Rabu, 05 Juli 2023
iblis 1
Juli 05, 2023
iblis 1
1
Secara tiba tiba dinding di ruang tengah bertingkat dua inii bergeter sehingga semua yang ada di dalamnya ikut merasakannya, dan secara tiba-tiba pula bau kemenyan dan bunga kamboja kini mulai tersa menyengat membuat bulu kuduk kami pun merinding.
Memang jika dilihat dari luar, rumah yng memiliki 2 lantai ini dengan pekarangan yang luas, taman yang tertata rapi,dilengkapi pula dengan fasilitas kolam renang yang terletak di samping rumah ini, sehingga tampak begitu megah dan merupakan sebuah rumah idaman bagi siapapun yang melihatnya.
Namun dibalik kemegahan itu tersimpan misteri, rumah ini memang indah dan keindahan itupun menutupi kekurangan rumah ini. Begitupula dengan kami berlima, Dijaman serba susah begini apalagi di Jakarta sebuah kota metropolitan yang semuanya serba mahal dan tiba-tiba ditawari sebuah kontrakan yang mewah tapi murah membuat kami tanpa bepikir panjang lagi langsung setuju untuk menandatangani kontrak dengan pemilik rumah.apalagi kami hanya mahasiswa yang berasal dari daerah yang masih bergantung paa orang tua, otomatis kami mencari sesuatu yang murah namun layak. Untuk mundurpun dari semuanya ini rasanya itupun tak mungkin, karna uang kontrakan itu rasanya sayag untuk disia-siakan.
Awalnya, aku tidak setuju atas usulan Mirna untuk memanggil dukun kerumah ini, namun teman teman yang lain menyetujuinya tanpa menyadari akan akibat dari perbuatan mereka, jadi apa boleh buat akupun menyetujuinya.
Embah dukun itu duduk bersilah menghadap ke salah satu sudut ruangan, sekali-kali terdengar semburan dari mulutnya menyemprotkan air ke sudut ruangan itu. Keempat temanku tampak begitu serius mengikuti perintah dukun tersebut terlihat dari raut wajah mereka kelihatan begitu tegang. Mbah dukun itupun tiada henti-hentinya membaca mantra, entah apa yang di bacanya akupun tidak tahu karna memang aku tidak berniat untuk mendekat padanya. Aku hanya melihatnya dari jauh, di tangga menuju lantai dua sebab aku tidak tahan dengan bau kemenyan itu, rasa-rasanya aku ingin muntah.
Namun tidak berapa lama ritual itupun selesai, mbah dukun itu pulang dengan peluh yang bercucuran di wajahnya dan keempat temanku pun tersenyum puas.
“kita akan hidup dengan tenang tanpa gangguan itu lagi” kata Lia.
Akupun hanya bisa tersenyum pasrah mendengarnya sambil berlalu ke dapur untuk mengambil makanan karna dari tadi sebenarnya aku lapar namun mbah dukun itu melarangku jauh-jauh dari tempat itu, takut kalau-kalau terjadi apa-apa padaku, katanya.
kini kami semua duduk di meja makan siap untuk makan setelah beberapa menit selesai shalat magrib. Sementara jam masih menunjukkan pukul 19:15, tapi entah dari mana datangnya tiba tiba terdengar lolongan anjing , kami merasakan kembali kecaman itu dan semuanya terdiam membisu. Tiba-tiba adzan terdengar tandanya shalat isya pun akan segera dilaksanakan, dan secara tiba-tiba pula lolongan anjing itupun menghilang, membuat kami merasa lega. Malam ini tidak terjadi apa apa dan itu membuat temanku berfikir bahwa dukun itu telah berhasil mengusir para penghuni rumah ini. Namun, malam berikutnya mereka kembali membuat kami semua ketakutan dan parahnya lagi mereka kini memampakkan wujud mereka padahal selama ini mereka hanya mengganggu kami tanpa wujud. Dan malam itu adalah puncaknya.
Malam itu seperti biasa, kami pun tidur di kamar masing masing. Ekitar pukul 12:00 malam tiba tiba terdengar suara jeritan seorang wanita di lantai bawah tepatnya di kamar mandi. Aku fikir itu salah satu dari keempat temanku, maka akupun langsung keluar dari kamar dan berlari ke bawah, dan keempat temanku sudah berkumpul di dekat tangga, dan suara itu masih saja terus menjerit lalu kami pun saling pandang. Aku berfikir, kalau bukan diantara keempat temanku lalu itu suara siapa?. Dengan hati hati pun kami berjalan menuju kamar mandi, tapi tak seorang pun dari kami yang membuka pintu kamar mandi tersebut sampai akhirnya pintu itu terbuka dengan sendirinya.. Dan di dalam kamar mandi, seorang wanita berambut pirang tanpa busana bersandar pada tembok dengan pisau tertancap di dadanya dan tembus ke jantung dengan mata melotot, sementara dari hidung dan matanya mengalir darah segar, sambil tersenyum menyeringai kepada kami berlima. Tanpa fikir panjang lagi, kami semua menjerit. Bahkan Anis sampai pingsan, dan kami membawanya agak menjauh dari tempat itu. Tapi saat kami melihat kearah kamar mandi, tidak terjadi apa apa di sana. Air yang semula merah darah kini menjadi bening kembali.
Dan, entah kenapa tiba tiba lampu di rumah itu mati membuat kami semua ketakutan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba bermunculan kepala kepala yang begitu banyak menyerang kami, semuanya memperlihatkan taring tiba tiba mereka se akan akan kami adalah makanan lezat. Tiba tiba Mirna dan Susi ikut pingsan, aku dan Lia berusaha keluar dari kepala kepala tersebut. Saat mereka akan menyerang kami, kepela kepala tersebut berbalik arah menyerang Anis, Mirna dan Susi yang pingsan. Di depan mata ketiga teman kami dibunuh, tanpa kami bisa berbuat apa-apa.
Tanpa menunggu lagi aku dan Lia berlari meninggalkan tempat itu, namun kami dicegat oleh mahklukh yang sangat menyeramkan , tingginya melebihi tinggi manusia pada umumnyadan di sudut bibirnya tersembul sebuah taring yang runcing. Aku masih berusaha lari saat mahklukh tersebut menangkap Lia, namun langkahku terasa berat sekali sehingga mahlukh tersebut berhasi menangkapku setelah Lia ia bunuh. Aku sudah tak tahu apa yang terjadi saat mahlukh tersebut menancapkan taringnya ke leherku. Saat itupun aku tidak merasakan apa apa lagi. Tiba-tiba aku terbangun….
Ternyata aku hanya mimpi.
Kulihat di sekelilingku semuanya tampak serba putih dan di sampingku kulihat mama tidur disisi ranjang, mungkin karna ia kelelahan menjagaku.merasakan aku bergerak mamapun terbangun.
“Syukurlah, kamu udah sadar saying”! Tanya mama.
“Apa yang terjadi ma, kenapa aku ada di rumah sakit”? tanyaku pada mama.
“Entahlah, mama sendiri tidak tahu saying, tapi Lia menelfon mama dari Bandung dan bilang kalau mereka kamu temukan pingsan di dapur saat kalian melihat-lihat tempat kontrakan” jawab mama.
“Tempat kontrakan……..!” aku berfikir.
“Oh ya ma, sudah berapa lama aku pingsan”! Tanyaku.
“2 hari, emangnya kenapa sayang” jawab mama.
“Trus dimana Lia dan yang lainnya sekarang, dan apakah perjanjian kontrak tersebut sudah ditandatangani” Tanyaku tanpa menjawab pertanyaan mama.
“Ya, perjanjiannya udah ditandatangani dan mereka sudah menempati rumah kontrakan kalian sejak kemarin, besok kamu juga akan mulai tinggal di sana jika dokter sudah mengijinkan kamu pulang” kata mama.
Tiba tiba aku merasakan sakit pada leherku dan saat kuraba ada dua lubang di sana seperti bekas gigitan!.........
Hari ini aku pergi ke sekolah dengan perasaan yang aneh. Betapa tidak, tubuhku terasa sangat ringan. Mungkin, itu adalah pengaruh obat penenang yang sudah diberi dokter untukku. Kemarin sih, aku ingat aku dibawa ke dokter oleh keluargaku dan orang-orang.
Aku tak mengerti apa yang salah, aku ini hanya perempuan biasa tanpa penyakit serius, kok! Seperti biasa, rumah sepi. Aku melihat semangkuk besar nasi goreng ayam tertutup dengan tudung saji di meja makan besar. Tapi, hei! Apa ibu lupa aku harus makan pagi?
Biasanya ia akan menyediakan piring dan sendok untukku. Aku mencoba berpikiran positif. Mungkin ibu lupa, pikirku. Apalagi hari ini jadwalnya memberi kuliah. Aku pun mengambil peralatan makanku sendiri dan makan dengan lahap. Setelahnya, aku pun mandi dan mengenakan seragam sekolah. Fyuuh, untung saja aku tidak terlambat. Bel belum berbunyi, kok!
Tapi, ya, seperti biasa semua orang menjauhiku. Ada yang berlarian, ada yang memasang wajah kaget dan syok. Wah, wah, kalian mau memasang sandiwara untuk menjauhiku, ya? Itu tidak mempan, aku sudah biasa terkucil. Aku melenggang memasuki kelas.
Ya ampun. Ada Monica. Dia adalah ratu drama di sekolah. Sebenarnya aku membencinya, namun aku tak berdaya karena ia termasuk murid terpopuler di angkatan kami. Tapi kenapa si jahat itu murung? Dia terlihat sedang stres memikirkan sesuatu. Hm, memangnya ada apa sih hari ini?
Ada ulangan? Di panggil guru BK? Biasanya dia akan melontarkan kata-kata ejekan dan hinaan yang pedas kepadaku. Apakah dia sudah bertobat? Tapi di mana pisau yang biasa ia pegang? Saat ia mengancam ku itu, dia selalu membawa benda tajam. Teman baikku Sinta juga tidak menghiraukanku.
Matanya berkaca-kaca seperti bersedih. Lalu dia memalingkan wajahnya. Ada apa lagi ini? Apa yang membuatnya sedih? Aku berusaha menghiburnya dengan cara menepuk pundaknya. Namun dia tetap melempar pandangan nanar ke arahku seolah aku tak ada. Pelajaran dimulai.
Yesss, pelajaran kesukaanku! Matematika! Segera kutaruh bukuku dengan senyum kecil menghiasi wajahku. “Pagi Bu!” Murid murid di kelas, termasuk aku memberikan salam kepada Bu Hani, guru Matematika.
“Pagi, Anak-Anak,” Bu Hani sempat menatap tempatku dengan cara pandang yang tak biasa. Agak lesu dan nanar. Aku tak mengerti, kenapa semua bertingkah aneh di hari yang indah ini. Sebelum memulai pelajaran ia memimpin doa. Katanya, “Marilah kita berdoa untuk Meri agar ia tenang di sisiNya. Berdoa, mulai.”
Aku agak kaget. Itu aku, kan? Nama Meri hanya dimiliki 1 murid di kelas ini, yaitu aku. Masa aku sudah meninggal? Ah, mungkin itu hanya halusinasiku. Mungkin ada siapa, kek, yang meninggal. Tapi kupingku yang sebobrok jamur kuping rebus ini menangkap hal yang tidak-tidak.
Memasuki jam istirahat, seorang petugas polisi bernama Andre (aku tahu dari badge namanya) menghampiri Bu Leli, guru kelasku. “Bu, mohon maaf, saya harus menahan satu murid di kelas Ibu, hasil visum dan penyelidikan sudah membuktikan dia pelakunya.”
“Oh, kasus Meri? Sayang sekali. Benarkah, Pak Andre? Apa buktinya?” “DNAnya murid ini ditemukan di pisau lipat dan seragam putih-abu abu Meri yang masih berada di toilet sekolah. Selain itu, sidik jarinya ditemukan juga di roknya dan tubuhnya. Murid ini terbukti memberi kekerasan fisik yang cukup parah kepada Meri. Namanya Monica Rashid.”
