Jumat, 19 Januari 2024

harry potter A

 
The Dark Lord Ascending (Kebangkitan Pangeran Kegelapan) 


Dua orang itu muncul secara tiba-tiba, terpisah beberapa meter di sebuah 
jalan sempit yang diterangi oleh cahaya bulan. Sesaat mereka berdiri diam, 
tongkat masing-masing saling terarah ke dada yang lain. Setelah mengenali 
satu sama lain, mereka menyimpan tongkat masing-masing dibalik jubah dan 
mulai berjalan cepat ke arah yang sama. 
"Bagaimana?" tanya orang yang paling tinggi dari 
keduanya. "Sempurna," jawab Severus Snape. 
Jalan kecil itu dikelilingi oleh semak liar yang rendah disebelah kiri, pagar 
tanaman yg tinggi dan terawat disebelah kanan. Jubah panjang mereka 
berkibar selagi mereka berjalan bersama. 
"Kupikir aku akan terlambat," ujar Yaxley, tubuh lebarnya terlihat dan 
menghilang di bawah cahaya bulan yang terhalang dedaunan. "Sedikit lebih rumit 
dari yang kukira, tapi kuharap dia puas. Kedengarannya kau yakin bahwa 
sambutanmu akan bagus?" 
Snape hanya mengangguk tanpa memberikan penjelasan. Mereka berbelok ke 
kanan, ke arah jalan raya yang lebar yang menjadi ujung jalan kecil itu. Pagar 
tanaman tinggi yang mengelilingi mereka membelok di kejauhan, di belakang 
pagar besi yang menghalangi jalan kedua lelaki itu. 
Tidak satu pun dari mereka menghentikan langkah: dalam kesunyian keduanya 
mengangkat lengan kiri mereka dalam penghormatan lalu berjalan menembusnya, 
seakan pagar logam berwarna gelap itu hanyalah asap. 
Pagar tanaman itu seakan meredam suara langkah kaki mereka. Terdengar 
sebuah desikan di suatu tempat di sisi kanan mereka : Yaxley mengacungkan 
tongkatnya lagi, mengarahkannya melewati kepala kawannya, tapi sumber 
desikan itu ternyata hanyalah seekor burung merak putih yang berjalan dengan 
angkuh disepanjang puncak pagar tanaman itu. "Selalu berkecukupan, Lucius. 
Burung merak..." Yaxley memasukkan tongkat sihirnya dibalik jubah sambil 
mendengus. 
Rumah bangsawan yang menawan itu terlihat dalam kegelapan di ujung jalan, 
cahaya berkilau dari jendela berpanel silang di lantai bawah. Di bagian kebun 
yang gelap, air mancur bergemericik. Kerikil berbunyi di bawah kaki mereka 
ketika Snape dan Yaxley mempercepat langkah mereka menuju pintu depan 
yang mengayun terbuka kedalam ketika mereka mendekat, meskipun tak ada 
yang membukanya. 
Koridor yang mereka lewati berukuran lebar, cahayanya redup, dan dihiasi 
dengan indah, permadani mewah menutupi sebagian besar lantai batu. Mata
beberapa lukisan berwajah pucat yang tergantung di dinding mengikuti Snape 
dan Yaxley selagi mereka lewat. Langkah dua pria tersebut terhenti di depan 
pintu kayu besar yang menuju ruang berikutnya, dan berhenti sejenak untuk 
mengatur napas, lalu Snape memutar gagang pintu perunggu. 
Ruang tamu dipenuhi orang-orang yang duduk membisu mengelilingi meja hias. 
Perabotan yang biasanya menghias ruangan itu telah disingkirkan hingga merapat 
ke dinding. Penerangan ruangan itu berasal dari perapian pualam indah yang 
disepuh kaca. Snape dan Yaxley berdiri di ambang pintu. Setelah mata mereka 
terbiasa dengan cahaya yang redup, mereka melihat pemandangan yang sangat 
aneh: sosok manusia yang tak sadarkan diri tergantung aneh; terbalik; jauh 
diatas meja, sesuatu berputar pelan seperti digerakkan suatu benang yang tidak 
terlihat, dan bayangannya terpantul cermin di atas permukaan meja yang 
mengilat. Tidak seorang pun yang melihat ke atas, kecuali pemuda berparas 
pucat yang duduk hampir tepat di bawahnya. Sepertinya dia tidak mampu 
menahan diri untuk melihat ke atas tiap menit. 
"Yaxley. Snape," terdengar suara jelas bernada tinggi dari ujung meja. 
"Kalian hampir terlambat." 
Sosok yang berbicara duduk tepat di depan perapian, membuat kedua orang 
itu hanya bisa melihat siluetnya. Saat mereka mendekat, terlihat wajah 
bersinar dalam kegelapan, tidak memiliki rambut, seperti ular, dengan celah 
lubang hidung, dan pupil matanya berwarna merah vertikal. Wajahnya pucat 
seolah-olah memancarkan cahaya seputih mutiara. 
"Severus, kemari," Voldemort menunjuk tempat duduk yang berada tepat 
disebelah kanannya. "Yaxley- kau disamping Dolohov." 
Dua laki- laki itu mengambil tempat yang disediakan untuk mereka. Setiap mata 
disekitar meja memandang Snape, dan kepadanyalah Voldemort memulai 
pembicaraan. 
"Jadi?" 
"Tuanku, Orde Phoenix berniat memindahkan Harry Potter dari tempat 
perlindungan yang selama ini ditempatinya, sabtu depan, menjelang malam." 
Ketertarikan di sekitar meja memuncak: Beberapa terdiam, yang lain 
gelisah, semua menatap ke arah Snape dan Voldemort. 
"Sabtu... menjelang malam," ulang Voldemort. Mata merahnya menatap mata 
Snape yang hitam dan mampu membuat beberapa orang memalingkan wajah, 
mereka terlihat ketakutan seakan-akan mereka akan dibakar oleh keganasan tatapan itu. Snape, meskipun begitu, balas menatap Voldemort dengan santai, 
dan beberapa saat kemudian, mulut tanpa bibir Voldemort melekuk membentuk 
senyuman. 
"Bagus. Bagus sekali. Dan informasi ini datangnya - " 
" - dari sumber yang pernah kita bicarakan," kata Snape. 
"Tuanku." 
Yaxley memajukan tubuhnya ke depan meja, sehingga dia dapat melihat
Voldemort dan Snape. Semua wajah mengarah padanya. 
"Tuanku, berita yang kudengar berbeda." 
Yaxley menunggu, tetapi Voldemort tidak berbicara, lalu dia melanjutkan, 
"Dawlish, salah satu Auror, mengatakan bahwa Potter tidak akan dipindahkan 
sampai tanggal tiga puluh, malam sebelum dia berusia tujuh belas." 
Snape tersenyum. 
"Sumberku mengatakan ada rencana palsu untuk menipu kita, rencana itulah 
yang pasti palsu. Tidak diragukan lagi, Dawlish terkena Mantra Confundus. Ini 
bukan pertama kalinya; dia dikenal karena kepekaannya." 
"Aku jamin, Tuanku. Dawlish tampak sangat yakin," kata Yaxley. 
"Jika dia berada dalam kutukan Confundus, tentu saja dia terlihat sangat 
yakin," kata Snape. "Kuberitahukan padamu, Yaxley, kantor Auror tidak lagi 
ikut campur masalah perlindungan Harry Potter. Orde tahuu bahwa kita telah 
menyusup ke dalam Kementerian." 
"Akhirnya Orde benar kali ini, eh?" kata pria bungkuk yang duduk tidak 
jauh dari Yaxley; dia mengeluarkan tawa aneh yang diikuti tawa lain di 
sekitar meja. 
Tetapi Voldemort tidak tertawa. Tatapannya terarah ke atas pada tubuh 
yang berputar pelan, dan dia terlihat tenggelam dalam pikirannya. 
"Tuanku," Yaxley meneruskan, "Dawlish yakin sekelompok Auror akan dipakai 
dalam pemindahan anak itu -" 
Voldemort mengangkat tangannya putihnya yang panjang, dan Yaxley terdiam, 
menatap kecewa ketika Voldemort berpaling lagi pada Snape. 
"Dimana anak itu akan disembunyikan nantinya?" 
"Disalah satu rumah milik anggota Orde," kata Snape. "Tempatnya, menurut 
sumber, telah dilindungi dengan semua perlindungan yang dapat diberikan Orde 
dan Kementerian. Kurasa hanya ada sedikit kemungkinan bagi kita untuk 
membawanya dari sana, Tuanku, kecuali Kementerian berhasil kita kuasai 
sebelum sabtu depan, memberikan kita kesempatan untuk menemukan dan 
menghapus semua mantra yang ada di tempat itu." 
"Baiklah, Yaxley?" Voldemort menatap ke arah meja, nyala api berkilat aneh di 
matanya, "Akankah Kementerian kita kuasai Sabtu depan?" 
Sekali lagi, semua kepala beralih, Yaxley mencondongkan bahunya. 
"Tuanku, aku mempunyai berita bagus mengenai hal itu. Aku berhasil - dengan 
beberapa kesulitan rupanya, dan usaha yang maksimal - memantrai Pius 
Thickneese dengan kutukan Imperius." 
Beberapa orang yang duduk di sekitar Yaxley tampak terkesan, seseorang di 
sampingnya, Dolohov, pria berwajah panjang dan berkerut, menepuk punggung 
Yaxley. 
"Awal yang bagus," kata Voldemort. "Tapi Thicknesse seorang tidaklah cukup. 
Scrimgeour harus dikelilingi oleh orang orang kita sebelum kita beraksi. Satu 
kesalahan dalam pengambilan nyawa Kementerian akan membuatku kembali 
menempuh jalan yang panjang." 
"Ya - Tuanku, itu benar - tetapi kau tahu, sebagai Kepala Departemen 
Pelaksanaan Hukum Sihir, Thicknesse tidak hanya memiliki kontak dengan 
Menteri Sihir, tetapi juga dengan semua kepala departemen di Kementerian. Hal 
itu, kupikir, akan menjadi mudah karena pejabat tinggi berada di bawah kendali 
kita, dan mereka akan mempengaruhi yang lain, mereka akan bekerja sama untuk 
menjatuhkan Scrimgeour." 
"Selama teman kita Thicknesse tidak ketahuan sebelum dia mempengaruhi yang 
lain," kata Voldemort. "Bagaimanapun juga, Kementerian akan menjadi milikku 
sebelum sabtu depan. Jika kita tidak bisa menyentuh anak itu di tempat 
tujuannya, maka kita harus melakukannya saat dia sedang dalam perjalanannya." 
“Kita memiliki keuntungan, Tuanku,” kata Yaxley, yang tampak meminta 
dukungan. "Sekarang kita memiliki beberapa orang di Departemen 
Transportasi Sihir. Jika Potter ber–Apparate atau menggunakan jaringan 
Floo, kita akan segera tahu di mana dia berada.” 
“Dia tidak akan melakukannya,” kata Snape. "Orde tidak akan menggunakan 
segala bentuk transportasi yang dikontrol dan diatur oleh Kementerian; 
mereka tidak mempercayai apapun yang dikerjakan Kementerian.” 
"Akan lebih baik,” kata Voldemort. ”Dia akan dipindahkan secara terbuka. Lebih 
mudah untuk ditangkap, pasti!” 
Sekali lagi Voldemort mendongak dan melihat tubuh yang terus berputar pelan 
selagi dia bicara. ”Aku akan mengurus anak itu sendirian. Terlalu banyak 
kesalahan yang melibatkan Harry Potter. Sebagian kesalahan tersebut akulah 
yang membuatnya. Potter selamat akibat kesalahanku dan bukan karena 
keberhasilannya.” 
Sekelompok penyihir di sekitar meja memperhatikan Voldemort dengan penuh 
kekhawatiran, beberapa dari mereka, terlihat dari ekspresi mereka, merasa 
takut mereka bisa saja disalahkan karena keberadaan Harry Potter yang masih 
ada sampai saat ini. Bagaimanapun, ucapan Voldemort sepertinya lebih ditujukan 
untuk dirinya sendiri daripada kepada sekelompok orang di ruangan itu, 
pandangannya masih tertuju pada sosok yang tak sadarkan diri di atasnya. 
“Aku telah ceroboh, dan tentu saja dihalangi oleh kesempatan dan 
keberuntungan, semua rencana yang kulakukan hanya menghasilkan rencana 
kosong yang tidak tercapai. Tapi sekarang aku tahu sesuatu yang lebih baik. 
Aku mengerti beberapa hal yang tidak kumengerti sebelumnya. Jika ada orang 
yang harus membunuh Harry Potter, orang itu adalah aku.” 
Ketika Voldemort mengucapkan kata-kata tersebut, terdengar sesuatu seperti 
tanggapan atas perkataan itu, terdengar suara ratapan, dan berlanjut suara 
tangisan kesengsaraan dan kesakitan. Beberapa orang melihat terkejut sambil 
melihat ke bawah meja, karena suara tersebut seakan-akan berasal dari kaki 
mereka sendiri. 
"Wormtail," kata Voldemort, tanpa perubahan dalam ketenangan suaranya, dan 
tanpa mengalihkan pandangan dari sosok tubuh yang berputar diatasnya, 
"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk membuat tawanan kita tetap diam?" 
“Ya, T- Tuanku,” sahut penyihir kecil yang duduk begitu rendah di kursinya, 
orang-orang meliriknya, dan kemudian mengabaikannya. Dia bangkit dari tempat 
duduknya lalu berlalu cepat dari ruangan itu tanpa meninggalkan apapun kecuali 
kilauan benda perak. 
“Seperti yang telah kusampaikan,” lanjut Voldemort, sambil melihat wajah 
tegang para pengikutnya, "Aku lebih mengerti kali ini. Saat ini juga aku harus 
meminjam tongkat salah satu dari kalian sebelum aku membunuh Potter.” 
Semua wajah menunjukkan keterkejutan yang luar biasa; seakan Voldemort 
memberitahu mereka bahwa dia ingin meminjam salah satu lengan mereka. 
"Tidak ada sukarelawan?" kata Voldemort. "Kalau begitu... Lucius, aku tidak 
melihat alasan bahwa kau masih memerlukan tongkatmu." 
Lucius Malfoy mengangkat kepalanya. Kulitnya terlihat kekuningan dan 
seperti lilin dalam cahaya api, dan matanya cekung serta berbayang. Saat 
dia berbicara, suaranya terdengar parau. 
"Tuan?" 
"Tongkatmu, Lucius. Aku ingin tongkatmu." 
"Aku..." 
Malfoy melirik istrinya yang duduk di sampingnya. Istrinya menatap ke depan, 
wajahnya sama pucatnya seperti suaminya, rambut pirangnya yang panjang 
tergerai di bahunya, namun tersembunyi di bawah meja, jari-jari kurusnya 
memegang erat tangan Lucius. Dengan sentuhannya, Malfoy menarik tongkat 
yang terselip dijubahnya dan menyerahkannya pada Voldemort yang mengangkat 
tongkat itu, mata merahnya memperhatikan tongkat itu dengan seksama. 
“Apa jenis kayunya?” 
"Elm, Tuanku," bisik Malfoy. 
"Dan intinya?" 
"Naga - Serabut hati naga." 
