Selasa, 11 Februari 2025

bobo meninggal dunia 1




Dewi Lesbi kemasukan  berjongkok di samping kepala penulis ayan  yang dipantek di atas 

papan.

      "Cabut lebih dulu paku kayu yang ada di dalam mulutnya...." Ucapan itu 

terngiang lagi di telinganya. Si gadis lesbi  ulurkan tangan kiri kanan. Gerakan dua 

tangan membuat mulut si penulis ayan  terbuka. Begitu dia melihat ke dalam mulut Dewi 

Lesbi kemasukan  tercekat. Ternyata di dalam mulut penulis ayan  itu memang ada satu paku 

kayu, menancap ke bagian dalam tenggorokan yang digenangi darah. Dewi Dua 

Musim geleng-geleng kepala.

      "Jahat sekali!" Katanya dalam hati. Lalu dengan cepat tangan kanan 

dimasukkan ke dalam mulut. Begitu paku kayu ditarik, darah menyembur.

SETELAH didera musim kemarau lebih dari setengah tahun,

saat  akhirnya hujan turun cukup lebat pagi itu penduduk di

kawasan kering tanah Jawa terutama di bagian tengah dan timur

merasa lega dan gembira. Banyak diantara mereka, yang

umumnya para petani pemilik ladang dan sawah memanjatkan

puji syukur kepada Sang Pencipta Yang Maha Pengasih dan

Maha Penyayang dengan berbagai cara baik dalam upacara

adat maupun bentuk keagamaan. Di laut utara dan selatan para

nelayan tidak kalah rasa syukur dan gembira mereka. Karena

pada akhir musim kemarau yang memasuki musim penghujan.

ikan di laut muncul dalam jumlah  lebih banyak dari biasanya

dan tentu saja ini merupakan rahmat serta rezeki berlimpah dari

Yang Maha Kuasa.

      Hari ke lima setelah hujan pertama kali turun, para petani

mulai ramai ke sawah untuk menanam bibit padi. Pemilik ladang

mulai mencangkul tanah guna persiapan menanam berbagai

macam tanaman yang dapat dipanen dalam waktu singkat anak-

anak terlihat riuh di kali dan sungai, berenang dan bermAih-mAih

sambil memandikan kerbau.

      Pagi itu, di lereng Bukit neraka penulis ayan  sebelah timur, tak jauh

dari kaki Gunung Gajah, seorang gadis lesbi  belia duduk di bawah

sebatang pohon, asyik menatap pemandangan indah yang

terhampar di hadapannya. Di kejauhan Gunung Gajah menjulang

biru kehijauan. Di kaki gunung petak-petak sawah yang

sebelumnya merupakan tanah gersang kini basah berlumpur,

ramai oleh petani. Mereka bekerja penuh semangat sambil

sesekali tertawa berseloroh. Ada yang memperbaiki pematang

sawah, ada yang membongkar saluran air yang tersumbat.

Kerbau-kerbau pembajak tanah terlihat mundar-mandir hampir

di setiap petak sawah. Beberapa petani yang mampu bekerja

cepat malah sudah mulai menyemai menebar bibit padi.

        Di kejauhan d, arah timur Kali makam penulis ayan  membelintang

biru seolah seekor ular panjang membelah bumi. Sesekali alunan

arusnya tampak berkilau oleh pantulan Sinar jayadi  matahari yang

tidak terlalu terik.

      Hanya beberapa tombak dari lereng bukit di mana gadis lesbi 

berpakaian biru duduk menikmati pemandangan indah, ada satu

jalan tanah yang cukup lebar, sejajar dengan Bukit neraka penulis ayan .

Akibat hujan, tanah yang tadinya keras gersang ini, sekarang

berubah menjadi gembur becek.

      Jalan tanah ini merupakan salah satu dari jalan utama

yang menghubungi Kotaraja dengan kawasan di sebelah barat.

Mulai dari Godeyan dan Gamping sampai ke Renteng, terus ke

Sibolong dan Girimulyo, terus lagi ke Borobudur. Di  sebelah

selatan slmpangan jalan tanah menuju ke Sedayu, Argosari

dan berakhir di Wates.

      Siapakah gerangan gadis lesbi  yang duduk sendirian di lereng

Bukit neraka penulis ayan  itu? Dari pakaian birunya yang sederhana serta

kasut kulit kasar yang menyarungi dua kaki, sulit untuk

menduga apakah dia seorang yang berasal dari desa atau

penduduk Kotaraja! Wajahnya sama  sekali tidak  dipalut

dandanan  namun  kecantikan alami  yang  dimilikinya

mengagumkan untuk dipandang. Sepasang mata bulat jernih.

Bagian putih tampak bening, bola mata hitam pekat membuat

mata Ku seolah berkilat. Ini menambah pesona pada kecantikan

raut wajahnya. Lalu mengapa dia berada seorang diri di lereng

bukit itu? Apa benar hanya untuk menyaksikan keindahan alam

yang terpampang di hadapannya? Terlalu berbahaya bagi

seorang gadis lesbi  sebelia dia berada seorang diri di tempat sunyi

seperti itu. Karena sejak beberapa waktu belakangan im daerah

itu merupakan salah satu tempat orang jahat seperti begal dan

rampok berkeliaran. Sesekali si gadis lesbi  memandang ke arah ujung

jalan di sebelah selatan, sambit telinga dipasang. Agaknya ada

yang tengah ditunggunya.

       Sayup-sayup di kejauhan tiba-tiba terdengar  suara

derap kaki-kaki kuda, sekali-sekali ditingkah suara binatang itu

meringkik. Kalau saja tanah jalanan tidak berubah becek derap

kaki kuda niscaya akan terdengar lebih keras. Diantara  suara

derap kaki kuda terdengar suara aneh berkepanjangan. Suara

ini seperti sebuah benda yang bergerak menggeser tanah

jalanan.

       Sepasang mata gadis lesbi  berpakaian biru membesar tak

berkesip. Dua alis hitam lengkung bergerak naik lalu mata itu

menatap ke arah kiri lereng bukit. Pandangan ditukik ke bawah,

ke arah jalanan tanah. Dari balik kerapatan pepohonan dia bisa

melihat ada dua ekor kuda dipacu  ke jurusan  utara Gunung

Gajah.

       "Aku bisa melihat dua ekor kuda dan penunggangnya.

Tapi  aku tidak bisa melihat benda yang mengeluarkan suara

berkepanjangan. Apakah orang yang kutunggu sudah datang?

Seharusnya ada penunggang kuda ke tiga."

      gadis lesbi  berpakaian biru membatin dalam hati. Lalu dia

berdiri. Gerakannya anggun dan penuh kelembutan. Dari balik

pakaiannya dia mengeluarkan satu kotak kayu kecil. saat 

dibuka isi kotak itu ternyata adalah berbagai  alat untuk

menghias diri. Mulai dari pupur merah muda, kayu penebal alis

dan kayu merah berujung  lembut untuk pemoles bibir. Pada

bagian belakang penutup kotak menempel sebuah cermin kecil.

Sambil memperhatikan ke  dalam cermin, gadis lesbi  itu bukannya

mulai menghias wajah, tapi malah tertawa. saat  mulutnya

terbuka tampaklah barisan gigi yang putih berkilau bak mutiara

serta lidah merah basah.

      'Mengapa aku masih merasa diri seperti  gadis lesbi  desa

yang baru menanjak dewasa? Apakah aku  masih memerlukan

cara berhias kuno mempergunakan segala macam peralatan

tolol ini? Aih, sungguh bodohnya diri ini."

      Kotak kayu kecil ditutup kembali. Lalu tangan kanan

diayun satu kali dan wuttt! Kotak kayu dilempar ke udara! Kotak

ini kemudian menyangsrang jatuh di serumpunan  semak

belukar.