Pak Andre si petugas polisi itu memberi surat bukti visum pada Bu Leli. Aku sangat terkejut, syok, kaget, takut dan merasa aneh, semua perasaan itu menjalar di dadaku. Aku sudah mati? Apalagi foto mayat itu menyerupai diriku. Aku mau pingsan dan meninggal untuk kedua kalinya. Akhirnya aku ingat segalanya. Mengapa aku dibawa ke dokter. Darah-darah dan luka memar. Pisau lipat. Monica. Rok dan seragam yang tertarik. Mayat menyerupaiku. Tidak! Tidak! Tidaaaaak! Tuhan, kenapa ini tak adil!!!!
2
Sore jam 2an, ada pesan masuk WhatsApp dari Pak Bram. Isinya pesan mengajak diriku ke Sumbawa untuk menangani pasiennya. Sore itu langsung ku jawab ok bisa, kebetulan kuliahku libur ada sebulanan setelah UTS semester tujuh. Itung-itung sekalian jalan-jalan refresing biar tambah muda hahaha…
Juma’at malam segera kupersiapkan apa yang harus kubawa. Karena aku nggak punya powerbank buat cas HP di perjalanan. Segera ku meluncur malam itu cari powerbank dan sekalian nge-print revisian bab 3 skripsiku.
Pagi-pagi segera ke rumah temenku Ryan tetangga desa, titip revisian skripsi biar diantar dia ke rumah dosen. Sebetulnya hari Sabtu aku sudah janjian ke rumah dosen pembimbing kami. Karena hari-hari ini kuliah libur, biar cepat selesai, harus ke rumah dosen. Setelah urusanku selesei dengan Ryan, kupersiapkan tas ranselku dan jaket terus meluncur ke Nganjuk dengan sepeda motor Vega merahku. Sampai di Nganjuk satu jam-an. Sesampai di rumah Pak Bram segera kuparkirkan motorku di sebelah tokonya, Senyam-senyum kulihat raut muka Pak Bram melihatku dari dalam tokonya.
“Langsung masuk rumah aja..!,” suara adik Pak Bram di samping Toko yang menyapaku.
“Iya..,” sahutku, segera kutaruh ranselku dan duduk di kursi kayu panjang di samping toko.
“Gimana? Udah siaap nanti? Hehehe,” tanya Pak Bram kepadaku.
“Dah siaaplah segala kemungkinan yang terjadi,” jawabku.
Udah siap sih kita di sana. Kalau diserang dukun, karena kita mengobati pasien sakitnya karena dibuat orang kena gangguan guna-guna dukun. Otomatis kita bakal dapat imbasnya dapat serang dari dukun dalam perjalanan.
Mau berangkat ke terminal ke Surabaya eh dapet barengan dari tetangga depan rumah Pak Bram. Alhamdulillah sampai di Pol Bunga Rasih. Tempat bis ini dekat tol jembatan. Lokasinya strategis tapi sayang bangunanya kurang dirawat. Walaupun bisnya bagus-bagus. Penjaga tempat ini Mas Zar mengeluhkan banyak yang datang, baru masuk ke tempat ini tiba-tiba balik lagi, pulang.
“Oh.. Itu masalahnya banyak kiriman dari saingan bisnis travel ini di depan itu. Banyak jin yang menghalangi orang yang mau datang menyewa bis jadi selalu nggak jadi sewa padahal udah datang ke tempat ini,” terang Pak Bram.
“Owh gitu… Kasian yang kerja di sini kalo nggak dapat orderan bus pariwisata ini mau apa makan apa sopir yang menghidupi anak istrinya? Kalo saya nggak papa karna cuman jaga sini,” kata Mas Zar.
“Gini saja. Tempat ini saya bersihkan gangguan kiriman dari dukun saingan PO Bis ini,” saran Pak Bram dan segera mengerahkan tangannya kayak menarik mengambil sesuatu dan mengikat jin-jin kiriman si dukun dan mengislamkanya.
“Pak, saya minta nomornya kalo-kalo ada sesuatu.”
“ini nomor W.A saya, kalau ada sesuatu hubungi saja nggak usah sunggakan.”
“Baik”
“Di sini Mas sering dapat gangguan penghuni sini nggak?” tanya Pak Bram
“Iya sering biasanya bis-bis di sini kalau malam goyang-goyang sendiri kalau penghuni di sini mau ngajak bercanda”
“Itu Kuntilanak di sana yang suka gangguinmu, tapi nggak bahaya karena kuntilanak nggak punya power dan suka usil saja hahaha…” kata Pak Bram sedang jelasin.
“Iya bener suka ngajak bercanda itu ngganguin saya tapi nggak pernah nampak,” ujar Mas Zar.
“Dan di belakang sini ada jin Fasiq di belakang bangunan ini yang kuat energinya yang bisa buat bahaya,” sambung Pak Bram sambil menunjuk ke arah selatan.
Segera Pak Bram menyuruhku menarik jin Fasiq itu. Langsung kutarik, sekalian di ikat dan islamkan. Kusuruh jaga tempat ini kalau ada serangan-serangan jugaku beri senjata dan kutambah power jin ini.
“Mas Islam ya…. ” tanya Pak Bram
“Iya, Islam tapi jarang sholat,” jawab Mas Zar.
Itulah ujian orang yang bekerja terlalu mencari hal dunia sampai melupakan akhirat, batinku. Kalau hidup ini hanya sementara amal kita sedikit, kita di akhirat nggak punya apa-apa. Andai kita di siksa sampai hari kiamat di alam Barzah karena sering meninggalkan sholat. Kan kasihan dan ngeri membayanggakan azab dan murka Allah.
Jam setengah 6 kita berdua berangkat dari Surabaya. Naik bus yang kusukai adanya pengamen yang melantunkan lagu-lagu dalam perjalanan pelipur capek di perjalanan. Tapi kok sayangnya yang dilantunkan kok selalu lagu mellow sedih-sedih hmm… Sepanjang 2 lagu yang dinyanyikan. Sampai di rumah makan pemberhentian istirahat bus. Keponakan Bu Nikmah yang kerja di proyek PLTU dekat rumah makan ini, segera mengambil Aqua yang sudah kuisi dengan energi do’a. untuk mengobati adiknya cewek yang nakal di Malang. Biar nurut sama orang tua dan semoga menjadi wanita yang sholehah.
Sampai di Bali pagi jam 4an. Ada pemeriksaan KTP setelah keluar pelabuhan, tetapi tidak seketat yang kukira. Hanya di cek KTP sebentar dan langsung naik lagi ke bus. Terlihat bangunan rumah warga dan pure-pure di sepanjang perjalanan.
Ketika sampai di pelabuhan Padang Bai nunggu sampai sore baru dapat kapal besar. Di bis kulihat dua anak kecil perempuan Bu Rohmah yang selalu ceria dalam perjalanan. Dua-duanya suka nyanyi seperti ibunya. Bu Rohmah ini sebelum punya anak pernah kerja di Arab Saudi udah lama. Dan udah haji bolak-balik. Dia cerita setelah suaminya meninggal ketika di Jakarta Bu Rohmah ini pernah ngamen. Waktu itu Bu Rohmah kepikiran ingin membelikan kaset lagu untuk anaknya kebetulan ia tidak punya uang. Ketika ngamen, yang melihat Bu Rohmah ini yang memang suaranya merdu dan bagus, tau-tau dikasih orang uang ratusan ribu lembaran di amplop, Bu Rohmah senang sekali dan sangat bersyukur bisa membelikan kaset lagu untuk kedua anaknya.
“Hai Om…,” sapa Ina anaknya paling kecil, sambil ambil duduk di sebelahku.
“Adik jangan ganggu om yang lagi tidur,” kata Henna anaknya yang umur 5 tahun sedang menghampiri adiknya.
“Mau roti ini?” Kuambilkan 3 roti selai stroberi di tasku.
“Mamak, aku dikasih roti sama om yang pakai jaket itu,” kata Ina memberitahu ibunya di kursi belakang bis.
“Bilang makasih sama om, nak,” perintah ibunya.
“Makasih, Om”
“Iya sama-sama,” Kulihat kedua anak itu suka dengan roti itu. Baru kupejamkan mata si Henna menghampiriku.
“Om.. Om.. Rotinya enaak sekali.”
“Mau lagi? Ini masih ada,” Kuambilkan roti satu plastik semua di tasku berikan ke anak yatim itu.
“Mamak, aku di kasih lagi roti sama Om,” sambil berlari menuju ibunya di belakang.
“Makasih Om, semoga Allah melindungimu dan menjagamu,” kata Bu Rohmah mendo’akanku.
“Amiin” kataku di dalam hati.
Jenuh juga di dalam bis terus, tetap belum berangkat juga. Akhirnya aku keluar dari dalam bis. Dan duduk di pinggir pelabuhan, sambil menikmati pemandangan laut dan kapal-kapal. Setengah jam kemudian kuhampiri Pak Bram yang dari tadi katanya lagi ngecas HP di kamar mandi.
“Sini san..,” kulihat dari samping toilet, Pak Bram melambaikan tangan memanggilku dari warung makan.
“San mau Kopi ??”
“Nggak..” Ada-ada saja Pak Bram ini, aku yang lagi libur puasa ditawarin kopi kalo ngajak bercanda. Hahaha.
“Udah ku pesankan nasi 2 bungkus. Yang satu buat kamu buka magrib nanti.”
“Siip,” kataku sambil mengamati warung ini.
Di warung ini yang melayani pembeli gadis remaja, yang salah satu masih seumuranku 21 tahunan perkiraanku. Aku baru duduk di kursi warung gadis-gadis ini udah heboh sambil curi-curi pandang ke arahku. Kudengar gadis-gadis ini sedang membicarakanku di dapurnya sambil berkata “ras jawa-ras jawa”. Emang kenapa kalau aku orang Jawa pikirku kan sama sajalah.
“Coba cek san bisnya udah mau berangkat masuk ke kapal belum?”
“Oke,” kataku sambil berlalu menuju bis. Baru keluar dari pintu samping warung. Ada 2 gadis itu saling dorong-dorongan di samping pintu dekat sampingku, yang salah satu gadis didorong, gadis yang seumuranku. Aku berhenti dan menatap kedua gadis itu, pasti pikirku gadis cewek yang seumuranku itu ingin kenalan denganku. Aku terdiam sebentar ku pandangi dua gadis itu senyam-senyum sambil memandangiku paras wajahku. Hah, godaan, batinku. Langsung saja aku buang muka cuek pergi menuju bis takut kalo ketinggalan bis.
“Om, bisnya udah mau masuk kapal belum??,” tanyaku kepada sopir bus.
“Itu udah keluar, udah mau masuk kapal ini,” sambil menunjuk truk-truk yang keluar dari kapal laut.
Segera ku kembali warung dan ambil powerbank yang ku cas dari tadi. Sambil kulihat sekilas gadis tadi yang menyukaiku. Kelihatan menundukkan muka tidak berani memandang.
Di kapal yang kutumpangi ini terlihat cukup besar, senangnya naik kapal laut. Bisa melihat pemandangan pulau-pulau dan gunung hehehe. Aku segera ambil duduk di kursi belakang kapal. Pak Bram duduk di kursi depanku sambil makan nasi bungkus tadi. Di kapal ini video yang di putar di TV LCD lagunya Via Vallen terus dari lagu berjudul Sayang sampai lagu N.D.X yang dinyanyikan Via Vallen jika sudah habis lagunya diulang lagi. Sering-sering lagu galau di putar.
Setelah 4 jam kemudian, baru kemudian di ganti film hantu kuntilanak, setelah itu lanjut ganti yang diputar film horor Azis kepergok Pocong. Hehehe.. nonton film horor komedi Indonesia memang bisa dijadikan pelipur rasa jenuh di kapal. Kurasakan ombak di kapal ini kok nggak wajar. Penumpang kapal yang lain tetap tenang konsentrasi menonton film tak menghiraukan bahaya maut menghampirinya, ombak makin besar dan sewaktu-waktu bisa mengoyak kapal sampai terbalik tenggelam. Pak Bram sudah konsentrasi mencoba menetralisir air di bawah kapal, ketika aku coba turun tangga lihat di tempat bagasi bis dan truk. Air udah ada yang masuk di kapal. Aku langsung ambil duduk di kursi tadi dan konsentrasi menulis lafadz Allah di hati mencoba mengarah kan jari lantai kapal dan menetralisir ombak air dan sholawat ku baca terus-menerus. Alhamdulillah usaha kami berdua menetralisir airnya udah tenang.
