Rabu, 05 Juli 2023

andeande lumut

Dahulu kala hiduplah empat orang raja. Se￾orang bernama Lembu Amiluhur, bertahta di 
negeri Jenggala. Yang kedua Lembu Peteng 
adalah Raja Kediri. Yang ketiga Lembu Meng￾gareng yang bersemayam di Ngurawan, dan 
yang keempat adalah Lembu Amijoyo, Raja Si￾ngasari. Keempat raja tersebut hidup ruku.n 
dan damai di negeri mereka masing-masing yang 
sangat luas. Mereka tidak mempunyai keinginan 
untuk saling mengganggu atau saling merugikan 
sa tu sama lain. Demikian keempat raja itu ter￾sohor kerukunannya. Bukan hanya di antara 
mereka para raja itu bersikap baik. Kepada rak￾yat pun mereka baik dan adii. Siapa yang jujur 
dan bekerja keras, diberi upah sebagai imbalan 
dan makanan. Tapi siapa yang berbuat salah di￾hukum tidak pandang bulu. Demikian keadaan 
di empat negeri itu. Aman tenteram, subur dan 
makmur. 
Sang Prabu Lembu Amiluhur mempunyai se￾Lfrang putra yang bernama Raden Panji Kuda￾waning Pati. Tetapi ìa lebih terkenal dengan 
nama Raden Putra, sebagaimana rakyatnya me￾nyebutnya. Putra raja itu sangat tampan dan agung laksana seorang dewa dari kahyangan, se￾perti Sang Hyang Kamajaya. Sang Prabu Ami￾luhur ingin agar putranya tidak hanya bagus 
lahiriah saja, rohaniah pun ia harus baik. Kare￾na itu Raden Putra mendapat pelajaran dari 
para pendeta yang paling pandai dan tersohor. 
Sang Prabu Lembu Peteng mempunyai seo￾rang putri yang cantik jelita. Banyak raja telah 
melamarnya, namun tak seorang pun berkenan 
di hati sang putri. Bahkan sang Putri demikian 
marah terhadap pria bangsawan yang melamar￾nya, hingga ia mengancam akan mengakhiri hi￾dupnya, bilamana ia dipaksa menerima lamaran 
dari salah seorang pria yang telah melamarnya. 
Ketika ia mendengar bahwa Raden Putra telah 
melamarnya, tiba-tiba hilanglah rasa bencinya. 
la bersedia menikah dengan putra raja Jenggala 
itu. 
Tak lama kemudian pesta perkawinan dilang￾sungkan dan kedua anak raja itu merasa sangat 
berbahagia. Setelah pernikahannya, Raden Pu￾tra dinobatkan menjadi putra mahkota dan kini 
ber gelar Adipati Anom. Namun tak lama kemu￾dian kebahagiaan kedua anak raja itu berakhir. 
Sang Prabu Lembu Amiluhur telah lanjut usi￾anya dan dirasanya makin berat memegang pu￾cuk pimpinan kerajaannya. Pada suatu hari tim￾bul gagasan pada dirinya, "Mengapa anakku ha￾rus menunggu sampai aku mangkat untuk naik 
tahta kerajaan. Lebih baik ia sekarang menjadi 
raja, selama aku masih sehat dan kuat. Aku da-
pat mendampingi dan membantunya dalam tu￾gas berat itu, sehingga aku dapat menutup mata 
dengan hati yang tenang, karena mengetahui 
bahwa rakyatku memiliki seorang raja yang 
sanggup menjalankan tugasnya." 
Sang Prabu Lembu Amiluhur memanggil para 
penasehatnya dan lain sesepuh yang arif bijak￾sana untuk merundingkan gagasannya itu. Sete￾lah lama bermusyawarah mereka setuju dengan 
gagasan sang raja itu. Akhirnya sang Pangeran 
Adipati Anom dipanggil untuk menghadap 
ayahnya. Kini ia mendengar apa yang telah di￾putuskan ayahnya dan yang disetujui para pena￾sehat yang arif bijaksana itu. Akan tetapi Raden 
Putra menolak. "Haruslah aku mendahului tah￾ta kerajaan pada saat ayahku masih hidup. Se￾olah-olah aku menggeser ayahku dari tahtanya. 
Tidak! Aku tak akan mau. Dunia luar akan me￾ngira bahwa aku telah merebut kekuasaan dari 
tangan ayahku. Aku tidak mau menjadi raja se￾karang!" 
Bagaimanapun Raden Putra dibujuk rayu dan 
dipaksa secara halus untuk patuh terhadap ke￾putusan ayahnya, ia tetap menolak. "Pikirkan 
sa ja dahulu!" kata salah seorang penasehat tua 
yang arif bijaksana itu. Ketika Raden Putra me￾ngundurkan diri, mereka berunding sekali lagi. 
Namun sang raja bersikeras dan tak mau meru￾bah niatnya. "Aku sudah tua sekarang. Tugasku 
kini kurasakan terlampau berat," kata sang Raja. 
Kemudian kata salah seorang penasehat, "Mari
kita ceritakan kepada sang Pangeran Adipati 
Anom bahwa ayahanda sangat murka dan tak 
kenal ampun bila ia tetap menolak." Sekali lagi 
Raden Putra dipanggil dan diberitahukan apa 
yang telah diputuskan. Akan tetapi Raden Putra 
tetap menolak untuk menjadi raja selama ayah￾nya masih hidup. Akhirnya ia diancam akan di￾kucilkan dari kerajaari. Dan barang siapa meno￾long atau melindunginya akan mendapat hu￾kuman pula. 
"Apakah tak ada orang yang mengerti akan 
diriku," keluh Raden Putra. Semua orang me￾nundukkan kepala. Keputusan terakhir itu sama 
halnya dengan hukuman mati. "Lebih baik aku 
mati daripada sekarang menggantikan ayahku 
menjadi raja," ujar Raden Putra. 
Sang raja menjadi sangat murka mendengar 
ucapan itu, hingga diusirnya Raden Putra seke￾tika itu juga dari istananya. Maka sejak saat itu 
Raden Putra harus berkelana di alam dunia 
yang luas. 
Raden Putra pulang dahulu, ternyata istrinya 
telah tertidur. la tidak membangunkannya me￾la inkan pergi ke serambi muka dan memikirkan 
apa yang harus diperbuatnya. Dua pembantunya 
yang setia dan selalu mengikuti ke mana ia pergi, 
kini mengikutinya pula ke serambi muka. Kedua 
pembantu itu pun merasa bimbang. Mereka ti￾c-ak tega membiarkan majikannya berkelana se￾orang diri. Sejak masa kecilnya mereka telah 
mengasuhnya. Juga mereka mengetahui hukuman
berat yang akan menimpa diri mereka, biia me￾reka mengikuti majikannya ke mana pergi. Sam￾bil berlutut di hadaoan Raden Putra mereka 
memohon untuk ikut serta dalam pembuangan￾nya. Raden Putra sangat senang mendengar per￾mintaan kedua pembantunya yang setia i tu. Me￾i eka menanyakan apakah Raden Putra tidak me￾ngajak istrinya ikut serta dalarn pembuangannya. 
"Aku tidak sampai hati mengajak dia dalam 
kehidupan yang tak menentu itu. Apakah tidak 
terlalu berat baginya untuk hidup di hutan? Di 
s.ini ia terlindung. Akan tetapi bila ia benar-benar 
mencintaiku, ia akan mencariku dan menemuiku 
di mana pun aku berada," demikian ujar Raden 
Putra. Kedua pembantu mengundurkan diri un￾tuk menyiapkan keperluan perjalanan tersebut. 
Perlahan-lahan Raden Putra masuk ke dalam 
kamar tidur istrinya. Beberapa lama dipandang￾mya wajah cantik istrinya yang sedang tertidur. 
Akhirnya disadarinya bahwa telah tiba saatnya 
untuk berpisah. Ditulisnya sepucuk surat yang 
berbunyi, "Yayi (istriku), bila engkau terba￾ngun, aku telah jauh darimu. Karena sesuatu 
hai aku terpaksa meninggalkanmu, di manapun 
aku senantiasa akan mencintaimu dan tak akan 
melupakanmu." Surat itu diletakkannya di sam￾ping istrinya. Dicium dan dibelainya istrinya 
perlahan-lahan untuk tidak membangunkannya. 
Kemudian ia pergi untuk berkelana, memasuki 
lembaran hidup baru yang penuh teka-teki. 
Pada malam itu mereka bertiga berjalan tak
menentu arah tujuannya. Ketika fajar menying￾sing mereka sampai ke sebuah hutan. Di sini me￾reka tinggal selama empat bulan. Mereka hanya 
rnakan buah-buahan saja dan minun air kelapa. 
Kehidupan semacam ini lama-kelamaan terasa 
membosankan. Kemudian kedua pembantu Ra￾den Putra mengusulkan kepada majikannya un￾tuk menyamar dan pergi ke sebuah hutan yang 
terdekat. Semula Raden Putra tidak memperha￾tikan usul kedua pembantunya itu. Namun ke￾tika mereka mendesak, akhirnya Raden Putra 
menyetujuinya. Ia menyamar sebagai seorang 
pemburu. Mereka pun memasuki kota Dadapan. 
Di kota ini hidup seorang janda miskin, yang 
Larus bekerja berat untuk sesuap nasinya. Keti￾ga pemburu itu merasa haus dan melihat sebuah 
rumah kecil tempat tmggal si janda miskin itu. 
Mereka menuju ke sana dan memohon seteguk 
air minum. 
"Dari mana kalian datang dan ke mana kalian 
hendak pergi?" tanya mbok Rondo itu (perem￾puan janda). 
"Saya bernama Ande-ande Lumut, dan itu 
adaiah dua pembantuku, Gempol dan Ceblung," 
Jawab Raden Putra." Tempat tinggal kami di 
hutan dan kami mohon seteguk air!" sambung 
Raden Putra. Ketika mereka telah minum, 
mbok Rondo mengusulkan supaya mereka ting￾gal bersamanya. Mereka bertiga dapat memban￾tunya mencarikan nafkah. Demikian Raden Pu￾tra menjadi anak angkat mbok Rondo dan kedua
pembantunya menjadi saudara mbok Rondo itu. 
Apa yang terj adi dengan istri Raden Putra, 
Dewi Candrakirana? Ketika ia terbangun dili￾hatnya surat suaminya. Hatinya merasa sangat 
sedih ketika dibacanya surat itu. Tak berapa la￾ma kemudian tahulañ ia tentang apa yang telah 
terjadi antara suaminya dengan sang Raja. 
