Jumat, 19 Januari 2024
Home »
harry potter B
» harry potter B
harry potter B
Januari 19, 2024
harry potter B
minta maaf atas segala hal yang terjadi, ia
merasa
bertanggung jawab. Tapi tidak satu kata pun keluar.
“Aku akan beritahu Tonks – Dora – untuk mengabari kalian, saat dia…
terima kasih
sudah menolong kami, terima kasih untuk segalanya. Aku…”
Harry merasa lega saat ia meninggalkan ruangan itu dan mengikuti Ted Tonks
menuju
kamar tidur. Hagrid berada di belakangnya, menunduk dalam-dalam agar tidak
terantuk
kusen pintu.
“Itu Portkey-nya, nak.”
Mr. Tonks menunjuk sebuah sisir kecil berwarna keperakan yang ada di atas
meja rias.
“Terima kasih,” kata Harry, yang langsung menyentuhkan jarinya, siap untuk
berangkat.
“Dia… dia kena,” kata Harry.
Teringat sesaat ledakan itu membuatnya merasa bersalah dan setitik air mata
ada di ujung
matanya. Hedwig telah menjadi kawannya, ia adalah penghubungnya dengan
dunia sihir
saat ia kembali ke rumah keluarga Dursley.
Hagrid menepuk-tepuk tangannya yang besar ke pundak Harry.
“Tidak apa-apa,” katanya muram. “Tidak apa-apa. Dia telah hidup cukup lama…”
“Hagrid!” Ted Tonks mengingatkan. Sisirnya mulai bercahaya biru terang dan
Hagrid
langsung menyentuhkan jarinya.
Sentakan dari belakang mengangkat mereka seperti kaitan yang tak terlihat,
membuat Harry berputar tak terkendali. Jarinya menempel di Portkey saat ia
meninggalkan rumah keluarga Tonks. Sedetik kemudian ia terlempar ke tanah
yang keras dengan tangan dan lutut menyentuh halaman the Burrow terlebih
dulu. Ia mendengar teriakan. Harry berdiri dan berjalan perlahan, dan melihat
Mrs. Weasley dan Ginny yang berlari keluar dari pintu belakang. Hagrid yang
juga terjatuh saat mendarat, berusaha berdiri di atas kakinya.
“Harry? Apakah kau benar-benar Harry? Apa yang terjadi? Mana yang lain?”
teriak Mrs. Weasley.
“Apa maksudmu? Apa belum ada yang kembali?” kata Harry.
Jawabannya sudah jelas saat ia melihat wajah pucat Mrs. Weasley.
“Pelahap Maut sudah menunggui kami,” Harry menceritakan. “Kami langsung
dikelilingi sesaat setelah kami berangkat – mereka tahu tentang malam ini – aku
tidak tahu apa yang terjadi pada yang lain. Empat di antaranya mengejar kami
saat kami berhasil menjauhkan diri, dan Voldemort berhasil menemukan kami…”
Harry dapat mendengar jelas nada pembelaan dalam ceritanya, sebuah alasan
mengapa ia tidak tahu bagaimana keadaan yang lain.
“Syukurlah kau baik-baik saja,” Mrs. Weasley langsung memberikan pelukan
yang Harry anggap ia tidak pantas dapatkan.
“Punya sdikit brandy, Molly?” tanya Hagrid yang gemetaran. “Tuk tujuan
pengobatan?”
Ia bisa saja mengambilnya dengan shir, tapi ia berlari masuk ke rumah. Harry
tahu kalau Mrs. Weasley ingin menyembunyikan perasaannya. Harry melihat
Ginny yang langsung memberinya berita.
“Ron dan Tonks harusnya kembali pertama, tapi mereka terlambat mencapai
Portkey,” katanya sambil menunjuk kaleng berkarat tak jauh dari sana. “Dan
itu,” ia menunjuk sepatu tua, “harusnya ayah dan Fred menjadi yang kedua.
Kau dan Hagrid yang ketiga, dan” Ginny melihat jamnya, “jika mereka
berhasil, George dan Lupin akan kembali semenit lagi.”
Mrs. Weasley muncul sambil membawa sebotol brandy yang langsung
diserahkannya ke Hagrid. Hagrid membuka tutupnya dan langsung
menghabiskannya dalam sekali minum.
“Mum!” teriak Ginny sambil menunjuk sebuah titik.
Cahaya kebiruan muncul dari kegelapan yang makin besar dan makin terang.
Lupin dan George muncul, berputar lalu terjatuh. Harry melihat sesuatu yang
tidak baik. Lupin membopong George yang tidak sadarkan diri dan darah
menutupi wajahnya.
Harry berlari dan membantu mengangkat kaki George. lupin dan Harry membawa
George masuk ke dalam rumah melalui dapur dan meletakkannya di sofa di ruang
duduk. Saat cahaya lampu menerangi George, Ginny terperangah dan perut
Harry terasa terpelintir. George kehilangan satu telinganya. Kepala dan
lehernya basah, dibanjiri darah segar.
Mrs. Weasley langsung berlutut di sebelah putranya saat Lupin memegang
tangan Harry dan menariknya kasar, membawanya kembali ke dapur, di mana
Hagrid masih terjebak di pintu.
“Oi!” kata Hagrid marah. “Lepaskan Harry! Lepaskan dia!”
Lupin tidak peduli.
“Makhluk apa yang ada di pojok ruangan saat Harry Potter masuk ke dalam
kantorku di Hogwarts?” tanyanya sambil menggoncang Harry. “Jawab!”
“Grind-grindylow dalam tank.”
Lupin melepaskan cengkeramannya dan jatuh bersandar di lemari dapur.
“Apa itu tadi?” teriak Hagrid.
“Maaf Harry, tapi aku harus memastikan,” kata Lupin. “Ada pengkhianat di
antara kita. Voldemort tahu kau dipindahkan malam ini dan orang yang bisa
membocorkannya adalah orang yang menjemputmu. Bisa saja kaulah penipu
itu.”
“Mengapa kau tidak memastikan aku?” tanya Hagrid yang masih berusaha
keluar dari pintu.
“Kau setengah-raksasa,” kata Lupin sambil melihat Hagrid. “Ramuan Polyjus
didesain khusus untuk manusia.”
“Rasanya tidak mungkin salah satu dari anggota Orde yang akan
membocorkannya pada Voldemort,” kata Harry. Gagasan itu begitu
mengejutkan, Harry memercayai mereka semua. “Voldemort mengejarku sesaat
kami hampir tiba, dia tidak mengenaliku pada awalnya. Kalau orang itu tahu
rencana kita, tentu Voldemort tahu bahwa aku pergi bersama Hagrid.”
“Voldemort mengejarmu?” tanya Lupin tajam. “Apa yang terjadi? Bagaimana
kau bisa lolos?”
Harry meringkas ceritanya, bagaimana seorang Pelahap Maut mengenalinya,
bagaimana mereka meninggalkan pengejaran dan memanggil Voldemort, dan
bagaimana mereka semua muncul sesaat Harry berhasil mencapai rumah orang
tua Tonks.
“Mereka mengenalimu? Tapi bagaimana mungkin? Apa yang telah kau lakukan?”
“Aku…” Harry berusaha untuk mengingat perjalanan yang membingungkan dan
penuh rasa panik tadi. “Aku melihat Stan Shunpike… kau tahu, kondektur Bus
Ksatria? Aku mencoba melucuti senjatanya. Sepertinya dia tidak tahu apa yang
dia lakukan, dia pasti di bawah Mantra Imperius!”
Lupin terperanjat.
“Harry, masa melucuti senjata sudah lewat! Orang-orang ini berusaha
menangkap dan membunuhmu! Paling tidak pingsankan mereka kalau kau tidak
ingin membunuh mereka!”
“Kami ada ratusan meter di atas tanah! Dan Stan bukan dirinya sendiri! Bila aku
membuatnya pingsan, dia akan jatuh dan mati! Tidak ada bedanya bila aku
memakai Avada Kedavra! Expelliarmus telah menyelamatkanku dari Voldemort
dua tahun yang lalu,” tambah Harry. Lupin mengingatkan Harry pada Zacharias
Smith, anak Hufflepuff, yang mengejek dirinya saat Harry mengajari Laskar
Dumbledore Mantra Perlucutan Senjata.
“Tentu saja, Harry,” kata Lupin mengalah, “dan ratusan Pelahap Maut melihatmu
melakukannya! Maafkan aku, tapi itu bukanlah mantra yang umum bila kau ada di
ujung kematian. Dan kau memakainya lagi di depan para Pelahap Maut yang
pernah melihatmu, atau paling tidak mendengarmu, melakukannya di saat kau
terancam.”
“Jadi lebih baik bila aku membunuh Stan Shunpike?” kata Harry marah.
“Tentu saja tidak,” kata Lupin, “tapi, para Pelahap Maut, dan banyak orang
lain, mengharapkanmu untuk melawan mereka! Expelliarmus adalah mantra
yang berguna, Harry. Tapi sepertinya Pelahap Maut menganggap bahwa itu
adalah penanda, mantra yang selalu kau pakai. Dan aku ingatkan kau untuk
tidak membiarkannya menjadi penandamu.”
Lupin membuat Harry merasa seperti orang idiot tapi Harry masih ingin
melawan.
“Aku tidak ingin meledakkan orang yang menghalangi jalanku,” kata Harry. “Itu
kerjaan Voldemort.”
Lupin tidak sempat membalas karena Hagrid, yang akhirnya bisa membebaskan
dirinya dari pintu, berjalan terhuyung, jatuh terduduk, dan menjatuhi Lupin.
Harry langsung bertanya lagi pada Lupin.
“Apakah George akan baik-baik saja?”
Semua kemarahan Lupin tiba-tiba menguap saat mendengar pertanyaan itu.
“Semoga saja. Walau tidak mungkin untuk mengembalikan telinganya, tidak
mungkin
bila disebabkan oleh kutukan.”
Terdengar suara dari luar. Lupin langsung berlari keluar dari dapur. Harry
meloncati kaki
Hagrid dan mengekor keluar.
Dua orang telah muncul di halaman dan terlihat Hermione, yang sudah kembali
ke bentuk
semula, bersama Kingsley, keduanya memegangi gantungan baju. Hermione
langsung
melingkarkan lengannya untuk memeluk Harry, tapi Kingsley tidak terlihat
senang.
Melalui bahu Hermione ia melihat Kingsley mengangkat tongkat dan
mengarahkannya ke
dada Lupin.
“Apa kata-kata terakhir yang Dumbledore katakan pada kita?”
“’Harry adalah harapan kita. Percayalah padanya,’” kata Lupin tenang.
Kingsley mengarahkan tongkatnya pada Harry, tapi Lupin berkata, “Itu memang
dia,
sudah kuperiksa.”
“Baiklah,” kata Kingsley yang langsung memasukkan tongakatnya ke dalam jubah.
“Tapi
seseorang berkhianat! Mereka tahu, mereka tahu tentang malam ini!”
“Sepertinya,” jawab Lupin, “tapi sepertinya mereka tidak tahu kalau akan ada
tujuh orang
Harry.”
“Untung sekali,” kata Kingsley geram. “Siapa saja yang sudah kembali?”
“Hanya Harry, Hagrid, George, dan aku.”
Hermione terperanjat dan mengatupkan tangan menutupi mulutnya.
“Apa yang terjadi pada kalian?” tanya Lupin pada Kingsley.
“Diburu lima Pelahap Maut, berhasil melukai dua orang, dan mungkin
membunuh
seorang,” kata Kingsley sambil terhuyung, “dan berhadapan langsung dengan
Kau-Tahu-Siapa, dia datang di tengah pengejaran lalu menghilang. Remus, dia
bisa…”
“Terbang,” potong Harry. “Aku juga bertemu dengannya, dia mengejarku dan
Hagrid.” “Jadi itu alasannya dia menghilang, untuk mengejarmu!” kata Kingsley.
“Aku tidak tahu mengapa dia tiba-tiba pergi. Tapi mengapa dia tiba-tiba
mengubah target?
“Harry bersikap terlalu baik pada Stan Shunpike,” kata Lupin.
“Stan?” ulang Hermione. “Tapi, aku kira dia ada di Azkaban.”
Kingsley tertawa suram.
“Hermione, telah terjadi pelarian besar-besaran yang tidak diberitakan oleh
Kementrian.
Tudung Traver terlepas saat aku melawannya, dan dia seharusnya ada di
Azkaban juga.
Apa yang terjadi padamu Remus? Di mana George?”
“Dia kehilangan salah satu telinganya,” kata Lupin.
“Kehilangan apa?” ulang Hermione dengan nada tinggi.
“Hasil kerja Snape,” kata Lupin.
“Snape?” teriak Harry. “Kau tidak bilang…”
“Tudungnya terlepas saat pengejaran. Sectusempra memang sudah jadi
spesialisasi
Snape. Rasanya aku ingin membalasnya, tapi aku harus memegangi George di
atas sapu
setelah dia terluka, dia kehilangan begitu banyak darah.”
Mereka berempat terdiam saat menatap ke langit. Tidak ada tanda apa pun di
sana. Hanya
bintang yang tidak berkedip dan tampak sama. Di mana Ron? Di mana Fred dan
Mr.
Weasley? Di mana Bill, Fleur, Tonks, Mad-Eye, dan Mundungus?
