Rabu, 05 Juli 2023
Home »
andeande lumut
» andeande lumut
andeande lumut
Juli 05, 2023
andeande lumut
Dahulu kala hiduplah empat orang raja. Seorang bernama Lembu Amiluhur, bertahta di
negeri Jenggala. Yang kedua Lembu Peteng
adalah Raja Kediri. Yang ketiga Lembu Menggareng yang bersemayam di Ngurawan, dan
yang keempat adalah Lembu Amijoyo, Raja Singasari. Keempat raja tersebut hidup ruku.n
dan damai di negeri mereka masing-masing yang
sangat luas. Mereka tidak mempunyai keinginan
untuk saling mengganggu atau saling merugikan
sa tu sama lain. Demikian keempat raja itu tersohor kerukunannya. Bukan hanya di antara
mereka para raja itu bersikap baik. Kepada rakyat pun mereka baik dan adii. Siapa yang jujur
dan bekerja keras, diberi upah sebagai imbalan
dan makanan. Tapi siapa yang berbuat salah dihukum tidak pandang bulu. Demikian keadaan
di empat negeri itu. Aman tenteram, subur dan
makmur.
Sang Prabu Lembu Amiluhur mempunyai seLfrang putra yang bernama Raden Panji Kudawaning Pati. Tetapi ìa lebih terkenal dengan
nama Raden Putra, sebagaimana rakyatnya menyebutnya. Putra raja itu sangat tampan dan agung laksana seorang dewa dari kahyangan, seperti Sang Hyang Kamajaya. Sang Prabu Amiluhur ingin agar putranya tidak hanya bagus
lahiriah saja, rohaniah pun ia harus baik. Karena itu Raden Putra mendapat pelajaran dari
para pendeta yang paling pandai dan tersohor.
Sang Prabu Lembu Peteng mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Banyak raja telah
melamarnya, namun tak seorang pun berkenan
di hati sang putri. Bahkan sang Putri demikian
marah terhadap pria bangsawan yang melamarnya, hingga ia mengancam akan mengakhiri hidupnya, bilamana ia dipaksa menerima lamaran
dari salah seorang pria yang telah melamarnya.
Ketika ia mendengar bahwa Raden Putra telah
melamarnya, tiba-tiba hilanglah rasa bencinya.
la bersedia menikah dengan putra raja Jenggala
itu.
Tak lama kemudian pesta perkawinan dilangsungkan dan kedua anak raja itu merasa sangat
berbahagia. Setelah pernikahannya, Raden Putra dinobatkan menjadi putra mahkota dan kini
ber gelar Adipati Anom. Namun tak lama kemudian kebahagiaan kedua anak raja itu berakhir.
Sang Prabu Lembu Amiluhur telah lanjut usianya dan dirasanya makin berat memegang pucuk pimpinan kerajaannya. Pada suatu hari timbul gagasan pada dirinya, "Mengapa anakku harus menunggu sampai aku mangkat untuk naik
tahta kerajaan. Lebih baik ia sekarang menjadi
raja, selama aku masih sehat dan kuat. Aku da-
pat mendampingi dan membantunya dalam tugas berat itu, sehingga aku dapat menutup mata
dengan hati yang tenang, karena mengetahui
bahwa rakyatku memiliki seorang raja yang
sanggup menjalankan tugasnya."
Sang Prabu Lembu Amiluhur memanggil para
penasehatnya dan lain sesepuh yang arif bijaksana untuk merundingkan gagasannya itu. Setelah lama bermusyawarah mereka setuju dengan
gagasan sang raja itu. Akhirnya sang Pangeran
Adipati Anom dipanggil untuk menghadap
ayahnya. Kini ia mendengar apa yang telah diputuskan ayahnya dan yang disetujui para penasehat yang arif bijaksana itu. Akan tetapi Raden
Putra menolak. "Haruslah aku mendahului tahta kerajaan pada saat ayahku masih hidup. Seolah-olah aku menggeser ayahku dari tahtanya.
Tidak! Aku tak akan mau. Dunia luar akan mengira bahwa aku telah merebut kekuasaan dari
tangan ayahku. Aku tidak mau menjadi raja sekarang!"
Bagaimanapun Raden Putra dibujuk rayu dan
dipaksa secara halus untuk patuh terhadap keputusan ayahnya, ia tetap menolak. "Pikirkan
sa ja dahulu!" kata salah seorang penasehat tua
yang arif bijaksana itu. Ketika Raden Putra mengundurkan diri, mereka berunding sekali lagi.
Namun sang raja bersikeras dan tak mau merubah niatnya. "Aku sudah tua sekarang. Tugasku
kini kurasakan terlampau berat," kata sang Raja.
Kemudian kata salah seorang penasehat, "Mari
kita ceritakan kepada sang Pangeran Adipati
Anom bahwa ayahanda sangat murka dan tak
kenal ampun bila ia tetap menolak." Sekali lagi
Raden Putra dipanggil dan diberitahukan apa
yang telah diputuskan. Akan tetapi Raden Putra
tetap menolak untuk menjadi raja selama ayahnya masih hidup. Akhirnya ia diancam akan dikucilkan dari kerajaari. Dan barang siapa menolong atau melindunginya akan mendapat hukuman pula.
"Apakah tak ada orang yang mengerti akan
diriku," keluh Raden Putra. Semua orang menundukkan kepala. Keputusan terakhir itu sama
halnya dengan hukuman mati. "Lebih baik aku
mati daripada sekarang menggantikan ayahku
menjadi raja," ujar Raden Putra.
Sang raja menjadi sangat murka mendengar
ucapan itu, hingga diusirnya Raden Putra seketika itu juga dari istananya. Maka sejak saat itu
Raden Putra harus berkelana di alam dunia
yang luas.
Raden Putra pulang dahulu, ternyata istrinya
telah tertidur. la tidak membangunkannya mela inkan pergi ke serambi muka dan memikirkan
apa yang harus diperbuatnya. Dua pembantunya
yang setia dan selalu mengikuti ke mana ia pergi,
kini mengikutinya pula ke serambi muka. Kedua
pembantu itu pun merasa bimbang. Mereka tic-ak tega membiarkan majikannya berkelana seorang diri. Sejak masa kecilnya mereka telah
mengasuhnya. Juga mereka mengetahui hukuman
berat yang akan menimpa diri mereka, biia mereka mengikuti majikannya ke mana pergi. Sambil berlutut di hadaoan Raden Putra mereka
memohon untuk ikut serta dalam pembuangannya. Raden Putra sangat senang mendengar permintaan kedua pembantunya yang setia i tu. Mei eka menanyakan apakah Raden Putra tidak mengajak istrinya ikut serta dalarn pembuangannya.
"Aku tidak sampai hati mengajak dia dalam
kehidupan yang tak menentu itu. Apakah tidak
terlalu berat baginya untuk hidup di hutan? Di
s.ini ia terlindung. Akan tetapi bila ia benar-benar
mencintaiku, ia akan mencariku dan menemuiku
di mana pun aku berada," demikian ujar Raden
Putra. Kedua pembantu mengundurkan diri untuk menyiapkan keperluan perjalanan tersebut.
Perlahan-lahan Raden Putra masuk ke dalam
kamar tidur istrinya. Beberapa lama dipandangmya wajah cantik istrinya yang sedang tertidur.
Akhirnya disadarinya bahwa telah tiba saatnya
untuk berpisah. Ditulisnya sepucuk surat yang
berbunyi, "Yayi (istriku), bila engkau terbangun, aku telah jauh darimu. Karena sesuatu
hai aku terpaksa meninggalkanmu, di manapun
aku senantiasa akan mencintaimu dan tak akan
melupakanmu." Surat itu diletakkannya di samping istrinya. Dicium dan dibelainya istrinya
perlahan-lahan untuk tidak membangunkannya.
Kemudian ia pergi untuk berkelana, memasuki
lembaran hidup baru yang penuh teka-teki.
Pada malam itu mereka bertiga berjalan tak
menentu arah tujuannya. Ketika fajar menyingsing mereka sampai ke sebuah hutan. Di sini mereka tinggal selama empat bulan. Mereka hanya
rnakan buah-buahan saja dan minun air kelapa.
Kehidupan semacam ini lama-kelamaan terasa
membosankan. Kemudian kedua pembantu Raden Putra mengusulkan kepada majikannya untuk menyamar dan pergi ke sebuah hutan yang
terdekat. Semula Raden Putra tidak memperhatikan usul kedua pembantunya itu. Namun ketika mereka mendesak, akhirnya Raden Putra
menyetujuinya. Ia menyamar sebagai seorang
pemburu. Mereka pun memasuki kota Dadapan.
Di kota ini hidup seorang janda miskin, yang
Larus bekerja berat untuk sesuap nasinya. Ketiga pemburu itu merasa haus dan melihat sebuah
rumah kecil tempat tmggal si janda miskin itu.
Mereka menuju ke sana dan memohon seteguk
air minum.
"Dari mana kalian datang dan ke mana kalian
hendak pergi?" tanya mbok Rondo itu (perempuan janda).
"Saya bernama Ande-ande Lumut, dan itu
adaiah dua pembantuku, Gempol dan Ceblung,"
Jawab Raden Putra." Tempat tinggal kami di
hutan dan kami mohon seteguk air!" sambung
Raden Putra. Ketika mereka telah minum,
mbok Rondo mengusulkan supaya mereka tinggal bersamanya. Mereka bertiga dapat membantunya mencarikan nafkah. Demikian Raden Putra menjadi anak angkat mbok Rondo dan kedua
pembantunya menjadi saudara mbok Rondo itu.
Apa yang terj adi dengan istri Raden Putra,
Dewi Candrakirana? Ketika ia terbangun dilihatnya surat suaminya. Hatinya merasa sangat
sedih ketika dibacanya surat itu. Tak berapa lama kemudian tahulañ ia tentang apa yang telah
terjadi antara suaminya dengan sang Raja.
