu dan mendapatkan lukisan itu!”
Si orang tua menggerendeng lalu papasi jotosan lawan
dengan lambaikan tangan kanannya ke muka! Iblis Gemuk
menjadi kaget sewaktu merasakan bagaimana sambaran
angin yang keluar dari tangan si orang tua membuat bukan
saja pukulannya membelok ke samping tapi sekaligus
membuat tubuhnya terhuyung-huyung sampai empat
lahgkah ke belakang!
“Orang tua badan tengkorak! Cepat terangkan siapa
kau sesungguhnya?!” bentak Iblis Gemuk.
Si orang tua tertawa pendek.
“Tak perlu kau tahu namaku. Lekas tinggalkan tempat
ini sebelum aku betul-betul marah!”
“Manusia jerangkong sialan! Terpaksa tulang-tulang di
badanmu kubikin berantakan!”
Habis berkata begitu Iblis Gemuk segera menyerbu ke
muka dan kirimkan serangan yang ganas. Dalam tempo
yang singkat maka terjadilah pertempuran yang hebat di
tikungan jalan yang sempit itu. Di samping mereka,
menunggu jurang batu yang luas dan dalam. Salah saja
membuat gerakan atau terpukul oleh lawan atau terpele–
set, tak ampun lagi pasti akan jatuh ke dalam jurang!
Pertempuran telah berjalan delapan jurus.
bobo geleng-gelengkan kepala. Tak dinyana si orang tua
yang kurus kering itu memiliki gerakan yang demikian
sebat dan entengnya. Beberapa kali dia melihat bahwa
orang tua ini mempunyai peluang untuk menjatuhkan
tangan jahat terhadap lawannya, namun tiada dipergu–
nakan. Nyatalah bahwa orang tua ini berhati demikian
polosnya sehingga menghadapi lawan yang terang-
terangan hendak bermaksud buruk kepadanya, dia masih
belum mau lepaskan tangan keras!
“Iblis Gemuk! Apakah kau masih belum mau angkat
kaki dari sini?!”
“Kunyuk kurus kering! Terima jurus Memukul Gunung
Menentang Bukit ini!” teriak Iblis Gemuk. Tinju kanannya
menderu ke arah batok kepala lawan sedang kaki kanan
serentak dengan itu menendang ke arah dada! Belum lagi
pukulan dan tendangan itu sampai, anginnya saja sudah
menderu dahsyat!
Buukk!
Terdengar menyusul suara keluhan tinggi. Tubuh Iblis
Gemuk terbanting ke belakang, punggungnya menghantam
gundukan batu di atas mana bobo penulis asli duduk, kemu–
dian melosong jatuh duduk di tanah. Nafasnya megap-
megap ketika berdiri. Masih untung dia terbanting ke
samping kanan, kalau ke samping kiri pastilah akan
terlempar masuk jurang dan tamat riwayatnya.
“Masih belum cukup peringatan yang kuberikan
padamu Iblis Gemuk?!” tanya si orang tua.
Iblis Gemuk berkemak kemik. Mukanya pucat. Nyatalah
dia telah menderita luka di dalam yang cukup parah akibat
pukulan lawan yang tadi menghantam dada kirinya!
“Bangsat tua! Kau tunggu di sini! Hari ini juga Dua Iblis
Dari Selatan akan menunjukkan jalan ke akhirat padamu!”
Si orang tua tertawa mengekeh.
“Kau mau panggil kambratmu si Iblis Kurus...?
Silahkan... silahkan! Masa ada tamu yang bakal datang aku
hendak pergi tinggalkan tempat ini? Pekerjaankupun
belum selesai!”
Iblis Gemuk meludah ke tanah lalu berkelebat tinggal–
kan tempat itu, sedang si orang tua seperti tiada terjadi
apa-apa kembali meneruskan pekerjaannya!
Di atas batu yang tinggi bobo penulis asli memutar otaknya
berusaha mengingat-ingat siapa adanya orang tua yang
berkepandaian tinggi itu. Belum lagi berhasil mendadak
entah dari mana datangnya, tahu-tahu bobo penulis asli meli–
hat di bawahnya telah berdiri seorang nenek-nenek berba–
dan bungkuk berambut putih yang mukanya buruk sekali.
Karena bobo sama sekali tiada mendengar kedatangan
perempuan ini nyata sekali dia memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi luar biasa!
sesudah memperhatikan sejenak lukisan yang tersandar
di atas batu maka perempuan tua renta ini menegur
bertanya, “Orang tua, apakah kau melihat dua orang
kawanku lewat di sini...?”
Tidak seperti biasanya, sekali ini begitu ditegur maka
orang tua itu hentikan pekerjaannya dan berpaling. Mata–
nya yang sudah dimakan umur itu meneliti dengan seksa–
ma sedang keningnya berkerenyit.
“Hanya ada seorang yang lewat di sini barusan,” jawab
si orang tua. “Iblis Gemuk, apakah dia yang kau
maksudkan?”
“Bukan!” jawab perempuan tua itu. Dia melirik pada
lukisan yang tersandar di batu. “Itu kau yang membuat–
nya?”
“Betul.”
