Selasa, 11 Februari 2025

tragedi tanjung priok 2


 luarga diputus

begitu saja. Saya tidak pernah bisa untuk meng-

hubungi mereka. Saya benar-benar gelisah. 

Di tengah-tengah kesedihan itu, saya di-

panggil dan dikeluarkan dari sel. Saya diperin-

tahkan untuk menengok adik saya, .

Saya nyaris terpukul, pedih, dan sakit hati saat 

melihat dia basah kuyup dan selalu dihantui

ketakutan. Adik saya itu menangis seolah-olah

melihat saudaranya disiksa, dipukul, ditendang,

dan disetrum. Yakinlah saya bahwa adik saya

sudah stres. Saya sempat mendengar seorang

penjaga berbicara sesama temannya bahwa ada

perempuan yang gila. Hati saya terasa teriris-

iris, teramat menyakitkan.

sesudah  berbagai pemeriksaan yang melelah-

kan, tampaknya aparat keamanan baru sadar

bahwa saya bukanlah orang yang mereka cari.

Begitu juga teman-teman adik saya. Akhirnya

sesudah  “dihilangkan” selama hampir dua bulan

kami dipulangkan. Tidak ada penjelasan apa

pun, apalagi permohonan maaf atas kesalahan

yang mereka lakukan. Mereka memulangkan

kami seperti melepaskan ayam. Kami diantar

namun  tidak sampai di rumah. Janganlah bicara

soal proses penyerahan dan permintaan maaf,

itu sudah pasti tidak ada.

Pulang ke Rumah, Tapi Usaha Hancur

Pulang ke rumah yaitu  sesuatu yang

mungkin tak terbayangkan. Maka begitu men-

jejakkan kaki di rumah, kebahagiaan tak ter-

lukiskan lagi. Berkumpul bersama keluarga

yaitu  harapan yang nyaris tak terangankan.

Sepulang dari Cimanggis, rasa sakit bekas sik-

saan terus membekas. sebab  tendangan yang

bertubi-tubi membuat dada saya masih terasa

sakit selama berminggu-minggu. Sampai-sam-

pai saya harus tidur telentang, sebab  kalau

miring saja terasa semakin sakit. sebab  kondisi

tubuh saya yang sangat lemah, keluarga mem-

bawa saya ke RS Islam Jakarta di Cempaka

Putih. Seluruh biaya ditanggung keluarga tanpa

ada bantuan sedikit pun dari ABRI. Malah saya

melihat aparat wanita berjilbab yang memata-

matai kami di rumah sakit. Begitu juga biaya

pengobatan , yang belakangan saya

ketahui bahwa dia yaitu  satu-satunya perem-

puan yang jadi korban dalam peristiwa Tan-

jung Priok.  menderita stres akibat

penyiksaan dan penderitaan yang dialaminya.

sesudah  peristiwa itu, ia menjadi orang yang

sangat tertutup, suka bicara sendiri dan selalu

merasa dibayang-bayangi ketakutan yang amat

sangat. Ia merasa terus menerus ada yang mem-

buntuti, merasa ada suara-suara tembakan,

merasa mendengar suara-suara tangisan dan

gangguan lainnya. 

Kembali ke rumah sebetulnya membuat

saya harus merangkai kembali kehidupan yang

pernah hilang. Saya ingin melakukan usaha

dagang lagi seperti yang pernah saya rintis

jauh sebelum diciduk. Saya ingin bangkit. Akan

namun  kenyataan pahit tak bisa saya tolak.

Usaha dagang saya telah hancur, langganan

pergi ke orang lain, dan modal pun sudah ludes.

Saya kehilangan pekerjaan sebagai pedagang.

Keadaan ekonomi keluarga saya benar-benar

morat-marit. Saya kembali pusing.

Waktu terus berjalan. Saya harus berjuang

untuk keluarga. Kami harus bertahan hidup.

Namun dari hari ke hari, keadaan ekonomi

keluarga saya makin sulit. Rasanya tak ada pi-

lihan lain untuk menutupi kesulitan ekonomi

yang semakin menghimpit, akhirnya saya

menjual rumah di Cempaka Putih Timur. Saya

memboyong keluarga ke sebuah rumah kecil di

pinggiran Jakarta. Rupanya penderitaan belum

berhenti juga. Para tetangga selalu mencibir

sebab  saya dianggap terlibat kasus Tanjung

Priok. Bahkan seringkali hansip nongkrong di

depan rumah. sebab  merasa terus diawasi,

saya sempat menutup diri. Trauma atas peris-

tiwa Tanjung Priok membuat saya berusaha

untuk melupakan seluruh kejadian yang per-

nah diderita. Saya berpikir, mungkin ini bagian

dari jalan hidup yang harus saya alami. Saya

harus pasrah atas seluruh penderitaan yang

dialami di dunia. 

Sebenarnya sekarang ini saya tidak ingin

lagi menceritakan semua pengalaman pahit

yang saya alami. sesudah  20 tahun, telah hilang

seluruh rasa dendam dan sakit hati terhadap

perlakuan yang tidak manusiawi yang pernah

saya terima. namun  demi mengungkap kebe-

naran yang selama ini saya yakini, demi sebuah

pembelajaran berharga, maka dengan terpaksa

saya menceritakan kembali sejarah sebagian

hidup saya yang tetap harus menjadi sebuah

kebenaran. Harapan saya agar semua peristiwa

kekerasan penuh penyiksaan yang saya alami

tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

 

06./WANMA YETTY/

(ANAK BACHTIAR JOHAN)

“Kehilangan Ayah, 

Kehilangan Masa Depan.”

SAMPAI hari ini, luka di hati saya tak pernah

sembuh. Setiap mengingat malam mencekam

pada 12 September 1984, hati bagai disayat-sayat

sembilu. Betapa tidak, begitu kejamnya aparat

keamanan pada malam mengerikan itu, mem-

buat saya tidak pernah mampu melupakannya.

Saya ingin mengungkapkan bahwa sejumput

malam itu membuat nasib saya dan keluarga

terombang-ambing selama bertahun-tahun. 

saat  itu, malam Kamis, ayah saya Bachtiar

Johan pergi keluar rumah. Katanya akan ada di

pengajian, yang jaraknya kira-kira cuma 50

meter dari rumah. namun  tak berapa lama, ayah

kembali dan mandi, lalu shalat isya. sesudah 

itu, ayah berganti pakaian. Ayah suka mengo-

leksi batik. Malam itu ayah mengenakan baju

batik berwarna cokelat bercampur merah bata

dengan celana warna cokelat. Ayah menggu-

nakan selop kulit bertali dan memakai kopiah.

Ayah terlihat begitu rapi dan bersih. Malam itu

ayah tampak gagah dan berani. Ayah memang

tegas dan tak gentar untuk menegakkan sesu-

atu yang benar. 

Sebelum pergi, ayah mencium saya dan ibu,

yang malam itu kami berdua sedang sakit dan

cuma bisa berbaring. Ayah berpesan kepada

saya, “Besok kamu pasti sembuh, dan doakan

ayah semoga selamat ya!” Tepatnya jam 20.00

WIB ayah melangkahkan kakinya keluar rumah

sambil memandang ke arah ibu dan saya. Ter-

nyata itu yaitu  pandangan terakhir dari ayah.

Tiga jam kemudian pecahlah peristiwa Tanjung

Priok. Dan ayah tidak pernah pulang ke rumah.

Ayah hilang tak tentu rimbanya. Kami baru

tersadar bahwa firasat sebetulnya telah ada,

namun  hanya Allah-lah yang Maha Tahu. Kami

sekeluarga shock. Seakan tak percaya, ayah

sebagai tulang punggung keluarga tiada lagi

bersama kami.

Ayah pergi dengan meninggalkan ibu, saya

dan 4 adik yang masih sekolah. Kepergian ayah

ternyata mengubah hidup keluarga saya. Cita-

cita dan harapan di masa depan yang pernah

diangankan saya dan adik-adik juga ikut sirna.

Waktu itu saya sedang memasuki ABA dan adik

yang nomor 3 mendapatkan PMDK (Penelu-

suran Minat Bakat dan Kemampuan) dari UI

sehingga tidak perlu lagi tes SIPENMARU.

namun  cuma jadi harapan hampa. Kami tak

pernah sampai menginjak ke perguruan tinggi.

Saya dan adik-adik cuma sampai SMA. 

Hari-hari sepeninggal ayah yaitu  hari-hari

yang teramat panjang dan melelahkan. Saya dan

adik-adik menyadari bahwa kami harus meng-

hidupi diri sendiri. Kami melupakan cita-cita

untuk sekolah tinggi, dan kami harus berkutat

dengan realita hidup. Mulailah saya mencari

pekerjaan, begitu juga adik-adik. Bermodalkan

ijazah SMA, saya menyusuri jalanan, mengetuk

pintu dari kantor satu ke kantor yang lain.

Sekali dua kali kami lolos, namun  selalu tergan-

jal saat wawancara. Begitu pewawancara tahu,

kami yaitu  anak korban Tanjung Priok, secepat

itu pula pintu kantor selalu tertutup. Mereka

tidak mau menerima dan berurusan dengan

anak-anak atau keluarga yang tersangkut kasus

Tanjung Priok. Masa depan kami benar-benar

dirampas.