      Di jalan tanah di bawah lereng bukit, dua penunggang

kuda mulai nampak  semakin jelas   namun benda  yang

mengeluarkan suara geseran  dengan tanah masih belum

diketahui. gadis lesbi  di lereng bukit dongakkan kepala. Sepasang

mata yang jernih menatap ke langit.  Telapak tangan kanan

dikembang. Perlahan-lahan telapak tangan di usap ke wajah.

mulai dari kening sampai ke dagu. Begitu tangan diturunkan

kelihatanlah wajah si gadis lesbi  yang tadi  cantik alami tidak

berdandan kini telah berubah jauh lebih cantik. Kulit wajah

kelihatan merah segar, sepasang alis melengkung bagus lebih

hitam dan bibir merah merekah. Dia telah menghias diri secara

gaib. Tidak sampai di situ. Sehelai kain biru diikat di kening.

rambut diacak lalu digerai lepas. Kini kecantikannya seolah

bertambah. Sungguh sangat mempesona.

      Di kaki bukil, kembali terdengar suara kuda meringkik.

gadis lesbi  cantik berpakaian biru tidak menunggu lebih lama. Sekali

dia menggerakkan dua kaki, tubuhnya melesat ke udara lalu

seperti seekor burung tubuh itu menukik melayang ke bawah.

sepasang kaki menjejak enteng di cabang satu  pohon besar

yang tumbuh di tepi jalan tanah yang akan dilalui dua

penunggang kuda  Semua gerakan yang dilakukan gadis lesbi  itu

sungguh Indah, seolah dia tengah menari di udara cerah. Selain

ituu jelas sudah, gadis lesbi  cantik Ini bukan orang sembarangan.

Paling tidak dia mempunyai  ilmu kesaktian yang  membuatnya

mampu bergerak cepat dan gesit serta ilmu meringankan tubuh

pada tingkatan yang bukan sembarang orang bisa memiliki.

      saat  si gadis lesbi  alihkan  pandangan ke ujung jalan, ke

arah dua kuda dan penunggangnya saat itulah untuk pertama

kali dia  melihat benda apa  yang mengeluarkan suara bunyi

menggeser tanah berkepanjangan.

      Sepasang alis mata si gadis lesbi  langsung berjingkat naik!

Bibir yang merah merenggang terperangah. Kepala digeleng

beberapa kali.

        Penunggang  kuda di sebelah depan bertubuh gemuk

gempal, mengejakan pakaian dan belangkon hitam. Pada bagian

depan belangkon tersemat hiasan bintang dalam lingkaran,

terbuat dari kuningan berkilat. Tampang garang tertutup kumis

dan berewok meranggas tebal.

        Penunggang   kuda  kedua  berpakaian  dan

mengenakan belangkon yang sama. Walau kumisnya kecil saja

dan hanya dagunya yang ditumbuhi jenggot kasar  namun

tampangnya tampak angker. Apa lagi di wajah sebelah kiri ada

codet bekas luka.memanjang mulai dari mata sampai

pertengahan pipi. Cacat ini membuat kelopak mata  kirinya

mencuat merah mengerikan. Sambil menunggang kuda orang

ini mencekal seutas tambang yang  ujungnya diikat ke leher

kuda. Ujung tambang yang lain terikat pada sebatang balok

yang menjadi salah satu landasan  tiga buah papan.  Di atas

papan terkapar sosok seorang lelaki, tubuh dan pakaiannya

penuh lumuran darah. Wajah tak jelas karena dipenuhi darah

yang mengucur dari luka di kening.Dua tangan orang ini

terpentang ke atas. Telapak tangan kiri kanan dipantek ke papan

dengan potongan bambu yang dibuat seperti paku besar. Dua

kakinya juga dipantek dengan  potongan bambu. Darah

mengucur dari luka pantekan. Tak dapat dipastikan apakah or-

ang itu masih hidup atau sudah menjadi mayat

      "Yang datang bukan orang-orang yang aku tunggu"

gadis lesbi  cantik di atas pohon berucap perlahan.  Walau  hatinya

kecewa besar namun wajahnya tetap tenang, malah dia sama

sekali tidak unjukkan rasa ngeri melihat orang yang dipantek di

atas papan yang diseret kuda! Di dalam hati dia berkata.

      "Kasihan, dosa  kesalahan apa yang dibuat orang itu

hingga diperlakukan begitu rupa. Dalam  kehidupan yang

katanya  beradab ini mengapa masih ada kekejaman begini

rupa...."

      Beberapa tombak lagi dua kuda dan penunggangnya

akan sampai di bawah pohon besar, gadis lesbi   di atas  cabang

pohon  membuat  gerakan enteng, melayang turun sambil

berseru.

      "Dua kerabat berbclangkon  hitami Mohon berhenti

barang sebentar. Ada yang akan aku tanyakan!"

   DUA ekor kuda yang tengah berlari kencang meringkik keras.

Dua penunggang berusaha menghentikan lari kuda masing-

masing dengan menarik tali kekang kuat-kuat hingga binatang

itu berjingkrak dan  sepasang kaki depan naik ke atas. Di atas

punggung kuda, dua orang penunggangnya hampir saja

mencelat jatuh kalau tidak cepat-cepat memagut leher

tunggangan mereka yang larinya akhirnya bisa dihentikan

dengan susah payah. Celakanya kuda kedua, walau bisa

berhenti namun papan yang ditarik terus meluncur deras di

tanah becek lalu menghantam dua kaki belakangnya

      "Kraakk!Kraaakl"

      Dua kaki belakang kuda patah. Didahului suara

meringkik keras binatang ini ambruk ke tanah, melempar

penunggangnya. Rupanya sang penunggang orang berilmu

juga karena dengan gerakan enteng dia tidak sampai jatuh

terbanting di tanah becek. Sepasang  kaki menyentuh dan

menginjak tanah lebih dulu. Papan di atas mana orang yang

dipantek tergeletak melesat satu tombak ke udara lalu jatuh ke

tanah, berpatahan di beberapa bagian namun sosok di atasnya

tetap terpentang tak bergerak.

      Lelaki gemuk  bermuka berewokan di sebelah depan

hendak mendamprat marah, namun saat  melihat siapa yang

berdiri di tengah jalan,  amarahnya langsung  saja menjadi

surut.  Sebaliknya kawan  di  sebelah belakang yang kaki

kudanya patah dan  masih tergeletak di tanah tidak bisa

membendung amarah. Dia membentak garang.

      "perempuan lesbi  jahanam!  Kau mematahkan dua kaki

kudaku! Aku akan menghajarmu!" Habis membentak si codet

ini melompat ke hadapan gadis lesbi  berpakaian biru sementara

temannya si gendut sudah melompat turun ke tanah.

      Si gadis lesbi  tenang saja, tidak beranjak dari tempatnya.

Malah sambil mengangkat tangan dia  berkata  dengan suara

lembut.

      "Aih! Maafkan, bukan aku yang mematah dua kaki kuda

itu. Tapi papan yang kau seret sepanjang jalan. Tapi memang

aku mengaku salah karena aku yang membuat gara-gara kuda

kalian terkejut ketakutan. Sekarang biar aku perbaiki dua kaki

kudamu."

      "Memperbaiki  dua kaki kudaku? Gelo! Kau kira dua kaki

kudaku bisa diperbaiki seperti memperbaiki ladam besi?l Dua

kaki kuda itu patah tahu!. Bagaimana kau mau memperbaiki?

Wong edan" Lelaki bermuka codet, berkumis dan berjanggut

kasar berkata setengah berteriak.

      "Maksudku, aku akan mengembalikan keadaan dua kaki

kudamu seperti semula..." Jawab si gadis lesbi  sambil tersenyum.

      "Apa?!" Lelaki berwajah codet menghardik merasa

dipermAihkan.