“Harry, tolong aku!” kata Hagrid yang terjepit lagi di pintu. Lega saat harus
melakukan
sesuatu, Harry menarik Hagrid hingga terlepas dari pintu, lalu masuk ke dalam
dapur dan
terus ke ruang duduk, di mana Mrs. Weasley dan Ginny masih merawat George.
Mrs.
Weasley berhasil menghentikan pendarahan, dan di bawah sinar lampu Harry
bisa
melihat sebuah lubang, di mana seharusnya ada telinga George.
“Bagaimana keadaannya?”
Mrs. Weasley menoleh dan berkata, “Aku tidak dapat menumbuhkannya kembali,
tidak
bisa kalau hilang karena Ilmu Hitam. Tapi bisa saja lebih buruk… untung saja
dia masih
hidup.”
“Ya,” kata Harry. “Syukurlah.”
“Rasanya aku mendengar yang lain di halaman,” kata Ginny.
“Hermione dan Kingsley.”
“Syukurlah,” bisik Ginny. Mata mereka saling memandang. Ingin rasanya Harry
memeluknya, bergantung padanya, ia bahkan tidak peduli ada Mrs. Weasley di
sana, tapi sebelum Harry melakukan apa yang ia inginkan terdengar suara
teriakan dari dapur.
“Akan kubuktikan diriku, Kingsley, tapi setelah aku melihat keadaan anakku.
Sekarang
minggir kalau kau tahu apa harus kau lakukan!”
Harry tidak pernah mendengar Mr. Weasley berteriak sebelumnya. Ia
menerobos masuk
ke ruang duduk. Kepalanya yang botak dipenuhi keringat dan kacamatanya
miring. Fred
berdiri di belakangnya. Keduanya tampak pucat tapi tidak terluka.
“Arthur!” isak Mrs. Weasley. “Oh, syukurlah!”
“Bagaimana keadaannya?”
Mr. Weasley langsung berlutut di sebelah George. Untuk pertama kalinya Harry
melihat
Fred kehilangan kata-kata. Ia berdiri di belakang sofa melihat luka
kembarannya dan
sepertinya tak percaya akan apa yang ia lihat.
Mungkin karena mendengar suara kedatangan Fred dan ayahnya, George mulai
sadar.
“Bagaimana perasaanmu, Georgie?” tanya Mrs. Weasley.
George memegang sisi kepalanya.
“Seperti seorang malaikat,” gumamnya.
“Ada apa dengannya?” teriak Fred ketakutan. “Apakah otaknya juga terganggu?”
“Seperti seorang malaikat,” ulang George sambil menatap saudaranya. “Kau
tahu… aku holy (suci). Holey (berlubang)*, Fred, ngerti?”
Suara isakan Mrs. Wealey semakin keras. Wajah pucat Fred mulai berwarna.
“Menyedihkan!” kata Fred pada George. “Menyedihkan! Dari begitu banyak
humor tentang telinga di dunia ini, kau pilih holey?” “Ah, menyebalkan,” George
tersenyum pada ibunya yang sedang menangis. “Sekarang
kau bisa membedakan kami, Bu.”
George memerhatikan sekelilingnya.
“Hai Harry! Kau Harry, kan?”
“Ya,” kata Harry sambil mendekat ke sofa.
“Paling tidak, kami bisa membantumu,” kata George. “Mengapa Ron dan Bill tidak
ada
di sini dan menangisi aku?”
“Mereka belum kembali, George,” kata Mrs. Weasley. Senyum George
langsung
menghilang. Harry memandang Ginny dan memintanya untuk menemaninya ke
halaman belakang. Saat mereka berjalan melewati dapur, Ginny berbicara
perlahan, “Ron dan Tonks harusnya akan datang sebentar lagi. Jarak mereka
tidak terlalu jauh. Rumah bibi Muriel tidak jauh dari sini.”
Harry diam saja. Dia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takutnya sejak ia
tiba di the Burrow. Tapi kini rasa takut itu menyelimutinya, merambati kulitnya,
menyakiti dadanya, menyumbat tenggorokannya. Saat mereka keluar di halaman
belakang yang gelap, Ginny meraih tangannya.
Kingsley berjalan berputar-putar, berkali-kali melihat ke langit. Mengingatkan
Harry pada paman Vernon yang juga suka melakukannya di ruang tamu berjuta
tahun lalu. Hagrid, Hermione, dan Lupin berdiri berjajar dalam diam, melihat
ke atas. Tak seorang pun sadar saat Harry dan Ginny bergabung.
Semenit terasa seperti bertahun-tahun. Bahkan hembusan angin paling
ringan yang menyentuh semak dan pohon membuat mereka terlonjak dan
mencari-cari dari mana gerakan itu berasal. Berharap anggota Orde akan
muncul dari balik dedaunan.
Lalu sesuatu yang terbang di atas mereka turun menuju tanah.
“Itu mereka!” teriak Hermione.
Tonks mendarat. “Remus!” teriak Tonks yang terhuyung turun dari sapunya
dan jatuh dalam pelukan Lupin. Wajah Lupin berubah kaku dan pucat dan
tampak tidak bisa berbicara. Ron tersandung ke arah Harry dan Herminone.
“Kalian baik-baik saja,” kata Ron yang langsung dipeluk erat oleh Hermione.
“Aku tak apa-apa,” kata Ron sambil menepuk-nepuk punggung Hermione. “Aku
baikbaik saja.”
“Ron hebat,” kata Tonks hangat sambil melepaskan diri dari pegangan Lupin.
“Luar biasa. Memingsankan seorang Pelahap Maut, tepat di kepala, dan saat
kau membidik target bergerak dari sapu yang sedang terbang…”
“Kau melakukannya?” kata Hermoine menatap Ron, tangannya masih
dikalungkan di leher Ron.
“Selalu dengan nada kaget,” katanya sedikit marah, mencoba melepaskan diri
dari tangan Hermione. “Apa kami yang terakhir?”
“Tidak,” kata Ginny, “kami masih menunggu Bill, Fleur, Mad-Eye, dan Mundungus.
Aku akan bilang pada ayah dan ibu kalau kau baik-baik saja.”
Ginny berlari masuk.
“Apa yang menahanmu? Apa yang terjadi?” suara Lupin bernada sedikit marah.
“Bellatrix,” kata Tonks. “Dia begitu menginginkanku seperti dia menginginkan
Harry,
Remus. Dia berusaha untuk membunuhku. Aku ingin membalasnya, aku berhutang
pada
Bellatrix. Tapi kami berhasil melukai Rodolphus… saat kami tiba di rumah bibi
Ron,
Muriel, kami ketinggalan Portkey. Dia begitu marah pada kami…”
Tampak sebuah otot muncul di rahang Lupin. Ia mengangguk tapi tidak bisa
berkata apaapa.
“Jadi, apa yang terjadi pada kalian?” tanya Tonks pada Harry, Hermione, dan
Kingsley.
Mereka menceritakan kembali cerita masing-masing. Namun ketidakadaan Bill,
Fleur,
Mad-Eye, dan Mundungus membuat mereka makin merasa khawatir.
“Aku harus kembali ke Downing Street. Seharusnya aku tiba di sana satu jam
yang lalu,”
kata Kingsley setelah menatap langit untuk terakhir kalinya. “Beritahu aku bila
mereka
sudah kembali.”
Lupin mengangguk. Kingsley melambaikan tangannya dan berjalan di kegelapan
menuju
pagar. Lalu Harry mendengar suara pop saat Kingsley ber-Disapparate di luar
the
Burrow.
Mr. dan Mrs. Weasley keluar dari rumah diikuti Ginny di belakang mereka.
Mereka
langsung memeluk Ron lalu beralih pada Lupin dan Tonks.
“Terima kasih,” kata Mrs. Weasley, “sudah menjaga anak-anak kami.”
“Jangan begitu, Molly,” kata Tonks.
“Bagaimana George?” tanya Lupin.
“Ada apa dengannya?” tanya Ron.
“Dia kehilangan…”
Kalimat Mrs. Weasley tak terselesaikan saat terdengar suara tangisan. Seekor
Thestral
muncul dan mendarat beberapa meter dari mereka. Bill dan Fleur turun, agak
kacau tapi
tidak terluka.
Mrs. Weasley berlari mendekati mereka tapi Bill tidak membalas pelukan
ibunya. Ia
menatap lurus-lurus ke mata ayahnya dan berkata, “Mad-Eye meninggal.”
Tak seorang pun berbicara. Tak seorang pun bergerak. Harry merasa sesuatu
dari dirinya sedang jatuh, jatuh dalam ke bumi, meninggalkan dirinya untuk
selamanya.
“Kami melihatnya,” kata Bill. Fleur mengangguk, air matanya berkilauan
tertimpa cahaya lampu dari dapur. “Terjadi begitu saja. Mad-Eye dan Dung ada
di sebelah kami, mereka juga mengarah ke utara. Voldemort – dia bisa terbang
– dia langsung mengejar mereka. Dung panik, aku mendengarnya berteriakteriak, Mad-Eye mencoba menyuruhnya diam, tapi dia tetap ber-Disapparate.
Kutukan Voldemort tepat mengenai wajah Mad-Eye, dia terjatuh dari sapunya
dan kami tidak bisa menolongnya. Kami sendiri dikejar enam Pelahap Maut…”
Bill berhenti berbicara.
“Jelas kalian tidak bisa menolongnya,” kata Lupin.
Mereka berdiri sambil memandang satu sama lain. Harry tidak paham. Mad-Eye
meninggal. Tidak mungkin… Mad-Eye yang begitu tangguh, begitu berani, yang
selalu bisa bertahan hidup…
Semuanya mengerti, tanpa seorang pun yang mengatakannya, tak ada gunanya
lagi menunggu di halaman belakang. Dalam diam, mereka mengikuti tuan dan Mrs.
Weasley masuk ke the Burrow, langsung ke ruang duduk, di sana Fred dan
George sedang bercanda.
“Ada apa?” tanya Fred memerhatikan wajah mereka yang baru masuk.
“Apa yang terjadi? Siapa yang…”
“Mad-eye,” kata tuan Weasley, “meninggal.”
Senyum di wajah si kembar hilang berganti dengan rupa terkejut. Sepertinya
tak seorang pun tahu apa yang harus mereka lakukan. Tonks menangis dalam
diam di balik saputangannya. Harry tahu, Tonks dekat dengan Mad-Eye, ia murid
kesayangan Mad-Eye di Kementrian Sihir. Hagrid yang duduk di lantai di pojok
ruangan dan menghabiskan paling banyak tempat, sedang mengusap matanya
dengan saputangan seukuran taplak.
Bill berjalan menuju lemari dan mengeluarkan gelas dan sebotol Firewhisky.
“Ini,” katanya, dan dengan ayunan tongkatnya tiga belas gelas yang telah
terisi yang terbang mendekati tiap orang yang ada di ruangan. “Untuk MadEye.”
“Mad-Eye,” kata semua orang dan meminumnya.
“Mad-Eye,” kata Hagrid, terlambat, terdengar isakkannya.
Firewhisky membasahi tenggorokan Harry. Membuatnya terasa terbakar, rasa
kebas dan ketidakpercayaannya menghilang, memberinya semangat keberanian.
“Jadi Mundungus menghilang?” kata Lupin yang langsung mengosongkan
gelasnya sekali teguk.
Keadaan langsung berubah. Tiap orang tampak waspada, melihat Lupin,
menunggu ia melanjutkan. Tiba-tiba Harry takut akan apa yang akan
didengarnya.
“Aku tahu apa yang kaupikirkan,” kata Bill, “aku juga memikirkan hal yang sama
sepanjang perjalanan kemari, karena sepertinya Pelahap Maut sedang
menunggui kita, kan? Tapi Mundungus tidak mungkin mengkhianati kita. Pelahap
Maut tidak tahu akan ada tujuh orang Harry, mereka tampak kebingungan saat
kita baru saja berangkat. Dan hanya untuk mengingatkan, adalah Mundungus
yang mengajukan ide gila ini. Kalau dia membocorkannya, mengapa dia tidak
langsung menceritakan keseluruhan rencana? Kurasa Dung panik, hanya itu. Dia
tidak ingin jadi yang pertama diserang, tapi Mad-Eye membawanya, dan KauTahu-Siapa langsung menyerang mereka. Itu sudah cukup membuat seseorang
menjadi panik.”
“Kau-Tahu-Siapa bereaksi seperti perkiraan Mad-Eye,” isak Tonks. “Mad-Eye
bilang bahwa Kau-Tahu-Siapa akan mengira bahwa Harry yang asli akan
dijaga oleh Auror yang paling berpengalaman. Dia langsung mengejar MadEye, tapi begitu Mundungus menghilang, dia langsung mengincar Kingsley.”
“Benar,” potong Fleur, “tapi itu tidak menjelaskan bagaimana mereka tahu kita
akan memindahkan “’Arry malam ini, kan? Seseorang telah sembrono.
Seseorang telah memberitahukan tanggal pemindahan pada orang luar. “’Anya
itu penjelasan yang ada, bagaimana mereka tahu tanggal peminda”an tapi tidak
tahu keseluru”an rencana.”
