Selasa, 11 Februari 2025

bobo berkelahi 3





 in daripada lukisan perempuan telanjang 

adanya! 

 

 

bobo  penulis asli  

0

 

 

 

ANUSIA yang melarikan lukisan perempuan 

telanjang itu bertubuh kecil katai. Dia mengenakan 

jubah merah yang panjang sekali hingga menjela-

jela sepanjang larinya. Debu, pasir, dan batu-batu kerikil 

beterbangan dilanda angin jubah manusia katai ini. 

Hebatnya manusia ini larinya luar biasa cepatnya. Dalam 

sekejap mata, dia sudah ke luar dari dalam lembah batu. 

Pohon-pohon di kiri kanan yang dilaluinya laksana terbang! 

Tiba-tiba dia merasa ada yang mengejar di 

belakangnya. Dia berpaling dan melihat dua manusia 

berjubah kuning laksana kilat berlari ke arahnya. Si katai 

terkesiap dan tancap gas, berlari lebih cepat. 

Lewat sepeminum teh seketika dia menoleh lagi ke 

belakang, kedua pengejarnya ternyata hanya tinggal bebe–

rapa puluh langkah saja lagi! 

Manusia katai ini merutuk. “Celaka! Kedua bangsat itu 

betul-betul lihai!” 

Dan bila kedua pengejar yang bukan lain daripada 

Sepasang rsi betaritunggangtrini adanya hanya tinggal lima belas 

langkah di belakangnya maka si katai segera robah ilmu 

larinya. Gerakan kakinya menjadi lambat dan tidak teratur, 

tapi anehnya bagaimana pun sepasang rsi betaritunggangtrini 

mempercepat lari mereka, tetap jarak mereka tak berobah 

dari lima belas langkah! Itulah ilmu lari yang disebut Seribu 

Kaki Menipu Jarak yang telah dikeluarkan oleh manusia 

katai. Ilmu lari semacam ini hanya beberapa tokoh silat 

saja yang memilikinya! 

“Heran!” kata rsi betaritunggangtrini penulis  penulis koplak . “Jarak 

kita demikian dekatnya tapi kenapa tidak bisa mengejar 

M

 

 

bangsat itu?!” 

“Kurasa dia memiliki ilmu lari Seribu Kaki Menipu 

Jarak,” sahut k.h mualafudin yang berpengalaman lebih luas 

dan berpemandangan tajam. 

“Berhenti!” teriak penulis  penulis koplak . 

Tapi mana si katai mau hentikan larinya! 

Marahlah k.h mualafudin  Hilang kesabarannya. “Berhenti! 

Kalau tidak aku akan lepaskan pukulan Paku Emas 

Beracun!” 

Tergetarlah hati si katai. Tapi untuk berhenti dia juga 

tidak mau. Dia lari terus dan berusaha memperlebar jarak! 

“Bedebah laknat!” maki k.h mualafudin  Tangan kanannya 

diangkat ke atas dan dihantamkan ke muka. 

Si katai menoleh sewaktu dirasakannya sambaran 

angin dingin menyambar di belakangnya. Melihat selarik 

sinar kuning dan paku-paku emas menderu ke arahnya 

dengan segera dia jatuhkan diri. Sambil bergulingan dia 

membalas dengan satu pukulan tangan kosong yang 

mendatangkan angin panas yang luar biasa dahsyatnya! 

Sepasang rsi betaritunggangtrini tersirap kaget dan buru-buru 

menghindar. 

“Badan kate, jubah merah panjang dan pukulan angin 

panas! Pastilah maling ini Si Katai Bisu!” teriak k.h mualafudin  

Dan ketika dia memandang ke muka, manusia katai itu 

sudah dua puluh tombak jauhnya. Bersama penulis  

penulis koplak  dia mengejar kembali! 

Di satu pendakian, mendadak si katai hentikan larinya 

dan kaget sekali. Jalan buntu dan di depannya kini terben–

tang sebuah jurang yang lebar dan tak mungkin untuk 

dilompati. Selain lebar juga dalam dan curam! 

“Ha-ha! Kau mau lari ke mana maling laknat?!” teriak 

penulis  penulis koplak . 

Tapi Si Katai Bisu tidak kehilangan akal. Laksana se–

ekor burung walet dia melompat ke cabang sebuah pohon. 

“Turun!” teriak k.h mualafudin  “Serahkan lukisan itu dan 

berlutut! Niscaya kuselamatkan jiwamu!” 

“Ha-hu... ha-hu... ha-hu!” Si Katai Bisu keluarkan suara. 

 

 

“Ayo turun lekas!” teriak penulis  penulis koplak . 

“Ha-hu... ha-hu... ha-hu!” 

“Kurang ajar! Kalau begitu kau mampuslah!” Mata 

Picak angkat tangan kanannya. 

“Ha-hu!” Si Katai Bisu menunjuk ke dadanya lalu 

menunjuk ke lukisan perempuan telanjang kemudian 

tertawa dan mencibir! 

k.h mualafudin yang tak mengerti apa maksud manusia itu 

siap untuk memukulkan tangannya ke atas. Tiba-tiba Si 

Katai Bisu lindungi dirinya dengan lukisan perempuan 

telanjang! 

k.h mualafudin terkesiap kaget dan batalkan serangannya. 

Kini dia maklum apa maksud dari gerak-gerik dan sikap Si 

Katai Bisu tadi. Yaitu jika dia meneruskan melancarkan 

pukulan Paku Emas Beracun maka paku-paku itu akan 

merusak lukisan perempuan telanjang karena Si Katai Bisu 

mempergunakan lukisan itu untuk melindungi dirinya! 

k.h mualafudin memaki hahis-habisan. 

Tiba-tiba penulis  penulis koplak  melompat ke muka dan 

memukul. 

Braak! 

Pohon di mana Si Katai Bisu berada patah dan tum–

bang. Tapi Si Katai Bisu sudah melompat ke pohon lain! 

“Setan alas!” k.h mualafudin melesat ke depan dan 

lancarkan satu serangan dari jarak satu tombak. Si Katai 

Bisu dengan ha-hu-ha-hu menghindarkan diri sambil per–

gunakan lukisan perempuan telanjang untuk menangkis 

serangan lawan. Mau tak mau rsi betaritunggangtrini k.h mualafudin 

tak berani lancarkan serangan yang terlalu ganas terhadap 

lawannya karena khawatir akan merusak lukisan! 

“penulis  penulis koplak ! Serang bangsat itu dari belakang!” 

teriak k.h mualafudin marah sekali. 

rsi betaritunggangtrini penulis  penulis koplak  segera berkelebat dan 

menyerang Si Katai Bisu dari belakang, sedang dari muka 

k.h mualafudin kembali menyerbu! Namun Si Katai Bisu tidak 

menjadi gugup! Tanpa tedeng aling-aling dia putar lukisan 

perempuan telanjang seputar badannya. Karena lukisan itu 

 

 

kini dialiri tenaga dalam oleh Si Katai Bisu maka bukan 

saja putaran lukisan mengeluarkan angin dahsyat sekali, 

tapi juga merupakan serangan balasan yang sekaligus 

memapaki serangan Sepasang Elmaut Kuning! Dalam 

waktu yang singkat sepuluh jurus telah berkecamuk! 

