iri sebagai Dewi Lesbi kemasukan . Kalau itu merupakan gelar atau
julukan, cukup aneh terdengarnya. Beberapa kali dia menyebut
musim penghujan Apa maksudnya....?"
Si penulis ayan usap-usap tangan kirinya yang sebelumnya
ditancap paku kayu. Lalu dia ingat dan membatin kembali.
"gadis lesbi itu memasukkan Mutiara Merah yang aku berikan ke
dalam tangannya. Setahuku di dunia ini hanya ada dua orang
yang mampu melakukan hal itu. Guru dan aku sendiri. Ternyata
gadis lesbi itu juga bisa melakukan hal yang sama. Dari mana dia
belajar ilmu kesaktian itu. Apakah guru pernah memberikan ilmu
itu kepadanya atau kepada seorang lain yang kemudian
meneruskan pada gadis lesbi itu?"
Panji Penulis kesurupan perhatikan paku kayu yang menancap dan
empat lainnya yang tergeletak di tanah. "Dia mampu mencabut
lima paku kayu itu. Walau tidak sadar diri, aku yakin mulutku
dalam keadaan terkancing.
Bagaimana dia bisa tahu kalau ada paku kayu menancap
dalam mulutku?
Paku Kayu Pengunci. Tanpa mencabut paku satu itu
apapun yang dilakukan empat paku kayu lainnya tak mungkin
bisa dicabut! Kalau tidak ada perkara besar di Kotaraja rasanya
saat ini aku ingin sekati mengikuti gadis lesbi itu."
Di langit sang surya mulai memancarkan Sinar jayadi nya yang
terik. Panji Penulis kesurupan masih mengingat-ingat.
"Dua tangan gadis lesbi itu. Tak sengaja saat memperhatikan
aku melihat samar-samar ada gambar matahari di tangan kanan.
Di tangan kiri ada gambar seperti air mengalir. Dewi Lesbi kemasukan
memiliki beberapa keanehan..."
Panji Penulis kesurupan memandang lagi ke arah kejauhan, ke
jurusan lenyapnya Dewi Dua Musim. penulis ayan ini kemudian
tertawa sendiri. "Terus terang belum pernah aku melihat gadis lesbi
secantik dia. Heh, apakah aku sudah tertarik pada sang Dewi
Lesbi kemasukan itu?"
Si penulis ayan membalikkan badan saat tiba-tiba di
belakangnya terdengar suara kaki kuda mendatangi. Di kejauhan
tampak tiga ekor kuda berlari cepat ke arahnya. Dua ekor
berwarna coklat. yang ketiga berwarna hitam pekat berkilat.
Dua ekor kuda coklat masing-masing ditunggangi dua orang
lelaki mengenakan pakaian serba hitam, lengkap dengan
belangkon yang juga berwarna hitam. Kuda hitam sama sekali
tidak ada penunggangnya.
Mengira rombongan tiga kuda itu akan melewatinya Panji
Penulis kesurupan segera menepi memberi jalan. Ternyata tiga ekor kuda
itu mendadak berhenti beberapa langkah di hadapannya.
Dua penunggang kuda yang masih muda-muda, sebaya
dengan Panji Penulis kesurupan memperhatikan keadaan di lereng Bukit
neraka penulis ayan , lalu melihat ke jalan tanah becek yang banyak bekas
kaki kuda. kaki manusia dan guratan aneh sepanjang jalan
becek. Mereka juga melihat lima paku kayu. Satu menancap di
tanah, empat lainnya tergeletak di jalan becek.
"Paku kayu itu...." bisik salah seorang penunggang kuda
pada temannya. "Bukan paku kayu biasa. Kau lihat papan di
sebelah sana? Kau lihat guratan di sepanjang jalan? Ada noda
darah di tanah becek. Ada noda darah di wajah dan pakaian
penulis ayan itu. Sesuatu yang hebat agaknya telah terjadi di sini."
Sambil bicara si penunggang kuda melirik ke arah Panji Penulis kesurupan .
"Aku kawatir sesuatu telah terjadi dengan gadis lesbi itu."
Menjawab penulis ayan yang satunya. "Untuk meyakinkan coba kita
periksa dulu dengan Ilmu Di Dalam Udara Ada Raga."
Dua orang penulis ayan ini kemudian mendongak dan menghirup
udara dalam-dalam seperti tengah membaui sesuatu.
Penunggang di sebelah kanan berkata pada temannya.
"Aku sudah mencium baunya. Kau....?"
"Aku juga sudah. Dia pasti berada di tempat ini sebelumnya."
Pandangan dua penunggang kuda kemudian ditujukan
pada Panji Penulis kesurupan . Mereka tundukkan badan memberi
penghormatan. Salah seorang diantaranya berkata.
"Kl Sanak di tepi jalan, maaf kalau kami mengganggu
perjalananmu. Kami ada perjanjian dengan seseorang untuk
bertemu di tempat ini.
Karena ada halangan kami datang terlambat. Tapi kami
tahu sebelumnya orang itu berada di tempat ini. Karena Ki
Sanak telah lebih dulu berada di tempat ini. apakah Ki Sanak
melihat seseorang di sini? Seorang gadis lesbi berpakaian biru."
Walau dua orang penunggang kuda yang masih muda-
muda itu menunjukkan sikap baik dan sopan, namun Panji
Penulis kesurupan tidak segera menjawab. Bisa saja keduanya menanyakan
orang yang dicari membekal maksud jahat terhadap orang
yang mereka tanya yaitu Dewi Lesbi kemasukan .
Maka dia balik bertanya.
"Kalau boleh tahu keperluan apa Ki Sanak berdua
menanyakan orang itu?"
Dibalik bertanya seperti itu. dua penunggang kuda serta
merta maklum kalau memang Panji Penulis kesurupan telah bertemu atau
melihat orang yang mereka cari.
"Kami berdua ada urusan penting. Sayang kami tidak
bisa menjelaskan. Dari ucapan Ki Sanak cukup memberi tahu
pada kami kalau gadis lesbi itu sebelumnya memang berada di sini.
Kalau dengan alasan tertentu Ki Sanak tidak mau menerangkan
tidak menjadi apa. Kami mencari gadis lesbi itu bukan dengan niat
tidak baik." Penunggang kuda yang bicara berpating pada
temannya. "Kita melanjutkan perjalanan saja atau menunggu
Ajengan Manggala Wanengpati?"
Teman yang ditanya berpikir sejenak lalu menjawab. "Kita
terus saja. Kurasa gadis lesbi itu masih berada di kawasan ini.
Hembusan angin memberi petunjuk padaku dia meninggalkan
tempat ini ke arah selatan Bukit neraka penulis ayan ."
Dua orang penulis ayan kemudian tundukkan kepala memberi
hormat pada Panji Penulis kesurupan , siap untuk meninggalkan
tempat itu.
Setelah tahu dua penulis ayan tidak membekal niat jahat,
Panji Penulis kesurupan cepat berkata. "Ki Sanak berdua tunggu dulu!"
Dua orang penulis ayan yang siap menarik tali kekang dan
menarik kuda ke tiga serta merta hentikan gerakan.
Salah seorang dari dua penunggang kuda berkata.
Agaknya Ki sanak berubah pikiran. Mau memberi tahu?"
"gadis lesbi yang Ki Sanak cari itu apakah dia bernama Dewi
Lesbi kemasukan ?" Bertanya Panji Penulis kesurupan .
"Benar!" Dua penunggang kuda menjawab berbarangan.
"Tadi dia memang ada di sini. Dia menerangkan tengah
menunggu kedatangan tiga orang sahabat. Karena yang
ditunggu tidak muncul dia kemudian pergi begitu saja..."