Jual Rumah, Pulang Kampung

Nasib kami yang tak menentu membuat ibu

mengambil putusan lain pada tahun 1985. Ibu

memboyong kami untuk pulang kampung di

Padang. Ibu menjual rumah dan semua yang

ada dari rumah. Perabot-perabot yang kami

miliki tidak lagi tersisa. Ibu berharap, biarlah

kami hidup berkumpul bersama-sama di kam-

pung halaman. Hidup sederhana pun tidak jadi

masalah. Namun semua rencana untuk hidup

damai di kampung halaman tidak seperti yang

dibayangkan ibu. Untuk memulai hidup baru

itu bukanlah hal yang gampang. Saya dan adik-

adik dari kecil sudah terbiasa hidup di rantau

yang banyak membuka wawasan kami. Maka

begitu kembali ke kampung, saya dan adik-

adik seperti hidup terasing. sebab , untuk ber-

bahasa daerah saja saya merasa kaku. 

Akhirnya saya memutuskan untuk kembali

ke Jakarta. Satu persatu kami berangkat dan

tinggal di Tebet. Pada tahun 1987, kami kembali

berkumpul di Tebet, termasuk ibu. Kami memu-

lai lagi hidup dari nol. Kami mengontrak rumah.

Uang hasil jual rumah dan segala isinya sudah

habis, sebab  untuk biaya hidup sehari-hari dan

biaya sekolah adik-adik. Pada tahun 1990, saya

mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan asing.

Adik saya ada juga bekerja satu kantor dengan

saya. Sedangkan ibu berjualan kue-kue basah.

Semuanya demi menyambung hidup. sesudah 

mendapatkan pengalaman, saya dan adik keluar

dari perusahaan itu. Saya lalu melamar lagi di

perusahaan elektronik milik Jepang dan di-

training di Malaysia. Saya akhirnya tinggal di

Malaysia sekitar 4 tahun. Mungkin sebab  keju-

juran yang saya miliki, saya ditugaskan untuk

mengontrol barang yang siap dikirim ke luar

negeri. Walaupun jauh dari keluarga, saya mela-

kukan semua pekerjaan dengan senang hati

demi memenuhi kehidupan ibu dan adik-adik.

Pada tahun 1995 saya pulang kembali ke

Tanah Air dan berkumpul lagi dengan keluarga.

Namun niat untuk membahagiakan ibu belum

terwujud juga. Impian untuk mempunyai rumah

kembali, walaupun kecil, belum tercapai. Ingin

sekali rasanya membahagiakan ibu. namun  di

Jakarta, anak-anak dan keluarga korban kasus

Tanjung Priok sepertinya tak pernah menda-

patkan tempat. namun  ya sudahlah, saya dan

adik-adik akhirnya menjalani hidup ini apa

adanya. Saya sadar, anak-anak korban kasus

Tanjung Priok tidak bisa mengkhayal, terlebih

lagi yang tinggi-tinggi dan muluk-muluk. Tapi

saya tak putus asa. Sering saya berkhayal, suatu

saat pasti ada setitik cahaya, meski entah kapan

datangnya. Saya punya feeling, tidak akan ada

diskriminasi lagi korban atau anak-anak korban

Tanjung Priok bila pemerintah dan pimpinan

negeri ini diganti. Saat itulah pasti perbuatan

yang busuk-busuk akan terbongkar. Bukankah

pepatah, sepandai-pandai tupai melompat suatu

saat akan terjatuh pula. Bahwa menyimpan

barang yang busuk serapi apapun, pasti ke-

tahuan juga baunya. 

Berpikir Cahaya Datang

Rupanya khayalan saya itu tak terlalu jauh.

Demonstrasi mahasiswa besar-besaran di tahun

1998 yang didukung warga  membuat

rezim Soeharto jatuh. Saya sangat senang men-

dengar itu. Saya pikir, mungkin inilah saatnya

cahaya itu datang untuk mengungkap kebe-

naran. Saya berharap cahaya itu bisa melacak

hilangnya ayah di zaman kekuasaan Orde Baru.

Ayah pergi dan lenyap ditelan rentetan peluru

penguasa yang bodoh dan bobrok tapi berani-

nya cuma kepada rakyat yang lemah. Buat saya,

perginya seorang ayah bukan suatu musibah,

melainkan akibat kekejaman pemerintah yang

menindas rakyatnya sendiri. 

Maka harapan demi harapan untuk meng-

ungkap kebenaran seolah-olah menjadi obsesi.

Saya sadar, perjuangan saya, keluarga dan juga

para korban lainnya terlalu berliku. Bersama

Kontras yang selalu mendampingi, kami tidak

pernah putus asa. Walaupun penuh rintangan,

kami terus melangkah. Menyusun agenda-

agenda, membuat berbagai kegiatan, melakukan

lobi-lobi ke berbagai pihak, menggelar aksi-

aksi, agar pemerintah bangkit dari tidurnya,

agar pemerintah sadar akan kekejaman yang

pernah kami rasakan.

Perjuangan saya, keluarga, dan juga para

korban, terlalu berliku-liku. Kontras sebagai

pendamping kami tidak pernah putus asa,

walaupun penuh rintangan, kami terus ber-

jalan dan membuat kegiatan serta agenda-

agenda, melobi-lobi dan membuat aksi agar

pemerintah kita ini bangkit dari tidurnya. Kami

yakin Tuhan selalu menyertai langkah-langkah

kami. Kami mendorong Kejagung dan DPR

agar kasus Tanjung Priok betul-betul diproses

sampai ke pengadilan. Kami menyadari betapa

pentingnya berbagai elemen warga , dari

LSM seperti Kontras, ormas-ormas Islam, maha-

siswa, dan lain-lain. Juga begitu pentingnya

peran pers. Tanpa mereka, kasus Tanjung Priok

rasanya tidak mungkin dikenal oleh publik

secara luas. 

Alhamdulillah ada seberkas cahaya terang.

Pengadilan HAM Ad Hoc akan segera digelar.

Tentu saja saya membayangkan harapan yang

selama ini memenuhi benak saya, akan terwu-

jud. namun  di sisi lain, ada juga korban-korban

yang diliputi kebingungan. Suatu waktu, kira-

kira satu setengah bulan menjelang pengadilan

digelar, kelompok korban yang melakukan islah

dengan para pelaku, goncang. Mereka mengadu

ke Kontras, sebab  selama ini yang diperhatikan

yaitu  kelompok yang gigih membawa kasus

Tanjung Priok ke pengadilan. Sedangkan ke-

lompok islah selalu dicuekin Kontras. 

Kontras lalu membuat sebuah pertemuan

keluarga korban di Wisma Hijau Cimanggis.

Misinya untuk memberikan kepada para kor-

ban berbagai persiapan menghadapi digelar-

nya pengadilan. Selama tiga hari, kami diberi

berbagai pengetahuan yang selama ini tidak

pernah kami ketahui. Kami diberi pengetahuan

mengenai hukum dan pasal-pasalnya. Kami juga

diberi pemahaman tentang hak-hak korban

yang harus menjadi tanggung jawab negara

seperti kompensasi, rehabilitas dan restitusi

(KRR). 

Beberapa hari kemudian sesudah  pulang dari

Wisma Hijau Cimanggis, Kontras juga meng-

adakan pertemuan di Utan Kayu. Seperti

pertemuan sebelumnya, kami kembali diberi

pemahaman menyangkut kesiapan menghadapi

pengadilan. Kontras menyatakan, para korban

tidak perlu kaget dan canggung, dan tidak perlu

takut. sebab , tujuannya yaitu  menuju jalan

kebenaran. Di situ korban priok masih menga-

takan kemurnian dari hatinya atas kejadian yang

menimpa keluarganya. 

sesudah  pertemuan di Utan Kayu itu, rupanya

pihak TNI bergerak cepat menuju ke rumah-

rumah korban, terutama kelompok islah dan

Tim 7. Pada 1 Maret 2001, memang telah terjadi

islah antara para pelaku dan korban Tanjung

Priok. Piagam perdamaian kasus Tanjung Priok

itu ditandatangani oleh Try Sutrisno, Sugeng

Subroto, Pranowo, Soekarno, Rudolf Butar

Butar, Sriyanto, dan H. Matoni bersama dengan

korban yang diwakili oleh Tim 7. Mereka di-

rangkul kembali. sebab  kehidupan ekonomi

para korban yang kekurangan, TNI menjanjikan

angin surga dan memberikan cicilan motor

kepada korban. TNI semakin gencar saat 

pengadilan sudah di depan mata. Memang,

sangat disayangkan, para korban begitu mudah-

nya dipengaruhi dan mau diadu domba sesama

korban. Cara apapun dilakukan TNI agar jejak-

nya di masa silam tidak terungkap. Para korban

yang bisa dirangkul akan diberi motor dan

amplop. Para korban itu dipanggil oleh Babin-

kum TNI untuk meringankan pihak pelaku.

Para korban ditekan untuk berbohong. 

Sebetulnya saya sudah merasakan akan

langkah-langkah TNI itu. Saya mendapat kabar

dari seorang pengurus korban Tanjung Priok

(Tim 7) bahwa sebelum pertemuan di Wisma

Hijau Cimanggis, dia pamit dulu kepada Pak

Try Sutrisno dan Sriyanto. Maka ada korban

yang sebelumnya bertekad bulat untuk melang-

kah ke pengadilan, jadi berbelok. Saya akui,

uang memang bisa menjadi segalanya. namun 

itu tak terlepas dari gerakan yang dilakukan

Tim 7 yang mengancam korban-korban yang

lemah dan ketakutan. Di sinilah saya sadar

bahwa saya tidak bisa menyalahkan korban

yang melakukan islah.

