Dewi Lesbi kemasukan berjongkok di samping kepala penulis ayan yang dipantek di atas
papan.
"Cabut lebih dulu paku kayu yang ada di dalam mulutnya...." Ucapan itu
terngiang lagi di telinganya. Si gadis lesbi ulurkan tangan kiri kanan. Gerakan dua
tangan membuat mulut si penulis ayan terbuka. Begitu dia melihat ke dalam mulut Dewi
Lesbi kemasukan tercekat. Ternyata di dalam mulut penulis ayan itu memang ada satu paku
kayu, menancap ke bagian dalam tenggorokan yang digenangi darah. Dewi Dua
Musim geleng-geleng kepala.
"Jahat sekali!" Katanya dalam hati. Lalu dengan cepat tangan kanan
dimasukkan ke dalam mulut. Begitu paku kayu ditarik, darah menyembur.
SETELAH didera musim kemarau lebih dari setengah tahun,
saat akhirnya hujan turun cukup lebat pagi itu penduduk di
kawasan kering tanah Jawa terutama di bagian tengah dan timur
merasa lega dan gembira. Banyak diantara mereka, yang
umumnya para petani pemilik ladang dan sawah memanjatkan
puji syukur kepada Sang Pencipta Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang dengan berbagai cara baik dalam upacara
adat maupun bentuk keagamaan. Di laut utara dan selatan para
nelayan tidak kalah rasa syukur dan gembira mereka. Karena
pada akhir musim kemarau yang memasuki musim penghujan.
ikan di laut muncul dalam jumlah lebih banyak dari biasanya
dan tentu saja ini merupakan rahmat serta rezeki berlimpah dari
Yang Maha Kuasa.
Hari ke lima setelah hujan pertama kali turun, para petani
mulai ramai ke sawah untuk menanam bibit padi. Pemilik ladang
mulai mencangkul tanah guna persiapan menanam berbagai
macam tanaman yang dapat dipanen dalam waktu singkat anak-
anak terlihat riuh di kali dan sungai, berenang dan bermAih-mAih
sambil memandikan kerbau.
Pagi itu, di lereng Bukit neraka penulis ayan sebelah timur, tak jauh
dari kaki Gunung Gajah, seorang gadis lesbi belia duduk di bawah
sebatang pohon, asyik menatap pemandangan indah yang
terhampar di hadapannya. Di kejauhan Gunung Gajah menjulang
biru kehijauan. Di kaki gunung petak-petak sawah yang
sebelumnya merupakan tanah gersang kini basah berlumpur,
ramai oleh petani. Mereka bekerja penuh semangat sambil
sesekali tertawa berseloroh. Ada yang memperbaiki pematang
sawah, ada yang membongkar saluran air yang tersumbat.
Kerbau-kerbau pembajak tanah terlihat mundar-mandir hampir
di setiap petak sawah. Beberapa petani yang mampu bekerja
cepat malah sudah mulai menyemai menebar bibit padi.
Di kejauhan d, arah timur Kali makam penulis ayan membelintang
biru seolah seekor ular panjang membelah bumi. Sesekali alunan
arusnya tampak berkilau oleh pantulan Sinar jayadi matahari yang
tidak terlalu terik.
Hanya beberapa tombak dari lereng bukit di mana gadis lesbi
berpakaian biru duduk menikmati pemandangan indah, ada satu
jalan tanah yang cukup lebar, sejajar dengan Bukit neraka penulis ayan .
Akibat hujan, tanah yang tadinya keras gersang ini, sekarang
berubah menjadi gembur becek.
Jalan tanah ini merupakan salah satu dari jalan utama
yang menghubungi Kotaraja dengan kawasan di sebelah barat.
Mulai dari Godeyan dan Gamping sampai ke Renteng, terus ke
Sibolong dan Girimulyo, terus lagi ke Borobudur. Di sebelah
selatan slmpangan jalan tanah menuju ke Sedayu, Argosari
dan berakhir di Wates.
Siapakah gerangan gadis lesbi yang duduk sendirian di lereng
Bukit neraka penulis ayan itu? Dari pakaian birunya yang sederhana serta
kasut kulit kasar yang menyarungi dua kaki, sulit untuk
menduga apakah dia seorang yang berasal dari desa atau
penduduk Kotaraja! Wajahnya sama sekali tidak dipalut
dandanan namun kecantikan alami yang dimilikinya
mengagumkan untuk dipandang. Sepasang mata bulat jernih.
Bagian putih tampak bening, bola mata hitam pekat membuat
mata Ku seolah berkilat. Ini menambah pesona pada kecantikan
raut wajahnya. Lalu mengapa dia berada seorang diri di lereng
bukit itu? Apa benar hanya untuk menyaksikan keindahan alam
yang terpampang di hadapannya? Terlalu berbahaya bagi
seorang gadis lesbi sebelia dia berada seorang diri di tempat sunyi
seperti itu. Karena sejak beberapa waktu belakangan im daerah
itu merupakan salah satu tempat orang jahat seperti begal dan
rampok berkeliaran. Sesekali si gadis lesbi memandang ke arah ujung
jalan di sebelah selatan, sambit telinga dipasang. Agaknya ada
yang tengah ditunggunya.
Sayup-sayup di kejauhan tiba-tiba terdengar suara
derap kaki-kaki kuda, sekali-sekali ditingkah suara binatang itu
meringkik. Kalau saja tanah jalanan tidak berubah becek derap
kaki kuda niscaya akan terdengar lebih keras. Diantara suara
derap kaki kuda terdengar suara aneh berkepanjangan. Suara
ini seperti sebuah benda yang bergerak menggeser tanah
jalanan.
Sepasang mata gadis lesbi berpakaian biru membesar tak
berkesip. Dua alis hitam lengkung bergerak naik lalu mata itu
menatap ke arah kiri lereng bukit. Pandangan ditukik ke bawah,
ke arah jalanan tanah. Dari balik kerapatan pepohonan dia bisa
melihat ada dua ekor kuda dipacu ke jurusan utara Gunung
Gajah.
"Aku bisa melihat dua ekor kuda dan penunggangnya.
Tapi aku tidak bisa melihat benda yang mengeluarkan suara
berkepanjangan. Apakah orang yang kutunggu sudah datang?
Seharusnya ada penunggang kuda ke tiga."
gadis lesbi berpakaian biru membatin dalam hati. Lalu dia
berdiri. Gerakannya anggun dan penuh kelembutan. Dari balik
pakaiannya dia mengeluarkan satu kotak kayu kecil. saat
dibuka isi kotak itu ternyata adalah berbagai alat untuk
menghias diri. Mulai dari pupur merah muda, kayu penebal alis
dan kayu merah berujung lembut untuk pemoles bibir. Pada
bagian belakang penutup kotak menempel sebuah cermin kecil.
Sambil memperhatikan ke dalam cermin, gadis lesbi itu bukannya
mulai menghias wajah, tapi malah tertawa. saat mulutnya
terbuka tampaklah barisan gigi yang putih berkilau bak mutiara
serta lidah merah basah.
'Mengapa aku masih merasa diri seperti gadis lesbi desa
yang baru menanjak dewasa? Apakah aku masih memerlukan
cara berhias kuno mempergunakan segala macam peralatan
tolol ini? Aih, sungguh bodohnya diri ini."
Kotak kayu kecil ditutup kembali. Lalu tangan kanan
diayun satu kali dan wuttt! Kotak kayu dilempar ke udara! Kotak
ini kemudian menyangsrang jatuh di serumpunan semak
belukar.