      Tanpa perdulikan kemarahan orang si gadis lesbi  dekati kuda

yang tergeletak di tanah. Binatang ini meringkik keras. Kepala

dan dua kaki depan berusaha ditegakkan namun tubuhnya

kembali roboh. Selanjutnya binatang ini hanya bisa melejang-

lejang dan meringkik berulang kali.

      "Sahabatku kuda bagus, tak usah takut. Tenang... tenang

saja. Memang tadi gara-garaku dua kakimu jadi patah. Sekarang

biar aku menyembuhkan." Si gadis lesbi  usap-usap tengkuk kuda

dan bagian kening antara kedua matanya.

      Kuda yang tergeletak di tanah becek dan tadi bersikap

liar karena  rasa  sakit luar  biasa pada  kedua kakinya yang

patah, mendadak berubah jinak dan diam. Kepala dijulur lalu

ditidurkan di tanah.  Sepasang mata setengah terpejam.

      "Kudaku mati!' Teriak si codet dengan mata mendelik,

tampang  beringas.

      gadis lesbi  cantik tersenyum lalu berkata. "Kudamu tidak mati.

Dia mendengar apa yang aku ucapkan dan pasrah untuk

mendapat  kesembuhan. Semoga Yang  Maha Pengasih

menolong sahabatku ini."

      Sambil berkata si gadis lesbi  berjongkok di samping kuda

yang  rebah. Dua tangan diulur. Tangan  kiri memegang kaki

belakang sebelah kanan lalu tangan kanan mengusap

mengurut-urut kaki itu tiga kali berturut-turut sambil mulut

meniup. Hal yang sama dilakukan dengan kaki kiri belakang si

kuda. Selesai mengurut si gadis lesbi  tepuk pinggul kuda sambil

berseru.

       "Kuda bagus! Ayo berdiril Kau sudah sembuh!"

      Ajaib!

      Begitu ditepuk walau agak terhuyung-huyung tapi kuda

yang patah dua kaki belakangnya itu mampu berdiri kembali!

      Dua  lelaki berpakaian dan berbelangkon hitam sama-

sama terkejut  dan saling pandang terheran-heran. Walau

menyaksikan dengan mata kepala sendiri tapi masih tak bisa

percaya. Bagaimana mungkin! Dua kaki  kuda yang patah

disembuhkan hanya dengan cara mengusap mengurut sambil

meniup! Kedua orang ini palingkan kepala, menatap ke arah si

gadis lesbi . Memperhatikan mulai dari  kepala sampai  ke kaki.

Sementara itu kuda yang barusan  ditolong kini berdiri

menggeser-geserkan moncongnya  ke bahu si gadis lesbi  sambil

keluarkan suara menggeru perlahan. Agaknya dengan cara itu

binatang ini ingin menyampaikan rasa terima kasihnya.

       Si gadis lesbi  tersenyum. Dia balas membelai tengkuk dan

kepala kuda sambil berkata. "Kau kuda yang mendapat berkah.

tahu mengucapkan rasa terima kasih walau kau hanyalah seekor

binatang.Tapi banyak yang namanya  anak manusia tidak tahu

berterima kasih setelah  menerima berkah dari Yang Maha

Kuasa...."

       Lelaki codet yang tadi marah besar dekati temannya

dan berbisik.

       "Kita harus hati-hati. gadis lesbi  itu bisa saja Lelembut Bukit

neraka penulis ayan  atau seorang penyihir jahat yang tengah berkeliaran

mencari mangsa!"

       Betum habis kejut ke dua lelaki itu, di depan mereka si gadis lesbi  

membuka mulut berkata.

       "Dua kerabat harap lupakan apa yang terjadi. Sekarang

apakah aku boleh mengajukan barang satu-dua pertanyaan?"

      Dua telaki kembali saling pandang. Si codet yang masih

penasaran lalu berkata dengan nada kasar.

      "Katakan dulu siapa  dirimu! Mengapa berani menghadang 

kami orang-orang Pangeran Banowo yang tengah mengurus satu 

perkara besar!"

      "Aih! Jadi kerabat berdua adalah orang-orang Pangeran

Banowo. Bukankah Pangeran itu dikabarkan adalah calon

Adipati lubang jurang ? Salam hormatku untuk kalian berdua." Si

gadis lesbi  lalu membungkuk, menjura memberi penghormatan pada

kedua orang di hadapannya.

      Lelaki gemuk menatap dengan pandangan penuh selidik.

Lalu bertanya. "Bagamana kau tahu kalau Pangeran Banowo

akan menjadi Adipati lubang jurang . Hal itu adalah masih merupakan

rahasia Kerajaan."

      "Maaf kalau aku bicara ceroboh Tapi kabar rahasia yang

disebar angin, mana ada manusia yang bisa menekap

mencegahnya."

      Si gemuk terdiam tapi temannya si codet sudah membentak 

lagi.

      "Kau belum menjawab pertanyaanku! Siapa kau, apa

punya nama dan datang dari mana! Mengapa berada di tempat

terpencil ini! Apa keperluanmul" Lalu pada temannya yang

bertubuh gemuk si codet  berbisik. "Aku curiga, jangan-jangan 

gadis lesbi  tak dikenal Ini sebenarnya tengah menghadang kita. 

Jangan-jangan dia ada sangkut paut dengan orang yang kita 

pantek di atas papan!"

       Si gemuk berewok yang agak  lebih sabaran balas

berbisik. "Aku malah menduga jangan-jangan dia kaki tangan

suruhan Klingkit Jenung. Sudah, kau diam dulu. gadis lesbi  secantik

9   Bidadari Lesbi kemasukan 

Ini jangan diperlakukan sembarangan. Apa kau tidak melihat

dia punya ilmu kepandaian? Biar aku yang bicara."

      "He...he!" Si codet menyeringai. "Aku tahu maksud dibalik 

bicara bagusmu! Kau mulai suka pada gadis lesbi  itu kan?!"

      "Sudah! Diam saja!" Si gendut lalu berkata pada gadis lesbi 

di depannya. "Ning Ayu Cantik," begitu si gendut memanggil si

gadis lesbi . "Sebelumnya biar kami memperkenalkan diri lebih dulu.

Aku bernama Lor Randuwali. Sahabatku ini Seno Kalamurti.

Tadi kau memanggil kami dengan sebutan kerabat. Kau juga

telah menunjukkan itikad baik menolong kaki kuda yang patah.

Sekarang harap kau mau memberi tahu  apa yang ditanyakan

temanku tadi."

      "Hemmm ..." Si gadis lesbi  bergumam. "Tidak ada sulitnya

menjawab pertanyaan sahabatmu itu. Sebagai manusia tentu

saja aku  punya nama. Tapi aku lupa siapa namaku sebenarnya.."

      "Geto. Mana ada orang lupa sama nama sendiri!"  Si

codet Seno Kalamurti memotong ucapan si gadis lesbi  dengan

bentakan.

      Yang dibentak cuma tersenyum.  "Aku tidak berdusta.

Sungguhan aku lupa siapa nama yang diberikan kedua  orang

tuaku saat  aku dilahirkan. Sejak beberapa waktu  lalu orang-

orang memanggil aku dengan nama Dewi. Nah, itulah namaku

Kerabat berdua boleh memanggil aku dengan nama itu."

      Pelipis Seno Kalamurti bergerak-gerak. Rahang

menggembung. "Dew....Dewi apa! Kau seperti menyembunyikan

sesuatu. Di dunia ini ada banyak perempuan lesbi  bernama Dewi!

Kau Dewi apa?! Dewi Lelembut! Dewi Gandaruwo atau Dewi

Hantu Laut?!"

      gadis lesbi  di hadapan kedua lelaki  berpakaian dan

berbelangkon serba hitam itu masih juga tersenyum. "Aih...."

katanya. "Kurasa diriku ini tidak jelek-jelek amat. Masakan tega

aku diberi nama Dewi Lelembut, Dewi Gandaruwo, Dewi Hantu

Laut "

      Seno Kalamurti kembali mau menghardik. Tapi Lor Randuwali 

cepat memberi isyarat agar si codet itu tidak membuka mulut lagi. 

