Jumat, 19 Januari 2024

harry potter D

ingin memeriksanya terlebih dahulu. Kalian tidak punya hak!” suaranya 
bergetar. “Kami punya,” kata Scrimgeour. “Dekrit Hak Penyitaan memberi 
Kementrian hak untuk 
menyita barang, bila…” 
“Hukum itu ditujukan untuk menghentikan para penyihir yang memindahkan 
artifak Ilmu 
Hitam,” kata Hermione, “dan Kementrian seharusnya punya bukti kuat untuk 
menyita barang! Kau pikir Dumbledore akan memberikan barang yang dikutuk 
pada kami?” “Apakah kau berencana bekerja di Departemen Hukum Sihir, 
Miss Granger?” tanya 
Scrimgeour. 
“Tentu tidak,” jawab Hermione. “Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang 
benar!” 
Ron tertawa. Mata Scrimgeour menatap Ron lalu kembali ke Harry saat Harry 
berbicara. 
“Jadi, mengapa kau memutuskan untuk memberikannya pada kami sekarang? 
Tidak punya alasan lain untuk bisa menahannya?” 
“Bukan, karena batas tiga puluh satu hari mereka sudah habis,” kata Hermione. 
“Mereka tidak boleh menyimpan suatu benda lebih lama kalau memang tidak 
terbukti berbahaya.” 
“Apakah kau dekat dengan Dumbledore, Ronald?” tanya Scrimgeour 
mengacuhkan Hermione. Ron terkejut. 
“Aku? Tidak – tidak juga… biasanya Harry yang…” 
Kata Ron sambil menoleh ke arah Harry dan Hermione yang memberinya tatapan 
’Diam’! Tapi sudah terlambat. Scrimgeour sudah mendapatkan apa yang ingin ia 
dengar. Ia langsung menyambar jawaban Ron seperti seekor burung yang sudah 
mengincar mangsanya. 
“Kalau kau tidak terlalu dekat dengan Dumbledore, apa yang kau katakan bila 
kau ada dalam wasiatnya? Dia telah memilih beberapa orang untuk menerima 
barang peninggalannya. Begitu banyak peninggalannya – perpustakaan pribadi, 
benda-benda sihir, barang-barang pribadi – yang tertinggal di Hogwarts. Menurutmu, mengapa kau menjadi salah satu penerimanya?” 

“Aku… entahlah,” kata Ron, “aku… saat aku bilang kami tidak terlalu 

dekat… maksudku, aku rasa dia cukup menyukaiku…” 

“Jangan merendah, Ron!” kata Hermione. “Dumbledore benar-benar 

menyukaimu.” 

Tentu saja itu tidak benar. Setahu Harry, Ron dan Dumbledore tidak pernah 

begitu dekat bahkan mereka hampir tidak pernah saling kontak. Namun, 

Scrimgeour tidak peduli. Ia mengeluarkan sebuah tas dari balik jubahnya, tas 

yang ukurannya sedikit lebih besar dari kantung pemberian Hagrid untuk Harry. 

Lalu ia mengeluarkan segulung perkamen, membukanya dan membacanya. 

“’Peninggalan dan Wasiat Terakhir Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore’... 

ah, ini dia… ‘untuk Ronald Bilius Weasley, aku berikan Deluminator, semoga dia 

akan mengingatku saat menggunakannya.’“ 

Scrimgeour mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Harry pernah melihatnya. 

Sebuah korek perak yang dapat menyedot cahaya dan mengembalikannya lagi 

dalam sekali tekan. Scrimgeour menyerahkannya pada Ron yang langsung 

memainkannya dengan tangan, tertegun. 

“Sebuah benda yang berharga,” kata Scrimgeour, memperhatikan Ron. “Juga 

unik. Jelas Dumbledore membuatnya sendiri. Mengapa ia memberimu barang 

yang begitu langka?” 

Ron menggelengkan kepalanya, kebingungan. 

“Dumbledore pasti punya ribuan murid,” lanjut Scrimgeour. “Tapi yang dia 

hanya kalian bertiga. Tahukah kalian? Kira-kira Dumbledore ingin kau 

melakukan apa dengan Deluminator itu, Mr. Weasley?” 

“Memadamkan lampu, kurasa,” gumam Ron. “Memang aku bisa melakukan 

hal lainnya?” 

Jelas Scrimgeour pun tak tahu. Setelah memperhatikan Ron beberapa saat, ia 

kembali ke surat wasiat Dumbledore. 

“’Untuk Miss Hermione Jean Granger, aku berikan The Tales of Beedle the 

Bard, semoga ia terhibur dan dapat belajar darinya.’“ 

Kali ini Scrimgeour mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam tasnya. Buku itu 

tampak sama tuanya dengan Secrets of the Darkest Art. Sampulnya lusuh dan 

banyak bagian yang boncel. Hermione mengambilnya dari Scrimgeour tanpa
berkata apa-apa. Hermione meletakkan buku itu dipangkuannya dan terus 

menatapnya. Harry melihat judulnya tertulis dalam huruf Rune. Lalu terlihat 

tetesan air mata membasahi simbol-simbol itu. 

“Mengapa ia memberimu buku itu, nona Granger?” tanya Scrimgeour. 

“Dia… dia tahu aku suka buku,” isak Hermione sambil menghapus air mata 

dengan lengan bajunya. 

“Tapi mengapa buku itu?” 

“Aku tidak tahu. Mungkin dia pikir aku akan suka.” 

“Apakah kau pernah berdiskusi tentang kode atau pesan rahasia dengan 

Dumbledore?” 

“Tidak pernah,” kata Hermione yang masih mengapus air mata dengan lengan 

baju. “Dan bila dalam tiga puluh satu hari Kementrian tidak bisa menemukan 

kode rahasia, aku rasa aku pun tidak bisa.” 

“’Untuk Harry James Potter,’“ baca Scrimgeour, dan Harry dipenuhi 

merasa kegembiraan, ”’aku berikan Snitch yang ditangkap dalam 

pertandingan Quidditch pertamanya di Hogwarts, sebagai tanda 

penghargaan atas bakat dan usahanya.’“ 

Lalu Scrimgeour mengeluarkan sebuah bola emas kecil seukuran kacang 

walnut. Sayap peraknya bergetar lemah. Sekarang yang Harry rasakan 

hanyalah kegembiraan yang memudar. 

“Mengapa ia memberimu Snitch ini?” tanya Scrimgeour. 

“Tidak tahu,” kata Harry. “Seperti yang telah kau baca, kurasa… penghargaan 

bila kau… berusaha dan apa tadi itu.” 

“Jadi, menurutmu ini tanda mata belaka?” 

“Sepertinya,” kata Harry. “Memang ada yang lain?” 

“Jelaskan padaku,” kata Scrimgeour, menggeser kursinya mendekat ke 

sofa. Di luar malam sudah benar-benar turun. Dari jendela terlihat tenda 

putih jauh di balik pagar tanaman. 

“Kue ulang tahunmu berbentuk Snitch,” kata Scrimgeour pada Harry. 

“Jelaskan!” 

Hermione tertawa mengejek. 
“Oh, itu karena Harry memang seorang Seeker hebat, jelas sekali kan,” kata 

Hermione. “Mungkin ada pesan rahasia dari Dumbledore di permukaannya!” 

“Aku rasa tidak ada yang di sembunyikan di permukaannya,” kata Scrimgeour, 

“tapi Snitch adalah sebuah barang yang tepat untuk menyembunyikan sebuah 

benda kecil. Aku yakin kalian tahu.” 

Harry mengangkat bahunya. Hermione tahu jawabannya. Harry merasa 

bahwa sudah menjadi kebiasaan Hermione untuk menjawab semua 

pertanyaan dengan benar. 

“Karena Snitch mampu mengingat sentuhan,” jawab Hermione. 

“Apa?” kata Harry dan Ron bersamaan, mengingat sedikitnya pengetahuan yang 

Hermine tahu tentang Quidditch. 

“Benar,” kata Scrimgeour. “Sebuah Snitch tidak pernah disentuh sebelum 

dilepaskan, bahkan oleh para pembuatnya, mereka diharuskan untuk 

menggunakan sarung tangan. Disihir agar dapat mengenali orang pertama yang 

menyentuhnya, mencegah bila ada pertengkaran siapa yang menangkap lebih 

dulu. Snitch ini,” Scrimgeour mengangkat bola emas kecil itu, “akan mengingat 

sentuhanmu, Potter. Menurutku, Dumbledore, dengan kemampuan sihirnya yang 

menakjubkan, telah menyihir Snitch agar hanya terbuka untukmu.” 

Jantung Harry berdetak kencang. Ia yakin Scrimgeour benar. Sekarang, 

bagaimana cara menolak menerima Snitch itu dengan tangan telanjang? 

“Kau diam saja,” kata Scrimgeour. “Apakah kau sudah tahu apa isi Snitch ini?” 

“Tidak,” kata Harry yang masih memikirkan cara untuk bisa menerima Snitch 

itu tanpa harus menyentuhnya. Seandainya ia menguasai Legilimency dan bisa 

membaca pikiran Hermione. 

“Terimalah,” kata Scrimgeour. 

Harry menatap langsung ke dalam mata kuning sang Menteri dan tahu tidak 

ada pilihan lain selain patuh. Harry mengulurkan tangannya dan Scrimgeour 

meletakkan Snitch, perlahan dan penuh hati-hati, di telapak tangan Harry. 

Tidak terjadi apa-apa. Saat Harry mengenggam Snitch, sayapnya bergetar 

dan kembali diam. Scrimgeour, Ron, dan Hermione tetap memandangi bola 

itu, berharap akan ada perubahan sekecil apa pun. 

“Dramatis sekali,” kata Harry tenang. Ron dan Hermione tertawa. Hanya itu, kan?” kata Hermione sambil berusaha berdiri dari sofa. 

“Tidak juga,” kata Scrimgeour, yang mulai marah. “Dumbledore memberi dua 

warisan padamu, Potter.” 

“Apa itu?” kata Harry, kegembiraan itu kembali. 

“Pedang Godric Griffindor,” kata Scrimgeour. 

Hermione dan Ron membeku. Harry mencari-cari tanda adanya pedang 

berhiaskan mirah di gagangnya, tapi Scrimgeour tidak mengeluarkan sesuatu 

dari tasnya, yang jelas terlalu kecil untuk menyimpan sebuah pedang di 

dalamnya. 

“Ada di mana?” tanya Harry curiga. 

“Sayangnya,” kata Scrimgeour, “bukan hak Dumbledore untuk memberikan 

pedang itu. Pedang Godric Gryffindor adalah artifak sejarah yang penting, 

sehingga barang itu menjadi milik…” 

“Itu milik Harry!” kata Hermione panas. “Pedang itu memilihnya, 

Harry yang menemukannya, Harry mengeluarkannya dari topi 

seleksi…” 

“Berdasarkan sumber sejarah yang dapat dipercaya, pedang itu dapat muncul 

dihadapan orang yang sesuai dengan kriteria Gryffindor. Dan itu tidak 

membuatnya menjadi barang pribadi milik Mr. Potter, walau Dumbledore sudah 

memutuskan.” Scrimgeour menggaruk pipinya yang tidak tercukur rapi sambil 

mengamati Harry. “Menurutmu, mengapa…” 

“Mengapa Dumbledore memberikan pedang itu padaku?” potong Harry yang 

mencoba menahan amarahnya. “Mungkin Dumbledore pikir akan bagus bila aku 

menjadikannya hiasan dinding.” 

“Jangan bercanda, Potter!” geram Scrimgeour. “Apakah karena Dumbledore 

percaya bahwa hanya pedang Godric Gryffindor yang dapat mengalahkan Ahli 

Waris Slytherin? 

Apakah dia ingin memberikan pedang itu padamu, Potter, karena dia percaya, 

seperti kebanyakan, bahwa kau adalah yang ditakdirkan untuk menghabisi Dia 

Yang Tak Boleh Disebut?” 

“Teori yang menarik,” kata Harry. “Apakah sudah ada yang pernah mencoba 

menusuk Voldemort dengan pedang? Mungkin Kementrian harus menyuruh 

seseorang untuk melakukannya, daripada membuang waktu meneliti 
Deluminator, atau menangkap buronan dari Azkaban. Jadi ini yang kau lakukan, 

tuan Menteri, mengunci diri di dalam kantor, mencoba membuka Snitch? 

Orang-orang sekarat di luar sana, dan aku salah satu dari mereka. Voldemort 

terbang mengejarku dan membunuh Mad-Eye Moody, dan Kementrian diam 

saja. Dan kau masih berharap kami akan bekerja sama denganmu!” 

“Keterlaluan!” teriak Scrimgeour yang langsung berdiri. Harry pun melompat 

berdiri. Scrimgeour melangkah maju dan menusukkan tongkatnya ke arah 

dada Harry dan meninggalkan lubang kecil seperti bekas terbakar di kaus 

Harry. 

“Oi!” kata Ron yang langsung berdiri dan mengangkat tongkatnya, tapi Harry 

berkata, “Jangan! Jangan beri dia alasan untuk menangkap kita.” 

“Ingat bahwa kau tidak sedang di sekolah, hah?” kata Scrimgeour mendengus 

di depan wajah Harry. “Ingat bahwa aku bukan Dumbledore yang memaafkan 

semua penghinaan dan keangkuhanmu, Potter. Kau bisa saja menyandang bekas 

lukamu seperti mahkota, Potter, tapi anak berumur tujuh belas tahun tidak 

pantas memberi tahu apa yang harus kukerjakan! Sudah saatnya kau belajar 

menghormati orang lain!” 

“Dan saatnya kau belajar mendapatkannya,” kata Harry. 

Lantai bergetar, terdengar suara berlari, lalu pintu ruang duduk terbuka. 

Mr. dan Mrs. Weasley berlari melewatinya. 

“Kami – kami rasa kami mendengar…” kata Mr. Weasley yang langsung 

waspada melihat Harry dan Menteri berdiri berhadapan saling 

mengangkat dagu. 

“… ada yang berteriak,” kata Mrs. Weasley terangah-engah. 

Scrimgeour mundur beberapa langkah menjauhi Harry dan melihat 

lubang yang dibuatnya di kaus Harry. Scrimgeour menyesal telah 

kehilangan kendali. 

“Tidak – tidak ada apa-apa,” geram Scrimgeour. “Aku… kecewa atas 

kelakuanmu,” katanya sambil menatap wajah Harry. “Sepertinya kau 

menganggap bahwa Kementrian tidak memiliki keingingan yang sama denganmu –

dengan Dumbledore. Seharusnya kita bekerja sama.” 

“Aku tidak menyukai metodemu, Pak Menteri,” kata Harry. “Ingat ini?” 

Harry mengacungkan kepalan tangan kanannya dan menunjukkan pada 
Scrimgeour bekas luka yang masih tampak jelas, bertuliskan aku tidak boleh 

berbohong. Wajah Scrimgeour mengeras. Ia berbalik dan meninggalkan ruangan 

tanpa satu kata pun. Mrs. Weasley bergegas mengikutinya. Harry dapat 

mendengar Mrs. Weasley berkata dari pintu belakang, “Dia sudah pergi!” 