“Bagus,” kata Voldemort. Dia menarik tongkatnya sendiri dan membandingkan 
ukuran panjangnya. Lucius Malfoy membuat gerakan tak disengaja; sekejap 
kemudian, dia tampak berharap menerima tongkat milik Voldemort untuk 
ditukar dengan miliknya. Gerakan itu terlihat oleh Voldemort, matanya 
melebar penuh kedengkian. 
"Kau pikir aku akan memberikan tongkatku, Lucius? Tongkatku?" 
Beberapa orang terkikik. 
“Aku telah memberikan kau kebebasan, Lucius, apa itu tidak cukup untukmu? 
Dan dari apa yang kuperhatikan, kau dan keluargamu tampak tidak bahagia 
akhir-akhir ini. Apakah kehadiranku di rumahmu sangat mengganggumu, 
Lucius?” 
“Tidak – Tidak sama sekali, Tuanku!” 
Kau berbohong Lucius … “ 
Terdengar suara mendesis yang bahkan membuat mulut kejam tersebut 
berhenti bergerak. Satu atau dua penyihir menunjukkan rasa takut saat desisan 
tersebut terdengar lebih keras; sesuatu yang berat terdengar sedang berjalan 
di bawah meja. 
Seekor ular besar muncul dan memanjat perlahan menuju kursi Voldemort. Ular 
itu terus berjalan naik dan melingkar pada bahu Voldemort. Tebal leher ular itu 
sama dengan paha manusia, matanya dengan pupil celah vertikal, tidak bekedip. 
Voldemort menyentuh pelan makhluk tersebut dengan jarinya yang kurus dan 
panjang, matanya masih menatap Lucius Malfoy. 
"Menapa keluarga Malfoy terlihat tidak bahagia dengan keadaan mereka saat 
ini? Apakah dengan kembalinya aku, kebangkitanku untuk menguasai dunia bukan 
hal yang mereka inginkan beberapa tahun terakhir ini?” 
“Tentu, Tuanku,” kata Lucius Malfoy. Tangannya bergetar saat dia menghapus 
keringat di atas bibirnya. “Kami menginginkannya – Sangat.” 
Di sisi kiri Malfoy, istrinya bergerak aneh, mengangguk kaku, matanya teralih 
dari Voldemort ke ularnya. Di kanannya, anaknya Draco, yang tengah menatap 
tubuh yang tidak berdaya di atas, melirik sekilas pada Voldemort dan langsung 
berpaling, dia terlalu takut melakukan kontak mata dengan Voldemort. 
“Tuanku,” kata seorang wanita berkulit gelap di pinggir meja barisan tengah, 
suaranya penuh dengan emosi, "Suatu kehormatan Anda berada di sini, di 
keluarga kami. Tidak ada kehormatan yang lebih baik daripada ini semua." 
Dia duduk di sebelah saudarinya, dan tidak memiliki kemiripan dengan 
saudarinya, rambutnya gelap dan pelupuk matanya tebal, dia terlihat sangat 
tegas dan rendah diri di hadapan Voldemort, sedangkan Narcissa duduk diam 
dan kaku. Bellatrix memajukan dirinya ke depan meja, tidak ada yang bisa 
menjelaskan kerinduannya untuk lebih mendekat. 
"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini," ulang Voldemort, kepalanya 
dimiringkan ke arah lain seolah dia menilai Bellatrix. “Aku menganggapnya 
sebuah persetujuan, Bellatrix, darimu.” 
Wajahnya seketika berwarna; air mata kebahagiaan mengalir dari matanya. 
"Tuanku tahu aku mengatakan kebenaran." 
"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini... bahkan jika dibandingkan dengan 
pesta besar, yang kudengar berlangsung di kediaman keluargamu minggu ini?” 
Mata Bellatrix terbelalak, bibirnya membuka, dan dia terlihat kebingungan. 
“Saya tidak mengerti maksud anda, Tuanku.” 
“Aku membicarakan keponakanmu, Bellatrix. Dan tentunya keponakan kalian juga, 
Lucius dan Narcissa. Dia baru menikah dengan si manusia serigala, Remus Lupin. 
Kalian pasti merasa bangga.” 
Terdengar tawa mencemooh di sekitar meja. Beberapa wajah maju ke depan 
untuk memperlihatkan sirat kegembiraan; yang lain memukul meja dengan tinju 
mereka. Ular besar, yang membenci keributan, membuka mulutnya lebar dan 
mendesis marah, tetapi para Pelahap Maut tidak mendengarnya, mereka 
menikmati penghinaan yang ditujukan pada Bellatrix dan keluarga Malfoy. 
Wajah Bellatrix, yang berseri gembira, seketika berubah seakan-akan 
ditumbuhi bisul jelek dan merah. 
“Dia bukan keponakan kami, Tuanku,” dia menangis saat yang lain terlihat 
gembira. “Kami – Narcissa dan aku – tidak pernah berhubungan dengan 
saudara kami sejak dia menikah dengan si darah lumpur. Anak itu tidak punya 
hubungan apapun dengan kami berdua, begitu juga binatang buas yang dia 
nikahi.” 
“Bagaimana denganmu, Draco?” tanya Voldemort, suara pelannya mampu 
menyaingi ledekan dan cemohoohan. “Apakah kau akan merawat anaknya itu?” 
Kegembiraan memuncak, Draco Malfoy menatap ngeri pada ayahnya, yang 
hanya menunduk melihat kakinya sendiri, lalu beralih menatap ibunya. dia 
menggelengkan kepalanya nyaris tak terlihat, dan kembali menatap lurus ke 
arah dinding yang berlawanan. 
“Cukup,” kata Voldemort, menepuk ular yang marah. “Cukup.” 
Dan tawapun langsung berhenti. 
“Kebanyakan generasi sejak generasi tertua kita semakin lama semakin 
terinfeksi,” dia berbicara saat Bellatrix menatapnya, sambil menahan napas 
dan memohon, "Kau harus menjaga generasi keluargamu, tetap menjaganya 
sehat dengan memotong komponen yang mengancam kemakmurannya." 
"Ya Tuanku," bisik Bellatrix, dan sekali lagi matanya dipenuhi air mata 
terimakasih. "Dikesempatan pertama!" 
“Kau harus melakukannya,” kata Voldemort. "Di keluarga kalian, juga didunia... 
kita akan membuang penyakit yang menginfeksi kita sampai hanya mereka 
yang berdarah murni yang tersisa...” 
Voldemort mengangkat tongkat Lucius Malfoy, mengarahkannya langsung pada 
sosok yang berputar pelan yang terikat terbalik di atas meja, dan memberinya 
sedikit jentikkan. Sosok itu mulai sadar dengan rintihan dan mulai berusaha 
melepaskan ikatan tak terlihat yang mengikatnya. 
"Apa kau mengenali tamu kita, Severus?” tanya Voldemort. 
Snape mendongak dan melihat pada wajah kacau balau yang terikat terbalik 
itu. Semua Pelahap Maut menatap tawanan itu, seolah mereka diberi izin untuk 
memperlihatkan keingintahuan mereka. Saat wanita itu berputar menghadap 
perapian, wanita itu mengeluarkan suara ketakutan dan gemetar, “Severus! 
Tolong aku!” 
“Ah, ya,” kata Snape ketika tawanan itu berputar pelan sekali lagi. 
“Dan kau, Draco?” tanya Voldemort, menepuk pelan moncong ular itu 
dengan tongkatnya. Draco menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Saat 
wanita itu kembali terbangun, Draco tidak mampu melihatnya lagi. 
"Kau tidak perlu mengambil kelasnya," kata Voldemort. "Bagi kalian yang belum 
tahu, kita kedatangan seseorang untuk bergabung dengan kita malam ini, Charity 
Burbage yang, sampai beberapa waktu yang lalu, mengajar di sekolah Sihir 
Hogwarts.” 
Terdengar bisikan kecil yang penuh dengan pemahaman. Di atasnya, gigi wanita 
tersebut bergemelutuk. 
“Ya … Professor Burbage mengajar para penyihir muda tentang Muggle... bahwa 
mereka tidak berbeda dari kita... “ 
Salah satu Pelahap Maut meludah ke lantai. Charity Burbage berputar 
menatap Snape sekali lagi. 
"Severus... kumohon... tolong..." 
"Diam," kata Voldemort, menjentikkan tongkat Malfoy, dan Charity langsung 
terdiam. "Merasa kurang dengan mengotori dan merusak pikiran para penyihir 
muda, minggu lalu Profesor Burbage menulis ketertarikan pada Darah Lumpur di 
Daily Prophet. Dia berkata, penyihir harus menerima pengetahuan dan sihir dari 
para pencuri tersebut. Berkurangnya darah murni, Profesor Burbage berkata, 
adalah keadaan yang sangat penting... Dia ingin kita semua berteman dengan 
Muggle... atau, tidak diragukan lagi, manusia serigala..." 
Tak ada seorangpun yang tertawa kali ini. Ada kemarahan dan penghinaan dalam 
suara Voldemort. Untuk ketiga kalinya, Charity Burbage berputar menatap 
wajah Snape. Air mata mengalir dari matanya dan membasahi rambutnya. Snape 
balas menatapnya, terlihat tenang, setenang putaran Charity yang menjauh dari 
pandangannya. 
“Avada Kedavra!” 
Kilatan sinar hijau menerangi setiap sudut ruangan. Charity jatuh, bedebam 
keras, jatuh ke atas meja, yang bergetar dan retak. Beberapa Pelahap Maut 
terlonjak dari kursi mereka. Draco jatuh ke lantai. 
“Makan malam, Nagini,” kata Voldemort dengan dingin, dan ular besar itu 
berjalan turun dari bahunya ke lantai yang mengkilap. 
Bab 2 In Memorandum (Kenangan) 
Harry terluka. Ia menggenggam tangan kanannya dengan tangan kirinya, 
menyumpahnyumpah dalam bisikan. Ia membuka pintu kamar dengan bahunya. 
Terdengar suara pecahan perabot porselen, dan sebuah pecahan cangkir 
berisi teh dingin tergeletak di lantai depan pintu kamarnya. 
"Apa-apaan…?" 
Ia melihat sekelilingnya, rumah nomor empat, Privet Drive yang sepi. Sepertinya 
ide cangkir teh ini adalah salah satu ide jebakan terbaik dari Dudley. Menjaga 
agar tangannya yang terluka tetap terangkat, Harry mengambil semua pecahan
cangkir itu dengan tangannya yang lain, dan membuangnya ke tempat sampah di 
dekat pintu kamarnya. Lalu ia langsung ke kamar mandi untuk mencuci lukanya. 
Sungguh benar-benar bodoh dan membosankan, bahwa ia harus menghabiskan 
empat minggu menahan diri untuk tidak menggunakan sihir… tapi ia merasa 
bahwa luka di jarinya dapat memaksanya untuk melakukan sihir. Sayangnya ia 
tak pernah belajar bagaimana mengobati luka, dan sekarang ia mulai berpikir 
bagaimana cara melakukannya. Ia berencana untuk menanyakan caranya pada 
Hermione, Sekarang ia menggunakan banyak tisu untuk membersihkan 
tumpahan tehnya sebelum ia kembali ke kamar dan membanting pintu kamarnya. 
Harry menghabiskan pagi ini untuk mengosongkan koper yang selalu ia gunakan 
selama enam tahun terakhir. Pada tahun pertamanya, ia memenuhi kurang lebih 
tiga perempatnya lalu kadang mengganti atau menambahkan isinya tiap tahun, 
dan meninggalkan sisa-sisa di dasar koper – pena bulu lama, mata kumbang yang
telah mengering, dan kaus kaki yang sudah tidak cukup lagi. Beberapa menit 
sebelumnya, Harry memasukkan tangannya ke dalam tumpukan itu, dan 
menghasilkan rasa sakit yang luar biasa dan pendarahan di keempat jari tangan 
kanannya. 
Kini ia lebih berhati-hati. Ia berlutut di sebelah kopernya, ia meraba-raba dasar 
kopernya dan menemukan sebuah lencana tua yang berkedip-kedip antara 
DUKUNG CEDRIG DIGGORY dan POTTER BAU, Teropong Musuh rusak yang 
sudah tak bisa dipakai lagi, sebuah liontin emas dengan sebuah catatan dari 
R.A.B. di dalamnya, dan akhirnya ia menemukan apa yang melukai jarinya. Ia 
langsung mengenalinya. Sebuah pecahan cermin sepanjang lima senti pemberian 
bapak baptisnya, Sirius. Harry meletakkannya dan melanjutkan mencari 
peninggalan lain dari bapak baptisnya. Tapi yang tersisa hanya sisa pecahan 
cermin yang tersebar di dasar kopernya. 
Harry duduk dan memerhatikan cermin yang telah melukai jarinya, yang 
dilihatnya hanyalah bayangan dari mata hijau cerahnya. Lalu ia meletakkan 
pecahan cermin itu di atas Daily Prophet terbitan hari ini, yang tergeletak 
begitu saja di atas tempat tidur. 
Butuh empat jam penuh untuk mengosongkan koper, membuang yang tidak perlu, 
memilih barang-barang apa yang akan kembali masuk ke dalam koper dan akan ia 
bawa. Jubah sekolah, jubah Quidditich, kuali, perkamen, pena bulu, buku 
sekolahnya, jelas ia akan meninggalkannya. Ia membayangkan apa yang akan 
dilakukan oleh paman dan bibinya, mungkin mereka akan membakarnya, 
menganggapnya seperti barang bukti kejahatan. Baju Muggle, Jubah Gaib, bahan 
membuat ramuan, beberapa buku, album foto yang Hagrid berikan padanya, 
setumpuk surat, dan tongkatnya, dipaksa masuk ke dalam ransel tuanya. Di 
kantung depan, tersimpan Peta Perompak dan liontin dengan catatan dari R.A.B. 
di dalamnya. Liontin itu begitu penting karena begitu banyak hal terjadi dalam 
usaha untuk mendapatkannya. 
Setumpuk koran tergeletak di meja sebelah burung hantu peliharaannya, 
Hedwig, yang datang setiap hari selama Harry menghabiskan liburan musim 
panasnya di Privet Drive. 
Harry berdiri, meregangkan otot-ototnya, dan berjalan menuju meja. Hedwig 
diam saja saat Harry mulai membuang koran-koran itu ke dalam tempat 
sampah. Burung hantu itu sedang tidur, atau berpura-pura tidur. Ia sedang 
marah pada Harry karena begitu jarang mengizinkannya keluar dari kandang. 
Begitu tumpukan koran mulai menipis, Harry mencari satu edisi koran yang 
terbit saat ia baru tiba di Privet Drive. Ia ingat bahwa di halaman depan
tercetak berita kecil tentang pengunduran diri Charity Burbage, guru Telaah 
Muggle di Hogwarts. Dan ia menemukannya. Ia membuka halaman sepuluh, ia 
duduk di kursinya dan mulai membaca ulang berita duka yang dicarinya. 
MENGENANG ALBUS DUMBLEDORE 
oleh Elphias Doge 
Pertama kali aku bertemu dengan Albus Dumbledore adalah saat aku berusia 
sebelas tahun, di hari pertama kami di Hogwarts. Ketertarikan kami berawal 
saat kami diacuhkan oleh orang-orang. Aku baru saja terkena cacar naga sesaat 
sebelum masuk sekolah, walaupun sudah tak lagi menular, bekas cacar kehijauan 
itu membuat hanya sedikit orang berani mendekatiku. Sedangkan Albus, datang 
ke sekolah membawa nama buruk. Beberapa tahun sebelumnya, ayahnya, 
Percival, ditangkap karena telah menyerang tiga Muggle muda dengan kejam. 
