in daripada lukisan perempuan telanjang
adanya!
bobo penulis asli
0
ANUSIA yang melarikan lukisan perempuan
telanjang itu bertubuh kecil katai. Dia mengenakan
jubah merah yang panjang sekali hingga menjela-
jela sepanjang larinya. Debu, pasir, dan batu-batu kerikil
beterbangan dilanda angin jubah manusia katai ini.
Hebatnya manusia ini larinya luar biasa cepatnya. Dalam
sekejap mata, dia sudah ke luar dari dalam lembah batu.
Pohon-pohon di kiri kanan yang dilaluinya laksana terbang!
Tiba-tiba dia merasa ada yang mengejar di
belakangnya. Dia berpaling dan melihat dua manusia
berjubah kuning laksana kilat berlari ke arahnya. Si katai
terkesiap dan tancap gas, berlari lebih cepat.
Lewat sepeminum teh seketika dia menoleh lagi ke
belakang, kedua pengejarnya ternyata hanya tinggal bebe–
rapa puluh langkah saja lagi!
Manusia katai ini merutuk. “Celaka! Kedua bangsat itu
betul-betul lihai!”
Dan bila kedua pengejar yang bukan lain daripada
Sepasang rsi betaritunggangtrini adanya hanya tinggal lima belas
langkah di belakangnya maka si katai segera robah ilmu
larinya. Gerakan kakinya menjadi lambat dan tidak teratur,
tapi anehnya bagaimana pun sepasang rsi betaritunggangtrini
mempercepat lari mereka, tetap jarak mereka tak berobah
dari lima belas langkah! Itulah ilmu lari yang disebut Seribu
Kaki Menipu Jarak yang telah dikeluarkan oleh manusia
katai. Ilmu lari semacam ini hanya beberapa tokoh silat
saja yang memilikinya!
“Heran!” kata rsi betaritunggangtrini penulis penulis koplak . “Jarak
kita demikian dekatnya tapi kenapa tidak bisa mengejar
M
bangsat itu?!”
“Kurasa dia memiliki ilmu lari Seribu Kaki Menipu
Jarak,” sahut k.h mualafudin yang berpengalaman lebih luas
dan berpemandangan tajam.
“Berhenti!” teriak penulis penulis koplak .
Tapi mana si katai mau hentikan larinya!
Marahlah k.h mualafudin Hilang kesabarannya. “Berhenti!
Kalau tidak aku akan lepaskan pukulan Paku Emas
Beracun!”
Tergetarlah hati si katai. Tapi untuk berhenti dia juga
tidak mau. Dia lari terus dan berusaha memperlebar jarak!
“Bedebah laknat!” maki k.h mualafudin Tangan kanannya
diangkat ke atas dan dihantamkan ke muka.
Si katai menoleh sewaktu dirasakannya sambaran
angin dingin menyambar di belakangnya. Melihat selarik
sinar kuning dan paku-paku emas menderu ke arahnya
dengan segera dia jatuhkan diri. Sambil bergulingan dia
membalas dengan satu pukulan tangan kosong yang
mendatangkan angin panas yang luar biasa dahsyatnya!
Sepasang rsi betaritunggangtrini tersirap kaget dan buru-buru
menghindar.
“Badan kate, jubah merah panjang dan pukulan angin
panas! Pastilah maling ini Si Katai Bisu!” teriak k.h mualafudin
Dan ketika dia memandang ke muka, manusia katai itu
sudah dua puluh tombak jauhnya. Bersama penulis
penulis koplak dia mengejar kembali!
Di satu pendakian, mendadak si katai hentikan larinya
dan kaget sekali. Jalan buntu dan di depannya kini terben–
tang sebuah jurang yang lebar dan tak mungkin untuk
dilompati. Selain lebar juga dalam dan curam!
“Ha-ha! Kau mau lari ke mana maling laknat?!” teriak
penulis penulis koplak .
Tapi Si Katai Bisu tidak kehilangan akal. Laksana se–
ekor burung walet dia melompat ke cabang sebuah pohon.
“Turun!” teriak k.h mualafudin “Serahkan lukisan itu dan
berlutut! Niscaya kuselamatkan jiwamu!”
“Ha-hu... ha-hu... ha-hu!” Si Katai Bisu keluarkan suara.
“Ayo turun lekas!” teriak penulis penulis koplak .
“Ha-hu... ha-hu... ha-hu!”
“Kurang ajar! Kalau begitu kau mampuslah!” Mata
Picak angkat tangan kanannya.
“Ha-hu!” Si Katai Bisu menunjuk ke dadanya lalu
menunjuk ke lukisan perempuan telanjang kemudian
tertawa dan mencibir!
k.h mualafudin yang tak mengerti apa maksud manusia itu
siap untuk memukulkan tangannya ke atas. Tiba-tiba Si
Katai Bisu lindungi dirinya dengan lukisan perempuan
telanjang!
k.h mualafudin terkesiap kaget dan batalkan serangannya.
Kini dia maklum apa maksud dari gerak-gerik dan sikap Si
Katai Bisu tadi. Yaitu jika dia meneruskan melancarkan
pukulan Paku Emas Beracun maka paku-paku itu akan
merusak lukisan perempuan telanjang karena Si Katai Bisu
mempergunakan lukisan itu untuk melindungi dirinya!
k.h mualafudin memaki hahis-habisan.
Tiba-tiba penulis penulis koplak melompat ke muka dan
memukul.
Braak!
Pohon di mana Si Katai Bisu berada patah dan tum–
bang. Tapi Si Katai Bisu sudah melompat ke pohon lain!
“Setan alas!” k.h mualafudin melesat ke depan dan
lancarkan satu serangan dari jarak satu tombak. Si Katai
Bisu dengan ha-hu-ha-hu menghindarkan diri sambil per–
gunakan lukisan perempuan telanjang untuk menangkis
serangan lawan. Mau tak mau rsi betaritunggangtrini k.h mualafudin
tak berani lancarkan serangan yang terlalu ganas terhadap
lawannya karena khawatir akan merusak lukisan!
“penulis penulis koplak ! Serang bangsat itu dari belakang!”
teriak k.h mualafudin marah sekali.
rsi betaritunggangtrini penulis penulis koplak segera berkelebat dan
menyerang Si Katai Bisu dari belakang, sedang dari muka
k.h mualafudin kembali menyerbu! Namun Si Katai Bisu tidak
menjadi gugup! Tanpa tedeng aling-aling dia putar lukisan
perempuan telanjang seputar badannya. Karena lukisan itu
kini dialiri tenaga dalam oleh Si Katai Bisu maka bukan
saja putaran lukisan mengeluarkan angin dahsyat sekali,
tapi juga merupakan serangan balasan yang sekaligus
memapaki serangan Sepasang Elmaut Kuning! Dalam
waktu yang singkat sepuluh jurus telah berkecamuk!