“Apa yang dia ingingkan?” tanya Mr. Weasley memandangi Harry, Ron, dan 

Hermione. Lalu Mrs. Weasley kembali ke dalam. 

“Memberikan peninggalan Dumbledore pada kami,” kata Harry. “Benda￾benda ini diberikan sesuai wasiat Dumbledore.” 

Di atas meja makan di kebun, ketiga barang yang baru saja diserahkan 

Scrimgeour berpindah-pindah tangan mengelilingi meja. Tiap orang 

membicarakan Deluminator dan The Tales of Beedle the Bard dan kecewa akan 

keputusan Scrimgeour tidak menyerahkan pedang itu. Tapi tidak seorang pun 

mengerti mengapa Dumbledore memberikan Snitch tua pada Harry. Mr. 

Weasley memeriksa Deluminator ketiga atau keempat kalinya, sementara Mrs. 

Weasley berkata, “Harry, sayang, semua orang kelaparan sekarang, kami tidak 

ingin memulainya tanpamu… bisakah aku menyajikan makan malam sekarang?” 

Setelah semua makan, menyanyikan “Selamat Ulang Tahun”, dan menelan 

banyak potongan kue, pesta pun usai. Hagrid, yang diundang ke pesta 

pernikahan ke esokan harinya, tapi terlalu besar untuk bisa tidur di dalam 

The Burrow, mendirikan tenda di halaman belakang. 

“Temui kami di atas,” bisik Harry pada Hermione saat mereka membantu Mrs. 

Weasley membereskan sisa-sisa pesta. “Setelah semua orang pergi tidur.” 

Di loteng, Ron memeriksa Deluminator dan Harry sedang mengisi kantung 

Mokeskin pemberian Hagrid, tidak dengan emas, tapi dengan benda-benda yang 

ia anggap berharga, walaupun juga ada yang tidak berarti. Peta Perampok, 

potongan cermin Sirius, dan liontin 

R.A.B. Harry mengulur talinya dan mengalungkannya pada lehernya. Lalu ia 

terduduk, memegangi Snitch tua dan memperhatikan sayapnya yang bergetar 

lemah. Akhirnya Hermone datang dan masuk ke kamar perlahan. 

“Muffliato!” bisik Hermione mengayunkan tongkatnya ke arah tangga. 

“Kukira kau tidak akan menggunakan mantra itu,” kata Ron. 

“Perubahan,” kata Hermione. “Sekarang, tunjukkan Deluminator itu.” 

Ron langsung mengangkat dan menekannya. Cahaya di ruangan itu langsung 
padam. “Masalahnya,” bisik Hermione dalam gelap, “kita bisa saja memakai 

Bubuk Kegelapan Peruvian.” 

Terdengar suara klik, dan cahaya itu terbang kembali ke tampat semula 

dan kembali menerangi ruangan itu. 

“Tetap saja ini keren,” bela Ron. “Dan seperti orang lain katakan, Dumbledore 

membuatnya sendiri!” 

“Aku tahu, tapi aku yakin Dumbledore memberikannya padamu tidak hanya untuk 

memadamkan lampu!”

“Apa Dumbledore sudah mengira bahwa Kementrian akan menahan wasiatnya dan 

semua barang yang akan diberikannya pada kita?” tanya Harry.

“Tentu saja,” kata Hermione. “Dumbledore tidak dapat menjelaskan 

fungsinya dalam 

wasiat. Tapi tetap saja kita tidak tahu mengapa…”

“Mengapa Dumbledore tidak memberikan petunjuk saat dia masih hidup?” 

tanya Ron. “Ya, benar,” kata Hermione yang langsung memandangi buku The 

Tales of Beedle the Bard. “Jika benda-benda ini terlalu penting untuk 

diberikan langsung di bawah hidung 

Kementrian, seharusnya dia memberi penjelasan sebelumnya pada kita… 

mungkin dia 

pikir kita akan mengerti.” 

“Kurasa Dumbledore salah,” kata Ron. “Sudah kukatakan kalau dia itu gila. 

Brilian 

memang, tapi gila. Memberi Harry sebuah Snitch tua – apa maksudnya?” 

“Entahlah,” kata Hermione. “Saat Scrimgeour menyerahkannya padamu, Harry, 

aku 

yakin akan terjadi sesuatu.” 

“Ya,” jantung Harry berdetak kencang saat ia mengangkat Snitch yang ada di 

tangannya. 
“Aku tidak harus melakukannya di depan Scrimgeour, kan?” 

“Apa maksudmu?” tanya Hermione. 

“Snitch yang aku tangkap di pertandingan Quidditch pertamaku, kan?” kata 

Harry. 

“Kalian tidak ingat?” 

Hermione terpesona, sedangkan Ron kebingungan memandangi Harry dan Snitch 

itu. 

Lalu Ron mengerti. 

“Yang hampir kau telan!”

“Tepat,” jantung Harry berdetak lebih kencang, lalu ia memasukknya Snitch itu 

ke dalam 

mulutnya. 

Snitch itu tidak membuka. Merasa frustasi dan kecewa, Harry mengeluarkan 

bola emas 

itu. Hermione langsung berteriak. 

“Tulisan! Ada tulisan, cepat, lihat!” 

Harry hampir menjatuhkan Snitch karena kaget dan terlalu senang. 

Hermione benar. Terukir di permukaan emas, yang sebelumnya tidak ada, ada 

lima kata tertulis dengan tulisan tangan yang Harry kenal sebagai tulisan 

tangan Dumbledore. 

I open at the close - Aku terbuka saat tertutup, aku terbuka saat akan 

berakhir*. Harry membacanya, lalu tulisan itu menghilang. “'Aku terbuka saat 

tertutup…' Apa artinya?” Ron dan Hermione menggeleng, tidak mengerti. “Aku 

terbuka saat tertutup… saat akan berakhir… aku terbuka saat tertutup, saat 

akan 

berakhir…” 

Bagaimana pun mereka mengulangi kata-kata itu, dengan berbagai perubahan, 

tetap saja mereka tidak mengerti apa maksudnya. “Dan pedang,” kata Ron 

setelah mereka menyerah untuk mencari arti lain dari tulisan 
pada Snitch. “Mengapa Dumbledore memberikan pedang itu pada Harry?” “Dan 

mengapa Dumbledore tidak langsung memberitahu aku?” kata Harry. “Pedang itu 

ada di sana, terpajang di dinding kantor Dumbledore saat kami berbicara tahun 

lalu! Bila 

Dumbledore ingin aku memilikinya, mengapa dia tidak langsung memberikannya 

padaku saat itu?” Harry merasa seperti sedang duduk menghadapi soal ujian 

yang seharusnya ia tahu 

jawabannya, tapi otaknya tidak bereaksi. Apa ada yang ia lewatkan saat 

berbicara dengan Dumbledore tahun lalu? Apakah seharusnya ia mengerti semua 

ini? Apakah Dumbledore berharap Harry akan mengerti? 

“Dan buku ini… The Tales of Beedle the Bard… aku tidak pernah mendengarnya!” 

“Kau tidak pernah mendengar The Tales of Beedle the Bard?” kata Ron tak 

percaya. “Kau bercanda, kan?” “Tidak!” kata Hermione terkejut. “Kau pernah 

mendengarnya kalau begitu?” “Tentu saja!” Harry kebingungan. Keadaan bahwa 

Ron telah membaca buku yang belum pernah dibaca 

Hermione tidak pernah terjadi sebelumnya. Ron sendiri kelihatan tidak 

percaya dengan keterkejutan mereka. “Ayolah! Semua dongeng anak-anak 

ditulis oleh Beedle, kan? 'The Fountain of Fair 

Fortune'… 'The Wizard and the Hopping Pot'… 'Babbitty Rabbitty’ dan ‘Her 

Cackling Stump'.” 

“Apa?” kata Hermione terkikik. “Apa yang terkahir?” 

“Ayolah!” kata Ron yang masih tidak percaya akan reaksi Ron dan Hermione. 

“Kalian pasti sudah dengar ‘Babbitty Rabbity’…” 

“Ron, kau tahu kan kalau Harry dan aku dibesarkan oleh keluarga Muggle,” 

kata 

Hermione. “Kami tidak mendengar cerita seperti itu, kami mendengar Putri 

Salju dan 

Tujuh Kurcaci dan Cinderella…” 

“Apa itu? Nama penyakit?” tanya Ron. 

“Jadi ini dongeng anak?” tanya Hermione, kembali memperhatikan huruf-huruf 
Rune. 

“Mungkin,” kata Ron tidak yakin, “maksudku, hanya itu yang aku dengar, kalau 

semua 

dongeng anak dibuat oleh Beedle. Aku tidak pernah tahu tahu versi aslinya.” 

“Tapi mengapa Dumbledore ingin aku membacanya?” 

Terdengar suara dari bawah. 

“Mungkin Charlie, Mum pasti sudah tidur. Charlie sedang berusaha 

menumbuhkan 

rambutnya kembali,” kata Ron gelisah. 

“Tetap saja, kita harus tidur sekarang,” bisik Hermione. “Tidak mungkin kita 

bisa bangun 

terlambat besok.” 

“Tidak juga,” kata Ron. “Sebuah pembunuhan kejam terhadap ibu 

pengantin dapat 

mengacaukan pesta pernikahan. Aku yang memadamkan lampu.” 

Dan Ron menekan Deluminator sesaat setelah Hermione keluar dari kamar.

======================

*I open at the close - 'Aku terbuka saat tertutup' atau 'Aku terbuka saat akan 

berakhir'.

Bab 8 The Wedding Pernikahan 

Pukul tiga keesokan sorenya, Harry, Ron, Fred, dan George berdiri di luar tenda 

putih besar yang dipasang di kebun, menunggu kedatangan para tamu undangan. 

Harry telah meminum segelas dosis besar Ramuan Polijus dan menyaru menjadi 

seorang bocah berambut merah di desa Ottery St Catchpole, yang beberapa 

helai rambutnya telah diambil Fred dengan Mantra Panggil. Rencananya adalah 
memperkenalkan Harry sebagai ‘sepupu Barny’ dan bergantung pada banyaknya 

jumlah sanak saudara keluarga Weasley sebagai penyamarannya. 

Keempatnya memegang daftar tempat duduk agar bisa membantu para tamu 

undangan menemukan tempat duduk mereka. Pembawa acara, pelayan berjubah 

putih, dan anggota band berjaket emas, sudah datang satu jam sebelumnya. 

Mereka semua sekarang sedang duduk di bawah pohon tak jauh dari tenda. 

Harry dapat melihat pipa rokok biru di sana. 

Di belakang Harry, di bawah tenda, kursi emas telah ditata di samping karpet 

ungu yang di kedua sisinya dihiasi oleh bunga putih dan emas. Fred dan George 

telah memasang seikat besar balon-balon emas di tempat di mana Bill dan Fleur 

akan disumpah menjadi pasangan suami istri. Di luar, kupu-kupu dan lebah 

terbang perlahan di atas rumput dan pagar tanaman. Harry merasa kurang 

nyaman. Bocah Muggle yang ditirunya ternyata lebih gemuk dari Harry dan 

membuat jubah Harry menjadi kesempitan dan terasa panas, apalagi di hari 

yang cerah di musim panas. 

”Saat aku menikah nanti,” kata Fred sambil melonggarkan kerah jubahnya, 

”aku tidak akan repot-repot dengan semua omong kosong ini. Kalian semua 

bisa datang dengan pakaian yang kalian suka. Dan Mum akan kuberi Kutukan 

Pengikat Tubuh Sempurna sampai acara selesai.” 

”Mum tidak terlalu cerewet tadi pagi,” kata George. ”Hanya mengeluh karena 

Percy tidak datang, memangnya ada yang ingin dia datang? Ya ampun, siap-siap –

mereka datang, lihat.” 

Sosok-sosok berjubah terang muncul satu persatu, entah dari mana, tidak jauh 

dari pekarangan. Dalam beberapa menit mereka semua berjalan menuju tenda. 

Bunga-bunga eksotis dan burung-burungan menghiasi topi para penyihir wanita, 

sedangkan permatapermata berkilauan dari rompi para penyihir pria. Dengungan 

senang dari obrolan mereka semakin keras saat mereka mendekati tenda. 

”Luar biasa, sepertinya aku melihat beberapa sepupu Veela,” kata George, 

menjulurkan leher agar bisa melihat lebih jelas. ”Mereka pasti butuh bantuan 

untuk mempelajari kebiasaan orang Inggris. Aku pasti akan mengajari 

mereka…” 

“Tidak secepat itu, Tuan yang Agung,*” kata Fred yang langsung melewati 

sekelompok wanita paruh baya. 

”Mari – permettez-moi untuk assister vous,” kata Fred ke sepasang gadis 

Perancis cantik yang terkikik dan mengizinkan Fred untuk menemani mereka. 

George akhirnya membantu para wanita paruh baya itu. Dan Ron membantu
teman kerja Mr. Weasley, Perkins. Sementara Harry harus menghadapi 

sepasang orang tua yang agak tuli. 

“Hai,” terdengar suara yang sudah familiar saat Harry keluar dari tenda untuk 

menjemput antrian selanjutnya. Ternyata Tonks dan Lupin ada di barisan 

terdepan. Tonks mengubah rambutnya menjadi pirang untuk acara ini. “Arthur 

bilang kau yang berambut keriting. 

Maaf semalam,” tambah Tonks dalam bisikan. Lalu Harry mengantar mereka. 

”Kementrian telah menjadi anti-manusia serigala saat ini dan kedatangan kami 

semalam akan menambah masalahmu.” 

“Tidak apa-apa, aku tahu,” kata Harry, yang lebih berbicara pada Lupin daripada 

Tonks. Lupin memberinya senyuman tipis, dan saat Tonks dan Lupin berbalik, 

Harry dapat melihat wajah Lupin sudah kembali murung. Harry penasaran, tapi 

tidak ada waktu untuk itu. Hagrid telah membuat keributan. Ia salah 

mengartikan petunjuk Fred. Seharusnya Hagrid duduk di kursi yang telah 

diperbesar dan diperkuat untuknya di barisan belakang, bukannya malah duduk 

di lima kursi yang sekarang sudah hancur dan menyerupai setumpuk korek emas. 

Sementara Mr. Weasley membenahi kerusakan dan Hagrid tak berhenti 

meminta maaf, Harry kembali ke depan dan menemukan Ron sedang berhadapan 

dengan penyihir paling aneh. Dengan rambut putih sepanjang bahu, ia memakai 

topi yang jumbainya menyentuh hidungnya, dan jubah berwarna kuning telur 

yang menyakitkan mata. 

” Xenophilius Lovegood,” katanya sambil mengulurkan tangan pada Harry, ”aku 

dan putriku tinggal di seberang bukit, baik sekali keluarga Weasley mau 

mengundang kami. Apakah kau mengenal Luna?” tanyanya pada Ron. 

”Ya,” kata Ron, ”bukankah tadi dia bersamamu?” 