Albus tidak pernah mengelak bahwa ayahnya (yang meninggal di penjara 
Azkaban) telah berbuat kesalahan. Sebaliknya, saat aku memberanikan diri 
untuk bertanya, dia malah meyakinkanku bahwa ayahnya benar-benar bersalah. 
Lalu, Dumbledore tidak akan melanjutkan ceritanya, tidak ingin membicarakan 
hal-hal sedih, katanya. Walaupun banyak orang yang mengungkit-ungkit hal 
tersebut. Beberapa di antaranya, memuji tindakan ayahnya, dan menganggap 
bahwa Albus juga seorang pembenci Muggle. Tapi mereka benar-benar keliru. 
Karena semua orang tahu bahwa Albus tidak pernah tertarik dengan gerakan 
anti-Muggle. Malahan dia sangat mendukung hak-hak Muggle, yang membuatnya 
memiliki banyak musuh dalam beberapa tahun terakhir. 
Dalam beberapa bulan, nama Albus mulai lebih dikenal daripada nama 
ayahnya. Di akhir tahun pertamanya, dia tak lagi dikenal sebagai anak dari 
seorang pembenci Muggle, namun lebih dikenal sebagai siswa paling 
cemerlang yang pernah ada di sekolah. Dan teman-temannya mendapatkan 
banyak keuntungan darinya, termasuk pertolongan dan dorongan semangat 
yang tulus darinya. Dan dia mengaku padaku bahwa dia menemukan 
kesenangan tersendiri saat mengajar. 
Dia tidak hanya memenangkan semua hadiah yang sekolah pernah tawarkan, dia 
juga secara rutin berkoresponden dengan para penyihir hebat pada masanya, 
termasuk Nicolas Flamel, alkemis kenamaan, Bathilda Bagshot, sejarahwati 
terkemuka, dan Adalbert Waffling, ahli teori sihir. Beberapa esainya tiba-tiba 
dipublikasikan di Transfiguration Today, Challenges in Charming, dan Practical 
Potioneer. Karir masa depan Dumbledore sepertinya sudah terukir. Dan 
pertanyaan yang tersisa hanyalah kapan kira-kira dia akan menjadi Menteri 
Sihir. Walau sudah diprediksikan pekerjaan apa yang akan dia lakukan, dia tidak 
pernah berkeinginan untuk bekerja di Kementrian. 
Tiga tahun setelah dia memulai sekolahnya, saudara Albus, Aberforth, tiba di 
sekolah. Mereka benar-benar tidak mirip. Aberforth bukanlah seorang kutu 
buku seperti Albus. Dia lebih memilih untuk menyelesaikan masalah dengan 
berduel daripada beradu argumen. Namun adalah kesalahan besar bila 
menganggap kakak beradik ini tidak saling bersahabat. Mereka berteman 
layaknya dua orang anak yang berbeda satu sama lain. Bagi Aberforth, tentu 
sulit terus hidup di bawah bayang-bayang Albus. Berusaha terus-menerus untuk 
menjadi lebih cemerlang, baik sebagai teman ataupun saudara. Saat Albus dan 
aku lulus dari Hogwarts, kami berencana untuk berkeliling dunia bersama, 
mengunjungi dan belajar dari penyihir lain, sebelum memulai karir masing￾masing. Akan tetapi, sebuah tragedi terjadi. Pada malam keberangkatan kami, 
ibu Albus, Kendra, meninggal, meninggalkan Albus sebagai kepala keluarga. Aku 
menunda keberangkatanku cukup lama untuk dapat menghadiri penguburan 
Kendra, dan melanjutkan perjalananku sendirian. Dengan adik-adik yang butuh 
diurus, dan hanya sedikit emas yang tersisa, tidak mungkin Albus bisa 
menemaniku. 
Dan itu adalah suatu masa di mana kami jarang saling menghubungi. Aku menulis 
pada Albus, keseluruhan perjalananku. Mulai dari bagaimanan aku berhasil lolos 
dari Chimaera di Yunani, hingga bereksperimen dengan alkemis dari Mesir. 
Suratnya kepadaku berisi tentang kesehariannya, yang menurutku tentu sangat 
membosankan untuk seorang penyihir sehebat dirinya. Terbenam sendiri dalam 
perjalananku, di tahun terakhir perjalananku, aku mendengar sebuah berita 
duka, yang menyatakan bahwa Dumbledore mengalami tragedi lain, kematian 
saudarinya, Ariana. 
Walau Ariana memang sudah sakit-sakitan, kematiannya setelah kematian sang 
ibu, sungguh mempengaruhi kedua saudaranya. Semua orang yang dekat dengan 
Albus – dan aku menganggap diriku salah satu di antaranya – yakin bahwa Albus 
merasa bertanggung jawab atas kematian Ariana, walaupun tentu saja, dia tidak 
bersalah. 
Saat aku kembali, aku telah menemui seorang pria muda yang sudah mengalami 
banyak pengalaman layaknya pria berumur. Albus menjadi lebih berhati-hati 
dan periang dari sebelumnya. Dan sebagai tambahan untuk kesengsaraannya, 
hubungan dengan saudaranya Aberforth, mulai merenggang. Kemudian, dia mulai 
jarang membicarakan keluarganya, dan teman-temannya belajar untuk tidak 
mengungkitnya. 
Cerita lain akan mengungkapkan keberhasilannya di tahun-tahun berikutnya. 
Kontribusi Dumbledore yang tak terhitung untuk pengetahuan, termasuk 
penemuannya atas dua belas fungsi dari darah naga yang memberi banyak 
keuntungan untuk generasi selanjutnya. Begitu pula kearifan yang 
ditunjukkannya dalam pengadilan saat dia menjadi Chief Warlock of 
Wizengamot. Banyak yang berkata bahwa tidak ada pertarungan yang dapat 
menandingi duel antara Dumbledore dengan Grindelwald di tahun 1945. Mereka 
yang menjadi saksi mata, menggambarkan bagaimana kedua penyihir luar biasa 
itu bertarung. Dan kemenangan Dumbledore, yang memengaruhi dunia sihir dan 
menjadi titik balik sejarah sihir, atas kejatuhan Dia-yang-Namanya-Tak-Boleh￾Disebut. 
Albus Dumbledore tidak pernah membanggakan diri atau menjadi sombong. Dia 
selalu menghargai tiap orang yang dia kenal, dan aku percaya bahwa semua 
tragedi yang pernah dia alami membuatnya menjadi lebih memiliki rasa 
kemanusiaan dan lebih mudah bersimpati. Aku akan sangat merindukan 
persahabatan ini lebih dari yang bisa aku ungkapkan, namun rasa kehilangan ini 
tidak akan memengaruhi dunia sihir. Dia telah menjadi inspirasi dan merupakan 
Kepala Sekolah Hogwarts yang paling dicintai. Dia meninggal seperti saat ia 
hidup, bekerja dengan kemampuannya yang terbaik hingga saat-saat 
terakhirnya, sama seperti saat dia mengulurkan tangannya pada seorang anak 
yang terkena cacar naga, saat pertama aku pertama kali bertemu dengannya. 
Harry selesai membaca, namun terus menatap gambar yang terpampang di 
sana. Dumbledore yang sedang tersenyum ramah, namun tatapan dari balik 
kacamata bulan separonya memberikan kesan, walau dalam koran, seakan 
menembus Harry dan merasakan kesedihan dan rasa malunya. 
Harry merasa sudah sangat mengenal Dumbledore, namun sejak ia membaca 
berita ini, ia menyadari bahwa ia hampir tidak mengenal Dumbledore sama 
sekali, tak pernah sekali pun ia pernah membayangkan masa muda Dumbledore. 
Rasanya ia hanya muncul begitu saja seperti saat Harry mengenalnya – tua, 
berambut keperakan, dan baik hati. Gagasan atas Dumbledore saat remaja 
sungguh aneh, seperti membayangkan bagaimana bodohnya Hermione, atau 
seberapa ramah Skrewt-Ujung-Meletup. Harry tidak pernah berpikir untuk 
menanyakan masa lalu Dumbledore. Ia yakin akan aneh dan kurang sopan. Namun, 
merupakan pengetahuan yang umum tentang pertarungan luar biasa antara 
Dumbledore dan Grindelwald, dan Harry tidak pernah bertanya bagaimana 
kejadiannya, atau semua pencapaiannya yang membuatnya terkenal. Tidak, 
mereka selalu berbicara tentang Harry – masa lalu Harry, masa depan Harry, 
rencana Harry, dan bagaimana Harry saat ini – memberitahu bahwa masa depan 
Harry begitu berbahaya dan tidak pasti. Namun ia melepaskan semua 
kesempatan untuk bertanya tentang Dumbledore. Bahkan pertanyaan pribadi 
yang pernah ia tanyakan pada kepala sekolahnya, mungkin tidak dijawab 
sungguh-sungguh oleh Dumbledore. 
"Apa yang Anda lihat saat Anda melihat ke cermin?" 
"Aku? Aku melihat diriku memegang sepasang kaus kaki wol tebal." 
Setelah beberapa menit berpikir, Harry merobek berita itu, melipatnya hati￾hati dan menyelipkannya ke dalam buku Pertahanan Sihir dan Penggunaannya 
untuk Melawan Ilmu Hitam. Lalu ia membuang sisa koran itu ke tempat sampah 
dan melihat kamarnya. 
Kamarnya jauh lebih rapi. Yang tersisa hanyalah Daily Prophet edisi hari ini, 
masih tergeletak di atas tempat tidur, yang di atasnya ada pecahan cermin. 
Harry berjalan menuju tempat tidurnya, menggeser pecahan cermin dan 
membuka koran. Ia telah melihat tajuknya saat gulungan koran itu baru diantar 
oleh burung hantu, namun tidak ada berita tentang Voldemort. Harry yakin 
bahwa Kementrian telah menekan Prophet untuk tidak memberitakan Voldemort. 
Tapi sepertinya ada sesuatu yang ia lewatkan. 
Di bagian tengah di halaman pertama, tajuk yang lebih kecil dengan potret 
Dumbledore berjalan gelisah. 
DUMBLEDORE – KEBENARAN? 
Minggu depan, cerita yang mengejutkan tentang penyihir jenius yang dianggap 
sebagai penyihir terhebat pada masanya. Mematahkan imej seorang penyihir 
berjanggut keperakan yang tenang dan bijaksana. Rita Skeeter mengungkapkan 
masa kanakkanaknya yang kurang menyenangkan, masa muda yang tidak 
mengenal hukum, dan masa hidup yang penuh perseteruan, dan rahasia yang 
Dumbledore bawa hingga ke liang kuburnya. MENGAPA seseorang yang dapat 
menjadi seorang Menteri Sihir hanya menjadi kepala sekolah? APA tujuan 
sebenarnya dari organisasi rahasia yang diketahui sebagai Orde Phoenix? 
BAGAIMANA Dumbledore meninggal? 
Jawaban dari pertanyaan di atas dan banyak pertanyaan lain akan dibahas dalam 
biografi 'Kehidupan dan Kebohongan Albus Dumbledore', yang ditulis oleh Rita 
Skeeter, wawancara eksklusif bersama Betty Braithwaite, halaman 13. 
Harry membuka korannya dan menemukan halaman tiga belas. Artikel itu 
berada di bagian atas halaman dengan potret wajah yang sudah Harry kenal. 
Seorang wanita dengan kacamata hias dan rambut pirang ikal, dengan senyum 
kemenangan yang menunjukkan giginya yang berjajar rapi, menggelungkan 
jari-jarinya ke arahnya. Berusaha untuk tidak peduli pada potret yang 
memuakkan itu, Harry mulai membaca. 
Sebenarnya Rita Skeeter adalah pribadi yang hangat dan lembut bila 
dibandingkan dengan artikelnya yang ganas. Menyambutku di rumahnya yang 
nyaman. Dia langsung mengajakku ke dapur, menyeduhkanku secangkir teh, dan 
memberikan sepotong kue, dan pembicaraan tentang gosip terhangat pun mulai 
mengalir. 
"Ya, tentu saja, Dumbledore adalah sebuah mimpi bagi penulis biografi," kata 
Skeeter. "Hidupnya yang panjang. Aku yakin bukuku adalah yang pertama 
karena akan banyak pula yang lain." 
Skeeter bekerja cukup cepat. Buku setebal sembilan ratus halaman ini hanya 
ditulis dalam jangka waktu empat minggu setelah kematian misterius 
Dumbledore di bulan Juni. Aku bertanya padanya bagaimana dia bisa 
menyelesaikannya begitu cepat. 
"Oh, bila engkau telah menjadi jurnalis seperti aku, bekerja dengan tenggat 
waktu yang pendek akan menjadi kebiasaan. Aku mengerti bahwa dunia sihir 
sangat menanti untuk mengetahui cerita selengkapnya, dan aku ingin menjadi 
orang pertama yang memenuhi keinginan mereka." 
Aku mengatakan padanya tentang komentar Elphias Doge, Special Advisor to 
the Wizengamot, yang merupakan teman lama Albus Dumbledore yang 
menyatakan bahwa "Fakta-fakta yang ditulis Skeeter, tidak lebih dari fakta 
yang tertulis di kartu Cokelat Kodok." 
Skeeter berpaling dan tertawa. 
"Dodgy sayang! Aku ingat saat aku mewawancarai dia beberapa tahun lalu 
tentang hakhak para duyung, terberkatilah dia. Benar-benar konyol, sepertinya 
kami hanya dudukduduk di dasar danau Windermere, dan dia terus 
mengingatkanku untuk berhati-hati dengan ikan trout." 
Belum lagi tuduhan Elphias Doge atas ketidak-akuratan yang tersebar di mana￾mana. Apakah Skeeter benar-benar merasa bahwa empat minggu merupakan 
waktu yang cukup untuk mengumpulkan data atas kehidupan Dumbledore yang 
panjang dan tidak biasa? 
"Oh, sayang," kata Skeeter, mengingatkanku dengan penuh kasih, "kau sama 
tahunya dengan diriku, sebanyak apa informasi yang dapat kita kumpulkan 
dengan sekantung penuh Galleon, berkeras menolak kata ‘tidak’, dan sebuah Pena 
Bulu Kutip Kilat! Orang-orang mengantri untuk mendapat remah-remah dari 
Dumbledore. Tidak semua orang berpikir bahwa dia begitu hebat, kau tahu – dia 
suka cari masalah dengan banyak orang penting. Tapi si Dodge tua itu tidak bisa 
menyangkal karena aku telah mendapatkan sumber yang membuat tiap jurnalis 
mau menukarnya bahkan dengan tongkat mereka. Seseorang yang tidak pernah 
berbicara di depan publik sebelumnya dan begitu dekat dengan Dumbledore 
pada masa mudanya." 
Biografi yang Skeeter tulis tentunya akan mengejutkan setiap orang yang 
percaya bahwa Dumbledore memiliki hidup bersih tanpa kesalahan. Apa rahasia 
yang paling mengejutkan yang engkau temukan, tanyaku. 