Dewi Candrakirana membaca surat suaminya 
sekali dan sekali lagi sambil menangis tersedu￾sedu. Sementara itu datang utusan dari sang 
Raja untuk menanyakan apakah sang Pangeran 
Adipati Anom betul telah berangkat, karena 
sang Raja kini telah menyesali kemurkaannya. 
Ketika beliau mendengar bahwa putranya telah 
meninggalkan istana, dikirimkannya utusan-utus￾an ke segala penjuru untuk mencari Raden Pu￾tra. Barang siapa yang dapat menemukan sang 
Pangeran Adipati Anom ataupun memberitahu￾kan suatu berita akan diberikan hadiah yang 
setimpal. 
Dewi Candrakirana tidak sabar menunggu 
hingga salah seorang utusan kembali membawa 
berita. Ia sendiri hendak pergi mencari suami￾nya. Maka iapun ber^ngkatlah seorang diri. Ia 
menjelajahi hutan belukar, menaiki bukit dan 
menuruni jurang. Akan tetapi ia tak dapat me￾nemukan jejak suaminya barang sedikitpun. 
Akhirnya ia menjadi putus asa. Sambil mena￾ngis sedu sedan ia menjatuhkan dirinya dan me￾ni anjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa. 
Tiba-tiba Batara Nnrada berdiri di hadapan-
nya. Batara Guru telah mendengar doa wanita 
rnalang itu dan kini mengutus Batara Narada 
turun ke bumi untuk menanyakan apakah per￾mohonan Dewi Candrakirana itu. Dewi Candra￾kirana memohon agar dapat menemukan suami￾riya, baik hidup maupun mati. 
"Apa yang dapat kau perbuat sebagai im￾balan?" tanya Batara Narada. 
"Segalanya, aku rela berbuat. Bahkan mati 
pun aku rela, asalkan dapat menemukan suami￾ku," jawab Dewi Candrakirana. 
"Baiklah, kau akan menemukan suamimu, na￾mun kau harus menjalankan suatu percobaan 
dahulu," ujar Batara Narada. "Pergilah ke arah 
barat. Di desa Karangwulusan hidup seorang 
janda dengan tiga orang anak putrinya. Kau 
harus bekerja di sana, Kau tak boleh menolak 
pekerjaan apapun, bahkan yang sangat meletih￾kan maupun yang sangat kotor." 
Dewi Candrakirana berjanji akan menjalankan 
perintah itu. Kemudian Batara Narada mem￾berikan sebuah senjata, "Cis" *) kepadanya. 
Akan tetapi Cis ini hanya dapat digunakan da￾lam keadaan yang sangat perlu. 
Demikianlah Dewi Candrakirana bekerja pada 
mbok Rondo di desa Karangwulusan itu. Mbok 
Rondo seorang wanita yang baik hati, namun 
anak-anak putrinya sangat dengki dan malas. 
Segalanya harus dikerjakan oleh Dewi Candra-
kirana seorang diri. Semula Dewi Candrakirana 
memakai ñama samaran Sriwayam. Akan tetapi 
mbok Rondo berkata, bahwa nama itu tidak ba￾gus dan ia akan memanggilnya "Kleting Ku￾ning." Maka Dewi Candrakirana kini bernama 
Kleting Kuning. 
Anak-anak mbok Rondo bernama Kleting 
Abang, Kleting Biru dan Kleting Ungu. Ketiga 
Kleting ini sangat membenci Kleting Kuning, 
karena Kleting Kuning jauh lebih cantik dari￾pada mereka. Bila mbok Rondo ke luar rumah 
mereka mengejek dan menyiksa Kleting Kuning. 
Dan Kleting Kuning tak berani melawan sedi￾kitpun. 
Pada suatu hari mereka memerintahkan Kle￾ting Kuning untuk menggosok sebuah dandang 
yang sangat kotor. Dengan patuh Kleting Ku￾ning pergi ke kali untuk menggosok dandang 
tersebut. Akan tetapi bagaimanapun ia meng￾gosok dandang itu tidak dapat bersih juga. Akhir￾nya ia pulang dengan hati sedih. Di tengah ja￾lan, ketiga Kleting menyongsongnya. Ketika me￾reka melihat bahwa dandang itu masih saja ko￾tor, mereka memukuli Kleting Kuning demiki￾an hebat, hingga Kleting Kuning jatuh pingsan. 
Ketiga gadis itu sangat terkejut dan kemudian 
melarikan diri.' Mereka mengira bahwa Kleting 
Kuning telah mati, dan hal itu bukanlah mak￾sud mereka. 
Beberapa lama kemudian Kleting Kuning sa￾dar kembali. Ia tidak berani pulang, lagi pula ia
tidak tahan menderita lebih lama lagi. Ia kem￾bali ke kali dan berdoa dari dalam lubuk hati￾nya semoga dibebaskan dari penderitaannya. 
Tiba-tiba turun seekor Garuda dari langit dan 
berdiri di dekatnya. Garuda itu bertanya kepada 
Kleting Kuning dengan suara manusia mengapa 
ia bersedih hati. Kleting Kuning menceritakan 
apa yang telah terjadi. 
"Andaikan, aku dapat menolongmu apa yang 
akan kau berikan kepadaku. Sebagai imbalan￾nya?" tanya sang Garuda. 
"Apa saja yang engkau kehendaki," jawab Kle￾ting Kuning. Kemudian sang Garuda menggigit 
dandang kotor itu dengan paruhnya dan mem￾banting-bantingnya di dalam air hingga men￾jadi bersih dan mengkilat. Dengan penuh keka￾guman Kleting Kuning menyaksikan hal itu. 
"O, banyak terima kasih! Kini apa yang harus 
kuperbuat untukmu?" tanya Kleting Kuning. 
"Aku ingin engkau minjadi istriku!" jawab 
sang Garuda. Kleting Kuning sangat terkejut 
mendengar ucapan itu. Akan tetapi ia tidak bo￾leh mengingkari janjinya. Ia hanya minta wak￾tu sehari lagi, karena mau menyerahkan dandang 
itu ke rumah. 
Setiba di rumah, tiga gadis Kleting terperan￾jat melihatnya. "Masih hidupkah si Kleting Ku￾rving. Lagi pula ia berhasil membersihkan dan￾dang tua itu. Apakah itu Betul Kleting Kuning 
atau arwahnya?" piklr mereka. Mereka kini me￾lasa takut terhadap Kleting Kuning. Namun
Kleting Kuning terlampau sedih unt.uk memi￾kirkan ke tiga Kleting itu. Ia memikirkan jan￾jinya kepada Garuda itu, karèna ia sama sekali 
tidak suka menj adi istrinya. Akan tetapi ia seo￾rang anak raja dan mengetahui bahwa janji 
harus ditepati. 
Maka keesokan harinya ia pergi ke kali lagi. 
Sang Garuda sudah menunggu di sana. 
"Apakah engkau betul mencintaiku, hingga 
engkau hendak memperistriku?" tanya Kleting 
Kuning. 
"Aku sangat cinta padamu!" balas sang Ga￾ruda. 
"Apakah cintamu demikian besar, hingga 
engkau sanggup mengabulkan setiap permin￾taanku?" 
"Ya, setiap permintaanmu akan kukabulkan." 
".Tuga bila aku ingin sesuatu yang sangat 
aneh dan mustahil?" tanya Kleting Kuning lagi, 
Sang Garuda tetap menyanggupinya. Kemu￾clian Kleting Kuning minta sepotong daging dari 
paha sang Garuda. "Baiklah!" ujar sang Garuda. 
Akan tetapi ketika Kleting Kuning hendak 
memotong paha Garuda dengan Cis yang pernah 
didapatkannya dari Batara Narada, tiba-tiba 
sang Garuda menjelma menjadi Batara Narada. 
"Kau telah menjalankan percobaan hidupmu 
dengan baik anakku. Tak lama lagi kau akan 
menjumpai suamimu. Selamat jalan, restuku 
bersamamu!" Setelah mengucapkan kata-kata 
itu Batara Narada menghilang.
Kleting Kuning pulang ke rumali mbok Rondo 
dengan perasaan lega. Pikirannya masih penuh 
ciengan peristiwa yang baru saja dialaminya itu, 
sehingga ia pada mulanya tidak mengamati pe￾rubahan suasana rumah. Ketiga anak mbok 
Rondo sedang diliputi perasaan gembira dan 
gelisah karena hendak melamar seorang pria 
tampan, anak seorang janda di desa Dadapan. 
Sudah banyak wanita cantik dengan membawa 
hadiah yang mahal-mahal telah datang ke ru￾mah mbok Rondo di Dadapan itu untuk me￾nyampaikan keinginannya menjadi menantunya. 
Namun Ande-Ande Lumut anak mbok Rondo 
itu masih saja belum menjatuhkan pilihannya. 
Hai ini sangat menyedihkan mbok Rondo. 
Kini ketiga Kleting ingin mencoba juga me￾lamar anak mbok Rondo di Dadapan. Oleh ibu 
mereka, Kleting Kuning juga harus ikut serta. 
Semula Kleting Kuning menolak, "Aku tidak 
mempunyai pakaian bagus. Lagipula aku tidak 
tahu jalan ke Dadapan,'' kata Kleting Kuning. 
"Ikut saja dengan saudara-saudaramu. Doa 
restuku besertamu, kau seorang anak yang baik 
dan selalu bersikap baik kepadaku," kata mbok 
Rondo itu. Ketiga Kleting tidak senang bahwa 
Kleting Kuning juga ikut pergi. Mereka berse￾pakat untuk memukuli Kleting Kuning di tengah 
jalan, sehingga ia tidak dapat melanjutkan per￾jalanannya. 
