OKTOBER 1965. Dunia buncah. Disentak berita dahsyat mengagetkan.
Malapetaka melanda Indonesia. Lebih mengerikan dari Nero membakar
Roma, melebihi korban bom atom menimpa Hiroshima, lebih dahsyat dari
pertempuran Stalingrad yang jadi titik-balik Perang Dunia kedua, lebih
menegakkan bulu roma dari Perang Korea dan Perang Vietnam. Indonesia
berlumuran darah. Manusia tak berdosa, yang tak melawan dibunuh secara
semena-mena. Mayat-mayat bergelimpangan, berhanyutan di Bengawan
Solo, di Sungai Musi, di Sungai Asahan, dan sungai-sungai lainnya.
Bertebaran kuburan tanpa nisan. Terjadi pembantaian manusia yang tak ada
taranya dalam sejarah Indonesia, bahkan dalam sejarah dunia. Inilah muara
dari rencana Sang Angkara Murka, demi menggulingkan Bung Karno.
"Keputusan untuk menjatuhkan Presiden Soekarno ini telah diambil oleh Presiden
Eisenhower pada tanggal 25 September 1957, lima bulan sebelum proklamasi
PRRI." [Tim Weiner, Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah
Negara Adidaya, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal.186].
Dengan Peristiwa 30 September 1965, di Indonesia terjadi pembunuhan
enam jenderal dan seorang perwira menengah pucuk pimpinan Angkatan
Darat. Belum pernah terjadi dalam sejarah peperangan mana pun, baik
dalam Perang Dunia pertama, m aupun Perang Dunia kedua. Perang Korea,
m aupun dalam Perang Vietnam, sekian banyak perwira tinggi, pucuk
pimpinan Angkatan Darat terbunuh dalam satu peristiwa, dalam satu
malam. Dan peristiwa ini disusul oleh penangkapan dan pemenjaraan besarbesaran tanpa melalui pengadilan. Berlangsung pembantaian manusia,
pembasmian kaum kiri, pelarangan Partai Komunis Indonesia, pelarangan
penyebaran Marxisme-Leninisme di seluruh Indonesia. Peristiwa bermuara
pada penggulingan Bung Karno; hingga berubahnya Indonesia dari
mercusuar perjuangan melawan imperialisme menjadi negeri yang mengekor
pada kekuasaan asing, terutama Amerika Serikat.
Ada yang menilai kejadian ini sebagai ''satu peristiwa yang paling membuat
zaman dalam sejarah Asia sesudah Mao Zedong tampil berkuasa di Tiongkok"
[Kulit buku karya Arnold C. Brackman, The Communists Collapse in Indonesia,
W.W. Norton Inc. New York, First edition, 1969].
"Pemerintah Johnson sangat gembira dengan berita dari Indonesia." [Max
Frankel, New York Times, 12 Maret 1966].
Bertrand Russel menulis, bahwa The Times, London, memperkirakan
"Telah terbunuh sekitar satu juta orang selama empat bulan. Jadi dalam empat
bulan di Indonesia terbunuh sebanyak dalam dua belas tahun perang Vietnam" [The
Silent Slaughter, The Role of the United States in the Indonesian Massacre, Youth
Against War and Fascism, 58 West 25 Street, New York, N.Y.10010, 1966].
Dalam waktu kurang dari satu tahun sesudah terjadinya G30S dan
pembantaian berdarah, James Reston, kolumnis The New York Times menulis
menunjukkan kekaguman atas kejadian ini sebagai "pancaran cahaya di Asia".
Tahun 1967, Richard Nixon melukiskan Indonesia sebagai "hadiah terbesar
di daerah Asia Tenggara." [Richard M. Nixon, "Asia After Vietnam", Foreign
Affairs, October 1967, p.111.].
U. Alexis Johnson, Wakil Menteri Luar Negeri AS, 1966, menyatakan
bahwa "pembasmian komunis di negeri Indonesia yang besar adalah
peristiwa yang setara dengan Perang Vietnam, yang barangkali adalah titik
balik historis di Asia abad ini." [Joe Nunes, Indonesia: The Final Solution]
[http://chss.montclair.edu/english/furr/ nunesindonesia.html].
Rex Mortimer menulis, "Banyak orang Barat kala itu justru melihat
pembunuhan massal tersebut dengan penuh rasa puas dan kelegaan sebagai
penghilangan sepenuhnya ancaman dan hambatan bagi kepentingan mereka,
sementara kalangan lain melihatnya sebagai pemecahan bagi jalan buntu
politik tak terelakkan yang disesali dan memalukan, namun masih bisa
dimaklumi. Pembunuhan ratusan ribu manusia yang kebanyakan tidak
mengerti, mengapa mereka harus dibunuh itu tidak banyak menarik
perhatian apa lagi menggugat perikemanusiaan kita dibandingkan dengan
peristiwa-peristiwa lain di belahan dunia lain, yang sebenarnya dalam
dimensi m aupun skalanya jauh lebih kecil." [Rex Mortimer: Indonesian
Communism Under Sukarno, Cornell University Press, 1974, edisi Indonesia,
Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hal.viii].
Dr. Brad Simpson, Princeton University, menulis, "Pembunuhan besarbesaran di Indonesia adalah satu bentuk teror yang manjur, syarat yang tak
boleh tidak untuk mengintegrasikan Indonesia masuk sistem ekonomi
politik regional dan internasional, untuk peningkatan rezim militer yang
modern dan untuk menggulingkan Soekarno." [Memo of Conversation, 14
Februari 1966, RG 59, State Department Central Files 1964—66, POL 2
INDON, NA].
Rakyat awam bingung, terpana. Buruh, tani, massa rakyat tercengang.
Bahkan anggota-anggota PKI umumnya terheran-heran. Tak tahu apa
sesungguhnya yang terjadi. Tak pernah membayangkan akan terjadinya
peristiwa yang demikian. Yang terpaku dalam pikiran adalah: jika
berlangsung pemilihan umum, PKI akan mencapai kemenangan besar. Tak
ada yang membayangkan, apalagi siap menghadapi bencana berupa
pembasmian, pembantaian manusia. Karena itu, peristiwa ini adalah mahamusibah bagi rakyat, bagi kaum kiri.
Dari hasil penelitian CIA sendiri mengenai operasinya di Indonesia ini,
pemerintah Amerika memainkan peranan penting dalam satu pembunuhan
massal yang paling buruk dalam abad ini dengan memberikan nama ribuan
pimpinan Partai Komunis kepada tentara Indonesia, yang membunuh
mereka dalam pembantaian berdarah yang diperkirakan sampai setengah
juta manusia.
Tapi para penguasa Barat, terutama Amerika Serikat "bergendang paha",
bahkan berpesta-pora. Gembira ria melebihi kegembiraan seusai Perang
Dunia pertama dan Perang Dunia kedua mengalahkan fasisme. Bagi
penguasa Barat, terutama Amerika Serikat, peristiwa ini bukanlah suatu
kebetulan, yang terjadi di luar dugaan. Sudah lama diharapkan, dan
dinantikan bahwa peristiwa ini akan terjadi. Bukan hanya harapan, tapi
direncanakan dengan perhitungan yang masak dan telah diambil berbagai
tindakan dengan persiapan kekuatan yang cukup untuk mewujudkan
kejadian ini.
"Pada 1950-an, pemerintahan Eisenhower bahkan memutuskan bahwa,
jika diperlukan, mereka akan mendukung terbelahnya Indonesia dan
terpisahnya Jawa (yang merupakan basis golongan kiri) dari wilayah lain di
negara ini." [Audrey R. Kahin dan George Me T. Kahin, Subversion as Foreign
Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia, 1995].
Ada bukti pembicaraan di lingkaran-lingkaran diplomatik Amerika
Serikat, Inggris, dan Sekutu sebagai poros yang membenci perkembangan
politik di Indonesia beserta solusinya. "Menurut sudut pandang kami, tentu
saja, upaya kup PKI yang gagal kiranya merupakan perkembangan paling
efektif untuk membalikkan kecenderungan politik di Indonesia," demikian
kata Howard P. Jones, Duta Besar AS untuk Indonesia, Maret 1995. [John
Roosa (2006) dalam Pretext for Mass Murder].
Usahakan terjadinya suatu "perebutan kekuasaan", "suatu coup d'etat" di
mana terlibat Partai Komunis Indonesia. Ini dapat dijadikan dalih untuk
membasminya. Inilah gagasan, yang sesungguhnya terwujud dalam
kenyataan. Partai Komunis tertua di Asia, terbesar di luar negeri-negeri
sosialis, terbesar sesudah Partai Komunis Uni Sovyet dan Partai Komunis
Tiongkok, Partai Komunis Indonesia jadi berantakan. Semua pimpinan
tertingginya terbunuh atau dipenjarakan. Lebih satu juta anggotanya
dibunuh, dipenjarakan. Kekuatan kiri Indonesia, kaum Soekarnois
pendukung Bung Karno dibasmi habis-habisan.
