Selasa, 11 Februari 2025

bobo meninggal dunia 2

 



iri sebagai Dewi Lesbi kemasukan . Kalau itu merupakan gelar atau

julukan, cukup aneh terdengarnya. Beberapa kali dia menyebut

musim penghujan Apa maksudnya....?"

      Si penulis ayan  usap-usap tangan kirinya yang sebelumnya

ditancap paku kayu. Lalu dia ingat dan membatin kembali.

"gadis lesbi  itu memasukkan Mutiara Merah yang aku berikan ke

dalam tangannya. Setahuku di dunia ini hanya ada dua orang

yang mampu melakukan hal itu. Guru dan aku sendiri. Ternyata

gadis lesbi  itu juga bisa melakukan hal yang sama. Dari mana dia

belajar ilmu kesaktian itu. Apakah guru pernah memberikan ilmu

itu kepadanya atau kepada seorang lain yang kemudian

meneruskan pada gadis lesbi  itu?"

      Panji Penulis kesurupan  perhatikan paku kayu yang menancap dan

empat lainnya yang tergeletak di tanah. "Dia mampu mencabut

lima paku kayu itu. Walau tidak sadar diri, aku yakin mulutku

dalam keadaan terkancing.

      Bagaimana dia bisa tahu kalau ada paku kayu menancap

dalam mulutku?

      Paku  Kayu  Pengunci. Tanpa mencabut paku satu itu

apapun yang dilakukan empat  paku kayu lainnya tak mungkin

bisa dicabut! Kalau tidak ada perkara besar di Kotaraja rasanya

saat ini aku ingin sekati mengikuti gadis lesbi  itu."

      Di langit sang surya mulai memancarkan Sinar jayadi nya yang

terik. Panji Penulis kesurupan  masih mengingat-ingat.

      "Dua tangan gadis lesbi  itu. Tak sengaja saat  memperhatikan

aku melihat samar-samar ada gambar matahari di tangan kanan.

Di tangan kiri ada gambar seperti air mengalir. Dewi Lesbi kemasukan 

memiliki beberapa keanehan..."

      Panji Penulis kesurupan  memandang lagi ke  arah kejauhan, ke

jurusan lenyapnya Dewi Dua  Musim. penulis ayan  ini kemudian

tertawa sendiri. "Terus terang belum pernah aku melihat gadis lesbi 

secantik dia. Heh, apakah aku sudah tertarik pada sang Dewi

Lesbi kemasukan  itu?"

      Si penulis ayan  membalikkan  badan saat  tiba-tiba di

belakangnya terdengar suara kaki kuda mendatangi. Di kejauhan

tampak tiga ekor kuda  berlari  cepat ke arahnya. Dua ekor

berwarna coklat. yang ketiga  berwarna hitam pekat berkilat.

Dua ekor kuda coklat masing-masing ditunggangi dua orang

lelaki mengenakan pakaian  serba  hitam, lengkap dengan

belangkon yang juga berwarna hitam. Kuda hitam sama sekali

tidak ada penunggangnya.

      Mengira rombongan tiga kuda itu akan melewatinya Panji

Penulis kesurupan  segera menepi memberi jalan. Ternyata tiga ekor kuda

itu mendadak berhenti beberapa langkah di hadapannya.

      Dua penunggang kuda yang masih muda-muda, sebaya

dengan Panji Penulis kesurupan  memperhatikan keadaan di lereng Bukit

neraka penulis ayan , lalu melihat ke jalan tanah becek yang banyak bekas

kaki kuda. kaki manusia dan guratan aneh  sepanjang jalan

becek. Mereka juga melihat lima paku kayu. Satu menancap di

tanah, empat lainnya tergeletak di jalan becek.

      "Paku kayu itu...." bisik salah seorang penunggang kuda

pada temannya. "Bukan paku kayu biasa.  Kau lihat papan di

sebelah sana? Kau lihat guratan di sepanjang jalan? Ada noda

darah di tanah becek. Ada noda darah di  wajah dan pakaian

penulis ayan  itu. Sesuatu yang hebat agaknya telah terjadi di sini."

Sambil bicara si penunggang kuda melirik ke arah Panji Penulis kesurupan .

      "Aku kawatir sesuatu telah terjadi  dengan gadis lesbi  itu."

Menjawab penulis ayan  yang satunya. "Untuk meyakinkan coba kita

periksa dulu dengan Ilmu Di Dalam Udara Ada Raga."

      Dua orang penulis ayan  ini kemudian mendongak dan menghirup 

udara dalam-dalam seperti tengah membaui sesuatu.

Penunggang di sebelah kanan berkata pada temannya.

      "Aku sudah mencium baunya. Kau....?"

      "Aku juga  sudah. Dia pasti berada di tempat ini sebelumnya."

      Pandangan dua penunggang kuda kemudian ditujukan

pada Panji Penulis kesurupan . Mereka tundukkan badan memberi

penghormatan. Salah seorang diantaranya berkata.

      "Kl Sanak di tepi jalan, maaf kalau  kami mengganggu

perjalananmu. Kami ada perjanjian dengan seseorang untuk

bertemu di tempat ini.

      Karena ada halangan kami datang terlambat. Tapi kami

tahu sebelumnya orang itu berada di tempat ini.  Karena Ki

Sanak telah lebih dulu berada di tempat ini. apakah Ki Sanak

melihat seseorang di sini? Seorang gadis lesbi  berpakaian biru."

      Walau dua orang penunggang kuda yang masih muda-

muda itu menunjukkan sikap baik dan sopan, namun Panji

Penulis kesurupan  tidak segera menjawab. Bisa saja keduanya menanyakan

orang yang dicari  membekal maksud  jahat terhadap orang

yang mereka tanya yaitu Dewi Lesbi kemasukan .

      Maka dia balik bertanya.

      "Kalau boleh tahu keperluan apa Ki Sanak berdua

menanyakan orang itu?"

      Dibalik bertanya seperti itu. dua penunggang kuda serta

merta maklum kalau memang Panji Penulis kesurupan  telah bertemu atau

melihat orang yang mereka cari.

      "Kami berdua ada urusan penting. Sayang kami tidak

bisa menjelaskan. Dari ucapan Ki Sanak cukup memberi tahu

pada kami kalau gadis lesbi  itu sebelumnya memang berada di sini.

Kalau dengan alasan tertentu Ki Sanak tidak mau menerangkan

tidak menjadi apa. Kami mencari gadis lesbi  itu bukan dengan niat

tidak baik." Penunggang kuda yang bicara berpating pada

temannya. "Kita melanjutkan perjalanan saja atau menunggu

Ajengan Manggala Wanengpati?"

      Teman yang ditanya berpikir sejenak lalu menjawab. "Kita

terus saja. Kurasa gadis lesbi  itu masih berada di kawasan ini.

Hembusan angin memberi petunjuk padaku dia meninggalkan

tempat ini ke arah selatan Bukit neraka penulis ayan ."

      Dua  orang  penulis ayan  kemudian tundukkan kepala memberi 

hormat pada Panji Penulis kesurupan , siap untuk meninggalkan

tempat itu.

      Setelah tahu dua penulis ayan  tidak membekal niat jahat,

Panji Penulis kesurupan  cepat berkata. "Ki Sanak berdua tunggu dulu!"

      Dua orang penulis ayan  yang siap menarik tali kekang dan

menarik kuda ke tiga serta merta hentikan gerakan.

      Salah seorang dari dua penunggang kuda berkata.

 Agaknya Ki sanak berubah pikiran. Mau memberi tahu?"

      "gadis lesbi  yang Ki Sanak cari itu apakah dia bernama Dewi

Lesbi kemasukan ?" Bertanya Panji Penulis kesurupan .

      "Benar!" Dua penunggang kuda menjawab berbarangan.