Fleur memandang ke penjuru ruangan, terlihat sisa air mata membekas di
wajahnya yang cantik, ia menantang bila ada yang tak sependapat. Tak seorang
pun. Suara yang terdengar hanya isakkan Hagrid. Harry melihat Hagrid, yang
sudah membahayakan diri untuk menyelamatkan Harry. Hagrid yang ia sayang,
yang ia percaya, yang dengan mudah ditipu dan telah menukarkan informasi
penting pada Voldemort dengan sebutir telur naga…
“Tidak,” kata Harry keras, dan semuanya menoleh padanya, terkejut. Sepertinya
Firewhisky telah memperbesar suaranya. “Maksudku… bila seseorang melakukan
kesalahan,” lanjut Harry, “dan tanpa sengaja memberitahukannya pada orang
lain, aku tahu mereka tidak bermaksud seperti itu. Itu bukan kesalahan
mereka,” ulang Harry, sudah dengan suaranya yang biasa. “Kita harus percaya
satu sama lain. Aku percaya pada kalian semua. Aku yakin tak seorang pun di
ruangan ini yang akan menyerahkanku pada Voldemort.”
Tak ada yang menjawab. Semua tetap melihat Harry. Harry merasa panas, ia
meminum Firewhiskynya sedikit. Lalu ia teringat Mad-Eye. Mad-Eye yang
selalu mengomentari kebiasaan Dumbledore yang selalu percaya pada orang
lain.
“Bagus sekali, Harry,” kata Fred.
“Ya, benar-benar bagus,” imbuh George sambil menatap Fred.
Lupin menatap Harry dengan sebuah ekspresi aneh. Menatapnya penuh rasa
kasihan, atau
sayang.
“Kau pikir aku idiot,” tantang Harry.
“Tidak. Kupikir kau seperti James, “yang menganggap bahwa mengkhianati
teman
adalah aib paling memalukan.”
Harry tahu ke mana arahnya. Ayahnya pernah dikhianati oleh temannya
sendiri, Peter
Pettigrew. Entah mengapa tiba-tiba Harry merasa marah. Tapi Lupin sudah
menoleh,
meletakkan gelasnya, dan berbicara pada Bill, “Ada sesuatu yang harus aku
lakukan. Aku
bisa meminta Kingsley, kalau kau…”
“Tidak,” kata Bill, “akan ku lakukan.”
“Mau ke mana?” kata Tonks dan Fleur bersamaan.
“Mayat Mad-Eye,” kata Lupin, “kami harus mengambilnya.”
“Tidak bisakah kalian…” Mrs. Weasley memohon pada Bill.
“Menunggu?” kata Bill. “Tidak, kecuali bila kau ingin Pelahap Maut
menemukannya
lebih dulu.”
Semuanya diam. Tiap orang berdiri saat Lupin dan Bill berpamitan.
Setiap orang kembali duduk di kursi masing-masing kecuali Harry, yang
tetap berdiri.
“Aku harus pergi,” kata Harry.
Sepuluh pasang mata memandanginya.
“Jangan bodoh, Harry,” kata Mrs. Weasley. “Apa yang kau bicarakan?”
“Aku tidak bisa tinggal di sini.”
Harry menggosok dahinya. Bekas lukanya terasa menusuk lagi. Rasanya tak
pernah
sesakit ini dalam setahun terakhir.
“Kalian dalam bahaya bila aku tetap tinggal di sini. Aku tidak ingin…”
“Jangan bersikap bodoh, kalau begitu!” kata Mrs. Weasley. “Tujuan utama
seluruh
rencana malam ini adalah untuk membawamu ke sini dalam keadaan hidup. Dan
untung
saja berhasil. Bahkan Fleur sudah setuju untuk menikah di sini daripada di
Perancis.
Semua sudah diatur agar semua orang bisa berkumpul di sini dan menjagamu.”
Mrs. Weasley tidak mengerti. Ia bahkan membuat Harry merasa lebih buruk.
Bukan lebih
baik.
“Bila Voldemort tahu aku ada di sini…”
“Mengapa dia harus tahu?” tanya Mrs. Weasley.
“Kau mungkin saja di salah satu dari selusin rumah perlindungan lain, Harry,”
kata tuan
Weasley. “Kau-Tahu-Siapa tidak akan tahu di mana kau akan berada.”
“Bukan itu yang aku khawatirkan!” kata Harry.
“Kami tahu,” kata tuan Weasley tenang, “tapi seluruh usaha kami malam ini jadi
sia-sia
bila kau pergi.”
“Kau tidak akan pergi ke mana-mana,” geram Hagrid. “Ya ampun, Harry, setelah
semua hal yang kita lalui malam ini.” “Yah, bagaimana dengan telingaku?” kata
George sambil menaikkan tubuhnya di atas
bantal.
“Aku tahu, tapi…”
“Mad-Eye tidak akan…”
“AKU TAHU!” teriak Harry.
Ia merasa semua bersekongkol untuk melawannya. Mereka pikir Harry tidak
tahu apa
yang telah mereka lakukan untuknya. Apa mereka tidak mengerti justru
karena itulah
Harry ingin pergi, sebelum mereka lebih menderita demi Harry? Ada
kecanggungan
panjang di antara mereka. Bekas luka Harry semakin menusuk dan
menyakitinya.
Kesunyian itu akhirnya dipecah oleh Mrs. Weasley.
“Di mana Hedwig, Harry?” bujuknya, “kita bisa membawanya bersama
Pigwidgeon dan
memberinya makan.”
Rasanya isi perutnya mengepal menjadi satu. Ia tidak bisa menceritakannya. Ia
menghabiskan Firewhiskynya menghindar dari menjawab pertanyaan.
“Tunggu hingga hal itu muncul lagi, Harry,” kata Hagrid. “Lakukan lagi nanti saat
kau
berhadapan dengan Kau-Tahu-Siapa!”
“Itu bukan aku!” kata Harry. “Itu tongkatku. Tongkatku melakukannya sendiri.”
Setelah beberapa saat, Hermione berkata lembut, “Tapi tidak mungkin, Harry.
Mungkin maksudmu, kau melakukan sihir tanpa kau bermaksud begitu, kau
bereaksi sesuai nalurimu.”
“Bukan,” kata Harry, “saat itu sepeda motornya sedang jatuh, dan aku tidak
tahu Voldemort ada di mana, tapi tongkatku bergerak sendiri dan menembakkan
mantra yang bahkan aku tidak kenal. Aku tidak pernah membuat pancaran api
keemasan sebelumnya.”
“Terkadang,” kata tuan Weasley, “saat kau berada dalam keadaan terpojok,
kau dapat menciptakan sihir yang bahkan tidak bisa kau bayangkan. Biasanya
hal itu terjadi pada anak-anak, bahkan sebelum mereka…”
“Bukan itu,” geram Harry dengan giginya terkatup. Bekas lukanya terasa
terbakar. Ia merasa marah dan tertekan. Dia benci akan gagasan bahwa ia
memiliki kekuatan yang dapat menandingi Voldemort.
Tak ada yang berbicara. Harry tahu tidak ada yang percaya padanya.
Sekarang ia memikirkannya, ia tidak pernah mendengar bahwa tongkat
bisa menghasilkan sihir sendiri.
Bekas lukanya benar-benar menyakitkan. Dia berusaha keras agar tidak
mengerang keras-keras. Sambill bergumam tentang udara segar, Harry
meletakkan gelasnya dan meninggalkan ruangan.
Saat ia berjalan di halaman gelap, Thestral yang besar melihatnya,
mengepakkan sayapnya yang seperti sayap kelelawar, kemudian melanjutkan
merumput. Harry berhenti di dekat pagar, melihat ke arah tanaman yang
tumbuh liar. Ia menggosok dahinya yang kesakitan. Ia sedang memikirkan
Dumbledore.
Dumbledore pasti akan memercayainya, ia tahu itu. Dumbledore tentu tahu
bagaimana dan mengapa tongkatnya bereaksi sendiri, karena Dumbledore
selalu tahu jawabannya. Dumbledore juga tahu tentang tongkatnya, bagaimana
ia menjelaskan tentang hubungan antara tongkatnya dan tongkat Voldemort.
Tapi Dumbledore, seperti Mad-Eye, Sirius, orang tuanya, dan burung hantunya
yang malang, telah pergi sehingga Harry tidak bisa berbicara padanya lagi. Ia
merasa tenggorokannya terbakar dan itu tidak ada hubungannya dengan
Firewhisky.
Lalu, rasa sakit di bekas lukanya memuncak. Saat ia memegangi dahinya dan
menutup matanya, ia mendengar suara teriakan di dalam kepalanya.
“Kau bilang masalahnya akan selesai bila aku menggunakan tongkat yang
berbeda!”
Lalu dalam pikirannya ia melihat sebuah gambaran tentang seorang pria tua
kurus berbaring di atas kain kumal di lantai batu. Ia berteriak ketakutan.
Berteriak karena rasa sakit yang luar biasa.
Jangan! Jangan! Aku mohon, aku mohon…”
“Kau berbohong pada Lord Voldemort, Ollivander!”
“Tidak… aku tidak…”
“Sepertinya kau ingin membantu Potter, membantunya melarikan diri!”
“Sumpah, aku tidak… setahuku dengan tongkat yang berbeda…”
“Jelaskan yang terjadi, kalau begitu. Tongkat Lucius hancur begitu saja!”
“Aku tidak tahu… hubungan itu… hanya terjadi… antara kedua tongkat…”
“Pembohong!”
“Tolong… aku mohon…”
Lalu Harry melihat sebuah tangan putih mengangkat tongkat dan merasakan
kemarahan
Voldemort yang luar biasa. Lalu ia melihat pria tua yang lemah itu
menggeliat-geliat
menahan sakit…
“Harry?”
Semua berhenti secepat saat tiba. Harry berdiri gemetar dalam gelap.
Tangannya
mencengkeram pagar. Jantungnya berdetak kencang. Bekas lukanya masih
terasa nyeri.
Butuh beberapa saat sebelum ia menyadari bahwa Ron dan Hermione ada di
sampingnya.
“Harry, masuklah ke dalam rumah,” bisik Hermione. “Kau sudah tidak berpikir
untuk
pergi, kan?”
“Kau harus tinggal, sobat,” kata Ron sambil menepuk punggung Harry.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Hermione yang sudah cukup dekat sehingga bisa
melihat wajah Harry. “Kau kelihatan kacau!” “Mungkin,” kata Harry, “tapi aku
masih lebih baik daripada Ollivander…” Setelah Harry selesai menceritakan apa
yang ia lihat, Ron melihatnya terkejut ngeri dan
Hermione benar-benar ketakutan.
“Tapi seharusnya hal itu berhenti! Bekas lukamu – seharusnya ini tidak
terjadi lagi!
Tidak seharusnya kau membuka hubungan itu lagi – Dumbledore ingin kau
menutup
pikiranmu!”
Saat Harry tidak menjawab, Hermione menarik tangan Harry.
“Harry, dia sudah menguasai Kementrian, koran, dan separuh dunia sihir! Jangan
biarkan dia mengambil alih pikiranmu juga!”
=================
* Holy dan Holey memiliki cara pengucapan yang sama.
Bab 6 The Ghoul in Pajamas GHOUL* BERPIYAMA
Kegemparan atas meninggalnya Mad-Eye berlangsung selama beberapa hari.
Harry tetap berharap bahwa Mad-Eye akan muncul dari pintu belakang seperti
anggota Orde lainnya, yang keluar masuk membawa berita baru. Harry merasa
bahwa hanya ada satu hal bisa membantunya meredakan rasa sedih dan
bersalahnya, yaitu pergi mencari dan menghancurkan Horcrux secepatnya.
“Yah, kau tidak bisa melakukan apa-apa dengan…” mulut Ron mengucapkan
kata Horcrux tanpa bersuara, “sampai berumur tujuh belas tahun. Kau masih
dipantau. Dan kita bisa menata rencana di sini. Atau,” Ron mengecilkan
suaranya, “kau sudah yakin kau-tahu-apa berada di mana?”
“Tidak,” aku Harry.
“Kukira Hermione sedang melakukan penelitian,” kata Ron. “Katanya dia
menyiapkan sesuatu untukmu.”
Mereka berdua duduk di meja sarapan. Mr. Weasley dan Bill baru saja
berangkat bekerja. Mrs. Weasley pergi ke atas untuk membangunkan Hermione
dan Ginny. Sedangkan Fleur sedang mandi.
“Pelacak itu akan hilang pada tanggal tiga puluh satu nanti,” kata Harry. “Itu
artinya aku hanya perlu tinggal di sini empat hari lagi. Tidak perlu…”
“Lima hari,” Ron mengoreksinya. “Kau harus tinggal untuk pesta pernikahan.
Atau kau akan dibunuh mereka.”
Harry sadar bahwa mereka yang dimaksud adalah Mrs Weasley dan Fleur.
“Hanya ditambah sehari,” kata Ron pada Harry.
“Apa mereka tidak tahu seberapa pentingnya…”
“Tentu mereka tidak tahu,” kata Ron. “Mereka sama sekali tidak tahu. Oh iya,
aku ingin memperingatkanmu tentang itu.”
Ron melihat ke arah pintu memastikan Mrs. Weasley belum kembali, lalu ia
mendekat ke arah Harry.
“Mum bertanya padaku dan Hermione, tentang apa yang akan kita lakukan. Dia
akan bertanya padamu nanti, jadi persiapkan dirimu. Dad dan Lupin juga
bertanya. Tapi saat kami katakan bahwa Dumbledore ingin hanya kami yang
tahu, mereka menyerah. Tapi tidak dengan Mum. Dia benar-benar ingin tahu.”