“Bagus sekali! Kuharap pada tanggal satu bulan muka
lukisan itu harus kau bawa ke Gunung Sumpang dan
menyerahkannya padaku! Kau dengar?”
“Tentu saja dengar. Tapi menyesal sobat, lukisan ini tak
bisa kuberikan pada siapa-siapa!”
“Aku tak perduli!” sentak si perempuan bongkok.
“Umurmu memang kulihat sudah lanjut! Tapi tentu kau tak
ingin buru-buru mampus! Karenanya jangan banyak mulut!
Lukisan ini harus kau bawa ke Gunung Sumpang pada
tanggal satu bulan di muka!”
“Tidak mungkin!”
“Kau membantah?!”
Orang tua berbadan kurus gelengkan kepala.
“Jangankan diminta, dibeli pun aku tidak sudi!”
“Kalau begitu kau ingin cepat-cepat mati!”
“Sobat, Iblis Gemuk meminta lukisan ini. Aku tidak
berikan. Adipati Pamekasan berniat membelinya dua ratus
ringgit, aku tidak jual. Sekarang kau juga menghendakinya.
Tetap saja aku tak bisa memberikan!”
“Kalau begitu kau berikanlah nyawamu!” sahut si
perempuan tua seraya mundur satu langkah dan siap-siap
untuk kirimkan satu pukulan.
“Tahan dulu sobat!” ujar si orang tua berbadan kurus.
“Sesungguhnya ada apakah hingga kau begitu
menginginkan lukisan itu?!”
“Itu kau tak perlu tanya! Aku mau lukisanmu habis per–
kara! Ayo, kau mau serahkan apa tidak?!”
“Lucu! Sungguh lucu!”
“Apa yang lucu?!” sentak si perempuan bungkuk
bermuka keriput.
“Lukisan begini rupa banyak orang yang meng–
inginkannya, apa itu bukan lucu?!”
“Orang tua, jangan kau banyak cingcong. Lekas serah–
kan lukisan itu kalau tidak nasibmu akan seperti ini!” Habis
berkata begitu perempuan tersebut pukulkan tangan
kirinya ke arah batu di atas mana bobo penulis asli duduk
sembunyi sejak tadi!
Byur!
Sekali pukul saja maka hancurlah bagian dasar batu
besar yang tinggi itu. Bagian atasnya laksana pohon
tumbang, rubuh ke bawah dan menggelinding ke dalam
jurang dengan suara menggemuruh. bobo sendiri begitu
merasa bagian bawah batu hancur segera melesat dan
berpindah ke puncak batu yang lain!
Si orang tua tarik nafas panjang-panjang dan geleng-
gelengkan kepala. “Pukulan yang bagus luar biasa! Puku–
lan yang hebat!” katanya memuji. Kemudian dipandanginya
paras perempuan di hadapannya. “Sungguh mataku yang
telah tua ini tidak bisa mengenali orang! Mulanya aku
masih bersangsi, tapi melihat pukulan Penghancur Baja
yang kau lepaskan itu tadi kini aku yakin bahwa aku betul-
betul berhadapan dengan Nenek Rambut Putih yang
terkenal itu!”
Jika si orang tua kenali nama gelarannya ini tidak
mengherankan si perempuan bungkuk berambut putih.
Tapi adalah membuat dia diam-diam merasa kaget sewak–
Ztu si orang tua mengetahui nama pukulan yang tadi
dilepaskannya!
“Kalau kau sudah tahu tingginya langit luasnya lautan,
apakah kau masih banyak cerewet tak mau serahkan
lukisan itu?!”
“Langit memang tinggi, laut memang luas! Tapi apakah
semua itu dapat melebihi tinggi dan luasnya budi manusia
yang berhati luhur?”
Terkejut Nenek Rambut Putih mendengar ucapan itu.
“Lekas beri tahu siapa kau!” sentaknya.
Si orang tua geleng-gelengkan kepala.
“Manusia tetap manusia sekalipun dia punya seribu
nama! Manusia tak perlu agul-agulkan nama terhadap
sesama manusia. Karena dia dilahirkan tiada bernama...!”
“Cacing kurus! Aku tak punya waktu lama! Terpaksa
lukisan itu kuambil sekarang juga!” kata Nenek Rambut
Putih. Habis berkata demikian laksana kilat dia melompat
menyambar lukisan perempuan telanjang yang tersandar di
batu.
Namun mendadak sontak perempuan tua itu
merasakan lengan kanannya nyeri seperti orang
kesemutan! Ternyata si orang tua telah melepaskan satu
sentilan ujung jari ke arahnya!
“Jadi kau punya ilmu yang diandalkan hah?!” lengking
Nenek Rambut Putih. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia
segera menyerang. Maka untuk kesekian kalinya di jalan
menikung yang sempit itu terjadi lagi pertempuran. Kini
lebih seru dari pertempuran antara si orang tua dengan
Iblis Gemuk sebelumnya. Sepuluh jurus berlalu sangat
cepat. Tubuh kedua orang yang bertempur boleh dikatakan
lenyap berubah menjadi bayang-bayang. Batu-batu kerikil
berhamburan, debu jalanan beterbangan.
bobo penulis asli memperhatikan dengan mata tak berke–
dip. Nenek Rambut Putih gerakannya sangat gesit. Setiap
pukulan atau tendangan yang dilancarkannya hebat luar
biasa serta mendatangkan angin yang bersiuran. Tapi
lawannya juga tak kalah hebat, malah sesudah lewat
sepuluh jurus Nenek Rambut Putih berhasil didesaknya ke
tepi jurang!