”Dia pergi ke kebun kecil yang menarik itu, ingin menyapa jembalang, 

bukankah itu sebuah investasi berharga! Hanya beberapa penyihir yang bisa 

belajar kearifan pada jembalang – atau lebih baik kita menyebutnya dengan 

nama mereka yang sebenarnya – Gernumbli gardensi.” 

”Kami tahu beberapa nama yang bagus untuk mereka,” kata Ron, ”tapi kurasa 

Fred dan George sudah memakainya.” 

Ron mengantar beberapa warlock saat Luna datang. 

”Hallo, Harry!” kata Luna. 
”Er – namaku Barny,” kata Harry terkejut. 

”Kau mengubah namamu juga?” tanya Luna ceria. 

”Bagaimana kau bisa tahu?” 

“Oh, aku mengenali ekspresimu.” 

Seperti ayahnya, Luna memakai jubah berwarna kuning terang dan menghiasi 

rambutnya dengan bunga matahari besar. Karena sudah terbiasa dengan tingkah 

aneh Luna, melihatnya sekarang seperti berpakaian cukup normal. Untung saja 

tidak ada lobak yang menggantung menjadi pengganti anting-anting. 

Xenophilius yang sedang berbicara serius dengan seorang kenalannya, tidak 

memperhatikan pembicaraan Luna dan Harry. Setelah berpisah dari penyihir 

itu, ia kembali menemui putrinya yang langsung mengacungkan jari dan 

berkata, ”Dad, lihat – tadi ada jembalang yang menggigitku!” 

”Hebat! Liur jembalang punya banyak kegunaan!” kata Mr. Lovegood, memegang 

tangan Luna yang terluka dan memeriksa luka yang berdarah itu. ”Luna, 

sayangku, bila kau merasakan sebuah bakat yang tumbuh hari ini – keinginan 

untuk menyanyi opera atau berpuisi dalam bahasa Mermish, mungkin – jangan 

ditahan! Mungkin saja kau telah diberkati oleh Gernumbli!” 

Ron, yang melewati mereka langsung mendengus keras. 

”Ron, kau boleh saja tertawa,” kata Luna tenang, saat Harry mengantarkan 

menuju kursi mereka, ”tapi Dad sudah banyak meneliti tentang kemampuan 

sihir Gernumbli.” 

”Benarkah?” kata Harry, yang tidak memiliki keinginan untuk menantang cara 

berpikir Luna dan ayahnya yang aneh. ”Kau yakin tidak ingin memberikan 

sesuatu pada bekas gigitan itu?” 

”Ah, tidak usah,” kata Luna sambil memasukkan jarinya ke dalam mulut dan 

memandangi Harry dari atas ke bawah. ”Kau kelihatan pintar. Aku sudah 

bilang pada ayah kalau semuanya akan memakai jubah pesta, tapi dia yakin 

seharusnya kita menggunakan warna kuning bila ingin ke pesta pernikahan, 

untuk keberuntungan.” 

Saat Luna pergi mengikuti ayahnya, Ron muncul dengan seorang wanita tua 

yang menggamit tangannya. Hidungnya yang seperti paruh, lingkaran merah di 

matanya, dan topi merah muda berbulu, membuatnya seperti burung flamingo 

yang sedang marah.
”… dan rambutmu terlalu panjang Ronald, tadi kukira kau Ginevra. Demi 

jenggot Merlin, apa yang Xenophilius pakai? Dia jadi seperti telur dadar. 

Dan siapa kau?” bentaknya pada Harry. 

“Oh iya, Bibi Muriel, ini sepupu kami, Barny.” 

“Weasley yang lain? Kalian berkembang seperti jembalang. Bukankah Harry

Potter ada di sini? Aku berharap bisa bertemu dengannya. Kukira dia 

temanmu, Ronald, atau kau hanya membual?’ 

”Tidak – dia tidak bisa datang.” 

”Ehm. Hanya alasan, kan? Sepertinya dia tidak seberani seperti yang ditulis di 

koran. Aku yang menganjurkan agar sebaiknya sang pengantin memakai 

tiaraku,” jelasnya pada Harry. “Buatan goblin, kau tahu, dan sudah ada pada 

keluargaku selama berabad-abad. 

Gadis itu cantik, tapi tetap saja – orang Perancis. Antarkan aku ke tempat 

duduk yang bagus, Ronald, aku sudah seratus tujuh dan tidak boleh terlalu 

lama berdiri.” 

Ron memberi pandangan penuh arti pada Harry saat pergi dan tidak kembali 

untuk beberapa wakut. Saat Ron kembali, Harry sudah mengantarkan selusin 

orang ke tempat masing-masing. Tenda itu sudah hampir penuh dan sudah tak 

ada barisan lagi di depan tenda. 

”Muriel itu mimpi buruk,” kata Ron sambil mengusap dahinya dengan lengan 

jubah. ”Untung saja dia hanya datang saat Natal. Dia marah sekali saat Fred 

dan George menaruh Bom Kotoran di bawah kursinya saat makan malam. Dad 

selalu berkata bahwa mereka tidak akan menerima warisan dari Bibi Muriel –

seperti mereka peduli saja. Mereka kan sudah kaya, dengan apa yang mereka 

kerjakan… wow!” Ron berkedip beberapa kali ke arah Hermione yang 

mendatangi mereka. “Kau tampak hebat!” 

“Selalu dengan nada terkejut,” kata Hermione tersenyum. Hermione memakai 

jubah ringan berwarna lembayung yang sesuai dengan sepatunya. Rambutnya 

halus dan berkilau. “Bibi Muriel tidak sependapat denganmu. Aku bertemu 

dengannya di tangga saat ia akan memberikan tiaranya pada Fleur. Dia bilang 

‘Oh, jadi ini si gadis kelahiran Muggle itu?’ lalu ‘Postur tubuhmu jelek dan 

kakimu terlalu kurus’.” 

“Jangan diambil hati, dia memang kasar pada setiap orang,” kata Ron. 

”Membicarakan Muriel?” tanya George yang baru muncul dari dalam tenda 
bersama Fred. ”Dia bilang telingaku besar sebelah. Seandainya paman Bilius 

masih ada, walau ia akan menjadi bahan tertawaan.” 

”Bukankah dia yang melihat Grim dan meninggal dua puluh empat jam 

kemudian?” tanya Hermione.

”Ya, dia meninggal dengan sedikit aneh,” aku George. 

”Tapi sebelum dia gila, dia selalu menjadi biang pesta,” kata Fred. ”Biasanya 

dia akan menghabiskan sebotol Firewhisky dan langsung ke lantai dansa, 

mengangkat jubahnya, dan mengeluarkan bunga dari…” 

”Sepertinya orang yang menyenangkan,” kata Hermione, sementara Harry 

tertawa keras. 

”Aku tidak akan menikah, untuk beberapa alasan,” kata Ron. 

”Kau membuatku takjub Ron,” kata Hermione. 

Semuanya tertawa hingga tidak memperhatikan seseorang yang datang 

terlambat, seorang pria muda berambut gelap, berhidung bengkok, dan beralis 

hitam tebal, sampai ia menyodorkan undangan ke Ron dan memandangi Hermione 

berkata, ”Kau kelihatan luar biasa!” 

”Viktor!” Hermione terkejut sampai menjatuhkan tas manik-maniknya, yang 

bersuara terlalu keras, tidak sesuai dengan ukurannya. Ia beringsut 

mengambilnya dan berkata, ”Aku tidak tahu kau akan – ya ampun – senang 

bisa bertemu – apa kabar?” 

Kuping Ron memerah. Setelah melihat undangan tapi tidak percaya, Ron 

bertanya dengan nada yang terlalu tinggi, ”Bagaimana kau bisa kemari?” 

“Fleur mengundangku,” kata Krum sambil mengangkat alisnya. 

Harry, yang tidak punya dendam terhadap Krum, menjabat tangannya. Lalu, 

merasa perlu menjauhkan Krum dari Ron, Harry menawarkan diri untuk 

mengantarkannya ke tempat duduk. 

”Temanmu sepertinya tidak senang melihatku,” kata Krum, saat memasuki 

tenda. ”Atau saudaramu?” tambahnya saat melihat ke rambut Harry yang 

merah dan keriting. 

”Sepupu,” gumam Harry, tapi Krum tidak mendengarkan. Kedatangannya 

menyebabkan sebuah keributan, terutama di antara sepupu Veela. Karena Krum 

memang seorang pemain Quidditch terkenal. Sementara orang-orang masih 
menjulurkan leher mereka agar bisa melihat Krum, Ron, Hermione, Fred, dan 

George terburu-buru memasuki tenda. 

”Saatnya duduk,” kata Fred pada Harry, ”atau kita akan diinjak sang pengantin.” 

Harry, Ron, dan Hermione duduk di barisan kedua, di belakang Fred dan 

George. wajah Hermione masih bersemu dan kuping Ron masih merah. Setelah 

beberapa saat, Ron membisiki Harry, “Apa kau perhatikan kalau dia 

menumbuhkan jenggot kecil bodoh itu?” 

Harry menggerutu tidak tahu. 

Rasa tidak sabar sudah memenuhi tenda yang hangat, dengung obrolan 

berkurang saat terdengar tawa sopan yang terdengar gembira. Mr dan Mrs. 

Weasley berjalan di atas karpet, tersenyum dan melambaikan tangan pada 

keluarga. Mrs. Weasley memakai jubah baru berwarna nila yang sesuai dengan 

topinya. 

Sesaat kemudian Bill dan Charlie berdiri di depan. Keduanya memakai jubah 

pesta dengan mawar putih besar di setiap lubang kancingnya. Fred bersiul 

dan membuat sepupu Veela terkikik. Semua orang terdiam saat musik 

dimainkan, yang sepertinya berasal dari balon-balon emas. 

“Oooh!” kata Hermione yang berputar di tempat duduknya, melihat ke arah 

pintu masuk. 

Banyak orang yang mendesah terkesan saat Monsieur Delacour dan Fleur 

berjalan masuk di atas karpet. Fleur memakai gaun putih yang sangat sederhana 

dan berkilau keperakan. Biasanya sinar auranya akan membuat orang lain tampak 

redup, tapi hari ini semua orang menerima sebagian kecantikannya. Ginny dan 

Gabrielle, keduanya memakai gaun emas, terlihat lebih cantik dari biasanya. Dan 

saat Fleur sampai di depan, Bill tampak seperti tidak pernah bertemu dengan 

Fenrir Greyback. 

”Tuan dan nyonya,” Harry terkejut melihat dari siapa suara itu berasal. Orang 

dengan rambut yang menipis, orang yang sama yang memimpin upacara 

pemakaman Dumbledore, orang yang kini berdiri di depan Bill dan Fleur. ”Kita 

berkumpul pada hari ini untuk merayakan penyatuan dua jiwa…” 

“Ya, tiaraku membuat semua tampak bagus,” kata Bibi Muriel dalam bisikan. 

“Tapi kurasa gaun Ginevra terlalu pendek.” 

Ginny menoleh, lalu tersenyum dan mengedip pada Harry, lalu kembali 

menghadap ke depan. Pikiran Harry terbang keluar dari tenda dan kembali pada sore saat ia menghabiskan waktu berduaan bersama Ginny di sekolah. Rasanya 

sudah lama sekali dan terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Rasanya seperti 

mencuri waktu yang berharga dari seseorang, seseorang yang tidak memiliki 

bekas luka seperti petir di dahi. 

“Apakah kau, William Arthur, menerima Fleur Isabelle…“ 

Di barisan depan, Mrs. Weasley dan Madame Delacour terisak dalam sapu 

tangan berenda mereka. Suara seperti terompet terdengar dari arah 

belakang, yang menandakan bahwa Hagrid sudah mengeluarkan sapu tangan

berukuran taplak miliknya. Hermione menoleh dan Harry dapat melihatnya, 

mata Hermione juga dipenuhi air mata. 

“… dan aku nyatakan kalian sebagai suami istri.” 

Pria berambut tipis itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi melampaui kepala 

Bill dan Fleur dan hujan bintang perak turun melingkari dua orang yang baru 

saja disumpah. Saat Fred dan George mulai bertepuk tangan, balon-balon emas 

meletus dan berubah menjadi burung-burung dan lonceng-lonceng emas kecil. 

”Tuan dan nyonya!” kata pria berambut tipis itu. ”Tolong Anda sekalian berdiri!” 

Semua orang berdiri, Bibi Muriel menggerutu keras. Pria itu mengayunkan 

tongkatnya. Kursi-kursi yang tadi diduduki melayang anggun keluar saat 

dinding kanvas tenda menghilang, meninggalakan kanopi yang disangga oleh 

tiang-tiang emas, memperlihatkan pemandangan daerah perkebunan yang indah 

di bawah sinar matahari sore. Lalu, emas cair mengalir dari tengah tenda 

membentu lantai dansa yang berkilau. Kursi-kursi yang melayang tadi kembali 

dengan meja bertaplak putih, membentuk grupgrup kecil. Semuanya melayang 

anggun dan menyentuh tanah perlahan. Anggota band berjaket emas berjalan 

menuju podium. 

”Halus sekali,” aku Ron. Para pelayan muncul sambil membawa nampan perak 

berisi jus labu, Butterbeer, dan Firewhisky, sementara nampan lain berisi kue 

tart dan sandwich. 

“Kita harus memberi selamat pada mereka!” kata Hermione yang berjinjit 

mencoba mencari Bill dan Fleur yang sudah dikelilingi oleh orang yang ingin 

memberi selamat. 

“Kita akan punya waktu nanti,” kata Ron yang mengambil tiga gelas Butterbeer 

dari nampan yang lewat dan memberikan segelas pada Harry. ”Hermione, ayo, 

kita cari meja dulu… jangan di sana! Jangan dekat-dekat Muriel.
Ron berjalan melewati lantai dansa, menoleh ke kanan dan kiri, Harry yakin Ron 

sedang menjauhkan diri Krum. Saat mereka sudah memutari tenda, hampir 

seluruh meja sudah ditempati, yang kosong hanya meja di mana Luna duduk 

sendiri. 

”Boleh bergabung?” tanya Ron. 

”Oh, ya,” kata Luna senang. ”Dad baru saja pergi untuk memberikan hadiah 

kami pada Bill dan Fleur.” 

”Apa itu? Persediaan Gurdyroot seumur hidup?” 

Hermione ingin menendang kaki Ron tapi malah kaki Harry yang kena. Membuat 

Harry merintih kesakitan dan tidak mendengar percakapan selanjutnya. 

Band sudah mulai bermain musik. Bill dan Fleur turun ke lantai dansa untuk 

pertama kali, diiringi oleh tepuk tangan meriah. Lalu Mr. Weasley mengajak 

madame Delacour turun ke lantai dansa yang diikuit oleh Mrs. Weasley dan 

ayah Fleur. 

”Aku suka lagu ini,” kata Luna mengikuti musik waltz dan beberapa detik 

kemudian dia berdiri dan meluncur ke lantai dansa, di mana dia berputar di satu 

titik dengan mata tertutup dan mengayunkan tangnnya. 

”Dia hebat, ya,” kata Ron kagum. ”Selalu tau saat yang tepat.” 