"Cukup, Betty, aku tidak akan memberitahukan berita terhebat sebelum 
orang-orang membeli bukuku!" tawa Skeeter. "Tapi aku meyakinkanmu bahwa 
setiap orang yang percaya bahwa hidup Dumbledore seputih janggutnya akan 
sadar! Anggap saja orang-orang tidak tahu semarah apa dia, saat Kau-Tahu￾Siapa tahu bahwa dia pernah menganut Ilmu Hitam pada masa mudanya! Ya, 
Albus Dumbledore memiliki masa lalu yang begitu kelam, belum lagi 
keluarganya yang mencurigakan, dimana dia selalu berusaha untuk 
menyembunyikannya." 
Aku bertanya apakah yang Skeeter maksud adalah saudara Dumbledore, 
Aberforth, yang dinyatakan bersalah oleh Wizengamot atas skandal lima belas 
tahun lalu. 
"Oh, Aberforth hanyalah bagian kecil," tawa Skeeter. "Tidak, tidak, aku 
berbicara tentang sesuatu yang lebih buruk dari kegemaran saudaranya yang 
suka bermain-main dengan kambing, lebih buruk ayahnya yang pembenci Muggle 
– Dumbledore tidak dapat meredamnya tentu saja, keduanya dianggap bersalah 
oleh Wizengamot. Bukan juga ibu dan saudarinya yang menggugah rasa ingin 
tahuku. Kalian harus membaca bab sembilan hingga dua belas agar tahu lebih 
lengkap. Dan tidak heran pula mengapa Dumbledore tidak pernah bercerita 
bagaimana hhidungnya patah." 
Walaupun begitu, apakah Skeeter mengelak dari kecemerlangan 
Dumbledore yang membuatnya menghasilkan banyak penemuan? 
"Dia memang pintar," akunya, "walaupun banyak pertanyaan yang muncul apakah 
hanya dia sendiri yang berhak atas segala penemuannya, seperti yang aku 
ungkapkan di bab enam belas. Ivor Dillonsby telah menyatakan bahwa dia telah 
menemukan delapan fungsi darah naga sebelum Dumbledore mempublikasikan 
esainya." 
Tapi beberapa hal penting yang dilakukan Dumbledore tidak dapat dapat 
disangkal, kataku. Bagaimana dengan pertarungannya dengan Grindelwald? 
"Oh, aku benar-benar senang akhirnya kau menanyakan hal itu," kata Skeeter 
dengan senyumnya yang menggoda. "Sepertinya kemenangan spektakuler 
Dumbledore pun tak lebih dari sekadar omong kosong. Jangan begitu yakin 
bahwa telah terjadi sebuah pertarungan hebat yang melegenda. Setelah 
engkau membaca bukuku, engkau akan tahu bahwa sebenarnya Grindelwald 
telah mengibarkan saputangan putihnya dan menyerah begiru saja." 
Skeeter menolak untuk memberi penjelasan lebih lanjut pada subjek yang 
menarik ini. Lalu kami melanjutkan pada sevuah hubungan yang akan membuat 
pembaca terkagumkagum. 
"Oh, ya," kata Skeeter, mengangguk dengan tenang, "aku mencurahkan satu bab 
penuh untuk membahas hubungan Potter-Dumbledore. Yang ternyata merupakan 
hubungan yang tidak sehat, menakutkan bahkan. Sekali lagi, para pembaca harus 
membeli bukuku untuk mengetahui cerita lengkapnya. Walau Dumbledore tidak 
mengambil keuntungan dari hubungan yang aneh ini, malah si bocah yang 
mendapat semua keuntungannya. Dan ini juga membuktikan bahwa Potter 
memiliki masa remaja yang penuh masalah." 
Aku bertanya apakah Skeeter masih berhubungan dengan Harry Potter, yang 
telah membuatnya begitu terkenal karena wawancara tahun lalu. Sebuah 
wawancara eksklusif dengan Potter tentang kembalinya Kau-Tahu-Siapa. 
"Oh, ya, kami menjadi sangat dekat," kata Skeeter. "Potter yang malang hanya 
memiliki sedikit teman baik, dan kami bertemu pada saat terberat dalam masa 
hidupnya – Turnamen Triwizard. Mungkin aku satu-satunya orang yang masih 
hidup yang tahu siapa Harry Potter sebenarnya." 
Hal ini membuat kami membicarakan tentang rumor yang beredar tentang 
detik-detik terakhir Dumbledore. Apakah Skeeter percaya bahwa Potter ada 
di dekat Dumbledore saat kematiannya? 
"Wah, aku tidak bisa berkata banyak – semuanya ada di buku – tapi saksi mata 
yang ada di Hogwarts melihat Potter berlari dari tempat kejadian sesaat 
setelah Dumbledore jatuh, melompat, atau didorong. Potter kemudian memberi 
keterangan melawan Severus Snape, seorang pria yang tentunya akan 
mendendam karenanya. Apakah semua yang kita lihat benar-benar seperti yang 
kita lihat? Itu yang harus ditentukan oleh para komunitas sihir – setelah 
mereka membaca bukuku." 
Aku mencatat dengan rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Dan tidak diragukan 
lagi bahwa buku Skeeter akan menjadi bestseller. Sementara para pengagum 
Dumbledore akan gemetar mengetahui siapa sebenarnya pahlawan mereka. 
Harry telah membaca habis artikel itu, namun terus menatap kosong pada 
halaman itu. Rasa marahnya tiba-tiba memuncak dan membuatnya muak. Ia 
menutup koran itu dan melemparnya ke dinding, yang lalu terjatuh di sekitar 
tempat sampah bersama sampah lain yang tak kebagian tempat karena 
tempat sampah yang terlalu penuh. 
Harry mencoba menyibukkan diri, membuka laci kosong dan memasukkan buku￾buku yang seharusnya berada di sana, lalu kata-kata Rita bermunculan di 
kepalanya satu bab penuh tentang hubungan Potter-Dumbledore… yang bisa 
dibilang tidak sehat, menakutkan bahkan… ia menganut Ilmu Hitam di masa 
mudanya… aku telah mendapatkan sumber yang dapat membuat setiap jurnalis 
mau menukarnya dengan tongkat mereka… 
"Pembohong!" teriak Harry, dari jendela terlihat tetangganya yang berhenti 
memotong 
rumput karena kaget, dan melihatnya dengan gugup. 
Harry duduk di tempat tidurnya. Pecahan cermin itu meluncur menjauh 
darinya, ia 
mengambilnya dan memainkannya dalam jari-jarinya. Ia berpikir, 
memikirkan 
Dumbledore dan semua kebohongan yang Rita Skeeter karang…
Sekilas terlihat biru terang. Harry membeku, jari-jarinya yang terluka 
memegangi ujung 
cermin yang tadi melukainya. Ia tidak berkhayal, hal itu benar-benar terjadi. Ia 
menoleh, 
namun yang terlihat hanya dinding berwarna krem pucat pilihan bibi Petunia, dan 
tidak 
ada yang berwarna biru yang bisa dipantulkan cermin itu. Ia melihat ke dalam 
cermin itu, 
tapi yang bisa ia lihat hanya bayangan mata hijaunya yang cerah. 
Ia hanya berkhayal, hanya itu penjelasannya. Berkhayal, karena ia tengah 
memikirkan 
kematian kepala sekolahnya. Tapi bila itu benar terjadi, tadi adalah warna biru 
terang dari 
mata Albus Dumbledore.
Bab 3 The Dursleys Departing KEBERANGKATAN KELUARGA DURSLEY 
Suara pintu dibanting hingga bergema sampai terdengar ke lantai atas, dan 
terdengar suara teriakan, “Hei! Boy!” 
Sudah enam belas tahun ia terbiasa dipanggil seperti itu, sehingga Harry tahu 
siapa yang dipanggil. Tapi, ia tidak bergegas untuk menjawab. Ia masih tertegun 
melihat pecahan cermin, yang dalam beberapa detik yang lalu, ia berpikir telah 
melihat mata Dumbledore. Hingga pamannya berteriak, ‘BOY!’ yang membuat 
Harry berdiri dan berjalan menuju pintu kamarnya perlahan. Ia berhenti 
sebentar dan memasukkan pecahan cermin itu ke dalam ransel yang penuh 
dengan berbagai barang yang akan dibawanya. 
“Nikmati waktumu selagi bisa!” teriak Vernon Dursley saat melihat Harry 
muncul di puncak tangga. “Turun kemari. Aku ingin sebuah penjelasan!” 
Harry berjalan menuruni tangga, tangannya berada dalam saku celana 
jeansnya. Saat ia masuk ke ruang tamu, ia melihat keluarga Dursley sudah 
memakai pakaian bepergian mereka. Paman Vernon memakai jaket kulit 
rusanya, bibi Petuna memakai mantel berwarna salmonnya, dan Dudley, sepupu 
Harry yang besar, pirang, dan berotot, memakai jaket kulitnya. 
“Ya?” tanya Harry. 
“Duduk!” kata paman Vernon. Harry menaikkan alisnya. “Tolong!” tambah 
paman Vernon, sambil mengernyit, seakan kata yang ia ucapkan melukai 
tenggorokannya. 
Harry duduk. Sepertinya ia tahu apa yang akan terjadi. Pamannya mulai 
memutari ruangan, Bibi Petunia dan Dudley memperhatikannya dengan cemas. 
Akhirnya, dengan wajahnya yang besar dan ungu yang tengah berkonsentrasi, 
paman Vernon berhenti tepat di depan Harry dan ia mulai berbicara. 
“Aku berubah pikiran,” katanya. 
“Mengejutkan sekali,” kata Harry. 
“Jangan sekali-kali kau…” Bibi Petunia memulai pembicaraan dengan 
suaranya yang melengking, tapi Vernon Dursley mengangkat tangannya, 
menyuruhnya diam. 
“Semua ini omong kosong,” kata paman Vernon sambil menatap Harry dengan 
matanya yang kecil. “Aku telah memutuskan untuk tidak mempercayainya. Kami 
akan tetap di sini dan tidak akan pergi ke mana-mana.” 
Harry melihat pamannya dan merasakan campuran antara rasa jengkel dan 
kagum. Vernon Dursley telah mengubah pikirannya setiap dua puluh empat 
jam selama empat minggu terakhir. Berkemas, membongkarnya, dan 
berkemas lagi tergantung suasana hatinya. Momen kesukaan Harry adalah 
saat paman Vernon, tidak menyadari bahwa Dudley memasukkan samsak tinju 
ke dalam tas, ia berusaha mengangkatnya tapi gagal dan membuatnya 
terjatuh bersamaan dengan rasa sakit dan sumpah serapahnya. 
“Seperti yang kau katakan,” kata paman Vernon, melanjutkan kegiatan 
berjalan berputarnya, “kami, Petunia, Dudley, dan aku, sedang dalam bahaya. 
Yang disebabkan oleh… oleh…” 
“Oleh ’kaumku’, kan?” kata Harry. 
“Oh, aku tak percaya ini,” kata paman Vernon, yang berdiri di depan Harry 
lagi. “Aku terjaga semalaman memikirkan segalanya, dan menurutku kau 
berencana untuk mengambil alih rumah ini.” 
“Rumah?” ulang Harry. “Rumah apa?” 
“Rumah ini!” teriak paman Vernon, pembuluh darah di kepalanya mulai berdenyut. 
“Rumah kami! Rumah yang harganya terus meroket! Kau ingin kami pergi dan kau 
akan melakukan hocus pocus-mu dan tiba-tiba tanpa sepengetahuan kami, rumah 
ini sudah jadi atas namamu dan…” 
“Apa kalian sudah gila?” tuntut Harry. “Rencana untuk mengambil alih 
rumah? Apa kalian sebodoh tampang kalian?” 
“Berani-beraninya kau…” cicit Bibi Petunia, tapi lagi-lagi Vernon membuatnya 
diam. 
“Apa kalian lupa,” kata Harry, “aku sudah punya, bapak baptisku memberikannya 
untukku. Jadi mengapa aku menginginkan rumah ini? Karena kenangannya yang 
indah?” 
Semua terdiam. Harry mengira pamannya kagum dengan argumennya. 
“Katamu,” kata paman Vernon, mulai berjalan memutar lagi, “masalah Lord itu…” 
“Voldemort,” kata Harry tak sabar, “dan kita sudah membahasnya ratusan 
kali. Dan ini bukan kataku, ini kenyataan, Dumbledore sudah mengatakannya 
pada kalian, juga Kingsley, dan Tuan Weasley…” 
Vernon melengkungkan bahunya dengan marah, dan Harry menebak bahwa 
pamannya sedang mengingat-ingat kunjungan mendadak, saat liburan musim 
panas Harry, dua orang penyihir dewasa. Kedatangan Kingsley Shacklebolt dan 
Arthur Weasley ke depan pintu rumah keluarga Dursley membuatnya tidak 
senang. Harry tahu, kedatangan Tuan Weasley yang terakhir menyebabkan 
setengah dari ruang tamunya hancur, dan kedatangannya kembali tidak 
mungkin disambut hangat oleh paman Vernon. 
“… Kingsley dan tuan Weasley juga sudah menjelaskannya padamu,” kata Harry 
tanpa penyesalan. “Saat aku berusia tujuh belas, mantra perlindungan yang 
menjagaku akan hilang dan tak lagi melindungi aku ataupun kalian. Anggota Orde 
yakin bahwa Voldemort akan menggunakanmu untuk menemukanku, atau mungkin 
bila dia menjadikanmu tawanan, aku akan datang dan mencoba untuk 
menyelamatkanmu.” 
Mata paman Vernon dan Harry beradu. Harry yakin bahwa mereka memikirkan 
hal yang sama. Lalu paman Vernon melanjutkan langkahnya dan Harry berkata, 
“Kalian harus pergi untuk bersembunyi, dan anggota Orde ingin membantu. 
Kalian telah ditawari perlindungan terbaik.” 
Paman Vernon tidak berkata apa-apa dan tetap berjalan. Di luar, matahari 
mulai turun menuju garis cakrawala. Tetangga sebelah telah selesai memangkas 
rumput halamannya. 
“Aku kira kalian memiliki Kementrian Sihir?” tanya paman Vernon tiba-tiba. 
“Memang ada,” kata Harry, terkejut. 
“Kalau begitu, mengapa mereka tidak melindungi kami? Menurutku, sebagai 
korban yang tak bersalah, kami seharusnya mendapat perlindungan dari 
pemerintah!” 
Harry tertawa, ia tak bisa menahan dirinya sendiri. Pamannya 
mengharapkan adanya peraturan, walaupun dalam dunia yang ia benci. 
“Kau dengar apa yang tuan Weasley dan Kingsley katakan,” Harry mengingatkan. 
“Kami pikir Kementriran telah disusupi.” 
Paman Vernon berhenti di depan perapian dan menarik nafas dalam-dalam 
membuat kumis hitam besarnya bergerak-gerak, dan wajahnya tetap ungu 
karena berkonsentrasi. 
“Baiklah,” katanya, kini ia berdiri lagi di depan Harry. “Baiklah, karena segala 
alasan yang ada, kami menerima perlindungan itu. Tapi aku masih tidak mengerti
mengapa kami tidak dilindungi oleh Kingsley?” 
Harry tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak memutar matanya. 
Pertanyaan ini pun sudah ditanyakan berkali-kali. 