“Perempuan tua, jika kau tak mau tinggalkan tempat ini
secara baik-baik pasti riwayatmu akan tamat di dasar
jurang sana!”
Nenek Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya. Dia
melompat ke sebuah batu datar dan dari sini lancarkan
satu tendangan ganas. Lawannya berkelit gesit ke sam–
ping. Akibatnya tendangan itu melanda sebuah batu di
hadapan Nenek Rambut Putih. Batu itu hancur berkeping-
keping! Si orang tua badan jerangkong terkejut melihat hal
ini. Rupa-rupanya lawan benar-benar inginkan jiwanya.
Maka segera dirubah permainan silatnya. Dalam sekejap
saja tubuhnya lenyap dan membuat Nenek Rambut Putih
kebingungan sendiri!
Bret!
Si nenek tersurut mundur. Pakaiannya di pinggang
robek besar dan kulit badannya terasa dingin sedang di
hadapannya manusia yang menjadi lawannya tertawa-tawa
dan menegur, “Kita tak ada permusuhan. Sebaiknya lekas
tinggalkan tempat ini!”
Tenggorokan Nenek Rambut Putih kelihatan turun naik.
Kegemasan nyata sekali terlihat pada parasnya yang tua
keriputan. Dia menyadari bahwa manusia itu bukan tan–
dingannya. Meski demikian untuk menutupi rasa malunya,
Nenek Rambut Putih berkata, “Sayang aku tengah mencari
dua orang sahabatku. Kalau tidak, sampai seribu jurus pun
aku akan ladeni kau.”
Si orang tua ganda tertawa.
“Permusuhan tanpa alasan bisa dicari,” sahutnya
“Berlalulah...!”
“Tanggal satu di bulan muka lukisan itu harus sudah
kau sampaikan ke Gunung Sumpang! Kalau tidak aku dan
kawan-kawan tak akan memberi ampun padamu, orang
tua!”
“Aku tidak punya kesalahan apa-apa padamu. Perlu apa
minta-minta ampun segala?!” menyahuti si orang tua. Tapi
Nenek Rambut Putih telah berkelebat dan menghilang dari
tempat itu!
Baru saja Nenek Rambut Putih lenyap di balik tikungan
sebelah kanan, maka dari tikungan sebelah kiri terdengar
seruan nyaring, “Orang tua keparat! Aku datang untuk
menagih jiwamu!”
bobo penulis asli
RAHASIA LUKISAN TELANJANG 3
ERNYATA yang datang bukan lain daripada Iblis
Gemuk yang tadi telah bertempur dengan si orang tua
berbadan kurus. Kali ini dia datang bukan sendirian,
tapi bersama seorang laki-laki berbadan tinggi yang kurus
luar biasa, lebih kurus dari si orang tua sendiri. Keadaan
tubuhnya serta tampangnya yang mengerikan persis
seperti jerangkong hidup. Seperti Iblis Gemuk, manusia ini
pun menguncir ke atas rambutnya yang gondrong dan dia
bukan lain daripada Iblis Kurus, kakak kandung dan kakak
seperguruan Iblis Gemuk. Iblis Kurus memang memiliki
ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada Iblis
Gemuk. Karena itulah Iblis Gemuk telah mencari kakaknya
itu di kaki gunung dan membawanya ke tempat si orang
tua melanjutkan pertempuran yang telah terjadi sebelum–
nya!
Si orang tua yang tadi sudah hendak mencangkung
untuk melanjutkan pekerjaannya, mendengar suara seruan
nyaring itu segera berdiri.
“Hem... kau betul-betul datang menepati janji, Iblis
Gemuk!” kata si orang tua sambil melirik pada Iblis Kurus.
Iblis Kurus memandang mencemooh.
“Adikku, apakah ini manusianya yang telah berani
turunkan tangan lancang terhadapmu?!”
“Betul, memang dia bangsatnya!” sahut Iblis Gemuk.
Iblis Kurus memperhatikan lukisan di belakang si orang
tua. Lukisan itu memang bagus sekali serta merangsang.
Tidak salah kalau adiknya demikian tertarik dan meng–
inginkannya.
“Manusia kurus cacingan macam ini saja kau tidak
T
sanggup menghadapi. Betul-betul membuat nama besarku
menjadi luntur!”
Si orang tua tertawa dingin.
“Tampang dan tubuhmu jauh lebih buruk dari aku, Iblis
Kurus. Karenanya tak perlu mencela orang lain...”
“Kakakku, kurasa tak perlu kita bicara panjang lebar
dengan bangsat tua ini. Mari kita musnahkan dia!” ujar
Iblis Gemuk.
Si orang tua tertawa mengekeh. “Nyalimu melembung
besar kembali Iblis Gemuk! Tentu kau mengandalkan
kakakmu ini, bukan?!”
“Orang tua keparat! Ajal sudah di depan mata masih
bisa bicara sombong!”