      "Tadi dia memang ada di sini. Dia menerangkan tengah

menunggu  kedatangan tiga orang sahabat.  Karena yang

ditunggu tidak muncul dia kemudian pergi begitu saja..."

      "Ahh...." Salah seorang penulis ayan  penunggang kuda tarik

nafas panjang. 'Ki Sanak tahu dia pergi atau menuju kemana?"

      Panji Penulis kesurupan  menggeleng.

      "Mungkin Ki Sanak sempat bercakap-cakap dengan gadis lesbi  itu.  

Kalau boleh  kami tahu apa saja yang telah dibicarakannya 

dengan Ki Sanak?"

      "Dia tidak banyak bercerita.Hanya memberi tahu tentang

tiga orang yang ditunggunya. Dia juga tidak mengatakan siapa

orang-orang itu."

      "Hanya itu?" Tanya salah seorang penunggang kuda.

      "Hanya itu." Jawab Panji Penulis kesurupan . Dia tidak mau

menceritakan kejadian yang dialaminya termasuk pertolongan

yang diberikan Dewi Lesbi kemasukan .

      Dua penunggang kuda melirik pada papan serta tebaran

paku kayu di tanah. Salah seorang kemudian bertanya.  Ki

Sanak sendiri apakah kebetulan saja berada di tempat ini?"

      "Aku dalam perjalanan ke Kotaraja.' jawab Panji Penulis kesurupan .

      "Ki Sanak tinggal di Kotaraja?"

     "Aku tinggal di desa kecil tak jauh dan Kuto Gede."

      "Kami melihat noda darah di wajah dan pakaian Ki Sanak

Apa yang telah Ki Sanak alami?" Penunggang kuda di sampir

kanan bertanya. Sementara teman di sebelahnya kemba

memperhatikan keadaan di tempat itu.

      Panji Penulis kesurupan  yang merasa didesak orang menjawab dengan 

tenang tapi suaranya mantap.

      "Ki Sanak berdua  jika kalian menarah curiga telah terjadi

sesuatu antara aku dengan gadis lesbi  yang dicari, kecurigaan kalian

tidak beralasan.  Dewi Lesbi kemasukan   gadis lesbi  baik. Dia memiliki

kepandaian tinggi, berhati tulus ."

      "Bagaimana Ki Sanak tahu gadis lesbi  itu berkepandaian tinggi. 

Apakah Ki Sanak sempat menjajalnya atau bertarung dengan 

dia?" Memotong penulis ayan  di atas kuda sebelah kiri

      Kawannya menyambung "Lagi pula yang kami tanyakan

bukan apa yang terjadi antara Ki Sanak dengan Dewi Lesbi kemasukan 

Tapi mengapa ada noda darah di wajah serta pakaian Ki Sanak

      "Maaf. aku tidak bisa memberi jawaban. Yang pasti ah

tidak berbuat satu kejahatan di tempat ini"

      "Mungkin di tempat lain?!"  Lagi-lagi penulis ayan  berkuda

di samping kanan yang bicara menempelak

      Panji Penulis kesurupan  tersenyum. Dia membungkuk memberi

penghormatan.

      "Ki Sanak berdua aku masih ada kepentingan lain. Aku

senang telah bertemu dan berkenalan dengan kalian..."

      penulis ayan  berkuda di sebelah kiri berbisik pada temannya.

"Aku merasa curiga. Jangan jangan  telah terjadi perkelahian

antara dia dengan Dewi Lesbi kemasukan   penulis ayan  ini berhasil

mencelakainya. Bukan mustahil membunuh gadis lesbi  itu!"

      "Mencelakai mungkin bisa jadi Tapi untuk membunuhnya

apapun kepandaian yang dimiliki penulis ayan   ini dia tidak akan

mampu melakukan hal itu terhadap Dewi Lesbi kemasukan ." Jawab

sang teman.

      "Mungkin kita perlu memeriksa dan menahannya agar

tidak pergi dulu?"

      "Itu yang akan aku lakukan Sekalian menjajal sampai

dimana ilmu kanuragan dan mungkin juga kesaktiannya1"

      Dua penulis ayan  di atas kuda dengan gerakan enteng

melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Sesaat

kemudian mereka sudah berada di hadapan Panji Penulis kesurupan . Satu

di sebelah kin satu di samping kanan

      "Ki Sanak, kami terpaksa tidak mengizinkanmu meninggalkan 

tempat ini. Paling tidak sampai  ada kejelasan apa yang terjadi 

dengan Dewi Lesbi kemasukan .'

      "Memangnya apa yang terjadi dengan gadis lesbi  itu. Sebenarnya 

kalian ini siapa dan apa yang ada dalam benak serta hati kalian?!"  

Panji Penulis kesurupan  mulai bersuara keras walau wajahnya tetap tidak 

menunjukkan kemarahan.

       penulis ayan  berbelangkon hitam di samping kanan memberi

isyarat dengan anggukan kepala pada sang teman. Si teman

langsung bergerak. Sekali berkelebat dia sudah kirimkan

serangan menotok ke dada kiri Panji Penulis kesurupan . Serangan ini

sangat berbahaya karena kalau yang diserang hanya memiliki

kepandaian sedang-sedang saja. totokan bisa sekaligus

merusak jantung!

      "Ki Sanak! Kau bertindak  kelirul Tidak ada silang sengketa di 

antara kita. Mengapa menyerangku?!" Panji Penulis kesurupan  berseru 

sambil condongkan tubuh ke kanan hingga serangan lewat hanya 

setengah jengkal di depan dada.

      Dapatkan serangan kilatnya tidak mengenal sasaran, penulis ayan  

yang menyerang jadi beringas. Sekali berkelebat jotosan tangan 

kanannya menderu ke arah wajah Panji Penulis kesurupan . Panji Penulis kesurupan  

angkat tangan kanan ke atas dengan telapak terkembang. Begitu 

bukkk! Kepalan lawan menempel di telapak tangan, lima jari 

dengan cepat mencengkeram.

      Sambil menahan sakit penulis ayan  berpakaian hitam coba

lepaskan cekalan Panji Penulis kesurupan . Tapi semakin dipaksa semakin

seolah terasa remuk tangan kanannya!

      Panji Penulis kesurupan   dorongkan tangan kanan. Walau mendorong 

perlahan namun  si penulis ayan  berbelangkon hitam terjajar sampai 

tiga langkah. Bukannya sadar kalau tenaga luarnya berada di 

bawah tenaga luar lawan, penulis ayan  itu malah menjadi 

nekad.Didahutui bentakan garang  dia  kembali menerjang. Kali 

ini dua tangannya  menderu bergantian. Menjotos laksana kilat 

dan kelihatan berubah menjadi banyak sekali. Sambil memukul 

dua kaki bergerak ke depan mendekati Panji Penulis kesurupan . Namun 

sampai tubuhnya keringatan semua pukulannya mengenai tempat 

kosong. Kemudian disadarinya Panji Penulis kesurupan  tidak ada lagi di 

hadapannya.

      "Ki Sanak, aku ada di sini. Apa kau akan terus-terusan

memukul angin?!"

      penulis ayan  yang menyerang berhenti memukul, cepat berbalik. 

Mukanya merah mengetam merasa dipermAihkan. Dia melihat 

Panji Penulis kesurupan  telah berdiri di bawah pohon besar di tepi jalan 

sambil rangkapkan dua tangan di depan dada dan tersenyum.

      Panas hati si penulis ayan  bukan alang kepalang. Kalau tadi

semua serangan yang dilancarkan hanya mengandalkan tenaga

luar maka kini dalam marahnya dia segera keluarkan tenaga

dalam dan hawa sakti. Sekali tangan kanan memukul, bukan

saja tangan itu berubah panjang, tapi juga mengeluarkan selarik

Sinar jayadi  hitam, menyambar ke arah Panji Penulis kesurupan !