Dewi Candrakirana membaca surat suaminya
sekali dan sekali lagi sambil menangis tersedusedu. Sementara itu datang utusan dari sang
Raja untuk menanyakan apakah sang Pangeran
Adipati Anom betul telah berangkat, karena
sang Raja kini telah menyesali kemurkaannya.
Ketika beliau mendengar bahwa putranya telah
meninggalkan istana, dikirimkannya utusan-utusan ke segala penjuru untuk mencari Raden Putra. Barang siapa yang dapat menemukan sang
Pangeran Adipati Anom ataupun memberitahukan suatu berita akan diberikan hadiah yang
setimpal.
Dewi Candrakirana tidak sabar menunggu
hingga salah seorang utusan kembali membawa
berita. Ia sendiri hendak pergi mencari suaminya. Maka iapun ber^ngkatlah seorang diri. Ia
menjelajahi hutan belukar, menaiki bukit dan
menuruni jurang. Akan tetapi ia tak dapat menemukan jejak suaminya barang sedikitpun.
Akhirnya ia menjadi putus asa. Sambil menangis sedu sedan ia menjatuhkan dirinya dan meni anjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba Batara Nnrada berdiri di hadapan-
nya. Batara Guru telah mendengar doa wanita
rnalang itu dan kini mengutus Batara Narada
turun ke bumi untuk menanyakan apakah permohonan Dewi Candrakirana itu. Dewi Candrakirana memohon agar dapat menemukan suamiriya, baik hidup maupun mati.
"Apa yang dapat kau perbuat sebagai imbalan?" tanya Batara Narada.
"Segalanya, aku rela berbuat. Bahkan mati
pun aku rela, asalkan dapat menemukan suamiku," jawab Dewi Candrakirana.
"Baiklah, kau akan menemukan suamimu, namun kau harus menjalankan suatu percobaan
dahulu," ujar Batara Narada. "Pergilah ke arah
barat. Di desa Karangwulusan hidup seorang
janda dengan tiga orang anak putrinya. Kau
harus bekerja di sana, Kau tak boleh menolak
pekerjaan apapun, bahkan yang sangat meletihkan maupun yang sangat kotor."
Dewi Candrakirana berjanji akan menjalankan
perintah itu. Kemudian Batara Narada memberikan sebuah senjata, "Cis" *) kepadanya.
Akan tetapi Cis ini hanya dapat digunakan dalam keadaan yang sangat perlu.
Demikianlah Dewi Candrakirana bekerja pada
mbok Rondo di desa Karangwulusan itu. Mbok
Rondo seorang wanita yang baik hati, namun
anak-anak putrinya sangat dengki dan malas.
Segalanya harus dikerjakan oleh Dewi Candra-
kirana seorang diri. Semula Dewi Candrakirana
memakai ñama samaran Sriwayam. Akan tetapi
mbok Rondo berkata, bahwa nama itu tidak bagus dan ia akan memanggilnya "Kleting Kuning." Maka Dewi Candrakirana kini bernama
Kleting Kuning.
Anak-anak mbok Rondo bernama Kleting
Abang, Kleting Biru dan Kleting Ungu. Ketiga
Kleting ini sangat membenci Kleting Kuning,
karena Kleting Kuning jauh lebih cantik daripada mereka. Bila mbok Rondo ke luar rumah
mereka mengejek dan menyiksa Kleting Kuning.
Dan Kleting Kuning tak berani melawan sedikitpun.
Pada suatu hari mereka memerintahkan Kleting Kuning untuk menggosok sebuah dandang
yang sangat kotor. Dengan patuh Kleting Kuning pergi ke kali untuk menggosok dandang
tersebut. Akan tetapi bagaimanapun ia menggosok dandang itu tidak dapat bersih juga. Akhirnya ia pulang dengan hati sedih. Di tengah jalan, ketiga Kleting menyongsongnya. Ketika mereka melihat bahwa dandang itu masih saja kotor, mereka memukuli Kleting Kuning demikian hebat, hingga Kleting Kuning jatuh pingsan.
Ketiga gadis itu sangat terkejut dan kemudian
melarikan diri.' Mereka mengira bahwa Kleting
Kuning telah mati, dan hal itu bukanlah maksud mereka.
Beberapa lama kemudian Kleting Kuning sadar kembali. Ia tidak berani pulang, lagi pula ia
tidak tahan menderita lebih lama lagi. Ia kembali ke kali dan berdoa dari dalam lubuk hatinya semoga dibebaskan dari penderitaannya.
Tiba-tiba turun seekor Garuda dari langit dan
berdiri di dekatnya. Garuda itu bertanya kepada
Kleting Kuning dengan suara manusia mengapa
ia bersedih hati. Kleting Kuning menceritakan
apa yang telah terjadi.
"Andaikan, aku dapat menolongmu apa yang
akan kau berikan kepadaku. Sebagai imbalannya?" tanya sang Garuda.
"Apa saja yang engkau kehendaki," jawab Kleting Kuning. Kemudian sang Garuda menggigit
dandang kotor itu dengan paruhnya dan membanting-bantingnya di dalam air hingga menjadi bersih dan mengkilat. Dengan penuh kekaguman Kleting Kuning menyaksikan hal itu.
"O, banyak terima kasih! Kini apa yang harus
kuperbuat untukmu?" tanya Kleting Kuning.
"Aku ingin engkau minjadi istriku!" jawab
sang Garuda. Kleting Kuning sangat terkejut
mendengar ucapan itu. Akan tetapi ia tidak boleh mengingkari janjinya. Ia hanya minta waktu sehari lagi, karena mau menyerahkan dandang
itu ke rumah.
Setiba di rumah, tiga gadis Kleting terperanjat melihatnya. "Masih hidupkah si Kleting Kurving. Lagi pula ia berhasil membersihkan dandang tua itu. Apakah itu Betul Kleting Kuning
atau arwahnya?" piklr mereka. Mereka kini melasa takut terhadap Kleting Kuning. Namun
Kleting Kuning terlampau sedih unt.uk memikirkan ke tiga Kleting itu. Ia memikirkan janjinya kepada Garuda itu, karèna ia sama sekali
tidak suka menj adi istrinya. Akan tetapi ia seorang anak raja dan mengetahui bahwa janji
harus ditepati.
Maka keesokan harinya ia pergi ke kali lagi.
Sang Garuda sudah menunggu di sana.
"Apakah engkau betul mencintaiku, hingga
engkau hendak memperistriku?" tanya Kleting
Kuning.
"Aku sangat cinta padamu!" balas sang Garuda.
"Apakah cintamu demikian besar, hingga
engkau sanggup mengabulkan setiap permintaanku?"
"Ya, setiap permintaanmu akan kukabulkan."
".Tuga bila aku ingin sesuatu yang sangat
aneh dan mustahil?" tanya Kleting Kuning lagi,
Sang Garuda tetap menyanggupinya. Kemuclian Kleting Kuning minta sepotong daging dari
paha sang Garuda. "Baiklah!" ujar sang Garuda.
Akan tetapi ketika Kleting Kuning hendak
memotong paha Garuda dengan Cis yang pernah
didapatkannya dari Batara Narada, tiba-tiba
sang Garuda menjelma menjadi Batara Narada.
"Kau telah menjalankan percobaan hidupmu
dengan baik anakku. Tak lama lagi kau akan
menjumpai suamimu. Selamat jalan, restuku
bersamamu!" Setelah mengucapkan kata-kata
itu Batara Narada menghilang.
Kleting Kuning pulang ke rumali mbok Rondo
dengan perasaan lega. Pikirannya masih penuh
ciengan peristiwa yang baru saja dialaminya itu,
sehingga ia pada mulanya tidak mengamati perubahan suasana rumah. Ketiga anak mbok
Rondo sedang diliputi perasaan gembira dan
gelisah karena hendak melamar seorang pria
tampan, anak seorang janda di desa Dadapan.
Sudah banyak wanita cantik dengan membawa
hadiah yang mahal-mahal telah datang ke rumah mbok Rondo di Dadapan itu untuk menyampaikan keinginannya menjadi menantunya.
Namun Ande-Ande Lumut anak mbok Rondo
itu masih saja belum menjatuhkan pilihannya.
Hai ini sangat menyedihkan mbok Rondo.
Kini ketiga Kleting ingin mencoba juga melamar anak mbok Rondo di Dadapan. Oleh ibu
mereka, Kleting Kuning juga harus ikut serta.
Semula Kleting Kuning menolak, "Aku tidak
mempunyai pakaian bagus. Lagipula aku tidak
tahu jalan ke Dadapan,'' kata Kleting Kuning.
"Ikut saja dengan saudara-saudaramu. Doa
restuku besertamu, kau seorang anak yang baik
dan selalu bersikap baik kepadaku," kata mbok
Rondo itu. Ketiga Kleting tidak senang bahwa
Kleting Kuning juga ikut pergi. Mereka bersepakat untuk memukuli Kleting Kuning di tengah
jalan, sehingga ia tidak dapat melanjutkan perjalanannya.