Di jalan tanah di bawah lereng bukit, dua penunggang
kuda mulai nampak semakin jelas namun benda yang
mengeluarkan suara geseran dengan tanah masih belum
diketahui. gadis lesbi di lereng bukit dongakkan kepala. Sepasang
mata yang jernih menatap ke langit. Telapak tangan kanan
dikembang. Perlahan-lahan telapak tangan di usap ke wajah.
mulai dari kening sampai ke dagu. Begitu tangan diturunkan
kelihatanlah wajah si gadis lesbi yang tadi cantik alami tidak
berdandan kini telah berubah jauh lebih cantik. Kulit wajah
kelihatan merah segar, sepasang alis melengkung bagus lebih
hitam dan bibir merah merekah. Dia telah menghias diri secara
gaib. Tidak sampai di situ. Sehelai kain biru diikat di kening.
rambut diacak lalu digerai lepas. Kini kecantikannya seolah
bertambah. Sungguh sangat mempesona.
Di kaki bukil, kembali terdengar suara kuda meringkik.
gadis lesbi cantik berpakaian biru tidak menunggu lebih lama. Sekali
dia menggerakkan dua kaki, tubuhnya melesat ke udara lalu
seperti seekor burung tubuh itu menukik melayang ke bawah.
sepasang kaki menjejak enteng di cabang satu pohon besar
yang tumbuh di tepi jalan tanah yang akan dilalui dua
penunggang kuda Semua gerakan yang dilakukan gadis lesbi itu
sungguh Indah, seolah dia tengah menari di udara cerah. Selain
ituu jelas sudah, gadis lesbi cantik Ini bukan orang sembarangan.
Paling tidak dia mempunyai ilmu kesaktian yang membuatnya
mampu bergerak cepat dan gesit serta ilmu meringankan tubuh
pada tingkatan yang bukan sembarang orang bisa memiliki.
saat si gadis lesbi alihkan pandangan ke ujung jalan, ke
arah dua kuda dan penunggangnya saat itulah untuk pertama
kali dia melihat benda apa yang mengeluarkan suara bunyi
menggeser tanah berkepanjangan.
Sepasang alis mata si gadis lesbi langsung berjingkat naik!
Bibir yang merah merenggang terperangah. Kepala digeleng
beberapa kali.
Penunggang kuda di sebelah depan bertubuh gemuk
gempal, mengejakan pakaian dan belangkon hitam. Pada bagian
depan belangkon tersemat hiasan bintang dalam lingkaran,
terbuat dari kuningan berkilat. Tampang garang tertutup kumis
dan berewok meranggas tebal.
Penunggang kuda kedua berpakaian dan
mengenakan belangkon yang sama. Walau kumisnya kecil saja
dan hanya dagunya yang ditumbuhi jenggot kasar namun
tampangnya tampak angker. Apa lagi di wajah sebelah kiri ada
codet bekas luka.memanjang mulai dari mata sampai
pertengahan pipi. Cacat ini membuat kelopak mata kirinya
mencuat merah mengerikan. Sambil menunggang kuda orang
ini mencekal seutas tambang yang ujungnya diikat ke leher
kuda. Ujung tambang yang lain terikat pada sebatang balok
yang menjadi salah satu landasan tiga buah papan. Di atas
papan terkapar sosok seorang lelaki, tubuh dan pakaiannya
penuh lumuran darah. Wajah tak jelas karena dipenuhi darah
yang mengucur dari luka di kening.Dua tangan orang ini
terpentang ke atas. Telapak tangan kiri kanan dipantek ke papan
dengan potongan bambu yang dibuat seperti paku besar. Dua
kakinya juga dipantek dengan potongan bambu. Darah
mengucur dari luka pantekan. Tak dapat dipastikan apakah or-
ang itu masih hidup atau sudah menjadi mayat
"Yang datang bukan orang-orang yang aku tunggu"
gadis lesbi cantik di atas pohon berucap perlahan. Walau hatinya
kecewa besar namun wajahnya tetap tenang, malah dia sama
sekali tidak unjukkan rasa ngeri melihat orang yang dipantek di
atas papan yang diseret kuda! Di dalam hati dia berkata.
"Kasihan, dosa kesalahan apa yang dibuat orang itu
hingga diperlakukan begitu rupa. Dalam kehidupan yang
katanya beradab ini mengapa masih ada kekejaman begini
rupa...."
Beberapa tombak lagi dua kuda dan penunggangnya
akan sampai di bawah pohon besar, gadis lesbi di atas cabang
pohon membuat gerakan enteng, melayang turun sambil
berseru.
"Dua kerabat berbclangkon hitami Mohon berhenti
barang sebentar. Ada yang akan aku tanyakan!"
DUA ekor kuda yang tengah berlari kencang meringkik keras.
Dua penunggang berusaha menghentikan lari kuda masing-
masing dengan menarik tali kekang kuat-kuat hingga binatang
itu berjingkrak dan sepasang kaki depan naik ke atas. Di atas
punggung kuda, dua orang penunggangnya hampir saja
mencelat jatuh kalau tidak cepat-cepat memagut leher
tunggangan mereka yang larinya akhirnya bisa dihentikan
dengan susah payah. Celakanya kuda kedua, walau bisa
berhenti namun papan yang ditarik terus meluncur deras di
tanah becek lalu menghantam dua kaki belakangnya
"Kraakk!Kraaakl"
Dua kaki belakang kuda patah. Didahului suara
meringkik keras binatang ini ambruk ke tanah, melempar
penunggangnya. Rupanya sang penunggang orang berilmu
juga karena dengan gerakan enteng dia tidak sampai jatuh
terbanting di tanah becek. Sepasang kaki menyentuh dan
menginjak tanah lebih dulu. Papan di atas mana orang yang
dipantek tergeletak melesat satu tombak ke udara lalu jatuh ke
tanah, berpatahan di beberapa bagian namun sosok di atasnya
tetap terpentang tak bergerak.
Lelaki gemuk bermuka berewokan di sebelah depan
hendak mendamprat marah, namun saat melihat siapa yang
berdiri di tengah jalan, amarahnya langsung saja menjadi
surut. Sebaliknya kawan di sebelah belakang yang kaki
kudanya patah dan masih tergeletak di tanah tidak bisa
membendung amarah. Dia membentak garang.
"perempuan lesbi jahanam! Kau mematahkan dua kaki
kudaku! Aku akan menghajarmu!" Habis membentak si codet
ini melompat ke hadapan gadis lesbi berpakaian biru sementara
temannya si gendut sudah melompat turun ke tanah.
Si gadis lesbi tenang saja, tidak beranjak dari tempatnya.
Malah sambil mengangkat tangan dia berkata dengan suara
lembut.
"Aih! Maafkan, bukan aku yang mematah dua kaki kuda
itu. Tapi papan yang kau seret sepanjang jalan. Tapi memang
aku mengaku salah karena aku yang membuat gara-gara kuda
kalian terkejut ketakutan. Sekarang biar aku perbaiki dua kaki
kudamu."
"Memperbaiki dua kaki kudaku? Gelo! Kau kira dua kaki
kudaku bisa diperbaiki seperti memperbaiki ladam besi?l Dua
kaki kuda itu patah tahu!. Bagaimana kau mau memperbaiki?
Wong edan" Lelaki bermuka codet, berkumis dan berjanggut
kasar berkata setengah berteriak.
"Maksudku, aku akan mengembalikan keadaan dua kaki
kudamu seperti semula..." Jawab si gadis lesbi sambil tersenyum.
"Apa?!" Lelaki berwajah codet menghardik merasa
dipermAihkan.