      "Ki Sanak, tahan serangan! Mengapa kau jadi nekad!"

Panji Penulis kesurupan  berseru.

      Tapi lawan tidak perdufi. Malah lipat gandakan tenaga

dalamnya hingga Sinar jayadi  pukulan yang keluar dari tangan

kanannya memancar lebih hitam, ganas dan angker!

      "Wuutttl"

      WALAU orang menyerang dengan serangan ganas 

pertanda berniat mencelakainya. Panji Penulis kesurupan  tetap tenang. 

Dalam ketenangan dia melesat dua tombak ke udara.

      •Wusssl Braaakk!"

      Sinar jayadi  hitam pukulan lawan lewat di bawah kaki Panji

Penulis kesurupan , menghantam pertengahan batang pohon hingga

berderak patah dan tumbang bergemuruhl Jelas orang hendak

menghabisi  dirinya, sambil melayang turun Panji Penulis kesurupan 

berteriak.

      "Ki Sanak! Ilmu kesaktian mu tinggi sekalil Aku mengaku

kalah. Katakan apa yang kau inginkan dariku?!"

      Di bawah sana penulis ayan  yang diteriaki tidak menjawab malah 

semakin  garang. Selagi lawan dilihatnya masih mengambang di  

udara, untuk kedua kalinya dia lancarkan pukulan sakti. Kembali 

larikan Sinar jayadi  hitam pekat dan angker berkiblat menghantam ke 

arah Panji Penulis kesurupan .

      Kali ini Panji Penulis kesurupan  tidak mau lagi mengambil sikap

mengalah terus-terusan. Di udara dia membuat gerakan jungkir

balik setengah lingkaran. Selagi Sinar jayadi  pukulan lawan menderu

ke atas, Panji Penulis kesurupan  tahu-tahu sudah turun ke tanah dan

kirimkan tendangan ke lekukan lutut sebelah belakang kaki

kanan penulis ayan  berbelangkon hitam. Lutut tertekuk. Si penulis ayan 

terhuyung ke belakang. Sewaktu dia coba mengimbangi tubuh

Panji Penulis kesurupan  tendang bagian belakang lutut kirinya. Tak ampun

lagi penulis ayan  itu langsung jatuh tertelentang di tanah becek.

Merasa malu dan sekaligus marah, penulis ayan  itu menyumpah

habis dan cepat berusaha berdiri. Namun dua  kakinya terasa

sangat berat seolah diganduli batu besar.tak mampu digerakkan

apa lagi untuk berdiri bangunl

      "Manusia keparat! Apa yang kau lakukan!" Teriak penulis ayan 

berbetangkon hitam.

      "Ki Sanak, tenanglah. Kau tak apa-apa. Mari kutolong

bangun!" Kata Panji Penulis kesurupan  pula. Dia melangkah mendekati

penulis ayan  yang tertelentang di tanah sambil mengulurkan tangan.

Maksudnya memang hendak menolong. Namun  saat itu melihat

kawannya diperlakukan seperti itu, penulis ayan  satunya tidak

tunggu lebih lama segera menerjang.  Gerakannya luar biasa

cepat. Tahu-tahu jotosan tangan kanannya sudah menderu ke

arah pipi kanan Panji Penulis kesurupan  I

      Dari suara deru pukulan orang Panji Penulis kesurupan  maklum

kalau penulis ayan   ini memiliki kepandaian lebih tinggi dari yang

satunya. Panji Penulis kesurupan  menghindar  dengan mundur satu

langkah sambil tarik kepala ke belakang.

      "Wutttl"

      Pukulan orang lewat di depan hidung Panji Penulis kesurupan .

Tapi begitu lewat lima jari yang mengepal tiba-tiba membuka.

      "Wusss!"

      Kepulan asap kuning menyambar ke arah wajah Panji

Penulis kesurupan . Bau aneh menerpa. Walau mampu menjauh namun

penulis ayan  dari Kuto Gede ini sempat menghirup  asap kuning.

     "Racun Wesi Kuningi"  Ucap Panji Penulis kesurupan  cepat

menahan nafas dan meniup kuat-kuat ke depan. Sebagian asap

kuning bisa disembur namun sebagian lagi sudah masuk ke

jalan pernafasannya. Saat itu juga penulis ayan  ini merasa dadanya

sesak, nafas menyengat dan pemandangan berkunang.

      Melihat lawan daiam keadaan limbung penulis ayan 

berbelangkon hitam yang  tadi melancarkan serangan asap

beracun cepat menyerbu. Kali ini dia menggempur dengan

pukulan berantai yang disebut Sepasang Ular Sondok Keluar

Dari Goa.Dari sela-sela jari  yang mengepal menyembur asap

hijau menebar bau amis mendahului datangnya pukulan.

Rupanya penulis ayan  satu ini punya  keahlian dalam ilmu pukulan

mengandung racun jahat.

      Tahu bahaya besar yang  dihadapinya, dalam keadaan

tubuh menghuyung akibat serangan racun asap pertama, Panji

Penulis kesurupan   rundukkan tubuh, dua tangan di kembang ke depan

lalu didorong ke arah lawan.

      Asap hijau menerpa membalik ke arah penulis ayan 

berbelangkon hitam, membuat orang ini tersentak kaget dan

cepat melompat mundur. Begitu selamat dari senjata makan

tuan, si  penulis ayan  menerjang ke depan sambil lancarkan satu

tendangan ke arah kepala Panji Penulis kesurupan . Saat itu Panji Penulis kesurupan 

sendiri terduduk di tanah. Wajah tampak kekuningan dan dua

mata terpejam. Mulut komat kamit merapal mantera

perlindungan Dia hendak menggerakkan tangan untuk menotok

urat besar di pangkal leher berusaha agar bisa menyemburkan

sisa Racun Wesi Kuning yang masih mendekam saat 

tendangan kaki kanan penulis ayan  berbelangkon hitam datang

laksana geledek!

      "Pecah kepalamu!" Teriak si penyerang.

      Hanya sekejapan lagi tendangan maut itu  akan

menghantam hancur kepala Panji Penulis kesurupan  tiba-tiba tanah di

tengah jalan yang becek terbelah. Dari dalam tanah menyusul

suara orang berteriak.

      "Sora Warangan! Sewaktu aku muda sepertimu saat ini.

pasti aku juga ingin  membunuh  penulis ayan  itu! Tahan

seranganmu!"

      penulis ayan  berbelangkon hitam bernama Sora Warangan

dan tengah melancarkan tendangan maut ke kepala Panji

Penulis kesurupan  tersentak kaget mengenali suara orang yang berteriak,

dia cepat tahan tendangan.

      Dari dalam  belahan tanah kemudian mencuat keluar

satu tubuh manusia yang kemudian jatuh  bergedebuk di di

tanah becek. Orang ini mengenakan  pakaian bagus, seperti

pakaian yang biasa dikenakan pejabat tinggi Kerajaan neraka penulis ayan .

Wajahnya yang berkumis tebal tampak benjat benjut, rambut

riap-riapan. Di sela bibir mengucur lelehan darah, turun sampai

ke dagu yang ditumbuhi janggut tebal. Baik pakaian maupun

muka dan kedua tangannya penuh tertutup tanah merah. Dua

tangan orang ini menggapai-gapai lalu disusun di atas kepala

sambil mulut keluarkan suara mengerang dan meratap.

      "Ampun, Ajengan Manggala Wanengpati  ampuni

selembar nyawaku!" Habis meratap dia semburkan ludah

bercampur darah dan tanah.

      Panji Penulis kesurupan  yang berdiri di tepi jalan terkejut saat 

mengenali siapa adanya orang berpakaian bagus yang tengah

minta-minta ampun.