Sepasang rsi betaritunggangtrini menyumpah-nyumpah tak ada
hentinya. Tiba-tiba rsi betaritunggangtrini k.h mualafudin mendapat
akal. Sewaktu pertempuran berjalan seru-serunya dia
memukul ke bawah ke arah kaki lawan. Pukulan ini
membuat Si Katai Bisu melompat ke udara. Melihat ini
dengan cepat k.h mualafudin menyusul dengan satu serangan
ke arah selangkangan tapi lukisan lebih cepat lagi menerpa
ke arah kedua tangannya kemudian berputar lagi ke
belakang menyambar lengan kiri penulis penulis koplak yang
hendak menotok punggung Si Katai Bisu!
Hampir tiga puluh jurus berlalu maka berserulah Elmaut
Kuning k.h mualafudin pada kambratnya.
“Keluarkan jurus Elmaut Menggila!”
Kedua manusia berjubah kuning itu mundur setombak
lalu dibarengi dengan jerit pekik dahsyat yang laksana
merobek gendang-gendang telinga keduanya menyerbu
kembali dalam satu jurus aneh!
Lambat laun suara pekik dan jerit yang datangnya dari
pelbagai penjuru itu membuat Si Katai Bisu menjadi gugup
dan panik gerakan-gerakan silatnya!
Tiba-tiba tangan kanan rsi betaritunggangtrini k.h mualafudin
memukul ke muka. Si Katai Bisu sambut serangan itu
dengan sambaran lukisan. Tapi gerakan lawan nyatanya
hanya tipuan belaka. Karena begitu lukisan menderu
secepat kilat k.h mualafudin tarik pulang serangannya dan
ganti dengan satu tendangan ke arah pinggang. Pada saat
yang sama dari belakang rsi betaritunggangtrini penulis penulis koplak
lancarkan pula satu serangan ganas ke arah kepala.
Si Katai Bisu menggerung lalu membuang diri ke
samping kanan. Lukisan disabetkan dengan cepat ke
bawah sedang dengan tangan kanan dia kebutkan bagian
bawah jubahnya. Serangkum angin merah menyambar ke
arah penulis penulis koplak membuat manusia ini batalkan
serangan dan terpaksa melompat selamatkan diri! Di lain
pihak rsi betaritunggangtrini k.h mualafudin yang tidak berani adu
kekuatan dengan lukisan yang menyambar kakinya,
terpaksa tarik pulang tendangannya.
Namun k.h mualafudin menjadi gugup sewaktu melihat
bagaimana ujung pigura lukisan menyambar ganas ke arah
matanya tak sanggup dikelit! Satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan matanya hanyalah dengan pergunakan
lengan untuk menangkis. Ini berarti dia akan merusakkan
lukisan itu di samping lengannya yang dipakai menangkis
tentu akan terluka pula! Tapi walau bagaimanapun Elmaut
Kuning k.h mualafudin lebih baik melihat lukisan itu rusak, toh
nanti bisa diperbaiki lagi. Juga merasa lebih baik lengannya
mendapat luka daripada harus kehilangan matanya yang
cuma tinggal satu-satunya! Maka diapun angkat lengan
kirinya dengan cepat.
Braak!
Kayu pigura lukisan perempuan telanjang patah dan
sudutnya menganga. Lengan kiri rsi betaritunggangtrini k.h mualafudin
juga patah! Dia mengeryitkan kesakitan kemudian dengan
kalap menyerbu ke muka kirimkan pukulan Paku Emas
Beracun! Rasa sakit membuat dia tidak perduli lagi apakah
pukulannya yang dahsyat itu akan menghancurkan lukisan
di tangan lawan!
Melihat datangnya serangan yang dahsyat dari lawan, Si
Katai Bisu melompat empat tombak dan dari atas
kebutkan jubah merahnya. Segelombang sinar merah
laksana topan prahara memapasi serangan rsi betaritunggangtrini
k.h mualafudin Belasan paku kuning beracun yang melesat ke
arah manusia katai itu luruh, bahkan beberapa di
antaranya ada yang membalik menyerang k.h mualafudin
sendiri, membuat manusia ini dengan cepat menghindar ke
samping selamatkan diri!
Si Katai Bisu membalikkan badan dengan cepat
sewaktu di belakangnya terasa sambaran angin dingin.
Namun kasip! Belasan paku kuning telah dilepaskan
penulis penulis koplak ! Jaraknya sudah dekat sekali, tak
mungkin ditangkis tak bisa dikelit!
Si Katai Bisu menggerung. Dia ambil keputusan untuk
berjibaku dan tendangan kaki kanannya ke kepala penulis
penulis koplak sedang tangan kanan mendorong ke muka!
Sedetik kemudian terdengar jerit tercekik dari Si Katai
Bisu! Sembilan paku emas beracun menancap di dadanya.
Tiga di antaranya langsung menembus jantung! Tak ampun
lagi begitu jatuh di tanah, nafasnya lepas sedang sekujur
badannya kelihatan menggembung biru!
Di lain pihak meski dia dapat menyelamatkan kepala–
nya dari tendangan maut Si Katai Bisu namun Elmaut
Kuning penulis penulis koplak tak sempat menghindarkan diri
dari sambaran angin pukulan yang dilepaskan Si Katai
Bisu. Tubuhnya mencelat beberapa tombak. Kalau saja
tubuh itu tidak membentur patahan pohon yang tadi
dipukulnya, pasti rsi betaritunggangtrini penulis penulis koplak akan
melayang ke dasar jurang batu! penulis penulis koplak muntah–
kan darah segar lalu roboh pingsan!
k.h mualafudin segera menyambar lukisan yang rusak
piguranya lalu memanggul tubuh penulis penulis koplak dan
meninggalkan tempat itu dengan cepat.
bobo penulis asli
RAHASIA LUKISAN TELANJANG 9
I SEBELAH utara kelihatan Gunung Merapi menju–
lang tinggi penuh kemegahan. Hari itu adalah hari ke
duapuluh satu bulan kedua perjalanan bobo penulis asli
dalam mencari lukisan perempuan telanjang. Saat itu dia
tengah menuju ke sebuah kota kecil yang terletak di
selatan kaki Gunung Merapi. Di satu jalan yang sepi
Pendekar 10000 an hentikan larinya dan berjalan seperti biasa.
Jauh di hadapannya dilihatnya seorang laki-laki tua berpa–
kaian compang-camping berjalan melenggang-lenggok
dengan seenaknya. Di tangannya ada sebuah kaleng berisi
batu yang setiap saat diguncang-guncangnya hingga
mengeluarkan suara bergerontangan. Di ketiak kirinya
terkempit sebuah tas daun pandan.