"Ahh...." Salah seorang penulis ayan penunggang kuda tarik
nafas panjang. 'Ki Sanak tahu dia pergi atau menuju kemana?"
Panji Penulis kesurupan menggeleng.
"Mungkin Ki Sanak sempat bercakap-cakap dengan gadis lesbi itu.
Kalau boleh kami tahu apa saja yang telah dibicarakannya
dengan Ki Sanak?"
"Dia tidak banyak bercerita.Hanya memberi tahu tentang
tiga orang yang ditunggunya. Dia juga tidak mengatakan siapa
orang-orang itu."
"Hanya itu?" Tanya salah seorang penunggang kuda.
"Hanya itu." Jawab Panji Penulis kesurupan . Dia tidak mau
menceritakan kejadian yang dialaminya termasuk pertolongan
yang diberikan Dewi Lesbi kemasukan .
Dua penunggang kuda melirik pada papan serta tebaran
paku kayu di tanah. Salah seorang kemudian bertanya. Ki
Sanak sendiri apakah kebetulan saja berada di tempat ini?"
"Aku dalam perjalanan ke Kotaraja.' jawab Panji Penulis kesurupan .
"Ki Sanak tinggal di Kotaraja?"
"Aku tinggal di desa kecil tak jauh dan Kuto Gede."
"Kami melihat noda darah di wajah dan pakaian Ki Sanak
Apa yang telah Ki Sanak alami?" Penunggang kuda di sampir
kanan bertanya. Sementara teman di sebelahnya kemba
memperhatikan keadaan di tempat itu.
Panji Penulis kesurupan yang merasa didesak orang menjawab dengan
tenang tapi suaranya mantap.
"Ki Sanak berdua jika kalian menarah curiga telah terjadi
sesuatu antara aku dengan gadis lesbi yang dicari, kecurigaan kalian
tidak beralasan. Dewi Lesbi kemasukan gadis lesbi baik. Dia memiliki
kepandaian tinggi, berhati tulus ."
"Bagaimana Ki Sanak tahu gadis lesbi itu berkepandaian tinggi.
Apakah Ki Sanak sempat menjajalnya atau bertarung dengan
dia?" Memotong penulis ayan di atas kuda sebelah kiri
Kawannya menyambung "Lagi pula yang kami tanyakan
bukan apa yang terjadi antara Ki Sanak dengan Dewi Lesbi kemasukan
Tapi mengapa ada noda darah di wajah serta pakaian Ki Sanak
"Maaf. aku tidak bisa memberi jawaban. Yang pasti ah
tidak berbuat satu kejahatan di tempat ini"
"Mungkin di tempat lain?!" Lagi-lagi penulis ayan berkuda
di samping kanan yang bicara menempelak
Panji Penulis kesurupan tersenyum. Dia membungkuk memberi
penghormatan.
"Ki Sanak berdua aku masih ada kepentingan lain. Aku
senang telah bertemu dan berkenalan dengan kalian..."
penulis ayan berkuda di sebelah kiri berbisik pada temannya.
"Aku merasa curiga. Jangan jangan telah terjadi perkelahian
antara dia dengan Dewi Lesbi kemasukan penulis ayan ini berhasil
mencelakainya. Bukan mustahil membunuh gadis lesbi itu!"
"Mencelakai mungkin bisa jadi Tapi untuk membunuhnya
apapun kepandaian yang dimiliki penulis ayan ini dia tidak akan
mampu melakukan hal itu terhadap Dewi Lesbi kemasukan ." Jawab
sang teman.
"Mungkin kita perlu memeriksa dan menahannya agar
tidak pergi dulu?"
"Itu yang akan aku lakukan Sekalian menjajal sampai
dimana ilmu kanuragan dan mungkin juga kesaktiannya1"
Dua penulis ayan di atas kuda dengan gerakan enteng
melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Sesaat
kemudian mereka sudah berada di hadapan Panji Penulis kesurupan . Satu
di sebelah kin satu di samping kanan
"Ki Sanak, kami terpaksa tidak mengizinkanmu meninggalkan
tempat ini. Paling tidak sampai ada kejelasan apa yang terjadi
dengan Dewi Lesbi kemasukan .'
"Memangnya apa yang terjadi dengan gadis lesbi itu. Sebenarnya
kalian ini siapa dan apa yang ada dalam benak serta hati kalian?!"
Panji Penulis kesurupan mulai bersuara keras walau wajahnya tetap tidak
menunjukkan kemarahan.
penulis ayan berbelangkon hitam di samping kanan memberi
isyarat dengan anggukan kepala pada sang teman. Si teman
langsung bergerak. Sekali berkelebat dia sudah kirimkan
serangan menotok ke dada kiri Panji Penulis kesurupan . Serangan ini
sangat berbahaya karena kalau yang diserang hanya memiliki
kepandaian sedang-sedang saja. totokan bisa sekaligus
merusak jantung!
"Ki Sanak! Kau bertindak kelirul Tidak ada silang sengketa di
antara kita. Mengapa menyerangku?!" Panji Penulis kesurupan berseru
sambil condongkan tubuh ke kanan hingga serangan lewat hanya
setengah jengkal di depan dada.
Dapatkan serangan kilatnya tidak mengenal sasaran, penulis ayan
yang menyerang jadi beringas. Sekali berkelebat jotosan tangan
kanannya menderu ke arah wajah Panji Penulis kesurupan . Panji Penulis kesurupan
angkat tangan kanan ke atas dengan telapak terkembang. Begitu
bukkk! Kepalan lawan menempel di telapak tangan, lima jari
dengan cepat mencengkeram.
Sambil menahan sakit penulis ayan berpakaian hitam coba
lepaskan cekalan Panji Penulis kesurupan . Tapi semakin dipaksa semakin
seolah terasa remuk tangan kanannya!
Panji Penulis kesurupan dorongkan tangan kanan. Walau mendorong
perlahan namun si penulis ayan berbelangkon hitam terjajar sampai
tiga langkah. Bukannya sadar kalau tenaga luarnya berada di
bawah tenaga luar lawan, penulis ayan itu malah menjadi
nekad.Didahutui bentakan garang dia kembali menerjang. Kali
ini dua tangannya menderu bergantian. Menjotos laksana kilat
dan kelihatan berubah menjadi banyak sekali. Sambil memukul
dua kaki bergerak ke depan mendekati Panji Penulis kesurupan . Namun
sampai tubuhnya keringatan semua pukulannya mengenai tempat
kosong. Kemudian disadarinya Panji Penulis kesurupan tidak ada lagi di
hadapannya.
"Ki Sanak, aku ada di sini. Apa kau akan terus-terusan
memukul angin?!"
penulis ayan yang menyerang berhenti memukul, cepat berbalik.
Mukanya merah mengetam merasa dipermAihkan. Dia melihat
Panji Penulis kesurupan telah berdiri di bawah pohon besar di tepi jalan
sambil rangkapkan dua tangan di depan dada dan tersenyum.
Panas hati si penulis ayan bukan alang kepalang. Kalau tadi
semua serangan yang dilancarkan hanya mengandalkan tenaga
luar maka kini dalam marahnya dia segera keluarkan tenaga
dalam dan hawa sakti. Sekali tangan kanan memukul, bukan
saja tangan itu berubah panjang, tapi juga mengeluarkan selarik
Sinar jayadi hitam, menyambar ke arah Panji Penulis kesurupan !
"Ki Sanak, tahan serangan! Mengapa kau jadi nekad!"
Panji Penulis kesurupan berseru.