Sepasang rsi betaritunggangtrini menyumpah-nyumpah tak ada 

hentinya. Tiba-tiba rsi betaritunggangtrini k.h mualafudin mendapat 

akal. Sewaktu pertempuran berjalan seru-serunya dia 

memukul ke bawah ke arah kaki lawan. Pukulan ini 

membuat Si Katai Bisu melompat ke udara. Melihat ini 

dengan cepat k.h mualafudin menyusul dengan satu serangan 

ke arah selangkangan tapi lukisan lebih cepat lagi menerpa 

ke arah kedua tangannya kemudian berputar lagi ke 

belakang menyambar lengan kiri penulis  penulis koplak  yang 

hendak menotok punggung Si Katai Bisu! 

Hampir tiga puluh jurus berlalu maka berserulah Elmaut 

Kuning k.h mualafudin pada kambratnya. 

“Keluarkan jurus Elmaut Menggila!” 

Kedua manusia berjubah kuning itu mundur setombak 

lalu dibarengi dengan jerit pekik dahsyat yang laksana 

merobek gendang-gendang telinga keduanya menyerbu 

kembali dalam satu jurus aneh! 

Lambat laun suara pekik dan jerit yang datangnya dari 

pelbagai penjuru itu membuat Si Katai Bisu menjadi gugup 

dan panik gerakan-gerakan silatnya! 

Tiba-tiba tangan kanan rsi betaritunggangtrini k.h mualafudin 

memukul ke muka. Si Katai Bisu sambut serangan itu 

dengan sambaran lukisan. Tapi gerakan lawan nyatanya 

hanya tipuan belaka. Karena begitu lukisan menderu 

secepat kilat k.h mualafudin tarik pulang serangannya dan 

ganti dengan satu tendangan ke arah pinggang. Pada saat 

yang sama dari belakang rsi betaritunggangtrini penulis  penulis koplak  

lancarkan pula satu serangan ganas ke arah kepala. 

Si Katai Bisu menggerung lalu membuang diri ke 

samping kanan. Lukisan disabetkan dengan cepat ke 

bawah sedang dengan tangan kanan dia kebutkan bagian 

bawah jubahnya. Serangkum angin merah menyambar ke 

 

 

arah penulis  penulis koplak  membuat manusia ini batalkan 

serangan dan terpaksa melompat selamatkan diri! Di lain 

pihak rsi betaritunggangtrini k.h mualafudin yang tidak berani adu 

kekuatan dengan lukisan yang menyambar kakinya, 

terpaksa tarik pulang tendangannya. 

Namun k.h mualafudin menjadi gugup sewaktu melihat 

bagaimana ujung pigura lukisan menyambar ganas ke arah 

matanya tak sanggup dikelit! Satu-satunya jalan untuk 

menyelamatkan matanya hanyalah dengan pergunakan 

lengan untuk menangkis. Ini berarti dia akan merusakkan 

lukisan itu di samping lengannya yang dipakai menangkis 

tentu akan terluka pula! Tapi walau bagaimanapun Elmaut 

Kuning k.h mualafudin lebih baik melihat lukisan itu rusak, toh 

nanti bisa diperbaiki lagi. Juga merasa lebih baik lengannya 

mendapat luka daripada harus kehilangan matanya yang 

cuma tinggal satu-satunya! Maka diapun angkat lengan 

kirinya dengan cepat. 

Braak! 

Kayu pigura lukisan perempuan telanjang patah dan 

sudutnya menganga. Lengan kiri rsi betaritunggangtrini k.h mualafudin 

juga patah! Dia mengeryitkan kesakitan kemudian dengan 

kalap menyerbu ke muka kirimkan pukulan Paku Emas 

Beracun! Rasa sakit membuat dia tidak perduli lagi apakah 

pukulannya yang dahsyat itu akan menghancurkan lukisan 

di tangan lawan! 

Melihat datangnya serangan yang dahsyat dari lawan, Si 

Katai Bisu melompat empat tombak dan dari atas 

kebutkan jubah merahnya. Segelombang sinar merah 

laksana topan prahara memapasi serangan rsi betaritunggangtrini 

k.h mualafudin  Belasan paku kuning beracun yang melesat ke 

arah manusia katai itu luruh, bahkan beberapa di 

antaranya ada yang membalik menyerang k.h mualafudin 

sendiri, membuat manusia ini dengan cepat menghindar ke 

samping selamatkan diri! 

Si Katai Bisu membalikkan badan dengan cepat 

sewaktu di belakangnya terasa sambaran angin dingin. 

Namun kasip! Belasan paku kuning telah dilepaskan 

 

 

penulis  penulis koplak ! Jaraknya sudah dekat sekali, tak 

mungkin ditangkis tak bisa dikelit! 

Si Katai Bisu menggerung. Dia ambil keputusan untuk 

berjibaku dan tendangan kaki kanannya ke kepala penulis  

penulis koplak  sedang tangan kanan mendorong ke muka! 

Sedetik kemudian terdengar jerit tercekik dari Si Katai 

Bisu! Sembilan paku emas beracun menancap di dadanya. 

Tiga di antaranya langsung menembus jantung! Tak ampun 

lagi begitu jatuh di tanah, nafasnya lepas sedang sekujur 

badannya kelihatan menggembung biru! 

Di lain pihak meski dia dapat menyelamatkan kepala–

nya dari tendangan maut Si Katai Bisu namun Elmaut 

Kuning penulis  penulis koplak  tak sempat menghindarkan diri 

dari sambaran angin pukulan yang dilepaskan Si Katai 

Bisu. Tubuhnya mencelat beberapa tombak. Kalau saja 

tubuh itu tidak membentur patahan pohon yang tadi 

dipukulnya, pasti rsi betaritunggangtrini penulis  penulis koplak  akan 

melayang ke dasar jurang batu! penulis  penulis koplak  muntah–

kan darah segar lalu roboh pingsan! 

k.h mualafudin segera menyambar lukisan yang rusak 

piguranya lalu memanggul tubuh penulis  penulis koplak  dan 

meninggalkan tempat itu dengan cepat. 

 

 

bobo  penulis asli  

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 9

 

 

 

I SEBELAH utara kelihatan Gunung Merapi menju–

lang tinggi penuh kemegahan. Hari itu adalah hari ke 

duapuluh satu bulan kedua perjalanan bobo  penulis asli  

dalam mencari lukisan perempuan telanjang. Saat itu dia 

tengah menuju ke sebuah kota kecil yang terletak di 

selatan kaki Gunung Merapi. Di satu jalan yang sepi 

Pendekar 10000 an  hentikan larinya dan berjalan seperti biasa. 

Jauh di hadapannya dilihatnya seorang laki-laki tua berpa–

kaian compang-camping berjalan melenggang-lenggok 

dengan seenaknya. Di tangannya ada sebuah kaleng berisi 

batu yang setiap saat diguncang-guncangnya hingga 

mengeluarkan suara bergerontangan. Di ketiak kirinya 

terkempit sebuah tas daun pandan. 