Cl A membikin pemaparan palsu mengenai apa yang terjadi, kemudian
diterbitkan berupa sebuah buku Indonesia 1965, Kup Yang Prematur, yang
ketahuan sebelumnya. Para pejabat Amerika, wartawan, dan para sarjana
yang berhubungan dengan CIA menciptakan dongeng, bahwa pembunuhan
berdarah itu adalah "reaksi mendadak dari rakyat yang spontan terhadap
terorisme PKL" Maka, dalam Oktober 1965, para jenderal Angkatan Darat
mengambil langkah, menyerang balik terhadap kup para kolonel yang gagal,
menjadi pogrom anti-komunis, dan mengubah Indonesia yang kaya sumber
alam itu bisa dieksploitasi oleh korporasi-korporasi raksasa Amerika. Jika
Vietnam adalah kekalahan besar sesudah Perang Dunia kedua, maka
Indonesia adalah satu kemenangan terbesar.
Gabriel Kolko menyimpulkan: "penyelesaian terakhir" tentang masalah
komunis di Indonesia adalah jelas satu tindakan yang paling biadab yang
tak berperikemanusiaan dalam abad ini, bagian terbesar dari ini jelas setara
dengan kejahatan perang yang sama dengan jenis yang dilakukan oleh Nazi.
Tak seorang pun orang Amerika dalam masa sesudah 1945 yang haus darah,
sebagaimana yang dilakukan di Indonesia memprakarsai pembunuhan
besar-besaran, dan yang berbuat segala-galanya yang dalam kekuasaannya
untuk mendorong Soeharto, termasuk mempersenjatai para pembunuh,
untuk menyaksikan bahwa pelikuidasian PKI dilakukan sampai pada
puncaknya. [Gabriel Kolko, Confrontation the Third World: United States
Foreign Policy 1945—1980, Pantheon Books, 1988].
Di tahun 1965, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soeharto,
membantai 500.000 anggota PKI. Amerika Serikat mendorong orang
Indonesia menjalankan pembunuhan besar-besaran dengan memberikan
bantuan diplomatik dan materiil demi mendukung pembunuhanpembunuhan tersebut.
Jumlah tepat mereka yang terbunuh tak akan pernah bisa diketahui.
Kementerian Luar Negeri Amerika menaksir di tahun 1966, jumlah terbunuh
sekitar 300.000. Data resmi yang diumumkan Indonesia pada pertengahan
tahun 1970 adalah 450.000 sampai 500.000 meninggal. [Gabriel Kolko,
Confrontation the Third World: United States Foreign Policy 1945—1980,
Pantheon Books, 1988].
Dalam bulan Oktober 1976, Laksamana Sudomo, Kepala Kopkamtib
menyatakan dalam wawancaranya kepada wartawan Belanda, bahwa lebih
dari 500.000 terbunuh. Amnesti Internasional mengutip sebuah sumber lain
yang menyatakan lebih dari 700.000, dan yang lainnya menaksir bahwa lebih
dari satu juta orang meninggal [Chomsky, Herman, 79].
Sarwo Edhie Wibowo yang mengomandoi pengerahan pasukan baret
merah Kostrad mengakui bahwa dalam peristiwa ini telah terbunuh
sebanyak tiga juta manusia.
BERLALU waktu hampir setengah abad. Peristiwa 1965 di Indonesia masih
diliputi kegelapan. Penyiksaan, pemenjaraan, pembuangan, perkosaan,
pembunuhan telah menelan korban jutaan umat. Inilah halaman tergelap
dalam sejarah Indonesia. Trauma yang mendalam tetap terpendam di hati
para korban atau keluarga korban yang masih hidup.
Berbagai visi bermunculan mengungkap kejadian yang menelan korban
jutaan manusia itu. Pemalsuan sejarah berlangsung dahsyat dalam
mengungkap peristiwa ini. Mulai dari Buku Putih Kopkamtib, disusul tulisantulisan para pakar sejarah seperti Prof. Noegroho Notosoesanto, Victor
Miroslav Fic, Jung Chang, C.J.A. Dake, semuanya "menghitamkan" PKI dan
Bung Kamo, menyatakan PKI atau Bung Karno adalah dalang G30S, yang
menjadi awal malapetaka bangsa Indonesia.
1. B u ku P u tih K o p k a m tib
Dalam Kata Pengantar Buku Putih Kopkamtib, yang diterbitkan 20 Mei 1978,
Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban, Laksamana Sudomo,
menyatakan bahwa "bangsa Indonesia sudah bertekad bulat untuk tidak
memberi kesempatan hadirnya kembali paham komunis untuk selamalamanya di negara kita."
Sesudah lewat pembantaian manusia yang kejam tak ada taranya, rezim
fasis Soeharto secara jasmaniah membasmi kaum komunis dan golongan kiri,
Kopkamtib yang jadi aparat represif rezim ini dengan Buku Putih-nyamenelanjangi dirinya sendiri sebagai pemalsu sejarah, penjunjung tinggi
panji komunisto-fobi yang anti-demokrasi, anti Undang-Undang Dasar 1945.
Kalimat pertama Buku Putih menyatakan bahwa "Peristiwa Gerakan 30
September yang dilaksanakan dan didalangi oleh Partai Komunis Indonesia
atau yang lebih dikenal dengan sebutan singkatan G.30.S/PKI pada tahun
1965, merupakan noda hitam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia,
sebagai puncak daripada segala bentuk penyimpangan hukum dan
konstitusi yang hampir-hampir menghancurkan dan menenggelamkan kita
sebagai negara dan bangsa."
Dengan tegas dinyatakan PKI mendalangi G30S.
Dengan memaparkan sejarah PKI, Buku Putih Kopkamtib menghitamkan
PKI dengan tuduhan-tuduhan: "PKI membenalu tubuh Sarekat Islam."
Kenyataannya, bukan membenalu, tapi PKI (ISDV) membawa maju
Sarekat Islam dari kegiatan usaha dagang menjadi satu gerakan menuju
kemerdekaan.
Selanjutnya, yang dinyatakan Buku Putih adalah fitnah, bahwa: "Dengan
Pemberontakan Nasional 1926, PKI melancarkan suatu petualangan yang
akan membawa malapetaka bagi ribuan patriot Indonesia."
Pemberontakan Nasional 1926 bukanlah petualangan, tapi perlawanan
bersenjata untuk kemerdekaan, yang menggoyahkan kekuasaan kolonial
Belanda. Dalam pemberontakan ini, kaum komunis jadi pelopor, berguguran
korban sampai ke tiang gantungan, ribuan ditangkap dan dipenjarakan
Belanda, dibuang ke Boven Digul. Sejarah mencatat kepahlawanan Egom,
Hassan, dan Dirdja, kader-kader PKI yang gugur di tiang gantungan.
[Lembaga Sedjarah PKI: Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926),
Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1961].
Tidak ada masalah "menohok kawan seiring" seperti yang dituduhkan
dalam Buku Putih: "Di daerah-daerah tempat terjadinya kekalutan ini untuk
kesekian kalinya PKI memperalat golongan lain dalam mencapai tujuannya,
sesuai dengan bunyi pepatah 'Menohok kawan seiring, menggunting dalam
lipatan'... para pemimpin PKI telah mengorbankan ribuan pengikutnya."
Pemberontakan bersenjata tahun 1926 merupakan canang bagi rakyat
Indonesia, bahwa kolonialisme Belanda bisa dilawan, kemerdekaan harus
diperjuangkan. Inilah Sangkakala Revolusi Indonesia.
Menurut Buku Putih, "di zaman Jepang pun kaum komunis Indonesia
tidak dapat berkutik."
Kebalikan dari yang ditulis dalam Buku Putih, yang sesungguhnya terjadi
adalah: semenjak tahun 1936, dengan kedatangan Musso, terbentuklah CC
PKI ilegal. Musso membawa garis front anti-fasis dari Komintern. Secara 8
rahasia, di bawah pimpinan PKI ilegal, kaum komunis tetap aktif,
berorganisasi menggerakkan rakyat. Terbentuk dan bergeraklah organisasi
Gerindo di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin. Tahun 1939, di Jakarta
terbentuk organisasi Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) dipimpin kaderkader PKI ilegal. Pembentukannya dihadiri antara lain Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo, Widarta, Armunanto, Dr. Liem Koen Hien.
Di Jakarta, kader-kader PKI seperti Wikana, D.N. Aidit, Hoetabarat,
Soemarto, Ronosoedarmo, Pojas, dan lain-lainnya, aktif ambil bagian dalam
memimpin berbagai organisasi legal, semi-ilegal, dan ilegal. Mereka
menghimpun massa dan menggunakan organisasi-organisasi itu untuk
mendidik dan melatih massa melawan fasisme Jepang. Wikana
menggunakan kesempatan politik Kaigun (Angkatan Laut Jepang) untuk
menarik pemuda-pemuda dengan mendirikan "Asrama Indonesia Merdeka",
dalam kegiatan pendidikan dimasukkan pikiran-pikiran anti-fasis.