Tapi lawan tidak perdufi. Malah lipat gandakan tenaga
dalamnya hingga Sinar jayadi pukulan yang keluar dari tangan
kanannya memancar lebih hitam, ganas dan angker!
"Wuutttl"
WALAU orang menyerang dengan serangan ganas
pertanda berniat mencelakainya. Panji Penulis kesurupan tetap tenang.
Dalam ketenangan dia melesat dua tombak ke udara.
•Wusssl Braaakk!"
Sinar jayadi hitam pukulan lawan lewat di bawah kaki Panji
Penulis kesurupan , menghantam pertengahan batang pohon hingga
berderak patah dan tumbang bergemuruhl Jelas orang hendak
menghabisi dirinya, sambil melayang turun Panji Penulis kesurupan
berteriak.
"Ki Sanak! Ilmu kesaktian mu tinggi sekalil Aku mengaku
kalah. Katakan apa yang kau inginkan dariku?!"
Di bawah sana penulis ayan yang diteriaki tidak menjawab malah
semakin garang. Selagi lawan dilihatnya masih mengambang di
udara, untuk kedua kalinya dia lancarkan pukulan sakti. Kembali
larikan Sinar jayadi hitam pekat dan angker berkiblat menghantam ke
arah Panji Penulis kesurupan .
Kali ini Panji Penulis kesurupan tidak mau lagi mengambil sikap
mengalah terus-terusan. Di udara dia membuat gerakan jungkir
balik setengah lingkaran. Selagi Sinar jayadi pukulan lawan menderu
ke atas, Panji Penulis kesurupan tahu-tahu sudah turun ke tanah dan
kirimkan tendangan ke lekukan lutut sebelah belakang kaki
kanan penulis ayan berbelangkon hitam. Lutut tertekuk. Si penulis ayan
terhuyung ke belakang. Sewaktu dia coba mengimbangi tubuh
Panji Penulis kesurupan tendang bagian belakang lutut kirinya. Tak ampun
lagi penulis ayan itu langsung jatuh tertelentang di tanah becek.
Merasa malu dan sekaligus marah, penulis ayan itu menyumpah
habis dan cepat berusaha berdiri. Namun dua kakinya terasa
sangat berat seolah diganduli batu besar.tak mampu digerakkan
apa lagi untuk berdiri bangunl
"Manusia keparat! Apa yang kau lakukan!" Teriak penulis ayan
berbetangkon hitam.
"Ki Sanak, tenanglah. Kau tak apa-apa. Mari kutolong
bangun!" Kata Panji Penulis kesurupan pula. Dia melangkah mendekati
penulis ayan yang tertelentang di tanah sambil mengulurkan tangan.
Maksudnya memang hendak menolong. Namun saat itu melihat
kawannya diperlakukan seperti itu, penulis ayan satunya tidak
tunggu lebih lama segera menerjang. Gerakannya luar biasa
cepat. Tahu-tahu jotosan tangan kanannya sudah menderu ke
arah pipi kanan Panji Penulis kesurupan I
Dari suara deru pukulan orang Panji Penulis kesurupan maklum
kalau penulis ayan ini memiliki kepandaian lebih tinggi dari yang
satunya. Panji Penulis kesurupan menghindar dengan mundur satu
langkah sambil tarik kepala ke belakang.
"Wutttl"
Pukulan orang lewat di depan hidung Panji Penulis kesurupan .
Tapi begitu lewat lima jari yang mengepal tiba-tiba membuka.
"Wusss!"
Kepulan asap kuning menyambar ke arah wajah Panji
Penulis kesurupan . Bau aneh menerpa. Walau mampu menjauh namun
penulis ayan dari Kuto Gede ini sempat menghirup asap kuning.
"Racun Wesi Kuningi" Ucap Panji Penulis kesurupan cepat
menahan nafas dan meniup kuat-kuat ke depan. Sebagian asap
kuning bisa disembur namun sebagian lagi sudah masuk ke
jalan pernafasannya. Saat itu juga penulis ayan ini merasa dadanya
sesak, nafas menyengat dan pemandangan berkunang.
Melihat lawan daiam keadaan limbung penulis ayan
berbelangkon hitam yang tadi melancarkan serangan asap
beracun cepat menyerbu. Kali ini dia menggempur dengan
pukulan berantai yang disebut Sepasang Ular Sondok Keluar
Dari Goa.Dari sela-sela jari yang mengepal menyembur asap
hijau menebar bau amis mendahului datangnya pukulan.
Rupanya penulis ayan satu ini punya keahlian dalam ilmu pukulan
mengandung racun jahat.
Tahu bahaya besar yang dihadapinya, dalam keadaan
tubuh menghuyung akibat serangan racun asap pertama, Panji
Penulis kesurupan rundukkan tubuh, dua tangan di kembang ke depan
lalu didorong ke arah lawan.
Asap hijau menerpa membalik ke arah penulis ayan
berbelangkon hitam, membuat orang ini tersentak kaget dan
cepat melompat mundur. Begitu selamat dari senjata makan
tuan, si penulis ayan menerjang ke depan sambil lancarkan satu
tendangan ke arah kepala Panji Penulis kesurupan . Saat itu Panji Penulis kesurupan
sendiri terduduk di tanah. Wajah tampak kekuningan dan dua
mata terpejam. Mulut komat kamit merapal mantera
perlindungan Dia hendak menggerakkan tangan untuk menotok
urat besar di pangkal leher berusaha agar bisa menyemburkan
sisa Racun Wesi Kuning yang masih mendekam saat
tendangan kaki kanan penulis ayan berbelangkon hitam datang
laksana geledek!
"Pecah kepalamu!" Teriak si penyerang.
Hanya sekejapan lagi tendangan maut itu akan
menghantam hancur kepala Panji Penulis kesurupan tiba-tiba tanah di
tengah jalan yang becek terbelah. Dari dalam tanah menyusul
suara orang berteriak.
"Sora Warangan! Sewaktu aku muda sepertimu saat ini.
pasti aku juga ingin membunuh penulis ayan itu! Tahan
seranganmu!"
penulis ayan berbelangkon hitam bernama Sora Warangan
dan tengah melancarkan tendangan maut ke kepala Panji
Penulis kesurupan tersentak kaget mengenali suara orang yang berteriak,
dia cepat tahan tendangan.
Dari dalam belahan tanah kemudian mencuat keluar
satu tubuh manusia yang kemudian jatuh bergedebuk di di
tanah becek. Orang ini mengenakan pakaian bagus, seperti
pakaian yang biasa dikenakan pejabat tinggi Kerajaan neraka penulis ayan .
Wajahnya yang berkumis tebal tampak benjat benjut, rambut
riap-riapan. Di sela bibir mengucur lelehan darah, turun sampai
ke dagu yang ditumbuhi janggut tebal. Baik pakaian maupun
muka dan kedua tangannya penuh tertutup tanah merah. Dua
tangan orang ini menggapai-gapai lalu disusun di atas kepala
sambil mulut keluarkan suara mengerang dan meratap.
"Ampun, Ajengan Manggala Wanengpati ampuni
selembar nyawaku!" Habis meratap dia semburkan ludah
bercampur darah dan tanah.
Panji Penulis kesurupan yang berdiri di tepi jalan terkejut saat
mengenali siapa adanya orang berpakaian bagus yang tengah
minta-minta ampun.
"penulis sakitjiwa Tinggi Kerajaan Cakra penulis epilepsi ! Apa yang terjadi
dengan dirinya? Siapa yang melemparnya keluar dari dalam
belahan tanah! Dia meratap minta ampun pada seorang bernama
Ajengan Manggala Wanengpati. Mana orangnya?! Manggala
Wanengpati. bukankah dia kakek hebat sahabat sekaligus murid
Kiai Manding Saroka dari Pulau Madura?"