Yang membuat bobo diam-diam jadi tertegun ialah
karena dalam dua kejapan mata saja tahu-tahu orang tua
berpakaian compang-camping itu sudah berada di
hadapannya.
bobo sunggingkan senyum. Tapi orang tua aneh itu terus
saja melangkah seenaknya dan hendak memapasi bobo .
Maka Pendekar 10000 an pun menegur bertanya, “Orang tua,
apakah ini jalan yang menuju ke kota Paritsala?”
Orang tua itu hentikan langkahnya. Tanpa menoleh
pada si pemuda dia membuka mulut, “Siapa tanya siapa?”
Lalu tangannya digoyangkan dan kaleng berisi batu
berbunyi berkerontangan.
bobo tersenyum lagi. “Namaku bobo . Aku dalam perjala–
nan ke Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan yang
betul?”
Perlahan-lahan orang tua itu putar kepalanya dan
D
memandang bobo penulis asli dari atas sampai ke kaki.
“Ah... melihat kepada air mukamu rupanya kau tengah
mengkhawatirkan tentang suatu barang yang hilang...” Dan
habis berkata begitu orang tua ini kerontang-kerontangkan
lagi kaleng di tangan kanannya.
Tentu saja bobo penulis asli terkejut mendengar ucapan si
orang tua dan menduga-duga siapa adanya manusia ini.
“Coba ulurkan telapak tangan kirimu!” si orang tua tiba-
tiba memerintah.
bobo penulis asli meragu seketika. Dia tidak kenal dengan
orang tua itu dan disuruh ulurkan telapak tangan kirinya.
Mau apakah? Namun akhirnya karena ingin tahu bobo pun
ulurkan telapak tangan kirinya.
Si orang tua memperhatikan telapak tangan itu lalu
dengan telunjuk tangan kirinya diikutinya guratan-guratan
garis pada telapak tangan pemuda itu. bobo penulis asli
terkejut sewaktu jari telunjuk itu menyentuh telapak
tangannya, telapak tangan itu seperti ditindih oleh sebuah
batu besar yang ratusan kati beratnya!
Tahu kalau orang hendak mencoba kekuatannya maka
bobo segera kerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan
kiri itu. Si orang tua terus juga mengikuti garis-garis pada
telapak tangannya dan bobo merasa tangannya tergetar
hebat. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Keringat
dingin berpercikan di keningnya dan sedikit tenaga
dalamnya ditindih hebat oleh tenaga dalam si orang tua.
Bagaimanapun dia mempertahankan pastilah telapak
tangannya akan terpukul ke bawah! Namun di saat itu
untunglah si orang tua menarik ujung jarinya dan sambil
batuk-batuk dia berkata, “Orang muda, masa depanmu
penuh rintangan dan kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis
di telapak tanganmu itu penuh dengan garis-garis bahaya
yang selalu mengikuti perjalanan nasibmu! Tapi kau tak
perlu khawatir. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun
besar bahaya kau kelak akan berhasil melewati
semuanya.” Orang tua aneh kerontangkan kalengnya
beberapa kali lalu meneruskan, “Garis percintaanmu tidak
begitu bagus. Ini disebabkan karena kau punya sedikit sifat
mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik...”
Kaleng berisi batu berkerontang lagi. Wajah Pendekar
10000 an kelihatan merah menjengah!
Dan si orang tua bertanya, “Kau tengah menuju ke
Paritsala?”
“Betul orang tua,” jawab bobo .
“Kunasihatkan agar dibatalkan saja...”
“Memangnya ada apakah?”
“Kesulitan. Kesulitan! Kau selalu ditunggu kesulitan
dan bahaya di mana-mana...”
“Tapi seorang kawanku menganjurkan agar pergi ke
utara...,” kata bobo yang ingat akan petunjuk yang
diberikan nyi pandanajeng
Orang tua itu tertawa tawar sambil kerontang-
kerontangkan kalengnya lalu hendak menindak
meninggalkan tempat itu.
“Orang tua, kuucapkan terima kasih atas petunjukmu.
Sebelum berpisah sudilah kau terangkan namamu...”
Orang tua itu kerontang-kerontangkan kalengnya dan
dengan melangkah acuh tak acuh dia meninggalkan bobo
penulis asli sambil bernyanyi: Orang-orang menyebutku Si
Segala Tahu. Tapi betapa tololnya aku, namaku sendiri aku
tidak tahu...
Dua kalimat dalam lagu yang dibawakan orang tua
aneh itu terus diulang-ulangnya sampai akhirnya dia lenyap
di kejauhan.
bobo penulis asli berdiri terlongong-longong. Orang persila–
tan mana yang tak tahu dan tak pernah mendengar
tentang orang tua aneh yang bernama Segala Tahu itu?
Ilmu silatnya tinggi tapi jarang dipergunakan. Dia mengem–
bara ke mana-mana tapi jarang bisa ditemui orang. Jika dia
berpapasan dengan seseorang pastilah dia akan mengata–
kan sesuatu. Dan apa yang dikatakannya itu selalu betul.
Itulah sebabnya dia diberi nama Segala Tahu oleh orang-
orang dunia persilatan. bobo merasa beruntung sekali
dapat bertemu dengan orang tua itu.
Dia segera melanjutkan perjalanan. Di satu persim–
pangan jalan dia hendak membelok ke kanan yaitu sesuai
dengan petunjuk Si Segala Tahu agar jangan terus ke
Paritsala. Belum lagi dia sempat membelok ke kanan, di
belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda dan
gemeletak suara kereta. bobo berpaling, sepuluh orang
penunggang kuda hitam memacu kuda masing-masing
dengan cepat, mengawal sebuah kereta putih yang ditarik
oleh dua ekor kuda putih. Debu mengepul sepanjang jalan.
Rombongan itu terdiri dari penunggang-penunggang
kuda berpakaian hitam. Pada bagian dada baju mereka
terpampang gambar kepala burung garuda. Pada bagian
samping kereta putih juga terdapat gambar semacam itu.
Dan sewaktu bobo memperhatikan jendela kereta, sekilas
dilihatnya seraut wajah perempuan muda berparas cantik
sekali. Kereta lewat dengan cepat tapi bobo masih terke–
siap melihat paras jelita itu. Mata perempuan itu laksana
sinar bintang timur di malam cerah! bobo memandang ke
jurusan lenyapnya kereta. Dan lupalah Pendekar 10000 an akan
ucapan Si Segala Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah
menempuh jalan vang ditempuh rombongan itu.
Hari telah petang sewaktu bobo penulis asli memasuki
Paritsala. Di hadapan sebuah bangunan berbentuk panjang
dilihatnya kereta putih tadi. Sepuluh ekor kuda hitam pun
tertambat di halaman. Karena bangunan itu adalah rumah
penginapan maka bobo penulis asli pun segera menuju ke
sana.
Baru saja Pendekar 10000 an berdiri di tangga bawah pintu
penginapan, seorang pelayan muncul. Umurnya sudah
agak lanjut.