Tapi senyum Ron langsung menghilang karena Viktor Krum langsung duduk di 

kursi Luna. Hermione terlihat senang, tapi kali ini Krum datang tidak untuk 

memujinya. Dengan wajah marah Krum berkata, ”Siapa pria dengan baju 

kuning itu?” 

”Xenophilius Lovegood, ayah dari teman kami,” kata Ron. Nada dari kalimat 

Ron menunjukkan agar tidak menertawakan Xenophilius, dan jelas, 

menantang. ”Ayo berdansa,” tambah Ron pada Hermione. 

Hermione menoleh dan kelihatan senang, ia berdiri, dan mereka berdua 

menghilang di tengah-tengah kumpulan orang yang ada di lantai dansa. 

”Ah, mereka bersama sekarang?” 

”Er – sepertinya,” kata Harry. 

”Siapa kau?” tanya Krum. 

”Barny Weasley.”

Mereka berjabat tangan. 
Barny – kau kenal dengan Lovegood itu?”

”Tidak juga, aku baru bertemu dengannya hari ini. Mengapa?”

Krum melihat dari atas gelasnya, memperhatikan Xenophilius yang sedang 

berbicara 

dengan beberapa warlock di sebrang lantai dansa. 

”Karena,” kata Krum, ”jika dia bukan tamu Fleur, aku akan berduel dengannya, di 

sini, 

saat ini juga, karena telah memakai lambang kotor itu di dadanya.”

”Lambang?” kata Harry yang akhirnya memandangi Xenophilius juga. Tanda 

segitiga 

aneh berkilau di dadanya. ”Mengapa? Apa yang salah dengan itu?”

”Grindelvald. Itu lambang Grindelvald.”

”Grindelwald… Penyihir hitam yang dikalahkan Dumbledore?”

”Tepat.”

Otot di rahang Krum mengeras, dan ia berkata, ”Grindelvald membunuh banyak 

orang, 

termasuk kakekku. Tapi dia tidak pernah menjamah negeri ini, dia bilang dia 

takut pada Dumbledore – dan jelas, saat dia dikalahkan. Tapi itu,” Krum 

menunjuk Xenophilius. ”Itu adalah lambang Grindelvald. Aku langsung 

mengenalinya. Grindelvald mengukirnya di dinding di Durmstrang saat dia masih 

menjadi murid di sana. Beberapa idiot memakai lambang itu di buku dan pakaian 

mereka, berpikir bisa membuat orang lain kagum – sampai mereka diajari oleh 

orang yang telah kehilangan keluarga karena Grindelvald.” 

Krum mengepalkan tangannya berlagak mengancam dam masih memandangi 

Xenophilius. Harry merasa bingung. Sepertinya tidak mungkin ayah Luna 

menjadi pendukung seorang Penyihir Hitam dan tak seorang pun di dalam 

tenda bermasalah dengan tanda segitiga yang seperti huruf Rune itu. 

„Apa kau – er – yakin kalau itu lambang…“ 

”Tidak mungkin aku salah,” kata Krum dingin. ”Aku melihat lambang itu 

bertahuntahun, aku sangat mengenalnya.“ ”Yah, mungkin saja,“ kata Harry, 

„Xenophilius tidak tahu lambang apa itu. Bisa saja dia 

menganggap bahwa itu potongan kepala dari Snorkack Tanduk-Kisut.” 
Tanduk-Kisut apa?”

”Aku sendiri tidak tahu. Tapi sepertinya dia dan putrinya pergi berlibur untuk

mencari Snorkack itu.”Harry merasa talah memberikan penjelasan yang buruk 

tentang Luna dan ayahnya. ”Itu putrinya,” kata Harry sambil menunjuk Luna 

yang masih menari sendiri, 

mengayunkan tangan di atas kepalanya seperti ingin menakut-nakuti para 

kurcaci.

”Mengapa dia bergerak seperti itu?” tanya Krum. 

”Mungkin dia ingin mengusir Wrackspurt,” kata Harry yang mengenali gerakan 

itu. 

Krum tidak mengerti apakah Harry bercanda atau tidak. Krum mengeluarkan 

tongkatnya 

dan mengetuk-ketukkannya di atas pahanya, percikan api muncul dari 

ujungnya. 

”Gregorovitch!” kata Harry tiba-tiba, dan Krum terkejut, tapi Harry tidak 

peduli. Ia 

teringat saat melihat tongkat Krum pertama kali: Ollivander memegang dan 

memeriksanya sebelum Turnamen Triwizard. 

”Memang ada apa?” kata Krum curiga.

”Dia pembuat tongkat!” 

”Aku tahu,” kata Krum. 

”Dia membuat tongkatmu! Jadi itu sebabnya aku kira – Quidditch...”

Krum memandangi Harry, semakin curiga. 

“Bagaimana kau tahu Gregorovitch membuat tongkatku?”

”Aku… aku membacanya, kurasa,” kata Harry. ”Di – di sebuah majalah fans,” 

Harry 

mengarang gila-gilaan dan Krum sudah tidak curiga lagi. 

“Aku tidak ingat aku pernah berbicara tentang tongkatku dengan fans,” 

kata Krum.

”Jadi… er… di mana Gregorovitch sekarang?”

Krum kebingungan. 

“Dia pensiun beberapa tahun lalu. Milikku adalah salah satu tongkat 

terakhir yang Gregorovitch jual. Dia yang terbaik – walau aku tahu, kalau orang-orang 

Inggris lebih banyak memakai buatan Ollivander.” 

Harry tidak menjawab. Dia berpura-pura memperhatikan orang-orang yang 

berdansa, seperti Krum, tapi Harry berpikir keras. Jadi Voldemort mencari 

pembuat tongkat ternama, dan Harry tidak perlu mencari alasannya. Jelas 

karena tongkat Harry telah merusak tongkat Voldemort saat pengejaran 

malam itu. Tongkat holly dan bulu phoenix miliknya telah mengalahkan tongkat 

pinjaman itu, karena sesuatu yang tidak diketahui atau dimengerti oleh 

Ollivander. Apakah Ollivander lebih tahu? Apakah dia memang lebih punya 

kemampuan daripada Ollivander? Apakah dia juga tahu tentang rahasia tongkat 

yang tidak diketahui Ollivander? 

”Gadis itu cantik sekali,” kata Krum pada Harry. Krum menunjuk Ginny yang 

baru saja menari bersama Luna. ”Apakah dia juga saudaramu?” 

”Ya,” kata Harry terdengar tidak suka, ”dan dia sudah punya pacar. Tipe 

pencemburu bertubuh besar. Kau tidak akan ingin melawannya.” 

Krum menggerutu. 

”Apa untungnya,” kata Krum, menghabiskan minumannya lalu berdiri, ”menjadi 

pemain Quidditch internasional kalau semua gadis cantik sudah ada yang 

punya?” 

Dan Krum pergi meninggalkan Harry untuk mengambil sandwich dari nampan dan 

berjalan menerobos kerumunan. Harry ingin mencari Ron, memberitahu tentang 

Gregorovitch, tapi Ron sedang berdansa dengan Hermione di tengah lantai 

dansa. Harry mengalihkan pandangannya dan melihat Ginny yang sekarang 

dengan teman Fred dan George, Lee Jordan. Harry berusaha untuk tidak 

menyesal mengingat janjinya pada Ron. 

Harry tidak pernah ke pesta pernikahan sebelumnya. Jadi Harry tidak tahu 

apakah perayaan para penyihir ini berbeda dengan perayaan Muggle, walau 

Harry yakin tidak mungkin ada kue pernikahan dengan burung Phoenix di 

atasnya yang langsung terbang setelah kuenya di potong, atau berbotol-botol 

champagne beterbangan di atas kerumunan undangan, di dunia Muggle. Saat 

malam mulai turun, kanopi diterangi oleh cahaya dari lentera emas, dan keriuhan 

pesta mulai berkurang. Fred dan George sudah menghilang sejak tadi bersama 

dengan sepasang sepupu Fleur. Charlie, Hagrid, dan seorang penyihir pendek 

bertopi ungu, sedang bernyanyi ’Odo the Hero’ di pojok. 

Harry sedang menerobos kerumunan dan melarikan diri paman Ron yang mabuk 

dan menganggap Harry sebagai anaknya, lalu Harry melihat seorang penyihir 
tua duduk sendirian. Rambut putih tebalnya membuatnya tampak seperti bunga 

dandelion yang sedang mekar yang memakai topi yang sudah dimakan ngengat. 

Rasanya pria itu begitu familiar. Harry tiba-tiba teringat kalau pria itu adalah 

Elphias Doge, anggota Orde Phoenix, dan penulis berita kematian Dumbledore. 

Harry mendekatinya. 

“Bolehkah aku duduk?” 

“Tentu, tentu,” kata Doge, suaranya mencicit tinggi. 

Harry duduk dan mendekat pada Doge. 

“Mr. Doge, saya Harry Potter.”

Doge terkejut.

”Anakku! Arthur bilang kau ada di sini, menyamar… aku senang, aku merasa 

terhormat!”

Doge menuangkan Harry segelas champagne. 

”Aku ingin menulis surat untukmu,” bisik Harry, ”setelah kematian 

Dumbledore… 

rasanya tidak percaya… dan kau, aku yakin…”Tiba-tiba mata kecil Doge dipenuhi 

air mata. “Aku membaca berita kematian yang kau tulis di Daily Prophet,” kata 

Harry. ”Aku tidak 

tahu kalau berteman dengan profesor Dumbledore.”

“Semua orang juga mengira begitu,” kata Doge sambil mengusap matanya 

dengan serbet 

makan. ”Jelas aku yang paling lama mengenalnya, jika Aberforth tidak masuk 

hitungan –dan entah, orang-orang tidak pernah mengingat 

Aberforth.”“Ngomong-ngomong tentang Daily Prophet… aku tidak tahu apakah 

kau melihatnya, 

Mr. Doge…”

“Oh, Elphias saja, anakku.”

“Elphias, apakah kau melihat hasil wawancara Rita Skeeter tentang 

Dumbledore?”

Wajah Doge diwarnai dengan amarah. 

”Oh, ya, Harry, aku melihatnya. Wanita itu, lebih pantas bila menyebutnya 

sebagai 
burung hering, benar-benar menolak saat aku ingin berbicara padanya. Aku 

sendiri malu bisa jadi begitu kasar. Memanggilnya ikan trout yang suka ikut 

campur, dan kau bisa lihat hasilnya, dia mengatakan kalau aku agak gila.” 

”Dalam wawancara itu,” lanjut Harry, ”Rita Skeeter berkata bahwa profesor 

Dumbledore 

pernah berkutat dengan sihir hitam saat masih muda.”

”Jangan percaya sedikit pun!” kata Doge. ”Sedikit pun, Harry! Jangan biarkan 

sesuatu 

merusak kenanganmu dengan Albus Dumbledore!”

Harry melihat wajah Doge yang marah, dan Harry malah merasa tertekan. Apa 

Doge 

pikir mudah sekali untuk Harry memilih untuk tidak percaya? Apakah Doge 

mengerti bahwa Harry butuh diyakinkan, butuh untuk tahu segalanya?

Mungkin Doge tau apa yang dirasakan Harry, ia lalu melanjutkan, ”Harry, Rita 

Skeeter 

itu mengerikan…”

Kalimat itu dipotong oleh lengkingan seseorang. 

”Rita Skeeter? Oh, aku suka dengannya, selalu membaca tulisannya!”

Harry dan Doge menatap Bibi Muriel yang sudah berdiri di sana dengan bulu￾bulu yang 

menari di topinya, dan segelas champagne di tangannya. ”Rita menulis buku 

tentang 

Dumbledore, kau tahu!”

”Hallo, Muriel,” kata Doge. ”Ya, kami baru saja membicarakan…”

”Hei kau! Berikan kursimu, usiaku sudah seratus tujuh!
Sepupu Weasley berambut merah yang lain meloncat dari kursinya, ketakutan. 

Dan Bibi 

Muriel mengangkat kursi itu dengan kekuatan yang mengejutkan dan 

mendudukkan 

dirinya di antara Doge dan Harry.

„Hallo lagi, Barry, atau siapa pun namamu,“ kata bibi Muriel pada Harry. „Nah, 

apa 

pendapatmu tentang Rita Skeeter, Elphias? Kau tahu dia menulis biografi Albus 

Dumbledore? Aku sudah ingin membacanya, aku bahkan sudah memesannya di 

Flourish 

dan Blotts!“ 

Doge bersikap serius, tapi Bibi Muriel malah mengosongkan gelasnya dan 

menjentikkan 

jarinya yang kurus pada pelayan yang lewat, untuk mengisi gelasnya lagi. Ia 

meminum 

champagne barunya dalam tegukan besar, bersendawa, lalu berkata, „Kalian 

jangan 

bertingkah seperti kodok beku! Sebelum Dumbledore dihormati atas segala hal 

itu, 

memang ada banyak isu miring tentang Albus!“

”Berita yang salah,” kata Doge, wajahnya memerah. 

”Oh, semua tahu kalau kau memuja Dumbledore. Aku yakin kau akan tetap 

menganggapnya malaikat walau kau tahu apa yang dilakukannya pada saudarinya 

yang 

Squib itu!”

”Muriel”’ Doge memperingati.

Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan champagne dingin, memenuhi 

dada 

Harry.

“Apa maksudmu?” tanya Harry pada Muriel. ”Siapa bilang saudari Dumbledore 

seorang 

Squib? Bukannya dia sakit?
”Kau salah, Barry!” kata bibi Muriel, kelihatan senang atas perhatian yang ia 

dapat. ”Lagipula, apa yang kau tau tentangnya? Semuanya terjadi bertahun￾tahun bahkan sebelum kau ada, sayang, dan kenyataannya adalah hanya sedikit 

orang yang masih hidup yang tahu kejadian sebenatnya. Itu sebabnya aku 

penasaran bagaimana Rita tahu! Dumbledore menyembunyikan saudarinya 

bertahun-tahun!” 

”Salah!” kata Doge. ”Benar-benar salah!” 

”Dia tidak pernah cerita padaku kalau saudarinya seorang Squib,” kata 

Harry tanpa berpikir, dadanya masih terasa dingin. 

“Mengapa dia harus menceritakannya padamu?” tanya Bibi Muriel yang 

berusaha untuk memperhatikan Harry. 

“Alasan Albus Dumbledore tidak pernah membicarakan Ariana,” kata Elphias, 

suaranya penuh dengan emosi, ”adalah, menurutku, karena Dumbledore begitu 

hancur setelah kematian Ariana.” 

”Mengapa tidak ada orang yang pernah melihatnya, Elphias?” kata Muriel. 

”Mengapa tidak ada orang yang tahu kalau Ariana itu ada, sampai mereka 

mengeluarkan peti mati dari dalam rumah dan melakukan upacara pemakaman? 

Di mana Albus yang baik hati saat saudarinya terkunci dalam gudang bawah 

tanah? Pergi dan belajar di Hogwarts, dan tidak peduli dengan apa yang terjadi 

di rumah!” 