Sekitar 25 menit kemudian kapal terombang-ambing semakin ngeri.. Air makin meninggi di sisi kapal karena goncangan ombak makin besar. Karena kami tahu ini ombaknya tidak wajar ada gangguan dari bawah laut yaitu dari kerajaan bawah laut jin kafir. Aku dan Pak Bram langsung baca dzikir sampai silsilah Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah wa Syattariah dan tidak lupa baca Do’a Rofitoh ke Guruku Mursyidku.
Alhamdulillah ngak sampai satu menit. Gejolak gelombang air reda dan tenang, kapal melaju cepat kembali. Di penglihatan terawangan dari Pak Bram banyak cahaya turun di sekitar kapal mungkin ini bantuan dari Kyaiku. Untuk urusan kerajaan jin laut bukan urasan kami, tetapi udah urusan kyaiku. Normalnya selama perjalan kapal ini 4 jam-an. Namun karena terjadi gangguan, kapal yang kutumpangi ini sampai merapat di pelabuhan sampai hampir 7 jam-an. Luar biasa.
Kapal udah mulai merapat di Pelabuhan Mataram, Lombok. Kami melanjutkan perjalanan bis menuju Pol Bis untuk oper bis menuju Sumbawa. Sampai di Pol bis ini sekitar jam 10 an malam. Kami istirahat di sana sebentar sambil menunggu bis bongkar barang-barang. Alhamdulillah dapat makan nasi kotak yang di bagikan oleh sopir bis. Itung-itung buat sahur. Hehehe
Keamanan di Pol ini bagus, dari tadi kulihat ada tentara yang memantau pembongkaran barang-barang untuk di pindah ke bus lain. Sambil makan sahur di depan ruko kami bincang-bincang dengan penumpang lain namanya Pak Doni dari Jombang, yang bekerja di proyek Sumbawa.
“Ini minum Aqua dulu, Pak” kata pak Bram sambil menyodorkan air Aqua.
“Iya-iya, makasih”
“Asalnya dari mana Pak?
“Dari Nganjuk saya, ini Mas Hasan dari Kediri”
“Oh tetangga sendiri toh hehehe…. Emang mau kemana Pak??,” tanya Pak Doni
“Mau ke Sumbawa..,” jawab Pak Bram yang sudah selesei makan nasi kotak.
“Ada perlu apa ke sumbawa?,” tanya Pak Doni yang terlihat raut mukanya masih penasaran melihat kami berdua.
“Mau ke…” jawab Pak Bram yang jadi bingung mau jelasinnya.
“Ah sesama orang Jawa kok, nggak papa.”
“Sebenernya ada pasien sakit suruh mengobati”
“Oh.. gitu… Istri saya juga sakit beberapa hari, kata kenalanku yang dari pondok itu di buat sakitnya dari tetangga rumah yang punya ilmu, dia mengingatkanku agar hati-hati”
“Nama istrimu siapa… coba ku cek??”
“Namanya….. binti….. ”
“Benar istrimu sakit dibuat orang, itu tetangga rumahmu pelakunya.”
“Oh benar berarti kata kenalanku.”
Sebenarnya itu yang buat sakit istrinya masih saudaranya, Pak Doni cerita, waktu itu saudara wanitanya sering bawa lelaki ke rumahnya. Dan Pak Doni mengingatkanya agar segera menikah. Ketika di Sumbawa tempat kerjanya Pak Doni mendapat kabar bahwa saudaranya menikah, tetapi menikahnya secara siri. Dan kebetulan Pak Doni tidak bisa menghadiri pernikahannya. Mungkin sebab itu, suami saudaranya mengirimkan santet ke istri Pak Doni. Apa enaknya pikirku menikah siri ujung-ujungnya yang jadi korban wanitanya, di umpamakan peribahasa habis manis cepat dibuang sayang.
“Ku cabut saja ilmunya dari sini biar nggak ganggu istrimu, tapi kemungkinan dia kalau ilmunya hilang bisa cari bantuan dukun untuk mengirim guna-guna santet”
“Iya tolong dibantu saya Pak Bram. Ada nomor HP ??”
“Ada W.A saya aja kalau ada apa-apa chat saja.”
“Aku diberi tulisan oleh kenalanku yang dari pondok. Rajah itu kusimpan di jaketku, karena di proyek sering ada gangguan makhluk halus. Menurut Pak Bram gimana itu?”
“Rajah itu isinya jin, mending jin itu diislamkan agar tidak bahaya efek sampingnya ke Bapak dan Keluarga”
“Jadi rajah itu isinya Jin,” Pak Doni penasaran.
“Iya… memang jin. San, tarik isi rajah itu dan islamkan, suruh jaga dan melindungi Pak Doni dan keluarganya! Perintah Pak Bram kepadaku yang dari tadi asik menyimak cerita Pak Doni dari tadi.
“Oke… ” kata ku, sambil langsung konsentrasi Lafazd Allah kutulis di hatiku. Hawa energi menyelimuti tubuhku getarannya. Dan tanganku kuarahkan ke saku Pak Doni, dan telapak tanganku kurasakan menggenggam sesuatu, lalu kutarik dan kuarahkan kan ke lantai. Dan kuikat jin itu lalu diislamkan. Dan aku perintah jaga Pak Doni dan keluarganya tak lupa kupersenjatai dan ditambah powernya.
“Udah San?” tanya Pak Bram.
“Sudah ”
“Makasih Mas,” kata Pak Doni sambil menyalamiku katanya sebagai perkenalan. Hehehe
“Mas Hasan kelihatanya masih muda belum menikah ya??”
“Belum Pak,” jawabku. “Oh ya kalau ada-ada apa-apa di proyek Pak Doni bisa langsung hubungi Pak Bram biar ditarik Pak Bram.”
“Iya nantiku hubungi.”
“Mas Hasan ini masih kuliah,” kata Pak Bram menimpali pembicaraan.
“Oh .. Bapak dan Mas Hasan ini apa dari pondok??”
“Bukan aku dan Mas Hasan ini, ikut Majelis Dzikir Thoriqoh di Tuban”
“Oh Majlis Dzikir, kalau Thoriqoh itu gimana Pak”
“Thoriqoh itu ya memperbaiki lahir batinnya amal ibadah, menjalankankan syariat dan hakikat secara bersama dalam beribadah.”
“Kapan-kapan tak main ke Nganjuk bisa menemui Pak Bram di sana.”
“Bisa .. Datang aja nggak papa kok. Santai aja… Hehehe…”
Baru ngobrol-ngobrol, sopir bus sudah teriak “Berangkat!”. Kami segera naik bus dan ada kejadian lucu, bahwa ada bapak-bapak yang meninggalkan surat nikahnya di POL Bis tadi, yang di temukan anggota TNI yang mengamankan pemberhentian bus tersebut.
Setelah bus jalan beberapa kilometer, mataku sudah mulai terlelap tidur. Bangun-bangun udah mau nyeberang ke kapal, ini aku jadi sudah menyeberang ke-3 kalinya menaiki kapal laut menuju Sumbawa. Baru masuk kapal, aku langsung menuju kamar kecil di bawah tangga, yang kusadari tadi ku tahan sejak di bus. Kapal ini enak tempatnya kursinya sofa panjang bisa buat tidur. Dan layar LCD-nya disetel film SpiderMan-3.
“San, beli nasi tuh buat sahur, ini uangnya” kata Pak Bram menyuruhku beli nasi bungkus.
“Nggak usah, perutku dah kenyang inih,” kataku alasan agar tidak dibelikan.
“Nggak papa, udah beli aja…”
“Ini nasi apa Pak?,” sambil kutunjuk bungkusan kertas minyak.
“Itu nasi goreng…”
“Kalo yang ini??”
“Yang ini nasi ayam..”
“Ambil yang ini aja Pak.”
Sambil makan kunikmati tayangan film SpiderMan di kapal. Ada 2 TV LCD yang di pasang di ruangan ini. Di sebelah pojok kanan dan kiri, kalo yang di depanya ada tempat manggung Band. Makan tanpa minum kurang pas, akhirnya pasti belilah minum. Sayangnya di kapal camilan snack dan aqua maupun minuman yang lain digenjot harganya dijual mahal. Penjualnya menawarkan kepadaku kopi hangat hanya 5 ribu satu gelas plastik. Dan secangkir kopi pun yang terbeli. Karena memang aku tak punya uang untuk beli yang harganya mahal-mahal. Hahaha
Kulihat Pak Bram udah tidur nyenyak di kursi panjang. Langsung aja aku ambil posisi tidur malam di kapal ini.
“San, bangun… kapalnya udah mau merapat..”
“Emm.. huah…. ” rasa kantukku masih aja walaupun udah bangun sambil kucek-kucek mataku.
Aku langsung keluar ruangan dan duduk di kursi meja bundar melingkar. Sambil menerawang cahaya kelap-kelip pelabuhan. Merenungi setiap hikmah yang bisa dipetik dari setiap langkah-langkah kaki selama perjalanan ini. Inilah perjalanan taqdir hidupku, terus bimbinglah di setiap gerak dan gerik langgakahku menuju-Mu ya Rob. Entah Tuhan mau memberi pelajaran apa, sampai-sampai aku ke Pulau Lombok ini. Di kapal ini aku menyebrang kira-kira 2 setengah jam-an sampai di pelabuhan NTB.
Sampai di perempatan kecamatan Utan, kami berdua turun dari bis. Kulihat jam di layar HP Androidku dah jam 4 pagi, warga sekitar sini tampak pulang dari mushola setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Kutaruh 2 kardus besar dan kecil yang isinya kardus besar isinya berambang untuk oleh-oleh dari Nganjuk dan kardus kecil isinya air mineral yang sudah di isi energi Do’a dari rumah Pak Bram. Baru lima menitan duduk menselonjorkan kaki di pos, udah ada jemputan motor Scoopy yang dinaiki adiknya bu Nikmah.
“Gantian ya naiknya,” kata adiknya Bu Nikmah sambil memindah kerdus.
“Aku duluan San… nggak papakan kamu di Pos nunggu di sini dulu??”
“Iya nggak papa…”
Sampai di tempat Bu Nikmah ini, Kulihat rumahnya model panggung dan di bawahnya di pakai buat ternak ayam dan angsa. Mbak Piah menyapa kami yang baru datang. Mbak Piah ini memperkenalkan diri bahwa dia kakaknya Bu Nikmah. Dan tempat yang kami tuju ini rumahnya Mbak Piah. Bu Nikmah tinggal di sini beserta anaknya yang kecil umur 3,5 tahun. Dan anaknya yang besar masih SD di pondokan di Jawa. Bu Nikmah sendiri sudah pernah didongkrak atau bahasa kerennya rukyah oleh Pak Bram waktu di Malang, jawa Timur.
“Kalo mau mandi, langsung aja ke kamar belakang di turun tangga…” kata bu Nikmah menghampiri kami yang sedang duduk-duduk di lantai kayu.
“Kamar tidurnya di sebelah itu, kalo mau istirahat”
“Ah di sini saja, istirahatnya nggak papa kok”
“Takutnya nggak kerasan di rumah ini, seperti kakaknya suaminya Nikmah ini, baru sampai di sini, kaget dindingnya kayu, katanya nggak mau tidur di rumah ini takut diintip orang” cerita Mbak Piah yang membuat Aku dan Pak Bram ketawa-ketawa.
“Iya memang keadaanya seperti ini rumah ini” timpal Bu Nikmah.
“Benar, nggak papa kok… Kami tidur di sini udah bagus, Aku dan Mas Hasan ini malah pernah tidur di alas hutan, kuburan, emperan toko itupun hampir satu bulan ketika perjalanan Lelaku Ngedan”. Terang Pak Bram menyakinkan Bu Nikmah, Mbak Piah dan suaminya Mbak Piah yang dari tadi menyimak pembicaraan.
“San, ke kamar mandi sana??” kata Pak Bram sambil menyulut Rokoknya dan masih nimbrung ngobrol sama Suami Mbak Piah.