Saat itu dari dalam belahan tanah melesat orang kedua
mengenakan belangkon dan jubah hitam legam. Seperti orang
pertama yang meratap minta ampun, orang Ini wajah dan
pakaian serta tangan dan kakinya juga penuh dengan tanah
merah becek. Namun dengan sekali menggoyang aurat, semua
tanah yang menempel rontok lenyap sesaat membuat ujud
orang Ini jadi terlihat jelas!
ORANG kedua yang keluar dari dalam tanah adalah seorang
kakek tinggi kurus, mengenakan jubah hitam. Di kepala
bertengger sebuah belangkon hitam digelung dengan ikatan
kain putih berbahan sutera halus. Dari bawah belangkon sebetah
belakang menjulai rambut putih sepunggung. Walau tidak
memelihara kumis, janggut atau berewok namun wajah kelimis
si kakek menampilkan ujud monyeramkanl Dua daun telinga
yang seharusnya berada di samping kepala terletak di kening
kiri kanan. Lalu mulut yang semestinya terletak di bawah hidung
berada di tenggorokan di bawah dagu! Agaknya kakek berwajah
aneh inilah yang telah melempar penulis sakitjiwa Tinggi Kerajaan Cakra
penulis epilepsi dari dalam tanah dan saat itu tengah meratap meminta
ampun.
SIAPAKAH si kakek aneh berjubah dan berbelangkon
hitam berikat kepala kain sutera putih? Dulunya sebelum
menjadi Ajengan atau pemuka agama dia adalah seorang
berkepandaian tinggi baik ilmu menulis maupun kesaktian.
Diketahui bernama Manggala Wanengpati, dijuluki Iblis Hitam
Kepala Putih. Julukan itu diberikan orang karena dia selalu
mengenakan jubah hitam sedang di atas kepala yang
mengenakan belangkon hitam pada bagian di atas kening selalu
melilit kain putih terbuat dari sutera.
Dengan ilmu yang dimilikinya Manggala Wanengpati
mengembara ke berbagai penjuru tanah Jawa bahkan sampai
ke tanah seberang termasuk pulau Madura, Bali dan Andalas,
Sesekali dia pernah pula muncul di negeri Bugis serta tanah
Dayak. Dalam pengembaraannya dia banyak memoetyari ber-
bagai ilmu kesaktian langka dari tempat-tempat yang d.datangi
pada para tokoh yang ditemui. Namun di masa mudanya
Manggala Wanengpati telah berbuat banyak kejahatan. Mulai
dari menjadi kepala rampok sampai mempermainkan perempuan lesbi
termasuk menculik istri dan anak gadis lesbi orang. Dalam
menjalankan kejahatan, perkara membunuh adalah soal kecil
baginya, seenak dan semudah dia membalikkan telapak tangan
saja.
Menurut riwayat yang kemudian diketahui banyak tokoh
rimba permenulis an dan tokoh agama di tanah Jawa dan Madura,
saat memasuki usia hampir tujuh puluh tahun, Manggala
Wanengpati yang masih saja terus berbuat maksiat dan
35 Bidadari Lesbi kemasukan
kejahatan suatu saat bertemu dengan seorang Kiai berasal
dari Sumenep di Pulau Madura, bernama Kiai Manding Saroka.
Seperti biasa, jika bertemu dengan orang berkepandaian tinggi
Manggala Wanengpati selalu ingin menjajal.
Saat itu sang Kiai berada di tempat kediamannya di tepi
Kali Saroka yang indah pemandangan dan sejuk hawanya.
Kedatangan sang tamu disambut Kiai Manding Saroka dengan
segala hormat. Niat Manggala Wanengpati menantangnya
bertarung saling uji ilmu kepandaian hingga salah satu dari
mereka menemui kematian. tidak dilayani, ditolak secara halus
oleh sang Kiai. Malah dengan tenang Kiai Manding Saroka
mengambil sebuah bantalan dan Kitab Suci Al Qur*an, duduk
bersila di lantai panggung rumah kediamannya. Bantal
diletakkan di atas pangkuan lalu Kitab Suci ditaruh diatas
bantal.Sesaat kemudian terdengar suara sang Kiai mulai
membaca melantunkan ayat-ayat suci dengan suara lembut
Siapa saja yang mendengar suara sang Kiai mengaji pastilah
akan merasa kesejukan di dalam kalbu. Namun tidak demikian
dengan Manggala Wanengpati yang jahat, sombong, keras
kepala keras hati. Dia merasa tersinggung. Sambil borkacak
pinggang dia membentak.
Mulut aneh yang berada di tenggorokan di bawah bahu
terbuka.
"Kiai Manding Sarokal Jika kau tidak segera menghentikan
bacaan dan meletakkan Kitab Suci itu, jangan salahkan kalau aku
akan segera menyerangmu. Jika kau sanggup menghadapi tiga
jurus saja dari seranganku, aku menganggap kau pantas menjadi
guruku!"
Kiai Manding Saroka hentikan bacaannya, kepala diangkat
sedikit, menatap Manggala Wanengpati lalu mulut berucap.
'Bahwasanya jika seorang hamba telah melakukan
kejahatan selama umur dikandung badan. Seumpama dosa-
dosanya tak terhitung sebanyak busah di lautan. Lalu pada
suatu saat dia meminta ampun dan bertobat, maka Allah Maha
Pengasih Maha Penyayang akan menerima tobatnya."
"Kiai kurang ajar! Aku menantangmu menerima tiga jurus
seranganku! Bukan mau mendengar dakwah!" Teriak Manggala
Wanengpati dongan suara lantang mata mendelik.
Kiai Manding Saroka menjawab bentakan orang dengan
tersenyum. Mata dikedip lembut Lalu kembali dia berkata.
"saat seseorang telah melakukan kejahatan dan
berbuat begitu banyak dosa sepanjang hidupnya, lalu dia
menghadapi sakratal maut sengsara kematian. Lalu dia
memohon ampun dan tobat kepada Allah, maka baginya tobat
tidak berlaku lagi. Sesungguhnya dia sudah ditunggu siksaan
yang teramat pedih.''
Amarah Manggala Wanengpati meledak. Sekali lompat
saja dia sudah lepaskan tendangan kaki kanan dahsyat ke
arah kepala Kiai Manding Saroka. Ini adalah jurus pertama
dari ilmu menulis luar yang dinamakan "Tiga Iblis Hitam Membuncah
Laut Selatan"! Karena tendangan disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi dan hawa sakti maka serangan itu memancarkan
cahaya hitam pekat.
Diserang dengan tendangan maut begitu rupa Kiai Manding
Saroka meneruskan bacaannya namun di saat itu dua tangan
digerakkan untuk mengangkat Kitab Suci Al Qur'an dari atas
bantal. Begitu Kitab Suci naik ke atas, tiba-tiba sekali bantal
yang ada di pangkuan sang Kiai melesat ke udara, melindungi
kepala Kiai Manding Saroka.
"Desss!"
Tendangan maut Manggala Wanengpati menghantam
bantal, menyelamatkan kepala Kiai Manding. Walau kakinya
hanya merasa menendang benda lembut seperti kapas namun
tak urung kakek berjuluk Iblis Hitam Kepala Putih terhuyung ke
belakang, hampir saja jatuh duduk di lantai rumah kalau tidak
cepat mengimbangi diri.