Prediksi Ron terjadi beberapa jam kemudian. Sesaat sebelum makan siang, Mrs.
Weasley memisahkan Harry dari yang lain dengan memintanya membantu
mengenali kaus kaki yang tidak punya pasangan. Begitu ia berhasil memojokkan
Harry di dapur, ia memulainya.
“Ron dan Hermione sepertinya berpikir bahwa kalian bertiga akan keluar dari
Hogwarts,” Mrs Weasley memulai dengan nada seperti biasa.
“Oh,” kata Harry. “Iya.”
Alat pencuci pakaian di pojok ruangan sedang memeras sesuatu yang
tampak seperti rompi Mr. Weasley.
“Bolehkan aku tahu mengapa kau memutuskan untuk tidak melanjutkan
pendidikanmu?” kata Mrs. Weasley.
“Dumbledore menyuruhku untuk… melakukan sesuatu,” gumam Harry. “Ron
dan Hermione tahu dan ingin membantu.”
“’Sesuatu’ apa?”
“Maaf, aku tidak bisa…”
“Sejujurnya, menurutku, aku dan Arthur punya hak untuk tahu, dan aku yakin
Mr. dan Mrs. Granger juga!” kata Mrs. Weasley. Harry sudah bersiap-siap
dengan serangan orang tua yang merasa cemas. Ia memaksa dirinya untuk
melihat langsung ke mata Mrs. Weasley, yang langsung menyadari bahwa
matanya berwarna coklat seperti Ginny. Ini tidak membantu.
“Dumbledore tidak ingin orang lain tahu, Mrs. Weasley. Maafkan aku.
Ron dan Hermione tidak harus ikut bersamaku. Itu adalah pilihan
mereka sendiri…”
“Kupikir kau pun tidak harus pergi!” bentak Mrs. Weasley tidak lagi berpurapura. “Kau bahkan belum dewasa! Ini sama sekali tidak masuk akal. Jika
Dumbledore membutuhkan sesuatu, dia bisa menyuruh anggota Orde! Harry, kau
pasti sudah salah paham. Mungkin dia mengatakan apa yang ingin dia lakukan.
Namun kau mengartikannya sebagai apa yang dia ingin kau lakukan.”
“Aku tidak salah paham,” kata Harry datar. “Yang dia maksud pasti aku.”
Harry mengambil kaus kaki yang Mrs. Weasley pegang di belakang
punggungnnya. Kaus kaki berpola semak emas.
“Itu bukan milikku. Aku tidak mendukung Puddlemere United.”
“Oh, tentu tidak,” kata Mrs. Weasley yang sudah kembali dengan nada
biasanya. “Seharusnya aku tahu. Harry, selama kau di sini, apakah kau tidak
keberatan bila membantu persiapan pesta pernikahan Bill dan Fleur? Begitu
banyak hal yang harus dipersiapkan.”
“Tidak – aku – tentu saja tidak,” kata Harry yang kebingungan dengan
pergantian topik pembicaraan yang tiba-tiba.
“Bagus sekali,” jawabnya sambil tersenyum kemudian meninggalkan Harry di
dapur.
Selanjutnya, Mrs. Weasley membuat Harry, Ron, dan Hermione sibuk dengan
persiapan pesta pernikahan sehingga mereka tidak punya waktu untuk berpikir.
Alasan Mrs. Weasley adalah untuk mengalihkan perhatian mereka dari
kesedihan mengenang Mad-Eye dan dari perjalanan mencekam yang telah
mereka lalui. Setelah dua hari tanpa henti membersihkan, mencocokkan warna
pita dan bunga, membersihkan jembalang dari kebun, dan membantu Mrs.
Weasley memasak canapé** yang sangat banyak, Harry menebak ada alasan
lain. Semua pekerjaan ini ditujukan agar Harry, Ron, dan Hermione tidak punya
waktu untuk berkumpul dan berbicara sejak malam ia tiba di sini, saat ia
bercerita tentang Voldemort yang sedang menyiksa Ollivander.
“Mum pikir dia bisa mencegahmu pergi atau menyusun rencana. Paling tidak dia
pikir dia bisa memperlambat keberangkatanmu,” bisik Ginny saat mereka
menyiapkan meja makan pada malam ketiga.
“Lalu dia pikir apa yang akan terjadi?” bisik Harry. “Akan ada orang lain
yang akan membunuh Voldemort sementara di sini dia menyuruh kami untuk
membuat vol-auvents***?”
Harry bicara begitu saja tanpa sempat berpikir dan melihat wajah Ginny yang
memucat.
“Jadi benar?” katanya. “Itu yang akan kau lakukan?”
“Aku – tidak – aku hanya bercanda,” elak Harry.
Mereka saling berpandangan. Dan Harry melihat tidak hanya ekspresi
terkejut yang ada di wajah Ginny. Tiba-tiba Harry menyadari bahwa ini
pertama kalinya ia bisa berduaan dengan Ginny sejak masa-masa di Hogwarts.
Harry yakin bahwa Ginny juga mengenangnya. Keduanya terkejut saat pintu
terbuka dan Mr. Weasley, Kingsley, dan Bill masuk.
Akhir-akhir ini para anggota Orde sering datang untuk makan malam bersama.
Karena the Burrow telah menggantikan Grimmauld Place nomor dua belas
sebagai markas Orde. Mr. Weasley menjelaskan bahwa setelah kematian
Dumbledore setiap orang yang tahu tentang Grimmauld Place menjadi Penjaga
Rahasia. “Dan kurang lebih ada dua puluhan orang, itu melemahkan Mantra
Fidelius. Ada dua puluh orang yang bisa dikorek rahasianya oleh Pelahap Maut.
Dan kami yakin Mantra itu tidak bisa bertahan lama.”
“Berarti Snape bisa memberitahukan alamat itu ke seluruh Pelahap Maut?”
tanya Harry.
“Tenang saja, Mad-Eye sudah menyiapkan beberapa hal untuknya kalau dia
berani kembali ke sana. Semoga saja bisa menahannya bila dia akan bicara,
tapi siapa tahu. Tetap saja gila kalau kami tetap menggunakan tempat itu
sebagai markas, saat perlindungannya tidak lagi stabil.”
Malam itu dapur penuh sesak, bahkan sulit untuk bisa menggerakkan pisau dan
garpu. Harry duduk berdesakan di sebelah Ginny. Mereka saling diam
mengingat hal tadi, dan membuat Harry berharap ada beberapa orang yang
duduk di antara mereka. Bahkan Harry berusaha untuk tidak menyentuh
tangan Ginny saat ia berusaha memotong ayamnya.
“Ada berita tentang Mad-Eye?” Harry bertanya pada Bill.
“Tidak,” jawab Bill.
Mereka tidak bisa memakamkan Mad-Eye karena Bill dan Lupin tidak bisa
menemukan mayat Mad-Eye. Sulit menentukan di mana ia jatuh bila saat itu
gelap dan semua sedang sibuk bertarung.
“Daily Prophet tidak menyebutkan tentang kematian atau adanya penemuan
mayat,” lanjut Bill. “Tapi memang berita agak sepi akhir-akhir ini.”
“Dan mengapa Kementrian belum mengadakan sidang untuk penggunaan sihir
pada penyihir di bawah umur, yang aku gunakan saat melawan Pelahap Maut?”
tanya Harry pada Mr. Weasley yang ada di seberang meja, yang langsung
menggelengkan kepalanya. “Karena mereka tahu aku tak punya pilihan atau
mereka tidak ingin mendengar cerita saat Voldemort menyerangku?”
“Sepertinya Scrimgeour tidak ingin mengakui kekuatan Kau-Tahu-Siapa, seperti
kejadian pelarian besar-besaran dari Azkaban.”
“Ya, mengapa harus memberitahu yang sebenarnya pada semua orang?” kata
Harry yang menggenggam pisaunya begitu kuat sehingga bekas luka di tangan
kanannya terlihat jelas. ’Aku tidak boleh berbohong’.
“Apakah orang-orang di Kementrian tidak ingin melawannya?” kata Ron marah.
“Tentu saja, Ron, tapi orang-orang juga ketakutan,” jawab Mr. Weasley,
“takut bila mereka yang akan hilang selanjutnya, atau anak-anak mereka
yang akan diserang. Banyak isu-isu mengerikan yang beredar. Aku sendiri
tidak percaya bila profesor pengajar Telaah Muggle telah mengundurkan
diri dari Hogwarts. Sudah bermingguminggu aku tidak bertemu dengan
Charity. Sedangkan Scrimgeour mengunci diri di dalam kantornya, semoga
saja dia sedang melakukan sesuatu.”
Semua berhenti saat Mrs. Weasley menghilangkan sisa-sisa makanan dan
menyajikan tart apel.
“Kau harus memutuskan kau akan berpura-pura menjadi siapa, “Arry,” kata
Fleur saat tiap orang sedang menyantap puding. “Saat pernika’an nanti,”
tambahnya saat melihat Harry kebingungan. “Tentu tidak akan ada Pela’ap
Maut, tapi bisa saja ada seseorang yang kelepasan bicara setelah mereka
minum banyak champagne.”
Harry merasa bahwa Fleur masih mencurigai Hagrid.
“Benar juga,” kata Mrs. Weasley dari ujung meja yang sedang duduk dan
menggunakan kacamatanya saat memeriksa daftar pekerjaan yang sudah
ditulisnya pada sehelai perkamen panjang. “Ron, sudahkah kau merapikan
kamarmu?”
“Mengapa?” tuntut Ron sambil menjatuhkan sendok dan menatap ibunya.
“Mengapa aku harus merapikan kamarku? Aku dan Harry tidak ada masalah
dengan itu!”
“Saudaramu akan menikah beberapa hari lagi, anak muda.”
“Memangnya mereka akan menikah di kamarku?” tanya Ron marah. “Tidak,
kan! Dan demi keriput Merlin…”
“Jangan berkata seperti itu pada ibumu!” kata Mr. Weasley. “Dan lakukan
apa yang diperintahkan.”
Ron memandangi orang tuanya penuh rasa sebal, mengangkat
sendoknya dan menyendokkan sesendok penuh tart apel ke dalam
mulutnya.
“Akan kubantu, aku juga membuat berantakan,” kata Harry pada Ron, tapi Mrs.
Weasley melarangnya.
“Jangan, Harry, sayang, lebih baik kau membantu Arthur membersihkan
kandang ayam. Dan Hermione, aku akan sangat berterima kasih bila kau mau
mengganti seprai untuk Monsieur dan Madame Delacour. Mereka akan datang
besok pukul sebelas pagi.”
Tapi ternyata tidak banyak yang bisa dilakukan dengan kandang ayam.
“Jangan bilang-bilang pada Molly,” kata Mr. Weasley pada Harry sambil
menutupi kandang ayam, “Ted Tonks mengirimi aku apa yang tersisa dari motor
Sirius dan, er, aku menyembunyikan – menyimpannya – di sini. Barang yang
fantastis. Mesin aki, kalau tidak salah, sebuah batere yang luar biasa. Dan aku
juga ingin tahu bagaimana cara kerja rem. Aku akan mencoba untuk
merangkainya kembali saat Molly tidak – maksudku, saat aku punya waktu.”
Saat mereka kembali ke rumah, Mrs. Weasley tidak terlihat di mana pun, Harry
langsung naik ke kamar Ron.
“Akan kulakukan! Akan kula – Oh, kau,” kata Ron lega saat Harry memasuki
kamar. Ron kembali berbaring di tempat tidurnya. Ruangan itu masih tetap
berantakan. Perbedaannya hanyalah bahwa saat ini Hermione sedang duduk di
pojok ruangan, kucingnya yang berbulu kecoklatan, Crookshank, melingkar di
kakinya. Hermione sedang memilah buku, beberapa diantaranya Harry kenal
sebagai bukunya, menjadi dua tumpuk.
“Hai, Harry,” katanya, saat Harry duduk di kasur lipat.
“Bagaimana kau bisa melarikan diri?”
“Oh, ibu Ron lupa bahwa dia sudah pernah menyuruhku dan Ginny mengganti
seprai kemarin,” kata Hermione sambil menaruh buku Numerology and
Grammatica ke satu tumpukan dan The Rise and Fall of the Dark Arts ke
tumpukan yang lain.
“Kami baru saja membicarakan Mad-Eye,” Ron memberitahu Harry.
“Menurutku dia masih hidup.”
“Tapi Bill melihatnya terkena Kutukan Kematian,” kata Harry.
“Tapi saat itu Bill juga sedang diserang,” kata Ron. “Bagaimana dia bisa yakin
dengan apa yang dia lihat?”
“Walau Mad-Eye tidak terkena Kutukan Kematian, dia jatuh dari ketinggian
ribuan meter,” kata Hermione yang memegang Quidditch Teams of Britain
and Ireland.
“Bisa saja dia menggunakan Mantra Pelindung.”
“Fleur bilang tongkatnya terlepas dari tangannya,” kata Harry.
“Baiklah, kalau kalian ingin dia mati,” kata Ron galak. Ia meninju
bantalnya agar bentuknya lebih nyaman.
“Tentu saja kami tidak ingin dia mati!” kata Hermione terkejut. “Mengerikan
saat tahu dia mati! Tapi kita harus bersikap realistis!”
Untuk pertama kalinya Harry membayangkan Mad-Eye yang tergeletak mati
seperti Dumbledore, hanya saja mata sihirnya masih tetap berdesing dalam
matanya. Anehnya, Harry mendadak ingin tertawa.