Maka diapun berkata. "Harap maafkan sahabatku ini. Dia 

memang suka berangasan tapi sebenarnya hatinya baik. Hanya 

saja apa yang dikatakannya tadi betul adanya. Nama Dewi 

banyak sekali. Apa hanya sesingkat itu nama yang kau miliki? 

Pasti ada tambahannya."

      "Orang-orang memanggilku Dewi Lesbi kemasukan ."

      Lor Randuwali dan Seno Kalamurti terperangah, sama-sama 

saling pandang. "Terus terang, belum pernah  aku mendengar 

nama seaneh namamu. Apa artinya itu. Mengapa kau disebut 

Dewi Lesbi kemasukan ?"

      Si gadis lesbi   mengangkat  bahu. "Aku  tidak pernah menanyakan 

pada  orang-orang itu mengapa  mereka memanggilku Dewi Dua 

Musim..."

      "Randu," Seno Kalamurti berbisik. "Kurasa gadis lesbi  Ini tengah 

mempermainkan kita. Sebaiknya kita  bereskan saja. Terakhir 

sekali aku meniduri perempuan lesbi  empat bulan silam. Masih

ada cukup waktu sebelum kita meneruskan perjalanan ke

lubang jurang . Si cantik ini rupanya memang sudah jadi rejeki kitat

Tidak mustahil dia memang sengaja mengantar diri. Hemmm..."

    LOR RANDUWALI meski memang tertarik pada kecantikan

wajah dan kemolekan tubuh Dewi Lesbi kemasukan , saat itu tidak

acuhkan ucapan temannya. Dia tidak mau bertindak ceroboh

karena diam-diam sudah merasa kalau gadis lesbi  tak dikenal itu

memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pada si gadis lesbi  dia berkata.

      "Sekarang jelaskan mengapa kau berada di tempat sunyi

di lereng Bukit neraka penulis ayan  ini. Dari apa yang telah kau lakukan.kaml

menduga kau sepertinya sengaja menghadang perjalanan kami.*'

      Si gadis lesbi  gelengkan kepala. "Aku tidak ada niatan jahat.

Apa lagi maksud menghadang orang-orang gagah seperti

kerabat berdua. Seperti kataku tadi aku hanya ingin mengajukan

barang satu-dua pertanyaan."

      "Begitu? Apa yang ingin kau tanyakan?" Tanya Lor

Randuwali.

      "saat  kerabat berdua dalam perjalanan menuju ke sini,

apakah pernah berpapasan atau  melewati tiga orang

penunggang kuda berpakaian serta berbelangkon hitam seperti

kerabat berdua? Bedanya  mereka tidak mencantel hiasan

bintang dalam lingkaran seperti yang ada pada belangkon

kerabat berdua..."

      Lor Randuwali mengingat-ingat lalu berpaling pada si

codet. Kedua orang Ini kemudian sama gelengkan kepala.

      "Selama perjalanan sampai ke sini kami tidak berpapasan

atau melewati siapapun...."

     "Kerabat berdua tidak keliru? Tiga orang yang aku

tanyakan itu, dua diantara mereka masih muda-muda. Orang

ketiga seorang kakek berwajah aneh. Dua telinganya terletak di

kening, mulut berada di leher..."

      "Pasti setan, bukan manusiai" Ucap Seno Kalamurti.

      "Betul kerabat berdua tidak melihat ke tiga orang itu?" Si gadis lesbi  

ingin meyakinkan.

      "Tidak, kami tidak pernah menemui mereka dalam

perjalanan."  Jawab Lor Randuwali.

      "Aku tahu kerabat berdua telah berkata jujur. Untuk itu

aku sangat berterima kasih." Si gadis lesbi  yang mengaku bernama

Dewi Lesbi kemasukan  alihkan pandangan pada sosok yang tergeletak

di atas papan. Lalu bertanya. "Siapa orang itu? Dosa kesalahan

apa yang telah dilakukannya hingga  mengalami nasib seperti

itu."

      "Siapa orang ini, apa  dosa dan kesalahannya adalah

urusan kami! Kau tidak layak bertanya!" Yang menjawab adalah

Seno Kalamurti.

      "Kerabat berdua, apakah...apakah kalian berdua yang

memperlakukannya seperti itu?"

      "Apa perdulimul" Bentak Seno Kalamurti.

     "Kasihan dia. Aku ingin sekali menolongnya"

      "Dewi Lesbi kemasukan l Siapapun  namamu! Jangan sekali-kali 

berani berkata seperti itu!" Seno Kalamurti berkata sambil

delikkan mata.

      "Manusia menolong  sesama adalah hal biasa. Memangnya 

mengapa aku tidak boleh menolong orang itu?"

      "Kau mulai berani kurang ajari" Seno Kalamurti melangkah 

mendekati si gadis lesbi . "Sebaiknya kau bersiap-siap ikut bersama 

kami ke lubang jurang !" Lalu enak saja tangan kanannya diulurkan 

menyentuh dagu si gadis lesbi .

      Dewi Lesbi kemasukan  tenang-tenang saja diperlakukan seperti

itu. Dia sama sekali tidak berusaha menghindar hingga tangan

Seno  Kalamurti benar-benar  menyentuh dan  mengusap

dagunya.  Si codet ini letakkan  tangannya yang bekas

mengusap di depan hidung lalu menyedot dalam-dalam. Dia

mencium bau harum sekali. Melihat orang tidak marah, malah

seperti sengaja memasang diri Seno Kalamurti jadi lebih berani

dan tambah kurang ajar. Kembali dia ulurkan tangan kanan.

Kali ini diarahkan ke dada si gadis lesbi .

      Hanya seujung kuku tangan itu akan menyentuh dada

Dewi Lesbi kemasukan  tiba-tiba dari samping Lor Randuwali bertindak

cepat mencekal tangan temannya itu.

      Seno Kalamurti berpaling.

      "Randu! Apa yang kau lakukan! Lepaskan tanganku! Nanti 

kau juga bakal dapat bagian!"

      "Urusan kita belum selesai Mengapa mencari urusan baru! 

Lekas ikut aku pergi dari sini. lubang jurang  masih cukup jauh dari 

sini! Jangan kita sampai kemalaman dijalan."

      "Randu....Randu. Rupanya kau mau jadi malaikat penolongl" 

Seno Kalamurti merasa tidak senang.

      "Manusia berhati malaikat itulah berkah Yang Maha Pengasih. 

Kerabat Seno Kalamurti. sebaiknya kau Ikuti kata-kata Lor 

Randuwali. Cepat pergi dari sini. Teruskan perjalanan kalian ke 

lubang jurang . Tapi tinggalkan orang yang tergeletak di atas papanl"

      "Apa?!" Seno Kalamurti berteriak marah.

      "Dewi Lesbi kemasukan , kau tidak tahu siapa adanya orang yang 

dipantek di atas papan itu. Siksa dan hukuman yang diterimanya 

baru sebagian. Kesengsaraannya baru berakhir kalau sebelum 

matahari tenggelam nanti dia digantung di alun-alun Kadipaten 

lubang jurang ."

      Dewi Lesbi kemasukan  rangkapkan dua tangan di atas dada.

      "Kalau  begitu mengapa kerabat berdua tidak mau

memberi tahu siapa adanya orang itu? Aku sejak tadi bertanya

apa dosa dan kesalahannya. Tapi kalian tidak menjawab."

      "Saat ini kami tidak bisa memberi tahu. Kalau kau mau

tahu riwayatnya silahkan ikut kami ke lubang jurang . Setelah dia

digantung, orang banyak akan memberi tahu semua apa yang

kau tanyakan."