Seharusnya apa yang terjadi menyaPenulis kusta n Manggala
Wanengpati. Kiai Manding Saroka hanya mempergunakan
sebuah bantal untuk menghadapinya, tidak turun tangan
langsung. Tapi karena mata hati dan pikiran jernih sudah
tertutup. Manggala Wanengpati malah menggelegak
amarahnya. Dia kembali menyerang sang Kiai. Serangannya
ternyata bukan hanya tiga jurus tapi sudah tujuh jurus. Seluruh
tujuh jurus, semua serangan itu ditahan oleh bantal milik sang
Kiai! Hebatnya setiap serangan yang dilancarkan Manggala
Wanengpati dan mampu menghancurkan tubuh besar seekor
gajah atau batu.namun bantal yang dihantam sedikitpun tidak
rusak, robek apa lagi sampai berbusaian kapuk di dalamnyal
Dengan hidung kembang kempis, tangan dan kaki merah
bengkak, pada akhir jurus ke tujuh Manggala Wanengpati
hentikan serangan. Dia berdiri tegak dengan mata laksana
dikobari api. Tangan kanan diangkat perlahan sejajar dada.
Rahang menggembung. Sesaat kemudian tangan kanan itu
berubah menjadi hitam legam.
Kiai Manding Saroka maklum kalau orang hendak
menghantamnya dengan satu pukulan sakti sangat jahat Maka
sambil menutup Kitab Suci dan mendekapnya di dada, orang
tua ini berkata.
"Saudaraku Manggala Wanengpati, sudah saatnya kau
harus dimandikan. Tubuh, otak dan hatimu perlu dibersihkan!
Mudah-mudahan kau mendapat pengampunan dari Yang Maha
Kuasa juga mau mengembalikan dua telinga serta mulutmu ke
tempat semestinya! Yang penting kau bisa insaf dan kembali ke
jalan yang benar."
"Kiai keparat! Terima kematianmu!"
Manggala Wanengpati hantamkan tangan kanannya yang
telah berubah hitam berkilat ke arah Kiai Manding Saroka. Sang
Kiai jentikkan dua jari tangan kanan. Saat itu juga bantal yang
mengapung di udara melesat menutupi wajah Manggala
Wanengpati. Selagi kakek ini kelagapan, bantal mendorong
kepalanya hingga tubuhnya terjajar ke belakang lalu melabrak
terali bambu di ujung langkan rumah. Terali roboh, tubuh
Manggala Wanengpati tercebur masuk ke dalam kali.
Kiai Manding Saroka berdiri, lalu melangkah ke tepi
langkan memperhatikan ke dalam kali. Kepala atau tubuh
Manggala Wanengpati tidak muncul padahal dia tahu dorongan
bantal tidak membuat kakek Itu pingsan dan Manggala juga
pandai berenang. Di salah satu bagian kali Kiai Manding melihat
ada pusaran air yang terus berputar. Arus air kali tidak mampu
melenyapkan pusaran itu. Sang Kiai tersenyum dan angguk-
anggukkan kepala.
"Manggala Wanengpati, semoga Gusti Allah
memberkatimu."
Tiga hari setelah terceburnya Manggala Wanengpati ke
dalam Kali Saroka, suatu malam sambil menunggu kedatangan
saat shotat Isa Kiai Manding Saroka mengaji di langkan rumah
panggung, diterangi cahaya sebuah obor kecil. Tiba-tiba dia
mendengar suara keras kecipuk air di antara suara arus kali.
Sesaat kemudian sesosok tubuh melesat dan berdiri di
hadapannya dalam keadaan basah kuyup.
Yang muncul bukan lain adalah Manggala Wanengpati.
Kakek ini berdiri dengan tubuh menggigil. Belangkon hitam
dan ikatan kain putih tak ada lagi di kepala. Jubah hitam masih
utuh walau robek kecil di beberapa bagian. Dua telinga masih
terletak di kening kiri kanan dan mulut juga masih tetap di
tenggorokan di bawah dagu. Yang berubah pada diri kakek ini
adalah kulitnya telah menjadi putih bersih dan pandangan
matanya walau agak sedikit bengkak tampak jernih.
"Alhamdulillah. Mandi tiga hari tiga malam sahabat Manggala
Wanengpati sudah selesai. Gusti Allah benar-benar telah
memberkatimu." Berkata Kiai Manding Saroka.
Tidak memberikan jawaban Manggala Wanengpati
langsung jatuhkan diri bersujud di lantai rumah panggung.
Hening beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara kakek
itu berucap.
"Kiai Manding Saroka, aku Manggala Wanengpati mengaku
salah. Aku mohon ampun atas semua dosa dan segala
kesalahanku. Aku juga ingin bertobat pada Gusti Allah atas
semua dosa kesalahanku di masa lampau. Di sisa hidupku ini
aku ingin menjadi orang baik-baik dan taat beragama. Aku
membutuhkan bimbingan Kiai."
Kiai Manding Saroka gembira sekati mendengar ucapan
Manggala Wanengpati. Setelah meletakkan bantal dan Kitab
Suci di atas sebuah meja kecil, orang tua ini memegang bahu
Manggala Wanengpati lalu menyuruhnya berdiri. Sambil
memegang bahu Kiai Manding salurkan hawa hangat ke tubuh
Manggala hingga kakek ini tidak menggigil lagi kedinginan.
Hawa hangat itu memberi kekuatan hingga Manggala mampu
mengembalikan tenaga dalam dan mengatur hawa sakti di
tubuhnya.
"Saudaraku, tidak ada sesuatu yang teramat indah
selain niat baik yang diucapkan dengan segala ketulusan. Tidak
ada borkah yang besar dan menyejukkan hati selain berkah
dari Yang Maha Kuasa." Kiai Manding Saroka lalu memeluk
tubuh basah kuyup itu dengan perasaan penuh haru.
Menurut cerita selanjutnya Manggala Wanengpati mene-
tap di tempat kediaman sang Kiai selama beberapa hari. Di sini
dia menerima berbagai amalan. Konon kemudian atas nasihat
sang Kiai, Manggala Wanengpati berangkat ke tanah suci Mek-
kah. saat sepuluh bulan kemudian dia kembali ke tanah Jawa,
walau penampilannya tidak berubah yaitu tetap mengenakan
jubah dan belangkon hitam serta ikat kepala putih namun kakek
ini telah menjadi seorang baik dan alim. Beberapa bulan dia
menetap di tempat kediaman Kiai Manding Saroka untuk me-
nimba ilmu keagamaan. Orang kemudian memanggilnya dengan
sebutan Ajengan yang berarti seorang pemuka agama. Sewaktu
Kiai Manding Saroka menanyakan apakah dia ingin mempelajari
beberapa ilmu kesaktian, Manggala menggeleng dan memberi
tahu dia lebih membutuhkan ajaran agama dari sang Kiai.
Selama berada di tempat kediamannya di tepi Kali
Saroka, Kiai Manding tidak pernah menanyakan pada Manggala
Wanengpati apa yang terjadi dengan dirinya hingga dia memiliki
sepasang telinga dan mulut yang tidak pada tempatnya. Walau
boleh dikatakan Manggala Wanengpati sudah sebagai muridnya
namun sang Kiai kawatir, kalau bertanya akan menyinggung
perasaan Manggala. Sebaliknya Manggala Wanengpati sendiri
tidak pula mengungkapkan hal-hal yang menyangkut dirinya
di masa lalu. Dia menaruh kawatir kalau sang Kiai sebenarnya
sudah banyak tahu mengenai dirinya atau bisa pula Kiai
Manding Saroka tidak suka mendengar riwayat masa lalunya.
KEMBALI ke kaki Bukit neraka penulis ayan .