“Orang muda, apakah kau berniat menginap di sini?”
“Betul” sahutbobo .
“Sayang sekali. Seluruh kamar sudah disewa orang...”
“Seluruh kamar?” ujar bobo heran. Dia menggoyangkan
kepalanya ke arah kereta dan kuda-kuda hitam di hala–
man. “Apakah rombongan pemilik kereta itu yang telah
menempatinya?”
“Ya.”
“Berapakah jumlah kamar di penginapan ini?”
“Enam belas... Mengapa?”
“Rombongan itu jumlahnya tidak sampai enam belas
orang,” kata bobo . “Pasti ada kamar yang masih kosong
untukku...”
“Sudah kubilang semua kamar diambil oleh rombongan
itu. Majikanku memerintahkan agar menolak siapa saja
yang hendak menginap di sini...”
bobo penulis asli garuk-garuk kepalanya, “Kalau begitu aku
musti cari penginapan lain,” katanya setengah
menggerutu.
“Di sini tak ada lagi penginapan lain.”
“Hem...” bobo menggumam. “Terpaksa kau menolong
menyediakan satu kamar buatku. Gudang buruk-pun tak
jadi apa.”
“Tak mungkin orang muda. Seluruh penginapan ini
sampai ke gudang telah disewa oleh rombongan itu!”
bobo penulis asli jadi penasaran.
“Apa kau kira aku tak sanggup membayar sewa untuk
sebuah gudang tua? Atau kau minta sogok agaknya heh?!”
Paras orang tua pelayan penginapan itu berubah kesal.
“Kuharap kau tak usah memaksa-maksa dan bicara
lantang. Salah-salah kau bisa berabe!”
bobo keluarkan suara bersiul.
“Kenapa bisa jadi berabe, Bapak?” tanya pemuda ini
“Ah! Tak usah kau banyak tanya!” Pelayan itu putar
tubuh hendak masuk kembali tapi bobo mencekal bahunya
hingga dia tak bisa bergerak.
“Katakan dulu kenapa bisa jadi berabe!” desis bobo ke
telinga pelayan itu.
Dan si pelayan mendadak merasa kecut sewaktu
merasakan bagaimana telapak tangan bobo yang berada di
bahunya membuat tubuhnya seperti mau amblas ke lantai!
“Orang muda, seluruh penginapan ini telah disewa oleh
Ketua Perguruan Garuda Sakti. Dia dan rombongannya
tengah menuju ke puncak Gunung Merapi. Di sana akan
dilangsungkan perkawinan anak gadisnya dengan seorang
pemuda, anak Ketua Perguruan Merapi...”
bobo angguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat pada
sekilas bayangan raut wajah gadis jelita yang dilihatnya
tewat jendela kereta.
“Sekarang kau lekaslah berlalu dari sini. Kau tahu,
Ketua Perguruan Garuda Sakti galak luar biasa! Sekali
dilihatnya ada yang bikin ribut di hadapannya pasti akan
kena tamparannya. Dan manusia tampangmu ini sekali
tampar saja pasti kepalamu menggelinding!”
bobo tertawa gelak-gelak.
“Kurang ajar! Siapa yang berani bikin ribut di sini!” Tiba-
tiba satu suara garang membentak dan sesaat kemudian
seorang laki-laki berbadan tinggi tegap sudah berdiri di
ambang pintu. Dia berpakaian hitam dan di bagian dada
bajunya ada gambar kepala burung garuda putih. Dia
berdiri bertolak pinggang dan beliakkan mata kepada bobo .
Pelayan penginapan berdiri dengan muka pucat!
“Pemuda hina dina! Lekas angkat kaki dari sini! Kalau
tidak, kupuntir kepalamu sampai putus!”
“Hak apakah kau mengusirku?!” tanya bobo dengan
senyum mengejek.
Marahlah si tinggi besar. Tangan kanannya dengan
cepat diulurkan menjambak rambut bobo penulis asli . Begitu
terjambak segera hendak dipuntirnya. Tapi terkejut si tinggi
besar ini bukan alang kepalang sewaktu jari-jari tangannya
yang menjambak itu dirasakannya laksana memegang
sebuah area batu yang ratusan kati beratnya dan keras
luar biasa, tak sanggup tangannya memuntir!
“Mampus!” teriak si tinggi besar itu seraya sentakkan
tangannya! Sekali menyentak maksudnya hendak ditang–
galkannya kepala bobo dari badannya, sekurang-kurangnya
rambut pemuda itu akan berserabutan dari batok
kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian betul-betul tak
diduga oleh si tinggi besar. Belum lagi dia sempat menyen–
takkan tangannya tahu-tahu satu totokan melanda jalan
darah di dadanya! Si tinggi besar mengeluh tertahan.
Sebelum tubuhnya roboh tergelimpang dalam keadaan
kaku, bobo cekal kuduk laki-laki itu dan melemparkannya
ke sebuah pohon di halaman penginapan. Tubuh si tinggi
besar menyangsrang di antara cabang pohon, tak bisa
bergerak, tak dapat turun! Orang itu memaki-maki. bobo
sebaliknya tertawa gelak-gelak dan tinggalkan tempat itu!
Sepasang mata yang bersinar-sinar mengintai di balik
jendela sebuah kamar penginapan dan mengikuti keper–
gian Pendekar 10000 an .
bobo penulis asli
RAHASIA LUKISAN TELANJANG 10
ETIKA dia menempuh jalan yang menuju ke luar
kota, bobo mendengar suara derap kaki kuda datang
mendekatinya dari arah belakang. Menyangka
bahwa yang datang ini adalah kawan-kawan si tinggi besar
tadi segera bobo berlindung di balik sebatang pohon.
Nyatanya si penunggang kuda adalah pelayan penginapan
tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan dan
memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi bobo berada
di jalan itu. Tapi tiba-tiba tenyap entah ke mana.
“Hai! Kau mencari aku?!” tanya bobo dari balik pohon.
Si pelayan tergagap kaget bobo keluar dari balik pohon.
“Lekas ikut bersamaku!” kata si pelayan.
“Ikut ke mana?” tanya bobo heran.
“Jangan bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu.
Sebentar lagi anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti
pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku!”
“Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?!”
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali!
“Lekaslah!” kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda
cemas.
Akhirnya bobo melompat juga ke atas punggung kuda di
belakang si pelayan. “Bapak,” bisik bobo waktu mereka
berlalu dengan cepat, “Kalau kau menipuku, aku akan
gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!”
Sesaat kemudian keduanya meninggalkan jalan itu
dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan penginapan
hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan
berangsur gelap. bobo penulis asli memandang berkeliling.
Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan pengi–
K
napan. Melihat ini bobo menjadi curiga dan segera cekal
tangan si pelayan.
“Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke
sini?!” desis bobo penulis asli .