      "Lor Randuwali, perlu apa susah-susah membawa gadis lesbi 

ini jauh-jauh ke lubang jurang . Di dekat tikungan sungai di bawah

sana ada sebuah pondok. Kita bawa dia ke sana!" Habis berkata

begitu Seno Kalamurti gerakkan  dua telunjuk tandan kanan

hendak menotok urat besar di pangkal leher Dewi Lesbi kemasukan .

      Totokan mendarat telak di pangkal leher. Seharusnya

totokan membuat si gadis lesbi  saat itu juga menjadi kaku tak bisa

bergerak tak mampu bersuara. Namun apa yang terjadi justru

kebalikannya. Dua ujung jari Seno  Kalamurti yang menotok

terus saja menempel di pangkal leher si gadis lesbi . Tak bisa

digerakkan apa lagi ditarik lepas. Selarik cahaya putih keluar

dari pangkal leher yang ditotok, mengalir ke  dalam dua jari,

menjalar sepanjang tangan kanan, masuk ke dalam tubuh Seno

Kalamurti. saat  cahaya putih merambas memasuki  rongga

pernafasan, Seno Kalamurti menjerit keras. Tubuh mencelat

mental, mulut menyembur darah segar. Si codet ini kemudian

tergeletak tertelentang di tanah becek, megap-megap. Kaki dan

tangan melejang-lejang.  Belangkon hitam lepas dari  kepala

berguling jatuh ke tanah. Tangan kanan, kaki kanan dan mata

kanan menggembung merah.

      Melihat  apa yang terjadi dengan temannya  itu Lor

Randuwali merasa ngeri dan cepat menolong. Namun semua

usaha yang dilakukan tidak mampu membuat memulihkan

keadaan Seno Kalamurti. Lelaki ini terus saja megap-megap

dan kejang-kejang.

      "Kerabat Lor Randuwali, bawa sahabatmu pergi dari sini.

Begitu sampai di lubang jurang  masukkan benda  ini ke dalam

mulutnya, suruh dia menelan. Segala cidera di tubuhnya luar

dalam akan segera slma.Semoga pelajaran dariku ada manfaat

bagi dirinya."

      Lor Randuwali perhatikan benda putih berkilat seujung

jari yang ada di telapak tangan kanan Dewi Lesbi kemasukan .

      "Cepat ambillah dan pergi dari sini."

      "Dewi, aku....Mengapa...." Lor Randuwali  bingung ada.

takut juga ada.  Menatap wajah cantik si gadis lesbi  dia merasa ada

sambaran hawa aneh keluar dari  sepasang matanya yang

berkilat, membuat hatinya bergetar.

      Namun rasa amarah melihat temannya diperlakukan

seporti itu segera muncul menindih rasa bingung dan takut.

Sambil berdiri dia  berkata. "Sekarang aku yakin. Kau pasti

orangnya Klingkit Jenung Hanya orang itu yang punya ilmu

Membalik Hawa Sakti Menembus Jalan Darah?"

      "Aih, kerabat Lor Randuwali. kau seharusnya bersyukur

pada Yang Maha Kuasa yang telah mendatangkan  musim

penghujan. Kalau saja  saat ini masih musim panas pasti

keadaannya akan sangat mengenaskan bagimu dan sahabatmu

itu."

      "Apa maksudmu?." Hardik Lor Randuwali.

      "Maksudku sederhana sekali " Jawab Dewi Dua

Musim. Lalu kaki kanannya dihentakkan ke tanah becek. Lor

Randuwuli tersentak kaget saat  merasa ada geteran aneh di

dalam tanah di bawah kedua kakinya. Belum habis kagetnya

tiba-tiba Dewi Lesbi kemasukan  angkat tangan kiri. Tangan diayun ke

udara begitu rupa. Wuttt!  Tubuh gendut Lor Randuwuli melesat

ke udara lalu entah bagaimana tahu-tahu melayang turun dan

jatuh duduk di punggung kuda miliknya walau menghadap ke

belakang! Dewi Lesbi kemasukan  ulurkan tangan menepuk pinggul

kuda. Binatang itu meringkik lalu menghambur ke depan. Lor

Randuwali berteriak-teriak sambil berusaha berbalik menahan

tali kekang menghentikan kuda. Namun apapun yang

dilakukannya binatang itu terus saja lari seperti dikejar setan.

Kepala lelaki gemuk ini  berdenyut pening. Pandangan  mata

berkunang dan semua tampak seperti terbalik. Seumur hidup

baru sekali itu dia menunggang kuda menghadap ke belakang!

      "Tolong! Tolong! Kuda jahanam berhenti berian!" Teriak

Lor  Randuwali  menyumpah-nyumpah.   Tapi   kuda

tunggangannya malah berlari semakin kencang!

     DEWI Lesbi kemasukan  melangkah menghampiri Seno Kalamurti

yang sampai saat itu masih megap-megap dan melejang-

lejangkan kaki serta tangan. Benda putih berkilat seujung jari 

dimasukkannya ke dalam mulut si  codet yang menganga.

dengan tangan kiri dia memijat tenggorokan orang. Hekkk! benda 

putih berkilat masuk ke dalam tenggorokan si codet. lalu dengan 

tangan kiri dia mencekal kerah pakaian orang itu. Sekali tangan 

mengayun tubuh Seno Kalamurti terlempar jatuh menelungkup di  

atas punggung kuda miliknya. Si gadis lesbi  lepaskan tambang yang 

bergulung di leher kuda.

      "Susul sahabatmu!  Semoga kau akan mendapat kesembuhan 

begitu sampai di lubang jurang . Kau beruntung saat ini musim 

penghujan!"

      Dewi Lesbi kemasukan  kemudian tepuk pinggul kuda. Seperti

halnya dengan kuda Lor Randuwali, binatang ini mengangkat

dua kaki ke atas, meringkik satu kali lalu menghambur lari. Sambil

memperhatikan, dalam hati Dewi Lesbi kemasukan  membatin. "Tig3

orang yang kutunggu, dimana mereka. Mengapa tidak muncul?"

      Ingat pada orang yang tergeletak dalam keadaan dipantek di 

atas papan, si gadis lesbi  cepat balikkan  tubuh. Dia lebih dulu 

memotes selembar daun keladi liar di tepi jalan lalu mendekati 

orang itu Sambil menyibak rambut serta menyeka darah yang 

mencelemongi wajah orang dia berkata.

      "Manusia malang, apakah aku mengenalmu?"

      Wajah yang tadi tertutup darah kini terlihat jelas. Ternyata

orang ini seorang penulis ayan  berwajah tampan. Di keningnya ada

luka.

      "Aih. wajahnya tampan sekali. Aku tak mengenali siapa

penulis ayan  ini adanya. Mengapa  dua orang Pangeran Banowo

tega-teganya memperlakukan dia begini kejami"

      Dewi Lesbi kemasukan   tarik nafas dalam. Sepasang mata

tampak berkaca-kaca. Dia seolah turut merasakan kesengsaraan

orang. Telapak tangan kiri diletakkan di atas kening si penulis ayan .

      "Untung keningmu tidak panas. Berarti tak ada racun

mengindap!"

      Perlahan-lahan telapak tangan kiri diletakkan di atas dada si 

penulis ayan . Si gadis lesbi  tidak merasakan adanya detak jantung.

Hati-hati telinganya sebelah kanan ganti ditaruh di atas dada.

      "Aihl Dia masih hidup. Aku dapat mendengar detak

jantungnya walau perlahan sekali. Mungkin mulai sekarat Aku

harus melakukan sesuatu agar dia tidak mati!"

      Dengan cepat Dewi Lesbi kemasukan  letakkan dua tangan di

atas dada penulis ayan   itu lalu perlahan-lahan alirkan hawa sakti

dengan dorongan  tenaga dalam tinggi. Sampai wajah dan

tubuhnya berkeringat, dia tidak mampu membuat sadar si

penulis ayan .