D. N. Aidit juga menggunakan "Asrama Menteng 31" untuk
mempropagandakan ide-ide anti-fasis. Pada akhir tahun 1944, D.N. Aidit
bersama dengan M.H. Lukman, Sidik Kertapati, dll., mendirikan satu
organisasi yang lebih tegas coraknya anti-fasis dan yang bertujuan untuk
mencapai Indonesia Merdeka, yaitu Gerakan Indonesia Merdeka
(Gerindom). Di samping itu, Wikana, D.N. Aidit, dll., juga mempunyai
hubungan dengan berbagai grup dan kelompok anti-fasis di Jakarta.
Kekuasaan fasis Jepang mencium kegiatan orang-orang komunis, dan
melakukan penangkapan-penangkapan. Jepang menangkap Koesnandar,
Soebijanto Koesoemo, Hardjo Soepingi. Juga Sudisman, Tjoegito, Sjaifoellah,
Fatah Jasin. Di Semarang ditangkap Kasim dan Broto, di Nganjuk ditangkap
Tarmoedji, di Tulung Agung ditangkap Soeparto, di Blitar ditangkap Noto.
Tak lama kemudian ditangkap Azis di Sidoardjo. Pamoedji, Ketua CC PKI,
juga ditangkap di Purworedjo. Menyusul ditangkap di Jakarta, Mr. Amir
Sjarifuddin. Selanjutnya bukan hanya kader-kader PKI, tokoh-tokoh lainnya
Dr. Kajadoe, Mr. Soemanang, Ki Mangoensarkoro, Dr A. Kapau Gani, juga
ditangkap. Akibat siksaan, banyak di antara mereka yang meninggal dunia
seperti Pamoedji, Sjaifoellah. Soekajat dan Azis serta Abdoerrahim dijatuhi
hukuman mati dengan dipenggal kepalanya di Kantor Kenpeitai di Jalan
Alun-Alun Tjontong Surabaya. Mr. Amir Sjarifuddin dijatuhi hukuman mati,
tapi berkat perjuangan kekuatan progresif, terutama berkat jaminan yang
diberikan Bung Karno, hukuman itu diubah menjadi hukuman seumur
hidup. Prof.Dr. Moechtar, dan Dr. Kajadoe dibunuh dengan dipenggal
lehernya di Jakarta.
Di bawah pimpinan orang-orang progresif atau yang berhubungan
dengan kader-kader PKI ilegal, terjadi "berbagai pemberontakan anti Jepang
seperti di Pantjur Batu Deli Serdang (26 Juli 1942) terkenal dengan
pemberontakan Aron (Uaron); 23 Oktober 1943, Pemberontakan
Karangampel, Indramayu; November 1942, Pemberontakan Tani di Tjut
Pilieng, Aceh; November—Desember 1943, Pemberontakan Tani Lohbener,
Indramayu; Februari 1944, Pemberontakan Tani Singaparna; November 1944,
Pemberontakan Meureudu dan Beureum Aceh; Mei 1945, Pemberontakan
suku Daya Tajan dan Ketapang Kalimantan.
"Menjelang menyerah kalahnya Jepang, CC PKI mengadakan sidangnya
di Pemalang, yang antara lain mengambil keputusan untuk menyerukan
kepada semua kader PKI agar ambil bagian aktif merebut kekuasaan dari
Jepang, termasuk merebut perusahaan dan pabrik-pabrik serta melucuti
senjata Jepang". [Lembaga Sejarah PKI: Manuskrip 45 Tahun PKI, Jakarta, Mei
1965].
Buku Putih Kopkamtib yang menyatakan PKI tidak berkutik di bawah
kekuasaan fasis Jepang adalah bertentangan dengan kenyataan. Ini adalah
pemalsuan sejarah, yang menyesatkan, adalah fitnah terhadap PKI yang
berjuang melawan fasisme Jepang.
Buku Putih menulis: "Karena mengikuti garis Dimitrov, maka kaum
komunis sama sekali tidak memegang peranan yang mendukung Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945"
Ini adalah pemalsuan sejarah yang sangat menyesatkan. Terpilihnya Amir
Sjarifuddin sebagai perdana menteri pertama Republik Indonesia
menunjukkan pengakuan akan peranan tokoh komunis dalam Revolusi
Agustus 1945. Di Menteng 31, pusat kegiatan pemuda menjelang Proklamasi
Kemerdekaan, terdapat dan aktif kader-kader PKI ilegal, seperti Wikana,
D.N. Aidit, dan M.H. Lukman. Sejarah mencatat peristiwa dilarikannya
Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok sebelum berlangsungnya
Proklamasi Kemerdekaan. Wikana, kader PKI ilegal memainkan peranan
penting dalam peristiwa ini. Rengasdengklok, daerah pertama yang
mengibarkan bendera Merah Putih sebelum proklamasi diumumkan, adalah
daerah historis, yang berada di bawah kekuasaan pasukan yang dipimpin
perwira PETA Oemar Bachsan, seorang kader PKI ilegal.
Dalam pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat, tokoh-tokoh PKI
aktif semenjak permulaannya. Dalam pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya terdapat pasukan di bawah pimpinan Soemarsono, kader PKI.
Maka tidaklah betul: "Komunis sama sekali tidak memegang peranan yang
mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia," seperti yang ditulis Buku Putih.
Menurut Buku Putih, tahun 1947, "dengan pembentukan Kominform,
Gerakan Komunis Internasional berubah haluan dari menempuh garis
Dimitrov, yaitu politik front persatuan anti fasisme, menjadi garis Zhdanov
(bukan Zhadanov m enurut Buku Putih!) yang mengangkat panji anti
imperialisme Amerika dan meninggalkan kerja sama dengan kaum sosial
demokrat".
Sebenarnya, yang berubah haluan adalah pemerintah AS di bawah
Presiden Truman, dari bersekutu dengan Uni Sovyet melawan fasisme jadi
memusuhi Uni Sovyet. Seusai Perang Dunia kedua, yang terjadi adalah:
dengan "telegram panjang"-nya dari Moskow, George McKennan, Dubes AS
untuk Uni Sovyet memprakarsai politik pembendungan komunisme sejagat,
the policy of containment yang selanjutnya menjadi Doktrin Truman. Dengan
realisasi Doktrin Truman, Amerika Serikat mengobarkan Perang Dingin demi
membasmi Uni Sovyet dan partai-partai komunis di dunia.
Tentang meninggalkan kerja sama dengan kaum sosial demokrat, bukannya
terjadi sesudah pembentukan Kominform, tapi semenjak terbentuknya
Komintern tahun 1919, dengan salah satu dari 21 pasal syarat keanggotaan
Komintern bagi partai-partai komunis sedunia. Pasal itu menyatakan, harus
menggunakan nama Partai Komunis, meninggalkan nama sosial-demokrat
dan memutuskan hubungan dengan partai sosial demokrat. Alasannya
adalah: partai-partai sosial demokrat telah mengkhianati ajaran diktator
proletariat Marx, dalam praktik telah menjadi musuh komunisme.
Demikianlah kaum sosial-demokrat, baik di Eropa, maupun di Indonesia.
Buku Putih Kopkamtib menghubung-hubungkan Kominform dan garis
Zhdanov dengan Konferensi Pemuda Asia Tenggara yang diselenggarakan
bulan Februari 1948 di Kalkuta, India. Konferensi ini berlangsung atas
prakarsa Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia (World Pederation of Democratic
Youth—WFDY) dan Persatuan Internasional Mahasiswa (International Union of
Students—IUS) yang menurut Buku Putih mengikuti Kominform,
menetapkan "garis Kalkuta".
Tidak ada hubungan antara Kominform dengan WFDY dan Konferensi
Pemuda Asia Tenggara di Kalkuta. Kominform adalah badan kerja sama
terutama di bidang informasi antar Partai-Partai Komunis Uni Sovyet dan
negeri-negeri sosialis dan Partai Komunis Perancis dan Itali. Kominform
terkenal dengan publikasi berkalanya berjudul Tor A Lasting Peace And Tor
People's Democracy dalam berbagai bahasa.
Konferensi Kalkuta adalah konferensi pemuda Asia Tenggara yang
dihadiri wakil-wakil 39 organisasi beranggotakan tujuh juta pemuda dari
India, Pakistan, Birma, Malaya, Indonesia, Vietnam, Ceylon, dan Tiongkok.
Di samping itu terdapat peninjau dan delegasi persahabatan dari Nepal,
Filipina, Mongolia, Korea Utara, Uni Sovyet terutama dari semua Republik
Sovyet dari daerah Asia, dan dari Australia, Inggris, Perancis, serta
Yugoslavia. Sebelum pembukaan konferensi, berlangsung demonstrasi yang
diikuti kira-kira 100.000 pemuda di jalan-jalan Kalkuta. Ini
mendemonstrasikan solidaritas pemuda demokratis sedunia berjuang
melawan penghisapan imperialis. Resolusi yang diputuskan konferensi
menyatakan: "Perjuangan kita untuk kemerdekaan nasional dan demokrasi
dan perjuangan pemuda sedunia untuk demokrasi dan perdamaian,
menentang pecahnya perang dunia ketiga adalah sama dan satu, dan keduaduanya ditujukan terhadap musuh yang sama..." Semboyan Konferensi yang
dikumandangkan mengutuk musuh adalah: Jangan Jamah Asia! Mampuslah
Imperialisme! Dan selanjutnya, resolusi konferensi menyatakan bahwa
"Sekarang ini Amerika Serikat adalah kekuasaan imperialis yang paling
agresif di dunia." [Guy de Boyson, President de la F.M.J.D., Rapport Du
Comite Executif De La EM.J.D., 2me Congres De La Lederation Mondiale De La
Jeunesse Democratique, Budapest, Septembre 1949, page 20—21].
