Selasa, 11 Februari 2025

penggulingan sukarno 1



OKTOBER 1965. Dunia buncah. Disentak berita dahsyat mengagetkan. 

Malapetaka melanda Indonesia. Lebih mengerikan dari Nero membakar 

Roma, melebihi korban bom atom menimpa Hiroshima, lebih dahsyat dari 

pertempuran Stalingrad yang jadi titik-balik Perang Dunia kedua, lebih 

menegakkan bulu roma dari Perang Korea dan Perang Vietnam. Indonesia 

berlumuran darah. Manusia tak berdosa, yang tak melawan dibunuh secara 

semena-mena. Mayat-mayat bergelimpangan, berhanyutan di Bengawan 

Solo, di Sungai Musi, di Sungai Asahan, dan sungai-sungai lainnya. 

Bertebaran kuburan tanpa nisan. Terjadi pembantaian manusia yang tak ada 

taranya dalam sejarah Indonesia, bahkan dalam sejarah dunia. Inilah muara 

dari rencana Sang Angkara Murka, demi menggulingkan Bung Karno. 

"Keputusan untuk menjatuhkan Presiden Soekarno ini telah diambil oleh Presiden

Eisenhower pada tanggal 25 September 1957, lima bulan sebelum proklamasi 

PRRI." [Tim Weiner, Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah

Negara Adidaya, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal.186].

Dengan Peristiwa 30 September 1965, di Indonesia terjadi pembunuhan 

enam jenderal dan seorang perwira menengah pucuk pimpinan Angkatan 

Darat. Belum pernah terjadi dalam sejarah peperangan mana pun, baik 

dalam Perang Dunia pertama, m aupun Perang Dunia kedua. Perang Korea, 

m aupun dalam Perang Vietnam, sekian banyak perwira tinggi, pucuk 

pimpinan Angkatan Darat terbunuh dalam satu peristiwa, dalam satu 

malam. Dan peristiwa ini disusul oleh penangkapan dan pemenjaraan besar￾besaran tanpa melalui pengadilan. Berlangsung pembantaian manusia,

pembasmian kaum kiri, pelarangan Partai Komunis Indonesia, pelarangan 

penyebaran Marxisme-Leninisme di seluruh Indonesia. Peristiwa bermuara 

pada penggulingan Bung Karno; hingga berubahnya Indonesia dari 

mercusuar perjuangan melawan imperialisme menjadi negeri yang mengekor 

pada kekuasaan asing, terutama Amerika Serikat.

Ada yang menilai kejadian ini sebagai ''satu peristiwa yang paling membuat

zaman dalam sejarah Asia sesudah Mao Zedong tampil berkuasa di Tiongkok"

[Kulit buku karya Arnold C. Brackman, The Communists Collapse in Indonesia,

W.W. Norton Inc. New York, First edition, 1969].

"Pemerintah Johnson sangat gembira dengan berita dari Indonesia." [Max 

Frankel, New York Times, 12 Maret 1966].

Bertrand Russel menulis, bahwa The Times, London, memperkirakan 

"Telah terbunuh sekitar satu juta orang selama empat bulan. Jadi dalam empat

bulan di Indonesia terbunuh sebanyak dalam dua belas tahun perang Vietnam" [The

Silent Slaughter, The Role of the United States in the Indonesian Massacre, Youth 

Against War and Fascism, 58 West 25 Street, New York, N.Y.10010, 1966].

Dalam waktu kurang dari satu tahun sesudah terjadinya G30S dan 

pembantaian berdarah, James Reston, kolumnis The New York Times menulis 

menunjukkan kekaguman atas kejadian ini sebagai "pancaran cahaya di Asia".

Tahun 1967, Richard Nixon melukiskan Indonesia sebagai "hadiah terbesar

di daerah Asia Tenggara." [Richard M. Nixon, "Asia After Vietnam", Foreign

Affairs, October 1967, p.111.].

U. Alexis Johnson, Wakil Menteri Luar Negeri AS, 1966, menyatakan 

bahwa "pembasmian komunis di negeri Indonesia yang besar adalah 

peristiwa yang setara dengan Perang Vietnam, yang barangkali adalah titik

balik historis di Asia abad ini." [Joe Nunes, Indonesia: The Final Solution]

[http://chss.montclair.edu/english/furr/ nunesindonesia.html].

Rex Mortimer menulis, "Banyak orang Barat kala itu justru melihat 

pembunuhan massal tersebut dengan penuh rasa puas dan kelegaan sebagai 

penghilangan sepenuhnya ancaman dan hambatan bagi kepentingan mereka, 

sementara kalangan lain melihatnya sebagai pemecahan bagi jalan buntu 

politik tak terelakkan yang disesali dan memalukan, namun masih bisa 

dimaklumi. Pembunuhan ratusan ribu manusia yang kebanyakan tidak 

mengerti, mengapa mereka harus dibunuh itu tidak banyak menarik 

perhatian apa lagi menggugat perikemanusiaan kita dibandingkan dengan 

peristiwa-peristiwa lain di belahan dunia lain, yang sebenarnya dalam 

dimensi m aupun skalanya jauh lebih kecil." [Rex Mortimer: Indonesian

Communism Under Sukarno, Cornell University Press, 1974, edisi Indonesia, 

Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hal.viii].

Dr. Brad Simpson, Princeton University, menulis, "Pembunuhan besar￾besaran di Indonesia adalah satu bentuk teror yang manjur, syarat yang tak 

boleh tidak untuk mengintegrasikan Indonesia masuk sistem ekonomi 

politik regional dan internasional, untuk peningkatan rezim militer yang 

modern dan untuk menggulingkan Soekarno." [Memo of Conversation, 14 

Februari 1966, RG 59, State Department Central Files 1964—66, POL 2 

INDON, NA].

Rakyat awam bingung, terpana. Buruh, tani, massa rakyat tercengang. 

Bahkan anggota-anggota PKI umumnya terheran-heran. Tak tahu apa 

sesungguhnya yang terjadi. Tak pernah membayangkan akan terjadinya 

peristiwa yang demikian. Yang terpaku dalam pikiran adalah: jika 

berlangsung pemilihan umum, PKI akan mencapai kemenangan besar. Tak 

ada yang membayangkan, apalagi siap menghadapi bencana berupa 

pembasmian, pembantaian manusia. Karena itu, peristiwa ini adalah maha￾musibah bagi rakyat, bagi kaum kiri.

Dari hasil penelitian CIA sendiri mengenai operasinya di Indonesia ini, 

pemerintah Amerika memainkan peranan penting dalam satu pembunuhan 

massal yang paling buruk dalam abad ini dengan memberikan nama ribuan 

pimpinan Partai Komunis kepada tentara Indonesia, yang membunuh 

mereka dalam pembantaian berdarah yang diperkirakan sampai setengah 

juta manusia.

Tapi para penguasa Barat, terutama Amerika Serikat "bergendang paha", 

bahkan berpesta-pora. Gembira ria melebihi kegembiraan seusai Perang 

Dunia pertama dan Perang Dunia kedua mengalahkan fasisme. Bagi 

penguasa Barat, terutama Amerika Serikat, peristiwa ini bukanlah suatu 

kebetulan, yang terjadi di luar dugaan. Sudah lama diharapkan, dan 

dinantikan bahwa peristiwa ini akan terjadi. Bukan hanya harapan, tapi 

direncanakan dengan perhitungan yang masak dan telah diambil berbagai 

tindakan dengan persiapan kekuatan yang cukup untuk mewujudkan 

kejadian ini.

"Pada 1950-an, pemerintahan Eisenhower bahkan memutuskan bahwa, 

jika diperlukan, mereka akan mendukung terbelahnya Indonesia dan 

terpisahnya Jawa (yang merupakan basis golongan kiri) dari wilayah lain di 

negara ini." [Audrey R. Kahin dan George Me T. Kahin, Subversion as Foreign

Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia, 1995].

Ada bukti pembicaraan di lingkaran-lingkaran diplomatik Amerika 

Serikat, Inggris, dan Sekutu sebagai poros yang membenci perkembangan

politik di Indonesia beserta solusinya. "Menurut sudut pandang kami, tentu 

saja, upaya kup PKI yang gagal kiranya merupakan perkembangan paling 

efektif untuk membalikkan kecenderungan politik di Indonesia," demikian 

kata Howard P. Jones, Duta Besar AS untuk Indonesia, Maret 1995. [John 

Roosa (2006) dalam Pretext for Mass Murder].

Usahakan terjadinya suatu "perebutan kekuasaan", "suatu coup d'etat" di 

mana terlibat Partai Komunis Indonesia. Ini dapat dijadikan dalih untuk 

membasminya. Inilah gagasan, yang sesungguhnya terwujud dalam 

kenyataan. Partai Komunis tertua di Asia, terbesar di luar negeri-negeri 

sosialis, terbesar sesudah Partai Komunis Uni Sovyet dan Partai Komunis 

Tiongkok, Partai Komunis Indonesia jadi berantakan. Semua pimpinan 

tertingginya terbunuh atau dipenjarakan. Lebih satu juta anggotanya 

dibunuh, dipenjarakan. Kekuatan kiri Indonesia, kaum Soekarnois 

pendukung Bung Karno dibasmi habis-habisan.