Demikianlah terjadi. Mereka belum jauh dari
rumah, ketika Kleting Kuning dipukuli. Pakaiannya dirobek-robek. Kleting Kuning memohon
ampun dan berjanji tidak akan ikut serta melamar ke Dadapan. Namun ketiga gadis itu belum juga puas. Kleting Kuning diikat mereka
dengan selendangnya pada sebatang pohon. Kemudian Kleting Kuning dilempar dengan segala
kotoran yang mereka temukan. Akhirnya mereka
meninggalkannya. Kini ketiga gadis itu merasa
bebas untuk pergi ke Dadapan. Mereka sampai
pada sebuah sungai besar. Tiada jembatan dan
tiada rakit untuk menyebrangkan mereka ke tepi
seberang. Lagi pula, air sedang pasang. Ya, apa
yang harus mereka perbuat? Tiba-tiba muncul
seekor Yuyu *) sebesar seekor kerbau di hadapan
mereka. Gadis-gadis itu demikian terkejut hingga hendak melarikan diri. Akan tetapi Yuyu
Kangkang itu menahan mereka. Si Yuyu Kangkang berkata, bahwa ia Raja dari semua makhluk
yang hidup di air. la dapat membawa gadisgadis itu ke tepi seberang. Sebagai balasannya
la tidak minta uang, emas atau batu permata,
melainkan hanya sekecup cium. "Ah, tidak banyak yang dimintanva," gadis Kleting itu saling
berkata. Maka mereka menyetujui apa yang dikehendaki si Yuyu Kangkang. Si Yuyu Kangkang membawa gadis-gadis itu, seorang demi seorang di atas punggungnya ke tepi seberang, se-
ìaya bernyanyi:
Sun sabrangke, Ku bawa setiap gadis
Wong ayu sing liwat Cantik yang lewat di
kene sini ke tepi seberang,
Byuk, krubyuk, se- Byuk krubyuk sengok.
ngok.
Kata terakhir ini adalah bunyi kecup ciuman,
yang diberikannya setelah menyeberangkan gadis-gadis itu. Demikian ketiga Kleting itu sampai
ke tepi seberang sungai.
Tak lama kemudian mereka tiba di Dadapan
dan berdiri di muka pintu rumah Ande-Ande
Lumut. Mereka memohon masuk, namun yang
menjaga pintu berkata, "Setelah kalian memberi sekecup cium kepadaku, kalian kuijinkan
masuk." Ketiga gadis itu melakukan apa yang
dikehendaki si penjaga pintu. Dan masuklah
mereka ke dalam rumah di mana mbok Rondo
telah menerima mereka. Ketiga Kleting menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada
mbok Rondo. Mbok Rondo yang telah biasa melihat gadis-gadis cantik yang ingin diperistri
Ande-Ande Lumut berkata ramah, "Akan kuberitahu anakku." Kemudian ia bernyanyi,
"Lé tolé Andé- Andé Anakku Andé-Andé
Lumut Lumut
Tumuruno nggèr se- Turunlah dari pangdélo wae gungmu sebentar
Ono roro ngunggahunggahi
Ambuné ambrik
awà ilg'i.
Raden Putra menjawab
Yung biyung aku
emoh
Nadyan ayu sisané si
Yuyu Kangkang
Ping pindoné sisané
sing tunggu lawang.
A.da gadis cantik yang
ingin menjadi istrimu.
Mereka harum dan
wangi.
dari tingkat atas,
Ibuku sayang, aku
tidak mau
Biarpun mereka cantik mereka telah dicium si Yuyu Kangkang dan si Penjaga
pintu.
Mbok Rondo sangat keeewa dan berkata kepada gadis-gadis itu, "Kalian telah mendengar
sendiri jawaban anakku!"
Mari kita melihat apa yang terjadi dengan
Kleting Kuning, yang kita tinggalkan terikat papa sebatang pohon. Tak lama kemudian Kleting
Kuning dibebaskan dari siksaan itu oleh seorang
musafir yang kebetulan lewat. Demikian Kleting
Kuning dapat melanjutkan perjalanannya ke
Dadapan. Ia pun sampai ke tepi sungai yang
lebar itu dan bertemu pula dengan si Yuyu
Kangkang. Kleting Kuning mohon diseberangkan, namun si Yuyu Kangkang menolaknya karena ia berbau tidak sedap. Kleting Kuning mengingat senjata yang diberikan Batara Narada
kepadanya dan mengancam si Yuyu Kangkang
untuk membunuhnya, jika ia tidak mau menyeberangkannya. Namun tiba-tiba ia merasa kasihan kepada si Yuyu Kangkang. Maka dengan
senj ata tersebut dipukulnya air sungai, kemudian air lenyap dan sungai menjadi kering dan
menjadi seperti sebuah jalan. Dengan mudah
Kleting Kuning dapat berjalan ke tepi seberang.
Si Yuyu Kangkang sangat terkejut. Kini ia
meminta ampun dan memohon dikembalikannya
air sungai itu, oleh karena ia tidak dapat hidup
tanpa air. Kemudian t?k berapa lama arus air
itu kembali demikian deras sehingga si Yuyu
Kangkang terpelanting pada batu-batu kali yang
besar hingga mati. Tiba-tiba si Yuyu Kangkang
yang mati itu menjelma menjadi seorang pendeta, yang ber jalan mendekati Kleting Kuning.
Pendeta itu telah dihukum oleh Batara Wishnu,
karena pernah berbuat jahat. Namun mulai saat
ini ia akan mengabdi dan berbakti kepada Yang
Maha Kuasa. Sang Pendeta berkata bahwa Kleting Kuning dapat melanjutkan perjalanannya
dengan selamat. Akan tetapi ia tidak boleh berganti pakaian bila ia sampai di Dadapan. Sang
pendeta mengucapkan selamat jalan kepada
Kleting Kuning dan menambahkan, tak lama
lagi ia akan dapat berjumpa dengan suaminya.
Tak lama kemudian Kleting Kuning sampai
di Dadapan dan mengetuk pintu rumah mbok
Rondo, ibu angkat Ande-Ande Lumut. Si penjaga
pintu tidak mengizinkan masuk karena Kleting
Kuning tampak sangat kotor. Kleting Kuning menyentuh pintu rumah itu dengan senjata yang diberikan Batara Narada, dan ... pintu itu terbuka
sendiri. Mbok Rondo menyongsongnya. Ketika
Kleting Kuning memberitahu maksud kedatangannya, mbok Rondo menertawakannya, "Puluhan gadis yang cantik-cantik dan ayu telah datang
ke mari, namun tak seorang pun beruntung dipilih anakku, Ande-Ande Lumut. Lebih baik
engkau kembali saja. Tiada harapan bagimu,"
kata mbok Rondo.
Akan tetapi Kleting Kuning tidak mau pergi
dan memaksa mbok Rondo untuk menyampaikan maksud kedatangannya kepada Ande-Ande
Lumut. Akhirnya mbok Rondo menyerah dan ia
berkata sambii menyanyi,
"Lé tolé Andé- Andé
Lumut
Ojo temurun nggèr
songko panggungmu,
Ono roro ngunggahunggahi
Ambuné apèk
akecing.
Anakku Ande-Ande
Lumut
Jangan turun dari
panggungmu. Di sini
ada seorang gadis hendak bertemu denganmu. Bau badannya sangat menusuk.
Akan tetapi Andé-Andé Lumut menjawab,
Yung biyung, kon Ibuku sayang, katangèntèni, lehku nulis kan kepadanya me-
kurang sepodo lingso. nunggu sebentar.
Aku hendak menyelesaikan tulisanku.
Mbok Rondo sangat terkejut mendengar jawaban anaknya. Kemudian Ande-A.nde Lumut
turun dari panggungnya dan menyuruh Kleting
Kuning mencuci muica dan badannya. Ketika
Kleting Kuning selesai mandi, tampaklah Dewi
Candrakirana dengan kecantikan dan kecemerlangannya.
Kini suami istri, Raden Putra dan Dewi Candrakirana berkumpul kembali. Mbok Rondo ikut
gembira dan mengizinkan Dewi Candrakirana
tinggal di rumahnya.
Tak lama kemudian berita ini tersiar ke manamana dan sampai pula kepada sang Prabu Lembu Amiluhur. Ia mernerintahkan patihnya meniemput kedua anaknya dan menyampaikan pengampunannya.
Maka Raden Putra dan Dewi Candrakirana
akhirnya kembali ke Jenggala disambut dengan
gamelan dan pesta besar. Semuanya bergembira
karena Putra Mahkota telah kembali. Kemudian
mereka masih hidup panjang dan berbahagia.
Sang Prabu Lembu Amiluhur akhirnya mangkat dan Raden Putera menggantikannya. Di bawah pemerintahannya negara pun terkenal makmur, aman tenteram, damai dan sentosa.
2. ASAL MULA TELAGA AIR YANG
MENDIDIH
Suatu hari udaranya amat terik di Sumatera
Barat, terlihat dua orang wanita sedang berjalan di tengah sawah. Mereka adalah Mak Siti
dan anak perempuannya Siti. Siti adalah gadis
yang tercantik di desanya. Hai ini membuat gadis ita sangat bangga begitu pula ibunya. Mak
Siti memanjakan anaknya sedapatnya, walaupun
ia seorang perempuan yang sangat miskin. Namun kemiskinannya tidak membuatnya berkecil
hati. la bahkan puas akan nasibnya, karena pernah bersuami dengan seorang baik yang meninggalkan seorang anak perempuan yang cantik. Sebaliknya Siti anaknya, berwatak tak kenal puas
dan benci akan kemiskinannya. Memang beralasan juga dia merasa demikian, karena Mak Siti
Ji samping menjual sayuran dari hasil kebunnya
yang sangat sedikit, juga mengemis untuk menyambung hidupnya. Hai inilah yang membuat
Siti sangat malu dan ia merasa benci kepada
ibunya.
Pada hari yang panas terik itu seperti biasa
mereka sedang pergi ke desa lain untuk menjual
hasil kebun mereka dari rumah ke rumali. Un-
tuk memotong jalan mereka melalui sawah. Mak
Siti menggendong sebuah keranjang berat berisi
sayuran. Siti tidak membawa apa-apa. Walaupun demikian Sitilah yang mengeluh paling banyak karena terik matahari. Sekali-sekali ia mekndungi mukanya dengan tangannya. Namun
bai ini tidak mengurangi panasnya maka keluhannya makin bertambah.
"Kau rasa panas sekali?" tanya Mak Siti.
"Masak emak tidak tahu," jawab Siti marah.