Aku langsung wudhu, dan sholat subuhan. Gantian Sama Pak Bram. Habis subuhan kuteruskan tidurku sambil merehatkan kaki yang dari tadi ketekuk di bis. Jam 9 pagi aku terbangun. Kulihat Pak Bram sudah menikmati secangkir kopi hitam dan jajanan pasar isi gula merah.
“Mari makan dulu..” suami Bu Nikmah mengajak kami berdua makan siang.
“San nggak makan, ayo makan ” mulailah canda Pak Bram sambil ketawa-ketiwi, mengejekku yang lagi puasa.
“Mari Mas …” pamit makan Pak Jas, suami Mbak Piah.
“Iya, mangga…”
Kuselonjorkan kakiku, sambil mainin HP. Pak Bram kembali ke ruang tamu dan mulai menyulut rokok Mild-nya dengan korek api. Bu Nikmah menghampiri kami dan menceritakan keluh kesah kepada kami awal kisah sakitnya diguna-guna kiriman dukun sejak masih kerja di Arab Saudi.
“Aku nggak pernah jahat sama orang, kok tapi selalu di buat sakit sama orang” curhat Bu Nikmah kepada kami.
“Itu ujian untuk menaikkan kelas. Harus sabar. Kalo nggak ada ujian kelas, kita nggak akan naik-naik derajad kita di sisi Allah SWT.” Kata Pak Bram memberi semangat Bu Nikmah”
“Tapi aku bersyukur alhamdulillah ya, Allah, Engkau mengujiku agar selalu bersabar, nggak papa aku susah seperti ini aku ridho dengan ujian ini.”
“Aku selalu mimpi didatangi kakek-kakek di setiap mimpiku, apa di dalam tubuhku ini ada banyak jin kiriman dukun?” tanya Bu Nikmah penasaran.
“Ada kulihat nanti.. Didongkrak lagi aja,” kata Pak Bram memberi solusi.
“Oh kayak di Malang kemarin ya…”
“Iya… Nanti dukunnya di medium bisa.”
Setelah kami berbincang-bincang dengan Bu Nikmah. Bu Nikmah kembali ke belakang.
“San, tarik saja Jin penghuni rumah ini. Semua yang di atas dan di bawah rumah dan penguasa terkuat kecamatan Utan!”
“Siaaap”
Langsung ku tarik jin semua penghuni rumah Bu Nikmah dan lalu kuberi perintah untuk menjaga penghuni rumah ini dari dari serangan Dukun, tak lupa ku persenjatai dan ku tambah power jinnya.
“Eh ku tarik saja penguasa terkuat Kecamatan Utan ini,” kata Pak Bram sambil konsentrasi menarik sesuatu.
Dan penguasa terkuat di Kecamatan Utan ketarik di hadapan Pak Bram dan langsung di-Islamkan dan diberi perintah menjaga rumah ini dari serangan, dan sebagian prajuritnya di sebar di sekitar rumah ini.
Jam 3 sore, aku membantu Pak Bram mengisikan air Do’a yang kami bawa tadi ke botol Kratingdeng. Untuk pagaran Rumah Mbak Piah dan Rumah Bu Nikmah yang udah dibangun lokasinya masih satu desa dengan Rumah Mbak Piah, tapi Rumah Bu Nikmah ini dibiarkan kosong bertahun-tahun belum dihuni katanya menunggu suaminya pulang dari Arab Saudi. Dan takut kalo tinggal berdua sama Anaknya yang kecil disana. Karena di samping rumah itu tetangganya pernah disatroni perampok sampai tiga kali. Dan lakinya rumah itu sampai gelut bertengkar dengan perampok, alhamdulillah masih selamat.
Setelah selesai, kami di ajak melihat rumah yang dibangun Bu Nikmah, Rumahnya besar dan luas. Tinggal mempercantik saja. Terlihat gentengnya agak bocor, dan jendelanya ada yang pecah. Kuhitung kamarnya ada empat. Dan kamar mandinya dua. Di dalamnya ruangannya luas. Tapi sayang temboknya ada yang udah terkikis, karena memang rumahnya belum dihuni pemiliknya.
Ketika melihat genteng-genteng yang ditaruh di bawah. Tiba-tiba Pak Bram memintaku untuk mencabut serangan kiriman dukun yang ditujukan ke kakinya. Langsung kutarik cabut dari kaki Pak Bram. Sebenarnya dari semenjak perjalanan naik bus kaki Pak Bram udah terasa sakit dapat serangan. Ketika Pak Bram di bus bilang anggota tubuhnya terasa sakit. Langsung aku konsentrasi ku salurkan hawa energi mencabut serangan dukun dan kusalurkan energi penyembuh ke anggota tubuh Pak Bram terutama kaki dan perutnya selama perjalanan yang menjadi sasaran dukun. Itulah enaknya bersama tidak sendirian, saling bahu-membahu jihad melawan dukun.
Habis sholat magrib aku buka puasa. Sudah disiapkan oleh Mbak Piah. Dari mulai es Susu Marjan warnanya merah muda, tiga gelas dan dua cangkir kopi susu. Wah, makanan ikan laut, cumi-cumi bumbu pedas, mie, kulup bayam, sudah tertata rapi. Langsung kuambil nasi dan ambil cumi-cumi bumbu pedasnya, sedikit mie dan kulup. Ah, nikmatnya alhamdulillah.
“Ayo Mas, imbuh lagi makanya.. hehehe” kata Pak Jas senyam-senyum sambil melihatku.
Selama kami di sana hujannya makin deras. Dan listriknya dimatikan sama pusat, jika udah reda dinyalakan lagi, sampai 2 kali dimatikan pusat waktu kami lagi ngobrol-ngobrol sama Pak Jas dan Mbak Piah. Ketika hujanya tetap tidak reda malam itu, kucoba tanganku arahkan atap langit-langit rumah diiringi tangan Pak Bram juga, aku dan Pak Bram sama-sama konsentrasi menghentikan hujan deras ini.
Alhamdulillah seketika itu hujan langsung reda. Dan kami mulai mendongkrak atau bahasa gaul rukyah, seluruh anggota rumah ini. Pak Bram merukyah Bu Nikmah, aku sendiri merukyah Pak Jas yang katanya keluhannya tidak punya anak. Suaminya Bu Nikmah yang masih di Arab Saudi menyaksikan proses Rukyah “Dongkrak” Lewat Video Call HP.
Ganti selanjutnya anak yang kecil Bu Nikmah yang umur 3 tahun dan selanjutnya Mbak Piah. Selesei Rukyah, aku dan Pak Bram memedium Dukun. Pak Bram sebagai mediatornya. Kutarik dukun terkuat yang menyerang Bu Nikmah dan kumasukkan ke mediator. Kulihat sudah masuk ruh dukunnya.
“Udah masuk, hayo siapa ini?”
“Kamu siapa? Tarik aku sampai aku disini?”
“Hmm.. Kamu tahu siapa aku?”
“Nggak tahu.. Aku nggak kenal, Seenaknya main tarik-tarik hrr…hrmmm,” si mediator terlihat ekspresinya marah mengeram mau menyerangku.
Langsung aja nggak pakai lama ku buat tali ikatan mengikat ruh dukun, dan aku konsentrasi, tangan ku kuputar kubayangkan membuat ikatan mengikat ruh dukun di depanku. Terlihat si mediator jadi diam tak bisa bergerak. Tanganku kubuka, di depan mediator dan aku konsentrasi menyedot ruh dukun dan tanganku kugerakan seperti memegang erat sesuatu dari genggaman tangan. Langsung saja kulepaskan dalam bayangan. Saya lemparkan ruh dukun itu masuk ke neraka. Dan bluk terdengar suara geblak badannya Pak Bram ke belakang. Wah aku terkejut juga, melihat raga Pak Bram yang kujadikan mediator nggak bangun-bangun. Seperti ada yang menuntunku untuk menarik sisa Ruh dan sukma dukun, langsung ku kembalikan semua ruh dan sukma Pak Bram ke Tubuhnya. Alhamdulillah Pak Bram berangsur-angsur bangun.
“Bangun .. Hei.. bangun,” kataku di samping tubuh Pak Bram yang masih tergeletak di lantai. Dan Pak Bram mulai sadar bangkit bangun.
“Ruhnya dukun kamu remas dan hanyutkan ke sungai, San?”
“Aku lempar saja ke Neraka tadi”
“Oh… ”
Pak Jas dan Mbak Piah yang dari tadi menyaksikan hanya melongo matanya tanpa berkedip melihat kejadian tersebut. Sekarang gantian aku dijadikan mediator untuk memedium jin yang menyukai Mbak Piah. Sore tadi Mbak Piah cerita waktu ada Bu Nikmah juga, bahwa dia disukai jin, tiap malam hadir di mimpinya, dan jin itu di mimpi mau mengajak nikah Mbak Piah. Saking jengkelnya dia tiap malam dimimpi’in jin itu. Ketika jin itu hadir di mimpinya dia langsung memarahinya, namun karena jin itu terlanjur kasmaran, walaupun cintanya sudah ditolak Mbak Piah. Tetap aja dia masih sering hadir dimimpi.
Pak Bram menarik jin di belakang rumah dan memasukkan ke ragaku. Medium itu bisa full dan bisa 50% sadar jadi bisa dikontrol, seperti mediumisasi jin ini, aku bisa mengontrol dan masih bisa mendengar jelas pembicaraan pemediator. Kalau medium ruh dukun tadi itu mediumnya full, orang yang dirasuki bisa polah seenaknya mau junggakir-balik maupun berdiri buat gerakan mau silat terserah mengikuti tinggakah polah ruh yang di masukan ke mediator tadi.
“Siapa ini…?”
“Jin… “
“Kamu yang mengganggu Mbak Piah, tiap malam hadir di mimpinya??”
“Iya…”
“Kenapa kamu selalu mengganggu dengan hadir di mimpi?”
“Iya karena aku suka dia,” si mediator tanganya menunjuk Mbak Piah.
“Kamu masuk Islam ya?”
“Iya………”
“Ini kukasih ilmu sholat. Dzikir TQNS coba lihat di tanganmu” .
Si mediator melihat telapak tanganya.
“Oh ya… ya…”
“Ini ku kasih senjata pedang.”
Si mediator mengangkat tangan kanannya seperti memegang pedang yang besar.
“Sekarang kamu jangan ganggu Mbak Piah, jaga rumah ini dari serangan Dukun”
“Iya.. iya… siaap”
“Berapa temanmu di belakang Rumah??”
“Ada 900an…”
“Tarik ke sini… Ajak masuk Islam semua..!!”
Mediator mengangkat tangannya dan seperti menarik sesuatu digenggamannya, dan dihantamkan ke lantai. Lalu membuat lingkaran.
“Udah Islam semuanya temanmu?”
“Udah.. ”
“Sekarang suruh temanmu jaga rumah ini dari serangan Dukun!!”
“Iya … Iya… “
“Sekarang kamu boleh kembali..”
Pak Bram menarik Jin tersebut, dan mediator bangun. Selesai sudah masalah di rumah ini. Pak Bram lalu ke kamar mandi, aku sulut rokok Mildnya milik Pak Bram hehehe. Cari gratisan.
“Mas umurmu berapa?” tanya Pak Jas penasaran.
“Umurku masih 21 tahun Pak”
Pak Jas dan Mbak Piah Saling tengok satu sama lain keheranan.
“Mas ini semuda ini kok ilmunya tinggi?”
“Ya Alhamdulillah dari berkahnya ilmu dari Guruku”
“Pak Bram ini mirip kakaknya, Pak Jas. Persis tingginya, dari posturnya dan wajahnya..” kata Mbak Piah sambil melirik ke Pak Bram yang lagi sholat Isyak.
“Hahaha,” aku dan Pak Jas hanya ketawa-ketiwi.
“ini jajannya kok nggak dimakan?” tanya Mbak Piah sambil memandang jajanan pasar yang isinya gula.
“Jajannya nggak ada yang makan, Mas Hasankan puasa 7 bulan kasian kalo bolong puasanya, mengulangi lagi dari awal”. Kata Pak Bram sambil menuju kursi.
“Oh iya, ya.” Mbak Piah sambil mengambil lengser bekas minuman kopi yang habis.