Peristiwa itu membuat saya dan teman-

teman yang konsisten mendukung pengadilan

HAM menjadi terpukul. Saya menghubungi

teman-teman yang masih kuat dan mengerti

atas hak-haknya. Kami kembali menghubungi

Kontras dan bertemu dengan korban-korban

yang masih konsisten. Tinggallah 14 orang yang

berjalan bersama Kontras menuju pengadilan. 

Kami tetap bertekad meski cibiran datang

tak henti-hentinya. Ada beberapa  korban yang

mencibir bahwa pengadilan kasus Tanjung Priok

itu hanya janji-janji buta. Jadi sangat tak mung-

kin. Kalau pun digelar, itu pun cuma ilusi untuk

para korban, bukan kesungguhan pemerintah.

Tapi saya tidak pesimis. Saya harus kuat, saya

tidak boleh berputus asa, walaupun kejenuhan

dan kebosanan selalu menghantui. namun , ini-

lah perjuangan. Semakin dekat, semakin berat.

Akhirnya Tuhan mendengar dan mengabulkan

semua doa dan jerih payah kami. Itu tentu tak

lepas dari peran Kontras yang dengan setia men-

dampingi kami. Saya berdoa semoga Kontras

terus maju, walau selalu dihantui teror.

Begitulah kisah hidup saya, ibu, dan adik-

adik, yang selama bertahun-tahun, tidak punya

kebebasan dan tidak punya suara. Saya me-

rasakan bahwa betapa pahitnya hidup kami

sehingga tak mampu terlukiskan dengan kata-

kata. Sepenggal catatan ini semoga bisa menjadi

kenangan walaupun pahit sekali. Tapi saya

harus tegar, sebab  saya tidak sendirian. Banyak

orang yang senasib dengan saya. Semuanya kehi-

langan cahaya. Saya berharap suatu saat cahaya

itu akan datang. Semoga Tuhan mendengar

doa hamba-Nya yang mencari kebenaran de-

ngan jalan kejujuran disertai iman. Amin... ya

robbal alamin....

 


07./HASAN TANTOWI/

(ANAK USTADZ SYARIF)

“12 tahun menjadi   

orang cacat!”

Nama   : Syarif

Umur   : 60 tahun

Alamat : Jalan Jati 4 RT 05 Tanjung Priok,

Jakarta Utara 

Pekerjaan : Guru ngaji


Pertama Ditangkap

Pada tanggal 7 September 1984, Ustadz

Syarif pulang ke Garut. Ia tidak berada di

Jakarta pada tanggal 12 September 1984, hari

terjadinya peristiwa Tanjung Priok. Tapi pada

tanggal 15 September 1984, Ustadz Syarif

ditangkap di Garut, “diambil” dari rumahnya

di kampung Cimasuk Girang, Desa Suci, Keca-

matan Karawitan Kabupaten Garut. Tepatnya

pada jam 02.00 dini hari oleh beberapa orang

petugas dari Korem. 

Petugas Korem yang datang pada waktu itu

sekitar 25 orang dengan memakai 2 minibus

Carry dan sebuah mobil Kijang. Menurut infor-

masi mereka, Ustadz Syarif yaitu  pelarian

dari Tanjung Priok, sebab  itu harus segera

ditangkap.

Ustadz Syarif langsung dibawa ke Korem

Garut, kemudian dibawa Laksus Jakarta se-

belum ke Guntur. Ustadz Syarif diperiksa dan

disiksa selama di Guntur. Ia dipukul memakai

gagang senjata serta disetrum berulang kali

selama pemeriksaan. 

sesudah  itu Ustadz Syarif dipindahkan ke

rumah tahanan Cimangis tanpa diadili. Ia di-

vonis selama kurang lebih 7 bulan tahanan.

Selama ditahan, Ustadz Syarif sempat jatuh

sakit akibat penyiksaan yang tidak manusiawi

dan dibawa ke rumah sakit RSPAD Gatot

Subroto Jakarta. Ia dirawat selama 4 bulan.

Kira-kira bulan Juli 1985, ia keluar dari rumah

sakit Gatot Subroto Jakarta. 

Ustadz Syarif sejak ditangkap petugas dari

Korem Garut sampai diinterogasi hampir se-

lalu dianiaya dan disiksa di luar perikemanu-

siaan. Mau tidak mau kondisinya mengalami

cacat fisik dan mental yang sangat luar biasa.

Korem Garut juga punya andil terhadap kon-

disi ini. Tangan dan kaki Ustadz Syarif selama

10 tahun tidak dapat berfungsi secara normal,

mentalnya mengalami kemunduran (cacat men-

tal sebab  trauma) selama 2 tahun sampai akhir-

nya beliau meninggal dunia. 

Pada tanggal 26 September 1996, Ustadz

Syarif—ayah saya—meninggal dunia. Kematian-

nya mengakibatkan Ibu saya kehilangan masa

depan dan kehidupan sehari-hari kami menjadi

sangat memprihatinkan.

Detail Peristiwa

Penangkapan Ustadz Syarif terjadi pada 15

September 1984 jam 02.00 WIB dini hari. Ia

diambil dari rumah oleh beberapa orang petu-

gas yang memperkenalkan diri sebagai petugas

dari Korem Garut. Ustadz Syarif dan istri akhir-

nya tak bisa menolak perintah petugas itu.

Mereka dibawa turun dari rumah dan berjalan

kaki sejauh 2 km ke lapangan di mana sudah

ada mobil menunggu. Di dalam mobil itu sudah

menunggu beberapa orang petugas berpakaian

preman. Kemudian Ustadz Syarif dan istri

dibawa ke Korem Garut dan setibanya di sana

mereka dipisahkan. Ustadz Syarif dan istrinya

ditempatkan di ruangan sendiri-sendiri. Peme-

riksaannya juga masing-masing oleh petugas

yang berbeda. 

Menurut cerita Ustadz Syarif, selama dipe-

riksa ia ditanya panjang lebar. Mulai dari soal

berapa lama tinggal di Tanjung Priok sampai

kegiatan apa saja yang dilakukan selama itu.

Petugas yang memeriksa saat itu bertanya sam-

bil marah-marah dan terus menuduh Ustadz

Syarif sebagai pelarian dari Tanjung Priok.

Petugas itu sempat memukul pakai kursi, saking

tidak percaya apa yang dikatakan oleh Ustadz

Syarif bahwa ia bukan pelarian. Menurut petu-

gas itu Ustadz Syarif jelas terlibat kasus Priok

dan sebab nya melarikan diri ke kampung

halamannya di Garut. 

Selama kurang lebih 15 jam Ustadz Syarif

diperiksa petugas secara marathon, namun  tetap

saja mereka tidak percaya terhadap penje-

lasannya. Namun demikian, petugas itu me-

nyuruh Ustadz Syarif untuk pulang dulu dan

memintanya kembali besok pagi. Tepat jam

17.00 WIB hari Sabtu, Ustadz Syarif pulang ke

rumah tanpa diantar petugas. 

Sementara itu, istri Ustadz Syarif yang di-

periksa petugas lain di ruangan yang berbeda,

juga ditanya soal kegiatan selama tinggal di

Tanjung Priok. Perihal kegiatan mengajar ngaji,

kegiatan ngaji di Majelis Taklim, siapa pencera-

mahnya, apa yang dikatakan oleh Mubalighnya,

dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Spontan

istri Ustadz Syarif menjawab tidak tahu sebab 

ia memang tidak mengetahuinya. 

Menurut istri Ustadz Syarif, petugas yang

memeriksanya sempat mengeluarkan pistol

untuk menakut-nakuti, mengacung-acungkan

pistol itu ke mukanya. Oleh petugas, ia disuruh

mengaku bahwa Ustadz Syarif ikut dalam peris-

tiwa Tanjung Priok. sesudah  semua pertanyaan

beres, hari itu juga istri Ustadz Syarif disuruh

pulang ke rumah, tepatnya pada pukul 16.30

WIB hari Sabtu. 

Sesuai dengan perjanjian sebelumnya, Us-

tadz Syarif diminta datang lagi ke Korem Garut

pada hari minggu tanggal 16 September 1984

jam 08.00 pagi. Namun sampai jam 10.00 WIB

Ustadz Syarif belum datang juga ke Korem

Garut. Sebenarnya Ustadz Syarif tidak bermak-

sud datang terlambat. Menurutnya ia terlambat

sebab  badannya terasa sakit dan ia berobat

dulu ke seorang mantri. Tapi keterlambatan itu

dianggap petugas sebagai upaya Ustadz Syarif

untuk melarikan diri. 

Saat itu juga Ustadz Syarif dibawa lagi ke

Korem Garut, dan diperlakukan lebih parah lagi.

Ia ditendang-tendang pakai sepatu dan dipukul

pakai gagang/popor senjata sampai menjelang

malam. Selanjutnya, ia dibawa oleh petugas

dengan tangan diikat ke belakang dan kedua

matanya ditutup pakai kain hitam. Ustadz Syarif

disuruh naik ke atas mobil jip yang sudah di-

sediakan untuk dibawa ke Laksusda Jaya

Jakarta. 