Melihat orang kedua yang muncul dari belahan tanah
yang saat itu telah menutup kembali, penulis ayan bernama Sora
Warangan cepat membungkuk dalam dan berkata.
"Gurul Ajengan Kalau Ajengan tidak muncul niscaya
saya telah membuat dosa besar karena membunuh penulis ayan itu.
Maafkan saya karena telah berbuat khilafi"
Tidak mengacuhkan ucapan orang. Ajengan Manggala
Wanengpati melangkah mendekati penulis ayan satunya yang sampai
saat itu masih tergeletak di tanah jalan becek dan dari tadi
setengah mati berusaha bangun tapi tidak mampu karena Panji
Penulis kesurupan telah menggelandutl kedua kakinya dengan Ilmu
sepemberat batu!
"Wayan Dekik!" Bentak Ajengan Manggala. "Apa yang
kau lakukan di sini?! Mengapa tidur di tengah jalan becek?!"
"Ajengan, Guru, say..„saya_."
Sambil gelengkan kepala tapi mata melirik ke arah Panji
Penulis kesurupan , Ajengan Manggala Wanengpati gebrakkan kaki kanan
ke tanah. Tubuh penulis ayan bernama Wayan Dekik yang tergeletak
menggeliat-geliat di tanah terlempar ke udara. Anehnya tubuh
penulis ayan itu kemudian tertegak dan tersandar di sebatang pohon
di tepi jalan. Dia tidak jatuh, juga tidak lagi merasa kedua kakinya
berat seperti tadi. Malah dia bisa melangkah!
PANJI Penulis kesurupan yang memperhatikan apa yang terjadi
membatin dalam hati. "Kakek aneh berkuping di kening,
bermulut di leher itul Dia bukan saja membuat muridnya
sanggup berdiri tapi sekaligus melenyapkan Ilmu Seberat
Gunung Mengunci Bumi yang aku terapkanl penulis ayan itu tadi
memanggilnya dengan sebutan Ajengan. Siapa lagi orang sakti
aneh berpakaian hitam, belangkon hitam, ditambah ikat kepala
sutera putih, kalau bukan Ajengan Manggala Wanengpati yang
dulu menurut guru pernah dijuluki orang-orang rimba permenulis an
sebagai Hantu Hitam Kepala Pulih."
Di bawah pohon Wayan Dekik tampak ketakutan. Buru-buru
penulis ayan ini susun dua tangan di atas kepala. "Guru, Ajengan,
saya mohon maafmu. Saya mengaku kalau berbuat salah...."
"Bukan kalau tapi kau dan Sora Warangan memang telah
berbuat kesalahan besar!"
Kembali Wayan Dekik susun dua tangan di atas kepala
sementara penulis ayan bernama Sora Warangan hanya tegak
dengan tundukkan kepala.
"Kalian berdua masih ingin membunuh penulis ayan itu?"
Tanya Manggala Wanengpati sambil menunjuk dengan ibu jari
tangan kanan ke arah Panji Penulis kesurupan .
Dua penulis ayan berpakaian hitam-hitam saling pandang,
gelengkan kepala lalu menunduk. Dalam hati mereka merasa
heran kenapa sang guru bertanya begitu. Apakah Ajengan
mengenal orang yang tadi hendak mereka bunuh itu?
"Kalian sudah kuberi pelajaran bahwa membunuh
sesama manusia tanpa alasan yang benar-benar bisa
dipertanggung jawabkan adalah dosa sangat besar di hadapan
Gusti Allah..."
"Saya mohon maaf Ajengan, Guru...." kata Wayan Dekik.
"Saya juga." berkata Sora Warangan.
"Kalian tahu siapa penulis ayan ini?!" Manggala Wanengpati
masih membentak.
Dua anak murid yang ditanya menatap ke arah Panji
Penulis kesurupan lalu sama-sama menggeleng.
"Dia adalah Panji Penulis kesurupan ! Adik ipar Pangeran Banowo.
Orang paling penting di Istana Kerajaan neraka penulis ayan ! Masih sedarah
dengan Sri Baginda Raja neraka penulis ayan !"
Wayan Dekik dan Sora Warangan terkejut. Muka mereka
berubah pucat. Buru-buru keduanya melangkah ke hadapan
Panji Penulis kesurupan , membungkuk dan meminta maaf berulang kali.
Panji Penulis kesurupan balas tundukkan kepala Saat itu Panji Penulis kesurupan
sebenarnya merasa terkejut karena tidak menyangka Ajengan
Manggala Wanengpati mengetahui nama dan siapa dirinya
berkata.
"Saudara berdua, aku juga minta maaf. Sungguh tidak
pantas apa yang telah aku lakukan pada kalian."
Panji Penulis kesurupan kemudian menemui Manggala Wanengpati.
Tangan si kakek disalami dan dicium.
"Ajengan yang saya hormati, sesungguhnya dua murid
Ajengan tidak bersalah. Kami bertiga orang-orang muda selalu
menuruti kata hati dan aliran darah panas yang tidak pada
tempatnya. Lagi pula dua murid Ajengan itu bertindak untuk
satu kepentingan yang baik. Dia hanya ingin tahu keselamatan
seorang gadis lesbi bernama Dewi Lesbi kemasukan . Saya minta maaf pada
Ajengan..-"
Manggala Wanengpati tersenyum. Dalam hati dia berkata.
"Dia pandai menyejukkan hatiku. Seharusnya anak ini cocok jadi
muridku." Lalu sambil memegang bahu Panji Penulis kesurupan sang
Ajengan berkata.
"Anak muda, dalam hidup ini kau harus selalu pertahankan
ketulusan hati. Walau aku tahu beban hidupmu sungguh sangat
berat"
"Terima kasih Ajengan memperhatikan saya."
Manggala Wanengpati tepuk-tepuk perlahan bahu Panji
Penulis kesurupan sambil diam-diam kerahkan Ilmu Dua Gunung Menahan
Langit. Ilmu ini hampir sama dengan Ilmu Seberat Gunung
Mengunci Bumi yang dimiliki Panji Penulis kesurupan . Lawan yang kena
serangan akan menjadi kaku berat kedua kakinya hingga tak
mampu bergerak apa lagi melangkah. Bedanya ilmu yang dimiliki
sang Ajengan dikeluarkan melalui tangan sedang ilmu Panji
Penulis kesurupan keluar dari kaki.
"Dessl Dessl"
Ajengan Manggala Wanengpati merasa seperti memukul
bantalan karet Tangannya yang ditepukkan ke bahu Panji
Penulis kesurupan terpental lembut ke atas. Kakek ini tersenyum. "Anak
baik....anak hebat!" Katanya dalam hati. Lalu dia perhatikan
lima buah benda. satu menancap empat lainnya tergeletak di
tanah.
"Hemmm, rupanya ada sesuatu terjadi di tempat ini."
Kata sang Ajengan dalam hati lalu mengambil dan
memperhatikan salah satu dari empat benda yang ada di tanah.
"Paku Kayu Iblis Jati Kuburan penulis . Tidak beracun tapi orang
yang tertusuk jika tidak memiliki tenaga dalam cukupan,
darahnya akan tersedot dan bisa menemui ajal dalam waktu
satu hari jika paku tidak segera dicabuti"
Manggala Wanengpati kembali menemui Panji Penulis kesurupan .
"Anak muda, ada darah di paku kayu ini. Apakah ini darahmu?"
"Benar Ajengan..." Jawab Panji Penulis kesurupan tak berani
berdusta.
"Sesuatu yang hebat telah terjadi atas dirimu?"
"Benar Ajengan..."