Cl A membikin pemaparan palsu mengenai apa yang terjadi, kemudian 

diterbitkan berupa sebuah buku Indonesia 1965, Kup Yang Prematur, yang 

ketahuan sebelumnya. Para pejabat Amerika, wartawan, dan para sarjana 

yang berhubungan dengan CIA menciptakan dongeng, bahwa pembunuhan 

berdarah itu adalah "reaksi mendadak dari rakyat yang spontan terhadap

terorisme PKL" Maka, dalam Oktober 1965, para jenderal Angkatan Darat 

mengambil langkah, menyerang balik terhadap kup para kolonel yang gagal, 

menjadi pogrom anti-komunis, dan mengubah Indonesia yang kaya sumber 

alam itu bisa dieksploitasi oleh korporasi-korporasi raksasa Amerika. Jika 

Vietnam adalah kekalahan besar sesudah Perang Dunia kedua, maka 

Indonesia adalah satu kemenangan terbesar.

Gabriel Kolko menyimpulkan: "penyelesaian terakhir" tentang masalah 

komunis di Indonesia adalah jelas satu tindakan yang paling biadab yang 

tak berperikemanusiaan dalam abad ini, bagian terbesar dari ini jelas setara 

dengan kejahatan perang yang sama dengan jenis yang dilakukan oleh Nazi. 

Tak seorang pun orang Amerika dalam masa sesudah 1945 yang haus darah, 

sebagaimana yang dilakukan di Indonesia memprakarsai pembunuhan 

besar-besaran, dan yang berbuat segala-galanya yang dalam kekuasaannya 

untuk mendorong Soeharto, termasuk mempersenjatai para pembunuh, 

untuk menyaksikan bahwa pelikuidasian PKI dilakukan sampai pada 

puncaknya. [Gabriel Kolko, Confrontation the Third World: United States

Foreign Policy 1945—1980, Pantheon Books, 1988].

Di tahun 1965, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soeharto, 

membantai 500.000 anggota PKI. Amerika Serikat mendorong orang 

Indonesia menjalankan pembunuhan besar-besaran dengan memberikan

bantuan diplomatik dan materiil demi mendukung pembunuhan￾pembunuhan tersebut.

Jumlah tepat mereka yang terbunuh tak akan pernah bisa diketahui. 

Kementerian Luar Negeri Amerika menaksir di tahun 1966, jumlah terbunuh 

sekitar 300.000. Data resmi yang diumumkan Indonesia pada pertengahan 

tahun 1970 adalah 450.000 sampai 500.000 meninggal. [Gabriel Kolko, 

Confrontation the Third World: United States Foreign Policy 1945—1980, 

Pantheon Books, 1988].

Dalam bulan Oktober 1976, Laksamana Sudomo, Kepala Kopkamtib 

menyatakan dalam wawancaranya kepada wartawan Belanda, bahwa lebih 

dari 500.000 terbunuh. Amnesti Internasional mengutip sebuah sumber lain 

yang menyatakan lebih dari 700.000, dan yang lainnya menaksir bahwa lebih 

dari satu juta orang meninggal [Chomsky, Herman, 79].

Sarwo Edhie Wibowo yang mengomandoi pengerahan pasukan baret 

merah Kostrad mengakui bahwa dalam peristiwa ini telah terbunuh 

sebanyak tiga juta manusia.

BERLALU waktu hampir setengah abad. Peristiwa 1965 di Indonesia masih 

diliputi kegelapan. Penyiksaan, pemenjaraan, pembuangan, perkosaan, 

pembunuhan telah menelan korban jutaan umat. Inilah halaman tergelap 

dalam sejarah Indonesia. Trauma yang mendalam tetap terpendam di hati 

para korban atau keluarga korban yang masih hidup.

Berbagai visi bermunculan mengungkap kejadian yang menelan korban 

jutaan manusia itu. Pemalsuan sejarah berlangsung dahsyat dalam 

mengungkap peristiwa ini. Mulai dari Buku Putih Kopkamtib, disusul tulisan￾tulisan para pakar sejarah seperti Prof. Noegroho Notosoesanto, Victor 

Miroslav Fic, Jung Chang, C.J.A. Dake, semuanya "menghitamkan" PKI dan

Bung Kamo, menyatakan PKI atau Bung Karno adalah dalang G30S, yang 

menjadi awal malapetaka bangsa Indonesia.

1. B u ku P u tih K o p k a m tib

Dalam Kata Pengantar Buku Putih Kopkamtib, yang diterbitkan 20 Mei 1978, 

Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban, Laksamana Sudomo, 

menyatakan bahwa "bangsa Indonesia sudah bertekad bulat untuk tidak 

memberi kesempatan hadirnya kembali paham komunis untuk selama￾lamanya di negara kita."

Sesudah lewat pembantaian manusia yang kejam tak ada taranya, rezim 

fasis Soeharto secara jasmaniah membasmi kaum komunis dan golongan kiri, 

Kopkamtib yang jadi aparat represif rezim ini dengan Buku Putih-nyamenelanjangi dirinya sendiri sebagai pemalsu sejarah, penjunjung tinggi 

panji komunisto-fobi yang anti-demokrasi, anti Undang-Undang Dasar 1945.

Kalimat pertama Buku Putih menyatakan bahwa "Peristiwa Gerakan 30 

September yang dilaksanakan dan didalangi oleh Partai Komunis Indonesia 

atau yang lebih dikenal dengan sebutan singkatan G.30.S/PKI pada tahun 

1965, merupakan noda hitam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, 

sebagai puncak daripada segala bentuk penyimpangan hukum dan 

konstitusi yang hampir-hampir menghancurkan dan menenggelamkan kita 

sebagai negara dan bangsa."

Dengan tegas dinyatakan PKI mendalangi G30S.

Dengan memaparkan sejarah PKI, Buku Putih Kopkamtib menghitamkan 

PKI dengan tuduhan-tuduhan: "PKI membenalu tubuh Sarekat Islam."

Kenyataannya, bukan membenalu, tapi PKI (ISDV) membawa maju 

Sarekat Islam dari kegiatan usaha dagang menjadi satu gerakan menuju 

kemerdekaan.

Selanjutnya, yang dinyatakan Buku Putih adalah fitnah, bahwa: "Dengan 

Pemberontakan Nasional 1926, PKI melancarkan suatu petualangan yang 

akan membawa malapetaka bagi ribuan patriot Indonesia."

Pemberontakan Nasional 1926 bukanlah petualangan, tapi perlawanan 

bersenjata untuk kemerdekaan, yang menggoyahkan kekuasaan kolonial 

Belanda. Dalam pemberontakan ini, kaum komunis jadi pelopor, berguguran 

korban sampai ke tiang gantungan, ribuan ditangkap dan dipenjarakan 

Belanda, dibuang ke Boven Digul. Sejarah mencatat kepahlawanan Egom, 

Hassan, dan Dirdja, kader-kader PKI yang gugur di tiang gantungan. 

[Lembaga Sedjarah PKI: Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926),

Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1961].

Tidak ada masalah "menohok kawan seiring" seperti yang dituduhkan 

dalam Buku Putih: "Di daerah-daerah tempat terjadinya kekalutan ini untuk 

kesekian kalinya PKI memperalat golongan lain dalam mencapai tujuannya, 

sesuai dengan bunyi pepatah 'Menohok kawan seiring, menggunting dalam

lipatan'... para pemimpin PKI telah mengorbankan ribuan pengikutnya."

Pemberontakan bersenjata tahun 1926 merupakan canang bagi rakyat 

Indonesia, bahwa kolonialisme Belanda bisa dilawan, kemerdekaan harus 

diperjuangkan. Inilah Sangkakala Revolusi Indonesia.

Menurut Buku Putih, "di zaman Jepang pun kaum komunis Indonesia 

tidak dapat berkutik."

Kebalikan dari yang ditulis dalam Buku Putih, yang sesungguhnya terjadi 

adalah: semenjak tahun 1936, dengan kedatangan Musso, terbentuklah CC 

PKI ilegal. Musso membawa garis front anti-fasis dari Komintern. Secara 8

rahasia, di bawah pimpinan PKI ilegal, kaum komunis tetap aktif, 

berorganisasi menggerakkan rakyat. Terbentuk dan bergeraklah organisasi 

Gerindo di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin. Tahun 1939, di Jakarta 

terbentuk organisasi Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) dipimpin kader￾kader PKI ilegal. Pembentukannya dihadiri antara lain Dr. Tjipto 

Mangoenkoesoemo, Widarta, Armunanto, Dr. Liem Koen Hien.

Di Jakarta, kader-kader PKI seperti Wikana, D.N. Aidit, Hoetabarat, 

Soemarto, Ronosoedarmo, Pojas, dan lain-lainnya, aktif ambil bagian dalam 

memimpin berbagai organisasi legal, semi-ilegal, dan ilegal. Mereka 

menghimpun massa dan menggunakan organisasi-organisasi itu untuk 

mendidik dan melatih massa melawan fasisme Jepang. Wikana 

menggunakan kesempatan politik Kaigun (Angkatan Laut Jepang) untuk 

menarik pemuda-pemuda dengan mendirikan "Asrama Indonesia Merdeka", 

dalam kegiatan pendidikan dimasukkan pikiran-pikiran anti-fasis. 