”Apa maksudmu, ’terkunci di gudang bawah tanah’?” tanya Harry. ”Apa 

maksudnya?” 

Bibi Muriel tertawa dan menjawab pertanyaan Harry. 

”Ibu Dumbledore adalah seorang wanita yang menakutkan. Kelahiran 

Muggle, tapi kudengar dia berpura-pura…” 

“Dia tidak berpura-pura menjadi apa pun itu! Kendra adalah seorang wanita 

yang baik,” bisik Doge sedih, tapi Bibi Muriel tidak peduli. 

“… begitu bangga dan berkuasa, penyihir yang lebih baik mati daripada 

menghasilkan seorang Squib…” 

”Ariana bukan seorang Squib!” bisik Doge marah. 

”Kalau begitu jelaskan, Elphias, mengapa Ariana tidak masuk Hogwarts!” kata 
Bibi Muriel, lalu kembali pada Harry. ”Dulu, Squib sering diusir, 

memenjarakan mereka di dalam rumah, dan dianggap tidak ada...” 

“Kuberitahu kau, bukan itu yang terjadi!” kata Doge, tapi Bibi 

Muriel tidak mendengarkan dan terus berbicara pada Harry. 

“Squib biasanya dikirim ke sekolah Muggle dan tinggal di komunitas Muggle… 

karena lebih mudah begitu daripada harus mencari tempat di dunia sihir, di 

mana mereka jadi orang buangan. Tapi sepertinya Kendra Dumbledore tidak 

ingin putrinya di kirim ke sekolah Muggle…” 

”Ariana rapuh!” kata Doge putus asa. ”Kesehatannya membuatnya tidak bisa 

pergi…” 

“Membuatnya tidak bisa pergi bahkan hanya untuk keluar rumah?” bantah 

Muriel. “Bahkan ibunya tidak membawanya ke St Mungo atau memanggil 

Penyembuh untuk putrinya!” 

“Muriel, bagaimana kau bisa tahu lebih baik daripada…” 

“Agar kau tahu, Elphias, sepupuku, Lancelot, saat itu bekerja menjadi 

Penyembuh di St Mungo. Dan dia bercerita pada keluarganya bahwa dia tidak 

pernah melihat Ariana dirawat di sana. Bukankah mencurigakan!” 

Doge mulai meneteskan air mata. Bibi Muriel yang sepertinya menikmati 

kemenangannya, menjentikkan jarinya untuk meminta champagne lagi. Harry 

mengingat bagaimana keluarga Dursley menyingkirkannya, menguncinya, dan 

menyembunyikannya hanya karena ia seorang penyihir. Apakah saudari 

Dumbledore juga mendarita karena alasan yang berkebalikan darinya, 

terpenjara karena tidak punya kemampuan sihir? Apakah Dumbledore benar￾benar meninggalkannya dan pergi ke Hogwarts untuk membuktikan dirinya 

sebagai penyihir yang brilian dan berbakat? 

”Kalau saja Kendra tidak meninggal lebih dulu,” Muriel menyimpulkan, ”aku 

yakin kalau dia akan membunuh Ariana.” 

”Muriel!” bentak Doge. ”Seorang ibu membunuh putrinya sendiri? Pikirkan 

apa yang baru saja kau katakan!” 

”Jika ibu itu mampu memenjarakan putrinya bertahun-tahun, mengapa 

tidak?” Bibi Muriel mengangkat bahunya. ”Tapi tentu saja itu tidak mungkin, 

karena Kendra lebih dulu mati – sepertinya tidak ada yang berpikir…” 

”Oh, kau yakin kalau Ariana yang membunuh Kendra?” tantang Doge. “Mengapa 
tidak?” 

“Ya, Ariana mungkin saja sangat ingin bebas dan membunuh Kendra agar bisa 

bebas,” kata Bibi Muriel yakin. “Gelengkan kepalamu sebanyak kau suka, 

Elphias! Kau ada di pemakaman Ariana, kan?” 

”Memang,” kata Doge dengan bibir gemetar. ”Perasaan Albus begitu terluka…” 

”Bukan hanya perasaannya yang terluka. Bukankah Aberforth mematahkan 

hidung Dumbledore saat itu?” 

Doge terlihat begitu ketakutan, seakan Muriel akan menusuknya. Muriel 

tertawa keras dan meneguk champagnenya lagi. 

”Bagaimana kau tahu?” kata Doge. 

”Ibuku adalah teman dari Bathilda Bagshot,” kata Bibi Muriel senang. 

”Bathilda menceritakan semuanya pada ibuku saat aku menguping di pintu. 

Bertengkar di depan peti mati! Kata Bathilda, Aberforth berteriak-teriak 

bahwa semua adalah Albuslah yang harus disalahkan sebagai penyebab 

kematian Ariana, lalu dia menonjok wajah Albus. Menurut Bathilda, Albus 

bahkan tidak menghindar, bukankah itu aneh. Karena Albus bisa saja 

mengalahkan Aberforth bahkan dengan kedua tangannya terikat ke belakang.” 

Muriel meneguk lagi champagnenya. Cerita skandal lama ini sepertinya membuat 

Muriel berbesar hati dan Doge malah ketakutan. Harry tidak peduli harus 

percaya pada siapa. Yang ia inginkan hanya satu, kebenaran. Dan Doge hanya 

duduk di sana dan berkeras bahwa Ariana sakit parah. Harry tidak percaya 

kalau Dumbledore akan diam saja bila ada kekejaman seperti itu terjadi di 

rumahnya, tapi tetap saja cerita itu terdengar aneh. 

”Dan kuberitahu satu hal lagi,” kata Muriel setelah menurunkan gelasnya. 

”Aku rasa Bathilda sudah menceritakan semua itu pada Rita Skeeter. 

Semua petunjuk tentang sumber yang dekat dengan Dumbledore – semua 

orang tahu kalau dia ada saat pemakaman Ariana.” 

”Bathilda tidak akan pernah berbicara pada Rita Skeeter!” bisik Doge. 

”Bathilda Bagshot?” kata Harry. ”Penulis Sejarah Sihir?” 

Nama itu tercetak di halaman depan salah satu buku Harry, walau bukan 

buku yang paling sering dibaca Harry. 

“Ya,” kata Doge lega, seakan menemukan tempat untuk mengapung saat ia 

hampir tenggelam. ”Seorang sejarahwan berbakat dan teman lama Albus.” 
”Sedikit sinting sekarang, setahuku,” kata Bibi Muriel ceria. 

”Kalau memang benar, Skeeter makin tidak terhormat karena telah 

mengambil keuntungan darinya,” kata Doge, ”dan tidak ada jaminan atas 

semua yang dikatakan Bathilda!” 

”Oh, selalu ada cara untuk mengingat kenangan itu, dan aku Yakin Rita Skeeter 

tahu semua itu,” kata Muriel. ”Bahkan bila Bathilda benar-benar sinting, aku 

yakin masih ada foto dan surat peninggalannya. Bathilda mengenal Dumbledore 

begitu lama… dan begitu Skeeter pergi Godric Hollow, semua akan jelas.” 

Harry yang baru saja meminum Butterbeernya, tersedak. Doge menepuk-nepuk 

pungung Harry, sambil memandangi bibi Muriel dengan mata marah. Saat Harry 

sudah baikan, ia bertanya, “Bathilda Bagshot tinggal di Godric Hollow?” 

“Oh, ya, dia sudah tinggal lama di sana! Bahkan saat keluarga Dumbledore 

pindah ke sana setelah Percival dipenjara. Dan mereka bertetangga.” 

“Keluarga Dumbledore tinggal di Godric Hollow?” 

”Ya, Barry, kan baru aku bilang tadi!” kata bibi Muriel. 

Harry merasa kosong. Selama enam tahun, Dumbledore tidak pernah 

memberitahunya kalau mereka berdua pernah tinggal dan kehilangan orang 

terkasih mereka di Godric Hollow. Mengapa? Apakah Lily dan James Potter 

dimakamkan denkat dengan ibu dan saudari Dumbledore? Apakah 

Dumbledore pernah mengunjungi makam mereka? Tapi Dumbledore tidak 

pernah memberitahu… tidak merasa perlu bercerita… 

Dan mengapa hal ini begitu penting, Harry juga tidak tahu. Tapi Harry 

menganggap bahwa Dumbledore telah berbohong dengan tidak pernah 

mengatakan bahwa mereka berdua pernah tinggal di tempat yang sama dan 

mengalami hal yang sama. Harry menerawang tidak memerhatikan sekitarnya 

sampai Hermione muncul dari kerumunan dan duduk di sebelahnya. 

”Aku sudah tidak kuat berdansa lagi,” kata Hermione lelah. Ia melepaskan salah 

satu sepatunya dan menggosok tumitnya. ”Ron sedang mengambil Butterbeer. 

Tadi aku melihat Viktor pergi dari ayah Luna setelah marah-marah padanya. 

Aneh, kan. Sepertinya mereka bertengkar…” Hermione menurunkan nada 

suaranya dan menatap Harry, ”Harry, kau baik-baik saja?” 

Harry tidak tahu bagaimana ia harus memulai, tapi itu tidak penting. Karena 

saat itu, sesuatu yang besar dan keperakan telah turun menembus kanopi, 

tepat di atas lantai dansa. Anggun dan berkilauan, seekor lynx mendarat 
membuat orang-orang terpesona. Semua menoleh dan terdiam melihatnya. 

Lalu mulut Patronus itu membuka lebar dan terdengat suara nyaring, dalam, 

dan lambat, milik Kingsley Shacklebolt. 

”Kementrian telah dikuasai. Scrimgeour mati. Mereka datang.” 

Bab 9 A Place To Hide TEMPAT UNTUK BERSEMBUNYI 

Semuanya berjalan lambat dan membingungkan. Harry dan Hermione meloncat 

dari kursi dan mengeluarkan tongkat mereka. Banyak orang yang baru 

menyadari suatu hal aneh telah terjadi. Mereka masih tampak kebingungan 

saat kucing perak itu menghilang. Semua bungkam memandangi tempat 

Patronus tadi muncul, lalu seseorang berteriak. 

Harry dan Hermione berlari menerobos kerumunan orang yang panik. Para 

tamu berlari ke segala arah, beberapa di antaranya ber-Disapparate, 

perlindungan the Burrow telah rusak. 

”Ron!” teriak Hermione. “Ron, kau di mana?” 

Saat mereka menerobos di tengah lantai dansa, Harry dapat melihat sosok 

bertudung dan bertopeng muncul. Lalu ia melihat Lupin dan Tonks mengangkat 

tongkat mereka dan keduanya berteriak ”Protego!”, dan terdengar tangisan 

menggema. 

”Ron! Ron!” panggil Hermione yang hampir menangis saat mereka berada di 

tengahtengah para tamu yang ketakutan. Harry meraih tangan Hermoine 

meyakinkan diri agar tidak terpisah. Lalu kilatan cahaya melewati atas kepala 

mereka. 

Akhirnya mereka menemukan Ron, yang langsung meraih tangan Hermione 

yang lain, lalu Harry merasa tempat itu berputar. Semuanya berubah gelap. 

Dan yang bisa Harry rasakan hanya tangan Hermione yang menggenggamnya 

erat. Harry merasa mereka menjauh dari the Burrow, dari Pelahap Maut yang 

berdatang, bahkan dari Voldemort. 

“Kita ada di mana?” terdengar suara Ron. 

Harry membuka matanya. Sesaat ia pikir mereka masih di pesta 

pernikahan, karena mereka masih dikelilingi oleh banyak orang. 

”Jalan Totenham Court,” kata Hermione terengah-engah. ”Jalan. Kita harus 

menemukan tempat untuk berganti pakaian.” 

Harry menurut. Mereka setengah berlari di sebuah jalan yang lebar dan gelap 
yang dipenuhi pejalan kaki. Di kedua sisi jalan berjajar toko-toko yang sudah 

tutup, dan bintang-bintang berkedip di atas mereka. Saat sebuah bus tingkat 

berhenti dan penumpang di dalamnya menatap mereka saat mereka berlari 

melewatinya. Harry dan Ron masih mengenakan jubah pesta mereka. 

”Hermione, kita tidak membawa pakaian ganti,” kata Ron saat seorang wanita 

tertawa keras melihatnya. 

”Mengapa aku tidak membawa Jubah Gaib?” Harry mengutuki kebodohannya 

sendiri. ”Tahun lalu aku membawanya ke mana-mana.” 

‘‘Tenang, aku membawa Jubahmu, dan aku membawa pakaian ganti untuk kita 

semua,” kata Hermione. ‘‘Sekarang bersikaplah seperti biasa, masuk kemari.” 

Hermione berbelok masuk ke dalam gang kecil yang gelap. 

‘‘Saat kau bilang kau membawa Jubah dan pakaian…” kata Harry sambil 

mengerutkan dahinya ke arah Hermione yang hanya membawa tas manik kecil, 

yang jelas tidak punya banyak ruang di dalamnya. 

‘‘Bagaimana mungkin…” 

‘‘Mantra Perluasan yang Tak Terdeteksi,” kata Hermione. ‘‘Sulit memang, tapi 

aku rasa aku sudah melakukannya dengan baik. Aku sudah memasukkan semua 

yang kita butuhkan.”Hermione mengayunkan tas kecilnya yang kemudian 

terdengar gema seperti kotak dengan banyak muatan yang berguling di dalam. 

‘‘Oh, sial, pasti buku-buku itu,” kata Hermione sambil mengintip ke dalam tas, 

‘‘padahal sudah kutata sesuai dengan abjad… ah sudahlah… Harry, pakai Jubah 

Gaibmu. Ron, cepat ganti pakaianmu.” 

‘‘Kapan kau mengemasi semua ini?” tanya Harry saat Ron melepas jubahnya. 

‘‘Sudah kubilang di the Burrow, kan? Aku mengemasi barang-barang yang kita 

butuhkan. Kau tahu, siapa tahu kita harus kabur tiba-tiba. Aku mengemasi 

ranselmu tadi pagi, Harry, setelah kau ganti baju… dan aku masukkan ke sini 

semua… saat itu aku merasa…” 

‘‘Kau memang benar-benar luar biasa,” kata Ron yang menyerahkan gulungan 

jubahnya. 

‘‘Terima kasih,” kata Hermione yang berusaha memasukkan jubah Ron ke dalam 

tasnya. ‘‘Harry, cepat pakai Jubahmu!” 

Harry memakai Jubah Gaib di bahunya dan memakai tudung untuk menutupi 

kepalanya, dan ia menghilang dari penglihatan. Harry baru saja menyadari apa 
yang baru saja terjadi. 

‘‘Yang lain — orang-orang di pesta pernikahan…” 

‘‘Kita tidak bisa mengkhawatirkan mereka sekarang,” bisik Hermione. 

‘‘Mereka mencarimu, Harry, dan akan lebih membahayakan mereka bila kau 

kembali ke sana.” 

‘‘Hermione benar,” kata Ron yang seperti tahu kalau Harry akan berkomentar 

walau Ron tidak bisa melihatnya. ‘‘Hampir semua anggota Orde ada di sana. 

Mereka akan mengatasinya.” 