Demikianlah terjadi. Mereka belum jauh dari
rumah, ketika Kleting Kuning dipukuli. Pakai￾annya dirobek-robek. Kleting Kuning memohon 
ampun dan berjanji tidak akan ikut serta me￾lamar ke Dadapan. Namun ketiga gadis itu be￾lum juga puas. Kleting Kuning diikat mereka 
dengan selendangnya pada sebatang pohon. Ke￾mudian Kleting Kuning dilempar dengan segala 
kotoran yang mereka temukan. Akhirnya mereka 
meninggalkannya. Kini ketiga gadis itu merasa 
bebas untuk pergi ke Dadapan. Mereka sampai 
pada sebuah sungai besar. Tiada jembatan dan 
tiada rakit untuk menyebrangkan mereka ke tepi 
seberang. Lagi pula, air sedang pasang. Ya, apa 
yang harus mereka perbuat? Tiba-tiba muncul 
seekor Yuyu *) sebesar seekor kerbau di hadapan 
mereka. Gadis-gadis itu demikian terkejut hing￾ga hendak melarikan diri. Akan tetapi Yuyu 
Kangkang itu menahan mereka. Si Yuyu Kang￾kang berkata, bahwa ia Raja dari semua makhluk 
yang hidup di air. la dapat membawa gadis￾gadis itu ke tepi seberang. Sebagai balasannya 
la tidak minta uang, emas atau batu permata, 
melainkan hanya sekecup cium. "Ah, tidak ba￾nyak yang dimintanva," gadis Kleting itu saling 
berkata. Maka mereka menyetujui apa yang di￾kehendaki si Yuyu Kangkang. Si Yuyu Kang￾kang membawa gadis-gadis itu, seorang demi se￾orang di atas punggungnya ke tepi seberang, se-
ìaya bernyanyi:
Sun sabrangke, Ku bawa setiap gadis 
Wong ayu sing liwat Cantik yang lewat di 
kene sini ke tepi seberang, 
Byuk, krubyuk, se- Byuk krubyuk sengok. 
ngok. 
Kata terakhir ini adalah bunyi kecup ciuman, 
yang diberikannya setelah menyeberangkan ga￾dis-gadis itu. Demikian ketiga Kleting itu sampai 
ke tepi seberang sungai. 
Tak lama kemudian mereka tiba di Dadapan 
dan berdiri di muka pintu rumah Ande-Ande 
Lumut. Mereka memohon masuk, namun yang 
menjaga pintu berkata, "Setelah kalian mem￾beri sekecup cium kepadaku, kalian kuijinkan 
masuk." Ketiga gadis itu melakukan apa yang 
dikehendaki si penjaga pintu. Dan masuklah 
mereka ke dalam rumah di mana mbok Rondo 
telah menerima mereka. Ketiga Kleting me￾nyampaikan maksud kedatangan mereka kepada 
mbok Rondo. Mbok Rondo yang telah biasa me￾lihat gadis-gadis cantik yang ingin diperistri 
Ande-Ande Lumut berkata ramah, "Akan ku￾beritahu anakku." Kemudian ia bernyanyi, 
"Lé tolé Andé- Andé Anakku Andé-Andé 
Lumut Lumut 
Tumuruno nggèr se- Turunlah dari pang￾délo wae gungmu sebentar
Ono roro ngunggah￾unggahi 
Ambuné ambrik 
awàilg'i. 
Raden Putra menjawab 
Yung biyung aku 
emoh 
Nadyan ayu sisané si 
Yuyu Kangkang 
Ping pindoné sisané 
sing tunggu lawang. 
A.da gadis cantik yang 
ingin menjadi istrimu. 
Mereka harum dan 
wangi. 
dari tingkat atas, 
Ibuku sayang, aku 
tidak mau 
Biarpun mereka can￾tik mereka telah di￾cium si Yuyu Kang￾kang dan si Penjaga 
pintu. 
Mbok Rondo sangat keeewa dan berkata ke￾pada gadis-gadis itu, "Kalian telah mendengar 
sendiri jawaban anakku!" 
Mari kita melihat apa yang terjadi dengan 
Kleting Kuning, yang kita tinggalkan terikat pa￾pa sebatang pohon. Tak lama kemudian Kleting 
Kuning dibebaskan dari siksaan itu oleh seorang 
musafir yang kebetulan lewat. Demikian Kleting 
Kuning dapat melanjutkan perjalanannya ke 
Dadapan. Ia pun sampai ke tepi sungai yang 
lebar itu dan bertemu pula dengan si Yuyu 
Kangkang. Kleting Kuning mohon diseberang￾kan, namun si Yuyu Kangkang menolaknya ka￾rena ia berbau tidak sedap. Kleting Kuning me￾ngingat senjata yang diberikan Batara Narada
kepadanya dan mengancam si Yuyu Kangkang 
untuk membunuhnya, jika ia tidak mau menye￾berangkannya. Namun tiba-tiba ia merasa kasih￾an kepada si Yuyu Kangkang. Maka dengan 
senj ata tersebut dipukulnya air sungai, kemudi￾an air lenyap dan sungai menjadi kering dan 
menjadi seperti sebuah jalan. Dengan mudah 
Kleting Kuning dapat berjalan ke tepi seberang. 
Si Yuyu Kangkang sangat terkejut. Kini ia 
meminta ampun dan memohon dikembalikannya 
air sungai itu, oleh karena ia tidak dapat hidup 
tanpa air. Kemudian t?k berapa lama arus air 
itu kembali demikian deras sehingga si Yuyu 
Kangkang terpelanting pada batu-batu kali yang 
besar hingga mati. Tiba-tiba si Yuyu Kangkang 
yang mati itu menjelma menjadi seorang pen￾deta, yang ber jalan mendekati Kleting Kuning. 
Pendeta itu telah dihukum oleh Batara Wishnu, 
karena pernah berbuat jahat. Namun mulai saat 
ini ia akan mengabdi dan berbakti kepada Yang 
Maha Kuasa. Sang Pendeta berkata bahwa Kle￾ting Kuning dapat melanjutkan perjalanannya 
dengan selamat. Akan tetapi ia tidak boleh ber￾ganti pakaian bila ia sampai di Dadapan. Sang 
pendeta mengucapkan selamat jalan kepada 
Kleting Kuning dan menambahkan, tak lama 
lagi ia akan dapat berjumpa dengan suaminya. 
Tak lama kemudian Kleting Kuning sampai 
di Dadapan dan mengetuk pintu rumah mbok 
Rondo, ibu angkat Ande-Ande Lumut. Si penjaga 
pintu tidak mengizinkan masuk karena Kleting
Kuning tampak sangat kotor. Kleting Kuning me￾nyentuh pintu rumah itu dengan senjata yang di￾berikan Batara Narada, dan ... pintu itu terbuka 
sendiri. Mbok Rondo menyongsongnya. Ketika 
Kleting Kuning memberitahu maksud kedatang￾annya, mbok Rondo menertawakannya, "Puluh￾an gadis yang cantik-cantik dan ayu telah datang 
ke mari, namun tak seorang pun beruntung di￾pilih anakku, Ande-Ande Lumut. Lebih baik 
engkau kembali saja. Tiada harapan bagimu," 
kata mbok Rondo. 
Akan tetapi Kleting Kuning tidak mau pergi 
dan memaksa mbok Rondo untuk menyampai￾kan maksud kedatangannya kepada Ande-Ande 
Lumut. Akhirnya mbok Rondo menyerah dan ia 
berkata sambii menyanyi, 
"Lé tolé Andé- Andé 
Lumut 
Ojo temurun nggèr 
songko panggungmu, 
Ono roro ngunggah￾unggahi 
Ambuné apèk 
akecing. 
Anakku Ande-Ande 
Lumut 
Jangan turun dari 
panggungmu. Di sini 
ada seorang gadis hen￾dak bertemu dengan￾mu. Bau badannya sa￾ngat menusuk. 
Akan tetapi Andé-Andé Lumut menjawab, 
Yung biyung, kon Ibuku sayang, kata￾ngèntèni, lehku nulis kan kepadanya me-
kurang sepodo lingso. nunggu sebentar. 
Aku hendak menyele￾saikan tulisanku. 
Mbok Rondo sangat terkejut mendengar ja￾waban anaknya. Kemudian Ande-A.nde Lumut 
turun dari panggungnya dan menyuruh Kleting 
Kuning mencuci muica dan badannya. Ketika 
Kleting Kuning selesai mandi, tampaklah Dewi 
Candrakirana dengan kecantikan dan kecemer￾langannya. 
Kini suami istri, Raden Putra dan Dewi Can￾drakirana berkumpul kembali. Mbok Rondo ikut 
gembira dan mengizinkan Dewi Candrakirana 
tinggal di rumahnya. 
Tak lama kemudian berita ini tersiar ke mana￾mana dan sampai pula kepada sang Prabu Lem￾bu Amiluhur. Ia mernerintahkan patihnya men￾iemput kedua anaknya dan menyampaikan pe￾ngampunannya. 
Maka Raden Putra dan Dewi Candrakirana 
akhirnya kembali ke Jenggala disambut dengan 
gamelan dan pesta besar. Semuanya bergembira 
karena Putra Mahkota telah kembali. Kemudian 
mereka masih hidup panjang dan berbahagia. 
Sang Prabu Lembu Amiluhur akhirnya mang￾kat dan Raden Putera menggantikannya. Di ba￾wah pemerintahannya negara pun terkenal mak￾mur, aman tenteram, damai dan sentosa.
2. ASAL MULA TELAGA AIR YANG 
MENDIDIH 
Suatu hari udaranya amat terik di Sumatera 
Barat, terlihat dua orang wanita sedang berja￾lan di tengah sawah. Mereka adalah Mak Siti 
dan anak perempuannya Siti. Siti adalah gadis 
yang tercantik di desanya. Hai ini membuat ga￾dis ita sangat bangga begitu pula ibunya. Mak 
Siti memanjakan anaknya sedapatnya, walaupun 
ia seorang perempuan yang sangat miskin. Na￾mun kemiskinannya tidak membuatnya berkecil 
hati. la bahkan puas akan nasibnya, karena per￾nah bersuami dengan seorang baik yang mening￾galkan seorang anak perempuan yang cantik. Se￾baliknya Siti anaknya, berwatak tak kenal puas 
dan benci akan kemiskinannya. Memang bera￾lasan juga dia merasa demikian, karena Mak Siti 
Ji samping menjual sayuran dari hasil kebunnya 
yang sangat sedikit, juga mengemis untuk me￾nyambung hidupnya. Hai inilah yang membuat 
Siti sangat malu dan ia merasa benci kepada 
ibunya. 
Pada hari yang panas terik itu seperti biasa 
mereka sedang pergi ke desa lain untuk menjual 
hasil kebun mereka dari rumah ke rumali. Un-
tuk memotong jalan mereka melalui sawah. Mak 
Siti menggendong sebuah keranjang berat berisi 
sayuran. Siti tidak membawa apa-apa. Walau￾pun demikian Sitilah yang mengeluh paling ba￾nyak karena terik matahari. Sekali-sekali ia me￾kndungi mukanya dengan tangannya. Namun 
bai ini tidak mengurangi panasnya maka keluh￾annya makin bertambah. 
"Kau rasa panas sekali?" tanya Mak Siti. 
"Masak emak tidak tahu," jawab Siti marah. 