D. N. Aidit juga menggunakan "Asrama Menteng 31" untuk

mempropagandakan ide-ide anti-fasis. Pada akhir tahun 1944, D.N. Aidit 

bersama dengan M.H. Lukman, Sidik Kertapati, dll., mendirikan satu 

organisasi yang lebih tegas coraknya anti-fasis dan yang bertujuan untuk 

mencapai Indonesia Merdeka, yaitu Gerakan Indonesia Merdeka 

(Gerindom). Di samping itu, Wikana, D.N. Aidit, dll., juga mempunyai 

hubungan dengan berbagai grup dan kelompok anti-fasis di Jakarta. 

Kekuasaan fasis Jepang mencium kegiatan orang-orang komunis, dan 

melakukan penangkapan-penangkapan. Jepang menangkap Koesnandar, 

Soebijanto Koesoemo, Hardjo Soepingi. Juga Sudisman, Tjoegito, Sjaifoellah, 

Fatah Jasin. Di Semarang ditangkap Kasim dan Broto, di Nganjuk ditangkap 

Tarmoedji, di Tulung Agung ditangkap Soeparto, di Blitar ditangkap Noto. 

Tak lama kemudian ditangkap Azis di Sidoardjo. Pamoedji, Ketua CC PKI, 

juga ditangkap di Purworedjo. Menyusul ditangkap di Jakarta, Mr. Amir 

Sjarifuddin. Selanjutnya bukan hanya kader-kader PKI, tokoh-tokoh lainnya 

Dr. Kajadoe, Mr. Soemanang, Ki Mangoensarkoro, Dr A. Kapau Gani, juga 

ditangkap. Akibat siksaan, banyak di antara mereka yang meninggal dunia 

seperti Pamoedji, Sjaifoellah. Soekajat dan Azis serta Abdoerrahim dijatuhi 

hukuman mati dengan dipenggal kepalanya di Kantor Kenpeitai di Jalan 

Alun-Alun Tjontong Surabaya. Mr. Amir Sjarifuddin dijatuhi hukuman mati, 

tapi berkat perjuangan kekuatan progresif, terutama berkat jaminan yang 

diberikan Bung Karno, hukuman itu diubah menjadi hukuman seumur 

hidup. Prof.Dr. Moechtar, dan Dr. Kajadoe dibunuh dengan dipenggal 

lehernya di Jakarta.

Di bawah pimpinan orang-orang progresif atau yang berhubungan 

dengan kader-kader PKI ilegal, terjadi "berbagai pemberontakan anti Jepang 

seperti di Pantjur Batu Deli Serdang (26 Juli 1942) terkenal dengan 

pemberontakan Aron (Uaron); 23 Oktober 1943, Pemberontakan 

Karangampel, Indramayu; November 1942, Pemberontakan Tani di Tjut 

Pilieng, Aceh; November—Desember 1943, Pemberontakan Tani Lohbener, 

Indramayu; Februari 1944, Pemberontakan Tani Singaparna; November 1944, 

Pemberontakan Meureudu dan Beureum Aceh; Mei 1945, Pemberontakan 

suku Daya Tajan dan Ketapang Kalimantan.

"Menjelang menyerah kalahnya Jepang, CC PKI mengadakan sidangnya 

di Pemalang, yang antara lain mengambil keputusan untuk menyerukan 

kepada semua kader PKI agar ambil bagian aktif merebut kekuasaan dari 

Jepang, termasuk merebut perusahaan dan pabrik-pabrik serta melucuti 

senjata Jepang". [Lembaga Sejarah PKI: Manuskrip 45 Tahun PKI, Jakarta, Mei 

1965].

Buku Putih Kopkamtib yang menyatakan PKI tidak berkutik di bawah

kekuasaan fasis Jepang adalah bertentangan dengan kenyataan. Ini adalah 

pemalsuan sejarah, yang menyesatkan, adalah fitnah terhadap PKI yang 

berjuang melawan fasisme Jepang.

Buku Putih menulis: "Karena mengikuti garis Dimitrov, maka kaum 

komunis sama sekali tidak memegang peranan yang mendukung Proklamasi

Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945"

Ini adalah pemalsuan sejarah yang sangat menyesatkan. Terpilihnya Amir 

Sjarifuddin sebagai perdana menteri pertama Republik Indonesia 

menunjukkan pengakuan akan peranan tokoh komunis dalam Revolusi 

Agustus 1945. Di Menteng 31, pusat kegiatan pemuda menjelang Proklamasi 

Kemerdekaan, terdapat dan aktif kader-kader PKI ilegal, seperti Wikana, 

D.N. Aidit, dan M.H. Lukman. Sejarah mencatat peristiwa dilarikannya 

Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok sebelum berlangsungnya 

Proklamasi Kemerdekaan. Wikana, kader PKI ilegal memainkan peranan 

penting dalam peristiwa ini. Rengasdengklok, daerah pertama yang 

mengibarkan bendera Merah Putih sebelum proklamasi diumumkan, adalah 

daerah historis, yang berada di bawah kekuasaan pasukan yang dipimpin 

perwira PETA Oemar Bachsan, seorang kader PKI ilegal.

Dalam pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat, tokoh-tokoh PKI 

aktif semenjak permulaannya. Dalam pertempuran 10 November 1945 di 

Surabaya terdapat pasukan di bawah pimpinan Soemarsono, kader PKI.

Maka tidaklah betul: "Komunis sama sekali tidak memegang peranan yang

mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia," seperti yang ditulis Buku Putih.

Menurut Buku Putih, tahun 1947, "dengan pembentukan Kominform, 

Gerakan Komunis Internasional berubah haluan dari menempuh garis 

Dimitrov, yaitu politik front persatuan anti fasisme, menjadi garis Zhdanov 

(bukan Zhadanov m enurut Buku Putih!) yang mengangkat panji anti 

imperialisme Amerika dan meninggalkan kerja sama dengan kaum sosial 

demokrat".

Sebenarnya, yang berubah haluan adalah pemerintah AS di bawah 

Presiden Truman, dari bersekutu dengan Uni Sovyet melawan fasisme jadi 

memusuhi Uni Sovyet. Seusai Perang Dunia kedua, yang terjadi adalah: 

dengan "telegram panjang"-nya dari Moskow, George McKennan, Dubes AS 

untuk Uni Sovyet memprakarsai politik pembendungan komunisme sejagat, 

the policy of containment yang selanjutnya menjadi Doktrin Truman. Dengan 

realisasi Doktrin Truman, Amerika Serikat mengobarkan Perang Dingin demi 

membasmi Uni Sovyet dan partai-partai komunis di dunia.

Tentang meninggalkan kerja sama dengan kaum sosial demokrat, bukannya 

terjadi sesudah pembentukan Kominform, tapi semenjak terbentuknya 

Komintern tahun 1919, dengan salah satu dari 21 pasal syarat keanggotaan 

Komintern bagi partai-partai komunis sedunia. Pasal itu menyatakan, harus 

menggunakan nama Partai Komunis, meninggalkan nama sosial-demokrat 

dan memutuskan hubungan dengan partai sosial demokrat. Alasannya 

adalah: partai-partai sosial demokrat telah mengkhianati ajaran diktator 

proletariat Marx, dalam praktik telah menjadi musuh komunisme. 

Demikianlah kaum sosial-demokrat, baik di Eropa, maupun di Indonesia.

Buku Putih Kopkamtib menghubung-hubungkan Kominform dan garis 

Zhdanov dengan Konferensi Pemuda Asia Tenggara yang diselenggarakan 

bulan Februari 1948 di Kalkuta, India. Konferensi ini berlangsung atas 

prakarsa Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia (World Pederation of Democratic

Youth—WFDY) dan Persatuan Internasional Mahasiswa (International Union of

Students—IUS) yang menurut Buku Putih mengikuti Kominform, 

menetapkan "garis Kalkuta".

Tidak ada hubungan antara Kominform dengan WFDY dan Konferensi 

Pemuda Asia Tenggara di Kalkuta. Kominform adalah badan kerja sama 

terutama di bidang informasi antar Partai-Partai Komunis Uni Sovyet dan 

negeri-negeri sosialis dan Partai Komunis Perancis dan Itali. Kominform 

terkenal dengan publikasi berkalanya berjudul Tor A Lasting Peace And Tor

People's Democracy dalam berbagai bahasa.

Konferensi Kalkuta adalah konferensi pemuda Asia Tenggara yang 

dihadiri wakil-wakil 39 organisasi beranggotakan tujuh juta pemuda dari 

India, Pakistan, Birma, Malaya, Indonesia, Vietnam, Ceylon, dan Tiongkok.

Di samping itu terdapat peninjau dan delegasi persahabatan dari Nepal, 

Filipina, Mongolia, Korea Utara, Uni Sovyet terutama dari semua Republik 

Sovyet dari daerah Asia, dan dari Australia, Inggris, Perancis, serta 

Yugoslavia. Sebelum pembukaan konferensi, berlangsung demonstrasi yang 

diikuti kira-kira 100.000 pemuda di jalan-jalan Kalkuta. Ini 

mendemonstrasikan solidaritas pemuda demokratis sedunia berjuang 

melawan penghisapan imperialis. Resolusi yang diputuskan konferensi 

menyatakan: "Perjuangan kita untuk kemerdekaan nasional dan demokrasi 

dan perjuangan pemuda sedunia untuk demokrasi dan perdamaian, 

menentang pecahnya perang dunia ketiga adalah sama dan satu, dan kedua￾duanya ditujukan terhadap musuh yang sama..." Semboyan Konferensi yang 

dikumandangkan mengutuk musuh adalah: Jangan Jamah Asia! Mampuslah

Imperialisme! Dan selanjutnya, resolusi konferensi menyatakan bahwa 

"Sekarang ini Amerika Serikat adalah kekuasaan imperialis yang paling 

agresif di dunia." [Guy de Boyson, President de la F.M.J.D., Rapport Du

Comite Executif De La EM.J.D., 2me Congres De La Lederation Mondiale De La

Jeunesse Democratique, Budapest, Septembre 1949, page 20—21].