Tanpa perdulikan kemarahan orang si gadis lesbi dekati kuda
yang tergeletak di tanah. Binatang ini meringkik keras. Kepala
dan dua kaki depan berusaha ditegakkan namun tubuhnya
kembali roboh. Selanjutnya binatang ini hanya bisa melejang-
lejang dan meringkik berulang kali.
"Sahabatku kuda bagus, tak usah takut. Tenang... tenang
saja. Memang tadi gara-garaku dua kakimu jadi patah. Sekarang
biar aku menyembuhkan." Si gadis lesbi usap-usap tengkuk kuda
dan bagian kening antara kedua matanya.
Kuda yang tergeletak di tanah becek dan tadi bersikap
liar karena rasa sakit luar biasa pada kedua kakinya yang
patah, mendadak berubah jinak dan diam. Kepala dijulur lalu
ditidurkan di tanah. Sepasang mata setengah terpejam.
"Kudaku mati!' Teriak si codet dengan mata mendelik,
tampang beringas.
gadis lesbi cantik tersenyum lalu berkata. "Kudamu tidak mati.
Dia mendengar apa yang aku ucapkan dan pasrah untuk
mendapat kesembuhan. Semoga Yang Maha Pengasih
menolong sahabatku ini."
Sambil berkata si gadis lesbi berjongkok di samping kuda
yang rebah. Dua tangan diulur. Tangan kiri memegang kaki
belakang sebelah kanan lalu tangan kanan mengusap
mengurut-urut kaki itu tiga kali berturut-turut sambil mulut
meniup. Hal yang sama dilakukan dengan kaki kiri belakang si
kuda. Selesai mengurut si gadis lesbi tepuk pinggul kuda sambil
berseru.
"Kuda bagus! Ayo berdiril Kau sudah sembuh!"
Ajaib!
Begitu ditepuk walau agak terhuyung-huyung tapi kuda
yang patah dua kaki belakangnya itu mampu berdiri kembali!
Dua lelaki berpakaian dan berbelangkon hitam sama-
sama terkejut dan saling pandang terheran-heran. Walau
menyaksikan dengan mata kepala sendiri tapi masih tak bisa
percaya. Bagaimana mungkin! Dua kaki kuda yang patah
disembuhkan hanya dengan cara mengusap mengurut sambil
meniup! Kedua orang ini palingkan kepala, menatap ke arah si
gadis lesbi . Memperhatikan mulai dari kepala sampai ke kaki.
Sementara itu kuda yang barusan ditolong kini berdiri
menggeser-geserkan moncongnya ke bahu si gadis lesbi sambil
keluarkan suara menggeru perlahan. Agaknya dengan cara itu
binatang ini ingin menyampaikan rasa terima kasihnya.
Si gadis lesbi tersenyum. Dia balas membelai tengkuk dan
kepala kuda sambil berkata. "Kau kuda yang mendapat berkah.
tahu mengucapkan rasa terima kasih walau kau hanyalah seekor
binatang.Tapi banyak yang namanya anak manusia tidak tahu
berterima kasih setelah menerima berkah dari Yang Maha
Kuasa...."
Lelaki codet yang tadi marah besar dekati temannya
dan berbisik.
"Kita harus hati-hati. gadis lesbi itu bisa saja Lelembut Bukit
neraka penulis ayan atau seorang penyihir jahat yang tengah berkeliaran
mencari mangsa!"
Betum habis kejut ke dua lelaki itu, di depan mereka si gadis lesbi
membuka mulut berkata.
"Dua kerabat harap lupakan apa yang terjadi. Sekarang
apakah aku boleh mengajukan barang satu-dua pertanyaan?"
Dua telaki kembali saling pandang. Si codet yang masih
penasaran lalu berkata dengan nada kasar.
"Katakan dulu siapa dirimu! Mengapa berani menghadang
kami orang-orang Pangeran Banowo yang tengah mengurus satu
perkara besar!"
"Aih! Jadi kerabat berdua adalah orang-orang Pangeran
Banowo. Bukankah Pangeran itu dikabarkan adalah calon
Adipati lubang jurang ? Salam hormatku untuk kalian berdua." Si
gadis lesbi lalu membungkuk, menjura memberi penghormatan pada
kedua orang di hadapannya.
Lelaki gemuk menatap dengan pandangan penuh selidik.
Lalu bertanya. "Bagamana kau tahu kalau Pangeran Banowo
akan menjadi Adipati lubang jurang . Hal itu adalah masih merupakan
rahasia Kerajaan."
"Maaf kalau aku bicara ceroboh Tapi kabar rahasia yang
disebar angin, mana ada manusia yang bisa menekap
mencegahnya."
Si gemuk terdiam tapi temannya si codet sudah membentak
lagi.
"Kau belum menjawab pertanyaanku! Siapa kau, apa
punya nama dan datang dari mana! Mengapa berada di tempat
terpencil ini! Apa keperluanmul" Lalu pada temannya yang
bertubuh gemuk si codet berbisik. "Aku curiga, jangan-jangan
gadis lesbi tak dikenal Ini sebenarnya tengah menghadang kita.
Jangan-jangan dia ada sangkut paut dengan orang yang kita
pantek di atas papan!"
Si gemuk berewok yang agak lebih sabaran balas
berbisik. "Aku malah menduga jangan-jangan dia kaki tangan
suruhan Klingkit Jenung. Sudah, kau diam dulu. gadis lesbi secantik
9 Bidadari Lesbi kemasukan
Ini jangan diperlakukan sembarangan. Apa kau tidak melihat
dia punya ilmu kepandaian? Biar aku yang bicara."
"He...he!" Si codet menyeringai. "Aku tahu maksud dibalik
bicara bagusmu! Kau mulai suka pada gadis lesbi itu kan?!"
"Sudah! Diam saja!" Si gendut lalu berkata pada gadis lesbi
di depannya. "Ning Ayu Cantik," begitu si gendut memanggil si
gadis lesbi . "Sebelumnya biar kami memperkenalkan diri lebih dulu.
Aku bernama Lor Randuwali. Sahabatku ini Seno Kalamurti.
Tadi kau memanggil kami dengan sebutan kerabat. Kau juga
telah menunjukkan itikad baik menolong kaki kuda yang patah.
Sekarang harap kau mau memberi tahu apa yang ditanyakan
temanku tadi."
"Hemmm ..." Si gadis lesbi bergumam. "Tidak ada sulitnya
menjawab pertanyaan sahabatmu itu. Sebagai manusia tentu
saja aku punya nama. Tapi aku lupa siapa namaku sebenarnya.."
"Geto. Mana ada orang lupa sama nama sendiri!" Si
codet Seno Kalamurti memotong ucapan si gadis lesbi dengan
bentakan.
Yang dibentak cuma tersenyum. "Aku tidak berdusta.
Sungguhan aku lupa siapa nama yang diberikan kedua orang
tuaku saat aku dilahirkan. Sejak beberapa waktu lalu orang-
orang memanggil aku dengan nama Dewi. Nah, itulah namaku
Kerabat berdua boleh memanggil aku dengan nama itu."
Pelipis Seno Kalamurti bergerak-gerak. Rahang
menggembung. "Dew....Dewi apa! Kau seperti menyembunyikan
sesuatu. Di dunia ini ada banyak perempuan lesbi bernama Dewi!
Kau Dewi apa?! Dewi Lelembut! Dewi Gandaruwo atau Dewi
Hantu Laut?!"
gadis lesbi di hadapan kedua lelaki berpakaian dan
berbelangkon serba hitam itu masih juga tersenyum. "Aih...."
katanya. "Kurasa diriku ini tidak jelek-jelek amat. Masakan tega
aku diberi nama Dewi Lelembut, Dewi Gandaruwo, Dewi Hantu
Laut "
Seno Kalamurti kembali mau menghardik. Tapi Lor Randuwali
cepat memberi isyarat agar si codet itu tidak membuka mulut lagi.