Dengan tangannya yang sebelah Mak Siti 
mengangkat rambut anaknya yang tebal terurai 
di punggungnya untuk meringankan rasa panas￾nya. Akan tetapi si Siti bahkan marah. Sambii 
membalikkan badannya ia berkata marah, "Tak 
usah berbuat begitu. Percuma saja! Aku sudah 
terbakar oleh matahari dan akan menjadi hitam 
dan lebih jelek daripada anak Pak Eja yang pa￾Img jelek di desa kita itu!" 
Mak Siti hanya menarik nafas panjang yang 
membuat Siti lebih marah lagi. "Mengapa aku 
harus jalan disengat matahari ini. Mengapa aku 
harus ikut. Lebih senang aku tinggal di rumah 
dan bermain di pinggir kali dengan teman-te￾manku. Aku akan merangkai bunga yang kemu￾dian kupakai untuk menghias rambutku!" 
"Ah, kau harus tahu" jawab ibunya, "bila aku 
datang sendiri, daganganku tidak akan laku. 
Wajahmu yang cantik membuat orang terharu
Yah, orang lebih suka melihat wajah muda yang 
cantik dari pada muka tua yang keriput dan ki￾sut. Sebentar lagi kita akan sampai di sebuah 
(lesa. Kau harus bersikap baik nanti." 
Siti tidak menjawab dan ibunya juga tidak 
berkata apa-apa lagi. Mereka berjalan terus 
tanpa berkata-kata. Setelah berjalan kira-kira 
satu setengah jam akhirnya tampak sebuah desa. 
Mak Siti menarik nafas lega. Siti pun mulai ber￾semangat. Langkahnya dipercepat. la berjalan 
tegak seperti seorang ratu dan tidak menghirau￾kan ibunya yang berjalan di belakangnya. la 
sampai pada sebuah riimah gedung yang besar. 
Tak lama kemudian keluarlah seseorang dari 
pintu rumah itu. Ketika ia melihat Siti, diper￾silakannya masuk, "Tuanku Putri sudah tentu 
ingin beristirahat dari perjalanan yang meletih￾kan itu," kata orang tersebut. Siti sangat senang 
disebut Tuanku Putri dan lebih yakin atas ke￾cantikannya. la masuk rumah itu dan dipersila￾kan makan dan minum. Mak Siti yang berjalan 
di belakangnya akhirnya sampai juga di rumah 
tersebut. Siti telah berada di dalam rumah. Mak 
Siti tidak berani masuk, melainkan duduk saja 
di bawah tangga rumah. Ketika salah seorang 
penghuni rumah melihat Mak Siti duduk di ba￾wah tangga rumah, ia bertanya, "Siapakah wa￾nita tua itu, tuanku Putri?" Siti menjawab, "O, 
wanita tua itu adalah seorang budakku. la harus 
menyertaiku guna memegang rambutku yang 
panjang bila rasa panas menggangguku."
Hati Mak Siti terasa hancur ketika ia mende￾ngar perkataan anaknya. la tidak berkata apa￾apa, melainkan hanya menundukkan kepalanya 
karena sedih dan malu. Namun orang mengira 
bahwa itu adalah tanda hormat seorang budak 
kepada majikannya. Mak Siti juga diberi makan 
dan minum sisa anaknya. Setelah Siti merasa hi￾lang lelahnya, ia minta diri. Para penghuni ru￾mah mengantarkannya sampai di ujung jalan 
seolah-olah ia seorang Putri sejati. Dengan mem￾bisu seribu bahasa Mak Siti ber jalan di belakang 
anaknya. Siti sangat malu dalam hati kecilnya 
karena ia telah mencemoohkan ibunya. Namun 
ketika ibunya tidak berkata apa-apa, ia mengira 
bahwa Mak Siti tidak mendengar apa yang te￾lah diucapkannya. 
Mereka sampai pada sebuah telaga yang ber￾air jernih yang seakan-akan mengundang untuk 
masuk. 
"O, saya ingin mandi di air itu!" ujar Siti. 
"Tolong bukakan pakaianku, Mak." Akan tetapi 
Mak Siti tidak menjawab. Setelah Siti mengu￾langi permintaannya, Mak Siti memandanginya 
dengan wajah yang seram laksana awan gelap. 
Dengan suara laksana guntur yang bergemuruh 
ia berkata, "Kau masih berani minta sesuatu ke￾padaku. Ibumu sendiri kau sebut budakmu. Anak 
durhaka, aku tidak mau menjadi ibumu lagi!" 
Namun Siti hanya tertawa terbahak-bahak dan 
berkata, "Gila kau mak, begitu saja sudah marah.
Bukankah kita telah makan dan minum kenyang. 
Kalau mak tidak mau menolong membukakan 
pakaianku, aku akan mandi tanpa melepaskan 
pakaianku. Aku harus mandi di dalam air yang 
sejuk itu sekarang." Maka tanpa pikir panjang 
lagi ia masuk ke dalam air itu. Mak Siti berdiri 
di tepi danau. Wajahnya masih nampak bermu￾ram durja. la memandang anaknya dengan so￾rotan mata yang tajam dan mengerikan. Kemu￾dian ia berkata dengan jelas dan lantang, "Wa￾hai telaga, berubahlah airmu yang sejuk dan 
jernih itu hingga menjadi air panas yang men￾didih. Musnahkanlah anakku yang durhaka itu, 
yang mencemoohkan ibu kandung dan berani 
menyebutnya budak!" 
Tiba-tiba air bergolak dan mendidih. Air te￾laga itu memuncrat ke mana-mana. "Tolong 
mak, tolong mak!" teriak Siti. Akhirnya teriak￾annya tidak terdengar lagi. Hening, sunyi sepi. 
Hingga saat ini air di telaga itu tetap panas 
dan mendidih. Tiada musafir yang datang di 
daerah ini yang tidak lupa meninjau telaga itu. 
Di tempat ini seorang anak yang pernah men￾cemoohkan ibunya telah mendapat hukuman￾nya. Air danau itu demikian panas sehingga da￾pat merebus telur sampai matang yang dibawa 
para pelancong sebagai bekal perjalanan. Di 
permukaan danau yang mendidih itu terdapat 
ganggang hijau yang panjang. Orang-orang ber￾bisik bahwa itu adalah bekas rambut panjang si
Siti yang cantik jelita itu. Kadang-kadang bila 
air sedang jernih, seolah-olah terlihat ada sepa￾sang boia mata hitam di lubuk danau yang mo￾hon dibebaskan dari kutukan berat itu. 
Demikianlah ter jad: bila seorang melupakan 
salah sebuah perintah Allah, "Hormatilah orang 
tuamu!"

3. GUA KERAMAT 
Daerah Rembang pernah mengalami musim 
kemarau yang sariga i panjang. Sungai-sungai 
menjadi kering sehingga tak dapat menyubur￾kan padi dan tanam-tanaman. Panen gagal dan 
rakyat menderita lapar. Orang-orang desa ber￾kumpul untuk berunding dan mencari jalan ke 
luar dari kemalangan ini. Salah seorang dari 
mereka menyebutkan ñama Kyai Mojo Agung. 
Beliau seorang saleh dan snci. Bahkan lebih saleh 
dari seorang Kyai, beliau seorang Wali yang da￾pat membuat mukjijat. Akhirnya penduduk se￾tempat memutuskan untuk mengirimkan bebe￾rapa orang dari mereka pergi kepada Wali Mojo 
Agung itu yang tinggal di daerah Tuban. 
Berangkatlah utussn penduduk Rembang 
sampai tiba di tempat tinggal Kyai Mojo Agung. 
Sang Kyai sedang bersemedi ketika orang-orang 
desa dari Rembang menunggu untuk mengha￾dap. Utusan Rembang menunggu dengan sabar, 
sampai sang Kyai berkenan mendengarkan per￾mohonan mereka. Kyai Mojo Agung akhirnya 
menanyakan apakah yang membuat penduduk 
Rembang datang dari jauh untuk menghadap 
kepadanya. Utusan dari Rembang kemudian
menceritakan tentang kesukaran mereka dan 
memohon pertolongan sang Wali. Kyai Mojo 
Agung berjanji untuk datang sendiri ke Rem￾bang guna memberi pertolongan. 
Tak lama kemudian rakyat dari daerah Rem￾bang melihat dari jauh datang seorang musafir 
tua. la berjalan lambat, bersandar pada sebuah 
tongkat besi. Rakyat desa menyongsongnya, na￾ffiun mereka tidak berani mengueap sepatah kata 
pun, karena sang Kyai nampak sangat letih. Kyai 
Mojo Agung hanya mengangkat tangannya, se￾bagai tanda pemberian restu, ketika rakyat men￾dekatinya. la pun tidak mengucapkan sepatah 
kata, melainkan berjalan terus. Setapak demi 
setapak, bersandar berat pada tongkatnya. Rak￾yat mengikutinya. Semula ragu-ragu, kemudian 
mereka mengikuti jejaknya. 
Akhirnya sang Kyai berhenti dan memandang 
ke sekitarnya. la melihat betapa miskin, rakyat 
yang mengelilinginya itu. Pakaian mereka com￾pan-camping. Hati Kyai Mojo Agung sangat ter￾gugah menyaksikan hai ini. Kemudian ditaneap￾kannya tongkat besinya di tanah dan ia mulai 
berdoa. Ia berdoa sangat lama. Rakyat yang me￾ngelilinginya menunggu dengan sabar dan penuh 
perhatian. Akhirnya sang Kyai mengangkat ke￾palanya sambil memandang berkeliling. Kemu￾dian terdengar suaranya yang berkumandang, 
"Akan datang air, dan kura-kura." 
Dan benar juga. Dengan penuh keheranan 
rakyat Rembang menyaksikan gunung batu ka-
rang tiba-tiba merekah dan dari gua mengalir 
air jernih. Di dalam air itu berenang ikan dan 
kura-kura. Rakyat Rembang terperanjat dan 
berlutut di hadapan sang Wali yang membuat 
mukjijat itu. Tetapi rakyat tidak berani menyen￾tuh air itu atau mengambil sesuatu yang ada di 
dalam air itu. Mereka takut berakibat buruk ka￾rena menganggap air itu keramat. Akan tetapi 
air itu mengalir ke luar dari gua, makin mende￾kati mereka. Kini rakyat mengerti bahwa air itu 
untuk mereka. Kemudian mereka minum sam￾pai kenyang. 
Lalu Kyai Mojo Agung membuat tanda be￾rupa gambar sebuah gong pada dinding gua. 