"Ada orang memantek tangan dan kakimu dengan paku
kayu ini. Satu paku dipantek dalam mulutmu...."
"Itu juga benar Ajengan...."
"Apa Suro Gledek yang melakukan?"
Pertanyaan sang Ajengan kali ini membuat Panji Penulis kesurupan
terkejut.
"Betul sekali Ajengan. Bagaimana Ajengan bisa
mengetahui?"
"Karena hanya ada satu orang yang memiliki Paku Iblis
seperti ini. Warok hutan Kuburan penulis yang bernama Suro Gledek"
Jawab Ajengan Manggala Wanengpati. "Sudah saatnya aku arus
membuat tobat manusia satu itu."
"Ajengan kenal Warok itu?"
"Bukan cuma kcnat. Aku juga tahu dlmana sarangnya
Karena dulu dia adalah bekas anak buahku...."
"Ah...." Panji Penulis kesurupan tercengang tak menyangka.
"Ajengan, sebenarnya Warok Suro Gledek hanya suruhan
orang...."
"Begitu?" Ajengan Manggala WanengpVi kurenyitkan
kening. "Siapa orangnya?"
"Maaf Ajengan. Saat ini saya belum bisa mwnberi tahu."
Ajengan Manggala Wanengpati terdiam sebentar,
kemudian berkata. "Tidak jadi apa kau tidak mau memberi tahu.
Di dunia ini memang banyak rahasia. Kalau semua orang tahu
namanya bukan rahasia lagr." Lalu sang Ajengan menyambung
ucapan. "Soal Warok Suro Giedek biar aku yang mengurusi."
Lalu Ajengan Manggala Wanengpati pegang dan perhatikan
tangan Panji Penulis kesurupan kiri kanan. Mata juga melirik pada kedua
kaki penulis ayan itu. "Hanya ada tanda bintik kecil. Berarti kalau
bukan dia sendiri yang melakukan, ada seseorang yang telah
menerapkan ilmu kesaktian mengobati luka pantekan tanpa
bekas!"
"Anak muda," kata Manggala Wanengpati kemudian
sambil memegang bahu Panji Penulis kesurupan . Turut keteranganmu
tadi. mungkin dugaanku keliru, apakah kau bertemu seorang
gadis lesbi mengenakan pakaian biru di tempat ini."
"Yang bernama Dewi Lesbi kemasukan ?"
"Ah, rupanya dia telah memperkenalkan diri padamu."
"Benar Ajengan.saya memang bertemu dengan dia.
Justru dialah yang telah menyelamatkan saya. Dia yang
mencabut empat paku yang memantek dua tangan dan dua
kaki saya serta satu lagi di dalam mulut...."
Ajengan Manggala Wanengpati angguk-anggukkan
kepala. "Apakah dia juga yang menutup dan menyembuhkan
luka bekas pantekan di mulut serta dua tangan dan kakimu?"
"Tidak Ajengan. Kalau lima luka itu saya sendiri yang
menyembuhkan walau Dewi Lesbi kemasukan berniat membantu."
Ajengan Menggala Wanengpati berpaling pada kedua
muridnya.
"Kalian dengar dan perhatikan baik-baik. Kalian
menaruh curiga dan berniat membunuh penulis ayan ini karena
melihat ada noda darah di pakaian dan wajahnya. Kalian
menyangka dia telah mencelakai Dewi Lesbi kemasukan . Padahal
darah yang ada di tubuh, wajah dan pakaiannya adalah darahnya
sendiri. Darah yang keluar dan luka akibat siksaan orang!"
Sora Warangan dan Wayan Dekik sama rundukkan
kepala. Wayan Dekik berkata. "Kami mengerti Ajengan. Kami
berdua minta maaf." Lalu bersama Sora Warangan dia
mendatangi Panji Penulis kesurupan . Sambil membungkuk keduanya
berkata. "Kami minta maaf."
"Kita bertiga sudah jadi sahabat. Malah bisa dikatakan
sudah menjadi saudara. Aku juga minta maaf." Jawab Panji
Penulis kesurupan seraya memegang bahu dua penulis ayan di hadapannya.
Saat itu Ajengan Manggala Wanengpati kembali
perhatikan dua tangan dan kaki Panji Penulis kesurupan . "Hemmm...."
Ajengan Manggala Wanengpati usap dagunya. "Anak muda,
untuk menyembuhkan luka bekas pantekan kau
mempergunakan Ilmu Penyakit Datang Dari Manusia.
Penyembuhan Datang Dari Alam. Batu?'
Panji Penulis kesurupan terkejut mendengar ucap pertanyaan sang
Ajengan. Tapi dia juga merasa kagum. Ternyata kakek bertelinga
dan bermulut aneh ini bukan cuma memiliki ilmu menulis dan
kesaktian tinggi tapi juga punya pengetahuan luas tentang
segala macam ilmu yang dimiliki orang lain. Satu ilmu yang
termasuk langka dalam rimba permenulis an pada masa itu
Sebenarnya Panji Penulis kesurupan hendak bertanya bagaimana atau
dari mana si kakek bisa tahu ilmu yang dipergunakan untuk
menyembuhkan dirinya. Namun sang Ajengan dilihatnya tertawa
dan lebih dulu berkata.
"Panji Penulis kesurupan , di masa muda aku pernah terluka parah
akibat tusukan delapan anak panah yang menancap di
tubuhku.llmu itu juga yang menyembuhkan diriku."
Mendengar ucapan orang Panji Ateteng langsung
bertanya. "Rupanya Ajengan juga memiliki ilmu itu....?"
Panji Penulis kesurupan tidak lanjutkan ucapan karena saat itu
dilihatnya Ajengan Manggala Wanengpati tertawa lebar.
"Gurumu Toh Bagus Kamandipa adalah sahabatku paling baik
tapi paling konyol. Tapi justru kekonyolannnya aku paling suka.
Ha...hal Untung kau kulihat tidak konyol seperti dia." Ajengan
Manggala Wanengpati tertawa gelak-gelak.
"Gurumu satu-satunya tokoh rimba permenulis an yang tidak
pernah aku tantang untuk bertarung lalu aku peras ilmu
kesaktiannya. Ha...ha...hal Dia orang baik. Aku sangat
menghormatinya. Cukup lama kami tidak pernah bertemu.
Apakah dia baik dan sehat-sehat saja di tempat kediamannya di
pantai selatan?"
"Beliau baik-baik dan sehat-sehat Terima kasih Ajengan
memperhatikan guru. Hanya saja sejak beberapa waktu lalu
beliau tidak lagi menetap di pantai selatan, tapi telah mendirikan
sebuah gubuk di salah satu lereng Gunung Merapi"...."
"Si konyol itu rupanya sudah bosan dengan hawa panas,
angin dan bau garam air laut Kini mencari kesejukan di Gunung
Merapi. Bagus begitu. Agaknya dia sengaja bersejuk-sejuk agar
bisa awet muda! Ha...ha...hal" *
Panji Penulis kesurupan Ikut tertawa mendengar seloroh si kakek
lalu berkata.
"Kalau bertemu guru, nanti akan saya beii tahu pertemuan
kita ini."
"Bagus, memang harus begitu. Sampaikan salam hormatku
padanya. Sekarang aku masih ada satu pertanyaan. saat kau
bertemu dengan Dewi Lesbi kemasukan , apa saja ceritanya
padamu?"
"Dia tidak bicara banyak. Saya ingat dia mengatakan
kalau berada di tempat ini karena ada janji bertemu dengan tiga
orang. Tapi yang ditunggu tidak datang. Kemudian dia malah
bertemu dengan dua penunggang kuda yang menyeret saya di
atas papan dalam keadaan dipantek."