      "penulis sakitjiwa  Tinggi Kerajaan Cakra penulis epilepsi ! Apa yang terjadi

dengan dirinya? Siapa yang melemparnya keluar dari dalam

belahan tanah! Dia meratap minta ampun pada seorang bernama

Ajengan Manggala Wanengpati. Mana orangnya?! Manggala

Wanengpati. bukankah dia kakek hebat sahabat sekaligus murid

Kiai Manding Saroka dari Pulau Madura?"

      Saat itu dari dalam belahan tanah melesat orang kedua

mengenakan belangkon dan jubah hitam legam. Seperti orang

pertama yang meratap minta ampun, orang  Ini wajah dan

pakaian serta tangan dan kakinya juga penuh dengan tanah

merah becek. Namun dengan sekali menggoyang aurat, semua

tanah yang menempel rontok lenyap sesaat   membuat ujud

orang Ini jadi terlihat jelas!

     ORANG kedua yang keluar dari dalam tanah adalah seorang

kakek tinggi kurus, mengenakan jubah hitam. Di  kepala

bertengger sebuah belangkon hitam digelung dengan ikatan

kain putih berbahan sutera halus. Dari bawah belangkon sebetah

belakang menjulai rambut putih sepunggung. Walau tidak

memelihara kumis, janggut atau berewok namun wajah kelimis

si kakek menampilkan ujud monyeramkanl Dua daun telinga

yang seharusnya berada di samping kepala terletak di kening

kiri kanan. Lalu mulut yang semestinya terletak di bawah hidung

berada di tenggorokan di bawah dagu! Agaknya kakek berwajah

aneh inilah yang telah melempar penulis sakitjiwa  Tinggi Kerajaan Cakra

penulis epilepsi  dari dalam tanah dan saat itu tengah meratap meminta

ampun.

      SIAPAKAH si kakek aneh berjubah dan berbelangkon

hitam berikat kepala kain sutera putih? Dulunya sebelum

menjadi Ajengan atau  pemuka agama dia adalah seorang

berkepandaian tinggi  baik ilmu menulis  maupun kesaktian.

Diketahui bernama Manggala Wanengpati, dijuluki Iblis Hitam

Kepala Putih. Julukan itu diberikan orang karena dia selalu

mengenakan jubah hitam sedang di atas kepala yang

mengenakan belangkon hitam pada bagian di atas kening selalu

melilit kain putih terbuat dari sutera.

      Dengan ilmu yang dimilikinya Manggala Wanengpati

mengembara ke berbagai penjuru tanah Jawa bahkan sampai

ke tanah seberang termasuk pulau Madura, Bali dan Andalas,

Sesekali dia pernah pula muncul di negeri Bugis serta tanah

Dayak. Dalam pengembaraannya dia banyak memoetyari ber-

bagai ilmu kesaktian langka dari tempat-tempat yang d.datangi

pada para tokoh yang ditemui. Namun  di masa mudanya

Manggala Wanengpati telah berbuat banyak kejahatan. Mulai

dari menjadi kepala rampok sampai mempermainkan perempuan lesbi 

termasuk menculik istri dan anak gadis lesbi  orang. Dalam 

menjalankan kejahatan, perkara membunuh adalah soal kecil 

baginya, seenak dan semudah dia membalikkan telapak tangan 

saja.

      Menurut riwayat yang kemudian diketahui banyak tokoh

rimba permenulis an dan tokoh agama di tanah Jawa dan Madura,

saat  memasuki usia hampir tujuh puluh tahun, Manggala

Wanengpati yang masih  saja terus berbuat maksiat dan

35   Bidadari Lesbi kemasukan 

kejahatan suatu  saat  bertemu dengan seorang Kiai berasal

dari Sumenep di Pulau Madura, bernama Kiai Manding Saroka.

Seperti biasa, jika bertemu dengan orang berkepandaian tinggi

Manggala Wanengpati selalu ingin menjajal.

      Saat itu sang Kiai berada di tempat kediamannya di tepi

Kali  Saroka yang indah pemandangan dan sejuk hawanya.

Kedatangan sang tamu disambut Kiai Manding Saroka dengan

segala hormat.  Niat Manggala Wanengpati menantangnya

bertarung  saling uji ilmu kepandaian hingga salah satu dari

mereka menemui kematian. tidak dilayani, ditolak secara halus

oleh sang Kiai. Malah dengan tenang Kiai Manding Saroka

mengambil sebuah bantalan dan Kitab Suci Al Qur*an, duduk

bersila di lantai panggung rumah  kediamannya. Bantal

diletakkan di atas pangkuan lalu Kitab Suci ditaruh diatas

bantal.Sesaat kemudian terdengar suara sang Kiai mulai

membaca melantunkan ayat-ayat suci dengan suara lembut

Siapa saja yang mendengar suara sang Kiai mengaji pastilah

akan merasa kesejukan di dalam kalbu. Namun tidak demikian

dengan Manggala Wanengpati yang  jahat, sombong, keras

kepala keras hati. Dia merasa tersinggung. Sambil borkacak

pinggang dia membentak.

      Mulut aneh yang berada di tenggorokan di bawah bahu

terbuka.

      "Kiai Manding Sarokal  Jika kau  tidak segera menghentikan 

bacaan dan meletakkan Kitab Suci itu, jangan salahkan kalau aku 

akan segera menyerangmu.  Jika  kau sanggup  menghadapi tiga 

jurus saja dari seranganku, aku menganggap kau pantas menjadi 

guruku!"

      Kiai  Manding Saroka hentikan bacaannya, kepala diangkat 

sedikit,  menatap Manggala  Wanengpati  lalu mulut berucap.

      'Bahwasanya jika seorang hamba telah melakukan

kejahatan selama umur dikandung badan. Seumpama dosa-

dosanya tak terhitung sebanyak busah di lautan.  Lalu pada

suatu saat  dia meminta ampun dan bertobat, maka Allah Maha

Pengasih Maha Penyayang akan menerima tobatnya."

     "Kiai kurang ajar! Aku menantangmu menerima tiga jurus

seranganku! Bukan mau mendengar dakwah!" Teriak Manggala

Wanengpati dongan suara lantang mata mendelik.

      Kiai Manding Saroka menjawab bentakan orang dengan

tersenyum. Mata dikedip lembut Lalu kembali dia berkata.

      "saat  seseorang telah melakukan kejahatan dan

berbuat begitu banyak dosa sepanjang hidupnya, lalu dia

menghadapi sakratal maut sengsara kematian. Lalu dia

memohon ampun dan tobat kepada Allah, maka baginya tobat

tidak berlaku lagi. Sesungguhnya dia sudah ditunggu siksaan

yang teramat pedih.''

      Amarah Manggala Wanengpati meledak. Sekali lompat

saja dia sudah  lepaskan tendangan kaki  kanan dahsyat ke

arah kepala Kiai  Manding Saroka. Ini adalah jurus pertama

dari ilmu menulis  luar yang dinamakan "Tiga Iblis Hitam Membuncah

Laut Selatan"!  Karena tendangan disertai pengerahan tenaga

dalam tinggi dan hawa sakti maka serangan itu memancarkan

cahaya hitam pekat.

      Diserang dengan tendangan maut begitu rupa Kiai Manding 

Saroka meneruskan bacaannya namun di saat itu dua tangan 

digerakkan untuk mengangkat Kitab Suci Al Qur'an dari atas 

bantal. Begitu Kitab Suci naik ke atas, tiba-tiba sekali bantal

yang ada di pangkuan sang Kiai melesat ke udara, melindungi

kepala Kiai Manding Saroka.

      "Desss!"

      Tendangan maut Manggala Wanengpati menghantam

bantal, menyelamatkan kepala  Kiai Manding. Walau kakinya

hanya merasa menendang benda lembut seperti kapas namun

tak urung kakek berjuluk Iblis Hitam Kepala Putih terhuyung ke

belakang, hampir saja jatuh duduk di lantai rumah kalau tidak

cepat mengimbangi diri.