Dengan tangannya yang sebelah Mak Siti
mengangkat rambut anaknya yang tebal terurai
di punggungnya untuk meringankan rasa panasnya. Akan tetapi si Siti bahkan marah. Sambii
membalikkan badannya ia berkata marah, "Tak
usah berbuat begitu. Percuma saja! Aku sudah
terbakar oleh matahari dan akan menjadi hitam
dan lebih jelek daripada anak Pak Eja yang paImg jelek di desa kita itu!"
Mak Siti hanya menarik nafas panjang yang
membuat Siti lebih marah lagi. "Mengapa aku
harus jalan disengat matahari ini. Mengapa aku
harus ikut. Lebih senang aku tinggal di rumah
dan bermain di pinggir kali dengan teman-temanku. Aku akan merangkai bunga yang kemudian kupakai untuk menghias rambutku!"
"Ah, kau harus tahu" jawab ibunya, "bila aku
datang sendiri, daganganku tidak akan laku.
Wajahmu yang cantik membuat orang terharu
Yah, orang lebih suka melihat wajah muda yang
cantik dari pada muka tua yang keriput dan kisut. Sebentar lagi kita akan sampai di sebuah
(lesa. Kau harus bersikap baik nanti."
Siti tidak menjawab dan ibunya juga tidak
berkata apa-apa lagi. Mereka berjalan terus
tanpa berkata-kata. Setelah berjalan kira-kira
satu setengah jam akhirnya tampak sebuah desa.
Mak Siti menarik nafas lega. Siti pun mulai bersemangat. Langkahnya dipercepat. la berjalan
tegak seperti seorang ratu dan tidak menghiraukan ibunya yang berjalan di belakangnya. la
sampai pada sebuah riimah gedung yang besar.
Tak lama kemudian keluarlah seseorang dari
pintu rumah itu. Ketika ia melihat Siti, dipersilakannya masuk, "Tuanku Putri sudah tentu
ingin beristirahat dari perjalanan yang meletihkan itu," kata orang tersebut. Siti sangat senang
disebut Tuanku Putri dan lebih yakin atas kecantikannya. la masuk rumah itu dan dipersilakan makan dan minum. Mak Siti yang berjalan
di belakangnya akhirnya sampai juga di rumah
tersebut. Siti telah berada di dalam rumah. Mak
Siti tidak berani masuk, melainkan duduk saja
di bawah tangga rumah. Ketika salah seorang
penghuni rumah melihat Mak Siti duduk di bawah tangga rumah, ia bertanya, "Siapakah wanita tua itu, tuanku Putri?" Siti menjawab, "O,
wanita tua itu adalah seorang budakku. la harus
menyertaiku guna memegang rambutku yang
panjang bila rasa panas menggangguku."
Hati Mak Siti terasa hancur ketika ia mendengar perkataan anaknya. la tidak berkata apaapa, melainkan hanya menundukkan kepalanya
karena sedih dan malu. Namun orang mengira
bahwa itu adalah tanda hormat seorang budak
kepada majikannya. Mak Siti juga diberi makan
dan minum sisa anaknya. Setelah Siti merasa hilang lelahnya, ia minta diri. Para penghuni rumah mengantarkannya sampai di ujung jalan
seolah-olah ia seorang Putri sejati. Dengan membisu seribu bahasa Mak Siti ber jalan di belakang
anaknya. Siti sangat malu dalam hati kecilnya
karena ia telah mencemoohkan ibunya. Namun
ketika ibunya tidak berkata apa-apa, ia mengira
bahwa Mak Siti tidak mendengar apa yang telah diucapkannya.
Mereka sampai pada sebuah telaga yang berair jernih yang seakan-akan mengundang untuk
masuk.
"O, saya ingin mandi di air itu!" ujar Siti.
"Tolong bukakan pakaianku, Mak." Akan tetapi
Mak Siti tidak menjawab. Setelah Siti mengulangi permintaannya, Mak Siti memandanginya
dengan wajah yang seram laksana awan gelap.
Dengan suara laksana guntur yang bergemuruh
ia berkata, "Kau masih berani minta sesuatu kepadaku. Ibumu sendiri kau sebut budakmu. Anak
durhaka, aku tidak mau menjadi ibumu lagi!"
Namun Siti hanya tertawa terbahak-bahak dan
berkata, "Gila kau mak, begitu saja sudah marah.
Bukankah kita telah makan dan minum kenyang.
Kalau mak tidak mau menolong membukakan
pakaianku, aku akan mandi tanpa melepaskan
pakaianku. Aku harus mandi di dalam air yang
sejuk itu sekarang." Maka tanpa pikir panjang
lagi ia masuk ke dalam air itu. Mak Siti berdiri
di tepi danau. Wajahnya masih nampak bermuram durja. la memandang anaknya dengan sorotan mata yang tajam dan mengerikan. Kemudian ia berkata dengan jelas dan lantang, "Wahai telaga, berubahlah airmu yang sejuk dan
jernih itu hingga menjadi air panas yang mendidih. Musnahkanlah anakku yang durhaka itu,
yang mencemoohkan ibu kandung dan berani
menyebutnya budak!"
Tiba-tiba air bergolak dan mendidih. Air telaga itu memuncrat ke mana-mana. "Tolong
mak, tolong mak!" teriak Siti. Akhirnya teriakannya tidak terdengar lagi. Hening, sunyi sepi.
Hingga saat ini air di telaga itu tetap panas
dan mendidih. Tiada musafir yang datang di
daerah ini yang tidak lupa meninjau telaga itu.
Di tempat ini seorang anak yang pernah mencemoohkan ibunya telah mendapat hukumannya. Air danau itu demikian panas sehingga dapat merebus telur sampai matang yang dibawa
para pelancong sebagai bekal perjalanan. Di
permukaan danau yang mendidih itu terdapat
ganggang hijau yang panjang. Orang-orang berbisik bahwa itu adalah bekas rambut panjang si
Siti yang cantik jelita itu. Kadang-kadang bila
air sedang jernih, seolah-olah terlihat ada sepasang boia mata hitam di lubuk danau yang mohon dibebaskan dari kutukan berat itu.
Demikianlah ter jad: bila seorang melupakan
salah sebuah perintah Allah, "Hormatilah orang
tuamu!"
3. GUA KERAMAT
Daerah Rembang pernah mengalami musim
kemarau yang sariga i panjang. Sungai-sungai
menjadi kering sehingga tak dapat menyuburkan padi dan tanam-tanaman. Panen gagal dan
rakyat menderita lapar. Orang-orang desa berkumpul untuk berunding dan mencari jalan ke
luar dari kemalangan ini. Salah seorang dari
mereka menyebutkan ñama Kyai Mojo Agung.
Beliau seorang saleh dan snci. Bahkan lebih saleh
dari seorang Kyai, beliau seorang Wali yang dapat membuat mukjijat. Akhirnya penduduk setempat memutuskan untuk mengirimkan beberapa orang dari mereka pergi kepada Wali Mojo
Agung itu yang tinggal di daerah Tuban.
Berangkatlah utussn penduduk Rembang
sampai tiba di tempat tinggal Kyai Mojo Agung.
Sang Kyai sedang bersemedi ketika orang-orang
desa dari Rembang menunggu untuk menghadap. Utusan Rembang menunggu dengan sabar,
sampai sang Kyai berkenan mendengarkan permohonan mereka. Kyai Mojo Agung akhirnya
menanyakan apakah yang membuat penduduk
Rembang datang dari jauh untuk menghadap
kepadanya. Utusan dari Rembang kemudian
menceritakan tentang kesukaran mereka dan
memohon pertolongan sang Wali. Kyai Mojo
Agung berjanji untuk datang sendiri ke Rembang guna memberi pertolongan.
Tak lama kemudian rakyat dari daerah Rembang melihat dari jauh datang seorang musafir
tua. la berjalan lambat, bersandar pada sebuah
tongkat besi. Rakyat desa menyongsongnya, naffiun mereka tidak berani mengueap sepatah kata
pun, karena sang Kyai nampak sangat letih. Kyai
Mojo Agung hanya mengangkat tangannya, sebagai tanda pemberian restu, ketika rakyat mendekatinya. la pun tidak mengucapkan sepatah
kata, melainkan berjalan terus. Setapak demi
setapak, bersandar berat pada tongkatnya. Rakyat mengikutinya. Semula ragu-ragu, kemudian
mereka mengikuti jejaknya.
Akhirnya sang Kyai berhenti dan memandang
ke sekitarnya. la melihat betapa miskin, rakyat
yang mengelilinginya itu. Pakaian mereka compan-camping. Hati Kyai Mojo Agung sangat tergugah menyaksikan hai ini. Kemudian ditaneapkannya tongkat besinya di tanah dan ia mulai
berdoa. Ia berdoa sangat lama. Rakyat yang mengelilinginya menunggu dengan sabar dan penuh
perhatian. Akhirnya sang Kyai mengangkat kepalanya sambil memandang berkeliling. Kemudian terdengar suaranya yang berkumandang,
"Akan datang air, dan kura-kura."
Dan benar juga. Dengan penuh keheranan
rakyat Rembang menyaksikan gunung batu ka-
rang tiba-tiba merekah dan dari gua mengalir
air jernih. Di dalam air itu berenang ikan dan
kura-kura. Rakyat Rembang terperanjat dan
berlutut di hadapan sang Wali yang membuat
mukjijat itu. Tetapi rakyat tidak berani menyentuh air itu atau mengambil sesuatu yang ada di
dalam air itu. Mereka takut berakibat buruk karena menganggap air itu keramat. Akan tetapi
air itu mengalir ke luar dari gua, makin mendekati mereka. Kini rakyat mengerti bahwa air itu
untuk mereka. Kemudian mereka minum sampai kenyang.
Lalu Kyai Mojo Agung membuat tanda berupa gambar sebuah gong pada dinding gua.