Dari Korem Garut mereka berangkat tengah

malam. Dan sampai di Laksusda hampir Shu-

buh, sebab  tidak lama kemudian terdengar

kumandang Adzan Shubuh dari salah satu

mesjid. Di Laksusda, Ustadz Syarif baru dibuka

tutup matanya sesudah  dimasukkan ke sebuah

ruangan. Sesaat Ustadz Syarif baru bisa meli-

hat sekelilingnya. Ia melihat sudah ada orang

lain yang berada di Laksusda. Ia lalu diperiksa

lagi oleh petugas Laksusda dan kembali mene-

rima pukulan dan setruman yang membuatnya

semakin tersiksa.

sesudah  diperiksa dan disiksa di Laksusda,

Ustadz Syarif kemudian dibawa ke Guntur.

sesudah  beberapa hari disekap di Guntur, ia

kemudian dibawa oleh petugas ke Rumah

Tahanan Militer (RTM) Cimanggis. Ia dipenjara

di sana selama kurang lebih 7 bulan sampai

kemudian Ustadz Syarif jatuh sakit. 

Ustadz Syarif dibawa ke rumah sakit RSPAD

Gatot Subroto Jakarta. Ia langsung mendapat

perawatan serius sebab  keadaannya cukup

parah. Ia mengalami pendarahan di otak dan

urat sarafnya tidak berfungsi. Dokter yang

menangani memeriksanya dengan sinar X.

Sakitnya jelas akibat penyiksaan di luar perike-

manusian, sebab  waktu diperiksa oleh petugas

tidak pernah lepas dari pukulan, tendangan dan

setruman. Lebih biadabnya lagi, selama ditahan

di Cimanggis, keluarganya tidak diberi kabar

mengenai keberadaan Ustadz Syarif. Padahal

selama itu, pihak keluarga terus mencari infor-

masi mengenai nasib Ustadz Syarif. Pihak

keluarganya malah diperlakukan seperti bola

ping-pong selama mencari informasi. Kami da-

tang ke Guntur dan mendapat jawaban bahwa

tidak ada Ustadz Syarif di Guntur. Penjaga piket

menyuruh agar kami menanyakan ke Salemba.

Tapi di Salemba kami disuruh menanyakan ke

Laksus. Kamipun ke Laksus, dan malah kem-

bali disuruh menanyakan ke Rutan Cipinang.

Dengan setengah putus asa keluarga Ustadz

Syarif ke Rutan Cipinang, tapi di sana kembali

mendapat perlakuan yang sama. kami disuruh

menanyakan lagi ke Guntur. Keterlaluan sekali.

Kejadian ini terus terjadi setiap kali istri Ustadz

Syarif dan keluarga menanyakan kepada petugas

yang mereka datangi. Beberapa bulan lamanya

pihak keluarga mencari informasi keberadaan

Ustadz Syarif sampai putus asa sebab  tidak

ada informasi sama sekali dari aparat yang

bersangkutan. 

Baru berapa bulan kemudian, ada informasi

bahwa Ustadz Syarif berada di RTM Cimanggis.

Sayapun segera berangkat untuk mengeceknya.

Saya sebagai anaknya datang ke RTM Cimang-

gis, untuk menanyakan keberadaan Ustadz

Syarif. Saya menemui seorang petugas RTM

Cimanggis, pangkatnya waktu itu Serka (Sersan

kepala). Saya tanyakan langsung kepadanya ten-

tang ayah saya, dan dia menjawab, “Kamu bisa

ketemu sama Bapak kamu, tapi ada syaratnya.”

Kemudian saya tanyakan apa syaratnya? Ter-

nyata saya diminta menyerahkan uang sebesar

Rp 350.000,- kalau mau bertemu ayah saya.

Saya langsung sewot dan binggung. Untuk apa

uang sebesar itu? Darimana saya bisa menda-

patkan uang itu? Saya sampai adu argumentasi

sebab  uang sebesar itu rasanya tak mungkin

saya dapatkan. Akhirnya saya keluar dari RTM

Cimanggis dan pulang. 

“Rumah sakit mana Pak?!” 

“Tidak usah tahu kamu Ustadz Syarif ada di

rumah sakit mana! Yang penting kamu harus

menyediakan uangnya!” bentak petugas itu pada

saya sebelum saya pulang dengan perasaan

marah dan kesal, tapi sekaligus tak berdaya.

Beberapa bulan berlalu tanpa hasil. Infor-

masi akhirnya datang dari seorang perawat

yang merawat Ustadz Syarif di RSPAD Gatot

Subroto. Perawat itu tahu Ustadz Syarif dan

memberi tahu orang tuanya. Dia bisik-bisik

waktu memberi informasi bahwa Ustadz Syarif

ada di rumah sakit Gatot Subroto di lantai tiga.

Perawat itu juga wanti-wanti agar tidak mem-

beri tahu bahwa ia yang memberi informasi,

takut ketahuan petugas lain bahwa dia yang

memberi informasi kepada keluarga Ustadz

Syarif. 

sesudah  mendapat informasi tentang keber-

adaan Ustadz Syarif, akhirnya saya dan keluarga

bisa bertemu beliau. Saat pertama bertemu,

kami sangat sedih melihat postur tubuhnya

yang kurus kering seperti tengkorak hidup.

Dan beliau tidak bisa berjalan, kakinya tidak

bisa digerakkan, begitu juga tangannya. Bagi

keluarga Ustadz Syarif, kondisinya waktu itu

sangat membuat terpukul sekali, walaupun kami

lega bisa bertemu lagi dengannya. Keluarga

kami juga masih harus main kucing-kucingan

dengan petugas saat itu, dan anehnya, Ustadz

Syarif tidak pernah disidangkan dan divonis

untuk berapa bulan atau berapa tahun. Jika ia

bersalah mengapa tidak disidangkan sebagai-

mana mestinya? Sebagai seorang tahanan se-

lama empat bulan lebih, Ustadz Syarif dirawat di

rumah sakit Gatot Subroto dan tidak dipungut

biaya sepeserpun. Kami dari pihak keluarga

hanya mengeluarkan biaya transpor besuk se-

lama tiga bulan lebih dari Garut ke Jakarta.

Bulan Juli 1985 Ustadz Syarif dibawa pulang

ke rumah sebab  beliau sudah agak sembuh

dan sudah bisa berjalan sedikit-sedikit. Sepu-

langnya dari rumah sakit, tidak seperti semula

keadaan fisiknya, ia menjadi cacat sebab  kedua

kaki dan tangannya tidak normal lagi akibat

penyiksaan sewaktu diperiksa oleh petugas.

Sampai meninggal dunia pada tahun 1996, kon-

disinya tak berubah. Jadi selama 12 tahun ia

menjadi orang cacat dan 2 tahun sebelum beliau

meninggal sempat jatuh sakit lagi sampai tidak

sadarkan diri. Tepatnya bulan September 1996

Ustadz Syarif meninggal dunia di rumahnya di

Garut.

 

“Disiksa Seperti 

Anjing.”

MENJELANG peristiwa 12 September 1984

meletus, situasi di Tanjung Priok sudah me-

manas. Pengajian dan tabligh akbar marak di

mana-mana. Semuanya bersuara menentang

Azas Tunggal Pancasila. Memang, sejak peme-

rintahan rezim Suharto (Orde Baru) memaksa-

kan kehendaknya agar semua ormas, termasuk

ormas Islam, harus menerima Azas Tunggal

Pancasila, gejolak muncul tanpa henti. Suara-

suara menolak berteriak lantang. Pengajian atau

tabligh akbar digelar dan semuanya meneriak-

kan penolakan azas tunggal. 

Pada 12 September 1984 malam diadakan-

lah tabligh akbar di Jalan Sindang. Seperti

pengajian-pengajian sebelumnya, malam itu

ribuan umat Islam membanjiri arena tabligh

akbar. Malam itu penceramah yang hadir antara

lain Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana,

Ratono, M. Nasir dan Salim Kadar. Di situ juga

ada Amir Biki, tokoh warga  Tanjung Priok.

Malam itu saya hadir di antara ribuan umat. 

Pada malam itu para penceramah tidak lagi

membicarakan penolakan azas tunggal, namun 

masalah pengotoran mushola yang dilakukan

petugas Babinsa (bintara pembina desa) dan

penangkapan empat anggota warga  oleh

aparat beberapa hari sebelumnya. Salah satu

penceramah yang memberikan ceramah ada-

lah Amir Biki. Dengan suara lantang, Amir Biki

menegaskan, “Jika empat orang yang ditahan

di Kodim tidak dikeluarkan pada jam 23.00

WIB, maka kita akan meminta bersama-sama

ke Kodim.”

sebab  permintaan itu tidak juga dipenuhi

aparat, maka tepat dead line pukul 23.00 WIB,

tabligh akbar pun berhenti. Ribuan umat itu

bergerak menuju Kodim 0502 dengan diiringi

gema takbir “Allah Akbar, Allahu Akbar, Allahu

Akbar!” Amir Biki berjalan di barisan depan.

Akan namun  saat massa berjalan di depan Polres

702 Jakarta Utara di Jalan Yos Sudarso, massa

dihadang aparat TNI AD dari kesatuan Arhanud.

Mereka menyandang senjata lengkap yang

diarahkan ke barisan massa. 

sebab  di depan ada blokade tentara, barisan

massa terdepan pun berhenti, namun  sambil

terus meneriakkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar,

Allahu Akbar!” Namun hanya dalam hitungan

detik, terdengar suara tembakan dari arah

depan. Sesaat  itu pula massa di barisan ter-

depan berjatuhan. Secara spontan saya tiarap.