Dalam konferensi ini, Indonesia diwakili oleh utusan Badan Kongres
Pemuda RI, terdiri dari O. Rondonuwu, Soepeno (yang kemudian jadi
anggota DPR GR dan tokoh pimpinan Kantor Berita Antara), dan Francisca
Fanggidey (kemudian jadi anggota DPP Pemuda Rakyat dan anggota DPR
GR).
Konferensi pemuda Kalkuta yang mengangkat tinggi semboyan anti
imperialisme ini sering difitnah oleh pers Barat terutama Amerika Serikat
sebagai konferensi komunis yang mengobarkan revolusi di Asia.
Buku Putih juga secara mengada-ada, menghubung-hubungkan
Persetujuan Renville dan jatuhnya kabinet Amir Sjarifuddin dengan garis
Dimitrov, dan dinyatakan bahwa "Kabinet Republik Indonesia beralih dari
tangan PKI Amir Sjarifuddin ke tangan Wakil Presiden Mohammad Hatta,
yaitu setelah Persetujuan Renville yang bersifat kompromistis mengikuti
garis Dimitrov itu ditolak oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)."
Jatuhnya kabinet Amir tak ada hubungan dengan garis Dimitrov, tidak
ada penolakan KNIP atas Persetujuan Renville, tapi adalah karena Masyumi
yang menduduki lima portofolio dan mendukung Persetujuan Renville,
dengan mendadak menentang Persetujuan Renville dan mengundurkan diri
dari kabinet. Ini disusul oleh PNI. Amir Sjarifuddin meletakkan jabatan.
Sesudah itu, Masyumi jadi pendukung utama kabinet Hatta yang
menggantikan kabinet Amir. Dan kabinet ini justru menjadikan pelaksanaan
Persetujuan Renville sebagai programnya. Latar belakangnya, bukanlah
karena garis Dimitrov, tapi karena mulai dijalankannya "Red Drive Proposals"
untuk penyingkiran kaum komunis dari pemerintah Indonesia.
Buku Putih memaparkan bahwa, "Sementara itu meletuslah kerusuhankerusuhan di kota Surakarta. Terjadilah culik-menculik dan insiden-insiden
bersenjata antar golongan yang saling bertentangan, yang kemudian hari
terbukti memang sengaja diciptakan oleh PKI dalam rangka mengalihkan
perhatian untuk menutupi persiapan pemberontakan Madiun."
Jelas-jemelas ini adalah fitnah. Tidak ada kenyataan yang
membenarkannya. Mana bisa, PKI sengaja menciptakan insiden-insiden
bersenjata? Memang terjadi penculikan-penculikan. Yang diculik adalah
anggota-anggota PKI. Dimasukkan rumah tahanan negara. Penculiknya
adalah para aparat negara. [Baca: Suar Suroso: Peristiwa Madiun: Realisasi
Doktrin Truman di Asia, Hasta Mitra, 2010, hal.76].
Tentang Peristiwa Madiun, Buku Putih menulis: "18 September 1948, jam
03.00, di kota Madiun meletuslah tiga tembakan pistol sebagai tanda
dimulainya pemberontakan Madiun yang dilakukan oleh PKI. Menurut
sebuah dokumen yang ditemukan di rumah Amir Sjarifuddin di Jogyakarta
ternyata pemberontakan itu telah dirancang sebelumnya. Kekuatan PKI di
bawah pimpinan Soemarsono (Komandan Pesindo), Kolonel Djoko Sujono,
Letnan Kolonel Dahlan, dan lain-lain, merebut kekuasaan di Madiun."
Di samping itu, dengan semena-mena. Buku Putih memfitnah PKI telah
dua kali berkhianat terhadap negara RI. Dinyatakannya: "Telah merupakan
kenyataan bahwa dalam sejarah kemerdekaan negara Republik Indonesia
yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, PKI setidak-tidaknya
telah dua kali berkhianat terhadap negara Republik Indonesia dengan cara
mengadakan pemberontakan. Pemberontakan yang pertama dilakukannya
pada tahun 1948, dikenal sebagai Peristiwa Madiun."
Lagi-lagi ini adalah fitnah. Tidak ada bukti tentang dokumen yang
dimaksudkan di atas. Soemarsono dalam bukunya. Revolusi Agustus:
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, secara terperinci menyatakan, bahwa
Peristiwa Madiun bukanlah pemberontakan, tapi adalah bela diri atas
provokasi yang dilancarkan Pemerintah Hatta.
Dan Suar Suroso dengan bukunya Peristiwa Madiun: Realisasi Doktrin
Truman di Asia, terbitan Hasta Mitra, 2010, memaparkan latar belakang dan
proses Peristiwa Madiun. Ditunjukkannya bahwa Peristiwa Madiun
bukanlah pemberontakan PKI, tapi adalah pelaksanaan Doktrin Truman, the
policy of containment - politik pembendungan komunisme yang dilancarkan
Amerika di Asia. [Soemarsono: Revolusi Agustus - Kesaksian Seorang Pelaku
Sejarah, Hasta Mitra, Jakarta 2010]; [Suar Suroso: Peristiwa Madiun: Realisasi
Doktrin Truman di Asia, Hasta Mitra, Jakarta, 2010].
Di samping itu. Departemen Agitprop CC PKI telah mengeluarkan Buku
Putih Tentang Peristiwa Madiun, dan D.N. Aidit menyampaikan pidato
pembelaannya di depan Pengadilan Negeri Jakarta, 24 Februari 1955
berjudul Menggugat Peristiwa Madiun. [D.N. Aidit: Menggugat Peristiwa
Madiun, pidato pembelaan di depan Pengadilan Negeri Jakarta, 24 Februari
1955]; [Departemen Agitprop CC PKI: Buku Putih Tentang Peristiwa Madiun,
disusun dan diterbitkan oleh Departemen Agitprop CC PKI, cetakan kedua,
1954.]
Dengan menghubung-hubungkan pada Doktrin Zhdanov dan Doktrin
Dimitrov, Buku Putih secara sembrono menyatakan: "Resolusi Jalan Baru Bagi
Republik Indonesia yang diprakarsai Musso yang disahkan Politbiro CC PKI 1
September 1948 sebagai anggota Kominform adalah bersumber pada
Doktrin Zhdanov yang menggantikan Doktrin Dimitrov, yang dalam
realisasinya melahirkan pemberontakan Madiun oleh PKI pada tanggal 18
September 1948//
PKI bukanlah anggota Kominform. Anggota-anggota Kominform
hanyalah PKUS, Partai-Partai Komunis semua negeri sosialis, dan Partai
Komunis Perancis, serta Partai Komunis Itali. Resolusi Jalan Baru Bagi Republik
Indonesia adalah self-kritik pimpinan PKI berkenaan dengan gagalnya
Revolusi Agustus 1945. Resolusi ini mengkritik kesalahan-kesalahan PKI di
bidang organisasi, politik, dan ideologi, menunjukkan jalan keluar yaitu
pertama-tama menyatukan semua partai yang berideologi MarxismeLeninisme menjadi satu partai, yaitu partai yang sudah mempunyai tradisi
dalam perjuangan nasional. Partai Komunis Indonesia (PKI); mengoreksi
kesalahan di bidang politik dan ideologi.
Resolusi Jalan Baru, tidak ada hubungan dengan perencanaan Peristiwa
Madiun. Justru demi mencegah pelaksanaan resolusi inilah, pemerintah
Hatta dengan Amerika Serikat di belakang layar, memprovokasi pecahnya
Peristiwa Madiun. Dengan demikian rencana kongres penyatuan partaipartai itu tidak terlaksana dan pimpinan-pimpinan utama PKI termasuk
Musso dan Amir Sjarifuddin terbunuh.
Menurut Buku Putih: "dalam melaksanakan program perjuangannya, PKI
menggunakan cara dan sikap yang arogan (angkuh), sehingga pemerintah
(kabinet Sukiman) pada tahun 1951 terpaksa memerintahkan penangkapan
kader-kader PKI. Tindakan ini secara populer terkenal sebagai Peristiwa
Agustus 1951."
Peristiwa ini adalah Razia Agustus Sulaman, yaitu penangkapan besarbesaran atas kader-kader PKI di banyak tempat. Sungguh tidak masuk akal,
partai politik dinilai bersikap angkuh dalam melaksanakan programnya. Yang
terjadi adalah waktu itu meningkatnya aksi-aksi menentang politik
pemerintah Sukiman yang membikin persetujuan kerja sama militer dengan
Amerika Serikat, yaitu persetujuan tentang keamanan Mutual Security Act
(MSA) yang secara rahasia ditandatangani Menteri Luar Negeri Achmad
Soebardjo. Persetujuan ini adalah dalam rangka usaha Amerika menarik
Indonesia masuk pakta militer SEATO. Aksi-aksi rakyat di bawah pimpinan
PKI menentang politik Masyumi inilah yang oleh Buku Putih dianggap PKI
bersikap arogan (angkuh).