Maka diapun berkata. "Harap maafkan sahabatku ini. Dia
memang suka berangasan tapi sebenarnya hatinya baik. Hanya
saja apa yang dikatakannya tadi betul adanya. Nama Dewi
banyak sekali. Apa hanya sesingkat itu nama yang kau miliki?
Pasti ada tambahannya."
"Orang-orang memanggilku Dewi Lesbi kemasukan ."
Lor Randuwali dan Seno Kalamurti terperangah, sama-sama
saling pandang. "Terus terang, belum pernah aku mendengar
nama seaneh namamu. Apa artinya itu. Mengapa kau disebut
Dewi Lesbi kemasukan ?"
Si gadis lesbi mengangkat bahu. "Aku tidak pernah menanyakan
pada orang-orang itu mengapa mereka memanggilku Dewi Dua
Musim..."
"Randu," Seno Kalamurti berbisik. "Kurasa gadis lesbi Ini tengah
mempermainkan kita. Sebaiknya kita bereskan saja. Terakhir
sekali aku meniduri perempuan lesbi empat bulan silam. Masih
ada cukup waktu sebelum kita meneruskan perjalanan ke
lubang jurang . Si cantik ini rupanya memang sudah jadi rejeki kitat
Tidak mustahil dia memang sengaja mengantar diri. Hemmm..."
LOR RANDUWALI meski memang tertarik pada kecantikan
wajah dan kemolekan tubuh Dewi Lesbi kemasukan , saat itu tidak
acuhkan ucapan temannya. Dia tidak mau bertindak ceroboh
karena diam-diam sudah merasa kalau gadis lesbi tak dikenal itu
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pada si gadis lesbi dia berkata.
"Sekarang jelaskan mengapa kau berada di tempat sunyi
di lereng Bukit neraka penulis ayan ini. Dari apa yang telah kau lakukan.kaml
menduga kau sepertinya sengaja menghadang perjalanan kami.*'
Si gadis lesbi gelengkan kepala. "Aku tidak ada niatan jahat.
Apa lagi maksud menghadang orang-orang gagah seperti
kerabat berdua. Seperti kataku tadi aku hanya ingin mengajukan
barang satu-dua pertanyaan."
"Begitu? Apa yang ingin kau tanyakan?" Tanya Lor
Randuwali.
"saat kerabat berdua dalam perjalanan menuju ke sini,
apakah pernah berpapasan atau melewati tiga orang
penunggang kuda berpakaian serta berbelangkon hitam seperti
kerabat berdua? Bedanya mereka tidak mencantel hiasan
bintang dalam lingkaran seperti yang ada pada belangkon
kerabat berdua..."
Lor Randuwali mengingat-ingat lalu berpaling pada si
codet. Kedua orang Ini kemudian sama gelengkan kepala.
"Selama perjalanan sampai ke sini kami tidak berpapasan
atau melewati siapapun...."
"Kerabat berdua tidak keliru? Tiga orang yang aku
tanyakan itu, dua diantara mereka masih muda-muda. Orang
ketiga seorang kakek berwajah aneh. Dua telinganya terletak di
kening, mulut berada di leher..."
"Pasti setan, bukan manusiai" Ucap Seno Kalamurti.
"Betul kerabat berdua tidak melihat ke tiga orang itu?" Si gadis lesbi
ingin meyakinkan.
"Tidak, kami tidak pernah menemui mereka dalam
perjalanan." Jawab Lor Randuwali.
"Aku tahu kerabat berdua telah berkata jujur. Untuk itu
aku sangat berterima kasih." Si gadis lesbi yang mengaku bernama
Dewi Lesbi kemasukan alihkan pandangan pada sosok yang tergeletak
di atas papan. Lalu bertanya. "Siapa orang itu? Dosa kesalahan
apa yang telah dilakukannya hingga mengalami nasib seperti
itu."
"Siapa orang ini, apa dosa dan kesalahannya adalah
urusan kami! Kau tidak layak bertanya!" Yang menjawab adalah
Seno Kalamurti.
"Kerabat berdua, apakah...apakah kalian berdua yang
memperlakukannya seperti itu?"
"Apa perdulimul" Bentak Seno Kalamurti.
"Kasihan dia. Aku ingin sekali menolongnya"
"Dewi Lesbi kemasukan l Siapapun namamu! Jangan sekali-kali
berani berkata seperti itu!" Seno Kalamurti berkata sambil
delikkan mata.
"Manusia menolong sesama adalah hal biasa. Memangnya
mengapa aku tidak boleh menolong orang itu?"
"Kau mulai berani kurang ajari" Seno Kalamurti melangkah
mendekati si gadis lesbi . "Sebaiknya kau bersiap-siap ikut bersama
kami ke lubang jurang !" Lalu enak saja tangan kanannya diulurkan
menyentuh dagu si gadis lesbi .
Dewi Lesbi kemasukan tenang-tenang saja diperlakukan seperti
itu. Dia sama sekali tidak berusaha menghindar hingga tangan
Seno Kalamurti benar-benar menyentuh dan mengusap
dagunya. Si codet ini letakkan tangannya yang bekas
mengusap di depan hidung lalu menyedot dalam-dalam. Dia
mencium bau harum sekali. Melihat orang tidak marah, malah
seperti sengaja memasang diri Seno Kalamurti jadi lebih berani
dan tambah kurang ajar. Kembali dia ulurkan tangan kanan.
Kali ini diarahkan ke dada si gadis lesbi .
Hanya seujung kuku tangan itu akan menyentuh dada
Dewi Lesbi kemasukan tiba-tiba dari samping Lor Randuwali bertindak
cepat mencekal tangan temannya itu.
Seno Kalamurti berpaling.
"Randu! Apa yang kau lakukan! Lepaskan tanganku! Nanti
kau juga bakal dapat bagian!"
"Urusan kita belum selesai Mengapa mencari urusan baru!
Lekas ikut aku pergi dari sini. lubang jurang masih cukup jauh dari
sini! Jangan kita sampai kemalaman dijalan."
"Randu....Randu. Rupanya kau mau jadi malaikat penolongl"
Seno Kalamurti merasa tidak senang.
"Manusia berhati malaikat itulah berkah Yang Maha Pengasih.
Kerabat Seno Kalamurti. sebaiknya kau Ikuti kata-kata Lor
Randuwali. Cepat pergi dari sini. Teruskan perjalanan kalian ke
lubang jurang . Tapi tinggalkan orang yang tergeletak di atas papanl"
"Apa?!" Seno Kalamurti berteriak marah.
"Dewi Lesbi kemasukan , kau tidak tahu siapa adanya orang yang
dipantek di atas papan itu. Siksa dan hukuman yang diterimanya
baru sebagian. Kesengsaraannya baru berakhir kalau sebelum
matahari tenggelam nanti dia digantung di alun-alun Kadipaten
lubang jurang ."
Dewi Lesbi kemasukan rangkapkan dua tangan di atas dada.
"Kalau begitu mengapa kerabat berdua tidak mau
memberi tahu siapa adanya orang itu? Aku sejak tadi bertanya
apa dosa dan kesalahannya. Tapi kalian tidak menjawab."
"Saat ini kami tidak bisa memberi tahu. Kalau kau mau
tahu riwayatnya silahkan ikut kami ke lubang jurang . Setelah dia
digantung, orang banyak akan memberi tahu semua apa yang
kau tanyakan."