Harry mengangguk, lalu teringat kalau mereka tidak bisa melihatnya dan 

berkata, ‘‘Benar.” Lalu Harry teringat akan Ginny dan ia merasa perutnya 

dipenuhi cairan asam. 

‘‘Ayo, aku rasa kita harus pergi,” kata Hermione. 

Mereka kembali ke jalan dan melihat segerombolan orang yang bernyanyi 

bersama saat menyebrang jalanan. 

‘‘Hanya ingin tahu, mengapa Jalan Tottenham Court?” tanya Ron pada Hermione. 

‘‘Entahlah, muncul begitu saja di kepalaku. Tapi aku yakin kita akan lebih aman di 

dunia Muggle, mereka tidak akan mengira kita akan kemari.” 

‘‘Benar,” kata Ron sambil melihat sekeliling, ‘‘tapi apa tidak terlalu – terbuka?” 

‘‘Memang mau di mana lagi?” kata Hermione yang terlihat ngeri saat gerombolan 

pria di sebrang jalan bersiul padanya. ‘‘Kita tidak mungkin bisa memesan kamar 

di Leaky Cauldron, kan? Lalu Grimmauld Place, Snape bisa saja masuk ke sana… 

kurasa kita bisa mencoba bersembunyi di rumah orang tuaku, walau mungkin 

saja mereka akan kembali… oh, aku harap mereka tidak akan bilang apa-apa.” 

‘‘Baik-baik saja, sayang?” teriak pria mabuk di seberang jalan. ‘‘Mau minum? 

Segelas besar ditch ginger mungkin?” 

‘‘Ayo cari tempat duduk,” kata Hermione tak sabar saat Ron ingin membalas 

teriakan pria di seberang jalan. ‘‘Lihat! Ayo ke sana!” 

Sebuah café malam yang kecil dan lusuh. Sebuah lampu minyak redup ada di 

setiap meja plastik, tapi tempat itu hampir kosong. Harry duduk di kursi di 

pojok dan Ron duduk di sampingnya, di depan Hermione. Hermione tidak 

menyukai tempat ini, ia begitu sering menoleh untuk memastikan karena ia 

duduk membelakangi pintu masuk. Harry tidak suka diam saja, berjalan telah 
memberinya ilusi bahwa mereka memiliki tujuan. Di bawah Jubah, Harry dapat 

merasakan efek Ramuan Polijus perlahan memudar, tangannya sudah kembali 

seperti semula. Harry mengeluarkan kacamatanya dan memakainya. 

Setelah beberapa menit, Ron berkata, ‘‘Kau tahu kita tidak jauh dari Leaky 

Cauldron, jalan Charing Cross hanya…” 

‘‘Kita tidak bisa Ron!” kata Hermione. 

‘‘Kita tidak perlu menginap di sana, hanya untuk cari tahu apa yang terjadi!” 

‘‘Kita tahu apa yang terjadi! Voldemort sudah menguasai Kementrian. Apa 

lagi yang perlu kita tahu?” 

‘‘Baik, baik, itu hanya sebuah usulan.” 

Lalu kembali bungkam. Pelayan yang sedang mengunyah permen karet mendekat 

dan Hermione memesan dua cappucino. Karena Harry tidak terlihat, tentu aneh 

bila mereka memesan tiga. Dua orang pekerja yang tinggi besar memasuki café 

dan duduk di sebelah mereka. Hermione mengecilkan suaranya menjadi bisikan. 

‘‘Setelah kita menemukan tempat yang cukup sepi untuk ber-Dissaparate dan 

kita pergi ke pedesaan, aku akan mengirim pesan untuk anggota Orde.” 

‘‘Kau bisa melakukan Patronus yang berbicara itu?” tanya Ron. 

‘‘Aku sudah berlatih, dan aku rasa aku bisa,” kata Hermione. 

‘‘Selama hal itu tidak mempersulit mereka saja. Bisa saja mereka sedang 

ditahan sekarang. Ya ampun, menjijikkan,” tambah Ron setelah menerima dan 

mencicipi kopi dengan busa di atasnya. Pelayan itu langsung memelototinya dan 

pergi untuk melayani tamu yang lain. Pekerja bertubuh besar dan berambut 

pirang itu mengusir sang pelayan. Pelayan itu menatap merasa terhina. 

‘‘Ayo pergi, aku tidak ingin minum kotoran ini,” kata Ron. ‘‘Hermione, apa 

kau membawa uang Muggle untuk membayar ini?” 

‘‘Ya, aku membawa semua tabunganku sebelum berangkat ke the Burrow. 

Aku rasa uangku ada di dasar tas,” keluh Hermione sambil mengambil tas 

maniknya. 

Kedua pekerja itu melakukan hal yang sama, dan Harry menirunya. Mereka 

bertiga mempersiapkan tongkat masing-masing. Ron baru menyadari apa yang 

terjadi, langsung mendorong Hermione untuk bersembunyi di bawah bangku, 

tepat saat seorang Pelahap Maut melepaskan mantra yang meleset dan mengenai 
dinding. Harry yang masih tidak kelihatan, berteriak, ‘‘Stupefy!” 

Pelahap maut berambut pirang terkena kilatan cahay merah tepat di wajahnya, 

yang langsung terjatuh, pingsan. Temannya, tidak tahu darimana mantra itu 

berasal, melepaskan serangan pada Ron. Tali hitam meluncur dari ujung talinya 

dan mengikat tubuh Ron –- pelayan itu berteriak dan berlari keluar pintu –-

Harry melepaskan Mantra Pemingsan lagi pada Pelahap Maut yang sudah 

mengikat Ron. Tapi mantra itu meleset, memantul di kaca jendela, dan 

mengenai sang pelayan yang langsung pingsan. 

‘‘Expulso!” teriak Pelahap Maut itu, lalu meja yang ada di depan Harry 

meledak. Ledakan itu membuat Harry terpental ke dinding dan tongkatnya 

terlepas, dan Harry merasa Jubahnya merosot. 

‘‘Petrificus totalus!” teriak Hermione, dan Pelahap Maut itu terbujur kaku dan 

jatuh ke atas meja, kursi, danporselen di dekatnya. Hermione merangkak 

keluar dari bawah bangku sambil membersihkan pecahan asbak yang menjatuhi 

rambutnya. Hermione gemetar hebat. 

‘‘D-Diffindo!” Hermione mengacungkan pada Ron yang langsung berteriak 

karena Hermione menyobek bagian lutut celana jeansnya. ‘‘Oh, maaf, Ron, 

tanganku gemetar! Diffindo!” 

Tali yang mengikat Ron terlepas. Ron berdiri dan menggerakkan tangannya untuk 

meredakan rasa sakitnya. Harry memungut tongkatnya dan menyingkirkan puing￾puing bekas pertarungan yang menutupi tubuh besar Pelahap Maut yang 

berambut pirang yang sekarang tergeletak di bawah bangku. 

‘‘Seharusnya aku mengenalinya, dia ada di sana saat Dumbledore meninggal,’‘ 

kata Harry. Harry berpindah ke Pelahap Maut lainnya. Mata pria itu 

bergerak cepat memelototi Harry, Ron, dan Hermione. 

”Dolohov,” kata Ron. ‘‘Aku mengenalinya dari poster buronan tua. Aku rasa yang 

besar 

itu Thorfirm Rowle.”

‘‘Aku tidak peduli siapa mereka!” kata Hermione sedikit histeris. ‘‘Bagaimana 

mereka

menemukan kita? Apa yang harus kita lakukan?”

Entah bagaimana kepanikan Hermione bisa membuat Harry bisa berpikir jernih. 

‘‘Kunci pintunya,” kata Harry pada Hermione, ‘‘dan Ron, padamkan lampu.” 
Harry memandangi Dolohov yang lumpuh, berpikir cepat saat pintu terkunci dan 

Ron 

menggunakan Deluminator untuk menenggelamkan café itu dalam kegelapan. 

Harry bisa mendengar dari jauh pria yang menggoda Hermione tadi, sekarang 

berteriak pada gadis lain. 

‘‘Apa yang harus kita lakukan pada mereka?” bisik Ron pada Harry dalam 

gelap. ‘‘Membunuh mereka? Mereka pasti akan membunuh kita.” 

Hermione ketakutan dan mundur beberapa langkah. Harry menggelengkan 

kepalanya. 

‘‘Kita akan menghapus ingatan mereka,’‘ kata Harry. ‘‘itu lebih baik dan mereka 

tidak 

akan mengejar kita lagi. Bila kita membunuh mereka, malah membuktikan 

bahwa kita 

pernah ada di sini.”

‘‘Kau bosnya,” kata Ron lega. ‘‘Tapi aku tidak pernah menggunakan Mantra 

Memori.” 

‘‘Aku juga tidak,” kata Hermione, ‘‘tapi aku tahu teorinya.”

Hermione menarik nafas dalam untuk menenangkan diri lalu mengarahkan 

tongkatnya ke 

dahi Dolohov dan berkata, ‘‘Obliviate!” 

Mata Dolohov menjadi tidak fokus dan menerawang. 

‘‘Brilian!” kata Harry yang menepukkan tangannya ke bahu Hermione. ‘‘Urus yang 

lain 

sementara aku dan Ron membereskan semuanya.”

‘‘Membereskan?” kata Ron, memandang café yang sudah setengah hancur itu. 

‘‘Mengapa?”

‘‘Bukankah kau akan penasaran kalau tiba-tiba terbangun dan melihat 

sekitarmu seperti 

baru saja dibom?” 

‘‘Oh, benar…” 
Ron berusaha keras sebelum akhirnya berhasil mengeluarkan tongkat 

dari saku 

celananya. 

‘‘Tidak heran mengapa aku tidak bisa mengeluarkannya, Hermione, kau membawa 

jeans 

lamaku. Ketat sekali.”

‘‘Oh, maaf,” desis Hermione saat ia menarik sang pelayan menjauh dari jendela, 

lalu 

Harry mendengar Hermione menggumam sendiri tentang di mana Ron bisa 

menancapkan 

tongkatnya. 

Saat café sudah dibenahi ke kondisi semula dan mengangkat dua Pelahap Maut 

itu ke 

tempat duduk mereka, saling berhadapan. 

‘‘Bagaimana mereka menemukan kita?” tanya Hermione yang masih memandangi 

kedua 

pria yang tidak sadar itu. ‘‘Bagaimana mereka tahu di mana kita?”

Hermone menoleh ke arah Harry. 

‘‘Kau –- kau sudah tidak meninggalkan jejak, kan, Harry?”

‘‘Tidak mungkin,” kata Ron. ‘‘Jejak itu akan hilang begitu seseorang berusi tujuh 

belas 

tahun, itu hukum sihir, kau tidak bisa melakukannya pada penyihir dewasa.” 

‘‘Itu yang kau tahu,” kata Hermione. ‘‘Bagaimana jika Pelahap Maut menemukan 

cara 

untuk melakukannya pada penyihir yang sudah berusia tujuh belas tahun!” 

‘‘Tapi Harry tidak berada dekat dengan Pelahap Maut mana pun dalam waktu dua puluh 

empat jam. Siapa yang akan memantrai Harry?” 

Hermione tidak membalas. Harry merasa bersalah. Benarkah ia yang 

menyebabkan 

Pelahap Maut menemukan mereka? 

‘‘Jika aku tidak menggunakan sihir dan kalian tidak bisa menggunakan sihir di 

dekatku, 

sepertinya kita harus…” kata Harry. 

‘‘Kita tidak akan berpisah!” kata Hermione tegas. 

‘‘Kita butuh tempat yang aman untuk bersembunyi,” kata Ron. ‘‘Kita butuh waktu 

untuk 

berpikir.”

‘‘Grimmauld Place,” kata Harry. 

Ron dan Hermione tercengang. 

‘‘Jangan bodoh, Harry, Snape bisa masuk ke sana!” 

‘‘Ayah Ron bilang mereka sudah menyiapkan kutukan untuk Snape–-bila itu tidak 

dapat 

menahannya,” lanjut Harry, saat melihat Hermione yang ingin menentang, 

‘‘memang 

kenapa? Sungguh, tak ada yang lebih kuinginkan daripada bertemu Snape!” 

‘‘Tapi…” 

‘‘Hermione, apa ada tempat lain? Itu satu-satunya kesempatan kita. Snape 

hanya seorang Pelahap Maut. Kalau aku masih meninggalkan jejak, mereka semua 

akan datang ke mana pun kita pergi.” 

Hermione tidak dapat membalas, walau sepertinya ia sangat ingin membalas. 

Saat Hermione membuka kunci pintu, Ron menekan Deluminator untuk 

mengembalikan cahaya café. Lalu, dalam hitungan ketiga, mereka mengangkat 

mantra dan sebelum Pelahap Maut dan sang pelayan merasakan sesuatu yang 

tidak lebih dari rasa kantuk yang luar biasa, mereka bertiga menghilang dalam kegelapan sekali lagi. 

Beberapa detik kemudian, Harry bernafas lega saat membuka matanya. Mereka 

berdiri di depan bangunan kecil dan lusuh yang sudah mereka kenal. Mereka bisa 

melihat bangunan nomor dua belas itu, karena mereka telah diberitahu oleh 

Dumbledore, sang Pemegang Rahasia. Mereka langsung berlari sambil memeriksa 

apakah mereka diikuti atau dimata-matai. Mereka bergegas menaiki tangga 

batu, dan Harry mengetukkan tongkatnya ke pintu. 

Terdengar suara denting logam dan rantai, lalu pintu berderak terbuka dan 

mereka bergegas masuk. Saat Harry menutup pintu, lampu gas bermodel lama 

langsung menyala, memberi cahaya di sepanjang lorong panjang. Tetap sama 

seperti yang Harry ingat, penuh jaring laba-laba dan terdapat pajangan kepala 

peri rumah yang berjajar di dinding. Tirai gelap panjang menutup potret ibu 

Sirius. Satu hal yang tidak pada tempatnya hanya tempat payung berbentuk 

kaki Troll yang sekarang tergeletak, sepertinya Tonks menyandungnya terakhir 

kali. 

‘‘Aku rasa ada orang yang pernah datang kemari,” bisik Hermione. 

‘‘Tidak mungkin kalau anggota Orde sudah meninggalkannya,” gumam Ron 

membalas. 

‘‘Jadi di mana kutukan yang disiapkan untuk Snape?” Tanya Harry. 

‘‘Mungkin aktif kalau dia yang datang,” tebak Ron. 

Mereka masih berdiri di atas keset tepat di depan pintu, tidak berani masuk 

lebih dalam. 

‘‘Kita tidak bisa diam saja di sini,” kata Harry yang melangkah maju. 

‘‘Severus Snape?” 

Suara Mad-Eye Moody berbisik dalam kegelapan, membuat mereka bertiga 

melompat kaget. ‘‘Kami bukan Snape!” teriak Harry sebelum udara dingin 

menyapunya dan membuat lidahnya bergulung membuatnya tidak bisa bicara. 

Sebelum Harry bisa merasakan lidahnya lagi, lidah itu kembali seperti 

semula. 