Si orang tua berpaling pada Iblis Kurus lalu berkata,
“Sobat, nama besar kalian berdua sudah lama kudengar.
Antara kita tak ada permusuhan...”
“Sesudah kau berani berlaku lancang terhadap adikku,
apakah itu bukan berarti permusuhan?!” potong Iblis
Kurus.
“Itu salah adikmu sendiri!” sahut orang tua itu dengan
nada sabar. “Dia inginkan lukisanku. Aku menolak. Dia
memaksa malah lakukan kekerasan. Salahkah kalau aku
memberi sedikit pelajaran padanya?!”
“Tapi tidak seorangpun yang boleh turun tangan
seenaknya terhadap Dua Iblis Dari Selatan!” tukas Iblis
Gemuk.
Si orang tua tertawa mengejek.
“Sifat manusia memang banyak yang aneh,” katanya.
“Ingin menggebuk orang lain, tapi digebuk tidak mau!”
Iblis Kurus rangkapkan tangan di muka dada.
“Orang tua, sebaiknya kau serahkan saja lukisan itu
pada adikku. Niscaya kami Dua Iblis Dari Selatan tidak
akan bikin urusan menjadi panjang!”
Orang tua itu geleng-gelengkan kepala.
“Heran,” katanya, “mengapa di dunia ini masih banyak
manusia-manusia yang ingin memaksakan kehendaknya
terhadap orang lain...”
“Kau mau serahkan lukisan itu atau tidak?!” bentak
Iblis Kurus. “Kalau begitu lekas terangkan namamu! Aku
tidak pernah membunuh manusia tanpa tahu nama atau
julukannya sekalipun manusia tak berguna macam kau!”
Si orang tua tertawa panjang tapi kali ini tawanya
bernada rawan.
“Seharian ini banyak sekali orang-orang yang ingin tahu
namaku,” katanya. “Padahal semua manusia dilahirkan
tidak bernama...”
“Jangan ngaco! Lekas beritahu namamu!” hardik Iblis
Kurus sambil maju satu langkah.
Sebagai jawaban maka kali ini orang tua aneh itu
keluarkan serangkaian nyanyian:
Puluhan tahun mengembara
Tiada berumah tiada bertempat tinggal
Delapan penjuru angin penuh dengan keindahan
Bukankah pekerjaan baik, melukis segala yang indah?
Mendengar suara nyanyian itu terkejutlah Dua Iblis Dari
Selatan. Mereka saling pandang sejenak.
“Jadi rupanya kaulah syeikh slawi Aneh yang selama ini
malang melintang dalam dunia persilatan?!” ujar Iblis
Kurus. Hatinya berdebar juga mengetahui siapa adanya
manusia di hadapannya, tapi dia tidak takut
Si orang tua yang memang syeikh slawi Aneh adanya
mengusap-usap dagunya.
“Sungguh tiada diduga hari ini Dua Iblis Dari Selatan
akan berhadapan dengan syeikh slawi Aneh akan pasrahkan
jiwanya di tanganku!” syeikh slawi Aneh tertawa panjang-
panjang. “Rupanya hari ini aku terpaksa mencabut pan–
tangan membunuh yang sejak lama kulakukan. Orang lain
hendaki jiwaku, mana mungkin aku berpangku tangan...?!”
“Bagus! Sekarang terima jurus pertama ini kunyuk tua!”
teriak Iblis Kurus dan dengan serta merta menyerang ke
muka.
Dibandingkan dengan Iblis Gemuk yang kepandaiannya
sudah tinggi maka Iblis Kurus jauh lebih tinggi lagi ilmu
silatnya. Tahu menghadapi lawan yang tangguh maka Iblis
Kurus keluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya
sehingga dalam waktu yang singkat serangannya laksana
hujan bertubi-tubi melanda tubuh syeikh slawi Aneh!
Dalam lima jurus pertama syeikh slawi Aneh dibikin
terdesak hebat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis
Gemuk untuk bergerak mengambil lukisan perempuan
telanjang yang tersandar di batu!
Meski dalam keadaan terdesak, syeikh slawi Aneh masih
sempat melihat gerakan lawannya yang satu itu. Maka
dengan melengking tinggi orang tua ini melompat sejauh
dua tombak lalu menukik laksana kilat dan lancarkan satu
tendangan ke arah Iblis Gemuk.
Iblis Gemuk terpaksa batalkan niatnya untuk mengam–
bil lukisan itu dan buru-buru menyingkir karena angin
tendangan lawan deras dan bahayanya bukan olah-olah!
Baru saja syeikh slawi Aneh jejakkan kakinya di tanah,
maka Iblis Kurus telah menyerbunya dengan dua ten–
dangan, dua pukulan!
Namun kali ini syeikh slawi Aneh telah rubah permainan
silatnya. Matanya yang tajam dan penuh pengalaman itu
sudah melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan.
Maka sekali tubuhnya berkelebat, Iblis Kurus merasakan
desakan serangan yang hebat sekali membuat dia
selangkah demi selangkah dan jurus demi jurus terdesak
hebat. Dia sama sekali tak dapat melihat gerakan lawan
dan tahu-tahu tangan atau kaki orang tua itu sudah berada
dekat kepala atau tubuhnya! Hanya dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuhnya yang sempurnalah maka dia
masih sanggup elakkan semua serangan lawan itu! Tapi
sampai beberapa lama dia sanggup bertahan?!