"Lor Randuwali, perlu apa susah-susah membawa gadis lesbi
ini jauh-jauh ke lubang jurang . Di dekat tikungan sungai di bawah
sana ada sebuah pondok. Kita bawa dia ke sana!" Habis berkata
begitu Seno Kalamurti gerakkan dua telunjuk tandan kanan
hendak menotok urat besar di pangkal leher Dewi Lesbi kemasukan .
Totokan mendarat telak di pangkal leher. Seharusnya
totokan membuat si gadis lesbi saat itu juga menjadi kaku tak bisa
bergerak tak mampu bersuara. Namun apa yang terjadi justru
kebalikannya. Dua ujung jari Seno Kalamurti yang menotok
terus saja menempel di pangkal leher si gadis lesbi . Tak bisa
digerakkan apa lagi ditarik lepas. Selarik cahaya putih keluar
dari pangkal leher yang ditotok, mengalir ke dalam dua jari,
menjalar sepanjang tangan kanan, masuk ke dalam tubuh Seno
Kalamurti. saat cahaya putih merambas memasuki rongga
pernafasan, Seno Kalamurti menjerit keras. Tubuh mencelat
mental, mulut menyembur darah segar. Si codet ini kemudian
tergeletak tertelentang di tanah becek, megap-megap. Kaki dan
tangan melejang-lejang. Belangkon hitam lepas dari kepala
berguling jatuh ke tanah. Tangan kanan, kaki kanan dan mata
kanan menggembung merah.
Melihat apa yang terjadi dengan temannya itu Lor
Randuwali merasa ngeri dan cepat menolong. Namun semua
usaha yang dilakukan tidak mampu membuat memulihkan
keadaan Seno Kalamurti. Lelaki ini terus saja megap-megap
dan kejang-kejang.
"Kerabat Lor Randuwali, bawa sahabatmu pergi dari sini.
Begitu sampai di lubang jurang masukkan benda ini ke dalam
mulutnya, suruh dia menelan. Segala cidera di tubuhnya luar
dalam akan segera slma.Semoga pelajaran dariku ada manfaat
bagi dirinya."
Lor Randuwali perhatikan benda putih berkilat seujung
jari yang ada di telapak tangan kanan Dewi Lesbi kemasukan .
"Cepat ambillah dan pergi dari sini."
"Dewi, aku....Mengapa...." Lor Randuwali bingung ada.
takut juga ada. Menatap wajah cantik si gadis lesbi dia merasa ada
sambaran hawa aneh keluar dari sepasang matanya yang
berkilat, membuat hatinya bergetar.
Namun rasa amarah melihat temannya diperlakukan
seporti itu segera muncul menindih rasa bingung dan takut.
Sambil berdiri dia berkata. "Sekarang aku yakin. Kau pasti
orangnya Klingkit Jenung Hanya orang itu yang punya ilmu
Membalik Hawa Sakti Menembus Jalan Darah?"
"Aih, kerabat Lor Randuwali. kau seharusnya bersyukur
pada Yang Maha Kuasa yang telah mendatangkan musim
penghujan. Kalau saja saat ini masih musim panas pasti
keadaannya akan sangat mengenaskan bagimu dan sahabatmu
itu."
"Apa maksudmu?." Hardik Lor Randuwali.
"Maksudku sederhana sekali " Jawab Dewi Dua
Musim. Lalu kaki kanannya dihentakkan ke tanah becek. Lor
Randuwuli tersentak kaget saat merasa ada geteran aneh di
dalam tanah di bawah kedua kakinya. Belum habis kagetnya
tiba-tiba Dewi Lesbi kemasukan angkat tangan kiri. Tangan diayun ke
udara begitu rupa. Wuttt! Tubuh gendut Lor Randuwuli melesat
ke udara lalu entah bagaimana tahu-tahu melayang turun dan
jatuh duduk di punggung kuda miliknya walau menghadap ke
belakang! Dewi Lesbi kemasukan ulurkan tangan menepuk pinggul
kuda. Binatang itu meringkik lalu menghambur ke depan. Lor
Randuwali berteriak-teriak sambil berusaha berbalik menahan
tali kekang menghentikan kuda. Namun apapun yang
dilakukannya binatang itu terus saja lari seperti dikejar setan.
Kepala lelaki gemuk ini berdenyut pening. Pandangan mata
berkunang dan semua tampak seperti terbalik. Seumur hidup
baru sekali itu dia menunggang kuda menghadap ke belakang!
"Tolong! Tolong! Kuda jahanam berhenti berian!" Teriak
Lor Randuwali menyumpah-nyumpah. Tapi kuda
tunggangannya malah berlari semakin kencang!
DEWI Lesbi kemasukan melangkah menghampiri Seno Kalamurti
yang sampai saat itu masih megap-megap dan melejang-
lejangkan kaki serta tangan. Benda putih berkilat seujung jari
dimasukkannya ke dalam mulut si codet yang menganga.
dengan tangan kiri dia memijat tenggorokan orang. Hekkk! benda
putih berkilat masuk ke dalam tenggorokan si codet. lalu dengan
tangan kiri dia mencekal kerah pakaian orang itu. Sekali tangan
mengayun tubuh Seno Kalamurti terlempar jatuh menelungkup di
atas punggung kuda miliknya. Si gadis lesbi lepaskan tambang yang
bergulung di leher kuda.
"Susul sahabatmu! Semoga kau akan mendapat kesembuhan
begitu sampai di lubang jurang . Kau beruntung saat ini musim
penghujan!"
Dewi Lesbi kemasukan kemudian tepuk pinggul kuda. Seperti
halnya dengan kuda Lor Randuwali, binatang ini mengangkat
dua kaki ke atas, meringkik satu kali lalu menghambur lari. Sambil
memperhatikan, dalam hati Dewi Lesbi kemasukan membatin. "Tig3
orang yang kutunggu, dimana mereka. Mengapa tidak muncul?"
Ingat pada orang yang tergeletak dalam keadaan dipantek di
atas papan, si gadis lesbi cepat balikkan tubuh. Dia lebih dulu
memotes selembar daun keladi liar di tepi jalan lalu mendekati
orang itu Sambil menyibak rambut serta menyeka darah yang
mencelemongi wajah orang dia berkata.
"Manusia malang, apakah aku mengenalmu?"
Wajah yang tadi tertutup darah kini terlihat jelas. Ternyata
orang ini seorang penulis ayan berwajah tampan. Di keningnya ada
luka.
"Aih. wajahnya tampan sekali. Aku tak mengenali siapa
penulis ayan ini adanya. Mengapa dua orang Pangeran Banowo
tega-teganya memperlakukan dia begini kejami"
Dewi Lesbi kemasukan tarik nafas dalam. Sepasang mata
tampak berkaca-kaca. Dia seolah turut merasakan kesengsaraan
orang. Telapak tangan kiri diletakkan di atas kening si penulis ayan .
"Untung keningmu tidak panas. Berarti tak ada racun
mengindap!"
Perlahan-lahan telapak tangan kiri diletakkan di atas dada si
penulis ayan . Si gadis lesbi tidak merasakan adanya detak jantung.
Hati-hati telinganya sebelah kanan ganti ditaruh di atas dada.
"Aihl Dia masih hidup. Aku dapat mendengar detak
jantungnya walau perlahan sekali. Mungkin mulai sekarat Aku
harus melakukan sesuatu agar dia tidak mati!"
Dengan cepat Dewi Lesbi kemasukan letakkan dua tangan di
atas dada penulis ayan itu lalu perlahan-lahan alirkan hawa sakti
dengan dorongan tenaga dalam tinggi. Sampai wajah dan
tubuhnya berkeringat, dia tidak mampu membuat sadar si
penulis ayan .