Yang membuat bobo  diam-diam jadi tertegun ialah 

karena dalam dua kejapan mata saja tahu-tahu orang tua 

berpakaian compang-camping itu sudah berada di 

hadapannya. 

bobo  sunggingkan senyum. Tapi orang tua aneh itu terus 

saja melangkah seenaknya dan hendak memapasi bobo . 

Maka Pendekar 10000 an  pun menegur bertanya, “Orang tua, 

apakah ini jalan yang menuju ke kota Paritsala?” 

Orang tua itu hentikan langkahnya. Tanpa menoleh 

pada si pemuda dia membuka mulut, “Siapa tanya siapa?” 

Lalu tangannya digoyangkan dan kaleng berisi batu 

berbunyi berkerontangan. 

bobo  tersenyum lagi. “Namaku bobo . Aku dalam perjala–

nan ke Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan yang 

betul?” 

Perlahan-lahan orang tua itu putar kepalanya dan 

D

 

 

memandang bobo  penulis asli  dari atas sampai ke kaki. 

“Ah... melihat kepada air mukamu rupanya kau tengah 

mengkhawatirkan tentang suatu barang yang hilang...” Dan 

habis berkata begitu orang tua ini kerontang-kerontangkan 

lagi kaleng di tangan kanannya. 

Tentu saja bobo  penulis asli  terkejut mendengar ucapan si 

orang tua dan menduga-duga siapa adanya manusia ini. 

“Coba ulurkan telapak tangan kirimu!” si orang tua tiba-

tiba memerintah. 

bobo  penulis asli  meragu seketika. Dia tidak kenal dengan 

orang tua itu dan disuruh ulurkan telapak tangan kirinya. 

Mau apakah? Namun akhirnya karena ingin tahu bobo pun 

ulurkan telapak tangan kirinya. 

Si orang tua memperhatikan telapak tangan itu lalu 

dengan telunjuk tangan kirinya diikutinya guratan-guratan 

garis pada telapak tangan pemuda itu. bobo  penulis asli  

terkejut sewaktu jari telunjuk itu menyentuh telapak 

tangannya, telapak tangan itu seperti ditindih oleh sebuah 

batu besar yang ratusan kati beratnya! 

Tahu kalau orang hendak mencoba kekuatannya maka 

bobo  segera kerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan 

kiri itu. Si orang tua terus juga mengikuti garis-garis pada 

telapak tangannya dan bobo  merasa tangannya tergetar 

hebat. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Keringat 

dingin berpercikan di keningnya dan sedikit tenaga 

dalamnya ditindih hebat oleh tenaga dalam si orang tua. 

Bagaimanapun dia mempertahankan pastilah telapak 

tangannya akan terpukul ke bawah! Namun di saat itu 

untunglah si orang tua menarik ujung jarinya dan sambil 

batuk-batuk dia berkata, “Orang muda, masa depanmu 

penuh rintangan dan kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis 

di telapak tanganmu itu penuh dengan garis-garis bahaya 

yang selalu mengikuti perjalanan nasibmu! Tapi kau tak 

perlu khawatir. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun 

besar bahaya kau kelak akan berhasil melewati 

semuanya.” Orang tua aneh kerontangkan kalengnya 

beberapa kali lalu meneruskan,  “Garis percintaanmu tidak 

 

 

begitu bagus. Ini disebabkan karena kau punya sedikit sifat 

mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik...” 

Kaleng berisi batu berkerontang lagi. Wajah Pendekar 

10000 an  kelihatan merah menjengah! 

Dan si orang tua bertanya, “Kau tengah menuju ke 

Paritsala?” 

“Betul orang tua,” jawab bobo . 

“Kunasihatkan agar dibatalkan saja...” 

“Memangnya ada apakah?” 

“Kesulitan. Kesulitan! Kau selalu ditunggu kesulitan 

dan bahaya di mana-mana...” 

“Tapi seorang kawanku menganjurkan agar pergi ke 

utara...,” kata bobo  yang ingat akan petunjuk yang 

diberikan nyi pandanajeng  

Orang tua itu tertawa tawar sambil kerontang-

kerontangkan kalengnya lalu hendak menindak 

meninggalkan tempat itu. 

“Orang tua, kuucapkan terima kasih atas petunjukmu. 

Sebelum berpisah sudilah kau terangkan namamu...” 

Orang tua itu kerontang-kerontangkan kalengnya dan 

dengan melangkah acuh tak acuh dia meninggalkan bobo  

penulis asli  sambil bernyanyi: Orang-orang menyebutku Si 

Segala Tahu. Tapi betapa tololnya aku, namaku sendiri aku 

tidak tahu... 

Dua kalimat dalam lagu yang dibawakan orang tua 

aneh itu terus diulang-ulangnya sampai akhirnya dia lenyap 

di kejauhan. 

bobo  penulis asli  berdiri terlongong-longong. Orang persila–

tan mana yang tak tahu dan tak pernah mendengar 

tentang orang tua aneh yang bernama Segala Tahu itu? 

Ilmu silatnya tinggi tapi jarang dipergunakan. Dia mengem–

bara ke mana-mana tapi jarang bisa ditemui orang. Jika dia 

berpapasan dengan seseorang pastilah dia akan mengata–

kan sesuatu. Dan apa yang dikatakannya itu selalu betul. 

Itulah sebabnya dia diberi nama Segala Tahu oleh orang-

orang dunia persilatan. bobo  merasa beruntung sekali 

dapat bertemu dengan orang tua itu. 

 

 

Dia segera melanjutkan perjalanan. Di satu persim–

pangan jalan dia hendak membelok ke kanan yaitu sesuai 

dengan petunjuk Si Segala Tahu agar jangan terus ke 

Paritsala. Belum lagi dia sempat membelok ke kanan, di 

belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda dan 

gemeletak suara kereta. bobo  berpaling, sepuluh orang 

penunggang kuda hitam memacu kuda masing-masing 

dengan cepat, mengawal sebuah kereta putih yang ditarik 

oleh dua ekor kuda putih. Debu mengepul sepanjang jalan. 

Rombongan itu terdiri dari penunggang-penunggang 

kuda berpakaian hitam. Pada bagian dada baju mereka 

terpampang gambar kepala burung garuda. Pada bagian 

samping kereta putih juga terdapat gambar semacam itu. 

Dan sewaktu bobo  memperhatikan jendela kereta, sekilas 

dilihatnya seraut wajah perempuan muda berparas cantik 

sekali. Kereta lewat dengan cepat tapi bobo  masih terke–

siap melihat paras jelita itu. Mata perempuan itu laksana 

sinar bintang timur di malam cerah! bobo  memandang ke 

jurusan lenyapnya kereta. Dan lupalah Pendekar 10000 an  akan 

ucapan Si Segala Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah 

menempuh jalan vang ditempuh rombongan itu. 

Hari telah petang sewaktu bobo  penulis asli  memasuki 

Paritsala. Di hadapan sebuah bangunan berbentuk panjang 

dilihatnya kereta putih tadi. Sepuluh ekor kuda hitam pun 

tertambat di halaman. Karena bangunan itu adalah rumah 

penginapan maka bobo  penulis asli  pun segera menuju ke 

sana. 

Baru saja Pendekar 10000 an  berdiri di tangga bawah pintu 

penginapan, seorang pelayan muncul. Umurnya sudah 

agak lanjut. 