Iblis Kurus menjadi gemas sekali. Semakin lama se–
akan terdesak dia. Gerakan lawan yang campur aduk tak
bisa dilihatnya mengacaukan serangan serta jurus-jurus
pertahanannya yang terlihai. Iblis Kurus keluarkan keringat
dingin sewaktu dirinya didesak hebat ke tepi jurang! Setiap
dicobanya untuk melompat ke samping selalu dia berha–
dapan dengan tendangan-tendangan atau jotosan-jotosan
lawan yang menyambar di muka hidungnya hingga dia
terpaksa membatalkan niatnya untuk melompat ke
samping! Dalam pada itu, detik demi detik tepi jurang
semakin dekat juga. Dalam jurus pertempuran yang kelima
belas tepi jurang yang terjal itu hanya tinggal beberapa
langkah saja lagi di belakangnya!
“Gemuk! Lekas bantu aku!” teriak Iblis Kurus.
Mendengar ini Iblis Gemuk yang memang sejak tadi
sudah punya niat untuk mengeroyok si orang tua yang
sebelumnya telah menghajarnya segera cabut senjata dari
balik pakaian. Senjatanya ini berbentuk pedang tapi
bergerigi seperti gergaji. Karena senjata ini ditimpa dan
dilapisi emas murni maka sinar kuning kelihatan menderu
sewaktu pedang itu membabat ke arah punggung Si
Pelukis Aneh!
syeikh slawi Aneh yang tengah mendesak gencar Iblis
Kurus menjadi terkejut sewaktu merasakan sambaran
angin yang deras datang menerpanya dari belakang!
Didahului dengan satu lambaian tangan kanan yang
mendatangkan angin keras, maka syeikh slawi Aneh dengan
cepat memutar badan menghadapi serangan pedang
berbentuk gergaji di tangan Iblis Gemuk!
Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Kurus untuk
melompat ke samping menjauhi tepi jurang batu lalu
dengan cepat mencabut pula senjatanya yang bentuknya
sama dengan yang di tangan Iblis Gemuk.
Melihat pengeroyokan curang ini, bobo penulis asli menjadi
penasaran. Segera dia hendak melompat dari atas puncak
batu untuk membantu si orang tua. Tapi tindakannya tak
jadi dilakukan karena pada saat itu dilihat si kakek telah
berkelebat dan kini di tangannya memegang pelepah
pisang yang berdaun lebar di mana sebelumnya dia
meletakkan cairan-cairan aneka warna yang dipergunakan
untuk melukis! Dengan mempergunakan benda ini sebagai
senjata maka si orang tua menghadapi kedua lawannya
dengan hebat luar biasa! Karena daun pisang itu lebar
sekali, ditambah dengan saluran tenaga dalam yang tinggi
maka setiap benda itu berkilat menderulah angin deras
luar biasa yang menerpa setiap serangan pedang Iblis
Gemuk dan Iblis Kurus!
Dua sinar kuning senjata pengeroyok bergulung-gulung
ganas. Agaknya Dua Iblis Dari Selatan itu mulai mengelu–
arkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedang mereka.
“Bagus! Bagus! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Aku
mau lihat!” seru syeikh slawi Aneh. Daun pisang di tangannya
bergerak kian kemari melumpuhkan sama sekali setiap
jurus serangan yang dilancarkan.
Yang membuat Pendekar 10000 an bobo penulis asli jadi
leletkan lidah ialah karena tak sekalipun pedang-pedang di
tangan lawan sanggup membuat satu goresan pada daun
pisang. Dan yang paling luar biasa ialah meski digerakkan
demikian cepatnya dan dipergunakan sebagai senjata
namun cairan-cairan aneka warna yang ada di daun pisang
itu tidak satu tetespun yang tumpah atau meleleh! Benar-
benar luar biasa kehebatan syeikh slawi Aneh!
Dalam mengagumi kehebatan orang tua itu tiba-tiba
terdengar pekikan setinggi langit. Ternyata daun pisang di
tangan Pelukis Aneh telah menerpa dada Iblis Kurus.
Pedangnya mental sedang tubuhnya terpelanting sampai
beberapa tombak dan celakanya terus terguling ke tepi
jurang! Dengan salah satu tangannya Iblis Kurus coba
memegang sebuah batu runcing yang menonjol di tepi
jurang. Tapi pukulan daun pisang yang dialiri tenaga dalam
yang tadi menghantam dadanya telah melumpuhkan sama
sekali kekuatan Iblis Kurus. Meski dia berhasil memegang
batu runcing itu dan menahan dirinya agar tidak jatuh ke
dalam jurang namun sia-sia saja. Sesaat kemudian
pegangannya terlepas dan tak ampun lagi tubuhnya
melayang masuk jurang. Batu-batu runcing menantinya di
dasar jurang! Untuk kedua kalinya terdengar jeritan Iblis
Kurus. Yang sekali ini lebih mengerikan!