"Kasihan, apakah aku harus meninggalkannya dalam
keadaan sengsara seperti ini? Kalau saja saat ini musim panas
aku tak akan perduli."
Sepasang mata Dewi Lesbi kemasukan perhatikan empat buah
paku kayu yang memantek dua tangan dan dua kaki si penulis ayan .
"Aku harus mencabut paku kayu itu. Mungkin bisa
mengurangi penderitaannya disaat sekarat."
Si gadis lesbi membungkuk. Dia mulai dengan paku kayu yang
memantek telapak tangan kanan si penulis ayan . Sebenarnya hanya
dengan mengandalkan tenaga luar dia akan mampu mencabut
paku kayu itu. Tapi sampai dia memaksa dengan mengerahkan
tenaga dalam sekalipun, paku kayu tidak dapat dicabut! Si gadis lesbi
berpindah pada paku kayu yang menancap di tangan kiri. Hal
yang sama terjadi. Paku kayu tidak mampu disentak dicabut
Begitu juga saat dicoba menarik paku kayu yang menancap
di kedua kaki orang.
"Aih. sungguh aneh. Ilmu jahat apa yang dipakai orang
memantek pomuda malang ini. Mengapa aku tidak mampu
mencabut satupun dari empat paku kayu itul Bagaimana aku
harus menolong penulis ayan ini." Si gadis lesbi melangkah mundar
mandlr di jalan becek.
Tiba-tiba mengiang satu suara di telinga Dewi Dua
Musim.
"Musim hujan telah tiba. Segala kesejukan menaungi
diri manusia, mulai dan pikiran sampai ke dalam aliran darah.
masuk ke dalam kalbu dan menyentuh perasaan hati. gadis lesbi
berpakaian biru. kau tidak akan mampu menyelamatkan
penulis ayan itu kalau tidak dapat mencabut empat paku kayu yang
memantek bagian tubuhnya ke papan. Jangan mempergunakan
kekuatan untuk menghancur papan baru melepas paku karena
dengan cara begitu paku tetap akan menancap di dua tangan
dan dua kaki. Cabutlah lebih dulu paku kayu yang ada di dalam
mulutnya. Kalau itu sudah kau lakukan mudah-mudahan Yang
Maha Kuasa menolongmu dan penulis ayan itu selamat dari
kematian."
Dewi Lesbi kemasukan terkesiap. Dia memandang berkeliling,
mengusap telinga kiri yang tadi mendengar suara mengiang itu
lalu keluarkan ucapan, bertanya.
"Orang pandai siapa yang bicara?"
Yang menjawab hanya sapuan suara angin yang
membuat gemerisik daun-daun pepohonan di tepi jalan tanah.
Si gadis lesbi bertanya sekali lagi. "Orang pandai, dengan segala
hormatku harap unjukkan diri atau beri tahu siapa kau adanya."
Tetap saja tidak ada jawaban. Tidak ada suara mengiang
susulan.
"Orang pandai, rupanya kau tidak mau diganggu.
Baiklah, aku akan ikuti petunjukmu. Aku berterima kasih
padamu...."
Dewi Lesbi kemasukan berjongkok di samping kepala penulis ayan
yang dipantek di atas papan. "Cabut lebih dulu paku kayu yang
ada di dalam mulutnya" Ucapan itu terngiang lagi di
telinganya. Si gadis lesbi ulurkan tangan kiri kanan. Tangan yang
satu menarik dagu orang ke bawah, tangan lain mendorong
bagian mulut ke atas. Gerakan dua tangan membuat mulut si
penulis ayan terbuka. Melihat ke dalam mulut Dewi Lesbi kemasukan
tercekat. Ternyata di dalam mulut penulis ayan itu memang ada satu
paku kayu. menancap ke bagian dalam tenggorokan yang
digenangi darah. Dewi Lesbi kemasukan geleng-geleng kepala.
"Jahat sekali!" Katanya dalam hati. Lalu dengan cepat
tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut. Begitu paku kayu
ditarik, darah menyembur dari mulut si penulis ayan . Untung tidak
sampai menodai tangan atau pakaian Dewi Lesbi kemasukan . Paku
Kayu ditancap ke tanah. Kini perhatian Dewi Lesbi kemasukan tertuju
pada empat buah paku kayu yang memantek dua tangan dan
dua kaki si penulis ayan . Hatinya agak berdebar saat tangan diulur
untuk menarik paku yang menancap di tangan kanan. Ada rasa
kawatir kalau-kalau usahanya kali ini mencabut paku itu akan
gagal seperti tadi. Namun kenyataannya paku yang menancap
di telapak tangan kanan itu dengan mudah bisa ditarik lepas.
Begitu juga dengan tiga paku kayu lainnya.
Begitu empat paku yang memantek dirinya ke papan
lepas, sosok penulis ayan yang sejak tadi diam tak berkutik tiba-
tiba keluarkan suara mengerang lalu dua tangan bergerak ke
samping, bersitekan ke tanah dan luar biasa sekali. Orang yang
disangka sudah akan menemui ajal itu tiba-tiba bergerak
bangun, duduk bersila di atas papan. Sepasang mata yang
sejak tadi terpejam perlahan-lahan terbuka, menatap tepat dan
langsung ke arah wajah cantik di depannya. Tidak pernah
sebelumnya dia melihat gadis lesbi luar biasa cantik seperti yang
berada di hadapannya saat itu.
Perlahan si penulis ayan berucap."Seharusnya aku sudah
mati. Apakah saat ini aku melihat bidadari alam barzah. Diakah
yang telah menyelamatkan diriku....?" Suara si penulis ayan agak
parau sember karena ada luka di dalam mulutnya. Sesekali
tampak dia seperti menelan ludah.
Mendengar ucapan si penulis ayan Dewi Lesbi kemasukan hanya
tersenyum, tidak berkata apa-apa. Si penulis ayan kembali berucap.
"Gusti Allah Yang Maha Kuasa Maha Pengasih
memberkatimu. Siapapun kau adanya, aku tahu kau adalah
orang yang dikirimkan Gusti Allah untuk menolongku." Dalam
keadaan masih bersila penulis ayan itu lalu rundukkan tubuh hingga
keningnya menyentuh tanah.
Dewi Lesbi kemasukan tersipu-sipu.
"Aih, jangan berkata dan bersikap begitu. Jika kau memang
tahu kuasaNya Gusti Allah maka berterima kasihlah padaNya.
Bukan padaku! Ayo lekas bangkit. Aku bukan mahluk yang pantas
untuk disembah!"
Si penulis ayan luruskan tubuh kembali.
"Siapapun kau adanya, aku tidak akan melupakan budi
pertolonganmu. Aku berharap kelak dikemudian hari Gusti Allah
memberi kesempatan padaku untuk membalas budi besarmu.
Kalau sampai tidak bisa membalas budi maka itu merupakan
hutang besar yang akan aku bawa sampai ke liang kubur."
"Aih. di antara kita tidak ada hutang piutang!" Berkata
Dewi Lesbi kemasukan .
"Kalau begitu mohon aku bertanya, siapa gerangan sahabat
ini? Aku sendiri bernama Panji Penulis kesurupan . berasal dari satu desa
kecil di timur Kuto Gede."
Di dalam hati Dewi Lesbi kemasukan berkata. "penulis ayan ini baik
sekali sikap dan tutur katanya. Padahal aku yakin saat ini dia
masih menahan sakit amat sangat akibat luka di dua tangan
dan dua kaki serta di dalam mulut. Kalau tidak memiliki ilmu
tinggi mana mungkin dia berkeadaan seperti ini."