Puncak pemalsuan dan fitnah Buku Putih terhadap PKI dirumuskan
sebagai berikut: "Perebutan kekuasaan oleh PKI dengan Gerakan 30 September
pada tahun 1965 itu bukanlah semata-mata suatu kebetulan belaka dan bukan pula
sebagai suatu reaksi terhadap situasi tertentu melainkan justru pelaksanaan prinsip
kaum komunis yang bersumber pada Materialisme Dialektika Historis Karl Marx."
Materialisme Dialektis dan Historis tidaklah mengajarkan cara perebutan
kekuasaan seperti yang ditempuh Gerakan 30 September 1965. Perebutan
kekuasaan politik menurut ajaran Marx haruslah ditempuh secara jalan
revolusioner, yaitu dengan menggerakkan kekuatan massa rakyat yang
sudah tidak mau dikuasai penguasa, dan menggulingkan kekuasaan yang
sudah tidak mampu lagi menguasai massa. Sedangkan Gerakan 30
September 1965 adalah suatu putch, suatu cara penggulingan dan perebutan
kekuasaan yang terlepas dari massa. Cara demikian ditentang oleh ajaran
Marx. Dan jelas-jemelas. Gerakan 30 September bukanlah aksi yang
dilakukan di bawah pimpinan PKI.
Buku Putih Kopkamtib tidak hanya "menghitamkan" dan memfitnah PKI,
tapi juga "menghitamkan" Bung Karno. Buku Putih menulis: "Dr.Ir. Soekarno
sendiri sebagai bapak dari Marhaenisme akhirnya berubah menjadi seorang
Marxis."
Sesungguhnya, Bung Karno bukannya berubah jadi Marxis, tapi justru
karena beliau adalah Marxis, makanya bisa merumuskan Marhaenisme.
Sebagai pengagum Marx, semenjak remaja Bung Karno sudah keranjingan
Marxisme. Dalam tahun 1926 telah tampil dengan gagasan persatuan antara
tiga aliran Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Gagasan ini akhirnya
menjadi gagasan Nasakom. Karena sangat gandrung akan persatuan bangsa.
Bung Karno berusaha mewujudkan nasakomisasi di semua lapangan.
M enurut Buku Putih, setelah usaha ke arah nasakomisasi ABRI itu gagal,
maka 'TKI menuntut supaya kaum buruh dan kaum tani, yakni duagolongan yang telah menjadi unsur-unsur PKI, dipersenjatai; Latihan
kemiliteran bagi unsur-unsur PKI yang diselenggarakan oleh AURI di
Lubang Buaya/Pondok Gede di lingkungan Pangkalan Udara Halim
Perdana Kusumah itu merupakan bagian dari persiapan G.30.S/PKL Di
sekitar daerah Lubang Buaya/Pondok Gede ini telah digali pula lubanglubang sebagai persiapan penguburan para korban kelak. Ini terdapat juga
di berbagai tempat lain di seluruh Indonesia. Seperti diketahui, kenyataan
ini memang sesuai dengan rencana PKI untuk melakukan pembunuhan besarbesaran terhadap lawan politiknya manakala G.30.S/PKI itu dapat berhasil
sepenuhnya."
Gagasan mempersenjatai buruh dan tani adalah realisasi pembentukan
"Angkatan Kelima" di samping adanya Empat Angkatan: Angkatan Darat,
Laut, Udara, dan Kepolisian. Gagasan Angkatan Kelima ini bukanlah datang
dari PKI, tetapi adalah gagasan Bung Karno yang didukung oleh PKI.
Latihan-latihan yang diselenggarakan AURI di Lubang Buaya / Pondok
Gede adalah dimaksudkan untuk mobilisasi dalam rangka politik Bung
Karno: Ganyang Malaysia. Yang mengikuti latihan itu terdiri dari para
pemuda-pemudi dari kalangan berbagai organisasi yang berporos nasakom.
Jelas-jemelas, tidak ada hubungannya dengan persiapan G30S. Dan tidak
ada penggalian lubang-lubang di sekitar Lubang Buaya seperti yang ditulis
Buku Putih. Apalagi penggalian lubang-lubang di berbagai tempat lain di
seluruh Indonesia. Ini adalah sungguh-sungguh kebohongan di siang bolong,
pemalsuan sejarah yang memalukan.
Buku Putih menilai ajaran Bung Karno tentang persatuan nasional
berporoskan nasakom hanyalah menguntungkan PKI dan merugikan
golongan lainnya.
Justru dengan nasakom, tidak ada golongan yang ditinggalkan.
"Nasakom adalah wadah yang diciptakan Bung Karno untuk
mempersatukan kekuatan nasional melawan kolonialisme/imperialisme dan
membangun tanah air. Nasakom disetujui oleh 10 partai politik yang ada di
Indonesia dalam pertemuan di Istana Bogor pada tanggal 12 Desember 1964,
antara lain: PNI, NU, PKI, Perti, Partindo, PSII, Murba, IPKI, Partai Kristen,
dan Partai Katolik yang melahirkan Ikrar 4 Pasal sebagai berikut:
1. Mendukung politik konfrontasi dengan Malaysia,
2. Memelihara persatuan nasional yang progresif revolusioner
berporoskan nasakom,
3. Menempuh musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah,
4. Membantah isu bahwa Bung Karno akan meletakkan jabatan.
[Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi yang Berhak, cetakan kedua. Transmedia
Pustaka, Jakarta 2008, hal. 164—165].
Buku Putih menyalahkan gagasan nasakom dari Bung Karno dan
m enuduh PKI tak bermaksud membangun negara berdasarkan Pancasila.
Dikemukakan dalam Buku Putih: "Dr.Ir. Soekarno sejak mudanya terkenal
sebagai pejuang besar untuk kemerdekaan bangsanya serta sebagai seorang
nasionalis, akan tetapi dengan pendekatan yang dilakukan PKI, sedikit demi
sedikit sejak tahun 1959 ia telah mulai mengubah dasar dan arah pandangan
politiknya sehingga akhirnya menjadi seorang Marxis yang kemudian
menetapkan konsepsi politik nasakom (nasionalis-agama-komunis).,/
"Konsepsinya itu bertolak dari pemikiran bahwa kekuatan sosial politik
Indonesia terletak dalam tangan golongan nasionalis, golongan agama, dan
golongan komunis, dan bahwa ketiga golongan itu dapat bersatu padu, di
bawah pimpinannya. Ia tidak mau mengakui dan seolah-olah melupakan
bahwa Konstitusi PKI menyatakan bahwa tujuan mereka bukanlah membina
negara RI yang berdasarkan Pancasila, melainkan membentuk negara
komunis."
Adalah salah menyatakan PKI tidak bermaksud membina negara RI
berdasarkan Pancasila. Sejarah sidang-sidang Konstituante membuktikan,
bahwa PKI bersama PNI adalah yang paling tangguh memperjuangkan
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Dan dalam Preambul
Konstitusi PKI tercantum: "PKI menerima dan mempertahankan UUD 1945
yang dalam Pembukaan-nya memuat Pantjasila sebagai dasar-dasar negara
dan bertujuan membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur
menurut kepribadian bangsa Indonesia."
Buku Putih menuduh Bung Karno mengutamakan PKI, karena itu
merugikan golongan lainnya. Mengenai ini dinyatakan: "Menurut penilaian
Soekarno, PKI perlu dibawa serta aktif dalam perjuangan bangsa. Soekarno
pura-pura tidak melihat adanya akibat buruk bagi golongan lain dalam kerja
sama yang dipaksakan itu. Dengan konsepsinya itu, pada hakikatnya
Soekarno melambungkan PKI ke tempat yang tinggi, yang tak mungkin
tercapai oleh PKI dengan kekuatannya sendiri. Sebenarnya, hal ini sudah
merugikan golongan lain itu. Dalam berbagai macam sikap dan tindakan
serta ucapan pengakuannya sendiri pada beberapa kesempatan, di
antaranya dalam pidato kenegaraannya di hadapan sidang MPRS yang berjudul
'Nawaksara' pada tahun 1966, Soekarno hanya mengutamakan kaum komunis
sambil merugikan golongan la in n y a (Huruf miring dari Pen.)
Ini adalah tuduhan yang tak beralasan dari Buku Putih terhadap Bung
Karno. Ini adalah fitnah terang-terangan di siang bolong. Dengan fitnah
inilah. Bung Karno digulingkan oleh MPRS yang sudah dikebiri oleh rezim
orba. Tidak betul pidato "Nawaksara" Bung Karno hanya mengutamakan
kaum komunis sambil merugikan golongan lainnya. Pidato "Nawaksara" ini
adalah pidato pertanggungjawaban Bung Karno sebagai Presiden,
Pemimpin Besar Revolusi, yang memaparkan masalah-masalah Ambeg
Parama Arta dalam memimpin perkembangan situasi ketika itu.