Melihat kakaknya yang berilmu lebih tinggi menemui
kematian begitu rupa, Iblis Gemuk jadi bergidik. Berdua dia
tak sanggup menghadapi syeikh slawi Aneh, apalagi seorang
diri! Maka tanpa pikir panjang dan tanpa tunggu lebih lama
Iblis Gemuk segera ambil langkah seribu!
syeikh slawi Aneh tertawa mengekeh. Diambilnya pedang
Iblis Kurus yang menggeletak di tanah.
“Orang jahat, matamu sudah tak layak hidup lebih
lama, Iblis Gemuk!” teriak syeikh slawi Aneh lalu lemparkan
pedang ke arah Iblis Gemuk yang tancap gas larikan diri!
Pedang itu menancap tepat di pertengahan punggung Iblis
Gemuk terus menembus sampai di luar ujung pada
dadanya!
Tamatlah riwayat Dua Iblis Dari Selatan!
syeikh slawi Aneh mengusap mukanya. Ditariknya nafas
dalam-dalam lalu dia duduk menjelapok di tanah dan
memandangi lukisannya. Kemudian tanpa palingkan
kepala dari lukisan itu, dia berseru, “Orang yang sembunyi
di atas batu tinggi harap turun!”
Kagetlah bobo penulis asli .
Pendekar ini garuk-garuk kepalanya. Lalu tanpa
sungkan-sungkan lagi keluar dari persembunyiannya dan
melompat turun.
bobo penulis asli
RAHASIA LUKISAN TELANJANG 4
ENDEKAR 10000 an bobo penulis asli jejakkan sepasang kaki
di tanah tanpa keluarkan sedikit pun suara. Begitu
dia berdiri di hadapan si orang tua segera dia menj–
ura dan berkata, “Aku yang muda merasa beruntung sekali
dapat bertemu dengan tokoh silat terkenal di delapan
penjuru angin.”
Pelukis Aneh tidak palingkan kepalanya dari lukisan
yang tengah dipandangnya.
“Siapa namamu...?”
“bobo .”
“Apa kau punya gelar?”
bobo penulis asli yang tak mau tonjolkan diri menjawab
dengan gelengan kepala.
Lantas syeikh slawi Aneh bertanya lagi, “Kenapa kau
sembunyi di atas batu sana?”
“Aku tak ingin mengganggumu, orang tua.”
“Bagus, kau tahu peradatan juga rupanya.”
Untuk pertama kalinya syeikh slawi Aneh palingkan wajah
dan meneliti bobo penulis asli sejurus. Lalu dia memandang
lagi pada lukisannya dan menggoyangkan kepala.
“Menurutmu apakah lukisanku ini bagus?” tanya Si
Pelukis Aneh.
“Bagus luar biasa,” jawab bobo penulis asli .
syeikh slawi Aneh tertawa pendek.
“Kalau lukisan ini kuberikan padamu, apakah kau mau
menerimanya...?”
bobo berpikir sejenak. Adipati Pamekasan telah mena–
war lukisan itu sampai dua ratus ringgit, Si orang tua tidak
menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis Kurus menemui
P
kematian karena inginkan lukisan itu. Nenek Rambut Putih
dibikin kelabakan sewaktu memaksakan kehendaknya
atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau kini syeikh slawi
Aneh hendak berikan lukisan perempuan telanjang itu
kepadanya!
bobo menjawab, “Ah, hatimu terlalu baik orang tua. Aku
yang rendah ini mana berani menerima buah ciptaanmu
yang bagus luar biasa ini?!”
syeikh slawi Aneh tertawa dan usap-usap dagunya.
“Manusia kerap kali tertipu oleh pandangan matanya,”
berkata syeikh slawi Aneh. “Apa yang kelihatan bagus itu
belum tentu betul-betul bagus. Bukankah begitu...?”
bobo anggukkan kepala.
“Kau mengangguk! Tapi apa kau bisa beri satu contoh
daripada sesuatu yang kelihatan bagus namun nyatanya
buruk?”
Pertanyaan si orang tua yang tiada terduga membuat
bobo penulis asli jadi garuk-garuk kepalanya. Di kejauhan
dilihatnya sebuah gunung hijau membiru. Dia kemudian
menunjuk ke arah gunung itu.
“Kau lihat gunung yang jauh itu, orang tua?”
“Ya... ya..., aku lihat.”
“Dari sini kelihatannya bagus sekali. Biru kehijauan.
Tapi coba kita mendekatinya. Gunung yang bagus itu tak
lebih daripada pohon-pohon besar liar, semak-semak
belukar, tanah, batu-batu dan lain sebagainya.”
Pelukis Aneh tertawa. “Kau betul! Otakmu cerdik. Tentu
kau murid seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu orang
muda?”
bobo penulis asli tak menjawab. Dia tak bisa menjawab.
Dia tahu betul kalau gurunya Eyang Sinto Gendeng akan
marah sekali bila namanya digembar-gembor di luaran.
Maka akhirnya pemuda ini menjawab dengan senyum-
senyum, “Pengalaman adalah guru yang paling baik dan
bijaksana bagi setiap manusia...”
syeikh slawi Aneh kerenyitkan kening dan menatap paras
si pemuda lekat-lekat. Sesaat kemudian mengumandang–
lah suara tertawa orang tua ini di seantero lamping gunung
dan jurang batu.