“Mungkin Pelahap Maut membawanya bersama mereka, hanya itu alasan
mengapa mayatnya tidak ditemukan,” kata Ron bijak.
“Ya,” kata Harry. “Seperti Barty Crouch yang tiba-tiba ditemukan tinggal
tulang dan dikubur di kebun Hagrid. Mungkin saja mereka mentrasfigurasi
Mad-Eye dan memasukkanya…”
“Cukup!” pekik Hermione. Terkejut, Harry melihat air matanya menetes
membasahi Kamus Spellman’s Syllabary.
“Oh,” kata Harry berusaha berdiri dari kasur lipat tuanya. “Hermione,
aku tidak bermaksud…”
Tapi, diiringi derak keras dari per kasur yang berkarat, Ron mendahuluinya.
Satu tangan memeluk Hermione, dan tangan lain berusaha mengambil
saputangan yang baru ia gunakan untuk membersihkan oven dari saku jeansnya.
Dengan tergesa-gesa mengeluarkan tongkatnya dan menunjuk ke arah
saputangan dan berkata, “Tergeo.”
Tongkatnya menghapus kotoran. Ron terlihat cukup puas dan memberikan
saputangan yang masih berasap ke Hermione.
“Oh… terima kasih, Ron… maaf…” ia membersit hidungnya dan terisak.
“Sungguh mengeri-kan, ya. Tepat setelah Dumbledore… aku ti-tidak pepernah membayangkan Mad-Eye meninggal, dia begitu tangguh!”
“Ya, aku tahu,” kata Ron mempererat pelukannya. “Tapi kau tahu apa yang
akan dikatakannya kalau dia ada di sini.”
“’Te-tetap waspada’,” kata Hermione sambil mengusap matanya.
“Benar,” angguk Ron. “Dia pasti menyuruh kita untuk belajar atas apa yang telah
terjadi padanya. Dan yang telah aku pelajari adalah jangan pernah percaya pada
si pengecut Mundungus.”
Hermione tertawa gemetar lalu mengambil dua buku lain. Beberapa saat
kemudian Ron melepaskan pelukannya saat Hermione menjatuhkan The Monster
of Monsters di kakinya. Buku itu terlepas dari ikatannya dan langsung menggigit
pergelangan kaki Ron.
“Maaf, maaf!” kata Hermione saat Harry berusaha melepaskan buku itu dari
kaki Ron dan mengikatnya kembali.
“Apa yang kau lakukan dengan buku-buku itu?” tanya Ron sambil berjalan
timpang ke arah tempat tidur.
“Memilah buku mana yang harus kita bawa,” kata Hermione, “saat kita mencari
Horcrux.”
“Oh, tentu saja,” kata Ron sambil menepukkan tangannya ke dahi. “Aku lupa
bahwa kita
akan mengejar Voldemort dengan perpustakaan berjalan.”
“Ha, ha,” kata Hermione yang masih melihat Kamus Spellman' Syllbary. “Apa
nanti kita akan mengartikan huruf Rune? Mungkin saja… aku rasa lebih baik aku
membawanya, untuk berjaga-jaga.”
Ia meletakkannya ke tumpukan yang lebih besar dan mengambil buku
History of Hogwarts.
“Dengar,” kata Harry.
Ia duduk tegak. Ron dan Hermione menatapnya dengan mimik yang sama dan
juga
menantang.
“Aku tahu, saat pemakaman Dumbledore, kalian berkata ingin ikut pergi
bersamaku,”
Harry memulai.
“Dia mulai lagi,” kata Ron sambil memutar matanya.
“Seperti yang kita duga,” desah Hermione yang kembali sibuk dengan buku-buku.
“Sepertinya aku akan membawa Sejarah Hogwarts. Walau kita tidak akan
kembali ke
sana, rasanya aneh bila tidak…”
“Dengarkan aku!,” kata Harry lagi.
“Tidak, Harry, kau yang harus dengar,” kata Hermione. “Kami akan pergi
bersamamu. Dan sudah diputuskan seperti itu berbulan-bulan – bertahun-tahun
yang lalu, bahkan.” “Tapi…” “Diamlah,” kata Ron menyarankan. “… apa kalian
sudah benar-benar memikirkannya?” Harry berkeras. “Dengar,” kata Hermione
yang membanting buku Travels with Trolls ke tumpukan buku
yang tidak terpakai sambil menatap tajam. “Aku sudah berkemas sejak berharihari yang lalu, jadi kita bisa langsung pergi begitu waktunya tiba, dan agar kau
tahu aku sudah melakukan sihir yang sulit untuk mempersiapkannya, bahkan aku
menyelundupkan semua simpanan Ramuan Polijus milik Mad-Eye di bawah hidung
ibu Ron.
“Aku juga sudah memodifikasi ingatan orang tuaku sehingga mereka mengira
bahwa mereka adalah Wendell dan Monica Wilkins, dan ambisi hidup mereka
adalah pindah ke Australia, dan di sanalah mereka sekarang. Aku melakukan itu
untuk mencegah Voldemort mencari dan mengintrogasi mereka tentang aku,
atau kau – aku bercerita sedikit banyak bercerita tentangmu.
“Berharap kita akan selamat setelah mencari Horcrux, aku akan mencari Mum
dan Dad dan menghapus sihirnya. Bila tidak – aku sudah melakukannya dengan
baik sehingga mereka akan tetap aman dan bahagia. Kau tahu, Wendell dan
Monica Wilkins tidak tahu kalau mereka punya seorang putri.”
Mata Hermione bergelimang air mata lagi. Ron berdiri dari kasur dan
meletakkan tangannya di pundak Hermione lagi dan mengerutkan dahinya pada
Harry memintanya bersikap bijaksana. Harry tidak bisa berkata apa-apa,
karena tidak biasanya Ron mengajari seseorang tentang kebijaksanaan.
“Aku – Hermione, aku minta maaf – aku tidak…”
“Tidak sadar bahwa Ron dan aku tahu apa yang akan terjadi bila ikut pergi
denganmu? Kami tahu Harry. Ron, tunjukkan pada Harry apa yang telah kau
lakukan.”
“Jangan, Harry baru saja makan,” kata Ron.
“Ayo, Harry harus tahu!”
“Oh, baiklah. Harry kemari.”
Lalu Ron menarik tangannya lagi dari pundak Hermione dan berjalan ke arah
pintu.
“Ayo.”
“Mengapa?” tanya Harry sambil mengikuti Ron keluar kamar.
“Descendo,” gumam Ron mengarahkan tongkatnya ke langit-langit rendah.
Sebuah lubang membuka tepat di atas kepala mereka, dan sebuah tangga
meluncur turun tepat ke kaki mereka. Terdengar suara setengah menghisap,
setengah mengerang yang mengerikan keluar dari lubang itu, bersamaan dengan
bau yang tidak enak.
“Itu ghoulmu, kan?” tanya Harry yang sebenarnya tidak pernah melihat
makhluk yang terkadang mengganggu ketenangan malam.
“Iya,” kata Ron menaiki tangga. “Kemari dan lihat dia.”
Harry mengikuti Ron menaiki beberapa anak tangga ke loteng. Kepala dan
pundaknya masuk dan saat ia melihat sesuatu yang bergelung beberapa meter
darinya, tertidur dengan mulut terbuka lebar.
“Tapi… itu… Apa ghoul biasanya memakai piyama?”
“Tidak,” kata Ron. “Mereka juga biasanya tidak berambut merah atau
bernanah.”
Harry memerhatikannya dan merasa jijik. Makhluk itu berbentuk dan
berukuran seperti manusia dan memakai, sekarang mata Harry mulai bisa melihat jelas di kegelapan, piyama tua milik Ron. Setahu Harry, ghoul tidak
memiliki rambut dan berkulit polos, bukannya memiliki rambut dan dipenuhi
bisul keunguan.
“Itu aku, mengerti?” kata Ron.
“Tidak,” kata Harry. “Aku tidak mengerti.”
“Akan kujelaskan di kamar, aku tidak tahan baunya,” kata Ron. Mereka menuruni
tangga, menutup langit-langit, dan kembali bergabung dengan Hermione yang
masih memilah buku.
“Saat kita pergi, ghoul itu akan tinggal di kamarku,” kata Ron. “Aku rasa dia
akan senang
– tapi, entahlah, dia hanya bisa mengerang dan berliur – tapi, mengangguk
terus-terusan saat aku tawarkan itu padanya. Dia akan menjadi aku yang
sedang terkena spattergoit. Bagus, kan?”
Harry menatapnya kebingungan.
“Aduh!” kata Ron kesal saat Harry tidak mengerti ide brilian ini. “Dengar, saat
kita tidak kembali ke Hogwarts, mereka akan berpikir aku dan Hermione juga
pergi bersamamu, kan? Itu artinya para Pelahap Maut akan langsung menyerang
orang tua kami untuk mencari informasi tentang di mana dirimu.”
“Tapi semoga saja mereka akan mengira bahwa aku pergi bersama Mum dan Dad.
Banyak anak kelahiran Muggle yang pergi untuk bersembunyi untuk beberapa
saat,” kata Hermione.
“Dan, tidak mungkin menyembunyikan seluruh keluargaku, terlalu mencurigakan
dan mereka juga harus pergi bekerja,” kata Ron. “Jadi, aku membuat cerita
bahwa aku sakit parah karena terkena spattergoit sehingga aku tidak bisa
kembali ke sekolah. Bila ada yang datang dan ingin cari tahu, Mum atau Dad
akan menunjukkan ghoul di atas tempat tidurku, berselimut, dan penuh dengan
bisul bernanah. Spattergoit sangat menular. Jadi tidak akan ada yang berani
mendekatinya. Tidak masalah kalau nantinya ghoul itu tidak bisa berbicara, kau
sendiri tidak akan bisa bicara kalau lidahmu dipenuhi jamur.”
“Dan orang tuamu tahu rencanamu ini?” tanya Harry.
“Dad tahu. Dia bahkan membantu Fred dan George membentuk ghoul itu.
Mum… kau tahu kan dia seperti apa. Mum nantinya akan tahu saat kita sudah
pergi.”
Semua terdiam, hanya terdengar suara buku yang bertumbukan saat Hermione
terus menumpuk buku-buku itu. Ron memperhatikan Hermione. Harry
memperhatikan keduanya dan tidak bisa berkata apa-apa. Apa yang telah
mereka lakukan untuk melindungi keluarga mereka telah menyadarkan Harry.
Mereka telah memperhitungkan segalanya untuk bisa pergi bersama dengan
Harry dan mereka benar-benar tahu bahaya apa yang akan mereka hadapi.
Harry ingin mengatakan betapa berartinya hal itu tapi ia tidak dapat
menemukan kata-kata yang sebanding.
Dalam kesunyian terdengar suara teriakan Mrs. Weasley dari empat lantai di
bawah.
“Mungkin Ginny meninggalkan setitik noda di cincin serbet,” kata Ron. “Aku
tidak tahu mengapa keluarga Delacour harus datang dua hari sebelum pesta
pernikahan.”
“Saudara Fleur akan menjadi pendamping, jadi dia harus ada saat latihan, dan
dia masih terlalu kecil untuk bisa pergi sendirian,” kata Hermione yang raguragu untuk menentukan Break with a Banshee.
“Datangnya tamu tidak akan meringankan ketegangan Mum,” kata Ron.
“Yang harus kita pikirkan adalah,” kata Hermione yang langsung melempar
Defensive Magical Theory ke dalam tempat sampah dan mengambil An
Appraisal of Magical Education in Europe, “ke mana kita akan pergi. Aku tahu
kau ingin pergi ke Godric Hollow, Harry, dan aku tahu mengapa, tapi…
bukankah prioritas kita adalah mencari Horcrux?”
“Kalau kita tahu di mana Horcrux itu, aku setuju,” kata Harry yang tidak
percaya bahwa Hermione benar-benar mengerti tentang keinginan Harry untuk
pergi ke Godric Hollow. Ia merasa makam orang tuanya akan memberi banyak
petunjuk. Mungkin karena di sanalah tempat saat ia bertahan dari Kutukan
Kematian Voldemort. Kini Harry akan mengingat kejadian malam itu, saat ia
kembali ke sana untuk mencari tahu.
“Apa Voldemort akan mengawasi Godric Hollow?” tanya Hermione. “Bisa saja dia
mengira kau akan kembali dan mengunjungi makam orang tuamu begitu kau
bebas untuk pergi, kan?”
Harry tidak pernah memikirkannya. Saat Harry mencari argumen untuk
melawan, Ron bicara.
“R.A.B. itu,” katanya. “orang yang sudah mencuri liontin asli, kan?”
Hermione mengangguk.
“Dia bilang kalau dia akan menghancurkannya, kan?”
Harry menarik ranselnya dan mengeluarkan Horcrux palsu yang di dalamnya ada
catatan dari R.A.B.
“’Aku telah mengambil Horcrux asli dan aku akan menghancurkannya secepat
mungkin’,” baca Harry. “Bagaimana kalau pria itu berhasil menghancurkannya?”
kata Ron. “Bisa saja wanita,” potong Hermione.
“Terserah,” kata Ron, “itu artinya sudah ada satu yang hancur!”
“Ya, tapi tetap saja kita harus mencari liontin yang asli, kan?” kata Hermione.
“Untuk
memastikan apakah liontin itu sudah benar-benar hancur.”