Orang-orang di samping saya ikut tiarap. Saat

itu saya sempat berpikir, kenapa kok di tembaki

dengan peluru tajam, apakah tidak ada cara

lain untuk menghalau massa, kecuali dengan

menembakinya? Suara-suara tembakan itu tak

berhenti sekitar 10-15 menit. Desingan peluru

di atas kepala amat menyeramkan. Kalau saja

saya berani mengangkat, mungkin batok kepala

saya sudah ditembus peluru. Begitu suara tem-

bakan tak terdengar lagi, saya dan beberapa

orang yang bertiarap langsung bangun. Saya

ingin menghindari agar tidak menjadi sasaran

empuk peluru-peluru itu. Namun tiba-tiba pe-

luru dimuntahkan lagi. Saya tidak mampu

bergerak, sebab  lutut kiri saya terkena timah

panas. Saya juga melihat beberapa orang di

dekat saya yang sama-sama berdiri itu ber-

jatuhan satu per satu. 

Tidak berapa lama suara-suara tembakan

itu berhenti lagi. Di tengah menahan sakit itu,

saya mendengar derap langkah tentara. Mereka

mendekati tubuh orang-orang yang ditembaki-

nya. Satu per satu memeriksa tubuh-tubuh yang

berlimpangan di aspal itu. Mereka membolak-

balik tubuh para korban, dengan sepatu lars

sambil mencaci-maki. saat  para tentara itu

membolak-balik tubuh saya yang masih hidup,

tentara berteriak kencang sekali, “Nah, ini

masih hidup!” Dengan cepat tentara-tentara

lainnya mendekati saya sambil berteriak, “Tem-

bak lagi, tembak lagi!” Rasa takut bercampur

marah bergolak dalam hati. Saya berdoa, Ya

Allah lindungi hamba-Mu ini dari orang-orang

yang zalim. Tak henti-henti hati saya berdoa.

Untunglah ada tentara lain yang berteriak,

“Jangan…. jangan…. jangan! Bawa saja, bawa

saja!” Saya kemudian dibentak, “Buka baju!” 

Dalam keadaan telanjang itu saya disiksa.

Padahal saya menahan sakit luar biasa akibat

lutut yang berdarah-darah ditembus peluru.

Saya dipukuli dan ditendangi. Saya merasakan

betapa dada teramat sakit. Bahkan hidung saya

patah akibat dihajar tanpa ampun. Saya benar-

benar diperlakukan sewenang-wenang seperti

memperlakukan seekor anjing. Duhai Allah,

hamba cuma menyuarakan kebenaran, namun 

diperlakukan seperti binatang. 

sesudah  tubuh saya remuk, tentara-tentara

itu menyeret saya. Tubuh saya kemudian di-

lempar ke ke dalam truk bersama-sama korban

lainnya. Saya membatin, mengapa tentara kita

memperlakukan bangsanya sendiri seperti

sampah yang tak berguna? Saya ini bukan korup-

tor dan bukan juga pencuri. Koruptor yang

merampok uang rakyat bermilyar-milyar malah

masih enak-enakan di hotel mewah. Betapa

bancinya ABRI (TNI) kita, sebab  beraninya

cuma pada rakyat kecil seperti saya.

Saya dan para korban yang lain dibawa ke

RSPAD Gatot Subroto di daerah Kwini, di dekat

Senen. Kami dipilah-pilah, mana yang masih

hidup, dan mana yang sudah meninggal. Yang

masih hidup diturunkan dari truk dan dikumpul-

kan di teras RSPAD. Rata-rata merintih kesa-

kitan sebab  dibiarkan begitu saja. Tidak berapa

lama datanglah Panglima ABRI Jenderal LB

Murdani dan Pangdam Jaya Mayjen Try Su-

trisno. Keduanya berdialog dengan seorang

korban yang kemudian baru saya ketahui, ia

bernama . Saya dan korban lain-

nya dibawa ke lantai tiga untuk mendapat per-

tolongan dan perawatan. Selama dua bulan saya

dirawat dan disekap di RSPAD. Setiap kamar

korban selalu dalam pengawasan dan penjagaan

yang sangat ketat. Selama dua bulan itu kami

dilarang dijenguk oleh siapa pun juga. Bela-

kangan saya tahu bahwa selama itu pula ibu dan

ayah saya mencari-cari saya ke mana-mana te-

tapi hasilnya nihil. Orangtua saya itu datang ke

Kodim 0502 Jakarta Utara, ke Polres Jakarta

Utara, ke Laksusda Jaya, bahkan ke RSPAD tem-

pat saya dirawat. namun  selalu gagal, sebab 

selalu dijawab tidak ada korban Tanjung Priok.

Padahal orangtua saya itu dilanda kecemasan

luar biasa. Jejak saya dihilangkan begitu saja. 

Meskipun sudah mencari ke mana-mana,

namun  jejak saya tak pernah terlacak, orangtua

saya dan keluarga. Akhirnya mereka mengang-

gap saya telah meninggal dunia. namun , aneh-

nya kubur saya pun tidak tentu rimbanya. Di

rumah, orangtua saya mengadakan tahlilan.

Mereka berdoa agar saya mendapat tempat yang

layak di sisi Allah. Mereka memang tidak tahu

bahwa saya masih hidup dan dirawat di

RSPAD. namun  semua pintu yang diketuk untuk

mencari tahu nasib saya, semuanya tertutup.

sesudah  dua bulan dirawat di RSPAD saya di-

perbolehkan pulang. Begitu saya tiba di rumah,

keluarga saya dan para tetangga tercengang

melihat saya. Mereka juga bersedih melihat

kondisi saya. Saat berangkat dari rumah pada

tanggal 12 September 1984, saya dalam ke-

adaan sehat. namun  dua bulan kemudian, saya

pulang dengan mempergunakan tongkat di kiri

dan di kanan. Sambil menahan tangis yang

menyayat hati, saya peluk ibu dan ayah saya

sebab  bersusah-susah mencari saya. Saya amat

merindukan mereka.

Dipulangkan untuk Diciduk Lagi

Satu minggu saya merasakan enaknya ting-

gal di rumah bersama ayah dan ibu. Tiba-tiba

petugas dari Kodim Jakarta Utara datang ke

rumah. Dia menjemput saya, tanpa membawa

surat penangkapan. Katanya, saya dipanggil ke

Kodim. Saya bersikeras tidak mau, akan namun 

mereka memaksa dan terus memaksa saya ikut

ke Kodim. Lagi-lagi saya bertahan. Petugas

penjemput itu kembali ke Makodim Jakarta

Utara. namun  tidak lama dia datang lagi ke

rumah saya. Kali ini tidak datang sendirian.

Dia datang membawa banyak petugas Kodim

Jakarta Utara dengan senjata lengkap di tangan.

Mereka memaksa saya untuk ikut mereka ke

Makodim, bahkan mereka meminta tolong

kepada ketua RT untuk mendampingi saya ke

Makodim. Saya akhirnya dibawa tanpa bisa

dicegah lagi. Saya sendiri tidak berdaya melihat

banyak tentara ke rumah saya dengan menyan-

dang senjata. sesudah  dari Kodim, saya dibawa

ke Guntur selama dua hari, lalu saya ditahan di

Rutan Salemba sambil menunggu proses persi-

dangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Akhirnya saya divonis satu tahun enam bulan

penjara, sebab  dianggap melawan petugas yang

sah. Saya beserta teman-teman menjalani

hukuman ini  dengan segala suka dan duka.

Selepas menjalani hukuman penjara, kasus

Tanjung Priok seakan lenyap. Upaya untuk

mengungkapkan secara tuntas kasus ini 

seolah-olah selalu berhadapan dengan tembok

kokoh. Begitu sulitnya untuk bisa menembus-

nya. Barulah sesudah  belasan tahun, yaitu pada

saat awal-awal masa reformasi, saya bersama

Yusron, Irta, dan beberapa teman lainnya, men-

coba mengangkat kasus tragis ini . Kami

berharap kasus tragedi ini  bisa lebih di-

ketahui warga  secara luas dan pemerintah

bahwa ada tindakan kesewenang-wenangan

yang dilakukan oleh aparat keamanan. Kami

ingin warga  sadar bahwa rezim Suharto

atau yang lebih dikenal sebagai Orde Baru

berlaku tidak adil dan tidak manusiawi. Saya

dan teman-teman memandang reformasi meru-

pakan momen yang tepat untuk mengangkat,

mempublikasikan, dan sekaligus memperkara-

kan masalah orang-orang yang bersalah dalam

kasus Tanjung Priok. Kami ingin mereka

bertanggung jawab. Untuk itu mereka harus

dibawa ke muka pengadilan. Sebab, peristiwa

Tanjung Priok menimbulkan banyak korban

jiwa dan banyak korban yang luka-luka seumur

hidupnya. 

Kami para korban tragedi itu ingin sekali

buka suara. namun  bertahun-tahun kami tidak

mampu membuka mulut. sebab , ancaman

dan intimidasi pada masa Orde Baru bukanlah

isapan jempol. Sekali kami berteriak, maka

langsung dicap pemberontak atau gerakan

pengacau keamanan (GPK). Ujung-ujungnya

penangkapan dengan mudah dilakukan. Namun,

begitu reformasi, seakan semua sumbatan itu

tercabut. Simpul-simpul ketakutan seakan lepas

dari katupnya. Maka saat  dilangsungkan

mimbar bebas di panggung terbuka Taman

Ismail Marzuki, para korban tidak lagi punya

kecemasan dan ketakutan. Siapa saja boleh naik

panggung, siapa saja boleh mengungkapkan isi

hatinya. Siapa saja boleh meledakkan amarah-

nya yang selama bertahun-tahun terpendam.

Malam itu TIM seakan menjadi saksi “bersuara-

nya” para korban Tanjung Priok. Tidak sedikit

para korban yang memperlihatkan bekas luka

yang dideritanya. Kami satu per satu menunjuk-

kan cacat bekas penyiksaan aparat keamanan.