“Orang muda, apakah kau berniat menginap di sini?” 

“Betul” sahutbobo . 

“Sayang sekali. Seluruh kamar sudah disewa orang...” 

“Seluruh kamar?” ujar bobo  heran. Dia menggoyangkan 

kepalanya ke arah kereta dan kuda-kuda hitam di hala–

man. “Apakah rombongan pemilik kereta itu yang telah 

menempatinya?” 

 

 

“Ya.” 

“Berapakah jumlah kamar di penginapan ini?” 

“Enam belas... Mengapa?” 

“Rombongan itu jumlahnya tidak sampai enam belas 

orang,” kata bobo . “Pasti ada kamar yang masih kosong 

untukku...” 

“Sudah kubilang semua kamar diambil oleh rombongan 

itu. Majikanku memerintahkan agar menolak siapa saja 

yang hendak menginap di sini...” 

bobo  penulis asli  garuk-garuk kepalanya, “Kalau begitu aku 

musti cari penginapan lain,” katanya setengah 

menggerutu. 

“Di sini tak ada lagi penginapan lain.” 

“Hem...” bobo  menggumam. “Terpaksa kau menolong 

menyediakan satu kamar buatku. Gudang buruk-pun tak 

jadi apa.” 

“Tak mungkin orang muda. Seluruh penginapan ini 

sampai ke gudang telah disewa oleh rombongan itu!” 

bobo  penulis asli  jadi penasaran. 

“Apa kau kira aku tak sanggup membayar sewa untuk 

sebuah gudang tua? Atau kau minta sogok agaknya heh?!” 

Paras orang tua pelayan penginapan itu berubah kesal. 

“Kuharap kau tak usah memaksa-maksa dan bicara 

lantang. Salah-salah kau bisa berabe!” 

bobo  keluarkan suara bersiul. 

“Kenapa bisa jadi berabe, Bapak?” tanya pemuda ini 

“Ah! Tak usah kau banyak tanya!” Pelayan itu putar 

tubuh hendak masuk kembali tapi bobo  mencekal bahunya 

hingga dia tak bisa bergerak. 

“Katakan dulu kenapa bisa jadi berabe!” desis bobo  ke 

telinga pelayan itu. 

Dan si pelayan mendadak merasa kecut sewaktu 

merasakan bagaimana telapak tangan bobo  yang berada di 

bahunya membuat tubuhnya seperti mau amblas ke lantai! 

“Orang muda, seluruh penginapan ini telah disewa oleh 

Ketua Perguruan Garuda Sakti. Dia dan rombongannya 

tengah menuju ke puncak Gunung Merapi. Di sana akan 

 

 

dilangsungkan perkawinan anak gadisnya dengan seorang 

pemuda, anak Ketua Perguruan Merapi...” 

bobo  angguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat pada 

sekilas bayangan raut wajah gadis jelita yang dilihatnya 

tewat jendela kereta. 

“Sekarang kau lekaslah berlalu dari sini. Kau tahu, 

Ketua Perguruan Garuda Sakti galak luar biasa! Sekali 

dilihatnya ada yang bikin ribut di hadapannya pasti akan 

kena tamparannya. Dan manusia tampangmu ini sekali 

tampar saja pasti kepalamu menggelinding!” 

bobo  tertawa gelak-gelak. 

“Kurang ajar! Siapa yang berani bikin ribut di sini!” Tiba-

tiba satu suara garang membentak dan sesaat kemudian 

seorang laki-laki berbadan tinggi tegap sudah berdiri di 

ambang pintu. Dia berpakaian hitam dan di bagian dada 

bajunya ada gambar kepala burung garuda putih. Dia 

berdiri bertolak pinggang dan beliakkan mata kepada bobo . 

Pelayan penginapan berdiri dengan muka pucat! 

“Pemuda hina dina! Lekas angkat kaki dari sini! Kalau 

tidak, kupuntir kepalamu sampai putus!” 

“Hak apakah kau mengusirku?!” tanya bobo  dengan 

senyum mengejek. 

Marahlah si tinggi besar. Tangan kanannya dengan 

cepat diulurkan menjambak rambut bobo  penulis asli . Begitu 

terjambak segera hendak dipuntirnya. Tapi terkejut si tinggi 

besar ini bukan alang kepalang sewaktu jari-jari tangannya 

yang menjambak itu dirasakannya laksana memegang 

sebuah area batu yang ratusan kati beratnya dan keras 

luar biasa, tak sanggup tangannya memuntir! 

“Mampus!” teriak si tinggi besar itu seraya sentakkan 

tangannya! Sekali menyentak maksudnya hendak ditang–

galkannya kepala bobo  dari badannya, sekurang-kurangnya 

rambut pemuda itu akan berserabutan dari batok 

kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian betul-betul tak 

diduga oleh si tinggi besar. Belum lagi dia sempat menyen–

takkan tangannya tahu-tahu satu totokan melanda jalan 

darah di dadanya! Si tinggi besar mengeluh tertahan. 

 

 

Sebelum tubuhnya roboh tergelimpang dalam keadaan 

kaku, bobo  cekal kuduk laki-laki itu dan melemparkannya 

ke sebuah pohon di halaman penginapan. Tubuh si tinggi 

besar menyangsrang di antara cabang pohon, tak bisa 

bergerak, tak dapat turun! Orang itu memaki-maki. bobo  

sebaliknya tertawa gelak-gelak dan tinggalkan tempat itu! 

Sepasang mata yang bersinar-sinar mengintai di balik 

jendela sebuah kamar penginapan dan mengikuti keper–

gian Pendekar 10000 an . 

 

 

bobo  penulis asli  

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 10

 

 

 

ETIKA dia menempuh jalan yang menuju ke luar 

kota, bobo  mendengar suara derap kaki kuda datang 

mendekatinya dari arah belakang. Menyangka 

bahwa yang datang ini adalah kawan-kawan si tinggi besar 

tadi segera bobo  berlindung di balik sebatang pohon. 

Nyatanya si penunggang kuda adalah pelayan penginapan 

tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan dan 

memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi bobo  berada 

di jalan itu. Tapi tiba-tiba tenyap entah ke mana. 

“Hai! Kau mencari aku?!” tanya bobo  dari balik pohon. 

Si pelayan tergagap kaget bobo  keluar dari balik pohon. 

“Lekas ikut bersamaku!” kata si pelayan. 

“Ikut ke mana?” tanya bobo  heran. 

“Jangan bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu. 

Sebentar lagi anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti 

pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku!” 

“Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?!” 

Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali! 

“Lekaslah!” kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda 

cemas. 

Akhirnya bobo  melompat juga ke atas punggung kuda di 

belakang si pelayan. “Bapak,” bisik bobo  waktu mereka 

berlalu dengan cepat, “Kalau kau menipuku, aku akan 

gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!” 

Sesaat kemudian keduanya meninggalkan jalan itu 

dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan penginapan 

hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan 

berangsur gelap. bobo  penulis asli  memandang berkeliling. 

Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan pengi–

K

 

 

napan. Melihat ini bobo  menjadi curiga dan segera cekal 

tangan si pelayan. 

“Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke 

sini?!” desis bobo  penulis asli . 