Dalam konferensi ini, Indonesia diwakili oleh utusan Badan Kongres 

Pemuda RI, terdiri dari O. Rondonuwu, Soepeno (yang kemudian jadi 

anggota DPR GR dan tokoh pimpinan Kantor Berita Antara), dan Francisca 

Fanggidey (kemudian jadi anggota DPP Pemuda Rakyat dan anggota DPR 

GR).

Konferensi pemuda Kalkuta yang mengangkat tinggi semboyan anti 

imperialisme ini sering difitnah oleh pers Barat terutama Amerika Serikat 

sebagai konferensi komunis yang mengobarkan revolusi di Asia.

Buku Putih juga secara mengada-ada, menghubung-hubungkan 

Persetujuan Renville dan jatuhnya kabinet Amir Sjarifuddin dengan garis 

Dimitrov, dan dinyatakan bahwa "Kabinet Republik Indonesia beralih dari 

tangan PKI Amir Sjarifuddin ke tangan Wakil Presiden Mohammad Hatta, 

yaitu setelah Persetujuan Renville yang bersifat kompromistis mengikuti 

garis Dimitrov itu ditolak oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)."

Jatuhnya kabinet Amir tak ada hubungan dengan garis Dimitrov, tidak 

ada penolakan KNIP atas Persetujuan Renville, tapi adalah karena Masyumi 

yang menduduki lima portofolio dan mendukung Persetujuan Renville, 

dengan mendadak menentang Persetujuan Renville dan mengundurkan diri 

dari kabinet. Ini disusul oleh PNI. Amir Sjarifuddin meletakkan jabatan. 

Sesudah itu, Masyumi jadi pendukung utama kabinet Hatta yang 

menggantikan kabinet Amir. Dan kabinet ini justru menjadikan pelaksanaan 

Persetujuan Renville sebagai programnya. Latar belakangnya, bukanlah

karena garis Dimitrov, tapi karena mulai dijalankannya "Red Drive Proposals"

untuk penyingkiran kaum komunis dari pemerintah Indonesia.

Buku Putih memaparkan bahwa, "Sementara itu meletuslah kerusuhan￾kerusuhan di kota Surakarta. Terjadilah culik-menculik dan insiden-insiden 

bersenjata antar golongan yang saling bertentangan, yang kemudian hari 

terbukti memang sengaja diciptakan oleh PKI dalam rangka mengalihkan

perhatian untuk menutupi persiapan pemberontakan Madiun."

Jelas-jemelas ini adalah fitnah. Tidak ada kenyataan yang 

membenarkannya. Mana bisa, PKI sengaja menciptakan insiden-insiden 

bersenjata? Memang terjadi penculikan-penculikan. Yang diculik adalah 

anggota-anggota PKI. Dimasukkan rumah tahanan negara. Penculiknya 

adalah para aparat negara. [Baca: Suar Suroso: Peristiwa Madiun: Realisasi

Doktrin Truman di Asia, Hasta Mitra, 2010, hal.76].

Tentang Peristiwa Madiun, Buku Putih menulis: "18 September 1948, jam 

03.00, di kota Madiun meletuslah tiga tembakan pistol sebagai tanda 

dimulainya pemberontakan Madiun yang dilakukan oleh PKI. Menurut 

sebuah dokumen yang ditemukan di rumah Amir Sjarifuddin di Jogyakarta 

ternyata pemberontakan itu telah dirancang sebelumnya. Kekuatan PKI di 

bawah pimpinan Soemarsono (Komandan Pesindo), Kolonel Djoko Sujono, 

Letnan Kolonel Dahlan, dan lain-lain, merebut kekuasaan di Madiun."

Di samping itu, dengan semena-mena. Buku Putih memfitnah PKI telah 

dua kali berkhianat terhadap negara RI. Dinyatakannya: "Telah merupakan 

kenyataan bahwa dalam sejarah kemerdekaan negara Republik Indonesia 

yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, PKI setidak-tidaknya 

telah dua kali berkhianat terhadap negara Republik Indonesia dengan cara 

mengadakan pemberontakan. Pemberontakan yang pertama dilakukannya 

pada tahun 1948, dikenal sebagai Peristiwa Madiun."

Lagi-lagi ini adalah fitnah. Tidak ada bukti tentang dokumen yang 

dimaksudkan di atas. Soemarsono dalam bukunya. Revolusi Agustus:

Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, secara terperinci menyatakan, bahwa 

Peristiwa Madiun bukanlah pemberontakan, tapi adalah bela diri atas 

provokasi yang dilancarkan Pemerintah Hatta.

Dan Suar Suroso dengan bukunya Peristiwa Madiun: Realisasi Doktrin

Truman di Asia, terbitan Hasta Mitra, 2010, memaparkan latar belakang dan 

proses Peristiwa Madiun. Ditunjukkannya bahwa Peristiwa Madiun 

bukanlah pemberontakan PKI, tapi adalah pelaksanaan Doktrin Truman, the

policy of containment - politik pembendungan komunisme yang dilancarkan 

Amerika di Asia. [Soemarsono: Revolusi Agustus - Kesaksian Seorang Pelaku

Sejarah, Hasta Mitra, Jakarta 2010]; [Suar Suroso: Peristiwa Madiun: Realisasi

Doktrin Truman di Asia, Hasta Mitra, Jakarta, 2010].

Di samping itu. Departemen Agitprop CC PKI telah mengeluarkan Buku

Putih Tentang Peristiwa Madiun, dan D.N. Aidit menyampaikan pidato 

pembelaannya di depan Pengadilan Negeri Jakarta, 24 Februari 1955 

berjudul Menggugat Peristiwa Madiun. [D.N. Aidit: Menggugat Peristiwa

Madiun, pidato pembelaan di depan Pengadilan Negeri Jakarta, 24 Februari 

1955]; [Departemen Agitprop CC PKI: Buku Putih Tentang Peristiwa Madiun, 

disusun dan diterbitkan oleh Departemen Agitprop CC PKI, cetakan kedua, 

1954.]

Dengan menghubung-hubungkan pada Doktrin Zhdanov dan Doktrin 

Dimitrov, Buku Putih secara sembrono menyatakan: "Resolusi Jalan Baru Bagi

Republik Indonesia yang diprakarsai Musso yang disahkan Politbiro CC PKI 1 

September 1948 sebagai anggota Kominform adalah bersumber pada 

Doktrin Zhdanov yang menggantikan Doktrin Dimitrov, yang dalam 

realisasinya melahirkan pemberontakan Madiun oleh PKI pada tanggal 18 

September 1948//

PKI bukanlah anggota Kominform. Anggota-anggota Kominform 

hanyalah PKUS, Partai-Partai Komunis semua negeri sosialis, dan Partai 

Komunis Perancis, serta Partai Komunis Itali. Resolusi Jalan Baru Bagi Republik

Indonesia adalah self-kritik pimpinan PKI berkenaan dengan gagalnya 

Revolusi Agustus 1945. Resolusi ini mengkritik kesalahan-kesalahan PKI di 

bidang organisasi, politik, dan ideologi, menunjukkan jalan keluar yaitu 

pertama-tama menyatukan semua partai yang berideologi Marxisme￾Leninisme menjadi satu partai, yaitu partai yang sudah mempunyai tradisi 

dalam perjuangan nasional. Partai Komunis Indonesia (PKI); mengoreksi 

kesalahan di bidang politik dan ideologi.

Resolusi Jalan Baru, tidak ada hubungan dengan perencanaan Peristiwa 

Madiun. Justru demi mencegah pelaksanaan resolusi inilah, pemerintah 

Hatta dengan Amerika Serikat di belakang layar, memprovokasi pecahnya 

Peristiwa Madiun. Dengan demikian rencana kongres penyatuan partai￾partai itu tidak terlaksana dan pimpinan-pimpinan utama PKI termasuk 

Musso dan Amir Sjarifuddin terbunuh.

Menurut Buku Putih: "dalam melaksanakan program perjuangannya, PKI 

menggunakan cara dan sikap yang arogan (angkuh), sehingga pemerintah 

(kabinet Sukiman) pada tahun 1951 terpaksa memerintahkan penangkapan 

kader-kader PKI. Tindakan ini secara populer terkenal sebagai Peristiwa 

Agustus 1951."

Peristiwa ini adalah Razia Agustus Sulaman, yaitu penangkapan besar￾besaran atas kader-kader PKI di banyak tempat. Sungguh tidak masuk akal, 

partai politik dinilai bersikap angkuh dalam melaksanakan programnya. Yang 

terjadi adalah waktu itu meningkatnya aksi-aksi menentang politik 

pemerintah Sukiman yang membikin persetujuan kerja sama militer dengan 

Amerika Serikat, yaitu persetujuan tentang keamanan Mutual Security Act

(MSA) yang secara rahasia ditandatangani Menteri Luar Negeri Achmad 

Soebardjo. Persetujuan ini adalah dalam rangka usaha Amerika menarik 

Indonesia masuk pakta militer SEATO. Aksi-aksi rakyat di bawah pimpinan 

PKI menentang politik Masyumi inilah yang oleh Buku Putih dianggap PKI 

bersikap arogan (angkuh).