Hal itu berarti bahwa rakyat tidak boleh me￾ngambil air dari dalam gua. Hanya air yang ke 
luar dari gua boleh dipergunakan. Yang di da￾lam gua hanya untuk sang Wali sendiri, dan ba￾rang siapa yang berani melanggar hal ini akan 
mengalami kutukannya. Kemudian Kyai Mojo 
Agung memegang tongkatnya lagi untuk pulang 
kembali ke pertapaannya. Setapak demi setapak 
ia berjalan disaksikan rakyat Rembang yang di-
2 m penuh hormat. 
Hingga saat ini air di dalam gua tersebut di￾anggap keramat oleh penduduk Rembang. Para 
orang tua menceritakan kepada anak-anak mere￾ka tentang mukjijat yang pernah diberikan Kyai 
Mojo Agung demi menolong rakyat Rembang
4. ASAL MULA PATUNG BATU KUDA 
Bupati Tuban yang bernama Ranggalawe 
sangat berpengaruh dan termashur pada za￾rnannya. Ia seorang yang kuat, adil dan arif 
bijaksana. Ia pun seorang yang cinta perdamai￾an. Namun pada suatu hari ia tak dapat meng￾hindari berperang dengan Bupati Kebongadung. 
Sudah beberapa kali rakyat Kebongadung mulai 
menyerang rakyat Tuban. Hal ini tak dapat di￾biarkan terus menerus. 
Ranggalawe menyatakan perang terhadap 
Bupati Kebongadung. Rakyatnya mengikutinya 
dengan suka hati. Akan tetapi walaupun kebe￾naran di pihak Tuban. laskar Ranggalawe me￾ngalami kekalahan dan harus menarik mundur. 
Hina dan derita mencapai puncaknya ketika las￾kar yang telah pecah itu menderita dahaga. Tak 
ada sumur atau kali yang dapat ditemukan. 
Ranggalawe melihat bahwa beberapa orang 
dari laskarnya tidak sanggup lagi untuk mene￾ruskan perjalanan dan rela mati di tempat itu 
juga. Ranggalawe tahu bahwa ia dapat memberi 
pertolongan. Ia dilahirkan tidak hanya dengan ke￾arifan dan kebijaksanaan tetapi juga dengan ke￾kuatan-kekuatan gaib. Ia mengetahui bahwa kini

saatnya untuk mempergunakan kesaktiannya, 
Tak dapat tahan lebih lama lagi ia melihat rak￾yatnya yang payah itu karena menderita dahaga. 
Kemudian ditancapkannya tongkatnya ke dalam 
tanah. 
Tiba-tiba keluarlah air dari tanah hingga 
menjadi sebuah sumber air. Laskarnya terperan￾jat bercampur girang. Kini semangat mereka 
timbul kembali. Kemudian mereka minum sam￾pai kenyang dan mengisi botol-botol untuk bekal 
perjalanan. Tak seorang pun di antara mereka 
melihat bahwa seekor lintah besar telah muncul. 
Lintah ini sangat marah, karena terjadi keribut￾an di tempat tinggalnya. Dan lagi setelah adanya 
sebuah sumber air itu. 
Ranggalawe merasa puas dapat menolong rak￾vatnya. Kemudian diperintahkannya untuk pu￾lang kembali, tanpa mengetahui telah membuat 
marah seekor lintah Tak lama setelah laskar, 
Ranggalawe meninggalkan tempat tersebut, da￾tanglah laskar Kebongadung. Sang Bupati me￾nunggang seekor kuda hitam dan bagus. Kuda 
'ni bernama Gagak Grimo, dapat terbang dan 
berjalan di atas permukaan air. la pun dimulia￾kan dan dipuja sebagaimana majikannya. 
Laskar Bupati Kebongadung pun merasa 
dahaga, maka mereka sangat girang melihat 
sumber air yang jernih itu. Mereka mulai minum 
dengan sangat lahapnya dan mereka pun tidak 
melihat sang lintah, yang kini kemarahannya te-
Iah sampai di puncaknya. Sang lintah menunggu 
saatnya untuk membalas dendam. Ketika sang 
Bupati Kebongadung membungkukkan badan￾nya untuk minum, sang lintah menggigitnya 
hingga ia terjatuh dan masuk ke dalam sumber 
air itu. Betapapun cepat rakyatnya maju untuk 
rnemberikan pertolongan, tubuh sang Bupati ti￾dak nampak dan tidak dapat diketemukan. 
Akhirnya mereka putus asa. Tanpa pemimpin, 
laskar ini menjadi kacau balau. Tiada keinginan 
iagi untuk melanjutkan peperangan dan penge￾jaran terhadap laskar Ranggalawe. Maka mere￾ka pun kembali pulang. Semula mereka melupa￾kan kuda sang Bupati, tetapi ada beberapa di 
antara mereka yang kembali untuk mengambil 
sang Gagak Grimo. Tetapi mereka menemukan 
kuda itu berdiri di dekat sumber air di mana 
majikannya telah dimakamkan. Kuda ini melihat 
aengan mata sedih kepada orang-orang yang hen￾dak membawanya pulang. Ia sangat berduka 
atas kematian majikannya. Tak lama kemudian 
ia terjatuh dan mati. Para prajurit yang me￾ngeliiinginya menangis seperti menangisi seorang 
manusia. Mereka selama ini telah menganggap 
dan menghormati kuda itu sebagai seorang ma￾nusia. Maka kuda itu dikuburkan sebagai seo￾rang manusia pula. Sebuah batu besar, sebagai 
batu nisan diletakkan di atas kuburan sang Ga￾gak Grimo. Akan tetapi betapa terkejut mereka 
ketika batu nisan itu berubah menjadi bentuk
kepala seekor kuda. Kini mereka menganggap 
sang kuda itu lebih keramat. Bunga dan sesajen 
diletakkan di atas patung batu kuda itu. 
Hingga saat ini rakyat masih membawa sesa￾jen ke desa Talun, teropat patung batu kuda itu 
yang terletak pada jalan raya ke Tuban.


5. KISAH SANG ANGIN 
Sang Angin sudah jemu bermalas-malasan. 
Maka ia berlari ke luar dan menggelitik dan 
memainkan daun dan ranting. Ia bertiup dan 
semuanya menunduk di bawah kekuatannya. 
Sang Angin sudah jemu dengan kekuasaannya. 
Ia ingin mencari lawan. Ia menyusuri padang 
sawah, danau luas dan hutan belukar. Akhirnya 
dilihatnya di pinggir kali seekor bangau yang 
berdiri di atas sebelah kakinya. "Mengapa ba￾ngau itu berdiri diam sendiri?" pikir sang Angin. 
Kemudian ia bertanya, "Wahai sang Bangau, 
mengapa engkau berdiri di sana?" 
"Mengapa tidak?" jawab sang Bangau. "Bu￾kankah aku harus menunggu hingga seekor katak 
muncul?" 
"Ya, mengapa katak-katak tidak mau muncul," 
pikir sang Bangau. Maka ia bertanya kepada 
para katak, "Wahai katak-katak, mengapa ka￾lian tidak mau muncul?" 
"Kami tidak berani!" jawab katak-katak. 
"Sang Bangau mengincar kami. Ia tidak dapat 
mencari makanan lain daripada kami, karena 
rumput tumbuh terlalu tebal." Maka Sang Angin bertanya kepada rumput, 
"Wahai rumput, mengapa engkau tumbuh de￾mikian tebal?" 
"Bagaimana lagi, kalau para kerbau tidak 
mau makan rumput?" jawab sang Rumput. 
"Wahai para kerbau, mengapa kalian tidak 
inakan rumput?" tanva sang Angin. 
"Kami mau saja merumput, akan tetapi pak 
Tani tidak mau melepaskan kami," jawab para 
kerbau. 
"Wahai pak Tani, mengapa engkau tidak me￾lepaskan kerbau-kerbaumu?" 
"Bagaimana saya bisa mengeluarkan kerbau￾kerbauku. Perutku demikian sakit!" 
"Wahai perut pak Tani, mengapa engkau 
membuat pak Tani merasa sakit perut?" tanya 
sang Angin. 
"Bagaimana lagi. Aku diisi dengan nasi yang 
belum masak." 
"Wahai nasi, mengapa engkau tidak masak?" 
"Bagaimana aku bisa masak, kalau api ham￾pir tidak menyala baik?" 
"Wahai api, mengapa engkau tidak menyala 
baik?" 
"Bagaimana aku bisa menyala baik kalau ka￾yunya basah." 
"Wahai kayu, mengapa engkau basah?" 
"Bagaimana aku tidak basah, kalau hujan de￾ras membasahiku." 
"Wahai hujan, mengapa engkau membasahi 
kayu itu?"
"Aku dipanggil para katak," jawab sang kayu. 
"Katak, katak, mengapa kalian memanggil 
hujan?" 
"Tentu saja, kami memanggil hujan karena 
Bangau menunggu kami muncul dan kami tidak 
mau ke luar, karena kami tidak mau dimakan 
sang Bangau. Dan sang Bangau tidak dapat 
mencari makanan lain karena rumput tumbuh 
terlalu tebal dan para kerbau tidak makan rum￾put karena pak Tani tidak melepaskan mereka, 
karena ia sakit perut oleh karena makan nasi 
yang belum masak. Dan nasi tidak bisa masak 
karena api tidak menyala dengan baik, karena 
hujan telah membasahi kayunva. Dan hujan tu￾mn karena kami telah mengundangnya dengan 
mendengkung. 
Sang Angin tidak tahu apa yang harus dika￾takan dan diperbuatnya. Maka ia mencari se￾buah tempat sepi untuk bersembunyi. Orang￾orang berkata angin sedang tidur. Namun sang 
Angin ternyata sedang malu. Betul malu, karena 
ia tidak dapat menghentikan hujan. Dan apa￾bila hujan turun, kayu menjadi basah dan api 
tidak dapat menyala baik dan karena itu nasi 
tidak dapat menjadi masak, sehingga pak Tani 
sakit perut karena makan nasi yang belum ma￾sak, maka tidak dapat mengeluarkan kerbau￾kerbaunya untuk makan rumput, sehingga rum￾put menjadi tebal dan karena itu sang Bangau 
tidak dapat melihat apakah ada makanan di se￾la-selanya dan harus menunggu sampai para ka-
tak muncul. Dan para katak tidak mau muncul 
karena mereka tidak mau dimakan sang Bangau, 
maka mereka memanggil sang Hujan. Hal ini ti￾dak ingin diketahui sang Angin, karena itu ia ber￾sembunyi dan orang berkata, "Angin sedang 
tidur.