Aku dan Pak Jas ngobrol sebentar. Dan kami pun tidur istirahat. Baru tidur sejaman. Aku terbangun ada dua orang mengantar susu kuda liar dan madu pesanan Bu Nikmah untuk oleh-oleh kami yang besok pagi pulang. Yang kutahu yang satu orang ini berasal dari Blitar, yang merantau di Sumbawa ikut saudaranya. Aku agak ngantuk jadi nggak konsen dengan pembicaraan Pak Bram dan kedua orang tersebut. Setelah dua orang itu pamit.
Bu Nikmah datang dari dapur, menghampiri kami yang sedang di ruang tamu.
“Aku kok nggak dibangunin waktu mediuman dukun tadi.”
“Mau bangunin tapi takut ganggu istirahat…” kata Pak Bram. Karena memang jin banyak yang keluar dari Bu Nikmah waktu di rukyah tadi. Sampai-sampai pusing kepala Bu Nikmah habis di-rukyah tadi. Bu Nikmah langsung pergi tidur selesai di-rukyah.
“Mas Hasan makan lagi ya sekarang nanti takutnya jam-3an ketiduran nggak ada yang bangunin,” kata Bu Nikmah menyuruh makan sahur.
“Iya sekarang aja, nanti sahurnya nggak usah”
“Mas Hasan ini kuatlah nggak sahur, la kan puasanya aja udah sampai tujuh bulan” timpal Pak Bram.
Malam itu aku makan itung-itung sebagai sahurku. Setelah makan aku teruskan tidur malamku yang terhenti. Untuk persiapan perjalanan panjang besok yang menanti.
Habis subuhan aku masukkan barang-barangku ke tas. Takut lupa ketinggalan. Mbak Piah seperti biasa pagi-pagi sudah mensuguhkan secangkir kopi buat Pak Bram.
“Gimana inih, tiga dukun yang masih tersisa dihabiskan dari sini aja?? Aku meminta pendapat ke Pak Bram.
“Nggak usah kita tarik di rumah aja… “ kata Pak Bram yang masih menikmati setiap sedotan Rokok Mildnya.
“Pak Bram katanya pulangnya hari Rabu, ini malah hari Selasa pagi. Jadi satu harian saja disini, barangkali mau di urungkan niat pulangnya,” kata Bu Nikmah menggandoli kepulangan kami yang begitu cepat.
“Gini lo, aku juga bagi-bagi waktu di sini dan di rumah, soalnya di rumah banyak yang membutuhkanku, ini HP ku dari tadi malam banyak yang menghubungi butuh pertolongan, dan juga kebetulan ayahku juga sedang sakit di rumah”
“Bukan nggak betahnya di sini atau kapok kesini?”
“Nggaklah. Kenapa kapok, aku udah biasa diserang dukun, Malah pernah diserang 70 dukun, kalo di sini mah nggak papa. Aku kuat,” terang Pak Bram.
“Oh berarti bukan nggak betahnya di rumah ini ya..?”
“Bukan”
“Ini nasi bungkus buat perjalanan nanti” kata Mbak piah sambil memberikan nasi bungkus di tas kresek.
Kamipun di antar ke perempatan Kecamatan Utan, menunggu travel yang mengantar kami ke Pol Bis Damri. Sekitar setengah jam kami menunggu Travel ini baru datang di perempatan. Kalo teringat baiknya Keluarga Bu Nikmah kepada kami juga semua akomodasi PP ke Lombok sudah ditanggung suami Bu Nikmah, jadi kami merasa bersalah pulang secepat ini, dan nggak enak merepotkan terus di rumah Mbak Piah, di samping itu sebenarnya jika kami berdua berlama-lama di sana takut banyak serangan yang ditujukan ke kami berdua dampaknya bisa ke keluarga Bu Nikmah dan keluarganya. Makanya Aku dan Pak Bram inisiatif cepat pulang.
Sampai di Pol Damri jam satuan, kemudian kami berangkat ke bandara Lombok Internasional Airpot (LIA) jam 4 sore. Tiba di bandara jam 5 sore. Keberangkatan pesawat kami menuju Bandara Juanda Surabaya Pukul 09.15 menit. Kami ya cuman duduk-duduk aja di bandara sambil lihat orang lalu lalang. Kuselonjorkan kakiku ku lihat ada satu keluarga duduk di samping duduk ku. Yang ku ketahui ini cewek masih muda. Kutaksir umurnya 25an lebih. Namanya Erin.
“Mbak mau kemana?'” tanyaku
“inih mau pulang ke Malaysia, habis liburan dari Bali selama 4 hari di lombok 3 hari”
“Oh, hehehe waktunya pulang kembali kerja”
“Iyah waktunya pulang, uang udah habis, waktunya cari lagi hahaha….”
“Hahaha….”
“Mau ke mana Pak?” Hmm.. masih muda gini aku dipanggil bapak-bapak.
“Mau pulang ke Jawa, di Kediri.”
“Aku pernah ke Jawa waktu preweding di Jogja, candi Prabanan juga,”
“Oh di Jogja, di Malboroo ya?”
“Iya… ”
“Ke Magelang, Candi Borobudur juga?”
“Iya ke sana juga. Datukku kan asalnya dari magelang”
“Sekarang masih hidup?”
“Ya sudah tiada, hahaha….”
“Ini anak kamu ya Mbak?”
“Iya anak kecil ini anakku yang satu ini”
“Coba anak kecil itu bahasa Malaysianya apa, San”? tanya Pak Bram.
“Anak Keeeciiil….”
“Bukan, tapi Budak Keciil”
Hahaha kami dan Erin ini tertawa-tawa kayak sahabat karib saja padahal baru bertemu.
“Kalau Mbak ini mau kemana?” tanya Erin ke cewek berkerudung pink.
“Mau ke Blitar”
“Blitar mana Mbak?” tanyaku penasaran.
“Blitar….. dekat ini….”
“Kok sendirian” tanya Erin.
“Iyah dijemput suami kok.”
“Hmm. Mbak umurnya berapa kok sudah menikah” tanya Erin.
“Iya 20 tahun”.
“Hah umur segitu udah kawin? Aku aja umur 25an hehehe. Tuaa,” tanya Erin keheranan.
“Namanya orang pesantren jadi umur segitu udah dinikahkan, adikku umur 17an malah udah nikahkan.”
“Oh…”
“Aku berangkat dulu” kata gadis pink tadi.
“Iyah… “ jawab Erin.
Lima menit kemudian, Erin dan keluarganya udah berangkat. “Duluan Pak”. Sambil senyum. “Iya”. Sambil menunggu buka, ku coba beli kopi di mesin otomatis. Kumasukkan uang 5 ribuan, uangnya kembali masuk, eh, ternyata kalau uangnya tidak melipat sedikit pun, baru mesinya mau menerima uangnya, hehehe.
Jam 09.20 pesawat berangkat dari Bandara Lombok, ketika di penerbangan ini ada terasa yang tidak seperti biasanya, waktu perjalanan penerbangan jadi memakan waktu lama, Pesawat goyang. Selama melintasi awan mendung dan petir kilat. Aku dan Pak Bram hanya berdoa dan konsentrasi untuk membuat perjalanan pesawat ini dijauhkan dari gangguan dan semua penumpang agar tetap selamat sampai tujuan bandara Juanda.
Tiba di bandara Juanda jam 10 malam, keluar bandara kami langsung cari bus Damri yang menuju ke Pol bis. Karena banyak sekali calo di mana-mana. Di pol bis kami cari warung soto dulu hehehe.. Di bandara Lombok tadi perutku hanya kuisi roti dan air mineral, baru di pol ini kuisi nasi. Setelah selesai makan kami cari bus jurusan Madiun. Sampai di Nganjuk di hari Rabu jam setengah 3 pagi.
Aku sekalian mandi di rumahnya Pak Bram, dan makan sahur di sana. Jam 3 pagi kuputuskan langsung pulang ke Kediri. Walaupun sebenarnya aku disuruh istirahat dulu, pulangnya nanti saja. Karena aku nggak suka merepotkan orang, aku pulang naik sepeda motor vega merahku, jalanan masih petang dan sepi, kesempatan ku pacu laju gas motorku sampai di rumah jam 4 pagi.
3
Kisah nyata ini, dialami oleh seorang pedagang sayuran asal kota Kerawang, Jawa Barat. Pria berbadan kurus yang akrab dipanggi Encing itu, tak menyangka akan mengalami hal aneh dalam hidupnya. Itu semua terjadi, kala Encing akan pergi berjualan.
Bekerja banting tulang sebagai seorang kuli dan seorang pedagang sayuran, harus aku jalani demi menghidupi istri dan kedua putraku yang kala itu masih kecil-kecil.
Terkadang berat harus aku hadapi semua ini. Waktu istirahatku tersita oleh semua pekerjaannku, tetapi walau pun begitu aku tetap bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikanku seorang isteri yang baik, dan juga telah mengkaruniai kami dua orang putra yang sehat dan tampan, yang begitu kami sayangi.
Udara pagi hari itu terasa menggigit dan berangin, walau pun jaket tebal sudah menempel di badanku, tetapi hawa lembab embun pagi masih terasa menusuk-nusuk disetiap lubang pori-pori kulitku.
Dengan mengendarai sepeda Ontel tua warisan dari ayahku, seperti biasa pagi itu aku pergi ke pasar untuk menjual dagangan sayuran, yang ku ambil dari kebunku.
Jalanan yang becek sisa hujan semalam, memaksaku untuk sedikit berhati-hati mengendarai sepeda. Hari masih gelap, dan jalanan yang aku lewati pun masih sepi oleh hilir mudik kendaraan.
Untuk melepas kepenatanku, sesekali aku bersiul dan bernyanyi lagu dangdut paforitku. Begitu asyiknya aku berdendang, Aku tak sadar bahwa didepanku sudah berada sebuah kereta kencana, yang ditunggangi oleh dua orang pria berbadan tegap dan besar.
Kereta yang diderek 4 ekor Kuda jantan itu, dihiasi sebuah patung berbentuk seekor ular berbahan Emas di kedua sisinya. Aku takjub melihat kereta itu, karena baru kali itu aku melihat sebuah kereta kencana yang bagus dan unik seperti itu.
“Bapak mau pergi kemana?” Tanya salah seorang kasir kereta kencana tersebut.
“Saya mau pergi ke pasar nak.” Jawabku, sambil memegangi sepeda.
Dengan senyuman kecil yang mereka lontarkan kepadaku, mereka pun berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Awalnya aku tak merasakan ada keanehan dari kereta tersebut. Tetapi aku heran kenapa suara langkah kuda itu tak terdengar di telingaku, saat aku menoleh kebelakang, dengan mata terbuka aku melihat kereta itu mengapung di udara.
Aku coba mengucek mataku untuk memastikan apa yang aku lihat saat itu.
“Mungkin aku salah liat” Ucapku dalam hati. Setelah jelas ku tatap, memang benar kereta itu melayang, berjalan di atas udara. Pandanganku tak lepas dari kereta kencana tersebut, tapi ketika mataku berkedip, kereta itu pun menghilang ditelan kegelapan malam.
Sungguh tak masuk di akal memang, hingga kini kejadian tersebut masih terngiang di benakku. Kejadian serupa pernah dialami oleh beberap orang tetanggaku. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, kedua pria yang menunggangi kereta kencana tersebut, adalah para punggawa dari sang penguasa pantai selatan, yang sering disebut-sebut bernama Ibu Ratu Kidul.
Konon, siapa saja yang berjumpa dengan para punggawa atau pun dengan sang ratu, akan mendapat keberentungan. Benar atau tidaknya pernyataan tersebut, aku sendiri tak begitu meyakininya. Aku serahkan semua hanya kepada Allah SWT.
4
Malam itu hujan rintik membasahi jalan setapak di pinggiran kota Jakarta. Terlihat genangan-genangan yang mengilap terkena cahaya lampu rumah penduduk yang saling berhimpitan. Malam itu udara dingin terasa sangat menusuk, bahkan baju hangat yang ku kenakan sama sekali tidak menghangatkan tubuhku.
Pukul 23.46 WIB.