Puncak pemalsuan dan fitnah Buku Putih terhadap PKI dirumuskan 

sebagai berikut: "Perebutan kekuasaan oleh PKI dengan Gerakan 30 September

pada tahun 1965 itu bukanlah semata-mata suatu kebetulan belaka dan bukan pula

sebagai suatu reaksi terhadap situasi tertentu melainkan justru pelaksanaan prinsip

kaum komunis yang bersumber pada Materialisme Dialektika Historis Karl Marx."

Materialisme Dialektis dan Historis tidaklah mengajarkan cara perebutan 

kekuasaan seperti yang ditempuh Gerakan 30 September 1965. Perebutan 

kekuasaan politik menurut ajaran Marx haruslah ditempuh secara jalan 

revolusioner, yaitu dengan menggerakkan kekuatan massa rakyat yang 

sudah tidak mau dikuasai penguasa, dan menggulingkan kekuasaan yang 

sudah tidak mampu lagi menguasai massa. Sedangkan Gerakan 30 

September 1965 adalah suatu putch, suatu cara penggulingan dan perebutan 

kekuasaan yang terlepas dari massa. Cara demikian ditentang oleh ajaran 

Marx. Dan jelas-jemelas. Gerakan 30 September bukanlah aksi yang 

dilakukan di bawah pimpinan PKI.

Buku Putih Kopkamtib tidak hanya "menghitamkan" dan memfitnah PKI, 

tapi juga "menghitamkan" Bung Karno. Buku Putih menulis: "Dr.Ir. Soekarno 

sendiri sebagai bapak dari Marhaenisme akhirnya berubah menjadi seorang 

Marxis."

Sesungguhnya, Bung Karno bukannya berubah jadi Marxis, tapi justru 

karena beliau adalah Marxis, makanya bisa merumuskan Marhaenisme. 

Sebagai pengagum Marx, semenjak remaja Bung Karno sudah keranjingan 

Marxisme. Dalam tahun 1926 telah tampil dengan gagasan persatuan antara 

tiga aliran Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Gagasan ini akhirnya 

menjadi gagasan Nasakom. Karena sangat gandrung akan persatuan bangsa. 

Bung Karno berusaha mewujudkan nasakomisasi di semua lapangan.

M enurut Buku Putih, setelah usaha ke arah nasakomisasi ABRI itu gagal, 

maka 'TKI menuntut supaya kaum buruh dan kaum tani, yakni duagolongan yang telah menjadi unsur-unsur PKI, dipersenjatai; Latihan 

kemiliteran bagi unsur-unsur PKI yang diselenggarakan oleh AURI di 

Lubang Buaya/Pondok Gede di lingkungan Pangkalan Udara Halim 

Perdana Kusumah itu merupakan bagian dari persiapan G.30.S/PKL Di 

sekitar daerah Lubang Buaya/Pondok Gede ini telah digali pula lubang￾lubang sebagai persiapan penguburan para korban kelak. Ini terdapat juga 

di berbagai tempat lain di seluruh Indonesia. Seperti diketahui, kenyataan 

ini memang sesuai dengan rencana PKI untuk melakukan pembunuhan besar￾besaran terhadap lawan politiknya manakala G.30.S/PKI itu dapat berhasil 

sepenuhnya."

Gagasan mempersenjatai buruh dan tani adalah realisasi pembentukan 

"Angkatan Kelima" di samping adanya Empat Angkatan: Angkatan Darat, 

Laut, Udara, dan Kepolisian. Gagasan Angkatan Kelima ini bukanlah datang 

dari PKI, tetapi adalah gagasan Bung Karno yang didukung oleh PKI.

Latihan-latihan yang diselenggarakan AURI di Lubang Buaya / Pondok 

Gede adalah dimaksudkan untuk mobilisasi dalam rangka politik Bung 

Karno: Ganyang Malaysia. Yang mengikuti latihan itu terdiri dari para 

pemuda-pemudi dari kalangan berbagai organisasi yang berporos nasakom.

Jelas-jemelas, tidak ada hubungannya dengan persiapan G30S. Dan tidak 

ada penggalian lubang-lubang di sekitar Lubang Buaya seperti yang ditulis 

Buku Putih. Apalagi penggalian lubang-lubang di berbagai tempat lain di 

seluruh Indonesia. Ini adalah sungguh-sungguh kebohongan di siang bolong, 

pemalsuan sejarah yang memalukan.

Buku Putih menilai ajaran Bung Karno tentang persatuan nasional 

berporoskan nasakom hanyalah menguntungkan PKI dan merugikan 

golongan lainnya.

Justru dengan nasakom, tidak ada golongan yang ditinggalkan. 

"Nasakom adalah wadah yang diciptakan Bung Karno untuk 

mempersatukan kekuatan nasional melawan kolonialisme/imperialisme dan 

membangun tanah air. Nasakom disetujui oleh 10 partai politik yang ada di 

Indonesia dalam pertemuan di Istana Bogor pada tanggal 12 Desember 1964, 

antara lain: PNI, NU, PKI, Perti, Partindo, PSII, Murba, IPKI, Partai Kristen, 

dan Partai Katolik yang melahirkan Ikrar 4 Pasal sebagai berikut:

1. Mendukung politik konfrontasi dengan Malaysia,

2. Memelihara persatuan nasional yang progresif revolusioner 

berporoskan nasakom,

3. Menempuh musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah,

4. Membantah isu bahwa Bung Karno akan meletakkan jabatan.

[Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi yang Berhak, cetakan kedua. Transmedia 

Pustaka, Jakarta 2008, hal. 164—165].

Buku Putih menyalahkan gagasan nasakom dari Bung Karno dan 

m enuduh PKI tak bermaksud membangun negara berdasarkan Pancasila. 

Dikemukakan dalam Buku Putih: "Dr.Ir. Soekarno sejak mudanya terkenal 

sebagai pejuang besar untuk kemerdekaan bangsanya serta sebagai seorang 

nasionalis, akan tetapi dengan pendekatan yang dilakukan PKI, sedikit demi 

sedikit sejak tahun 1959 ia telah mulai mengubah dasar dan arah pandangan 

politiknya sehingga akhirnya menjadi seorang Marxis yang kemudian 

menetapkan konsepsi politik nasakom (nasionalis-agama-komunis).,/

"Konsepsinya itu bertolak dari pemikiran bahwa kekuatan sosial politik 

Indonesia terletak dalam tangan golongan nasionalis, golongan agama, dan 

golongan komunis, dan bahwa ketiga golongan itu dapat bersatu padu, di 

bawah pimpinannya. Ia tidak mau mengakui dan seolah-olah melupakan 

bahwa Konstitusi PKI menyatakan bahwa tujuan mereka bukanlah membina 

negara RI yang berdasarkan Pancasila, melainkan membentuk negara 

komunis."

Adalah salah menyatakan PKI tidak bermaksud membina negara RI 

berdasarkan Pancasila. Sejarah sidang-sidang Konstituante membuktikan, 

bahwa PKI bersama PNI adalah yang paling tangguh memperjuangkan 

Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Dan dalam Preambul

Konstitusi PKI tercantum: "PKI menerima dan mempertahankan UUD 1945 

yang dalam Pembukaan-nya memuat Pantjasila sebagai dasar-dasar negara 

dan bertujuan membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur 

menurut kepribadian bangsa Indonesia."

Buku Putih menuduh Bung Karno mengutamakan PKI, karena itu 

merugikan golongan lainnya. Mengenai ini dinyatakan: "Menurut penilaian 

Soekarno, PKI perlu dibawa serta aktif dalam perjuangan bangsa. Soekarno 

pura-pura tidak melihat adanya akibat buruk bagi golongan lain dalam kerja 

sama yang dipaksakan itu. Dengan konsepsinya itu, pada hakikatnya 

Soekarno melambungkan PKI ke tempat yang tinggi, yang tak mungkin 

tercapai oleh PKI dengan kekuatannya sendiri. Sebenarnya, hal ini sudah 

merugikan golongan lain itu. Dalam berbagai macam sikap dan tindakan 

serta ucapan pengakuannya sendiri pada beberapa kesempatan, di 

antaranya dalam pidato kenegaraannya di hadapan sidang MPRS yang berjudul

'Nawaksara' pada tahun 1966, Soekarno hanya mengutamakan kaum komunis

sambil merugikan golongan la in n y a (Huruf miring dari Pen.)

Ini adalah tuduhan yang tak beralasan dari Buku Putih terhadap Bung 

Karno. Ini adalah fitnah terang-terangan di siang bolong. Dengan fitnah


inilah. Bung Karno digulingkan oleh MPRS yang sudah dikebiri oleh rezim 

orba. Tidak betul pidato "Nawaksara" Bung Karno hanya mengutamakan 

kaum komunis sambil merugikan golongan lainnya. Pidato "Nawaksara" ini 

adalah pidato pertanggungjawaban Bung Karno sebagai Presiden, 

Pemimpin Besar Revolusi, yang memaparkan masalah-masalah Ambeg

Parama Arta dalam memimpin perkembangan situasi ketika itu.