Hal itu berarti bahwa rakyat tidak boleh mengambil air dari dalam gua. Hanya air yang ke
luar dari gua boleh dipergunakan. Yang di dalam gua hanya untuk sang Wali sendiri, dan barang siapa yang berani melanggar hal ini akan
mengalami kutukannya. Kemudian Kyai Mojo
Agung memegang tongkatnya lagi untuk pulang
kembali ke pertapaannya. Setapak demi setapak
ia berjalan disaksikan rakyat Rembang yang di-
2 m penuh hormat.
Hingga saat ini air di dalam gua tersebut dianggap keramat oleh penduduk Rembang. Para
orang tua menceritakan kepada anak-anak mereka tentang mukjijat yang pernah diberikan Kyai
Mojo Agung demi menolong rakyat Rembang
4. ASAL MULA PATUNG BATU KUDA
Bupati Tuban yang bernama Ranggalawe
sangat berpengaruh dan termashur pada zarnannya. Ia seorang yang kuat, adil dan arif
bijaksana. Ia pun seorang yang cinta perdamaian. Namun pada suatu hari ia tak dapat menghindari berperang dengan Bupati Kebongadung.
Sudah beberapa kali rakyat Kebongadung mulai
menyerang rakyat Tuban. Hal ini tak dapat dibiarkan terus menerus.
Ranggalawe menyatakan perang terhadap
Bupati Kebongadung. Rakyatnya mengikutinya
dengan suka hati. Akan tetapi walaupun kebenaran di pihak Tuban. laskar Ranggalawe mengalami kekalahan dan harus menarik mundur.
Hina dan derita mencapai puncaknya ketika laskar yang telah pecah itu menderita dahaga. Tak
ada sumur atau kali yang dapat ditemukan.
Ranggalawe melihat bahwa beberapa orang
dari laskarnya tidak sanggup lagi untuk meneruskan perjalanan dan rela mati di tempat itu
juga. Ranggalawe tahu bahwa ia dapat memberi
pertolongan. Ia dilahirkan tidak hanya dengan kearifan dan kebijaksanaan tetapi juga dengan kekuatan-kekuatan gaib. Ia mengetahui bahwa kini
saatnya untuk mempergunakan kesaktiannya,
Tak dapat tahan lebih lama lagi ia melihat rakyatnya yang payah itu karena menderita dahaga.
Kemudian ditancapkannya tongkatnya ke dalam
tanah.
Tiba-tiba keluarlah air dari tanah hingga
menjadi sebuah sumber air. Laskarnya terperanjat bercampur girang. Kini semangat mereka
timbul kembali. Kemudian mereka minum sampai kenyang dan mengisi botol-botol untuk bekal
perjalanan. Tak seorang pun di antara mereka
melihat bahwa seekor lintah besar telah muncul.
Lintah ini sangat marah, karena terjadi keributan di tempat tinggalnya. Dan lagi setelah adanya
sebuah sumber air itu.
Ranggalawe merasa puas dapat menolong rakvatnya. Kemudian diperintahkannya untuk pulang kembali, tanpa mengetahui telah membuat
marah seekor lintah Tak lama setelah laskar,
Ranggalawe meninggalkan tempat tersebut, datanglah laskar Kebongadung. Sang Bupati menunggang seekor kuda hitam dan bagus. Kuda
'ni bernama Gagak Grimo, dapat terbang dan
berjalan di atas permukaan air. la pun dimuliakan dan dipuja sebagaimana majikannya.
Laskar Bupati Kebongadung pun merasa
dahaga, maka mereka sangat girang melihat
sumber air yang jernih itu. Mereka mulai minum
dengan sangat lahapnya dan mereka pun tidak
melihat sang lintah, yang kini kemarahannya te-
Iah sampai di puncaknya. Sang lintah menunggu
saatnya untuk membalas dendam. Ketika sang
Bupati Kebongadung membungkukkan badannya untuk minum, sang lintah menggigitnya
hingga ia terjatuh dan masuk ke dalam sumber
air itu. Betapapun cepat rakyatnya maju untuk
rnemberikan pertolongan, tubuh sang Bupati tidak nampak dan tidak dapat diketemukan.
Akhirnya mereka putus asa. Tanpa pemimpin,
laskar ini menjadi kacau balau. Tiada keinginan
iagi untuk melanjutkan peperangan dan pengejaran terhadap laskar Ranggalawe. Maka mereka pun kembali pulang. Semula mereka melupakan kuda sang Bupati, tetapi ada beberapa di
antara mereka yang kembali untuk mengambil
sang Gagak Grimo. Tetapi mereka menemukan
kuda itu berdiri di dekat sumber air di mana
majikannya telah dimakamkan. Kuda ini melihat
aengan mata sedih kepada orang-orang yang hendak membawanya pulang. Ia sangat berduka
atas kematian majikannya. Tak lama kemudian
ia terjatuh dan mati. Para prajurit yang mengeliiinginya menangis seperti menangisi seorang
manusia. Mereka selama ini telah menganggap
dan menghormati kuda itu sebagai seorang manusia. Maka kuda itu dikuburkan sebagai seorang manusia pula. Sebuah batu besar, sebagai
batu nisan diletakkan di atas kuburan sang Gagak Grimo. Akan tetapi betapa terkejut mereka
ketika batu nisan itu berubah menjadi bentuk
kepala seekor kuda. Kini mereka menganggap
sang kuda itu lebih keramat. Bunga dan sesajen
diletakkan di atas patung batu kuda itu.
Hingga saat ini rakyat masih membawa sesajen ke desa Talun, teropat patung batu kuda itu
yang terletak pada jalan raya ke Tuban.
5. KISAH SANG ANGIN
Sang Angin sudah jemu bermalas-malasan.
Maka ia berlari ke luar dan menggelitik dan
memainkan daun dan ranting. Ia bertiup dan
semuanya menunduk di bawah kekuatannya.
Sang Angin sudah jemu dengan kekuasaannya.
Ia ingin mencari lawan. Ia menyusuri padang
sawah, danau luas dan hutan belukar. Akhirnya
dilihatnya di pinggir kali seekor bangau yang
berdiri di atas sebelah kakinya. "Mengapa bangau itu berdiri diam sendiri?" pikir sang Angin.
Kemudian ia bertanya, "Wahai sang Bangau,
mengapa engkau berdiri di sana?"
"Mengapa tidak?" jawab sang Bangau. "Bukankah aku harus menunggu hingga seekor katak
muncul?"
"Ya, mengapa katak-katak tidak mau muncul,"
pikir sang Bangau. Maka ia bertanya kepada
para katak, "Wahai katak-katak, mengapa kalian tidak mau muncul?"
"Kami tidak berani!" jawab katak-katak.
"Sang Bangau mengincar kami. Ia tidak dapat
mencari makanan lain daripada kami, karena
rumput tumbuh terlalu tebal." Maka Sang Angin bertanya kepada rumput,
"Wahai rumput, mengapa engkau tumbuh demikian tebal?"
"Bagaimana lagi, kalau para kerbau tidak
mau makan rumput?" jawab sang Rumput.
"Wahai para kerbau, mengapa kalian tidak
inakan rumput?" tanva sang Angin.
"Kami mau saja merumput, akan tetapi pak
Tani tidak mau melepaskan kami," jawab para
kerbau.
"Wahai pak Tani, mengapa engkau tidak melepaskan kerbau-kerbaumu?"
"Bagaimana saya bisa mengeluarkan kerbaukerbauku. Perutku demikian sakit!"
"Wahai perut pak Tani, mengapa engkau
membuat pak Tani merasa sakit perut?" tanya
sang Angin.
"Bagaimana lagi. Aku diisi dengan nasi yang
belum masak."
"Wahai nasi, mengapa engkau tidak masak?"
"Bagaimana aku bisa masak, kalau api hampir tidak menyala baik?"
"Wahai api, mengapa engkau tidak menyala
baik?"
"Bagaimana aku bisa menyala baik kalau kayunya basah."
"Wahai kayu, mengapa engkau basah?"
"Bagaimana aku tidak basah, kalau hujan deras membasahiku."
"Wahai hujan, mengapa engkau membasahi
kayu itu?"
"Aku dipanggil para katak," jawab sang kayu.
"Katak, katak, mengapa kalian memanggil
hujan?"
"Tentu saja, kami memanggil hujan karena
Bangau menunggu kami muncul dan kami tidak
mau ke luar, karena kami tidak mau dimakan
sang Bangau. Dan sang Bangau tidak dapat
mencari makanan lain karena rumput tumbuh
terlalu tebal dan para kerbau tidak makan rumput karena pak Tani tidak melepaskan mereka,
karena ia sakit perut oleh karena makan nasi
yang belum masak. Dan nasi tidak bisa masak
karena api tidak menyala dengan baik, karena
hujan telah membasahi kayunva. Dan hujan tumn karena kami telah mengundangnya dengan
mendengkung.
Sang Angin tidak tahu apa yang harus dikatakan dan diperbuatnya. Maka ia mencari sebuah tempat sepi untuk bersembunyi. Orangorang berkata angin sedang tidur. Namun sang
Angin ternyata sedang malu. Betul malu, karena
ia tidak dapat menghentikan hujan. Dan apabila hujan turun, kayu menjadi basah dan api
tidak dapat menyala baik dan karena itu nasi
tidak dapat menjadi masak, sehingga pak Tani
sakit perut karena makan nasi yang belum masak, maka tidak dapat mengeluarkan kerbaukerbaunya untuk makan rumput, sehingga rumput menjadi tebal dan karena itu sang Bangau
tidak dapat melihat apakah ada makanan di sela-selanya dan harus menunggu sampai para ka-
tak muncul. Dan para katak tidak mau muncul
karena mereka tidak mau dimakan sang Bangau,
maka mereka memanggil sang Hujan. Hal ini tidak ingin diketahui sang Angin, karena itu ia bersembunyi dan orang berkata, "Angin sedang
tidur.