“Kalau aku betul-betul menipumu kau boleh betot
batang leherku!” jawab si pelayan.
bobo hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu
belakang penginapan terbuka dan dua orang berpakaian
hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada
dadanya melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan
menunggangi dua ekor kuda, keduanya meninggalkan
bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan
malam. Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap
ditelan hembusan angin malam di kejauhan!
“Ikut aku!” kata pelayan itu.
“Tunggu!” jawab bobo . “Terangkan dulu apa arti semua
ini!”
“Orang muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma
diperintahkan. Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun
tak ada yang bermaksud jahat padamu!”
“Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah
itu?!” tanya bobo penulis asli lagi,
“Kita tak punya waktu banyak. Lekas ikuti aku!”
bobo penulis asli di belakang si pelayan. Sepasang bola
matanya berputar liar waspada kian kemari sambil
melangkah. Mereka masuk lewat dapur penginapan.
Suasans sunyi senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang
kelihatan ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti
sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan hati-hati membuka
sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di
bagian belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah
sebuah gudang tempat menyimpan segala macam pera–
botan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa bobo
penulis asli melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya
mereka sampai di sebuang gang. Pelayan memberi isyarat
agar bobo lebih cepat melangkah mengikutinya.
Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya
terdapat deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti
dan berpaling pada bobo .
“Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan
masuk ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu
adalah orang yang memerintah aku!”
bobo penulis asli hendak menanyakan. bobo memaki dalam
hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati
pintu kamar di ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata
pintu itu tak terkunci. bobo masuk ke dalam dengan cepat
dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam
kamar, terkesiaplah Pendekar10000 an !
Di hadapannya berdiri seorang dara berkulit kuning
langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar
laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbunga-
bunga merah yang bagus sekali potongannya. Pada
rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde
dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda.
Sang dara melangkah ke dekat bobo . Dikuncinya pintu
kamar. Berada sedekat itu bobo penulis asli kembang-kempis
hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujur–
nya tubuh sang dara! Dara jelita ini kemudian melangkah
kembali ke tengah kamar.
“Saudari apakah artinya ini?” tanya bobo penulis asli .
Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan si
jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka
akan menemui seorang laki-laki bertampang galak tapi tak
dinyana kini dia berhadapan seorang gadis jelita. Dan bobo
ingat, dara jelita ini adalah gadis dalam kereta putih yang
dilihatnya di tengah jalan tadi sore!
“Saudara, apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyu–
supkan suara?” si gadis bertanya perlahan.
bobo penulis asli terkejut “Apaan pula ini?” tanyanya dalam
hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga.
Kemudian dengan ilmu menyusupkan suara si gadis
berkata, “Aku telah saksikan apa yang kau lakukan terna–
dap anak murid ayahku di depan penginapan ini tadi.
Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuan
penolongku...”
“Hem...,” bobo garuk-garuk kepalanya. “Pertolongan
apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak
salah duga kau adalah anak gadisnya Ketua Perguruan
Garuda Sakti.”
Si gadis anggukkan kepala.
“Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya
tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi...”
“Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak melang–
sungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua
Perguruan Merapi.”
“Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak
perlu panjang lebar menerangkannya padamu,” jawab si
jelita. Lalu sambungnya, “Perkawinanku dengan anak laki-
laki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku
yang memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di
samping aku tak ingin pula menjatuhkan nama besar ayah!
Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua
Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan
tanpa memberi malu pada ayah dan juga untuk meng–
hindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah
antara perguruan ayahku dengan Perguruan Merapi.”
“Kalau kau tak suka pada anak laki-laki Ketua Pergu–
ruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu,
kenapa tidak larikan diri saja?!” tanya Pendekar 10000 an pula.
“Kau lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir ini akan-
anak murid ayah menjagaku dengan keras. Ayah sendiri
bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat
meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir
pihak Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang telah
sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri
mendapat tekanan dari mereka.”
bobo merenung sejenak.
“Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda yang
kau cinta?!” tanya bobo seenaknya,
Anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan merah
parasnya. Tapi dengan terus terang dia kemudian angguk–
kan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia ber–
kata, “Kekasihku telah ditangkap. Disiksa dan dikurung di
sebuah goa batu...”
Dan di mata yang bersinar seperti bintang timur itu bobo
penulis asli kini melihat dua butir air mata laksana berlian
mengambang di kelopak mata si gadis.
“Lantas apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari?”
tanya bobo .
“Menolong agar perkawinanku bisa batal!”
“Aku orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan
itu?” tanya bobo seraya garuk-garuk kepala.
“Sekarang bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Per–
tolongan dan budi baikmu tak akan kulupakan seumur
hayat.”
bobo berpikir, lalu, “Kau ingin kularikan sekarang?!”
tanya bobo mengambil keputusan pendek.
“Jangan. Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka
dan curiga pada ayah. Bukan mustahil mereka akan
mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar
ayah akan luntur karena berilmu tinggi dan punya anak
buah banyak tapi tak sanggup menjaga anak. Apalagi
menjelang hari-hari perkawinan itu...”
“Berabe juga kalau begini,” kata bobo . Dipijit-pijitnya
keningnya. “Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di
puncak Merapi?”
“Lusa siang. Jam dua belas tepat!” jawab si gadis.
bobo berpikir-pikir lagi.
“Baiklah,” kata Pendekar 10000 an kemudian. “Aku sudah
dapat satu cara yang baik untuk membatalkan perkawi–
nanmu. Aku akan muncul tepat pada saat upacara perni–
kahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum pergi
apakah aku boleh tahu namamu...?”
Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba pintu
kamar diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar
suara lantang.
“penulis rabies ! Buka pintu cepat.”
Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis
pucat pasi. bobo penulis asli memandang berkeliling. Agaknya
tak mungkin untuk bersembunyi di kamar itu. Tapi begitu
matanya membentur jendela, bobo segera melompat.
Tanpa suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga
dia sudah tenyap di luar sana sesudah terlebih dulu
menutupkan daun jendela kembali!
“penulis rabies !”
Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedoran-
gedoran.
Sang dara cepat-cepat membuka pintu kamar. Seorang
laki-laki bermuka klimis bermata merah dan berbadan
tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari
tangannya berwarna putih dan panjang sekali! Inilah Ketua
Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik manik .
Dia memandang sekeliling kamar dengan matanya yang
besar penuh teliti. penulis rabies berdiri di hadapan laki-laki
dengan hati berdebar.
“Kau menyembunyikan seseorang di sini, penulis rabies ?!”
tanya Manik manik .
penulis rabies tertawa. “Kecurigaan ayah terhadap anak
sendiri keterlaluan sekali!” kata gadis itu. “Siapa dan untuk
apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar
ini?!”
Manik manik memandang ke loteng lalu memeriksa
setiap sudut kamar bahkan memeriksa kolong tempat
tidur!