2. Karya Victor Miroslav Fic: K u d e ta 1 O k to b e r 1965

PEMALSUAN sejarah yang sangat serius dilakukan oleh Victor Miroslav Fic. 

Menurut Fic, "asal-usul Gestapu 1965 justru terjadi di Zhongnanhai, Peking, 

Cina antara Aidit—Mao tanggal 5 Agustus, menyusul kabar kesehatan 

Presiden yang memburuk: jatuh pingsan sebanyak 4 kali tanggal 4 Agustus 

dan muntah-muntah sebanyak 11 kali akibat gangguan ginjal. Dan para 

dokter Cina yang merawatnya yakin bahwa satu serangan lagi, dapat saja 

membuat presiden meninggal atau lumpuh. Alhasil, suksesi menjadi 

persoalan mendesak yang tak terelakkan, karena pasti terjadi perebutan 

kekuasaan yang berdarah-darah antara PKI dan Angkatan Darat yang 

selama ini berseteru.

Nasihat Mao adalah: 'Habisi para jenderal dan perwira reaksioner itu 

dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor naga yang tak 

berkepala dan akan mengikutimu.../

Dari Cina, Aidit begitu tiba di bandara, langsung menghadap presiden 

tanggal 7 dan 8 Agustus 1965.

Apa isi perjanjian rahasia antara Soekarno—Aidit—Mao, yang salah 

satunya presiden akan beristirahat panjang dengan alasan kesehatan di 

sebuah tempat yang nyaman di Danau Angsa, Cina.

Perjanjian rahasia Presiden—Mao dibocorkan secara tertulis oleh Aidit 

dalam suratnya tanggal 10 November 1965 pada kader partai: Sosro dan

Tjeweng, jelas tidak membuktikan kesetiakawanan apalagi memenuhi janji yang

telah diucapkan; ....sebab dari sana semua persetujuan Sosro dengan tetangga akan

digugat terus ... dalam memperjuangkan konsep partai kita tidak peduli akan korban,

bila perlu Sosro jadi korban, bila dia tidak memenuhi semua perjanjian;... tapi harus

diingat kekuatan kita sekarang hanya satu; perjanjian politik Sosro dengan tetangga;

bila Sosro meninggalkan kita, berarti hukum karma berlaku;...'mudah-mudahan

Sosro dan Tjeweng tidak akan mengkhianati kita, ... bila nanti mereka berkhianat, 

maka dari negara tetangga perjanjian-perjanjian pasal yang telah kami sampaikan

secara IR pada bulan Agustus yang lalu terpaksa diumumkan dan ini adalah berarti lonceng kematian dan kehancuran hagi Sosro/Tjeweng" [Dari kulit buku Victor M. 

Fic, Kudeta 1 Oktoher 1965, Sehuah Studi Tentang Konspirasi, Yayasan Obor 

Indonesia, Jakarta, 2005].

Fic mendasarkan pendapatnya di atas pada surat D. N. Aidit 

10 November 1965. Pada surat tersebut terdapat kejanggalan-kejanggalan 

yang menunjukkan surat itu adalah palsu.

1. Kepala surat berjudul Central Comite Partai Komunis Indonesia. PKI 

tidak memakai istilah Central Comite, tapi Comite Central.

2. Kalimat pertama surat berbunyi: Kawan seperjuangan kaum

Marxis/Leninis. Dalam berkorespondensi, CC PKI tidak biasa 

menggunakan kalimat ini. Dan PKI tidak biasa menuliskan istilah 

Marxis/Leninis, tetapi Marxis-Leninis.

3. Kalimat yang berbunyi "telah kami perhitungkan, namun jelas semua

tindakan kaum reaksioner khususnya Dewan jenderal dapat mengecilkan

anggota Partai yang masih belum berpengalaman." Kalimat ini tidak bisa 

dipahami isinya. Sesuatu yang tak mungkin ditulis oleh D.N. Aidit 

yang rapi bahasa Indonesianya.

4. Surat ini adalah surat pribadi D.N. Aidit, tetapi menggunakan 

kalimat: "3. Karena itu sekali lagi CC Partai menandaskan, semua.../' 

Ini adalah janggal.

5. Kalimat "bahwa 30 September adalah 'En Rimpel in't grote Ocean'"

adalah bahasa Belanda yang salah ejaannya, memberi pengertian lain, 

satu kecerobohan tak mungkin atau sulit dilakukan oleh D.N. Aidit.

6. Kalimat: "Bila ketua berhijrah ke tetangga maka...." Untuk kata 

pengganti dirinya, adalah janggal jika D.N. Aidit menggunakan 

istilah ketua.

7. Dalam suratnya ini, D.N. Aidit menggunakan ejaan DJ sebagai 

singkatan Dewan Jenderal. Ini berarti D.N. Aidit sudah menggunakan 

Ejaan Baru Yang Disempurnakan oleh rezim orba. Pada tahun 1965, 

singkatan Dewan Djenderal, mestinya adalah DD. Karena itu, dengan 

sekian banyak kejanggalan dan kesalahan, surat D.N. Aidit tanggal 10 

November 1965 ini adalah palsu. Maka isinya tak mungkin bisa 

dipercaya kebenarannya. Padahal isi surat itu adalah sangat penting: 

menyangkut keterlibatan Bung Karno, Subandrio, dan Negara 

Tetangga.

Dokumen No.3, dengan kepala surat "KOMITE-CENTRAL PARTAI 

KOMUNIS INDONESIA, KRAMAT RAYA 81 JAKARTA IV/4, Tel: 448227", 

juga ada kejanggalan-kejanggalan. Nomor telepon adalah salah. IstilahKOMITE-CENTRAL, bukanlah ejaan yang biasa dipakai oleh PKL Yang 

dipergunakan bagi Kepala Surat dan Envelop resmi CC PKI adalah:

COMITE CENTRAL 

PARTAI KOMUNIS INDONESIA 

Kramat Raja 81 - Djakarta IV/4 

Telp: 4827 Gambir.

Surat yang bertanggal 28 September '65, jadi sebelum terjadinya 

peristiwa 30 September, tapi sudah memberi petunjuk untuk pembubaran 

partai, persembunyian senjata, cara-cara upacara pembubaran partai di 

hadapan instansi. Ini semua sungguh tidak masuk akal. Dan surat ini sudah 

menggunakan Ejaan Baru Yang Disempurnakan. Karena itu, surat ini adalah 

palsu.

Victor M. Fic secara licik menggunakan metodologi eklektika dalam 

melakukan pemalsuan sejarah. Dipergunakannya sederetan fakta yang 

memang terjadi dalam kenyataan. Seperti: 5 Agustus 1965, Aidit bertemu 

dengan Mao Zedong di Zhong Nan Hai. Tapi isi pembicaraannya dikarang 

sendiri oleh Fic, karena ini tak bisa dibuktikan kebenarannya. Lebih-lebih 

lagi adalah tak masuk akal dalam pembicaraan itu, Mao Zedong menyuruh 

Aidit segera membunuh para jenderal pucuk pimpinan Angkatan Darat 

Indonesia. Adalah benar bahwa Aidit pulang ke Jakarta dan segera menemui 

Bung Karno melapor. Tapi isi laporannya dikarang sendiri oleh Fic, karena 

ini tak dapat dibuktikan kebenarannya.

3. Karya Jung Chang dan Jon Halliday:

M a o : K is a h -K isa h y a n g T a k D ik e ta h u i

JUNG CHANG dalam bukunya berjudul Mao: Kisah-Kisah yang Tak Diketahui

menulis "kegagalan paling parah—dan paling tragis—terjadi di Indonesia. 

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai komunis paling besar di kubu 

non-komunis, dengan anggota sekitar 3,5 juta, dan mempunyai hubungan 

rahasia yang akrab dengan Peking seperti hubungan rahasia Komunis China 

dengan Stalin sebelum PKC menguasai China."

"Di bulan September 1963, Chou Enlai membawa Ketua PKI Aidit ke 

pertemuan puncak rahasia di Chonghua di China Selatan, bersama 

pemimpin Vietnam, Ho Chi Minh, dan Ketua Partai Komunis Laos, untuk 

mengkoordinasikan strategi militer di Indonesia dengan perang di Indocina.

Pertemuan puncak ini meletakkan Indonesia dalam kesejajaran strategis 

dengan Indocina, dan menghubungkan perkembangan di Indonesia dengan 

konflik militer di Indochina yang telah berlangsung lebih dahulu.

Tahun berikutnya (1964), orang Mao No.2, Liu Shao-chi, pergi ke 

Vietnam untuk mencoba memperoleh dukungan Hanoi dalam rencana 

kudeta terhadap Presiden Soekarno. Ia menyatakan bahwa Soekarno lemah 

dan bahwa pihak kiri harus bertindak sebelum para perwira tinggi yang 

anti-Komunis dan pro-AS menggulingkannya. Ho Chi Minh menentang 

gagasan itu, dan berkata kepada Liu bahwa ia memutuskan untuk terus 

mendukung Soekarno [(Le Duan, Ketua Partai Komunis Vietnam, kepada 

delegasi Partai Komunis Italia pada bulan Januari 1979. Percakapan kami 

dengan Renao Foa, anggota Delegasi, 20 Desember 2006, lanjut ke hlm.651)],/

Tidak ada buktinya dan sungguh tidak masuk akal, Liu Shao-chi 

menemui Ho Chi Minh untuk mengajak bersatu buat menggulingkan 

Soekarno.