6. DONGENG TENTANG PADI
Batara Guru ingin membangun sebuah istana
indah cemerlang yang tiada taranya. Lama ia
berpikir bagaimana harus melaksanakan niatnya.
Akhirnya diputuskannya bahwa para punggawa,
yaitu dewa-dewa lain di bawahnya yang harus
mengerjakan bangunan itu untuknya. Siapa
yang tak mau menurut perintahnya akan dipenggal kepalanya.
Salah seorang punggawa, Batara Antaboga
(Dewa Ular) tidak senang mendengar perintah
tersebut. Ia tidak mempunyai tangan dan kaki,
oleh karenanya tidak dapat bekerja. Tetapi bila
ia tidak turut bekerja, kepalanya akan dipenggal.
Sudah tak mempunyai tangan dan kaki ditambah kehilangan kepala. Oleh sebab itu, Antaboga
sangat sedih dan bingung. Batara Antaboga pergi ke Batara Narada yang pernah menyampaikan perintah tersebut. Kepada Batara Narada
diceritakannya duduk persoalannya. Antaboga
clemikian sedih akan nasibnya, hingga ia mencucurkan air mata. Betapa terkejutnya ketika
tiga butir air mata yang dicucurkan itu menjelina menjadi tiga butir telur. Batara Narada juga
melihat tiga butir telur itu. Segera ia pergi ke Batara Guru dan mcnceritakan kepadanya, tentang keberatan Batara Antaboga dan juga tentang tiga butir telur itu.
Batara Guru adalah terpandai dan paling berkuasa di antara semua dewa-dewa. Namun tiga
butir telur itu baginyapun suatu teka-teki. Maka
cliperintahkannya Antaboga untuk menghadap
dengan membawa tiga butir telur itu. Maka belangkatlah Antaboga untuk menghadap Batara
Guru. Namun nasib malangnya belum berakhir.
Dua butir telur pecah dalam perjalanannya. Ketika ia datang dengan hanya membawa sebutir
telur saja, Batara Guru sangat murka. Setelah
berpikir lama, Batara Guru memutuskan bahwa
Antaboga harus mengerami sendiri sebutir telur
itu. Apa yang keluar dari telur tersebut harus
diserahkan kepada Batara Guru. Antaboga sangat senang dan berterima kasih bahwa ia tidak
jadi dipenggal kepalanya dan boleh pulang untuk mengerami telurnya.
Setelah empat puluh hari, menetaslah seorang
putri cantik dari dalam telur itu. Semula Batara
Antaboga merasa sayang untuk menyerahkan
gadis cantik itu kepada Batara Guru. Akan tetapi ia tidak mau kehilangan nyawanya sendiri,
karena itu diserahkannya gadis itu kepada Batara
Guru.
Batara Guru sangat senang menerima hadiah
itu. Sang Putri tumbuh hingga menjadi seorang
gadis yang cantik jelita dan diberikan nama
Trisnawati oleh Batara Guru. Ketika Trisnawati
sudah menjadi dewasa, Batara Guru ingin memperistrikannya. Namun gadis itu tidak begitu senang oleh karenanya i a mengajukan beberapa
syarat. Syarat utama adaiah bahwa ia ingin diberi suatu makanan yang walaupun sering dan
Lanyak dimakan tetapi tidak membosankan. Baru sesudah makanan tersebut ditemukan, Trisnawati bersedia dipersunting Batara Guru. Batara Guru memutuskan salah seorang punggawanya Kala Gumarang untuk mencarikan makanan
tersebut. Dan berangkatlah Kala Gumarang.
Dalam perjalanannya ia bertemu dengan seorang wanita cantik. Wanita itu ialah Dewi Sri,
istri Batara Wisnu. Namun Kala Gumarang tidak mengetahui hal itu. Ia jatuh cinta kepada
Dewi Sri sehingga mc'.upakan tugasnya. Ia tidak
melanjutkan perjalanannya melainkan merayu
Dewi Sri. Namun Dewi Sri tentu saja tidak suka,
dan minta pertolongar dewa-dewa lain. Tak lama kemudian datanglah para dewa yang mengliukum Kala Gumarang dengan mengubah wujudnya menjadi seekor babi rusa. Kala Gumarang kini harus berkelana di alam jagad raya.
Trisnawati demikiau lama menunggu permintaannya sehingga ia akhirnya meninggal dunia
karena bersedih hati. Atas perintah Batara Guru
Trisnawati dikebumikan di negara Mendang
Kemulan. Sang raja dari Mendang Kemulan
harus menguburkannya dengan segala upacara
kehormatan dan kemewahan. Kemudian kuburannya harus dijaga baik-baik
Akan tetapi betapa terkejutnya sang raja ketika pada hari yang keempat puluh meninggalnya Trisnawati, keluarlah berbagai tanaman
aneh dari kuburan itu. Segera sang raja melaporkan hal itu kepada Batara Guru. Batara Guru
turun ke bumi untuk menyaksikan dengan mata
kepala sendiri. Kemudian Batara Guru mengerti
bahwa wanita yang telah dicintainya itu memberi kurnia besar kepada umat manusia. Tanaman yang keluar dari kuburan Trisnawati adaiah:
dari rambut kepala Trisnawati berasal padi. Dari kepalanya berasal pohon kelapa. Dari badannya berasal pohon aren dan dari giginya pohon
jagung. Dari tulang-iulangnya berasal pohon
bambu. Dari tangannya berasal tanaman yang
buahnya di bawah tanah, seperti singkong, ubi,
kacang.
Tak lama setelah Trisnawati meninggal menyusul Dewi Sri. Dari kuburannya pun keluarlah
padi. Akan tetapi padi yang tumbuh dari kuburan Trisnawati agak berlainan jenis daripada padi yang muncul dari kuburan Dewi Sri. Padi
yang berasal dari kuburan Dewi Sri harus ditanamkan di tanah basah, yaitu padi sawah. Dan
padi y,\ng tumbuh dari kuburan Trisnawati harus ditanamkan di tanah kering, yaitu padi huma atau padi gogo.
Kala Gumarang yang masih berwujud babi
rusa juga mendengar tentang kejadian itu. Cintanya terhadap Dewi" Sri kini telah berbalik
menjadi dendam kesumat. Maka tanaman yang
berasal dari kuburannya dirusakkannya. Di mana saja ia melihat sebidang sawah. Tentulah
Batara Guru sangat murka ketika ia mendengar
tentang perbuatan Kala Gumarang. Ia mengancam akan memberi hukuman yang setimpal kepada Kala Gumarang,
Pada suatu malam Kala Gumarang sedang
merusakkan sebidang sawah lagi. Batara Wishnu
cepat turun ke bumi untuk membunuh sang babi
rusa itu. Ia tidak sempat untuk membawa senjatanya, maka ia mengambil salah sebuah benda
yang dapat diraihnya. Benda itu ternyata sebuah
Waluku. Waluku ini dipukulkannya kepada Kala
Gumarang sampai mati. Akan tetapi Waluku itu
kemudian terlepas dar
i tangannya melompat ke
atas dan tersangkut di langit. Hingga saat ini
Waluku itu masih terpancang di sana. Para petani menyebutnya Bintang Waluku atau Gura
Desa.
Sang babi rusa masih sempat meninggalkan
malapetaka di dunia. Dari darahnya yang muncrat berasal macam-macam penyakit padi, yaitu
hama merah (hama beureum) dan hama putih
(hama bodas) yang sangat ditakuti oleh para
petani karena dapat menggagalkan panen.
7. JAKA TINGKIR
Ki Ageng Pengging adalah seorang sakti yang
terkenal pada zamanuya. Pada saat itu daerah
Pengging termasuk kerajaan Bintara atau Demak, karenanya Ki Ageng Pengging harus menghadap Sultan Demak untuk menyatakan baktinya, paling sedikit setiap tahun seperti lazimnya
pada zaman itu. Namun Sultan Demak menungiju kedatangan Ki Ageng Pengging yang masih.
r eluarganya itu dengan sia-sia. Maka Sultan memutuskan untuk mengirim seorang utusan ke
Pengging, yang harus menyelidiki apa maksud
Ki Ageng Pengging, karena Sultan Demak mevasa cemas bahwa Ki Ageng Pengging hendak
merebut tahtanya, mengingat sikap dan pengaruhnya sebagai seorang alim ulama yang terkenal sakti.
Utusan Sultan Demak yang bernama Ki Wana Pala membenarkan apa yang dirisaukan Sri
Sultan ketika ia pulang dari Pengging. Ki Ageng
Pengging nampaknya seorang ulama yang suci,
tetapi diam-diam ia berkeinginan menggulingkan kekuasaan Sultan Demak untuk menj adi
raja sendiri. Ki Wana Pala menambahkan bahwa ia telah memberi waktu dua tahun kepada
Ki Ageng untuk menghadap rajanya. Tak lama kemudian Ki Ageng Pengging menerima kunjungan tiga orang kyai yang termashur. Seperti dia sendiri mereka adalah muridmurid dari Pangeran Siti Jenar, seorang dari
Wali Sanga. Ketiga kyai ini adalah: Ki Ageng
Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Nge-
Ãang. Mereka datang untuk mendesak Ki Ageng
Pengging agar mematuhi panggilan Sultán Demak. Namun Ki Ageng Pengging bersikeras tidak
mau memberikan bakÃinya kepada rajanya.
Untuk menghormati tamunya Ki Ageng Pengging menyelenggarakan suatu pertunjukan wayang beber. Pada malam itu istri Ki Ageng
Pengging melahirkan seorang anak laki-laki yang
rupawan. Tepat pada saat itu hujan turun dengan lebatnya, sehingga ki dalang tak dapat melanjutkan pertunjukannya. Keesokan harinya terlihat sebuah pelangi indah menghiasi langit. Ki
Ageng Tingkir mengangkat anak bayi yang baru
lahir itu di atas pangkuannya dan berkata,
' Adinda Ki Ageng Pengging, anakmu yang bagus ini kelak akan menjadi seorang yang besar,
seorang yang sakti dan berkuasa. Beruntunglah
mereka yang akan dapat mengalami masa jayanya itu. Anak ini kuberi ñama Mas Krebet, karena ia dilahirkan pada saat dinda mengadakan
wayang beber." (Wayang beber juga disebut
wayang krebet).