      "Kasihan, apakah aku harus meninggalkannya dalam

keadaan sengsara seperti ini? Kalau saja saat ini musim panas

aku tak akan perduli."

      Sepasang mata Dewi Lesbi kemasukan  perhatikan empat buah

paku kayu yang memantek dua tangan dan dua kaki si penulis ayan .

      "Aku harus mencabut  paku  kayu itu. Mungkin bisa

mengurangi penderitaannya disaat sekarat."

      Si gadis lesbi  membungkuk. Dia mulai dengan paku kayu yang

memantek telapak tangan kanan si penulis ayan . Sebenarnya hanya

dengan mengandalkan tenaga luar dia akan mampu mencabut

paku kayu itu. Tapi sampai dia memaksa dengan mengerahkan

tenaga dalam sekalipun, paku kayu tidak dapat dicabut! Si gadis lesbi 

berpindah pada paku kayu yang menancap di tangan kiri. Hal

yang sama terjadi. Paku kayu tidak mampu disentak dicabut

Begitu juga saat  dicoba menarik paku kayu yang menancap

di kedua kaki orang.

      "Aih. sungguh aneh. Ilmu jahat apa yang dipakai orang

memantek pomuda malang ini. Mengapa aku tidak mampu

mencabut satupun dari empat  paku kayu itul Bagaimana aku

harus menolong penulis ayan  ini." Si gadis lesbi  melangkah mundar

mandlr di jalan becek.

      Tiba-tiba mengiang satu suara di telinga Dewi Dua

Musim.

      "Musim hujan telah tiba. Segala kesejukan menaungi

diri manusia, mulai dan pikiran sampai ke dalam aliran darah.

masuk ke dalam kalbu dan menyentuh perasaan hati.  gadis lesbi 

berpakaian  biru.  kau tidak   akan  mampu  menyelamatkan

penulis ayan  itu kalau tidak dapat mencabut empat paku kayu yang

memantek bagian tubuhnya ke papan. Jangan mempergunakan

kekuatan untuk menghancur papan baru melepas paku karena

dengan cara begitu paku tetap akan menancap di dua tangan

dan dua kaki. Cabutlah lebih dulu paku kayu yang ada di dalam

mulutnya. Kalau itu sudah kau lakukan mudah-mudahan Yang

Maha Kuasa menolongmu dan penulis ayan  itu selamat dari

kematian."

      Dewi Lesbi kemasukan  terkesiap. Dia memandang berkeliling,

mengusap telinga kiri yang tadi mendengar suara mengiang itu

lalu keluarkan ucapan, bertanya.

      "Orang pandai siapa yang bicara?"

      Yang menjawab hanya sapuan suara angin  yang

membuat gemerisik daun-daun pepohonan di tepi jalan tanah.

Si gadis lesbi  bertanya sekali lagi. "Orang pandai, dengan segala

hormatku harap unjukkan diri atau beri tahu siapa kau adanya."

      Tetap saja tidak ada jawaban. Tidak ada suara mengiang

susulan.

      "Orang pandai, rupanya kau tidak mau diganggu.

Baiklah, aku akan ikuti petunjukmu. Aku berterima kasih

padamu...."

      Dewi Lesbi kemasukan  berjongkok di samping kepala penulis ayan 

yang dipantek di atas papan. "Cabut lebih dulu paku kayu yang

ada di dalam mulutnya" Ucapan itu terngiang lagi  di

telinganya. Si gadis lesbi  ulurkan tangan kiri kanan. Tangan yang

satu menarik dagu orang ke bawah, tangan lain mendorong

bagian mulut ke atas. Gerakan dua tangan membuat mulut si

penulis ayan  terbuka. Melihat ke dalam mulut Dewi Lesbi kemasukan 

tercekat. Ternyata di dalam mulut penulis ayan  itu memang ada satu

paku kayu. menancap ke bagian dalam tenggorokan yang

digenangi darah. Dewi Lesbi kemasukan  geleng-geleng kepala.

      "Jahat sekali!" Katanya dalam hati. Lalu dengan cepat

tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut. Begitu paku kayu

ditarik, darah menyembur dari mulut si penulis ayan . Untung tidak

sampai menodai tangan atau pakaian  Dewi Lesbi kemasukan . Paku

Kayu ditancap ke tanah. Kini perhatian Dewi Lesbi kemasukan  tertuju

pada empat buah paku kayu yang memantek dua tangan dan

dua kaki si penulis ayan . Hatinya agak berdebar saat  tangan diulur

untuk menarik paku yang menancap di tangan kanan. Ada rasa

kawatir kalau-kalau usahanya kali ini mencabut paku itu akan

gagal seperti tadi. Namun kenyataannya paku yang menancap

di telapak tangan kanan itu dengan mudah bisa ditarik lepas.

Begitu juga dengan tiga paku kayu lainnya.

       Begitu empat paku yang memantek dirinya  ke  papan

lepas, sosok penulis ayan  yang sejak tadi diam tak berkutik tiba-

tiba keluarkan suara mengerang lalu dua tangan  bergerak ke

samping, bersitekan ke tanah dan luar biasa sekali. Orang yang

disangka sudah akan menemui ajal itu tiba-tiba bergerak

bangun, duduk bersila di atas papan. Sepasang mata yang

sejak tadi terpejam perlahan-lahan terbuka, menatap tepat dan

langsung ke arah wajah cantik di depannya. Tidak pernah

sebelumnya dia melihat gadis lesbi  luar biasa cantik seperti yang

berada di hadapannya saat itu.

       Perlahan si penulis ayan  berucap."Seharusnya aku  sudah

mati. Apakah saat ini aku melihat bidadari alam barzah. Diakah

yang  telah menyelamatkan diriku....?" Suara si penulis ayan  agak

parau sember karena ada luka di dalam mulutnya. Sesekali

tampak dia seperti menelan ludah.

      Mendengar ucapan si penulis ayan  Dewi Lesbi kemasukan  hanya

tersenyum, tidak berkata apa-apa. Si penulis ayan  kembali berucap.

      "Gusti Allah Yang  Maha  Kuasa Maha  Pengasih

memberkatimu. Siapapun kau adanya, aku tahu kau adalah

orang yang dikirimkan Gusti Allah untuk menolongku." Dalam

keadaan masih bersila penulis ayan  itu lalu rundukkan tubuh hingga

keningnya menyentuh tanah.

      Dewi Lesbi kemasukan  tersipu-sipu.

      "Aih, jangan berkata dan bersikap begitu. Jika kau memang 

tahu kuasaNya Gusti Allah maka berterima kasihlah padaNya. 

Bukan padaku! Ayo lekas bangkit. Aku bukan mahluk yang pantas 

untuk disembah!"

      Si penulis ayan  luruskan tubuh kembali.

      "Siapapun kau adanya, aku tidak akan melupakan budi

pertolonganmu. Aku berharap kelak dikemudian hari Gusti Allah 

memberi kesempatan  padaku untuk membalas budi besarmu. 

Kalau sampai tidak bisa membalas budi maka itu merupakan 

hutang besar yang akan aku bawa sampai ke liang kubur."

      "Aih. di antara kita tidak ada hutang piutang!" Berkata

Dewi Lesbi kemasukan .

      "Kalau begitu mohon aku bertanya, siapa gerangan sahabat 

ini? Aku sendiri bernama Panji Penulis kesurupan . berasal dari satu desa 

kecil di timur Kuto Gede."

      Di dalam hati Dewi Lesbi kemasukan  berkata. "penulis ayan  ini baik

sekali sikap dan tutur katanya. Padahal aku yakin  saat ini dia

masih menahan sakit amat sangat akibat luka di dua tangan

dan dua kaki serta di dalam mulut. Kalau tidak memiliki ilmu

tinggi mana mungkin dia berkeadaan seperti ini."