“Aku kan sudah katakan,” katanya dengan gigi terkatup, “Kingsley menjaga 
Perdana Menteri Mug… maksudku, Perdana Menteri kalian.” 
“Benar sekali, dia yang terbaik!” kata paman Vernon, menunjuk layar TV yang 
kosong. Dursley menyadari keberadaan Kingsley di berita TV, berjalan di 
belakang Perdana Menteri Muggle saat melakukan kunjungan ke rumah sakit. 
Dan fakta bahwa Kingsley mahir berpakaian seperti Muggle, tidak termasuk 
suaranya yang pelan, dalam, dan mampu meyakinkan keluarga Dursley, 
menyebabkan keluarga Dursley tidak ingin diurus oleh penyihir lain, walaupun 
mereka belum pernah melihat Kingsley saat ia memakai antingnya. 
“Yah, dia sudah menjaga yang lain.” Kata Harry. “Tapi Hestia Jones dan 
Dedalus Diggle mampu menjaga kalian…” 
“Walau kami sudah pernah lihat CVnya…” mulai paman Vernon, tapi Harry 
kehilangan kesabaran. Ia berdiri, menantang pamannya, dan menunjuk layar 
TV. 
“Kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa – tabrakan, ledakan, hal-hal aneh, atau 
apapun yang terjadi yang kita lihat di TV. Banyak orang hilang dan meninggal, 
dan dia ada di belakang semua ini – Voldemort. Aku telah mengatakan hal ini 
padamu berulang kali, dia membunuh Muggle hanya untuk bersenang-senang. 
Bahkan beberapa di antaranya disebabkan oleh Dementor, dan bila kau tidak 
ingat apa itu, tanyakan pada anakmu!” 
Dudley tersentak, tangannya menutupi mulutnya. Seluruh mata di ruangan itu 
tertuju padanya, perlahan ia menurunkan tangannya dan bertanya, “Apa 
mereka… ada begitu banyak?” 
“Banyak?” Harry tertawa. “Lebih dari dua yang menyerang kita, maksudmu? 
Tentu saja, jumlah mereka beratus-ratus banyaknya, mungkin sudah menjadi
beribu-ribu sekarang ini, melihat banyaknya hal yang menakutkan yang 
terjadi…” 
“Baiklah, baiklah,” potong Vernon Dursley. “Kami mengerti maksudmu…” 
“Aku harap begitu,” kata Harry, “karena begitu aku berumur tujuh belas, 
semuanya – Pelahap Maut, Dementor, bahkan Inferi, yang merupakan mayat 
yang disihir oleh Sihir Hitam – dapat menemukanmu dan menyerangmu. Dan 
bila kau ingat saat terakhir kali engkau mencoba lari dari penyihir, aku yakin 
kau akan membutuhkan bantuan.” 
Semuanya terdiam saat mereka mengingat suara dentuman saat Hagrid 
menghancurkan pintu kayu beberapa tahun lalu. Bibi Petunia melihat paman 
Vernon dan Dudley menatap Harry. Akhirnya paman Vernon berbicara, “Tapi 
bagaimana dengan pekerjaanku? Bagaimana dengan sekolah Dudley? Sepertinya 
hal itu tidak terpikirkan oleh penyihir seperti kalian…” 
“Apa kalian tidak mengerti juga?” teriak Harry. “Mereka akan menyiksa dan 
membunuh kalian seperti mereka melakukannya pada orang tuaku!” 
“Ayah,” kata Dudley dengan suara keras, “Ayah – aku akan ikut dengan 
orang-orang Orde.” 
“Dudley,” kata Harry, “untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kau mengatakan 
hal yang masuk akal.” 
Harry tahu bahwa ia telah memenangkan pertarungan. Bila Dudley cukup 
ketakutan hingga ia menerima tawaran anggota Orde, orang tuanya akan 
menemaninya. Tidak mungkin mereka mau berpisah dengan Diddykins. Harry 
memerhatikan jam yang berada di atas perapian. 
“Mereka akan tiba dalam lima menit,” katanya, dan saat tak seorang pun 
membalas ucapannya, ia meninggalkan ruangan. Kemungkinan untuk berpisah dari 
bibi, paman, dan sepupunya untuk selamanya, satu-satunya hal yang dapat 
membuatnya senang. Tapi tetap saja ada kemungkinan lain. Apa yang akan kau 
katakan pada orang yang kau benci selama enam belas tahun? 
Di kamarnya, Harry menyeret ranselnya, lalu memasukkan kacang ke sangkar 
Hedwig. Kacang itu jatuh begitu saja ke dasar sangkar, tanpa dipedulikan 
Hedwig. 
“Kita akan segera berangkat, sebentar lagi,” Harry berkata padanya. “Dan 
kau dapat terbang.” 
Bel pintu berbunyi. Harry ragu, namun ia tetap keluar dari kamar dan 
turun. Tidak mungkin Hestia dan Dedalus dapat menghadapi keluarga 
Dursley sendirian. 
“Harry Potter!” seru suara yang terdengar bersemangat, begitu Harry 
membuka pintu. Seorang pria kecil dengan topi ungunya langsung 
membungkukkan badannya. “Sebuah kehormatan!” 
Terima kasih, Dedalus,” kata Harry, ia tersenyum malu-malu pada Hestia. 
“Baik sekali kalian mau melakukan hal ini… Mereka orang-orang yang keras, 
bibi, paman, dan sepupuku…” 
“Selamat sore, keluarga Harry Potter!” kata Dedalus riang, ia langsung berjalan 
masuk ke dalam ruang tamu. Keluarga Dursley tidak tampak gembira saat 
menemui mereka. 
Harry mengira pamannya akan mengubah pikirannya lagi. Dudley langsung 
menempel pada ibunya begitu melihat para penyihir itu. 
“Aku melihat kalian sudah siap. Bagus! Rencananya seperti yang telah Harry 
katakan pada kalian,” kata Dedalus sambil memeriksa saku mantelnya. “Kita 
akan berangkat sebelum Harry. Karena Harry masih di bawah umur dan belum 
diizinkan untuk menggunakan sihir, hal ini akan memudahkan Kementrian untuk 
menangkapnya. Kita akan berkendara sejauh kurang lebih enam belas kilo 
sebelum kita bisa ber-Disapparate menuju tempat perlindungan. Kau tahu 
bagaimana cara mengemudi? Atau aku yang harus melakukannya?” ia bertanya 
dengan sopan pada paman Vernon. 
“Tahu bagaimana cara…? Tentu saja aku tahu bagaimana cara mengemudi!” kata 
paman Vernon tersinggung. 
“Pintar sekali Anda, sangat pintar, aku sendiri akan kebingungan dengan semua 
tombol dan kenop itu,” kata Dedalus. Jelas sekali Dedalus sedang mencoba 
menyanjung Vernon Dursley. 
“Tidak bisa mengemudi,” gumamnya marah membuat kumisnya bergerak-gerak. 
Untung saja Dedalus dan Hestia tidak memperhatikannya. 
“Sedangkan Harry,” lanjut Dedalus, “akan menunggu para pengawal. Ada 
sedikit perubahan rencana…” 
“Apa maksudmu?” kata Harry. “Bukankah Mad-Eye akan datang dan 
membawaku ber-Apparate?” 
“Tidak bisa,” jawab Hestia. “Mad-Eye akan menjelaskannya nanti.” 
Keluarga Dursley, yang mendengarkan pembicaraan yang tidak mereka 
mengerti, terkejut begitu mendengar suara yang berteriak keras “Cepat!” 
Harry menoleh mencari sumber suara itu sebelum akhirnya sadar bahwa suara 
itu berasal dari jam saku Dedalus. 
“Benar juga, kita terburu waktu,” kata Dedalus, melihat jam sakunya dan 
memasukkanya lagi ke dalam saku mantelnya. “Kami usahakan agar engkau 
berangkat pada waktu yang bersamaan saat keluargamu ber-Apparate, karena 
perlindungan akan hilang begitu kau berangkat menuju tempat perlindungan.” 
Lalu ia berbicara pada keluarga Dursley, “Sudah siap?” 
Tidak seorang pun menjawab. Bahkan paman Vernon masih menatap saku 
mantel Dedalus. 
“Mungkin kita harus menunggu di luar, Dedalus,” bisik Hestia, yang mengira akan 
terjadi perpisahan penuh cinta dan air mata. 
“Tidak perlu,” gumam Harry, dan paman Vernon juga tidak memberi 
penjelasan, dan langsung berkata, “Baiklah, saat untuk berpisah.” 
Ia menyodorkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Harry, tapi ia berubah 
pikiran di detik-detik terakhir, dan langsung mengepalkan tangannya dan 
menggerakkannya maju mundur seperti metronome. 
“Siap, Diddy?” tanya Bibi Petunia, sambil memeriksa tasnya sekaligus 
menghindar untuk menatap Harry. 
Dudley tidak menjawab, tapi berdiri dengan mulut yang mulai membuka, 
mengingatkan Harry akan Grawp. 
“Baiklah kalau begitu,” kata paman Vernon. 
Ia telah membuka pintu saat Dudley tiba-tiba bergumam, “Aku tidak mengerti.” 
“Apa yang tidak kamu mengerti, Popkin?” tanya Bibi Petunia, melihat anaknya. 
Dudley mengangkat tangannya yang besar dan menunjuk Harry, 
“Mengapa dia tidak pergi bersama kita?” 
Paman Vernon dan Bibi Petunia berdiri membeku, memandangi Dudley heran, 
seakan 
mereka mendengar kalau Dudley ingin menjadi balerina. 
“Apa?” kata paman Vernon. 
“Mengapa dia tidak ikut?” tanya Dudley. 
“Dia… dia tidak ingin,” kata paman Vernon, menatap Harry lalu menambahkan, 
“Kau 
tidak ingin, kan?”
“Tidak sedikit pun,” kata Harry. 
“Baiklah kalau begitu,” paman Vernon berkata pada Dudley. “Sekarang, ayo 
berangkat.” 
Ia berjalan keluar dari ruangan. Mereka mendengar pintu depan membuka, tapi 
Dudley
tidak bergerak bahkan Bibi Petunia ikut berhenti setelah mulai melangkah.
“Sekarang apa lagi?” teriak paman Vernon, muncul dari pintu depan. 
Sepertinya Dudley sedang berpikir dalam gagasannya yang nampaknya tidak 
mudah 
diuraikan dalam kata-kata. Setelah beberapa saat kemudian, ia berkata, “Tapi, 
ke mana 
dia akan pergi?”
Bibi Petunia dan paman Vernon saling berpandangan. Jelas sekali Dudley telah 
membuat 
mereka takut. Hestia Jones memecah kesunyian. 
“Tapi… kau tahu ke mana keponakanmu akan pergi, kan?” tanyanya, nampak 
kebingungan. 
“Tentu saja kami tahu,” kata Vernon Dursley. “Dia akan pergi ke rumah salah 
satu 
temanmu, kan? Ayo, Dudley, masuk ke mobil, kau dengar dia tadi, kita 
terburu-buru.”
Lalu, Vernon Dursley berjalan keluar, tapi Dudley tidak mengikutinya. 
Hestia tampak marah. Harry pernah mengalami hal ini, penyihir yang terpaku 
melihat 
bahwa keluarga terdekatnya tidak memiliki ketertarikan atas Harry Potter 
yang begitu 
terkenal.
“Tidak apa-apa,” Harry meyakinkan Hestia. “Bukan masalah besar.” 
“Tidak apa-apa?” ulang Hestia, nada suaranya meninggi. “Apakah orang-orang 
itu tidak 
tahu apa saja yang telah kau alami? Apakah mereka tahu bahwa engkau sedang 
dalam 
bahaya? Apakah mereka tahu posisimu sebagai jantung dari gerakan anti￾Voldemort?” 
“Er… tidak, mereka tidak tahu,” kata Harry. “Mereka pikir aku hanya 
buang-buang waktu, tapi aku sudah terbiasa…” 
“Kau tidak sedang buang-buang waktu.” 
Bila Harry tidak melihat bibir Dudley yang bergerak, mungkin ia tak akan 
percaya. Ia menatap Dudley selama beberapa detik sebelum sadar bahwa 
sepupunya baru saja berbicara. Tiba-tiba muka Dudley berubah merah. Tiba￾tiba Harry merasa malu dan terpesona. 
“Yah… er… terima kasih, Dudley.” 
Lalu, Dudley nampak sibuk sendiri dengan pikirannya, lalu tiba-tiba 
menggumam, “Kau telah menyelamatkan nyawaku.” 
“Tidak juga,” kata Harry. “Dementor mencoba menyedot jiwamu…” 
Harry menatap sepupunya penuh dengan rasa ingin tahu. Selama musim panas 
ini dan musim panas lalu mereka tidak sekali pun saling berbicara, karena Harry 
memang selalu berada di kamarnya. Ini merupakan awal bagi Harry. Mungkin, 
cangkir teh tadi pagi bukan sekadar jebakan belaka. Walau merasa sedikit 
tersentuh, ia tetap saja merasa senang saat melihat Dudley berusaha setengah 
mati saat mengungkapkan perasaannya. Setelah membuka mulutnya satu dua 
kali, Dudley memutuskan untuk tetap diam. 
Bibi Petunia tiba-tiba menangis. Hestia Jones yang awalnya tersentuh kembali 
marah saat Bibi Petunia datang dan memeluk Dudley, bukannya pada Harry. 
“Ma-manis sekali, Dudders…” isaknya di dada Duddley, “Su-sungguh anak baik… 
memengucapkan terima kasih…” 
“Tapi dia tidak mengucapkan terima kasih sama sekali!” kata Hestia marah. 
“Dia hanya bilang bahwa Harry tidak buang-buang waktu!” 
“Yah, tapi bila itu berasal dari Dudley, itu bisa saja berarti “aku cinta 
padamu”,” kata Harry membuat Bibi Petunia antara merasa terganggu dan 
ingin tertawa. Bibi Petunia memeluk Dudley seakan ia baru saja 
menyelamatkan Harry dari gedung yang terbakar. 
“Kita berangkat tidak?” teriak paman Vernon yang sudah muncul lagi di 
ruang tamu. “Aku kira kita punya sedang diburu waktu!” 
“Ya, ya, tentu saja,” kata Dedalus Diggle yang sedang terkagum-kagum melihat 
apa yang terjadi. Tapi ia memaksakan diri, “Kami harus berangkat, Harry…”
Dedalus melangkah maju dan menjabat tangan Harry dengan kedua tangannya. 
“… semoga beruntung. Semoga kita berjumpa lagi. Nasib dunia sihir 
berada di pundakmu.” 
“Oh,” kata Harry “iya. Terima kasih.” 
“Hati-hati Harry,” kata Hestia, yang juga menjabat tangannya. “Kami selalu 
bersamamu.” 
“Semoga semuanya akan baik-baik saja,” kata Harry sambil memandang ke 
arah Bibi Petunia dan Dudley. 
“Oh, aku yakin kami akan baik-baik saja,” kata Diggle riang, melambaikan 
topinya saat meninggalkan ruangan. Hestia mengikutinya. 
Perlahan Dudley melepaskan diri dari pelukan ibunya dan berjalan mendekati 
Harry, lalu menyodorkan tangannya yang besar. 