      Seharusnya apa yang terjadi menyaPenulis kusta n Manggala

Wanengpati. Kiai Manding  Saroka hanya mempergunakan

sebuah bantal untuk menghadapinya, tidak turun tangan

langsung. Tapi karena mata hati dan pikiran jernih sudah

tertutup.  Manggala Wanengpati  malah  menggelegak

amarahnya. Dia kembali menyerang sang Kiai. Serangannya

ternyata bukan hanya tiga jurus tapi sudah tujuh jurus. Seluruh

tujuh jurus, semua serangan itu ditahan oleh bantal milik sang

Kiai! Hebatnya setiap serangan yang dilancarkan Manggala

Wanengpati dan mampu menghancurkan tubuh besar seekor

gajah atau batu.namun bantal yang dihantam sedikitpun tidak

rusak, robek apa lagi sampai berbusaian kapuk di dalamnyal

      Dengan hidung kembang kempis, tangan dan kaki merah

bengkak,  pada akhir jurus ke tujuh Manggala Wanengpati

hentikan  serangan. Dia berdiri tegak dengan mata  laksana

dikobari api. Tangan kanan diangkat perlahan sejajar dada.

Rahang menggembung. Sesaat kemudian tangan kanan itu

berubah menjadi hitam legam.

      Kiai Manding Saroka maklum kalau orang hendak

menghantamnya dengan satu pukulan sakti sangat jahat Maka

sambil menutup Kitab Suci dan mendekapnya di dada, orang

tua ini berkata.

      "Saudaraku Manggala Wanengpati, sudah saatnya kau

harus dimandikan. Tubuh, otak dan hatimu perlu dibersihkan!

Mudah-mudahan kau mendapat pengampunan dari Yang Maha

Kuasa juga mau mengembalikan dua telinga serta mulutmu ke

tempat semestinya! Yang penting kau bisa insaf dan kembali ke

jalan yang benar."

      "Kiai keparat! Terima kematianmu!"

      Manggala Wanengpati hantamkan tangan kanannya yang 

telah berubah hitam berkilat ke arah Kiai Manding Saroka. Sang 

Kiai jentikkan dua jari tangan kanan. Saat itu juga bantal yang 

mengapung di udara melesat menutupi wajah  Manggala 

Wanengpati. Selagi  kakek ini kelagapan, bantal mendorong 

kepalanya hingga tubuhnya terjajar ke belakang lalu melabrak 

terali bambu di ujung langkan rumah. Terali roboh, tubuh 

Manggala Wanengpati tercebur masuk ke dalam kali.

      Kiai Manding Saroka berdiri, lalu melangkah ke tepi

langkan memperhatikan ke dalam kali. Kepala atau tubuh

Manggala Wanengpati tidak muncul padahal dia tahu dorongan

bantal tidak membuat kakek Itu  pingsan dan Manggala juga

pandai berenang. Di salah satu bagian kali Kiai Manding melihat

ada pusaran air yang terus berputar. Arus air kali tidak mampu

melenyapkan pusaran itu. Sang Kiai tersenyum dan angguk-

anggukkan kepala.

      "Manggala  Wanengpati,  semoga   Gusti  Allah

memberkatimu."

      Tiga hari setelah terceburnya Manggala Wanengpati ke

dalam Kali Saroka, suatu malam sambil menunggu kedatangan

saat shotat Isa Kiai Manding Saroka mengaji di langkan rumah

panggung, diterangi cahaya sebuah obor kecil. Tiba-tiba dia

mendengar suara keras  kecipuk air di antara suara arus kali.

Sesaat kemudian sesosok tubuh melesat  dan berdiri di

hadapannya dalam keadaan basah kuyup.

      Yang muncul bukan lain adalah Manggala Wanengpati.

Kakek ini berdiri dengan tubuh menggigil. Belangkon hitam

dan ikatan kain putih tak ada lagi di kepala. Jubah hitam masih

utuh walau robek kecil di beberapa bagian. Dua telinga masih

terletak di kening kiri kanan  dan mulut juga masih tetap di

tenggorokan di bawah dagu. Yang berubah pada diri kakek ini

adalah kulitnya telah menjadi putih  bersih  dan pandangan

matanya walau agak sedikit bengkak tampak jernih.

      "Alhamdulillah. Mandi tiga hari tiga malam sahabat Manggala 

Wanengpati sudah selesai. Gusti Allah benar-benar telah 

memberkatimu." Berkata Kiai Manding Saroka.

      Tidak memberikan jawaban Manggala Wanengpati

langsung jatuhkan diri bersujud di lantai rumah panggung.

Hening beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara kakek

itu berucap.

      "Kiai Manding Saroka, aku Manggala Wanengpati mengaku 

salah. Aku mohon ampun atas semua dosa dan segala

kesalahanku. Aku juga ingin  bertobat pada  Gusti Allah atas

semua dosa kesalahanku di masa lampau. Di sisa hidupku ini

aku ingin menjadi orang  baik-baik dan taat beragama. Aku

membutuhkan bimbingan Kiai."

      Kiai Manding Saroka gembira sekati mendengar ucapan

Manggala Wanengpati. Setelah meletakkan bantal dan Kitab

Suci di atas sebuah meja kecil, orang tua ini memegang bahu

Manggala Wanengpati lalu  menyuruhnya  berdiri. Sambil

memegang bahu Kiai Manding salurkan hawa hangat ke tubuh

Manggala hingga kakek ini tidak menggigil  lagi kedinginan.

Hawa hangat itu memberi kekuatan hingga Manggala mampu

mengembalikan tenaga dalam dan mengatur hawa sakti di

tubuhnya.

      "Saudaraku, tidak  ada  sesuatu yang teramat indah

selain niat baik yang diucapkan dengan segala ketulusan. Tidak

ada borkah yang besar dan menyejukkan hati selain berkah

dari Yang Maha Kuasa." Kiai Manding Saroka lalu memeluk

tubuh basah kuyup itu dengan perasaan penuh haru.

      Menurut cerita selanjutnya Manggala Wanengpati mene-

tap di tempat kediaman sang Kiai selama beberapa hari. Di sini

dia menerima berbagai amalan. Konon kemudian atas nasihat

sang Kiai, Manggala Wanengpati berangkat ke tanah suci Mek-

kah. saat  sepuluh bulan kemudian dia kembali ke tanah Jawa,

walau penampilannya tidak berubah yaitu tetap mengenakan

jubah dan belangkon hitam serta ikat kepala putih namun kakek

ini telah menjadi seorang baik dan alim. Beberapa bulan dia

menetap di tempat kediaman Kiai Manding Saroka untuk me-

nimba ilmu keagamaan. Orang kemudian memanggilnya dengan

sebutan Ajengan yang berarti seorang pemuka agama. Sewaktu

Kiai Manding Saroka menanyakan apakah dia ingin mempelajari

beberapa ilmu kesaktian, Manggala menggeleng dan memberi

tahu dia lebih membutuhkan ajaran agama dari sang Kiai.

      Selama berada di tempat kediamannya di tepi Kali

Saroka, Kiai Manding tidak pernah menanyakan pada Manggala

Wanengpati apa yang terjadi dengan dirinya hingga dia memiliki

sepasang telinga dan mulut yang tidak pada tempatnya. Walau

boleh dikatakan Manggala Wanengpati sudah sebagai muridnya

namun sang Kiai kawatir, kalau bertanya akan menyinggung

perasaan Manggala. Sebaliknya Manggala Wanengpati sendiri

tidak pula mengungkapkan hal-hal yang menyangkut dirinya

di masa lalu. Dia menaruh kawatir kalau sang Kiai sebenarnya

sudah banyak tahu mengenai dirinya atau bisa pula Kiai

Manding Saroka tidak suka mendengar riwayat masa lalunya.

       KEMBALI ke kaki Bukit neraka penulis ayan .