“Dan saat kita menemukannya, bagaimana cara kita menghancurkan Horcrux?”
tanya Ron.
“Aku,” kata Hermione, “masih mencari tahu.”
“Bagaimana caranya?” tanya Harry. “Memangnya ada buku tentang Horcrux di
perpustakaan?”
“Tidak ada,” kata Hermione yang langsung bersemu. “Dumbledore
menyingkirkannya,
tapi tidak menghancurkannya.”
Ron langsung duduk tegak, matanya melebar.
“Demi celana Merlin! Bagaimana kau bisa menemukan buku itu?”
“Yang pasti aku tidak mencurinya!” kata Hermione. “Kan masih menjadi milik
perpustakaan walau Dumbledore menyingkirkannya dari rak. Lagipula, kalau dia
tidak
ingin seseorang menemukannya, aku yakin dia akan…”
“Intinya?” kata Ron tidak sabar.
“Yah, mudah sebenarnya,” kata Hermione, suaranya mengecil. “Aku memakai
Mantra
Pemanggil. Kau tahu – accio – dan langsung terbang dari jendela ruang baca
Dumbledore.”
“Tapi kapan kau melakukannya?” tanya Harry yang memandang Hermione penuh
rasa
kagum dan tidak percaya.
“Tepat setelah – pemakaman – Dumbledore,” kata Hermione dalam suara yang
makin
mengecil. “Tepat setelah kita setuju akan mencari Horcrux dan meninggalkan
sekolah.
Saat aku kembali ke atas untuk mengambil barang-barang, aku yakin semakin
kita tahu
banyak tentang Horcrux… aku sendirian saat itu… jadi aku coba… dan berhasil.
Buku
itu terbang langsung ke kamarku, dan aku membawanya.”
Hermione menelan ludah, “Aku yakin Dumbledore tidak akan marah, kita
tidak akan membuat Horcrux, kan?”
“Memangnya kami marah?” kata Ron. “Di mana buku itu?”
Hermione terdiam ragu lalu menunjukkan sebuah buku besar bersampul
hitam yang judulnya sudah memudar. Hermione tampak mual dan
memeganginya seakan buku itu adalah sesuatu yang mengerikan.
“Buku ini menjelaskan tentang instruksi bagaimana cara membuat Horcrux.
Secrets of the Darkest Art – buku yang mengerikan, benar-benar menakutkan,
penuh dengan sihir jahat. Aku ingin tahu kapan Dumbledore menyingkirkannya
dari perpustakaan… bila dia baru melakukannya saat dia menjadi kepala sekolah,
aku yakin Voldemort mendapatkan semua yang dia butuhkan dari buku ini.”
“Kalau begitu mengapa dia bertanya pada Slughorn bagaimana cara membuat
Horcrux kalau dia sudah tahu?” tanya Ron.
“Dia hanya bertanya apa yang terjadi bila kau membagi jiwamu menjadi tujuh
bagian,” kata Harry. “Dumbledore yakin bahwa Riddle sudah tahu bagaimana
cara membuat Horcrux saat dia bertanya pada Slughorn. Aku rasa kau benar
Hermione.”
“Semakin aku membacanya,” kata Hermione, “semakin mengerikan, dan semakin
aku tidak percaya kalau dia sudah membuat enam Horcrux. Diperingatkan dalam
buku bagaimana jiwamu menjadi begitu rapuh, bahkan bila kau hanya membuat
satu Horcrux!”
Harry teringat Dumbledore saat ia berbicara tentang kelakuan Voldemort yang
lebih dari kejahatan biasa.
“Apa tidak ada cara menyatukannya kembali?” tanya Ron.
“Ada,” kata Hermione tersenyum tipis, “tapi akan sangat menyakitkan.”
“Bagaimana caranya?” tanya Harry.
“Penyesalan,” kata Hermione. “Kau harus benar-benar merasa menyesal atas
perbuatan itu. Di sini juga ditulis bahwa bahkan rasa sakitnya akan
membawamu pada kehancuran. Aku rasa Voldemort tidak akan melakukannya,
kan?”
“Tidak kata Ron, mendahului Harry. “Apa juga dikatakan tentang
bagaimana menghancurkan Horcrux?”
“Ya,” kata Hermione sambil membalik halaman yang rapuh itu hati-hati,
“dikatakan bahwa saat kau menanamkan Horcrux, diperlukan banyak sihir
untuk melindunginya. Dan menurutku, bagaimana cara Harry menghancurkan
diary Riddle adalah salah satu dari beberapa cara yang ada.”
“Apa? Menikamnya dengan taring Basilisk?”
“Wah, beruntung sekali! Kita punya setumpuk taring Basilisk di sini,” kata
Ron. “Aku sampai bingung apa yang harus kulakukan terhadapnya.”
“Tidak harus dengan taring Basilisk,” kata Hermione sabar. “Yang penting
cukup merusak sehingga Horcrux tidak dapat memperbaikinya. Racun
Basilisk hanya punya satu penawar, dan sangat jarang…”
“… air mata phoenix,” kata Harry mengangguk.
“Tepat,” kata Hermione. “Masalahnya adalah hanya ada sedikit barang yang
seampuh racun Basilisk, dan pasti berbahaya untuk di bawa ke mana-mana. Itu
adalah salah satu masalah yang harus kita pecahkan. Karena merobek,
memukul, dan membanting tidak akan ada pengaruhnya pada Horcrux. Kau
harus melakukan sesuatu yang tidak bisa dibenahi dengan sihir.”
“Tapi bahkan bila kita sudah bisa merusak inangnya,” kata Ron, “mengapa
potongan jiwa itu tidak bisa pindah ke inang lain?”
“Karena Horcrux tidak seperti nyawa.”
Melihat Ron dan Harry kebingungan, Hermione melanjutkan, “Bila aku
mengambil sebilah pedang dan langsung menikamkannya padamu, Ron, aku
tidak akan merusak jiwamu sama sekali.”
“Sungguh menenangkan,” kata Ron.
Harry tertawa.
“Sungguh! Maksudku, apapun yang terjadi pada tubuhmu, jiwamu tidak akan
tersentuh,” kata Hermione. “Tapi berbeda dengan Horcrux. Potongan jiwa itu
sangat tergantung pada inangnya, tubuh tiruannya, agar bisa bertahan. Jiwa itu
hanya bisa tetap ada bila inangnya tidak rusak.”
“Diary itu seperti mati saat aku menikamnya,” kata Harry, mengingat tinta yang
mengalir seperti darah dari lembaran-lembaran halamannya, dan teriakan
kesakitan dari potongan jiwa Voldemort.
“Dan saat diary itu benar-benar hancur, potongan jiwa yang ada di dalamnya
tidak dapat lagi bertahan. Ginny sudah mencoba menghancurkannya
sebelumnya. Mencoba membuangnya ke toilet, tapi, jelas, buku itu kembali
seperti baru.”
“Tunggu,” kata Ron kaku. “Potongan jiwa itu mempengaruhi Ginny kan?
Bagaimana caranya?”
“Saat keadaan sang inang masih utuh, potongan jiwa di dalamnya bisa saja
berpindah dari satu orang ke orang lain yang terlalu dekat dengan sang inang.
Bukan hanya memegangnya terlalu lama,” tambah Hermione sebelum Ron
berbicara. “Maksudku dekat secara emosional. Ginny menumpahkan semua
perasaannya pada diary itu dan membuat dirinya jadi mudah diserang. Kau dalam
masalah besar jika kau terlalu bergantung pada Horcrux.”
“Aku ingin tahu bagaimana Dumbledore menghancurkan cincin itu,” kata
Harry. “Mengapa dulu aku tidak bertanya? Aku tidak pernah…”
Kalimatnya tak terselesaikan. Harry berpikir segala hal yang seharusnya ia
tanyakan pada Dumbledore. Dan sejak meninggalnya sang kepala sekolah, Harry
merasa telah membuang banyak kesempatan untuk mencari tahu lebih banyak…
untuk mencari tahu segalanya…
Keheningan terpecah saat pintu kamar membuka dan membentur dinding dengan
suara keras. Hermione terkejut dan menjatuhkan buku Secrets of the Darkest
Art. Crookshank bersembunyi di bawah tempat tidur dan mendesis marah. Ron
melompat dari tempat tidur, mendarat di atas tumpukan bungkus Cokelat Kodok,
dan membenturkan kepalanya ke dinding. Dan, Harry spontan menarik
tongkatnya sebelum menyadari bahwa itu adalah Mrs. Weasley dengan rambut
berantakan dan wajahnya dipenuhi amarah.
“Maaf aku harus menghentikan pertemuan penting kalian,” katanya dengan
suara gemetar. “Aku yakin kalian butuh istirahat… tapi ada setumpuk
hadiah pernikahan memenuhi ruangan dan butuh dirapikan, dan aku merasa
bahwa kalian berniat akan membantu.”
“Oh, iya,” kata hermione ketakutan yang langsung berdiri dan membuat bukubuku yang ada di pangkuannya berjatuhan, “akan kami bantu… maaf…”
Dengan pandangan menderita Hermione yang menatap Harry dan Ron, langsung
berjalan mengikuti Mrs. Weasley keluar kamar.
“Aku merasa seperi peri rumah,” keluh Ron dengan suara rendah, masih
menggosaok kepalanya. “Tapi tanpa kepuasan bekerja. Secepat mungkin
pernikahan ini usai, semakin bahagia aku.”
“Ya,” kata Harry, “lalu kita tinggal mencari Horcrux… rasanya akan
seperti pergi berlibur saja.”
Ron baru mulai tertawa dan langsung berhenti saat melihat tumpukan hadiah
pernikahan yang menanti di kamar Mrs. Weasley.
Keluarga Delacour tiba keesokan pagi pukul sebelas. Harry, Ron, Hermione, dan
Ginny merasa sedikit kesal dengan kedatangan keluarga Fleur. Dengan wajah
sebal Ron kembali ke kamarnya untuk mengganti kaus kakinya agar lebih pantas
dan Harry diharuskan untuk merapikan rambutnya. Saat mereka semua tampak
lebih baik, mereka menunggu para tamu di halaman belakang.
Harry tidak pernah melihat tempat ini sebegitu rapi. Kuali berkarat dan sepatu
wellington tua yang biasanya memenuhi tangga teras belakang menghilang,
berganti dengan dua Semak Flutterby baru dalam pot besar yang berada di
kedua sisi pintu. Semak itu bergerak-gerak walau tidak ada hembusan angin,
memberi efek gerakan yang menarik. Ayam-ayam sudah disembunyikan, halaman
sudah disapau, dan rumput di kebun sudah dipotong, disiangi, dan dirapikan. Tapi
tetap saja Harry lebih suka saat rumput itu tumbuh tinggi dan ditinggali oleh
banyak jembalang.
Ia tidak tahu ada berapa banyak mantra perlindungan yang diberikan pada the
Burrow oleh baik anggota Orde ataupun Kementrian, yang membuat tidak
mungkin seseorang dapat masuk ke tempat itu dengan sihir. Mr. Weasley
telah berangkat untuk menjemput keluarga Delacour dari bukit terdekat, di
mana mereka akan tiba dengan Portkey. Terdengar suara tawa bernada tinggi mendekat yang ternyata adalah tawa Mr. Weasley sambil membawakan barang
bawaan dan menggandeng wanita cantik berambut pirang dalam jubah hijau
panjang, yang sepertinya adalah ibu Fleur.
“Maman!” teriak Fleur yang berlari menyambutnya, “Papa!”
Monsieur Delacour tidak semenarik istrinya. Ia pendek dan sangat gemuk
dengan janggut hitam kecil. Tapi, terlihat sangat ramah. Ia berjalan ke arah
Mrs. Weasley yang menggunakan boot berhak tinggi, dan langsung mencium
kedua pipinya dan membuat Mrs. Weasley bersemu.
“Kalian tak perlu repot,” katanya dengan suara dalam. “Fleur bercerita
bagaimana kalian berusa’a keras di sini.”
“Oh, tidak! Tidak!” seru Mrs. Weasley. “Sama sekali tidak repot!”
Ron melepaskan amarahnya dengan menendang jembalang yang bersembunyi
di balik pot Semak Flutterby.
“Mrs. Weasley!” kata monsieur Delacour, masih memegangi tangan Mrs.
Weasley dengan kedua tangannya yang gemuk. “Kami merasa ter’ormat bisa
datang saat kita mempersatukan keluarga kita! Mari kuperkenalkan pada
istriku, Apoline.”
Madame Delacour maju dan mencium pipi Mrs. Weasley juga.
“Enchantée,” katanya. “Suami Anda telah menceritakan banyak
cerita yang menyenangkan!”
Mr. Weasley tertawa lagi. Mrs. Weasley langsung memberi tatapan yang
membuatnya langsung terdiam.
“Dan tentu kau sudah bertemu dengan putri kecil kami, Gabrielle!” kata
Monsieur Delacour. Gabrielle adalah miniatur Fleur, sebelas tahun, dengan
rambut pirang keperakan sepanjang pinggang, yang langsung memberi
senyuman mempesona dan memeluk Mrs. Weasley. Lalu ia menatap Harry
penuh kagum dan mengedip-kedipkan bulu matanya. Ginny berdeham keras.
“Ayo, ayo masuk!” kata Mrs. Weasley ceria sambil mengajak keluarga Delacour
masuk ke dalam rumah diiringi dengan “Tidak!” dan “Kalian dulu!” dan “Tidak
apa-apa!”