“Ya ampun, Dudley,” kata Harry, “apakah Dementor mengubah kepribadianmu?” 
“Entahlah,” kata Dudley. “Sampai jumpa, Harry.” 
“Yah…” kata Harry, yang kemudian menyambut tangan Dudley dan 
menjabatnya. “Mungkin. Hati-hati, Big D.” 
Dudley tersenyum tipis, lalu berlalu meninggalkan ruangan. Harry dapat 
mendengar langkah beratnya menuju mobil, dan terdengar suara pintu 
ditutup. 
Bibi Petunia yang menutupi wajahnya dengan saputangan, tidak menyangka 
hanya ia yang tertinggal sendiri bersama Harry. Ia langsung memasukkan 
saputangannya yang basah ke dalam tas dan berkata, “Baiklah, sampai 
jumpa,” dan ia berjalan keluar tanpa mau melihat Harry. 
“Sampai jumpa,” kata Harry. 
Ia berhenti dan menoleh. Untuk beberapa saat Harry merasakan perasaan 
teraneh saat melihat bibinya menatap dirinya, wajah bibinya tampak aneh 
dan gemetar, dan tampaknya ia akan mengatakan sesuatu, tapi ia 
menggelengkan kepalanya dan segera meninggalkan ruangan mengikuti suami 
dan anaknya. 
Bab 4 The Seven Potters TUJUH ORANG POTTER 
Harry berlari kembali ke kamarnya, melihat mobil keluarga Dursley melalui 
jendela kamarnya. Ia dapat melihat ujung topi Dedalus di antara kepala bibi 
Petunia dan Dudley di kursi belakang. Mobil itu berbelok ke kanan di ujung 
jalan Privet Drive, jendelanya memantulkan cahaya kemerahan dari matahari 
yang mulai terbenam, lalu mobil itu tak tampak lagi. 
Harry mengambil sangkar Hedwig, Firebolt, dan ranselnya. Untuk terakhir kali 
ia melihat kamarnya yang, tidak seperti biasanya, terlihat rapi dan kembali ke 
ruang tamu dengan rasa enggan. Lalu ia meletakkan sangkar, sapu, dan tasnya di 
ujung tangga. Cahaya matahari di luar mulai menghilang membuat ruang tamu 
dipenuhi engan bayangan di bawah terangnya malam. Rasanya aneh berdiri di 
sana dalam diam dan tahu bahwa ia akan meninggalkan rumah itu untuk 
selamanya. Dulu, ia sangat menikmati saat ditinggal keluarga Dursley sendirian 
di rumah, suatu hal yang jarang terjadi. Mengenang saat mengambil sesuatu 
yang enak di kulkas dan menikmatinya sambil memainkan komputer Dudley, atau 
menonton televisi dan mengubah saluran sesuka hati. Hal ini membuatnya 
merasakan suatu hal yang aneh saat ia mengingat saatsaat itu, seperti 
mengenang saudara yang sudah tiada. 
"Tidak inginkah kau melihat tempat ini untuk terakhir kalinya?" tanya Harry 
pada Hedwig, yang masih menyembunyikan kepalanya di bawah sayap. "Kita tak 
akan pernah kembali ke sini lagi. Apakah kau tak ingin mengenang masa lalu? 
Maksudku, lihatlah keset itu. Dudley muntah di sana sesaat setelah aku 
menyelamatkannya dari Dementor, dan dia berterima kasih padaku, percayakah 
kau? Dan, musim panas lalu, Dumbledore datang kemari…" 
Namun Harry tidak dapat mengingat kelanjutannya dan Hedwig tidak 
membantunya, ia tetap diam dengan kepala di bawah sayap. Harry berjalan di 
lorong. 
"Dan di bawah sini, Hedwig," Harry membuka pintu ruang bawah tangga, "dulu 
aku tidur di sini! Kau belum bertemu denganku saat itu… Ya Tuhan, kecil sekali, 
aku tak ingat..." 
Harry melihat setumpuk sepatu dan payung di sana, mengingat bagaimana dulu 
ia terbangun di pagi hari dan langsung melihat bagian dalam dari tangga, yang 
biasanya dihiasi oleh sarang laba-laba. Hari-hari di saat sebelum ia tahu siapa 
dirinya sebenarnya, sebelum ia benar-benar tahu bagaimana orang tuanya 
meninggal, atau sebelum ia mengerti mengapa banyak kejadian aneh terjadi di 
sekitarnya. Namun Harry masih bisa mengingat jelas mimpi yang selalu 
menghantuinya, bahkan hingga saat ini. Mimpi yang membingungkan tentang 
kilatan cahaya berwarna hijau, dan mimpi – yang membuat paman Vernon 
hampir menabrakkan mobilnya saat Harry bercerita – tentang sepeda motor 
terbang… 
Tiba-tiba terdengar deru suara yang memekakkan telinga. Harry langsung 
mengangkat kepalanya dan membuatnya terantuk kusen pintu yang rendah. Ia 
menahan suara saat ia hampir memakai sumpah serapah yang biasa paman 
Vernon katakan. Ia berjalan sempoyongan ke arah dapur. Sambil memegangi 
kepalanya ia melihat melalui jendela ke arah halaman belakang. 
Kegelapan sepertinya dapat bersuara, bahkan udara pun bergetar. Lalu, satu 
persatu sosok muncul. Terlihat Hagrid dengan helm dan kacamatanya, ia duduk 
di atas sepeda motor yang sangat besar, di sebelahnya tampak gandengan motor
hitam berkilat. Diikuti oleh orang-orang yang turun dari sapu mereka, juga dua 
ekor kuda tengkorak berwarna hitam. Harry membuka pintu belakang dan 
bergegas mendatangi mereka. Terdengar isakan Hermione yang langsung 
mengalungkan tangannya pada Harry, dan Ron menepuk punggungnya, dan Hagrid 
berkata, "Smua baik, Harry? Siap tuk brangkat?" 
"Tentu saja," kata Harry, sambil melihat semua orang yang ada di sana. "Tapi 
aku tidak tahu akan begitu banyak orang yang akan datang!" 
"Perubahan rencana," geram Mad-Eye, yang sedang memegangi dua buah 
kantung yang sangat besar, dan mata sihirnya berputar sangat cepat saat 
melihat langit gelap, rumah, lalu kebun. "Ayo masuk supaya aku bisa 
menjelaskannya padamu." 
Harry mengajak mereka masuk ke dapur di mana mereka langsung mengobrol 
dan bercanda, duduk di kursi atau di atas meja masak bibi Petunia yang berkilau 
atau bersandar di lemari yang tanpa noda. Ron yang tinggi kurus. Hermione 
dengan rambut panjang dan tebalnya yang dijalin rapi. Fred dan George yang 
sama-sama nyengir. Bill dengan luka parut dan rambut panjangnya. Tuan 
Weasley yang botak dengan wajahnya yang ramah dan kacamatanya yang agak 
miring. Mad-Eye yang siap tempur dengan satu kaki dan mata sihir biru 
cerahnya yang tak berhenti berdesing. Tonks dengan rambut pendek berwarna 
merah muda. Lupin yang tampak lebih tua dan lebih kurus. Fleur yang cantik dan 
ramping dengan rambut panjangnya yang berwarna pirang keperakan. Kingsley 
yang hitam, botak, dan berbahu bidang. Hagrid dengan rambut dan janggutnya 
yang awut-awutan, berdiri membungkuk agar kepalanya tidak menyentuh langit￾langit. Dan, Mundungus Fletcher yang kecil dan dekil, dengan matanya yang 
mengantuk dan rambutnya yang lepek. Jantung Harry berdetak kencang, ia 
merasa sangat senang saat melihat mereka semua. Bahkan Mundungus, yang 
ingin ia cekik saat terakhir kali bertemu. 
"Kingsley, aku kira kau menjaga Perdana Menteri Muggle?" tanya Harry. 
"Ia akan baik-baik saja walau aku tinggal satu malam," kata Kingsley. "Kau 
yang lebih penting." 
"Harry, coba tebak," kata Tonks yang duduk di atas mesin cuci, ia 
menunjukkan tangan kirinya, sebuah cincin berkilauan. 
"Kalian sudah menikah?" jerit Harry, memelototi Tonks dan Lupin. 
"Sayang sekali kau tidak bisa hadir, Harry." 
"Luar biasa! Sela…" 
"Baiklah, kita akan punya waktu untuk mengobrol nanti!" teriak Moody di antara 
keriuhan, dan langsung membuat semua terdiam. Moody menjatuhkan dua 
kantung besar yang dibawanya dan berbicara pada Harry. "Seperti yang telah 
Dedalus katakan padamu, kami tidak memakai rencana A. Pius Thicknesse 
bereaksi berlebihan dan memberi kita masalah besar. Dia telah memberi izin 
khusus untuk menyambungkan rumah ini ke jaringan Floo, menggunakan Portkey, 
bahkan untuk ber-Apparate. Dan semua itu ditujukan untuk menjagamu untuk 
mencegah Kau-Tahu-Siapa untuk mendapatkanmu. Yang tentu saja, tidak ada 
gunanya karena masih ada perlindungan yang telah ibumu buat. Yang telah dia 
lakukan hanya mencegahmu keluar dari sini hidup-hidup. 
"Masalah kedua adalah, kau masih di bawah umur. Berarti kau masih dilacak." 
"Aku tidak…" 
"Pelacak!" kata Mad-Eye tidak sabar. "Mantra yang dapat mendeteksi 
kegiatan sihir di sekitar anak yang berusia di bawah tujuh belas tahun! Bila 
kau, atau siapa pun yang ada di dekatmu mengeluarkan mantra, Thicknesse 
akan tahu dan begitu pula para Pelahap Maut." 
"Kita tidak dapat menunggu sampai Pelacak itu hilang, karena begitu kau berusia 
tujuh belas tahun, kau akan kehilangan perlindungan dari ibumu. Pendek kata
Pius Thicknesse telah berhasil memojokkan kita." 
Harry sependapat walaupun ia tidak tahu siapa Thicknesse itu. "Jadi, apa yang 
akan kita lakukan?" 
"Kita akan menggunakan satu-satunya alat transportasi yang tersisa. Yang 
tidak akan meninggalkan Jejak. Karena kita tidak perlu mengeluarkan 
mantra untuk menggunakannya. Sapu, Thestral, dan sepeda motor Hagrid." 
Harry dapat melihat cacat dalam rencana ini, tapi ia tetap diam dan membiarkan 
Mad-Eye untuk melanjutkan. 
"Perlindungan dari ibumu akan hilang karena dua hal, yaitu saat kau berumur 
tujuh belas, atau…" Moody berputar di tengah dapur yang sangat bersih, "kau 
tak lagi menganggap tempat ini sebagai rumah. Kau dan paman bibimu berpisah 
malam ini, yang artinya kalian tidak akan tinggal bersama lagi, kan?" 
Harry mengangguk. 
"Jadi, saat kau meninggalkan rumah ini, kau tidak akan kembali, dan 
perlindungan itu akan hilang saat kau keluar dari daerah ini. Pilihan kita saat 
ini adalah menghilangkan perlindungan itu lebih awal, atau membiarkan Kau￾Tahu-Siapa datang dan langsung menangkapmu saat kau berusia tujuh belas." 
"Untung saja Kau-Tahu-Siapa tidak tahu kalau kita akan melakukannya malam 
ini. Kita akan membuat jejak palsu untuk Kementrian, karena mereka pikir kau 
tidak akan pergi sebelum tanggal tiga puluh. Tapi, karena kita sedang 
berhadapan dengan Kau-Tahu-Siapa, kita tidak tahu apakah dia akan termakan 
rencana tanggal tiga puluh. Dia memerintahkan Pelahap Maut untuk berpatroli 
di atas daerah ini, untuk berjaga-jaga. Jadi, kami telah memberi banyak 
perlindungan pada selusin rumah. Dan semuanya dapat menjadi tempat 
perlindunganmu. Dan semuanya juga adalah milik anggota Orde: rumahku, 
rumah Kingsley, rumah bibi Molly, Muriel… – kau mengerti?" 
"Ya," kata Harry, tak sepenuhnya jujur, karena ia hanya mengerti sedikit 
dari rencana yang telah dijelaskan tadi. 
"Kau akan ke rumah orang tua Tonks. Saat kau sudah berada dalam 
perlindungan yang kami buat, kau dapat menggunakan Portkey ke the Burrow. 
Ada pertanyaan?" 
"Er… ada," kata Harry. "Sepertinya mereka akan tahu ke mana kita akan pergi, 
kan jelas sekali kalau ada," Harry langsung menghitung cepat, "empat belas 
orang yang terbang bersamaan ke rumah orang tua Tonks."
Ah," kata Moody, "aku lupa menjelaskan rencana utamanya. tentu, tidak 
semuanya akan pergi ke rumah orang tua Tonks. Akan ada tujuh orang Harry 
Potter yang ditemani seorang pengawal yang akan terbang ke tujuh tempat 
perlindungan yang berbeda." 
Moody mengeluarkan botol dari dalam jubahnya yang berisi sesuatu yang 
nampak seperti lumpur. Dan tidak perlu lagi menjelaskan, karena Harry langsung 
mengerti keseluruhan rencana itu.
"Tidak!" teriak Harry, suaranya bergema di dapur. "Tidak akan!" 
"Sudah kukira akan begini," kata Hermione penuh rasa puas. 
"Kau kira aku akan membiarkan enam orang membahayakan hidup mereka!" 
"Kau pikir ini yang pertama kalinya…" kata Ron. 
"Tapi ini berbeda, saat kalian berpura-pura menjadi aku…" 
"Yah, sebenarnya kami tidak ingin, Harry," kata Fred bersungguh-sungguh. 
"Bayangkan bila terjadi sesuatu dan kami akan terperangkap dalam tubuh dan 
wajahmu dengan bekas luka itu untuk selamanya." 
Harry bahkan tidak tersenyum. 
"Kalian tidak akan melakukannya bila aku tidak bekerja sama, kalian butuh 
rambutku." 
"Wah, tampaknya rencana kami berantakan," kata George. "Jelas tidak 
mungkin mendapatkan rambutmu bila kau tidak mau bekerja sama." 
"Tiga belas lawan satu, yang bahkan belum diizinkan menggunakan sihir. 
Kami pasti gagal," kata Fred. 
"Lucu," kata Harry sebal. "Benar-benar lucu." 
"Bila kami harus memaksamu, maka itulah yang akan kami lakukan," kata Moody 
geram, mata sihirnya berdesing saat akhirnya memandangi Harry. "Tiap orang 
yang ada di sini sudah cukup umur, Potter, dan mereka siap dengan resiko yang 
mereka hadapi." 
Mundungus mengangkat bahu dan menampakkan wajah tidak senang. Mata 
sihir Mad-Eye berputar dan memandangi Mundungus menembus kepala Moody. 
"Cukup untuk berdebat. Waktu kita tidak banyak. Aku minta beberapa helai 
rambutmu, sekarang!" 