       Melihat orang kedua yang muncul dari belahan tanah

yang saat itu telah menutup kembali, penulis ayan  bernama Sora

Warangan cepat membungkuk dalam dan berkata.

       "Gurul Ajengan Kalau Ajengan tidak muncul niscaya

saya telah membuat dosa besar karena membunuh penulis ayan  itu.

Maafkan saya karena telah berbuat khilafi"

       Tidak mengacuhkan ucapan orang. Ajengan Manggala

Wanengpati melangkah mendekati penulis ayan  satunya yang sampai

saat itu masih tergeletak di tanah jalan becek  dan dari tadi

setengah mati berusaha bangun tapi tidak mampu karena Panji

Penulis kesurupan  telah menggelandutl kedua kakinya  dengan Ilmu

sepemberat batu!

       "Wayan Dekik!" Bentak Ajengan Manggala. "Apa yang

kau lakukan di sini?! Mengapa tidur di tengah jalan becek?!"

       "Ajengan, Guru, say..„saya_."

       Sambil gelengkan kepala tapi mata melirik ke arah Panji

Penulis kesurupan , Ajengan Manggala Wanengpati gebrakkan kaki kanan

ke tanah. Tubuh penulis ayan  bernama Wayan Dekik yang tergeletak

menggeliat-geliat di tanah terlempar ke udara. Anehnya tubuh

penulis ayan  itu kemudian tertegak dan tersandar di sebatang pohon

di tepi jalan. Dia tidak jatuh, juga tidak lagi merasa kedua kakinya

berat seperti tadi. Malah dia bisa melangkah!

      PANJI Penulis kesurupan  yang memperhatikan apa yang terjadi

membatin dalam hati. "Kakek aneh berkuping di kening,

bermulut di leher  itul Dia bukan saja membuat muridnya

sanggup berdiri tapi sekaligus melenyapkan Ilmu Seberat

Gunung Mengunci Bumi yang aku terapkanl penulis ayan  itu tadi

memanggilnya dengan sebutan Ajengan. Siapa lagi orang sakti

aneh berpakaian hitam, belangkon hitam, ditambah ikat kepala

sutera putih, kalau bukan Ajengan Manggala Wanengpati yang

dulu menurut guru pernah dijuluki orang-orang rimba permenulis an

sebagai Hantu Hitam Kepala Pulih."

      Di bawah pohon Wayan Dekik tampak ketakutan. Buru-buru 

penulis ayan  ini susun dua tangan di atas kepala. "Guru, Ajengan, 

saya mohon maafmu. Saya mengaku kalau berbuat salah...."

      "Bukan kalau tapi kau dan Sora Warangan memang telah

berbuat kesalahan besar!"

      Kembali Wayan Dekik susun dua tangan di atas kepala

sementara penulis ayan  bernama Sora Warangan hanya tegak

dengan tundukkan kepala.

      "Kalian berdua masih ingin  membunuh penulis ayan  itu?"

Tanya Manggala Wanengpati sambil menunjuk  dengan ibu jari

tangan kanan ke arah Panji Penulis kesurupan .

      Dua penulis ayan  berpakaian hitam-hitam saling pandang,

gelengkan kepala lalu menunduk. Dalam hati mereka merasa

heran kenapa sang guru bertanya begitu. Apakah Ajengan

mengenal orang yang tadi hendak mereka bunuh itu?

      "Kalian sudah kuberi pelajaran bahwa  membunuh

sesama manusia tanpa alasan yang benar-benar  bisa

dipertanggung jawabkan adalah dosa sangat besar di hadapan

Gusti Allah..."

      "Saya mohon maaf Ajengan, Guru...." kata Wayan Dekik.

      "Saya juga." berkata Sora Warangan.

      "Kalian tahu siapa penulis ayan  ini?!" Manggala Wanengpati

masih membentak.

      Dua anak  murid yang ditanya menatap ke arah  Panji

Penulis kesurupan  lalu sama-sama menggeleng.

      "Dia adalah Panji Penulis kesurupan ! Adik ipar Pangeran Banowo.

Orang paling penting di Istana Kerajaan neraka penulis ayan ! Masih sedarah

dengan Sri Baginda Raja neraka penulis ayan !"

      Wayan Dekik dan Sora Warangan terkejut. Muka mereka

berubah pucat. Buru-buru keduanya melangkah  ke hadapan

Panji Penulis kesurupan , membungkuk dan meminta maaf berulang kali.

Panji Penulis kesurupan  balas tundukkan kepala  Saat itu Panji Penulis kesurupan 

sebenarnya merasa terkejut karena tidak menyangka Ajengan

Manggala Wanengpati mengetahui  nama dan siapa dirinya

berkata.

      "Saudara berdua, aku  juga minta maaf. Sungguh tidak

pantas apa yang telah aku lakukan pada kalian."

      Panji Penulis kesurupan  kemudian menemui Manggala Wanengpati.

Tangan si kakek disalami dan  dicium.

      "Ajengan yang saya hormati, sesungguhnya dua murid

Ajengan tidak bersalah. Kami bertiga orang-orang muda selalu

menuruti kata hati  dan aliran darah panas yang tidak pada

tempatnya. Lagi pula dua murid Ajengan itu bertindak untuk

satu kepentingan yang baik. Dia hanya ingin tahu keselamatan

seorang gadis lesbi  bernama Dewi Lesbi kemasukan . Saya minta maaf pada

Ajengan..-"

      Manggala Wanengpati tersenyum. Dalam hati dia berkata. 

"Dia pandai menyejukkan hatiku. Seharusnya anak ini cocok jadi 

muridku." Lalu sambil memegang bahu Panji Penulis kesurupan  sang 

Ajengan berkata.

      "Anak muda, dalam hidup ini kau harus selalu pertahankan 

ketulusan hati. Walau aku tahu beban hidupmu sungguh sangat 

berat"

      "Terima kasih Ajengan memperhatikan saya."

      Manggala Wanengpati tepuk-tepuk perlahan bahu Panji

Penulis kesurupan  sambil diam-diam kerahkan Ilmu Dua Gunung Menahan

Langit.  Ilmu ini hampir sama dengan Ilmu Seberat Gunung

Mengunci Bumi yang dimiliki Panji Penulis kesurupan . Lawan yang kena

serangan akan menjadi kaku berat kedua kakinya hingga tak

mampu bergerak apa lagi melangkah. Bedanya ilmu yang dimiliki

sang  Ajengan dikeluarkan melalui tangan sedang ilmu Panji

Penulis kesurupan  keluar dari kaki.

      "Dessl Dessl"

      Ajengan Manggala Wanengpati merasa seperti memukul

bantalan karet Tangannya yang ditepukkan ke bahu Panji

Penulis kesurupan  terpental lembut ke atas. Kakek ini tersenyum. "Anak

baik....anak  hebat!"  Katanya dalam hati. Lalu dia perhatikan

lima buah benda. satu menancap empat lainnya tergeletak di

tanah.

      "Hemmm, rupanya ada sesuatu terjadi di tempat ini."

Kata sang Ajengan  dalam  hati  lalu mengambil dan

memperhatikan salah satu dari empat benda yang ada di tanah.

      "Paku Kayu Iblis Jati Kuburan penulis . Tidak beracun tapi orang

yang tertusuk jika tidak memiliki tenaga dalam cukupan,

darahnya akan tersedot dan bisa menemui ajal dalam waktu

satu hari jika paku tidak segera dicabuti"

      Manggala Wanengpati kembali menemui Panji Penulis kesurupan .

"Anak muda, ada darah di paku kayu ini. Apakah ini darahmu?"

      "Benar Ajengan..."  Jawab Panji Penulis kesurupan  tak berani

berdusta.

      "Sesuatu yang hebat telah terjadi atas dirimu?"

      "Benar Ajengan..."