"Kerabat Panji Penulis kesurupan aku tidak tahu siapa namaku.
Tapi orang-orang memanggilku dengan sebutan Dewi Dua
Musim."
Si penulis ayan tatap sebentar wajah cantik di depannya.
Walau merasa heran mendengar nama itu namun dia unjukkan
senyum. "Namamu bagus dan indah didengar. Walau
kehadiranmu pastilah atas kehendak Gusti Allah, tapi tetap saja
aku ingin mengetahui bagaimana kau sampai berada di tempat
sunyi ini."
"Aku tengah menunggu kedatangan tiga orang sahabat.
Mereka seharusnya sudah melintas di jalan di kaki bukit ini.
Tapi mereka tidak datang. Yang muncul justru dua penunggang
kuda yang mengaku bernama Seno Kalamurti dan Lor Randuwali.
Yang bernama Seno Kalamurti menyeretmu dengan kudanya
dalam keadaan kau dipantek di atas papan."
"Dua manusia biadab itul Pasti mereka sudah kabur
dari sinil" Kata si penulis ayan pula
"Aku yang memaksa mereka pergi. Ah, apakah aku telah
bertindak salah?"
Panji Penulis kesurupan terdiam sesaat lalu menjawab.
"Tidak, kau tidak salah. Mungkin memang sudah begitu
kejadiannya. Lagi pula bagiku kelak tidak sulit mencari mereka.
Jika bertemu aku akan membunuh keduanya."
"Aih, manusia adalah ciptaan Gusti Allah. Gusti Allah
pula yang memberikan nyawa kepada manusia. Maka tidaklah
layak jika ada manusia membunuh manusia lain. Karena nyawa
seseorang bukan milik seseorang lainnya.*'
PANJI Penulis kesurupan terpana mendengar ucapan si gadis lesbi "Aih.
maafkan kalau aku bicara seperti seorang juru dakwah saja," si
gadis lesbi berkata sambil senyum-senyum. Lalu dia mengalihkan
pembicaraan. "Kedua orang itu mengaku sebagai orang-
orangnya Pangeran Banowo."
"Mereka bicara begitu?" Si penulis ayan menelan ludah tanda luka
di mulutnya kembali terasa mencucuk sakit.
Dewi Lesbi kemasukan mengangguk.
"Sombong tapi tolol! Membuka rahasia sendiri! Jika
Pangeran Banowo tahu pasti mereka berdua akan digorok
habis!"
"Sebenarnya siapakah mereka?"
"Keduanya memang anak buah Pangeran Banowo."
"Lalu mengapa mereka memperlakukanmu sekejam itu.
Tangan dan kakimu dipantek ke papan. Mulutmu ditancap
dengan paku kayu..."
"Sebenarnya bukan mereka yang memantek diriku di
atas papan ini. Ada seorang lain yang punya ilmu hitam. Kedua
orang itu hanya jadi bergundal-bergundal suruhan. Mereka
ditugaskan membawaku ke alun-alun Kadipaten lubang jurang .
Rencananya aku akan digantung di sana. Selama dalam
perjalanan mereka juga sempat menganiaya diriku secara
kejam..."
"Aih, kau mau digantung! Memangnya kau salah apa?!"
Si gadis lesbi berkata sambil geleng-geleng kepala.
"Penderitaan yang aku alami belum seberapa." Panji
Atcleng teruskan kisahnya. "Atas perintah Pangeran Banowo
mereka juga telah membunuh kakak perempuan lesbi ku Cemani
secara keji. Padahal Cemani adalah istri Pangeran itu sendiri.
Luar biasa biadabi"
Sepasang bola mata hitam Dewi Lesbi kemasukan tampak
membesar dan berkilat lalu meredup sayu seolah merasakan
penderitaan batin si penulis ayan .
"Musim hujan... seharusnya hati setiap manusia berada
dalam kesejukan...."
"Sahabat, apa maksudmu?" Tanya Panji Penulis kesurupan saat
mendengar ucapan Dewi Lesbi kemasukan .
"Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya tidak mengerti mengapa
mereka berbuat kejam padamu dan kakak perempuan lesbi mu.
Mungkin....mungkin mereka berdua layak menerima hukuman
berat.."
"Dewi Lesbi kemasukan , kelak akan aku ceritakan padamu asal
usul semua kejadian. Sekarang biar aku mengobati luka-luka
pada tangan dan kaki serta mulutku lebih dulu. Sakitnya tidak
tertahankan lagi..."
"Seharusnya sudah sejak tadi hal itu kau lakukan. Kalau
kau mau aku bisa membantu..." Si gadis lesbi bergerak mendekati.
"Terima kasih. Biar aku mengobati diriku sendiri," jawab
Panji Penulis kesurupan pula.
Habis berkata begitu penulis ayan yang masih duduk bersila
di atas papan menjumput tanah becek jalanan di sampingnya.
Tanah liat itu dipoleskan ke atas lubang luka bekas tancapan
kayu pada telapak tangan dan pergelangan kaki. Setelah merapal
sesuatu dia lalu meniup empat kali berturut-turut yaitu ke arah
dua telapak tangan dan dua pergelangan kaki. Tanah basah
berubah kering. Berubah lagi menjadi debu yang begitu ditiup
serta merta berterbangan ke udara. Wajah cantik Dewi Dua
Musim tampak kagum saat melihat lubang luka bekas tancapan
paku kayu di dua tangan dan dua kaki lenyap tak berbekas.
"Ilmu Penyakit Berasal Dari Manusia. Penyembuhan
Datang Dari Alam. Kuasa Gusti Allah sungguh luar biasa..."
Berucap Dewi Lesbi kemasukan menyebut nama ilmu yang
dipergunakan Panji Penulis kesurupan untuk mengobati luka parahnya.
Seolah tidak mendengar apa yang diucapkan si gadis lesbi .
Panji Penulis kesurupan untuk kelima kalinya menjumput tanah becek.
Kali ini tanah jalanan itu dimasukkan ke dalam mulut. Setelah
menunggu sesaat si penulis ayan dongakkan kepala lalu meniup.
Dari dalam mulut menyembur keluar debu coklat. Disusul
semburan darah merah kehitaman. Setelah debu lenyap di udara
Panji Penulis kesurupan terbatuk-batuk beberapa kali. Mukanya yang pucat
kini tampak berdarah kembali. saat bicara suaranya tidak lagi
parau sember. Sepasang mata menatap lekat-lekat ke arah gadis lesbi
di hadapannya.
"Sahabat Dewi Lesbi kemasukan , bagaimana kau bisa tahu nama
ilmu yang aku pergunakan untuk mengobati luka tancapan paku?"
Dewi Lesbi kemasukan tampak agak terkejut mendengar
pertanyaan yang tidak disangka itu. Namun dengan tersenyum
dia menjawab.
"Aku hanya mendengar, tidak pernah melihat sendiri. saat
kau mempergunakan tanah untuk menyembuhkan luka, aku
hanya menduga dan asal bicara. Apakah aku keliru berucap?"
Panji Penulis kesurupan hanya diam. Mata masih menatap tak
berkesip. Lalu dia berkata.
"Kau cantik. Sikap dan bicaramu lembut. Hatimu pasti
begitu juga. Penuh welas asih. Aku tahu, kau pasti bukan gadis lesbi
sembarangan."
"Aih. kau keliwat memuji. Maksudmu apa....?" Dewi Dua
Musim tersipu-sipu.
"Melihat dirimu, aku jadi ingat pada adikku. Sikap dan
caranya bicara sama sepertimu. Hanya sayang dia meninggal
dunia sewaktu berusia enam belas tahun...."