Seperti biasa aku pulang dari tempat kerjaku. Suasana malam itu sangat hening, mungkin karena sudah malam dan sedikit gerimis pikirku jadi orang-orang lebih memilih berdiam diri di dalam rumah yang hangat. Akupun mempercepat langkah kakiku agar dapat segera sampai di tempat kosku. Hari yang sangat melelahkan, banyak sekali orang yang datang ke restoran tempatku bekerja hingga kakiku seolah tidak pernah berhenti melangkah. Aku hanya berpikir untuk segera sampai ke tempat kosku dan istirahat. Bahkan aku sama sekali tidak berpikir untuk membersihkan tubuhku terlebih dahulu.
Aku tinggal bersama temanku, Aryo, mahasiswa semester akhir yang juga merupakan teman seangkatanku sewaktu SMA. Kami berdua kuliah sambil bekerja, namun bulan lalu Aryo mengundurkan diri dari tempat kerjanya agar dapat lebih fokus dalam mengerjakan tugas akhir kuliahnya.
Sesampainya di tempat kos aku melihat Aryo sedang serius menonton televisi.
“Yo, udah makan belom? Gue bawa nasi goreng Mas Rasbo nih”, Aryo hanya diam dan terus menatap televisi di depannya.
Akupun beranjak ke dapur. Kos yang kami tempati berbentuk seperti rumah dengan beberapa kamar di dalamnya. Jika dilihat lebih mirip seperti rumah sewaan bahkan seperti rumah sendiri karena ini merupakan bangunan baru dan baru kita berdua yang mengisi kos tersebut.
Setelah mengambil piring dan sendok aku bergegas menuju ruang televisi. Aku duduk agak jauh dari televisi hingga Aryo terlihat membelakangiku. Aku memang terbiasa makan sambil menonton televisi.
Saat asik mengunyah tiba-tiba aku dikagetkan oleh Aryo yang tiba-tiba tertawa keras. Beberapa kali ia tertawa bahkan tawanya seperti seolah melengking memekakan telingaku.
“Heran, acara televsinya kan gak lucu tapi kok dia bisa ketawa sampai sebegitunya. Apa dia lagi chattingan sama gebetennya ya?” pikirku dalam hati.
Setelah menghabiskan makananku akupun bergegas menuju kamar. Akupun mengambil handphoneku yang sedari sore ada di tasku. Akupun bergegas masuk ke dalam kamar dan…
Sial!!! Aku melihat Aryo sedang meringkuk memeluk guling!
Tubuhku yang sudah sangat lelah semakin lemas karena pemandangan itu. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh getaran handphoneku dan terlihat notifikasi pesan.
“Bro, gue baru bisa balik besok, gue kehabisan tiket”
Aku melupakan satu hal, aku sedang sendiri di tempat kos karena Aryo sedang pulang ke rumah orang tuanya 3 hari yang lalu.
Akupun sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, bahkan untuk berteriak saja suaraku telah terkunci. Tiba-tiba kakiku semakin lemas ketika terdengar suara tawaan “Aryo” yang semakin keras dan melengking. Aku menoleh ke arah suara itu dan terlihat “Aryo” sedang membelakangiku dan perlahan kepalanya mulai berputar dengan senyuman yang sangat lebar dia berkata.
“Mana makanannya?”
5
Setiap malam aku selalu melihatnya berdiri di depan pintu kamarku. Terlihat bayangannya dari celah bawah pintu. Hanya diam, dia tidak melakukan apapun. Ku rasa dia sedang memperhatikanku dari lubang kunci. Melihat sampai aku lengah dan ia akan menyerangku sama dengan apa yang ia lakukan pada kedua orang tuaku. Aku hanya meringkuk di atas kasur dan menarik selimut sampai menutup kepala, terjaga hingga pagi.
“ Hei, sepertinya kau kurang tidur lagi”
“ Ya, aku memang tidak tidur sama sekali. Semalaman makhluk itu mengintaiku”
“ Makhluk itu lagi, sudah berapa kali aku bilang semua hanya khayalanmu saja”
“ Apakah kematian kedua orangtua ku juga hanya khayalan begitu?” Dengusku kesal
“ Bukan begitu maksudku tapi...hei kau mau kemana?”
Aku langsung meninggalkan Karin berjalan menuju kantin. Setiap kali aku membicarakan tentang makhluk itu Karin tidak pernah mempercayainya. Lantas pada siapa aku akan bercerita. Pada Rama ? ah tentu saja tidak. Padahal hanya dia lah satu-satuya orang yang dekat denganku.
Malam ini aku masuk ke kamar tepat jam 9. Aku begitu lelah, bagaimana tidak aku tidak tidur selama tiga hari berturut-turut. Makhluk itu telah membuatku tak berani untuk memejamkan mata. Ayah dan Ibu pasti merasakan juga hal yang sama sebelum kematian menjemputnya. Ku rebahkan tubuhku dan hendak memejamkan mata. Namun sekilas aku melihat bayangan di bawah pintu. Makhluk itu datang lagi. Desahan nafasnnya yang berat juga geramannya terdengar jelas dari balik pintu. Oh Tuhan sampai kapan ini akan berakhir. Apakah malam ini aku tidak tidur lagi. Aku tidak berani keluar kamar. Bahkan sekedar menelpon seseorang untuk meminta bantuan pun aku tak bisa. Aku takut ia tahu dan marah lalu menyerangku. Lagi pula siapa yang akan percaya denganku. Seperti biasa aku hanya membeku di atas kasur menunggu hingga pagi datang.
Empat hari sudah aku tidak tidur. Kepalaku terasa sangat pusing. Ku putuskan untuk tidak ke kampus dulu hari ini. Tok...tok terdegar suara ketukan pintu. Dengan langkah gontai aku berjalan menuruni tangga untuk membuka pintu.
“ Rene, kau kenapa? Kamu terlihat kacau sekali” Rama langsung memelukku erat.
“ Karin bilang kau sudah tidak tidur beberapa hari terakhir, ada apa sayang? Rama melepaskan pelukannya lalu menatapku dengan khawatir. Rama adalah pacarku. kita sudah menjalani hubugan selama sebulan. Tapi sebenarnya aku tidak memiliki perasaan apapun padanya. Aku hanya menganggapnya sebagai kakak.
“ Kalau aku ceritakan kepadamu apakah kau akan percaya? Dan bukankah Kau sudah tahu apa masalahku?”
“ Kau tidak tidur karena kau merasa ada sesuatu yang mengintaimu”
“ Bukan merasa tapi memang kenyataanya begitu!!”
“ Oke sayang, jika begitu tidurlah aku akan menjagamu di sini”
“ Kau janji?” Tanyaku memastikan.
“ ya, pergilah ke kamarmu dan tidur. Aku akan disini menemanimu sampai sore”
Ku rasa saatnya bagi ku untuk istirahat. Lagi pula ada Rama yang menemaniku di sini. Itu cukup memberiku sedikit rasa aman. Meskipun harus ku cek terlebih dahulu sebelum tidur apakah ada bayangan di bawah pintu. Sebenarnya makhluk itu hanya muncul pada malam hari saja, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur jika dalam keadaan sendiri. Jam menunjukkan pukul setengah lima sore saat aku bangun. Aku segera turun ke bawah dan melihat Rama sedang menonton tv.
“ Kau sudah bangun sayang? Bagaimana keadaanmu sekarang?”
“ Lebih baik” Jawabku singkat lalu duduk di sebelahnya.
“ Kenapa kamu nggak keluar dari rumah ini, kamu kan bisa ngekos”
“ Enggak Ram, aku sayang sama rumah ini. Begitu banyak kenangan yang terjadi di sini bersama ayah dan ibu”
“ Lalu bagaimana dengan makhluk yang sering mengganggumu itu?”
“ Entahlah, yang pasti aku akan berusaha untuk bertahan di sini”
“ Baiklah, hmm.. Ren sebenarnya aku sangat ingin menemanimu malam ini. Tapi masih ada pekerjaan yang harus ku selesaikan. Nanti jika aku sudah selesai aku akan kesini”
“ Enggak apa-apa Ram. Kamu sudah cukup menemaniku seharian tadi. Setelah kamu selesaikan pekerjaanmu istirahatlah. Aku akan baik-baik saja “ Aku tahu Rama sangat menyayangiku dan mengkhawatirkan keadaanku. Itu semua terlihat dari raut wajahnya saat hendak keluar dari rumahku.
Sebentar lagi malam, waktu yang mendebarkan akan segera tiba setelah selesai makan malam, aku segera masuk ke kamar. Ku rebahkan tubuhku di kasur sambil melihat di bawah celah pintu. Sepertinya makhluk itu belum muncul. Ku perhatikan terus dan ia kembali. Hawa dingin bercampur rasa takut menyelimutiku. Sebuah pikiran terlintas untuk mengakhiri semua ini. Ku ambil sebuah gunting di dalam laci. Aku akan keluar untuk membunuhnya.
Meskipun aku tak tahu makhluk apa itu dan apakah akan mempan membunuhnya dengan senjata manusia. yang ada di pikiranku saat ini adalah makhluk itu atau aku yang mati. Aku beranjak dari tempat tidurku berjalan perlahan. Ku dengar suara geramannya semakin jelas. Rupanya dia tahu aku akan melawannya. Sekuat tenaga aku lawan rasa takut itu bagaimanapun juga makhluk itu telah membunuh orangtuaku. Ku genggam gagang pintu dengan cepat kubuka pintu kamarku dan ku serang bertubi-tubi dengan gunting yang ke pegang. Darahnya membasahi kedua tanganku. Aku tersenyum puas.
Pagi ini para petugas berseragam mendatangi rumahku. Mereka memborgol kedua tanganku dan membawaku kedalam mobil. lalu mereka memasukankku kedalam sel tahanan. Sebenarnya aku masih bingung apa salahku. Mereka bilang aku di penjara karena membunuh orang. Ada juga seorang wanita paruh baya yang datang ke sel ku lalu menghujatku habis-habisan.
“ Dasar pembunuh! Mengapa kau tega membunuh putraku!! Sudah dari awal aku melarang putraku berhubungan denganmu dan juga untuk bertemu padamu malam itu.....”
Siapa yang membunuh anaknya, dasar wanita gila. Pada hari berikutnya Ku lihat Karin datang menjengukku. Ia sedang berbicara dengan salah seorang polisi. Lalu ia menatap iba ke arahku. Pada akhirnya aku terbebas dari makhluk itu. ya setidaknya aku aman di sini. Tapi di mana Rama sejak dua hari aku di tahan di sini aku tak pernah melihat dia menjengukku. Ah sudahlah.....
6
Kejadian ini saya alami 3 minggu lalu. Pada hari Minggu tepatnya, saya dan teman saya vacation ke Kota Tua Jakarta. Kami berangkat menggunakan kereta, dan tiba di Stasiun Kota. Hari mulai siang jam 11. Panas terik tidak menyurutkan masyarakat yang ingin menikmati Kota Tua.
Saya dan teman mendatangi taman Fatahillah, menakjubkan! Seperti di luar negeri. Dan keramaian pun tak menyurutkan “mereka” untuk menampakan diri. Entah kenapa, mata ini selalu tertuju pada restoran ayam cepat saji yang terkernal. Bagi yang sudah ke Kota pasti tahu namanya. Di bagian bawah gedung digunakan untuk restoran, sedangkan di bagian atas kosong.
Ada bagian jendela di lantai 2 yang tidak ada kacanya dan tidak ada daun jendela. Entah kenapa, seperti ada orang sedang berdiri di sana memperhatikan keramaian. Mungkin terasa terusik aku perhatikan sosok itu menoleh ke arah ku. Ya Allah, nooooo!!!
Pandangannya kosong tetapi ada rasa marah. Cepat-cepat aku mengalihkan mataku. Karena panasnya Jakarta, aku dan temanku memasuki museum sejarah Jakarta. Satu kata yang membuatku penasaran adalah, penjara bawah tanah.
Temanku ngga mau ikut ke penjara itu. Tapi entah kenapa seperti ada energi yang kuat menarik aku untuk masuk ke semua ruangan penjara. Ga tau kenapa, saat itu pengunjung ramai, tapi kenapa terasa sepi.
Pertama aku menuju ruang tahanan yg berada di sisi sebelah kiri. Sedih, gelap, pengap dan langit-langitnya begitu rendah. Di dalam ruangan penjara itu terdapat bulatan besi untuk borgol kaki. Dan aku lihat, di sisi kiri penjara ada orang yang sedang duduk.