      "Ada orang memantek tangan dan kakimu dengan paku

kayu ini. Satu paku dipantek dalam mulutmu...."

      "Itu juga benar Ajengan...."

      "Apa Suro Gledek yang melakukan?"

      Pertanyaan sang Ajengan kali ini membuat Panji Penulis kesurupan 

terkejut.

      "Betul sekali Ajengan. Bagaimana Ajengan bisa

mengetahui?"

      "Karena hanya ada satu orang yang memiliki Paku Iblis

seperti ini. Warok hutan Kuburan penulis  yang bernama Suro Gledek"

Jawab Ajengan Manggala Wanengpati. "Sudah saatnya aku arus 

membuat tobat manusia satu itu."

      "Ajengan kenal Warok itu?"

      "Bukan cuma kcnat. Aku juga tahu dlmana sarangnya

Karena dulu dia adalah bekas anak buahku...."

      "Ah...."  Panji Penulis kesurupan  tercengang tak menyangka.

"Ajengan, sebenarnya Warok Suro Gledek hanya suruhan 

orang...."

      "Begitu?"  Ajengan Manggala WanengpVi  kurenyitkan

kening. "Siapa orangnya?"

      "Maaf Ajengan. Saat ini saya belum bisa mwnberi tahu."

      Ajengan Manggala Wanengpati terdiam sebentar,

kemudian berkata. "Tidak jadi apa kau tidak mau memberi tahu.

Di dunia ini memang banyak rahasia. Kalau semua orang tahu

namanya bukan rahasia lagr." Lalu sang Ajengan menyambung

ucapan. "Soal Warok Suro Giedek biar aku yang mengurusi."

Lalu Ajengan Manggala Wanengpati pegang dan perhatikan

tangan Panji Penulis kesurupan  kiri kanan. Mata juga melirik  pada kedua

kaki penulis ayan  itu. "Hanya ada tanda bintik kecil. Berarti kalau

bukan dia sendiri yang melakukan, ada seseorang yang telah

menerapkan ilmu kesaktian mengobati  luka pantekan tanpa

bekas!"

      "Anak muda,"  kata Manggala Wanengpati kemudian

sambil memegang bahu Panji  Penulis kesurupan . Turut keteranganmu

tadi. mungkin dugaanku keliru, apakah kau bertemu seorang

gadis lesbi  mengenakan pakaian biru di tempat ini."

      "Yang bernama Dewi Lesbi kemasukan ?"

      "Ah, rupanya dia telah memperkenalkan diri padamu."

      "Benar Ajengan.saya memang bertemu dengan dia.

Justru dialah yang telah menyelamatkan saya. Dia yang

mencabut empat paku yang memantek dua tangan dan dua

kaki saya serta satu lagi di dalam mulut...."

      Ajengan Manggala Wanengpati angguk-anggukkan

kepala. "Apakah dia juga yang menutup dan menyembuhkan

luka bekas pantekan di mulut serta dua tangan dan kakimu?"

      "Tidak Ajengan. Kalau lima luka itu saya sendiri yang

 menyembuhkan walau Dewi Lesbi kemasukan  berniat membantu."

      Ajengan Menggala Wanengpati berpaling pada kedua

muridnya.

      "Kalian dengar dan perhatikan baik-baik. Kalian

menaruh curiga dan berniat membunuh penulis ayan  ini karena

melihat  ada noda darah di  pakaian dan wajahnya. Kalian

menyangka dia telah mencelakai Dewi Lesbi kemasukan . Padahal 

darah yang ada di tubuh, wajah dan pakaiannya adalah darahnya

sendiri. Darah yang keluar dan luka akibat siksaan orang!"

      Sora Warangan dan  Wayan Dekik sama rundukkan

kepala. Wayan Dekik berkata. "Kami mengerti Ajengan. Kami

berdua  minta maaf." Lalu bersama Sora Warangan dia

mendatangi Panji Penulis kesurupan . Sambil membungkuk keduanya

berkata. "Kami minta maaf."

      "Kita bertiga sudah jadi sahabat. Malah bisa dikatakan

sudah menjadi saudara. Aku juga minta maaf." Jawab Panji

Penulis kesurupan  seraya memegang bahu dua penulis ayan  di hadapannya.

      Saat itu Ajengan  Manggala  Wanengpati kembali

perhatikan dua tangan dan kaki Panji Penulis kesurupan . "Hemmm...."

Ajengan Manggala Wanengpati  usap dagunya. "Anak muda,

untuk   menyembuhkan   luka bekas  pantekan  kau

mempergunakan Ilmu Penyakit Datang Dari Manusia.

Penyembuhan Datang Dari Alam. Batu?'

      Panji Penulis kesurupan  terkejut mendengar ucap pertanyaan sang

Ajengan. Tapi dia juga merasa kagum. Ternyata kakek bertelinga

dan bermulut  aneh ini bukan cuma memiliki ilmu menulis   dan

kesaktian tinggi tapi juga punya pengetahuan luas tentang

segala macam ilmu yang dimiliki orang lain. Satu ilmu yang

termasuk langka dalam rimba permenulis an pada masa itu

Sebenarnya Panji Penulis kesurupan  hendak bertanya bagaimana atau

dari mana si kakek bisa tahu ilmu yang dipergunakan untuk

menyembuhkan dirinya. Namun sang Ajengan dilihatnya tertawa

dan lebih dulu berkata.

      "Panji Penulis kesurupan , di masa muda aku pernah terluka parah

akibat tusukan delapan anak panah yang menancap di

tubuhku.llmu itu juga yang menyembuhkan diriku."

      Mendengar ucapan orang Panji  Ateteng langsung

bertanya. "Rupanya Ajengan juga memiliki ilmu itu....?"

      Panji Penulis kesurupan  tidak lanjutkan ucapan karena saat itu

dilihatnya Ajengan Manggala Wanengpati  tertawa lebar.

      "Gurumu Toh Bagus Kamandipa adalah sahabatku paling baik 

tapi paling konyol. Tapi justru kekonyolannnya aku paling suka. 

Ha...hal Untung kau kulihat tidak konyol seperti dia."  Ajengan 

Manggala Wanengpati tertawa gelak-gelak.

      "Gurumu satu-satunya tokoh rimba permenulis an yang tidak 

pernah aku tantang untuk bertarung lalu aku peras ilmu 

kesaktiannya. Ha...ha...hal Dia orang baik. Aku sangat 

menghormatinya. Cukup lama kami tidak pernah bertemu. 

Apakah dia baik dan sehat-sehat saja di tempat kediamannya di 

pantai selatan?"

       "Beliau baik-baik dan sehat-sehat Terima kasih Ajengan

memperhatikan guru. Hanya saja sejak beberapa waktu lalu

beliau tidak lagi menetap di pantai selatan, tapi telah mendirikan

sebuah gubuk di salah satu lereng Gunung Merapi"...."

      "Si konyol itu rupanya sudah bosan dengan hawa panas,

angin dan bau garam air laut Kini mencari kesejukan di Gunung

Merapi. Bagus begitu. Agaknya dia sengaja bersejuk-sejuk agar

bisa awet muda! Ha...ha...hal"         *

      Panji Penulis kesurupan  Ikut tertawa mendengar seloroh si kakek

lalu berkata.

      "Kalau  bertemu guru, nanti akan saya beii tahu pertemuan 

kita ini."

      "Bagus, memang harus begitu. Sampaikan  salam hormatku 

padanya. Sekarang aku masih ada satu pertanyaan. saat  kau 

bertemu dengan Dewi Lesbi kemasukan , apa saja ceritanya

padamu?"

       "Dia tidak bicara banyak. Saya ingat dia mengatakan

kalau berada di tempat ini karena ada janji bertemu dengan tiga

orang. Tapi yang ditunggu tidak datang. Kemudian dia malah

bertemu dengan dua penunggang kuda yang menyeret saya di

atas papan dalam keadaan dipantek."