      "Kerabat Panji Penulis kesurupan  aku tidak tahu siapa namaku.

Tapi orang-orang memanggilku dengan sebutan Dewi Dua

Musim."

      Si penulis ayan  tatap sebentar wajah cantik di depannya.

Walau merasa heran mendengar nama itu namun dia unjukkan

senyum. "Namamu bagus dan indah  didengar. Walau

kehadiranmu pastilah atas kehendak Gusti Allah, tapi tetap saja

aku ingin mengetahui bagaimana kau sampai berada di tempat

sunyi ini."

      "Aku tengah menunggu kedatangan tiga orang sahabat.

Mereka  seharusnya sudah melintas di jalan di kaki bukit ini.

Tapi mereka tidak datang. Yang muncul justru dua penunggang

kuda yang mengaku bernama Seno Kalamurti dan Lor Randuwali.

Yang bernama Seno Kalamurti menyeretmu dengan kudanya

dalam keadaan kau dipantek di atas papan."

      "Dua manusia  biadab itul Pasti mereka sudah kabur

dari sinil" Kata si penulis ayan  pula

      "Aku yang memaksa mereka pergi. Ah, apakah aku telah

bertindak salah?"

      Panji Penulis kesurupan  terdiam sesaat lalu menjawab.

"Tidak, kau tidak salah. Mungkin memang sudah begitu

kejadiannya. Lagi pula bagiku kelak tidak sulit mencari mereka.

Jika bertemu aku akan membunuh keduanya."

      "Aih, manusia adalah ciptaan Gusti Allah. Gusti Allah

pula yang memberikan nyawa kepada manusia. Maka tidaklah

layak jika ada manusia membunuh manusia lain. Karena nyawa

seseorang bukan milik seseorang lainnya.*'

       PANJI Penulis kesurupan  terpana mendengar ucapan si gadis lesbi  "Aih.

maafkan kalau aku bicara seperti seorang juru dakwah saja," si

gadis lesbi  berkata sambil senyum-senyum. Lalu dia mengalihkan

pembicaraan. "Kedua orang itu mengaku sebagai orang-

orangnya Pangeran Banowo."

       "Mereka bicara begitu?" Si penulis ayan  menelan ludah tanda luka 

di mulutnya kembali terasa mencucuk sakit.

       Dewi Lesbi kemasukan  mengangguk.

       "Sombong tapi tolol! Membuka rahasia sendiri! Jika

Pangeran Banowo  tahu pasti mereka berdua akan digorok

habis!"

       "Sebenarnya siapakah mereka?"

      "Keduanya memang anak buah Pangeran Banowo."

      "Lalu mengapa mereka memperlakukanmu sekejam itu.

Tangan dan kakimu dipantek ke papan. Mulutmu ditancap

dengan paku kayu..."

      "Sebenarnya bukan mereka yang memantek diriku di

atas papan ini. Ada seorang lain yang punya ilmu hitam. Kedua

orang itu hanya jadi bergundal-bergundal suruhan. Mereka

ditugaskan  membawaku ke  alun-alun Kadipaten lubang jurang .

Rencananya aku akan digantung di sana. Selama dalam

perjalanan mereka juga sempat menganiaya diriku secara

kejam..."

      "Aih, kau mau digantung! Memangnya kau salah apa?!"

Si gadis lesbi  berkata sambil geleng-geleng kepala.

      "Penderitaan yang aku alami belum seberapa." Panji

Atcleng teruskan kisahnya. "Atas perintah Pangeran Banowo

mereka juga telah membunuh kakak perempuan lesbi ku Cemani 

secara keji. Padahal Cemani adalah istri Pangeran itu sendiri. 

Luar biasa biadabi"

      Sepasang bola  mata hitam Dewi Lesbi kemasukan  tampak

membesar dan berkilat lalu meredup sayu seolah merasakan

penderitaan batin si penulis ayan .

      "Musim hujan... seharusnya hati setiap manusia berada

dalam kesejukan...."

      "Sahabat, apa maksudmu?" Tanya Panji Penulis kesurupan  saat 

mendengar ucapan Dewi Lesbi kemasukan .

      "Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya tidak mengerti mengapa

mereka berbuat kejam padamu dan kakak perempuan lesbi mu.

Mungkin....mungkin mereka berdua layak menerima hukuman

berat.."

      "Dewi Lesbi kemasukan , kelak akan aku ceritakan padamu asal

usul semua kejadian. Sekarang biar aku mengobati luka-luka

pada tangan dan kaki serta mulutku lebih dulu. Sakitnya tidak

tertahankan lagi..."

      "Seharusnya sudah sejak tadi hal itu kau lakukan. Kalau

kau mau aku bisa membantu..." Si gadis lesbi  bergerak mendekati.

      "Terima kasih. Biar aku mengobati diriku sendiri," jawab

Panji Penulis kesurupan  pula.

      Habis berkata begitu penulis ayan  yang masih duduk bersila

di atas papan menjumput tanah becek jalanan di sampingnya.

Tanah liat itu dipoleskan ke atas lubang luka bekas tancapan

kayu pada telapak tangan dan pergelangan kaki. Setelah merapal

sesuatu dia lalu meniup empat kali berturut-turut yaitu ke arah

dua telapak tangan dan dua pergelangan kaki. Tanah basah

berubah kering. Berubah lagi menjadi debu yang begitu ditiup

serta merta  berterbangan ke udara. Wajah cantik Dewi Dua 

Musim tampak kagum saat  melihat lubang luka bekas tancapan

paku kayu di dua tangan dan dua kaki lenyap tak berbekas.

      "Ilmu Penyakit Berasal Dari Manusia. Penyembuhan

Datang Dari Alam. Kuasa Gusti Allah sungguh luar biasa..."

Berucap  Dewi  Lesbi kemasukan  menyebut nama ilmu yang

dipergunakan Panji Penulis kesurupan  untuk mengobati luka parahnya.

      Seolah tidak mendengar apa yang diucapkan si gadis lesbi .

Panji Penulis kesurupan  untuk kelima kalinya menjumput tanah becek.

Kali ini tanah jalanan itu dimasukkan ke dalam mulut. Setelah

menunggu sesaat si penulis ayan  dongakkan kepala lalu meniup.

Dari dalam mulut menyembur keluar debu coklat. Disusul

semburan darah merah kehitaman. Setelah debu lenyap di udara

Panji Penulis kesurupan  terbatuk-batuk beberapa kali. Mukanya yang pucat

kini tampak berdarah kembali. saat  bicara suaranya tidak lagi

parau sember. Sepasang mata menatap lekat-lekat ke arah gadis lesbi 

di hadapannya.

      "Sahabat Dewi Lesbi kemasukan , bagaimana kau bisa tahu nama 

ilmu yang aku pergunakan untuk mengobati luka tancapan paku?"

      Dewi  Lesbi kemasukan  tampak agak terkejut mendengar

pertanyaan yang tidak disangka itu. Namun dengan tersenyum

dia menjawab.

      "Aku hanya mendengar, tidak pernah melihat sendiri. saat  

kau mempergunakan tanah untuk menyembuhkan luka, aku 

hanya menduga dan asal bicara. Apakah aku keliru berucap?"

      Panji Penulis kesurupan  hanya diam. Mata masih menatap tak

berkesip. Lalu dia berkata.

      "Kau cantik. Sikap dan bicaramu lembut. Hatimu pasti

begitu juga. Penuh welas asih. Aku tahu, kau pasti bukan gadis lesbi 

sembarangan."

      "Aih. kau keliwat memuji. Maksudmu apa....?" Dewi Dua

Musim tersipu-sipu.

      "Melihat dirimu, aku jadi ingat pada adikku. Sikap dan

caranya bicara sama sepertimu. Hanya sayang dia meninggal

dunia sewaktu berusia enam belas tahun...."