Aku kira pengunjung, tapi kenapa ga pakai baju dan hanya mengenakan celana petani dan badannya kurus. Umurnya sekitar 20 tahunan.
Firasatku bekerja, ayo Nan cepat keluar! He’s not Human!
Dengan tergesa-gesa aku keluar dari ruangan penjara bawah tanah itu. Saat tiba di depan pintu penjara, aku mendengar suara laki-laki itu bicara “Apa salah saya sampai saya dibawa ke sini”!
Ga tau kenapa kaki ini sperti ada yang mendorong untuk masuk kembali ke dalam penjara. Benar saja, laki-laki itu masih duduk di situ dan dia langsung menatapku kembali. Dia bilang, “Apa salah saya!”
Terlihat raut wajah sedih tapi juga marah yang mendendam. Karena takut, aku lari kembali keluar. Dan yang aneh saat aku sampai diluar, kaki kiriku terasa berat. Untuk jalanpun harus aku seret-seret, dan terdengar bunyi rantai yang terseret.
Ya Allah, tolong saya, dalam hati. Semakin coba melangkah kaki ini semakin sakit dan berat juga terdengar suara rantai. Dengan terseret-seret aku segera menuju sekuriti yang sedang bertugas.
“Pak, tolong bantu saya,”
Sekuriti itu pun kebingungan.
“Ada apa Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
Lalu aku jawab,”Saya dari penjara bawah tanah Pak, kaki saya ada yang merantai”
Sekuriti itu pun langsung paham dan menghubungi temannnya. Aku pun dipapah menjauh dari penjara. Dan teman sekuriti yang tadi pun mengangkat kaki kiriku sambil membaca doa. Entah kenapa ada rasa sedih yang ga bisa diucap dan aku spontan menangis.
Tapi tiba-tiba aku seperti kembali ke masa lalu. Ada seorang anak muda dibawa oleh pasukan Belanda dan dijebloskan ke dalam penjara. Bukan hanya dia. Ada beberapa orang juga di sana. Penuh dan sesak. Pemuda itu meninggal dan tidak dimakamkan dengan selayaknya.
Tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundakku…..
Ternyata bapak sekuriti. Saat aku lihat sekeliling, semua sudah hilang. Kakiku mulai terasa ringan. Aku ucapkan terima kasih pada sekuriti yang sudah membantuku.
Aku menarik kesimpulan, bahwa “dia”ingin menyampaikan pesan, kenapa gak salah tetapi dipenjara dan ingin dikebumikan dengan layak.
7
Tak henti gadis kecil itu berlari hingga tak sadar ia telah melewati sebuah sungai kecil,saat ia mulai sadar melewati sungai itu tiba’ dia melihat sebuah peti kecil berwarna coklat keemasan terbawa arus sungai. Kemudian ia mencoba mengambil peti tersebut dengan tongkat.saat dia berhasil mengambil benda itu dengan penasaran dibukanya peti itu perlahan.Terlihatlah sebuah boneka lucu dan secarik kertas bertuliskan “Ajak aku’ dan gambar anak panah menuju hutan”. Tanpa berfikir lagi gadis itu segera menutup kembali peti itu dan berlari menuju tempat asalnya.
Ketika dia mulai lelah berlari, ada suara yang memanggil gadis itu “Adel...” begitulah suara itu yang menyebut nama gadis kecil itu.Di liahtnya sosok yang mendekatinya dan sambil melambaikan tangan, namun orang tersebut adalah sosok yang di kenalnya. ”Adel...kemana saja kamu aku dan joni mencarimu kemana-mana” katanya. “Lea, joni”kataku menjawab dengan berteriak. ”Maafkan aku,,tanpa sadar aku berlari sampai ke sungai dan menemukan benda ini” kata gadis itu dan memperlihatkan isi di dalam peti tersebut. “wah cantik sekali bonekanya” kata Lea. “idih boneka udik kayak gitu di bilang cantik sih.sana buang” sinis joni. “gak mau” kata gadis kecil itu kmudian berlari kembali meninggalkan teman-temannya.
Malam harinya gadis itu mengeluarkan isi dari peti tersebut, dan kmudian dia menemuka sbuah sisir yang terukir nama “Maria”. “Mungkin ini boneka milik seorang gadis namanya Maria. Tapi kenapa dia membuang boneka ini?” Kata gadis itu dengan heran. Kemudian dia melihat kertas yang pernah ia lihat, dia terkejut saat dia melihat gambar anak panahnya berubah 180^ ke arah kanan yang mengarah ke hutan yang di datangi tadi.
Ketika dia tertidur tiba-tiba dia bermimpi. Di dalam mimpinya dia bertemu seorang gadis kecil yang sebaya dengannya dan gadis itu menunjuk kearah boneka yang di bawah Adel. “apa? Kamu mau boneka ini?” tanya Adel ke gadis itu. Namun gadis itu tak menjawab hanya mengganggukkan kepala. “ini ku berikan padamu “ kata adel dengan memberikan peti dan bonekanya. “Siapa namamu?”. Gadis itu tetap tak menjawab, dan kemudian membuka peeti itu, mengambil sisir dan memberikan kepada adel. “apa? Ini sisirmu? Jadi namamu Maria dan itu boneka milikmu?” tanya adel.
Gadis itu hanya mengangguk dan kemudian memegang tangan Adel dan mengajaknya ke suatu tempat. “kita mau kemana?” tanya adel heran. Gadis itu kemudian menunjuk ke suatu rumah dan Adel tidak asing dengan rumah itu. “itu rumahmu?”. Gadis itu mengangguk. “ya sudah kamu cepetan pulang.nanti orang tuamu mencari”.Gadis itu berjalan menuju rumah itu dan kemudian masuk. Di perjalan saat adel pulang ada perasaan aneh,kemudian dia melihat sebuah peti yang sama persis seperti peti yang pernah dia temukan. “Kenapa dia membuangnya lagi?” pikir Adel. Kemudian dia mencoba mengambil peti itu. Saat telah terambil di bukanya peti itu,,bukan sebuah bonek yang dia temukan namun hanya secarik kertas yang bertuliskan “Terima Kasih”. Saat dia membaca tlisan itu tiba-tiba tulisan itu menjadi tulisan darah yang mengalir terus tanpa henti hingga membasah bajunya dan di suangai itu juga berubah menjadi darah yang mengalir deras. Sehingga membuat adel ketakutan dan menangis.
Tiba-tiba ada sosok tangan yang memegang pundaknya dan memanggil namanya. “Adel...Adel...bangun”kata suara itu.Lalu Adel terbangun dari mimpi itu.Namun nafas adel tersengal-sengal. Ternyata itu adalah tangan ibunya yang membangunkan adel, “Kamu kenapa adel,,Kamu mimpi buruk” tanya ibunya. “iya ma. Mimpinya serem ma” kata adel yang masih dengan nafas yang tidak teratur. Kemudian ia bangun dan di lihatnya boneka itu,namun boneka hilang beserta petinya.ia semakin heran. “nanti ikut ibu kerumah temen ibu ya,,anak teman ibu ada yang meninggal.”kata ibu adel. “Siapa nama anak teman ibu? “tanya adel di sela-sela nafasnya yang belum teratur. “Maria “jawab ibu. “apa Maria bu. Kenapa dia meninggal bu?”tanya adel. ”Katanya dia terbawa arus sungai .saat dia bermain-main di sungai itu.trus mayatnya di temukan dii hutan” Kata ibu.
Setibanya di rumah teman ibu adel. Adel melihat di sekeliling rumah, terlhat foto seorang gadis yang mirip dengan yang ada di mimpinya. “Ternyata itu benar Maria yang ada di mimpiku” pikirnya. Lalu tiba-tiba dia melihat sebuah benda yang benar-benar tak asing lagi. Yaitu sebuah peti yang pernah dia temukan. “Terrnyata tadi malam yang mengambil boneka itu benar-benar maria”.
8
Ini adalah Cerita tentang Empat Sekawan (Doni, Nita, Ardi dan Lita) yang sedang ingin berlibur.
“Ayo cepat lah, Nanti Kita tertinggal bus…!” marah Ardi terhadap empat temannya. Keempat Teman Ardi langsung berlari ke teras rumah. “Sabar dong di, aku kan sedang bersiap-siap untuk liburan kita…!” kata Nita dengan muka marah. “Kamu tuh buru-buru banget Di, Kangen sama Kampungmu ya, hahahaha” kata Dino menertawai Ardi. “Bukan Kangen tau, tapi gue udah gak sabar aja” jawab Ardi. “sama aja kali Di, Yaudah cepat kita berangkat sebelum Kesiangan” Jawab Lita yang sudah sangat siap.
Dengan hati yang senang Empat Sekawan menunggu bus di pinggir jalan. Tapi bus yang ditunggu tidak kunjung datang. “busyet dah lama banget kita menunggu di sini tapi bus nya gak dateng-dateng juga, kita udah 1 jam nunggu disini” keluhan Nita. “sabar lah nit nanti busnya juga datang kok..” jawab Ardi. Setelah menunggu lam akhirnya bus yang dari tadi di tunggu dating juga. “nih dia busnya..” Ardi menstop bus. “Dek pada mau kemana nih..?” tanya si supir bus. “mau ke desa Bandulan pak..” jawab Ardi. Akhirnya Empat Sekawan berangkat.
Di dalam bus mereka saling bercanda. “hi hi hii hi..” Ardi bersikap layaknya pocong dan menakuti Nita. “aaaaarrrrrrgghhhh!!!” Nita dengan takut berteriak dan menampar Ardi yang sedang menjahili Nita. “apa-apaan sih kamu main tampar aja, sakit tau Nit” Ardi yang telah kesakitan menahan sakit yang bekas tamparan Nita. “habisnya kamu jahil gitu kok, tanggung tuh akibatnya. Hahahaha” Nita tertawa bahagia. “Sudah – sudah jangan berantem terus, mending kita istirahat Saja” usul Doni. Mereka pun beristirahat.
“Dek Dek..” kondektur bus membangunkan. “ayo bangun, kalian turun disini saja, bus ini mogok”. Mereka pun turun “haduh masih jauh gak Di?” Tanya Nita kepada Ardi. “masih 3 km lagi nih”. Mereka berjalan dan Ardi mempunyai usul “heh gimana kalo kita lewat hutan sebrang saja biar lebih cepet”. Doni, Nita dan Lita pun berfikir kembali. “baiklah kita lewat hutan saja, dari pada gempor”. Akhirnya mereka ber empat masuk kedalam hutan yang menyeramkan itu
Setelah berjalan cukup lama mereka ber empat baru menyadari kalau sedang tersesat. “waduh Kok dari tadi muter muter aja kita, loe tau jalannya gak Di?” Tanya Doni kepada Ardi. “Dasar sok tau loe Di, sekarang kan kita jadi tersesat kayak gini” Nita menyalahkan Ardi yang telah membuatnya tersesat seperti ini. Sekian lama mereka berjalan, mereka juga mulai lelah dan Lita mulai Putus asa akan kejadian ini “Mati aja kita tersesat seperti ini” Lita pun menagis. Mereka ber empat sudah sangat pasrah dan tak tau apa yang mau dilakukan
Semua Sudah penuh wajah pasrah dan bingung. “haduh aku laper nih, gimana kita makan dulu saja” usul dari Nita pun diterima oleh temannya. Selesai makan mereka lanjut berjalan kembali.”eh Don jangan makan keripik terus dong loe” kesal Ardi. “lah gue laper kok kalau mau ya beli sendiri sono sama setan di hutan, hahahaha” Dino menetawai Ardi. “loe aja sana yang beli, gue ogah banget dah” jawab Ardi dengan kesal.