Keluarga Delacour ternyata tamu yang menyenangkan dan tidak menyusahkan.
Mereka tidak bermasalah dengan apa yang ada dan ingin bisa membantu
persiapan pernikahan. Monsieur Delacour membantu mempersiapkan dari menata letak kursi para tamu hingga sepatu pendamping pernikahan. “charmant!”
Madame Delacour yang ahli dengan mantra rumah tangga telah membersihkan
oven. Dan Gabrielle mengekor pada sudarinya mencoba membantu apa yang
sedang saudarinya lakukan dan berbicara cepat dalam bahasa Perancis.
Karena the Burrow dibangun tidak untuk menampung begitu banyak orang, Mr.
dan Mrs. Weasley akhirnya tidur di ruang duduk tapi diiringi dengan protes
keras dari Monsieur dan Madame Delacour yang tidak ingin memakai kamar
mereka. Gabrielle tidur bersama Fleur di kamar Percy dan Bill akan berbagi
dengan Charlie begitu Charlie kembali dari Rumania. Kesempatan untuk
menyusun rencana semakin kecil dan dalam keputusasaannya, Harry, Ron, dan
Hermione merelakan diri untuk memberi makan ayam hanya agar bisa keluar
dari rumah yang penuh sesak.
“Tapi Mum tetap mengikuti kita!” geram Ron yang sudah bertemu dua kali
dengan Mrs. Weasley di halaman sambil membawa-bawa sekeranjang besar
cucian.
“Oh, bagus, kalian memberi makan ayam,” katanya sambil datang mendekat.
“Lebih baik menyembunyikan mereka lagi sebelum orang-orang itu datang…
untuk mendirikan tenda pernikahan,” jelasnya. Ia tampak kelelahan. “Tenda
Sihir Millamant… mereka sangat bagus… Bill akan menemai mereka… sebaiknya
kau di dalam saja saat mereka di sini, Harry. Sungguh susah mengurus pesta
pernikahan dengan begitu banyak mantra perlindungan di sini.”
“Maaf,” kata Harry merasa bersalah.
“Oh, jangan bodoh, sayang!” kata Mrs. Weasley. “Aku tidak bermaksud –
yah, keamananmu lebih penting! Sebenarnya aku ingin bertanya
bagaimana kau akan merayakan ulang tahunmu, Harry. Tujuh belas
tahun, itu angka yang penting…”
“Aku tidak ingin macam-macam,” jawab Harry cepat, tidak ingin menambah
beban mereka. “Sungguh, Mrs. Weasley, makam malam biasa saja sudah cukup…
itu kan sehari sebelum pesta pernikahan…”
“Oh, baiklah, bila itu yang kau inginkan, sayang. Bagaimana kalau aku akan
mengundang Remus dan Tonks? Dan Hagrid?”
“Bagus sekali,” kata Harry. “Tapi tolong jangan sampai merepotkanmu.”
“Tidak, sama sekali tidak merepotkan...”
Mrs. Weasley menatapnya lama dan tersenyum sedih, berbalik lalu berjalan
menjauh. Harry melihatnya saat ia mengayunkan tongkatnya dan cucian
langsung terangakat ke udara dan menggantung sendiri di tali cucian. Tibatiba Harry merasa menyesal telah memberi begitu banyak beban dan
kesulitan pada Mrs. Weasley.
===================================
* Ghoul = semacam mayat hidup yang tidak memiliki intelegensi ** canapé =
adalah makanan kecil dari biskuit atau irisan kecil roti atau roti panggang yang
dipotong dalam beragam bentuk dan dihiasi beragam makanan, seperti keju,
daging, pure kentang, foie gras atau makanan lain *** vol-au-vent = kue ringan
yang berisi daging, ikan, dan lain-lain di dalam saus
Bab 7 The Will of Albus Dumbledore PENINGGALAN/WASIAT ALBUS
DUMBLEDORE
Harry berjalan di pegunungan yang dingin di bawah langit pagi yang gelap.
Jauh di bawahnya, sebuah kota kecil diselimuti kabut. Apakah pria itu ada di
bawah sana? Pria yang sangat ia butuhkan sampai ia tidak dapat memikirkan
hal yang lain. Pria yang tahu jawaban dari masalahnya…
"Oi, bangun."
Harry membuka matanya. Ia berbaring di atas kasur lipat di dalam kamar Ron.
Matahari belum lagi terbit dan ruangan itu masih gelap. Pigwidgeon masih
tertidur dengan kepala di bawah sayap kecilnya. Bekas luka di dahi Harry
terasa menusuk.
"Kau mengigau dalam tidurmu."
"Benarkah?"
"Ya. 'Gregorovitch'. Kau terus menerus mengucapkan 'Gregorovitch'."
Harry tidak memakai kacamatanya. Wajah Ron terlihat kabur.
"Siapa Gregorovitch?"
"Entahlah. Kan kau yang terus menyebutkannya."
Harry menggosok dahinya, berpikir. Ia merasa pernah mendengar nama itu
sebelumnya,
tapi entah kapan.
"Kurasa Voldemort sedang mencarinya."
"Pria malang," kata Ron.
Harry duduk, masih menggosok dahinya, benar-benar terjaga. Ia mencoba
untuk
mengingat apa yang ia lihat dalam mimpinya. Yang terlihat hanyalah
pegunungan dan
pedesaan kecil di lembah.
"Aku rasa dia ada di luar negeri."
"Siapa? Gregorovitch?"
"Voldemort. Aku rasa dia ada di luar negeri, mencari Gregorovitch. Karena tadi
tidak
seperti di Inggris."
"Sepertinya kau melihat ke dalam pikirannya lagi."
Ron terdengar khawatir.
"Tolong jangan beritahu Hermione," kata Harry. "Walau entah bagaimana cara
mencegah
melihat sesuatu dalam tidurku…"
Ia memandangi sangkar Pigwidgeon, berpikir… mengapa nama ‘Gregorovitch’
terasa
familiar?
"Aku rasa," kata Harry pelan, "ada hubungannya dengan Quidditch. Ada
hubungannya,
tapi aku... aku tidak tahu di mana."
"Quidditch?" kata Ron. "Maksudmu Gorgovitch?"
"Siapa?"
"Dragomir Gorgovitch, Chaser, dipindahkan ke Chuddley Cannons dua tahun lalu.
Pemegang rekor sebagai orang yang paling sering menjatuhkan Quaffle
dalam satu
musim.
"Bukan," kata Harry. "Aku tidak memikirkan Gorgovitch."
"Aku rasa juga bukan," kata Ron. "Oh, iya, selamat ulang tahun, Harry."
"Wow, benar, aku lupa! Aku sudah tujuh belas tahun!"
Harry mengambil tongkatnya yang tergeletak di samping tempat tidur,
mengarahkannya pada kacamata di atas meja dan berkata, "Accio kacamata!"
Walau hanya setengah meter jauhnya, ada rasa puas saat melihatnya terbang
dan menggantung di depan mata.
"Dasar," dengus Ron.
Merayakan atas 'hilangnya Pelacak', Harry membuat Ron melayang berputar di
dalam kamarnya, membangunkan Pigwidgeon yang ikut terbang di dalam
sangkarnya. Harry juga mencoba mengikat tali celana trainingnya dengan sihir
(butuh beberapa menit untuk melepaskan ikatannya). Dan, hanya bermaksud
untuk bersenang-senang, mengubah jubah jingga Chuddley Cannons milik Ron
menjadi biru cerah.
"Aku membungkusnya dengan tanganku," kata Ron terkikik saat Harry
melihat bungkusan. "Itu hadiah untukmu. Bukalah di sini, aku tidak ingin
Mum tahu."
"Buku?" tanya Harry yang sibuk dengan bungkusan berbentuk kotak. "Tidak
seperti biasanya."
"Itu bukan buku biasa," kata Ron. "Benar-benar berguna. Twelve Fail-Safe
Ways to Charm Witches. Menjelaskan semua yang kau perlukan tentang para
gadis. Seandainya aku memilikinya tahun lalu. Sekarang aku tahu bagaimana
cara putus dengan Lavender dan memulai dengan… Fred dan George
membelikannya untukku, dan aku belajar banyak. Kau akan terkejut, ini tidak
bisa dikerjakan dengan tongkatmu."
Saat mereka sampai di dapur, mereka melihat setumpuk hadiah menunggu di
meja. Bill dan Monsieur Delacour telah menyelesaikan sarapan mereka
sementara Mrs. Weasley masih mengajak mereka mengobrol dari balik
penggorengannya.
"Arthur menyampaikan selamat ulang tahun padamu, Harry," kata Mrs.
Weasley, menatapnya. "Dia sudah berangkat bekerja, tapi dia pasti datang
saat makan malam. Hadiah kami ada di sana."
Harry duduk dan mengambil hadiah yang ditunjukkan dan membukanya. Di
dalamnya ada sebuah jam mirip seperti milik Ron yang ia dapatkan dari Mr. dan
Mrs. Weasley saat ulang tahun ketujuh belasnya. Terbuat dari emas dengan
bintang-bintang berputar di atasnya.
"Adalah tradisi untuk memberikan jam pada penyihir yang baru menginjak
dewasa," kata Mrs. Weasley, memperhatikan penuh rasa cemas dari balik panci.
"Itu bukan baru, tidak seperti milik Ron. Sebenarnya itu milik saudaraku,
Fabian, dan ia tidak begitu berhatihati menjaga barang-barangnya, bagian
belakangnya sedikit penyok, tapi…"
Ia tidak melanjutkan kalimatnya karena Harry telah berdiri dan memeluknya.
Harry mencoba menyalurkan semua yang tidak dapat diungkapkan dengan
kata-kata lewat pelukannya dan sepertinya Mrs. Weasley mengerti. Karena ia
langsung mengusap pipi Harry saat Harry melepaskan pelukannya, lalu
melambaikan tongkatnya tanpa sengaja dan menyebabkan daging asap di atas
penggorengan meloncat ke lantai.
"Selamat ulang tahun, Harry!" kata Hermione yang masuk ke dapur dan
menumpukkan hadiahnya di atas kado lainnya. "Tidak terlalu bagus, tapi
semoga kau suka. Apa yang kau berikan padanya?" tanya Hermione pada Ron
yang sepertinya tidak mendengarkan.
"Ayo buka hadiah dari Hermione!" kata Ron.
Hermione memberinya Sneakoscope baru. Hadiah lain berupa pisau cukur
otomatis dari Bill dan Fleur ("Ah, ini akan memberikan hasil ter’alus," Monsieur
Delacour meyakinkannya, "tapi kau ‘arus mengataknnya dengan jelas… atau kau
akan ke’ilangan banyak rambutmu…"), cokelat dari keluarga Delacour, dan
sekotak besar barang-barang terbaru dari Sihir Sakti Weasley dari Fred dan
George.
Harry, Ron, dan Hermione tidak bergabung di meja sarapan, sejak Madame
Delacour, Fleur, dan Gabrielle turun, dapur makin penuh sesak.
“Akan kurapikan untukmu,” kata Hermione senang, mengambil hadiah-hadiah
Harry saat mereka bertiga menuju ke atas, “aku hampir selesai berkemas,
tinggal menunggu celana kalian selesai dicuci.”
Pembicaraan mereka berhenti saat pintu terbuka di lantai ke dua.
“Harry, bisakah kau kemari sebentar?”
Ginny. Ron tiba-tiba berhenti, tapi Hermione menggandengnya dan
memaksanya untuk terus menaiki tangga. Harry mengikuti Ginny memasuki
ruangan, merasa gugup.
Harry tidak pernah masuk ke sini. Ruangan itu kecil tapi terang. Ada sebuah
poster besar band penyihir Weird Sister di dinding, dan sebuah potret Gwenog
Jones, kapten tim Quidditch Holyhead Harpies. Sebuah meja diletakkan di
dekat jendela. Dari sini terlihat kebun di mana ia pernah bermain Quidditch
bersama Ron dan Hermione, di mana sekarang berdiri sebuah tenda putih besar.
Bendera keemasan tepat ada di depan jendela kamar Ginny.
Ginny menatap wajah Harry, menarik nafas dalam, dan berkata, “Selamat
ulang tahun ketujuh belas.”
“Terima kasih.”
Ginny menatap Harry dalam-dalam, sedangkan Harry merasa sulit untuk
menatap balik, serasa melihat cahaya yang menyilaukan.
“Pemandangannya bagus,” kata Harry pelan, mengarah keluar jendela.
Ginny diam saja.
“Aku tidak tahu harus memberikan hadiah apa,” kata Ginny.
“Kau tidak perlu memberikan apa-apa.”
Ginny tidak peduli.
“Aku tidak tahu apa yang akan berguna untukmu. Sesuatu yang tidak terlalu
besar, agar dapat kau bawa.”
Harry mencoba memandang wajah Ginny. Tidak tampak air mata di sana.
Itu adalah salah satu hal luar biasa dari Ginny, ia jarang menangis. Mungkin
mempunyai enam orang kakak laki-laki membuatnya tangguh.
Ginny meju selangkah mendekati Harry.
“Lalu aku pikir, lebih baik memberikan sesuatu yang bisa kau kenang. Kau tahu,
bila kau bertemu Veela saat perjalananmu nanti.”
“Jujur saja, kecil kemungkinan untuk berkencan.”