Alhamdulillah warga warga  dan maha-

siswa yang hadir memberikan respons positif.

Dampaknya buat kami, empati mereka menjadi

kekuatan kami. Kini, saya tidak takut lagi untuk

mengungkapkan semua perasaan saya yang se-

lama ini saya pendam, sebab  ketakutan luar

biasa menghantui saya.

Saya punya semangat baru. Sebuah sema-

ngat untuk terus berjuang agar tragedi Tanjung

Priok yang membawa korban itu sampai ke

pengadilan. Mulailah saya, bersama Yusron,

Irta dan kawan-kawan yang lain menghubungi

Syarifin Maloko SH, salah seorang korban yang

juga mubaligh. Kami terus berbicara satu sama

lain. Kami bicara dari hati ke hati. Mengungkap-

kan segala yang tersimpan di dada. Meledakkan

semua amarah selama ini. Kami sepakat untuk

bersatu agar perjuangan kami solid dan kuat.

Lalu terbentuklah wadah yang diberi nama

Sontak (Solidaritas Nasional Korban Tanjung

Priok). Syarifin Maloko yang memimpin lem-

baga itu. Kami terus berdiskusi untuk mencari

solusi bagaimana mengusung dan mengungkap-

kan tragedi yang amat memilukan itu. Untuk

konkretnya, dibentuklah tim advokasi API

(Asosiasi Pembela Islam) yang dipimpin oleh

Hamdan Zoelva SH. Kami terus melakukan

aksi-aksi untuk menggalang kekuatan guna

meluluskan pengungkapan peristiwa itu secara

tuntas. 

Namun dalam perjalanan, entah apa yang

menjadi latar belakangnya, gandengan tangan

para korban tampaknya merenggang. Muncul

beberapa wadah lagi. Yayasan 12 September 84

yang diketuai Dewi Wardah Dari masa ke-

pemimpinan Dewi Wardah ini, di samping

menampung korban-korban Tanjung Priok

juga mencari kekayaan. Ini dilakukan oleh pe-

ngurus-pengurusnya yang memakan uang darah

para korban yang mati maupun yang luka-luka.

Tidak lama, kepemimpinan Wardah digantikan

Sofwan Sulaiman. Ternyata sama juga. Bahkan

di bawah kepemimpinan Sofwan, mulailah isu-

isu islah digulirkan oleh Syarifudin Rambe.

Syarifudin Rambe menghubungi Sopwan Ali

sebagai mediator untuk bertemu dengan Hayono

Isman, kawan dekat Try Sutrisno anaknya Isfan

Fajar Satrio.

Muncul juga Mukhtar Beni Biki yang bekerja

sama dengan lembaga advokasi lainnya. Kemu-

dian terjadilah pemeriksaan-pemeriksaan di

Komnas HAM terhadap saksi korban dan

orang-orang yang diduga pelakunya. Amat

menyakitkan saat  Komnas HAM mengata-

kan bahwa dalam peristiwa Tanjung Priok,

tidak ada pelanggaran HAM. Kami para korban

gusar. Komnas HAM akhirnya ditekan dan dide-

mo oleh orang-orang yang peduli dengan kasus

ini . Komnas HAM kemudian mengubah

pernyataan bahwa dalam peristiwa Tanjung

Priok telah terjadi pelanggaran HAM berat. 




“Ditembak di Depan 

Rumah.”

SAYA menghadiri pengajian di Jalan Sindang

pada 12 September 1984 malam. namun  saya

tidak sampai ke podium atau panggung, ter-

lebih lagi sebab  massa sudah menyemut. Saya

hanya mendengarkan melalui loudspeaker di

Jalan Lorong 100 Timur. Menjelang jam 23.00

WIB, saya mendengar ada suara riuh yang

mengajak massa untuk membebaskan empat

orang yang ditahan Kodim. sebab  penasaran,

saya berusaha menuju podium. Belum juga

sampai di podium, massa sudah beramai-ramai

berjalan kaki menuju Kodim 0502 Jakarta

Utara. Saya ikut di barisan belakang. Saat saya

berada di sekitar gedung bioskop Lido, saya

mendengar bunyi tembakan beruntun. Saya

lalu berbelok ke kanan mengarah ke kantor

Dinas Kebakaran Jakarta Utara. Saat itu saya

menyaksikan ribuan orang itu berlarian kocar-

kacir. Mereka mencari perlindungan untuk

menghindari sasaran tembakan. Saya tetap

berjalan di trotoar.

Sampai di Perempatan Permai saya menye-

berang Jalan Yos Sudarso. Saat melangkah itu,

saya dengar tembakan terus-menerus dari arah

Polres Jakarta Utara. Dengan cepat saya ber-

usaha menyelamatkan diri. Saya merunduk dan

menjatuhkan diri di aspal. Saat itu saya men-

dengar rintihan kesakitan, “Allahu Akbar,

Allahu Akbar….” namun  suasana malam itu

begitu panik dan kacau. Saya terus berlindung

agar tak kena peluru yang dimuntahkan ten-

tara. Saya bisa mencapai Jalan Lorong 103

Barat dan terus menuju rumah di Jalan Lorong

100 Barat. Saya segera masuk ke rumah.

Akan namun  rumah gelap, sebab  lampu

mati. Untungnya masih ada sinar dari lampu

jalan. Saya lalu keluar untuk mengecek meteran

listrik, apakah turun atau tidak? Ternyata

memang meteran listrik tidak turun. Rupanya

listrik di rumah-rumah dipadamkan oleh PLN.

Pada saat itulah saya ditembak tentara. Peluru

menembus paha kiri saya. Darah mengucur.

Saya merintih kesakitan dan minta tolong.

Tetangga saya keluar dan begitu melihat saya

tergeletak di pinggir rumah, tetangga saya itu

langsung mengeluarkan mobilnya dari garasi.

Dia membawa saya ke RS Sukmul di Jalan

Tawes. Namun belum sampai di RS, begitu

melintas di depan asrama Arhanud, mobil di-

berhentikan. Tentara-tentara itu memeriksa, dan

begitu melihat saya tertembak, saya disuruh

turun. Saya disuruh naik becak. Mobil tetangga

saya itu disuruh balik. Di RS Sukmul saya lang-

sung diberi pertolongan. Jam 01.30 WIB, saya

lihat ada seorang korban yang datang ke RS

itu. Petugas medis langsung memberikan per-

tolongan.


Jam 05.00 WIB sebuah mobil ambulans

masuk RS Sukmul. Ternyata ambulans itu tidak

membawa korban namun  justru menjemput

saya dan korban yang satunya lagi. Ambulans

jemputan itu mengangkut kami ke RSPAD di

Jakarta Pusat. Saya langsung dibawa ke lantai

8 bersama tentara-tentara yang kena tembak

di Timor-Timur. Sekitar pukul 08.00, semua

korban Tanjung Priok dicek, selanjutnya di-

kumpulkan di lantai 3. Setengah jam kemudian

saya dirawat di lantai 1. Luka saya dibersihkan.

sesudah  paha saya dibersihkan, saya dikemba-

likan lagi ke lantai 3. Di sanalah saya dirawat

sampai luka di paha kiri saya benar-benar sem-

buh. Barulah saya dioperasi penyambungan

tulang. Saya hitung saya dirawat di RSPAD

selama 42 hari. 

Dari RSPAD saya dibawa ke Guntur. Saya

diperiksa bersama 7 korban lainnya. sesudah 

itu, saya dibawa ke Kodim 0502 Jakarta Utara.

Kembali saya diinterogasi. Saya bersama 7 orang

korban itu akhirnya diperbolehkan pulang.

namun  kami diwajibkan untuk melapor Senin-

Kamis ke Kodim. namun , saya tidak sekalipun

melakukannya. Saya langsung pindah rumah

ke rumah orangtua saya di daerah Makasar,

Jakarta Timur.


Berjuang untuk Keadilan

Bertahun-tahun kasus Tanjung Priok terku-

bur. Tanpa ada yang peduli. Syukurlah harapan

saya dan juga para korban lainnya ada titik

terang di masa reformasi. Mulanya tergugah

oleh ceramah Bapak Amien Rais di Mesjid Al-

Husna, dekat Terminal Tanjung Priok. saat 

Amien Rais mengatakan para korban bisa me-

nuntut, segeralah para korban mendaftarkan

diri di mesjid PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah

Islamiyah) yang dirancang oleh Sontak yang

dipimpin Syarifin Maloko. sesudah  ada rapat

untuk mendirikan Yayasan 12 September 84

yang kemudian dipimpin Ibu Dewi Wardah.

Yayasan dan Sontak bersama Asosiasi

Pembela Islam (API) dan Kontras kemudian

mendatangi Komnas HAM. Saya sendiri tak

henti-hentinya bersama Kontras, mencari

kuburan para korban peristiwa Tanjung Priok.

Saya ikut mendatangi makam-makam di daerah

Condet dan Pondok Rangon di Jakarta Timur,

juga di Mengkok, Jakarta Utara. Berikutnya

makam-makam di Mengkok digali. Ditemukan-

lah 8 kerangka korban kasus Tanjung Priok.

sesudah  itu digali pula makam-makam di

Pondok Rangon. Kami temukan pula 8 kerangka

korban Tanjung Priok. Hanya di Condet yang

tidak berhasil digali, sebab  makam-makam

para korban Tanjung Priok itu sudah ditumpuk

dengan kerangka warga setempat. Sampai

akhirnya kasus Tanjung Priok diproses secara

hukum.