Sudah 1 jam mereka berkeliling terus dan pada akhirnya Doni mendengar suara berisik di semak – semak “apaan tuh goyang goyang di semak-semak?” Doni pun mendekati asal gerakan dan suara itu. Ternyata hanya sebuah tupai saja “ huh dasar tuh tupai bikin merinding aja” cemas Doni. Mereka pun berjalan kembali, akan teteapi Doni malah merinding. “GILA dah gue kok jadi merinding gini” Doni berkata dalam hati. “kenapa loe Doni kok jadi pucet gitu muka loe?” Tanya Lita. Doni hanya melanjutkan perjalanan tanpa sepatah kata pun. “Makin merinding aja gue nih, apa ada setan yang ngikutin gue?” tanya Doni pada diri sendiri. Ardi menanyakan apa yang terjadi pada Doni. Doni menjawab “gue dari tadi Merinding banget nih Di”. Ardi pun hanya tertawa “hahaha hayo hayo ada setan yang ngikutin loe tuh”. Doni pun semakin takut dan wajahnya makin pucat tampak seperti tak ada darah. “Heh tunggu sebentar..” Doni menyuruh temannya berhenti. “kenapa loe Don?” Tanya Nita. Ternyata Doni mau buang air kecil. “hahaha awas Don ada setan” Jahil Ardi. Doni Berlari ke arah pohon besar dan menyeramkan. “busyet dah nih pohon gue liatin makin serem aja” . Setelah Doni Selesai. Doni melihat Hantu Tanpa Kepala sedang di atas pohon. “whaaaaaaa !! se se se seeettttaaaannnnnnnn!!” Doni pun Berlari sangat cepat. Setelah sampai di tempat teman temannya menunggu, Doni pun menceritakan apa yang di lihat tadi. “hah!! Yang benar loe Don” Kaget Lita mendengar semua Cerita Doni. “waah gila nih Hutan diem diem punya penunggunya” Ardi cemas akan apa yang terjadi.
Semuanya berjalan dengan membaca doa karena takut Hantunya nanti dateng lagi. Tiba-tiba Ardi melihat ada yang terbang daro pohon ke pohon yang lain “Ya Allah Selamatkan lah Hamba Mu ini” Ardi semakin takut dan memejamkan mata. Setelah Ardi membuka mata, ternyata Ardi terpisah oleh 3 temannya “Gila!! Gue malah sendirian gini, mending tadi gak merem dah”. Ardi berjalan terus dengan wajah pucat, tiba tiba ardi dicolek oleh seseorang, saat Ardi melihat siapa yang mencoleknya “wuuaaaahhhhh!! Setaaaaaannnn!!!” Ardi hanya berjongkok dan memejamkan mata kembali. “heh heh Di kenapa loe bilang gue setan?” Tanya Doni. Ternyata yang tadi mencolek adalah Doni temannya sendiri. “dasar loe ngagetin gue aja” kesal ardi. “makanya jalan jangan cepat cepat, gue panggilin dari tadi malah makin cepat jalanya” Doni menertawakan Ardi yang sangat ketakutan. Mereka melanjutkan perjalanan hingga jam 9 malam tidak kunjung ketemu jalan keluar hutan. “gara gara tuh setan kita makin tersesat aja nih” Nita bercakap cakap dengan Lita, Nita mulai pusing dan tiba tiba Nita pun terjatuh, “heh nit bangun bangun” Doni mencoba menyadarkan Nita. Karena Kondisi Nita memperhatinkan, Doni, Lita dan Ardi berhenti sejenak sampai Nita terbangun.
Sudah jam 1 jam dan akhirnya Nita pun tersadar. “Nit loe gapapa kan?” Ardi dan kawan kawan cemas akan keadaan Nita, Tapi Nita bilang sudah tidak apa. “sudahlah Nit kalau masih pusing mendingan kamu istirahat dulu saja” kata Lita. Nita menjawab “aku sudah tidak apa apa kok, ayo kita jalan lagi siapa tahu jalan keluarnya ketemu”. Mereka pun jalan kembali mencari jalan keluar.
“Jalan mulu pegel nih kaki gue, apalagi tadi udah lari-larian dikejar setan” Doni makin kesal tidak temukan jalan keluar. Doni duduk sebentar di sebuah batu besar “heh Don Ngapain loe duduk di sono, mau di tinggal loe” Ardi menakut-takuti Doni. Doni pun cepat bergegas pergi kembali. “eh loe nyadar gak kenapa tuh setan ngikutin kita terus?” Tanya Lita pada ke 3 temannya. “mungkin naksir sama loe kali Lit, hahaha” gurauan Ardi membuat Lita kesal. Semakin lama malam makin mencekam yang membuat semakin takut. Nita berfikir kalau dia di ikuti seseorang, Nita makin risih apa yang dirasakan dari tadi. “kenapa kamu nit kok makin pucet aja?” Tanya Lita. Nita tidak menjawab sama sekali pertanyaan Lita tadi dan terus berjalan. “heh nit kok bengong gitu, Sadar sadar!!” Lita menepuk pundak Nita yang dari tadi berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Nita pun kaget “kenapa aku di kagetin?” Tanya Nita. Lita menceritakan kalau dari tadi Nita bengong seperti orang kesurupan. Nita pun kaget karna tidak sadar kalau dari tadi di ajak ngobrol Lita.
Setelah lelah berjalan, Doni melihat ada seseorang berkain hitam di depan pohon besar. Doni berhenti dan melihatnya lebih jelas lagi, Ternyata itu Hantu Kepala Buntung yang dari tadi menakuti Doni, Lita, Ardi dan Nita. Mereka ber empat lari sampai terjatuh-jatuh. Tak lama terlihat sebuah desa terpencil, mereka ber empat pun pergi ke arah desa. Ada sesorang yang bertanya pada Doni, Nita, Ardi dan Lita “kalian kenapa ada di sini? Apa kalian bertemu Hantu tanpa kepala?” seseorang itu ternyata penduduk desa terpenceil. “kami tersesat pak dan kami memang tadi sempat bertemu hantu tanpa kepala berulang kali” Jawab Doni. Penduduk desa itu menceritakan tentang hantu tanpa kepala tersebut “sebenarnya Hantu itu tidak jahat, dia hanya ingin membantu kalian menemukan jalan keluar, memang hantu itu sangat menyeramkan, tapi hantu itu sangat baik, hantu itu selalu membantu orang tersesat, bila yang mau ditolong melarikan diri, hantu itu akan selalu mengikuti sampai tiba di desa ini”.
Penduduk itu menceritakan semua apa yang terjadi dan Empat Sekawan pun menginap di desa itu. Saat pagi, mereka di antar ke jalan keluar hutan tersebut dan Mereka melanjutkan perjalanan untuk berlibur ke Desa Bandulan
9
Ya, kalian semua bisa membayangkannya. Terbangun di tengah malam dan mengintip keluar jendela dan melihat mobil berlalu lalang. Atau, jika benar-benar larut malam, di saat kalian tidak melihat apa pun kecuali jalan yang kosong dan gelap.
Jika kalian beruntung, maka harusnya di depan rumah ada lampu penerang. Untuk menerangi jalan bagi karyawan-karyawan yang pulang larut malam, atau sesekali jiwa yang hilang. Sedangkan saya, saya tidak beruntung…
Suatu malam saya terbangun dan bagaikan anak-anak hiperaktif yang tidak bisa langsung tertidur, saya menatap ke luar jendela dan mengawasi jalanan. Saya bilang mengawasi karena saya sepertinya tidak pernah menatap ketika saya masih kecil. Menatap hanya terpaku pada sesuatu tanpa memproses apa yang dilihat. Di lain sisi, mengawasi berarti mencoba menganalisa sesuatu yang berada di pandangan.
Saya menyukai pemandangan jendela kamar saya, karena posisi rumah saya berada di ujung jalanan yang melengkung ke arah belokan. Jendela saya berada di lantai pertama dan menghadap ke jalanan. Mobil-mobil yang berlalu-lalang tidak pernah mengganggu saya. Namun kali ini, sesuatu telah mengusik saya.
Ketika saya sedang mengawasi jalan, saya melihat sesuatu yang aneh. Biasanya deretan lampu-lampu penerang jalan akan menyinari sepanjang jalan menyinari aspal hitam, untuk mewanti-wanti pengemudi adanya kelokan di depan rumah saya itu. Namun kali ini berbeda. Awalnya, saya tidak paham, namun kemudian saya melihatnya.
Sekitar dua lampu jalan di bawah sana, ada seseorang yang berdiri di bawah lampu. Seolah-olah dia ingin melarikan diri dari kegelapan dan mendapat cahaya jingga pucat. Punggungnya membelakangi saya, dia melihat jalan, sama seperti yang saya lakukan. Ini lumayan aneh soalnya ada halte bus di ujung jalan yang biasanya orang-orang dapat menunggu di situ dan juga sekaligus tempat berteduh dari hujan.
Tapi, pria ini hanya berdiri di bawah cahaya dan tidak melakukan apa-apa selain… menatap. Dia mengenakan topi fedora hitam dan jas dengan sepatu mengkilap yang cocok dalam cahaya lampu. Yang lebih aneh lagi adalah dia tidak membawa apapun dengannya sehingga aku tidak tahu apakah dia sedang menunggu seseorang atau hanya bersikap aneh.
Saya bertanya-tanya sekarang jam berapa dan dengan cepat melihat jam. Ternyata sudah 2:03. Ini membuat saya sedikit takut ketika melihat orang asing di jalan entah menunggu seseorang ataupun tidak melakukan apa-apa. Aku memperhatikannya dengan seksama, menunggunya bergerak atau melakukan sesuatu, apa saja!
Tapi dia tidak melakukan apa-apa. Saya harus memperhatikannya hampir selama setengah jam atau lebih.
Waktu itu saya sudah ingin menyerah dan berbalik untuk ke tempat tidur ketika, namun tiba-tiba ada gerakan! Sebuah mobil datang. Ini semakin aneh, tetapi seperti yang saya katakan sebelumnya, orang-orang kadang-kadang tersesat atau bekerja larut malam di areal sini. Dan kemudian sesuatu terjadi, kejadian yang membuat mengapa kalian sedang membaca cerita ini sekarang.
Mobil itu datang dan berhenti di tengah jalan, tepat di samping pria itu. Lampu depan mobil dimatikan sehingga pengemudi tidak akan mengusik siapa pun. Pintu mobil di sisi terbuka untuk pria misterius itu masuk. Namun sebelum dia berjalan masuk, dia tiba-tiba berbalik dan menatap saya.
Saya yakin dia tahu saya sedang mengawasinya! Dia menatap lurus ke arahku.
Memang, posisi dia terlalu jauh bagi saya untuk melihat wajahnya dengan jelas, tetapi dia cukup dekat untuk saya bisa mengatakan bahwa dia sedang menatap ke arah saya! Aku cepat-cepat merunduk dan bersembunyi di balik selimut. Sesuai dengan mindset anak kecil pada umumnya, saya waktu itu berasumsi bahwa berlindung dalam selimut bisa terhindar dari segala monster jahat yang mencoba untuk mendatangi saya.
Saya mendengar pintu mobil dibanting dan mesin perlahan-lahan berderum. Semakin lama suara mobil semakin keras terdengar mobil sedang mendekati rumah saya. Aku sangat gugup dan jantungku berdegup kencang. Lalu aku mendengar suara yang menghentikan jantungku.
Tepat di luar rumah saya, saya mendengar pintu mobil ditutup. Kemudian suara mesin mobil. Mereka jelas-jelas menurunkan pria di luar rumah saya. Ini pasti gara-gara saya melihat kegiatan mereka!
Aku ingin sekali keluar dari selimut utnunk melihat apa yang terjadi di luar situ.
Akhirnya setelah berhasil mengumpulkan segenap keberanian, sayapun melakukannya. Ketika saya melihat ke luar, saya baru bisa bernapas lega karena tidak ada siapa-siapa di luar sana.
Keesokan harinya, saya memberi tahu ora
ng tua saya tentang hal itu. Tidak seperti di film horor, mereka justru percaya ucapan saya. “Mungkin hanya urusan bisnis,” kata ayahku sambil mengunyah roti panggang.
Saya merasa lega lagi untuk memiliki orang tua saya di sisi saya. Namun, setiap malam, sebelum saya pergi tidur, saya memeriksa di luar jendela saya untuk melihat apakah pria misterius itu masih ada di sana. Dia masih ada.
Setiap malam, di bawah lampu jalan itu dia menunggu mobil datang untuk menjemputnya. Dan setiap kali sebelum naik ke mobil, dia berbalik dan menatapku.
Saya telah pindah dari daerah itu sejak, tetapi hari ini saya masih bertanya-tanya siapa pria itu yang sedang dia lakukan di bawah lampu jalan itu.