Ron dan Hermione juga sepertinya merasakan hal yang tidak menyenangkan yang 

sama. Ron seperti ingin muntah. Hermione tergagap, ‘‘Itu p-pasti K-Kutukan 

Pengikat L-Lidah yang Mad-Eye siapkan untuk Snape!” 

Harry memberanikakn diri untuk melangkah lagi. Sesuatu bergerak dalam 
bayangan di ujung lorong, dan sebelum mereka bisa berkata sesuatu, sebuah 

sosok muncul dari bawah karpet, tinggi, keabuan, dan menakutkan. Hermione 

berteriak, begitu pula nyonya Black, tirainya terbuka. Sosok keabuan itu

melayang ke arah mereka, dengan rambut dan janggut sepanjang pinggang yang 

melambai, wajahnya tirus seakan tak berdaging, dengan rongga matanya yang 

kosong. Sosok mengerikan tapi sudah dikenalnya itu mengangkat tangan, 

menunjuk Harry. 

‘‘Tidak!” teriak Harry, walaupun sosok itu mengangkat tongkatnya, tidak ada 

mantra terlepas darinya. ‘‘Tidak! Bukan kami! Kami tidak membunuhmu…” 

Bersamaan dengan kata ‘membunuhmu’ sosok itu meletup menghilang, 

meninggalkan kumpulan awan debu. Harry terbatuk dan matanya berair. 

Hermione berjongkok dengan tangannya memegangi kepala. Ron yang bergetar 

hebat menepuk bahu Hermione dan berkata, ‘‘TT-tidak apa-apa… s-sudah 

pergi.” 

Debu masih beterbangan membentuk kabut tipis, dan nyonya Black masih 

berteriak. 

‘‘Darah lumpur, sampah, kotoran memalukan yang menodai rumah ayahku…” 

‘‘DIAM!” teriak Harry yang mengacungkan tongkatnya, dan dengan 

ledakan dan percikan merah, tirai itu menutup dan membuatnya terdiam. 

‘‘Itu… itu…” rengek Hermione saat Ron membantunya berdiri. 

‘‘Ya,” kata Harry, ‘‘tapi itu bukan dia, kan? Hanya sosok untuk menakut-nakuti 

Snape.” 

Harry penasaran apakah semua itu bisa berhasil, atau Snape akan 

menyingkirkan sosok menakutkan tadi, sama seperti saat ia membunuh 

Dumbledore? Rasa takut masih tertinggal saat mereka terus berjalan, bersiap￾siap bila ada sesuatu lain yang akan terjadi, tapi hanya ada tikus yang berjalan 

merapat di dinding. 

‘‘Sebelum lebih jauh, lebih baik kita memeriksanya dulu,’‘ bisik Hermione 

yang mengangkat tongkatnya dan berkata, ‘‘Homenum revelio!” 

Tidak terjadi apa-apa. 

‘‘Kau baru saja mengalami shock berat,” kata Ron berbaik hati. ‘‘Memang 

harusnya apa yang terjadi?” 

‘‘Itulah yang seharusnya terjadi!” kata Hermione sedikit tersinggung. ‘‘Tadi itu 
mantra untuk menunjukkan keberadaan manusia, dan tidak ada seorang pun di 

sini selain kita!” 

‘‘Dan si Dusty* tua,” kata Ron sambil memandangi bagian karpet di mana 

sosok tadi muncul. 

‘‘Ayo naik,” kata Hermione yang memandangi tempat yang sama penuh 

ketakutan. Hermione mendahului untuk menaiki tangga yang berderak menuju 

ruang tamu di lantai satu. 

Hermione mengayunkan tongkatnya untuk menyalakan lampu yang kemudian 

menerangi ruangan. Hermione duduk di sofa dengan tangan memeluk tubuhnya 

erat. Ron berjalan menuju jendela dan membuka tirai beludru sedikit. 

‘‘Tidak ada orang di luar,” Ron melaporkan. ‘‘Dan kalau Harry masih 

meninggalkan Jejak, mereka pasti sudah mengejar kita kemari. Aku tahu kalau 

mereka tidak masuk ke dalam rumah, tapi – ada apa, Harry?” 

Harry meringis kesakitan. Bekas lukanya terasa terbakar lagi. Dan dalam 

pikirannya ia bisa melihat pantulan cahaya di atas air dan merasakan amarah 

yang bukan miliknya memenuhi tubuhnya, begitu garang dan cepat seperti 

tersengat listrik. 

‘‘Apa yang kau lihat?” tanya Ron sambil mendekati Harry. ‘‘Apa kau 

melihatnya di rumahku?” 

‘‘Tidak, aku hanya merasa marah – dia benar-benar marah.” 

‘‘Tapi bisa saja dia di the Burrow,” kata Ron. ‘‘Apa lagi? Apa kau tidak melihat 

yang lain? Apa dia sedang menyiksa seseorang?” 

‘‘Tidak, aku hanya merasa marah – aku tidak tahu…” 

Harry merasa kebingungan dan Hermione pun tidak membantu saat ia 

bertanya dengan suara ketakutan, ‘‘Bekas lukamu lagi? Ada apa? Kukira 

koneksi itu sudah tertutup.” 

‘‘Tadinya,” gumam Harry, bekas lukanya masih terasa sakit dan membuatnya

tidak bisa berkonsentrasi. ‘‘Aku–-aku rasa koneksi itu terbuka lagi saat dia 

kehilangan kendali, makanya…” 

‘‘Kalau begitu tutup pikiranmu!” kata Hermione nyaring. ‘‘Harry, Dumbledore 

tidak ingin kau menggunakan koneksi itu, dia ingin kau menutupnya, itu 

sebabnya kau belajar Occlumency! Atau Voldemort akan menanamkan 

penglihatan yang salah, ingat…” 
‘Ya, aku ingat, terima kasih,” kata Harry dengan gigi terkatup. Harry tidak 

butuh Hermione untuk mengingatkannya bahwa Voldemort pernah 

menggunakan koneksi mereka untuk menjebaknya, yang kemudian berakhir 

dengan kematian Sirius. Harry berharap ia tidak pernah mengatakan apa 

yang ia lihat dan katakan. Karena membuat Voldemort lebih menakutkan, 

dan sepertinya Voldemort sedang melihat mereka dari jendela. Bekas 

lukanya makin terasa sakit dan Harry mencoba untuk melawannya. 

Harry memunggungi Ron dan Hermione, berpura-pura memperhatikan permadani 

pohon keluarga Black yang terpampang di dinding. Lalu Hermione terpekik. 

Harry langsung mengeluarkan tongkatnya dan saat ia menoleh, ia melihat 

Patronus keperakan menembus jendela dan mendarat di lantai di depan mereka, 

dan memadat menjadi musang yang berbicara dengan suara ayah Ron. 

‘‘Keluarga selamat, jangan membalas, kami dimata-matai.” 

Patronus itu menghilang. Ron mengeluarkan suara antara rengekan dan 

perasaan lega, dan menjatuhkan diri ke sofa. Hermione mendekat dan 

memegangi tangannya. 

‘‘Mereka baik-baik saja!” bisik Hermione. Ron tertawa kecil dan memeluknya. 

‘‘Harry,” kata Ron dari balik bahu Hermione, ‘‘aku…” 

‘‘Tidak apa-apa,” kata Harry, rasa sakit masih menerpa kepalanya. ‘‘Itu 

keluargamu, tentu saja kau khawatir. Aku pun akan merasakan hal yang 

sama.” Harry teringat akan Ginny. ‘‘Aku memang merasakan hal yang sama.” 

Rasa sakit di bekas lukanya memuncak dan terasa terbakar sepert saat di 

kebun di The Burrow. Samar-samar Harry mendengar Hermione berkata, ‘‘Aku 

tidak ingin sendirian. Bisakah kita tidur di kantung tidur yang aku bawa dan 

tidur di sini?” 

Harry mendengar Ron menyetujui. Harry sudah tidak bisa lagi menahan rasa 

sakitnya. Ia ingin menyerah. 

‘‘Kamar mandi,” gumamnya sambil meninggalkan ruangan secepat mungkin tanpa 

harus berlari. 

Harry hampir berhasil, menggerendel pintu dengan tangannya yang gemetar 

hebat. Ia memegangi kepalanya yang kesakitan dan jatuh ke lantai. Lalu, dalam 

ledakan kesakitan, ia merasakan amarah yang bukan miliknya. Ia melihat ruangan 

yang panjang dan hanya diterangi oleh perapian. Pelahap Maut berambut pirang 

itu terbaring di lantai, berteriak, dan menggeliat. Dan ada sosok yang berdiri di 
depannya, mengangkat tongkat, sementara Harry berkata dalam suara tinggi, 

dingin, dan tak berbelas kasihan. 

‘‘Lagi, Rowle, atau harus kami sudahi dan memberikanmu pada Nagini? Lord 

Voldemort tidak akan mengampunimu kali ini… Kau memanggilku hanya untuk 

mengatakan bahwa Harry Potter telah meloloskan diri lagi? Draco, berikan 

Rowle rasa kesakitan… lakukan, atau kau akan merasakan kemarahanku!” 

Sepotong kayu dimasukkan ke dalam perapian, dan api memerah. Cahayanya 

jatuh pada wajah pucat yang ketakutan – seakan baru keluar dari kedalaman air, 

Harry menarik nafas dalam dan membuka matanya. 

Harry bergelung di lantai marmer hitam yang dingin. Hidungnya hampir 

menyentuh ekor ular perak yang menyangga bak mandi besar. Ia duduk. Wajah 

Malfoy yang cekung dan ketakutan terpatri di dalam matanya. Harry merasa 

muak atas apa yang baru ia lihat, apa yang Voldemort perintahkan pada Draco. 

Terdengar ketukan keras di pintu dan Harry melompat saat mendengar suara 

Hermione. 

‘‘Harry, kau mau memakai sikat gigimu?” 

‘‘Ya, terima kasih,” kata Harry menjaga agar suaranya terdengar seperti 

biasa. Lalu ia berdiri dan membukakan pintu untuk Hermione. 

====================== 

* Dusty bisa menjadi nama orang, bisa juga berarti berdebu. 

* Ditch ginger dalam pengertian ini dinyatakan sebagai nama minuman. 

Kita masih menerima saran atas pengertian dari ditch ginger. 

Bab 10 Kreacher’s Tale KISAH KREACHER 

Harry bangun lebih dulu keesokan paginya, terbungkus kantung tidur di lantai 

ruang tamu. Langit terlihat dari celah tirai. Langit tampak biru tenang, masih 

antara malam dan fajar. Begitu sepi, yang terdengar hanya nafas berat dan 

pelan dari Ron dan Hermione yang masih tertidur. Harry menatap sosok gelap 

yang tertidur di sebelahnya. Ron telah bersikap ksatria dan memaksa Hermione 

tidur di sofa. Bayangan Hermione menutupi Ron. Tangan Hermione menggantung, 

dan jarinya hampir menyentuh jari Ron. Harry berpikir apakah mereka tertidur 

dengan saling berpegangan tangan. Bayangan itu tibatiba membuatnya merasa 

sendiri. 
Harry menatap langit-langit yang gelap, ke arah lampu gantung yang dipenuhi 

jaring laba-laba. Kurang dari dua puluh empat jam yang lalu, ia sedang berdiri 

di bawah sinar matahari di depan pintu masuk tenda, menunggu para tamu 

untuk menunjukkan tempat duduk mereka. Sepertinya sudah lama sekali. Apa 

yang akan terjadi sekarang? Ia terbaring di lantai dan memikirkan Horcrux, 

misi yang rumit dan sulit, yang telah Dumbledore berikan… Dumbledore… 

Keberanian yang muncul sejak kematian Dumbledore mulai berubah. Tuduhan 

yang diberikan Muriel di pesta pernikahan telah bersarang di pikirannya dan 

seperti penyakit yang menginfeksi kenangan tentang penyihir yang 

diidolakannya. Apakah Dumbledore akan membiarkan hal itu terjadi? Apakah 

iaseperti Dudley yang tidak peduli selama hal itu tidak mengganggunya? 

Apakah ia meninggalkan saudarinya yang terpenjara dan disembunyikan? 

Harry memikirkan Godric Hollow, memikirkan makam yang tidak pernah 

Dumbledore ceritakan. Harry memikirkan benda misterius yang diwariskan 

Dumbledore tanpa penjelasan. Dan rasa marah Harry terus membesar dalam 

kegelapan. Mengapa Dumbledore tidak memberitahu? Mengapa Dumbledore 

tidak menjelaskan? Apakah Dumbledore benar-benar peduli pada Harry? Atau 

Harry sekadar alat yang terpoles dan terasah, tapi tidak pernah dipercaya? 

Harry tidak tahan untuk tetap terbaring dan memikirkan hal-hal pahit itu. Ia 

harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya. Ia keluar dari 

kantung tidurnya, mengambil tongkatnya, dan berjalan perlahan keluar ruangan. 

Di ujung tangga ia berbisik “Lumos,” dan pelan-pelan ia menaiki tangga diterangi 

cahaya dari ujung tongkatnya. 

Di lantai dua ada kamar dimana ia dan Ron pernah tidur saat terakhir kali 

mereka kemari. Harry memandangi bagian dalam kamar itu. Pintu lemari terbuka 

dan seprai tertarik lepas dari tempat tidur. Harry teringat dengan tempat 

payung Troll yang tergeletak jatuh. Seseorang telah mengobrak-abrik tempat 

ini sepeninggal anggota Orde. Snape? Atau Mundungus, yang melucuti barang￾barang di rumah ini baik sebelum dan sesudah kematian Sirius? Harry menatap 

potret yang terkadang diisi oleh Phineas Nigellus Black, kakek buyut Sirius. 

Tapi potret itu kosong, meninggalkan sebidang latar belakang berwarna lumpur. 

Phineas Nigellus tentu sedang menghabiskan malamnya di kantor kepala sekolah 

di Hogwarts. 

Harry menaiki tangga lagi hingga di lantai teratas yang hanya diisi oleh dua 

pintu. Satu pintu dengan papan nama Sirius. Harry belum pernah masuk ke 

kamar bapak baptisnya. Harry mendorong pintu sambil mengangkat tongkatnya 

tinggi-tinggi, memperluas jangkauan cahaya dari ujung tongkatnya. Kamar itu 

luas dan, pasti sebelumnya, indah. Ada tempat tidur besar dengan kayu ukiran di 
bagian kepala, jendela tinggi yang ditutupi oleh tirai beludru, dan tempat lilin 

gantung yang tertutup debu dengan lilin yang masih tertancap di tempatnya 

ditemani sisa tetesan lilin yang membeku. Debu melapisi gambar yang terpasang 

di dinding dan di atas tempat tidur. Jaring laba-laba terbentang dari lampu 

gantung ke atas lemari kayu. Harry memasuki kamar itu dan terdengar suara 

tikus yang berlari. 