“Sepuluh orang anak murid ayah mengawalku siang
malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang
masuk ke sini masa mereka tidak tahu?” ujar penulis rabies .
Manik manik masih belum percaya akan ucapan
anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan membukanya.
Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya
tampak berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah
berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan jendela kembali.
“penulis rabies , menjelang hari perkawinanmu ini kuharap
kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan beri malu
ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnya
permusuhan antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!”
“Ayah, meski aku tidak suka pada calon suamiku itu,
tapi mengingat kepadamu aku tak bisa berbuat lain
daripada patuh atas segala kemauanmu...” kata penulis rabies
dengan tundukkan kepala.
Manik manik tepuk bahu anaknya.
“Kau anak yang berbakti,” kata Ketua Perguruan Garu–
da Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan
kamar.
***
Malam itu di sebuah dangau tua di tengah sawah, bobo
penulis asli duduk termenung! Usahanya mencari lukisan
perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia
kini sengaja melibatkan diri dalam urusan orang lain?
Mengapa dia telah menerima permintaan tolong gadis
anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini
berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua buah Per–
guruan sekaligus?! bobo penulis asli merutuki dirinya sendiri.
Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua
itu telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghi–
raukannya. Dan kini dia terjerumus dalam persoalan rumit
penuh bahaya yang sengaja di cari-carinya sendiri! Paras
jelita dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua
Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memu–
kaunya hingga bersedia turun tangan berikan bantuan!
Dan Pendekar 10000 an teringat pada ucapan Si Segala Tahu,
“kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perem–
puan cantik...” bobo menyeringai dan sambil garuk-garuk
kepala, direbahkannya badannya di lantai dangau.
bobo penulis asli
RAHASIA LUKISAN TELANJANG 11
I PUNCAK Gunung Merapi.
Sebuah panggung kayu jati yang diberi berukir-ukir
serta hiasan gaba-gaba dikelilingi oleh sebuah
panggung besar yang lebih rendah dan berbentuk ling–
karan, mengelilingi panggung kayu jati tadi. Pada bagian
sebeleh utara panggung berbentuk lingkaran terdapat
sebuah podium. Di depan podium ini terletaklah sebuah
pelaminan. Seorang pemuda berpakaian bagus duduk di
pelaminan ini. Pakaiannya yang bagus, topi tingginya yang
bertaburan berlian, segala apa yang dipakainya, semua itu
tak dapat menyembunyikan parasnya yang buruk dan
cekung. Dialah mojolaban , anak Ketua Perguruan Merapi,
calon suami penulis rabies ! Tamu-tamu yang banyak hadir di situ
rata-rata adalah orang-orang dunia persilatan dan
beberapa di antara mereka merupakan tokoh-tokoh yang
disegani! Sebentar lagi, pengantin perempuan akan dibawa
naik ke atas podium dan upacara perkawinan segera akan
dilangsungkan. Sementara menunggu munculnya sang
pengantin maka manik Manik bicara-bicara dengan calon
besannya yaitu Bogananta, Ketua Perguruan Merapi. Bila
upacara pernikahan selesai, para tamu akan dijamu
makan minum dan sambil menyaksikan pertandingan-per–
tandingan silat yang sengaja diadakan sebagai kebiasaan
di atas panggung besar kayu jati!
Tiba-tiba terdengar suara tiupan seratus buah seruling.
Dari sebuah bangunan keluarlah pengantin perempuan,
diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata yang memandang
kepada sang pengantin ini tak satupun yang tak memuji
kecantikan paras penulis rabies ! Dilihat kepada rupa memang
D
ada juga di antara para tamu yang merasa kurang
cocoknya kedua pengantin itu. Tapi memandang kepada
nama besar Ketua Perguruan Merapi maka ketidakcocokan
itu menjadi sirna. Siapa yang tak kenal dengan Bogananta?
Siapa yang tak kenal dengan mojolaban yang berilmu
tinggi?!
Begitu pengantin perempuan menginjakkan kaki di atas
panggung di depan podium maka pengantin laki-laki pun
berdiri dan suara seruling berhenti. Serentak para hadirin
pun berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan
dilangsungkan, dipimpin oleh seorang tua bernama
Wararayan. Di kalangan dunia persilatan di masa itu Wara–
rayan sangat terkenal dan telah puluhan kali memimpin
upacara perkawinan. Siapa-siapa yang dinikahkan di
bawah pimpinannya pastilah kedua mempelai akan hidup
bahagia!
Satu menit telah berlalu. Wararayan belum juga mun–
cul. Para hadirin terutama Bogananta dan Manik manik
serta mojolaban kelihatan gelisah. penulis rabies yang berdiri
dengan menundukkan kepala juga tampak gelisah. Tapi
apa yang digelisahkannya tidak sama dengan apa yang
digelisahkan orang-orang di situ. Dia gelisah karena sampai
saat itu orang yang hendak menolongnya belum juga
kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang? Atau terlam–
bat atau sesat di jalan? Atau mendapat celaka?!
Telah lewat sepeminum teh.
Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa malu yang amat
sangat membuat kulit muka Manik manik merah laksana
saga. Apalagi karena dialah yang bertanggung jawab
mengatur kelancaran upacara pernikahan itu. Di lain pihak
Bogananta juga kelihatan merah parasnya, tapi bukan
karena malu melainkan merasa terhina!
Dalam suasana tegang gelisah itu tiba-tiba dari balik
sebuah batu karang besar di tepi kawah kelihatan muncul
seorang berjubah biru.
Manik manik tersirap kaget. Jubah biru adalah
pakaian yang biasa dikenakan oleh Wararayan! Apakah
manusia ini Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari balik
batu karang itu?
Dan waktu diperhatikan langkah si jubah biru ini,
terkejutlah Manik manik serta para hadirin. Langkah si
jubah biru demikian enteng, laksana kapas diterbangkan
angin! Kemudian bila si jubah biru sudah berada dekat,
maka tersiraplah darah Manik manik dan semua orang.
Si jubah biru ternyata bukan Wararayan! Tapi anehnya
jubah yang dipakainya itu dikenali sekali oleh Manik
manik sebagai milik Wararayan? Apakah yang telah
terjadi dengan Wararayan? Di mana orang tua itu berada
dan siapa pula manusia yang datang ini?!
Si jubah biru memiliki paras yang dilapisi dengan tanah
liat. Rambutnya yang gondrong acak-acakkan diikat dengan
robekan-robekan kain berbagai bentuk dan warna. Di
tangan kirinya ada sebuah pecahan kaca rias bersudut
runcing sedang di tangan kanannya menggenggam seba–
tang tombak pendek dari batu hitam yang banyak terdapat
di sekitar kawah gunung.