2. Karya Victor Miroslav Fic: K u d e ta 1 O k to b e r 1965
PEMALSUAN sejarah yang sangat serius dilakukan oleh Victor Miroslav Fic.
Menurut Fic, "asal-usul Gestapu 1965 justru terjadi di Zhongnanhai, Peking,
Cina antara Aidit—Mao tanggal 5 Agustus, menyusul kabar kesehatan
Presiden yang memburuk: jatuh pingsan sebanyak 4 kali tanggal 4 Agustus
dan muntah-muntah sebanyak 11 kali akibat gangguan ginjal. Dan para
dokter Cina yang merawatnya yakin bahwa satu serangan lagi, dapat saja
membuat presiden meninggal atau lumpuh. Alhasil, suksesi menjadi
persoalan mendesak yang tak terelakkan, karena pasti terjadi perebutan
kekuasaan yang berdarah-darah antara PKI dan Angkatan Darat yang
selama ini berseteru.
Nasihat Mao adalah: 'Habisi para jenderal dan perwira reaksioner itu
dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor naga yang tak
berkepala dan akan mengikutimu.../
Dari Cina, Aidit begitu tiba di bandara, langsung menghadap presiden
tanggal 7 dan 8 Agustus 1965.
Apa isi perjanjian rahasia antara Soekarno—Aidit—Mao, yang salah
satunya presiden akan beristirahat panjang dengan alasan kesehatan di
sebuah tempat yang nyaman di Danau Angsa, Cina.
Perjanjian rahasia Presiden—Mao dibocorkan secara tertulis oleh Aidit
dalam suratnya tanggal 10 November 1965 pada kader partai: Sosro dan
Tjeweng, jelas tidak membuktikan kesetiakawanan apalagi memenuhi janji yang
telah diucapkan; ....sebab dari sana semua persetujuan Sosro dengan tetangga akan
digugat terus ... dalam memperjuangkan konsep partai kita tidak peduli akan korban,
bila perlu Sosro jadi korban, bila dia tidak memenuhi semua perjanjian;... tapi harus
diingat kekuatan kita sekarang hanya satu; perjanjian politik Sosro dengan tetangga;
bila Sosro meninggalkan kita, berarti hukum karma berlaku;...'mudah-mudahan
Sosro dan Tjeweng tidak akan mengkhianati kita, ... bila nanti mereka berkhianat,
maka dari negara tetangga perjanjian-perjanjian pasal yang telah kami sampaikan
secara IR pada bulan Agustus yang lalu terpaksa diumumkan dan ini adalah berarti lonceng kematian dan kehancuran hagi Sosro/Tjeweng" [Dari kulit buku Victor M.
Fic, Kudeta 1 Oktoher 1965, Sehuah Studi Tentang Konspirasi, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2005].
Fic mendasarkan pendapatnya di atas pada surat D. N. Aidit
10 November 1965. Pada surat tersebut terdapat kejanggalan-kejanggalan
yang menunjukkan surat itu adalah palsu.
1. Kepala surat berjudul Central Comite Partai Komunis Indonesia. PKI
tidak memakai istilah Central Comite, tapi Comite Central.
2. Kalimat pertama surat berbunyi: Kawan seperjuangan kaum
Marxis/Leninis. Dalam berkorespondensi, CC PKI tidak biasa
menggunakan kalimat ini. Dan PKI tidak biasa menuliskan istilah
Marxis/Leninis, tetapi Marxis-Leninis.
3. Kalimat yang berbunyi "telah kami perhitungkan, namun jelas semua
tindakan kaum reaksioner khususnya Dewan jenderal dapat mengecilkan
anggota Partai yang masih belum berpengalaman." Kalimat ini tidak bisa
dipahami isinya. Sesuatu yang tak mungkin ditulis oleh D.N. Aidit
yang rapi bahasa Indonesianya.
4. Surat ini adalah surat pribadi D.N. Aidit, tetapi menggunakan
kalimat: "3. Karena itu sekali lagi CC Partai menandaskan, semua.../'
Ini adalah janggal.
5. Kalimat "bahwa 30 September adalah 'En Rimpel in't grote Ocean'"
adalah bahasa Belanda yang salah ejaannya, memberi pengertian lain,
satu kecerobohan tak mungkin atau sulit dilakukan oleh D.N. Aidit.
6. Kalimat: "Bila ketua berhijrah ke tetangga maka...." Untuk kata
pengganti dirinya, adalah janggal jika D.N. Aidit menggunakan
istilah ketua.
7. Dalam suratnya ini, D.N. Aidit menggunakan ejaan DJ sebagai
singkatan Dewan Jenderal. Ini berarti D.N. Aidit sudah menggunakan
Ejaan Baru Yang Disempurnakan oleh rezim orba. Pada tahun 1965,
singkatan Dewan Djenderal, mestinya adalah DD. Karena itu, dengan
sekian banyak kejanggalan dan kesalahan, surat D.N. Aidit tanggal 10
November 1965 ini adalah palsu. Maka isinya tak mungkin bisa
dipercaya kebenarannya. Padahal isi surat itu adalah sangat penting:
menyangkut keterlibatan Bung Karno, Subandrio, dan Negara
Tetangga.
Dokumen No.3, dengan kepala surat "KOMITE-CENTRAL PARTAI
KOMUNIS INDONESIA, KRAMAT RAYA 81 JAKARTA IV/4, Tel: 448227",
juga ada kejanggalan-kejanggalan. Nomor telepon adalah salah. IstilahKOMITE-CENTRAL, bukanlah ejaan yang biasa dipakai oleh PKL Yang
dipergunakan bagi Kepala Surat dan Envelop resmi CC PKI adalah:
COMITE CENTRAL
PARTAI KOMUNIS INDONESIA
Kramat Raja 81 - Djakarta IV/4
Telp: 4827 Gambir.
Surat yang bertanggal 28 September '65, jadi sebelum terjadinya
peristiwa 30 September, tapi sudah memberi petunjuk untuk pembubaran
partai, persembunyian senjata, cara-cara upacara pembubaran partai di
hadapan instansi. Ini semua sungguh tidak masuk akal. Dan surat ini sudah
menggunakan Ejaan Baru Yang Disempurnakan. Karena itu, surat ini adalah
palsu.
Victor M. Fic secara licik menggunakan metodologi eklektika dalam
melakukan pemalsuan sejarah. Dipergunakannya sederetan fakta yang
memang terjadi dalam kenyataan. Seperti: 5 Agustus 1965, Aidit bertemu
dengan Mao Zedong di Zhong Nan Hai. Tapi isi pembicaraannya dikarang
sendiri oleh Fic, karena ini tak bisa dibuktikan kebenarannya. Lebih-lebih
lagi adalah tak masuk akal dalam pembicaraan itu, Mao Zedong menyuruh
Aidit segera membunuh para jenderal pucuk pimpinan Angkatan Darat
Indonesia. Adalah benar bahwa Aidit pulang ke Jakarta dan segera menemui
Bung Karno melapor. Tapi isi laporannya dikarang sendiri oleh Fic, karena
ini tak dapat dibuktikan kebenarannya.
3. Karya Jung Chang dan Jon Halliday:
M a o : K is a h -K isa h y a n g T a k D ik e ta h u i
JUNG CHANG dalam bukunya berjudul Mao: Kisah-Kisah yang Tak Diketahui
menulis "kegagalan paling parah—dan paling tragis—terjadi di Indonesia.
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai komunis paling besar di kubu
non-komunis, dengan anggota sekitar 3,5 juta, dan mempunyai hubungan
rahasia yang akrab dengan Peking seperti hubungan rahasia Komunis China
dengan Stalin sebelum PKC menguasai China."
"Di bulan September 1963, Chou Enlai membawa Ketua PKI Aidit ke
pertemuan puncak rahasia di Chonghua di China Selatan, bersama
pemimpin Vietnam, Ho Chi Minh, dan Ketua Partai Komunis Laos, untuk
mengkoordinasikan strategi militer di Indonesia dengan perang di Indocina.
Pertemuan puncak ini meletakkan Indonesia dalam kesejajaran strategis
dengan Indocina, dan menghubungkan perkembangan di Indonesia dengan
konflik militer di Indochina yang telah berlangsung lebih dahulu.
Tahun berikutnya (1964), orang Mao No.2, Liu Shao-chi, pergi ke
Vietnam untuk mencoba memperoleh dukungan Hanoi dalam rencana
kudeta terhadap Presiden Soekarno. Ia menyatakan bahwa Soekarno lemah
dan bahwa pihak kiri harus bertindak sebelum para perwira tinggi yang
anti-Komunis dan pro-AS menggulingkannya. Ho Chi Minh menentang
gagasan itu, dan berkata kepada Liu bahwa ia memutuskan untuk terus
mendukung Soekarno [(Le Duan, Ketua Partai Komunis Vietnam, kepada
delegasi Partai Komunis Italia pada bulan Januari 1979. Percakapan kami
dengan Renao Foa, anggota Delegasi, 20 Desember 2006, lanjut ke hlm.651)],/
Tidak ada buktinya dan sungguh tidak masuk akal, Liu Shao-chi
menemui Ho Chi Minh untuk mengajak bersatu buat menggulingkan
Soekarno.