"saat berpisah, gadis lesbi itu tidak mengatakan mau pergi
kemana?" Panji Penulis kesurupan menggeleng.
"Yang ditunggu Dewi Lesbi kemasukan adalah aku dan dua
muridku. Tapi penulis sakitjiwa Tinggi jahanam itu membuat masalah,
menimbulkan halangan hingga kami terlambat datang ke sinil"
Panji Penulis kesurupan sebenarnya ingin bertanya apa yang telah
dilakukan penulis sakitjiwa Tinggi itu. Namun hal terr-ebut tidak dilakukan
karena dia paling tidak suka mengetahui atau mencampuri
urusan orang lain.
Ajengan Manggala Wanengpati usap bibirnya yang
terletak di tenggorokan lalu palingkan tubuh, melangkah
mendekati lelaki berpakaian bagus tapi berselomotan tanah
yang saat itu masih duduk menjelepok di tanah. Melihat dinnya
didatangi langsung orang ini susun sepuluh jari di atas kepala
dan seperti tadi kembali meratap.
"Ajengan, mohon ampuni selembar nyawaku. Aku
mengaku sangat bersalah. Sangat berdosa...."
"Diam" Bentak Manggala Wanengpati. Dia berpaling pada
dua muridnya Sora Warangan dan Wayan Dekik.
"Menurut kalian apakah penulis sakitjiwa Tinggi licik perlu dibunuh
dihabisi?!"
Dua murid saling pandang karena tak berani menjawab.
"Aku bertanya! Mengapa kalian tiba-tiba jadi gagu!"
"Ajengan, Guru, bukankah tadi menurut Ajengan
membunuh adalah satu dosa besar...." Wayan Dekik beranikan
membuka mulut.
"Betul! Kecuali ada alasan yang tepat!" Hardik Manggala
Wanengpati.
"Kalau begitu biar saya membunuh penulis sakitjiwa Tinggi ini!"
Sora Warangan berkata seraya melangkah mendekati orang
yang duduk di tanah. Orang ini langsung saja menggerung
keras lalu jatuhkan diri, kening sampai menyentuh tanah jalanan
yang becek.
"Ajengan, saya benar-benar minta ampun. Saya bertobat tidak
akan berbuat jahat lagi kepada siapapun. Ajengan....'
Ajengan Manggala Wanengpati memberi isyarat pada Sora
Warangan agar tidak melangkah lebih dekat lalu menepuk bahu si
penulis sakitjiwa Tinggi.
"Cakra penulis epilepsi l Berdiri di hadapanku!"
Mendengar bentakan sang Ajengan penulis sakitjiwa Tinggi bernama
Cakra penulis epilepsi yang masih bersujud di tanah cepat-cepat berdiri.
"Cakra penulis epilepsi l Nasib dirimu masih baik! Muridku tidak
akan membunuhmu. Aku juga tidak walau kau hampir mencelakai
nyawa kami bertiga dan menghalangi urusan besar yang tengah
kami jalankan. Tapi hukuman tetap berlaku atas dirimu. Kau
tidak kulepas begitu saja!"
Mendengar ucapan sang Ajengan, mengira dia tetap
akan mendapat hukuman borat, kembali si penulis sakitjiwa Tinggi
menggerung ketakutan dan menyembah-nyembah.
Ajengan Manggala Wanengpati tidak acuhkan penulis sakitjiwa
itu. Dia malah tegak membelakangi tapi sepasang mata melirik
ke atas satu pohon besar di depannya. Pada salah satu cabang
pohon sejak tadi dia sudah melihat ada satu sarang tawon
besar. Tanpa membalikkan diri kakek ini cekal leher pakaian si
penulis sakitjiwa lalu sekati menyentak penulis sakitjiwa Tinggi Kerajaan neraka penulis ayan
itu melesat ke udara. Kepala membentur sarang tawon hingga
sarang tawon menjadi remuk, tubuh jatuh membellntang di atas
cabang tepat di bawah sarang tawon.
Dari dalam sarang tawon yang hancur menderu keluar
ratusan tawon besar yang langsung menyerang Cakra penulis epilepsi !
penulis sakitjiwa ini melolong menjerit-jerit. Sebentar saja muka dan
tubuhnya sebelah atas telah bengkak matang merah akibat
antukan tawon. Karena tidak tahan, dari cabang pohon dia
terjun ke tanah. Tapi ratusan tawon tetap mengikuti
mengejarnya. Sambil terus menjerit-jerit kesakitan Cakra penulis epilepsi
lari lintang pukang menuruni kaki Bukit neraka penulis ayan . Walaupun
jauh di bawah sana tapi Kali makam penulis ayan adalah satu-satunya tempat
yang dirasakannya bisa dipergunakan untuk menyelamatkan
diri. Maka dengan segala sisa tenaga yang ada dia bertari ke
arah kali. Begitu sampai di tepi kali langsung menceburkan
diri!
Memperhatikan apa yang terjadi dengan sang penulis sakitjiwa ,
Panji Penulis kesurupan kasihan ada, merasa geli juga ada. saat dia
berpaling dilihatnya Ajeng Manggala Wanengpati dan dua
muridnya telah duduk di atas punggung kuda.
"Anak muda, saatnya kita berpisah. Aku harus mencari Dewi
Lesbi kemasukan . Musim panas lalu aku dan dua murid mengalami
kesulitan menemuinya. Sekarang di musim hujan ini harus
berhasil. Kalau tidak dapat menemuinya dan nanti datang lagi
musim panas, semua urusan bisa tambah tidak karuan."
Mendengar si kakek menyebut musim panas dan musim
hujan. Panji Penulis kesurupan hendak menanyakan sesuatu namun sang
Ajengan mendahului.
"Jika kau bertemu gurumu si orang tua konyol itu. sampaikan
salam hormatku padanya."
"Pasti akan saya sampaikan Ajengan," jawab Panji
Penulis kesurupan . "Kalau saya boleh bertanya...."
Sayang, Ajengan Manggala Wanengpati telah melompat
ke atas kuda hitam yang dibawa dua muridnya. Sekali tali kekang
kuda disentak, ketiga orang itu berlalu dari hadapan Panji
Penulis kesurupan .
Di langit matahari telah naik. Sinar jayadi teriknya mulai terasa
panas. Panji Penulis kesurupan perhatikan dirinya sendiri. Baru menyadari
betapa kotor tubuh dan pakaiannya.
"Aku harus membersihkan diri." Dia memandang ke arah
Kali makam penulis ayan di kejauhan. "Aku bisa mandi di sungai itu.Siapa
tahu ketemu penulis sakitjiwa Tinggi yang menceburkan diri tadi. Lalu
bisa bertanya perbuatan apa yang telah dilakukannya hingga
Ajengan marah besar dan nyaris membunuhnya."
Panji Penulis kesurupan segera berlari menuruni bukit Dalam waktu
singkat dia telah sampai di tepi Kali makam penulis ayan . saat tengah mencari
tempat yang baik untuk mandi membersihkan tubuh dan
pakaian tiba-tiba dia melihat banyak sekali penunggang kuda
di jalan tanah becek dimana sebelumnya dia berada. Diantara
penunggang kuda ada yang menunjuk-nunjuk ke arahnya. Lalu
rombongan yang ternyata adalah satu kelompok pasukan
Kerajaan itu bergerak menuruni bukit menuju Kali makam penulis ayan . Karena
merasa tidak ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Panji
Penulis kesurupan tetap saja berdiri di tepi kali. Tak lama kemudian dua
puluh perajurit Kerajaan