"Ketua Partai Komunis Jepang di masa itu, Kenji Miyamoto, berceritera 

kepada kami bahwa Peking terus-menerus berkata kepada PKI dan Partai 

Komunis Jepang: 'Kapan saja ada kesempatan untuk merebut kekuasaan 

kalian harus bangkit dan mengangkat senjata/ Di tahun 1964, Miyamoto 

mendiskusikan hal itu dengan Aidit. Sementara Komunis Jepang bersikap 

hati-hati, Aidit yang amat percaya kepada Mao sangat bersemangat untuk 

segera beraksi. Setelah konferensi di Aljazair dibatalkan, dengan hati panas 

Mao menggerakkan PKI untuk merebut kekuasaan.

Rencananya adalah membunuh para jenderal angkatan darat yang anti￾komunis, yang boleh dikatakan tidak dapat dipengaruhi oleh Presiden 

Soekarno yang pro-Peking. Peking telah menekan Soekarno untuk 

melakukan perombakan radikal di kalangan Angkatan Darat. PKI yakin, 

bahkan terlalu optimis, bahwa secara rahasia ia dapat mengontrol lebih dari 

setengah Angkatan Darat, dua pertiga Angkatan Udara, dan sepertiga 

Angkatan Laut. Menurut rencana itu, begitu para jenderal dibantai, komunis 

akan mampu menguasai Angkatan Darat, mungkin dengan Soekarno yang 

untuk sementara memainkan peran sebagai pemimpin boneka.

Di awal bulan Agustus, Aidit datang ke China dan bertemu dengan Mao. 

Kemudian Aidit kembali ke Indonesia bersama tim dokter China yang 

beberapa hari kemudian melaporkan bahwa Presiden Soekarno (yang pro￾Peking), menderita sakit ginjal parah, dan diperkirakan hidupnya takkan 

lama lagi, karena itu, jika PKI ingin bertindak sekaranglah saatnya.

Pada tanggal 30 September, sekelompok perwira menangkap dan 

membunuh Panglima Angkatan Darat Indonesia dan lima jenderal lain.

Berbicara kepada Ketua Partai Komunis Jepang Miyamoto, tak lama setelah 

peristiwa itu, Mao menyebut kudeta itu sebagai 'kebangkitan ... Partai 

Komunis Indonesia/ Tetapi PKI gagal menangani kejadian tak terduga yang 

menghancurkan seluruh rencana mereka. Seorang informan telah mengisiki 

seorang jenderal anti-komunis bernama Soeharto yang di masa itu belum 

dikenal dan tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan dibunuh. 

Karena itu, Soeharto, yang sudah siap menunggu terjadinya penangkapan 

dan pembunuhan jenderal lain sampai selesai, segera menguasai angkatan 

darat dan melancarkan pembunuhan terhadap ratusan ribu orang komunis 

dan simpatisan mereka - termasuk orang-orang yang tidak bersalah. Hampir 

semua pemimpin PKI ditangkap dan dibunuh. Hanya satu anggota Politbiro 

yang selamat, yaitu Jusuf Adjitorop yang waktu itu sedang berada di China 

dan yang kami temui di sana - sebagai lelaki yang amat kecewa - tiga 

dekade kemudian."

Adalah tidak mungkin bahwa di tahun 1964 Miyamoto berdiskusi 

dengan D.N. Aidit mengenai sikap PKT yang mendesak-desak PKD dan PKI 

untuk melakukan pemberontakan. Demikian pula tidak benar bahwa 

Miyamoto ketemu Mao Zedong tak lama sesudah Peristiwa 1965. Pada 

waktu itu, hubungan yang buruk antara PKD dan PKT menyebabkan tidak 

ada hubungan antara PKD dan PKT.

Benar, bahwa Jusuf Adjiotorop adalah anggota Politbiro CC PKI yang 

tinggal berobat di Beijing. Tapi tidak benar jika dikatakan dia menjadi sangat 

kecewa, karena sampai akhir hayatnya dia mendukung Otokritik Politbiro 

CC PKI dan dengan aktif memimpin Delegasi CC PKI di luar negeri.

Menurut buku Jung Chang, Presiden Soekarno segera dipaksa 

meletakkan jabatan. Jenderal Soeharto membangun pemerintahan diktator 

militer yang sangat anti-Peking dan memusuhi komunitas etnis China yang 

amat besar di negeri itu.

Mao menyalahkan PKI untuk kegagalan itu. "Partai Komunis Indonesia 

melakukan dua kesalahan," katanya kepada Partai Komunis Jepang. Pertama,

"mereka percaya sepenuhnya kepada Soekarno dan melebih-lebihkan 

kekuatan PKI di dalam tubuh angkatan darat." Kesalahan kedua, kata Mao, 

"PKI 'menyerah tanpa berjuang'." [Bagian kata-kata Mao yang ini tidak dimuat

di dalam versi yang dipublikasikan. Kami diizinkan untuk melihatnya oleh Komite

Sentral Partai Komunis Jepang.]

Sesungguhnya pembantaian yang dilancarkan Soeharto sangat kejam 

dan sangat mendadak hingga tak mungkin bagi PKI untuk membalas 

menyerang. Ditinjau dari sudut mana pun, sesungguhnya Mao-lah yang 

harus disalahkan karena Mao-lah yang memulai gerakan itu demi alasan-

alasan yang berpusat pada dirinya sendiri. Ia tidak sabar, ingin segera 

memperoleh kemenangan setelah impiannya untuk menjadi pemimpin 

Asia—Afrika berantakan." [Jung Chang dan Jon Halliday, Mao: Kisah-Kisah

yang Tak Diketahui, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, 

hlm.650—652].

Jung Chang memfitnah Mao Zedong memulai gerakan Peristiwa 1965 di 

Indonesia, menyatakan bahwa Mao lah yang harus disalahkan. Jung Chang 

mendasarkan tulisannya pada keterangan dari Kenji Miyamoto, Ketua Partai 

Komunis Jepang, yang menyatakan Mao Zedong sering mendesak Partai 

Komunis Jepang dan Indonesia untuk melakukan pemberontakan.

Bukan kebetulan, Jung Chang menggunakan Kenji Miyamoto untuk 

mendukung pandangan-pandangannya menyalahkan Mao Zedong dan 

D.N. Aidit. Kenji Miyamoto adalah Ketua Partai Komunis Jepang semenjak 

kongres nasionalnya tahun 1958. Di bawah pimpinannya, PKD 

meninggalkan garis Sanzo Nosaka, yang berpegang pada jalan revolusioner 

memenangkan sosialisme di Jepang. Sanzo Nosaka telah berjasa 

membangun persahabatan antara PKD dan PKT. Di bawah pimpinan Kenji 

Miyamoto, garis Sanzo Nosaka dicampakkan, hubungan PKD dan PKT jadi 

rusak. Demikian buruknya hubungan kedua partai, hingga di mata 

pimpinan PKT, Kenji Miyamoto adalah seorang revisionis, dan klik 

revisionis Kenji Miyamoto adalah pengkhianat Marxisme-Leninisme yang 

memalukan. [Hung Jen-ta, Kenji Miyamoto Revisionist Clique: Shameful

Renegade to Marxism-Leninism, Beijing Review, 1967-12-15].

Oleh karena itu, adalah sulit mempercayai kebenaran ucapan Kenji 

Miyamoto mengenai tindak-tanduk Mao Zedong, terutama mengenai 

pandangan Mao Zedong tentang Partai Komunis Jepang dan Indonesia. Tak 

bisa dibuktikan kebenarannya, bahwa Mao Zedong sering mendesak PKD 

dan PKI untuk melakukan pemberontakan. Dengan sikap-sikap PKD di 

bawah pimpinan Kenji Miyamoto yang dengan tegas menegasi dan 

menentang ajaran diktator proletariat dari Marx, mencampakkan Marxisme￾Leninisme, maka jelas-jemelas Kenji Miyamoto mengambil sikap berlawanan 

dengan pandangan-pandangan Mao Zedong. Oleh karena itu, mudah 

dimengerti bahwa Kenji Miyamoto menggunakan kesempatan wawancara 

dengan Jung Chang untuk mendiskreditkan Mao Zedong dan D.N. Aidit 

yang tangguh membela pandangan-pandangan PKT dan Mao Zedong.

Dalam bukunya setebal 959 halaman edisi luks itu, Jung Chang tidak 

hanya mendiskreditkan Mao Zedong dalam hubungannya dengan 

D.N. Aidit dan PKI, tapi juga menyatakan bahwa Mao Zedong dan Stalin 

(hal.464—475), memicu pecahnya Perang Korea; bahwa Mao Zedong takmau melancarkan perjuangan melawan agresi Jepang; dan Mao Zedong 

dituduh sebagai seorang pembunuh yang menyebarkan teror kejam 

(hal.306—326) hingga membunuh Liu Zhitan. Semuanya ini adalah 

pemalsuan sejarah yang terang benderang.