Tak lama setelah Ki Ageng Tingkir pulang
dari Pengging, ia meninggal dunia. Ki Ageng
Pengging merasa sangat terpukul, karena dia
dan Ki Ageng Tingkir adalah murid-murid dari
satu guru, maka dianggapnya seperti kakak kandungnya sendiri.
Tanpa terasa batas waktu yang diberikan Sullan Demak kepada Ki Ageng Pengging untuk
menghadapnya telah berlalu. Bagi Sultan Demak
kini sudah jelas, bahwa Ki Ageng Pengging berrnaksud untuk menggulingkannya dari tahta.
Kini dikirimkannya Sunan Kudus ke Pengging
untuk menyampaikan kemurkaan Sultan. Setibanya di Pengging kedua ulama itu saling menguji ilmunya. Maksud jahat Ki Ageng Pengging segera diketahui oleh Sunan Kudus, dan
iapun dibunuh oleh Sunan Kudus. Demikianlah
yang terj adi terhadap seorang yang menentang
raja pada zaman itu.
Empatpuluh hari kemudian istri Ki Ageng
Penggingpun meninggal dunia. Mas Krebet kini
menjadi seorang yatim piatu. Ia kemudian diasuh oleh keluarganya. Ketika ia menjadi besar,
keluarganya mengirimnya ke Tingkir, kepada
janda Ki Ageng Tingkir. Nyi Ageng Tingkir dihormati di desanya karena ia seorang wanita
yang berada. Semenjak saat itu Mas Krebet disebut Jaka Tingkir (pemuda dari desa Tingkir).
Jaka Tingkir tidak hanya tampan dan pandai
namun juga patuh kepada agama. Ia sering mengasingkan diri di hutan untuk bertapa di dalam
gua-gua di sana.
Pada suatu hari Nyai Ageng Tingkir menganjurkan kepadanya untuk mencari ilmu kepada
seorang guru ulama yang terkenal. Maka Jaka
Tingkirpun berangkat ke Sela, tempat tinggal
seorang guru yang terkenal kesaktiannya, yaitu
Ki Ageng Sela. Ternyata Ki Ageng Sela tak dapat berpisah dengan Jaka Tingkir, karena demikian besar rasa cintanya kepada muridnya.
Bahkan bila Ki Ageng Sela tidur, Jaka Tingkir
harus tidur di bawah kakinya. Ki Ageng Sela
berdoa siang dan malam kepada Allah, agar keturunannya kelak menjadi raja yang berkuasa di
pulau Jawa. Namun hai ini tidak diketahui oleh
seorangpun.
Pada suatu malam Ki Ageng Sela bermimpi
bahwa ia menggenggam sebuah kapak dan menuju ke hutan untuk membuka hutan. Dalam
mimpinya ia melihat Jaka Tingkir sudah berada
di dalam hutan dan telah mengerjakan semuanya dengan rapi. Ketika ia terbangun, diketahuinya bahwa ini adalah pertanda bahwa Jaka
Tingkir akan dikaruniai Tuhan. Kemudian ia
bertanya kepada Jaka Tingkir, "Pernahkah engkau bermimpi tentang sesuatu yang aneh, curuku?" Jaka Tingkir menjawab, bahwa ia pernah bermimpi tentang sesuatu yang tak dapat
diterangkan (tak dapat diketahui maknanya).
Ketika itu ia berziarah ke Tela-Maya, dan ia
tidur di tempat tersebut. Kemudian ia bermimpi,
bahwa ia dijatuhi bulan. Pada saat itu juga terdengar suara guntur yang membangunkannya.
Kini Ki Ageng Sela yakin bahwa Jaka Tingkir
aitakdirkan menjadi seorang raja besar, maka
ia berkata, "Itu adalah suatu pertanda yang sangat baik, cucuku. Pergilah ke Demak dan persembahkan jasamu kepada Sri Paduka Sultan di
sana. Kemudian kau akan menemukan arti dari
impianmu itu. Aku selalu akan berdoa untuk ke-
.' elamatanmu. Semoga doa dan prihatinku selama
>ni akan bermanfaat bagimu. Namun perkenankanlah bahwa kelak salah seorang keturunanku
akan menggantikanmu dalam kedudukanmu."
Jaka Tingkir pulang ke Tingkir untuk menceritakan kepada ibunya mengenai pengalamannya di Sela. Nyai Ageng Tingkir berkata. "Aku
sangat senang mendengar semuanya itu. Di Demak aku mempunyai seorang saudara, Kyai
Ganjur, yang mempunyai kedudukan tinggi di
kraton Demak. Akan kuminta kepadanya untuk
memperkenalkan engkau kepada Sri Paduka
Sultan di sana. Kau akan kuberi dua orane pembantu untuk menyertaimu ke Demak. Tetapi
sekarang mereka masih bekerja di sawah."
Jaka Tingkirpun pergi ke sawah untuk memanggil kedua pembantu tersebut. Setibanya di
sawah ia turut membantu mereka bekerja. Pada
saat itu, lewatlah Sunan Kalijaga yang melihat
jaka Tingkir di sawah, kemudian bersabda,
' Berhentilah bekerja di sawah Jaka Tingkir.
Pergilah ke Demak untuk mempersembahkan
jasamu kepada Sri Paduka Sultan di sana. Engkaulah yang akan menjadi raja berkuasa
di pulau Jawa." Jaka Tingkir segera berlari puiang untuk menceritakan hai ini kepada ibunya.
Tak lama kemudian ia berangkat ke Demak
disertai kedua orang pembantunya itu. Setibanya
di Demak ia langsung menuju ke rumah Kyai
Ganjur.
Menurut eerita, Jaka Tingkir dapat menarik
perhatian Sultan Demak. Ketika Sri Paduka
selesai sembahyang keluar dari mesjid, jaka
Tingkir sedang berjongkok di tepi kolam mesjid.
Ketika Sultan lewat, Jaka Tingkir memberi jalan kepada Sultan dengan meloncat ke belakang
menyeberangi kolam. Sultan Demak terperanjat
ketika menyaksikan hai itu dan menanyakan siopakah dia. Jaka Tingkir menjawab bahwa ia
adaiah kemenakan Ki Ganjur. Sultan menyuruhnya masuk ke dalam kraton dan mengabdi kepadanya. Jaka Tingkir seger a dapat mengambil
hati Sultan Demak, karena ia seorang pemuda
vang tampan dan halus budi bahasanya. Ia memperoleh kepercayaan Sultan dan diangkat menj adi Kepala Tamtama (tentara).
Beberapa saat kemudian Sultan bermaksud
menambah jumlah tamtamanya dengan empatratus orang lagi. Mereka yang melamar harus
diuji dulu kesaktiannya. Para calón tamtama haros dapat membuktikan kesaktiannya dengan
mengadu kekuatan dengan seekor banteng. Siapa
yang dapat menepuk kepala banteng itu dengan
telapak tangannya hingga kepala banteng itu
pecah, dapat diterima sebagai tamtama. Banyak
pria sakti dari seluruh pelosok kerajaan Demak
ciatang untuk mencoba keuntungan. Salah se-
orang pelamar adalah Ki Dadung Awuk, seorang yang terkenal kesaktiannya. Ki Dadung
Awukpun segera menghadap kepada Kepala
Tamtama, yaitu Jaka Tingkir. Ketika Jaka
Tingkir melihat Ki Dadung Awuk, timbullah
lasa benci kepada orang desa itu, karena Ki Dadung Awuk sangat buruk rupanya. Maka Jaka
Tingkir bertanya kepada Ki Dadung Awuk
apakah ia bersedia kesaktiannya diuji dulu
olehnya. Ki Dadung Awuk tidak berkeberatan,
karena ia terkenal sebagai seorang yang tak terkalahkan. Kemudian .Jaka Tingkir menusuk
dada Ki Dadung Awuk dengan sebuah tusuk
lambut. Segera Ki Dadung Awuk rebah dan
meninggal. Hal ini belumlah cukup bagi Jaka
Tingkir. Para tamtama diharuskan menusuk
tubuh Ki Dadung Awuk dengan keris mereka,
sehingga tubuh Ki Dadung Awuk penuh luka
dan berlumuran darah.
Kejadian tersebut terdengar oleh Sultan, dan
beliau menjadi sangat murka, karena Sultan
Demak terkenal sebagai seorang raja yang adil
cÃan bijaksana. Jaka Tingkir langsung dipecat
dari jabatannya dan diusir dari Demak. Sebaliknya keluarga Ki Dadung Awuk dianugerahi sej>jmlah uang yang besar.
Jaka Tingkir sangat menyesali perbuatannya.
Kini ia mengembara di hutan dan bertapa di
sana untuk memohon pengampunan kepada
Allah. Pada suatu hari ia bertemu dengan Ki
Ageng Butuh yang bertanya kepadanya, "Siapa-
kah engkau anakku? Wajahmu begitu mirip dengan kakanda Ki Ageng Pengging. Apa yang
sedang kaulakukan di sini?" Jaka Tingkir menjawab ia benar putera Ki Ageng Pengging dan
menceritakan apa yang telah dialaminya. Ki Butuh memeluk dan mengajak Jaka Tingkir ke
rumahnya. Ki Ageng Ngerang dipanggil untuk
bertemu dengan Jaka Tingkir. Kedua Kyai tersebut memberi Jaka Tingkir pelajaran dari ilmunya. Setelah beberapa bulan, Ki Ageng Butuh
berkata, "Anakku, engkau telah kuberi pelajaran tentang segala yang harus kau ketahui. Kembalilah sekarang ke Demak, Pengging atau Tingkir. Tak lama lagi Sultan Demak akan membutuhkan pertolonganmu. Ia akan mencarimu dan
tentu saja di tempat kelahiranmu. Barang siapa
yang ditakdirkan menjadi seorang besar harus
mengalami banyak percobaan dahulu. Berangkatlah sekarang, doaku bersamamu."