“Ada sebuah garis perak yang aku cari,” bisik Ginny yang lalu mencium Harry
seperti ia tak pernah menciumnya, dan Harry membalasnya. Dan ini adalah
sebuah kebahagiaan yang tak terlupakan, jauh lebih baik dari Firewhisky. Ia
adalah hal yang paling penting di dunia ini, Ginny, merasakannya, satu tangan
memeluk punggungnya dan tangannya lain membelai rambutnya yang panjang,
harumnya manis…
Pintu tiba-tiba terbuka lebar dan mereka melompat berpisah.
“Oh,” kata Ron. “Maaf.”
“Ron!” desis Hermione yang ada tepat di belakangnya. Ada ketegangan di antara
mereka, lalu Ginny berkata dengan nada datar, “Selamat ulang tahun, Harry.”
Telinga Ron memerah, Hermione tampak gelisah. Ingin rasanya Harry
membanting pintu di depan muka mereka. Rasanya ada cairan dingin masuk
mengaliri ruangan saat pintu terbuka tadi, dan masa-masa indah Harry pecah
seperti gelembung sabun. Segala alasan untuk putus dari Ginny, untuk menjaga
jarak darinya, sepertinya semua alasan itu tidak terbukti.
Harry menatap Ginny, ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu apa, tapi Ginny
terlanjur membalikkan tubuhnya. Harry mengira Ginny akan menangis, dan
Harry tidak bisa menenangkannya di depan Ron.
“Sampai jumpa,” kata Harry keluar ruangan diikuti dua sahabatnya.
Ron turun, melewati dapur yang masih kacau, dan terus menuju halaman
belakang, dan Harry terus mengikutinya, Hermione mengekor di belakang
terlihat ketakutan.
Saat mereka tiba di ujung halaman belakang yang rumputnya barus saja
dipotong, Ron berbalik menghadap Harry.
“Kau telah mencampakkannya. Lalu apa yang kau lakukan
barusan? Mempermainkannya?”
“Aku tidak mempermainnkanya,” kata Harry. Hermione mencoba menengahi.
“Ron…”
Tapi Ron mengangkat tangannya. Memintanya tetap diam.
“Dia benar-benar sedih waktu kau memutuskannya.”
“Aku juga. Kau tahu mengapa aku memutuskannya. Dan kau tahu aku tidak ingin
putus dengannya.”
“Iya, tapi sekarang kau menciumnya dan memberinya harapan…”
“Dia bukan orang bodoh, dia tahu hal itu tidak akan terjadi, dia tidak mungkin
mengira bahwa kami akhirnya akan – akan menikah, atau…”
Saat Harry mengatakannya, sebuah bayangan nyata muncul di dalam pikiran
Harry. Ginny dalam gaun putih menikah dengan seorang pria tanpa wajah. Dan
pada saat itu, Harry terasa terpukul. Masa depannya bebas dan tanpa
beban… yang bisa ia lihat di depan hanyalah Voldemort.
“Berani kau menggerayanginya lagi…”
“Tak akan terjadi lagi,” kata Harry kasar. Hari itu cerah. Tapi Harry
merasa bahwa matahari telah menghilang, “ok?”
Ron tampak separuh marah, separuh malu. Ia bergoyang ke depan dan
belakang di atas tumitnya lalu berkata, “Ya sudah, kalau begitu…”
Ginny tidak lagi berusaha untuk berdua-duan dengan Harry sepanjang hari itu.
Tidak ada hal khusus yang Ginny tunjukkan bahwa mereka baru saja melakukan
sesuatu yang lebih dari percakapan biasa di kamarnya. Kedatangan Charlie
seperti menjadi suatu hal yang melegakan baginya. Membuat Mrs. Weasley
sibuk memaksa Charlie untuk duduk diam agar Mrs. Weasley bisa memotong
rambutnya.
Makan malam pada hari ulang tahun Harry tidak bisa dilaksanakan di dapur
bahkan sebelum kedatangan Charlie, Lupin, Tonks, dan Hagrid. Akhirnya
beberapa meja dikeluarkan dan ditata di kebun. Fred dan George menyihir
lentera besar berwarna ungu yang bertuliskan “17” melayang di atas meja.
Keahlian Mrs. Weasley membuat luka George tampak bersih dan rapi. Tapi
Harry tidak terbiasa melihat sebuah lubang di sisi kepala, sedangkan si
kembar malah bercanda terus-terusan dengan itu.
Hermione membuat pita ungu dan emas dan menghiasnya di atas pohon dan
semak.
“Bagus,” kata Ron saat Hermione memberi sentuhan akhir yang mengubah
warna daun pohon apel menjadi keemasan. “Kau ahli dalam hal seperti ini.”
“Terima kasih, Ron!” Hermione terlihat senang dan bingung dalam saat yang
bersamaan. Harry berputar dan tersenyum sendiri. Ia membayangkan apa yang
akan dibacanya di Twelve Fail-Safe Ways to Charm Witches saat ia punya
waktu untuk membacanya nanti. Harry bertemu mata dengan Ginny dan
tersenyum padanya sebelum ia ingat janjinya pada Ron yang langsung
membuatnya tiba-tiba ingin berbicara dengan Monsieur Delacour.
“Permisi, minggir!” kata Mrs. Weasley, datang dari arah pintu membawa
sesuatu yang tampak seperti Snitch sebesar bola pantai melayang di
depanya. Yang baru kemudian Harry sadari sebagai kue ulang tahunnya. Saat
kue itu akhirnya mendarat di tengahtengah meja, Harry berkata, “Luar biasa
sekali, Mrs. Weasley.”
“Oh, ini bukan apa-apa, sayang,” kata Mrs. Weasley penuh cinta. Melalui
bahu Mrs. Weasley, Harry dapat melihat Ron mengacungkan jempolnya dan
mulutnya bergerak, Bagus.
Pada pukul tujuh, semua tamu sudah datang, dibawa masuk oleh Fred dan
George yang menunggu mereka di ujung jalan. Hagrid datang dengan
mengenakan setelan terbaiknya, yaitu jubah berbulu kecoklatan yang
mengerikan. Walau Lupin tersenyum saat menjabat tangan Harry, Harry
menganggapnya sedang tidak senang. Sungguh aneh, melihat di samping Lupin
ada Tonks yang berseri-seri.
“Selamat ulang tahun, Harry,” kata Tonks sambil memeluknya erat-erat.
“Tujuh belas tahun, heh!” kata Hagrid saat menerima anggur dalam gelas
seukuran ember dari Fred. “Sudah enam taun sejak kita bertemu, Harry. Masih
ingat?”
“Tidak juga,” Harry tersenyum pada Hagrid. “Kalau tidak salah kau
merobohkan pintu depan, memberi ekor babi pada Dudley, dan berkata bahwa
aku seorang penyihir, kan?”
“Aku lupa detailnya,” kekeh Hagrid. “Pa kabar, Ron, Hermione?”
“Kami baik,” kata Hermione. “Bagaimana denganmu?”
“Er, tidak buruk. Cukup sibuk, ada beberapa bayi unicorn baru. Akan aku
tunjukkan saat kalian kembali nanti.” Harry menghindari tatapan Ron dan
Hermione saat Hagrid sibuk dengan sakunya. “Ini, Harry – aku tidak tau harus
memberi apa, tapi aku langsung ingat ini.” Hagrid mengeluarkan sebuah tas
kecil berbulu dengan tali panjang yang sepertinya dikenakan di sekitar leher.
“Mokeskin. Dapat sembunyikan apapun di dalamnya dan hanya pemiliknya yang
bisa ngambil. Barang yang jarang ada.”
“Hagrid, terima kasih!”
“Bukan apa-apa,” Hagrid mengayunkan tangannya yang sebesar tutup tempat
sampah.
“Dan itu Charlie! Aku selalu suka padanya – hey! Charlie!”
Charlie mendekat sambil menyentuh sedih potongan rambut barunya yang super
pendek.
Charlie sedikit lebih pendek dari Ron dengan luka bakar dan luka gores di atas
tangannya
yang berotot.
“Hai, Hagrid, apa kabar?”
“Aku berusaha tulis surat. Bagaimana kabar Norbert?”
“Norbert?” tawa Charlie, “Naga Punggung Bersirip Norwegia itu? Kami
memanggilnya
Norberta, sekarang.”
“Apa – Norbert itu betina?”
“Iya,” kata Charlie.
“Bagaimana kalian tahu?” tanya Hermione.
“Karena lebih ganas,” kata Charlie. Ia menoleh lalu merendahkan suaranya.
“Semoga
Dad cepat pulang. Mum mulai tidak tenang.”
Mereka melihat ke arah Mrs. Weasley. Ia sedang berbicara dengan Madame
Delacour dan sesekali menatap ke arah pintu pagar. “Aku rasa kita mulai
pestanya tanpa Arthur,” katanya setelah beberapa saat. “Dia pasti
tertahan di – oh!”
Semua melihat hal yang sama. Kilatan keperakan datang menuju ke arah meja
yang
kemudian berubah bentuk menjadi musang yang berdiri dengan kedua kaki
belakangnya
dan berbicara dengan suara Mr. Weasley.
“Menteri Sihir datang bersamaku.”
Patronus itu menghilang diikuti decak kagum keluarga Fleur.
“Kami harus pergi,” kata Lupin tiba-tiba. “Harry – maaf – akan kujelaskan lain
kali.”
Lupin merangkul pinggang Tonks dan menariknya pergi. Mereka berlari ke arah
pagar, dan menghilang. Mrs. Weasley menatap kebingungan.
“Sang Menteri – tapi – mengapa? Aku tidak mengerti.”
Tak ada waktu berdiskusi karena beberapa saat kemudian, Mr. Weasley
muncul di pintu gerbang ditemani oleh Rufus Scrimgeour, yang langsung dapat
dikenali dengan rambut singanya.
Dua orang itu berjalan menyebrangi halaman menuju meja yang diterangi
lentera, di mana semua orang duduk terdiam melihat mereka mendekat. Saat
Scrimgeour terkena cahaya, Harry merasa ia tampak lebih tua dari saat
Harry terakhir kali bertemu dengannya, lebih kurus dan suram.
“Maaf mengganggu,” kata Scrimgeour saat baru saja mendekati meja. “Aku
tahu aku menjadi perusak suasana di sini.”
Matanya terhenti sejenak pada kue Snitch raksasa.
“Selamat ulang tahun.”
“Terima kasih,” kata Harry.
“Aku ingin berbicara secara pribadi denganmu,” lanjut Scrimgeour. “Juga
dengan Mr. Ronald Weasley dan Miss Hermione Granger.”
“Kami?” kata Ron terkejut. “Mengapa kami?”
“Akan kuberitahu saat kita bisa pindah ke tempat yang lebih pribadi,” kata
Scrimgeour.
“Apakah ada?” pintanya pada Mr. Weasley.
“Ya, tentu saja,” kata Mr. Weasley terlihat gugup. “Er, ruang duduk,
kalian bisa menggunakannya.”
“Tunjukkan,” kata Scrimgeour pada Ron. “Kau tak perlu menemani kami, Mr.
Weasley.”
Mr. Weasley bertukar pandang gugup dengan Mrs. Weasley saat Ron dan
Hermione berdiri. Mereka berjalan dalam diam menuju rumah. Harry tahu
sahabatnya memikirkan hal yang sama dengannya. Scrimgeour pasti, entah
bagaimana, tahu bahwa mereka akan keluar dari Hogwarts.
Scrimgeour tidak mengatakan apa-apa saat melewati dapur yang berantakan dan
langsung ke ruang duduk. Walau di kebun dipenuhi lembutnya cahaya malam, tapi
ruangan ini begitu gelap. Harry mengayunkan tongkatnya ke arah lampu dan
langsung menyala dan menerangi ruangan lusuh tapi nyaman itu. Scrimgeour
duduk di kursi malas yang biasa
ditempati Mr. Weasley, dan Harry, Ron, dan Hermione duduk berdesakan di
sofa. Saat
semua tenang, Scrimgeour berbicara.
“Aku ingin bertanya beberapa hal pada kalian bertiga, dan akan lebih baik bila
dilakukan
sendiri-sendiri. Aku rasa kalian berdua,” Scrimgeour menunjuk Harry dan
Hermione,
“bisa menunggu di atas, aku akan mulai dengan Ronald.”
“Kami tidak akan ke mana-mana,” kata Harry diikuti anggukan Hermione. “Kau
harus
berbicara pada kami atau tidak sama sekali.”
Scrimgeour menatap Harry dingin. Harry merasa bahwa sang Menteri
sedang berpikir
apakah berarti bila harus bersikap bermusuhan saat ini.
“Baiklah, bersamaan,” katanya sambil mengangkat bahu. Ia berdeham. “Aku
di sini
karena, aku tahu kalian sudah tahu, keinginan Albus Dumbledore.”
Harry, Ron, dan Hermione saling bertukar pandang.
“Kalian terkejut! Kalian tidak tahu, kalau begitu, bahwa Dumbledore
meninggalkan
seseuatu untuk kalian?”
“Ka-kami?” kata Ron. “Aku dan Hermione juga?”
“Ya, kalian…”
Harry memotongnya.
“Dumbledore sudah meninggal sebulan lalu. Mengapa butuh waktu yang begitu
lama
untuk memberikannya pada kami?”
“Sudah jelas, kan?” kata Hermione sebelum Scrimgeour menjawab. “Mereka