"Tapi ini gila, tidak perlu…" 
"Tidak perlu!" hardik Moody. "Dengan Kau-Tahu-Siapa di luar sana dan separuh 
Kementrian mendukungnya? Potter, kita beruntung bila dia menelan mentah￾mentah rencana palsu pada tanggal tiga puluh. Tapi, dia menyuruh para Pelahap 
Maut untuk berjaga-jaga, dan ini yang kita lakukan. Mereka tidak akan bisa 
kemari karena perlindungan ibumu, tapi begitu kau pergi nanti, perlindungan itu
akan langsung hilang. Satu-satunya kesempatan yang kita miliki adalah bila kita 
mengalihkan perhatian mereka. Karena tidak mungkin, bahkan Kau-Tahu-Siapa, 
dapat membagi dirinya menjadi tujuh." 
Harry bertatapan sesaat dengan Hermione yang langsung membuang muka. 
"Sekarang!" bentak Moody. 
Semua mata tertuju pada Harry saat ia mencabut beberapa helai 
rambutnya dengan enggan. 
"Bagus," kata Moody, berjalan timpang sambil membuka tutup botol 
ramuan itu. "Langsung masukkan ke sini." 
Harry menjatuhkan rambutnya ke dalam ramuan yang nampak seperti lumpur 
itu. Sesaat kemudian, ramuan menggelegak dan berasap. Dan langsung berubah 
menjadi cairan bening berwarna keemasan. 
"Wah, kau kelihatan lebih enak daripada ramuan Crabbe dan Goyle,Harry," 
kata Hermione, sebelum melihat Ron yang mengangkat alisnya. "Kau tahu 
sendiri kan – ramuan Goyle tampak seperti ingus." 
"Baiklah, para Potter palsu, ayo antre di sebelah sini," kata Moody. 
Ron, Hermione, Fred, George, dan Fleur langsung berjajar di depan wastafel 
bibi Petunia yang berkilauan. 
"Kurang satu," kata Lupin. 
"Ini," kata Hagrid sambil menjumput kerah baju Mundungus kasar, dan 
menjatuhkannya di sebelah Fleur yang langsung mengernyitkan hidungnya dan 
maju ke barisan selanjutnya. Berdiri di antara Fred dan George. 
"Dah kubilang, mending aku jadi pengawal," kata Mundungus. 
"Diam," geram Moody. "Dasar kau cacing tak berguna, para Pelahap Maut tidak 
akan membunuh Potter, mereka hanya akan menangkapnya. Dumbledore selalu 
berkata bahwa Kau-Tahu-Siapa akan menghabisi Potter dengan tangannya 
sendiri. Para Pelahap Maut akan berusaha membunuh para pengawal." 
Mundungus tampak tidak yakin dan Moddy langsung mengeluarkan setengah 
lusin gelas yang langsung diisinya dengan ramuan dan menyodorkannya ke para 
Potter palsu. 
"Bersama-sama…" 
Ron, Hermione, Fred, George, Fleur, dan Mundungus meminumnya bersamaan. 
Mereka langsung merasa mual saat ramuan itu menyentuh tenggorokan mereka. 
Lalu, tampak tubuh mereka mulai meleleh seperti lilin panas. Hermione dan 
Mundungus menjadi lebih tinggi. Ron, Fred, dan George mengecil dan rambut 
mereka menjadi lebih gelap. Tengkorak Hermione dan Fleur berubah bentuk. 
Moody langsung berjongkok dan melonggarkan ikatan kantung yang tadi ia bawa. 
Saat ia berdiri sudah ada enam orang Harry Potter yang terengah-engah di 
depannya. 
Fred dan George langsung berdiri berhadapan dan bersamaan mereka berkata, 
"Wah, kita mirip!" 
"Entahlah, tapi sepertinya aku tetap lebih tampan," kata Fred sambil berkaca di 
ketel. 
"Bah," kata Fleur yang sedang berkaca di kaca microwave, "Bill, jangan li'at 
aku. Aku tampak mengerikan." 
"Yang pakaiannya kebesaran, aku membawa pakaian yang lebih kecil di sini," 
kata Moody sambil menunjuk salah satu kantung, "dan begitu pula sebaliknya. 
Dan jangan lupa kacamata kalian. Setelah kalian selesai, ambil barang masing￾masing di kantung yang lain." 
Harry yang asli saat ini sedang melihat hal paling aneh yang pernah ia lihat. Ia 
melihat keenam tiruannya berdesakan di sekitar kantung, mengambil baju, 
kacamata, dan barangbarang lain. Harry sebal saat mereka langsung berganti 
baju begitu saja dengan tubuhnya, merasa privasinya dilanggar. 
"Aku tahu Ginny berbohong tentang tato itu," kata Ron sambil memandangi 
dadanya 
yang telanjang.
"Harry, penglihatamu jelek sekali," kata Hermione sambil memakai kacamatanya. 
Setelah mereka berganti pakaian, Harry palsu mengambil ransel dan sangkar 
burung 
hantu yang berisi boneka burung hantu salju dari kantung kedua.
"Bagus," kata Moddy saat melihat tujuh orang Harry yang berkacamata dan 
telah siap 
berangkat. "Kita akan pergi berpasangan. Mundungus bersamaku naik sapu…" 
"K'napa aku bareng kamu?" kata Harry yang di dekat pintu.
"Karena kau memang harus diawasi," kata Moody, dan mata sihirnya memang 
terus 
memandang ke arah Mundungus. "Arthur dan Fred…"
"Aku George," kata Harry yang Moody tunjuk. "Apa kalian masih tidak bisa 
membedakan kami?"
"Maaf, George…" 
"Aku bercanda, aku Fred…"
"Cukup bercandanya!" bentak Moody. "Pokoknya, salah satu dari kalian bersama 
Arthur, 
dan yang lainnya bersama Remus. Nona Delacour…"
"Aku bersama Fleur naik Thestral," kata Bill. "Dia tidak begitu mahir di atas 
sapu."
Fleur berdiri di samping Bill sambil memandanginya penuh rasa kagum dan 
patuh. Dan 
Harry yakin bahwa raut muka itu tidak pernah muncul di wajahnya. 
"Nona Granger bersama Kingsley naik Thestral…" Hermione tampak tenang saat 
membalas senyum Kingsley, karena ia pun tidak begitu mahir di atas sapu. 
"Berarti tinggal kau dan aku, Ron," kata Tonks riang yang kemudian menyenggol 
sebuah 
mug saat melambaikan tangannya. Ron tampak tidak sesenang Hermione.
"Dan kau bersamaku, Harry. Tak apa, 'kan?" kata Hagrid, terlihat sedikit 
khawatir. "Kita 
naik motor. Kau tau kan, sapu dan Thestral tidak dapat tahan berat badanku. 
Nanti kau akan duduk di gandengannya.""Bagus," kata Harry tak sepenuhnya 
jujur.“Kami pikir Pelahap Maut akan mengira kau akan naik sapu,” kata Moody 
yang 
sepertinya tahu apa yang sedang Harry pikirkan. “Snape punya banyak 
waktu untuk menceritakan segala hal tentangmu di depan Pelahap Maut. 
Dan mungkin saja para Pelahap Maut akan mengejar Harry yang memang 
ahli dan terbiasa di atas sapu. 
Baiklah,” kata Moody yang langsung memimpin mereka keluar. Tiga menit 
lagi kita berangkat. Ayo…” 
Harry bergegas ke tangga mengambil ransel, Firebolt, dan sangkar Hedwig, lalu 
bergabung dengan yang lain di halaman belakang. Semua sudah siap di samping 
sapu. Hermione sedang dibantu Kingsley untuk menaiki Thestral, dan Fleur dan 
Bill sudah siap di atas Thestral yang lain. Hagrid berdiri di samping sepeda 
motor dengan helm dan kacamata terpasang. 
“Apakah… apakah ini sepeda motor Sirius?” 
“Benar,” kata Hagrid, menatap Harry. “Dan trakhir kali kau di sana, 
aku bisa menggendongmu dengan hanya satu tangan!” 
Harry merasa malu saat duduk di gandengan motor. Membuatnya berpuluh￾puluh senti lebih pendek dari yang lain, bahkan Ron menyeringai saat 
melihatnya, seperti melihat anak kecil yang sedang duduk di bom-bom-car. 
Harry memaksa meletakkan ransel dan sapunya di bawah tempat duduknya 
dan menaruh sangkar Hedwig di antara lututnya. Benar-benar tidak nyaman. 
“Arthur menyihirnya sdikit,” kata Hagrid yang menyadari 
ketidaknyamanan Harry. Hagrid sendiri langsung menduduki sepeda motor 
yang langsung melesak ke tanah sedalam beberapa senti. “Aku tambahi 
beberapa hal di setangnya. Ideku sendiri.” 
Hagrid menunjuk sebuah tombol ungu dekat speedometer. 
“Hati-hati, Hagrid,” kata tuan Weasley yang berdiri di sebelah sepeda 
motor sambil memegang sapunya. “Aku tidak tahu apa akan baik-baik saja 
nantinya, dan gunakan hanya saat mendesak.” 
“Baiklah,” kata Moody. “Semua bersiap-siap. Aku ingin kita berangkat pada 
waktu yang bersamaan atau rencana kita akan gagal.” 
Semua menaiki sapu masing-masing. 
“Pegangan, Ron,” kata Tonks, dan Harry melihat Ron yang secara sembunyi￾sembunyi melihat Lupin dengan pandangan penuh rasa bersalah karena telah 
berani melingkarkan tangannya pada pinggang Tonks. Hagrid menstater sepeda 
motor yang langsung meraung seperti naga dan gandengannya mulai bergetar. 
“Semoga beruntung,” teriak Moody. “Kita akan bertemu satu jam lagi di the 
Burrow. Dalam hitungan ketiga. Satu… dua… TIGA.” 
Sepeda motor itu meraung hebat dan Harry merasa gandengannya 
menghentak mengejutkan. Harry menembus udara dengan cepat, matanya 
mulai berair, rambutnya berkibar. Di sekitarnya pun terlihat sapu yang 
melesat naik, juga kibasan ekor Thestral. 
Kakinya terasa sakit dan mulai kebas karena berdesakan dengan sangkar Hedwig 
dan ransel. Rasa tidak nyaman yang luar biasa bahkan membuatnya lupa untuk 
melihat sekilas rumah nomor empat, Privet Drive, untuk terakhir kalinya. Saat ia 
menoleh ke bawah, ia sudah tak bisa mengenalinya. Harry terbang semakin 
tinggi dan semakin tinggi. 
Tiba-tiba ia dikelilingi oleh minimal tiga puluh orang bertudung, melayang di 
udara. Mereka membentuk formasi mengelilingi anggota Orde yang ada. 
Teriakan dan kilatan sinar hijau di mana-mana. Hagrid berteriak dan membuat 
sepeda motornya berjungkir bailk. Sejenak Harry kehilangan kendali, 
kebingungan, melihat cahaya lampu jalanan ada di atas kepalanya, mendengar 
teriakan-teriakan, dan ia berpegangan erat agar tidak jatuh. Sangkar Hedwig, 
Firebolt, dan ranselnya mulai menggelincir dari kedua lututnya. 
“Tidak – HEDWIG!” 
Sapunya jatuh terjungkal, namun ia berhasil meraih pegangan ransel dan 
sangkar burung hantu di saat-saat terakhir, dan akhirnya sepeda motor itu 
kembali ke posisi semula. Lalu, kilatan sinar hijau lain. Hedwig mencicit dan 
terguling begitu saja ke dasar sangkar. 
“Tidak – TIDAK!” 
Sepeda motor itu melaju lebih cepat. Harry sempat melihat sekilas seorang 
Pelahap Maut mencoba menghalangi saat Hagrid mempercepat laju sepeda 
motornya. 
“Hedwig – Hedwig!” 
Tapi burung hantu itu tidak bergerak, diam saja seperti boneka di dasar 
sangkar. Ia tak percaya dan mulai mengkhawatirkan nasib yang lain. Ia menoleh 
dan melihat ada banyak orang, kilatan-kilatan sinar hijau, dan dua pasang orang 
pergi menjauh di atas sapu mereka, tapi Harry tidak tahu siapa itu. 
“Hagrid, kita harus kembali! Kita harus kembali!” ia berteriak mencoba 
menandingi berisiknya suara mesin, mempersiapkan tongkatnya, meletakkan 
sangkar Hedwig di bawah kakinya dan tetap tidak percaya bahwa Hedwig telah 
mati. “Hagrid, KEMBALI!” 
“Tugasku adalah membawamu pergi, Harry!” teriak Hagrid. “Berhenti –
BERHENTI!” teriak Harry. Dan dua kilatan sinar hijau baru saja melesat di 
sebelah telinga kiri Harry. Empat Pelahap Maut terbang mengikuti mereka. 
Mencoba menyerang Hagrid. Hagrid mengelak tapi mereka terus mengejar. 
Semakin banyak kutukan yang diluncurkan ke arah mereka. Dan Harry harus 
meringkuk dalam-dalam di gandengan untuk menghindarinya. Ia mengangkat 
tongkatnya dan berteriak, “Stupefy!” dan kilatan sinar merah melesat dari 
tongkatnya dan membuat jarak antara empat Pelahap Maut yang mencoba untuk 
menghindar. 
“Tunggu, Harry, akan kucoba yang ini!” teriak Hagrid, dan Harry melihat Hagrid 
menekan tombol hijau di dekat pengukur bahan bakar. Sebuah dinding batu bata 
yang padat muncul dari knalpot. Sambil menjulurkan leher, Harry melihat 
dinding itu membesar. Tiga Pelahap Maut berhasil menghindar namun satu tidak. 
Salah satu yang hilang dari pandangan jatuh begitu saja saat sapunya hancur. 
Satu di antaranya mencoba menyelamatkannya. Tapi keduanya hilang dari di 
kegelapan saat Hagrid mempercepat laju sepeda motornya. 
Lebih banyak lagi kutukan yang melesat di atas kepala Harry yang berasal dari 
tongkat dua Pelahap Maut yang tersisa. Mereka masih mencoba menyerang 
Hagrid. Harry melawan dengan Mantra Bius. Kilatan cahaya merah dan hijau 
melesat di udara seperti kembang api. Dan para Muggle di bawah sana tidak 
tahu apa yang terjadi.
“Kita coba yang lain, Harry, pegangan!” teriak Hagrid yang langsung menekan 
tombol kedua. Kali ini muncul sebuah jaring yang sangat besar dari knalpot. 
Tapi para Pelahap Maut sudah siap dan berhasil menghindar. Bahkan datang 
seorang lagi yang tiba-tiba muncul dari kegelapan. Kini ada tiga Pelahap Maut 
yang mengejar mereka dan terus menerus melemparkan kutukan ke arah 
mereka. 
“Siap-siap, Harry, pegangan yang kuat!” teriak Hagrid, dan Harry melihat 
Hagrid menekan tombol ungu di sebelah speedometer. 
Dengan suara raungan yang sangat keras, semburan api naga berwarna putih 
biru keluar dari knalpot, dan sepeda motor itu langsung melesat secepat peluru 
dengan suara getaran logam. Harry melihat para Pelahap Maut mencoba 
menghindari semburan api yang mematikan itu. Pada saat yang sama, terasa 
gandengan motor mulai bergetar kencang. Sambungannya mulai mengendur 
bersamaan dengan bertambahnya kecepatan sepeda motor. 
“Tak apa, Harry!” teriak Hagrid yang membungkuk dalam-dalam. Tidak 
seorang pun yang mengejar mereka. Dan gandengan itu perlahan mulai 
terlepas. 
“Kuusahakan, Harry, jangan khawatir!” teriak Hagrid sambil mengeluarkan 
payung merah jambu dari saku mantelnya. 