6. DONGENG TENTANG PADI 
Batara Guru ingin membangun sebuah istana 
indah cemerlang yang tiada taranya. Lama ia 
berpikir bagaimana harus melaksanakan niatnya. 
Akhirnya diputuskannya bahwa para punggawa, 
yaitu dewa-dewa lain di bawahnya yang harus 
mengerjakan bangunan itu untuknya. Siapa 
yang tak mau menurut perintahnya akan dipeng￾gal kepalanya. 
Salah seorang punggawa, Batara Antaboga 
(Dewa Ular) tidak senang mendengar perintah 
tersebut. Ia tidak mempunyai tangan dan kaki, 
oleh karenanya tidak dapat bekerja. Tetapi bila 
ia tidak turut bekerja, kepalanya akan dipenggal. 
Sudah tak mempunyai tangan dan kaki ditam￾bah kehilangan kepala. Oleh sebab itu, Antaboga 
sangat sedih dan bingung. Batara Antaboga per￾gi ke Batara Narada yang pernah menyampai￾kan perintah tersebut. Kepada Batara Narada 
diceritakannya duduk persoalannya. Antaboga 
clemikian sedih akan nasibnya, hingga ia men￾cucurkan air mata. Betapa terkejutnya ketika 
tiga butir air mata yang dicucurkan itu menjel￾ina menjadi tiga butir telur. Batara Narada juga 
melihat tiga butir telur itu. Segera ia pergi ke Batara Guru dan mcnceritakan kepadanya, ten￾tang keberatan Batara Antaboga dan juga ten￾tang tiga butir telur itu. 
Batara Guru adalah terpandai dan paling ber￾kuasa di antara semua dewa-dewa. Namun tiga 
butir telur itu baginyapun suatu teka-teki. Maka 
cliperintahkannya Antaboga untuk menghadap 
dengan membawa tiga butir telur itu. Maka be￾langkatlah Antaboga untuk menghadap Batara 
Guru. Namun nasib malangnya belum berakhir. 
Dua butir telur pecah dalam perjalanannya. Ke￾tika ia datang dengan hanya membawa sebutir 
telur saja, Batara Guru sangat murka. Setelah 
berpikir lama, Batara Guru memutuskan bahwa 
Antaboga harus mengerami sendiri sebutir telur 
itu. Apa yang keluar dari telur tersebut harus 
diserahkan kepada Batara Guru. Antaboga sa￾ngat senang dan berterima kasih bahwa ia tidak 
jadi dipenggal kepalanya dan boleh pulang un￾tuk mengerami telurnya. 
Setelah empat puluh hari, menetaslah seorang 
putri cantik dari dalam telur itu. Semula Batara 
Antaboga merasa sayang untuk menyerahkan 
gadis cantik itu kepada Batara Guru. Akan teta￾pi ia tidak mau kehilangan nyawanya sendiri, 
karena itu diserahkannya gadis itu kepada Batara 
Guru. 
Batara Guru sangat senang menerima hadiah 
itu. Sang Putri tumbuh hingga menjadi seorang 
gadis yang cantik jelita dan diberikan nama 
Trisnawati oleh Batara Guru. Ketika Trisnawati
sudah menjadi dewasa, Batara Guru ingin mem￾peristrikannya. Namun gadis itu tidak begitu se￾nang oleh karenanya i a mengajukan beberapa 
syarat. Syarat utama adaiah bahwa ia ingin di￾beri suatu makanan yang walaupun sering dan 
Lanyak dimakan tetapi tidak membosankan. Ba￾ru sesudah makanan tersebut ditemukan, Tris￾nawati bersedia dipersunting Batara Guru. Bata￾ra Guru memutuskan salah seorang punggawa￾nya Kala Gumarang untuk mencarikan makanan 
tersebut. Dan berangkatlah Kala Gumarang. 
Dalam perjalanannya ia bertemu dengan se￾orang wanita cantik. Wanita itu ialah Dewi Sri, 
istri Batara Wisnu. Namun Kala Gumarang ti￾dak mengetahui hal itu. Ia jatuh cinta kepada 
Dewi Sri sehingga mc'.upakan tugasnya. Ia tidak 
melanjutkan perjalanannya melainkan merayu 
Dewi Sri. Namun Dewi Sri tentu saja tidak suka, 
dan minta pertolongar dewa-dewa lain. Tak la￾ma kemudian datanglah para dewa yang meng￾liukum Kala Gumarang dengan mengubah wu￾judnya menjadi seekor babi rusa. Kala Guma￾rang kini harus berkelana di alam jagad raya. 
Trisnawati demikiau lama menunggu permin￾taannya sehingga ia akhirnya meninggal dunia 
karena bersedih hati. Atas perintah Batara Guru 
Trisnawati dikebumikan di negara Mendang 
Kemulan. Sang raja dari Mendang Kemulan 
harus menguburkannya dengan segala upacara 
kehormatan dan kemewahan. Kemudian kubur￾annya harus dijaga baik-baik
Akan tetapi betapa terkejutnya sang raja ke￾tika pada hari yang keempat puluh meninggal￾nya Trisnawati, keluarlah berbagai tanaman 
aneh dari kuburan itu. Segera sang raja mela￾porkan hal itu kepada Batara Guru. Batara Guru 
turun ke bumi untuk menyaksikan dengan mata 
kepala sendiri. Kemudian Batara Guru mengerti 
bahwa wanita yang telah dicintainya itu mem￾beri kurnia besar kepada umat manusia. Tanam￾an yang keluar dari kuburan Trisnawati adaiah: 
dari rambut kepala Trisnawati berasal padi. Da￾ri kepalanya berasal pohon kelapa. Dari badan￾nya berasal pohon aren dan dari giginya pohon 
jagung. Dari tulang-iulangnya berasal pohon 
bambu. Dari tangannya berasal tanaman yang 
buahnya di bawah tanah, seperti singkong, ubi, 
kacang. 
Tak lama setelah Trisnawati meninggal me￾nyusul Dewi Sri. Dari kuburannya pun keluarlah 
padi. Akan tetapi padi yang tumbuh dari kubur￾an Trisnawati agak berlainan jenis daripada pa￾di yang muncul dari kuburan Dewi Sri. Padi 
yang berasal dari kuburan Dewi Sri harus dita￾namkan di tanah basah, yaitu padi sawah. Dan 
padi y,\ng tumbuh dari kuburan Trisnawati ha￾rus ditanamkan di tanah kering, yaitu padi hu￾ma atau padi gogo. 
Kala Gumarang yang masih berwujud babi 
rusa juga mendengar tentang kejadian itu. Cin￾tanya terhadap Dewi" Sri kini telah berbalik 
menjadi dendam kesumat. Maka tanaman yang
berasal dari kuburannya dirusakkannya. Di ma￾na saja ia melihat sebidang sawah. Tentulah 
Batara Guru sangat murka ketika ia mendengar 
tentang perbuatan Kala Gumarang. Ia mengan￾cam akan memberi hukuman yang setimpal ke￾pada Kala Gumarang, 
Pada suatu malam Kala Gumarang sedang 
merusakkan sebidang sawah lagi. Batara Wishnu 
cepat turun ke bumi untuk membunuh sang babi 
rusa itu. Ia tidak sempat untuk membawa sen￾jatanya, maka ia mengambil salah sebuah benda 
yang dapat diraihnya. Benda itu ternyata sebuah 
Waluku. Waluku ini dipukulkannya kepada Kala 
Gumarang sampai mati. Akan tetapi Waluku itu 
kemudian terlepas dar
i tangannya melompat ke 
atas dan tersangkut di langit. Hingga saat ini 
Waluku itu masih terpancang di sana. Para pe￾tani menyebutnya Bintang Waluku atau Gura 
Desa. 
Sang babi rusa masih sempat meninggalkan 
malapetaka di dunia. Dari darahnya yang mun￾crat berasal macam-macam penyakit padi, yaitu 
hama merah (hama beureum) dan hama putih 
(hama bodas) yang sangat ditakuti oleh para 
petani karena dapat menggagalkan panen.


7. JAKA TINGKIR 
Ki Ageng Pengging adalah seorang sakti yang 
terkenal pada zamanuya. Pada saat itu daerah 
Pengging termasuk kerajaan Bintara atau De￾mak, karenanya Ki Ageng Pengging harus meng￾hadap Sultan Demak untuk menyatakan bakti￾nya, paling sedikit setiap tahun seperti lazimnya 
pada zaman itu. Namun Sultan Demak menung￾iju kedatangan Ki Ageng Pengging yang masih. 
r eluarganya itu dengan sia-sia. Maka Sultan me￾mutuskan untuk mengirim seorang utusan ke 
Pengging, yang harus menyelidiki apa maksud 
Ki Ageng Pengging, karena Sultan Demak me￾vasa cemas bahwa Ki Ageng Pengging hendak 
merebut tahtanya, mengingat sikap dan penga￾ruhnya sebagai seorang alim ulama yang ter￾kenal sakti. 
Utusan Sultan Demak yang bernama Ki Wa￾na Pala membenarkan apa yang dirisaukan Sri 
Sultan ketika ia pulang dari Pengging. Ki Ageng 
Pengging nampaknya seorang ulama yang suci, 
tetapi diam-diam ia berkeinginan mengguling￾kan kekuasaan Sultan Demak untuk menj adi 
raja sendiri. Ki Wana Pala menambahkan bah￾wa ia telah memberi waktu dua tahun kepada 
Ki Ageng untuk menghadap rajanya. Tak lama kemudian Ki Ageng Pengging me￾nerima kunjungan tiga orang kyai yang termas￾hur. Seperti dia sendiri mereka adalah murid￾murid dari Pangeran Siti Jenar, seorang dari 
Wali Sanga. Ketiga kyai ini adalah: Ki Ageng 
Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Nge-
íang. Mereka datang untuk mendesak Ki Ageng 
Pengging agar mematuhi panggilan Sultán De￾mak. Namun Ki Ageng Pengging bersikeras tidak 
mau memberikan bakíinya kepada rajanya. 