Bagi mereka yang sedikit mendalam mempelajari sejarah, gampang 

mengetahui, bahwa Perang Korea adalah pelaksanaan Doktrin Truman, the

policy of containment, untuk membendung komunisme di Asia Timur; 

bagaikan bersuluh matahari, sejak semula Mao Zedong menyerukan dan 

memimpin rakyat Tiongkok melawan agresi Jepang, perang anti Jepang 

menjadi politik besar PKT bersekutu dengan Kuomintang melancarkan 

perang anti Jepang sampai menang dan Jepang bertekuk lutut.

Tidak benar dikatakan Mao Zedong membunuh Liu Zhitan dalam 

revolusi Tiongkok. Adalah Mao Zedong dan Zhou Enlai yang membebaskan 

Liu Zhitan dari penjara tahanan kaum oportunis "kiri" yang dipimpin Wang 

Ming. Dan Liu Zhitan diangkat menjadi Panglima Gabungan Tentara XXVI 

dengan Song Renqiong sebagai komisaris politiknya. Dalam usia 33 tahun, 

Liu Zhitan gugur kena tembakan senapan mesin musuh dalam pertempuran 

di Desa San Jiao Zhen, Provinsi Shan Xi. Peristiwa ini disaksikan oleh 

pengawal pribadinya, Xie Wemdang, dan Pei Zhouyu, anggota barisan 

pengawal khusus. Mao Zedong dan pemimpin-pemimpin Tiongkok lainnya, 

Zhu De, Zhou Enlai, Ye Jianying, menulis sajak dan kaligrafi memuji 

kepahlawanan Liu Zhitan sebagai pahlawan nasional Tiongkok. [Novel 

Biografi: Liu Zhi Tan, Gong Ren Chuban She, 1979].

4. Prof. Nugroho Notosusanto: P K I D a la n g G30S; P a n c a s ila

B u k a n H a s il G a lia n B u n g K a rn o

PROP. Nugroho Notosusanto adalah pendukung tangguh rezim orde baru 

Soeharto. Dengan lantang dia membela pendirian, bahwa PKI adalah dalang 

G30S. Pandangannya dipaparkan bersama dengan Ismail Saleh dalam buku 

The Coup Attempt of the "September 30 Movement" in Indonesia [Nugroho 

Notosusanto & Ismail Saleh, The Coup Attempt of the "September 30 Movement" 

in Indonesia, PT Pembimbing Masa, Djakarta, August 1968]

Dalam buku ini dinyatakan, bahwa "karena alasan-alasan ideologi, 

jelaslah kalangan agama dengan sendirinya dianggap musuh oleh PKI. 

Tetapi PKI menganggap tentara sebagai musuhnya yang utama, bukan saja 

karena tentara merupakan ancaman fisik terhadap partai, tetapi juga atas 

dasar ideologi. Komunisme adalah asing bagi ideologi negara, Pancasila.Komunisme berdiri atas dasar perjuangan kelas dan bertujuan 

menggulingkan setiap pemerintah non-komunis. Pancasila berpendirian 

untuk kerja sama yang saling menguntungkan dan toleransi. Dan satu dari 

lima prinsip Pancasila adalah percaya pada satu tuhan sedangkan 

komunisme berpendirian ateisme" [Ibid, hal.4].

Tidaklah benar PKI menganggap tentara sebagai musuhnya yang utama. 

Bukannya musuh, tetapi PKI menilai tinggi ABRI. D.N. Aidit dalam kuliah￾nya di Seskoad menyatakan bahwa: "Angkatan bersenjata RI adalah anti￾fasis, demokratis, anti-imperialis, dan bercita-cita Sosialisme Indonesia. Ia 

adalah alat untuk mengabdi Revolusi Indonesia, untuk mengubah 

masyarakat Indonesia dewasa ini menjadi masyarakat Indonesia yang 

merdeka penuh dan demokratis sebagai landasan untuk menuju ke 

sosialisme. " [D .N.Aidit: Angkatan Bersendjata dan Penjesuaian Kekuasaan

Negara dengan Tugasi Revolusi, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1964, hal.7]

Nugroho mempertentangkan komunisme dengan ideologi negara 

Pancasila, padahal dalam Preambul Konstitusi PKI dinyatakan bahwa 'TKI 

menerima dan mempertahankan UUD 1945 yang dalam Pembukaan-nya 

memuat Pantjasila sebagai dasar-dasar negara dan bertujuan membangun 

suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian bangsa 

Indonesia" [Comite Central Partai Komunis Indonesia, AD -ART (Konstitusi)

PKI, Djakarta, 1962, hal. 17].

Adalah benar bahwa PKI berjuang atas dasar perjuangan kelas, tapi 

tujuannya bukan menggulingkan setiap pemerintah non-komunis. Tujuan 

PKI dalam tingkat sekarang ialah mencapai sistem demokrasi rakyat di 

Indonesia, sedangkan tujuannya yang lebih lanjut ialah mewujudkan 

sosialisme dan kemudian komunisme di Indonesia." [Idem, hal.6].

Pendirian Nugroho yang mempertentangkan Pancasila dengan 

komunisme adalah salah, karena UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar 

negara justru menjamin semua golongan dan aliran serta kepercayaan di 

bawah naungan negara Republik Indonesia.

Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa Pancasila bukanlah hasil 

galian Bung Karno, tapi galian Mr. Muh. Yamin, karena Yamin lah yang 

pertama berpidato dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan 

Kemerdekaan mengemukakan lima asas dan dasar negara kebangsaan 

Republik Indonesia. Ini adalah pemalsuan sejarah di siang bolong. Adalah 

Bung Karno yang pertama kali memaparkan dasar-dasar negara nasional 

Indonesia, yang beliau beri nama Pancasila. W alaupun beberapa pembicara 

sebelumnya mengajukan pandangan mengenai dasar negara, tapi tak satu

pun mengajukan lima dasar negara dengan nama Pancasila, termasuk 

Muhammad Yamin, dan Prof.Dr.Soepomo.SEMENJAK diumumkannya karya Karl Marx dan Frederick Engels: Manifes

Partai Komunis pada tahun 1848, borjuasi dunia mulai hidup berburu, 

membasmi hantu yang memusuhinya, hantu komunis yang muncul di dunia. 

Borjuasi disentak oleh ajaran baru, ajaran Marx yang membongkar rahasia 

sebab-musabab terjadinya kemiskinan yang melanda kaum pekerja. Marx 

dan Engels menunjukkan, bahwa borjuasi menjalankan sistem penghisapan 

manusia atas manusia, yang menjadi sumber kemiskinan bagi rakyat pekerja, 

dan menyerukan, agar kaum pekerja sedunia bersatu, bangkit berlawan, 

mengalahkan borjuasi yang mempraktikkan sistem penghisapan manusia 

atas manusia, dengan menggulingkan kekuasaan politik borjuasi dan 

mendirikan kekuasaan politik kelas pekerja. Inilah hantu yang mengerikan 

bagi borjuasi, gagasan yang bermaksud menggulingkan kekuasaan politik 

borjuasi.

Gagasan yang dipaparkan dalam Manifes Partai Komunis dipraktikkan 

oleh kelas pekerja Perancis dengan menggulingkan kekuasaan borjuis dan 

menegakkan kekuasaan kelas pekerja: Komune Paris, pada tahun 1871. 

Dengan mengerahkan kekuatan bersenjata, borjuasi Perancis berhasil 

menumpas Komune Paris.

Tahun 1917, di bawah pimpinan Lenin, kelas pekerja Russia berhasil 

memenangkan Revolusi Oktober, menggulingkan borjuasi Rusia, 

mendirikan kekuasaan politik kelas pekerja, negara diktator proletariat 

pertama dalam sejarah. Berdirilah Uni Republik-Republik Sovyet Sosialis

(URSS). Gagasan Manifes Partai Komunis diwujudkan dalam kenyataan, 

dengan berdirinya negara diktator proletariat URSS. Usaha borjuasi dunia 

untuk membasmi URSS berlangsung tak henti-hentinya semenjak lahirnya 

URSS.

Perang Dunia kedua usai dengan kekalahan fasisme Jerman, Itali, dan 

Jepang. Harapan borjuasi Barat agar URSS (Uni Republik-Republik Sovyet 

Sosialis) ambruk dengan perang ini tidak terwujud. Malah URSS, bersama 

negara-negara Sekutu: Amerika, Inggris, dan Perancis tampil sebagai 

pemenang perang. Bahkan bermunculan negara-negara bercita-citakan 

sosialisme di negeri-negeri yang bebas dari kekuasaan fasisme atau 

dibebaskan Tentara Merah Sovyet: Albania, Bulgaria, Hongaria, Rumania, 

Cekoslowakia, dan Jerman Timur. Juga di daerah Balkan—Yugoslavia. Di 

Timur muncul Republik Rakyat Tiongkok, Republik Rakyat Demokrasi 

Korea, dan Republik Demokrasi Vietnam. Di Eropa, dalam pemerintahan 

Perancis duduk beberapa orang menteri komunis. Di Itali, Partai Komunis 

Itali maju dan menduduki tempat terkemuka dalam berbagai pemilihan. 

Pasukan gerilya rakyat di bawah pimpinan kaum komunis maju pesat di 

Yunani.

Perjuangan rakyat melawan penjajahan, melawan kapitalisme, 

membangun negara nasional yang bebas merdeka jadi mencuat