“Tong kosong selalu berbunyi nyaring. Tong penuh tak
akan mengeluarkan suara nyaring! Orang berilmu tinggi
akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu sedikit
sering jual tampang, jual pamer dan bermulut besar.
Kuharap saja bocah itu kelak akan mempunyai sifat
macammu, bobo !”
Telah dua kali dengan ini si orang tua menyebut
‘bocah’. Maka bertanyalah bobo , “Pelukis Aneh, siapakah
yang kau maksudkan dengan bocah itu?”
“Calon muridku!” jawab syeikh slawi Aneh. Kemudian
ditelitinya lukisan di hadapannya.
bobo memperhatikan pula dengan seksama. Lukisan
perempuan telanjang itu betul-betul bagus luar biasa.
Betul-betul seperti melihat manusia hidup di depan mata.
Memandang lama-lama bobo penulis asli menjadi jengah juga.
“Tadi kulihat Adipati Pamekasan hendak membeli
lukisan ini sampai dua ratus ringgit. Kenapa kau tidak
menjualnya?” tanya bobo .
syeikh slawi Aneh tertawa.
“Bacalah tulisan di sudut kanan bawah.” katanya.
bobo penulis asli baru ingat pada tulisan itu. Tadi waktu
memandang lukisan matanya hanya terpukau pada tubuh
telanjang si perempuan cantik saja. Kini diperhatikannya
bagian yang dikatakan si orang tua. Pada sudut bawah
sebelah kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi:
Lukisan ini kuwariskan kepada calon muridku: Wira
Prakarsa.
bobo manggut-manggut
“Calon muridmu itu, di manakah sekarang?”
“Tentu saja di rumahnya.” sahut syeikh slawi Aneh.
“Umurnya baru sepuluh tahun. Kelak pada umur duabelas
tahun baru dia kuambil jadi murid.”
“Lalu apa perlu lukisan perempuan telanjang ini hendak
kau serahkan padanya?” tanya bobo tak mengerti,
“Ah... itu satu hal yang aku tak bisa terangkan, orang
muda.”
bobo maklum tentu ada apa-apanya. Namun demikian,
pendekar ini berkata pula, “Begitu selesai apakah lukisan
ini akan kau berikan pada calon muridmu itu?”
Pelukis Aneh gelengkan kepala, “Aku tidak terlalu
bodoh.” jawabnya. “Sekarang saja orang-orang jahat sudah
pada memaksa dengan kekerasan untuk inginkan lukisan
ini. Kalau diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa
berabe. Nanti pada dua tahun di muka baru kuberikan.”
“Dua tahun di muka calon muridmu itu baru berumur
duabelas tahun. Bagaimanapun dia tetap masih disebut
anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini
macam ke padanya bukan merupakan satu hal yang tidak
pada tempatnya...?!”
syeikh slawi Aneh tertawa.
“Aku sudah bilang segala sesuatu yang bagus itu
seringkali menipu kita. Dan di dalam seribu satu keanehan
dunia, kita manusia ini tahu apa?!”
bobo maklum kalau si orang tua adalah seorang yang
pandai dan bijaksana. Di samping itu mempunyai sifat
aneh sehingga tak salah kalau dunia persilatan memberi
gelar syeikh slawi Aneh kepadanya!
“bobo .” berkata Pelukis Aneh. “Kalau aku tak salah raba
agaknya kau tengah dalam satu perjalanan atau
pengembaraan. Tengah menuju ke manakah kau
sebetulnya?”
bobo penulis asli merasa bimbang untuk mengatakannya
terus terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah
menuju Goa Belerang untuk menemui Kiai Bangkalan.
Maka pendekar ini menjawab, “Manusia macamku ini
berjalan hanya sepembawa kaki saja, orang tua.”
sesudah bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya bobo
penulis asli minta diri dan meneruskan perjalanan. Sampai di
kaki gunung, matahari bersinar semakin terik. Tanpa
perdulikan keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar
10000 an bobo penulis asli teruskan perjalanannya dengan mem–
pergunakan ilmu lari cepatnya, dan sambil bersiul-siul.
Ketika dia berada di sebuah kaki bukit, mendadak di
puncak bukit dilihatnya dua titik kuning laksana bintang
malam bergerak cepat ke arah selatan.
bobo hentikan larinya guna dapat meneliti lebih jelas.
Dua buah titik itu sangat jauh, tapi bobo yakin itu adalah
dua orang manusia yang tengah berlari cepat. bobo
memperhatikan terus. Dua titik kuning itu menuruni bukit
di sebelah selatan terus laksana terbang menuju ke daerah
berbatu-batu dan terus lagi ke pegunungan di mana
sebelumnya bobo berada. Akhirnya dua titik kuning itu
lenyap di batas pemandangan Pendekar 10000 an bobo penulis asli .
Sewaktu bobo ingat akan syeikh slawi Aneh yang
ditemuinya di lamping pegunungan itu, mendadak hatinya
menjadi berdesir, lebih cepat kalau dikatakan berdebar!