Untuk menghormati tamunya Ki Ageng Peng￾ging menyelenggarakan suatu pertunjukan wa￾yang beber. Pada malam itu istri Ki Ageng 
Pengging melahirkan seorang anak laki-laki yang 
rupawan. Tepat pada saat itu hujan turun de￾ngan lebatnya, sehingga ki dalang tak dapat me￾lanjutkan pertunjukannya. Keesokan harinya ter￾lihat sebuah pelangi indah menghiasi langit. Ki 
Ageng Tingkir mengangkat anak bayi yang baru 
lahir itu di atas pangkuannya dan berkata, 
' Adinda Ki Ageng Pengging, anakmu yang ba￾gus ini kelak akan menjadi seorang yang besar, 
seorang yang sakti dan berkuasa. Beruntunglah 
mereka yang akan dapat mengalami masa jaya￾nya itu. Anak ini kuberi ñama Mas Krebet, ka￾rena ia dilahirkan pada saat dinda mengadakan 
wayang beber." (Wayang beber juga disebut 
wayang krebet). 
Tak lama setelah Ki Ageng Tingkir pulang 
dari Pengging, ia meninggal dunia. Ki Ageng 
Pengging merasa sangat terpukul, karena dia
dan Ki Ageng Tingkir adalah murid-murid dari 
satu guru, maka dianggapnya seperti kakak kan￾dungnya sendiri. 
Tanpa terasa batas waktu yang diberikan Sul￾lan Demak kepada Ki Ageng Pengging untuk 
menghadapnya telah berlalu. Bagi Sultan Demak 
kini sudah jelas, bahwa Ki Ageng Pengging ber￾rnaksud untuk menggulingkannya dari tahta. 
Kini dikirimkannya Sunan Kudus ke Pengging 
untuk menyampaikan kemurkaan Sultan. Seti￾banya di Pengging kedua ulama itu saling me￾nguji ilmunya. Maksud jahat Ki Ageng Peng￾ging segera diketahui oleh Sunan Kudus, dan 
iapun dibunuh oleh Sunan Kudus. Demikianlah 
yang terj adi terhadap seorang yang menentang 
raja pada zaman itu. 
Empatpuluh hari kemudian istri Ki Ageng 
Penggingpun meninggal dunia. Mas Krebet kini 
menjadi seorang yatim piatu. Ia kemudian di￾asuh oleh keluarganya. Ketika ia menjadi besar, 
keluarganya mengirimnya ke Tingkir, kepada 
janda Ki Ageng Tingkir. Nyi Ageng Tingkir di￾hormati di desanya karena ia seorang wanita 
yang berada. Semenjak saat itu Mas Krebet di￾sebut Jaka Tingkir (pemuda dari desa Tingkir). 
Jaka Tingkir tidak hanya tampan dan pandai 
namun juga patuh kepada agama. Ia sering me￾ngasingkan diri di hutan untuk bertapa di dalam 
gua-gua di sana. 
Pada suatu hari Nyai Ageng Tingkir mengan￾jurkan kepadanya untuk mencari ilmu kepada
seorang guru ulama yang terkenal. Maka Jaka 
Tingkirpun berangkat ke Sela, tempat tinggal 
seorang guru yang terkenal kesaktiannya, yaitu 
Ki Ageng Sela. Ternyata Ki Ageng Sela tak da￾pat berpisah dengan Jaka Tingkir, karena de￾mikian besar rasa cintanya kepada muridnya. 
Bahkan bila Ki Ageng Sela tidur, Jaka Tingkir 
harus tidur di bawah kakinya. Ki Ageng Sela 
berdoa siang dan malam kepada Allah, agar ke￾turunannya kelak menjadi raja yang berkuasa di 
pulau Jawa. Namun hai ini tidak diketahui oleh 
seorangpun. 
Pada suatu malam Ki Ageng Sela bermimpi 
bahwa ia menggenggam sebuah kapak dan me￾nuju ke hutan untuk membuka hutan. Dalam 
mimpinya ia melihat Jaka Tingkir sudah berada 
di dalam hutan dan telah mengerjakan semua￾nya dengan rapi. Ketika ia terbangun, diketa￾huinya bahwa ini adalah pertanda bahwa Jaka 
Tingkir akan dikaruniai Tuhan. Kemudian ia 
bertanya kepada Jaka Tingkir, "Pernahkah eng￾kau bermimpi tentang sesuatu yang aneh, cu￾ruku?" Jaka Tingkir menjawab, bahwa ia per￾nah bermimpi tentang sesuatu yang tak dapat 
diterangkan (tak dapat diketahui maknanya). 
Ketika itu ia berziarah ke Tela-Maya, dan ia 
tidur di tempat tersebut. Kemudian ia bermimpi, 
bahwa ia dijatuhi bulan. Pada saat itu juga ter￾dengar suara guntur yang membangunkannya. 
Kini Ki Ageng Sela yakin bahwa Jaka Tingkir 
aitakdirkan menjadi seorang raja besar, maka
ia berkata, "Itu adalah suatu pertanda yang sa￾ngat baik, cucuku. Pergilah ke Demak dan per￾sembahkan jasamu kepada Sri Paduka Sultan di 
sana. Kemudian kau akan menemukan arti dari 
impianmu itu. Aku selalu akan berdoa untuk ke-
.' elamatanmu. Semoga doa dan prihatinku selama 
>ni akan bermanfaat bagimu. Namun perkenan￾kanlah bahwa kelak salah seorang keturunanku 
akan menggantikanmu dalam kedudukanmu." 
Jaka Tingkir pulang ke Tingkir untuk men￾ceritakan kepada ibunya mengenai pengalaman￾nya di Sela. Nyai Ageng Tingkir berkata. "Aku 
sangat senang mendengar semuanya itu. Di De￾mak aku mempunyai seorang saudara, Kyai 
Ganjur, yang mempunyai kedudukan tinggi di 
kraton Demak. Akan kuminta kepadanya untuk 
memperkenalkan engkau kepada Sri Paduka 
Sultan di sana. Kau akan kuberi dua orane pem￾bantu untuk menyertaimu ke Demak. Tetapi 
sekarang mereka masih bekerja di sawah." 
Jaka Tingkirpun pergi ke sawah untuk me￾manggil kedua pembantu tersebut. Setibanya di 
sawah ia turut membantu mereka bekerja. Pada 
saat itu, lewatlah Sunan Kalijaga yang melihat 
jaka Tingkir di sawah, kemudian bersabda, 
' Berhentilah bekerja di sawah Jaka Tingkir. 
Pergilah ke Demak untuk mempersembahkan 
jasamu kepada Sri Paduka Sultan di sana. Eng￾kaulah yang akan menjadi raja berkuasa 
di pulau Jawa." Jaka Tingkir segera berlari pu￾iang untuk menceritakan hai ini kepada ibunya. 
Tak lama kemudian ia berangkat ke Demak 
disertai kedua orang pembantunya itu. Setibanya 
di Demak ia langsung menuju ke rumah Kyai 
Ganjur. 
Menurut eerita, Jaka Tingkir dapat menarik 
perhatian Sultan Demak. Ketika Sri Paduka 
selesai sembahyang keluar dari mesjid, jaka 
Tingkir sedang berjongkok di tepi kolam mesjid. 
Ketika Sultan lewat, Jaka Tingkir memberi ja￾lan kepada Sultan dengan meloncat ke belakang 
menyeberangi kolam. Sultan Demak terperanjat 
ketika menyaksikan hai itu dan menanyakan si￾opakah dia. Jaka Tingkir menjawab bahwa ia 
adaiah kemenakan Ki Ganjur. Sultan menyuruh￾nya masuk ke dalam kraton dan mengabdi ke￾padanya. Jaka Tingkir seger a dapat mengambil 
hati Sultan Demak, karena ia seorang pemuda 
vang tampan dan halus budi bahasanya. Ia mem￾peroleh kepercayaan Sultan dan diangkat men￾j adi Kepala Tamtama (tentara). 
Beberapa saat kemudian Sultan bermaksud 
menambah jumlah tamtamanya dengan empat￾ratus orang lagi. Mereka yang melamar harus 
diuji dulu kesaktiannya. Para calón tamtama ha￾ros dapat membuktikan kesaktiannya dengan 
mengadu kekuatan dengan seekor banteng. Siapa 
yang dapat menepuk kepala banteng itu dengan 
telapak tangannya hingga kepala banteng itu 
pecah, dapat diterima sebagai tamtama. Banyak 
pria sakti dari seluruh pelosok kerajaan Demak 
ciatang untuk mencoba keuntungan. Salah se-
orang pelamar adalah Ki Dadung Awuk, seo￾rang yang terkenal kesaktiannya. Ki Dadung 
Awukpun segera menghadap kepada Kepala 
Tamtama, yaitu Jaka Tingkir. Ketika Jaka 
Tingkir melihat Ki Dadung Awuk, timbullah 
lasa benci kepada orang desa itu, karena Ki Da￾dung Awuk sangat buruk rupanya. Maka Jaka 
Tingkir bertanya kepada Ki Dadung Awuk 
apakah ia bersedia kesaktiannya diuji dulu 
olehnya. Ki Dadung Awuk tidak berkeberatan, 
karena ia terkenal sebagai seorang yang tak ter￾kalahkan. Kemudian .Jaka Tingkir menusuk 
dada Ki Dadung Awuk dengan sebuah tusuk 
lambut. Segera Ki Dadung Awuk rebah dan 
meninggal. Hal ini belumlah cukup bagi Jaka 
Tingkir. Para tamtama diharuskan menusuk 
tubuh Ki Dadung Awuk dengan keris mereka, 
sehingga tubuh Ki Dadung Awuk penuh luka 
dan berlumuran darah. 
Kejadian tersebut terdengar oleh Sultan, dan 
beliau menjadi sangat murka, karena Sultan 
Demak terkenal sebagai seorang raja yang adil 
cían bijaksana. Jaka Tingkir langsung dipecat 
dari jabatannya dan diusir dari Demak. Sebalik￾nya keluarga Ki Dadung Awuk dianugerahi se￾j>jmlah uang yang besar. 
Jaka Tingkir sangat menyesali perbuatannya. 
Kini ia mengembara di hutan dan bertapa di 
sana untuk memohon pengampunan kepada 
Allah. Pada suatu hari ia bertemu dengan Ki 
Ageng Butuh yang bertanya kepadanya, "Siapa-
kah engkau anakku? Wajahmu begitu mirip de￾ngan kakanda Ki Ageng Pengging. Apa yang 
sedang kaulakukan di sini?" Jaka Tingkir men￾jawab ia benar putera Ki Ageng Pengging dan 
menceritakan apa yang telah dialaminya. Ki Bu￾tuh memeluk dan mengajak Jaka Tingkir ke 
rumahnya. Ki Ageng Ngerang dipanggil untuk 
bertemu dengan Jaka Tingkir. Kedua Kyai ter￾sebut memberi Jaka Tingkir pelajaran dari ilmu￾nya. Setelah beberapa bulan, Ki Ageng Butuh 
berkata, "Anakku, engkau telah kuberi pelajar￾an tentang segala yang harus kau ketahui. Kem￾balilah sekarang ke Demak, Pengging atau Ting￾kir. Tak lama lagi Sultan Demak akan membu￾tuhkan pertolonganmu. Ia akan mencarimu dan 
tentu saja di tempat kelahiranmu. Barang siapa 
yang ditakdirkan menjadi seorang besar harus 
mengalami banyak percobaan dahulu. Berang￾katlah sekarang, doaku bersamamu." 