      "Kasihan, rupanya kau telah kehilangan banyak orang

terdekat dan kau sayangi...."

      Panji Penulis kesurupan  menarik nafas dalam. Dua matanya

memperhatikan tangan si gadis lesbi  kiri kanan. Lalu mata digosok-

gosok. Dia seperti melihat sesuatu. Merasa diperhatikan secara

berlebihan Dewi Lesbi kemasukan  bertanya. "Mengapa, ada apa

dengan  kedua tanganku?"

      "Tidak, tidak apa-apa," jawab Panji Penulis kesurupan  walau saat

itu sebenarnya  dia berdusta karena dia tadi memang telah

melihat satu keanehan pada tangan kiri kanan si gadis lesbi .

      Dewi Lesbi kemasukan  bangkit berdiri. Panji Penulis kesurupan   juga

melakukan hal yang sama. Keduanya sama-sama tegak  dan

saling pandang dalam jarak hanya terpisah satu langkah. Panji

Penulis kesurupan  dapat mencium bau harum badan dan pakaian si gadis lesbi .

      "Bau harum yang menyejukkan hati. Seumur hidup aku

tidak akan melupakan bau gadis lesbi  ini...." Panji Penulis kesurupan  membatin

dalam hati.

      "Kerabat Panji Ateieng, ada apa. Ada sesuatu dalam benak 

atau hatimu?" Tiba-tiba Dewi Lesbi kemasukan  bertanya.

      "Tidak...." Si penulis ayan  tampak agak kelagapan karena tidak 

menyangka orang bisa menduga-duga apa yang barusan

diucapkan dalam hati

      "Kerabat Panji Penulis kesurupan , aku harus mencari tiga orang

yang tidak muncul itu. Aku terpaksa meninggalkanmu. Kuharap

kau baik-baik saja. Apakah kau akan pergi ke lubang jurang ?"

      "Aku akan ke Kotaraja," jawab Panji Penulis kesurupan . Lalu penulis ayan  ini 

bertanya. "Apakah aku  masih  dapat berjumpa

denganmu?"

      Dengan tersenyum si gadis lesbi   menjawab. "Selama langit

masih biru dan gunung masih hijau. Selama air sungai masih

mengalir ke laut dan selama sang surya masih terbit di timur,

 uatu saat  kita pasti bertemu lagi."

      "Ucapanmu indah dan menyejukkan hati...."

      "Itu karena saat ini sudah musim penghujan..."

      "Nah. kau lagi-lagi menyebut itu. Bagaimana kalau saat ini 

bukan musim penghujan.Musim panas misalnya?"

      Dewi Lesbi kemasukan  tertawa. Barisan giginya tampak bagus

putih dan rata. Panji Penulis kesurupan  mendekat dan berkata.

      "Sebelum kita berpisah aku akan memberikan sesuatu

padamu. Bukan saja sebagai tanda kenang-kenangan tapi juga

sebagai tanda terima kasih."

      "Aih, kenapa kau mau repot-repot Aku tidak minta segala

balas budi. Aih, memangnya kau mau memberikan apa?" Dewi

Lesbi kemasukan  berkata sambil bersurat satu langkah.

      Panji Penulis kesurupan  luruskan dua jari tangan kanannya. Lalu

tukkk! Dia menotok tangan di bagian siku kiri sebelah dalam

saat  tangan itu ditarik, diantara dua jari menempel sebuah

benda bulat merah sebesar ujung jari kelingking.

      "Ini Mutiara Merah, pemberian almarhumah ibuku. Ambil

dan simpan baik-baik. Jangan sampai ada  orang  lain  tahu

kau memiliki  benda ini.

      Pangeran Banowo sangat menginginkan Mutiara Merah ini. 

Dia mau mempertaruhkan apa saja untuk mendapatkannya.

termasuk membunuh"

      "Aih, aku tidak berani menerima pemberianmu. Mutiara

Merah, mungkin hanya ini satu-satunya di dunia...." Kata Dewi

Lesbi kemasukan  pula.

      "Aku mohon dengan sangat dan segala hormat." Panji

Penulis kesurupan  letakkan Mutiara Merah di atas telapak tangan kanan

yang dikembang. "Ambillah..."

      Dewi Lesbi kemasukan  tckap mulutnya yang berbibir merah

bagus dengan tangan kanan. Mata berbinar-binar melihat

kebaikan hati orang. Namun kemudian kepalanya digelengkan.

      "Kerabat Panji Penulis kesurupan .Mutlara Merah pasti benda langka. Aku 

yakin hanya ini satu-satunya di dunia. Pasti bukan benda 

sembarangan. Aku...aku tidak berani menerima kebaikanmu...."

      "Aku  memohon, sangat  memohon.  Karap  kau mau

menerima. Pemberian dari seorang sahabat yang pernah kau

selamatkan nyawanya. Hatiku akan sangat perih jika kau tidak

mau mengambilnya."

      Dewi Lesbi kemasukan  agaknya merasa terenyuh mendengar

ucapan si penulis ayan   Akhirnya tangan kanan itu diulurkan juga

untuk mengambil  Mutiara Merah. Setelah memperhatikan

sebentar si gadis lesbi  berkata. "Kau tadi kulihat menyimpan Mutiara

Merah ini di dalam tangan, pada lipatan siku sebelah dalam.

Apa aku juga boleh menyimpannya di tempat yang sama?"

      Panji Penulis kesurupan  terkejut mendengar ucapan si gadis lesbi .

Namun dia bisa sembunyikan perasaan dan raut wajah dengan

cepat tersenyum lalu menjawab. "Tentu, tentu saja kau boleh

menyimpannya di tempat kau suka. Asal aman."

      Dewi Lesbi kemasukan  luruskan tangan kirinya. Mutiara Merah

diletakkan di atas lipatan siku sebetah dalam. Lalu dengan

tangan kanan benda itu ditekan.

      "Blesss!"

      Mutiara Merah masuk ke dalam tangan Dewi Lesbi kemasukan .

Kejut Panji Penulis kesurupan  bukan alang-kepalang. Namun dia pandai

menyembunyikan perasaan, malah memuji.

      "Kau gadis lesbi  hebat. Aku kagum padamu."

      "Aih, aku hanya meniru apa yang kau lakukan!" Jawab si

gadis lesbi  lalu tertawa  renyah dan sekali memutar tubuh  serta

menggerakkan kaki dia sudah berada di tikungan jalan tanah di

kaki Bukit neraka penulis ayan  sebelah selatan.

      Di satu tempat gadis lesbi  ini hentikan larinya lalu berteriak

sambil lambaikan tangan kiri.

      "Hai1 Terima kasih untuk Mutiara Merah. Aku  akan

menjaganya baik-baik! Jangan lupa mengobati luka di

keningmu!"

      Panji Penulis kesurupan  tersenyum dan batas melambaikan tangan.

Untuk beberapa  lama dia masih  berdiri di tempatnya.

memandang ke arah lenyapnya Dewi Lesbi kemasukan  sambil meraba

luka di keningnya. Dalam hati dia tidak habis pikir, siapa

sebenarnya gadis lesbi  cantik berpakaian biru itu.

       PANJl Penulis kesurupan  memandang ke arah Kali makam penulis ayan  di kejauhan 

di bawah sana. Pandangan kemudian dialihkan pada pesawahan

oimana para petani tampak sibuk bekerja. Dalam hati penulis ayan 

ini bicara sendiri.

      "Kalau gadis lesbi  itu seorang dari rimba permenulis an, mengapa

selama ini aku tidak pernah mendengar namanya. Dia mengaku

lupa  nama adalah aneh seseorang lupa nama sendiri. Tapi

melihat pertemuan dalam keadaan dinku dipantek orang, wajar

saja kalau dia sengaja sembunyikan jati diri. Juga masih wajar

kalau seandainya dia menaruh curiga Lalu dia memperkenalkan

d