Namun rupanya ada gerakan lain. beberapa 

korban melakukan islah dengan Pak Try Su-

trisno. Pak Try menjanjikan dana abadi kepada

para korban Tanjung Priok. Namun itu semua

cuma janji kosong. Sebagian korban menuntut

lebih keras agar para pelaku penembakan atau-

pun yang bertanggung jawab segera diadili di

pengadilan. Sebanyak 14 korban terus berjuang

untuk mencari keadilan, meski diteror dan

diintimidasi. sebab , kami cuma menuntut

hukum ditegakkan seadil-adilnya.




“Dihantui Suara-suara 

Aneh.”

KAMIS, 13 September 1984. Pagi-pagi sekali

saya mendengar peristiwa berdarah meletus di

Tanjung Priok. Kabar itu terdengar santer dari

mulut ke mulut, meski belum jelas benar. Saya

agak cemas, sahabat saya  yang

tinggal serumah dengan kami belum pulang

juga. Semalam dia memang ikut hadir pada

pengajian di Jalan Sindang, Tanjung Priok.

, kakak saya, segera keluar rumah.

Kakak saya ingin mencari informasi, apa yang

terjadi sebenarnya semalam? namun  hampir

semua jalan yang menuju ke Tanjung Priok di-

blokir. Tidak seorang pun diperbolehkan pergi

menuju arah Tanjung Priok.

Sementara sepanjang siang hari itu rumah

kami di Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat,

didatangi aparat militer. Tentara itu menanya-

kan, “Ke mana perginya kakakmu?” Saya men-

jawab dengan jujur bahwa kakak saya pergi

untuk mencari berita apa yang telah terjadi pada

malam tadi. Namun sepertinya aparat militer

itu tidak puas. Beberapa kali aparat militer itu

bolak-balik datang ke rumah, dan menanyakan

hal yang sama. Saya mulai risau, dag-dig-dug.

Akhirnya kakak saya pulang dengan pera-

saan cemas. Tak lama sesudah  itu Syaiful pun

datang dengan selamat. Namun kami dilanda

kecemasan. Esoknya, saat  hati kami masih

diliputi rasa was-was, tiba-tiba kami dikejutkan

oleh suara orang menggedor pintu secara tidak

sopan. Kakak saya  membuka pintu.

Namun dia segera diseret keluar rumah. Bebe-

rapa orang berdiri di depan pintu, Saya hitung

sekitar lima orang, di antaranya yang pernah

datang kemarin. Di luar saya lihat ada dua truk

penuh tentara. Kakak saya langsung diborgol. 

Melihat kejadian itu, saya langsung mem-

bentak. “Mana surat tugas?” Mereka tidak

menjawab. Saya meradang lagi, “Ke mana kakak

saya akan dibawa?” namun  mereka tetap diam

seribu bahasa. Bahkan tentara itu balik ber-

tanya, “Kamu kan ? Kamu ikut saya!”

Saya pun dibawa secara paksa. Namun, saya

sempat minta ijin untuk berganti pakaian. Saya

bangunkan kakak ipar saya, sebab  aparat

militer itu ingin masuk ke kamar kakak saya.

sebab  sedang tidur, saat itu kakak ipar saya

keadaannya setengah telanjang. namun  aparat

itu memaksakan untuk masuk. Melihat itu, saya

segera berdiri di pintu dan menghalangi mereka.

Saya bangunkan kakak ipar saya itu. Dengan

cepat tentara-tentara itu mengobrak-abrik

kamar itu. 

Bahkan tentara-tentara itu menggeledah

seluruh isi rumah. Semua kamar diobrak-abrik.

Kamar saya juga tidak luput. Mereka mengambil

Al Quran yang masih terbuka bekas saya baca.



Mereka juga membawa lemari artikel  dan dua

keranjang berisi artikel . Tak ada ruang yang ter-

lewati. Sampai dapur juga diacak-acak. Mereka

mengambil pisau dapur dan penggaris besi

yang biasa dipergunakan untuk membuat teng-

teng kacang. Saya sempat bertanya, untuk apa

artikel  dan alat-alat dapur itu dibawa? Mereka

menjawab bahwa semua itu untuk tanda bukti.

Baru belakangan aku berpikir, tanda bukti se-

buah kebiadaban pemerintah Orde Baru. Aneh

memang, sebab  saya tidak ikut terlibat dalam

peristiwa Tanjung Priok. Bahkan saya tidak ikut

pengajian malam itu. Apakah aparat keamanan

itu mengambil saya hanya gara-gara saya aktif

di pengajian? Apakah mereka menciduk saya

hanya gara-gara saya kenal dengan beberapa 

penceramahnya? Sebuah logika yang tidak

masuk akal.

Namun alasan-alasan itu rasanya tidak ber-

arti. Tentara-tentara itu seperti robot yang cuma

bisa menciduk tanpa perlu tahu alasannya,

kecuali dugaan-dugaan keji. Saya sadar bahwa

saya tidak mampu menolak mereka. Di depan

mata terbayang kematian. Garis hidup saya

mungkin akan berakhir. Dengan perasaan sedih,

saya berpamitan dengan kakak ipar saya. Saya

peluk dia erat-erat sambil derai air mata mem-


basahi pipi. Saya merogoh saku. Ada uang Rp

100.000, yang segera saya berikan kepadanya.

Saya tidak punya harapan lagi. Saya titip anak-

anak saya. Saya pasrahkan kepada Allah Yang

Maha Agung. Dengan cucuran air mata, saya

tinggalkan rumah itu bersama dengan 6 orang

lainnya. Selain kakak saya  dan

, mereka menciduk juga tamu dan

juga teman-teman Syaiful yang ada di rumah

kami. Kami pergi tanpa membawa bekal apa-

pun, kecuali pakaian yang menutupi tubuh.

Kami digiring seperti maling yang tertang-

kap basah. Malam itu suasana di sekitar saya

terlihat senyap. Para tetangga tak ada yang

menyaksikan. Mungkin saja mereka sudah tidur

sebab  malam makin larut. namun  siapa sih yang

berani terlebih melihat dua truk militer penuh

tentara menjemput kami. Aroma ketakutan

menyebar di sekeliling kami. namun  saya pas-

rahkan hidup kepada Allah. Saya tahu mati

syahid yaitu  dambaan umat yang beriman.

saat  akan dinaikkan ke atas truk, saya meno-

lak. Saya katakan, sebab  saya perempuan, saya

tidak mau dicampur dengan lelaki. Saya di-

bawa dengan mobil jip yang di dalamnya ada

seorang Kowad dan seorang aparat militer

(pria). Kowad itu nyeletuk, “Duh, asyiknya...”.

Nadanya menghina, tanpa saya tahu apa mak-

sudnya. Saya sempat diturunkan di sebuah pos

polisi di Cempaka putih. namun  saya tidak me-

lihat kakak dan teman-temannya di pos itu.

Saya pun panik. Saya bertanya, namun  tak di-

gubris. Akhirnya saya dibawa ke Kodim Jakarta

Pusat. Alangkah bahagianya hati, sebab  saya

dapat bertemu dengan kakak dan teman-

temannya dalam keadaan hidup dan terborgol.

Beribu syukur saya ucapkan kepada Allah

SWT. Soalnya, saat itu begitu misterius di mana

banyak orang hilang tak tentu rimbanya. Mati

tak jelas makamnya. Penculikan dan pembu-

nuhan amat menakutkan. 

Jilbab Saya Dirobek

Kebahagiaan itu cuma sesaat. Saat bersa-

maan hati serasa pilu. Saya menyaksikan kakak

dan teman-temannya diinterogasi tentara.

Bukan cuma ditanyai, tentara-tentara itu mela-

kukan penyiksaan untuk mengorek informasi

maupun pengakuan. Saya menyaksikan kakak

saya dan teman-temannya dipukuli, rambutnya

dijambak, kepalanya digoyang-goyangkan, jeng-

gotnya ditarik, sampai tubuhnya ditelanjangi

dan disetrum. Hati serasa disayat-sayat. Saya

cuma bisa bertakbir di dalam hati.



Saya juga mendapat giliran diinterogasi.

Yang menginterogasi yaitu  Kowad yang satu

mobil dengan saya. Dia menanyakan nama ayah

saya. namun  saya keberatan. sebab , saya kha-

watir ayah juga akan ditangkap. Padahal ayah

menjadi tumpuan sebab  anak-anak saya titip-

kan padanya. namun  Kowad itu tak berhenti

mengorek keterangan. Dia melakukannya de-

ngan penyiksaan pula. Dia menampar pipi saya

dengan keras. Bahkan biadabnya, dia mengan-

cam akan menelanjangi saya di depan kakak

saya dan teman-temannya. Secepat kilat dia

sudah merobek jilbab yang saya kenakan dengan

gunting. Saya benar-benar terkejut. Saya ber-

diri dan mundur sambil memasang kuda-kuda.

Terlihat dia bingung, dan menyuruh saya

duduk kembali. Di tengah ketakutan itu, saya

masih mendengar jeritan kakak dan teman-

temannya yang disiksa. Pikiran saya tak karu-

karuan.

Pemeriksaan sempat berhenti menjelang

shubuh. Saya bisa shalat shubuh meski hanya

dapat bersajadahkan selembar koran. sesudah 

itu mulai lagi diinterogasi. Kowad itu kembali

mengulang pertanyaan, “Nama ayah kamu?”