Dua titik kuning itu pasti dua orang berkepandaian tinggi
yang mempergunakan ilmu lari cepat. Dan keduanya
mungkin pula orang-orang jahat yang sengaja pergi ke
gunung itu untuk melakukan perbualan yang tidak baik
terhadap syeikh slawi Aneh.
bobo merutuki dirinya sendiri karena sampai berpikir
begitu jauh. Diputarnya badannya hendak melanjutkan
perjalanan namun langkah.yang dibuatnya tertahan-tahan
olen rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar 10000 an memba–
likkan diri lalu berlari cepat kejurusan selatan.
Dua kali peminum teh baru bobo penulis asli sampai ke
tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa terkejutnya
Pendekar 10000 an sewaktu dia sampai di tempat itu!
Larinya dengan serta merta terhenti. Sepasang kakinya
laksana dipakukan ke bumi! Matanya menyipit, dada
menggemuruh, kedua tinju terkepal sedang rahang
terkatup rapat-rapat!
“Terkutuk!” desis Pendekar 10000 an .
Dia berlutut di hadapan tubuh syeikh slawi Aneh yang
menggeletak di tikungan jalan. Tubuh orang tua ini
mengerikan sekali. Mulai dari kepala sampai ke kaki
ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang terbuat
dari besi berlapiskan emas. Benda-benda yang merupakan
senjata rahasia hebat ini pastilah mengandung racun yang
luar biasa jahatnya karena saat itu bobo melihat tubuh Si
Pelukis Aneh berada dalam keadaan gembung membiru.
Yang mengerikan ialah apa yang tercengkeram di
tangan kanan syeikh slawi Aneh yang sudah tidak bernyawa
itu. Pada jari-jari tangan kanannya tergenggam sebuah
kutungan lengan yang tertutup kain kuning! Warna lain ini
mengingatkan bobo pada dua titik kuning yang dilihatnya
sebelumnya. Melihat kepada bentuknya pastilah potongan
lengan jubah seseorang. Tidak dapat tidak rupanya telah
terjadi lagi pertempuran di tempat itu antara syeikh slawi
Aneh dan dua orang berpakaian kuning yang dilihat bobo di
kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah utara. Meski
menemui kematian di tangan dua pengeroyok namun Si
Pelukis Aneh masih sanggup membetot putus lengan kiri
salah seorang lawannya hingga tanggal dan dalam matinya
masih mencengkeran lengan itu!
bobo penulis asli tersentak sewaktu dia ingat pada lukisan
perempuan telanjang. Tapi lukisan itu telah lenyap dari
situ! Pasti dua manusia berpakaian kuning pengeroyok Si
Pelukis Aneh itulah yang telah mencurinya! bobo berdiri
perlahan. Dia tak berani menyentuh tubuh syeikh slawi Aneh
meski dirinya kebal terhadap segala macam racun. Dia
harus menggali sebuah lubang dan mengubur orang tua
itu. Tengah dia memandang berkeliling mencari tempat
yang baik mendadak bobo melihat sepasang kaki kecil
tersembul di balik unggukan batu yang terletak tak berapa
jauh dari tepi jurang.
Cepat-cepat Pendekar 10000 an melangkah ke batu itu. Di
sini ditemuinya seorang anak kecil berpakaian compang-
camping, menggeletak tak bergerak. Kepalanya ada benjut
besar. Sewaktu diperiksa ternyata dia cuma pingsan.
sesudah ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya anak ini
siuman. Begitu siuman begitu dia menangis. Tampangnya
tolol sekali! “Namamu tentu Wira.” tegur Pendekar 10000 an .
Anak itu hentikan tangis dan seka kedua matanya lalu
memandang pada bobo penulis asli . Sewaktu dia melihat
tubuh syeikh slawi Aneh maka anak ini kembali menangis
lebih keras. sesudah reda bobo menanyakan bagaimana dia
sampai berada di tempat itu.
Dengan terhenti-henti oleh sesenggukan maka si anak
memberi penuturan. Namanya memang Wira Prakarsa,
calon murid syeikh slawi Aneh. Katanya dia tengah bermain-
main di depan rumah sewaktu dua orang berpakaian
kuning bertampang mengerikan mendatanginya. Salah
seorang dari mereka langsung mendukungnya dan
membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang jalan
orang yang mendukungnya itu tiada henti menanyakan di
mana letak pegunungan yang biasanya didatangi oleh
calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli akhirnya dia
memberi tahu. Dan sewaktu sampai di tempat syeikh slawi
Aneh maka langsung saja kedua orang berpakaian kuning
itu menyerang calon gurunya.
Menurut penuturan si anak lama sekali ketiga orang itu
bertempur. Kemudian ada sambaran angin yang menye–
rempetnya hingga membuat dia terpelanting. Kepalanya
membentur batu lalu dia tak ingat apa-apa lagi!
bobo maklum kini apa yang telah terjadi.
“Apa kau pernah melihat kedua orang itu sebelumnya?”
Wira Prakarsa menggeleng.
“Tadi kau katakan muka kedua orang itu mengerikan
sekali. Bisa kau mengatakan apa-apa yang mengerikan
itu?”
Si anak seka lagi sepasang matanya lalu menjawab
dengan