"Kasihan, rupanya kau telah kehilangan banyak orang
terdekat dan kau sayangi...."
Panji Penulis kesurupan menarik nafas dalam. Dua matanya
memperhatikan tangan si gadis lesbi kiri kanan. Lalu mata digosok-
gosok. Dia seperti melihat sesuatu. Merasa diperhatikan secara
berlebihan Dewi Lesbi kemasukan bertanya. "Mengapa, ada apa
dengan kedua tanganku?"
"Tidak, tidak apa-apa," jawab Panji Penulis kesurupan walau saat
itu sebenarnya dia berdusta karena dia tadi memang telah
melihat satu keanehan pada tangan kiri kanan si gadis lesbi .
Dewi Lesbi kemasukan bangkit berdiri. Panji Penulis kesurupan juga
melakukan hal yang sama. Keduanya sama-sama tegak dan
saling pandang dalam jarak hanya terpisah satu langkah. Panji
Penulis kesurupan dapat mencium bau harum badan dan pakaian si gadis lesbi .
"Bau harum yang menyejukkan hati. Seumur hidup aku
tidak akan melupakan bau gadis lesbi ini...." Panji Penulis kesurupan membatin
dalam hati.
"Kerabat Panji Ateieng, ada apa. Ada sesuatu dalam benak
atau hatimu?" Tiba-tiba Dewi Lesbi kemasukan bertanya.
"Tidak...." Si penulis ayan tampak agak kelagapan karena tidak
menyangka orang bisa menduga-duga apa yang barusan
diucapkan dalam hati
"Kerabat Panji Penulis kesurupan , aku harus mencari tiga orang
yang tidak muncul itu. Aku terpaksa meninggalkanmu. Kuharap
kau baik-baik saja. Apakah kau akan pergi ke lubang jurang ?"
"Aku akan ke Kotaraja," jawab Panji Penulis kesurupan . Lalu penulis ayan ini
bertanya. "Apakah aku masih dapat berjumpa
denganmu?"
Dengan tersenyum si gadis lesbi menjawab. "Selama langit
masih biru dan gunung masih hijau. Selama air sungai masih
mengalir ke laut dan selama sang surya masih terbit di timur,
uatu saat kita pasti bertemu lagi."
"Ucapanmu indah dan menyejukkan hati...."
"Itu karena saat ini sudah musim penghujan..."
"Nah. kau lagi-lagi menyebut itu. Bagaimana kalau saat ini
bukan musim penghujan.Musim panas misalnya?"
Dewi Lesbi kemasukan tertawa. Barisan giginya tampak bagus
putih dan rata. Panji Penulis kesurupan mendekat dan berkata.
"Sebelum kita berpisah aku akan memberikan sesuatu
padamu. Bukan saja sebagai tanda kenang-kenangan tapi juga
sebagai tanda terima kasih."
"Aih, kenapa kau mau repot-repot Aku tidak minta segala
balas budi. Aih, memangnya kau mau memberikan apa?" Dewi
Lesbi kemasukan berkata sambil bersurat satu langkah.
Panji Penulis kesurupan luruskan dua jari tangan kanannya. Lalu
tukkk! Dia menotok tangan di bagian siku kiri sebelah dalam
saat tangan itu ditarik, diantara dua jari menempel sebuah
benda bulat merah sebesar ujung jari kelingking.
"Ini Mutiara Merah, pemberian almarhumah ibuku. Ambil
dan simpan baik-baik. Jangan sampai ada orang lain tahu
kau memiliki benda ini.
Pangeran Banowo sangat menginginkan Mutiara Merah ini.
Dia mau mempertaruhkan apa saja untuk mendapatkannya.
termasuk membunuh"
"Aih, aku tidak berani menerima pemberianmu. Mutiara
Merah, mungkin hanya ini satu-satunya di dunia...." Kata Dewi
Lesbi kemasukan pula.
"Aku mohon dengan sangat dan segala hormat." Panji
Penulis kesurupan letakkan Mutiara Merah di atas telapak tangan kanan
yang dikembang. "Ambillah..."
Dewi Lesbi kemasukan tckap mulutnya yang berbibir merah
bagus dengan tangan kanan. Mata berbinar-binar melihat
kebaikan hati orang. Namun kemudian kepalanya digelengkan.
"Kerabat Panji Penulis kesurupan .Mutlara Merah pasti benda langka. Aku
yakin hanya ini satu-satunya di dunia. Pasti bukan benda
sembarangan. Aku...aku tidak berani menerima kebaikanmu...."
"Aku memohon, sangat memohon. Karap kau mau
menerima. Pemberian dari seorang sahabat yang pernah kau
selamatkan nyawanya. Hatiku akan sangat perih jika kau tidak
mau mengambilnya."
Dewi Lesbi kemasukan agaknya merasa terenyuh mendengar
ucapan si penulis ayan Akhirnya tangan kanan itu diulurkan juga
untuk mengambil Mutiara Merah. Setelah memperhatikan
sebentar si gadis lesbi berkata. "Kau tadi kulihat menyimpan Mutiara
Merah ini di dalam tangan, pada lipatan siku sebelah dalam.
Apa aku juga boleh menyimpannya di tempat yang sama?"
Panji Penulis kesurupan terkejut mendengar ucapan si gadis lesbi .
Namun dia bisa sembunyikan perasaan dan raut wajah dengan
cepat tersenyum lalu menjawab. "Tentu, tentu saja kau boleh
menyimpannya di tempat kau suka. Asal aman."
Dewi Lesbi kemasukan luruskan tangan kirinya. Mutiara Merah
diletakkan di atas lipatan siku sebetah dalam. Lalu dengan
tangan kanan benda itu ditekan.
"Blesss!"
Mutiara Merah masuk ke dalam tangan Dewi Lesbi kemasukan .
Kejut Panji Penulis kesurupan bukan alang-kepalang. Namun dia pandai
menyembunyikan perasaan, malah memuji.
"Kau gadis lesbi hebat. Aku kagum padamu."
"Aih, aku hanya meniru apa yang kau lakukan!" Jawab si
gadis lesbi lalu tertawa renyah dan sekali memutar tubuh serta
menggerakkan kaki dia sudah berada di tikungan jalan tanah di
kaki Bukit neraka penulis ayan sebelah selatan.
Di satu tempat gadis lesbi ini hentikan larinya lalu berteriak
sambil lambaikan tangan kiri.
"Hai1 Terima kasih untuk Mutiara Merah. Aku akan
menjaganya baik-baik! Jangan lupa mengobati luka di
keningmu!"
Panji Penulis kesurupan tersenyum dan batas melambaikan tangan.
Untuk beberapa lama dia masih berdiri di tempatnya.
memandang ke arah lenyapnya Dewi Lesbi kemasukan sambil meraba
luka di keningnya. Dalam hati dia tidak habis pikir, siapa
sebenarnya gadis lesbi cantik berpakaian biru itu.
PANJl Penulis kesurupan memandang ke arah Kali makam penulis ayan di kejauhan
di bawah sana. Pandangan kemudian dialihkan pada pesawahan
oimana para petani tampak sibuk bekerja. Dalam hati penulis ayan
ini bicara sendiri.
"Kalau gadis lesbi itu seorang dari rimba permenulis an, mengapa
selama ini aku tidak pernah mendengar namanya. Dia mengaku
lupa nama adalah aneh seseorang lupa nama sendiri. Tapi
melihat pertemuan dalam keadaan dinku dipantek orang, wajar
saja kalau dia sengaja sembunyikan jati diri. Juga masih wajar
kalau seandainya dia menaruh curiga Lalu dia memperkenalkan
d