Si jubah biru langsung menuju ke podium. Anak-anak
murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti
segera hendak turun tangan, tapi ketua masing-masing
memberi isyarat. Semuanya mundur kembali namun dalam
posisi mengurung si jubah biru.
Akan tetapi penulis rabies begitu dia melihat si jubah biru ini,
meskipun parasnya kotor bercelemongan tanah liat dan
rambut awut-awutan tak karuan, namun dia masih bisa
mengenali. Si jubah biru ini bukan lain pemuda gagah yang
dua hari lalu telah bicara dengan dia di dalam kamar
penginapan, bukan lain orang yang diharapkannya sebagai
tuan penolongnya! Hati dara ini lega sedikit. Tapi apa-
apaan dia berbuat macam orang gila begini rupa?
Tiba-tiba si jubah biru alias bobo penulis asli alias Pendekar
10000 an keluarkan suara macam orang tua dan menggigil,
“Uh... uh... dinginnya! Dingin sekali!” Dan kedua
tangannya didekapkan di dada sedang geraham-geraham–
nya bergemeletukan persis macam orang kedinginan! Di
samping itu karena suaranya sengaja dialiri tenaga dalam
yang hebat, maka suaranya itu menggetarkan liang telinga
para hadirin, menggetarkan lantai panggung yang mereka
injak!
Semua orang heran campur terkejut!
Hari sepanas itu. Matahari bersinar terik. Bagaimana
manusia satu ini menggigil begitu rupa dan bilang dingin?!
“Jubah biru!” bentak Manik manik . “Manusia atau
setankah kau?!”
“Hai... aku bicara soal dinginnya hari. Apakah kau tidak
merasa? Apakah kalian semua di sini tidak kedinginan?
Uh.. uh...!”
Semua orang saling pandang.
“Jubah biru, lekas terangkan siapa kau. Dan dari mana
kau dapatkan jubah milik Wararayan itu?!” Kembali Manik
manik buka suara keras.
bobo penulis asli dengan menahan geli di dalam hati pura-
pura meneliti parasnya di dalam kaca di tangan kiri.
Kemudian sambil tuding-tudingkan tombak batu hitam di
tangan kanan dia berkata, “Anak-anakku... kalian semua
dengarlah!”
“Persetan manusia edan!” hardik Bogananta beringas.
“Kau kira kami ini apamu sampai memanggil kami anak-
anakmu?!”
Si jubah biru tidak ambil perduli. Malah dia tudingkan
tepat-tepat tongkat hitamnya ke hidung Ketua Perguruan
Merapi itu.
“Kalian dengar dulu... jangan ganggu bicaraku. Siapa
yang bertindak lancang akan celaka seumur hidup. Akan
dirundung malang selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa
di khayangan!” Lalu bobo penulis asli pura-pura menggigil
kedinginan lagi! “Dingin... uh... dingin sekali! Di dasar
kawah udara hangat tapi di atas sini dingin bukan main!
Uh...!”
“Manusia gila! Kalau kau tak segera angkat kaki dari
sini kutekuk batang lehermu!” ancam Manik manik .
“Aku bukan manusia... bukan manusia!” kata bobo
lantang keras hingga setiap orang yang mendengar
tergetar dadanya! “Aku adalah titisan dewa di khayangan!
Aku penghuni Gunung Merapi ini. Segala sesuatu yang ada
dan terjadi di gunung ini di bawah pengawasanku! Kalian
tahu hai manusia-manusia ceroboh, pesta perkawinan yang
kalian rayakan di sini tanpa meminta izin pada dewa-dewa
di khayangan telah membuat dewa-dewa marah semua!
Kalian hendak dikutuk! Hendak disapu dengan angin topan
dari puncak Gunung Merapi ini. Tapi dengan memandang
aku, dewa-dewa masih sanggup beri ampun pada kalian...”
“Keparat pendusta!” bentak Manik manik . “Kau kira
kami bisa dikelabui oleh orang gila macammu?!”
bobo penulis asli menyeringai dan keluarkan suara
mengekeh. Dalam hatinya dia memaki!
“Aku pendusta katamu?! Aku orang gila bilangmu...?!
Kau akan lihat... akan lihat!” kata bobo pula dengan suara
keras. Dia melangkah seringan kapas ke tepi kawah yang
terletak dua puluh tombak dari panggung. Jarak yang
duapuluh tombak itu dicapainya dengan beberapa kali
gerakan kaki saja hingga semua orang menjadi tertegun!
Di tepi kawah bobo komat-kamitkan mulut. Dalam hati
dia geli sekali. Kemudian tongkat pendek batu hitam di
tangan kanannya di acung-acungkan ke udara dan peca–
han kaca rias di putar-putarnya kian kemari! Kemudian
terdengarlah kumandang suaranya yang menggelegar ke
dasar kawah dan dipantulkan kembali ke atas.
“Wahai dewa-dewa di khayangan! Kalian telah
menyaksi–kan sendiri bagaimana hari ini di hadapanku
ada manusia-manusia yang hendak mengotori tempatmu
yang ada di bawah pengawasanku. Kalian dengar sendiri
bagaimana manusia-manusia itu mengatakan aku sebagai
pendusta, sebagai tukang kelabuh, sebagai orang gila!
Demi memandang mukaku, demi menjaga kesucian tem–
pat ini dan demi kebesaran namamu, kuharap perlihat–
kanlah kekuatanmu! Hukumlah mereka...!”
bobo putar-putarkan kedua tangannya ke udara.
“Hukumlah mereka wahai dewa!” seru bobo lagi dan
seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke ujung kedua tangan.
Diam-diam Pendekar ini lepaskan pukulan Angin Puyuh.
Maka mengaunglah suara angin makin keras. Para tamu
yang bukan orang-orang persilatan tak ampun lagi jatuh
berpelantingan. Bogananta, Manik manik dan mereka
yang mengerti silat segera kerahkan tenaga dalam agar
tidak ikut terpelanting. Tapi makin lama deru angin
semakin dahsyat dan keras! Hiasan-hiasan dan gaba-gaba
di atas panggung serta podium tanggal beterbangan, tak
ketinggalan kain penutup pelaminan. Topi tinggi yang
dikenakan pengantin laki-laki tak urung mental dan
kelihatanlah kepalanya yang berambut jarang!
“Tahan!” teriak Manik manik seraya melompat ke
muka dan lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah si
jubah biru! Tapi terkejutnya bukan main dan melabrak
dirinya sendiri! Dia melompat ke samping dan sesaat
kemudian dia sudah berada di hadapan bobo . Pakaiannya
berkibar-kibar, tubuhnya tergetar dilanda angin puyuh yang
keluar dari tangan sang Pendekar 10000 an !
“Jubah biru, hentikan semua ini! Aku mau bicara
padamu!” Berada sedemikian dekat Manik manik melihat
bagaimana gerakan kedua tangan dan posisi kedua kaki si
jubah biru bukan lain daripada sikap seorang ahli silat!