“Kalau aku betul-betul menipumu kau boleh betot 

batang leherku!” jawab si pelayan. 

bobo  hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu 

belakang penginapan terbuka dan dua orang berpakaian 

hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada 

dadanya melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan 

menunggangi dua ekor kuda, keduanya meninggalkan 

bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan 

malam. Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap 

ditelan hembusan angin malam di kejauhan! 

“Ikut aku!” kata pelayan itu. 

“Tunggu!” jawab bobo . “Terangkan dulu apa arti semua 

ini!” 

“Orang muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma 

diperintahkan. Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun 

tak ada yang bermaksud jahat padamu!” 

“Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah 

itu?!” tanya bobo  penulis asli  lagi, 

“Kita tak punya waktu banyak. Lekas ikuti aku!” 

bobo  penulis asli  di belakang si pelayan. Sepasang bola 

matanya berputar liar waspada kian kemari sambil 

melangkah. Mereka masuk lewat dapur penginapan. 

Suasans sunyi senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang 

kelihatan ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti 

sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan hati-hati membuka 

sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di 

bagian belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah 

sebuah gudang tempat menyimpan segala macam pera–

botan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa bobo  

penulis asli  melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya 

mereka sampai di sebuang gang. Pelayan memberi isyarat 

agar bobo  lebih cepat melangkah mengikutinya. 

Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya 

 

 

terdapat deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti 

dan berpaling pada bobo . 

“Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan 

masuk ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu 

adalah orang yang memerintah aku!” 

bobo  penulis asli  hendak menanyakan. bobo  memaki dalam 

hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati 

pintu kamar di ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata 

pintu itu tak terkunci. bobo  masuk ke dalam dengan cepat 

dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam 

kamar, terkesiaplah Pendekar10000 an ! 

Di hadapannya berdiri seorang dara berkulit kuning 

langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar 

laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbunga-

bunga merah yang bagus sekali potongannya. Pada 

rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde 

dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda. 

Sang dara melangkah ke dekat bobo . Dikuncinya pintu 

kamar. Berada sedekat itu bobo  penulis asli  kembang-kempis 

hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujur–

nya tubuh sang dara! Dara jelita ini kemudian melangkah 

kembali ke tengah kamar. 

“Saudari apakah artinya ini?” tanya bobo  penulis asli . 

Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan si 

jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka 

akan menemui seorang laki-laki bertampang galak tapi tak 

dinyana kini dia berhadapan seorang gadis jelita. Dan bobo  

ingat, dara jelita ini adalah gadis dalam kereta putih yang 

dilihatnya di tengah jalan tadi sore! 

“Saudara, apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyu–

supkan suara?” si gadis bertanya perlahan. 

bobo  penulis asli  terkejut “Apaan pula ini?” tanyanya dalam 

hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga. 

Kemudian dengan ilmu menyusupkan suara si gadis 

berkata, “Aku telah saksikan apa yang kau lakukan terna–

dap anak murid ayahku di depan penginapan ini tadi. 

Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuan 

 

 

penolongku...” 

“Hem...,” bobo  garuk-garuk kepalanya. “Pertolongan 

apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak 

salah duga kau adalah anak gadisnya Ketua Perguruan 

Garuda Sakti.” 

Si gadis anggukkan kepala. 

“Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya 

tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi...” 

“Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak melang–

sungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua 

Perguruan Merapi.” 

“Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak 

perlu panjang lebar menerangkannya padamu,” jawab si 

jelita. Lalu sambungnya, “Perkawinanku dengan anak laki-

laki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku 

yang memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di 

samping aku tak ingin pula menjatuhkan nama besar ayah! 

Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua 

Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan 

tanpa memberi malu pada ayah dan juga untuk meng–

hindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah 

antara perguruan ayahku dengan Perguruan Merapi.” 

“Kalau kau tak suka pada anak laki-laki Ketua Pergu–

ruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu, 

kenapa tidak larikan diri saja?!” tanya Pendekar 10000 an  pula. 

“Kau lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir ini akan-

anak murid ayah menjagaku dengan keras. Ayah sendiri 

bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat 

meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir 

pihak Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang telah 

sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri 

mendapat tekanan dari mereka.” 

bobo  merenung sejenak. 

“Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda yang 

kau cinta?!” tanya bobo  seenaknya, 

Anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan merah 

parasnya. Tapi dengan terus terang dia kemudian angguk–

 

 

kan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia ber–

kata, “Kekasihku telah ditangkap. Disiksa dan dikurung di 

sebuah goa batu...” 

Dan di mata yang bersinar seperti bintang timur itu bobo  

penulis asli  kini melihat dua butir air mata laksana berlian 

mengambang di kelopak mata si gadis. 

“Lantas apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari?” 

tanya bobo . 

“Menolong agar perkawinanku bisa batal!” 

“Aku orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan 

itu?” tanya bobo  seraya garuk-garuk kepala. 

“Sekarang bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Per–

tolongan dan budi baikmu tak akan kulupakan seumur 

hayat.” 

bobo  berpikir, lalu, “Kau ingin kularikan sekarang?!” 

tanya bobo  mengambil keputusan pendek. 

“Jangan. Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka 

dan curiga pada ayah. Bukan mustahil mereka akan 

mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar 

ayah akan luntur karena berilmu tinggi dan punya anak 

buah banyak tapi tak sanggup menjaga anak. Apalagi 

menjelang hari-hari perkawinan itu...” 

“Berabe juga kalau begini,” kata bobo . Dipijit-pijitnya 

keningnya. “Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di 

puncak Merapi?” 

“Lusa siang. Jam dua belas tepat!” jawab si gadis. 

bobo  berpikir-pikir lagi. 

“Baiklah,” kata Pendekar 10000 an  kemudian. “Aku sudah 

dapat satu cara yang baik untuk membatalkan perkawi–

nanmu. Aku akan muncul tepat pada saat upacara perni–

kahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum pergi 

apakah aku boleh tahu namamu...?” 

Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba pintu 

kamar diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar 

suara lantang. 

“penulis rabies ! Buka pintu cepat.” 

Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis 

 

 

pucat pasi. bobo  penulis asli  memandang berkeliling. Agaknya 

tak mungkin untuk bersembunyi di kamar itu. Tapi begitu 

matanya membentur jendela, bobo  segera melompat. 

Tanpa suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga 

dia sudah tenyap di luar sana sesudah  terlebih dulu 

menutupkan daun jendela kembali! 

“penulis rabies !” 

Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedoran-

gedoran. 

Sang dara cepat-cepat membuka pintu kamar. Seorang 

laki-laki bermuka klimis bermata merah dan berbadan 

tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari 

tangannya berwarna putih dan panjang sekali! Inilah Ketua 

Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik manik . 

Dia memandang sekeliling kamar dengan matanya yang 

besar penuh teliti. penulis rabies  berdiri di hadapan laki-laki 

dengan hati berdebar. 

“Kau menyembunyikan seseorang di sini, penulis rabies ?!” 

tanya Manik manik . 

penulis rabies  tertawa. “Kecurigaan ayah terhadap anak 

sendiri keterlaluan sekali!” kata gadis itu. “Siapa dan untuk 

apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar 

ini?!” 