Jaka Tingkir berangkat lagi dan menuju ke 
Demak. Di sini ia bertanya kepada para tamta￾ma apakah Sultan telah menanyakan tentang 
dirinya. Akan t etapi jawabannya adaiah bahwa 
Sultan tidak pernah menyebut nama Jaka Ting￾kir lagi. Jaka Tingkir merasa kecewa dan me￾lanjutkan perjalanannya ke Pengging. Ia pergi 
ke kuburan ayahnya untuk bertapa dan tidur di 
sana. Pada hari keempat ketika ia sedang tidur, 
terdengar olehnya suara yang berkata, "Pergilah 
ke jurusan tenggara. Dekat desa Getas Aji ada 
seorang Kyai tua yang sangat sakti, Ki Buyut 
Banyu-biru. Bergurulah kepadanya dan patuhi 
semua perintahnya." 
Jaka Tingkir terbangun dari tidurnya dan se￾gera berangkat menemui Ki Buyut Banyu-biru. 
Ki Buyut Bunyu-biru mempunyai seorang anak 
angkat, Ki Mas Manca namanya, seorang ketu￾runan raja Majapahit. Ki Buyut mengetahui 
bahwa Ki Mas Manca di kemudian hari akan 
rnendampingi seorang raja. Pada suatu hari ia 
berkata kepada Ki Mas Manca, "Dengarlah 
anakku, dua hari lagi calón rajamu akan datang 
ke mari. Setelah berada 3 bulan di Banyu-biru 
tibalah saatnya ia akan bertindak untuk menca￾pai tujuannya. Calón junjunganmu ini adalah 
seorang keturunan Adipati Jayaningrat dari 
Pengging. Kerajaannya di kemudian hari akan 
terletak di Pajang. Ia akan menjadi seorang raja 
yang sangat besar, bijaksana dan sakti. Bahkan 
musuh-musuhnya akan menghormatinya. Eng￾kau beruntung akan menjadi patihnya. Aku se￾il antiasa berdoa semoga hal ini tidak lama lagi 
akan menjadi kenyataan." 
Dua hari kemudian Jaka Tingkir tiba. Ki Bu￾yut Banyu-biru menerimanya sebagai murid dan 
anak angkatnya. Kedua pria muda, Jaka Tingkir 
dan Ki Mas Manca diberikan pela jaran dalam 
berbagai ilmu oleh Ki Buyut Banyu-biru. Tiga 
bulan kemudian Ki Buyut berkata kepada Jaka 
Tingkir, "Anakku, kinilah saatnya untuk me￾nampakkan dirimu lagi kepada paduka Sultan 
Demak. Saat ini Sultan berada di Prawata, se-
perti biasanya pada musim kemarau. Akan ku￾berikan kepadamu sesuatu agar Sultan menga￾sihimu kembali. Ini adaiah segumpal tanah. 
Masukkanlah tanah mi ke dalam mulut seekor 
banteng. Banteng itu akan mengamuk dan akan 
menyerang desa Prawata. Tak seorangpun akan 
berdaya melawan banteng itu, maka Sultan De￾mak akan teringat kepadamu. Bila engkau ha￾rus membunuh banteng itu, keluarkanlah gum￾palan tanah itu dari mulutnya dulu. Kemudian 
kau dapat dengan mudah membunuhnya. Aku 
akan membuat sebuah rakit untuk perjalan￾anmu." 
Setelah rakit itu selesai, Jaka Tingkir berang￾kat disertai oleh Ki Mas Manca, Ki Wuragil 
dan Ki Wila. Kedua orang terakhir adaiah ke￾luarga Ki Buyut Banyu-biru. Demikianlah me￾reka menghilir sungai di atas rakit. 
Ketika mereka tiba di desa Kedung Srenge￾nge, mereka berjumpa dengan sepasukan buaya. 
Di desa Kedung Srengenge bertahta seekor raja 
buaya Bau Rekso namanya. Kemudian terjadi￾lah pertempuran sengit antara ratusan ekor bu￾aya dengan Jaka Tingkir dan ketiga kawannya 
yang akhirnya dapat dimenangkan oleh Jaka 
Tingkir dan ketiga kawannya itu. Ratusan ekor 
buaya terbunuh berkat kesaktian murid-murid 
Ki Buyut Banyu-biru. Raja buaya Bau Reksopun 
menyerahkan dirinya kepada Jaka Tingkir dan 
berjanji akan mengawal Jaka Tingkir dalam 
perjalanannya di atas air. Rakitnya kini meng-
hilir di atas punggung empatpuluh ekor buaya. 
Dan terciptalah suatu lagu yang terkenal sampai 
sekarang, yaitu, "Sigro milir." (Sang getek si￾nangga bajul. Kawan dasa kang jageni. Ing 
ngarso miwah ing pungkur. Atanapi kanan ki￾nng. Sang getek lampahnya alón.") Bau Rekso 
masih berjanji untuk mempersembahkan seekor 
buaya kepada Jaka Tingkir setiap tahun. 
Tak lama kemudian mereka sampai di desa 
Butuh. Jaka Tingkir mengetuk rakitnya, dan 
keempatpuluh ekor buaya itu mengerti bahwa 
ini adalah tanda untuk berhenti. Jaka Tingkir 
berhenti sebentar untuk tidur sejenak. 
Pada saat itu Ki Ageng Butuh ke luar dari ru￾mahnya dan melihat cahaya (daru) jatuh dari 
langit. la mengikuti arah jatuhnya daru itu dan 
menemukan Jaka Tingkir yang sedang tidur di 
atas rakit telah kejatuhan daru itu. Maka iapun 
membangunkan Jaka Tingkir sambil berkata, 
"Bangunlah Jaka Tingkir, engkau kejatuhan da￾ru, cahaya kerajaan Demak telah berpindah ke￾padamu." Kemudian Jaka Tingkir dan ketiga 
kawannya diajaknya ke rumahnya. Ki Ageng 
Ngerang dipersilahkan untuk datang juga. Ke￾dua kyai itu memberi Jaka Tingkir pelajaran 
dari ilmu mereka. Bagi mereka kini sudah jelas 
bahwa Jaka Tingkir akan menjadi raja, meng￾gantikan Sultan Demak. Merekapun memberi￾kan pelajaran kepada Jaka Tingkir apa yang 
harus diketahui oleh seorang raja yang baik dan 
bijaksana.
Akhirnya Jaka Tingkir dan kawan-kawannya 
mohon diri untuk melanjutkan perjalanan dan 
menunaikan tugasnya. Mereka tiba di desa Pra￾wata. Sultan Demak masih berada di pasang￾grahannya. Jaka Tingkir mencari seekor ban￾teng. Ketika ditemukannya, tanah yang didapat￾nya dari Ki Banyu-biru dimasukkan ke dalam 
mulut banteng itu. Segera banteng itupun me￾ngamuk dan berlari ke pasanggrahan Sultan. 
Penduduk desa Prawata menjadi geger, ba￾nyak orang terluka dan meninggal dunia, karena 
serangan banteng itu. Orang-orang memerangi 
banteng itu dengan tombak dan keris, namun 
semuanya sia-sia belaka. 
Kemudian Sultan memberi perintah kepada 
tamtamanya untuk memerangi banteng itu tan￾pa senjata, karena para tamtama telah terlatih 
untuk mengalahkan seekor banteng dengan me￾nepak kepala banteng dengan telapak tangan 
mereka hingga kepala banteng itu pecah. Akan 
tetapi kali ini mereka tidak berhasil. Banyak 
tamtama sudah gugur dan terinjak oleh banteng 
itu. Sudah tiga hari kejadian itu berlangsung. 
Dari panggung pasanggrahannya Sultan De￾mak menyaksikan pertarungan antara manusia 
dan banteng tersebut. Kemudian dilihatnya Jaka 
Tingkir di kejauhan juga sedang mengamati 
banteng yang mengamuk itu. Segera Sultan me￾merintahkan seorang untuk menemui Jaka Ting￾kir. Semua kesalahan Jaka Tingkir akan diam￾puni bila ia berhasil membunuh banteng itu.
Jaka Tingkir menyatakan kesanggupannya. Ia 
maju ke depan diiringi tabuhan gamelan dan so￾rak-sorai orang orang yang memberi semangat. 
Jaka Tingkir menyongsong banteng itu. Ia sege￾ra diangkat oleh banteng itu dengan tanduknya 
dan dilemparkan ke tanah. Namun Jaka Tingkir 
segera bangkit. Kemudian dipegangnya banteng 
itu pada tanduk dan ekornya dan dibantingkan￾nya ke tanah, sehingga gumpalan tanah yang di￾sihir oleh Ki Buyut Banyu-biru itu ke luar dari 
mulut si banteng. Kini banteng itu tidak berdaya 
lagi. Tak sukar lagi bagi Jaka Tingkir untuk 
membunuhnya. Dengan telapak tangannya ia 
menepuk kepala banteng itu hingga pecah. 
Demikianlah Jaka Tingkir mendapatkan ke￾percayaan dan kasih Sultan Demak. Ia menda￾patkan kembali kedudakan yang tinggi di kraton. 
Tak lama kemudian ia menikah dengan seorang 
putri Sultan Demak dan menjadi adipati di Pa￾jang. Jaka Tingkir berhasil menjadikan Pajang 
suatu daerah yang makmur dan sentausa, sehing￾ga menjadi terkenal di dalam sejarah. 
Setelah Sultan Demak wafat, ia menamakan 
dirinya Sultan Pajang. Daerah-daerah lain di 
sekitar Pajang dapat ditaklukkannya. Yang pa￾ling akhir adaiah daerah Jipang, karena adipa￾tinya, Arya Penangsang sangat salcti, tetapi de￾ngan tipu muslihat akhirnya dapat dikalahkan. 
Pada tahun 1503 Jaka Tingkir menamakan diri￾nya Sultan Hadiwijaya dari Pajang dan diakui se￾bagai raja yang paling berkuasa di pulau Jawa.