Maka hatinya yang tadi sedikit tergetar kini menjadi curiga.
Walau bagaimanapun si jubah biru ini adalah manusia
biasa seperti dia, bukan dewa atau titisan dewa!
“Tahan!” teriak Manik manik sekali lagi. “Aku mau
bicara!”
bobo tertawa mengekeh dan mendongak ke langit.
“Dewa-dewa, aku mohon hentikanlah kemurkaanmu.”
Maka sesaat kemudian deru angin yang dahsyat itu
mengendur perlahan dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan
Manik manik yang ada di sampingnya bobo melangkah
kembali ke atas panggung di depan podium sambil tertawa
mengekeh-ngekeh!
“Masih untung, masih untung dewa mau mengampuni
kalian manusia-manusia sombong!” kata bobo . Dia melirik
ke samping. Manik manik berada di dekatnya.
Dan bobo buka mulut kembali, “Itu baru sepersepuluh
dari kekuatan dewa. Kalau sampai seperlimanya saja pasti
kalian semua sudah tak ada di sini! Sudah terbang laksana
daun kering dan mampus!”
bobo komat-kamit dan acungkan pecahan kaca ke
muka.
“Sekarang kalian dengar semua!” serunya
menggeledek. “Dewa telah mengampuni kalian orang-
orang sombong! Tapi dewa juga minta imbalan pengam–
punan itu. Telah lima ratus tahun lebih kawah Gunung
Merapi tempat dewa yang suci ini tak pernah dibersihkan
dengan darah suci seorang dara! Telah lima ratus tahun
lebih khayangan tidak menerima korban suci! Maka hari ini
dewa memerintahkan aku, dan aku memerintahkan kamu
semua di sini untuk menyerahkan pengantin perempuan
kepadaku!”
bobo memandang berkeliling. Semua orang dilihatnya
terkejut. Bogananta, Manik manik dan mojolaban men–
delik memandang kepadanya. Cuma seorang yang keliha–
tan tenang dan berlega hati. Orang ini bukan lain penulis rabies .
Si gadis sudah maklum kini akan rencana pemuda yang
menyamar itu.
“Kalian dengar? Pengantin perempuan harus diserah–
kan padaku...!” bobo melangkah mendekati penulis rabies .
Tapi baru satu langkah, Manik manik sudah
memapasinya.
“Jubah biru! Aku tidak percaya kau titisannya dewa! Kau
tidak bisa lain daripada manusia dajal keparat! Kalau kau
maukan anakku, silahkan! Tapi makan dulu sepuluh kuku
ini!” Habis berkata begitu Ketua Perguruan Garuda Sakti
melompat ke muka. Kedua tangannya berkelebat cepat!
bobo penulis asli
RAHASIA LUKISAN TELANJANG 12
IRO penulis asli terkejut melihat datangnya serangan
dua tangan yang mencengkeram dengan dahsyat
itu. Buru-buru dia melompat ke belakang dan
kiblatkan tombak batu hitam di tangan kanannya mema–
pasi serangan lawan!
Kini Manik manik -lah yang terkejut!
Serangan yang dilancarkannya tadi adalah jurus
Sepuluh Jari Sakti Menggarap Gunung, merupakan satu
jurus serangan yang lihai dari ilmu silatnya. Tapi si jubah
biru mengelakkannya dengan cepat bahkan kalau dia tidak
cepat menarik pulang kedua tangannya pastilah akan
dihantam oleh tombak batu di tangan si jubah biru!
bobo tertawa mengekeh.
“Manusia sombong dan kotor hendak melawan titisan
dewa?I” ejeknya. “Kau akan tahu rasa!”
Malu bercampur amarah yang meluap Manik manik
siap menyerang kembali. Tapi di saat itu sesosok tubuh
melompat ke depan dan satu seruan terdengar, “Ketua
Perguruan Garuda Sakti, biar aku calon mantumu tunjuk–
kan bakti padamu! Biar aku yang ringkus manusia kentut
dewa itu!”
Sreet!
mojolaban , anak Ketua Perguruan Merapi, si pengantin
laki-laki yang akan jadi suami penulis rabies cabut pedangnya
lalu tanpa tedeng aling-aling menyerbu kirimkan satu
tusukan satu babatan!
Pendekar 10000 an tertawa gelak-gelak dan elakkan
serangan pedang dengan satu putaran tombak batu.
Dengan penasaran mojolaban susul dua tusukan kilat dan
W
dua tebasan sekaligus!
bobo putar lagi tombak hitamnya dalam jurus Titiran
Terbang Ke Langit.
Melihat gerakan lawan yang memapasi mentah-mentah
serangannya bukan main dongkolnya mojolaban . Dia ambil
keputusan untuk adu senjata dan adu tenaga dalam
sekaligus!
Trang! Trak!
Tombak batu hitam di tangan kanan bobo penulis asli
patah dua. Sebaliknya pedang di tangan mojolaban terle–
pas mental, tangannya tergetar hebat dan pedas membuat
dia mengerenyit kesakitan. Di lain kejap ketika dia hendak
melompat menyambar pedangnya terkejutlah putera Ketua
Perguruan Merapi ini. Pedangnya yang tadi terlepas mental
ternyata sudah berada di tangan lawannya! Gelaplah muka
mojolaban ditelan rasa malu dan kegeraman yang
menyala!
Bogananta mungkin orang yang paling terkejut di antara
semua orang! mojolaban adalah anak kandung gem–
blengannya sendiri. Meski tenaga dalamnya masih belum
mencapai tingkat kesempurnaannya tapi tak bisa dianggap
ringan, dan di samping itu seluruh ilmu silatnya telah
dikuasai oleh mojolaban ! Bagaimana kini dia bisa
dipecundangi dalam satu gebrakan itu aja? Untuk tidak
membuat anaknya kehilangan muka maka Bogananta
berseru memerintahkan anak-anak buahnya nenyerang si
jubah biru. Di lain pihak Manik manik segera pula
memerintahkan anak-anak buahnya. Enam belas orang
bertomba ke depan podium bukan saja mengurung bobo
tapi dengan serentak menyerangnya!
Pendekar 10000 an tertawa dan keluarkan suara bersiul.
Begitu gelombang serangan datang menggempurnya,
pemuda ini melompat ke udara dan sewaktu menukik
turun, kembali terdengar jerit empat orang pengeroyok.
Keempatnya menggelinding ke tanah dalam keadaan
pingsan. Dan di depan podium, empat orang lainnya berdiri
mematung karena di totok oleh bobo dengan bagian
belakang yang tumpul dari patahan tombak batu hitamnya!
Melihat ini baik Bogananta maupun Manik manik
segera maklum bahwa si jubah biru bukanlah tandingan
anak-anak murid mereka. Bahkan ketinggian ilmu silatnya
belum tentu berada di bawah mereka!
“Ban