“Hagrid! Jangan! Aku saja!” 
“REPARO!” 
Terdengar letusan yang memekakan telinga dan gandengan motor itu benar￾benar lepas. Gandengan motor itu langsung jatuh dari ketinggian. 
Di tengah keputusasaannya, Harry mengarahkan tongkatnya pada gandengan 
motor dan berteriak “Wingardium leviosa!” 
Gandengan motor itu mulai melayang walaupun tidak banyak bergerak, paling 
tidak ia masih melayang. Tiba-tiba terdengar kutukan-kutukan yang 
dilesatkan. Tiga Pelahap Maut tadi berhasil mengejarnya. 
“Aku datang, Harry!” teriak Hagrid dari kegelapan, tapi Harry bisa merasakan 
kalau sisi motor mulai kehilangan keseimbangan lagi. Meringkuk sedalam yang ia 
bisa, ia mengarahkan tongkatnya pada seseorang yang sedang menuju ke 
arahnya dan berteriak, 
“Impedimenta!” 
Mantra itu tepat mengenai dada Pelahap Maut. Untuk sesaat Pelahap Maut itu 
berhenti mendadak seakan ada penghalang yang tidak nampak baru saja 
menabraknya, dan nyaris saja Pelahap Maut lain menabraknya. 
Lalu gandengan motor itu mulai jatuh dan satu Pelahap Maut yang tersisa 
menembakkan kutukan pada Harry dari jarak yang begitu dekat sehingga ia 
harus menunduk dan masuk ke dalam gandengan dan membuat giginya patah 
karena terantuk pinggiran tempat duduk. 
“Aku datang, Harry, aku datang!” teriak Hagrid. Sebuah tangan besar 
mengangkat bagian belakang jubah Harry dan menariknya keluar dari gandengan 
motor. Harry berhasil membawa ranselnya saat akhirnya didudukkan di kursi 
sepeda motor, dan ia sadar bahwa ia sedang beradu punggung dengan Hagrid. 
Saat mereka melesat menjauh meninggalkan dua Pelahap Maut, Harry 
meludahkan darah yang membanjiri mulutnya, mengarahkan tongkatnya pada 
gandengan motor yang jatuh dan berteriak, “Confringo!” 
Rasanya sungguh menakutkan dan seakan perutnya terpilin saat melihat 
Hedwig ikut meledak di dalamnya. Dua Pelahap Maut yang tersisa terlempar 
jatuh dari sapunya. 
“Harry, maaf, maaf!” erang Hagrid, “tak seharusnya aku mencoba 
membetulkannya, kau tidak…” 
“Tidak apa-apa. Tetaplah terbang,” balas Harry. Lalu dari kegelapan muncul dua 
Pelahap Maut lain yang berhasil mengejar mereka. 
Kutukan mulai mengarah lagi pada mereka, Hagrid mencoba mengelak dan 
melakukan gerakan zigza. Harry tahu bahwa Hagrid tidak akan mencoba untuk 
menekan tombol api naga itu lagi. Apalagi saat ini Harry duduk di tempat yang 
tidak aman. Harry melepaskan Mantra Bius ke arah para pengejar mereka, 
walaupun gagal. Lalu ia melemparkan Matra Penghalang. Salah satu dari Pelahap 
Maut itu menghindar dan membuat tudungnya terbuka, dan saat cahaya merah 
dari Mantra Bius melesat di sebelah wajahnya, tampak Stan Shunpike menatap 
kosong – Stan –
“Expelliarmus!” teriak Harry. 
“Itu! Itu dia, itu yang asli!” 
Teriakan Pelahap Maut itu terdengar oleh Harry walaupun dalam deru 
suara mesin sepeda motor. Tiba-tiba kedua pengejarnya mundur dan 
menghilang. 
“Harry, ada apa?” teriak Hagrid. “Ke mana mereka pergi?” 
“Entahlah!” 
Tapi Harry ketakutan. Pelahap Maut itu berkata, “Itu dia, itu yang asli!” Tapi 
bagaimana mereka tahu? Ia memandangi kegelapan kosong dan merasakan ada 
hal yang aneh. Ke mana mereka pergi? 
Harry berputar dan menghadap ke depan agar ia bisa memegang jaket Hagrid. 
“Hagrid, tekan tombol api naga itu lagi, kita harus cepat pergi dari sini!” 
“Pegangan yang erat, Harry!” 
Lalu terdengar suara deruman yang memekakkan telinga lagi, dan terlihat 
semburan api putih biru keluar dari knalpot. Harry merasa ia mulai merosot dari 
tempat duduknya. Lalu Hagrid memeganginya dengan satu tangan, sementara 
tangan yang lain berusaha mengendalikan stang motor. 
“Rasanya kita telah meninggalkan mereka, Harry! Kita berhasil!” teriak Hagrid. 
Tapi Harry tidak seyakin itu. Ia merasa ketakutan bila tiba-tiba mereka 
kembali terkejar. Mengapa mereka mundur? Salah satu dari mereka masih 
memegang tongkat… itu yang asli… mereka mengatakannya saat ia menyerang 
Stan dengan Mantra Pelucutan Senjata… 
“Kita hampir sampai, Harry!” teriak Hagrid. 
Harry dapat merasakan kecepatan sepeda motor berkurang. Walau lampu￾lampu di bawah masih tampak seperti bintang. 
Tiba-tiba bekas lukanya terasa terbakar, saat seorang Pelahap Maut muncul di 
samping sepeda motornya. Dua Kutukan Kematian lewat hanya berjarak 
beberapa milimeter dari Harry, dan arahnya datang dari belakang. 
Lalu Harry melihatnya. Voldemort terbang seperti asap di atas angin, tanpa 
sapu atau Thestral. Wajahnya yang seperti ular bercahaya di tengah 
kegelapan. Dan jari-jarinya yang putih, mengangkat tongkat lagi. 
Hagrid memberanikan diri untuk membawa sepeda motornya terjun vertikal. 
Berpegangan erat pada jaket Hagrid, Harry mulai menembakkan Mantra Bius 
ke segala arah. Ia melihat tubuh seseorang terbang jatuh melewatinya dan ia 
tahu mantranya telah mengenai sseorang. Namun terdengar suara ledakan dan 
terlihat percikan api dari mesin. 
Sepeda motor itu jatuh berputar di udara, benar-benar lepas kendali. 
Kilatan sinar hijau ditembakkan lagi ke arah mereka. Harry tidak tahu 
bagaimana keadaan mereka, lukanya masih terasa terbakar. Rasanya ia 
ingin mati seketika. Seseorang bertudung di atas sapu hanya berjarak 
beberapa meter darinya dan mulai mengangkat tangannya. 
“Tidak!” 
Tiba-tiba Hagrid meninggalkan sepeda motor dan meloncat ke arah Pelahap 
Maut. Lalu Harry melihat mereka berdua jatuh dan menghilang dari pandangan. 
Berat tubuh mereka tidak mampu ditahan oleh sapu itu. Lutut Harry menjepit 
dudukan sepeda motor, berusaha agar tidak melepasnya. Dan Harry mendengar 
Voldemort berteriak “Milikku!” 
Namun kini ia tidak lagi bisa melihat atau mendengar Voldemort. Tapi kini ia 
melihat seorang Pelahap Maut lain mendekat dan terdengar “Avada…” 
Rasa sakit di keningnya membuat Harry menutup matanya, tongkatnya 
bergerak sesuai keinginannya sendiri. Ia merasa tangannya ditarik oleh sebuah 
magnet yang sangat kuat, dan terlihat pancaran api keemasan. Kemudian 
terdengar suara retakan dan teriakan kemarahan. Para Pelahap Maut yang 
tersisa berteriak, tapi Voldemort menjerit “Tidak!” Tiba-tiba Harry melihat 
tombol api naga tepat di bawah hidungnya. Ia menekannya dan sepeda motor 
itu menyemburkan lebih banyak api ke udara dan meluncur langsung ke tanah. 
“Hagrid!” panggil Harry, mencoba untuk tetap berpegangan pada sepeda 
motor itu. “Hagrid – accio Hagrid!” 
Sepeda motor itu melaju langsung menuju tanah. Sambil memegangi setang 
sepeda motor, Harry hanya bisa melihat lampu-lampu yang mendekat. Ia akan 
menabrak dan ia tidak bisa melakukan apa-apa. Di kejauhan terdengar 
teriakan… 
“Tongkatmu, Selwyn, berikan tongkatmu!” 
Ia dapat merasakan Voldemort sebelum ia melihatnya. Saat menoleh, ia melihat 
ke dalam mata merahnya dan merasa yakin itulah yang akan terakhir di lihatnya. 
Voldemort akan segera membunuhnya. 
Namun Voldemort menghilang. Harry melihat ke bawah dan melihat Hagrid yang 
terjatuh tergeletak di tanah. Ia berusaha untuk mengendalikan setang sepeda 
motor itu agar tidak menabrak Hagrid. Lalu ia mencoba untuk menggengam rem 
sebelum akhirnya ia menabrak sebuah kolam berlumpur. 
Bab 5 Fallen Warrior 
Pejuang yang Gugur 
“Hagrid?” 
Harry memaksa dirinya untuk bangun dan melepaskan diri dari reruntuhan logam 
dan kulit yang menutupinya. Tangannya terendam beberapa senti di dalam air 
berlumpur saat ia mencoba untuk berdiri. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba 
Voldemort menghilang dan berharap kegelapan ini segera hilang. Sesuatu yang 
panas dan basah mengalir dari dahi ke pelipisnya. Ia merangkak keluar dari 
kolam dan berusaha untuk mendekati Hagrid yang tampak seperti gundukan 
hitam besar di atas tanah. 
“Hagrid? Hagrid, bicaralah padaku…” 
Tapi gundukan itu diam saja. 
“Siapa di sana? Apakah itu kau, Potter? Kaukah Harry Potter?” 
Harry tidak mengenali suara pria itu. Lalu terdengar suara teriakan 
seorang wanita, “Mereka menabrak, Ted! Mereka di kebun!” 
Kepala Harry basah. 
“Hagrid,” ulang Harry, lututnya tersangkut. 
Hal selanjutnya yang ia ingat adalah ia sedang tertidur di atas sesuatu yang 
empuk. Dada dan tangan kanannya terasa terbakar. Giginya yang patah sudah 
tumbuh kembali. Bekas lukanya masih terasa menyakitkan. 
“Hagrid?” 
Ia membuka mata dan melihat dirinya sedang berbaring sofa di sebuah ruang 
duduk yang tidak ia kenal. Ranselnya tergeletak di lantai tak, basah dan penuh 
lumpur. Seorang pria berperut tambun sedang melihat Harry penuh rasa 
khawatir. 
“Hagrid baik-baik saja, nak,” kata pria itu, “istriku sedang merawatnya. 
Bagaimana keadaanmu? Ada yang patah? Aku telah menyembuhkan tulang iga, 
tangan, dan gigimu. Aku Ted, Ted Tonks, ayah Dora.” 
Harry duduk terlalu mendadak membuat matanya berkunang-kunang dan 
membuatnya merasa pusing. 
“Voldemort…” 
“Tenang,” kata Ted Tonks, sambil menyuruh Harry kembali untuk berbaring. 
“Kau baru saja mengalami tabrakan hebat tadi. Apa yang terjadi? Apa ada yang 
salah dengan sepeda motornya? Apa Arthur Weasley terlalu memaksa dirinya 
dengan alat-alat Muggle itu?” 
“Tidak,” kata Harry, bekas lukanya mulai berdenyut lagi. “Pelahap Maut, begitu 
banyak, mereka mengejar kami…” 
“Pelahap Maut?” tanya Ted tajam. “Apa maksudmu? Aku pikir mereka tidak tahu 
bahwa kau akan dipindahkan malam ini.” 
“Mereka tahu,” kata Harry. 
Ted Tonks melihat langit-langit seakan-akan ia bisa langsung melihat langit. 
“Kalau begitu, perlindungan kami telah berhasil mencegah mereka, kan? 
Mereka tidak bisa mendekati rumah ini dalam jarak ratusan meter dari 
berbagai arah.” 
Sekarang Harry tahu mengapa Voldemort tiba-tiba menghilang. Ia telah 
berhasil masuk ke dalam area perlindungan. Sekarang ia hanya berharap kalau 
mantra perlindungan itu cukup kuat. Karena saat ini ia bisa membayangkan 
Voldemort, beratus-ratus meter jauhnya, sedang mencari cara untuk masuk ke 
dalam sesuatu yang Harry bayangkan seperti sebuah gelembung transparan 
yang sangat besar. 
Harry mencoba untuk berdiri. Ia harus melihat Hagrid dengan mata kepalanya 
sendiri sebelum ia percaya kalau Hagrid masih hidup. Saat ia hampir berdiri, 
pintu tiba-tiba membuka dan Hagrid mencoba melewatinya. Wajahnya penuh 
lumpur dan darah, sedikit terpincang, tapi tetap hidup. 
“Harry!” 
Hanya butuh dua langkah besar bagi Hagrid untuk menyebrangi ruangan dan 
menarik Harry ke dalam pelukannya dan hampir mematahkan tulang iganya 
yang baru saja di sembuhkan. “Ya ampun, Harry, bagaimana kau bisa 
menghadapi mereka semua? Aku pikir kita akan mati.” 
“Aku juga. Aku tak bisa percaya…” 
Harry terdiam. Ia baru mengenali seorang wanita yang ada di belakang Hagrid. 
“Kau!” teriak Harry sambil mencoba meraih sesuatu di kantungnya tapi tidak 
ada. 
“Tongkatmu ada di sini, nak,” kata Ted, menyerahkan tongkat Harry. “Tadi 
terjatuh, dan aku memungutnya. Dan kau baru saja berteriak pada istriku.” 
“Oh, aku, aku minta maaf.” 
Saat wanita itu mendekati mereka, terlihat kemiripan Mrs. Tonks dengan 
saudarinya Bellatrix. Namun rambutnya berwarna coklat lembut, matanya 
lebih lebar, dan tampak lebih ramah. Tapi ia terlihat sedikit terkejut setelah 
diteriaki Harry. 
“Apa yang terjadi dengan putri kami?” tanyanya. “Hagrid bilang tadi kalian 
diserang. Di 
mana Nymphadora?” 
“Aku tidak tahu,” kata Harry. “Kami tidak tahu bagaimana keadaan yang lain.” 
Ted dan istrinya bertukar pandang. Rasa takut dan bersalah bercampur dalam 
dada Harry. 
Bila ada yang meninggal, itu adalah kesalahannya, semua adalah salahnya. Ia 
telah 
menyetujui rencana itu dan memberikan rambutnya… 
“Portkey,” tiba-tiba Harry teringat. “Kami harus ke the Burrow dan mencari 
tahu. Nanti 
akan langsung kami kabari begitu Dora…” 
“Dora akan baik-baik saja. Dia tahu apa yang dia kerjakan. Dia sudah sering 
melakukan 
ini bersama para Auror. Kemarilah,” tambah Ted. “Kalian akan berangkat dalam 
waktu 
tiga menit.” 
“Baiklah,” kata Harry. Ia mengambil ranselnya dan menyandangnya di pundak. 
“Aku…” 
Ia melihat Mrs. Tonks ingin meminta maaf