Manik manik  memandang ke loteng lalu memeriksa 

setiap sudut kamar bahkan memeriksa kolong tempat 

tidur! 

“Sepuluh orang anak murid ayah mengawalku siang 

malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang 

masuk ke sini masa mereka tidak tahu?” ujar penulis rabies . 

Manik manik  masih belum percaya akan ucapan 

anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan membukanya. 

Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya 

tampak berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah 

berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan jendela kembali. 

“penulis rabies , menjelang hari perkawinanmu ini kuharap 

kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan beri malu 

ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnya 

 

 

permusuhan antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!” 

“Ayah, meski aku tidak suka pada calon suamiku itu, 

tapi mengingat kepadamu aku tak bisa berbuat lain 

daripada patuh atas segala kemauanmu...” kata penulis rabies  

dengan tundukkan kepala. 

Manik manik  tepuk bahu anaknya. 

“Kau anak yang berbakti,” kata Ketua Perguruan Garu–

da Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan 

kamar. 

*** 

Malam itu di sebuah dangau tua di tengah sawah, bobo  

penulis asli  duduk termenung! Usahanya mencari lukisan 

perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia 

kini sengaja melibatkan diri dalam urusan orang lain? 

Mengapa dia telah menerima permintaan tolong gadis 

anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini 

berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua buah Per–

guruan sekaligus?! bobo  penulis asli  merutuki dirinya sendiri. 

Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua 

itu telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghi–

raukannya. Dan kini dia terjerumus dalam persoalan rumit 

penuh bahaya yang sengaja di cari-carinya sendiri! Paras 

jelita dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua 

Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memu–

kaunya hingga bersedia turun tangan berikan bantuan! 

Dan Pendekar 10000 an  teringat pada ucapan Si Segala Tahu, 

“kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perem–

puan cantik...” bobo  menyeringai dan sambil garuk-garuk 

kepala, direbahkannya badannya di lantai dangau. 

 

 

bobo  penulis asli  

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 11

 

 

 

I PUNCAK Gunung Merapi.  

Sebuah panggung kayu jati yang diberi berukir-ukir 

serta hiasan gaba-gaba dikelilingi oleh sebuah 

panggung besar yang lebih rendah dan berbentuk ling–

karan, mengelilingi panggung kayu jati tadi. Pada bagian 

sebeleh utara panggung berbentuk lingkaran terdapat 

sebuah podium. Di depan podium ini terletaklah sebuah 

pelaminan. Seorang pemuda berpakaian bagus duduk di 

pelaminan ini. Pakaiannya yang bagus, topi tingginya yang 

bertaburan berlian, segala apa yang dipakainya, semua itu 

tak dapat menyembunyikan parasnya yang buruk dan 

cekung. Dialah mojolaban , anak Ketua Perguruan Merapi, 

calon suami penulis rabies ! Tamu-tamu yang banyak hadir di situ 

rata-rata adalah orang-orang dunia persilatan dan 

beberapa di antara mereka merupakan tokoh-tokoh yang 

disegani! Sebentar lagi, pengantin perempuan akan dibawa 

naik ke atas podium dan upacara perkawinan segera akan 

dilangsungkan. Sementara menunggu munculnya sang 

pengantin maka manik  Manik bicara-bicara dengan calon 

besannya yaitu Bogananta, Ketua Perguruan Merapi. Bila 

upacara pernikahan selesai, para tamu akan dijamu 

makan minum dan sambil menyaksikan pertandingan-per–

tandingan silat yang sengaja diadakan sebagai kebiasaan 

di atas panggung besar kayu jati! 

Tiba-tiba terdengar suara tiupan seratus buah seruling. 

Dari sebuah bangunan keluarlah pengantin perempuan, 

diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata yang memandang 

kepada sang pengantin ini tak satupun yang tak memuji 

kecantikan paras penulis rabies ! Dilihat kepada rupa memang 

D

 

 

ada juga di antara para tamu yang merasa kurang 

cocoknya kedua pengantin itu. Tapi memandang kepada 

nama besar Ketua Perguruan Merapi maka ketidakcocokan 

itu menjadi sirna. Siapa yang tak kenal dengan Bogananta? 

Siapa yang tak kenal dengan mojolaban  yang berilmu 

tinggi?! 

Begitu pengantin perempuan menginjakkan kaki di atas 

panggung di depan podium maka pengantin laki-laki pun 

berdiri dan suara seruling berhenti. Serentak para hadirin 

pun berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan 

dilangsungkan, dipimpin oleh seorang tua bernama 

Wararayan. Di kalangan dunia persilatan di masa itu Wara–

rayan sangat terkenal dan telah puluhan kali memimpin 

upacara perkawinan. Siapa-siapa yang dinikahkan di 

bawah pimpinannya pastilah kedua mempelai akan hidup 

bahagia! 

Satu menit telah berlalu. Wararayan belum juga mun–

cul. Para hadirin terutama Bogananta dan Manik manik  

serta mojolaban  kelihatan gelisah. penulis rabies  yang berdiri 

dengan menundukkan kepala juga tampak gelisah. Tapi 

apa yang digelisahkannya tidak sama dengan apa yang 

digelisahkan orang-orang di situ. Dia gelisah karena sampai 

saat itu orang yang hendak menolongnya belum juga 

kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang? Atau terlam–

bat atau sesat di jalan? Atau mendapat celaka?! 

Telah lewat sepeminum teh. 

Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa malu yang amat 

sangat membuat kulit muka Manik manik  merah laksana 

saga. Apalagi karena dialah yang bertanggung jawab 

mengatur kelancaran upacara pernikahan itu. Di lain pihak 

Bogananta juga kelihatan merah parasnya, tapi bukan 

karena malu melainkan merasa terhina! 

Dalam suasana tegang gelisah itu tiba-tiba dari balik 

sebuah batu karang besar di tepi kawah kelihatan muncul 

seorang berjubah biru. 

Manik manik  tersirap kaget. Jubah biru adalah 

pakaian yang biasa dikenakan oleh Wararayan! Apakah 

 

 

manusia ini Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari balik 

batu karang itu? 

Dan waktu diperhatikan langkah si jubah biru ini, 

terkejutlah Manik manik  serta para hadirin. Langkah si 

jubah biru demikian enteng, laksana kapas diterbangkan 

angin! Kemudian bila si jubah biru sudah berada dekat, 

maka tersiraplah darah Manik manik  dan semua orang. 

Si jubah biru ternyata bukan Wararayan! Tapi anehnya 

jubah yang dipakainya itu dikenali sekali oleh Manik 

manik  sebagai milik Wararayan? Apakah yang telah 

terjadi dengan Wararayan? Di mana orang tua itu berada 

dan siapa pula manusia yang datang ini?! 

Si jubah biru memiliki paras yang dilapisi dengan tanah 

liat. Rambutnya yang gondrong acak-acakkan diikat dengan 

robekan-robekan kain berbagai bentuk dan warna. Di 

tangan kirinya ada sebuah pecahan kaca rias bersudut 

runcing sedang di tangan kanannya menggenggam seba–

tang tombak pendek dari batu hitam yang banyak terdapat 

di sekitar kawah gunung. 