Sirius remaja telah memenuhi dinding dengan berbagai poster dan potret, dan 

hanya sedikit warna asli dinding yang terlihat, perak keabuan. Harry yakin 

kalau orang tua Sirius telah gagal menghilangkan Mantra Tempel Permanen 

yang Sirius pasang, karena Harry yakin kalau orang tua Sirius tidak akan suka 

dengan selera dekorasi anak tertua mereka. Mungkin Sirius sedikit 

keterlaluan saat ingin menggoda orang tuanya. Ada beberapa bendera besar 

Gryffindor, merah dan emas, hanya untuk menunjukkan perbedaan dirinya 

dengan seluruh keluarga Slytherinnya. Ada banyak gambar sepeda motor 

Muggle dan (Harry harus mengakui keberanian Sirius) beberapa poster gadis 

Muggle berbikini, Harry tahu karena gambar itu tidak bergerak, tersenyum 

dan mata menatap menerawang diam di atas kertas. Kontras sekali dengan 

potret yang ada di dinding. Potret itu berisi empat siswa Hogwarts yang 

berjajar saling merangkul bahu kawannya, tertawa ke arah kamera. 

Dengan luapan rasa senang, Harry mengenali ayahnya dari rambut hitam yang 

tidak bisa rapi dan mencuat di bagian yang sama dengan rambut Harry, juga 

memakai kacamata. Di sebelahnya, Sirius, sangat tampan, wajah arogannya 

begitu muda dan lebih bahagia daripada yang pernah Harry lihat. Di sebelah 

kanan Sirius berdiri Pettigrew, lebih pendek, gemuk, dengan mata berair, penuh 

rasa senang karena bisa bergabung dalam kelompok paling keren, bersama biang 

onar paling dikagumi, James dan Sirius. Di sebelah kiri James ada Lupin, yang 

terlihat lusuh, tapi dalam keadaan yang sama gembira dan terkejutnya karena 

bisa bergabung… dan Harry tahu alasannya. Harry mencoba melepasnya dari 

dinding, potret itu menjadi miliknya sekarang – Sirius telah mewariskan 

segalanya – tapi bahkan menggesernya pun Harry tidak bisa. Sirius telah 

melakukan segalanya untuk mencegah orang tuanya mendekor ulang kamarnya. 

Harry memandang lantai. Langit di luar semakin terang, seberkas cahaya 

menerangi kertas-kertas, buku-buku, dan benda-benda kecil lain yang 

berserakan di karpet. Jelas kalau kamar Sirius juga sudah digeledah, walau 

sepertinya barang-barangnya dianggap tidak berharga. Beberapa buku telah 

ditarik begitu kasar sehingga hampir terlepas dari sampulnya, dan halaman￾halaman buku itu tersebar di lantai. Harry membungkuk untuk mengambil 

beberapa lembar kertas dan memeriksanya. Harry mengenali salah satunya 

sebagai bagian dari edisi lama Sejarah Sihir yang ditulis oleh Bathilda Bagshot, 
dan yang kedua adalah manual perawatan sepeda motor. Dan yang ketiga adalah 

kertas kusut dengan tulisan tangan. Harry merapikannya. 

Dear Padfoot, Terima kasih banyak untuk hadiah ulang tahun Harry! Itu adalah 

hadiah favoritnya. Masih berusia satu tahun tapi sudah terbang ke mana-mana 

dengan sapu terbang mainannya. Dia begitu senang memainkannya. Aku sertakan 

foto agar kau bisa melihatnya sendiri. Kau tahu kalau sapu itu hanya melayang 

satu meter dari tanah, tapi Harry hampir membunuh kucing kami dan 

memecahkan vas mengerikan yang Petunia berikan sebagai kado Natal (tidak ada 

yang mengeluh). Tentu saja James menganggapnya lucu, selalu berkata bahwa 

Harry akan menjadi pemain Quidditch hebat. Tapi kami harus menyimpan semua 

pajangan dan tidak boleh lengah mengawasi Harry saat dia di atas sapu. 

Kami mengadakan pesta ulang tahun kecil, hanya kami dan Bathilda yang selalu 

baik pada kami dan begitu menyayangi Harry. Sayang sekali kau tidak bisa 

datang, tapi Orde lebih penting. Lagipula Harry masih terlalu muda untuk tahu 

ulang tahunnya! James merasa sedikit tertekan bersembunyi di sini, walau dia 

berusaha menyembunyikan perasaannya tapi aku tahu – apalagi Dumbledore 

masih meminjam Jubah Gaibnya. Tak ada kesempatan untuknya berjalan-jalan. 

Jika kau bisa mengunjungi kami, James pasti akan senang. Wormy datang 

minggu lalu, dia kelihatan sedih, mungkin karena berita McKinnon. Aku sendiri 

menangis semalam begitu mendengar beritanya. 

Bathilda sering mengunjungi kami. Dia seorang wanita tua yang mengagumkan, 

yang selalu bercerita betapa luar biasanya Dumbledore. Aku penasaran, apakah 

Dumbledore akan senang kalau tahu. Jujur, aku tidak tahu apa aku harus 

percaya atau tidak. Karena rasanya tidak dapat dipercaya kalau Dumbledore 

Tubuh Harry terasa kebas. Ia berdiri kaku memegangi kertas itu dalam jari￾jarinya yang gemetar. Sementara di dalam dirinya muncul letupan rasa senang 

yang mengalir di seluruh pembuluh darahnya. Perlahan Harry berjalan menuju 

tempat tidur dan duduk. 

Harry membaca surat itu sekali lagi, tapi ia tidak mendapatkan apapun lebih 

dari saat membacanya untuk pertama kali tadi, lalu ia memandangi tulisan 

tangan itu. Ibunya menuliskan huruf 'g' yang sama seperti dirinya. Harry 

memperhatikan huruf perhuruf tulisan di surat itu dan semakin ia merasa akrab 

dengannya. Surat itu merupakan harta berharga. Sebuah bukti bahwa Lily 

pernah hidup, benar-benar hidup. Bukti bahwa tangan hangatnya pernah 

bergerak di atas perkamen ini, menggoreskan tinta ke dalam huruf dan kata. 

Kata-kata tentang Harry, anaknya. 

Harry cepat-cepat mengusap matanya yang basah dan membaca ulang surat 
itu. Kali ini lebih berkonsentrasi pada isinya. Rasanya seperti mendengarkan 

dari suara yang pernah diingatnya. 

Mereka memelihara kucing… mungkin kucing itu mati, seperti orang tuanya, di 

Godric Hollow… atau pergi karena tidak ada yang memberinya makan... Sirius 

memberi sapu pertama Harry… orang tuanya mengenal Bathilda Bagshot. 

Apakah Dumbledore yang memperkenalkan mereka? Dumbledore masih 

meminjam Jubah Gaibnya… ada yang aneh… 

Harry berhenti dan memikirkan kata-kata ibunya. Mengapa Dumbledore 

meminjam Jubah Gaib James? Harry masih mengingat jelas saat sang kepala 

sekolah memberitahunya, bertahun-tahun yang lalu, “Aku tidak butuh Jubah 

untuk menjadi tidak terlihat.” Mungkinkah ada anggota Orde yang 

membutuhkannya dan Dumbledore menjadi perantaranya? Harry melanjutkan. 

Wormy datang… Pettigrew, si pengkhianat, yang terlihat “sedih”. Benarkah? 

Apa ia peduli bahwa ia sedang menemui Lily dan James dalam keadaan hidup 

untuk terkahir kali? 

Lalu Bathilda lagi, yang menceritakan betapa hebatnya Dumbledore, rasanya 

tidak dapat dipercaya kalau Dumbledore... 

Kalau Dumbledore apa? Begitu banyak kemungkinan yang tidak dapat 

dipercaya yang dapat terjadi pada Dumbledore. Mendapatkan nilai terendah 

dalam pelajaran Transfigurasi, misalnya. Atau tiba-tiba memiliki ketertarikan 

khusus pada kambing seperti Aberforth. 

Harry berdiri dan mencari-cari di lantai, mungkin lanjutan suratnya ada di 

sana. Harry mengambil kertas-kertas itu dan menikmati mencarinya. Lalu ia 

meniru penggeledah sebelumnya, menarik laci-laci, mencari di dalam buku, 

berdiri di atas kursi agar bisa menjangkau bagian atas lemari, dan merangkak 

ke bawah tempat tidur dan kursi. 

Akhirnya, Harry berbaring di lantai dan menemukan sepotong kertas yang 

tersobek, terselip di bagian bawah laci. Saat Harry menariknya, ia tahu bahwa 

itu adalah foto yang dimaksudkan Lily. Bayi berambut hitam di atas sapu kecil, 

terbang keluar masuk foto, tertawa senang, dan sepasang kaki, yang pasti milik 

James, mengejarnya. Harry menyimpan foto dan surat Lily dalam kantungnya, 

dan melanjutkan mencari lembar kedua. 

Setelah lima belas menit mencari, Harry terpaksa harus menyimpulkan bahwa 

sisa surat ibunya tidak ada. Apakah sisa surat itu hilang begitu saja setelah 

enam belas tahun, atau telah diambil oleh seseorang yang telah menggeledah 

kamar ini? Harry membaca lembar pertama surat itu lagi, kali ini mencoba 
mencari petunjuk yang mungkin menunjukkan isi lembar kedua. Sapu terbang 

mainannya mungkin akan menjadi petunjuk menarik bagi Pelahap Maut… petunjuk 

paling potensial hanyalah tentang Dumbledore. Rasanya tidak dapat dipercaya 

kalau Dumbledore – apa? 

“Harry? Harry! Harry!” 

“Aku di sini!” jawab Harry. “Ada apa?” 

Terdengar derap kaki di luar dan Hermione memasuki ruangan. 

“Kami bangun dan tak tahu kau ada di mana!” kata Hermione yang kehabisan 

nafas. Hermione menoleh dan berteriak, “Ron! Aku sudah menemukannya!” 

Terdengar suara Ron menjawab dan menggema dari lantai bawah. 

“Bagus! Katakan padanya kalau dia kurang ajar!” 

“Harry, tolong jangan menghilang begitu saja! Kami khawatir! Lagipula 

mengapa kau naik ke kamar ini?” Hermione memandangi kamar yang 

berantakan. “Apa yang kau lakukan?” 

“Lihat apa yang baru saja kutemukan.” 

Harry mengacungkan surat ibunya. Hermione mengambil dan membacanya 

sementara Harry memperhatikan. Saat Hermione selesai membaca, ia 

menatap Harry. 

“Oh, Harry…” 

“Dan ini.” 

Harry menyodorkan foto sobek dan Hermione tersenyum saat melihat seorang 

bayi yang terbang keluar masuk foto di atas sapu mainan. 

“Aku sudah mencari sisa suratnya,” kata Harry, “Tapi tidak ada.” 

Hermione memandangi ke sekeliling ruangan. 

“Apakah kau yang membuat ruangan ini berantakan, atau memang sudah 

seperti ini sebelum kau kemari?” 

“Seseorang sudah mengobrak-abrik dan sedang mencari sesuatu 

sebelumnya,” kata Harry. 

“Sudah kuduga. Setiap ruangan yang aku masuki juga berantakan. Menurutmu 
apa yang mereka cari?” 

“Informasi tentang Orde, bila itu Snape.” 

“Tapi dia sudah mendapatkan semuanya, maksudku, dia ada dalam Orde, kan?” 

“Kalau begitu,” kata Harry yang ingin terus mendiskusikan teori ini, 

“bagaimana kalau informasi tentang Dumbledore? Yang ada dalam lembar 

kedua surat ini. Kau pasti mengenal Bathilda yang ibuku sebutkan.” 

“Siapa?” 

“Bathilda Bagshot, penulis…” 

“Sejarah Sihir,” kata Hermione yang mulai tertarik. “Jadi orang tuamu 

mengenalnya? Bathilda adalah seorang sejarahwan sihir yang luar biasa.” 

“Dan dia masih hidup,” kata Harry, “dan dia tinggal di Godric Hollow. Bibi 

Muriel berbicara tentangnya di pesta pernikahan. Dia juga berbicara 

tentang keluarga Dumbledore. Topik yang menarik, kan?.” 

Hermione tersenyum mengerti akan apa yang Harry maksudkan. Harry 

mengambil surat dan foto itu, lalu memasukkannya ke dalam kantung yang 

menggantung melingkar di lehernya, sehingga ia tidak perlu menatap Hermione, 

lalu ia berpaling. 

“Aku mengerti mengapa kau senang berbicara dengan Muriel tentang ayah dan 

ibumu, juga Dumbledore,” kata Hermione. “Tapi itu tidak begitu membantu kita 

untuk menemukan Horcrux, kan?” Harry tidak menjawab dan Hermione langsung 

melanjutkan, “Harry, aku tahu kau ingin pergi ke Godric Hollow, tapi aku takut… 

aku takut bagaimana mudahnya para Pelahap Maut menemukan kita seperti 

kemarin. Dan hal itu yang makin membuatku ingin menghindari tempat orang 

tuamu dimakamkan, aku yakin mereka berharap kau akan pergi ke sana.” 

“Bukan itu,” kata Harry yang masih menghindar untuk menatap Hermione. 

“Muriel mengatakan sesuatu tentang Dumbledore di pesta pernikahan. Dan 

aku ingin kebenaran…” 

Harry memberitahu Hermione semua yang Muriel ceritakan. Saat Harry 

selesai, Hermione berkata, “Tentu, aku mengerti mengapa kau kecewa, 

Harry…” 

“Aku tidak kecewa,” kata Harry berbohong, “aku hanya ingin tahu apakah 

cerita itu benar atau…” 
“Harry, apa kau pikir kau bisa mendapatkan kebenaran dari wanita tua 

kejam seperti Muriel atau Rita Skeeter? Bagaimana bisa kau percaya pada 

mereka? Kau kenal Dumbledore!” 

“Aku pikir aku kenal,” gumam Harry. 

“Tapi kau tahu berapa banyak kebenaran yang Rita tulis tentangmu! Doge 

benar, bagaimana mungkin kau biarkan orang-orang seperti mereka 

merusak kenanganmu tentang Dumbledore?” 

Harry memandang ke arah lain, mencoba untuk tidak mengingkari amarah 

yang ia rasakan. Hal itu lagi, memilih yang kita percaya. Harry 

menginginkan kebenaran. Mengapa setiap orang ingin agar Harry tidak 

mengetahui kebenaran? 

“Lebih baik kita turun ke dapur,” usul Hermione setelah jeda beberapa saat. 

“Kita harus mencari sarapan.” 

Harry setuju walau enggan, lalu mengikuti Hermione keluar dan melewati pintu 

kamar kedua. Di pintu terdapat goresan yang cukup dalam di bawah sebuah 

tanda yang tidak Harry sadari saat keadaan gelap tadi. Harry berhenti di ujung 

tangga untuk membacanya. Sebuah tanda larangan kecil yang ditulis dengan 

tulisan tangan yang rapi. Tanda larangan seperti yang Percy Weasley gantung di 

depan pintu kamarnya. 

Dilarang Masuk 

Tanpa Izin Langsung Dari 

Regulus Arcturus Black

Rasa senang memenuhi darah Harry, walau ia sendiri tidak tahu mengapa. Ia 

membaca tanda larangan itu sekali lagi. Hermione sudah ada di