Saya tetap tidak mau menyebutkan. Sampai

akhirnya aparat menyeret kakak saya dan me-

mukulinya persis di samping saya. Akibat tak

tahan mendapat penyiksaan yang tertubi-tubi,

akhirnya kakakku menyebut nama ayah kami.

saat  fajar mulai menyingsing Kowad ini 

melemparkan roti. Namun saya tidak menerima

perlakuan seperti itu. Perut saya mendadak

kenyang sesaat . Saya pikir, lebih baik ber-

puasa dibandingkan  mendapat penghinaan seperti

itu. 

Hari itu lewat begitu saja tanpa ada makan

siang. Menjelang sore hari kira-kira pukul 16.00

WIB rombongan kami dipindahkan ke Mapolres

Jakarta Pusat. Di tempat itu, kami kembali

menjalani proses pemeriksaan. Polisi kembali

menginterogasi. Saat maghrib tiba, saya berbuka

puasa. Ada nasi yang sangat keras (pera) tanpa

lauk-pauk. Namun perut saya tak mau menerima

makanan hingga akhirnya saya berbuka tanpa

memasukkan makanan ke dalam tubuh. Setiap

saat saya hanya dapat bertakbir sebab  selalu

mendengar jeritan-jeritan yang memilukan

dari ruangan lain. Hati saya serasa dicabik-

cabik mendengar jeritan-jeritan itu.

Tengah malam itu juga rombongan kami

dibawa ke Markas Pomdam Jaya di Guntur. Di

markas itu, kembali kami mendapat siksaan.

Di hadapan saya, aparat menelanjangi kakak

saya dan teman-temannya. Pakaian mereka di-

lucuti semua. Mereka cuma mengenakan celana

dalam. Dan dalam kondisi seperti itu mereka

sengaja dipertontonkan di depan saya. Naudzu-

billah! sesudah  itu saya melihat mereka digiring

ke belakang markas ini . Tak lama terde-

ngar jeritan melengking tak henti-hentinya.

Saya mendengar teriakan kakak saya yang

amat menyayat hati, “Allahu Akbar...!” Teriakan

itu berulangkali saya dengar sebab  tak semenit

pun penyiksaan berhenti. Tanpa sadar saya pun

menyahut keras; “Allahu Akbar....” Saya berdoa,

semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada

kami yang sedang menerima cobaan. Aparat

militer yang ada di depan saya menatap ke arah

saya, seraya bertanya kepada atasannya, “Mau

diapakan perempuan ini?” Atasannya tidak

memberikan jawaban yang jelas. Lalu saya di-

masukkan ke sebuah kamar. Saya merebahkan

tubuh di atas dipan. namun  aparat militer di

sana mengintip dan berteriak-teriak memanggil

saya dengan kata-kata menggoda “Hai, hai!”.

Saya makin ketakutan. Saya membayangkan

mereka akan berbuat lebih jahat lagi. Saya cemas

akan godaan-godaan mereka. Saking takutnya,

sepanjang malam itu saya tidak bisa memejam-

kan mata. Sepanjang malam itu pula dari luar



kamar terdengar jeritan orang-orang yang

disiksa.

Akibat depresi itu saya nyaris kehilangan

memori. Saya lupa berapa lama saya ditahan di

Guntur. Jika tak keliru antara 2-3 hari. Apalagi

selama ditahan di Guntur, hanya perlakuan

tidak manusiawi yang saya terima. Tidak ada

air yang layak untuk mandi sebab  airnya ber-

bau kapur yang membuat bibir pecah-pecah.

Akibatnya, selama di Guntur saya tidak pernah

mandi. Mereka tidak memberikan sikat gigi.

Jangankan membayangkan makanan yang enak,

makanan yang layak saja tidak pernah diberi-

kan, sehingga setiap kali makan, mulut saya

tak mampu untuk mengunyah dan menelan

makanan itu. Didera penderitaan seperti itu,

penyiksaan juga tak berkurang. Dua orang

Kowad sempat menelanjangi saya secara paksa.

Ya Allah, saya meronta keras dan merasa sangat

terhina. Dua wanita tentara itu tidak lagi mem-

perlakukan saya sebagai seorang wanita, terlebih

lagi sebagai seorang muslimah. Mereka benar-

benar kejam. Setiap kali melakukan interogasi,

setiap saat pula mereka membentak-bentak agar

saya mengakui saja terlibat pengajian di Tan-

jung Priok pada 12 September 1984. Saya di-

paksa untuk menceritakan kasus Tanjung Priok

itu. Mereka menanyakan tentang Pancasila dan

lainnya. sebab  kesal, saya balik bertanya “Me-

ngapa saya ditangkap?” Ternyata mereka tidak

mampu menjawabnya. Mereka justru memaksa

saya untuk membubuhkan cap jempol dan sidik

jari. 

Dirayu Kapten

sesudah  ditahan 2-3 hari di Guntur, pada

suatu malam saya dimasukkan ke mobil. Saya

sendirian. Hati saya bertambah ketar-ketir. Saya

pikir, malam itu tamatlah riwayat saya. Mereka

akan membunuh saya secara misterius. namun 

saya pasrahkan saja kepada Allah SWT. Di

mobil itu saya bertayamum kemudian shalat

sambil duduk. Saya melirik keluar, mobil mele-

wati daerah Cililitan, kemudian Kramat Jati dan

terus menuju ke arah Bogor. Tak lama kemudian

saya tiba di suatu tempat yang belakangan saya

ketahui sebagai RTM (Rumah Tahanan Militer)

Cimanggis, sebuah rumah tahanan yang dipe-

runtukkan bagi terpidana militer. Saya digiring

turun dari mobil. Saya melewati sebuah lorong,

dan di situ ada sebuah pintu bertulisankan

“Abdul Qodir Jailani”. Bahagia rasanya sebab 

beliau masih hidup. Saya melihat dari sebuah

lubang beliau tertelungkup. namun  ke mana



kakak saya dan teman-temannya? Sejak hari

pertama, saya didera pertanyaan seperti itu,

sampai saya sendiri bosan mengucapkannya. 

Di tempat itu, kembali saya mendengar je-

ritan-jeritan pilu orang-orang yang disiksa

aparat militer. Setiap malam, gerak-gerik saya

dimonitor. Saya tidak punya tempat untuk sem-

bunyi, apalagi tempat berlindung. Saya seakan

diawasi banyak mata dengan wajah menyeringai.

Ada suara-suara gaib yang menghantui. Maka

setiap malam, saya selalu berteriak-teriak bak

orang gila. Saya nyaris tak tertahan menanggung

derita itu. Sungguh selama ini saya punya kepri-

badian yang sulit goyah, keimanan saya sulit

terkalahkan. namun  akibat teriakan-teriakan se-

tiap malam itu, tahanan lain menganggap saya

sudah gila. Tiba-tiba saya merasakan mental

saya menciut. Saya malu setiap ditatap tahanan

lain. Mental saya benar-benar hancur. Ada saja

aparat yang menggoda saya. Suatu saat 

selepas saya dari kamar mandi, tahu-tahu ada

seorang aparat berpangkat sersan mayor meng-

goda sambil senyum-senyum. Amat menjijik-

kan! Bahkan saya terkejut bukan kepalang

saat  seorang Kapten Budi Utomo masuk ke

sel saya. Dia menginterogasi saya. Yang tidak

terduga dia bertanya, apakah tubuh saya bisa

dilihat? Jawaban yang saya berikan cukup

diplomatis sehingga dia bisa tersenyum. namun 

segera saya melanjutkan kata-kata bahwa dia

boleh melihat asal kami menikah dulu. Men-

dadak dia geram dan mengatakan bahwa dia

sudah punya istri. namun  itulah cara satu-satu-

nya yang saya ajukan untuk mempertahankan

diri dari kezalimannya. sesudah  peristiwa itu

saya terus-menerus diteror siang malam. Suara-

suara aneh selalu menghantui. Bahkan sel saya

pernah dilempari ular. Mental saya benar-benar

diteror. Jiwa saya terguncang, fisik pun mulai

memburuk akibat kurang istirahat. 

Suatu hari tubuh terasa sulit digerakkan.

Kaku! Dalam benak, saya bertanya, sudah mati-

kah saya? Dengan kekuatan yang ada, saya ke-

rahkan seluruh tenaga sambil berucap “La haula

walaa quwwata Illah billahil’aliyyil adzim”,

saya berhasil bangkit. Saya menuju ke kamar

mandi. Namun setiap kali hendak melepaskan

pakaian, seolah-olah ada mata yang meng-

awasi. Mata itu seakan ingin sekali melihat saya

tanpa pakaian. Saya akhirnya tidak jadi mem-

buka pakaian. Saya siramkan air ke tubuh tanpa

membuka pakaian. Maka setiap akan pergi ke

kamar mandi sebetulnya saya dihantui keta-

kutan. Belum lagi telinga saya selalu mendengar



suara-suara aneh bahwa saya segera dibunuh.

Saya ungkapkan kecemasan itu kepada Kapten

Budi yang masuk ke sel pada suatu sore. 

“Kalau mau dibunuh, ngomong ya!” katanya.

“Sekarang saya ngomong,” kata saya. 

“Entar ngomongnya!” jawabnya. 

“Kalau entar, saya sudah mati,” jawab saya. 

Kapten Budi lalu menawarkan jasa. Untuk

melindungi saya, dia akan tinggal bersama saya

di sel. 

“Tapi di luar,” kata saya.

“Di dalam,” katanya. 

Dia lalu pergi. Saya berteriak, “Paaak!”. Dia

berbalik lagi.