"Ketua Partai Komunis Jepang di masa itu, Kenji Miyamoto, berceritera
kepada kami bahwa Peking terus-menerus berkata kepada PKI dan Partai
Komunis Jepang: 'Kapan saja ada kesempatan untuk merebut kekuasaan
kalian harus bangkit dan mengangkat senjata/ Di tahun 1964, Miyamoto
mendiskusikan hal itu dengan Aidit. Sementara Komunis Jepang bersikap
hati-hati, Aidit yang amat percaya kepada Mao sangat bersemangat untuk
segera beraksi. Setelah konferensi di Aljazair dibatalkan, dengan hati panas
Mao menggerakkan PKI untuk merebut kekuasaan.
Rencananya adalah membunuh para jenderal angkatan darat yang antikomunis, yang boleh dikatakan tidak dapat dipengaruhi oleh Presiden
Soekarno yang pro-Peking. Peking telah menekan Soekarno untuk
melakukan perombakan radikal di kalangan Angkatan Darat. PKI yakin,
bahkan terlalu optimis, bahwa secara rahasia ia dapat mengontrol lebih dari
setengah Angkatan Darat, dua pertiga Angkatan Udara, dan sepertiga
Angkatan Laut. Menurut rencana itu, begitu para jenderal dibantai, komunis
akan mampu menguasai Angkatan Darat, mungkin dengan Soekarno yang
untuk sementara memainkan peran sebagai pemimpin boneka.
Di awal bulan Agustus, Aidit datang ke China dan bertemu dengan Mao.
Kemudian Aidit kembali ke Indonesia bersama tim dokter China yang
beberapa hari kemudian melaporkan bahwa Presiden Soekarno (yang proPeking), menderita sakit ginjal parah, dan diperkirakan hidupnya takkan
lama lagi, karena itu, jika PKI ingin bertindak sekaranglah saatnya.
Pada tanggal 30 September, sekelompok perwira menangkap dan
membunuh Panglima Angkatan Darat Indonesia dan lima jenderal lain.
Berbicara kepada Ketua Partai Komunis Jepang Miyamoto, tak lama setelah
peristiwa itu, Mao menyebut kudeta itu sebagai 'kebangkitan ... Partai
Komunis Indonesia/ Tetapi PKI gagal menangani kejadian tak terduga yang
menghancurkan seluruh rencana mereka. Seorang informan telah mengisiki
seorang jenderal anti-komunis bernama Soeharto yang di masa itu belum
dikenal dan tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan dibunuh.
Karena itu, Soeharto, yang sudah siap menunggu terjadinya penangkapan
dan pembunuhan jenderal lain sampai selesai, segera menguasai angkatan
darat dan melancarkan pembunuhan terhadap ratusan ribu orang komunis
dan simpatisan mereka - termasuk orang-orang yang tidak bersalah. Hampir
semua pemimpin PKI ditangkap dan dibunuh. Hanya satu anggota Politbiro
yang selamat, yaitu Jusuf Adjitorop yang waktu itu sedang berada di China
dan yang kami temui di sana - sebagai lelaki yang amat kecewa - tiga
dekade kemudian."
Adalah tidak mungkin bahwa di tahun 1964 Miyamoto berdiskusi
dengan D.N. Aidit mengenai sikap PKT yang mendesak-desak PKD dan PKI
untuk melakukan pemberontakan. Demikian pula tidak benar bahwa
Miyamoto ketemu Mao Zedong tak lama sesudah Peristiwa 1965. Pada
waktu itu, hubungan yang buruk antara PKD dan PKT menyebabkan tidak
ada hubungan antara PKD dan PKT.
Benar, bahwa Jusuf Adjiotorop adalah anggota Politbiro CC PKI yang
tinggal berobat di Beijing. Tapi tidak benar jika dikatakan dia menjadi sangat
kecewa, karena sampai akhir hayatnya dia mendukung Otokritik Politbiro
CC PKI dan dengan aktif memimpin Delegasi CC PKI di luar negeri.
Menurut buku Jung Chang, Presiden Soekarno segera dipaksa
meletakkan jabatan. Jenderal Soeharto membangun pemerintahan diktator
militer yang sangat anti-Peking dan memusuhi komunitas etnis China yang
amat besar di negeri itu.
Mao menyalahkan PKI untuk kegagalan itu. "Partai Komunis Indonesia
melakukan dua kesalahan," katanya kepada Partai Komunis Jepang. Pertama,
"mereka percaya sepenuhnya kepada Soekarno dan melebih-lebihkan
kekuatan PKI di dalam tubuh angkatan darat." Kesalahan kedua, kata Mao,
"PKI 'menyerah tanpa berjuang'." [Bagian kata-kata Mao yang ini tidak dimuat
di dalam versi yang dipublikasikan. Kami diizinkan untuk melihatnya oleh Komite
Sentral Partai Komunis Jepang.]
Sesungguhnya pembantaian yang dilancarkan Soeharto sangat kejam
dan sangat mendadak hingga tak mungkin bagi PKI untuk membalas
menyerang. Ditinjau dari sudut mana pun, sesungguhnya Mao-lah yang
harus disalahkan karena Mao-lah yang memulai gerakan itu demi alasan-
alasan yang berpusat pada dirinya sendiri. Ia tidak sabar, ingin segera
memperoleh kemenangan setelah impiannya untuk menjadi pemimpin
Asia—Afrika berantakan." [Jung Chang dan Jon Halliday, Mao: Kisah-Kisah
yang Tak Diketahui, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007,
hlm.650—652].
Jung Chang memfitnah Mao Zedong memulai gerakan Peristiwa 1965 di
Indonesia, menyatakan bahwa Mao lah yang harus disalahkan. Jung Chang
mendasarkan tulisannya pada keterangan dari Kenji Miyamoto, Ketua Partai
Komunis Jepang, yang menyatakan Mao Zedong sering mendesak Partai
Komunis Jepang dan Indonesia untuk melakukan pemberontakan.
Bukan kebetulan, Jung Chang menggunakan Kenji Miyamoto untuk
mendukung pandangan-pandangannya menyalahkan Mao Zedong dan
D.N. Aidit. Kenji Miyamoto adalah Ketua Partai Komunis Jepang semenjak
kongres nasionalnya tahun 1958. Di bawah pimpinannya, PKD
meninggalkan garis Sanzo Nosaka, yang berpegang pada jalan revolusioner
memenangkan sosialisme di Jepang. Sanzo Nosaka telah berjasa
membangun persahabatan antara PKD dan PKT. Di bawah pimpinan Kenji
Miyamoto, garis Sanzo Nosaka dicampakkan, hubungan PKD dan PKT jadi
rusak. Demikian buruknya hubungan kedua partai, hingga di mata
pimpinan PKT, Kenji Miyamoto adalah seorang revisionis, dan klik
revisionis Kenji Miyamoto adalah pengkhianat Marxisme-Leninisme yang
memalukan. [Hung Jen-ta, Kenji Miyamoto Revisionist Clique: Shameful
Renegade to Marxism-Leninism, Beijing Review, 1967-12-15].
Oleh karena itu, adalah sulit mempercayai kebenaran ucapan Kenji
Miyamoto mengenai tindak-tanduk Mao Zedong, terutama mengenai
pandangan Mao Zedong tentang Partai Komunis Jepang dan Indonesia. Tak
bisa dibuktikan kebenarannya, bahwa Mao Zedong sering mendesak PKD
dan PKI untuk melakukan pemberontakan. Dengan sikap-sikap PKD di
bawah pimpinan Kenji Miyamoto yang dengan tegas menegasi dan
menentang ajaran diktator proletariat dari Marx, mencampakkan MarxismeLeninisme, maka jelas-jemelas Kenji Miyamoto mengambil sikap berlawanan
dengan pandangan-pandangan Mao Zedong. Oleh karena itu, mudah
dimengerti bahwa Kenji Miyamoto menggunakan kesempatan wawancara
dengan Jung Chang untuk mendiskreditkan Mao Zedong dan D.N. Aidit
yang tangguh membela pandangan-pandangan PKT dan Mao Zedong.
Dalam bukunya setebal 959 halaman edisi luks itu, Jung Chang tidak
hanya mendiskreditkan Mao Zedong dalam hubungannya dengan
D.N. Aidit dan PKI, tapi juga menyatakan bahwa Mao Zedong dan Stalin
(hal.464—475), memicu pecahnya Perang Korea; bahwa Mao Zedong takmau melancarkan perjuangan melawan agresi Jepang; dan Mao Zedong
dituduh sebagai seorang pembunuh yang menyebarkan teror kejam
(hal.306—326) hingga membunuh Liu Zhitan. Semuanya ini adalah
pemalsuan sejarah yang terang benderang.