Si jubah biru langsung menuju ke podium. Anak-anak 

murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti 

segera hendak turun tangan, tapi ketua masing-masing 

memberi isyarat. Semuanya mundur kembali namun dalam 

posisi mengurung si jubah biru. 

Akan tetapi penulis rabies  begitu dia melihat si jubah biru ini, 

meskipun parasnya kotor bercelemongan tanah liat dan 

rambut awut-awutan tak karuan, namun dia masih bisa 

mengenali. Si jubah biru ini bukan lain pemuda gagah yang 

dua hari lalu telah bicara dengan dia di dalam kamar 

penginapan, bukan lain orang yang diharapkannya sebagai 

tuan penolongnya! Hati dara ini lega sedikit. Tapi apa-

apaan dia berbuat macam orang gila begini rupa? 

Tiba-tiba si jubah biru alias bobo  penulis asli  alias Pendekar 

10000 an  keluarkan suara macam orang tua dan menggigil, 

“Uh... uh... dinginnya! Dingin sekali!” Dan kedua 

tangannya didekapkan di dada sedang geraham-geraham–

nya bergemeletukan persis macam orang kedinginan! Di 

 

 

samping itu karena suaranya sengaja dialiri tenaga dalam 

yang hebat, maka suaranya itu menggetarkan liang telinga 

para hadirin, menggetarkan lantai panggung yang mereka 

injak! 

Semua orang heran campur terkejut! 

Hari sepanas itu. Matahari bersinar terik. Bagaimana 

manusia satu ini menggigil begitu rupa dan bilang dingin?! 

“Jubah biru!” bentak Manik manik . “Manusia atau 

setankah kau?!” 

“Hai... aku bicara soal dinginnya hari. Apakah kau tidak 

merasa? Apakah kalian semua di sini tidak kedinginan? 

Uh.. uh...!” 

Semua orang saling pandang. 

“Jubah biru, lekas terangkan siapa kau. Dan dari mana 

kau dapatkan jubah milik Wararayan itu?!” Kembali Manik 

manik  buka suara keras. 

bobo  penulis asli  dengan menahan geli di dalam hati pura-

pura meneliti parasnya di dalam kaca di tangan kiri. 

Kemudian sambil tuding-tudingkan tombak batu hitam di 

tangan kanan dia berkata, “Anak-anakku... kalian semua 

dengarlah!” 

“Persetan manusia edan!” hardik Bogananta beringas. 

“Kau kira kami ini apamu sampai memanggil kami anak-

anakmu?!” 

Si jubah biru tidak ambil perduli. Malah dia tudingkan 

tepat-tepat tongkat hitamnya ke hidung Ketua Perguruan 

Merapi itu. 

“Kalian dengar dulu... jangan ganggu bicaraku. Siapa 

yang bertindak lancang akan celaka seumur hidup. Akan 

dirundung malang selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa 

di khayangan!” Lalu bobo  penulis asli  pura-pura menggigil 

kedinginan lagi! “Dingin... uh... dingin sekali! Di dasar 

kawah udara hangat tapi di atas sini dingin bukan main! 

Uh...!” 

“Manusia gila! Kalau kau tak segera angkat kaki dari 

sini kutekuk batang lehermu!” ancam Manik manik . 

“Aku bukan manusia... bukan manusia!” kata bobo  

 

 

lantang keras hingga setiap orang yang mendengar 

tergetar dadanya! “Aku adalah titisan dewa di khayangan! 

Aku penghuni Gunung Merapi ini. Segala sesuatu yang ada 

dan terjadi di gunung ini di bawah pengawasanku! Kalian 

tahu hai manusia-manusia ceroboh, pesta perkawinan yang 

kalian rayakan di sini tanpa meminta izin pada dewa-dewa 

di khayangan telah membuat dewa-dewa marah semua! 

Kalian hendak dikutuk! Hendak disapu dengan angin topan 

dari puncak Gunung Merapi ini. Tapi dengan memandang 

aku, dewa-dewa masih sanggup beri ampun pada kalian...” 

“Keparat pendusta!” bentak Manik manik . “Kau kira 

kami bisa dikelabui oleh orang gila macammu?!” 

bobo  penulis asli  menyeringai dan keluarkan suara 

mengekeh. Dalam hatinya dia memaki! 

“Aku pendusta katamu?! Aku orang gila bilangmu...?! 

Kau akan lihat... akan lihat!” kata bobo  pula dengan suara 

keras. Dia melangkah seringan kapas ke tepi kawah yang 

terletak dua puluh tombak dari panggung. Jarak yang 

duapuluh tombak itu dicapainya dengan beberapa kali 

gerakan kaki saja hingga semua orang menjadi tertegun! 

Di tepi kawah bobo  komat-kamitkan mulut. Dalam hati 

dia geli sekali. Kemudian tongkat pendek batu hitam di 

tangan kanannya di acung-acungkan ke udara dan peca–

han kaca rias di putar-putarnya kian kemari! Kemudian 

terdengarlah kumandang suaranya yang menggelegar ke 

dasar kawah dan dipantulkan kembali ke atas. 

“Wahai dewa-dewa di khayangan! Kalian telah 

menyaksi–kan sendiri bagaimana hari ini di hadapanku 

ada manusia-manusia yang hendak mengotori tempatmu 

yang ada di bawah pengawasanku. Kalian dengar sendiri 

bagaimana manusia-manusia itu mengatakan aku sebagai 

pendusta, sebagai tukang kelabuh, sebagai orang gila! 

Demi memandang mukaku, demi menjaga kesucian tem–

pat ini dan demi kebesaran namamu, kuharap perlihat–

kanlah kekuatanmu! Hukumlah mereka...!” 

bobo  putar-putarkan kedua tangannya ke udara. 

“Hukumlah mereka wahai dewa!” seru bobo  lagi dan 

 

 

seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke ujung kedua tangan. 

Diam-diam Pendekar ini lepaskan pukulan Angin Puyuh. 

Maka mengaunglah suara angin makin keras. Para tamu 

yang bukan orang-orang persilatan tak ampun lagi jatuh 

berpelantingan. Bogananta, Manik manik  dan mereka 

yang mengerti silat segera kerahkan tenaga dalam agar 

tidak ikut terpelanting. Tapi makin lama deru angin 

semakin dahsyat dan keras! Hiasan-hiasan dan gaba-gaba 

di atas panggung serta podium tanggal beterbangan, tak 

ketinggalan kain penutup pelaminan. Topi tinggi yang 

dikenakan pengantin laki-laki tak urung mental dan 

kelihatanlah kepalanya yang berambut jarang! 

“Tahan!” teriak Manik manik  seraya melompat ke 

muka dan lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah si 

jubah biru! Tapi terkejutnya bukan main dan melabrak 

dirinya sendiri! Dia melompat ke samping dan sesaat 

kemudian dia sudah berada di hadapan bobo . Pakaiannya 

berkibar-kibar, tubuhnya tergetar dilanda angin puyuh yang 

keluar dari tangan sang Pendekar 10000 an ! 

“Jubah biru, hentikan semua ini! Aku mau bicara 

padamu!” Berada sedemikian dekat Manik manik  melihat 

bagaimana gerakan kedua tangan dan posisi kedua kaki si 

jubah biru bukan lain daripada sikap seorang ahli silat! 