Jaka Tingkir berangkat lagi dan menuju ke
Demak. Di sini ia bertanya kepada para tamtama apakah Sultan telah menanyakan tentang
dirinya. Akan t etapi jawabannya adaiah bahwa
Sultan tidak pernah menyebut nama Jaka Tingkir lagi. Jaka Tingkir merasa kecewa dan melanjutkan perjalanannya ke Pengging. Ia pergi
ke kuburan ayahnya untuk bertapa dan tidur di
sana. Pada hari keempat ketika ia sedang tidur,
terdengar olehnya suara yang berkata, "Pergilah
ke jurusan tenggara. Dekat desa Getas Aji ada
seorang Kyai tua yang sangat sakti, Ki Buyut
Banyu-biru. Bergurulah kepadanya dan patuhi
semua perintahnya."
Jaka Tingkir terbangun dari tidurnya dan segera berangkat menemui Ki Buyut Banyu-biru.
Ki Buyut Bunyu-biru mempunyai seorang anak
angkat, Ki Mas Manca namanya, seorang keturunan raja Majapahit. Ki Buyut mengetahui
bahwa Ki Mas Manca di kemudian hari akan
rnendampingi seorang raja. Pada suatu hari ia
berkata kepada Ki Mas Manca, "Dengarlah
anakku, dua hari lagi calón rajamu akan datang
ke mari. Setelah berada 3 bulan di Banyu-biru
tibalah saatnya ia akan bertindak untuk mencapai tujuannya. Calón junjunganmu ini adalah
seorang keturunan Adipati Jayaningrat dari
Pengging. Kerajaannya di kemudian hari akan
terletak di Pajang. Ia akan menjadi seorang raja
yang sangat besar, bijaksana dan sakti. Bahkan
musuh-musuhnya akan menghormatinya. Engkau beruntung akan menjadi patihnya. Aku seil antiasa berdoa semoga hal ini tidak lama lagi
akan menjadi kenyataan."
Dua hari kemudian Jaka Tingkir tiba. Ki Buyut Banyu-biru menerimanya sebagai murid dan
anak angkatnya. Kedua pria muda, Jaka Tingkir
dan Ki Mas Manca diberikan pela jaran dalam
berbagai ilmu oleh Ki Buyut Banyu-biru. Tiga
bulan kemudian Ki Buyut berkata kepada Jaka
Tingkir, "Anakku, kinilah saatnya untuk menampakkan dirimu lagi kepada paduka Sultan
Demak. Saat ini Sultan berada di Prawata, se-
perti biasanya pada musim kemarau. Akan kuberikan kepadamu sesuatu agar Sultan mengasihimu kembali. Ini adaiah segumpal tanah.
Masukkanlah tanah mi ke dalam mulut seekor
banteng. Banteng itu akan mengamuk dan akan
menyerang desa Prawata. Tak seorangpun akan
berdaya melawan banteng itu, maka Sultan Demak akan teringat kepadamu. Bila engkau harus membunuh banteng itu, keluarkanlah gumpalan tanah itu dari mulutnya dulu. Kemudian
kau dapat dengan mudah membunuhnya. Aku
akan membuat sebuah rakit untuk perjalananmu."
Setelah rakit itu selesai, Jaka Tingkir berangkat disertai oleh Ki Mas Manca, Ki Wuragil
dan Ki Wila. Kedua orang terakhir adaiah keluarga Ki Buyut Banyu-biru. Demikianlah mereka menghilir sungai di atas rakit.
Ketika mereka tiba di desa Kedung Srengenge, mereka berjumpa dengan sepasukan buaya.
Di desa Kedung Srengenge bertahta seekor raja
buaya Bau Rekso namanya. Kemudian terjadilah pertempuran sengit antara ratusan ekor buaya dengan Jaka Tingkir dan ketiga kawannya
yang akhirnya dapat dimenangkan oleh Jaka
Tingkir dan ketiga kawannya itu. Ratusan ekor
buaya terbunuh berkat kesaktian murid-murid
Ki Buyut Banyu-biru. Raja buaya Bau Reksopun
menyerahkan dirinya kepada Jaka Tingkir dan
berjanji akan mengawal Jaka Tingkir dalam
perjalanannya di atas air. Rakitnya kini meng-
hilir di atas punggung empatpuluh ekor buaya.
Dan terciptalah suatu lagu yang terkenal sampai
sekarang, yaitu, "Sigro milir." (Sang getek sinangga bajul. Kawan dasa kang jageni. Ing
ngarso miwah ing pungkur. Atanapi kanan kinng. Sang getek lampahnya alón.") Bau Rekso
masih berjanji untuk mempersembahkan seekor
buaya kepada Jaka Tingkir setiap tahun.
Tak lama kemudian mereka sampai di desa
Butuh. Jaka Tingkir mengetuk rakitnya, dan
keempatpuluh ekor buaya itu mengerti bahwa
ini adalah tanda untuk berhenti. Jaka Tingkir
berhenti sebentar untuk tidur sejenak.
Pada saat itu Ki Ageng Butuh ke luar dari rumahnya dan melihat cahaya (daru) jatuh dari
langit. la mengikuti arah jatuhnya daru itu dan
menemukan Jaka Tingkir yang sedang tidur di
atas rakit telah kejatuhan daru itu. Maka iapun
membangunkan Jaka Tingkir sambil berkata,
"Bangunlah Jaka Tingkir, engkau kejatuhan daru, cahaya kerajaan Demak telah berpindah kepadamu." Kemudian Jaka Tingkir dan ketiga
kawannya diajaknya ke rumahnya. Ki Ageng
Ngerang dipersilahkan untuk datang juga. Kedua kyai itu memberi Jaka Tingkir pelajaran
dari ilmu mereka. Bagi mereka kini sudah jelas
bahwa Jaka Tingkir akan menjadi raja, menggantikan Sultan Demak. Merekapun memberikan pelajaran kepada Jaka Tingkir apa yang
harus diketahui oleh seorang raja yang baik dan
bijaksana.
Akhirnya Jaka Tingkir dan kawan-kawannya
mohon diri untuk melanjutkan perjalanan dan
menunaikan tugasnya. Mereka tiba di desa Prawata. Sultan Demak masih berada di pasanggrahannya. Jaka Tingkir mencari seekor banteng. Ketika ditemukannya, tanah yang didapatnya dari Ki Banyu-biru dimasukkan ke dalam
mulut banteng itu. Segera banteng itupun mengamuk dan berlari ke pasanggrahan Sultan.
Penduduk desa Prawata menjadi geger, banyak orang terluka dan meninggal dunia, karena
serangan banteng itu. Orang-orang memerangi
banteng itu dengan tombak dan keris, namun
semuanya sia-sia belaka.
Kemudian Sultan memberi perintah kepada
tamtamanya untuk memerangi banteng itu tanpa senjata, karena para tamtama telah terlatih
untuk mengalahkan seekor banteng dengan menepak kepala banteng dengan telapak tangan
mereka hingga kepala banteng itu pecah. Akan
tetapi kali ini mereka tidak berhasil. Banyak
tamtama sudah gugur dan terinjak oleh banteng
itu. Sudah tiga hari kejadian itu berlangsung.
Dari panggung pasanggrahannya Sultan Demak menyaksikan pertarungan antara manusia
dan banteng tersebut. Kemudian dilihatnya Jaka
Tingkir di kejauhan juga sedang mengamati
banteng yang mengamuk itu. Segera Sultan memerintahkan seorang untuk menemui Jaka Tingkir. Semua kesalahan Jaka Tingkir akan diampuni bila ia berhasil membunuh banteng itu.
Jaka Tingkir menyatakan kesanggupannya. Ia
maju ke depan diiringi tabuhan gamelan dan sorak-sorai orang orang yang memberi semangat.
Jaka Tingkir menyongsong banteng itu. Ia segera diangkat oleh banteng itu dengan tanduknya
dan dilemparkan ke tanah. Namun Jaka Tingkir
segera bangkit. Kemudian dipegangnya banteng
itu pada tanduk dan ekornya dan dibantingkannya ke tanah, sehingga gumpalan tanah yang disihir oleh Ki Buyut Banyu-biru itu ke luar dari
mulut si banteng. Kini banteng itu tidak berdaya
lagi. Tak sukar lagi bagi Jaka Tingkir untuk
membunuhnya. Dengan telapak tangannya ia
menepuk kepala banteng itu hingga pecah.
Demikianlah Jaka Tingkir mendapatkan kepercayaan dan kasih Sultan Demak. Ia mendapatkan kembali kedudakan yang tinggi di kraton.
Tak lama kemudian ia menikah dengan seorang
putri Sultan Demak dan menjadi adipati di Pajang. Jaka Tingkir berhasil menjadikan Pajang
suatu daerah yang makmur dan sentausa, sehingga menjadi terkenal di dalam sejarah.
Setelah Sultan Demak wafat, ia menamakan
dirinya Sultan Pajang. Daerah-daerah lain di
sekitar Pajang dapat ditaklukkannya. Yang paling akhir adaiah daerah Jipang, karena adipatinya, Arya Penangsang sangat salcti, tetapi dengan tipu muslihat akhirnya dapat dikalahkan.
Pada tahun 1503 Jaka Tingkir menamakan dirinya Sultan Hadiwijaya dari Pajang dan diakui sebagai raja yang paling berkuasa di pulau Jawa.