Bagi mereka yang sedikit mendalam mempelajari sejarah, gampang
mengetahui, bahwa Perang Korea adalah pelaksanaan Doktrin Truman, the
policy of containment, untuk membendung komunisme di Asia Timur;
bagaikan bersuluh matahari, sejak semula Mao Zedong menyerukan dan
memimpin rakyat Tiongkok melawan agresi Jepang, perang anti Jepang
menjadi politik besar PKT bersekutu dengan Kuomintang melancarkan
perang anti Jepang sampai menang dan Jepang bertekuk lutut.
Tidak benar dikatakan Mao Zedong membunuh Liu Zhitan dalam
revolusi Tiongkok. Adalah Mao Zedong dan Zhou Enlai yang membebaskan
Liu Zhitan dari penjara tahanan kaum oportunis "kiri" yang dipimpin Wang
Ming. Dan Liu Zhitan diangkat menjadi Panglima Gabungan Tentara XXVI
dengan Song Renqiong sebagai komisaris politiknya. Dalam usia 33 tahun,
Liu Zhitan gugur kena tembakan senapan mesin musuh dalam pertempuran
di Desa San Jiao Zhen, Provinsi Shan Xi. Peristiwa ini disaksikan oleh
pengawal pribadinya, Xie Wemdang, dan Pei Zhouyu, anggota barisan
pengawal khusus. Mao Zedong dan pemimpin-pemimpin Tiongkok lainnya,
Zhu De, Zhou Enlai, Ye Jianying, menulis sajak dan kaligrafi memuji
kepahlawanan Liu Zhitan sebagai pahlawan nasional Tiongkok. [Novel
Biografi: Liu Zhi Tan, Gong Ren Chuban She, 1979].
4. Prof. Nugroho Notosusanto: P K I D a la n g G30S; P a n c a s ila
B u k a n H a s il G a lia n B u n g K a rn o
PROP. Nugroho Notosusanto adalah pendukung tangguh rezim orde baru
Soeharto. Dengan lantang dia membela pendirian, bahwa PKI adalah dalang
G30S. Pandangannya dipaparkan bersama dengan Ismail Saleh dalam buku
The Coup Attempt of the "September 30 Movement" in Indonesia [Nugroho
Notosusanto & Ismail Saleh, The Coup Attempt of the "September 30 Movement"
in Indonesia, PT Pembimbing Masa, Djakarta, August 1968]
Dalam buku ini dinyatakan, bahwa "karena alasan-alasan ideologi,
jelaslah kalangan agama dengan sendirinya dianggap musuh oleh PKI.
Tetapi PKI menganggap tentara sebagai musuhnya yang utama, bukan saja
karena tentara merupakan ancaman fisik terhadap partai, tetapi juga atas
dasar ideologi. Komunisme adalah asing bagi ideologi negara, Pancasila.Komunisme berdiri atas dasar perjuangan kelas dan bertujuan
menggulingkan setiap pemerintah non-komunis. Pancasila berpendirian
untuk kerja sama yang saling menguntungkan dan toleransi. Dan satu dari
lima prinsip Pancasila adalah percaya pada satu tuhan sedangkan
komunisme berpendirian ateisme" [Ibid, hal.4].
Tidaklah benar PKI menganggap tentara sebagai musuhnya yang utama.
Bukannya musuh, tetapi PKI menilai tinggi ABRI. D.N. Aidit dalam kuliahnya di Seskoad menyatakan bahwa: "Angkatan bersenjata RI adalah antifasis, demokratis, anti-imperialis, dan bercita-cita Sosialisme Indonesia. Ia
adalah alat untuk mengabdi Revolusi Indonesia, untuk mengubah
masyarakat Indonesia dewasa ini menjadi masyarakat Indonesia yang
merdeka penuh dan demokratis sebagai landasan untuk menuju ke
sosialisme. " [D .N.Aidit: Angkatan Bersendjata dan Penjesuaian Kekuasaan
Negara dengan Tugasi Revolusi, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1964, hal.7]
Nugroho mempertentangkan komunisme dengan ideologi negara
Pancasila, padahal dalam Preambul Konstitusi PKI dinyatakan bahwa 'TKI
menerima dan mempertahankan UUD 1945 yang dalam Pembukaan-nya
memuat Pantjasila sebagai dasar-dasar negara dan bertujuan membangun
suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian bangsa
Indonesia" [Comite Central Partai Komunis Indonesia, AD -ART (Konstitusi)
PKI, Djakarta, 1962, hal. 17].
Adalah benar bahwa PKI berjuang atas dasar perjuangan kelas, tapi
tujuannya bukan menggulingkan setiap pemerintah non-komunis. Tujuan
PKI dalam tingkat sekarang ialah mencapai sistem demokrasi rakyat di
Indonesia, sedangkan tujuannya yang lebih lanjut ialah mewujudkan
sosialisme dan kemudian komunisme di Indonesia." [Idem, hal.6].
Pendirian Nugroho yang mempertentangkan Pancasila dengan
komunisme adalah salah, karena UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar
negara justru menjamin semua golongan dan aliran serta kepercayaan di
bawah naungan negara Republik Indonesia.
Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa Pancasila bukanlah hasil
galian Bung Karno, tapi galian Mr. Muh. Yamin, karena Yamin lah yang
pertama berpidato dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan mengemukakan lima asas dan dasar negara kebangsaan
Republik Indonesia. Ini adalah pemalsuan sejarah di siang bolong. Adalah
Bung Karno yang pertama kali memaparkan dasar-dasar negara nasional
Indonesia, yang beliau beri nama Pancasila. W alaupun beberapa pembicara
sebelumnya mengajukan pandangan mengenai dasar negara, tapi tak satu
pun mengajukan lima dasar negara dengan nama Pancasila, termasuk
Muhammad Yamin, dan Prof.Dr.Soepomo.SEMENJAK diumumkannya karya Karl Marx dan Frederick Engels: Manifes
Partai Komunis pada tahun 1848, borjuasi dunia mulai hidup berburu,
membasmi hantu yang memusuhinya, hantu komunis yang muncul di dunia.
Borjuasi disentak oleh ajaran baru, ajaran Marx yang membongkar rahasia
sebab-musabab terjadinya kemiskinan yang melanda kaum pekerja. Marx
dan Engels menunjukkan, bahwa borjuasi menjalankan sistem penghisapan
manusia atas manusia, yang menjadi sumber kemiskinan bagi rakyat pekerja,
dan menyerukan, agar kaum pekerja sedunia bersatu, bangkit berlawan,
mengalahkan borjuasi yang mempraktikkan sistem penghisapan manusia
atas manusia, dengan menggulingkan kekuasaan politik borjuasi dan
mendirikan kekuasaan politik kelas pekerja. Inilah hantu yang mengerikan
bagi borjuasi, gagasan yang bermaksud menggulingkan kekuasaan politik
borjuasi.
Gagasan yang dipaparkan dalam Manifes Partai Komunis dipraktikkan
oleh kelas pekerja Perancis dengan menggulingkan kekuasaan borjuis dan
menegakkan kekuasaan kelas pekerja: Komune Paris, pada tahun 1871.
Dengan mengerahkan kekuatan bersenjata, borjuasi Perancis berhasil
menumpas Komune Paris.
Tahun 1917, di bawah pimpinan Lenin, kelas pekerja Russia berhasil
memenangkan Revolusi Oktober, menggulingkan borjuasi Rusia,
mendirikan kekuasaan politik kelas pekerja, negara diktator proletariat
pertama dalam sejarah. Berdirilah Uni Republik-Republik Sovyet Sosialis
(URSS). Gagasan Manifes Partai Komunis diwujudkan dalam kenyataan,
dengan berdirinya negara diktator proletariat URSS. Usaha borjuasi dunia
untuk membasmi URSS berlangsung tak henti-hentinya semenjak lahirnya
URSS.
Perang Dunia kedua usai dengan kekalahan fasisme Jerman, Itali, dan
Jepang. Harapan borjuasi Barat agar URSS (Uni Republik-Republik Sovyet
Sosialis) ambruk dengan perang ini tidak terwujud. Malah URSS, bersama
negara-negara Sekutu: Amerika, Inggris, dan Perancis tampil sebagai
pemenang perang. Bahkan bermunculan negara-negara bercita-citakan
sosialisme di negeri-negeri yang bebas dari kekuasaan fasisme atau
dibebaskan Tentara Merah Sovyet: Albania, Bulgaria, Hongaria, Rumania,
Cekoslowakia, dan Jerman Timur. Juga di daerah Balkan—Yugoslavia. Di
Timur muncul Republik Rakyat Tiongkok, Republik Rakyat Demokrasi
Korea, dan Republik Demokrasi Vietnam. Di Eropa, dalam pemerintahan
Perancis duduk beberapa orang menteri komunis. Di Itali, Partai Komunis
Itali maju dan menduduki tempat terkemuka dalam berbagai pemilihan.
Pasukan gerilya rakyat di bawah pimpinan kaum komunis maju pesat di
Yunani.
Perjuangan rakyat melawan penjajahan, melawan kapitalisme,
membangun negara nasional yang bebas merdeka jadi mencuat