Maka hatinya yang tadi sedikit tergetar kini menjadi curiga. 

Walau bagaimanapun si jubah biru ini adalah manusia 

biasa seperti dia, bukan dewa atau titisan dewa! 

“Tahan!” teriak Manik manik  sekali lagi. “Aku mau 

bicara!” 

bobo  tertawa mengekeh dan mendongak ke langit. 

“Dewa-dewa, aku mohon hentikanlah kemurkaanmu.” 

Maka sesaat kemudian deru angin yang dahsyat itu 

mengendur perlahan dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan 

Manik manik  yang ada di sampingnya bobo  melangkah 

kembali ke atas panggung di depan podium sambil tertawa 

mengekeh-ngekeh! 

“Masih untung, masih untung dewa mau mengampuni 

kalian manusia-manusia sombong!” kata bobo . Dia melirik 

 

 

ke samping. Manik manik  berada di dekatnya. 

Dan bobo  buka mulut kembali, “Itu baru sepersepuluh 

dari kekuatan dewa. Kalau sampai seperlimanya saja pasti 

kalian semua sudah tak ada di sini! Sudah terbang laksana 

daun kering dan mampus!” 

bobo  komat-kamit dan acungkan pecahan kaca ke 

muka. 

“Sekarang kalian dengar semua!” serunya 

menggeledek. “Dewa telah mengampuni kalian orang-

orang sombong! Tapi dewa juga minta imbalan pengam–

punan itu. Telah lima ratus tahun lebih kawah Gunung 

Merapi tempat dewa yang suci ini tak pernah dibersihkan 

dengan darah suci seorang dara! Telah lima ratus tahun 

lebih khayangan tidak menerima korban suci! Maka hari ini 

dewa memerintahkan aku, dan aku memerintahkan kamu 

semua di sini untuk menyerahkan pengantin perempuan 

kepadaku!” 

bobo  memandang berkeliling. Semua orang dilihatnya 

terkejut. Bogananta, Manik manik  dan mojolaban  men–

delik memandang kepadanya. Cuma seorang yang keliha–

tan tenang dan berlega hati. Orang ini bukan lain penulis rabies . 

Si gadis sudah maklum kini akan rencana pemuda yang 

menyamar itu. 

“Kalian dengar? Pengantin perempuan harus diserah–

kan padaku...!” bobo  melangkah mendekati penulis rabies . 

Tapi baru satu langkah, Manik manik  sudah 

memapasinya. 

“Jubah biru! Aku tidak percaya kau titisannya dewa! Kau 

tidak bisa lain daripada manusia dajal keparat! Kalau kau 

maukan anakku, silahkan! Tapi makan dulu sepuluh kuku 

ini!” Habis berkata begitu Ketua Perguruan Garuda Sakti 

melompat ke muka. Kedua tangannya berkelebat cepat! 

 

 

bobo  penulis asli  

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 12

 

 

 

IRO penulis asli  terkejut melihat datangnya serangan 

dua tangan yang mencengkeram dengan dahsyat 

itu. Buru-buru dia melompat ke belakang dan 

kiblatkan tombak batu hitam di tangan kanannya mema–

pasi serangan lawan! 

Kini Manik manik -lah yang terkejut! 

Serangan yang dilancarkannya tadi adalah jurus 

Sepuluh Jari Sakti Menggarap Gunung, merupakan satu 

jurus serangan yang lihai dari ilmu silatnya. Tapi si jubah 

biru mengelakkannya dengan cepat bahkan kalau dia tidak 

cepat menarik pulang kedua tangannya pastilah akan 

dihantam oleh tombak batu di tangan si jubah biru! 

bobo  tertawa mengekeh. 

“Manusia sombong dan kotor hendak melawan titisan 

dewa?I” ejeknya. “Kau akan tahu rasa!” 

Malu bercampur amarah yang meluap Manik manik  

siap menyerang kembali. Tapi di saat itu sesosok tubuh 

melompat ke depan dan satu seruan terdengar, “Ketua 

Perguruan Garuda Sakti, biar aku calon mantumu tunjuk–

kan bakti padamu! Biar aku yang ringkus manusia kentut 

dewa itu!” 

Sreet! 

mojolaban , anak Ketua Perguruan Merapi, si pengantin 

laki-laki yang akan jadi suami penulis rabies  cabut pedangnya 

lalu tanpa tedeng aling-aling menyerbu kirimkan satu 

tusukan satu babatan! 

Pendekar 10000 an  tertawa gelak-gelak dan elakkan 

serangan pedang dengan satu putaran tombak batu. 

Dengan penasaran mojolaban  susul dua tusukan kilat dan 

W

 

 

dua tebasan sekaligus! 

bobo  putar lagi tombak hitamnya dalam jurus Titiran 

Terbang Ke Langit. 

Melihat gerakan lawan yang memapasi mentah-mentah 

serangannya bukan main dongkolnya mojolaban . Dia ambil 

keputusan untuk adu senjata dan adu tenaga dalam 

sekaligus! 

Trang! Trak! 

Tombak batu hitam di tangan kanan bobo  penulis asli  

patah dua. Sebaliknya pedang di tangan mojolaban  terle–

pas mental, tangannya tergetar hebat dan pedas membuat 

dia mengerenyit kesakitan. Di lain kejap ketika dia hendak 

melompat menyambar pedangnya terkejutlah putera Ketua 

Perguruan Merapi ini. Pedangnya yang tadi terlepas mental 

ternyata sudah berada di tangan lawannya! Gelaplah muka 

mojolaban  ditelan rasa malu dan kegeraman yang 

menyala! 

Bogananta mungkin orang yang paling terkejut di antara 

semua orang! mojolaban  adalah anak kandung gem–

blengannya sendiri. Meski tenaga dalamnya masih belum 

mencapai tingkat kesempurnaannya tapi tak bisa dianggap 

ringan, dan di samping itu seluruh ilmu silatnya telah 

dikuasai oleh mojolaban ! Bagaimana kini dia bisa 

dipecundangi dalam satu gebrakan itu aja? Untuk tidak 

membuat anaknya kehilangan muka maka Bogananta 

berseru memerintahkan anak-anak buahnya nenyerang si 

jubah biru. Di lain pihak Manik manik  segera pula 

memerintahkan anak-anak buahnya. Enam belas orang 

bertomba ke depan podium bukan saja mengurung bobo  

tapi dengan serentak menyerangnya! 

Pendekar 10000 an  tertawa dan keluarkan suara bersiul. 

Begitu gelombang serangan datang menggempurnya, 

pemuda ini melompat ke udara dan sewaktu menukik 

turun, kembali terdengar jerit empat orang pengeroyok. 

Keempatnya menggelinding ke tanah dalam keadaan 

pingsan. Dan di depan podium, empat orang lainnya berdiri 

mematung karena di totok oleh bobo  dengan bagian 

 

 

belakang yang tumpul dari patahan tombak batu hitamnya! 

Melihat ini baik Bogananta maupun Manik manik  

segera maklum bahwa si jubah biru bukanlah tandingan 

anak-anak murid mereka. Bahkan ketinggian ilmu silatnya 

belum tentu berada di bawah mereka! 

“Ban