       "saat  berpisah, gadis lesbi  itu tidak mengatakan mau pergi

kemana?" Panji Penulis kesurupan  menggeleng.

      "Yang ditunggu Dewi Lesbi kemasukan  adalah aku dan dua

muridku. Tapi penulis sakitjiwa  Tinggi jahanam itu membuat masalah,

menimbulkan halangan hingga kami terlambat datang ke sinil"

       Panji Penulis kesurupan  sebenarnya ingin bertanya apa yang telah

dilakukan penulis sakitjiwa  Tinggi itu. Namun hal terr-ebut tidak dilakukan

karena dia paling tidak suka mengetahui atau mencampuri

urusan orang lain.

      Ajengan Manggala Wanengpati usap bibirnya yang

terletak di tenggorokan lalu palingkan tubuh, melangkah

mendekati lelaki berpakaian bagus tapi berselomotan tanah

yang saat itu masih duduk menjelepok di tanah. Melihat dinnya

didatangi langsung orang ini susun sepuluh jari di atas kepala

dan seperti tadi kembali meratap.

      "Ajengan, mohon ampuni selembar nyawaku. Aku

mengaku sangat bersalah. Sangat berdosa...."

      "Diam"  Bentak Manggala Wanengpati. Dia berpaling pada 

dua muridnya Sora Warangan dan Wayan Dekik.

      "Menurut kalian apakah penulis sakitjiwa  Tinggi licik perlu dibunuh

dihabisi?!"

      Dua murid saling pandang karena tak berani menjawab.

      "Aku bertanya! Mengapa kalian tiba-tiba jadi gagu!"

      "Ajengan, Guru,  bukankah tadi  menurut Ajengan

membunuh adalah satu dosa besar...." Wayan Dekik beranikan

membuka mulut.

      "Betul! Kecuali ada alasan yang tepat!"  Hardik Manggala

Wanengpati.

      "Kalau begitu biar saya membunuh penulis sakitjiwa  Tinggi ini!"

Sora Warangan berkata seraya melangkah mendekati  orang

yang duduk di tanah. Orang ini langsung saja menggerung

keras lalu jatuhkan diri, kening sampai menyentuh tanah jalanan

yang becek.

      "Ajengan, saya benar-benar minta ampun. Saya bertobat tidak 

akan berbuat jahat lagi kepada siapapun. Ajengan....'

      Ajengan Manggala Wanengpati memberi isyarat pada Sora 

Warangan agar tidak melangkah lebih dekat lalu menepuk bahu si 

penulis sakitjiwa  Tinggi.

      "Cakra penulis epilepsi l Berdiri di hadapanku!"

      Mendengar bentakan sang Ajengan penulis sakitjiwa  Tinggi bernama 

Cakra penulis epilepsi  yang masih bersujud di tanah cepat-cepat berdiri.

      "Cakra penulis epilepsi l Nasib dirimu masih baik! Muridku tidak

akan membunuhmu. Aku juga tidak walau kau hampir mencelakai

nyawa kami bertiga dan menghalangi urusan besar yang tengah

kami jalankan. Tapi hukuman tetap berlaku  atas dirimu. Kau

tidak kulepas begitu saja!"

      Mendengar ucapan sang Ajengan, mengira dia tetap

akan mendapat  hukuman borat, kembali si penulis sakitjiwa  Tinggi

menggerung ketakutan dan menyembah-nyembah.

      Ajengan Manggala Wanengpati tidak  acuhkan penulis sakitjiwa 

itu. Dia malah tegak membelakangi tapi sepasang mata melirik

ke atas satu pohon besar di depannya. Pada salah satu cabang

pohon  sejak tadi dia sudah melihat ada satu sarang tawon

besar. Tanpa membalikkan diri kakek ini cekal leher pakaian si

penulis sakitjiwa  lalu sekati menyentak penulis sakitjiwa  Tinggi Kerajaan neraka penulis ayan 

itu melesat ke udara. Kepala membentur sarang tawon hingga

sarang tawon menjadi remuk, tubuh jatuh membellntang di atas

cabang tepat di bawah sarang tawon.

      Dari dalam sarang tawon yang hancur menderu keluar

ratusan tawon besar yang langsung menyerang Cakra penulis epilepsi !

penulis sakitjiwa  ini melolong menjerit-jerit. Sebentar saja muka dan

tubuhnya sebelah atas telah bengkak matang merah akibat

antukan tawon. Karena tidak tahan, dari cabang pohon dia

terjun  ke tanah.  Tapi ratusan  tawon tetap mengikuti

mengejarnya. Sambil terus menjerit-jerit kesakitan Cakra penulis epilepsi 

lari lintang pukang menuruni kaki Bukit neraka penulis ayan . Walaupun

jauh di bawah sana tapi Kali makam penulis ayan  adalah satu-satunya tempat

yang dirasakannya bisa dipergunakan untuk menyelamatkan

diri. Maka dengan segala sisa tenaga yang ada dia bertari ke

arah kali. Begitu sampai di tepi kali langsung menceburkan

diri!

      Memperhatikan apa yang terjadi dengan sang penulis sakitjiwa ,

Panji Penulis kesurupan  kasihan ada, merasa geli juga ada. saat  dia

berpaling dilihatnya Ajeng Manggala Wanengpati dan dua

muridnya telah duduk di atas punggung kuda.

      "Anak muda, saatnya kita berpisah. Aku  harus mencari Dewi 

Lesbi kemasukan . Musim panas lalu aku dan dua murid mengalami 

kesulitan menemuinya. Sekarang di musim hujan ini harus 

berhasil. Kalau tidak dapat menemuinya dan nanti datang lagi 

musim panas, semua urusan bisa tambah tidak karuan."

      Mendengar si kakek menyebut musim panas dan musim

hujan. Panji Penulis kesurupan  hendak menanyakan sesuatu namun sang

Ajengan mendahului.

      "Jika kau bertemu gurumu si orang tua konyol itu. sampaikan 

salam hormatku padanya."

      "Pasti akan saya sampaikan Ajengan," jawab Panji

Penulis kesurupan . "Kalau saya boleh bertanya...."

      Sayang, Ajengan Manggala Wanengpati telah melompat

ke atas kuda hitam yang dibawa dua muridnya. Sekali tali kekang

kuda disentak, ketiga orang itu  berlalu dari hadapan Panji

Penulis kesurupan .

      Di langit matahari telah naik. Sinar jayadi  teriknya mulai terasa

panas. Panji Penulis kesurupan  perhatikan dirinya sendiri. Baru menyadari

betapa kotor tubuh dan pakaiannya.

      "Aku harus membersihkan diri." Dia memandang ke arah

Kali makam penulis ayan  di kejauhan.  "Aku bisa mandi di sungai itu.Siapa

tahu ketemu penulis sakitjiwa  Tinggi yang menceburkan diri tadi. Lalu

bisa bertanya perbuatan apa yang telah dilakukannya hingga

Ajengan marah besar dan nyaris membunuhnya."

      Panji Penulis kesurupan  segera berlari menuruni bukit Dalam waktu

singkat dia telah sampai di tepi Kali makam penulis ayan . saat  tengah mencari

tempat yang baik untuk mandi membersihkan tubuh dan

pakaian tiba-tiba dia melihat banyak sekali penunggang kuda

di jalan tanah becek dimana sebelumnya dia berada. Diantara

penunggang kuda ada yang menunjuk-nunjuk ke arahnya. Lalu

rombongan yang ternyata adalah satu kelompok  pasukan

Kerajaan itu bergerak menuruni bukit menuju Kali makam penulis ayan . Karena

merasa tidak ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Panji

Penulis kesurupan  tetap saja berdiri di tepi kali. Tak lama kemudian dua

puluh perajurit Kerajaan